referat osteoporosis

45
REFERAT FRAKTUR OSTEOPOROSIS Disusun oleh: Liana Anggara Rizkia 030.10.160 Pembimbing: dr. Radi Muharris, Sp.OT KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI i

Upload: lianaanggara

Post on 22-Jan-2016

347 views

Category:

Documents


114 download

DESCRIPTION

referat osteoporosis

TRANSCRIPT

REFERAT

FRAKTUR OSTEOPOROSIS

Disusun oleh:

Liana Anggara Rizkia

030.10.160

Pembimbing:

dr. Radi Muharris, Sp.OT

KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAHRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

PERIODE 13 MARET 2015 - 23 MEI 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul ”Fraktur

Osteoporosis”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan

mengenai Fraktur Osteoporosis dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Trisakti.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

pembimbing dr. Radi Muharris, Sp.OT yang telah meluangkan waktu untuk

membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini hingga

selesai.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang

membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat

ini dapat berguna bagi kita semua.

Jakarta, Mei 2015

Liana Anggara Rizkia

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Liana Anggara Rizkia

NIM : 030.10.160

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Trisakti Jakarta

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu bedah

Periode : 15 Maret 2015 – 23 Mei 2015

Judul makalah : Fraktur Osteoporosis

Pembimbing : dr. Radi Muharris, Sp.OT

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN PADA TANGGAL :………………….

Pembimbing

dr. Radi Muharris, Sp.OT

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………… iiLEMBAR PENGESAHAN ………………………………… iiiDAFTAR ISI ………………………………… ivBab I PENDAHULUAN ………………………………… 1Bab II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 2

II.1. Definisi osteoporosis ………………………………… 2II.2. Epidemiologi ………………………………… 3II.3. Klasifikasi ....……………………………… 3II.4. Patofisiologi ………………………………… 5II.5. Faktor risiko ………………………………… 5II.6. Diagnosis ………………………………… 6II.7. Fraktur ………………………………… 11II.8. Tatalaksana ………………………………… 13

Bab III KESIMPULAN ………………………………… 17Bab IV DAFTAR PUSTAKA …………………………………

iv

BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah berkurangnya densitas dan penipisan korteks tulang

yang disebabkan oleh berkurangnya pembentukan dan atau meningkatnya resorpsi

tulang. Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah

penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan

perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang

biasanya melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang

rusuk, pelvis, dan humerus.1

Seiring bertambahnya usia, orang tua mengalami penurunan massa tulang

dan peningkatan risiko patah tulang sehingga osteoporosis merupakan masalah

kesehatan utama di dunia. Beban sosial dan ekonomi dari osteoporosis terus

meningkat karena populasi usia tua yang terus meningkat.2

Penatalaksanaan osteoporosis sejak awal mempunyai prognosis lebih baik

sehingga dilakukan pemeriksaan skrining pada kelompok berisiko. Pemeriksaan

radiologi merupakan salah satu modalitas untuk mengukur massa tulang yang

berkurang pada osteoporosis.2

BAB II

1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tulang

Secara anatomi, tulang dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu tulang

panjang (contoh : femur), tulang pendek atau kuboid (contoh : tulang karpal), dan

tulang pipih (contoh skapula).2 Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri

dari matriks dan sel. Matriks tulang terdiri serat-serat kolagen dan protein non

kolagen, sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas, dan osteosit.3

Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses

formasi tulang yang berfungsi dalam sintesis matriks tulang. Osteoblas berperan

dalam memulai proses resorpsi tulang dan pada permukaan osteoblas terdapat

berbagai reseptor permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang.

Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab untuk resorpsi tulang.

Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam dalam matriks tulang. Fungsi

osteosit diduga berperan pada transmisi sinyal dan stimuli dari satu sel ke sel

lainnya.3

2.2 Definisi Osteoporosis

Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah

penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan

perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang

biasanya melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang

rusuk, pelvis, dan humerus. Definisi osteoporosis menurut National Institute of

Health (NIH) adalah penyakit yang mengganggu kekuatan tulang yang

menyebabkan peningkatan risiko terjadinya fraktur.1

2

Gambar 1. Tulang normal dan tulang keropos

2.3 Epidemiologi

Pada tahun 2003 WHO mencatat lebih dari 75 juta orang di Eropa,

Amerika dan Jepang menderita osteoporosis dan penyakit tersebut mengakibatkan

2,3 juta kasus patah tulang per tahun di Eropa dan Amerika. Sedang di Cina

tercatat angka kesakitan sebesar 7% dari jumlah populasi.1

Osteoporosis mempengaruhi lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat

dan pada tahun 2020 osteoporosis diperkirakan akan berdampak pada sekitar 14

juta orang dewasa di atas usia 50 tahun. Di seluruh dunia, kira-kira 200 juta

perempuan telah menderita osteoporosis. Meskipun kemungkinan penyebaran

osteoporosis saat ini terbesar di Amerika Utara dan Eropa, hal ini juga meningkat

di negara-negara berkembang seiring bertambahnya usia populasi.2

2.4 Klasifikasi

Osteoporosis dibagi dua, yaitu:

Osteoporosis primer

Osteoporosis sekunder

Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya

sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui

penyebabnya.4

Tabel 1. Etiologi Osteoporosis5,6

Osteoporosis Primer Osteoporosis Sekunder

Anak dan remaja :(1) Idiopathic juvenile osteoporosis(2) Heritable disorders of connective tissue

Osteogenesis imperfecta Ehler–Danlos syndrome Bruck syndrome

(1) Gangguan neuromuskular Cerebral palsy Duchenne muscular dystrophy Imobilisasi lama

(2) Penyakit Kronik Leukemia

3

Marfan syndrome Osteoporosis pseudoglioma

syndrome Homocystinuria

Dewasa :(1) Osteoporosis tipe I (post menopause)(2) Osteoporosis tipe II (senilis)

Diffuse connective tissue diseases Fibrosis Kistik Inflammatory bowel diseases Sindroma malabsorbsi (celiac disease) Talasemia Sirosis bilier primer Sindroma nefrotik Anoreksia nervosa TransplantasioOrgan Infeksi HIV

(3) Gangguan endokrin Pubertas terlambat Hipogonadisme Turner syndrome Defisiensi hormon pertumbuhan Hipertiroidisme Diabetes mellitus Hiperprolaktinemia Cushing syndrome

(4) Inborn errors of metabolism Intoleransi protein Gangguan Penyimpanan Glikogen Galaktosaemia Penyakit Gaucher

(5) Obat-obatan Glukokortikoid Methotrexate Siklosporin Heparin Radioterapi Obat antikonvulsan

2.5 Patofisiologi

Proses remodeling tulang normal melibatkan keseimbangan pada proses

resorpsi dan formasi dimana osteoklas meresorpsi tulang dengan asidifikasi dan

proteolitik dan osteoblas mensekresikan osteoid pada kavitas osteoklas. Pada

wanita menopause, proses remodeling tulang meningkat secara drastis

menyebabkan kehilangan massa tulang progresif. Hal ini dikarenakan umur

osteoblas yang lebih pendek sedangkan umur osteoklas lebih lama.2 Selain itu

estrogen berperan menurunkan produksi dari berbagai sitokin oleh bone marrow

stem cells dan sel-sel mononuklear seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang berperan

meningkatkan kerja osteoklas.4

4

Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis pasca menopause

Defisiensi kalsium dan vitamin D sering didapat pada orang tua disebabkan

oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan

paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul

hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan meningkatkan resorpsi

tulang dan kehilangan massa tulang.5 Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi

protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K

juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi

protein tulang, misalnya osteokalsin.4

Gambar 3. Patogenesis Osteoporosis tipe II dan fraktur

2.6 Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan osteoporosis adalah sebagai berikut :

1. Umur

5

Risiko osteoporosis meningkat 1,4-1,8 kali setiap penambahan umur 1

dekade.

2. Genetik

Etnis : kaukasia dan oriental lebih berisiko menderita osteoporosis

dibandingkan kulit hitam dan polinesia.

Jenis kelamin : Perempuan lebih berisiko daripada laki-laki.

Riwayat keluarga

3. Lingkungan

Penduduk yang tinggal di negara 4 musim perlu memperhatikan

defisiensi vitamin D dan kalsium karena kurangnya kedua zat

tersebut dapat menyebabkan osteoporosis.

Gaya hidup : kurang aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan minum

alkohol, serta mengkonsumsi obat-obatan.

Mengkonsumsi obat-obatan seperti steroid, heparin, dan

antikonvulsan.

Risiko jatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, dan

gangguan penglihatan).

4. Hormonal dan Penyakit Kronik

Hormonal : Defisiensi estrogen, androgen, tirotoksikosis,

hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme

Penyakit kronik : sirosis hepatis, gagal ginjal, gastrektomi

5. Sifat Fisik Tulang

Aspek skeletal yang harus diperhatikan adalah densitas (massa tulang), ukuran

tulang, makro dan mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas

kolagen tulang.4

2.7 Diagnosis

Keluhan umum pada osteoporosis adalah nyeri tulang kronik dan intermiten

yang mungkin berhubungan dengan fraktur mikroskopik berulang, sebagaimana

nyeri tulang di bagian lain, tinggi badan berkurang baik saat berdiri maupun

duduk, dan berkurangnya kemampuan fisik, termasuk fungsi respirasi. Pasien

6

dengan osteoporosis berat terlihat rapuh dan cenderung kifosis (dowager’s

hump).7

Berdasarkan:

1) Anamnesis

Anamnesis memegang peranan yang penting dalam evaluasi penderita

osteoporosis. Keluhan utama berupa fraktur dapat mengarahkan kepada diagnosis,

terutama lokasi terjadinya osteoporosis. Hal yang harus ditanyakan pada pasien

yang dicurigai osteoporosis adalah :

Adanya fraktur pada trauma minimal, immobilisasi lama, penurunan tinggi

badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium,

fosfor dan vitamin D, atau latihan yang teratur yang bersifat weight-

bearing.

Riwayat mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, seperti

kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid yang

mengandung aluminium, sodium-flourida dan bifosfonat etidronat.

Riwayat konsumsi alkohol dan rokok

Riwayat penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis, seperti penyakit

ginjal, saluran pencernaan, hati, kelenjar endokrin, dan insufisiensi

pankreas.

Riwayat haid, umur menarke dan menopause, dan penggunaan obat

kontrasepsi.

Riwayat keluarga dengan osteoporosis.5

2) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, diharuskan mengukur tinggi badan, untuk

mengetahui adanya penurunan tinggi badan. Selain itu juga dinilai gaya berjalan,

deformitas tulang, leg-length inequality, dan nyeri spinal. Pada penderita

osteoporosis sering mengalami kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump) dan

penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen,

spasme otot paravertebra dan kulit yang tipis (McConkey sign). 4

3) Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (bone turnover)

7

Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat memberikan gambaran

tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat

menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang dengan jelas, tetapi biopsi

tulang merupakan prosedur yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara

rutin. Sehingga pilihan untuk menentukan bone turnover adalah parameter atau

penanda biokimiawi. Pada osteoporosis, petanda bone turnover dapat digunakan

untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita pascamenopause, untuk

memperkirakan kejadian fraktur osteoporosis dan untuk memantau efikasi

pengobatan.8

Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas

formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas

pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi

tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi

biokimia ini dilakukan  melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.9

Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation) :

a. Osteokalsin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi

membantu proses mineralisasi tulang.

b. Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang

berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.

Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption) :

a. Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang

dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika

terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang.

b. CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang

spesifik untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan

deoxypyridinolin dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan

terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya).

Pemeriksaan Radiologi

Osteoporosis disebabkan oleh penurunan massa tulang, oleh karena itu

diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan dengan pengukuran massa tulang.

Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu dan

8

risiko terjadinya patah tulang di masa yang akan datang. Metode pengukuran

densitas tulang dikategorikan atas :

A. Metode kuantitatif

Metode ini menilai densitas tulang dengan relatif objektif. Teknik yang

digunakan adalah dengan radiogrammetri, radiographic photodensitometry,

computed tomography, single and dual photon absorptiometry, dan compton

scattering.10

1. Energy Absorptiometry

Teknik ini terdiri dari Single Photon Absorptiometry (SPA), Double

Photon Absorptiometry (DPA), Single Energy X-Ray Absorptiometry

(SXA), dan Double Energy X-ray Absorptiometry (DXA). Kelebihan

densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan Photon Absorptiometry

dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran vertebral dari

anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat

dihindarkan dan presisi pengukuran lebih tajam.

Single Photon Absorptiometry memakai isotop radionuklir berenergi

rendah seperti Iodine 125. Radiasi monokromatik yang dihasilkannya secara

sinkron melintasi tulang yang diperiksa. Tulang dan jaringan lunak yang

dilewati melemahkan radiasi. Berkurangnya intensitas radiasi inilah yang

diukur. Single Energy X-ray Absorptiometry saat ini banyak digunakan

untuk menggantikan SPA, terutama dalam menilai tulang di daerah

pergelangan tangan. SXA ini lebih akurat dan tidak menggunakan isotop.

SPA dan SXA baik untuk menilai tulang-tulang apendikular, namun untuk

menilai tulang belakang dan tulang panggul sebaiknya digunakan DPA atau

DXA.8

Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun

osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DXA, karena dapat

mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih

dalam, termasuk yang dikelilingi oleh jaringan lunak yang tebal seperti

jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ dalam perut.8

9

Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan

mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara

lain :

Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan

kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan

etnis yang sama, disebut Z Score dalam %.

Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan

kadar rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama,

yang disebut dengan T Score dalam %.5

Osteoporosis pada dewasa

Kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan skor-T adalah

sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi osteoporosis WHO1

Definisi Kriteria

NormalSkor-T lebih besar atau sama dengan -1,0 SD

Osteopenia Skor-T antara -1,0 SD sampai -2,5 SDOsteoporosis Skor T kurang dari -2,5 SDOsteoporosis Lanjut

Skor T kurang dari -2,5 SD ditambah satu atau lebih fraktur

Pemeriksaan DEXA dianjurkan pada :

1. Wanita lebih dari 65 tahun dengan faktor risiko.

2. Pascamenopause dan usia <65 tahun dengan minimal 1 faktor risiko

disamping menopause atau dengan fraktur.

3. Wanita pascamenopause yang kurus (Indek Massa Tubuh <19 kg/m2).

4. Ada riwayat keluarga dengan fraktur osteoporosis.

5. Mengkonsumsi obat-obatan yang mempercepat timbulnya osteoporosis.

6. Menopause yang cepat (premature menopause).

7. Amenore sekunder >1 tahun.

8. Kelainan yang menyebabkan osteoporosis seperti: anoreksia nervosa,

malabsorpsi, primary hyperparathyroid, post-transplantasi, penyakit

ginjal kronis, hipertiroid, imobilisasi yang lama, cushing syndrome.

9. Berkurangnya tinggi badan, atau tampak kifosis.

10

Osteoporosis pada anak

Diagnosis osteoporosis pada anak tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan

pemeriksaan densitas mineral tulang, tapi juga oleh riwayat fraktur secara klinis

(fraktur pada satu tulang panjang ektremitas bawah atau fraktur dua atau lebih

tulang panjang ekstremitas atas, atau adanya fraktur kompresi vertebra). Anak

dikatakan osteoporosis bila skor Z ≤ -2,0 SD sesuai umur, jenis kelamin, ras, dan

juga ukuran tubuh dan pekembangan pubertas (Tanner stage). Skor T tidak pernah

dipakai untuk anak.1

2. Computed Tomography (CT) 

Keuntungan penggunaan CT, dalam hal ini Quantitative CT (QCT) ini

adalah kemampuannya untuk merelokalisasi tempat ‘scanning’ dengan keakuratan

yang amat tinggi sehingga didapat gambaran anatomi dalam tiga dimensi secara

tepat. Dengan demikian, densitas yang terukur bersifat volumetrik, bukan densitas

areal seperti pada absorpsiometri. Batas antara tulang kortikal dan tulang

trabekular terlihat jelas11.

Gambar 4. CT Scan pada vertebra lumbal

  Whole Body CT memberikan informasi densitas tulang dalam satuan

unit Hounsfield (HU); dimana bila densitas CT berada pada kisaran –1000

s/d +1000 HU.

Air                   :   0

Udara              : -1000 HU

Tulang              : +1000 HU

Korteks tulang    :  > 250 HU

Trabekula tulang     : 30-260 HU 

Hasil pengukuran CT berada dalam satuan HU, karenanya dibutuhkan

kalibrasi untuk mengubahnya ke densitas mineral tulang yang relevan.

11

Khususnya, pada QCT aksial, penderita di-scan bersamaan dengan fantom

kalibrasi. Cann-Genant juga memperkenalkan suatu garis kalibrasi yang

mengubah nilai pengukuran dari satuan HU ke satuan mg/ml konsentrasi

mineral tulang (Cann-Genant Technique).11

Aplikasi pengukuran QCT dalam klinik adalah : 

Penentuan kandungan mineral tulang dalam vertebra, panggul atau radius

untuk perkiraan osteoporosis.

Penentuan kandungan lemak/fat dalam vertebra untuk diagnosis dini

osteoporosis.

Penentuan kandungan zat besi/iron dalam hepar untuk evaluasi diagnosis

pasti penyakit liver.

Penentuan kandungan iodium dalam tiroid untuk pemeriksaan  penyakit

tiroid.

Penentuan kandungan lemak dalam tubuh untuk perkiraan komposisi

tubuh.

Penentuan kalsium yang terdapat dalam nodul paru untuk  memastikan

stadium penyakit.

Penentuan densitas elektron dalam jaringan untuk planning radioterapi

yang baik.13

3. Sidik Radioisotop

Sidik radioisotop menggunakan technetium diphosphonate.

Pemeriksaan ini memberikan petunjuk aktivitas osteoblastik dan

vaskularisasi skeletal. Ambilan tulang terhadap diphosphonate dapat

dihitung. Dua puluh empat jam setelah penyuntikan technetium

diphosphonate, retensi isotop dalam tubuh dihitung. Retensi isotop terjadi

pada osteoporosis, sedangkan peningkatan dapat tampak pada penyakit

Paget, osteomalacia dan hiperparatiroid primer. Kelainan metabolik tulang

dapat menyebabkan peningkatan uptake secara menyeluruh  dan

osteoporosis terkadang memberikan gambaran washed out. Saat ini, metode 

tersebut di atas digunakan dalam mendiagnosis banding dan sebagai teknik

penelitian. 13

12

Gambar 5. Sidik Radioisotop Tulang

4. Radiographic Photodensitometry

Densitas tulang, dibandingkan dengan obyek tertentu yang menjadi

acuannya, misalnya lempeng aluminium. Keduanya difoto dengan x-ray,

hasilnya dibandingkan dengan memakai densitometer cahaya.

Aplikasi klinik pemeriksaan densitometri :

Menentukan efek pada tulang penderita dengan gangguan metabolik.

Untuk memonitor progresifitas penyakit atau respon terapi dengan

pemeriksaan seri.

Menentukan perimenopause wanita, dengan penentuan perubahan 

kadar estrogen.

Menentukan diagnosis dan beratnya osteoporosis.

5. Compton Scattering 

Metode ini mendeteksi dan mengukur sinar hambur yang terjadi di

sekitar sinar primer. Sinar primer difokuskan pada suatu area kecil tulang.

Intensitas sinar hambur yang terjadi di sekitarnya merupakan alat pengukur

kandungan mineral tulang.

6. Ultrasonografi

Kebanyakan teknik Ultrasonografi kuantitatif mengukur tulang

kalkaneus. Ultrasonografi memprediksi resiko patah tulang, namun apakah

kedudukannya dapat menggantikan pengukuran-pengukuran densitas tulang

lainnya atau menambah informasi yang didapat daripadanya masih belum

jelas.

B. Metode semi kuantitatif

Penilaian osteoporosis dangan metode semi kuantitatif ini dapat dengan hanya

menggunakan radiografi konvensional. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di

beberapa tempat, yaitu vertebra, proksimal femur, kalkaneus, dan metakarpal.

13

1. Foto Vertebra

Menentukan densitas tulang melalui foto lateral. Normalnya bayangan

ini opak homogen. Dengan berkurangnya massa tulang, korpus vertebra

menjadi lebih radiolusen, trabekula transversal perlahan-lahan mulai hilang,

gambaran trabekula vertikal menjadi lebih menonjol.4

Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis

vertebra :

1) Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vetebra atau penurunan

densitas tulang.

2) Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula

vertikal. Resorpsi, penipisan dan menghilang terutama pada trabekula

horizontal dibandingkan trabekula vertikal, sehingga menghasilkan

gambaran densitas striata vertikal.

Gambar 6. Bone Atrophy Class

Kriteria Bone Atrophy Class membagi tingkat perubahan trabekulasi

menjadi 4 tingkatan :

Kelas 0 : Normal

Kelas I : Trabekula longitudial lebih jelas

Kelas II : trabekula longitudinal menjadi kasar

Kelas III : Trabekula longitudinal mejadi tidak jelas

Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus veterba.

Perubahan end plates, degan membandingkat korpus vetebra denga end

plates. Penurunan kalsium vetebra menghasilka end plates yag semakin

tidak jelas.

Abnormalitas bentuk korpus vetebra

14

Kleerekoper dkk di Detroit melakukan penilaian terhadap perubahan-

perubahan bentuk vertebra, yang mereka sebut Permanent Vertebral Body

Deforming Events (PVDE). Perubahan-perubahan yang terjadi bervariasi

dari kolaps end plates (EP) hingga pemipihan/Wedging (W) dan fraktur

kompresi/Crush fracture (C).

Gambar 7. Permanent Vertebral Body Deforming Events (PVDE)

Menemukan fraktur spontan atau setelah trauma minimal pada foto

vertebra.4

2. Proksimal femur

Pola trabekular pada proksimal femur menunjukkan perubahan-

perubahan karakteristik bersamaan dengan hilangnya massa tubuh. Singh,

dkk memberikan suatu sistem grading berdasarkan perubahan-perubahan

ini. Indeks yang rendah menunjukkan rendahnya massa tulang.10

Gambar 8. Indeks Singh

Indeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu :

Grade 6 : semua struktur kelompok trabekula dan segitiga Ward kurang

jelas terlihat menandakan tulang normal.

Grade 5 : tampak atenuasi struktur principal compressive dan principal

tensile, segitiga Ward tampak kosong dan lebih prominen. Stadium ini

menunjukkan stadium dini osteoporosis

15

Grade 4 : tensil trabekula tampak berkurang, terjadi resorpsi dimulai dari

bagian medial, sehingga principal tensile bagian lateral masih dapat diikuti

garisnya. Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal dan

osteoporosis.

Grade 3 : tampak principal tensile terputus di area yang berseberangan

dengan trochanter mayor sehingga tensil trabekula hanya terlihat dibagian

atas leher femur. Stadium ini menunjukkan definite osteoporosis.

Grade 2 : hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan

kelompok trabekula lain tidak/kurang jelas. Keadaan ini menunjukkan

advanced osteoporosis.

Grade 1 : principal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya,

keadaan ini menunjukkan keadaan osteoporosis berat.4

3. Kalkaneus

Metode Jhamaria menggunakan metode yang sama dengan Singh dkk

yaitu menentukan indeks osteoporosis berdasarkan pola trabekula

kalkaneus. Metode Jhamaria lebih mudah dilakukan dan relatif aman karena

letak kalkaneus jauh dari gonad.10

Grade V. Normal.Persebaran dan distribusi trabekula normal

Grade IV. A wedge shaped (varian normal).

16

Grade III. borderline osteoporosis.

Grade Il. Definite osteoporosis.

Grade I. Severe osteoporosis.

Gambar 9. Indeks osteoporosis kalkaneus menurut Jhamaica

dkk.10

4. Metakarpal

Pada pemeriksaan foto tangan, yang perlu diperhatikan adalah

metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dalam hal ini yang diukur adalah Tebal

Total Tulang (TW) dan Tebal Medulla Tulang (MW) pada pertengahan

metakarpal. Dilakukan pengukuran tebal korteks, yaitu selisih diameter

tulang dengan tebal medula.4

Gambar 10. Radiomorfometri Metakarpal

Perbandingan korteks (CA) dengan daerah keseluruhan keseluruhan

tulang (TA), dinilai dengan rumus berikut :

CA/TA = TW 2 - MW 2

TW2

Nilai rata-rata dewasa adalah 0,72-0,85, dan menurun sesuai

bertambahnya umur. Osteoporosis korteks dinyatakan bila nilainya kurang

dari 0,72.4 

17

C. Metode kualitatif

Metode kualitatif dapat dilakukan dengan radiografi sederhana, radiografi

detail tinggi, dan radionuklir. Metode-metode ini dapat digunakan untuk

membentuk diagnosis yang cukup akurat. Scan tulang radionuklir memanfaatkan

technetium-99m. Serapan technetium-99m tergantung pada aktivitas metabolik

tulang serta aliran darah tulang. Area pergantian tulang yang cepat dengan laju

aliran darah tinggi akan menunjukkan peningkatan serapan. Laju alir rendah dan

aktivitas metabolisme berkurang akan menunjukkan penurunan serapan.10

2.8 Fraktur pada osteoporosis

Tulang yang rapuh dan patah dinamakan fragility fracture, pada kondisi

ini dapat terjadi patah tulang meskipun tidak harus timbul akibat trauma yang

hebat, melaikan cukup hanya terjatuh biasa yang ringan, mengangkat barang

berat, mendorong sesuatu, atau akibat trauma ringan.

Fraktur paling sering pada Osteoporosis adalah:

1) Fraktur tulang panggul (hip fracture) / (collum femoris)

2) Fraktur tulang pergelangan tangan bagian bawah (wrist fracture)

3) Fraktur tulang belakang (spine fracture atau vertebral compression

fracture)

Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis pasti ditegakkan

berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang.12

Fraktur tulang panggul

Fraktur pada pangkal tulang paha (collum femoris) yang hamper sebagian

besar disebabkan oleh osteoporosis umumnya terjadi akibat terjatuh, terduduk,

atau terkadang hanya salah posisi berdiri saja.

Gejala :

Rasa nyeri yang hebat, paha dan tungkai bawah sulit digerakan karena rasa

nyeri.

18

Gambar 4. Fraktur pada tulang pinggul

Fraktur radius distal

Patah tulang ini timbul disebabkan reaksi penderita yang jatuh selalu

berusaha menahan badan dengan tangannya. Pada pergelangan tangan terjadi

cedera kompresi, rotasi dan angulasi yang menimbulkan Colles fracture.

Gejala:

Pergelangan tangan akan tampak bengkak dan perubahan bentuk, timbul

rasa nyeri bila digerakan.

Gambar. 5 Fraktur pergelangan tangan bagian bawah

Fraktur Tulang Belakang

Patah tulang belakang pada penderita osteoporosis sebagian besar terjadi

karena jatuh terduduk, bila osteoporosisnya parah dapat juga terjadi fraktur karena

terjatuh pada kamar mandi, ataupun mengangkat beban yang berat.

Tubuh yang membungkuk (kifosis) atau dorsal kifosis atau dowager’s

hump, biasanya terjadi akibat kerusakan beberapa ruas tulang belakang dari

daeraah thoracal dan lumbal. Osteoporosis pada tulang belakang ini menimbulkan

fraktur kompresi atau kolaps tulang dan menyebabkan tulang membungkuk ke

depan.

19

Gambar 6. Kompresi tulang belakang

Fraktur kompresi vertebra adalah suatu keretakan pada tulang belakang yang

disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang terjadi bersamaan. terjadi jika

berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam menopang beban tersebut,

seperti pada kasus terjadinya trauma.

2.9 Tatalaksana

Penanganan Fraktur Pada Osteoporosis

Pada umumnya penderita dengan Osteoporosis adalah manula, baru datang

berobat ke ahli orthopaedi apabila mengalami patah tulang, wanita lebih sering

dari pria hal ini disebabkan wanita manula berisiko dan reaksi terhadap jatuh juga

lebih lamban. Fraktur paling sering pada Osteoporosis adalah fraktur kollum

femur, fraktur Colles, fraktur vertebra dan fraktur intertrokhanter femur. Pada

prinsipnya penangan patah tulang adalah 4 R yaitu:13,14

1. Recognition

2. Reduction

3. Retaining

4. Rehabilitation

1. Recognition

Yaitu membuat diagnosis patah tulang dengan baik agar dapat dibuat

rencana terapinya, apakah tulang yang terjadi simple, kominutif atau segmental

pada daerah epifisis, metafisis atau diafisis. Patah tulang akibat osteoporosis

biasanya terjadi pada daerah metafisis (daerah cancellous bone). Osteoporosis

memang terjadi lebih banyak di daerah kanselous karena permukaan yang lebih

luas dibanding tulang kortikal, Perlu diketahui pula prognosis dari kemungkinan

union, seperti pada daerah collum femur dimana sebagian besar akan terjadi non

union disamping kemungkinan terjadinya avaskuler nekrosis kaput femoris.

20

2. Reduction

Setelah dibuat diagnosis patah tulang, maka tindakannya adalah

memperbaiki kedudukan fragmen agar terjadi penyambungan yang baik, apakah

harus segera atau dapat ditunda (emergency atau ASAP : as soon as possible)

3. Retaining

Pada patah tulang akibat osteoporosis perlu dipertimbangkan cara

mempertahankan hasil reposisi, Menggunakan implant maka implant harus dapat

memegang fragmen yang ada, kalau tidak ada cara lain yang cukup memadai yaitu

dengan imp/ant yang sederhana yang bersifat adaptasi atau splinting dengan

kirscher wire dan pemasangan fiksasi luas (gips). Selain itu kualitas tulang perlu

diperhatikan dan kalau perlu dapat diperkuat fiksasi bila dipergunakan bone

cement

4. Rehabilitation

Tindakan rehabilitasi adalah untuk mencegah timbulnya kecacatan dengan

mengupayakan fungsi alat atau anggota yang masih baik guna memberikan

kesempatan bagian yangcedera agar menjalani istirahat guna penyembuhan.

Imobilisasi yang lama dapat menyebabkan beberapa penyulit, baik yang bersifat

umum akibat tirah baring lama mengenai beberapa sistem tubuh seperti sistem

kardiorespirator, ginjal, juga sistem muskuloskeletal yaitu kekakauan sendi

terutama distal dari fraktur dan menambah timbulnya disuse osteoporosis dan

fracture disesase vertebrae yang kolaps. Penyuntikan bone cement tersebut dapat

memperbaiki deformitas dan memberikan kepadatan pada corpus vertebrae.

Kekuatan yang lebih dapat pula memberi tekanan pada corpus vertebrae cranial

dan distal, karenanya tindakan terhadap terapi osteoporosis perlu dilaksanakan.

PATAH TULANG COLLUM FEMUR (FEMORAL NECK)

Pada umumnya patah tulang collum femur sering terjadi non union atau

nekrosis avaskuler kaput femoris. Tindakan yang dapat dilakukan untuk

mencegah timbulnya penyulit tirah baring yang lama yaitu dengan tindakan bedah

pemasangan endoprothesis (Austin Moore Prosthesis-AMP) atau Total Hip

Replacement (THR).

21

Total hip replacement adalah prosedur operasi dengan mana tulang rawan

(cartilage) dan tulang yang berpenyakit (rusak) dari sendi pinggul secara operasi

diganti dengan materi-materi buatan.

Gambar. Pemotongan tulang femur dan pemasangan hip joint prosthesis

Sambungan tulang pinggul (hip joint) adalah sambungan tulang yang

terletak diantara pinggul dan pangkal tulang paha atas. Hip joint pada manusia

terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: femur, femoral head, dan rounded socket.

memperlihatkan tentang proses penggantian sambungan tulang pinggul dengan

sambungan tulang pinggul tiruan (artificial hip prosthesis). Sambungan tulang

pinggul yang terindikasi arthritis, kemudian dilakukan pemotongan pada tulang

femur terutama di bagian sekitar femoral head. Setelah pemotongan, kemudian

bagian acetabulum akan dihaluskan untuk menempatkan cup pada acetabulum.

Hip joint prosthesis akan dipasang dengan cara menanam femoral stem pada

tulang femur.

Gambar . Hip joint sebelum dan sesudah dilakukan hip joint replacement

Komponen sambungan tulang pinggul buatan terdiri dari sistem

acetabular dan femoral. Dalam sistem acetabular terdiri dari komponen

acetabular shell dan acetabular liner, sedangkan pada sistem femoral terdiri dari

komponen femoral head dan femoral stem.

22

Gambar . hip joint prosthesis

Acetabular Shell adalah bagian terluar dari total hip joint replacement

sebagai metal cup yang menempel pada acetabulum (bagian tulang dari pelvis),

bagian permukaan luar acetabular shell terdapat porous (permukaan kasar yang

mirip jarring-jaring) fungsinya adalah merangsang tulang agar tumbuh dan

merekat pada acetabular shell secara alami, sebagai penguat acetabular shell di

tanam baut kedalam tulang pelvis secara permanen.

Acetabular liner adalah untuk menopang femoral head yang

direkatkan/diikat menempel pada acetabular shell. Femoral head merupakan

implant pengganti bonggol tulang femur yang telah dinyatakan secara medis tidak

berfungsi lagi (rusak) oleh karena suatu sebab, baik karena penyakit atau sebab

lainnya.

PATAH TULANG RADIUS DISTAL

Pada patah tulang yang segar, reposisi tertutup dan pemasangan gips

cukup memadai. Lain halnya bila datang terlambat dengan malposisi. Walaupun

demikian penderita manula biasanya tidak mengeluh dengan kelainan bentuk dan

gangguan gerak yang terbatas, baik fleksi ekstensi maupun pro dan supinasi. Orif

(Open Reduction Internal Fixation) dengan implant yang minimal yaitu kirshner

wire hanyalah untuk mempertahankan kedudukan setelah reposisi dan kemudian

perlu dipasang gips.

PATAH TULANG BELAKANG

Patah tulang yang terjadi biasanya bentuk kompresi. Paling banyak pada

tulang belakang tengah (Thorakal XII & Lumbal I). Bila jatuhnya keras tidak

jarang terjadi kelemahan kekuatan otot-otot tungkai bahkan kelumpuhan sampai

gangguan kencing & BAB, hal ini terjadi karena penekanan saraf oleh fragmen

23

tulang yang patah.

Penanganan patah tulang belakang, bila ringan hanya perlu memakai

Brace, bila menimbulkan kelemahan harus dilakukan operasi dengan tujuan

membebaskan saraf yang terjepit fragmen tulang yang patah sekaligus stabilisasi

dengan implant. Pada awal tahun 2000 ini ditemukan vertebroplasty cara baru

penanganan patah tulang belakang tanpa operasi yang bertujuan menghilangkan

nyeri dan mereposisi fragmen fraktur yang mengalami kompresi dengan cara

menyuntikkan semen tulang kedalam tulang belakang yang patah.

Percutaneous vertebroplasty merupakan teknik penyuntikan suatu semen

tulang acrylic (polymethylmethacrylate; PMMA) ke bagian tulang belakang

melalui jarum trokar yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, menjaga

kestabilan tulang belakang, dan pada beberapa kasus dapat  mengembalikan

postur tubuh.

Gambar. vertebroplasty

Patah tulang belakang mengakibatkan nyeri dan kecacatan. Percutaneous

vertebroplasty dapat mengurangi nyeri tidak hanya pada pasien dengan patah

tulang belakang yang disebabkan oleh osteoporosis, namun juga pada pasien patah

tulang belakang akibat hemagioma (tumor jinak pembuluh darah), dan patah

tulang patologis akibat tumor tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa

percutaneous vertebroplasty  dapat mengurangi nyeri yang diakibatkan oleh patah

tulang belakang dan hemangioma.

Indikasi terapi :

Patah tulang yang disebabkan oleh osteolysis

Patah tulang kompresi

Patah tulang atau nyeri akibat kanker saraf tulang belakang yang menyebar

Hemangioma pada tulang belakang

24

2.9 Prognosis Osteoporosis

Prognosis osteoporosis baik apabila kehilangan massa tulang terdeteksi

sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan. Pasien bisa

meningkatkan densitas mineral tulang dan menurunkan risiko fraktur dengan

pengobatan anti osteoporotik yang cukup. Selain itu pasien bisa menyesuaikan

keadaan lingkungannya untuk mengurangi risiko jatuh.15

Fraktur kompresi vertebra berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan

mortalitas osteoporosis. Postur pasien memburuk, kifosis yang progresif,

gangguan keseimbangan, nyeri punggung, dan peningkatan risiko pneumonia.

Secara keseluruhan pasien kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri. Fraktur

vertebra meningkatkan 5-years risk of mortality rate sebesar 15%.15

Fraktur panggul juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien

osteoporosis. Dari seluruh pasien fraktur panggul, 50% memerlukan perawatan di

rumah untuk pemulihan. Sekitar 50% yang sebelumnya dapat hidup mandiri

menjadi cukup bergantung, dan sepertiganya menjadi sangat bergantung pada

orang lain.15

Pasien yang sudah pernah mengalami fraktur berisiko tinggi untuk fraktur

berikutnya. Sebagai contoh, adanya satu fraktur vertebra akan meningkatkan

risiko lima kali lipat untuk fraktur vertebra berikutnya. Pasien dengan fraktur

panggul sebelumnya akan berisiko 2-10 kali lipat untuk frakur panggul kedua.15

WHO membuat Fracture Risk Assesment Tool (FRAX) untuk menilai

kemungkinan 10 tahun osteoporosis menyebabkan fraktur mayor, seperti tulang

belakang, panggul, bahu, atau lengan berdasarkan jumlah faktor risiko klinis

(clinical risk factor/CFR), densitas mineral tulang, indeks massa tubuh, umur

pasien (50-90 tahun), serta epidemiologi masing-masing negara.16

Faktor risiko klinis yang dinilai ialah usia, jenis kelamin, riwayat fraktur,

indeks massa tubuh rendah, pemakaian obat glukokortikoid, osteoporosis

sekunder, riwayat orangtua dengan fraktur panggul, status merokok saat ini, dan

konsumsi alkohol (lebih dari tiga kali sehari).1

BAB III

PENUTUP

25

3.1 Kesimpulan

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga

tulang mudah rapuh dan patah. Osteoporosis dibagi dua, yaitu osteoporosis primer

dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak

diketahui penyebabnya sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis

yang diketahui penyebabnya.

Diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sangat berperan

adalah pemeriksaan massa tulang yang dapat dinilai dengan tiga cara yaitu,

kuantitatif, semi kuantitatif, dan kualitatif.

Osteoporosis dapat ditatalaksana secara farmakologik dan non-

farmakologik. Prognosis osteoporosis baik kehilangan massa tulang terdeteksi

sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan.

3.2 Saran

Pencegahan dan pemberian edukasi sebagai kegiatan preventif sebaiknya

dilakukan oleh pelayanan kesehatan dimulai dari puskesmas sebagai tonggak

utama kesehatan dasar masyarakat. Pemeriksaan radiologi akan diperlukan untuk

mendeteksi apakah telah terjadi komplikasi yang paling ditakutkan dari

osteoporosis yaitu patah tulang.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

26

1. Hough, S., Ascott Evan B., Brown S., Cassim B., De Villiers T., Lipschitz S., et al. NOFSA Guideline for the Diagnosis and Management of Osteoporosis. South Africa: NOFSA; 2010

2. Lane, Nancy E. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2006;194:S3–11

3. Setiyohadi, Bambang. Struktur dan Metabolisme Tulang dalam Aru W. Sudoyo dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing; 2006: 1106.

4. Salter, Robert B. Textbook of Disorder and Injuries of the Muskuloskeletal System. Edisi ketiga. Pennsylvania : Lippincott William and Wilkins; 1999.

5. Setiyohadi, Bambang. Osteoporosis dalam Aru W. Sudoyo dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing; 2006: 1269-84

6. Bianchi, Maria L. Osteoporosis in children and adolescents. Bone. 2007;41:486–95.

7. Kanis, J.A., E. V. Mc Closkey, H. Johansson, C. Cooper, R. Rizzoli, dan J. Y. Reginster. European guidance for the diagnosis and management of osteoporosis in postmenopausal women. Springer : International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis Foundation; 2012

8. Burgener, A. F., Martti Kormano, dan Tomi Pudas. Differential diagnosis in conventional radiology. Edisi ketiga. Jerman: Thieme; 2008: 6-11.

9. Sweet, M. G., Jon M. S., Michael P. J., dan Sim S. G. Diagnosis and Treatment of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):193-200.

10. Kosmin, Dana J. Osteoporosis. Diakses di : http://emedicine.medscape.com/ article/33059-overview#aw2aab6b2b6. Diakses pada 11 Maret 2014.

11. WHO Fracture Risk Assesment Tool (FRAX). Diakses di : www.shef.ac.uk/FRAX. Diakses pada 11 Maret 2014.

12. Banks Alan S., Brad Castellano. Radiology of osteoporosis evaluation and interpretation. Diakses di : http://www.podiatryinstitute.com/pdfs/Update_ 1987/1987_04.pdf pada 10 Maret 2014

13. Razak B. Osteoporosis ditinjau dari sisi pemeriksaan radiologi. Artikel Radiologi. 2011 

14. Brunader, R dan Shelton D. K. Radiologic bone assessment in the evaluation of osteoporosis. American Family Physician. 2002; 65(7): 1357-1364

15. Wachjudi R G. OSTEOPOROSIS AKIBAT PEMAKAIAN STEROID. Diakses di: http://internershs.com/home3/index.php?option=com_content&task=view&id=76&Itemid=124 pada 10 Maret 2014

27

16. Kawiyana I. K. S. Osteoporosis : Patogenesis, diagnosis, dan penanganan terkini. J Peny Dalam. 2009; 10 (2): 157-170

28