referat obat ht anastesi baru - copy

12
REFERAT OBAT ANTIHIPERTENSI INTRAOPERATIF Oleh Moh. Arif Kurniawan T. H1A 010 026 Pembimbing dr.Hj. Elya Endriani Sp.An DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ANESTESI DAN REAMINASI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2014

Upload: muhammad-arif

Post on 05-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

anastesi

TRANSCRIPT

REFERATOBAT ANTIHIPERTENSI INTRAOPERATIF

Oleh Moh. Arif Kurniawan T.H1A 010 026

Pembimbing dr.Hj. Elya Endriani Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYABAGIAN/SMF ANESTESI DAN REAMINASIRUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARATFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM2014

PENDAHULUAN

Tekanan darah (TD) adalah tekanan yang diperlukan aliran darah untuk melawan resistensi dinding pembuluh darah. Semakin kecil diameter pembuluh darah (arteri), semakin besar resistensi, semakin tinggi pula tekanan yang diperlukan darah yang diperlukan untuk dapat melalui lumen (Soenarto, & Chandra, 2012). Kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan arteri di atas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan ras disebut sebagai hipertensi (Wiryana, 2008).Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD yang menjadi cut-off point untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi, beberapa literatur menulis bahwa tekanan darah diastolik (TDD) 110 atau 115 sebagai batas untuk keputusan penundaan anastesi dan operasi. TDD dijadikan tolak ukur karena peningkatan tekanan TDD tidak dipengaruhi oleh pertambahan umur. Walaupun demikian beberapa ahli menganggap jika hipertensi sistolik lebih besar resikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskular jika dibandingkan dengan hipertensi diastolik. Induksi anestesi sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi, namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Penurunan tekanan darah pada kondisi hipertensi dilakukan pada saat tindakan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dari hipertensi. Komplikasi hipertensi berupa infrak miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer, dan diseksi aorta (Wiryana, 2008). Pemilihan obat saat terjadi hipertensi akut selama fase intraoperatif bergantung pada berat, ringan, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate, dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan pengobatan atau atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Setiap golongan obat antihipertensi seperti diuretik, vasodilator, calsium channel blocker (CCB), angiotensin converting enzime (ACE) inhibitor, angiotensin reseptor blocker (ARB) dan Beta-Blockers memiliki efek yang berbeda pada tubuh (tabel 1). Pada kondisi hipertensi akut bentuk sediaan obat yang menjadi pilihan adalah sediaan parenteral. Beberapa obat berikut ini memiliki sediaan parenteral yang dapat menjadi pilihan dalam mengatasi terjadinya hipertensi akut intraoperatif, diantaranya adalah Beta-adrenergik blockade (propanolol, esmolol, labetalol), Nicardipine, Nifedipine, Nitroprusside, Nitrogliserin, Fenoldopam, hydralazine (Wiryana, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tatalaksana Hipertensi pada IntraoperatifKeberhasilan suatu tindakan anestesi dilihat dari kestabilan hemodinamik yang diharapkan saat proses tindakan dilakukan. Walaupun tidak ada batasan khusus nilai tekanan darah yang harus dicapai saat tindakan anestesi dilakukan, namun para ahli menyarankan untuk menjaga kestabilan hemodinamik (meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar), karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensi itu sendiri. Penundaan anestesi atau tindakan operasi pada kasus hipertensi jika ditemukan adanya kemungkinan kerusakan target organ akibat kondisi hipertensi sehingga evaluasi untuk penurunan tekanan darah sebelum operasi perlu dilakukan. The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA / ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan tindakan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada kondisi urgensi maka saat tindakan operasi tekanan darah harus dapat distabilkan dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting (Wiryana, 2008). Beberapa hal yang harus diperhatikan saat tindakan penurunan tekanan darah intraoperatif menurut, Wiryana (2008):1. Batas bawah penurunan MAP sampai dengan 25 % untuk penderita hipertensi2. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya hipoperfusi otak3. Pengaruh hipertensi kornis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.Menurut Lubis (2013) mengatakan bahwa pada kondisi hipertensi emergensi sebelum tindakan operatif dilakukan maka harus dilakukan tindakan preoperatif berupa penurunan tekanan darah 25 % dari kondisi awal dalam satu jam pertama, kemudian apabila kondisi hemodinamik stabil penurunan dapat dilanjutkan hingga 160/110-100 mmHg dalam 2-6 jam berikutnya. Hipertensi ringan-sedang dapat diatasi dengan didalamkannya anestesi. Jika suatu keadaan hipertensi tidak berespon terhadap suatu proses pendalaman anestesi yang diberikan maka perlu dipertimbangkan penyebab terjadinya hipertensi tersebut seperti feokromositoma, carcinoid syndrome dan tyroid strom. Pada kondisi tersebut diperlukan sebuah terapi parenteral yang bekerja cepat menurunkan tekanan darah (Wiryana, 2008).

B. Induksi Anestesi pada Penderita HipertensiPemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinis. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan dengan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile bisa digunakan sevofluran sebagai obat induksi secara inhalasi (Wiryana, 2008).Hal yang harus diperhatikan saat induksi anestesi adalah kondisi hipotensi saat dilakukan tindakan anestesi. Hal ini terjadi pada penderita hipertensi biasanya karena adanya efek depresi sirkulasi oleh obat antihipertensi dan juga obat anestesi itu sendiri. Konsumsi obat hipertensi yang paling sering dilaporkan menyebabkan hipotensi saat tindakan anestesi adalah ACE inhibitor dan ARB sehingga obat tersebut saat tindakan preoperasi dilakukan sebaiknya tidak digunakan untuk menurunkan tekanan darah dan diganti mengunakan obat golongan lainnya (Wiryana, 2008). C. Pengendalian Hipertensi saat Tindakan Intubasi EndotrakealTindakan intubasi endotrakea dan pengunaan laringoskopi saat dilakukan pada penderita hipertensi dapat semakin meningkatkan tekanan darah karena stimulus nyeri yang dirangsang saat tindakan tersebut dilakukan. Kejadian peningkatan tekanan darah saat dilakukan laringoskopi-intubasi endotrakeal mencapai 25 %. Menurut Wiryana (2008) beberapa tindakan berikut dapat dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi endotrakeal untuk menghindari hipertensi;1. Dalamkan anestesia dengan mengunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit2. Berikan opioid (fentanil 2,5 5 mikrogram/kgBB, alfentanil 15 25 mikrogram/kgBB, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgBB, atau ramifentanil 0,5 1 mikrogram/kgBB)3. Berikan lidokain 1,5 mg/kgBB Intravena4. Mengunakan beta-adrenergik blockade (esmolol 0,3-1,5 mg/kgBB, propanolol 1-3 mg atau labetatol 5-20 mg).5. Mengunakan anestesia topikal pada airway.

D. Monitoring Penderita Hipertensi IntraoperatifSaat tindakan anestesia dilakukan, tindakan monitoring perlu dilakukan untuk memantau hemodinamik pasien. Berikut ini beberapa alat yang digunakan untuk monitoring menurut Wiryana (2008):1. EKG yang dipantau minimal V5 dan lead II atau analisis ST. karena hipertensi punya efek resiko terjadinya iskemia miokard2. Tekanan darah, pada kasus hipertensi dengan riwayat Congestive heart failure (CHF) dan myocardium infrack (MCI) berulang tekanan darah dapat dipantau dengan kateter Swan-Ganz3. Pulse oxymeter, berguna untuk mengetahui perfusi dan oksigenasi jaringan perifer4. Analizer end-tidal CO2: monitor ini berguna untuk membantu mempertahankan kadar CO25. Suhu atau temperaturPada umumnya kebanyakan penderita hipertensi yang menjalankan tindakan anestesia tidak memerlukan monitoring khusus (Wiryana, 2008). Tindakan monitoring intra-arterial dilakukan jika jenis operasi menyebabkan perubahan preload dan afterload. EKG perlu dilakukan pada pasien untuk mendeteksi iskemik jantung. Pemantau urine output dengan kateter urine dilakukan pada pasien dengan gangguan ginjal dan lama operasi yang memakan waktu lebih dari 2 jam (Wiryana, 2008). E. Hipertensi Emergensi1. DefinisiHipertensi emergensi adalah suatu keadaan yang berupa peningkatan tekanan darah lebih dari 180/120 dengan disertai adanya bukti kerusakan organ yang progresif dimana dibutuhkan terapi antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah dalam hitungan menit hingga jam (Bakta & Suastika, 1999; Katzung, 2012; Lubis, 2013; Wiryana, 2008). 2. Batasan hipertensi emergensiKrisis hipertensi terdiri dari hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi gawat darurat adalah kondisi hipertensi yang membutuhkan penurunan tekanan darah dalam hitungan menit hingga jam. Hipertensi urgensi adalah keadaan hipertensi yang membutuhkan penurunan tekanan darah dalam satuan jam hingga dalam beberapa hari (Bakta & Suastika, 1999; Katzung, 2012; Lubis, 2013; Wiryana, 2008). Menurut Bakta & Suastika (1999) dan Wiryana (2008) kondisi yang termasuk dalam hipertensi gawat darurat adalah:a. Serebrovaskular Ensefalopati hipertensi Perdarahan intraserebral Perdarahan subrakhinoidb. Jantung Diseksi aorta akut Payah jantung kiri akut Infrak jantung akut atau mengancam Kondisi setelah operasi pintas koronerc. Feokromositomad. Insufisiensi renale. Eklampsiaf. Anemia hemolitik mikroangiopatig. Trauma kepala berath. Perdarahan setelah operasi pembuluh darahi. Epitaksis hebatSedangkan kondisi yang termasuk dalam hipertensi urgensi menurut Bakta & Suastika (1999) dan Wiryana (2008) adalaha. Hipertensi malignab. Tromboemboli serebric. Rebound hypertension setelah pengobatan dengan antihipertensid. Penderita yang akan segera operasie. Penderita pasca operasif. Penderita transplantasi ginjalg. Luka bakar yang luas.

3. Penatalaksanaan hipertensi emergensi Berikut ini tabel pilihan obat hipertensi untuk penatalaksanaan kasus hipertensi emergensi: Tabel 1. Obat yang biasa dipakai dalam penatalaksanaan hipertensi emergensiPilihan obat Obat yang dihindari

Hypertensive encephalopathyLabetalolTrimetafanNikardipinNitroprusid FentolaminMethildopa (sedatif)Reserpin (sedatif)Diazoksid (penurunan aliran darah otak)

Acclerated malignant hypertensionLabetalolEnalaprilatNikardipinNitroprusid

Stroke dan cedera kepalaLabetalolTrimetafanFentolaminEsmolol Methildopa (sedatif)Reserpin (sedatif)Diazoksid (penurunan aliran darah otak)Hidralazin (meningkatkan aliran darah otak)

Gagal jantung kiriEnalaprilatNitroprusidNitrogliserin NikardipinLabetalol, esmolol, dan beta blocker lainnya karena menurunkan kardiak output

(Sumber : Bakta & Suastika, 1999; Katzung, 2012)

(Lanjutan tabel 1)Insufisiensi koronerNitroprusidNitrogliserinLabetalol EsmololHidralazin (menigkatkan kerja jantung)Diazoksid (meningkatkan kerja jantung)

Aneurisma aorta dan diseksi aorta Trimetafan NitroprusidEsmolol Hidralazin (menigkatkan kerja jantung)Diazoksid (meningkatkan kerja jantung)

Catecholamine excess (feokromositoma)FentolaminLabetalol Semua jenis obat tidak spesifik

Postoperasi LabetalolNitrogliserinEsmololNikardipinHidralazinTrimetafan (menyebabkan atoni pada usus dan kandung kemih)

(Sumber : Bakta & Suastika, 1999; Katzung, 2012)

KesimpulanPengunaan terapi hipertensi pada tindakan intraoperatif diindikasi untuk mencegah terjadinya kondisi hipertensi emergensi yang berdampak pada kerusakan vaskular dan hipertensi dengan komplikasi hemodinamik seperti gagal jantung, stroke dan aneurisma aorta dimana tindakan pendalaman anestesi tidak mampu menurunkan tekanan darah. Obat pilihan untuk menurunkan tekanan darah bergantung kepada klinis dari pasien itu sendiri. Sediaan parenteral menjadi pilihan untuk menurunkan tekanan darah dalam hitungan menit hingga jam, dengan penurunan tekanan darah 25 % dari kondisi awal dalam satu jam pertama, kemudian apabila kondisi hemodinamik stabil penurunan dapat dilanjutkan hingga 160/110-100 mmHg dalam 2-6 jam berikutnya.Tindakan anestesi dapat mempengaruhi hemodinamik pasien dengan hipertensi sehingga beberapa tindakan harus dilakukan dengan hati-hati. Tindakan intubasi endotrakeal harus memperhatikan kedalam anestesi sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah dan pada saat preoperasi pasien dengan hipertensi kronis penurunan tekanan darah sebaiknya tidak mengunakan golongan ACE inhibitor dan ARB.

Daftar PustakaBakta M, & Suastika I,. 1999. Gawat Darurat Penyakit Dalam. EGC: Jakarta.Katzung, BG, 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 10. EGC: Jakarta. Lubis, L. 2013. Penatalaksanaan Terkini Krisis Hipertensi Preoperatif. CDK-209;40(10):pp.733-737Soenarto, RF, & Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.Wiryana, M. 2008. Manajemen Perioperatif pada Hipertensi. J Peny Dalam;9(2):pp.144-!53.