referat nyeri dan analgesik

46
REFERAT NYERI DAN MANAJEMEN NYERI SECARA FARMAKOLOGIS Oleh: Anindita Putri Hapsari G99141012 Siska Dewi Agustina G99141013 Candra Aji Setiawan G99141014 Pembimbing dr. Yulyani Werdiningsih, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

Upload: candra-aji-setiawan

Post on 18-Jul-2016

114 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Interna

TRANSCRIPT

REFERAT

NYERI DAN MANAJEMEN NYERI SECARA FARMAKOLOGIS

Oleh:

Anindita Putri Hapsari G99141012

Siska Dewi Agustina G99141013

Candra Aji Setiawan G99141014

Pembimbing

dr. Yulyani Werdiningsih, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2014

HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

NYERI DAN MANAJEMEN NYERI SECARA FARMAKOLOGIS

Oleh :

Anindita Putri Hapsari G99141012

Siska Dewi Agustina G99141013

Candra Aji Setiawan G99141014

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Yulyani Werdiningsih, Sp.PD

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang tidak menyenangkan

akibat kerusakan jaringan. Definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association The

Study of Pain) adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk

kerusakan tersebut.

Nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural,

umur, dan jenis kelamin. Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima

oleh seorang penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang

berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu

penyembuhan. Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang dapat

menyebabkan stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri.

Obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri disebut dengan analgesik. Obat analgesik

bekerja dengan mempengaruhi proses-proses patofisiologi yang dapat menimbulkan sensasi

nyeri. Penanganan sebagian besar kasus nyeri didasarkan pada pedoman WHO pain ladder

yang dibuat pada tahun 1987 dan masih dipakai secara luas hingga sekarang. Pain ladder

mengurutkan pemberian obat analgesik untuk kasus nyeri mulai dari yang paling ringan

sampai yang paling berat.

Nyeri merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Nyeri merupakan suatu

mekanisme untuk mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut. Dalam konteks masa kini,

orang yang merasa nyeri kemudian ingin mengetahui apa penyebab dari nyeri tersebut,

sehingga orang tersebut berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan. Selain mencari penyebab

utama dari nyeri, manajemen nyeri secara simtomatik salah satunya dengan obat analgesik

akan sangat memperbaiki keadaan umum pasien.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Nyeri

Menurut International Association for the Study of Pain, nyeri merupakan

pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan

kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Nyeri bersifat individual

yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur, dan jenis kelamin.

Persepsi nyeri sangat bersifat individual yang banyak dipengaruhi oleh berbagai

faktor non fisik, bukan hanya merupakan gangguan fisik tetapi merupakan kombinasi dari

faktor fisiologis, patologis, emosional, psikologis, kognitif, lingkungan, dan sosial.

Nyeri seringkali dijelaskan dalam istilah proses destruktif (misalnya seperti ditusuk-

tusuk, panas terbakar, melilit, seperti dirobek-robek, diremas-remas) dan atau suatu reaksi

badan atau emosi (misalnya perasaan takut, mual, mabuk).

Jika akut, nyeri secara karakteristik berhubungan dengan perubahan tingkah laku dan

respon stres yang terdiri dari meningkatnya tekanan darah, denyut nadi, diameter pupil,

dan kadar kortisol plasma. Selain itu, kontraksi otot lokal (misanya fleksi anggota badan,

kekakuan dinding abdomen) seringkali terlihat dan dapat menyebabkan nyeri sekunder.

Fungsi sistem sensorik nyeri adalah untuk mendeteksi, melokalisasi, dan

mengidentifikasi proses kerusakan jaringan. Penyakit yang berbeda menimbulkan pola

khas kerusakan jaringan, kualitas, lama, dan lokasi keluhan nyeri pasien, dan lokasi nyeri

pada pemeriksaan memberikan petunjuk diagnostik uang penting digunakan untuk

mengevaluasi respon terhadap pengobatan.

B. Klasifikasi Nyeri

Nyeri secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:

1. Nyeri nosiseptif (inflamasi)

Merupakan nyeri yang dapat bersifat spontan atau dapat pula distimulasi oleh

kerusakan jaringan dan proses inflamasi. Nyeri jenis ini berguna untuk mempercepat

proses penyembuhan jaringan yang rusak. Bila lesi atau kerusakan jaringan sembuh,

biasanya diiringi dengan hilangnya rasa nyeri.

Nyeri nosiseptif terjadi karena stimulasi dari nosiseptor dan bisa berasal dari

somatik (dari tulang, sendi, atau jaringan lunak) ataupun dari visceral (inflamasi,

distensi, atau stretching dari organ dalam).

Nyeri nosiseptif (inflamasi) berdasar penyebabnya dapat dibagi menjadi dua,

yaitu yang penyebabnya berasal dari somatik (superfisial dan dalam) dan yang berasal

dari visceral.

Nyeri yang berasal dari somatik superfisial merupakan nyeri yang bersumber

dari nosiseptor di bagian kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk

menimbulkan nyeri di daerah ini dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, mekanis,

kimiawi, ataupun listrik. Sedangkan nyeri yang berasal dari somatik dalam mengacu

pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, dan sendi. Struktur-

struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak

jelas. Stimulus yang membangkitkan nyeri pada daerah somatik dalam antara lain

karena iskemik, kontraksi terus-menerus, spasme, serta inflamasi.

Nyeri nosiseptif visceral mengacu pada nyeri yang berasal dari organ-organ

tubuh. Reseptor nyeri visceral lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri

somatic dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga (lambung, kandung

empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ-organ padat

(hati, pancreas, ginjal). Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visceral adalah

peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia, dan

peradangan.

2. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari

SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik

(nosiseptor). Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih, atau

seperti tersengat listrik. Karena nyeri ini berhubungan erat dengan SSO, maka nyeri

sering bertambah parah oleh stress emosi atau fisik, dan mereda oleh relaksasi. Nyeri

jenis ini dapat terjadi karena lesi di SSP atau kerusakan saraf perifer.

Sistem saraf normal mentransmisikan sinyal tertentu yang menyebabkan nyeri.

Maka lesi di perifer atau susunan saraf pusat dapat menyebabkan hilangnya atau

terganggunya sensasi nyeri. Sebagai contoh kerusakan saraf perifer seperti terjadi

pada neuropati diabetik atau pada herpes zooster dapat menyebabkan nyeri yang

dialihkan ke bagian tubuh yang diinervasi oleh saraf yang mengalami kerusakan itu.

Meskipun jarang, nyeri juga dihasilkan oleh kerusakan susunan saraf pusat, terutama

jaras spinotalamik.

Nyeri neuropatik secara tipikal mempunyai kualitas seperti terbakar,

kesemutan atau tersengat listrik dan dapay ditimbulkan hanya dengan sentuhan yang

sangat ringan. Gambaran seperti ni jarang ditemukan pada tipe nyeri yang lain. Pada

pemeriksaan, defisit sensorik secara khas dijumpai pada daerah yang nyeri.

3. Nyeri campuran

Jika nyeri nosiseptif (inflamasi) dan nyeri neuropatik terjadi dalam satu waktu

maka akan menjadi suatu nyeri campuran.

Gambar 1.

Diagram Jenis Nyeri

C. Patofisiologi Nyeri

1. Sensitisasi Perifer

Cedera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan

lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan

komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel

inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa

komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan

komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap

rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers). Nosiseptor adalah suatu resptor nyeri

pada ujung saraf bebas yang ditemukan pada jaringan tubuh kecuali pada otak.

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang

aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan

pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan

sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu

substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi

perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan

sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

2. Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di

sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung

jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral

memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu

dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis

(activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription

dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf,

dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan).

Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran

sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf di

dalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan

munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh

dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.

D. Perjalanan Nyeri

1. Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.

Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu diubah menjadi

suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau

organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).

Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya

menyebabkan sintesa prostaglandin yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-

reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin,

serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai

sensitisasi perifer.

Large

fibers

Small

fibers

Dorsal Horn

Dorsal rootganglion

Peripheral sensoryNerve fibers

A

A

C

Gambar 2. Proses Transduksi

2. Proses Transmisi

Gambar 3. Jenis Saraf Sensoris

Terdapat dua tipe saraf sensoris afferent:

a. Saraf bermyelin tebal yang disebut dengan Aβ fibers, memiliki konduksi yang

sangat cepat. Dan merespon stimulus yang merusak. Impuls yang melewati

saraf tipe A bermielin ini berlangsung cepat, yaitu 6-10 meter/detik pasca

VR1

External

Stimuli

Adapted from Woolf CJ et al. Science. 2000;288:1766.

• Heat

• Chemical

• Mechanical

Voltage-Gated Sodium

Channels

Action Potentials

Ca2+

rangsangan. Nyeri bersifat akut, tajam atau menusuk, dan tidak dijumpai pada

struktur dalam.

b. Saraf bermyelin tipis Aδ fibers dan saraf tak bermyelin yaitu C fibers. Kedua

syaraf ini memiliki kecepatan konduksi yang lambat, dann berperan di dalam

respon yang berbahaya.Impuls nyeri lambat terutama terjadi sepanjang saraf

tipe C tidak bermielin. Nyeri yang dirasakan sangat menyiksa dan menjadi

kronik seperti rasa terbakar, tumpul, dan berdenyut seperti sakit gigi dan

infeksi kuku. Kecepatan impuls yang melewati saraf ini sebesar 0,5-2

meter/detik. Nyeri pada rangsangan reseptor kulit disepbut dengan superficial

somatic pain dan pada rangsangan ototskeletal, sendi, tendon, disebut deep

somatic pain.

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses

transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis

dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh

traktus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus

spinoretikularis terutama membawa rangsagan dari organ-organ yang lebih dalam

dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.

Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan

saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke

thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

Pain PerceptionBrain

Dorsal RootGanglion

Dorsal Horn

Nociceptor

Spinal Cord

Gambar 4. Pain Pathway

3. Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi di susunan saraf pusat (medulla

spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang

dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior

medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Reaksi

seseorang terhadap nyeri bervariasi, dipengaruhi oleh otak melakukan inhibisi

(sistem analgesia).

Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat

menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Enkefalin disekresikan

oleh nucleus periventrik, area periakuaduktus, dan raphe magnus. Enkefalin

menghambat impuls pada pre dan post sinaps serabut tipe C dan Aδ. Serotonin

dihasilkan oleh radiks dorsalis medula spinalis menghambat pada presinaptik

terhadap ion kalsium.

Nyeri yang ditimbulkan oleh cedera serupa akan dirasakan berbeda dalam

situasi yang berbeda dan oleh orang yang berbeda, seperti contoh di dalam survei

klasik Beecher pada perang dunia II menunjukkan bahwa banyak laki-laki tidak

terganggu dengan cedera akibat peperangan yang mungkin aken menimbulkan nyeri

yang amat sangat pada pasien sipil.

Efek ekspektasi yang kuat serta variabel psikologis lainnya terhadap persepsi

intensitas nyeri menunjukkan eksistensi sirkuit otak yang dapat memodulasi

aktivitas jalur transmisi nyeri. Meskipun mungkin ada beberapa sirkuit yang dapat

memodulasi nyeri namun hanya satu yang telah dipelajari baik. Sirkuit ini

mempunyai hubungan di hipothalamus, mesensefalon, dan medula dan secara

selektif mengontrol neuron-neuron transmisi nyeri medula spinalis melalui jaras

menurun.

Ada bukti kuat bahwa sirkuit modulasi nyeri ini berperan pada efek

meringankan nyeri dari obat analgesik narkotik. Setiap komponen struktur jalur

tersebut mengandung reseptor opioid yang sensitif terhadap aplikasi langsung dari

obat-obat opioid. Terlebih lagi lesi pada sistem tersebut menurunkan efek analgesik

dari opioid yang diberikan sistemik misalkan morfin.

Modulasi nyeri bersifat bidireksional. Sirkuit modulasi nyeri tidak hanya

menyebabkan analgesia tetapi juga mampu meningkatkan intensitas nyeri, baik

neuron penghambat nyeri maupun neurin peningkat nyeri di medula berproyeksi

pada dan mengontrol neuron transmisi nyeri medula spinalis.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi,

transmisi, dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses

subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada

thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

E. Tanda dan Gejala Klinis

1. Nyeri nosiseptif (inflamasi)

a. Apabila hanya kulit yang terlibat: rasa menyengat, tajam, teriris, atau seperti

terbakar; tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan, nyeri menjadi berdenyut.

b. Nyeri pada somatic dalam dirasakan lebih difus daripada nyeri pada kulit dan

cenderung menyebar ke daerah sekitarnya. Nyeri akibat suatu cedera akut pada

sendi memiliki lokalisasi yang jelas dan biasanya dirasakan sebagai rasa tertusuk,

terbakar, atau berdenyut. Pada peradangan kronik sendi (arthritis), yang dirasakan

adalah nyeri pegal-tumpul yang disertai seperti tertusuk apabila sendi ikut

bergerak. Nyeri tulang lokalisasinya kurang jelas dan sering dirasakan sebagai

rasa pegal-tumpul atau linu sedangkan untuk otot sering dirasakan sebagai suatu

kram dan menghebat saat kontraksi.

c. Nyeri yang disalurkan melalui jalur visceral sejati kurang jelas lokalisasinya dan

sering dirujuk ke suatu daerah permukaan kulit (dermatom) yang jauh dari

asalnya. Sedangkan nyeri yang disalurkan melalui jalur parietal dirasakan tepat di

atas daerah yang nyeri sebagai contoh nyeri kolik.

2. Nyeri neuropatik

Dibedakan menurut stimulusnya, yaitu:

a. Stimulus Independent Pain (Gejala nyeri diutarakan oleh pasien) :

1) Rasa terbakar kontinyu

2) Nyeri seperti ditusuk, menyentak intermiten

3) Nyeri seperti tersetrum

4) Parestesia

5) Disestesia

c. Stimulus Evoked Pain (Nyeri dibangkitkan pada pemeriksaan) :

1) Alodinia : Nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak

menimbulkan nyeri.

2) Hiperalgesia : Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal

menimbulkan nyeri.

3. Nyeri Campuran

Pada kasus nyeri campuran, seorang klinisi harus memperhatikan bahwa ada

dua elemen yang harus ada pada penegakan diagnosisnya, yaitu nyeri neuropatik dan

nyeri nosiseptif yang dideskripsikan oleh pasien.

F. Kriteria Diagnosis

Terdapat beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian awal terhadap rasa nyeri

yang dikeluhkan pasien, yaitu:

1. Lokasi Nyeri

Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana yang merupakan bagian

paling nyeri atau sumber nyeri. Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa lokasi

anatomik ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang dikeluhkan pasien. Misalnya

pada keluhan nyeri sciatic yang dirasakan pasien sepanjang tungkai bagian belakang,

bukanlah lokasi sumber nyeri yang sebenarnya.

2. Intensitas Nyeri

Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual atau dikenal sebagai

Visual Analogue Scale (VAS). Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya

(0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang paling buruk dirasakan atau yang

paling ringan dan pada tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima sendiri seperti

nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik, nyeri tersayat dan sebagainya.

3. Kualitas Nyeri

Gunakan terminologi yang dikemukaan oleh pasien itu sendiri seperti nyeri

tajam, seperti terbakar, tertarik, tersayat, dan sebagainya.

4. Awitan Nyeri, Variasi Durasi, dan Ritme

Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya kejadian nyeri itu

sendiri serta adakah irama atau ritme terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri

tetap berada pada lokasi yang diceritakan pasien. Apakah nyeri menetap atau hilang

timbul (breakhtrough pain).

5. Cara Pasien Mengungkapkan Rasa Nyeri

Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan rasa nyeri yang

berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya dan tergantung dari pengalaman

sebelumnya.

6. Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri

Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita pasien dan faktor apa

yang meringankan nyeri hendaklah ditanyakan kepada pasien tersebut.

7. Pengaruh Nyeri

Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar kualitas hidup atau terhadap

hal-ha1 yang lebih spesifk seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan,

energi, aktivitas keseharian (activities of the daily living), hubungan dengan sesama

manusia (lebih mudah tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood (sering

menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri), kesulitan berkonsentrasi pada

pekerjaan atau pembicaraan dan sebagainya.10,11

8. Gejala Lain yang Menyertai

Apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping rasa nyeri seperti mual dan

muntah, konstipasi, gatal, mengantuk atau terlihat bingung, retensio urinae serta

kelemahan.

G. Pengukuran Intensitas Nyeri

Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,

antara lain:

1. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang

dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan

karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat

digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai

tahap penyembuhan.

Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:

- tidak nyeri (none)

- nyeri ringan (mild)

- nyeri sedang (moderate)

- nyeri berat (severe)

- nyeri sangat berat (very severe)

Gambar 5 Verbal Rating Scale

2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari

intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang

dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10”

menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 6 Numeric Rating Scale

3. Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini

menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri

sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang

menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode

ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti

dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya

adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar

diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 7 Visual Analog Scale

4. The Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Metode ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai

intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 8 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

H. Analgesik

Analgesik atau obat penghilang rasa sakit, adalah setiap anggota kelompok obat

yang digunakan untuk mencapai analgesia atau pembebasan dari nyeri. Penanganan nyeri

yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri

dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi. Obat analgesik secara garis besar dibagi

menjadi 2 yaitu:

Non Opioid (Analgesik antipiretik dan AINS)

Opioid

Menurut WHO (2009) jika nyeri terjadi, harus ada pemberian obat analgesik oral

dengan segera. WHO membuat suatu urutan pemberian obat analgesik untuk penanganan

nyeri yang disebut dengan pain ladder. Awalnya pain ladder merupakan pedoman yang

dipakai untuk penanganan nyeri pada kasus kanker, tetapi sekarang secara luas digunakan

untuk penanganan semua jenis nyeri. Urutan pemberian analgesik adalah sebagai berikut:

nonopioid (misal parasetamol dan aspirin); kemudian, jika diperlukan, opioid ringan

(misal kodein); dan dilanjutkan opioid kuat seperti morfin, sampai pasien bebas dari rasa

sakit. Untuk menenangkan ketakutan dan kecemasan, obat tambahan "adjuvant" dapat

digunakan.

Gambar 9 WHO Pain Ladder (SWRWC, 2010)

I. Analgesik Non Opioid

1. Definisi dan Klasifikasi

Yang termasuk dalam analgesik non opioid adalah obat analgesik antipiretik

dan obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS). Kedua golongan tersebut merupakan

kelompok obat yang banyak diresepkan oleh dokter dan beberapa dapat digunakan

oleh masyarakat umum tanpa resep dokter. Prototip obat golongan ini adalah aspirin,

oleh karena itu, obat golongan ini sering disebut aspirin-like drugs.

Klasifikasi AINS yang bermanfaat diterapkan dalam klinik adalah berdasarkan

selektifitasnya terhadapa siklooksigenase (COX).

Klasifikasi AINS :i. AINS COX-nonselektif

Aspirin Indometasin Piroksikam Ibuprofen Naproksen Asam mefenamat

ii. AINS COX-2-preferential Nimesulid Meloksikam Nabumeton Diklofenak Etodolak

iii. AINS COX-2-selektifGenerasi 1

Selekoksib Rofekoksib Valdekoksib Parekoksib Eterikoksib

Generasi 2 Lumirakoksib

2. Mekanisme Kerja

Trauma/luka pada sel

Gangguan pada membran sel

Fosfolipid

Asam arakidonat

Hidroperoksid Endoperoksid

PGG2, PGH

Leukotrien PGE2,PGF2, PGD2 Prostasiklin

Tromboksan A2

Gambar 10 Biosintesis prostaglandin dan mekanisme kerja AINS

Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yaitu COX-1 dan COX-2.

COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di

berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Aktivasi COX-1 di

mukosa lambung menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif (menghambat

sekresi asam lambung). Tromboksan A2, yang disintesis trombosit oleh COX-1

menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos.

COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskuler dan

pada proses perbaikan jaringan. Prostasiklin yang disintesis COX-2 di endotel

makrovaskuler menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek

anti-proliferatif.

Enzim fosfolipase

Dihambat oleh kortikosteroid

Enzim siklooksigenaseEnzim lipoksigenase

Dihambat oleh AINS (aspirin-like drugs)

NYERI. Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor

nyeri terhadap stimulus mekanik dan kimiawi. Jadi prostaglandin menimbulkan

hiperalgesia, kemudian mediator kimia seperti bradikinin dan histamin merangsang

dan menimbulkan nyeri yang nyata. Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi

hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan langsung prostaglandin. Hal ini

menunjukkan bahwa sintesis prostglandin dihambat oleh golongan obat ini dan

bukan blokade langsung pada reseptor prostaglandin.

EFEK ANALGESIK. Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap

nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, myalgia,

atralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, terutama terhadap nyeri yang

berkaitan dengan inflamasi. Golongan obat ini mengubah persepsi modalitas

sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri kronis pascabedah dapat

diatasi oleh obat mirip aspirin.

EFEK SAMPING. Kebanyakan obat ini bersifat asam sehingga lebih banyak

terkumpul di sel yang bersifat asam seperti lambung, ginjal dan jaringan inflamasi.

Sehingga efek sampingnya lebih nyata di tempat yang kadar asamnya tinggi. AINS

berpotensi menyebabkan efek samping pada 3 sistem organ : lambung, ginjal dan

hati. Efek samping meningkat terutama pada pasien lanjut usia.

a. Induksi tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat

perdarahan saluran cerna, melalui hambatan prostaglandin dan prostasiklin.

b. Perpanjangan waktu perdarahan akibat penghambatan sintesis tromboksan A2.

c. Gangguan hemostasis ginjal akibat hambatan terhadap prostaglandin, terutama

pada pasien hipovolemia, sirosis hepatis dengan ascites dan gagal jantung,

berupa kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal akan berkurang,

bahkan terjadi gagal ginjal akut.

d. Pada pemakaian lama dapat menyebabkan kerusakan hepar (peningkatan

SGOT dan SGPT).

e. Reaksi hipersensitivitas.

3. Pembahasan obat

a. Salisilat (aspirin)

Salisilat termasuk AINS non selektif. Salisilat bermanfaat untuk mengobati

nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan

mialgia. Dosis dewasa 325-650 mg per 3-4 jam.

b. Asetaminofen (paracetamol)

Paracetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah.

Efek analgesik serupa dengan salisilat. Jika dengan dosis terapi tidak memberi

manfaat, biasanya dosis besar tidak menolong. Efek samping berupa nefropati

analgesik bila digunakan dalam jangka waktu lama. Dosis dewasa 300mg-1g/kali.

Maksimal 4g/hari.

c. Pirazolon

Dalam kelompok ini termasuk dipiron, fenilbutazon dan oksifenbutazon.

Dipiron hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik-antipiretik suntikan atau bila

pasien tidak tahan dengan analgesik-antipiretik yang lebih aman. Dosis dewasa

0,3-1g/hari. Fenilbutazon dan oksifenbutazon tidak lagi dianjurkan.

d. AINS lainnya :

a. Asam mefenamat

Efek analgesik serupa salisilat. Efek samping berupa dispepsia, diare,

diare berdarah, iritasi lambung. Dosis 2-3 kali 250-500mg sehari. Tidak

dianjurkan pada anak < 14 tahun dan wanita hamil.

b. Diklofenak

Termasuk kelompok preferential COX-2 inhibitor. Waktu paruh 1-3

jam. Diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek

terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh tersebut. Efek samping

sama seperti obat AINS lainnya. Dosis dewasa 100-150mg/hari terbagi

dua atau tiga dosis.

c. Ketorolac

Merupakan analgesik poten yang tersedia untuk pemberian parenteral.

Sangat selektif menghambat COX-1, sehingga dianjurkan pemakaian

tidak boleh lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung dan

iritasi lambung besar sekali.

Ketorolac IM sebagai analgesik pascabedah yang efektivitasnya

sebanding dengan morfin/meperidon dosis umum. Masa kerjanya lebih

panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Dapat juga diberikan oral.

Dosis IM 30-60mg, IV 15-30mg dan oral 5-30mg.

d. Etodolak

Obat ini lebih selektif terhadap COX-2. Etodolak menghambat

bradikinin yang merupakan salah satu perangsang nyeri. Dosis 200-

400mg, 3-4 kali sehari.

e. Ibuprofen

Efek analgesik sama seperti aspirin. Efek samping terhadap saluran

cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin. Efek samping lain yang

jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia. Dosis dewasa

4x 400mg/hari. Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui.

f. Ketoprofen

Efek analgesik sama efektif dengan ibuprofen. Efek samping sama

seperti AINS lain terutama gangguan di saluran cerna. Dosis dewasa 2

kali 100mg sehari.

g. Naproksen

Efek analgesik sama efektif dengan ibuprofen. Efek samping lebih

ringan daripada ketoprofen. Dosis dewasa untuk reumatik sendi adalah 2

kali 250-375mg sehari.

h. Indometasin

Efek samping sama seperti AINS pada umumnya. Tidak dianjurkan

pada anak, wanita hamil dan pasien dengan gangguan lambung.

Digunakan hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis 2-4 kali 25mg

sehari. Untuk mengurangi gejala reumatik di malam hari bisa diberikan

50-100mg sebelum tidur.

i. Piroksikam

Indikasinya hanya untuk penyakit inflamasi sendi. Efek samping

terberat adalah tukak lambung. Dosis 10-20mg sehari, diberikan pada

pasien yang tidak respon dengan AINS yang lebih aman. Tidak dianjurkan

pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan pasien yang sedang minum

antikoagulan.

j. Meloksikam

Tergolong preferential COX-2 inhibitor. Cenderung lebih menghambat

COX-2 daripada COX-1, tapi penghambatan terhadap COX-1 tetap nyata.

Dosis 7,5-15 mg sekali sehari. Efek samping terhadap saluran cerna

kurang dari piroksikam 20mg sehari

k. Nabumeton

Selektif menghambat iso-enzim prostaglandin untuk peradangan tapi

kurang efektif menghambat prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Efek

samping terutama terhadap saluran cerna lebih sedikit. Dosis 1g/hari.

l. Nimesulide

Merupakan preferential COX-2 inhibitor. Indikasi dan efek

sampingnya serupa AINS lainnya. Karena efek hepatotoksisitasnya, obat

ini tidak lagi beredar.

m. COX-2 selektif

Obat kelompok penghambat COX-2 dikembangkan dengan harapan

bisa menghindari efek samping saluran cerna. Refekoksib terbukti kurang

menyebabkan gangguan gastrointestinal dibandingkan dengan naproksen,

namun karena efek kardiovaskulernya seperti trombosis dan serangan

jantung, ditarik dari peredaran. Tidak ada koksib yang terbukti lebih

efektif dari AINS non-selektif

Selekoksib tidak terbukti lebih aman dari AINS non-selektif. Dosis

60mg 1x1.

4. Pemilihan obat

a. Analgesik-antipiretik pilihan untuk anak sebaiknya parasetamol. Perlu

dipertimbangkan kondisi tubuh anak.

b. Untuk nyeri inflamasi pada penyakit reumatik tersedia banyak pilihan AINS.

Secara klinis, tidak ada perbedaan efektivitas di antara obat AINS. Yang menjadi

pertimbangan adalah waktu paruh, bentuk lepas lambat dan efek samping untuk

menentukan AINS bagi pasien tertentu.

c. Paling tidak mengenal dengan 4 obat AINS yang berbeda sehingga dapat

melakukan pemilihan sesuai dengan kondisi pasien. Dalam 4 obat tersebut harus

termasuk satu obat dengan waktu paruh panjang, satu obat dengan waktu paruh

singkat dan minimal dua jenis obat AINS dari kelas kimiawi lain.

d. Penilaian hasil terapi AINS, minimal membutuhkan 7 hari sebelum peningkatan

dosis sesuai yang dianjurkan.

e. Mulai dari dosis kecil, tingkatkan bertahap sampai dosis maksimal yang

dianjurkan, bila respon tidak memuaskan baru ganti dengan salah satu dari 4

AINS yang telah dikenal.

(Gan dan Wilmana, 2008)

J. Analgesik Opioid

1. Definisi

Morfin, agonis opioid prototipikal, telah lama diketahui meredakan nyeri berat

dengan khasiat yang luar biasa. Bunga opium poppy adalah sumber opium mentah

yang pada tahun 1803, Sertürner berhasil mengisolasi morfin yang merupakan

alkaloid murni. Morfin merupakan obat standar untuk mengukur kekuatan obat-obat

analgesik. Obat-obatan sebangsa morfin ini secara kolektif dikenal sebagai analgesik

opioid. Analgesik opioid mencakup derivatif alami, semisintetik, dan sintetik dari

morfin (Katzung et al, 2012).

2. Mekanisme kerja

Alkaloid opioid (misalnya, morfin) menghasilkan analgesia melalui tindakan

pada reseptor di sistem saraf pusat (SSP) yang merespon peptida endogen tertentu

dengan opioid seperti sifat farmakologis. Istilah umum saat ini digunakan untuk zat-

zat endogen adalah peptida opioid endogen (Katzung et al, 2012).

Reseptor opioid tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih

terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus

striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan

dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen

(metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan

menghasilkan efek (Latief et al, 2001).

Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat

diidentifikasikan menjadi 3 golongan seperti tertera pada gambar di bawah ini.

Gambar 11 Reseptor Opioid (Katzung et al, 2012).

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan

tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan

campuran (Dewoto, 2008; Sardjono, 2001).

Gambar 12 Mekanisme reseptor potensial obat analgesik (Katzung et al, 2012).

Neuron aferen primer yang berasal dari perifer membawa sinyal rasa sakit ke

cornu dorsal medula spinalis, yang mana neuron tersebut bersinapsis dengan neuron

sekunder menggunakan neurotransmiter glutamat dan neuropeptida. Rangsang nyeri

dapat dilemahkan di perifer (di bawah kondisi inflamasi) oleh opioid yang bekerja

pada reseptor μ-opioid (MOR). Potensial aksi yang mencapai cornu dorsal dapat

dilemahkan pada akhiran presinaptik oleh opioid. Opioid juga dapat menghambat

neuron postsynaptic dengan mempengaruhi reseptor tachykinin (NK1) dan reseptor

neuropeptida lainnya (Katzung et al, 2012).

Gambar 13 Mekanisme aktivasi neuron inhibitor (Katzung et al, 2012).

Sirkuit lokal batang otak yang mendasari efek modulasi dari efek analgesia

yang dimediasi reseptor μ-opioid (MOR) pada jalur desenden. Neuron inhibitor rasa

sakit secara tidak langsung diaktifkan oleh opioid (eksogen atau endogen), yang

menghambat interneuron GABAergic. Hal ini menyebabkan peningkatan

penghambatan proses nosiseptif di cornu dorsal sumsum tulang belakang (Katzung et

al, 2012).

3. Efek Obat Opioid

Obat opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor

opioid; karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada

menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang

bersangkutan. Secara umum, efek obat-obat opioid antara lain:

a. Efek sentral ;

1) Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid

(efek analgesia).

2) Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.

3) Mengurangi aktivitas mental (efek sedatif).

4) Menghilangkan konflik dan kecemasan (efek tranquilizer).

5) Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien

merasakan sebaliknya (efek disforia).

6) Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).

7) Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya

menghambat pusat emetik (efek antiemetik).

8) Menyebabkan miosis (efek miotik).

9) Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).

10) Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian

dosis yang berkepanjangan.

b. Efek perifer ;

1) Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.

2) Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi

spastik).

3) Kontraksi sfingter saluran empedu.

4) Menaikkan tonus otot kandung kencing.

5) Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.

6) Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan

histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

c. Efek Samping

1) Perilaku gelisah

2) Depresi pernafasan

3) Mual dan muntah

4) Peningkatan tekanan intrakranial

5) Sembelit

6) Retensi urin

7) Urtikaria

(Sardjono, 2001; Katzung et al, 2012).

4. Penggolongan obat opioid

Opioid dibagi menjadi beberapa kelompok antara lain: Opioid agonis kuat,

opioid agonis parsial, opioid campuran agonis-antagonis, antitusif, opioid antagonis,

dan opioid lainnya.

Gambar 14 Ringkasan berbagai obat Opioid, Subtitusi Opioid dan Antagonis Opioid

(Katzung et al, 2012).

Nyeri yang parah konstan biasanya berkurang dengan analgesik opioid dengan

aktivitas intrinsik yang tinggi. Rasa sakit yang terkait dengan kanker dan penyakit terminal

lainnya harus diperlakukan secara agresif dan sering memerlukan pendekatan multidisiplin

untuk manajemen yang efektif. Kondisi tersebut memerlukan penggunaan analgesik opioid

poten secara terus menerus dengan mempertimbangkan tingkat toleransi dan ketergantungan.

Hal tersebut bukan berarti halangan untuk menyediakan perawatan terbaik dan peningkatan

kualitas hidup pasien.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian obat opioid secara fixed interval (yaitu,

dosis biasa pada waktu yang dijadwalkan) lebih efektif dalam mencapai analgesia daripada

dosis yang diberikan hanya saat rasa nyeri muncul. Selain itu kini terdapat juga bentuk

sediaan baru opioid yang memungkinkan pelepasan lebih lambat. Keuntungan yang

didapatkan dari obat lepas lambat adalah efek analgesia yang lebih lama (Katzung et al,

2012).

KESIMPULAN

1. Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana

berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.

2. Nyeri dibagi menjadi tiga yaitu: Nyeri nosiseptif yang berasal dari inflamasi jaringan,

nyeri neuropatik yang berasal tar neuron dan nyeri campuran

3. Perjalanan nyeri dari sumber rasa sakit meliputi proses transduksi, transmisi, modulasi,

dan persepsi.

4. Analgesik merupakan obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri. Dibagi menjadi 2

golongan besar yaitu: Non opioid dan opioid.

5. WHO membuat suatu pedoman pemberian analgesia untuk kasus nyeri yang disebut pain

ladder yang mengurutkan pemberian obat analgesia mulai dari yang paling lemah hingga

yang paling poten.

6. Mekanisme obat non-opioid terutama menghambat enzim siklooksigenase (COX)

sehingga menghambat terjadinya produksi substansi seperti prostaglandin, tromboxan

yang selanjutnya menghambat transduksi neuron.

7. Mekanisme obat opioid terutama mempengaruhi reseptor opioid yang tersebar di neuron

sentral dan perifer dan bekerja dengan demodulasi potensial aksi dari neuron-neuron

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony SF. 2010. Harrison's Internal Medicine, 18th Edition. USA: McGraw – Hill, pp: 275-292.

Baron R. 2006. Mechanisms of Disease: Neuropathic Pain-a Clinical Perspective. Nature Clinical Practice: Neurology. 2(2).

Benzon et al. 2005. The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia.

Davis MP. 2007. What is new in neuropatic pain? Support Care Cancer. 15 (4): 363-372

Dewoto HR. 2008. Farmakologi dan Terapi : Analgesik opioid dan antagonis. Edisi 5. Jakarta, Balai Penerbit FKUI : 210-229.

Gan S, Wilmana PF (2008). Farmakologi dan Terapi : Analgesik-antipiretik, analgesik anti-inflamasi nonsteroid, dan obat gangguan sendi lainnya. Edisi 5. Jakarta, Balai Penerbit FKUI : 230-246.

Hartwig MS dan Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.

Katzung BG,Masters SB, Trevor AJ. 2012 . Basic and Clinical Pharmacology. 12th edition. USA: Lange McGraw-Hill Company.

Kidd BL and Urban LA. 2001. Mechanisms of Infammatory Pain. Br. J. Anaesth. 87: 3-11.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta:Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI.

Mangku G. 2005. Nyeri dan Mutu Kehidupan. Denpasar: Buletin IDI.

Melati E. 2003. Pediatric Pain Management In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang.

Meliala L. 2004. Terapi Rasional Nyeri: Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik. Jogjakarta: Aditya Media.

Merskey H. . 2005. Pharmacology of Inflamatory Pain ; The Paths of Pain 1975 – 2005. USA: IASP Press Seattle, p. 177.

Morgan GE. 1996. Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:Appleton and Lange, pp: 274-316.

Price SA and Wilson LM. 2008. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, pp: 1063-1101.

Ritchie M. 2011. Mixed Pain. Midlife and Beyond. 41: 624-627.

Setiyohadi B et al. 2009. Nyeri. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

SWRWC. 2011. WHO Pain Ladder with Pain Management Guidelines. http://www.southwesthealthline.ca/healthlibrary_docs/B.5.3.WHOPainLadder.pdf - diakses November 2014.

Wibowo S. 2001.  Farmakoterapi dalam neurologi, Jakarta: Salemba Medika.

Woolf CJ. 2004. Pain: Moving from ympton control toward mecanism-sesific pharmacologic management. Ann Intern Med. 140: 441-451.

World Health Organization. 2009. WHO’s Pain Relief Ladder. www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/ - diakses November 2014.

Xu Q and Yaksh TL. 2011. A brief comparison of the pathophysiology of inflammatory versus neuropathic pain. Curr Opin Anaesthesiol. 24(4): 400–407.