referat morbus hansen pb dan mb

73
BAB I PENDAHULUAN Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya 1 . Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman yang disebut Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basilet (MB) atau kusta basah 1 . Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia bagian Timur terdapat 1

Upload: yohanes-padrepio

Post on 17-Dec-2015

129 views

Category:

Documents


44 download

DESCRIPTION

referat mengenai penyakit kusta/morbus hansen/lepra

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya1. Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman yang disebut Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basilet (MB) atau kusta basah1.

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia bagian Timur terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal dirumah sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta1.

Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Dengan dapatnya diatasi penyakit kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tetapi, sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu di perhatikan oleh pihak yang terkait1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1DEFINISI Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf perifer, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis. Secara prinsip dapat diperoleh selama masa kanak-kanak / dewasa muda2.2.2EPIDEMIOLOGI1,3,4,5 Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 15-35 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

Gambar 2.1 Prevalensi Lepra di Dunia. Berdasarkan data resmi dari Departemen Kesehatan di negara-negara endemik, deteksi tahunan global kusta telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2001. Deteksi kasus baru pada tahun 2004 adalah 407.791 namun, telah jatuh ke 228.474 pada tahun 2010, dan 219.075 pada tahun 2011. Terjadi lebih dari 46% penurunan kasus baru.Tabel 2.1 Daftar Kasus Baru di Negara-negara Endemik.

Indonesia Eliminasi Kusta mengklaim telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kurang dari 1 per 10 000 orang pada pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi global kusta adalah 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang mempengaruhi 0,91 dari 10 000 orang pada tahun 2008, menurut Departemen Kesehatan Indonesia. Hingga saat ini Indonesia menempatkan negara sebagai insiden tertinggi ketiga kusta di dunia. Hal ini berhubungan dengan kemiskinan, tinggal di pedesaan, dan penyakit HIV. Kebanyakan individu memiliki kekebalan alami dan tidak terlindung dari penyakit tersebut.2.3ETIOLOGI6,7,8,9,10 Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo.

Gambar 2.2 Mycobacterium Leprae pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :

A. Kapsul Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M. leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae.B. Dinding sel Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.

b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

C. Membran Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk antigen protein permukaan yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.

Pertumbuhan optimal kuman ini yaitu, 30C lebih rendah dari suhu tubuh menyebabkan kuman tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah diri (doubling time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu lama dalam pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.

Gambar 2.3 Struktur Molekular Mycobacterium Leprae. Cara penularan belum diketahui secara pasti, transmisi mungkin termasuk infeksi droplet hidung, kontak dengan tanah yang terinfeksi, vektor serangga. Sekret bersin dari pasien LL yang tidak diobati mengandung 1010 organisme. 20% pasien asimptomatik yang tinggal di daerah, kemungkinan memiliki Mycobacterium leprae pada hidungnya, telah diidentifikasi dengan PCR. Portal masuknya M. leprae kurang dipahami tetapi hal ini berkaitan dengan inokulasi melalui kulit (gigitan, goresan, luka kecil, tato) atau inhalasi ke dalam saluran hidung atau paru-paru.

Penyebaran infeksi didapat apabila terdapat kontak dalam jangka waktu yang lama dengan pasien Lepra Lepromatous, yang terdapat Micobacterium leprae di sekret hidung dan lesi kulit. Masa inkubasi lepra tipe tuberkuloid adalah 5 tahun sedangkan, tipe lepromatosa 20 tahun atau lebih.2.4KLASIFIKASI1,5,11,12Perbedaan Klasifikasi

Madrid 1953TTiBTBBBLLiL

Ridley Jopling 1966Tuberculoid (TT)Borderline Tuberculoid (BT)Mid-

Borderline (BB)Borderline Lepromatous (BL)Lepromatous (LL)

WHO 1982PBMB

Tabel 2.2 Perbedaan Beberapa Klasifikasi TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. 2.5PATOGENESIS3,4,9,11,14 Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit atau rute penghidu. Respon kekebalan tubuh manusia yang berkerja terhadap untuk M.leprae terdapat dua tingkat. Tingkat pertama, secara keseluruhan kerentanan / ketahanan terhadap infeksi dimediasi oleh imunitas non spesifik yang diperankan oleh monosit. Jika imunitas non spesifik tidak mampu melawan infeksi, maka akan diekpresikan pada tingkat kedua yaitu, tingkat imunitas seluler spesifik dan munculnya delayed hipersensitivity yang dihasilkan oleh individu terinfeksi. Imunitas seluler spesifik dimediasi terutama oleh sel limfosit T bekerja sama dengan APC (Antigen Presenting Cells). Gambar 2.4 Prinsip Mekanisme Imunitas Spesifik dan Non Spesifik

Gambar 2.5 Imunitas Selular dan Humoral pada Imunitas Spesifik

Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh Mycobacterium leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai imunitas nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigen Mycobacterium leprae. Respon imun inate yang efektif dengan virulensi basil kusta yang rendah mungkin mendasari resistensi terhadap perkembangan penyakit. Sel dendritik yang terinfeksi M.Leprae akan mempresentasikan PGL-1 pada permukaan sel. Reaksi ini menurunkan fungsi dari sel dendritik tersebut untuk mengekspresikan terhadap antibody spesifik (Limfosit T yang berfungsi dalam proliferasi dan memproduksi IFN-gamma). Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

Gambar 2.6 Patogenesis Kerusakan Saraf

Gambar 2.7 Interaksi 2LG dari G domain sel Schwann dengan PGL-1 dan ML-LBP21 dinding sel M. leprae.

Gambar 2.8 Interaksi Sel Schwann dengan M. Leprae2.6GAMBARAN KLINIK4,7,9,11,12,16 2.6.1Dasar diagnosis

Menurut WHO penyakit kusta dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinik yang timbul. Pada negara atau daerah yang endemik, seseorang dapat dinyatakan terkena lepra apabila terdapat salah satu dari tiga gejala kardinal antara lain (WHO, 2000) :

1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsang panas, sentuhan maupun nyeri. Lesi tidak gatal ataupun nyeri yang dapat muncul dimanapun pada anggota tubuh.

2.Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:

a.Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b.Ganguan fungsi motoris: tidak mampu mencubit, menggenggam, tidak mampu dorsi-fleksi pergelangan tangan dan tidak mampu menutup mata sepenuhnya.

c.Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.

3.Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Bila belum dapat ditemukan salah satu dari tiga gejala diatas, maka perlu dilakukan pengamatan dan pemeriksaan ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis dapat ditentukan.Tabel 2.3 Klasifikasi WHO berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tabel 2.4 Perbedaan PB dan MB secara Klinis

Tabel 2.5 Klasifikasi Ridley dan Jopling

Gambar 2.9 Gambaran Klinik TT, LL, dan IL.Tabel 2.6 Perbedaan Gambaran Klinik LL, BL, dan BB.SifatLepromatosa (LL)Borderline Lepromatosa (BL)Mid Borderline (BB)

Lesi

BentukMakula

Infiltrat difus

Papul

NodusMakula

Plakat

PapulPlakat

Dome-shape(kubah)

Punched-out

JumlahTidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSukar dihitung, masih ada kulit sehatDapat dihitung, kulit sehat jelas ada

DistribusiSimetrisHampir simetrisAsimetris

PermukaanHalus berkilatHalus berkilatAgak kasar, agak berkilat

BatasTidak jelasAgak jelasAgak jelas

AnestesiaBiasanya tidak jelasTak jelasLebih jelas

BTA

Lesi kulitBanyak (ada globus)BanyakAgak banyak

Sekret hidungBanyak (ada globus)Biasanya negatifNegatif

Tes LeprominNegatifNegatifNegatif

Gambar 2.10 Lesi Kulitpada Lepromatous Leprosy.

Gambar 2.11 Lesi Kulit pada BB Leprosy.

Gambar 2.12 Borderline Leprosy: Wajah Sedikit Berminyak dan Kehilangan Alis Mata.KarakteristikTuberkuloid (TT)Borderline Tuberculoid (BT)Indeterminate (I)

Lesi

TipeMakula ; makula dibatasi infiltratMakula dibatasi infiltrat saja; infiltrat sajaHanya Infiltrat

Jumlah

Satu atau dapat beberapaBeberapa atau satu dengan lesi satelitSatu atau beberapa

Distribusi

Terlokalisasi & asimetrisAsimetrisBervariasi

PermukaanKering, skuamaKering, skuamaDapat halus agak berkilat

BatasJelasJelasDapat jelas atau dapat tidak jelas

AnestesiaJelasJelasTak ada sampai tidak jelas

BTA

lesi kulitHampir selalu negatifNegatif atau hanya 1+Biasanya negatif

Tes leprominPositif kuat (3+)Positif lemahDapat positif lemah atau negatif

Tabel 2.7 Perbedaan Gambaran Klinik TT, BT, dan IL.

Gambar 2.13 LesiTuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 2.14 Borderline Tuberculoid Leprosy,

gambaran anular inkomplit dengan papul satelitGambar 2.15 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy 2.6.2 Deformitas pada Kusta4,9,12,15,17,18,19 Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf: N. ulnaris

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot introseus serta kedua otot lumbrikalis medial

N. medianus

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah

Tidak mampu aduksi ibu jari

Clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah

Ibu jari kontraktur

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

N. radialis

Anestesia ujung jari manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop)

Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis

Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

Kaki gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior

Anestesi telapak kaki

Claw toes

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis N. facialis

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

Cabang bukal, mandibular dan servical menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

N. trigeminus

Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Gambar 2.16 Salah Satu Gejala Kerusakan Saraf (Crawling Hand). Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis.

2.6.3Kusta histoid

Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.

Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer.2.6.4 Pemeriksaan Saraf Tepi

a. N. Auricularis Magnus

Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. Gambar 2.17 Pembesaran Sarafb. N. Ulnaris

Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Gambar 2.18 Pemeriksaan Saraf Ulnarisc. N. Peroneus Lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Gambar 2.19 Pemeriksaan Saraf Peroneus Lateralisd. N. Tibialis Posterior

Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

2.6.5Pemeriksaan Fungsi Saraf

a. Tes sensorik

Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

Rasa raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.

Rasa tajam

Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.

Suhu

Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin.

b. Tes Otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :

1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)

2. Tes Pilokarpin

3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. peroneus.2.7PEMERIKSAAN PENUNJANG4,9,18,19,

1.Pemeriksaaan Bakterioskopik Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu sediaan. Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas api kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen :

1. Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar

2. Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit hingga keluar uap (semua bakteri akan berwarna merah).

3. Bilas dengan air mengalir.4. Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2 detik (bakteri tahan asam tetap berwarna merah).

5. Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah yang mengalir pada sediaan.

6. Bilas dengan air

7. Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam tidak mengikat warna biru).

8. Cuci dengan air ( keringkan, lalu amati dengan mikroskop. Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah pada sediaan dan dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran (granular). Secara teori penting dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP

Gambar 2.20 Indeks Bakteri Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan :

Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1.000-10.000 lapangan

Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

2. Tes Lepromin Tes Lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.

Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang mati, hasilnya diperiksa setelah 3-4 minggu.

Interpretasi:

- tidak ada reaksi/ kelainan

+/-papel + eritema ( < 3 mm

+1papel + eritema ( 3 5 mm

+2papel + eritema ( > 5 mm

+3ulserasi

Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M. leprae, hasil diperiksa setelah 48 jam.

Interpretasi: -tidak ada kelainan

+/-indurasi + eritema ( < 5 mm

+ 1 indurasi + eritema ( 5 10 mm

+ 2 indurasi + eritema (10 15 mm

+ 3 indurasi + eritema ( 15 20 mm

3. Pemeriksaan Histopatologi

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS (Sistem Imun Selular) tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut.

Gambar 2.21 Contoh Gambaran Histopatologi.

4. Pemeriksaan Serologik

Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan, apabila tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.

A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.

B. Radio Immunoassay (RIA)

Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.

C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination) Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.

D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.

E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.35 Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer.

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:

A. Direct ELISA

Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.

B. Indirect ELISA

Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.

C. Sandwich ELISA.

Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1, antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang telah terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang tidak sakit kusta.

2.8REAKSI KUSTA4,9,20 Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral

a.Reaksi tipe 1

Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.b.Reaksi tipe II

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu, didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.

Tabel 2.8 Perbedaan RR dan ENL secara Klinik.No.Gejala/tandaTipe I (reversal)Tipe II (ENL)

1Kondisi umumBaik atau demam ringanBuruk, disertai malaise dan febris

2Peradangan di kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baruTimbul nodul kemerahan, lunak, dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)

3Waktu terjadiAwal pengobatan MDTSetelah pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan

4Tipe kustaPB atau MBMB

5SarafSering terjadi

Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi sarafDapat terjadi

6Keterkaitan organ lainHampr tidak adaTerjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll

7Faktor pencetus Melahirkan

Obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh Emosi

Kelelahan dan stress fisik lainnya

kehamilan

Tabel 2.9 Perbedaan RR dan ENL Berdasarkan Derajat KeparahanGejala/

tandaTipe ITipe II

RinganBeratRinganBerat

KulitBercak : merah, tebal, panas, nyeriBercak : merah, tebal, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecahNodul : merah,panas, nyeriNodul : merah, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah

Saraf tepiNyeri pada perbaan (-)Nyeri pada perabaan (+)Nyeri pada perabaan (-)Nyeri pada perabaan (+)

Keadaan umumDemam (-)Demam (+)Demam (+)Demam (+)

Keterlibatan organ lain---+

Terjadi peradangan pada :

mata : iridocyclitis

testis : epididimoorchitis

ginjal : nefritis

kelenjar limpa : limfadenitis

gangguan pada tulang, hidung, dan tenggorokan

*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat2.8.1Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.

Gambar 2.22 Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus yang Dalam).2.9Diagnosis Banding9,15 Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:

Ada Makula hipopigmentasi

Ada daerah anestesi

Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

1.Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.2.Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis, psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea

3.Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau psoriasis.4.Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat.

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.Tabel 2.10 Diagnosis Banding

Morbus HansenPitiriasis vesikolorPitiriasis alba

DefinisiPenyakit infeksi yang disebabkan Mycobacterium lepraePenyakit jamur superfisial yang kronikBentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya

EtiologiMycobacterium lepraeMalassezia furfurDidiuga Streptococcus

Gejala KlinisLesi 1 atau multiple

Hipopigmentasi/eritema

Sensory loss

Penebalan saraf tepiBercak berskuama halus yang berwarna putih, kekuning-kuningan, kemerahan sampai coklat hitam

GatalLesi bulat, oval atau plakat tak teratur

Warna merah muda dengan skuama halus

Setelah eritema menghilang, hanya dijumpai depigmentasi dengan skuama halus

Pemeriksaan MikroskopisZiehl Neelsen : basil tahan asamKOH 20% : hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok (meatball and spaghetti appeareance)-

Lampu woodKuning keemasan

Gambar 2.23 Kiri = Lepra, Kanan = Tinea

Gambar 2.24 Kiri= Pitiriasis Versikolor, Kanan = Lepra

Gambar 2.25 Kiri = Sifilis Sekunder, Kanan=Lepra

2.10PENATALAKSANAAN4,7,9,12,16 Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.2.10.1 Terapi Obata. Obat Utama :1. DDS

Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis asam folat oleh bakteri. Efek sampingnya antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia. 2. Rifampisin

Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Rifampicin bersifat bakterisid. Rifampicin bekerja dengancara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.

3. Klofazimin (lamprene)

Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh. Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu. Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan.4. Protionamid.

Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

b. Obat alternatif:1. Ofloksasin

Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.

2. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.

3. Klaritromisin

Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.Tabel 2.11 PB dgn lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin) dosis tunggal.RifampicinOfloxacinMinocyclin

Dewasa

(50-70 kg)600 mg400 mg100 mg

Anak-anak

*(5-14 tahun)300 mg200 mg50 50g

*Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahunTabel 2.12 Tipe PB dengan lesi 2-5.DapsonRifampisin

Dewasa

50-70 kg100 mg

Setiap hari600 mg

Sebulan sekali di bawah pengawasan

Anak

10-14 tahun *50 mg

Setiap hari450 mg

Sebulan sekali di bawah pengawasan

* Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.

MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (Released From Treatment). Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC (Release From Control).

Gambar 2.26 Contoh Blister Pack MDT PB Dewasa. Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. Pengonsumsian Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Apabilanegatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.

Tabel 2.13 Tipe MB yaitu dengan lesi kulit > 5.DapsoneRifampisinClofazimin

Dewasa

50-70 kg100 mg

Setiap Hari600 mg

Sebulan sekali di bawah pengawasan50 mg

Setiap hariDAN300 mg

Sebulan sekali di bawah pengawasan

Anak

10-14 tahun *50 mg

Setiap hari450 mg

Sebulan sekali di bawah pengawasan50 mg

Setiap hariDAN150 mg

Sebulan sekali di bawah pengawasan

*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18 bulan. Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas : kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu.

Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control). Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan bakterioskopis.

Gambar 2.27 Contoh Blister Pack MDT MB Dewasa

Gambar 2.28 Regimen MDT2.10.2Pengobatan Situasi Khusus

1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau

resisten rifampisin).

Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :

6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan (3) claritromisin 500 mg 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia, ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.

2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)

Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.

3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS

Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

2.10.3 Relaps

Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.

2.10.4 Pengobatan Reaksi Kusta1,4,91. Reaksi tipe 1 (reversal)

Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat

Tabel 2.14 Dosis Prednisone Harian Menurut Minggu Pemberian.Minggu pemberianDosis prednisone harian yang dianjurkan

1-240 mg

3-430 mg

5-620 mg

7-815 mg

9-1010 mg

11-125 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat diberikan.

2. Reaksi tipe 2 (ENL)

Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1 mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.

Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatian bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL.2.10.5 Kecacatan Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Tabel 2.15 Derajat KecacatanCacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas

Tingkat 1Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas

Tingkat 2Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0Tidak ada kelainan/kerusakan

Tingkat 1Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus sedikit berkurang

Tingkat 2Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea keruh) dan/atau visus sangat terganggu

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang dapat terjadi.

2.10.6 Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Vokasional Latar belakang sosial dan budaya memainkan peranan penting dalam proses penyakit serta pengobatan yang akan dilalui pasien. Pasien mungkin susah menerima kenyataan dan beberapa kalangan masyarakat mungkin akan menunjukkan penolakan terhadap pasien lepra. Untuk itu, ilmu pengetahuan, kepercayaan dari keluarga, dukungan teman, dokter, serta peranan dokter bedah plastik dalam mengobati lesi-lesi yang mungkin mengarah kepada stigma negatif masyarakat akan berperan penting dalam proses penyembuhan pasien.

2.10.7 Pencegahan dan Kontrol

Strategi WHO dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas lepra antara lain menekankan kepentingan pelayanan kesehatan yang aksesibel, mengutamakan pasien, pelayanan kesehatan lepra gratis dengan MDT, menekankan pentingnya mencegah kecacatan, serta sistem rujukan untuk penanganan komplikasi yang mungkin terjadi.2.11 PROGNOSIS Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baikBAB III

KESIMPULAN

Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Micobacterium leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf perifer, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis.

Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis, yaitu tipe tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) , dan tipe lepromatosa (LL).

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin.

Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi lepra yang dapat berujung dengan kecacatan yang menetap, dapat pula terjadi fenomena Lucio yang merupakan reaksi kusta yang sangat berat dan terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Oleh karena itu, pencegahan harus segera dilakukan untuk menghindari terjadinya kecacatan.DAFTAR PUSTAKA

1. Hiswani. (2001). Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih di Indonesia. Kesehatan, 1-5.

2. Ramos, J. M., Martin, M. M., Reyes, F., Lemma, D., Belinchon, I., & Gutierrez, F. (2012). Gender Differential on Characteristics and Outcome of Leprosy patients Admitted to a Long-term Care Rural Hospital in South-Eastern Ethiopia. International Journal For Equity in Health, 1-5.

3. Wolff, K., Johnson, R. A., & Suurmond, D. (2007). The Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. USA: Mc Graw Hill.

4. WHO. (2012, Agustus 24). Global leprosy situation, 2012. Weekly Epidemiological Record, 317-328.

5. Widodo, A. A., & Menaldi, S. L. (2012, November 11). Patients, Characterictics of Leprosy. Indon Med Assoc, 62, 424.

6. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. Edinburg: Churchil Livingstone; 1990. 7. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. Dalam : Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h. 12 32.

8. Rees RJW, Young DB. The microbiology of leprosy. Dalam : Hasting RC, editor. Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h.49-83

9. Scollard, D. M., Adams, L. B., Gillis, T. P., J. L. Krahenbuhl, R. T., & Williams, D. L. (2006). The Continuing Challenges of Leprosy. Clinical Microbiology Reviews, 339-372.

10. Levinson, W. (2010). Medical Microbiology & Immunology. USA: McGraw-Hill Companies.

11. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity: a five group system. Int J Lep 1996; 34: 255-77

12. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2007

13. Kumar, Abbas, Fausto, & Mitchell. (2007). Basic Pathology. USA: Elsevier.

14. Noon, L. A., & Lloyd, A. C. (2006). Treating leprosy. USA: Science Direct.

15. Groenen, G., & Saunderson, P. (2002). How to Diagnose and Treat Leprosy? London: The International Federation of Anti-Leprosy Associations.

16. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88

17. Rea TH, Modlin RL. 1999. Leprosy : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 5th ed. New York : McGraw-Hill. p. 2306-18.

18. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. Dalam : Hasting RC, editor. Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h. 237-87.

19. Kumar B, Dogra S. Leprosy : A disease with diagnostic and management challenges. Indian J. Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75(2): 111-5.

20. Agusni I, Menaldi SL.Beberapa prosedur diagnostik baru pada penyakit kusta. Dalam : Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h.59-65.

51