referat kolelitiasis 2.doc

Upload: insanaqid

Post on 28-Oct-2015

270 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Batu kantung empedu merupakan salah satu kasus bedah yanmg sering terjadi

TRANSCRIPT

  • Referat Subbagian Bedah Digestif

    Fakultas Kedokteran Unpad/ RSHS, Bandung

    Tanggal Juli 2003

    Pembawa: dr. Lili K. Djoewaeny

    Pembimbing: dr. Nurhayat Usman, SpB-KBD

    BATU EMPEDU

    Pendahuluan

    Batu empedu merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai .

    Di negara-negara barat, kelainan ini merupakan penyebab angka kesakitan

    yang penting. Operasi sistem bilier merupakan operasi yang paling sering

    dilakukan dibandingkan operasi abdomen lainnya.

    Empedu yang normal dibentuk oleh hepatosit, terdiri dari air,

    elektolit, dan solut organik. Solut organik mengandung sedikit protein dan

    terdiri dari tiga unsur utama, yaitu garam empedu, kolesterol, dan

    fosfolipid. Ketiganya terkandung dalam 80% bagian kering dari empedu.

    Garam empedu diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Asam

    empedu primer, asam kolat dan asam kenodeoksikolat, disintesis di hepar

    dari kolesterol dan kemudian berkonjugasi dengan glisin atau taurin. Siklus

    enterohepatik memungkinkan reabsorbsi dan resirkulasi asam empedu

    primer. Sebagian kecil (kurang dari 5%) memasuki kolon dan mengalami

    perubahan menjadi asam empedu sekunder, yaitu asam deoksikolat dan

    asam litokolat.

    Kolesterol empedu sebagian besar disintesis di hepar dengan sedikit

    berasal dari makanan. Kolesterol bersifat hidrofobik dan memerlukan zat

    lain untuk menjadi larut.

    Pemahaman terhadap mekanisme yang menyebabkan larutnya

    kolesterol dalam keadaan fisiologis akan sangat membantu dalam

    menerangkan tejadinya batu kolesterol. Di lain pihak, pengetahuan tentang

    konsentrasi kalsium dan bilirubin di dalam empedu diperlukan untuk

    memahami bagaimana terjadinya batu pigmen.1

    Klasifikasi batu empedu

    Batu empedu dibagi menjadi batu kolesterol, batu pigmen, dan batu

    campuran.

    Tabel 1. Perbedaan batu kolesterol dan batu empedu 2 Gambaran Batu Kolesterol Batu Pigmen

    Komposisi campuran, kadang-kadang Kalsium bilirubinat

  • 2

    calcium shell Jumlah Satu atau lebih Biasanya multipel

    Ukuran Bervariasi Kecil

    Warna Kuning atau hijau Gelap, coklat kemerahan

    atau hitam

    Densitas Lunak atau keras Lunak

    Epidemiologi

    Distribusi dan lokasi batu empedu bervariasi di berbagai tempat. Di

    Amerika Serikat dan negara-negara barat umumnya, 75% batu empedu

    merupakan batu campuran, 15% batu pigmen, dan 10% batu kolesterol.

    Umumnya batu terdapat di kandung empedu, namun dapat pula ditemukan

    pada common bile duct (CBD) dan intra hepatik ataupun telah bermigrasi ke traktus intestinal. Gambaran yang berbeda dijumpai di tempat lain

    seperti di Asia Tenggara dan Timur Jauh, di mana umumnya batu empedu

    merupakan batu pigmen dan banyak ditemukan intrahepatik. Variasi juga

    dijumpai dalam hal insidensi. Di Amerika Serikat, 12% populasi mempunyai

    batu empedu, dengan 950.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya,

    sedangkan di Afrika Timur dan negara berkembang lainnya insidensinya

    berkisar antara 2-3%. Risiko terjadinya batu empedu di Amerika dan

    Eropa Barat berkaitan dengan usia dan jenis kelamin. Kejadian batu

    empedu jarang ditemukan pada anak-anak dan remaja, sedangkan 10% pria

    dan 25% wanita pada usia dekade tujuh mempunyai batu empedu.3

    Patogenesis terjadinya batu empedu

    Teori awal menyebutkan patogenesis pembentukan batu empedu

    tidak lepas dari kandung empedu sebagai faktor utama terjadinya kelainan.

    Hal ini berlangsung sampai tahun 1924, saat Findlay memperkenalkan

    konsep bahwa kegagalan kolesterol untuk tetap larut merupakan faktor

    kritis dalam permulaan pembentukan batu. Konsep ini diperjelas oleh

    Admirand dan Small (1968) yang menyebutkan, adanya korelasi antara

    konsentrasi ketiga unsur solut dalam empedu, yaitu fosfolipid (lesitin),

    garam empedu, dan kolesterol. Penelitian ini mendorong berbagai

    penelitian yang menghubungkan gangguan sekresi hepatik dari lipid bilier

    sebagai penyebab utama pembentukan batu kolesterol. Penelitian akhir-

    akhir ini menunjukkan bahwa faktor kandung empedu tetap menjadi faktor

    yang tidak boleh diabaikan. Tampaknya interaksi dinamis antara kedua

    organ ini sangat diperlukan untuk terjadinya batu empedu.

    Adanya batu di CBD dapat disebabkan oleh pembentukan batu di

    kandung empedu yang kemudian bermigrasi ke CBD (batu sekunder), atau

    pembentukan batu terjadi pada duktus biliaris intrahepatik dan

  • 3

    ekstrahepatik (batu primer). Patogenesis pembentukan batu keduanya

    berbeda.

    a. Batu Kolesterol

    Secara ringkas, batu kolesterol terbentuk melalui 4 tahapan proses:

    - Saturasi

    - Pembentukan nidus (nukleasi)

    - Kristalisasi

    - Pertumbuhan batu

    Sebagaimana yang diungkapkan oleh Admirand dan Small, kelarutan

    kolesterol dipengaruhi tidak hanya oleh kadar kolesterol, namun juga oleh

    kandungan lesitin dan garam empedu. Ketiganya membentuk mixed micelles ataupun vesikel, yang memungkinkan kolesterol dapat larut dalam empedu.

    Kedua kendaraan empedu ini tersusun dalam senyawa ampifatik, di mana

    bagian yang hidrofobik berada di dalam dan bagian hidrofilik berada di

    luar. Vesikel berukuran lebih besar (600-700 A), mengandung kolesterol

    lebih banyak, namun lebih metastabil dibandingkan micelles. Besarnya proporsi vesikel dibandingkan micelles banyak dikaitkan dengan

    pembentukan nukleasi.

    Terdapat keseimbangan fisiologis antara pro nukleasi dan anti nukleasi dan

    factor lainnya, kegagalan proses tersebut dianggap berperan dalam

    pembentukan batu empedu.

  • 4

    gambar 1 gambar 2 gambar 3 keterangan : gambar 1: skematik yang memperlihatkan molekul asam empedu yang amphipatic dimana baigian yang hidrofobik terdapat didalam dan hidrofilik diluar

    gambar 2: ujung kutub asam lemak dan lesitin terdapat diluar, dan bagian yang

    hidrofobik, non kutub di dalam. Kolesterol terlarut dibagian yang hidrofofik

    gambar 3: molekul amfifatik asam lemak dan lesitin, membentuk 2 lapisan pada vesikel.

    Kolesterol terlarut di bagian non polar pada kedua lapisan

    Nukleasi merupakan proses pembentukan dan penggabungan kristal

    kolesterol monohidrat. Berbagai studi menunjukkan, bahwa terbentuknya

    nukleasi tidak hanya berkaitan dengan supersaturasi kolesterol, namun ada

    faktor lain yang turut mempengaruhi. Hal ini dibuktikan dengan lebih

    mudahnya terjadi nukleasi pada penderita batu dibandingkan individual

    normal, meski keduanya mengalami saturasi kolesterol. Berbagai faktor

    pronukleasi dan antinukleasi diteliti sebagai faktor yang turut berperan

    dalam terjadinya nukleasi, seperti mukus kandung empedu dan

    glikoprotein. Kalsium juga diduga berperan dalam pembentukan batu

    kolesterol. Studi menunjukkan kandungan garam kalsium dalam matriks

    pusat batu kolesterol. Tampaknya kalsium meningkatkan penggabungan

    vesikel dan mempercepat pertumbuhan kristal kolesterol.

  • 5

    Gambar 1. Diagram trikoordinat untuk menentukan indeks saturasi

    kolesterol. (Holzbach RT: Patogenesisis and medical treatment of gallstones, 1989)

    Faktor kandung empedu, yaitu stasis, sekresi dan absorbsi, serta

    prostaglandin diduga turut berperan dalam dalam terjadinya batu

    kolesterol, meski hal tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 1,4,5

    Beberapa faktor risiko dikaitkan dengan kejadian batu kolesterol

    serta patogenesis yang berkaitan terangkum dalam tabel 2.

    Tabel 2. Faktor risiko klinis yang berkaitan dengan batu empedu kolesterol 3

    Faktor Risiko Patogenesis

    Usia Proses pembentukan batu berkaitan dengan waktu dan

    berkurangnya konversi kolesterol menjadi garam empedu.

    Usia 40 merupakan usia yang tipikal untuk diagnosis klinis.

    Jenis Kelamin Rasio wanita: pria = 3:1, estrogen meningkatkan ambilan

    kolesterol plasma oleh hepar sehingga meningkatkan

    saturasi kolesterol

    Ras dan etnis Risiko tinggi: Indian Pima, native American, Hispanik, Kulit

    Putih Risiko rendah: Black American, AfroAmerican

    Genetik Risiko relatif meningkat pada orang yang mempunyai

    riwayat batu empedu pada orang tua, kembar, atau

    saudara keturunan pertama

  • 6

    Kegemukan Meningkatkan aktivitas hidroksimetilglutaril KoA (HMG-

    CoA) reduktase menyebabkan peningkatan sintesis

    kolesterol dan saturasi kolesterol empedu

    Penyakit Crohn Menurunkan resorpsi garam empedu

    Total Parenteral Nutrition Stasis dan distensi kandung empedu, risiko meningkat pada

    pasien dengan penyakit Crohn

    Penurunan berat badan Bedah pintas usus dan diet rendah kalori dan tinggi

    protein

    yang cepat berkaitan dengan tingginya insidens batu empedu karena

    menurunkan sekresi garam empedu dan stasis kandung

    empedu

    Prevalensi batu kolesterol pada penderita diabetes lebih tinggi, namun

    demikian belum jelas diketahui apakah hal tersebut disebabkan oleh

    diabetesnya sendiri atau akibat obesitas, dislipidemia, dan hipomotilitas

    kandung empedu yang umum ditemukan pada penderita diabetes. 6

    gambar 4

    diagram faktor faktor yang berperan dalam pembentukan batu empedu

    b. Batu Pigmen

    Batu pigmen merupakan batu empedu yang cukup banyak dijumpai di

    Asia Tenggara dan Timur Jauh. Prasyarat pembentukan batu pigmen

    adalah konsentrasi bilirubin yang tinggi (lebih dari 40%) dan kandungan

  • 7

    kolesterol yang rendah. Batu ini umumnya merupakan campuran, dengan

    kalsium bilirubinat sebagai kandungan utama. Berdasarkan penampakan,

    batu pigmen terbagi menjadi batu coklat dan batu hitam. Pemahaman

    tentang patogenesis batu pigmen tidak sebanyak batu kolesterol. Maki dkk

    menduga infeksi bilier dan stasis berperan penting dalam terbentuknya

    batu jenis ini. Bilirubin glukoronida dihidrolisis oleh enzim -glukoronidase menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Bilirubin yang tidak

    berkonjugasi ini kemudian bersama kalsium membentuk matriks kalsium

    bilirubinat, komponen utama batu pigmen.

    Teori ini sulit menjelaskan pembentukan batu pigmen pada gangguan

    hemolisis, dan sirosis. Pembentukan batu pada gangguan hemolisis

    kemungkinan disebabkan oleh ekskresi bilirubin yang berlebihan,

    sedangkan pada sirosis, batu empedu dikaitkan dengan adanya

    hipersplenisme dan gangguan metabolisme asam empedu.

  • 8

    gambar 5

    SKEMATIK TENTANG VESIKEL SEBAGAI KENDARAAN KOLESTEROL

    DALAM EMPEDU DAN HUBUNGANNYA DENGAN PEMBENTUKAN

    NUKLEUS

    Tabel 3. Batu pigmen 3

    Karakteristik Batu hitam Batu Coklat

    Warna Hitam Jingga-kecoklatan

    Ukuran 2-6 mm 5-30 mm

    Konsistensi Solid, sekeras batu Lunak, berpasir, lumpur

    Lokasi anatomis Kandung empedu Duktus biliaris intra dan

    ekstra hepatik

    Lokasi geografis Barat dan Asia Terutama di Asia

    Kondisi yang berkaitan Anemia hemolitik, sirosis Parasit hepar, striktur

    duktus,

    Alkoholisme, TPN yang lama infeksi traktus biliaris

    Setelah reseksi ileum

    Gambaran radiologis Radioopak (70%) Radiolusen

    Etiologi Peningkatan ekskresi Dekonjugasi bilirubin oleh

    Bilirubin tak terkonjugasi/ bakteri

    Bilirubin yang terhidrolisis

    c. Sludge kantung empedu dan mikrokalkuli Istilah sludge (Indonesia = lumpur) kandung empedu digunakan

    untuk empedu dalam bentuk gel yang mengandung sejumlah

    mikrokalkuli. Kandungan sludge bilier terdiri dari gabungan granul kalsium bilirubinat, kristal kolesterol, dan glikoprotein ( mucin ).

    Terjadinya sludge dikaitkan dengan adanya stasis kandung empedu. Mukus tidak dapat didegradasi dalam empedu dan jika terjadi stasis

    dalam kandung empedu, akumulasi glikoprotein di dalam kandung

    empedu menginduksi pembentukan gel yang akan menangkap komponen

    pigmen empedu. Diduga, material gel ini berinteraksi dengan kalsium,

    garam empedu, dan kolesterol dengan akibat berkurangnya kelarutan

    bilirubin dan kolesterol serta membentuk kristal kalsium bilirubinat

    dan kolesterol monohodrat yang terperangkap di dalam gel. Gel

    berfungsi sebagai matriks nukleasi bagi kristal kolesterol atau batu

  • 9

    pigmen. Arti klinis dari sludge kandung empedu tidak jelas sampai saat ini. Sludge biasanya teridentifikasi pada USG abdomen, dengan gambaran material ekogenik di dalam kandung empedu yang tidak

    memberikan gambaran acoustic shadow, seperti halnya batu empedu. Biasanya dijumpai pada orang mengalami puasa yang lama,

    menggambarkan empedu yang mengalami konsentrasi yang tinggi di

    dalam kandung empedu yang relatif stasis. Pada studi terhadap pasien

    yang menjalani TPN yang lama, insidensi sludge kandung empedu meningkat dengan berjalannya waktu. Walaupun demikian, tidak jarang

    sludge berkaitan dengan keberadaan mikrokalkuli dan ikut berperan dalam nyeri bilier, pembentukan batu empedu dan pencetus

    pankreatiti.

    d. Batu CBD

    Sebagaimana telah disebutkan di atas, batu CBD dibagi menjadi

    batu primer dan batu sekunder. Batu sekunder yang berasal dari

    kandung empedu lebih banyak dijumpai. Umumnya batu kolesterol yang

    ditemukan di kandung empedu dan CBD bersama-sama dianggap berasal

    dari kandung empedu. Sedangkan batu pigmen coklat berkaitan dengan

    pembentukan batu primer. Patogenesis terjadinya batu primer diduga

    karena faktor stasis di dalam CBD (misalnya karena striktur ataupun

    dilatasi yang hebat), infeksi bakteri, dan kelainan pada aktivitas

    sfinkter Oddi.

    Adanya bakteri pada cholangiohepatitis orang Asia, diduga bakteri

    tersebut membuat dekonjugasi bilirubin oleh beta glukoronidase, yang

    membentuk garam empedu insoluble. Hal ini dibuktikan dengan

    adanyakoloni bakteri dari matrik batu primer di CBD.

    e. Batu intrahepatik

    Insidensi hepatolitiasis relatif cukup banyak di daerah Asia

    Tenggara dan Timur Jauh. Terbentuknya batu jenis ini dikaitkan

    dengan faktor lingkungan, mengingat di Taiwan dan di Jepang, kejadian

    batu intrahepatik menurun dengan perbaikan sosioekonomi, insidensinya

    lebih banyak dijumpai di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan.

    Komposisi batu intrahepatik terbanyak adalah kalsium bilirubinat (batu

    coklat). Stasis, infeksi parasit, dan bakteri banyak dihubungkan dengan

    terbentuknya batu.

    Patofisiologi dan Gambaran Klinis

    Manifestasi klinis batu empedu berkaitan dengan lokasi batu. 7

    a. Kolelithiasis

  • 10

    Batu yang terdapat di kandung empedu dapat tidak memberikan

    gejala (asimptomatik), memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis

    akut, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia

    flatulen.

    Impaksi batu di infundibulum (Hartmann pouch) kandung empedu menyebabkan spasme kandung empedu sehingga menimbulkan nyeri

    bilier. Jika batu jatuh kembali, kandung empedu menjadi kosong dan

    nyeri hilang, sedangkan impaksi yang berlangsung terus menyebabkan

    nyeri berlanjut. Empedu yang terperangkap mengalami konsentrasi dan

    menimbulkan iritasi kimia dan inflamasi lokal yang menimbulkan nyeri

    yang menetap dan berlangsung berhari-hari. Isi kandung empedu dapat

    mengalami infeksi sekunder. Infeksi pada kandung empedu dijumpai

    pada sekitar 30% pasien batu empedu. Keadaan ini akan menimbulkan

    toksemia dan mengarah pada terjadinya empiema, gangren ataupun

    perforasi. Empiema akan menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas

    abdomen dan pireksia yang hilang timbul. Peningkatan edema dan

    menurunnya vaskularisasi menyebabkan infark dinding kandung empedu

    dan kemudian mengalami perforasi.

    Gambar 6

    batu empedu di Hartmann pouch

    Kontraksi kandung empedu terhadap batu merupakan penjelasan yang

    banyak dipakai untuk menerangkan timbulnya nyeri postprandial, meski

    demikian tidak ditemukan adanya korelasi yang jelas antara keluhan ini

    dengan adanya batu empedu pada populasi umum. Mukokel dapat timbul

    ketika batu mengalami impaksi pada Hartmann pouch. Kandung empedu mensekresi mukus pada batu yang menyumbat sehingga menimbulkan

    pembesaran kandung empedu sehingga dapat teraba pada palpasi.

    Korelasi antara temuan patologi dalam kandung empedu dan

    gambaran klinis yang timbul, tidak jelas. Gambaran tipikal dari

  • 11

    kolesistitis akut adalah nyeri perut kuadran kanan atas yang tajam dan

    konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh

    rasa tidak nyaman di daerah epigastrium postprandial. Nyeri ini

    bertambah pada inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar

    ke punggung atau ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai oleh mual,

    muntah, dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung selama

    berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai dengan toksemia, nyeri

    tekan pada kuadran kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphys sign. Pada kasus yang lebih lanjut, dapat diraba massa yang mengalami peradangan akibat kandung empedu yang edema dikelilingi oleh

    omentum yang melekat. Tanda klinis dari toksisitas dan pireksia yang

    hilang timbul perlu dicurigai adanya empiema dan nyeri peritonismus

    pada perut bagian atas sebagai tanda perforasi kandung empedu.

    Adanya ikterus mengarah pada koledokolitiasis meskipun kompresi

    duktus biliaris komunis akibat kandung empedu yang edema dan

    mengalami peradangan (sindrom Mirizzi) merupakan faktor yang juga

    perlu dipertimbangkan.

    Nyeri bilier memberikan gejala yang menyerupai kolesistitis akut,

    namun biasanya tidak dipengaruhi oleh gerakan dan berakhir setelah

    beberapa jam. Nyeri yang timbul seringkali dipresipitasi oleh makanan

    yang berlemak dan menghilang spontan. Nyeri kronis akibat batu

    empedu dikaitkan dengan dispepsia flatulen, yang ditandai oleh rasa

    penuh setelah makan, sering bersendawa, mual, dan regurgitasi

    makanan.

    b. Koledokolitiasis

    Anggapan tradisional yang berkembang mengenai gejala klinis

    penderita batu pada CBD adalah mereka biasanya tidak mengalami

    nyeri kolik karena CBD tidak mempunyai otot polos. Meski demikian,

    nyeri pada daerah perut kanan atas setelah kolesistektomi merupakan

    gejala akibat batu yang terdapat pada CBD. Batu yang menyangkut

    pada ujung distal CBD juga berkaitan dengan mual dan muntah.

    Ikterus obstruksi timbul jika batu mengalami impaksi di dalam CBD,

    terutama di ampula. Batu dapat lewat secara spontan atau kembali ke

    CBD dengan berkurangnya ikterus atau tetap mengalami impaksi. Batu

    pada ujung distal CBD juga dapat menimbulkan pankreatitis akibat

    obstruksi temporer duktus pankreatikus dan dapat berkaitan dengan

    ikterus yang hilang timbul. Kolangitis asending timbul bila timbul infeksi

    akibat obstruksi dan drainase sistem bilier yang buruk. Pada pasien

    dengan batu CBD, kuman koliform dijumpai pada 80% kasus.

  • 12

    Trias Charcot yang dihasilkan akibat sumbatan batu berupa nyeri,

    ikterus, dan demam (dengan atau tanpa menggigil). Kolangitis akut

    dapat menimbulkan syok septikemia, yang dikenal dengan kolangitis

    supuratif obstruktif akut.

    Adanya keluhan nyeri perut kanan atas setelah kolesistektomi dapat

    menjadi indikasi adanya kolelitiasis. Meski demikian, batu CBD dapat

    tidak disertai gejala dan ditemukan secara insidental pada saat

    kolesistektomi atau karena adanya komplikasi seperti ikterus

    obstruktif, pankreatitis, atau kolangitis asendending. Nyeri lebih

    berkaitan dengan ikterus obstuktif karena batu daripada karena

    keganasan. Selain penemuan bilirubin di dalam urin dan faeses yang

    pucat, ikterus obstruksi juga berkaitan dengan pruritus dan steatorea.

    Pemeriksaan fisik jarang menjumpai adanya perabaan kandung empedu

    dan gejala pankreatitis harus dicari. Kolangitis asending perlu dicurigai

    bila ada panas yang disertai menggigil dan pireksia yang fluktuatif pada

    penderita ikterus obstruktif. Penderita dapat memberikan gambaran

    bakteremia atau septikemia dengan flushing, takikardia dan hipotensi.

    Diagnosis

    Diagnosis batu empedu didasarkan pada temuan klinis yang

    ditunjang oleh data laboratorium dan pemeriksaan penunjang radiologis.

    Pemeriksaan tes fungsi hepar merupakan pemeriksaan rutin pada

    penderita batu empedu. Meski tidak banyak dipengaruhi oleh kolelitiasis,

    tes fungsi hati dapat terganggu pada koledokolitiasis. Peningkatan

    bilirubin indirek terjadi pada ikterus prehepatik, seperti pada hemolisis

    yang berlebihan. Gambaran biokimiawi dari ikterus hepatik, misalnya pada

    hepatitis, adalah peningkatan bilirubin direk dan indirek, SGOT, SGPT,

    dengan nilai alkali fosfatase yang relatif normal. Ikterus posthepatik

    (obstruktif) memberikan gambaran kenaikan bilirubin direk dan alkali

    fosfatase dengan nilai SGOT dan SGPT yang relatif normal. Pada kasus

    lanjut ikterus obstruktif atau kolangitis akut, nilai transaminase

    meningkat akibat kerusakan yang timbul pada sel-sel hepar. Pada keadaan

    akut, kadar amilase perlu diperiksa untuk mencari kemungkinan terjadinya

    pankreatitis dan pemeriksaan leukosit untuk membantu penilaian adanya

    kolesistitis akut.

    Untuk membedakan nyeri yang diakibatkan oleh kandung empedu

    dan penyakit intraabdomen lainnya kadang dibutuhkan pemeriksaan foto

    polos abdomen, namun batu empedu yang memberikan gambaran radioopak

    kurang dari 10%, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan. Kadang kala,

    pada kasus obstruksi intestinal, gambaran udara tampak pada duktus

  • 13

    biliaris, mengarahkan kecurigaan adanya fistula kolesistoenterik dan

    gallstoneileus.

    Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang paling banyak

    digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis kolelitiasis. Pemeriksaan ini

    relatif mudah dilakukan, tidak terlalu menimbulkan rasa tidak nyaman pada

    pasien, mencegah radiasi dan efek toksisitas zat kontras, serta dapat

    menilai struktur organ intraabdomen bagian atas lainnya. Dinding kandung

    empedu dan isinya serta ukuran CBD serta batu di dalamnya dapat

    dideteksi. Reabilitas pemeriksaan ini untuk menilai kolelitiasis sangat

    tinggi, meski penilaian adanya koledokolitiasis lebih rendah serta

    kemampuan operator sangat menentukan hasil temuan.

    gambar 7

    gambaran ultrasonografi batu empedu pada vesika felea yang

    memberikan gambaran hipoechoic dengan acoustic shadow ( tanda panah )

    Penggunaan kolesistografi oral untuk mendeteksi batu empedu

    sangat berkurang dengan adanya USG. Pemeriksaan tergantung pada

    fungsi kandung empedu untuk mengkonsentrasikan kontras media. Hasil

    false negatif pada batu yang kecil berkisar 6-8%. Pemeriksaan ini

    mempunyai peran dalam mengidentifikasi diskinesia bilier.

    CT scan lebih akurat dalam mencari batu CBD dibandingkan USG,

    dengan sensitivitas mencapai 75%.

  • 14

    gambar 8

    gambaran kolesisttografi oral

    menunjukan gambaran batu yang radiolusen yang mengambang di

    dalam kandung empedu

    Hidroxyiminodiacetic acid (HIDA) / scintigrafi hepatobiliary yang diberi label dengan Technisium diekskresi ke dalam sistem bilier setelah

    injeksi intravena. Pemeriksaan ini membantu dalam mendiagnosis

    kolesistitis akut, memberi informasi patensi duktus sistikus namun kurang

    baik dalam menggambarkan adanya batu di kandung empedu, ataupun di

    CBD.

    Percutaneus transhepatic cholangiography (PTC) paling baik dikerjakan pada pasien yang mempunyai pelebaran cabang bilier, namun

    bukan merupakan pemeriksaan rutin pada pasien yang dicurigai kolelitiasis.

    Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography (ERCP) merupakan pemeriksaan penting dalam pencitraan preoperatif untuk

    melihat gambaran CBD. Dengan visualisasi langsung menggunakan

    duodenoskopi, papila dapat secara selektif dikanulasi untuk mendapatkan

    gambaran duktus pankreas dan CBD. Zat kontras yang larut dalam air

    diinjeksikan untuk memperlihatkan gambaran sistem bilier. Pemeriksaan ini

  • 15

    bisa pula digunakan untuk terapi yaitu dapat dilakukan sfinkterotomi,

    pemasangan stent, dan ekstraksi batu.

    Sindrom Klinis 1,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13

    a. Asimptomatik

    Dua pertiga orang dengan batu empedu tidak memberikan keluhan

    dan jarang mengalami komplikasi. Dari studi didapatkan bahwa 10-20%

    orang yang asimptomatik mengalami keluhan dalam perjalanan hidupnya,

    umumnya berupa nyeri bilier. Gejala yang berat seperti kolesistitis akut

    terjadi rata-rata 1-3% setiap tahunnya serta kematian akibat komplikasi

    terjadi pada 0,5-1%, menunjukkan bahwa perjalanan penderita batu

    empedu yang asimptomatik umumnya benign.

    b. Nyeri bilier dan kolesistitis kronis

    Keluhan tersering akibat batu empedu adalah nyeri bilier. Nyeri

    dirasakan tiba-tiba pada epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen

    dan dapat menjalar ke punggung atau sekitar ujung skapula. Pengunaan

    istilah kolik bilier kurang tepat untuk menggambarkan nyeri ini karena

    nyeri biasanya persisten, mulai dari 15 menit hingga 24 jam, dan

    menghilang secara spontan atau dengan pemberian analgetik. Keluhan

    sering disertai oleh mual dan muntah, berasal dari rangsangan visera

    akibat distensi kandung empedu karena obstruksi atau lewatnya batu

    melalui duktus sistikus.

    gambar 9

    diagram sifat nyeri kolik bilier

    Tabel 4. Diagnosis banding nyeri epigastrium akut yang hebat

  • 16

    1. Kolik bilier

    2. Ulkus peptikum

    3. Spasme esofagus

    4. Infark miokard

    5. Pankreatitis akut

    c. Kolesistitis akut

    Komplikasi tersering yang dialami penderita batu empedu yang

    membutuhkan intervensi bedah adalah kolesistitis akut. Hal ini terjadi

    akibat impaksi batu pada duktus sistikus atau pada infundibulum kandung

    empedu, sehingga menimbulkan obstruksi. Kandung empedu menjadi

    distensi dan terjadi proses inflamasi akut. Berbeda dengan nyeri bilier

    yang berlangsung beberapa jam, nyeri yang disebabkan oleh kolesistitis

    akut berlangsung hingga berhari-hari. Mulanya, nyeri viseral dan tumpul

    timbul, namun setelah proses inflamasi mencapai transmural, peritoteum

    viseral dan parietal yang berdekatan mulai teriritasi. Nyeri dirasakan

    terlokalisasi pada kuadran kanan atas, disertai defans muskuler dan nyeri

    lepas. Tanda klinis yang klasik adalah Murphys sign (berhentinya inspirasi bila dilakukan palpasi pada kuadran kanan atas perut). Keluhan penyerta

    berupa mual dan muntah, anoreksia, dan demam yang tidak tinggi. Pada

    beberapa kasus, kita dapat meraba adanya massa pada perut kanan atas,

    sebagai upaya tubuh untuk mengatasi proses inflamasi yang terjadi dengan

    melakukan walling off dan kompartemenisasi kandung empedu oleh oragn sekitar, seperti omentum mayor, duodenum, dan kolon kanan.

    Pemeriksaan laboratorium memberikan gambaran yang tidak

    spesifik, dapat berupa leukositosis ringan dan peningkatan sedikit tes

    fungsi hati. Konfirmasi diagnosis didapatkan dari USG yang memberikan

    gambaran penebalan dinding kandung empedu dan cairan perikolesistik

    yang patognomonik. Pemeriksa USG juga dapat menemukan adanya tanda

    Murphy dengan menekan transduser pada daerah kanan atas (sonographic Murphys sign). Gambaran yang berat dari kolesistitis berupa empiema kandung empedu (terdapatnya pus dan debris pada kandung empedu) dan

    kolesistitis emfisematosa (nekrosis dan udara di dalam dinding kandung

    empedu). Tampilan ini terutama banyak ditemukan pada penderita diabetes

    melitus.

    d. Koledokolitiasis

    Batu pada CBD memberikan berbagai gejala, meliputi ikterus,

    kolangitis, pankreatitis akut, dan sepsis. Koledokolitiasis dapat berasal

  • 17

    dari batu kandung empedu yang bermigrasi ke CBD melalui duktus sistikus,

    batu yang tertinggal setelah operasi traktus biliaris (retain stones), atau batu yang terbentuk secara primer pada duktus biler, baik intrahepatik

    maupun ekstrahepatik. Insidensi kolelitiasis tidak diketahui secara pasti,

    namun didapatkan angka hingga 15% dari pasien yang menjalani operasi

    batu kandung empedu disertai dengan batu pada CBD. Batu pada saluran

    empedu juga banyak ditemukan pada striktur biler benigna, sclerosing

    cholangitis, dan kolangitis piogenik yang rekuren.

    Gambaran klinis dan beberapa pemeriksaan laboratorium biokimia

    dapat mengarahkan kecurigaan adanya kolelitiasis, namun konfirmasi

    diagnostik didapatkan dari pemeriksaan radiologi, termasuk kolangiografi.

    Kolangiografi sering pula dilakukan intraoperatif pada saat operasi

    kolelitiasis dilakukan, dengan indikasi terabanya batu pada saluran

    empedu, CDB yang dilatasi, peningkatan tes fungsi hepar, dan adanya

    riwayat ikterus, kolangitis, serta pankreatitis.

    e. Kolangitis

    Secara klinis, tanda klasik dari kolangitis adalah trias Charcot, yaitu

    nyeri perut, demam, dan ikterus. Penyebab utama kolangitis adalah batu

    yang mengobstruksi bagian distal CBD. Nyeri perut disebabkan oleh

    peningkatan tekanan intraduktal dan distensi kandung empedu, sedangkan

    ikterus disebabkan oleh obtruksi kedua lobus hepar. Jika hanya sebagian

    dari hepar yang mengalami obstruksi, lobus hepar yang lain masih bisa

    mengkonjugasikan dan mensekresikan empedu. Demam disebabkan oleh

    respons sistemik terhadap infeksi, karena 50-70% penderita batu empedu

    simptomatik mengandung bakteri.

    Kombinasi adanya obstruksi dan bakteri dalam CBD, pada tekanan

    intrabilier diatas 15 cmH2O akan menyebabkan bakteri masuk kedalam

    vena hepatika dan sistem limfatik perihepatik dengan konsekwensi terjadi

    bakteriemi sistemik. Normal tekanan bilier adalah berkisar 7 sampai 14

    cmH2O.

    Kolangitis dapat mengancam jiwa dan berlangsung cepat. Keadaan ini

    terjadi akibat refluks bakteri dari lumen traktus bilier yang melewati

    membran kanalikuli dan kemudian beredar ke dalam sistem sirkulasi

    sistemik.

    Reynolds dan Dragan menerangkan lebih jauh tentang trias klasik

    kolangitis yang disertai syok septic dan penurunan kesadaran, yang

    kemudian dikenan dengan Reynolds pentad.

    f. Pankreatitis akut

  • 18

    Pankreatitis akut terjadi pada 5% pasien batu empedu dan lebih

    sering dijumpai pada batu kecil multipel, duktus sistikus yang lebar, dan

    adanya hubungan antara CBD dan duktus pankreatikus. Batu empedu

    berukuran kecil yang melewati CBD dan papilla kadang-kadang

    mengobstruksi duktus pankreatikus atau memungkinkan terjadinya refluks

    cairan duodenum atau empedu ke dalam duktus pankreatikus sehingga

    menyebabkan terjadinya pankreatitis akut.

    g. Gallstone ileus

    Batu empedu dapat menimbulkan berbagai gejala, termasuk

    perubahan fungsi dan motilitas usus. Gallstone ileus memberikan gejala

    obstruksi usus halus. Perjalanan terjadinya gallstone ileus dimulai dari

    terbentuknya fistula akibat upaya tubuh untuk melokalisasi kolesistitis

    dengan melibatkan organ-organ yang berdekatan. Fistula kolesistoduodenal

    merupakan fistula yang paling sering terjadi, meski fistula yang

    melibatkan kolon, lambung, atau usus halus segmen distal dapat pula

    terjadi. Batu empedu yang dapat menyebabkan usus biasanya berukuran

    besar, lebih dari 2 cm. Ketika batu tersebut memasuki traktus intestinal

    melalui fistula, batu tersebut dapat menyangkut pada bagian tersempit

    dari usus, yaitu ileum terminal.

    Ileus akibat batu empedu harus dicurigai pada penderita yang

    menunjukkan gejala obstruksi tanpa adanya hernia inkarserata atau

    riwayat operasi sebelumnya.

    h. Kolesistitis akalkulus

    Keadaan ini jarang dijumpai, namun dapat mengancam jiwa. Berbeda

    dengan kolsesistitis akut, kolesistitis akalkulus lebih disebabkan oleh

    iskemia kandung empedu dari pada akibat obstruksi duktus sistikus.

    Keadaan ini biasanya dijumpai pada pasien dengan keadaan sakit yang

    berat, sepsis, puasa yang lama, dan dirawat di ruang perawatan intensif.

    Pada kondisi-kondisi tersebur, stasis bilier, aktivasi faktor XII,

    endotoksin, dan distensi kandung empedu turut berperan mengurangi

    perfusi dan merupakan faktor predisposisi terjadinya keadaan yang

    ireversibel. Kejadian gangren, empiema, dan perforasi lebih sering

    dijumpai pada kolesistitis akalkulus, dengan insidensi mencapai 75% dan

    angka kematian hingga 40%.

    Diagnosis kelainan ini cukup sulit mengingat umumnya penderita

    dalam sedasi dan tidak komunikatif.

    i. Kolangitis piogenik rekuren

  • 19

    Asia Tenggara merupakan tempat endemis bagi kelainan ini,

    sementara di Amerika Serikat insidensinya semakin meningkat. Kelainan ini

    mempunyai karakteristik adanya batu pigmen intrahepatik dan

    ekstrahepatik tanpa ditemukan adanya kelainan pada kandung empedu.

    Patogenesis mengenai kelainan ini tidak jelas, namun beberapa faktor

    etiologi diajukan, seperti infeksi parasit (Clonorsis sinensis, Ascaris

    lumbricoides), infeksi bakteri yang indolen, dan malnutrisi protein.

    Terdapat pelebaran dan striktur pada duktus biler dan pembentukan batu

    intrahepatik.

    Pasien mengeluh nyeri perut dan demam. Ikterus lebih jarang

    dijumpai karena obstruksi biasanya parsial.

    j. Sindrom Mirizzi

    Kehr (1905) pertamakali mengemukakan tentang proses patologi

    obstruksi CBD oleh tekanan diluar CBD. Mirizzi, seorang ahli bedah

    Argentina, tahun 1948, pertama kali melaporkan adanya pasien dengan

    sekumpulan gejala ikterus yang disebabkan oleh reaksi inflamasi akibat

    impaksi batu di duktus sistikus atau infundikulum kandung empedu. Saat

    itu ia berpendapat, proses inflamasi disebabkan oleh spasme fisiologis dan

    anatomis dari otot polos sirkuler di dalam duktus hepatikus komunis.

    Penemuan kemudian membuktikan bahwa sfinkter seperti itu tidak ada.

    Saat ini, diketahui ada 4 komponen yang ditemukan pada sindrom Mirizzi:

    Anatomi duktus sistikus atau infindibulum kandung empedu yang

    berjalan paralel terhadap duktus hepatikus komunis

    Impaksi batu pada duktus sistikus atau infundibulum kandung empedu

    Obstruksi mekanik duktus hepatikus oleh batu atau akibat inflamasi

    sekunder

    Ikterus, kemungkinan kolangitis rekuren, dan terjadinya sirosis bilier

    McSherry dkk (1982) membagi kelainan ini menjadi dua tipe. Tipe I,

    duktus hepatikus tertekan oleh batu berukuran besar yang terimpaksi di

    duktus sistikus atau Hartmanns pouch. Proses inflamasi yang terjadi

    dapat menyebabkan striktur. Tipe II, batu mengerosi duktus hepatikus,

    sehingga menyebabkan fistula kolesistokoledokal. Csandes dkk (1989)

    membagi tipe kedua berdasarkan erosi yang terjadi pada duktus hepatikus

    komunis dalam tiga bagian, sehingga membuat klasifikasi: tipe I, kompresi

    eksterna CBD akibat impaksi batu pada infundibulum kandung empedu atau

    duktus sistikus; tipe II, fistula kolesistobilier (kolesistohepatik atau

    kolesistokoledokal) dengan erosi kurang dari sepertiga lingkaran CBD; tipe

    III, fistula melibatkan erosi pada 2/3 lingkaran CBD; tipe IV, terjadi

    destruksi lengkap CBD.

  • 20

    Keadaan ini dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering

    dijumpai pada orang tua. Gambaran klinis berupa ikterus tanpa disertai

    nyeri atau kolangitis, tergantung apakah terjadi kontaminasi atau tidak.

    Diagnosis preoperatif penting untuk menghindari komplikasi operasi,

    khususnya pada kolesistektomi laparoskopi, karena CDB dengan ukuran

    normal dapat keliru dianggap sebagai duktus sistikus yang berdilatasi,

    sehingga terligasi. Hasil USG yang menemukan adanya dilatasi duktus

    biliaris intrahepatik, CBD yang berukuran normal, dan adanya batu di

    infundibulum kandung empedu atau duktus sistikus, perlu dicurigai adanya

    sindrom Mirizzi. Kemungkinan suatu sindrom Mirizzi perlu dipikirkan jika

    pada CT scan didapatkan gambaran penyempitan tiba-tiba pada CBD

    supraprankreas tanpa adanya massa neoplasma. Selain itu, USG dan CT

    scan penting untuk menyingkirkan adanya massa pada porta hepatis akibat

    keganasan.

    Kolangiografi penting dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan

    menentukan adanya fistula, dengan kolangiografi melalui ERCP memberikan

    gambaran yang lebih baik daripada PTC.

    k. Nyeri bilier dan Kehamilan

    Kelainan kandung empedu merupakan hal yang dapat menyulitkan

    selama kehamilan. Gambaran klinis yang sering dijumpai berupa kolik bilier

    yang memburuk dan kolesistitis akut. Ikterus dan pankreatitis sebagai

    akibat koledokolitiasis jarang ditemukan. Pemeriksaan radiologis yang

    relatif aman hanyalah USG.

    Penatalaksanaan

    1. Batu empedu asimtomatik 11

    Pada umumnya, kolesistektomi profilaksis saat ini tidak dianjurkan

    untuk penanganan batu empedu yang asimptomatik. Hal ini disebabkan

    rendahnya kejadian timbulnya gejala ataupun komplikasi pada penderita

    batu empedu yang asimptomatik. Hal ini juga berlaku pada penderita

    diabetes. Meski demikian, karena tingginya morbiditas dan mortalitas

    pada operasi emergensi pada pasien diabetes, penanganan segera

    dilakukan begitu gejala awal timbul. Kolesistektomi insidental pada

    pasien batu empedu asimtomatik yang menjalani operasi abdomen

    nonbilier. Yang pasti, kolesistektomi insidental tidak dianjurkan pada

    pasien dengan risiko komplikasi tinggi, misalnya pada sirosis dan

    hipertensi portal. Tidak didapatkan data yang cukup mengenai tindakan

    kolesistektomi profilaksis pada pasien dengan anemia sel sabit,

    kolelitiasis asimptomatik pada anak, pasien dengan terapi imunosupresi,

  • 21

    yang akan menjalani transplantasi, dan mereka yang tidak dapat

    menjangkau pelayanan kesehatan yang memadai untuk jangka panjang.

    Risiko kanker kandung empedu pada pasien kolelitiasis juga sangat

    rendah (1/1000 pasien pertahun), kecuali pada pasien dengan kandung

    empedu yang mengalami kalsifikasi (porcelain gallbladder), yang mempunyai risiko kanker hingga 25%, bahkan pada kandung empedu

    yang tidak mengandung batu. Risiko kanker juga lebih tinggi pada

    pasien dengan polip kandung empedu yang soliter dengan diameter lebih

    dari 1 cm, anomali pancreatic-biliary ductal junction, batu empedu lebih

    dari 3 cm, dan pada suku Indian di Amerika. Belum diperoleh data yang

    konklusif mengenai tindakan kolesistektomi profilaksis pada keadaan-

    keadaan tersebut.

    Tabel 5. resiko tinggi yang dianjurkan kolesistektomi pada batu empedu

    asimptomatik6

    Life expectancy > 20 years Calculi > 3mm in the presence of a patient cystic duct Radioopaque calculi Gallbladder polyps Non-functioning gallbladder Diabetes mellitus Females of < 60 years of age Area with high prevalance of gallbladder cancer

    Patients on the waiting list for non-hepatic organ transplant e.g. heart and kidney

    Sumber : Springer-Verlag GmbH & Co, Patino JF, Quintero GA. Asymptomatic

    cholelithiasis revisited, World J Surg 1998; 22: 1119-24

    2. Batu Empedu Simptomatik

    Jika penderita batu empedu mulai mengalami keluhan (simptomatik),

    angka rekurensi tinggi. Karenanya, setiap pasien perlu diterapi.

    Kesulitan yang dialami adalah menentukan gejala mana yang disebabkan

    oleh batu empedu. Nyeri bilier yang khas adalah nyeri yang hebat,

    episodik, berlokasi pada epigastrium atau kanan atas, berakhir 1-5 jam,

    dan dapat membangunkan pasien saat tidur di malam hari. Hampir 90%

    pasien dengan keluhan khas ini dapat hilang keluhannya setelah

    diterapi. Pasien dengan risiko tinggi untuk anestesi umum diterapi

    secara nonoperatif. Hasil dari penanganan pasien dengan batu empedu

    kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasien dengan keluhan

  • 22

    nyeri yang tidak khas ataupun dengan keluhan dispepsia (intoleransi

    makanan berlemak, kembung, dan sering bersendawa). Pada penderita

    tersebut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut

    untuk mencari penyebab lain, seperti irritable bowel syndrome (IBS), ulkus peptikum, atau refluks esofageal.

    3. Batu Empedu dengan komplikasi

    Komplikasi batu empedu mempunyai potensi membahayakan jiwa dan

    perlu penanganan yang sesuai dan segera, sesuai dengan jenis

    komplikasi yang timbul. Pada kolesistitis akut penanganan

    kolesistektomi dini (24-48 setelah gejala awal timbul) kini lebih banyak

    dianut ketimbang kolesistektomi yang ditunda. Pada kolangitis, terapi

    meliputi terapi suportif, antibiotika, dan dekompresi. Terapi sindrom

    Mirizzi tipe I adalah kolesistektomi, sedangkan tipe II meliputi parsial

    kolesistektomi dan anastomosis bilioenterik.

    Metode Penanganan

    1. Penatalaksanaan Nonbedah 11,12,13

    a. Disolusi

    Terapi disolusi dengan asam kenodeoksikolat (chenodeoxycholic acid, CDCA) pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Mekanisme kerjanya dengan mereduksi sifat lithogenik dan derajat

    saturasi kolesterol dengan asam empedu melalui inhibisi selektif

    terhadap enzim hydroxymethylglutaryl (HMG)-CoA reduktase yang berperan dalam biosintesis kolesterol. Namun, karena

    efektivitasnya yang rendah dan dengan mempertimbangkan efek

    samping yang ditimbulkan, penggunaannya tergantikan oleh asam

    ursodeoksikolat. Penggunaan asam empedu untuk melarutkan batu

    empedu cukup efektif pada pasien simptomatik dengan batu

    kolesterol kecil (kurang dari 5 mm) yang mengambang pada kandung

    empedu yang fungsional. Keadaan ini ditemukan pada 15% pasien

    batu empedu simptomatik. Terapi ini membutuhkan pemberian obat

    selama 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.

    Keefektivan terapi ini mencapai 60% pada batu berukuran kurang

    dari 10 mm dan 90% pada batu empedu berukuran kurang dari 5 mm.

    Tetapi, hampir separuhnya mengalami rekurensi dalam 5 tahun.

    Angka rekurensi lebih rendah pada batu tunggal, individu yang tidak

    gemuk, dan penderita muda. Saat ini, indikasi terapi disolusi dengan

    asam empedu terbatas pada pasien dengan kondisi komorbid yang

    tidak memungkinkan operasi secara aman dan pada pasien yang

    menolak operasi.

  • 23

    b. Disolusi kontak

    Di akhir tahun 1980-an, kelompok peneliti dari klinik Mayo

    memperkenalkan konsep kolesistolitolisis transhepatik secara

    perkutan. Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung

    pelarut kolesterol ke kandung empedu. Dengan anatesi lokal, pigtail

    catheter dimasukkan perkutan melalui parenkim hati ke dalam kandung

    empedu. Hal ini dapat dilakukan dengan tuntunan fluoroskopi atau USG.

    Pelarut poten kolesterol, seperti methyltert-butylether dan monooctanoin, kemudian diinfuskan secara langsung ke dalam kandung empedu. Pada pemberian methyltert-butylether, pembatasan waktu kontak antara instilasi dan aspirasi sangat diperlukan untuk mencegah

    tumpahnya pelarut ini ke dalam duktus biliaris. Bila hal ini terjadi,

    keluhan nyeri perut yang transien dan duodenitis dapat timbul. Angka

    rekuresi tindakan ini mencapai 10% pertahun.

    c. Litotripsi (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy, ESWL) ESWL diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an. Para peneliti

    di Jerman mendapatkan hasil hilangnya batu pada 95% pasien

    simptomatik dengan batu empedu yang tidak mengalami kalsifikasi

    dengan diameter berukuran kurang dari 20 mm pada kandung empedu

    yang fungsional. Keberhasilan mencapai 60% pada batu serupa yang

    berukuran 20-30 mm. Kelompok yang diindikasikan mendapat terapi ini

    mencakup 16% pasien batu empedu yang simptomatik secara

    keseluruhan. Efektivitas ESWL memerlukan terapi adjuvan asam

    ursodeoksikolat. Rekurensi jarang timbul pada pasien dengan batu

    tunggal, namun lebih sering pada batu multipel. Komplikasi ESWL

    umumnya ringan, seperti peningkatan sementara kadar enzim liver, nyei

    bilier sementara (20-40%), pankreatitis ringan (1-2%), hemobilia dan

    hematuria (8-14%). Meski demikian, sampai saat ini FDA belum

    memberikan izin bagi pemakaian ESWL untuk terapi batu empedu di

    Amerika Serikat.

    2. Penatalaksanaan Bedah

    a. Kolesistektomi terbuka 14

    Kolesistektomi terbuka pertama kali diperkenalkan oleh Langenbuch

    (1882) dan lebih dari 100 tahun menjadi terapi pilihan untuk mengobati

    penderita batu empedu yang simptomatik. Pada laparotomi, visualisasi

    langsung dan palpasi kandung empedu, duktus biliaris, duktus sistikus,

    dan pembuluh darah memungkinkan diseksi dan pengangkatan batu

    empedu secara aman dan akurat. Kadang kala kolangiografi

  • 24

    intraoperatif dilakukan sebagai tambahan. Eksplorasi CBD saat operasi

    bervariasi antara 3-21%. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi

    trauma CBD, perdarahan, biloma, dan infeksi. Kolesistektomi terbuka

    masih merupakan tindakan pembanding terhadap metode terapi yang

    lain dan merupakan alternatif terapi bedah yang aman. Data baru-baru

    ini menunjukkan angka mortalitas pada pasien yang menjalani

    kolesistektomi terbuka yang elektif hampir mencapai nol persen. Dari

    42.000 pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989.

    Angka kematian secara keseluruhan 0,17%, pada pasien kurang dari 65

    tahun, angka kematian 0,03% sedangkan pada penderita di atas 65

    tahun, angka kematian mencapai 0,5%.

    Komplikasi pascaoperasi yang sering dijumpai dibagi menjadi

    komplikasi bilier dan nonbilier. Komplikasi tersering adalah sisa batu

    pada CBD, leakage atau fistula bilier, atau trauma traktus bilier.

    Postcholecystectomy syndrome15 adalah keluhan nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang episodik dan tidak berkaitan dengan

    makanan setelah seseorang menjalani kolesistektomi. Nyeri tersebut

    biasanya berupa kolik dan intemiten, namun dapat pula konstan dan

    berlangsung 24-48 jam. Biasanya mengenai seorang perempuan

    setengah baya yang pernah kolesistektomi beberapa bulan atau tahun

    sebelumnya. Jika nyeri mereda, pemeriksaan abdomen dan laboratorium

    biasanya normal. Etiologi pasti timbulnya nyeri tidak jelas. Dugaan yang

    umum adalah adanya peningkatan tekanan di dalam ampula Vateri

    karena obstruksi intermiten dari sfinkter Oddi. Hal ini dapat timbul

    akibat kelainan organik (batu, neoplasma duktus, fibrosis papiler) atau

    kelainan fungsional mekanisme sfinkter akibat diskinesia bilier. Asumsi

    lain yang berkembang adalah adanya cystic stump syndrome, yaitu terbentuknya batu pada sisa duktus sistikus yang panjang, dan cystic duct neuroma, berupa jaringan saraf yang mengalami transeksi dan terperangkap di dalam jaringan fibrosis serta menghasilkan nyeri.

    Adanya nyeri pasca operasi juga perlu dipikirkan penyebab lain.

    Tabel 6. Sumber kelainan bilier yang menyebabkan sindroma post

    kolesistektomi 15

    Batu di CBD

    Sisa kandung empedu

    Striktur karena trauma

    Sisa duktus sistikus

    Pipilitis stenosis

    Diskinesia bilier

  • 25

    Tabel 7. Sumber kelainan non blier yang menyebabkan nyeri post

    kolesistektomi 15

    Irritable bowel syndrome

    Peptic ulcer

    Reflux esophagitis

    Nonbiliary pancreatitits liver disease coronary artery disease

    Intraabdominal adhesions

    Intercostals neuritis

    Wound neuroma

    b. Kolesistektomi minilaparotomi

    Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi yang

    lebih kecil dengan efek nyeri pascaoperasi yang lebih rendah.

    c. Kolesistektomi laparoskopi

    Dikembangkan sejak tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi

    sekarang menjadi terapi pilihan untuk penderita batu empedu yang

    simptomatik. Di seluruh dunia, 75% tindakan kolesistektomi dilakukan

    dengan laparoskopi. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pascaoperasi

    yang lebih minimal, pemulihan yang lebih cepat, hasil kosmetik yang

    lebih baik, menyingkatkan masa perawatan di rumah sakit, dan biaya

    yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.

    Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka, yaitu tidak

    dapat mentoleransi tindakan anastesi umum dan koagulopati yang tidak

    dapat dikoreksi. Tindakan ini mempunyai angka morbiditas dan

    mortalitas yang minimal. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan,

    pankreatitis, leakage dari stump duktus sistikus, dan trauma duktus biliaris. Risiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun

    umumnya berkisar antara 0,5-1%.

    Kolesistitis akut awalnya menjadi kontraindikasi relatif untuk

    menjalani kolesistektomi laparoskopi. Namun ternyata, bila dilakukan

    sesuai dengan prosedur, tindakan laparoskopi dapat dilakukan dengan

    aman. Pada kondisi klinis kolesistitis akut ini, operator harus memahami

    kesulitan teknik yang mungkin timbul, lama operasi yang lebih panjang,

    serta besarnya kemungkinan konversi tindakan menjadi kolesistektomi

    terbuka (25%).

    Tabel 8. Kesimpulan tentang batu empedu dan kolesistektomi laparoskopi:

    dari National Institutes of Health Concensus Conference, 14 16

    September 1992.4

    Kolesistektomi terbuka tiggal standar

  • 26

    Terapi asam empedu oral, dengan atau tanpa electrohydraulic shock-wave

    lithotripsy, kurang efektif

    Disolusi kontak mempunyai keterbatasan klinik

    Kolesistektomi lapararoskopi aman dan efektif

    Diusahakan kolesistektomi laparoskopi untuk kemanan maksimal dan biaya

    yang efektif __________________________________________________________________

    __

    d. Kolesistostomi

    Drainase kandung empedu, dikombinasikan dengan pengambilan batu,

    dapat dilakukan secara perkutan atau melalui operasi dengan anatesi

    lokal. Indikasinya terbatas pada pasien dengan risiko operasi yang

    buruk dan pasien batu empedu obstruksi dengan keadaan umum yang

    jelek. Kadang-kadang, kolesistostomi merupakan pilihan jika

    kolesistektomi terbuka tidak aman untuk dilakukan. Angka kematian

    mencapai 10-12%, biasanya berkaitan dengan penyakit penyerta.

    e. Kolangiografi intraoperatif

    Kemajuan bedah laparoskopi menjadikan tindakan kolangiografi

    intraoperatif menjadi perdebatan. Tindakan kolangiografi intraoperatif

    pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka dilakukan secara

    selektif, yaitu pada pasien dengan koledokolitiasis yang teraba,

    distensi CBD dan adanya batu empedu yang multipel. Namun demikian,

    belum ada kesepakatan pemakaiannya pada tindakan secara laparoskopi.

    Peran kolangiografi, bagaimanapun, cukup membantu dalam mendeteksi

    batu di CBD dan mengkonfirmasi adanya kelainan anatomis pada duktus.

    f. Kholedoskopi intraoperatif pada eksplorasi terbuka CBD

    Pada kebanyakan laporan operasi dikatakan batu empedu yang

    tertinggal saat eksplorasi CBD berkisar 10 %, akan tetapi dengan

    kolangiografi intraoperatif dapat menurunkan insidensi. Banyak yang

    menganjurkan penggunaan koledoskopi untuk menurunkan insidensi

    batu empedu yang tertingal.

    3. Operasi untuk batu CBD

    Sekitar 12% pasien kolelitiasis simptomatik yang menjalani operasi

    juga disertai adanya koledokolitiasis. Indikasi adanya kolelitiasis 90%

    ditunjukkan dengan adanya riwayat ikterus, kolangitis, pankreatitis,

    dan tes fungsi hepar yang abnormal.

    Terapi yang optimal meliputi pengangkatan batu pada CBD dan

    kandung empedu. Hal ini dapat dikerjakan dengan dua tahap, yaitu ERCP

  • 27

    yang dikuti dengan kolesistektomi laparoskopi atau melalui satu tahap

    yaitu kolesistektomi dan eksplorasi CBD secara laparoskopi ataupun

    dengan operasi terbuka. Angka morbiditas dan mortalitas bedah

    terbuka lebih tinggi dari tindakan laparoskopi. Berdasarkan penelitian

    terakhir efektifitas tindakan eksplorasi CBD secara laparoskopi tidak

    berbeda bermakna dengan ERCP dalam mengangkat batu CBD. Pilihan di

    antara keduanya tergantung pada kemampuan sarana dan keahlian.

    Pada pasien yang tua dan lemah, ERCP dan sfinkterotomi serta

    ekstraksi batu tanpa kolesistektomi dapat dipertimbangkan, mengingat

    timbulnya gejala lebih lanjut hanya terjadi pada 10% kasus.

    Jika dicurigai adanya batu CBD pada pasien yang sudah menjalani

    kolesistektomi, ERCP dapat digunakan untuk mendiagnosis dan

    mengekstraksi batu. Pengangkatan batu menggunakan dormia basket

    atau balon. Untuk batu yang multipel, pigtail stent diinsersi untuk

    drainase empedu; hal ini akan memungkinkan keluarnya batu. Batu yang

    besar atau keras dihancurkan dengan litotriptor mekanik. Jika ERCP

    tidak memungkinkan, batu diangkat secara bedah.

    Algoritma penanganan pasien dengan kolelitiasis dapat dilihat di bawah

    ini:8

  • 28

    Daftar pustaka 1. Saunders KD, Cates JA, Roslyn JJ. Pathogenesis of gallstones. In: The

    Surgical Clinics of North America, Biliary Tract Surgery. Pitt HA (e d). WB

    Saunders Co, Philadelphia, Vol .70, No. 6, 1990: 1197-1216

    2. Meyers WC, Jones RS. Gallstones. In: Textbook of Liver and Biliary Surgery.

    JB Lippincott Co, Philadelphia, 1990: 228

    3. Harris HW. Biliary system. In: Surgery, Basic Science and Clinical Evidence.

    Norton JA et al. (e d). Spinger, New York, 2000: 553-84

  • 29

    4. Roslyn, Joel J; Kahng Kim U; Calculous Gallbladder Diseases; in Digestive

    Tract Surgery: A Text and Atlas, edited by Bell, Ricard H; Rikkers, Layton F;

    and Mulholland, Michel W; Lippincott Raven Publishers; Philadelphia; 1996;

    383 - 402

    5. Schwartz, Seymour I; Gallbladder and Extrahepatic Biliary System; in

    Principles of Surgery; seventh ed; McGraw Hill Intl; Singapore; 1999; 1437 -

    1465

    6. Meshikhes, A>W; Asymptomatic gallstones in the laparoscopic era, Dep Of

    surgery, Damman Central Hospital, Damman, Saudi Arabia,; in J.R.

    Coll.Surg.Edinburg, December 2002, 742 748

    7. Turney, Sean; Pitt, Henry A; Choledocolithiasis and Cholangitis; in Digestive

    Trqct Surgery: A Text and Atlas, edited by Bell, Ricard H; Rikkers, Layton F;

    and Muholland, Michel W; Lippincott Raven Publishers; Philadelphia; 1996;

    8. Nathanson Leslie K; Gallstones. In: Hepatobiliary and Pancreatic Surgery.

    Garden OJ (2nd e d). WB Saunders Co, London, 2001; 213 - 237

    9. Beckingham IJ. Gallstone disease, clinical review. In: BMJ, Vol. 322, 2001:91-

    4

    10. Binmoeller, Kenneth F; Thonke, Frank; Soehendra, Nib; Endoscopic treatment

    of Mirizzis syndrome. In: Gastrointestinal Endoscopy, Vol. 39, No. 4, 1993:

    532 - 536

    11. Gallstones and laparoscopic cholecystectomy, National Institute of Health

    Concensus Development Conference Statement, 19 (3), 1992: 1-20

    12. Sali A. Gallstones-aetiology and dissolusion. In: Maingots Abdominal

    Operations, 9th e d. Schwartz SI, Ellis H (e d). Appleton & Lange, Norwalk,

    1990: 1381-1404

    13. Giurgiu DIN, Roslyn JJ. Calculous Biliary Diseases, In: Nyhus Greenfield

    Mastery of Surgery; 3rd e d; CR-Room. WB Saunders Co,chapter 41

    14. Munson JW, Sanders LE. Cholecystctomy revisited. In: The Surgical Clinics

    of North America, Vol. 74, No. 4, 1994: 741-54

    15. Moody,Frank G; Kwong, Karen; PostChloecystectomy syndrome; in the

    Practise of General surgery; Bland Kirby I;1st ed; W B Sauders; Philadelphia;

    2002; 653 - 658

  • 30