referat kelainan refraksi doc

71
1

Upload: dewi-lasimpara

Post on 30-Jan-2016

249 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mee

TRANSCRIPT

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................4

BAB 3 PENUTUP......................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................47

2

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit mata sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia,

terutama yang menyebabkan kebutaan. Kelainan refraksi (0,14%) merupakan

penyebab utama kebutaan ketiga setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%).

Dari 153 juta orang di dunia yang mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang

diantaranya mengalami kebutaan.

Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina,

dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga

menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi

dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus.

Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan

lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.

Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi

dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah

serius jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib dilakukan

pemeriksaan visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum. Pemeriksaan

visus merupakan pengukuran obyek terkecil yang dapat diidentifikasi terhadap

seseorang dalam jarak yang ditetapkan dari mata. Pemeriksaan visus jarak jauh juga

harus dilakukan terhadap semua anak-anak sesegera mungkin setelah usia 3 tahun,

karena penting untuk deteksi dini terhadap ambylopia.

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Pemahaman tentang anatomi mata diperlukan untuk mengetahui berbagai

proses yang terjadi dalam mata. Pada penglihatan terdapat proses yang cukup rumit

oleh jaringan yang dilalui seperti membelokkan sinar, memfokuskan sinar dan

meneruskan rangsangan sinar yang membentuk bayangan yang dapat dilihat.

Berikut adalah bagian mata yang memegang peranan pembiasan sinar pada

mata:

a. Kornea

Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan

difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dan sifatnya yang

transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang masuk

80% atau dengan kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh kornea ini.

Indeks bias kornea adalah 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai kekuatan yang

berkuatan sebagai lensa hingga 40,0 dioptri.

b. Iris

Iris atau selaput pelangi merupakan bagian yang berwarna pada mata. Iris

menghalangi sinar masuk ke dalam mata dengan cara mengatur jumlah sinar

masuk ke dalam pupil melalui besarnya pupil.

4

c. Pupil

Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar masuk

ke dalam bola mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil diserap sempurna

oleh jaringan dalam mata. Tidak ada sinar yang keluar melalui pupil sehingga

pupil akan berwarna hitam. Ukuran pupil dapat mengatur refleks mengecil atau

membesarkan untuk jumlah masuknya sinar. Pengaturan jumlah sinar masuk ke

dalam pupil diatur secara refleks. Pada penerangan yang cerah pupil akan

mengecil untuk mengurangi rasa silau. Pada tepi pupil terdapat m.sfingter pupil

yang bila berkontraksi akan mengakibatkan mengecilnya pupil (miosis). Hal ini

terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau dan pada saat berakomodasi. Selain

itu, secara radier terdapat m.dilator pupil yang bila berkontraksi akan

mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis). Midirasis terjadi ketika berada di

tempat gelap atau pada waktu melihat jauh.

d. Badan siliar

Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan untuk

akomodasi dan menghasilkan cairan mata. Di dalam badan siliar didapatkan otot

akomodasi dan mengatur besar ruang intertrabekula melalui insersi otot pada

skleral spur.

e. Lensa

Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbenruk lensa di dalam

mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris Yng

terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang menebal dan

5

menipis pada saat terjadinya akomodasi. Lensa yang jernih ini mengambil

peranan membiaskan sinar 20% atau 10 dioptri. Peranan lensa yang terbesar

adalah pada saat melihat dekat atau berakomodasi.

f. Retina

Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang

menerima rangsangan cahaya dan terletak di belakang pupil. Retina akan

meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai

rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal.

g. Saraf optik

Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis serabut

saraf, yaitu: saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Saraf penglihat meneruskan

rangsangan listrik dari mata ke korteks visual untuk dikenali bayangannya.

6

Gambar 2.1

Anatomi Dasar Mata

2.2 Fisiologi Mata

Mata secara optik dapat disamakan dengan sebuah kamera fotografi. Mata

mempunyai sistem lensa, sistem apertura yang dapat berubah-ubah (pupil), dan retina

yang dapat disamakan dengan film. Sistem lensa mata terdiri atas empat perbatasan

refraksi, yaitu: perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara; perbatasan

antara permukaan posterior kornea dan humor aquosus; perbatasan antara humor

aquosus dan permukaan anterior lensa mata; dan perbatasan antara permukaan

posterior lensa dan humor vitreous. Indeks internal udara adalah 1; kornea 1,38;

humor aquosus 1,33; lensa kristalina (rata-rata) 1,40; dan humor vitreous 1,34.

Pembelokan sebuah berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika suatu berkas

cahaya berpindah dari satu medium dengan tingkat kepadatan tertentu ke medium

dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Dikenal beberapa titik di dalam bidang

refraksi, seperti Pungtum Proksimum merupakan titik terdekat dimana seseorang

masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana

seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang

yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia,

pungtum remotum terletak di depan mata.

7

Derajat refraksi ditentukan oleh dua faktor, yaitu: rasio indeks bias dari kedua

media transparan dan derajat kemiringan antara bidang peralihan dan permukaan

gelombang yang datang. Pada permukaan yang melengkung seperti lensa, semakin

besar kelengkungan, semakin besar derajat pembiasan dan semakin kuat lensa. Suatu

lensa dengan permukaan konveks (cembung) menyebabkan konvergensi atau

penyatuan berkas–berkas cahaya, yaitu persyaratan untuk membawa suatu bayangan

ke titik fokus. Dengan demikian, permukaan refraktif mata bersifat konveks. Lensa

dengan permukaan konkaf (cekung) menyebabkan divergensi (penyebaran) berkas–

berkas cahaya.

Cahaya merambat melalui udara kira-kira dengan kecepatan 300.000

km/detik, tetapi perambatannya melalui benda padat dan cairan yang transparan jauh

lebih lambat. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke sebuah medium yang lebih tinggi

densitasnya, cahaya tersebut melambat (begitu pula sebaliknya). Berkas cahaya

mengubah arah perjalanannya ketika melalui permukaan medium baru pada setiap

sudut kecuali sudut tegak lurus.

Proses melihat bermula dari masuknya seberkas cahaya dari benda yang

diamati ke dalam mata melaui lensa yang kemudian dibiaskan pada retina (makula).

Terjadi perubahan proses sensasi cahaya menjadi impuls listrik yang diteruskan ke

otak melalui saraf optik untuk kemudian diinterpretasikan. Kemampuan seseorang

untuk melihat tajam (fokus) atau disebut juga tajam penglihatan (acies visus)

tergantung dari media refraktif di dalam bola mata.

8

Sistem lensa mata membentuk bayangan di retina. Bayangan yang terbentuk

di retina terbalik dari benda aslinya. Namun demikian, persepsi otak terhadap benda

tetap dalam keadaan tegak, tidak terbalik seperti bayangan yang terjadi di retina,

karena otak sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan

normal.

Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama,

pembiasan sinar/ cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui perantaraan yang

berbeda kepadatannya dengan kepadatan udara, yaitu kornea, humor aquosus, lensa,

dan humor vitreous. Kedua, akomodasi lensa, yaitu proses lensa menjadi cembung

atau cekung, tergantung pada objek yang dilihat itu dekat atau jauh. Ketiga, konstriksi

pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat di retina sehingga

penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila cahaya yang terlalu terang

memasukinya atau melewatinya. Hal ini penting untuk melindungi mata dari paparan

cahaya yang tiba-tiba atau terlalu terang. Keempat, pemfokusan, yaitu pergerakan

kedua bola mata sedemikian rupa sehingga kedua bola mata terfokus ke arah objek

yang sedang dilihat.

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran

depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya

pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan

membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau melihat benda yang

dekat. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung)

9

atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar

normal tidak dapat terfokus pada makula.

Kemampuan akomodasi lensa membuat cahaya tidak berhingga akan terfokus

pada retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka benda pada jarak yang

berbeda-beda akan terfokus pada retina atau makula lutea. Akibat akomodasi, daya

pembiasan bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan

kebutuhan, semakin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi

(mencembung). Akomodasi terjadi akibat kotraksi otot siliar. Kekuatan akomodasi

diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan meningkat bila mata melihat

kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.

Pada saat seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi trias

akomodasi yaitu: (i) kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii

mengendor, lensa dapat mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan

ke retina; (ii) konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan

mata tertuju pada benda itu, (iii) konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis,

supaya cahaya yang masuk tak berlebih, dan terlihat dengan jelas.

2.3 Kelainan Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang

terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada

orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata

10

demikian seimbang sehingga bayangan benda selalu melalui media penglihatan

dibiaskan tepat di daerah makula lutea.

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada

mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di

depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus.

Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sihingga

menghasilkan bayangan yang kabur. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,

hipermetropia, astigmat, dan presbiopia.

Kelainan refraksi ditandai dengan mengedip yang kurang dibanding mata

normal. Normalnya, seseorang akan mengedip 4-6 kali dalam 1 menit, jika kurang

mengedip maka mata akan melotot atau mulai juling. Seseorang dengan kelainan

refraksi sebaiknya sering mengedip agar tidak timbul penyulit lain. Penderita dengan

kelainan refraksi akan memberikan keluhan sebagai berikut: sakit kepala terutama di

daerah tengkuk atau dahi; mata berair; cepat mengantuk; mata terasa pedas; pegal

pada bola mata; dan penglihatan kabur. Untuk mencegah terjadinya penyulit

diusahakan memberikan istirahat pada mata dan mencegah pupil berkontraksi. Tajam

penglihatan penderita kelainan refraksi kurang dari normal.

11

Gambar 2.2

Pembiasaan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi

2.3.1 Miopia

2.3.1.1 Definisi

Miopia merupakan kesalahan refraksi dengan berkas sinar memasuki mata

yang sejajar dengan sumbu optik dibawa ke fokus di depan retina, sebagai akibat bola

mata yang terlalu panjang atau peningkatan kekuatan daya refraksi media mata.

2.3.1.2 Prevalensi

Prevalensi miopia di dunia masih tinggi. Di Amerika Serikat, berdasarkan

data yang dikumpulkan oleh National Health and Nutrition Examination Survey

pada tahun 1999-2004, dari 7.401 orang berumur 12-54 tahun didapatkan prevalensi

miopia sebanyak 41,6%.

12

Asia merupakan daerah yang memiliki prevalensi miopia yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan Amerika. Hasil survei yang dilakukan di Taiwan pada

tahun 2000 mendapatkan prevalensi miopia pada siswa sekolah menengah ke atas

sebesar 84%. Di Singapura, kira-kira lebih dari 80% populasi dewasa menderita

miopia. Terdapat insidens miopia yang tinggi pada tenaga profesional dan murid

sekolah, biasanya termasuk dalam miopia rendah yang disebabkan oleh faktor

lingkungan, misalnya membaca terlalu lama dan pekerjaan dengan penglihatan jarak

dekat.

Di Indonesia, angka kejadian miopia juga tinggi. Di Lamongan diketahui

bahwa miopia merupakan penyebab terbanyak kelainan refraksi tidak terkoreksi

sebesar 50% dan sebagian besar dengan tajam penglihatan lebih dari 6/18 pada usia

6-60 tahun.

Prevalensi miopia menunjukkan penurunan dengan meningkatnya usia (44-50

tahun). Pola ini menunjukkan peningkatan prevalensi pada generasi yang lebih muda

mungkin oleh karena peningkatan paparan penglihatan dekat atau penurunan

prevalensi miopia memang berhubungan dengan bertambahnya usia.

2.3.1.3 Etiologi

Miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di dalam mata untuk

panjangnya bola mata yang diakibatkan oleh: kornea terlalu cembung; lensa

mempunyai kecembungan yang kuat sehingga bayangan dibiaskan kuat; dan bola

mata terlalu panjang.

13

Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau

kekuatan pembiasan media refraktif terlalu kuat. Oleh karena itu dikenal beberapa

bentuk miopia seperti:

a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada

katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan

lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia yang tejadi

akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat

b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan

kornea dan lensa yang normal.

Selain itu ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi seseorang untuk

cenderung mengalami miopia. Terdapat pendapat bahwa miopia berhubungan erat

dengan faktor herediter atau keturunan dan faktor lingkungan.

Beberapa peneliti berpendapat gen hanya menentukan kepekaan terhadap

miopia. Sedangkan pengaruh lingkungan merupakan faktor pencetus, misalnya

beberapa pekerjaan dengan penglihatan jarak dekat misalnya membaca. Beberapa

peneliti juga mengatakan kejadian miopia meningkat dengan banyaknya waktu yang

digunakan untuk kegiatan tersebut daripada bermain di luar rumah.

Teori mengenai adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi miopia juga

didukung melalui penelitian yang dilakukan di Australia. Pada penelitian tersebut

dibandingkan gaya hidup 124 anak dari etnis Cina yang tinggal di Sydney, dengan

682 anak dari etnis yang sama di Singapura. Didapatkan prevalensi miopia di

14

Singapura sebanyak 29% dan hanya 3,3% di Sydney. Padahal anak-anak di Sydney

membaca lebih banyak buku tiap minggu dan melakukan aktivitas dalam jarak dekat

lebih lama daripada anak di Singapura. Tetapi anak-anak di Sydney juga

menghabiskan waktu di luar rumah lebih lama (13,75 jam per minggu) dibandingkan

dengan anak-anak di Singapura (3,05 jam). Hal ini merupakan faktor yang signifikan

berhubungan dengan miopia antara kedua grup.

2.3.1.4 Patofisiologi

Pada saat baru lahir, sebagian besar bayi mengalami hiperopia ringan. Namun

saat pertumbuhan, hiperopia tersebut secara perlahan berkurang. Kelengkungan

kornea jauh lebih curam (radius 6,59 mm) saat lahir dan mendatar sampai mendekati

kelengkungan dewasa (radius 7,71 mm) pada usia sekitar 1 tahun. Lensa jauh lebih

sferis pada saat lahir dan mencapai bentuk dewasa pada usia sekitar 6 tahun. Panjang

sumbu saat lahir pendek (17,3 mm), memanjang dengan cepat dalam 2 sampai 3

tahun pertama (menjadi 24,1 mm), kemudian tak terlalu cepat (0,4 mm per tahun)

sampai usia 6 tahun, lalu dengan lambat (total sekitar 1 mm) sampai stabil pada usia

sekitar 10-15 tahun. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi.

Pada anak dengan predisposisi, hal ini akan berlanjut menjadi miopia derajat rendah

pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan pada faktor miopogenik seperti kerja

jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak terfokus

pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang menyebabkan

elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late adolescence.

Terdapat beberapa pendapat tentang patofisiologi miopia, meliputi:

15

a. Menurut tahanan sklera

i. Mesadermal

Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat

mengakibatkan elongasi sumbu mata. Dimana pembuangan sebagian masenkim

sklera dari perkembangan maya menyebabkan ektasia daerah ini, karena

perubahan tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal sklera posterior

merupakan jaringan terakhir yang berkembang. Keterlambatan pertumbuhan

strategis ini menyebabkan kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal

terdiri dari pita luas padat dari bundle serat kolagen, hal ini terintegrasi baik,

terjalin bebas, ukuran bervariasi tergantung pada lokasinya. Bundel serat

terkecil terlihat menuju sklera bagian dalam dan pada zona ora equatorial.

Bidang sklera anterior merupakan area crosectional yang kurang dapat

diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada test bidang-bidang ini ditekan

sampai 7,5 g/mm2.

Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada batas terendah dari stress

ekstensi pada sklera posterior ditemukan 4 x dari pada bidang anterior dan

equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kira-kira 2 x lebih diperluas.

Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan dengan

hilangnya luasnya bundel serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior.

Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit pasien dengan Ehlers-

Danlos yang merupakan penyakit kalogen sistematik yang berhubungan dengan

miopia.

16

ii. Ektodermal – Mesodermal

Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil

ketidakharmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina

yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid

maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt

pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya

dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah

pengaruh epitel pigmen retina. Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel

pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera subnormal. Hal

ini yang mungkin menimbulkan efek ektodermal – mesodermal umum pada

segmen posterior terutama zona oraequatorial atau satu yang terlokalisir pada

daerah tertentu dari pole posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia

patologi tipe stafiloma posterior.

b. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas:

i. Tekanan intraokular basal

Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal

terlihat pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan

besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata.

ii. Susunan peningkatan tekanan

Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon

terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada

17

stres. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan

intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke

lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60

mmHg. Juga pada penutupan paksa kelopak mata meningkat sampai 70 mmHg

-110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan jelek yang sangat

sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan tekanan intraocular.

2.3.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi miopia dibagi menurut derajat dan perjalanan penyakitnya.

Berdasarkan derajat beratnya, miopia dibagi dalam:

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri

b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri

c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri

Sedangkan menurut perjalanan penyakitnya, miopia dikenal dalam bentuk:

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat

bertambah panjangnya bola mata

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan

ablasi retina dan kebutaan. Miopia ini dapat juga disebut miopia pernisiosa atau

miopia maligna atau miopia degeneratif. Disebut miopia degeneratif atau miopia

maligna, bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan fundus okuli dan pada

panjangnya bola mata sampai membentuk stafiloma postikum yang terletak pada

18

bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan

kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur

membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya

neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa

biperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan

dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.

2.3.1.6 Manifetasi klinik

Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan melihat

kabur apabila pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh sakit kepala, sering

disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Selain itu, penderita miopia

mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau

untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum

remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan konvergensi. Hal ini yang

menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap,

maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esotropia.

2.3.1.7 Tata laksana

Penatalaksanaan miopia masih merupakan kontra diantara dokter mata.

Sejauh ini yang dilakukan adalah mencoba mencari bagaimana mencegah kelainan

refraksi pada anak atau mencegah jangan sampai menjadi parah.

a. Kacamata

Koreksi miopia dengan kacamata dapat dilakukan dengan menggunakan lensa

konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya yang melewati suatu lensa cekung

19

akan menyebar. Bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi

atau bila bola mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat dinetralisir

dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata. Lensa cekung yang akan

mendivergensikan berkas cahaya sebelum masuk ke mata, dengan demikian fokus

bayangan dapat dimundurkan ke arah retina.

Gambar: 2.3

Koreksi Miopia dengan lensa Konkaf

b. Lensa kontak

Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa kontak keras

yang terbuat dari bahan plastik polymethacrylate (PMMA) dan lensa kontak lunak

terbuat dari bermacam-macam plastik hydrogen hydroxymethylmethacrylate

(HEMA). Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi

astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati

gangguan permukaan kornea.

Salah satu indikasi penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi miopia

tinggi, dimana lensa ini menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari kacamata.

Namun komplikasi dari penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi kornea,

20

pembentukan pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan kornea. Oleh

karena itu, harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa kontak.

Gambar 2.4

Koreksi dengan lensa kontak

c. Bedah Refraksi

Ketidaknyamanan memakai kacamata bagi banyak pemakai dan komplikasi

yang berkaitan dengan lensa kontak mendorong pencarian solusi bedah bagi masalah

gangguan refraksi.

Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:

i. Radial keratotomy (RK), dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi

di parasentral. Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata.

Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan

kedalaman dari insisi.  Meskipun pengalaman beberapa orang menjalani radial

keratotomy menunjukan penurunan miopia, sebagian besar pasien sepertinya

menyukai dengan hasilnya. Dimana dapat menurunkan pengguanaan lensa

kontak.  Komplikasi yang dilaporkan pada bedah radial keratotomy seperti variasi

21

diurnal dari refraksi dan ketajaman penglihatan, silau, penglihatan ganda pada

satu mata, kadang-kadang penurunan permanen dalam koreksi tajam penglihatan

dari yang terbaik, meningkatnya astigmatisma, astigmatisma irregular,

anisometropia, dan perubahan secara pelan-pelan menjadi hiperopia yang

berlanjut pada beberapa bulan atau tahun, setelah tindakan pembedahan.

Perubahan menjadi hiperopia dapat muncul lebih awal dari pada gejala

presbiopia. Radial keratotomy mungkin juga menekan struktur dari bola mata.

ii. Laser photorefractive keratektomy (PK) adalah prosedur dimana

kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada pusat kornea. Dari kumpulan

hasil penelitian menunjukan 48-92% pasien mencapai visus 6/6 (20/20) setelah

dilakukan photorefractive keratectomy. 1-1.5 dari koreksi tajam penglihatan yang

terbaik didapatkan hasil kurang dari 0.4-2.9 % dari pasien.

d. Lensa Intraokular

Penanaman lensa intraokular telah menjadi metode pilihan untuk koreksi

kelainan refraksi pada afakia. Tersedia sejumlah rancangan, termasuk lensa lipat,

yang terbuat dari plastik hidrogel, yang dapat disisipkan kedalam mata melaui suatu

insisi kecil dan lensa kaku yang paling sering terdiri atas suatu optik terbuat dari

polimetil metakrilat dan lengkungan (haptik) terbuat dari bahan yang sama atau

polipropilen. Posisi paling aman bagi lensa intraokuler adalah didalam kantung

kapsul yang utuh setelah pembedahan ekstrakapsular.

Daya lensa intraocular biasanya ditentukan dengan metode regresi empiris

yang menganalisis pengalaman penggunaan salah satu tipe lensa pada banyak pasien.

22

Dari metode ini diturunkan suatu rumus matematis yang didasarkan pada suatu

konstanta untuk lensa tertentu.

Turunnya adalah rumus SRK II. Namun rumus regresi sekarang jarang

digunakan. Rumus teoritik yang menggunakan konstanta lensa, pembacaan

keratometer dan panjang sumbu , bersama dengan perkiraan kedalaman bilik mata

depan setelah pembedahan meliputi rumus SRK/T,Holladay, dan Hoffer Q dan tak

ada satu pun rumus yang dapat memperkirakan kekuatan lensa setiap pasien.

e. Ekstraksi lensa jernih untuk miopia

Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia

sedang sampai tinggi. Hasil tindakan ini tidak kalah memuaskan dengan yang dicapai

oleh bedah keratorefraktif menggunakan laser. Namun, perlu dipikirkan komplikasi

operasi dan pascaoperasi bedah intraokuler, khususnya pada miopia tinggi.

2.3.1.7 Pencegahan

Sejauh ini, hal yang dilakukan adalah mencegah kelainan atau mencegah

jangan sampai menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan

seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk membantu penglihatan, operasi,

penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata.

Pencegahan lainnya adalah dengan melakukan visual hygiene berikut ini:

a. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk, meliputi: membiasakan duduk dengan

posisi tegak sejak kecil; memegang alat tulis dengan benar; lakukan istirahat tiap

30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau melihat TV; batasi jam

23

membaca; aturlah jarak baca yang tepat (30 sentimeter) dan gunakanlah

penerangan yang cukup; serta tidak membaca dengan posisi tidur atau tengkurap.

b. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk berlatih melihat jauh atau

melihat jauh dan dekat secar bergantian dapat mencegah miopia

c. Kenali jika ada kelainan pada mata dan perbaiki sejak awal, jangan menunggu

sampai ada gangguan pada mata

d. Anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi

dengan dokter spesialis mata anak agar tidak terjadi juling

e. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil tetap

perlu memperhatikan nutrisi termasuk vitamin A

f. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai kaca

mata. Oleh karena itu pahami perkembangan kemampuan melihat bayi

g. Kenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, kemudian segeralah

melakukan pemeriksaan.

h. Sebaiknya dilakukan skrining pada anak-anak di sekolah.

2.3.1.8 Komplikasi

a. Ablasio retina

Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D – (- 4,75)D sekitar 1/6662.

Sedangkan pada (- 5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-

10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada

miopia rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.

b. Vitreal Liquefaction dan Detachment

24

Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan

2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan,

namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan

dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat

bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan

vitreus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan

beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus

detachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat

memanjangnya bola mata.

c. Miopic makulopaty

Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah

kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapang pandang

berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan

kurangnya lapangan pandang. Miopia vaskular koroid/degenerasi makular miopik

juga merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal, dan ini disebabkan

oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah sentral retina.

d. Glaukoma

Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia

sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi

dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat

penyambung pada trabekula.

25

e. Skotoma

Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi retina

maka akan timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula terkena dan daerah

penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi dan

mencair berkumpul di muscae volicantes sehingga menimbulkan bayangan lebar

diretina sangat menggangu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan tersebut

cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak pernah

menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya tidak ada

fungsi penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio

retina.

2.3.2 Hipermetropia

2.3.2.1 Definisi

Hipermetropia adalah anomali refraksi yang mana tanpa akomodasi, sinar

sejajar akan terfokus di belakang retina. Sinar divergen dari objek dekat, akan

difokuskan lebih jauh di belakang retina.

Gambar 2.5

Refraksi pada mata hipermetropia

26

2.3.2.2 Epidemiologi

Hipermetropia merupakan anomali perkembangan dan secara praktis semua

mata adalah hipermetropia pada saat lahir. 80% hingga 90% mata didapati

hipermetropia pada 5 tahun pertama kehidupan. Pada usia 16 tahun, sekitar 48% mata

didapati tetap hipermetropia. Pada masa remaja, derajat hipermetropia akan

berkurang karena panjang axial mata bertambah sehingga periode pertumbuhan

berhenti. Pada masa itu, hipermetropia yang menetap akan menjadi relatif konstan

sehingga munculnya presbiopia.

Pada studi yang dilakukan di Amerika, 1 dari 8 anak (12,8%) antara usia 5

hingga 17 tahun hiperopia, studi yang dilakukan di Polandia mendapati 1 dari 5 anak

(21%) antara usia 6 hingga 18 tahun hipermetropia, studi di Australi mendapati 4 dari

10 anak (38,4%) antara usia 4 hingga 12 tahun hipermetropia, studi di Brazil

mendapati 7 dari 10 anak (71%) dalam satu kota hipermetropia.

2.3.2.3 Etiologi

1. Panjang axial (diameter bola mata) mata hipermetropia lebih kurang dari

panjang axial mata normal.

2. Berkurangnya konveksitas dari kornea atau kurvatura lensa

3. Berkurangnya indeks refraktif

4. Perubahan posisi lensa

2.3.2.4 Klasifikasi

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya

hipermetropia, dan status akomodasi mata.

27

Berdasarkan gejala klinis, hipermetropia dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Hipermetropiasimpleks yang disebabkan oleh variasi biologi normal,

etiologinya bisa axial atau refraktif

2. Hipermetropia patologik disebabkan oleh anatomi okular yang abnormal

karena maldevelopment, penyakit okular, atau trauma

3. Hipermetropia fungsional disebabkan oleh paralisis dari proses akomodasi

Berdasarkan derajat beratnya, hipermetropia juga dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Hipermetropia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang

2. Hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D

3. Hipermetropia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi

Berdasarkan status akomodasi mata, hipermetropia dibagi menjadi empat yaitu:

1. Hipermetropia Laten

a. Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hipermetropia yang

dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata

b. Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia

c. Lebih muda seseorang yang hipermetropia, lebih laten hiperopia yang

dimilikinya

2. Hipermetropia Manifes

a. Hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa

menggunakan sikloplegia

b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif yang

digunakan dalam pemeriksaan subjektif

28

3. Hipermetropia Fakultatif

a. Hipermetropia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan lensa

positif, tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien tanpa

menggunakan lensa

b. Semua hipermetropia laten adalah hipermetropia fakultatif

c. Akan tetapi, pasien dengan hipermetropia laten akan menolak pemakaian

lensa positif karena akan mengaburkan penglihatannya.

d. Pasien dengan hipermetropia fakultatif bisa melihat dengan jelas tanpa

lensa positif tapi juga bisa melihat dengan jelas dengan menggunakan

lensa positif

4. Hipermetropia Absolut

- Tidak bisa dikoreksi dengan proses akomodasi

- Penglihatan subnormal

- Penglihatan jarak jauh juga bisa menjadi kabur terutama pada usia lanjut

Hipermetropia Total bisa dideteksi setelah proses akomodasi diparalisis

dengan agen sikloplegia.

Hipermetropia

Hipermetropia Laten

29

Hipermetropia Manifes

Gambar 2.6Klasifikasi hipermetropia berdasarkan status akomodasi mata

2.3.2.5 Gejala-gejala dan Tanda-tanda Hipermetropia

1. Penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur

2. Asthenopia akomodatif (sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan mata)

3. Strabismus pada anak-anak yang mengalami hipermetropia berat

4. Gejala biasanya berhubungan dengan penggunaan mata untuk penglihatan

dekat (cth : membaca, menulis, melukis), dan biasanya hilang jika kerjaan itu

dihindari.

5. Mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara kronis

6. Mata terasa berat bila ingin mulai membaca, dan biasanya tertidur beberapa

saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah.

7. Bisa terjadi ambliopia

2.3.2.6 Diagnosis Hipermetropia

1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda hipermetropia

2. Pemeriksaan Oftalmologi

a. Visus – tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan

Snellen Chart

30

b. Refraksi – retinoskopi merupakan alat yang paling banyak digunakan

untuk pengukuran objektif hipermetropia. Prosedurnya termasuk statik

retinoskopi, refraksi subjektif, dan autorefraksi

c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk

pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes Hirschberg,

amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis

d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk

mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan hipermetropia.

Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi,

penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh

tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan

adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect

diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior

2.3.2.7 Penatalaksanaan Hipermetropia

1. Sejak usia 5 atau 6 tahun, koreksi tidak dilakukan terutama tidak munculnya

gejala-gejala dan penglihatan normal pada setiap mata.

2. Dari usia 6 atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut hingga waktu presbiopia,

hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa memakai kaca

mata atau lensa kontak.

31

Gambar 2.7

Koreksi pada mata hipermetropi

3. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki hipermetropia

dengan membentuk semula kurvatura kornea. Metode pembedahan refraktif

termasuk

a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)

b. Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK)

c. Photorefractive keratectomy (PRK)

d. Conductive keratoplasty (CK)

2.3.2.8 Komplikasi Hipermetropia

1. Strabismus

2. Mengurangi kualitas hidup

3. Kelelahan mata dan sakit kepala

2.3.3 ASTIGMATISME

2.3.3.1 Definisi

Terminologi astigmatisme berasal dari Bahasa Yunani yang bermaksud tanpa

satu titik. Astigmatisme merupakan kondisi dimana sinar cahaya tidak direfraksikan

32

dengan sama pada semua meridian. Jika mata astigmatism melihat gambaran palang,

garis vertikal dan horizontalnya akan tampak terfokus tajam pada dua jarak pandang

yang berbeda. Mata astigmatisme bisa dianggap berbentuk seperti bola sepak yang

tidak memfokuskan sinar pada satu titik tapi banyak titik.

2.3.3.2 Epidemiologi

Astigmatisme merupakan kelainan refraksi yang sering terjadi. 5% dari pasien

yang memakai kaca mata mempunyai kelainan astigmatisme. Sebanyak 3% dari

populasi mempunyai kelainan astigmatisme yang melebihi 3.00 D. Di Indonesia,

diperkirakan sebanyak 40 juta populasinya mempunyai kelainan astigmatisme. Tidak

ada perbedaan frekuensi terjadinya astigmatisme pada lelaki dan perempuan.

Prevalensi astigmatisme meningkat dengan usia.

2.3.3.3 Etiologi

Mata mempunyai 2 bagian untuk memfokuskan bayangan – kornea dan lensa.

Pada mata yang bentuknya sempurna, setiap elemen untuk memfokus mempunyai

kurvatura yang rata seperti permukaan bola karet. Kornea atau lensa dengan

permukaan demikian merefraksikan semua sinar yang masuk dengan cara yang sama

dan menghasilkan bayangan yang tajam terfokus pada retina.

Jika permukaan kornea atau lensa tidak rata, sinar tidak direfraksikan dengan

cara yang sama dan menghasilkan bayangan-bayangan kabur yang tidak terfokus

pada retina.

Astigmatisme bisa terjadi dengan kombinasi kelainan refraksi yang lain,

termasuk:

33

1. Miopia.

Ini terjadi bila kurvatura kornea terlalu melengkung atau jika aksis mata lebih

panjang dari normal. Bayangan terfokus di depan retina dan menyebabkan objek

dari jauh terlihat kabur.

2. Hipermetropia.

Ini terjadi jika kurvatura kornea terlalu sedikit atau aksis mata lebih pendek dari

normal. Bayangan terfokus di belakang retina dan menyebabkan objek dekat

terlihat kabur.

Biasanya astigmatisme terjadi sejak lahir. Astigmatisme dipercayai diturunkan

dengan cara autosomal dominan. Astigmatisme juga bisa terjadi setelah trauma atau

jaringan parut pada kornea, penyakit mata yang termasuk tumor pada kelopak mata,

insisi pada kornea atau karena faktor perkembangan. Astigmatisme tidak menjadi

lebih parah dengan membaca di tempat yang kurang pencahayaan, duduk terlalu

dekat dengan layar televisi atau menjadi juling.

Jika distorsi terjadi pada kornea, disebut astigmatisme kornea, sedangkan jika

distorsi terjadi pada lensa, disebut astigmatisme lentikular.

Astigmatisme juga bisa terjadi karena traksi pada bola mata oleh otot-otot

mata eksternal yang merubah bentuk sklera menjadi bentuk astigma, perubahan

indeks refraksi pada vitreous, dan permukaan yang tidak rata pada retina.

2.3.3.4 Klasifikasi

Ada banyak tipe astigmatisme, tergantung dari kondisi optik.

34

1. Simple hyperopic astigmatism – Satu meridian prinsipal adalah emmetropik;

yang satu lagi hiperopik

Gambar 2.8

Simple hyperopic astigmatism

2. Simple miopic astigmatism – Satu meridian prinsipal adalah emmetropik;

yang satu lagi miopik

Gambar 2.9

Simple miopic astigmatism

3. Compound hyperopic astigmatism – Kedua meridian prinsipal hiperopik pada

derajat yang berbeda

35

Gambar 2.10

Compound hyperopic astigmatism

4. Compound miopic astigmatism – Kedua meridian prinsipal miopik pada

derajat yang berbeda

Gambar 2.11

Compound miopic astigmatism

5. Mixed astigmatism – Satu meridian prinsipal adalah hiperopik, yang satu lagi

miopik

36

Gambar 2.12Mixed astigmatism

Terdapat beberapa bentuk dari astigmatisme:

1. Regular – Meridian-meridian prinsipal bersudut tegak antara satu dengan

yang lainnya. Kondisi ini bisa dikoreksi dengan lensa silinder

2. Irregular – Meridian-meridian prinsipal tidak bersudut tegak antara satu

dengan yang lainnya, biasanya disebabkan oleh ketidakrataan kurvatura

kornea. Tidak bisa dikoreksi dengan sempurna dengan lensa silinder

3. Oblique – Meridian-meridian prinsipal berada antara sudut 30o hingga 60o

atau antara sudut 150o hingga 180o

4. Symmetrical – Meridian-meridian prinsipal setiap mata berada pada posisi

simetris dari deviasi garis median. Jika aksis dari setiap mata dikoreksi

dengan lensa silinder dengan tanda yang sama dan jumlah sudutnya 180o,

astigmatisme itu simetris. Variasi maksimum yang bisa ditoleransi sebesar

15o. Contoh symmetrical astigmatism: O.D. : -cx. 600, O.S. : -cx. 120o

5. Asymmetrical – Tidak ada hubungan simetris dari meridian-meridian prinsipal

dari garis median. Kepala yang dimiringkan seringkali disebabkan oleh

asymmetrical astigmatism ataupun oblique. Ini adalah salah satu jenis 37

tortikolis tipe okular, yang akan hilang jika astigmatismenya dikoreksi dengan

benar. Asymmetrical lebih jarang dibandingkan dengan symmetrical. Contoh

asymmetrical astigmatism: O.D. : -cx. 120o, O.S. : -cx. 180o

6. With-the-rule astigmatism – Meridian vertikal dari mata mempunyai

kurvatura yang terbesar antara sudut 60o hingga 120o. Kondisi ini dikoreksi

dengan –cx. 180o atau +cx. 90o

7. Against-the-rule astigmatism – Meridian horizontal dari mata mempunyai

kurvatura yang terbesar antara sudut 0o hingga 30o dan 150o hingga 180o.

Kondisi ini dikoreksi dengan –cx. 90o atau dengan +cx. 180o. Ini lebih jarang

dibandingkan dengan with-the-rule astigmatism.

2.3.3.5 Gejala-gejala dan Tanda-tanda

1. Distorsi dari bagian-bagian lapang pandang

2. Tampak garis-garis vertikal, horizontal atau miring yang kabur

3. Memegang bahan bacaan dekat dengan mata

4. Sakit kepala

5. Mata berair

6. Kelelahan mata

7. Memiringkan kepala untuk melihat dengan lebih jelas

2.3.3.6 Diagnosis Astigmatisme

1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda astigmatisme

2. Pemeriksaan Oftalmologi

38

a. Visus – tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan

Snellen Chart

b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan. Pasien

diminta untuk memperhatikan kartu tes astigmatisme dan menentukan garis

yang mana yang tampak lebih gelap dari yang lain. Contohnya, pasien yang

miopia pada meridian vertikal dan emmetropia pada meridian horizontal

akan melihat garis-garis vertikal tampak distorsi, sedangkan garis-garis

horizontal tetap tajam dan tidak berubah. Sebelum pemeriksaan subjektif

ini, disarankan menjadikan penglihatan pasien miopia untuk menghindari

bayangan difokuskan lebih jauh ke belakang retina. Selain itu, untuk

pemeriksaan objektif, bisa digunakan keratometer, keratoskop, dan

videokeratoskop

c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk

pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes Hirschberg,

amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis

d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk

mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan astigmatisme.

Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi, penglihatan

warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh tentang

kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan adnexanya.

Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect diperlukan untuk

mengevaluasi segmen media dan posterior

39

Gambar 2.13Kartu untuk tes Astigmatisme

2.3.3.7 Penatalaksanaan Astigmatisme

1. Astigmatisme bisa dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder tergantung

gejala dan jumlah astigmatismenya

2. Untuk astigmatisme yang kecil, tidak perlu dikoreksi dengan silinder

3. Untuk astigmatisme yang gejalanya timbul, pemakaian lensa silender

bertujuan untuk mengurangkan gejalanya walaupun kadang-kadang tidak

memperbaiki tajam penglihatan

4. Aturan koreksi dengan lensa silinder adalah dengan meletakkannya pada aksis

90o dari garis tergelap yang dilihat pasien pada kartu tes astigmatisme. Untuk

astigmatisme miopia, digunakan silinder negatif, untuk astigmatisme

hiperopia, digunakan silinder positif

5. Untuk astigmatisme irregular, lensa kontak bisa digunakan untuk

meneutralisasi permukaan kornea yang tidak rata

6. Selain itu, astigmatisme juga bisa dikoreksi dengan pembedahan LASIK,

keratektomi fotorefraktif dan LASEK

40

2.3.4 PRESBIOPIA

2.3.4.1 Definisi

Presbiopia adalah penglihatan di usia lanjut, merupakan perkembangan

normal yang berhubungan erat dengan usia lanjut dimana proses akomodasi yang

diperlukan untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Biasanya terjadi diatas usia

40 tahun, dan setelah umur itu, umumnya seseorang akan membutuhkan kaca mata

baca untuk mengkoreksi presbiopianya.

2.3.4.2 Epidemiologi

Prevalensi presbiopia lebih tinggi pada populasi dengan usia harapan hidup

yang tinggi. Karena presbiopia berhubungan dengan usia, prevalensinya berhubungan

lansung dengan orang-orang lanjut usia dalam populasinya.

Walaupun sulit untuk melakukan perkiraan insiden presbiopia karena

onsetnya yang lambat, tetapi bisa dilihat bahwa insiden tertinggi presbiopia terjadi

pada usia 42 hingga 44 tahun. Studi di Amerika pada tahun 1955 menunjukkan 106

juta orang di Amerika mempunyai kelainan presbiopia.

Faktor resiko utama bagi presbiopia adalah usia, walaupun kondisi lain seperti

trauma, penyakit sistemik, penyakit kardiovaskular, dan efek samping obat juga bisa

menyebabkan presbiopia dini.

2.3.4.3 Etiologi

1. Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut

2. Kelemahan otot-otot akomodasi

41

3. Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elasitasnya akibat kekakuan

(sklerosis) lensa

2.3.4.4 Klasifikasi

1. Presbiopia Insipien – tahap awal perkembangan presbiopia, dari anamnesa

didapati pasien memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak

tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak

preskripsi kaca mata baca

2. Presbiopia Fungsional – Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan

akan didapatkan kelainan ketika diperiksa

3. Presbiopia Absolut – Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia

fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali

4. Presbiopia Prematur – Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan

biasanya berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan

5. Presbiopia Nokturnal – Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi

gelap disebabkan oleh peningkatan diameter pupil

2.3.4.5 Gejala-gejala dan Tanda-tanda

1. Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa pedih. Bisa

juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika membaca terlalu lama

2. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca karena tulisan tampak kabur

pada jarak baca yang biasa

3. Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di malam hari

4. Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca

42

5. Terganggu secara emosional dan fisik

2.3.4.6 Diagnosis Presbiopia

1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda presbiopia

2. Pemeriksaan Oftalmologi

a. Visus – Pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi presbiopia dengan

menggunakan Snellen Chart

b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan. Pasien

diminta untuk memperhatikan kartu Jaeger dan menentukan kalimat

terkecil yang bisa dibaca pada kartu. Target koreksi pada huruf sebesar

20/30.

c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk

pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes Hirschberg,

amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis

d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk

mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan presbiopia.

Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi,

penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh

tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan

adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect

diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior

2.3.4.7 Penatalaksanaan Presbiopia

43

1. Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopia. Tujuan koreksi adalah

untuk mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-

objek yang dekat

2. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif sesuai

usia dan hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu membaca tulisan

pada kartu Jaeger 20/30

3. Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa positif

terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak

melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan yang

dibaca terletak pada titik fokus lensa +3.00 D

Usia (Tahun) Kekuatan Lensa Positif yang dibutuhkan40 +1.00 D45 +1.50 D50 +2.00 D55 +2.50 D60 +3-00 D

4. Selain kaca mata untuk kelainan presbiopia saja, ada beberapa jenis lensa lain

yang digunakan untuk mengkoreksi berbagai kelainan refraksi yang ada

bersamaan dengan presbiopia. Ini termasuk:

a. Bifokal – untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bisa yang

mempunyai garis horizontal atau yang progresif

b. Trifokal – untuk mengkoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh. Bisa

yang mempunyai garis horizontal atau yang progresif

44

c. Bifokal kontak - untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bagian

bawah adalah untuj membaca. Sulit dipasang dan kurang memuaskan hasil

koreksinya

d. Monovision kontak – lensa kontak untuk melihat jauh di mata dominan,

dan lensa kontak untuk melihat dekat pada mata non-dominan. Mata yang

dominan umumnya adalah mata yang digunakan untuk fokus pada kamera

untuk mengambil foto

e. Monovision modified – lensa kontak bifokal pada mata non-dominan, dan

lensa kontak untuk melihat jauh pada mata dominan. Kedua mata

digunakan untuk melihat jauh dan satu mata digunakan untuk membaca.

Pembedahan refraktif seperti keratoplasti konduktif, LASIK, LASEK, dan

keratektomi fotorefraktif

45

BAB 3

PENUTUP

Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina,

dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga

menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi

dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus.

Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan

lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.

Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi

dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah

serius jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib dilakukan

pemeriksaan visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum.

46

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2009. Basic Clinical Science and Course 2005-2006. New York: American Academy of Ophthalmology;

Charman, N, 2011, Myopia: Its Prevalence, Origins, and Control, Ophthalmic and Physiological Optics, 31: 3–6. doi: 10.1111/j.1475-1313.2010.00808.x

Curtin, B.J, 2002, The Myopia, The Philadelphia Harper & Row: pp 348

Depkes, 1992, Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan untuk Puskesmas, Ditjen Binkesmas, Jakarta

Dirani, M, Chamberlain, M, Shekar M.N, et all, 2008, Heritability of Refractive Error and Ocular Biometrics: The Gene in Myopia (GEM) Twin Study, Investigative Ophthalmology and Visual Science

Guggenhim, J.A, 2007, Correlation in Refraction Errors between Siblings in The Singapore Cohort Study of Risk Factor for Myopia, British Journal of Ophtalmology 91(6):781-784

Guyton, A.C, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC

Ilyas, S, 2006, Kelainan Refraksi dan Kacamata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Ilyas, S, 2009, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

James, B, 2006, Lecture Notes Oftalmologi, Jakarta: Erlangga

Saw, S.M, Gus Gazzard, David Koh, 2002, Prevalence Rates of Refractive Errors in Sumatra Indonesia, Investigative Ophthalmology & Visual Science, Vol.43:10

Sloane, A.E, 2008, Manual of Refraction, USA: Brown and Company, pp 39-47

Vaughan, D, Asbury, T, 2009, Oftalmologi Umum, Jakarta: EGC

WHO, 2006, Sight Test and Glasses Could Dramatically Improve The Lives of 150 Million People With Poor Vision, Geneva: WHO Press Release

Woo, W, Lim, K, Yang, H, 2004, Refractive Errors in Medical Students in Singapore, Medical Journal Vol 45(10):470 www.sma.org.sg/smj/4510/4510al.pdf>

47