referat forensik

32
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal tubuh terhenti. Setiap sel tubuh memiliki perbedaan waktu untuk mengalami kematian sel yang disebabkan oleh perbedaan metabolisme seluler didalamnya. Pada tubuh akan terjadi kematian sel demi sel dan kematian secara keseluruhan akan terjadi dalam beberapa jam. 1 Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting, khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan. Dengan demikian penyidik dapat lebih terarah dan selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana. Banyak cara yang dapat digunakan dalam memperkirakan saat kematian salah satunya adalah penggunaan cairan sinovial. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karya-karya telah terkonsentrasi pada perubahan biokimia yang terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi penelitian terbaru dari cairan sinovial telah menarik perhatian ahli biokimia forensik dan patologis. 1,2 Berdasarkan uraian di atas, maka perlu rasanya pembahasan mengenai perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial. 1.2 Batasan Masalah 1

Upload: tri-aryati-octavia

Post on 27-Oct-2015

160 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian merupakan

suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal tubuh terhenti. Setiap

sel tubuh memiliki perbedaan waktu untuk mengalami kematian sel yang disebabkan oleh

perbedaan metabolisme seluler didalamnya. Pada tubuh akan terjadi kematian sel demi sel

dan kematian secara keseluruhan akan terjadi dalam beberapa jam.1

Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting,

khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan. Dengan demikian penyidik dapat lebih

terarah dan selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana. Banyak

cara yang dapat digunakan dalam memperkirakan saat kematian salah satunya adalah

penggunaan cairan sinovial. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karya-karya telah

terkonsentrasi pada perubahan biokimia yang terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi

penelitian terbaru dari cairan sinovial telah menarik perhatian ahli biokimia forensik dan

patologis.1,2

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu rasanya pembahasan mengenai perkiraan saat

kematian berdasarkan cairan sinovial.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial, mulai

dari anatomi, komponen cairan sinovial, perubahan postmortem, perubahan cairan sinovial

setelah mati, dan perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang

perkiraan saat kematian berdasarkan perubahan cairan sinovial setelah mati.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang :

a. Anatomi sendi dan komposisi cairan sinovial

b. Perubahan postmortem khususnya perubahan cairan sinovial setelah mati

1

c. Perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial

1.4 Manfaat penulisan

Melalui penulisan referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi

dan pengetahuan tentang perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial.

1.5 Metode penulisan

Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai

literatur.

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi

Sendi adalah tempat persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-tulang tersebut

dapat bergerak ataupun tidak antara satu dengan dengan yang lainnya. Apabila kita lihat dari

jenis pergerakannya maka sendi dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : 3

1. Sinartrosis

Sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu

sama lain. Sendi ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

• Sindemosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan loeh jaringan ikat

misalnya pada tulang tengkorak, antara gigi dan rahang,

antara radius dan ulna.

• Sinkonrosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan oleh jaringan

tulang rawan misalnya pada os pubic pada orang dewasa

• Sinostosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan oleh jaringan

tulang misalnya persambungan pada os ilium, os ischium,dan

os pubic.2

2. Diartrosis

Persambungan antara dua tulang atau lebih yang memungkinkan tulang-tulang

bergerak satu sama lain. Diantara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang

disebut kavum artikular. Diartrosis ini juga disebut sebagai sendi sinovial yang tersusun atas

kapsul retikuler, bursa dan ligamen.3

3. Amfiartrosis

Sendi yang memungkinkan tulang- tulang yang saling berhubungan dapat bergerak

secara terbatas. Misalnya sendi sacroiliac dan sendi- sendi antara corpus vertebra. Sendi

sinovial umumnya dijumpai pada ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi,

rawan sendi, membran sinovium serta kapsul sendi.3

3

Gambar 1. Sendi synovial

Sinovium ( Membran Sinovial )

Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrosis dan secara fisiologis

berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta mengeluarkan sisa

metabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat sebagai low-friction lining. Sinovium

merupakan jaringan avaskular yang melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak

melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan lunak, berlipat-lipat sehingga dapat

menyesuaikan diri pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intraartikular.3

Sinovium tersusun atas 1-3 lapis sel-sel sinoviosit yang menutupi jaringan subsinovial

dibawahnya. Sel ini merupakan salah satu sel yang memiliki peran utama pada sinovium

disamping sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast, sel vaskular dan sel limfatik.2,3

Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam jaringan sinovial, tetapi tidak satupun

yang mencapai lapisan sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperan dalam transfer

konstituen darah kedalam rongga sendi dan pembentukan cairan sendi.

Sinoviosit dibagi dua tipe berdasarkan morfologi dan petanda molekular

permukaannya, yaitu sinoviosit tipe A (synovial macrophage) yang memiliki sifat seperti

makrofag dan sinoviosit B (synovial fibroblast) yang memiliki karakteristik fibroblast.

Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan tipe B dan 20- 30% merupakan sinoviosit tipe

A. Sinoviosit A memiliki nukleus yang kaya akan chromatin, memiliki banyak vakuola

sitoplasmik, cukup banyak aparatus golgi dan sedikit retikulum endoplasmik. Sedangkan

sinoviosit B menyerupai bentuk fibroblast (bipolar shape), memiliki banyak retikulum

endoplasmik dan well developed aparatus golgi. Nukleusnya terlihat lebih pucat dengan

beberapa nucleoli.2,3

4

Fungsi utama sinoviosit yang membentuk membran sinovium adalah menyediakan

berbagai molekul lubrikan seperti glikosaminoglikan disamping oksigen dan protein plasma

nutrien bagi ruang sendi dan rawan sendi serta khondrosit. Sinoviosit A selain memiliki

aktifitas fagositik yang berguna untuk menyingkirkan berbagai debrisdari ruang sendi,

berfungsi pula sebagai prosesor antigen.. Sinoviosit B berfungsi mensintesis hyaluronan

disamping produksi berbagai komponen matriks seperti kolagen.Sel ini mampu

mengeluarkan berbagai enzim perusak. Kedua jenis sinoviosit ini saling berinteraksi melalui

sinyal yang diperantarai oleh sitokin, growth factors dan kemokinlain. 2,3

Gambar 2. Sinovium2

Rawan Sendi

Pada sendi sinovial, tulang-tulang yang saling berhubungan dilapisi rawan sendi.

Ketebalan rawan sendi kurang dari 5 mm tergantung jenis sendi dan lokasi di dalam sendi.

Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki jaringan syaraf,

berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh ke dalam sendi.2

Cairan Sinovial

Cairan sendi merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar

molekul dan ion kecilnya sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih rendah.

Molekul- molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi, harus melewati sawar

endotel mikrovaskuler, kemudian melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium.Sawar

endotel sangat selektif, makin besar molekulnya makin sulit melalui sawar tersebut, sehingga

molekul protein yang besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular. Sebaliknya, molekul

dari cairan sendi dapat kembali ke plasma tanpa halangan apapun melalui sistem limfatik

5

walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan sendi dan plasma dapat menggambarkan

keseimbangan kedua proses diatas.3,14

Kapsul dan Ligamen

Struktur ligamen dan kapsul satu sendi berbeda dengan sendi yang lain baik dalam hal

ketebalannya maupun dalam hal posisinya. Pada sendi bahu, struktur ligamennya tipis dan

longgar, sedangkan pada sendi lutut tebal dan kuat. Pada beberapa sendi, ligamen menyatu ke

dalam kapsul sendi sedangkan pada sendi yang lain dipisahkan oleh lapisan areolar.

Kelonggaran kapsul sendi sangat berperan pada lingkup gerak sendi yang bersangkutan.3

Ligamen dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh elastin, dan sedikit proteoglikan.

Komponen glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat. 3

2.2 Perubahan-perubahan Setelah Kematian dan Faktor-faktor Yang

Mempengaruhinya

2.2.1 Perubahan Kulit Muka

Perubahan setelah kematian dapat terlihat perubahan pada kulit muka akibat berhentinya

sirkulasi darah maka darah yang berada pada kapiler dan venula di bawah kulit muka akan

mengalir ke bagian yang lebih rendah sehingga warna raut muka tampak menjadi lebih pucat.

Pada mayat dari orang yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu

(misalnya keracunan karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama

dan tidak cepat menjadi pucat.5

2.2.2 Relaksasi Otot

a. Relaksasi primer

Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan mengalami relaksasi

sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium itu disebut relaksasi primer.

Relaksasi perimortal didapatkan 2 – 3 jam setelah kematian. Pada fase ini otot sudah tidak

memiliki rangsangan dari sistem saraf pusat. Akibat tidak adanya impuls listrik dari sistem

saraf pusat maka tidak ada lagi koordinasi otot-otot tubuh yang selalu berusaha menjaga

keseimbangan dalam segala posisi tubuh seperti pada rahang bawah, dada, relaksasi pada otot

polos akan mengakibatkan iris dan spingter ani mengalami dilatasi. Pada fase ini kematian sel

belum terjadi sempurna. Korban masih dalam pengertian mati somatik.5

b. Relaksasi sekunder

Relaksasi sekunder terjadi karena lisis sel otot akibat proses pembusukan. Hancurnya sel dan

jaringan otot membuat tulang-tulang tidak dapat dipertahankan posisinya. 5

6

2.2.3 Perubahan pada mata

Perubahan pada mata yaitu berkurangnya daya lihat dan ketegangan pada mata menurun

secara cepat seperti tekanan arterial. Kelopak mata biasanya tertutup tetapi secara umum

tidak sempurna, kegagalan otot menghasilkan oklusi penuh dan ini akan terjadi pembukaan.

Bila mata terbuka pada atmosfer kering, sklera di kiri - kanan kornea akan berwarna

kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea. Kekeruhan

kornea terjadi pada lapisan terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan

yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air.

Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan

mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10-12 jam pasca mati dan

dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas. Perubahan pada retina dapat

menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati.6

2.2.4 Penurunan Suhu Tubuh

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan

turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya

proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat terjadi

sangat lambat pada jam – jam pertama kemudian penurunan menjadi lebih cepat dan pada

akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata - rata maka penurunan suhu tersebut

antara 0,9 sampai 1 ºC atau sekitar 1,5 ºF setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai

dari 37 ºC atau 98,4 ºF. 5,7

Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini, yaitu: 5,7

1. Faktor internal

a. Suhu tubuh saat mati

Suhu tubuh yang tinggi akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih

cepat sedangkan pada hipothermia sebaliknya.

b. Keadaan tubuh mayat

Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu tubuh

mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih cepat.

2. Faktor Eksternal

a. Suhu medium

7

Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat

terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat

dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.

b. Keadaan udara di sekitarnya

Pada udara lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan

karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik dan aliran udara juga

makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

c. Jenis medium

Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat karena air merupakan

konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh

mayat.

d. Pakaian mayat

Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat. Hal

ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan

lebih mudah.

2.2.5 LEBAM MAYAT

Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan

tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh–

pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah

yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan

dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke tempat–tempat yang terendah yang dapat

dicapai. 8

Lebam mayat biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, dimana

setelah terbentuk hipostasis yang menetap dalam waktu 10–12 jam. Lebam mayat

berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak yang berwarna

keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-bercak ini

intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam

kemudian, dimana fenomena ini menjadi komplet dalam waktu kurang lebih 8–12 jam, pada

waktu ini dapat dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap. Akumulasi darah pada daerah

yang tidak tertekan akan menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang

dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi

petechie (tardieu`s spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang mempunyai

8

diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan waktu 18 sampai 24 jam

untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. 8

2.2.6 KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang k-kadang disertai

dengan sedikit pemendekan serabut otot, terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer.

Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang terdapat pada

serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi, peranan ATP sangat penting dalam

pembentukan kaku mayat. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis

protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua jenis protein ini bersama dengan ATP

membentuk suatu masa yang lentur dan dapat berkontraksi. Bila kadar ATP menurun, maka

akan terjadi pada perubahan pada aktomiosin, dimana sifat lentur dan kemampuan untuk

berkontraksi menghilang sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat

berkontraksi.9

Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya

setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam

kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot

wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.9

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat : 5,7

a. Kondisi otot

Persediaan glikogen

Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh

sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang

sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.5

b. Usia

Orang tua dan anak-anak lebih cepat dan berlangsung lama.

Bayi prematur tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup bulan.

c. Keadaan Lingkungan

Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab

Mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama.

Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu

rendah kaku mayat lebih lambat dan lama.

Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC, kekakuan yang terjadi pembekuan

atau cold stiffening.

9

d. Cara Kematian

Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat terjadi dan

berlangsung tidak lama.

Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama.

Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)

Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis

Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis

Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian

Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam

Rigor mortis menghilang 24 – 36 jam post mortem

2.2.7 Pembusukan Atau Modifikasinya

Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat

proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii. Autolisis adalah

perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia

yang disebabkan oleh enzimenzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan

enzim - enzim akan mengalami proses autoilisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak

memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada

jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada

mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi.

Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati.7,13

Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati

berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka

kanan dimana isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih

superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen

sampai ke dada dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada

permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung kontak

dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ parenchim,

maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak

sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan

kehilangan strukturnya.13

Skrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat

menggembung, bibir menonjol seperti “frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah

terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya.

10

Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang

tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.12 Pengeluaran urine dan

feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada wanita uterus

dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus wanita hamil. Pada anak-anak adanya

gas pembusukan dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi

mudah terlepas.13

Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu: 13,14

1. Early : Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula

adrenal, pankreas, otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah.

2. Moderate : Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paruparu, jantung, ginjal,

diafragma, lambung, otot polos dan otot lurik.

3. Late : Uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap

pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu

jaringan fibrosa.

Secara garis besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu: 13

1. Wajah membengkak.

2. Bibir membengkak.

3. Mata menonjol.

4. Lidah terjulur.

5. Lubang hidung keluar darah.

6. Lubang mulut keluar darah.

7. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid).

8. Badan gembung.

9. Bulla atau kulit ari terkelupas.

10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan.

11. Pembuluh darah bawah kulit melebar.

12. Dinding perut pecah.

13. Skrotum atau vulva membengkak.

14. Kuku terlepas.

15. Rambut terlepas.

16. Organ dalam membusuk.

17. Larva lalat.

2.2.8 Biokimiawi Darah

11

Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah pasca mati

tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan

tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel

yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat

menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini

belum ditemkan perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat

mati dengan lebih tepat.6,13

2.2.9 Cairan serebrospinal ( CSS )

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam,

kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar

protein kurang dari 5 mg% dan 10mg% masing-masing menunjukkan kematian belum

mencapai 10 jam dan 30 jam.6

2.2.10 Reaksi Peri mortal

Reaksi peri mortal yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama

seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan

terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan

kontraksi otot mayat hingga 90 – 120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar

keringat sampai 60 – 90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan

perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati. 6

Definisi mati seluler (mati molekuler) yaitu kematian organ atau jaringan tubuh yang

timbul beberapa saat setelah kematian somatis.6 Daya tahan hidup masing-masing organ atau

jaringan berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ atau jaringan terjadi secara

tidak bersamaan. Sebagai contoh:

a) Susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit

b) Otot masih dapat dirangsang dengan listrik sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan

mengalami mati seluler setelah 4 jam.

c) Dilatasi pupil masih dapat terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan

sulfas atropin 1 % atau fisostigmin 0,5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam

pasca mati.

d) Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara

penyuntikan subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%.

e) Spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis.

12

f) Kornea masih dapat ditransplantasikan.

g) Darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati. Keadaan tersebut

diatas pada mayat dimana masih dapat menghasilkan gambaran intravital disebut

reaksi peri mortal dan pertamakali didiskusikan pada tahun 1963 oleh Schleyer.3

2.2.11 Pertumbuhan Rambut

Pengetahuan mengenai rata-rata tumbuh rambut muka member petunjuk dalam

membuat perkiraan kapan saat cukur terakhir. Sejak rambut berhenti pertumbuhannya pada

saat kematian maka panjang dari jenggot mayat mungkin dapat menjadi pemikiran tentang

lamanya waktu antara kematian dan cukur terakhir. Gonzales dkk, pada tahun 1954

mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut adalah 0,4mm/ hari, sedangkan Balthazard seperti

yang kutip oleh Derobert dan Le Breton tahun 1951 mengatakan rata-rata pertumbuhan

rambut adalah 0,5 mm / hari, dan menurut Glaister pada tahun 1973 adalah 1–3 mm /

minggu, akan tetapi pada tiap individu mempunyai perbedaan dalam rata-rata pertumbuhan

dalam area yang sama, juga variasi rata-rata dari satu tempat ke tempat lain di muka dan juga

berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Selain itu variasi musim atau iklim

mempengaruhi metabolisme dari tubuh itu sendiri.5

2.2.12 Pertumbuhan Kuku

Pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm perhari dapat digunakan untuk

memperkirakan saat kematian bia dapat diketahui saat terakhir yang berangkutan memotong

kuku.6

BAB 3

PEMBAHASAN

13

3.1 Komponen Cairan Sendi

Cairan sendi (sinovial) adalah lapisan cairan tipis yang mengisi ruang sendi normal, cairan

sendi ini memberikan nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme dari kondrosit di

dalam rawan sendi. Selain itu sinovial juga berfungsi sebagai pelumas dan perekat. Sinovia

(cairan sendi) normal berwarna kekuningan, bening mengandung leukosit dan tidak

membeku karena tidak mengandung fibrinogen. Cairan sendi mempunyai viskositas yang

tinggi. Hal ini disebabkan karena cairan sendi mengandung asam hyaluronat yang disekresi

oleh fibroblast-like B cells didalam sinovium. Sinovium adalah jaringan yang menutupi

seluruh permukaan sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial manusia

normal.4,15,16

Gambar 1. Sendi synovial. Sendi synovial biasanya terdiri dari kartilago, sinovium dan cairan

synovial.16

Cairan sendi normal adalah ultra filtrate atau dialisat dari plasma. Dengan demikian

kadar ion – ion dan molekul – molekul kecil ekivalen dengan kadarnya di dalam plasma,

sedang protein kadarnya lebih rendah. Cairan sendi juga mengandung leukosit biasanya

normal < 200 sel/mm dengan jumlah sel PMN < 25%, glukosa normal kadar glukosa di

cairan sendi < 10% dari glukosa darah dan asam organic seperti asam laktat dan asam

suksinat.15

Tabel 1. Gambaran Analisis Cairan Sendi Normal15

Cairan Sendi Nilai Normal

14

PH 7,3 – 7,43

Jumlah Leukosit 13 – 180

PMN 0 – 25

Limfosit 0 – 78

Monosit 0 – 71

Sel synovia 0 – 12

Protein Total g/dl 1,2 – 3,0

Albumin (%) 56 – 63

Globulin (%) 37 – 44

Hyaluronat g/dl 0,3

3.2 Perubahan Cairan Sendi Setelah Mati

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karya-karya telah terkonsentrasi pada

perubahan biokimia yang terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi penelitian terbaru

dari cairan sendi telah menarik perhatian ahli biokimia forensik dan patologis. Cairan sinovial

merupakan kompartemen cairan yang baik untuk diselidiki dalam ilmu reumatologi dan

banyak dijadikan sebagai buku pegangan analisis cairan sendi yang tersedia. Namun hanya

sedikit penelitian yang menyangkut kepentingan hukum medikolegal pada cairan synovial.

Studi berkaitan dengan estimasi interval postmortem sesuai dengan perjalanan waktu

aktivitas ion potasium dalam cairan sinovial kadaver.17

Dalam penelitian ini cairan sinovial disedot dari sendi lutut dengan prosedur standar

sesuai diadopsi oleh DJU Plesis (1975) dari 123 kasus dengan waktu yang diketahui sejak

kematian yang menjadi sasaran mediko otopsi hukum di kamar mayat dari Departemen

Kedokteran Forensik dan toksikologi di Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences,

Sevagram selama periode satu tahun Jan 2004-Desember 2004. Kondisi untuk eksklusi

adalah, Mayat, yang disimpan dalam cold storage, Kasus cedera lutut, kondisi infektif sendi

(rematik, arthritis dll) dan waktu yang tidak diketahui kematian dibuang. Sampel, di mana

cairan sinovial berawan, berdarah, kuning sampai kehijauan berawan, keruh dan perdarahan

di dalam dibuang.17

Burkahrd Madea et al (2001) mempelajari cairan sinovial dan vitreous humor, dan

membandingkan kedua cairan. Potasium, natrium, klorida, kalsium, kreatinin, glukosa, urea

dianalisis. Hasilnya konsentrasi potasium dalam cairan sinovial menunjukkan sedikit lebih

tinggi dari vitreous humor namun kedua cairan kompartemen menunjukkan peningkatan

15

kadar potasium dalam kursus hampir sejajar. Sahoo PC; 1998 mempelajari 84 kasus dan

menunjukkan kadar potasium dalam cairan sinovial meningkat sampai 48 jam setelah

kematiannya. Akibatnya menunjukkan, cairan sinovial dapat digunakan sebagai alat

pemeriksaan post mortem. Evaluasi data dalam hal program waktu selama periode

postmortem berguna. Potasium memiliki korelasi cukup tinggi dan positif dengan selang

waktu. Analisis cairan sinovial merupakan hal yang sedikit lebih rumit karena viskositas yang

lebih tinggi.17,18

Cairan synovial terdiri dari (oleh Moro D.S dan Arryo M. C, 1985) glukosa, urea,

nitrogen, asam urat, total protein, albumin, alkaline phosphatase, asam laktat dehidrogenase

dan GOT dalam kaitannya dengan penyebab kematian dan mengamati bahwa parameter

biokimia cairan sinovial yang dimodifikasi. meskipun ini modifikasi terkait lebih langsung

dengan durasi proses patologis yang mengarah ke kematian daripada dengan sifat proses itu

sendiri. Tingkat natrium dan glukosa dalam cairan sinovial pada mayat memiliki perubahan

yang tidak teratur dengan peningkatan dalam waktu sejak kematian dan tidak ada yang

signifikan korelasi ada untuk sodium dan glukosa dalam kaitannya dengan waktu sejak

kematian dan tidak ada yang pasti. Persamaan bisa berkembang tanpa pengaruh umur, seks

dan penyebab kematian lebih konsentrasi glukosa dan ion natrium dengan waktu sejak

kematian.17,18

Perbandingan premoterm dan posmoterm cairan telah menunjukkan komponen tetap

relatif konstan, yang diprediksi mengalami perubahan dan telah banyak digunakan untuk

diagnostik.18 Setelah kematian , banyak perubahan physiochemical seperti Algor mortis, rigor

mortis , hypostasis dan dekomposisi terjadi mengarah ke pembubaran semua jaringan lunak .

Kornea berkabut terjadi setelah kematian dengan peningkatan intensitasnya sampai kornea

kehilangan turgor nya apakah kelopak mata tetap terbuka atau tidak.17 Thanatochemistry

adalah perubahan kimia yang terjadi setelah kematian . Hal ini digunakan untuk

menggambarkan perubahan yang terjadi dalam komposisi kimia dari mayat manusia secepat

kematian terjadi. Hal ini dapat memberikan kuantitatif pengukuran untuk menentukan

interval postmortem ( PMI ).18

Potasium merupakan salah satu analit postmortem yang dipilih untuk diselidiki.

Konsentrasi intraselular K+ setinggi 2-40 kali konsentrasi K+ dalam plasma. Setelah

kematian, kembali ke ekuilibrium terjadi pada tingkat yang stabil karena mekanisme

pemompaan tidak aktif dan dinding sel menjadi membran semipermeabel yang

memungkinkan K+ bocor melalui membran untuk mendekati keseimbangan.18 Hipoksantin

16

adalah produk degradasi vital metabolisme purin. Hal ini meningkatkan pada periode

postmortem dan terutama berdifusi dari retina ke pusat vitreous humor.18, 19

3.3 Perkiraan Saat Kematian Berdasarkan Perubahan Cairan Sendi

Dalam 20 tahun terakhir cairan tubuh banyak digunakan untuk menetukan post mortem

interval, diantaranya cairan vitrous, cairan liquor dan cairan synovial. Dalam suatu studi

komparatif, menggunakan parameter biokimia cairan synovial diantaranya sodium, potasium,

klorida, kalsium, kreatinin, glukose, and urea. Pada studi ini paramater yang digunakan

adalah potasium dan glukosa.19 Dalam penelitian lain oleh Nishat et,al. menjelaskan perkiraan

dari sodium dan glukosa pada cairan synovial yang didapat dari 123 sendi lutut kadaver

mengungkapkan tidak ada perubahan yang signifikan. Berbagai parameter yang banyak

digunakan untuk menilai cairan sendi untuk memperkirakan waktu kematian sampai saat ini

seperti glukosa, urea, nitrogen, asam urea, total protein, albumin, pospat alkalin dan asam

laktat dehidrogenase. Dari 84 kasus telah memperlihatkan potassium cairan synovial

meningkat hingga mencapai maksimum pada 48 jam setelah kematian.17

Banyak peneliti telah mempelajari tentang perubahan biokimia dilihat dari berbagai

aspek dengan berbagai hasil dan beberapa perdebatan, beberapa berpendapat cairan synovial

dianggap lebih terlindung dan kurang berpaparan terhadap perubahan atmosfer jika

dibandingkan dengan cairan tubuh yang lain seperti cairan serebrospinal dan darah. Dengan

demikian perubahan biokimia post mortem dari cairan synovial mungkin sangat membantu

dalam memperkirakan post mortem interval yang bisa dikatakan mendekati akurat.20

Hasil dari suatu studi tentang pengaruh umur, jenis kelamin, sebab kematian dan

konsentrasi glukosa dan sodium pada cairan synovial dan hubungannya dengan waktu

kematian menyimpulkan tidak ada hubungan secara langsung.17 Burkahrd Madea et al (2001)

meneliti cairan synovial dan cairan vitreus, tujuan penelitian adalah membandingkan kadar

potassium, natirum, klorida, kalsium, kreatinin, glukosa, dan analisa urea pada kedua cairan

ini, hasilnya didapatkan konsentrasi potassium pada cairan synovial memperlihatkan kadar

yang sedikit tinggi dibanding dengan konsentrasi potassium cairan vitreus, tetapi secara

keseluruhan peningkatan kadar potassium dari nilai normal terjadi pada kedua cairan ini.21

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

17

Kematian pasti akan dilalui oleh setiap yang bernyawa. Setiap sel tubuh memiliki perbedaan

waktu untuk mengalami kematian sel yang disebabkan oleh perbedaan metabolisme seluler

didalamnya. Pada tubuh akan terjadi kematian sel demi sel dan kematian secara keseluruhan

akan terjadi dalam beberapa jam. Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan

penting untuk proses penyidikan. Banyak cara yang dapat digunakan dalam memperkirakan

saat kematian salah satunya adalah penggunaan cairan sinovial. Dalam beberapa tahun

terakhir, sebagian besar karya-karya telah terkonsentrasi pada perubahan biokimia yang

terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi penelitian terbaru dari cairan sinovial telah

menarik perhatian ahli biokimia forensik dan patologis.

Cairan sinovial merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar

molekul dan ion kecilnya sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih rendah.

Molekul- molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi, harus melewati sawar

endotel mikrovaskuler, kemudian melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium.Sawar

endotel sangat selektif, makin besar molekulnya makin sulit melalui sawar tersebut, sehingga

molekul protein yang besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular. Sebaliknya, molekul

dari cairan sendi dapat kembali ke plasma tanpa halangan apapun melalui sistem limfatik

walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan sendi dan plasma dapat menggambarkan

keseimbangan kedua proses diatas.

Burkahrd Madea et al (2001) mempelajari cairan sinovial dan vitreous humor, dan

membandingkan kedua cairan. Potasium, natrium, klorida, kalsium, kreatinin, glukosa, urea

dianalisis. Hasilnya konsentrasi potasium dalam cairan sinovial menunjukkan sedikit lebih

tinggi dari vitreous humor namun kedua cairan kompartemen menunjukkan peningkatan

kadar potasium dalam kursus hampir sejajar. Sahoo PC; 1998 mempelajari 84 kasus dan

menunjukkan kadar potasium dalam cairan sinovial meningkat sampai 48 jam setelah

kematiannya. Akibatnya menunjukkan, cairan sinovial dapat digunakan sebagai alat

pemeriksaan post mortem. Evaluasi data dalam hal program waktu selama periode

postmortem berguna. Potasium memiliki korelasi cukup tinggi dan positif dengan selang

waktu. Analisis cairan sinovial merupakan hal yang sedikit lebih rumit karena viskositas yang

lebih tinggi.

4.2 Saran

Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting, khususnya

bila dikaitkan dengan proses penyidikan. Penyidik dapat lebih terarah dan selektif dalam

18

melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana. Banyak cara yang dapat

digunakan dalam memperkirakan saat kematian salah satunya penggunaan cairan sinovial

setelah mati. Sehingga dapat membantu dalam penegakan hukum dan mengarahkan penyidik

sesuai dengan perkiraan saat kematian yang mendekati ketepatan.

Daftar Pustaka

1. Howard C. Adelman. Establishing The Time of Death in : Forensic Medicine. New

York : Infobase Publishing : 2007.p.20-26.

19

2. Cox, WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. New York : Forensic Science

Internaational : 2009.

3. Simkin PA. Synovial physiology. In: Arthritis and allied conditions. Ed:Koopman

WJ, Morelan RW. Lippincott williams & wilkins. Alabama 2005:176-87.

4. Sumariyono, Linda K, Wijaya. Struktur sendi, otot, saraf dan endotel vaskuler. Dalam

: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta 2006:1095-102.

5. Dahlan, Sofwan. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan

Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang. 47-65.

6. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakulatas Kedokteran

Universitas Indonesia.1997. Thanatologi. Halaman 25-35.

7. Dr. Bushan Kapur, Ph.D, FRSC, FACB, FCACB Department of Clinical Pathology,

Sunnybrook Health Science Center, Toronto. Division of Clinical Pharmacology and

Toxicology, The Hospital for Sick Children, Toronto, and Department of Laboratory

Medicine and Pathobiology, Faculty of Medicine, University of Toronto. CSCC

News, vol. 50, no. 2 April 2008.

8. Anonim. Harvesting Energy: Glycolysis and Cellular Respiration. Diunduh dari

http//www.Biochembull.com. diakses tanggal 31 Agustus 2013

9. Al Fatih, Muhammad. Algor Mortis. Diunduh dari http//www.KlinikIndonesia.com.

diakses tanggal 31 Agustus 2013.

10. http://www.freewebs.com/forensicpathology/lebammayat.htm

11. Idris, M A Dr. Saat kematian. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Bina Rupa

Aksara. 1997 : 53-77.

12. Van De Graff, K M. Muscle Tissue and The Mode of Contraction. Schaum’s Outline

of Human Anatomy. Mc-Graw Hill. 2001 : 51-53.

13. Kurniawan,ricky “Perubahan Sistemik Posmoterm” diakses melalui

www.klinikindonesia.com tanggal 7 September 2013

14. Dahlan, Sofwan. Traumatologi, Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi

Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro.

2004, Hal 60-62

15. Sumariyono. Artrosentesis dan analisis cairan sendi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi

B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.

Edisi V. Jakarta: lImu Penyakit Dalam FKUI. 2009.

20

16. Departments of Bioengineering and Whitaker Institute of Biomedical Engineering,

University of California-San. A model of synovial fluid lubricant composition in

normal and injured joints. San diego : 2007.

17. Nishat A. Sheikh, Estimation of postmortem interval according to time course of

potassium ion activity in cadaveric synovial fluid, Vol. 1, No. 1 (2007-07)

18. HodaFouad Abdel Salam, Eman Ahmed Shaat, Manal Hassan Abdel Aziz, dkk,

“Estimation of postmortem interval using thanatochemistry and postmortem

changes”, Available online 25 September 2012\

19. Tumram NK, Bardale RV, Dongre AP. Postmortem analysis of synovial fluid and vitreous humour for determination of death interval: a comparative study. Forensic Sci Int2011;204(1–3): 186–90.

20. T. Oshima. T. Konda. Post Mortem Alcohol analysis of synovial fluid and its availability in medicolegal practice. Jr forensic Science International. 90. 1997, 131 – 138.

21. Madea Burkhard et al “Information value of potassium concentration in vitreus humor for time of death” Beitr. Gerichtl. Med 1986: 45: 151-155.

21