referat epilepsi

31
KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Assalamualaikum. Wr. Wb Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan kesehatan dan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan Paper saya dengan judul “Epilepsi” ini. Selesainya penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu kami ucapkan terima kasih pembimbing kami, dr. Sumarnita Tarigan, Sp.S yang dengan sabar membimbing kami dan kepada rekan – rekan di Kepaniteraan Klinik di bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Haji Medan. Penulis berharap semoga dengan penulisan refreshing ini, pengetahuan penulis dalam bidang Neurologi dapat semakin bertambah sebagai bekal dalam menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang berkompeten. Penulis juga berharap refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Upload: ycpu3

Post on 04-Sep-2015

21 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Epikepsi referat

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. WbPuji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan kesehatan dan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan Paper saya dengan judul Epilepsi ini.Selesainya penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu kami ucapkan terima kasih pembimbing kami, dr. Sumarnita Tarigan, Sp.S yang dengan sabar membimbing kami dan kepada rekan rekan di Kepaniteraan Klinik di bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Haji Medan.Penulis berharap semoga dengan penulisan refreshing ini, pengetahuan penulis dalam bidang Neurologi dapat semakin bertambah sebagai bekal dalam menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang berkompeten. Penulis juga berharap refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.Paper ini masih banyak kekurangan, karena pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Paper ini.

Medan, 26 Juli 2015

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi.1Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.2 Sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari perempuan.3

Gambar 1. Gambaran Epidemiologi Epilepsi Menurut UsiaSelain itu di kalangan masyarakat awam sendiri masih terdapat pandangan yang salah mengenai penyakit epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan jiwa dan penyakit menular melalui air liur. Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif terhadap pelayanan untuk tatalaksana penyakit epilepsi. Beberapa masalah lain yang telah diidentifikasi sebagai penghambat tatalaksana penyakit epilepsi adalah keterbatasan tenaga medis, sarana layanan kesehatan, dana dan kemampuan masyarakat. Keterbatasan tersebut akan menurunkan optimalisasi penatalaksanaan penyakit epilepsi.2Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian pertahun adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (Sudden Unexplained Death In Epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiEpilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.2Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak aku (unprovoked).2Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.22.2 KlasifikasiDalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi mengingat tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi yang telah ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari dua jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.2Berikut ini adalah klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi.Tabel 1. ILAE Classification of Epileptic Seizures

I. Partial (focal) seizuresBangkitan parsial Bangkitan parsial sederhana Motorik Sensorik Otonom Psikis Bangkitan parsial kompleks Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran Bangkitan parsial sederhana yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik

II. Generalized seizures of nonfocal origin (convulsive or nonconvulsive) Lena (absence) Mioklonik Klonik Tonik Tonik-klonik Atonik

III. Unclassified epileptic seizures

Adapted from Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489501.4

Ternyata dalam mendiagnosis pasien epilepsi, mengklasifikasikan jenis epilepsi pada seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan kejangnya (kejang parsial atau kejang general), karena informasi klinis pada pasien ternyata juga memiliki makna klinis yang relevan pada penyakit epilepsinya. Seperti pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma kepala, atau riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang), kelainan pada pemeriksaan neurologis, serta hasil electroencephalography (EEG) dan laboratorium.4ILAE akhirnya mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut penyebabnya (idiopatik, simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap penyebab kemudian dikelompokkan kembali menurut usia pasien serta kemungkinan anatomi otak yang terkena. Klasifikasi sindrom epilepsi ini kurang berhasil, bahkan menjadi kontroversial daripada klasifikasi serangan. Hal ini dikarenakan pembagian sindrom epilepsi tersebut masih empiris. Pengelompokkan hanya berdasarkan data klinis dan hasil EEG yang mencakup informasi anatomi, patologik atau etilogi spesifik lainnya. Namun klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah dikenali seperti infantile spasms dan benign partial childhood with central-midtemporal spikes, dimana keduanya memiliki tatalaksana serta prognosis yang berbeda.4Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik namun memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada akhirnya penggolongan sindrom epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan maksimal.TABEL. 2 Modified Classification of Epileptic Syndromes

I. Idiopathic epilepsy syndromes (focal or generalized)

A. Benign neonatal convulsions1. Familial2. NonfamilialB. Benign childhood epilepsy1. With central midtemporal spikes2. With occipital spikesC. Childhood/juvenile absence epilepsyD. Juvenile myoclonic epilepsy (including generalized tonic-clonic seizures on awakening)E. Idiopathic epilepsy, otherwise unspecified

II. Symptomatic epilepsy syndromes (focal or generalized)

A. West syndrome (infantile spasms)B. Lennox-Gastaut syndromeC. Early myoclonic encephalopathyD. Epilepsia partialis continua1. Rasmussen syndrome (encephalitic form)2. Restricted formE. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)F. Temporal lobe epilepsyG. Frontal lobe epilepsyH. Post-traumatic epilepsy I. Other symptomatic epilepsy, focal or generalized, not specified

III. Other epilepsy syndromes of uncertain or mixed classification

A. Neonatal seizuresB. Febrile seizureC. Reflex epilepsyD. Other unspecified

2.3 EtiologiPenyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.2Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari etiologi tak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi menjadi penting, karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.42.4 EpidemiologiData dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi.2 Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria. Angka prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di Indonesia pada tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien dengan penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf.52.5 Patogenesis Epilepsi Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda bahwa pengetahuan tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang epileptik telah sangat maju. Meskipun demikian pengetahuan tentang patogenesis pada epilepsi berkembang pesat jauh sesudah obat-obat anti epilepsi ditemukan.Mc.Namara (1994) dan peneliti lainnya mengajukan konsep-konsep baru mengenai patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya gangguan di tingkat seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-faktor eksitasi dan inhibisi neuronal, baik yang bersifat seluler tunggal maupun dalam bentuk network. Dengan demikian konsep pengobatan dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada tingkat intervensi farmakologik dalam meredam hipereksitabilitas dan hipersinkronisasi neuronal atau meningkatkan inhibisi merupakan sasaran pengendalian proses epileptik (Rho dan Sankar 1999).Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter GABA, glutamat dan kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan. Selain itu mungkin patofisiologi serangan epileptik dapat melibatkan juga gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau proses remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut, sebagai bagian dari proses biologi molekuler yang mendasari serangan epileptik tersebut.Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat disimpulkan bahwa proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks dan multifaktorial serta dapat berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh suatu Precipitative event. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum penyakit yang tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif yang berperan pada masing-masing jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam; trauma waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus.Lado dan Mosche (2002) mengatakan bahwa peningkatan frekuensi kejang demam pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang penting pada genesis epilepsi lobus temporalis. 2.6 Mekanisme Dasar EpilepsiEpilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik neuronal yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron dari segolongan neuron (synchoronous discharge of neuronal network). Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena gangguan membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh eksitatorik dan inhibitorik (Browne dan Holmes 1997). Peningkatan faktor eksitatorik dan menurunnya faktor inhibitorik ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal. Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model percobaan binatang adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu periode interiktal, yaitu membran sel neuron yang berdekatan dengan badan sel mengalami kenaikan potensial listrik sebesar 10-15 mV dengan masa depolarisasi yang relatif memanjang (100-200 msec) yang disertai dengan aktivitas gelombang-gelombang paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang panjang ini menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel. Depolarisasi yang cukup kuat ini disebut sebagai paroxysmal depolarization shift (PDS). Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada manusia, dimana sering ditemukan gelombang-gelombang paku pada EEG pada periode interiktal.1Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat gangguan fungsi membran sel pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat tajam atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus tertentu diamati pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui aplikasi penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi yang berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial aksi pada fase tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi yang diselingi dengan silent periode yang khas untuk fase klonik. Silent periode ini menandakan hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.1Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal dengan manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh jaraknya melalui mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi pada segolongan neuron (neuronal network) atau kemudian menyebar ke seluruh permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.1Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang masih belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi. Kejang akan berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses inibisi serta bokade depolarisasi yang ditandai dengan supresi aktivitas EEG postiktal.12.7 Patogenesis kejang umumPada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran berasal dari neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara bersamaan dan dalam waktu yang singkat keadaan depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke seluruh bagian korteks lainnya.4

Patogenesis kejang umum.4Kejang umum ini terbagi menjadi : Kejang umum tonik klonikPada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi kekakuan pada dada dan tungkai (fase tonik), pada fase ini sering disertai dengan adanya suara yang keras akibat dorongan kuat dari udara yang melewati pita suara (epilepsi cry). Fase tonik ini akan diikuti gerakan berulang pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase postiktal, kebanyakan pasien akan merasa lelah, letargi dan bingung bahkan sampai tertidur. Pada beberapa pasien sering terdapat gejala sindrom epilepsi yang muncul sebelum terjadinya bangkitan. Gejala gejala tersebut dapat berupa rasa cemas, mudah tersinggung, penurunan konsentrasi, sakit kepala, atau perasaan yang tidak nyaman.3Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan karena peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang meningkat ini membutuhkan oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi sehingga terjadi penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan menimbulkan keadaan hipoksik pada otak.41. Bangkitan LenaPada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran dalam waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang hilang serta automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang atipikal. Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental seperti sindrom Lennox-Gastaut.32. Bangkitan umum klonikBangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang pada otot, dapat bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron ataupun asinkron. Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil pada otot muka, lengan atau tungkai sampai gerakan masif bilateral pada kepala, extremitas dan dada.33. Bangkitan umum atonikPada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang terjadi secara tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita akan jatuh sehingga sering terjadi cedera.32.8 Patogenesis kejang parsialPada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu pada korteks.4

Patogenesis kejang parsial.4Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi disebabkan oleh proses kindling yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif pada beberapa struktur otak dan menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat elektroensefalografi seizure yang berarti sel neuron yang tadinya normal menjadi bersifat epilepsi dan jika terus menerus dilakukan perangsangan berulang akan menimbulkan kejang.Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang fokal ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks lalu menyebar ke seluruh korteks serebri yang menghasilkan kejang tonik klonik.Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari lokasi lesi epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi yang mengalami gangguan adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin terjadi jika lesi epileptogenik berada di daerah gyrus presentral dapat berupa kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah dan tungkai kontralateral dari lesi serta kejang sensori fokal berupa perasaan tidak menyenangkan, nyeri ringan samapai rasa panas pada wajah dan extremitas kontralateral dari lesi. Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada mata, kepala dan leher kontralateral serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik yang terjadi di daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus temporal seperti memori, daya pembau dan mengecap.42.9 DiagnosisDiagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 21. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)a. Pola/bentuk bangkitanb. Lama bangkitanc. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan d. Frekuensi bangkitan e. Faktor pencetusf. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarangg. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertamah. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan perkembangan bayi/anaki. Riwayat terapi epilepsi sebelumnyaj. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologikHal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang, dan kanker.3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau indikasi, serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.a. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi reflex). Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus.Indikasi pemeriksaan EEG: Membantu menegakkan diagnosis epilepsi Menentukan prognosis pada kasus tertentu Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi Membantu dalam menentukan letak fokus Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan sebelumnya)b. Pemeriksaan pencitraan otakIndikasi: Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural Adanya perubahan bentuk bangkitan Terdapat defisit neurologik fokal Epilepsi dengan bangkitan parsial Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun Untuk persiapan tindakan pembedahanMagnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan Computed Tomography Scan (CT-scan). MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.c. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula, fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma GT, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas indikasi. Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP. Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan metabolik bawaan.2.10 Diagnosis BandingDiagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur penderita.1. Pada neonatus dan bayia. Jitteringb. Apneic spell2. Pada anaka. breth holding spellsb. sinkopec. Migrend. Bangkitan psikogenik/konversie. Prolonged QT syndromef. Night terrorg. Tich. Hypersianotic attack3. Pada dewasaa. Sinkopeb. Serangan iskemik sepintasc. Vertigod. Transient global amnesiae. Narkolepsif. Bangkitan panic, psikogenikg. Sindrom Menierh. Tics2.11 TatalaksanaTujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Prinsip terapi farmakologi: 21. OAE mulai diberikan bila:a. Diagnosis epilepsi telah ditentukanb. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatanc. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang timbul1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antarobat epilepsi. 2Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan2Jenis BangkitanOAE Lini PertamaOAE Lini KeduaOAE Lain yang dapat dipertimbangkanOAE yang sebaiknya dihindari

Bangkitan umum tonik klonikSodium ValproateLamotrigineTopiramateCarbamazepineClobazamLevetiracetamOxcarbazepineClonazepamPhenobarbitalPhenytoinAcetazolamide

Bangkitan lenaSodium ValproateLamotrigineClobazamTopiramateCarbamazepineGabapentinOxcarbazepine

Bangkitan mioklonikSodium ValproateTopiramateClobazamTopiramateLevetiracetamLamotriginePiracetamCarbamazepineGabapentinOxcarbazepine

Bangkitan tonikSodium ValproateLamotrigineClobazamLevetiracetamTopiramatePhenobarbitalPhenytoinCarbamazepineOxcarbazepine

Bangkitan atonikSodium ValproateLamotrigineClobazamLevetiracetamTopiramatePhenobarbitalAcetazolamideCarbamazepineOxcarbazepinePhenytoin

Bangkitan fokal dengan/tanpa umum sekunderCarbamazepineOxcarbazepineSodium ValproateTopiramateLamotrigineClobazamGabapentinLevetiracetamPhenytoinTiagabineClonazepamPhenobarbitalAcetazolamide

Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa2ObatDosis Awal (mg/hari)Dosis Rumatan (mg/hari)Jumlah Dosis Per HariWaktu Paruh Plasma (Jam)Waktu Tercapainy Steady State (Hari)

Carbamazepine400-600400-16002-3x15-352-7

Phenytoin200-300200-4001-2x10-803-15

Asam valproat500-1000500-25002-3x12-182-4

Phenobarbital50-10050-200150-170

Clonazepam141 atau 220-602-10

Clobazam1010-302-3x10-302-6

Oxcarbazepine600-900600-30002-3x8-15

Levatiracetam1000-20001000-30002x6-82

Topiramate100100-4002x20-302-5

Gabapentin900-1800900-36002-3x5-72

Lamotrigine50-10020-2001-2x15-352-6

Efek samping obat anti epilepsi klasik: 2ObatEfek SampingTerkait Dosis Idiosinkrasi

CarbamazepineDiplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, netropenia, hiponatremiaRuam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, hepatotoksik, SSJ, teratogenik

PhenytoinNistagmus, ataksia, mual, muntah, hipertropi gusi, depresi, mengantuk, paradoxical increase in seizure, anemia megaloblastikJerawat, coarse facies, hirsutism, lupus like syndrome, ruam, SSJ, Dupuytrens contracture, hepatotoksik, teratogenik

Asam valproatTremor, berat badan naik, dyspepsia, mual, muntah, kebotakan, teratogenikPankreatitis akut, hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati, udem perifer

PhenobarbitalKelelahan, restlegless, depresi, insomnia (anak), distracatibility (anak), hiperkinesia (anak), irritability (anak)Ruam makulopapular, eksfoliasi, NET, hepatotoksik, arthritic changes, Dupuytrens contracture, teratogenik

ClonazepamKelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness, agresi (anak), hiperkinesia (anak)Ruam, trombositopenia

Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.21. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahunb. Gambaran EEG normalc. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:a. Semakin tua usiab. Epilepsi simtomatikc. Gambaran EEG abnormald. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikane. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita f. Penggunaan lebih dari satu OAEg. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapih. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke-3. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008; p.1-48.3. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005; p.79-88.4. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor. Merritts neurology. 11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins, 2005.5. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy. 14 Desember 2002. Jakarta.6. https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/6933/1/jp06020.pdf