referat bipolar

96
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan afektif bipolar merupakan gangguan jiwa yang tersifat oleh episode berulang (sekurang- kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau hipomania) dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas dari gangguan ini adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode (Maslim, 2001). Terdapat dua tipe gangguan afektif bipolar, yaitu tipe I dan tipe II. Pada gangguan afektif bipolar tipe I, pasien mengalami episode manik dan depresif atau pasien mengalami episode manik saja. Sedangkan pada gangguan afektif bipolar tipe II ditandai oleh adanya episode depresif berat dan berganti-ganti dengan hipomania (Kaplan, 2010). Gangguan afektif bipolar disebut-sebut bertanggung jawab untuk hendaya yang terjadi pada seseorang oleh karena onsetnya yang cepat dan kronisitasnya selama masa hidup seseorang. Estimasi 1

Upload: anggarani-nia

Post on 13-Jul-2016

245 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pskiatri

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Bipolar

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan afektif bipolar merupakan gangguan jiwa yang tersifat oleh

episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan

tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari

peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau

hipomania) dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan

energi dan aktivitas (depresi). Yang khas dari gangguan ini adalah bahwa

biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode (Maslim, 2001).

Terdapat dua tipe gangguan afektif bipolar, yaitu tipe I dan tipe II.

Pada gangguan afektif bipolar tipe I, pasien mengalami episode manik dan

depresif atau pasien mengalami episode manik saja. Sedangkan pada

gangguan afektif bipolar tipe II ditandai oleh adanya episode depresif berat

dan berganti-ganti dengan hipomania (Kaplan, 2010).

Gangguan afektif bipolar disebut-sebut bertanggung jawab untuk

hendaya yang terjadi pada seseorang oleh karena onsetnya yang cepat dan

kronisitasnya selama masa hidup seseorang. Estimasi agregat prevalensi

seumur hidup gangguan ini adalah sekitar 1,0% dari populasi umum untuk

gangguan afektif bipolar tipe I, sedangkan estimasi prevalensi pada tipe II

adalah sebesar 1,2% (Merikangas, 2011).

Studi komorbiditas nasional Amerika melaporkan prevalensi seumur

hidup gangguan afektif bipolar sebesar 4% dan gangguan ini lebih sering

ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria dengan rasio 3:2. Usia rata-

rata penderita saat onset adalah 25 tahun, dengan pria memiliki onset yang

lebih awal dibandingkan dengan wanita (Andreasen, 2006).

Pada populasi yang memiliki asuransi, 7,5% dari semua penuntut

manfaat asuransi layanan kesehatan jiwa yang mengajukan klaim, 3,0%nya

mengajukan klaim dengan diagnosis gangguan afektif bipolar. Seseorang

dengan gangguan afektif bipolar, mengeluarkan sekitar $568 di setiap

1

Page 2: Referat Bipolar

tahunnya yang mana biayanya dua kali lipat dibandingkan dengan penuntut

manfaat asuransi kesehatan jiwa lainnya. Hal ini membuat gangguan afektif

bipolar menjadi diagnosis gangguan jiwa termahal, dengan biaya pengobatan

dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang menderita depresi saja (Peele,

2003). Selain menimbulkan dampak pada ekonomi, gangguan ini juga

berdampak sosial pada komunitas di tempat pasien tinggal (American

Psychiatric Association, 2000).

Oleh karena alasan tersebut, maka diperlukan adanya intervensi dini

dan peningkatan manajemen pencegahan pada gangguan tersebut. Salah satu

cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui apa peran dari

epigenetik, genetik, dan biomolekuler pada gangguan ini, sehingga pada

akhirnya insidensi dan prevalensi gangguan ini dapat menurun serta mungkin

dapat ditemukannya cara terapi yang efektif dan efisien dibandingkan dengan

cara terapi tradisional untuk gangguan tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa peran epigenetik pada gangguan afektif bipolar?

2. Apa peran genetik pada gangguan afektif bipolar?

3. Apa peran biomolekuler pada gangguan afektif bipolar?

C. Tujuan

1. Mengetahui peran epigenetik pada gangguan afektif bipolar

2. Mengetahui peran genetik pada gangguan afektif bipolar

3. Mengetahui peran biomolekuler pada gangguan afektif bipolar

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan ilmiah

dalam bidang genetik, epigenetik, dan biomolekuler pada gangguan

afektif bipolar.

2

Page 3: Referat Bipolar

2. Manfaat Praktis

Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan secara

umum, dan manfaat kepada pembaca dan kepada penulis pada khususnya

agar lebih memahami gangguan afektif bipolar.

3

Page 4: Referat Bipolar

BAB II

PEMBAHASAN

A. Epigenetik

Epigenetik adalah suatu mekanisme yang menentukan apakah suatu

gen akan diekspresikan menjadi RNA dan protein, atau akan dibungkam.

Epigenetik merujuk pada perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen

yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA yang mendasari atau

dengan kata lain perubahan fenotipe tanpa perubahan genotipe. Jika genom

adalah "kata," maka epigenom adalah "cerita" yang dihasilkan dari mengatur

"kata" menjadi cerita yang koheren. Neurotransmisi, gen itu sendiri, obat-

obatan, dan lingkungan mengatur gen yang diekspresikan atau dibungkam

(Stahl, 2013).

1. Mekanisme molekuler epigenetik

Mekanisme epigenetik menghidupkan dan mematikan gen dengan

memodifikasi struktur kromatin dalam inti sel. Karakter sel secara

fundamental ditentukan oleh kromatin, sebuah substansi yang terdiri dari

nukleosom. Nukleosom merupakan rangkaian DNA yang melilit suatu

protein yang disebut histon. Epigenetik mengatur apakah gen akan

diekspresikan atau tidak diekspresikan, dicapai dengan memodifikasi

struktur kromatin. Modifikasi kimia yang dapat melakukan hal ini tidak

hanya metilasi, tetapi juga asetilasi, fosforilasi, dan proses lainnya yang

diatur oleh neurotransmisi, obat-obatan, dan lingkungan. Misalnya, ketika

DNA atau histon ter-metilasi, ia akan memadatkan kromatin dan menutup

akses faktor transkripsi molekul ke daerah promotor DNA, dengan

konsekuensi bahwa gen dibungkam dan tidak diekspresikan. Sehingga

tidak ada RNA atau protein yang diproduksi. Silenced DNA berarti bahwa

fitur molekul bukan bagian dari kepribadian sel itu (Stahl, 2013).

Histon yang termetilasi oleh enzim disebut histone metil-

transferase (HMT), dan dapat diubah kembali oleh enzim yang disebut

4

Page 5: Referat Bipolar

histone demethylase (HDM). Metilasi histon dapat membungkam gen,

sedangkan demetilasi dari histon dapat mengaktifkan gen. DNA juga dapat

termetilasi, dan ini juga membungkam gen. Demetilasi DNA akan

mengaktifkan gen. Metilasi DNA diatur oleh enzim DNA metil-transferase

(DNMT), dan demetilasi DNA oleh enzim DNA demethylase. Ada banyak

bentuk enzim metil-transferase, dan semuanya menambahkan substrat

dengan kelompok metil yang disumbangkan dari L-methylfolate melalui S-

adenosyl-methionin (SAMe). Ketika neurotransmisi, obat-obatan, atau

lingkungan mempengaruhi metilasi, hal inilah yang mengatur gen secara

epigenetik apakah gen akan diekspresikan atau dibungkam (Stahl, 2013).

Metilasi DNA akhirnya dapat juga menyebabkan deasetilasi histon,

dengan mengaktifkan enzim yang disebut histone deacetylases (HDAC).

Deasetilasi histon juga memiliki efek pembungkaman pada ekspresi gen.

Metilasi dan deasetilasi akan memadatkan kromatin, seakan gerbang

molekul telah ditutup. Hal ini untuk mencegah faktor transkripsi

mengakses daerah promotor yang mengaktifkan gen; dengan demikian,

gen dibungkam dan tidak ditranskripsi menjadi RNA atau diterjemahkan

menjadi protein. Di sisi lain, demetilasi dan asetilasi melakukan

dekompresi kromatin seakan gerbang molekul telah dibuka, dan dengan

demikian faktor transkripsi bisa sampai ke daerah promotor gen dan

mengaktifkan gen. Gen diaktifkan dengan demikian menjadi bagian dari

kepribadian molekul dari sel tertentu (Stahl, 2013).

5

Page 6: Referat Bipolar

Gambar 1. Gene activation and silencing

Pada mamalia, modifikasi DNA genomik terjadi terutama di posisi

kelima dari cincin pirimidin sitosin di dinukleotida CpG (Gambar 1). Gen

promotor mamalia sering dikaitkan dengan regio kaya-CpG (CpG islands),

dan tingkat metilasinya sangat dinamis selama tahap-tahap perkembangan

(Garinis et al.2002).

6

Page 7: Referat Bipolar

Gambar 2. Modifikasi epigenetik pada histon

Modifikasi epigenetik pada histon terjadi pada unit octamer dari

protein histon (Gambar 2). Ekor yang menonjol dari protein histon adalah

bagian untuk modifikasi posttranslational, seperti asetilasi, metilasi, dan

fosforilasi (Jenuwein dan Allis 2001). Aktivitas yang berlawanan dari

enzim HMT, HDM, HAT, dan HDAC ini memberikan sebuah

keseimbangan yang dinamis antara struktur kromatin dan transkripsi gen

yang terkait. Telah diketahui modifikasi histon juga terkait dengan pola

metilasi DNA pada lokus kromosom. Methyl-binding domain proteins

(MBD), seperti metil-CpG-binding protein 2 (MECP2), bisa untuk metilasi

DNA dan menarik kompleks protein besar yang mengandung HDAC dan

HMT, yang selanjutnya menekan aktivitas gen (Khare et al, 2011).

Baru-baru ini, diketahui bahwa regulasi epigenetik melibatkan

small interfering RNA (siRNA) / mikro RNA (miRNA). RNA kecil terdiri

dari 21-28 nukleotida, dan berasal dari pembelahan RNA untai ganda.

RNA dapat memainkan peran regulasi tingkat transkripsi dan

posttranscriptional. RNA-mediated gene silencing memainkan peran

penting dalam mempertahankan struktur kromosom, pertahanan genom,

dan regulasi gen, dan baru-baru ini menunjukkan peran penting dalam

perkembangan penyakit (Khare et al, 2011).

7

Page 8: Referat Bipolar

a. Epigenetik pada gangguan afektif bipolar

Pada umumnya, penyakit yang kompleks, seperti gangguan

afektif bipolar, disebabkan oleh dua kelompok faktor risiko, yaitu:

perubahan dalam rangkaian DNA dan lingkungan yang berbahaya.

Epigenetik telah diketahui memiliki banyak peran pada regulasi

beberapa proses genomik yang berhubungan dengan penyakit psikiatri

dan penyakit kompleks lainnya.

Model epigenetik dari gangguan afektif bipolar dan penyakit

kompleks lainnya bergantung pada tiga konsep dasar yaitu:

1) Regulasi epigenetik spatiotemporal fungsi gen yang sangat dinamis

Epigenetik suatu sel dipengaruhi oleh perkembangan

organisme, lingkungan internal dan/atau eksternal, dan faktor

stokastik. Dengan demikian, jenis sel dalam suatu jaringan memiliki

epigenotipe yang berbeda dengan jenis suatu sel di jaringan lain

(Khare et al, 2011).

2) Beberapa tanda epigenetik menampilkan stabilitas meiosis parsial

Selama meiosis, tanda epigenetik akan terhapus dalam sel

germinal dan akan terbentuk profil sel yang baru. Efek

transgenerational fenotipik muncul jika tanda epigenetik tidak

terhapus secara sempurna (Khare et al, 2011).

3) Faktor-faktor epigenetik penting dalam fungsi normal dari genom

Penyimpangan dalam status epigenetik sel dapat

menyebabkan kerugian yang serius pada genom, sel, jaringan, atau

individu (Khare et al, 2011).

Macam-macam mekanisme epigenetik pada gangguan afektif

bipolar adalah sebagai berikut:

a) Diskordansi Kembar Monozigot

Pada gangguan afektif bipolar, korkondansi (fenotip sama)

teramati sebanyak 62% dan 79% pada kembar monozigot pria dan

wanita. Sedangkan pada kembar dizigot, menunjukkan 12-15%

konkordansi. Perbedaan fenotip pada kembar monozigot sering

8

Page 9: Referat Bipolar

diinterpretasikan sebagai bukti dari interaksi lingkungan yang

menyebabkan penyakit pada salah satu dari dua anak kembar, tetapi

Taylor et al (2002) menunjukkan bahwa orang tua yang

membesarkan anak mereka dalam lingkungan yang normal tidak

menurunkan risiko terjadinya gangguan afektif bipolar. Dari sudut

pandang epigenetik, diskordansi kembar monozigot dapat dijelaskan

sebagai kaskade perubahan epigenetik yang dimulai dengan pre-

epimutasi, suatu masalah epigenetik yang timbul selama maturasi

germline. Pre-epimutasi tidak menyebabkan suatu kondisi kesakitan,

melainkan dapat menjadi faktor predisposisi seorang individu

menderita suatu penyakit. Pre-epimutasi dapat dipengaruhi oleh

pengaruh dari pre- dan post-natal, seperti diferensiasi jaringan,

lingkungan eksternal, hormon, kejadian stokastik, dll. Oleh karena

sifat dinamis tersebut, epimutasi penuh hanya dapat terjadi pada

salah satu anak kembar. Perbedaan epigenetik pada anak kembar

seperti yang telah diuraikan di atas dapat menyebabkan diskordansi

penuh atau parsial (variasi muncul pada onset usia, keparahan

penyakit, dan respon pengobatan). Perbedaan epigenetik molekuler

telah diidentifikasi pada “discordant” kembar monozigot pada

Sindrom Beckwith Wiedemann, dan pada kembar monozigot yang

menderita gangguan psikiatri (Khare et al, 2011).

Inaktivasi kromosom X yang tidak simetris pada wanita

merupakan proses epigenetik lain yang dapat menjelaskan

diskordansi kembar monozigot pada wanita (Rosa et al, 2008).

Beberapa tingkat regulasi epigenetik, seperti metilasi DNA, ekspresi

RNA Xist non-coding, dan modifikasi histon, terlibat dalam

inaktivasi kromosom X (Khare et al, 2011).

b) Dismorfisme seksual

Pengaruh seks, atau dimorfisme seksual, merujuk ke

perbedaan kerentanan terhadap penyakit pada jenis kelamin laki-laki

dan perempuan. Perbedaan tersebut dahulu diduga terkait dengan

9

Page 10: Referat Bipolar

perbedaan gen yang berada pada kromosom seks. Sebagai tambahan,

efek spesifik dari gender telah dikaitkan dengan hormon seks dan

peran penting mereka dalam berbagai proses regulasi dan kondisi

penyakit (Sit, 2004). Perbedaan seks terdapat pada gangguan afektif

bipolar, seperti yang terlihat pada lebih tingginya insidensi dari

rapid cycling, gangguan campuran, dan siklotimia pada wanita dan

prevalensi yang lebih tinggi dari onset dini gangguan afektif bipolar

pada pria (Braunig et al 2009). Beberapa penelitian mengungkapkan

bahwa gen autosomal juga mungkin menunjukkan pengaruh gender

(Kaminsky et al. 2006). Sebagai contoh, studi asosiasi gen G

protein-coupled receptor 78 (GPR78), yang terletak di kromosom 4,

ditemukan dua haplotipe yang muncul, terutama wanita dengan

gangguang bipolar (Underwood et al. 2006). Epigenetik dapat

memberikan penjelasan tentang efek seks pada gen autosom.

Yang menjadi perhatian adalah reseptor androgen dan

reseptor estrogen, yang merupakan bagian dari reseptor steroid (SR)

yang merupakan anggota dari reseptor hormon di inti sel (Fu et al

2004). SR merespon hormon steroid dengan merekrut kompleks

protein lalu dihubungkan dengan beberapa enzim yang dapat

memodifikasi histon, seperti HAT, HDAC, dan HMT, yang

menentukan bisa atau tidaknya RNA polimerase II dan faktor

transkripsi mengakses DNA (Fu et al. 2004). Beberapa studi telah

menunjukkan bahwa modifikasi histon, serta perubahan dalam

metilasi DNA dari gen-gen tertentu, dapat dimediasi melalui hormon

seks. Selain itu, efek dari hormon seks telah terbukti spesifik

terhadap gen dan jaringan tertentu, berdasarkan pada diferensiasi

spesifik jaringan tertentu terhadap respon dari reseptor hormon seks

diantara gender dan terget gennya (Azzi et al 2006). Misalnya, efek

spesifik pada jaringan yang disebabkan oleh seks hormon

ditunjukkan pada terapi estradiol pada tikus, yang mengakibatkan

peningkatan metilasi gen prolaktin dan penurunan mRNA hanya di

10

Page 11: Referat Bipolar

hipofisi dan liver. Dari penelitian tersebut, dapat diasumsikan bahwa

alel atau haplotype tertentu terlibat menjadi faktor risiko setelah

adanya perubahan epigenetik yang dimediasi oleh sistem endokrin.

c) Efek dari orang tua

Orang tua juga berpengaruh dalam kondisi biologis manusia,

mengacu pada pengaruh spesifik gender orang tua terhadap risiko

pengembangan penyakit pada keturunannya. Ada banyak penelitian

yang menunjukkan sering terjadinya transmisi maternal pada

gangguan afektif bipolar pada kasus familial (Lan et al. 2007).

Mekanisme lain yang mungkin menjelaskan pengaruh dari orang tua

yang bisa menurunkan gangguan afektif bipolar adalah pewarisan

mitokondria dan genomic imprinting.

Genomic imprinting mengacu pada beberapa ratus gen dari

ekspresi monoalel, terutama disebabkan perbedaan tanda epigenetik

pada alel ibu atau ayah. Biasanya, gen yang tercetak menunjukkan

sebuah jenis ekspresi "on/off"; contohnya, H19 diekspresikan ketika

diturunkan dari ibu, sedangkan IGF2 secara eksklusif diekspresikan

ketika diwarisi dari ayah. Gen yang tercetak biasanya terletak dalam

suatu kompleks dan mungkin dapat menunjukkan regulasi epigenetik

dalam jaringan secara spesifik. Regulasi gen yang tercetak dalam

suatu komples melibatkan satu atau beberapa elemen regulasi yang

memiliki perbedaan epigenetik pada alel ayah dan ibu, disebut

sebagai imprinting center IC) atau differentially methylated regions

(DMR). Modifikasi pada epigentik di IC dipertahankan sepanjang

perkembangan organisme dan hanya terhapus dan dimunculkan

kembali selama pembentukan germ cell (Sasaki dan Matsui 2008).

Perlu dicatat bahawa gen ayah dan gen ibu mungkin saling

mendominasi satu sama lain di setiap daerah otak yang berbeda.

Pada tikus, daerah otak yang menunjukkan dominasi pengaruh ayah

berada di hipotalamus dan daerah septum, yang memediasi perilaku

insting, seperti makan, kawin, dan agresi sosial. Pengaruh ibu terlihat

11

Page 12: Referat Bipolar

di bidang yang terkait dengan perkembangan kognitif (Barrett et al

2009). Selanjutnya, sindom imprinting sering menunjukkan

komorbiditas psikiatrik. Imprinting biasanya terletak di kromosom

15q11-13, yang terlibat dalam etiologi Prader-Willi dan Angelman

syndrome (PWS dan AS). Angelman syndrome, atau sindrom

"happy puppet", ditandai dengan penurunan regulasi epigenetik dari

gen ibu. Individu yang terkena menunjukkan adanya gangguan

ADHD pada masa bayi, dengan tingginya insiden autisme.

Sebaliknya, PWS disebabkan penurunan regulasi gen ayah, yang

memperlihatkan perilaku sangat tenang di masa bayi. Individu yang

terkena PWS memiliki insidensi yang tinggi untuk terjadinya

psikosis dengan depresi.

d) Efek Epigenetik lainnya

Perkembangan penelitan menunjukkan bahwa faktor

lingkungan, seperti pola makan, faktor kimia, dan faktor fisik, serta

faktor-faktor psikososial, dapat memodulasi profil epigenetik dari

genom, baik pada lokus yang spesifik maupun global. Pengaruh pola

makan diamati dari suatu penelitian yang dilakukan pada penyakit

skizofren (memiliki fenotip mirip dengan gangguan afektif bipolar)

menunjukkan bahwa anak dimana ibunya terkena bencana kelaparan

menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi untuk skizofrenia. Selain

itu, anak tersebut juga menampilkan penyimpangan modifikasi

epigenetik pada promotor dari gen IGF 2. Pada hewan, penambahan

suplemen metyl-donor, seperti asam folat dan vitamin B12, selama

kehamilan ditemukan meningkatkan metilasi DNA keseluruhan

genom embrio. Efek ini terdokumentasikan dengan baik pada elemen

IAP yang muncul pada lokus gen Agouti dan, sebagai hasil,

perubahan warna bulu yang diamati. Selain diet, regulasi dari fungsi

genom dapat dipengaruhi oleh penggunaan narkoba. Misalnya,

methamphetamine mempengaruhi metilasi DNA dengan mengubah

ekspresi DNMT1. Penggunaan jangka panjang dari metamfetamin

12

Page 13: Referat Bipolar

diketahui menyebabkan perilaku yang berlebihan dari agresif,

defensif, dan perilaku seksual, kadang-kadang diamati pada pasien

BPD dan skizofrenia (Khare et al, 2011).

Pasien dengan gangguan afektif bipolar sering menunjukkan

kebiasaan sleep-wake dysrhythmic, seperti insomnia, variasi diurnal

pada mood, dan bangun tidur terlalu pagi. Studi dengan

menggunakan tikus menunjukkan keterlibatan sleep-wake rhythm;

seperti (1) mutasi pada gen Clock (Circadian Locomotor Output

Cycles Kaput Protein) pada tikus yang mengarah ke perilaku mania

seperti pada manusia, dan (2) tikus transgenik yang mengekspresikan

secara berlebihan Gsk3b (Glycogen kinase 3 beta) juga

menunjukkan hiperaktif dan perilaku seperti manik. Serangkaian gen

yang terlibat dalam ritme sirkadian juga menonjol sebagai kandidat

potensial orang yang akan mengalami gangguan afektif bipolar,

terutama untuk gangguan afektif bipolar anak. Sleep-wake rhytm

dipertahankan pada nukleus suprachiasmatic (SCN) di hipotalamus

dan diregulasi dengan mekanisme umpan balik transkripsi, yang

dapat berjalan tanpa adanya masukan dari lingkungan selama 24

jam. Heterodimer dari CLOCK dan Brain and Muscle ARNT-like

Protein-1 (BMAL1) berfungsi sebagai aktivator transkripsi dari

target gen CLOCK (PER 1 dan 2, CRY1 dan 2). GSK-3b

memfosforilasi target gen CLOCK dan mengarahkan mereka ke inti

sel, dimana mereka menghambat aktivitas fungsional

CLOCK/kompleks BMAL1, sehingga menyelesaikan umpan balik

transkripsi. Melatonin, merupakan sebuah hormon kunci yang

terlibat dalam pemeliharaan ritme sirkadian, disekresikan oleh

kelenjar pineal, yang diatur oleh SCN. Sekresi melatonin

dipengaruhi oleh siklus terang-gelap, dimana kegelapan merangsang

dan cahaya menekan produksinya. Cahaya memicu fosforilasi

H3Ser10 dalam neuron-neuron di SCN dan memicu asetilasi H3

menjadi K14. Modifikasi epigenetik ini digabungkan dengan

13

Page 14: Referat Bipolar

transkripsi aktif dari gen CLOCK. Menariknya, protein CLOCK

memproses aktivitas intrinsik HAT, pengasetilasian histon H3 dan

H4, dengan preferensi yang tinggi untuk H3K14. Demikian pula,

modifikasi histon yang berbeda juga berjalan selama ritme sirkadian

untuk represi transkripsi gen target CLOCK, misalnya di-metilasi

dan tri-metilasi H3K27 pada PER 1 dan PER 2 bagian promotor

(Khare et al, 2011).

Penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif

bipolar – lithium dan asam valproat - dapat berkontribusi untuk

sleep-wake rhytm dengan memodifikasi epigenetik. Lithium,

menghambat aktivitas GSK-3, dan asam valproat sering digunakan

sebagai kombinasi dan memiliki efek neuroprotektif. Lithium juga

dikenal untuk memperpanjang umur C.elegans, yang menyebabkan

menekan ekspresi dari LSD-1 (Lysine-spesific demethylase-1), pen-

demetilasi histon, sehingga mempengaruhi status epigenetik (Khare

et al, 2011).

e) Pendekatan Eksperimental pada Studi Epigenetik dan Epigenomik

dari gangguan afektif bipolar

Komponen epigenetik digunakan untuk menyelidiki dua

komponen dari genom: modifikasi pada DNA atau pada protein

histon. Modifikasi pada protein histon diselidiki pertama kali dengan

memperkaya fraksi DNA dengan mengikatkannya pada sebuah

modifikasi histon yang spesifik. Modifikasi histon didapat melalui

penggunaan antibodi spesifik. Setelah fraksi yang diperkaya telah

diisolasi, fraksi tersebut dijadikan lokus khusus PCR atau dapat

diamati pada microarray. Modifikasi DNA terdiri dari residu sitosin

yang ter-metilasi dan ter-hidroksimetilasi (Khare et al, 2011).

f) Penelitian Methylome DNA pada gangguan afektif bipolar

Di korteks prefrontal individu dengan gangguan afektif

bipolar dan skizofren, terjadi peningkatan kadar ekspresi gen

DNMT1 dan donor metil SAM (S-adenosyl metionin), yang

14

Page 15: Referat Bipolar

menyebabkan peningkatan secara global metilasi DNA. Namun,

jumlah sitosin yang ter-metilasi di leukosit perifer dalam kasus BPD

dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan (Khare et

al, 2011).

Kuratomi et al (2008) menyelidiki perbedaan metilasi DNA

di sel darah lymphoblast pada kembar monozigot. Dalam penelitian

ini, kembar yang terkena menunjukkan peningkatan metilasi di

promotor spermine synthase gene (SMS) dan penurunan metilasi di

peptidylprolyl isomerase E-like gene (PPIEL) (Khare et al, 2011).

g) Kompleksitas metodologis dan eksperimental pada penelitian faktor

epigenetik penyakit jiwa

Pada gangguan afektif bipolar dan gangguan kejiwaan lain,

jaringan yang terkena adalah otak, stabilitas post-mortem faktor

epigenetik harus diperhitungkan. Hal ini juga diketahui bahwa

metilasi DNA jauh lebih stabil dari modifikasi histon,

menjadikannya pilihan pada investigasi epigenetik di post-mortem

jaringan otak. Namun, metilasi DNA pada jaringan nonstem terbatas

pada situs CpG dan profil epigenetik pada daerah CpG (Khare et al,

2011).

Hubungan antara perubahan epigenetik dan penyakit tidak

memberikan kesimpulan yang pasti mengenai hubungan sebab-

akibat. Misregulasi epigenetik dapat menjadi penyebab penyakit atau

mungkin disebabkan oleh proses penyakit, peristiwa kompensasi

dalam sel dan jaringan, penyakit yang berhubungan dengan

perubahan gaya hidup, pengobatan, dan banyak faktor dan peristiwa

yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi. Salah satu cara yang

mungkin untuk mendapatkan informasi tentang masalah ini adalah

dengan menguji jaringan yang tidak terlibat dalam proses penyakit,

misalnya dalam sel darah atau sel epitel buccal. Sisa-sisa epimutasi

di jaringan bukan otak akan menyarankan bahwa epigenetik telah

terjadi selama embriogenesis awal sebelum jaringan utama

15

Page 16: Referat Bipolar

diferensiasi, atau bahkan diwariskan, bukan muncul sebagai hasil

dari kemajuan penyakit. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan

adanya epimutasi pada lokus IGF2 dalam limfosit pasien kanker usus

besar (Khare et al, 2011).

h) Ringkasan

Gangguan afektif bipolar masih sulit untuk dijelaskan secara

pasti dengan mekanisme epigenetik.

B. Pengaruh Genetik terhadap Gangguan Afektif Bipolar

1. Gangguan afektif bipolar diwariskan secara genetik dalam keluarga

Gangguan afektif bipolar dapat terjadi dalam keluarga. Hal ini telah

diakui selama 500 tahun. Dalam prakteknya, jarang ditemui seorang

individu bipolar tanpa adanya riwayat keluarga dengan gangguan afektif.

Studi-studi untuk menerangkan risiko pewarisan genetik secara spesifik

dalam keluarga dimulai pada awal abad ke-20 dan diakumulasi terutama

pada pertengahan akhir abad. Tipe investigasi ini dinamakan studi

keluarga, studi kembar, dan studi adopsi, digunakan untuk mendapatkan

pola pewarisan gangguan afektif bipolar dan untuk mengetahui risiko

pewarisan dalam keluarga (Goodwin & Jamison, 2007; Nurnberger, 2012).

a. Studi keluarga mengenai gangguan afektif bipolar

Studi keluarga biasanya dimulai pada individu yang terkena (the

proband) dan kemudian mengidentifikasi tingkat relatif penyakit di

antara keluarga. Seperti yang telah dijelaskan oleh Nurnberger (2012),

studi ini menjelaskan pola penurunan gangguan afektif bipolar dengan

menanyakan tiga pertanyaan:

1) Apakah seseorang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan

penderita gangguan afektif bipolar mempunyai risiko yang lebih

tinggi untuk menderita gangguan tersebut dibandingkan dengan

seseorang yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan

penderita gangguan afektif bipolar?

16

Page 17: Referat Bipolar

2) Apakah gangguan lain berbagi risiko pewarisan dalam keluarga

dengan gangguan afektif bipolar; dan juga, apakah kondisi terkait

lainnya juga meningkat kejadiannya dalam keluarga?

3) Dapatkah cara pewarisan yang spesifik diidentifikasi?

Seperti yang telah ditinjau oleh Goodwin dan Jamison (2007),

pada studi keluarga mengenai gangguan afektif bipolar secara umum

ditemukan bahwa rata-rata keturunan pertama dalam suatu keluarga

memiliki risiko untuk terjadi gangguan afektif bipolar sebesar 12%,

yang pada dasarnya terjadi peningkatan 10 kali lipat dari populasi

umum. Keturunan pertama dalam suatu keluarga juga menunjukkan

peningkatan risiko 2 kali lipat untuk terjadinya episode depresi berat;

namun kenyataannya, karena prevalensinya yang tinggi, episode depresi

berat lebih sering terjadi dibandingkan gangguan afektif bipolar pada

keluarga dengan gangguan afektif bipolar. Suatu studi pada tahun 1980

mencoba untuk menggambarkan lebih baik risiko relatif keluarga

dengan subtipe spesifik gangguan afektif bipolar; dinamakan tipe I dan

II. Hasilnya diringkas dalam Tabel 1.1. Sebagaimana digambarkan,

tidak ada satupun “keturunan asli” (breed true) gangguan afektif bipolar

dari kedua tipe tersebut yang mengalami peningkatan satu sama lain

seperti pada episode depresi berat; namun, risiko relatif dari masing-

masing tipe gangguan mood meningkat berdasarkan subtipe proband.

Sayangnya, cara pewarisan spesifik dari gangguan afektif

bipolar masih belum jelas karena bervariasi di antara keluarga yang

berbeda, dari transmisi yang menyerupai pola dominan atau resesif

Mendel hingga pewarisan maternal. Kemungkinan, variabilitas ini

mencerminkan beberapa gen risiko.

17

Page 18: Referat Bipolar

Tabel 1.1 Persentase Gangguan afektif bipolar dan Episode Depresi Berat dari

Studi Keluarga

Proband BPI BPII MDD

Gangguan afektif

bipolar I

5.2 3.8 16.6

Gangguan afektif

bipolar II

2.1 6.5 21.6

Episode Depresi Berat 0.8 2.4 20.5

Populasi Sehat 0.1 0.9 7.3

Dikutip dari Goodwin & Jamison, 2007

b. Studi Kembar

Meskipun gangguan afektif bipolar terjadi dalam keluarga,

bukan berarti hal itu disebabkan oleh genetik, karena keluarga berbagi

gen dan lingkungan yang sama. Oleh karena itu, lingkungan dapat

menjadi penyebab utama kondisi ini. Studi yang membandingkan

kembar monozigot, yang memiliki kemiripan gen 100%, dengan

kembar dizigot, yang hanya berbagi 50% dari gen mereka seperti

saudara lainnya, memberikan suatu pendekatan terhadap penjelasan

mengenai kontribusi relatif dari genetik dan lingkungan. Secara

spesifik, jika gangguan afektif bipolar disebabkan oleh genetik,

diharapkan gangguan afektif bipolar akan lebih sering mengenai

kembar monozigot (identik) dibandingkan kembar dizigot (fraternal).

Perbedaan tingkat konkordinasi pada gangguan afektif bipolar (antara 2

tipe orang kembar, yaitu tingkat dimana orang kembar tersebut

terpengaruh) dapat kemudian digunakan untuk menghitung risiko relatif

genetik pada kondisi tersebut. Risiko relati ini disebut “Holzinger

Heritability Index” (H2) (Nurnberger, 2012), dan dihitung sebagai:

H2 = (konkordansi monozigot – konkordansi dizigot) /

18

Page 19: Referat Bipolar

(100 – konkordansi dizigot)

Meskipun studi kembar tentang gangguan afektif bipolar telah

dilakukan lebih dari satu abad dengan kriteria diagnosis yang bervariasi

luas, hasilnya selalu konsisten. Yaitu, tingkat konkordansi gangguan

afektif bipolar lebih tinggi pada kembar monozigot daripada kembar

dizigot pada gangguan afektif bipolar subtipe I dan II. Pada kembar

monozigot, jika salah seorangnya mengalami gangguan afektif bipolar,

yang lainnya memiliki risiko 70-80% untuk berkembang menjadi

gangguan afektif bipolar. Pada kembar dizigot, risikonya sebesar 15-

25%. Berdasarkan perbedaan tersebut, pewarisan gangguan afektif

bipolar adalah sebesar 80-85% (Bienvenu et. Al., 2011; Goodwin &

Jamison, 2007; Nurnberger, 2012). Risiko genetik ini lebih tinggi

daripada kondisi psikiatri maupun kondisi medis lainnya. Akan tetapi,

karena persentase pewarisan secara genetik tidak mencapai 100%,

risiko sisanya (15-20%) berasal dari lingkungan. Faktor lingkungan

belum ditetapkan sebagai penyebab terjadinya gangguan afektif bipolar,

namun dapat memuat stress neurobiologi yang signifikan seperti trauma

atau penyalahgunaan zat (Strakowski, 2014).

c. Studi Adopsi

Studi adopsi merupakan pendekatan alternatif untuk

menguraikan kontribusi relatif akan genetik dan faktor lingkungan

dalam perkembangan gangguan afektif bipolar. Hipotesis dari studi

adopsi yaitu jika risiko dari gangguan afektif bipolar terutama berasal

dari genetik daripada faktor lingkungan, maka tingkat gangguan afektif

bipolar pada anak-anak yang diadopsi akan mencerminkan bahwa

gangguan tersebut lebih condong berasal dari orangtua biologis

daripada orangtua asuh. Pada gangguan afektif bipolar, studi ini telah

melibatkan orang dengan gangguan afektif bipolar dan proband yang

sehat yang dibesarkan oleh orangtua asuh maupun orangtua biologis

dan kemudian memeriksa tingkat gangguan afektif bipolar pada

keluarga di masing-masing kombinasi. Beberapa studi telah dilakukan

19

Page 20: Referat Bipolar

karena kesulitan, tetapi hasilnya selalu konsisten – yaitu proband

gangguan afektif bipolar meningkat pada keluarga angkat sehingga

menunjukkan gangguan afektif bipolar yang lebih tinggi pada keluarga

biologis yang sebenarnya dibandingkan dengan keluarga angkat. Hasil

ini selanjutnya mendukung genetik sebagai risiko yang menyebabkan

berkembangnya gangguan afektif bipolar (Bienvenu et.al., 2011;

Goodwin & Jamison, 2007; Nurnberger, 2012).

2. Gangguan afektif bipolar secara genetika

Pada 2 dekade terakhir memperlihatkan banyak ditemukan metode-

metode baru untuk meneliti genom manusia, yang berkontribusi pada

peningkatan identifikasi gen yang terlibat dalam berkembangnya penyakit

pada manusia. Oleh karena tingginya angka kejadian pewarisan, gangguan

afektif bipolar menjadi fokus dari penelitian-penelitian ini (Strakowski,

2014).

a. Studi Linkage

Pada manusia, kromosom berwujud sepasang dalam 1 set

kromosom, sebagian komplemen gennya diturunkan dari masing-

masing orangtua. Kemudian setiap gen akan mengalami duplikasi dan

duplikasi tersebut dinamakan alel. Pada waktu pembentukan sperma

dan ovum, sepasang kromosom akan memisah dengan tujuan untuk

menyediakan satu alel dari masing-masing orangtua supaya saat

bergabung ketika fertilisasi, pewarisan komplemen gen dari masing-

masing orangtua menjadi lengkap. Dalam proses pembentukan gamet,

saat kromosom memisah (meiosis), gen bersilangan dari kromosom satu

ke kromosom lainnya, dengan demikian akan terbentuk kombinasi

campuran gen dari masing-masing induk. Rekombinasi gen ini tidak

terjadi secara acak; gen yang berjauhan lebih mungkin untuk

bersilangan (bergabung) daripada gen yang berdekatan. Rekombinasi

tersebut kemudian dianggap “berhubungan” sehingga salinan alel ini

biasanya diwariskan bersama. Variabilitas dalam rekombinasi

20

Page 21: Referat Bipolar

berdasarkan jarak antar gen inilah yang menjadi dasar dari studi linkage

(Strakowski, 2014).

Studi linkage menilai perbedaan penanda DNA (lokus) yang

terletak di sepanjang kromosom untuk mengidentifikasi apakah lokus

spesifik berhubungan dengan terjadinya gangguan afektif bipolar dalam

keluarga. Probabilitas suatu penanda terkait dengan gangguan afektif

bipolar dihitung sebagai logaritma dari peluang keterkaitan atau skor

LOD. Karena dihitung sebagai logaritma, sebagai contoh skor LOD 1.0

berarti keterkaitannya 10 kali lebih mungkin daripada yang tidak

terkait, skor LOD lebih dari 3 dianggap bermakna (Strakowski, 2014).

Studi linkage terdahulu telah berhasil mengidentifikasi penanda

genetik gangguan afek bipolar, namun penemuan ini sulit untuk ditiru.

Dan juga, penanda tersebut bukan gen, tetapi bagian kecil dari

kromosom yang terletak dekat gen yang kemungkinan berhubungan

dengan gangguan afektif bipolar. Studi linkage sedikit membantu dalam

meningkatkan pemahaman terhadap dasar genetik dari penyakit.

Meskipun demikian, studi linkage telah dapat mengidentifikasi penanda

yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar pada beberapa

kromosom, seperti kromosom 6, 8, 13, dan 22 lengan (q), dan

kromosom 16 lengan panjang (p) (Nurnberger, 2012). Data ini

memberikan bukti tambahan genetik sebagai dasar dari gangguan

afektif bipolar, tetapi belum dapat mengidentifikasi gen spesifik yang

relevan. Terdapatnya penanda signifikan dari beberapa kromosom juga

merupakan petunjuk awal bahwa gangguan afektif bipolar adalah

poligenetik, yaitu terjadi kombinasi risiko dari beberapa gen

(Strakowski, 2014).

b. Studi Asosiasi

Seperti yang telah diterangkan di atas, studi linkage menjelaskan

penanda potensial yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar,

bukan gen yang spesifik. Studi asosiasi dimulai dengan

mengidentifikasi gen potensial yang relevan berdasarkan neurobiologi

21

Page 22: Referat Bipolar

dari gangguan afektif bipolar atau studi linkage dimana suatu gen

diketahui mirip dengan penanda, dan kemudian mengevaluasi apakah

gen tersebut berhubungan dengan gangguan afektif bipolar. Studi ini

sering menggunakan seorang proband dan kedua orangtuanya, disebut

trio, dan kemudian meneliti beberapa trio untuk menentukan hubungan

antara gangguan afektif bipolar dengan gen spesifik (Strakowski, 2014).

Sebuah metode yang lebih komprehensif, dinamakan GWAS

(Genome-Wide Association Studies), yang diperkenalkan dalam

beberapa dekade terakhir, menjadi mungkin dilakukan dengan

kemajuan teknologi chip DNA dimana jutaan Polimorfisme Nukleotida

Tunggal (Single Nucleotide Polymorphism/SNP) dapat dievaluasi dalam

sampel yang besar sekaligus. SNP merupakan area kecil dari DNA yang

menunjukkan variabilitas pada manusia. GWAS membolehkan

pemeriksaan setiap gen dalam genom, dengan keterbatasan utamanya

adalah interpretasi statistik dari ribuan titik data. Akibatnya, supaya

efektif, sampel penelitian harus sangat besar, misalnya dalam puluhan

ribu. Metode ini telah digunakan dalam studi gangguan psikiatri secara

umum dan gangguan afektif bipolar khususnya. Seperti yang telah

dilaporkan oleh Nurnberger (2012), beberapa kandidat gen potensial

yang mendasari terjadinya gangguan afektif bipolar telah diidentifikasi

dengan metode ini, dan beberapa di antaranya telah bereplikasi satu kali

atau lebih. Namun, tidak ada satu pun dari hasil ini yang

mengidentifikasi penyebab spesifik gangguan afektif bipolar. Beberapa

penemuan yang menjanjikan juga dibahas disini dan dicantumkan pada

Tabel 1.2.

D-Amino Acid Oxidase Activator (DAOA): Fungsi DAOA

muncul dari 2 gen yang saling berinteraksi (disebut G30 dan G72) yang

mengoksidasi neurotransmitter serin. Serin akan mengaktifkan reseptor

glutamat N-methyl-D-aspartate (NMDA). Beberapa uji klinis mengenai

serin telah dilakukan dalam gangguan afektif bipolar, dengan hasil yang

22

Page 23: Referat Bipolar

tidak konsisten. Gen ini juga berhubungan dengan cabang halus dendrit,

sehingga mungkin dapat berperan dalam perkembangan otak.

Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF): BDNF meneliti

tentang faktor pertumbuhan saraf yang berperan penting dalam

perkembangan otak dan neurogenesis. Gabungan alel BDNF yang

berbeda ditemukan pada beberapa kasus psikiatri dan penyakit saraf,

termasuk gangguan afektif bipolar.

Disrupted in Schizophrenia 1 (DISC1): DISC1 pertama kali

ditemukan pada sebuah keluarga di Skotlandia dengan translokasi

genetik dan beberapa kasus skizofren. Penelitian selanjutnya

menemukan bahwa varian alel DISC1 berkaitan dengan kondisi

psikiatri lainnya, termasuk gangguan afektif bipolar. DISC1

mengendalikan perkembangan mikrotubulus neuron, sehingga DISC1

ikut berkontribusi dalam perkembangan otak.

Serotonin Transporter (SHTT): Abnormalitas transmisi

serotonin umumnya sering dihubungkan dengan episode depresi berat,

dan gangguan afektif bipolar, pada sebagian kecil kasus.

Cathecol-O-Methyl Transferase (COMT): COMT memainkan

peranan penting dalam metabolisme dopamin dan norepinefrin,

keduanya menunjukkan abnormalitas pada gangguan afektif bipolar.

Varian alel COMT dikaitkan dengan sejumlah proses kognitif dan

diagnosis psikiatri yang berbeda, menunjukkan tidak terlalu spesifik

untuk gangguan afektif bipolar.

Monoamine Oxidase A (MAOA): MAOA memetabolisme

serotonin, dopamin, dan norepinefrin, dimana ketiga neurotrasmitter

tersebut berperan dalam terjadinya gangguan afektif bipolar.

Tryptophan Hydroxylase (TPH1 dan 2): Kedua enzim ini

mengatur metabolisme awal triptofan, dimana triptofan ini membatasi

kecepatan sintesis dari serotonin.

Ankyrin 3 (ANK3): Gen ini mengkode membran struktural

protein yang terlibat dalam pembentukan kanal Na+. Pengangkutan Na+

23

Page 24: Referat Bipolar

merupakan pusat pembentukan potensial aksi neuron yang pada

akhirnya akan menyebabkan terjadinya komunikasi antar neuron.

CACNA1C: Gen kanal Ca2+ ini berhubungan dengan fungsi dari

Ca2+. Abnormalitas metabolisme Ca2+ merupakan penemuan paling

sering pada gangguan afektif bipolar dan juga menggambarkan

mekanisme potensial aksi dari litium.

Tabel 1.2 Kandidat Gen dari Studi Asosiasi yang Berpotensi Terlibat dalam

terjadinya Gangguan afektif bipolar

Gen Fungsi

DAOA Trasmisi glutamat

BDNF Neurogenesis dan perkembangan otak

DISC1 Pembentukan mikrotubulus neuron

SHTT Transmisi serotonin

COMT Metabolisme monoamin

MAOA Metabolisme monoamin

TPH1&2 Sintesis serotonin

ANK3 Berdampak pada struktur kanal Na+

CACNA1C Fungsi kanal Ca2+

Dikutip dari Nurnberger, 2012

Dengan semakin berkembangnya teknologi, semakin besar

kemungkinan untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai gen

seperti yang telah dijelaskan di atas dan gen lain yang belum muncul

berpeluang untuk muncul. Sebagai contoh, rangkaian penelitian

menggunakan metode “next generation” (disebut juga next generation

sequencing) menjanjikan analisis seluruh gen secara lebih rinci.

Penelitian epigenetik mengakui bahwa sel-sel memodifikasi transkripsi

DNA agar berdampak pada waktu dan ekspresi dari genome yang

mendasari. Mekanisme yang paling umum diteliti saat ini adalah

metilasi DNA dan remodeling kromatin. Tidak ada satu pun dari

24

Page 25: Referat Bipolar

metode di atas yang memberikan pemahaman berarti mengenai dasar

genetik gangguan afektif bipolar, tapi berdasarkan pendekatan dasar

neurosains, kita sebaiknya memahami hasil metode terdahulu

(Strakowski, 2014).

c. Endofenotip Bipolar

Salah satu kerumitan terkait penelitian genetik pada gangguan

afektif bipolar adalah bahwa, pada dasarnya gangguan afektif bipolar

merupakan suatu kondisi perilaku yang kompleks dan dinamis.

Akibatnya, mengidentifikasi “kasus” bipolar menjadi sulit, sehingga

untuk mengatasinya digunakan identifikasi endofenotip sebagai

panduan dalam penelitian genetik. Endofenotip didefinisikan sebagai

karakteristik biologis yang stabil, berhubungan dengan penyakit, dapat

diukur secara langsung dan, idealnya, mencerminkan proses

neurobiologi yang dikenal. Saat ini, endofenotip sulit digunakan untuk

menjelaskan gangguan afektif bipolar. Namun, terdapat satu

endofenotip yang berguna yaitu respon lithium, karena efikasi

pengobatan lithium relatif spesifik pada gangguan afektif bipolar dan

terutama episode manik. Sebagai tambahan, terdapat bukti dimana

respon lithium diwariskan dan mungkin berhubungan dengan

kromosom 15q. Beberapa penelitian dilakukan menggunakan metode

asosiasi untuk mengembangkan temuan ini (Strakowski, 2014).

d. Ringkasan dan Hubungan Genetik pada Gangguan afektif bipolar

Studi keluarga, kembar, adopsi, dan genetik memberikan banyak

bukti bahwa gangguan afektif bipolar merupakan penyakit genetik.

Sayangnya, “gen spesifik bipolar” belum, dan mungkin tidak akan

dapat diisolasi. Sebaliknya, bukti yang terkumpul menunjukkan jika

gangguan afektif bipolar muncul oleh karena interaksi dari beberapa

gen yang berbeda yang kemudian berinteraksi dengan stresor

lingkungan sehingga menimbulkan penyakit. Selain itu, kombinasi gen

25

Page 26: Referat Bipolar

di setiap keluarga berinteraksi secara berbeda, sehingga penelitian

menjadi makin sulit dilakukan pada grup tersebut (Strakowski, 2014).

Bahkan tanpa adanya uji spesifik gen untuk gangguan afektif

bipolar, penelitian ini memberikan panduan bagi anggota keluarga dari

penderita dengan gangguan afektif bipolar. Seperti yang diilustrasikan

dalam Tabel 1.3, risiko seorang individu untuk mengalami gangguan

afektif bipolar meningkat jika terdapat kesamaan komponen genetik di

antara anggota keluarga. Namun, risiko untuk munculnya gangguan ini

yaitu pada rentang usia 15 dampai 35 tahun, sehingga risikonya akan

menurun pada usia dewasa pertengahan. Selain itu, terdapat variabilitas

yang cukup besar di antara keluarga, yang mencerminkan penjelasan

sebelumnya tentang sifat poligenetik gangguan afektif bipolar. Tetapi,

dengan semakin meningkatnya metode genetik ada kemungkinan

bahwa kombinasi genetik ini akan akan dimengerti, membawa pada

perkembangan yang bermakna dalam pengobatan, diagnosis dan

mencegah onset dan progresivitas penyakit (Strakowski, 2014).

Tabel 1 Risiko Relatif Keluarga untuk mengalami Gangguan afektif bipolar

Situasi Risiko

Populasi umum 1-2%

Keturunan kedua dari penderita

gangguan afektif bipolar

3-4%

Saudara kandung dari penderita

gangguan afektif bipolar

15-25%

Salah seorang orangtua dengan

gangguan afektif bipolar

15-25%

Kedua orangtua dengan gangguan

afektif bipolar

50%

Kembar identik dengan gangguan

afektif bipolar

70-80%

26

Page 27: Referat Bipolar

C. Pengaruh berbagai Mekanisme Molekuler terhadap Gangguan Afektif

Bipolar

1. Inflamasi

Pada dekade akhir ini, telah dihipotesiskan bahwa menargetkan

pada mekanisme monoaminergik tidak akan merubah riwayat alami dari

gangguan ini (Angst and Sellaro, 2000). Data ini dan beberapa data yang

serupa lainnya telah menyebabkan pergeseran paradigma patofisiologi

GAB dari suatu penyebab monoaminergik menjadi keterlibatan dari

mekanisme yang lebih kompleks, yang utamanya berhubungan dengan

perkembangan saraf dan kejadian neurodegeneratif (Berk and Dodd, 2005;

Berk et al., 2011). Pada konteks ini, peningkatan jumlah bukti

menunjukkan peran penting proses inflamasi kronik dan ringan pada

jaringan perifer dan otak (neuroinflamasi) (Hamdani et al., 2013). Setelah

dianggap sebagai organ yang secara imunologis istimewa karena sawar

darah-otaknya, hal ini semakin jelas bahwa meskipun akses mediator imun

dari perifer ke otak secara ketat diatur, Sistem Saraf Pusat (SSP) sendiri

dapat melakukan suatu respon inflamasi terhadap stimulus yang berbeda

(Rivest, 2009). Hiper- dan hipo-aktivasi kaskade inflamasi nampaknya

dapat mempengaruhi fungsi dan perkembangan jaringan saraf (Vezzani

and Viviani, 2014). Molekul yang terkait dengan jalur respon imun,

sitokin, faktor kimiawi yang dihasilkan selama proses inflamasi, dapat

menjadi biomarker yang baik untuk mempelajari hubungan potensial

antara jalur ini dan gangguan mood. Sitokin tersebut bersama dengan

reseptornya berperan penting dalam lalu lintas leukosit, dan merupakan

perhatian khusus dalam konteks respon imun unik yang diciptakan oleh

SSP. Lebih jauh lagi, molekul-molekul ini juga berperan dalam

mekanisme transmisi neural (Vezzani and Viviani, 2014).

Data-data dalam literatur mendukung komponen inflamasi pada

GAB. Hal ini menarik untuk dicatat bahwa peningkatan yang cukup pada

kadar plasma dari sitokin proinflamasi, seperti interleukin-6 (IL-6) dan

tumor necrosis factor-α (TNFα), sering ditemukan pada penderita GAB;

27

Page 28: Referat Bipolar

peningkatan interleukin-1β (IL-1 β), nuclear factor of kappa light

polypeptide gene enhancer in B-cells (NFκB) dan protein interleukin-1

receptor antagonist (IL-1RA) dan kadar mRNA pada korteks frontal

pasien GAB post-mortem juga telah dilaporkan (Maes et al., 1997; Rao et

al., 2010). Selain itu, peningkatan kadar protein fase akut, seperti

haptoglobin dan C-reactive protein (CRP) (Dickerson et al., 2013) dan

faktor komplemen, seperti konsentrasi tinggi plasma Complement

component 3 (C3) atau Complement component 4 (C4) juga dilaporkan

berhubungan dengan GAB (Wadee et al., 2002). Depresi biasa muncul

pada penyakit yang berhubungan dengan inflamasi, seperti penyakit arteri

coroner, lupus, dan artritis rheumatoid (Goldstein et al., 2009). Pemberian

infus sitokin proinflamasi mungkin merupakan model eksperimen manusia

terbaik dalam depresi, dan peningkatan kadar sitokin nampaknya

berhubungan dengan baik depresi maupun manik (Wadee et al., 2002).

Pada manik, IL-6 yang semula meningkat akan kembali normal seiring

dengan remisi klinis, sementara itu tidak terdapat perubahan pada TNFα

saat remisi (Kim et al., 2007). Pada depresi, produksi dasar TNFα

meningkat dengan signifikan, sedangkan kadarnya akan menurun selama

terapi namun hanya pada pasien-pasien yang berespon saja (Dean et al.,

2010). Diambil bersama-sama, data ini dapat mengindikasikan bahwa

perubahan kadar mediator pro- dan anti-inflamasi pada SSP berhubungan

dengan gejala mood pada manusia. Namun, penyebab dari fluktuasi ini

masih belum dimengerti sepenuhnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh

berbagai variasi gen dan juga pengaruh lingkungan. Gen-gen ini

seharusnya berperan dalam fungsi inflamasi/imunologis namun mereka

juga berperan dalam beberapa efek fungsi fisiologis di otak.

Dengan adanya mekanisme molekuler yang kompleks, data pada

korelasi ini harus digunakan dengan hati-hati. Literatur yang ada

memberikan perhatian khusus bahwa tipe sampel dan analisis statistic

dapat mempengaruhi signifikansi dari asosiasi penelitian ini.

28

Page 29: Referat Bipolar

Inflamasi mungkin berperan dalam pembentukan arsitektur

jaringan di otak, dengan cara mendorong kematian sel atau dengan cara

membatasi efek negatif inflamasi dalam SSP.

Modulasi dengan beberapa mekanisme biologis dengan potential

dapat mengembalikan fungsi (fisiologi) normal otak, terutama pada

perkembangan saraf dan kekenyalannya (Schneider et al., 1998)(Awatsuji

et al., 1993; Sarder et al., 1993)(Luan et al., 2001)(Padovani-Claudio et al.,

2006; Tsai et al., 2002); dan sesuai dengan konsep yang muncul dari

sistem “kolinergik” sebagai kelas baru neurotransmitter (Rostene et al.,

2007).

29

Page 30: Referat Bipolar

Secara khusus, menarik untuk dicatat bahwa senyawa yang sama

dapat menimbulkan efek yang berbeda, baik neuroprotektif atau

neurotoksik/apoptotic, yang pada umumnya ditimbulkan melalui interaksi

reseptor yang berbeda, dan aktivasi konsekuen dari kaskade molekuler

yang berbeda (Kinouchi et al., 1991; Tartaglia et al., 1991)(Petitto et al.,

1997). Beberapa aspek menarik dari IL-1, IL-2, 1L-6, 1L-8, TNFα, dan

IFN ditunjukkan dalam tabel di bawah:

Gambar 3. Principal components of pathways under investigation

Gen dari kelompok yang terkait IL-6, IL-8, dan IFN mempunyai

variasi yang lebih banyak dalam hubungannya dengan GAB. Untuk SNP-

terkait-IL-6 memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil dua kali lipat

dari angka yang diperkirakan, dan tiga kali lipat untuk SNP terkait IL-8

dan IFN. Data ini mengindikasikan bahwa perubahan dalam jalur ini lebih

30

Page 31: Referat Bipolar

banyak ditemukan pada subjek GAB dibandingakan dengan kontrol. Oleh

karena itu, perubahan ini mungkin terlibat dalam perkembangan penyakit.

Tidak ditemukan temuan yang signifikan pada jalur terkait gen lain

(IL-1, IL-2, TNFα) dalam analisis ini. Analisis kedua dilakukan untuk

memberikan detail yang lebih rinci untuk jalur molekuler yang secara

signifikan berhubungan dengan fenotipe dan untuk mendapatkan gen yang

dapat menjadi elemen kunci dalam jalur yang telah disebutkan di atas. Dari

analisis ini, peneliti menemukan 13 gen, yaitu PIK3R1, MITF, TNFSF11,

STAT3, FGG, IL6, MCL1, CASP1, STAT3, CRKL, IL1B, DAPK1, dan

CREBBP yang menunjukkan lebih banyak variasi yang berhubungan

dengan fenotipe.

Sejumlah gen yang biasanya terlibat dalam transkripsi dan

peristiwa pro-survival berkumpul dalam jalur yang melibatkan IL-6, IL-8,

dan IFN dan memiliki variasi yang berhubungan dengan GAB lebih

banyak.

Keterlibatan jalur yang terkait IL-6 dengan GAB diketahui

konsisten dengan data pada literatur (Kunz et al., 2011). Terlebih lagi, pola

tidur mungkin berhubungan dengan ketidakseimbangan IL-6 pada pasien

GAB (Ritter et al., 2013).

Monosit dari pasien GAB dilaporkan mengekskresikan IL-6 dalam

cara yang telah diubah (proinflamasi), yang mana dipulihkan kembali

setelah pemberian lithium in vitro (Knijff et al., 2007).

Berikut daftar gen dalam kaskade molekuler dari aktivasi IL-6

yang mungkin bertanggung jawab pada deregulasi genetik yang mungkin

meningkatkan risiki GAB.

Jalur yang berkaitan dengan interferon, biasanya berhubungan

dengan respon asli dan adaptif dalam perlawanan terhadap infeksi virus

dan bakteri intraseluler sebagaimana kontrol tumor, yang berperan dalam

perkembangan saraf. IFN disekresi oleh sel dendritic bersamaan dengan

sel myeloid dan makrofag. Sel dendritic merupakan pusat dari proses

pemangkasan oleh karena aktivitasnya bersama mikroglia (Paolicelli and

31

Page 32: Referat Bipolar

Gross, 2011), yaitu suatu proses dasar GAB (Paus et al., 2008). CASP1

(caspase 1 or apoptosis-related cysteine peptidase) adalah gen yang

terletak dalam kromosom 11q22.3. Gen ini mengkode protein yang

merupakan anggota famili cysteine-aspartic acid protease (caspase), yang

penting dalam pembentukan IL-1 beta (Vasilakos and Shivers, 1996) dan

gen tersebut milik sinyal kaskade molekuler yang memerankan peran

utama dalam fase eksekusi apoptosis sel. STAT 3, signal transducer and

activator of transcription 3 (faktor respon fase akut) terletak pada

kromosom 17q21.2, dan mengkode protein anggota famili protein STAT.

Protein ini diaktivasi melalui fosforilasi sebagai respon terhadap berbagai

sitokin dan faktor pertumbuhan seperti IFN, EGF, IL5, IL6, HGF, LIF, dan

BMP2. Sebagai respon dari aktivasi, protein tersebut bertranslokasi ke

dalam nucleus sel dimana mereka berperan sebagai activator transkripsi

(Beurel and Jope, 2008). Secara khusus, STAT3 memediasi ekspresi dari

berbagai macam gen sebagai respon dari stimulus sel dan merupakan kunci

faktor transkripsi yang terlibat dalam respon inflamasi, terutama gen yang

dimediasi oleh sitokin, sebagaimana dalam proliferasi sel, diferensiasi, dan

survival (Brierley and Fish, 2005). `STAT3 merupakan bagian dari jalur

JAK/STAT yang terlibat dalam elastisitas sinapsis dalam otak dan

berperan penting dalam induksi NMDA-receptor dependent long-term

depression (NMDAR-LTD) dalam hipokampus (Nicolas et al., 2012).

FGG merupakan komponen gamma wdari fibrinogen, suatu glikoprotein

yang ditemukan dalam darah, yang terdiri dari tiga pasang rantai

polipeptida yang tidak identik. FGG terletak pada 4q31.3. Dengan adanya

injuri vascular, fibrinogen diuraikan oleh thrombin untuk membentuk

fibrin yang mana merupakan komponen terpenting dalam pembentukan

bekuan darah. Sebagai tambahan, berbagai produk uraian fibrinogen dan

fibrin, mengatur adhesi sel dan penyebarannya, merangsang vasokonstriksi

dan aktivitas kemotaktik, dan merupakan mitogen untuk beberapa tipe sel

(Fish and Neerman-Arbez, 2012). Meskipun tidak ada bukti langsung dari

keterlibatannya dalam GAB, hal ini masih menarik untuk dicatat bahwa

32

Page 33: Referat Bipolar

FGG merupakan bagian dari kaskade komplemen, terlebih lagi, pasien

GAB diketahui memiliki konsentrasi plasma faktor C3, C4, dan C6 yang

lebih tinggi (Wadee et al., 2002).

Penurunan progresif dari fungsi kognitif yang ditemukan pada

GAB mendukung peran penting neuroinflamasi pada gangguan ini

(Lewandowski et al., 2011). Telah ditunjukkan bahwa proses inflamasi dan

interaksi imun neural terlibat dalam patofisiologi gangguan mood (Maes,

2011). Hal ini menjelaskan hubungan yang mungkin antara peningkatan

kadar sitokin pada GAB. Lebih menarik lagi, beberpa studi pre-klinik dan

klinik menunjukkan bahwa slah satu mekanisme aksi dari pengobatan

mood stabilizer dapat berhubungan dengan sistem imun (Goldstein et al.,

2009). Oleh karena itu, pasien yang diteapi menggunakan litium

menunjukkan jumlah leukosit penghasil sitokin yang lebih rendah

(Boufidou et al., 2004; Knijff et al., 2007; Rapaport and Manji, 2001).

Terlebih lagi, suatu penelitian random acak ganda yang menggunakan

COX-2 inhibitor celecoxib menunjukkan bahwa pasien dibawah pengaruh

terapi ini memiliki skor keparahan depresi yang lebih rendah setelah

minggu pertama terapi dibandingkan dengan placebo. Dengan adanya data

ini, mendukung pertimbangan penggunaan obat ini sebagai pengobatan

alternative pada GAB yang menjanjikan (Brietzke et al., 2011).

Abnormalitas imun, terutama kelebihan inflamasi, adalah hal yang biasa

ditemukan pada pasien GAB. Meskipun hubungan kausal langsungnya

masih belum jelas, terdapat peningkatan bukti bahwa inflamasi dapat

berkontribusi dalam pathogenesis GAB. Mekanisme molekuler spesifik

dari respon imun harus lebih diperjelas, kemudian diubah menjadi

percobaan pengobatan yang inovatif. Oleh karena itu perlu adanya studi

kandidat baru gen yang terletak di atas beberapa jalur molekuler yang

berhubungan dengan GAB dan perlu dikalukannya percobaan klinik

spesifik dengan obat antiinflamasi pada pasien GAB.

2. ‘Mood-Stabilizer’ Neuron

33

Page 34: Referat Bipolar

Beberapa bukti farmakologis mendukung peran dopamin pada

mania dan depresi. Antipsikotik dapat berfungsi sebagai antimanik dalam

memblok neurotransmisi dari dopamin. Psikostimulan yang meningkatkan

transmisi dopamin dapat menyebabkan mania. Antidepresan trisiklik

(TCA) dapat menyebabkan transisi tiba-tiba dari depresi ke mania.

Fenomena ini, yang disebut manic switch, merupakan efek samping yang

tidak umum terjadi pada penggunaan TCA, tetapi dianggap sebagai tanda

kerentanan genetik terhadap gangguan afektif bipolar. Serotonin

selektifreuptake inhibitor (SSRI) tidak menimbulkan mania (Peet, 1994).

TCA menghambat transporter noradrenalin dan transporter serotonin tapi

tidak menghambat transporter dopamin. Namun, dopamin diangkut oleh

transporter noradrenalin di korteks prefrontal; dengan demikian, TCA, tapi

tidak SSRI, menyebabkan peningkatan konsentrasi dopamin pada sinaptik

di korteks prefrontal (Valentini, 2004). Perubahan pada kondisi dari

metabolit dopamin, Asam homovanillic, di cairan serebrospinal direplikasi

dengan baik (Goodwin dan Jamison, 2007). Rekayasa genetika pada tikus

yang dibuat defisiensi dopamin menunjukkan adanya pengurangan

aktivitas lokomotor dan hypophagia yang signifikan (Zhou dan Palmiter,

1995). Degenerasi neuron dopamin di daerah tegmental ventral

menyebabkan depresi (Torrack dan Moris, 1998). Temuan ini

menunjukkan bahwa neurotransmisi dari dopaminergic mengubah situasi

mood. Sebaliknya, perubahan sistem serotonergik mungkin tidak

mempengaruhi situasi mood walaupun tetap harus diobservasi, karena

berkurangnya aktivitas serotonergik diukur dengan uji neuroendokrin

(Mahmood dan Silverstone, 2001) dan penurunan tingkat 5-hidroksi asam

(HIAA) dalam cairan serebrospinal dilaporkan baik dalam depresi dan

keadaan manik (Goodwin dan Jamison, 2007).

Mekanisme molekuler dari aksi klinis mood stabilisator telah

dipelajari secara ekstensif. Hipotesis yang paling diterima adalah efek

lithium merupakan deplesi inositol intraseluler oleh inhibisi inositol-

monophosphatase (IMPase) (Harwood, 2005). Karena studi oleh Nonaka

34

Page 35: Referat Bipolar

et al. (1998) dan Chen et al. (1999) yang mengungkapkan efek

neuroprotektif dari lithium dan valproate, hipotesis bahwa efek terapi dari

mood stabilisator adalah dengan mekanisme neuroprotektifnya telah

diterima secara luas. Kedua penstabil mood tersebut memiliki efek yang

sama pada neuron seperti pembesaran pada cone yang mengalami

pertumbuhan dan peningkatan neurogensis pada orang dewasa (Chen et

al., 2000), terutama GABAergic neurogenesis (Laeng et al., 2004). Efek

ini dapat dimediasi oleh deplesi dari inositol (William et al., 2002),

peningkatan regulasi dari bcl-2 di membran luar mitokondria (Chen et al.,

1999), penghambatan glikogen sintase kinase 3b (GSK-3b) (Klein dan

Melton, 199)dan peningkatan pada jalur brain-derived neurotrophic factor–

extracellular signal-regulated kinase (BDNF-ERK) (Hao et al., 2004),

perubahan mekanisme reseptor glutamat (Du et al., 2003), peningkatan

regulasi BAG-1, sebuah protein reseptor cochaperon glukokortikoid (Zhou

et al., 2005), inhibisi fungsi reseptor glukokortikoid (Basta-Kaim et al.,

2004), peningkatan regulasi glutathione S-transferase (Cui et al., 2007)

atau aktivasi dari Notch signaling (Higashi et al., 2008). Inhibisi dari

deasetilasi histone mungkin juga memainkan peran dalam efek

neuroprotektif valproate (Leng et al., 2008).

Diantara temuan yang telah dipublikasikan pada gangguan afektif

bipolar, SCH adalah penemuan yang nonspesifik yang juga terlihat di

subjek yang sehat. Subcortical Hiperintensity (SCH) adalah lesi yang

dideteksi oleh T2-weighted (T2W) magnetic resonance imaging (MRI).

T2W MRI sensitif terhadap lesi otak seperti infark serebri. Lesi tersebut

terdeteksi sebagai daerah hiperintensitas pada gambar T2W. SCH

mengacu pada lesi hiperintensitas yang berada di subkortikal white matter

atau subkortikal grey matter dan terdeteksi oleh T2W. Karena gangguan

afektif bipolar tidak memiliki karakteristik lesi yang letaknya spesifik,

peningkatan kejadian SCH mungkin mencerminkan kerentanan neuron

pada stress tingkat seluler. Hal juga mungkin mencerminkan kerentanan

dari oligodendrocytes, karena menurunnya pewarnaan pada myelin

35

Page 36: Referat Bipolar

(Regenold et al., 2007) dan penurunan ekspresi gen yeng terkait

oligodendrocyte (Tkachev et al., 2003) ditemukan pada otak postmortem

dari pasien dengan gangguan afektif bipolar. Peningkatan kadar kalsium

dalam sel darha dan efek neuroprotektif mood stabilisator juga mendukung

hipotesis bahwa pasien dengan gangguan afektif bipolar memiliki

kerentanan atau mengalami penurunan ketahanan neuron (Manji dan

Duman, 2001). Hal ini didukung oleh satu penelitian yang menggunakan

sel neuroepithelium di penciuman menunjukkan bahwa sel-sel yang

berasal dari pasien dengan gangguan afektif bipolar yang rentan terhadap

kematian sel (McCurdy et al., 2006).

Jika gangguan afektif bipolar berhubungan dengan kerentanan

neuron untuk stres seluler, penyakit ini mungkin dibarengi juga dengan

berkurangnya neuron di otak. Seperti terlihat pada Tabel 1, pengurangan

jumlah atau kepadatan neuron telah dilaporkan di beberapa area otak

seperti korteks anterior cingulate (Benes et al., 2001), prefrontal cortex

(Rajkowska et al., 2001), hippocampal corpus Ammonius CA2) (Benes

etal., 1998), nukleus thalamic ventromedial (Kromkap et al., 2003),

nukleus hipotalamus paraventricular (Manaye et al., 2005) dan subnukleus

ventrolateral dari dorsal raphe (Baumann et al., 2002). Namun, hasil dari

beberapa studi tidak konsisten. Berkurangnya jumlah neuron dilaporkan

terutama lebih banyak di interneuron daripada di neuron piramidal (Benes

et al., 2001). Berkurangnya ekspresi mRNA dari somatostatin dan asam

glutamat dekarboksilase 67 (GAD67) juga ditemukan di hippocampus

(Konradi et al., 2004) dan korteks prefrontal pada pasien dengan gangguan

afektif bipolar. Di antara temuan ini, hanya penurunan jumlah neuron di

nukleus periventrikel hipotalamus dalam gangguan afektif bipolar yang

dilaporkan menyertai gliosis.

Dasar molekul dari kerentanan atau gangguan ketahanan neuron

pada pasien dengan gangguan afektif bipolar mungkin disebabkan karena

gangguan signalling pada kalsium, perubahan signal neurotpohin,

disfungsi mitokondria dan disfungsi respon stress dari retikulum

36

Page 37: Referat Bipolar

endoplasma (ER). Masing-masing mekanisme tersebut saling berkaitan:

neurotrophins mengatur signal kalsium intraseluler, dan mitokondria dan

ER berkoordinasi memainkan peran penting dalam regulasi penyimpanan

kanal kalsium dan signal kalsium intraseluler.

a. Kanal Kalsium

Agonis kalsium influks diinduksi oleh trombin, serotonin dan

faktor aktivasi platelet dilaporkan meningkat pada sel yang berasal dari

pasien dengan gangguan afektif bipolar terlepas dari jenis agonis

digunakan

Gambar 4. Neuropathological findings in bipolar disorder

(Warsh et al., 2004). Warsh dan rekan mempelajari dasar molekul yang

melatarbelakangi perubahan sinyal kalsium pada gangguan afektif

bipolar menggunakan sel lymphoblastoid yang berasal dari pasien.

37

Page 38: Referat Bipolar

Respon terhadap thapsigargin, penghambat ER pompa Ca2, juga

meningkat dalam sel darah perifer pada pasien dengan gangguan afektif

bipolar (Kato et al., 2003); Namun temuan ini masih kontroversial

(Perova et al., 2008). Thapsigargin melepaskan Ca2 + dari ER dan

kemudian meningkatkan influks Ca2 + dari store-operated calcium

channel (SOCC) di membran plasma. Gangguan pada SOCC mungkin

mendasari perubahan dari sinyal kalsium pada gangguan afektif bipolar

(Warsh et al., 2004). Perlu dicatat bahwa studi ini dilakukan pada sel

noneksitabel. Faktor-faktor lain seperti reseptor N-metil-D'Aspartate,

AMPA permeabel-kalsium/reseptor kainate atau kanal kalsium

tergantung kalsium mungkin juga menyebabkan kalsium terjadinya

sinyal abnormal pada neuron. Terdapat banyak bukti yang

menunjukkan bahwa gen reseptor dan saluran tersebut mengalami

perubahan pada otak postmortem dari pasien dengan gangguan afektif

bipolar (Kato et al., 2007), dan salah satu bukti terkuat dari GWAS

yaitu CACNA1C yang mengkode Ltype kanal kalsium tergantung

voltase (Sklar et al., 2008).

b. Glycogen synthase kinase 3b

GSK-3b berperan dalam berbagai sinyal intraseluler, termasuk

neurotrophin dan jalur sinyal Wnt. GSK-3b diatur oleh sinyal kalsium

intraseluler. Karena mood stabilisator menghambat GSK-3b (Klein dan

Melton, 199), sehingga jalur ini diduga berperan dalam gangguan

afektif bipolar. Selain peran dalam kerentanan seluler, GSK-3b juga

diduga berperan dalam munculnya kelainan irama sirkardian pada

gangguan afektif bipolar (Prickaerts, 2006). Ekspresi yang berlebih dari

GSK-3b memperpendek periode sirkadian (Dokucu et al., 2005),

lithium meningkatkan periode sirkadian dengan menghambat efek

GSK-3b untuk menstabilkan nuclear reseptor REV-Erba, komponen

negatif dari jam sirkadian (Yin et al., 2006). Fibroblas yang berasal dari

pasien dengan gangguan afektif bipolar mengalami pengurangan

fosforilasi GSK-3b, yang menyebabkan overaktivasi dari GSK dan

38

Page 39: Referat Bipolar

mengurangi amplitudo dari ekspresi berkala untuk beberapa gen seperti

yang mengkode REV-Erba dan Dsite- binding protein (DBP) (Yang et

al., 2008). Peningkatan jumlah copy dari pengkode gen GSK-3b juga

dilaporkan pada pasien dengan gangguan afektif bipolar (Lachman et

al., 2007). Dengan demikian, pasien dengan gangguan afektif bipolar

mungkin telah terjadi perubahan ritme sirkadian di tingkat seluler

terkait dengan aktivitas GSK-3b yang berlebihan, dan pengaruh lithium

pada ritme sirkadian mungkin dimediasi oleh penghambatan GSK-3b

(Yin et al., 2006).

c. Jalur phosphoinositide

Seperti disebutkan di atas, mekanisme target yang potensial dari

litium adalah jalur phosphatidylinositol. Phosphatidylinositol bifosfat

dihidrolisis menjadi trifosfat inositol (IP3) dan diasilgliserol. IP3

melepaskan kalsium dari ER. penurunan jumlah inositol (Belmacker,

2002), berkurangnya inositol monophosphatase 2 (IMAP2) mRNA

(Nemanov et al., 1999) dan berkurangnya aktivitas IMPase (Shamir et

al., 1998) dilaporkan terjadi pada sel lymphoblastoid atau limfosit yang

berasal dari pasien dengan gangguan afektif bipolar. Faktor genetik

mungkin berkontribusi terhadap berubahnya sinyal dalam gangguan

afektif bipolar, karena perubahan jalur ini terlihat dalam kultur sel

lymphoblastoid, dan dilaporkan berhubungan dengan IMPA2 (Ohnishi

et al., 2007). Rasio membran yang terikat dengan aktivitas sitosol

protein kinase C (PKC) dan translokasi serotonin yang disebabkan PKC

dilaporkan meningkat pada pasien dengan gangguan afektif bipolar

episode manik yang tidak minum obat di tiga set sampel independen

dalam satu kelompok (Friedman et al., 1993). Namun, kelompok lain

menunjukkan bahwa aktivitas PKC menurun (Pandey et al., 2002) atau

tidak berubah (Young et al., 1999) pada pasien dengan gangguan afektif

bipolar yang tidak meminum obat.

d. Disfungsi Mitokondria

39

Page 40: Referat Bipolar

Temuan pada Magnetic resonance spectroscopy (MRS)

menunjukkann bahwa pasien dengan gangguan afektif bipolar telah

terjadi perubahan pada metabolisme energi di otak, seperti penurunan

phosphocreatine (Kato et al., 1994) dan pH intraseluler (Kato et al.,

1993), peningkatan laktat (Dager et al., 2004) dan penurunan creatine

(Port et al., 2008). Temuan MRS ini mirip pada penyakit mitokondria

seperti chronic external ophthalmoplegiar (CPEO), yang disebabkan

oleh adanya delesi pada DNA mitokondria (mtDNA) di otot. Sebuah

karya perintis oleh Suomalainen et al. (1992) menunjukkan akumulasi

delesi mtDNA di otak dalam kasus CPEO dengan depresi berat.

Temuan ini juga menunjukkan bahwa akumulasi delesi mtDNA di otak

dapat menyebabkan depresi. Baru-baru ini, sebuah kasus dilaporkan

adanya gangguan afektif bipolar yang terkait dengan CPEO (Siciliano,

2003), dan pasien dengan penyakit mitokondria ditemukan memiliki

komorbiditas

Gambar 5. Dysfunction of mitochondria

40

Page 41: Referat Bipolar

seumur hidup untuk terjadinya depresi (54% dari 36 pasien dengan

penyakit mitokondria) atau gangguan afektif bipolar (17%) (Fattal et

al., 2007). Atas dasar beberapa Temuan sebelumnya, kami

mengusulkan bahwa disfungsi mitokondria karena mutasi mtDNA

menyebabkan disregulasi kalsium di mitokondria dan berperan dalam

patofisiologi gangguan afektif bipolar (Gambar 5) (Kato dan Kato,

2000).

Dilaporkan juga bahwa terdapat akumulasi delesi mtDNA pada

beberapa pasien dengan gangguan afektif bipolar (Kato et al., 1997);

Namun, ini Temuan ini masih kontroversial (Fuke et al., 2008) mutasi

MtDNA 3243 juga terdeteksi di beberapa kasus (Munakata et al.,

2005). Penurunan regulasi menyeluruh dari gen inti mitokondria juga

diduga mendukung tejadinya disfungsi mitokondria pada gangguan

afektif bipolar. Temuan ini direplikasi oleh peneliti lain. Namun,

sampel pH dan pengaruh obat merupakan penentu utama dalam

berkurangnya ekspresi dari gen mitokondria (Iwanoto et al., 2003), oleh

keran itu sulit untuk menginterpretasikan hasilnya dalam kondisi ini.

Limfosit yang berasal dari pasien dengan gangguan afektif bipolar

menunjukkan penurunan regulasi paradoks pada gen yang berhubungan

dengan mitokondria terhadap kekurangan glukosa, sedangkan sel-sel

dari subyek kontrol menunjukkan peningkatan regulasi. Temuan ini

menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan afektif bipolar mungkin

memiliki penurunan kemampuan adaptrasi molekuler terhadap stress

(Naydenov, 2007). Mutasi polimerase mtDNA (polymerase g; POLG)

adalah salah satu penyebab CPEO (Van Goethem, 2001). Mutan

polimerase g (Polg) tikus transgenik dengan akumulasi delesi mtDNA

di neuron yang spesifik menunjukkan adanya fenotipe yang mirip pada

gangguan afektif bipolar seperti berubahnya aktivitas ritme sirkadian

dan perubahan aktivitas berjalan pada roda erkait siklus estrus yang

signifikan, dengan durasi 4-5 hari pada wanita (Kasahara, 2006).

Perubahan aktivitas yang periodik diperbaiki dengan lithium.

41

Page 42: Referat Bipolar

Perubahan ritme sirkadian diperparah oleh TCA tapi diperbaiki dengan

lithium atau terapi electroconvulsive (Kasahara et al., 2008). Tikus ini

juga menunjukkan peningkatan rasio uptake kalsium dalam mitokondria

yang diisolasi dari otak (Kubota et al., 2006). Stress oksidatif karena

disfungsi mitokondria juga mungkin berperan, karena peningkatan

penanda stres oksidatif seperti zat reaktif asam thiobarbituric dilaporkan

meningkat pada pasien dengan gangguan afektif bipolar (Andreazza et

al., 2008).

e. Stres Retikulum Endoplasma

Dalam analisis komprehensif dari ekspresi gen pada sel

lymphoblastoid yang berasal dari dua pasang kembar monozigot yang

memiliki gangguan afektif bipolar, terjadi penuruan regulasi pada dua

gen yang terkait dengan respon stress ER (Kakiuchi et al., 2008). X-

box-binding protein 1 (XBP1) adalah dasar dari faktor transkripsi

leucine yang penting bagi pertumbuhan liver dan sel plasma (Reimold

et al., 2000). XBP1 mRNA mengalami konvensional splicing oleh IRE1

pada membran ER ketika banyak protein yang belum dilipat menumpuk

di ER, yang menyebabkan pergeseran kerangka mRNA. Bentuk spliced

mRNA mengkode faktor transkripsi aktif yang terdiri dari signal inti

lokal dan aktivasi dari domain transkripsi yang akhirnya mengaktifkan

transkripsi dari target gen seperti pada ER chaperon (Yoshida et al.,

2001). Sebaliknya, kode protein yang berasal dari bentuk unspliced

XBP1 akan membentuk kompleks dengan spliced XBP1. Karena

bentuk unspliced XBP1 tidak memiliki sinyal inti dan terjadi motif

degradasi, unspliced XBP1 memainkan peran sebagai regulator negatif

untuk spliced-XBP1 (Yoshida et al., 2006).

Meskipun, polimorfisme pada promotor XBP1 mengurangi

responnya terhadap ER stress yang dilaporkan terkait dengan gangguan

afektif bipolar, tetapi ternyata hasil penelitian selanjutnya tidak

mendukung hal tersebut (Chicon et al., 2004). Respon dari XBP1

42

Page 43: Referat Bipolar

terhadap stres ER berkurang di sel lymphoblastoid pada pasien

gangguan afektif bipolar, terlepas dari genotipe XBP1 (So et al., 2007),.

Sehingga dilakukan replikasi pada sampel independen dalam jumlah

besar. Untuk mencari konsekuensi dari melemahnya respon XBP1

terhadap stres ER, peran XBP1 pada neuron diamati. BDNF

menyebabkan stres ER lokal dengan meningkatkan sintesis protein

lokal, dan melakukan splicing XBP1 mRNA di neurit. Ekstensi neurite

yang diinduksi BDNF telah mengalami gangguan di neuron XBP1

(Hayashi et al., 2007) (Gambar 2). Baru-baru ini, analisis ekspresi gen

di dalam neuron primer yang diperoleh dari XBP1 pada tikus

menunjukkan bahwa XBP1 mungkin berperan dalam diferensiasi yang

diinduksi BDNF pada interneuron.

43

Page 44: Referat Bipolar

Gambar 6. Role of XBP1 in neuron

Mutan Caenorhabditis elegans, di mana XBP1 tidak dapat

dilakukan splicing, memiliki kelainan dalam transportasi dari AMPA

reseptor glutamat pada ER (Shim et al., 2004). Jika neuron pasien

dengan gangguan afektif bipolar memiliki respon XBP1 yang melemah,

akan menyebabkan terganggunya ekstensi neurit yang diinduksi BDNF

dan diferensiasi dari GABAergic interneuron, serta gangguan pada

reseptor AMPA. Dalam upaya untuk mencari gen target XBP1 di sel

neuroblastoma, ditemukan bahwa WFS1 (sindrom Wolfram 1), gen

penyebab penyakit Wolfram, adalah Target dari XBP1 (Kakiuchi et al.,

44

Page 45: Referat Bipolar

2006). Penyakit Wolfram adalah penyakit genetik yang langka yang

sering menyertai depresi (Swift et al., 1991). Tikus WFS1 menunjukkan

sifat fenotipe seperti depresi diantanya keterbelakangan dalam gerakan

yang dipicu secara emosional penurunan interaksi sosial (Kato et al.,

2008). Dengan demikian, jalur XBP1-WFS1 mungkin memiliki peranan

dalam gangguan mood. Untuk mencari penyebab kejanggalan antara

kembar monozigot, kemudian dilakukan pencarian secara komprehensif

adanya perbedaan metilasi DNA antara sepasang kembar gangguan

afektif bipolar dan menemukan bahwa PPIEL (peptidylprolyl cis– trans

isomerase E like) termetilasi secara bebeda pada sel lymphoblastoid

dari si kembar. Terjadi hipometilasi PPIEL secara signifikan pada

pasien dengan gangguan afektif bipolar II dalam studi kasus-kontrol,

dan hipometilasi dikaitkan dengan peningkatan ekspresi mRNA di sel

lymphoblastoid. PPIEL mengkode protein dari golongan cyclophilin

yang ditandai dengan PPI (peptidylprolyl isomerase) domain yang

berperan dalam protein folding. Dalam otak manusia, PPIEL mRNA

banyak terletak di substantia nigra dan hipofisis, yang mungkin

berperan dalam neuron dopaminergik (Kuratomi et al., 2008).

Pada gangguan afektif bipolar, interval antar episode gangguan

akan semakin singkat dengan semakin berkembangnya penyakit, dan

pasien menjadi lebih rentan terhadap stres. Ketika pasien timbul gejala

rapid cycling, pemakaian lithium tidak lagi efektif. Karakteristik dari

keadaan tersebut dapat dijelaskan oleh sensitiasi behavioural (Post dan

Weiss, 1996), tetapi juga dapat dijelaskan oleh teori progresif loss atau

disfungsi neuron yang bertanggung jawab sebagai mood stabilisator.

Hipotesis ini mungkin akan lebih relevan dengan pemahaman

neurobiologi yang terjadi pada gangguan afektif bipolar seperti

dijelaskan di atas. Dengan demikian, langkah berikutnya studi

neurobiologis dari gangguan afektif bipolar adalah untuk

mengidentifikasi sistem saraf yang bertanggung jawab untuk stabilisasi

mood, yaitu, 'mood-stabilizing neuron.'

45

Page 46: Referat Bipolar

Kandidat sistem saraf yang dapat menjadi 'mood-stabilizing

neuron' adalah neuron GABAergic. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, pengurangan dari neuron GABAergic telah dilaporkan

terjadi pada otak pasien dengan gangguan afektif bipolar, dan disfungsi

dari respon terhadap stres ER mungkin dapat menyebabkan gangguan

diferensiasi pada neuron GABAergic.

Sebuah studi stimulasi magnetik transkranial menunjukkan

bahwa terjadi penurunan inhibisi kortikal pada gangguan afektif bipolar

(Levinson et al., 2007). Ditemukan pula terjadinya pengurangan jumlah

interneuron di hippocampal CA2. Penanda GABAergic, yaitu GAD67

mengalami penurunan dalam stratum oriens dari CA2 / 3, dan ini

dikaitkan dengan berkurangnya level faktor transkripsi yang penting

untuk diferensiasi dari interneuron GABAergic seperti LHX2 dan

PAX5 (Benes et al., 2007). Secara bersama-sama, temuan ini

menunjukkan bahwa gangguan diferensiasi interneuron GABAergic

mungkin terlibat dalam patofisiologi gangguan afektif bipolar.

Kandidat lainnya adalah sistem saraf yang bertanggung jawab

untuk regulasi ritme sirkadian. Irama behavioural yang terkait dengan

lingkungan terang-gelap diatur oleh jalur retino-hipotalamus. Perubahan

pada respon melatonin terhadap cahaya telah dilaporkan pada pasien

dengan bipolar gangguan (Lewy et al., 1981). Tikus Mutan Polg

menunjukkan perubahan pada ritme sirkadian, dan beberapa tikus

mutan lainnya menunjukkan fenotipe yang sama. Hilangnya neuron

gliosis dilaporkan terjadi di hipotalamus. Terapi ritme sosial dilakukan

untuk memperbaiki disregulasi ritme terbukti efektik untuk pencegahan

gangguan afektif bipolar (Frank et al., 2007).

Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa neuron GABAergic

atau neuron yang bertanggung jawab untuk ritme sirkadian mungkin

dapat menjadi kandidat yang berpengaruh untuk gangguan afektif

bipolar. Gangguan afektif bipolar bukan penyakit genetik yang sifatnya

homogen, dan banyak faktor genetik lain yang dapat berkontribusi

46

Page 47: Referat Bipolar

terjadinya gangguan sistem saraf, seperti yang telah dibahas di atas.

Misalnya, gen yang berhubungan dengan regulasi irama sirkadian pada

tingkat sel dan gen yang terkait dengan kerentanan sistem saraf yang

bertanggung jawab untuk mengatyur ritme sirkadian dapat

mengakibatkan konsekuensi yang sama (Gambar 3). Langkah

selanjutnya untuk dapat memahami neurobiologi yang menyebabkan

gangguan afektif bipolar adalah dengan mengidentifikasi sistem saraf

yang bertanggung jawab terhadap gangguan ini. Sehingga akan dapat

mengatasi kompleksitas dan heterogenitas etiologi dari gangguan

afektif bipolar dan mengidentifikasi final common pathway dari

penyakit pada otak yang sangat kompleks ini.

Gambar 7. Pathophysiological mechanisms of bipolar disorder

Faktor genetik yang berkontribusi terhadap terjadinya gangguan

afektif bipolar, episode manik dan depresi biasanya disertai dengan

perubahan neurotransmisi dopaminergik. Peningkatan kejadian

hyperintensitas subkortikal, perubahan kadar kalsium pada trombosit

dan efek neuroprotektif dari mood stabilisator menunjukkan bahwa

kerentanan seluler terlibat dalam gangguan afektif bipolar. Kanal

47

Page 48: Referat Bipolar

kalsium, GSK- 3b, disfungsi mitokondria dan disfungsi stres ER diduga

berperan dalam kerentanan seluler tersebut. Progresif loss atau

disfungsi dari mood stabilisator neuron mungkin dapat menjadi final

common pathway dari gangguan afektif bipolar (Kato, 2008).

48

Page 49: Referat Bipolar

BAB III

SIMPULAN

A. Simpulan

1. Studi keluarga, kembar, adopsi, dan genetik memberikan bukti bahwa

gangguan afektif bipolar merupakan penyakit genetik. Namun gangguan

afektif bipolar tidak hanya muncul oleh karena murni diturunkan dari

gen, tetapi ditimbulkan dari interaksi dari beberapa gen yang berbeda

yang kemudian berinteraksi dengan stresor lingkungan.

2. Pada studi mekanisme molekuler, diketahui adanya peningkatan sitokin

inflamasi pada pasien gangguan afektif bipolar, sehingga pemberian

terapi antiinflamasi pada pasien gangguan afektif bipolar dapat menjadi

terapi alternatif yang menjanjikan untuk gangguan ini.

3. Pada studi neuroanatomi, pasien gangguan afektif bipolar mengalami

kerentanan neuron yang ditunjukkan dengan kerentanan oligodendrosit

dan penurunan ekspresi gen terkait oligodendrosit pada otak.

4. Mekanisme epigenetik berpengaruh terhadap gangguan afektif bipolar

dalam hal konkordansi kembar monozigot, dismorfisme seksual, dan efek

transmisi maternal dari orangtua. Namun hingga sekarang, mekanisme

epigenetik ini masih sulit untuk dijelaskan secara pasti.

49

Page 50: Referat Bipolar

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and statistical manual of

mental disorders: DSM-IV-TR., Edisi Revisi ke-4.

Andreasen NC, Black DW (2006). Introductory Textbook of Psychiatry. Edisi ke-

4. Washington, DC: American Psychiatric Publishing, Inc.

Andreazza, A.C. et al. (2008) Oxidative stress markers in bipolar disorder: a meta-

analysis. J. Affect. Disord., DOI: 10.1016/j.jad.2008. 04.013.

Azzi L, El-Alfy M, Labrie F (2006). Gender differences and effects of sex steroids

and dehydroepiandrosterone on androgen and oestrogen alpha receptors in

mouse sebaceous glands. Br J Dermatol 154: 21–27.

Barrett SL, Mulholland CC, Cooper SJ, Rushe TM (2009). Patterns of

neurocognitive impairment in first-episode bipolar disorder and

schizophrenia. Br J Psychiatry 195: 67–72.

Basta-Kaim, A. et al. (2004) Mood stabilizers inhibit glucocorticoid receptor

function in LMCAT cells. Eur. J. Pharmacol. 495, 103–110.

Baumann, B. et al. (2002) Circumscribed numerical deficit of dorsal raphe

neurons in mood disorders. Psychol. Med. 32, 93–103.

Belmaker, R.H. et al. (2002) Reduced inositol content in lymphocytederived cell

lines from bipolar patients. Bipolar Disord. 4, 67–69.

Benes, F.M. et al. (2001). The density of pyramidal and nonpyramidal neurons in

anterior cingulate cortex of schizophrenic and bipolar subjects. Biol.

Psychiatry 50, 395–406.

50

Page 51: Referat Bipolar

Benes, F.M. et al. (1998) A reduction of nonpyramidal cells in sector CA2 of

schizophrenics and manic depressives. Biol. Psychiatry 44, 88–97.

Braunig P, Sarkar R, Effenberger S, Schoofs N, Kruger S (2009). Gender

differences in psychotic bipolar mania. Gend Med 6: 356–361.

Chen, G. et al. (2000) Enhancement of hippocampal neurogenesis by lithium. J.

Neurochem. 75, 1729–1734.

Chen, G. et al. (1999) The mood-stabilizing agents lithium and valproate robustly

increase the levels of the neuroprotective protein bcl-2 in the CNS. J.

Neurochem. 72, 879–882.

Chen, G. et al. (1999). The mood-stabilizing agent valproate inhibits the activity

of glycogen synthase kinase-3. J. Neurochem. 72, 1327–1330.

Cichon, S. et al. (2004) Lack of support for a genetic association of the XBP1

promoter polymorphism with bipolar disorder in probands of European

origin. Nat. Genet. 36, 783–784.

Cui, J. et al. (2007). Role of glutathione in neuroprotective effects of mood

stabilizing drugs lithium and valproate. Neuroscience 144, 1447–1453.

Dager, S.R. et al. (2004) Brain metabolic alterations in medicationfree patients

with bipolar disorder. Arch. Gen. Psychiatry 61, 450–458.

Du, J. et al. (2003). Structurally dissimilar antimanic agents modulate synaptic

plasticity by regulating AMPA glutamate receptor subunit GluR1 synaptic

expression. Ann. N. Y. Acad. Sci. 1003, 378–380.

51

Page 52: Referat Bipolar

Dokucu, M.E.et al. (2005) Lithium-andvalproate-inducedalterationsin

circadianlocomotor behavior inDrosophila. Neuropsychopharmacology.

30, 2216–2224.

Fattal, O. et al. (2007) Psychiatric comorbidity in 36 adults with mitochondrial

cytopathies. CNS Spectr. 12, 429–438.

Frank, E. et al. (2007) Interpersonal and social rhythm therapy: an intervention

addressing rhythm dysregulation in bipolar disorder. Dialogues Clin.

Neurosci. 9, 325–332.

Fu M, Wang C, Zhang X, Pestell RG (2004). Acetylation of nuclear receptors in

cellular growth and apoptosis. Biochem Pharmacol 68: 1199–1208.

Garinis GA, Patrinos GP, Spanakis NE, Menounos PG (2002). DNA

hypermethylation: when tumour suppressor genes go silent. Hum Genet

111: 115–127.

Hao, Y. et al. (2004) Mood stabilizer valproate promotes ERK pathway-

dependent cortical neuronal growth and neurogenesis. J. Neurosci. 24,

6590-6599

Harwood, A.J. (2005) Lithium and bipolar mood disorder: the inositoldepletion

hypothesis revisited. Mol. Psychiatry 10, 117–126.

Hayashi, A. et al. (2007) The role of brain-derived neurotrophic factor (BDNF)-

induced XBP1 splicing during brain development. J. Biol. Chem. 282,

34525–34534.

52

Page 53: Referat Bipolar

Higashi, M. et al. (2008). Mood stabilizing drugs expand the neural stem cell pool

in the adult brain through activation of notch signaling. Stem Cells 26,

1758–1767.

Iwamoto, K. et al. (2005) Altered expression of mitochondria-related genes in

postmortem brains of patients with bipolar disorder or schizophrenia, as

revealed by large-scale DNA microarray analysis. Hum. Mol. Genet. 14,

241–253.

Jenuwein T, Allis CD (2001). Translating the histone code. Science 293: 1074–

1080.

Kakiuchi, C. et al. (2003) Impaired feedback regulation of XBP1 as a genetic risk

factor for bipolar disorder. Nat. Genet. 35, 171–175.

Kakiuchi, C. et al. (2006) XBP1 induces WFS1 through an endoplasmic reticulum

stress response element-like motif in SHSY5Y cells. J. Neurochem. 97,

545–555.

Kaminsky Z, Wang SC, Petronis A (2006). Complex disease, gender and

epigenetics. Ann Med 38: 530–544.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (2010). Sinopsis psikiatri: Ilmu pengetahuan

perilaku psikiatri klinis. Jilid 1. Tangerang: Bina Aksara Publisher.

Kasahara, T. et al. (2006) Mice with neuron-specific accumulation of

mitochondrial DNA mutations show mood disorder-like phenotypes. Mol.

Psychiatry 11, 577–593.

53

Page 54: Referat Bipolar

Kasahara, T. et al. (2008) A marked effect of electroconvulsive stimulation on

behavioral aberration of mice with neuron-specific mitochondrial DNA

defects. PLoS ONE 3, e1877.

Kato, T. et al. (2008) Behavioral and gene expression analyses of Wfs1 knockout

mice as a possible animal model of mood disorder. Neurosci. Res. 61, 143–

158.

Kato, T. et al. (2003) Mechanisms of altered Ca2+ signalling in transformed

lymphoblastoid cells from patients with bipolar disorder. Int. J.

Neuropsychopharmacol. 6, 379–389.

Kato, T. et al. (1994) Reduction of brain phosphocreatine in bipolar II disorder

detected by phosphorus-31 magnetic resonance spectroscopy. J. Affect.

Disord. 31, 125–133.

Kato, T. et al. (1993) Alterations in brain phosphorous metabolism in bipolar

disorder detected by in vivo 31P and 7Li magnetic resonance spectroscopy.

J. Affect. Disord. 27, 53–59.

Kato, T. and Kato, N. (2000) Mitochondrial dysfunction in bipolar disorder.

Bipolar Disord. 2, 180–190.

Kato, T. (2007) Mitochondrial dysfunction as the molecular basis of bipolar

disorder: therapeutic implications. CNS Drugs 21, 1–11.

Khare T., Pal M., Petronis A (2011). Understanding Bipolar Disorder: The

Epigenetic.

Klein, P.S. and Melton, D.A. (1996). A molecular mechanism for the effect of

lithium on development. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 93, 8455–8459.

54

Page 55: Referat Bipolar

Konradi, C. et al. (2004) Molecular evidence for mitochondrial dysfunction in

bipolar disorder. Arch. Gen. Psychiatry 61, 300–308.

Kromkamp, M. et al. (2003) Decreased thalamic expression of the homeobox

gene DLX1 in psychosis. Arch. Gen. Psychiatry 60, 869–874.

Kubota, M. et al. (2006) Abnormal Ca2+ dynamics in transgenic mice with

neuron-specific mitochondrial DNA defects. J. Neurosci. 26, 12314–

12324

Kuratomi G, Iwamoto K, Bundo M, Kusumi I, Kato N, Iwata N, Ozaki N, Kato T

(2008). Aberrant DNA methylation associated with bipolar disorder

identified from discordant monozygotic twins. Mol Psychiatry 13: 429–

441.

Lachman, H.M. et al. (2007) Increase in GSK3b gene copy number variation in

bipolar disorder. Am. J. Med. Genet. B Neuropsychiatr. Genet. 144, 259–

265.

Laeng, P. et al. (2004). The mood stabilizer valproic acid stimulates GABA

neurogenesis from rat forebrain stem cells. J. Neurochem. 91, 238–251.

Lan TH, Beaty TH, DePaulo JR, McInnis MG (2007). Parent-of-origin effect in

the segregation analysis of bipolar affective disorder families. Psychiatr

Genet 17: 93–101.

Leng, Y. et al. (2008). Synergistic neuroprotective effects of lithium and valproic

acid or other histone deacetylase inhibitors in neurons: roles of glycogen

synthase kinase-3 inhibition. J. Neurosci. 28, 2576–2588.

55

Page 56: Referat Bipolar

Lewy, A.J. et al. (1981) Manic-depressive patients may be supersensitive to light.

Lancet 1, 383–384.

Mahmood, T. and Silverstone, T. (2001) Serotonin and bipolar disorder. J. Affect.

Disord. 66, 1–11.

Manaye, K.F. et al. (2005) Selective neuron loss in the paraventricular nucleus of

hypothalamus in patients suffering from major depression and bipolar

disorder. J. Neuropathol. Exp. Neurol. 64, 224–229.

Manji, H.K. and Duman, R.S. (2001) Impairments of neuroplasticity and cellular

resilience in severe mood disorders: implications for the development of

novel therapeutics. Psychopharmacol. Bull. 35, 5–49.

Maslim R (2001). Buku saku diagnosis gangguan jiwa: Rujukan ringkas dari

PPDGJ-III. Jakarta: FK UNIKA Atmajaya.

McCurdy, R.D. et al. (2006). Cell cycle alterations in biopsied olfactory

neuroepithelium in schizophrenia and bipolar I disorder using cell culture

and gene expression analyses. Schizophr. Res. 82, 163–173.

Merikangas KR, Jin R, He JP, Kessler RC, Lee S, Sampson NA, Viana MC, et al.

(2011). Prevalence and Correlates of Bipolar Spectrum Disorder in the

World Mental Health Survey Initiative. Arch gen psychiatry 68(3): 241-251.

Munakata, K. et al. (2005) Mitochondrial DNA 3243A>G mutation and increased

expression of LARS2 gene in the brains of patients with bipolar disorder

and schizophrenia. Biol. Psychiatry 57, 525–532.

Naydenov, A.V. et al. (2007) Differences in lymphocyte electron transport gene

expression levels between subjects with bipolar disorder and normal

56

Page 57: Referat Bipolar

controls in response to glucose deprivation stress. Arch. Gen. Psychiatry 64,

555–564.

Nemanov, L. et al. (1999) Effect of bipolar disorder on lymphocyte inositol

monophosphatase mRNA levels. Int. J. Neuropsychopharmacol. 2, 25–29.

Nonaka, S. et al. (1998) Chronic lithium treatment robustly protects neurons in the

central nervous system against excitotoxicity by inhibiting N-methyl-D-

aspartate receptor-mediated calcium influx. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A.

95, 2642–2647.

Ohnishi, T. et al. (2007) A promoter haplotype of the inositol monophosphatase 2

gene (IMPA2) at 18p11.2 confers a possible risk for bipolar disorder by

enhancing transcription. Neuropsychopharmacology 32, 1727–1737.

Peele PB, Xu Y, Kupfer DJ (2003). Insurance expenditures on bipolar disorder:

Clinical and parity concerns. Am J Psychiatry 160:1286–1290.

Peet, M. (1994) Induction of mania with selective serotonin re-uptake inhibitors

and tricyclic antidepressants. Br. J. Psychiatry 164, 549–550.

Perova, T. et al. (2008) Hyperactive intracellular calcium dynamics in B

lymphoblasts from patients with bipolar I disorder. Int. J.

Neuropsychopharmacol. 11, 185–196.

Perspective in H.K. Manji and C.A. Zarate (eds.): Behavioral Neurobiology of

Bipolar Disorder and its Treatment, Current Topics in Behavioral

Neurosciences 5.

57

Page 58: Referat Bipolar

Prickaerts, J. et al. (2006) Transgenic mice overexpressing glycogen synthase

kinase 3b: a putative model of hyperactivity and mania. J. Neurosci. 26,

9022–9029.

Rajkowska, G. et al. (2001) Reductions in neuronal and glial density characterize

the dorsolateral prefrontal cortex in bipolar disorder. Biol. Psychiatry 49,

741–752.

Reimold, A.M. et al. (2000) An essential role in liver development for

transcription factor XBP-1. Genes Dev. 14, 152–157.

Reimold, A.M. et al. (2001) Plasma cell differentiation requires the transcription

factor XBP-1. Nature 412, 300–307.

Regenold, W.T. et al. (2007). Myelin staining of deep white matter in the

dorsolateral prefrontal cortex in schizophrenia, bipolar disorder, and

unipolar major depression. Psychiatry Res. 151, 179–188.

Rosa A, Picchioni MM, Kalidindi S, Loat CS, Knight J, Toulopoulou T, Vonk R,

van der Schot AC, Nolen W, Kahn RS, McGuffin P, Murray RM, Craig

IW (2008). Differential methylation of the X-chromosome is a possible

source of discordance for bipolar disorder female monozygotic twins. Am

J Med Genet B Neuropsychiatr Genet 147B: 459–462.

Sasaki H, Matsui Y (2008). Epigenetic events in mammalian germ-cell

development: reprogramming and beyond. Nat Rev Genet 9 :129–140.

Shamir, A. et al. (1998) Inositol monophosphatase in immortalized

lymphoblastoid cell lines indicates susceptibility to bipolar disorder and

response to lithium therapy. Mol. Psychiatry 3, 481–482.

58

Page 59: Referat Bipolar

Shim, J. et al. (2004) The unfolded protein response regulates glutamate receptor

export from the endoplasmic reticulum. Mol. Biol. Cell 15, 4818–4828.

Siciliano, G. et al. (2003) Autosomal dominant external ophthalmoplegia and

bipolar affective disorder associated with a mutation in the ANT1 gene.

Neuromuscul. Disord. 13, 162–165.

Sit D (2004). Women and bipolar disorder across the life span. J Am Med

Womens Assoc 59: 91–100.

So, J. et al. (2007) Impaired endoplasmic reticulum stress response in B-

lymphoblasts from patients with bipolar-I disorder. Biol. Psychiatry 62,

141–147.

Stahl, SM (2013). Stahl’s essential psychopharmacology: neuroscientific basis

and practical application. 4th ed. Cambridge University Press: New York.

pp: 24-26.

Suomalainen, A. et al. (1992) Multiple deletions of mitochondrial DNA in several

tissues of a patient with severe retarded depression and familial

progressive external ophthalmoplegia. J. Clin. Invest. 90, 61–66.

Swift, R.G. et al. (1991) Psychiatric disorders in 36 families with Wolfram

syndrome. Am. J. Psychiatry 148, 775–779.

Taylor L, Faraone SV, Tsuang MT (2002). Family, twin, and adoption studies of

bipolar disease. Curr Psychiatry Rep 4: 130–133.

Tkachev, D. et al. (2003) Oligodendrocyte dysfunction in schizophrenia and

bipolar disorder. Lancet 362, 798–805

59

Page 60: Referat Bipolar

Torack, R.M. and Morris, J.C. (1988). The association of ventral tegmental area

histopathology with adult dementia. Arch. Neurol. 45, 497–501.

Underwood SL, Christoforou A, Thomson PA, Wray NR, Tenesa A, Whittaker J,

Adams RA, Le Hellard S, Morris SW, Blackwood DH, Muir WJ, Porteous

DJ, Evans KL (2006). Association analysis of the chromosome 4p-located

G protein-coupled receptor 78 (GPR78) gene in bipolar affective disorder

and schizophrenia. Mol Psychiatry 11: 384–394.

Valentini, V. et al. (2004) Noradrenaline transporter blockers raise extracellular

dopamine in medial prefrontal but not parietal and occipital cortex:

differences with mianserin and clozapine. J. Neurochem. 88, 917–927.

Van Goethem, G. et al. (2001) Mutation of POLG is associated with progressive

external ophthalmoplegia characterized by mtDNA deletions. Nat. Genet.

28, 211–212.

Warsh, J.J. et al. (2004) Role of intracellular calcium signaling in the

pathophysiology and pharmacotherapy of bipolar disorder: current status.

Clin. Neurosci. Res. 4, 201–213.

Williams, R.S. et al. (2002) A common mechanism of action for three mood-

stabilizing drugs. Nature 417, 292–295.

Yang, S. et al. (2008) Assessment of circadian function in fibroblasts of patients

with bipolar disorder. Mol Psychiatry 10.1038/mp.2008.10

Yin, L. et al. (2006) Nuclear receptor Rev-erba is a critical lithiumsensitive

component of the circadian clock. Science 311, 1002–1005.

60

Page 61: Referat Bipolar

Yoon, I.S. et al. (2001) Altered IMPA2 gene expression and calcium homeostasis

in bipolar disorder. Mol. Psychiatry 6, 678–683.

Yoshida, H. et al. (2001) XBP1 mRNA is induced by ATF6 and spliced by IRE1

in response to ER stress to produce a highly active transcription factor.

Cell 107, 881–891.

Yoshida, H. et al. (2006) pXBP1(U) encoded in XBP1 pre-mRNA negatively

regulates unfolded protein response activator pXBP1(S) in mammalian ER

stress response. J. Cell Biol. 172, 565–575.

Zhou, Q.Y. and Palmiter, R.D. (1995) Dopamine-deficient mice are severely

hypoactive, adipsic, and aphagic. Cell 83, 1197–1209.

Zhou, R. et al. (2005). The anti-apoptotic, glucocorticoid receptor cochaperone

protein BAG-1 is a long-term target for the actions of mood stabilizers. J.

Neurosci. 25, 4493–4502.

61