referat bedah - head trauma

Upload: patriciachristiani

Post on 01-Mar-2016

27 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

head trauma

TRANSCRIPT

REFERAT DEPARTEMEN BEDAH

TRAUMA KEPALA

Disusun oleh :

Leony Prasetya (07120100017)

Dibimbing oleh :

dr. Julius July, SpBS

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Unversitas Pelita Harapan

Siloam Hospital Lippo Village

Rumah Sakit Umum Siloam

Periode : 26 Januari 5 April 2015

Tangerang, 2015

Daftar Isi

3BAB I

BAB II4A.Definisi4B.Epidemiologi4C.Anatomi4D.Fisiologi7E.Klasifikasi Trauma Kepala8F.Resusitasi14G.Algoritma Trauma Kepala16H.Tatalaksana Medikamentosa18I.Tatalaksana Pembedahan20J.Herniasi Otak21K.Prognosis23DAFTAR PUSTAKA24

BAB I

PENDAHULANTrauma kepala dapat didefinisikan sebagai adanya gangguan pada fungsi otak akibat dorongan fisik dari luar.1 Gangguan fungsi pada otak dapat bersifat sementara ataupun permanen, dan dapat menghasilkan kelinan struktural pada otak. Klasifikasi trauma kepala dapat dibagi berdasarkan tingkat kesadaran yaitu trauma kepala ringan dengan penilaian GCS 13-15, trauma kepala sedang dengan GCS 9-12, dan trauma kepala berat dengan penilaian GCS 3-8. Kondisi paling sering dialami oleh pasien adalah trauma kepala ringan sebanyak 80%. Kejadian trauma kepala sedang 98%.4 Circulation

Kegagalan dalam sirkulasi pada pasien trauma dapat berasal dari berbagai sumber perlukaan, antara lain kuranganya volume darah, cardiac output dan perdarahan. Observasi awal yang dapat dilakukan adalah memeriksa kesadaran dimana ketika volume darah tidak mencukupi hingga ke otak maka dapat terjadi penurunan kesadaran. Warna kulit dapat menjadi indikator untuk pasien dengan hipovolemik, pasien dengan kondisi pucat, dan ekstremitas yang dingin. Nadi terutama bagian sentral (arteri carotis atau femoralis) harus diperiksa untuk kualitas, rate dan regularitasnya. Sumber perdarahan dapat berasal dari internal atau eksternal. Jika sumber perdarahan eksternal, maka dapat dilakukan penekanan manual pada daerah yang terluka. Perdarahan internal dapat terjadi pada daerah dada, abdomen, retroperitoneum, pelvis, dan bagian tulang panjang. Pada pasien dengan trauma kepala, keadaan euvolemia harus dipertankan dengan menggunakan produk darah, ataupun cairan isotonik.4 Disability

Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan singkat dan cepat. Dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), reflek cahaya, dan defisit neurologis fokal. Pemeriksaan dolls eye movement (oculocephalic), tes kalorik dengan air dingin (oculovestibular) dan reflek kornea dapat dilakukan oleh dokter bedah saraf. Dollss eye tidak boleh dilakukan sampai dapat dipastikan tidak ada cedera pada bagian cervical.4 Exposure

Semua pakaian pasien dapat dibuka untuk mengetahui adanya perlukaan pada daerah tubuh yang lain.4

Secondary survey

Pada secondary survey dapat dilakukan pemeriksaan status generalisata secara lebih mendetail dibandingkan pada primary survey. Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan pada secondary survey adalah pemeriksaan GCS, lateralisasi, dan reaksi pupil. Setelah dilakukan pemeriksaan status generalisata dan neurologis secara mendetail dan kondisi pasien sudah stabil, pemeriksaan CT-Scan pada pasien dengan trauma kepala harus segera dilakukan dan dapat diulang 24 jam berikutnya jika didapatkan kontusio atau hematoma pada hasil CT-Scan awal. Penemuan bermakna pada CT-Scan dapat meliputi pembengkakan pada bagian kulit kepala, hematoma subgaleal di daerah yang terkena trauma. Fraktur tulang kepala dapat dilihat dengan lebih baik menggunakan bone window, tetapi dapat juga terlihat pada soft-tissue window. Penemuan penting pada CT-Scan kepala pada pasien dengan trauma kepala adalah perdarahan intrakranial, kontusio, pergeseran midline (efek massa) dan hilangnya sisterna. Pergeseran midline 5mm atau lebih biasanya mengindikasikan perlunya operasi untuk evakuasi perdarahan yang menyebabkan pergeseran.4 G. Algoritma Trauma Kepala

Trauma kepala ringan

Pada pasien dengan trauma kepala ringan, gejala yang dapat timbul adalah disorientasi, amnesia, hilang kesadaran sesaat pada pasien yang sadar penuh. Dapat pula ditanyakan mengenai kejadian pada saat trauma untuk mengetahui adanya amnesia anterograde atau retrograde. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya kelainan neurologis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah CT-Scan untuk melihat adanya kelainan pada otak seperti perdarahan, dan bone window untuk melihat adanya kelainan pada tulang. Pasien dengan trauma kepala ringan yang harus dilakukan CT-Scan adalah pasien dengan GCS kurang dari 15 dalam 2 jam setelah kejadian trauma, dicurigai adanya fraktur terbuka atau depresi, adanya tanda-tanda dari fraktur basal tulang tengkorak, adanya episode muntah lebih dari 2x, dan pasien dengan usia lebih dati 65 tahun. Pasien yang dipertimbangkan untuk melakukan CT-Scan pada trauma kepala ringan adalah pasien yang hilang kesadaran lebih dari 5 menit, hilang ingatan lebih dari 30 menit sebelum kejadian, pasien yang trauma dengan mekanisme trauma yang hebat (tertabrak oleh kendaraan bermotor, terlempar dari kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian 3 kaki atau 1 meter), adanya nyeri kepala yang hebat, dan adanya defisit neurologis fokal.4

Tabel 3. Indikasi CT-Scan pasien dengan trauma kepala ringan4

Pasien trauma kepala ringan dapat dirawat inap dan dirujuk ke bedah saraf jika ada kelainan pada hasil CT-Scan kepala, adanya gejala simptomatis yang menetap, dan adanya kelainan neurologis yang menetap. Pasien yang sadar dan asimptomatis dapat diobservasi, jika kondisi stabil maka pasien dapat dipulangkan dengan syarat dirumah harus diobservasi selama 24 jam pertama, jika ada tanda-tanda seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala yang hebat, maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit.4

Gambar 12. Algoritma tatalaksana trauma kepala ringan4 Trauma kepala sedang

Pasien dengan trauma kepala sedang masih dapat mengikuti instruksi sederhana meskipun pasien dalam keadaan bingung, terdapat gejala defisit neurologis fokal. CT-Scan harus segera dilakukan pada pasien dengan trauma kepala sedang dan harus segera menghubungi dokter bedah saraf. Pasien seharusnya dirawat di ICU untuk observasi ketat dalam 12 hingga 24 jam pertama. Dapat dipertimbangkan untuk CT-Scan ulangan jika ada kelainan pada hasil CT-Scan yang pertama dan adanya penurunan status neurologis.4

Gambar 13. Algoritma tatalaksana trauma kepala sedang4 Trauma kepala berat

Pasien dengan trauma kepala berat sudah tidak dapat mengikuti perintah. Harus segera dilakuakn CT-Scan untuk mengetahui adanya kelainan pada otak maupun tulang dan jaringan di sekitarnya.4

Gambar 14. Algoritma tatalaksana trauma kepala berat4H. Tatalaksana MedikamentosaTujuan utama dari tatalaksana trauma pada kepala adalah untuk mencegah adanya kerusakan sekunder pada otak yang sudah mengalami trauma. Pengobatan medikamnetosa yang dapat diberikan pada pasien dengan trauma kepala adalah pemberian cairan intravena, keadaan hiperventilasi sementara, manitol, saline hipertonik, barbiturate, dan antikonvulsan. Cairan intravena dan produk darah harus segera diberikan ketika melakukan resusitasi pada pasien dengan trauma kepala agar kondisi pasien tetap dipertahankan pada kondisi normovolemia. Harus juga diperhatikan agar tidak kelebihan cairan yang dapat menyebabkan pada edema serebri. Cairan hipotonik tidak dianjurkan untuk digunakan. Cairan yang mengandung glukosa juga tidak dianjurkan karena dapat berujung pada hiperglikemia. Cairan yang dianjurkan adalah ringer laktat atau normal saline. Kadar sodium juga harus di monitor agar tidak menjadi hiponatremia yang dapat menyebabkan edema serebri.4 Kondisi normocarbia disarankan pada kebanyakan pasien. kondisi hiperventilasi bekerja dengan cara menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah. Kondisi hiperventilasi yang aggresif dan berkepanjangan juga dapat menyebabkan iskemik pada jaringan otak. Kadar PaCO2 pada keadaan hiperventilasi dapat mencapai hingga dibawah 30 mmHg. Keadaan hiperkarbia dimana PaCO2 >45 mmHg maka akan terjadi vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial dimana itu harus dicegah. Secara keseluruhan kondisi PaCO2 dapat dipertahankan pada 35 mmHg yaitu nilai terbawah dari kadar normal. Keadaan hiperventilasi dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan kondisi hematoma yang bertambah luas pada keadaan yang membutuhkan tindakan emergensi kraniotomi.4 Manitol digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Kadar manitol yang biasa digunakan adalah 20% dari cairan (20g manitol per 100ml cairan). Tidak boleh digunakan pada pasien dengan hipotensi karena menyebabkan eksaserbasi hipotensi dan iskemik serebri. Kerusakan neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis, atau hilang kesadaran merupakan indikasi untuk pemberian manitol dimana kondisi pasien adalah euvolemia. Pada kondisi seperti ini dapat diberikan manitol blus (1g/kg) dapat diberikan dalam waktu cepat (lebih dari 5 menit) dan dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau langsung dilakukan tindakan operatif jika lesi intrakranial sudah diidentifikasi.4 Salin hipertonik digunakan juga untuk mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat. Konsentrasi yang digunakan adalah 3%-23,4%, yang lebih memungkinkan menjadi pilihan terbaik pada pasien dengan hipotensi. Barbiturate dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang sulit untuk diturunkan. Tidak boleh digunakan pada keadaan hipotensi atatu hipovolemia. Efek samping dari barbiturat sendiri adalah hipotensi. Barbiturate tidak disarankan untuk resusitasi pada keadaan akut.4 Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan trauma kepala tertutup dan 15% dari pasien dengan trauma kepala berat. Tiga faktor utama yang terkait tingginya insiden epilepsi adalah kejang terjadi dalam minggu pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur depresi tulang tengkorak. Kejang akut dapat dikontrol menggunakan antikonvulsan, akan tetapi pemberian antikonvulsan terlalu dini tidak akan mengubah kejang traumatis jangka panjang. Antikonvulsan juga dapat menghambat pemulihan otak, sehingga digunakan ketika benar-benar membutuhkan. Antikonvulsan yang digunakan saat ini adalah fenitoin dalam kondisi akut. Pada orang dewasa dosis awal yang diberikan adalah 1gram fenitoin diberikan secarai intravena dan tidak lebih cepat dari 50mg/menit. Dosis pemeliharaan adalah 100mg/8jam, dengan dosis titrasi hingga mencapai kadar untuk terapi. Diazepam ataupun lorazepam dapat digunakan juga sebagai tambahan hingga kejang berhenti. Jika kejang berlanjut terus menerus dapat dilakukan anestesi secara umum. Kejang yang berkepanjangan (30 hingga 60 menit) dapat menyebabkan kerusakan sekunder pada otak.4 I. Tatalaksana Pembedahan

Tatalaksana pembedahan dapat dilakukan jika terdapat perlukaan pada kulit kepala, fraktur depresi kepala, masa intrakranial, dan luka penetrasi pada kepala. Pada kasus dengan perlukaan pada kulit kepala dapat dilakukan pembersihan luka dan inspeksi dengan teliti sebelum dilakukan penjahitan kulit kepala. Yang menyebabkan terjadinya infeksi pada perlukaan di kulit kepala adalah kurang bersih saat pembersihan dan debridemen. Kehilangan darah dalam jumlah yang banyak sangat memungkinkan terutama pada anak kecil. Perdarahan dapat dihentikan dengan cara menekan pada tempat yang terluka atau ligase pembuluh darah besar. Inspeksi perlukaan kulit kepala dari adanya fraktur dan benda asing juga penting. Jika ada kebocoran dari cairan serebrospinal, menandakan bahwa ada robekan pada dura mater.4 Fraktur depresi tulang tengkorak biasanya membutuhkan tindakan operasi jika fraktur depresi tulang tengkorak tersebut melebihi ketebalan tulang tengkorak yang berdekatan atau jika terbuka dan terkontaminasi. Untuk mengetahui seberapa dalam fraktur depresi maka dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Pada pasien trauma kepala dengan adanya massa intrakranial maka harus dilakukan tindakan operatif oleh dokter bedah saraf. Jika berada di daerah yang tidak ada dokter bedah saraf maka harus langsung segera dirujuk. Pada pasien dengan luka penetrasi pada kepala CT-Scan sangat direkomendasikan. Foto polos kepala dapat dilakukan jika tidak ada CT-Scan untuk melihat adanya peluru dalam kepala atau benda asing yang besar. Pasien dengan luka penetrasi yang melibatkan orbitfacial atau region pterional sebaiknya dilakukan angiografi untuk mencari adanya aneurisma traumatic atau arteriovenous fistula. Jika didapatkan penemuan pada CT-Scan berupa kontusio yang besar, hematoma atau perdarahan intraventrikular maka tingkat mortalitas meningkat terutama jika melibatkan kedua hemisfer. Antibiotik broad-spectrum sebagai profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan trauma penetrasi pada kepala. Benda asing yang penetrasi ke dalam jaringan otak (contoh : panah, pisau, dan lain-lain) harus tetap didiamkan ditempatnya sampai trauma vaskular dan tatalaksana bedah saraf sudah dievaluasi dan dilakukan. Pencabutan benda asing yang penetrasi pada jaringan otak dapat membuat kejadian trauma vaskular dan perdarahan intrakranial yang fatal.4 J. Herniasi Otak

Herniasi pada otak terjadi karena adanya peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan adanya bagian otak yang bergeser ke kompartemen yang lainnya. Terdapat 4 tipe herniasi otak yaitu herniasi subfalcine, herniasi sentral, herniasi uncal, dan herniasi serebelotonsilar. Herniasi subfalcine terjadi pada pasien dengan massa yang terjadi pada bagian lobus frontal yang menyebabkan girus cingulate herniasi melewati falx serebri.7 Herniasi subfalcine merupakan herniasi yang paling sering terjadi diantara semua tipe herniasi otak. Gejala yang ditimbulkan saat terjadi herniasi subfalcine adalah penurunan kesadaran, kelemahan ekstrimitas bawah kontralateral. Pada gambaran radiologi, karakterisitik dari herniasi subfalcine adalah adanya pergeseran dari septum pellucidum, tanduk anterior dari ventrikel lateral terlihat tipis dan adanya kompresi arteri serebral anterior.8

Gambar 15. Herniasi subfalcine8Herniasi uncal terjadi ketika bagian dari uncus berpindah melalui superstelar sisterna. Herniasi pada bagian uncal menyebabkan adanya penekanan pada otak tengah. Gejala yang dapat timbul adalah dilatasi pupil karena adanya penekanan pada nervus III, hemiparesis kontralateral karena terkena di traktus kortikospinal yang menyilang di bawah otak tengah, penurunan kesadaran karena adanya distorsi dari jalur ascending arousal system dimana mereka melalui otak tengah. Adanya dilatasi pupil tanpa disertai adanya penurunan kesadaran bukan berasal dari herniasi uncal.2,7,8

Gambar 16. Herniasi uncal8Herniasi sentral terjadi ketika diencephalon (thalamus dan hipotalamus) dan bagian medial dari lobus temporalis dipaksa untuk melewati lekukan di tentorium. Yang sering menjadi penyebab utama terjadinya herniasi sentral adalah edema serebral yang bersifat difus yang biasa terlihat pada pasien dengan cedera kepala berat. Gejala yang prominen adalah pupil pinpoint bilateral, Babinskis sign bilateral, peningkatan tonus otot.2,7,8

Gambar 17. Herniasi sentral8Herniasi serebelotonsilar terjadi ketika tonsil serebelar turun kebawah melalui foramen magnum yang menyebabkan terjadinya kompresi dari medulla oblongata dan spinal cord bagian servikal. Herniasi sereberotonsilar dapat menyebabkan disfungsi dari jantung dan fungsi pernafasan.7,8

Gambar 18. Herniasi serebelotonsilar8K. Prognosis

Prognosis pada pasien dengan trauma kepala bergantung kepada seberapa cepat penangangan awal dan terapi-terapi lainnya. Jika terapi yang dilakukan dengan benar dan cepat maka prognosis yang didapatkan lebih baik.4DAFTAR PUSTAKA

1. Struchen MA, Ritter LM. Training Session 1a: Basic Definition of TBI, Mechanism of Injury, and Epidemiology. http://www.tbicommunity.org/resources/publications/vr_manual/pdf/session1a.pdf (accessed 7 Februari 2015).2. Wright DW, Merck LH. Chapter 254. Head Trauma in Adults and Children. In: Tintinalli JE, Stapczynski J, Ma O, Cline DM, Cydulka RK, Meckler GD, T. eds. Tintinalli's Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide, 7e. New York, NY: McGraw-Hill; 2011. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=348&Sectionid=40381742. Accessed Februari 3, 2015.3. Watanabe TK, Marino MH. Traumatic Brain Injury. In: Maitin IB, Cruz E. eds. CURRENT Diagnosis & Treatment: Physical Medicine & Rehabilitation. New York, NY: McGraw-Hill; 2014. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1180&Sectionid=70377685. Accessed Februari 1, 2015.4. ACS Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support, 9th ed. Chicago: Americans College of Surgeons; 2012.

5. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter's Neurology, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.6. U.S. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention. Facts about Concussion and Brain Injury. http://www.cdc.gov/concussion/pdf/Facts_about_Concussion_TBI-a.pdf (accessed 5 Februari 2015).7. Pandey AS, Thompson B. Neurosurgery. In: Doherty GM. eds. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery, 14e. New York, NY: McGraw-Hill; 2014. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1202&Sectionid=71524516. Accessed February 20, 2015.8. Halliday A. Cerebral Herniation Syndromes. https://www.peacehealth.org/Documents/Neuro%202012%20Halliday%20Presentation.pdf (accessed 20 February 2015).

24