referat asma bronkial

Upload: nencysylvia

Post on 21-Jul-2015

1.371 views

Category:

Documents


132 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).1 Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh

1

Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.2 Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.3

B. Tujuan penulisan Mengetahui tentang asma bronkhial secara menyeluruh yang meliputi pemahaman yang lengkap mengenai definisi, anatomi dan fisiologi, patogenesis, patofisiologi, faktor resiko, klasifikasi, diagnosa, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosa banding, komplikasi dan penatalaksanaan asma bronkhial.

C. Manfaat penulisan 1. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan tentang asma bronkhiale, mulai dari definisi sampai pengobatan asma. 2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi tentang asma bronkhiale.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara/reversible.4 Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.5 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciriciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1 Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.6

B. Anatomi dan fisiologi Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan

3

berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.6 Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat

persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.6 Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan

4

diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan bendabenda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang.7 Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang. Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.7 Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:7 1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang

5

rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru. 2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli. 3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transport aliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan

karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ), bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial

6

karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.7 Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.7

Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma

C. Patogenesis Asma Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan

7

beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.8 1. Inflamasi Saluran Napas Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.8 a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC). b. Mekanisme limfosit T-IgE Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama

8

akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi. c. Mekanisme limfosit T-non IgE Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (Airway Hyperresponsiveness/AHR).

Gambar 2. Respon Immun Pada Asma

2. Hiperesponsivitas Saluran Napas Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik

9

saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).8

Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma

3. Sel Inflamasi Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. a. Sel mast Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5,

10

GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme anti inflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR. b. Makrofag Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan menghantarkan alergen pada limfosit. c. Eosinofil Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.

11

d. Neutrofil Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF. Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti. e. Limfosit T Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit intra epitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil. f. Basofil Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen. g. Sel dendrit Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.

12

h. Sel struktural Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8 4. Mediator Inflamasi Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.8 a. Histamin Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast. b. Prostaglandin Prostaglandin (PG) D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan

merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan prostaglandin. c. Platelet activating factor (PAF) Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro

13

ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF. Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit. d. Leukotrien Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas. e. Sitokin Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B membentuk IgE. f. Endotelin Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan

bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.

14

g. Nitric oxide (NO) Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal. h. Radikal bebas oksigen Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan

bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas. i. Bradikinin Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin. j. Neuropeptida Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran

mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.

15

k. Adenosin Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.8 5. Mekanisme Saraf Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan non adrenergik non kolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks. a. Mekanisme kolinergik Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin. b. Mekanisme adrenergik Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi. c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC) Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8

16

D. Patofisiologi asma Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas.1 Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam patogenesis asma.1 Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus

17

oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin GenRelated Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel inflamasi.1 Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya

hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat nonspesifik.1

E. Faktor Resiko Asma Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.1 1. Faktor genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak

18

perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur) 3. Faktor lain a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

19

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) i. Status ekonomi

F. Gambaran Klinis Asma Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.9 Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala

20

terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.9 Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.9

G. Klasifikasi asma Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya. 1. Klasifikasi menurut etiologi Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. 2. Klasifikasi menurut derajat berat asma Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat. 3. Klasifikasi menurut kontrol asma Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

21

4. Klasifikasi menurut gejala Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1 Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1 Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru intermitten Bulanan 2 kali sebulan APE 80% Gejala 80%

22

Persisten sedang

Persisten berat

VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30% Harian >2 kali sebulan APE 60-80% Gejala setiap hari -VEP1 60-80% Serangan nilai prediksi menggangu APE 60-80% aktivitas dan tidur nilai terbaik Bronkodilator setiap -Variabilitas APE hari >30% Kontinyu Sering APE 60% Gejala terus VEP1 60% nilai menerus prediksi APE Sering kambuh 60% nilai aktivitas fisik terbaik terbatas Variabilitas APE >30% Gejala >1x/minggu, tetapi 120 Sering ada (>25 mmHg) 1000 g BDP atau ekuivalen) + LABA satu atau lebih obat berikut bila diperlukan - Teofilin lepas lambat - Anti leukotrin - LABA oral - Kortikosteroid oral - Anti IgE

Pengobatan Asma Berdasarkan Sistem Wilayah Bagi Pasien Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi penyakitnya, mengenal tandatanda dini serangan asma, dan dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan mengunakan peak flow meter pasien diminta mengukur secara teratur setiap hari, dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.9 Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas, berdasarkan nilai APE akan terletak pada wilayah:9 Hijau Berarti Aman Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas kurang dari 20%. Tidur dan aktivitas tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai sesuai dengan tingkat anak tangga saat itu. Bila 3 bulan tetap hijau, pengobatan ini diturunkan ke tahap yang lebih ringan. Kuning Berarti Hati-Hati Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Gejala asma masih normal, terbangun malam karena asma, aktivitas terganggu. Daerah ini menunjukkan bahwa pasien sedang mendapat serangan asma.sehingga obat-obat anti asma perlu ditingkatkan atau ditambah antara lain agonis beta 2 hirup dan bila

32

perlu kortikosteroid oral. Mungkin pula tahap pengobatan yang sedang dipakai belum memadai, sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya. Merah Berarti Bahaya Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2 hirup tidak memberikan respon, segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan agonis beta 2 hirup membaik, masuk ke daerah kuning, obat diteruskan sesuai dengan wilayah masing-masing. Pada wilyah merah, kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan diberikan oksigen.9

33

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan

peradangan; penyempitan ini bersifat reversible. 2. Fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa 3. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa selPelepasan mediatorMengaktivasi sel target saluran napas Bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf. 4. Faktor Resiko Asma : faktor genetik, lingkungan, dan faktor lain. 5. Gambaran Klinis Asma: asma klasik, asma alergik, dan asma karena pekerjaan. 6. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma, kontrol asma dan gejala. 7. Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. 8. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri akut, emboli paru, dan penyakit lainnya. 9. Komplikasi asma: pneumothoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dll. 10. Pengobatan asma menggunakan protokol pengobatan menurut GINA

B. Saran 1. Penderita asma sebaiknya menghindari faktor pencetus asma agar tidak terjadi eksaserbasi. 2. Dokter seharusnya memberikan edukasi dan pendidikan kepada

masyarakat, khususnya penderita asma

34

DAFTAR PUSTAKA 1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11;Nopember 2008. 2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher; 2006.707-36 3. Anonim. 2009. Patofisiologi asma. http://ayosz.wordpress.com/2009/01/07/patofisiologi-asma/ 4. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine 5. Tanjung, D. 2008. Asma bronhkiale. http://forbetterhealth.wordpress.com/author/forbetterhealthy/asmabronkhiale diakses tanggal 22 mei 2011

6. Healthzone. 2008. Asma bronkhiale. http://puskesmas-oke.blogspot.com/2008/12/asma-bronkial.html di akses tanggal 25 Mei 2011 7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya 8. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan Kepustakaan Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan: Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 9. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

35

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKHIALE

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Nency Irma Indriana Sylvia J. 500. 060. 059

Pembimbing: dr. Nur Hidayat. Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 201136

DAFTAR ISI Halaman judul.. i Halaman pengesahan.ii Daftar isi.iii BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar belakang masalah1 B. Tujuan penulisan 2 C. Manfaat penulisan... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 3 A. Definisi .. 3 B. Anatomi Dan Fisiologi 3 C. Patogenesis Asma 7 D. Patofisiologi Asma 17 E. Faktor Resiko Asma 18 F. Gambaran Klinis Asma 20 G. Klasifikasi Asma . 21 H. Diagnosis Asma .. 24 I. Diagnosis Banding Dan Komplikasi Asma 26 J. Pengobatan Asma . 28 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.....34 A. Kesimpulan34 B. Saran 34 DAFTAR PUSTAKA . 35

37

LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKHIALE

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh: Nency Irma Indriana Sylvia J. 500. 060. 059

Menyetujui dan Mengesahkan

Ketua Program Studi Dokter Muda FK UMS,

Pembimbing,

dr. Yuni Prasetyo K., M.Kes

dr. Nur Hidayat, SP.PD

38