referat asma

Upload: jennefer-feehily

Post on 03-Mar-2016

30 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001) Asma juga merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Asma merupakan salah satu masalah di dunia, diperkirakan 300 juta individu di dunia memiliki penyakit ini. Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma, terutama di negara-negara maju dan berkembang. Di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan kenaikan prevalensi asma sangat mencolok. Kasus asma ini meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari dua puluh tahun. Beban global dari dampak buruk penyakit asma juga semakin meningkat yang meliputi: penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan bisa menyebabkan kematian.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. EpidemiologiPrevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama dan pada masa menopause, perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asmadi dunia diperkirakanmencapai300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderitapada tahun 2025. Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesiaprevalensipenyakitasma meningkatdari 4,2%menjadi5,4%

2.2. Etiologi Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).2.3 Faktor Resiko Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya asma dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang menyebabkan terjadinya asma dan faktor yang memicu munculnya gejala asma. Yang menyebabkan terjadinya asma termasuk di dalam faktor dari host/penjamu (faktor primer yaitu genetik) dan faktor yang memicu terjadinya gejala asma biasanya adalah faktor lingkungan

Faktor Penjamu/Host Genetik. Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya. Obesitas Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas ( BMI >30 kg / m2) dan pada individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol. Asma pada pasien dengan obesitas memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan morbiditas biasanya lebih meningkat pada pasien dengan obesitas daripada pasien asma dengan berat badan normal. Penggunaan glukokortikosteroid sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat mengakibatkan obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas menyebabkan terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma masih belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa faktor. Telah diteliti bahwa obesitas dapat mempengaruhi fungsi dari jalan napas dan efeknya mempengaruhi mekanisme dari paru itu sendiri, berkembangnya pro-inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan pengaruh dari hormon atau nerogenik. Sehingga pada pasien obesitas terjadi penurunan volume ekspirasi, perubahan pola pernapasan ini dapat menyebabkan perubahan dari elastisitas dan fungsi dari otot polos saluran pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator inflamasi melalui adiposit seperti interleukin-6, (TNF)- , eotaxin, dan leptin, kombinasi dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana mekanisme sehingga mempengaruhi saluran napas.

Faktor Lingkungan Alergen Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk sari, spora jamur) dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan khususnya dalam perkembangan asma masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Infeksi Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan fenotip asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus memproduksi pola gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan asma pada masa kanak-kanak. Beberapa studi prospektif pada anak dengan RSV menunjukkan bahwa 40 % akan berlanjut menjadi wheezing atau memiliki asma pada masa anak-anak nantinya. Namun pada penelitian lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi yang jelas. Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi infeksi dari cacing tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan selanjutnya.(Iris R,2008)

Bahan di Lingkungan Kerja Lebih dari 300 substansi telah dihubungkan dengan asma akibat kerja. Yang diartikan sebagai asma yang disebabkan oleh paparan dari agen yang ada di lingkungan kerja. Substansi ini termasuk molekul kecil dengan reaktivitas tinggi seperti isocyanate, iritan yang dapat menyebabkan respon dari saluran napas, imunogen seperti garam platinum, dan tumbuhan dan produk biologi hewan yang menstimulasi di produksinya IgE. Pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi untuk terjadi asma termasuk pertanian dan agrikultur, mengecat (termasuk cat semprot), bersih-bersih, dan pabrik plastik. Kebanyakan asma akibat kerja memiliki periode laten dari bulan hingga tahunan setelah onset terpapar. (Eric, 2010)

Asap Rokok. Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi paru pada individu dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif terhadap pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi terkontrolnya gejala asma. Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun setelah melahirkan meningkatkan perkembangan terjadinya asma pada usia dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit alergi masih belum jelas. Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan gejala wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok (perokok pasif) meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi dan usia dini.(Anthony et al,2008)

Polusi udara dari dalam dan luar ruangan Makanan .Bayi dengan susu formula dari susu sapi atau protein kedelai memiliki insiden lebih tinggi terkena penyakit dengan wheezing daripada bayi dengan ASI. Peningkatan konsumsi makanan pengawet dan mengurangi anti oksidan (dalam bentuk buah dan sayur), meningkatkan n-6 polyunsaturated asam lemak (margarine dan minyak sayur), dan mengurangi asam lemak n-3 polyunsaturated (minyak ikan) memiliki kontribusi meningkatnya penyakit atopi dan asma.

Exercise-Induced Asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas atau olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. (Iris,2008)

Perubahan Cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, kemarau, bunga (serbuk sari berterbangan). 2.4. DiagnostikDiagnosis ditentukan dari anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan ditemukan batuk, sesak, mengi atau rasa berat di dada. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Anamnesis. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.Pemeriksaan Fisik : Ekspirasi memanjang Mengi (wheezing) Hiperinflasi dada Terkadang dapat ditemukan pernafasan cepat sampai sianosis. Gelisah sukar bicara takikardi hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang asma dapat berupa Spirometri, Uji provoksi bronkus, Pemeriksaan sputum, Uji kulit, pemeriksaan eosinofil total, pemeriksaan kadar IgE total dan spesifik dalam sputum, Foto dada, Analisis Gas darah.

2.5 Manifestasi Klinis dan Patofisiologi AsmaGambaran klinis asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi dan sesak nafas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan lanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih atau purulen. Ada pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi dinamakan cough variant asthma.Pada asma alergik, sering berhubungan dengan pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran nafas atau perubahan cuaca.Pada asma akibat pekerjaan, gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada dilingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. PatofisiologiPencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstitial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. (Iris,2008) Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik

2.6 KLASIFIKASI ASMAAsma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinisDerajat AsmaGejalaGejala MalamFaal paru

I. IntermitenBulananAPE80%

* Gejala < 1x/minggu* Tanpa gejala di luarserangan* Serangan singkat*2 kali sebulan* VEP180% nilai prediksiAPE80% nilaiterbaik*Variabiliti APE < 20%

II. Persisten RinganMingguanAPE > 80%

* Gejala > 1x/minggu,tetapi < 1x/ hari* Serangan dapatmengganggu aktivitidan tidur* > 2 kali sebulan* VEP180% nilai prediksiAPE80% nilai terbaik* Variabiliti APE 20-30%

III. Persisten SedangHarianAPE 60 80%

* Gejala setiap hari* Serangan menggangguaktiviti dan tidur

*MembutuhkanBronkodilator setiap hari* > 1x / seminggu* VEP160-80% nilai prediksiAPE 60-80% nilai terbaik* Variabiliti APE> 30%

IV. Persisten BeratKontinyuAPE60%

* Gejala terus menerus* Sering kambuh* Aktivitifisik terbatas* Sering* VEP160% nilai prediksiAPE60% nilai terbaik* Variabiliti APE > 30%

Derajat Asma Eksaserbasi AkutGejala dan TandaRinganSedangBerat

Sesak NafasBerjalan BerbicaraIstirahat

PosisiDapat tidur terlentangDudukDuduk membungkuk ke depan

Cara berbicaraSatu kalimatBeberapa kataKata demi kata

KesadaranMungkin gelisahGelisahGelisah

Frekuensi Nafas30x/menit

Frekuensi Nadi120x/menit

Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal-++

Pulsus ParadoksusTidak ada ( 25mmHg)

MengiAkhir ekpirasiAkhir ekpirasiInspirasi dan ekspirasi

APE>80%60-80%80mmHg60-80mmHg3

Keterbatasan aktivitasTidak adaAdaGambaran asma terkontrol sebagian

Gejala nokturnal/ terbangun karena asmaTidak adaAdaAda setiap minggu

Kebutuhan pelegaTidak ada (2x/mingguSering

Fungsi paru ( APE/VEP1)Normal1/tahun1x/minggu

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau.Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :1.Edukasi2.Menilai dan monitor berat asma secara berkala3.Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus4.Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang5.Menetapkan pengobatan pada serangan akut6.Kontrol secara teratur7.Pola hidup sehatPerencanaan Pengobatan Jangka Panjang Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan). Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. (Abdul,2007)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol:1. Glukokortikosteroid InhalasiAdalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan.Dosis glukokortikosteroid inhalasiDewasaDosis rendahDosis mediumDosis tinggi

ObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid200-500 ug200-400 ug500-1000 ug100-250 ug400-1000 ug500-1000 ug400-800 ug1000-2000 ug250-500 ug1000-2000 ug>1000 ug>800 ug>2000 ug>500 ug>2000 ug

AnakDosis rendahDosis mediumDosis tinggi

ObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid100-400 ug100-200 ug500-750 ug100-200 ug400-800 ug400-800 ug200-400 ug1000-1250 ug200-500 ug800-1200 ug>800 ug>400 ug>1250 ug>500 ug>1200 ug

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti,absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus, sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon.

2. Glukokortikosteroid SistemikCara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efeksistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari.Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol, maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu.Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimalbentuk oral, bukan parenteralEfek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.

3. Sodium kromoglikat Merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.Terdiri dari cromolyn dan cromones. MDI 2mg atau 5mg, inhalasi 3-4 kali perhari. Nebulizer 20mg digunakan 3-4 kali perhari. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi .

4. MetilsantinTeofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asmaberat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.Teofilin atau aminofilin lepas lambatdapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lamasehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.Studi menunjukkan metilsantiin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi adalah efektif mengontrol asma, walaudisadari peran sebagaiterapitambahan tidak seefektif agonis beta-2kerja lama inhalasi,tetapi merupakan suatu pilihan karena harga yang jauh lebih murah.

Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (10 mg/kgBB/ hari); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol.Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping. Perhatikan berbagai keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil, penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.

5. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi 6. Agonis beta-2 kerja lama, oral 7. Leukotrien modifiersObat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida danexercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahanleukotriene modifiersdapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi. Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut,leukotriene modifierstidak seefektif agonis beta-2 kerja lama.Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita denganaspirin induced asthmamenunjukkan respons yang baik dengan pengobatanleukotriene modifiers.Saat ini yang beredar diIndonesiaadalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton

Pelega (Reliever) Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk contoh obat pelega adalah : Agonis beta2 kerja singkat Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasiyang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi padaexercise-induced asthma.Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hariadalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannyaglukokortikosteroid oral. Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripadaoral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi. Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). Antikolinergik Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna.Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor.Efek sampingberupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.

Aminofillin Adrenalin

2.10 PencegahanCara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respon nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis. (Mangunnegoro,2006) Mencegah eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stress dan berbagai faktor lainnya.( Mangunnegoro,2006)Konsep baru pengobatan awal- penilaian derajat Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem perawatan kesehatan. Pemantauan dan penialaian secara terus-menerus penting untuk keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3 golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2 domain dalam evaluasi derajat

2.11 Komplikasi1. Pneumothoraks2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis3. Atelektasis4. Gagal nafas5. Bronkitis6. Fraktur Iga2.12 Prognosis Quo ad Vitam: Bonam Quo ad Functionam: dubia ad Bonam Quo ad Sanactionam : dubia ad Bonam

BAB IIIDAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.2. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global Initiative for Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 20063. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 20044. Nafrialdi. Bronkodilator. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2007. P341-60 Ganiswara, S. G. (2003). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.5. Global Initiative for Asthma (2014) Pocket Guide for Asthma Management and Prevention, Maryland: NIH Publication25