realistic mathematic education

71
1 MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM MATERI SILOGISME KELAS X SMA NEGERI 1 BAURENO (Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah model-model pembelajaran) Dosen Pengampuh: Luluk faridah, M.Pd Disusun Oleh: FAHIM ANINIK (10311191) III A PAGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Upload: st-romlah

Post on 07-Aug-2015

113 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

realistic mathemamatic educationpenerapan model pembelajaran matematika realistik

TRANSCRIPT

Page 1: realistic mathematic education

1

MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

REALISTIK

DALAM MATERI SILOGISME KELAS X

SMA NEGERI 1 BAURENO

(Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas UAS mata

kuliah model-model pembelajaran)

Dosen Pengampuh:

Luluk faridah, M.Pd

Disusun Oleh:

FAHIM ANINIK (10311191)

III A PAGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM

LAMONGAN

2012

Page 2: realistic mathematic education

KATA PENGANTAR

Merupakan sebuah awal yang bagus yakni dalam setiap akan melakukan

kegiatan kita awali dengan mengucap bismillahirrohmaanirrahiim terlanjutkan

dengan puja dan puji syukur kehadirat Ilahi robbi atas rahmat dan

pertolonganNyalah sehingga kita mampu menjalani kehidupan kita sehari-hari

dengan lancar dan mudah

Shalawat serta salam semoga kita selalu mampu ucap dan haturkan

kepada junjungan Rosulullah SAW, yang mana atas tuntunan beliaulah sehingga

kita mampu mengenali perkara yang benar dan perkara yang salah melalui

pengentasan kita dari zaman kebodohan yakni dengan tuntunan agama islam

Tiada lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat

serta mendukung penyusunan makalah saya ini yamg berjudul METODE

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) TERFOKUS

MATERI SILOGISME KELAS X SMA NEGERI 1 BAURENO ini dengan

harapan selain makalah ini mampu memenuhi tuntutan tugas mata kuliah

METODE-METODE PEMBELAJARAN yang diampu oleh ibu Luluk

Faridah, makalah ini juga mampu memberikan manfaat bagi para pembacanya

terutama bagi para pendidik (guru) agar lebih memahami metode

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) sehingga para guru

mampu menerapkannya dengan baik seraya usaha pencapaian tujuan pendidikan.

Lamongan, 04 Januari 2012

Penyusun

2

Page 3: realistic mathematic education

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2 Tujuan makalah................................................................................ 3

1.3 Rumusan Masalah ........................................................................... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Piaget .................................................................................... 6

2.2 Teori Vygotsky ............................................................................... 9

2.3 Teori Ausubel ................................................................................. 12

2.4 Teori Bruner ................................................................................... 13

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Matematika Realistik .................................................... 17

3.2 Pembelajaran Matematika realistik ................................................. 18

3.3 Implementasi Pembelajaran matematika Realistik.......................... 22

3.4 Keterkaitan Antara Pembelajaran Matematika Realistik

Dengan pengertian .......................................................................... 22

3.5 Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik................... 28

3.6 Keunggulan dan kelemahan pembelajaran Matematika

Realistik........................................................................................... 31

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 33

4.2 Saran.................................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

3

Page 4: realistic mathematic education

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang semakin dirasakan

interaksinya dengan bidang-bidang ilmu lainnya seperti ekonomi dan

teknologi. Peran matematika dalam interaksi ini terletak pada struktur ilmu

dan perlatan yang digunakan. Ilmu matematika sekarang ini masih banyak

digunakan dalam berbagai bidang seperti bidang industri, asuransi, ekonomi,

pertanian, dan di banyak bidang sosial maupun teknik. Mengingat peranan

matematika yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang, tentunya

banyak sarjana matematika yang sangat dibutuhkan yang sangat terampil,

andal, kompeten, dan berwawasan luas, baik di dalam disiplin ilmunya sendiri

maupun dalam disiplin ilmu lainnya yang saling menunjang. Untuk menjadi

sarjana matematika tidaklah mudah, harus benar-benar serius dalam belajar,

selain harus belajar matematika, kita juga harus mempelajari bidang-bidang

ilmu lainnya. Sehingga, jika sudah menjadi sarjana matematika yang dalam

segala bidang bisa maka sangat mudah untukmencari pekerjaan.

Kata matematika berasal dari kata “mathema” dalam bahasa Yunani

yang diartikan sebagai “sains, ilmu pengetahuan atau belajar.” Disiplin utama

dalam matematika di dasarkan pada kebutuhan perhitungan dalam

perdagangan, pengukuran tanah, dan memprediksi peristiwa dalam astronomi.

Ketiga kebutuhan ini secara umum berkaitan dengan ketiga pembagian umum

bidang matematika yaitu studi tentang struktur, ruang, dan perubahan.

Pelajaran tentang struktur yang sangat umum dimulai dalam bilangan natural

dan bilangan bulat, serta operasi aritmatikanya, yang semuanya dijabarkan

dalam aljabar dasar. Sifat bilangan bulat yang lebih mendalam dipelajari

dalam teori bilangan. Ilmu tentang ruang berawal dari geometri. Dan

pengertian dari perubahan pada kuantitas yang dapat dihitung adalah suatu hal

yang biasa dalam ilmu alam dan kalkulus.

Dalam perdagangan sangat berkaitan erat dengan matematika karena

dalam perdagangan pasti akan ada perhitungan, di mana perhitungan tersebut

Page 5: realistic mathematic education

bagian dari matematika. Secara tidak sadar ternyata semua orang

menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari seperti jika ada orang

yang sedang membangun rumah maka pasti orang tersebut akan mengukur

dalam menyelesaikan pekerjaannya itu. Oleh karena itu matematika sangat

bermanfaat sekali dalam kehidupan sehari-hari.

“Menurut Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan

siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam

situasi kehidupan real.” Hal ini yang menyebabkan sulitnya matematika bagi

siswa adalah karena dalam pembelajaran matematika kurang bermakna, dan

guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang

telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk

menemukan kembali ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan

nyata, anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas sangat

penting dilakukan agar pembelajaran matematika bermakna.

Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar

matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka anak akan

cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Salah satu

pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman

sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah

pembelajaran matematika realistik.

Pembelajaran matematika relaistik pertama kali diperkenalkan dan

dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.

Pembelajaran matematika harus dekat dengan anak dan kehidupan nyata

sehari-hari.

Biasanya ada sebagian siswa yang menganggap belajar matematika

harus dengan berjuang mati-matian dengan kata lain harus belajar dengan

ekstra keras. Hal ini menjadikan matematika seperti “monster” yang mesti

ditakuti dan malas untuk mempelajari matematika. Apalagi dengan

dijadikannya matematika sebagai salah satu diantara mata pelajaran yang

diujikan dalam ujian nasional yang merupakan syarat bagi kelulusan siswa-

siswi SMP maupun SMA, ketakutan siswa pun makin bertambah. Akibat dari

pemikiran negatif terhadap matematika, perlu kiranya seorang guru yang

2

Page 6: realistic mathematic education

mengajar matematika melakukan upaya yang dapat membuat proses belajar

mengajar bermakna dan menyenangkan. Ada beberapa pemikiran untuk

mengurangi ketakutan siswa terhadap matematika.

Pembelajaran sekarang ini selalu dilaksanakan di dalam kelas, dimana

siswa kurang bebas bergerak, cobalah untuk memvariasikan strategi

pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan dan lingkungan sekitar

sekolah secara langsung, sekaligus mempergunakannya sebagai sumber

belajar. Banyak hal yang bisa kita jadikan sumber belajar matematika, yang

penting pilihlah topik yang sesuai misalnya mengukur tinggi pohon,

mengukur lebar pohon dan lain sebagainya.

Siswa lebih baik mempelajari sedikit materi sampai siswa memahami,

mengerti materi tersebut dari pada banyak materi tetapi siswa tidak mengerti

tersebut. Meski banyak tuntutan pencapaian terhadap kurikulum sampai daya

serap namun dengan alokasi yang terbatas. Jadi guru harus memberanikan diri

menuntaskan siswa dalam belajar sebelum ke materi selanjutnya karena hal

ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman siswa dalam belajar

matematika.

Kebanyakan siswa, belajar matematika merupakan beban berat dan

membosankan, jadinya siswa kurang termotivasi, cepat bosan dan lelah.

Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal di atas

dengan melakukan inovasi pembelajaran. Beberapa cara yang dapat dilakukan

antara lain memberikan kuis atau teka-teki yang harus ditebak baik secara

berkelompok ataupun individu, memberikan permainan di kelas suatu

bilangan dan sebagainya tergantung kreativitas guru. Jadi untuk

mempermudah siswa dalam pembelajaran matematika harus dihubungkan

dengan kehidupan nyata yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

1.2 Tujuan

Suatu pembelajaran matematika tidaklah sulit, ada cara untuk

mempermudah dalam belajar matematika yaitu dengan cara Pembelajaran

Matematika Realistik. Dimana pembelajaran ini menghubungkan dengan

kehidupan sehari-hari. Dalam penulisan makalah ini bertujuan:

3

Page 7: realistic mathematic education

1. Untuk mempermudah siswa dalam belajar matematika dapat

menggunakan dalam pembelajaran matematika realistik.

2. Guru dalam menyampaikan materi harus mempunyai strategi dalam

pembelajaran matematika, supaya siswa tidak bosan dalam pembelajaran

matematika.

3. Supaya siswa mengetahui betapa menyenangkan mempelajari

matematika.

4. Untuk mengetahui lebih jelas lagi tentang pembelajaran matematika

realistik.

5. Untuk memaparkan secara teori pembelajaran matematika realistik.

6. Untuk pengimplementasian pembelajaran matematika realistik.

7. Kaitan antara pembelajaran matematika realistik dengan pengertian.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran matematika realistik?

2. Bagaimana cara strategi seorang guru dalam pembelajaran matematika

supaya siswa menyukai pembelajaran matematika?

3. Kenapa matematika tidak disukai oleh siswa?

4. Karakteristik apa saja yang ada dalam RME?

5. Mengapa siswa selalu lupa dengan konsep yang telah dipelajari?

6. Apa saja langkah-langkah dalam pembelajaran matematika realistik?

7. Apa saja keunggulan dan kekurangan dari pembelajaran matematika

realistik?|

4

Page 8: realistic mathematic education

BAB II

LANDASAN TEORI

Adapun landasan teori yang menjadi landasan dari makalah ini adalah

sebagai berikut:

Teori Belajar yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik

Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran matematika

realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat konstruktivis.

Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang belajar dapat

dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan sejalan dengan teori

psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang belajar adalah peranan

besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang bermakna

bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri lebih sebagai fasilitator belajar.

Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang relevan dengan pendekatan

pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori

Ausubel dan teori Bruner.

2.1 Teori Piaget

Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak

memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan

intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di

sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan

mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut

dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema

atau skemata (jamak). Suparno (1997: 30) menggambarkan skema sebagai

suatu jaringan konsep atau kategori. Dengan menggunakan skemanya,

seseorang dapat memproses dan mengidentifikasi suatu rangsangan yang

diterimanya sehingga ia dapat menempatkannya pada kategori/ konsep yang

sesuai.

Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan

pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke

dalam realitas di sekitarnya. Proses adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan

5

Page 9: realistic mathematic education

skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilation, akomodation

dan equiliberation dalam pikirannya (Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah

proses kognitif yang dengannya seseorang dapat mengintegrasikan persepsi,

konsep atau pengalaman baru ke dalam skema yang dimilikinya. Melalui

asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak berubah. Dengan

demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya pengayaan

persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu

asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk

mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga

pengertianya berubah.

Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan seseorang . Hal

ini terjadi jika rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai dengan skema

yang dimilikinya. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses akomodasi.

Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang akan membentuk skema baru

yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi skema yang telah

ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32).

Dalam mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan

akomodasi terus berlangsung dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak

berdiri sendiri. Kedua proses ini berlangsung dalam keseimbangan yang diatur

secara mekanis. Proses pengaturan keseimbangan ini disebut equilibrium

(Suparno, 1997: 32). Namun dalam menerima suatu pengalaman baru dapat

terjadi suatu keadaan sedemikian hingga terjadi ketidakseimbangan antara

asimilasi dan akomodasi. Keadaan ini disebut sebagai dissequilibrium.

Ketidakseimbangan ini muncul pada saat terjadi ketidaksesuaian antara

pengalaman saat ini dengan pengalaman baru yang mengakibatkan akomodasi.

Jika terjadi ketidakseimbangan maka seseorang dipacu untuk mencari

keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Menurut Dahar (1991: 182)

seseorang yang mampu memperoleh kembali keseimbangannya akan berada

pada tingkat intelektual yang tinggi dari sebelumnya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa Teori Piaget memandang kenyataan atau pengetahuan

bukan sebagai objek yang memang sudah jadi dan ada untuk dimiliki manusia,

namun ia harus diperoleh melalui kegiatan konstruksi oleh manusia sendiri

6

Page 10: realistic mathematic education

melalui proses pengadaptasian pikirannya ke dalam realitas di sekitarnya..

Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson, 1999: 96) menjelaskan bahwa dalam

tahap-tahap perkembangan intelektualnya seorang anak sudah terlibat dalam

proses berpikir dan mempertimbangkan kehidupannya secara logis. Proses

berpikir tersebut berlangsung sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Agar

perkembangan intelektual anak berlangsung optimal maka mereka perlu

dimotivasi dan difasilitasi untuk membangun teori-teori yang menjelaskan

tentang dunia sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan dengan upaya ini

Piaget (dalam Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan yang baik

adalah pendidikan yang melibatkan anak bereksperimen secara mandiri, dalam

arti:

a. Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.

b. Memanipulasi tanda dan simbol

c. Mengajukan pertanyaan

d. Menemukan jawaban sendiri

e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa yang

ia temukan pada saat yang lain

f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.

Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan

pembelajaran yang sejalan dengan pandangan Piaget di atas. Pembelajaran

matematika realistik yang dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat

konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai

sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil

konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam pembelajaran

matematika realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu

sendiri, sedangkan guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari

pandangan ini adalah keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong

siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong

untuk mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut

maka siswa perlu mendapat keleluasaan dalam mengekspresikan jalan

pikirannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

Untuk mewujudkan situasi dan kondisi belajar yang demikian maka dalam

7

Page 11: realistic mathematic education

mengelola pembelajaran guru perlu memperhatikan beberapa pandangan

Piaget. Diantaranya adalah guru perlu mendorong siswa untuk berani mencoba

berbagai kemungkinan cara untuk memahami dan menyelesaikan masalah.

Dalam ini aktivitas mengkonstruksi pengetahuan oleh siswa diwujudkan

dengan memberikan masalah kontekstual. Masalah kontekstual tersebut

dirancang sedemikian hingga memungkinkan siswa untuk membangun

pengetahuannya secara mandiri.

2.2 Teori Vygotsky

Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41) berpendapat

bahwa teori Piaget dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada aspek

personal. Teori ini dipandang terlalu subjektif dan kurang sosial, sehingga

faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan dalam proses

pengembangan intelektual seorang anak.

Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18)

berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan

anak tidak terlepas dari faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan

teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu perkembangan

intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial

dalam perkembangan intelektual anak tampak dari empat ide kunci yang

membangun teorinya.

a. Penekanan pada hakikat sosial.

Ide kunci pertama ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang arti

penting interaksi sosial dalam proses belajar anak. Vygotsky (dalam Nur,

1999: 3) mengemukakan bahwa anak belajar melalui interaksi dengan

orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam proses belajar yang demikian,

seorang anak yang sedang belajar tidak hanya menyampaikan

pengertiannya atas suatu masalah kepada dirinya sendiri namun ia juga

dapat menyampaikannya pada orang lain di sekitarnya. Pembelajaran

kooperatif yang terjalin oleh intraksi sosial peserta belajar memberi

manfaat berupa hasil belajar yang terbuka untuk seluruh siswa dan proses

berpikir siswa lain terbuka untuk siswa yang lain.

8

Page 12: realistic mathematic education

b. Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development).

Vygotsky menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual,

yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.

Pada tingkat perkembangan aktual seseorang sudah mampu untuk belajar

atau memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan yang ada

pada dirinya pada saat itu. Sedangkan tingkat perkembangan potensial

adalah tingkat perkembangan intelektual yang dicapai seseorang dengan

bantuan orang lain yang lebih mampu. Tingkat perkembangan potensial

terletak di atas tingkat perkembangan aktual seseorang. Perubahan dari

tingkat perkembangan aktual menuju ke tingkat perkembangan potensial

tidak terjadi secara langsung dan otomatis. Perubahan itu berlangsung

dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah perkembangan

terdekat. Wilayah perkembangan terdekat terletak sedikit di atas

perkembangan aktual seseorang. Menurut Slavin (1994: 49) seorang anak

yang bekerja dalam wilayah perkembangan terdekat terlibat dalam tugas-

tugas yang tidak mampu diselesaikannya sendiri. Ia memerlukan

kehadiran orang yang lebih mampu untuk membantunya. Dengan

mengerjakan serangkaian tugas belajar di wilayah perkembangan terdekat

seorang anak diharapkan mencapai tingkat kecakapan tertentu pada waktu

selanjutnya. Dengan demikian proses belajar di wilayah perkembangan

terdekat dapat dipandang sebagai suatu proses transisi atau peralihan dari

tingkat perkembangan aktual ke tingkat perkembangan potensial.

c. Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship)

Ide kunci ini adalah gabungan dua ide kunci yang pertama, yaitu

hakikat sosial dan perkembangan daerah terdekat . Menurut Vygotsky,

dalam proses pemagangan kognitif seorang siswa secara bertahap

mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar, orang

dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih (Nur, 1999:

5). Implementasi dari ide ini adalah pembentukan kelompok belajar

kooperatif heterogen sehingga siswa yang lebih pandai dapat membantu

siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugasnya.

9

Page 13: realistic mathematic education

d. Perancahan (Scaffolding)

Scaffolding atau perancahan (anak tangga) adalah suatu prinsip yang

mengacu kepada bantuan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman

sebaya yang kompeten. Dalam proses pembelajaran bantuan itu diberikan

kepada siswa dalam bentuk sejumlah besar dukungan pada tahap awal

pembelajaran. Selanjutnya bantuan itu makin berkurang dan pada akhirnya

tidak ada sama sekali sehingga anak mengambil alih tanggung jawab

secara penuh terhadap apa yang dikerjakan setelah ia mampu

melakukannya (Slavin, 1997: 48).

Ide kunci ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang perlunya

pemberian tugas-tugas komplek, sulit dan realistik kepada siswa. Melalui

pemecahan masalah dalam tugas yang diterimanya, seorang siswa

diharapkan dapat menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang

berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi lebih

menekankan pada model pengajaran top-down (Nur, 1999: 5).

Pembelajaran yang demikian berlawanan dengan model bottom-up

tradisional, dimana keterampilan-keterampilan dasar diberikan secara

bertahap untuk mewujudkan keterampilan yang lebih kompleks.

Implikasi yang muncul atas pandangan Vygotsky dalam pendidikan anak

adalah perlu adanya suatu dorongan kepada siswa untuk berinteraksi

dengan orang di sekitarnya yang punya pengetahuan lebih baik yang dapat

memberikan bantuan dalam pengembangan intelektualnya. Lebih luas

daripada itu, para konstruktivis menekankan agar para pendidik

memperhatikan keberadaan situasi sekolah, masyarakat dan teman di

sekitar seseorang yang dapat mempengaruhi pengembangan intelektual

seorang siswa (Cobb dalam Suparno, 1997: 96).

Salah satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realistik

adalah penemuan konsep dan pemecahan masalah sebagai hasil sumbang

gagasan para siswa. Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui

proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi antara siswa

dengan siswa, antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan

lingkungannya. Dengan demikian, selain ada aktivitas mental yang bersifat

10

Page 14: realistic mathematic education

personal, dalam pembelajaran matematika realistik guru perlu mendorong

munculnya interaksi sosial antar anggota kelas dalam proses

mengkonstruk pengetahuan. Melalui interaksi sosial tersebut siswa yang

lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman yang dimilikinya

pada siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang

lebih lemah tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual

ke perkembangan potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu.

Sedangkan di sisi lain guru mempunyai peran dalam membantu siswa

yang mengalami kesulitan dengan memberi arah, petunjuk, peringatan dan

dorongan. Dengan demikian tampak bahwa proses pembelajaran

matematika realistik sejalan dengan teori Vygotsky yang memberi tekanan

pada pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak.

Dalam hal ini, interkasi sosial antar anggota kelas diwujudkan melalui

tahap mendiskusikan dan menegosiasikan penyelesaian masalah di tingkat

kelompok maupun tingkat kelas. Dalam diskusi kelompok maupun kelas

tersebut guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan menghargai

pandangan pihak lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh guru

dengan para siswa adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa

harus membatasi keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.

2.3 Teori Ausubel

Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis

yaitu belajar menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut

Nur (1999: 38) belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau

hubungan-hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia.

Sedangkan menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang

akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga

siswa tersebut mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang

dimilikinya (Hudojo, 1988: 61).

Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep yang

dimiliki seseorang mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep yang

terhubung satu dengan yang lain secara bermakna melahirkan kaidah yang

berguna dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan

11

Page 15: realistic mathematic education

dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang dipelajari

secara bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih

luas dalam kehidupan nyata (Nur, 1999: 34).

Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika pengetahuan yang

semestinya dapat diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan dengan

menghafal akan menghasilkan pengetahuan inert. Pengetahuan inert adalah

pengetahuan yang sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi yang lebih

umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus

(Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar

mengerti isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).

Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah

penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika

realistik berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah

dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa

yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa

merupakan bahan yang berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan

kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa. Permasalahan

yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih berada dalam

jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu,

untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus dapat

mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan

tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah

kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan

masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan pengetahuan

yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut.

Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam

pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna

Ausubel.

2.4 Teori Bruner

Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar

matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta

mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut.

12

Page 16: realistic mathematic education

Menurut Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya

menjadikan materi itu lebih mudah diingat dan dapat dipahami lebih

komprehensif.

Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner

berpendapat adanya tiga tahap perkembangan mental yang dilalui peserta

didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap berpikir menurut Bruner ini

tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga tahap perkembangan mental

menurut Bruner (dalam Hudojo, 1988: 57) tersebut adalah:

a. Enactive. Dalam tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetahuan

secara aktif dengan menggunakan/ memanipulasi benda-benda konkrit

atau situasi nyata secara langsung.

Contoh masalah yang dirancang untuk materi pembelajaran PLSV di

antaranya ditujukan untuk mengkonstruk prinsip yang dapat digunakan

untuk memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen. Untuk hal

tersebut misalnya dapat diajukan masalah yang memuat ide tentang

kesetimbangan neraca, seperti berikut ini.

Masalah : KELINCI PERCOBAAN

Dalam kegiatan praktikum Biologi, siswa kelas I A menggunakan kelinci

sebagai objek percobaan. Mereka perlu mengetahui berat hewan ini.

Pengukuran berat kelinci dilakukan dengan cara meletakkan kelinci dan 2

buah anak timbangan 4 ons di satu lengan. Sedangkan lengan neraca yang

lain diisi 3 buah anak timbangan 8 ons. Hal ini menyebabkan neraca dalam

keadaan setimbang. Tentukan berat kelinci tersebut dan jelaskan

bagaimana caramu menentukan berat kelinci itu.

Dalam tahap enactive seorang siswa dapat menyelesaikan masalah ini

dengan memanipulasi seperangkat neraca dan anak-anak timbangan

buatannya untuk memodelkan neraca sesungguhnya. Pada tahap ini

mereka memanipulasi benda-benda konkrit untuk menyelesaikan masalah

di atas.

b. Ikonic. Pada tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut

mental yang merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini tidak

lagi dilakukan manipulasi terhadap benda konkret secara langsung, namun

13

Page 17: realistic mathematic education

anak sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari

objek.

c. Simbolic. Tahap terakhir ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol

secara langsung dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran

objek.

Sebagai contoh dari perkembangan mental siswa pada tahap simbolik ini

adalah saat siswa sudah mengetahui bahwa salah satu prinsip untuk

memperoleh persamaan yang ekuivalen adalah dengan mengurangi kedua

ruas persamaan. Dengan mengetahui prinsip ini apabila mereka menemui

persamaan 2x + 4 = 9 + x maka secara terurut mereka dapat memperoleh

persamaan-persamaan yang ekuivalen seperti 2x + 4 – 4 = 9 + x – 9 atau

2x – x + 4 = 9 + x – x . Dalam memanipulasi simbil-simbol tersebut

mereka sudah tidak lagi memerlukan gambaran seperti pada tahap ikonic.

Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat Bruner

yang lain yang sesuai dengan penelitian ini adalah teorema konstruksi

(construction theorem) dan teorema notasi (notation theorem). Melalui

teorema konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 23) berpendapat

bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau prinsip

matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut.

Alasannya adalah jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari

suatu konsep atau prinsip maa mereka akan lebih mudah menemukan

sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi itu.

Selanjutnya mereka lebih mudah mengingat pengetahuan itu serta lebih

mudah menerapkannya dalam konteks yang lain yang sesuai. Dalam

teorema ini, sekali lagi Bruner menekankan perlunya penggunaan

representasi konkret yang memungkinkan siswa untuk aktif.

Sedangkan melalui teorema notasi Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 25)

menjelaskan bahwa representasi dari suatu materi akan lebih mudah

dipahami siswa apabila didalam representasi itu digunakan notasi yang

sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk

siswa sekolah dasar yang berada dalam tahap operasi konkret kalimat yang

berbunyai “ tentukan sebuah bilangan bulat yang jika ditambah 6 hasilnya

14

Page 18: realistic mathematic education

9” akan lebih mudah dinyatakan dalam bentuk persamaan “ ….. + 6 = 9”.

Namun persamaan x + 6 = 9 merupakan representasi yang lebih sesuai un-

tuk siswa SLTP.

15

Page 19: realistic mathematic education

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Matematika Realistik (MR)

Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matem-

atika sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengala-

man siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digu-

nakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau penge-

tahuan matematika formal. Pembelajaran matematika realistik di kelas berori-

entasi pada karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk

menemukan kembali konsep-konsep matematika. Dan siswa diberi kesem-

patan untuk mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan

masalah sehari-hari. Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia ny-

ata”, model-model, produksi dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan.

(Trevers, 1991; Van Heuvel-Panhuizen, 1998). Di sini akan mencoba menje-

laskan tentang karakteristik RME.

a. Menggunakan konteks “dunia nyata” yang tidak hanya sebagai sumber

matematisasi tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali

matematika. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan masalah-

masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman se-

belumnya secara langsung. Proses pencarian (inti) dari proses yang sesuai

dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matema-

tisasi konseptual. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat

mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat

mengaplikasikan konep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia

nyata. Oleh karena itu untuk membatasi konsep-konsep matematika

dengan pengalaman sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi

pengalaman sehari-hari dan penerapan matematika dalam sehari-hari.

b. Menggunakan model-model (matematisasi) istilah model ini berkaitan

dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh

siswa sendiri. Dan berperan sebagai jembatan bagi siswa dari situasi real

ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.

16

Page 20: realistic mathematic education

Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.

Model situasi merupakan model yang dekat dengan dunia nyata siswa.

Generalisasi dan formalisasi model tersebut. Melalui penalaran

matematika model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang

sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model matematika formal.

c. Menggunakan produksi dan konstruksi Streefland (1991) menekankan

bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk

melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam

proses belajar. Strategi-strategi formal siswa yang berupa prosedur

pemecahan masalah konstekstual merupakan sumber inspirasi dalam

pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi

pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan interaktif. Interaktif antara siswa dengan guru merupakan

hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Bentuk-

bentuk interaktif antara siswa dengan guru biasanya berupa negoisasi,

penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan, digunakan untuk

mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e. Menggunakan keterkaitan dalam pembelajaran matematika realistik.

Dalam pembelajaran ada keterkaitan dengan bidang yang lain, jadi kita

harus memperhatikan juga bidang-bidang yang lainnya karena akan

berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan

matematika biasanya diperlukan pengetahuan yang kompleks, dan tidak

hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

3.2 Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran matematika realistik merupakan teori belajar mengajar

dalam pendidikan matematika. Teori pembelajaran matematika realistik

pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970

oleh Institut Freudenthal. Freudenthal berpendapat bahwa matematika harus

diartikan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Dari

pendapat Freudenthal memang benar alangkah baiknya dalam pembelajaran

matematika harus ada hubungannya dengan kenyataan dan kehidupan sehari-

hari. Oleh karena itu manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan ide

17

Page 21: realistic mathematic education

dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Matematika harus

dekat dengan anak dan kehidupan sehari-hari. Upaya ini dilihat dari berbagai

situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik ini dimaksudkan tidak

mengacu pada realitas pada realitias tetapi pada sesuatu yang dapat

dibayangkan.

Adapun menurut pandangan konstruktifis pembelajaran matematika

adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-

konsep matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi.

Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Dalam pembelajaran

matematika guru memang harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan kemampuan siswa

sendiri dan guru terus memantau atau mengarahkan siswa dalam

pembelajaran walaupun siswa sendiri yang akan menemukan konsep-konsep

matematika, setidaknya guru harus terus mendampingi siswa dalam

pembelajaran matematika.

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran

matematika berorientasi pada:

1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau

akomodasi.

2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada

apa.

3. Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia

melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan,

mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.

4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang

mereka katakan atau tulis.

Pendapat Davis tersebut, dalam pembelajaran matematika siswa

mempunyai pengetahuan dalam berpikir melalui proses akomodasi dan siswa

juga harus dapat menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya. Siswa

mengetahui informasi baru dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari secara

logis, dalam pembelajaran ini harus bisa memahami dan berpikir sendiri

dalam menyelesaikan masalah tersebut, jadi tidak tergantung kepada guru,

18

Page 22: realistic mathematic education

siswa juga dapat mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa

siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan

sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktisme sosial

(Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor, 1993; Atwel, Bleicher dan

Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997),

yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of

Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan

sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah

secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan

sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa

atau melalui kerja sama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Scraffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama

tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberi

kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar

setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Jadi Zone of Proximal

Development ini ada siswa yang menyelesaikan masalah secara sendiri, dan

ada siswa yang menyelesaikan masalah harus dengan persetujuan orang

dewasa. Sedangkan scraffolding mempunyai tahap-tahap pembelajaran,

dalam pembelajaran awal siswa dibantu, tapi bantuan itu sedikit demi sedikit

dikurangi. Setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan

masalah sendiri dan mempunyai tanggung jawab yang semakin besar setelah

siswa dapat melakukannya. Scraffolding merupakan bantuan yang diberikan

kepada siswa untuk belajar memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat

berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam

langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain

yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Prinsip penemuan dapat diinspirasikan oleh prosedur-prosedur

pemcahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan

konsep matematisasi. Ada dua jenis matematisasi diformlasikan oleh Treffers

(1991), yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi

horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasian

19

Page 23: realistic mathematic education

masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dunia

real ke dunia matematika. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi

hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyelesaian model

matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisasian.

Kedua jenis ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini

mempunyai nilai yang sama. Berdasarkan matematisasi horizontal dan

vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dibedakan menjadi empat

jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik.

Pendekatan mekanistik adalah pendekatan secara tradisional dan

didasarkan pada apa yang diketahui dan pengalaman sendiri. Pendekatan

empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak

diajarkan dan siswa diharapkan dapat menemukan sendiri melalui

matematisasi horizontal, pendekatan strukturalistik adalah suatu pendekatan

yang menggunakan sistem formal, misalnya dalam pengajaran penjumlahan

secara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep

dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu

pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak

pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertilal

diharapkan siswa dapat menemukan konsep-konsep matematika.

Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak

bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari

pemecahan masalah dan pengajuan masalah oleh manusia (Ernest, 1991).

Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992)

menyebutnya dengan konstruktivisme sosio. Siswa berinteraksi dengan guru,

dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-

strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan

konstrutivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD

dan Scraffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam

pembelajaran matematika realistik disebut dengan penemuan kembali

terbimbing. Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini

mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara

terpisah. Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio

20

Page 24: realistic mathematic education

merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan

pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan khusus yaitu

hanya dalam pembelajaran matematika.

3.3 Implementasi pembelajaran Matematika Realistik

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran

matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran negasi

di tingkat SMA. Sebelum mengenalkan negasi kepada siswa sebaiknya

pembelajaran negasi dapat diawali dengan pembuatan pernyataan, supaya

siswa memahami negasi dari pernyataan yang berasal dari keadaan yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami

pernyataan setelah siswa memahami pernyataan yang dibuat dari keadaan

yang ada di alam nyata, baru diperkenalkan istilah negasi. Pembelajaran ini

sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana

siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis negasi.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar

dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan

bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep

matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam

bidang lain.

3.4 Kaitan Antara Pembelajaran Matematik Realistik dengan Pengertian

Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajarkan matematika

senantiasa terlontar kata “bagaimana, apa mengerti?” siswa pun buru-buru

menjawab mengerti. Siswa sering mengeluh, seperti berikut,”pak…pada saat

di kelas saya mengerti penjelasan bapak,tetapi begitu sampai dirumah saya

lupa,”atau” pak…pada saat dikelas saya mengerti contoh yang bapak berikan,

tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan”.

Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi diatas menunjukkan bahwa

siswa belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa

yang mengerti konsep dapat menemukan kembali konsep yang mereka

lupakan.

21

Page 25: realistic mathematic education

Mitzell(1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung

dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar

siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya

bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan

representasi, maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian.

Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika.

Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep,

ataupun proses. Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi

mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hieber dan carpenter,1992).

Matematika bukan hanya dimengerti tapi harus benar-benar memahami

persoalan yang sedang dihadapi. Umumnya sejak anak-anak orang telah

mengenal ide matematika. Melalui pengalaman dalam kehidupan sehari-hari

mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang

bilangan, pola, bentuk, data, ukuran,dan sebagainya. Anak sebelum sekolah

belajar ide matematika secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa

datang kesekolah bukanlah dengan kepala “kosong” yang siap diisi dengan

apa saja. Pembelajaran disekolah akan lebih bermakna bila guru mengaitkan

dengan apa yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide

matematika dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif

mengaitkan dengan pengetahuan mereka. Hanna dan yackel (NCTM,2000)

mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui

interaksi kelas dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan

keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan kembali.

Dalam pembelajaran guru haruslah berinteraksi dengan siswa, agar siswa

lebih mudah memahami apa yang telah diajarkan, tentunya dalam

pembelajaran harus dikaitkan dengan kehidupan nyata untuk memudahkan

siswa dalam belajar.

Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menemukan kembali dan memahami konsep-konsep matematika

berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik

dalam masalah memungkinkan siswa menggunkan cara-cara informal untuk

menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi

22

Page 26: realistic mathematic education

siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan memahami

konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan

dengan skema anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan

menjadi lebih kuat. Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik

akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.

Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic

Mathematics Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika

yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) men-

gungkapkan Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s in-

terpretation of mathematics as an activity.

Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang

menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer

(1994: 82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas

tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengor-

ganisasi pokok persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut

matematisasi.

Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas

Gravemeijer (1994: 91) menyatakan Mathematics is viewed as an activity, a

way of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which

solving everyday life problem is an essential part.

Gravemeijer menjelaskan bahwa dengan memandang matematika se-

bagai suatu aktivitas maka belajar matematika berarti bekerja dengan matem-

atika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting

dalam pembelajaran.

Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Tre-

ffers (dalam Fauzan, 2002: 33 – 34) dalam pernyataan berikut ini

The key idea of RME is that children should be given the opportunity to rein-

vent mathematics under the guidance of an adult (teacher). In addition, the

formal mathematical knowledge can be developed from children’s informal

knowledge.

23

Page 27: realistic mathematic education

Dalam ungkapan di atas Treffers menjelaskan ide kunci dari pembela-

jaran matematika realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa

untuk menemukan kembali matematika dengan bantuan orang dewasa (guru).

Selain itu disebutkan pula bahwa pengetahuan matematika formal dapat

dikembangkan (ditemukan kembali) berdasar pengetahuan informal yang

dimiliki siswa.

Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu

cara pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai

suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika

berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini

matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan

oleh guru ke dalam pikiran siswa.

Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika,

Freudenthal (dalam Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matemati-

sasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti

berikut ini

Horizontal mathematization involves going from the world of life into

the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the

world of symbol.

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa matematisasi horisontal

menyangkut proses transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk

simbol. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi

dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal

adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan

cara-cara yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal

adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan

menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda,

perumusan model matematika dan penggeneralisasian.

Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange

(1987: 101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam menga-

jarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik

dan realistik. Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada

24

Page 28: realistic mathematic education

penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi (horisontal atau vertikal)

dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti yang tergambar dalam

Tabel 2.1. di bawah.

Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal dalam pendekatan-pendekatan

matematika

Jenis Pendekatan Matematika Horizontal Matematika Vertikal

Mekanistik - -

Empristik + -

Strukturalistik - +

Realistik + +

Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis pen-

dekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “ “ berarti

kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis

matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak bahwa pembelajaran matem-

atika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik

pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan

dengan tiga pendekatan yang lain.

Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip

kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemei-

jer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided reinvention

and progressive mathematizing (2) didactical phenomenology dan (3) self-de-

veloped models.

1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer

(1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi ke-

sempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matem-

atika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber

inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention

dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam

hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur

penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan

masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur

25

Page 29: realistic mathematic education

penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari

tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika

secara formal (progressive mathematizing)

2. Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar

prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam

pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu

(i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses

pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam

proses progressive mathematizing.

3. Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar

prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan

untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk

menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal.

Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya.

Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model

tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki

siswa.

Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas

selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika

sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik

berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi

(2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa

karakteristik sebagai berikut:

1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik

lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat

dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.

2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika

dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata

maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.

3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau

penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.

26

Page 30: realistic mathematic education

4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi

siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan

sebagainya.

5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga

dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik

pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini

dikembangkan berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini

berpandangan bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar

secara aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan

mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang lain. Tetapi seseorang

yang sedang belajar semestinya diberi keleluasaan dan dorongan untuk

mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruk pengetahuan itu untuk

dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan

permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang

telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai akibat dari peningkatan

aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya

dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.

3.5 Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Meninjau karakteristik interaktif dalam pembelajaran matematika

realistik di atas tampak perlu sebuah rancangan pembelajaran yang mampu

membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau

siswa dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin (2001: 3) berpandangan

perlunya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkomunikasikan ide-idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok,

diskusi kelompok, maupun diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama

siswa dan juga dengan guru adalah faktor belajar yang penting dalam

pembelajaran konstruktif ini.

Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi dalam aktivitas

belajar siswa tersebut maka guru perlu menentukan metode mengajar yang

tepat dan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Salah satu metode mengajar yang

dapat memenuhi tujuan tersebut adalah memasukkan kegiatan diskusi dalam

27

Page 31: realistic mathematic education

pembelajaran siswa. Aktivitas diskusi dipandang mampu mendorong dan

melancarkan interaksi antara anggota kelas. Menurut Kemp (1994: 169)

diskusi adalah bentuk pengajaran tatap muka yang paling umum digunakan

untuk saling tukar informasi, pikiran dan pendapat. Lebih dari itu dalam

sebuah diskusi proses belajar yang berlangsung tidak hanya kegiatan yang

bersifat mengingat informasi belaka, namun juga memungkinkan proses

berfikir secara analisis, sintesis dan evaluasi. Selanjutnya perlu pula

ditentukan bentuk diskusi yang hendak dilaksanakan dengan

mempertimbangkan kondisi kelas yang ada. Karena pembelajaran dalam

rangka penelitian ini dilaksanakan dalam sebuah kelas yang pada umumnya

beranggotakan 40 sampai 44 siswa dengan penempatan siswa yang sulit

untuk membentuk kelompok diskusi besar, maka interaksi antar siswa

dimunculkan melalui diskusi kelompok kecil secara berpasangan selain

diskusi kelas.

Mendasarkan pada kondisi kelas seperti uraian di atas serta beberapa

karakteristik dan prinsip pembelajaran matematika realistik, maka langkah-

langkah pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini terdiri atas:

Langkah – 1. Memahami masalah kontekstual

Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa.

Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih

dahulu.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah

ini adalah menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian

masalah kontekstual sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.

Langkah – 2. Menjelaskan masalah kontekstual.

Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah

kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi

petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk

memahami masalah.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah

ini adalah interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa

maupun antara siswa dengan siswa. Sedangkan prinsip guided reinvention

28

Page 32: realistic mathematic education

setidaknya telah muncul ketika guru mencoba memberi arah kepada siswa

dalam memahami masalah.

Langkah – 3. Menyelesaikan masalah kontekstual.

Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara

individual berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk

yang telah disediakan. Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya

sendiri. Dalam proses memecahkan masalah, sesungguhnya siswa dipancing

atau diarahkan untuk berfikir menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan

untuk dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan

bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan

bantuan.

Pada tahap ini , dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat

dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan

self-developed models. Sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan

adalah penggunaan model. Dalam menyelesaikan masalah siswa mempunyai

kebebasan membangun model atas masalah tersebut.

Langkah – 4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan dan

mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi

sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari diskusi ini

diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa.

Selanjutnya guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan

jawaban yang dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk

atau memberikan kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan

jawaban yang dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain

untuk mencermati dan menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini

adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi

antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam diskusi ini

kontribusi siswa berguna dalam pemecahan masalah.

Langkah – 5. Menyimpulkan

Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan

29

Page 33: realistic mathematic education

mengenai pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang telah

dibangun bersama.

Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul

adalah interaktif serta menggunakan kontribusi siswa.

Dari langkah-langkah di atas dapat dikelompokkan perbedaan antara kegiatan

siswa dengan kegiatan guru adalah sebagai berikut.

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Guru memberikan siswa masalah kontekstual.

Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi ke-sempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.

Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.

Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.

Guru mengenalkan istilah kon-

sep. Guru memberikan tugas di

rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.

Siswa secara mandiri atau kelom-pok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.

Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.

Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.

Beberapa siswa mengerjakan di pa-pan tulis, melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.

Siswa merumuskan bentuk matem-atika formal.

Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.

3.6 Keunggulan Dan Kelemahan Dari Pembelajaran Matematika Realistik

Adapun keunggulan dan kelemahan dari pembelajaran matematika

realistik diantarannya adalah sebagai berikut:

Siswa dapat langsung memhami suatu konsep matematika bukan hanya

dari segi teori tapi juga langsung dari segi kontekstualnya

Pembelajaran yang berlangsung lebih interaktif serta penggunaan

konribusi siswa dan guru dikarenakan dalam proses pembelajaran terjadi

interaksi antara guru dengan siswa juga antar siswa

30

Page 34: realistic mathematic education

Munculnya prinsip guided reinvention and progressive mathematizing dan

self-developed models ketika guru mencoba memberi pengarahan kepada

siswa dalam memahami masalah dan juga ketika siswa mempunyai

kebebasan membangun model atas masalah tersebut

Namun dalam pembelajaran matematika reallistik juga terdapat

kelemahan diantaranya :

Terhambatnya proses pembelajaran dikarenakan guru yang tidak begitu

menguasai konsep pembelajaran matematika realistik ini

Membutuhkan kejelian dan ketekunan serta kecekatan pembimbing

dikarenakan dalam proses ini sangat menuntut siswa untuk berfikir aktif

dan inovatif sedangkan tingkat berfikir siswa itu berbeda-beda

31

Page 35: realistic mathematic education

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah kami tulis mengenai pembelajaran

matematika realistic terkhusus pada materi negasi dapat ditarik kesimpulan

bahwa pembelajaran matematika realistik merupakan sebuah model pembela-

jaran khusus matematika yang berdasar pada dunia nyata yang mana di sini

siswa mengkaji dunia suatu hal dari dunia nyata yang kemudian dikaitkan

dengan materi matematika melewati proses matematisasi yakni matematisasi

vertikal dan horisontal dengan kriteria, langkah-langkah serta keunggulan dan

kelemahan yang terlah diuraikan. Dengan ada dan usaha penerapaan dari pem-

belajaran matematika realistik ini diharapkan dapat meningkatkan prestasi

berdiskusi siswa, hal ini dapat terlihat dari sikap siswa yang mengkaji suatu

hal yang berdasar pada kenyataan (realita) utamanya pada kehidupan sehari-

hari yang kemudian menjadi acuan belajar suatu materi matematika yang ten-

tunya membutuhkan tingkat berfikir yang tinggi , selain itu dengan adanya

sussupan diskusi dalm model pembelajaran ini siswa mempunyai keberanian

untuk bertanya, mengemukakan ide atau gagasan, dan juga menyanggah ide

atau gagasan, sehingga proses belajar siswa lebih menarik dan prestasi belajar

siswa diharapkan akan meningkat.

4.2 Saran

1. Bagi Guru

Guru dapat lebih berinisiatif untuk memakai banyak pilihan pen-

dekatan dan model dalam kegiatan pembelajaran, khususnya model pem-

belajaraan matematika realistik, model pembelajaran ini dapat menghin-

dari siswa dari kejenuhan terhadap metode ceramah yang sering digunakan

guru dalam proses pembelajara. Dan salah satu cara yang dapat digunakan

untuk meningkatkan kreatifitas siswa yaitu dengan cara guru mampu mer-

ancang pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan membuat siswa

menyukai kegiatan belajar yang langsung mengajarkan siswa tidak hanya

berpacu pada materi matematika saja tapi langsung dengan wahana ke-

hidupan nyata sehari-hari.

32

Page 36: realistic mathematic education

2. Bagi Siswa

Siswa dapat menyadari bahwa kreatifitas tidak hanya berpacu pada

materi matematika yang ada saja tapi juga materi tersebut langsung terkait

dengan kehidupan sehari-hari serta juga mengajarkan mereka para siswa

untuk berfikir tingkat tinggi dengan problem solving dacri masalah yang

mereka temukan dari relita yang kemudian harus dicari pemecahannya

dengan materi matematika. Selain itu juga terdapat kegiatan berdiskusi

yang dapat membantu siswa dalam memahami pelajaran, jika siswa secara

aktif mendengarkan pemaparan jawaban temannya dan penjelasan guru

dan juga secara aktif menggunakan kemampuan bertanya, berpendapat dan

menyanggah untuk menemukan data dalam pemecahan masalah.

33

Page 37: realistic mathematic education

DAFTAR PUSTAKA

Makalahdanskripsi.Blogspot.com/pembelajaran-matematika-realistik-rme.html/01/20/2011

Zainurie.Wordpress.com/pembelajaran-matematika-realistik-rme .... /01/20/2011

34

Page 38: realistic mathematic education

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Sekolah : SMA NEGERI 1 BAURENO

Mata Pelajaran : Matematika

Kelas / Semester : X (empat)/ 2

Standar Kompetensi : Menggunakan logika matematika dalam pemecahan

masalah yang berkaitan dengan pernyataan majemuk

dan pernyataan berkuantor

Kompetensi Dasar : Menggunakan prinsip logika matematika yang berkaitan

dengan pernyataan majemuk dan pernyatan berkuantor

dalam penarikan kesimpulan dan pemecahan masalah

Indikator : Menentukan kesimpulan dari beberapa premis yang

diberikan dengan prinsip modus tolens, modus polens,

dan silogisme

Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

Tujuan Pembelajaran

Siswa dapat menentukan kesimpulan dari beberapa premis yang diberikan

dengan prinsip silogisme.

Karakter peserta didik yang diharapkan Rasa ingin tahu, mandiri, kreatif, kerja keras

Materi Pokok

Penarikan kesimpulan dari beberapa premis dengan prinsip silogisme.

Uraian Materi

Dalam penarikan suatu kesimpulan atau konklusi diperlukan beberapa

pernyataan (premis). Apabila premis-premisnya bernilai benar, maka kesimpulan

yang diperoleh juga bernilai benar. Atau dengan kata lain, proses penarikan

kesimpulannya dikatakan sah. Dalam penarikan kesimpulan ada tiga prinsip yang

dapat digunakan yakni modus ponens, modus tollens, dan silogisme. Dalam hal

ini yang akan dipelajari adalah penarikan kesimpulan dengan mengggunakan

prinsip silogisme. Adapun rumus daripada silogisme dalam menentukan

kesimpulan dari premis-premis adalah sebagai berikut:

35

Page 39: realistic mathematic education

p → q (B) .... premis 1

q → r (B) .... premis 2

p → r (B) .... kesimpulan/konklusi

Contoh:

Tentukan kesimpulan dari premis-premis berikut ini:

1. Jika Budi lulus ujian, maka Budi kuliah di perguruan tinggi

2. Jika Budi kuliah di perguruan tinggi, maka Budi menjadi sarjana

Kesimpulan yang sah dari kedua premis di atas adalah ........

Pembahasan:

Misalnya p: Budi lulus ujian (B)

q: Budi kuliah di perguruan tinggi (B)

r: Budi menjadi sarjana (B)

Argumentasi: p → q (B)

q → r (B)

p → r (B)

Jadi, kesimpulan yang sah dari kedua premis tersebut adalah jika Budi lulus ujian,

maka Budi menjadi sarjana.

Pendekatan

Kontekstual

Metode Pembelajaran

Model pembelajaran matematika realistik

Skenario Pembelajaran

Adapun skenario dari pembelajaran matematika realistik terhadap materi

silogisme dengan menggunakan model pembelajaran matematikia realistik adalah

sebagai berikut

36

Page 40: realistic mathematic education

Fase Tindakan GuruTindakan

peserta didikKarakter

Alokasi waktu

37

Page 41: realistic mathematic education

I Pendahuluan ( 10 menit )Guru memberikan

rangsangan kepada siswa untuk melakukan Apersepsi (mengulas kembali / mengingat materi yang lalu) yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari juga menyampaikan SK, KD dan indikator yang ingin dicapai serta memberikan motivasi

Siswa merespon materi yang telah disampaikan oleh guru

Rasa ingin tahukreatifmandirikerja keras

10 menit

II Kegiatan Inti ( 70 menit )Guru menyajikan

masalah kontekstual dengan diawali dari pengecekan guru terhadap siswa dalam daftar penilaian hasil ulangan pelajaran matematika yang baru saja dibagikan oleh guru kepada siswa, kemudian guru meminta siswa untuk memahami masalah mengenai keadaan dimana nilai yang mereka dapat

Siswa merespon tindakan guru untuk memahami masalah mengenai keadaan dimana nilai ,yang mereka dapat akan mempengaruhi kelulusan mereka dan kegiatan selanjutnya

Rasa ingin tahukreatifmandirikerja keras

10 menit

38

Page 42: realistic mathematic education

akan mempengaruhi kelulusan mereka dan kegiatan selanjutnya

Guru menyuruh siswa untuk menyajikan masalah tersebut dalam perny-ataan-pernyataan kemudian guru mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah dimana siswa harus menarik kesim-pulan dari pernyataan-pernyataan yang mereka buat menurut strategi mereka sendiri terfokus penggu-naan prinsip sil-ogisme

Guru mengawasi siswa dalam penyelesaian masalah dan memberi bantuan pada siswa yang menemui kesulitan

Siswa menyajikan masalah yang telah dipahami dari kon-tekstual ke dalam bentuk pernyataan-pernyataan kemu-dian siswa berusaha menyelesaikan per-masalahan yakni menarik kesimpu-lan dari pernyataan-pernyataan yang mereka buat sesuai kemampuan mereka

Siswa menyelasaikan permasalahan yang telah mereka temui yakni menarik kes-impulan dari perny-ataan yang mereka buat dengan prinsip silogisme

15 menit

20 menit

Setelah masing-masing siswa telah menyelesaikan permasalahan guru meminta salah satu siswa untuk mempresentasi-kan jawabannya ke depan untuk

Siswa yang menjadi perwakilan maju ke depan kelas untuk mempresentasikan jawabannya diikuti oleh siswa yang lain dengan menyi-mak dan menang-gapi

Rasa ingin tahukreatifmandirikerja keras

15 menit

39

Page 43: realistic mathematic education

dibandingkan dan didiskusikan dan diband-ingkan dengan jawaban siswa yang lain

Guru mengajak siswa untuk menyimpulkan hasil diskusi

Siswa mengikuti guru dalam menyimpulkan hasil diskusi

5 menit

Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan hal-hal yang belum diketahui mengenai materi tersebut

Siswa mengutarakan hal-hal yang belum diketahui

Rasa ingin tahukreatifmandirikerja keras

5 menit

III Penutup ( 10 menit )Guru mengajak

siswa melakukan refleksi (mengulas materi yang telah disampaikan)

Guru memberikan PR sebagai latihan

Siswa merespon penjelasan dari guru

Siswa mencatat PR yang akan dikerjakan di rumah

Rasa ingin tahukreatifmandirikerja keras

5 Menit

5 menit

Sumber dan Alat

1. Buku materi pelajaran,

2. Pena

Penilaian

- Jenis :kognitif, afektif, dan psikomotor

- Teknik :tes tulis (LKS dan tugas individual) dan tes lisan (diskusi)

- Instrumen :Lembar kegiatan siswa (LKS) dan latihan (tugas individual)

40

Page 44: realistic mathematic education

Lamongan, 04 Januari 2012

Mengetahui,Kepala Sekolah

SMA Negeri 1 BaurenoGuru Mata Pelajaran

Matematika

Drs. Nur Hayyi Joko Purnomo, S.PdNIP/NRK ................. NIP/NRK ...................

LEMBAR KEGIATAN SISWA (LKS)

Mata Pelajaran : Matematika

Materi : Silogisme

Alokasi Waktu : 20 menit

41

Page 45: realistic mathematic education

Petunjuk :

1. Cek nilai hasil ulangan pelajaran matematika minggu lalu

2. Buatlah suatu pernyataan dari hasil pengecekan siswa

3. Notasikan pernyataan tersebut

4. Tentukan premis-premis yang dapat muncul dari pernyataan-pernyataan yang

telah siswa buat kemudian siswa diharuskan menrai kesimpulan yang sah dari

premis-preis tersebut dengan menggunakan prinsip silogisme

5. Setelah memperoleh jawaban bandingkan dan diskusikan jawaban siswa

dengan teman sebangkunya

6. Buatlah kesepakatan antara siswa dan pasangannya masing-masing kemudian

tulislah

7. Bandingkan dan diskusikan jawaban yang telah disepakati siswa dengan

masing-masing pasangannya tadi dalam forum diskusi kelas

8. Tariklah kesimpulan jawaban dari diskusi kelas

LATIHAN

1. Buatlah tiga pernyataan yang berbeda kemudian buatlah premis-premis yang

mungkin dari tiga pernyataan tersebut!buatlah beserta nilai kebenarannya!

42

Page 46: realistic mathematic education

2. Tentukan kesimpulan yang sah dengan menggunakan prinsip silogisme!

43