realis

40
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu masalah utama yang dihadapi pendidikan di Indonesia adalah masih kurangnya sikap (attitude) siswa terhadap matematika dan rendahnya prestasi siswa dalam belajar matematika. Hal ini disebabkan siswa mengalami masalah baik secara komprehensif maupun parsial dalam matematika. Selain itu, siswa dalam belajar matematika belum bermakna sehingga pengertian tentang konsep sangat lemah. Siswa cenderung mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika kedalam situasi kehidupan real. Dan yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah pembelajaran matematika yang kurang bermakna. Secara umum, model pembelajaran matematika di sekolah masih menggunakan model pembelajaran konvensional yang masih menunjukkan keabstrakan matematika sehingga siswa sulit memahaminya. Proses pembelajarannya hanya berpusat pada guru, siswa tidak diberi keksempatan untuk aktif mengembangkan pengetahuannya. Untuk memperbaiki proses pembelajaran

Upload: sumanadi-dembank

Post on 21-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: realis

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Salah satu masalah utama yang dihadapi pendidikan di Indonesia adalah

masih kurangnya sikap (attitude) siswa terhadap matematika dan rendahnya

prestasi siswa dalam belajar matematika. Hal ini disebabkan siswa mengalami

masalah baik secara komprehensif maupun parsial dalam matematika. Selain itu,

siswa dalam belajar matematika belum bermakna sehingga pengertian tentang

konsep sangat lemah. Siswa cenderung mengalami kesulitan dalam

mengaplikasikan matematika kedalam situasi kehidupan real. Dan yang

menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah pembelajaran matematika

yang kurang bermakna.

Secara umum, model pembelajaran matematika di sekolah masih

menggunakan model pembelajaran konvensional yang masih menunjukkan

keabstrakan matematika sehingga siswa sulit memahaminya. Proses

pembelajarannya hanya berpusat pada guru, siswa tidak diberi keksempatan untuk

aktif mengembangkan pengetahuannya. Untuk memperbaiki proses pembelajaran

tersebut maka dibutuhkan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa aktif

didalamnya sehingga pembelajaran akan lebih bermakna sesuai dengan KTSP.

Dalam hal ini, pembelajaran akan menjadi bermakna jika mengaiktkan

pengalaman kehidupan nyata siswa denan ide-ide atau konsep-konsep matematika

dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, pentingnya menerapkan kembali konsep

matematika yang telah dimiliki siswa pada kehidupan seharihari atau bidang lain.

Menurut Ign S. Ulih (dalam Slameto, 2003 ; 65), “metode mengajar

adalah suatu cara / jalan yang dilakukan dalam mengajar”. Di dalam proses belajar

Page 2: realis

mengajar siswa diharapkan dapat menerima / menguasai dan lebih-lebih

mengembangkan bahan pelajaran itu. Cara-cara belajar serta mengajar haruslah

setepat-tepatnya, seefisien dan seefektif mungkin. Guru biasa mengajar dengan

metode ceramah saja. Siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif dan hanya mencatat

saja. Slameto (2003 ; 65) mengatakan bahwa : “dengan dicobanya metode-metode

baru, akan membantu peningkatan motivasi siswa untuk belajar”.

Selanjutnya Sardiman (2003 ; 85) menyatakan bahwa : ”hasil belajar

akan menjadi optimal, kalau ada motivasi”. Lebih lanjut Kerlinger (2004 ; 765)

menyatakan bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian

prestasi. Guru yang bijaksana dan memahami karakteristik siwa akan

menciptakan kegiatan belajar mengajar yang lebih bervariasi serta akan

memberikan kegiatan belajar yang berbeda antara siswa yang berprestasi tinggi

dengan siswa berprestasi rendah.

Mulyasa (2006 ; 107) menyatakan bahwa : ”penggunaan metode-metode

yang berpusat pada guru serta menekankan pada interaksi belajar anak didik akan

sangat membantu peserta didik di dalam mencapai tujuan pembelajaran”. Senada

dengan itu Tabrani (1993 ; 17) menyatakan bahwa : “metode pengajaran dapat

mempengaruhi hasil atau prestasi belajar peserta didik”.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa metode mengajar mempengaruhi

belajar. Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar

siswa yang tidak baik pula. Kurang baiknya metode mengajar akan membuat

siswa malas untuk belajar. Dengan metode yang bervariasi atau dengan metode

yang tepat, efesien dan efektif, akan membuat siswa dapat belajar dengan baik.

Page 3: realis

Selain itu dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran dapat mempengaruhi

prestasi belajar peserta didik.

Seperti kenyataan di lapangan siswa kelas III di SD Negeri 2 Bugbug

kemampuan dalam memahami pelajaran matematika sangat rendah. Hal ini

ditunjukan dengan perolehan nilai yang diperoleh yang menunjukan masih di

bawah kriteria ketuntantasan minimal (KKM) dan perilaku pasif siswa pada saat

menerima pelajaran. Dari hasil observasi yang dilakukan, hal tersebut disebabkan

karena pembelajaran masih berpusat pada guru, siswa tidak diberi keksempatan

untuk aktif mengembangkan pengetahuannya.

Pembelajaran matematika realistik dipandang sesuai dengan masalah-

masalah tersebut. Pembelajaran matematika realistik berorientasi pada

pengalaman sehari-hari serta menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-

hari. Menurut Zulkardi (2001), mengembangkan Realistic Mathematics Education

(RME) yang dikembangkan oleh Freundenthal Institute di Belanda sejak tahun

1971. Pembelajaran matematika realistik ini menggabungkan pandangan apa itu

matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika

harus diajarkan. Pendekatan ini menggunakan masalah kontekstual sebagai kritik

awal (strating point) pembelajaran matematika. Pendekatan realistik ini berfungsi

sebagai sumber dari proses belajar masalah yang nyata dan situsi nyata.

Pembelajaran lebih luas (kompleks) dan konsepkonsepnya bermakna. Siswa

diperlakukan sebagai partisipan yang aktif dalam pembelajaran sehingga mereka

dapat mengembangkan ide-ide matematika.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dilakukan penelitian

tindakan kelas yang mengambil judul ”Meningkatkan Kemampuan dalam Materi

Page 4: realis

Hubungan Antar Satuan dengan Pembelajaran Matematika Realistik Siswa Kelas

III SD Negeri 2 Bugbug Kecamatan Karangasem Tahun Pelajaran 2011/2012”.

2. Identiikasi Masalah

Kenyataan di lapangan menunjukan siswa kelas III di SD Negeri 2

Bugbug kemampuan dalam memahami pelajaran matematika sangat rendah. Hal

ini ditunjukan dengan perolehan nilai yang diperoleh yang menunjukan masih di

bawah kriteria ketuntantasan minimal (KKM) dan perilaku pasif siswa pada saat

menerima pelajaran. Dari hasil observasi yang dilakukan, hal tersebut disebabkan

karena pembelajaran masih berpusat pada guru, siswa tidak diberi keksempatan

untuk aktif mengembangkan pengetahuannya.

Pembelajaran matematika realistik dipandang sesuai dengan masalah-

masalah tersebut. Untuk itu, dilakukan penelitian tindakan kelas yang mengambil

judul ”Meningkatkan Kemampuan dalam Materi Hubungan Antar Satuan dengan

Pembelajaran Matematika Realistik Siswa Kelas III SD Negeri 2 Bugbug

Kecamatan Karangasem Tahun Pelajaran 2011/2012. Adapun identifikasi masalah

yang diperoleh dari latar belakang tersebut di atas yaitu : apakah metode

pengajaran yang kurang tepat menyebabkan kemampuan siswa rendah? Apakah

guru kurang memperhatikan keadaan siswa, sehingga kemampuan siswa rendah?

Apakah guru kurang melakukan pendekatan kepada siswa pada saat mengajar

sehingga kemampuan siswa menguasai materi rendah? Bagaimana tindakan yang

harus dilakukan oleh seorang guru? Apa metode yang tepat digunakan dalam

proses belajar mengajar? bagaimana pembelajaran matematika realistik dapat

Page 5: realis

meningkatkan kemampuan siswa? Apa keunggulan pembelajaran matematika

realistik?

3. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas

maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

• Apakah pemberian pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan

kemampuan siswa dalam materi hubungan antar satuan dengan

pembelajaran matematika realistik siswa kelas III SD Negeri 2 Bugbug

Kecamatan Karangasem Tahun Pelajaran 2011/2012?

4. Tujuan Penelitan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini

adalah : Untuk mengetahui apakah pemberian pembelajaran matematika realistik

dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam materi hubungan antar satuan

dengan pembelajaran matematika realistik siswa kelas III SD Negeri 2 Bugbug

Kecamatan Karangasem Tahun Pelajaran 2011/2012

5. Signifikansi Penelitian

a. Signifikansi Teoritis yaitu :

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi

pengembangan konsep ilmu pendidikan di dalam peningkatan mutu

serta pendewasaan ilmu pendidikan

b. Signifikansi Praktis

Page 6: realis

1) Bagi siswa

Penerapan pembelajaran matematika realistik diharapkan

dapat meningkatkan prestasi belajar, membantu siswa yang

mengalami kesulitan belajar. Sehingga dapat membuat siswa

tanggap terhadap informasi, berfikir lebih kritis, kreatif dan

inovatif menyelesaikan masalah yang terjadi serta ketuntasan

klasikal dapat tercapai.

2) Bagi guru

Secara konseptual guru Agama Hindu dapat mengetahui

dan memahami penerapan pembelajaran matematika realistik

secara praktis, mereka juga ikut berkolaborasi dalam

pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, hasil penelitian ini

diharapkan dapat menambah wawasan mereka dalam mengelola

proses belajar mengajar dan memberikan kepuasan karena mereka

ikut terlibat dari awal sampai akhir pembelajaran, sehingga

pembelajaran matematika realistik ini dapat dipilih sebagai salah

satu alternative dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

Page 7: realis

B. KAJIAN TEORI 

1. Realistic Mathematics Education (RME) 

Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar

mengajar dalam pendidikan matematika.  Teori RME pertama kali diperkenalkan

dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.  Teori

ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika

harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.  Ini

berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata

sehari-hari.  Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus

diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika

dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).  Upaya ini dilakukan

melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. 

Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada

sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).  Prinsip

penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal,

sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi. 

Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu

matematisasi horisontal dan vertikal.  Contoh matematisasi horisontal adalah

pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang

berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. 

Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam

rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model

yang berbeda, dan penggeneralisasian.  Kedua jenis matematisasi ini mendapat

perhatian seimbang,  karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama.

Page 8: realis

Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam

pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik,

emperistik, strukturalistik, dan realistik. Pendekatan mekanistik merupakan

pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman

sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan

ini manusia dianggap sebagai mesin.  Kedua jenis matematisasi tidak

digunakan. Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-

konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan

melalui matematisasi horisontal. Pendekatan strukturalistik merupakan

pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan

cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai

melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang

menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran.  Melalui

aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan

dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.   

2. Karakteristik RME 

Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model,

produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment)

(Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998). 

a. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata” 

Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di

mana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai

tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Gambar 1   Konsep

Page 9: realis

Matematisasi (De Lange,1987) Dalam RME, pembelajaran diawali dengan

masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka

menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.  Proses penyarian (inti)

dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987)

sebagai matematisasi konseptual.  Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan

mengembangkan konsep yang lebih komplit.  Kemudian, siswa dapat

mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata

(applied mathematization).  Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep

matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi

pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan

matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000) 

b. Menggunakan Model-model (Matematisasi) 

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang

dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models).  Peran self developed

models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau

dari matematika informal ke matematika formal.  Artinya siswa membuat model

sendiri dalam menyelesaikan masalah.  Pertama adalah model  situasi yang dekat

dengan dunia nyata siswa.  Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan 

berubah menjadi model-of masalah tersebut.  Melalui penalaran matematik model-

of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis.  Pada akhirnya, akan

menjadi model  matematika formal. 

c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi  

Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa

terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting

Page 10: realis

dalam proses belajar.  Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur

pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam

pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi

pengetahuan matematika formal.  

d. Menggunakan Interaktif  

Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. 

Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan,

pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk

mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.           

e. Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment) 

Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial.  Jika dalam

pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan

berpengaruh pada pemecahan masalah.  Dalam mengaplikasikan matematika,

biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya

aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.                 

3. Matematika Realistik (MR) 

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah

matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan

pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.  Masalah-masalah realistik

digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau

pengetahuan matematika formal.  Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada

karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk

menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika

Page 11: realis

formal.  Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep

matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang

lain. 

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama

ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai

matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.   

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai

pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar

kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat

memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. 

Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi

pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi

vertikal.  Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat

memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan

matematika formal).   

4. Pembelajaran Matematika Realistik (MR) 

Menurut Pandangan Konstruktivis   Pembelajaran matematika menurut

pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan

sendiri melalui proses internalisasi.  Guru dalam hal ini berperan sebagai

fasilitator. 

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran

matematika berorientasi pada:

Page 12: realis

(1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau

akomodasi,

(2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada

apa,

(3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia

melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan,

mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan

(4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang

mereka katakan atau tulis.   

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa

dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. 

Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993;

Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998). 

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone

of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. 

Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat

perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan

masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan

sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau

melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. 

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama

tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan

kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia

dapat melakukannya (Slavin, 1997).  Scaffolding merupakan bantuan yang

Page 13: realis

diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut

dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam

langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain

yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. 

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat

konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial.  Filsafat

konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan

mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan

pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991).  Dalam

pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan  

konstruktivisme sosio (socio-constructivism).  Siswa berinteraksi dengan guru,

dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa

mengembangkan strategi-strategi  untuk merespon masalah yang diberikan. 

Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik

RME. 

Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di

dalam pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided

reinvention).  Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini

mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. 

Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan

pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR

merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika. 

Page 14: realis

5. Implementasi Pembelajaran MR

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR,

berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). 

Pecahan di SD diinterpretasi sebagai bagian dari keseluruhan.  Interpretasi ini

mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama.  Dalam hal

ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume. 

Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide pempartisian suatu

himpunan dari objek diskret.

Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih

dahulu siswa dibawa ke “situasi” informal.  Misalnya, pembelajaran pecahan

dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian

kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-

konsep matematika (pengetahuan matematika formal). 

Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru

diperkenalkan istilah pecahan.  Ini sangat berbeda dengan pembelajaran

konvensional (bukan MR) di mana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah

pecahan dan beberapa jenis pecahan.   

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan

bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi

konsep sendiri.  Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah  sehari-hari atau dalam

bidang lain.

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan

pada masalah realistik yang diberikan oleh guru.  Situasi realistik dalam masalah

Page 15: realis

memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal  untuk menyelesaikan

masalah.  Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang

peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep.  Hal ini

berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema

(jaringan representasi) anak.  Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan

menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka

konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran MR akan

mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa. 

6. Aspek dan Karakteristik Pembelajaran MR

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran

matematika berorientasi pada:

a. pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi

atau akomodasi,

b. dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan

kepada apa,

c. informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang

dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan,

mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya,

dan

d. pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa

yang mereka katakan atau tulis.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi aspek-

aspek sebagai berikut (Lange,1995) dalam Hadi, (2005):

Page 16: realis

a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi

siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya,

sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.

b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran.

c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik

secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.

d. Pengajaran berlangsung secara interaktif:

Karakteristik dari pembelajaran matematika realistik yang dikemukakan

oleh Gravemeijer, 1994 dalam Tarigan, (2006: 6)

a. Penggunaan konteks: proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan

siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.

b. Instrumen vertikal: konsep atau ide matematika. Direkonstruksikan

oleh siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak

dari prosedur informal kebentuk formal (dari model yang konkret

meningkat ke model yang abstrak).

c. Konstribusi siswa: siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan

matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang

disediakan guru, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-

masing.

d. Kegiatan interaktif: kegiatan belajar bersifat interaktif yang

memungkinkan terjadi komunikasi dan negosiasi antar siswa.

e. Keterkaitan topik: pembelajaran suatu bahan matematika terkait

dengan berbagai topik matematika secara terintegrasi.

Page 17: realis

Berdasarkan aspek-aspek dan karakateristik dari pembelajaran matematika

realistik yang dikemukakan oleh Lange, (1995) dalam Hadi, (2005) dan

Gravemeijer, 1994 dalam Tarigan, (2006: 6) maka guru dan siswa dikatakan aktif

dalam kegiatan pembelajaran apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Guru

1) Melakukan persiapan kegiatan pembelajaran dengan menyiapkan

buku paket atau buku penunjang termasuk rencana pelaksanaan

pembelajaran, menyiapkan alat evaluasi berupa tes hasil belajar,

menyiapkan media atau alat peraga pembelajaran

2) Memiliki keterampilan dasar dalam membuka kegiatan

pembelajaran dengan melakukan kegiatan antara lain: memberi

salam kepada peserta didik, mengelola kelas, memberikan

apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran

3) Mampu menerapkan materi pembelajaran dengan memberikan

masalah-masalah kontekstual bagi siswa, merespons secara positif

setiap jawaban siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk

memikirkan strategi mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah,

menggunakan model dalam pembelajaran, menghargai kontribusi

siswa, membangun pembelajaran yang interaktif, memotivasi siswa

dan memeberikan tugas rumah kepada siswa.

4) Mampu menangani perilaku siswa yang tidak relevan dalam

kegiatan pembelajaran

5) Menanggapi setiap kesulitan yang dihadapi siswa

Page 18: realis

6) Memiliki keterampilan dasar dalam mengelola pembelajaran antara

lain: keterampilan mengadakan variasi, keterampilan memeberikan

penguatan, keterampilan menjelaskan materi pembelajaran dan

penguasaan materi pembelajaran

b. Siswa

1) Mendengar dan memperhatikan penjelasan guru atau

sesama siswa (interaksi dalam pembelajaran)

2) Mampu menghubungkan materi yang diberikan dengan

kehidupan sehari-hari

3) Siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan

masalah dengan strategi informal

4) Mampu dan berani mengerjakan soal dipapan tulis

5) Partisipasi dalam pembelajaran

6) Bertanya kepada guru

7) Bertanya atau berdiskusi dengan teman

8) Pemahaman atau penguasaan materi

9) Mampu merumuskan bentuk matematika formal

10) Mengerjakan tugas dirumah dan menyerahkannya kepada

guru

7. Kerangka Teori dan Hipotesis Tindakan

a. Kerangka Teori

Di dalam penelitian ini, teridentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh

siswa yaitu pembelajaran yang belum dapat meningkatkan prestasi siswa secara

Page 19: realis

optimal dan menyeluruh. Adapun kerangka konseptual yang peneliti coba

terapkan untuk mengatasi masalah yang sudah dirumuskan yaitu sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Penelitian

Permasalahan Penanganan Masalah Tujuan

Prestasi belajar siswa

belum optimal

Penerapanpembelajaran realistik yang

efektif

Prestasi belajar siswa meningkat

b. Hipotesis Tindakan

Untuk memecahkan masalah yang telah ditetapkan, dibuat hipotesis yang

dijadikan kerangka berfikir. Adapun hipotesis tindakan dalam penelitian ini

yakni : Pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan siswa

dalam materi hubungan antar satuan dengan pembelajaran matematika realistik

siswa kelas III SD Negeri 2 Bugbug Kecamatan Karangasem Tahun Pelajaran

2011/2012

C. METODE PENELITIAN

1. Latar Penelitian dan Karakteristik Subyek

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 2 Bugbug, yang berlokasi di

Jalan Serayu, Gang Arjuna, Desa Bugbug Kecamatan Karangasem , Kabupaten

Karangasem. Penelitian ini tergolang penelitian tindakan kelas yang secara umum

bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas pembelajaran

matematika. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas III SD Negeri 2 Bugbug

Tahun Pelajaran 2011/2012.

Page 20: realis

Refleksi Awal Perencanaan Tindakan I

Pelaksanaan Tindakan I

Observasi / Evaluasi

Refleksi I Perencanaan Tindakan II

Pelaksanaan Tindakan II

Observasi / Evaluasi

Refleksi IILAPORAN

Alasan pengambilan subyek penelitian ini adalah 1) adanya kecendrungan

guru yang mengabaikan pembelajaran realistik pada setiap proses belajar

mengajar ,2) prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih dalam

katagori yang rendah (observasi dilakukan di kelas III SD Negeri 2 Bugbug Tahun

Pelajaran 2011/2012. Obyek penelitian adalah peningkatan kemampuan siswa

pada materi hubungan antar satuan setelah dilakukan pembelajaran realistik dalam

proses belajar mengajar. Penelitian ini terbagi dibatasi menjadi dua siklus , tiap

siklus terdiri dan empat tahap kegiatan yaitu : perencanaan, tindakan, observasi

dan evaluasi.

Gambaran umum tentang pelaksanaan tindakan seperti pada gambar

berikut:

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Page 21: realis

Alur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alur penelitian

seperti gambar di atas.

2. Rencana Tindakan

a. Siklus l

1) Menentukan materi ajar yang akan di bahas

2) Membuat rencana pembelajaran

3) Membuat tes untuk mengukur prestasi siswa

b. Siklus II

1) Menentukan materi ajar yag akan dibahas

2) Membuat rencana pembelajaran

3) Membuat test prestasi belajar

3. Pelaksanaan Tindakan

Didalam penelitian ini peneliti berperan sebagai pelaksana penelititan

dirnana pada setiap akhir siklus peneliti melakukan evaluasi terhadap hasil

penelitian pada masing - masing siklus

a. Pelaksanaan Tindakan Pada Siklus I

1) Persiapan

Dalam tahap ini guru telah membuat perencanaan pembelajaran

dengan matang misalnya merumuskan masalah, merumuskan tujuan

pembelajaran khususdalam proses balajar mengajar, serta metode yang

digunakan.

2) Pelaksanaan

a) Penyajian, tahap guru menyampaikan bahan pelajaran.

Page 22: realis

b) Asosiasi yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menghubungkan dan membandingkan materi ceramah yang telah

diterimanya melalui bertanya seluas-luasnya

c) Generalisasi, memberikan tugas kepada siswa untuk membuat

kesimpulan sementara melalui hasil ceramah.

d) Guru memberikan tugas dengan menghubungkan kenyataan di

lingkungannya dengan materi yang diberikan.

e) Siswa menemukan kesimpulan sementara beserta alasan-alasannya.

3) Penutup

i. Guru bersama - sama siswa membahas test serta kesimpulan

sementara yang disampaikan sisswa

ii. Pengambilan kesimpulan

iii. Evaluasi tahap I

b. Pelaksanaan Tindakan Kelas Siklus II

1) Persiapan

Dalam tahap itu guru telah membuat perencanaan pembelajaran

yanmg lebih matang , misalnya merumuskan masalah, merumuskan tujuan

pembelajaran khusus serta memberikan evaluasi terhadap jalannya

pembelajaran pada siklus I

2) Pelaksanaan

i. Guru memberikan test

ii. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya tentang soal - soal yang

sulit dikerjakan sampai mereka merasa mampu untuk menjawab.

Page 23: realis

Guru tidak dibenarkan memberi jawaban yang sifatnya menjawab

atau memecahkan masalah.

iii. Siswa menemukan kesimpulan sementara beserta alasan-alasannya.

3) Penutup

i. Guru bersama — sama siswa membahas test atau kesimpulan

sementara yang disampaikan sisswa

ii. Pengambilan kesimpulan

iii. Evaluasi tahap II

4. Metode Pengumpulan Data

Menurut Arikunto (2003 : 134) menyatakan bahwa metode pengumpulan

data yaitu cara yang digunakan untuk memperoleh data yang dijadikan dasar

kajian, dianalisis dan disimpulkan. Metode pengumpulan data menjadi dua macam

yaitu dapat dilakukan dengan tes dan nontes. Adapun macam-macam tes yaitu tes

kepribadian, tes bakat, tes intelegensi, tes sikap, tes minat dan tes prestasi belajar.

Sedangkan metode pengumpulan data dengan nontes yaitu dapat dilakukan

dengan wawancara, observasi, penyebaran angket serta dokumentasi.

Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa tes

dan nontes. Tes yang dipakai yaitu tes prestasi belajar yaitu tes yang digunakan

untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari materi mata pelajaran

Agama Hindu yang diberikan. Sedangkan metode non tes yang dipakai adalah

metode observasi atau pengamatan secara langsung. Observasi yang dilakukan

yaitu observasi non-sistematis yaitu observasi atau pengamatan yang dilakukan

dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan untuk mencari data tentang

Page 24: realis

cara guru mengajar, cara siswa belajar di kelas serta mengobservasi pelaksanaan

tindakan yang dilakukan.

5. Metode Analisis Data

Data tentang prestasi belajar siswa di analisis secara deskriptif kuantitatif

sedangkan kualifikasi prestasi belajar siswa diperoleh dengan pedoman konversi

seperti tabel berikut ini :

Tabel 3.1 Pedoman Konversi Skor Prestasi Belajar Siswa

SKOR KUALIFIKASI

90-100 Amat Baik

75 — 89 Baik

60—74 Cukup

0 - 59 Kurang

(Sumber : pedoman penilaian prestasi belajar)

Untuk mengetahui adanya peningkatan prestasi belajar siswa pada siklus I

dan II digunakan rumus sebagai berikut:

a) Menetukan rata — rata kelas

X = Jumlah Nilai Siswa

Jumlah Siswa

b) Menentukan Ketuntasan Individual

KI = Nilai yangdicapai siswa

Nilai Maksimalx 100

Dengan ketentuan apabila persentase ketuntasan individual

mencapai 65 % maka sisswa yang bersangkutan dianggap tuntas

Page 25: realis

c) Menghitung Ketunasan Kiasikal

KK = Jumlah SiswaYangTuntasJumlah siswakeseluruhan

x 100 %

Dengan ketentuan apabila ketuntasan kiasikal mencapai 85

% maka kelas yang bersangkutan dianggap tuntas.

Page 26: realis

Pustaka Acuan A.Tabrani R. 1993a. Proses Belajar Mengajar Yang Efektif Tingkat Pendidikan

Dasar. Bandung: Bina Budhaya.

---------------. 1993b. Manajemen Pendidikan. Bandung: Media Pustaka.

Arikunto, Suharsimi. 2006a. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

----------------------, 2003b. Manajemen Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Atwel, Bleicher & Cooper.1998. “The Construction of The Social Contex of Mathematics Clasroom : A Sociolonguistic Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29 No.1 January 1998.

Azwar, Saifuddin. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Cinzia Bonotto. 2000. Mathematics in and out of school : is it possible connect these contexts ? Exemplification from an activity in primary schools. http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.htm 

Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories. http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm. 

 Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of Educational Research (Fifth Ed). New York :

Macmillan 

Mulyasa, E. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics.USA : NCTM Price,J. 1996. “President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996.

Sardiman A.M. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soedjadi. 2000. “Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia”. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000) 

Taylor.1993.”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular Refrences to Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17.  TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics. http:// timss.bc.edu/timss 1999i/pdf/T99i_math_01.pdf 

Page 27: realis

Van den Heuvel-Panhuizen. 1998. Realistic Mathematics Education Work in Progress. http://www.fi.nl/ ……2000. Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour. http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.  

Van Reeuwijk, Martin. 1995. The Role of Realistic Situations in Developing Tools for Solving Systems of Equations. www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties/3781.pdf 

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing

I Gusti Putu Suharta, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja. Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang – Depdiknas