yogyakarta, 21 – 24 agustus 2007 perjuangan gagasan “indigenous peoples’ rights” dalam ranah...

76
Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Evolusi Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional Oleh: Emil Ola Kleden Pemerhati gerakan Masyarakat Adat

Upload: ngokhue

Post on 28-Jun-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Makalah

ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat

(Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM

di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007

Evolusi Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights”

Dalam Ranah Nasional dan Internasional

Oleh: Emil Ola Kleden

Pemerhati gerakan Masyarakat Adat

Page 2: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Evolusi Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1

Oleh:

Emil Ola Kleden2

Pengantar Peristilahan dalam bahasa Indonesia sebagai padanan dari terminologi indigenous peoples sampai saat ini belum menemukan bentuk kesepakatan baku di antara berbagai kalangan. Perdebatan atau diskusi mengenainya mencakup dua aspek: pertama, tentang eksistensi, yaitu tentang apakah di Indonesia memang ada kelompok masyarakat yang dapat disebut sebagai indigenous peoples sebagaimana maknanya dalam diskursus tentang indigenous peoples di Barat; dan kedua adalah mengenai (jika ada kelompok-kelompok ini) istilah padanan dari indigenous peoples dalam bahasa Indonesia. Perdebatan dan diskusi wacana ini penting dicermati mengingat bahwa implikasinya terletak dalam konsep hak-hak kelompok masyarakat yang mengidentifikasikan diri sebagai indigenous peoples. Kalangan pemerintah, misalnya lebih sering menggunakan istilah ‘masyarakat hukum adat’ di samping juga ‘masyarakat asli’. Pilihan ini dapat dipahami bila kita mempelajari sejarah politik di Indonesia dalam konteks hubungan antara Negara (State) dengan masyarakat (peoples dan bukan society). Sementara kalangan akademis banyak menggunakan istilah ‘masyarakat asli’, sebuah istilah yang hampir tidak digunakan oleh aktivis non-government organisation (NGO) yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan. Kelompok ini lebih memilih istilah masyarakat adat3. Di tengah itu kita juga masih dapat menemukan penggunaan istilah ‘masyarakat tradisional’ oleh kalangan pemerintah, akademisi, sektor privat maupun beberapa kalangan masyarakat sipil. Kebijakan yang lahir dari setiap regim yang berkuasa di Indonesia mencerminkan pandangan mereka tentang eksistensi indigenous peoples, yang untuk sementara dalam tulisan ini, saya terjemahkan sebagai masyarakat hukum adat (hukum di sini dimaknai sebagai sebuah kumpulan norma yang bersifat mengikat. Pilihan ini dilakukan untuk mencermati secara lebih terfokus pada upaya pemenuhan kewajiban Negara terhadap kelompok masyarakat yang dikategorikan oleh Negara sebagai ‘masyarakat hukum adat’ itu. Tingkat dan bentuk ikatannya akan menentukan bentuk sistem hukum dan peraturan

1 Makalah untuk disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21 Agustus 2007. 2 Pemerhati gerakan Masyarakat Adat 3 Istilah masyarakat adat disepakati pertama kali di kalangan aktivis NGO dalam sebuah sarasehan yang diikuti aktivis NGO yang bergerak di bidang HAM dan lingkungan, dan sejumlah tokoh adat di Tana Toraja diselenggarakan oleh Walhi pada 1993.

Page 3: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

perundangan yang berlaku dalam sebuah masyarakat atau negara). Penjelasan tentang pilihan pemadanan ini akan saya sajikan dalam bagian berikutnya. Sementara itu perlu dilakukan penelusuran lebih dalam mengapa kalangan akademisi lebih sering menggunakan istilah ‘masyarakat asli’ atau ‘masyarakat tradisional’ untuk menggambarkan sebuah gerakan sosial yang mengedepankan diskusi wacana tentang hak-hak masyarakat ini. Dalam dokumen-dokumen terjemahan resmi dari konvensi-konvensi internasional, misalnya Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) digunakan istilah ‘masyarakat asli’, sementara dalam Pasal 28 I ayat 3 Perubahan Kedua UUD 1945 dapat ditemukan istilah masyarakat tradisional. Salah satu kemungkinan yang masuk akal adalah bahwa dokumen-dokumen resmi inilah yang menjadi rujukan utama dalam penggunaan istilah di kalangan akademis sehingga kecenderungan itulah yang kemudian mengemuka. Pilihan istilah ‘masyarakat adat’ yang dicetuskan dalam Sarasehan Tana Toraja, 1993 adalah bahwa komunitas-komunitas masyarakat yang menjadi perhatian dalam diskursus ini bukanlah kelompok masyarakat yang relasi sosial politiknya melulu diatur oleh hukum melainkan juga oleh hal-hal yang tidak diatur oleh hukum seperti kekerabatan, budi pekerti, tata krama, dan sejumlah struktur hak yang lahir dari aspek kesejarahannya ketimbang struktur hak yang secara ketat di atur oleh hukum. Meskipun dalam konteks Indonesia persoalan ini masih belum menemukan sebuah bentuk utuh dalam kaitan dengan pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar dari sekelompok masyarakat dengan klaim khusus seperti yang tercermin dalam istilah indigenous peoples, namun perlu diperiksa sejarah dari kategori-kategori sosial politik4 ini untuk dapat memahami seluruh aspek dan faktor-faktor yang membuatnya muncul dan menguat. Pemeriksaan aspek dan faktor-faktor itu diharapkan dapat memberi petunjuk tentang kriteria-kriteria yang mendasari terbentuknya wacana indigenous peoples maupun ‘masyarakat hukum adat’, sehingga kemudian kita dapat mengkomparasikan keduanya. Komparasi ini diharapkan dapat mengarahkan kita pada sebuah penilaian tentang kedua kategori sosial politik tersebut, khususnya menyangkut pertanyaan apakah keduanya memang memfokuskan upaya pada kelompok yang serupa. Pertanyaan ini penting untuk kemudian menilai apakah Negara memang telah dengan benar meratifikasi sejumlah instrumen internasional tentang indigenous peoples, yang dokumen aslinya disajikan dalam enam bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menerjemahkan istilah tersebut dengan sejumlah istilah bahasa Indonesia yang telah disebutkan di atas.

4 Istilah indigenous peoples maupun ‘masyarakat adat’ untuk konteks Indonesia dalam substansi perjuangannya masyarakatnya nampak lebih merupakan sebuah perjuangan politik yang pada gilirannya mempengaruhi makna dari istilah-istilah ini sebagai sebuah kategori yang bukan lagi sekedar sebuah kategori sosial budaya.

Page 4: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

I. Tinjauan Sejarah Wacana Indigenous Peoples dan Hak-Hak Terkait. Pendudukan Spanyol atas Amerika serta pembukaan pemukiman-pemukiman baru mereka telah menimbulkan dampak yang tak terperikan bagi orang-orang Indian5. Kejamnya perlakuan terhadap orang-orang Indian ini antara lain berakar dalam pandangan di kawasan Eropa Selatan (Spanyol dan Portugis) pada masa itu yang mendapat mandat dari Paus di Roma untuk menduduki tanah-tanah tak bertuan (terra nulius)6 dan mengkristenkan penduduk setempat yang dipandang sebagai masyarakat penyembah berhala. Adalah Francisco de Vitoria, seorang profesor teologi terkemuka dari Universitas Salamanca, Spanyol, yang berani melawan tindakan tirani terhadap masyarakat Indian dengan sebuah penegasan mengenai esensi kemanusiaan orang Indian. Di samping itu ia juga mengkritik paham atau pandangan yang dianut rejim-rejim penakluk yang mengatakan bahwa tanah orang Indian berhasil diduduki setelah melalui sebuah perang yang “adil”. Sementara keadilan yang dimaksud melulu didasarkan atas penilaian orang Eropa pendatang. Sikapnya ini memberi dukungan yang berarti bagi upaya Bartolome de las Casas, seorang pastor Katholik Roma yang bertugas menjalankan misi di tengah masyarakat Indian. Perbedaannya hanya bahwa de Vitoria tidak pernah berlayar melintasi Atlantik. Kritik de las Casas terutama ditujukan kepada kebijakan pemerintah Spanyol mengenai sistem encomienda yang memberi mandat kepada para pendatang Spanyol untuk menguasai tanah di Dunia Baru, sekaligus menjadi penguasa atas semua tenaga kerja orang Indian yang hidup di atas kawasan yang mereka “temukan”. Sementara de Vitoria mengembangkan konsep yang menunjukkan bahwa orang Indian memiliki sejumlah otonomi asli dalam sistem politik kekuasaan mereka serta memiliki hak otonom atas tanah mereka7. Argumen-argumen yang dikembangkan de Vitorio kemudian dalam abad ke-17 diteruskan oleh Hugo Grotius, yang diakui sebagai salah seorang “bapak” dari hukum internasional. Grotius menolak gagasan atau paham mengenai kepemilikan atas tanah (title) yang didasarkan atas konsep “penemuan” sebuah daerah di mana sebetulnya sudah ada penduduk setempat. Apa yang dirintis oleh de las Casas, de Vitorio dan Hugo Grotius tersebut menemukan salah satu momentum puncaknya pada pertengahan abad 17 ketika konsep negara modern mulai menguat di Eropa. Dengan ditanda-tanganinya perjanjian Westphalia pada 1648,

5 S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, Oxford University Press, 1996, halaman 10. 6 Konsep terra nullius sebagian besarnya dipengaruhi oleh doktrin gereja Roma pada masa itu yang memandang seluruh dunia adalah wilayah negara gereja, sebagai transformasi dari Kekaisaran Romawi. Gereja sebagai sebuah imperium berkuasa atas seluruh bumi dan berhak untuk ‘menyelamat’ umat di seluruh wilayahnya. Dokumen Donation of Constantine dalam abad 8 misalnya, berisi mandate dari Kekaisaran Romawi kepada Tahta Kepausan untuk memiliki berbagai pulau dan kepulauan di mana pun. Paus Urbanus sebagai contoh, menggunakan dokumen ini untuk memberikan Kepualauan Lipari kepada biara setempat, pada 1091. (Dapat dilihat dalam Dokumen Internasional dan Nasional tentang Masyarakat Adat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2006). 7 S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, Oxford University Press, 1996, halaman 10.

Page 5: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

hegemoni dan dominasi politik gereja diakhiri. Terjadi pemisahan antara gereja dan negara. Bersamaan dengan itu konsep hukum-hukum naturalis (natural law) yang berlandaskan pada norma moral universal yang sangat diwarnai doktrin gereja ditransformasikan menjadi hak-hak natural dari perorangan dan hak-hak natural dari negara. Paradigma baru dalam pemikiran filsafat hukum ini berdampak dalam hubungan dan pandangan Eropa terhadap masyarakat di negeri jajahan mereka. Pandangan bahwa sebagaimana setiap individu secara alamiah dilahirkan merdeka, demikian pula setiap bangsa dan negara dilahirkan merdeka dan dengan itu berhak mengembangkan dan mengisi kemerdekaannya itu secara otonom. Dan karena bangsa dapat terbentuk melalui berbagai proses sosial politik, maka pasti ada di antara berbagai kelompok masyarakat di wilayah-wilayah pendudukan (koloni) yang dapat dikatakan sebagai sebuah bangsa. Perdebatan terjadi dalam konsepsi mengenai apa itu bangsa dan negara dengan kriteria-kriteria yang diperlukan. Sementara di Eropa gagasan negara bangsa dicirikan oleh sebuah sistem pemerintahan yang terpusat atau pun terdesentralisasi, dengan paham teritorial dan susunan kelembagaan yang hirarkis, di belahan dunia pendudukan ditemukan berbagai bentuk ikatann sosial politik, yang bisa berdasarkan kekerabatan (kinship) atau kesukuan (tribal). Sebagian pendapat, seperti Thomas Hobbes, misalnya mengatakan bahwa masyarakat seperti itu tidak memiliki sistem pemerintahan dan karenanya tidak dapat dipandang sebagai sebuah bangsa yang otonom. Sementara seorang diplomat Swiss, Emmerich de Vattel berpendapat bahwa negara adalah termasuk “all political bodies, societies of men who have united together and combined their forces, in order to procure their mutual welfare and security8”. Setelah Perang Dunia I berakhir dikembangkanlah sebuah doktrin perwalian (trusteeship doctrine) terhadap tanah-tanah jajahan9. Kovenan Liga Bangsa-Bangsa, Pasal 22 dan 23, misalnya mengatur tentang bangsa-bangsa yang ‘belum mampu untuk berdiri sendiri di tengah kondisi dunia modern yang berat’. Sikap mendua dari negara-negara kolonial mencerminkan rasa superioritas bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa taklukannya. Ini tercermin dari lanjutan Pasal 22 yang mengakui bahwa bangsa-bangsa terjajah memiliki sebuah ‘peradaban luhur’, namun merasa perlu menempatkan bangsa-bangsa tersebut di bawah perwalian bangsa-bangsa Eropa. Misi utama dari doktrin ini bagi bangsa-bangsa Eropa adalah ‘memperadabkan’ (civilizing) bangsa dan masyarakat di tanah jajahan mereka. Dan seakan mendapat pembenaran dari proyek ‘memperadabkan’ itu, sumberdaya dan kekayaan alam di tanah jajahan pun dikeruk untuk kesejahteraan si pembawa misi peradaban. Dari sinilah era modern pengembangan konsep HAM mulai menemukan bentuknya. Terbentuknya PBB setelah Perang Dunia II masih ditandai dengan adanya pengadopsian paham perwalian dalam strukturnya. Pada awalnya, ada enam perangkat utama (principal bodies) dalam PBB yang menjadi wahana pencapaian tujuannya. Salah satunya adalah Trusteeship Council atau Dewan Perwalian. Tugas utama Dewan ini adalah,

8 S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, Oxford University Press, 1996, halaman 15. 9 Rafael Edy Bosko, “Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam”, Penerbit Elsam dan AMAN, Desember 2006, halaman 41.

Page 6: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

• mensupervisi (mengawasi dan membantu) urusan administrasi wilayah-wilayah jajahan yang berada di bawah perlindungan Negara Anggota PBB yang telah menyatakan kesiapan dan ketetapannya untuk memajukan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya wilayah-wilayah tersebut;

• Negara-negara pelindung mengambil peran utama dalam pemajuan wilayah jajahan menuju ke pengurusan diri sendiri dan menuju ke kemerdekaan penuh;

Sejak dikeluarkannya Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-negara dan Bangsa-bangsa terjajah melalui Resolusi Sidang Umum No, 1514, 14 Desember 1960, terjadi titik balik dalam peran Dewan Perwalian, dan saat ini tinggal Kepulauan Pasifik yang masih berada di bawah sistem administrasi Amerika Serikat. Namun demikian, sistem PBB inilah yang menjadi dasar dari kerja-kerja HAM di tingkat internasional. Prinsip dasar dari semua sistem HAM dalam PBB adalah Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Meskipun demikian, masih terdapat sebuah kritik mendasar tentang konsep HAM dalam PBB. Seluruh konsep HAM dalam PBB yang dianut sampai saat ini masih menggunakan individu sebagai landasan pijak. Pengurusan oleh seseorang atau oleh satu pemerintahan atas orang lain dilandasi prinsip persetujuan oleh individu dan bukan oleh masyarakat10. Dengan demikian implikasinya adalah bahwa sistem PBB memperlakuan seluruh umat manusia di bumi ini melulu sebagai kumpulan individu dalam konteks HAM. Berbeda dengan paham HAM yang menekankan hak individu, gerakan indigenous peoples di Barat maupun masyarakat hukum adat di Indonesia, atau pun semua kelompok yang dalam kebijakan World Bank dirujuk sebagai “indigenous ethnic minorities,” “aboriginals,” “hill tribes,” “minority nationalities,” “scheduled tribes,” atau “tribal groups”11, menekankan adanya hak kolektif. Dalam diskursus HAM, hak kolektif ini termasuk dalam kategori group rights atau hak kelompok. Dari perspektif hukum positif yang bersumber dari tradisi hukum kontinental Eropa, hak kelompok ini menekankan beberapa aspek:

Kepemilikan bersama atas apa yang disebut sebagai hak milik, seperti tanah, hak atas kepemilikan intellektual;

Representasi Keputusan kolektif Pengurusan internal yang ditandai adanya hukum-hukum dan aturan yang

mengatur ruang ekspresi hak bersama sebagai komunitas, hak segelintir orang yang terikat garis darah atau kekerabatan atau clan, dan hak individu. Relasi ketiga bentuk subjek hak inilah yang diatur dalam pengurusan internal (self-governance system).

10 Dokumen Internasional dan Nasional tentang Masyarakat Adat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2006, halaman 70. Diterjemahkan dari judul asli The International Discourse on Indigenous Peoples. A Compilation of Legal and Political Document, dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen nasional; hasil kerja sama Institut Dayakologi dan Green Library. 11 Dapat dilihat dalam Operational Policy 4.10, dan the Bank Procedures 4.10 dari Bank Dunia

Page 7: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Di samping itu identifikasi diri sebagai kelompok umumnya dicirikan oleh tiga empat unsur utama, yaitu adanya wilayah, adanya masyarakat, adanya struktur pengurusan serta hukum dan norma yang mengikat anggota kelompok atau komunitas tersebut. Argumen lain yang menekankan perlunya perhatian atas diskursus hak kelompok atau hak kolektif ini adalah bahwa telah terjadi dampak negatif yang sangat fatal terhadap sebuah komunitas masyarakat hukum adat sebagai sebuah kelompok dan tidak sekedar sebagai individu-individu. Dalam ini dapat dilihat dari pengambil-alihan secara paksa tanah-tanah adat (customary territory), penggusuran warga komunitas, perampasan hak intellektual, pengabaian terhadap identitas budaya seperti kepercayaan asli. Dan agen utama dari semua ini adalah negara di mana komunitas-komunitas masyarakat hukum adat menjadi bagian darinya. Muncullah istilah internal collonization yang dijadikan argumen atas pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap status sebagai sebuah kolektifitas. Dari perspektif HAM, paham self-determination menyatakan bahwa setiap bangsa atau kelompok masyarakat berhak menentukan nasibnya sendiri, maka banyak gerakan indigenous peoples dan masyarakat hukum adat mendorong paham ini sebagai sebuah hak yang harus dapat dinikmati. Atas dasar itu maka semua bentuk intervensi yang tidak mendapat persetujuan kolektif dari atau yang dipaksakan kepada sebuah komunitas masyarakat hukum adat atau indigenous peoples merupakan salah satu ekspresi penjajahan dan perampasan kebebasan. Dan karena negara yang menjadi agen, maka disebut sebagai internal collonization. Pentingnya hak menentukan nasib sendiri ini cukup kuat gaungnya dalam lingkup PBB. Profesor Erica-Irene A. Daes – Chairperson dari Commission on Human Rights, misalnya mengatakan bahwa self-determination mensyaratkan adanya sebuah proses (terjemahan bebas) yang

dengannya masyarakat hukum adat bisa bekerja sama dengan masyarakat lainnya dalam membangun Negara berdasarkan kesepakatan bersama dan prinsip keadilan, setelah bertahun-tahun sebelumnya terisolasi dan diasingkan. Proses ini tidak memerlukan asimilasi individual, sebagaimana warga negara pada umumnya; yang dibutuhkan adalah pengakuan dan pelibatan setiap orang dari berbagai latar belakang dalam membangun Negara secara bersama dan berdasarkan kesepakatan bersama yang adil.12

Namun harus dicermati bahwa manifestasi dari hak menentukan dari hak menentukan nasib sendiri ini membentang dalam spektrum yang sangat luas, mulai dari sekedar perlindungan dari negara agar intervensi luar tidak menjadi dominan, sampai kepada gerakan untuk melepaskan diri dari suatu negara dan membentuk negara dan bangsa sendiril. Otonomi yang terbatas dapat dilihat dalam beberapa model di Peru dan Guyana13 12 Erica-Irene A. Daes, “Some Considerations on the Right of Indigenous Peoples to Self-Determinationa”, 3 Transnational Law and Contemporary Problems 1, 9 (1993). Bisa dilihat dalam E/CN.4/Sub.2/2001/21 13 Satu Yang Kami Tuntut, terbitan AMAN 2002.

Page 8: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

sampai gerakan kemerdekaan suku Naga di timurlaut India. Dari model komunitas Baduy di Banten, sampai kepada gerakan OPM di Papua. Inilah yang disebut sebagai right to self-determination yang berarti hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah – untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi). Dan right of self-determination, yaitu hak yang bersumber dan sekaligus merupakan konsekuensi dari hak jenis pertama di atas (right to self-determination). Misalnya, hak menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), hak menentukan sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (liberal atau terkontrol), dan sistem budaya tertentu. Sepanjang masih berada dalam negara, maka merupakan respon negara terhadap manifestasi tuntutan keluasan hak ini. II. Instrumen Internasional PBB tentang Hak-Hak Indigenous Peoples Umumnya yang dirujuk sebagai instrumen internasional HAM adalah sejumlah dokumen hukum paling penting dalam lingkup PBB, yaitu:

• International Convention on the Elimination Universal Declaration of Human Rights

• International Covenant on Civil and Political Rights (Human Rights Committee) • International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights (The Committee

on Economic, Social and Cultural Rights) • n of all Forms of Racial Discrimination (Committee CERD) • International Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination

against Women (Committee CEDAW) • Convention on the Rights of the Child (Committee of the Rights of the Child) • Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment (Committee against Torture) • (+ Konvensi anti Genosida dan Deklarasi Hak Masyarakat Atas Perdamaian)

Catatan: Yang berada dalam kurung adalah badan yang bertanggung jawab atas Kovenan dan Konvensi terkait. Di samping itu ada juga sejumlah norma dan panduan yang digunakan oleh sejumlah lembaga-lembaga transnasional seperti World Bank, badan-badan PBB seperti ILO dengan Konvensi ILO 169 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Laporan-laporan UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights juga menegaskan perlunya menjamin partisipasi masyarakat hukum adat dalam pengambilan keputusan yang membawa dampak bagi kehidupan mereka. Dan menegaskan kepada Negara anggotanya (State party) untuk to consult and seek the consent of the indigenous peoples concerned. Convention on Biological Diversity (CBD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyebutkan secara tegas pula tentang hak masyarakat hukum adat untuk menyatakan setuju atau menolak sebuah rencana atau penerapan pembangunan dalam wilayah mereka. Pasal 8 j dan 10 c Konvensi ini telah menjadi bahan perdebatan dalam berbagai pertemuan CBD yang dikenal sebagai Confference of the Parties (COP) yang berlangsung yang ke-8 kalinya, 2006, di Curitiba, Brasil masih dengan salah satu agenda utamanya membahas kedua pasal tersebut.

Page 9: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Di samping itu juga terdapat badan-badan multilateral yang memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di dunia. International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional, adalah salah satu lembaga yang paling banyak menjadi rujukan dalam perjuangan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples di seluruh dunia karena mengedepankan hak-hak dan keberadaan masyarakat hukum adat. Meskipun demikian ada hal yang harus dicermati dalam hal Konvensi ILO 169. Standard-standard hak yang ditetapkan dalam konvensi ini berupa patokan-patokan atau pedoman-pedoman umum. Dengan demikian, bilamana sistem perundangan-undangan sebuah negara telah secara lebih detail mengatur tentang hak-hak masyarakat adat daripada yang diatur dalam Konvensi ILO 169, menjadi sebuah pertanyaan apa relevansi meratifikasi Konvensi ini. Penting untuk dicatat bahwa meskipun semua instrumen ini membicarakan tentang hak-hak masyarakat hukum adat atau indigenous peoples namun prinsip dasar yang dianut banyak negara masih tetap HAM berbasis individu. Pemerintah Inggris misalnya, menyatakan bahwa, Pemerintah Inggris menolak konsep rights of indigenous peoples14. Ini dapat dilihat misalnya dalam undangan yang dikeluarkan oleh Foreign and Commonwealth Office (FCO) kepada NGO dan Organisasi Indigenous Peoples di Inggris untuk sebuah pertemuan pada 2002 untuk mendiskusikan posisi United Kingdom (UK) terhadap Draft Deklarasi Indigenous Peoples. Dalam undangan tersebut tertulis15: The UK has a clear position on the idea of collective human rights: with the exception of the right of self-determination (ICCPR Article 1.1) we do not accept the concept of collective human rights. In a legal framework, human rights are calls upon states to treat individuals in accordance with international standards. As a result, the UK is unwilling to accept use of the term rights of indigenous peoples in a human rights context. (Pemerintah Inggris mempunyai posisi yang jelas terhadap gagasan hak asasi manusia yang bersifat koletif: dengan pengecualian terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri (ICCPR Pasal 1.1 dan ICESCR, cetak miring tambahan dari penulis), kami tidak menerima konsep hak asasi manusia yang bersifat kolektif. Dalam kerangka hukum, hak asasi manusia adalah himbauan kepada negara-negara untuk memperlakukan individu-individu selaras dengan standard-standard internasional. Oleh karena itu UK tidak akan menerima penggunaan istilah hak-hak indigenous peoples dalam kerangka hak asasi manusia. Terjemahan bebas penulis). Di Amerika Serikat dan Kanada, perdebatan tentang right of self-determination difokuskan pada external dan internal right of self-determination. Bagaimana hak ini dijelaskan dapat dilihat dari kutiban di bawah ini16: 14 Lihat Fergus MacKay dalam “The UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and the Position of the United Kingdom”; dokumen Forest Peoples Programme, Mei 2003. 15 Lihat Fergus MacKay dalam “The UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and the Position of the United Kingdom”; dokumen Forest Peoples Programme, Mei 2003. 16 Lihat Matthew Coon-Come dalam Conference Proccedings “Rethinking Culture”; The Right to Self-determination of Native and Indigenous Peoples di www.pum.umontreal.ca

Page 10: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

The internal Rights of self-determination basically provide for a "People" to be able to have a full voice within the legal system of the overall nation state, control over natural resources, the appropriate ways of preserving and protecting their culture and way of life and to be able to be a visible partner or participant with strong powers within the overall national polity. (Hak menentukan nasib sendiri yang bersifat ke dalam/internal pada prinsipnya menyajikan bagi sebuah “masyarakat” untuk dapat memiliki suara yang utuh dalam sistem hukum semua negara-bangsa, kontrol atas sumberdaya alam, cara yang layak untuk memelihara dan melindungi budaya dan pandangan hidup mereka dan untuk dapat menjadi mitra atau peserta yang nyata ada dengan kekuasaan yang kuat dalam keseluruhan pemerintahan nasional. Terjemahan bebas dari penulis).

External self-determination arises when a People finds that this internal concept is not being accepted and the Right to full sovereignty, including the Right to international recognition of that People, comes into play. (hak menentukan nasib sendiri yang bersifat ke luar/eksternal muncul manakala sebuah masyarakat menemukan bahwa konsep internal hak mereka belum diterima sementara Hak untuk berdaulat penuh, termasuk Hak atas pengakuan internasional terhadap masyarakat tersebut, telah berlaku. Terjemahan bebas dari penulis).

Cukup jelas dari kedua konsep tersebut bahwa hak menentukan nasib sendiri di Amerika Utara berlaku di dalam negara, dan bukan untuk membuat sebuah negara baru di dalam negara yang sudah ada. Namun ada sebuah kata kunci yang sangat menentukan dalam kedua kutiban di atas, yang membuat persoalan hak menjadi sebuah ajang perjuangan politik. Kata kunci tersebut adalah pengakuan internasional. Pengakuan internasional menentukan apakah sebuah kelompok masyarakat/bangsa diterima sebagai sebuah masyarakat/bangsa yang berdaulat penuh atau tidak. Di sinilah letak aspek perjuangan politiknya. Lobbi internasional, kekuatan negosiasi dan bahkan perjuangan bersenjata adalah sejumlah cara yang ditempuh untuk mendapatkan bentuk maksimal dari hak menentukan nasib sendiri. Contoh dari perjuangan politik di Indonesia tersebut adalah Timor Leste.

Berbeda dengan situasi di Amerika Utara, negara-negara Norwegia, Finlandia, Swedia, misalnya sangat maju dalam mendorong hak menentukan nasib sendiri bagi orang-orang Saami. Orang-orang Saami adalah indigenous peoples yang tersebar di negara-negara Finlandia, Swedia, Norwegia dan Rusia. Di tiga negara yang disebut pertama terjadi gerakan yang cukup kuat untuk menentukan nasib sendiri dari Orang Saami. Wujud dari perjuangan politik ini, salah satunya dapat dilihat dari terbentuknya Saami Parliament. Organisasi ini dibentuk pada 31 Desember 1993 sebagai sebuah otoritas pemerintahan dengan 31 anggota, yang dipilih oleh orang-orang Saami. Pada 24 Februari 2005, untuk pertama kalinya diselenggarakan Konferensi Parlemen Saami yang dihadiri oleh orang-orang Saami dari ke empat negara tersebut di atas. Dalam sistem pemerintahan di Norwegia, Swedia dan Finlandia, suara orang-orang Saami diwakili oleh Parlemen Saami yang sekaligus juga berfungsi sebagai otoritas pengurusan ke dalam bagi orang-orang Saami. Parlemen Saami adalah salah satu bentuk kelembagaan indigenous peoples

Page 11: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

yang secara luas diakui sebagai salah satu capaian tertinggi, selain dari capaian indigenous peoples di Canada yang membentuk wilayah otonom di belahan utara. Perdebatan lain yang menggambarkan kuatnya perjuangan politik indigenous peoples adalah dalam hal terminologi peoples alih-alih penggunaan istilah people. Hal ini dapat dilihat dalam proses persidangan di World Summit on Sustainable Development yang berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan, 2002 lampau. Salah satu hasil penting adalah diakuinya peran sangat penting masyarakat adat yang dirumuskan Pasal 22 yang berbunyi We reaffirm the vital role of indigenous peoples in sustainable development.17 Perdebatan ini menunjukkan pertarungan politik antara paham individualisme dalam gerakan hak asasi manusia dengan paham kolektivisme. Pertanyaan dari kelompok yang menolak kata peoples adalah bahwa kata itu menyatakan adanya hak kolektif dari sekelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai hak asasi manusia. Namun, dari pihak indigenous peoples ada argumen yang kuat atas adanya pengaturan tentang hak kolektif dalam instrumen hukum internasional. Dalam analisisnya tentang hak-hak kolektif dalam instrumen hukum internasional, Fergus Mackay dari Forest Peoples Programme menunjukkan bahwa terdapat sejumlah instrumen yang mencantumkan hak kolektif sebagai hak asasi manusia. Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination; International Labour Organization Convention No. 107 (1957) and 169 (1989); dan UNESCO Declaration on Race and Race Prejudice (1978). Persoalan Definisi Persoalan definisi menjadi perdebatan yang tak kunjung berakhir sampai sekarang ini. Di satu pihak terdapat negara-negara penganut hukum positif yang tertulis sebagai landasan tindakan politik, di sisi lain terdapat kelompok-kelompok indigenous peoples yang bergerak berdasarkan customary law. Terdapat berbagai definisi tentang siapa itu indigenous peoples dan – dalam konteks Indonesia – masyarakat hukum adat maupun masyarakat adat. Beberapa contoh disajikan di bawah ini.

• Sebagian besar Instrumen HAM internasional menggunakan definisi Indigenous Peoples berdasarkan rumusan hasil studi oleh José Martinez Cobo: Indigenous communities, peoples and nations are those which, having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial societies that developed on their territories, consider themselves distinct from the other sectors of societies now prevailing in those territories, or parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic identity as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural

17 Lihat Deklarasi Politik WSSD. Mengenai proses lobby politik terhadap negara-negara pihak untuk mengadopsi kata peoples dan bukan people dapat dilihat dalam tulisan refleksi tentang masyarakat adat dan WSSD oleh Vicky Tauli Corpus: An Account And Analysis Of How The Sentence On Indigenous Peoples Got Into The Johannesburg Political Declaration

Page 12: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

patterns, social institutions and legal systems. In short, Indigenous Peoples are the descendants of a territory overcome by conquest or settlement by aliens. (Par. 379) (UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7 and Add. 1-4 )

• Definisi Konvensi ILO 169: Indigenous peoples are peoples in independent countries who regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical regions to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions;

• Bank Dunia: Operational Policy 4.10, together with the Bank Procedures 4.10 ; o Identification. Because of the varied and changing contexts in which

Indigenous Peoples live and because there is no universally accepted definition of “Indigenous Peoples,” this policy does not define the term. Indigenous Peoples may be referred to in different countries by such terms as “indigenous ethnic minorities,” “aboriginals,” “hill tribes,” “minority nationalities,” “scheduled tribes,” or “tribal groups.”

o For purposes of this policy, the term “Indigenous Peoples” is used in a generic sense to refer to a distinct, vulnerable, social and cultural group possessing the following characteristics in varying degrees: (a) self-identification as members of a distinct indigenous cultural group

and recognition of this identity by others; (b) collective attachment to geographically distinct habitats or ancestral

territories in the project area and to the natural resources in these habitats and territories;

(c) customary cultural, economic, social, or political institutions that are separate from those of the dominant society and culture; and

(d) an indigenous language, often different from the official language of the country or region.

• Afrika: The overall characteristics are: their cultures and ways of life differ

considerably from the dominant society and their cultures are under threat, in some cases to extent of extinction (Report of the African Commission’s Working Group of Expert on Indigenous Populations/Communities)

• Philippina: IPRA Chapter II, Section 3: Indigenous Cultural Communities/Indigenous Peoples - refer to a group of people or homogenous societies identified by self-ascription and ascription by others, who have continuously lived as organized community on communally bounded and defined territory, and who have, under claims of ownership since time immemorial, occupied, possessed and utilized such territories, sharing common bonds of language, customs, traditions and other distinctive cultural traits, or who have, through resistance to political, social and cultural inroads of colonization, non-indigenous religions and cultures, became historically differentiated from the majority of Filipinos. ICCs/IPs shall likewise include peoples who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, at the time of conquest or colonization,

Page 13: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

or at the time of inroads of non-indigenous religions and cultures, or the establishment of present state boundaries, who retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions, but who may have been displaced from their traditional domains or who may have resettled outside their ancestral domains;”

Nampak bahwa persoalan identitas ini sangat kental nuansa politiknya. Historical continuity, sebagai salah satu factor yang diperhitungkan dalam definisi IPRA misalnya merupakan sebuah criteria yang sulit dalam konteks “sejak kapan di masa lalu?” Sementara hak atas tanah berubah dengan sangat cepat dari waktu ke waktu dalam konstelasi relasi social politik, sehingga sebuah tuntutan atas hak atas tanah serta merta berimplikasi pada hak atas tanah oleh kelompok lain. Kesulitan yang serupa dapat dilihat dalam ruang politik hukum negara Indonesia. III. Tinjauan Sejarah Wacana Masyarakat (Hukum) Adat dan Hak-Hak Terkait Di Indonesia, politik identitas dijalankan dengan cermat oleh Orde Baru melalui konsep suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Ambivalensi negara dalam persoalan identitas dapat dilihat dari kebijakan negara dan kebiasaan birokrasi negara yang mendorong pemajuan hak-hak budaya, seperti tari-tarian dan seni ukir/lukis, tetapi mengeliminir identitas sipil politik komunitas-komunitas masyarakat hukum adat18. Hal ini kemudian berdampak pada gerakan masyarakat adat. Situasi yang dapat diamati sekarang ini adalah menguatnya kecenderungan etnisitas, primordialitas, dan ekslusifitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang tercermin dalam beberapa peraturan daerah, misalnya Perda Syariah, dan sikap xenophobia yang ditunjukkan oleh sejumlah komunitas di daerah-daerah seperti Bali dan Papua. Terlihat bahwa gerakan masyarakat adat telah menimbulkan persepsi dengan spektrum yang sangat luas. Mulai dari yang berkarakter komunal seperti Baduy, sampai kepada gerakan petani menuntut tanah garapan, bahkan perdebatan bisa sampai kepada komunitas Betawi, di Jakarta yang relatif hidup dalam abad informasi dengan ruang maya. Kesulitan-kesulitan sosiologis ini berimplikasi pada sikap politik dan kebijakan yang tidak sinkron dalam merespon tuntuan gerakan masyarakat adat. Pengertian siapa itu masyarakat (hukum) adat pun sulit ditelusuri dalam peraturan perundangan nasional. Beberapa contoh berikut ini menggambarkan kesulitan itu.

• Dalam UU No. 41/1999 ada penjelasan tentang apa itu masyarakat hukum adat, tetapi tidak ada penjelasan tentang masyarakat adat, meskipun kedua istilah ini digunakan

18 Uraian tentang ini dapat disimak lebih jauh dalam tulisan saya dalam Epilog buku Rafael Eddy Bosko, “Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam”, Elsam dan AMAN, 2006.

Page 14: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

• Dalam Qanun Propinsi NAD No 14/2002 tentang Kehutanan, ada penjelasan mengenai masyarakat adat, tetapi tidak ada mengenai masyarakat hukum adat, meskipun kedua istilah ini digunakan

• Hal yang sama dapat ditemui dalam beberapa UU dan Perda lainnya. Beberapa UU seperti UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak ada penjelasan

• Yang menjelaskannya secara lengkap hanya UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua

Menurut UU No. 21/2001, tentang Otsus Papua:

o Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

o Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya

Sementara menurut Qanun No. 14/2002: Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang tinggal dalam kawasan tertentu secara turun temurun berdasarkan kesamaan wilayah dan atau hubungan darah yang memiliki wilayah adat dan pranata-pranata adat tersendiri. Otsus Papu membedakan masyarakat hukum adat dan masyarakat adat hanya berdasarkan aspek kelahiran dalam komunitas atau tidak. Keduanya menekankan hubungan ‘hidup dalam wilayah tertentu dan tunduk pada hukum adat tertentu’. Jelaslah bahwa dalam Otsus, kedua kategori ini sama memiliki hukum adat, wilayah dan solidaritas. Jika kita memeriksa sejumlah undang-undang seperti UU Kehutanan, Undang-undang Pokok Agraria, UUD 45 Perubahan Kedua, maka pengakuan atas eksistensi masyarakat (hukum) adat adalah pengakuan bersyarat. Kesulitan dalam pengakuan seperti ini adalah bahw sejumlah kriteria tak dapat dijadikan patokan yang tegas untuk menentukan ada atau tidaknya masyarakat tersebut. Implikasinya tentu saja pada hak yang diklaim. Kesesuaian dengan perkembangan jaman dan ketaatan pada hukum adat dalam UU No. 41 tentang Kehutanan misalnya sulit sekali dijadikan sebagai kriteria untuk menetapkan ada atau tidaknya sebuah komunitas masyarakat hukum adat. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kategori masyarakat hukum adat diciptakan dan didorong dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memetakan secara sosial politik keberadaan sekaligus membedakan perlakuan hukum kepada kelompok rechtsgemeenschap dengan masyarakat Eropa dan Timur Asing. Pertanyaan mendasar dari perspektif HAM adalah, jika kondisi sebuah masyarakat tidak lagi sesuai dengan gambaran masa lalu ketika masyarakat hukum adat diakui pemerintah kolonial, lalu apakah hak mereka atas tanah dan sumberdaya lainnya lantas hilang?

Page 15: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

IV. Catatan Reflektif 1. Perjuangan indigenous peoples ataupun masyarakat (hukum) adat adalah

perjuangan politik. Tuntutan atas keadilan dan tanggung jawab negara adalah akar dari gerakan ini. Kemiskinan dan pemiskinan, tidak adanya demokrasi, dan dominasi berlebihan dari transnational institution atas sejumlah negara berkembang menjadi akar lain dari persoalan ini.

2. Manifestasi diskursus indigenous peoples ataupun masyarakat (hukum) adat membentang sebuah spektrum yang luas baik dari kategori sosial, budaya dan ekonomi, sehingga tuntutan politik yang lahir dari sanapun memilik rentang varian yang sangat luas.

3. Dalam konteks Indonesia, perjuangan masyarakat (hukum) adat perlu memperluas strategi perjuangannya menuntut keadilan dengan asumsi-asumsi sosial politik yang dapat diterima publik luas untuk mendapatkan pengakuan publik dan bukan sekedar pengakuan legal;

4. Pengakuan, sebagai beban politik negara, sesungguhnya jelas tercermin sebagai kewajiban negara dari perspektif HAM yaitu to fulfill, to protect, to respect and to promote peoples’ rights. Dalam hal ini indigenous peoples atau masyarakat (hukum) adat terlibat aktif dalam mendorong dilaksanakannya kewajiban negara demokratis dengan bekerja sama dan mengembangkan jaringan kerjanya dengan berbagai kelompok civil society.

Salam pembebasan. Depok, 20 Agustus 2007.

Page 16: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

11

EvolusiEvolusiPerjuanganPerjuangan IPsIPs

RightRight

Aliansi Masyarakat Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN)Nusantara(AMAN)

Page 17: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

22

SebelumSebelum PD IIPD II

PembagianPembagian DuniaDuniaoleholeh KepausanKepausanRoma Roma untukuntukPortugisPortugis dandanSpanyolSpanyol –– Bull Inter Bull Inter CaeteraCaeteraPerjanjianPerjanjianTordesilasTordesilas 14931493

KonsepKonsep Terra Terra NuliusNuliusSpanyolSpanyol dandanPortugisPortugis berhakberhakatasatas tanahtanah ‘‘temuantemuan’’dandan tenagatenaga kerjakerjayang yang adaada didi atasnyaatasnya

Page 18: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

33

PerkembanganPerkembangan AwalAwal HakHak IPsIPs

BartolomeBartolome de de laslas CasasCasas ––anti anti encomiendaencomiendaFrancisco de Francisco de VitorioVitorio ––OtonomiOtonomi masyarakatmasyarakat asliasliHugo Hugo GrotiusGrotius –– penolakanpenolakanadanyaadanya land title land title atasatasdasardasar ‘‘penemuanpenemuan’’

PerjanjianPerjanjian Westphalia Westphalia 1648 1648 –– pemisahanpemisahangerejagereja dandan negaranegaraDominasiDominasi politikpolitik dandanhegemonihegemoni budayabudayagerejagereja diakhiridiakhiriNatural law Natural law –– individual individual and Stateand State

Page 19: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Setelah PD II Indigenous Peoples within UN System

GENERAL ASSEMBLY

Economic & Social Council

Human RightsCouncil

Security Council

TrusteeshipCouncil

Commission on Human Rights

Sub‐Commission onHuman Rights

Permanent Forum on Indigenous Issues

Working Group on Draft Declaration

Working Group onIndigenous Populations

The UN Declaration on The Rights of Indigenous Peoples

4

Page 20: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Indigenous Peoples within UN System

GENERAL ASSEMBLY

Economic & Social Council

Human RightsCouncil

Security Council

TrusteeshipCouncil

Permanent Forum on Indigenous Issues

Working Group onIndigenous Populations

The UN Declaration on The Rights of Indigenous Peoples

5

Page 21: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

6

Bagaimana hak‐hak Masyarakat adat diakui di internasional?

– Pasca PD II Pembentukan PBB & lembaga‐lembaga internasional lainnya

– Proses dekolonisasi. – Gerakan HAM – Tuntutan oleh Masyarakat adat 

Page 22: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

7

Catatan Penting Gerakan Masyarakat Adat di tingkat Internasional

– 1920’s – Deskaheh, Juru Bicara Konfederasi “Council of the Iroquiois”, Liga Bangsa‐Bangsa

– 1953: ILO 1st International report tentang MA ʺIndigenous Peoples: Living & Working Conditions of Aboriginal Populations in Independent Countries.ʺ

– 1957 – Konvensi ILO 107– 1960’s – tuntutan masyarakat adat untuk mempertahankan keberadaannya mulai mendapat perhatian

Page 23: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

8

Catatan Penting Gerakan Masyarakat Adat di tingkat Internasional

– 1970’s – serial Konferensi internasional

– 1977 – Utusan‐utusan masy. Adat mulai hadir di pertemuan‐pertemuan PBB

– 1971 – Resolusi ECOSOC “Problem of Discrimination on Indigenous Populations”

– 1982 : WGIP ( Ecosoc Resolution 34/82). 

– 1982 – 1985 – Mulai drafting Draft Deklarasi PBB tentang hak2 Masyarakat adat di WGIP. 

– 1985 : UN Voluntary Fund– 1989 – Konvensi ILO 169

Page 24: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

9

Catatan Penting Gerakan Masyarakat Adat di tingkat Internasional

– 1993 – “International Year of the World’s Indigenous Peoples”

– 1995‐2004 – “International Decade of the world ‘s IPs”

– 1995‐2004 – Working group on Draft Deklarasi

– 2000, Pembentukan UNPF. Mulai bersidang tahun 2002. 

– 2001 – Penunjukan UN Special Rapporteur on the situation of human rights & fundamental freedoms of IPs

– 2005‐2004 – Second Decade

Page 25: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

10

International Decade of the world’s Indigenous Peoples

Periode: 1995 – 2004Capaian Utama :

1. UN Permanent Forum on Indigenous Issues. 

2. Adopsi Standar Internasional tentang Hak‐hak MA termasuk Deklarasi PBB  

3. Kerjasama Internasional: Dana dan Program2 khusus oleh Lembaga2 PBB, Pemerintah (bilateral/Multilateral)

Page 26: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Indigenous Peoples within UN System

GENERAL ASSEMBLY

Economic & Social Council

Human RightsCouncil

Security Council

TrusteeshipCouncil

Permanent Forum on Indigenous Issues

11

Page 27: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

UN Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPF)

• Resolusi Sidang Umum PBB thn 2000. Dibawah ECOSOC

• Mandat : membahas masalah-masalah masyarakat adat yang menyangkut pembangunan sosial & ekonomi, kebudayaan, lingk. hidup, pendidikan, kesehatan dan hak-hak asasi manusia.

12

Page 28: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

13

Anggota UNPF (saat ini)

• Mr. Eduardo Aguiar De AlmeidaBrazil- Government

• Mr. Hassan Id BalkasamMorocco- IP

• Ms. Ida Nicolaisen, Denmark- Gov

• Ms. Nina PacariVegaEcuador-IP

• Mrs QIN XiaomeiChina-gov

• Mr. PavelSulyandzigaUdege / Russian Federation-IP

• Mr. ParshuramTamangNepal- IP

• Ms. Victoria Tauli-Corpuz, ChairpersonIgorot / Philippines-IP

Page 29: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

14

Anggota UNPF (saat ini)

• Mr Wilton Littlechild, Canada-IP

• Ms. Otilia Lux de Coti, Guatemala-govt

• Mr. Aqqaluk LyngeInuit / Greenland-IP

• Ms. Muzangi MbellaLilianeCongo-govt

• Mr Yuri A. Boychenko, Russian Federation-govt

• Mr. Mick DodsonAustralia-IP

• Mr. William Ralph Joey LangeveldtSouth Africa-Govt

• Ms. MerikeKokajevEstonia-govt

Page 30: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

15

Dekarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat

• 1985‐1993 : Drafting & disepakati oleh WGIP 

• July 1993 : WGIP menyerahkan kepada Sub Commission SU

• 1994: Komisi HAM membentuk WGDD [1995‐2004]. 

• 1995‐2006; WGDD bekerja. • 15 Maret 2006: Komisi HAM 

Dewan HAM   [A/RES/60/251]• Mei 2006: UNPF menyerukan 

PBB segera mengadopsi Draft Deklarasi

Page 31: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

16

Dekarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat...2

• 29 Juni 2006: Dewan HAM mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat:

1. Mendukung (30) : Azerbaijan, Brazil, Cameroon, China, Cuba, Czech Republic, Ecuador,Finland, France, Germany, Guatemala, India, Indonesia, Japan, Malaysia,Mauritius, Mexico, Netherlands, Pakistan, Peru, Poland, Republic ofKorea, Romania, Saudi Arabia, South Africa, Sri Lanka, Switerzland,United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, Uruguay, Zambia 

2. Abstain (12): Algeria, Argentina, Bahrain, Bangladesh, Ghana, Jordan,Morocco, Nigeria, Philippines, Senegal, Tunisia, Ukraine. 

3. Tidak Hadir (3): Djibouti, Gabon, Mali4. Menolak (2): Kanada, Rusia 

Page 32: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

17

• Self Determination (Hak untuk menentukan Nasib sendiri)

• Otonomi 

• Hak atas tanah dan sumber‐sumber lainnya

• Pemulihan akibat eksploitasi tanah dan SDA

• Individual (Kewarganegaraan, Anak2,  Perempuan, Manula, org cacat)

• Pendidikan & Bahasa, Lembaga

Dekarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat...4 (Hak‐hak dasar)

Page 33: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

1818

PROVISIONS OF THE DECLARATION :PROVISIONS OF THE DECLARATION :

SELF DETERMINATION (Article 3)SELF DETERMINATION (Article 3)

Indigenous peoples Indigenous peoples have the right of selfhave the right of self‐‐determinationdetermination. By virtue of that right . By virtue of that right they freely determine their political status they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and freely pursue their economic, social and cultural development.and cultural development.

Page 34: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

1919

AutonomyAutonomy (Article 3 (Article 3 bisbis))

Indigenous peoples, in Indigenous peoples, in exercising their rightexercising their right to selfto self‐‐determination, have the right determination, have the right toto autonomy or selfautonomy or self‐‐governmentgovernment inin mattersmattersrelating to their internal and relating to their internal and local affairs, aslocal affairs, as well as ways well as ways and means for financing theirand means for financing theirautonomous functions.autonomous functions.

Page 35: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2020

Treaties & AgreementsTreaties & Agreements ((Article 36Article 36))

““Indigenous Peoples have the right to the Indigenous Peoples have the right to the recognition, observance and enforcement recognition, observance and enforcement of Treaties, Agreements and Other of Treaties, Agreements and Other Constructive Arrangements concluded Constructive Arrangements concluded with States or their successors and to with States or their successors and to have States honour and respect such have States honour and respect such Treaties, Agreements and other Treaties, Agreements and other Constructive Arrangements.Constructive Arrangements.””

Page 36: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2121

General Land Rights General Land Rights (Article 26)(Article 26)

Indigenous peoples have the right to Indigenous peoples have the right to own, use, develop and control the own, use, develop and control the lands, territories and resources that lands, territories and resources that they ( read they ( read ““nownow””) possess by reason) possess by reasonof traditional ownership or other of traditional ownership or other traditional occupation or use, as well as traditional occupation or use, as well as those which they have otherwise those which they have otherwise acquiredacquired………….. .. 

Page 37: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2222

Right to Restitution Right to Restitution (Article 27)(Article 27)

Indigenous peoples have the right to Indigenous peoples have the right to restitution or, when this is not possible, of arestitution or, when this is not possible, of ajust, fair and equitable compensation, for just, fair and equitable compensation, for thethe lands, territories and resources which lands, territories and resources which they have traditionally owned or otherwisethey have traditionally owned or otherwiseoccupied or used, and which have been occupied or used, and which have been confiscated, taken, occupied, used or confiscated, taken, occupied, used or damaged without their free, prior and damaged without their free, prior and informed consent.informed consent.

Page 38: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2323

Military Activities Military Activities (Article 28 (Article 28 bisbis))

Military activities Military activities shall notshall not take place take place in the in the lands or territories of lands or territories of indigenous peoplesindigenous peoples, , unless justified unless justified byby a significant threat to relevant a significant threat to relevant public interestpublic interest or or otherwise freely otherwise freely agreed with or requestedagreed with or requested by the by the indigenous peoples concerned. indigenous peoples concerned. 

Page 39: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2424

Militarization Militarization (Article 28 (Article 28 bisbis) cont) cont’’dd

States shall undertake effective States shall undertake effective consultations with the indigenous peoples consultations with the indigenous peoples concerned, through appropriate concerned, through appropriate procedures and in particular though their procedures and in particular though their representative institutions, prior to using representative institutions, prior to using their lands or territories for military their lands or territories for military activities.activities.

Page 40: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2525

Education & Language Education & Language (Article 15)(Article 15)

Indigenous peoples have the right to establish Indigenous peoples have the right to establish and control their educational systems and and control their educational systems and institutions providing education in their own institutions providing education in their own languages, in a manner appropriate to their languages, in a manner appropriate to their cultural methods of teaching and learning.cultural methods of teaching and learning.

Indigenous individuals, particularly children, Indigenous individuals, particularly children, have the right to all levels and forms of have the right to all levels and forms of education of the State without discrimination.education of the State without discrimination.

Page 41: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2626

CrossCross‐‐Border RightsBorder Rights (Article 35)(Article 35)

““Indigenous peoples, in particular those divided Indigenous peoples, in particular those divided by international borders, have the right to by international borders, have the right to maintain and develop contacts, relations and maintain and develop contacts, relations and cooperation, including activities for spiritual, cooperation, including activities for spiritual, cultural, political, economic and social purposes, cultural, political, economic and social purposes, with their own members as well aswith their own members as well as other peoples other peoples across borders. States, in consultation and across borders. States, in consultation and cooperation with indigenous peoples, shall take cooperation with indigenous peoples, shall take effective measures to facilitate the exercise and effective measures to facilitate the exercise and ensure the implementation of this right.ensure the implementation of this right.””

Page 42: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2727

Third Party Rights Third Party Rights (Article 45)(Article 45)

““ ……..The exercise of the rights set forth in ..The exercise of the rights set forth in this Declaration shall be subject only to this Declaration shall be subject only to such limitations as are determined by law, such limitations as are determined by law, in accordance with international human in accordance with international human rights rights obligationsobligations………………

Page 43: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2828

Implementing the Declaration Implementing the Declaration UN SYSTEM UN SYSTEM (Article 40)(Article 40)

The organs and specialized agencies of the United The organs and specialized agencies of the United NationsNations system and other intergovernmental system and other intergovernmental organizations shall contribute to the full organizations shall contribute to the full realization of the provisions of this Declaration realization of the provisions of this Declaration through thethrough the mobilization, inter alia, of financial mobilization, inter alia, of financial cooperation and technical assistance. Ways and cooperation and technical assistance. Ways and means of ensuring participation of indigenous means of ensuring participation of indigenous peoples on issues affecting them shall be peoples on issues affecting them shall be established.established.

Page 44: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2929

Implementing the Declaration (contImplementing the Declaration (cont’’d)d)

UN SYSTEM UN SYSTEM (Article 41)(Article 41)

The United Nations, its bodies, including the The United Nations, its bodies, including the Permanent Forum on Indigenous Issues, and Permanent Forum on Indigenous Issues, and specialized agencies, including at the country specialized agencies, including at the country level, and States, shall promote respect for and level, and States, shall promote respect for and full application of the provisions of this full application of the provisions of this Declaration and followDeclaration and follow‐‐up the effectiveness of up the effectiveness of this Declaration.this Declaration.

Page 45: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

30

Peluang menuju Perjanjian? 

•Convention atau Covenant ?

•Lobby untk adanya sebuah perjanjian

Page 46: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

31

Legislasi Nasional & Implementasi  

• Penerjemahan dan Penyebarluasan

• Promosi

• Lobby & Advocacy

• Memperbaiki hukum dan kebijakan

Page 47: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

1

Second International Decade of the World’s Indigenous Peoples

• 20 Des 2004: GA  menetapkan Second International Decade of the World’s Indigenous People, 2005‐2014.

• Nov 2005:  GA mengadopsi  Programme of Action, dengan thema “Partnership in Action and Dignity.”

• Voluntary Fund for Second Decade: implementing the programme of action. 

• 15 Mei 2006: Peluncuran resmi di NY pada Pembukaan UNPF sesi ke‐5. 

• Coordinator: Under‐Secretary‐General for Economic and Social Affairs, Mr. José Antonio Ocampo

Page 48: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2

Second International Decade - Objectives

1. Mempromosikan non‐discrimination dan pelibatan MA dalam desain, Implementasi dan evaluasi semua Proses pembuatan Hukum, Kebijakan, Program serta Project di tingkat internasional, regional dan national

2. Mempromosaikan partisipasi penuh dan efektif MA dalam pengambilan keputusan yang berdampak LANGSUNG maupun TIDAK LANGSUNG terhadap gaya hidup, tanah dan wilayah Adat, serta terhadap keutuhan budaya sebagai MA, atau terhadap aspek apapun dari Kehidupan MA, dengan menjunjung  tinggi prinsip “free, prior and informed consent”;

3. Memperbaiki kebijakan2 pembangunan dengan berawal dari sudut Pandang Kesetaraan dan tepat secara budaya,termasuk pernghormatan terhadap keberagaman budaya dan bahasa MA. 

Page 49: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

3

Second International Decade - Objectives

4. Pembuatan Kebijakan, Program, Project dan Dana  yang kusus untuk pembangunan masyarakat adat termasuk adanya capaian2 konkrit, dan penekanan khusus untuk Perempuan Adat,  Anak‐anak dan Generasi Muda;

5. Mengembangkan mekanisme monitorong yang kuat  dan akuntabel di tingkat internasional regional dan khususnya di tingkat nasional  menyangkut implementasi hukum, kebijakan dan keranka operasional untuk perlindungan dan peningkatan kehidupan masyarakat adat 

Page 50: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

4

Second International Decade - Areas

States, the United Nations system,  other intergovernmental organizations & indigenous peoples : 

• Culture  • Education• Health • Human rights• The environment • Social and economic 

development

Page 51: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

55

Smile and be Smile and be happyhappy

Page 52: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Recognition of Community/Customary Rights and Free and Prior Informed Consent

in Indonesian Laws

Law/Act Article Legal ExplanationConstitution

UUD 1945 and its amendment

BAB VI PEMERINTAH DAERAH

Pasal 18 Pembagian Daerah atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa.

Second Amendment

PasaI 18B 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 28 I

3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 "Zelfbesturende landschappen" dan banyak Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

UU Pokok Agraria UUPA no. 5 tahun 1960

Pasal 2 4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas

Page 53: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

UU Pengairan UU no.11 tahun 1974

Pasal 3. 3. Pelaksanaan atas ketentuan tentang menguasai dari Negara terhadap air tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat sepanjang yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

UU Sumber Daya Air UU no. tahun 2004

Pasal 6 (1) Sumberdaya air dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2) Penguasaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum dan adat setempat.

Pasal 7

(3) Hak guna air masyarakat hukum adat tetap

diakui, sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan Peraturan Daerah setempat.

BAB XI HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 81

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air, masyarakat berhak untuk :

a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air;

Page 54: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air;

c. menikmati kemanfaatan pengelolaan sumberdaya air;

d. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan sumberdaya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat;

e. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air; dan atau

f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah sumberdaya air yang merugikan kehidupan dirinya.

Pasal 82 Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat wajib memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui upaya ikut serta dalam konservasi sumberdaya air serta perlindungan dan pengamanan prasarana sumberdaya air.

Pasal 83

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya air.

(2) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air diatur dalam Peraturan Pemerintah.

UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya UU no.5 tahun 1990

BAB IX PERAN SERTA RAKYAT

Pasal 37

Pasal 37.

Ayat (1) Peranserta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok masyarakat baik yang

Page 55: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatyan yang berdaya guna dan berhasil guna

(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dan ayat (2) di atur oleh Peraturan Pemerintah.

terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat dapat berperan secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, maka melalui kegiatan penyuluhan, Pemerintah perlu mengarahkan dan menggerakkan rakyat dengan mengikut sertakan kelompok-kelompok masyarakat.

UU Penataan Ruang UU no.24 tahun 1992

BAB IIIHAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 41. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang

termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.

2. Setiap orang berhak untuk :

a. mengetahui rencana tata ruang; b. berperan serta dalam penyusunan rencana

tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 4Ayat (1)Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Pemerintah berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat ruang. Ayat (2)Hak setiap orang dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam bentuk bahwa setiap orang dapat mengajukan usul, memberi saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang. Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam seperfi hutan, tarnbang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang dapat membuktikan bahwa secara langsung yang dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang, dan oleh perubahan nilai ruang, sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas bukum

Page 56: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

adat dan kebiasaan yang, berlaku.

PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN

SERTA BENTUK DAN TATA CARA

PERAN SERTA MASYARAKAT

DALAM PENATAAN RUANG PPNO. 69 TAHUN 1996

UU Kependudukan dan Keluarga Sejahtera

UU no. 10 tahun 1992

Pasal 6.

b. …hak penduduk sebagai anggota masyarakat meliputi; hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku budayanya

UU Pengesahan UNCBD

UU no. 5 tahun 1994

Preamble (Para. 11) Recognising the close and traditional dependence of many indigenous and local communities embodying traditional lifestyles on biological resources, and desirability of sharing equitably benefits arising from the use of traditional knowledge, innovations and practices relevant to the conservation of biological diversity and sustainable use of its components

Article 8. In Situ Conservation

j. Subject to its national legislation, respect, preserve and maintain knowledge, innovations and practices of indigenous and local

Page 57: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity and promote their wider application with the approval and involvement of the holders of such knowledge, innovations and practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from utilisation of such knowledge, innovations and practices

Article 10. Sustainable Use of Components of

Biological Diversity c. Protect and encourage customary use of

biological resources in accordance with traditional cultural practices that are compatible with conservation or sustainable use requirements.

UU no.23 tahun 1997 Pengelolaan

Lingkungan Hidup

BAB III HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 5

1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 5 Ayat (2) Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, disamping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya tas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan

Page 58: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Pasal 7

1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara: a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan

masyarakat, dan kemitraan; b. Menumbuhkembangkan kemampuan dan

kepeloporan masyarakat; c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan

masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;

d. Memberikan saran pendapat; e. Menyampaikan informasi dan/atau

menyampaikan laporan.

Pasal 9 1. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang. Ayat (3) Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran terebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 6 Ayat (1) Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di bidang lingkungan hidup. Ayat (2) Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 59: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Pasal 10 Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban: a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan

dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;

c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

Pasal 19 1. Dalam menerbitkan izin melakukan usaha

dan/atau kegiatan wajib diperhatikan: a. Rencana tata ruang; b. Pendapat masyarakat; c. Pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang

berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.

2. Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.

Paragraf 4

Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup Untuk Mengajukan Gugatan

Pasal 37 1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan

perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

Pasal 9 Ayat (1) Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Misalnya perhatian terhadap masyarakat adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang terdapat di sekitarnya. Pasal 10 Huruf a Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya. Huruf c Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan. Pasal 19 Ayat (2) Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan pelaksanaan atas keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan tersebut

Page 60: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

2. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

memungkinkan peran serta masyarakat khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

PP tentang AMDAL PP no.27 tahun 1999

Pasal 9 (1) Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-unsur instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal, instansi yang ditugasi bidang pertanahan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan, depatemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait, wakil Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Wakil Kabupaten /Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, ahli dibidang lingkungan hidup, ahli dibidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat terkena dampak, serta anggota lain yang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM Para.4. Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan merupakan kepentingan seluruh masyarakat. Diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan akan mengubah rona lingkungan hidup, sedangkan perubahan ini pada gilirannya akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan warga masyarakat yang akan terkena dampak menjadi penting dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Page 61: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

dipandang perlu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10 (1) Komisi peilai daerah sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal daerah, instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan daerah, instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di Propinsi Daerah Tingkat I, wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli dibidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain yang dipandangperlu.

Pasal 19 (3) Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap saran, pendapat, dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).

Hidup menetapkan hak setiap orang untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat itu meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa warga masyarakat wajib dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Keterlibatan warga masyarakat itu merupakan pelaksanaan asas keterbukaan. Dengan keterlibatan warga masyarakat itu akan membantu dalam mengidentifikasi persoalan dampak lingkungan hidup secara dini dan lengkap, menampung aspirasi dan kearifan pengetahuan lokal dari masyarakat yang seringkalijustru menjadi kunci penyelesaian persoalan dampak lingkungan yang timbul. Pasal 10 Ayat (1) Wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di komisi penilai daerah dapat berarti wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan wilayah dengan maksud agar terdapat keterpaduan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengendalian dampak lingkungan hidup dengan kebijaksanaan dan program pengendalian dampak lingkungan hidup di daerah. Pengangkatan para ahli dari pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi sebagai anggota komisi penilai daerah adalah untuk memantapkan kualitas hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Adanya wakil yang

Page 62: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

BAB VI KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 33 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pemrakarsa. (3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannyarencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan. (4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab. (5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup. (6) Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tatacara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 34 (1) Waraga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penlaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan renacana pemantauan lingkungan hidup (2) Bentuk dan tata cara keterlibatan warga

ditunjuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan instansi yang ditugasi di bidang pertanahan di daerah dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup secara lintas sektor yang ada di daerah. Adapun wakil yang ditunjuk dari bidang kesehatan di daerah dikarenakan pada akhirnya dampak semua kegiatan selalu berakhir pada aspek kesehatan. Duduknya wakil organisasi lingkungan hidup dalam komisi penilai merupakan aktualisasi hak warga masyarakat untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji adalah lembaga swadaya masyarakat. Duduknya wakil masyarakat terkena dampak suatu usaha dan/atau kegiatan diharapkan dapat memberikan masukan tentang aspirasi masyarakat yang terkena dampak akibat dari usaha dan/atau kegiatan tersebut. Pasal 33 Ayat (1) Pengumuman merupakan hak setiap orang atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (2) Pengumuman oleh instansi yang bertanggung jawab dapat dilakukan, misalnya, melalui media cetak dan/atau media elektronik. Sedangkan pengumuman oleh pemrakarsa dapat dilakukan dengan memasang papan pengumuman di lokasi akan diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan. Ayat (4)

Page 63: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 35

(1) Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat yang berkaitan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum. (2) Instansi yang bertanggung jawab menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.

Saran, pendapat dan tanggapan secara tertulis diperlukan agar terdokumentasi. Ayat (5) Semua saran dan pendapat yang diajukan oleh warga masyarakat harus tercermin dalam penyusunan kerangka acuan, dikaji dalam analisis dampak lingkungan hidup dan diberikan alternative pemecahannya dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Ayat (6) Dalam pengumuman akan diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan diberitahukan sekurang-kurangnya, antara lain: tentang apa yang akan dihasilkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, jenis dan volume limbah yang dihasilkan serta cara penanganannya, kemungkinan dampak lingkungan hidup yang akan ditimbulkan.

UU Pemerintahan Daerah

UU no. 22 tahun 1999

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal l o. Desa atau yang discbut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

BAB XI D E S A

Bagian Pertama Pembentukan, Penghapusan dan/atau

Penggabungan Desa

Pasal 93

9. Pemerintahan Desa (1) Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengannama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945 Landasan penlikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Page 64: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

(1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.

Pasal 99

Kewenangan Desa mencakup: a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak

asal-usul Desa; Bagian Ketiga

Badan Perwakilan Desa Pasal 104

Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Pasal 110 Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan bagian wilayah Desa menjadi wilayah permukiman, industri, dan jasa wajib mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan,pelaksanaan, dan pengawasannya. Pasal 111 2) Peraturan Daerah, sebagaimana dimaksud … wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul dan adat istiadat Dcsa.

Pasal 93 Ayat (1) Istilah Dcsa discsuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari,kampung, huta, bori, dan marga. Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan pcnjelasannya.

Pasal 110 Pemerintah Desa yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan dimaksud berhak menolak pembangunan tersebut.

Pasal 111 Ayat (2) Yang dimaksud dengan asal-usul adalah asal-usul terbentuknya Desa yang bersangkutan.

UU Hak Asasi Manusia UU no. 39 tahun 1999

BAB II ASAS-ASAS DASAR

Pasal 6

1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,

Page 65: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Hak Ketujuh

Hak Atas Kesejahteraan

Pasal 36 1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.

2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.

3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37 1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi

kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

BAB VII

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 100 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi

Page 66: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

UU Kehutanan UU no.41 tahun 1999

BAB X PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 68

(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.

(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69

(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari

Page 67: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

gangguan dan perusakan. (2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan,

masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau Pemerintah.

Pasal 70(1) Masyarakat turut berperan serta dalam

pembangunan di bidang kehutanan. (2) Pemerintah wajib mendorong peran serta

masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UU no.21 tahun 2001 Otonomi Khusus bagi

Propinsi Papua

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(l) Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;

(o) Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;

(p) Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara

Page 68: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

para anggotanya; (q) Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak

tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;

(s) Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

BAB XI PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT

ADAT

Pasal 43 (1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,

menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

(2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 Ayat (1) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat ini juga merupakan kewajiban Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah. Pemberdayaan hak-hak tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan hak-hak masyarakat adat meliputi hak bersama warga masyarakat seperti yang dikenal dengan sebutan hak ulayat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat.

Ayat (3) Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan penguasa adat, meskipun banyak di antara mereka yang menjabat secara turun temurun. Penguasa adat adalah pelaksana hak ulayat yang bertindak sebagai petugas masyarakat hukum adatnya dalam mengelola

Page 69: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

BAB XIV KEKUASAAN PERADILAN

Pasal 50

(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Pasal 51

(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat

hak ulayat di wilayahnya.

Hak ulayat diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kenyataannya dewasa ini keberadaan hak ulayat berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam, sehubungan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adatnya sendiri baik karena pengaruh intern maupun lingkungannya.

Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak ada tidak akan dihidupkan kembali. Sehubungan dengan itu, demi adanya kepastian mengenai masih adanya hak ulayat di lingkungan masyarakat adat tertentu, yang dibuktikan oleh: (1) masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa terikat oleh tatanan hukum adat tertentu sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu masyarakat hukum adat; (2) masih adanya suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan sehari-hari para warga masyarakat hukum adat tersebut; dan (3) masih adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan hukum hak ulayatnya.

Pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini mencakup pula pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas hak ulayat secara sah menurut tata cara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat

Page 70: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

yang bersangkutan.

(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.

(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.

(6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

digugat kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum.

Ayat (4) Musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang bersangkutan. Hal yang sama berlaku juga terhadap perolehan tanah hak perorangan para warga masyarakat hukum adat, tidak cukup dengan persetujuan penguasa adatnya.

Pemanfaatan hak-hak adat untuk kepentingan pemerintah dan/atau swasta dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan pihak yang memerlukan, harus disertai dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, sebagai pemegang saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama.

Ayat (5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar.

Sengketa antara para warga masyarakat hukum adat sendiri diselesaikan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam

Page 71: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Undang-undang ini.

UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

UU no. 18 tahun 2001

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 18 TAHUN 2001

TENTANG OTONOMI KHUSUS

BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEHSEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH

DARUSSALAM I. UMUM(para. 3) Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara… (para.8) Hal mendasar dari undang-undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh,…

UU Perlindungan Konsumen

UU no. 8 tahun 1999

Bagian Pertama Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4.

Hak Konsumen adalah:

Page 72: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. HAk untuk memilih bang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, gantirugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

BAB IX

Lembaga perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

Pasal 44.

Ayat (3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa

b. memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya

Page 73: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen

BAB X

Penyelesaian Sengketa Bagian Pertama

Umum

Pasal 45. (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat

menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa

Kep.Pres no. 36 thn

1990 Ratifikasi Konvensi

Hak Anak (UNCRC)

Pasal 30 Di Negara-negara dimana terdapat kelompok etnis minoritas, agama atau bahasa atau masyarakat adat (Indigenous Peoples) …tidak akan dirampas haknya …untuk menikmati kebudayaannya sendiri, melaksanakan ajaran agamanya dan atau untuk menggunakan bahasanya

PP no. 24 tahun 1997 Pendaftaran Tanah

PerMendagri no. 3/ 1997

Pemberdayaan dan Pelestarian serta

Page 74: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan –

Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di

Daerah

Page 75: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR ............ TAHUN

.......

TENTANG

PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN

SUMBERDAYA GENETIK

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

11. Praktik tradisional adalah tata cara yang berasal dari pengalaman empiris masyarakat tradisional dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

15. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal (PADIA) (Prior Informed Consent/PIC) adalah prosedur bagi pemerintah, pemilik lahan atau warga masyarakat lokal/masyarakat adat memperoleh semua informasi yang dibutuhkan sebelum memberikan izin untuk akses pada sumber daya genetiknya dengan kesepakatan bersama, yaitu proses pemberian izin terhadap suatu permohonan akses setelah pemilik sumber daya genetik memperoleh informasi yang terkait dengan akses pada sumber daya genetiknya.

35. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kesepakatan akan nilai-nilai moral, pandangan tentang kehidupan, serta perilaku yang berkembang secara turun temurun, dan berada dalam kemandirian sistem kehidupan

36. Masyarakat lokal adalah sekelompok orang yang telah tinggal dalam tenggang waktu yang cukup lama di suatu daerah sehingga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dengan lingkungannya

Page 76: Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Perjuangan Gagasan “Indigenous Peoples’ Rights” Dalam Ranah Nasional dan Internasional1 Oleh: Emil Ola Kleden2 Pengantar Peristilahan dalam