pekerja anak

Upload: herra-vrielyan

Post on 17-Jul-2015

944 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pekerja anakDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pekerja anak, New Jersey, 1910 Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan negara tersebut. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak manusia. Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.

Analisa Tindak Pidana Mempekerjakan Anak Di Bawah Umur Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana IslamPosted on March 2, 2010 by Mochamad Soef ABSTRAK Analisa Tindak Pidana Mempekerjakan Anak Di Bawah Umur Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam; Antung Rusdiana; Jurusan Syariah Twinning Program UMM. Kata Kunci: Anak, Perlindungan anak, Eksploitasi dan Pekerja anak. Anak adalah merupakan sebuah titipan dari Allah SWT. kepada orang tua untuk merawat, menjaga, dan memeliharanya dengan baik agar anak dapat mengetahui hak dan kewajibannya dan para orang tua juga harus memberikan pendidikan jasmani, rohani, serta akal supaya anak bisa berkembang dan mampu menghadapi dan mengatasi problema hidup yang akan dia hadapi dan kelak menjadi orang yang berguna bagi dirinya sendiri dan juga bagi lingkungannya. Tetapi, fenomena yang banyak terjadi di kalangan masyarakat miskin, anak dijadikan suatu obyek untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam hal ini, anak disuruh bekerja di jalanan sebagai pengemis, pengamen dan lain sebagainya yang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi anak yang hidup di jalanan dan dampaknya anak-anak tersebut bisa dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa yang bisa menjadikan mereka suatu alat untuk di jadikan sasaran pelampiasan kemarahan mereka dan bahkan terkadang bagi anak perempuan di jadikan pelampiasan nafsu birahi mereka. Padahal di dalam undang-undang dan Al-Quran sudah menegaskan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan rumusan masalah, penulis bermaksud untuk mengetahui bagaimana kasus-kasus yang telah terjadi di masyarakat tentang eksploitasi anak dan bagaimana efektifitas undang-undang dan aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus tersebut. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Hasil analisa penulis dari permasalahan eksploitasi anak ini, bahwa dalam undangundang dan Al-Quran sudah dengan tegas menyebutkan tentang larangan pengeksploitasian terhadap anak dalam bentuk apapun. Tetapi, lemahnya dari aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tersebut dan tidak semua orang yang bisa diberikan tindakan hukum, sehingga para orang tua maupun agen yang mempekerjakan anak di bawah umur bisa beroperasi dengan baik, karena dengan

menyuruh anak-anak bekerja di jalanan sebagai pengemis, pengamen, dan lain sebagainya, masyarakat akan merasa kasihan, sementara apabila orang tua yang bekerja di jalanan pendapatan mereka tidak sebesar pendapatan yang dihasilkan anak-anak mereka. Para orang tua yang mempekerjakan anaknya, menganggap hal tersebut sah-sah saja, karena mereka menyuruh anak mereka sendiri untuk ikut bekerja mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga.

Polisi Tahan Pengusaha yang Mempekerjakan Anak Bawah UmurJum'at, 04 Januari 2008 | 20:42 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:Markas Besar Kepolisian RI menahan pengusaha Anthoni, yang mempekerjakan anak di bawah umur. Pengusaha sarang burung walet ditahan di Markas Besar Kepolisian sejak kemarin (3/1)sore. "Dia mempekerjakan 19 orang, 17 orang di bawah umur. Bahkan ada yang baru berusia 13 tahun," kata Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Komisaris Besar Agung Sabar Santoso di Markas Besar Kepolisian RI, Jumat (4/1). Anthoni diduga merekrut anak di bawah umur melalui Yayasan Tiga Putra Jaya, Putri Sehati, Mekar Jaya, dan Makmur Jaya. Anak-anak tersebut dipekerjakan selama 10-14 jam per hari dengan upah Rp 350 ribu per bulan. Upah dibayarkan per tahun. Namun kenyataannya anak-anak tidak dibayar. Anthoni dijerat pasal 2 junto pasal 17 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 dan pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. "Ancamannya 10 tahun penjara," kata Agung. Agung menjelaskan kasus ini ditangani Markas Besar Kepolisian RI setelah menerima laporan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak sekitar pekan lalu. Dari situ polisi langsung mengejar Anthoni yang kemudian ditangkap Rabu lalu di rumahnya di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat. Sepanjang November-Desember lalu Markas Besar Kepolisian juga mengungkap beberapa kasus penjualan perempuan ke luar negeri. Di antaranya pengiriman enam orang perempuan ke Jepang yang diungkap pada November lalu. Modusnya para perempuan itu akan dipekerjakan sebagai pegawai restoran. Kenyataannya mereka dipaksa menjadi pekerja di tempat prostitusi. Polisi menetapkan Jimmy Wijaya, warga Indonesia, sebagai tersangka. Polisi juga mengungkap pengiriman tenaga kerja ke Kurdistan. Padahal negara itu merupakan negara konflik, bukan negara penempatan tenaga kerja. Andi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka pengiriman ilegal tersebut.

Untuk pengiriman tenaga kerja ke Korea Selatan, polisi menetapkan Muhamaad Imron dan Ade Rully sebagai tersangka. Mereka mengatasnamakan PT Mitra Munara Kencana Lestari yang belakangan diketahui tidak memperoleh izin Perusahaan Jasa TKI. "Januari ini kami juga akan mengungkap pengiriman tenaga kerja ilegal lainnya," katanya. Kecam keras mempekerjakan anak di bawah umur WartaWASPADA ONLINE

MEDAN - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, M Zahrin Piliang, mengecam keras bagi orangtua yang mempekerjakan anaknya yang masih di bawah umur. "Dalam perspektif UU Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 1 No.23 tahun 2002 bahwa anak yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam perlindungan. Dalam hal ini mereka tidak boleh menjadi tulang punggung ekonomi keluarga," kata Zahrin di Medan, tadi malam. Anak-anak hanya boleh berada di tiga tempat, yakni rumah, sekolah dan tempat mereka bermain saja. Kalau pun mereka terpaksa bekerja hanya diberikan waktu selama empat jam saja di siang hari.. "Sesuai dengan Konvensi International Labour Organization (ILO), hanya membenarkan anak-anak yang terpaksa bekerja diberikan waktu empat jam dan hanya diperbolehkan di siang hari saja," ungkapnya. Selain itu, mereka tidak boleh bekerja di tempat-tempat yang membahayakan dirinya baik secara fisik maupun psikis. Ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan anak-anak agar tidak bekerja sebelum waktunya, yaitu proses penyadaran terhadap orangtua melalui semacam kampanye terus menerus oleh semua pihak bahwa mempekerjakan anak-anak telah melanggar undang-undang. "Langkah yang lain adalah harus adanya penindakan hukum apabila ada perusahaan besar yang mempekerjakan mereka di dalamnya. Terakhir juga penindakan hukum terhadap rumah tangga yang mempekerjakan anak sebagai pembantu rumah tangga," jelasnya. Tapi dari ketiga langkah yang akan dilakukan masih sangat lemah dan kurang berhasil disebabkan tidak adanya pihak-pihak yang berkaitan untuk menjalankannya. Hal terpenting agar dapat mengurangi tindakan mempekerjakan anak adalah penyadaran terhadap orangtua di dalam keluarganya. "Kampanye yang ditujukan kepada orangtua juga harus diiringi advokasi kebijakan dari pemerintah setempat yang melarang anak-anak utuk bekerja.(dat03/ann)

Banyak Anak di Bawah Umur Dipekerjakanby MAJALAH.KOMUNITAS 01/06/2009 - 10:26 BEKASI, (PRLM).-Sejumlah kasus mempekerjakan anak dibawah umur kerap terjadi di Kab. Bekasi. Dari peneliian yang dilakukan beberapa LSM, dari 100 perkerja rumah, sekitar 80 persennya merupakan pekerja di bawah umur. "Itu baru pekerja rumah tangga, belum pekerja di perusahaan-perusahaan dinsinyalir juga banyak pekerja di bawah umur, dengan modus menuakan umur mereka di atas 17 tahun di KTP ketika melamar ke perusahaan," ucap Kepala Penasihat Teknis Program Kerja Anak ILO (International Labour Organization), Arum Rahmawati, saat dtitemui di Bekasi, Minggu (31/5). Tidak hanya dimanfaatkan tenaganya untuk untuk pekerjaan industri, menurut Arum, anak kerap kali terjebak dalam pelecehan seksual saat menjadi pekerja rumah tangga. "Menjadi sasaran kejahatan bosnya dan kerap kali ditipu soal upah karena belum memahami kontrak kerja. Kasus tersebut banyak terjadi di Kab. Bekasi," ujar Arum. Arum mewakili ILO berharap kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kab. Bekasi dapat menertibkan pekerja di bawah umur, karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Kab.Bekasi tidak akan maju, karena bibit SDM yang rendah.(PR)

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK (Studi Perbandingan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dengan Hukum Islam)Utri Asyfa'ah

AbstractIndonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada pelaksaan pembangunan nasional, dalam hal ini tenaga kerja mempunyi peranan dan kedudukan penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Untuk menigkatkan kualitas dan kuantintas tenaga kerja diperlukan suatu perlindungan hukum untuk menjamin hak-hak mereka sebagai pekerja dan manusia. Berdasarkan data BPS pada bulan Oktober 1990 jumlah perkerja anak usia 10-14 tahun tercatat sebanyak 2,5 juta dan terus turun hingga bulan Oktober 1997 menjadi 1,64 juta jiwa. Setelah adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 pekerja anak mengalami peningkatan 1,81 juta dan pada tahun 1999 mencapai angka 2,21 jiwa. Jumlah tersebut akan jauh lebih beesar jika dihitung pekerja anak yang

berusia dibawah 10 tahun dan 14 tahun. Di Indonesia masalah pekerja anak sudah mendapatkan perhatian yang serius mengingat jumlahnya mengalami peningkatan. Sehubungan dengan kasus tersebut maka dibuat sebuah peraturan hukum yang melindungi nasib pekerja anak. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga serta melindungi hak-hak itu sendiri sebagaimana Islam telah memberi perlindungan khusus terhadap anak supaya mereka tidak kehilangan hak-haknya sebagai anak walaupun mereka harus pekerja. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disini penulis merumuskan masalah yaitu; (1) apa saja analisis perlindungan hukum bagi pekerja anak (menurut hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam (2) apa saja persamaan dan perbedaan perlindungan hukum bagi pekerja anak menurut hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui aspek hukum perlindungn pekerja anak menurut hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam. 2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan perlindungan hukum bagi perkerja anak menurut hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian studi kepustakaan atau (library research) atau lebih tepatnya yaitu studi yuridis normative Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data, keterangan, teori-teori serta pendapat para ahli yang diperoleh dari berbagai literatur, majalah, dan surat kabar serta melalui penulusuran media internet. Dan penulisan skiripsi ini menggunakan metode deduksi komporasi, yaitu pola berfikir yang diambil berdasarkan data umum yamg disaring, diolah, kemudian ditarik kesimpulan secara khusus serta membandingkan perlindungan hukum pekerja anak antara hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam. Dari hasil penulisan skripsi ini dapat diketahui bagaimana perlindungan hukum yang diberikan hukum ketenagakerjaan dan hukum Islam terhadap anak yang bekerja atau pekerja anak Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan terdapat perlindungan khusus bagi anak yang bekerja yang tercantum dalam Pasal 68 sampai pasal 75 sedangkan di dalam hukum Islam perlindungan tersebut memang tidak ada, karena sepengetahuan peneliti dalam hukum Islam secara spesifik tidak terdapat penjelasan mengenai perlindungan terhadap pekerja anak, karena pekerja anak memang tidak ada. Islam hanya memberikan gambaran secara umum tentang perlindungan bagi pekerja bukan perlindungan terhadap pekerja anak atau seorang anak yang bekerja, karena perlindungan terhadap anak merupakan bidang tersendiri dalam agama Islam yang terdapat di dalam Fiqih Anak. Dalam Fiqih Anak inilah Islam berusaha menjelaskan bagaimana metode dalam mengasuh dan mendidik anak serta hukum-hukum yang berkaitan dengan aktifitas anak. Pada akhir penulisan skripsi ini ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan masyarakat pada umumnya dan instrumen hukum khususnya untuk melaksanakan tanggung jawab yang diamanatkan berdasarkan aturan secara formal dan materill tanpa harus dikurangi atau bahkan dilebihkan.

HAK ASASI MANUSIA Tri Widodo W. Utomo, SHDewasa ini kita saksikan semaraknya peristiwa-peristiwa dalam panggung politik Indonesia yang cenderung panas dan brutal. Salah satu

topik sentral dalam berbagai peristiwa tersebut menyangkut masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti kita ketahui bersama, individu atau organisasi-organisasi kemasyarakatan yang merasa harus memiliki kepedulian terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya, kalangan intelektual, dan masyarakat umum sebagai obyek dan subyek dari kehidupan berbangsa dan bernegara, hampir setiap saat menyuarakan hati nuraninya menuntut ditegakkannya hak asasi secara konsekuen. Munculnya fenomena ini merupakan salah satu wujud dari kedewasaan politik masyarakat menuju keterbukaan, atau merupakan ciri kemandirian sebagai keberhasilan pembangunan nasional kita. Mereka berkeinginan untuk menegakkan salah satu konsiderans Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948, yaitu bahwa : sikap-sikap yang tidak mempedulikan dan sikap melecehkan hak-hak manusia akan mengakibatkan tindakan kurang beradab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia, sehingga hak-hak manusia harus dilindungi oleh hukum supaya manusia tidak mengambil jalan pemberontakan terhadap kelaliman atau penindasan. Fenomena kemunculan gerakan menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia diatas, secara implisit mengandung gugatan bahwa secara de facto, pemerintah belum sepenuhnya menghormati keberadaan hakhak

dasar yang melekat semenjak lahir pada diri setiap warga negara. Bahkan lebih jauh dapat ditafsirkan bahwa prinsip negara hukum (rechtstaat) yang kita anut, belum berjalan dengan baik dan optimal. Sebab, salah satu ciri dari negara hukum adalah pengakuan / penghormatan terhadap hak asasi manusia, disamping adanya supremasi peraturan perundangan (Legal Supremacy), peradilan yang bebas dan mandiri, serta keberfungsian lembaga PTUN. Oleh karena itu, dapat dikatakan pula bahwa jika kita ingin menegakkan prinsip negara hukum, maka salah satu cara terbaik adalah dengan melakukan upaya yang terus menerus untuk memberikan jaminan hukum sekaligus jaminan politis terhadap hak asasi setiap individu dalam negara. Dan penegakan hak asasi manusia ini dapat terlaksana dengan baik jika disertai dengan pembenahan terhadap aparat penegak hukumnya sendiri. Sebab, sebagaimana yang diingatkan oleh Sir Alfred Dening bahwa suatu bangsa akan jatuh apabila penegak hukumnya tidak berlaku adil. Dengan kata lain, salah satu kunci penghormatan terhadap HAM terletak pada sejauhmana sifat bersih dan berwibawa telah melekat pada setiap diri aparat penegak hukum. Untuk memberikan gambaran serta ruang lingkup masalah penegakan HAM di Indonesia, karikatur-karikatur berikut ini diharapkan dapat mencerminkan aspek das sein maupun das sollen-nya. Ilustrasi dengan menampilkan karikatur ini didasari oleh pemikiran bahwa karikatur pada

hakekatnya merupakan refleksi dari kondisi nyata yang dihadapi oleh suatu komunitas masyarakat tertentu, yang biasanya dituangkan dalam bentuk sindiran. Dari berbagai ilustrasi tadi, dapat ditemukan aspek-aspek substansial HAM meliputi: 1. Penggusuran, Pencaplokan dan Ganti Rugi Tanah 2. Manipulasi Hukum dan Budaya Main Hakim Sendiri. 3. Pembunuhan (menghilangkan nyawa orang lain) 4. Pembedaan Perlakuan Terhadap Seseorang (cq. Wanita), serta Pemerkosaan. 5. Pemerasan Tenaga Kerja. 6. Kemerdekaan (dari penjajahan maupun dari rasa takut) 7. Hak Bersuara dan Berbeda Pendapat, dan sebagainya.

Meningkatnya kesadaran hukum dan kedewasaan berpolitik masyarakat Pemerintah belum sepenuhnya menghormati hak-hak dasar yang melekat sejak lahir pada diri warga negara. Atau, prinsip negara hukum (rechtstaat), belum berjalan optimal. Konsiderans Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948 : sikap yang tidak mempedulikan dan sikap melecehkan hak-hak manusia akan mengakibatkan tindakan kurang beradab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia, sehingga hakhak manusia harus dilindungi oleh hukum supaya manusia tidak mengambil jalan pemberontakan

terhadap kelaliman atau penindasan. Sir Alfred Dening dalam bukunya The Road to Justice : Suatu bangsa akan jatuh apabila para penegak hukumnya tidak berlaku adil.Apabila kita menginginkan pengetahuan yang utuh atas binatang yang bernama HAM, maka perlu diketahui beberapa hal yang berkenaan dengan binatang tersebut, misalnya arti dan makna HAM, pandanganpandangan Indoensia dan dunia internasional terhadap HAM, pelaksanaan HAM dalam proses pembangunan, serta peran dan sikap aparatur negara dalam menghadapi tuntutan pelayanan. Kesemuanya ini dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang kondisi sosial kemasyarakatan, sehingga aparatur negara akan memiliki landasan yang lebih jelas pula dalam menjalankan fungsi pelayanan. Pengertian hak asasi pada mulanya dikembangkan oleh aliran filsafat liberal yang bercorak individualistik atau perseorangan. Mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak dasar, yaitu hak yang mendasari kehidupan seseorang sebagai mahkluk yang mempunyai harkat dan martabat. Namun dewasa ini, hak asasi manusia tidak dipahami sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme, melainkan sebagai hak-hak manusiawi yang melekat dengan harkat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan sebagainya. Dengan pemahaman ini, maka

konsep modern tentang HAM adalah sebagai berikut (Bahar, 1997 : 6) : Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings. (Secara umum hak asasi manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia ; yang bila tidak ada, mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia). Karena menjadi dasar kehidupan kemanusiaannya, hak asasi ini tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Hak yang paling asasi adalah hak untuk hidup, kebebasan dan hak milik. Hak-hak ini kemudian dikembangkan dalam kehidupan bernegara di bidang politik, ekonomisosial dan budaya. Apa sebenarnya isi atau subtansi hak asasi itu ? Piagam PBB tanggal 10 Desember 1948 menentukan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sederajat (equal) dalam martabat dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal budi (reason) dan hati nurani (conscience) dan harus bertindak terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan, tanpa membeda-bedakan bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, status politik, hukum dan sebagainya. Atas dasar itu PBB menetukan hak-hak serta laranganlarangan yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh seluruh negara dan masyarakatnya ; tentu saja dengan catatan harus disesuaikan dengan nilainilai budaya yang ada. Dari kelompok hak, antara lain terdapat hak atas kehidupan,

kebebasan dan keamanan perorangan (pasal 3), hak atas perlindungan hukum yang sama (pasal 7), hak untuk bergerak (pasal 13), hak untuk memiliki sesuatu (pasal 17), hak berpikir, berkumpul dan berserikat (pasal 18 20), hak untuk bekerja dan mendapat jaminan sosial (pasal 22 23), hak berpartisipasi (pasal 27), dan sebagainya. Adapun dalam hal larangan, Piagam PBB menentukan larangan-larangan perbudakan dan penganiayaan (pasal 4 5), penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang (pasal 9), dan mencampuri kehidupan pribadi (pasal 12). Secara khusus, UUD 1945 telah mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27), hak berserikat dan berkumpul (pasal 28), hak beragama (pasal 29), hak pembelaan negara dan hak pendidikan (pasal 30 31), dan hak dipelihara oleh negara (pasal 34). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hak asasi mansuia pada dasarnya bersifat universal dan melingkupi berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek ekonomis, sosial, budaya, kepercayaan, hukum dan politik, sampai pertahanan dan keamanan, adalah aspek-aspek yang dalam realisasinya hampir selalu mensyaratkan hak asasi sebagai asas dan pedomannya. Secara lebih konkrit, permasalahanpermasalahan HAM berkisar disekitar pelanggaran hak-hak minoritas dan penduduk asli, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan, pemekerjaan anakanak,

pemaksaan pengakuan bersalah dan penganiayaan, jam kerja yang terlalu lama yang tidak seimbang dengan upah yang diterima, dan sebagainya. Itupun masing-masing masih dapat diperinci lagi menjadi persoalan-persoalan khas yang meminta penanganan yang serius. : aliran filsafat liberal yang bercorak individualistik, yang mempunyai pandangan bahwa manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak dasar. : hak asasi manusia tidak dipahami sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme, melainkan sebagai hak-hak manusiawi yang melekat dengan harkat kemanusiaan Hak Atas Kehidupan, Kebebasan Dan Keamanan Perorangan (Pasal 3) Hak Atas Perlindungan Hukum Yang Sama (Pasal 7) Hak Untuk Bergerak (Pasal 13) Hak Untuk Memiliki Sesuatu (Pasal 17) Hak Berpikir, Berkumpul Dan Berserikat (Pasal 18 20) Hak Untuk Bekerja Dan Mendapat Jaminan Sosial (Pasal 22 23) Hak Berpartisipasi (Pasal 27) Larangan Perbudakan Dan Penganiayaan (Pasal 4 5) Larangan Penangkapan Dan Penahanan Yang Sewenang-Wenang (Pasal 9) Larangan Mencampuri Kehidupan Pribadi (Pasal 12). Persamaan Hak Dalam Hukum Dan Pemerintahan Serta Hak Atas Pekerjaan Dan Penghidupan Yang Layak (Pasal 27) Hak Berserikat Dan Berkumpul (Pasal 28) Hak Beragama (Pasal 29) Hak Pembelaan Negara Dan Hak Pendidikan (Pasal 30 31) Hak Dipelihara Oleh Negara (Pasal 34) Hak-Hak Minoritas Dan Penduduk Asli

Perlindungan Terhadap Pelecehan Seksual Dan Diskriminasi Terhadap Perempuan Larangan Pemekerjaan Anak-Anak Larangan Penganiayaan Dan Pemaksaan Pengakuan Bersalah Larangan Penerapan Jam Kerja Yang Terlalu Lama Yang Tidak Seimbang Dengan Upah Yang Diterima Dilihat dari sejarahnya, telah banyak sekali piagampiagam, perjanjian maupun konstitusi di dunia yang memuat tentang pengakuan, jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sebagaimana dikemukakan dibawah ini (Soehino, 1985 : 84-88 ; Budiardjo, 1994 : 144) : 1. Di Amerika Serikat, dimuat dalam Declaration of Human Right dari Konstitusi Virginia tahun 1776 ; The Four Freedoms tahun 1941 gagasan Presiden Roosevelt yang meliputi kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). 2. Di Perancis, dimuat dalam Declaration des Droits de lhomme et du citoyen tahun 1789 atas usaha Lafayette. 3. Di Inggris, tersebar dalam berbagai piagam yaitu Magna Charta tahun 1215, Petition of Right tahun 1628, dan Bill of Right tahun 1688. 4. Di Indonesia sendiri, selain termuat dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, pada tahun 1966 telah dibentuk Panitia Ad-hoc IV MPRS dengan tugas menyusun Rancangan Perincian HakHak Asasi

Manusia. Hasil kerja Panitia Ad-hoc IV ini berupa Rancangan Tap MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan HakHak serta Kuajiban Warganegara. Disamping itu, instrumen HAM sedunia yang paling penting dan menjadi induk dari seluruh instrumen lainya, adalah The International Bill of Human Right, yang terdiri dari 3 dokumen pokok, yaitu (Bahar, 1997 : 8) : 1. The Universal Declaration of Human Rights. 2. International Convention on Economic, Social and Cultural Rights. 3. International Convention on Civil and Political Rights. Instrumen HAM diatas pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi seluruh umat manusia. Namun ada yang mendapat perhatian secara khusus, yaitu kelompok rentan yang lazimnya tidak mampu melindungi hak asasinya sendiri, yaitu : Kanak-Kanak Kaum Wanita Kaum Pekerja Minoritas Penyandang Cacat Penduduk Asli atau Suku Terbelakang (indigenous people) Tersangka, Tahanan dan Tawanan Budak Korban Kejahatan Pengungsi Orang yang tidak berkewarganegaraan (stateless) : The Committee on The Elimination of Racial Discrimination The Committee on The Elimination of Discrimination against Women The Committee against Torture

Diatas telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya, HAM bersifat universal. Namun jika ternyata kemudian dalam prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga nilai dan sifat universal HAM menjadi kabur, hal itu dikarenakan adanya perbedaan visi, persepsi dan interpretasi dari negara tertentu. Perbedaan ini lantas menimbulkan paham relativitas sebagai tandingan paham universalitas. Relativitas HAM yang banyak dianut oleh negara-negara berkembang mendasarkan visi, persepsi dan interpretasinya pada kenyataan terdapatnya struktur sosiologis (istilah Satjipto Rahardjo) atau diversifikasi budaya (istilah T. Jacob) yang berbeda-beda untuk setiap bangsa. Yang dimaksud dengan struktur sosiologis atau diversifikasi budaya disini mencakup sejarah, perkembangan ekonomi, filsafat hidup, tingkat kecerdasan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan politk, dan sebagainya. Faktorfaktor inilah yang meletakkan pondasi yang kuat bagi negara Timur dan Selatan untuk menolak universilitas HAM versi negara Barat dan Utara. Kelompok pendukung relativitas HAM mengatakan bahwa mengingkari struktur sosiologis dan diversifikasi budaya sama artinya dengan melakukan pelanggaran terhadap HAM itu sendiri, sebab hal itu menunjukkan telah terjadinya perampasan hak sosiologis dan hak budaya suatu negara. Oleh karenanya, pemaksaan universalisme HAM seperti terlihat dalam bentuk bantuan-bantuan ekonomi dengan syarat-syarat politik tertentu, bertentangan dengan prinsip humanisme dan merupakan bencana

bagi implementasi HAM. Uraian diatas memperlihatkan adanya dua pandangan besar mengenai sifat dan implementasi HAM. Kelompok pertama memandang HAM bersifat universal sehingga harus dilaksanakan secara seragam berdasarkan standar nilai tertentu. Menurut mereka, negara-negara yang kuat harus menjaga ketertiban dunia dan kalau perlu mencampuri penindasan di negara lain dengan menghalalkan segala cara, baik melalui tekanan diplomatik, persyaratan utang dan perdagangan, maupun melalui ancaman militer. Oleh karenanya, penalaran kelompok ini disebut penalaran hegemonial. Sementara kelompok yang lain menganggap HAM bersifat relatif, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi subyektif dari setiap negara. Penalaran kelompok ini bersifat statis yang menegaskan bahwa suatu negara tidak berhak turut campur dalam urusan rumah tangga negara lain. Disamping dua pandangan besar ini, ada lagi dua pandangan kecil yang saling bertolak belakang dan amat potensial sebagai sumber konflik. Dua pandangan kecil yang biasanya terjadi di negara berkembang ini adalah, disatu pihak pandangan dari rakyat kecil dan kelompokkelompok pembelanya yang menginginkan pemenuhan hak-hak individual secara maksimal, sedang dilain pihak pemerintah cenderung mendukung hak-hak kolektif dengan mengajukan alasan logis bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dan golongan. Yang menarik dari perbincangan mengenai universalisme HAM

adalah bahwa pelaksanaannya di negara yang menganut paham universalitas sendiri mengalami ambivalensi. Misalnya, dengan membunuh orang Vietcong sebanyak-banyaknya, prajurit AS akan memperoleh bintang kepahlawanan, tetapi jika ada prajurit AS hilang (Missing in Action) tanpa diketahui nasibnya, Gedung Putih akan menganggap pemerintah Vietnam mengabaikan hak-hak manusia. Contoh lain seperti dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Singapura pada Konferensi Dunia HAM di Wina, misalnya perbedaan penafsiran antara Negara Bagian di AS mengenai hukuman mati dan hak memperoleh pendidikan, serta masih ditentangnya keputusan Mahkamah Agung AS yang mengijinkan aborsi. Ambivalensi yang terjadi di AS tersebut tidak dianggap sebagai penyelewengan dari keuniversalitasan, malahan menjadi model kebebasan demokrasi. Atas dasar sikap ini, mestinya merekapun akan menberikan sikap yang sama terhadap perbedaan kandungan nilai-nilai lokal dan nasional, serta perbedaan penafsiran HAM oleh negara-negara dunia ketiga. Perbedaana visi, persepsi dan interpretasi tentang HAM, sebenarnya tidak terlalu sulit dipertemukan. Ini bisa tercapai jika kubukubu yang berbeda pendapat mempunyai itikad baik dan mengutamakan kepentingan bersama. Selain itu harus ada kesepakatan yang dimusyawarahkan bersama mengenai kriteria hak-hak yang dianggap universal atau relatif. Misalnya, pembunuhan semena-mena dan penyiksaan untuk memperoleh pengakuan

harus dianggap sebagai pelanggaran hak asasi yang universal. Akan tetapi hak akan pelayanan kesehatan adalah hak asasi yang bersifat relatif tergantung kepada keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan suatu negara. Tanda-tanda kerukunan itu mulai terlihat dengan diselenggarakannya Konferensi Dunia HAM II di Wina, Austria. Dalam konferensi tersebut Indonesia menegaskan sikapnya yang menerima prinsip universalitas HAM, tetapi prinsip diversity, kemajemukan dan kondisi kebudayaan, sejarah, tahap-tahap pertumbuhan serta sistem politik harus diperhatikan. Indonesia sendiri tidak ingin bersembunyi di relativisme kebudayaan dan partikularisme, tetapi yang penting adalah adanya keseimbangan antara politik dan ekonomi. Apabila perbedaan dalam keolompok besar sudah mendekat, maka harus diupayakan pula untuk mendekatkan perbedaan dalam kelompok kecil. Seperti pada kelompok besar, maka upaya-upaya yang dilakukan pada kelompok kecil inipun harus datang dari kedua kubu dengan niat dan itikad baik. Disatu pihak, rakyat sebagai kelompok yang menikmati hasil-hasil pembangunan, harus menyadari benar akan tugas dan fungsi pemerintah yang teramat berat. Oleh karenanya, rakyat harus memberikan dukungan sepenuhnya serta dengan itikad baik berusaha sebisa mungkin menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan. Ambivalen dalam Implementasi di Negara yang bersangkutan. Dianut oleh negara maju /

donor Dasar : negara maju harus menjaga ketertiban dunia ; kalau perlu mencampuri penindasan di negara lain dengan menghalalkan segala cara Penalaran Hegemonial Banyak dianut oleh negara berkembang Dasar : struktur sosiologis / diversifikasi budaya yang berbeda untuk setiap bangsa Penalaran Statis Menginginkan pemenuhan hak-hak individual secara maksimal Mendukung hak-hak kolektif dengan mengajukan alasan bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dan golongan Dimensi Hukum Administrasi NegaraPemerintah sesungguhnya memikul tugas yang sangat berat untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Dalam perspektif HAN, untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik ini, pemerintah diberi freies ermessen. Implikasi dari freies ermessen ini sendiri ada tiga, yaitu : 1. Kewenangan atas inisiatif sendiri, untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan UU tanpa meminta persetujuan parlemen lebih dulu. Dasar filosofisnya adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat

adalah hukum yang tertinggi). Contohnya Pasal 22 UUD 1945 : Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu. 2. Kewenangan karena delegasi perundangan dari UUD, untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya lebih rendah dari UU. Pasal 5 (2) UUD 1945 : Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. 3. Droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri peraturan perundangan yang bersifat enunsiatif / enumeratif. Misalnya mengenai pengertian kepentingan umum. Lampiran Inpes RI No.9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya pada pasal 1 ayat (3) menyebutkan : Presiden dapat menentukan bentukbentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum. Sedang pasal 1 ayat (1) menyatakan : Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut : a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau b) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau c) Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau d) Kepentingan pembangunan. Dari rumusan dua ayat diatas belum terlihat definisi dan kriteria

kepentingan umum, sehingga masih memungkinkan terjadinya penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam menafsirkan kalimat tersebut, kepentingan umum justru akan menghambat kepentingan dan hak asasi rakyat. Contoh lain, Pasal 1 (1) Hinder Ordonantie : larangan pendirian berbagai obyek tanpa ijin pemerintah .. dan semua bangunan lain yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan. Inpres No. 9 tahun 1973 : Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya .. yang menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pemerintah diberi hak, wewenang dan atau kebebasan untuk berbuat apa saja, sepanjang dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan rakyat tersebut. Kebebasan inilah yang mengandung implikasi bahwa Administrasi Negara / Pejabat Tata Usaha Negara kemungkinan melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dengan kata lain, munculnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh pemerintah muncul dari kewenangan yang dinamakan freies ermessen atau droit function ini. Akan tetapi, meskipun memiliki kewenangan untuk berbuat atau droit function, hendaknya pemerintah menafsirkan dengan adil dan bijaksana suatu ketentuan hukum / kebijaksanaan yang belum terinci secara jelas.

Dalam kaitan ini, maka pemerintah harus secara sungguhsungguh memperhatikan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun asas-asas pemerintahan yang baik ini meliputi : Kepastian Hukum, Keseimbangan, Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, Bertindak Cermat, Motivasi dalam setiap Keputusan, Tidak Mencampuradukkan Kewenangan, Permainan yang Layak, Keadilan atau kewajaran, Menanggapi Pengharapan yang Wajar, Meniadakan Akibat Keputusan yang Batal, Perlindungan atas Pandangan Hidup, Kebijaksanaan, serta Penyelenggaraan Pelayanan Umum. Asas-asas ini bertujuan untuk mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat luas.

1. untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan UU tanpa meminta persetujuan parlemen lebih dulu. Dasar filosofisnya adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi). Contohnya Pasal 22 UUD 1945 : Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu. 2. untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya lebih rendah dari UU. Pasal 5 (2) UUD 1945 : Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. 3. yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri peraturan perundangan yang bersifat enunsiatif / enumeratif.

Pasal 1 (1) Hinder Ordonantie : larangan pendirian berbagai obyek tanpa ijin pemerintah .. dan semua bangunan lain yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan. Inpres No. 9 tahun 1973 : Presiden dapat menentukan bentukbentuk kegiatan pembangunan lainnya .. yang menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum.

ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

ASAS-ASAS HAN

KEPASTIAN HUKUM KESEIMBANGAN KESAMAAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN BERTINDAK CERMAT MOTIVASI DALAM SETIAP KEPUTUSAN TIDAK MENCAMPURADUKKAN KEWENANGAN PERMAINAN YANG LAYAK KEADILAN ATAU KEWAJARAN MENANGGAPI PENGHARAPAN YANG WAJAR MENIADAKAN AKIBAT KEPUTUSAN YANG BATAL PERLINDUNGAN ATAS PANDANGAN HIDUP KEBIJAKSANAAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN UMUM

Dimensi PolitisLord Acton pernah mengatakan bahwa Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut, sudah pasti akan disalahgunakan. Hal ini dapat diamati dalam dua aspek sebagai berikut :

1. Kekuasaan yang terpusat pada satu tangan / wadah, serta tidak ada sistem pembagian kekuasaan (division of power) atau pemisahan kekuasaan (separation of power). Kekuasaan yang terpusat pada satu tangan akan melahirkan pemerintahan diktator yang totaliter, sebab tidak ada fungsi kontrol dari unsur / komponen kenegaraan lainnya. Akibatnya, keinginan raja / penguasa menjadi hukum bagi rakyatnya, dan negara adalah milik penguasa (ingat ucapan Raja Louis XIV : Letat cest Moi). Dalam kondisi seperti ini, penguasa akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Salah satu upaya untuk mengurangi kecenderungan pemerintah diktator adalah dengan membagi kekuasaan, misalnya gagasan Montesquieu atau John Locke, yang oleh Imanuel Kant diberi nama Trias Politika. 2. Kekuasaan yang terlalu lama, dan tidak ada pembatasan waktu secara tegas. Kekuasaan yang relatif lama (diatas 20 tahun), misalnya Soekarno, Soeharto, Ferdinand Marcos, Deng Xiaoping, dan sebagainya, menunjukkan fenomena kearah kultus individu yang berlebihan. Dan kultus individu yang berlebihan ini akan menjurus kepada beralihnya kekuasaan institusi (institutional power) kepada kekuasaan perorangan (personal power). Pada saat kekuasaan telah berada pada satu tangan inilah, pelanggaran HAM menjadi pemandangan umum. Oleh karena itu, pada setiap jenjang

kekuasaan, perlu diadakan ketentuan tentang pembatasan periode atau masa jabatan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami peningkatan dalam 30 tahun terakhir, khususnya yang menyangkut hak hidup, hak beragama, dan hak milik. Namun, hak untuk berserikat, mengeluarkan pendapat atau menyalurkan aspirasi, masih banyak pihak-pihak yang menyangsikan. Kasus Marsinah dan tewasnya warga Nipah, Madura, menunjukkan bahwa suara arus bawah masih belum begitu terpedulikan. Kedudukan rakyat masih ibarat pelanduk ditengah-tengah sekawanan gajah, sehingga dalam segala gerak-geriknya, si pelanduk harus ekstra hati-hati agar tidak terinjak oleh Sang Gajah. Dalam kasus pembangunan waduk di Nipah, kita akan kesulitan menjawab pertanyaan, manakah yang termasuk kepentingan umum, pembangunan waduk itu sendiri ataukah rakyat yang tergusur tanahnya ? Kalau disepakati bahwa pembangunan waduk itu adalah untuk kepentingan umum, mengapa harus dibeli dengan empat nyawa masyarakat yang sekedar ingin memperjuangkan nasibnya ? Adakah dipertimbangkan aspek keadilan, itikad baik dan kebijaksanaan dalam kasus tersebut ? Dalam hubungan dengan pelanggaran HAM ini, ELSAM (1995) telah melakukan identifikasi beberapa kasus sebagai berikut : 1. Pelanggaran secara umum a. Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Berekspresi Dibawah penerapan security approach, pemerintah Orde Baru

berulangkali melakukan pelanggaran hak asasi dalam bentuk-bentuk : Screening dan tuduhan simpatisan komunis. Pembubaran diskusi atau forum yang tidak memiliki perijinan. Penyensoran atau pembatasan secara ketat kebebasan menyatakan pendapat melalui senni sampai dengan bisnis. Pembatasan kebebasan akademis. b. Kebebasan Berkumpul c. Tekanan Atas Nama Pembangunan 2. Kasus Kedung Ombo a. Tidak adanya Musyawarah sebagaimana ketentuan Permendagri Nomor 15 tahun 1975. Gubernur menetapkan secara sepihak besarnya ganti rugi berikut kriteria yang digunakan. b. Intimidasi dan Teror, misalnya menggedor pinntu tengah malam, ancaman akann di-petrus-kan, pencantuman label ET pada KTP, menuduh penduduk anti Pancasila, dan sebagainya. c. Penggenangan waduk dan penenggelaman penduduk, yang masih bertahan sejumlah 8000 jiwa d. Penangguhan eksekusi Putusan MA Nomor 2263/K/Pdt/1991 dengan alasan putusan tersebut sedikit bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3. Kasus Keluarga Berencana a. Hak Kesehatan Reproduksi, dimana penggunaan kontrasepsi dilakukan tanpa pemeriksaan dan pemantaua terlebih dahulu, serta tidak disertai dengan pemberitahuan efek sampingnya. b. Ketiadaan informasi yang memadai. c. Penggunaan unsur paksaan. d. Penggunaan sistem target.

Yang pasti, hampir tidak ada seorangpun yang menyangkal teori bahwa pembangunan haruslah menghasilkan manfaat yang betul-betul dinikmati rakyat. Jadi, jika ada suatu proyek pembangunan yang ditolak oleh rakyat, mana yang harus dikaji kembali, sifat dan implikasinya pembangunan atau sikap rakyat ? Mungkin kedua-duanya harus dipertimbangkan, namun berdasarkan asas salus populi suprema lex(keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi) dan prinsip Kedaulatan Rakyat yang dianut oleh Negara kita, mestinya kepentingan rakyat diletakkan diatas segalanya. 1. Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Berekspresi Dibawah penerapan security approach, pemerintah Orde Baru berulangkali melakukan pelanggaran hak asasi dalam bentukbentuk: Screening dan tuduhan simpatisan komunis. Pembubaran diskusi atau forum yang tidak memiliki perijinan. Penyensoran atau pembatasan secara ketat kebebasan menyatakan pendapat melalui senni sampai dengan bisnis. Pembatasan kebebasan akademis. 2. Kebebasan Berkumpul 3. Tekanan Atas Nama Pembangunan 1. Tidak adanya Musyawarah sebagaimana ketentuan Permendagri Nomor 15 tahun 1975. Gubernur menetapkan secara sepihak besarnya ganti rugi berikut kriteria yang digunakan. 2. Intimidasi dan Teror, misalnya menggedor pinntu tengah malam, ancaman akann di-petrus-kan, pencantuman label ET pada KTP, menuduh penduduk anti Pancasila, dan sebagainya. 3. Penggenangan waduk dan penenggelaman penduduk, yang masih bertahan sejumlah 8000 jiwa 4. Penangguhan eksekusi Putusan MA Nomor 2263/K/Pdt/1991 dengan alasan putusan tersebut sedikit bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. 1. Hak Kesehatan Reproduksi, dimana penggunaan kontrasepsi dilakukan tanpa pemeriksaan dan pemantaua terlebih dahulu, serta tidak disertai dengan pemberitahuan efek sampingnya. 2. Ketiadaan informasi yang memadai.

3. Penggunaan unsur paksaan. 4. Penggunaan sistem target.

Itulah tingkat pelaksanaan hak asasi yang tertinggi. Namun harus diakui bahwa saat ini Indonesia sedang menuju kesana, dan untuk itu dibutuhkan waktu yang cukup lama. Salah satu contoh sebagai bukti berjalannya proses ke arah itu adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden Noor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang mempunyai tugas pokok untuk : (1) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, dan Deklarasi Universal PBB, serta (2) meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka Komisi Nasional melakukan kegiatan-kegiatan menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM kepada masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional dan mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasi. Kegiatan penting lainnya adalah memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM dan memberikan pendapat, pertimbangan atau saran kepada badan pemerintah negara mengenai pelaksanaan HAM; serta mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka memajukan

dan melindungi HAM. Masalahnya, mampukah Komisi Nasional bersifat independen dan memiliki wibawa dalam melaksanakan pekerjaannya, ataukah sebaliknya hanya merupakan implikasi kebijaksanaan tertentu ? Disinilah diperlukan sekali political will pemerintah untuk memberikan kebebasan dan ruang gerak kepada Komisi Nasional tanpa tendensi tertentu. Bahkan kalau perlu, kompetensi absolut PTUN sebagai lembaga peradilan yang khusus menangani kasus-kasus onrechtmatige overheidsdaad diperluas serta diberikan otoritas untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran HAM oleh birkorasi sebagai aparatur negara, sekaligus untuk memacu tertib kinerja birokrasi pemerintah dalam rangka semangat Reinventing Government. Antara tiga variabel aparatur, pelayanan masyarakat dan HAM terdapat hubungan saling timbal balik, artinya bahwa aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas negara, baik tugas pemerintah umum maupun tugas pembangunan, dan terutama karena fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, dituntut untuk selalu memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi masyarakat. Pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan implikasi yang paling menonjol dari suatu Welfare State atau Adminstrative State, sedang Negara Kesejahteraan atau Negara Administratif pada hakekatnya berarti rakyatlah yang berkuasa dan bahwa pemerintah hanya menerima delegasi

wewenang dan kekuasaan dari rakyat yang diperintah. Dengan kata lain, pelayanan selalu berbentuk kegiatan pengaturan, pengurusan, koordinasi dan pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat agar tercapai suatu keserasian, ketertiban, dan pemerataan bagi seluruh anggotanya. Oleh karenanya, manakala ada yang merasa kepentingannya terganggu atau terusik -- baik oleh sesamanya atau oleh birokrat -- hal itu menandakan bahwa pelayanan publik yang diberikan belumlah sesuai dengan harapan. Masyarakat selalu berkembang, sementara kepuasan manusia bersifat relatif. Karena itu, bagaimanapun baiknya pelayanan pemerintah, masyarakat terus menghendaki agar pelayanan tersebut ditingkatkan. Lalu, langkah dan kebijakan apa yang bisa ditempuh oleh pemerintah ? Agar pelayanan dapat dirasakan secara maksimal oleh seluruh lapisan masyarakat, maka birokrasi harus selalu berpedoman pada aturanaturan atau konvensikonvensi yang telah disepakati bersama, dalam hal ini adalah butirbutir Pancasila, pasal-pasal UUD 1945 (terutama pasal 27 sampai 34), serta norma-norma kesusilaan dan keagamaan yang hidup dan terpelihara dalam sistem budaya masyarakat. Sepanjang pembangunan dilaksanakan secara konsekuan diatas rel-rel tersebut, dapat dipastikan angkaangka protes terhadap pelaksanaan HAM dapat ditekan serendah mungkin. Hal-hal seperti ini haruslah menjadi kepedulian yang selalu melekat pada birokrasi pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Aspek lain yang sangat berkaitan dengan pelayanan aparatur dalam kerangka HAM adalah pengentasan kemiskinan. Pelayanan aparatur pada____________ ____ ______________

akhirnya juga bertujuan meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, dimana kesejahteraan ini merupakan salah satu determinan penting bagi rakyat untuk dapat menikmati hak-hak sosial dan ekonominya secara mantap. Mengingat tingkat pendapatan rakyat yang tergolong masih rendah, maka tugas Komisi Nasional HAM semestinya diperluas sampai kepada usaha-usaha pemerataan hasil pembangunan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, Komisi Nasional hendaknya memberi perhatian yang lebih besar bagi perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan hidup (survival), memperoleh pangan dan hunian yang layak, akses kepada pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya. Hak-hak sosial ini bila terpenuhi akan dengan sendirinya mendukung hak-hak lain, khususnya hak-hak sipil dan politik, baik dalam hubungan horisontal (antara warga masyarakat) maupun hubungan vertikal (antara masyarakat dengan pemerintah). Usaha-usaha diatas diharapkan mampu melembagakan fungsi Komisi HAM sebagai konsultan hak asasi bagi masyarakat sekaligus menjadi alat social responsibility atau social accountability yang dituntut dapat memberikan nilai tambah bagi tegaknya nilai-nilai hak asasi bangsa melalui pengawasan sosial (social control). Dan dalam rangka meningkatkan

_____ __

kesetaraan pelaksanaan hak asasi antar bangsa sebagai bagian dari masyarakat global, Komisi HAM harus membuktikan perannya dalam mengendalikan kebijaksanaan birokrasi agar lebih berorientasi kepada public interest, disamping harus berfungsi menjadi penilai etika gerakan fenomenologis arus bawah. Adakah kemampuan untuk menegakkan peran yang seimbang dari Komisi HAM seperti yang diharapkan ? Inilah pertanyaan asasi yang bersama-sama kita nantikan jawabannya.

Kekerasan Terhadap Anak Bisa Membuat Anak TraumaFiled under: Uncategorized by wandi2305 Leave a comment April 2, 2011 Awal tahun 2010 kita dikejutkan oleh peristiwa kekerasan terhadap anak secara beruntun. Di Depok Jawa Barat seorang guru ngaji menyiksa 3 santrinya dengan air keras. Di Jakarta Utara seorang homosek dan paedofil telah memutilasi 3 anak. Di Tangerang seorang Ibu membekap bayinya yang berusia 9 bulan hingga tewas. Terakhir, KPAI menerima laporan kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta Selatan, terhadap seorang siswanya sehingga korban merasa trauma dan tidak mau masuk sekolah. Sebelumnya diberitakan seorang bayi di Semarang hilang diculik dari Rumah Sakit daerah, demikian juga seorang bayi lainnya diculik dari Puskesmas Kembangan, Jakarta Barat. Kekerasan terhadap anak rupanya tidak pernah berhenti dan sulit dihentikan. Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga terjadi di seluruh Negara di dunia. Pada bulan oktober 2006, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan hasil Studi tentang Kekerasan terhadap Anak, yang mengungkapkan skala berbagai bentuk kekerasan yang dialami anak di seluruh dunia terus meningkat, sehingga PBB menyerukan penguatan komitmen dan aksi di tingkat nasional dan lokal oleh semua Kepala Negara. Kekerasan Pada Anak Cenderung meningkat Di Indonesia sendiri, angka-angka kekerasan terhadap anak tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Angka pastinya sulit diperoleh karena banyak kasus kekerasan yang tidak

dilaporkan, terutama apabila kekerasan tersebut terjadi di rumah tangga. Banyak masyarakat menganggap, kekerasan di rumah tangga adalah urusan domestik, sehingga tidak selayaknya orang luar, aparat hukum sekali pun ikut campur tangan. Beberapa data yang terserak bisa menjadi gambaran betapa eskalatifnya kekerasan terhadap anak di tanah air. World Vision yang melakukan pendataan ke berbagai daerah menemukan angka 1.891 kasus kekerasan selama tahun 2009, pada tahun 2008 hanya ada 1600. Kompilasi dari 9 surat kabar Nasional menemukan angka 670 kekerasan terhadap anak selama tahun 2009, sementara tahun 2008 sebanyak 555 kasus. Sementara Pengaduan langsung ke KPAI tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus, belum termasuk Laporan melalui E-mail dan telepon. Dari Bareskrim Polri, selama tahun 2009 terjadi tindak kekerasan terhadap anak sebanyak 621 yang diproses hingga tahap P-21 dan diputus pengadilan. Karena sulitnya memperoleh data valid dari seluruh tanah air, maka KPAI bersama semua stakeholders bersepakat, utamanya Departemen Kesehatan, mulai tahun 2010, akan menjadikan Puskesmas dan RS sebagai basis data kekerasan terhadap anak. Sebuah lokakarya sedang disiapkan untuk membangun sensitifitas para petugas kesehatan di tempat-tempat pelayanan kesehatan serta membuat mekanisme pelaporan yang cepat dan akurat. Diharapkan, kelak tidak perlu korban lapor, kalau seorang dokter atau petugas Puskesmas mencurigai pasiennya korban kekerasan akan segera melaporkan kepada aparat berwajib, karena banyak anak korban kekerasan tidak berani menyampaikan laporan sebab ia berada dalam tekanan dan ancaman. Tekanan hidup Ada kultur kekerasan yang sangat kuat di sebagian masyarakat kita. Anak dilihatnya sebagai miilik mutlak yang harus takluk untuk menggayuh keinginan orang dewasa. Anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang dewasa, dan ketika ia tidak bisa memenuhi anak akan diperlakukan dengan kekerasan. Perlakuan kekerasan terhadap anak ini tidak hanya di rumah, atau komunitas tertentu saja, bahkan di sekolah pun, di mana anak mestinya memperoleh jaminan rasa aman, yang terjadi juga praktek kekerasan. Masih banyak guru menganggap, bahwa kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan. Banyak guru lupa, bahkan mungkin tidak tahu, bahwa dasar pendidikan adalah cinta. Jangan mendidik, jangan mengajar, bila gelora hatinya bukan gelora cinta cinta, sebaliknya gelora dendam dan kebencian. Kedua, modernisasi yang tidak terkendali akan selalu melahirkan kemiskinan kota dengan segala karakternya; meningkatnya angka kriminalitas, prostitusi, dan tekanan hidup. Keempatnya saling berangkai dan saling menjadi sebab dan akibat. Muaranya satu, kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuk seperti; penelantaran, pemekerjaan, perdagangan anak, pelacuran anak, hingga kekeerasan fisik yang menyebabkan penderitaan dan kematian anak. Ketiga, karakter psikis seseorang. Karakter psikologis akan terekspresikan bila ada media yang mempertemukan dengan kondisi sosial. Untuk kasus Ibu yang membunuh anak di kota-kota besar pada umumnya karena tidak kuatnya menghadapi tekanan hidup. Ekspresi tekanan hidup yang tak tertanggungkan akan selalu dilampiakan kepada orang-orang terdekatnya. Fromm (1970) mengutip hasil studi Sigmund Freud bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling bersaing untuk keluar,

yaitu keinginan untuk mencintai dan keingininan untuk membunuh. Seseorang yang memiliki karakter psikis dominan keingian membunuh akan segera terekspresikan ketika ada lingkungan sosial ekonomi yang tidak bisa dihadapi, menekan dirinya, dan jadllah orang-orang di sekitarnya sebagai pelampiasan. Cara penanggulangan trauma pada anak (urutan dan intensitas sama dengan orang dewasa) walaupun demikian tergantung pada : Trauma yang berat, sering disertai dengan kerusakan pada beberapa alat tubuh (multiple organ injury) tiba di IRD, nampaknya tak ada reaksi hidup, prognosa buruk walaupun dengan organisasi pelayanan perawatan yang baik. Penderita trauma yang masuk ke IRD, sadar dengan anamnesa trauma yang berat, perlu dirawat oleh dokter ahli dengan pertimbangan yang hati hati dan saksama. Penderita dengan trauma yang berat, yang nampaknya gambaran klinik yang ringan, sangat mungkin terjadi kelengahan dan perawatan yang salah. Urgent Treatment segera dikerjakan kalau ada kecurigaan dan mencegah atau mengurangi keadaan yang tiba tiba menjadi buruk. Trauma tumpul yang menyebabkan multi sistem injury selalu dicurigai sampai terbukti tidak ada kerusakan pada organ organ tubuh. Prioritas pemeriksaan dan penanggulangan sama dengan orang dewasa. Walaupun demikian pada anak-anak; trauma/ kekerasan mempunyai bentuk dan jenis trauma tertentu. Pengobatan segera didasarkan persepsi adanya emergency condition dan pengetahuan tentang prioritas pada penanggulangan anak dengan multiple injury. Sesudah satu trauma yang berat, kondisi yang perlu segera diobati adalah gangguan pernapasan yang menyebabkan oxygenisasi terganggu. Yang dapat dimulai dengan face mask yang dihubungkan dengan resuscitation bag dengan oxygen reservoir dan dengan meningkatkan kadar oxygen. Langkah berikutnya adalah Endo Tracheal Intubasi,Oxygenisasi dan Ventilasi. Meningkatkan kepedulian terhadap anak Pertama, harus ada pemahaman bersama dari seluruh komponen masyarakat bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh sebab itu, siapapun, dengan alasan apapun, tidak boleh melakukan kekerasan terhadap anak. Tindak kekerasan kepada anak akan dijerat dengan pasal-pasal ketentuan pidana dalam UU perlindungan anak yang bisa dihukum maksimal hukuman kurungan 15 tahun dan denda Rp 600.000,00. Kedua, masyarakat perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan anak. Kita tidak boleh lagi apriori terhadap jerit tangis anak di rumah tetangga yang tidak wajar, kita boleh lagi apriori misalkan ada tetangga yang mengasuk anak-anak namun menutup diri dari pergaulan tetangga, para dokter dan tenaga medis serta paramedis lainnya tidak bisa lagi apriori manakala ada pasien yang datang dengan keluhan yang mencurigakan, dan sebagainya.

Ketiga, media massa hendaklah tidak mengekspose berita-berita kekerasan tanpa batas. Pemberitaan tanpa visi, hanya mengabdi pada rating dan industri boardcasting serta tiras penerbitan akan mengorbankan masyarakat, khsusunya anak, karena anak akan cepat meniru apa yang dilihatnya tanpa mengetahui akibat dari setiap pilihan tindakan. Keempat, pengakkan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum. UU Perlindungan Anak sesungguhnya sudah cukup berat dalam ketentuan sanksi kepada para pelaku kekerasan terhadap anak, namun di lapangan sering ketentuan tersebut tidak diterapkan. Banyak aparat hukum yang menjerat pelaku hanya dengan KUHP sehingga hukumannya sangat ringan. Alasannya, polisi belum tahu atas UU Perlindungan Anak, tetapi patut diduga ada permaianan uang dalam kasus-kasus kekerasan terhadap anak, mengingat banyak kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh jaringan mafia dengan kekuatan uang di belakangnya. Kelima, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pemberantasan kemiskinan. Angka-angka indikator makro ekonomi ternyata tidak terasakan oleh lapisan miskin kota. Mereka tetaplah kelompok marginal yang tidak memiliki akses ekonomi dan bentuk-bentuk kesejahteraan lainnya. Mengingat banyaknya kasus kekerasan terhadap anak berlangsung di perkotaan darn dari keluarga miskin, maka saatnya orientasi pemberantasan kemiskinan di perkotaan memperoleh perhatian lebih, dengan metode yang tepat, dan simpul-simpul penentu kebijakan yang mudah diakses oleh mereka.

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Anak Dalam Perspektif Hak Asasi ManusiaOleh : Yoan Barbara Runtunuwu Dosen Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya Abstrak

Bermacam bentuk eksploitasi terhadap pekerja anak baik di sector formal maupun informal telah menyebabkan anak-anak tidak memperoleh hak-haknya di bidang pendidikan, pelayanan, kesehatan, menikmati masa kanak-kanak untuk belajar dan bermain. Konvensi dasar ILO Tahun 1999 Nomor 182 seperti yang disebutkan sebelumnya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Untuk menghapus pekerja anak memang memerlukan waktu, tenaga, dana dan kesadaran seluruh masyarakat, akan tetapi banyak anak yang tidak bisa menunggu sampai pemecahan masalah kemiskinan dan pembangunan terselesaikan.

PENDAHULUAN

Pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat terjadi melalui berbagai bentuk seperti eksploitasi untuk kepentingan ekonomis bagi perorangan maupun kelompok, kekerasan dalam rumah tangga dan perlakuan diskriminatif baik dalam keluarga maupun di masyarakat yang dilakukan secara nyata maupun terselubung. Berkaitan dengan pekerja anak, masih banyak anakanak yang dapat ditemui bekerja di luar rumah disebabkan oleh kebutuhan ekonomi. Dari segi jumlah pekerja anak akan terus mengalami peningkatan karena krisis ekonomi yang melanda

Indonesia. Bermacam bentuk eksploitasi terhadap pekerja anak di sektor formal dan informal telah menyebabkan anak-anak tidak memperoleh hak-haknya di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, termasuk menikmati masa kanak-kanak untuk belajar dan bermain. Meskipun perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hokum di seluruh dunia, namun banyak keadaan yang membuat kehidupan dan kerja anak-anak ini dapat di sebut sebagai mendekati perbudakan. Praktik mirip perbudakan, kendati bertentangan dengan hokum, tetap saja berlangsung secara meluas di seluruh dunia. Hal ini mencakup eksploitasi buruh anak-anak, kerja paksa, penjualan anak-anak, pelacuran yang dipaksakan, penjualan narkotika dan penelantaran. Situasi kerja anak-anak mungkin membahayakan kesehatan tubuh dan kesehatan mental serta nilai moral, apalagi dengan upah yang sangat minim atau tanpa upah sama sekali (Levin, 1994: 67). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak Agustus 1997 telah membawa akibat yang luar biasa bagi kehidupan mayoritas bangsa Indonesia. Puluhan juta jiwa penduduk langsung terperosok di bawah garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pada tahun 1998 lebih dari 79 juta jiwa atau 40 % penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini melonjak jauh dibandingkan 20-25 juta jiwa sebelum krisis moneter. BPS melakukan koreksi pada tahun 1999 dengan menyatakan lebih

KONTROVESI PEKERJA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG DAN KONVENSI ILO (KONVENSI HAK ANAK PBB) Menurut UU No. 1/1951 , anak (8-14 tahun ) dilarang bekerja .namun ketentuan ini masih belum berlaku karena belumada peraturan pelakanaannya . Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hokum ini dengan terpaksa diberlakukan lah ketentuan lama yaitu : Stbl.1925 No.647 tentang pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari Menurut ketentuan ini , anak dapat di pekerjaan dengan bernagai syarat yang menyangkut : Jenis pekerjaan Umur Waktu kerja dan lamanya kerja Hal-hal tersebut diatas tercermin dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Anak yang berumur antara 8-14 tahun tidak boleh melakukan pekerjaan kecuali pada malam hari antara jam 20.00 -05 .00 Anak-anak yang berumur dibawah 12 tahun tidak boleh melekukan pekerjaan terutama di : 1. Pabrik yang tertutup 2. Ditempat kerja dimana dipekerjaan secara bersama-sma lebih dari 10 orang 3. Ditempat kerja dimana dilakukan pembuatan pemeliharaan pembetulan ,pembongkaran , air, dan gedung 4. Pada perusahaan kereta api trem Selanjutnya ketentuan pembatasan pekerjaan anak ini diatur lebih lanjut dalam peraturan mentri tenaga kerja 1/1987 tentang perlindungan anak yang terpaksa bekerja . ketentuan ini menentukan hal-hal sebagai berikut:

Tidak boleh mempekerjakan anak lebih dari 4 jam /hari Tidak boleh mempekerjakan anak pada malam hari Wajib membayar upah sesuai dengan peraturan yag berlaku Mewajibkan pada pengusaha untuk mengupayakan agar buruh anak di beri kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar PTMK ini juga di lengkapi dengan ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya maksimum tiga bulan kurungan UUNo. 20 /1999 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk di perbolehkan menyatakan bahwa batas usia minimumuntuk di perbolehkan bekerja yang diberlakukan diwilayah RI adalah usia 15 tahun Pemerintah Indonesia tampak masih belum konsisten dalam melaksanakan konvensi hak anak PBB yang telah menjadi hokum internasional sejak 2 septemer 1990 umur pekerja anak yamg menuerut ketentuan dunia berumur minimal 18 tahun tidak ditaati ,sejumlah anak masih dieksploitasi dan di pekerjakan secara tidak mnusiawi Persatuan buruh dunia (ILO No. 139 tahun 1973)pun telah membuat konvensi mengenai usia minimum buruh anak yang menyebutkan anak tidak boleh di pekerjakan dalam sector ekonomi mana pun dibawah umur yang sedang berada dalam penyelsaian wajib sekolah dan tidak kurang dari 15 tahun . Umur minimum untuk masuk angkatan kerja yang tidak membahyakan kesehatan ,keslamatan dan moral adalah 18 tahun Sejumlah tindakan khusus perlu di ambil pemerintah agar bangsa Indonesia tidak dinilai buruk oleh dunia internasional karena melakukan pelanggaran konvensi hak anak PBB. Maka yang harus dilakukan adalah : Pertama : menghapus segera pekerjaan yang menghamabat fisik social , kognitif , emosional ataupun moral anak tidak boleh di toleransi .pemerintah harus tegas menindak pengusaha yang mempekerjakan anak secara manusiawi . Kedua : pemerintah perlu menyediakan wajib belajar Cuma-Cuma bagi anak tidak mampu .pemerintah harus memenuhi tanggung jawab mereka untuk menyediakan pendidikan dasar yang relevan secara Cuma-Cuma dan di wajibkan bagi anak dan menjamin semua anak masuk sekolah dasar sampai tamat . Ketiga : adanya perlindungan hokum yang lebih luas bagi anak .Perundang-undangan mengenai pekerja anak dan pendidikan anak harus konsisten dalam tujuannya dan dilaksanakan dengan cara sling mendukung..Undang-undang mengenai pekerja anak harus selaras dengan konvensi hak anak PBBdan konvensi ILO Keempat : pemerintah harus melakukan pencatatan kelahiran semua anak . semua anak harus di catat saat lahir ,hak ini penting untuk memungkinkan penerapan hak anak , seperti memperoleh pendidikan, perawatan kesehatan dan pelayanan dari pemerintah lainnya. Kelima: pengumpulan data dan p[emantauan . data mengenai pekerja anak sangat sulit. Jika pekerja anak ditangani secara serius , maka akan di dapatkan angka rasional

yang dapat memberikan sambungan data guna merancang kepentingan keselamtan anak. Terakhir perlu di susun peraturan dan kebijakan dunia usaha . Dunia usaha baik nasional maupun internasional harus di desak di desak untuk tidak mempekerjakan anak-anak

Pertanyaan mengenai Pekerja Anakby Gunjan Pandya last modified Nov 10, 2010 04:38 PM Pada usia berapa seseorang dibolehkan bekerja? Pekerja dengan usia muda bahkan mungkin di bawah umur angkatan kerja yang sering disebut sebagai pekerja anak masih banyak kita jumpai di Indonesia. Bagaimana sebenarnya Undang-undang mengaturnya? Menurut anda, apakah seorang anak berusia 13 tahun layak bekerja? Tentu saja sisi perkembangan kepribadian, mentalitas dalam bekerja, pengetahuan, dsb mempengaruhi kinerja kerja mereka apalagi bila mereka diberi pekerjaan pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab yang berat. Belum lagi, pekerjaan berat bisa mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak anak. Jadi apakah layak? Cari tahu bersama yuk 1. Pada usia berapa seseorang diperbolehkan bekerja? Pasal 68 Undang-undang no. 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dan dalam ketentuan undang-undang tersebut, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun. Berarti 18 tahun adalah usia minimal yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja. 2. Apakah remaja usia sekolah dibenarkan untuk bekerja oleh Undang-undang? Merujuk pertanyaan sebelumnya di atas sebenarnya jawabannya adalah tidak boleh, namun di dalam undang-undang yang sama pasal 69, 70, dan 71 menjelaskan pengecualian bagi anak usia 13 15 tahun diizinkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Kemudian juga anak minimal usia 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. 3. Jika ya, bagaimana sistem pengupahan untuk remaja bekerja ini? Mengenai pengupahan terhadap pekerja remaja, perusahaan diberikan hak sesuai Pasal 92 ayat 1 Undang-undang Tenaga Kerja tahun 2003 untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Maka, biasanya upah bagi golongan pekerja usia sangat muda ini berada di bawah pekerja biasanya. 4. Apa persyaratan untuk mempekerjakan anak usia 13 15 tahun untuk

pekerjaan ringan? Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan :

Izin tertulis dari orang tua atau wali; Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja; Adanya hubungan kerja yang jelas; dan Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Apa saja syarat pekerjaan yang dilakukan anak usia minimal 14 tahun karena merupakan bagian kurikulum pendidikan dan pelatihan? Pekerjaan seperti yang dimaksud dapat dilakukan dengan syarat :

Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

6. Apa syarat pekerjaan yang dilakukan anak untuk mengembangkan bakat dan minat anak? Untuk pekerjaan yang ditujukan untuk mengembangkan bakat dan minat anak, persyaratannya adalah:

Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali Waktu kerja paling lama 3 jam sehari Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

7. Apa saja jenis-jenis pekerjaan yang berbahaya bagi anak? Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak ditetapkan dengan Keputusan Menteri No: KEP. 235 /MEN/2003, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, pekerjaan yang mengandung bahaya fisik, pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia, pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis, dan pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu seperti konstruksi bangunan, pengolahan kayu, pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00 s/d 06.00. Selain itu dijelaskan juga jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan moral anak seperti pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi, bahkan pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Sumber

Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Indonesia. Keputusan Menteri No: KEP. 235 /MEN/2003