diktator konstitusional dan hukum pengecualian · dalam kenyataan sejak zaman romawi kuno bahwa...

37
1 DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. A. PENDAHULUAN Di semua negara konstitusional modern, ketika merumuskan apa saja aturan-aturan dasar bernegara yang perlu dituangkan dalam satu naskah konstitusi sebagai kesepakatan tertinggi mengenai pola-pola yang diidealkan dalam hubungan (i) di antara sesama warga negara, (ii) antara warga negara dengan organ-organ atau jabatan-jabatan pemerintahan negara, dan (iii) antar organ, lembaga, atau jabatan-jabatan bernegara itu satu sama lain dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, serta (iv) dalam hubungan antara negara dan warganegara dengan subjek hukum asing, baik dengan warga negara asing, dengan negara lain yang berkepentingan, atau dengan organisasi internasional lainnya, di dalam wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia. Pola-pola hubungan itu, selalu menekankan prinsip kebebasan dan kemerdekaan, prinsip keadilan dan kesetaraan, prinsip kesejahteraan, prinsip kerukunan, perdamaian dan solidaritas. Dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang bersifat domestik, biasanya selalu ada pengaturan mengenai pola-pola hubungan saling mengimbangi dan saling mengendalikan antar fungsi-fungsi kekuasaan negara (checks and balances) di antara antar organ-organ negara, prinsip-prinsip jaminan kebebasan dan hak asasi manusia, mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis dan berdasar atas hukum dan konstitusi, sesuai dengan prinsip demokrasi dan negara hukum modern dengan menempatkan cabang kekuasaan kehakiman secara tersendiri sebagai kekuatan pengimbang dan pengendali yang bersifat independen. Jka kepentingan politik dan bisnis bersengketa, harus ada pihak ketiga yang diharapkan bersikap imparsial untuk memutus dengan keadilan. Jika cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak menemukan solusi untuk keluar dari persengketaan, maka kekuasaan pengadilanlah yang dipercaya untuk memutuskan solusi yang berkeadilan. Namun, semua aturan-aturan konstitusional yang baik itu seringkali terbentur dengan kasus-kasus keadaan tidak normal yang sering terjadi dalam praktik. Misalnya, jika timbul perang atau terjadi konflik bersenjata di suatu negara, atau bencana alam di luar kuasa manusia, seperti banjir bandang, gelombang tsunami, angin badai, liquipaksi, gunung meletus, ataupun kebakaran hutan yang luas, yang merusak lingkungan sekitar, menghancurkan suatu pemukiman di banyak kota, menyebabkan timbulnya keadaan darurat yang memerlukan tindakan-tindakan pemerintahan yang cepat dan mendesak, yang seringkali harus dilakukan dengan menabrak dan menerobos segala aturan yang berlaku dalam keadaan normal, atau bahkan dengan cara melanggar aturan-aturan konstitusi itu sendiri. Karena itu, konstitusi modern di dunia biasanya memuat ketentuan yang khusus untuk menghadapi keadaan yang bersifat darurat seperti itu. Inilah yang biasa dinamakan sebagai “the state of emergency”. Di dalamnya diatur pemberian kewenangan khusus dalam keadaan darurat (emergency powers) kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan atau

Upload: others

Post on 26-Jun-2020

32 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

1

DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN

Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

A. PENDAHULUAN

Di semua negara konstitusional modern, ketika merumuskan apa saja aturan-aturan

dasar bernegara yang perlu dituangkan dalam satu naskah konstitusi sebagai kesepakatan

tertinggi mengenai pola-pola yang diidealkan dalam hubungan (i) di antara sesama warga

negara, (ii) antara warga negara dengan organ-organ atau jabatan-jabatan pemerintahan

negara, dan (iii) antar organ, lembaga, atau jabatan-jabatan bernegara itu satu sama lain

dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, serta (iv) dalam hubungan antara negara

dan warganegara dengan subjek hukum asing, baik dengan warga negara asing, dengan

negara lain yang berkepentingan, atau dengan organisasi internasional lainnya, di dalam

wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia. Pola-pola hubungan itu, selalu menekankan

prinsip kebebasan dan kemerdekaan, prinsip keadilan dan kesetaraan, prinsip kesejahteraan,

prinsip kerukunan, perdamaian dan solidaritas.

Dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang bersifat domestik, biasanya selalu

ada pengaturan mengenai pola-pola hubungan saling mengimbangi dan saling

mengendalikan antar fungsi-fungsi kekuasaan negara (checks and balances) di antara antar

organ-organ negara, prinsip-prinsip jaminan kebebasan dan hak asasi manusia, mekanisme

pengambilan keputusan yang demokratis dan berdasar atas hukum dan konstitusi, sesuai

dengan prinsip demokrasi dan negara hukum modern dengan menempatkan cabang

kekuasaan kehakiman secara tersendiri sebagai kekuatan pengimbang dan pengendali yang

bersifat independen. Jka kepentingan politik dan bisnis bersengketa, harus ada pihak ketiga

yang diharapkan bersikap imparsial untuk memutus dengan keadilan. Jika cabang kekuasaan

eksekutif dan legislatif tidak menemukan solusi untuk keluar dari persengketaan, maka

kekuasaan pengadilanlah yang dipercaya untuk memutuskan solusi yang berkeadilan.

Namun, semua aturan-aturan konstitusional yang baik itu seringkali terbentur dengan

kasus-kasus keadaan tidak normal yang sering terjadi dalam praktik. Misalnya, jika timbul

perang atau terjadi konflik bersenjata di suatu negara, atau bencana alam di luar kuasa

manusia, seperti banjir bandang, gelombang tsunami, angin badai, liquipaksi, gunung

meletus, ataupun kebakaran hutan yang luas, yang merusak lingkungan sekitar,

menghancurkan suatu pemukiman di banyak kota, menyebabkan timbulnya keadaan darurat

yang memerlukan tindakan-tindakan pemerintahan yang cepat dan mendesak, yang

seringkali harus dilakukan dengan menabrak dan menerobos segala aturan yang berlaku

dalam keadaan normal, atau bahkan dengan cara melanggar aturan-aturan konstitusi itu

sendiri. Karena itu, konstitusi modern di dunia biasanya memuat ketentuan yang khusus

untuk menghadapi keadaan yang bersifat darurat seperti itu. Inilah yang biasa dinamakan

sebagai “the state of emergency”.

Di dalamnya diatur pemberian kewenangan khusus dalam keadaan darurat

(emergency powers) kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan atau

Page 2: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

2

kepada otoritas konstitusional lainnya untuk (i) mendeklarasikan dan menetapkan berlakunya

dan berakhirnya keadaan darurat itu, (ii) menerbitkan aturan-aturan yang bersifat sementara

selama dalam keadaan darurat dengan menangguhkan pelbagai jaminan hak dan kebebasan,

menangguhkan pelbagai proses penegakan hukum dan sebagainya, dan (iii) memerintahkan

tindakan-tindakan pemerintahan yang dalam keadaan normal dapat dinilai melanggar

undang-undang dalam rangka mengatasi dan memulihkan keadaan agar segera kembali

menjadi normal serta melakukan tindakan penyelamatan untuk kepentingan seluruh

penduduk.

Tujuan paling konservatif dengan pemberian kekuasaan darurat (emergency powers)

ini tidak lain agar ancaman bahaya dapat diatasi sedemikian rupa sehingga keadaan negara

dapat segera kembali pulih dengan sistem hukum yang normal kembali berfungsi. Menurut

hasil studi John Ferejohn dan Paquale Pasquino,1 tujuan konservatif demikian juga tercermin

dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak

diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen terhadap sistem hukum

dan konstitusi, kecuali hanya untuk sementara waktu karena timbulnya keadaan darurat.

Karena itu, dikatakan bahwa:

“Emergency powers, exercised in this conservative way, have long been thought to be a

vital and, perhaps, even an essential component of a liberal constitutional—that is, a

rights-protecting—government. They are the key to resolving the dilemma faced by such

governments when they are under either external or internal attack.”

B. MODEL-MODEL KEKUASAAN DARURAT (Models of Emergency Power)

Menurut John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, ada tiga yang mereka sebut sebagai

“models of emergency powers” dalam perkembangan sejarah, yaitu:

1) Roman Dictatorship model;

2) Neo-Roman Model of Constitutional Emergency Power) Konstitusi Weimar 1919 dan

Konstitusi Perancis 1958); “Vested in the elected executive head of government).

3) Legislative Model of Emergency Powers; the law of exception menurut John Ferejohn dan

Pasquale Pasquino.

Pemerintahan darurat model Romawi menurut Ferejohn dan Pasquino ditemukan

Kembali oleh para filosof modern seperti Nicollo Machiavelli, Baron de Montesquieu, dan J.J.

Rousseau2 dalam mengembangkan ide-ide modern tentang republic. Atas rujukan

1 John Ferejohn dan Paquale Pasquino, The Law of the Exception: A Typology of Emergency Powers (2004), hal. 210-212. John Ferejohn adalah Carolyn S. G. Munro Professor of Political Science and Senior Fellow, The Hoover Institution, at Stanford, University and Vis iting Professor at New York University School of Law. Sedangkan Paquale Pasquino adalah Research Director, CNRS, France, and Visit ing Professor of Politics and Law and New York University. 2 Niccolo Machiavelli, Discources on Livy, ch. 34; James Harrington, The Commonwealth of Oceana 88 (1656), Lihat http://www. constitution.org /jh/oceana.htm (“But whereas it is incident to commonwealths, upon emergencies requiring extraordinary speed or secrecy, either through their natural delays or unnatural haste, to incur equal danger, while holding to the slow pace of the ir orders, they come not in time to defend themselves from some sudden blow; or breaking them for the greater speed, they but haste to their own destruction; if the Senate shall at any time make election of nine knights-extraordinary, to be added to the Council of War, as a juncta for the term of three months, the Council of War with the juncta so added, is for the term of the same Dictator of Oceana, having power to levy men and money, to make war and peace, as also to enact laws, which shall be good for the space of one year (if they be not sooner repealed by the Senate and the people) and for no longer time, except they be confirmed by the Senate and the people. And the whole

Page 3: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

3

pengalaman dari pemerintahan darurat dari zaman Romawi itulah maka para perancang

Konstitusi Weimar Jerman tahun 1919, dan Konstitusi Perancis tahun 1958 berkeyakinan

mengenai pentingnya merumuskan pasal yang memberikan kekuasaan khusus kepada

penguasa untuk menghadapi ancaman bahaya yang mendesak terhadap rezim atau terhadap

eksistensi negara.

“Roman Dictatorship” yang ditemukan kembali oleh para filosof modern yang

menggambarkannya sebagai pemerintahan darurat (emergency powers) yang kekuasaannya

diberikan oleh Senate yang terdiri atas 10 orang wakil rakyat kepada pejabat pemerintahan

yang terdiri atas 2 orang Consuls untuk memegang kendali pemerintahan tertinggi dan

termasuk untuk memegang komando atas kekuatan tentara (armies). Namun kekuasaan

dalam keadaan darurat itu hanya diberikan untuk sementara waktu, yaitu hanya selama 6

bulan saja. Selain itu, seperti dikatakan oleh Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, “The Roman

dictatorship limited the time of the dictatorship and separated the institution that declared

the emergency from the person who exercised power.”3 Yang mendeklarasikan adalah Senate,

dan yang memimpin pelaksanaannya adalah Consuls.

Selama masa 6 bulan itu, penguasa keadaan darurat memimpin pemerintahan

dengan cara-cara yang di luar aturan yang biasa untuk maksud mengatasi semua ancaman

bahaya sampai keadaan dapat dipulihkan kembali dan kehidupan berjalankan sebagaimana

sebelumnya. Menurut Niccolo Machiavelli, dalam keadaan normal, kedudukan Senate

Romawi memang sangat menentukan. Senate kota Romawi berwenang menerbitkan

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan bahkan efektif memimpin operasional

pemerintahan dalam hal kedua Consuls sedang bepergian keluar kota. Ke-10 orang wakil

rakyat itu bertanggungjawab kepada “popular assemblies”, dan setiap wakil rakyat itu

mempunyai hak veto atas semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Senate sebagai

institusi yang pada awal sejarah pembentukannya beranggotakan 10 orang anggota yang

mewakili warga kota Romawi, dan 2 orang Consuls yang ditetapkan oleh Senate untuk

menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari.4

Praktik lama di zaman Romawi itu menginspirasi para perumus konstitusi modern

untuk mengadopsinya menjadi aturan formal dalam konstitusi negara modern. Seperti

tergambar dalam buku popular karya Clinton Rossiter yang terbit pertama kali pada tahun

1948, “Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies” 5, selama

periode tahun 1919-1930an, dimana-mana terjadi perang dan konflik yang menyebabkan

administration of the commonwealth for the term of the said three months shall be in the Dictator, provided that the Dictator shall have no power to do anything that tends not to his proper end and institution, but all to the preservation of the commonwealth as it is established, and for the sudden restitution of the same to the natural channel and common course of government. And all acts, orders, decrees, or laws of the Council of War with the junota being thus created, shall be signed, ‘Dictator Oceanae.’”); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract and Discources, 293 (1762) (G. D. H. Cole trans., J. M. Dent & Sons Ltd. 1973) (“The dictatorship”). 3 Sanford Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, “Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design, Minnesota Law Review, Vol. 94, p. 1789, 2010, Yale Law School, Public Law Working Paper No. 200. U of Texas Law, Public Law Research Paper No. 164. 4 Ibid. supra. 5 Clinton Rossiter (1917-1970), Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies, pertama kali diterbitkan pada tahun 1948. Edisi revisi sudah diterbitkan berkali-kali oleh penerbit yang berbeda-beda. Dia nataranya Routldge (2002), Rossiter Press (2011), ; Clinton Lawrence Rossiter adalah lulusan Cornell, A.B. 1939, Princeton, Ph.D., 1942, held Cornell's John L. Senior Chair in Government and was the author of numerous books, including The Supreme Court and the Commander-in-Chief (1951); Conservatism in America (1955); The American Presidency (1956); Marxism: The View from America (1960); and The American Quest 1790-1860 (1971). (Pengantar oleh William J. Quirk is professor of law at the School of Law of the University of South Carolina. His earlier work on this subject appeared in Society).

Page 4: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

4

banyak negara demokrasi konstitusional harus menghadapi keadaan darurat yang harus

direspon dengan pola-pola penelenggaraan kekuasaan secara tidak biasa. Dengan

mempelajari pengalaman 4 negara modern yang penting di Eropa dan Amerika, yaitu Jerman,

Perancis, Inggeris dan Amerika Serikat selama periode itu, Clinton Rossiter berkesimpulan

bahwa “constitutional dictatorship” diperlukan sebagai faktor yang tidak terhindarkan dan

menentukan untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional. Bahkan dikatakan,

adalah merupakan kebenaran yang tidak terhindarkan bahwa "No form of government can

survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake." Apabila

mengabaikan pentingnya ‘dictatorship’, tidak ada bentuk pemerintahan apapun yang dapat

bertahan hidup ketika nyawanya bangsa sedang dipertaruhkan.6

Dalam keadaan darurat, pemerintahan demokrasi bahkan dapat menangguhkan

pelbagai aturan konstitusi yang menjamin kebebasan dan hak asasi manusia, demi untuk

keselamatan bangsa dan negara. Doktrin dan preseden putusan-putusan Mahkamah Agung

sebelumnya, tidak dikenal adanya pengecualian yang memungkinkan kewenangan Presiden

keadaan darurat dapat mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya UUD. Namun,

dengan menganalisis praktik-praktik selama Civil War di Amerika Serikat, Perang Dunia I,

Depresi, dan Perang Dunia II, ia berargumen bahwa “when the normal rules are not sufficient,

other rules take hold”. Manakala hukum yang normal tidak dapat berfungsi, hukum yang lain,

yaitu hukum keadaan darurat harus berperan. Karena itu sangat penting untuk membedakan

dua rezim hukum dalam teori dan praktik, yaitu hukum tata negara normal dan hukum tata

negara darurat. Itulah yang saya tulis dalam buku “Hukum Tata Negara Darurat” (2007)7.

Keadaan darurat yang mengharuskan berperannya seorang “Dictator Konstitusional”

ini tentu tidak dapat diterima oleh semua ahli. Banyak juga yang menggambarkan bahwa hal

ini membahayakan demokrasi itu sendiri. Di kalangan kaum liberal, pemikiran Clinton L.

Rossiter tentang “Constitutional Dictatorship” ini banyak dikritik. Dalam buku “Constitutional

Dictatorship: Its Dangers and Its Design”, Sanford Levinson dan Jack M. Balkin

menggambarkan pelbagai kritik terhadap konsep “constitutional dictatorship”. Bahkan studi

tentang perspektif yang “non-unitary executive” makin banyak dilakukan oleh para ahli8.

Maksudnya, pusat kekuasaan pemerintahan di zaman sekarang bergerak tidak lagi memusat

ke satu pemegang jabatan eksekutif (monocratic), tetapi berkembang semakin terdistribusi

ke banyak pusat eksekusi yang bersifat independen. Inilah yang disebut oleh Sanford

Levinson sebagai gejala “Distributed Dictatorship”9.

Namun, terlepas dari kekurangan dan kelemahan istilah “Constitutional Dictatorship”

ini, dalam kesimpulannya, Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, menegaskan:

“The notion of ‘constitutional dictatorship’ may seem at first a contradiction in terms, but it

is a reality that every modern democracy (like very ancient one) must eventually face.

Whatever problems may attend the design of emergency powers in a constitutional

democracy, it would be even worse to slide into patently unconstitutional dictatorships; the

6 Ibid. 7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. 8 Lihat misalnya, Stephen Skowronek, The Conservative Insurgency and Presidential Power: A Developmental Perspective on the Unitary Executive, 122 HARV. L. REV. 2071, (2009). 9 Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, Op.Cit., hal. 29.

Page 5: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

5

past century alone has witnessed far too many examples.” (Pengertian ‘kediktatoran

konstitusional' mungkin pada awalnya nampak kontradiktif dalam peristilahan, tetapi

adalah kenyataan bahwa setiap demokrasi modern (seperti yang sangat kuno) akhirnya

harus menghadapinya. Apapun masalah yang terdapat dalam desain kekuasaan darurat

dalam demokrasi konstitusional, akan lebih buruk lagi jika dibiarkan berkembang menjadi

kediktatoran unkonstitusional; yang pada abad terakhir saja telah begitu banyak kita

saksikan contoh-contohnya).

Karena itu, yang terpenting untuk dipastikan adalah bagaimana kekuasaan

pemerintahan darurat dikendalikan dengan efektif dalam pelaksanaannya. Salah satunya

dengan memperkuat peran para wakil rakyat di parlemen. Tetapi, tidak perlu sampai

menempatkan pusat kekuasaan di lembaga perwakilan rakyat seperti yang diidealkan oleh

John Ferejohn dan Pasquale Pasquino. Baik “neo-Roman model” maupun “the new legislative

model” yang digambarkan oleh Ferejohn dan Pasquino dalam “The Law of the Exception: A

Tipology of Emergency Powers” (2004) sebenarnya juga sama-sama tidak realistis, karena

cenderung hanya mempertentangkan mengenai kedudukan dan peran cabang kekuasaan

eksekutif versus kekuasaan legislatif dalam menangani proses pemerintahan keadaan

darurat. Dalam, “the new model of legislative power”, Ferejohn dan Pasquino hanya berusaha

memindahkan kekuasaan dari penguasa eksekutif yang disebutnya masih mencerminkan

“neo-Roman model of emergency powers” kepada cabang kekuasan legislatif yang mereka

idealkan harus lebih berperan, dan bahkan berperan sentral.

Menurutnya, negara-negara demokrasi yang sudah berkembang maju tidak selalu

perlu menggunakan kewenangan konstitusional dalam menghadapi keadaan darurat.

Kebanyakan lebih memilih pendekatan biasa yang diatur dengan undang-undang. Dengan

undang-undang itulah, rakyat yang berdaulat melalui parlemen memberikan delegasi

kewenangan (legislative delegation of emergency power) kepada pemerintahan eksekutif

untuk melakukan tindakan tertentu yang tidak biasa apabila berhadapan dengan keadaan

darurat, dan dengan undang-undang pula keadaan darurat itu diberlakukan untuk jangka

waktu tertentu sebagai suatu pengecualian. Betapapun tidak lazimnya pembentukan undang-

undang khusus itu, undang-undang dalam keadaan darurat itu tetaplah berada dalam sistem

konstitusi yang ada, yaitu sebagai produk lembaga legislatif yang bekerja menurut

kewenangan konstitusionalnya yang normal, dan dapat diuji konstitusionalitasnya oleh

lembaga peradilan.

Dicontohkan misalnya, UU Anti Terrorisme di Inggeris dan UU Patriot di Amerika

Serikat.10 Keduanya sama-sama merupakan undang-undang biasa, tetapi karena keadaan

mendesak, dibentuk dalam waktu yang sangat singkat, kurang lebih jika dibandingkan dengan

di Indonesia dibentuk dengan PERPU. Banyak UU Anti Terorisme di dunia, juga menggunakan

pendekatan yang sama, seperti di parlemen Jerman dan parlemen Italia pada tahun 1970an

dan 1980an, beberapa undang-undang dibentuk dengan prosedur yang cepat, karena adanya

10 Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1974, c. 56 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1976, c. 8 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1984, c. 54 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1989, c. 4 (Eng.); Criminal Justice and Public Order Act 1994, c. 33 (Eng.); Criminal Justice (Terrorism and Conspiracy) Act 1998, c. 40 (Eng.); Anti-terrorism, Crime and Security Act 2001, c. 24 (Eng.); Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001, Pub. L. No. 107-56, 115 Stat. 272 (2001).

Page 6: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

6

kegentingan yang memaksa. Namun, kasus seperti ini sebenarnya, memang lazim dimana-

mana. Karena itu, di Indonesia pun ada mekanisme untuk membentuk undang-undang dalam

keadaan mendesak yang disebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).

Namun, ada tiga tipe peraturan sejenis ini yang harus dibedakan, yang boleh jadi luput dari

perhatian Ferejohn dan Pasquino, yaitu (i) PERPU yang dibentuk dalam keadaan mendesak

tetapi tetap dalam keadaan normal, (ii) PERPU yang dibentuk memang ketika negara sudah

secara resmi memberlakukan keadaan darurat, dan (iii) suatu undang-undang biasa yang

mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keadaan darurat, seperti UU tentang Terorisme,

dan bahkan juga UU tentang Keadaan Bahay atau Kedadaan Darurat itu sendiri, seperti

National Emergencies Act 1976 di Amerika Serikat.

Berkembangnya praktik mengenai ketiga macam peraturan undang-undang yang

berkaitan dengan persoalan keadaan darurat tersebut, tidak perlu dijadikan argument untuk

membuat kesimpulan bahwa ketentuan mengenai keadaan darurat tidak perlu diatur dalam

UUD, atau kekusaan untuk menentukan keadaan darurat itu cukup diberkan kepada lembaga

perwakilan rakyat atau parlemen sebagai “epicentrum” pengaturan dan penentuan

mengenai keadaan darurat itu. Memang benar, tidak semua konstitusi negara demokrasi

maju, memuat pengaturan khusus mengenai keadaan darurat. Apalagi di Inggeris yang

memang tidak memiliki naskah konstitusi tertulis sebagaimana di negara-negara lain. Namun,

dalam artikel 16 Konstitusi Perancis tahun 1958 dan artikel 115a Konstitusi Jerman,

ketentuan mengenai kekuasaan darurat (emergency powers) itu diatur cukup eksplisit.

Sedangkan di Inggeris, dianggap cukup dibentuk undang-undang saja yang memberikan

delegasi kewenangan kepada kepala pemerintahan untuk menangani keadaan darurat

dengan cara yang tidak biasa.

Bahkan, menurut studi yang dilakukan oleh Ferejohn dan Pasquino,11 di banyak

negara yang konstitusinya memuat ketentuan mengenai keadaan darurat inipun, banyak

yang tidak menggunakannya dalam praktik. Menurut mereka, ada dua kemungkinan alasan

mengenai hal ini. Pertama, memang belum didapatkan kenyataan mengenai magnitude

kedaruratan yang sedemikian seriusnya sehingga keadaan darurat sungguh-sungguh harus

diberlakukan. Kedua, mungkin karena perkembangan tenologi pengendalian keadaan

“disorder” menyebabkan banyak keadaan darurat sudah cukup terkelola dengan sistem

hukum yang biasa. Apalagi, dalam pandangan kesejarahan, dapat dikemukakan banyak

contoh tentang penyalahgunaan kekuasaan keadaan darurat itu oleh para penguasa,

sehingga penggunaan kewenangan dilakukan secara berlebihan justru menimbulkan banyak

korban merusak citra demokrasi konstitusional yang seharusnya ditegakkan. Misalnya,

penggunaan kekuasaan darurat secara berlebihan di bawah Pemerintahan Indira Gandhi

pada tahun 1970an12, tirani penyalahgunaan kekuasaan dengan kedok keadaan darurat di

pelbagai negara Amerika Latin, dan mungkin juga dalam praktik terakhir pemerintahan

Weimar, adalah contoh-contoh mengenai bahaya penggunakan keadaan darurat.

11 Ferejohn dan Pasquino, OpCit., hal. 216. 12 over the past half century, at least 18 See Burt Neuborne, Supreme Court of India, 1 International Journal of Constitutional Law (I·CON) 476 (2003).

Page 7: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

7

Karena itu, Ferejohn dan Paquino berkeyakinan pentingnya mengembangkan

perspektif baru mengenai keadaan darurat ini, yaitu dengan penguatan fungsi legislatif dalam

menentukan, mengatur pembatasan-pembatasannya, dan mengawasi dan mengendalikan

pelaksanaannya dalam praktik pemerintahan. Menurut mereka, “the new legislative model”

inilah yang berkembang dalam praktik di kebanyakan negara-negara demokrasi yang sudah

maju atau stabil (advanced or stable democracies).1319 Dalam model ini, keadaan darurat

dihadapi dengan menerbitkan undang-undang yang memberikan kewenangan khusus yang

bersifat sementara kepada kepala pemerintahan. Dalam praktik demikian “emergency

powers” dilihat sebagai suatu pengecualian atas bekerjanya sistem hukum dalam kondisi

normal sebagaimana biasanya. Sekali timbul keadaan darurat, maka hukum pengecualian itu

(the law of exception) berlaku, tetapi dalam waktu yang terbatas. Sesudah keadaan darurat

berakhir, sistem hukum dan proses hukum kembali bekerja dengan tanpa pengecualian.

Penentuan dan keputusan kapan dimulainya, kapan diakhirinya, dan bagaimana proses

pengendalian terhadap keadaan darurat yang bersifat sementara itu dijalankan, semua

dilakukan dengan terpusat pada peran lembaga legislatif yang bersifat sementara, sesuai

dengan prinsip hukum pengecualian (the law of exception) tersebut di atas. Dengan

demikian, kekuasaan legislatif itu sendiri bersifat terbatas, yaitu hanya untuk maksud

mengembalikan keadaan kepada keadaan semula, yang tidak lain juga tidak berbeda dari

tujuan pemberian kewenangan oleh Senate kepada Consuls dalam tradisi Romawi kuno yang

dipraktikkan kembali di zaman modern sebagai “neo-Roman model” yang sudah diuraikan di

atas.1420

Jika praktik seperti yang digambarkan ini dibandingkan dengan praktik di Indonesia,

kita dapat juga mengaitkannya dengan praktik penerbitan PERPU No. 1 Tahun 20202, yang

sama sekali tidak ditetapkan dalam rangka pemberlakuan keadaan darurat Covid-19

berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. PERPU ini sama saja dengan PERPU-PERPU lainnya yang

ditetapkan oleh Presiden karena pertimbangan kegentingan yang memaksa berdasarkan

Pasal 22 UUD 1945, bukan dalam menghadapi dan menangani ancaman bahaya yang besar

dan demikian seriusnya yang terkait dengan ancaman terhadap keselamatan rakyat, bangsa,

dan bahkan eksistensi negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan, ketika

UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantika Kesehatan disusun dan ditetapkan, demikian pula UU

No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, juga tidak dilihat sebagai upaya

penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Pasal satu-satunya yang mengatur keadaan

darurat dalam UUD 1945, sama sekali tidak dijadikan pertimbangan mengingat dalam

instrumen hukum ini. Namun, berbeda dari penilaian Ferejohn dan Paquino, keengganan

mengaitkan pelbagai ketentuan UU yang mengatur keadaan yang memerlukan pola

penanganan pengecualian atau luar bias aitu di Indonesia, belum tentu dapat dikaitkan

dengan kualitas kematangan demokrasi konstitusional atau seakan-akan Indonesia sudah

tergolong sebagai negara demokrasi yang sudah sangat maju (advanced democracy).

13 https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845. The law of the exception: A typology of emergency powers, 216-217. 14 Dalam banyak konstitusi modern, peranan lembaga legislatif selalu penting dalam mengendalikan keadaan darurat. Bahkan menurut Article 16 Konstitusi Perancis, parlemen tetap bersidang dalam keadaan darurat, dan bahkan dapat menjalankan kewenangan untuk melakukan ‘impeachment’ terhadap Presiden jika dinilai telah melampaui kewenangannya. Lihat Artikel 16 Konstitusi Perancis.

Page 8: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

8

Sebaliknya, praktik di Indonesia yang demikian itu, justru terjadi karena kebelum-

matangan. Masyarakat politik Indonesia masih mengalami trauma sejarah karena di zaman

Orde Lama dan Orde Baru, pemberlakuan keadaan darurat itu sering disalahgunakan oleh

penguasa darurat untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika

menyusun dan merumuskan UU tentang Penanggulangan Bencana sajapun, Pasal 12 UUD

1945 itu dijauhkan dari dasar pijakan normatif upaya penanggulangan bencana yang di

Indonesia sangat sering terjadi. Karena itu, dapat dievaluasi kembali, semua bencana alam

yang besar dan berdampak luas dan serius, seperti Gunung Merapi Meletus, gelombang

Tsunami di Aceh, Liquifaksi di Palu, kebakaran hutan di Sumatera dan di Kalimantan, dan

sebagainya, tidak satupun ditetapkan sebagai keadaan darurat sipil karena bencana alam

yang dahsyat. Akibatnya, status hukum semua peraturan perundang-undangan dalam

keadaan normal harus dianggap tetap berlaku sebagaimana keadaan biasa, padahal dalam

praktik di lapangan, banyak sekali aturan biasa yang tidak dapat berfungsi dengan baik, dan

terpaksa dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat menerobos dan menerabas banyak

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketika keadaan darurat sedang berlangsung dan masalah yang timbul sedang diatasi

dengan menerapkan beberapa prinsip pengecualian karena sedang berada dalam keadaan

tidak biasa, belum timbul masalah hukum sebagai efek samping dari tidak diberlakukannya

keadaan darurat itu secara resmi. Tetapi sesudah keadaan pulih kembali, mulai timbul

pelbagai dampak ikutan yang tidak dikehendaki sejak awal, yaitu munculnya dakwaan-

dakwaan pidana ataupun perdata terhadap beraneka kejadian luar biasa yang bersifat

menerobos dan menerabas aturan-aturan yang ada. Karena, tidak semua keadaan yang tidak

biasa itu sudah tertampung dengan baik dalam undang-undang atau dalam PERPU yang

sudah ditetapkan untuk mengatasi keadaan yang tidak biasa itu. Lagi pula status resmi dari

suatu PERPU yang termasuk kategori peraturan biasa yang ditetapkan dalam keadaan biasa,

meskipun dilakukan dengan cepat sesuai dengan prinsip kegentingan yang memaksa,

tetaplah merupakan peraturan biasa, yang tidak boleh melanggar norma hukum yang lebih

tinggi, yaitu UUD, tidak boleh melanggar hak asasi manusia, dan bahkan tidak boleh

bertentangan dengan UU yang bersifat permanen. PERPU hanya dimaksudkan untuk berlaku

sementara dan tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, karena itu ia tidak boleh

mengubah undang-undang lain untuk maksud yang permanen.

Oleh karena sangat penting untuk membedakan, sebagaimana sudah diuraikan pada

bagian terdahulu, yaitu antara (i) PERPUyang ditetapkan untuk memberlakukan keadaan

darurat, (ii) PERPU yang ditetapkan selama keadaan darurat, dan (iii) PERPU yang ditetapkan

bukan dalam keadaan darurat yang dimaksudkan sebagai undang-undang biasa yang bersifat

mendahului persetujuan DPR, sehingga statusnya menjadi UU masih menunggu persetujuan

resmi oleh DPR dalam masa persidangan berikutnya. Selain itu, asumsi yang ada di balik

pemikiran John Ferejohn dan Pasquale Pasquino dalam memperkembangkan model legislatif

yang mereka tawarkan itu dapat dikaitkan dengan tiga hal. Pertama, banyaknya kasus

penyalahgunaan kekuasaan dalam keadaan darurat dalam praktik, untuk kepentingan

memperkuat dan melanggengkan kekuasaan sendiri, seperti juga terjadi dalam sejarah politik

Indonesia sebelum masa reformasi. Kedua, pada umumnya, keadaan darurat yang dibahas

dan dijadikan objek telaah oleh keduanya berkaitan dengan pelbagai peristiwa perang,

Page 9: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

9

pemberontakan, atau kasus-kasus konflik politik dan militer di pelbagai negara, termasuk di

Amerika Serikat sendiri15. Ketiga, banyak di antara negara-negara yang disebut sebagai

“advanced democracies” yang dimaksud menganut sistem pemerintahan parlementer,

sehingga mudah membawa kedua sarjana ini mengusung ide untuk menjadikan ‘epicentrum’

penentuan keadaan darurat itu di tangan lembaga legislatif, bukan lagi di tangan “chief

executive”.

Pendek kata, suasana zaman ketika aturan-aturan konstitusional mengenai keadaan

darurat dirumuskan, Sebagian terbesar memang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa politik

kekuasaan, yang di kemudian hari diperluas jangkauan pengertiannya mencakup pula

keadaan daruat yang ditimbulkan oleh pelbagai bencana alam yang tidak terkait dengan

persaingan kekuasaan. Hal yang sama juga terdapat dalam kajian-kajian para ahli lainnya,

seperti kajian yang dilakukan oleh Clinton L. Rossiter dalam bukunya yang sangat terkenal

sampai sekarang, yaitu “Constitutional Dictatorship” yang terbit pertama kali pada tahun

1948, ketika Perang Dunia ke-II belum lama berakhir dan suasana kehidupan masih

dipengaruhi oleh Iklim politik Perang Dunia. Apa yang digambarkan oleh Clinton Rossiter

dalam bukunya “Constitutional Dictatorship”, sangat dipengaruhi oleh objek kajiannya selama

era antara Perang Dunia ke-I dan Perang Dunia ke-II. Kedaruratan bencana yang timbul dalam

suasana perang ini harus dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dengan keadaan darurat yang

timbul sebagai akibat terjadinya bencana-bencana alam yang merenggut banyak nyawa

manusia, yang mudah membangitkan solidaritas kemanusiaan antar sesama. Suasana

komunikasi antar manusia dalam keadaan darurat kemanusiaan seperti itu, sangat berbeda

dengan suasana yang tercipta dalam keadaan perang. Komunikasi antar manusia diwarnai

oleh sikap permusuhan dan kebencian antar kelompok, antar golongan, dan antar bangsa

dan negara. Karena itu, “dictatorship” menjadi sesuatu yang logis dan mudah diterima akal

sehat sebagai mekanisme yang diperlukan untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman

bahaya. Karena itu, menurut pendapat saya, ke depan, manajemen pemerintahan krisis

untuk menghadapi keadaan darurat perlu dibedakan antara keadaan darurat militer yang

berkaitan dengan konflik dan perang, dengan keadaan darurat sipil yang khusus dikaitkan

dengan ancaman bahaya akibat bencana alam atau pun bencana yang disebabkan ulah

manusia.

Di samping itu, bagaimanapun juga, gagasan untuk terpaksa menerima “dictatorship”

yang diusulkan oleh Clinton Rossiter, seperti istilah yang ia pakai sendiri menjadi judul

bukunya, “Constitutional Dictatorship” mengandung pengertian bahwa kekuasaan

pemerintahan darurat seperti pemerintahan dictator itu harus dibatasi menurut aturan

konstitusi. Karena itu, diidealkan pengaturan dalam UUD memang harus diadakan untuk

menentukan (i) siapa yang diberi kewenangan menetapkan keadaan darurat itu, dan siapa

yang mengakhirinya, (ii) berapa lama batas waktunya dan apa syarat dan prosedur untuk

perpanjangannya dan pencabutan keadaan darurat itu, (ii) siapa yang diberi wewenang untuk

15 Misalnya, di masa-masa awal kemerdekaan Amerika Serikat, sangat sering terjadi konflik bersenjata seperti pada tahun 1792, Kongres mengesahkan UU yang mengizinkan Presiden memegang komando perlawanan terhadap milisi yang menentang Pemerintah. Bahkan 2 tahun kemudian, Presiden George Washington, turun tangan sendiri memimpin pasukan untuk berperang. Dalam Proklamasi Washington untuk memberlakukan keadaan darurat dan memobilisasi milisi sipil secara nasional untuk menghadapi pemberontakan Whiskey, ter tulis kalimat: And whereas, by a law of the United States entitled ‘An act to provide for calling forth the militia to execute the laws of the Union, suppress insurrections, and repel invasions’”.

Page 10: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

10

mengatur, dan apa saja atau kebijakan yang bagaimana yang dapat diatur dengan peraturan

khusus selama keadaan darurat, (iii) siapa yang diberi wewenang untuk bertindak dan

menjalankan kekuasaan pemerintahan darurat, (iv) apa saja yang mesti terus menerus

diawasi dan dikendalikan oleh para wakil rakyat selama masa keadaan darurat, dan

keputusan apa saja yang efektif untuk mengendalikan kebijakan dan tindakan pemerintahan

itu oleh lembaga perwakilan rakyat, dan (v) bagaimana peran pengadilan dalam

mengendalikan kebijakan dan tindakan pemerintahan selama keadaan darurat, terutama

melalui pengujian peraturan perundang-undangan, dan melalui peradilan tata usaha negara.

Semua ini dapat diatur dasar-dasar dalam UUD, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-

Undang tersendiri yang mengatur negara dan hukum dalam keadaan darurat.

Di dalam skenario baru ini, pertama, harus dibedakan dulu anara pengertian keadaan

darurat militer dan keadaan darurat sipil. Kedua, harus ada pengaturan yang jelas dalam

Undang-Undang Dasar, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang yang khusus,

yaitu tentang Keadaan Darurat atau Keadaan Bahaya, seperti istilah yang dipakai oleh Pasal

12 UUD 1945. Ketiga, dalam pelaksanaan kekuasaan darurat harus terus diawasi secara

efektif oleh wakil rakyat di parlemen dan pengujian independent oleh lembaga peradilan. Hal

ini yang harus dipastikan dalam rumusan kebijakan dan dalam praktik tindakan nyata. Dengan

demikian, pola hubungan kekuasaan tidak hanya terpusat pada “constitutional dictator”,

tetapi tetap berada dalam mekanisme “check and balances” antar cabang kekuasaan. Inilah

yang saya anggap sebagai “model keempat dari kekuasaan darurat”.

Bagaimanapun, model yang diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquiono

sebagai “legislative model” itu dapat dikatakan kurang realitis. Cabang kekuasaan legislatif di

lembaga perwakilan rakyat atau parlemen dimana-mana terdiri atas banyak orang dan

berasal dari banyak partai politik yang biasanya mempunyai pandangan yang berbeda-beda

dan tidak mudah untuk menyatukan mereka yang berbeda-beda itu dalam proses

pengambilan keputusan cepat dan dalam waktu yang dangat mendadak. Apalagi dalam

sistem permusyawaratan rakyat Indonesia di MPR dan sistem perwakilan rakyat di DPR dan

DPRD yang sangat kompleks. Perwakilan rakyat di Dewan Perwaklan Rakyat terdiri atas

anggota-anggota yang berasal dari 9 partai fraksi partai politik, dan di Dewan Perwakilan

Daerah terdiri atas masing-masing 4 anggota perwakilan daerah yang dari 34 provinsi dari

seluruh Indonesia yang masing-masing bersifat independen dan sendiri-sendiri.

Banyak sekali bencana alam terjadi, ataupun datangnya ancaman perang dari negara

lain, dan bahkan pemberontakan-pemberontakan bersenjata dari dalam negeri sendiri yang

muncul tiba-tiba, sehingga membutuhkan keputusan dan tindakan-tindakan yang cepat.

Karena itu, tidaklah realistis untuk atas nama demokrasi, menempatkan pusat kekuasaan

penentu dalam keadaan darurat seperti itu kepada lembaga legislatif. Karena itu, sambil

memperbaiki kelemahan dan kekurangan dalam praktik penerapan konsep kekuasaan

darurat dalam perspektif konstitusi (constitutional emergency powers), pusat atau

“epicentrum” kekuasaan dalam keadaan darurat tetap harus ada di tangan seorang kepala

pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, tetapi selama keadaan darurat berlangsung tetap dan

terus menerus berada dalam kendali pengawasan oleh parlemen.

Page 11: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

11

Model yang saya nisbatkan sebagai model keempat ini adalah model campuran

eksekutif-legislatif. Model inilah yang perlu dikembangkan dalam praktk di Indonesia, sambil

mengevaluasi kinerja pemerintahan Indonesia pasca penanganan bahaya nasional Covid-19

yang timbul mulai dari akhir tahun 2019 dan diperkirakan akan berlangsung sampai akhir

tahun 2020. Namun, di samping itu, model yang disebut oleh Ferejohn dan Pasquino sebagai

“neo-Roman model” juga dapat diuraikan secara tersendiri lagi, karena variasinya juga sangat

banyak. Bahkan sebenarnya model Konstitusi Weimar yang terus dipraktikkan di zaman Hitler

sebagai demagog dalam “Constitutional Dictatorship” sebagaimana diistilahkan oleh Clinton

Roositer. Bahkan oleh Rossiter, selama periode antara tahun 1919-1933, baik Jerman,

Perancis, Inggeris dan Amerika Serikat menghadapi perkembangan keadaan yang sama, yaitu

keadaan perang yang harus direspon dengan cara-cara yang tidak biasa. Periode krisis

pemerintahan antara tahun-tahun itulah yang dijadikan pusat penelitian Clinton Rossiter

sehingga menghasilkan bukunya yang sangat terkenal, yaitu “Constitutional Dictatorship:

Crisis Government in the Modern Democracies” (1948).

Dengan demikian, untuk melengkapi pendapat John Ferejohn dan Pasquale

Pasquino,16 kita dapat mengembangkan pengertian mengenai beberapa model pemerintahan

darurat yang tersendiri, yait:

1) Roman Classical Model;

2) Weimar and Hitlerian Emergency Power;

3) New-Roman Constitutional Emergency Powers atau “Constitutional Dictatorship”;

4) Model of Unitary Executive Emergency Powers and Distributed Dictatorship;

5) The New Legislative Model of Emergency Powers; dan

6) Model campuran “Executive-Legislative-Judicial checks and balances”, dimana komando

tetap di tangan Presiden tetapi terus dikendalikan oleh parlemen dan dapat duji oleh

lembaga peradilan.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat, kewenangan Presiden yang dapat dikaitkan dengan

keadaan darurat ada tiga, yaitu pada (a) Artikel I, Clause 2 dan 3 tentang “Civil and Legal

Protections”; (b) Article II yang berkaitan dengan kewenangan yang tersirat diberikan kepada

Presiden sebagai Panglima Tertinggi Militer untuk mengatur atau menerbitkan aturan dalam

keadaan darurat (presidential emergency rule);17 dan (c) Presiden memiliki beberapa

kewenangan delegasi (constitutionally delegated powers) untuk berurusan dengan keadaan

darurat, seperti berdasarkan “National Emergencies Act 1976”. Dalam Artikel I, Clause 2 dan

3 tentang “Civil and legal protections”, ditentukan bahwa “writ of habeas corpus”

menyediakan upaya hukum atas penangkapan dan penahanan yang tidak sah oleh pejabat

penegak hukum atau badan lain. Pengadilan dapat memerintahkan pelepasan jika terbukti

bahwa penahanan itu tidak cukup beralasan atau tidak berkeadilan. UUD menjamin bahwa

hak atas “habeas corpus” tidak dapat ditangguhkan, kecuali dalam hal-hal tertentu18, seperti

dalam kasus pemberontakan atau invasi dimana keselamatan umum mem butuhkannya. (the

writ of habeas corpus may not be suspended ‘unless when in cases of rebellion or invasion the

public safety may require it). Dalam perkara “Ex parte Milligan” (1866), Mahkamah Agung 16 Ferejohn and Pasquino, Op.Cit., hal. 214-215. 17 14 Id. art. II, § 2, cl. 1. 18 13 U.S. CONST. art. I, § 9, cl. 2.

Page 12: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

12

memutuskan bahwa penangguhan ‘habeas corpus’ di masa perang adalah sah, tetapi

pengadilan militer tidak berwenang mengadili warga sipil di negara-negara bagian yang

menjalankan kewenangan berdasarkan konstitusi dan dimana pengadilan sipil masih

beroperasi.

C. TENTANG NORMA DAN PENGECUALIAN

Ada dua hal penting yang perlu dilihat dalam hubungannya dengan pilihan model

yang didiskusikan di atas. Pertama, konstitusi dapat dipahami sebagai suatu sistem norma

tertinggi dalam kehidupan bernagara yang harus bekerja dalam hal-hal dan keadaan-keadaan

yang bervariasi. Konstitusi berlaku dalam keadaan yang kurang lebih normal, dan jikalau

diterapkan untuk keadaan yang tidak normal, tentu akan mengakibatkan hasil yang tidak

memuaskan. Karena itu, diperlukan pengakuan dan pengaturan tersendiri untuk menghadapi

keadaan yag tidak biasa itu, sebagai pengecualian, seperti untuk menghadapi bahaya perang,

invasi, pemberontakan, dan sebagainya. Untuk menghadapinya, beberapa norma konstitusi

dapat ditangguhkan keberlakuannya untuk sementara waktu. Penangguhan (suspension) ini

dilakukan dengan mengembangkan pengertian tentang derogasi (derogation from a norm),

yaitu dengan menyimpangi norma sebagai lawan dari menaati norma (abrogation of a norm).

Apa yang membuat sesuatu hal itu sebagai pengecualian, sehingga norma konstitusi dapat

disimpangi atau ditangguhkan berlakunya?

Misalnya, dalam operasi perang, tentara harus bergerak cepat dari satu tempat ke

tempat lain tanpa hambatan. Meskipun dalam keadaan normal, ada tempat-tempat tertentu

di lingkungan pemukiman penduduk yang tidak diperbolehkan dimasuki oleh tentara, tetapi

tidak tersedia cukup waktu untuk mendengarkan lebih dulu keberatan dari warga bagi

pasukan tentara untuk memasuki daerah ‘terlarang’ itu. Dalam suasana perang, informasi

tentang keberadaan pasukan, harus dirahasiakan agar tidak diketahui musuh. Karena itu,

kebebasan informasi mestinya dibatasi dengan keras, dengan ancaman sanksi yang keras

kepada para pengkhianat. Demikian pula dapat terjadi, kebebasan warga untuk berkumpul

dan bahkan untuk melangsungkan upacara pernikahan di suatu waktu, terpaksa dilarang

untuk mencegah penularan wabah virus yang sedang melanda, sehingga kebebasan warga

harus ditangguhkan untuk sementara. Semua ini terpaksa dilakukan dengan menunda atau

menangguhkan (suspension) hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi, berbicara, hak

atas informasi publik, dan sebagainya yang dalam keadaan normal dijamin secara menurut

Undang-Undang Dasar.

Kedua, mengenai dua cara pandang mengenai sistem konstitusi, yaitu monistik atau

dualistik. 19 Sistem monistik menekankan bahwa perintah normatif bersifat tetap dalam

setiap keadaan, sedangkan sistem dualistic menciptakan 2 tata hukum yang berbeda yang

berlaku untuk masing-masing keadaan. Menurut logika sistem monistik, keadaan darurat

ditangani sendiri dari dalam tata hukum internal, sedangkan dalam logika dualism, terdapat 1

regulator yang bertindak berbeda dalam 2 keadaan berbeda. Regulator dimaksud sudah ada

dalam tatanan kelembagaan sebeumnya, tetapi memiliki fungsi yang bersifat “meta-

19 Op.Cit., hal. 220-221. Downloaded from https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

Page 13: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

13

konstitusional” yang terpisah dan merupakan pengecualian dari fungsi normalnya dalam

keadaan biasa.

Norma hukum berisi pengertian mengenai tiga macam kemungkinan kaedah, yaitu (i)

larangan (prohibere, haramat), (ii) kewajiban (obligattere, wajibat)), dan (iii) kebolehan

(permittere, ibahah). Norma hukum berisi preskripsi, suruhan, dan bahkan perintah yang

kadang-kadang disertai pula oleh ancaman sistem sanksi. Dalam hukum publik, Konstitusi

(tertulis atau tidak tertulis) mewakili seperangkat norma yang ditujukan untuk pemegang

otoritas kekuasaan umum, yang harus dihormati oleh para pejabat penyelenggara negara.

Kaedah hukum konstitusi itulah yang mempresuposisikan validitas norma hukum yang lebih

rendah dan menjadi sumber kewajiban bagi norma yang lebih rendah itu. Norma konstitusi

itu mempunyai karakter yang khusus, baik dari segi formalnya maupun dari segi materilnya.

Secara formal, norma konstitusi mengatur dan membatasi prinsip suara mayoritas (majority

rule) yang berarti secara umum hanya dapat diubah hanya dengan prosedur tertentu atau

berdasarkan prinsip suara mayoritas. Sedangkan secara materil, norma hukum konstitusi itu

Sebagian terbesar berurusan dengan pemisahan kekuasaan, yaitu dengan kewenangan dari

masing-masing cabang kekuasaan dan jaminan-jaminan hak konstitusional warga.

Namun, di samping itu, ada pula keadaan tertentu yang menyebabkan keharusan

untuk dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat khusus. Inilah yang terkait dengan

pengertian tentang “kekuasaan darurat” (emergency powers) sebagai bentuk pengecualian

atau penderogasian terhadap pemerintahan konstitusional dalam arti pemerintahan biasa

dalam keadaan normal. Tindakan derogasi (derogation), berkenaan dengan dua hal, yaitu: (i)

pemerintah menyimpang (derogate) dari bentuk yang biasa (regular form), di satu pihak; dan

(ii) memberi pembenaran atas deviasi terhadap norma itu pada segi yang lain. Hal berkaitan

erat dengan konsep “derogation” dan “abrogation” yang dibahas khusus oleh Hans Kelsen

dalam bukunya, “Die Allgemeine Theorie der Normen”.20

Dalam pelbagai kamus, istilah “derogation” dianggap sebagai antonim dari pengertian

“conformity or observance to a juridical norm”. Derogasi merupakan penyimpangan dari

perilaku normal, yang diizinkan dalam hal-hal tertentu, dibenarkan jika memang dibutuhkan.

Tetapi nuansanya dalam Bahasa Latin, kata “derogare” bertentangan dan berbeda dari kata

“abrogare”. “Derogare” berarti “to repeal part of a law” (menghapus suatu bagian dari

norma), sedangkan “Abrogare” berarti “to repeal a law in its entirety” (mencabut atau

menghapus suatu norma sebagai keseluruhan). 21 Dalam teks canonic oleh Cicero dapat

ditemukan pernyataan: ““huic legi nec obrogari fas est, neque derogari aliquid ex hac licet,

neque tota abrogari potest,”22 yang artinya, “diperbolehkan untuk mengganti hukum dengan

hukum lain yang baru, baik dengan cara membatalkan sebagian daripadanya (derogari)

ataupun dengan cara membatalkan (abrogari) keseluruhannya”.

Derogasi merupakan penyimpangan dari perilaku yang normal. Di dalamnya terdapat

ide penghapusan sebagian atau menyebabkan ada bagian tertentu dari suatu norma tidak

20 Ibid., hal. 106–14. 21 Lihat Oxford English Dictionary, 504, 2nd edition, 1989. “To repeal part of a law, to enforce it only in part. The Oxford English Dictionary gives the same definition of the word derogation: “partial abrogation or repeal of a law”. 22 Cicero, De Republica, De Legibus III 22 (Clinton Walker Keyes trans., Harvard Univ. Press 1943).

Page 14: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

14

diaplikasikan dalam praktik. Dalam hubungan dengan derogasi konstitusional (constitutional

derogation), hal ini dapat dikaitkan dengan pembedaan antara “Verfassung” (constitution)

dengan “Verfassungsgesetze” (constitutional norms) atau “Grundsgesettz” (Undang-Undang

Dasar menurut Carl Schmitt. Undang-Undang Dasar dapat dikesampingkan atau

ditangguhkan berlakunya untuk tujuan melindungi dan menegakkan Konstitusi yang jauh

lebih mendasar dan lebih tinggi atau lebih mendalam kedudukan dan kandungan nilainya

daripada naskah undang-undang dasar.23

Karena itu, menurut Ferejohn dan Pasquino, secara konseptual dapat dibedakan

adanya tiga hal, yaitu:24

1) Norma hukum, dengan pemerintahan regular berdasarkan konstitusi;

2) Derogasi atau penyimpangan norma, oleh kekuasaan darurat (Emergency Powers); dan

3) Justifikasi atas penyimpangan (justification of the derogation).

Ketiganya terkait erat dengan: (a) keadaan darurat atau hal-hal tertentu yang

memberi pembenaran dilakukannya derogasi, atau penyimpangan atau penangguhan atas

sebagian norma sebagai suatu pengecualian; dan (b) suatu prinsip yang lebih tinggi bahwa

seseorang mungkin membutuhkan penyelamatan, perlindungan, atau penjagaan dalam

keadaan yang di luar kebiasaan yang harus dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum

dalam keadaan biasa. Akhirnya kepentingan rakyat di atas segalanya, karena rakyatlah

merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan rakyat. Suara kedaulatan rakyat

itulah yang disebut sebagai “the constituent power” dalam kegiatan bernegara, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Adanya hukum pengecualian (the rule of

exception) dalam hukum merupakan sesuatu yang lazim dalam kehidupan, termasuk dalam

kehidupan negara konstitusional modern.

Dengan demikian, baik secara konseptual maupun normatif, kekuasaan dalam

keadaan darurat dapat dilihat secara konservatif. Jika pelaksanaan kekuasan darurat

menabrak atau mengubah konstitusi atau tata hukum yang ada secara substantif, maka hal

itu dapat dikatakan, bukan saja merupakan pelanggaran terhadap norma hukum yang

mengatur kekuasaan, dan juga bukanlah pelaksanaan yang benar atas kekuasaan dalam

keadaan darurat, melainkan merupakan pelaksanaan kekuasaan rakyat sebagai pemegang

kedaultan (constituent power). Hal itu tidak lain merupakan abrogasi, meniadakan, atau

mengubah konstitusi menjadi tidak berfungsi atau tidak berlaku dalam kenyataan. Tentu saja

tindakan demikian dapat dikatakan terlarang. Dalam konstitusi yang sudah mengatur

ketentuan mengenai keadaan darurat, sangat jelas adanya ‘dualistic normative systems” yang

terpisah satu dengan yang lain, yaitu (i) sistem hak dan prosedur yang normal (the normal

system of rights and procedures), dan (ii) sistem pelaksanaan kekuasaan dalam keadaan

darurat (the normative system operating in the state of emergency).

Dalam perspektif “legislative model”, dalam kedua rezim hukum itu, juga dibedakan

dengan tegas. Kedudukan dan peran eksekutif dan legislatif juga terpisahkan dan saling

23 Carl Schmitt, Verfassungslehre, Duncker & Humblot, 1928. 24 John Ferejohn dan Paquale Pasquino, Op.Cit., hal. 222-223. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

Page 15: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

15

mengendalikan. Juga dibedakan antara kekuasaan darurat dan kekuasaan konstitutif

(emergency powers and constitutive powers), yang mengakibatkan perubahan permanen

dalam sistem hukum sebagai pelaksanaan dari kekuasaan legislatif darurat (legislative

emergency powers). Lembaga legsilatif yang menentukan kebijakannya, dan lembaga

eksekutif yang melaksanakan kebijakan selama dalam keadaan darurat, hanya untuk dua

tujuan, yaitu (i) mengatasi masalah yang timbul dalam keadaan darurat, dan (ii) memulihkan

tata hukum agar berfungsi normal kembali. Dalam model legislatif ini, kedaulatan rakyat

sebagai “constituent powers” dianggap tercermin di lembaga legislatif, bukan di eksekutif,

sekalipun presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat.

Model ini tentu tidak cocok untuk Indonesia yang menganut sistem pemerintahan

presidential yang memusatkan kekuasaan ada di tangan Presiden kecuali hal-hal yang

menurut UUD dan UU telah diberikan kepada lembaga-lembaga lain.

D. TENTANG DUALISME VERSUS MONISME

Dalam studi mengenai hukum keadaan darurat dapat ditemukan pelbagai pandangan

yang beraneka ragam di antara para ahli yang dapat dibedakan antara pandangan yang

bersfat monistik dan dualistic. Terkait dengan hal ini, kita dapat membedakan antara dua tipe

pemerintahan, yaitu

1) Pemerintahan reguler dalam keadaan normal; dan

2) Pemerintahan pengecualian, yaitu pemerintahan ketika negara dalam keadaan darurat.

Bagi kelompok ahli yang berpandangan monistik, keduanya tidak perlu dipisahkan,

karena justru akan membahayakan dengan memberikan peluang direduksinya makna “rule of

law” atau malah membuat pemerintahan berubah menjadi absolut, “salus populi suprema

lex” atau “suprema lex esto”.25 Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, sehingga

tidak perlu, menunggu pemberlakukan resmi keadaan darurat dulu baru bertindak, karena di

atas semua norma hukum yang berlaku mengikat, adalah hukum keselamatan rakyat.26 Kapan

saja, bilamana benar-benar dibutuhkan, negara melalui aparat pelaksana kekuasaannya harus

segera bertindak. Bahkan, terkait dengan penanganan wabah corona, kalimat “Salus Populi

Suprema Lex Esto” ini akhir-akhir ini menjadi sangat terkenal karena diucapkan oleh banyak

tokoh, mulai Presiden, Kepala BNPB hingga Kapolri, ikut mengucapkannya. Perkataan “Salus

Populi Suprema Lex Esto” ini merupakan adagium hukum yang pertama dikemukakan oleh

Cicero seorang filsuf berkebangsaan Italia dengan makna "Keselamatan Rakyat Merupakan

Hukum Tertinggi."

Urusan keselamatan umum ini berkaitan erat pula dengan tujuan bernegara yang

termaktub dalam Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara

Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia. Karena itu, di atas, teks-teks pasal UUD 1945 sebagai “Grundsgesstz” terhadap

25 Cicero, De Legibus (book III, part III, sub. VIII). Loeb Classics, hal. 467. 26 Lihat pendapat Leibnitz dalam Alfred Baumler, Das Irrationalitas Problem in der Ashtetik und Logik, Des 18. Jahrhunderts (1923) (Darmstadt 1981); Tentang Condorcet, lihat Frank Alengry, Condorcet (F. Alcan 1904); and on Hobbes’s usage of Salus populi, lihat Thomas Hobbes, Leviathan, ch. 30 (Richard Tuck ed., Cambridge Univ. Press 1991) (in English). Not the doctrines of the raison d’état . On these doctrines, see F. Sait-Bonnet, L’État D’Exception, 205–24 (Presses Universitaires de France 2001).

Page 16: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

16

nilai yang lebih mendasar dalam tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap rakyat

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai nilai dasar dalam “Verfassung” atau

“the spirit of the the constitution” yang jauh lebih penting dan harus diutamakan dari bunyi

teks pasal-pasal UUD 1945. Namun, tentu saja, hal ini baru pada tingkat analisis konseptual,

dan belum dikaitkan dengan (i) kapan kepentingan tertinggi rakyat berdaulat (consitituent

powers) itu dapat mulai dilakukan dan kapan berakhirnya (when), (ii) siapa yang memutuskan

atau menetapkan berlakunya keadaan darurat itu dan menetapkan berakhirnya (who), dan

(iii) apa saja syarat-syarat untuk diberlakukannya keadaan darurat dan apa saja yang dapat

dilakukan dalam tenggat waktu yang ditentukan untuk sementara itu sampai keadaan

sementara itu berakhir (what). Bagaimanapun juga ketiga hal itu harus dirumuskan secara

rinci untuk memastikan bahwa prinsip keadaan darurat yang bersifat sementara itu tidak

disalahgunakan untuk mengurangi kualitas dan integritas pelaksanaan prinsip demokrasi dan

negara hukum (rule of law).

Menurut Thomas Hobbes, dalam chapter 30 bukunya Leviathan: 27 “Summi imperantis

officia ... manifeste indicat institutionis finis nimirum salus populi: quam lege naturae

obligatur, quantum potest, procurare: at cuius rationem Deo, et illi soli, tenetur reddere.” (The

duties of the supreme commander … are indicated by the end of his institution, namely, the

safety of the people, which he is obliged by the law of nature to procure as far as he can, and

of which he is required to render an acoount to God and to him alone).28 Adagium tersebut

dapat diartikan bahwa: “Tugas panglima tertinggi … ditentukan oleh hasil akhir dari tugas

jabatannya, yaitu, keselamatan rakyat, yang ia diwajibkan oleh hukum alam untuk ia penuhi

sedapat mungkin, dan dengan itu ia diwajibkan menyerahkan pertanggungjawaban kepada

Tuhan dan kepada dirinya sendiri”. Pada intinya, keselamatan rakyat adalah di atas segala-

galanya, dan kesanalah tujuan bernegara harus diarahkan. Keselamatan rakyat tidak berada

dalam kekuasaan institusi jabatan, tetapi pada tujuan akhir diadakan atau dilembagakannya

jabatan atau institusi negara itu. Para penguasa atau pemegang jabatan bernegara

hendaknya tidak hanya bekerja karena diwajibkan oleh pihak lain atau karena diperintahkan

oleh atasan, tetapi pada akhirnya harus menyerahkan sendiri pertanggungjawaban jabatan

itu kepada Tuhan dan kepada hati nuraninya sendiri.

Jika dibandingkan dengan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Alinea ke-

IV Pembukaan UUD 1945, seperti dikemukakan di atas, maka upaya untuk melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumah darah Indonesia, tidak dapat ditawar-tawar.

Ketika timbul ancaman wabah pandemic Covid-19, maka semua institusi jabatan negara

Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 harus tampil menyelamatkan segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Keharusan penyelamatan ini berada di atas

semua hal penting apapun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di mata pengusung ide monisme, “salus populi” atau “keselamatan rakyat” yang

dikemukakan di atas tentu lebih dilihat sebagai suatu norma pemerintahan, bukan prinsip

27 Kita kutipkan versis Latinnya, yaitu: “salus populi”. Thomas Hobbes, supra note 34, at 231 (“The office of the sovereign ... consistent in the end, for which he was trusted with the sovereign power, namely the procuration of the safety of the people”). Op.Cit., John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, hal. 224-225. Downloaded from https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845 28 Terence Irwin, The Development of Ethics, A Historical and Critical Study. Volume 2: From Suarez to Rousseau, Oxford University Press, New York, 2008, catatan no.4, hal. 134.

Page 17: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

17

yang sekedar dipakai untuk memberikan pembenaran atas terjadinya penyimpangan

(derogasi) terhadap pemerintahan regular. “Salus populi” justru merupakan prinsip yang

membimbing ke arah pemerintahan normal yang biasa (ordinary government). Namun, para

pengusung ide dualisme percaya bahwa pemerintahan ditentukan oleh adanya hak-hak

individu dan oleh tersebarnya pusat-pusat epicentrum (polyarchy) dalam struktur kekuasaan

pemerintahan negara. Dalam bentuk yang paling minimalis seperti yang tercermin dalam

Konstitusi Romawi kuno yang digambarkan oleh Polybius dalam buku Histories IV bahwa

“polyarchic structure” kekuasaan negara Yunani kuno sebagai “mixed regime and mixed

constitution”.29 Pluralitas struktur kekuasan tercermin dalam pelembagaan Consuls, Senate,

Tribunes, Comitia, dan juga dengan berlakunya prinsip hukum “provocatio ad populum” yang

memungkinkan warganegara menuntut hukuman bahkan dengan mati terhadap petinggi

kekuasaan.30 Karena itu, oleh para ahli dikatakan bahwa di zaman Romawi kuno, kebebasan

(the Roman liberty) dalam sistem kekuasaan negara yang normal pun, tidak dapat direduksi

menjadi sekedar partisipasi. Namun, sebaliknya, pemerintahan pengecualian yang diwakili

oleh kediktatoran (dictatorship) mencakup (i) kekuasaan yang dapat menangguhkan hak dan

kebebasan warga untuk menuntut pelaksanaan prinsip “provocation ad populum” di atas,

dan (ii) struktur polyarchic pemerintahan republik yang mendukung kekuatan negara

monokratis oleh penguasa tunggal (monocratic power) di atas hak-hak individu.

Oleh karena itu, di sepanjang sejarah, kita menemukan pelbagai dikotomi dan

antinomi dalam kehidupan, dan khususnya mengenai hal ini adalah “polyarchy” (kekuasaan di

banyak pusat) versus “monoarchy” (kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa) atau

kediktatoran, dan juga penegakan keadilan melalui proses hukum (due process) versus

keyakinan tanpa proses peradilan. Namun, yang pasti, di dalamnya selalu ada sistem norma,

dan ada pula sistem pengecualian. Tentu kita harus juga maklum, suasana zaman yang

mempengaruhi Thomas Hobbes sangat berbeda dari suasana di zaman normal. Thomas

Hobbes hidup dalam masyarakat yang diganggu luar biasa oleh pelbagai kekerasan akibat

perang saudara dan konflik yang bernuansa agama. Tentu, realitas hukum-hukum kehidupan

alamiah yang ia hadapi tidak dapat dipahami hanya dalam konteks konflik-konflik kekuasaan

yang dijawab dengan buku. Karena itu, dapat dikatakan bahwa diskusi tentang Leviathan

berkenaan dengan kediktatoran kekuasaan negara yang ditulisnya hanyalah respon politik

terhadap kenyataan alami yang terjadi di zamannya.

Kita dapat berkata bahwa dalam konsepsi Thomas Hobbes tentang “conceptual

universe” kekuasaan negara yang didiskusikannya dalam “Leviathan” tidak diperlukan adanya

konsepsi mengenai kekuasaan darurat, karena di dalamnya sistem norma hukum dan sistem

pengecualiannya berperan secara bersamaan. Thomas Hobbes sangat monistik dalam

memahami kekuasaan pemerintahan. Dalam pandangannya, sifat dan hakikat konflik ekstrim

yang terjadi dan ancaman yang ditimbulkannya dalam relasi sosial memungkinkan untuk

dilakukannya pengurangan atau reduksi hak dan kebebasan secara alamiah. 29 Polybius, The Rise of the Roman Empire, 311–17 (Penguin Books 1979). 30 Prinisp “Provocatio ad populum” ini dikenal sebagai “the Valerian and Porcian laws” Romawi kuno yang diberlakukan antara tahun 509 BC dan 184 BC yang memberikan kepada warganegara hak untuk menuntut pejabat negara dengan pelbagai macam kemungkinan sanksi hukum yang mempermalukan dan sebagainya melalui pengadilan. Bahkan “the Valerian law” ini juga menganggap legal dan sah bagi warganegara untuk membunuh seorang warga lainnya yang terbukti membangun tirani dalam kekuasaannya. Ketentuan ini sudah beberapa kali dipraktikkan, termasuk yang paling penting adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap Julius Caesar yang dianggap sesuai dengan “the Valerian law” tersebut.

Page 18: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

18

Namun demikian, menurut John Ferejohn dan Pasquale Paquino, pengusung paham

dualisme terus mempengaruhi ide-ide konstitusionalisme modern melalui Nicollo

Machiavelli, James Harrington, dan J.J. Rousseau. Pandangan mereka ini tercermin, misalnya,

dalam artikel 48 Konstitusi Weimar 1919, dan juga dalam artikel 16 Konstitusi Perancis.

Elemen “the neo-Roman tradition” terlihat dalam kenyataan diberi tempatnya pengaturan

khusus mengenai keadaan darurat atau pemerintahan keadaan darurat itu dalam rumusan

konstitusi.

Dalam teori konstitusi klasik di Inggeris, kita juga dapat menemukan pandangan dualis

ini dalam hubungannya dengan doktrin hak prerogatif Raja (Praerogativa Regia). Seperti

tergambar dalam buku John Locke31, dalam perjanjian kedua (the Second Treatise), derogasi

atau penyimpangan dari pemerintahan reguler dilakukan berdasarkan prinsip pemisahan

kekuasaan dan subordinasi kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif. Hak prerogatif

Raja adalah kekuasaan tunggal (monokrasi) "kontra et extra legem" (bertentangan dan di luar

hukum) dalam rangka melindungi “salus populi” atau keselamatan rakyat dan tertib konstitusi

(constitutional order).32 Perlu diperhatikan secara khusus, apakah doktrin ini memiliki dimensi

yang demokratis atau, lebih tepat disebut "monarchomachic", karena rakyat lah sebenarnya

merupakan hakim terakhir yang menentukan penilaian atas penyalahgunaan hak prerogatif

itu. Selama berevolusi menjadi “monarki konstitusional”, sistem kekuasaan di Kerajaan

Inggeris berubah dari yang semula bersifat monokratis terpusat di tangan Raja atau Ratu

menjadi polyarchis yang terdiri atas Raja dan Parlemen yang terdiri lagi atas 2 kamar, yaitu

“House of Commons” dan “House of Lords”. Karena itu dualisme antara pemerintahan normal

dan pemerintahan pengecualian merupakan suatu keniscayaan di Inggeris. Norma hukum

yang normal dan norma pengecualian dalam suatu sistem hukum didasarkan atas prinsip

kedaulatan parlemen (parliamentary sovereignty) atau lebih tepatnya sebagai suatu

‘gouvernement d’assemblée’ berdasarkan prinsp supremasi parlemen (supremacy of

parliament).

Dalam pandangan dualistik, selalu ada keadaan di luar kebiasaan yang harus

dikecualikan dari norma yang berlaku umum, yaitu keadaan yang tidak dapat diatur dengan

cara-cara yang biasa atau menurut norma yang biasa. Pengecualian ini dapat dilihat, baik dari

segi ontologis maupun dari segi epistemologis. Secara ontologis, norma dan pengecualian

adalah dua dunia yang berbeda. Perbedaan ontoligis di antara keduanya bersifat objektif dan

berbukti, yaitu bahwa setiap orang dapat mengakui adanya; Akibatnya, mekanisme yang

netral dan tidak disengaja dapat dibentuk untuk mendeteksi kemunculannya atau

berakhirnya norma dan pengecualiannya itu.

Beberapa pemikir lain yang cenderung kritis dan skeptis berpendapat, tidak ada bukti

yang absolut mengenai adanya situasi yang harus dikecualikan yang orang pasti setuju atau

tidak setuju mengenai adanya. Karena itu, kita harus mengaitkannya dengan organ atau

institusi tertentu yang diberi kewenangan epistemic untuk menyatakan pengecualian itu ada

dan/atau berakhir. Pendek kata, dari segi teori politik dan konstitusi, pengecualian dapat

31 John Locke, Two Treaties of Civil Government, 32 Locke’s prerogative has a much larger scope, actually. It goes from the Aristotelian epieikeia (the doctrine of justice) to the emergency government. Lihat Pasquale Pasquino, Locke on King’s Prerogative, 26 Political Theory, 1998, hal. 198–208, 1998. https:// academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

Page 19: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

19

dianggap sebagai bentuk ancaman khusus terhadap tatanan politik yang normal.

Pemberlakuannya dengan deklarasi merupakan deklarasi ancaman terhadap sistem republik

atau tatanan demokrasi konstitusional suatu masyarakat politik dengan menjustifikasi

pemerintahan pengecualian, yaitu rezim pemerintahan darurat. Logika pemerintahan

pengecualian ini bersifat konservatif atau preservatif. 33 Fungsinya adalah untuk membentuk

atau memulihkan kembali pemerintahan normal dengan seutuhnya, dan dalam waktu yang

secepat-cepatnya.

E. MENGENDALIKAN KEKUASAAN DARURAT

1. Lingkup Pengendalian

Dari Semua uraian teoritis tersebut di atas, akhirnya, yang paling penting dalam teori

dan praktik ialah bagaimana kekuasaan negara dalam keadaan daurat, dikendalikan. Jika kita

mengambil pelajar dari sejarah Romawi kuno, kita dapati bahwa dalam 300 tahun sejarah

kediktatoran Romawi, mulai dari terbentuknya republik sampai jatuhnya Hannibal, menurut

Nippel, tercatat 95 kali “dictatorship” yang memberlakukan pemerintahan darurat.34 Para

diktator pun selalu berganti-ganti. Selama periode itu, tidak ada dictator yang memerintah

lebih dari 6 bulan, dan sampai dengan perang yang menyebabkan kekalahan Hannibal, tidak

tercatat adanya perang yang dipimpin langsung oleh dictator keluar wilayah Italia. Artinya,

sang penguasa (dictator) hanya memimpin perang untuk pertahanan di dalam negeri sendiri.

Sebagian dari alasan keberhasilan selama periode tersebut sampai terjadinya perang

dengan Carthage, menurut Ferejohn dan Pasquino, karena struktur keadaan darurat yang

harus dihadapi dinilai cocok dengan institusi kediktatoran Romawi ketika itu. Musim perang

di Italia ketika itu memang rata-rata terjadi antara Maret sampai Oktober, sehingga periode 6

bulanan dianggap cocok. Ancaman yang datang cukup memberi alasan untuk menerapkan

kediktatoran, yang pada umumnya datang dari tetangga Romawi atau karena invasi dari dari

sekitar Romawi sendiri. Jika krisis datang dari konflik atau pemberontakan internal, biasanya

dapat diatasi segera dalam jangka waktu singkat. Pendek kata, pengendalian terhadap

“dictatorship” ketika itu, merupakan suatu percampuran yang kompleks antara mekanisme

pengendalian yang bersifat “ex ante, interim, and ex post”.35

Yang dimaksud pengendalian ‘ex ante’ (ex-ante controls) itu tidak lain merupakan

kontrol yang dilakukan sejak sebelum keadaan darurat diberlakukan. Sedangkan control

‘interim’ merupakan pengendalian yang dilakukan selama keadaan darurat berlangsung, dan

‘ex post controls’ adalah pengendalian ‘ex post’ untuk mengakhiri keadaan darurat dan hal-

hal yang terjadi sesudah keadaan darurat berakhir. Pengendalian ‘ex ante’ di zaman Romawi

kuno itu, dilakukan dengan keterlibatan semua struktur yang bersifat (hetero-investiture),

yaitu: (i) sejak awal, sudah ditentukan, terdapat pemisahan antara entitas Senate yang

33 Dalam Bahasa Carl Schmitt, Pemerintahan Pengecualian atau Pemerintahan Keadaan Darurat ini dapat dibandingkan dengan “Kommissarische Diktatur”, Carl Schmitt, supra note 23. 34 Wilfried Nippel, Emergency Powers in the Roman Republic, in La Theorie Politico-Constitutionnelle du Gouvernment D=Exception, 5 (Pasquale Pasquino & Bernard Manin eds., Les Cahiers du CREA 2000). 35 J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal. 227-228. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

Page 20: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

20

mendeklarasikan keadaan darurat dengan seorang dictator yang menjalankan kekuasaan

selama keadaan darurat itu: (ii) adanya ketentuan yang sudah ditetapkan lebih dulu

mengenai batasan waktu periode 6 bulanan; dan (iii) larangan memimpin sendiri tentara

keluar kota Italia. Meskipun demikian, pengendalian interim (interim controls) dapat

dikatakan memang lebih kabur, karena sang penguasa atau “dictator” dapat menjalankan

kekuasaan secara absolut, dengan perintah-perintah yang tidak dapat dibantah atau

disanggah, baik oleh “the tribunes or the Senate”. Bagaimanapun “Senate”, mempunyai hak

kontrol terhadap anggaran (budget), tetapi dalam praktik, Penguasa yang dipilih memang

bekerja hanya untuk mengatasi krisis dan mengembalikan keadaan menjadi normal. Sang

dictator biasanya dipilih dari antara mereka yang memang benar-benar dipercaya, karena

sudah duduk di pemerintahan, atau mungkin mereka yang dikenal dan berpengalaman

memimpin militer atau tokoh publik yang dikenal luas yang dinilai tidak lagi mempunyai

ambisi lain kecuali untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh pemerintahan kota mereka.

Lebih-lebih, ketentuan konstitusi dianggap cukup terang dan jelas, sehingga setiap tindakan

pemerintahan yang dinilai bertentangan dengan norma konstitusi, dapat terawasi dengan

baik.

Namun, bagaimanapun, mekanisme kontrol ini sangat tergantung kepada moralitas

politik orang yang menduduki posisi dan menjalankan kedikatatoran yang bersifat monokratis

(penguasa tunggal) itu dalam praktik kekuasaan. Bahkan, meskipun sudah ada teks konstitusi

yang mengatur dan membatasi kekuasaan, selama moralitas nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya tidak dihayati secara seksama dengan spirit dan moralitas para penguasa,

pengendalian dimaksud menjadi tidak efektif. Karena itu, diperlukan pemantapan mengenai

pengendalian “ex ante” yang lebih efektif untuk mencegah penyalahgunaan dalam

pelaksanaan keadaan darurat.

Sejarah menunjukkan bahwa, seperti yang dikemukakan leh Lord Acton, kekuasaan itu

cenderung disalahgunakan untuk kepentingannya sendiri, “power tends to corrupt, and

absolute power corrupts absolutely”. Semakin absolut suatu kekuasaan, makin absolut pula

penyalahgunaan yang dapat terjadi. Itu juga sebabnya, maka Plato menulis buku “Nomoi”

sebagai karya ‘magnum opus’ yang paling tebal dibandingkan dengan buku-bukunya yang

lain. Di buku ini ia mengubah pandangannya yang ia tulis dalam “Res Publica” tentang

pentingnya Raja yang baik dan cerdas yang disebutnya dengan konsep “the philosopher’s

King” untuk memimpin negara ideal. Dalam “Nomoi” yang diidealkan oleh Plato adalah

“nomoi” atau norma aturan yang harus menentukan kualitas dan integritas kekuasaan. Dari

sinilah muncul konsepsi “nomokratie” atau di kemudian hari menjadi cikal bakal konsep

negara hukum modern, “the Rule of Law”, dan “Rechtsstaat”.

Di samping itu, juga diperlukan mekanisme “ex post control” yang lebih efektif dan

terukur. Pada tahun 217 SM, menurut Livy, orang Romawi menolak kebijakan Fabius untuk

mencari dan melecehkan Hannibal daripada memaksanya turun dan memilih ‘consul’ baru

yang akan memimpin pemerintahan, yang bersedia berjanji untuk bekerja lebih agresif. 3644

Sayangnya, keputusan popular itu justru menimbulkan terjadinya malapetaka di Cannae, dan,

selanjutnya, menyebabkan Fabius terus terpilih menjadi ‘consul’ untuk dua kali lagi. Dari

36 44 22 LIVY, Roman History, 8, 5–6.

Page 21: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

21

peristiwa ini, bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa sistem dictator di zaman Romawi kuno

ini telah memperlihatkan efektifitasnya, karena terbukti bahwa dictator dan sistem

kediktatoran tidak selalu mengecewakan ekspektasi normatif para pemilihnya.37

Pendek kata, memang diperlukan adanya mekanisme pengawasan konstitusional

terhadap kediktatoran dimana pihak yang menyatakan keadaan darurat (Senat) dan pihak

yang mengangkat penguasa darurat yang disebut diktator (Konsul), bukanlah mereka yang

menjalankan kekuasaan darurat itu sendiri dalam praktik. Jika dilihat dari sudut pandang

konstitusional, hal ini merupakan “ex ante control” atas pemberlakuan keadaan darurat.

Dapat digambarkan bahwa sebelum masa Hannibal menjadi diktator, situasi Roma telah

berubah secara material. Hannibal tinggal dalam waktu yang sangat lama di Italia dan pola

pemerintahan enam bulanan tidak cocok untuk menghadapi ancaman yang dialami oleh

warga kota Roma. Lebih dari itu, solusi yang diperlu dilakukan untuk menghadapi masalah ini

haruslah dengan mengizinkan tentara Romawi berperang ke luar wilayah Italia dan, harus

pula siap untuk semakin lama semakin jauh dari kota selama bertahun-tahun. Padahal

ketentuan yang berlaku dalam kediktatoran Romawi tidak memungkinkan untuk itu dan

akhirnya aturan kediktatoran pun tidak lagi digunakan sampai pengangkatan Sulla dan

akhirnya Julius Caesar yang terjadi dengan cara yang tidak biasa (reguler).

2. Keadaan Darurat Zaman Modern

Pemberlakuan keadaan darurat di zaman modern tentu sangat berbeda dari zaman

Romawi kuno. Dewasa ini, sumber bencana yang membahayakan keselamatan warganegara

dapat berbentuk dan diakibatkan oleh bermacam-macam sebab, baik sebab-sebab yang

bersifat alami seperti bencana alam, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti

kerusuhan, pemberontakan, atau perang. Cara-cara yang mesti dilakukan oleh pemerintahan

modern untuk dan dalam rangka menangani pelbagai krisis yang menimbulkan keadaan

darurat itu juga beraneka ragam variasinya. Tidak semua keadaan darurat selalu harus

dikaitkan dengan persoalan perang miiter bersenjata.

Ada dua ciri problematika pemerintahan darurat di zaman modern, yaitu bahwa (i)

pemerintahan darurat kontemporer, tidak mudah dibatasi menurut ruang dan waktu; dan (ii)

juga tidak jelas untuk sampai pada keadaan darurat, kekuasaan apa saja yang dibutuhkan

untuk menghadapi dan mengatasinya. Dari segi yang pertama, tidak mudahnya menentukan

pembatasan ruang dan waktu, menimbulkan momok yang mengkhawatirkan bahwa keadaan

darurat yang bersifat sementara dapat berubah atau disalahgunakan menjadi permanen.

Karena itu, dapat diterima akal sehat mengenai kemungkinan megembangkan pendekatan

dualistic mengenai beroperasinya rezim keadaan darurat, di samping adanya rezim keadaan

normal. Untuk itu diperlukan Batasan-batasan hukum (legal boundaries) mengenai keadaan

darurat dan perubahannya menjadi keadaan normal, baik dalam ruang, waktu, atau pun

dalam hal-hal yang tertentu. Kedua, di zaman kontemporer, terdapat semacam kesepakatan

umum bahwa kekuasaan harus tersebar di banyak institusi yang terikat pada prinsip “checks

and balances” di antara satu dengan yang lain. Prinsip pengelolaan kekuasaan berubah dari

37 45 Livy provides an account of an attempt to prevent a dictator from condemning his second in command. The supporters of the condemned man appealed to the tribunes to veto the dictator’s command. After an appeal to the popular assembly by the dictator, none of the tribunes were willing to take this step. In the end, the dictator relented as a matter of discretion. 8 LIVY, supra note.

Page 22: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

22

sifat “monokratis” (penguasa tunggal) menjadi “nomokratis” tersebar berdasarkan norma

aturan yang disepakati dengan actor yang terdistribusi di banyak tangan kekuasaan.

Karena itu, kita dapat menekankan bahwa sistem hukum keadaan darurat sama-sama

harus diatur dengan baik bersamaan dengan sistem hukum keadaan normal. Di dalamnya

terdapat aturan-aturan, hak-hak, dan prosedur-prosedur, betapapun terbatas sifatnya dalam

pelaksanaannya, tetap harus ada, untuk mengantisipasi setiap keadaan yang timbul dalam

perjalanan kehidupan bernegara. Dalam keadaan normal harus berlaku sistem hukum yang

normal, dan dalam keadaan tidak normal mesti diberlakukan sistem hukum keadaan yang

tidak normal pula. Dengan demikian, praktik penyeenggaraan kekuasaan negara di zaman

sekarang, harus siap dengan dua kemungkinan keadaan, yaitu keadaan normal atau keadaan

tidak normal. Dalam sistem konstitusi negara modern, rezim hukum yang beroperasi dalam

keadaan darurat sama-sama harus tersedia di samping rezim hukum keadaan normal.

Namun, biasanya, kebanyakan rezim demokrasi modern dewasa ini, lebih menyukai

dan lebih memutuhkan pengendalian yang bersifat “interim” dan “ex post control” dalam

pelaksanaan pemerintahan darurat. Dalam sejarah Amerika Serikat, kecenderungan ini

terlihat dalam dua hal.38 Pertama, pengadilan telah mengambil peran penting dalam menilai

dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan dalam keadaan darurat serta dalam menguji

kebijakan penangguhan hak-hak warga selama keadaan darurat berlangsung.3947 Meskipun

banyak kaum “civil libertarians”, para aktifis kebebasan mengeluhkan bahwa pengadilan pada

umumnya masih terlalu pasif menjalankan perannya dalam mengawal kebebasan sipil,

banyak pengadilan yang sudah membukan diri, paling tidak untuk mendengarkan keluhan,

tuntutan, permohonan serta argumen-argumen yang didalilkan oleh para pencari keadilan

yang telah mencerminkan meningkatnya peran pengadilan di bidang ini. Bahkan pun jika

pengadilan menolak suatu perkara atau menolak untuk ikut campur atau mengintervensi

suatu tindakan-tindakan pemerintahan yang dianggap melanggar hak konstitusional warga,

biasanya selalu ada pendapat yang berbeda atau “dissenting opinions” di antara para hakim

yang memutus perkara yang bersangkutan, yang dapat dijadikan bahan untuk usaha

pencarian keadilan lebih lanjut di masa mendatang.

Kedua, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya pemerintahan darurat di zaman

moden sekarang ini, menyediakan pelbagai variasi yang lebih fleksibel dan menarik, yang di

dalamnya dapat diramu atau dijahit untuk menghadapi hal-hal yang nyata. Ini dapat dijadikan

alasan untuk penggunaan model legislatif secara lebih luas. Karena itu, Ferejohn dan

Pasquino makin yakin dengan gagasan mereka tentang penguatan peran legislatif dari

pemerintahan darurat. Bahkan dalam banyak hal, eksekutif mempunyai pilihan-pilihan

konstitusional yang tepat dalam menjalankan fungsinya selama keadaan darurat. Di natara

banyak pemikir modern yang mendukung gagasan pemerintahan darurat konstitusional

(constitutional emergency powers), dapat kita bedakan dalam dua posisi.

38 J. Ferejohn & P. Pasquino Op.Cit., hal. 228-229. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845 by guest on 02 April 2020.). 39 Ex parte Vallandigham, 68 U.S. 243 (1863); Ex parte Milligan, 71 U.S. 2 (1866); Ex parte Quirin, 317 U.S. 1 (1942).

Page 23: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

23

Pertama, mereka yang mengakui berlakunya prinsip “necessitas non habet legem”

(necessity has no laws)40 yang menentukan keabsahan keadaan darurat dan pemerintahan

darurat, seperti misalnya Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Rehnquist.41 Kedua,

sebaliknya, mereka yang mempersyaratkan adanya atau harus adanya norma hukum dan

bahkan konstitusi yang mengatur adanya pemerintahan darurat (emergency government) itu.

Yang terakhir ini dapat dibedakan antara (a) aliran neo-Roman model yang berpendapat

bahwa pemerintahan pengcualian (exceptional government) harus diatur lebih dahulu (ex

ante) dalam konstitusi yang menentukan pemerintahan yang bersifat adhoc (constitutional

ad-hoc provisions), dan (b) aliran yang percaya bahwa undang-undang, undang-undang

khusus, atau tindakan pemerintahan keadaan darurat yang bersifat khusus dinilai sudah lebih

dari cukup untuk menghadapi segala macam krisis yang terjadi.

Masing-masing pandangan tersebut, tentu mempunyai kelebihan dan kekurangannya

sendiri-sendiri. Tetapi, yang paling berbahaya karena paling mudah disalahgunakan, terutama

di lingkungan negara-negara yang tingkat peradaban demokrasi dan hukumnya yang masih

berkualitas rendah, ialah prinsip “necessitas non habet legem” (necessity has no laws) yang

mengakui bahwa kebutuhan yang utama (necessitas) adalah hukum itu sendiri. Artinya, jika

ada kebutuhan yang tidak dapat ditawar, maka kebutuhan itu adalah hukum itu sendiri yang

dapat mengabaikan berlakunya hukum-hukum yang lain. Semua tujuan yang baik, dapat

dicapai dengan cara apapun juga. Pendek kata, tujuan dapat menghalalkan segala cara,

asalkan nyata bahwa tujuan itu merupakan suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi.

Namun dalam praktik, seringali sulit menentukan objektifitas tujuan dan kebutuhan objektif

yang disebut sebagai “necessitas” itu. Akhirnya semua tergantung kepada penilaian subjektif

pemegang kekuasaan yang akan diberi pembenaran oleh semua bawahan atau pendukung

rezim politik dengan cara mengangkangi kekuasaan untuk dirinya sendiri.

Pilihan kedua (b) juga mengandaikan peran legislatif yang sangat sentral dan dapat

mengendalikan segalanya baik “interim control” maupun “ex post control”. Tetapi dalam

sistem pemerintahan presidential, dengan pemegang kekuasaan yang cenderung monokratis,

pilihan yang paling realistis untuk Indonesia adalah pilihan kedua (a) yaitu pengaturan

tentang keadaan darurat ditentukanlebih dulu dalam UUD. Nyata, UUD 1945 juga sudah

mengatur jelas mengenai hal itu, yaitu pada Pasal 12. Sayangnya pasal ini kurang mendaat

perhatian untuk dipelajari secara mendalam oleh para sarjana hukum, sehingga tidak banyak

yang memahami hakikat keberadaannya yang susungguhnya. Di samping itu, dalam semua

pilihan di atas, satu hal yang diidealkan oleh semua model pemerintahan darurat yang ada,

ialah pentingnya peran pengadilan. Sekarang pun Indonesia telah memiliki Mahkamah

Konstitusi yang berperan aktif dalam menguji konstitusionalitas kebijakan yang dituangkan

dalam bentuk undang-undang, di samping pengujian legalitas kebijakan yang dituangkan

dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah

Agung. Demikian pula gugatan terhadap legalitas keputusan-keputusan tata usaha negara

juga dapat diajukan oleh pencari keadilan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan

demikian, pemerintahan keadaan darurat terus dapat dikendalikan, baik oleh cabang

40 Aaron X. Fellmeth and Maurice Horwitz, Guide to Latin in International Law,Oxford University Press, 2009. ISBN-13: 9780195369380 41 William Rehnquist, All the Laws But One: Civil Liberties in Wartime, (Knopf 1998).

Page 24: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

24

kekuasaan legislatif di DPR dan DPR maupun oleh cabang kekuasaan kehakiman di

lingkungnan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

3. Mekanisme Pengendalian Konstitusional

Ada dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk mengawasi dan mengendalikan

pemerintahan darurat (emergency powers). Pertama, pengendalian dilakukan dengan model

Romawi atau neo-Romawi yang memisahkan antara pejabat yang mendeklarasikan keadaan

darurat dengan pejabat yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan darurat. Kedua, dapat

pula diterima bahwa kedua fungsi deklarasi dan pelaksana pemerintahan darurat ada di

tangan yang sama, tetapi keputusannya dapat terus menerus diawasi oleh lembaga

parlemen, dan dapat pula diperkarakan atau diuji di pengadilan atau lembaga lain yang

sejenis. Alternatif pertama merupakan pengendalian “ex ante” yang didesain untuk

memastikan lembaga yang mendeklarasikantidak mendapatkan keuntungan apa-apa baik

secara kelembagaan atau pribadi dengan deklarasi tersebut. Sedangkan alternatif kedua

merupakan pengendalian ‘ex post control’ seperti dipraktikkan dalam putusan Mahkamah

Agung Amerika Serikat dalam perkara Milligan dan Korematsu.42 Kedua mekanisme

pengendalian terhadap pemerintahan darurat itu dapat dirumuskan dalam konstitusi atau

tidak, tetapi yang terpenting adalah diterapkan dalam praktik.

Meskipun demikian, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Indonesia berdasarkan

UUD 1945, sudah menentukan pilihannya, yaitu pilihan kedua dengan tidak memisahkan

fungsi deklarasi dengan fungsi pemerintahan pelaksana, tetapi dengan mengatur keadaan

bahaya atau keadaan darurat itu dalam Pasal 12 UUD 1945. Ketentuan mengenai syarat-

syarat dan akibat-akibat dari keadaan darurat itu diamanatkan oleh UUD 1945 agar diatur

lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 12 UUD 1945 jelas menentukan: “Presiden

menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan

dengan undang-undang”. Artinya, Presiden yang menyatakan atau mendeklarasikan keadaan

bahaya atau keadaan darurat, dan tentu Presiden pula yang memimpin pemerintahan dalam

keadaan darurat itu. Namun, syarat-syarat sebagai “ex-ante control” dan akibatnya keadaan

bahaya itu diatur lebih lanjut dalam dan dengan undang-undang yang tersendiri, yang di

dalamnya dapat saja diatur dengan ketat sesuai dengan kewenangan DPR sebagai lembaga

pembentuk undang-undang, yaitu agar pelaksanaan pemerintahan darurat it uterus menerus

diawasi oleh parlemen, dan keputusan-keputusan serta kebijakan-kebijakannya yang

dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat dijadikan objek pengujian,

baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun oleh lembaga peradilan dalam lingkungan

Mahkamah Agung.

Dengan demikian, mekanisme pengendalian terhadap pemerintahan darurat dalam

sistem hukum dan konstitusi Indonesia dapat mencakup “ex ante”, “interim”, dan bahkan “ex

post controls”. John Ferejohn dan Pasquale Pasquino sendiri membedakan 4 hal dalam

membuat klasifikasi mengenai pengaturan pemerintahan darurat ini dalam studinya, yaitu43:

(1) siapa yang mendeklarasikan keadaan darurat; (2) siapa yang menjalankan kekuasaan

pemerintahan darurat; (3) siapa yang menyatakan berakhirnya keadaan darurat; dan (4) siapa

42 Milligan, 71 U.S. 2 (1866); Korematsu v. United States, 323 U.S. 214 (1944). 43 J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal. 230-231. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

Page 25: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

25

yang dapat ikut campur menilai atau mengadili pertanyaan-pertanyaan hukum yang

berhubungan dengan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh pemerintahan darurat.

Misalnya, menurut tradisi Romawi, (1) yang mendeklarasikan keadaan darurat adalah

Senate berdasarkan konstitusi kebiasaan kerajaan Romawi kuno; (2) yang menjalankan

pemerintahan darurat itu adalah Consul yang dipilih oleh Senate; dan (3) Konstitusi kebiasaan

juga sudah menentukan pembatasan waktu berlakunya keadaan darurat, yaitu hanya untuk 6

bulan saja. Namun, menurut tradisi kuno itu, Consul sebagai pemegang kekuasaan tunggal

(monocrat) memang tidak bersifat akuntabel, baik secara politik maupun hukum. Karena itu,

dalam scenario modern, ada dua institusi penting yang mengambil peran penting dalam

menilai dan mengendalikan pemerintahan darurat, yaitu lembaga perwakilan rakyat atau

parlemen, dan lembaga peradilan.

Dalam model legislatif yang diusulkan oleh Ferejohn dan Pasquino: (1) lembaga yang

mendeklarasikan keadaan darurat adalah parlemen; (2) yang menjalankan pemerintahan

darurat adalah kepala pemerintahan atas dasar wewenang delegasian dari parlemen

(legislative delegation of executive power); (3) yang menyatakan berakhirnya keadaan darurat

kembali lagi adalah parlemen; dan (4) yang dapat ikut campur dalam mengendalikan

pelaksanaan pemerintahan adalah lembaga peradilan. Dalam hal ketentuan mengenai

keadaan darurat ini hendak dimuat dalam UUD, maka diidealkan agar ketentuan konstitusi

juga memuat mengenai keempat hal itu, yaitu: (i) qua deklarasi (qua-declaration); (ii) qua-

pelaksana kekuasaan (qua-exercise); (iii) qua-penentu pengembalian kepada keadaan normal

(qua reestablishment of normality), dan (iv) qua pengkendali terhadap pelaksanaan

pemerintahan darurat.

Namun, model yang dianjurkan tersebut, tidak cocok dengan pemerintahan republik

dengan sistem presidential seperti Indonesia. Pertama, kedaulatan rakyat Indonesia tidak

terkumpul dan tercermin di lembaga DPR ataupun DPD. Dalam rangka pembentukan

kebijakan bernegara, kedaulatan rakyat memang dapat tercermin di MPR ssebagai

penjelmaan seluruh rakyat, tetapi bukan DPR ataupun DPD. MPR terdiri atas para anggota

DPR dan anggota DPD sebagai keseluruhan dan bersama-sama sebagai penjelmaan seluruh

rakyat yang bermusyawarah untuk menentukan kebijakan negara dan memilih Presiden

dan/atau Wakil Presiden jika terdapat kekosongan dalam jabatan di tengah jalan. Namun,

kedaulatan rakyat juga secara langsung dapat memilih sendiri Presiden dan Wakil Presiden

melalui pemiihan umum. Karena itu, kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, tetap

berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan

rakyat itu tidak berpindah ke DPR, ke DPD, ataupun ke MPR. Kedaulatan tetap berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Artinya, kekuasaan negara dalam keadaan darurat tidak mungkin dikonstruksikan

berada di tangan DPR, DPD, ataupun MPR. Dalam sistem pemerintahan presidential, Presiden

lah yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, yang memegang kekuasaan asli

dan sekaligus kekuasaan sisa. Dalam sistem presidential itu, pusat kekuasaan yang berasal

dari rakyat itu ada di tangan Presiden, kecuali yang menurut UUD dan UU sudah dengan

tegas diberikan kepada lembaga-lembaga negara lainnya, yang tidak dapat lagi dicampuri

oleh Presiden. Di luar semua kekuasaan yang sudah diatur dan dibatasi itu, tetap adalah

Page 26: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

26

kekuasaan rakyat yang dimandatkan kepada Presiden untuk menjalankannya dengan sebaik-

baiknya untuk kepentingan rakyat yang berdaulat. Oleh sebab itu, model legislatif yang

diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino tidak cocok untuk diterapkan di

Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, keempat aspek yang dibahas oleh Ferejonhn dan Pasquino tersebut di atas,

dapat dikatakan kurang lengkap. Karena dalam praktik di Indonesia, kita dapat membedakan

antara pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dengan

pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dapat

berlangsung simultan. Selama pelaksanaan pemerintahan darurat dan akibat hukum

keputusan, kebijakan, dan tindakan pemerintahan darurat terus menerus dapat diawasi oleh

DPR dan DPD sesuai kewenangan konstitusionalnya masing-masing, serta dapat terus

menerus terbuka untuk diperkarakan di pengadilan oleh siapa saja yang berkepentingan

untuk mendapatkan keadilan. Objek pengawasan dan pengujian yang dilakukan dapat terdiri

atas (a) keputusan-keputusan administrasi negara atau keputusan tata usaha negara, (b)

produk peraturan perundang-undangan yang memuat kebijakan-kebijakan pemerintahan dan

pembangunan selama keadaan darurat, ataupun (c) tindakan-tindakan pemerintahan yang

dinilai merugikan hak-hak konstitusional dan hak-hak perdata warganegara. Semua itu dapat

diawasi dan dinilai secara politik oleh lembaga politik di parlemen, atau dinilai, diuji, dan

diadili di forum peradilan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pengadilan Tata

Usaha Negara mengadili produk-produk keputusan administrasi negara atau tata usaha

negara. Pengadilan Negeri memeriksa, memutus, dan mengadili gugatan perdata ataupun

tuntutan pidana. Mahkamah Agung menguji legalitas peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang, dan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang ataupun

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dengan demikian sistem konstitusi Indonesia sudah jauh lebih maju dari apa yang

dikaji dan ditawarkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino. Sayangnya, ketentuan Pasal

12 UUD 1945 sebagai satu-satunya pasal yang mengatur mengenai soal ini sama sekali belum

dipahami dengan benar, dan kebanyakan orang menghindar untuk mengatur penjabarannya

lebih lanjut dengan undang-undang. Akibatnya sampai sekarang, ketentuan penjabaran Pasal

12 UUD 1945 yang masih berlaku “de-jure” hanya UU No 23 Tahun 1959 yang sudah sangat

ketinggalan zaman. Semua UU yang mengatur keadaan krisis, bencana, atau kondisi darurat,

tidak satupun yang mencantumkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan yang “menakutkan”

ini. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 9 Tahun 2016 tentang

Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 6 Tahun 2008 tentang

Karantina Kesehatan, dan bahkan PERPU No. 1 Tahun 2020, tidak satupun menyebut Pasal 12

UUD 1945 sebagai rujukan. Akibatnya, semua menjadi serba salah. Keadaan sudah terlanjur

sebagai keadaan darurat “de-facto” (emergency de-facto) tetapi tidak diakui sebagai keadaan

darurat secara “de-jure” (emergency de-jure).

Dengan demikian, mekanisme pengendalian konstitusional terhadap pemerintah

daruat menurut sistem konstitusi Indonesia dapat digambarkan secara komprehensif, mulai

dari tahap penentuan atau pemberlakuan (ex-ante control), pada tahap penyelenggaraan

pemerintahan darurat (interim control), dan pada tahap pengakhiran keadaan darurat (ex-

Page 27: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

27

post control). Menurut sistem yang berlaku berdasarkan Pasal 12 UUD 1945, dapat

dirumuskan pprinsi-prinsip ketentuan sebagai berikut:

1) Penentu deklarasi keadaan bahaya atau keadaan darurat adalah Presiden (qua-

declaration) yang sekaligus adalah juga pejabat pelaksana pemerintahan darurat sebagai

pemegang tanggungjawab tertinggi pemerintahan (qua- exercise);

2) Namun, untuk menetapkan berakhirnya keadaan bahaya atau darurat (qua

reestablishment of normality) sebaiknya dipastikan dengan tegas dengan atau dalam

undang-undang bahwa yang berwenang untuk menentukan hal itu adalah DPR sebagai

pengawas pemerintahan darurat dan sekaligus sebagai pemegang kekuasaan membentuk

UU sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (1) UUD 1945;

3) Di samping itu, selama keadaan darurat berlangsung, pemerintahan darurat terus harus

diawasi oleh lembaga perwakilan rakyat, baik oleh DPR maupun DPD, untuk menjalankan

fungsi pengawasan politik dengan sebaik-baiknya;

4) Selama masa pemerintahan darurat, lembaga peradilan juga harus efektif memastikan

bahwa kebjakan dan tindakan pemerintahan berlangsung dengan keadilan berdasarkan

hukum dan konstitusi.

Karena itu, selama berada dalam keadaan darurat, lembaga-lembaga perwakilan

rakyat, baik DPR maupun DPD, dan lembaga-lembaga peradilan, baik Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi terus harus

bekerja intensif dalam menjalankan tugas konstitusionalnya masing-masing untuk

mengawasi, menguji, memeriksa, mengadili, dan memutus segala perkara diajukan oleh para

pencari keadilan. Para pencari keadilan dapat dapat mengajukan tuntutan aspirasi politiknya

kepada DPR dan/atau DPD, atau dapat pula mengajukan gugatan, permohonan, dan upaya

hukumnya kepada pengadilan sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu untuk

mepersoalkan legalitas dan/atau konstitusioal:

1) Kebijakan pemerintahan darurat yang dituangkan dalam bentuk peraturan (executive

acts);

2) Kebijakan dan tindakan pemerintahan darurat yang dituangkan dalam bentuk keputusan-

keputusan tata usaha negara sebagai produk administrasi negara (administrative

decisions);

3) Tindakan-tindakan pemerintahan darurat (executive actions) yang dianggap merugikan

warganegara dan bertentangan dengan UU dan UUD 1945 yang tidak dapat ditangguhkan

berlakunya selama dalam keadaan darurat;

Pendek kata, pemerintahan darurat menurut hukum Indonesia harus dibangun

dengan pengawalan konstitusional yang ketat. Tanpa pengawalan atau pengendalian,

kekuasaan keadaan darurat mudah terperosok ke dalam kediktatoran yang tidak terkendali.

Dapat terjadi zaman sudah berubah tetapi rezim politiknya terus berkuasa dengan

menunggangi atau menyalahgunakan rezim hukum keadaan darurat. Sebaliknya, dapat pula

terjadi, rezim politik sudah berganti, tetapi rezim hukumnya terus dipelihara untuk

keuntungan dan kemudahan kekuasaan oleh rezim baru yang ingin menikmati kekuasaan

tanpa kendali. Atau, dapat pula terjadi bahwa hukum keadaan darurat it uterus

dipertahankan ntuk dipakai sebagai sarana melembagakan proses pergantian rezim politik

Page 28: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

28

dari waktu ke waktu dengan mengabaikan pelembagaan sistem pergantian kekuasaan secara

konstitusional menurut UUD.

Seperti dikatakan oleh Carl Schmiit, musuh kita dengan demikian berubah, bukan lagi

sang diktatornya sendiri yang disebutnya “Souverane Diktatur”44 yang biasa dianggap menjadi

ancaman terhadap sistem politik atau tatanan politik bernegara (political order), tetapi

tatanan politik itu sendiri itu sendirilah yang justru mengancam pemerintahan baru yang

hendak dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan tatanan politik yang semula dimaksudkan

hanya untuk sementara waktu. Namun, doktrin mengenai kesementaraan ini juga sudah

terbuka dalam sejarah, dengan begitu lamanya tahta kekuasaan dikangkangi oleh paham

marxisme-komunisme di banyak negara yang mengklaim kekuasaan rezim diktator Leninis

ataupun Maois yang juga dimaksudkan bersifat sementara untuk mencapai tujuan akhir

masyarakat komunis proletariat sebagai masa transisi menuju dunia baru.

4. Anatomi Ancaman, Kualifikasi Kedaruratan dan Ragam Metode

Sebenarnya, ancaman eksternal dalam kehidupan umat manusia merupakan sesuatu

yang lumrah, selalu ada. Hanya saja tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh ancaman itu

berbeda-beda gradasinya. Di samping itu, sumber ancaman itu juga dapat datang dari mana

saja yang pada pokoknya bersifat perbenturan atau konflik kepentingan antar subjek yang

bagi satu pihak dipandang sebagai ancaman yang datang dari pihak yang lain. Dalam peri-

kehidupan Bersama umat manusia, ancaman itu dapat datang dari sesama manusia atau

kearena ulah manusia sendiri, tetapi dapat pula datang sebab-sebab alam di luar kehendak

dan kuasa manusia. Memang benar, kadang-kadang, kerusakan alam sehingga menyebabkan

bencana, juga disebabkan oleh perbuatan manusia juga, tetapi sifatnya tidak langsung.

Misalnya, kerusakan hutang berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun sehingga

menyebabkan banjir bandang yang menyengsarakan penduduk dari generasi baru yang tidak

terlibat melakukan perusakan hutan dari generasi sebelumnya. Karena itu, bencana alam

dapat disebut sebagai bencana di luar kehendak dan disebabkan secara langsung oleh

perilaku manusia.

Ancaman bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia juga dapat dibedakan lagi,

antara perilaku politik yang terkait dengan kekuasaan, atau perilaku sosial dan ekonomi yang

langsung berhubungan dengan kekuasaan, apalagi dengan menggunakan tindakan kekerasan

dan bersenjata. Karena itu, ada ancaman (i) perang berupa konflik antar negara atau invasi

bersenjata dari negara lain, ataupun (ii) kegiatan operasi militer untuk menghadapi kelompok

separatis bersenjata, atau pemberontak yang tidak mengakui atau melawan penguasa resmi.

Keduanya kadang-kadang dibedakan antara pengertian tentang darurat perang dan darurat

militer biasa atau darurat militer non-perang. Tetapi, menurut pendapat saya, sebaiknya

keduanya sama-sama dinamakan keadaan darurat militer yang dapat dibedakan antara

keadaan darurat perang dan darurat militer biasa atau non-perang.

Di luar kedua kategori di atas, atau di luar kategori darurat militer dalam arti luas,

sudah seharusnya dilihat sebagai jenis ancaman yang sangat berbeda, karena itu biasa

dinamakan sebagai (iii) keadaan darurat sipil. Pembedaan di antara kedua kategori darurat

44 Carl Schmitt, supra note 23.

Page 29: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

29

militer dan darurat sipil ini sangat penting untuk memastikan agar semua orang tidak salah

memahami pengertian keadaan darurat yang biasanya selalu dilihat dengan perspektif politik

sipil-militer. Keadaan darurat sipil harus dibatasi pengertiannya hanya dalam konteks

ancaman keadaan darurat yang harus ditangani dan dihadapi oleh pemerintahan sipil dalam

keadaan darurat. Ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil dapat datang dari:

1) Konflik sosial yang bersifat horizontal yang menimbulkan kerusuhan massal disebabkan

oleh (a) konflik pribadi warga dengan pribadi warga, atau (b) konflik kelompok warga

dengan kelompok warga yang lain.

2) Kerusuhan sosial yang bersifat vertikal (a) antara kelompok warga dengan aktor kekuasaan

negara dan politik, ataupun (b) antar kelompok warga dengan korporasi yang dilindungi

oleh pelaku politik kekuasaan negara.

3) Bencana alam yang terjadi di darat, laut, dan/atau di udara, seperti angin topan dan badai,

banjir bandang, gelombang tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi metetus, liquipaksi,

dan sebagainya yang mengancam keselamatan (a) warganegara, penduduk, dan

kehidupan manusia; (b) mengancam kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan; dan/atau

(c) merusak keseluruhan eko-sistem kehidupan.

4) Ancaman bencana non-alam atau yang bersifat campuran antara bencana yang

disebabkan oleh gejala alam dan sekaligus oleh ulah atau periaku manusia, seperti krisis

moneter yang bersifat sistemik, wabah pandemic penyakit menular, dan sebagainya.

Bencana seperti ini dapat disebut sebagai bencana non-alam, tetapi sekaligus juga

merupakan bencana alam yang di dalamnya terkait juga dengan akibat perilaku manusia.

Sama halnya dengan bencana kebakaran hutan, gempa bumi, dan sebagainya, juga ada

kaitan dengan ulah manusia yang merusak lingkungan hidup, dan sebagainya.

Gradasi dan kualifikasi berat-ringannya ancaman juga terkait dengan luasan wilayah

terdampak. Karena itu lokasi ancaman dapat dibedakan antara:

1) Ancaman berskala global;

2) Ancaman berskala regional antar negara;

3) Ancaman berskala nasional;

4) Ancaman berskala antar beberapa provinsi tertentu, tetapi tidak bersifat massif dalam

skala nasional;

5) Ancaman berskala antar-kabupaten atau kota lintas dalam 1 provinsi, atau

6) Ancaman berskala 1 wilayah kabupaten atau 1 wilayah kota tertentu.

Dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara, ancaman terbesar tentu terkait

dengan ancaman berskala nasional. Semakib luas lingkup bahaya nasional yang mengancam,

semakin tinggi pula derajat bahaya yang harus dihadapi sistem kekuasaan nasional.

Sedangkan terhadap bahaya yang hanya berskala daerah 1 kabupaten atau 1 kota,

penanganannya dapat dilimpahkan untuk diselesaikan sebagaimana mestinya oleh

pemerintahan daerah setempat. Namun, satu hal yang tidak dapat ditawar-tawar adalah

status hukumnya yang resmi, yaitu untuk diberlakukan sebagai keadaan darurat menurut

ketentuan Pasal 12 UUD 1945, maka keadaan darurat yang bersifat nasional, provincial,

ataupun terbatas dalam 1 lingkup kabupaten dan ataupun hanya pada lingkup suatu

kecamatan atau desa tertentu saja, atau pulau kecil tertentu saja, tetap harus ditentukan dan

Page 30: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

30

bahkan dideklarasikan oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang

berwenang mengubah status hukum suatu kawasan atau wailayah sebagai daerah yang

menjadi daerah diikat oleh hukum dalam keadaan darurat. Deklarasi dimaksud, bukan

sekedar tindakan atau pengumuman dengan mengadakan “konperensi pers” biasa,

melainkan deklarasi yang mengubah karakter hukum tata negara dari keadaan normal

kepada keadaan darurat. Deklarasi atau proklamasi tentang keadaan darurat itu berisi

pemberlakuan hukum keadaan darurat yang dijalankan oleh pemerintahan darurat nasional

ataupun darurat setempat yang hasil pelaksanaan tugasnya harus dipertanggungjawabkan

langsung kepada Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Negara dan Kepala

Pemerintahan maupun sebagai Panglima Tertinggi, baik dalam keadaan darurat militer

(termasuk perang) ataupun keadaan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD

1945.

Sasaran ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil, yaitu (i) konflik sosial yang

bersifat horizontal, (ii) kerusuhan sosial yang bersifat vertical, dan (iii) bencana alam

sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Ancaman terhadap keselamatan warga, penduduk, atau umat manusia; dan/atau

2) Ancaman terhadap eko-sistem kehidupan yang pada akhirnya juga membahayakan hidup

manusia; dan/atau

3) Ancaman terhadap efektifitas sistem norma hukum yang berlaku dalam keadaan normal,

sehingga organisasi pemerintahan tidak dapat bekerja efektif menurut hukum yang biasa.

Ancaman pertama merupakan derajat ancaman dengan kualifiasi yang dapat

dikatakan tertinggi. Terkait dengan wadah pandemic Covid-19, misalnya, dapat disebut

sebagai contoh mengenai keselamatan warga yang mesti diutamakan, sesuai dengan

adagium “solus populi, suprema lex esto”. Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

Demikian pula ancaman kedua, bagaimanapun juga pada akhirnya akan membahayakan dan

mengancam keselamatan umat manusia yang tidak harus dihadapi dengan melibatkan

kekuatan bersenjata yang terkait dengan pengertian darurat militer. Secara teoritis, jika

terjadi bencana yang bersifat massif, maka sistem pemerintahan menurut aturan hukum

yang biasa tidak akan dapat bekerja dengan efektif, kecuali dengan menggunakan ukuran-

ukuran lain atau aturan-aturan berbeda yang lebih efektif untuk diterapkan dalam keadaan

tidak darurat. Dalam keadaan darurat itu, hukum yang normal tidak akan efektif dan juga jika

diterapkan tidak akan menghasilkan keadilan.

Dalam memetakan lingkungan dan derajat kedaruratan tersebut, dapat saja dibuatkan

urutan prioritas, misalnya: (i) keselamatan rakyat didahulukan sebagai prioritas ke-1, (ii)

keselamatan eko-sistem kehidupan sebagai prioritas ke-2, dan (iii) efektifitas pemerintahan

sebagai prioritas ke-3 untuk menentukan (a) lamanya keadaan darurat diberlakukan, (b)

keterlibatan pihak-pihak atau pelaku kekuasaan negara yang mengendalikan dan

menentukan keberlakuan keadaan darurat.

Ancaman bahaya yang diakibatkan oleh (i) konflik sosial yang bersifat horizontal, (ii)

kerusuhan sosial yang bersifat vertical, dan/atau (iii) bencana alam dan/atau non-alam

sebagaimana dikemukakan di atas, dapat menimbulkan konflik di antara warga atau

Page 31: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

31

kelompok warga dengan para pelaku kekuasaan atau antar pelaku kekuasaan, yang

dibedakan dalam 4 subjek, yaitu:

1) Pembuat kebijakan;

2) Pelaksana kebijakan;

3) Penengah atau pengadilan; dan

4) Pelaku campuran yang dapat dibedakan lagi antara:

(a) Pelaku campuran 1: pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan;

(b) Pelaku campuran 2: pembuat kebijakan dan pengadilan;

(c) Pelaku campuran 3: pelaksana kebijakan dan pengadilan; dan

(d) Pelaku campuran 4: pembuat kebijakan, pelaksana, dan sekaligus pengadilan.

Semakin tinggi tingkat bahaya kedaruratan, sebaiknya semakin luas pula keterlibatan

lembaga-lembaga kekuasaan negara dalam penentuan dan pengendalian terhadap kebijakan

dan tindakan pemerintahan darurat selama menjalankan tugasnya semata-mata untuk

tujuan: (i) menyelamatkan warga, mengatasi dan menaggulangi masalah-masalah beserta

segala akibat yang timbul dari keadaan bahaya; dan (ii) mengembalikan keadaan kepada

keadaan semula dengan pemerintahan biasa yang bekerja menurut ketentuan hukum dan

perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal. Dalam hal bencana yang terjadi

mengancam dan membahayakan kehidupan nasional, maka sistem pengendalian selama

keadaan darurat dapat melibatan peran lembaga perwakilan dan lembaga peradilan secara

simultan dengan lingkungan kewenangan yang dapat diatur dalam undang-undang tentang

keadaan darurat atau setidaknya dalam PERPPU yang secara khusus diberlakukan untuk dan

dalam keadaan darurat yang bersangkutan.

Tingkatan bahaya kedaruratan dan karakteristik keadaan bahaya yang timbul juga

menentukan lamanya keadaan darurat dapat diberlakukan. Dalam Undang-Undang harus

diatur dan ditentukan bahwa tujuan pemberlakuan suatu keadaan darurat sebagaimana

sudah disebutkan dia atas adalah: (i) untuk menyelamatkan warga, mengatasi dan

menaggulangi masalah beserta segala akibat yang timbul dari keadaan bahaya; dan (ii) untuk

mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dengan pemerintahan biasa yang bekerja

menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal.

Karena itu, prediksi mengenai lamanya ancaman sangat penting untuk menentukan: (1)

lamanya keadaan darurat yang secara eksplisit harus dibatasi, yaitu paling lama misalnya 3

bulan saja, dan (2) tenggat waktu 3 bulan itu bersifat mutlak atau dengan hak perpanjangan

paling lama 3 bulan lagi atau ditentukan menurut kebutuhan, atau (3) penilaian mengenai

lamanya waktu tersebut diserahkan sepenuhnya kepada lembaga parlemen untuk

menentukan sesuai dengan perkembangan dinamika keadaan bahaya. Misalnya bahaya

Covid-19 belum dapat diprediksi secara pasti kapan akan berakhir, sehingga ketentuan

mutlak pembatasan waktu 3 bulan, 6 bulan atau lainnya bersifat relatif dan sangat dinamis.

Karena, pada akhirnya, yang terpenting adalah keselamatan rakyat. “Solus populi suprema lex

esto”, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi; dan “Necessitas non habet legem”,

Kebutuhan atau nesessitas tidak lain adalah hukum itu sendiri.

Prinsip pembatasan ini harus dipahami bersifat konstitusional, karena selama keadaan

darurat, pelbagai ketentuan undang-undang dasar sebagai norma hukum tertinggi dan

Page 32: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

32

bahkan norma etika tertinggi dapat dikesampingkan atau ditangguhkan berlakunya oleh

Pemerintahan Darurat. Karena itu, pembatasan waktu ini idealnya diatur tegas dalam UUD

1945. Dalam Konstitusi India, misalnya, hal ini eksplisit ditentukan pembatasan selama 3

bulan. Tetapi dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai PERPU, hanya

ditentukan secara implisit, yaitu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang

yang dibentuk untuk dan dalam keadaan darurat harus diajukan untuk mendapatkan

persetujuan DPR daam persidangan yang berikut. Artinya, jika keadaan darurat dilakukan

dengan PERPU atau dideklarasikan dengan diiringi dengan penetapan PERPU yang akan

menjadi landasan operasional bekerjanya pemerintahan darurat, harus sudah diajukan epada

DPR dalam masa sidang yang berikut. Jika PERPU ditetapkan di masa awal sidang

sebelumnya, maka berarti PERPU itu sudah harus diajukan dan paling lambat sudah

mendapat persetujuan atau keputusan penolakan pada akhir masa sidang berikutnya, yaitu

4-5 bulan kemudian.

Mengapa demikian? Karena menurut peraturan tata tertib, dalam satu tahun sidang,

waktu kerja DPR dibagi menjadi empat atau lima masa persidangan. Dimana setiap masa

persidangan terdiri dari masa sidang dan masa reses. Karena itu, rata-rata masa sidang dan

reses itu hanya sekitar 2-3 bulanan. Artinya, waktunya cukup pendek. Tentu yang dimaksud

disini bukanlah mengenai lamanya keadaan darurat, melainkan mengenai masa berlakunya

PERPU untuk sementara waktu. Namun, setiap keadaan darurat pasti diiringi dengan

penerbitan PERPU, sehingga ada kaitan antara lamanya waktu pemberlakuan keadaan

darurat yang diatur oleh Pasal 12 UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut oleh UU No 23

Tahun 1959, dengan lamanya waktu pembahasan PERPU berdasarkan ketentuan Pasal 22

ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Memang ada masalah jika hal ini dikaitkan dengan contoh PERPU No. 1 Tahun 2020

yang ditetapkan dalam rangka menghadapi krisis akibat ancaman wabah Vovid-19. Karena,

PERPU No. 1 Tahun 2020 ini sama sekali tidak terkait dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal

12 UUD 1945, sehingga tidak termasuk kategori PERPU untuk dan dalam keadaan darurat

sipil sebagaimana ditentukan oleh UU No. 23 Tahun 1959. Namun, terlepas dari hal itu, yang

jelas keadaan krisis yang ditimbulkan oleh bahaya Covid-19 yang dijadikan pertimbangan

dalam PERPU No. 1 Tahun 2020 ini belum dapat ditentukan dengan pasti sampai berapa lama

akan berakhir. Selama keadaan krisis Covid-19 ini masih berlangsung, PERPU No. 1 Tahun

2020 ini dibutuhkan oleh pemerintahan untuk bertindak dan menjalankan tugas

konstitusionalnya sesuai dengan untuk pemberlakuan PERPU tersebut. Hal itu juga tercermin

dalam judul PERPU) No. 1 Tahun 2020 ini, yaitu tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan

Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-

19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian

Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”45.

Ketiga tujuan itu, yaitu untuk: (i) penanganan pandemic covid-19, dan/atau (ii)

menghadapi ancaman yang membayakan perekonomian nasional, dan/atau (iii) menjaga

stabilitas sistem keuangan juga tercermin dalam rumusan pertimbangan (Konsideran

Menimbang) PERPU ini, yaitu:

45 LNRI Tahun 2020 Nomor 87, TLNRI Nomor 6485.

Page 33: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

33

a. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian

besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan

dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang

semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan

masyarakat;

b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara

lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan

negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai

upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional,

dengan focus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety netl,

serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang

terdampak;

c. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula

terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai

aktivitas ekonomi domestic sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward

lookingl dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan

huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-

langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas

sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan

peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social

safety netl, dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai

lembaga dalam sector keuangan;

e. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah

memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan

kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Namun, jika dikaitkan dengan keharusan masa berlakunya pemerintahan darurat yang

dapat bertindak berdasarkan ketentuan dan doktrin mengenai hukum keadaan darurat, pada

saatnya PRPU No. 1 Tahun 2020 itu akan menghadapi problem mengenai jangka waktu

berlakunya yang tidak pasti. Sudah tentu, jika pada waktunya nanti alasan ditetapkannya

PERPU ini sudah berakhir, maka dengan sendirinya PERPU ini sebaiknya dicabut tetapi oleh

karena waktunya belum dapat dipastikan, maka PEPPU tersebut jangan dulu diputuskan oleh

DPR untuk diterima atau dikabulkan sebagaimana lazimnya PERPU yang diajukan oleh

Presiden kepada DPR. Sebaliknya, jika PERPU diterima dan kemmudian menjadi UU yang

bersifat permanen, timbul pula masalah lain, karena Sebagian isinya jelas melanggar UUD

1945, seperti memberiperlakuan istimewa kepada petugas, sebaliknya mengenakan ancaman

sanksi yang sangat berat kepada pelanggar hukum yang melebih ketentuan undang-undang

dalam keadaan biasa. Bahkan PERPU No. 1 Tahun 2020 juga mengesampingkan atau

Page 34: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

34

menagguhkan berlakunya begitu banyak ketentuan UU lain yang secara hukum hanya

mungkin dilakuan oelh suatu PERPU untuk dan dalam keadaan darurat sebagai pelaksanaan

Pasal 12 UUD 1945. Padahal PERPU No. 1 Tahun 2020 ini sama sekali tidak menjadikan Pasal

12 UUD 1945 sebagai rujukan atau acuan.

Oleh karena itu, pengaturan tentang pembatasan waktu, untuk pemberlakuan suatu

keadaan darurat yang memungkinkan pemerintahan darurat mengesampingkan keberlakuan

pasal-pasal UU atau bahkan pasal-pasal UUD untuk sementara waktu, mutlak harus dilakukan

dalam UUD atau dengan UU mengenai hal itu. Hal itu, sebagai pilihan dapat diatur dengan

UU yang tersendri sebagai penjabaran Pasal 12 UUD 1945, atau PERPU yang diberlakukan

untuk menetapkan dan sekaligus mengatur hal-hal di luar kebiasaan untuk mengatasi

keadaan darurat. UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sampai sekarang masih

berlaku, dan karenanya tetap masih harus dijadikan landasan hukum untuk memberlakukan

keadaan darurat. Namun, karena UU ini sudah sangat ketinggalan zaman, perlu segera

diadakan perubahan mendasar atau bahkan penggantian dengan undang-undang baru

berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah era reformasi. Sementara

itu, semua undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keadaan yang

dimaksud dengan keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945, sebaiknya diperbaiki dan

secara sadar dikaitkan dengan penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-

satunya pasal yang mengatur mengenai keadaan bahaya atau keadaan darurat sebagaimana

dikenal di seluruh dunia, dan juga dimuat dalam sebabian besar konstitusi-konstitusi negara

modern di dunia, sepanjang berkaitan dengan persoalan hukum keadaan darurat ini.

Dari pekbagai uraian di atas, dapat disimpulkan adanya dua an pembenar untuk

menyatakan pentingnya memuat ketentuan mengenai keadaan darurat dalam undang-

undang dasar. Pertama, di dalam sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik,

standar yang diperlukan untuk melindungi kebabasan dan hak asasi manusia dalam keadaan

darurat terlalu rumit untuk menjaga dan melestarikan prinsip-prinsip republic itu sendiri,

sehingga ketentuan mengenai hal ini harus dituangkan dalam hukum tertinggi, yaitu

konstitusi. Dalam sistem dikator, pengambilan keputusan cukup ditentukan oleh satu orang,

tetapi dalam sistem republic, suara rakyat tercermin dalam banyak orang yang mewakili

rakyat yang berdaulat, dan tercermin di banyak institusi bernegara yang cenderung lamban

dalam proses pengambilan keputusan. Seperti dicontohkan oleh Machiavelli dengan

pengalaman Republik Venesia (Venetian Republic, 697- 1797 AD) sesudah runtuhnya Romawi

kuno, karena banyaknya pihak yang mestinya terlibat daam proses pengambilan keputusan,

diperlukan pengaturan khusus yang memungkinkan pengambilan keputusan berlangsung

cepat tanpa harus melakukan konsultasi yang luas46. Karena itu, di negara republik yang

demokratis diperlukan pengaturan khusus mengenai keadaan berbahaya yang bersifat

darurat dan mendesak itu dalam konstitusi.

Namun, bagi Machiavelli, ada tidak pengaturan dalam konstitusi ini juga tidak bersifat

mutlak. Baginya, dalam suatu republik memang tidak seharusnya ada pemerintahan yang

bertindak sebagai dictator yang memerintah dengan cara di luar kebiasaan (exktraordinary).

Kalaupun terpaksa ada, maka hal itu, haruslah sudah diatur lebih dulu untuk membatasi

46 Machiavelli, supra note 2.

Page 35: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

35

waktunya dengan pasti dengan metode yang di luar kebiasaan (extraordinary). Namun,

meskipun metode ini dapat dilakukan dengan baik di saat keadaan darurat, tetapi tidak

kurang contoh yang dapat dijadikan pelajaran, meskipun tujuannya baik, tetapi jika terus

dipakai, akan menghasilkan keburukan (evil). Karena itu, yang terpenting bagi Machiavelli

adalah kepastian bahwa negara republic harus siap untuk menghadapi keadaan normal

maupun keadaan tidak normal, meskipun hal itu tidak diatur langsung dalam konstitusi. Jika

suatu metode yang serupa tidak ada di republic, pilihannya adalah menerima kenyataan

bahwa insitusi-institusi negara akan merusak negara republik, atau agar tidak rusak, republik

lah yang mesti memecah institusi-institusi negara itu sehingga tidak membentuk diri menjadi

dictator sebagai penguasa tunggal. Karena itu, menurut Machiavelli, tidak akan ada republik

yang sempurna kecuali melengkapi diri dengan perangkat hukum konstitusi yang

menyediakan upaya perbaikan untuk setiap peristiwa dan keadaan, serta memperbaiki cara

menanganinya berdasarkan konstitusi.47 Dengan demikian, dalam republik dalam keadaan se-

darurat atau se-bahaya apapun, tetap tidak boleh ada tempat bagi penguasa diktator atau

yang semacamnya.

Kedua, pentingnya ketentuan mengenai pemerintahan darurat itu dimuat dalam

konstitusi untuk melindungi sistem hukum yang beroperasi rutin dalam keadaan normal dari

apa yang terjadi dalam keadaan darurat. Bagi kelompok dualis, dalam konstitusi memang

harus ada ketentuan yang dimuat mengenai dua sistem hukum sekaligus, yaitu sistem hukum

keadaan normal, dan sistem hukum keadaan abnormal. Yang pertama beroperasi dalam

keadaan normal utnuk melindungi kebebasan dan hak-hak asasi manusia, sedangkan yang

kedua yang cocok untuk berurusan dengan keadaan darurat. Karena itu, tidak ada tempat

lain yang lebih tepat untuk mewadahi pengaturan mengenai sistem hukum yang kedua ini,

kecuali seharusnya dalam UUD sebagai sumber hukum tertinggi dalam kegiatan bernegara.

Bahkan dalam pengalaman di zaman modern, seperti di republik Amerika Serikat,

sangat ditekankan bahwa fungsi pengendalian terhadap kekuasaan pemerintahan darurat itu

juga dikebangkan dalam praktik dengan dengan dilibatkannya lembaga legislatif dan lembaga

peradilan untuk semakin berperan dalam praktik, bahkan dalam keadaan darurat perang

sekalipun seperti terlihat dalam kasus Korematsu (1944) dan Richard Quirin (1942)48, dapat

berkembang sendiri konvensi ketatanegaraan atau menjadi semacam ekperimen mengenai

regulasi konstitusional mengenai keadaan darurat atau pemerintahan darurat ini berdasarkan

Konstitusi Amerika Serikat. Karena itu, sangat lah wajar dan alamiah jika di Amerika Serikat

praktik pemberlakuan keadaan darurat ini, apalagi hanya keadaan darurat sipil, sudah sangat

biasa dilakukan sebagai sesuatu yang rutin dan biasa-biasa saja, tanpa diiringi ketakutan akan

muncul tirani atau dikator konstitusional yang melampaui batas. Selama 44 tahun terakhir,

sejak berlakunya National Emergencies Act tahun 1976 sampai dengan sekarang tahun 2020,

di Amerika Serikat sudah ada 61 kali pemberlakuan keadaan daruat. Artinya, setiap Presiden

atau setiap tahun, tercatat ada 1,3 peristiwa pemberlakuan keadaan darurat di Amerika

Serikat.

47 J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal 233-235. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845. 48 Korematsu v. United States, 323 U.S. 214 (1944); Ex parte Quirin, 317 U.S. 1 (1942).

Page 36: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

36

Lalu kenapa negara demokrasi konstitusional terbesar ketiga Republik Indonesia

sangat gamang dan takut dengan pemanfaatan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-

satunya pasal yang mengatur keadaan bahaya dalam sistem hukum Indonesia? Kemungkinan

jawaban atas pertanyaan ini, ada dua. Pertama, Sebagian terbesar sarjana hukum Indonesia,

termasuk para professorya terjebak ke dalam ketidakmengertian yang akut sehingga tidak

dapat membedakan antara rezim Hukum Tata Negara Normal dan rezim Hukum Tata Negara

Darurat. Hal itu tercermin dalam kenyataan bahwa di Indonesia, buku yang membahas

tentang Hukum Tata Negara Darurat, baru ada 2, yaitu (i) buku karya Prof. Herman

Sihombing, “Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia” yang Sebagian terbesar isinya

membahas mengenai UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Djambatan 1996),

dan (ii) buku saya, “Hukum Tata Negara Darurat” yang membahas pelbagai teori dan praktik

di Indonesia dan di negara lain, terbit pada tahun 2007. Hal ini menggambarkan bahwa

perhatian para sarjana hukum Indonesia terhadap masalah ini sangat rendah, sehingga wajar

jikalau pengetahuan mereka sangat terbatas untuk menjangkau pengertian-pengertian yang

seharusnya dikembangkan dalam kaitannya dengan keadaan bahaya atau keadaan darurat

menurut Pasal 12 UUD 1945.

Kedua, keadaan darurat sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1959 yang

berasal dari PERPU itu pada mulanya memang dibentuk dalam suasana perang dan konflik

bersenjata setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, isi kebijakan yang terdapat di

dalamnya sangat berbau perang dan bernuansa serba militer. Selama masa Orde Lama, dan

juga masa Orde Baru, keadaan darurat ini juga sering disalahgunakan untuk kepentingan

kekuasaan menurut tafsir penguasa sendiri. Karena itu, timbul trauma sejarah untuk

menerapkan UU No. 23 Tahun 1959 yang sudah sangat ketinggalan zaman itu. Apalagi

sesudah reformasi, UUD 1945 yang dijadikan referensi UU tentang Keadaan Bahaya itupun

sudah sangat jauh berubah. Trauma sejarah ini juga yang menyebabkan sehingga semua

undang-undang yang dibentuk sesudah masa reformasi, meskipun materi yang diaturnya

terkait dengan kekadaan darurat, tidak satupun yang menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai

rujukan. Dapat disebutkan mulai dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan,

UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantika Kesehatan, dan sampai yang terkahir PERPU No. 1

Tahun 2020, tidak satupun menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan. Padahal Pasal 12

adalah satu-satunya pasal yang mengatur keadaan bahaya dalam UUD 1945, tetapi justru

dihindari karena trauma, dan/atau sekaligus karena ketidakmengertian yang akut mengenai

rezim hukum keadaan darurat.

Ketentuan mengenai keadaan darurat dan pemerintahan darurat ini memang sudah

seharusnya dimuat dalam konstitusi dan dijadikan acuan dalam praktik. Dalam konstitusi,

sudah seharusnya keberadaan, keberlakuan dan beberjanya pemerintahan, sebelum, selama,

dan sesudah berakhirnya keadaan daruat itu dapat lebih dulu diatur dengan baik berdasarkan

hukum yang tertinggi. Apalagi, dalam praktik, pemerintahan darurat bukan saja dapat

mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya suatu undang-undang melainkan juga

dapat mengesampingkan dan menangguhkan keberlakukan undang-undang dasar, termasuk

jaminan-jaminan hak asasi manusia, kecuali hak asasi manusia yang termasuk ke dalam

kategori “non-derogable rights” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28i ayat (1) UUD

Page 37: DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN · dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen

37

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik kecuali

memuat ketentuan mengenai hal ini langsung dalam Undang-Undang Dasar dan dijadikan

acuan dalam praktik setiap kali menghadapi keadaan yang memenuhi syarat untuk

dinyatakan atau dideklarasikan sebagai keadaan darurat atau keadaan bahaya. Dengan

demikian keadaan darurat dapat dihadapi dengan instrumen hukum keadaan darurat, dan

pelaksanaannya dapat dikendalikan dengan baik sehingga tidak disalahgunakan oleh

penguasa untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri.