diktator konstitusional dan hukum pengecualian · dalam kenyataan sejak zaman romawi kuno bahwa...
TRANSCRIPT
1
DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN
Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
A. PENDAHULUAN
Di semua negara konstitusional modern, ketika merumuskan apa saja aturan-aturan
dasar bernegara yang perlu dituangkan dalam satu naskah konstitusi sebagai kesepakatan
tertinggi mengenai pola-pola yang diidealkan dalam hubungan (i) di antara sesama warga
negara, (ii) antara warga negara dengan organ-organ atau jabatan-jabatan pemerintahan
negara, dan (iii) antar organ, lembaga, atau jabatan-jabatan bernegara itu satu sama lain
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, serta (iv) dalam hubungan antara negara
dan warganegara dengan subjek hukum asing, baik dengan warga negara asing, dengan
negara lain yang berkepentingan, atau dengan organisasi internasional lainnya, di dalam
wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia. Pola-pola hubungan itu, selalu menekankan
prinsip kebebasan dan kemerdekaan, prinsip keadilan dan kesetaraan, prinsip kesejahteraan,
prinsip kerukunan, perdamaian dan solidaritas.
Dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang bersifat domestik, biasanya selalu
ada pengaturan mengenai pola-pola hubungan saling mengimbangi dan saling
mengendalikan antar fungsi-fungsi kekuasaan negara (checks and balances) di antara antar
organ-organ negara, prinsip-prinsip jaminan kebebasan dan hak asasi manusia, mekanisme
pengambilan keputusan yang demokratis dan berdasar atas hukum dan konstitusi, sesuai
dengan prinsip demokrasi dan negara hukum modern dengan menempatkan cabang
kekuasaan kehakiman secara tersendiri sebagai kekuatan pengimbang dan pengendali yang
bersifat independen. Jka kepentingan politik dan bisnis bersengketa, harus ada pihak ketiga
yang diharapkan bersikap imparsial untuk memutus dengan keadilan. Jika cabang kekuasaan
eksekutif dan legislatif tidak menemukan solusi untuk keluar dari persengketaan, maka
kekuasaan pengadilanlah yang dipercaya untuk memutuskan solusi yang berkeadilan.
Namun, semua aturan-aturan konstitusional yang baik itu seringkali terbentur dengan
kasus-kasus keadaan tidak normal yang sering terjadi dalam praktik. Misalnya, jika timbul
perang atau terjadi konflik bersenjata di suatu negara, atau bencana alam di luar kuasa
manusia, seperti banjir bandang, gelombang tsunami, angin badai, liquipaksi, gunung
meletus, ataupun kebakaran hutan yang luas, yang merusak lingkungan sekitar,
menghancurkan suatu pemukiman di banyak kota, menyebabkan timbulnya keadaan darurat
yang memerlukan tindakan-tindakan pemerintahan yang cepat dan mendesak, yang
seringkali harus dilakukan dengan menabrak dan menerobos segala aturan yang berlaku
dalam keadaan normal, atau bahkan dengan cara melanggar aturan-aturan konstitusi itu
sendiri. Karena itu, konstitusi modern di dunia biasanya memuat ketentuan yang khusus
untuk menghadapi keadaan yang bersifat darurat seperti itu. Inilah yang biasa dinamakan
sebagai “the state of emergency”.
Di dalamnya diatur pemberian kewenangan khusus dalam keadaan darurat
(emergency powers) kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan atau
2
kepada otoritas konstitusional lainnya untuk (i) mendeklarasikan dan menetapkan berlakunya
dan berakhirnya keadaan darurat itu, (ii) menerbitkan aturan-aturan yang bersifat sementara
selama dalam keadaan darurat dengan menangguhkan pelbagai jaminan hak dan kebebasan,
menangguhkan pelbagai proses penegakan hukum dan sebagainya, dan (iii) memerintahkan
tindakan-tindakan pemerintahan yang dalam keadaan normal dapat dinilai melanggar
undang-undang dalam rangka mengatasi dan memulihkan keadaan agar segera kembali
menjadi normal serta melakukan tindakan penyelamatan untuk kepentingan seluruh
penduduk.
Tujuan paling konservatif dengan pemberian kekuasaan darurat (emergency powers)
ini tidak lain agar ancaman bahaya dapat diatasi sedemikian rupa sehingga keadaan negara
dapat segera kembali pulih dengan sistem hukum yang normal kembali berfungsi. Menurut
hasil studi John Ferejohn dan Paquale Pasquino,1 tujuan konservatif demikian juga tercermin
dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak
diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen terhadap sistem hukum
dan konstitusi, kecuali hanya untuk sementara waktu karena timbulnya keadaan darurat.
Karena itu, dikatakan bahwa:
“Emergency powers, exercised in this conservative way, have long been thought to be a
vital and, perhaps, even an essential component of a liberal constitutional—that is, a
rights-protecting—government. They are the key to resolving the dilemma faced by such
governments when they are under either external or internal attack.”
B. MODEL-MODEL KEKUASAAN DARURAT (Models of Emergency Power)
Menurut John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, ada tiga yang mereka sebut sebagai
“models of emergency powers” dalam perkembangan sejarah, yaitu:
1) Roman Dictatorship model;
2) Neo-Roman Model of Constitutional Emergency Power) Konstitusi Weimar 1919 dan
Konstitusi Perancis 1958); “Vested in the elected executive head of government).
3) Legislative Model of Emergency Powers; the law of exception menurut John Ferejohn dan
Pasquale Pasquino.
Pemerintahan darurat model Romawi menurut Ferejohn dan Pasquino ditemukan
Kembali oleh para filosof modern seperti Nicollo Machiavelli, Baron de Montesquieu, dan J.J.
Rousseau2 dalam mengembangkan ide-ide modern tentang republic. Atas rujukan
1 John Ferejohn dan Paquale Pasquino, The Law of the Exception: A Typology of Emergency Powers (2004), hal. 210-212. John Ferejohn adalah Carolyn S. G. Munro Professor of Political Science and Senior Fellow, The Hoover Institution, at Stanford, University and Vis iting Professor at New York University School of Law. Sedangkan Paquale Pasquino adalah Research Director, CNRS, France, and Visit ing Professor of Politics and Law and New York University. 2 Niccolo Machiavelli, Discources on Livy, ch. 34; James Harrington, The Commonwealth of Oceana 88 (1656), Lihat http://www. constitution.org /jh/oceana.htm (“But whereas it is incident to commonwealths, upon emergencies requiring extraordinary speed or secrecy, either through their natural delays or unnatural haste, to incur equal danger, while holding to the slow pace of the ir orders, they come not in time to defend themselves from some sudden blow; or breaking them for the greater speed, they but haste to their own destruction; if the Senate shall at any time make election of nine knights-extraordinary, to be added to the Council of War, as a juncta for the term of three months, the Council of War with the juncta so added, is for the term of the same Dictator of Oceana, having power to levy men and money, to make war and peace, as also to enact laws, which shall be good for the space of one year (if they be not sooner repealed by the Senate and the people) and for no longer time, except they be confirmed by the Senate and the people. And the whole
3
pengalaman dari pemerintahan darurat dari zaman Romawi itulah maka para perancang
Konstitusi Weimar Jerman tahun 1919, dan Konstitusi Perancis tahun 1958 berkeyakinan
mengenai pentingnya merumuskan pasal yang memberikan kekuasaan khusus kepada
penguasa untuk menghadapi ancaman bahaya yang mendesak terhadap rezim atau terhadap
eksistensi negara.
“Roman Dictatorship” yang ditemukan kembali oleh para filosof modern yang
menggambarkannya sebagai pemerintahan darurat (emergency powers) yang kekuasaannya
diberikan oleh Senate yang terdiri atas 10 orang wakil rakyat kepada pejabat pemerintahan
yang terdiri atas 2 orang Consuls untuk memegang kendali pemerintahan tertinggi dan
termasuk untuk memegang komando atas kekuatan tentara (armies). Namun kekuasaan
dalam keadaan darurat itu hanya diberikan untuk sementara waktu, yaitu hanya selama 6
bulan saja. Selain itu, seperti dikatakan oleh Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, “The Roman
dictatorship limited the time of the dictatorship and separated the institution that declared
the emergency from the person who exercised power.”3 Yang mendeklarasikan adalah Senate,
dan yang memimpin pelaksanaannya adalah Consuls.
Selama masa 6 bulan itu, penguasa keadaan darurat memimpin pemerintahan
dengan cara-cara yang di luar aturan yang biasa untuk maksud mengatasi semua ancaman
bahaya sampai keadaan dapat dipulihkan kembali dan kehidupan berjalankan sebagaimana
sebelumnya. Menurut Niccolo Machiavelli, dalam keadaan normal, kedudukan Senate
Romawi memang sangat menentukan. Senate kota Romawi berwenang menerbitkan
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan bahkan efektif memimpin operasional
pemerintahan dalam hal kedua Consuls sedang bepergian keluar kota. Ke-10 orang wakil
rakyat itu bertanggungjawab kepada “popular assemblies”, dan setiap wakil rakyat itu
mempunyai hak veto atas semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Senate sebagai
institusi yang pada awal sejarah pembentukannya beranggotakan 10 orang anggota yang
mewakili warga kota Romawi, dan 2 orang Consuls yang ditetapkan oleh Senate untuk
menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari.4
Praktik lama di zaman Romawi itu menginspirasi para perumus konstitusi modern
untuk mengadopsinya menjadi aturan formal dalam konstitusi negara modern. Seperti
tergambar dalam buku popular karya Clinton Rossiter yang terbit pertama kali pada tahun
1948, “Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies” 5, selama
periode tahun 1919-1930an, dimana-mana terjadi perang dan konflik yang menyebabkan
administration of the commonwealth for the term of the said three months shall be in the Dictator, provided that the Dictator shall have no power to do anything that tends not to his proper end and institution, but all to the preservation of the commonwealth as it is established, and for the sudden restitution of the same to the natural channel and common course of government. And all acts, orders, decrees, or laws of the Council of War with the junota being thus created, shall be signed, ‘Dictator Oceanae.’”); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract and Discources, 293 (1762) (G. D. H. Cole trans., J. M. Dent & Sons Ltd. 1973) (“The dictatorship”). 3 Sanford Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, “Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design, Minnesota Law Review, Vol. 94, p. 1789, 2010, Yale Law School, Public Law Working Paper No. 200. U of Texas Law, Public Law Research Paper No. 164. 4 Ibid. supra. 5 Clinton Rossiter (1917-1970), Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies, pertama kali diterbitkan pada tahun 1948. Edisi revisi sudah diterbitkan berkali-kali oleh penerbit yang berbeda-beda. Dia nataranya Routldge (2002), Rossiter Press (2011), ; Clinton Lawrence Rossiter adalah lulusan Cornell, A.B. 1939, Princeton, Ph.D., 1942, held Cornell's John L. Senior Chair in Government and was the author of numerous books, including The Supreme Court and the Commander-in-Chief (1951); Conservatism in America (1955); The American Presidency (1956); Marxism: The View from America (1960); and The American Quest 1790-1860 (1971). (Pengantar oleh William J. Quirk is professor of law at the School of Law of the University of South Carolina. His earlier work on this subject appeared in Society).
4
banyak negara demokrasi konstitusional harus menghadapi keadaan darurat yang harus
direspon dengan pola-pola penelenggaraan kekuasaan secara tidak biasa. Dengan
mempelajari pengalaman 4 negara modern yang penting di Eropa dan Amerika, yaitu Jerman,
Perancis, Inggeris dan Amerika Serikat selama periode itu, Clinton Rossiter berkesimpulan
bahwa “constitutional dictatorship” diperlukan sebagai faktor yang tidak terhindarkan dan
menentukan untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional. Bahkan dikatakan,
adalah merupakan kebenaran yang tidak terhindarkan bahwa "No form of government can
survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake." Apabila
mengabaikan pentingnya ‘dictatorship’, tidak ada bentuk pemerintahan apapun yang dapat
bertahan hidup ketika nyawanya bangsa sedang dipertaruhkan.6
Dalam keadaan darurat, pemerintahan demokrasi bahkan dapat menangguhkan
pelbagai aturan konstitusi yang menjamin kebebasan dan hak asasi manusia, demi untuk
keselamatan bangsa dan negara. Doktrin dan preseden putusan-putusan Mahkamah Agung
sebelumnya, tidak dikenal adanya pengecualian yang memungkinkan kewenangan Presiden
keadaan darurat dapat mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya UUD. Namun,
dengan menganalisis praktik-praktik selama Civil War di Amerika Serikat, Perang Dunia I,
Depresi, dan Perang Dunia II, ia berargumen bahwa “when the normal rules are not sufficient,
other rules take hold”. Manakala hukum yang normal tidak dapat berfungsi, hukum yang lain,
yaitu hukum keadaan darurat harus berperan. Karena itu sangat penting untuk membedakan
dua rezim hukum dalam teori dan praktik, yaitu hukum tata negara normal dan hukum tata
negara darurat. Itulah yang saya tulis dalam buku “Hukum Tata Negara Darurat” (2007)7.
Keadaan darurat yang mengharuskan berperannya seorang “Dictator Konstitusional”
ini tentu tidak dapat diterima oleh semua ahli. Banyak juga yang menggambarkan bahwa hal
ini membahayakan demokrasi itu sendiri. Di kalangan kaum liberal, pemikiran Clinton L.
Rossiter tentang “Constitutional Dictatorship” ini banyak dikritik. Dalam buku “Constitutional
Dictatorship: Its Dangers and Its Design”, Sanford Levinson dan Jack M. Balkin
menggambarkan pelbagai kritik terhadap konsep “constitutional dictatorship”. Bahkan studi
tentang perspektif yang “non-unitary executive” makin banyak dilakukan oleh para ahli8.
Maksudnya, pusat kekuasaan pemerintahan di zaman sekarang bergerak tidak lagi memusat
ke satu pemegang jabatan eksekutif (monocratic), tetapi berkembang semakin terdistribusi
ke banyak pusat eksekusi yang bersifat independen. Inilah yang disebut oleh Sanford
Levinson sebagai gejala “Distributed Dictatorship”9.
Namun, terlepas dari kekurangan dan kelemahan istilah “Constitutional Dictatorship”
ini, dalam kesimpulannya, Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, menegaskan:
“The notion of ‘constitutional dictatorship’ may seem at first a contradiction in terms, but it
is a reality that every modern democracy (like very ancient one) must eventually face.
Whatever problems may attend the design of emergency powers in a constitutional
democracy, it would be even worse to slide into patently unconstitutional dictatorships; the
6 Ibid. 7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. 8 Lihat misalnya, Stephen Skowronek, The Conservative Insurgency and Presidential Power: A Developmental Perspective on the Unitary Executive, 122 HARV. L. REV. 2071, (2009). 9 Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, Op.Cit., hal. 29.
5
past century alone has witnessed far too many examples.” (Pengertian ‘kediktatoran
konstitusional' mungkin pada awalnya nampak kontradiktif dalam peristilahan, tetapi
adalah kenyataan bahwa setiap demokrasi modern (seperti yang sangat kuno) akhirnya
harus menghadapinya. Apapun masalah yang terdapat dalam desain kekuasaan darurat
dalam demokrasi konstitusional, akan lebih buruk lagi jika dibiarkan berkembang menjadi
kediktatoran unkonstitusional; yang pada abad terakhir saja telah begitu banyak kita
saksikan contoh-contohnya).
Karena itu, yang terpenting untuk dipastikan adalah bagaimana kekuasaan
pemerintahan darurat dikendalikan dengan efektif dalam pelaksanaannya. Salah satunya
dengan memperkuat peran para wakil rakyat di parlemen. Tetapi, tidak perlu sampai
menempatkan pusat kekuasaan di lembaga perwakilan rakyat seperti yang diidealkan oleh
John Ferejohn dan Pasquale Pasquino. Baik “neo-Roman model” maupun “the new legislative
model” yang digambarkan oleh Ferejohn dan Pasquino dalam “The Law of the Exception: A
Tipology of Emergency Powers” (2004) sebenarnya juga sama-sama tidak realistis, karena
cenderung hanya mempertentangkan mengenai kedudukan dan peran cabang kekuasaan
eksekutif versus kekuasaan legislatif dalam menangani proses pemerintahan keadaan
darurat. Dalam, “the new model of legislative power”, Ferejohn dan Pasquino hanya berusaha
memindahkan kekuasaan dari penguasa eksekutif yang disebutnya masih mencerminkan
“neo-Roman model of emergency powers” kepada cabang kekuasan legislatif yang mereka
idealkan harus lebih berperan, dan bahkan berperan sentral.
Menurutnya, negara-negara demokrasi yang sudah berkembang maju tidak selalu
perlu menggunakan kewenangan konstitusional dalam menghadapi keadaan darurat.
Kebanyakan lebih memilih pendekatan biasa yang diatur dengan undang-undang. Dengan
undang-undang itulah, rakyat yang berdaulat melalui parlemen memberikan delegasi
kewenangan (legislative delegation of emergency power) kepada pemerintahan eksekutif
untuk melakukan tindakan tertentu yang tidak biasa apabila berhadapan dengan keadaan
darurat, dan dengan undang-undang pula keadaan darurat itu diberlakukan untuk jangka
waktu tertentu sebagai suatu pengecualian. Betapapun tidak lazimnya pembentukan undang-
undang khusus itu, undang-undang dalam keadaan darurat itu tetaplah berada dalam sistem
konstitusi yang ada, yaitu sebagai produk lembaga legislatif yang bekerja menurut
kewenangan konstitusionalnya yang normal, dan dapat diuji konstitusionalitasnya oleh
lembaga peradilan.
Dicontohkan misalnya, UU Anti Terrorisme di Inggeris dan UU Patriot di Amerika
Serikat.10 Keduanya sama-sama merupakan undang-undang biasa, tetapi karena keadaan
mendesak, dibentuk dalam waktu yang sangat singkat, kurang lebih jika dibandingkan dengan
di Indonesia dibentuk dengan PERPU. Banyak UU Anti Terorisme di dunia, juga menggunakan
pendekatan yang sama, seperti di parlemen Jerman dan parlemen Italia pada tahun 1970an
dan 1980an, beberapa undang-undang dibentuk dengan prosedur yang cepat, karena adanya
10 Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1974, c. 56 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1976, c. 8 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1984, c. 54 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1989, c. 4 (Eng.); Criminal Justice and Public Order Act 1994, c. 33 (Eng.); Criminal Justice (Terrorism and Conspiracy) Act 1998, c. 40 (Eng.); Anti-terrorism, Crime and Security Act 2001, c. 24 (Eng.); Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001, Pub. L. No. 107-56, 115 Stat. 272 (2001).
6
kegentingan yang memaksa. Namun, kasus seperti ini sebenarnya, memang lazim dimana-
mana. Karena itu, di Indonesia pun ada mekanisme untuk membentuk undang-undang dalam
keadaan mendesak yang disebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
Namun, ada tiga tipe peraturan sejenis ini yang harus dibedakan, yang boleh jadi luput dari
perhatian Ferejohn dan Pasquino, yaitu (i) PERPU yang dibentuk dalam keadaan mendesak
tetapi tetap dalam keadaan normal, (ii) PERPU yang dibentuk memang ketika negara sudah
secara resmi memberlakukan keadaan darurat, dan (iii) suatu undang-undang biasa yang
mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keadaan darurat, seperti UU tentang Terorisme,
dan bahkan juga UU tentang Keadaan Bahay atau Kedadaan Darurat itu sendiri, seperti
National Emergencies Act 1976 di Amerika Serikat.
Berkembangnya praktik mengenai ketiga macam peraturan undang-undang yang
berkaitan dengan persoalan keadaan darurat tersebut, tidak perlu dijadikan argument untuk
membuat kesimpulan bahwa ketentuan mengenai keadaan darurat tidak perlu diatur dalam
UUD, atau kekusaan untuk menentukan keadaan darurat itu cukup diberkan kepada lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen sebagai “epicentrum” pengaturan dan penentuan
mengenai keadaan darurat itu. Memang benar, tidak semua konstitusi negara demokrasi
maju, memuat pengaturan khusus mengenai keadaan darurat. Apalagi di Inggeris yang
memang tidak memiliki naskah konstitusi tertulis sebagaimana di negara-negara lain. Namun,
dalam artikel 16 Konstitusi Perancis tahun 1958 dan artikel 115a Konstitusi Jerman,
ketentuan mengenai kekuasaan darurat (emergency powers) itu diatur cukup eksplisit.
Sedangkan di Inggeris, dianggap cukup dibentuk undang-undang saja yang memberikan
delegasi kewenangan kepada kepala pemerintahan untuk menangani keadaan darurat
dengan cara yang tidak biasa.
Bahkan, menurut studi yang dilakukan oleh Ferejohn dan Pasquino,11 di banyak
negara yang konstitusinya memuat ketentuan mengenai keadaan darurat inipun, banyak
yang tidak menggunakannya dalam praktik. Menurut mereka, ada dua kemungkinan alasan
mengenai hal ini. Pertama, memang belum didapatkan kenyataan mengenai magnitude
kedaruratan yang sedemikian seriusnya sehingga keadaan darurat sungguh-sungguh harus
diberlakukan. Kedua, mungkin karena perkembangan tenologi pengendalian keadaan
“disorder” menyebabkan banyak keadaan darurat sudah cukup terkelola dengan sistem
hukum yang biasa. Apalagi, dalam pandangan kesejarahan, dapat dikemukakan banyak
contoh tentang penyalahgunaan kekuasaan keadaan darurat itu oleh para penguasa,
sehingga penggunaan kewenangan dilakukan secara berlebihan justru menimbulkan banyak
korban merusak citra demokrasi konstitusional yang seharusnya ditegakkan. Misalnya,
penggunaan kekuasaan darurat secara berlebihan di bawah Pemerintahan Indira Gandhi
pada tahun 1970an12, tirani penyalahgunaan kekuasaan dengan kedok keadaan darurat di
pelbagai negara Amerika Latin, dan mungkin juga dalam praktik terakhir pemerintahan
Weimar, adalah contoh-contoh mengenai bahaya penggunakan keadaan darurat.
11 Ferejohn dan Pasquino, OpCit., hal. 216. 12 over the past half century, at least 18 See Burt Neuborne, Supreme Court of India, 1 International Journal of Constitutional Law (I·CON) 476 (2003).
7
Karena itu, Ferejohn dan Paquino berkeyakinan pentingnya mengembangkan
perspektif baru mengenai keadaan darurat ini, yaitu dengan penguatan fungsi legislatif dalam
menentukan, mengatur pembatasan-pembatasannya, dan mengawasi dan mengendalikan
pelaksanaannya dalam praktik pemerintahan. Menurut mereka, “the new legislative model”
inilah yang berkembang dalam praktik di kebanyakan negara-negara demokrasi yang sudah
maju atau stabil (advanced or stable democracies).1319 Dalam model ini, keadaan darurat
dihadapi dengan menerbitkan undang-undang yang memberikan kewenangan khusus yang
bersifat sementara kepada kepala pemerintahan. Dalam praktik demikian “emergency
powers” dilihat sebagai suatu pengecualian atas bekerjanya sistem hukum dalam kondisi
normal sebagaimana biasanya. Sekali timbul keadaan darurat, maka hukum pengecualian itu
(the law of exception) berlaku, tetapi dalam waktu yang terbatas. Sesudah keadaan darurat
berakhir, sistem hukum dan proses hukum kembali bekerja dengan tanpa pengecualian.
Penentuan dan keputusan kapan dimulainya, kapan diakhirinya, dan bagaimana proses
pengendalian terhadap keadaan darurat yang bersifat sementara itu dijalankan, semua
dilakukan dengan terpusat pada peran lembaga legislatif yang bersifat sementara, sesuai
dengan prinsip hukum pengecualian (the law of exception) tersebut di atas. Dengan
demikian, kekuasaan legislatif itu sendiri bersifat terbatas, yaitu hanya untuk maksud
mengembalikan keadaan kepada keadaan semula, yang tidak lain juga tidak berbeda dari
tujuan pemberian kewenangan oleh Senate kepada Consuls dalam tradisi Romawi kuno yang
dipraktikkan kembali di zaman modern sebagai “neo-Roman model” yang sudah diuraikan di
atas.1420
Jika praktik seperti yang digambarkan ini dibandingkan dengan praktik di Indonesia,
kita dapat juga mengaitkannya dengan praktik penerbitan PERPU No. 1 Tahun 20202, yang
sama sekali tidak ditetapkan dalam rangka pemberlakuan keadaan darurat Covid-19
berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. PERPU ini sama saja dengan PERPU-PERPU lainnya yang
ditetapkan oleh Presiden karena pertimbangan kegentingan yang memaksa berdasarkan
Pasal 22 UUD 1945, bukan dalam menghadapi dan menangani ancaman bahaya yang besar
dan demikian seriusnya yang terkait dengan ancaman terhadap keselamatan rakyat, bangsa,
dan bahkan eksistensi negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan, ketika
UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantika Kesehatan disusun dan ditetapkan, demikian pula UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, juga tidak dilihat sebagai upaya
penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Pasal satu-satunya yang mengatur keadaan
darurat dalam UUD 1945, sama sekali tidak dijadikan pertimbangan mengingat dalam
instrumen hukum ini. Namun, berbeda dari penilaian Ferejohn dan Paquino, keengganan
mengaitkan pelbagai ketentuan UU yang mengatur keadaan yang memerlukan pola
penanganan pengecualian atau luar bias aitu di Indonesia, belum tentu dapat dikaitkan
dengan kualitas kematangan demokrasi konstitusional atau seakan-akan Indonesia sudah
tergolong sebagai negara demokrasi yang sudah sangat maju (advanced democracy).
13 https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845. The law of the exception: A typology of emergency powers, 216-217. 14 Dalam banyak konstitusi modern, peranan lembaga legislatif selalu penting dalam mengendalikan keadaan darurat. Bahkan menurut Article 16 Konstitusi Perancis, parlemen tetap bersidang dalam keadaan darurat, dan bahkan dapat menjalankan kewenangan untuk melakukan ‘impeachment’ terhadap Presiden jika dinilai telah melampaui kewenangannya. Lihat Artikel 16 Konstitusi Perancis.
8
Sebaliknya, praktik di Indonesia yang demikian itu, justru terjadi karena kebelum-
matangan. Masyarakat politik Indonesia masih mengalami trauma sejarah karena di zaman
Orde Lama dan Orde Baru, pemberlakuan keadaan darurat itu sering disalahgunakan oleh
penguasa darurat untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika
menyusun dan merumuskan UU tentang Penanggulangan Bencana sajapun, Pasal 12 UUD
1945 itu dijauhkan dari dasar pijakan normatif upaya penanggulangan bencana yang di
Indonesia sangat sering terjadi. Karena itu, dapat dievaluasi kembali, semua bencana alam
yang besar dan berdampak luas dan serius, seperti Gunung Merapi Meletus, gelombang
Tsunami di Aceh, Liquifaksi di Palu, kebakaran hutan di Sumatera dan di Kalimantan, dan
sebagainya, tidak satupun ditetapkan sebagai keadaan darurat sipil karena bencana alam
yang dahsyat. Akibatnya, status hukum semua peraturan perundang-undangan dalam
keadaan normal harus dianggap tetap berlaku sebagaimana keadaan biasa, padahal dalam
praktik di lapangan, banyak sekali aturan biasa yang tidak dapat berfungsi dengan baik, dan
terpaksa dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat menerobos dan menerabas banyak
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketika keadaan darurat sedang berlangsung dan masalah yang timbul sedang diatasi
dengan menerapkan beberapa prinsip pengecualian karena sedang berada dalam keadaan
tidak biasa, belum timbul masalah hukum sebagai efek samping dari tidak diberlakukannya
keadaan darurat itu secara resmi. Tetapi sesudah keadaan pulih kembali, mulai timbul
pelbagai dampak ikutan yang tidak dikehendaki sejak awal, yaitu munculnya dakwaan-
dakwaan pidana ataupun perdata terhadap beraneka kejadian luar biasa yang bersifat
menerobos dan menerabas aturan-aturan yang ada. Karena, tidak semua keadaan yang tidak
biasa itu sudah tertampung dengan baik dalam undang-undang atau dalam PERPU yang
sudah ditetapkan untuk mengatasi keadaan yang tidak biasa itu. Lagi pula status resmi dari
suatu PERPU yang termasuk kategori peraturan biasa yang ditetapkan dalam keadaan biasa,
meskipun dilakukan dengan cepat sesuai dengan prinsip kegentingan yang memaksa,
tetaplah merupakan peraturan biasa, yang tidak boleh melanggar norma hukum yang lebih
tinggi, yaitu UUD, tidak boleh melanggar hak asasi manusia, dan bahkan tidak boleh
bertentangan dengan UU yang bersifat permanen. PERPU hanya dimaksudkan untuk berlaku
sementara dan tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, karena itu ia tidak boleh
mengubah undang-undang lain untuk maksud yang permanen.
Oleh karena sangat penting untuk membedakan, sebagaimana sudah diuraikan pada
bagian terdahulu, yaitu antara (i) PERPUyang ditetapkan untuk memberlakukan keadaan
darurat, (ii) PERPU yang ditetapkan selama keadaan darurat, dan (iii) PERPU yang ditetapkan
bukan dalam keadaan darurat yang dimaksudkan sebagai undang-undang biasa yang bersifat
mendahului persetujuan DPR, sehingga statusnya menjadi UU masih menunggu persetujuan
resmi oleh DPR dalam masa persidangan berikutnya. Selain itu, asumsi yang ada di balik
pemikiran John Ferejohn dan Pasquale Pasquino dalam memperkembangkan model legislatif
yang mereka tawarkan itu dapat dikaitkan dengan tiga hal. Pertama, banyaknya kasus
penyalahgunaan kekuasaan dalam keadaan darurat dalam praktik, untuk kepentingan
memperkuat dan melanggengkan kekuasaan sendiri, seperti juga terjadi dalam sejarah politik
Indonesia sebelum masa reformasi. Kedua, pada umumnya, keadaan darurat yang dibahas
dan dijadikan objek telaah oleh keduanya berkaitan dengan pelbagai peristiwa perang,
9
pemberontakan, atau kasus-kasus konflik politik dan militer di pelbagai negara, termasuk di
Amerika Serikat sendiri15. Ketiga, banyak di antara negara-negara yang disebut sebagai
“advanced democracies” yang dimaksud menganut sistem pemerintahan parlementer,
sehingga mudah membawa kedua sarjana ini mengusung ide untuk menjadikan ‘epicentrum’
penentuan keadaan darurat itu di tangan lembaga legislatif, bukan lagi di tangan “chief
executive”.
Pendek kata, suasana zaman ketika aturan-aturan konstitusional mengenai keadaan
darurat dirumuskan, Sebagian terbesar memang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa politik
kekuasaan, yang di kemudian hari diperluas jangkauan pengertiannya mencakup pula
keadaan daruat yang ditimbulkan oleh pelbagai bencana alam yang tidak terkait dengan
persaingan kekuasaan. Hal yang sama juga terdapat dalam kajian-kajian para ahli lainnya,
seperti kajian yang dilakukan oleh Clinton L. Rossiter dalam bukunya yang sangat terkenal
sampai sekarang, yaitu “Constitutional Dictatorship” yang terbit pertama kali pada tahun
1948, ketika Perang Dunia ke-II belum lama berakhir dan suasana kehidupan masih
dipengaruhi oleh Iklim politik Perang Dunia. Apa yang digambarkan oleh Clinton Rossiter
dalam bukunya “Constitutional Dictatorship”, sangat dipengaruhi oleh objek kajiannya selama
era antara Perang Dunia ke-I dan Perang Dunia ke-II. Kedaruratan bencana yang timbul dalam
suasana perang ini harus dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dengan keadaan darurat yang
timbul sebagai akibat terjadinya bencana-bencana alam yang merenggut banyak nyawa
manusia, yang mudah membangitkan solidaritas kemanusiaan antar sesama. Suasana
komunikasi antar manusia dalam keadaan darurat kemanusiaan seperti itu, sangat berbeda
dengan suasana yang tercipta dalam keadaan perang. Komunikasi antar manusia diwarnai
oleh sikap permusuhan dan kebencian antar kelompok, antar golongan, dan antar bangsa
dan negara. Karena itu, “dictatorship” menjadi sesuatu yang logis dan mudah diterima akal
sehat sebagai mekanisme yang diperlukan untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman
bahaya. Karena itu, menurut pendapat saya, ke depan, manajemen pemerintahan krisis
untuk menghadapi keadaan darurat perlu dibedakan antara keadaan darurat militer yang
berkaitan dengan konflik dan perang, dengan keadaan darurat sipil yang khusus dikaitkan
dengan ancaman bahaya akibat bencana alam atau pun bencana yang disebabkan ulah
manusia.
Di samping itu, bagaimanapun juga, gagasan untuk terpaksa menerima “dictatorship”
yang diusulkan oleh Clinton Rossiter, seperti istilah yang ia pakai sendiri menjadi judul
bukunya, “Constitutional Dictatorship” mengandung pengertian bahwa kekuasaan
pemerintahan darurat seperti pemerintahan dictator itu harus dibatasi menurut aturan
konstitusi. Karena itu, diidealkan pengaturan dalam UUD memang harus diadakan untuk
menentukan (i) siapa yang diberi kewenangan menetapkan keadaan darurat itu, dan siapa
yang mengakhirinya, (ii) berapa lama batas waktunya dan apa syarat dan prosedur untuk
perpanjangannya dan pencabutan keadaan darurat itu, (ii) siapa yang diberi wewenang untuk
15 Misalnya, di masa-masa awal kemerdekaan Amerika Serikat, sangat sering terjadi konflik bersenjata seperti pada tahun 1792, Kongres mengesahkan UU yang mengizinkan Presiden memegang komando perlawanan terhadap milisi yang menentang Pemerintah. Bahkan 2 tahun kemudian, Presiden George Washington, turun tangan sendiri memimpin pasukan untuk berperang. Dalam Proklamasi Washington untuk memberlakukan keadaan darurat dan memobilisasi milisi sipil secara nasional untuk menghadapi pemberontakan Whiskey, ter tulis kalimat: And whereas, by a law of the United States entitled ‘An act to provide for calling forth the militia to execute the laws of the Union, suppress insurrections, and repel invasions’”.
10
mengatur, dan apa saja atau kebijakan yang bagaimana yang dapat diatur dengan peraturan
khusus selama keadaan darurat, (iii) siapa yang diberi wewenang untuk bertindak dan
menjalankan kekuasaan pemerintahan darurat, (iv) apa saja yang mesti terus menerus
diawasi dan dikendalikan oleh para wakil rakyat selama masa keadaan darurat, dan
keputusan apa saja yang efektif untuk mengendalikan kebijakan dan tindakan pemerintahan
itu oleh lembaga perwakilan rakyat, dan (v) bagaimana peran pengadilan dalam
mengendalikan kebijakan dan tindakan pemerintahan selama keadaan darurat, terutama
melalui pengujian peraturan perundang-undangan, dan melalui peradilan tata usaha negara.
Semua ini dapat diatur dasar-dasar dalam UUD, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-
Undang tersendiri yang mengatur negara dan hukum dalam keadaan darurat.
Di dalam skenario baru ini, pertama, harus dibedakan dulu anara pengertian keadaan
darurat militer dan keadaan darurat sipil. Kedua, harus ada pengaturan yang jelas dalam
Undang-Undang Dasar, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang yang khusus,
yaitu tentang Keadaan Darurat atau Keadaan Bahaya, seperti istilah yang dipakai oleh Pasal
12 UUD 1945. Ketiga, dalam pelaksanaan kekuasaan darurat harus terus diawasi secara
efektif oleh wakil rakyat di parlemen dan pengujian independent oleh lembaga peradilan. Hal
ini yang harus dipastikan dalam rumusan kebijakan dan dalam praktik tindakan nyata. Dengan
demikian, pola hubungan kekuasaan tidak hanya terpusat pada “constitutional dictator”,
tetapi tetap berada dalam mekanisme “check and balances” antar cabang kekuasaan. Inilah
yang saya anggap sebagai “model keempat dari kekuasaan darurat”.
Bagaimanapun, model yang diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquiono
sebagai “legislative model” itu dapat dikatakan kurang realitis. Cabang kekuasaan legislatif di
lembaga perwakilan rakyat atau parlemen dimana-mana terdiri atas banyak orang dan
berasal dari banyak partai politik yang biasanya mempunyai pandangan yang berbeda-beda
dan tidak mudah untuk menyatukan mereka yang berbeda-beda itu dalam proses
pengambilan keputusan cepat dan dalam waktu yang dangat mendadak. Apalagi dalam
sistem permusyawaratan rakyat Indonesia di MPR dan sistem perwakilan rakyat di DPR dan
DPRD yang sangat kompleks. Perwakilan rakyat di Dewan Perwaklan Rakyat terdiri atas
anggota-anggota yang berasal dari 9 partai fraksi partai politik, dan di Dewan Perwakilan
Daerah terdiri atas masing-masing 4 anggota perwakilan daerah yang dari 34 provinsi dari
seluruh Indonesia yang masing-masing bersifat independen dan sendiri-sendiri.
Banyak sekali bencana alam terjadi, ataupun datangnya ancaman perang dari negara
lain, dan bahkan pemberontakan-pemberontakan bersenjata dari dalam negeri sendiri yang
muncul tiba-tiba, sehingga membutuhkan keputusan dan tindakan-tindakan yang cepat.
Karena itu, tidaklah realistis untuk atas nama demokrasi, menempatkan pusat kekuasaan
penentu dalam keadaan darurat seperti itu kepada lembaga legislatif. Karena itu, sambil
memperbaiki kelemahan dan kekurangan dalam praktik penerapan konsep kekuasaan
darurat dalam perspektif konstitusi (constitutional emergency powers), pusat atau
“epicentrum” kekuasaan dalam keadaan darurat tetap harus ada di tangan seorang kepala
pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, tetapi selama keadaan darurat berlangsung tetap dan
terus menerus berada dalam kendali pengawasan oleh parlemen.
11
Model yang saya nisbatkan sebagai model keempat ini adalah model campuran
eksekutif-legislatif. Model inilah yang perlu dikembangkan dalam praktk di Indonesia, sambil
mengevaluasi kinerja pemerintahan Indonesia pasca penanganan bahaya nasional Covid-19
yang timbul mulai dari akhir tahun 2019 dan diperkirakan akan berlangsung sampai akhir
tahun 2020. Namun, di samping itu, model yang disebut oleh Ferejohn dan Pasquino sebagai
“neo-Roman model” juga dapat diuraikan secara tersendiri lagi, karena variasinya juga sangat
banyak. Bahkan sebenarnya model Konstitusi Weimar yang terus dipraktikkan di zaman Hitler
sebagai demagog dalam “Constitutional Dictatorship” sebagaimana diistilahkan oleh Clinton
Roositer. Bahkan oleh Rossiter, selama periode antara tahun 1919-1933, baik Jerman,
Perancis, Inggeris dan Amerika Serikat menghadapi perkembangan keadaan yang sama, yaitu
keadaan perang yang harus direspon dengan cara-cara yang tidak biasa. Periode krisis
pemerintahan antara tahun-tahun itulah yang dijadikan pusat penelitian Clinton Rossiter
sehingga menghasilkan bukunya yang sangat terkenal, yaitu “Constitutional Dictatorship:
Crisis Government in the Modern Democracies” (1948).
Dengan demikian, untuk melengkapi pendapat John Ferejohn dan Pasquale
Pasquino,16 kita dapat mengembangkan pengertian mengenai beberapa model pemerintahan
darurat yang tersendiri, yait:
1) Roman Classical Model;
2) Weimar and Hitlerian Emergency Power;
3) New-Roman Constitutional Emergency Powers atau “Constitutional Dictatorship”;
4) Model of Unitary Executive Emergency Powers and Distributed Dictatorship;
5) The New Legislative Model of Emergency Powers; dan
6) Model campuran “Executive-Legislative-Judicial checks and balances”, dimana komando
tetap di tangan Presiden tetapi terus dikendalikan oleh parlemen dan dapat duji oleh
lembaga peradilan.
Dalam Konstitusi Amerika Serikat, kewenangan Presiden yang dapat dikaitkan dengan
keadaan darurat ada tiga, yaitu pada (a) Artikel I, Clause 2 dan 3 tentang “Civil and Legal
Protections”; (b) Article II yang berkaitan dengan kewenangan yang tersirat diberikan kepada
Presiden sebagai Panglima Tertinggi Militer untuk mengatur atau menerbitkan aturan dalam
keadaan darurat (presidential emergency rule);17 dan (c) Presiden memiliki beberapa
kewenangan delegasi (constitutionally delegated powers) untuk berurusan dengan keadaan
darurat, seperti berdasarkan “National Emergencies Act 1976”. Dalam Artikel I, Clause 2 dan
3 tentang “Civil and legal protections”, ditentukan bahwa “writ of habeas corpus”
menyediakan upaya hukum atas penangkapan dan penahanan yang tidak sah oleh pejabat
penegak hukum atau badan lain. Pengadilan dapat memerintahkan pelepasan jika terbukti
bahwa penahanan itu tidak cukup beralasan atau tidak berkeadilan. UUD menjamin bahwa
hak atas “habeas corpus” tidak dapat ditangguhkan, kecuali dalam hal-hal tertentu18, seperti
dalam kasus pemberontakan atau invasi dimana keselamatan umum mem butuhkannya. (the
writ of habeas corpus may not be suspended ‘unless when in cases of rebellion or invasion the
public safety may require it). Dalam perkara “Ex parte Milligan” (1866), Mahkamah Agung 16 Ferejohn and Pasquino, Op.Cit., hal. 214-215. 17 14 Id. art. II, § 2, cl. 1. 18 13 U.S. CONST. art. I, § 9, cl. 2.
12
memutuskan bahwa penangguhan ‘habeas corpus’ di masa perang adalah sah, tetapi
pengadilan militer tidak berwenang mengadili warga sipil di negara-negara bagian yang
menjalankan kewenangan berdasarkan konstitusi dan dimana pengadilan sipil masih
beroperasi.
C. TENTANG NORMA DAN PENGECUALIAN
Ada dua hal penting yang perlu dilihat dalam hubungannya dengan pilihan model
yang didiskusikan di atas. Pertama, konstitusi dapat dipahami sebagai suatu sistem norma
tertinggi dalam kehidupan bernagara yang harus bekerja dalam hal-hal dan keadaan-keadaan
yang bervariasi. Konstitusi berlaku dalam keadaan yang kurang lebih normal, dan jikalau
diterapkan untuk keadaan yang tidak normal, tentu akan mengakibatkan hasil yang tidak
memuaskan. Karena itu, diperlukan pengakuan dan pengaturan tersendiri untuk menghadapi
keadaan yag tidak biasa itu, sebagai pengecualian, seperti untuk menghadapi bahaya perang,
invasi, pemberontakan, dan sebagainya. Untuk menghadapinya, beberapa norma konstitusi
dapat ditangguhkan keberlakuannya untuk sementara waktu. Penangguhan (suspension) ini
dilakukan dengan mengembangkan pengertian tentang derogasi (derogation from a norm),
yaitu dengan menyimpangi norma sebagai lawan dari menaati norma (abrogation of a norm).
Apa yang membuat sesuatu hal itu sebagai pengecualian, sehingga norma konstitusi dapat
disimpangi atau ditangguhkan berlakunya?
Misalnya, dalam operasi perang, tentara harus bergerak cepat dari satu tempat ke
tempat lain tanpa hambatan. Meskipun dalam keadaan normal, ada tempat-tempat tertentu
di lingkungan pemukiman penduduk yang tidak diperbolehkan dimasuki oleh tentara, tetapi
tidak tersedia cukup waktu untuk mendengarkan lebih dulu keberatan dari warga bagi
pasukan tentara untuk memasuki daerah ‘terlarang’ itu. Dalam suasana perang, informasi
tentang keberadaan pasukan, harus dirahasiakan agar tidak diketahui musuh. Karena itu,
kebebasan informasi mestinya dibatasi dengan keras, dengan ancaman sanksi yang keras
kepada para pengkhianat. Demikian pula dapat terjadi, kebebasan warga untuk berkumpul
dan bahkan untuk melangsungkan upacara pernikahan di suatu waktu, terpaksa dilarang
untuk mencegah penularan wabah virus yang sedang melanda, sehingga kebebasan warga
harus ditangguhkan untuk sementara. Semua ini terpaksa dilakukan dengan menunda atau
menangguhkan (suspension) hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi, berbicara, hak
atas informasi publik, dan sebagainya yang dalam keadaan normal dijamin secara menurut
Undang-Undang Dasar.
Kedua, mengenai dua cara pandang mengenai sistem konstitusi, yaitu monistik atau
dualistik. 19 Sistem monistik menekankan bahwa perintah normatif bersifat tetap dalam
setiap keadaan, sedangkan sistem dualistic menciptakan 2 tata hukum yang berbeda yang
berlaku untuk masing-masing keadaan. Menurut logika sistem monistik, keadaan darurat
ditangani sendiri dari dalam tata hukum internal, sedangkan dalam logika dualism, terdapat 1
regulator yang bertindak berbeda dalam 2 keadaan berbeda. Regulator dimaksud sudah ada
dalam tatanan kelembagaan sebeumnya, tetapi memiliki fungsi yang bersifat “meta-
19 Op.Cit., hal. 220-221. Downloaded from https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.
13
konstitusional” yang terpisah dan merupakan pengecualian dari fungsi normalnya dalam
keadaan biasa.
Norma hukum berisi pengertian mengenai tiga macam kemungkinan kaedah, yaitu (i)
larangan (prohibere, haramat), (ii) kewajiban (obligattere, wajibat)), dan (iii) kebolehan
(permittere, ibahah). Norma hukum berisi preskripsi, suruhan, dan bahkan perintah yang
kadang-kadang disertai pula oleh ancaman sistem sanksi. Dalam hukum publik, Konstitusi
(tertulis atau tidak tertulis) mewakili seperangkat norma yang ditujukan untuk pemegang
otoritas kekuasaan umum, yang harus dihormati oleh para pejabat penyelenggara negara.
Kaedah hukum konstitusi itulah yang mempresuposisikan validitas norma hukum yang lebih
rendah dan menjadi sumber kewajiban bagi norma yang lebih rendah itu. Norma konstitusi
itu mempunyai karakter yang khusus, baik dari segi formalnya maupun dari segi materilnya.
Secara formal, norma konstitusi mengatur dan membatasi prinsip suara mayoritas (majority
rule) yang berarti secara umum hanya dapat diubah hanya dengan prosedur tertentu atau
berdasarkan prinsip suara mayoritas. Sedangkan secara materil, norma hukum konstitusi itu
Sebagian terbesar berurusan dengan pemisahan kekuasaan, yaitu dengan kewenangan dari
masing-masing cabang kekuasaan dan jaminan-jaminan hak konstitusional warga.
Namun, di samping itu, ada pula keadaan tertentu yang menyebabkan keharusan
untuk dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat khusus. Inilah yang terkait dengan
pengertian tentang “kekuasaan darurat” (emergency powers) sebagai bentuk pengecualian
atau penderogasian terhadap pemerintahan konstitusional dalam arti pemerintahan biasa
dalam keadaan normal. Tindakan derogasi (derogation), berkenaan dengan dua hal, yaitu: (i)
pemerintah menyimpang (derogate) dari bentuk yang biasa (regular form), di satu pihak; dan
(ii) memberi pembenaran atas deviasi terhadap norma itu pada segi yang lain. Hal berkaitan
erat dengan konsep “derogation” dan “abrogation” yang dibahas khusus oleh Hans Kelsen
dalam bukunya, “Die Allgemeine Theorie der Normen”.20
Dalam pelbagai kamus, istilah “derogation” dianggap sebagai antonim dari pengertian
“conformity or observance to a juridical norm”. Derogasi merupakan penyimpangan dari
perilaku normal, yang diizinkan dalam hal-hal tertentu, dibenarkan jika memang dibutuhkan.
Tetapi nuansanya dalam Bahasa Latin, kata “derogare” bertentangan dan berbeda dari kata
“abrogare”. “Derogare” berarti “to repeal part of a law” (menghapus suatu bagian dari
norma), sedangkan “Abrogare” berarti “to repeal a law in its entirety” (mencabut atau
menghapus suatu norma sebagai keseluruhan). 21 Dalam teks canonic oleh Cicero dapat
ditemukan pernyataan: ““huic legi nec obrogari fas est, neque derogari aliquid ex hac licet,
neque tota abrogari potest,”22 yang artinya, “diperbolehkan untuk mengganti hukum dengan
hukum lain yang baru, baik dengan cara membatalkan sebagian daripadanya (derogari)
ataupun dengan cara membatalkan (abrogari) keseluruhannya”.
Derogasi merupakan penyimpangan dari perilaku yang normal. Di dalamnya terdapat
ide penghapusan sebagian atau menyebabkan ada bagian tertentu dari suatu norma tidak
20 Ibid., hal. 106–14. 21 Lihat Oxford English Dictionary, 504, 2nd edition, 1989. “To repeal part of a law, to enforce it only in part. The Oxford English Dictionary gives the same definition of the word derogation: “partial abrogation or repeal of a law”. 22 Cicero, De Republica, De Legibus III 22 (Clinton Walker Keyes trans., Harvard Univ. Press 1943).
14
diaplikasikan dalam praktik. Dalam hubungan dengan derogasi konstitusional (constitutional
derogation), hal ini dapat dikaitkan dengan pembedaan antara “Verfassung” (constitution)
dengan “Verfassungsgesetze” (constitutional norms) atau “Grundsgesettz” (Undang-Undang
Dasar menurut Carl Schmitt. Undang-Undang Dasar dapat dikesampingkan atau
ditangguhkan berlakunya untuk tujuan melindungi dan menegakkan Konstitusi yang jauh
lebih mendasar dan lebih tinggi atau lebih mendalam kedudukan dan kandungan nilainya
daripada naskah undang-undang dasar.23
Karena itu, menurut Ferejohn dan Pasquino, secara konseptual dapat dibedakan
adanya tiga hal, yaitu:24
1) Norma hukum, dengan pemerintahan regular berdasarkan konstitusi;
2) Derogasi atau penyimpangan norma, oleh kekuasaan darurat (Emergency Powers); dan
3) Justifikasi atas penyimpangan (justification of the derogation).
Ketiganya terkait erat dengan: (a) keadaan darurat atau hal-hal tertentu yang
memberi pembenaran dilakukannya derogasi, atau penyimpangan atau penangguhan atas
sebagian norma sebagai suatu pengecualian; dan (b) suatu prinsip yang lebih tinggi bahwa
seseorang mungkin membutuhkan penyelamatan, perlindungan, atau penjagaan dalam
keadaan yang di luar kebiasaan yang harus dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum
dalam keadaan biasa. Akhirnya kepentingan rakyat di atas segalanya, karena rakyatlah
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan rakyat. Suara kedaulatan rakyat
itulah yang disebut sebagai “the constituent power” dalam kegiatan bernegara, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Adanya hukum pengecualian (the rule of
exception) dalam hukum merupakan sesuatu yang lazim dalam kehidupan, termasuk dalam
kehidupan negara konstitusional modern.
Dengan demikian, baik secara konseptual maupun normatif, kekuasaan dalam
keadaan darurat dapat dilihat secara konservatif. Jika pelaksanaan kekuasan darurat
menabrak atau mengubah konstitusi atau tata hukum yang ada secara substantif, maka hal
itu dapat dikatakan, bukan saja merupakan pelanggaran terhadap norma hukum yang
mengatur kekuasaan, dan juga bukanlah pelaksanaan yang benar atas kekuasaan dalam
keadaan darurat, melainkan merupakan pelaksanaan kekuasaan rakyat sebagai pemegang
kedaultan (constituent power). Hal itu tidak lain merupakan abrogasi, meniadakan, atau
mengubah konstitusi menjadi tidak berfungsi atau tidak berlaku dalam kenyataan. Tentu saja
tindakan demikian dapat dikatakan terlarang. Dalam konstitusi yang sudah mengatur
ketentuan mengenai keadaan darurat, sangat jelas adanya ‘dualistic normative systems” yang
terpisah satu dengan yang lain, yaitu (i) sistem hak dan prosedur yang normal (the normal
system of rights and procedures), dan (ii) sistem pelaksanaan kekuasaan dalam keadaan
darurat (the normative system operating in the state of emergency).
Dalam perspektif “legislative model”, dalam kedua rezim hukum itu, juga dibedakan
dengan tegas. Kedudukan dan peran eksekutif dan legislatif juga terpisahkan dan saling
23 Carl Schmitt, Verfassungslehre, Duncker & Humblot, 1928. 24 John Ferejohn dan Paquale Pasquino, Op.Cit., hal. 222-223. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.
15
mengendalikan. Juga dibedakan antara kekuasaan darurat dan kekuasaan konstitutif
(emergency powers and constitutive powers), yang mengakibatkan perubahan permanen
dalam sistem hukum sebagai pelaksanaan dari kekuasaan legislatif darurat (legislative
emergency powers). Lembaga legsilatif yang menentukan kebijakannya, dan lembaga
eksekutif yang melaksanakan kebijakan selama dalam keadaan darurat, hanya untuk dua
tujuan, yaitu (i) mengatasi masalah yang timbul dalam keadaan darurat, dan (ii) memulihkan
tata hukum agar berfungsi normal kembali. Dalam model legislatif ini, kedaulatan rakyat
sebagai “constituent powers” dianggap tercermin di lembaga legislatif, bukan di eksekutif,
sekalipun presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat.
Model ini tentu tidak cocok untuk Indonesia yang menganut sistem pemerintahan
presidential yang memusatkan kekuasaan ada di tangan Presiden kecuali hal-hal yang
menurut UUD dan UU telah diberikan kepada lembaga-lembaga lain.
D. TENTANG DUALISME VERSUS MONISME
Dalam studi mengenai hukum keadaan darurat dapat ditemukan pelbagai pandangan
yang beraneka ragam di antara para ahli yang dapat dibedakan antara pandangan yang
bersfat monistik dan dualistic. Terkait dengan hal ini, kita dapat membedakan antara dua tipe
pemerintahan, yaitu
1) Pemerintahan reguler dalam keadaan normal; dan
2) Pemerintahan pengecualian, yaitu pemerintahan ketika negara dalam keadaan darurat.
Bagi kelompok ahli yang berpandangan monistik, keduanya tidak perlu dipisahkan,
karena justru akan membahayakan dengan memberikan peluang direduksinya makna “rule of
law” atau malah membuat pemerintahan berubah menjadi absolut, “salus populi suprema
lex” atau “suprema lex esto”.25 Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, sehingga
tidak perlu, menunggu pemberlakukan resmi keadaan darurat dulu baru bertindak, karena di
atas semua norma hukum yang berlaku mengikat, adalah hukum keselamatan rakyat.26 Kapan
saja, bilamana benar-benar dibutuhkan, negara melalui aparat pelaksana kekuasaannya harus
segera bertindak. Bahkan, terkait dengan penanganan wabah corona, kalimat “Salus Populi
Suprema Lex Esto” ini akhir-akhir ini menjadi sangat terkenal karena diucapkan oleh banyak
tokoh, mulai Presiden, Kepala BNPB hingga Kapolri, ikut mengucapkannya. Perkataan “Salus
Populi Suprema Lex Esto” ini merupakan adagium hukum yang pertama dikemukakan oleh
Cicero seorang filsuf berkebangsaan Italia dengan makna "Keselamatan Rakyat Merupakan
Hukum Tertinggi."
Urusan keselamatan umum ini berkaitan erat pula dengan tujuan bernegara yang
termaktub dalam Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara
Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Karena itu, di atas, teks-teks pasal UUD 1945 sebagai “Grundsgesstz” terhadap
25 Cicero, De Legibus (book III, part III, sub. VIII). Loeb Classics, hal. 467. 26 Lihat pendapat Leibnitz dalam Alfred Baumler, Das Irrationalitas Problem in der Ashtetik und Logik, Des 18. Jahrhunderts (1923) (Darmstadt 1981); Tentang Condorcet, lihat Frank Alengry, Condorcet (F. Alcan 1904); and on Hobbes’s usage of Salus populi, lihat Thomas Hobbes, Leviathan, ch. 30 (Richard Tuck ed., Cambridge Univ. Press 1991) (in English). Not the doctrines of the raison d’état . On these doctrines, see F. Sait-Bonnet, L’État D’Exception, 205–24 (Presses Universitaires de France 2001).
16
nilai yang lebih mendasar dalam tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap rakyat
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai nilai dasar dalam “Verfassung” atau
“the spirit of the the constitution” yang jauh lebih penting dan harus diutamakan dari bunyi
teks pasal-pasal UUD 1945. Namun, tentu saja, hal ini baru pada tingkat analisis konseptual,
dan belum dikaitkan dengan (i) kapan kepentingan tertinggi rakyat berdaulat (consitituent
powers) itu dapat mulai dilakukan dan kapan berakhirnya (when), (ii) siapa yang memutuskan
atau menetapkan berlakunya keadaan darurat itu dan menetapkan berakhirnya (who), dan
(iii) apa saja syarat-syarat untuk diberlakukannya keadaan darurat dan apa saja yang dapat
dilakukan dalam tenggat waktu yang ditentukan untuk sementara itu sampai keadaan
sementara itu berakhir (what). Bagaimanapun juga ketiga hal itu harus dirumuskan secara
rinci untuk memastikan bahwa prinsip keadaan darurat yang bersifat sementara itu tidak
disalahgunakan untuk mengurangi kualitas dan integritas pelaksanaan prinsip demokrasi dan
negara hukum (rule of law).
Menurut Thomas Hobbes, dalam chapter 30 bukunya Leviathan: 27 “Summi imperantis
officia ... manifeste indicat institutionis finis nimirum salus populi: quam lege naturae
obligatur, quantum potest, procurare: at cuius rationem Deo, et illi soli, tenetur reddere.” (The
duties of the supreme commander … are indicated by the end of his institution, namely, the
safety of the people, which he is obliged by the law of nature to procure as far as he can, and
of which he is required to render an acoount to God and to him alone).28 Adagium tersebut
dapat diartikan bahwa: “Tugas panglima tertinggi … ditentukan oleh hasil akhir dari tugas
jabatannya, yaitu, keselamatan rakyat, yang ia diwajibkan oleh hukum alam untuk ia penuhi
sedapat mungkin, dan dengan itu ia diwajibkan menyerahkan pertanggungjawaban kepada
Tuhan dan kepada dirinya sendiri”. Pada intinya, keselamatan rakyat adalah di atas segala-
galanya, dan kesanalah tujuan bernegara harus diarahkan. Keselamatan rakyat tidak berada
dalam kekuasaan institusi jabatan, tetapi pada tujuan akhir diadakan atau dilembagakannya
jabatan atau institusi negara itu. Para penguasa atau pemegang jabatan bernegara
hendaknya tidak hanya bekerja karena diwajibkan oleh pihak lain atau karena diperintahkan
oleh atasan, tetapi pada akhirnya harus menyerahkan sendiri pertanggungjawaban jabatan
itu kepada Tuhan dan kepada hati nuraninya sendiri.
Jika dibandingkan dengan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Alinea ke-
IV Pembukaan UUD 1945, seperti dikemukakan di atas, maka upaya untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumah darah Indonesia, tidak dapat ditawar-tawar.
Ketika timbul ancaman wabah pandemic Covid-19, maka semua institusi jabatan negara
Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 harus tampil menyelamatkan segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Keharusan penyelamatan ini berada di atas
semua hal penting apapun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di mata pengusung ide monisme, “salus populi” atau “keselamatan rakyat” yang
dikemukakan di atas tentu lebih dilihat sebagai suatu norma pemerintahan, bukan prinsip
27 Kita kutipkan versis Latinnya, yaitu: “salus populi”. Thomas Hobbes, supra note 34, at 231 (“The office of the sovereign ... consistent in the end, for which he was trusted with the sovereign power, namely the procuration of the safety of the people”). Op.Cit., John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, hal. 224-225. Downloaded from https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845 28 Terence Irwin, The Development of Ethics, A Historical and Critical Study. Volume 2: From Suarez to Rousseau, Oxford University Press, New York, 2008, catatan no.4, hal. 134.
17
yang sekedar dipakai untuk memberikan pembenaran atas terjadinya penyimpangan
(derogasi) terhadap pemerintahan regular. “Salus populi” justru merupakan prinsip yang
membimbing ke arah pemerintahan normal yang biasa (ordinary government). Namun, para
pengusung ide dualisme percaya bahwa pemerintahan ditentukan oleh adanya hak-hak
individu dan oleh tersebarnya pusat-pusat epicentrum (polyarchy) dalam struktur kekuasaan
pemerintahan negara. Dalam bentuk yang paling minimalis seperti yang tercermin dalam
Konstitusi Romawi kuno yang digambarkan oleh Polybius dalam buku Histories IV bahwa
“polyarchic structure” kekuasaan negara Yunani kuno sebagai “mixed regime and mixed
constitution”.29 Pluralitas struktur kekuasan tercermin dalam pelembagaan Consuls, Senate,
Tribunes, Comitia, dan juga dengan berlakunya prinsip hukum “provocatio ad populum” yang
memungkinkan warganegara menuntut hukuman bahkan dengan mati terhadap petinggi
kekuasaan.30 Karena itu, oleh para ahli dikatakan bahwa di zaman Romawi kuno, kebebasan
(the Roman liberty) dalam sistem kekuasaan negara yang normal pun, tidak dapat direduksi
menjadi sekedar partisipasi. Namun, sebaliknya, pemerintahan pengecualian yang diwakili
oleh kediktatoran (dictatorship) mencakup (i) kekuasaan yang dapat menangguhkan hak dan
kebebasan warga untuk menuntut pelaksanaan prinsip “provocation ad populum” di atas,
dan (ii) struktur polyarchic pemerintahan republik yang mendukung kekuatan negara
monokratis oleh penguasa tunggal (monocratic power) di atas hak-hak individu.
Oleh karena itu, di sepanjang sejarah, kita menemukan pelbagai dikotomi dan
antinomi dalam kehidupan, dan khususnya mengenai hal ini adalah “polyarchy” (kekuasaan di
banyak pusat) versus “monoarchy” (kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa) atau
kediktatoran, dan juga penegakan keadilan melalui proses hukum (due process) versus
keyakinan tanpa proses peradilan. Namun, yang pasti, di dalamnya selalu ada sistem norma,
dan ada pula sistem pengecualian. Tentu kita harus juga maklum, suasana zaman yang
mempengaruhi Thomas Hobbes sangat berbeda dari suasana di zaman normal. Thomas
Hobbes hidup dalam masyarakat yang diganggu luar biasa oleh pelbagai kekerasan akibat
perang saudara dan konflik yang bernuansa agama. Tentu, realitas hukum-hukum kehidupan
alamiah yang ia hadapi tidak dapat dipahami hanya dalam konteks konflik-konflik kekuasaan
yang dijawab dengan buku. Karena itu, dapat dikatakan bahwa diskusi tentang Leviathan
berkenaan dengan kediktatoran kekuasaan negara yang ditulisnya hanyalah respon politik
terhadap kenyataan alami yang terjadi di zamannya.
Kita dapat berkata bahwa dalam konsepsi Thomas Hobbes tentang “conceptual
universe” kekuasaan negara yang didiskusikannya dalam “Leviathan” tidak diperlukan adanya
konsepsi mengenai kekuasaan darurat, karena di dalamnya sistem norma hukum dan sistem
pengecualiannya berperan secara bersamaan. Thomas Hobbes sangat monistik dalam
memahami kekuasaan pemerintahan. Dalam pandangannya, sifat dan hakikat konflik ekstrim
yang terjadi dan ancaman yang ditimbulkannya dalam relasi sosial memungkinkan untuk
dilakukannya pengurangan atau reduksi hak dan kebebasan secara alamiah. 29 Polybius, The Rise of the Roman Empire, 311–17 (Penguin Books 1979). 30 Prinisp “Provocatio ad populum” ini dikenal sebagai “the Valerian and Porcian laws” Romawi kuno yang diberlakukan antara tahun 509 BC dan 184 BC yang memberikan kepada warganegara hak untuk menuntut pejabat negara dengan pelbagai macam kemungkinan sanksi hukum yang mempermalukan dan sebagainya melalui pengadilan. Bahkan “the Valerian law” ini juga menganggap legal dan sah bagi warganegara untuk membunuh seorang warga lainnya yang terbukti membangun tirani dalam kekuasaannya. Ketentuan ini sudah beberapa kali dipraktikkan, termasuk yang paling penting adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap Julius Caesar yang dianggap sesuai dengan “the Valerian law” tersebut.
18
Namun demikian, menurut John Ferejohn dan Pasquale Paquino, pengusung paham
dualisme terus mempengaruhi ide-ide konstitusionalisme modern melalui Nicollo
Machiavelli, James Harrington, dan J.J. Rousseau. Pandangan mereka ini tercermin, misalnya,
dalam artikel 48 Konstitusi Weimar 1919, dan juga dalam artikel 16 Konstitusi Perancis.
Elemen “the neo-Roman tradition” terlihat dalam kenyataan diberi tempatnya pengaturan
khusus mengenai keadaan darurat atau pemerintahan keadaan darurat itu dalam rumusan
konstitusi.
Dalam teori konstitusi klasik di Inggeris, kita juga dapat menemukan pandangan dualis
ini dalam hubungannya dengan doktrin hak prerogatif Raja (Praerogativa Regia). Seperti
tergambar dalam buku John Locke31, dalam perjanjian kedua (the Second Treatise), derogasi
atau penyimpangan dari pemerintahan reguler dilakukan berdasarkan prinsip pemisahan
kekuasaan dan subordinasi kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif. Hak prerogatif
Raja adalah kekuasaan tunggal (monokrasi) "kontra et extra legem" (bertentangan dan di luar
hukum) dalam rangka melindungi “salus populi” atau keselamatan rakyat dan tertib konstitusi
(constitutional order).32 Perlu diperhatikan secara khusus, apakah doktrin ini memiliki dimensi
yang demokratis atau, lebih tepat disebut "monarchomachic", karena rakyat lah sebenarnya
merupakan hakim terakhir yang menentukan penilaian atas penyalahgunaan hak prerogatif
itu. Selama berevolusi menjadi “monarki konstitusional”, sistem kekuasaan di Kerajaan
Inggeris berubah dari yang semula bersifat monokratis terpusat di tangan Raja atau Ratu
menjadi polyarchis yang terdiri atas Raja dan Parlemen yang terdiri lagi atas 2 kamar, yaitu
“House of Commons” dan “House of Lords”. Karena itu dualisme antara pemerintahan normal
dan pemerintahan pengecualian merupakan suatu keniscayaan di Inggeris. Norma hukum
yang normal dan norma pengecualian dalam suatu sistem hukum didasarkan atas prinsip
kedaulatan parlemen (parliamentary sovereignty) atau lebih tepatnya sebagai suatu
‘gouvernement d’assemblée’ berdasarkan prinsp supremasi parlemen (supremacy of
parliament).
Dalam pandangan dualistik, selalu ada keadaan di luar kebiasaan yang harus
dikecualikan dari norma yang berlaku umum, yaitu keadaan yang tidak dapat diatur dengan
cara-cara yang biasa atau menurut norma yang biasa. Pengecualian ini dapat dilihat, baik dari
segi ontologis maupun dari segi epistemologis. Secara ontologis, norma dan pengecualian
adalah dua dunia yang berbeda. Perbedaan ontoligis di antara keduanya bersifat objektif dan
berbukti, yaitu bahwa setiap orang dapat mengakui adanya; Akibatnya, mekanisme yang
netral dan tidak disengaja dapat dibentuk untuk mendeteksi kemunculannya atau
berakhirnya norma dan pengecualiannya itu.
Beberapa pemikir lain yang cenderung kritis dan skeptis berpendapat, tidak ada bukti
yang absolut mengenai adanya situasi yang harus dikecualikan yang orang pasti setuju atau
tidak setuju mengenai adanya. Karena itu, kita harus mengaitkannya dengan organ atau
institusi tertentu yang diberi kewenangan epistemic untuk menyatakan pengecualian itu ada
dan/atau berakhir. Pendek kata, dari segi teori politik dan konstitusi, pengecualian dapat
31 John Locke, Two Treaties of Civil Government, 32 Locke’s prerogative has a much larger scope, actually. It goes from the Aristotelian epieikeia (the doctrine of justice) to the emergency government. Lihat Pasquale Pasquino, Locke on King’s Prerogative, 26 Political Theory, 1998, hal. 198–208, 1998. https:// academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.
19
dianggap sebagai bentuk ancaman khusus terhadap tatanan politik yang normal.
Pemberlakuannya dengan deklarasi merupakan deklarasi ancaman terhadap sistem republik
atau tatanan demokrasi konstitusional suatu masyarakat politik dengan menjustifikasi
pemerintahan pengecualian, yaitu rezim pemerintahan darurat. Logika pemerintahan
pengecualian ini bersifat konservatif atau preservatif. 33 Fungsinya adalah untuk membentuk
atau memulihkan kembali pemerintahan normal dengan seutuhnya, dan dalam waktu yang
secepat-cepatnya.
E. MENGENDALIKAN KEKUASAAN DARURAT
1. Lingkup Pengendalian
Dari Semua uraian teoritis tersebut di atas, akhirnya, yang paling penting dalam teori
dan praktik ialah bagaimana kekuasaan negara dalam keadaan daurat, dikendalikan. Jika kita
mengambil pelajar dari sejarah Romawi kuno, kita dapati bahwa dalam 300 tahun sejarah
kediktatoran Romawi, mulai dari terbentuknya republik sampai jatuhnya Hannibal, menurut
Nippel, tercatat 95 kali “dictatorship” yang memberlakukan pemerintahan darurat.34 Para
diktator pun selalu berganti-ganti. Selama periode itu, tidak ada dictator yang memerintah
lebih dari 6 bulan, dan sampai dengan perang yang menyebabkan kekalahan Hannibal, tidak
tercatat adanya perang yang dipimpin langsung oleh dictator keluar wilayah Italia. Artinya,
sang penguasa (dictator) hanya memimpin perang untuk pertahanan di dalam negeri sendiri.
Sebagian dari alasan keberhasilan selama periode tersebut sampai terjadinya perang
dengan Carthage, menurut Ferejohn dan Pasquino, karena struktur keadaan darurat yang
harus dihadapi dinilai cocok dengan institusi kediktatoran Romawi ketika itu. Musim perang
di Italia ketika itu memang rata-rata terjadi antara Maret sampai Oktober, sehingga periode 6
bulanan dianggap cocok. Ancaman yang datang cukup memberi alasan untuk menerapkan
kediktatoran, yang pada umumnya datang dari tetangga Romawi atau karena invasi dari dari
sekitar Romawi sendiri. Jika krisis datang dari konflik atau pemberontakan internal, biasanya
dapat diatasi segera dalam jangka waktu singkat. Pendek kata, pengendalian terhadap
“dictatorship” ketika itu, merupakan suatu percampuran yang kompleks antara mekanisme
pengendalian yang bersifat “ex ante, interim, and ex post”.35
Yang dimaksud pengendalian ‘ex ante’ (ex-ante controls) itu tidak lain merupakan
kontrol yang dilakukan sejak sebelum keadaan darurat diberlakukan. Sedangkan control
‘interim’ merupakan pengendalian yang dilakukan selama keadaan darurat berlangsung, dan
‘ex post controls’ adalah pengendalian ‘ex post’ untuk mengakhiri keadaan darurat dan hal-
hal yang terjadi sesudah keadaan darurat berakhir. Pengendalian ‘ex ante’ di zaman Romawi
kuno itu, dilakukan dengan keterlibatan semua struktur yang bersifat (hetero-investiture),
yaitu: (i) sejak awal, sudah ditentukan, terdapat pemisahan antara entitas Senate yang
33 Dalam Bahasa Carl Schmitt, Pemerintahan Pengecualian atau Pemerintahan Keadaan Darurat ini dapat dibandingkan dengan “Kommissarische Diktatur”, Carl Schmitt, supra note 23. 34 Wilfried Nippel, Emergency Powers in the Roman Republic, in La Theorie Politico-Constitutionnelle du Gouvernment D=Exception, 5 (Pasquale Pasquino & Bernard Manin eds., Les Cahiers du CREA 2000). 35 J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal. 227-228. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.
20
mendeklarasikan keadaan darurat dengan seorang dictator yang menjalankan kekuasaan
selama keadaan darurat itu: (ii) adanya ketentuan yang sudah ditetapkan lebih dulu
mengenai batasan waktu periode 6 bulanan; dan (iii) larangan memimpin sendiri tentara
keluar kota Italia. Meskipun demikian, pengendalian interim (interim controls) dapat
dikatakan memang lebih kabur, karena sang penguasa atau “dictator” dapat menjalankan
kekuasaan secara absolut, dengan perintah-perintah yang tidak dapat dibantah atau
disanggah, baik oleh “the tribunes or the Senate”. Bagaimanapun “Senate”, mempunyai hak
kontrol terhadap anggaran (budget), tetapi dalam praktik, Penguasa yang dipilih memang
bekerja hanya untuk mengatasi krisis dan mengembalikan keadaan menjadi normal. Sang
dictator biasanya dipilih dari antara mereka yang memang benar-benar dipercaya, karena
sudah duduk di pemerintahan, atau mungkin mereka yang dikenal dan berpengalaman
memimpin militer atau tokoh publik yang dikenal luas yang dinilai tidak lagi mempunyai
ambisi lain kecuali untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh pemerintahan kota mereka.
Lebih-lebih, ketentuan konstitusi dianggap cukup terang dan jelas, sehingga setiap tindakan
pemerintahan yang dinilai bertentangan dengan norma konstitusi, dapat terawasi dengan
baik.
Namun, bagaimanapun, mekanisme kontrol ini sangat tergantung kepada moralitas
politik orang yang menduduki posisi dan menjalankan kedikatatoran yang bersifat monokratis
(penguasa tunggal) itu dalam praktik kekuasaan. Bahkan, meskipun sudah ada teks konstitusi
yang mengatur dan membatasi kekuasaan, selama moralitas nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya tidak dihayati secara seksama dengan spirit dan moralitas para penguasa,
pengendalian dimaksud menjadi tidak efektif. Karena itu, diperlukan pemantapan mengenai
pengendalian “ex ante” yang lebih efektif untuk mencegah penyalahgunaan dalam
pelaksanaan keadaan darurat.
Sejarah menunjukkan bahwa, seperti yang dikemukakan leh Lord Acton, kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan untuk kepentingannya sendiri, “power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Semakin absolut suatu kekuasaan, makin absolut pula
penyalahgunaan yang dapat terjadi. Itu juga sebabnya, maka Plato menulis buku “Nomoi”
sebagai karya ‘magnum opus’ yang paling tebal dibandingkan dengan buku-bukunya yang
lain. Di buku ini ia mengubah pandangannya yang ia tulis dalam “Res Publica” tentang
pentingnya Raja yang baik dan cerdas yang disebutnya dengan konsep “the philosopher’s
King” untuk memimpin negara ideal. Dalam “Nomoi” yang diidealkan oleh Plato adalah
“nomoi” atau norma aturan yang harus menentukan kualitas dan integritas kekuasaan. Dari
sinilah muncul konsepsi “nomokratie” atau di kemudian hari menjadi cikal bakal konsep
negara hukum modern, “the Rule of Law”, dan “Rechtsstaat”.
Di samping itu, juga diperlukan mekanisme “ex post control” yang lebih efektif dan
terukur. Pada tahun 217 SM, menurut Livy, orang Romawi menolak kebijakan Fabius untuk
mencari dan melecehkan Hannibal daripada memaksanya turun dan memilih ‘consul’ baru
yang akan memimpin pemerintahan, yang bersedia berjanji untuk bekerja lebih agresif. 3644
Sayangnya, keputusan popular itu justru menimbulkan terjadinya malapetaka di Cannae, dan,
selanjutnya, menyebabkan Fabius terus terpilih menjadi ‘consul’ untuk dua kali lagi. Dari
36 44 22 LIVY, Roman History, 8, 5–6.
21
peristiwa ini, bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa sistem dictator di zaman Romawi kuno
ini telah memperlihatkan efektifitasnya, karena terbukti bahwa dictator dan sistem
kediktatoran tidak selalu mengecewakan ekspektasi normatif para pemilihnya.37
Pendek kata, memang diperlukan adanya mekanisme pengawasan konstitusional
terhadap kediktatoran dimana pihak yang menyatakan keadaan darurat (Senat) dan pihak
yang mengangkat penguasa darurat yang disebut diktator (Konsul), bukanlah mereka yang
menjalankan kekuasaan darurat itu sendiri dalam praktik. Jika dilihat dari sudut pandang
konstitusional, hal ini merupakan “ex ante control” atas pemberlakuan keadaan darurat.
Dapat digambarkan bahwa sebelum masa Hannibal menjadi diktator, situasi Roma telah
berubah secara material. Hannibal tinggal dalam waktu yang sangat lama di Italia dan pola
pemerintahan enam bulanan tidak cocok untuk menghadapi ancaman yang dialami oleh
warga kota Roma. Lebih dari itu, solusi yang diperlu dilakukan untuk menghadapi masalah ini
haruslah dengan mengizinkan tentara Romawi berperang ke luar wilayah Italia dan, harus
pula siap untuk semakin lama semakin jauh dari kota selama bertahun-tahun. Padahal
ketentuan yang berlaku dalam kediktatoran Romawi tidak memungkinkan untuk itu dan
akhirnya aturan kediktatoran pun tidak lagi digunakan sampai pengangkatan Sulla dan
akhirnya Julius Caesar yang terjadi dengan cara yang tidak biasa (reguler).
2. Keadaan Darurat Zaman Modern
Pemberlakuan keadaan darurat di zaman modern tentu sangat berbeda dari zaman
Romawi kuno. Dewasa ini, sumber bencana yang membahayakan keselamatan warganegara
dapat berbentuk dan diakibatkan oleh bermacam-macam sebab, baik sebab-sebab yang
bersifat alami seperti bencana alam, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti
kerusuhan, pemberontakan, atau perang. Cara-cara yang mesti dilakukan oleh pemerintahan
modern untuk dan dalam rangka menangani pelbagai krisis yang menimbulkan keadaan
darurat itu juga beraneka ragam variasinya. Tidak semua keadaan darurat selalu harus
dikaitkan dengan persoalan perang miiter bersenjata.
Ada dua ciri problematika pemerintahan darurat di zaman modern, yaitu bahwa (i)
pemerintahan darurat kontemporer, tidak mudah dibatasi menurut ruang dan waktu; dan (ii)
juga tidak jelas untuk sampai pada keadaan darurat, kekuasaan apa saja yang dibutuhkan
untuk menghadapi dan mengatasinya. Dari segi yang pertama, tidak mudahnya menentukan
pembatasan ruang dan waktu, menimbulkan momok yang mengkhawatirkan bahwa keadaan
darurat yang bersifat sementara dapat berubah atau disalahgunakan menjadi permanen.
Karena itu, dapat diterima akal sehat mengenai kemungkinan megembangkan pendekatan
dualistic mengenai beroperasinya rezim keadaan darurat, di samping adanya rezim keadaan
normal. Untuk itu diperlukan Batasan-batasan hukum (legal boundaries) mengenai keadaan
darurat dan perubahannya menjadi keadaan normal, baik dalam ruang, waktu, atau pun
dalam hal-hal yang tertentu. Kedua, di zaman kontemporer, terdapat semacam kesepakatan
umum bahwa kekuasaan harus tersebar di banyak institusi yang terikat pada prinsip “checks
and balances” di antara satu dengan yang lain. Prinsip pengelolaan kekuasaan berubah dari
37 45 Livy provides an account of an attempt to prevent a dictator from condemning his second in command. The supporters of the condemned man appealed to the tribunes to veto the dictator’s command. After an appeal to the popular assembly by the dictator, none of the tribunes were willing to take this step. In the end, the dictator relented as a matter of discretion. 8 LIVY, supra note.
22
sifat “monokratis” (penguasa tunggal) menjadi “nomokratis” tersebar berdasarkan norma
aturan yang disepakati dengan actor yang terdistribusi di banyak tangan kekuasaan.
Karena itu, kita dapat menekankan bahwa sistem hukum keadaan darurat sama-sama
harus diatur dengan baik bersamaan dengan sistem hukum keadaan normal. Di dalamnya
terdapat aturan-aturan, hak-hak, dan prosedur-prosedur, betapapun terbatas sifatnya dalam
pelaksanaannya, tetap harus ada, untuk mengantisipasi setiap keadaan yang timbul dalam
perjalanan kehidupan bernegara. Dalam keadaan normal harus berlaku sistem hukum yang
normal, dan dalam keadaan tidak normal mesti diberlakukan sistem hukum keadaan yang
tidak normal pula. Dengan demikian, praktik penyeenggaraan kekuasaan negara di zaman
sekarang, harus siap dengan dua kemungkinan keadaan, yaitu keadaan normal atau keadaan
tidak normal. Dalam sistem konstitusi negara modern, rezim hukum yang beroperasi dalam
keadaan darurat sama-sama harus tersedia di samping rezim hukum keadaan normal.
Namun, biasanya, kebanyakan rezim demokrasi modern dewasa ini, lebih menyukai
dan lebih memutuhkan pengendalian yang bersifat “interim” dan “ex post control” dalam
pelaksanaan pemerintahan darurat. Dalam sejarah Amerika Serikat, kecenderungan ini
terlihat dalam dua hal.38 Pertama, pengadilan telah mengambil peran penting dalam menilai
dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan dalam keadaan darurat serta dalam menguji
kebijakan penangguhan hak-hak warga selama keadaan darurat berlangsung.3947 Meskipun
banyak kaum “civil libertarians”, para aktifis kebebasan mengeluhkan bahwa pengadilan pada
umumnya masih terlalu pasif menjalankan perannya dalam mengawal kebebasan sipil,
banyak pengadilan yang sudah membukan diri, paling tidak untuk mendengarkan keluhan,
tuntutan, permohonan serta argumen-argumen yang didalilkan oleh para pencari keadilan
yang telah mencerminkan meningkatnya peran pengadilan di bidang ini. Bahkan pun jika
pengadilan menolak suatu perkara atau menolak untuk ikut campur atau mengintervensi
suatu tindakan-tindakan pemerintahan yang dianggap melanggar hak konstitusional warga,
biasanya selalu ada pendapat yang berbeda atau “dissenting opinions” di antara para hakim
yang memutus perkara yang bersangkutan, yang dapat dijadikan bahan untuk usaha
pencarian keadilan lebih lanjut di masa mendatang.
Kedua, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya pemerintahan darurat di zaman
moden sekarang ini, menyediakan pelbagai variasi yang lebih fleksibel dan menarik, yang di
dalamnya dapat diramu atau dijahit untuk menghadapi hal-hal yang nyata. Ini dapat dijadikan
alasan untuk penggunaan model legislatif secara lebih luas. Karena itu, Ferejohn dan
Pasquino makin yakin dengan gagasan mereka tentang penguatan peran legislatif dari
pemerintahan darurat. Bahkan dalam banyak hal, eksekutif mempunyai pilihan-pilihan
konstitusional yang tepat dalam menjalankan fungsinya selama keadaan darurat. Di natara
banyak pemikir modern yang mendukung gagasan pemerintahan darurat konstitusional
(constitutional emergency powers), dapat kita bedakan dalam dua posisi.
38 J. Ferejohn & P. Pasquino Op.Cit., hal. 228-229. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845 by guest on 02 April 2020.). 39 Ex parte Vallandigham, 68 U.S. 243 (1863); Ex parte Milligan, 71 U.S. 2 (1866); Ex parte Quirin, 317 U.S. 1 (1942).
23
Pertama, mereka yang mengakui berlakunya prinsip “necessitas non habet legem”
(necessity has no laws)40 yang menentukan keabsahan keadaan darurat dan pemerintahan
darurat, seperti misalnya Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Rehnquist.41 Kedua,
sebaliknya, mereka yang mempersyaratkan adanya atau harus adanya norma hukum dan
bahkan konstitusi yang mengatur adanya pemerintahan darurat (emergency government) itu.
Yang terakhir ini dapat dibedakan antara (a) aliran neo-Roman model yang berpendapat
bahwa pemerintahan pengcualian (exceptional government) harus diatur lebih dahulu (ex
ante) dalam konstitusi yang menentukan pemerintahan yang bersifat adhoc (constitutional
ad-hoc provisions), dan (b) aliran yang percaya bahwa undang-undang, undang-undang
khusus, atau tindakan pemerintahan keadaan darurat yang bersifat khusus dinilai sudah lebih
dari cukup untuk menghadapi segala macam krisis yang terjadi.
Masing-masing pandangan tersebut, tentu mempunyai kelebihan dan kekurangannya
sendiri-sendiri. Tetapi, yang paling berbahaya karena paling mudah disalahgunakan, terutama
di lingkungan negara-negara yang tingkat peradaban demokrasi dan hukumnya yang masih
berkualitas rendah, ialah prinsip “necessitas non habet legem” (necessity has no laws) yang
mengakui bahwa kebutuhan yang utama (necessitas) adalah hukum itu sendiri. Artinya, jika
ada kebutuhan yang tidak dapat ditawar, maka kebutuhan itu adalah hukum itu sendiri yang
dapat mengabaikan berlakunya hukum-hukum yang lain. Semua tujuan yang baik, dapat
dicapai dengan cara apapun juga. Pendek kata, tujuan dapat menghalalkan segala cara,
asalkan nyata bahwa tujuan itu merupakan suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi.
Namun dalam praktik, seringali sulit menentukan objektifitas tujuan dan kebutuhan objektif
yang disebut sebagai “necessitas” itu. Akhirnya semua tergantung kepada penilaian subjektif
pemegang kekuasaan yang akan diberi pembenaran oleh semua bawahan atau pendukung
rezim politik dengan cara mengangkangi kekuasaan untuk dirinya sendiri.
Pilihan kedua (b) juga mengandaikan peran legislatif yang sangat sentral dan dapat
mengendalikan segalanya baik “interim control” maupun “ex post control”. Tetapi dalam
sistem pemerintahan presidential, dengan pemegang kekuasaan yang cenderung monokratis,
pilihan yang paling realistis untuk Indonesia adalah pilihan kedua (a) yaitu pengaturan
tentang keadaan darurat ditentukanlebih dulu dalam UUD. Nyata, UUD 1945 juga sudah
mengatur jelas mengenai hal itu, yaitu pada Pasal 12. Sayangnya pasal ini kurang mendaat
perhatian untuk dipelajari secara mendalam oleh para sarjana hukum, sehingga tidak banyak
yang memahami hakikat keberadaannya yang susungguhnya. Di samping itu, dalam semua
pilihan di atas, satu hal yang diidealkan oleh semua model pemerintahan darurat yang ada,
ialah pentingnya peran pengadilan. Sekarang pun Indonesia telah memiliki Mahkamah
Konstitusi yang berperan aktif dalam menguji konstitusionalitas kebijakan yang dituangkan
dalam bentuk undang-undang, di samping pengujian legalitas kebijakan yang dituangkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah
Agung. Demikian pula gugatan terhadap legalitas keputusan-keputusan tata usaha negara
juga dapat diajukan oleh pencari keadilan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan
demikian, pemerintahan keadaan darurat terus dapat dikendalikan, baik oleh cabang
40 Aaron X. Fellmeth and Maurice Horwitz, Guide to Latin in International Law,Oxford University Press, 2009. ISBN-13: 9780195369380 41 William Rehnquist, All the Laws But One: Civil Liberties in Wartime, (Knopf 1998).
24
kekuasaan legislatif di DPR dan DPR maupun oleh cabang kekuasaan kehakiman di
lingkungnan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
3. Mekanisme Pengendalian Konstitusional
Ada dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk mengawasi dan mengendalikan
pemerintahan darurat (emergency powers). Pertama, pengendalian dilakukan dengan model
Romawi atau neo-Romawi yang memisahkan antara pejabat yang mendeklarasikan keadaan
darurat dengan pejabat yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan darurat. Kedua, dapat
pula diterima bahwa kedua fungsi deklarasi dan pelaksana pemerintahan darurat ada di
tangan yang sama, tetapi keputusannya dapat terus menerus diawasi oleh lembaga
parlemen, dan dapat pula diperkarakan atau diuji di pengadilan atau lembaga lain yang
sejenis. Alternatif pertama merupakan pengendalian “ex ante” yang didesain untuk
memastikan lembaga yang mendeklarasikantidak mendapatkan keuntungan apa-apa baik
secara kelembagaan atau pribadi dengan deklarasi tersebut. Sedangkan alternatif kedua
merupakan pengendalian ‘ex post control’ seperti dipraktikkan dalam putusan Mahkamah
Agung Amerika Serikat dalam perkara Milligan dan Korematsu.42 Kedua mekanisme
pengendalian terhadap pemerintahan darurat itu dapat dirumuskan dalam konstitusi atau
tidak, tetapi yang terpenting adalah diterapkan dalam praktik.
Meskipun demikian, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Indonesia berdasarkan
UUD 1945, sudah menentukan pilihannya, yaitu pilihan kedua dengan tidak memisahkan
fungsi deklarasi dengan fungsi pemerintahan pelaksana, tetapi dengan mengatur keadaan
bahaya atau keadaan darurat itu dalam Pasal 12 UUD 1945. Ketentuan mengenai syarat-
syarat dan akibat-akibat dari keadaan darurat itu diamanatkan oleh UUD 1945 agar diatur
lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 12 UUD 1945 jelas menentukan: “Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan
dengan undang-undang”. Artinya, Presiden yang menyatakan atau mendeklarasikan keadaan
bahaya atau keadaan darurat, dan tentu Presiden pula yang memimpin pemerintahan dalam
keadaan darurat itu. Namun, syarat-syarat sebagai “ex-ante control” dan akibatnya keadaan
bahaya itu diatur lebih lanjut dalam dan dengan undang-undang yang tersendiri, yang di
dalamnya dapat saja diatur dengan ketat sesuai dengan kewenangan DPR sebagai lembaga
pembentuk undang-undang, yaitu agar pelaksanaan pemerintahan darurat it uterus menerus
diawasi oleh parlemen, dan keputusan-keputusan serta kebijakan-kebijakannya yang
dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat dijadikan objek pengujian,
baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun oleh lembaga peradilan dalam lingkungan
Mahkamah Agung.
Dengan demikian, mekanisme pengendalian terhadap pemerintahan darurat dalam
sistem hukum dan konstitusi Indonesia dapat mencakup “ex ante”, “interim”, dan bahkan “ex
post controls”. John Ferejohn dan Pasquale Pasquino sendiri membedakan 4 hal dalam
membuat klasifikasi mengenai pengaturan pemerintahan darurat ini dalam studinya, yaitu43:
(1) siapa yang mendeklarasikan keadaan darurat; (2) siapa yang menjalankan kekuasaan
pemerintahan darurat; (3) siapa yang menyatakan berakhirnya keadaan darurat; dan (4) siapa
42 Milligan, 71 U.S. 2 (1866); Korematsu v. United States, 323 U.S. 214 (1944). 43 J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal. 230-231. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.
25
yang dapat ikut campur menilai atau mengadili pertanyaan-pertanyaan hukum yang
berhubungan dengan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh pemerintahan darurat.
Misalnya, menurut tradisi Romawi, (1) yang mendeklarasikan keadaan darurat adalah
Senate berdasarkan konstitusi kebiasaan kerajaan Romawi kuno; (2) yang menjalankan
pemerintahan darurat itu adalah Consul yang dipilih oleh Senate; dan (3) Konstitusi kebiasaan
juga sudah menentukan pembatasan waktu berlakunya keadaan darurat, yaitu hanya untuk 6
bulan saja. Namun, menurut tradisi kuno itu, Consul sebagai pemegang kekuasaan tunggal
(monocrat) memang tidak bersifat akuntabel, baik secara politik maupun hukum. Karena itu,
dalam scenario modern, ada dua institusi penting yang mengambil peran penting dalam
menilai dan mengendalikan pemerintahan darurat, yaitu lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen, dan lembaga peradilan.
Dalam model legislatif yang diusulkan oleh Ferejohn dan Pasquino: (1) lembaga yang
mendeklarasikan keadaan darurat adalah parlemen; (2) yang menjalankan pemerintahan
darurat adalah kepala pemerintahan atas dasar wewenang delegasian dari parlemen
(legislative delegation of executive power); (3) yang menyatakan berakhirnya keadaan darurat
kembali lagi adalah parlemen; dan (4) yang dapat ikut campur dalam mengendalikan
pelaksanaan pemerintahan adalah lembaga peradilan. Dalam hal ketentuan mengenai
keadaan darurat ini hendak dimuat dalam UUD, maka diidealkan agar ketentuan konstitusi
juga memuat mengenai keempat hal itu, yaitu: (i) qua deklarasi (qua-declaration); (ii) qua-
pelaksana kekuasaan (qua-exercise); (iii) qua-penentu pengembalian kepada keadaan normal
(qua reestablishment of normality), dan (iv) qua pengkendali terhadap pelaksanaan
pemerintahan darurat.
Namun, model yang dianjurkan tersebut, tidak cocok dengan pemerintahan republik
dengan sistem presidential seperti Indonesia. Pertama, kedaulatan rakyat Indonesia tidak
terkumpul dan tercermin di lembaga DPR ataupun DPD. Dalam rangka pembentukan
kebijakan bernegara, kedaulatan rakyat memang dapat tercermin di MPR ssebagai
penjelmaan seluruh rakyat, tetapi bukan DPR ataupun DPD. MPR terdiri atas para anggota
DPR dan anggota DPD sebagai keseluruhan dan bersama-sama sebagai penjelmaan seluruh
rakyat yang bermusyawarah untuk menentukan kebijakan negara dan memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden jika terdapat kekosongan dalam jabatan di tengah jalan. Namun,
kedaulatan rakyat juga secara langsung dapat memilih sendiri Presiden dan Wakil Presiden
melalui pemiihan umum. Karena itu, kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, tetap
berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan
rakyat itu tidak berpindah ke DPR, ke DPD, ataupun ke MPR. Kedaulatan tetap berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Artinya, kekuasaan negara dalam keadaan darurat tidak mungkin dikonstruksikan
berada di tangan DPR, DPD, ataupun MPR. Dalam sistem pemerintahan presidential, Presiden
lah yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, yang memegang kekuasaan asli
dan sekaligus kekuasaan sisa. Dalam sistem presidential itu, pusat kekuasaan yang berasal
dari rakyat itu ada di tangan Presiden, kecuali yang menurut UUD dan UU sudah dengan
tegas diberikan kepada lembaga-lembaga negara lainnya, yang tidak dapat lagi dicampuri
oleh Presiden. Di luar semua kekuasaan yang sudah diatur dan dibatasi itu, tetap adalah
26
kekuasaan rakyat yang dimandatkan kepada Presiden untuk menjalankannya dengan sebaik-
baiknya untuk kepentingan rakyat yang berdaulat. Oleh sebab itu, model legislatif yang
diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino tidak cocok untuk diterapkan di
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, keempat aspek yang dibahas oleh Ferejonhn dan Pasquino tersebut di atas,
dapat dikatakan kurang lengkap. Karena dalam praktik di Indonesia, kita dapat membedakan
antara pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dengan
pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dapat
berlangsung simultan. Selama pelaksanaan pemerintahan darurat dan akibat hukum
keputusan, kebijakan, dan tindakan pemerintahan darurat terus menerus dapat diawasi oleh
DPR dan DPD sesuai kewenangan konstitusionalnya masing-masing, serta dapat terus
menerus terbuka untuk diperkarakan di pengadilan oleh siapa saja yang berkepentingan
untuk mendapatkan keadilan. Objek pengawasan dan pengujian yang dilakukan dapat terdiri
atas (a) keputusan-keputusan administrasi negara atau keputusan tata usaha negara, (b)
produk peraturan perundang-undangan yang memuat kebijakan-kebijakan pemerintahan dan
pembangunan selama keadaan darurat, ataupun (c) tindakan-tindakan pemerintahan yang
dinilai merugikan hak-hak konstitusional dan hak-hak perdata warganegara. Semua itu dapat
diawasi dan dinilai secara politik oleh lembaga politik di parlemen, atau dinilai, diuji, dan
diadili di forum peradilan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pengadilan Tata
Usaha Negara mengadili produk-produk keputusan administrasi negara atau tata usaha
negara. Pengadilan Negeri memeriksa, memutus, dan mengadili gugatan perdata ataupun
tuntutan pidana. Mahkamah Agung menguji legalitas peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, dan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang ataupun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian sistem konstitusi Indonesia sudah jauh lebih maju dari apa yang
dikaji dan ditawarkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino. Sayangnya, ketentuan Pasal
12 UUD 1945 sebagai satu-satunya pasal yang mengatur mengenai soal ini sama sekali belum
dipahami dengan benar, dan kebanyakan orang menghindar untuk mengatur penjabarannya
lebih lanjut dengan undang-undang. Akibatnya sampai sekarang, ketentuan penjabaran Pasal
12 UUD 1945 yang masih berlaku “de-jure” hanya UU No 23 Tahun 1959 yang sudah sangat
ketinggalan zaman. Semua UU yang mengatur keadaan krisis, bencana, atau kondisi darurat,
tidak satupun yang mencantumkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan yang “menakutkan”
ini. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 6 Tahun 2008 tentang
Karantina Kesehatan, dan bahkan PERPU No. 1 Tahun 2020, tidak satupun menyebut Pasal 12
UUD 1945 sebagai rujukan. Akibatnya, semua menjadi serba salah. Keadaan sudah terlanjur
sebagai keadaan darurat “de-facto” (emergency de-facto) tetapi tidak diakui sebagai keadaan
darurat secara “de-jure” (emergency de-jure).
Dengan demikian, mekanisme pengendalian konstitusional terhadap pemerintah
daruat menurut sistem konstitusi Indonesia dapat digambarkan secara komprehensif, mulai
dari tahap penentuan atau pemberlakuan (ex-ante control), pada tahap penyelenggaraan
pemerintahan darurat (interim control), dan pada tahap pengakhiran keadaan darurat (ex-
27
post control). Menurut sistem yang berlaku berdasarkan Pasal 12 UUD 1945, dapat
dirumuskan pprinsi-prinsip ketentuan sebagai berikut:
1) Penentu deklarasi keadaan bahaya atau keadaan darurat adalah Presiden (qua-
declaration) yang sekaligus adalah juga pejabat pelaksana pemerintahan darurat sebagai
pemegang tanggungjawab tertinggi pemerintahan (qua- exercise);
2) Namun, untuk menetapkan berakhirnya keadaan bahaya atau darurat (qua
reestablishment of normality) sebaiknya dipastikan dengan tegas dengan atau dalam
undang-undang bahwa yang berwenang untuk menentukan hal itu adalah DPR sebagai
pengawas pemerintahan darurat dan sekaligus sebagai pemegang kekuasaan membentuk
UU sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (1) UUD 1945;
3) Di samping itu, selama keadaan darurat berlangsung, pemerintahan darurat terus harus
diawasi oleh lembaga perwakilan rakyat, baik oleh DPR maupun DPD, untuk menjalankan
fungsi pengawasan politik dengan sebaik-baiknya;
4) Selama masa pemerintahan darurat, lembaga peradilan juga harus efektif memastikan
bahwa kebjakan dan tindakan pemerintahan berlangsung dengan keadilan berdasarkan
hukum dan konstitusi.
Karena itu, selama berada dalam keadaan darurat, lembaga-lembaga perwakilan
rakyat, baik DPR maupun DPD, dan lembaga-lembaga peradilan, baik Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi terus harus
bekerja intensif dalam menjalankan tugas konstitusionalnya masing-masing untuk
mengawasi, menguji, memeriksa, mengadili, dan memutus segala perkara diajukan oleh para
pencari keadilan. Para pencari keadilan dapat dapat mengajukan tuntutan aspirasi politiknya
kepada DPR dan/atau DPD, atau dapat pula mengajukan gugatan, permohonan, dan upaya
hukumnya kepada pengadilan sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu untuk
mepersoalkan legalitas dan/atau konstitusioal:
1) Kebijakan pemerintahan darurat yang dituangkan dalam bentuk peraturan (executive
acts);
2) Kebijakan dan tindakan pemerintahan darurat yang dituangkan dalam bentuk keputusan-
keputusan tata usaha negara sebagai produk administrasi negara (administrative
decisions);
3) Tindakan-tindakan pemerintahan darurat (executive actions) yang dianggap merugikan
warganegara dan bertentangan dengan UU dan UUD 1945 yang tidak dapat ditangguhkan
berlakunya selama dalam keadaan darurat;
Pendek kata, pemerintahan darurat menurut hukum Indonesia harus dibangun
dengan pengawalan konstitusional yang ketat. Tanpa pengawalan atau pengendalian,
kekuasaan keadaan darurat mudah terperosok ke dalam kediktatoran yang tidak terkendali.
Dapat terjadi zaman sudah berubah tetapi rezim politiknya terus berkuasa dengan
menunggangi atau menyalahgunakan rezim hukum keadaan darurat. Sebaliknya, dapat pula
terjadi, rezim politik sudah berganti, tetapi rezim hukumnya terus dipelihara untuk
keuntungan dan kemudahan kekuasaan oleh rezim baru yang ingin menikmati kekuasaan
tanpa kendali. Atau, dapat pula terjadi bahwa hukum keadaan darurat it uterus
dipertahankan ntuk dipakai sebagai sarana melembagakan proses pergantian rezim politik
28
dari waktu ke waktu dengan mengabaikan pelembagaan sistem pergantian kekuasaan secara
konstitusional menurut UUD.
Seperti dikatakan oleh Carl Schmiit, musuh kita dengan demikian berubah, bukan lagi
sang diktatornya sendiri yang disebutnya “Souverane Diktatur”44 yang biasa dianggap menjadi
ancaman terhadap sistem politik atau tatanan politik bernegara (political order), tetapi
tatanan politik itu sendiri itu sendirilah yang justru mengancam pemerintahan baru yang
hendak dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan tatanan politik yang semula dimaksudkan
hanya untuk sementara waktu. Namun, doktrin mengenai kesementaraan ini juga sudah
terbuka dalam sejarah, dengan begitu lamanya tahta kekuasaan dikangkangi oleh paham
marxisme-komunisme di banyak negara yang mengklaim kekuasaan rezim diktator Leninis
ataupun Maois yang juga dimaksudkan bersifat sementara untuk mencapai tujuan akhir
masyarakat komunis proletariat sebagai masa transisi menuju dunia baru.
4. Anatomi Ancaman, Kualifikasi Kedaruratan dan Ragam Metode
Sebenarnya, ancaman eksternal dalam kehidupan umat manusia merupakan sesuatu
yang lumrah, selalu ada. Hanya saja tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh ancaman itu
berbeda-beda gradasinya. Di samping itu, sumber ancaman itu juga dapat datang dari mana
saja yang pada pokoknya bersifat perbenturan atau konflik kepentingan antar subjek yang
bagi satu pihak dipandang sebagai ancaman yang datang dari pihak yang lain. Dalam peri-
kehidupan Bersama umat manusia, ancaman itu dapat datang dari sesama manusia atau
kearena ulah manusia sendiri, tetapi dapat pula datang sebab-sebab alam di luar kehendak
dan kuasa manusia. Memang benar, kadang-kadang, kerusakan alam sehingga menyebabkan
bencana, juga disebabkan oleh perbuatan manusia juga, tetapi sifatnya tidak langsung.
Misalnya, kerusakan hutang berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun sehingga
menyebabkan banjir bandang yang menyengsarakan penduduk dari generasi baru yang tidak
terlibat melakukan perusakan hutan dari generasi sebelumnya. Karena itu, bencana alam
dapat disebut sebagai bencana di luar kehendak dan disebabkan secara langsung oleh
perilaku manusia.
Ancaman bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia juga dapat dibedakan lagi,
antara perilaku politik yang terkait dengan kekuasaan, atau perilaku sosial dan ekonomi yang
langsung berhubungan dengan kekuasaan, apalagi dengan menggunakan tindakan kekerasan
dan bersenjata. Karena itu, ada ancaman (i) perang berupa konflik antar negara atau invasi
bersenjata dari negara lain, ataupun (ii) kegiatan operasi militer untuk menghadapi kelompok
separatis bersenjata, atau pemberontak yang tidak mengakui atau melawan penguasa resmi.
Keduanya kadang-kadang dibedakan antara pengertian tentang darurat perang dan darurat
militer biasa atau darurat militer non-perang. Tetapi, menurut pendapat saya, sebaiknya
keduanya sama-sama dinamakan keadaan darurat militer yang dapat dibedakan antara
keadaan darurat perang dan darurat militer biasa atau non-perang.
Di luar kedua kategori di atas, atau di luar kategori darurat militer dalam arti luas,
sudah seharusnya dilihat sebagai jenis ancaman yang sangat berbeda, karena itu biasa
dinamakan sebagai (iii) keadaan darurat sipil. Pembedaan di antara kedua kategori darurat
44 Carl Schmitt, supra note 23.
29
militer dan darurat sipil ini sangat penting untuk memastikan agar semua orang tidak salah
memahami pengertian keadaan darurat yang biasanya selalu dilihat dengan perspektif politik
sipil-militer. Keadaan darurat sipil harus dibatasi pengertiannya hanya dalam konteks
ancaman keadaan darurat yang harus ditangani dan dihadapi oleh pemerintahan sipil dalam
keadaan darurat. Ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil dapat datang dari:
1) Konflik sosial yang bersifat horizontal yang menimbulkan kerusuhan massal disebabkan
oleh (a) konflik pribadi warga dengan pribadi warga, atau (b) konflik kelompok warga
dengan kelompok warga yang lain.
2) Kerusuhan sosial yang bersifat vertikal (a) antara kelompok warga dengan aktor kekuasaan
negara dan politik, ataupun (b) antar kelompok warga dengan korporasi yang dilindungi
oleh pelaku politik kekuasaan negara.
3) Bencana alam yang terjadi di darat, laut, dan/atau di udara, seperti angin topan dan badai,
banjir bandang, gelombang tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi metetus, liquipaksi,
dan sebagainya yang mengancam keselamatan (a) warganegara, penduduk, dan
kehidupan manusia; (b) mengancam kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan; dan/atau
(c) merusak keseluruhan eko-sistem kehidupan.
4) Ancaman bencana non-alam atau yang bersifat campuran antara bencana yang
disebabkan oleh gejala alam dan sekaligus oleh ulah atau periaku manusia, seperti krisis
moneter yang bersifat sistemik, wabah pandemic penyakit menular, dan sebagainya.
Bencana seperti ini dapat disebut sebagai bencana non-alam, tetapi sekaligus juga
merupakan bencana alam yang di dalamnya terkait juga dengan akibat perilaku manusia.
Sama halnya dengan bencana kebakaran hutan, gempa bumi, dan sebagainya, juga ada
kaitan dengan ulah manusia yang merusak lingkungan hidup, dan sebagainya.
Gradasi dan kualifikasi berat-ringannya ancaman juga terkait dengan luasan wilayah
terdampak. Karena itu lokasi ancaman dapat dibedakan antara:
1) Ancaman berskala global;
2) Ancaman berskala regional antar negara;
3) Ancaman berskala nasional;
4) Ancaman berskala antar beberapa provinsi tertentu, tetapi tidak bersifat massif dalam
skala nasional;
5) Ancaman berskala antar-kabupaten atau kota lintas dalam 1 provinsi, atau
6) Ancaman berskala 1 wilayah kabupaten atau 1 wilayah kota tertentu.
Dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara, ancaman terbesar tentu terkait
dengan ancaman berskala nasional. Semakib luas lingkup bahaya nasional yang mengancam,
semakin tinggi pula derajat bahaya yang harus dihadapi sistem kekuasaan nasional.
Sedangkan terhadap bahaya yang hanya berskala daerah 1 kabupaten atau 1 kota,
penanganannya dapat dilimpahkan untuk diselesaikan sebagaimana mestinya oleh
pemerintahan daerah setempat. Namun, satu hal yang tidak dapat ditawar-tawar adalah
status hukumnya yang resmi, yaitu untuk diberlakukan sebagai keadaan darurat menurut
ketentuan Pasal 12 UUD 1945, maka keadaan darurat yang bersifat nasional, provincial,
ataupun terbatas dalam 1 lingkup kabupaten dan ataupun hanya pada lingkup suatu
kecamatan atau desa tertentu saja, atau pulau kecil tertentu saja, tetap harus ditentukan dan
30
bahkan dideklarasikan oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang
berwenang mengubah status hukum suatu kawasan atau wailayah sebagai daerah yang
menjadi daerah diikat oleh hukum dalam keadaan darurat. Deklarasi dimaksud, bukan
sekedar tindakan atau pengumuman dengan mengadakan “konperensi pers” biasa,
melainkan deklarasi yang mengubah karakter hukum tata negara dari keadaan normal
kepada keadaan darurat. Deklarasi atau proklamasi tentang keadaan darurat itu berisi
pemberlakuan hukum keadaan darurat yang dijalankan oleh pemerintahan darurat nasional
ataupun darurat setempat yang hasil pelaksanaan tugasnya harus dipertanggungjawabkan
langsung kepada Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan maupun sebagai Panglima Tertinggi, baik dalam keadaan darurat militer
(termasuk perang) ataupun keadaan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD
1945.
Sasaran ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil, yaitu (i) konflik sosial yang
bersifat horizontal, (ii) kerusuhan sosial yang bersifat vertical, dan (iii) bencana alam
sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Ancaman terhadap keselamatan warga, penduduk, atau umat manusia; dan/atau
2) Ancaman terhadap eko-sistem kehidupan yang pada akhirnya juga membahayakan hidup
manusia; dan/atau
3) Ancaman terhadap efektifitas sistem norma hukum yang berlaku dalam keadaan normal,
sehingga organisasi pemerintahan tidak dapat bekerja efektif menurut hukum yang biasa.
Ancaman pertama merupakan derajat ancaman dengan kualifiasi yang dapat
dikatakan tertinggi. Terkait dengan wadah pandemic Covid-19, misalnya, dapat disebut
sebagai contoh mengenai keselamatan warga yang mesti diutamakan, sesuai dengan
adagium “solus populi, suprema lex esto”. Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
Demikian pula ancaman kedua, bagaimanapun juga pada akhirnya akan membahayakan dan
mengancam keselamatan umat manusia yang tidak harus dihadapi dengan melibatkan
kekuatan bersenjata yang terkait dengan pengertian darurat militer. Secara teoritis, jika
terjadi bencana yang bersifat massif, maka sistem pemerintahan menurut aturan hukum
yang biasa tidak akan dapat bekerja dengan efektif, kecuali dengan menggunakan ukuran-
ukuran lain atau aturan-aturan berbeda yang lebih efektif untuk diterapkan dalam keadaan
tidak darurat. Dalam keadaan darurat itu, hukum yang normal tidak akan efektif dan juga jika
diterapkan tidak akan menghasilkan keadilan.
Dalam memetakan lingkungan dan derajat kedaruratan tersebut, dapat saja dibuatkan
urutan prioritas, misalnya: (i) keselamatan rakyat didahulukan sebagai prioritas ke-1, (ii)
keselamatan eko-sistem kehidupan sebagai prioritas ke-2, dan (iii) efektifitas pemerintahan
sebagai prioritas ke-3 untuk menentukan (a) lamanya keadaan darurat diberlakukan, (b)
keterlibatan pihak-pihak atau pelaku kekuasaan negara yang mengendalikan dan
menentukan keberlakuan keadaan darurat.
Ancaman bahaya yang diakibatkan oleh (i) konflik sosial yang bersifat horizontal, (ii)
kerusuhan sosial yang bersifat vertical, dan/atau (iii) bencana alam dan/atau non-alam
sebagaimana dikemukakan di atas, dapat menimbulkan konflik di antara warga atau
31
kelompok warga dengan para pelaku kekuasaan atau antar pelaku kekuasaan, yang
dibedakan dalam 4 subjek, yaitu:
1) Pembuat kebijakan;
2) Pelaksana kebijakan;
3) Penengah atau pengadilan; dan
4) Pelaku campuran yang dapat dibedakan lagi antara:
(a) Pelaku campuran 1: pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan;
(b) Pelaku campuran 2: pembuat kebijakan dan pengadilan;
(c) Pelaku campuran 3: pelaksana kebijakan dan pengadilan; dan
(d) Pelaku campuran 4: pembuat kebijakan, pelaksana, dan sekaligus pengadilan.
Semakin tinggi tingkat bahaya kedaruratan, sebaiknya semakin luas pula keterlibatan
lembaga-lembaga kekuasaan negara dalam penentuan dan pengendalian terhadap kebijakan
dan tindakan pemerintahan darurat selama menjalankan tugasnya semata-mata untuk
tujuan: (i) menyelamatkan warga, mengatasi dan menaggulangi masalah-masalah beserta
segala akibat yang timbul dari keadaan bahaya; dan (ii) mengembalikan keadaan kepada
keadaan semula dengan pemerintahan biasa yang bekerja menurut ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal. Dalam hal bencana yang terjadi
mengancam dan membahayakan kehidupan nasional, maka sistem pengendalian selama
keadaan darurat dapat melibatan peran lembaga perwakilan dan lembaga peradilan secara
simultan dengan lingkungan kewenangan yang dapat diatur dalam undang-undang tentang
keadaan darurat atau setidaknya dalam PERPPU yang secara khusus diberlakukan untuk dan
dalam keadaan darurat yang bersangkutan.
Tingkatan bahaya kedaruratan dan karakteristik keadaan bahaya yang timbul juga
menentukan lamanya keadaan darurat dapat diberlakukan. Dalam Undang-Undang harus
diatur dan ditentukan bahwa tujuan pemberlakuan suatu keadaan darurat sebagaimana
sudah disebutkan dia atas adalah: (i) untuk menyelamatkan warga, mengatasi dan
menaggulangi masalah beserta segala akibat yang timbul dari keadaan bahaya; dan (ii) untuk
mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dengan pemerintahan biasa yang bekerja
menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal.
Karena itu, prediksi mengenai lamanya ancaman sangat penting untuk menentukan: (1)
lamanya keadaan darurat yang secara eksplisit harus dibatasi, yaitu paling lama misalnya 3
bulan saja, dan (2) tenggat waktu 3 bulan itu bersifat mutlak atau dengan hak perpanjangan
paling lama 3 bulan lagi atau ditentukan menurut kebutuhan, atau (3) penilaian mengenai
lamanya waktu tersebut diserahkan sepenuhnya kepada lembaga parlemen untuk
menentukan sesuai dengan perkembangan dinamika keadaan bahaya. Misalnya bahaya
Covid-19 belum dapat diprediksi secara pasti kapan akan berakhir, sehingga ketentuan
mutlak pembatasan waktu 3 bulan, 6 bulan atau lainnya bersifat relatif dan sangat dinamis.
Karena, pada akhirnya, yang terpenting adalah keselamatan rakyat. “Solus populi suprema lex
esto”, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi; dan “Necessitas non habet legem”,
Kebutuhan atau nesessitas tidak lain adalah hukum itu sendiri.
Prinsip pembatasan ini harus dipahami bersifat konstitusional, karena selama keadaan
darurat, pelbagai ketentuan undang-undang dasar sebagai norma hukum tertinggi dan
32
bahkan norma etika tertinggi dapat dikesampingkan atau ditangguhkan berlakunya oleh
Pemerintahan Darurat. Karena itu, pembatasan waktu ini idealnya diatur tegas dalam UUD
1945. Dalam Konstitusi India, misalnya, hal ini eksplisit ditentukan pembatasan selama 3
bulan. Tetapi dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai PERPU, hanya
ditentukan secara implisit, yaitu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
yang dibentuk untuk dan dalam keadaan darurat harus diajukan untuk mendapatkan
persetujuan DPR daam persidangan yang berikut. Artinya, jika keadaan darurat dilakukan
dengan PERPU atau dideklarasikan dengan diiringi dengan penetapan PERPU yang akan
menjadi landasan operasional bekerjanya pemerintahan darurat, harus sudah diajukan epada
DPR dalam masa sidang yang berikut. Jika PERPU ditetapkan di masa awal sidang
sebelumnya, maka berarti PERPU itu sudah harus diajukan dan paling lambat sudah
mendapat persetujuan atau keputusan penolakan pada akhir masa sidang berikutnya, yaitu
4-5 bulan kemudian.
Mengapa demikian? Karena menurut peraturan tata tertib, dalam satu tahun sidang,
waktu kerja DPR dibagi menjadi empat atau lima masa persidangan. Dimana setiap masa
persidangan terdiri dari masa sidang dan masa reses. Karena itu, rata-rata masa sidang dan
reses itu hanya sekitar 2-3 bulanan. Artinya, waktunya cukup pendek. Tentu yang dimaksud
disini bukanlah mengenai lamanya keadaan darurat, melainkan mengenai masa berlakunya
PERPU untuk sementara waktu. Namun, setiap keadaan darurat pasti diiringi dengan
penerbitan PERPU, sehingga ada kaitan antara lamanya waktu pemberlakuan keadaan
darurat yang diatur oleh Pasal 12 UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut oleh UU No 23
Tahun 1959, dengan lamanya waktu pembahasan PERPU berdasarkan ketentuan Pasal 22
ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Memang ada masalah jika hal ini dikaitkan dengan contoh PERPU No. 1 Tahun 2020
yang ditetapkan dalam rangka menghadapi krisis akibat ancaman wabah Vovid-19. Karena,
PERPU No. 1 Tahun 2020 ini sama sekali tidak terkait dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal
12 UUD 1945, sehingga tidak termasuk kategori PERPU untuk dan dalam keadaan darurat
sipil sebagaimana ditentukan oleh UU No. 23 Tahun 1959. Namun, terlepas dari hal itu, yang
jelas keadaan krisis yang ditimbulkan oleh bahaya Covid-19 yang dijadikan pertimbangan
dalam PERPU No. 1 Tahun 2020 ini belum dapat ditentukan dengan pasti sampai berapa lama
akan berakhir. Selama keadaan krisis Covid-19 ini masih berlangsung, PERPU No. 1 Tahun
2020 ini dibutuhkan oleh pemerintahan untuk bertindak dan menjalankan tugas
konstitusionalnya sesuai dengan untuk pemberlakuan PERPU tersebut. Hal itu juga tercermin
dalam judul PERPU) No. 1 Tahun 2020 ini, yaitu tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-
19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”45.
Ketiga tujuan itu, yaitu untuk: (i) penanganan pandemic covid-19, dan/atau (ii)
menghadapi ancaman yang membayakan perekonomian nasional, dan/atau (iii) menjaga
stabilitas sistem keuangan juga tercermin dalam rumusan pertimbangan (Konsideran
Menimbang) PERPU ini, yaitu:
45 LNRI Tahun 2020 Nomor 87, TLNRI Nomor 6485.
33
a. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian
besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan
dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang
semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara
lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan
negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai
upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional,
dengan focus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety netl,
serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang
terdampak;
c. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula
terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai
aktivitas ekonomi domestic sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward
lookingl dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-
langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas
sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan
peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social
safety netl, dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai
lembaga dalam sector keuangan;
e. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah
memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Namun, jika dikaitkan dengan keharusan masa berlakunya pemerintahan darurat yang
dapat bertindak berdasarkan ketentuan dan doktrin mengenai hukum keadaan darurat, pada
saatnya PRPU No. 1 Tahun 2020 itu akan menghadapi problem mengenai jangka waktu
berlakunya yang tidak pasti. Sudah tentu, jika pada waktunya nanti alasan ditetapkannya
PERPU ini sudah berakhir, maka dengan sendirinya PERPU ini sebaiknya dicabut tetapi oleh
karena waktunya belum dapat dipastikan, maka PEPPU tersebut jangan dulu diputuskan oleh
DPR untuk diterima atau dikabulkan sebagaimana lazimnya PERPU yang diajukan oleh
Presiden kepada DPR. Sebaliknya, jika PERPU diterima dan kemmudian menjadi UU yang
bersifat permanen, timbul pula masalah lain, karena Sebagian isinya jelas melanggar UUD
1945, seperti memberiperlakuan istimewa kepada petugas, sebaliknya mengenakan ancaman
sanksi yang sangat berat kepada pelanggar hukum yang melebih ketentuan undang-undang
dalam keadaan biasa. Bahkan PERPU No. 1 Tahun 2020 juga mengesampingkan atau
34
menagguhkan berlakunya begitu banyak ketentuan UU lain yang secara hukum hanya
mungkin dilakuan oelh suatu PERPU untuk dan dalam keadaan darurat sebagai pelaksanaan
Pasal 12 UUD 1945. Padahal PERPU No. 1 Tahun 2020 ini sama sekali tidak menjadikan Pasal
12 UUD 1945 sebagai rujukan atau acuan.
Oleh karena itu, pengaturan tentang pembatasan waktu, untuk pemberlakuan suatu
keadaan darurat yang memungkinkan pemerintahan darurat mengesampingkan keberlakuan
pasal-pasal UU atau bahkan pasal-pasal UUD untuk sementara waktu, mutlak harus dilakukan
dalam UUD atau dengan UU mengenai hal itu. Hal itu, sebagai pilihan dapat diatur dengan
UU yang tersendri sebagai penjabaran Pasal 12 UUD 1945, atau PERPU yang diberlakukan
untuk menetapkan dan sekaligus mengatur hal-hal di luar kebiasaan untuk mengatasi
keadaan darurat. UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sampai sekarang masih
berlaku, dan karenanya tetap masih harus dijadikan landasan hukum untuk memberlakukan
keadaan darurat. Namun, karena UU ini sudah sangat ketinggalan zaman, perlu segera
diadakan perubahan mendasar atau bahkan penggantian dengan undang-undang baru
berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah era reformasi. Sementara
itu, semua undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keadaan yang
dimaksud dengan keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945, sebaiknya diperbaiki dan
secara sadar dikaitkan dengan penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-
satunya pasal yang mengatur mengenai keadaan bahaya atau keadaan darurat sebagaimana
dikenal di seluruh dunia, dan juga dimuat dalam sebabian besar konstitusi-konstitusi negara
modern di dunia, sepanjang berkaitan dengan persoalan hukum keadaan darurat ini.
Dari pekbagai uraian di atas, dapat disimpulkan adanya dua an pembenar untuk
menyatakan pentingnya memuat ketentuan mengenai keadaan darurat dalam undang-
undang dasar. Pertama, di dalam sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik,
standar yang diperlukan untuk melindungi kebabasan dan hak asasi manusia dalam keadaan
darurat terlalu rumit untuk menjaga dan melestarikan prinsip-prinsip republic itu sendiri,
sehingga ketentuan mengenai hal ini harus dituangkan dalam hukum tertinggi, yaitu
konstitusi. Dalam sistem dikator, pengambilan keputusan cukup ditentukan oleh satu orang,
tetapi dalam sistem republic, suara rakyat tercermin dalam banyak orang yang mewakili
rakyat yang berdaulat, dan tercermin di banyak institusi bernegara yang cenderung lamban
dalam proses pengambilan keputusan. Seperti dicontohkan oleh Machiavelli dengan
pengalaman Republik Venesia (Venetian Republic, 697- 1797 AD) sesudah runtuhnya Romawi
kuno, karena banyaknya pihak yang mestinya terlibat daam proses pengambilan keputusan,
diperlukan pengaturan khusus yang memungkinkan pengambilan keputusan berlangsung
cepat tanpa harus melakukan konsultasi yang luas46. Karena itu, di negara republik yang
demokratis diperlukan pengaturan khusus mengenai keadaan berbahaya yang bersifat
darurat dan mendesak itu dalam konstitusi.
Namun, bagi Machiavelli, ada tidak pengaturan dalam konstitusi ini juga tidak bersifat
mutlak. Baginya, dalam suatu republik memang tidak seharusnya ada pemerintahan yang
bertindak sebagai dictator yang memerintah dengan cara di luar kebiasaan (exktraordinary).
Kalaupun terpaksa ada, maka hal itu, haruslah sudah diatur lebih dulu untuk membatasi
46 Machiavelli, supra note 2.
35
waktunya dengan pasti dengan metode yang di luar kebiasaan (extraordinary). Namun,
meskipun metode ini dapat dilakukan dengan baik di saat keadaan darurat, tetapi tidak
kurang contoh yang dapat dijadikan pelajaran, meskipun tujuannya baik, tetapi jika terus
dipakai, akan menghasilkan keburukan (evil). Karena itu, yang terpenting bagi Machiavelli
adalah kepastian bahwa negara republic harus siap untuk menghadapi keadaan normal
maupun keadaan tidak normal, meskipun hal itu tidak diatur langsung dalam konstitusi. Jika
suatu metode yang serupa tidak ada di republic, pilihannya adalah menerima kenyataan
bahwa insitusi-institusi negara akan merusak negara republik, atau agar tidak rusak, republik
lah yang mesti memecah institusi-institusi negara itu sehingga tidak membentuk diri menjadi
dictator sebagai penguasa tunggal. Karena itu, menurut Machiavelli, tidak akan ada republik
yang sempurna kecuali melengkapi diri dengan perangkat hukum konstitusi yang
menyediakan upaya perbaikan untuk setiap peristiwa dan keadaan, serta memperbaiki cara
menanganinya berdasarkan konstitusi.47 Dengan demikian, dalam republik dalam keadaan se-
darurat atau se-bahaya apapun, tetap tidak boleh ada tempat bagi penguasa diktator atau
yang semacamnya.
Kedua, pentingnya ketentuan mengenai pemerintahan darurat itu dimuat dalam
konstitusi untuk melindungi sistem hukum yang beroperasi rutin dalam keadaan normal dari
apa yang terjadi dalam keadaan darurat. Bagi kelompok dualis, dalam konstitusi memang
harus ada ketentuan yang dimuat mengenai dua sistem hukum sekaligus, yaitu sistem hukum
keadaan normal, dan sistem hukum keadaan abnormal. Yang pertama beroperasi dalam
keadaan normal utnuk melindungi kebebasan dan hak-hak asasi manusia, sedangkan yang
kedua yang cocok untuk berurusan dengan keadaan darurat. Karena itu, tidak ada tempat
lain yang lebih tepat untuk mewadahi pengaturan mengenai sistem hukum yang kedua ini,
kecuali seharusnya dalam UUD sebagai sumber hukum tertinggi dalam kegiatan bernegara.
Bahkan dalam pengalaman di zaman modern, seperti di republik Amerika Serikat,
sangat ditekankan bahwa fungsi pengendalian terhadap kekuasaan pemerintahan darurat itu
juga dikebangkan dalam praktik dengan dengan dilibatkannya lembaga legislatif dan lembaga
peradilan untuk semakin berperan dalam praktik, bahkan dalam keadaan darurat perang
sekalipun seperti terlihat dalam kasus Korematsu (1944) dan Richard Quirin (1942)48, dapat
berkembang sendiri konvensi ketatanegaraan atau menjadi semacam ekperimen mengenai
regulasi konstitusional mengenai keadaan darurat atau pemerintahan darurat ini berdasarkan
Konstitusi Amerika Serikat. Karena itu, sangat lah wajar dan alamiah jika di Amerika Serikat
praktik pemberlakuan keadaan darurat ini, apalagi hanya keadaan darurat sipil, sudah sangat
biasa dilakukan sebagai sesuatu yang rutin dan biasa-biasa saja, tanpa diiringi ketakutan akan
muncul tirani atau dikator konstitusional yang melampaui batas. Selama 44 tahun terakhir,
sejak berlakunya National Emergencies Act tahun 1976 sampai dengan sekarang tahun 2020,
di Amerika Serikat sudah ada 61 kali pemberlakuan keadaan daruat. Artinya, setiap Presiden
atau setiap tahun, tercatat ada 1,3 peristiwa pemberlakuan keadaan darurat di Amerika
Serikat.
47 J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal 233-235. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845. 48 Korematsu v. United States, 323 U.S. 214 (1944); Ex parte Quirin, 317 U.S. 1 (1942).
36
Lalu kenapa negara demokrasi konstitusional terbesar ketiga Republik Indonesia
sangat gamang dan takut dengan pemanfaatan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-
satunya pasal yang mengatur keadaan bahaya dalam sistem hukum Indonesia? Kemungkinan
jawaban atas pertanyaan ini, ada dua. Pertama, Sebagian terbesar sarjana hukum Indonesia,
termasuk para professorya terjebak ke dalam ketidakmengertian yang akut sehingga tidak
dapat membedakan antara rezim Hukum Tata Negara Normal dan rezim Hukum Tata Negara
Darurat. Hal itu tercermin dalam kenyataan bahwa di Indonesia, buku yang membahas
tentang Hukum Tata Negara Darurat, baru ada 2, yaitu (i) buku karya Prof. Herman
Sihombing, “Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia” yang Sebagian terbesar isinya
membahas mengenai UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Djambatan 1996),
dan (ii) buku saya, “Hukum Tata Negara Darurat” yang membahas pelbagai teori dan praktik
di Indonesia dan di negara lain, terbit pada tahun 2007. Hal ini menggambarkan bahwa
perhatian para sarjana hukum Indonesia terhadap masalah ini sangat rendah, sehingga wajar
jikalau pengetahuan mereka sangat terbatas untuk menjangkau pengertian-pengertian yang
seharusnya dikembangkan dalam kaitannya dengan keadaan bahaya atau keadaan darurat
menurut Pasal 12 UUD 1945.
Kedua, keadaan darurat sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1959 yang
berasal dari PERPU itu pada mulanya memang dibentuk dalam suasana perang dan konflik
bersenjata setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, isi kebijakan yang terdapat di
dalamnya sangat berbau perang dan bernuansa serba militer. Selama masa Orde Lama, dan
juga masa Orde Baru, keadaan darurat ini juga sering disalahgunakan untuk kepentingan
kekuasaan menurut tafsir penguasa sendiri. Karena itu, timbul trauma sejarah untuk
menerapkan UU No. 23 Tahun 1959 yang sudah sangat ketinggalan zaman itu. Apalagi
sesudah reformasi, UUD 1945 yang dijadikan referensi UU tentang Keadaan Bahaya itupun
sudah sangat jauh berubah. Trauma sejarah ini juga yang menyebabkan sehingga semua
undang-undang yang dibentuk sesudah masa reformasi, meskipun materi yang diaturnya
terkait dengan kekadaan darurat, tidak satupun yang menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai
rujukan. Dapat disebutkan mulai dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan,
UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantika Kesehatan, dan sampai yang terkahir PERPU No. 1
Tahun 2020, tidak satupun menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan. Padahal Pasal 12
adalah satu-satunya pasal yang mengatur keadaan bahaya dalam UUD 1945, tetapi justru
dihindari karena trauma, dan/atau sekaligus karena ketidakmengertian yang akut mengenai
rezim hukum keadaan darurat.
Ketentuan mengenai keadaan darurat dan pemerintahan darurat ini memang sudah
seharusnya dimuat dalam konstitusi dan dijadikan acuan dalam praktik. Dalam konstitusi,
sudah seharusnya keberadaan, keberlakuan dan beberjanya pemerintahan, sebelum, selama,
dan sesudah berakhirnya keadaan daruat itu dapat lebih dulu diatur dengan baik berdasarkan
hukum yang tertinggi. Apalagi, dalam praktik, pemerintahan darurat bukan saja dapat
mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya suatu undang-undang melainkan juga
dapat mengesampingkan dan menangguhkan keberlakukan undang-undang dasar, termasuk
jaminan-jaminan hak asasi manusia, kecuali hak asasi manusia yang termasuk ke dalam
kategori “non-derogable rights” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28i ayat (1) UUD
37
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik kecuali
memuat ketentuan mengenai hal ini langsung dalam Undang-Undang Dasar dan dijadikan
acuan dalam praktik setiap kali menghadapi keadaan yang memenuhi syarat untuk
dinyatakan atau dideklarasikan sebagai keadaan darurat atau keadaan bahaya. Dengan
demikian keadaan darurat dapat dihadapi dengan instrumen hukum keadaan darurat, dan
pelaksanaannya dapat dikendalikan dengan baik sehingga tidak disalahgunakan oleh
penguasa untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri.