bab ii tinjauan umum konsep hermeneutika a. mengurai asal...

66
34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL-USUL HERMENEUTIKA; PENGERTIAN DAN SEJARAHNYA Sejatinya, tidak mudah memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang terminologi hermeneutika hanya dalam satu-dua kalimat. Terlebih, Hermeneutika secara umum memposisikan diri secara definitif sebagai suatu teori dan/atau filsafat tentang interpretasi makna. 1 Posisi ini menjadi begitu urgen ketika ada kebutuhan untuk menempatkan teks (al-Qur’an) sebagai kitab suci yang mengandung ‘bejibun’ makna dan maksud dari penciptanya, yakni Tuhan. Sembari pada saat yang sama, al-Qur’an butuh lahan kontekstualisasi dan pembumian agar tetap “dihargai” oleh pembacanya, saat ini, maupun yang akan datang. Dari teks al-Qur’an, juga akan terus digali konsep hukum bagi penyelesaian problem kemanusiaan yang akan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syahrastani dalam bukunya yang berjudul al-Milal wa al-Nihal dengan adagiumnya yang terkenal: “teks-teks nash (al-Qur’an) itu terbatas sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas, oleh karena itu diperlukan ijtihad (termasuk proses hermeneutik) 1 Tulisan ini dikutip dari Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermenutics as Method, Philosophy, and Critique, London, Boston, and Henley: Routledhe & Kegan Paul, 1980, hlm. 1. lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, cet. I, hlm. 14.

Upload: phamhanh

Post on 10-Aug-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

34

BAB II

TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

A. MENGURAI ASAL-USUL HERMENEUTIKA; PENGERTIAN DAN

SEJARAHNYA

Sejatinya, tidak mudah memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang

terminologi hermeneutika hanya dalam satu-dua kalimat. Terlebih, Hermeneutika

secara umum memposisikan diri secara definitif sebagai suatu teori dan/atau

filsafat tentang interpretasi makna.1 Posisi ini menjadi begitu urgen ketika ada

kebutuhan untuk menempatkan teks (al-Qur’an) sebagai kitab suci yang

mengandung ‘bejibun’ makna dan maksud dari penciptanya, yakni Tuhan.

Sembari pada saat yang sama, al-Qur’an butuh lahan kontekstualisasi dan

pembumian agar tetap “dihargai” oleh pembacanya, saat ini, maupun yang akan

datang. Dari teks al-Qur’an, juga akan terus digali konsep hukum bagi

penyelesaian problem kemanusiaan yang akan selalu berkembang dari waktu ke

waktu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syahrastani dalam bukunya yang

berjudul al-Milal wa al-Nihal dengan adagiumnya yang terkenal: “teks-teks nash

(al-Qur’an) itu terbatas sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi

tidak terbatas, oleh karena itu diperlukan ijtihad (termasuk proses hermeneutik)

1 Tulisan ini dikutip dari Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermenutics as Method, Philosophy, and Critique, London, Boston, and Henley: Routledhe & Kegan Paul, 1980, hlm. 1. lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, cet. I, hlm. 14.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

35

untuk menginterpretasi nash yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak

dikemukakan secara eksplisit dalam nash dapat dicari pemecahannya.”2 Maka

dari itu, untuk menangkap dan mendapatkan pesan dari Allah berwujud al-Qur’an

secara utuh dan komprehensif, tentu saja membutuhkan perangkat dan metode

yang komprehensif pula.

Inilah yang akan kita sebut selanjutnya dalam pembahasan ini sebagai

metode atau teori yang hangat akhir-akhir ini diperbincangkan: hermeneutika,

sebuah metode dan/atau teori filsafat yang digunakan untuk menganalisis dan

memecah kebuntuan tafsir, agar kemudian teks bisa dipahami secara benar dan

komprehensif lagi membebaskan.

Secara bahasa, akar kata Hermeneutika merujuk pada bahasa para filosuf

kuno, Yunani: hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan)

dan hermeneia (penafsiran atau interpretasi).3 Hermeneuein memposisikan diri

sebagai kata kerja, sementara hermeneia merepresentasikan diri sebagai kata

benda.

Istilah hermeneueine dan hermeneia dalam berbagai bentuknya dapat

dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunanai Kuno, seperti

2 Dikutip dari Abd. Salam Arief dalam Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta: Lesfi, 2003, hlm. 15.

3 Abd. Salam Arief, Ibid, lihat juga Richard E. Palmer, Hermeneutics: interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthy, Heidegger, and Gadamer, terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet. I. hlm. 14. Lihat juga Moh. Ali Topan dalam makalahnya berjudul Memahami Metode Hermeneutik dalam Studi Arsitektur dan Kota, (www.islamlib.com), 2003.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

36

“Organon” karya Aristoteles4 yang didalamnya terdapat risalah terkenal pada bab

logika proposisi yang bertajuk “Peri Hermeneias” (tentang penafsiran). Ia juga

digunakan dengan bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus, juga terdapat

dalam karya Plato5 yang (dalam bahasanya) menyebut para penyair kala itu

dengan sebutan hermenes (penafsir) para Tuhan.6 Kemudian, varian

pemahamannya saat itu berkembang pesat oleh ‘sentuhan pena’ para penulis kuno

terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan

Longinus7 yang mencurahkan nuansa makna hermeneutika pada signifikansi

modern, khususnya pada sastra dan interpretasi kitab suci (baca: bibel).

Masih dalam kerangka pemahaman bahasa, istilah Hermenutika seringkali

diasosiasikan dengan kata Hermez8, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani,

4 Aristoteles (384 SM – 322 SM) adalah murid plato yang mengajarkan hakikat tentang ada, ia membedakan ada menjadi dua: yang primer dan sekunder. Ia juga mengatakan bahwa tugas ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki, yang menurutnya ada 4 penyebab: penyebab material (material cause); penyebab formal (formal cause); penyebab efisien (efficient cause); dan penyebab final (final cause). Lebih jelas lihat Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. IV, hlm. 59-65.

5 Plato (428 SM – 348 SM) adalah murid Socrates yang meneruskan tradisi dialog dalam filsafat. Ia dikenal sebagai filosof dualisme, artinya ia mengakui adanya dua kenyataan yangterpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan (inderawi). Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi, di dalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia bayangan (inderawi) adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indera. Lebih jelas Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, ibid, hlm 63

6 Lihat Alireza Alatas dalam makalahnya yang berjudul Menimbang Pandangan Hermeneutika, dalam situs www.islamalternatif.com. Himpunan Pelajar Islam Iran/HPI, 2005, di download pada sabtu, 15 Oktober 2005.

7 Richard E.Palmer, op.cit8 Dalam berbagai literatur sebagaian besar menyebutkan bahwa Hermes adalah bentuk bentuk

dari mitologi Yunani yang mencitrakan diri sebagai Dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa (suara langit) kepada manusia (bumi). Oleh karenanya Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menerjemahkan sebuah pesan ke dalam bahasa yuang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

37

dimana (dimaknai) sebagai utusan “Tuhan Perbatasan”. Tepatnya, Hermez

diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia

ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di sinilah terjadi

mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat

intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami.9

Sehingga, para sarjana ilmu-ilmu al-Qur’an memahami kata tersebut

(baca: hermez) mempunyai tiga gradasi (tingkatan) prinsip interpretasi, yang

dapat menunjukkan variabel kegiatan manusia dalam proses pemahaman, yakni:10

(1). Matan atau teks atau tanda (sign), yakni pesan yang muncul dari sumbernya,

yang diasosiasikan sebagai pesan/teks yang di bawa oleh Hermez; (2). Perantara,

yakni penafsir (hermez), dan (3). Perpindahan pesan ke pendengar (lawan bicara).

Dari ketiga gradasi prinsip tersebut di atas, kita akan bisa meraba, bahwa

proses sirkulasi tafsir akan segera dilakukan tatkala telah lengkap perangkatnya:

teks (sign) selaku sumber hukum dari Tuhan, kemudian si-penafsir sebagai

pembaca teks, dan pendengarnya sebagai proses pemindahan pesan dari Tuhan,

pembaca hingga audiens teks tersebut turun (hadir). Dari sini, diketahui bahwa

hermeneutika seringkali digunakan untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum

Secara teologis, peran hermes ini bisa dinisbatkan sebagai mana peran nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotesis menarik, bahwa Hermes tersebut tak lain adalah nabi Idris AS yang disebut dalam al-Qur’an, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, op.cit, hlm 14, lihat juga E. Sumaryono, Hermeneutika: sebuah Metode Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 23

9 Richard E.Palmer, op.ci.t10 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 23. lihat juga Fahrudin Faiz, Hermeneutika

al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ, Press, 2005, hlm. 4, lihat juga tulisan Alireza Alatas dalam makalahnya yang berjudul Menimbang Pandangan Hermeneutika, op.cit.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

38

penafsiran sehingga dengan bantuan metode penafsiran yang benar, dapat

menghindarkan diri dari distorsi makna.

Dari kerangka tersebut, kemudian muncul pemahaman bahwa kata

hermeneutika yang diambil dari peran Hermes merupakan sebuah ilmu atau seni

menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu,

hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari (mengungkap,

menyingkap) makna, rasional dan dapat diuji, dalam hal ini kita akan menemukan

prinsip hermeneutika sebagai sebuah metode yang erat terkait dengan bahasa.

Sampai di sini, Richard E. Palmer dalam karyanya yang berjudul

Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthy, Heidegger, and

Gadamer menjelaskan bahwa bahasa merupakan mediasi yang paling sempurna

dalam proses (interpretasi). Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami”

yang diasosiasikan dengan Hermez ini terkandung di dalam semua tiga bentuk

makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga

bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein, yaitu: (1).

Mengungkapkan11 (to exprees, untuk mengekspresikan) kata-kata, misalnya, “to

11 Bentuk dasar makna pertama dari herme>neuein adalah “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan) atau “to say” (menyatakan). Ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermez.

Signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa latin seimo, “to say” (menyatakan). Dan bahasa Latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, di dalam memberitakan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan” sesuatu; fungsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan (proclaim). Utusan, seperti hlmnya Hermes, dan seperti pendeta di Delphi, (atau dalam islam: Rasul/Nabi), membawa keimanan yang diturunkan dari Tuhan. di dalam “perkataan” atau pernyataannya, ia, seperti Hermes, “berada di antara” Tuhan dan manusia. Bahkan secara sederhana perkataan, pernyataan, atau penegasan merupakan bentuk penting dari “interpretasi”.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

39

say”; (2). Menjelaskan,12 (to explain) seperti menjelaskan sebuah situasi; (3).

Menerjemahkan (to translate), seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga

makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris “to interpret”, namun

masing-masing ketiga makna itu membetuk sebuah makna independen dan

signifikan bagi interpretasi. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu kepada

tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan

transliterasi dari bahasa lain.13

Hanya saja kita bisa mencatat bahwa secara prinsip “proses Hermez”

sedang berfungsi dalam ketiga persoalan itu, sesuatu yang asing, ganjil, waktu

yang berbeda, tempat atau pengalaman nyata, hadir, komprehensif; sesuatu yang

memerlukan representasi, eksplanasi, transliterasi yang bagaimanapun juga

“mengarah pada pemahaman”—“diinterpretasi”.14 Dalam bahasa Zygmunt

Baumann, dijelaskan bahwa hermeneutika menjadi upaya menjelaskan dan

menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak

jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan

12 Arti makna kedua dari kata herme>neuein adalah “to explain”, menjelaskan. Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi ekspresif. Hlm yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu saja (meskipun hlm ini juga terjadi dan ini merupakan tindakan utama interpretasi);menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. seseorang dapat mengekspresikannya merupakan interpretasi, dan menjelaskannya juga merupakan bentuk “interpretasi”.

13 Lihat dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 24-25.

14 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Ibid, hlm. 16.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

40

bagi pendengar atau pembaca.15 Atau dalam pemahaman lain, fungsi

hermeneutika adalah untuk membawa sesuatu yang asing (unfamiliar), jauh

(distant), dan tidak jelas maknanya (obscure in meaning), menjadi nyata, dekat

dan jelas maknanya (intelligible).16

Palmer kembali menambahkan, baik dalam bahasa Yunani, maupun dalam

bahasa Inggris, tiga pengertian mengenai hermeneutika di atas kemudian

dirangkum dalam pengertian “menafsirkan” (interpreting, understanding). Hal ini

karena segala sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan,

penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan bahasa, pada dasarnya

mengandung proses “memberi pemahaman” atau, dengan kata lain,

“menafsirkannya”17

Kemudian, lebih jauh lagi, jika kita lihat pelbagai literatur hermeneutika

modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional,

dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih

dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis

berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang

perbincangan tentang teori penafsiran atau filsafat penafsiran yang lazim

dipahami dalam terminologi hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar

15 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an; Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005, hlm. 5

16 Abdul Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an, makalah ini disampaikan dalam acara “Pendidikan Islam Emansipatoris”, kerja bareng antara P3M Jakarta dan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 April 2003, yang bertempat di Ma’had Aliy Sukorejo Asembagus Situbondo.

17 Lihat dalam Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 24.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

41

aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai

aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan

ber-exegesis.

Sementara itu, merujuk berbagai diskursus yang berkembang dalam

filsafat kontemporer, di samping hermeneutika mempunyai kedekatan terminologi

dengan eksegetis, hermeneutika pula pada umumnya dapat juga didefinisikan

sebagai disiplin yang berkenanaan dengan “teori tentang penafsiran”. Istilah teori

di sini tidak dapat semata-mata diartikan sebagai Kuntslehre, sebuah istilah yang

digunakan Schleiermacher untuk menunjukkan suatu eksposisi metodologis

tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran teks-teks. Akan tetapi, istilah

teori juga merujuk kepada “filsafat” dalam pengertian yang lebih luas karena

tercakup di dalamnya tugas-tugas menganalisis segala fenomena dasariah dalam

proses penafsiran atau pemahaman manusia. Jika yang pertama lebih bersifat

teknis dan normatif, maka yang terakhir ini meletakkan hermeneutika secara lebih

filosofis, kalau bukan menganggapnya filsafat itu sendiri.

Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan

perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran,

menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus

dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Oleh karena

itu, hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan adanya kebenaran di balik

teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut, dibutuhkan metode-metode

penafsiran yang relatif memadai.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

42

Sementara itu, hermeneutka dalam pengertian filsafat pertama-tama bukan

berurusan dengan tetek-bengek kebenaran sebuah penafsiran dan cara-cara

memperoleh kebenaran tersebut. Ia lebih kompeten memperbincangkan hakikat

penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul sebagai suatu kebenaran,

atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar. Di sini hermeneutika

menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan

bagaimana hasil pemahaman tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan

disanggah. Gadamer dalam bahasa yang lebih tegas mendeklarasikan bahwa

hermeneutika bertugas merefleksikan “segala cara manusia memahami dunia dan

bentuk-bentuk ungkapan pemahaman tersebut”.18

Dari kerangka penjelasan di atas, dapat kita simpulkan secara tentatif

bahwa hermeneutika adalah disiplin yang relatif luas mengenai teori penafsiran.

Ia mencakup metode penafsiran dan filsafat penafsiran sekaligus. Bahkan

sebelum berkembang sebagai suatu disiplin yang mandiri sebagaimana akan

dipaparkan di bagian berikut ini, ia disebut-sebut sebagai seni memahami atau

teknik praktik penafsiran.

Kita telah sedikit mendapatkan pengertian bagaimana pemahaman

hermeneutika baik dari sisi bahasa, istilah dan varian-varian yang menyembul

diantaranya. Untuk selanjutnya, kita akan coba ‘menanyakan’ pada Farid Esack

sendiri yang (dalam hal ini) merujuk Carl Braaten, bahwa hermeneutika adalah

the science of reflecting on how a word or an event in past time and culture may

18 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 131.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

43

be understood and become existianlly meaningful in our present situation.19

Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah

kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan

menjadi bermakna secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Proses ini,

ujar Braaten, melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran

maupun asumsi-asumsi epistemologis tentang pemahaman.

Sementara Rudolf Bultman sebagaimana dikutip dalam tulisan Abdul

Moqsith Ghazalli, menyatakan the term hermeneutics is generally used to

discrible the attempt to span the gap between past and present. Yang bermaksud,

biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan

masa kini.20 Paul Ricoeur selanjutnya menemukan inovasi pemaknaan yang lebih

jauh dari sekedar jembatan makna antara jurang masa lalu dengan masa kini,

yakni meletakkan hermeneutika lebih banyak berkaitan dengan proses interpretasi

teks; teks (yang dimaksud dalam pemahamannya) sebagai “setiap diskursus yang

ditetapkan dalam bentuk tulisan” (any discouce fixed into writing). Hermeneutika

dipakai sebagai metode pembacaan atas teks dalam kerangka untuk menemukan

dimensi-dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan sebelumnya,

bahkan yang dimaksudkan oleh makna awalnya.

19 Lihat Farid Esack, Qur’an liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, London: One World Oxford, 1997, terj. Edisi Indonesia, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 82-83.

20 Abdul Moqsith Ghazali, op.cit.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

44

Sebagai sebuah pendekatan, tentu hermeneutika menyadari sepenuhnya

bahwa untuk menangkap makna sebuah teks tidak bisa hanya dengan

mengandalkan pemahaman dari sudut gramatika bahasa semata seperti yang

dijelaskan oleh F. Budi Hardiman di muka, melainkan juga memerlukan data dan

pemahaman konteks sosial dari teks tersebut. Pemahaman yang lebih tepat dan

berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwa

kitab suci tidak sekadar “bundelan” teks mati, tetapi selalu merupakan sesuatu

yang bertali-temali dengan satu tradisi yang sedang berlangsung. Yaitu

berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat sebagai pembacanya.21 Di

sinilah berjalan asumsi yang menyiratkan bahwa hermeneutika bersifat “plural”.

“Pluralitas” yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber

dari keragaman konteks hidup manusia. Sebenarnya kesadaran akan pluralitas

pemahaman yang disebabkan oleh perbedaan konteks ini telah muncul sejak lama

dalam tradisi intelektual-filosofis, misalnya dalam pebedaan antara nomena-

fenomena dari Immanuel Kant.

Maka kemudian, dalam logika hermeneutika akan meniscayakan beberapa

pertanyaan kritis-mendasar: bagaimana orang memaknai sebuah teks? Apakah

orang yang berbeda punya pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama?

21 Nashr Hamid Abu Zayd menegaskan bahwa teks al-Qur’an sendiri pun pada dasarnya adalah produk kebudayaan, dalam pengertian; teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rendang waktu lebih dari dua puluh tahun. tatkala tuhan meminjam bahasa manusia untuk menyampaikan gagasan-gagasan-Nya kepada masyarakat Arab waktu itu, maka pada saat itulah al-Qur’an sebagai kalam Tuhan berada dalam jaring-jaring kebudayaan. Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, an-Nash, as-Sulthah, al-Haqiqah, terj. Teks Otoritas Kebenaran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. vi. lihat juga Syafiq Hasyim, Pemikiran Islam Kontemporer, Potret “Dissedent Muslim Thinkers”, makalah lihat dalam situs Islam emansipatoris (www.islamemansipatoris.com)

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

45

Bagaimana dengan orang yang sama dalam latar keadaan yang berbeda? dan, Apa

itu teks? Itulah pemahaman terahadap teks yang menimbang adanya konteks,

keduanya akan saling berpengaruh dalam menghadirkan sebuah tafsir.

Di sinilah inti dari kerja-kerja hermeneutika, pemahaman dengan

menimbang konteks ‘yang dipahami’ dan pelacakan terhadap apa saja yang

mempengaruhi sebuah pemahaman sehingga menghasilkan keragaman. Visi

besarnya, kita akan mengungkap bagaimana suasana psikologis dan sosio historis

(wacana) sebuah teks (al-Kitab, al-Qur’an dan sebagainya, termasuk teks-teks

keislamana saat ini). Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan

Ferdinand de Saussure22—seorang ahli bahasa asal Swiss—adalah hubungan yang

dialektis antara teks dan wacana. Ahmad Fuad Fanani juga ikut membahasakan

bahwa dengan metode hermeneutika maka subtillitas intelegendi (ketepatan

pemahaman) dan subtillitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan al-

Qur’an dapat tercapai dan ditelusuri secara komprehensif.23

Itu semua akan kita dapatkan sebagai buah manfaat metodologi

hermeneutika sebagai ilmu tafsir yang mempunyai nilai lebih dalam mengungkap

makna-makna tersembunyi dalam setiap teks, termasuk al-Qur’an yang

didalamnya terkandung makna hukum, maupun teks-teks keislaman lainnya

(sekunder dan tersier).

22 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 199523 Lihat Ahmad Fuad Fanani dalam Metode Hermenutika untuk al-Qur’an, dalam

www.islamlib.com, makalah tidak diterbitkan.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

46

Selanjutnya, konsep hermeneutika perspektif histories. Terlebih dahulu,

penulis mengutip apa yang ditulis oleh Abd. Moqsith Ghazali, bahwa sebagai

sebuah teks, al-Qur’an (awalnya) adalah bungkam, sedangkan yang

membunyikan (kemudian) adalah manusia sebagai pembacanya (al-nash la

yanthiqu wa lakin yunthiquhu al-rijal).24 Ini artinya, pada periode-periode awal,

kaum muslim awal—yang dipahami sebagai era sejak Nabi Muhammad SAW—

telah mengajak umat Muslim saat itu untuk memahami (‘membunyikan’,

membumikan) pepesan Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an secara benar dan

kontekstual. Maka kemudian muncul seperangkat ilmu-ilmu pemahaman (tafsir

teks) yang dari percikannya menyembulkan tema-tema hermeneutis seperti

munasabah, asbab nuzul dll yang bermaksud untuk menemukan makna yang

sesungguhnya.

Tentang pedoman dalam memahami—teks yang secara gradual menjadi

pemahaman terhadap nash—ini telah mengalami perkembangan sejak ulama

Ushul mulai mengembangkan metodologi generik untuk memahami teks al-

Qur'an, khususnya dalam kandungan hukumnya. Imam Al Syafi'i adalah salah

satu ulama yang menggagas ilmu ini. Maraknya perkembangan metode kajian

teks secara tekstual—sekadar untuk membedakannya dengan metode ta'wil—ini

mendorong munculnya disiplin kajian teks dari sisi kedalaman yang berwatak

retoris. Mereka mencoba mengungkap makna teks dari yang tidak terkatakan

24 Abd Moqsith Ghazali, ibid.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

47

melalui "retorika ijtihadiyah", reflektif, berdasarkan pembacaan-pembacaan

terhadap tanda yang hakiki dan majazi.25

Farid Esack sendiri menuliskan bahwa kaum Muslimin memang telah

sejak awal memahami arti pentingya metode penafsiran (baca: hermeneutika)

terhadap al-Qur’an, sembari mereka menyadari bahwa ada ketidakpastian yang

senantiasa menyertai kerja-kerja penafsiran. Dalam perang Shiffin (657), para

pendukung Mu’awiyah (yang wafat 680) memohon agar perselisihan dan

permusuhan mereka dengan ’Ali Ibn Abi Thalib (wafat 661) diselesaikan dengan

menjadikan al-Qur’an sebagi penengah. Kata-kata Ali di bawah ini merefleksikan

dilema yang dihadapi oleh umat Muslim yang berkomitmen terhadap al-Qur’an:

Ketika Mu’awiyah mengajakku untuk merujuk kepada al-Qur’an dalam membut suatu keputusan, aku tak sanggup memalingkan wajahku dari kitab Allah itu. Allah yang maha kuasa berfirman bahwa “jika kamu berselisih tengan sesuatu, kembalikan kepada allah dan utusan-Nya”. [Akan tetapi], inilah al-Qur’an itu, yang ditulis dengan sebenar-benarnya, dan berdiri di antara dua pihak; namun ia tak berbicara dengan lidahnya; ia butuh penafsir dan para penafsir adalah manusia (tulisan ini dikutip Esack dalam al-Razi 1979, hal. 248).26

a. Perkembangan Teori (Hermeneutika)

Karenanya, kita bisa memahami, bahwa hermeneutika sebagai metode

penafsiran (hermeneutical theory), dalam sejarahnya telah muncul lebih awal

daripada hermeneutika dalam pengertian filsafat pemahaman (hermeneutical

philosophy).27 Meskipun baru berkembang luas sejak abad ke-17,

hermeneutika sebagai metode dapat dilacak kemunculannya paling tidak sejak

25 lihat Tedi Kholiludin, Melawan Hegemoni Wahyu; Akal Wahyu dan Kebebasan Berpikir, dalam Jurnal Justisia edisi 27 tahun XII 2005, hlm. 2

26 Lihat Farid Esack, op.cit, hlm. 81-82 27 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 26.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

48

periode Patristik28, jika bukan pada filsafat Stoik29 yang mengembangkan

penafsiran alegoris terhadap mitos, atau bahkan pada tradisi sastra Yunani

kuno. Hanya saja model hermeneutika sebelum abad ke-17 tersebut, di

samping belum memperkenalkan istilah hermeneutika secara definitif, juga

belum direfleksikan secara filosofis. Hermeneutika yang dikembangkan pada

masa-masa itu bahkan lebih menyerupai “seni” ketimbang metode-metode

dalam pengertian filsafat modern30. Untuk lebih jelasnya, kita akan membagi

babakan sejarah perkembangan (teori) hermeneutika menjadi enam babakan

berikut ini:31

1. Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci

28 Patristik berasal dari akar kata Latin, Pater, yang berarti Bapa. Yang dimaksud adalah para bapa Gereja. Jadi patristik lebih ditekankan pada filsafat Kristen yang konfontatif dengan filsafat Yunani pada abad ke 7-8. Zaman patristik adalah zaman dimana mulai muncul para pemikir dari agama Kristen. Para pemikir Kristen pada zamana ini mengambil sikap yang bermacam-macam, ada yang menolak sama sekali filsafat yunani, karena dipandang sebagai pemikiran manusia semata-mata, yang setelah ada wahyu ilahi dianggap tidak diperlukan lagi, bahkan berbahaya bagi iman kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima (filsafat Yunani), karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi injil. Lihat dalam Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, cet. 12, hlm. 70.

29 Aliran filsafat Stoik, muncul di Athena sekitar 300 SM. Pendirinya adalah Zeno, yang aslinya berasal dari Syprus dan bergabung dengan kaum Sinis di Athena setelah kapalnya karam. Dia sering mengumpulkan para pengikutnya di bawah serambi. Nama 'Stoik' berasal dari kata Yunani yang berarti serambi (stoa). Stoikisme di kemudian hari mempunyai pengaruh besar pada kebudayaan Romawi. kaum Stoik benar-benar 'kosmopolitan', dalam pengertian bahwa mereka lebih mudah menerima kebudayaan kontemporer dibanding 'para filosof tong' (kaum Sinis). Mereka memberi perhatian pada persahabatan manusia, sibuk dengan politik, dan kebanyakan dari mereka, terutama Kaisar Romawi, Marcus Aurelius (121-180 M) adalah negarawan yang aktif. Mereka mendorong berkembangnya kebudayaan dan filsafat Yunani di Romawi, dan salah seorang tokoh yang paling menonjol di antara mereka adalah sang orator, filosof, dan negarawan, Cicero (106-43 SM). Dialah yang membentuk konsep 'humanisme' yaitu suatu pandangan hidup yang menempatkan individu sebagai fokus utamanya. Lihat dalam Pikiran Rakyat Cyber Media, 2002.

30 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 2731 lihat pembagian babakan perkembangan heremeneutika ini dalam karya Nafisul Atho’ dan

Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 18.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

49

Istilah hermeneutika muncul secara definitif pertama kali dalam

karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus

Exponendarums Sacrarum Litterarum yang terbit pada tahun 1654.32

Hanya saja, berbeda dengan pengertian dan lingkup studi kontemporer

mengenai hermeneutika, buku tersebut terbatas pada pembicaraan tentang

metode menafsirkan teks-teks bibel.33 Dalam buku tersebut pula

ditampilkan pembahasan mengenai perbedaan antara hermeneutika

dengan eksegese, sebagaimana dibedakannya metodologi dengan

penerapannya.34 Era ini menjadi periode awal bagaimana hermeneutika

dijadikan sebagai teori penafsiran terhadap kitab-kitab suci, sekaligus

banyak orang yang mengenal dan memahami hermeneutika adalah

berawal dari era ini (hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci).

2. Hermeneutika sebagai Metodologi Filologi

32 Dari judul buku tersebut Ricard E. Palmer menuliskan: “… seseorang dapat menyimpulkan bahwa hermeneutika sebagai metodologi interpretasi dibedakan dari penafsiran distingsi antara komentar aktual (eksegesis) dan kaidah-kaidah, metode, atau teori yang membimbingnya (hermeneutika) berasal dari penggunaannya yang paling awal dan masih menjadi dasar bagi pendefinisian hermeneutika baik dalam teologi maupun, ketika definisi tersebut diperluas belakangan, dalam kaitan dengan literatur non-biblis (termasuk al-Qur’an dan teks keislaman lain, pen).” Lihat Muhammad Ata’ al-Sid, the Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic History, terj. Ilham B. Saenong, Sejarah Kalam Tuhan; Kaum Beriman Menalar al-Qur’an Masa Nabi, Klasik dan Modern, Jakarta: Teraju, 2004, cet. I, hlm. 12. lihat juga Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, ibid.

33 Richard E.Palmer, op.cit, hlm. 34. 34 Eksegese dipahami sebagai komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika

adalah metodologi yang dipakai dalam ber-eksegese. Eksegese memunculkan permasalahan hermeneutika karena setiap pembacaan kembali sebuah teks selalu mengambil tempat di dalam suatu komunitas tertentu. Tema tentang eksegetik juga dapat dijumpai dalam pemikiran Esack, lihat dalam tulisannya, Farid Escak, The Qur’an and The Other, from Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts Oppression, 1997, http://uk.geocities.com/faridesack/

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

50

Ketika rasionalisme berkembang dengan pesat dan seiring dengan

perkembangan tersebut, filologi klasik berkembang pada abad pencerahan,

pada saat itu pula terjadi perkembangan besar dalam penafsiran kitab suci

(bible). Aliran “gramatis dan “historis” mengafirmasikan dan

mengintrodusir metode historis kritis dalam menafsirkan kitab suci. Pada

tahun 1761, Ernesti mengumandangkan gagasan bahwa pegertian verbal

kitab suci haruslah tunduk di bawah aturan yang sama dengan yang

diterapkan pada teks lainnya. Metode hermeneutika kitab suci menjadi

tidak berbeda dengan teori penafsiran teks lain, yakni filologi klasik.

Kajian tentang hal ini dikembangkan oleh Schleiermacher pada abad ke-

19, juga oleh dua tokoh yang hidup se-zaman dengan Schleiermacher

yaitu Frederich August dan Frederich Ast.35 Oleh Schleiermacher,

hermeneutika dimaksudkan sebagai usaha untuk mengangkat filologi

klasik dan segala disiplin penafsiran lainnya kepada level Kunstlehre,

yakni kumpulan metode yang tidak terbatas pada kegiatan penafsiran yang

parsial dengan membawa disiplin ini kepada perumusan prinsip-prinsip

penafsiran yang lebih bersifat umum.

3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik

Schleiermacher kemudian memperjelas eksistensi hermeneutika

sebagai sebuah ilmu atau seni pemahamn. Konsepsi hermeneutika seperti

ini memiliki pengaruh terhadap kritik radikal dari sudut pandang filologi,

35 Richard E.Palmer, op.cit, hlm. 34.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

51

karena ia melampaui batas konsepsi hermeneutika sebagai suatu agregat

peraturan-peraturan dan membuat hermeneutika menjadi koheren secara

sistemik, suatu ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi bagi suatu

pemahaman di dalam semua dialog. Hasilnya bukan sekadar hermeneutika

filologis, tetapi suatu “hermeneutika umum” yang prinsip-prinsipnya

dapat menjadi dasar bagi semua bentuk interpretasi teks. Konsepsi

“hermeneutika umum” ini menandai berawalnya hermeneutika non-

disipliner yang signifikan bagi diskusi kontemporer.36

4. Hermeneutika sebagai Dasar Metodologis Ilmu-Ilmu Sejarah

Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof Jerman yang cukup

terkenal di penghujung abad ke-19 yang menulis biografi Schleiermacher.

Perhatiannya pada sejarah lebih banyak memadukannya dengan filsafat

untuk maksud mengembangankan suatu pandangan filologis yang

integral-komprehensif dan tidak terjaring oleh dogma metafisika serta

tidak ditenggelamkan oleh prasangka. Hermeneutika pada dasarnya

bersifat menyejarah. Artinya, makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada

suatu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.

Sehingga interpretasi pun seperti benda cair yang tidak pernah ada suatu

kanon (hukum) atau aturan untuk interpretasi.

Hermeneutika sebagai dasar metodologis ilmu sejarah dapat dilihat

seperti peristiwa sejarah yang dapat dipahami dengan tiga proses.

36 Ibid. hlm, 38-40

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

52

Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli. Kedua,

memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara

langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah, dan ketiga, menilai

peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan-gagasan yang berlaku

pada saat sejarawan itu hidup. Maka sejarah dapat ditemukan dalam

sistem hubungan dinamis yang saling tumpang tindih dalam proses

sejarah, dan oleh karenanya semua peristiwa sejarah harus diinterpretasi

ulang dalam setiap generasi.

Di era ini Dilthey mengembangkan disiplin hermeneutika secara

lebih dalam dengan menjadikan sebagai fondasi metodologis bagi ilmu-

ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften). Ia dalam hal ini merumuskan

metode verstehen (memahami) yang spesifik bagi ilmu sosial dan budaya

yang berbeda dengan erkleren (menjelaskan) yang lazim dalam ilmu-ilmu

alam. Menurutnya, fenomena sosial bersifat ekuivok dan

multidimensionel sehingga hanya dapat ”dipahami” dan bukannya

“dijelaskan”. Karena yang terakhir ini hanya cocok untuk mengetahui dan

memanipulasi fenomena-fenomena alam yang bersifat univok.37

5. Hermeneutika sebagai Fomenologi Dasein dan Pemahaman

Eksistensial

Hermeneutika sebagai “hermenutika dasein” merupakan

hermeneutika yang tidak terikat dengan ilmu atau peraturan interpretasi

37 Ilham B. Saenong, op.cit

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

53

teks, dan juga tidak terkait dengan metodologi bagi ilmu sejarah

(humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomenologis dari cara

beradanya. Martin Heidegger membawa metode ini sebagai rujukan dari

metode fenomenologi Edmund Husserl. Lebih lanjut ia mengatakan

bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi

manusia.

Usaha Heidegger ini memperoleh respon positif dari Gadamer

dengan mengembangkan secara sistemik hermeneutika filosofis. Gadamer

mengkaitkan hermeneutika dengan estetika dan filsafat tentang

pemahaman historis, hermeneutika dalam konteks ini telah dibawa satu

langkah masuk ke dalam wilayah “linguistik” dengan ungkapan Gadamer

yang kontroversial: “ada yang dapat dipahami yakni bahasa”.

Hermeneutika adalah perjumpaan dengan being melalui bahasa.

6. Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran

Paul Ricoeur mengulang kembali definisi hermeneutika sebagai

teori penafsiran (eksegesis) tekstual. Bagi Ricoeur, hermeneutika adalah

teori tentang peraturan yang menentukan suatu eksegesis, interpretasi

suatu bagian teks atau kumpulan tanda yang dapat dianggap sebagai

sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang bertolak dari isi

dan makna yang tampak, kepada makna yang tersembunyi. Obyek

interpretasi adalah teks dalam pengertian luas, yang mencakup simbol-

simbol mimpi, mitos dan simbol masyarakat atau literatur. Dalam konteks

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

54

ini Ricoeur meminjam analisis psikoanalisisnya Sigmund Freud. Dengan

hermeneutika ini, Ricoeur ingin membongkar kendala-kendala

hermeneutis dalam mitos dan simbol serta secara reflektif

mensistematisasi realitas di balik bahasa, simbol, dan mitos.

Dalam perkembangan mutakhir pasca-Dilthey, hermeneutika

mengalami pergeseran penting dari fungsinya sebagai metode pemahaman

dan pencarian kebenaran yang merepresentasikan cara kerja epistemologi

kepada kecenderungan baru sebagai sebuah filsafat dengan titik

penekannya pada aspek ontologis dalam pemahaman. Di sini

hermeneutika lebih concern dalam merefleksikan fenomena dasariah yang

terjadi dalam proses penafsiran. Kecenderungan baru tersebut muncul,

sebagaimana yang tampak dalam karya Martin Heidegger dan Hans-Georg

Gadamer, dengan suatu pendirian kuat bahwa hermeneutika tidak semata-

mata berkaitan dengan metode yang selama ini dianggap menentukan

benar-salahnya sebuah penafsiran. Tapi, hermeneutika justru harus

merefleksikan apa-apa yang berada di balik berbagai metode dan

keterbatasan setiap klaim kebenaran pemahaman manusia.38

Keenam batasan perkembangan hermeneutika tersebut secara

umum saling terkait dan bahkan seringkali tumpang tindih. Dalam

perkembangannya, terjadi polarisasi dalam (teori) hermeneutika

kontemporer. Polarisasi ini menurut Palmer yang dikutip oleh Nafisul

38 Ilham B. Saenong, op.cit

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

55

Atto’ terjadi antara dua tradisi; pertama tradisi hermeneutika

Schleiermacher dan Dilthey serta para pengikutnya yang memandang

hermeneutika sebagai general body dari prinsip-prinsip metodologis yang

mendasari penafsiran; kedua, tradisi hermeneutika Heidegger dan para

pengikutnya yang melihat hermeneutika sebagai suatu eksplorasi filosofis

dari karakter dan syarat-syarat (kondisi) yang diperlukan bagi suatu

pemahaman.

Fazlur Rahman kemudian memberikan istilah polarisasi tersebut

dengan “aliran objektivitas” dan “aliran subjektivitas”.39 Representasi

polarisasi kedua tradisi tersebut adalah polemik antara Emilio Betti dan

H.G Gadamer. Betti memihak pada tradisi objektifis, sementara Gadamer

memihak tradisi subjektifis. Betti bertujuan meletakkan suatu teori umum

tentang bagaimana “objektivasi” pengalaman manusia dapat ditafsirakan.

Dia menekankan otonomi objek interpretasi dan mungkinnya

“Objektivitas” dalam membuat suatu interpretasi yang valid. Sedangkan

Gadamer mengarahkan pemikirannya pada pertanyaan-pertanyaan yang

lebih filosofis tentang hakikat memahami itu sendiri. Tapi perlu diingat,

bagi Gadamer, berbicara tentang “penafsiran objektif yang valid” adalah

suatu yang mustahil.40

39 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985, hlm. 9-13

40 Richard E. Palmer, op.cit, hlm. 45-65.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

56

Aliran pertama oleh Josef Bleicher, dikategorikan ke dalam teori

hermeneutis (hermeneutical theory), karena memfokuskan diri pada

problematika teori interpretasi umum sebagai metodologi bagi ilmu

humaniora (sosial). Sedangkan aliran kedua dikategorikan ke dalam

filsafat hermeneutika (hermeneutical philosophy), yang memiliki

konsentrasi pada status ontologism pemahaman dan interpretasi. Selain

itu, muncul aliran lain yang berada di luar kedua aliran tersebut, yakni

hermeneutika kritis (critical hermeneutic), yang membidik pada

penyingkapan tabir-tabir yang menyebabkan terjadinya bias dalam

interpretasi.41 Aliran ini dibawa oleh Jurgen Habermas yang kemudian

memunculkan pedebatan antara dirinya dengan Gadamer. Habermas

menentasng asumsi idealis yang didaasarkan pada teori hermeneutis

maupun filsafat hermeneutika. Baginya kedua tradisi hermeneutika di atas

mengabaikan factor-faktor ekstra linguistic yan juga menentuka konteks

pemikiran dan aksi, yakni karya dan dominasi. Habermas, bersama Karl-

Otto Apel, mencapai hermeneutika kritis dengan mamadukan antara

pendekatan metodis dan pendekatan objektif dengan berusaha bagi

pengetahuan yang relevan secara praksis42. Pada perkembangan

selanjutnya, dengan hadirnya Posmodernisme yang dipelopori oleh

41 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 22-2342 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, ibid, hlm. 22-23

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

57

Jacques Derridda dan Michael Foucault, tampaknya membawa

hermeneutika ke dalam diskursus yang lebih bernuansa dekonstruktif.

Untuk lebih lengkapnya, pembagian (paradigma) hermeneutika di

atas akan dijelaskan dalam bab berikut.

b. Paradigma Hermeneutika (Kontemporer)43

1. Hermeneutical theory

Dalam hermeneutika teoritis (hermeneutical theory) problem

hermeneutisnya adalah metode: yakni mempersoalkan metode apa yang

sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang

penafsir dari kesalahpahaman, dus menemukan makna objektif dengan

metode yang valid pula.

Menurut Schleiermacher, ada dua bagian penafsiran yang perlu

diperhatikan dalam paradigma ini;44 pertama, penafsiran gramatikal.

Dalam penafsiran ini mengandung prinsip: 1). “segala sesuatu yang

membutuhkan ketepatan (makna); 2). “Makna dari sebuah kata dari

sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya

dengan kata-kata lain”.

Jadi penafsiran selalu bersifat holistik dan parsial, sekaligus.

Seorang penafsir tidak mungkin memahami suatu objek, seperti teks atau

kalimat, sebagai sebuah bagian partikular tanpa merujuk kepada

43 Fahruddin Faiz, op.cit, hlm 7-12 44 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 34-35

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

58

keseluruhan konteksnya. Sebaliknya, kita juga tidak dapat memahami

keseluruhan tanpa merujuk kepada bagian-bagiannya. Konsep ini oleh

Schleiermacher disebut sebagai “lingkaran hermeneutis” yang tampaknya

tidak ditemukan ujung pangkalnya. Menurutnya, lingkaran hermeneutis

memang tidak dapat dipecahkan oleh logika struktural, tapi harus diatasi

secara intuitif atau penafsiran psikologis. Untuk yakin dengan kebenaran

penafsiran kita harus “melompat” ke dalam lingkaran hermeneutis

tersebut, seperti lompatan kepada keyakinan.

Penafsiran gramatikal, bagi Schleiermacher, tidak akan valid

kecuali dilanjutkan dengan penafsiran yang kedua, psikologis, seperti

lompatan keyakinan tadi. Dengan menggunakan pengetahuan linguistik

dan sejarah kebahasaan yang diperoleh sebelumnya, seorang mufasir harus

merekonstruksi secara imajinatif (psikologisasi) suasana batin pengarang,

dan inilah yang disebuah oleh Bleicher sebagai penafsiran psikologis.45

Ringkasnya, Schleiermacher membawa penafsiran gramatikal pada

titik tolak wacana umum tentang suatu (bahasa), kebudayaan, dan

penafsiran psikologis didasarkan pada subjektivitas pengarang. Pembaca

berupaya merekonstruksi subyektivitas tersebut sehingga dapat memahami

maksud pengarang, bahkan sampai pada keyakinan lebih baik dari

bagaimana ia mengerti karyanya sendiri.

45 Ilham B. Saenong, ibid, hlm. 36.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

59

Dilthey yang mengembangkan hermenutika teoritis memiliki

pandangan yang hampir serupa. Namun demikian berbeda dengan

psikologisme Schleiermacher, proses penafsiran digambarkan sebagai

peristiwa sejarah, dan bukan peristiwa mental. Penafsiran dipahami secara

konseptual sebagai verstehen (memahami) yang dibedakan dari erkleren

(menjelaskan). Menafsirkan dalam pengertian verstehen ini adalah proses

untuk memahami teks sebagai bagian dari ekspresi sejarah. Karena itu,

yang perlu direproduksi bukan kondisi batin pengarangnya, tapi makna-

makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.

Dapat dikatakan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas

makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Idealisme dan

intensi pengarang direduksi menjadi refleksi atau dominasi kekuatan-

kekuatan dalam sejarah yang menentukan penulisan teks. Istilah

“seseorang adalah anak zamannya” mungkin tepat untuk menggambarkan

pandangan ini. Tentu saja, pandangan semacam ini bersifat totaliter,

mengandaikan bahwa tidak ada pemikir atau teksnya yang mampu keluar

dari belenggu sejarah, dus merubah sejarah.

Tokoh pelopor yang mem-back up perspektif ini diantaranya

adalah: Schleiermacher, W. Dilthey dan juga Emilio Betti. Kelemahan

dari perspektif ini adalah pengandaikan akan adanya makna awal atau

makna sejati yang dapat direproduksi (reliving masa lalu), yang kemudian

menjadi obyek kritik bagi perspektif selanjutnya.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

60

2. Hermeneutical Philosophy

Kemudian aliran kedua yang bergeser lebih jauh lagi dari

perspektif yang pertama. Kategori kedua lebih ‘memuncratkan’ nuansa

filosofisnya (sehingga dikenal dengan hermeneutics philosophy)

dibanding yang pertama, karena fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana

agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh

mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam

aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebaginya

termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian

terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai pra-syarat eksistensiaal

manusia.

Penafsiran menurut perspektif ini, adalah sebuah proses produksi

makna baru dan bukan reproduksi makna awal seperti perspektif

hermeneutical theory. Heidegger dan Gadamer yang menjadi penopang

tokoh dalam kelompok ini, mengemukakan, bahwa penafsiran selalu

merupakan proses sirkular. Kita hanya dapat memahami masa lalu (teks,

pengalaman sejarah) dari sudut pandang kita dan dari situasi kekinian kita

(our historical present).

Ini berarti, bagi Gadamer, penafsir dan teks senantiasa terikat oleh

konteks tradisinya masing-masing. Hermeneutika dalam dimensi

filosofis—mungkin lebih tepat epistimologis—nya dapat didefinisikan

sebagai “suatu pemahaman terhadap pemahaman”. Ibarat “cerita

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

61

berbingkai” dalam dunia sastra, maka hermeneutika jenis ini adalah suatu

pemahaman terhadap suatu pemahaman yang dilakukan seseorang dengan

menelaah proses dan asumsi-asumsi yang berlaku dalam pemahaman

tersebut, termasuk diantaranya konteks yang melingkupi dan

mempengaruhi proses tersebut. Hal ini secara umum dilakukan setidaknya

untuk dua tujuan: pertama, untuk meletakkan hasil pemahaman yang

dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai, dan, kedua, untuk

melakukan suatu “produksi” makna baru dari pemahaman terdahulu

tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. Menariknya, pada gilirannya,

pemahaman terhadap pemahaman ini akan juga menjadi obyek

pemahaman dan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan

pemahaman sebelumnya; dan demikianlah seterusnya proses semacam ini

berlanjut tanpa harus terjadi overlapping dalam pemahaman, sehingga

sampai ada yang mengatakan dalam hermeneutics philosophy, “the

Question is not what we do or what we should do, but what happen

beyond our willing and doing”.46

3. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman

(ctitical hermeneutics)

Selain dua jenis perspektif di atas, muncul perspektif lain yang

berada di luar kedua aliran tersebut, yakni hermeneutika kritis (critical

hermeneutics), yang membidik pada penyingkapan tabir-tabir yang

46 Fahruddin Faiz, ibid, hlm. 7-12

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

62

menyebabkan terjadinya bias dalam interpretasi.47 Aliran ini dapat

dikatakan telah melangkah lebih jauh dari aliran kedua, bahkan secara

pinsipil, obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang

membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan jenis kedua adalah

penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi

historis dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-

determinasi tersebut sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan

hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-penindasan sosial-budaya-

politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh

kelompok tertentu.

Maka dikatakan dalam pendirian ini, baik hermeneutika filosofis

maupun hermeneutika teoritis, mengabaikan hal-hal di luar bahasa seperti

kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks

pemikiran dan perbuatan.48

Pendirian kritis berusaha keras menggugat apa yang dapat disebut

sebagai “optimisme” dalam pemikiran Schleiermacher, Dilthey,

Heidegger, dan Gadamer. Sebab, meskipun berbeda pendapat, mereka

sama-sama masih setia pada universalitas tertentu dari teks. Objek

hermeneutikanya mungkin berbeda, tapi mereka sama-sama tetap

berusaha menjamin adanya kebenaran dalam bahasa manusia yang

47 Dikutip dari Bleicher, contemporary hermenutics, hlm, 1-5, lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 23

48 ibid, hlm. 43

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

63

sekadar menantikan datangnya penjelasan. Sebaliknya, concern

hermeneutika kritis bukan untuk mengklarifikasikan kebenaran tersebut,

tapi untuk ‘mendemistifikasi’. Teks lebih banyak dicurigai daripada

diafirmasi, dan tradisi bisa jadi menjadi tempat persembunyian paling

aman dari kesadaran palsu. Bagi Jurgen Habermas (sebabai pelopor

pendirian hermeneutika kritis), hermeneutika seperti ini harus disingkap

oleh refleksi kritis untuk membuktikan selubung ideologisnya.

Dalam pandangan hermeneutika kritis, Gadamer menganggap

bahwa interpretasi merupakan “unproblematic mediation of

subjectivities,” karena disatukan oleh eksistensi mereka dalam suatu

tradisi umum. Padahal, menurut Habermas, tradisi itu sendiri harus

dikenai analisis kritis, yakni kita perlu mengetahui apa yang tersembunyi

di balik “konsensus”, dan bagaimana berbagai discontinuities dalam

makna dan kesalahpahaman (misunderstanding) dapat dijelaskan

bertentangan dengan prioritas Gadamer terhadap bahasa sebagai landasan

primer komunikasi dan terutama sebagai dasar eksistensi dan

pengamalam, Habermas mengkritik bahasa sebagai medium dominasi dan

kekuasaan dalam masyarakat.

Menurut Karl Otto Apple (dikutip dari crasnow 1987: 194), salah

seorang kolega Habermas, hermeneutika teoritis maupun filosofis tidak

banyak membantu untuk mengungkapkan kekuatan-kekutan di balik teks

karena hanya bekerja pada level makna dan kode-kode ideologis dan

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

64

linguistik yang telah given.49 Oleh karena itu, hermeneutika kritis sebagai

bagian dari kritik ideologi merupakan koreksi vital bagi hermeneutika dan

interpretasi. Standar penafsiran yang memadai adalah keputusan yang

berasal dari faktor hubungan dan proses-proses sosial yang memproduksi,

mendistorsi, dan mengolah makna.

Pada dasarnya, berbagai gagasan dari hermeneutika kritis memang

tidak berkaitan langsung dengan wilayah dan kegiatan penafsiran. Akan

tetapi, kritik-kritiknya terhadap hermeneutika teoritis dan filosofis yang

mengabaikan persoalan di luar bahasa yang justru sangat mendeterminasi

hasil penafsiran, tidak pelak justru memberi kontribusi besar bagi

diskursus hermeneutika kontemporer.

Menurut Grondin, sumbangan orang-orang seperti Habermas dan

mereka yang berasal dari tradisi pemikiran Marxis dan dekonstruksionis

terletak pada kekuatannya dalam menghancurkan ilusi-ilusi penafsiran:

suatu hal besar yang gagal ditangkap oleh hermeneutika teoritis dan

hermeneutikia filosofis. Hermeneutika teoritis dan filosofis lebih laik

disebut sebagai “Hermeneutika keyakinan”, sebab berorientasai ke depan

untuk mengapresiasi teks. Sebaliknya, hermenutika kritis dapat disebut

sebagai “hermeneutika kecurigaan” karena berkepentingan untuk

menyingkap tabir-tabis ideologis di balik teks.50

49 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 44.50 Ibid, hlm. 45.

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

65

Sekadar penjelasan, barangkali pemetaan dan pemilahan di atas

terkesan simplistis, namun mudah-mudahan dapat membantu kita

memahami terutama mengenai berbagai perspektif dalam memandang apa

yang disebut “problem hermeneutis”. Selanjutnya adalah perbincangan

mengenai hermeneutika dalam tradisi pemikiran Islam

B. TRADISI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

“Hermeneutika al-Qur’an” boleh dibilang merupakan istilah yang masih

asing dalam wacana (tradisi) pemikiran Islam. Diskursus penafsiran al-Qur’an

tradisional lebih akrab dengan istilah tafsir, ta’wil, dan al-bayan.51 Meski jika kita

mau melacak lebih dalam lagi, sejatinya, proses dan kerja-kerja hermeneutika

telah ada jauh lebih lengkap dan rigid dalam Islam, lihatlah misalnya konsep

Maqashid al-Syari’ah, ‘Ullumul Qur’an, Asbab an-Nuzul dll.

Tentunya, hal ini tidak mengherankan sebab, meski hermeneutika bisa

dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan” berbagai bidang kajian keilmuan, dan

merupakan kosakata yang mempunyai genealogi dari barat, alias diluar tradisi

Islam, namun melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya, harus diakui

bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah

dan kritik teks, khususnya kitab suci.52

51 Ibid, hlm. 47.52 Mengenai peran hermeneutika ini, Roger Trigg, sebagaimana dikutip oleh komarudin

Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama berkata: “the paradigm for heremeneutic is the interpretation of a traditional text, where the problem must always bi how we can come to understand

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

66

Terlebih, belakangan ini beberapa pemikir muslim kontemporer dalam

merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an mengintroduksi secara

definitif istilah hermeneutika dalam rangka menjelaskan metodologi penafsiran

al-Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis. Mereka yang cukup

mempunyai andil besar dalam kerja-kerja itu diantaranya adalah Hasan Hanafi,

Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nashr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud

Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan pemikir dekonstruksionis lainnya, termasuk

Farid Esack sendiri.

Akan tetapi sebagaimana ungkapan Crasnow, hermeneutika itu telah setua

umurnya dengan tradisi penafsiran teks-teks, maka hermeneutika dalam Islam

sendiri sebenarnya dapat juga mungkin untuk dilacak jauh dalam tradisi

pemikiran Islam klasik. Mari kita mulai saja pembahasannya.

a. Situasi Hermeneutis Kaum Muslim Awal

Seperti ditampilkan di muka bahwa posisi al-Qur’an cukup menjadi

titik sentral pemahaman bagi kaum muslim awal, bagaimana ketika terjadi

perang Shiffin (657), para pendukung Mu’awiyah (yang wafat 680) memohon

agar perselisihan dan permusuhan mereka dengan ’Ali Ibn Abi Thalib (wafat

661) diselesaikan dengan menjadikan al-Qur’an sebagi penengah. Itu sekadar

contoh saja.

in our own context something which was writen in a radically different situation.” Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm 161, lihat juga Fahruddin Faiz, op.cit, hlm. 12

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

67

Sentralitas al-Qur’an dalam kebudayaan Islam saat itu benar-benar

menjadi titik pancar bagi munculnya ‘riak-riak’ hermeneutis dan penafsiran

terhadapnya. Akibatnya, al-Qur’an sendiri seringkali digambarkan sebagai

teks pembentuk (an-nashsh al-mu’assis) yang darinya lahir sedemikian

banyak teks-teks tertafsir (an-nashsh al-tafsiri) sebagai hasil proses

pemahaman akan teks pembentuk tersebut.53

Mengenai sentralitas teks al-Qur’an yang begitu besar kemudian

melahirkan pusaran wacana keislaman ini, oleh Komarudin Hidayat kemudian

menyebutnya sebagai gerak sentripetal54 dan sekaligus sentrifugal55.

Sementara Muhammad Abid al-Jabiri secara lebih analitis menggambarkan

fenomena tersebut sebagai suatu yang bersifat primer dalam proses

pembentukan pemikiran Islam. Kebudayaan Islam sejak semula dipahami

sebagai hadharah al-fiqh dan hadharah al-bayan, dua istilah yang digunakan

al-Jabiri untuk menunjukkan bahwa Islam tidak mungkin dipisahkan dengan

segala bentuk problem hermeneutisnya.56 Dengan senada, Abu Zayd

menimpalinya dengan komentar bahwa Islam merupakan “peradaban teks”

53 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 48.54 Gerak sentripetal merupakan berbagai pentuk pemikiran dalam tubuh umat Islam yang

senantiasa ingin merujuk ide mereka kepada al-Qur’an, bahkan walaupun untuk kepentingan justifikasi belaka.

55 Gerak sentrifugal merupakan gerakan yang terjadi karena teks-teks al-Qur’an memiliki daya dorong sedemikian besar bagi umat Islam untul melakukan pelbagai macam penafsiran terhadapnya.

56 Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, dalam beberapa tulisannya yang dikumpulkan oleh Ahmad Baso dalam Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 137, lihat juga komentar Zuhairi Misrawi atas artikel al-Jabiri yang berjudul Tajdid al-Tafkir fi Masyru’ Mutajaddid: 1, Muqaddimah (Pembaruan Pemikiran; Proyek Baru: Pengantar). Ungkapan ini disampaikan ketika memberikan pengkajian pada santri-santri Pesantren Emansipatoris, P3M, Jakarta, Jum’at 7 Januari 2005, sekitar pukul 15.30 WIB. Lihat dalam situs islam emansipatoris: www.islamemansipatoris.com

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

68

(hadharah al-nash) atau peradaban hermeneutis (hadharah al-ta’wil)—Ali

Harb juga menyebutnya sebagai Hadratu al-Qaul.57 Dengan pengertian

tersebut, Abu Zayd ingin membawa pada pemahaman bahwa fundamen

intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan sentralitas

posisi teks al-Qur’an dalam dialektika umat Islam dengan realitasnya.

Persoalan hermeneutis dalam Islam bermula dan berpusat pada posisi sentral

al-Qur’an dalam kehidupan kaum Muslim.

Situasi hermeneutis yang diciptakan oleh posisi sentral al-Qur’an

memang begitu inspiratif. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah

muncul ribuan, bahkan jutaan buku/literatur tafsir yang mencoba menjelaskan

kandungan maknanya berdasarkan pendekatan dan metode yang beragam

pula. Ilham B Saenong dalam tulisannya menyorot tulisan Daud Rahbar

(1962) yang menganalisis; hingga lima dasawarsa yang lalu telah mencatat

bahwa sedikitnya terdapat 14 (empat belas) macam metode dan pendekatan

yang telah diterapkan dalam usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an selama

ini.58

57 Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kalau boleh menyimpulkan peradaban dalam satu dimensi saja, maka dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab Islam adalah peradaban “teks”. Dan memang Peradaban Islam tidak akan mungkin lepas dari sentralitas teks. Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu, dan juga kebudayaan arab Islam itu tumbuh dan berdiri di atas teks. Selengkapnya lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Khoirun Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. II, hlm. 1-2

58 Pertama, penafsiran yang didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat (asbabun nuzul). Kedua, penafsiran yang bertujuan mempertanyakan otentisitas ayat-ayat tertentu dan mempermasalahkan penambahan dan keragaman teks. Ketiga, penafsiran melalui frasa dari ayat tertentu secara parsial dan lepas konteks. Keempat, penafsiran atas ayat atau

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

69

Melihat teks al-Qur’an yang demikiran inspiratif tersebut, yang cukup

mengherankan adalah bahwa dalam sejarahnya ternyata perbincangan

mengenai problem hermeneutis tidak muncul seiring kemunculan teks al-

Qur’an dalam sejarah. Muncul beberapa hipotesa mengenai keanehan ini,

diantaranya, Helmut Gatje (1996: 31) yang memperkirakan setidaknya ada

dua faktor penyebabnya: pertama, adanya otoritas Nabi (yang begitu kuat),

dan kedua, persoalan kesadaran keagamaan. Pada masa Nabi dan Sahabat,

persoalan penafsiran sangat terkait dengan masalah “kenabian” Muhammad.

Ia tidak hanya berfungsi sebagai pemberi kabar (Hermes) tentang ‘berita

langit’ (firman Allah) yang kemudian berwujud al-Qur’an, namun sekaligus

sebagai penafsir yang otoritatif dengan al-hadits sebagai bentuk formalnya.

Beberapa upaya penafsiran kritis para sahabat yang saat itu telah muncul riak-

riaknya seringkali patah ketika masuk dalam lingkaran otoritas kenabian yang

pada praktiknya menjadi lembaga pengesahan tafsir—meminjam istilah

Fazlur Rahman adalah menjadi “sunnah yang hidup”

frase yang disesuaikan dengan pandangan seseorang tentang semangat umum al-Qur’an. Kelima, penafsiran yang menganggap bahasa dari ayat tertentu bersifat alegoris (majaz dan isti’arah). Keenam, penafsiran esoteris dengan mempercayai keseluruhan teks al-qur’an bercorak metaforis. Ketujuh, penafsiran atas dasar pemilahan antara ayat-ayat yang pasti maknanya (muhkam) dan yang ambigu (mutasyabihat). Kedelapan, penjelasan dengan menghubungkan struktur gramatikal dengan makna yang dimaksudkan. Kesembilan, penjelasan dengan mempersoalkan segi etimologis. Kesepuluh, uraian dengan mengemukakan persoalan nasikh-mansukh. Kesebelas, penjelasan melalui hubungan semantis dan keterputusan antara satu ayat dengan yang lain yang berdampingan (taqathu’-tanasub). Keduabelas, mempersoalkan gaya bahasa al-Qur’an. Ketigabelas, memilih-milih ayat-ayat tertentu secara arbitrer dalam penafsiran. Terakhir, keempatbelas, penafsiran yang menggunakan frase-frase teks sebagai titik tolak pemikiran bebas (Rahbar 1962: 302-303). lihat dalam Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 49

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

70

Di sisi lain, kesadaran kaum muslim awal masih kental dengan

argumen-argumen dogmatis. Hal ini dibuktikan dengan setiap penerimaan

wahyu atau perilaku nabi yang diikuti, kaum muslim tidak menyikapinya

dengan kritis dan menggunakan secara maksimal potensi akalnya, justru

berbagai persoalan tersebut kemudian dieliminir dengan mengembalikan pada

keyakinan bahwa ada teladan (‘ibrah) dan hikmah yang diselipkan Allah

dalam ayat yang sedang dipersoalkan. Hal ini menunjukkan bahwa

karakteristik hermeneutis dalam memahami al-Qur’an masa Nabi dan Sahabat

masih banyak diliputi oleh argumen dogmatis ketimbang penalaran kritis.59

Jika kita perhatikan faktor penyebab di atas, bisa dibilang hanya

sebuah gambaran situasi hermeneutis pada awal Islam yang lebih merupakan

penerimaan teologis terhadap al-Qur’an dan penafsiran resminya yaitu Sunnah

Nabi. Kalaupun terdapat penafsiran lain, bukan merupakan upaya hermeneutis

dalam pengertian penggunaan metode pemahaman yang jelas. Hermeneutika

al-Qur’an yang dikembangkan sahabat saat itu paling banter hanya dinilai

sebagai seni manafsirkan teks yang diperoleh berdasarkan kepekaan intuitif

mereka akibat pengalaman religius yang mendalam setelah hidup akrab

bersama-bersama dengan Nabi (shuhbah), di samping ditopang oleh tingkat

penguasaan bahasa Arab yang lebih mumpuni.60

59 Ilham B. Saenong, ibid, hlm. 5060 Ibid, hlm 52

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

71

Persoalan hermeneutis dalam Islam boleh dikatakan baru muncul

seiring perkembangan dan perluasan Islam pada abad-abad berikutnya pasca

kenabian.61 Lebih jelas lagi ketika muncul inisiatif kaum muslim untuk

membukukan mushaf (masa tadwin). Perkembangan tersebut ditandai dengan

perubahan kebudayaan dalam masyarakat dari corak budaya lisan ke budaya

tulisan, sekaligus dari model kebudayaan populis ke kebudayaan intelektual

yang bersifat elitis.

Abid al-Jabiri menggambarkan hermeneutika dalam Islam pada masa-

masa tersebut tidak lain merupakan persoalan “metode” atau epistemologi al-

bayan, yang mencakup baik persoalan bagaimana cara memahami (al-fahm),

maupun “cara mengkomunikasikan pemahaman” (al-ifham) tersebut.62 Wajar

jika kemudian al-Jabiri cukup ambisius untuk menerbitkan proyek besarnya

yang disebut Naqd al-‘Aql al-‘Arabii (kritik nalar arab) yang dalam tema

besar itu tersimpan tujuan menyingkap tabir dogmatis yang menyelimuti nalar

orang-orang arab. Al-Jabiri mengungkap, bahwa dirinya ingin mengungkap

kecenderungan epistemologis yang berlaku di kalangan bangsa Arab.

Hasilnya terdapat tiga kecenderungan atau model (yang salah satu modelnya

61 Karen Armstrong, A Short History, terj. Ira Puspita Rini, Islam: A Short History, Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004, hlm 55

62 Pada gilirannya, al-fahm berkaitan dengan “perumusan metode-metode penafsiran wacana teks”, sementara al-ifham menjurus pada usaha formulasi “syarat-syarat produksi wacana”, lihat Muhammad Abid al-Jabiri, op.cit.

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

72

telah disinggu di atas) berpikir bangsa Arab (juga Islam), yakni bayani63,

irfani64 dan burhani65. Al-Jabiri mempunyai mimpi besar, bahwa ketiga model

berpikir ini sangat signifikan terhadap konstruksi nalar fiqh yang mempunyai

semangat perubahan dan pembaruan.66

Dalam sejarahnya ketokohan al-Syafi’i (wafat 204 H) cukup berperan

dalam menelorkan dasar-dasar al-fahm sebagai “Undang-undang menafsirkan

wacana” yang banyak digunakan dalam al-fiqh dan ushul fiqh. Sementara al-

ifham dirumuskan oleh al-Jahiz (wafat 225 H) untuk mengetahui “syarat-

syarat produksi wacana” yang dapat digunakan sebagai metode

mengkomunikasikan gagasan dalam teologi Islam skolastik (ilmu kalam).

Ibn Wahhab (wafat 335 H) yang belakangan tidak puas dengan

dualisme tersebut berupaya membuat sintesis teoritis. Usaha tersebut

sekaligus mengantarkannya menjadi peletak dasar-dasar epistemologi “al-

bayan” dalam pengertian mencakup al-tabayyun dan al-tabyin: yakni proses

mencari kejelasan (azh-zhuhur) dan pemberian penjelasan (al-izhhar); upaya

63 Bayani dikenal sebagai metode pemikiran khas bangsa arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).

64 Irfani menjadi epistemologi yang bersandar pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan irfani ini didapat bukan melalaui analisa teks, sebagaimana nalar bayani, tetapi oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati diharapkan tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya

65 Sementara burhani mendasarkan diri pada rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan demikian sumber pengetahuan burhani ini berbeda dengan bayani yang berangkat dari teks, kemudian irfani yang berangkat dari hati/ruhani, berangkat dari rasio, yang mengemukakan dalil-dalil logika, yang kemudian memberikan keputusandan penilaian terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengna istilah tasawwur dan tasdiq.

66 A. Khudori Sholeh, M. Abid Al-Jabiri, Model Epistemologi Islam, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 242.

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

73

memahami (al-fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham); perolehan

makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tabligh).67 Hanya saja perlu

dicatat, kalau al-ifham di sini lebih dekat kepada retorika ketimbang sebagai

sebuah teori pemahaman, mengingat fungsinya untuk memuaskan logika dan

perasaan audiens dan memenangkan debat teologis.68

Menurut penelitian al-Jabiri, tokoh seperti Muhammad ibn Idris al-

Syafi’i (wafat 204 H ) merupakan pencetus hermeneutika al-Qur’an klasik

yang diterapkan dalam wacana ilm ushl fiqh sebagai metode interpretasi teks

dan wacana (al-fahm). Hal ini karena perhatian al-Syafi’i tidak lagi terbatas

pada aspek susastra dalam al-Qur’an atau sekadar menafsirkan teks secara

nonmetodis sebagaimana yang banyak dipraktikkan pemikir-pemikir

sebelumnya.69 Formulasi Ushl Fiqh dari al-Syafi’i telah mengarah pada

perumusan metode memahami kehendak Tuhan sebagai pembuat hukum (al-

Hakim) melalui aspek-aspek linguistik (retorika al-Qur’an). Dalam upayanya

merumuskan metode memahami teks seperti bayan, nasikh wa mansukh,

umum-khusus, mujmal-mufassal, amr dan nahy, dan sebagainya, al-Syafi’i

melakukan induksi metodologis dari bentuk-bentuk retorika al-Qur’an untuk

67 Muhammad Abid al-Jabiri, ibid.68 Ibid. 69 Perlu dicatat bahwa sebelum al-Syafi’i terdapat perhatian yang luas terhadap metode

susastra dalam wacana pemikiran tentang al-Qur’an. Hanya saja kegiatan mereka belum merambah pada perumusan metode-metode penafsiran atau kerja-kerja hermeneutika. Usaha-usaha tersebut antara lain dilakukan oleh Muqtil bin Sulayman (wafat 208 H) yang menaruh minat pada fenomena pluralitas makna dan ungkapan dalam al-Qur’an; Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al-Farra (wafat 208 H) yang mengemukakan adanya pelampauan (al-tajawwuz) dan perluasan (al-‘ittisa’) dalam wacana al-Qur’an: dan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna (wafat 215 H) dengan eksposisinya tentang gaya bahasa metaforis al-Qur’an. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, ibid.

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

74

memperoleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat generik yang tidak lain

menjadi prinsip umum bagi interpretasi yang, pada gilirannya, dideduksi

kembali dalam menentukan hukum (istimbath) dan al-Qur’an.

Menurut ilham B Saenong, adanya afinitas antara ushul fiqh dan

hermeneutika klasik al-Qur’an adalah bukan hal yang mengherankan. Karena

meskipun keduanya memiliki perbedaaan istilah maupun objek formal, tetapi

pada dasarnya berada pada kerangka epistemologis yang sama, yakni

epistemologi al-bayan yang objek materialnya adalah al-Qur’an.70 Beberapa

aspek metodologis dari ushul fiqh yang telah dirumuskan al-Syafi’i, dalam

perkembangannya kemudian, dipinjam dan dikembangkan lebih lanjut dalam

sebuah disiplin yang kita sebuat sebagai ‘Ulum al-Qur’an atau ’ilm al-tafsir.

Dalam‘Ulum al-Qur’an inilah dikenal pembagian dua kategori penafsiran

yang disebut al-tafsir dan al-ta’wil. Menurut Salleh Yaapar (1992: 8), di

kemudian hari mensinyalir pemilahan kategoris tersebut menggambarkan dua

bentuk formal hermeneutika Islam.

Perkembangan hermeneutika klasik al-Qur’an tentu saja tidak

sesederhana penjelasan di atas. Sebab, al-fahm dalam pemikiran ushul fiqh al-

Syafi’i ternyata lebih banyak mewariskan metode al-tafsir yang lazim dalam

epistemologi al-bayan. Sementara al-ta’wil merupakan genre yang lebih

banyak bergerak dalam epistemologi al-‘irfan.71 Jika dasar-dasar epistemologi

70 Muhammad Abid al-Jabiri, ibid71 A. Khudori Sholeh, M. Abid Al-Jabiri, Model Epistemologi Islam, op.cit

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

75

al-tafsir oleh al-Jabiri dianggap berasal dari al-Syarfi’i, maka dasar-dasar

epetemologis al-ta’wil justru dapat dirujuk kepada pemikiran al-Ghazali,

bahkan sebelum munculnya sufisme teoritik yang misalnya dikembangkan

oleh filsafat iluminasi (al-isytiraqiyyah).72

Dalam rangka reformasi pemikiran Islam yang terlalu bercorak fiqh

dan teologis pada masanya—yang lantas dikenal sebagai proyek

“Rekonstruksi Ilmu-ilmu Agama” (Ihya ‘Ulum ad-Din)—al-Ghazali telah

mengembangkan suatu konsep teks yang berangkat dari pendirian teologi al-

Asy’ariyyah mengenai al-Qur’an sebagai sifat zat dan bukan perbuatan-Nya.

Menurut al-Ghazali, “kalam ilahi” adalah “sifat qadim zat” yang harus

dibedakan dari “penampakan-Nya” (tajalli) dalam bentuk al-Qur’an yang

dibaca sebagai teks. Teks yang dibaca secara lisan atau yang tertulis dalam

mushaf hanya merupakan “penuturan” sifat Kalam yang Qadim. Bahasa teks

merupakan selubung atau wadah yang di dalamnya berdiam “kandungan

azali” yang bersifat qadim.

Sementara menurut Abu Zayd, jika pemikiran al-Asy’ari sebelum al-

Ghazali tentang konsep Kalam berhenti pada batas-batas perbedaan antara

sifat qadim Kalam dan penuturannya dalam bacaan (sifat hadis) seperti

dituturkan di atas, maka dimensi sufistik dalam pemikiran al-Ghazali telah

membantu memperluas konsep ini ke dalam dualisme lain berupa pembagian

antara “yang lahir” dan “yang batin” dalam melihat teks al-Qur’an. Dualisme

72 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 55.

Page 43: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

76

ini kemudian diterapkan dalam memahami struktur al-Qur’an yang terbagi

pula ke dalam dimensi batin dan lahirnya, dan bukan semata-mata pada

pembagian makna dan dilalah-nya, sebagaimana yang populer dalam dunia

sufi, akan tetapi juga pada taraf rangkaian dan struktur teks. Yang batin adalah

inti dan substansi yang dikandung teks. Ada pun yang lahir, berupa bahasa

Kalam, adalah kemasan luar yang membungkus teks dan melaluinya teks

nampak komunikatif bagi pikiran manusia.

Pemilahan dimensi tersebut menggambarkan struktur epistemologis al-

ta’wil yang merupakan bagian dari epistemologi al-‘irfan, yang dibedakan

dari al-tafsir dari epistemologi al-bayan sebelumnya. Dualisme batin (al-

bathin) dan lahir (al-zahir) tersebut, menurut al-Jabiri, sejajar dengan

ungkapan (lafadz) dan makna dalam epistemologi al-bayan. Dan semenjak

itulah, hermeneutika al-Qur’an klasik mewarisi al-tafsir dan al-ta’wil sebagai

kerangka metodologis dalam penafsiran teks-teks al-Qur’an.73

Sebagaimana diketahui secara populer, pemikiran al-Ghazali menandai

berakhirnya proses kreatif dalam tradisi pemikiran Islam, terutama dalam

teologi Sunni yang dianut mayoritas kaum muslim. Epistemologi tradisional

pemikiran islam dikemudian hari lebih banyak beralih kepada tradisi skolastik

abad pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaruan pemikiran

islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum muslim dengan kolonialisme.

Selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran islam yang

73 Ibid, hlm. 56

Page 44: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

77

smaa sekali baru, kecuali sekadar pengulang-ulangan yang bersifat tautologis,

di mana umat Islam–dan tradisi hermeneutika al-Qur’annya—tinggal

mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma al-Syafi’i, otoritas al-Asy’ari, dan

eklektisisme al-Ghazali (abu zayd, 1992b: 4).74

b. Dari Hermeneutika, Tafsir hingga Ta’wil

Sebagaimana disinggung dimuka bahwa tradisi hermeneutika al-

Qur’an klasik mewarisi epistemologi al-bayan dan al-‘irfan yang masing-

masing menurunkan al-tafsir dan al-ta’wil sebagai dua pendekatan yang

berbeda dalam memahami teks, berikut ini akan kita uraikan bagaimana posisi

kerangka metodologis yang menyusun keduanya yang sebenarnya.

Merapat pada istilah tafsir dalam al-Qur’an, kita dapat melihat pada

surat al-Furqan (25): 33 yang berbunyi:

Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya).75

Secara harfiah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan

merupakan bentuk masdar dari kata “fassara” serta terdiri dari huruf fa, sin

dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan

74 Ibid 75 lihat QS. Al-Furqan (25), ayat 33 dalam al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama

RI, al-‘Alyy, Bandung: Diponegoro, 2000

Page 45: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

78

penjelasan.76 Namun, Abu Zayd menjelaskan dalam Tekstualitas al-Qur’an-

nya, bahwa ternyata ada beberapa perbedaan yang menghinggapi para ulama

dalam menguak segi etimologi kata tafsir, apakah ia berasal dari fasara atau

dari safara.77 Abu Zayd meneruskan, jika kata al-fasr seperti yang dimaknai

dalam kamus Lisan al-‘Arb merupakan “pengamatan dokter terhadap air”, dan

kata at-tafsirah adalah “urine yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya

penyakit dan para dokter menelitinya berdasarkan warna urine untuk

menunjukkan adanya penyakit bagi seseorang” maka kita dihadapkan pada

dua hal: materi yang diamati dokter untuk menyingkapkan penyakit, yaitu

tafsirah, dan tindakan pengamatan itu sendiri dari pihak dokter, yaitu tindakan

yang memungkinkannya meneliti materi dan menyingkapkan “penyakit”.

Materi yang dicermati dokter berfungsi sebagai “medium” yang digunakan

sang dokter untuk dapat menemukan penyakit. Ini berarti, bahwa tafsir, yaitu

menemukan penyakit, menuntut adanya materi (objek) dan pengamatan

(subjek). Dokter akan menafsirkan tidak berangkat dari pengetahuan yang

kosong, namun melalui pengetahuan sebelumnya yang memungkinkannya

untuk menafsirkan. Tanpa pengetahuan yang mendahuluinya, materi tersebut

akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak memiliki makna.78

76 Dikutip dari Abi al-Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lughah, juz IV, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Hlmabi, 1970), hlm. 504. lihat dalam M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005, hlm 27.

77 Nashr Hamid Abu Zayd, loc.cit, Mafhum an-Nash Dirasah fi-‘Ulum al-Qur’an, terj. Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap ‘Ulumul Qur’an, Yogyakarta; LKiS, 2002, hlm. 281-305.

78 Ibid

Page 46: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

79

Kemudian dalam materi safara, Abu meneruskan, bahwa kita

dihadapkan pada banyak makna yang intinya adalah: perpindahan dan

perjalanan. Dari makna ini muncul makna penyingkapan dan kemunculan.

Musafir dinamakan musafir, karena ia membuka tudung penutup wajahnya,

membuka tempat-tempat penginapan, tempat istirahat, dan karena ia muncul

di tanah lapang. Disebut safar karena membuka wajah-wajah musafir dan

akhlak-akhlak mereka sehingga tampaklah apa yang sebelumnya tertutup.

Seiring dengan berlalunya malam, fajar menyingsing. Ungkapan “safara as-

subhu wa asfara” artinya fajar menyinari. Asfar al-qoum artinya mereka

memasuki waktu pagi. Asfara artinya menerangi sebelum matahari terbit.

Safara wajhuhu husna wa asfara artinya wajahnya bersinar. Dalam al-Qur’an

ada ungkapan: wujuhun yauma’idzin musfiroh. Al-Farra’ mengatakan:

maksudnya wajahnya bersinar. Ia mengatakan: apabila wanita membuka

cadarnya maka wanita itu disebut safir.

Atas dasar tersebut, terminologi tafsir, baik berasal dari al-fasru

(fasara) atau al-safru (safara) adalah sama. Makna keduanya sama, yaitu

mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap

sebagai tanda bagi mufassir, melalui tanda itu ia dapat sampai pada sesuatu

yang tersembunyi dan samar tersebut.

Di samping itu, banyak ulama yang mengemukakan pengertian tafsir

yang pada intinya bermakna menjelaskan hal-hal yang masih samar yang

dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti,

Page 47: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

80

mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam

kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum.79

Menurut M. Alfatih Suryadilaga yang mengutip paparan Ahmad al-

Syirbashi (dalam bukunya: Sejarah Tafsir al-Qur’an), bahwa ada dua makna

tafsir di kalangan para ulama, yakni: (1). Keterangan atau penjelasan sesuatu

yang tidak jelas dalam al-Qur’an yang dapat menyampaikan pengertian yang

dikehendaki, (2). Merupakan bagian dari ilmu Badi’, yaitu salah satu cabang

ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun

kalimat.80

Suryadilaga masih mengutip tokoh berikutnya, Abu al-Fadha’il Jamal

al-Din Muhammad ibn Manzhur yang mengarang kitab Lisan al-Arab

mengartikannya secara ringkas dengan kata Kasyf al-Mughaththa yang berarti

penjelasan dari sesuatu hal yang masih tertutup. Karenanya, tafsir adalah

penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafal ayat.81

Lain lagi dengan al-Zahabi yang mengartikan dengan al-Idhah wa al-

Tabyin82 yaitu penjelasan dan keterangan. Pengarang al-Majmu’ al-Wasith ini

mengemukakan bahwa tafsir bermakna menjelaskan (wadhaha) atau

membuka sesuatu yang tertutup, seperti penelitian seorang dokter atau

79 Ibid, hlm. 2780 Ibid, hlm. 2781 Ibid, hlm. 2782 Ibid, hlm. 27 lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta:

Dinamika Barakah Utama, 1985), hlm. 65, bandingkan dengan Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, Semarang: Lubuk Karya, 2001, hlm. 160

Page 48: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

81

mengungkap maksud yang dikehendaki suatu lafal yang musykil.83 Karena

yang dijelaskan dan diterangkan itu ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum

jelas, maka tafsir al-Qur’an berarti menerangkan dan menjelaskan makna-

makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat al-Qur’an.84

Sebagian ulama menurut al-Syirbashi lebih merinci lagi pengertian

tafsir dengan rumusan ilmu tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an, sejarah dan

situasi pada saat ayat itu diturunkan, juga sebab-sebab diturunkannya ayat,

meliputi sejarah tentang penyusunan ayat yang turun di Makkah (Makkiyah)

dan yang di Madinah (Madaniyah), ayat-ayat yang Muhkamat, Mutasyabihat,

ayat Nasikh-Mansukh, ayat Khas dan ‘Am, ayat halal dan haram, ayat kabar

gembira dan ancaman, ayat perintah dan larangan dan lain-lain.85

Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, terlihat bahwa di

kalangan ahli tafsir terdapat sedikit perbedaan mengenai pengertian tafsir,

apakah akan diarahkan sebagai ilmu alat atau sebagai tujuan?

Menurut Dr. Abd. Muin Salim semua itu dapat dikompromikan,

sehingga ada tiga konsep yang terkandung dalam istilah tafsir, yaitu: pertama,

kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan al-

Qur’an; kedua, ilmu-ilmu (pengetahuan) yang dipergunakan dalam kegiatan

tersebut; ketiga, ilmu (pengetahuan) yang merupakan hasil kegiatan ilmiah

83 Menurut Muhammad Nor Ichwan yang mengutip tulisan Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi menuliskan bahwa lafaz tafsir berarti kasf al-murad ‘an al-lafzh al-musykil (yang berarti: menyingkap maksud dari suaru lafaz yang masih sulit. Lihat Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm. 160

84 Ibid, hlm. 2785 M. Alfatih Suryadilaga, op.cit, hlm. 28

Page 49: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

82

tersebut. ketiga konsep tersebut tidak dapat dipisahkan sebagai proses, alat

dan hasil yang ingin dicapai (tujuan).86

Sementara itu, di samping istilah tafsir ada pula istilah yang masih

senada, yakni ta’wil. Kata ta’wil muncul dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.

Hal ini menandakan bahwa kata ta’wil sejatinya lebih populer dibandingkan

dengan kata tafsir. Dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran (3): 7:

. .. ...

".. aartiny padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.…”87

Dari ayat di atas ada beberapa kalangan ulama yang menyamakan

makna keduanya (tafsir dan ta’wil). Namun jika dilihat secara etimologi

berasal dari kata aul yang berarti al-ruju’ ila al-ashl, yaitu kembali kepada

asalnya.88 Ala, Ya’ulu, Awlan berarti raja’a. Awwala ilaihi as-syai’ berarti

mengembalikan kepadanya. Kata ta’wil di sini merupakan bentuk taf’il dari

kata kerja awwala, yu’awwilu, ta’wilan, dan bentuk kata dasarnya adalah ala,

ya’ulu yang berarti pulang atau kembali.89

Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pengertian

ta’wil muradif90 dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan maknanya yaitu

86 Abd. Muin Salim, Berbagai Aspek-Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Ujung Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990, hlm 1

87 lihat QS. Ali ‘imran (3), ayat 7 dalam al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama, op.cit

88 Prof. Dr. T. M. Hasbi as-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm. 195

89 Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit. hlm. 289.90 Muradif adalah suatu lafaz yang memiliki kesamaan pengertian atau makna pengetahuan.

Tentang lafaz-lafaz yang muradif ini sangat besar peranannya dalam bidang tafsir. Kalau seandainya

Page 50: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

83

menerangkan (al-bayan), menyingkap (al-kasyf), dan juga berarti menjelaskan

sesuatu (al-idhah).

Dalam al-Qur’an term ta’wil memiliki berbagai macam arti yang

berbeda-beda. Dalam Tulisan Muhammad Nor Ichwan, ia mencuplik

penelitian Muhammad Husain al-Dzahabi, bahwa term ta’wil dapat berarti al-

tafsir wa al-ta’yin91 (arti: penjelasan), al-aqibah wa al-mashir92 (arti: akibat),

wuqu’ al-mukhbir bihi93 (arti: suatu kejadian yang diberitakan), madlul al-

ru’ya94 (arti: ta’bir mimpi), dan juga bisa berarti suatu perbuatan yang

dilakukan oleh Nabi Khidr,95 seperti membakar perahu, membunuh anak

kecil, dan mendirikan bangunan, sementara penjelasan mengenai sebab

dilakukannya perbuatan tersebut adalah sebagaimana yang terdapat dalam

surat dimaksud.96

Sedangkan secara terminologi—masih menurut al-Dzahabi—

pengertian ta’wil dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, pengertian

menurut ulama salaf, dan kedua, pengertian menurut ulama mutaakhirin.

Dalam pengertian pertama pun terbagi lagi menjadi dua, yakni (1) tafsir dalam

arti tafsir al-kalam wa bayanu ma’nahu, yaitu menafsirkan suatu kalam dan

menjelaskan maknanya, baik yang sesuai dengan dhahirnya ataupun tidak.

seseorang tidak mengerti makna suatu lafaz, namun ketika ia tahu arti sinonimnya, maka yang demikian itu akan memudahkan pemahamannya terhadap suatu lafaz dimaksud.

91 Lihat Q.S. Ali Imran/3:7 al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama, op.cit 92 Lihat Q.S. An-Nisa’/4:59. ibid 93 Lihat Q.S. Al-A’raf/7:53, Yunus/10:39. ibid94 Lihat Q.S. Yusuf/12:6;27;44;45;100. ibid95 Lihat Q.S. al-Kahfi/18:78; 82. ibid96 Muhammad Nor Ichwan, loc.cit, hlm. 163.

Page 51: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

84

Menurut pengertian ini antara term ta’wil dan tafsir memiliki persamaan arti

(mutaradif), yaitu menerangkan dan menjelaskan sesuatu. Dan inilah yang

dimaksud oleh Mujahid dengan perkataannya: “sesungguhnya para ulama

mengetahui ta’wilnya, yakni mengetahui ta’wil al-Qur’an”. Nor Ichwan

kemudian mengutip tokoh lain, Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya dengan

kata-kata: “Pendapat tentang ta’wil firman Allah swt. ini …begini dan

begitu…”, dan juga kata-kata: “Ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ayat

ini”. Maka dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kata ta’wil di atas adalah

tafsir. (2) Ta’wil dalam arti nafs al-murad bi al-kalam, yaitu esensi yang

dimaksud dari suatu perkataan (kalam), artinya kalam itu merujuk kepada

makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud.

Menurut pengertian ini antara term ta’wil dengan tafsir memiliki perbedaan

yang mendasar, dan pengertian inilah yang mungkin dimaksudkan dengan

term tawil dalam banyak ayat al-Qur’an.97

Kita bisa melihat antara definisi yang pertama dan kedua memiliki

perbedaan yang sangat jelas. definisi pertama, dalam ta’wil tercakup bab ilmu

dan kalam (rangkaian kalimat). Seperti penjelasan, sarah, dan keterangan.

Biasanya ta’wil itu ada dalam hati, lisan, ia juga memiliki wujud pemahaman,

lafadz dan tulisan. Sedangkan definisi kedua, yang dimaksud ta’wil adalah

esensi dari suatu perkara yang ada di luar, baik terjadi pada masa lampau

97 Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm 164

Page 52: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

85

ataupun yang akan datang. Sebagai contoh, jika dikatakan bahwa “matahari

telah terbit”, maka ta’wilnya adalah esensi terbitnya.98

Sekarang, kita akan melihat bagaimana pemaknaan para ulama

mutaakhirin. Sebagaimana disetujui oleh ulama fiqh, mutakallim, ahli hadits,

dan juga ahli tasawuf, yang artinya :

“memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (maarjuh) karaena ada inndikator-indikator (dalil) yang menyertainya” 99

Sementara itu, ta’wil sering juga disebut sebagai interpretasi metaforis,

yaitu pemahaman atau pemberian pengertian atau fakta-fakta tekstual dari

sumber-sumber suci (al-Qur’an) sedemikian rupa sehingga yang diperlihatkan

bukanlah makna lahiriyah, tetapi lebih pada makna dalam (batin, inward

meaning) yang dikandungknya.100

Perbedaan-perbedaan pengertian linguistik antara tafsir dan ta’wil

tidak pelak mengakibatkan pula perbedaan implikasi metodologisnya. Abu

Zayd memetakan dengan sangat jenial berikut ini: “Mengenai pembedaan

antara keduanya. Dari pengertian secara bahasa tafsir dan ta’wil, kita melihat

98 Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm 16499 Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm 164100 Dr. Nurcholis madjid, Masalah Ta’wil sebagai Metodologi Penafsiran al-Qur’an, dalam

Budi Munawar Rahman (ed)., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 11.

Page 53: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

86

bahwa terdapat perbedaan penting antara keduanya: yang tampak dalam

proses “penafsiran” selalu membutuhkan tafsirah, yaitu medium (mediator)

yang diamati mufassir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang

dikehendakinya. Sementara ta’wil merupakan proses yang tidak selalu

membutuhkan medium ini, tapi kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak

mental (nalar) intelektual dalam menemukan (menyingkap) asal mula

“gejala”, atau dalam mengamati “akibatnya”. Dengan kata lain, ta’wil dapat

didasarkan pada salah satu bentuk hubungan langsung antara “subjek” dengan

“objek”, sementara hubungan semacam itu dalam kegiatan atau proses “tafsir”

tidak berupa hubungan langsung melainkan melalui medium yang berupa teks

bahasa, atau berupa “sesuatu” penanda, atau kadang-kadang melalui “suatu”

indikator. Dalam dua prasyarat (bahasa dan indikator) tersebut hasur terdapat

mediator berupa “penanda” yang dengannya subjek dapat memahami objek

secara sempurna.101

Penelusuran Abu Zayd ini praktis meruntuhkan “status qou

pemahaman” yang selama ini beredar bahwa tafsir dan ta’wil seringkali

disinonimkan. Keduanya seringkali diletakkan dalam kategori yang sama,

sekalipun berada dalam paradigma epistemologi yang berbeda, berikut

gambaran pembedanya:

MEKANISME TAFSIR MEKANISME TA’WIL

Al-Qur’an Al-Qur’an

101 Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit. hlm. 294

Page 54: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

87

Mediator Gerak Nalar

Mufasir Mufasir

Bagan 1. mekanisme tafsir dan ta’wil

C. KONTRIBUSI HERMENEUTIKA TERHADAP TAFSIR TEKS

Dengan sub judul di atas, penulis ingin menguatkan kembali logika

pemahaman yang telah kita dapat, bahwa sebenarnya apa yang dapat kita ambil

(baca: kontribusi) dari metode (baru) hermeneutika ini? Pertanyaan ini, harus kita

ajukan terlebih dahulu, sebelum kita akan membagi model-model penafsiran yang

ada. Karena melihat asumsi-asumsi dasar hermeneutika yang telah terjabar di

muka, sejatinya perhatian dasar hermeneutika (perhatian terhadap teks-konteks)

telah jauh ada dan termaktub orientasinya dalam tema-tema besar klasik Islam

(Ulumul Qur’an) seperti: Makki-Madani, Asbabun Nuzul, juga Nasikh Mansukh

baik secara langsung ataupun tidak.102 Sampai di titik ini klaim bahwa Ulumul

Qur’an masih memadai untuk mengolah dimensi pemaknaan terhadap al-Qur’an

harus diakui memiliki relevansi. Lantas pertanyaannya, jika demikian, apa yang

baru dari hermeneutika? Dan apa kontribusi hermeneutika terhadap tafsir teks,

jika semuanya telah dilakukan oleh keilmuan Islam klasik?.

102 Fahruddin Faiz, op.cit, hlm. 18

Page 55: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

88

Kita coba kembali melihat karakter atau jenis hermeneutika yang terdiri

dari hermeneutical theory, hermeneutical philosophy, dan critical hermeneutic

(lihat bab judul: paradigma hermeneutika). Berdasarkan ketiga jenis hermeneutika

tersebut, maka bisa dikatakan bahwa Ullumul Qur’an tersebut telah memenuhi

kriteria hermeneutika jenis pertama (hermeneutical theory) yang nota bene

mendasarkan diri pada orientasi konteks sebagai salah satu cara untuk menggali

makna (pengetahuan) dari teks. Oleh karena itu, harus dikatakan bahwa secara

hermeneutik, Ullumul Qur’an telah bergerak on the right track.

Di level ini, kita berjalan lebih jauh untuk mengatakan apa sumbangan

penting hermeneutika. Kesadaran konteks, tersebut tidak cukup untuk membawa

pada nilai kualitas sebuah tafsir. Karena dengan kesadaran konteks, hanya akan

membawa seseorang ke ‘masa lalu’, ke masa dimana sebuah teks dilahirkan, apa

tujuan ‘pengarang’-nya dan seperti apa pemaknaan para pembaca teks yang

menjadi audiens pertama teks. Di samping itu, kesadaran konteks saja dan

mencukupkan diri dengan pemaknaan dan pemahaman generasi masa lalu

terhadap teks, hanya akan membawa seseorang kepada keterasingan dari aspek

ruang dan waktu dimana dia hidup saat ini.103 Dalam bahasa hermeneutika,

dengan kesadaran konteks an sich, yang terjadi hanyalah sekadar ‘reproduksi’

makna lama ke dalam ruang dan waktu masa kini. Mungkin saja—dalam aspek

tertentu—pemaknaan lama ini masih relevan dan sesuai untuk diaplikasikan,

103 Ibid.

Page 56: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

89

namun dalam banyak hal bisa dipastikan akan terjadi pemaknaan dan pemahaman

yang mis-placed atau a-historis.

Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman yang berhenti pada konteks ini

adalah dengan menambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan

kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di

dalamnya. Variabel kontekstualisasi yang dimaksud adalah perangkat

metodologis yang bisa menjawab pertanyaan ‘bagaimana agar teks yang

diproduksi dan berasal dari masa lalu bisa dipahami dan bermanfaat untuk masa

kini?’ Dalam istilah jargonal yang sering disebut orang berkaitan dengan al-

Qur’an, pertanyaannya mungkin demikian: ‘bagaimana caranya agar al-Qur’an

shalih li kulli zaman wa makan’? Bagaimana caranya agar al-Qur’an aplicable

untuk segala ruang dan waktu, dan tidak hanya kompatibel untuk ruang dan

waktu ketika teks tersebut muncul pertama kali. Maka dalam bahasa Moqsith,

yang perlu dilakukan adalah adanya proses peremajaan tafsir secara terus menerus

seiring dengan denyut peradaban manusia, bukan malah merubah sosoknya (teks,

al-qur’an) untuk disesuaikan dengan postur zaman.

Membawa arah kontekstualisasi, maka pandangan kita akan tertuju pada

era dimana banyak mufasir al-Qur’an zaman pembaharu yang telah memiliki

kesadaran kontekstualisasi. Adalah Muhammad Abduh, dengan tafsir al-Manar-

nya yang bercorak adab ‘Ijtima’I maupun berbagai tafsir ilmiah yang mencari

Page 57: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

90

kesesuaian ayat al-Qur’an dengna teori-teori sains modern seperti karya tafsir

Thantawi Jawhari.104

Namun ternyata, tafsir-tafsir yang sangat kontekstual pada zamannya

tersebut harus dikatakan memiliki kelemahan dalam kesadaran historis; tepatnya,

tafsir-tafsir tersebut sering mengabaikan kesadaran konteks. Tafsir ini dapat

dikatakan masuk dalam representasi model hermeneutika filosofis murni ala

Gadamerian, karena implisit dalam tafsir-tafsir tersebut sebuah asumsi bahwa teks

adalah sesuatu yang otonomi dan independen sehingga merupakan prerogratif

pembacanya untuk menafsirkannya sesuai dengan nilai ideal mereka.

Sampai di sini, harus ditegaskan bahwa jalur teks-konteks-kontekstualisasi

hendaknya diaplikasikan secara dialektis-dialogis dan berkesinambungan. Dengan

secara intensif mendialogkan ketiga aspek tersebut diharapkan seorang mufasir

selain mampu menangkap tujuan utama dan spirit teks sehingga tidak a-historis,

juga mampu mengaplikasikan pemahamannya dalam realitas kekinian, sehingga

tidak a-sosial, tidak terasing dari ruang dan waktunya.

Kalau demikian adanya, kita bisa mengatakan bahwa letak kelemahan

kitab-kitab tafsir klasik adalah di titik ini, di aspek dialektika teks-konteks-

kontekstualisasi. Ada kitab tafsir yang cenderung melihat teks saja, sehingga

melahirkan pemaknaan harfiah belaka (tafsir al-harfy). Ada yang cenderung

melihat konteks semata, sehingga melahirkan tafsir yang hanya melihat ideal-

ideal pemaknaan masa lalu. Bahkan ada yang merumuskan cara aplikasi teks

104 Ibid. lihat juga Muhammad Mansur et all., op.cit

Page 58: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

91

dalam kehidupan kontekstual an-sich, sehingga terputus kaitannya dengan misi

dan maksud (maqasid) awal al-Qur’an.

Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat dikatakan

membawa sebuah perspektif baru dalam ilmu tafsir al-Qur’an adalah berbagai

tawaran teori dan konsep pemahaman yang berasal dari para tokoh hermeneutika

filosofis (hermeneutical philosophy) dan hermeneutika kritis (critical

hermeneutics). Sumbangan dari kedua paradigma hermeneutika tersebut secara

umum adalah kesadaran akan adanya berbagai determinasi yang turun

menentukan sebuah proses pemahaman, baik determinasi tersebut berasal dari

wilayah sosial, budaya maupun politik, bahkan yang berasal dari wilayah

psikologis. Kesadaran akan adanya determinasi-determinasi ini pada akhirnya

akan mengeliminasi setiap pemahaman dan penafsiran terhadap teks yang merasa

‘objektif’ dan ‘tanpa kepentingan’ serta ‘pasti benar’ .105

Harapannya, dari kesadaran ala hermeneutika kritis inilah nantinya

mampu memunculkan dan menumbuhkembangkan sikap inklusif dan toleran

menghadapi keragaman—atau meminjam bahasa Amin Abdullah (seperti kutipan

kisah dari Anand Krishna di BAB I) adalah siap menerima kebenaran dan

keragaman dan ‘yang lain’.

105 Ibid, hlm. 20

Page 59: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

92

D. MODEL PEMBACAAN HERMENEUTIKA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP REKONSTRUKSI FIQH

Membincangkan soal fiqh, maka kita akan berhadapan dengan

seperangkat hukum-hukum ‘amali yang bersifat praktis sebagai produk dari

aktivitas ijtihad106 para ulama. Menurut Abd. Moqsith Ghazali, satu hal yang

jelas, bahwa sebagai produk ijtihad, sosok dan wajah fiqh sangat bergantung pada

subjektifitas para perumusnya.107 Persoalan siapa yang merumuskannya, dalam

kondisi sosial yang bagaimana dirumuskan, serta dalam lokus geografis seperti

apa, dengan epistemology apa, cukup besar pengaruhnya di dalam proses

pembentukan fiqh. Dengan demikian, fiqh tidak berada dalam ruang kosong, tapi

bergerak dalam arus sejarah, berikut juga tafsir dan pembaruan hukum atasnya

akan selalu ada dan diperbarui sesuai dengan kebutuhan konteks zaman.

Namun jika kita melihat wajah fiqh saat ini, tidaklah demikian adanya.

Yang terjadi dengan fiqh kita saat ini tidak bisa berbuat banyak ketika

dibenturkan dengan berbagai macam problem kemanusiaan. Stagnanisasi serta

kerapuhan fiqh ini ditandai dengan ketidakmampuannya membawa misi progresif

106 Terminologi ijitihad menurut Nadiyah al-Imari terdapat dua pengertian sudut pandang, pertama, dilihat dari segi pemakaian kata; yang memandang ijtihad dengan lebih menitikberatkan pada perbuatan mujtahid (bazl dan istifragh yang berarti pencurahan). Sementara pemahaman kedua, yakni dilihat dari segi ada dan tidaknya batasan (qayyid) seperti definisi apa yang dilakukan oleh mujtahid, faqih. Lihat dalam Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 179-180.

107 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, makalah ini disampaikan dalam acara “Pendidikan Islam Emansipatoris”, kerja bareng antara P3M Jakarta dan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 April 2003, yang bertempat di Ma’had Aliy Sukorejo Asembagus Situbondo.

Page 60: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

93

agama pada tataran praksis.108 Dengan kata lain, Fiqh kita tengah mengalami

dilema besar, yakni proses ‘kemandekan’ kreatifitas para pelakunya untuk

menjadikan fiqh sebagai proses ijtihadi dan dialektika antara doktrin (teks) dan

realitas (konteks).

Diantara problem dan dilemma fiqh yang paling serius ialah tatkala

berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitas

Muslim (non-Muslim), apapun agama dan aliran kepercayaannya.109 Pada tataran

ini Fiqh mengalami kelemahan yang luar biasa. Dimensi keuniversalan dan

kelenturan fiqh seakan-akan tersimpan dalam laci, atau hilang entah kemana.

Dalam studi kasus berikut penulis contohkan beberapa problem fiqh yang

perlu menjadi perhatian serius. Untuk pertama kali, berikut penulis tampilkan

contoh kasus status terhadap kafir dzimmi

Telah diketahui, bahwa ‘kafir’ adalah status yang sering menjadi musuh

dalam fiqh klasik. Maka istilah yang sering diperdebatkan adalah seputar, islam,

iman, kufr, musyrik, murtad dst. Orang kafir dzimmi tidak boleh setara belaka

dengan umat Islam, baik dalam ranah sosial, politik, maupun ekonomi.110 Mereka

diperintahkan untuk memakai symbol-simbol tertentu yang membedakannya

dengna umat islam. Mereka dilarang mendirikan rumah yang atapnya lebih tinggi

dari atap rumah tetangganya yang Muslim. Mereka diharuskan untuk memakai

108 Lihat dalam M. Kholidul Adib, Fiqh Progresif; Membangun Nalar Fiqh Bervisi Kemanusiaan, dalam Jurnal Justisia, edisi 24 tahun XI 2003, hlm. 2

109 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2004, cet. v, hlm. 2.

110 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, op.cit.

Page 61: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

94

pakaian berwarna biru atau kuning, memakai ikat pinggang tebal di atas baju,

memakai peci yang bolong dan robek yang seluruhnya harus menunjukkan

kerendahan posisi kafir dzimmi vis a vis umat Islam.111 Sampai di sini, status

kafir dzimmi kemudian menjadi posisi kelas dua dalam Negara Islam.

Cara pandang ekslusif tersebut, (asumsinya, kebenaran hanya berada

dalam Islam, dan tidak ada di luarnya) banyak mewarnai produk-produk hukum

Islam (fiqh). Misalnya; 1). Walaupun dengan sangat sharih al-Qur’an (QS. Al-

Maidah [5]: 5) meng-endorse (melegalkan/mengesahkan) bahwa pernikahan

Muslim dengan ahl kitab adalah sah, Fiqh kemudian datang dengan penolakannya

yang keras. Belum lagi jika kita melihat pernik-pernik hokum perkawinan, seperti

iddah yang hanya dimiliki oleh perempuan, sementara laki-laki tidak,dll; 2).

Meski al-Qur’an mendukung kebebasan beragama, Fiqh dengan kokoh

menegaskan bahwa pinah agama adalah dosa yang pelakunya mesti dihukum

bunuh; 3). Perbedaan agama (ikhtilaf al-din) adalah penghalang dari seluruh

pewarisan, sehingga seorang muslim tidak akan dapat mewarisi dan mewariskan

kepada non-Muslim. Sementara pandangan Islam juga masih tetap kokoh bahwa

bagian antar laki-laki dan perempuan adalah 2:1 dst.112

Pandangan fiqh dominan yang tercermin dalam gambaran di atas sangat

restriktif (membatasi) dalam berhubungan dengan non-Muslim. Secara sosio-

politis, fiqh yang demikian dimungkinkan lahir dalam situasi yang tidak normal

111 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid. 112 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid.

Page 62: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

95

menyangkut relasi Muslim dengan non-Muslim. Disharmoni tersebut tidak mesti

dialami oleh umat Islam vis a vis umat agama lain. Bisa saja, Fiqh eksklusif itu

muncul dari pengalaman buruk seorang faqih tatkala berkomunikasi dan bergaul

dengan seseorang dari umat beragama lain. Kekecewaan yang menyelimuti faqih

dengan non-Muslim, diakui atau tidak, akan berdampak terhadap Fiqh yang

ditatahnya. Sementara kelompok yang memandang al-akhar (the other, yang lain)

bukan sebagai ancaman, hampir bisa dipastikan corak Fiqhnya akan berbeda

dengan Faqih pertama.113

Lebih lanjut, Moqsith mengutip Musa Towana dalam al-ijtihad wa madza

hajatina ilahi fi hadza al-‘ashar (tanpa tahun: 32-33), bahwa tidakseluruh fuqaha

menolak praktik pernikahan antara umat Islam dengan ahl kitab. Tanpa pernah

diketahui motifnya, Utsman bin Affan seorang sahabat Nabi yang pernah

memperistrikan seorang perempuan Nasrani yang bernama Naylah. Sahabat

Thalhah juga pernah menikai perempuan Yahudi dari Syam.114

Realitas demikian memang nyatanya terjadi dan ini musti kita akui secara

jujur sebagai sejarah kita. Dengan tidak mengurangi penghargaan kita terhadap

tradisi yang telah terbangun kokoh dalam Islam, kita hanya ingin kembali melihat

secara objektif, bahwa kebutuhan zaman (konteks) yang senantiasa berubah inilah

yang menjadi keberangkatan bagi upaya reinterpretasi dan sekaligus rekonstruksi

Fiqh yang senantiasa peka terhadap zaman dan konteks dimana dia hadir.

113 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid.114 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid.

Page 63: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

96

Akhirnya, teks (baik Nash al-Qur’an maupun seperangkat tafsir ulama

klasik terhadapnya yang terangkum dalam hukum fiqh) memang harus dibaca

dalam konteks kehidupan sekarang. Teks tidak bisa berbicara dengan sendirinya.

Al-Qur’an, begitu juga teks fiqh yang telah menjadi ‘monumen suci’ tidak bisa

berbicara sendiri atas nama Tuhan, tanpa adanya peran pembaca yang

membunyikannya. Moqsith yang mengutip al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa

al-Mulk menuliskan bahwa Imam Ali ibn Abi Thalib pernah mengatakan al-

Qur’an khath masthurun bayna daffatayn la yunthiqu innama yatakallamu bihi

al-rijal.115(artinya: teks al-Qur’an tidak bisa hadir sebagai sesuatu yang bermakna

bagi manusia tanpa kehadiran seorang perantara atau makelar).

Sampai di sini, jelas bahwa ‘konteks’ telah memiliki andil yang cukup

penting dan menentukan menyangkut warna dan formula dari sebuah ketentuan di

dalam agama. Coba simak syari’at yang pernah di introdusir oleh para nabi dan

rasul. Dengancara inilah kita dapat mengetahui pembongkaran demi

pembongkaran terhadap sejumlah Syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah

nasikh-mansukh. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, beberapa Syari’at yang

terlihat aus dan bangka kemudian mengalami modifikasi-reformasi.116 Modifikasi

dan reformasi itu bukan hanya berlaku terhadap Syari’at nabi-nabi terdahulu

115 Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, makalah ini juga disampaikan dalam acara “Pendidikan Islam Emansipatoris”, kerja bareng antara P3M Jakarta dan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 April 2003, yang bertempat di Ma’had Aliy Sukorejo Asembagus Situbondo.

116 Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, ibid.,

Page 64: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

97

(syar’u man qablana), melainkan berlangsung dalam batang tubuh syari’at

Muhammad sendiri.

Sebab bagi Moqsith, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai

maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi

mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat

berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat

sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya

pada waktu kemudian karena diketahui lapangan aturan tersebut tidak lagi

menyuarakan kemashlahatan. Untuk lebih memperkuat, Moqsith mengutip ibn

Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maqal fi Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-

Hikmah min al-ittishal aw wujub al-Nadhar al-‘Aqli wa hudud al Ta’wil,

menyatakan bahwa hikmah (kemashlahatan) itu merupakan saudara kandung dari

syari’at-syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.117

Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat-nya, menyatakan bahwa mengetahui

kondisi sosial masyarakat Arab, sebagai lokus awal turunnya al-Qur’an dan

situasi ketika sebuah ayat turun merupakan salah satu prasyarat yang mesti

dimiliki oleh seorang mufassir.118 Dengan ini sesesungguhnya al-Syatibi ingin

mengatakan bahwa aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menguak

maksud sebuah teks bukan hanya dari sudut gramatikal, melainkan juga harus

117 Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, ibid.

118 Lihat kutipan ini dalam Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, ibid.

Page 65: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

98

mencakup pengetahuan tentang keadaan sosio-kultural yang hidup dalam

masyarakat tatkala berlangsung era pewahyuan al-Qur’an. Dengan demikian,

slogan yang berseru agar umat Islam kembali kepada “teks” al-Qur’an dan al-

Sunnah tanpa dilengkapi dengan seruan untuk memahami konteks, hanya akan

menyeret umat Islam ke dalam museum teks mati.

Sehingga peranan pembaca sangatlah penting untuk membunyikan teks

agar tetap ‘bersuara’ ditengah himpitan problem peradaban yang selalu dinamis.

Dan di sinilah kontribusi dan sumbangan metodologi tafsir (hermeneutika) yang

ingin bergerak lebih jauh dari sekadar memahami teks semata (dan konteks

beberapa waktu) seperti yang terdapat dalam metodologi tafsir klasik.

Hermeneutika ingin bergerak lebih jauh dalam mengungkap makna dengan

menjalin retorika dan—meminjam bahasa Bleicher—proses psikologisasi

pengarang (tuhan) kemudian teks, konteks (audiens) dan pembaca. Semua itu

terjalin menjadi teori tafsir yang kita sebut sebagia hermeneutika.

Ketiga elemen hermeneutis yang dipostulatkan dari pernyataan Bleicher di

atas, jika diradikalkan ke dalam bentuk bentuk struktural, akan merujuk kepada

sebuah “struktur triadik” yang menyusun kegiatan penafsiran, sebagaimana

terefleksi juga dalam mitologi Yunani Kuno mengenai makna proses penafsiran

yang dilakukan Hermes. Kegiatan penafsiran selalu berkaitan dengan adanya tiga

unsur: pertama, tanda, pesan, atau teks, dari berbagai sumber, kedua, seorang

mediator yang berfungsi mengerjemahkan tanda atau pesan sehingga dapat

Page 66: BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA A. MENGURAI ASAL ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-wiwitrizka-1291...34 BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA

99

dengan mudah dipahami. Ketiga, audiens yang menjadi tujuan sekaligus

memprasuposisi penafsiran.119

Ketiga unsur tersebut saling berhubungan secara dialektis dan masing-

masing memberi sumbangan bagi proses pembentukan makna, seperti gambar

berikut.

Teks

Penasir Audiens

Bagan 2: Struktur “Triadik”120

Yang menjadi catatan adalah bahwa proses tafsir dengan metode

hermeneutika ini adalah bukan kemudian bermaksud untuk menghilangkan

semangat etik para pembaharu yang telah ada sejak dulu. Dalam arti dengan

semangat etik untuk memecahkan problem kemanusiaan yang setiap kali

berkembang inilah kemudian hermeneutika hadir menjadi pelengkap dari metode-

metode yang selama ini telah ada dalam keilmuan Islam. Sampai di sini, yang

penulis maksudkan bahwa hermeneutika mempunyai sumbangan besar dalam

upaya merekonstruksi bangunan fiqh agar lebih progresif dan membebaskan.

119 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 32-33.120 Kutub-kutub dalam struktur triadik tersebut berhubungan secara dialektis (yang

digambarkan sebagai proses siklis) di mana tidak ada pusat, inti dan hubungan struktural atas-bawah. Lihat dalam Ilham B. Saenong, ibid, hlm 48

Makna