bab ii tinjauan umum konsep hermeneutika a. mengurai asal...
TRANSCRIPT
34
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP HERMENEUTIKA
A. MENGURAI ASAL-USUL HERMENEUTIKA; PENGERTIAN DAN
SEJARAHNYA
Sejatinya, tidak mudah memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang
terminologi hermeneutika hanya dalam satu-dua kalimat. Terlebih, Hermeneutika
secara umum memposisikan diri secara definitif sebagai suatu teori dan/atau
filsafat tentang interpretasi makna.1 Posisi ini menjadi begitu urgen ketika ada
kebutuhan untuk menempatkan teks (al-Qur’an) sebagai kitab suci yang
mengandung ‘bejibun’ makna dan maksud dari penciptanya, yakni Tuhan.
Sembari pada saat yang sama, al-Qur’an butuh lahan kontekstualisasi dan
pembumian agar tetap “dihargai” oleh pembacanya, saat ini, maupun yang akan
datang. Dari teks al-Qur’an, juga akan terus digali konsep hukum bagi
penyelesaian problem kemanusiaan yang akan selalu berkembang dari waktu ke
waktu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syahrastani dalam bukunya yang
berjudul al-Milal wa al-Nihal dengan adagiumnya yang terkenal: “teks-teks nash
(al-Qur’an) itu terbatas sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi
tidak terbatas, oleh karena itu diperlukan ijtihad (termasuk proses hermeneutik)
1 Tulisan ini dikutip dari Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermenutics as Method, Philosophy, and Critique, London, Boston, and Henley: Routledhe & Kegan Paul, 1980, hlm. 1. lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCISOD, 2003, cet. I, hlm. 14.
35
untuk menginterpretasi nash yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak
dikemukakan secara eksplisit dalam nash dapat dicari pemecahannya.”2 Maka
dari itu, untuk menangkap dan mendapatkan pesan dari Allah berwujud al-Qur’an
secara utuh dan komprehensif, tentu saja membutuhkan perangkat dan metode
yang komprehensif pula.
Inilah yang akan kita sebut selanjutnya dalam pembahasan ini sebagai
metode atau teori yang hangat akhir-akhir ini diperbincangkan: hermeneutika,
sebuah metode dan/atau teori filsafat yang digunakan untuk menganalisis dan
memecah kebuntuan tafsir, agar kemudian teks bisa dipahami secara benar dan
komprehensif lagi membebaskan.
Secara bahasa, akar kata Hermeneutika merujuk pada bahasa para filosuf
kuno, Yunani: hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan)
dan hermeneia (penafsiran atau interpretasi).3 Hermeneuein memposisikan diri
sebagai kata kerja, sementara hermeneia merepresentasikan diri sebagai kata
benda.
Istilah hermeneueine dan hermeneia dalam berbagai bentuknya dapat
dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunanai Kuno, seperti
2 Dikutip dari Abd. Salam Arief dalam Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta: Lesfi, 2003, hlm. 15.
3 Abd. Salam Arief, Ibid, lihat juga Richard E. Palmer, Hermeneutics: interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthy, Heidegger, and Gadamer, terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet. I. hlm. 14. Lihat juga Moh. Ali Topan dalam makalahnya berjudul Memahami Metode Hermeneutik dalam Studi Arsitektur dan Kota, (www.islamlib.com), 2003.
36
“Organon” karya Aristoteles4 yang didalamnya terdapat risalah terkenal pada bab
logika proposisi yang bertajuk “Peri Hermeneias” (tentang penafsiran). Ia juga
digunakan dengan bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus, juga terdapat
dalam karya Plato5 yang (dalam bahasanya) menyebut para penyair kala itu
dengan sebutan hermenes (penafsir) para Tuhan.6 Kemudian, varian
pemahamannya saat itu berkembang pesat oleh ‘sentuhan pena’ para penulis kuno
terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan
Longinus7 yang mencurahkan nuansa makna hermeneutika pada signifikansi
modern, khususnya pada sastra dan interpretasi kitab suci (baca: bibel).
Masih dalam kerangka pemahaman bahasa, istilah Hermenutika seringkali
diasosiasikan dengan kata Hermez8, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani,
4 Aristoteles (384 SM – 322 SM) adalah murid plato yang mengajarkan hakikat tentang ada, ia membedakan ada menjadi dua: yang primer dan sekunder. Ia juga mengatakan bahwa tugas ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki, yang menurutnya ada 4 penyebab: penyebab material (material cause); penyebab formal (formal cause); penyebab efisien (efficient cause); dan penyebab final (final cause). Lebih jelas lihat Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. IV, hlm. 59-65.
5 Plato (428 SM – 348 SM) adalah murid Socrates yang meneruskan tradisi dialog dalam filsafat. Ia dikenal sebagai filosof dualisme, artinya ia mengakui adanya dua kenyataan yangterpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan (inderawi). Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi, di dalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia bayangan (inderawi) adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indera. Lebih jelas Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, ibid, hlm 63
6 Lihat Alireza Alatas dalam makalahnya yang berjudul Menimbang Pandangan Hermeneutika, dalam situs www.islamalternatif.com. Himpunan Pelajar Islam Iran/HPI, 2005, di download pada sabtu, 15 Oktober 2005.
7 Richard E.Palmer, op.cit8 Dalam berbagai literatur sebagaian besar menyebutkan bahwa Hermes adalah bentuk bentuk
dari mitologi Yunani yang mencitrakan diri sebagai Dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa (suara langit) kepada manusia (bumi). Oleh karenanya Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menerjemahkan sebuah pesan ke dalam bahasa yuang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu.
37
dimana (dimaknai) sebagai utusan “Tuhan Perbatasan”. Tepatnya, Hermez
diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia
ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di sinilah terjadi
mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat
intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami.9
Sehingga, para sarjana ilmu-ilmu al-Qur’an memahami kata tersebut
(baca: hermez) mempunyai tiga gradasi (tingkatan) prinsip interpretasi, yang
dapat menunjukkan variabel kegiatan manusia dalam proses pemahaman, yakni:10
(1). Matan atau teks atau tanda (sign), yakni pesan yang muncul dari sumbernya,
yang diasosiasikan sebagai pesan/teks yang di bawa oleh Hermez; (2). Perantara,
yakni penafsir (hermez), dan (3). Perpindahan pesan ke pendengar (lawan bicara).
Dari ketiga gradasi prinsip tersebut di atas, kita akan bisa meraba, bahwa
proses sirkulasi tafsir akan segera dilakukan tatkala telah lengkap perangkatnya:
teks (sign) selaku sumber hukum dari Tuhan, kemudian si-penafsir sebagai
pembaca teks, dan pendengarnya sebagai proses pemindahan pesan dari Tuhan,
pembaca hingga audiens teks tersebut turun (hadir). Dari sini, diketahui bahwa
hermeneutika seringkali digunakan untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum
Secara teologis, peran hermes ini bisa dinisbatkan sebagai mana peran nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotesis menarik, bahwa Hermes tersebut tak lain adalah nabi Idris AS yang disebut dalam al-Qur’an, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, op.cit, hlm 14, lihat juga E. Sumaryono, Hermeneutika: sebuah Metode Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 23
9 Richard E.Palmer, op.ci.t10 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 23. lihat juga Fahrudin Faiz, Hermeneutika
al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ, Press, 2005, hlm. 4, lihat juga tulisan Alireza Alatas dalam makalahnya yang berjudul Menimbang Pandangan Hermeneutika, op.cit.
38
penafsiran sehingga dengan bantuan metode penafsiran yang benar, dapat
menghindarkan diri dari distorsi makna.
Dari kerangka tersebut, kemudian muncul pemahaman bahwa kata
hermeneutika yang diambil dari peran Hermes merupakan sebuah ilmu atau seni
menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu,
hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari (mengungkap,
menyingkap) makna, rasional dan dapat diuji, dalam hal ini kita akan menemukan
prinsip hermeneutika sebagai sebuah metode yang erat terkait dengan bahasa.
Sampai di sini, Richard E. Palmer dalam karyanya yang berjudul
Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthy, Heidegger, and
Gadamer menjelaskan bahwa bahasa merupakan mediasi yang paling sempurna
dalam proses (interpretasi). Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami”
yang diasosiasikan dengan Hermez ini terkandung di dalam semua tiga bentuk
makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga
bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein, yaitu: (1).
Mengungkapkan11 (to exprees, untuk mengekspresikan) kata-kata, misalnya, “to
11 Bentuk dasar makna pertama dari herme>neuein adalah “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan) atau “to say” (menyatakan). Ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermez.
Signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa latin seimo, “to say” (menyatakan). Dan bahasa Latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, di dalam memberitakan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan” sesuatu; fungsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan (proclaim). Utusan, seperti hlmnya Hermes, dan seperti pendeta di Delphi, (atau dalam islam: Rasul/Nabi), membawa keimanan yang diturunkan dari Tuhan. di dalam “perkataan” atau pernyataannya, ia, seperti Hermes, “berada di antara” Tuhan dan manusia. Bahkan secara sederhana perkataan, pernyataan, atau penegasan merupakan bentuk penting dari “interpretasi”.
39
say”; (2). Menjelaskan,12 (to explain) seperti menjelaskan sebuah situasi; (3).
Menerjemahkan (to translate), seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga
makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris “to interpret”, namun
masing-masing ketiga makna itu membetuk sebuah makna independen dan
signifikan bagi interpretasi. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu kepada
tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan
transliterasi dari bahasa lain.13
Hanya saja kita bisa mencatat bahwa secara prinsip “proses Hermez”
sedang berfungsi dalam ketiga persoalan itu, sesuatu yang asing, ganjil, waktu
yang berbeda, tempat atau pengalaman nyata, hadir, komprehensif; sesuatu yang
memerlukan representasi, eksplanasi, transliterasi yang bagaimanapun juga
“mengarah pada pemahaman”—“diinterpretasi”.14 Dalam bahasa Zygmunt
Baumann, dijelaskan bahwa hermeneutika menjadi upaya menjelaskan dan
menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak
jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan
12 Arti makna kedua dari kata herme>neuein adalah “to explain”, menjelaskan. Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi ekspresif. Hlm yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu saja (meskipun hlm ini juga terjadi dan ini merupakan tindakan utama interpretasi);menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. seseorang dapat mengekspresikannya merupakan interpretasi, dan menjelaskannya juga merupakan bentuk “interpretasi”.
13 Lihat dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 24-25.
14 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Ibid, hlm. 16.
40
bagi pendengar atau pembaca.15 Atau dalam pemahaman lain, fungsi
hermeneutika adalah untuk membawa sesuatu yang asing (unfamiliar), jauh
(distant), dan tidak jelas maknanya (obscure in meaning), menjadi nyata, dekat
dan jelas maknanya (intelligible).16
Palmer kembali menambahkan, baik dalam bahasa Yunani, maupun dalam
bahasa Inggris, tiga pengertian mengenai hermeneutika di atas kemudian
dirangkum dalam pengertian “menafsirkan” (interpreting, understanding). Hal ini
karena segala sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan,
penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan bahasa, pada dasarnya
mengandung proses “memberi pemahaman” atau, dengan kata lain,
“menafsirkannya”17
Kemudian, lebih jauh lagi, jika kita lihat pelbagai literatur hermeneutika
modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional,
dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih
dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis
berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang
perbincangan tentang teori penafsiran atau filsafat penafsiran yang lazim
dipahami dalam terminologi hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar
15 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an; Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005, hlm. 5
16 Abdul Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an, makalah ini disampaikan dalam acara “Pendidikan Islam Emansipatoris”, kerja bareng antara P3M Jakarta dan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 April 2003, yang bertempat di Ma’had Aliy Sukorejo Asembagus Situbondo.
17 Lihat dalam Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 24.
41
aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai
aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan
ber-exegesis.
Sementara itu, merujuk berbagai diskursus yang berkembang dalam
filsafat kontemporer, di samping hermeneutika mempunyai kedekatan terminologi
dengan eksegetis, hermeneutika pula pada umumnya dapat juga didefinisikan
sebagai disiplin yang berkenanaan dengan “teori tentang penafsiran”. Istilah teori
di sini tidak dapat semata-mata diartikan sebagai Kuntslehre, sebuah istilah yang
digunakan Schleiermacher untuk menunjukkan suatu eksposisi metodologis
tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran teks-teks. Akan tetapi, istilah
teori juga merujuk kepada “filsafat” dalam pengertian yang lebih luas karena
tercakup di dalamnya tugas-tugas menganalisis segala fenomena dasariah dalam
proses penafsiran atau pemahaman manusia. Jika yang pertama lebih bersifat
teknis dan normatif, maka yang terakhir ini meletakkan hermeneutika secara lebih
filosofis, kalau bukan menganggapnya filsafat itu sendiri.
Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan
perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran,
menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus
dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Oleh karena
itu, hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan adanya kebenaran di balik
teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut, dibutuhkan metode-metode
penafsiran yang relatif memadai.
42
Sementara itu, hermeneutka dalam pengertian filsafat pertama-tama bukan
berurusan dengan tetek-bengek kebenaran sebuah penafsiran dan cara-cara
memperoleh kebenaran tersebut. Ia lebih kompeten memperbincangkan hakikat
penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul sebagai suatu kebenaran,
atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar. Di sini hermeneutika
menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan
bagaimana hasil pemahaman tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan
disanggah. Gadamer dalam bahasa yang lebih tegas mendeklarasikan bahwa
hermeneutika bertugas merefleksikan “segala cara manusia memahami dunia dan
bentuk-bentuk ungkapan pemahaman tersebut”.18
Dari kerangka penjelasan di atas, dapat kita simpulkan secara tentatif
bahwa hermeneutika adalah disiplin yang relatif luas mengenai teori penafsiran.
Ia mencakup metode penafsiran dan filsafat penafsiran sekaligus. Bahkan
sebelum berkembang sebagai suatu disiplin yang mandiri sebagaimana akan
dipaparkan di bagian berikut ini, ia disebut-sebut sebagai seni memahami atau
teknik praktik penafsiran.
Kita telah sedikit mendapatkan pengertian bagaimana pemahaman
hermeneutika baik dari sisi bahasa, istilah dan varian-varian yang menyembul
diantaranya. Untuk selanjutnya, kita akan coba ‘menanyakan’ pada Farid Esack
sendiri yang (dalam hal ini) merujuk Carl Braaten, bahwa hermeneutika adalah
the science of reflecting on how a word or an event in past time and culture may
18 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 131.
43
be understood and become existianlly meaningful in our present situation.19
Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah
kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan
menjadi bermakna secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Proses ini,
ujar Braaten, melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran
maupun asumsi-asumsi epistemologis tentang pemahaman.
Sementara Rudolf Bultman sebagaimana dikutip dalam tulisan Abdul
Moqsith Ghazalli, menyatakan the term hermeneutics is generally used to
discrible the attempt to span the gap between past and present. Yang bermaksud,
biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan
masa kini.20 Paul Ricoeur selanjutnya menemukan inovasi pemaknaan yang lebih
jauh dari sekedar jembatan makna antara jurang masa lalu dengan masa kini,
yakni meletakkan hermeneutika lebih banyak berkaitan dengan proses interpretasi
teks; teks (yang dimaksud dalam pemahamannya) sebagai “setiap diskursus yang
ditetapkan dalam bentuk tulisan” (any discouce fixed into writing). Hermeneutika
dipakai sebagai metode pembacaan atas teks dalam kerangka untuk menemukan
dimensi-dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan sebelumnya,
bahkan yang dimaksudkan oleh makna awalnya.
19 Lihat Farid Esack, Qur’an liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, London: One World Oxford, 1997, terj. Edisi Indonesia, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 82-83.
20 Abdul Moqsith Ghazali, op.cit.
44
Sebagai sebuah pendekatan, tentu hermeneutika menyadari sepenuhnya
bahwa untuk menangkap makna sebuah teks tidak bisa hanya dengan
mengandalkan pemahaman dari sudut gramatika bahasa semata seperti yang
dijelaskan oleh F. Budi Hardiman di muka, melainkan juga memerlukan data dan
pemahaman konteks sosial dari teks tersebut. Pemahaman yang lebih tepat dan
berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwa
kitab suci tidak sekadar “bundelan” teks mati, tetapi selalu merupakan sesuatu
yang bertali-temali dengan satu tradisi yang sedang berlangsung. Yaitu
berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat sebagai pembacanya.21 Di
sinilah berjalan asumsi yang menyiratkan bahwa hermeneutika bersifat “plural”.
“Pluralitas” yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber
dari keragaman konteks hidup manusia. Sebenarnya kesadaran akan pluralitas
pemahaman yang disebabkan oleh perbedaan konteks ini telah muncul sejak lama
dalam tradisi intelektual-filosofis, misalnya dalam pebedaan antara nomena-
fenomena dari Immanuel Kant.
Maka kemudian, dalam logika hermeneutika akan meniscayakan beberapa
pertanyaan kritis-mendasar: bagaimana orang memaknai sebuah teks? Apakah
orang yang berbeda punya pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama?
21 Nashr Hamid Abu Zayd menegaskan bahwa teks al-Qur’an sendiri pun pada dasarnya adalah produk kebudayaan, dalam pengertian; teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rendang waktu lebih dari dua puluh tahun. tatkala tuhan meminjam bahasa manusia untuk menyampaikan gagasan-gagasan-Nya kepada masyarakat Arab waktu itu, maka pada saat itulah al-Qur’an sebagai kalam Tuhan berada dalam jaring-jaring kebudayaan. Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, an-Nash, as-Sulthah, al-Haqiqah, terj. Teks Otoritas Kebenaran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. vi. lihat juga Syafiq Hasyim, Pemikiran Islam Kontemporer, Potret “Dissedent Muslim Thinkers”, makalah lihat dalam situs Islam emansipatoris (www.islamemansipatoris.com)
45
Bagaimana dengan orang yang sama dalam latar keadaan yang berbeda? dan, Apa
itu teks? Itulah pemahaman terahadap teks yang menimbang adanya konteks,
keduanya akan saling berpengaruh dalam menghadirkan sebuah tafsir.
Di sinilah inti dari kerja-kerja hermeneutika, pemahaman dengan
menimbang konteks ‘yang dipahami’ dan pelacakan terhadap apa saja yang
mempengaruhi sebuah pemahaman sehingga menghasilkan keragaman. Visi
besarnya, kita akan mengungkap bagaimana suasana psikologis dan sosio historis
(wacana) sebuah teks (al-Kitab, al-Qur’an dan sebagainya, termasuk teks-teks
keislamana saat ini). Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan
Ferdinand de Saussure22—seorang ahli bahasa asal Swiss—adalah hubungan yang
dialektis antara teks dan wacana. Ahmad Fuad Fanani juga ikut membahasakan
bahwa dengan metode hermeneutika maka subtillitas intelegendi (ketepatan
pemahaman) dan subtillitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan al-
Qur’an dapat tercapai dan ditelusuri secara komprehensif.23
Itu semua akan kita dapatkan sebagai buah manfaat metodologi
hermeneutika sebagai ilmu tafsir yang mempunyai nilai lebih dalam mengungkap
makna-makna tersembunyi dalam setiap teks, termasuk al-Qur’an yang
didalamnya terkandung makna hukum, maupun teks-teks keislaman lainnya
(sekunder dan tersier).
22 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 199523 Lihat Ahmad Fuad Fanani dalam Metode Hermenutika untuk al-Qur’an, dalam
www.islamlib.com, makalah tidak diterbitkan.
46
Selanjutnya, konsep hermeneutika perspektif histories. Terlebih dahulu,
penulis mengutip apa yang ditulis oleh Abd. Moqsith Ghazali, bahwa sebagai
sebuah teks, al-Qur’an (awalnya) adalah bungkam, sedangkan yang
membunyikan (kemudian) adalah manusia sebagai pembacanya (al-nash la
yanthiqu wa lakin yunthiquhu al-rijal).24 Ini artinya, pada periode-periode awal,
kaum muslim awal—yang dipahami sebagai era sejak Nabi Muhammad SAW—
telah mengajak umat Muslim saat itu untuk memahami (‘membunyikan’,
membumikan) pepesan Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an secara benar dan
kontekstual. Maka kemudian muncul seperangkat ilmu-ilmu pemahaman (tafsir
teks) yang dari percikannya menyembulkan tema-tema hermeneutis seperti
munasabah, asbab nuzul dll yang bermaksud untuk menemukan makna yang
sesungguhnya.
Tentang pedoman dalam memahami—teks yang secara gradual menjadi
pemahaman terhadap nash—ini telah mengalami perkembangan sejak ulama
Ushul mulai mengembangkan metodologi generik untuk memahami teks al-
Qur'an, khususnya dalam kandungan hukumnya. Imam Al Syafi'i adalah salah
satu ulama yang menggagas ilmu ini. Maraknya perkembangan metode kajian
teks secara tekstual—sekadar untuk membedakannya dengan metode ta'wil—ini
mendorong munculnya disiplin kajian teks dari sisi kedalaman yang berwatak
retoris. Mereka mencoba mengungkap makna teks dari yang tidak terkatakan
24 Abd Moqsith Ghazali, ibid.
47
melalui "retorika ijtihadiyah", reflektif, berdasarkan pembacaan-pembacaan
terhadap tanda yang hakiki dan majazi.25
Farid Esack sendiri menuliskan bahwa kaum Muslimin memang telah
sejak awal memahami arti pentingya metode penafsiran (baca: hermeneutika)
terhadap al-Qur’an, sembari mereka menyadari bahwa ada ketidakpastian yang
senantiasa menyertai kerja-kerja penafsiran. Dalam perang Shiffin (657), para
pendukung Mu’awiyah (yang wafat 680) memohon agar perselisihan dan
permusuhan mereka dengan ’Ali Ibn Abi Thalib (wafat 661) diselesaikan dengan
menjadikan al-Qur’an sebagi penengah. Kata-kata Ali di bawah ini merefleksikan
dilema yang dihadapi oleh umat Muslim yang berkomitmen terhadap al-Qur’an:
Ketika Mu’awiyah mengajakku untuk merujuk kepada al-Qur’an dalam membut suatu keputusan, aku tak sanggup memalingkan wajahku dari kitab Allah itu. Allah yang maha kuasa berfirman bahwa “jika kamu berselisih tengan sesuatu, kembalikan kepada allah dan utusan-Nya”. [Akan tetapi], inilah al-Qur’an itu, yang ditulis dengan sebenar-benarnya, dan berdiri di antara dua pihak; namun ia tak berbicara dengan lidahnya; ia butuh penafsir dan para penafsir adalah manusia (tulisan ini dikutip Esack dalam al-Razi 1979, hal. 248).26
a. Perkembangan Teori (Hermeneutika)
Karenanya, kita bisa memahami, bahwa hermeneutika sebagai metode
penafsiran (hermeneutical theory), dalam sejarahnya telah muncul lebih awal
daripada hermeneutika dalam pengertian filsafat pemahaman (hermeneutical
philosophy).27 Meskipun baru berkembang luas sejak abad ke-17,
hermeneutika sebagai metode dapat dilacak kemunculannya paling tidak sejak
25 lihat Tedi Kholiludin, Melawan Hegemoni Wahyu; Akal Wahyu dan Kebebasan Berpikir, dalam Jurnal Justisia edisi 27 tahun XII 2005, hlm. 2
26 Lihat Farid Esack, op.cit, hlm. 81-82 27 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 26.
48
periode Patristik28, jika bukan pada filsafat Stoik29 yang mengembangkan
penafsiran alegoris terhadap mitos, atau bahkan pada tradisi sastra Yunani
kuno. Hanya saja model hermeneutika sebelum abad ke-17 tersebut, di
samping belum memperkenalkan istilah hermeneutika secara definitif, juga
belum direfleksikan secara filosofis. Hermeneutika yang dikembangkan pada
masa-masa itu bahkan lebih menyerupai “seni” ketimbang metode-metode
dalam pengertian filsafat modern30. Untuk lebih jelasnya, kita akan membagi
babakan sejarah perkembangan (teori) hermeneutika menjadi enam babakan
berikut ini:31
1. Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
28 Patristik berasal dari akar kata Latin, Pater, yang berarti Bapa. Yang dimaksud adalah para bapa Gereja. Jadi patristik lebih ditekankan pada filsafat Kristen yang konfontatif dengan filsafat Yunani pada abad ke 7-8. Zaman patristik adalah zaman dimana mulai muncul para pemikir dari agama Kristen. Para pemikir Kristen pada zamana ini mengambil sikap yang bermacam-macam, ada yang menolak sama sekali filsafat yunani, karena dipandang sebagai pemikiran manusia semata-mata, yang setelah ada wahyu ilahi dianggap tidak diperlukan lagi, bahkan berbahaya bagi iman kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima (filsafat Yunani), karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi injil. Lihat dalam Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, cet. 12, hlm. 70.
29 Aliran filsafat Stoik, muncul di Athena sekitar 300 SM. Pendirinya adalah Zeno, yang aslinya berasal dari Syprus dan bergabung dengan kaum Sinis di Athena setelah kapalnya karam. Dia sering mengumpulkan para pengikutnya di bawah serambi. Nama 'Stoik' berasal dari kata Yunani yang berarti serambi (stoa). Stoikisme di kemudian hari mempunyai pengaruh besar pada kebudayaan Romawi. kaum Stoik benar-benar 'kosmopolitan', dalam pengertian bahwa mereka lebih mudah menerima kebudayaan kontemporer dibanding 'para filosof tong' (kaum Sinis). Mereka memberi perhatian pada persahabatan manusia, sibuk dengan politik, dan kebanyakan dari mereka, terutama Kaisar Romawi, Marcus Aurelius (121-180 M) adalah negarawan yang aktif. Mereka mendorong berkembangnya kebudayaan dan filsafat Yunani di Romawi, dan salah seorang tokoh yang paling menonjol di antara mereka adalah sang orator, filosof, dan negarawan, Cicero (106-43 SM). Dialah yang membentuk konsep 'humanisme' yaitu suatu pandangan hidup yang menempatkan individu sebagai fokus utamanya. Lihat dalam Pikiran Rakyat Cyber Media, 2002.
30 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 2731 lihat pembagian babakan perkembangan heremeneutika ini dalam karya Nafisul Atho’ dan
Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 18.
49
Istilah hermeneutika muncul secara definitif pertama kali dalam
karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus
Exponendarums Sacrarum Litterarum yang terbit pada tahun 1654.32
Hanya saja, berbeda dengan pengertian dan lingkup studi kontemporer
mengenai hermeneutika, buku tersebut terbatas pada pembicaraan tentang
metode menafsirkan teks-teks bibel.33 Dalam buku tersebut pula
ditampilkan pembahasan mengenai perbedaan antara hermeneutika
dengan eksegese, sebagaimana dibedakannya metodologi dengan
penerapannya.34 Era ini menjadi periode awal bagaimana hermeneutika
dijadikan sebagai teori penafsiran terhadap kitab-kitab suci, sekaligus
banyak orang yang mengenal dan memahami hermeneutika adalah
berawal dari era ini (hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci).
2. Hermeneutika sebagai Metodologi Filologi
32 Dari judul buku tersebut Ricard E. Palmer menuliskan: “… seseorang dapat menyimpulkan bahwa hermeneutika sebagai metodologi interpretasi dibedakan dari penafsiran distingsi antara komentar aktual (eksegesis) dan kaidah-kaidah, metode, atau teori yang membimbingnya (hermeneutika) berasal dari penggunaannya yang paling awal dan masih menjadi dasar bagi pendefinisian hermeneutika baik dalam teologi maupun, ketika definisi tersebut diperluas belakangan, dalam kaitan dengan literatur non-biblis (termasuk al-Qur’an dan teks keislaman lain, pen).” Lihat Muhammad Ata’ al-Sid, the Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic History, terj. Ilham B. Saenong, Sejarah Kalam Tuhan; Kaum Beriman Menalar al-Qur’an Masa Nabi, Klasik dan Modern, Jakarta: Teraju, 2004, cet. I, hlm. 12. lihat juga Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, ibid.
33 Richard E.Palmer, op.cit, hlm. 34. 34 Eksegese dipahami sebagai komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika
adalah metodologi yang dipakai dalam ber-eksegese. Eksegese memunculkan permasalahan hermeneutika karena setiap pembacaan kembali sebuah teks selalu mengambil tempat di dalam suatu komunitas tertentu. Tema tentang eksegetik juga dapat dijumpai dalam pemikiran Esack, lihat dalam tulisannya, Farid Escak, The Qur’an and The Other, from Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts Oppression, 1997, http://uk.geocities.com/faridesack/
50
Ketika rasionalisme berkembang dengan pesat dan seiring dengan
perkembangan tersebut, filologi klasik berkembang pada abad pencerahan,
pada saat itu pula terjadi perkembangan besar dalam penafsiran kitab suci
(bible). Aliran “gramatis dan “historis” mengafirmasikan dan
mengintrodusir metode historis kritis dalam menafsirkan kitab suci. Pada
tahun 1761, Ernesti mengumandangkan gagasan bahwa pegertian verbal
kitab suci haruslah tunduk di bawah aturan yang sama dengan yang
diterapkan pada teks lainnya. Metode hermeneutika kitab suci menjadi
tidak berbeda dengan teori penafsiran teks lain, yakni filologi klasik.
Kajian tentang hal ini dikembangkan oleh Schleiermacher pada abad ke-
19, juga oleh dua tokoh yang hidup se-zaman dengan Schleiermacher
yaitu Frederich August dan Frederich Ast.35 Oleh Schleiermacher,
hermeneutika dimaksudkan sebagai usaha untuk mengangkat filologi
klasik dan segala disiplin penafsiran lainnya kepada level Kunstlehre,
yakni kumpulan metode yang tidak terbatas pada kegiatan penafsiran yang
parsial dengan membawa disiplin ini kepada perumusan prinsip-prinsip
penafsiran yang lebih bersifat umum.
3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Schleiermacher kemudian memperjelas eksistensi hermeneutika
sebagai sebuah ilmu atau seni pemahamn. Konsepsi hermeneutika seperti
ini memiliki pengaruh terhadap kritik radikal dari sudut pandang filologi,
35 Richard E.Palmer, op.cit, hlm. 34.
51
karena ia melampaui batas konsepsi hermeneutika sebagai suatu agregat
peraturan-peraturan dan membuat hermeneutika menjadi koheren secara
sistemik, suatu ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi bagi suatu
pemahaman di dalam semua dialog. Hasilnya bukan sekadar hermeneutika
filologis, tetapi suatu “hermeneutika umum” yang prinsip-prinsipnya
dapat menjadi dasar bagi semua bentuk interpretasi teks. Konsepsi
“hermeneutika umum” ini menandai berawalnya hermeneutika non-
disipliner yang signifikan bagi diskusi kontemporer.36
4. Hermeneutika sebagai Dasar Metodologis Ilmu-Ilmu Sejarah
Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof Jerman yang cukup
terkenal di penghujung abad ke-19 yang menulis biografi Schleiermacher.
Perhatiannya pada sejarah lebih banyak memadukannya dengan filsafat
untuk maksud mengembangankan suatu pandangan filologis yang
integral-komprehensif dan tidak terjaring oleh dogma metafisika serta
tidak ditenggelamkan oleh prasangka. Hermeneutika pada dasarnya
bersifat menyejarah. Artinya, makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada
suatu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.
Sehingga interpretasi pun seperti benda cair yang tidak pernah ada suatu
kanon (hukum) atau aturan untuk interpretasi.
Hermeneutika sebagai dasar metodologis ilmu sejarah dapat dilihat
seperti peristiwa sejarah yang dapat dipahami dengan tiga proses.
36 Ibid. hlm, 38-40
52
Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli. Kedua,
memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara
langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah, dan ketiga, menilai
peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan-gagasan yang berlaku
pada saat sejarawan itu hidup. Maka sejarah dapat ditemukan dalam
sistem hubungan dinamis yang saling tumpang tindih dalam proses
sejarah, dan oleh karenanya semua peristiwa sejarah harus diinterpretasi
ulang dalam setiap generasi.
Di era ini Dilthey mengembangkan disiplin hermeneutika secara
lebih dalam dengan menjadikan sebagai fondasi metodologis bagi ilmu-
ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften). Ia dalam hal ini merumuskan
metode verstehen (memahami) yang spesifik bagi ilmu sosial dan budaya
yang berbeda dengan erkleren (menjelaskan) yang lazim dalam ilmu-ilmu
alam. Menurutnya, fenomena sosial bersifat ekuivok dan
multidimensionel sehingga hanya dapat ”dipahami” dan bukannya
“dijelaskan”. Karena yang terakhir ini hanya cocok untuk mengetahui dan
memanipulasi fenomena-fenomena alam yang bersifat univok.37
5. Hermeneutika sebagai Fomenologi Dasein dan Pemahaman
Eksistensial
Hermeneutika sebagai “hermenutika dasein” merupakan
hermeneutika yang tidak terikat dengan ilmu atau peraturan interpretasi
37 Ilham B. Saenong, op.cit
53
teks, dan juga tidak terkait dengan metodologi bagi ilmu sejarah
(humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomenologis dari cara
beradanya. Martin Heidegger membawa metode ini sebagai rujukan dari
metode fenomenologi Edmund Husserl. Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi
manusia.
Usaha Heidegger ini memperoleh respon positif dari Gadamer
dengan mengembangkan secara sistemik hermeneutika filosofis. Gadamer
mengkaitkan hermeneutika dengan estetika dan filsafat tentang
pemahaman historis, hermeneutika dalam konteks ini telah dibawa satu
langkah masuk ke dalam wilayah “linguistik” dengan ungkapan Gadamer
yang kontroversial: “ada yang dapat dipahami yakni bahasa”.
Hermeneutika adalah perjumpaan dengan being melalui bahasa.
6. Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Paul Ricoeur mengulang kembali definisi hermeneutika sebagai
teori penafsiran (eksegesis) tekstual. Bagi Ricoeur, hermeneutika adalah
teori tentang peraturan yang menentukan suatu eksegesis, interpretasi
suatu bagian teks atau kumpulan tanda yang dapat dianggap sebagai
sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang bertolak dari isi
dan makna yang tampak, kepada makna yang tersembunyi. Obyek
interpretasi adalah teks dalam pengertian luas, yang mencakup simbol-
simbol mimpi, mitos dan simbol masyarakat atau literatur. Dalam konteks
54
ini Ricoeur meminjam analisis psikoanalisisnya Sigmund Freud. Dengan
hermeneutika ini, Ricoeur ingin membongkar kendala-kendala
hermeneutis dalam mitos dan simbol serta secara reflektif
mensistematisasi realitas di balik bahasa, simbol, dan mitos.
Dalam perkembangan mutakhir pasca-Dilthey, hermeneutika
mengalami pergeseran penting dari fungsinya sebagai metode pemahaman
dan pencarian kebenaran yang merepresentasikan cara kerja epistemologi
kepada kecenderungan baru sebagai sebuah filsafat dengan titik
penekannya pada aspek ontologis dalam pemahaman. Di sini
hermeneutika lebih concern dalam merefleksikan fenomena dasariah yang
terjadi dalam proses penafsiran. Kecenderungan baru tersebut muncul,
sebagaimana yang tampak dalam karya Martin Heidegger dan Hans-Georg
Gadamer, dengan suatu pendirian kuat bahwa hermeneutika tidak semata-
mata berkaitan dengan metode yang selama ini dianggap menentukan
benar-salahnya sebuah penafsiran. Tapi, hermeneutika justru harus
merefleksikan apa-apa yang berada di balik berbagai metode dan
keterbatasan setiap klaim kebenaran pemahaman manusia.38
Keenam batasan perkembangan hermeneutika tersebut secara
umum saling terkait dan bahkan seringkali tumpang tindih. Dalam
perkembangannya, terjadi polarisasi dalam (teori) hermeneutika
kontemporer. Polarisasi ini menurut Palmer yang dikutip oleh Nafisul
38 Ilham B. Saenong, op.cit
55
Atto’ terjadi antara dua tradisi; pertama tradisi hermeneutika
Schleiermacher dan Dilthey serta para pengikutnya yang memandang
hermeneutika sebagai general body dari prinsip-prinsip metodologis yang
mendasari penafsiran; kedua, tradisi hermeneutika Heidegger dan para
pengikutnya yang melihat hermeneutika sebagai suatu eksplorasi filosofis
dari karakter dan syarat-syarat (kondisi) yang diperlukan bagi suatu
pemahaman.
Fazlur Rahman kemudian memberikan istilah polarisasi tersebut
dengan “aliran objektivitas” dan “aliran subjektivitas”.39 Representasi
polarisasi kedua tradisi tersebut adalah polemik antara Emilio Betti dan
H.G Gadamer. Betti memihak pada tradisi objektifis, sementara Gadamer
memihak tradisi subjektifis. Betti bertujuan meletakkan suatu teori umum
tentang bagaimana “objektivasi” pengalaman manusia dapat ditafsirakan.
Dia menekankan otonomi objek interpretasi dan mungkinnya
“Objektivitas” dalam membuat suatu interpretasi yang valid. Sedangkan
Gadamer mengarahkan pemikirannya pada pertanyaan-pertanyaan yang
lebih filosofis tentang hakikat memahami itu sendiri. Tapi perlu diingat,
bagi Gadamer, berbicara tentang “penafsiran objektif yang valid” adalah
suatu yang mustahil.40
39 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985, hlm. 9-13
40 Richard E. Palmer, op.cit, hlm. 45-65.
56
Aliran pertama oleh Josef Bleicher, dikategorikan ke dalam teori
hermeneutis (hermeneutical theory), karena memfokuskan diri pada
problematika teori interpretasi umum sebagai metodologi bagi ilmu
humaniora (sosial). Sedangkan aliran kedua dikategorikan ke dalam
filsafat hermeneutika (hermeneutical philosophy), yang memiliki
konsentrasi pada status ontologism pemahaman dan interpretasi. Selain
itu, muncul aliran lain yang berada di luar kedua aliran tersebut, yakni
hermeneutika kritis (critical hermeneutic), yang membidik pada
penyingkapan tabir-tabir yang menyebabkan terjadinya bias dalam
interpretasi.41 Aliran ini dibawa oleh Jurgen Habermas yang kemudian
memunculkan pedebatan antara dirinya dengan Gadamer. Habermas
menentasng asumsi idealis yang didaasarkan pada teori hermeneutis
maupun filsafat hermeneutika. Baginya kedua tradisi hermeneutika di atas
mengabaikan factor-faktor ekstra linguistic yan juga menentuka konteks
pemikiran dan aksi, yakni karya dan dominasi. Habermas, bersama Karl-
Otto Apel, mencapai hermeneutika kritis dengan mamadukan antara
pendekatan metodis dan pendekatan objektif dengan berusaha bagi
pengetahuan yang relevan secara praksis42. Pada perkembangan
selanjutnya, dengan hadirnya Posmodernisme yang dipelopori oleh
41 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 22-2342 Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, ibid, hlm. 22-23
57
Jacques Derridda dan Michael Foucault, tampaknya membawa
hermeneutika ke dalam diskursus yang lebih bernuansa dekonstruktif.
Untuk lebih lengkapnya, pembagian (paradigma) hermeneutika di
atas akan dijelaskan dalam bab berikut.
b. Paradigma Hermeneutika (Kontemporer)43
1. Hermeneutical theory
Dalam hermeneutika teoritis (hermeneutical theory) problem
hermeneutisnya adalah metode: yakni mempersoalkan metode apa yang
sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang
penafsir dari kesalahpahaman, dus menemukan makna objektif dengan
metode yang valid pula.
Menurut Schleiermacher, ada dua bagian penafsiran yang perlu
diperhatikan dalam paradigma ini;44 pertama, penafsiran gramatikal.
Dalam penafsiran ini mengandung prinsip: 1). “segala sesuatu yang
membutuhkan ketepatan (makna); 2). “Makna dari sebuah kata dari
sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya
dengan kata-kata lain”.
Jadi penafsiran selalu bersifat holistik dan parsial, sekaligus.
Seorang penafsir tidak mungkin memahami suatu objek, seperti teks atau
kalimat, sebagai sebuah bagian partikular tanpa merujuk kepada
43 Fahruddin Faiz, op.cit, hlm 7-12 44 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 34-35
58
keseluruhan konteksnya. Sebaliknya, kita juga tidak dapat memahami
keseluruhan tanpa merujuk kepada bagian-bagiannya. Konsep ini oleh
Schleiermacher disebut sebagai “lingkaran hermeneutis” yang tampaknya
tidak ditemukan ujung pangkalnya. Menurutnya, lingkaran hermeneutis
memang tidak dapat dipecahkan oleh logika struktural, tapi harus diatasi
secara intuitif atau penafsiran psikologis. Untuk yakin dengan kebenaran
penafsiran kita harus “melompat” ke dalam lingkaran hermeneutis
tersebut, seperti lompatan kepada keyakinan.
Penafsiran gramatikal, bagi Schleiermacher, tidak akan valid
kecuali dilanjutkan dengan penafsiran yang kedua, psikologis, seperti
lompatan keyakinan tadi. Dengan menggunakan pengetahuan linguistik
dan sejarah kebahasaan yang diperoleh sebelumnya, seorang mufasir harus
merekonstruksi secara imajinatif (psikologisasi) suasana batin pengarang,
dan inilah yang disebuah oleh Bleicher sebagai penafsiran psikologis.45
Ringkasnya, Schleiermacher membawa penafsiran gramatikal pada
titik tolak wacana umum tentang suatu (bahasa), kebudayaan, dan
penafsiran psikologis didasarkan pada subjektivitas pengarang. Pembaca
berupaya merekonstruksi subyektivitas tersebut sehingga dapat memahami
maksud pengarang, bahkan sampai pada keyakinan lebih baik dari
bagaimana ia mengerti karyanya sendiri.
45 Ilham B. Saenong, ibid, hlm. 36.
59
Dilthey yang mengembangkan hermenutika teoritis memiliki
pandangan yang hampir serupa. Namun demikian berbeda dengan
psikologisme Schleiermacher, proses penafsiran digambarkan sebagai
peristiwa sejarah, dan bukan peristiwa mental. Penafsiran dipahami secara
konseptual sebagai verstehen (memahami) yang dibedakan dari erkleren
(menjelaskan). Menafsirkan dalam pengertian verstehen ini adalah proses
untuk memahami teks sebagai bagian dari ekspresi sejarah. Karena itu,
yang perlu direproduksi bukan kondisi batin pengarangnya, tapi makna-
makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Dapat dikatakan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas
makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Idealisme dan
intensi pengarang direduksi menjadi refleksi atau dominasi kekuatan-
kekuatan dalam sejarah yang menentukan penulisan teks. Istilah
“seseorang adalah anak zamannya” mungkin tepat untuk menggambarkan
pandangan ini. Tentu saja, pandangan semacam ini bersifat totaliter,
mengandaikan bahwa tidak ada pemikir atau teksnya yang mampu keluar
dari belenggu sejarah, dus merubah sejarah.
Tokoh pelopor yang mem-back up perspektif ini diantaranya
adalah: Schleiermacher, W. Dilthey dan juga Emilio Betti. Kelemahan
dari perspektif ini adalah pengandaikan akan adanya makna awal atau
makna sejati yang dapat direproduksi (reliving masa lalu), yang kemudian
menjadi obyek kritik bagi perspektif selanjutnya.
60
2. Hermeneutical Philosophy
Kemudian aliran kedua yang bergeser lebih jauh lagi dari
perspektif yang pertama. Kategori kedua lebih ‘memuncratkan’ nuansa
filosofisnya (sehingga dikenal dengan hermeneutics philosophy)
dibanding yang pertama, karena fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana
agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh
mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam
aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebaginya
termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian
terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai pra-syarat eksistensiaal
manusia.
Penafsiran menurut perspektif ini, adalah sebuah proses produksi
makna baru dan bukan reproduksi makna awal seperti perspektif
hermeneutical theory. Heidegger dan Gadamer yang menjadi penopang
tokoh dalam kelompok ini, mengemukakan, bahwa penafsiran selalu
merupakan proses sirkular. Kita hanya dapat memahami masa lalu (teks,
pengalaman sejarah) dari sudut pandang kita dan dari situasi kekinian kita
(our historical present).
Ini berarti, bagi Gadamer, penafsir dan teks senantiasa terikat oleh
konteks tradisinya masing-masing. Hermeneutika dalam dimensi
filosofis—mungkin lebih tepat epistimologis—nya dapat didefinisikan
sebagai “suatu pemahaman terhadap pemahaman”. Ibarat “cerita
61
berbingkai” dalam dunia sastra, maka hermeneutika jenis ini adalah suatu
pemahaman terhadap suatu pemahaman yang dilakukan seseorang dengan
menelaah proses dan asumsi-asumsi yang berlaku dalam pemahaman
tersebut, termasuk diantaranya konteks yang melingkupi dan
mempengaruhi proses tersebut. Hal ini secara umum dilakukan setidaknya
untuk dua tujuan: pertama, untuk meletakkan hasil pemahaman yang
dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai, dan, kedua, untuk
melakukan suatu “produksi” makna baru dari pemahaman terdahulu
tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. Menariknya, pada gilirannya,
pemahaman terhadap pemahaman ini akan juga menjadi obyek
pemahaman dan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan
pemahaman sebelumnya; dan demikianlah seterusnya proses semacam ini
berlanjut tanpa harus terjadi overlapping dalam pemahaman, sehingga
sampai ada yang mengatakan dalam hermeneutics philosophy, “the
Question is not what we do or what we should do, but what happen
beyond our willing and doing”.46
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
(ctitical hermeneutics)
Selain dua jenis perspektif di atas, muncul perspektif lain yang
berada di luar kedua aliran tersebut, yakni hermeneutika kritis (critical
hermeneutics), yang membidik pada penyingkapan tabir-tabir yang
46 Fahruddin Faiz, ibid, hlm. 7-12
62
menyebabkan terjadinya bias dalam interpretasi.47 Aliran ini dapat
dikatakan telah melangkah lebih jauh dari aliran kedua, bahkan secara
pinsipil, obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama. Yang
membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan jenis kedua adalah
penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi
historis dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-
determinasi tersebut sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan
hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-penindasan sosial-budaya-
politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh
kelompok tertentu.
Maka dikatakan dalam pendirian ini, baik hermeneutika filosofis
maupun hermeneutika teoritis, mengabaikan hal-hal di luar bahasa seperti
kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks
pemikiran dan perbuatan.48
Pendirian kritis berusaha keras menggugat apa yang dapat disebut
sebagai “optimisme” dalam pemikiran Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, dan Gadamer. Sebab, meskipun berbeda pendapat, mereka
sama-sama masih setia pada universalitas tertentu dari teks. Objek
hermeneutikanya mungkin berbeda, tapi mereka sama-sama tetap
berusaha menjamin adanya kebenaran dalam bahasa manusia yang
47 Dikutip dari Bleicher, contemporary hermenutics, hlm, 1-5, lihat dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 23
48 ibid, hlm. 43
63
sekadar menantikan datangnya penjelasan. Sebaliknya, concern
hermeneutika kritis bukan untuk mengklarifikasikan kebenaran tersebut,
tapi untuk ‘mendemistifikasi’. Teks lebih banyak dicurigai daripada
diafirmasi, dan tradisi bisa jadi menjadi tempat persembunyian paling
aman dari kesadaran palsu. Bagi Jurgen Habermas (sebabai pelopor
pendirian hermeneutika kritis), hermeneutika seperti ini harus disingkap
oleh refleksi kritis untuk membuktikan selubung ideologisnya.
Dalam pandangan hermeneutika kritis, Gadamer menganggap
bahwa interpretasi merupakan “unproblematic mediation of
subjectivities,” karena disatukan oleh eksistensi mereka dalam suatu
tradisi umum. Padahal, menurut Habermas, tradisi itu sendiri harus
dikenai analisis kritis, yakni kita perlu mengetahui apa yang tersembunyi
di balik “konsensus”, dan bagaimana berbagai discontinuities dalam
makna dan kesalahpahaman (misunderstanding) dapat dijelaskan
bertentangan dengan prioritas Gadamer terhadap bahasa sebagai landasan
primer komunikasi dan terutama sebagai dasar eksistensi dan
pengamalam, Habermas mengkritik bahasa sebagai medium dominasi dan
kekuasaan dalam masyarakat.
Menurut Karl Otto Apple (dikutip dari crasnow 1987: 194), salah
seorang kolega Habermas, hermeneutika teoritis maupun filosofis tidak
banyak membantu untuk mengungkapkan kekuatan-kekutan di balik teks
karena hanya bekerja pada level makna dan kode-kode ideologis dan
64
linguistik yang telah given.49 Oleh karena itu, hermeneutika kritis sebagai
bagian dari kritik ideologi merupakan koreksi vital bagi hermeneutika dan
interpretasi. Standar penafsiran yang memadai adalah keputusan yang
berasal dari faktor hubungan dan proses-proses sosial yang memproduksi,
mendistorsi, dan mengolah makna.
Pada dasarnya, berbagai gagasan dari hermeneutika kritis memang
tidak berkaitan langsung dengan wilayah dan kegiatan penafsiran. Akan
tetapi, kritik-kritiknya terhadap hermeneutika teoritis dan filosofis yang
mengabaikan persoalan di luar bahasa yang justru sangat mendeterminasi
hasil penafsiran, tidak pelak justru memberi kontribusi besar bagi
diskursus hermeneutika kontemporer.
Menurut Grondin, sumbangan orang-orang seperti Habermas dan
mereka yang berasal dari tradisi pemikiran Marxis dan dekonstruksionis
terletak pada kekuatannya dalam menghancurkan ilusi-ilusi penafsiran:
suatu hal besar yang gagal ditangkap oleh hermeneutika teoritis dan
hermeneutikia filosofis. Hermeneutika teoritis dan filosofis lebih laik
disebut sebagai “Hermeneutika keyakinan”, sebab berorientasai ke depan
untuk mengapresiasi teks. Sebaliknya, hermenutika kritis dapat disebut
sebagai “hermeneutika kecurigaan” karena berkepentingan untuk
menyingkap tabir-tabis ideologis di balik teks.50
49 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 44.50 Ibid, hlm. 45.
65
Sekadar penjelasan, barangkali pemetaan dan pemilahan di atas
terkesan simplistis, namun mudah-mudahan dapat membantu kita
memahami terutama mengenai berbagai perspektif dalam memandang apa
yang disebut “problem hermeneutis”. Selanjutnya adalah perbincangan
mengenai hermeneutika dalam tradisi pemikiran Islam
B. TRADISI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
“Hermeneutika al-Qur’an” boleh dibilang merupakan istilah yang masih
asing dalam wacana (tradisi) pemikiran Islam. Diskursus penafsiran al-Qur’an
tradisional lebih akrab dengan istilah tafsir, ta’wil, dan al-bayan.51 Meski jika kita
mau melacak lebih dalam lagi, sejatinya, proses dan kerja-kerja hermeneutika
telah ada jauh lebih lengkap dan rigid dalam Islam, lihatlah misalnya konsep
Maqashid al-Syari’ah, ‘Ullumul Qur’an, Asbab an-Nuzul dll.
Tentunya, hal ini tidak mengherankan sebab, meski hermeneutika bisa
dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan” berbagai bidang kajian keilmuan, dan
merupakan kosakata yang mempunyai genealogi dari barat, alias diluar tradisi
Islam, namun melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya, harus diakui
bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah
dan kritik teks, khususnya kitab suci.52
51 Ibid, hlm. 47.52 Mengenai peran hermeneutika ini, Roger Trigg, sebagaimana dikutip oleh komarudin
Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama berkata: “the paradigm for heremeneutic is the interpretation of a traditional text, where the problem must always bi how we can come to understand
66
Terlebih, belakangan ini beberapa pemikir muslim kontemporer dalam
merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an mengintroduksi secara
definitif istilah hermeneutika dalam rangka menjelaskan metodologi penafsiran
al-Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis. Mereka yang cukup
mempunyai andil besar dalam kerja-kerja itu diantaranya adalah Hasan Hanafi,
Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nashr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud
Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan pemikir dekonstruksionis lainnya, termasuk
Farid Esack sendiri.
Akan tetapi sebagaimana ungkapan Crasnow, hermeneutika itu telah setua
umurnya dengan tradisi penafsiran teks-teks, maka hermeneutika dalam Islam
sendiri sebenarnya dapat juga mungkin untuk dilacak jauh dalam tradisi
pemikiran Islam klasik. Mari kita mulai saja pembahasannya.
a. Situasi Hermeneutis Kaum Muslim Awal
Seperti ditampilkan di muka bahwa posisi al-Qur’an cukup menjadi
titik sentral pemahaman bagi kaum muslim awal, bagaimana ketika terjadi
perang Shiffin (657), para pendukung Mu’awiyah (yang wafat 680) memohon
agar perselisihan dan permusuhan mereka dengan ’Ali Ibn Abi Thalib (wafat
661) diselesaikan dengan menjadikan al-Qur’an sebagi penengah. Itu sekadar
contoh saja.
in our own context something which was writen in a radically different situation.” Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm 161, lihat juga Fahruddin Faiz, op.cit, hlm. 12
67
Sentralitas al-Qur’an dalam kebudayaan Islam saat itu benar-benar
menjadi titik pancar bagi munculnya ‘riak-riak’ hermeneutis dan penafsiran
terhadapnya. Akibatnya, al-Qur’an sendiri seringkali digambarkan sebagai
teks pembentuk (an-nashsh al-mu’assis) yang darinya lahir sedemikian
banyak teks-teks tertafsir (an-nashsh al-tafsiri) sebagai hasil proses
pemahaman akan teks pembentuk tersebut.53
Mengenai sentralitas teks al-Qur’an yang begitu besar kemudian
melahirkan pusaran wacana keislaman ini, oleh Komarudin Hidayat kemudian
menyebutnya sebagai gerak sentripetal54 dan sekaligus sentrifugal55.
Sementara Muhammad Abid al-Jabiri secara lebih analitis menggambarkan
fenomena tersebut sebagai suatu yang bersifat primer dalam proses
pembentukan pemikiran Islam. Kebudayaan Islam sejak semula dipahami
sebagai hadharah al-fiqh dan hadharah al-bayan, dua istilah yang digunakan
al-Jabiri untuk menunjukkan bahwa Islam tidak mungkin dipisahkan dengan
segala bentuk problem hermeneutisnya.56 Dengan senada, Abu Zayd
menimpalinya dengan komentar bahwa Islam merupakan “peradaban teks”
53 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 48.54 Gerak sentripetal merupakan berbagai pentuk pemikiran dalam tubuh umat Islam yang
senantiasa ingin merujuk ide mereka kepada al-Qur’an, bahkan walaupun untuk kepentingan justifikasi belaka.
55 Gerak sentrifugal merupakan gerakan yang terjadi karena teks-teks al-Qur’an memiliki daya dorong sedemikian besar bagi umat Islam untul melakukan pelbagai macam penafsiran terhadapnya.
56 Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, dalam beberapa tulisannya yang dikumpulkan oleh Ahmad Baso dalam Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 137, lihat juga komentar Zuhairi Misrawi atas artikel al-Jabiri yang berjudul Tajdid al-Tafkir fi Masyru’ Mutajaddid: 1, Muqaddimah (Pembaruan Pemikiran; Proyek Baru: Pengantar). Ungkapan ini disampaikan ketika memberikan pengkajian pada santri-santri Pesantren Emansipatoris, P3M, Jakarta, Jum’at 7 Januari 2005, sekitar pukul 15.30 WIB. Lihat dalam situs islam emansipatoris: www.islamemansipatoris.com
68
(hadharah al-nash) atau peradaban hermeneutis (hadharah al-ta’wil)—Ali
Harb juga menyebutnya sebagai Hadratu al-Qaul.57 Dengan pengertian
tersebut, Abu Zayd ingin membawa pada pemahaman bahwa fundamen
intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan sentralitas
posisi teks al-Qur’an dalam dialektika umat Islam dengan realitasnya.
Persoalan hermeneutis dalam Islam bermula dan berpusat pada posisi sentral
al-Qur’an dalam kehidupan kaum Muslim.
Situasi hermeneutis yang diciptakan oleh posisi sentral al-Qur’an
memang begitu inspiratif. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah
muncul ribuan, bahkan jutaan buku/literatur tafsir yang mencoba menjelaskan
kandungan maknanya berdasarkan pendekatan dan metode yang beragam
pula. Ilham B Saenong dalam tulisannya menyorot tulisan Daud Rahbar
(1962) yang menganalisis; hingga lima dasawarsa yang lalu telah mencatat
bahwa sedikitnya terdapat 14 (empat belas) macam metode dan pendekatan
yang telah diterapkan dalam usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an selama
ini.58
57 Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kalau boleh menyimpulkan peradaban dalam satu dimensi saja, maka dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab Islam adalah peradaban “teks”. Dan memang Peradaban Islam tidak akan mungkin lepas dari sentralitas teks. Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu, dan juga kebudayaan arab Islam itu tumbuh dan berdiri di atas teks. Selengkapnya lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Khoirun Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. II, hlm. 1-2
58 Pertama, penafsiran yang didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat (asbabun nuzul). Kedua, penafsiran yang bertujuan mempertanyakan otentisitas ayat-ayat tertentu dan mempermasalahkan penambahan dan keragaman teks. Ketiga, penafsiran melalui frasa dari ayat tertentu secara parsial dan lepas konteks. Keempat, penafsiran atas ayat atau
69
Melihat teks al-Qur’an yang demikiran inspiratif tersebut, yang cukup
mengherankan adalah bahwa dalam sejarahnya ternyata perbincangan
mengenai problem hermeneutis tidak muncul seiring kemunculan teks al-
Qur’an dalam sejarah. Muncul beberapa hipotesa mengenai keanehan ini,
diantaranya, Helmut Gatje (1996: 31) yang memperkirakan setidaknya ada
dua faktor penyebabnya: pertama, adanya otoritas Nabi (yang begitu kuat),
dan kedua, persoalan kesadaran keagamaan. Pada masa Nabi dan Sahabat,
persoalan penafsiran sangat terkait dengan masalah “kenabian” Muhammad.
Ia tidak hanya berfungsi sebagai pemberi kabar (Hermes) tentang ‘berita
langit’ (firman Allah) yang kemudian berwujud al-Qur’an, namun sekaligus
sebagai penafsir yang otoritatif dengan al-hadits sebagai bentuk formalnya.
Beberapa upaya penafsiran kritis para sahabat yang saat itu telah muncul riak-
riaknya seringkali patah ketika masuk dalam lingkaran otoritas kenabian yang
pada praktiknya menjadi lembaga pengesahan tafsir—meminjam istilah
Fazlur Rahman adalah menjadi “sunnah yang hidup”
frase yang disesuaikan dengan pandangan seseorang tentang semangat umum al-Qur’an. Kelima, penafsiran yang menganggap bahasa dari ayat tertentu bersifat alegoris (majaz dan isti’arah). Keenam, penafsiran esoteris dengan mempercayai keseluruhan teks al-qur’an bercorak metaforis. Ketujuh, penafsiran atas dasar pemilahan antara ayat-ayat yang pasti maknanya (muhkam) dan yang ambigu (mutasyabihat). Kedelapan, penjelasan dengan menghubungkan struktur gramatikal dengan makna yang dimaksudkan. Kesembilan, penjelasan dengan mempersoalkan segi etimologis. Kesepuluh, uraian dengan mengemukakan persoalan nasikh-mansukh. Kesebelas, penjelasan melalui hubungan semantis dan keterputusan antara satu ayat dengan yang lain yang berdampingan (taqathu’-tanasub). Keduabelas, mempersoalkan gaya bahasa al-Qur’an. Ketigabelas, memilih-milih ayat-ayat tertentu secara arbitrer dalam penafsiran. Terakhir, keempatbelas, penafsiran yang menggunakan frase-frase teks sebagai titik tolak pemikiran bebas (Rahbar 1962: 302-303). lihat dalam Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 49
70
Di sisi lain, kesadaran kaum muslim awal masih kental dengan
argumen-argumen dogmatis. Hal ini dibuktikan dengan setiap penerimaan
wahyu atau perilaku nabi yang diikuti, kaum muslim tidak menyikapinya
dengan kritis dan menggunakan secara maksimal potensi akalnya, justru
berbagai persoalan tersebut kemudian dieliminir dengan mengembalikan pada
keyakinan bahwa ada teladan (‘ibrah) dan hikmah yang diselipkan Allah
dalam ayat yang sedang dipersoalkan. Hal ini menunjukkan bahwa
karakteristik hermeneutis dalam memahami al-Qur’an masa Nabi dan Sahabat
masih banyak diliputi oleh argumen dogmatis ketimbang penalaran kritis.59
Jika kita perhatikan faktor penyebab di atas, bisa dibilang hanya
sebuah gambaran situasi hermeneutis pada awal Islam yang lebih merupakan
penerimaan teologis terhadap al-Qur’an dan penafsiran resminya yaitu Sunnah
Nabi. Kalaupun terdapat penafsiran lain, bukan merupakan upaya hermeneutis
dalam pengertian penggunaan metode pemahaman yang jelas. Hermeneutika
al-Qur’an yang dikembangkan sahabat saat itu paling banter hanya dinilai
sebagai seni manafsirkan teks yang diperoleh berdasarkan kepekaan intuitif
mereka akibat pengalaman religius yang mendalam setelah hidup akrab
bersama-bersama dengan Nabi (shuhbah), di samping ditopang oleh tingkat
penguasaan bahasa Arab yang lebih mumpuni.60
59 Ilham B. Saenong, ibid, hlm. 5060 Ibid, hlm 52
71
Persoalan hermeneutis dalam Islam boleh dikatakan baru muncul
seiring perkembangan dan perluasan Islam pada abad-abad berikutnya pasca
kenabian.61 Lebih jelas lagi ketika muncul inisiatif kaum muslim untuk
membukukan mushaf (masa tadwin). Perkembangan tersebut ditandai dengan
perubahan kebudayaan dalam masyarakat dari corak budaya lisan ke budaya
tulisan, sekaligus dari model kebudayaan populis ke kebudayaan intelektual
yang bersifat elitis.
Abid al-Jabiri menggambarkan hermeneutika dalam Islam pada masa-
masa tersebut tidak lain merupakan persoalan “metode” atau epistemologi al-
bayan, yang mencakup baik persoalan bagaimana cara memahami (al-fahm),
maupun “cara mengkomunikasikan pemahaman” (al-ifham) tersebut.62 Wajar
jika kemudian al-Jabiri cukup ambisius untuk menerbitkan proyek besarnya
yang disebut Naqd al-‘Aql al-‘Arabii (kritik nalar arab) yang dalam tema
besar itu tersimpan tujuan menyingkap tabir dogmatis yang menyelimuti nalar
orang-orang arab. Al-Jabiri mengungkap, bahwa dirinya ingin mengungkap
kecenderungan epistemologis yang berlaku di kalangan bangsa Arab.
Hasilnya terdapat tiga kecenderungan atau model (yang salah satu modelnya
61 Karen Armstrong, A Short History, terj. Ira Puspita Rini, Islam: A Short History, Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004, hlm 55
62 Pada gilirannya, al-fahm berkaitan dengan “perumusan metode-metode penafsiran wacana teks”, sementara al-ifham menjurus pada usaha formulasi “syarat-syarat produksi wacana”, lihat Muhammad Abid al-Jabiri, op.cit.
72
telah disinggu di atas) berpikir bangsa Arab (juga Islam), yakni bayani63,
irfani64 dan burhani65. Al-Jabiri mempunyai mimpi besar, bahwa ketiga model
berpikir ini sangat signifikan terhadap konstruksi nalar fiqh yang mempunyai
semangat perubahan dan pembaruan.66
Dalam sejarahnya ketokohan al-Syafi’i (wafat 204 H) cukup berperan
dalam menelorkan dasar-dasar al-fahm sebagai “Undang-undang menafsirkan
wacana” yang banyak digunakan dalam al-fiqh dan ushul fiqh. Sementara al-
ifham dirumuskan oleh al-Jahiz (wafat 225 H) untuk mengetahui “syarat-
syarat produksi wacana” yang dapat digunakan sebagai metode
mengkomunikasikan gagasan dalam teologi Islam skolastik (ilmu kalam).
Ibn Wahhab (wafat 335 H) yang belakangan tidak puas dengan
dualisme tersebut berupaya membuat sintesis teoritis. Usaha tersebut
sekaligus mengantarkannya menjadi peletak dasar-dasar epistemologi “al-
bayan” dalam pengertian mencakup al-tabayyun dan al-tabyin: yakni proses
mencari kejelasan (azh-zhuhur) dan pemberian penjelasan (al-izhhar); upaya
63 Bayani dikenal sebagai metode pemikiran khas bangsa arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
64 Irfani menjadi epistemologi yang bersandar pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan irfani ini didapat bukan melalaui analisa teks, sebagaimana nalar bayani, tetapi oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati diharapkan tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya
65 Sementara burhani mendasarkan diri pada rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan demikian sumber pengetahuan burhani ini berbeda dengan bayani yang berangkat dari teks, kemudian irfani yang berangkat dari hati/ruhani, berangkat dari rasio, yang mengemukakan dalil-dalil logika, yang kemudian memberikan keputusandan penilaian terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengna istilah tasawwur dan tasdiq.
66 A. Khudori Sholeh, M. Abid Al-Jabiri, Model Epistemologi Islam, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 242.
73
memahami (al-fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham); perolehan
makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tabligh).67 Hanya saja perlu
dicatat, kalau al-ifham di sini lebih dekat kepada retorika ketimbang sebagai
sebuah teori pemahaman, mengingat fungsinya untuk memuaskan logika dan
perasaan audiens dan memenangkan debat teologis.68
Menurut penelitian al-Jabiri, tokoh seperti Muhammad ibn Idris al-
Syafi’i (wafat 204 H ) merupakan pencetus hermeneutika al-Qur’an klasik
yang diterapkan dalam wacana ilm ushl fiqh sebagai metode interpretasi teks
dan wacana (al-fahm). Hal ini karena perhatian al-Syafi’i tidak lagi terbatas
pada aspek susastra dalam al-Qur’an atau sekadar menafsirkan teks secara
nonmetodis sebagaimana yang banyak dipraktikkan pemikir-pemikir
sebelumnya.69 Formulasi Ushl Fiqh dari al-Syafi’i telah mengarah pada
perumusan metode memahami kehendak Tuhan sebagai pembuat hukum (al-
Hakim) melalui aspek-aspek linguistik (retorika al-Qur’an). Dalam upayanya
merumuskan metode memahami teks seperti bayan, nasikh wa mansukh,
umum-khusus, mujmal-mufassal, amr dan nahy, dan sebagainya, al-Syafi’i
melakukan induksi metodologis dari bentuk-bentuk retorika al-Qur’an untuk
67 Muhammad Abid al-Jabiri, ibid.68 Ibid. 69 Perlu dicatat bahwa sebelum al-Syafi’i terdapat perhatian yang luas terhadap metode
susastra dalam wacana pemikiran tentang al-Qur’an. Hanya saja kegiatan mereka belum merambah pada perumusan metode-metode penafsiran atau kerja-kerja hermeneutika. Usaha-usaha tersebut antara lain dilakukan oleh Muqtil bin Sulayman (wafat 208 H) yang menaruh minat pada fenomena pluralitas makna dan ungkapan dalam al-Qur’an; Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al-Farra (wafat 208 H) yang mengemukakan adanya pelampauan (al-tajawwuz) dan perluasan (al-‘ittisa’) dalam wacana al-Qur’an: dan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna (wafat 215 H) dengan eksposisinya tentang gaya bahasa metaforis al-Qur’an. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, ibid.
74
memperoleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat generik yang tidak lain
menjadi prinsip umum bagi interpretasi yang, pada gilirannya, dideduksi
kembali dalam menentukan hukum (istimbath) dan al-Qur’an.
Menurut ilham B Saenong, adanya afinitas antara ushul fiqh dan
hermeneutika klasik al-Qur’an adalah bukan hal yang mengherankan. Karena
meskipun keduanya memiliki perbedaaan istilah maupun objek formal, tetapi
pada dasarnya berada pada kerangka epistemologis yang sama, yakni
epistemologi al-bayan yang objek materialnya adalah al-Qur’an.70 Beberapa
aspek metodologis dari ushul fiqh yang telah dirumuskan al-Syafi’i, dalam
perkembangannya kemudian, dipinjam dan dikembangkan lebih lanjut dalam
sebuah disiplin yang kita sebuat sebagai ‘Ulum al-Qur’an atau ’ilm al-tafsir.
Dalam‘Ulum al-Qur’an inilah dikenal pembagian dua kategori penafsiran
yang disebut al-tafsir dan al-ta’wil. Menurut Salleh Yaapar (1992: 8), di
kemudian hari mensinyalir pemilahan kategoris tersebut menggambarkan dua
bentuk formal hermeneutika Islam.
Perkembangan hermeneutika klasik al-Qur’an tentu saja tidak
sesederhana penjelasan di atas. Sebab, al-fahm dalam pemikiran ushul fiqh al-
Syafi’i ternyata lebih banyak mewariskan metode al-tafsir yang lazim dalam
epistemologi al-bayan. Sementara al-ta’wil merupakan genre yang lebih
banyak bergerak dalam epistemologi al-‘irfan.71 Jika dasar-dasar epistemologi
70 Muhammad Abid al-Jabiri, ibid71 A. Khudori Sholeh, M. Abid Al-Jabiri, Model Epistemologi Islam, op.cit
75
al-tafsir oleh al-Jabiri dianggap berasal dari al-Syarfi’i, maka dasar-dasar
epetemologis al-ta’wil justru dapat dirujuk kepada pemikiran al-Ghazali,
bahkan sebelum munculnya sufisme teoritik yang misalnya dikembangkan
oleh filsafat iluminasi (al-isytiraqiyyah).72
Dalam rangka reformasi pemikiran Islam yang terlalu bercorak fiqh
dan teologis pada masanya—yang lantas dikenal sebagai proyek
“Rekonstruksi Ilmu-ilmu Agama” (Ihya ‘Ulum ad-Din)—al-Ghazali telah
mengembangkan suatu konsep teks yang berangkat dari pendirian teologi al-
Asy’ariyyah mengenai al-Qur’an sebagai sifat zat dan bukan perbuatan-Nya.
Menurut al-Ghazali, “kalam ilahi” adalah “sifat qadim zat” yang harus
dibedakan dari “penampakan-Nya” (tajalli) dalam bentuk al-Qur’an yang
dibaca sebagai teks. Teks yang dibaca secara lisan atau yang tertulis dalam
mushaf hanya merupakan “penuturan” sifat Kalam yang Qadim. Bahasa teks
merupakan selubung atau wadah yang di dalamnya berdiam “kandungan
azali” yang bersifat qadim.
Sementara menurut Abu Zayd, jika pemikiran al-Asy’ari sebelum al-
Ghazali tentang konsep Kalam berhenti pada batas-batas perbedaan antara
sifat qadim Kalam dan penuturannya dalam bacaan (sifat hadis) seperti
dituturkan di atas, maka dimensi sufistik dalam pemikiran al-Ghazali telah
membantu memperluas konsep ini ke dalam dualisme lain berupa pembagian
antara “yang lahir” dan “yang batin” dalam melihat teks al-Qur’an. Dualisme
72 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 55.
76
ini kemudian diterapkan dalam memahami struktur al-Qur’an yang terbagi
pula ke dalam dimensi batin dan lahirnya, dan bukan semata-mata pada
pembagian makna dan dilalah-nya, sebagaimana yang populer dalam dunia
sufi, akan tetapi juga pada taraf rangkaian dan struktur teks. Yang batin adalah
inti dan substansi yang dikandung teks. Ada pun yang lahir, berupa bahasa
Kalam, adalah kemasan luar yang membungkus teks dan melaluinya teks
nampak komunikatif bagi pikiran manusia.
Pemilahan dimensi tersebut menggambarkan struktur epistemologis al-
ta’wil yang merupakan bagian dari epistemologi al-‘irfan, yang dibedakan
dari al-tafsir dari epistemologi al-bayan sebelumnya. Dualisme batin (al-
bathin) dan lahir (al-zahir) tersebut, menurut al-Jabiri, sejajar dengan
ungkapan (lafadz) dan makna dalam epistemologi al-bayan. Dan semenjak
itulah, hermeneutika al-Qur’an klasik mewarisi al-tafsir dan al-ta’wil sebagai
kerangka metodologis dalam penafsiran teks-teks al-Qur’an.73
Sebagaimana diketahui secara populer, pemikiran al-Ghazali menandai
berakhirnya proses kreatif dalam tradisi pemikiran Islam, terutama dalam
teologi Sunni yang dianut mayoritas kaum muslim. Epistemologi tradisional
pemikiran islam dikemudian hari lebih banyak beralih kepada tradisi skolastik
abad pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaruan pemikiran
islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum muslim dengan kolonialisme.
Selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran islam yang
73 Ibid, hlm. 56
77
smaa sekali baru, kecuali sekadar pengulang-ulangan yang bersifat tautologis,
di mana umat Islam–dan tradisi hermeneutika al-Qur’annya—tinggal
mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma al-Syafi’i, otoritas al-Asy’ari, dan
eklektisisme al-Ghazali (abu zayd, 1992b: 4).74
b. Dari Hermeneutika, Tafsir hingga Ta’wil
Sebagaimana disinggung dimuka bahwa tradisi hermeneutika al-
Qur’an klasik mewarisi epistemologi al-bayan dan al-‘irfan yang masing-
masing menurunkan al-tafsir dan al-ta’wil sebagai dua pendekatan yang
berbeda dalam memahami teks, berikut ini akan kita uraikan bagaimana posisi
kerangka metodologis yang menyusun keduanya yang sebenarnya.
Merapat pada istilah tafsir dalam al-Qur’an, kita dapat melihat pada
surat al-Furqan (25): 33 yang berbunyi:
☺
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya).75
Secara harfiah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan
merupakan bentuk masdar dari kata “fassara” serta terdiri dari huruf fa, sin
dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan
74 Ibid 75 lihat QS. Al-Furqan (25), ayat 33 dalam al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama
RI, al-‘Alyy, Bandung: Diponegoro, 2000
78
penjelasan.76 Namun, Abu Zayd menjelaskan dalam Tekstualitas al-Qur’an-
nya, bahwa ternyata ada beberapa perbedaan yang menghinggapi para ulama
dalam menguak segi etimologi kata tafsir, apakah ia berasal dari fasara atau
dari safara.77 Abu Zayd meneruskan, jika kata al-fasr seperti yang dimaknai
dalam kamus Lisan al-‘Arb merupakan “pengamatan dokter terhadap air”, dan
kata at-tafsirah adalah “urine yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya
penyakit dan para dokter menelitinya berdasarkan warna urine untuk
menunjukkan adanya penyakit bagi seseorang” maka kita dihadapkan pada
dua hal: materi yang diamati dokter untuk menyingkapkan penyakit, yaitu
tafsirah, dan tindakan pengamatan itu sendiri dari pihak dokter, yaitu tindakan
yang memungkinkannya meneliti materi dan menyingkapkan “penyakit”.
Materi yang dicermati dokter berfungsi sebagai “medium” yang digunakan
sang dokter untuk dapat menemukan penyakit. Ini berarti, bahwa tafsir, yaitu
menemukan penyakit, menuntut adanya materi (objek) dan pengamatan
(subjek). Dokter akan menafsirkan tidak berangkat dari pengetahuan yang
kosong, namun melalui pengetahuan sebelumnya yang memungkinkannya
untuk menafsirkan. Tanpa pengetahuan yang mendahuluinya, materi tersebut
akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak memiliki makna.78
76 Dikutip dari Abi al-Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lughah, juz IV, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Hlmabi, 1970), hlm. 504. lihat dalam M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005, hlm 27.
77 Nashr Hamid Abu Zayd, loc.cit, Mafhum an-Nash Dirasah fi-‘Ulum al-Qur’an, terj. Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap ‘Ulumul Qur’an, Yogyakarta; LKiS, 2002, hlm. 281-305.
78 Ibid
79
Kemudian dalam materi safara, Abu meneruskan, bahwa kita
dihadapkan pada banyak makna yang intinya adalah: perpindahan dan
perjalanan. Dari makna ini muncul makna penyingkapan dan kemunculan.
Musafir dinamakan musafir, karena ia membuka tudung penutup wajahnya,
membuka tempat-tempat penginapan, tempat istirahat, dan karena ia muncul
di tanah lapang. Disebut safar karena membuka wajah-wajah musafir dan
akhlak-akhlak mereka sehingga tampaklah apa yang sebelumnya tertutup.
Seiring dengan berlalunya malam, fajar menyingsing. Ungkapan “safara as-
subhu wa asfara” artinya fajar menyinari. Asfar al-qoum artinya mereka
memasuki waktu pagi. Asfara artinya menerangi sebelum matahari terbit.
Safara wajhuhu husna wa asfara artinya wajahnya bersinar. Dalam al-Qur’an
ada ungkapan: wujuhun yauma’idzin musfiroh. Al-Farra’ mengatakan:
maksudnya wajahnya bersinar. Ia mengatakan: apabila wanita membuka
cadarnya maka wanita itu disebut safir.
Atas dasar tersebut, terminologi tafsir, baik berasal dari al-fasru
(fasara) atau al-safru (safara) adalah sama. Makna keduanya sama, yaitu
mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap
sebagai tanda bagi mufassir, melalui tanda itu ia dapat sampai pada sesuatu
yang tersembunyi dan samar tersebut.
Di samping itu, banyak ulama yang mengemukakan pengertian tafsir
yang pada intinya bermakna menjelaskan hal-hal yang masih samar yang
dikandung dalam ayat al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti,
80
mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam
kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum.79
Menurut M. Alfatih Suryadilaga yang mengutip paparan Ahmad al-
Syirbashi (dalam bukunya: Sejarah Tafsir al-Qur’an), bahwa ada dua makna
tafsir di kalangan para ulama, yakni: (1). Keterangan atau penjelasan sesuatu
yang tidak jelas dalam al-Qur’an yang dapat menyampaikan pengertian yang
dikehendaki, (2). Merupakan bagian dari ilmu Badi’, yaitu salah satu cabang
ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun
kalimat.80
Suryadilaga masih mengutip tokoh berikutnya, Abu al-Fadha’il Jamal
al-Din Muhammad ibn Manzhur yang mengarang kitab Lisan al-Arab
mengartikannya secara ringkas dengan kata Kasyf al-Mughaththa yang berarti
penjelasan dari sesuatu hal yang masih tertutup. Karenanya, tafsir adalah
penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafal ayat.81
Lain lagi dengan al-Zahabi yang mengartikan dengan al-Idhah wa al-
Tabyin82 yaitu penjelasan dan keterangan. Pengarang al-Majmu’ al-Wasith ini
mengemukakan bahwa tafsir bermakna menjelaskan (wadhaha) atau
membuka sesuatu yang tertutup, seperti penelitian seorang dokter atau
79 Ibid, hlm. 2780 Ibid, hlm. 2781 Ibid, hlm. 2782 Ibid, hlm. 27 lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta:
Dinamika Barakah Utama, 1985), hlm. 65, bandingkan dengan Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, Semarang: Lubuk Karya, 2001, hlm. 160
81
mengungkap maksud yang dikehendaki suatu lafal yang musykil.83 Karena
yang dijelaskan dan diterangkan itu ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum
jelas, maka tafsir al-Qur’an berarti menerangkan dan menjelaskan makna-
makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat al-Qur’an.84
Sebagian ulama menurut al-Syirbashi lebih merinci lagi pengertian
tafsir dengan rumusan ilmu tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an, sejarah dan
situasi pada saat ayat itu diturunkan, juga sebab-sebab diturunkannya ayat,
meliputi sejarah tentang penyusunan ayat yang turun di Makkah (Makkiyah)
dan yang di Madinah (Madaniyah), ayat-ayat yang Muhkamat, Mutasyabihat,
ayat Nasikh-Mansukh, ayat Khas dan ‘Am, ayat halal dan haram, ayat kabar
gembira dan ancaman, ayat perintah dan larangan dan lain-lain.85
Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, terlihat bahwa di
kalangan ahli tafsir terdapat sedikit perbedaan mengenai pengertian tafsir,
apakah akan diarahkan sebagai ilmu alat atau sebagai tujuan?
Menurut Dr. Abd. Muin Salim semua itu dapat dikompromikan,
sehingga ada tiga konsep yang terkandung dalam istilah tafsir, yaitu: pertama,
kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan al-
Qur’an; kedua, ilmu-ilmu (pengetahuan) yang dipergunakan dalam kegiatan
tersebut; ketiga, ilmu (pengetahuan) yang merupakan hasil kegiatan ilmiah
83 Menurut Muhammad Nor Ichwan yang mengutip tulisan Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi menuliskan bahwa lafaz tafsir berarti kasf al-murad ‘an al-lafzh al-musykil (yang berarti: menyingkap maksud dari suaru lafaz yang masih sulit. Lihat Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm. 160
84 Ibid, hlm. 2785 M. Alfatih Suryadilaga, op.cit, hlm. 28
82
tersebut. ketiga konsep tersebut tidak dapat dipisahkan sebagai proses, alat
dan hasil yang ingin dicapai (tujuan).86
Sementara itu, di samping istilah tafsir ada pula istilah yang masih
senada, yakni ta’wil. Kata ta’wil muncul dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.
Hal ini menandakan bahwa kata ta’wil sejatinya lebih populer dibandingkan
dengan kata tafsir. Dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran (3): 7:
. .. ...
".. aartiny padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.…”87
Dari ayat di atas ada beberapa kalangan ulama yang menyamakan
makna keduanya (tafsir dan ta’wil). Namun jika dilihat secara etimologi
berasal dari kata aul yang berarti al-ruju’ ila al-ashl, yaitu kembali kepada
asalnya.88 Ala, Ya’ulu, Awlan berarti raja’a. Awwala ilaihi as-syai’ berarti
mengembalikan kepadanya. Kata ta’wil di sini merupakan bentuk taf’il dari
kata kerja awwala, yu’awwilu, ta’wilan, dan bentuk kata dasarnya adalah ala,
ya’ulu yang berarti pulang atau kembali.89
Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pengertian
ta’wil muradif90 dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan maknanya yaitu
86 Abd. Muin Salim, Berbagai Aspek-Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Ujung Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990, hlm 1
87 lihat QS. Ali ‘imran (3), ayat 7 dalam al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama, op.cit
88 Prof. Dr. T. M. Hasbi as-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm. 195
89 Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit. hlm. 289.90 Muradif adalah suatu lafaz yang memiliki kesamaan pengertian atau makna pengetahuan.
Tentang lafaz-lafaz yang muradif ini sangat besar peranannya dalam bidang tafsir. Kalau seandainya
83
menerangkan (al-bayan), menyingkap (al-kasyf), dan juga berarti menjelaskan
sesuatu (al-idhah).
Dalam al-Qur’an term ta’wil memiliki berbagai macam arti yang
berbeda-beda. Dalam Tulisan Muhammad Nor Ichwan, ia mencuplik
penelitian Muhammad Husain al-Dzahabi, bahwa term ta’wil dapat berarti al-
tafsir wa al-ta’yin91 (arti: penjelasan), al-aqibah wa al-mashir92 (arti: akibat),
wuqu’ al-mukhbir bihi93 (arti: suatu kejadian yang diberitakan), madlul al-
ru’ya94 (arti: ta’bir mimpi), dan juga bisa berarti suatu perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi Khidr,95 seperti membakar perahu, membunuh anak
kecil, dan mendirikan bangunan, sementara penjelasan mengenai sebab
dilakukannya perbuatan tersebut adalah sebagaimana yang terdapat dalam
surat dimaksud.96
Sedangkan secara terminologi—masih menurut al-Dzahabi—
pengertian ta’wil dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, pengertian
menurut ulama salaf, dan kedua, pengertian menurut ulama mutaakhirin.
Dalam pengertian pertama pun terbagi lagi menjadi dua, yakni (1) tafsir dalam
arti tafsir al-kalam wa bayanu ma’nahu, yaitu menafsirkan suatu kalam dan
menjelaskan maknanya, baik yang sesuai dengan dhahirnya ataupun tidak.
seseorang tidak mengerti makna suatu lafaz, namun ketika ia tahu arti sinonimnya, maka yang demikian itu akan memudahkan pemahamannya terhadap suatu lafaz dimaksud.
91 Lihat Q.S. Ali Imran/3:7 al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama, op.cit 92 Lihat Q.S. An-Nisa’/4:59. ibid 93 Lihat Q.S. Al-A’raf/7:53, Yunus/10:39. ibid94 Lihat Q.S. Yusuf/12:6;27;44;45;100. ibid95 Lihat Q.S. al-Kahfi/18:78; 82. ibid96 Muhammad Nor Ichwan, loc.cit, hlm. 163.
84
Menurut pengertian ini antara term ta’wil dan tafsir memiliki persamaan arti
(mutaradif), yaitu menerangkan dan menjelaskan sesuatu. Dan inilah yang
dimaksud oleh Mujahid dengan perkataannya: “sesungguhnya para ulama
mengetahui ta’wilnya, yakni mengetahui ta’wil al-Qur’an”. Nor Ichwan
kemudian mengutip tokoh lain, Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya dengan
kata-kata: “Pendapat tentang ta’wil firman Allah swt. ini …begini dan
begitu…”, dan juga kata-kata: “Ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ayat
ini”. Maka dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kata ta’wil di atas adalah
tafsir. (2) Ta’wil dalam arti nafs al-murad bi al-kalam, yaitu esensi yang
dimaksud dari suatu perkataan (kalam), artinya kalam itu merujuk kepada
makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud.
Menurut pengertian ini antara term ta’wil dengan tafsir memiliki perbedaan
yang mendasar, dan pengertian inilah yang mungkin dimaksudkan dengan
term tawil dalam banyak ayat al-Qur’an.97
Kita bisa melihat antara definisi yang pertama dan kedua memiliki
perbedaan yang sangat jelas. definisi pertama, dalam ta’wil tercakup bab ilmu
dan kalam (rangkaian kalimat). Seperti penjelasan, sarah, dan keterangan.
Biasanya ta’wil itu ada dalam hati, lisan, ia juga memiliki wujud pemahaman,
lafadz dan tulisan. Sedangkan definisi kedua, yang dimaksud ta’wil adalah
esensi dari suatu perkara yang ada di luar, baik terjadi pada masa lampau
97 Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm 164
85
ataupun yang akan datang. Sebagai contoh, jika dikatakan bahwa “matahari
telah terbit”, maka ta’wilnya adalah esensi terbitnya.98
Sekarang, kita akan melihat bagaimana pemaknaan para ulama
mutaakhirin. Sebagaimana disetujui oleh ulama fiqh, mutakallim, ahli hadits,
dan juga ahli tasawuf, yang artinya :
“memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (maarjuh) karaena ada inndikator-indikator (dalil) yang menyertainya” 99
Sementara itu, ta’wil sering juga disebut sebagai interpretasi metaforis,
yaitu pemahaman atau pemberian pengertian atau fakta-fakta tekstual dari
sumber-sumber suci (al-Qur’an) sedemikian rupa sehingga yang diperlihatkan
bukanlah makna lahiriyah, tetapi lebih pada makna dalam (batin, inward
meaning) yang dikandungknya.100
Perbedaan-perbedaan pengertian linguistik antara tafsir dan ta’wil
tidak pelak mengakibatkan pula perbedaan implikasi metodologisnya. Abu
Zayd memetakan dengan sangat jenial berikut ini: “Mengenai pembedaan
antara keduanya. Dari pengertian secara bahasa tafsir dan ta’wil, kita melihat
98 Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm 16499 Muhammad Nor Ichwan, ibid, hlm 164100 Dr. Nurcholis madjid, Masalah Ta’wil sebagai Metodologi Penafsiran al-Qur’an, dalam
Budi Munawar Rahman (ed)., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 11.
86
bahwa terdapat perbedaan penting antara keduanya: yang tampak dalam
proses “penafsiran” selalu membutuhkan tafsirah, yaitu medium (mediator)
yang diamati mufassir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang
dikehendakinya. Sementara ta’wil merupakan proses yang tidak selalu
membutuhkan medium ini, tapi kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak
mental (nalar) intelektual dalam menemukan (menyingkap) asal mula
“gejala”, atau dalam mengamati “akibatnya”. Dengan kata lain, ta’wil dapat
didasarkan pada salah satu bentuk hubungan langsung antara “subjek” dengan
“objek”, sementara hubungan semacam itu dalam kegiatan atau proses “tafsir”
tidak berupa hubungan langsung melainkan melalui medium yang berupa teks
bahasa, atau berupa “sesuatu” penanda, atau kadang-kadang melalui “suatu”
indikator. Dalam dua prasyarat (bahasa dan indikator) tersebut hasur terdapat
mediator berupa “penanda” yang dengannya subjek dapat memahami objek
secara sempurna.101
Penelusuran Abu Zayd ini praktis meruntuhkan “status qou
pemahaman” yang selama ini beredar bahwa tafsir dan ta’wil seringkali
disinonimkan. Keduanya seringkali diletakkan dalam kategori yang sama,
sekalipun berada dalam paradigma epistemologi yang berbeda, berikut
gambaran pembedanya:
MEKANISME TAFSIR MEKANISME TA’WIL
Al-Qur’an Al-Qur’an
101 Nashr Hamid Abu Zayd, op.cit. hlm. 294
87
Mediator Gerak Nalar
Mufasir Mufasir
Bagan 1. mekanisme tafsir dan ta’wil
C. KONTRIBUSI HERMENEUTIKA TERHADAP TAFSIR TEKS
Dengan sub judul di atas, penulis ingin menguatkan kembali logika
pemahaman yang telah kita dapat, bahwa sebenarnya apa yang dapat kita ambil
(baca: kontribusi) dari metode (baru) hermeneutika ini? Pertanyaan ini, harus kita
ajukan terlebih dahulu, sebelum kita akan membagi model-model penafsiran yang
ada. Karena melihat asumsi-asumsi dasar hermeneutika yang telah terjabar di
muka, sejatinya perhatian dasar hermeneutika (perhatian terhadap teks-konteks)
telah jauh ada dan termaktub orientasinya dalam tema-tema besar klasik Islam
(Ulumul Qur’an) seperti: Makki-Madani, Asbabun Nuzul, juga Nasikh Mansukh
baik secara langsung ataupun tidak.102 Sampai di titik ini klaim bahwa Ulumul
Qur’an masih memadai untuk mengolah dimensi pemaknaan terhadap al-Qur’an
harus diakui memiliki relevansi. Lantas pertanyaannya, jika demikian, apa yang
baru dari hermeneutika? Dan apa kontribusi hermeneutika terhadap tafsir teks,
jika semuanya telah dilakukan oleh keilmuan Islam klasik?.
102 Fahruddin Faiz, op.cit, hlm. 18
88
Kita coba kembali melihat karakter atau jenis hermeneutika yang terdiri
dari hermeneutical theory, hermeneutical philosophy, dan critical hermeneutic
(lihat bab judul: paradigma hermeneutika). Berdasarkan ketiga jenis hermeneutika
tersebut, maka bisa dikatakan bahwa Ullumul Qur’an tersebut telah memenuhi
kriteria hermeneutika jenis pertama (hermeneutical theory) yang nota bene
mendasarkan diri pada orientasi konteks sebagai salah satu cara untuk menggali
makna (pengetahuan) dari teks. Oleh karena itu, harus dikatakan bahwa secara
hermeneutik, Ullumul Qur’an telah bergerak on the right track.
Di level ini, kita berjalan lebih jauh untuk mengatakan apa sumbangan
penting hermeneutika. Kesadaran konteks, tersebut tidak cukup untuk membawa
pada nilai kualitas sebuah tafsir. Karena dengan kesadaran konteks, hanya akan
membawa seseorang ke ‘masa lalu’, ke masa dimana sebuah teks dilahirkan, apa
tujuan ‘pengarang’-nya dan seperti apa pemaknaan para pembaca teks yang
menjadi audiens pertama teks. Di samping itu, kesadaran konteks saja dan
mencukupkan diri dengan pemaknaan dan pemahaman generasi masa lalu
terhadap teks, hanya akan membawa seseorang kepada keterasingan dari aspek
ruang dan waktu dimana dia hidup saat ini.103 Dalam bahasa hermeneutika,
dengan kesadaran konteks an sich, yang terjadi hanyalah sekadar ‘reproduksi’
makna lama ke dalam ruang dan waktu masa kini. Mungkin saja—dalam aspek
tertentu—pemaknaan lama ini masih relevan dan sesuai untuk diaplikasikan,
103 Ibid.
89
namun dalam banyak hal bisa dipastikan akan terjadi pemaknaan dan pemahaman
yang mis-placed atau a-historis.
Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman yang berhenti pada konteks ini
adalah dengan menambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan
kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di
dalamnya. Variabel kontekstualisasi yang dimaksud adalah perangkat
metodologis yang bisa menjawab pertanyaan ‘bagaimana agar teks yang
diproduksi dan berasal dari masa lalu bisa dipahami dan bermanfaat untuk masa
kini?’ Dalam istilah jargonal yang sering disebut orang berkaitan dengan al-
Qur’an, pertanyaannya mungkin demikian: ‘bagaimana caranya agar al-Qur’an
shalih li kulli zaman wa makan’? Bagaimana caranya agar al-Qur’an aplicable
untuk segala ruang dan waktu, dan tidak hanya kompatibel untuk ruang dan
waktu ketika teks tersebut muncul pertama kali. Maka dalam bahasa Moqsith,
yang perlu dilakukan adalah adanya proses peremajaan tafsir secara terus menerus
seiring dengan denyut peradaban manusia, bukan malah merubah sosoknya (teks,
al-qur’an) untuk disesuaikan dengan postur zaman.
Membawa arah kontekstualisasi, maka pandangan kita akan tertuju pada
era dimana banyak mufasir al-Qur’an zaman pembaharu yang telah memiliki
kesadaran kontekstualisasi. Adalah Muhammad Abduh, dengan tafsir al-Manar-
nya yang bercorak adab ‘Ijtima’I maupun berbagai tafsir ilmiah yang mencari
90
kesesuaian ayat al-Qur’an dengna teori-teori sains modern seperti karya tafsir
Thantawi Jawhari.104
Namun ternyata, tafsir-tafsir yang sangat kontekstual pada zamannya
tersebut harus dikatakan memiliki kelemahan dalam kesadaran historis; tepatnya,
tafsir-tafsir tersebut sering mengabaikan kesadaran konteks. Tafsir ini dapat
dikatakan masuk dalam representasi model hermeneutika filosofis murni ala
Gadamerian, karena implisit dalam tafsir-tafsir tersebut sebuah asumsi bahwa teks
adalah sesuatu yang otonomi dan independen sehingga merupakan prerogratif
pembacanya untuk menafsirkannya sesuai dengan nilai ideal mereka.
Sampai di sini, harus ditegaskan bahwa jalur teks-konteks-kontekstualisasi
hendaknya diaplikasikan secara dialektis-dialogis dan berkesinambungan. Dengan
secara intensif mendialogkan ketiga aspek tersebut diharapkan seorang mufasir
selain mampu menangkap tujuan utama dan spirit teks sehingga tidak a-historis,
juga mampu mengaplikasikan pemahamannya dalam realitas kekinian, sehingga
tidak a-sosial, tidak terasing dari ruang dan waktunya.
Kalau demikian adanya, kita bisa mengatakan bahwa letak kelemahan
kitab-kitab tafsir klasik adalah di titik ini, di aspek dialektika teks-konteks-
kontekstualisasi. Ada kitab tafsir yang cenderung melihat teks saja, sehingga
melahirkan pemaknaan harfiah belaka (tafsir al-harfy). Ada yang cenderung
melihat konteks semata, sehingga melahirkan tafsir yang hanya melihat ideal-
ideal pemaknaan masa lalu. Bahkan ada yang merumuskan cara aplikasi teks
104 Ibid. lihat juga Muhammad Mansur et all., op.cit
91
dalam kehidupan kontekstual an-sich, sehingga terputus kaitannya dengan misi
dan maksud (maqasid) awal al-Qur’an.
Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat dikatakan
membawa sebuah perspektif baru dalam ilmu tafsir al-Qur’an adalah berbagai
tawaran teori dan konsep pemahaman yang berasal dari para tokoh hermeneutika
filosofis (hermeneutical philosophy) dan hermeneutika kritis (critical
hermeneutics). Sumbangan dari kedua paradigma hermeneutika tersebut secara
umum adalah kesadaran akan adanya berbagai determinasi yang turun
menentukan sebuah proses pemahaman, baik determinasi tersebut berasal dari
wilayah sosial, budaya maupun politik, bahkan yang berasal dari wilayah
psikologis. Kesadaran akan adanya determinasi-determinasi ini pada akhirnya
akan mengeliminasi setiap pemahaman dan penafsiran terhadap teks yang merasa
‘objektif’ dan ‘tanpa kepentingan’ serta ‘pasti benar’ .105
Harapannya, dari kesadaran ala hermeneutika kritis inilah nantinya
mampu memunculkan dan menumbuhkembangkan sikap inklusif dan toleran
menghadapi keragaman—atau meminjam bahasa Amin Abdullah (seperti kutipan
kisah dari Anand Krishna di BAB I) adalah siap menerima kebenaran dan
keragaman dan ‘yang lain’.
105 Ibid, hlm. 20
92
D. MODEL PEMBACAAN HERMENEUTIKA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP REKONSTRUKSI FIQH
Membincangkan soal fiqh, maka kita akan berhadapan dengan
seperangkat hukum-hukum ‘amali yang bersifat praktis sebagai produk dari
aktivitas ijtihad106 para ulama. Menurut Abd. Moqsith Ghazali, satu hal yang
jelas, bahwa sebagai produk ijtihad, sosok dan wajah fiqh sangat bergantung pada
subjektifitas para perumusnya.107 Persoalan siapa yang merumuskannya, dalam
kondisi sosial yang bagaimana dirumuskan, serta dalam lokus geografis seperti
apa, dengan epistemology apa, cukup besar pengaruhnya di dalam proses
pembentukan fiqh. Dengan demikian, fiqh tidak berada dalam ruang kosong, tapi
bergerak dalam arus sejarah, berikut juga tafsir dan pembaruan hukum atasnya
akan selalu ada dan diperbarui sesuai dengan kebutuhan konteks zaman.
Namun jika kita melihat wajah fiqh saat ini, tidaklah demikian adanya.
Yang terjadi dengan fiqh kita saat ini tidak bisa berbuat banyak ketika
dibenturkan dengan berbagai macam problem kemanusiaan. Stagnanisasi serta
kerapuhan fiqh ini ditandai dengan ketidakmampuannya membawa misi progresif
106 Terminologi ijitihad menurut Nadiyah al-Imari terdapat dua pengertian sudut pandang, pertama, dilihat dari segi pemakaian kata; yang memandang ijtihad dengan lebih menitikberatkan pada perbuatan mujtahid (bazl dan istifragh yang berarti pencurahan). Sementara pemahaman kedua, yakni dilihat dari segi ada dan tidaknya batasan (qayyid) seperti definisi apa yang dilakukan oleh mujtahid, faqih. Lihat dalam Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 179-180.
107 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, makalah ini disampaikan dalam acara “Pendidikan Islam Emansipatoris”, kerja bareng antara P3M Jakarta dan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 April 2003, yang bertempat di Ma’had Aliy Sukorejo Asembagus Situbondo.
93
agama pada tataran praksis.108 Dengan kata lain, Fiqh kita tengah mengalami
dilema besar, yakni proses ‘kemandekan’ kreatifitas para pelakunya untuk
menjadikan fiqh sebagai proses ijtihadi dan dialektika antara doktrin (teks) dan
realitas (konteks).
Diantara problem dan dilemma fiqh yang paling serius ialah tatkala
berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitas
Muslim (non-Muslim), apapun agama dan aliran kepercayaannya.109 Pada tataran
ini Fiqh mengalami kelemahan yang luar biasa. Dimensi keuniversalan dan
kelenturan fiqh seakan-akan tersimpan dalam laci, atau hilang entah kemana.
Dalam studi kasus berikut penulis contohkan beberapa problem fiqh yang
perlu menjadi perhatian serius. Untuk pertama kali, berikut penulis tampilkan
contoh kasus status terhadap kafir dzimmi
Telah diketahui, bahwa ‘kafir’ adalah status yang sering menjadi musuh
dalam fiqh klasik. Maka istilah yang sering diperdebatkan adalah seputar, islam,
iman, kufr, musyrik, murtad dst. Orang kafir dzimmi tidak boleh setara belaka
dengan umat Islam, baik dalam ranah sosial, politik, maupun ekonomi.110 Mereka
diperintahkan untuk memakai symbol-simbol tertentu yang membedakannya
dengna umat islam. Mereka dilarang mendirikan rumah yang atapnya lebih tinggi
dari atap rumah tetangganya yang Muslim. Mereka diharuskan untuk memakai
108 Lihat dalam M. Kholidul Adib, Fiqh Progresif; Membangun Nalar Fiqh Bervisi Kemanusiaan, dalam Jurnal Justisia, edisi 24 tahun XI 2003, hlm. 2
109 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2004, cet. v, hlm. 2.
110 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, op.cit.
94
pakaian berwarna biru atau kuning, memakai ikat pinggang tebal di atas baju,
memakai peci yang bolong dan robek yang seluruhnya harus menunjukkan
kerendahan posisi kafir dzimmi vis a vis umat Islam.111 Sampai di sini, status
kafir dzimmi kemudian menjadi posisi kelas dua dalam Negara Islam.
Cara pandang ekslusif tersebut, (asumsinya, kebenaran hanya berada
dalam Islam, dan tidak ada di luarnya) banyak mewarnai produk-produk hukum
Islam (fiqh). Misalnya; 1). Walaupun dengan sangat sharih al-Qur’an (QS. Al-
Maidah [5]: 5) meng-endorse (melegalkan/mengesahkan) bahwa pernikahan
Muslim dengan ahl kitab adalah sah, Fiqh kemudian datang dengan penolakannya
yang keras. Belum lagi jika kita melihat pernik-pernik hokum perkawinan, seperti
iddah yang hanya dimiliki oleh perempuan, sementara laki-laki tidak,dll; 2).
Meski al-Qur’an mendukung kebebasan beragama, Fiqh dengan kokoh
menegaskan bahwa pinah agama adalah dosa yang pelakunya mesti dihukum
bunuh; 3). Perbedaan agama (ikhtilaf al-din) adalah penghalang dari seluruh
pewarisan, sehingga seorang muslim tidak akan dapat mewarisi dan mewariskan
kepada non-Muslim. Sementara pandangan Islam juga masih tetap kokoh bahwa
bagian antar laki-laki dan perempuan adalah 2:1 dst.112
Pandangan fiqh dominan yang tercermin dalam gambaran di atas sangat
restriktif (membatasi) dalam berhubungan dengan non-Muslim. Secara sosio-
politis, fiqh yang demikian dimungkinkan lahir dalam situasi yang tidak normal
111 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid. 112 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid.
95
menyangkut relasi Muslim dengan non-Muslim. Disharmoni tersebut tidak mesti
dialami oleh umat Islam vis a vis umat agama lain. Bisa saja, Fiqh eksklusif itu
muncul dari pengalaman buruk seorang faqih tatkala berkomunikasi dan bergaul
dengan seseorang dari umat beragama lain. Kekecewaan yang menyelimuti faqih
dengan non-Muslim, diakui atau tidak, akan berdampak terhadap Fiqh yang
ditatahnya. Sementara kelompok yang memandang al-akhar (the other, yang lain)
bukan sebagai ancaman, hampir bisa dipastikan corak Fiqhnya akan berbeda
dengan Faqih pertama.113
Lebih lanjut, Moqsith mengutip Musa Towana dalam al-ijtihad wa madza
hajatina ilahi fi hadza al-‘ashar (tanpa tahun: 32-33), bahwa tidakseluruh fuqaha
menolak praktik pernikahan antara umat Islam dengan ahl kitab. Tanpa pernah
diketahui motifnya, Utsman bin Affan seorang sahabat Nabi yang pernah
memperistrikan seorang perempuan Nasrani yang bernama Naylah. Sahabat
Thalhah juga pernah menikai perempuan Yahudi dari Syam.114
Realitas demikian memang nyatanya terjadi dan ini musti kita akui secara
jujur sebagai sejarah kita. Dengan tidak mengurangi penghargaan kita terhadap
tradisi yang telah terbangun kokoh dalam Islam, kita hanya ingin kembali melihat
secara objektif, bahwa kebutuhan zaman (konteks) yang senantiasa berubah inilah
yang menjadi keberangkatan bagi upaya reinterpretasi dan sekaligus rekonstruksi
Fiqh yang senantiasa peka terhadap zaman dan konteks dimana dia hadir.
113 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid.114 Abd. Moqsith Ghazali, Wajah Fiqh Konvensional, ibid.
96
Akhirnya, teks (baik Nash al-Qur’an maupun seperangkat tafsir ulama
klasik terhadapnya yang terangkum dalam hukum fiqh) memang harus dibaca
dalam konteks kehidupan sekarang. Teks tidak bisa berbicara dengan sendirinya.
Al-Qur’an, begitu juga teks fiqh yang telah menjadi ‘monumen suci’ tidak bisa
berbicara sendiri atas nama Tuhan, tanpa adanya peran pembaca yang
membunyikannya. Moqsith yang mengutip al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa
al-Mulk menuliskan bahwa Imam Ali ibn Abi Thalib pernah mengatakan al-
Qur’an khath masthurun bayna daffatayn la yunthiqu innama yatakallamu bihi
al-rijal.115(artinya: teks al-Qur’an tidak bisa hadir sebagai sesuatu yang bermakna
bagi manusia tanpa kehadiran seorang perantara atau makelar).
Sampai di sini, jelas bahwa ‘konteks’ telah memiliki andil yang cukup
penting dan menentukan menyangkut warna dan formula dari sebuah ketentuan di
dalam agama. Coba simak syari’at yang pernah di introdusir oleh para nabi dan
rasul. Dengancara inilah kita dapat mengetahui pembongkaran demi
pembongkaran terhadap sejumlah Syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah
nasikh-mansukh. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, beberapa Syari’at yang
terlihat aus dan bangka kemudian mengalami modifikasi-reformasi.116 Modifikasi
dan reformasi itu bukan hanya berlaku terhadap Syari’at nabi-nabi terdahulu
115 Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, makalah ini juga disampaikan dalam acara “Pendidikan Islam Emansipatoris”, kerja bareng antara P3M Jakarta dan Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 5-7 April 2003, yang bertempat di Ma’had Aliy Sukorejo Asembagus Situbondo.
116 Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, ibid.,
97
(syar’u man qablana), melainkan berlangsung dalam batang tubuh syari’at
Muhammad sendiri.
Sebab bagi Moqsith, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai
maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi
mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat
berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat
sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya
pada waktu kemudian karena diketahui lapangan aturan tersebut tidak lagi
menyuarakan kemashlahatan. Untuk lebih memperkuat, Moqsith mengutip ibn
Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maqal fi Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-
Hikmah min al-ittishal aw wujub al-Nadhar al-‘Aqli wa hudud al Ta’wil,
menyatakan bahwa hikmah (kemashlahatan) itu merupakan saudara kandung dari
syari’at-syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.117
Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat-nya, menyatakan bahwa mengetahui
kondisi sosial masyarakat Arab, sebagai lokus awal turunnya al-Qur’an dan
situasi ketika sebuah ayat turun merupakan salah satu prasyarat yang mesti
dimiliki oleh seorang mufassir.118 Dengan ini sesesungguhnya al-Syatibi ingin
mengatakan bahwa aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menguak
maksud sebuah teks bukan hanya dari sudut gramatikal, melainkan juga harus
117 Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, ibid.
118 Lihat kutipan ini dalam Abd. Moqsith Ghazali, Mempertimbangkan Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an, ibid.
98
mencakup pengetahuan tentang keadaan sosio-kultural yang hidup dalam
masyarakat tatkala berlangsung era pewahyuan al-Qur’an. Dengan demikian,
slogan yang berseru agar umat Islam kembali kepada “teks” al-Qur’an dan al-
Sunnah tanpa dilengkapi dengan seruan untuk memahami konteks, hanya akan
menyeret umat Islam ke dalam museum teks mati.
Sehingga peranan pembaca sangatlah penting untuk membunyikan teks
agar tetap ‘bersuara’ ditengah himpitan problem peradaban yang selalu dinamis.
Dan di sinilah kontribusi dan sumbangan metodologi tafsir (hermeneutika) yang
ingin bergerak lebih jauh dari sekadar memahami teks semata (dan konteks
beberapa waktu) seperti yang terdapat dalam metodologi tafsir klasik.
Hermeneutika ingin bergerak lebih jauh dalam mengungkap makna dengan
menjalin retorika dan—meminjam bahasa Bleicher—proses psikologisasi
pengarang (tuhan) kemudian teks, konteks (audiens) dan pembaca. Semua itu
terjalin menjadi teori tafsir yang kita sebut sebagia hermeneutika.
Ketiga elemen hermeneutis yang dipostulatkan dari pernyataan Bleicher di
atas, jika diradikalkan ke dalam bentuk bentuk struktural, akan merujuk kepada
sebuah “struktur triadik” yang menyusun kegiatan penafsiran, sebagaimana
terefleksi juga dalam mitologi Yunani Kuno mengenai makna proses penafsiran
yang dilakukan Hermes. Kegiatan penafsiran selalu berkaitan dengan adanya tiga
unsur: pertama, tanda, pesan, atau teks, dari berbagai sumber, kedua, seorang
mediator yang berfungsi mengerjemahkan tanda atau pesan sehingga dapat
99
dengan mudah dipahami. Ketiga, audiens yang menjadi tujuan sekaligus
memprasuposisi penafsiran.119
Ketiga unsur tersebut saling berhubungan secara dialektis dan masing-
masing memberi sumbangan bagi proses pembentukan makna, seperti gambar
berikut.
Teks
Penasir Audiens
Bagan 2: Struktur “Triadik”120
Yang menjadi catatan adalah bahwa proses tafsir dengan metode
hermeneutika ini adalah bukan kemudian bermaksud untuk menghilangkan
semangat etik para pembaharu yang telah ada sejak dulu. Dalam arti dengan
semangat etik untuk memecahkan problem kemanusiaan yang setiap kali
berkembang inilah kemudian hermeneutika hadir menjadi pelengkap dari metode-
metode yang selama ini telah ada dalam keilmuan Islam. Sampai di sini, yang
penulis maksudkan bahwa hermeneutika mempunyai sumbangan besar dalam
upaya merekonstruksi bangunan fiqh agar lebih progresif dan membebaskan.
119 Ilham B. Saenong, op.cit, hlm. 32-33.120 Kutub-kutub dalam struktur triadik tersebut berhubungan secara dialektis (yang
digambarkan sebagai proses siklis) di mana tidak ada pusat, inti dan hubungan struktural atas-bawah. Lihat dalam Ilham B. Saenong, ibid, hlm 48
Makna