rancangan undang-undang republik indonesia …ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1030_draft ruu...

60
1 Draf tanggal 14 Januari 2011 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera, serta membangun manusia Indonesia seutuhnya, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa arah pembangunan ekonomi nasional bertujuan tercapainya struktur ekonomi yang kokoh yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh; c. bahwa untuk mencapai industri yang maju perlu mengarahkan pembangunan industri yang mampu berdaya saing dalam era globalisasi, melalui penguatan struktur industri yang sehat dan berkeadilan dengan pendayagunaan sumber daya yang tersedia secara optimal dan mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia, dengan mengutamakan kepentingan nasional, kemandirian, berorientasi pada kerakyatan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa; d. bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c, perlu melakukan pengaturan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; www.djpp.depkumham.go.id

Upload: tranduong

Post on 05-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Draf tanggal 14 Januari 2011

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

PERINDUSTRIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera, serta membangun manusia Indonesia seutuhnya, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa arah pembangunan ekonomi nasional bertujuan tercapainya struktur ekonomi yang kokoh yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh;

c. bahwa untuk mencapai industri yang maju perlu mengarahkan pembangunan industri yang mampu berdaya saing dalam era globalisasi, melalui penguatan struktur industri yang sehat dan berkeadilan dengan pendayagunaan sumber daya yang tersedia secara optimal dan mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia, dengan mengutamakan kepentingan nasional, kemandirian, berorientasi pada kerakyatan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa;

d. bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c, perlu melakukan pengaturan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

www.djpp.depkumham.go.id

2

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN. BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan usaha industri.

2. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan atau memanfaatkan sumber daya sehingga menghasilkan produk berupa barang dan atau jasa industri yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi.

3. Industri hijau adalah industri berwawasan lingkungan yang menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengutamakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

4. Industri kreatif adalah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian dan bakat individu menjadi suatu produk.

5. Bahan baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi atau barang jadi yang dapat diolah untuk dimanfaatkan lebih lanjut pada proses industri.

6. Sumber daya adalah potensi dan kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh nilai tambah, antara lain berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya finansial, dan nilai-nilai budaya.

7. Jasa industri adalah usaha jasa terkait dengan kegiatan industri manufaktur antara lain penelitian dan pengembangan, rancang bangun, perekayasaan industri, pengujian dan sertifikasi, pengemasan, perbaikan dan pemeliharaan, pembuatan konten (content) dan perangkat lunak teknologi informasi.

www.djpp.depkumham.go.id

3

8. Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang terkait dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya.

9. Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang terkait dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri.

10. Perusahaan industri adalah perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri yang dapat berbentuk perorangan, badan usaha, atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.

11. Teknologi industri adalah teknologi hasil pengembangan, perbaikan, invensi, dan atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk, metode dan atau sistem yang diterapkan dalam kegiatan industri.

12. Data industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta dan atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri.

13. Data kawasan industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta dan atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan perusahaan pengelolaan kawasan industri.

14. Informasi industri adalah hasil pengolahan Data Industri dan Data Kawasan Industri ke dalam bentuk tabel, grafik, kesimpulan atau narasi analisis yang memiliki arti atau makna tertentu yang bermanfaat bagi penggunanya.

15. Standar adalah ketentuan yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang berkepentingan dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

16. Standardisasi adalah proses perumusan, penetapan, penerapan, dan penyempurnaan/perubahan standar yang dilaksanakan secara tertib oleh semua pihak.

17. Standar Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SNI, adalah Standar yang berlaku secara nasional.

www.djpp.depkumham.go.id

4

18. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

19. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

20. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

21. Menteri adalah menteri yang menyeleggarakan urusan

pemerintahan di bidang perindustrian.

22. Menteri terkait adalah menteri yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berwenang melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri tertentu.

BAB II ASAS DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI

Bagian Kesatu

Asas Pembangunan Industri Pasal 2 Pembangunan industri berasaskan demokrasi ekonomi dengan

mengutamakan kepentingan nasional, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, kemandirian, pemerataan persebaran, kepastian berusaha, serta keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.

Bagian Kedua Tujuan Pembangunan Industri

Pasal 3 Pembangunan industri bertujuan untuk:

a. mewujudkan industri yang maju, mandiri, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

b. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;

www.djpp.depkumham.go.id

5

c. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan;

d. mewujudkan persaingan yang sehat serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan yang merugikan masyarakat;

e. mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia; dan

f. memperkuat dan memperkokoh ketahanan nasional.

BAB III PEMBANGUNAN DAN PENGATURAN INDUSTRI

Bagian Kesatu Pembangunan Industri

Pasal 4 (1) Pembangunan industri dilakukan dengan memanfaatkan

sumber daya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dijabarkan dalam bentuk kebijakan industri nasional yang komprehensif dan didukung oleh sektor terkait lainnya.

(3) Menteri mengkoordinasikan penyusunan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 5 Pembangunan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

dilaksanakan antara lain melalui optimalisasi: a. pemanfaatan sumber daya alam; b. pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan teknologi

dalam negeri; c. pemanfaatan kreativitas dan inovasi sumber daya manusia

industri; d. standardisasi; e. kandungan dalam negeri; f. pengelolaan yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan; g. penyebaran dan pemerataan pertumbuhan industri ke

seluruh daerah; h. penguatan kemitraan antar industri dan sektor lainnya; i. pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan; j. penyediaan infrastruktur industri;

www.djpp.depkumham.go.id

6

k. penerapan Hak Kekayaan Intelektual; l. kerjasama internasional di bidang industri; m. pengamanan atas bahan baku, proses, penggunaan mesin

dan peralatan, hasil produksi, limbah serta pengangkutannya; dan

n. pengamanan industri dalam negeri terhadap tekanan eksternal sebagai dampak impor yang melonjak tajam dan krisis ekonomi global.

Pasal 6 (1) Kebijakan industri nasional sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (2) menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan industri yang sekurang-kurangnya memuat: a. Bangun Industri Nasional; b. Strategi Pembangunan Industri Nasional; dan c. fasilitas dan kemudahan.

(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 7 (1) Strategi Pembangunan Industri Nasional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dijabarkan dalam peta panduan pembangunan dan pengembangan industri nasional.

(2) Peta panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua

Pengaturan Industri Paragraf Kesatu

Industri Hijau Pasal 8 (1) Perusahaan Industri dalam melakukan kegiatan industri

mengupayakan pembangunan dan pengembangan industri menuju Industri Hijau.

(2) Pembangunan dan pengembangan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan

industri; dan

www.djpp.depkumham.go.id

7

b. pemberdayaan masyarakat dan atau lingkungan di

sekitar perusahaan industri. (3) Pembangunan dan pengembangan industri sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting terhadap lingkungan, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

(4) Penetapan jenis industri yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dari Menteri.

Pasal 9 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan

industri menuju Industri Hijau. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan berdasarkan rencana induk pembangunan dan pengembangan Industri Hijau yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(3) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan dalam mewujudkan Industri Hijau.

Pasal 10 (1) Pemerintah menyusun dan menetapkan standar Industri

Hijau. (2) Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11 (1) Perusahaan Industri yang mewujudkan dan

mengembangkan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diberikan sertifikat Industri Hijau.

(2) Ketentuan pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 12 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi terciptanya

sinergi antar industri dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah industri.

www.djpp.depkumham.go.id

8

Paragraf Kedua Industri Strategis

Pasal 13 (1) Industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Ketiga Bahan Baku

Pasal 14 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pengelolaan

dan pemanfaatan bahan baku yang berasal dari sumber daya alam nasional, dengan mengutamakan kepentingan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah dalam rantai nilai produksi di dalam negeri.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15 (1) Perusahaan industri wajib melakukan upaya pemanfaatan

sumber daya alam secara bertanggung jawab dan efisien. (2) Upaya pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perancangan produk dan proses produksi; b. optimalisasi pemakaian bahan baku secara efisien; c. optimalisasi penggunaan bahan baku daur ulang dan

hasil samping; dan d. optimalisasi penggunaan bahan baku yang ramah

lingkungan.

Paragraf Keempat Energi

Pasal 16 (1) Pemerintah menjamin ketersediaan pasokan energi sesuai

dengan jenis dan jumlah kebutuhan kegiatan industri dalam negeri secara berkelanjutan.

(2) Jenis dan jumlah kebutuhan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

www.djpp.depkumham.go.id

9

Pasal 17 (1) Perusahaan Industri wajib melakukan upaya pemanfaatan

energi secara bertanggung jawab dan efisien. (2) Upaya pemanfaatan energi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) untuk industri tertentu wajib dilengkapi dengan manajemen energi.

(3) Industri tertentu sebegaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

(4) Menteri dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan upaya pemanfaatan energi secara bertanggung jawab dan efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Paragraf Kelima

Air Baku Pasal 18 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan tata guna air baku

untuk keperluan industri. (2) Pemerintah Daerah Provinsi menyediakan peta potensi

ketersediaan air baku untuk kegiatan industri dalam negeri secara berkelanjutan.

(3) Kebijakan tata guna air baku untuk keperluan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Keenam

Teknologi Industri Pasal 19 (1) Pemerintah memfasilitasi penyediaan dan pemilihan

teknologi industri dalam negeri dan atau luar negeri yang diperlukan untuk pengembangan industri.

(2) Penyediaan dan pemilihan teknologi industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengkajian teknologi dengan mempertimbangkan aspek peningkatan daya saing.

Pasal 20 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi:

a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang industri, termasuk kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri;

www.djpp.depkumham.go.id

10

b. penyusunan peta panduan penguasaan kemampuan

teknologi prioritas; c. proses difusi dari hasil-hasil pengembangan dan

penerapan teknologi bagi pengembangan industri; dan atau

d. kerjasama perguruan tinggi dan lembaga riset industri dalam negeri dan luar negeri, dengan perusahaan industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing industri.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan kemudahan kepada perusahaan industri yang melakukan: a. penelitian, pengembangan dan pemanfaatan

kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri; b. kegiatan peningkatan kemampuan dan kompetensi

Sumber Daya Manusia; c. pengembangan inovasi melalui kegiatan intermediasi

antara inventor pengembangan teknologi industri dan dunia bisnis;

d. pengalihan teknologi, khusus bagi penanaman modal asing; dan atau

e. penyediaan teknologi industri dan penguasaan teknologi khusus bagi Industri Kecil.

(3) Fasilitasi, insentif, kemudahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21 Pemerintah membantu pengembangan dan pemanfaatan

teknologi bagi Industri Kecil.

Pasal 22 (1) Hasil karya penelitian dan pengembangan teknologi bidang

industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a disebarluaskan kepada publik.

(2) Pemerintah dapat melakukan audit terhadap teknologi industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan pada perusahaan industri.

www.djpp.depkumham.go.id

11

Paragraf Ketujuh

Inovasi dan Sumber Daya Manusia Industri Pasal 23 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong

peningkatan daya saing industri melalui pemanfaatan kreativitas dan pengembangan inovasi.

(2) Hasil kreativitas dan pengembangan inovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Hak Kekayaan Intelektual dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri.

(3) Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual untuk industri kecil dapat dilakukan melalui fasilitasi, konsultasi dan atau bimbingan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24 Pemerintah dan Pemerintah Daerah meningkatkan sumber

daya manusia industri dengan: a. memfasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga

pendidikan dan pelatihan industri serta lembaga sertifikasi profesi Sumber Daya Manusia industri;

b. memfasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga-lembaga/asosiasi profesi; dan

c. menyediakan dukungan program riset bagi perguruan tinggi, pengembangan dan penguatan lembaga-lembaga riset dan lembaga-lembaga/asosiasi profesi bagi pengembangan industri.

Pasal 25 (1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan dan

pengembangan Sumber Daya Manusia industri. (2) Perencanaan pembinaan dan pengembangan Sumber Daya

Manusia industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan pendidikan dan Menteri yang membidangi urusan ketenagakerjaan.

www.djpp.depkumham.go.id

12

Paragraf Kedelapan Standardisasi

Pasal 26 (1) Menteri melakukan perencanaan, penerapan, pembinaan,

pengembangan dan pengawasan SNI pada sektor industri. (2) Penetapan SNI pada sektor industri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standardisasi. (3) Pembinaan dan pengembangan SNI sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berkoordinasi dengan instansi terkait.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, penerapan, pembinaan, pengembangan dan pengawasan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 27 (1) Menteri berwenang untuk memberlakukan SNI secara wajib

atas sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI barang dan atau jasa industri.

(2) Pemberlakuan SNI secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, bahaya moralitas, dan pertimbangan ekonomis.

(3) Dalam hal SNI belum ditetapkan atau tidak sesuai dengan situasi dan atau perkembangan pembangunan industri, Menteri berwenang untuk merumuskan dan memberlakukan spesifikasi teknis secara wajib.

(4) Setiap orang dilarang memproduksi, mengimpor dan atau mengedarkan barang dan atau jasa industri di dalam negeri yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI atau spesifikasi teknis yang diberlakukan secara wajib.

Pasal 28 (1) Penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat

(1) dilakukan melalui sertifikasi. (2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Lembaga Sertifikasi Produk yang telah diakreditasi. (3) Menteri melakukan penyediaan, pembinaan dan

pengembangan fasilitas dan infrastruktur sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

www.djpp.depkumham.go.id

13

Pasal 29 (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

seluruh rangkaian pemberlakuan SNI wajib dan atau spesifikasi teknis secara wajib pada sektor industri.

(2) Ketentuan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Kesembilan Peningkatan Penggunaan

Produk Dalam Negeri Pasal 30 (1) Pemerintah mengoptimalkan peningkatan penggunaan

produk dalam negeri pada lembaga negara, badan usaha, dan masyarakat.

(2) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi barang dan atau jasa.

(3) Peningkatkan penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pengadaan barang dan atau jasa wajib bagi: a. Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat

Daerah/Institusi lainnya yang sebagian atau seluruh pembiayaan bersumber dari APBN/APBD, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;

b. Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;

c. badan usaha swasta yang pembiayaan dan atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerjasama antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dan/atau menggunakan aset negara.

(4) Masyarakat berperan aktif dalam upaya penggunaan dan promosi produk dalam negeri.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan produk dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.

www.djpp.depkumham.go.id

14

Paragraf Kesepuluh

Penyebaran Industri Pasal 31 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan penyebaran dan

pemerataan industri ke seluruh wilayah Indonesia. (2) Kebijakan penyebaran dan pemerataan industri

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. pendayagunaan potensi sumber daya nasional; b. pemerataan pertumbuhan industri di seluruh wilayah

Indonesia; c. peningkatan daya saing industri daerah berlandaskan

keunggulan dan keunikan yang dimiliki daerah; dan atau

d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai komoditi unggulan daerah.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi penyebaran dan pemerataan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan pembangunan,

pengaturan, pembinaan, dan pengembangan kawasan industri.

(2) Pembangunan dan pengembangan kawasan industri dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Kesebelas

Kemitraan Pasal 33 Pemerintah melakukan pengembangan kemitraan industri

melalui: a. penciptaan kemitraan usaha antara industri dengan

pemangku kepentingan; dan b. peningkatan dan penguatan kemitraan antar industri.

www.djpp.depkumham.go.id

15

Paragraf Keduabelas

Pembiayaan Industri Pasal 34 (1) Pemerintah menjamin ketersediaan pembiayaan kompetitif

untuk pembangunan industri nasional. (2) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dapat

mengalokasikan pembiayaan dan atau memberikan kemudahan pembiayaan pengembangan industri.

Pasal 35 (1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan industri, dapat dibentuk

lembaga pembiayaan khusus industri yang dikoordinasi oleh Menteri.

(2) Pembentukan lembaga pembiayaan khusus industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dapat memberikan

pinjaman, hibah, atau penyertaan modal kepada perusahaan negara atau perusahaan daerah di bidang industri.

(2) Pemberian pinjaman, hibah, atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.

Paragraf Ketigabelas

Pengamanan Industri Pasal 37

(1) Perusahaan Industri wajib melakukan pengamanan atas bahan baku, proses, penggunaan mesin dan peralatan, hasil produksi, limbah serta pengangkutannya.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan pelaksanaan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

www.djpp.depkumham.go.id

16

Pasal 38 (1) Pemerintah melakukan penyelamatan industri dan ekonomi

nasional dalam hal terjadi tekanan eksternal yang mengakibatkan industri dalam negeri mengalami kerusakan/kerugian (injury) yang berdampak kepada perekonomian nasional.

(2) Menteri menetapkan industri yang dapat dikategorikan sebagai industri yang mengalami kerusakan/kerugian (injury) yang berdampak kepada perekonomian nasional.

Paragraf Keempatbelas

Pembinaan Industri Pasal 39

(1) Kewenangan pembinaan industri berada pada Presiden yang dilaksanakan oleh Menteri.

(2) Kewenangan pembinaan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk industri tertentu dapat dilimpahkan kepada Menteri terkait.

(3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

(1) Menteri menetapkan kriteria industri yang tertutup untuk: a. penanaman modal; b. dicadangkan bagi industri tertentu; dan c. industri yang memiliki keunikan dan warisan budaya.

(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 41

(1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah melakukan pembinaan industri berdasarkan skala industri sebagai berikut: a. Industri Kecil; b. Industri Menengah; dan c. Industri Besar.

(2) Skala Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jumlah tenaga kerja.

(3) Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.

www.djpp.depkumham.go.id

17

(4) Besaran jumlah tenaga kerja untuk Industri Kecil, Industri Menengah, dan Industri Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 42 Pembinaan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41

ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c dilakukan melalui: a. penguatan daya saing industri yang berbasis ilmu

pengetahuan dan teknologi, termasuk partisipasi efektif dalam jaringan rantai pasok;

b. peningkatan kompetensi kewirausahaan dan sumber daya manusia industri;

c. peningkatan kemitraan antara Industri Besar, Industri Menengah, Industri Kecil dan sektor lainnya;

d. pemberian fasilitas dan atau kemudahan; e. dukungan promosi, pemasaran dan informasi; f. pengembangan kelembagaan; g. dukungan ketersediaan bahan baku; dan h. peningkatan teknologi dan standar.

Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan

pembinaan khusus kepada Industri Kecil untuk pemberdayaan dan meningkatkan perekonomian rakyat.

(2) Pembinaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Paragraf Kelimabelas Aparatur Pembina Industri

Pasal 44 (1) Aparatur pemerintah yang bertugas melakukan pembinaan

dan pengembangan industri di pusat dan di daerah harus memiliki kompetensi di bidang industri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

BAB IV

FASILITAS INDUSTRI Pasal 45 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah memberikan fasilitas

yang diperlukan dalam pembangunan dan pengembangan industri.

www.djpp.depkumham.go.id

18

(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

kepada industri yang: a. banyak menyerap tenaga kerja; b. termasuk dalam klaster industri prioritas; c. termasuk dalam skala prioritas tinggi; d. melakukan alih teknologi; e. merupakan industri pionir; f. memiliki daya cipta atau kreativitas berbasis nilai warisan

budaya nusantara; g. berada di daerah industri terpencil, daerah tertinggal,

daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;

h. melakukan pembangunan infrastruktur; i. menjaga kelestarian lingkungan hidup; j. mewujudkan industri hijau; k. melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi

industri; l. bermitra dengan Industri Kecil; dan atau m. menggunakan bahan baku, barang modal, mesin, atau

peralatan produksi dalam negeri. (3) Industri yang memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 46 (1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)

dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan, pajak daerah dan retribusi daerah.

(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47 (1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)

dalam melakukan impor barang modal, bahan baku dan bahan penolong untuk kegiatan industri, dapat diberikan fasilitas berupa: a. pembebasan atau pengurangan bea masuk;

www.djpp.depkumham.go.id

19

b. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak; dan atau

c. pembebasan atau pengurangan PPh. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48 (1) Pengembangan klaster industri prioritas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b diberikan fasilitas: a. penyediaan sumber daya manusia industrial; b. penelitian dan pengembangan barang atau jasa industri; c. promosi; d. insentif fiskal; dan atau e. insentif non-fiskal dan kemudahan lain.

(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri dan Menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49 Peran Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam melakukan

pengembangan industri sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) huruf f dengan: a. melakukan penataan industri pendukung; b. melakukan penataan sebaran industri yang mendukung

penciptaan klaster industri dan koridor industri kreatif; c. mengembangkan sentra desain industri kreatif; d. melakukan pengembangan industri piranti keras dan piranti

lunak dalam negeri sebagai penopang teknologi industri kreatif;

e. memberikan pelatihan teknologi pengolahan material tepat guna dan ramah lingkungan;

f. menjalin kemitraan strategis dengan negara yang sudah maju pada teknologi pengolahan;

g. melakukan intensifikasi kerjasama lembaga pemerintah/swasta dengan industri kreatif khususnya dalam pemanfaatan bahan baku alternatif;

h. melakukan diseminasi penggunaan sumber daya alam terbarukan dan ramah lingkungan;

www.djpp.depkumham.go.id

20

i. melakukan diseminasi pengembangan produk kreatif yang berorientasi pada penghematan sumber daya alam dan ramah lingkungan;

j. mendorong penelitian yang terkait dengan bahan baku sumber daya alam yang terbarukan dan ramah lingkungan dengan memperkuat koordinasi dan kolaborasi antar industri, lembaga riset pemerintah, dan pendidikan tinggi;

k. memberi bantuan dukungan teknologi pengolahan bahan baku industri;

l. memberi dorongan dan mengikutsertakan ikatan profesi dan asosiasi industri kreatif dalam pengembangan industri; dan

m. melakukan promosi barang atau jasa industri kreatif di dalam dan luar negeri.

Pasal 50 (1) Pengembangan Industri Hijau sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 45 ayat (2) huruf j diberikan fasilitas: a. insentif fiskal; b. insentif non-fiskal; dan atau c. kemudahan lain.

(2) Pengembangan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf j dapat diberikan fasilitas: a. penyediaan sumber daya manusia industri; b. penelitian dan pengembangan barang atau jasa industri; c. promosi; dan atau d. teknologi baru.

(3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Menteri dan Menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 51 (1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)

huruf m dalam melakukan penyerahan dalam negeri, dapat diberikan fasilitas berupa pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak serta pembebasan atau pengurangan PPh.

(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

www.djpp.depkumham.go.id

21

Pasal 52 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah menjamin

ketersediaan infrastruktur industri bagi pengembangan industri dan klaster industri.

(2) Pengembangan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.

Pasal 53 (1) Pemerintah memberikan insentif kepada:

a. Badan Usaha yang mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri;

b. Badan Usaha yang mengoptimalkan tingkat komponen dalam negeri atas produk yang dihasilkan; dan atau

c. industri strategis yang menunjang pengembangan produksi dalam negeri.

(2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi lainnya, Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta yang mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif dan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 54 Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal

47, Pasal 48, Pasal 50 dan Pasal 51, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri.

Pasal 55 (1) Pemerintah memberikan pelindungan kepada Perusahaan

Industri dari gangguan eksternal yang tidak wajar. (2) Pelaksanaan dan pengawasan pelindungan terhadap

industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri dengan instansi terkait.

(3) Ketentuan dan tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

www.djpp.depkumham.go.id

22

Pasal 56 (1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada:

a. Perusahaan Industri yang telah mewujudkan industri hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf j;

b. lembaga negara dan badan usaha yang mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri;

c. Perusahaan Industri yang melakukan rintisan teknologi industri;

d. lembaga pendidikan dan lembaga penelitian yang menghasilkan inovasi industri;

e. perorangan yang telah berhasil dalam mengembangkan industri kecil;

f. perorangan yang telah berhasil mengangkat dan mengembangkan produk, motif, teknologi atau desain yang telah ditinggalkan dan terancam punah serta mempertahankan keberadaannya dalam rangka pengembangan industri nasional;

g. perusahaan yang melakukan kemitraan dan pembinaan usaha dengan industri kecil untuk memperkuat dan memandirikan industri kecil;

h. Gubernur/Bupati/Walikota yang mempunyai visi, komitmen, serta prestasi tinggi dalam menumbuhkembangkan industri kecil dan industri menengah di daerahnya; dan atau

i. perusahaan industri kecil yang telah menerapkan teknologi modern dalam proses produksi sehingga lebih efisien, produktif, dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi.

(2) Menteri menetapkan lebih lanjut kriteria industri, lembaga negara, badan usaha, dan perorangan yang dapat diberikan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB V PERIZINAN DAN INFORMASI INDUSTRI

Bagian Kesatu Perizinan

Pasal 57 (1) Setiap kegiatan industri, termasuk jasa industri, wajib

memiliki Izin Usaha Industri (IUI).

www.djpp.depkumham.go.id

23

(2) Kewajiban memiliki Izin Usaha Industri untuk jasa industri

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi jasa industri tertentu.

(3) Jasa industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

(4) Izin Usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Izin Usaha Industri Kecil (IUI Kecil); b. Izin Usaha Industri Menengah (IUI Menengah); dan c. Izin Usaha Industri Besar (IUI Besar).

(5) Setiap perusahaan industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Izin Perluasan.

(6) Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berlaku sebagai izin usaha perdagangan atas barang dan atau jasa industri yang dihasilkannya.

(7) Pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berada pada Menteri, Menteri terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

(8) Ketentuan pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 58

(1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI).

(2) Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perusahaan Kawasan Industri yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

(3) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Izin Perluasan Kawasan Industri.

(4) Ketentuan dan tata cara Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

www.djpp.depkumham.go.id

24

Bagian Kedua Informasi Industri

Pasal 59 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data

Industri yang akurat, lengkap dan tepat waktu secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada instansi pembina industri.

(2) Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup legalitas perusahaan, aspek kegiatan industri, aspek teknis dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

(3) Instansi Pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan wajib menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai Informasi Industri kepada Instansi Pembina Industri di pusat/Menteri terkait.

(4) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup jenis dan jumlah kapasitas produksi, pemasaran, aspek penggunaan dan ketersediaan bahan baku, penggunaan dan ketersediaan energi, penggunaan tenaga kerja, dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

(5) Instansi Pembina Industri di pusat/Menteri terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan hasil pengolahan Informasi Industri kepada Menteri.

(6) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya mencakup jenis dan jumlah kapasitas produksi, pemasaran, aspek penggunaan dan ketersediaan bahan baku, penggunaan dan ketersediaan energi, penggunaan tenaga kerja, dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

Pasal 60 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan

Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap dan tepat waktu secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada Instansi Pembina Industri di daerah.

(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup aspek legalitas perusahaan, aspek perencanan, aspek pembangunan, dan aspek pengelolaan, aspek teknis yang terkait dengan jumlah perusahaan dan kegiatan industri, kelengkapan sarana dan prasarana penunjang serta upaya pelestarian lingkungan hidup.

www.djpp.depkumham.go.id

25

(3) Instansi Pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di daerah secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan wajib menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai Informasi Industri kepada Instansi Pembina Industri di pusat.

(4) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup aspek jenis dan jumlah kegiatan industri, aspek pengunaan dan ketersediaan energi, aspek tenaga kerja, aspek ketersediaan prasarana kawasan industri, aspek ketersediaan sarana penunjang kawasan industri, dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

(5) Instansi Pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di pusat menyampaikan Informasi Industri kepada Menteri.

(6) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya mencakup aspek jenis dan jumlah kegiatan industri, aspek pengunaan dan ketersediaan energi, aspek tenaga kerja, aspek ketersediaan prasarana kawasan industri, aspek ketersediaan sarana penunjang kawasan industri, dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

Pasal 61 (1) Penyampaian Data Industri sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 59 ayat (2) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

(2) Ketentuan mengenai bentuk, isi, dan tata cara penyampaian: a. Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59

ayat (2); b. Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 60 ayat (2); dan c. Informasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal

59 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5);

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 62 (1) Menteri melakukan pengelolaan Informasi Industri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (5) dan Pasal 60 ayat (5) sebagai bahan penyediaan Informasi Industri Nasional bagi instansi pemerintah, perusahaan industri, dan pengguna publik.

www.djpp.depkumham.go.id

26

(2) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem

Informasi Industri Nasional sebagai bagian dalam pembangunan dan pembinaan industri nasional.

(3) Menteri, Menteri terkait dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan dalam:

a. penyampaian Data Industri oleh Perusahaan Industri atau Data Kawasan Industri oleh Perusahaan Kawasan Industri dan atau Informasi Industri oleh Instansi Pembina Industri pusat dan daerah; dan

b. pemberian informasi mengenai perkembangan industri kepada pengguna publik.

Pasal 63 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah

dilarang menyampaikan dan atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) apabila penyampaian dan atau pengumuman informasi dimaksud dapat merugikan perusahaan industri yang bersangkutan.

BAB VI KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu Komite Daya Saing Industri

Pasal 64 (1) Dalam rangka peningkatan daya saing industri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dibentuk Komite Daya Saing Industri Nasional dan Komite Daya Saing Industri Daerah.

(2) Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Presiden, dan pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh Menteri

(3) Keanggotaan Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

(4) Organisasi, tata kerja, dan keanggotaan Komite Daya Saing Industri sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

www.djpp.depkumham.go.id

27

Pasal 65 (1) Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka penyusunan kebijakan peningkatan daya saing industri nasional.

(2) Untuk mendukung pelaksanaan operasional Komite Daya Saing Industri Nasional dibentuk Sekretariat Komite Daya Saing Industri Nasional.

(3) Sekretariat Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(4) Biaya pelaksanaan tugas Dewan Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 66 (1) Menteri membentuk Komite Daya Saing Industri Daerah di

setiap Provinsi. (2) Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dmaksud

ayat (1) bertanggung jawab kepada Komite Daya Saing Industri Nasional.

(3) Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Gubernur.

(4) Keanggotaan Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha, dan masyarakat.

(5) Organisasi, tata kerja, dan keanggotaan Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 67 (1) Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 66 ayat (1) mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penyusunan kebijakan peningkatan daya saing industri daerah.

(2) Untuk mendukung pelaksanaan operasional Komite Daya Saing Industri Daerah dibentuk Sekretariat Komite Daya Saing Industri Daerah.

www.djpp.depkumham.go.id

28

(3) Sekretariat Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.

(4) Biaya pelaksanaan tugas Dewan Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VII

PENGAWASAN Pasal 68 (1) Dalam rangka keterpaduan pembangunan industri, Menteri

dan Menteri terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan pengawasan pada instansi di pusat dan daerah terhadap penerapan: a. peraturan perundangan secara nasional yang terkait

dengan industri; dan b. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang

terkait industri. (2) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69 (1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat melakukan audit

teknis kepada perusahaan industri yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1).

(2) Pelaksanaan audit teknis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang mempunyai sertifikasi keahlian dan keterampilan bidang industri dari lembaga sertifikasi keahlian yang telah diakreditasi.

(3) Apabila belum terdapat pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menunjuk langsung lembaga audit yang terakreditasi.

(4) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk: a. memasuki lokasi yang diduga atau patut diduga

digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan usaha industri secara tidak benar; dan atau

b. melakukan langkah pengamanan terhadap usaha industri dimaksud dengan melarang atau menghentikan kegiatan usaha industri untuk sementara waktu.

www.djpp.depkumham.go.id

29

(5) Apabila dalam pelaksanaan audit teknis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti awal telah terjadi tindak pidana di bidang industri, pejabat yang ditunjuk untuk melakukan audit teknis industri menyampaikan informasi kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(6) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan hasil audit teknis industri kepada Menteri dan atau Instansi Pembina Industri di daerah.

(7) Ketentuan dan tata cara audit teknis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII

PENYIDIKAN Pasal 70 (1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perindustrian;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perindustrian;

c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perindustrian;

d. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga menjadi tempat penyimpanan atau tempat diperoleh barang bukti dan menyita benda yang dapat digunakan sebagai barang bukti dalam tindak pidana di bidang perindustrian;

e. meminta bantuan tenaga ahli dalam melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perindustrian; dan atau

f. menyatakan saat mulainya dan dihentikannya penyidikan.

www.djpp.depkumham.go.id

30

BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 71 (1) Setiap penanggung jawab usaha industri yang melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan Pasal 60 ayat (1) dikenakan sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pengumuman pelanggaran di media massa; c. pembekuan IUI dan atau Izin Perluasan; d. pencabutan IUI dan atau Izin Perluasan; e. pembekuan IUKI dan atau Izin Perluasan Kawasan

Industri; atau f. pencabutan IUKI dan atau Izin Perluasan Kawasan

Industri. (3) Ketentuan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 72 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 73 Pejabat yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (6) dikenakan hukuman disiplin pegawai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB X KETENTUAN PIDANA

Pasal 74 (1) Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (1) atau Pasal 58 ayat (3) dikenakan denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan atau dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.

www.djpp.depkumham.go.id

31

(2) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (1) atau Pasal 58 ayat (3) dikenakan denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan atau dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.

Pasal 75 (1) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Pejabat yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 76 (1) Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut Izin Usaha.

(2) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

BAB XI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 77 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan perindustrian yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan Undang-Undang ini.

www.djpp.depkumham.go.id

32

BAB XII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 78 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku .

Pasal 79 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-

Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

Pasal 80 Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal

diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal …………… PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal ………….. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

www.djpp.depkumham.go.id

33

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG PERINDUSTRIAN PENJELASAN UMUM

Era globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa perubahan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dampak yang paling dirasakan adalah persaingan yang makin ketat di berbagai kegiatan ekonomi terutama di sektor industri. Untuk membangun ekonomi nasional yang tangguh di lingkungan persaingan yang ketat, sektor industri pengolahan sebagai sektor produktif penghasil nilai-tambah tinggi harus mampu berfungsi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menjadi pembentuk keunggulan-kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pengaturan yang lebih reformatif dan kondusif terhadap pencapaian tujuan tersebut, dengan melakukan penyempurnaan sistem peraturan perundang-undangan yang telah ada. Kendati sektor industri merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, tumbuh-majunya industri nasional harus tetap mampu menimbulkan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat dengan tidak terongrongnya kedaulatan bangsa dan terkorbankannya kepentingan nasional, tetap terlestarikannya nilai-nilai budaya luhur bangsa yang bercirikan demokrasi ekonomi yang berorientasi kerakyatan, dengan tetap menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta membangun kerjasama ekonomi secara selaras dengan negara-negara lain sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Oleh karena itu UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, perlu disempurnakan dari aspek penjabaran operasional amanat UUD 1945 khususnya Pasal 33 dalam pembangunan industri serta untuk mengantisipasi dinamika perubahan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Untuk dapat menerobos dan bersaing di pasar global, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dituntut mampu ikut menciptakan iklim usaha yang menunjang terbentuknya peningkatan daya saing sektor industri. Oleh karena itu pengaturan yang kurang menunjang upaya pembentukan daya-saing perlu dihilangkan, dengan mengganti pengaturan yang mendorong kemudahan dalam usaha.

www.djpp.depkumham.go.id

34

Teknologi merupakan faktor penentu bagi pembentukan daya-saing dan modernisasi industri, yang kuncinya terletak pada kemampuan inovasi di bidang proses, desain dan produk. Di lain pihak, teknologi tidaklah bebas-nilai sehingga perlu diberikan rambu-rambu agar penerapannya tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara, karenanya pembaharuan pengaturan untuk memajukan kemampuan teknologi melalui penyempurnaan UU Perindustrian harus memperhatikan aspek-aspek keamanan, keselamatan dan kesehatan manusia serta kelestarian lingkungan hidup. Dengan diberlakukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peran dan misi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pembangunan industri perlu dirumuskan secara jelas dalam UU Perindustrian yang disempurnakan, karena dalam UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian hal tersebut belum diatur. Penyempurnaan Undang-Undang Perindustrian bertujuan untuk membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yang diharapkan akan lebih mampu mendinamisasikan tumbuh-majunya industri nasional di era globalisasi ekonomi tanpa mengorbankan kepentingan nasional serta ciri budaya dan harga-diri bangsa, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, sekaligus mengakomodasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan demikian diharapkan Undang-Undang Perindustrian yang baru akan dapat menjadi instrumen pembangunan yang lebih efektif untuk menuju terwujudnya kondisi: a. kepastian hukum bagi dunia usaha industri dan masyarakat; b. keadilan dalam berusaha di bidang industri, baik bagi pelaku maupun bagi

pemerintah/negara maupun masyarakat luas; c. terjadinya gairah pembangunan industri yang mampu menimbulkan dampak

kemakmuran yang adil dan merata bagi rakyat Indonesia; serta d. terpeliharanya keutuhan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2

Yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah bahwa pelaksanaan pembangunan industri dilaksanakan dengan sebesar mungkin mengikutsertakan dan meningkatkan peran serta aktif masyarakat secara merata, baik dalam bentuk usaha swasta maupun koperasi serta dengan menghindarkan sistem “free fight liberalism”, sistem “etatisme”, dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Yang dimaksud dengan pengutamaan kepentingan nasional mencakup peningkatan penggunaan produk dalam negeri.

www.djpp.depkumham.go.id

35

Yang dimaksud dengan kebersamaan mencakup koordinasi Pemerintah secara horizontal dan vertikal. Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan adalah bahwa pelaksanaan pembangunan industri tetap harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian dari lingkungan hidup dan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan kepastian berusaha meliputi perlindungan penanaman modal. Yang dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan dan kekuatan diri sendiri, yang menunjukan bahwa segala usaha dan kegiatan dalam pembangunan industri harus berlandaskan dan sekaligus mampu membangkitkan kepercayan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepada kepribadian bangsa. Yang dimaksud dengan pemerataan persebaran adalah pemerataan pembangunan industri menyebar pada seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan keseimbangan meliputi pemberdayaan industri kecil, serta pola kemitraan.

Pasal 3

Pembangunan industri yang maju, mandiri, berdaya saing, dan berwawasan lingkungan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan bangun industri nasional yang ditetapkan.

Pasal 4

Ayat (1) Yang dimaksud dengan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” adalah bahwa pembangunan sektor industri sebagai penggerak ekonomi nasional harus dinikmati semaksimal mungkin oleh seluruh rakyat Indonesia terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok mayoritas yang berada di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita nasional. Sesungguhnya hal yang wajar dan merupakan hak dasar yang secara kodrat melekat serta bersifat universal, bahwa kelompok tersebutlah yang memang harus dilindungi dan ditingkatkan taraf hidup maupun mutu kehidupannya. Peningkatan kehidupan terhadap mereka otomatis akan menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan produktivitas dan meniadakan kesenjangan atau ketimpangan antar lapisan ekonomi sosial, sehingga mampu menumbuhkan rasa keadilan masyarakat karena adanya perlindungan dan pemerataan pembangunan terhadap mereka yang lemah. Dengan kata lain kesejahteraan yang berkeadilan itulah kemakmuran yang diidam-idamkan oleh segenap bangsa Indonesia. Jadi tujuan utama pembangunan industri dalam hal ini adalah bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat dan berkeadilan sosial atau peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, bukan kemakmuran individu, golongan atau kelompok tertentu masyarakat. Proses

www.djpp.depkumham.go.id

36

produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan sektor terkait lainnya antara lain sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, kelautan, perikanan, pertambangan, dan penggalian.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemangku kepentingan antara lain adalah instansi/lembaga pemerintah, lembaga pembiayaan, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), lembaga pendidikan, lembaga litbang dan badan usaha milik negara dan atau swasta yang terkait dengan pembangunan industri.

Huruf a Yang dimaksud dengan Bangun Industri Nasional dalam ketentuan ini adalah sasaran jangka panjang pembangunan industri yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 7 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

37

Pasal 8 Ayat (1)

Pembangunan industri menuju industri hijau ditujukan bagi Perusahaan Industri baru, sedangkan pengembangan industri menuju industri hijau ditujukan bagi Perusahaan Industri yang telah berproduksi dan atau akan melakukan perluasan.

Ayat (2) Huruf a

Yang dimaksud dengan perencanaan dan pelaksanaan Industri Hijau dalam ketentuan ini adalah menyusun langkah pembangunan atau pengembangan Industri Hijau yang pelaksanaannya dilakukan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan prinsip: 1. produksi bersih (cleaner production); 2. konservasi energi (energy efficiency); 3. efisiensi sumberdaya (resource efficiency); 4. eco-design; 5. eco-product; 6. 3R (reduce, reuse, and recycle); atau 7. low-carbon technology.

Huruf b Kegiatan pemberdayaan masyarakat atau lingkungan meliputi: a. pelaksanaan kegiatan yang berdampak positif kepada masyarakat, b. pemberdayaan masyarakat, dan c. menjamin kelestarian lingkungan hidup.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 9 Ayat (1)

Industri yang telah ada dibina dan didorong untuk memenuhi kriteria Industri Hijau, sedangkan pengembangan industri baru diarahkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dengan menggunakan konsep 3R (reduce, reuse, recycle), low carbon, produksi bersih untuk memenuhi kriteria Industri Hijau.

Ayat (2)

www.djpp.depkumham.go.id

38

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Sertifikasi sebagai industri hijau diberikan kepada Perusahaan Industri yang menggunakan bahan baku, proses produksi dan pemanfaatan energi secara efisien dan ramah lingkungan; melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca; menjaga kelestarian lingkungan; serta menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Pemberian sertifikat Industri Hijau dilakukan oleh lembaga penilai yang telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 12 Yang dimaksud dengan sinergi antar industri dalam ketentuan ini antara lain berupa: a. pemanfaatan limbah suatu industri sebagai bahan baku atau bahan

pengisi bagi industri lain; dan b. pemanfaatan limbah suatu industri sebagai sumber energi bagi industri

lain.

Pasal 13 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah industri yang: a. memenuhi kebutuhan yang sangat pokok bagi kesejahteraan rakyat atau

menguasai hajat hidup orang banyak; b. mengolah suatu bahan mentah strategis; dan atau c. berkaitan langsung dengan kepentingan ketahanan nasional serta

www.djpp.depkumham.go.id

39

keamanan negara. Sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka cabang-cabang industri tersebut dapat ditetapkan untuk dimiliki ataupun dikuasai oleh Negara. Yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara tidaklah selalu berarti bahwa cabang-cabang industri dimaksud harus dimiliki oleh negara, melainkan Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur produksi dari cabang-cabang industri dimaksud dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 14 Ayat (1)

Yang dimaksud mengutamakan kepentingan industri dalam negeri adalah pengendalian ekspor atas bahan baku yang berasal dari sumber daya alam, baik yang bersifat non hayati seperti bahan galian tambang, logam dan non logam (misalnya bijih besi, bauksit, pasir besi, pasir kuarsa), atau yang bersifat hayati, seperti hasil hutan, dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Ekspor bahan baku dimungkinkan hanya apabila kebutuhan industri dalam negeri sudah tercukupi.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 15 Ayat (1)

Pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan efisien dapat dilakukan melalui konsep produksi bersih, konsep 3R (Reuse, Reduce, Recycle), dan konsep pemanfaatan sumber daya alam secara hemat.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 16 Ayat (1)

Yang dimaksud energi yaitu energi yang bersumber dari sumber daya alam seperti batu bara, gas, minyak bumi dan energi hasil olahan, seperti listrik. Penyediaan energi untuk kebutuhan industri dalam negeri dilakukan tanpa mengabaikan kebutuhan energi rumah tangga dan fasilitas umum.

www.djpp.depkumham.go.id

40

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 17 Ayat (1)

Perusahaan Industri mengupayakan penggunaan energi baru dan terbarukan, renewable energy, diversifikasi energi, energi alternatif.

Ayat (2) Manajemen energi dilakukan dengan melalui audit energi secara berkala.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 18 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan peta potensi ketersediaan air baku provinsi adalah data yang menginformasikan potensi ketersediaan sumber air baku di Provinsi yang bersangkutan.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 19 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang industri adalah kegiatan yang menghasilkan penemuan baru yang bermanfaat bagi industri atau pengembangan dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas industri.

www.djpp.depkumham.go.id

41

Ayat (2) Insentif dan kemudahan yang diberikan antara lain berupa pembebasan, pengurangan atau penangguhan perpajakan, bea masuk, cukai, kemudahan dalam mendapatkan permodalan dari perbankan, fasilitas ekspor, pelayanan administrasi, penyediaan peralatan, penggunaan tenaga kerja asing, bantuan tenaga ahli serta alokasi anggaran penelitian sesuai dengan kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 21 Cukup jelas.

Pasal 22 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 24 Cukup jelas.

Pasal 25 Ayat (1)

Peningkatan sumber daya manusia industri diperlukan dalam rangka pengembangan sektor industri.

www.djpp.depkumham.go.id

42

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 26 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan perencanaan dalam ketentuan ini adalah kegiatan menyusun dan menetapkan peta panduan dalam pemberlakuan SNI pada sektor industri (yaitu wajib dan atau sukarela), pembinaan, pengembangan dan pengawasannya, termasuk dalam perumusan dan atau revisi atas SNI.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 27 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan perumusan mencakup proses penyusunan sampai dengan penetapan.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 28 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pembinaan sertifikasi yaitu kegiatan yang antara lain meliputi pembinaan dan fasilitasi atas penerapan SNI, persyaratan teknis, dokumen atau spesifikasi teknis, serta Lembaga Penilai Kesesuaian.

www.djpp.depkumham.go.id

43

Pasal 29 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1)

Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemandirian dan pengembangan kemampuan industri nasional. Pengaturan mengenai pengoptimalan penggunaan produk dalam negeri dilakukan dalam rangka lebih menjamin kemandirian dan stabilitas perekonomian nasional, di samping meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Yang dimaksud dengan Lembaga Negara meliputi kementerian negara/lembaga pemerintahan non kementerian/ lembaga negara/satuan kerja perangkat daerah/lembaga lainnya. Yang dimaksud dengan Badan Usaha meliputi BUMN, BUMD, dan BHMN, serta badan usaha swasta. Yang dimaksud dengan masyarakat meliputi seluruh komponen masyarakat sebagai konsumen akhir.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan produk dalam negeri adalah barang/jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, yang menggunakan sebagian tenaga kerja bangsa/warga negara Indonesia, yang prosesnya menggunakan bahan baku/komponen dalam negeri dan atau sebagian impor. Yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda baik berwujud termasuk makhluk hidup atau tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh pengguna. Yang dimaksud dengan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan untuk dimanfaatkan oleh pengguna.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan “berperan aktif” adalah kegiatan yang bersifat mendukung pelaksanaan penggunaan dan promosi produk dalam negeri, antara lain seperti menggunakan, menghimbau, mengajak, dan mempromosikan penggunaan produk dalam negeri.

www.djpp.depkumham.go.id

44

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 31 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kebijakan dalam ketentuan ini adalah kebijakan untuk mengatur dalam mengutamakan penyebaran industri ke luar Pulau Jawa, pemberian insentif dan kemudahan, serta pembangunan infrastruktur.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Yang dimaksud fasilitasi dalam ayat ini antara lain penyediaan infrastruktur (fisik dan non fisik).

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 32 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 33 Cukup jelas.

Pasal 34 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud pemberian kemudahan pembiayaan pengembangan industri dalam ketentuan ini adalah memberikan keringanan persyaratan dalam mendapatkan pembiayaan yang digunakan dalam pengembangan industri dalam rangka antara lain mempromosikan efisiensi energi, pengurangan emisi gas rumah kaca, penggunaan bahan baku dan bahan bakar terbaharukan, serta pengembangan sumber daya manusia dan teknologi.

www.djpp.depkumham.go.id

45

Pasal 35 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 37 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengangkutan dalam ayat ini adalah pengangkutan bahan baku dan hasil produksi industri yang berbahaya.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ketentuan ini antara lain dapat berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pengamanan atas bahan baku, proses, penggunaan mesin dan peralatan, hasil produksi, serta limbah termasuk pengangkutannya. Pemerintah menetapkan kebijakan mengenai keamanan alat, proses, hasil produksi industri serta pengangkutannya.

Ayat (3) Pengawasan meliputi langkah-langkah pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.

Pasal 38 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tekanan eksternal adalah dampak dari krisis ekonomi global. Bentuk-bentuk penyelamatan industri dalam ayat ini antara lain dapat berupa penyediaan stimulus fiskal dan non fiskal.

Ayat (2) Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

46

Pasal 39 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pembinaan industri dalam ketentuan ini adalah kebijakan untuk melakukan pembangunan, pengaturan, dan pengembangan industri.

Ayat (2) Secara nasional kewenangan pembinaan dan pengembangan industri pada dasarnya berada di tangan Presiden yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menteri yang membidangi urusan pemerintahan bidang perindustrian. Namun demikian, mengingat masalah kewenangan pembinaan dan pengembangan industri tertentu telah berada di berbagai instansi, maka kenyataan ini pada dasarnya perlu tetap diperhatikan. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk industri tertentu yang mempunyai kaitan khusus dengan sektor ekonomi lainnya, kewenangan pengaturan yang bersifat teknis, pembinaan dan pengembangannya merupakan kewenangan yang diserahkan pelaksanaannya kepada Menteri-menteri lainnya selain Menteri yang membidangi urusan pemerintahan bidang perindustrian.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 41 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan tenaga kerja dalam ketentuan ini adalah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam kegiatan industri dari aspek manajemen dan proses produksi.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

47

Pasal 42 Huruf a

Yang dimaksud dengan penguatan daya saing dalam ketentuan ini yaitu peningkatan produktivitas yang memenuhi kebutuhan pasar, pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Pemberian fasilitas dapat berupa bimbingan teknis (termasuk pengembangan produk, desain), bimbingan manajemen, promosi ekspor, dengan kriteria yang jelas. Pemberian kemudahan dapat berupa kemudahan izin, prosedur, permohonan paten, dan penerapan SNI wajib untuk industri kecil. Selain hal tersebut, terhadap Industri Kecil dapat juga diberikan kemudahan berupa bantuan: 1. mesin/peralatan dan sarana penunjang produksi; 2. pelatihan dan tenaga ahli/pendamping/penyuluh; 3. penerapan sistem mutu dan standardisasi; 4. fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual; 5. fasilitasi Unit Pelayanan Teknis (UPT); 6. permodalan; dan 7. penyediaan kawasan industri/sentra.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas.

Pasal 43 Ayat (1)

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

48

Ayat (2) Kegiatan pembinaan khusus dalam ketentuan ini antara lain dapat dilakukan dengan:

a. penataan lokasi/kawasan/sentra sebagai pusat produksi; b. penciptaan inkubator teknologi dan bisnis melalui kerja sama antara

Pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha; c. penciptaan kemitraan usaha antara Industri Kecil dengan pemangku

kepentingan; dan atau d. peningkatan mutu dan desain produk.

Pasal 44 Ayat (1)

Aparatur pembina industri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah aparatur Pemerintah, aparatur Pemerintah Provinsi, dan aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang industri.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 45 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Fasilitas yang dapat diberikan kepada industri yang memiliki daya cipta atau kecerdasan dan imajinasi (kreatif) berbasis nilai warisan budaya nusantara, yang telah melakukan antara lain:

www.djpp.depkumham.go.id

49

1. peningkatan inovasi bermuatan lokal, untuk menciptakan keunggulan kompetitif;

2. peningkatan efisiensi serta produktivitas industri untuk meningkatkan keunggulan komparatif;

3. pembentukan basis-basis teknologi peningkatan industri kreatif menuju klaster teknologi;

4. peningkatan kemampuan sumber daya manusia untuk memanfaatkan bahan baku yang berasal dari alam;

5. peningkatan apresiasi dan promosi sadar lingkungan apabila menggunakan bahan baku alam;

6. pembentukan basis-basis teknologi penghasil bahan baku pendukung; 7. penciptaan masyarakat kreatif yang saling menghargai dan saling bertukar

pengetahuan demi kuatnya industri nasional; 8. peningkatan penghargaan kepada insan kreatif; 9. penyelenggaraan acara dan program yang menggali, mengangkat, dan

mempromosikan insan kreatif Indonesia; dan 10. peningkatan jumlah wirausahawan kreatif sebagai lokomotif industri kreatif. Huruf g

Cukup jelas. Huruf h

Cukup jelas. Huruf i

Cukup jelas. Huruf j

Cukup jelas. Huruf k

Cukup jelas. Huruf l

Cukup jelas. Huruf m

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 46 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

50

Pasal 47 Ayat (1)

Fasilitas diberikan antara lain untuk impor mesin, barang dan bahan untuk pembangunan industri.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 48 Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 49 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

51

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas.

Huruf i Cukup jelas.

Huruf j Cukup jelas.

Huruf k Cukup jelas.

Huruf l Cukup jelas.

Huruf m Cukup jelas.

Pasal 50 Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

52

Huruf d Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 51 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan menjamin tidaklah selalu berarti bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah sepenuhnya menyediakan infrastruktur secara fisik tetapi juga dapat melakukan kerjasama investasi antara Pemerintah dan swasta melalui pola Public Private Partnership melalui instrumen kebijakan dan pengaturan penyediaan infrastruktur bagi kepentingan pembangunan dan pengembangan industri nasional dalam rangka pemantapan dan kesinambungan pembangunan ekonomi nasional serta ketahanan nasional. Yang dimaksud dengan infrastruktur industri dalam ketentuan ini adalah infrastruktur yang terkait dengan kegiatan industri antara lain energi, prasarana jalan, pelabuhan, transportasi, jaringan telekomunikasi, jaringan air, jaringan listrik, laboratorium pengujian, lembaga sertifikasi produk, dan kawasan industri.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 53 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

53

Pasal 54 Yang dimaksud dengan kemudahan dalam ketentuan ini meliputi kemudahan dalam memperoleh perizinan, bantuan permodalan, bantuan teknologi, bahan baku, akses pasar, perlindungan HKI serta pendidikan dan pelatihan.

Pasal 55 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan gangguan eksternal yang tidak wajar antara lain persaingan impor yang tidak wajar, pemalsuan barang, premanisme (gangguan keamanan), diskriminasi kedaerahan, yang dapat mengganggu kelangsungan dan kelancaran produksi. Pelindungan juga diberikan kepada industri yang potensial (infant industries).

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 56 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

54

Huruf c Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7) Cukup jelas.

Ayat (8) Cukup jelas.

Pasal 58 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1)

Kewajiban menyampaikan Data Industri dalam ketentuan ini berlaku bagi Perusahaan Industri sejak melakukan kegiatan pembangunan proyek pendirian pabrik sampai dengan Perusahaan industri melakukan produksi komersial, walaupun belum memiliki Izin Usaha Industri (IUI), yang dilanjutkan setelah Perusahaan Industri yang bersangkutan memiliki IUI sampai dengan IUI dicabut atau dikembalikan. Yang dimaksud dengan secara berkala dalam ketentuan ini adalah waktu tertentu yang ditetapkan seperti bulanan, triwulan, kuartal, semester dan tahunan. Yang dimaksud dengan sewaktu-waktu dalam ketentuan ini adalah setiap saat, pada waktu diperlukan dalam rangka memperoleh konfirmasi, pemutakhiran, dan informasi tambahan. Yang dimaksud dengan Instansi Pembina Industri adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Menteri terkait.

www.djpp.depkumham.go.id

55

Yang dimaksud dengan Menteri terkait dalam ketentuan ini adalah menteri yang tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang industri tertentu.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Informasi Industri dalam ketentuan ini merupakan sistem informasi industri terpadu secara nasional yang diperlukan sebagai dasar dalam: a. pembinaan dan pengembangan industri nasional; dan b. pengembangan sarana dan prasarana teknologi informasi dan

komunikasi Data Industri. Yang dimaksud dengan secara berkala dalam ketentuan ini adalah waktu tertentu yang ditetapkan seperti bulanan, triwulan, kuartal, semester dan tahunan. Yang dimaksud dengan sewaktu-waktu dalam ketentuan ini adalah setiap saat, pada waktu diperlukan dalam rangka memperoleh konfirmasi, pemutakhiran, dan informasi tambahan.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 60 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Instansi Pembina Industri di daerah adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Menteri terkait. Yang dimaksud dengan secara berkala dalam ketentuan ini adalah waktu tertentu yang ditetapkan seperti bulanan, triwulan, kuartal, semester dan tahunan. Yang dimaksud dengan sewaktu-waktu dalam ketentuan ini adalah setiap saat, pada waktu diperlukan dalam rangka memperoleh konfirmasi, pemutakhiran, dan informasi tambahan.

Ayat (2) Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

56

Ayat (3) Yang dimaksud dengan secara berkala dalam ketentuan ini adalah waktu tertentu yang ditetapkan seperti bulanan, triwulan, kuartal, semester dan tahunan. Yang dimaksud dengan sewaktu-waktu dalam ketentuan ini adalah setiap saat, pada waktu diperlukan dalam rangka memperoleh konfirmasi, pemutakhiran, dan informasi tambahan.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan Prasarana Kawasan Industri dalam ketentuan ini adalah prasarana atau fasilitas pokok yang harus dimiliki dan sangat terkait dengan peran dan fungsi atas keberadaan suatu Kawasan Industri, antara lain jaringan jalan, saluran air hujan, instalasi penyediaan air bersih, instalasi/jaringan distribusi telekomunikasi, saluran pengumpulan air limbah industri, instalasi pengolahan air limbah, penampungan sementara limbah padat, penerangan jalan, unit pemadam kebakaran, dan pagar kawasan industri. Yang dimaksud dengan Sarana Penunjang Kawasan Industri dalam ketentuan ini adalah sarana atau fasilitas penunjang yang mendukung peran dan fungsi atas keberadaan suatu Kawasan Industri, antara lain kantor pengelola, bank, kantor pos, kantor pelayanan telekomunikasi, poliklinik, kantin, sarana ibadah, sarana pendidikan dan pelatihan, perumahan karyawan industri dan mess transito/hotel, pos keamanan, sarana kesegaran jasmani, halte angkutan umum dan fasilitas penunjang lainnya.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 61 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan secara langsung dalam ketentuan ini adalah penyampaian data atau informasi oleh pihak Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri kepada pihak Instansi Pembina Industri, yang disampaikan secara langsung di lapangan atau di tempat pihak yang wajib menyampaikan data, misalnya di pabrik atau di kantor Perusahaan Industri atau di Perusahaan Kawasan Industri. Yang dimaksud dengan secara tidak langsung dalam ketentuan ini adalah penyampaian data atau informasi oleh pihak Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri kepada pihak Instansi Pembina Industri, yang disampaikan melalui pengiriman lewat media surat, faksimil, telepon dan jaringan komunikasi elektronik.

Ayat (2) Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

57

Pasal 62 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Sistem Informasi Industri Nasional yang dikembangkan antara lain berupa Sistem Informasi Industri secara on-line melalui media internet untuk memberikan kemudahan kepada pelaku usaha industri dalam menyampaikan data kegiatan usahanya dan Instansi Pembina Industri dan Menteri terkait dalam menyampaikan hasil pengolahan Informasi Industri.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan Menteri terkait dalam ketentuan ini adalah menteri yang tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang industri tertentu. Yang dimaksud kemudahan dalam ketentuan ini antara lain berupa penyediaan informasi melalui jaringan Sistem Informasi Industri dan penyediaan pelayanan informasi offline. Yang dimaksud dengan informasi dalam ketentuan huruf b ini adalah informasi yang disediakan, antara lain meliputi informasi pasar, informasi ketersediaan sumber daya (energi, bahan baku, tenaga kerja, teknologi), dan kebutuhan konsumen.

Pasal 63 Penyampaian dan atau pengumuman Informasi Industri yang dilarang diumumkan tersebut dapat berupa data individu perusahaan dan bukan hasil rekapitulasi.

Pasal 64 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

58

Pasal 65 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1).

Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

59

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 69 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 70 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. .

Pasal 72 Cukup jelas.

www.djpp.depkumham.go.id

60

Pasal 73 Cukup jelas.

Pasal 74 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 76 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 77

Cukup jelas. Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79 Cukup jelas.

Pasal 80 Cukup jelas.

TAMBAHAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

www.djpp.depkumham.go.id