ramadan jumat, 13 agustus 2010 | media indonesia | … filerustri memaknai rama- ... dinasti...

1
FIGUR TEROPONG Rustriningsih JUMAT, 13 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS 18 | Ramadan BAGI Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustrining- sih, Ramadan merupakan kesempatan terbaik untuk melakukan introspeksi diri dan beriba- dah lebih banyak. Karena itulah perempuan kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 3 Juli 1967 ini berupaya menyempurnakan ibadah puasa dengan tarawih, salat tepat waktu, dan beramal sosial bagi mereka yang kekurangan. ‘’Ibarat ungkapan milik almarhum Mbah Su- rip, i love you full, saya berusaha memanfaatkan kesempatan di bulan Ramadan ini untuk beriba- dah secara full,’’ ujar Rustri saat dihubungi Media Indonesia, baru-baru ini. Meski demikian, lanjut mantan Bupati Kebumen ini, hal itu bukan berarti ia menyampingkan tugas- tugasnya sebagai wagub. Hanya saja, Rustri melakukan pengaturan agenda dan menyeleksi undangan kegiatan sehingga tetap bisa salat tepat waktu. Undangan buka dan tarawih ber- sama dari berbagai pihak yang mem- banjir kerap membuat Rustri tidak bisa berbuka di rumah. Namun untuk sahur, ia selalu mengupayakan bisa menjalaninya bersama keluarga di rumah. Rustri berpendapat puasa meru- pakan proses pembentukan jiwa yang bersih dan watak yang jujur. Oleh karena itu, lanjut Kader PDI Perjuangan ini, puasa seharusnya menjadi ajang untuk saling kore- ksi dan introspeksi, khususnya bagi para politikus. ’’Inilah kesempatan terbaik un tuk bicara jujur dan apa adanya,’’ tandas Rustri yang semasa menjabat Bupati Kebumen dikenal dengan program-programnya yang inovatif. Rustri memaknai Rama- dan sebagai kesempatan ba ik untuk berserah diri kepada Allah SWT, dengan cara mengurangi aktivitas bicara, memperba- nyak salat dan ‘dialog’ dengan Allah SWT, memohon kekuatan lahir batin, memiliki akal sehat, merdeka berpikir dan bertindak. Sehingga, berbagai keputusan yang diambil bisa berman- faat bagi masyarakat dan membawa keselamatan dunia akhirat. ‘’Puasa adalah salah satu solusi menata ta- tanan sosial dan kenegaraan ke depan. Manakala kejujuran, kepercayaan, kebersamaan, saling menghormati dan tanggung jawab sosial sudah hilang, maka akan sia-sia pulalah arti puasa,’’ pungkasnya. (HT/S-4) L AMPU fanus adalah bagian salah satu tra- disi yang masih diper- tahankan hingga kini. Siapa pun berada di Mesir se- lama Ramadan akan terpesona melihat lentera-lentera berhias dalam berbagai model dan ukuran. Fanus merupakan lentera dengan lilin sebagai sumber cahaya. Ada yang terbuat dari timah, perak, atau bahkan ka- ca berwarna-warni. Selama Syaban hingga Ramadan tiba, masyarakat Mesir sibuk mem- buat dan menghias fanus. Fanus-fanus dipasang di berbagai sudut kota di Mesir, mulai dari rumah-rumah, pusat perbelanjaan, restoran, pengi- napan, hingga jalanan. Kota yang sudah tampak modern itu ternyata masih sempat men- jalani ritual tradisi keagamaan. Pengalaman tersebut dirasakan langsung oleh Noor Huda Ismail, warga negara Indone- sia yang pernah merasakan puasa Ramadhan pada 2006 di Mesir. “Suasana Ramadan di Mesir seperti sebuah perayaan pesta yang meriah sekali. Semua orang tampak sangat antusias menyambut datangnya bulan puasa. Masyarakat muslim dan nonmuslim (qibtiah) mema- sang lampion atau lampu fanus warna-warni di rumah mereka, sambil bercanda penuh tawa dengan tetangga mereka,” papar Noor Huda yang juga penulis buku Temanku Teroris?. Ternyata tradisi fanus bukan hanya perkara indahnya nyala lentera. Tersimpan sejarah di balik tradisi tersebut yang juga mengandung nilai filosofis. Fanus disimbolkan sebagai ungkapan kebahagiaan me- nyambut Ramadan. Dalam menjalani kehidupan yang penuh kesibukan dan hal duniawi yang melenakan, manusia diibaratkan berada da- lam kegelapan. Hakikat lentera sebagai cahaya yang menerangi kegelapan menjadi analogi Ra- madan sebagai penerang dalam kehidupan manusia. Tradisi fanus memiliki beberapa versi cerita tentang permulaannya. Salah satunya mengisahkan peristiwa yang terjadi pada Ra- madan, pada saat masyarakat Mesir menyambut kedatangan pasukan Raja Muidz Lidznil- lah. Masyarakat berjalan keluar rumah dengan membawa lam- pu-lampu untuk menyambut kedatangan pasukan zaman Dinasti Fatimiyyah tersebut. Jaga malam Tradisi lain yang masih kuat dijalankan ialah mesaharaty, yang berarti penjaga malam. Fungsinya seperti petugas ron- da di Indonesia yang memba- ngunkan orang untuk sahur dengan memukul kentongan. Mesaharaty juga berjalan di sekitar perumahan sepanjang malam dengan membawa tetabuhan atau genderang. Tradisi fanus dan mesaharaty la- hir dari sejarah panjang perada- ban Islam di Mesir. Menurut sumber literatur sejarah, tradisi mesaharaty sudah ada sejak 238 Hijriah. Pada zaman tersebut, seorang penguasa kota bernama Antaba bin Ishaq berjalan dari Fustat sampai ke Masjid Amir Ibnu Al Aas sambil mengajak para muslim untuk sahur. Vice President of Sekurin- do Global Consulting, yang juga mantan wartawan Jakarta Post, mengungkapkan bahwa masyarakat Mesir memang sa- ngat religius. Pada Ramadan, Huda menemukan banyak sekali orang membaca Alquran di hampir setiap sudut kota, ter- masuk di dalam kereta api dan juga bus umum. Menjalankan ibadah salat di masjid-masjid bersejarah pun menjadi sensasi istimewa yang bisa didapatkan di Mesir. “Biasanya saya salat tarawih di Masjid Amru bin Ash di wilayah kota tua Mesir, Misr al-Qodimah. Masjid ini didiri- kan oleh sahabat rasul, Amru bin Ash, dan dianggap seba- gai masjid pertama di Benua Afrika. Imam di masjid ini seorang yang hafal Alquran, yang mempunyai kemampuan membaca Alquran dengan merdu dan menghanyutkan perasaan pendengarnya,” pa- par Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian itu. Satu lagi tradisi menarik pada bulan Ramadhan di Mesir, yaitu membagikan makanan untuk berbuka secara gratis yang disebut maidaturrahman, artinya ‘hidangan Tuhan’. Pemerintah dan institusi ter tentu membuka layanan berbuka gratis yang digelar di masjid atau tenda di sudut- sudut kota. Tidak hanya pemerintah, golongan konglomerat pun berlomba-lomba untuk ber- derma dalam tradisi maidatur- rahman. Mereka membangun tenda-tenda di pekarangan rumah mereka atau berkeli- ling kota untuk membagikan makanan. (S-2) redaksi @mediaindonesia.com Lampu Fanus Warnai Bulan Suci di Mesir Lampu-lampu cantik mulai menghiasi Kota Kairo menjelang hari pertama menjalani ibadah puasa. Mesir menyambut bulan suci Ramadan dengan tradisi yang masih melekat kuat. Anata Siregar Berusaha Ibadah secara Full BANGUNAN megah itu berada dekat permukiman penduduk. Dilengkapi kubah dan menara menjulang tinggi. Pada gedung utama tampak depan terdapat dua bangunan menyerupai gu- nung dan batu besar menempel di atap. Warna dominan bangunan adalah biru, putih, cokelat, dan kuning keemasan. Itulah Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah). Berada di Jl KH Wahid Hasyim Gang Anggur No 10, RT 07/RW 06 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ponpes itu ba- nyak didatangi warga berbagai daerah. Pesantren itu berlokasi sekitar 25 kilometer dari Kota Malang. Mereka yang datang memi- liki berbagai kepentingan. Ada yang sekadar berwisata, jalan- jalan, hingga menimba ilmu. Pengunjung yang melihat langsung keunikan dan artistik ornamen bangunan di pesan- tren ini banyak yang merasa lebih tenang hatinya. Kreatornya adalah pengasuh ponpes, Kiai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mah- bub Rahmat Alam atau akrab dipanggil Romo Kiai Ahmad, setelah istikharah. Romo Kiai belum lama tutup usia. Humas ponpes setempat Gus Zainul Mustofa mengatakan, pembangunan ponpes itu selalu dikaitkan dengan penyelesaian tentang berbagai permasalahan hidup. Setelah mendapatkan petunjuk dari Allah, Romo Kiai Ahmad, kata Gus Zainul, segera menuangkannya dalam ornamen bangunan. Itu sebab- nya bangunan yang terdiri atas 11 lantai ini memiliki makna berbeda-beda. Pembangunan pesantren me- libatkan masyarakat dan santri yang dirintis sejak 1963 dan diteruskan hingga kini. Tafsir bangunan Memasuki bangunan ponpes di tanah seluas 5 hektare itu ber bagai kesan muncul. Di lantai dasar bangunan terdapat tempat wudu dengan sumur yang dipercaya sebagai kera- mat berada tepat di samping- nya. Banyak orang ngalab berkah di sumur itu karena dipercaya menyembuhkan berbagai pe- nyakit. Tempat wudu itu terli- hat mewah, dilapisi porselen. Di lantai dua terdapat ruang istirahat bagi tamu, musala, dan ruang belajar diniyah. Ruangan di lantai tiga merupakan ruan- gan dengan akuarium berisi berbagai ikan hias. Terdapat pula lorong marmer sangat in- dah bergaya Eropa. Di lantai empat, pengunjung akan terhenyak dengan ke- indah an ornamen ruangan khusus kerabat dalem. Kamar mandi khusus kiai bak kamar mandi di hotel berbintang. Keindahan ornamen bangu- nan yang menakjubkan juga dijumpai di lantai lima. Tempat ini dilengkapi mimbar dan kuade untuk pelaminan acara pernikahan. Di lantai enam terdapat ka- mar untuk santri. Di lantai tu- juh terdapat kolam ikan dengan hiasan batu besar hitam. Lantai delapan khusus di- gunakan untuk pasar dan per- tokoan yang menjual berbagai kebutuhan santri dan pengun- jung. Di lantai sembilan dan sepuluh yang menyatu terdapat kubah berukuran besar untuk beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah. Pada lantai 11, lantai paling atas, terdapat dua bangunan menyerupai gu- nung. “Apa maksud bangunan menyerupai gunung, silakan simpulkan sendiri. Yang pasti semua merupakan solusi ber- bagai permasalahan hidup,” ujar Gus Zainul. (Bagus Suryo/X-9) Keagungan Makna pada Arsitektur Bi Ba’a Fadlrah TERMEGAH: Pondok pesantren Bi Ba’a Fadlrah merupakan salah satu pesantren termegah di Jawa Timur. MI/ BAGUS SURYO SIMBOL KEBAHAGIAAN: Memasuki Ramadan lampu-lampu fanus menghiasi sudut-sudut kota di Mesir. Fanus adalah simbol ungkapan kebahagiaan menyambut Ramadan. ANTARA/ R. REKOTOMO AP/MUHAMMED MUHEISEN

Upload: dangkien

Post on 29-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ramadan JUMAT, 13 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | … fileRustri memaknai Rama- ... Dinasti Fatimiyyah tersebut. Jaga malam ... ban Islam di Mesir. Menurut sumber literatur sejarah,

FIGUR TEROPONGRustriningsih

JUMAT, 13 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS18 | Ramadan

BAGI Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustrining-sih, Ramadan merupakan kesempatan terbaik untuk melakukan introspeksi diri dan beriba-dah lebih banyak. Karena itulah perempuan kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 3 Juli 1967 ini berupaya menyempurnakan ibadah puasa dengan tarawih, salat tepat waktu, dan beramal sosial bagi mereka yang kekurangan.

‘’Ibarat ungkapan milik almarhum Mbah Su-rip, i love you full, saya berusaha memanfaatkan kesempatan di bulan Ramadan ini untuk beriba-dah secara full,’’ ujar Rustri saat dihubungi Media Indonesia, baru-baru ini.

Meski demikian, lanjut mantan Bu pati Kebumen ini, hal itu bukan ber arti ia menyampingkan tugas-tugasnya sebagai wagub. Hanya saja, Rustri melakukan pengaturan agenda dan menyeleksi undangan kegiatan sehingga tetap bisa salat tepat waktu.

Undangan buka dan tarawih ber-sama dari berbagai pihak yang mem-banjir kerap membuat Rustri tidak bisa berbuka di rumah. Namun untuk sahur, ia selalu mengupayakan bisa menjalaninya bersama keluarga di rumah.

Rustri berpendapat puasa meru-pakan proses pembentukan jiwa yang bersih dan watak yang jujur. Oleh karena itu, lanjut Kader PDI Perjuangan ini, puasa seharusnya menjadi ajang untuk saling kore-ksi dan introspeksi, khususnya bagi para politikus.

’’Inilah kesempatan terbaik un tuk bicara jujur dan apa adanya,’’ tandas Rustri yang semasa menjabat Bupati Kebumen dikenal dengan program-programnya yang inovatif.

Rustri memaknai Rama-dan sebagai kesempatan ba ik untuk berserah diri kepada Allah SWT, dengan

cara mengurangi aktivitas bicara, memperba-nyak salat dan ‘dialog’ dengan Allah SWT, me mohon kekuatan lahir batin, memiliki akal sehat, merdeka berpikir dan bertindak. Sehingga, berbagai keputusan yang diambil bisa berman-faat bagi masyarakat dan membawa keselamatan dunia akhirat.

‘’Puasa adalah salah satu solusi menata ta-tanan sosial dan kenegaraan ke depan. Manakala kejujuran, kepercayaan, kebersamaan, saling menghormati dan tanggung jawab sosial sudah hilang, maka akan sia-sia pulalah arti puasa,’’

pungkasnya. (HT/S-4)

LAMPU fanus adalah bagian salah satu tra-disi yang masih diper-tahankan hingga kini.

Siapa pun berada di Mesir se-lama Ramadan akan terpesona melihat lentera-lentera berhias dalam berbagai model dan ukuran.

Fanus merupakan lentera de ngan lilin sebagai sumber ca haya. Ada yang terbuat dari timah, perak, atau bahkan ka-ca berwarna-warni. Selama Syaban hingga Ramadan tiba, masyarakat Mesir sibuk mem-buat dan menghias fanus.

Fanus-fanus dipasang di berba gai sudut kota di Mesir, mulai dari rumah-rumah, pusat perbelanjaan, restoran, pengi-napan, hingga jalanan. Kota yang sudah tampak modern itu ternyata masih sempat men-jalani ritual tradisi keagamaan. Pengalaman tersebut dirasakan langsung oleh Noor Huda Ismail, warga negara Indone-sia yang pernah merasakan puasa Ramadhan pada 2006 di Mesir.

“Suasana Ramadan di Mesir seperti sebuah perayaan pesta yang meriah sekali. Semua orang tampak sangat antusias me nyambut datangnya bulan puasa. Masyarakat muslim dan nonmuslim (qibtiah) mema-sang lampion atau lampu fanus warna-warni di rumah mereka, sambil bercanda penuh tawa dengan tetangga mereka,” papar Noor Huda yang juga penulis buku Temanku Teroris?.

Ternyata tradisi fanus bukan hanya perkara indahnya nyala lentera. Tersimpan sejarah di balik tradisi tersebut yang juga mengandung nilai filosofis.

Fanus disimbolkan sebagai ungkapan kebahagiaan me-nyambut Ramadan.

Dalam menjalani kehidupan yang penuh kesibukan dan hal duniawi yang melenakan, manusia diibaratkan berada da-lam kegelapan. Hakikat lentera sebagai cahaya yang menerangi kegelapan menjadi analogi Ra-

madan sebagai penerang dalam kehidupan manusia. Tradisi fanus memiliki beberapa versi cerita tentang permulaannya. Salah satunya mengisahkan peristiwa yang terjadi pada Ra-madan, pada saat masyarakat Mesir menyambut kedatangan pasukan Raja Muidz Lidznil-lah. Masyarakat berjalan keluar

rumah dengan membawa lam-pu-lampu untuk menyambut kedatangan pasukan zaman Dinasti Fatimiyyah tersebut.

Jaga malamTradisi lain yang masih kuat

dijalankan ialah mesaharaty, yang berarti penjaga malam. Fungsinya seperti petugas ron-

da di Indonesia yang memba-ngun kan orang untuk sahur dengan memukul kentongan. Mesaharaty juga berjalan di sekitar perumahan sepanjang malam dengan membawa tetabuhan atau genderang. Tradisi fanus dan mesaharaty la-hir dari sejarah panjang perada-ban Islam di Mesir. Menurut

sumber literatur sejarah, tradisi mesaharaty sudah ada sejak 238 Hijriah. Pada

zaman tersebut, seorang penguasa kota bernama Antaba bin Ishaq berjalan dari Fustat sampai ke Masjid Amir Ibnu Al Aas sambil mengajak para muslim untuk sahur.

Vice President of Sekurin-

do Global Consulting, yang juga mantan wartawan Jakarta Post, mengungkapkan bahwa masyarakat Mesir memang sa-ngat religius. Pada Ramadan, Huda menemukan banyak sekali orang membaca Alquran di hampir setiap sudut kota, ter-masuk di dalam kereta api dan juga bus umum. Menjalankan ibadah salat di masjid-masjid bersejarah pun menjadi sensasi istimewa yang bisa didapatkan di Mesir.

“Biasanya saya salat tarawih di Masjid Amru bin Ash di wilayah kota tua Mesir, Misr al-Qodimah. Masjid ini didiri-kan oleh sahabat rasul, Amru bin Ash, dan dianggap seba-gai masjid pertama di Benua Afrika. Imam di masjid ini seorang yang hafal Alquran, yang mempunyai kemampuan membaca Alquran dengan mer du dan menghanyutkan perasaan pendengarnya,” pa-par Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian itu.

Satu lagi tradisi menarik pada bulan Ramadhan di Mesir, yaitu membagikan makanan untuk berbuka secara gratis yang disebut maidaturrahman, artinya ‘hidangan Tuhan’.

Pemerintah dan institusi ter tentu membuka layanan berbuka gratis yang digelar di masjid atau tenda di sudut-sudut kota.

Tidak hanya pemerintah, golongan konglomerat pun berlomba-lomba untuk ber-derma dalam tradisi maidatur-rahman. Mereka membangun tenda-tenda di pekarangan rumah mereka atau berkeli-ling kota untuk membagikan makanan. (S-2)

[email protected]

Lampu Fanus Warnai Bulan Suci di Mesir

Lampu-lampu cantik mulai menghiasi Kota Kairo menjelang hari pertama menjalani ibadah puasa. Mesir menyambut bulan suci Ramadan dengan tradisi yang masih melekat kuat.

Anata Siregar

Berusaha Ibadah secara Full BANGUNAN megah itu berada

dekat permukiman penduduk. Dilengkapi kubah dan menara menjulang tinggi. Pada gedung utama tampak depan terdapat dua bangunan menyerupai gu-nung dan batu besar menempel di atap.

Warna dominan bangunan adalah biru, putih, cokelat, dan kuning keemasan.

Itulah Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Bihaaru Bah ri Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah). Berada di Jl KH Wahid Hasyim Gang Ang gur No 10, RT 07/RW 06 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ponpes itu ba-nyak didatangi warga berbagai daerah. Pesantren itu berlokasi sekitar 25 kilometer dari Kota Malang.

Mereka yang datang memi-liki berbagai kepentingan. Ada yang sekadar berwisata, jalan-jalan, hingga menimba ilmu.

Pe ngun jung yang melihat langsung keunikan dan artistik ornamen bangunan di pesan-tren ini banyak yang merasa lebih tenang hatinya.

Krea tornya adalah pengasuh ponpes, Kiai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mah-bub Rahmat Alam atau akrab dipanggil Romo Kiai Ahmad, setelah istikharah. Romo Kiai belum lama tutup usia.

Humas ponpes setempat Gus Zainul Mustofa mengatakan, pembangunan ponpes itu selalu dikaitkan dengan penyelesaian tentang berbagai permasalahan hidup. Setelah mendapatkan petunjuk dari Allah, Romo Kiai Ahmad, kata Gus Zainul, segera menuangkannya dalam ornamen bangunan. Itu sebab-

nya bangunan yang terdiri atas 11 lantai ini memiliki makna berbeda-beda.

Pembangunan pesantren me-libatkan masyarakat dan santri yang dirintis sejak 1963 dan diterus kan hingga kini.

Tafsir bangunanMemasuki bangunan ponpes

di tanah seluas 5 hektare itu ber bagai kesan muncul. Di lan tai dasar bangunan terdapat tempat wudu dengan sumur yang dipercaya sebagai kera-mat berada tepat di samping-nya. Banyak orang ngalab berkah di sumur itu karena dipercaya menyembuhkan berbagai pe-nyakit. Tempat wudu itu terli-hat mewah, dilapisi porselen.

Di lantai dua terdapat ruang istirahat bagi tamu, musala, dan ruang belajar diniyah. Ruangan di lantai tiga merupakan ruan-gan dengan akuarium berisi berbagai ikan hias. Terdapat pula lorong marmer sangat in-dah bergaya Eropa.

Di lantai empat, pe ngunjung akan terhenyak dengan ke-indah an ornamen ruangan khusus kerabat dalem. Kamar mandi khusus kiai bak kamar mandi di hotel berbintang.

Keindahan ornamen bangu-nan yang menakjubkan juga dijumpai di lantai lima. Tempat ini dilengkapi mimbar dan kuade untuk pelaminan acara per nikahan.

Di lantai enam terdapat ka-

mar untuk santri. Di lantai tu-juh terdapat kolam ikan dengan hiasan batu besar hitam.

Lantai delapan khusus di-gunakan untuk pasar dan per-tokoan yang menjual berbagai kebutuhan santri dan pengun-jung. Di lantai sembilan dan sepuluh yang menyatu terdapat kubah berukuran besar untuk beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah. Pada lantai 11, lantai paling atas, terdapat dua bangunan menyerupai gu-nung. “Apa maksud bangunan menyerupai gunung, silakan simpulkan sendiri. Yang pasti semua merupakan solusi ber-bagai permasalahan hidup,” ujar Gus Zainul. (Bagus Suryo/X-9)

Keagungan Makna pada Arsitektur Bi Ba’a Fadlrah

TERMEGAH: Pondok pesantren Bi Ba’a Fadlrah merupakan salah satu pesantren termegah di Jawa Timur. MI/ BAGUS SURYO

SIMBOL KEBAHAGIAAN: Memasuki Ramadan lampu-lampu fanus menghiasi sudut-sudut kota di Mesir. Fanus adalah simbol ungkapan kebahagiaan menyambut Ramadan.

ANTARA/ R. REKOTOMO

AP/MUHAMMED MUHEISEN