rahma utami

Upload: rizkiarifandy

Post on 05-Jul-2018

245 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    1/28

    i

    KARAKTERISTIK PEMANASAN PADA

    PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM( Mesona palustris)

    SKRIPSI

    RAHMA UTAMI

    F14070105

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR

    2012

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    2/28

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang

    Cincau merupakan salah satu jenis minuman yang banyak digemari oleh masyarakat di

    Indonesia. Bahan baku minuman cincau berasal dari daun tanaman pembuat cincau. Daun yang telah

    dipetik, selanjutnya mendapat perlakuan sortasi dan pencucian agar kotoran yang melekat pada daun

    terlepas. Daun yang telah dicuci, selanjutnya dirajang menjadi ukuran yang lebih kecil agar mudah

    diekstrak untuk memperoleh larutan gel cincau.

    Tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuat cincau terdiri atas empat jenis, yaitu cincau

    hijau (Cyclea barbata), cincau hitam ( Mesona palustris), cincau perdu ( Premna serratifolia), dan

    cincau minyak (Stephania hermandifolia). Tanaman yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat

    Indonesia sebagai bahan pembuat cincau adalah tanaman cincau hijau dan cincau perdu. Namun,

    tanaman yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat cincau adalah cincau hijau, cincau

     perdu, dan cincau hitam.

    Tanaman cincau hitam atau dikenal dengan nama janggelan, merupakan salah satu jenis

    tanaman cincau yang banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia.

    Tanaman cincau hitam dapat tumbuh dengan baik pada dataran menengah hingga dataran tinggi. Di

    Indonesia, tanaman cincau hitam dibudidayakan secara serius di Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan

    Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun, industri cincau hitam terdapat di Surakarta, Jawa Tengah dan

    di Jakarta.

    Cincau hitam dapat diolah menjadi minuman segar yang teksturnya seperti agar-agar atau

    dibuat dalam bentuk bubuk cincau hitam instant . Di Indonesia, gel cincau hitam sudah dikenal sebagai bahan pangan tradisional, yang digunakan sebagai variasi berbagai minuman. Gel cincau hitam

     biasanya digunakan bersama-sama dengan potongan buah-buahan, irisan kelapa muda, sirup encer,

    atau sebagai campuran dalam minuman seperti es campur. Gel cincau hitam dalam sebuah minuman,

    dapat memberikan cita rasa yang khas, memberikan warna-warni dalam suatu campuran minuman

    sehingga terlihat lebih menarik.

    Gel cincau hitam memiliki kelebihan dibandingkan gel cincau hijau. Tekstur gel cincau hijau

    lebih lunak (lembek) dan rapuh, sehingga lebih sulit diiris. Sedangkan gel cincau hitam lebih tegar dan

    kokoh sehingga lebih mudah diiris. Pada suhu kamar, gel cincau hitam dapat bertahan hingga 4 hari,

    sedangkan pada gel cincau hijau hanya bertahan 2 hari (Widyaningsih, 2007). Kelebihan ini, membuat

     penggunaan gel cincau hitam lebih beragam dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.

    Produk cincau hitam masih sedikit dihasilkan di Indonesia. Industri pengolahan cincau hitam

    masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kebanyakan produk cincau hitam banyak

    diproduksi oleh negara lain, seperti Singapura, Malaysia, China, Taiwan, dan Korea. Padahal bahan

     baku cincau hitam yang dibuat oleh negara tersebut, berasal dari Indonesia.

    Gel cincau hitam juga mengandung banyak air (±98%), sehingga banyak orang memanfaatkan

    gel cincau hitam sebagai makanan rendah energi untuk tujuan diet, baik karena alasan kesehatan

    maupun untuk keperluan melangsingkan tubuh. Selain itu, gel cincau hitam diyakini berkhasiat

    sebagai obat penurun panas dalam, demam, sakit perut (rasa mual), diare, batuk, sariawan, pencegah

    gangguan pencernaan dan penurun tekanan darah tinggi. Bahkan di China dan Taiwan, cincau dikenal

    dengan nama hsian tsao  yang digunakan sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah dan obat

    diuretik.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    3/28

    Gel cincau hitam yang ada di pasaran saat ini, ada dalam bentuk bubuk cincau hitam instant ,

    gel cincau hitam dalam kemasan plastik, cup plastik 200 gram, kotak mika 250 gram, dan kemasan

    kaleng 300 ml yang kebanyakan diproduksi oleh negara lain, seperti Singapura, Taiwan, dan

    Malaysia.

    Pengemasan gel cincau hitam dapat meningkatkan nilai tambah produk tersebut dimatakonsumen. Pengemasan yang baik akan menghindari gel cincau hitam dari benturan, tekanan,

    goncangan yang dapat menurunkan mutu produk. Selain itu, pengemasan juga dapat memudahkan

    dalam penyimpanan, transportasi, serta memperpanjang daya simpan. Gel cincau hitam yang dikemas

    dalam kaleng akan terlindung dari kontaminasi mikroba, serangga, atau bahan asing yang dapat

    menyebabkan kerusakan pada gel cincau hitam baik dari segi cita rasa, nilai gizi, maupun penampilan.

    Gel cincau hitam yang dikemas dalam kaleng akan mempermudah dalam proses penyimpanan dan

    transportasi sehingga dapat meningkatkan peluang ekspor dan impor.

    Pengemasan cincau dalam kaleng harus memperhatikan pengaruh gel cincau hitam terhadap

     proses pemanasan. Dalam proses pengalengan terdapat proses sterilisasi yang menggunakan panas

     pada suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Menurut Muhtadi (1994), sterilisasi tidak hanya bertujuanuntuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk

    menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang

    diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk

    menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu

    masak.

    B.  Tujuan

    Mendapatkan karakteristik penetrasi panas (21

    ,,, hhc   f   f   j j ) selama sterilisasi pada proses

     pengalengan gel cincau hitam, menentukan titik dingin (cold point ) produk dalam kaleng, sertamenentukan dan membandingkan F0 dalam kemasan kaleng dengan menggunakan metode Umum dan

    metode Formula.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    4/28

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A.  Cincau

    Cincau (Hanzi:  仙草, pinyin:  xiancao) adalah gel serupa agar-agar yang diperoleh dari

     perendaman daun (atau organ lain) tumbuhan tertentu dalam air. Gel terbentuk karena daun tumbuhan

    tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air. Kata "cincau" sendiri

     berasal dari dialek Hokkian sienchau (Hanzi:  仙草, pinyin:  xiancao) yang lazim dilafalkan di

    kalangan Tionghoa di Asia Tenggara.  Cincau sendiri di bahasa asalnya sebenarnya adalah nama

    tumbuhan ( Mesona spp.) yang menjadi bahan pembuatan gel ini.

    Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), cincau bermanfaat sebagai bahan pangan terutama sebagai

     bahan baku minuman yang telah dikenal sejak lama. Selain itu, cincau juga berkhasiat sebagai obatkarena mengandung serat alami yang mudah dicerna oleh tubuh manusia. Serat alami berperan dalam

     proses percernaan makanan dan mencegah timbulnya penyakit kanker usus. Gelatin cincau diakui

     bermanfaat untuk mengobati panas dalam dan sakit perut (abdomen discomfort ).

    Tanaman cincau secara teknis bermanfaat untuk menunjang konservasi lahan karena tanaman

    ini mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan kering yang relatif kurang menguntungkan. Saat

    ini, tanaman cincau hitam dan cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai komoditas agroindustri dan

    agrobisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi petani yang membudidayakannya. Tanaman

    cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai bahan dagangan walaupun sifatnya sangat terbatas dan

    musiman. Sedangkan, tanaman cincau hitam telah lama menjadi bahan dagangan lokal dan sebagai

    komoditas ekspor penghasil devisa negara.

    Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau terdiri dari empat jenis yaitu cincau hijau

    (Cyclea barbata), cincau perdu ( Mesona palustris), cincau minyak (Stephania hermandifolia), dan

    cincau hitam ( Premna serratifolia). Perbedaan beberapa jenis cincau dapat dilihat pada Tabel 1.

    Cincau Hijau (Cyclea barbata) Cincau Perdu ( Premna oblongifolia)

    Cincau Minyak (Stephania hermandifolia)  Cincau Hitam ( Mesona palustris)

    Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau

    http://id.wikipedia.org/wiki/Hanzihttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Gelhttp://id.wikipedia.org/wiki/Agar-agarhttp://id.wikipedia.org/wiki/Daunhttp://id.wikipedia.org/wiki/Airhttp://id.wikipedia.org/wiki/Karbohidrathttp://id.wikipedia.org/wiki/Hanzihttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoahttp://id.wikipedia.org/wiki/Asia_Tenggarahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Asia_Tenggarahttp://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoahttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Hanzihttp://id.wikipedia.org/wiki/Karbohidrathttp://id.wikipedia.org/wiki/Airhttp://id.wikipedia.org/wiki/Daunhttp://id.wikipedia.org/wiki/Agar-agarhttp://id.wikipedia.org/wiki/Gelhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Hanzi

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    5/28

    Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau

     No. KomponenPerbedaan Cincau

    Hijau Minyak Perdu Hitam

    1 Bahan Baku Daun Segar Daun segarDaundilayukan

    Brangkas (batangdaun) kering

    Daun asli

    lemasDaun asli kaku Daun asli kaku Daun asli lemas

    Bentuk dan

    ukuran asli

    Bentuk dan

    ukuran asli

    Bentuk dan

    ukuran asli

    Bentuk dan

    ukuran telah

     berubah dan susut

    Warna hijau

    klorofil

    Warna hijau

    klorofil

    Warna hijau

    klorofil

    Warna cokelat

    karena ikatan

    klorofil rusak

    Relatif bersihdari kotoran

    Relatif bersihdari kotoran

    Relatif bersihdari kotoran

    Banyak kotoran,

    campuran bendalain ketika proses

     pengeringan

    Aroma

    spesifik,

    lemah

    Aroma spesifik,

    lemah

    Aroma langu,

    kuat

    Aroma spesifik,

    lemah

    2 ProsesTanpa

     pemanasan

    Tanpa

     pemanasan

    Pelayuanalami dan

    dengan air

    hangat

    Perebusan dua

    kali, ditambahkan

    dye dan disaring

    Diremasdengan air

    matang dingin

    Diremas denganair matang

    dingin

    Diremas

    dengan air

    matang dinginatau hangat,

    lalu ditambah

     bahan

     pengental

    Direbus danditambahkan

    tepung

    Disaring,

    dicetak

    dibiarkan

    dingin, dan

    mengental

    Disaring,

    dicetak

    dibiarkan

    dingin, dan

    mengental

    Disaring,

    dicetak

    dibiarkan

    dingin, dan

    mengental

    Dicetak dan

    dibiarkan dingin

    3 Hasil Produk Sedikit SedikitSedikit-

    BanyakSangat banyak

    Kebutuhan

    keluarga

    Kebutuhan

    keluarga

    Kebutuhan

    keluarga dan

    komersial

    Kebutuhan

    keluarga dan

    komersial

    4 Skala usaha

    Tanaman

    sisipan

    Tanaman

    sisipan

    Tanaman

    sisipan ataukhusus

    Tanaman sisipan

    atau khusus

    Daun tidak

    dijual

    Daun tidak

    dijualDaun dijual Brangkas dijual

    Sumber : Pitojo dan Zumiati (2005)

    B.  Cincau Hitam

    Tanaman cincau hitam merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 30-60 cm dan tumbuh

     pada ketinggian 150-1800 m diatas permukaan laut (Heyne (1987) dalam Rahmawansyah (2006)).

    Batangnya beruas, berbulu halus dengan bentuk menyerupai segiempat, kebanyakan cabang pada

     bagian dasarnya, dan berwarna agak kemerahan. Daun tanaman cincau hitam berwarna hijau, lonjong,

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    6/28

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    7/28

     

    Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam

    Komponen Jumlah per 100 gram

    Kalori 122.0 kal

    Protein 6.0 gramLemak 1.0 gram

    Karbohidrat 26.0 gramKalsium 100.0 mg

    Fosfor 100.0 mg

    Besi 3.3 mg

    Vitamin A 10,750 SI

    Vitamin B1 80.0 mgVitamin C 17.0 mg

    Air 66.0 gram

    Bahan yang dapat dicerna (b.d.d) (%) 40

    Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1992 dalam Widyaningsih (2007)

    C.  Gel Cincau Hitam

    Gel merupakan suatu fenomena yang menunjukkan sifat kekerasan dan kadang-kadang pada

    konsentrasi zat terlarut sangat rendah, tidak menunjukkan perubahan fungsional dari zat pelarutnya

    (Meyer, 1973).

    Gel mempunyai derajat kekompakan (rigiditas), elastisitas, dan kerapuhan yang tergantung

     pada jenis dan konsentrasi komponen pembentuk gel, kandungan garam, pH fase cairan, dan suhu.

    Komponen pembentuk gel pada tingkat 10% atau kurang dapat berupa polisakarida, protein atau

     partikel kompleks koloidal seperti misel-misel kaseinat (Powrie dan Tung, 1976).

    Cincau hitam merupakan masa gel yang berwarna hitam kecoklatan yang diperoleh dari pengolahan panas dari tiga komponen berupa tanaman janggelan (cincau hitam), pati, dan abu qi.

    Masa ini mempunyai konsistensi yang mirip dengan masa gel yang diperoleh dari agar-agar (Balai

    Penelitian Kimia (1975) dalam Supriharsono (1991)). Gel cincau hitam termasuk jenis gel

    termoreversibel (Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nuraini (1994)) dimana gel dapat mencair dan

    dibentuk kembali dengan penambahan dan pengurangan energi panas.

    Tekstur gel yang baik mempunyai kekuatan pecah berkisar antara 9 sampai 25 gr/cm2. Gel

    dengan kekuatan pecah kurang dari 9 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu lunak, sedangkan gel

    dengan kekuatan pecah lebih besar dari 25 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu keras.

    Sineresis menunjukkan kemampuan gel dalam menahan air selama penyimpanan. Sineresis gel

    cincau hitam cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi dan perbandingan komponen

     pembentuk cincau-pati. Tekstur gel yang baik mempunyai nilai sineresis kurang dari 60% setelah

     penyimpanan selama tiga minggu (Hasbullah dan Fardiaz, 1998).

    Berdasarkan Rahmawansah (2006), yang telah melakukan observasi ke pedagang cincau hitam

    di daerah bogor, pada proses ekstraksi penggunaan bobot tanaman cincau sebanyak 6%. Proses

     perebusan dilakukan selama 2 jam atau lebih. Hal ini seperti yang dikatakan Asyhar (1988) yaitu

    waktu yang diperlukan untuk mengekstrak tanaman cincau adalah 2-3 jam. Dalam pembentukan gel

    cincau hitam perlu diperhatikan perbandingan ekstrak cincau hitam (komponen pembentuk gel)

    dengan pati (tepung tapioka). Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin.

    Penggunaan tepung jenis ini disukai oleh pengolah makanan karena tidak mudah

    menggumpal, memiliki daya perekat yang tinggi sehingga pemakaianya dapat dihemat, tidak

    mudah pecah atau rusak, dan suhu gelatinisasinya rendah (Zuhri, 2010). Menurut Supriharsono

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    8/28

    (1991), kekuatan gel tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi komponen pembentuk gel menggunakan

    abu qi pada konsentrasi 0.3%.

    D. 

    Proses Pengalengan

    Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat

    (hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1978). Setelah proses sterilisasi harus segera

    dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking  pada makanan dan tumbuhnya

    kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980).

    Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya

     persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting , sterilisasi,

     pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1978).

    Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan, pencucian,

     pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk pengolahan selanjutnya (Luh

    dan Woodroof (1975) dalam Sylviana (2005)). Pencucian bertujuan untuk memisahkan bahan dari

    material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan

    dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi

    (Lopez, 1981).

    Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian dalam

    atas kaleng (head space).  Head space  adalah ruang kosong antara permukaan produk dengan tutup

    yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak

    menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space 

     bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng,

    tingginya head space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar,

    direkomendasikan head space  yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkanmedium pengalengan, tinggi head space  tidak boleh kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk

    dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan

    meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1994).

    Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk mempertahankan keseragaman

    rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap.

    Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting ) adalah proses pengeluaran

    sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga

    dapat mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan.  Exhausting  juga dilakukan

    untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan

    wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai

    mencapai suhu awal (initial temperature).

    Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara (exhausting ) yang bertujuan

    untuk mencegah terjadinya pembusukan.

    E. 

    Proses Termal

    Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk

    mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat

     berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa

     bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000), ada beberapa keuntungan dari proses termal.

    Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah :

    a.  terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai,

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    9/28

     b.  rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi,

    c.   peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan

    karbohidrat,

    d.  terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan

    e. 

    menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan.

     Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya

    kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu

    organoleptik, seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol

    dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik.

    Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu.

    Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba

    dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan,

    dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.

    F.  Sterilisasi

    Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan

    makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen,

    tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya,

    teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus

    dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu

    tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.

    Sterilisasi pada sebagian besar makanan kaleng biasanya dilakukan secara komersial.

    Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di

    dalam kaleng, plastik, atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua

    mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan,

    demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih

    ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif

     berproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam

    kondisi normal (Hariyadi, 2000). Makanan yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya

    simpan yang tinggi.

    Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) jenis

    mikroba yang dihancurkan, (2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin, (3) suhu awal

     bahan pangan di dalam wadah, (4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan, (5) suhu dan tekananyang digunakan untuk proses sterilisasi, dan (6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan.

    Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap

    udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat

    menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan

    mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang

    disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik.

    Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga

    lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi

    oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah

     proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan

    kedap udara.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    10/28

    Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat berasal dari air

     panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan selama waktu yang ditentukan.

    Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort ). Retort  yang disebut juga

    autoclave atau sterilizer , berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang

     berasal dari sumber di luar retort . Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler   atau  steam generator .

    Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH produk pangan, operasi

    sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk yang disterilisasi pada suhu 212˚F

    (100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi

     pada suhu lebih tinggi dari 212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah,

     buah-buahan, beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah

    dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih. Dengan cara ini,

    mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat hancur. Golongan bahan pangan

    lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 sepert i sayuran yang tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya,

    ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkatsterilitas yang memadai. Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan

     pada Tabel 3 di bawah ini.

    Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial

    Golongan Bakteri Ketahanan Panas

    D Z

    Bahan Pangan Berasam Rendah (pH diatas 4,5)

    Termofilik (spora)

      Golongan Flat-Sour ( B. stearothermophilus)

      Golongan Pembusuk/Produksi Gas (C. thermosaccharolyticuum)

      Golongan Pembentuk Bau Sulfida (C. nigrificans)

    Mesofilik (Spora)

      PA( Putrefactive Anaerob)

    C. botulinum (tipe A dan B)

    C. sporogenes (termasuk PA.367a)

    4,0-5,0

    3,0-4,0

    2,0-3,0

    0,1- 0,20

    0,1- 0,15

    14-22

    16-22

    16-22

    14-18

    14-18

    Bahan Pangan Asam (pH 4,0 –  4,5)

    Temofilik (spora)

    C.  coagulans

    Mesofilik

     B. polymiyxa dan B. macerans 

    Anaeron butirat (C. Pasterianum)

    0,01-0,07

    0,01-0,05

    0,01-0,05

    14-18

    12-16

    12-16

    Bahan Pangan Berasam Tinggi (pH ˂ 4,0) 

     Lactobacillus sp, Leuconostoc sp, dan Kapang serta Khamir 0,50-1,00 8-10

    Sumber : Muhtadi, Tien R. (2008)

    Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan garam atau larutan

    gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih

    rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C, tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih

    dipertahankan.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    11/28

    Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika

     bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu

    dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi

     produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau

    sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktudan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba

     patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim yang terdapat pada

     bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat, proses pre-sterilisasi dapat dilakukan

    dengan proses blansir.

    Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan

    konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian

    secara ekonomis (Scmitdt, 1957).

    G.  Perhitungan Proses Termal

    Perancangan proses termal bertujuan untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial,

    dengan pemanasan yang cukup, sehingga dapat mempertahankan mutu produk dan meminimalisasi

     biaya. Perhitungan proses termal dapat diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode umum

    ( general method ) dan metode formula ( formula methods).

    1.  Metode Umum

    Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam menghitung proses sterilisasi yang

    dikembangkan oleh Bigelow (1920) yang kemudian dilanjutkan oleh Ball dan kawan-kawan.

    Ketelitiannya yang tinggi disebabkan oleh suhu bahan pangan yang diukur dalam suatu percobaan,

    secara langsung digunakan dalam perhitungan tanpa mengasumsikan hubungan antara waktu dengansuhu dari makanan tersebut.

    Menurut Kusnandar, et al . (2006), metode umum (trapezoidal) menganggap nilai letalitas yang

    diukur antara titik satu dengan titik yang lainnya membentuk suatu garis lurus, sehingga nilai letalitas

     proses setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi ( 1 nn   t t  ), panjang sisi atas dan

     bawah masing-masingn

     L  dan 1n L . Perhitungan metode umum (trapezoidal) dapat dilakukan dengan

     bantuan  Microsoft Excel Spreadsheet . Dengan nilai F0  merupakan hasil penjumlahan parsial atau

    luasan di bawah kurva trapesium seperti rumus di bawah ini. Gambar  2 menunjukkan gambar kurva

    lethal rate penetrasi panas.

    n

    i

    nno

    nn

     L L L L L L

    t t 

     F 1

    13211

    0   )22.............222(2   (II.1)

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    12/28

     

    Gambar  2. Kurva lethal rate penetrasi panas

    2.  Metode Formula

    Metode formula diawali dengan memplotkan waktu dengan suhu produk pada kertas semilog,

    dimana waktu sebagai absis dan suhu sebagai ordinat logaritmik. Kemudian dari grafik tersebut dapatketerlambatan sebelum diperoleh nilai karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses

    ( chch   j j  f    f     ,,, ). Parameter respon suhu h f     dan c f    menggambarkan laju penetrasi panas ke dalam

     produk atau wadah, h f     merupakan waktu yang dibutuhkan kurva penetrasi panas untuk melalui 1

    siklus log pada fase pemanasan, sedangkan c f     pada fase pendinginan. Sedangkan h j   dan

    c j menggambarkan waktu keterlambatan sebelum laju penetrasi mencapai h f    dan c f   .

    Hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan mengikuti persamaan berikut :

    )/(10)()(   h

      f  t ir r    T T T T 

     

      (II.2)

    atau

    h

    ir r   f  t T T T T      loglog   (II.3)

    dimana:

    t = waktu proses (menit)

    T    = suhu produk (pada titik terdingin) (˚F) 

    r T    = suhu retort  saat proses (˚F) 

    iT    = suhu awal produk (˚F) 

    h f     = waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati satu siklus log (menit)

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    13/28

    Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari suatu proses termal

    merupakan fungsi dari kemiringan kurva pemanasan ( h f   ) dan perbedaan suhu medium pemanas

    dengan suhu produk pada akhir pemanasan (   T T r   ) =  g  . Berdasarkan persamaan suhu produk

    dengan waktu pemanasan, maka diperoleh persamaan berikut:

      

        

     g  I  j

     f  t    hhh B   log)(   (II.4)

    ir 

     pihr 

    hT T 

    T T  j

     loglog , ir h   T T  I      (II.5)

    Dari tabel hubungan h f    dan waktu pemanasan pada suhu retort  untuk mencapai sterilitas yang

    diinginkan ( r  L F U      0 ) deng an nilai  g  , dapat ditentukan nilai  g  , sehingga nilai  Bt    dapat

    dihitung. Jika nilai  Bt  sudah diketahui, nilai sterilitas proses (F0) dapat dihitung dengan :

     

     

     

     

    U  f  

     L f   F 

    h

    r h0   (II.6)

     z 

     L250

    10

      (II.7)

    Dimana:

    r  L   = letalitas

     Bt    = waktu proses (menit)

    F0  = nilai sterilitas proses (menit)

     Broken heating curves  adalah kurva pemanasan pada produk yang pada periode pertama

     pemanasan mengalami kenaikan suhu yang cepat dan pada periode berikutnya mengalami kenaikan

    suhu yang lambat.

    H. 

    Parameter Kecukupan Proses Termal

    Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil

     pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting

    yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D

    adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau

    menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau

    menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. Nilai D dan nilai z suatu mikroorganisme dapat

    dilihat pada Tabel  3 yang menggambarkan ketahanan panas bakteri yang penting pada proses

    sterilisasi komersial.Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang diinginkan dalam suatu perancangan

     proses termal, maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Secara matematis penentuan

    siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan 1 berikut:

     Nt 

     NoS    log   (II.8)

    Dimana: Nt = jumlah populasi mikroba setelah proses termal „t‟ menit

     No = jumlah populasi mikroba sebelum proses termal

    Setelah siklus logaritma penurunan mikroba ditentukan, kemudian dihitung nilai sterilitasnya

     pada suhu tertentu (F0). F0  disebut sebagai nilai sterilisasi jika proses yang berlangsung adalah

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    14/28

    sterilisasi, namun jika proses yang berlangsung adalah pasteurisasi, maka F0 adalah nilai pasteurisasi.

    F0  adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250˚F. Nilai F0  ini

    ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada

    suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0

    menggambarkan waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapailevel tertentu pada suhu tertentu.

    o DS  F    0   (II.9)

    Proses pengujian keamanan makanan kaleng yang berasam rendah, maka kriteria sterilitas yang

    digunakan berdasarkan spora bakteri yang lebih tahan panas daripada spora Clostridium botulinum,

    yaitu spora  Bacillus stearothermophilus  atau FS ( flat sour ) 1518. Disebut sebagai FS 1518 karena

     pertumbuhan bakteri ini akan mengakibatkan kebusukan akibat diproduksinya asam tetapi tanpa gas

    sehingga bentuk tutup kaleng tetap normal ( flat ). Untuk makanan kaleng yang asam, proses sterilisasi

    dengan menggunakan panas ini biasanya didesain berdasarkan pada ketahanan panas bakteri

    fakultatif anaerob, seperti Bacillus coagulan ( B. thermoacidurans),  B. mascerans, dan  B. polymyxa.

    I.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Proses Termal

    Menurut Kusnandar, et al . (2006), faktor-faktor kritis yang mempengaruhi proses termal dan

    sterilisasi yang perlu diidentifikasi pengaruhnya adalah : (a) karakteristik produk yang dikalengkan,

    yang terdiri dari pH keseimbangan, metode pengasaman, konsistensi/viskositas dari bahan,

     bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen padatan, rasio padatan/cairan, perubahan formula, ukuran

     partikel,  syrup strength, jenis pengental, jenis pengawet yang ditambahkan, dan sebagainya, (b)

    kemasan, yang terdiri dari jenis dan dimensi, metode pengisian bahan ke dalam kemasan, (c) proses

    dalam retort, yang terdiri dari jenis retort , jenis media pemanas, posisi wadah dalam retort , tumpukan

    wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan terjadinya nesting , dan sebagainya. Beberapa faktor kritis

    tersebut dijelaskan sebagai berikut:

    a)  Keasaman (Nilai pH)

    Tingkat keasaman (nilai pH) merupakan salah satu karakteristik produk pangan yang menentukan

    apakah suatu produk harus dilakukan sterilisasi atau pasteurisasi.  Pada produk pangan yang

    diasamkan, maka prosedur pengasaman menjadi sangat penting, yang harus menjamin pH

    keseimbangan dari bahan harus berada di bawah pH < 4.5. Untuk itu, perlu diketahui metode

     pengasaman yang digunakan dan jenis acidifying agent   yang digunakan (misalnya asam sitrat,

    asam asetat, asam malat, saus tomat, asam tartarat, dan sebagainya). Bila pengasaman dilakukan

    secara benar, maka proses termal dapat menerapkan pasteurisasi.

     b) 

    ViskositasViskositas suatu produk berhubungan dengan cepat atau lambatnya laju pindah panas pada bahan

    yang dipanaskan yang mempengaruhi efektifitas proses panas. Pada produk yang memiliki

    viskositas rendah (cair) pindah panas berlangsung secara konveksi yaitu merupakan sirkulasi dari

    molekul-molekul panas sehingga hasil transfer panas menjadi lebih efektif. Sedangkan pada

     produk yang memiliki viskositas tinggi (padat), transfer panas berlangsung secara konduksi, yang

    mengakibatkan terjadinya tumbukan antara yang panas dan yang dingin sehingga efektifitas

     pindah panas menjadi berkurang. Koefisien pindah panas secara konveksi dinyatakan dengan „h‟,

    sedangkan koefisien pindah panas secara konduksi dinyatakan dengan „k‟ . Koefisien pindah

     panas tersebut menunjukkan mudah atau tidaknya pindah panas yang terjadi pada suatu produk.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    15/28

    c)  Jenis medium pemanas

    Jenis medium pemanas pada umumnya menggunakan uap ( steam) dengan teknik pemanasan

    secara langsung (direct heating ). Teknik pemanasan dengan menggunakan uap ( steam) secara

    langsung ini terdiri dari dua macam, yaitu : (i)  steam injection, yang dilakukan dengan

    menyuntikkan uap secara langsung ke dalam ruangan (chamber ) yang berisi bahan pangan, dan(ii)  steam infusion, adalah teknik pemanasan dimana bahan pangan disemprotkan kedalam

    ruangan yang berisi uap panas.

    d)  Jenis dan ukuran kaleng

    Jenis kemasan yang digunakan berpengaruh pada kecepatan perambatan panas ke dalam bahan. 

    Sementara ukuran kaleng yang berdiameter lebih besar, efektifitas transfer panas lebih rendah

    dibandingkan kaleng dengan ukuran diameter yang lebih kecil, karena penetrasi panas lebih

    cepat.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    16/28

    ii

    KARAKTERISTIK PEMANASAN PADA

    PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM( Mesona palustris)

    SKRIPSISebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

     pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    RAHMA UTAMI

    F14070105 

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2012

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    17/28

    iii

    HEATING CHARACTERISTICS OF THE BLACK CINCAU JELLY( Mesona palustris) CANNING PROCESS

    Rahma Utami, Dhiah Nuraini, and Putiati Mahdar

    Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology,Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

    Indonesia

    Phone 62 812 10082989, e-mail: [email protected]

     ABSTRACT

     In Indonesia, the black cincau is known as traditional foodstuff uses as a variation of variety

    of drinks. However, in the market, packaging of black cincau jelly still not hygienic. Packaging of

    black cincau jelly can increase the added value of these products, especially for the consumers..This research aims to study the heat penetration parameters during the sterilization process,

    determines the cold point of products in cans, as well as determining and comparing F 0 by using a

     general methods and formula methods during canning processof the black cincau jelly.

     Research using raw material dried plants of black cincau (Mesona palustris) the leaves and

     stems of the ratio 3:2. Raw materials are added with water, aquerous solution abu qi, tapioca, and

     sugar. Cans size that used in this reaseach is 306 x 405 (8.5 cm x 11 cm) produced by United Can

    Company. The research begins with measuring the distribution of heat, determinating the cold point,

    and measuring the F 0. In addition, conducted are observations of pH, sineresis, total dissolved solid,

     gel strength, microbiology analysis, and organoleptic test.

     Black cincau jelly belongs to low-acis foods with the value of the pH is 5.6 for repetition 1

    and 5.9 for repetition 2, so that required commercial sterilization that capable for deactivate

    Clostridium botulinum spores. The cold point of black cincau jelly is at the center geometry of cans.

    Using diference temperature process resulted in a significant diference to the value of   F 0. General

    method is usually used to evaluate a thermal process, whereas formula method used to design a

    thermal process.

     Keywords: black cincau jelly, F 0 , general methods, formula methods

    mailto:[email protected]:[email protected]

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    18/28

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    19/28

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    20/28

    vi

    Judul Skripsi : Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam ( Mesona

     palustris) 

     Nama : Rahma Utami

     NIM : F14070105

    Menyetujui,

    Pembimbing Akademik I, Pembimbing Akademik II,

    Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc

    u.b. Koordinator Mayor

    Teknik Pertanian

    Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si Ir. Dhiah Nuraini, M.Si

     NIP. 19631031 198903 1002 NIP. 090012851

    Mengetahui :

    Ketua Departemen,

    (Dr.Ir. Desrial, M.Eng)

     NIP. 19661201.199103.1.004

    Tanggal lulus :

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    21/28

    vii

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DANSUMBER INFORMASI

    Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Pemanasan

    Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris )  adalah hasil karya saya sendiri

    dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada

     perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

    maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

    Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, April 2012

    Yang Membuat Pernyataan

    Rahma Utami

    F14070105

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    22/28

    viii

    © Hak cipta milik Rahma Utami, tahun 2012Hak cipta dilindungi

     Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

     Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

     fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    23/28

    ix

    BIODATA PENULIS

    Rahma Utami. Lahir di Jakarta, 24 April 1990 dari ayah Ir. Dudy

    Suroso dan ibu Ning Khororoh, sebagai putri pertama dari dua bersaudara.

    Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Taman Siswa, Jakarta pada

    tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP

     Negeri 5, Jakarta hingga tahun 2004. Penulis menamatkan SMA pada

    tahun 2004 dari SMA Negeri 1, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima

    di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis

    memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan

    Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian.

    Pada bulan Juni - Agustus 2010, penulis melaksanakan kegiatan praktik lapangan di PT

    Eramitra Agrolestari, Bakrie Sumatera Plantation (Unit Jambi 2), Pabrik Minyak Kelapa Sawit

    (PMKS) Pematang Kulim, Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan

     penelitian di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) dan Balai Besar

    Industri Agro, Bogor dengan judul “Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau

    Hitam ( Mesona palustris)” di bawah bimbingan Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc. 

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    24/28

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    25/28

    xi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR.................................................................................................. x

    DAFTAR TABEL......................................................................................................... xii

    DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... xiii

    DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ xiv

    I.  PENDAHULUAN...........................................................................................

    A.  LATAR BELAKANG.............................................................................. 15

    B.  TUJUAN................................................................................................... 16

    II.  TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................

    A.  CINCAU................................................................................................... 17

    B. 

    CINCAU HITAM..................................................................................... 18C.  GEL CINCAU HITAM............................................................................ 20

    D.  PROSES PENGALENGAN..................................................................... 21

    E.  PROSES TERMAL.................................................................................. 21

    F.  STERILISASI........................................................................................... 22

    G.  PERHITUNGAN PROSES TERMAL..................................................... 24

    H.  PARAMETER KECUKUPAN PROSES TERMALMAL...................... 26

    I.  FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI PROSES TERMAL.. 27

    III.  METODOLOGI...............................................................................................

    A.  WAKTU DAN TEMPAT......................................................................... 29

    B. 

    ALAT DAN BAHAN............................................................................... 29C.  PROSEDUR PENELITIAN..................................................................... 29

    IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................

    A.  PEMBUATAN GEL CINCAU HITAM.................................................. 36

    B.  PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM.............................. 39

    C.  PENENTUAN TITIK TERDINGIN, WAKTU VENTING, 

    DAN COME UP TIME............................................................................. 41

    D.  PENENTUAN KECUKUPAN PANAS PADA PROSES

    STERILISASI GEL CINCAU HITAM KALENG.................................. 43

    E.  KEASAMAN GEL CINCAU HITAM DALAM KALENG................... 46

    F.  SINERESIS GEL CINCAU HITAM KALENG...................................... 47

    G. 

    KEKUATAN GEL CINCAU HITAM KALENG................................... 48

    H.  TOTAL PADATAN TERLARUT GEL CINCAU HITAM KALENG.. 50

    I.  ANALISIS MIKROBA GEL CINCAU HITAM KALENG................... 52

    J.  PENILAIAN ORGANOLEPTIK GEL CINCAU HITAM KALENG.... 53

    V.  SIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 54

    DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 55

    LAMPIRAN..................................................................................................................

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    26/28

    xii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau.......... ......................................................................... 18

    Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam......................................................................... 20

    Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial..................... 23

    Tabel 4. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan......... 38

    Tabel 5. Nilai dari parameter penetrasi panas pada metode formula.......................................... 45

    Tabel 6. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng .................................................. 46

    Tabel 7. Hasil analisa mikroba gel cincau hitam kaleng............................................................. 52

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    27/28

    xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau....................................................................................... 17

    Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas............................................................................... 25

    Gambar 3. Diagram alir pengalengan gel cincau hitam............................................................... 30

    Gambar 4. Broken heating curves................................................................................................ 32

    Gambar 5. Hubungan nilai f h/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure................................... 33

    Gambar 6. Nilai r berdasarkan nilai g.......................................................................................... 33

    Gambar 7 (a dan b). Bahan baku pembuatan gel cincau hitam kaleng....................................... 36

    Gambar 8. Pencucian bahan baku................................................................................................ 37

    Gambar 9. Penambahan abu qi.................................................................................................... 37

    Gambar 10. Alat pengepres ........ ................................................................................................ 38Gambar 11. Exhausting  gel cincau hitam kaleng........................................................................ 40

    Gambar 12. Proses penutupan kaleng......................................................................................... 41

    Gambar 13. Kurva penentuan titik terdingin (cold point )........................................................... 42

    Gambar 14. Kurva distribusi panas ulangan 1............................................................................ 42

    Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2............................................................................ 43

    Gambar 16. Kurva hubungan antara lethal rate (Lr) dengan waktu (menit)

     pada ulangan 1........................................................................................................ 44

    Gambar 17. Kurva hubungan antara lethal rate (Lr) dengan waktu (menit)

     pada ulangan 2........................................................................................................ 45

    Gambar 18. Hasil pengukuran sineresis gel cincau hitam kaleng.............................................. 47Gambar 19 (a dan b). Pengukuran kekuatan gel......................................................................... 48

    Gambar 20. Kurva tegangan regangan bahan biologis............................................................... 48

    Gambar 21. Perbandingan Fmax sebelum dan sesudah sterilisasi................................................ 49

    Gambar 22. Kurva tegangan regangan....................................................................................... 49

    Gambar 23. Perbandingan nilai Modulus Secant /Es(free) sebelum dan sesudah sterilisasi......... 50 

    Gambar 24. Refractometer Atago PR-201................................................................................. 51

    Gambar 25. Perubahan nilai total padatan terlarut (TPT) pada gel

    cincau hitam kaleng sebelum dan sesudah sterilisasi............................................ 51

    Gambar 26. Kurva pertumbuhan mikroba................................................................................. 53

  • 8/16/2019 Rahma Utami

    28/28

    xiv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Tabel hasil pengujian distribusi panas................................................................. 58

    Lampiran 2. Tabel hasil pengujian penentuan titik terdingin (Cold Point ).............................. 62

    Lampiran 3a. Tabel hasil penentuan waktu sterilisasi optimum dengan

    menggunakan metode umum pada ulangan 1................................................... 64

    Lampiran 3b. Perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan

    menggunakan metode umum pada ulangan 2................................................... 66

    Lampiran 4a. Kurva dan langkah perhitungan waktu sterilisasi optimum

    dengan menggunakan metode formula pada ulangan 1..................................... 68

    Lampiran 4b. Kurva dan langkah perhitungan waktu sterilisasi optimum

    dengan menggunakan metode formula pada ulangan 2.......... ........................... 74

    Lampiran 5. Perhitungan sineresis gel...................................................................................... 80

    Lampiran 6. Perhitungan kekuatan gel..................................................................................... 81

    Lampiran 7. Data pengujian nilai total padatan terlarut (TPT)................................................ 82

    Lampiran 8. Form uji organoleptik........................................................................................... 83

    Lampiran 9. Hasil uji organoleptik........................................................................................... 84