ragnar alm (tuan alam) di batak pardembanan

46
Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected] 0 RAGNAR ALM Otobiografi Misionaris Metodis Di Pardembanan (Asahan-Labuhan batu)

Upload: papayko

Post on 13-Jun-2015

791 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Terjemahan biografi misionaris Methodist Ragnar Alm ketika berkarya di Asahan Labuhan Batu (Pardembanan)

TRANSCRIPT

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

0

RAGNAR ALM

Otobiografi Misionaris Metodis

Di Pardembanan

(Asahan-Labuhan batu)

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

1

Pengantar

“Pernah dulu saya menerima surat dari pengelola Percetakan Gereja Methodist Indonesia yang meminta agar saya menulis sebuah tulisan pendek mengenai masa hidup dan pekerjaanku di tengah-tengah orang Indonesia. Disitu yang penting, kata mereka, ialah bagian pengalaman dari zaman Belanda dulu dari tahun 1931 sampai 1942, kedatangan dan pendudukan Jepang, zaman revolusi dan ketiga, zaman sekarang yakni setelah Indonesia berdamai dengan Belanda tahun 1949. Dalam buku kecil ini kucoba menceritakan sedikit tentang saya sendiri dan betapa besar kasih Tuhan padaku. Karena kisah ini haruslah berlandaskan Firman Tuhan sendiri maka saya memilih ayat-ayat dari dari Alkitab tersebut menjadi kepala setiap bab. Saya juga meminta agar para pembaca mengingat yang dikatakan Rasul Paulus dalam 1 Kor.1:27 “ Tetapi apa yang bodoh bagi dunia dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia untuk memalukan apa yang kuat.” Karena bukan dari kekuatanku sendiri apapun hanya dari Tuhan sendirilah. Dia yang memilihku dan dia juga yang mengurus semua langkahku. Kalau memang benar apa yang dikatakan Rasul Paulus dalam 1 Kor.1:27, lalu bagaimana perihal halaman-halaman berikut ini ? Dengan tulisan ini, saudaraku, ada syukur kepada Tuhan serta doa agar kiranya iman kepada Yesus Kristus semakin teguh, sang Juruselamat itu. Kiranya hadir lah “sukacita yang penuh” kepada anda semua dan kerajinan yang tidak mengenal lelah untuk mewartakan Kabar Gembira tentang Yesus Kristus, Tuhan selama-lamanya!”

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

2

Bab 1 SEJAK DARI KANDUNGAN “Allah telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku"…Yes.49:1 Yang dikehendaki Tuhan dari setiap orang yang dilahirkan di dunia ini ialah agar ia menjadi pelayan Tuhan artinya seorang yang sedia taat padaNya selama ia hidup di dunia ini. Bahkan ada ahli teologi berkata: Tujuan hidup setiap orang ialah memuliakan Tuhan melalui kata dan perbuatannya. Dengan perilaku yang kudus orang dapat memuji Tuhan. Karenanya Yesaya berani mengatakan hal diatas. Juga karena itu saya berani memakai kata Nabi tersebut dalam kaitannya dengan hidupku sendiri. Tambahan lagi : Tuhan telah mengetahui namaku sebelum saya lahir di dunia ini. Menurut adat Batak dan juga banyak bangsa lain, ada sahala, kuasa didalam suatu nama. Maka itu kadangkala anak-anak tidak berani menyebut nama orangtuanya. Sekarang inipun anda berhati-hati menyebut nama orangtua. Saya tidak tahu bagaimana pikiran orangtuaku tentangku ketika masih dikandung ibu. Cuma ini kuketahui: mereka berdoa agar anaknya menjadi anak yang baik dan berhasil. Ketika itu mereka tidak menyinggung bagaimana jadinya anaknya sesudah dewasa. Tetapi dari perkataan ibu kumengerti, mereka akan sangat bersukacita kalau anaknya tersebut menjadi pewarta injil. Saya lahir dari keluarga miskin. Ayah bekerja sebagai penggiling gandum. Ia tidak memiliki kilang sendiri tapi bekerja sebagai orang gajian. Saya lahir tanggal 10 Oktober 1900 di desa kecil bernama Vadsbro di gereja Dunker di Swedia, anak sulung di keluarga. Dalam masa 10 tahun kemudian lahir lagi enam orang adikku, dua perempuan dan empat laki-laki. Jadi saat kanak-kanak kami ada sembilan orang di rumah. Aku mulai masuk sekolah tahun 1907 selama enam tahun. Saya senang sekali belajar dan ingin sekali melanjutkan sekolah, tetapi karena orangtuaku miskin dan meletus Perang Dunia I tahun 1914-1918, terpaksa saya kerja mencari nafkah agar makanan cukup di rumah kami. Karena itu saya bekerja di suatu pabrik ketika berumur 13 tahun. Gajiku sangat kecil, meskipun demikian dengan gaji itu saya sedikit dapat membantu orangtua. Sebelumnya aku sudah ikut menggembalakan ternak kalau liburan panjang bulan Juni-Agustus. Di waktu panen pun anak-anak harus ikut membantu. Jadi tahun 1913 aku sudah mencari nafkah sendiri. Aku bersekolah minggu tahun 1907 sampai 1920. Tetapi , tahun 1915, umur 15 tahun aku menjadi guru sekolah minggu. Saya diminta mengajar anak anak berumur 12-13 tahun. Sebelumnya terjadi suatu “perobahan” pada diriku. Yang kumaksudkan, aku serahkan diri kepada Tuhan Yesus Kristus. Hal itu terjadi ketika ada pelaksanaan “kebangunan” di gereja kami di Swedia. Saat itu banyak orang muda yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

3

Sebelumnya waktu berumur 8 tahun pernah kudengar seorang zendeling perempuan yang bekerja di Negeri Cina menceritakan tentang orang-orang yang belum mengenal Kristus. Dikisahkan ada anak-anak perempuan yang dibuang orangtuanya karena anak perempuan tidak berarti. Para misionaris itu mendirikan rumah untuk anak-anak yatim piatu. Banyak orang menerima bantuan semacam itu. Dalam hatiku: Kelak nanti saya dewasa akan ikut membantu orang miskin dan menderita seperti yang mereka lakukan. Usia 15 tahun saya menjadi anggota Gereja Methodist di desa kami. Orangtuaku masih menjadi anggota Gereja Kerajaan, tapi tak lama kemudian mereka juga masuk Methodist karena mereka melihatnya sebagai gereja yang hidup. Pada akhirnya semua penduduk desa dari keluarga Richard dan Hilda Alm menjadi Methodist. Seluruhnya 9 orang, dua menjadi pendeta, satu diakones dan satu pemain organ gereja.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

4

Bab 2 AKU MASIH MUDA

Maka aku menjawab: “Ah, Tuhan Allah! sesungguhnya aku tidak pandai berbicara sebab aku masih muda” (Yer.1:6) Tidak ada yang dapat memastikan berapa usia Yeremia ketika datang Firman atau panggilan Tuhan yang berkata : “… Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” (Yer.1:5). Hal yang pasti kita tahu saat itu Yeremia sangat takut, sampai gemetaran dihadapan kemuliaan Allah. Inilah sebabnya dia berkata : “ Aku masih muda”. Hal itu juga terjadi pada Musa sekalipun ia tidak muda lagi saat berdiri dihadapan Allah. Dapat kita baca dalam Keluaran 3: 6, “Lalu Musa menutupi mukanya sebab ia takut memandang Allah.” Demikian banyak nabi, pendeta dan misionaris yang merasakan hal seperti itu. Hal ini juga kualami sebab begitu datang panggilan Tuhan kepadaku, kujawab : “Saya masih muda, tidak pandai berbicara.” Dan saya adalah anak orang miskin. Darimana saya membayar uang sekolah? Sampai-sampai aku berkata pada Tuhan: Biarlah saya mengajar sekolah minggu dan memimpin kumpulan pemuda gereja, tidak pantas saya menjadi pekabar Injil. Akan tetapi Roh Kudus ternyata senantiasa bekerja dalam hatiku. Adakalanya saya seperti merasa putus asa. Harus kusampaikan kepada orang lain, pikirku, bagaimana perasaan yang kualami ini. Tetapi siapa yang akan sudi mendengarku? Suatu waktu, ketika saya pulang dari pekerjaan malam dengan adikku Herbert kusampaikan bahwa Tuhan telah memanggilku untuk menjadi seorang pekabar Injil. Ia terdiam sebentar, lalu katanya, “Belum sempurna talentamu menjadi pendeta.” Karena kata-kata ini aku menjadi semakin takut. Sedih sekali perasaanku atas panggilan Tuhan ini. Pada waktu itu aku belum berani mengutarakannya kepada pendeta gereja kami. Sampai pada suatu saat seorang mahasiswa dari Seminari Gereja Methodist datang berkotbah di gereja kami. Usai kebaktian kataku padanya: ”Aku telah menerima panggilan dari Tuhan agar menjadi pewarta Injil.” Ia memandangku sejenak lalu katanya, “Hati-hatilah, karena harus ada talenta yang luarbiasa bagi orang yang ingin menjadi pendeta.” Sangat sedih hati mendengarnya. Dalam hatiku, kau bukan orang yang benar. Tetapi maksud Tuhan memang lain. Pada minggu advent 1920 saya ikut peserta kursus untuk Penginjil di kota Uppsala. Disana ada juga sekolah pendeta. Tujuanku ingin menambah pengetahuan akan Firman Tuhan selama dua atau tiga minggu. Nanti selesai mengikuti kursus saya bermaksud kembali bekerja di pabrik. Tetapi datang seorang pengawas gereja distrik bernama Norman mengatakan, “Bagaimana kalau engkau tidak usah kembali lagi bekerja di pabrikmu itu. Sekarang sedang dibutuhkan seorang pemuda untuk membantu pendeta yang bekerja di pabrik. Banyak sekali pekerjannya disana. Kami sudah katakan akan mengirimmu kesana. Tidak usah kau takut.” Sesudah berdoa maka ajakan kusanggupi. Boleh dikatakan sejak saat itulah aku menjadi seorang pekabar Injil. Tuhan sendiri yang memanggil. Kemudian disetujui gereja melalui seorang pendeta tua.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

5

Ujian-ujian diselenggarakan pada kursus di Uppsala. Setiap peserta diminta berkotbah didepan guru dan rekan-rekan. Para pengajar akan memberikan ayat. Aku terima teks Ep. 3 : 8 :”Kepadaku, yang paling hina diantara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu.” Sesudah natal 1920 aku berangkat dari desa kelahiranku menuju suatu negeri Maroko. Aku menjadi Evangelis!. Benar-benar takut, aku masih muda, dan bukan lulusan sekolah pendeta. Kuserahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan berkata : ”Engkau yang memanggilku, sertai dan pakailah aku menjadi teladan bagi orang percaya …… …dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan dalam kesucian.” (I Tim. 4: 12). Datang jawaban dari Tuhan: Lihat, saya akan menyertaimu setiap hari, sampai akhir dunia ini.” Aku percaya pada janji ini. Setelah saya bekerja di Maroko 4 bulan datang panggilan wajib militer dari pemerintah. Semua laki-laki Swedia diharuskan mengikuti pendidikan militer untuk membela negaranya kalau terjadi perang. Saya pergi ke resimen Svea Livgarde di Stockholm, resimen yang tersohor di Swedia kala itu. Raja Swedia memimpin langsung resimen. Tetapi sebelum saya masuk resimen sudah kutetapkan tidak akan berlatih senjata karena keyakinan saya jalan perang adalah salah. Kusampaikan kepada para opsir dan ada yang marah. “ Kau tidak cinta tanah airmu?” katanya. Akhirnya Kapten memeriksa bagaimana perlakuan kepadaku. Lalu sampai ke Mayor dan kepada Pendeta tentara. Paling sulit urusan ini pada pendeta tersebut. “Kau Pentakosta?” tanyanya. Setelah kuberitahu dari gereja Methodist, katanya:”Kalau orang Methodist adalah orang orang baik sekali, tidak sepertimu.” Kusampaikan semua pemikiranku mengenai perang dan senjata dalam Alkitab. Kusampaikan apa kata Yesus di Getsemane,”Masukkan pedangmu kedalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang.” (Mat. 26:52). Esoknya sang mayor menyuruhku pulang tapi akan memanggilku lagi nanti untuk masuk dinas yang lain. Aku tidak menjawab soal peraturan pemerintah sehubungan aku tidak mau memakai senjata, karena sebenarnya ada ketentuan di Swedia kalau ada orang yang tidak mau memanggul senjata karena kepercayaannya maka yang bersangkutan masuk dinas yang lain beberapa bulan lamanya. Kemudian saya pulang ke kampung tetapi tidak berapa lama datang Pendeta Norman : ”Dibutuhkan sekarang seorang pengkotbah di Hansjo, kesanalah menunggu ada lagi panggilan Pemerintah.” Setelah melayani beberapa bulan di gereja itu datang lagi panggilan dari tentara. Lalu masuk resimen DAL selama 318 hari!. Kalau aku sedia memanggul senjata maka masa dinas hanya 165 hari. Jadi dinasku harus lebih lama. Semacam hukuman. Aku diizinkan berkotbah setiap Sabtu dan Minggu di gereja kami. Kutemukan beberapa orang Kristen yang baik di resimen itu yang mau berkumpul dan membaca Firman Tuhan. Beberapa kali dalam seminggu kami berkumpul di suatu tempat yang disebut “gereja untuk tentara”. Disana ada seorang pendeta yang pandai melayani pemuda. Disitu persahabatan kami sangat hangat. Tentara itu sebagian Pentakosta,

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

6

sebagian Baptis, Lutheran, Methodist hanya saya. Saya menjadi semacam ketua. Waktu itu kepercayaan ku pada Tuhan dan gerejaNya semakin teguh. Walaupun pemikiranku tentang senjata dan perang agak bergeser, saya tetap merindukan kedamaian. Jadi kiranya kehendak Tuhan melalui malaikatnya yang menyanyikan : “DAMAI DIBUMI”. Itu jua yang dikehendaki Tuhan sendiri. Tetapi karena dosa dan ketakutan maka orang masih rajin membuat senjata, bahkan sampai senjata nuklir yang dahsyat itu. Karena itu dalam pikiranku setiap orang Kristen hendaknya berdoa seperti gereja mula-mula : “Berilah kami damai sekarang, ya Tuhan”.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

7

BAB 3 : DI SEKOLAH ....AKU DIDIDIK “…aku dididik dengan teliti dibawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja …” (Kis. 22 : 3) Rasul Paulus tidak memiliki kesempatan seperti rekannya yang lain berguru di “sekolah rasul” Yesus sendiri. Ia sangat kecewa karena itu, bagaimanapun pengetahuannya tidak kurang soal peraturan dan hukum orang Yahudi. Beberapa tahun ia pernah bersekolah di Tarsus, kemudian sesudah dewasa menjadi murid Gamaliel. Gamaliel adalah guru yang tersohor. Hal yang paling penting baginya adalah perobahan hati, lebih penting dari semua perbuatan baik. Paulus kerap memperbincangkan soal ini. Seperti ditulis dalam Roma 3: 20 : “Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan dihadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat” (baca juga Gal. 2: 16). Melalui Roh Kudus Paulus menerima pemahaman tentang hal-hal yang dikatakan Yesus. Roh itu turut mengajarinya. Bulan September 1922 aku masuk sekolah Seminari Methodist di Uppsala, Swedia. Dengan adanya sedikit pengalaman tentang pekerjaan seorang pendeta maka semakin nikmat rasanya pelajaran di sekolah ini. Pokok-pokok mata pelajarannya, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Dogmatika, Sejarah Gereja, Sejarah Missi, Psikologi, Sosiologi dll. Yang paling penting ialah bahasa Swedia dan Homiletika (Kotbah). Setiap pengkotbah harus paham bahasanya sendiri agar pendengar mengerti apa yang disampaikan. Harus jelas juga alur kotbah tersebut. Kami belajar tidak hanya di Seminari. Sewaktu liburan, misalnya Natal, pesta Paskah dan libur panjang bulan Juni-Agustus, kami diharuskan membantu di gereja-gereja. Semacam latihan bagaimana kehidupan seorang pendeta. Kami seperti pembantu bagi pendeta, yang sangat besar manfaatnya bagi kami. Setelah menjadi pembantu pendeta di beberapa gereja besar seperti di Stockholm, lalu aku diutus pimpinan Seminari pada Natal 1924 ke suatu gereja yang belum memiliki pendeta sendiri. Pendetanya masuk tentara untuk beberapa bulan. Gereja ini terletak di Porjus, di bagian paling utara Swedia. Di utara “kutub utara”. Saat itu pemerintah sedang mendirikan pembangkit listrik yang sangat besar. Hanya ada satu gereja disana, gereja Methodist. Jadi sangat perlu kiranya pendeta menggantikan pendeta dinas tentara tadi. Banyak diantara siswa yang bersedia tapi dosen kami menunjuk saya. Saya diminta tinggal di Porjus sejak 22 Desember sampai akhir Januari. Tetapi karena ada kejadian-kejadian di gereja itu maka aku masih disana sampai awal Maret. Porjus adalah wilayah baru. Kebanyakan penduduk adalah pendatang karena tidak ada daerah yang tetap di wilayah yang begitu luas. Mereka umumnya buruh yang bekerja membangun pembangkit sambil membangun jalur kereta api. Banyak diantaranya masuk partai komunis, bahkan Porjus dijuluki daerah merah. Mereka masih usia muda. Saya tiba di Porjus tanggal 24 Desember 1924. Disitu belum ada gedung untuk gereja Lutheran sehingga ada dua gereja yang mempergunakan kebaktian di tempat gereja Methodist. Karenanya dengan sepucuk surat aku diberitahu untuk tidak usah berkotbah pada hari Natal itu. (Jarang kebaktian Natal tanggal 25 Desember malam di Swedia).

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

8

Sesaat tiba di stasiun kereta api seorang utusan gereja datang menemuiku : “ Anda harus berkotbah besok pagi pukul 6.00. (Orang Swedia ke gereja pagi sekali pada hari Natal). Jawabku :“Tidak perlu, karena pendeta Lutheran itu yang akan berkotbah besok.” Sahutnya :”Bapak pendeta itu salah makanan, sekarang sedang sakit.” Meski aku yang berkotbah, kebaktian diselenggarakan dengan tata cara Lutheran. Tugasku hanya berkotbah. Sepertinya Tuhan sendiri yang menuntun disini. Dengan adanya kebaktian itu saya berkesempatan bertemu dengan semua orang Kristen yang tinggal di kota itu. Gereja penuh sesak. Mereka bergembira karena ada pendeta lain yang dapat menggantikan pendetanya yang sakit. Sesudah lewat Pesta Tahun Baru 1925 ada dilangsungkan evangelisasi di gereja. Setiap malam ada pertemuan yang selalu dihadiri banyak orang. Ketika evangelisasi sudah berjalan 3 atau 4 malam, kulihat seorang lelaki dengan isterinya datang ke gereja. Mereka duduk di depan. Kelihatan jelas raut muka mereka sedang kesusahan. Usai kotbah, saat kelompok paduan suara menyanyi, saya bergerak menghampiri mereka berdua. Kutanyakan: * Bagaimana rasanya disini? Kelihatannya perasaan anda kurang gembira? * Tidak ada artinya bagi anda., katanya seperti marah. * Saya cuma sekedar tanya, barangkali ada yang bisa saya bantu. * Kalau anda tidak izinkan orang duduk di gerejamu ini, saya tidak akan datang lagi. * Terserah bapak bagaimana, tapi ingatlah gereja ini selalu terbuka termasuk untuk anda. Selanjutnya kedua orang itu selalu datang setiap malam, tetapi tidak lagi duduk di depan. Ke belakang sekali dekat pintu masuk. Kalau saya mengajak orang lain bercakap-cakap mereka segera pulang. Pada suatu ketika, guru kepala sekolah minggu berkata : * Saya kira penting diberi pelayanan untuk Wilson dan isterinya. Kita mau buat bagaimana ya? Bagaimana kalau mereka kita undang ke rumah kami minum kopi dan sedikit bercakap-cakap. Saya setuju sekali usulnya. Kutahu si Wilson ini seorang penganut paham komunis dan sudah menjadi salah seorang pemimpin partai di daerah itu. Waktu aku masih muda, ada juga perasaan simpati untuk partai komunis, tapi belum masuk anggota. Saya paham perasaan orang miskin dan sedang sakit dalam menghadapi hidup ini. Wilson sakit dan anaknya menganggur. Sulit sekali mencari pekerjaan. Orang-orang melarat. Inilah yang terjadi terhadap Wilson, tidak damai dihatinya. Sebelum mereka berangkat dari rumah menemui keluarga Anderson, Wilson berkata pada isterinya: * Ini seperti suatu ujian yang sulit untuk kita.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

9

Segera sampai di rumah teman kami tadi pembicaraan langsung mengenai politik, dan komunisme. Wilson sampai terkejut melihat pengetahuan saya dan adanya rasa senasib dengan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di negeri-negeri komunis. Ia sendiri juga sedikit memaparkan mengenai ketidak acuhan pemerintah kepada rakyat yang menderita. Kaum buruh disepelekan, katanya. Kurasakan mereka berdua agaknya merindukan kesaksian atas keselamatan dalam Kristus. Ingin kutanyakan kesediaan mereka menyerahkan diri kepada Tuhan dan kasih Yesus Kristus. Tetapi tidak jadi kusampaikan apa-apa mengenai hal itu. Tujuanku agar keduanya semakin menginginkan Yesus. Ketika mereka pulang kukatakan demikian: * Bagi kami orang percaya ada kebiasaan ini : penting untuk kami memberikan bekal rohani untuk orang yang akan meninggalkan rumah kami. Bekal itu ialah Firman Tuhan sendiri. Kalau tidak berkeberatan saya akan membacakan beberapa ayat dari Alkitab. * Baik, kata mereka. Saya membaca Yes.53 : 3-4 :”Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan orang yang biasa menderita kesakitan….. tetapi sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya.” Wilson bangkit berdiri dan berkata pada isterinya: * Mathilda ! (menyebut nama isterinya), ini saat yang diberikan Tuhan untuk kita. Keduanya lalu berlutut dan meminta saya mendoakan mereka. Mereka benar-benar berobah. Malam itu juga ia pergi menjumpai rekan-rekannya komunis yang sedang berkumpul dan mengatakan: * Kawan-kawan, jangan berpikir Isak Wilson yang dulu kalian kenal yang sedang berdiri ini. Keliru! Ini Wilson yang baru. Tadi barusan saya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan hatiku diperbaruiNya. Kepadaku dan isteriku telah terjadi apa yang disebut dalam Alkitab, “Apabila orang didalam Kristus, itulah manusia baru. Hidup lama sudah berlalu, sekarang hidup yang baru.” Karena kejadian ditengah-tengah komunis diatas maka semakin banyak orang mengunjungi gereja. Hampir penuh sesak. Pemilik bioskop marah karena sekarang hanya tinggal dua tiga orang pengunjung. Sebaliknya gereja penuh. Banyak orang muda menjadi percaya. Setiap malam kami berkumpul pada bulan Januari sampai Maret. Besar sekali dampak “kebaruan” ini di Porjus dan rupa-rupanya Tuhan juga menambahkan nafkah mereka. Pada tahun 1925 para dosen di Seminari kami mencoba mengurus agar saya dan rekanku, Egon Ostrom namanya, diangkat sebagai anggota Konperensi Tahunan, padahal mestinya kami masih harus belajar dua tahun lagi. Kami meminta diutus menjadi misionaris ke luar negeri. Oleh karena itu kami ingin melanjutkan belajar di Amerika Serikat beberapa tahun. Tetapi tiba “zaman meleset” melanda seluruh dunia, khususnya di Amerika.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

10

Karena tidak jadi belajar di universitas di Amerika, Bishop menyuruh Pendeta Ostrom ke Molndal, dan saya kembali ke Porjus. Tiga tahun lamanya disana. KE INDONESIA Pendeta Ostrom lebih dahulu sampai ke Indonesia karena mereka berangkat dari Swedia tahun 1930. Sebabnya, ia harus belajar bahasa Tionghoa dulu. Saya masih menjadi evangelis di Swedia sambil belajar di Richmond College, di Inggris. Kemudian tahun 1931 saya berangkat dari Swedia menuju Indonesia. Di Singapore ada seorang yang fasih berbahasa Melayu maka Bishop Edwin F.Lee menganjurkan saya di Singapore dulu belajar Melayu beberapa bulan. Saya tinggal di Singapore dua bulan. Saya tiba bulan November 1931 di Belawan, tinggal di rumah Pdt.Gottschall beberapa hari. Mereka tinggal di Hakkastraat 42, Medan, di sebelah Methodist Boy’s School. Pdt.Gottschall pernah di Swedia dan mengerti sedikit bahasa Swedia. Karena saya lebih menguasai bahasa Inggeris, maka kami tidak berbahasa Swedia. Beberapa hari di Medan lalu pergi ke Kisaran dengan kereta api. Bishop sudah memberitahu bahwa saya akan bertugas di Asahan. Ketika itu pendeta di Kisaran adalah Pdt.A.V Klaus, misionaris yang sebelumnya pernah bekerja di Jawa dan sudah pandai berbahasa Melayu. Banyak sekali manfaat untukku dari pertemuan dengan Pdt.Klaus. Kami berbicara di kantornya, dan ia memberikan banyak informasi mengenai zending Gereja Methodist di Sumatera Timur. Ia tunjukkan peta dan gambar-gambar. Yang paling penting, katanya, pekerjaan di pedalaman. Kemudian kami meninjau ke, misalnya, Bosar Sipinggan, Tanjungan, Bangun Dolok, Kopas, Dolok Maraja, dll. Belum ada sekolah dan gereja di Lumban Ria, tapi gagasan untuk itu sudah ada. Kami, bersama Pdt.Ephraim Sihombing (dari Bandar Pulau) dan penatuanya kami meninjau sekali ke Haboko. Lalu dari Haboko ke Lumban Ria. Kami berjalan kaki 9 jam lamanya. Perjalanan sangat sulit. Kami bertemu dengan raja-raja di Unte Bolon. Mereka menerima usul kami dan kami bersedia mengirim seorang guru Injil dan mendirikan gereja/sekolah disana. Setelah para tetua kampung berkumpul mereka mengiakan seorang ibu yang sudah tua yang, ”Agama lama itu cocok untuk leluhur kami dan juga untuk kami.” Ketika itu kepercayaan disana bukan saja animisme tapi beberapa sudah masuk parmalim.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

11

Bab 4 KABAR GEMBIRA UNTUK ORANG BUKAN YAHUDI “Kepadaku yang paling hina diantara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu.” (Ef. 3 : 8) Demikian perasaan Paulus soal tugas yang diserahkan Tuhan padanya. Dalam Pasal 3 diatas ayat 1-13, Paulus memaparkan bagaimana pekerjaannya. Disitu tampak kabar yang akan diwartakannya, kerendahan hatinya dalam melaksanakan amanat yang begitu besar. Ia berkata,” .. “Kepadaku yang paling hina diantara segala orang kudus” . Ada teolog yang berkata, ucapan itu bukan berasal dari Paulus sendiri. Namun jika kita teliti surat-surat Paulus beberapa kali ia mengungkapkan tidak layak untuk mewartakan kabar tersebut. Dalam I Kor. 15 : 9 katanya,”… karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” Ucapan agak bertentangan dengan II Kor. 12 : 11 “.. sebenarnya aku harus kamu puji. Karena meskipun aku tidak berarti seedikitpun, namun didalam segala hal aku tidak kalah terhadap rasul-rasul yang luar biasa itu.” Dari sini kita dapat pahami, sang rasul selalu ingat akan perbuatannya sebelum berubah hatinya, karena belum mengikuti Yesus ketika masa hidupnya. Meskipun demikian Yesus telah menampakkan diriNya kepada Paulus, “…sama seperti anak yang belum lahir pada waktunya.” ( I Kor. 15 : 8). Hal ini yang menyebabkan Paulus merasa bahwa hanya kasih karunia segala hal yang terjadi padanya. Ia begitu percaya bahwa Allah sendiri yang menunjuknya sebagai “pelayan Kristus”. Kerendahan hatinya disertai dengan imannya bahwa Allah yang mengutusnya mewartakan kabar gembira kepada orang bukan Yahudi. Ini merupakan panggilan yang indah dan tinggi sekali. Perasaanku mirip seperti perasaan Paulus. Jelas kuketahui pengetahuanku rendah dan tidak punya kekuatan untuk mengerjakan tugas yang disampaikan Tuhan untukku. Tetapi hatiku dengan teguh berpegang : Allah sendiri yang memanggilku untuk pekerjaan ini dan saya yakin : KasihNya telah cukup dan Ia akan selalu memberi kekuatan dan segala yang perlu untuk mewujudkan maksud Tuhan atas hidupku. Setelah saya tinggal tiga bulan di Kisaran, Rapat Tahunan (Annual Conference) meminta saya untuk belajar bahasa Batak Toba dan tinggal bersama Pdt.Karl Gabriel di Saribu Dolok. Kantor pusat HKBP di Pearaja yang menunjuk seorang guru Injil. Saya belajar bersama dengan Dr.August Prussner yang datang dari Tebing Tinggi. Prussner sudah fasih bahasa Indonesia, tapi perlu belajar bahasa Toba dan Simalungun karena ia berkarya di Barung-barung, Bah Siduadua di Simalungun. Awal bulan Maret 1932 kami berdua pergi ke Saribu Dolok. Saribu Dolok adalah pertemuan tiga wilayah Batak, Toba, Simalungun dan Karo. Kebaktian minggu diselenggarakan dalam tiga dialek tadi

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

12

misalnya nyanyian dalam bahasa Karo, pembaca ibadah (agenda) dalam bahasa Simalungun dan kotbah dalam bahasa Toba. Sekali dalam tiga minggu kotbah dalam bahasa Toba. Untuk saya yang perlu bahasa Toba. Tiga bulan saya tinggal di Saribu Dolok. Setelah selesai belajar lalu Pdt.Gabriel mengirim saya ke Balige karena disana ada guru yang ahli bahasa Toba, guru Philemon Simorangkir. Kata Pdt. Gabriel, “ Pergilah ke desa-desa mendengar percakapan lalu langsung berbicara untuk mempraktekkan. Kalau keliru, selalu ada nanti yang membetulkan. Jangan malu, karena itulah satu-satunya jalan mengetahui bahasa.” Tak bisa kulupakan perjalanan dari Siantar ke Balige. Ketika tiba di Parapat seorang wanita tua bertanya,”Bapak orang Kristen?” Ya, jawabku. Kalau demikian, mari bernyanyi.” Penumpang bis menyanyi seperti suatu paduan suara. Saya sangat gembira. Nyanyian seperti suatu senjata yang diberikan Tuhan kepada orang Kristen batak , suatu jalan untuk penginjilan. Sepatutnya akan baik jikalau didengar orang yang bukan Kristen betapa orang Kristen dapat bersuka cita. Di Balige saya tinggal di “godung”, di rumah Pdt.Eigenbrood. Setiap hari saya bertemu dengan Guru Philemon Simorangkir. Kami pergi berjalan-jalan ke desa-desa di sekitar Balige, umpama ke Pardede dan Sigumpar. Saya senang sekali karena makin bertambah pengertian saya tentang penyebaran Kristen di Tanah Batak karena ada kesaksian orang yang mewartakan Injil itu ke desa-desa. Kadang-kadang Pdt.Eigenbrood pergi meninjau sekolah-sekolah dibawah naungan zending Batak. Saya ikut ke Nainggolan dan Pangururan untuk mengenal pendeta disana. Misionaris di Samosir adalah orang Belanda, misalnya Pdt.Rijkook yang terkenal karena menulis cerita Alkitab untuk kanak-kanak, Pdt. Jan Bos yang lama tinggal di Medan setelah perang usai. Suatu saat saya dan Pdt.Eigenbrood pergi ke Siborong-borong. Disana saya bertemu juga dengan Pdt.H. de Kleine dan Tiemejer dari Angkola. “Ikut saja ke Angkola,” ajak mereka. Mereka bermalam di rumah Dr.Johannsen di Pearaja sehingga saya mengenalnya dan di kantor pusat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) berjumpa dengan Ephorus Landgrebe. Di Angkola aku mengunjugi Bunga Bondar dan Sidempuan. Ingat sekali perkumpulan doa yang dilakukan setiap hari pukul 6 sore di gereja Bunga Bondar. Begitu lonceng gereja berdentang orang-orang pergi ke gereja untuk mengucap syukur. Kupikir, inilah kebiasaan yang baik sekali. Di Sidempuan saya melihat kampung-kampung yang didirikan orang berasal dari Toba karena Pemerintah membantu mereka yang mau membuka pemukiman baru. Satu hal lagi yang kuingat ialah pergaulan orang Islam dengan orang Kristen. Bahkan ada keluarga yang membagi dua anggota keluarga itu, sebagian masuk Islam sebagian Kristen. Saat kembali ke Pdt.Heibach mereka memberitahu akan berkunjung ke Nias sebagai utusan Zending dalam rangka sinode di Nias. “Mau ikut”?, tanya mereka. Saya ikut ke Nias dan menyaksikan pekerjaan zending di sana dan berkenalan dengan para penginjil. Saya sampai tertawa karena nama Ephorus mereka ialah Borutta (bhs Batak artinya anak perempuan kita). Kata sebagian orang, itulah sebab maka ia tidak dapat bekerja di Tanah Batak. Saya berkunjung ke beberapa jemaat misalnya Humene, jaraknya 15 km dari Gunung Sitoli. Tahun 1915 mulai terjadi “pertobatan” di gereja Nias, di rumah

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

13

Pdt.Rudersdorf dan selanjutnya semakin banyak orang masuk Kristen. Ini rasanya tepat, seperti ungkapan “fangesa sebu’a” (penderitaan yang luar biasa) berkaitan dengan ajaran Gereja Methodist, pikirku. Besar sekali pengaruhnya kepada hidup orang Nias. Mengapa aku beritahukan ini? Inilah alasannya: semuanya kelak berguna untukku dalam pekerjaanku nanti. Saya mengenal banyak misionaris di tanah Batak dan Nias. Pekerjaannya hampir sama dengan pekerjaanku di Sumatera Timur, terutama di wilayah Pardembanan.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

14

Bab 5 PINTU TELAH DIBUKA Ketika aku tiba di Troas untuk memberitakan Injil Kristus, aku dapati, bahwa Tuhan telah membuka jalan untuk pekerjaan disana.” (II Kor.2 : 12) Rasul Paulus penting mengungkapkan satu hal : pekerjaan yang dimulainya berkenan di hadapan Allah. Artinya, hendaknya di daerah yang dikunjunginya ada orang yang merindukan kabar baik itu. Setelah Paulus kembali dari perjalanan ke Antiokia ia menyampaikan kepada jemaat itu bagaimana penerimaan bangsa lain atas warta Kristus. “… dan bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman. (Kis. 14.27 baca juga I Kor. 16 : 9 Kol. 4 :3). Setelah kembali ke Asahan dari belajar bahasa Batak di Tapanuli, gereja di Tanjung Balai meminta saya berkotbah. Ayat bacaan Lukas 7 : 11-17, “Yesus membangkitkan anak muda di Nain”. Saya menuliskan kotbah dan dibetulkan bahasa Bataknya oleh Guru Injil Nimrod Pasaribu dari Kisaran. Pemimpin kebaktian adalah Pdt.David Hutabarat. Saya gembira sekali, karena beberapa rekan mengatakan, mereka mengerti kotbahnya. Aku bersyukur pada Tuhan, pintu itu serasa terbuka, saya makin siap berkotbah dalam bahasa Toba. Salah satu Jemaat yang paling berkembang di Pardembanan saat itu ialah Bosar Sipinggan. Guru jemaatnya dan juga guru sekolah adalah Wismar Panggabean. Ia baru menikah dan isterinya rajin sekali membimbing anak-anak. Sekolah disana sudah terkenal ke daerah lain, misalnya ke Tomuan Dolok. Raja Tomuan Dolok juga mendengar. Ia mengirim anaknya bernama Kariman bersekolah ke Bosar. Setiap Sabtu Kariman pulang untuk mengambil berasnya. Tujuan Raja ialah agar anaknya tidak mengikuti kebaktian hari Minggu. Ia sudah pesankan pada anaknya: kau rajinlah belajar, tetapi aku tidak izinkan kau masuk Kristen. Beberapa bulan mengikuti sekolah, suatu waktu Kariman tinggal di Bosar Sipinggan pada hari Minggu. Ia ikut ke gereja. Ayahnya marah mendengar Kariman menceritakan kejadian hari Minggu itu. “Senang sekali mengikuti pelajaran guru sekolah setiap hari, tetapi paling nikmat adalah mengikuti kotbah hari Minggu. Dengan marah ayahnya berkata, “Tidak boleh masuk Kristen, ingatlah.!” Namun pintu hati Kariman yang berumur 12-13 tahun itu sudah terbuka. Semakin lama dia makin mengasihi Kristus dan imannya makin bertambah. Ia bujuk ayahnya masuk Kristen, akhirnya si raja berkata : “Baiklah, tapi saya harus laksanakan suatu upacara untuk menyampaikan soal ini kepada roh-roh.” Dia memilih hari yang tepat untuk upacara pesta tersebut. Saya dan Pdt.Karel Hammel diundang ke pesta. Kami letih berjalan kaki dari Habokko ke Tomuan Dolok. Setelah kami tiba dan mandi mulailah pesta. Seekor kerbau disembelih. Para undangan datang berbondong-bondong. Pemain musik gondang batak juga hadir. Setelah kami selesai bersantap, di malam terang bulan, serunai dan gendang pun mulai berkumandang. Raja

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

15

menari sambil mengumumkan anaknya Kariman akan masuk Kristen. “Kalian jangan marah padanya”, katanya. “Janganlah menghukumnya, dia masih kanak-kanak, kalaupun ada yang menghukum langkah Kariman maka akulah dihukum.” Sangat jelas kuingat semua peristiwa ini karena hal ini baru pernah kualami. Pesta berlangsung sampai larut malam, sedang saya dan Pdt.Hammel masuk kerumah dan tidur. Kami sudah lelah. Esok paginya kami ke gereja darurat di Tomuan Dolok. Disini sudah ada guru, Aris Sitompul. Raja sendiri yang memintanya karena merasa butuh untuk kemajuan warga desa, takut ketinggalan oleh Bosar Sipinggan. Kami membaptis Kariman. Gereja penuh dan raja juga hadir duduk di dekat pintu. Dinding gereja dibuat dari kulit kayu sehingga kelihatan berlobang-lobang. Ketika saya membaptis Kariman kulirik Raja matanya berkaca-kaca. Sinar matahari yang masuk membuat matanya kelihatan seperti mutiara yang sangat indah. Bahkan, kukatakan padanya saat usai kebaktian,”Juga Bapak ikut masuk Kristen, karena saya melihat suatu ‘mutiara perjanjian’ di mata Bapak tadi”. Saya tidak masuk Kristen jawabnya singkat. Selanjutnya Kariman pindah ke sekolah berbahasa Inggeris di Kisaran dan tinggal di asrama. Dia senang sekali belajar dan pandai bergaul dengan teman. Saya jarang menjumpai orang yang masih muda tapi pemahamannya soal adat Batak begitu dalam seperti Kariman. Bahkan orang tuapun bertanya padanya soal-soal adat Batak. Beberapa minggu di Kisaran, satu hari Kariman datang ke kantor menanyakan sesuatu, katanya: * Bapa, apakah anda percaya semua yang tertulis dalam Alkitab? Saya agak terkejut, kusahut : * Tentang apa misalnya? * Matius 18 : 19 mengatakan: “Jika dua orang daripadamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka akan dikabulkan oleh Bapaku disurga.” Bapak percaya ini? * Benar, kalau permintaan itu sesuai dengan kehendak Tuhan, jawabku. * Kalau demikian Bapa, mari bersalaman berjanji mendoakan ayah dan ibu serta keluarga semua di kampung agar mereka masuk Kristen. * Baiklah. Kami bersalaman dan berdoa. Di Kisaran, ketika itu Kariman menjual buku-buku kristen. Ia sering ikut kami ke kampung-kampung berkotbah atau penginjilan. Ia pandai menjelaskan buku-buku yang dijual, hingga pengertiannya makin dalam soal firman Tuhan. Di kemudian hari ia menjadi seorang guru Injil. Sesudah menikah ia dikirim gereja Methodist menjadi

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

16

misionaris ke orang Sakai di Malaysia. Tidak ada keterangan jelas tapi Kariman diketahui mati menjadi seorang martir disana tahun 1945. Pada bulan November 1931 kami yaitu Pdt.Ephraim Sihombing (dari Bandar Pulau), Pdt.A.V Klaus (Kisaran), Penatua Karl Siregar (Bandar Pulau) dan saya pergi mengunjungi raja-raja di daerah Lumban Ria. Disitu belum ada sekolah dan gereja. Kepercayaannya parmalim atau animisme. Kami sudah mendengar ada orang-orang disitu yang merindukan Injil. Rapat digelar di rumah raja Unte Bolon. Seorang perempuan tua yang datang berkata, “Agama leluhur kami sudah cukup untuk kami, kami tidak memerlukan agama Kristen ini.” Para tetua menyetujuinya, hingga kami merasakan langkah kami ke Lumban Ria sudah gagal. Beberapa bulan kemudian sepucuk surat dikirim oleh 7 raja di Lumban Ria , isinya mengatakan :”Kami sedih atas keputusan kami saat kunjungan kalian dulu, mengatakan tidak setuju menerima guru Kristen. Sekarang kami memohon agar didirikan gereja dan sekolah di kampung kami, dan kirim seorang guru untuk menetap.” Kami memberikan penjelasan :”Tahun lalu kami memang telah bersedia mendirikan satu sekolah dan rumah guru dan mengirim seorang guru ke kampung kalian, tetapi sekarang kami tidak punya uang lagi mendirikan gereja ataupun rumah guru. Cuma, kalau kalian bersedia mendirikannya sendiri, kami akan mengirim seorang guru untuk mengajar anak-anak, juga berkotbah disana.” Mereka bersedia menerima usul kami. Kalau tidak saya lupa gereja selesai didirikan bulan Maret 1933. Saya ikut meresmikannya tanggal 5 Maret. Guru Simeon pindah dari Huta Bagasan ke Lumbanria untuk melayani. Para warga kampung menyelenggarakan pesta besar. Kami bernyanyi dan berdoa di gereja kemudian pesta dilangsungkan di halaman. Hanya kami bertiga yang Kristen, Guru Simeon Sitompul, isterinya boru Panggabean dan saya. Karenanya perasaan saya agak lain saat kebaktian di gereja. Para tetua memimpin pesta di halaman. Mereka menari dan mengucap syukur kepada ‘Mulajadi’ dan gereja Methodist karena telah mengirim seorang guru dan atas berdirinya satu gedung sekolah. Bagi mereka yang utama adalah pesta di halaman. Esoknya pelajaran dimulai di sekolah. Seingat saya ada 36 orang murid sekolah. Sebagian sudah pemuda sebagian lagi kanak-kanak. Beberapa anak raja juga menjadi murid sekolah. Beberapa bulan kemudian, kabar datang dari guru tersebut,” Ada 12 orang pemuda yang sudah bersedia menjadi Kristen. Saya sudah mengajarkan ajaran Kristen. Mereka sudah membaca Katekismus Luther.” (Kami memakai katekismus ini karena sudah ada dalam bahasa Toba). Kalau tidak lupa ada 6 pemuda dibaptis. Sebulan kemudian dibaptis 6 orang lagi. Diantaranya ada Pdt.Simon Doloksaribu. Pemuda lainnya, Petrus, Johannes, Peris, dll. Dari nama-nama itu tampak mereka menginginkan nama dari Alkitab. Saya selalu katakan, jangan sampai lupa memakai nama-nama yang biasa bagi orang Batak, banyak juga yang baik artinya. Saat pesta Natal pertama di Lumbanria ada 12 orang pemuda yang masuk anggota gereja. Orang yang paling rajin diantaranya adalah Simon Doloksaribu. Nanti kelak dia menjadi guru Injil lalu pendeta kemudian menjadi pengawas distrik. Maksudnya, waktu nanti saya menjadi dosen di Universitas Nommensen, Simon adalah praeses ku. Setelah para pemuda tadi masuk Kristen maka semakin banyak warga

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

17

dibaptis. Hampir seperti “kampung Kristen” Lumbanria, meski masih ada juga yang tidak bersedia. Seperti hanya di Tomuan Dolok, Raja Tomuan Dolok dan dukun besar (datu bolon) masuk Kristen, di Lumbanria pun demikian. Sesudah ke 12 orang tadi dibaptis, menyusul datang keluarga-keluarga masuk Kristen. Keluarga pertama adalah Jamin Sitorus, kemudian menjadi penatua pertama di Lumbanria, bersama adiknya Biden Sitorus. Semakin bertambah setelah Guru Simeon berkotbah ke pelosok-pelosok. Pada tahun 1936 seorang datu besar (datu bolon) dibaptis ialah ayah Simon Doloksaribu, namanya Datu Harambir Guru Mangandang Doloksaribu. Kuberi nama Daud saat dibaptis. Pertama kali aku berjumpa dengan Datu ini ia mengatakan bisa menerbangkan tempat tumbukan padi (losung) atau mendatangkan tawon ke rumah seseorang. Kujawab: “Kalaupun anda dapat melakukan muzijat semacam itu, itu tidak dapat menyelamatkan jiwa.” Ia setuju dan tumbuh niatnya belajar kekristenan lebih dalam. Ia pergi ke Bandar Pulau belajar pada Pdt.Stephanus. Pernah dilaksanakan di Bandar Pulau Konperensi Zending Methodist. Ia meminta izin untuk menyampaikan sesuatu hal dalam rapat itu dan kubolehkan. Ia menyatakan sudah bersedia masuk Kristen, semua barang-barang ke datu annya ditanam dibawah sebuah pohon. Kemudian ia belajar pada guru Injil di Lumbanria. Ketika mereka akan dibaptis sekeluarga mereka melangsungkan upacara gondang sebagai perpisahan dengan dengan dunia lama. Hal ini sudah lazim terjadi di Pardembanan kalau seseorang hendak masuk Kristen. Tetapi kemudian setelah semakin memahami tidak terlalu penting acara itu maka kalaupun ada pembaptisan maka upacara gondang tidak lagi dilaksanakan. Setelah Datu Harambir jadi Kristen, ia menghentikan praktek perdukunan, tidak lagi bepergian ke daerah jauh seperti lazimnya, misalnya ke Tapanuli, Simalungun dan Tanjung Balai. Satu lagi kabar gembira yang kuingat di Lumbanria. Sebelum pecah perang, selalu dilakukan Rapat para Pendeta/Penginjil dari daerah pedalaman. Suatu waktu kami 13 orang berkumpul di Lumbanria. Semacam acara besar karena banyak orang dating dari wilayah-wilayah sekitar. Saat tiba saya duduk di halaman kulihat raja Tomuan Dolok datang. Dia menyapa dan berkata: * “Saya nanti ingin menyampaikan sesuatu.” * “Tidak perlu,” sahutku, kami ada 13 pendeta disini. Kami tidak akan mendengar kata-kata seorang sipelebegu.” * “Saya mengerti tapi ada hal penting yang akan saya sampaikan kepada kalian.” * Kalau begitu, saya berikan waktu 3 menit.” Aku agak bersikap keras karena memang letih sebab jauhnya perjalanan ke Lumbanria. Lalu kami membuka rapat di gereja, menyanyi dan berdoa. Kuutarakan Raja Tomuan

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

18

Dolok minta waktu sebentar. Orang-orang tercengang, sayapun juga. Hampir 20 menit “pidato” nya. Kata-katanya begitu indah. * Para tuan pendeta, raja-raja, ibu-ibu dan para hadirin sekalian. Anda semua sudah mengenalku dan jelas kiranya bagi Anda tidak ada raja yang lebih terhormat di wilayah ini selain saya. Lagipula, tidak ada datu yang lebih pandai dari saya. Saya sudah terkenal. Seorang Batak yang mementingkan adat isitiadat leluhur kita. Namun demikian, hatiku tidak tenteram. Dalam hatiku tiada damai. Aku telah mencarinya ditepian sungai yang jernih, dibawah pohon yang keramat, dipuncak gunung tinggi. Akan tetapi betapapun jerih payahku pikiranku tidak juga senang. Anakku Kariman (Kariman hadir saat itu) hatinya telah penuh damai. Apa sebabnya? Ia sudah menerimaYesus Kristus jadi Juruselamat, dan ia mengikut Kristus. Para tetua! Tuan-tuan pendeta. Inilah kutegaskan : Saya ingin menjadi Kristen. Kalau datang Pendeta Alm ke kampung kami nanti aku akan dibaptis beserta seluruh keluarga. Saya tidak percaya ucapannya, kata seorang tetua yang duduk disampingku. Mungkin ia mau meminjam uang tuan, katanya. Sebaliknya saya percaya ucapannya. Saya meminta Guru Injil Aris Sitompul di Tomuan Dolok agar memberi bimbingan padanya dan keluarganya. Kuutarakan kepada orang-orang mengenai janji Kariman dengan saya, ialah untuk mendoakan ayahnya sampai ia bersedia menerima Kristus. Kurang lebih dua bulan kemudian saya pergi ke Tomuan Dolok. Kami berkumpul di gereja yang baru dibangun. Raja juga ikut serta membangunnya dia meski belum Kristen. Minggu ini akan dibaptis, raja dan keluarganya, kecuali satu anaknya. Kariman tampak sangat berbahagia. Nama baru yang dipilih raja adalah Raja Hiram, nama yang ditemukan dalam Kitab Raja-raja 5, seorang raja yang bukan Yahudi yang membantu Raja Salomo membantu mendirikan bait Allah di Yerusalem. “Saya seperti dia” kata raja, karena sebelum masuk Kristen saya sudah membangun gerejanya. Selanjutnya ia menjadi saksi bagi Kristus, seorang Kristen yang saleh. Saya sedih sekali ketika Raja Hiram meninggal dalam suatu kecelakaan kereta api pada zaman Jepang.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

19

Bab 6. SEJAHTERAKANLAH DAERAH DIMANA KAMU TINGGAL “Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” ( Yer.29 : 7) Inilah amanat yang dituliskan oleh Nabi besar itu kepada orang Yahudi saat pembuangan ke Babilonia. Inti dari perkataannya adalah kira-kira demikian, kalau sekiranya anda lama tinggal di daerah bukan Yahudi maka perhatikanlah kesejahteraan para warga daerah yang bersangkutan. Jangan putus asa. “Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya.” (Yer. 29 : 5). Ini merupakan aturan hukum yang baru masa itu – “revolusioner”. Para tahanan membantu musuhnya, meskipun di negeri yang bukan Yahudi, ditengah bangsa lain, mereka harus mementingkan kesejahteraan penduduk daerah tersebut. Hal ini sangat penting bagi orang yang menjadi misionaris ke negeri asing. Jangan mencari kesejahteraannya sendiri melainkan kesejahteraan warga setempat. Ada saja beberapa misionaris yang salah pengertiannya, terutama pada zaman penjajahan. Para “tuan pendeta” menjadi semacam “tuan besar”. Orang-orang melihatnya makmur tinggal di kompleks rumahnya (pargodungan). Memang menurutku orang semacam itu tidaklah banyak. Kebanyakan para zending mengerti , ia bukan untuk dipatuhi orang tetapi sebaliknya. Saat kami tiba di Sumatera tahun 1931, saya senang melihat ada sekolah, rumah sakit, panti sosial Hepata dan Huta Salem, percetakan dll. Bagiku, ini merupakan bukti: disini misionaris membantu orang Batak agar kelak mereka mampu menolong dirinya sendiri. An-alfabetisme, buta huruf, adalah belenggu bagi orang yang masih terbelakang. Karenanya sekolah menjadi sarana mencari “kesejahteraan di kampung itu”. Dahulu memang sudah ada aksara Batak, tetapi sangat langka yang memahaminya. Dengan adanya zending ini, para guru dating, sekolah berdiri agar mereka semua memperoleh kesejahteraan. Ini sebab didirikan sekolah di Bangun Dolok, Tanjungan, Huta Bagasan, Bosar Sipinggan, Sungai Kopas, Lumbanria, Dolok Maraja, Huta Padang, Ujung Sipinggan, Aek Manigom dohot Saut Maraja. Dengan ini para misionaris mencari jalan lagi untuk menambah kemakmuran penduduk. Demikian halnya rumah sakit. Pada awalnya Methodist tidak mendirikan rumah sakit di Sumatera Timur karena sudah ada rumah sakit perkebunan. Hubungan Methodist sangat baik dengan para dokter di perkebunan. Di hutan, para misionaris membawa obat-obat yang terpenting, pil kina, jodium, obat kusta dsb. Kadangkala dokter kebun juga ikut ke hutan untuk memeriksa kesehatan di suatu distrik. Sering ditemukan malaria. Dokter Jonkers dari Membang Muda ikut ke Huta Bagasan. Ia kaget menjumpai ganasnya

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

20

penyakit malaria ketika itu. Kalau mendesak kami membawa orang-orang sakit dari Pardembanan ke rumah sakit Huta Padang atau Katarina di Kisaran. Kami juga memperhatikan usaha pertanian di kampung-kampung. Misalnya kami membawa bibit kelapa untuk ditanam guru dan penduduk kampung karena memang dibutuhkan. Kadang ada yang tidak mau menanamnya karena “siapa nanti yang akan memetiknya”, katanya. Hal ini terjadi karena guru kelak akan pindah dari kampung itu. Tetapi ini jarang. Di Bosar Sipinggan kami pernah mencoba menanam kacang tanah. Tanahnya subur, tapi masalahnya banyak hama yakni babi hutan dan monyet. Tanaman penduduk habis rusak dibuatnya. Namun, sekalipun banyak usaha untuk memperbaiki nafkah sehari-hari, jiwa manusia tidak akan bahagia hanya karenanya. Hati orang yang masih tinggal dalam kegelapan dan kebodohan tidak akan dapat tenteram karena hal apapun di dunia ini. Oleh karena itu kami selalu merasakan apa yang paling penting adalah KABAR GEMBIRA tentang kelepasan dari dosa berdasarkan iman pada Yesus Kristus. Tidak mungkin tenteram orang yang tertawan menjadi budak dosa. Meskipun kekayaan dan kehormatannya bertambah-tambah. Itu sebabnya Kristus datang ke dunia ini, seperti katanya :”Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.” Yoh. 8 : 36). Kemerdekaan demikian yang terjadi untuk orang yang menerima Kristus. Kami sering menyaksikan betapa senang orang yang meninggalkan kegelapan masuk ke dalam terang didalam Kristus. Walaupun kekristenan maju di Pardembanan dan daerah-daerah lain dan semakin bertambah orang percaya, tetapi ada yang belum “lepas sepenuhnya”. Ada yang kembali ke agama leluhur. Kalau hal ini terjadi maka gereja menjatuhkan sanksi: mereka harus belajar lagi beberapa minggu lamanya, lalu mengaku dosa kepada gereja. Saya ingat pada seseorang di Pardembanan. Ia seorang calon penatua. Mereka sekeluarga menderita sakit dan pergi ke dukun, dan kata orang-orang, ia menyembah berhala. Setelah ia belajar lagi beberapa minggu lalu ia dating mengaku dosa didepan jemaat. Sebaiknya engkau sendiri berdoa, kataku. Ia bersedia dan berkata ,”O, Ompung Debata (=Kakek Tuhanku), hapuskan dosaku kalaupun ada…”. Keristenannya belum begitu dalam. Tetapi kemudian hari ia menjadi Kristen yang saleh. Ada kalanya orang Islam mengomentari orang yang masuk Kristen,”Ia sudah teken menjadi Belanda.” Maksudnya, orang Kristen itu pro Belanda. Kalangan Parmalim juga mengatakan hal seperti itu. Parmalim adalah pengikut Si Singamangaraja. Bahkan ada yang takut kepada penganut Islam dan Parmalim. Dari ucapan-ucapan itu kumengerti jelas bahwa ada sikap memusuhi Belanda, penjajah itu. Sikap ini juga ada terjadi bagi kalangan Kristen. Hal demikian nyata dalam suatu Rapat Pekerja (Pendeta dan Guru) di Aek Kota Batu tahun 1940. Ada seorang pribumi kepala sekolah Belanda berpidato. Isi pidatonya yang bergelora adalah cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dari Belanda. Ia menunjuk peristiwa di Mukden tahun 1905 ketika Jepang menaklukkan Rusia. Simbol kemenangan Asia atas bangsa kulit putih. Saya menjadi paham akan semangat yang kuat bangsa Indonesia untuk kemerdekaan. Saya juga pernah mendengar pemberontakan di De Zeven Provincien. Bukan orang Indonesia sendiri yang menghendaki kemerdekaan itu. Beberapa misionaris kulit putih

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

21

diantara kami juga merindukannya. Dalam kaitan itu saya ingat Nabi Yeremia : Usahakan kesejahteraan negerimu di pembuangan. Saya berasal dari Negara merdeka. Bangsa yang berhak mengurus diri sendiri. Ini juga penting bagi bangsa Indonesia. Semua negeri mestinya merdeka dan damai. Tetapi dunia ini tidak mengerti memberi kedamaian. Hanya ada satu yang patut memberikan, Ia yang berkata, “Damai sejahteraKu kuberikan kepadamu, dan apa yang kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” (Yoh. 14:27). Kiranya Tuhan Yesus menjadi raja di seluruh dunia ini.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

22

Bab 7 : MAKA TERJADILAH PERANG Ketika orang memilih allah baru, maka terjadilah perang di pintu gerbang” (Hak. 5 : 8) Ayat ini melukiskan bagaimana keadaan Israel saat terjadi perang. Terjadinya perang, katanya, disebabkan bangsa itu memilih “allah baru”. Artinya mereka telah meninggalkan Allah yang esa itu lalu memilih allah bangsa lain, dewa-dewa. Bangsa Israel lupa akan perintah yang paling penting : “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. (Ul. 6 : 5). Perintah ini disertai ucapan Yesus, “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” (Mat.22 : 39). Keduanya tidak boleh dipisah. Jikalau satu bangsa melupakan Allah Maha Kasih itu maka ia juga tidak akan mengasihi saudaranya dan terjadilah permusuhan. Rasa benci adalah pangkal permusuhan. Kalau tiada kasih pada diri sesesorang atau suatu bangsa maka lahirlah benci dan dengki. Dari sana muncul permusuhan dan segala hal yang buruk. Inilah disebut egoisme, mementingkan diri sendiri. Maksudnya, seseorang atau suatu bangsa hanya mementingkan yang perlu bagi dirinya sendiri, dan meniadakan hal lain. Hal inilah terjadi pada kolonialisme. Bangsa-bangsa kuat dan kaya datang mencari kesenangannya sendiri tanpa melihat keadaan bangsa yang ditaklukkannya. Ini sebab hatiku tidak begitu senang dengan keadaan masa penjajahan Belanda dulu, dari tahun 1931 sampai tahun 1942. Kalaupun kusebut demikian keadaan Indonesia masa itu cukup tenteram. Keadaan cukup tertib, dan cukup banyak bantuan diberikan penjajah kepada jajahannya. Mengapa terjadi perang? Banyak alasan untuk itu, salah satunya, jika orang melupakan Tuhan dan kasih Tuhan maka timbullah permusuhan. Bangkit nafsu menguasai dan mengutamakan hal yang menyenangkan diri sendiri. Hal ini terjadi kalau manusia tiada mengenal kasih Allah yang rahmani. Mungkin ada satu pihak yang melupakanNya sehingga dia memusuhi pihak lain. Bangsa lain ini terpaksa membela diri dan akhirnya – perang. Ketika perang dunia kedua pecah kami berada di Swedia,di bagian paling utara. Kami bermalam di rumah seorang pegawai jawatan telpon. Dini hari si tuan rumah memberitahu, “Tentera Jerman sudah masuk ke Cekoslowakia.” Saya paham, perang dunia II mulai. Bagaimana cara untuk pulang ke Sumatera. Kami berencana melalui Prancis di bulan November 1939. Karena perang di Eropa perjalanan menjadi terhambat, kapal tidak berlayar sesuai rencananya. Pada akhirnya sampai berita bahwa kapal “Selamat” akan bertolak dari Genoa, Italia pada awal Januari 1940. Kalau tidak salah tanggal 12 Januari. Masalahnya sekarang, bagaimana jalan dari Swedia ke Italia. Tentu harus melewati Jerman. Bolehkah? Kami mengurus visa. Akhirnya ada kabar dari Berlin bahwa kami boleh melewati Jerman. Visa ini hanya berlaku 36 jam. Sebagian rekan di Swedia menggumam, senang sekali, tinggalkan negeri kancah perang lalu pergi ke kepulauan di Asia Timur yang damai.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

23

Pada hari Epifani tanggal 6 Januari 1940 kami berangkat dari Stockholm menuju Genoa di Italia. Perjalanan agak sukar. Kapal kami ke Jerman terlambat karena badai besar. Ketika kami naik kapal, si kapten berkata, “Harap tidak masuk kamar kabin karena tadi pagi kami melihat banyak ranjau lepas dari ikatannya. Sebaiknya di geladak saja, mengindarkan yang tidak diinginkan.” Kami tiba di Jerman dengan selamat. Kereta api gelap karena negeri dalam suasana perang. Di Berlin kami meminta kereta api dengan tempat tidur tapi tidak ada, karena banyak prajurit yang akan kembali ke daerah tempur. Semalaman kami duduk di kereta bersama enam orang prajurit angkatan udara. Persediaan makanan di Jerman kurang sehingga kami hanya makan sekali sepanjang di wilayah Jerman. Tetapi setelah sampai Brenner Pass dan masuk Italia makanan agak memadai. Italia belum melibatkan diri dalam perang. Di kapal “Selamat” di Genoa tidak ada lagi kesulitan. Sekali kami mengalami kejadian yang mencekam dekat Srilanka. Tiba-tiba dua kapal selam muncul dari dalam laut. Kami tidak tahu kapal siapa. Ternyata kapal Inggeris. Mereka tidak melakukan apa-apa kepada kami. Pada awal Februari kami sampai di Belawan. Kami sangat gembira kembali ke pekerjaan kami di Kisaran, kepada rekan pekerja dan untuk pekerjaan kami yang besar dan banyak. Beberapa minggu kemudian kami dengar berita yang menakutkan, tentara Jerman sudah semaki maju. Kami sangat cemas di Indonesia. Suatu waktu saya kotbah di Rantau Prapat pukul 10 pagi, dari sana menuju Padang Halaban berkotbah lagi karena kebaktian minggu pukul 12 siang. Perusahaan perkebunan membolehkan orang Kristen kebaktian hari Minggu meski sebelumnya mereka tidak libur hari Minggu. Kami tiba sedikit terlambat tiba di Padang Halaban. Kebaktian sudah dimulai . Saya juga gembira. Kemudian saya berkotbah. Habis kotbah, ada dilangsungkan baptisan. Saya belum sempat memberi bimbingan kepada orangtua si anak , tetapi mereka sudah ditangani guru jemaat. Baptisan berlangsung seperti biasa sampai ke anak yang ke 11, saya terkejut mendengar namanya, Bismarck (seorang pemimpin Jerman). Anak ke 11 ini bersaudara dengan anak yang ke 12. Juga saya terperanjat, namanya Hitler Hamonangan, atas permintaan orangtuanya. Setelah kebaktian kusampakan kepada orangtuanya, “Jangan panggil dia Hitler, panggil saja Hamonangan.” Beberapa minggu belakangan, setelah pasukan Jerman masuk ke Belanda, tanggal 10 Mei, seorang polisi datang ke rumah kami. Marganya Lumbantobing, ia kepala kepolisian urusan politis. Katanya, “Apa yang anda lakukan di Padang Halaban dulu? Sampai ke telinga Residen Tanjung Balai bahwa anda pro Jerman. Anda bahkan memberi nama Bismarck dan Hitler untuk anak orang Batak. Lumbantobing adalah anggota gereja Methodis maka ia sampaikan ini padaku dengan maksud agar saya tidak terkejut nanti kalau ada panggilan polisi. Saya berterima kasih atas perhatiannya. Saya segera mencari arsip surat baptis tersebut untuk dapat ditunjukkan ke Residen. Kemudian benar polisi datang, tetapi saya tidak dibawa ke Tanjung Balai. Aku diminta datang pada hari yang ditentukan menghadap ke kantor Asisten Residen. Pada tanggal yang disebut saya pergi ke Tanjung Balai dengan membawa arsip pembaptisan. Di kantornya, Asisten Residen tampak agak marah. - Gooden morgen, minjeer, sapaku - Gooden morgen

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

24

Aku dibiarkan berdiri beberapa saat. - Masuklah , saya tahu anda berpihak pada Hitler - Tidak benar, tuan - Lalu mengapa anda memberi nama Jerman kepada anak-anak yang dibaptis di Padang Halaban? Satu anda beri nama Hitler. - Orangtuanya yang meminta nama itu, sebelumnya saya tidak tahu. Saya hanya membaptis saja. - Tetapi anda berani memberi nama itu untuk anak-anak sedang kita dalam keadaan perang dengan Jerman. Padahal pembaptisan setelah tanggal 10 Mei . - Tidak benar tuan. Baptisan itu sebelum tanggal 10 Mei. Bahkan saya katakana pada orangtuanya, jangan panggil dia Hitler. - Mana buktinya? - Inilah, sambil kutunjukkan arsip. Setelah membacanya, ia berpikir sejenak dan berkata, - Marilah kita minum kopi ke rumah Saya tidak tahu siapa yang melaporkanku ke pemerintah Belanda, tapi jelaslah dia musuh gereja. Dari peristiwa ini dapat kita pahami, Belanda sangat takut. Mereka tidak percaya pada penduduk Indonesia. Juga mereka takut kepada orang Barat yang bukan Belanda. Mereka juga mengetahui ada orang yang pro Hitler diantara misionaris Jerman. Tak perlu kusebut namanya, tapi saya kenal sebagian, terutama mereka yang muda yang menggantikan pendeta Jerman yang sudah lama tinggal di tanah Batak. Bahkan diantara orang Belanda pun ada yang memihak Hitler. Pemerintah Belanda sangat waswas saat itu. Setelah Jerman perang dengan Belanda, maka Pemerintah semakin bertindak keras. Pada tanggal 10 Mei 1940 semua orang Jerman tertangkap. Jelas kuingat. Kami pulang tengah malam dari perjalanan. Di radio kami dengar suara memanggil semua Residen, kepala polisi dll dan ada kata “..Berlin….Berlin.” Tidak jelas kupahami maksudnya. Besoknya kami dengar semua orang Jerman ditahan. Saya pergi ke Asisten Residen di Tanjung Balai meminta untuk tidak menahan Miss Else Schwab, seorang Jerman kepala asrama Methodist di Rantau Prapat. Ia diijinkan bekerja beberapa saat, tetapi harus hati-hati, tidak bergaul dengan orang Jerman lain yang belum ditahan. Belakangan, Miss Schwab juga masuk kamp tawanan. Peristiwa Pearl Harbour di Hawaii tanggal 7 Desember 1941. Harinya minggu, kami sedang pulang gereja dari Membang Muda. Tiba di jembatan Pulau Raja muncul beberapa polisi dengan suara keras menyuruh kami keluar mobil. - Apa yang terjadi? tanyaku sambil keluar dari mobil - Astaga, pendeta kiranya, kami tidak tahu tapi kami diperintahkan berjaga-jaga Tiba di Kisaran malam harinya kami dengar berita radio tentang peristiwa pemboman Pearl Harbour. Amerika perang melawan Jepang. Mendengar ini Belanda juga masuk kancah perang melawan Jepang. Artinya, Hindia Belanda masuk dalam perang. Kalau terjadi perang di Asia maka semua Asia Tenggara pun ikut didalamnya. Kawan-kawan ketakutan dan akupun gelisah. Kata sebagian orang, ada benteng pertahanan yang kuat di

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

25

Singapore yang tidak bisa dijatuhkan Jepang. Hal ini benar kalau Jepang menyerang dari laut. Tetapi Jepang menyerang dari daratan di Malaysia utara dan segera maju ke Singapore. “Benteng yang kuat” itu jatuh tanggal 15 Februari 1942. Kami tahu Jepang akan segera masuk ke Indonesia. Karena Singapore dekat dengan Sumatera Timur kupikir mereka juga akan segera sampai kesini. Sebagian orang Kristen juga takut. Ada yang menyuruh isteri dan anak-anak mengungsi ke Silindung dan Toba, menghindari sekiranya ada perlakuan jahat tentera Jepang kepada keluarga Kristen. Ada usul dari konsul Amerika agar misionaris pulang ke Amerika, terutama yang berasal dari Amerika. Kepada isteriku dan Ny.Ostrom juga diusulkan demikian. Namun karena mereka telah kawin dengan orang Swedia, sedang Swedia negara netral, mereka ingin tinggal saja dengan kami. Begitu juga dalam pikiran Miss Freda Chadwick. Ia mau tinggal di Lumbanria, pikirnya tentara Nippon takkan sampai kesana. Sekuat tenaga kularang dia karena orang kulit putih tidak bakal bisa sembunyi dimanapun kalau Jepang sudah dating ke daerah kami. Akhirnya Miss Chadwick menerima usul konsul dan berangkat dengan pesawat terbang terakhir dari Medan ke Jakarta. Dari Jakarta dia ke Australia dan selanjutnya selamat tiba di Amerika Serikat. Kami ada 3 keluarga misionaris Methodist yang masih tinggal di Sumatera. Pendeta A.V Klaus dan Nyonya yang sudah tinggal di Sipoholon karena perselisihannya dengan Bishop Methodist Edwin F.Lee, Pendeta Ostrom dan keluarganya tinggal di Tebing tinggi dan kami berdua di Kisaran. Pendeta Klaus tertawan ketika Jepang dating. Juga isteri dan anaknya Ester. Nyonya Klaus meninggal di Medan awal tahun 1945, tetapi pendeta masih hidup. Pernah kami bertemu di Aek Pamingke setelah Jepang kalah perang. Tanggal 12 Maret 1942 pagi sekali telpon berdering di rumah. Telpon dari keluarga Cornelius, yang berkata :”Jepang sudah datang, kalau boleh antarkan istri dan putriku ke suatu kebon jauh dari jalan raya itu, arah Silau Maraja. Mereka tidak tahu dimana Jepang mendarat. Mereka meminta hal ini karena saya masih memiliki mobil. Para pejabat perkebunan tidak lagi memiliki kendaraan bermotor karena sudah dipreteli polisi bagian mesinnya agar tidak jatuh ke tangan musuh. Polisi, dokter dan pendeta masih dibolehkan memakai kendaraannya. Kemudian kuantarkan keluarga Cornelius arah Silau Maraja. Melewati pompa bensin dekat setasiun kereta api di Kisaran kulihat beberapa orang Belanda berpakaian ‘stadswacht’ karena mau meledakkan pompa bensin tadi tapi tidak jadi. Aku Tanya tentara Jepang sudah dimana. “Tanjung Tiram”, katanya. Astaga, sudah dekat. Bagaimana nanti anak-anak sekolah kalau Jepang sudah sampai Kisaran nanti. Saya bergegas jalan pulang ke Kisaran. Para kepala sekolah, Lo Su Tean di Sekolah berbahasa Inggeris dan Laurentius Tampubolon di sekolah Belanda meminta anak-anak pulang kampung masing-masing agar mereka tidak kena bencana. Kami sangat mencemaskan anak perempuan jika datang tentara Jepang ke kampung. Tuan Cornelius punya lima anak gadis, maka ia mengungsi dari Kisaran. Setelah kembali dari kebun itu kami dengar ledakan keras sekali. Belanda meledakkan jembatan di sungai dengan maksud menghambat laju tentara Jepang ke arah Tanjung Balai dan Rantau Prapat. Ternyata tidak berguna. Jepang membawa peralatan lengkap saat datang. Sama halnya

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

26

dengan kendaraan yang dipreteli. Jepang membawa segala perkakas motor, dalam satu truk besar, yang cocok dengan segala merek yang biasa di Indonesia. Dalam waktu sekejap semua kendaraan bermotor yang sudah diam beberapa minggui sudah dapat digunakan. Karena Jepang sudah dekat, kami menanti saja di Kisaran. Jepang tiba di Kisaran tanggal 15 Maret. Mereka yang lebih dulu mendarat di Tanjung Tiram maju ke Medan dan Siantar. Aku duduk di tepi jalan dengan beberapa kawan, ingin melihat kedatangan ‘musuh’. Di pekarangan berkibar bendera Swedia. Ini caraku memberitahu kami dari Negara netral. Kudengar tentara Nippon itu bergumam, “Swedish”. Ketika mereka semua sampai di kantor polisi Kisaran, sebuah mobil kembali berjalan menuju kami. Berhenti di Pintu Duabelas dan keluar seorang letnan dengan sepucuk pistol yang besar. Katanya, “Jangan takut.” Kami menyahut, “Kami tidak takut”, tapi sesungguhnya kami semua ketakutan. Sang letnan menuju sekolah Methodist, kuikuti dari belakang. Saya gemetaran, kataku, - Mencari apa tuan Letnan? Dia membalik badan dan membentak, - Kau orang Belanda! - Saya bukan Belanda, tuan. - Orang Inggeris? - Bukan Inggeris, tuan - O, orang Amerika, ya? - Saya bukan orang Amerika - Orang mana? - Saya orang Swedia, tuan Letnan - Orang Swedia kiranya Dia mau berkata apa lagi pikirku. Ia menatapku dalam-dalam, seperti geram. - Sekolah ini untukku, dibutuhkan tentara Jepang. - Ya, tuan, kataku, tapi tempat ini bukan untuk sekolah saja. Karena belum ada gereja maka kami pakai satu kelas untuk gereja. - Aku tidak ngerti apa gereja. - Kami berkotbah disini. Berkotbah. Disini berkumpul orang Kristen, hari minggu. - Aku tidak paham soal orang Kristen. Buka saja pintunya. Lalu Joab Manurung dating membawa anak kunci ke gereja. Dibuka. Letnan melongok kedalam, dia melihat altar, segera mengangkat tangannya memberi tabik kepada salib di altar itu. Ia tidak mengerti kata gereja, kotbah ataupun Kristen, tetapi dia sudah mendengar kabar mengenai salib Yesus, maka memberi tabik. Berkata apa lagi dia gerangan. - Ada telpon dirumahmu? - Ada tuan - Kalau aku sudah perlu gedung sekolah ini besok kau kupanggil. Selanjutnya tidak ada panggilan apapun dari Letnan. Kami melanjutkan memakai sekolah, hanya sekarang tidak boleh bahasa Belanda atau Inggeris. Selama Jepang di

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

27

Sumatera pengajaran sekolah tetap berlangsung. Sang Letnan sudah pernah mendengar kabar mengenai salib itu. Kami bersyukur. Ini menjadi suatu jalan mempertahankan sekolah kami di Kisaran. Awalnya letnan menyangka kami Roma Katolik karena hanya itu gereja yang pernah diketahuinya di Jepang. Selang beberapa minggu kami mendengar kabar dari Medan : Jepang adalah pemilik semua harta gereja Methodist, karena Pusat Methodist New York yang mengelolanya. Gereja dan sekolah akan diserahkan pada Jepang. Aku dan Pendeta Ostrom mendiskusikannya. Kami panggil pendeta Luther Hutabarat, pendeta David Hutabarat dan seorang pendeta Tionghoa. Rapat kami memutuskan : kami akan mengeluarkan penjelasan Methodist bersifat internasional. Buktinya, pendetanya ada dari Indonesia, Tionghoa, Swedia, Finlandia, Jerman. Dana berasal dari Amerika, Swedia, Finlandia, Jerman dll. Kami menyerahkan surat itu kepada Kantor Besar Jepang di Medan, mereka mengiakan. Hanya mereka perlukan Methodist Boys School di Medan dan Sekolah Methodist di Palembang. Kami lega, karena masih boleh menggunakan gereja dan semua sekolah lainnya. Aku dan pendeta Ostrom agak bebas mengunjungi jemaat di Sumatera Timur, meskipun kami orang asing. Namun kalau keluar dari Tebing Tinggi dan Kisaran harus ada izin tentara. Mula-mula cukup dengan telpon, tapi kemudian harus dengan sepucuk surat. Suatu waktu, beberapa bulan setelah pendudukan Jepang, kuketahui ada polisi yang mengawasiku. Si polisi akan melaporkan gerak-gerikku kepada Jepang, aku berbicara dengan siapa dll. Semua jelas saat aku di Silau Maraja. Hari Sabtu seorang polisi datang bertanya, - Besok pak pendeta ke Silau Maraja? - Benar. - Naik mobil? - Betul, saya masih punya - Kalau boleh saya ikut, saya punya sedikit urusan disana - Boleh, jawabku - Cuma saya tidak naik mobil disini, nanti kutunggu di perempatan ke Bunut. Saya naik sepeda kesana. Hari minggunya, waktu kami tiba di perempatan, si polisi sudah ada berdiri disana. Kami berempat dalam mobil, isteriku dan Pendeta Stuurman Hutabarat. Beberapa kilometer berjalan, kukatakan pada si polisi. - Anda yang memata-matai saya? - Aku bukan mata-mata, polisi biasa saja. - Anda sudah diminta Nippon untuk memperhatikan tindak tandukku. - Tidak, pendeta. Aku polisi, sudah lama di Kisaran. Di Silau Maraja, sang polisi ikut masuk gereja, meski dia Islam. Dia orang Jawa, tidak mengerti bahasa Batak. Ia kelihatan tenang duduk dengan jemaat lain. Ada baptisan, dan dia juga ikuti acaranya. Setelah kebaktian dia bertanya soal ‘uang persembahan’. Siapa

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

28

pemilik uang itu? Ia tercengang mendengar penatua menerangkan bahwa gerejalah pemiliknya. Guru menyediakan jamuan dirumah karena acara baptisan tadi. Kami juga diundang. Sang polisi juga ikut, meski hidangannya haram bagi Islam. Dia harus tahu semuanya kejadian seharian itu untuk dapat dilaporkan pada Jepang. Sesekali aku menghadapi suatu kesulitan berkaitan dengan adanya sedikit kontak dengan para sanak saudara dari peranakan Eropa dan Asia yang kepala keluarganya ditahan. Kadang datang surat yang lolos sensor lalu kusampaikan kepada ibu-ibu yang rindu mendengarkan kabar dari mereka yang tertawan. Beberapa kali namaku masuk dalam ‘daftar orang jahat’, tetapi setiap kali juga orang-orang Kristen yang bekerja di Kantor Pos diam-diam memberitahukan soal itu padaku. “Zaman Nippon” adalah masa yang sangat sulit bagi orang Indonesia dan kamipun juga. Masa itu kami menjadi sangat akrab dengan orang-orang sekampung. Seorang “komico” untuk kami , dia orang Batak yang sudah Islam, sangat baik kepada kami. Kuingat juga seorang pegawai Kantor Pos yang tinggal dekat rumah kami, memberikan sedikit garam yang diperolehnya dari jatah para pegawai. Ada warung kopi didepan rumah yang membolehkan isteriku “mengambil api” karena masa itu tidak ada korek api. Kami bersyukur atas segalanya ini, atas bantuan kawan-kawan di masa sulit setiap hari, senantiasa menyertai sampai kepada akhir zaman. (Mat. 28 : 20b).

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

29

Bab 8- TAWANAN Tuhan Yesus selalu mengasihi semua orang yang tertawan. Ia menginginkan mereka lepas. Dalam “programNya” berkata, “Mewartakan kepada mereka yang tertawan tentang kelepasan”. Karena manusia terpenjara karena dosa. Namun, bagaimana sikap kita kepada mereka? Begini ucapanNya buat orang yang tertawan, “Ketika Aku didalam penjara, kamu mengunjungi Aku”. Agar kiranya terang untuk kita, Yesus menjelaskan “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukanNya untuk Aku.” (Mat. 25 : 36 + 40). Apa maknanya? Menurutku demikian, pelayan Tuhan harus bersedia mengunjungi para tawanan itu. Ini merupakan suatu misi yang diamanatkan Yesus sendiri kepada orang yang percaya akan Dia. Karena aku berkebangsaan Swedia maka pada zaman Jepang kami tidak ditawan. Beberapa kali orang Jepang menanyakan status kewarganegaraan isteriku bukan Amerika. Dia memang sebelumnya warga Negara Amerika, tetapi karena sudah menikah denganku, orang Swedia maka dia adalah orang Swedia juga. Namun demikian kami selalu takut dan waswas dia ditahan oleh Jepang. Sekali kuingat betapa kami sangat takut. Harinya Senin. Kami sedang mencuci pakaian karena “tante” yang membantu di rumah kami telah kami minta pulang ke desanya. Untuk bekerja di sawah agar ada makanan bagi keluarganya. Saat mencuci itu seorang polisi datang, - Ada seorang kapten yang ingin bicara dengan Nyonya Alm, di setasiun kereta api nanti. Nyonya saja, anda tidak usah. - Kalau dia ke setasiun saya harus ikut, kataku Kami ke setasiun, ke ruang tunggu VIP. Seorang mayor sedang duduk. - Anda Lydia Alm-Oelschlaeger ? tanyanya - Saya sendiri tuan, isteriku mengangguk. - Dari nama Oelschlaeger kelihatannya nama Jerman. - Saya bukan orang Jerman. Saya lahir di Watertown, Wisconsin, Amerika Serikat. - Ya, tetapi namamu nama Jerman. Mungkin saudara lebih senang kalau mengaku orang Jerman saja. - Saya bukan orang Jerman, tegasnya lagi, ayah saya lahir di Jerman dan masih anak-anak dia bersama orangtuanya pindah ke Amerika. Saya besar di Amerika. - Bagaimana sekarang, saudara senang? - Begitulah. - Anda sudah kawin? - Ini suamiku. - Anda sekarang di rumah tinggal bersama siapa? - Saya, jawabku

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

30

Kami tetap berdiri didepan si mayor selama dia menanyai isteriku, sedang dia sendiri duduk di kursinya. Kepala setasiun, seorang anggota jemaat gereja, marah melihat ini. Ia menarik dua kursi dan berkata, anda duduklah. Berani sekali, pikirku. Sesudah beberapa lama di interview, si mayor Nippon berkata, - Saya bukan dari Kempetai. Saya utusan Palang Merah Jepang. Saya panggil ibu ini karena ada berita kawat dari Washington yang menanyakan keadaan Nyonya Alm. Semestinya dia memberitahukan dari awal, jadi rasanya ia ingin menakut-nakuti kami. - Disini ada beberapa tilgram mengenai orang Amerika, Prancis dll. Barangkali pendeta ada kenal? - Ya, saya kenal ini, juga ini, sahutku Ia membolehkan kami melihat surat kawat itu, tetapi kawat mengenai isteri saya tidak ditunjukkan. Apa sebab? Aku beberapa kali mencoba meminta izin menjenguk orang-orang tawanan. Pernah sekali sewaktu para tawanan masih di penjara tanjung Balai, saya diperbolehkan Jepang membesuk. Namun karena situasi perang makin genting, mereka juga semakin bersikap keras memperhatikan tindak-tandukku. Sesudah Jepang memberitahukan kekalahannya maka aku berkesempatan mengunjungi tahanan di Aek Pamingke dan Rantau prapat. Aku ingat sekali pengumuman Jepang tentang berakhirnya perang. Kami dipanggil ke Kantor Distrik. Seorang pegawai Jepang memberitahu kepada orang yang tengah berkumpul, - Perang sudah berakhir. Tidak ada menang atau kalah. Saudara jangan bergembira. Tetapi kami semua yang mendengar sangat gembira. Sebelumnya saya sudah tahu soal kekalahan Jepang, tetapi mereka selama beberapa hari belum mau memberitahukan kepada khalayak umum. Hari minggu berikutnya kami ada tiga orang pergi ke Aek Pamingke dan Rantau Prapat mencari kawan-kawan yang ditawan. Kami bertiga, aku, Tuan Jacobs dan seorang India yang bekerja di Bunut, pengurus Kisaran Club seorang Tionghoa. Beberapa puluh kaleng susu yang pernah disembunyikan orang Tinghoa itu kami sembunyikan dalam mobil yang diberikan Jepang kepada kami. Di Aek Pamingke kami bertemu Pendeta A.V.Klaus dan beberapa orang Amerika. Keadaan Pdt.Klaus dan kawan-kawannya sangat menyedihkan. Ia sangat kurus dan lemah sekali. Di kaki Pdt Klaus ada bekas luka yang besar seperti kusta. Ia baru tahu bahwa Ny.Klaus telah tewas di tahanan yang berlokasi di Gereja Katolik Medan, awal tahun 1945. Sewaktu mengunjungi Klaus di Aek Pamingke kami tidak sadari bahwa kami juga akan ditawan. Kalau tidak aku lupa bulan November 1945. Aku diberitahu oleh seorang Mayor angkatan udara Inggeris. Mereka datang ke Kisaran dan segera kawan-kawan memberitahuku bahwa ada seorang perwira sedang meninjau Kisaran. Buru-buru akau menemuinya. - Anda darimana? - Saya disini sudah beberapa tahun. - Orang dari mana?

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

31

- Saya orang Swedia, jadi tidak ditawan Jepang - Nanti beberapa minggu lagi semua orang dari negara netral harus ke Medan. Terjadi revolusi di Indonesia. Semua yang dari Pamingke dan Rantau Prapat harus ke Medan. - Tapi…orang-orang Belanda dan Amerika sudah sebagian sudah keluar. - Saya tahu, tapi besok mereka pulang ke Aek Pamingke. Lalu beberapa minggu berikutnya anda harus ke Medan, setelah kami bawa semua tawanan. Tidak pernah dengar tentang Republik Indonesia? Saat itu, bulan September, kami belum mendengar apapun mengenai proklamasi di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945. Sangat sulit perhubungan antar pulau di Indonesia. Beberapa hari berikut kusaksikan bendera merah putih, bendera Indonesia berkibar di depan rumah seorang tukang gigi di Kisaran. Ia orang Padang. Kusampaikan ini kepada Tengku Distrik waktu kami berjumpa. Segera dia menurunkan bendera. Esoknya kulihat tujuh bendera lagi di Kisaran. Sekarang aku paham, berita revolusi sudah sampai ke Sumatera. Kemudian terjadi “insiden Medan” lalu penembakan di Hotel Siantar. Sehubungan dengan peristiwa-peristiwa itu kawan-kawan majelis gereja meminta kami untuk meninggalkan Kisaran. Mereka bukan tidak menyukai kami lagi, katanya, tetapi mereka akan mengalami banyak masalah kalau bersama-sama orang kulit putih. Kujelaskan pada mereka apa yang disampaikan Mayor Inggeris, tentara Inggeris akan datang menjemput kami. Buku Almanakku sudah hilang entah dimana, sehingga tak kuingat lagi kapan tanggal persisnya. Beberapa hari sesudah peristiwa Siantar, datang kabar dari Palang Merah Medan, semua warga netral yang berada di Kisaran berkumpul, akan dijemput. Kami warga negara netral di Asahan yaitu Pendeta Egon Ostrom dan Eric Linder, dan dua orang Swedia yang bekerja di Palang Merah Medan. Mereka ditemani beberapa orang Jepang yang diperintahkan Jenderal Inggeris. Mereka tiba dengan beberapa truk. Orang-orang netral kukumpulkan di depan Kisaran Club untuk berangkat ke Medan. Tiba di Bunut, muncul beberapa pemuda di tengah jalan memeriksa apakah diantara kami ada orang Belanda. Si Jepang yang menjawab. Sesudah pemuda itu melihatku, kudengar,”Bapak pendeta yang ikut. Itu orang netral.” Kami beristirahat lagi di Tebing Tinggi. Disini juga tampak pemuda-pemuda, mungkin ada duaratus orang mengelilingi konvoi kami. Mereka agak bersikap keras kepada tentera Nippon tadi. Tentara Jepang ini sampai berdiri mengililingi untuk melindungi kami. Mereka sangka ada orang Belanda diantara kami. Agak lama kami berhenti di Tebing Tinggi karena Pendeta Ostrom mengurus sesuatu di rumahnya. Kami agak takut kalau-kalau terjadi sesuatu padanya. Kami tiba di Medan tengah malam. Di Medan Club dekat setasiun kereta api sudah ada beberapa Palang Merah menyambut kami. Mereka beri makanan, roti, mentega, keju dll, yang sudah tidak pernah kami makan beberapa tahun ini. Mereka menyediakan makanan untuk orang asing yang belum bebas dari tawanan, yaitu Belanda, Inggeris dan orang netral. Setelah kami bermalam Medan Club, lalu kami diantar ke rumah-rumah D.S.M (kereta api) di Senna laan (Jalan Sena) dan tinggal disana beberapa minggu lamanya bersama orang Swiss, Prancis, Skandinavia. Rumah-rumah ini sangat kotor yang tadinya adalah pemukiman wanita-wanita dari Jepang. Satu keluarga dalam satu kamar, sedang untuk

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

32

makan harus ke Medan Club. Tinggal hanya Pdt.Ostrom orang Skandinavia yang tidak di Jalan Sena. Dia tinggal bersama Palang Merah di jalan arah Belawan. Berangsur-angsur kami mulai mengerti situasi di Medan. Akhirnya kamipun tidak berani bicara dengan kawan orang Kristen dan Tionghoa. Mulanya sampai di Medan kami membeli roti atau kueh-kueh dari Nyonya Lim Ka Un, setiap minggu. Suatu ketika ada desas desus, siapa yang dekat bergaul dengan orang kulit putih maka ia dan keluarganya akan menghadapi masalah. Sesekali akau bersua dengan kawanku Pdt.Luther Hutabarat, umpama di Kesawan. Tetapi saya tidak berani menyapanya. Kami berpura-pura tidak saling kenal. Dimanapun kita berada selalu ada mata-mata yang akan melaporkan ke atasannya soal gerak gerik kita. Tujuan mereka, jangan ada komunikasi antara orang Indonesia dengan orang asing. Sewaktu pergaulan dengan orang Indonesia masih bebas, saya meminta Pdt.Luther Hutabarat dan Pdt.David Hutabarat yang di Tebing Tinggi untuk bertindak sebagai District Superintendent untuk Medan dan Asahan. Kepada Pdt.Ostrom kuminta agar menyerahkan pimpinan distrik Tinghoa kepada seorang pendeta Tionghoa, tapi tidak terlaksana. Saat itu tidak ada pendeta yang bisa berbahasa Tionghoa yang mampu memimpin distrik. Awal bulan Desember 1945 Pdt.Ostrom berencana ke Tebing Tinggi guna membawa barang-barang mereka yang penting karena mungkin keadaan revolusi akan berlangsung lama. Ia menemui Jenderal Kelly, komandan tentera Inggeris , mohon izin ke Tebing Tinggi. Jenderal Kelly tidak memberi izin. - Pendeta tidak tahu situasi sangat kacau di Tebing Tinggi? - Saya sudah lama bertempat tinggal disana. Semua orang kenal saya. - Anda tidak saya beri izin. Tutur Pdt.Ostrom mengenai percakapannya. Namun besok harinya dia menemui Tengku yang menjabat seperti kedudukan Gubernur sementara di Sumatera Timur. Tengku menyerahkan semacam surat jalan. Surat itu ditunjukkan Pdt.Ostrom tetapi kupersoalkan lagi :”Kalau sekiranya ada surat izin dari para pemuda mungkin baru aman.” Lalu Pdt.Ostrom pergi ke kantor pusat kelompok pemuda di Medan. Mereka berikan izin tetapi harus dikawal dua orang pemuda untuk menjaga keselamatannya. Direncanakannya mereka berangkat dengan kereta api dari Medan tanggal 11 Desember 1945, pukul 7 pagi. Tanggal 10 malam sebelumnya terjadi tembak menembak antara pasukan Inggeris dengan kelompok pemuda. Kedua pemuda yang akan mengawal Ostrom esok paginya tidak kunjung datang. Ada kabar mereka tewas malam itu. Pagi itu aku di setasiun dengan seorang Swiss dari Palang Merah. Aku berusaha membujuk Pdt.Ostrom untuk membatalkan kepergiannya. “Jangan pergi.”, kataku. Kami penghuni Jalan Sena menggunakan segala akal menghalanginya tapi tidak berhasil. Sesampai di Tebing Tinggi ia bermaksud bermalam di rumah mereka. Kepala polisi tidak memperbolehkan. Kemudian ia diantar dan diserahkan polisi kepada pegawai setasiun kereta api. Sesudah para polisi tersebut pergi datang sekelompok pemuda. Mereka membunuh Pdt.Ostrom di jembatan kereta api dan dibuang ke sungai. Kabar ini sampai ke Medan. Kami berusaha mencari jalan untuk memperjelas kabar dimana dia, tetapi Jenderal Kelly melarang siapapun ke Tebing Tinggi. Akhirnya Nyonya berangkat dan ia yang pertama

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

33

kali menyampaikan kabar tewasnya Pdt.Ostrom. Ketiga anak dan isterinya sedang dalam perjalanan ke Amerika. Saya sangat sedih mengirim telgram melalui tentara Inggeris ke Amerika dan Swedia yang berisi :”Egon Ostrom hilang di Tebing Tinggi pada tanggal 11 Desember 1945.” Sebenarnya kami belum tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati. Nyonya Ostrom menulis riwayat hidup Pdt.Ostrom dalam buku berjudul ‘O Bok Su’ dalam bahasa Swedia dan bahasa Inggeris. Ia seorang yang saleh dan pandai. Fasih berbahasa Hokkian dan pekerjaan Methodist ditengah orang Tionghoa sangat maju dibawah kepemimpinannya. Bulan Februari 1946 kami disuruh tentara Inggeris pulang ke Swedia. Kami naik pesawat terbang dari Medan ke Singapore. Dua minggu kami di Singapore, tinggal di hotel yang tadinya bagus tapi sudah rusak, East Coast Hotel. Kami bertemu dengan Dr.Hobart B. Amstutz yang pernah ditahan di kamp Jepang di Chang i. Pada peringatan hari lahir George Washington, presiden Amerika pertama, dilangsungkan suatu acara yang besar di Wesley Church Singapore. Dr.Amstutz berpidato. Ia kurus sekali setelah keluar dari tahanan tetapi suaranya tetap keras dan mantap. Beberapa tahun berselang ia menjadi Bishop memimpin Konferensi Tahunan untuk Sumatera sampai gereja Methodist menjadi otonom pada tahun 1964. Kami berencana pulang lagi ke Sumatera bulan Juni 1947. Di Singapore Bishop Lee menjelaskan peristiwa yang terjadi di Indonesia. Belanda ingin merebut Indonesia kembali dan Sumatera Timur sudah dikuasai. Kami tidak berkeinginan pulang ke Sumatera yang berada dibawah kekuasaan Belanda, maka Bishop Lee menunjuk kami bekerja di Teluk Anson, Malaysia. Disini kami tinggal selama 9 bulan. Meskipun bertugas di Anson Bishop meminta saya berkunjung ke Sumatera guna mengetahui perkembangan keadaan disana. Memang saat itu Pdt.A.V Klaus berada di Medan, tetapi Bishop memerlukan juga laporan dari saya. Pada bulan Desember 1947 sebagian orang Batak sudah kembali ke Sumatera Timur. Pendeta Luther Hutabarat sudah di Medan. Mereka meminta kami kembali segera. Kami pindah dari Teluk Anson ke Medan pada bulan Maret 1948. Keluarga Pdt.Klaus di Tebing Tinggi. Ia sudah menikah lagi dengan seorang Miss June Redinger. Ketika pulang ke Medan kami bertemu dengan Pdt.de Kleine, yang tidak mau pulang ke Belanda, dan Pdt.Jan Bos yang baru datang dari Belanda. Kami membujuk Pdt. de Kleine agar kembali ke kantor pusat zendingnya di Jerman karena sudah sangat letih setelah keluar dari kamp tawanan. Akhirnya dia setuju dan bekerja di kantor pusat di Barmen, kemudian menjadi pimpinan. Penguasa Belanda saat itu meminta kami, Pdt.Bos dan saya untuk melayani berkotbah pada para tahanan di Medan. Kami mengunjungi 3 rumah tahanan. Dua dari rumah tahanan itu ada orang-orang Jepang yang disebut “penjahat perang”. Beberapa diantaranya dijatuhi hukuman mati. Seorang mayor Jepang di penjara Jalan Listrik akan ditembak mati beberapa hari lagi tetapi ia belum tahu. Paling jelas ingatanku adalah Saragih Ras. Tidak perlu kubeberkan disini mengenai beritanya, Belanda memandangnya penjahat yang berbahaya sekali. Seusai kebaktian suatu hari Minggu di penjara tersebut, kepala penjara mengatakan,

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

34

- Disini ada tahanan yang sangat jahat. Anda berani menjumpainya? Ia minta dikunjungi pelayan gereja. Karena berbahaya maka dia tidak diperbolehkan mengikuti kebaktian bercampur dengan yang lain. - Kalau dia dalam selnya saya tidak takut. Cuma, namanya siapa? - Saragih Ras. Aku sudah dengar nama ini beberapa kali. Dalam berita-berita koran disebut dia “musuh negara” yang paling utama. Kepala penjara tidak langsung membolehkan dikunjungi hari itu juga, “… minggu depan kami antar padanya.”, katanya. Hari minggu berikutnya, usai kebaktian, aku diantar ke sel yang sangat kecil. Didepan sel ada dua sipir berdiri, Saragih Ras duduk didalam selnya. Pernah dia kukenal, bertemu di Parapat sebelum zaman perang. Kulihat dia sangat gembira menerimaku. Aku membaca ayat Alkitab untuk Minggu itu. Setelah sebentar bercakap-cakap, kamipun berdoa. Ketika akan pulang dia berkata. - Begini Pak Pendeta. Tadi pagi saya memohon pada Tuhan agar Dia menyuruh seorang pendeta, bukan sintua guru jemaat, karena saya ingin perjamuan kudus kalau boleh. - Tidak bisa, saya tidak bawa anggur atau roti. - Saya mengerti. Saya sudah siapkan seadanya disini. Ada satu telor ayam yang keras dimasak dan ada air the sedikit tinggal di mangkok itu. Ini bisa menjadi ganti roti dan anggur, kupikir. - Tidak ada Buku Agenda. - Itu tidak halangan. Tentu pendeta tahu kata-kata agenda itu. Betul ucapannya tetapi saya belum siap mengabulkan permintaannya meski kumengerti dia sangat rindu akan daging dan darah Tuhan itu. - Beginilah, bapak. Kita berdoa dulu meminta petunjuk Tuhan. Kami duduk dibangku semen dan berdoa. Kudengar jelas dalam hatiku amanat Roh Kudus yang berkata: Untuk orang berdosa. Tuhan Yesus mati untuk menebus orang berdosa. Kalian berdua adalah orang berdosa. - Marilah kita mulai perjamuan. Karena Tuhan sudah bicara padaku. Kebaktian yang sangat indah. Tuhan sendiri begitu dekat. Saat yang kudus di sel sempit di penjara. Tentara yang menjaga kami tercengang melihat. Waktu pulang terngiang di telingaku, firman Yesus kepada muridnya, “Ketika Aku didalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukanNya untuk Aku.” Saya tidak bertemu lagi dengan Saragih Ras. Menurut kabar dia dihukum mati. Tetapi karena dia sakit tidak jadi dilaksanakan. Pada akhir Desember 1949 setelah keadaan aman di Indonesia kudengar kabar Saragih Ras mendapat amnesti, lalu pulang ke kampung dan meninggal disana.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

35

Bab 9 - KELEPASAN ORANG YANG TERTAWAN Ada suatu ayat dari Yes. 61 yang dipakai oleh Yesus sendiri saat memberitahu “rencana”nya ketika Ia pergi melakukan tugas yang diberikan Allah. Di sekolah di kampung halamannya di Nazaret Ia membaca perkataan Nabi Yesaya: “Aku diminta untuk memberitakan pembebasan bagi orang-orang tawanan.” (Luk. 4 : 19). Ini suatu nubuat lama. Semua orang Yahudi yang menanti-nanti kedatangan Mesias merindukan ucapan Yesaya tadi. Apalagi mereka dalam penguasaan bangsa lain. Suatu kabar kembira yaitu : Kedatangan Mesias melepaskan bangsa Israel, menjadi merdeka. Tidak perlu lagi kuatir dan takut. Yesus memperluas nubuat lama ini : untuk semua orang. Pembebasan akan tiba untuk semua orang yang terikat dalam perbudakan. Baik itu budak dosa untuk manusia perseorangan maupun menjadi budak bangsa lain untuk suatu negeri. Jelas, ada teolog mengatakan, hal itu hanya menyangkut pembebasan jiwa saja, perkataan Yesus itu adalah untuk kelepasan dari dosa. Mereka yang miskin yang disebutkan ayat ini adalah “mereka yang miskin jiwa.” Mereka yang rindu akan hapusnya dosa dan hidup baru. Hidup dalam iman kepada Yesus Kristus, Juruselamat manusia. “Karena orang-orang miskin selalu ada padamu…” (Mat.26 : 11). Juga Yesus mengatakan, “Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah.” (Luk.6 : 20). Inilah kehendak Tuhan. Di dunia ini selalu ada orang miskin. Mereka tidak salah paham akan perkataan Yesus :”Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin.” (Luk.4 : 18) Belakangan ini ada muncul pemikiran teologi yang disebut Teologi Pembebasan, yang menginginkan lepas dari kemiskinan dan kekuasaan bangsa lain. Jelasnya, pembebasan dari segala jenis kolonialisme ataupun neo-kolonialisme. Yesus tidak menyukai bangsa-bangsa kaya dan kuat lalu datang merampas tanah dan kekayaan, misalnya, minyak bumi, emas, intan yang terpendam di bumi negeri yang belum maju. Waktu kami di Indonesia 35 tahun, kami bekerja di Gereja Methodist mengalami zaman kolonialisme yakni zaman Belanda. Tahun 1931 sampai 1942. Lalu terjadi perang dan revolusi tahun 1942 sampai 1949, kemudian zaman baru, setelah Indonesia berdamai dengan Belanda pada bulan Desember 1949. Kami tinggal di Indonesia sampai bulan Juli tahun 1965. Tampaknya Indonesia (Nederlands Oost Indie) senang pada waktu kekuasaan Belanda. Yang paling enak adalah orang-orang kulit putih. Sampai-sampai orang Jepang berkata : Indonesia surga bangsa kulit putih. Ketika kami tiba di Sumatera Timur terjadi ‘zaman meleset’ (malaise), harga karet, minyak, tembakau dll jatuh. Bahkan orang-orang Belanda melakukan pekerjaan yang tak lazim. Bis yang pertama kali dari Medan ke Rantau Prapat adalah bis yang dikemudikan orang Belanda yang berhenti bekerja di perkebunan. Para misionaris pun menikmati kesenangan di Indonesia. Mereka menjadi semacam ‘tuan besar’, pimpinan di gereja. Kekuasaannya besar. Kerapkali kemauannya harus dituruti. Semuanya ini dapat dirasakan semua rekan-rekan saya dari negara maju, bangsa Eropa. Sudah agak keterlaluan, kupikir, saat datang pertama kali ke Sumatera tahun 1931. Aku kurang nyaman misalnya, di kantor pos. Biarpun ada orang yang lebih dahulu dariku tetapi petugasnya lebih dulu melayaniku, langsung bertanya,”Ada keperluan apa, Tuan?”. Kalau naik bis maka orang kulit putih harus duduk di ‘kelas satu’, disebelah sopir. Bisa terjadi sang sopir mengusir orang disebelahnya untuk tempat duduk bangsa asing itu.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

36

Hatiku sangatlah bertentangan dengan perilaku semacam ini, karena semua adalah sama manusia. Tetapi lama kelamaan aku jadi terbiasa, dan aku tidak lagi menentangnya. Walau ‘zaman meleset’ tidak sampai terjadi kesengsaraan di Sumatera Timur. Memang ada saja orang di Pardembanan mengatakan, ‘sekarang masa paceklik’. Maksudnya, padi sudah habis, tetapi panen segera tiba. Biarpun padi habis di lumbung, makanan di desa masih ada yaitu sayuran yang tumbuh di hutan. Ada singkong, jagung (kadang-kadang), pisang dan buah-buahan lain. Tidak pernah kudengar ada orang mati kelaparan di kampung. Memang hidup sulit kalau persediaan padi habis di desa. Tahun 1945 pernah kusaksikan orang mati kelaparan, seorang Jawa, ‘kuli kontrak’ yang tidak dipedulikan orang Jepang setelah dia tidak mampu bekerja lagi. Ada kulihat beberapa orang seperti itu meninggal di selokan di Kisaran. Makanan sangat sukar di Sumatera Timur tetapi belum ada kujumpai orang Kristen yang mati karenanya. Masalah kurangnya obat-obatan di rumah sakit adalah hal yang lebih sering mengakibatkan banyak orang mati. Misalnya, pil kina sama sekali tidak ada. Tentara Jepang menghabiskan semua obat-obatan selama perang yang ganas itu. Pangan di Indonesia bukan ludes sama sekali. Namun bangsa ini lapar dan haus. “Lapar dan haus akan kebenaran” (Mat.5 : 6). Betapapun baiknya suatu bangsa asing yang menguasai bangsa lainnya, tetap kebenaran tidak lengkap. Kemauan Tuhan adalah agar semua bangsa merdeka. Ada hak mengurus diri sendiri. Dari awal jelas kurasakan keinginan orang akan kemerdekaan bangsanya. Ini bisa kupahami karena bisa kulihat betapa gembira bangsaku ketika lepas dari kuasa bangsa lain. Dimuka sudah kututurkan suatu pidato dalam Rapat Tahunan di Aek Kota Batu. Begitu kuatnya kemauan bangsa ini lepas dari kekuasaan Belanda. Semaki jelas pada zaman Jepang karena semaki lama perang maka semakin keras cita-cita pada zaman yang baru. Pada akhirnya orang Jepang sendiri menjanjikan kemerdekaan dengan syarat orang Indonesia melawan Belanda. Koran hampir tidak ada. Ada terbit koran kecil ‘Sumatra Shimbun’, cuma sebesar sehelai kertas surat. Kalau koran ini memberitakan,”Tidak benar berita yang mengatakan Amerika menang di Bouigenvilis”, maka kawan-kawan sudah tahu justru Amerika menang besar di sana. Selain itu ada lagi “kawat rimbu” ialah berita ‘rahasia’ yang sampai untukku. Sering kami bergembira karena berita semacam ini. Kami sudah paham berita dari jalan rahasia ini adalah benar. Kami dengar kabar Amerika mendirikan stasion radio dalam hutan di Tapanuli. Kami setengah percaya. Nantinya, tahun 1960, aku bertemu seorang misionaris Methodist, Darel Mc Ferren, yang bekerja di Palembang tahun 1942. Keluarga Mc Ferren lolos ke Jakarta terbang ke Australia dan sampai di Amerika. Ia segera masuk wajib militer Angkatan Laut dan karena sudah fasih berbahasa Indonesia menjadi juru bahasa Markas Jenderal Mountbatten di Srilanka. Mc Ferren menuturkan,”Bulan Juli tahun 1944 Jepang datang mengambil kendaraan anda, bukan?. Tahu darimana?, kataku. Dia menjelaskan ia sendiri yang mengurus tentara Amerika mendarat dekat Barus dan mendirikan stasion radio tersembunyi. Mata-mata mereka menyebar ke seluruh Sumatera dan memberitahukan situasi ke Mc.Ferren yang tidak turut mendarat. Aku terkejut mendengarnya biarpun sudah pernah kudengar sebelumnya di Kisaran. Suatu waktu pernah Jepang memeriksa rumah Pdt.Ostrom di Tebing Tinggi kalau-kalau ada ‘radio sender’. Mereka tidak memeriksa ke dalam rumah kami, hanya melihat-lihat dari luar. Sebelum kami berangkat dari Kisaran ke Medan kami menerima surat dari Ephorus HKBP Justin Sihombing dari Pearaja membicarakan bagaimana kondisi gereja setelah Jepang kalah. Katanya, penting sekali bantuan dari luar negeri dan para misionaris namun yang memimpin gereja-gereja haruslah orang Batak

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

37

sendiri. Masih dibutuhkan dokter, guru dan professor untuk sekolah teologi. Mungkin juga masih diperlukan evangelis dari luar. Ada satu kalimatnya yang selalu kuingat (sayang sekali surat itu hilang saat rumah kami di Kisaran dihuni tentara Belanda). Kira-kira kalimatnya demikian,”Dulu kami memanggil ‘Bapak’ kepada semua pendeta dari luar negeri, tetapi kedepan kami akan panggil ‘abang’ kepada kalian.” Betul sekali ucapan ‘Ompu i’ kataku dalam hati. Kemudian belakangan, ketika libur kami pergi ke Barmen atas permintaan Pearaja. Mereka meminta agar Pdt.Menzel kembali ke Sumatera sedang kalau Pdt.de Kleine tidak. Kujelaskan kepada Pdt.de Kleine apa sebab musabab ia tidak diterima lagi di tanah Batak. Persoalan ini berawal dari peristiwa tahun 1947 saat Belanda ingin kembali menguasai Sumatera. Orang-orang mengatakan bahwa tentara Belanda masuk ke Pematang Siantar bersama dengan Pdt.de Kleine. Pdt.de Kleine sangat masygul mendengar laporan itu. Tidak benar. Sesungguhnya de Kleine sangat mencintai HKBP dan ingin segera kembali melayani. Setelah ia menjadi Direktur di Barmen banyaklah kesempatannya untuk itu. Di Medan, saya dengan Bishop Edwin F.Lee dan Pdt.Bos membicarakan bagaimana cara membantu HKBP. Mereka sangat membutuhkan perhubungan dengan pihak luar negeri. Bishop Lee mengusulkan untuk menjalin hubungan dengan National Council of Churches of America (Dewan Gereja Protestan di Amerika). Dasar pertimbangan kami, HKBP bukan gereja Lutheran seratus persen. Sebagian pendeta Jerman datang dari gereja yang bukan Lutheran. Mereka memakai dua katekismus, Lutheri dan Reformed. Karenanya, HKBP perlu mencari teologinya sendiri, tidak perlu masuk ke salah satu konfessi dari luar negeri. Bagaimanapun, utusan Lutheran World Federation/LWF (Federasi Lutheran sedunia) segera datang ke Sumatera. Ada seorang bishop Lutheran di India Selatan bernama Johannes Sandregen yang bekerja diantara orang Tamil. Karena banyak orang India pergi ke Malaysia bekerja di perkebunan ataupun berdagang di Singapore maka Sandregen menjadi “Bishop Diaspora”. Tahun 1948 ia datang ke Medan dan mengurus seorang India, Dokter Williams untuk bekerja melayani tengah orang Batak – dan ditempatkan di rumah sakit Balige. Maksudnya untuk membuka kontak dengan HKBP. Kemudian ia datang lagi bersama Dr.F.Shiots dari Amerika mengunjungi HKBP. Mereka mengantongi izin pergi ke Tarutung karena keperluan di kantor Pusat HKBP. Sampai di Parapat mereka diterima Tentara Indonesia, sesudahnya tidak ada izin karena batas demarkasi hanya sampai disitu. Saya dan Pdt.Bos tidak mendapat izin, sehingga saya tidak dapat menemani mereka ke Pearaja. Bishop Sandregen kemudian kembali ke Medan dan menginap di rumah kami. Mereka sangat kaget menyaksikan begitu menyala “roh kemerdekaan” di Tanah Batak. Anak-anak pun berteriak ‘MERDEKA’. Agaknya kata ini menjadi lebih bernilai dari kata ‘horas’. Mereka juga memohon kalau sekiranya saya bersedia menjadi bendahara LWF di Medan. Tadinya mereka mengusulkan Pdt.J.Bos, tetapi katanya orang Batak tidak sudi menerima uang dari orang Belanda. Pdt.Bos pun menyetujui agar sementara saya dulu mengurus pekerjaan ini di Sumatera Utara. LWF juga mengirim seorang guru ke Sipoholon, ada juga satu dari India Selatan dan satu orang Amerika. LWF sangat bersungguh-sungguh membantu HKBP sehingga ada usul dari gereja ini agar menjadi anggota. Tetapi LWF belum siap menerima karena belum jelas apakah benar HKBP Lutheran. Maka perlu kiranya dilakukan semacam ujian. Penilaian ini akan dilangsungkan di Raja mundry di India. HKBP mengutus Ephorus

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

38

Justin Sihombing, Pdt.K.Sirait dan Dr.Williams orang India itu. Dari pihak LWF hadir Ketuanya Bishop Anders Nygren dari Swedia, Dr.F.Schiots (AS) dan Bishop Ihmels (Jerman), serta Bishop Sandregen selaku tuan rumah konperensi. Karena perlu seorang penterjemah maka LWF dan HKBP meminta saya ikut ke Raja mundry dalam rangka ‘ujian’ itu. Bishop Methodist Arthur J.Moore, bishop kami sementara, mengijinkan. Awal tahun 1950 kami pergi ke Raja mundry dan tinggal beberapa hari. Para pimpinan LWF tersebut meminta penjelasan dan memeriksa apakah mereka benar Lutheran. Mereka ditanya soal ajaran gereja, apakah ada altar, bagaimana kata-kata dalam buku Agenda yang dipakai pada hari Minggu, katekismus. Tahun 1952 HKBP resmi anggota LWF, setelah mereka menulis suatu buku rumusan pengakuan iman (konfessi). Saya – yang memang sedang liburan – dan Pdt Klaus turut terlibat dalam perumusan tersebut sebagai semacam penasehat. Ini merupakan konfesi pertama dari gereja-gereja yang baru sebagaimana ditulis oleh Dr.Th.Muller Krueger dalam bukunya Sejarah Gereja di Indonesia. Saya sangat gembira membantu HKBP dalam hal ini. Hanya saja masih penting kiranya bagi HKBP mencari teologinya sendiri agar lebih mudah menjalin hubungan dengan gereja-gereja yang ada di Indonesia. Sekarang kita kembali lagi ke tahun 1946, setelah Pdt.Ostrom meninggal dan kuminta Pdt.Luther Hutabarat dan Pdt.David Hutabarat sebagai Pengawas Distrik (District Superintendent). Selanjutnya setelah saya selesai menulis buku dogmatik Gereja Methodist maka kami siap untuk pulang ke Swedia dan Amerika. Ini terjadi awal tahun 1946. Indonesia dalam kancah revolusi. Tidak ada kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk gereja itu. Sesudah tinggal di Singapore beberapa bulan kami berangkat ke Inggeris dengan kapal laut. Dari sana naik pesawat terbang ke Swedia. Kami kekurangan pakaian dari Asia Timur, dan barulah ketika tiba di Terusan Suez kami memperolehnya dari Palang Merah. Saya gembira sekali bertemu kembali dengan ibu dan semua saudara ketika sampai di Swedia tanggal 5 Maret 1945. Kami tidak berhubungan sampai lima tahun karena perang. Keluarga di Swedia tidak tahu apakah kami masih hidup. Tidak terlukiskan besarnya hati karena kami dapat berjumpa lagi. Seperti kisah anak yang hilang dalam Luk.15 : 23 “…marilah kita makan dan bersukacita.”. Kami tiba sudah tengah malam, kami makan bersama dan memuji Tuhan Maha Pengasih itu.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

39

Bab 10 - UNTUK MEMBANGUN DAN MENANAM “ Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan- untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” (Yer.1 : 10) Amanat diatas adalah dari Tuhan sendiri. Allah menjelaskan secara gamblang kepada nabi yang muda itu bagaimana nanti pekerjaannya. “Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa” Artinya : pekerjaan yang mulia diserahkan Tuhan kepada orang yang mau menjadi suruhanNya. Paulus memikirkan begitu besarnya jabatan kepada pewarta kabar gembira itu : “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percaya, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya kami mau turut bekerja untuk sukacitamu (2 Kor.1 : 24). Setelah Allah memberitahukan pada nabi nya betapa mulia panggilan Tuhan ini kepada hambaNya –sesuatu program. Bagian dari ayat itulah menjadi kepala bab ini, “Membangun dan menanam”. Persis inilah pekerjaan yang disampaikan Tuhan buat gerejaNya di Indonesia dan di seluruh dunia. Pesan ini bukan hanya pada pendeta, guru dan penatua, tetapi juga kepada jemaat itu. Amanat yang sangat penting untuk jemaat terutama setelah usai zaman yang sulit, perang dan revolusi. Banyak hancur akibat perang, apalagi kehidupan spiritual bangsa-bangsa. Orang-orang sangat memerlukan bantuan. Banyak orang sesat dan putus asa. Maka Allah berkata kepada gerejaNya, pergilah “membangun dan menanam”. Usai perang yang paling dibutuhkan di Indonesia ialah para pelayan gereja, pendeta dan guru jemaat. Masalah ini sangat nyata bagi semua gereja di Indonesia. Sekolah pendeta dan guru di Sipoholon sudah tutup. Kalau gereja ingin maju, memberitakan Kristus kepada orang yang belum mengenalNya, maka diperlukan para pekerja yang pandai dan baik. “Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu “(Mat.9 : 38). Pada tahun 1940 Gereja Methodist mengirim dua guru untuk belajar di Sipoholon yaitu Wismar Panggabean dan Stuurman Panggabean. Akan tetapi setelah Jepang masuk tahun 1942 dan para pengajar di Sipoholon ditawan, termasuk Pdt.A.V.Klaus- maka sekolah ini tutup. Lalu rekan-rekan mengusulkan membuka sekolah pendeta di Kisaran sehingga pelajaran kedua calon pendeta tadi dapat diteruskan. Beberapa bulan mereka belajar di Kisaran dan tamat. Keduanya menjadi dua pendeta yang baik dan rajin. Pdt.Stuurman pandai berkotbah dan memimpin paduan suara. Saya selalu terkenang paduan suara yang dipimpinnya di Bangun Dolok ketika masih guru. Waktu itu saya baru tiba dan terperangah mendengar paduan suara yang indah di tengah hutan. Bangun Dolok masih hutan saat itu. Pendeta Wismar Panggabean menjadi “bishop” pertama Gereja Methodist

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

40

Indonesia (GMI) setelah mandiri. Usulku pada Konferensi Tahunan agar siapapun yang terpilih sebagai Ketua pada Konferensi Besar agar bergelar “bishop”. Para misionaris yang lebih muda sangat keras menolak. Bagaimanapun, kemudian Pdt.Wismar adalah bishop de facto. Apa yang dikerjakannya sama saja dengan pekerjaan seorang bishop. Pulang dari luar negeri tahun 1952 kami ke Kisaran sekali lagi. Rumah kami tidak ada lagi karena sudah dirampas tentara Belanda sewaktu revolusi. Sesudah Belanda pergi, di pekarangannya menjadi rumah pendeta. Kami membuka lagi suatu kursus pendeta karena tetap kekurangan. Ada empat guru jemaat sebagai peserta yakni Allemar Hutabarat, Benjamin Purba, Simon Doloksaribu dan Wilfrid Simanjuntak serta satu orang dari gereja lain di Palembang. Dari tiga calon pendeta ini masih ada yang bekerja sekarang, dan ada yang pensiun. Pendeta Simanjuntak pindah ke Gereja Methodist Merdeka yang lahir tahun 1965, kalau saya tidak lupa. Mereka yang tidak sabar menunggu otonomi gereja. Saya sudah membujuknya agar menunggu izin dari General Conference 1964 tetapi tidak mau. Gereja ini keadaannya hidup segan mati tak mau. Hari yang berbahagia ketika keempat mereka tamat kursus pendeta pada tahun 1956. Isteri merekapun ikut belajar, yang membimbing isteriku Lydia. Para pengajar adalah Pdt.Wismar Panggabean, isteriku dan saya sendiri. Namun demikian tenaga masih kurang juga, lalu awal tahun 1957 dibuka sekolah guru jemaat di Kisaran. Ada beberapa orang masuk, sebagian yang bekerja di jemaat, pendeta, dan guru jemaat. Pengajarnya Pdt.Wismar, Pdt.P.P Sitorus dan saya. Selanjutnya didirikan Universitas Nommensen di Medan dengan Fakultas Teologinya di Pematang Siantar. Kami diminta mengirim para calon pendeta kesana. Pernah ada gagasan dari misionaris HKBP, Methodist dan Reformed untuk mendirikan sekolah teologi Universitas ini bersifat oikumenis, tetapi akhirnya HKBP dan LWF membuka sekolah sendiri. Beberapa bulan berjalan sekolah guru jemaat kami di Kisaran datang permintaan Universitas Nommensen kepada Bishop R.L Archer agar mengirimku mengajar di Fakultas Teologi di Pematang Siantar. Awal tahun 1958 Profesor teologi kurang karena Pdt.Tiemeyer sakit dan pulang ke Jerman. Suatu “komisi” dari Siantar datangf membujuk saya untuk mengajar di Nommensen. Kursus guru Injil di Kisaran masih berjalan, dan perlu izin dari Bishop Methodist Amstutz. Mereka yang datang menemuiku ke Kisaran, Pdt.Siahaan, Dr.L.Schreiner dan Pdt.Rutkowsky. Kukatakan kepada Pdt.Siahaan, sekiranya Bishop setuju dan diizinkan Ds.Korwinus di Medan untuk membantu, saya bersedia mengajar sekali seminggu. Selanjutnya saya mengajar Fakultas Teologi setiap hari Jumat. Setelah kursus di Kisaran selesai kami pindah ke Siantar dan mengajar disana sampai tahun 1965. Saya senang karena ada mahasiswa dari berbagai gereja, dari HKBP, HKBPS, dari Karo, Nias dan Methodist. Artinya, sekolah ini bersifat oikumenis meski tidak nyata dari namanya. Rektor Universitas Nommensen adalah Dr.Andar Lumbantobing dan Dekan Fakultas Teologi Pdt.Tunggul Sihombing yang kemudian diganti Pdt.Gustaf Siahaan setelah Sihombing menjadi Ephorus. Gustaf Siahaan sekarang (1982) jadi Ephorus. Selain mereka ada beberapa mahaguru dari bangsa lain, Amerika, Jerman, Norwegia, Swedia. Orang Indonesia salah satunya adalah Ompu i Dr.Justin Sihombing.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

41

Tahun 1956 itu juga dibuka Sekolah Alkitab di Medan. Kami pikir ini perlu terutama untuk jemaat berbahasa Tionghoa. Di belakang hari ada didirikan juga untuk orang Indonesia di Medan. Pesertanya ada orang Nias, Karo dan Toba. Setelah sekolah ini pindah dari Jalan Bulan ke Jalan Glugur, Medan namanya berubah menjadi Institut Alkitab. Ketika kukunjungi tahun 1981 sudah ada 46 siswanya, dengan Rektor Pdt.Edward Hutasoit yang kukenal dulu di Kisaran karena orangtuanya bekerja di RS Katarina. Tahun 1950 setelah kami di India dengan pimpinan HKBP lalu saya ke Singapore mengikuti Central Conference yang akan memilih sendiri Bishop untuk Asia Tenggara. Tadinya hal ini dilaksanakan oleh General Conference di Amerika sekali dalam empat tahun. Para utusan Sumatera mendukung calon Bishop Raymond L.Archer. Ia sudah lama bekerja di Indonesia dan Singapore. Karenanya ia sangat memahami pekerjaan Methodist di Malaysia, Kalimantan dan Indonesia. Ia juga Sekretaris Mission di New York selama beberapa tahun. Dr.Hobart B.Amstutz sangat kecewa karena tidak terpilih sebagai bishop, karena diapun satu calon kuat. Saya menghiburnya, karena ia masih muda dibanding bishop terpilih Dr.Archer. Dalam pikiran Dr.Amstutz kami utusan dari Sumatera yang banyak memberi suara kepada Dr.Archer. Saya senang dalam pemilihan ini karena Dr.Archer kemudian berlapang dada. Ia memikirkan secara saksama mengenai perobahan yang perlu dalam pekerjaan gereja. Saya memaparkan pemilihan Dr.Archer ini karena inilah pertama kali Bishop yang dipilih sendiri oleh Asia Tenggara. Ia menjadi Bishop untuk wilayah Malaysia, Kalimantan dan Indonesia dari tahun 1950 sampai 1956. Ini masa-masa sulit karena adanya revolusi di beberapa negara. Bagaimanapun gereja Methodist di Indonesia semakin kokoh. Pada tahun 1956 Dr.Hobart B.Amstutz kemudian menjadi bishop berkedudukan di Singapore. Sesudah ia menjabat Bishop bangkit lagi gagasan untuk otonomi gereja Methodist di Indonesia. Ide semacam ini sangat kuat dikalangan misionaris yang lebih muda, tetapi saya dan Bishop Amstutz pun sudah membicarakannya. Saya sudah melihat beberapa gereja yang “berdikari”. Sebenarnya gagasan ini sudah ada sebelum saya tiba di Indonesia. Pernah kudengar tentang “Hatopan Kristen Batak” (PKB) di Jawa oleh kalangan pelajar/mahasiswa Batak yang ingin mendirikan perkumpulan sendiri. Semacam ‘protes’ kepada kantor pusat HKBP di Tarutung. Mereka juga ada di Sumatera yakni di Palembang. Lahir lagi gereja yang bernama ‘Huria Christen Batak’ (H.Ch.B). Sebelum saya datang ke Sumatera mereka sudah ada di Medan, Tanah Jawa, Kisaran-Bunut dll. Dari gerakan ini jelas orang Kristen Batak sangat ingin mengurus gerejanya sendiri. H.Ch.B masih hidup dan bernama HKI (Huria Kristen Indonesia) yang sudah menjadi anggota LWF. Pelayanannya baik di tengah orang Batak. Awalnya HKBP menuduh HKI tidak punya tata tertib yang baik karena diperbolehkannya anggota jemaat kawin dua kali. Di Kisaran-Bunut banyak anggota H.Ch.B yang kembali ke Methodis. Di Bunut kami memakai gedung gereja yang sama yang didirikan HAPM. HKBP sudah agak ‘berdikari’ pada tahun 1930. Tahun 1929 sudah disepakati rekan-rekan suatu peraturan gereja dan mengadakan ‘sinode godang’ yang pertama. Betapapun, HKBP masaih sangat bergantung ke Pusat di Barmen. Barmen yang mengangkat Ephorus HKBP. Para misionaris mengurus sekolah dan para zendeling bertindak sebagai

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

42

“inspektur sekolah”. Meskipun demikian jemaat sendiri juga dapat mengurus pekerjaannya. Segalanya berobah pada tanggal 10 Mei 1940 waktu tentara Jerman masuk menyerbu Belanda. Dalam semalam semua pekerja HKBP yang berasal dari Jerman ditahan, termasuk Ephorus Dr.E.Verwiebe. Seorang misionaris Belanda diangkat sebagai Ephorus, Ds.H.de Kleine, untuk menggantikan. Orang-orang Batak tidak setuju dan mengangkat Pdt.K.Sirait sebagai ‘Voorzitter’ (pengawas) HKBP. Konsulat Zending di Jakarta tidak mau menyerahkan sekolah-sekolah kepada gereja ini akhirnya Konsulat mendirikan lembaga “Batak-Nias Mission”. Ada beberapa orang Belanda yang bekerja di HKBP di Samosir maka Konsulat Zending mengangkat Ds.J.Karelse dari zending Samosir sebagai pimpinan semua sekolah di Tanah Batak dan Nias. Orang Batak tidak suka pada badan yang baru ini walaupun Ds.Karelse bekerja dengan baik. Keadaan ini berakhir Maret 1942 dengan kedatangan Jepang. Semua sekolah menjadi seperti milik pemerintah. Terjadi kesulitan-kesulitan sehingga ada guru-guru yang memimpin sekolah dan gereja secara bersamaan. Sejak kedatangan Jepang saya melihat beberapa guru jemaat yang tidak mau bekerja untuk gereja karena gajinya diterima dari Pemerintah. Dengan kedatangan Jepang HKBP bebas sepenuhnya dari penguasaan orang Eropah. HKBP tidak mau lagi berpegang pada kesepakatan dengan gereja lain, misalnya dengan Methodist. Dulu ada ketentuan : Gereja Methodist mengurus orang kristen protestan yang tinggal di Sumatera Timur. Kalau ada orang Protestan yang pindah dari daerah lain ke Sumatera Timur maka ia harus bersedia menjadi anggota dan Gereja Methodist bersedia melakukan pelayanan kerohanian orang tersebut. Karenanya ada anggota HKBP, gereja Ambon, Manado yang diurus Methodist. Tetapi setelah pecah perang dan orang Batak semakin banyak pindah ke Sumatera Timur, kawan-kawan HKBP mengatakan,”Kami sendiri yang harus mengurus mereka.” Maka berdirilah HKBP di Kisaran, Tebing Tinggi, Rantau Prapat dll. Methodist menimpali,”Kalau demikian, kami juga berhal mengurus kawan Methodist yang pindah ke Tanah Batak”. Maka ada gereja Methodist di Sigumpar, Perdagangan dll. Ada orang lain mengatakan hubungan baik HKBP dan Methodist rusak karena masuknya gereja itu ke wilayah yang bukan daerahnya dulu. Sesungguhnya sebaliknya terjadi. Hubungan kedua gereja semakin erat. Hal ini jelas dari ajakan HKBP kepada saya untuk mengajar di Nommensen, Pematang Siantar. Ketika saya di Nommensen, dan menyaksikan kemandirian gereja lain maka timbul pemikiran tentang “kemerdekaan” gereja Methodist. Para misionaris yang muda membicarakan hal ini. Saya mendiskusikannya dengan rekan pendeta, guru dan penatua. Bishop Amstutz menyetujuinya. Untuk terwujudnya kemandirian itu harus ada yang disebut ‘enabling act’ dari General Conference , suatu rapat besar sekali empat tahun. Dalam Rapat Tahunan Karel Hutapea dan saya ditunjuk sebagai utusan ke General Conference di Pittsburg, AS tahun 1964 untuk mengajukan permohonan hak otonomi dan mendirikan Gereja Methodist yang mandiri di Indonesia. General Conference menyetujui dan selanjutnya Bishop Amstutz memanggil para anggota Rapat Tahunan Istimewa di Medan tanggal 30 Agustus 1964. Inilah hari lahir Gereja Methodist Indonesia (GMI). Ini sudah terlaksana tahun 1964 tetapi Dr.Th.Muller Kruger dalam buku ‘Der

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

43

Protestantismus in Indonesia’ yang terbit tahun 1968 menyebutkan, ”Kantor pusatnya bukan di Indonesia tetapi di Amerika Serikat, dan Bishopnya tidak berkedudukan di Indonesia melainkan di Singapore.” Saya terkejut atas pernyataan ini dalam suatu buku yang sangat bermutu. Dr.Muller Kruger sudah kuberitahukan soal kekeliruan ini. Soal yang paling penting pada saat “kemerdekaan” gereja Methodist ialah “ke-Bishop-annya”. Sebelumnya Methodist adalah gereja episkopal. Bagaimana ke depan? Suara yang paling keras mengatakan : Tidak ada lagi Bishop di GMI, inilah pandangan kaum muda. Dasarnya, belum ada orang Indonesia yang mampu dan pantas jadi Bishop. Timbul ide tentang Dewan Pimpinan, terdiri dari lima orang dan seorang darinya sebagai Ketua. Ketua yang berhak menabalkan pendeta dan pekerjaan yang dilaksanakan seorang Bishop. Saya orang yang paling keras mengusulkan agar ketua dari Dewan Pimpinan itu bergelar Bishop. Tetapi saya kalah. Sehingga Pdt.Wismar Panggabean tidak bergelar Bishop. Sepulang rapat tersebut kukatakan pada Dr.Lormor, Pdt.Wismar de facto adalah Bishop. Benar sekali, sahutnya. Saya tidak tahu persis apa yang ditakuti oleh rekan-rekan ketika itu pada gelar “bishop”. Kadang kupikir demikian, mereka takut kalau nantinya yang dipilih orang asing kalau bergelar bishop. Ini kurang baik. Sangat penting dalam pikiranku ketika itu : harus orang Asia yang memimpin gereja yang otonom itu. Beberapa tahun kemudian rekan-rekan memilih Pdt.Johannes Gultom sebagai Bishop. Saya gembira, gereja ini pantas mempunyai bishop sebagaimana awal mulanya. Gereja yang ber-bishop yang merintis pekerjaan GMI.

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

44

Bab 11 – MEMELIHARA IMAN “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (II Tim. 4 : 7) Perumpamaan yang dipakai Paulus disini berasal dari olahraga. Apa yang dibicarakannya disitu ? 1. Hidup orang Kristen di dunia ini merupakan penderitaan dan perlawanan, kerap kata

Paulus. Selalu ada musuh Kristus dan orang Kristen harus siap melawannya. 2. Berlari. Orang Kristen seperti berlari agar kabar gembira sampai ke seluruh muka

bumi ini. Artinya, orang percaya haruslah dengan rajin mewartakannya kepada orang yang belum mengenal keselamatan dalam Kristus. Dari segala berita yang pernah kita dengar tiada yang lebih penting dari berita Kristus ini. Maka Paulus mengatakan tentang dirinya: “ …aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua.” ( I Kor.15:10). Kepada murid-muridnya yang muda dikatakan, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya…” (II Tim 4 : 2).

3. “Aku telah memelihara iman”, kata rasul itu. Apa artinya ? Dia tetap erat memegang

apa yang dijanjikannya waktu ia masuk Kristen. Janjinya teguh untuk menaati Yesus Kristus. Ia seperti budak Kristus. Ia mengikuti pesan dalam Wahyu 2 : 10 b, “Setia sampai mati…”. Ia tidak ikut membaca surat ini tetapi ia setuju atas apa yang dikatakan Yohannes disana.

Apakah seorang Kristen yang lemah yang hidup pada masa kini boleh mempergunakan ayat diatas untuk hidup dan pekerjaannya sendiri ? Kupikir, bisa. Walau akau sering kalah, kurang setia dan kurang rajin dan juga tenaga tidak sering kupakai untuk melakukan yang baik, tetapi jiwaku tetap semangat mengikuti jejak kaki Kristus. Ia menyerahkan diri untuk menyelamatkan manusia, maksudnya : Dia hidup untuk sesamanya manusia. Maka aku memohon kepada Allah, Yang Maha Kasih agar kiranya hidup dan pekerjaanku menjadi semacam “dinas” untuk sesama dalam hidup yang fana ini. Hal inilah yang mendorongku di waktu muda bekerja di tanah Lapland, Swedia Utara. Ini juga membuat aku bergembira melalui segala jalan yang sukar di hutan untuk menemui desa-desa kecil di Pardembanan. Kurasakan penting sekali kabar tentang Yesus Kristus bagi mereka penduduk desa tersebut yang akan menolong mereka untuk bebas dari penyembahan berhala (hasipelebeguon) dan kebodohan. Itu juga sebabnya kami, aku dan isteri tidak mau pulang ke Swedia atau Amerika setelah benteng kuat di Singapore jatuh pada bulan Februari 1942. Surat dari Pusat di New York

Diterjemahkan dari bahasa Batak - oleh S.Simatupang [email protected]

45

dan konsul-konsul menyuruh kami pulang kampung karena musuh sudah dekat. Sekarang aku ucapkan terima kasih kepada Tuhan yang membolehkan kami tinggal di Kisaran dan keluarga Ostrom di Tebing Tinggi, pada masa sulit tadi. Kalau aku membaca surat-surat yang kutulis pada masa itu saya tercengang melihat kemajuan gereja. Banyak yang dibaptis dan masuk Kristen. Aku heran betapa berani isteriku tinggal sendirian di Kisaran sedang aku harus pergi 3 atau 4 hari mengunjungi jemaat di Pardembanan. Hanya dia sendiri orang kulit putih di seantero Kisaran. Karena begitu perlunya Kabar Gembira untuk teman-teman maka kami kembali ke Indonesia pada tahun 1948. Situasi begitu sulit, tetapi para pendeta Batak dan Tionghoa tetap bersedia bekerja dengan kami. Kami juga boleh melayani kaum miskin dan para tawanan. Misalnya orang Jepang, karena diantara mereka ada juga Kristen sebagaimana kuterangkan dimuka. Ada juga orang Kristen Batak seperti Saragih Ras, yang percaya pada dewa perang. Aku bahagia karena Tuhan membolehkan bekerja di bidang oiku-mene, karena ketika di Universitas Nommensen ada para mahasiswa berasal dari berbagai gereja. Senantiasa aku bersyukur kepada Tuhan karena ada ajakan dari LWF dan HKBP agar aku ikut mengajar di Fakultas Theologi di Pematang Siantar. Selain dari itu, besar sekali hatiku karena Tuhan membolehkan saya pulang ke Indonesia pada penghujung tahun 1981. Limapuluh tahun kemudian sejak aku menjejakkan kaki kesini pertama kali. Saya tiba pertama kali di Medan bulan November 1931. Terima kasihku kepada kalian yang telah menerima saya saat masih muda dulu. Kepada kalian semua yang membahagiakan hatiku dengan kecintaan kepadaku ketika usia saya yang sudah tua. Jangan kita lupa, yang paling penting ialah kebesaran Kerajaan Allah ditengah kita. Maka kukatakan : “Ayo mari, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus.