rabu, 20 april 2011 ketika darah -...

1
U PAYA penyembuhan penyakit tidak hanya berkaitan dengan urusan medis. Peralatan nan canggih, teknik operasi terkini, maupun obat-obatan yang lengkap belum tentu mampu menenangkan kegelisahan pasien. Lebih dari itu, keberadaan dokter yang komunikatif, petugas yang ramah, dan suasana yang penuh kehangatan turut menentukan kenyamanan pasien yang pada akhirnya mendukung kesem- buhannya. Pendek kata, kualitas pelayanan secara keseluruhan dibutuhkan dalam sebuah upaya pengobatan. Faktor itulah yang kadang dilu- pakan rumah sakit dalam negeri. Tak heran, saat ini masih banyak pasien asal Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri. Namun demikian, se- sungguhnya ada rumah sakit dalam negeri yang mutu pelayanannya tidak kalah dengan luar negeri. Tinggal kita sebagai konsumen yang perlu jeli memilih. Untuk itu, salah satu alat yang bisa kita jadikan seba- gai tolak ukur dalam memi- lih rumah sakit bermutu adalah peraihan akreditasi internasional dari lembaga kredibel. Misalnya, akreditasi oleh Joint Com- mission International (JCI). JCI merupakan divisi dari The Joint Commission, sebuah organisasi yang selama lebih dari 50 tahun mendedikasikan diri dalam peningkatan kualitas dan keselamatan kesehatan. Saat ini, The Joint Commission menjadi akredi- tor lembaga kesehatan terbesar di Amerika Serikat. Organisasi ini telah menyurvei sekitar 18.000 program kesehatan melalui proses akreditasi nirlaba. Kerja organisasi itu didasa- ri sebuah misi, yakni meningkatkan kualitas kesehatan secara terus menerus kepada masyarakat dengan bekerjasama dengan para stakeholder, mengevaluasi organisasi pelayanan kesehatan, serta memberi inspirasi dalam peningkatan penyediaan pelayanan yang aman, efektif, dan bermutu tinggi. Dari ribuan rumah sakit di Indonesia, baru empat yang berhasil meraih akreditasi JCI. Rumah Sakit Premier Bintaro (RSPB), Tangerang, menjadi salah satu dari empat rumah sakit itu setelah pada 15 Januari lalu menerima akreditasi JCI menggunakan stan- dar terbaru (edisi ke empat). Mendetail Menurut Manager Quality Management Representation RSPB dr Angela Lilipaly, upaya meraih akreditasi JCI bukanlah peker- jaan ringan. Sebab, ada ribuan parameter yang harus dipenuhi. Secara garis besar, parameter itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni patient center dan organization & infra- structure sector. Parameter itu bersifat mendetail. Misal- nya, untuk obat tim akreditasi akan menilai bagaimana cara menyimpan obat, bagaimana meletakkan obat-obatan yang memiliki nama mirip, bagaimana pelabelannya, dan bagaimana penakarannya untuk pasien. ’’Inti dari JCI adalah patient safety,’’ ujar Angela. JCI, lanjut Angela, juga sangat memperhatikan hak-hak pasien. Sebagai con- toh, saat memeriksa pasien dokter tidak hanya sekedar memeriksa, menulis resep, dan mengoperasi. Lebih dari itu, standar JCI menetapkan dokter harus bisa menjelas- kan pada pasien tentang penyakitnya, langkah pena- nganan yang akan dilaku- kan, dan konsultasi langkah selanjutnya. Pasien berhak menyuarakan pendapatnya mengenai pelayanan yang didapatnya. ’’Jadi, dokter dituntut terbuka dan ko- munikatif terhadap pasien maupun keluar- ganya,’’ imbuh Angela. Selain itu, dokter dan ahli medis juga disyaratkan lolos skrining. Yang antara lain mensyaratkan kepemilikan ijasah sah dokter dengan identitas jelas. Ke- wenangan yang diberikan rumah sakit bagi dokter pun harus jelas. Untuk perawat, JCI memberi dampak positif. Sebab selain menjalankan profesinya, dalam JCI perawat juga lebih terintegrasi dengan tenaga medis lainnya seperti dokter, ahli gizi, dan ahli radiologi. Nantinya, akreditasi JCI akan diperbaharui setiap tiga tahun sekali. Akreditasi bisa saja dicabut bila rumah sakit dinilai tidak lagi me- menuhi parameter yang ditentukan. Karena itulah, akreditasi ini menuntut rumah sakit untuk terus meningkatkan mutu layanan. ’’Bagi RSPB, ini tentunya bukan akhir dari perjalanan menuju pelayanan berkualitas yang bertaraf internasional tetapi sebagai langkah awal dari upaya mempertahankan perbaikan pelayanan yang berkesinambung- an,’’ pungkas Angela. (S-25) Menuju Pelayanan Berkualitas Bertaraf Internasional Jadi, dokter dituntut terbuka dan komunikatif terhadap pasien maupun keluarganya.” dr Angela Lilipaly Manager Quality Management Representative ENI KARTINAH Akibat biaya perawatan yang mahal, hanya 25% penderita hemofilia yang bisa mendapat perawatan memadai. Ketika Darah Sulit Membeku RABU, 20 APRIL 2011 21 K ESEHATAN Kecurigaan muncul dari le- bam berwarna kebiruan yang awalnya diasumsikan sebagai tanda lahir dan darah yang tak kunjung kering ketika Arghya digigit nyamuk. Selain menyebabkan per- darahan sulit berhenti, hemo- lia dapat membuat penderi- tanya mengalami perdarahan spontan dalam sendi maupun otot hingga menimbulkan ny- eri dan penderita sulit berjalan. “Kalau sedang terjadi perdara- han spontan, rasanya seperti ditonjoki orang sekampung,” kata Arghya. Jika dibiarkan, perdarahan tersebut dapat mengakibatkan kecacatan tubuh permanen. Risiko lain yang mengintai penderita hemolia yakni per- darahan organ dalam tubuh, yang dapat berujung pada kematian. Biaya tinggi Upaya penanganan hemo- lia memerlukan biaya tinggi dan waktu panjang, bahkan S epintas, Arya Prabu Widdyandayasakti, 9, tak berbeda dengan teman sebayanya. Di kelas, Arghya, begitu ia akrab disapa, mampu menerima pelajaran tanpa kesulitan ber- kat tingkat kecerdasannya yang di atas rata-rata. Di luar kelas, siswa kelas empat SDN 01 Menteng itu pun aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Namun, un- tuk memperoleh kehidupan normal itu, ternyata Arghya harus berusaha keras. Secara rutin, ia harus bolak- balik ke rumah sakit untuk memperoleh asupan faktor pembeku darah yang disebut F-VIII. Itu bertujuan memasti- kan darahnya dapat membeku dengan normal. Ya, Arghya adalah satu dari sekitar 400 ribu penderita hemolia di dunia. Dengan un- sur F-VIII dalam darah Arghya hanya sekitar 1%, Arghya dinyatakan sebagai penderita hemolia A sedang. Hemolia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan lewat kro- mosom dan umumnya hanya diderita laki-laki. Gangguan pembekuan darah membuat perdarahan sulit berhenti. Sang ibu, Endang Mariani, menuturkan Arghya dike- tahui menderita hemofilia pada umur sembilan bulan. sepanjang hayat. Menurut pakar hemolia RS Cipto Ma- ngunkusumo/Fakultas Kedok- teran Universitas Indonesia Prof dr S Moeslichan, saat ini suntikan faktor pembeku F- VIII atau F-IX masih menjadi satu-satunya kunci memiliki hidup dan produktivitas nor- mal bagi para penderita hemo- lia sampai saat ini. “Terapi genetik belum da- pat dijadikan alternatif karena masih dalam penelitian dan pengembangan,” paparnya dalam acara Peringatan Hari Hemolia Sedunia dan Pelun- curan Perdana Yayasan Peduli Hemolia Indonesia (Yapeli) di MRCCC Siloam Hospital, Jakarta, pekan lalu. Biaya suntikan faktor pem- beku itu terbilang mahal. Se- bagai contoh, Arghya yang memiliki berat badan 45 kilo- gram membutuhkan sekitar 900-1.800 iu F-VIII. “Dengan harga sekitar Rp2 juta per vial berisi 250 iu, biaya yang dibutuhkan untuk sekali suntik bisa mencapai Rp8 juta,” cerita sang ibu yang akrab disapa Yani itu. Kebutuhan F-VIII bagi pen- derita hemofilia tidak bisa ditawar-tawar. Pernah suatu ketika, saat keterbatasan dana melanda, Yani memutuskan mengurangi dosis pemberian F-VIII pada putranya. “Arghya yang seharusnya diberi F-VIII per 12 jam, saya beri per 24 jam. Saat seharus- nya diberi F-VIII per 24 jam, saya beri per 48 jam. Ketika dia sudah dapat beraktivitas, pemberian F-VIII saya setop. Namun, akibatnya siku kiri Arghya mengalami gangguan artrosis,” kisah Yani. Akibat mahalnya biaya pera- watan hemofilia, menurut Moeslichan, hanya 25% dari penderita hemolia di dunia yang menerima perawatan memadai. Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Kese- hatan telah memfasilitasi pe- nyaluran faktor pembekuan darah gratis, tetapi terbatas hanya bagi warga miskin mela- lui program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Kalangan menengah seperti keluarga Arghya harus me- nanggung sendiri biaya pera- watan hemolia. Tidak banyak asuransi kesehatan swasta yang mau menerima peser- ta yang memiliki penyakit bawaan, termasuk hemolia. “Padahal, 30% dari seluruh kasus penderita hemofilia terjadi akibat mutasi genetis spontan,” tutur Moeslichan yang juga Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indo- nesia. Mutasi genetis itulah yang tampaknya terjadi pada Arghya. Menurut Yani, baik anggota keluarganya maupun suami tidak ada yang memiliki riwayat hemolia. Moeslichan menegaskan perawatan memadai mam- pu mengantarkan penderita hemolia pada hidup normal dan produktif. Arghya bisa menjadi salah satu buktinya. Kemarin, ia bersama tim Besuki Folk Dance sekolahnya berang- kat ke Eskisehir, Turki, selama satu minggu untuk mengikuti International Children Folk Dance Festival atas undangan pemerintah Turki. Memang, untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, sebe- lumnya Argyha perlu melaku- kan persiapan khusus. Antara lain, pemeriksaan kondisi ke- sehatan termasuk kondisi gigi dan menyiapkan dokumen agar bisa membawa obat-obat- an. Namun, prestasinya jelas membuktikan penderita hemo- lia bisa produktif. (*/H-2) [email protected] PERKUMPULAN Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI) melalui salah satu divisinya, Bank Mata Indone- sia, terus menjaring pendonor untuk memenuhi kebutuhan kornea. ‘’Saat ini, mayoritas kornea yang digunakan berasal dari luar negeri seperti Bangladesh dan Amerika,’’ ujar Sekretaris PPMTI Tetty Herawati Soebroto seusai pembukaan Kongres VIII PPMTI-Bank Mata Indo- nesia 2011 di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurut Tetty, sejauh ini PPMTI berhasil menjaring calon pendonor sebanyak 16.393 orang. Jumlah itu lebih banyak daripada jumlah calon penerima (resipien) yang ter- daftar, yakni 1.010 orang. Namun, karena pengambilan kornea harus menunggu hingga pendonor meninggal, antrean resipien tidak terhindarkan. Se- orang resipien kerap harus ant- re berbulan-bulan untuk bisa mendapat cangkok kornea. Karena itu, lanjut Tetty, upaya pencarian donor terus dikem- bangkan. Jika selama ini PPMTI mendapat kornea dari calon pendonor yang wafat serta im- por dari luar negeri, ke depan- nya PPMTI akan ‘menangkap’ calon pendonor potensial di rumah-rumah sakit. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi kebu- taan di Indonesia sebesar 1,5%. Cacat kornea menjadi salah satu penyebabnya.Operasi pencangkokan kornea menjadi solusi bagi mereka. Melalui operasi itu, kornea mata yang rusak diganti dengan kornea jernih dari pendonor. (*/S-3) Bank Mata Jaring Pendonor dari RS Sebanyak 30% dari seluruh kasus penderita hemofilia terjadi akibat mutasi genetis spontan.” Prof dr S Moeslichan Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia

Upload: buihuong

Post on 18-Jun-2018

217 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: RABU, 20 APRIL 2011 Ketika Darah - ftp.unpad.ac.idftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2011-04-20/mediaindonesia... · dicabut bila rumah sakit dinilai tidak lagi me- ... eri dan

UPAYA penyembuhan penyakit tidak hanya berkaitan dengan urusan medis. Peralatan nan canggih, teknik operasi terkini,

maupun obat-obatan yang lengkap belum tentu mampu menenangkan kegelisahan pasien. Lebih dari itu, keberadaan dokter yang komunikatif, petugas yang ramah, dan suasana yang penuh kehangatan turut menentukan kenyamanan pasien yang pada akhirnya mendukung kesem-buhannya.

Pendek kata, kualitas pelayanan secara keseluruhan dibutuhkan dalam sebuah upaya pengobatan. Faktor itulah yang kadang dilu-pakan rumah sakit dalam negeri. Tak heran, saat ini masih banyak pasien asal Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri.

Namun demikian, se -sungguhnya ada rumah sakit dalam negeri yang mutu pelayanannya tidak kalah dengan luar negeri. Tinggal kita sebagai konsumen yang perlu jeli memilih.

Untuk itu, salah satu alat yang bisa kita jadikan seba-gai tolak ukur dalam memi-lih rumah sakit bermutu adalah peraihan akreditasi internasional dari lembaga kredibel. Misalnya, akreditasi oleh Joint Com-mission International (JCI). JCI merupakan divisi dari The Joint Commission, sebuah organisasi yang selama lebih dari 50 tahun mendedikasikan diri dalam peningkatan kualitas dan keselamatan kesehatan. Saat ini, The Joint Commission menjadi akredi-tor lembaga kesehatan terbesar di Amerika Serikat.

Organisasi ini telah menyurvei sekitar 18.000 program kesehatan melalui proses akreditasi nirlaba. Kerja organisasi itu didasa-ri sebuah misi, yakni meningkatkan kualitas kesehatan secara terus menerus kepada masyarakat dengan bekerjasama de ngan para stakeholder, mengevaluasi organisasi pelayanan kesehatan, serta memberi inspirasi dalam peningkatan penyediaan pelayanan yang aman, efektif, dan bermutu tinggi.

Dari ribuan rumah sakit di Indonesia, baru empat yang berhasil meraih akreditasi JCI. Rumah Sakit Premier Bintaro (RSPB), Tangerang, menjadi salah satu dari empat rumah sakit itu setelah pada 15 Januari lalu menerima akreditasi JCI menggunakan stan-dar terbaru (edisi ke empat).

MendetailMenurut Manager Quality Management

Representation RSPB dr Angela Lilipaly, upaya meraih akreditasi JCI bukanlah peker-jaan ringan. Sebab, ada ribuan parameter yang harus dipenuhi. Secara garis besar, parameter itu dibagi menjadi dua ke lompok, yakni patient center dan organization & infra-structure sector.

Parameter itu bersifat mendetail. Misal-nya, untuk obat tim akreditasi akan menilai bagaimana cara menyimpan obat, bagaimana meletakkan obat-obatan yang memiliki nama mirip, bagaimana pelabelannya, dan bagaimana penakarannya untuk pasien.

’’Inti dari JCI adalah patient safety,’’ ujar Angela. JCI, lanjut Angela, juga sangat memperhatikan hak-hak pasien. Sebagai con-

toh, saat memeriksa pasien dokter tidak hanya sekedar memeriksa, menulis resep, dan meng operasi. Lebih dari itu, standar JCI menetapkan dokter harus bisa menjelas-kan pada pasien tentang penyakitnya, langkah pena-nganan yang akan dilaku-kan, dan konsultasi langkah selanjutnya. Pasien berhak menyuarakan pendapatnya mengenai pelayanan yang

didapatnya.’’Jadi, dokter dituntut terbuka dan ko-

munikatif terhadap pasien maupun keluar-ganya,’’ imbuh Angela. Selain itu, dokter dan ahli medis juga disyaratkan lolos skrining. Yang antara lain mensyaratkan kepemilikan ijasah sah dokter dengan identitas jelas. Ke-wenangan yang diberikan rumah sakit bagi dokter pun harus jelas.

Untuk perawat, JCI memberi dampak positif. Sebab selain menjalankan profesinya, dalam JCI perawat juga lebih terintegrasi dengan tenaga medis lainnya seperti dokter, ahli gizi, dan ahli radiologi.

Nantinya, akreditasi JCI akan diperbaharui setiap tiga tahun sekali. Akreditasi bisa saja dicabut bila rumah sakit dinilai tidak lagi me-menuhi parameter yang ditentukan. Karena itulah, akreditasi ini menuntut rumah sakit untuk terus meningkatkan mutu layanan.

’’Bagi RSPB, ini tentunya bukan akhir dari perjalanan menuju pelayanan berkualitas yang bertaraf internasional tetapi sebagai langkah awal dari upaya mempertahankan perbaikan pelayanan yang berkesinambung-an,’’ pungkas Angela. (S-25)

Menuju PelayananBerkualitas Bertaraf

Internasional

Jadi, dokter dituntut terbuka

dan komunikatif terhadap pasien maupun keluarganya.”dr Angela LilipalyManager Quality ManagementRepresentative

ENI KARTINAH

Akibat biaya perawatan yang mahal, hanya 25% penderita hemofilia yang bisa mendapat perawatan memadai.

Ketika DarahSulit Membeku

RABU, 20 APRIL 2011 21KESEHATAN

Kecurigaan muncul dari le-bam berwarna kebiruan yang awalnya diasumsikan sebagai tanda lahir dan darah yang tak kunjung kering ketika Arghya digigit nyamuk.

Selain menyebabkan per-darahan sulit berhenti, hemo-fi lia dapat membuat penderi-tanya mengalami perdarahan spontan dalam sendi maupun otot hingga menimbulkan ny-eri dan penderita sulit berjalan. “Kalau sedang terjadi perdara-han spontan, rasanya seperti ditonjoki orang sekampung,” kata Arghya.

Jika dibiarkan, perdarahan tersebut dapat mengakibatkan kecacatan tubuh permanen. Risiko lain yang mengintai penderita hemofi lia yakni per-darahan organ dalam tubuh, yang dapat berujung pada kematian.

Biaya tinggiUpaya penanganan hemo-

fi lia memerlukan biaya tinggi dan waktu panjang, bahkan

Sepintas, Arya Prabu Widdyandayasakti, 9, tak berbeda dengan teman sebayanya. Di

kelas, Arghya, begitu ia akrab disapa, mampu menerima pelajaran tanpa kesulitan ber-kat tingkat kecerdasannya yang di atas rata-rata.

Di luar kelas, siswa kelas empat SDN 01 Menteng itu pun aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Namun, un-tuk memperoleh kehidupan normal itu, ternyata Arghya harus berusaha keras.

Secara rutin, ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memperoleh asupan faktor pembeku darah yang disebut F-VIII. Itu bertujuan memasti-kan darahnya dapat membeku dengan normal.

Ya, Arghya adalah satu dari sekitar 400 ribu penderita hemofi lia di dunia. Dengan un-sur F-VIII dalam darah Arghya hanya sekitar 1%, Arghya dinyatakan sebagai penderita hemofi lia A sedang.

Hemofi lia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan lewat kro-mosom dan umumnya hanya diderita laki-laki. Gangguan pembekuan darah membuat perdarahan sulit berhenti.

Sang ibu, Endang Mariani, menuturkan Arghya dike-tahui menderita hemofilia pada umur sembilan bulan.

sepanjang hayat. Menurut pakar hemofi lia RS Cipto Ma-ngunkusumo/Fakultas Kedok-teran Universitas Indonesia Prof dr S Moeslichan, saat ini suntikan faktor pembeku F-VIII atau F-IX masih menjadi satu-satunya kunci memiliki hidup dan produktivitas nor-mal bagi para penderita hemo-fi lia sampai saat ini.

“Terapi genetik belum da-pat dijadikan alternatif karena masih dalam penelitian dan pengembangan,” paparnya dalam acara Peringatan Hari Hemofi lia Sedunia dan Pelun-curan Perdana Yayasan Peduli Hemofi lia Indonesia (Yapefi li) di MRCCC Siloam Hospital, Jakarta, pekan lalu.

Biaya suntikan faktor pem-beku itu terbilang mahal. Se-bagai contoh, Arghya yang memiliki berat badan 45 kilo-gram membutuhkan sekitar 900-1.800 iu F-VIII.

“Dengan harga sekitar Rp2 juta per vial berisi 250 iu, biaya yang dibutuhkan untuk sekali suntik bisa mencapai Rp8 juta,” cerita sang ibu yang akrab disapa Yani itu.

Kebutuhan F-VIII bagi pen-derita hemofilia tidak bisa ditawar-tawar. Pernah suatu ketika, saat keterbatasan dana melanda, Yani memutuskan mengurangi dosis pemberian F-VIII pada putranya.

“Arghya yang seharusnya diberi F-VIII per 12 jam, saya beri per 24 jam. Saat seharus-

nya diberi F-VIII per 24 jam, saya beri per 48 jam. Ketika dia sudah dapat beraktivitas, pemberian F-VIII saya setop. Namun, akibatnya siku kiri Arghya mengalami gangguan artrosis,” kisah Yani.

Akibat mahalnya biaya pera-watan hemofilia, menurut Moeslichan, hanya 25% dari penderita hemofi lia di dunia yang menerima perawatan memadai.

Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Kese-hatan telah memfasilitasi pe-nyaluran faktor pembekuan darah gratis, tetapi terbatas hanya bagi warga miskin mela-lui program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas).

Kalangan menengah seperti keluarga Arghya harus me-

nanggung sendiri biaya pera-watan hemofi lia. Tidak banyak asuransi kesehatan swasta yang mau menerima peser-ta yang memiliki penyakit bawaan, termasuk hemofi lia.

“Padahal, 30% dari seluruh kasus penderita hemofilia terjadi akibat mutasi genetis spontan,” tutur Moeslichan yang juga Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indo-nesia.

Mutasi genetis itulah yang tampaknya ter jadi pada Arghya. Menurut Yani, baik anggota keluarganya maupun suami tidak ada yang memiliki riwayat hemofi lia.

Moeslichan menegaskan perawatan memadai mam-pu mengantarkan penderita hemofi lia pada hidup normal

dan produktif. Arghya bisa menjadi salah satu buktinya. Kemarin, ia bersama tim Besuki Folk Dance sekolahnya berang-kat ke Eskisehir, Turki, selama satu minggu untuk mengikuti International Children Folk Dance Festival atas undangan pemerintah Turki.

Memang, untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, sebe-lumnya Argyha perlu melaku-kan persiapan khusus. Antara lain, pemeriksaan kondisi ke-sehatan termasuk kondisi gigi dan menyiapkan dokumen agar bisa membawa obat-obat-an. Namun, prestasinya jelas membuktikan penderita hemo-fi lia bisa produktif. (*/H-2)

[email protected]

PERKUMPULAN Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI) melalui salah satu divisinya, Bank Mata Indone-sia, terus menjaring pendonor untuk memenuhi kebutuhan kornea.

‘’Saat ini, mayoritas kornea yang digunakan berasal dari luar negeri seperti Bangladesh dan Amerika,’’ ujar Sekretaris PPMTI Tetty Herawati Soebroto seusai pembukaan Kongres VIII PPMTI-Bank Mata Indo-nesia 2011 di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Tetty, sejauh ini PPMTI berhasil menjaring calon pendonor sebanyak 16.393 orang. Jumlah itu lebih banyak daripada jumlah calon penerima (resipien) yang ter-daftar, yakni 1.010 orang.

Namun, karena pe ng ambilan kornea harus menunggu hingga pendonor meninggal, antrean resipien tidak terhindarkan. Se-orang resipien kerap harus ant-re berbulan-bulan untuk bisa mendapat cangkok kornea.

Karena itu, lanjut Tetty, upaya pencarian donor terus dikem-bangkan. Jika selama ini PPMTI mendapat kornea dari calon pendonor yang wafat serta im-por dari luar negeri, ke depan-nya PPMTI akan ‘menangkap’ calon pendonor potensial di rumah-rumah sakit.

Data Kementerian Kese hatan menunjukkan prevalensi kebu-taan di Indonesia sebesar 1,5%. Cacat kornea menjadi salah satu penyebabnya.Operasi pencangkokan kornea menjadi solusi bagi mereka. Melalui operasi itu, kornea mata yang rusak diganti dengan kornea jernih dari pendonor. (*/S-3)

Bank Mata Jaring

Pendonor dari RS

Sebanyak 30% dari seluruh kasus

penderita hemofilia terjadi akibat mutasi genetis spontan.”Prof dr S MoeslichanKetua Himpunan MasyarakatHemofilia Indonesia