pyonefrosis geng cuplis
DESCRIPTION
lapkas pyoneprhosisTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Agama : Islam
Alamat : jl. Cempaka putih barat rw/rt :15/01
Tanggal MRS : 23 September 2015
Tanggal Pengkajian : 26 September 2015
Nomor Rekam Medik : 00 26 19 82
Dokter yang merawat : dr. Jusuf Saleh Bazed. Sp.U
2. ANAMNESA (26 September 2015)
Keluhan Utama
Nyeri pinggang kanan sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan sejak 2 bulan yang lalu.
Nyeri dirasakan menjalar ke perut kanan atas, ulu hati dan pungung.
Nyeri dirasakan hilang timbul, hilang saat istirahat dan saat pasien
meminum banyak air putih. Pasien mengeluh nyeri saat buang air kecil
1
dan pancarannya tidakbuang air kecil terasa sedikit, warna air kencing
bening.
Dan tidak berpasir maupun keluar batu. Pasien menyangkal mual dan
muntah, demam disangkal, berat badan menurun drastis disangkal. Buang
air besar tidak ada masalah, keluhan lain disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Os pernah mengeluh keluhan yang sama pada pinggang sebelah kiri
18 tahun yang lalu.
- Os memiliki riwayat hipertensi.
- Os memiliki riwayat penyakit asam urat.
- Os mengaku pernah kencing berpasir pada tahun 2011.
- Os mengaku mendapatkan serangan stroke ringan pada tahun 2012.
- Riwayat DM disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah dan ibu pasien menderita hipertensi, riwayat DM dan asma
disangkal.
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien sudah berobat ke puskesmas dan dirujuk ke RSIJ
cempaka putih.
Riwayat Alergi
Makanan/minuman, suhu/cuaca, debu dan obat disangkal
Riwayat Psikososial
2
Pasien minum air putih 1.5 - 3 L/hari. Os suka minum soda. Merokok,
alkohol dan minum teh, kopi disangkal. Makan tidak teratur dan olahraga
jarang.
3. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
a. Status Generalis
Keadaan umum : sakit sedang
GCS : E4V5M6
Kesadaran : composmentis
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 36,7C
b. Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala dan Leher
Bentuk : Normocephal
Pergerakan : Dalam batas normal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, edema
palpebral -/-
Hidung : Sekret dan darah -/-, deviasi septum -, Normosmia
Telinga : Sekret dan darah -/-, Normotia
Mulut dan Gigi : Mukosa oral basah, caries dentis -
Leher : Tidak teraba massa, pembesaran KGB -
3
Thorax
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vocal fremitus dextra+sinitra normal, nyeri (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, ronki -/-, whezing -/-
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea
midclavikularis sinistra
Perkusi : Batas atas jantung pada ICS II linea midklavikula
sinistra, batas kanan jantung pada ICS III linea
parasternal dextra, batas kiri jantung pada ICS V
linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, scar (-), hiperpigmentasi (-)
Auskultasi : BU 8 x/mnt (+) normal
Perkusi : Timpani diseluruh lapang perut (+)
Palpasi : Distensi (-), massa (-), hepar dan lien tak teraba,
defans muscular (-) di seluruh kuadran, nyeri tekan
(+)
Inguinal
4
Inspeksi : Hiperemis (-), Massa (-)
Palpasi : Benjolan (-)
Rectal Toucher tidak dilakukan
Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- Edema -/-
Sianosis -/- Sianosis -/-
Capillary Refill Time <2 dtk Capillary Refill Time <2 dtk
c. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi
Benjolan (-), hiperemis (-), scar (-)
Auskultasi
BU normal (+)
Perkusi
Timpani (+), nyeri ketok CVA (+)
Palpasi
Teraba ballotement ginjal kanan (+)
4. HASIL PEMERIKSAAN
a. Hematologi
Pemeriksaan 01-08-2015 Satuan RujukanHb 12,1 (L) g/dL 13.2-17.3
5
Pemeriksaan 23-09-2015 Satuan RujukanHb 13,5 g/dL 13.2-17.3Leukosit 18,76 (H) Ribu/ul 3.80-10.60Hematokrit 38 (L) % 40-52MCV 80 (L) fL 80-100MCH 29 Pg 26-34MCHC 36 g/dL 32-36Eritrosit 4,73 106/ul 4.40-5.90Trombosit 239 Ribu/ul 150-440
Hemostasis 24-09-2015 Satuan RujukanMasa Pendarahan
2.30 menit 1.00-3.00
Masa Pembekuan
4.00 menit 4.00-6.00
b. Kimia Klinik
Pemeriksaan 01/8/2015 Satuan RujukanAsam Urat 9.9 (H) mg/dL 3.0-7.0Ureum 24 mg/dL 10-50Creatinin 1,9 (H) mg/dL <1,4Leukosit Esterase
3+ (-) Negatif
Pemeriksaan 23/9/2015 Satuan RujukanGDS 101 mg/dL 70-200Ureum 41 mg/dL 10-50Creatinin 1,9 (H) mg/dL <1,4
Pemeriksaan 24/9/2015 Satuan RujukanSGOT (AST) 17 U/L 10-34SGPT (ALT) 12 U/L 9-43
c. Elektrolit
Pemeriksaan 24/9/2015 Satuan RujukanNatrium (Na) 136 mEq/L 135-147
6
Kalium (K) 4.1 mEq/L 3.5-5.0Klorida (Cl) 95 mEq/L 94-111
d. Serologi
Hepatitis 24/9/2015 RujukanHbsAg (-) negatif (-)negatif
e. Urinalisis
Pemeriksaan 01/8/2015 Satuan RujukanWarna Kuning KuningKejernihan Agak keruh JernihLeukosit 490 (H) /LPB 0-5Eritrosit 5 (H) /LPB < 3Silinder (-) Negatif /LPK (-) NegatifSel epitel +1 /LPK 1+Kristal (-) Negatif (-) NegatifBakteri (-) Negatif (-) NegatifBerat jenis 1.009 1.005 -1.030Ph 5,5 5-7Protein 1+ Negatif (<30)
mg/dL Glukosa (-) Negatif Negatif (<100)
mg/dLKeton (-) Negatif (-) NegatifDarah samar/Hb
2+ (-) Negatif
Bilirubin (-) Negatif (-) NegatifUrobilinogen 0.2 mg/dL 0.2-1.0Nitrit (-) Negatif (-) Negatif
5. RESUME
Tn. A usia 51 tahun datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan sejak 2
bulan yang lalu. Nyeri dirasakan menjalar ke perut kanan atas, ulu hati dan
pungung. Nyeri dirasakan hilang timbul, hilang saat istirahat dan saat pasien
meminum banyak air putih. Disuria (+), hematuria (-), keluhan lain
disangkal. Tekanan Darah : 170/100 mmHg, Nadi : 90 x/menit, Frekuensi
napas : 20 x/menit, Suhu : 36,7C
7
Pemeriksaan Fisik didapatkan dari status lokalis :
Inspeksi Benjolan (-), hiperemis (-), scar (-)
Auskultasi BU normal (+)
Perkusi Timpani (+), nyeri ketok CVA (+)
Palpasi Teraba ballotement ginjal kanan (+)
6. DIAGNOSIS PRA BEDAH :
Nefrolithiasis kanan dengan hidronefrosis
7. DIAGNOSIS PASCA BEDAH :
Pyonefrosis kanan ec batu
8. RENCANA TERAPI
a. Terapi Simptomatik
• Observasi keadaan umum dan vital sign
• Pasang DC, Puasa
• IVFD RL 20 tpm
• Inj novalgin 1 ampul/12 jam
• Inj. Ceftriakson 2x1 gr
b. Terapi Definitif
Nefrolitotomi
Laporan Operasi
8
a. Lumbotomi dextra
b. ICS XI
c. Telihat adanya adhesi ginjal
d. Dilakukan pyelonefrotomi kanan
e. Keluar pus kental dispooling dengan betadine clear
f. Cuci dengan betadine
g. Dilakukan penutupan luka
9. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad malam
10. FOLLOW UP
Tanggal 25 September 2015 Tanggal 28 September 2015
S : nyeri menjalar ke perut kanan
atas, ulu hati dan pungung
O : Teraba ballotement ginjal kanan
(+), nyeri tekan (+)
A : pionefrosis kanan dengan
hidronefrosis
P : operasi piolonefrotomi kanan
tanggal 25/9/2015 jam 14.30
S : nyeri (-), kateter dan drainase
sudah dilepas
O : nyeri tekan (-)
A : post op piolonefrotomi kanan
P : - Ceftriaxone 1x2 gr
- Novalgin 3x1 gr
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Epidemiologi
Pyonephrosis merupakan urine yang terinfeksi dan bersifat purulent
didalam sistem traktus urinarius yang mengalami obstruksi. Gejala
pyonephrosis menyerupai abscess yaitu demam, menggigil, dan flank pain,
walaupun pada beberapa pasien tidak bergejala. Pyonephrosis dapat
disebabkan oleh beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan adanya
ascending infection dalam tractus urinarius atau penyebaran bakteri secara
hematogen. Obstruksi traktus urinarius dapat mengakibatkan terjadinya
pyelonephritis yang ditandai dengan meningkatnya leukosit, bakteri, dan
debris sehingga menimbulkan pyonephrosis. Dengan terkumpulnya pus,
kondisi pasien dapat memburuk dengan cepat dan timbul sepsis. Oleh
karena itu, pengenalan awal dan penanganan infeksi akut pada ginjal,
khususnya pada pasien - pasien dengan kecurigaan obstruksi pada traktus
urinarius sangat penting
Pasien - pasien dengan pyonephrosis yang tidak diketahui pada
tahap awal akan cepat memburuk dan timbul syok septik. Sebagai tambahan
dari resiko kematian akibat syok septik, komplikasi lain dari diagnosis dan
penanganan yang terlambat dari pyonephrosis adalah kerusakan ireversibel
10
dari ginjal sehingga memerlukan tindakan nephrectomy. Penanganan infeksi
pada pasien dengan obstruksi ginjal tidak cukup dengan antibiotik dan
memerlukan intervensi pembedahan
Pyonephrosis jarang terjadi, dan insidensinya tidak pernah
dilaporkan. Resiko pyonephrosis meningkat pada pasien - pasien dengan
obstruksi traktus urinarius bagian atas sekunder dari penyebab yang berbeda
(batu, tumor, obstruksi ureteropelvik junction). Pyonephrosis tidak umum
terjadi pada orang dewasa, anak - anak, dan neonatus. Namun, akhir - akhir
ini pyonephrosis ditemukan terjadi pada beberapa neonatus dan orang
dewasa, menjelaskan bahwa pyonephrosis dapat terjadi pada semua
golongan usia
B. Etiologi
Infeksi traktus urinarius bagian atas yang dikombinasi dengan
obstruksi dan hydronephrosis dapat mengakibatkan terjadinya pyonephrosis.
Hal ini dapat berkembang menjadi renal dan perirenal abscess. Faktor resiko
untuk terjadinya pyonephrosis adalah keadaan immunosupresi akibat obat
(steroids), penyakit (diabetes mellitus, AIDS), dan obstruksi pada traktus
urinarius (batu, tumor, obstruksi ureteropelvic junction, horseshoe kidney)
Pasien - pasien yang immunokompromise dan yang diobati dengan
antibiotika jangka panjang mempunyai resiko untuk terinfeksi jamur. Ketika
terbentuk fungus ball, mereka dapat mengobstruksi pelvis renal atau ureter,
mengakibatkan terjadinya pyonephrosis
11
Xanthogranulomatous pyelonephritis merupakan kondisi klinik
dimana terdapat calculus pada ginjal bagian atas dan infeksi, kondisi ini
dapat mengakibatkan pyonephrosis apabila terjadi obstruksi
Proses terjadinya pyonephrosis terdiri dari 2 bagian, yaitu :
a. Infeksi
Seperti yang dilaporkan dari beberapa literatur, berbagai agen
infeksius dapat diisolasi pada pasien dengan pyonephrosis.
Berikut ini merupakan agen infeksius penyebab pyonephrosis,
diurutkan dari yang insidensinya paling sering :
Escherichia coli
Enterococcus species
Candida species dan infeksi jamur lainnya
Enterobacter species
Klebsiella species
Proteus species
Pseudomonas species
Bacteroides species
Staphylococcus species
Salmonella species
Tuberculosis (dapat menyebabkan infeksi dan striktur)
b. Obstruksi
Etiologi dari obstruksi dapat diakibatkan oleh faktor - faktor
berikut :
12
Batu dan staghorn calculi pada 75% pasien
Fungus balls
Metastatik retroperitoneal fibrosis (tumor ginjal, Ca testes,
Ca colon)
Obstruksi Ca sel transisional
Kehamilan
Obstruksi ureteropelvic junction
Obstruksi ureterocele
Obstruksi ureterovesical junction
Stasis urine kronik dan hydronephrosis sekunder dari
neurogenic bladder
Striktur ureter
Papillary necrosis
Tuberculosis
Duplicated kidneys dengan komponen obstruktif
Neurogenic bladder
c. Penyebab jarang lainnya, seperti sciatic hernias yang
mengakibatkan obstruksi ureteral
C. Patofisiologi
Eksudat purulen berkumpul didalam tubulus kolektivus yang
mengalami hydronephrosis dan membentuk abscess. Eksudat purulen ini
terdiri dari sel - sel radang, Organisme infeksius, dan nekrotik urothelium.
13
Jika tidak diketahui dan ditangani secara tepat, proses infeksius ini akan
semakin berkembang, dan pasien mengalami perburukan dan urosepsis
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik pasien - pasien dengan pyonephrosis bervariasi dari
asimptomatik bakteriuria (15%) sampai sepsis. Kecurigaan terhadap
penyakit ini harus ditingkatkan apabila memeriksa pasien dengan riwayat
demam, flank pain, infeksi traktus urinarius, dan obstruksi atau
hydronephrosis. Pada pemeriksaan fisik, dapat teraba suatu massa
intraabdominal yang dapat diasosiasikan dengan ginjal yang mengalami
hydronephrosis
E. Indikasi
Pyonephrosis merupakan kegawatdaruratan bedah dan
membutuhkan intervensi cepat. Pyonephrosis dapat ditangani dengan
dekompresi antegrade atau retrograde. Dekompresi retrograde, atau
pemasangan ureteral stent, diindikasikan pada pasien - pasien tanpa
instabilitas hemodinamik. Antibiotik intravena harus diberikan sebelum
pemasangan stent. Kerugian dari dekompresi retrograde adalah tidak adanya
akses antegrade untuk studi radiografik, kateter urine yang lebih kecil
dibandingkan akses percutaneus, peningkatan gejala iritasi sistem urinaria,
tidak bisa memberikan medikasi antibiotik lewat tube nephrostomy, dan
keterbatasan percutaneus chemolysis yang berfungsi untuk menghancurkan
14
batu. Untuk memaksimalkan drainase, kateter urethral harus dibiarkan
ditempat setelah pemasangan stent
Pendekatan secara retrograde biasanya membutuhkan anestesi
umum, dan proses bypass pada obstruksi tidak dapat dilakukan pada
beberapa pasien. Sebagai tambahan, aliran balik urine yang terinfeksi dari
pyelovenous, pyelolymphatic, dan pyelosinus ke sistem peredaran darah
merupakan resiko dari manipulasi retrograde. Hal ini dapat menyebabkan
sepsis iatrogenic
Penanganan definitif dari batu dan obstruksi dengan ureteroscopy,
lithotripsy, atau endopyelotomy merupakan kontraindikasi utuk penanganan
pertama dari pasien - pasien dengan pyonephrosis. Jika pemasangan stent
retrograde dipilih, ahli bedah harus meminimalkan instrumentasi dan
retrograde pyelography serta dekompresi obstruksi dengan trauma minimal
pada traktus urinarius. Walaupun dilakukan pada beberapa institusi, cara ini
tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan sepsis dan
memperparah infeksi. Penanganan antegrade dengan pemasangan tube
nephrostomy percutaneous diindikasikan pada pasien dengan instabilitas
hemodinamik atau sepsis. Jika beberapa berpendapat bahwa tehnik ini lebih
invasif, namun pemasangan tube nephrostomy mempunyai keuntungan
Melalui tube nephrostomy maka dapat dimasukkan obat-obatan
langsung ke dalam tubulus kolektivus dan ureter untuk mengatasi infeksi,
batu terkadang dapat dihancurkan secara kimiawi lewat irigasi antegrade.
15
Studi radiografik secara antegrade sangat membantu dalam rencana terapi
saat kondisi pasien sudah stabil
Keuntungan yang paling penting dari cara ini adalah
dimungkinkannya drainase pada unit ginjal yang terinfeksi dengan trauma
dan resiko yang minimal terhadap pasien
Kerugian dari pemasangan tube nephrostomy adalah kemungkinan
adanya trauma ginjal dan kesulitan penempatan tube pada beberapa pasien
karena bentuk tubuh atau hydronephrosis ringan yang membuat penentuan
lokasi lewat ultrasonografi menjadi sulit
Pada manajemen pyonephrosis, tube nephrostomy tidak boleh
ditempatkan secara transpleural. Hal ini untuk menghindari terjadinya
pneumothorax, infeksi pleural, dan pembentukan empyema
Pemasangan tube secara percutaneous pada area suprapubic yang
dibantu lewat ultrasonografi atau radiografi dapat sangat membantu pada
beberapa pasien dengan urosepsis akibat obstruksi vesica urinaria ketika
Foley kateter tidak dapat dipasang
F. Kontraindikasi
Pemasangan ureteral stent secara retrograde merupakan
kontraindikasi pada pasien tidak stabil dengan sepsis. Pada kondisi ini,
pemasangan tube nephrostomy secara percutaneous merupakan cara
dekompresi yang paling baik pada sistem yang terinfeksi. Kontraindikasi
relatif dari pemasangan stent secara retrograde adalah pasien dengan
16
impaksi dan obstruksi akibat batu pada saluran bagian atas atau adanya
fungus ball yang membutuhkan terapi dengan irigasi secara antegrade
G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, diff. count, ureum, kreatinin, urinalisis
dengan kultur, dan kultur darah diindikasikan pada pasien dengan
suspek pyonephrosis. Pemeriksaan C-reactive protein belakangan ini
diusulkan untuk membantu diagnosis ginjal dengan hydronephrosis
yang terinfeksi. Kultur urine dari cairan diatas area obstruksi harus
dilakukan untuk membantu menentukan terapi antibiotik. Spesimen
kultur dapat diperoleh dari kateter. Kultur juga harus diperoleh dari tube
percutaneous pada saat dilakukan nephrostomy
o Hasil lab dapat menunjukkan leukositosis dan bakteriuria; akan
tetapi kedua hasil ini tidak spesifik untuk pyonephrosis dan dapat
disebabkan oleh penyakit lain (pyelonephritis, infeksi traktus
urinarius inkomplit)
o Pyuria, walaupun sering timbul pada pyonephrosis namun tidak
spesifik. Bakteriuria, demam, rasa nyeri, dan leukositosis 30% dapat
tidak timbul pada pasien - pasien dengan pyonephrosis
Pencitraan
Pemeriksaan radiografik rutin umumnya tidak dilakukan pada pasien-pasien
dengan infeksi traktus urinarius tanpa komplikasi Akan tetapi, pemeriksaan
radiografik yang tepat sangat bermanfaat untuk mendiagnosis pyonephrosis,
17
emphysematous pyelonephritis, dan abscess renal atau perirenal ketika
pasien-pasien tidak mengalami perkembangan dengan terapi antibiotik
Ultrasonografi
o Sensitifitas ultrasonografi ginjal untuk membedakan hydronephrosis
dari pyonephrosis mencapai 90%, dan spesifitasnya mencapai 97%
o Hasil ultrasonografik yang mengarah ke hydronephrosis dan
pyonephrosis menunjukkan adanya koleksi debris dalam tubulus
kolektivus. Keberadaan debris dan lapisan echoes dengan amplitude
rendah pada ginjal yang hydronephrosis menunjukkan adanya
pyonephrosis. Gambaran ini cukup spesifik dimana ketidakadaannya
dapat menyingkirkan kemungkinan pyonephrosis dengan derajat
akurasi yang tinggi
Sonogram dari ginjal menunjukkan hydronephrosis
dengan kehadiran debris dan lapisan fokus echogenic
18
beramplitudo rendah. Menunjukkan gambaran
pyonephrosis.
Computed
tomography scanning
o CT scan sangat membantu dalam mendiagnosis pyonephrosis.
Keuntungan dari CT scan adalah dapat menggambarkan adanya
obstruksi dengan jelas, fungsi dari ginjal, dan tingkat keparahan dari
hydronephrosis, dan berbagai kelainan abdominal lainnya termasuk
metastasis Ca, retroperitoneal fibrosis, dan batu ginjal yang tidak
terlihat lewat sonogram
19
CT scan dengan gambaran dilatasi sistem kolektivus
ginjal, peningkatan ketebalan dinding pelvis renal, dan
adanya debris pada pelvis renal
Kriteria
diagnosis untuk pyonephrosis pada CT scan adalah :
(1) peningkatan ketebalan dinding pelvis renal lebih dari 2 mm,
(2) isi dari pelvis renal dan debris terlihat,
20
(3) perirenal fat stranding
Magnetic resonance imaging :
o Suatu metode untuk membedakan pyonephrosis dari hydronephrosis
didasarkan atas difusi pada MRI. Pada studi pencitraan ini,
pyonephrosis berkorelasi dengan signal hyperintense dalam sistem
kolektivus (menggambarkan adanya pus pada sistem), sementara
ginjal yang hydronephrotic tanpa pus hypointense
Pemeriksaan Lain
Renal nuclear scanning
o Renal nuclear scanning tidak begitu membantu dalam mendiagnosis
secara cepat pyonephrosis. Pada fase akut, scanning akan
menunjukkan. Acutely, scans may exhibit prolonged cortical uptake
with delayed excretion of radionuclide similar to that observed in
acute obstruction. These defects often resolve with resolution of the
infection; however, persistence in follow-up renal nuclear scans may
indicate permanent damage to the renal cortex
o Renal nuclear scanning may be helpful when a kidney is believed to
be nonfunctional on any imaging study during the acute phase of
pyonephrosis. If a kidney is proven to be nonfunctional after
resolution of infection and treatment of the etiology of the
obstruction, then nephrectomy may be indicated to prevent further
episodes of pyonephrosis
21
Antegrade nephrostography
o This test may be extremely helpful in determining the etiology of the
obstruction associated with pyonephrosis and in planning further
treatment strategies
o As with any invasive procedure, nephrostography should be delayed
until the patient is stable, on antibiotics, and afebrile for 1-2 weeks
after placement of a nephrostomy tube
Further imaging tests
o When a definitive anatomic abnormality, such as a stone or tumor,
cannot be determined, further imaging studies and tests may be
needed to establish the etiology of the pyonephrosis
o These tests may include voiding cystourethrography to exclude
vesicoureteral reflux multichannel urodynamics to establish a
possible neurogenic bladder with urine stasis, and serial renal
ultrasonography to document resolution of hydronephrosis after
treatment
Diagnostic Procedures
CT- and ultrasound - guided aspiration
o Aspiration of the collecting system with CT or ultrasonographic
guidance with Gram stain and culture of the fluid provides a
definitive diagnosis of pyonephrosis
22
o Sending the culture for aerobic, anaerobic, and fungal pathogens is
important
o If clinically indicated, perform acid-fast stain and send cultures for
tuberculosis testing
H. Penatalaksanaan
Medical Therapy
The treatment of pyonephrosis has changed dramatically over the
years. Prior to the 1980s, emergency surgical excision with nephrectomy
was the standard of care. However, this was associated with a high
morbidity and complication rate, including sepsis, wound infections,
peritonitis, and fistulas. Initially, treat patients with appropriate intravenous
antibiotics consisting of an aminoglycoside (gentamicin) and gram-positive
coverage (ampicillin) prior to instrumentation. Depending on the clinical
situation, additional anaerobic coverage with clindamycin may be needed.
Be cognizant of the fact that patients may have fungal infection or
tuberculosis. The use of antifungal or antibacterial agents is predicated on
culture results. Many patients are septic and may require aggressive fluid
resuscitation with crystalloids. Pressor support (with dopamine) may be
needed to maintain adequate blood pressure and hemodynamics
Surgical Therapy
23
With the advent of ultrasonography and CT scanning, percutaneous
drainage has become the mainstay of treatment. It has low morbidity and
mortality rates with an excellent outcome
CT- and ultrasound-guided drainage significantly decreases the
need for nephrectomy, resulting in renal preservation. Retrograde
decompression of pyonephrosis in patients who are severely ill is not
advocated because of the need for internal instrumentation and the possible
future need for antegrade irrigation. In selected healthy stable patients,
consider retrograde decompression as an option. This avoids placement of
the percutaneous nephrostomy tube and allows internalization of the
drainage catheter; however, it does not allow for antegrade medication
infusion or treatment of obstruction that is sometimes needed with funguria
and infected stones
Consider treating patients with pyonephrosis in the following 2 stages :
Stage 1 (decompression and drainage)
o Perform retrograde stent placement
o Use percutaneous CT - or ultrasound - guided nephrostomy. The
posterior calyx should be entered from an oblique posterolateral
approach in the posterior axillary line, 2-4 cm below the 12th rib.
This avoids the pleura, colon, liver, and spleen and is least likely to
result in hemorrhage. Initial entry is made with a 20-gauge Chiba or
18-gauge sheath needle. The tract is then dilated using the Seldinger
24
technique, and an 8F-14F nephrostomy tube is placed and connected
to a closed-system drainage bag
o The infectious process often resolves within 24-48 hours following
drainage, and the patient may improve significantly once this occurs
Stage 2
o Eliminate the obstruction by removing the stone, fungus ball, or
tumor 1-2 weeks after percutaneous drainage or stent placement.
Accomplish this with the use of electrohydraulic lithotripsy, laser
lithotripsy,28percutaneous nephrolithotomy, extracorporeal
shockwave lithotripsy, endopyelotomy, transurethral resection, or
open surgical procedures. All of these are based on the type of
obstruction and clinical situation
In patients with uric acid stones and fungus balls, antegrade irrigation with
alkaline fluids and antifungals through the nephrostomy tube may be needed
prior to surgical intervention
I. Komplikasi
The prognosis of pyonephrosis is good in most patients who
receive prompt diagnosis and treatment. Sepsis is the most common
complication in the perioperative period when treatment is delayed
Generalized peritonitis can result from a rupture of the
pyonephrotic kidney. In 1996, Hendaoui et al reported the first case of a
splenic abscess that developed from a ruptured pyonephrosis after the
25
development of generalized peritonitis.6This occurrence was again reported
by Sugiura et al in 2004, making it possibly much more common than
originally thought. Fistulas may develop and can be associated with
peritonitis
Renocolonic, renoduodenal and renocutaneous fistulas are the most
common; therefore, suspect these in patients with continued electrolyte
disorders, diarrhea, and recurrent urinary tract infections after resolution of
pyonephrosis. Other rare complications include pneumoperitoneum from
lithogenic pyonephrosis, nephrobronchial fistula, renal vein thrombosis,
psoas abscess and/or perinephric abscess, and rhabdomyolysis. Delay in
diagnosis and treatment may result in a loss of renal function from
parenchymal damage. Perinephric hematomas, blood transfusions, and the
need for nephrostomy tube revision are also complications of percutaneous
drainage. If a nephrectomy must be performed in the future, long-term
nephrostomy tubes are reported to increase the risk of a postoperative
wound infection
J. Prognosis
Most infectious processes resolve within 24-48 hours and
significantly improve after either nephrostomy or retrograde stent drainage
of the infection. If pyonephrosis is recognized and treated promptly,
recovery of the affected renal unit is rapid. Long-term complications are
rare when managed promptly; however, injury to the functional renal unit,
26
abscesses, fistulas, and scarring may occur when definitive therapy is
delayed. For excellent patient education resources, visit eMedicine's
Kidneys and Urinary System Center. Also, see eMedicine's patient
education article Urinary Tract Infections
K. Future and Controversies
Treatment of infections occurring from pyelonephritis and
pyonephrosis are changing rapidly and dramatically. The persistent use of
broad-spectrum antibiotics, an increase in the population of
immunocompromised patients (eg, patients with AIDS, patients undergoing
chemotherapy), and the evolution of multiple drug–resistant bacteria
complicate the picture. Rare organisms, multiple organism infections, and
Candida species are now commonly associated with infected calculi
Antegrade percutaneous nephrostomy placement allows both
drainage of purulent material and the antegrade infusion of antifungal
medication and antibiotics to adequately treat these infections. Retrograde
stent placement does not allow this form of therapy; therefore, many experts
stress the importance of nephrostomy drainage rather than retrograde
transurethral drainage for pyonephrosis. The authors currently prefer
retrograde stent drainage after loading the patient with broad-spectrum
antibiotics, saving antegrade drainage for patients who may require further
intervention, as discussed above. The need for nephrectomy after
percutaneous nephrostomy drainage and antibiotic treatment is debated.
Some advocate the need for removal if the source of obstruction is not
27
clearly identified. This can help exclude the presence of a malignant
etiology for the obstruction, such as transitional cell carcinoma of the renal
pelvis
Nonresponsiveness to therapy and progression of disease after
percutaneous drainage are additional indications for nephrectomy; however,
current technology reflects that preserving the maximal number of renal
units is prudent
L. Multimedia
Media file 1: Sonogram of the kidney showing
hydronephrosis with the presence of debris and
layering of low-level echogenic foci consistent
with pyonephrosis.
28
Media file 2: Computed tomography scan with
images through the kidneys showing dilation of
the collecting system, increased renal pelvic
wall thickness, and the presence of renal pelvic
debris.
DAFTAR PUSTAKA
29
1. St Lezin M, Hofmann R, Stoller ML. Pyonephrosis: diagnosis and
treatment. Br J Urol. Oct 1992;70(4):360-3. [Medline]
2. Perimenis P. Pyonephrosis and renal abscess associated with kidney
tumours. Br J Urol. Nov 1991;68(5):463-5. [Medline]
3. Wah TM, Weston MJ, Irving HC. Lower moiety pelvic-ureteric junction
obstruction (PUJO) of the duplex kidney presenting with pyonephrosis in
adults. Br J Radiol. Dec 2003;76(912):909-12. [Medline]
4. Roberts JA. Pyelonephritis, cortical abscess, and perinephric abscess. Urol
Clin North Am. Nov 1986;13(4):637-45. [Medline]
5. Sugiura S, Ishioka J, Chiba K, et al. [A case report of splenic abscesses due
to pyonephrosis]. Hinyokika Kiyo. Apr 2004;50(4):265-7. [Medline]
6. Hendaoui MS, Abed A, M'Saad W, et al. [A rare complication of renal
lithiasis: peritonitis and splenic abscess caused by rupture of
pyonephrosis]. J Urol (Paris). 1996;102(3):130-3. [Medline]
7. Sharma S, Mohta A, Sharma P. Neonatal pyonephrosis--a case report. Int
Urol Nephrol. 2004;36(3):313-5. [Medline]
8. Wu TT, Lee YH, Tzeng WS, et al. The role of C-reactive protein and
erythrocyte sedimentation rate in the diagnosis of infected hydronephrosis
and pyonephrosis. J Urol. Jul 1994;152(1):26-8. [Medline]
9. Baumgarten DA, Baumgartner BR. Imaging and radiologic management of
upper urinary tract infections. Urol Clin North Am. Aug 1997;24(3):545-
69. [Medline]
10. Schwartz Principle of Surgery
30
11. Syamsuhidajat-De jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. 2010. Jakarta : EGC
12. Tanto, Chris. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Ed 4. 2014. Jakarta :
Media Aesculapius
31