putusan nomor 49/puu-ix/2011 demi keadilan … · maka pasal-pasal dalam uu mk yang saat ini diuji...
TRANSCRIPT
PUTUSAN Nomor 49/PUU-IX/2011
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] 1. Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.; Dosen;
Indonesia;
Jalan Fisika IV Nomor 6, Komplek Universitas
Andalas, Ulu Gadut, Padang;
2. Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H.; Dosen;
Indonesia;
Jalan Fisika IV Nomor 1, Komplek Universitas
Andalas , Ulu Gadut, Padang;
3.
Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
:
Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.H.; Dosen;
Indonesia;
Jalan Kompleks Mega Bukit Emas B. 16-18,
Pundak Payung, Banyumanik, Semarang;
4. Nama
Pekerjaan
:
:
Dr. Zainul Daulay, S.H., M.H.; Dosen dan Deputi Direktur Pusat Studi
Konstitusi;
2
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 4 Agustus 2011 memberi kuasa kepada
1) Donal Fariz, S.H., 2) Febri Diansyah, S.H., 3) Jamil Burhan, S.H., 4) Khairul Fahmi, S.H., M.H., 5) M. Jodi Santoso, S.H., M.H., 6) Nurcholis Hidayat, S.H., 7) Taufik Basari, S.H., LL.M., 8) Veri Junaidi, S.H., 9) Wahyudi Djafar, S.H., 10) Yance Arizona, S.H., kesemuanya adalah advokat, dan pengabdi bantuan hukum,
yang tergabung dalam Tim Advokasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang beralamat di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kampus Limau
Warga Negara
Alamat
:
:
Indonesia;
Kampus Universitas Andalas Limau Manis,
Padang;
5. Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM.; Dosen;
Indonesia;
Komplek Perumahan Dayu Permai Nomor 9,
Yogyakarta;
6. Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H.; Dosen;
Indonesia;
Graha Swarna Residence C-29 Jalan Ikan
Kakap, Malang;
7. Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
Dr. Fatmawati, S.H., M.H.; Dosen;
Indonesia;
Permata Depok Blok G1 Nomor 15 Depok;
8. Nama
Pekerjaan
Warga Negara
Alamat
:
:
:
:
Feri Amsari, S.H., M.H.; Dosen dan Peneliti Pusako;
Indonesia;
Jalan Kampus Limau Manis, Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat;
3
Manih, Padang, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk
dan atas pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;
Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;
Mendengar keterangan ahli dari para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan
Rakyat;
Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 28 Juli 2011 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 29 Juli 2011
dengan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 264/PAN.MK/2011 dan
diregister pada hari Senin, tanggal 1 Agustus 2011 dengan registrasi perkara Nomor
49/PUU-IX/2011, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 19 Agustus 2011, menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. PENDAHULUAN
Bahwa revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan Pemerintah telah
menyebabkan terganggunya pelaksanaan tugas dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dan menyebabkan pertentangan dengan UUD 1945 terutama terkait
keberadaan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat (2)
huruf d dan huruf h; Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf
e; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (2a); Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
4
Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dari Undang-Undang Perubahan Undang-
Undang Mahkamah Konstitu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, dalam UU MK
pada bagian Menimbang huruf b, disebutkan bahwa “Undang-Undang 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.” Para
Pemohon berpandangan bahwa hal tersebut merupakan klaim sepihak dari
pembentuk Undang-Undang. Karena berdasarkan pengalaman para Pemohon, justru
semangat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi itu tidak ada yang bertentangan dengan perkembangan zaman
yang ada pada hari ini;
Sebagai contoh, keberadaan ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU MK yang pada intinya
dapat diartikan membatasi dan melarang MK memutus “melebihi” petitum pemohon
ataupun memberikan tafsir konstitusi atas suatu norma. Padahal, justru praktek
Putusan MK yang memutus “lebih dari petitum eksplisit” dari Pemohon ataupun
memberikan tafsir konstitusional atas suatu norma, merupakan jawaban atas
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Meskipun telah
berusaha mencari dalam UU MK, namun para Pemohon tetap tidak mendapatkan
basis argumentasi, mengapa kemudian pembentuk Undang-Undang dalam hal ini
Pemerintah dan DPR sampai pada kesimpulan bahwa sebagian dari Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan sehingga merasa perlu
membuat rumusan pasal-pasal pembatasan tersebut;
Kedua, para Pemohon berpendapat bahwa revisi Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi menjadi UU MK itu menciderai nilai-nilai konstitusionalisme. Salah satu poin
utama permohonan para Pemohon adalah sebagian dari hasil revisi Undang-Undang
yang kemudian termaktub dalam UU MK itu berpotensi merusak Mahkamah
Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen;
Sebagai contoh, keberadaan Pasal 26 ayat (5) UU MK yang mengatur tentang
adanya “hakim konstitusi pengganti yang meneruskan sisa masa tugas hakim
sebelumnya” yang menciptakan norma rezim masa jabatan hakim konstitusi seperti
rezim politik. Lalu Pasal 27A ayat (2) huruf c dan huruf d, yang mengatur keanggotaan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan memasukkan unsur DPR dan
5
Pemerintah, dapat mengganggu independensi MK mengingat produk legislasi DPR
dan Pemerintah merupakan objek in litis dalam pengujian Undang-Undang di MK.
Keberadaan DPR dan Pemerintah dapat menimbulkan konflik kepentingan yang
tentunya tidak diperkenankan terlibat dalam suatu pemeriksaan etik. Keberadaan
DPR dan Pemerintah dapat pula berpotensi menjadi “alat kontrol kepentingan”
terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang.
Tentunya potensi seperti ini amat berbahaya;
Ketiga, semangat revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dalam UU MK
ternyata bukan dilandasi atas kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan. Semangat revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi adalah semangat membatasi, mengendalikan
dan mempolitisir fungsi, tugas dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Pasal-pasal
yang diuji para Pemohon menunjukkan hal tersebut;
Keempat, karena semangat revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ternyata
tidak sejalan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan
maka pasal-pasal dalam UU MK yang saat ini diuji menurut pandangan para
Pemohon berpotensi melemahkan Mahkamah Konstitusi. Selain karena dilandasi
semangat pembatasan, hal ini juga terjadi akibat ketidakpahaman pembentuk
Undang-Undang terhadap kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan kita;
B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa dalam suatu negara demokrasi, yang berdasarkan atas hukum,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,
“Negara Indonesia adalah negara hukum”, independensi peradilan dan
independensi hakim merupakan unsur esensial dari negara hukum atau rechtstaat
(rule of law). Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi pemisahan
kekuasaan diantara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta konsepsi
independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang fundamental,
sehingga dianggap sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi, dan
merupakan jiwa dari konstitusi itu sendiri;
6
2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
3. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
4. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;
5. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian
of constitutison). Apabila terdapat Undang-Undang yang berisi atau terbentuk
bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi
dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan Undang-Undang tersebut
secara menyeluruh ataupun per pasalnya;
6. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-Undang
agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi
terhadap konstitusionalitas pasal-pasal Undang-Undang tersebut merupakan tafsir
satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum.
Sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau
multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
7. Bahwa melalui permohonan ini, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 4
ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat (2) huruf d, frasa
“dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h; Pasal
7
26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57
ayat (2a); Pasal 59 ayat (2); dan Pasal 87 UU MK terhadap Pasal 1 ayat (3);
Pasal 22A; Pasal 28D ayat (1); Pasal 28D ayat (3); Pasal 22A; Pasal 24 ayat (1);
Pasal 24 ayat (2); Pasal 24C ayat (1); Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945;
8. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;
C. Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon
9. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia UUD Tahun 1945 merupakan satu indikator perkembangan
ketatanegaraan yang positif, yang merefleksikan adanya kemajuan bagi
penguatan prinsip-prinsip negara hukum;
10. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang,
yaitu (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, (c) badan hukum publik
dan privat, atau (d) lembaga negara”;
11. Para Pemohon adalah perorangan warga negara yang merupakan pengajar
Hukum Tata Negara di Universitasnya masing-masing, yang peduli terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta ide-ide
konstitusionalisme, dan merupakan individu-individu yang melakukan pemantauan
terhadap penyimpangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan nilai-nilai
konstitusionalisme UUD 1945. Sehingga UUD Tahun 1945 harus dipandang
sebagai perwujudan upaya seorang warga negara, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negaranya
melalui penegakan nilai-nilai konstitusionalisme;
12. Para Pemohon yang terdiri dari delapan orang pengajar Hukum Tata Negara,
yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Dr. Arief
Hidayat, Dr. Zainul Daulay, S.H., M.H., Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., Dr.
8
Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H., Dr. Fatmawati, S.H., M.H., dan Feri Amsari,
S.H., M.H., merupakan warga negara Indonesia (vide bukti P-2). Dengan
demikian ketentuan sebagaimana diatur di Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-
Undnag Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah terpenuhi;
13. Selanjutnya, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, Pemohon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
14. Lima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil
Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (halaman 59), yang
menyebutkan sebagai berikut:
“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar
pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan
NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan
publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh
Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan
pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945
(lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995).”
15. Para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia adalah para
pembayar pajak (vide bukti P-3). Selain itu, para Pemohon juga concern dalam
9
melakukan advokasi pembentukan dan perlindungan Mahkamah Konstitusi
sebelum dan sesudah pembentukan Mahkamah Konstitusi, yang terdiri dari:
1) Bahwa Pemohon I, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja sebagai
tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, bidang studi Hukum
Tata Negara. Selain sebagai pengajar Pemohon juga aktif dalam
melaksanakan advokasi pelaksanaan nilai-nilai konstitusionalisme melalui
penelitian dan kerja sama dengan berbagai institusi-institusi masyarakat
dan/atau negara, juga melakukan kampanye perlindungan nilai-nilai
konstitusionalisme melalui media massa, baik berbentuk tulisan ataupun
pernyataan. Pemohon juga melakukan pelbagai advokasi terkait pelaksanaan
sistem ketatanegaraan yang baik bagi Indonesia dengan menyebarkan ide-ide
konstitusionalisme melalui dunia akademis berupa ceramah-ceramah ilmiah
terkait; 2) Bahwa Pemohon II, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja sebagai
tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, bidang kajian ilmu
perundang-undangan. Pemohon juga melakukan advokasi pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik melalui berbagai media. Bahkan
juga menulis buku terkait pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik agar aparat yang diberikan amanah membentuk Undang-Undang tidak
melakukan penyimpangan sebagaimana yang telah ditentukan oleh UUD 1945
dan teori-teori hukum yang berlaku universal. Selain itu Pemohon juga adalah
peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas
Andalas, di mana Pemohon memfokuskan kajian terhadap perlindungan nilai-
nilai konstitusionalisme dan pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik; 3) Bahwa Pemohon III, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja
sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Pemohon
juga concern mengkampanyekan perlindungan nilai-nilai konstitutisionalisme
melalui pengajaran dan diskusi-diskusi ilmiah agar sistem ketatanegaraan
dapat berjalan dengan baik; 4) Bahwa Pemohon IV, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja
sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Pemohon
10
juga aktif di lembaga penelitian Pusat Studi Konstitusi (Pusako) yang
melakukan kajian terhadap penerapan nilai-nilai konstitusionalisme di daerah
dan masyarakat asli (indigenous people). Pemohon berpendapat bahwa tidak
dapat berjalannya lembaga Mahkamah Konstitusi akan merugikan dirinya
dikarenakan lembaga negara tersebut kesulitan melindungi hak-hak
masyarakat hukum adat yang selama ini menjadi cakupan penelitiannya; 5) Bahwa Pemohon V, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja sebagai
tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan
kekhususan Hukum Administrasi Negara. Pemohon aktif dalam melakukan
advokasi pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance) baik melalui
keikutsertaan dalam diskusi-diskusi ilmiah dan melalui tulisan-tulisan di media
massa; 6) Bahwa Pemohon VI, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja
sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dengan
kekhususan Hukum Tata Negara. Pemohon merupakan tenaga pengajar yang
aktif dalam melakukan advokasi nilai-nilai konstitusionalisme dalam ranah
akademik atau diskusi-diskusi formal, dan juga melalui tulisan-tulisan ilmiah; 7) Bahwa Pemohon VII, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja
sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pemohon
merupakan tenaga pengajar yang aktif dalam melakukan advokasi nilai-nilai
konstitusionalisme dalam ranah akademik dan/atau melalui diskusi-diskusi
formal, dan juga melalui tulisan-tulisan ilmiah; 8) Bahwa Pemohon VIII, merupakan warga negara Indonesia yang bekerja
sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Pemohon
aktif melakukan advokasi ide-ide konstitusional melalui tulisan-tulisan di media
massa, terutama yang terkait penyelamatan Mahkamah Konstitusi (vide bukti P-4). Pemohon juga merupakan Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
di Mahkamah Konstitusi dengan nomor registrasi Perkara Nomor 5/PUU-
IX/2011, yang mana putusan dalam perkara a quo adalah putusan ultra petita.
Sehingga Pemohon merupakan warga negara yang telah merasakan manfaat
dari putusan Mahkamah Konstitusi yang berjenis ultra petita;
11
16. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa selain sebagai warga
negara pembayar pajak, para Pemohon juga merupakan individu-individu yang
concern dengan kepentingan publik dan penyelamatan nilai-nilai
konstitusionalisme dan selama ini rekam jejak para Pemohon menunjukkan
adanya kesungguhan para Pemohon untuk melindungi keberadaan Mahkamah
Konstitusi, khususnya dalam rangka penegakan supremasi konstitusi dan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Oleh sebab itu, para
Pemohon memiliki kepentingan konstitusional atas keberadaan Pasal 4 ayat (4f),
ayat (4g), dan ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat (2) huruf d, frasa “dan/atau
pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h; Pasal 26 ayat
(5); Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (2a);
Pasal 59 ayat (2), Pasal 87 UU MK yang menurut para Pemohon bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28D ayat (3); Pasal 22A; Pasal
24 ayat (1); Pasal 24 ayat (2); Pasal 24C ayat (1); Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun
1945. Dengan demikian syarat legal standing sebagaimana disebutkan dalam
Putusan MK Nomor 27/PUU-VIII/2009 telah terpenuhi oleh para Pemohon;
17. Bahwa menurut Satjipto Rahardjo, hukum berurusan dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Keseluruhan bangunan hukum disusun dari keduanya itu.
Semuanya jaringan hubungan yang diwadahi oleh hukum senantiasa berkisar
pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut. Dalam hukum pada dasarnya
hanya dikenal dua stereotip tingkah laku, yaitu menuntut yang berhubungan
dengan hak dan berhutang yang berhubungan dengan kewajiban (lihat: Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, 66-67). Ketika
warga negara, yaitu para Pemohon, sudah menjalankan kewajibannya agar
proses bernegara dapat berjalan sebagaimana mestinya, yang salah satunya
dengan membayar pajak, maka para Pemohon (tax payer) semestinya diberikan
hak untuk menggugat proses bernegara yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Salah satu hak menggugat tersebut dapat berupa mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang yang dianggap bermasalah;
18. Bahwa selanjutnya para Pemohon ingin menjelaskan tentang kerugian
konstitusional atau potensi kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal 4
ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat (2) huruf d, frasa
12
“dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h; Pasal
26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57
ayat (2a); Pasal 59 ayat (2), Pasal 87 UU MK yang bertentangan dengan Pasal 1
ayat (3); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28D ayat (3); Pasal 22A; Pasal 24 ayat (1);
Pasal 24 ayat (2); Pasal 24C ayat (1); Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945;
19. Bahwa negara dibentuk dengan tujuan melindungi hak-hak warga negara.
Aristoteles berpendapat bahwa negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga
negaranya, supaya mereka itu dapat hidup baik dan bahagia (Lihat: I Gde Pantja
Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Refika
Aditama, Bandung, 2009, h. 45). Menurut Logeman, Negara adalah suatu
organisasi kemasyarakatan, yaitu suatu pertambatan kerja (wekverband) yaitu
bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu
masyarakat. Organisasi itu menurut Logeman merupakan suatu pertambatan
jabatan-jabatan (ambt) atau lapangan kerja (werkkring) tetap (Lihat: E. Uterecht
dan Moh. Saleh Djinjang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan,
Jakarta, 1989, h. 324);
20. Bahwa pembentukan lembaga-lembaga negara juga demi melaksanakan tujuan
bernegara tersebut. Sehingga apabila sebuah lembaga negara gagal
melaksanakan fungsinya maka akan berdampak pula kepada tujuan pembentukan
negara yaitu mewujudkan kepentingan warga negara. Artinya, kegagalan
berfungsinya organ-organ negara, termasuk lembaga-lembaga negara, akan
menyebabkan kegagalan tujuan bernegara, sehingga yang paling dirugikan adalah
warga negara;
21. Bahwa deskripsi mengenai hubungan antara lembaga-lembaga negara
(pemerintah dalam arti luas) dengan warga negara juga digambarkan oleh Iutisone
Salevao berikut ini (lihat: Iutisone Salevao, Rule of Law, Legitimate Governance
and Development in the Pacific, Asia Pacific Press at the Australian National
University, Canberra, 2005, h. 72):
“…government is the government of the people. This is not mere pandering to
the dictates of socialist thought; it is rather a reassertion of the proper status of
the people in their mortal creation, the state, and a proper delineation of the
often-nebulous connection between the government and the governed.”
13
Dikarenakan negara adalah hubungan antara pemerintahan (lembaga negara)
dengan yang diperintah (warga negara), maka setiap tidak berjalannya fungsi
pemerintahan maka yang paling dirugikan adalah warga negara;
22. Bahwa lembaga negara merupakan institusi yang diciptakan untuk menjalankan
kehendak rakyat, maka sesungguhnya seluruh lembaga negara harus
merepresentasikan kehendak rakyat dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya. Untuk mempermudah dilaksanakannya tugas dan kewenangan
yang diamanahkan warga negara maka dibentuklah cabang-cabang kekuasaan
tertentu. Secara umum cabang kekuasaan tersebut dibagi menjadi tiga (trias
politica), yaitu; cabang kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan
yudikatif. Dalam teori ketatanegaraan agar setiap cabang kekuasaan dapat
maksimal dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, maka antara sesama
cabang-cabang kekuasaan tersebut dilaksanakan fungsi saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances) tanpa berupaya memengaruhi satu dan yang
lainnya;
23. Bahwa fungsi saling mengawasi tersebut sangat penting untuk mencegah
kegagalan cabang kekuasaan negara dalam menjalankan tugasnya. Itu sebabnya
jika dalam penyelenggaraan negara terjadi penyimpangan pelaksanaan tugas dan
kewenangan dari lembaga-lembaga negara, maka warga negara adalah pihak
yang paling dirugikan. Ketidakberfungsian lembaga negara dengan baik
menyebabkan sia-sianya amanat/penyerahan kedaulatan yang diberikan rakyat
kepada organ-organ negara;
24. Bahwa dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, tugas utama mewakili rakyat/warga
negara tersebut diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya
disingkat DPR). Setiap kinerja DPR kemudian dapat dinilai dan dipertanyakan
rakyat apakah telah sesuai dengan amanat atau kehendak yang rakyat inginkan;
25. Bahawa DPR memiliki beberapa tugas utama, salah satunya adalah pembentukan
peraturan perundang-undangan (legislasi). Sebagai sebuah lembaga yang
menjalankan fungsi legislasi tentu saja tugas utama DPR menciptakan Undang-
Undang yang baik dan sesuai dengan amanat rakyat/warga negara;
26. Bahwa dalam melaksanakan tugasnya, DPR sebagai sebuah lembaga yang diisi
oleh manusia, maka kecenderungan untuk terjadinya kekhilafan dalam
14
menjalankan tugas dan kewenangan legislasi dapat terjadi. Hal itu disadari oleh
pemikir ketatanegaraan. Untuk memperbaiki kekhilafan dalam melaksanakan
fungsi legislasi DPR tersebut, maka dibentuklah sebuah lembaga yang mampu
menilai hasil produk legislasi DPR yang berupa Undang-Undang tersebut. Di
Indonesia, Mahkamah Konstitusi diberikan tugas oleh UUD Tahun 1945 untuk
menilai hasil legislasi DPR (Undang-Undang) berkesesuaian atau tidak dengan
ide-ide konstitusional;
27. Bahwa apabila kewenangan pengujian tersebut tidak dilaksanakan dengan
maksimal, maka akan berdampak diterapkannya peraturan perundang-undangan
yang jauh dari semangat konstitusionalisme. Penerapan aturan perundang-
undangan, dalam hal ini Undang-Undang, yang menyimpang dari nilai-nilai
konstitusionalisme tentu saja akan merugikan warga negara yang telah
menyerahkan amanat kepada lembaga-lembaga negara untuk menjalankan
pemerintahan yang baik (good governance);
28. Bahwa gagalnya pelaksanaan pemerintahan yang baik sesuai kehendak
rakyat/warga negara merupakan kegagalan dalam mewujudkan ide-ide
konstitusionalisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Hamilton bahwa ide-ide
konstitusionalisme adalah bagaimana mengontrol berjalannya cabang-cabang
kekuasaan agar berfungsi sebagaimana mestinya. Selengkapnya Hamilton,
sebagaimana dikutip Iutisone Salevao, bertutur sebagai berikut:
“Ultimately, constitutionalism is about keeping government under control; it is
the name given to the trust which men repose in the power of words
engrossed on parchment to keep a government in order. This order is
achieved by limiting the reach of government and setting out fixed, a priori
ground rules for the exercise of public power.”
29. Bahwa terkait dengan permohonan para Pemohon dalam pengujian ini, maka
dapat dipahami telah terjadi kerugian para Pemohon dengan diberlakukannya
pasal-pasal tertentu di dalam UU MK. Kerugian tersebut terkait dengan uraian di
atas mengenai kerugian warga negara dengan gagal terwujudnya nilai-nilai
konstitusionalisme;
30. Bahwa sebagai warga negara, para Pemohon memiliki hak konstitusional untuk
mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
15
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945;
31. Bahwa para Pemohon juga memiliki hak untuk memperjuangkan hak-hak
konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945
yang menyatakan, “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya”;
32. Bahwa sebagai warga negara yang berprofesi sebagai dosen, khususnya pengajar
hukum tata negara dan aktif mendorong perwujudan nilai-nilai konstitusionalisme
dalam kehidupan berbangsa, para Pemohon memiliki kepentingan konstitusional
agar norma-norma hukum yang mengatur cabang-cabang kekuasaan negara,
termasuk mengenai Mahkamah Konstitusi, bebas dari penyimpangan supaya
proses ketatanegaraan dapat berjalan sebagaimana mestinya;
33. Bahwa sebagai warga negara dan dosen yang aktif mendorong perwujudan
prinsip konstitusionalisme, bagi para Pemohon, peran Mahkamah Konstitusi
sangatlah penting dan strategis untuk menjaga negara hukum berdasarkan
konstitusi. Oleh karena itu, apabila terdapat ketentuan perundang-undangan yang
berpotensi melemahkan, menegasikan, serta menghambat fungsi dan tugas
Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution, maka para Pemohon
memiliki kepentingan hukum untuk turut menjamin agar hal tersebut tidak terjadi;
34. Bahwa para Pemohon berpendapat bahwa keberadaan Pasal 4 ayat (4f), ayat
(4g), dan ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat (2) huruf d, frasa “dan/atau pernah
menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h; Pasal 26 ayat (5); Pasal
27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (2a); Pasal 59
ayat (2) dan Pasal 87 UU MK, menyebabkan Mahkamah Konstitusi tidak akan
berfungsi sebagaimana tujuan pembentukannya. Dikarenakan kehadiran
Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari lembaga negara yang bertujuan
menciptakan kebahagian bagi warga negara, maka dengan tidak berjalannya
Mahkamah Konstitusi sebagaimana mestinya telah menyebabkan para Pemohon
telah dirugikan selaku warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan hak-
hak konstitusionalnya. Perlindungan hak-hak konstitusional tersebut sebelum
diterbitkannya UU MK dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi;
16
35. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo UU MK yang diuji tersebut, jelas-jelas telah
membatasi fungsi Mahkamah Konstitusi dalam hal melindungi hak-hak warga
negara dan bertentangan dengan pasal-pasal yang tercantum di dalam UUD
Tahun 1945;
36. Bahwa ketidakefektifan pelaksanaan tugas dan kewenangan MK disebabkan
pasal-pasal a quo UU MK jelas bertentangan dengan kehendak Pasal 24 ayat (1)
UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, “kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”;
37. Bahwa para Pemohon berkeyakinan apabila Masihkamah Konstitusi tidak dapat
menjalankan tugasnya secara efektif maka para Pemohon jelas dirugikan, sebab
Masihkamah Konstitusi merupakan salah satu institusi di mana para Pemohon
dapat memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Untuk itu, Mahkamah
Konstitusi perlu menyatakan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h); Pasal 10;
Pasal 15 ayat (2) huruf d, frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam
Pasal 15 ayat (2) huruf h; Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d,
dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (2a); Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU
MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mengikat secara hukum;
38. Bahwa pemberlakuan pasal-pasal a quo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
yang diuji tersebut telah merugikan hak-hak para Pemohon sebagai warga negara
untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan nilai-nilai
konstitusionalisme yang termaktub dalam UUD Tahun 1945;
39. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian UU MK dan hubungan hukum
(causal verban) terhadap penerapan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h);
Pasal 10; Pasal 15 ayat (2) huruf d, frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat
negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h; Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2)
huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (2a); Pasal 59 ayat (2), dan
Pasal 87 UU MK yang dikaitakan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28D ayat (3); Pasal 22A; Pasal 24 ayat (1); Pasal 24 ayat (2); Pasal 24C
ayat (1); Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945;
17
D. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
D.1. Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945
40. Bahwa Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) Undang-Undang a quo
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (4f) MK: “Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
dilakukan dalam 1 (satu) kali Rapat Pemilihan;”
Pasal 4 ayat (4g) UU MK: ”Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam
pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi;”
Pasal 4 ayat (4h) UU MK: “Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam
pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi;”
Ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
1945 yang lengkapnya berbunyi:
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945: “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum;”
Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945: “Setiap warga Negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan;”
41. Bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU MK telah
membuka ruang terpilihnya hakim konstitusi yang tidak sesuai kehendak suara
hakim mayoritas. Ketentuan tersebut menghendaki pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi dalam satu kali putaran pemilihan. Apabila terdapat 2
(dua) orang calon maju, maka bisa saja seorang calon terpopular mendapatkan 8
(delapan) suara yang membuatnya terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi.
Namun konsekuensinya akan terpilih Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan
hanya memperoleh satu suara. Hal tersebut tentu akan menyebabkan terdapatnya
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang tidak memiliki dukungan maksimal. Tentu
18
kondisi tersebut akan menyebabkan posisi Wakil Ketua dipandang sebelah mata
yang berakibat tidak efektifnya posisi Wakil Ketua. Jika posisi Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi tidak maksimal maka tentu akan berpengaruh kepada
kinerja Mahkamah Konstitusi. Jika hal tersebut terjadi tentu warga negara yang
hak-hak konstitusionalnya ingin dilindungi Mahkamah Konstitusi mengalami
kerugian termasuk para Pemohon;
42. Bahwa jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 agar setiap individu, termasuk
hakim konstitusi, diberikan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dalam
hal ini termasuk pula kesempatan untuk menjadi Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU
MK membuka ruang terpilihnya seseorang yang tidak memiliki dukungan terpilih
menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Dapat diduga jika pemilihan hanya
berlangsung satu kali, maka terdapat kemungkinan apabila terdapat 2 (dua) calon
dalam pemilihan seorang Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih dengan memperoleh
8 (delapan) suara dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, maka mutatis mutandis
calon dengan hanya memperoleh 1 (satu) suara menjadi Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi. Hal tersebut menyebabkan kerugian bagi Mahkamah Konstitusi
dikarenakan dipimpin oleh salah seorang yang tidak mendapat dukungan dari
hakim-hakim konstitusi lain;
43. Bahwa kondisi tersebut dapat menyebabkan pelaksanaan tugas dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi terkendala apabila Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan
tetap. Sehingga Mahkamah Konstitusi akan dipimpin oleh seorang hakim yang
tidak memperoleh suara (baca: dukungan) dari hakim-hakim konstitusi. Keadaan
seperti ini tentunya berpotensi mengganggu kerja dan kinerja Mahkamah
Konstitusi, sehingga berpotensi pula melanggar hak-hak konstitusional para
Pemohon sebagai warga negara pembayar pajak yang menginginkan agar cabang
kekuasaan negara di bidang yudikatif tetap dapat berjalan optimal dan maksimal
memberikan perlindungan konstitusi bagi seluruh warga negara;
44. Bahwa berdasarkan uraian di atas maka ketentuan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g),
dan ayat (4h) UU MK jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
UUD Tahun 1945;
19
D.2. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
45. Bahwa Pasal 10 selengkapnya berbunyi:
“Penjelasan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10 ayat (1) UU MK:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat
(final and binding).
ayat (2):
Yang dimaksud dengan “pendapat DPR” adalah pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diambil dalam
Keputusan paripurna sesuai dengan Undang-Undang tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
tentang Tata Tertib.
ayat (3):
Cukup jelas.”
46. Bahwa ketentuan Pasal 10 UU MK memperlihatkan bagaimana pembentuk
Undang-Undang tidak memahami tata cara pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik. Pasal 10 Undang-Undang a quo mencantumkan bagian
penjelasan di dalam bagian batang tubuh Undang-Undang. Semestinya bagian
penjelasan jika ingin diubah tetap pada bagian penjelasan bukan diletakkan pada
bagian batang tubuh. Kelalaian pembentuk Undang-Undang harus dikritisi melalui
uji materil ini agar pembentuk undang-Undang lebih hati-hati dalam melakukan
tugasnya. Kelalaian para pembentuk Undang-Undang dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya terutama dalam pembentukan Undang-Undang jelas-jelas
merugikan setiap warga negara termasuk pula para Pemohon. Sebagai warga
negara, para Pemohon bisa dirugikan hak-hak konstitusional dari kelalaian
pelaksanaan tugas para pembentuk Undang-Undang, hal itu dikarenakan Undang-
20
Undang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Sehingga berdasarkan
alasan tersebut nyatalah kerugian para Pemohon dengan keberadaan Pasal 10
Undang-Undang a quo;
47. Bahwa pemberlakuan Pasal 10 UU MK yang berbentuk penjelasan tersebut jelas
dan terang berseberangan dengan teori pembentukan perundang-undangan yang
baik, dan kaidah hukum pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagai mandat dari Pasal 22A
UUD Tahun 1945. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk
Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma
yang diatur dalam batang tubuh. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar
hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, di dalam Penjelasan
harus menghindari pembuatan rumusan norma. Penempatan Penjelasan Pasal 10
di dalam ketentuan batang tubuh, telah mengacaukan fungsi dari Penjelasan itu
sendiri, dan menimbulkan ketidakpastian hukum, apakah harus dimaknai sebagai
batang tubuh atau penjelasan. Oleh karena itu tidak dijalankannya pola
pembentukan perundang-undangan yang baik maka perlindungan hukum
terhadap warga Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun
1945 telah terabaikan;
48. Bahwa Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang a quo secara subtansial
bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagaimana ditegaskan dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 pada pengujian Pasal 184 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan, bahwa Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak
seharusnya mengatur ketentuan mengenai syarat quorum dan persetujuan
anggota DPR terkait dengan pendapat DPR dalam rangka usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang akan diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi;
21
D.3. Pasal 15 ayat (2) huruf d dan frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945
49. Bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang a quo selengkapnya berbunyi
sebagai berikut: “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon harus
memenuhi syarat: berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan”;
50. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang a quo yang
membatasi usia calon Hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu harus berusia paling
rendah 47 tahun telah menghilangkan hak sebagian dari para Pemohon untuk
dapat maju dalam pemerintahan sebagaimana dilindungi oleh ketentuan Pasal
28D ayat (3) UUD Tahun 1945. Apalagi pembatasan yang ditentukan dalam UU
MK sebelum revisi hanya sebatas usia 40 tahun. Jika mencermati maksud original
intent UUD Tahun 1945, maka penetapan pembatasan usia 40 tahun lebih
konstitusional dan berkesesuaian dengan maksud para pembentuk UUD Tahun
1945 (framers of constitution) dibandingkan pembatasan usia calon hakim yang
ditentukan oleh perevisi UU MK yang bukan lagi para pelaku perubahan UUD
Tahun 1945;
51. Bahwa syarat tersebut memiliki jarak perbedaan yang mencolok dengan ketentuan
yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebelum revisi yang mengatur usia paling rendah untuk dapat diangkat
menjadi hakim konstitusi hanya 40 (empat puluh) tahun. Harus dipahami
ketentuan usia minimum 40 tahun tersebut berkesesuaian dengan semangat
original intent yang dikemukakan oleh para pembentuk UUD Tahun 1945 (framers
of constitution);
52. Bahwa di dalam Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945 bahkan secara tegas
dinyatakan tidak terdapat pembatasan dalam hak warga negara untuk berperan
serta dalam pemerintahan. Apalagi perubahan batas usia minimum untuk dapat
diangkat menjadi hakim konstitusi melalui revisi UU MK tidak memiliki alasan yang
22
signifikan dan berkorelasi penting dengan syarat utama yang ditentukan oleh
Pasal 24C ayat (5) UUD Tahun 1945, yaitu: berintegritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Usia seseorang tidak dapat
memberi jaminan bahwa ia memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela
serta mampu berprilaku adil;
53. Bahwa tidak banyak di Indonesia negarawan sekaligus menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. Apalagi orang yang meminati kajian hukum tata negara dan
konstitusi masih terbatas, untuk itu tidak tepat kiranya diadakan pembatasan usia
untuk seseorang dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Hal itu malah akan
mereduksi syarat-syarat utama yang ditentukan oleh Pasal 24C ayat (5) UUD
Tahun 1945;
54. Bahwa sudut pandang yang menyatakan bahwa pensyaratan diperlukan sebagai
bentuk perlakuan khusus sesungguhnya banyak ditentang. Menurut Richard A.
Wasserstrom perlakuan khusus yang seringkali mengabaikan masalah utama
yang lebih diperlukan. Wasserstrom berpendapat bahwa; preferential treatment
program are wrong because they take race or sex into account rather than the only
thing that does matter – that is, an individual’s qualifications (lihat: Richard A.
Wassestrom, A Defense of Programs of Preferential Treatment, dalam John R.
Burr dan Milton Goldinger, Philosophy and Contemporary Issues, Third Edition,
Macmillan Publishing Co. Inc New York and Collier Macmillan Publishers, London,
1980, h. 285);
55. Bahwa dalam hal ini persyaratan khusus untuk seorang calon dapat diangkat
menjadi hakim konstitusi berupa pembatasan usia, yaitu 47 tahun, sangatlah tidak
beralasan dan bisa sangat berseberangan dengan kualifikasi yang dipersyaratkan
oleh Pasal 24C ayat (5) UUD Tahun 1945;
56. Bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK menyatakan sebagai berikut, “mempunyai
pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau
pernah menjadi pejabat negara”:
57. Bahwa para Pemohon menguji frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK tersebut;
58. Bahwa sebagai hakim konstitusi pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
23
menjadi suatu hal yang amat penting. Oleh karena itu selain syarat yang telah
ditetapkan, syarat mempunyai pengalaman di bidang hukum paling sedikit 15
tahun telah tepat. Namun dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h, pengalaman 15 tahun
dapat di-subtitusi dengan syarat “pernah menjadi pejabat negara”;
59. Bahwa adanya frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15
ayat (2) huruf h UU MK berpotensi dapat melemahkan Mahkamah Konstitusi
dalam pelaksanaan fungsinya, yang sekaligus juga akan berimplikasi pada
menurunnya kualitas Putusan Mahkamah Konstitusi kelak, sehingga akan
berpotensi pada terhambatnya perlindungan hak-hak konstitusional para
Pemohon, maupun warga negara pada umumnya;
60. Bahwa tidak ada argumentasi hukum yang dapat menguatkan bahwa seseorang
yang pernah menjadi pejabat negara ditambah dengan syarat-syarat lain dalam
ayat dan huruf di Pasal 15 Undang-Undang a quo lantas dianggap memenuhi
syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Jabatan bupati, walikota, ataupun duta
besar menurut ketentuan ini dianggap memiliki kualifikasi sebagai syarat untuk
menjadi hakim konstitusi, meskipun tidak memiliki pengalaman di bidang hukum
paling sedikit 15 tahun. Akibat dari ketidakjelasan batasan pejabat negara sebagai
syarat yang dapat menggantikan pengalaman paling sedikit 15 tahun di bidang
hukum dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
D.4. Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
61. Bahwa Pasal 26 ayat (5) selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Hakim konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.”
62. Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU MK mengenai masa jabatan hakim pengganti dapat
merugikan para Pemohon. Hal itu dikarenakan terkait efektifitas hakim konstitusi
sehingga dapat memengaruhi efektifitas kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Jika
lembaga Mahkamah Konstitusi tidak berjalan efektif maka fungsi-fungsi
Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara
termasuk para pemohon menjadi sulit terlaksana. Sehingga penentuan masa
24
jabatan hakim pengganti yang hanya melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi
yang digantikannya jelas-jelas menimbulkan ketidakefektifan fungsi kelembagaan
Mahkamah Konstitusi;
63. Bahwa pasal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 terkait kepastian hukum. Penetapan masa jabatan hakim konstitusi
yang berdasarkan sisa jabatan menimbulkan kerancuan dalam hukum mengenai
masa jabatan hakim. Hal itu juga menimbulkan pemubaziran proses seleksi hakim
pengganti karena bisa saja menjabat dalam waktu yang sangat terbatas;
64. Bahwa mengenai hal yang sama mengenai masa jabatan pengganti tersebut telah
pernah diputuskan Mahkamah Konstitusi terkait masa jabatan pengganti
komisioner pengganti Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK)
dalam perkara Nomor 5/PUU-IX/2011. Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor
5/PUU-IX/2011 telah memutuskan bahwa komisioner pengganti di KPK menjabat
sebagaimana pimpinan KPK lainnya, yaitu 4 (empat) tahun agar efisiensi lembaga
dan anggaran negara dapat terlindungi. Hal yang sama untuk itu juga harus
diterapkan di dalam lembaga Mahkamah Konstitusi agar terciptanya efesiensi
lembaga dan anggaran negara;
65. Bahwa pengaturan norma pemilihan dan penggantian masa jabatan hakim
konstitusi dalam Undang-Undng Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi telah ideal karena ada proses transisi yang makin hari makin
menunjukan independency Mahkamah Konstitusi. Salah satu karakteristik
lembaga independen adalah bahwa anggotanya diganti dengan pola berjenjang
(stage term). Nah, kalau hari ini Hakim Konstitusi yang menggantikan seorang
Hakim Konstitusi yang berhalangan tetap hanya melanjutkan sisa jabatan, kami
khawatir bahwa pada satu ketika itu pergantian Hakim Konstitusi akan dilakukan
dala rezim yang sama dan itu berbahaya untuk independency Hakim;
66. Bahwa norma yang diciptakan oleh Pasal 26 ayat (5) UU MK telah berpotensi
menjadikan lembaga Mahkamah Konstitusi seperti lembaga politis. Keanggotaan
Hakim Konstitusi dilihat sebagai rezim. Hal ini tentu dapat berpengaruh pula pada
konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi antara satu rezim dengan rezim lainnya
yang berada dalam “satu paket”. Cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir
politis yang dilakukan oleh pembuat Undang-Undang. Padahal, justru setiap upaya
25
untuk mempolitisir ataupun mengganggu independensi Mahkamah Konstitusi dan
para hakim Mahkamah Konstitusi harus dicegah. Oleh sebab itu Pasal 26 ayat (5)
UU MK harus dibatalkan;
D.5. Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945
67. Bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
“Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi yang keanggotannya terdiri dari:
a. ...
b. ...
c. 1 (satu) orang dari unsur DPR yang menangani bidang legislasi;
d. 1 (satu) orang dari unsur Pemerintah yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum; dan
e. 1 (satu) orang hakim agung.”
68. Bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang a quo
juga merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon yang memiliki hak untuk
mendapatkan berjalannya tugas dan kewenangan cabang-cabang kekuasaan
negara dengan baik. Kehendak Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e
dari UU MK yang menetapkan bahwa Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah
Konstitusi terdiri dari unsur DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung (MA) jelas
bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD
Tahun 1945 yang mengatur tentang kemandirian cabang kekuasaan kehakiman;
69. Bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 disebutkan
bahwa menurut UUD Tahun 1945, independensi peradilan itu sendiri merupakan
benteng (safeguard) dari rule of law. Prinsip tersebut juga dianut secara universal
sebagaimana tercermin dalam Basic Principles on the Independence of the
Judiciary yang diadopsi oleh the Seventh United Nations Congress on the
26
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan dari 26 Agustus
sampai dengan 6 September 1985, dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum
PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomor 40/146 tanggal 13
Desember 1985. Salah satu prinsip yang dimaksud dalam Basic Principles on the
Independence of the Judiciary tersebut adalah: The judiciary shall decide matters
before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law,
without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or
interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason. Dengan
memasukan anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari unsur DPR,
Pemerintah dan Mahkamah Agung dapat mengancam (threat) dan menggangu
(interference) baik secara langsung maupun tidak langsung (direct or indirect)
Hakim Konstitusi dalam menangani perkara konstitusional yang ditanganinya;
70. Bahwa masuknya unsur DPR, Pemerintah, dan MA sebagai bagian dari majelis
yang akan mengawasi Mahkamah Konstitusi jelas tidak tepat dikarenakan
lembaga-lembaga tersebut berpotensi menjadi pihak-pihak yang berperkara di
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan keberadaan lembaga Komisi Yudisial dalam
Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi sudah selayaknya dikarenakan
secara konstitusional Komisi Yudisial memang dibentuk untuk menjalankan fungsi
pengawasan kekuasaan kehakiman;
71. Bahwa keberadaan unsur DPR dan Pemerintahan jika dimasukan akan
menimbulkan kekaburan dari konsep pengawasan konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi terhadap pembentukan perundang-undangan yang dilakukan DPR dan
Pemerintah. Hal itu akan menyebabkan terhambatnya Mahkamah Konstitusi
mengadili konstitusionalitas pembentukan perundang-undangan bentukan DPR
dan Pemerintah karena akan menciptakan kemungkinan putusan Mahkamah
Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang dipermasalahkan unsur DPR dan
Pemerintah yang berada di Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi. Atau
akan menciptakan ruang bargaining politik bagi unsur DPR dan Pemerintah
mempermasalahkan hakim tertentu yang membatalkan Undang-Undang bentukan
DPR dan Pemerintah;
72. Bahwa keberadaan unsur Mahkamah Agung dalam Majelis Kehormatan Hakim
Mahkamah Konstitusi jelas bertentangan dengan konsep pemisahan cabang
27
kekuasaan kehakiman yang diatur Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa ide
konstitusional dalam cabang kekuasaan kehakiman adalah meletakkan dalam dua
lembaga berbeda yaitu; pada sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan tersebut bermakna bahwa kedua lembaga tersebut terpisah
dalam menjalankan kemandiriannya masing-masing dan kedua lembaga pelaku
kekuasaan kehakiman tersebut satu derajat tingginya, yaitu sebagai lembaga
Negara. Apabila unsur Mahkamah Agung kemudian berwenang mengawasi hakim
Mahkamah Konstitusi maka ide konstitusionalisme dari Pasal 24 ayat (2) UUD
Tahun 1945 untuk memisahkan dua cabang kekuasaan kehakiman tersebut
menjadi terlanggar;
73. Bahwa keberadaan unsur DPR, Pemerintah, dan MA jelas menyebabkan ide-ide
konstitusionalisme menjadi absurd dalam implementasi ketatanegaraan. Hal itu
jelas akan merugikan warga negara Indonesia termasuk pula para Pemohon;
74. Bahwa keberadaan unsur DPR, Pemerintah, dan hakim MA di dalam Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi menunjukan pertentangan yang nyata dengan
konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal
24 ayat (1) UUD Tahun 1945. Di dalam proses peradilan di Mahakamah
Konstitusi, terutama sekali dalam perkara (1) pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, (2) sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan (3) terkait kewajiban
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar, maka terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut DPR dan
Pemerintah termasuk akan menjadi pihak-pihak dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi;
75. Bahwa memasukan unsur DPR dan Pemerintah ke dalam Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi jelas tidak tepat dikarenakan tidak mungkin pihak yang
berperkara akan mengawasi hakim. Hal itu akan menggangu kemandirian hakim
dan kewibawaannya. Jika disandingkan dengan konteks peradilan pidana, maka
tidaklah mungkin Terdakwa akan diberikan ruang untuk mengawasi etika para
hakim yang menyidangkannya. Sehingga sama tidak mungkinnya jika Pihak DPR
28
dan Pemerintah yang diduga menyalahgunakan kewenangan atau melakukan
kekhilafan pembentukan Undang-Undang atau salah melakukan kewenangan
yang kemudian mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi;
76. Bahwa keberadaan unsur DPR, Pemerintah, dan MA jelas-jelas bertentangan
dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945, padahal dipelbagai
Negara jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman adalah nilai
konstitusionalisme yang harus dilindungi. Seperti di Amerika sebagaimana
dituturkan oleh Craig R. Ducat bahwa apresiasi terhadap konsep kekuasaan
kehakiman tidak akan lengkap tanpa memberikan perlindungan terhadap
kemandirian hakim. Selengkapnya Ducat (lihat: Craig R. Ducat, Constitutional
Interpretation, Wadsworth Cengage Learning, United States, 2009, h. 38)
menyampaikan sebagai berikut:
“An understanding of the “judicial Powerr of the United States would be
incomplete without some appreciation for the protection of the independence of
federal judges from political pressure”.
D.6. Pasal 50A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
77. Bahwa Pasal 50A UU MK selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak menggunakan
undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum;”
Bahwa ketentuan tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 22A UUD Tahun
1945 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang;”
78. Bahwa keberadaan Pasal 50A Undang-Undang a quo terkait pembatasan bagi
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian undang-undang. Pasal
50A UU MK tersebut tidak memperkenankan Mahkamah Konstitusi
menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum dalam
putusannya. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan UUD Tahun
29
1945. Di dalam UUD Tahun 1945 terdapat pasal-pasal yang memberikan
delegasi kepada undang-undang, misalnya Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang
menyatakan, “ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-
undang diatur dengan undang-undang”;
79. Bahwa tidaklah mungkin Mahkamah Konstitusi dalam hal-hal tertentu tidak
memperhatikan ketentuan Undang-Undang selain UUD Tahun 1945 dalam
pertimbangan hukumnya. Apalagi jika kemudian terdapat proses pengujian
undang-undang secara formil, tentu ketentuan Undang-Undang terkait tata cara
pembentukan Undang-Undang menjadi acuan Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
Pasal 50A UU MK telah menyebabkan kerugian konstitusional warga negara
termasuk para Pemohon. Para Pemohon berpendapat bahwa keberadaan Pasal
50A tersebut menyebabkan Mahkamah Konstitusi tidak maksimal dalam
melindungi hak-hak konstitusional warga negara termasuk juga para Pemohon;
80. Pasal 50A UU MK jelas menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang tidak
memperhatikan ketentuan UUD Tahun 1945 terutama Pasal 22A UUD Tahun
1945. Sulit bagi Mahkamah Konstitusi, misalnya dalam pengujian formil jika tidak
memperhatikan ketentuan Undang-Undang terkait tata cara pembentukan
Undang-Undang yang didelegasikan oleh ketentuan konstitusi;
81. Mustahil pula bagi Mahkamah Konstitusi mengabaikan keberadaan Undang-
Undang tentang tata cara pembentukan Undang-Undang dalam pengujian materil
Undang-Undang dikarenakan terkait dengan asas-asas pembentukan undang-
undang pastilah diatur dalam Undang-Undang tentang tata cara pembentukan
Undang-Undang. Apalagi jelas-jelas berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 22A UUD
Tahun 1945 terdapat delegasi konstitusional kepada Undang-Undang untuk
pengaturannya. Sehingga jelas bahwa telah terjadi pertentangan antara Pasal 50A
UU MK dengan Pasal 22A UUD Tahun 1945;
82. Bahwa keberadaan Pasal 50A UU MK bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 karena
mengidap pertentangan internal (contradiction in terminis). Pasal 50A UU MK
menyatakan:
30
“Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak menggunakan
undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum.”
Sedangkan di dalam Pasal 51A ayat (3) UU MK disebutkan:
“Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil,
pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan.”
Pertentangan antara Pasal 50A dengan Pasal 51A ayat (3) UU MK menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk menjamin hak konstitusionalitas para Pemohon yang dijamin dalam Pasal
28D ayat (1) UUD Tahun 1945;
D.7. Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
83. Bahwa Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang a quo selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa ketentuan tersebut membatasi Mahkamah Konstitusi untuk menemukan
semangat keadilan dalam penegakkan hukum sebagaimana diatur secara
konstitusional dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
84. Bahwa Pasal 57 ayat (2a) UU MK yang mengatur mengenai pembatasan bentuk
dan amar putusan Mahkamah Konstitusi jelas-jelas bertentangan dengan UUD
Tahun 1945. Hal tersebut jelas menyebabkan Mahkamah Konstitusi dibatasi
dalam menemukan semangat keadilan subtantif bukan keadilan yang dikehendaki
31
oleh para Pemohon semata. Hal itu disebabkan Mahkamah Konstitusi bertugas
melindungi hak-hak konstitusional yang ada tidak hanya pada teks UUD Tahun
1945 tetapi juga kandungan tersembunyi dari maksud UUD Tahun 1945. Untuk itu
upaya membatasi putusan Mahkamah Konstitusi jelas berseberangan dengan
ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menghendaki Mahkamah
Konstitusi menjadi peradilan yang menegakkan hukum (termasuk juga ide-ide
konstitusionalisme) dan keadilan;
85. Bahwa keberadaan Pasal 57 ayat (2a) UU MK bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun
1945 karena mengidap pertentangan internal (contradiction in terminis). Pasal 57
ayat (2a) Undang-Undang a quo berbunyi:
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan ini mengidap pertentangan internal (contradictio in terminis) dengan
Pasal 45A Undang-Undang a quo yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak
diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap
hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan”.
Pertentangan antara Pasal 57 ayat (2a) dengan Pasal 45A Undang-Undang a quo
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menjamin hak konstitusionalitas Pemohon yang dijamin dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945;
86. Bahwa sesungguhnya dalam kajian hukum tata negara, hakim diberikan
kewenangan untuk membentuk Undang-Undang apabila terjadi kekhilafan
pembentukan (formil) maupun muatan pasal-pasalnya (materiil). Hal itu juga
dikemukakan oleh Douglas E. Edlin dalam perspektif common law bahwa
kewajiban hakim untuk menerapkan hukum, namun apabila hukum tersebut tidak
adil (unjust) maka hakim kemudian dapat mengabaikan hukum itu dengan
32
membentuk hukum yang lebih baik. Selengkapnya Edlin (lihat: Douglas E. Edlin,
Judges and Unjust Laws, Common Law Constitutionalism and the Foundations of
Judicial Review, the University of Michigan Press, 2010, h. 52) mengemukakan
sebagai berikut:
“The common law judicial function does not generate only a judicial obligation
to apply the law, and it should not be conceived so narrowly. The view that the
role of judges in the absence of avenues for interpretation or judicial review is
solely one of law application unnecessarily restricts and inaccurately depicts
their institutional position and authority. Of course, in most cases, where the
law is fair and clear, judges must apply the law. But this does not mean that
where a law is patently unjust yet constitutional, the judicial role requires
judges to close their eyes, wring their hands, and apply a reprehensible law. A
common law judge has an institutional and historical authority to articulate and
defend, through reasoned opinions, her best understanding of the social
values—as expressed in legal principles—that animate her polity. As I explain
in the following chapters, these principles and values will frequently be
expressed in constitutional form. But this form should not be mistaken for their
nature. The textual and conceptual bases for judicial articulation and
protection of fundamental common law principles and of common law
constitutionalism inheres in the institutional role and responsibilities of the
common law judiciary”;
Bahwa pandangan tersebut juga didukung oleh Jimly Asshiddiqie dalam Buku
“Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara,” bahwa menurutnya hakim jika
diperlukan dapat membentuk hukum baru demi kepentingan yuridis.
Selengkapnya Jimly (lihat: Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 11) menguraikan sebagai berikut;
87. Bahwa hukum adalah hasil kreasi dan konstruksi karenanya hakim juga boleh
mengubah konstruksi yuridis itu (judges made law) atau sama sekali membentuk
konstruksi baru;
88. Bahwa format pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan judicial
review adalah membenahi hukum termasuk pula membentuk aturan baru yang
33
dibutuhkan ketika itu agar dapat menutupi kekosongan hukum. Sehingga
keberadaan Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (2a) telah bertentangan dengan
ide konstitusionalisme dari kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam UUD Tahun
1945;
D.8. Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
89. Bahwa Pasal 59 ayat (2) UU MK selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Jika diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang yang telah diuji, DPR
atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.”
90. Bahwa keberadaan Pasal 59 ayat (2) UU MK yang mengatur mengenai tindakan
DPR dan Presiden terkait putusan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Pasal 59
ayat (2) UU MK juga jelas-jelas telah merugikan hak konstitusional para Pemohon
dan mengganggu terlaksananya ide-ide konstitusionalisme. Pasal 59 ayat (2)
Undang-Undang a quo menimbulkan kekaburan terhadap kepastian hukum
sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kalimat
Pasal 59 ayat (2) UU MK, “jika diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang
yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah
Konstitusi,” jelas menyebabkan keabsurdan dalam menciptakan kepastian hukum.
Hal itu disebabkan DPR dan Presiden hanya akan menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi jika diperlukan saja. Sedangkan terminologi “jika diperlukan”
sangat absurd dan bergantung kepada terjemahan DPR dan Pemerintah semata.
Semestinya putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang sifatnya final
dan mengikat sehingga harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Pemerintah.
Keharusan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana terdapat
dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi diperlukan demi terwujudnya kepastian
hukum. Apabila kepastian hukum tidak dapat terwujud, maka yang dirugikan
adalah warga negara termasuk dalam hal ini para Pemohon;
34
91. Bahwa Pasal 59 ayat (2) UU MK telah menimbulkan keabsurdan dalam
pelaksanaan hukum. Hal itu disebabkan keberadaan kalimat “jika diperlukan”.
Kalimat “jika diperlukan” memberikan ruang DPR dan Pemerintah menafsirkan
terdapatnya putusan MK yang diperlukan untuk ditindaklanjuti dan ada putusan
Mahkamah Konstitusi yang tidak perlu ditindaklanjuti selama DPR dan Pemerintah
menganggapnya tidak diperlukan;
92. Bahwa akibatnya dari berlakunya pasal a quo berseberangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menghendaki terdapatnya kepastian hukum yang
merupakan hak konstitusional Pemohon;
D.9. Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
93. Bahwa Pasal 87 UU MK berbunyi sebagai berikut:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi; dan
b. hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan
diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.”
94. Bahwa para Pemohon norma yang mengatur ketentuan peralihan ini tidak
diperlukan. Untuk Hakim dan lembaga sepenting Mahkamah Konstitusi, yang
posisinya dalam sistem ketatanegaraan sangat strategis, dalam jangka waktu
tertentu dibiarkan berlaku 2 Undang-Undang itu pasti akan sulit dan pasti akan
menimbulkan persoalan-persoalan serius di pelaksanaan keseharian kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Menurut para Pemohon, ada ketidakyakinan dari
pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini DPR bahwa apa yang mereka revisi itu
benar adanya secara keseluruhan;
35
95. Bahwa Pasal 87 UU MK ini memiliki keterkaitan dengan norma dalam Pasal 26
ayat (5) UU MK. Oleh sebab itu, argumentasi atas inkonstitusionalitas Pasal 26
ayat (5) UU MK, secara mutatis mutandis menjadi argumentasi untuk Pasal 87 UU
MK;
96. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, Pasal 87 UU MK tidak diperlukan dan
menimbulkan kerancuan hukum, di samping itu, karena Pasal 26 ayat (5) UU MK
menurut pandangan para Pemohon inkonstitusional maka Pasal 87 UU MK juga
menjadi inskonstitusional;
E. PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat
pada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai
berikut:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang
yang diajukan para Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 4 ayat (4f), Pasal 4 ayat (4g), dan Pasal 4 ayat (4h) UU MK
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, oleh
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
3. Menyatakan Pasal 10 UU MK bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 28D
ayat (1) UUD Tahun 1945, oleh karenanya Pasal 10 UU MK tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat;
4. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (3) dan Pasal 24C ayat (5) UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat;
5. Menyatakan frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat
(2) huruf h UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3)
dan Pasal 24C ayat (5) UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat;
6. Menyatakan Pasal 26 ayat (5) UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD Tahun 1945, oleh karenannya tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat;
36
7. Menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU MK bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945, oleh
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
8. Menyatakan Pasal 50A UU MK bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 28D
ayat (1) UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat;
9. Menyatakan Pasal 57 ayat (2a) UU MK bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1)
dan Pasal 28 ayat (1) UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat;
10. Menyatakan Pasal 59 ayat (2) UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
11. Menyatakan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
12. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian UU MK terhadap UUD
Tahun 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-
lambatnya tiga puluh (30) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon telah
mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-4,
sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk para Pemohon;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak para Pemohon;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Tulisan Feri Amsari berjudul “Disfungsi MK” yang dimuat di
Harian Kompas, tanggal 6 Juli 2011;
37
Selain itu, para Pemohon mengajukan seorang ahli yang telah didengar
keterangannya dalam persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai berikut:
Ahli Dr. Maruarar Siahaan, S.H., I. Pendahuluan.
Krisis yang terjadi sering timbul, karena tidak disadarinya perubahan
paradigma yang telah berlangsung. Munculnya paradigma baru dalam masa kita
yang sesungguhnya bukan lagi masa transisi paradigmatik, melainkan sesuatu yang
sudah established, jika tidak menjadi acuan dalam mebentuk peraturan perundang-
undangan akan menjadi sumber kerancuan berpikir.
Masa demikian dilihat sebagai masa setengah buta dan setengah tidak
tampak, dalam arti, disatu pihak mereka masih mewakili satu transisi antara apa yang
tua dan akrab, yang berhadapan dengan apa yang masih baru dan asing. Padahal
paradigma baru tersebut seharusnya telah mengakar dan tertanam dalam kerangka
berpikir hukum semua pihak, yang digunakan untuk mengukur perlu tidaknya
perubahan dan arah perubahan yang dibutuhkan.
II. PARADIGMA NEGARA HUKUM INDONESIA
Al. 1. Konstitusi dan Konstitusionalisme
2. Demokrasi
3. Pemisahan Kekuasaan
4. Checks and balances
5. Independensi Kekuasaan Kehakiman.
III. ARAH PERUBAHAN.
Penguatan bukan pelemahan, yang memungkinkan mekanisme checks and
balances berlangsung secara efektif dalam proses legislasi dan bidang lainnya.
Perubahan yang dilakukan seyogianya merupakan pemberdayaan bagi lembaga
negara untuk melaksanakan fungsinya mewujudkan tujuan bernegara.
38
1.
PembuatUU
MK
Putusan
ProsesImplementasi
Non-Self Implementing
Konstitusi
Lanjutan
Pemohon
12
3
45
6
2. Power must check power by the arrangement of things. (Montesqieu). Saling
mengawasi antara kekuasaan MK dengan DPR berlangsung dengan
pengaturan kekuasaan satu sama lain sebagai penyeimbang (balance) dengan
merumuskan/menafsir kembali dalam proses ulang legislasi berdasar
paradigma konstitusi dan konstitusionalisme yang disepakati. Pelemahan/pengurangan kewenangan lembaga negara yang diatur oleh norma
konstitusi dalam UUD dengan norma yang lebih rendah dari UUD, oleh
lembaga negara yang sederajat, merupakan masalah konstitusi yang
seharusnya dihindari.
3. Sesuai dengan dalil Montesqieu, MK dalam pelaksanaan kewenangannya
didudukkan secara setara horizontal dengan lembaga negara lain, dan melalui
kewenangannya satu sama lain secara fungsional merupakan pengawasan
dalam mekanisme checks and balance. Pengurangan atau pembatasan
kewenangan yang justru tidak memberdayakan MK melaksanakan
kewenangannya dalam pengujian Undang-Undang, merupakan hal yang
bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang memberikan
kewenangan pengujian tersebut secara terbuka. Judicial review dalam
sejarahnya sangat erat berkaitan dengan judicial activism, yang memberi ruang
bagi penafsiran norma konstitusi dalam secara kontekstual.
39
CHECKS AND BALANCES
Merupakan satu sistem pembatasan kekuasaannegara dengan memberi wewenang kepada satu
cabang kekuasaan untuk mengubah/membatalkanputusan/tindakan cabang kekuasaan negara
lainnya.
Wewenang Judicial Review dilaksanaakan MK dalambentuk Constitutional Review, dalam pemisahankekuasaan tidak menghambat hak legislasi DPR
karena tidak dikenal Wiederholungsverbot.
IV. PASAL-PASAL YANG MENJADI KEPRIHATINAN.
1. Pasal 15 ayat (2)
a. Huruf d : Calon Hakim Konstitusi berusia minimum 47 tahun;
b. Huruf h : Pernah menjadi pejabat Negara.
2. Pasal 26 ayat (5) : Hakim konstitusi pengganti hanya melanjutkan sisa jabatan
hakim konstitusi yang digantikan;
3. Pasal 50A : Dalam pengujian tidak menggunakan undang-undang lain sebagai
dasar pertimbangan;
4. Pasal 45a : larangan memutus lebih dari yang diminta
5. Pasal 57 ayat (2a) : Putusan MK tidak memuat :
a…
c. Perintah kepada Pembuat undang-undang;
d. Rumusan norma sebagai pengganti norma yang diuji;
V. Larangan Ultra Petita Abad 18.
Suatu putusan MK diambil setelah mempertimbangkan permohonan yang
terdiri dari bagian posita atau uraian perihal yang menjadi dasar permohonan dan
petitum berdasarkan bukti yang ada. Dalam hal permohonan beralasan dan
dikabulkan, amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau
bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, dan menyatakannya
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 56 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
Pasal 57 ayat (1), ayat (2)]. Permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
40
undang-undang dasar dapat menyangkut aspek formal, yaitu dari proses
pembentukan dan/atau kewenangan, maupun aspek materil dari ayat, pasal dan/atau
bagian Undang-Undang. Jikalau menyangkut aspek formal, baik karena tidak adanya
dasar kewenangan maupun mekanisme dan tatacara dalam proses pembentukan
yang ditentukan dalam UUD 1945 tidak dipenuhi, maka secara keseluruhan Undang-
Undang yang dimohon diuji tersebut akan dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikalau pengujian menyangkut
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang, maka materi
muatan ayat, pasal dan atau bagian Undang-Undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 tersebut akan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Ada kalanya bahwa yang dimohon untuk diuji adalah beberapa pasal saja, dan
kemudian satu atau dua dari pasal tersebut ditemukan bertentangan dengan UUD
1945, akan tetapi diluar dari permohonan yang hanya meminta beberapa pasal itu
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan diminta untuk dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK telah dua kali menemukan yaitu dalam
perkara pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Undang-Undang KKR, di
mana justru kemudian dinyatakan bahwa Undang-Undang yang dimohon untuk diuji
tersebut secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, meskipun
petitum permohonan Pemohon tidak meminta demikian.
Ketentuan yang memuat larangan bagi Hakim untuk mengabulkan diluar atau
lebih dari permohonan pemohon, dikenal dalam hukum acara perdata. Pasal 178 ayat
(2) dan ayat (3) HIR serta padanannya Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg, dikenal
sebagai hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan negeri dan pengadilan
agama, memuat larangan untuk mengadili dan memutus melebihi dari pada yang
diminta (petitum). Hal tersebut sangat mudah dipahami, karena inisiatif untuk
mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat keperdataan yang dimiliki orang-
perorangan, terletak pada kehendak atau pertimbangan orang-perorang tersebut.
Permintaannya tidak dapat dilampaui, karena ada kalanya mengabulkan melebihi apa
yang diminta, justru merugikan kepentingan yang bersangkutan. Karakter hukum
acara perdata sebagai demikian adalah untuk mempertahankan kepentingan individu,
yang hanya digerakkan (triggered) oleh permohonan atau gugatan seorang
41
penggugat. Oleh karena itu pula kekuatan mengikat dan akibat hukum putusan hakim
demikian hanya menyangkut pihak-pihak dalam perkara tersebut atau disebut
mengikat inter-partes. Akan tetapi perkembangan yang terjadi dan kebutuhan
kemasyarakatan serta tuntutan keadilan, menyebabkan aturan demikian juga tidak
sepenuhnya lagi ditaati. Dalam beberapa kesempatan dan putusan Mahkamah
Agung, aturan demikian tidak lagi diperlakukan secara mutlak. Pertimbangan keadilan
dan kepantasan dijadikan alasan untuk tidak menggunakan aturan tersebut secara
mutlak, sebagaimana tampak dalam beberapa putusan Mahkamah Agung.
Kurang lebih 60 (enampuluh) tahun yang lampau, Prof.Dr. Soepomo telah
mengkritik ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR tersebut, dengan mengatakan bahwa
ketentuan itu adalah buah semangat zaman lampau di Dunia Barat, yang
menganggap peradilan perdata sebagai urusan kedua belah pihak semata-mata, dan
Jurisprudensi pada zaman Hindia Belanda telah mengosongkan (’uithollen’) isi
larangan Pasal 178 ayat (3) tersebut karena alasan sifat dan praktek Pengadilan
(Prof. Dr. R. Soepomo S.H.,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT Pradnya
Paramita, cet.kelima belas, 2002, hal 92). Klassifikasi hukum yang demikian dikenal
dengan sebutan hukum yang responsif, dimana hukum dipandang sebagai fasilitator
dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Hukum responsif
demikian bertujuan untuk merespon tuntutan keadilan (Philippe Nonet & Philip
Selznick, Hukum Responsif, Pilihan Dimasa Transisi,Judul Asli Law & Society in
Transition: Toward Responsive Law, Diterjemahkan Rafael Edy Bosco, ff Huma,2003,
hal 12. Nonet & Selznik membedakan tiga klassifikasi dasar dari hukum dalam
masyarakat, yaitu: (1) Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif, (2) Hukum
sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas
dirinya, dan (3) Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan
dan aspirasi sosial). Hukum acara perdata yang sifatnya mempertahankan
kepentingan perseorangan juga telah menafsirkan larangan ultra petita dalam pasal
178 ayat (3) HIR, sehingga hakim tidak memperlakukannya secara mutlak dalam
praktek.
Hal ini akan sangat berbeda dengan karakter hukum acara di Mahkamah
Konstitusi. Khusus dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945,
maka tugas hukum acara MK adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan
42
konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, yang dijabarkan dalam Undang-Undang.
Undang-Undang tersebut mempunyai daya laku yang bersifat umum (erga omnes).
Meskipun perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama
mengajukan pengujian satu Undang-Undang karena dipandang melanggar hak
konstitusional nya yang dilindungi oleh UUD 1945, akan tetapi kepentingan demikian
tidak hanya menyangkut perorangan yang mengklaim kepentingan dan hak
konstitusionalnya dilanggar, karena undang-undang yang dimohonkan pengujian
tersebut berlaku umum dan mengikat secara hukum serta menimbulkan akibat hukum
yang lebih luas dari pada sekedar mengenai kepentingan Pemohon sebagai
perorangan. Oleh karena itu apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim
Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan.
Kalaupun yang dikabulkan dari permohonan Pemohon misalnya hanya menyangkut
satu pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal tertentu tersebut
Undang-Undang yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk diperlakukan
lagi, maka Undang-Undang demikian tidak dapat dipertahankan dan harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan. Hal itu merupakan
aturan hukum acara dan praktik yang lazim diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi
negara lain. Misalnya, Pasal 45 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
(1987) menentukan,”The Constitutional Court shall decide only whether or not the
requested statute or any provision of the statute is unconstitutional: Provided, that if it
is deemed that the whole provisions of the statute are unable to enforce due to a
decision of unconstitutionality of the requested provision, a decision of
unconstitutionality may be made on the whole statute”. Artinya, Mahkamah Konstitusi
memutus konstitusional tidaknya satu Undang-Undang atau suatu ketentuan dari
Undang-Undang hanya terhadap ketentuan yang dimohonkan pengujian. Dalam hal
seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak
dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan yang menyatakan inkonstitusionalnya
pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionaitas dapat dijatuhkan
terhadap keseluruhan Undang-Undang tersebut. MK telah menerapkan hal tersebut
dalam perkara Nomor 001,021,022/PUU-I/2003 mengenai Undang-Undang
Ketenagalistrikan (Undang-Undang 20 Tahun 2002) dan perkara Nomor 06/PUU-
III/2006 dalam perkara pengujian Undang-Undang KKR.
43
Juga dalam hal seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang dimohonkan untuk
diuji dinilai tidak dapat dilaksanakan (impossibility of performance) sebagai akibat
putusan yang menyatakan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan
inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan Undang-Undang tersebut.
MK telah menerapkan hal tersebut dalam perkara 001,021,022/PUU-I/2003 mengenai
Undang-Undang Ketenagalistrikan (UU Nomor 20 Tahun 2002) dan perkara nomor
06/PUU-III/2006 dalam perkara pengujian UU KKR. Justru hal itu menjadi tugas pokok
MK. ”...that legislation may be overruled …when its application would necessarily
result in absurdity, repugnancy,or impossibility of performance—in other words, when
a statute is internally defective or self –contradictory” (Robert Lowry Clinton, Marbury
v. Madison and Judicial Review, University of Kansas, 1989, hal 2). Undang-Undang
yang tidak masuk akal dan tidak mungkin dilaksanakan, atau secara internal
mengalami cacat atau saling bertentangan satu dengan yang lain, dapat dibatalkan.
Tuduhan selama ini bahwa MK melakukan abuse of power dengan putusan
yang dianggap ultra petita tersebut sesungguhnya disebabkan ketidak pahaman
banyak pembuat Undang-Undang tentang fungsi judicial review. Ketika praktek
pertama yang memicu lahirnya lembaga constitutional review tersebut diputuskan
Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1803 dalam perkara Marbury vs Madison,
yang terjadi pada masa pemerintahan baru dibawah Presiden Thomas Jefferson
menolak untuk mengakui pengangkatan hakim-hakim yang dilakukan oleh Presiden
John Adams dalam saat-saat terakhir dari pemerintahannya. Yang dimohon
Penggugat Marbury adalah agar surat pengangkatannya oleh Presiden terdahulu-
John Adams yang sudah disahkan, berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman
(Judiciary-Act) tahun 1789, oleh MA Amerika dengan menggunakan writ of
mandamuss memerintahkan Pemerintah baru menyerahkan surat keputusan
pengangkatan tersebut kepada penggugat untuk dapat melaksanakan tugasnya. MA
tidak mengabulkan gugatan tersebut, dengan alasan bahwa MA tidak dapat
menggunakan Undang-Undang demikian, karena Undang-Undang tersebut menurut
pendapat MA, bertentangan dengan konstitusi Amerika. Dalam keputusannya MA
menyatakan Judiciary Act 1789 inkonstitusional dan dinyatakan tidak berlaku (Georg
Vanberg, 2005, Erwin Chemerinsky, 1997).
44
Dalam putusan tersebut kita menyaksikan bahwa antara petitum gugat dengan
putusan MA justru jauh melebihi sekadar ultra petita, dan bahkan secara keseluruhan
bukan menyangkut hal yang diminta penggugat. Pertimbangannya tentu bahwa dalam
melaksakan tugas konstitusionalnya, hakim tidak boleh diikat sekedar pada kotak
permohonan penggugat yang didasari dan dimotivasi kepentingan pribadi yang
bersifat individual. Kepentingan umum mengharuskan Hakim akan melaksanakan
tugas dan fungsinya mengawal konstitusi lebih luas dari sekedar kepentingan pribadi
dan bersifat individual, melainkan sebagai the guardian of the constitution, ada
kewajiban konstitusional yang diletakkan padanya untuk melihat dari perspektif
kepentingan umum.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah
menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan 16 September
2011 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Oktober 2011, sebagai berikut:
1. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 4 ayat (4f), ayat
(4g), dan ayat (4h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK), Pemerintah menjelaskan:
i. ketentuan a quo yang mengatur bahwa Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam 1 (satu) kali rapat pemilihan,
dimaksudkan agar lebih efektif dan efisien dimana hakim yang memperoleh
suara terbanyak pertama akan menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan
terbanyak kedua sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;
ii. karena itu terhadap rapat pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi dapat saja terjadi hasil keputusannya dengan perbandingan 8:1, 7:2,
6:3, atau 5:4 suara (dengan asumsi pemilihan diikuti oleh 2 calon ketua/wakil
ketua), menurut Pemerintah jika hal tersebut terjadi maka sudah tepat bagi
Hakim Konstitusi yang memperoleh suara terbanyak pertama dipilih sebagai
Ketua Mahkamah Konstitusi dan terbanyak kedua dipilih sebagai Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi.
45
iii. berdasarkan hal tersebut di atas Pemerintah tidak sependapat dengan
anggapan para Pemohon bahwa adanya dukungan yang signifikan ataupun
tidak dapat menyebabkan kredibilitas khususnya Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi yang mendapatkan suara terkecil, karena menurut Pemerintah
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua demikian untuk dan oleh para hakim
Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Dari uraian di atas menurut Pemerintah khususnya terkait dengan pemilihan Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak ada hubungannya dengan masalah
konstitusionalitas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh para
Pemohon tersebut.
2. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 10 UU MK,
Pemerintah menjelaskan:
i. bahwa menurut Pemerintah, para Pemohon kurang cermat dan tidak teliti
dalam membaca dan memahami ketentuan Pasal I angka 8 UU MK.
ii. bahwa yang dimaksud dalam Pasal I angka 8 UU MK:
“Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) diubah sebagai berikut: 8. Penjelasan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 www.hukumonline.com Ayat (1) Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pendapat DPR” adalah pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diambil dalam Keputusan Paripurna sesuai dengan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib. Ayat (3) Cukup jelas.”
46
iii. Bahwa yang tersebut pada poin ii di atas, pencantuman angka dalam Pasal
I dalam setiap perubahan suatu Undang-Undang merupakan teknik baku
penulisan dalam penyusunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011.
iv. Bahwa yang tersebut pada poin ii di atas adalah perubahan terhadap
penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan bukan mengatur norma baru dalam
batang tubuh Undang-Undang a quo.
Dari uraian di atas menurut Pemerintah, anggapan para Pemohon tidak terkait
dengan masalah konstitusionalitas berlakunya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji oleh para Pemohon tersebut.
3. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf d
dan huruh h UU MK, menurut Pemerintah, ketentuan tersebut terkait dengan
kebijakan pembuat Undang-Undang (legal policy) sebagaimana Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, yang pada intinya menyatakan:
“Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan
usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua
jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan
penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk
mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai
bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh
sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau
aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim
Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas
usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7
Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia
minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun
atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang
47
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi
keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu
diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan
kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan,
seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia
minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat
mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan
tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan
perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan
kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945”.
Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, anggapan para Pemohon tidak
terkait dengan masalah konstitusionalitas berlakunya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji oleh para Pemohon tersebut.
4. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 26 ayat (5) UU MK,
Pemerintah menjelaskan:
i. Bahwa menurut Pemerintah sifat dan karakteristik masing-masing lembaga
negara, khususnya dalam proses rekruitment jabatan pimpinan lembaga
negara berbeda-beda, sehingga tidak dapat dipersamakan antara satu dengan
yang lain.
ii. Bahwa mekanisme rekruitment yang selama ini telah berjalan dalam pemilihan
hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 hakim
Mahkamah Konstitusi berasal dari Pemerintah, MA, dan DPR.
iii. Bahwa lebih lanjut mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim
Mahkamah Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang bersangkutan.
[vide Pasal 20 ayat (1) UU MK]
48
Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, ketentuan a quo justru telah
memberikan kepastian hukum terhadap model pengisian jabatan hakim Konstitusi
(pergantian antar waktu) yang sebelumnya tidak diatur secara tegas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU.
5. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 27A ayat (2) huruf
c, huruf d, dan huruf e UU MK, Pemerintah menjelaskan:
i. Bahwa keberadaan unsur DPR, Pemerintah, dan hakim Mahkamah Agung
dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tentu tidak dapat dilepaskan
dari komposisi pengisian hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri yang diajukan
masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR,
dan 3 (tiga) orang oleh Presiden [vide Pasal 18 ayat (1) UUD 1945], menurut
Pemerintah hal demikian bertujuan untuk mewujudkan mekanisme check and
balances.
ii. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang
mempersoalkan komposisi pengisian Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi yang terdiri dari unsur Pemerintah, MA, dan DPR dapat
mempengaruhi independensi dalam pengambilan putusan atas dugaan telah
terjadinya pelanggaran kode etik oleh Hakim Konstitusi, karena dalam Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi tersebut selain unsur Pemerintah, MA, dan
DPR masih terdapat unsur komisi Yudisial dan unsur hakim Konstitusi. Dengan
perkataan lain adalah sangat tidak mungkin dan tidak relevan jika hakim yang
diperiksa oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari
salah satu unsur tersebut akan dibela oleh wakil dari lembaga asalnya (esprite
des corps).
Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, komposisi pengisian
keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan
masalah konstitusionalitas keberlakuan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji
oleh para Pemohon.
6. Terhadap anggapan Pemohon (register Nomor 48/PUU-IX/2011) bahwa
keberadaan Pasal 45A UU MK, Pemerintah menjelaskan:
i. Bahwa ketentuan a quo memberikan penegasan bahwa para Pemohon dalam
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
49
harus lebih teliti dan cermat dalam menentukan ketentuan (pasal-pasal) yang
dianggap merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon
itu sendiri, dengan perkataan lain menurut Pemerintah, dalam mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang para Pemohon tidak menggantungkan
kepada keaktifan hakim Konstitusi maupun bergantung pada prinsip ex aequo
et bono.
ii. Bahwa menurut Pemerintah Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus setiap permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 diberikan keleluasaan untuk memberikan putusan sesuai dengan
keyakinannya (vide Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).
7. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 50A UU MK,
Pemerintah menjelaskan:
bahwa menurut Pemerintah ketentuan di atas, memberikan penegasan kembali
bahwa batu uji atas pengujian Undang-Undang adalah apakah materi muatan
norma dalam Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut bertentangan
atau tidak bertentangan dengan UUD Tahun1945.
8. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 57 ayat (2a) UU
MK, Menurut Pemerintah ketentuan di atas, memberikan penegasan kembali
bahwa jenis dan putusan Mahkamah Konstitusi adalah jika para Pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi maka amar putusannya tidak dapat diterima;
dalam hal permohonan para Pemohon beralasan maka putusannnya dikabulkan;
dalam hal permohonan para Pemohon tidak beralasan maka putusannya menolak
permohonan para Pemohon (vide Pasal 56 UU MK);
9. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 59 ayat (2) UU MK,
menurut Pemerintah, ketentuan a quo telah memberikan penegasan bahwa
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 agar ditindaklanjuti oleh
pembentuk Undang-Undang (Presiden dan DPR). Ketentuan demikian tidak
terdapat dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
50
Bahwa menurut Pemerintah terhadap frasa “jika diperlukan”, sangat terkait erat
dengan sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, jika putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam undang-undang yang langsung dapat dilaksanakan (applicable)
maka pembentuk Undang-Undang tidak perlu secara serta merta melakukan
perubahan undang-undang dimaksud. Namun jika putusan Mahkamah Konstitusi
itu menimbulkan kekosongan hukum maka pembentuk Undang-Undang
memprioritaskan perubahan Undang-Undang dimaksud.
10. Terhadap anggapan para Pemohon bahwa keberadaan Pasal 87 UU MK, menurut
Pemerintah, terhadap ketentuan Pasal 87 huruf a yang mengatur tentang Ketua
atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, justru menunjukkan adanya kepastian hukum terhadap
keberlangsungan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang
masih menjabat.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa,
memutus, dan mengadili permohonan pengujian UU MK terhadap UUD Tahun 1945,
dapat memberi putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
2. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h), Pasal 10, Pasal
15 ayat (2) huruf d dan huruh h, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c,
huruf d, dan huruf e, Pasal 50A, Pasal 57 ayat (2a), Pasal 59 ayat (2), Pasal 87
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan
dengan Pasal 22A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempunyai
51
kekuatan hukum mengikat serta tetap berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam
persidangan tanggal 16 September 2011 yang kemudian dilengkapi dengan
keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5 Oktober
2011, sebagai berikut:
I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU MK), yang menyatakan
bahwa "Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publiatau privat; atau
d. lembaga negara."
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal
51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa "yang dimaksud
dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Ketentuan Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja
yang termasuk "hak konstitusional".
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, agar
seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
52
a. Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
"Penjelasan Pasal 51 ayat (1)" dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah
memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul
karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide
Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007)
yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut
dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang
diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam
perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka para Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk menilai apakah
para Pemohon memenuhi persyaratan legal standing sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
53
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara
Nomor 011/PUU-V/2007.
II. Pengujian Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Terhadap permohonan pengujian Undang-Undang perubahan atas
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh para Pemohon, DPR
menyampaikan keterangan sebagai berikut:
A. Pengujian Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) Undang-Undang a quo
1. Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi hendaknya
dikaitkan dengan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yaitu Hakim Konstitusi
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara. Dengan demikian seluruh Hakim
Konstitusi yang terpilih telah memenuhi persyaratan konstitusional. Oleh
karena itu Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 harus menjadi batu uji
(touchstone) dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,
khususnya berkaitan dengan persyaratan "negarawan" tentu persentase
dukungan tidak lagi merupakan suatu persyaratan yang perlu
dipertentangkan pada saat pemilihan dengan pelaksanaan tugas
Mahkamah Konstitusi.
2. Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dalam satu
putaran, meskipun dapat dikatagorikan sebagai pilihan kebijakan pembuat
Undang-Undang, namun pilihan itu memiliki latar belakang alasan yang
kuat dikaitkan dengan persyaratan Hakim Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24C ayat (5) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu,
DPR berpendapat bahwa pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dalam satu putaran tidak sematamata didasarkan pada sisi
efektivitas dan efisiensi, akan tetapi dari aspek persyaratan semua Hakim
Konstitusi memiliki kapasitas negarawan.
3. Persentase jumlah pemilih terhadap ketua dan wakil ketua terpilih harus
dikaitkan dengan kepercayaan atau "trust' serta memiliki integritas dan
54
kepribadian tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. Dengan dasar pemikiran seperti itu Hakim Konstitusi yang
menduduki posisi Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak ada
keraguan untuk memimpin pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi. Besaran jumlah pemilih hendaknya dipahami dari perspektif
angka matematis dalam penentuan posisi calon menjadi ketua atau wakil
ketua bukan perspektif politis.
Pilihan hakim terhadap ketua dan wakil ketua hendaknya tidak dipahami
berlangsung untuk setiap dukungan dalam pelaksanaan tugas dan
pengambilan putusan (hakim dalam menjalankan tugas bersifat
independen, tidak dipengaruhi oleh hakim lainnya).
4. Ketua dan wakil ketua dalam menjalankan tugasnya tidak terpengaruh oleh
tingkat persentase dukungan hakim pada saat pemilihan. Demikian juga
hakim konstitusi tidak boleh dipengaruhi oleh ketua atau wakil ketua. Dalam
pengambilan putusan hakim konstitusi dapat memberikan pendapat yang
berbeda (disenting opinion) dan/atau membuat alasan yang berbeda
(concurring opinion). Hal tersebut merupakan suatu fakta bahwa persentase
dukungan hakim pada saat pemilihan ketua dan wakil ketua tidak
berkorelasi dan tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas Hakim
Konstitusi.
5. Bahwa Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Ketua dan Wakil
Ketua dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi, atas dasar hal tersebut setiap
Hakim Konstitusi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan demikin ketentuan
Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) Undang-Undang a quo tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) yang pada pokoknya
menjamin perlakuan yang sama dihadapan hukum dan kesempatan yang
sama dalam pemerintahan.
B. Pengujian Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo
1. Bahwa argumentasi Pemohon mengenai perubahan Penjelasan Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) menurut DPR berkaitan dengan teknis perundang--
undangan. Perubahan atas Undang-Undang dari sisi teknik perundang-
55
undangan dapat berupa penyisipan atau penambahan materi kedalam
Undang-Undang, penghapusan atau penggantian sebagian materi Undang-
Undang. Perubahan itu dapat dilakukan terhadap seluruh, sebagian buku,
bab, bagian, paragraf,dan atau ayat.
2. Perubahan Undang-Undang secara teknik terdiri dari dua (2) pasal yang
ditulis dalam angka romawi, yaitu Pasal I dan Pasal II.
Pasal I, memuat beberapa ketentuan yang diubah (termasuk di dalamnya
dapat menyebutkan perubahan Penjelasan), yang selanjutnya diikuti
dengan urutan angka arab (1, 2 dan seterusnya) yang berisi materi
Undang-Undang yang dilakukan perubahan. Dengan demikian secara
teknis meskipun Penjelasan terletak setelah batang tubuh, namun dari sisi
urutan angka, penempatannya sesuai pada pasal dari materi yang diubah.
Oleh karena itu para Pemohon hendaknya memahami teknik penyusunan
perundangundangan khususnya penempatan perubahan penjelasan pasal,
bukan diletakkan pada Penjelasan pasalnya, tetapi diletakkan berdasarkan
nomor urut yang berhubungan dengan materi pasalnya....(dalam Undang-Undang a quo perubahan Penjelasan Pasal 10 ditempatkan pada Pasal I angka 8
Pasal II, memuat tentang mulai berlakunya Undang-Undang.
Dengan demikian penempatan perubahan penjelasan Pasal 10 pada urutan
Pasal I angka 8 sudah sesuai dengan teknis pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian materi penjelasan pasal yang diubah
harus disesuaikan dengan menempatkan dalam penjelasan.
C. Pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf d, Undang-Undang a quo
1. Dalam pembahasan RUU a quo batasan usia minimum untuk menjadi
hakim konstitusi telah didiskusikan/diperdebatkan. Batasan usia minimum
dikaitkan dengan tingkat kematangan seseorang untuk dapat dikatakan
sebagai negarawan. Diakui bahwa tidak ada angka usia yang pasti untuk
menentukan usia kematangan negarawan. Usia 47 merupakan pilihan
pembentuk Undang-Undang (legal policy) dengan dasar pemikiran bahwa
pada usia 47 itulah dianggap seseorang telah memiliki kematangan sebagai
negarawan. Terkait dengan pengaturan batasan usia minimal untuk
56
menduduki jabatan publik tertentu dalam Undang-Undang, DPR mengutip
pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang
menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan
pilihan kebijakan (legal policy) pembuat Undang-Undang untuk
menentukannya.
2. Bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan "dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan Undang-Undang...". Oleh karena itu pembatasan usia minimal
47 tahun untuk menjadi hakim konstitusi yang diatur dalam Pasal 15 ayat
(2) huruf d memiliki dasar konstitusional.
D. Pengujian Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang a quo :
Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur mengenai masa jabatan hakim konstitusi yaitu 5 (lima) tahun.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal
24C ayat (6) UUD 1945 yang mengatur bahwa pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi diatur dengan Undang-Undang. Penentuan
masa jabatan dalam waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun dapat menimbulkan
konsekuansi hukum manakala terjadi pemberhentian Hakim Konstitusi karena
alasan tertentu yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan
sendiri,usia 67 tahun, dan sakit jasmani atau rohani secara terus menerus yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau karena dijatuhi pidana, yaitu
dilakukan penggantian terhadap hakim konstitusi. Penggantian tersebut dilihat
dari masa jabatan dapat berupa penggantian Hakim dalam masa jabatan, atau
pengisian kekosongan jabatan Hakim. Pembentuk Undang-Undang mengambil
kebijakan (legal policy) bahwa pengisian jabatan Hakim yang diberhentikan
merupakan penggantian Hakim dalam masa jabatan, oleh karena itu Hakim
Konstitusi yang menggantikan melanjutkan sisa jabatan Hakim Konstitusi yang
digantikan.
E. Pengujian Pasal 27A huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang a quo:
1. Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 mengatur bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final, oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
57
hakirn konstitusi yang harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (5)
UUD 1945, dengan membentuk Majelis Kehormatan yang keanggotaannya
terdiri dari unsur perwakilan lembaga negara seperti MK, KY, DPR,
Pemerintah dan MA.
2. Dari sisi ketatanegaraan, masing-masing lembaga negara memiliki
independensi, baik struktural maupun fungsional, akan tetapi dalam
menjalankan fungsi kelembagaannya mempunyai keterkaitan dan
kerjasama. Dalam pembahasan Undang-Undang, dilakukan bersama
antara DPR dan Pemerintah. Untuk hakim konstitusi, dalam Pasal 24C
ayat (3) UUD 1945 secara tegas diatur 9 hakim konstitusi pengajuannya 3
orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh
Presiden.
3. Bahwa pengajuan hakim Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan
kelembagaan, artinya secara moral ketiga lembaga yang mengajukan
hakim konstitusi tersebut memiliki tanggungjawab atas perilaku hakim yang
diajukan. Sepanjang berkaitan dengan perilaku hakim tidak cukup
alasan/argumentasi untuk menyatakan bahwa akan terjadi intervensi dari
lembaga-lembaga yang mengajukan Hakim Konstitusi terhadap
pelaksanaan tugas Hakim Konstitusi. DPR berpendapat bahwa
penempatan wakil dari masingmasing lembaga sebagai unsur dalam
Majelis Kehormatan memiliki alasan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim konstitusi.
4. Mengenai unsur dari DPR di dalam keanggotaan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi, menurut DPR bahwa dilihat dari pengertian
pendelegasian, yang bersangkutan memiliki kewenangan mewakili
kelembagaan DPR. Oleh karena itu penentuan unsur keanggotaan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari DPR harus didasarkan pada
mekanisme pengambilan keputusan di DPR.
F. Pengujian Pasal 50A Undang-Undang a quo
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
58
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”, oleh
karena itu Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD yang menjadi dasar pertimbangan atau touchstone adalah UUD
Tahun 1945. Dengan demikian ketentuan Pasal 50A Undang-Undang a quo
merupakan ketentuan penegasan dan telah sejalan dengan Pasal 24C ayat (1)
UUD Tahun 1945.
G. Pengujian Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang a quo
1. Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24C ayat
(1), tugas Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap
UUD. Oleh karena itu diperlukan adanya batasan sebagai format putusan
MK untuk menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal bertentangan atau
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut,
Mahkamah Konstitusi hanya mempunyai kewenangan konstitusional untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD (fungsi yudisial), tidak memiliki
kewenangan untuk membentuk norma sebagai norma baru yang diputus
bertentangan dengan UUD (fungsi legislasi).
2. Pembentukan Undang-Undnag (fungsi legislasi) secara konstitusional
adalah merupakan kewenangan DPR bersama dengan Pemerintah. Jika
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membuat norma baru maka
Mahkamah Konstitusi telah melebihi kewenangan yang diberikan oleh UUD
1945.
H. Pengujian Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang a quo
1. Kata ”Jika” menunjukkan suatu syarat, bukan merupakan sesuatu yang
bersifat memaksa atau absolut. Dalam norma Undang-Undang,
penggunaan yang menunjukkan suatu syarat sering dijumpai dengan kata
”apabila, dalam hal, jika”. Dalam pasal a quo digunakan kata "jika" untuk
menunjukkan bahwa tidak keseluruhan putusan Mahkamah Konstitusi
harus ditindaklanjuti dengan pembentukan perubahan terhadap Undang-
Undang. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, meskipun
belum ada perubahan terhadap Undang-Undang yang dikabulkan
permohonannya, putusan tersebut berlaku sejak diputuskan, itulah yang
dimaknai sebagai kepastian hukum.
59
2. Apabila sebaliknya, kata "jika" dihilangkan akan berimplikasi terhadap
ketidakpastian hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai
kekuatan berlaku setelah ada tindakianjut atas putusan tersebut yaitu
perubahan terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh DPR dan
Presiden.
3. Selain itu, membubuhkan frase "jika diperlukan" menegaskan bahwa
secara konstitusional kewenangan untuk membentuk Undang-Undang
berada pada DPR dan Presiden. Mahkamah Konstitusi tidak dapat
membuat putusan untuk memerintahkan pembentuk Undang-Undang.
I. Pengujian Pasal 87 Undang-Undang a quo
1. Bahwa ketentuan Peralihan memuat penyesuaian terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat suatu
peraturan perundang-undangan baru mulai diberlakukan. Hal ini penting
agar tidak terjadi permasalahan hukum. Dalam Pasal 87 diatur mengenai
dua hal yaitu peralihan masa jabatan Ketua dan/Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dan peralihan masa jabatan Hakim Konstitusi. Ketentuan
peralihan ini berkaitan dengan ketentuan baru yang berbeda dengan
ketentuan yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan ketentuan yang lama,
masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua diatur selama 3 (tiga) tahun,
sedangkan masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti tidak diatur
sebelumnya. Dalam Undang-Undang perubahan diatur bahwa masa
jabatan Ketua dan Wakil Ketua selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan masa
jabatan Hakim Konstitusi pengganti melanjutkan sisa jabatan Hakim
Konstitusi yang digantikan.
2. Ketentuan Pasal 87 menjadi penting untuk mengatur mengenai transisi
waktu untuk memberikan kepastian hukum bagi ketua dan wakil ketua
maupun bagi Hakim Konstitusi Pengganti untuk menentukan waktu
berakhir masa jabatan. Dengan demikian untuk Ketua dan Wakil Ketua
berdasarkan ketentuan ini diberikan waktu transisi sampai dengan berakhir
masa jabatan 3 (tiga) tahun. Sedangkan pada Hakim Konstitusi Pengganti
sampai berakhir masa jabatan 5 (lima) tahun.
60
Demikian keterangan DPR dalam persidangan perkara Nomor 49/PUU-
(X/2011, kiranya keterangan ini dapat menjadi bahan pertimbangan didalam
memeriksa, memutus dan mengadili Perkara a quo dengan putusan:
1. Menyatakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Udang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Udang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Oktober 2011 yang pada
pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya, Pemerintah tidak menyampaikan
kesimpulan;
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum utama permohonan para
Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan
ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”; Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2) huruf c,
huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (2a); Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5226, selanjutnya disebut UU 8/2011) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
61
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo; dan
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) juncto Pasal 29 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009),
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji
konstitusionalitas Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h); Pasal 10; Pasal 15 ayat
(2) huruf d dan huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”;
Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 50A; Pasal
57 ayat (2a); Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU 8/2011 terhadap UUD 1945,
sehingga Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo
[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, akan tetapi untuk
62
menghilangkan adanya keragu-raguan mengenai objektivitas, netralitas, dan
imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya yang
diberikan oleh UUD 1945, perlu lebih dahulu Mahkamah menyatakan pendiriannya
sebagai berikut:
a. bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang oleh UUD
1945 diberi kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final terhadap persoalan-persoalan ketatanegaraan
merupakan konsekuensi dari sistem ketatanegaraan yang hendak dibangun oleh
UUD 1945 setelah melalui serangkaian perubahan. Sistem ketatanegaraan
dimaksud adalah sistem yang gagasan dasarnya bertujuan mewujudkan Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis dan konstitusional, yaitu negara
demokrasi yang berdasar atas hukum dan konstitusi, sebagaimana tercermin
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan bagian
dari penjabaran Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.
b. bahwa sebagai negara yang menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi
sebagai hukum tertinggi, Negara Republik Indonesia harus menyediakan
mekanisme yang menjamin ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar
dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah keberadaan
Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu sebagai lembaga yang berfungsi
mengawal konstitusi atau undang-undang dasar. Berdasarkan fungsi tersebut
maka dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir akhir undang-
undang dasar ketika terjadi sengketa konstitusional. Dalam kerangka pemikiran
itulah seluruh kewenangan Mahkamah diberikan oleh konstitusi, sebagaimana
tertulis dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
c. bahwa Mahkamah memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, karena
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah menyangkut Mahkamah. Hal
demikian terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan tentang nemo
judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan
dirinya sendiri. Namun dalam konteks ini ada tiga alasan Mahkamah harus
mengadili permohonan pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain
63
yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili
permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas
mengenai hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa
dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau
kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun
demikian dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan
independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan
salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu
menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD
1945 atau tidak;
d. bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah
masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik
yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu,
Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan
menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan
imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU
48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada
kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam
kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan
memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan
konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan
integritasnya guna menegakkan konstitusi;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
64
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU
MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.7] Menimbang bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya,
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
65
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan selaku perorangan warga
negara yang merupakan pengajar Hukum Tata Negara yang peduli terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta ide-ide
konstitusionalisme, dan merupakan individu-individu yang melakukan pemantauan
terhadap penyimpangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan nilai-nilai
konstitusionalisme UUD 1945;
[3.9] Menimbang bahwa dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 yang menguraikan mengenai
kedudukan hukum (legal standing) bagi perseorangan dan NGO/LSM dalam
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang sebagai berikut, “Dari praktik
Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI terutama pembayar pajak (tax payer, vide
Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern
terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah
daerah, lembaga negara, dan lain-lain oleh Mahkamah dianggap memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil,
Undang-Undang terhadap UUD 1945”, Mahkamah berpendapat, para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan
pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo;
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing), Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan
pokok permohonan;
Pokok Pemohonan
Pendapat Mahkamah
[3.11] Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan
para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli dari para
Pemohon, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon,
sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
66
1. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU
8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945,
Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa pada dasarnya aturan pemilihan pimpinan lembaga negara merupakan
kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang, namun hal
tersebut dapat menjadi isu konstitusionalitas jika aturan mengenai pemilihan
pimpinan lembaga negara tersebut dijalankan menimbulkan problematik
kelembagaan, yaitu tidak dapat dilaksanakan, aturannya menyebabkan kebuntuan
hukum (dead lock) dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara a quo
yang pada akhirnya menimbulkan kerugian konstitusional warga negara;
Bahwa secara umum norma Pasal 4 UU 8/2011 adalah mengatur tentang jumlah
hakim konstitusi, susunan Mahkamah Konstitusi, dan masa jabatan pimpinan
Mahkamah Konstitusi. Khusus Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan (4h) mengatur
tentang tata cara pemilihan pimpinan Mahkamah Konstitusi yang jika dilaksanakan
akan berpotensi menimbulkan kendala dikemudian hari ketika terjadi kekosongan
pimpinan Mahkamah Konstitusi atau pimpinan Mahkamah Konstitusi tidak dapat
melaksanakan tugas karena berhalangan tetap sebelum masa jabatan ketua dan
wakil ketua dari salah satunya berakhir, karena menurut ketentuan pasal a quo
ketua dan wakil ketua dipilih dalam “satu kali rapat dan satu paket”. Di samping itu,
pasal a quo jika dilaksanakan berpotensi menimbulkan kebuntuan hukum (dead
lock), yaitu kekosongan salah satu pimpinan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena
itu, pasal a quo berpotensi menghambat hak dari salah satu ketua atau wakil ketua
Mahkamah Konstitusi yang terpilih, sehingga pada gilirannya menghambat juga
terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari
keadilan;
Bahwa sistem pemilihan pimpinan Mahkamah Konstitusi menurut pasal a quo
yang menganut prinsip “satu kali rapat dan satu paket” telah mengenyampingkan
prinsip-prinsip ideal dalam demokrasi, yaitu tidak terpenuhinya asas mayoritas
sederhana (simple majority) dalam pemilihan, seperti bila ada dua atau lebih calon
memperoleh jumlah suara urutan kedua terbanyak (untuk menduduki jabatan wakil
ketua misalnya 5:2:2 suara atau 3:2:2:2 suara), maka pemilihan harus diulang
67
untuk sekaligus memilih pimpinan lagi, padahal calon ketua telah memperoleh
suara terbanyak. Contoh lain dapat terjadi 9:0 suara atau 8:1 suara. Hal ini
berpengaruh pula pada tingkat akuntabilitas, legitimasi, dan akseptabilitas
pimpinan Mahkamah Konstitusi yang terpilih yang pada akhirnya berpengaruh pula
terhadap kinerja Mahkamah. Mahkamah tidak sependapat dengan keterangan
DPR dalam persidangan yang menyatakan bahwa kebuntuan itu dapat diatasi
dengan merujuk pada Pasal 24 ayat (5) yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua diatur dalam peraturan
Mahkamah Konstitusi”. Menurut Mahkamah, Peraturan Mahkamah Konstitusi tidak
dapat mengatur sesuatu hal yang menyimpang atau bertentangan dengan materi
Undang-Undang yang sudah jelas sehingga Peraturan Mahkamah Konstitusi tidak
bisa mengatur lebih lanjut Pasal 4 ayat (4f) Undang-Undang a quo yang dengan
tegas menentukan bahwa pemilihan ketua dan wakil ketua hanya dilakukan dalam
satu kali rapat pemilihan;
Bahwa oleh karena pasal a quo dalam pelaksanaannya berpotensi menghambat
kinerja Mahkamah, sehingga merugikan hak konstitusional warga negara dalam
memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka permohonan para
Pemohon beralasan menurut hukum;
2. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 10 UU 8/2011 bertentangan dengan
Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah memberikan
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 22A UUD 1945 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Pasal tersebut
kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234). Yang dimaksud Batang Tubuh dan Penjelasan di dalam
Lampiran II Huruf C, Angka 61 adalah sebagai berikut bahwa batang tubuh
peraturan perundang-undangan memuat semua materi muatan peraturan
perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal, dan
Huruf E Penjelasan, Angka 176 menjelaskan bahwa penjelasan berfungsi sebagai
68
tafsir resmi oleh pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu
dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap
kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat
disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma
dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari
norma yang dimaksud. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 10 UU 8/2011,
mengandung kekeliruan atau kesalahan legislasi, seharusnya perubahan
penjelasan tersebut termuat dalam bagian Penjelasan bukan dalam batang tubuh
dari Undang-Undang. Penempatan Penjelasan Pasal 10 dalam ketentuan batang
tubuh juga telah menimbulkan kerancuan fungsi dari Penjelasan itu sendiri,
apakah Pasal 10 UU 8/2011 harus dimaknai sebagai batang tubuh atau
penjelasan? Yang dimaksud oleh pembentuk Undang-Undang adalah mengubah
Penjelasan Pasal 10, tetapi dalam kenyataan UU 8/2011 justru penjelasan
tersebut menjadi Pasal 10 dalam batang tubuh. Akibatnya dalam UU MK terdapat
dua Pasal 10, yaitu Pasal 10 dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang masih tetap berlaku karena tidak dinyatakan dicabut dan Pasal 10
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Oleh karena Pasal 10
UU 8/2011 telah menimbulkan ketidakpastian hukum maka menurut Mahkamah,
dalil para Pemohon beralasan menurut hukum;
3. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 8/2011
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 24C ayat
(5) UUD 1945, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-
syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan
kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang
bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan
kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai
kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan.
69
Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk
mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007,
tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, tanggal 15
Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya
dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu
untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan
kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah
oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang
ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum;
4. Terhadap dalil para Pemohon bahwa frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat
negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, Mahkamah
memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa frasa “pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU
MK berpotensi menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil dan tidak
memberikan kesempatan yang sama bagi seorang warga negara Indonesia yang
ingin menjadi hakim konstitusi, karena frasa a quo dapat ditafsirkan bersifat
kumulatif, yaitu mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15
(lima belas) tahun dan pernah menjadi pejabat negara atau dapat berupa pilihan
salah satu, yaitu mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15
(lima belas) tahun atau pernah menjadi pejabat negara. Ketika Pasal 15 ayat (2)
huruf h ditafsirkan kumulatif maka harus memenuhi keduanya, jika hanya
memenuhi salah satu maka seseorang tidak memenuhi syarat untuk menjadi
hakim konstitusi. Demikian juga apabila pasal a quo ditafsirkan alternatif maka
seseorang yang pernah menjadi pejabat negara tidak memerlukan pengalaman
kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dapat menjadi hakim
konstitusi. Padahal, untuk menjadi hakim konstitusi di samping memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, juga harus menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24C ayat (5)
70
UUD 1945. Frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat
(2) huruf h UU 8/2011 juga tidak memberikan kriteria yang jelas, karena tidak
semua orang yang pernah menjadi pejabat negara memenuhi syarat untuk
menjadi hakim konstitusi. Sebaliknya, banyak orang yang belum pernah menjadi
pejabat negara tetapi memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Karena
ketidakjelasan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sehingga
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum;
5. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah memberikan pertimbangan
sebagai berikut:
Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menyatakan “Hakim konstitusi yang
menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan
hakim konstitusi yang digantikannya.” Norma Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011
menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi
karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.
Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UU MK
(UU 24/2003) yang secara tegas dan jelas menyatakan “Masa jabatan hakim
konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya”, sehingga terjadi pertentangan internal (contradictio in
terminis). Menurut Mahkamah, penggantian hakim konstitusi tidak sama dengan
penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota
DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan
dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang
digantikannya. Adapun calon hakim konstitusi melalui proses seleksi oleh masing-
masing lembaga yang mengajukannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah,
masa jabatan hakim konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 22 UU MK tidak dapat
ditafsirkan lain kecuali lima tahun, baik yang diangkat secara bersamaan maupun
bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum
masa jabatannya berakhir. Mempersempit makna Pasal 22 UU MK dengan tidak
memberlakukannya bagi hakim konstitusi pengganti untuk menjabat selama lima
71
tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin
konstitusi;
Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD
1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut
bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya
hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang
digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja Mahkamah dalam
melakukan tugas dan wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim
konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan
jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan
kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang
dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yang
dihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusi pun,
sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya hakim yang menggantikan
yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya
maka masa jabatan hakim konstitusi menjadi kurang dari lima tahun. Dengan
demikian, yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah
adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan putusan-
putusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan hakim
konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim. Oleh sebab itu,
akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan hakim konstitusi yang
menggantikan tetap lima tahun. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para
Pemohon a quo beralasan menurut hukum;
6. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf
e UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945, Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa hakim konstitusi berbeda dengan hakim badan peradilan lain, hakim
konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim
karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang
72
bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus
2006];
Mekanisme pemilihan hakim konstitusi diajukan oleh tiga lembaga negara masing-
masing tiga orang sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, yaitu
masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, dan selanjutnya
ditetapkan oleh Presiden. Setelah ditetapkan dan mengucapkan sumpah sebagai
hakim konstitusi maka selama yang bersangkutan menjadi hakim konstitusi harus
independen dan imparsial serta bebas dari segala pengaruh lembaga negara
termasuk lembaga negara yang mengajukannya. Oleh karena itu, dengan
masuknya unsur DPR, unsur Pemerintah dan satu orang hakim agung dalam
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang bersifat permanen justru
mengancam dan mengganggu baik secara langsung maupun tidak langsung
kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Adanya unsur DPR, unsur Pemerintah, dan hakim agung berpotensi menimbulkan
konflik kepentingan karena DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung, serta Komisi
Yudisial dapat menjadi pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan unsur Komisi Yudisial, Mahkamah merujuk pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang
dalam pertimbangannya, antara lain, menyatakan, “... bahwa apabila ditinjau
secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan ‘original intent’ perumusan
ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945
memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal
24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial
sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan
sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C,
sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal
24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek
perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini
dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc
tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam
73
Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup
pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang
dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut
juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UUKK yang dibentuk sebelum
pembentukan UUKY. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku
Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur
secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UUKK
sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek
pengawasan oleh KY...”. Dari pertimbangan hukum tersebut pendirian Mahkamah
sudah jelas bahwa hakim konstitusi tidak termasuk yang diawasi oleh Komisi
Yudisial.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon
bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 8/2011 bertentangan
dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 beralasan menurut hukum. Oleh karena
Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 8/2011 saling memiliki
keterkaitan satu sama lain dengan Pasal 27A ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6) UU 8/2011 maka pasal a quo juga harus dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945;
Mahkamah perlu menegaskan bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi dari unsur Komisi Yudisial, DPR, Pemerintah, dan
Mahkamah Agung tidak memberi jaminan kemandirian, karena ada kemungkinan
orang yang mengisi keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sarat
dengan kepentingan sektoral, oleh karena itu dalam rangka menjaga independensi
dan imparsialitas Mahkamah, maka Mahkamah perlu menyusun kode etik dan
pedoman perilaku hakim konstitusi, dan para anggota Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang anggotanya selain dari Mahkamah Konstitusi, juga dari
unsur lain yang independen dan tidak partisan;
7. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 50A UU 8/2011 bertentangan dengan
Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan
sebagai berikut:
74
Bahwa Indonesia telah menyatakan sebagai negara hukum yang demokrasi
konstitusional atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum, sebagaimana
ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Salah satu syarat setiap
negara yang menganut paham rule of law dan constitutional democracy adalah
prinsip konstitusionalisme (constitutionalism), antara lain yaitu prinsip yang
menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai hukum tertinggi
dalam suatu negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itu
maka harus terdapat mekanisme yang menjamin bahwa ketentuan-ketentuan
konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 telah
memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang berfungsi mengawal konstitusi atau Undang-Undang
Dasar (the guardian of the constitution) dan karena fungsinya itu Mahkamah
Konstitusi merupakan penafsir tertinggi Undang-Undang Dasar (the ultimate
interpreter of the constitution). Dalam kerangka pemikiran demikian maka seluruh
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana tertulis dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945, bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya. Salah satu
kewenangan Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Dengan kewenangan yang diberikan tersebut Mahkamah dalam
mengadili suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum
dasar tertinggi maupun Undang-Undang sebagai penjabaran dari UUD 1945.
Pelarangan terhadap Mahkamah untuk menggunakan Undang-Undang lain
sebagai dasar pertimbangan hukum adalah mereduksi kewenangan Mahkamah
sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain
sebagai dasar pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian hukum
yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam
praktik Putusan Mahkamah terkait dengan pengujian materil Mahkamah tidak
pernah menggunakan Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan, akan tetapi
dalam permohonan-permohonan tertentu, Mahkamah harus melihat seluruh
75
Undang-Undang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak boleh bertentangan satu
dengan yang lain sehingga apabila Mahkamah menemukan ada satu Undang-
Undang bertentangan dengan Undang-Undang lain, hal itu berarti bertentangan
dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam pengujian formil memang benar Mahkamah dalam putusan Nomor 27/PUU-
VII/2009, tanggal 16 Juni 2010 antara lain menyatakan “...sepanjang Undang-
Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu mengalir dari delegasi
kewenangan menurut konstitusi maka peraturan perundang-undangan itu dapat
dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam
pengujian formil”. Hal itu dilakukan Mahkamah karena Pasal 22A UUD 1945
menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tatacara pembentukan Undang-
Undang diatur dengan Undang-Undang. Adapun mekanisme pembentukan
Undang-Undang di DPR diatur dengan tata tertib DPR sehingga menurut
Mahkamah penggunaan Undang-Undang mengenai pembentukan Undang-
Undang dan tata tertib DPR sebagai dasar putusan Mahkamah dimaknai sebagai
penjabaran dari UUD 1945 secara langsung. Oleh karena itu menurut Mahkamah
jika pasal a quo diterapkan maka akan membatasi tugas dan fungsi Mahkamah
dalam melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Berdasarkan
pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut
hukum;
8. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945, pasal a quo
telah dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor
48/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011, sehingga permohonan para Pemohon
dinyatakan ne bis in idem;
9. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan Mahkamah
76
Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung
dilaksanakan (self executing). Putusan Mahkamah sama seperti Undang-Undang
yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku
kepentingan yang ada. Norma Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 tidak jelas dan
menimbulkan ketidakpastian hukum, karena DPR dan Presiden hanya akan
menindaklanjuti putusan Mahkamah jika diperlukan saja. Padahal putusan
Mahkamah merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang harus
ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai konsekuensi faham
negara hukum demokratis yang konstitusional.
Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 mengandung kekeliruan, yaitu frasa
“DPR atau Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, setiap
rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Karena itu, DPR atau Presiden tidak berdiri
sendiri dalam membahas rancangan Undang-Undang, sehingga frasa “DPR atau
Presiden” bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon a quo beralasan menurut
hukum;
10. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 87 UU 8/2011 bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pasal 87 UU 8/2011 adalah pengganti Pasal 87 UU MK sebelumnya yang
termasuk dalam Bab Ketentuan Peralihan. Jika diperhatikan ketentuan pasal a quo
adalah dimaksudkan sebagai ketentuan peralihan yang menurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dalam Lampiran II Huruf C.4,
Angka 127 telah menentukan bahwa yang dimaksud ketentuan peralihan adalah
ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan
hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama
terhadap peraturan perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
77
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Namun, kenyataannya Pasal 87 UU 8/2011 a quo justru mengandung norma yang
bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan peralihan
sebagaimana dimuat di dalam Lampiran II Huruf C.4, angka 127 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sehubungan dengan ketentuan peralihan, Mahkamah dalam putusan Nomor
019/PUU-I/2003, bertanggal 18 Oktober 2004 dan Nomor 121/PUU-VII/2009,
tanggal 9 Maret 2011 pada pokoknya menyatakan ketentuan peralihan memuat
penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-
undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan
hukum;
Dengan mendasarkan pada kedua putusan Mahkamah a quo, maka yang harus
dipertimbangkan adalah apakah dengan adanya ketentuan Pasal 87 UU 8/2011
tersebut dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum atau justru
sebaliknya;
Bahwa Pasal 87 UU 8/2011 menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku:
a. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
b. hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan
diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi”.
Menurut Mahkamah, ketentuan a quo memberlakuan dua Undang-Undang
sekaligus dalam satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
78
Mahkamah Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal,
ketentuan peralihan dibuat adalah untuk menjamin kepastian hukum. Selain itu,
Pasal 87 huruf a UU 8/2011 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan
dengan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h) UU 8/2011, karena Pasal 4
menghendaki pemilihan ketua dan wakil ketua dalam satu kali rapat pemilihan,
sementara wakil ketua yang saat ini menjabat masa jabatannya tiga tahun, yaitu
berakhir pada tahun 2013. Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah asas ‘dapat dilaksanakan’. Dengan dasar pertimbangan
tersebut, menurut Mahkamah Pasal 87 huruf a UU 8/2011 selain menimbulkan
ketidakpastian hukum juga melanggar asas pembentukan peraturan perundang-
undangan khususnya asas ‘dapat dilaksanakan’. Oleh karena itu, sambil
menunggu perbaikan dari pembentuk Undang-Undang, maka pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipergunakan aturan yang lama yaitu Pasal 4
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 01/PMK/2003 tentang
Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;
Bahwa menurut Mahkamah ketentuan mengenai hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 huruf b UU 8/2011 memberlakukan dua Undang-
Undang sekaligus dalam satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal,
ketentuan peralihan dibuat adalah untuk menjamin kepastian hukum;
Menurut Mahkamah, selain menimbulkan ketidakpastian hukum, Pasal 87 UU
8/2011 juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan, karena ada pasal yang
langsung berlaku dan dilaksanakan, namun ada juga yang tidak langsung berlaku.
Pemberlakuan dua Undang-Undang yang demikian itu merupakan pembedaan
perlakuan terhadap hakim konstitusi yang sedang menjalankan tugasnya dan
hakim yang akan diangkat kemudian, sehingga merugikan hak konstitusional bagi
pihak yang terkena dampak perubahan tersebut. Hal demikian tidak sesuai
dengan prinsip “memperlakukan sama terhadap hal yang sama, memperlakukan
berbeda terhadap hal yang berbeda“. Di samping itu, juga bertentangan dengan
79
prinsip perubahan hukum yang harus memberlakukan ketentuan yang
menguntungkan bagi yang dikenai perubahan peraturan. Oleh karena itu, norma
yang termuat di dalam ketentuan Pasal 87 huruf b UU 8/2011 yang seharusnya
merupakan ketentuan peralihan di samping tidak tercapai maksud dan tujuannya,
juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta menimbulkan ketidaksamaan
perlakuan, sehingga permohonan para Pemohon mengenai Pasal 87 UU 8/2011
tersebut harus dinyatakan beralasan menurut hukum;
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas,
menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk
sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan para Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum
untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indoensia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor
5076);
80
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h
sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5),
Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
3. Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h
sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5),
Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Permohonan para Pemohon mengenai Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak
dapat diterima;
5. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
81
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota,
Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi,
Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai
Anggota pada hari Jumat tanggal empat belas bulan Oktober tahun dua ribu sebelas,
dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Selasa tanggal delapan belas bulan Oktober tahun dua ribu sebelas, oleh
delapan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Ahmad
Fadlil Sumadi, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota,
dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh
para Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Achmad Sodiki
ttd.
M. Akil Mochtar
ttd.
Harjono
ttd.
Hamdan Zoelva
82
ttd. Ahmad Fadlil Sumadi
ttd. Anwar Usman
ttd. Muhammad Alim
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Harjono mengajukan pendapat
berbeda (dissenting opinion) sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah pernah menguji konstitusionalitas Undang-Undang yang
berhubungan dengan Mahkamah sendiri yaitu pengujian Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 (UU 24/2003). Setelah pengujian terhadap pasal tersebut
banyak pendapat yang timbul yang menyatakan bahwa Mahkamah telah memperluas
kewenangan sendiri dengan putusan tersebut. Dengan putusan adanya pengujian
terhadap Pasal 50 UU 24/2003 sebenarnya Mahkamah termasuk hakim konstitusi
tidak mengambil keuntungan apa pun karena dengan dinyatakan Pasal 50 UU
24/2003 yang lama sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dengan adanya pasal tersebut dapat
menyebabkan dua norma berlaku bersama meskipun keduanya terdapat
pertentangan dan pula membiarkan adanya standar ganda yang disebabkan norma
yang satu diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar sedangkan
norma yang lain diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar;
Dalam perkara sekarang ini seharusnya Mahkamah sangat hati-hati karena yang
diperiksa adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan Mahkamah langsung, kalau
tidak hati-hati dikhawatirkan dapat secara tidak adil dan tidak jujur memutus untuk
kepentingan diri sendiri. Agar dapat memeriksa dengan baik terhadap perkara a quo,
menurut saya, harus jelas kriteria yang diterapkan kepada pasal-pasal yang diajukan
untuk dimohonkan diuji. Terhadap pasal-pasal yang dimohonkan diuji, menurut
pendapat saya dapat dikatagorikan dalam 3 kriteria:
83
(1) Pasal-pasal yang keberadaannya dapat mengganggu kemandirian Mahkamah
sebagai lembaga peradilan yang merdeka sebagaimana dimaksudkan oleh
Pasal 24 UUD 1945. Pasal-pasal demikian secara substantif bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Dengan berdasar pada praktik yang pernah
dilakukan oleh Mahkamah, yaitu terhadap Pasal 50 UU MK yang lama (UU
24/2003) Mahkamah dapat mengesampingkan pasal yang demikian tanpa
menunggu adanya perkara yang diajukan kepada Mahkamah dengan dasar
semata-sama demi menegakkan konstitusi dan menjamin hak-hak pencari
keadilan yaitu seluruh warga negara termasuk tentunya anggota DPR terutama
akan dirasakan setelah tidak lagi menjadi anggota DPR. Kalau ternyata terdapat
permohonan terhadap pasal-pasal ini maka kepada pemohon diberikan legal
standing karena keberadaan pasal yang demikian berpotensi untuk menghalangi
pemohon dalam mencari atau mendapatkan keadilan berdasar UUD 1945;
(2) Pasal-pasal yang keberadaannya tidak mengganggu kemandirian Mahkamah
namun demikian tidak dapat dilaksanakan karena dalam pasal tersebut terdapat
kekurangsempurnaan dalam penyusunannya. Secara substantif isi pasal
tersebut menjadi kewenangan penuh pembuat Undang-Undang. Terhadap
pasal-pasal dalam katagori ini Mahkamah dapat melakukan dengan dua cara.
Pertama, dengan memberikan penafsiran yang benar melalui putusan
conditionally constitutional tanpa mengubah rumusan yang ada dan dengan
memberikan prasyarat sehingga pasal tersebut menjadi benar maksudnya.
Dalam permohonan a quo hal demikian dapat diterapkan untuk pengujian Pasal I
angka 8 yang berkaitan dengan perubahan Penjelasan Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 (UU 8/2011). Kedua, apabila cara pertama tidak
dapat diterapkan maka tetap membiarkan pasal-pasal yang bersangkutan dan
kemudian menyampingkannya, sementara menunggu perbaikan proses legislasi
yang dilakukan, Mahkamah dapat menggunakan pasal-pasal dari Undang-
Undang sebelumnya, tanpa menunggu adanya permohonan pengujian.
Pemilihan Ketua Mahkamah yang baru saja dilakukan oleh Mahkamah
senyatanya menggunakan cara kedua ini, meskipun belum ada permohonan
pengujian;
84
(3) Pasal yang tidak termasuk dalam dua kriteria sebelumnya tetapi berkaitan
langsung dengan kepentingan hakim dan bukan kepentingan kelembagaan.
Sebagai sebuah lembaga, Mahkamah tidak terganggu fungsi dan perannya
dengan adanya pasal demikian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011, namun terdapat kepentingan pribadi hakim dalam pasal yang
bersangkutan. Dalam kasus yang demikian lah Mahkamah harus berhati-hati
untuk menentukan sikap yang tentunya tercermin dalam alasan-lasan
pengambilan keputusannya. Kalau sementara ini Mahkamah dikatakan
memberikan keadilan kepada Pemohon persoalannya adalah dengan dasar apa
Mahkamah mengatasnamakan keadilan dalam memutus yang menyangkut
hakimnya sendiri. Kalau Mahkamah sering melakukan judicial activism selama ini
maka demi citranya dalam menghadapi kasus yang demikian Mahkamah
haruslah melakukan judicial self restriction hal demikian untuk menghormati
kewenangan yang dimiliki oleh pembuat Undang-Undang;
Apa salah dan apa dosa Pasal 87 huruf b UU 8/2011 sehingga harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945;
UU 8/2011 tersirat niat pembuat Undang-Undang untuk meningkatkan kelembagaan
Mahkamah dengan melalui pengaturan hakimnya. Undang-Undang Dasar tidak
memberikan persyaratan yang rinci tentang siapa yang dapat diangkat menjadi hakim
Mahkamah Konstitusi dan secara umum menyatakan pada Pasal 24C ayat (5) bahwa
hakim konstitusi harus memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara. Ketentuan lebih lanjut diatur oleh Undang-Undang yaitu
dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU 24/2003. Kedua pasal tersebut oleh pembuat
Undang-Undang diubah melalui Pasal I angka 9 UU 8/2011 dan digabungkan menjadi
satu pasal saja yaitu Pasal 15. Substansi yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) a
yang lama tentang syarat calon hakim konstitusi digantikan dari yang berpendidikan
sarjana hukum menjadi berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang
berlatar belakang pendidikan hukum oleh Pasal 15 ayat (2) b UU 8/2011. Disamping
itu juga diubah materi yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UU 24/2003
menjadi Pasal 15 ayat (2) huruf d yang semula berusia sekurang-kurangnya 40 tahun
menjadi berusia paling rendah 47 tahun. Demikian juga Pasal 16 ayat (1) huruf f yang
85
semula mensyaratkan pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10
tahun menjadi berpengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 tahun [vide
Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 8/2011]. Perubahan tersebut juga diikuti oleh perubahan
batas usia pensiun hakim konstitusi yang semula 67 tahun [vide Pasal 23 ayat (1)
huruf c UU 24 Tahun 2003] menjadi 70 tahun [vide Pasal 23 ayat (1) huruf d UU
8/2011]. Semua materi perubahan tersebut adalah materi yang menjadi kewenangan
pembuat undang-undang dan substansinya tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar. Dari pertimbangan rasional adalah sangat beralasan mengapa usia
pensiun hakim konstitusi diperpanjang karena syarat calon hakim konstitusi
diperberat oleh perubahan tersebut. Adanya ketentuan perubahan yang berkaitan
dengan syarat calon hakim konstitusi tersebut memang dapat merugikan para
Pemohon yang usianya belum 47 tahun, atau yang tidak bergelar doktor dan
magister, oleh karena itu yang semestinya mempunyai legal standing pada
permohonan tersebut adalah Pemohon I Prof Dr. Saldi Isra karena umurnya baru 42
tahun, Pemohon V Zainal Arifin Mochtar, SH,LLM karena umur masih 33 tahun dan
belum bergelar doktor, Pemohon VI Dr. Muchamad Ali Safa’at, SH, MH karena
berumur 35 tahun , Pemohon VII Dr Fatmawati,SH.MH karena umur baru 37 tahun ,
Pemohon VIII Feri Amsari ,SH.MH karena belum bergelar doktor dan umur 30 tahun;
UU 8/2011 dalam Pasal I angka 31 menyatakan Pasal 87 UU 24/2003 diubah yang
dalam kemudian terdapat Pasal 87 huruf b yang menyatakan, ”hakim konstitusi yang
saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan diberhentikan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”.
Pasal ini memang mempunyai kelemahan secara teknik perundang-undangan karena
mengganti Ketentuan Peralihan UU 24/2003. Secara substansi Pasal 87 UU 24/2003
telah tidak berlaku lagi karena benar-benar merupakan ketentuan peralihan yang
mengalihkan keadaan sebelum UU 24/2003 berlaku dan mempunyai nilai historis,
oleh karenanya mengapa harus digantikan dengan ketentuan yang baru karena
secara yuridis memang sudah tidak berlaku. Materi Pasal 87 huruf b UU 8/2011
seharusnya menjadi Ketentuan Penutup. Maksud pembuat undang-undang yang
tersirat dalam Pasal 87 huruf b UU 8/2011 antara lain adalah memberlakukan
ketentuan usia pensiun 70 tahun kepada hakim baru yang oleh UU 8/2011 syarat-
syaratnya telah diperberat. Dengan maksud tersebut sebenarnya UU 8/2011 tidak
86
mengurangi hak dan kewajiban hakim konstitusi yang telah diangkat berdasarkan UU
24/2003. Secara yuridis hakim konstitusi yang diangkat berdasarkan UU 24/2003
tidak mengalami kerugian sama sekali. Karena materi Pasal 87 huruf b UU 8/2011
salah penempatannya yaitu dalam Ketentuan Peralihan yang seharusnya menjadi
Ketentuan Penutup maka putusan Mahkamah cukup conditionally constitutional untuk
memperbaikinya yaitu dengan memutuskan sepanjang diartikan sebagai ketentuan
Penutup sehingga Mahkamah tidak sampai menyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar karena tidak ada dasar konstitusionalnya. Disebut sebagai
Ketentuan Peralihan Pasal 87 huruf b UU 8/2011 tidaklah tepat karena tidak ada
status hukum apa pun yang diatur dalam UU 24/2003 yang perlu dialihkan untuk
sesuai dengan UU 8/2011. Maksud pasal tersebut adalah menetapkan kapan
berlakunya aturan yang terdapat dalam UU 8/2011 dan itu seharusnya ada pada
Ketentuan Penutup;
Masalah lain yang perlu untuk dipertimbangkan dengan benar adalah legal standing
dari para Pemohon untuk menguji Pasal 87 huruf b UU 8/2011 ini, karena pasal
tersebut berkaitan dengan pemberhentian hakim konstitusi maka kerugian apa
sebenarnya yang berakibat kepada para Pemohon. Apakah dengan adanya pasal
tersebut para Pemohon menderita kerugian konstitusional, menurut saya tidak,
karena para Pemohon berhubungan dengan lembaga Mahkamah Konstitusi bukan
dengan hakim Mahkamah Konstitusi. Terjadinya penggantian hakim konstitusi
berdasarkan pasal ini mungkin saja digantikan oleh hakim konstitusi baru yang para
Pemohon tidak mengenal sebelumnya tetapi hal demikian bukanlah kerugian
konstitusional. Keadaan sebaliknya justru terjadi dengan adanya Pasal 87 huruf b a
quo ada di antara para Pemohon mempunyai kesempatan untuk mengisi kekosongan
hakim konstitusi tersebut. Dengan alasan tersebut bagaimana mungkin kepada para
Pemohon diberi legal standing, padahal pasal tersebut tidak menimbulkan kerugian
konstitusional baik aktual maupun potensial kepada para Pemohon yang bahkan di
antara para Pemohon secara potensial dapat diuntungkan oleh keberadaan pasal
tersebut;
Keberadaan Pasal 87 huruf b a quo apakah juga menimbulkan diskriminasi antara
hakim baru dengan yang yang ada sekarang. Mahkamah telah sering memutuskan
bahwa diskriminasi yang dilarang dan bertentangan dengan konstitusi adalah
87
diskriminasi yang berdasar kepada ras, jenis kelamin, bahasa, agama, warna kulit,
bangsa, suku bangsa, pendapat politik, asal sosial, dan kekayaan. Keberadaan pasal
a quo tidak ada kaitannya dengan larangan diskriminasi;
Apakah keberadaan Pasal 87 huruf b ini menyebabkan terlanggarnya asas bahwa
kalau terjadi perubahan hukum maka harus diperlakukan hukum yang
menguntungkan. Bahwa asas tersebut adalah asas yang berlaku dalam hukum
pidana sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tidak ada dasar asas
tersebut diterapkan ke dalam bidang hukum lainnya. Penerapan asas tersebut
dilakukan apabila terjadi perubahan hukum dan perubahan hukum yang baru
tersebut memberikan beban yang lebih meringankan konkritnya ancaman pidana
yang lebih ringan kepada terdakwa. Dalam kasus a quo tidak ada beban atau
kewajiban yang diubah oleh Undang-Undang perubahan yang menjadikan hakim
konstitusi yang baru nantinya diringankan bebannya oleh Undang-Undang perubahan.
Asas ini tidak berlaku dalam bidang hukum perdata. Dalam hukum administrasi
negara pun, yaitu hukum pajak, asas ini tidak berlaku. Hutang pajak yang telah
ditetapkan yang timbul dari peristiwa pajak untuk tahun sebelumnya tetap harus
dibayar oleh wajib pajak meskipun pada tahun berikutnya terjadi perubahan tarif pajak
yang lebih murah atau meringankan terhadap peristiwa pajak yang serupa. Apakah
ketentuan ini harus dinyatakan inkonstitusional? Tentulah akan merusak sendi-sendi
hukum apabila asas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP diterapkan secara
serampangan di segala bidang hukum termasuk dalam perkara a quo. Kesalahan
menerapkan asas ini sama nilainya dengan kesalahan menerapkan asas larangan
ultra petita yang semestinya hanya dalam perkara perdata ke dalam perkara tata
negara. Oleh karenanya permohonan pengujian Pasal 87 huruf b UU 8/2011 harus
ditolak. Terkesan Mahkamah terlalu bernafsu untuk memutus perkara a quo;
Quo Vadis Mahkamah Konstitusi.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir