putus pernikahan dengan alasan murtad (analisis...
TRANSCRIPT
PUTUS PERNIKAHAN DENGAN ALASAN MURTAD
(Analisis Putusan Nomor 967/Pdt.G/2010/PA. JP)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk
Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD ROBIAN
NIM: 1111044100013
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
iv
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
Ayahanda Sukarna dan Ibunda Siti Romlah Atas do’a dan kasih
sayang yang tiada henti yang selalu tercurahkan kepada penulis
Saudari kandung Dede Mulyati dan Charia Fitri
Yang selalu memberikan dorongan
Serta semangat kepada penulis
v
ABSTRAK
Ahmad Robian, 111104400013, Putus Pernikahan Dengan Alasan Murtad
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 967/Pdt.G/2010/PA. JP).
Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437
H/2015 M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status perkawinan
pasangan yang salah satunya murtad menurut fiqih dan peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan
Agama jakarta Pusat dalam menyelesaikan perkara pembatalan perkawinan
dengan alasan suami murtad. Untuk mengetahui putusan Hakim PA Jakarta Pusat
No Perkara 967/Pdt.G/2010/PA.JP Tentang putus perkawinan karena murtad
ditinjau dari Hukum Formil dan Materil
Penelitian ini adalah Penelitian Kualitatif dengan pendekatan normatif
empiris. Sumber datanya terdiri dari data Primer dan Skunder. Data Primernya
putusan No 967/Pdt.G/2010/PA.JP dan hasil wawancara dengan hakim yang
memutus Putusan No 967/Pdt.G/2010/PA.JP serta hakim PA Jakpus. Data
Skundernya tulisan yang terkakait dengan tema penelitian, tehnik pengumpulan
data dilakukan dengan wawancara, kajian pustaka dan dokumentasi. Metode
menganalisanya dilakukan dengan metode induktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa status perkawinan jika salah satu
pihak Murtad menurut fiqih bahwa perkawinan mereka menjadi fasakh tanpa
diputus oleh PA. dalam KHI Pasal 116 huruf h, menyebutkan bahwa jika salah
satu pasangan suami isteri murtad dan menyebabkan ketidak harmonisan dalam
rumah tangga, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan perceraian dan
bukan sebagai alasan fasakh. Adapun mekanisme penyelesaian perkara cerai
karna murtad di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Maka amarnya adalah
memfasakhkan perkawinan tersebut. Hal ini sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang menyebutkan bahwa amar putusan
dalam perkara cerai gugat dengan alasan murtad (Peralihan Agama) adalah
memfasakh perkawinan. Berbeda dengan putusan yang menjadi objek penelitian
ini yang amarnya adalah memutuskan perkawinan dengan perceraian.Tinjauan
hukum formil pada putusan ini sudah sesuai dengan hukum formil yang ada.
Namun dalam hukum materilnya, ada beberapa kekeliruan dalam mencantumkan
rumusan Pasal yang digunakan dalam hal kesaksian dan pertimbangan hukum.
Sehingga menimbulkan ketidak jelasan atau kekaburan dalam putusan tersebut.
Kata Kunci : Perceraian, Murtad, Fasakh
Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, M.A
Dafar Pustaka : Tahun 1976 sampai Tahun 2013
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT yang mana telah
memberikan taufiq dan hidayahn-Nya kepada Penulis terutama dalam
meyelesaikan Skripsi ini. Sholawat serta salam Penulis panjatkan kepada
junjungan besar, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat yang telah
banyak berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada umat, sehingga
mengangkat umat dari kebodohan kepada kecerdasan.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
strata 1 (S.1), dengan adanya persyaratan ini membuat Penulis berfikir bahwa
untuk mencapai sesuatu yang diinginkan tidak mudah. Dibutuhkan kerja keras,
semangat, sungguh-sunguguh, motivasi dan bimbingan dari semua pihak agar
dapat menyelesaikan skripsi dengan baik yang sesuai dengan harapan Penulis.
Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dan
bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung dan tidak. Karena itu Penulis
ucapkan terimakasih kepada yang terhormat bapak ibu:
1. Prof. Dede Rosyada, M.A., Rektor Universititas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah jakarta.
3. Dr. Abdul Halim, MA., dan Arip Purkon, MA., Selaku Ketua Program Studi
dan Skretaris Hukum Keluarga. (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri Jakarta.
4. Hj. Hotnidah Nasution, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan
Kepada penulis, sehingga penulis dapat meneyelesaikan skripsi ini dengan
baik, semoga beliau selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah SWT.
5. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., Dosen Program Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah Ikhlas berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam
vii
kegiatan belajar dan mengajar yang penulis jalani.
6. Drs. H. Hafifullah, S.H., M.H., selaku hakim yang memutus perkara No.
976/Pdt.G/2010/PA.JP. yang telah meluangkan waktunya dan arahannya serta
informasi kepada Penulis.
7. Para staf Pengadilan Agama jakarta Pusat yang telah memberikan izin kepada
Penulis untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama Penulis
mengadakan penelitian khusunya, Ruslan P., SH., M.H. selaku Panitra Muda
Hukum yang telah banyak membantu Penulis mendapatkan data-data
penelitian
8. Drs. H. Munadi, M.H., selaku hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang
telah memberikan informasi kepada Penulis.
9. Segenap Dosen Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta yeng telah memberikan ilmu
Pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat
serta menjadi keberkahan Penulis dalam menjalani kehidupan. Serta para
Pimpinan dan Staf Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum guna menyelesaikan skripsi ini.
10. Teristimewa Ananda haturkan terima kasih kepada orang tua ananda yaitu
ayahanda tercinta Sukarna dan ibunda tercinta Siti Romlah karena berkat do’a,
motivasi, kasih sayang perhatian dan bantuan (moril, materil, dan spritual)
yang telah memberikan ayahanda dan ibunda tercinta kepada ananda dengan
tulus, sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar.
Meskipun telah berupaya dengan optimal, Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih banyak kekurangan dari berbagai segi dan jauh dari sempurna,
karena kesempurnaan milik Allah semata. Sehingga saran dan kritik yang bersifat
membangun Penulis harapkan untuk kebaikan skripsi ini.
Jakarta, 4 Januari 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ........................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
E. Review Study Terdahulu ........................................................ 9
F. Metode Penelitian................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 14
BAB II PINDAH AGAMA SEBAGAI PENYABAB PUTUSNYA
PERNIKAHAN
A. Agama Sebagai Hak Individu ............................................... 16
B. Agama Sebagai Aspek Kehidupan Dalam Rumah Tangga.... 21
C. Pindah Agama dan Akibat Hukumnya Terhadap Pernikahan 27
1. Pindah Agama Sebagai Pembatalan Nikah ...................... 27
2. Pindah Agama Sebagai Fasakh ........................................ 36
D. Pembatalan Pernikahan Dalam Undang-Undang................... 42
BAB III PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA PUSAT
A. Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........ 45
B. Administrasi Pengajuan Perkara Perceraian .......................... 46
C. Faktor-faktor Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat 49
D. Prosedur Pemeriksaan Perceraian .......................................... 50
E. Volume Perkara Perceraian Tahun 2012-2014 ...................... 53
BAB IV PUTUS CERAI TALAK SUAMI MURTAD DI
PENGADILAN AGAMA JAKRTA PUSAT
A. Putus Cerai Talak Suami Murtad di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat ........................................................................... 54
B. Tinjauan Fiqh Pada Putusan Nomor 967/Pdt.G/2010/PA.JP. 57
C. Tinjauan Hukum Formil dan Materil Pada Putusan Nomor
967/Pdt.G/2010/PA.JP ............................................................ 60
D. Penyelesaian Perkara Perceraian Karena Murtad di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat ............................................ 62
ix
E. Analisis Penulis ...................................................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 67
B. Saran-saran .............................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam realita
kehidupan umat manusia, dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat
ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat.1 Tujuan dari perkawinan itu adalah membentuk suatu keluarga
sakinah mawaddah warrahmah.2
Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah merupakan suatu
model atau performance keluarga yang dicita-citakan oleh setiap orang.
Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur
dalam suatu ikatan lahir batin secara sah baik menurut agamanya dan tunduk
kepada peraturan perundang-undangan dengan yang berlaku di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan
secara jelas tentang arti perkawinan: “perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.3 Perkawinan adalah ikatan yang kuat (mitsaqon ghalizan)
1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 1.
2 Khoiruddin Nasution, Hukum perkawinan I, (Yogyakarta: ACAdemia TAZZAFA,
2004), h. 38.
3 Amin Suma,Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di
Negara Hukum Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 522.
2
sebagai mana dijelaskan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI).4
sebuah perkawinan pada dasarnya terdiri dari dua orang yang
mempunyai kepribadian, sifat, dan karakter yang sama. Latar belakang
keluarga problem yang berbeda satu sama lain. Semua itu sudah jauh
dipertimbangkan sebelum keduanya memutuskan untuk menikah. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika kehidupan perkawinan pada kenyataan
selanjutnya tidak seindah dan seromantis harapan pasangan tersebut.
Persoalan demi persoalan yang dihadapi setiap hari, belum lagi ditambah
dengan keunikan masing-masing individunya, sering menjadikan kehidupan
perkawinan menjadi sulit dan hambar. Jika sudah demikian, maka kondisi itu
semakin membuka peluang bagi timbulnya percekcokan yang kemudian
mengakibatkan perceraian diantara mereka.
Islam memahami dan menyadari hal di atas, karena itu Islam
membernarkan dan mengizinkan perceraian kalau perceraian itu dinilai lebih
baik dari pada tetap berada dalam ikatan perkawinan. Walaupun maksud dari
perkawinan itu untuk mencapai kebahagiaan dan kerukunan hati masing-
masing, tentu hal tersebut tidak akan tercapai dalam hal-hal yang sudah tidak
dapat disesuaikan lagi. Karena kebahagiaan itu tidak dapat dipaksakan,
memaksakan kebahagiaan bukanlah kebahagiaan tetapi mengakibatkan
penderitaan. Karenanya Islam tidak mengikat mati perkawinan tetapi tidak
4 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika
Presindo, 2010), h. 114.
3
pula mempermudah perceraian.5 untuk memungkinkan terjadinya perceraian
harus didasari oleh alsan-alasan tertentu dan dilakukan di depan sidang
pengadilan.6
KHI secara jelas dinyatakan dalam pasal 116 mengenai persayaratan
dapat mengajukan perceraian. Ketika salah seorang pasangan murtad selama
dalam pernikahan, maka hal ini dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya
percerian sebagaimana hal ini telah diatur dalam pasal 116 h yang
menyatakan Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.7
Pembatalan perkawinan yang didalam fiqih Islam yang dikenal
dengan sebutan (nikah al-batil). Didalam pasal 22 UU No.1/1974 dinyatakan
dengan tegas bahwa Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan
dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara
sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan:
Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Contohnya, tidak
terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan
prosedural lainnya. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan.
Contohnya, perkawinan yang dibawah ancaman, terjadi salah sangka
mengenai calon suami dan istri. Adapun perkawinan yang dapat dibatalkan
5 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, ( Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), h. 30. 6 Muhammad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h.
268.
7 Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 (h).
4
adalah seperti yang termaktub didalam Undang-undang Perkawinan Pasal 22
yang menyatakan Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Murtad dalam fiqih bisa dijadikan sebagai penyebab putusnya
perkawinan, begitupun pandangan para imam madzhab fiqih, sepakat apabila
salah suatu suami atau istri pindah agama maka perkawinannya putus.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, jika salah seorang suami istri
keluar dari agama Islam maka secepatnya bercerai (mutlak) baik murtadnya
sebelum bercampur maupun sesudahnya. Menurut Imam Asy-syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hambal, jika murtadnya sebelum terjadi bercampur, harus
secepatnya bercerai. Namun jika murtadnya sesudah bercampur hendaknya
ditunggu hingga iddahnya selesai. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Syafi’i
dan Hambali; tidak bercerai apabila keduanya sama-sama murtad, berbeda
dengan Imam Malik yang mengharuskan bercerai alias perkawinannya putus.8
Peraturan perundang-undangan di Indonesia menjelaskan bahwa.
murtad juga bisa dijadikan alasan putus perkawinan namun dikemas dalam
bentuk perceraian.9 Dalam KHI secara jelas dinyatakan dalam pasal 116
mengenai Alasan dapat mengajukan perceraian. Ketika salah seorang
pasangan murtad selama dalam pernikahan, maka hal ini dapat menjadi salah
satu penyebab terjadinya percerian sebagaimana hal ini telah diatur dalam
pasal 116 h yang menyatakan Peralihan agama atau murtad yang
8 Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Penerjamah
Abdullah zaki Alkaf (Bandung Hasyim, 2010), h. 350.
9 Muhammad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h.
268.
5
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.10
Memang tampak ada perbedaan dalam fiqih dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, kemudian apabila dilihat dari
implementasi dilapangan murtad itu banyak terjadi dan sebelumnya sudah
diputuskan oleh Pengadilan, salah satu nya di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Putusan Nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP.
Perkara putusan tersebut asal masalahnya adalah karena terjadinya
murtad diantara salah seorang pasangan yang kemudian mengakibatkan
timbulnya ketidak harmonisan dalam pernikahannya. Berdsasarkan peristiwa
tersebut kalau kita merujuk kepada KHI pasal 116 H maka seharusnya
pristiwa tersebut menjadi alasan dapat diajukannya perceraian. Sehingga
seharusnya perkawinan mereka putus karena cerai, dalam hal ini cerai talak.
Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutus perkara tersebut
dengan pembatalan nikah yang dalam amar putusannya karena perceraian.
Pengadilan dalam merujuk dasar hukumnya memakai rumusan Pasal 116
huruf g dan f juncto Pasal 75 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Namun
kalau kita pahami pasal yang menjadi rujukan tersebut dalam hal ini pasal
116 g, sama sekali tidak membahas tentang murtad, karena seharunya hakim
merujuk pada psal 116 H, sehingga dalam hal ini penulis merasa terdapat
ketidak sesuaian dalam rumusan dasar hukumnya.
Mengenai hal ini dalam KHI sebagaimana dalam pasal 70-76 tidak
dinyatakan bahwa ketika salah satu pasangan murtad maka perkawinan
10
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (h)
6
mereka dapat dibatalkan. Karena sesungguhnya dalam KHI ketika salah
seorang murtad hal ini seharusnya menjadi salah satu sebab dapat
diajukannya perceraian, bukan dengan pembatalan, sebagaimana hal ini
terdapat dalam pasal 116 huruf h.
Akibat yang timbul ketika hakim memberikan putusan fasakh sangat
berbeda dari putusan karena talak. Apabila pernikahan putus karena fasakh
maka perceraian mereka dianggap batal, dan tidak ada hak rujuk dari suami,
serta suami tidak dibebankan biaya berupa mut’ah, nafkah dan sebagainya
yang seharusnya dapat dibebankan kepada suami yang bercerai karena cerai
talak.
Penulis menemukan kejanggalan dalam putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutus perkara ini. Bahkan
setalah penulis teliti ternyata selain dari amar putusan, terdapat beberapa
kejanggalan dalam putusan tersebut. Beranjak dari masalah tersebut, penulis
merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang putusan Pengadillan
Agama Jakarta Pusat ini dan mengangkatnya menjadi skripsi dengan judul
“PUTUS PERNIKAHAN DENGAN ALASAN MURTAD (Analisis
Putusan Nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP).”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan yang terkait
dengan judul yang sedang dibahas. masalah-masalah yang sudah tertuang pada
subbab latar belakang diatas pada umumnya kerap dijumpai direalita
kehidupan untuk saat ini, maka dari itu penulis memaparkan beberapa
7
permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bagian latar belakang penelitian
ini diantaranya adalah:
1. Bagaimana metode ijtihad seorang hakim dalam memutus perkara
pembatalan pernikahan yang amar putusannya perceraian?
2. Apa saja kebijakan yang digunakan majlis hakim dalam memutus perkara
pembatalan pernikahan?
3. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam putusan hakim sudah sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, agar penelitian ini tidak melebar, maka pembahasan
mengenai pembatalan pernikahan dibatasi pada pembatalan yang
disebabkan oleh pasangan yang murtad, putusan pengadilan dibatasi pada
putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP.
2. Perumusan Masalah
Menurut fiqih dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, pindah agama (murtad) adalah salah satu
penyebab putusnya perkawinan bukan batalnya perkawinan, namun pada
prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Pusat memutus perkara
pembatalan perkawinan dengan alasan suami pindah agama. Karena itu
pertanyaan peneletiannya adalah:
a. Bagaimana status perkawinan murtad menurut fiqih dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
8
b. Bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat menyelesaikan
perkara putus perkawinan karena murtad?
c. Bagaimana putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor
Perkara 967/Pdt.G/2010/PA. JP. tentang pembatalan perkawinan
karena pasangan murtad ditinjau dari hukum formil dan materil?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana status perkawinan pasangan yang salah
satunya murtad menurut fiqih dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui cara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam
menyelesaikan perkara pembatalan perkawinan dengan alasan suami
murtad.
c. Untuk mengetahui putusan Hakim PA Jakarta Pusat No Perkara
967/Pdt.G/2010/PA.JP Tentang putus perkawinan karena murtad
ditinjau dari Hukum Formil dan Materil
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis, penilitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan
bagaimana peran hukum dan hakim dalam mengatur murtad sebagai
alasan pembatalan perkawinan.
b. Bagi akademik, penelitian ini dapat menambah dan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan dalam hal perkawinan dan hukum perdata
khususnya yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan dengan
alasan suami murtad.
9
c. Bagi Badan Penegak Hukum dan Keadilan, hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam merumuskan hal yang
membatalkan perkawinan karena murtad yang dapat sesuai, seiring dan
sejalan dengan peraturan perundang-undangan.
d. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
penjelasan kepada masyarakat dalam rangka menjawab pertanyaan
ataupun pernyataan seputar konsep alasan pembatalan perkawinan
karena murtad.
E. Review Studi Terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan tinjauan kajian
terdahulu terhadap karya ilmiah terdahulu, diantarnya:
1. Nasrudin, (1110044100025), Murtad Sebagai Alasan Pembatalan
Perkawinan (Analisis putusan perkara No. 2390/Pdt.G/PA. Dpk.).
Pembatalan Karena Suami Murtad dan Kedudukan Perkawinan. Di sini
penulis lebih menekankan pada kasus Pembatalan perkawinan yang
disebabkan oleh salah satu pasangan murtad yang ada dalam putusan PA
Jakarta Pusat No.967/Pdt.G/2010.PA JP
2. Usuf Shalahuddin, (108044100036), Efek Riddah Terhadap Status
Pernikahan (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi
Nomor:342/Pdt.G/2010/PA.Bks). Menganalisis efek riddah terhadap status
pernikahan menurut fiqh. Di sini penulis lebih menekankan pada kasus
Pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh salah satu pasangan murtad
yang ada dalam putusan PA Jakarta Pusat No.967/Pdt.G/2010.PA JP.
10
3. Lilis Suryani, (104044201470), Akibat hukum dari Perceraian Dengan
Alasan Suami Murtad (Analisis putusan No 1154/Pdt/2007/PA. JS) 2008.
Dalam skripsi ini menjelaskan tentang perceraian yang dilatarbelakangi
adanya perpindahan agama yang dilakukan suami dan bagaimana akibat
hukumnya menurut Undng-Undang 1 Tahun 1974. Di sini penulis lebih
menekankan pada kasus Pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh
salah satu pasangan murtad yang ada dalam putusan PA Jakarta Pusat
No.967/Pdt.G/2010.PA JP.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode analisis deskriptif.
Metode analisis dekriptif yaitu metode yang menggambarkan dan
memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan. Sedangkan yang
dimaksud dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu prosedur yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang
atau prilaku yang diamati.11
2. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan yang mendeskripsikan fenomena-fenomena yang
terjadi di lapangan, dalam hal ini menyangkut tentang pembatalan
perkawinan, yang menjadi kajian pokok adalah analisis perkara yang
disidangkan di Pengadilan JakPus, yaitu perkara pembatalan perkawinan
Nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Dengan demikian, jenis penelitian ini
11
Sudarman Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancaman Metoodelogi, Presentasi
dan Publikasi Hasil Penelitian, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51.
11
adalah sebuah penelitian hukum (Normatif Empiris) yaitu bagaimana
Peraturan ini diperaktekkan oleh masyrakat dalam hal ini diperaktekkan
oleh hakim di pengadilan.12
3. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Untuk mendapatkan sumber data yang diperlukan dalam penulisan ini,
maka sumber data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data
sukender.13
1) Data primer merupakan bahan hukum yang mempunyai otoritas.
Data primer dalam penelitian ini adalah dokumen register dan berkas
perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yakni putusan pembatalan
pernikahan pada tahun 2010 dengan Nomor perkara
967/Pdt.G/2010/PA JP. Dan hasil wawancara langsung dengan para
hakim yang memutus perkara Nomor 967/Pd.G/2010/PA. JP
2) Data sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri
atas: (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau
beberapa permasalahan hukum termasuk skripsi,tesis, dan disertasi
hukum, (b) kamus-kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum dan (d)
komentar-komentar atas putusan hakim. Publikasi tersebut
merupakan petunjuk atau penjelasan yang berasal dari kamus,
ensiklopedia, jurnal, surat kabar, dan sebagainya.14
12
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 31. 13
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (jakarta: Kencana, 2007), h. 144-
146.
14
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Bumi
Askara, ct. Ke-8, 2007, h. 83.
12
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field
research).15
a. Metode kepustakaan
Metode kepustakaan (Library Research) adalah metode yang sumber
datanya diambil dari tulisan-tulisan (sumber bacaan) yang telah
diterbitkan. Di antaranya buku, hasil penelitian, jurnal buletin, review,
majalah surat kabar, dan bahan-bahan dokumen resmi yang ada
kaitannya dengan penelitian.
b. Studi Dokumenter
Studi Dokumenter merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mencari data otenteik berupa catatan harian ataupun catatan penting
lainnya. Adapun yang dimaksudkan penulis dengan dokumentasi disini
adalah data atau dokumen dari Pengadian Agama Jakarta Pusat, yakni
berupa putusan pembatalan pernikahan pada tahun 2010 dengan nomor
perkara 967/Pdt.G/2010/PA.JP.
c. Metode Wawancara
Metode Wawancara (interview) yaitu adalah proses tanya jawab yang
berlangsung secara lisan yang mana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-
15
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), h. 36.
13
keterangan.16
Dalam wawancara peniliti menanyakan secara langsung
kepada yang diwawancarai untuk mengetahui apa yang terjadi
pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan pernikahan
yang terkait dengan penelitian ini.
Adapun jenis wawancara yang digunakan adalah interview guide, yakni
wawancara yang menggunakan panduan pokok-pokok masalah yang
diteliti.17
Dalam hal ini yang menjadi informan adalah. hakim yang telah
menyidangkan/memutuskan perkara Nomor 967/Pdt.G/2010/PA.JP. yaitu
bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H. selaku ketua majlis hakim. dan salah
satu hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yaitu bapak Drs. H.
Munadi, MH.
5. Metode Pengelolaan Data
1. Pengumpulan Data
a) Seleksi data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan baik melalui
(Library Research) maupun (field research), lalu data diperiksa
kembali agar tidak terjadi kekeliruan.
b) Klasifikasi data: setelah data diperiksa lalu diklasifikasikan dalam
bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil suatu kesimpulan.
2. Analisis Data
Setelah bahan yang diperoleh dari berbagai sumber, selanjutnya penulis
mengolah dan menganalisisnya sebagai berikut:
a. Metode induktif, yaitu cara menganalisis dengan menyajikan
16
Lexy, J, Mpoleng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), h. 45.
17
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta; PT. Bumi
Askara, ct. Ke-8, 2007), h. 83.
14
bahan dari yang bersifat khusus lalu digunakan secara umum.18
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis merujuk pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah 2012”.
G. Sistematika Penulisan
Bab Pertama, berisi tentang Latar Belakang Masalah, Pemabatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan penelitian, Manfaat Penelitian, Review Studi
terdahulu, Metode Penelitian, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, Pindah Agama Sebagai Putus Pernikahan, Agama
Sebagai Hak Individu, Agama Sebagai Aspek Keharmonisan Dalam Rumah
Tangga, Pindah Agama dan Akibat Hukumnya Pernikahan, pindah agama
sebagai pembatalan nikah, pindah agama sebagai fasakh dan Pembatalan
Pernikahan dalam Undang-undang.
Bab Ketiga, Bab ini Menjelaskan mengenai Perceraian karena murtad
di Pengadilan Agama, Administrasi Pengajuan Perkara Perceraian, Faktor-
faktor Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Prosedur Pemerikasaan
Perceraian, Volume Perkara Perceraian Tahun 2012-2014.
Bab Keempat, Bab ini merupakan Hasil Penelitian dari inti
permasalahan yang diangkat meliputi: Putus Cerai Talak Suami Murtad di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Tinjauan Fiqh Pada Putusan Nomor
967/Pdt.G/2010/PA JP. Tinjauan Hukum Formil dan Materil Pada Putusan
18
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 26 h. 27.
15
No.967/Pdt.G/2010/PA JP. Penyelesaian Perkara Perceraian Dengan Alasan
Murtad di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. dan Analisis Penulis.
Bab Kelima, Bab ini merupakan bagian penutup yang berisikan
Kesimpulan, dan saran-saran yang menyangkut jawaban dari rumusan
masalah.
16
BAB II
PINDAH AGAMA SEBAGAI PENYABAB PUTUSNYA
PERNIKAHAN
A. Agama Sebagai Hak Individu
Agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ajaran, atau sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan
yang maha kuasa.1 Agama di Indonesia berasal dari bahasa Sangsekerta yang
artinya tidak kacau, diambil dari dua suku kata a berarti tidak dan gama
berarti kacau. Maksudnya agama dapat diartikan sebagai peraturan yang
mengatur manusia agar tidak kacau. Adapun secara maknanya, kata agama
dapat disamakan dengan kata religion (Inggris), religie (Belanda), atau
berasal dari bahasa Latin religio yang dari akar kata religie yang berarti
mengikat.2
Harun Nasution memberikan penafsiran agama sebagaimana dikutip
oleh Jalaludin bahwa agama diartikan berdasarkan asal kata, diantaranya; al-
din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din (semit berarti undang-
undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab kata ini mengandung arti
menguasai, mendundukan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.3
1 Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat bahasa,
ed.IV ( Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 15.
2 Dadang Kahmad. M,SI, Metode Penelitian Agama (Prespektif Perbandingan
Agama), Pustaka Setia Bandung 2000, Cet 1, h. 21.
3 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo 2005), h. 12.
17
Kendatipun demikian, semua pengikut agama mengetahui bahwa hak
mereka dalam hidup ini dijamin penuh oleh syariat Islam. Mereka
mendapatkan hak kebebasan memeluk kepercaaan dan agama, karena Allah
berfirman; (QS. Al-Baqarah [2] : 256).4
Artinya; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 256)
Agama merupakan ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa
mengandung Nilai-nilai luhur, mulia dan suci yang dihayati dan diamalkan
oleh para pemeluknya masing-masing.5
Keinginan kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat-sifat
yang asli pada manusia. Itu adalah nalurinya, garidzahya, fitrahnya,
kecenderungannya yang telah menjadi pembawaannya, dan bukan sesuatu
yang dibuat-buat, atau sesuatu keinginan yang datang kemudian, lantaran
pengaruhnya dari luar. Sama halnya dengan keinginannya pada makan dan
minum. Dengan demikian manusia cenderung beragama adalah panggilan dari
hati nuraninya. Dengan adanya keyakinan tentang Tuhan ini, mereka mulai
4 Abdul Mutaal Muhammad Al jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, (PT Bulan Bintang, Jakarta, 1996),cet3, h. 4.
5 Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Proyek Pembinaan Kerekunan
Hidup Beragama departemen Agama, tahun Angaran 1983/1984. h. 1.
18
hidup ber-Tuhan, dan mulai hidup beragama. Oleh karenanya beragama pada
dasarnya merupakan kecenderungan manusia yang sesuai dengan insting dan
fitrahnya untuk mengakui adanya kekuatan yang luar biasa di atas alam yang
ada ini.6
Sekalipun kecenderungan beragama itu fitrah dan terdapat pada segala
bangsa dan semua jenis manusia, namun itu tidak berarti bahwa semua
manusia hanya menganut satu agama saja. Dan juga tidak benar bahwa semua
orang itu beragama. oleh karena itu kecenderungan beragama merupakan
pikiran yang ada pada segala bangsa, baik bangsa primitif maupun bangsa
modern. Tidak ada satu umat pun yang tidak beragama, baik dulu maupun
sekarang, bahkan dari studi yang terus menerus dilakukan, nyata bahwa
kecenderungan beragama adalah gejala yang nampak lebih dulu dibanding
gejala peradaban materi apapun. Bahkan bisa dikatakan bahwa kecenderungan
beragama memang betul-betul merupakan kecenderungan manusiawi.
Disamping itu kecenderungan manusia merupakan kebutuhan orsinal, yang
selalu bergandengan dengan struktur akal pikiran, kejiawaan maupun roh
manusia. Dan anggapan inilah yang benar mendapat dukungan dari al-Quran.
Firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 37-39.7
6 Abu Ahmadi & Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, Bumi
Akarsa, Jakarta 2004, cet 4, h.13.
7 Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama terhadap Struktur
Keluarga, (PT Bina Ilmu Surabaya .1987) cet 1, h. 66.
19
Artinya; Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka
Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang. Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu!
kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati". Adapun orang-orang yang kafir dan
mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.
Agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan
dalam kehidupan individu maupun kelompok, mempuyai hubungan pengaruh-
mempengaruhi dan saling bergantung (interdependence) dengan semua faktor
yang ikut membentuk stuktur sosial dalam masyarakat manapun.8
Agama menurut definisi Sosiologi secara objektif, terlebih dahulu kita
harus membedakan antara dua hal. Yaitu;
Pertama: pengertian agama yang hakiki dan benar, yaitu pengertian
agama yang sebenarnya menurut Islam, dan yang bisa diterapkan pada semua
agama-agama samawi, yang Islam sendiri datang untuk menyempurnakannya
dan meluruskannya kembali.
Kedua; pengertian agama secara umum, seperti yang bisa kita temui
pada semua masyarakat tanpa kecuali, baik yang masih primitif ataupun yang
8 Dadang Kahmad. Metode Penelitian Agama (Prespektif Perbandingan Agama),
Pustaka Setia Bandung 2000,Cet,1, h. 22.
20
sudah maju, dan yang telah menempuh perjalan sejarahnya di antara sekalian
umat manusia sampai saat ini.
Islam sendiri masih menganggap aliran-aliran lain sebagai agama,
sekalipun ia memandang bahwa “agama yang diridai disisi Allah hanyalah
Islam”. Namun Islam tetap mengakui ada agama-agama lain, sekalipun
mereka sebenarnya telah menyimpang dari fitrah atau jalan yang lurus lagi
mudah. Karena Allah Ta‟ala berfirman; (QS. Ali-Imran [3] : 85)
Artinya; Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. Ali-Imran [3] : 85)
(Al-Kafirun 6).9
Artinya: untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Al-Kafirun [109]
: 6).10
Dewasa ini, diskriminasi terhadap minoritas agama secara teoritis
tidak lagi ada, namun dalam kenyataannya masih terjadi dibeberapa negara.
Hal ini berkaitan langsung dengan kawin campur. Menurut syariat seorang
pria muslim boleh mengawini seorang wanita dari “agama-agama kitab”
(seorang wanita Kristiani atau Yahudi), namun sebaliknya perempuan tidak
boleh menikah dengan laki-laki Ahlul Kitab (mereka yang beragama Kristiani
atau Yahudi). Ikatan perkawinan dengan seorang partner dari suatu agama
9 Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama terhadap Struktur
Keluarga, (PT Bina Ilmu Surabaya .1987),cet,1, h. 46.
10
Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama terhadap Struktur
Keluarga, (PT Bina Ilmu Surabaya .1987),cet,1, h.47.
21
yang tidak diakui adalah tidak legal (Ilegal). Oleh karenanya, manusia
membutuhkan kemampuan untuk memandang agama-agama lain bukan
sebagai musuh, tapi sebagai teman, tetangga, bahkan sebagai saudara.11
B. Agama Sebagai Aspek Dalam Keharmonisan Rumah Tangga
Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi
dasar agama adalah memberi orientasi, motivasi, dan membantu manusia
untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Manusia menjadi
memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan
memahami eksistensi sang ilahi.12
Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak, ia
berkecenderungan untuk mengesakan tuhan dan berusaha terus menerus untuk
mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara fitrahnya telah memiliki watak
dan rasa al-tauhid walaupun masih di dalam imateri (Alam ruh). Hal itu
digambarkan dalam dialog antara Allah dan Ruh yaitu; (Qs. Al-A‟raf [7] :
172)
Artinya; Dan (ingatlah), Ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksaian terhadap
jiwamereka (seraya berfirman): “ Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan
11
Munawar Ahmad Aness. Syed Z. Abedin. Ziauddin Sarda. Dialog Muslim Kristen
dulu, sekarang, esok, (Penerbit Qalam,Yogyakarta 2000), Cet,1, h. 5.
12
M Sayuthi Ali, Metologi Penelitian Agama, (PT Raja Grafindo Persada Jakarta
2012), Cet,1, h.1.
22
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)”.
Firman Allah SWT. ( Q.S. Luqman [31] : 25).13
Artinya; dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)",
Dikarenakan agama merupakan pedoman hidup manusia. Di dalam
Islam terdapat kompenen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap
muslim dan akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim, serta syariah
yang menjadi jalan hidup seorang muslim, baik dalam berhubungan dengan
Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dalam masyrakat.
Ketiga kompenen itu dalam agama Islam berjalin dan berkelindan.14
Selanjutnya dalam rangka pembangunan masyrakat, Islam melangkah
kepada pembinaan keluarga. Maka dimulailah dari langkah pertama yang
mesti ditempuh. Untuk itu Allah dalam Al-quran melandasi firman-Nya:
13
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, (Kalam mulia, jakarta 2002). h. 33.
14
Mustofa Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta, Sinar Grafika
2013),cet, 2, h. 7.
23
Artinya: Dan di antara tanda-tada kekuasaan-Nya ialah Dia yang
menciptakan untukmu isteri-isteri dai jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram dengannya, dan dijadikan Nya di antara kau
rasa kasih dan sayang. (QS. Ar-Ruum [30] : 21).15
Hubungan perkawinan antara laki-laki dan Perumpuan merupakan
kelanjutan dari hikmat yang diciptakan oleh kedua jenis manusia, oleh karena
hubungan perkawinan itu perlu, demi berkesinambungan hidup manusia dari
generasi ke generasi. Langkah pertama yang ditempuh oleh Islam dalam
mengatur hubungan ini ialah menganjurkan perkawinan. Anjuran ini
disampaikan dalam berbagai kesempatan, sampai-sampai Rasul yang mulia
menancap tegaknya hubungan perkawinan separuh dari agama. Beliau
bersabda mengenai ini:
Artinya: Barang siapa yang telah kawin, maka sesungguhnya dia telah
meyempurnakan setengah dari imannya. Maka hendaknya dia bertaqwa
kepada Allah pada setengah yang lain. (HR. At-Thabrany)
Langkah berikutnya berupa peringatan agar berhati-hati dalam
memilih jodoh. Cara memilih jodoh menurut ajaran Islam ialah dengan
memperhatikan arti kata kemantapan, kesinambungan, dan ketentraman
(istriqrar, istimrar dan sakan). sesudah itu tidaklah berlebihan kiranya kalau
kita mengatakan bahwa hal-hal berikut ini merupakan dasar dalam hal
memilih jodoh menurut ajaran Islam:
15
Yusuf Abdul Hadi Asy-iyal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, (Pustaka
Dian/ Antar Kota Jakarta, 1987),Cet,1, h. 169.
16
At-Thabrany, al-Mu‟jam al-Ausath, (Kairo: Dar al-Haramain), Juz 7, h. 332.
24
Ada dua hal yang harus menjadi dasar pemilihan, yaitu agama dan
akhlak. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menekankan agar pemilihan itu
dititik beratkan pada wanita maupun laki-laki yang tekun beragama. sabda
beliau:
Artinya: Wanita itu dikawini karena empat hal hartanya, kecantiakannya,
kedudukannya,ataupun keturunnya. Piihlah olehmu wanita karena agamanya,
kamu pasti berbahagia. (HR. Muslim)
Perhatian Islam terhadap hubungan antara suami-isteri begitu besar
dan menyeluruh, sampai-sampai Islam memberi peringatan tentang hal-hal
yang kecil, tapi justru berbahaya dan sering mengalihkan perhatian dari
pemikiran yang sehat dan penilaian yang semestinya.18
Oleh karena itu Perkawinan merupakan salah satu subsistem dari
kehidupan beragama.19
Namun didalam Islam sendiri tidak membiarkan
perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan selain wanita Muslimat,
kecuali dengan wanita Ahli Kitab, disamping tidak membolehkan seorang
wanita Muslimat kawin dengan laiki-laki bukan Muslim meski dari Ahli Kitab
(Yahudi atau Nasrani), Firman Allah Ta‟ala.
17
Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-„Araby), Juz 2, h. 1086.
18
Yusuf Abdul Hadi Asy-iyal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, h.173.
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-dang Perkawinan, (kencana,jakarta:2009),cet,3, h. 19.
25
QS. Al-Baqarah [2] : 221.
Artinya; dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
firman Allah QS,Al- Maidah [5] : 5
Artinya; pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Para fuqaha sependapat bahwa kalau ada laki-laki bukan Islam kawin
dengan wanita Muslimat, maka perkawinannya tidak sah. Dan kalau punya
anak, maka anak itu tidak bernasab kepada ayahnya. Sedangkan wanita itu
26
sendiri tidak wajib menunggu iddah.20
Dengan mengambil kesimpulan ayat
dan hadits, para ulama sangat menekankan agama (al-din) sebagai salah satu
aspek yang menetukan sahnya perkawinan.21
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 40 merumuskan dengan jelas
larangan perkawinan antara orang yang berbeda agama dengan kata-kata
sebagai berikut “ Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Artinya seorang
muslim dilarang kawin dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Begitupun dengan pasal 44, di Bab yang sama dijumpai pula rumusan yang
sebagai berikut: “seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.”22
Pasal 2 UU No.1 1974 berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Islam memaknai perkawinan sebagai perbuatan ibadah, ia juga
merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti: menurut
qadrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul
berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan
untuk umatnya.23
20
Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama terhadap Struktur Keluarga, (PT Bina Ilmu Surabaya .1987), cet, h. 93.
21
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,( jakarta: Sinar grafika, 2013) cet, 1, h. 241.
22
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama (Dalam Presfektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 37.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-dang Perkawinan), kencana,jakarta 2009, cet,3,h. 41.
27
Karena itu Islam berperan sangat penting dalam masalah keluarga,
syariat Islam yang mulia merupakan undang-undang yang sangat elok. Karena
dengan Syariat Islam akan terjaminlah tegaknya suatu keluarga pada landasan-
landasan yang kuat, dan terjamin pula kesempurnaannya serta
kelangsungannya. Sebab di sanalah terdapat cara-cara yang ampuh dalam
menghadapai berbagai problema keluarga. Dan akan lebih jelas lagi betapa
agungnya syariat Islam dalam masalah Keluarga, dan faktanya satu-satunya
hal yang harus diyakini adalah, bahwa permulaan adanya umat manusia itu
bersamaan dengan adanya suatu keluarga, yaitu keluarga Adam a.s. dan
Hawa.24
C. Pindah Agama dan Akibat Hukumnya Terhadap Pernikahan
1. Pindah Agama Sebagai Pembatalan Nikah
Pindah agama atau murtad sering dikenal dengan sebutan riddah,
yaitu secara etimologi (bahasa), kata riddah merupakan mashdar dari kata
radda-yariddu-irtidaadan yang memiliki arti keadaan mundur,
mengembalikan dan kembali kebelakang.25
Menurut bahasa fasid berasal dari bahasa Arab
yang berarti rusak.26
Fasad dan batal adalah lawan dari Istilah sah, artinya
bilamana suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal.27
24
Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama terhadap Struktur
Keluarga, (PT Bina Ilmu Surabaya .1987) cet,1, h. 82. 25
A.W. Munawir, Kamus Al-munawir Arab-Indonesia Surabaya; pustaka
Progresis,1997), h.86 26
A.W.Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya;
pustaka Progresis,1997), h. 92. 27
A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya;
pustaka Progresis,1997), h. 20-21.
28
Kata sah berasal dari bahasa Arab “Sahih” yang secara etimologi
berarti suatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat.28
Menurut istilah
Ushul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang
dilakasankan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya.29
Batal yaitu
rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena
tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh
syara”. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu
dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi secara umum batalnya
perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak
memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang
dilarang atau diharamkan oleh agama.30
Istilah batal maupun fasad sama-sama berarti suatu pelaksanaan
ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan tidak mencukupi
syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah, baik karena tidak lengkap
syarat atau rukunnya bisa disebut akad fasad atau akad batal.
Dalam kitab al-fiqh „ala al-Madzhab al-Arba‟ah disebutkan:
Artinya:“ Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari
syarat-syaratnya, sedang nikah bathil adalah apabila tidak memenuhi
rukunnyam hukum nikah fasid dan batil adalah sama, yaitu tidak sah.”31
28
A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya; pustaka Progresis,1997), h. 20.
30 Abd. Rahaman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.142.
31
Resti Gustiana, Permohonan Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Yang di Ajukan Oleh Jaksa di Pengadilan Agama, Konsentrasi Perdilan Agama program Study Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta 1435/204, h. 17.
29
Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini
dikemukakan dalam ayat al-quran dan hadits-hadits yang berkenaan
dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah.
Jika fasid terjadi disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan
hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan perkawinan yang
sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nisa [4] : 22-23.
Artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).
Artinya; diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan;saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
30
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebagaimana disebutkan dalam shahih Al-Bukhori;
Artinya:“dari Khansa‟ binti Khidzam al-Anshariyah ra: Bahwa ayahnya
telah mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak
menyukai pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada Rasullah
SAW maka beliau membatalkannya. ( HR. Bukhari).
Sabda Rasullah SAW, riwayat dari Aisyah ra:
Artinya:“Apabila seorang perempuan menikah tanpa ijin walinya maka nikahnya batal 3x, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia berhak menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan (memberi ijin) maka wali hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali.”. (HR. Tirmidzi)
Maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan itu
menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula. Kemudian
karena fasid nikah atau pembatalan pernikahan ini dapat mengakibatkan
pasangan suami isteri itu terpisah selama-lamanya, tetapi dapat juga
menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya hanya untuk
sementara, hal ini tergantung sebab terjadinya fasid nikah,
32
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Dar Thuq an-Najat, 1422 H), Juz 7, h. 18.
33
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, 1998 M), Juz 2, h.
398.
31
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi tentang murtadnya
salah satu pasangan dalam pernikahan, sebagaimana dijelaskan di bawah
ini:
a. Murtadnya Suami
Menurut pandangan Imam Abu Hanifah jika suami yang melakukan
perbuatan murtad, maka dia harus dipisahkan dengan istrinya pada saat
ia melakukan kemurtadan, baik murtadnya sebelum bercampur
maupun sesudahnya.34
Karena seorang kafir tidak dapat hidup
berdampingan dengan sorang muslimah pada apapun juga dan mereka
dipisahkan dengan segera tanpa adanya penangguhan.35
Adapun dasar
yang dipergunakan ulama Hanafiah adalah QS. Mumtahanah (60): 10
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
34
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqy, Fiqih Empat Madzhab, Penerjemah
Abdullah Zaki Alkaf, h 350.
35
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, Terjamahan M. Abdul Ghofur, Fiqih al-
Usrah al-Muslimah, cet. 3 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 158.
32
(benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Mesikpum demikian, menurut Imam Abu Hanifah adakalanya
status tersebut berubah menjadi thalaq, yakni bila suami murtad
kemudian ia bertaubat lalu mengabaikan sang istri dengan cara tidak
mempebahrui nikah. Menurut pendapat Imam Malik, bila yang murtad
adalah suami, baik murtadnya sebelum bercampur maupun sesudah
bercampur suami isteri, maka hukum dalam melepaskan perkawinanya
bukan fasakh tetapi dengan menthalaq, karena pemutus perkawinan
tersebut berasal dari diri suami atau berkeinginan lepas dari isterinya,
maka keduanya harus dipisahkan dengan segera baik hal ini karena
kekuasaan terletak pada suami.36
Imam Malik mempunyai tiga pendapat sebagai berikut:
1) Bahwa kemurtadan tersebut dengan sendirinya menyebabkan
terjadinya thalaq ba‟in kubra, sehingga bila suami murtad maka dia
pisah dengan istrinya sebgaimana halnya dengan talak bai‟in kubra
yakni harus adanya (muhalil), dan wajib memisahkannya dengan
segera;
2) Bahwa kemurtadan tersebut menyebab kan terjadinya talak raj‟i
36
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab, h. 350.
33
sehingga jika kemudian suami kembali memeluk Islam dan isteri
dalam keadaan „iddah, maka ia dapat Ruju dengan tanpa adanya
akad yang baru;
3) Bahwasannya kemurtadan tersebut merupakan fasakh bukan
talak.37
Berbeda dengan dua Madzhab tersebut di atas, Imam Asy-
Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal berpandapat bahwa jika
murtadnya sebelum terjadi bercampur, harus secepatnya bercerai.
Namun jika murtadnya sesudah bercampur hendaknya ditunggu hingga
iddahnya selesai.38
Dan jika suami kembali masuk Islam sebelum masa
iddah selesai maka kemurtadan tersebut hanya mengurangi bilangan
dari thalaq dan tidak diperbaharui akad yang baru.39
b. Murtadnya Isteri
Imam Abu Hanifah Berpandapat:
1) Bahwa kemurtadan isteri menyebabkan rusaknya akad. Suami
dianjurkan mengurung isteri dengan disertai memberikan
pengarahan-pengarahan kepada isteri dan bujukan-bujukan
berlandaskan pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh sang
isteri (dengan tanpa mengejek dan menghina akidah barunya)
dengan tenggang waktu tiga hari sekali sehingga si isteri dapat
kembali memeluk Islam atau ia bahkan mati dalam terkurung. Jika
37
Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terjemahan M. Abdul Ghoffar, Fikih al-Usrah al-Muslimah, h.157-158.
38
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab, h. 350. 39
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqih Islam dengan Syariat Agama lain (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h.99.
34
isteri kembali memeluk Islam ia dicegah untuk menikah dengan
orang lain (harus dengan suaminya yang dahulu) dengan
memperbaharui akad nikah dengan mahar yang ditentukan oleh
suami. Jika suami mendiamkan atau meninggalkannya secara jelas
yakni tidak mau menikahinya lagi, maka si isteri diperbolehkan
menikah dengan orang lain.
2) Bahwa kemurtadan si isteri tidak menyebabkan rusaknya akad
secara mutlak, terutama jika landasan kemurtadan tersebut karena
keinginan bebasnya atau lepasnya sang isteri dari tekanan
suaminya. Jika hal tersebut penyebabnya maka tidak ada fasakh
dan tidak ada pembaharuan nikah, pada keadaan inilah juga adanya
kewajiban bagi suami sebagaimana pada yang pertama, namun
suami tidak membatasi nikah bagi isteri.40
Imam Malik memandang kemurtadan pihak isteri dari segi latar
belakangnya, yakni bahwa kemurtadan isteri merupakan suatu tipu
daya atau siasat agar bebas dari tekanan suaminya. Oleh karena itu
ulama malikiyah berpandapat pasangan suami isteri tersebut tidak
dipisahkan, akan tetapi diusahakan agar tercapai apa yang diinginkan
si isteri.41
Menurut Imam Asy-Syafi‟i kemurtadan isteri tidak ada
bedanya dengan kemurtadan suami yaitu jika kemurtadan isteri
sebelum terjadi bercampur maka akad perkawinannya batal dengan
40
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab, h. 350.
41
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab, h. 350.
35
sendirinya, tetapi jika murtadnya sesudah bercampur akad dipandang
tidak batal hingga iddahnya selesai, dan pada masa iddah tidak
diperbolehkan adanya persetubuhan.42
Imam Ahmad bin Hambal jika yang melakukan kemurtadan
adalah isteri maka dihukumi fasakh, karena pihak isteri tidak memiliki
hak thalaq seperti yang dimiliki suami. Oleh karena itu pernikahannya
harus segera dibatalkan dan harus dilaksanakannya pemisahan antara
suami isteri tersebut.43
c. Murtadnya suami dan isteri
Menurut Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi‟i dan Imam Ahmad bin
Hambal berpandapat bahwa kemurtadan yang dilakukan suami dan
isteri tidak bercerai apabila keduanya sama-sama murtad, berbeda
dengan Imam Malik yang mengharuskannya bercerai alias
perkawinannya putus.44
Dapat disimpulkan, meskipun terdapat perbedaan dalam hal ini, ada
sebagian ulama yang menganggap jika kemurtadan itu dilakukan oleh
pihak suami maka bentuk perceraiannya adalah thalaq, akan tetapi
sebagian besar ulama menganggap bahwa perceraian yang bisa
disebabkan oleh kemurtadan suami atau isteri adalah fasakh.
Untuk lebih ringkasnya, maka penulis merinci mengenai ikhtilaf
fuqaha‟ tentang murtad sebagai penyebab fasakhnya suatu perkawinan,
yakni ada empat hal sebagai berikut:
42
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab. h. 350. 43
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab, h. 350. 44
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqih Empat Madzhab, h. 350.
36
1) Perpisahan yang terjadi karena salah satu suami atau istri maupun
kedua-duanya murtad, itu tidak memerlukan keputusan Hakim.
2) Murtadnya si suami, menurut kaidah hukum Islam jelas
menyebabkan furquh/fasakh, dan hal ini sudah menjadi
kesepakatan buat para ulama tanpa adanya perbedaan pendapat.
3) Sedangkan mengenai murtadnya si isteri, hal ini masih menjadi
perselisihan pendapat di kalangan para ulama, yakni mengenai
murtadnya si isteri tersebut apakah akan menyebabkan furqoh atau
tidak furqohnya suatu perkawinan. Beberapa ulama ada yang
berpendapat bahwa murtadnya seseorang isteri itu menyebabkan
furqohnya suatu perkawinan, semuanya sepakat berpandapat
bahwa furqoh itu adalah fasakh bukan thalaq.
2. Pindah Agama Sebagai Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar اسخ، يفسخ،فسخف45
yang sacara
etimologi berarti membatalkan (فسد و انقظ) .46
Sedangkan menurut kamus
bahasa Indonesia fasakh adalah hukum pembatalan iktan perkawinan oleh
hakim Peradilan Agama berdasarkan tuntutan isteri yang dapat dibenarkan
oleh pengadilan disebabkan menyalahi hukum perkawinan.47
Al-Abu Luwais Ma‟ful mengartikan Fasakh ialah:
45
A, W, Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, terlengkap, h. 1054. 46
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: kencana,2009), cet, 3, h. 242. 47
Frista Artmanda, Kamus Lengkap Bahasa Insdonesia, (Jombang: Lintas
Media,2007), h. 314.
37
Artinya: Fasakh adalah merusakan pekerjaan atau aqad
Artinya:“adapun fasakh (nikah) itu sebenarnya adalah datang kemudian
yang mengalangi kelangsungan nikah sebagai usulan terhadap perkara
yang berama-sama dengan timbulnya nikah, sehinnga dijadikan akad itu
tidak lazim.”48
Menurut Istilah Syar‟i Fasakh berarti:
Artinya: Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan aqad
perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat suami
isteri.49
„Ali Hasabilah memperinci mengenai pembagaian fasakh sebagai
berikut:
Artinya: Fasakh perkawinan ialah sesuautu yang merusakan akad
(perkawinan) dan dia tidak dinamakan thalaq. Fasakh itu terbagi kepada
dua macam. Sebagaimana kita katakan pada permulaan pembicaraan
mengenai peceraian yaitu;
1. Fasakh yang berkendak kepada keptusan hakim.
2. Fasak yang tidak berkehendak kepada kepustusan hakim.
Dengan demikian dapatlah diambil pengertian bahwa terjadi fasakh
itu ada karena sebab yang dapat merusakan perkawinan dan ditinjau
kepada sebab yang merusakan itu, fasakh terbagi kepada dua macam:
48
Muhammad Abu Zahra, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah,(Beirut: Dar Al-F ikri Al-
Arabi, 2005), h. 324. 49
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Karena Ketidak-Mampuan
Suami Menenuikan Kewajibannya, (Jakarta; Cv Pedoman Ilmu jaya, 1989), cet,1. h. 52.
38
a. Fasakh yang berkhendak kepada putusan hakim, ini harus melalui
proses pengadilan.
b. Fasakh yang tidak berkhendak kepada keputusan hakim, ialah waktu
suami isteri mengetahui adanya sebab yang merusakan
perkawinannya, tanpa melalui proses pengadilan.50
Namun bagi masyarakat Islam di Indenesia, secara yuridis
fomilnya, untuk memperoleh pembuktian tentang putusnya perkawinan
dan termasuk masalah fasakh ini dan pengakuann sahnya menurut undang-
undang harus ditempuh melalui Pengadilan Agama. Dengan melalui
proeses pengadilan ini dimaksudkan supaya untuk menghindarkan
terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain diluar jalur
Pengadilan Agama. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal
37 tercantum bahwa: Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan
oleh pengadilan.51
Fasakh juga berdampak pada putusnya hubungan perkawinan.
Secara harfiah berarti “membatalkan suatu perjanjian” atau menarik
kembali suatu penawaran. Ia diputuskan oleh Qodhi setelah
mempertimbangkan dengan seksama gugatan terhadap suami yang
dilakukan oleh pihak isteri. Bila Qodhi yakin bahwa wanita tersebut
dirugikan dalam suatu perkawinan, maka dapat membatalkan perkawinan
50
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Karena Ketidak-Mampuan
Suami Menenuikan Kewajibannya, h. 53.
51
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Karena Ketidak-Mampuan
Suami Menenuikan Kewajibannya, h. 54.
39
itu. Persayartan yang mengatur tentang Thalaq (perceraian) dan Fasakh
(gugatan) diberikan secara terperinci oleh para ulama dari keEmpat
Madzhab Hukum Islam.52
MenurutMadzhab Hanafiyah Kasus-kasus berikut adalah Thalaq:
a. Pengucapan cerai oleh suami
b. Ila‟
c. Khulu‟
d. Li‟an : saling menyumpah
e. Perpisahan karena cacat kelamin („Aib Jinsi) pada pihak suami
f. Perceraian karena murtad suami
Sedangkan Fasakh menurut Madzhab Hanafiyah adalah dalam
kasus berikut:
a. Perpisahan karena murtadnya kedua suami isteri tersebut
b. Perceraian disebabkan rusaknya (fasad) perkawinan itu
c. Bubar dikarenakan tiadanya kesamaan status (kufu) atau suami tidak
dapat dipertemukan
Thalaq berdasarkan Madzhab Syafi‟iyah dan Hanabilah adalah:
a. Pengucapan “Thalaq” oleh suami
b. Khulu‟
c. Pernyataan Thalaq oleh Qodhi karena suami menolak menjatuhkan
Thalaq
d. disebabkan “Ila”
Sedangkan Fasakh menurut Madzhab Syafi‟iyah dan Hanabilah
adalah;
a. Perpisahan karena cacatnya salah sorang dari pasangan tersebut
b. Percerian disebabkan berbagi kesulitan (I‟asar) suami
c. Bubar dikarenakan “Li‟an”
d. Salah seorang dari suami isteri murtad
e. Rusaknya perkawinan: dan
f. Tiadanya keasamaan status (kufu)
Adapun Thalaq berdasarkan Madzhab Malikiyah adalah haram
dalam kasus-kasus berikut:
a. Diucapkan Thalaq oleh suami
b. Khulu‟
c. Cacat salah seorang dari kedua suami isteri itu
d. Berbagi kesulitan suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya
e. Adanya hal yang membahayakan (dhirar)
f. Karena Ila‟
g. Tiadanya kufu
Dan ia menjadi Fasakh dalam kasus berikut:
52
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: 1992 , PT Rineka
Cipta), cet,1, h. 79.
40
a. Terjadinya Li‟an
b. Rusaknya perkawinan
c. Murtadnya salah seorang dari pasangan tersebut.53
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya sayart-sayart ketika
berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang membatalkan suatu
perkawinan, sebagai berikut:
a. Fasakh karena syarat-syarat tidak terpenuhinya akad nikah.
1) Setelah akad nikah, diketahui isterinya adalah saudara kandung
atau saudara sesusuan pihak suami.
2) Suami isteri masih kecil diadakannya akad nikah oleh selain
ayahnya.
3) Suami isteri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh salain
ayahnya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan
perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya.
b. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
1) Bila seorang dari isteri murtad atau keluar dari agama Islam dan
tidak mau kembali sama sekali maka akadnya batal (Fasakh)
karena Murtad.
2) Jika suaminya kafir masuk Islam, tetapi isteri masih tetap
musyrik, maka akad nya batal (fasakh).54
Adapun pengertian Fasakh nikah menurut pendapat Sayyid Sabiq
dalam bukunya Fiqih as-Sunnah adalah bahwa menfasakh nikah
berarti membatalkan dan melepaskan ikatan antara suami isteri.55
Artinya:“adapun fasakh (nikah) itu sebenarnya adalah datang
kemudian yang mengalangi kelangsungan nikah sebagai usulan
terhadap perkara yang berama-sama dengan timbulnya nikah,
sehinnga dijadikan akad itu tidak lazim.”56
53
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, h. 80
. 54
Rahaman, Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media,2003), h. 142-
143.
55
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung:PT, Al-Ma‟arif, 1978), h. 124.
56
Abu Zahro, Al-Akhawal Asy-Syakhsiyah,(Beirut: Dar Al-F ikri Al-Arabi, 2005), h.
,324.
41
Adapun mengenai murtad sebagai penyebab fasakh, Menurut
Imam Abu Zahro dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyah menyebutkan
bahwa fasakh yang tidak membatalkan aqad dibagi dua. Pertama, fasakh
yang melarang hubungan pernikahan selamanya, yakni fasakh yang
disebabkan terjadinya sebab mengharamkan pernikahan laki-laki dan
perempuan tersebut selamanya, seperti misalnya ternyata si laki-laki
adalah bapak dari si perempuan. Kedua, fasakh yang melarang perkawinan
sementara. Fasakh ini disebabkan fasakh ini disebabkan oleh murtadnya
salah satu pasangan.57
Dalam Islam akad perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang se-agama tidak menjadi masalah. Namun ketika setelah
menikah dan keluarga, ternyata pihak suami atau isteri menjadi murtad,
bagaimana kedudukan perkawinan mereka. Hal terebut menjadi masalah
disebabkan adanya larangan (Qs. Al-Baqarah [2] :221)
Artinya: dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
57
Abu Zahro, Al-Akhawal Asy-Syakhsiyah,(Beirut: Dar Al-F ikri Al-Arabi, 2005),
h. 326.
42
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 menegaskan bahwa Pada
dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan
tidak boleh dilarang, namun bila melihat kepada keadan dan bentuk
tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk tertentu itu, yang
akan dijelaskan kemudian.
Adapun hikmah diperbolehkannya fasakh itu adalah memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia yang telah dan sedang menempuh
hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan
hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan,
yaitu kehidupan mawadah, warahma, dan sakinah, atau perkawinan itu
akan merusak hubungan keduanya. Atau dalam masa perkawinan itu
ternyata bahwa keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan,
namun kenyataan telah terjadi. Hal-hal yang memungkinkan keluar dari
kemelut itu adalah perceraian.58
D. Pembatalan Pernikahan Menurut Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur tentang
pembatalan pernikahan. Pengaturan ini dilakukan untuk menjaga agama
seperti dikatakan dalam maqashid syariah. Bahwa menjaga agama adalah
salah satu dari lima hal yang pokok yang harus dijaga. Untuk itu jika salah
58
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: kencana, 2009), cet, 3, h. 244.
43
satu berpindah agama dan pihak ketiga merasa dirugikan maka dapat
mengajukan pembatalan pernikahan. Meskipun telah terjadi pembatalan
perkawinan dan mengakibatkan hukum sampai menimbulkan kerugian dan
kesengsaraan bagi anak yang dialahirkan dari perkawinan tersebut. Untuk itu
peraturan perundang-undangan di Indonesia mengaturnya untuk melindungi
hak-hak anak, sebagaimana diatur dalam pasal 75 dan 76 Kompilasi hukum
Islam, dengan rumusan yang berbeda. Adapun bunyi pasal 75 dan 76 adalah
sebagai berikut:
Pasal 75
Keputusan Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad.
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. Pihak ketiga, sepanjang mereka memproleh hak-hak dengan beri‟tikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
yang tetap.
Pasal 76
“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara
anak dengan orang tuanya”.
Maksud dan tujuan dari pasal 76 Kompilasi Hukum Islam di atas
adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa
depan anak yang perkawinan ibu bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut
tidak dapat dibebani kesalahan akibat dari pada kekeliruan yang dialakukan
dari kedua orang tuanya. Meskipun secara pisokologis jika pembatalan
perkawina tersebut benar-benar terjadi, akan tetapi membawa dampak yang
tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi karena
demi hukum, maka kebenaran baru ditegakkan meski terkadang membawa
44
kepahitan.59
Batalnya perkawinan diatur juga dalam pasal 22-28 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tetang perkawinan. Pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 23, sebab-sebab batalnya
perkawinan diatur dalam pasal 24, 26 ayat (1) dan (2), tempat pengajuan
gugatan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 25, saat mulai berlakunya
pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 28 ayat (1), akibat hukum
pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 28 ayat (2), dan gugur hak diatur
dalam pasal 26 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3).60
Pembatalan perkawinan terjadi apabila perkawinan sudah
dilangsungkan dalam ketentuan pada bab IV pasal 22 UU No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat untuk dilangsungkannya perkawinan”.61
Dalam
pasal ini batal bila mana menurut ketentuan-ketentuan hukum agamanya tidak
menentukan lain. Selanjutnya dapat kita pahami bahwa suatu perkawinan yang
dilangssungkan oleh seorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan
apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya.
59
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.152.
60
Amin Suma,Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya
di Negara Hukum Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 522.
61
Kamarusdiana, Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata,(Jakata: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 12.
45
BAB III
PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA PUSAT
A. Jenis Perceraian
Mahligai pernikahan sudah tidak harmonis dan tidak dapat di
pertahankan lagi walaupun sudah dilalukan berbagai upaya perbaikan. Maka
Islam membolehkan perceraian.1 Perceraian dapat terjadi apabila dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Maka dengan demikian
perceraian yang sah hanya di depan pengadilan agama. Adapun jenis
perceraian yang dikenal di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Cerai Talak
Cerai talak merupakan cerai yang dikehendaki suami yang sejalan lurus
dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa cerai talak
adalah “ ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129,130 dan 131”.2 Cerai talak diajukan oleh pihak suami
yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap
isterinya.3
1 Mesraini, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Pusat Studi Pengembangan Pesantren, 2008), h.
143.
2 Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 138.
3 Ibrahim Ahmad Harun, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama: Buku II (Mahkamah agung ri direktorat jenderal badan peradilan agama 2013), h. 158
46
Dijelaskan juga dalam UU No. 7 Tahun 19894 pasal 66 yang berbunyi:
1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
b. Cerai Gugat
Cerai gugat diajukan oleh isteri yang petitumnya memohon agar
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah memutuskan perkawinan
Penggugat dengan Tergugat. Dijelaskan juga dalam pasal 73 UU No. 7
Tahun 1989, yang berbunyi:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
B. Administrasi Pengajuan Perkara Perceraian
a. Surat Gugatan
Bentuk dan isi surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga
4 Lihat UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 66
47
kompenen, yaitu:
1) Identitas pihak-pihak
2) Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah
pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal).
3) Isi tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau “petitum”
(tunggal).5
b. Pendaftaran
1. Untuk perkara perceraian, Pemohon (suami) atau Penggugat (isteri)
mengajukan permohonan atau gugatan secara tertulis atau lisan ke
Pengadilan Agama.
2. Untuk pekara lainnya Pemohon atau Penggugat mengajukan
permohonan atau gugatan ke Pengadilan Agama.
3. Pemohon atau Penggugat pada saat pendaftaran membawa fotokopi
KTP, Fotokopi Akta Kelahiran Anak, dan lain-lain.
4. Pemohon atau Penggugat membayar panjar biaya perkara
5. Bagi Pemohon atau penggugat yang tidak mampu (miskin) dapat
beracara secara cuma-cuma (prodeo), dengan melampirkan Surat
Keterangan Tidak Mampu dari Kelurahan yang diketahui oleh
Camat.6
c. Biaya Perceraian
Biaya perkara sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 1989 pasal
5 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1995), h. 45
6 www.Pa-jakartapusat.go.id/ internet diakses pada hari senin tgl 7-12-15 pukul
21,34.wib.
48
89, yang berbunyi:
1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada
penggugat atau pemohon.
2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan
merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam
penetapan atau putusan akhir.7
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk
perkara itu;
b. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya
pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
c. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan
tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam
perkara itu;
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan
persetujuan Mahkamah Agung.8
Pasal 91
1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90
harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu
pihak berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam
perkara itu, harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau
putusan Pengadilan.9
Rincian Biaya Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Meliputi;.10
A. Cerai Gugat
Biaya Tetap:
- Redaksi/Leges Rp. 5000,-
7 Lihat UU No. 7 Tahun 1989 pasal 89
8 Lihat UU No. 7 Tahun 1989 pasal 90
9 Lihat UU No. 7 Tahun 1989 pasal 91
10
www.Pa-jakartapusat.go.id/ internet diakses pada hari senin tgl 7-12-15 pukul
21,35.wib.
49
- Materal Rp. 6000,-
- Pendaftaran/ PNBP Rp. 30.000,-
- Biaya Proses Rp. 75.000,-
Biaya Tidak Tetap:
- Biaya Panggilan Penggugat 2 x Rp. 100.000,- Rp. 200.000,-
- Biaya panggilan Tergugat 3 x Rp. 100.000,- Rp. 300.000,-
- Biaya Panggilan Mediasi 2 x Rp. 100.000,- Rp. 200.000,-
JUMLAH Rp. 816.000,-
B. Cerai Talak
Biaya Tetap:
- Redaksi/Leges Rp. 5.000,-
- Materal Rp. 6.000,-
- Pendaftaran/ PNBP Rp. 30.000,-
- Biaya Proses Rp. 75.000,-
Biaya Tidak Tetap:
- Biaya Panggilan Pemohon 2 x Rp. 100.000,- Rp.300.000,-
- Biaya Panggilan Termohon 3 x Rp. 100.000,- Rp.400.000,-
- Biaya Panggilan Mediasi 2 x Rp. 100,000,- Rp. 200.000,-
JUMLAH Rp.1.016.000,-
C. Faktor-Faktor Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
a. Poligami Tidak Sehat
b. Krisis Ahlak
c. Cemburu
50
d. Kawin Paksa
e. Ekonomi
f. Tidak Ada Tanggung Jawab
g. Kawin di Bawah Umur
h. Kekejaman Jasmani
i. Kekejaman Mental
j. Dihukum
k. Cacat Biologis
l. Politis
m. Ganguan Pihak Ketiga
n. Tidak Ada Keharmonisan
o. Lain-Lain.11
D. Prosedur Pemeriksaan Dalam Sidang Perceraian
Setelah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama,
Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang
menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68
Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 131 Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berikut adalah bunyi Pasal 68 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Yaitu:
1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majlis hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di kepanitraan.
2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.12
11
www.Pa-jakartapusat.go.id/ internet diakses pada hari senin tgl 7-12-15 pukul 21,38
wib. 12
Lihat Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 dan 68.
51
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai tata cara perceraian
termuat dalam pasal 131 ayat:
1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambt-lambatnya tiga puluh hari
memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak
dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusan tentang izin suami untuk
mengikrarkan talak.
3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan tetap, suami mengikrarkan
talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Dihadiri oleh istri atau
kuasanya.
4) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo 6 (enam) bulan
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang ikrar talak baginya
mempunyai hukum tetap, maka hak suami menikrarkan talak gugur dan
ikatan perkawinan tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar
talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi
tempat
6) tinggal suami untuk diadakan pencatatan. Helai kedua masing-masing
diberikan kepada suami isri, dan helai keempat disimpan di Pengadilan
Agama.13
Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui
tahap-tahap dalam acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa. Tahapan-tahapan
pemeriksaan tersebut ialah:
1. Pembacaan gugatan
Pada tahap pembacaan gugatan, maka pihak penggugat berhak meneliti
ulang apakah seluruh materil (dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan
lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugatan itulah yang menjadi
13 Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: logos wacana ilmu, 1999), Cet. II, h. 179-180
52
acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang
lingkup yang termuat dalam surat gugatan.14
2. Jawaban Tergugat
Pada tahap jawaban ini, pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela
diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui
hakim.15
3. Replik penggugat
Pada tahap replik, penggugat dapat menegaskan kembali gugatannya yang
disangkal oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas serangan-
serangan oleh tergugat.
4. Duplik Terguugat
Pada tahap duplik, maka tergugat dapat mejelaskan kemabali jawabannya
yang disangkal oleh penggugat. Replik dan duplik dapat diulang-ulang
sehingga hakim memandang cukup untuk itu yang dilakukan dengan
pembuktian.16
5. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, maka penggugat mengajukan semua alat-alat
bukti untuk mendukung dalili-dalil gugat. Demikian pula tergugat juga
menagajukan alat-alat bukti untuk memandang jawabannya
(sanggahannya). Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak
14
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 95-96.
15 Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 95-96.
16 Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 95-96.
53
lawannya.17
6. Kesimpulan
Pada tahap kesimpulan, maka masing-masing pihak (penggugat dan
tergugat) mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.18
7. Putusan Hakim.19
Pada tahap putusan, maka hakim menyampaikan segala pendapatnya
tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan. Putusan
hakim untuk mengakhiri sengketa.20
E. Volume Perkara Perceraian Tahun 2012-2014
17
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 95-96.
18
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 95-96.
19
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 93.
20
Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, h. 95-96.
282 272 320
627 666 817
2012 2013 2014
Data Perceraian Pengadilan Agama Jakarta Pusat Periode
Tahun 2012-2014
Cerai Talak Cerai Gugat
54
BAB IV
PUTUS CERAI TALAK SUAMI MURTAD DI PEGADILAN
AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Putusan Cerai Talak Suami Murtad di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
1. Posisi Kasus Pembatalan Pernikahan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Kelas IA yang memeriksa dan mengadili
perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah
menjatuhkan putusan sebagaimana tertera di bawah ini dalam perkara
pembatalan nikah antara: Penggugat, umur 36 tahun, agama Kristen
protestan, warga negara Indonesia, pendidikan SLTA, pekerjaan Karyawan
Swasta, tempat tinggal di disebut PENGGUGAT.
Tergugat, umur 34 Tahun, Agama Islam, warga negara Indonesia,
pendidikan D.III, pekerjaan Ibu rumah tangga, tempat tinggal di jalan
disebut TERGUGAT.
Pengadilan Agama tersebut. Setelah membaca surat gugatan Penggugat
dan semua surat yang berkaitan dengan perkara ini. Telah mendengar
keterangan Penggugat dan jawaban Tergugat serta Saksi- saksi yang
dihadirkan oleh Penggugat.
2. Duduk Perkara
Bahwa pada hari jum’at tanggal 11 Februari 2000 masehi bertepatan
dengan tanggal 5 Djulqa’dah 1420 Hijriyah sebagaimana ternyata dalam
kutipan akta nikah nomor 1137/43/II/2000 tanggal yang dikeluarkan oleh
Urusan Agama kecamata Cimahi Selatan, Bandung, Jawa Barat. Telah
55
terjadinya pernikaha anatar penggugat dan Tergugat.1 Selama berumah
tangga antara Pengugat dan Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya
sebuah keluarga yang bahagia. Meskipun pernah timbul perselisihan
namun bisa diredam atau diatasi. Dan setelah pernikahan tersebut
Penggugat dan Tergugat bertempat tinggal di Kota jakarta pusat.2
Dari pernikahan tersebut Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 1 (satu)
orang anak. Dan seiring dangan berjalannya waktu rumah tangga
Penggugat dan Tergugat sudah berbeda keyakinan satu sama lain yang
mana si Penggugat telah beralih agama menjadi kristen protestan (murtad).
Dan dari perbedaan itu menyebabkan suasana rumah tangga Penggugat
dan Tergugat sudah mulai tidak lagi harmonis dan sering timbul
perselisihan dan pertengkaran.
Oleh karna perselisihan dan pertengkaran berlangsung terus menerus, dan
Penggugat telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah
tersebut dengan jalan mediasi atau musyawarah namun upaya tersebut
tidak menemukan titik terang. Maka akhirnya penggugat merasa rumah
tangganya sudak tidak dapat dipertahankan lagi dalam berumah
tangganya.3
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut bahwa maksud dan tujuan
perkawinan tidak terwujud, majelis hakim melalui mediator, telah
1 Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011, h. 1 dari 12
2 Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011, h. 2 dari 12
3 Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011, h, 3 dari 12
56
mengadakan mediasi terhadap pengugat, namun tidak berhasil karena
sipenggugat tetap pada pendiriannya mohon untuk diceraikan dari
tergugat.4
Pisahnya tempat tinggal antara penggugat dan tergugat telah terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan
lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangganya.
Berdasarkan fakta tersebut, maka terciptanya kelurga sakinah mawaddah
warahmah antar penggugat dan tergugat sudah tidak dapat lagi terwujud,
hal ini membuktikan bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat betul-
betul telah pecah.
Untuk mempertahankan ikatan perkawinan antara penggugat dengan
tergugat dalam suasana seperti yang ada sekarang lebih banyak
mendatangkan madharat. Majelis hakim melalui mediator tidak berhasil
merukunkan antara penggugat dan tergugat, oleh karena itu hakim dapat
menjatuhkan fasakh terhadap pernikahannya.
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka
gugatan penggugat cukup beralasan, karena telah memenuhi pasal 39
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf g dan f juncto
pasal 175 huruf a Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu terdapat alasan
bagi penggugat untuk diputuskan perkawinan dengan tergugat.5
4 Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011, h. 6 dari 12
5 Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011, h. 9 dari 12
57
4. Amar Putusan
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka ditetapkan amar
putusannya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat.
2. Menetapkan putus perkawinan antara Penggugat (...............................)
dengan Tergugat (..................................) karena perceraian.
3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk
mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimahi Selatan dan Kantor
Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan
Tergugat.
4. Membebankan Penggugat membayar biaya perkara ini sebesar Rp
396.000 (tiga ratus sembilan puluh enam ribu rupiah).
B. Tinjauan Fiqh Terhadap Putusan Nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP
Menurut jumhur ulama (Imam Abu Hanifah, dan Imam Asy-syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hambal) bahwamurtadnya salah satu pasangan suami
istri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan dengan fasakh.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa putusnya perkawinan
karena murtad termasuk dalam katagori thalaq, dikarenakan yang menjadi
alasan putusnya perkawinan itu karena murtad tidak menyebabkan putus untuk
selamanya, namun bisa utuh lagi dengan kembalinya ia pada agama Islam.6
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal waktu, kapan ikatan
6 Wahbah azz-Zuhaili, al-Fiqh Islam Wa- Adillatuh, (Dar al-Fikr al-Ma’sir
1997) Juz VII, h, 621.
58
perkawinan harus diputus sebab suami atau isteri murtad. Ada tiga pendapat
yaitu:
1. Madzhab Hanafiah, Malikiyah, akad nikah menjadi batal seketika itu juga,
baik sebelum bercampur maupun sesudah bercampur. Adapun dalil yang
digunakan dalam argumennya ini adalah bahwa orang yang murtad
diqiyaskan kepada orang mati, karena murtad merupakan sebab buruk
yang ada pada dirinya, sedangkan orang mati bukanlah obyek yang bisa
untuk dinikahi. Oleh karena itu tidak boleh menikah dengan orang murtad.
2. Syafi’iyah dan Hanabilah, apabila murtadnya sebelum melakukan
hubungan suami isteri, maka pernikahan itu batal seketika, namun apabila
murtadnya setelah melakukan hubungan suami isteri, maka pembatalan
nikahnya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis, maka ia tetap pada
setatus pernikahannya.
3. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Apabia dari salah satu pasangan suami
murtad maka pernikahannya harus dibekukan, apabila masuk lagi ke Islam
maka pernikahannya sah lagi, baik sesudah ataupun sebelum masa
iddahnya habis.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka menurut penulis bahwa putusan
pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai masalah murtad termasuk dalam
katagori thalaq, dalam hal ini lebih mengadopsi pendapat Imam Malik.
Sehingga sikap Pengadilan Agama di Indonesia bersikap pasif, adalah jika hal
tersebut menjadi masalah atau sengketa bagi kedua pasangan suami isteri dan
salah satunya megajukan gugatan, maka Pengadilan Agama mempunyai
59
kewenganan untuk memeriksa dan menyelesaikannya.7
Namun jika tidak dipermasalahkan maka Pengadilan Agama tidak
mempunyai Kewenangan untuk memutuskan perkawinan tersebut, sehingga
setatus perkawinan setelah salah satu murtad masih dianggap sah.
Dalam perkara tersebut Majlis Hakim sudah berada pada posisi yang
benar dengan memutus ikatan perkawinan antara Penggugat dan tergugat yang
sudah tidak bisa didamaikan lagi karena perselisihan dan pertengkaran
disebabkan peralihan agama.
Dari keterangan diatas, dapat dipahami Majlis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat yang memutus putusnya perkawinan dengan percerian
sudah tepat, namun sangat disayangkan sekali putusan tersebut masih terlalu
ambigu apakah perceraian tersebut masuk kedalam katagori thalaq raj’i atau
thalaq ba’in, atau fasakh. sebab implikasi hukum antara perceraian (thalaq
raj’i dan thlaq ba’in) dengan fasakh sangatlah berbeda. Apabila hakim
memberikan putusan dengan fasakh, maka bilangan thalaq suami tidak
berkurang sama sekali, dan tidak ada hak rujuk dari suami, serta suami tidak
dibebankan berupa biaya nafkah iddah dan mut’ah sebagaimana yang
harusnya itu semua dapat dibebankan kepada suami yang bercerai karena cerai
thalaq.
7 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet, IV, h, 20.
60
C. Tinjauan Hukum Formil dan Materil Pada Putusan Nomor
967/Pdt.G/2010/PA JP
1. Tinjauan Hukum Formil
Bahwa setelah penulis menganalisis tinjauan hukum formil pada
perkara ini majelis hakim sudah sesuai dengan tinjauan hukum formil yang
ada. Terbukti dalam putusan tersebut hakim melakukan mediasi, sesuai
dengan perma No. 1 tahun 2008 tentang mediasi maka antara penggugat
dan tergugat diadakan mediasi dengan ketentuan kedua belah pihak hadir,
namun ketika mediasi gagal atau tidak dapat didamaikan maka harus
ditulis dalam berita acara bahwa mediasi gagal. dan langkah selanjutnya
baru pembacaan surat gugatan oleh penggugat. Setelah pemabacaan
gugatan oleh pengugat maka hakim mempersilakan kepada tergugat untuk
menjawab gugataan dari penggugat. Setelah jawaban diberikan oleh
tergugat maka selanjutnya ada replik, duplik, dan pembuktian. Pada proses
pembuktiaan ini maka para pihak yaitu penggugat dan tergugat harus
memabawa bukti dan semua alat bukti harus disampaikan kepada majlis
hakim. Pembuktian ini dilakukan oleh kedua belah pihak agar hakim dapat
(mengkonstartir) semua bukti yang ada. Setelah pembuktiaan maka
kesimpulan dari masing-masing pihak perihal gugatan yang telah
disampaikannya. Setelah kesimpulan disampaikan oleh kedua belah pihak
kemudian proses selanjutnya adalah pembacaan putusan oleh majlis
hakim.
61
2. Tinjauan Hukum Materil
Bedasarkan gambaran perkara diatas penetapan hukum yang
digunakan oleh majelis hakim berkenaan dengan cerai karena murtad tidak
sesuai dengan hukum materil hal ini terbukti dalam pertimbangan hukum
yang mengatakan tergugat membantah sebagian posita fundamentum
patendi gugatan penggugat, maka kepada pengguggat dibebankan wajib
bukti, dan untuk itu telah didengar keterangan saksi-saksi keluarga dan
atau orang dekat dari masing-masing pihak sebagaimana kehendak
rumusan Pasal 22 ayat (2) peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan
ketentuan Pasal 154 Kompilasi Hukum Islam. Untuk itu seharusnya hakim
tidak menggunakan pasal 154 KHI tentang kesaksian sebab pasal 154
berbicara tentang iddah dan perubahan iddah yang ditalak raj’i oleh
suaminya, maka dari itu hakim seharusnya tidak menggunakan pasal 154
Kompilasi Hukum Islam melainkan menggunakan HIR pasal 174
“Pengakuan yang diucapkan di hadapan Hakim, cukup menjadi bukti
untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya
sendiri, maupun dengan pertolongan orang lain, yang istimewa
dikuasakan untuk itu”.
Bahwa hakim dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana dalam
rumusan pasal 116 huruf g dan huruf f jo pasal 75 huruf a Kompilasi Hukum
Islam. Menurut analisis penulis hakim kurang tepat dalam menerapkan pasal,
dalam hal ini memakai pasal 116 huruf g yang mana pasal tersebut berbicara
tentang taklik talak. Idealnya hakim disini memakai pasal 116 huruf h yang
62
berbicara tentang “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga” yang semestinya sesuai dengan perkara
ini. Namun setelah dikonfirmasi kepada hakim yang bersangkutan bahwa
terdapat kekeliruan dalam penggunaan huruf dalam pasal 116 huruf g dan f,
seharusnya pasal 116 huruf g dan h.8 Ini membuktikan adanya kekeliruan
hakim ini menimbulkan ketidak jelasan atau kekaburan dalam putusan
tersebut. Seharusnya hakim meneliti kembali putusan tersebut sebelum
dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
D. Penyelesaian Perkara Perceraian Karena Murtad di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat
Mekanisme penyelesaian perkara cerai karna murtad di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat sama dengan penyelesaian perkara cerai pada umumnya
dimana majlis hakim selalu berupaya agar para pihak berdamai, namun
apabila tidak berhasil maka hakim akan melajutkan acara pada pemeriksaan
perkara yang diakhiri dengan putusan hakim.
Berdasarkan hasil dari wawancara penulis dengan hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat bahwa setiap perkara yang masuk ke pengadilan Agama
Jakarta Pusat Khusunya perceraian yang didasari karena salah satu pihak
murtad (peralihan agama). Menurut hakim di Pengadilan Agama Pusat:
apabila memang sudah jelas dalam gugatan dan/atau dalam permohonan salah
satu pihak atau dua belah pihak telah murtad (keluar dari Agama Islam), maka
8 Wawancara dengan Bpk. Hafifullah (Hakim yang Memutus Perkara
967/Pdt.G/2010/PA.JP) di Pengadlan Agama Sleman, hari Jum’at, 13-11-2015.
63
hakim di Pengadilan Agama Khusunya, Pengadilan Agama Jakarta Pusat
memutuskan perkara ini atau dijatuhkannya putusan tersebut dengan
memfasakhkan perkawinan Penggugat dan Tergugat atau Pemohon dan
Termohon. Karena menurut hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat hal
yang demikian ini sudah sangat sesuai dengan hasil rakernas Mahkamah
Agung Tahun 2009-2012 poin 44 dan Buku II Tentang Pedoman Pelaksanaan
dan Administrasi Peradilan Agama.9
Meski secara hukum Islam perkawinan mereka telah fasakh (batal),
yang berarti tidak memerlukan keputusan hakim. Tetapi menurut perundang-
undangan di Indonesia segala bentuk putusnya perkawinan, termasuk fasakh
harus didaftarkan ke Pengadilan Agama, untuk diproses sesuai prosdur yang
berlaku pada Pengadilan Agama dimana Hakim akan memberikan
pertimbangan hukumnya berdasarkan pemeriksaan selama persidangan.
Dalam kasus perceraian, perbuatan murtad jarang dijadikan alasan utama,
tepatnya murtad lebih sering dijadikan sebagai alasan dari pada timbulnya
perselisihan yang terus menerus yang tidak menyebabkan kerukunan dan
keharmonisan dalam rumah tangga.
E. Analisis Penulis
Tentang Penggugat dan Tergugat bahwa dalam perkara No.
967/Pdt.G/2010/PA. JP Pembatalan Pernikahan. Bahwa lazimnya di Indonesia
ketika ada suami yang ingin menceraikan istrinya dan diputus oleh Pengadilan
9 Wawancara dengan Bpk. Munadi (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat)
hari Jumat, tanggal 23 Oktober 2015 jam 14.30 WIB
64
Agama. Tentu disini kedudukan suami sebagai Pemohon dan si istri sebagai
Termohon. Namun faktanya yang terjadi dilapangan bahwa yang perlu
diketahui seksama apabila dalam kasus percerian yang diakibatkan salah satu
pasangan murtad, Khususnya suami yang murtad. Kemudian yang
mengajukannya adalah suami. Maka kedudukan suami menjadi Penggugat
bukan Pemohon. Hal yang demikian tersebut sudah sesuai dengan Peraturan
Pelaksanaan Tugas Admnisitrasi Peradilan Agama Buku II.10
Kemudian
Putusan perkara No 967/Pdt.G/2010/PA. JP tentang pembatalan nikah penulis
menemukan kekaburan atau ketidakjelasan dalam putusan tersebut. Hal ini
bisa dilihat dari isi putusan tentang pembatalan nikah. Dimana hakim dalam
penggunaan hukum materil tentang pembatalan nikah terdapat ketidak
sesuaian dengan peraturan perundang-undangan. Yaitu hakim kurang tepat
dalam penggunaan pasal dalam pertimbangan hukum. Hakim menggunakan
116 huruf g dan f, yang mana seharusnya hakim menggunakan pasal 116 huruf
dan h. Agar bersesuaian dengan permasalahan yang ada. Kekeliruan hakim ini
ataupun kesalahan dalam pengetikan ini seharusnya bisa dihindari oleh
hakim.11
sebab hal ini dapat berimplikasi hukum yang berbeda dalam putusan
tersebut.
Selanjutnya kekeliruan hakim dalam putusan tersebut juga terlihat
dalam penggunaan pasal 154 Kompilasi Hukum Islam, yang seharusnya
10 Ibarahim Ahmad Harun. Peraturan Pelaksanaan Tugas Admnisitrasi Peradilan
Agama Buku II, h, 158
11 Wawancara dengan Bpk. Hafifullah (Hakim yang Memutus Perkara
967/Pdt.G/2010/PA.JP) di Pengadlan Agama Sleman, hari Jum’at, 13-11-2015.
65
hakim harus menggunakan pasal 174 HIR tentang kesaksian.
Human eror ini sangat fatal yang dilakukan oleh hakim, tidak saja
merugikan para pihak yang terkait namun merugikan institusi yang
menaunginya. Sebab hal ini menunjukan kurangnya ketelitian hakim
pengadilan agama dalam memutus perkara tersebut.
Berkenaan dengan amar putusan perkara No 967/Pdt.G/2010/PA.JP
yang menetapkan putus perkawinan antara penggugat dengan tergugat karena
perceraian tidaklah sesuai. Hal ini, sesuai dengan hasil rakernas Mahkamah
Agung Tahun 2009-2012 poin 44 yang berbunyi bahwa dalam perkara cerai
gugat dengan alasan riddah (peralihan agama) amar putusannya adalah
Fasakh, bukan bain shughra, apalagi perceraian.12
Hal inilah yang menurut
penulis amar putusan tersebut tidak mempunyai korelasi dengan judul dalam
putusan tersebut yang menyatakan tentang pembatalan nikah. Dan majelis
hakim tidak mengindahkan isi dari rakernas Mahkamah Agung tersebut dan
amar putusan tersebut seharusnya menyatakan fasakh perkawinan penggugat
dengan tergugat.13
Hal ini disebabkan karena adanya sebab baru yang
menjadikan pernikahan itu menjadi difasakh, sebagaimana dikatakan dalam
fiqih sunnah:
Artinnya: Apabila salah seorang dari suami istri murtad dari islam dan tidak
mau kembali lagi sama sekali, maka aqad nikahnya difasakh (dibatalkan)
disebabkan kemurtadannya yang terjadi setelah akad nikah.
12 Lihat Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2009-2012 poin 44. 13 Lihat Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2009-2012 poin 44. 14 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, h. 314.
66
Namun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia murtad bisa
dijadikan sebagai alasan perceraian bukan pembatalan pernikahan. Karena
dalam pasal 116 huruf h yang berbunyi perceraian dapat terjadi karena alasan
atau alasan-alasan peralihan agama atau murtad yang menjadikan ketidak
rukunan dalam rumah tangga. Karena dalam KHI menginstruksikan bahwa
murtad adalah sebagai alasan perceraian, maka implikasinya hakim harus
memberikan dalam putusannya adalah talak raj’i dan bukan fasakh. Sebab
antara talak dan fasakh mempunyai impikasi hukum yang berbeda. Dan fasakh
tidak dapat membatalkan perkawinan karena salah satu dari suami isteri
murtad sebagaimana dijelaskan dalam pasal 75 huruf a yang berbunyi
keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan
yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.15
Untuk itu fasakh
karena salah satu suami atau istri murtad tidak bisa diterapkan dalam putusan
tersebut. Sebab pembatalan tersebut tidak berlaku surut atau kebelakang.
Untuk itu penulis lebih merujuk kepada murtad dijadikan sebagai alasan
perceraian yang putusannya menyatakan talak raj’i dari pada memfasakh
pernikahan tersebut.
15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademika Presindo,
2010), h. 134
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan penelitian pada bab sebelumnya dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Status perkawinan jika salah satu pihak Murtad (Peralihan Agama)
menurut fiqih bahwa perkawinan mereka menjadi fasakh atau rusak
dengan sendrinya. Oleh karana itu penulis merinci mengenai ikhtilaf
fuqaha’ tentang murtad sebagai penyebab fasakhnya suatu perkawinan,
yaitu sebagai berikut:
a. Perpisahan yang terjadi karena salah satu suami atau istri maupun
kedua-duanya murtad, itu tidak memerlukan keputusan Hakim.
b. Murtadnya si suami, menurut kaidah hukum Islam jelas menyebabkan
fasakh, dan hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama tanpa adanya
perbedaan pendapat.
c. Sedangkan mengenai murtadnya si isteri, hal ini masih menjadi
perselisihan pendapat di kalangan para ulama, yakni mengenai
murtadnya si isteri tersebut apakah akan menyebabkan furqoh atau
tidak furqohnya suatu perkawinan. Beberapa ulama ada yang
berpendapat bahwa murtadnya seseorang isteri itu menyebabkan
furqohnya suatu perkawinan, dan semuanya sepakat berpandapat bahwa
furqoh itu adalah fasakh bukan thalaq.
d. Adapun murtadnya suami dan istri menurut ulama Imam Abu Hanifah,
Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal sepakat bahwa kemurtadan yang
68
dilakukan oleh suami dan istri tidak perlu bercerai apabila keduanya
sama-sama murtad. Berbeda dengan Imam Malik yang mengharuskan
bercerai (perkawinannya harus diputus).
Sedangkan dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia Pasal
116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa jika salah satu
pasangan suami isteri murtad dan menyebabkan ketidak harmonisan dalam
rumah tangga, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan perceraian
dan bukan sebagai alasan Fasakh/Pembatalan.
2. Mekanisme penyelesaian perkara cerai karna murtad di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat sama dengan penyelesaian perkara cerai pada umumnya
majlis hakim selalu berupaya agar para pihak berdamai, namun apabila
tidak berhasil maka Hakim akan melajutkan acara pada pemeriksaan
perkara yang diakhiri dengan putusan Hakim. Perlu digaris bawahi khusus
Perkara perceraian yang diakibatkan salah satu pasangan yang murtad
kemudian perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat
maka putusan tersesbut langsung di putus dengan fasakh. hal ini sesuai
dengan Buku II Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa amar
putusan dalam perkara cerai gugat dengan alasan murtad (Peralihan
Agama) adalah memfasakh perkawinan penggugat dan tergugat atau
Pemohon dan Termohon.
3. Tinjauan hukum formil pada perkara ini majelis hakim sudah sesuai
dengan hukum formil yang ada. dimana didalanya terdapat mediasi antara
Penggugat dan Tergugat, Pembacaan gugatan oleh si Penggugat, jawaban
oleh si Tergugat, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan pembacaan
putusan oleh majlis Hakim. Adapun tinjauan hukum materil yang dalam
69
putusan tersebut bahwa Hakim tidak tepat dalam menetapkan Pasal yang
digunakan. Dalam hal kesaksian Hakim tidak memakai rumusan Pasal 154
KHI sebab Pasal tersebut berbicara tentang iddah dan perubahan iddah
yang ditalak raj’i oleh suaminya. Seharusnya Hakim menggunakan HIR
Pasal 174 “Pengakuan yang diucapkan di hadapan Hakim, cukup menjadi
bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang
diucapkannya sendiri, maupun dengan pertolongan orang lain, yang
istimewa dikuasakan untuk itu”. Kemudian dalam pertimbangan
hukumnya sebagaimana dalam rumusan pasal 116 huruf g dan huruf f jo
pasal 75 huruf a KHI. Hakim kurang tepat dalam menerapkan huruf pasal,
dalam hal ini memakai pasal 116 huruf g yang mana Pasal tersebut
berbicara tentang taklik talak. Idealnya Hakim disini memakai Pasal 116
huruf h yang berbicara tentang “peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga” yang
semestinya sesuai dengan perkara ini.
B. Saran-Saran
1. Perlu adanya penyuluhan hukum dengan bagus, baik dan benar terhadap
masyrakat oleh instansi terkait mengenai hukum perkawinan di Indonesia,
yaitu dengan melibatkan tokoh setempat agar tercipta pemahaman hukum
yang tepat, sehingga tidak melenceng dari norma-norma ajaran Islam.
2. Seorang non muslim yang ingin masuk Islam, hendaknya tidak hanya
sekedar karena rasa cinta terhadap pasangannya atau sekedar memenuhi
syarat untuk memuluskan perkawinannya. Jika nantinya timbul cecok
dalam rumah tangga, orang yang baru masuk islam tersebut tidak akan
70
mudah goyah imannya kembali keagamanya semula. Dan setelah menikah
hendaknya para (mu’alaf) tersebut diberi bimbingan guna menambah
pengetahuannya tentang ajaran Agama Islam, tidak hanya menjadikan
Isalam sebagai simbol, namun juga harus mendalami dan memahami
ajaran-ajarannya, sehingga bisa membangun rumah tangga dengan di
dasarkan pondasi-pondasi ajaran Islam.
3. Bagi Pengadilan Agama sebagai lembaga hukum penjamin keadilan dan
kemaslahatan, Khususnya meja satu harus benar-benar teliti dalam
menerima berkas-berkas perkara dan juga bisa mengarahkan kemana
seharusnya berkas perkara itu disidangkan, jangan sampai salah
mengarahkan. serta Khusunya kepada Majlis Hakim harus lebih teliti dan
penuh pertimbangan dalam menggunakan Pasal yang dipakai guna
menghindari adanya kesalahan atau kekeliruan setelah putusan telah
dipublikasi kepada masyarakat.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Yusuf Hadi Asy-iyal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, Jakarta:
Pustaka Dian/ Antar Kota 1987.
Abdullah Abu Muhamad bin Qosim as-Syafi’I, Syeh Ala’ Ibnu Qoshim/Quotu al-
Habibi al-Qorib, Surabaya: Darul Ilmi,t,t.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: CV Akademikan
Pressindo, 2010.
Abu Ahmadi & Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta:
Bumi Akarsa, 2004.
Ahmad Ibrahim Harun, Pedoman Peaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II, Mahkamah Agung RI, Direktorat Jendral Peradilan
Agama, 2013.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Besar Arab-Indonesia Surayabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Ali M Sayuthi, Metologi Penelitian Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
2012.
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Al-Jaziri Abdurahman, ‘Ala Madzab arba’ah, Kairo, Darul Hadis, 2004.
Aness, Ahmad Munawar. Syed Z. Abedin. Ziauddin Sarda. Dialog Muslim
Kristen dulu, sekarang, esok, Yogyakarta: Qalam, 2000.
Artmanda Frista, Kamus Lengkap Bahasa Insdonesia, Jombang: Lintas Media,
2007.
At-Thabrany, al-Mu’jam al-Ausath, Kairo: Dar al-Haramain, Juz 7
Authar Nailul, Himpunan Hadist-Hadist Hukum. Jilid 5, Penerjemah Mu’ammal
Hamidy dkk, cet, III, Surabaya: PT, Bina Ilmu, 2001.
AZ-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh, Al-islami wa Adilatuhu, Juz IV
Basiq A. Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Frespektif Fiqh dan Khi,
Jakarta: Qalbun Salim, 2005.
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana, 2000.
72
Dadang Ahmad, Metode Penelitian Agama, (Prespektif Perbandingan Agama),
Bandung: Pustaka, 2000.
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thuq an-Najat, 1422 H.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka,1995.
Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
ed.IV, Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama, 2008.
Djamil Latif, M. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta: Ghila
Indonesia, 1985.
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Karena Ketidak-Mampuan
Suami Menenuikan Kewajibannya, Jakarta: Cv Pedoman Ilmu jaya, 1989.
Hardiman Budi, Hak-Hak Asasi Manusia polemik dengan agama dan
kebudayaan, Yogyakarta: kansius, 2011.
Hasan Abi Nuruddin Muhammad, Shaih Bukhari, Beirut: Dar-al Kotob al-
Ilmiyah,1998.
Hasan Syaikh Ayyub, Fiqih Keluarga, Terjamahan M. Abdul Ghofur, Fiqih al-
Usrah al-Muslimah, cet. 3, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
Jalaludin, Psikologi Agama , Jakarta: Pt.Grafindo Persada, 2005.
Ka’bah Riyal, Permasalahan Perkawinan Dalam Majalah varia Peradilan No
271 Juni 2008, Jakarta: IKAHI, 2008.
Kuzari Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
Mahdi Soleh A, Hukum Bagi Orang Yang Murtad dan Kufur, Jakarta : PT. Arista
Brahmatyaa, 1994.
Manan Abdul, Aneka masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
kencana, 2006.
Mesraini, Fiqih Munakahat, Jakarta: Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren,
2008.
Mploeng Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Muhammad Abdul Mutaal Al jabry, Perkawinan Campuran MenurutPandangan
Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.
73
Muhammad Nabil Taufik As-Samaluthi, Pengaruh Agama terhadap Struktur
Keluarga, Surabaya: PT Bina Ilmu 1987.
Muhammad Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007.
Muhammad Tengku Hasbi Ash Shidieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqih
Islam dengan Syariat Agama lain, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001.
Mujier Abdul M dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firadaus, 1994.
Musthopa, Kepanitraan Peradilan Agama, Jakarta,Kencana, 2005.
Mustofa Abdul Wahid, Hukum Islm Kontemporer, Jakarta, Sinar Grafika 2013.
Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Araby.
Narbuko Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Bumi
Askara, 2007.
Nasution Khoiuddin. Hukum perkawinan I, Yogyakarta: ACAdemia TAZZAFA,
2004.
Nuruddin Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenanda Media, 2006.
Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Proyek Pembinaan Kerekunan
Hidup Beragama departemen Agama, tahun Angaran 1983/1984
Publikasi Hasil Penelitian, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Rahaman Abd Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta:Kalam mulia, 2002.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah II, Beirut: Dar Al-Fiqh, 1983.
Sanggona Bambang Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003.
Sohari Sahrani dan Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Suma Amin,Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya
di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Rjawali Pers, 2008.
74
Suparmono Gatot Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta:
Djambatan,1998.
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-dang Perkawinan, Jakarta: kencana, 2009.
Tirmidzi Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, 1998 M.
Tholabi Ahmad kharie, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar grafika, 2013.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 dan 68.
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: kencana, 2009.
Warson Ahmad Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap.
Zahra Abu Muhammad, Al-Akhawal Asy-Syakhsiyah,Beirut: Dar Al-F ikri Al-
Arabi, 2005.
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan
Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1976.
Zainuddin Bin Abdul Aziz al-malibari al-fannani, Terjemahan Fat’Hul Mu’in,
Bandung: Simar Baru Algensindo, 1994.
www.pa-jakartapusat.go.id/
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 1 dari 12 hal.
PUTUSAN
Nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Kelas IA yang memeriksa dan mengadili
perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah
menjatuhkan putusan sebagaimana tertera di bawah ini dalam perkara
pembatalan nikah antara:
..................................., umur 36 tahun, agama Kristen protestan, warga
negara Indonesia, pendidikan SLTA, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat
tinggal di ........................................... Disebut PENGGUGAT.
MELAWAN
..................................., umur 34 tahun, Agama Islam, warga negara
Indonesia, pendidikan D.III, pekerjaan Ibu rumah tangga, tempat tinggal
di jalan ........................................... Disebut TERGUGAT.
Pengadilan Agama tersebut.
Setelah membaca surat gugatan Penggugat dan semua surat yang berkaitan
dengan perkara ini.
Telah mendengar keterangan Penggugat dan jawaban Tergugat serta Saksi-
saksi yang dihadirkan oleh Penggugat.
TENTANG DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat melalui suratnya tanggal 16
Desember 2010 telah mengajukan pembatalan perkawinan yang telah
didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam buku
register perkara gugatan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. tanggal 16-12-
2010 dengan perbaikan secara lisan yang isinya mengemukakan posita
dan petitum sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang sah,
menikah pada hari Jum’at tanggal 11 Februari 2000 Masehi bertepatan
dengan tanggal 5 Dzulqa’dah 1420 Hijriyah sebagaimana ternyata dalam
kutipan akta nikah nomor 1137/43/II/2000 tanggal yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimahi Selatan, Bandung, Jawa Barat.
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 2 dari 12 hal.
2. Bahwa, setelah pernikahan tersebut, Penggugat dan Tergugat tinggal
bersama dan menetap di ...........................................
3. Bahwa, selama pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat telah
hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah memiliki 1 (satu)
orang anak yang bernama ..................................., perempuan, lahir di
Jakarta, tanggal 22 Agustus 2000 sekarang anak tersebut ikut tinggal
bersama Penggugat.
4. Bahwa, sejak awal pernikahan, keharmonisan rumah tangga Penggugat dan
Tergugagat sudah terganggu dan kerap memicu terjadi perselisihan dan
pertengkaran, disebabkan:
4.1. Antara Penggugat dengan Tergugat berbeda keyakinan.
4.2. Antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada lagi kecocokan
dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
4.3. Antara Penggugat dengan Tergugat selalu berbeda pendapat.
4.4. Tergugat sudah tidak menghargai dan tidak patuh kepada Penggugat
sebagai kepala keluarga.
4.5. Tergugat sering mengungkit masalah yang telah lalu khususnya
dalam hal ekonomi.
4.6. Antara Penggugat dengan Tergugat jarang sekali berkomunikasi
walaupun masih tinggal satu rumah.
4.7. Penggugat menganggap bahwa tujuan pernikahan tidak ada lagi
dalam rumah tangga, sehingga Penggugat takut akan membawa
mudharat yang lebih besar.
5. Bahwa, puncak kekecewaan Penggugat terjadi pada bulan Juni 2009,
dimana Penggugat pergi dari rumah kediaman bersama karena tidak tahan
lagi dengan keadaan rumah tangga yang selalu bertengkar dan berselisih
paham.
6. Bahwa, akibat perilaku Tergugat tersebut, telah meruntuhkan rasa cinta
Penggugat kepada Tergugat, dan karenanya Penggugat sudah tidak ingin
melanjutkan rumah tangganya dengan Tergugat.
7. Bahwa, terhadap biaya perkara agar dibebankan kepada Penggugat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, Penggugat memohon agar Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Pusat segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat.
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 3 dari 12 hal.
2. Menetapkan putus perkawinan antara Penggugat (....................................)
dengan Tergugat (....................................) karena perceraian.
3. Membebankan biaya perkara sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari-hari sidang yang telah ditetapkan untuk
memeriksa perkara ini para pihak yang berperkara telah sama-sama dipanggil
secara resmi dan patut, terhadap panggilan tersebut, Penggugat dan
Tergugat masing-masing hadir inperson di persidangan, kemudian Majelis
Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara agar
dapat rukun kembali dalam rumah tangga tetapi upaya perdamaian tersebut
tidak tercapai.
Menimbang, bahwa untuk kepentingan mediasi, kedua belah pihak di
muka sidang sepakat memilih mediator non hakim bernama Dra. Hj. Zubaidah
Muchtar, dan atas dasar kesepakatan tersebut, majelis hakim meminta kepada
mediator yang disepakati untuk memediasi kedua belah pihak.
Menimbang, bahwa acara mediasi telah dilaksanakan pada tanggal 12
Januari 2011 di ruang mediasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan menurut
laporan mediator tersebut hasilnya gagal karena telah berbeda agama, dan
kedua belah pihak menolak untuk didamaikan termasuk menolak untuk
mengajukan usul-usul perdamaian.
Menimbang, bahwa setelah surat gugatan tersebut dibacakan yang
isinya sebagaimana di atas dengan perubahan pihak-pihak dan petitum serta
penjelasan dalil-dalil secara lisan sebagai berikut:
Bahwa seuasai akad nikah, Penggugat kembali ke agama semula yaitu
agama kristen protestan.
Bahwa sebelum menikah, Tergugat telah hamil sekitar 3 (tiga) bulan
akibat perbuatan Penggugat dan Tergugat.
Yang keterangan selengkapnya sebagaimana telah dimuat dalam berita
acara sidang, kemudian Penggugat menyatakan tetap mempertahankan
gugatannya.
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut, Tergugat telah
menyampaikan jawaban lisan yang intinya membenarkan semua dalil-dalil
gugatan Penggugat kecuali:
Dalil angka 4.5. Bahwa yang benar adalah Tergugat tidak pernah
mengungkit masalah ekonomi.
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 4 dari 12 hal.
Dan alasan Tergugat tidak taat kepada Penggugat sebagai suami adalah
karena Tergugat tidak mau mengikuti keinginan Penggugat yang
mengajak Tergugat masuk ke agama Penggugat.
Bahwa Tergugat sama sekali tidak keberatan diceraikan dari
Penggugat.
Menimbang, bahwa terhadap jawaban tersebut, Tergugat menyatakan tidak
mengajukan replik.
Menimbang, bahwa untuk mempertahankan kebenaran dalil-dalil
gugatannya, Penggugat telah mengajukan alat-alat bukti sebagai berikut:
1. Bukti Surat, berupa fotokopi buku kutipan akta nikah nomor:
1137/43/II/2000 atas nama James J.R. Ginoga (Penggugat) dan
Nurmayasari (Tergugat) yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimahi Selatan, Bandung,
tanggal 11-2-2000.
Surat bukti tersebut telah bermeterai cukup dan dapat diperlihatkan
aslinya di persidangan kemudian diberi tanda bukti P.1.
2. Bukti Saksi:
2.1. ..................................., umur 71 tahun, agama Kristen protestan,
pekerjaan Ibu rumah tangga, tempat tinggal di
........................................... Di bawah sumpahnya secara
kristen protestan, Saksi menyampaikan kesaksiannya yang
intinya disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa Saksi kenal Penggugat sejak Penggugat masih kecil
karena Saksi adalah Tante Penggugat, dan Saksi kenal
Tergugat sebagai istri Penggugat sejak Penggugat menikah
dengan Tergugat.
Bahwa selama dalam ikatan perkawinan Penggugat dan
Tergugat telah memperoleh anak 1 (satu) orang sekarang
ikut tinggal bersama Tergugat.
Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal di
...........................................
Bahwa setahu saksi, sejak 2 (dua) minggu setelah menikah,
antara Penggugat dengan Tergugat sering berselisih paham dan
bertengkar mulut karena berbeda prinsip dan berbeda agama,
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 5 dari 12 hal.
dimana Penggugat telah kembali lagi ke agamanya yang semula
yaitu Kristen protestan, dan saksi sering melihat Penggugat pergi
ke gereja. Sedangkan Tergugat tetap beragama Islam sampai
saat ini.
Bahwa, Penggugat sejak kecil beragama kristen protestan, dan
Penggugat masuk Islam yaitu hanya pada saat akad nikah dengan
Tergugat.
Bahwa saksi pernah mendengar dan melihat langsung Penggugat
bertengkar dengan Tergugat di rumah kediaman bersama.
Bahwa sejak Juni 2009 hingga sekarang antara Penggugat dengan
Tergugat tidak serumah lagi karena Penggugat pergi
meninggalkan rumah kediaman bersama, demikian pula Tergugat
pergi dari rumah kediaman bersama dan sekarang Tergugat
menetap di rumah orang tuanya di alamat Tergugat sekarang,
dan selama itu pula tidak pernah bersatu lagi dalam rumah
tangga.
Bahwa pihak keluarga dari Penggugat pernah berusaha
mendamaikan kedua belah pihak agar dapat rukun kembali dalam
rumah tangga tetapi tidak berhasil sehingga Saksi sekarang tidak
bersedia lagi menyatukan Penggugat dengan Tergugat.
Menimbang, bahwa terhadap keterangan Saksi tersebut, Penggugat
membenarkannya, sedangkan Tergugat menyatakan tidak keberatan.
2.2. ..................................., umur 51 tahun, agama kristen protestan,
pekerjaan Ibu rumah tangga, tempat tinggal di
........................................... Di bawah sumpahnya secara kristen
protestan, Saksi tersebut menyampaikan kesaksian yang pokok-
pokoknya disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa Saksi adalah Ibu kandung Penggugat, dan Saksi kenal
Tergugat sebagai istri Penggugat (menantu saksi) sejak tahun 2000.
Bahwa setahu saksi, sejak bulan pertama menikah antara Penggugat
dengan Tergugat sering berbeda pendapat dan cekcok lantaran
berbeda pandangan dimana setelah menikah Penggugat telah kembali
lagi ke agamanya semula yaitu kristen protestan. Sedangkan Tergugat
tetap beragama Islam.
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 6 dari 12 hal.
Bahwa setahu saksi, sejak Juni 2009 sampai sekarang Penggugat tidak
tinggal serumah lagi dengan Tergugat karena masing-masing tinggal di
rumah orang tuanyanya.
Bahwa setahu Saksi, keluarga Penggugat pernah berusaha menasehati
Penggugat dan Tergugat tetapi tidak berhasil sehingga Saksi tidak
sanggup lagi merukunkan kedua belah pihak.
Menimbang, bahwa terhadap keterangan Saksi tersebut, Penggugat
membenarkan seluruhnya, sedangkan Tergugat tidak menyampaikan
tanggapan.
Menimbang, bahwa Penggugat menyatakan tidak akan mengajukan lagi
bukti-bukti yang lain.
Menimbang, bahwa Tergugat menyatakan tidak akan mengajukan bukti.
Menimbang, bahwa Penggugat telah mengajukan kesimpulan lisan
yang intinya menyatakan bahwa Penggugat tetap pada gugatannya semula dan
memohon agar perkara ini dapat segera diputus dengan mengabulkan gugatan
Penggugat.
Menimbang, bahwa Tergugat mengajukan konklusi lisan yang intinya
tidak keberatan terhadap gugatan pembatalan pernikahan Penggugat dengan
Tergugat, dan memohon agar gugatan Penggugat dapat dikabulkan.
Menimbang, bahwa tentang jalannya pemeriksaan perkara ini di
persidangan selengkapnya telah dicatat dalam berita acara sidang, maka
untuk mempersingkat uraian putusan ini cukuplah Pengadilan menunjuk kepada
berita acara sidang dimaksud yang merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dengan putusan ini.
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat
sebagaimana telah diuraikan di atas.
Menimbang, bahwa selama proses persidangan Majelis Hakim telah
berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara namun upaya
tersebut tidak tercapai dengan demikian kehendak Pasal 65 jis. Pasal 82 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta Pasal 31 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum
Islam dipandang telah terpenuhi.
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 7 dari 12 hal.
Menimbang, bahwa setelah membaca gugatan Penggugat serta
mendengar keterangan Penggugat dan jawaban Tergugat di persidangan, maka
yang menjadi pokok masalah dari gugatan Penggugat adalah Penggugat
mengajukan pembatalan perkawinnya dengan Tergugat di hadapan sidang
Pengadilan Agama Medan dengan dalil yang dijadikan dasar hukum yaitu
bahwa Penggugat telah beralih agama ke agama kristen, dan juga antara
Penggugat dengan Tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang berkesinambungan sehingga rumah tangga menjadi tidak
harmonis disebabkan hal-hal seperti telah diuraikan pada bagian duduk
perkara.
Menimbang bahwa dalam jawabannya, Tergugat telah mengakui
sebagian dalil-dalil Penggugat dan membantah sebagian lainnya sebagaima
telah diuraikan di atas.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 (akta otentik) yang
merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) mengajukan gugatan
perceraian dan atau pembatalan nikah ternyata Penggugat dan Tergugat masih
terikat dalam perkawinan, dan Penggugat mengakui bahwa Penggugat telah
beralih agama dari agama Islam ke agama Kristen protestan, sedangkan
Penggugat menikah dengan Tergugat secara Islam, maka harus dinyatakan
terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pihak-pihak yang berhak dan
berkepentingan mengajukan perkara ini (persona standi in judicio) dan secara
kompetensi relatif Pengadilan Agama Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan
mengadili perkara ini.
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat membantah sebagian
posita/fundamentum petendi gugatan Penggugat, maka kepada Penggugat
dibebankan wajib bukti, dan untuk itu telah didengar keterangan saksi-saksi
keluarga dan atau orang dekat dari masing-masing pihak sebagaimana
kehendak rumusan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dan ketentuan Pasal 154 Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa kesaksian Saksi-saksi Penggugat tersebut secara
formil dapat diterima karena telah disumpah yang intinya telah melihat dan
mendengar langsung bahwa Penggugat telah murtad dan sering bertengkar
serta sudah berpisah rumah dengan Tergugat sebagaimana telah diuraikan
pada bagian duduk perkara, dan keterangan tersebut tidak bertentangan antara
keterangan Saksi yang satu dengan Saksi lainnya, dengan demikian keterangan
para Saksi tersebut relevan dan obyektif dengan dalil-dalil guagatan Penggugat,
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 8 dari 12 hal.
oleh karenanya keterangan Saksi-saksi tersebut secara materil dapat
dipertimbangkan sebagai alat bukti sebagaimana dikehendaki ketentuan Pasal
171 ayat (1) dan Pasal 172 HIR.
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil/posita gugatan Penggugat
yang telah dibuktikan secara sah di atas, maka Majelis Hakim mengkonstatir
peristiwa konkret tersebut dan menemukan fakta-fakta/peristiwa hukum
sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri sah, menikah pada
tanggal 11 Februari 2000 di Kecamatan Cimahi Selatan Bandung, dan
selama dalam ikatan perkawinan telah memperoleh anak 1 (satu) orang
sebagaimana tersebut di atas sekarang ikut tinggal bersama Tergugat.
2. Bahwa frekuensi perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat
dengan Tergugat secara berkelanjutan sejak bulan pertama menikah
yang puncaknya pada bulan Juni 2009 hingga gugatan ini diajukan
tanggal 16 Desember 2010.
3. Bahwa faktor penyebab perselisihan dan pertengkaran berawal dari
sikap perbedaan keyakinan/agama dimana Tergugat telah murtad
(keluar dari agama Islam/masuk ke agama kristen protestan), dan
sesuai dengan pengakuan Tergugat bahwa Tergugat mengajak
Penggugat untuk masuk agama Tergugat tetapi Penggugat menolak
dengan tegas.
4. Bahwa akibat pertengkaran tersebut rumah tangga menjadi tidak
harmonis.
5. Bahwa pihak keluarga telah berupaya secara optimal mendamaikan
Penggugat dan Tergugat namun ternyata menemui kebuntuan, yang
pada akhirnya para Saksi tersebut menyatakan tidak sanggup lagi
merukunkan dan menyatukan kedua belah pihak.
Menimbang, bahwa jika suami istri yang sah bertengkar terus menerus,
dan juga menurut pernyataan Penggugat dan Tergugat bahwa “tidak dapat
dipertahankan lagi”, maka dapat dikategorikan sebagai pasangan suami isteri
yang tidak harmonis dan dinilai perkawinan tersebut sudah pecah [marriage
breakdown / broken home]. Oleh karena apa yang menjadi tujuan perkawinan
tidak dapat terwujud, maka mempertahankan rumah tangga yang sedemikian
dipandang sebagai perbuatan sia-sia bahkan akan mendatangkan penderitaan
batin yang berkepanjangan bagi kedua belah pihak sehingga dapat
menimbulkan mafsadat. Dan Tindakan kedua belah pihak dalam kapasitasnya
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 9 dari 12 hal.
sebagai suami dan isteri yang tidak mau lagi berkomunikasi dianggap telah
keluar dari koridor dan bingkai rumusan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
sehingga dapat dipastikan tidak akan mampu lagi berbagi rasa dalam
melestarikan sendi-sendi rumahtangga yang sakinah berlandaskan mawaddah
dan rahmah yang merupakan tujuan hakiki dari suatu perkawinan.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum
tersebut di atas harus dinyatakan telah terbukti secara sah bahwa antara
Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
terus-menerus yang tidak ada lagi harapan kedepan bagi keduanya akan dapat
hidup rukun kembali dalam rumah tangga, dan pengertian “terus menerus
terjadi pertengkaran”, keadaan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai
perkawinan yang telah pecah dan “tidak ada harapan kedepan akan dapat
hidup rukun kembali dalam rumahtangga“ sehingga dapat dikonstituir secara
yuridis bahwa peristiwa hukum tersebut adalah sebagaimana alasan perceraian
yang ditentukan dalam rumusan Pasal 116 huruf g dan f juncto Pasal 75 huruf
a Kompilasi Hukum Islam yakni salah satu pihak telah murtad yang
menyebabkan perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada lagi keharmonisan
dalam rumah tangga telah terpenuhi unsur-unsurnya, maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa gugatan Penggugat mengenai pembatalan pernikahannya
tersebut dipandang sangat beralasan dan tidak melawan hukum.
Menimbang, bahwa berdasarkan Hadits Qauly, serta kaidah hukum dan
doktrin pakar hukum Islam yang selanjutnya diambil alih sebagai pertimbangan
hukum sebagai berikut:
Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh pula) ِض اَل راَل اَل اَل اَل اَلراَل اَل .1
membahayakan orang lain). Sunan Ibni Majah, Kitab al-Ahkam, Hadits nomor 2331
2. لطارئة ل دة بسبب لعقد فسخ إليه، يعد لم سالم عن لز جين أحد رتد إذ Apabila salah seorang dari suami isteri murtad dari Islam dan tidak mau kembali lagi sama sekali, maka akad nikahnya difasakh (dibatalkan) disebabkan kemurtadannya yang terjadi mendatang/setelah akad nikah. {Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, Bab Al-fasakh}.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum
tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan sesuai dengan Pasal 70
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bahwa kedua
belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan karena kondisi rumahtangga
Penggugat dan Tergugat telah pecah dan sudah tidak mungkin dipertahankan
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 10 dari 12 hal.
lagi, maka solusi yang harus ditempuh adalah membuka pintu perceraian dan
atau membatalkan perkawinan, oleh karenanya sepatutnya petitum gugatan
Penggugat pada angka 1 dan 2 tersebut dapat dikabulkan dengan
menetapkan putus perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat
karena perceraian.
Menimbang, bahwa untuk ketertiban administrasi, berdasarkan Pasal 84
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama, maka Majelis
Hakim perlu memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk
mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada
Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan tempat
dicatatnya pernikahan Penggugat dan Tergugat serta Kantor Urusan Agama
yang mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, semua biaya perkara ini dibebankan
kepada Penggugat.
Memperhatikan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta kaidah-kaidah hukum dan doktrin yang berkaitan dengan perkara
ini.
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat.
2. Menetapkan putus perkawinan antara Penggugat (...............................)
dengan Tergugat (..................................) karena perceraian.
3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk
mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimahi Selatan dan Kantor
Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat.
4. Membebankan Penggugat membayar biaya perkara ini sebesar Rp
396.000 (tiga ratus sembilan puluh enam ribu rupiah).
Demikian diputuskan di Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 13
Januari 2011 / 8 Shafar 1432 Hijriyah oleh kami Drs. Hafifullah, S.H., M.H.
sebagai Hakim Ketua, Dra. Nadhifah, S.H., M.H. dan Drs. H. Ujang Soleh, S.H.
masing–masing sebagai Hakim Anggota, dan putusan ini diucapkan pada hari
itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Ruslan P.,
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 11 dari 12 hal.
S.H., M.H. sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Kelas IA, dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat.
Hakim Ketua
Drs. Hafifullah, S.H., M.H.
Hakim Anggota Hakim Anggota
Drs. H. Ujang Soleh, S.H. Drs. Nadhifah, S.H., M.H.
Panitera Pengganti
Ruslan P., S.H., M.H.
Rincian biaya perkara: 1. Biaya Administrasi Rp 50.000
2. Biaya Pendaftaran Rp 30.000 3. Biaya Panggilan Rp 305.000
4. Biaya Redaksi Rp 5.000 5. Biaya Meterai Rp 6.000
------------------
Jumlah Rp 396.000 (tiga ratussembilan puluh enam ribu rupiah).
Untuk salinan yang sama dengan bunyi aslinya
Oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Ahmad Majid, S.H.
Putusan nomor 967/Pdt.G/2010/PA JP. Tanggal 13 Januari 2011 Hal 12 dari 12 hal.
Untuk salinan yang sama dengan bunyi aslinya.
Salinan putusan ini diterimakan untuk dan atas permintaan Penggugat dan putusan ini belum
berkekuatan hukum tetap.
Jakarta, Januari 2011 Panitera
Meninggal karena: Sakit, kecelakaan lalulintas, pembunuhan, bunuh diri, bersalin, lahir mati, kecelakaan industri, dll.
Dokumentasi Wawancara
Wawancara Dengan Bpk. Munadi.
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Hari : Jum’at
Tgl : 23/10/2015
Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Dokumentasi Wawancara
Wawancara Dengan Bpk. Hafifullah.
Hakim yang Memutus Perkara No. 967/Pdt.G/2010/PA.JP
Hari : Jum’at
Tgl : 13/11/2015
Tempat: Pengadilan Agama Sleman Yogyakarta