puisi baru lama cerita rakyat

56
TUGAS BAHASA INDONESIA Nama : I Gede Nata Desrianta No : 23 Kelas : X 1

Upload: yudis-vic

Post on 27-Jun-2015

911 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

TUGAS BAHASA INDONESIA

Nama : I Gede Nata DesriantaNo : 23Kelas : X1

Dinas Pendidikan Kabupaten BulelengTahun Ajaran 2010/2011SMA N 1 SINGARAJA

Page 2: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Puisi : Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun

jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Menurut zamannya, puisi dibedakan

atas puisi lama dan puisi baru.

PUISI BARU

Ciri-ciri Puisi Baru:

a) Bentuknya rapi, simetris;

b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);

c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;

d) Sebagian besar puisi empat seuntai;

e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis).

f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.

i) Menurut isinya ;

Balada : puisi berisi kisah/cerita.

Puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “ Balada Matinya Aeorang

Pemberontak”

Himne : puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.

Bahkan batu-batu yang keras dan bisu

Mengagungkan nama-Mu dengan cara sendiri

Menggeliat derita pada lekuk dan liku

bawah sayatan khianat dan dusta.

Dengan hikmat selalu kupandang patung-Mu

menitikkan darah dari tangan dan kaki

dari mahkota duri dan membulan paku

Yang dikarati oleh dosa manusia.

Tanpa luka-luka yang lebar terbuka

Page 3: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

dunia kehilangan sumber kasih

Besarlah mereka yang dalam nestapa

Mengenal-Mu tersalib di datam hati.

(Saini S.K)

Ode : puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.

Generasi Sekarang

Di atas puncak gunung fantasi

Berdiri aku, dan dari sana

Mandang ke bawah, ke tempat berjuang

Generasi sekarang di panjang masa

Menciptakan kemegahan baru

Pantoen keindahan Indonesia

Yang jadi kenang-kenangan

Pada zaman dalam dunia

(Asmara Hadi)

Epigram : puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.

Hari ini tak ada tempat berdiri

Sikap lamban berarti mati

Siapa yang bergerak, merekalah yang di depan

Yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas.

(Iqbal)

Romance : puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.

Indahnya cinta bila kita dicintai seperti apapun diri kita

Cinta tak bersyarat yg apa adanya

Cukup dengan menyatukan hatiku dan hatimu

Tak perlu yg lainnya

Page 4: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Berbagi

Elegy : puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

(Chairil Anwar)

Satire : puisi yang berisi sindiran/kritik.

Aku bertanya

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur jidad penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi

di sampingnya,

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan,

termangu-mangu dl kaki dewi kesenian.

(Rendra)

Page 5: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

ii) Menurut bentuknya ;

Distikon :

Berkali kita gagal

Ulangi lagi dan cari akal

Berkali-kali kita jatuh

Kembali berdiri jangan mengeluh

(Or. Mandank)

Terzina :

Dalam ribaan bahagia datang

Tersenyum bagai kencana

Mengharum bagai cendana

Dalam bah’gia cinta tiba melayang

Bersinar bagai matahari

Mewarna bagaikan sari

Dari ; Madah Kelana

Karya : Sanusi Pane

Quatrain :

Mendatang-datang jua

Kenangan masa lampau

Menghilang muncul jua

Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua

Adi kanda lama lalu

Page 6: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Membuat hati jua

Layu lipu rindu-sendu

(A.M. Daeng Myala)

QUINT

Contoh :

Hanya Kepada Tuan

Satu-satu perasaan

Hanya dapat saya katakan

Kepada tuan

Yang pernah merasakan

Satu-satu kegelisahan

Yang saya serahkan

Hanya dapat saya kisahkan

Kepada tuan

Yang pernah diresah gelisahkan

Satu-satu kenyataan

Yang bisa dirasakan

Hanya dapat saya nyatakan

Kepada tuan

Yang enggan menerima kenyataan

(Or. Mandank)

SEXTET

Contoh :

Merindu Bagia

Page 7: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Jika hari’lah tengah malam

Angin berhenti dari bernafas

Sukma jiwaku rasa tenggelam

Dalam laut tidak terwatas

Menangis hati diiris sedih

(Ipih)

SEPTIMA

Contoh :

Indonesia Tumpah Darahku

Duduk di pantai tanah yang permai

Tempat gelombang pecah berderai

Berbuih putih di pasir terderai

Tampaklah pulau di lautan hijau

Gunung gemunung bagus rupanya

Ditimpah air mulia tampaknya

Tumpah darahku Indonesia namanya

(Muhammad Yamin)

STANZA ( OCTAV )

Contoh :

Awan

Awan datang melayang perlahan

Serasa bermimpi, serasa berangan

Page 8: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Bertambah lama, lupa di diri

Bertambah halus akhirnya seri

Dan bentuk menjadi hilang

Dalam langit biru gemilang

Demikian jiwaku lenyap sekarang

Dalam kehidupan teguh tenang

(Sanusi Pane)

SONETA

Contoh :

Gembala

Perasaan siapa ta ‘kan nyala ( a )

Melihat anak berelagu dendang ( b )

Seorang saja di tengah padang ( b )

Tiada berbaju buka kepala ( a )

Beginilah nasib anak gembala ( a )

Berteduh di bawah kayu nan rindang ( b )

Semenjak pagi meninggalkan kandang ( b )

Pulang ke rumah di senja kala ( a )

Jauh sedikit sesayup sampai ( a )

Terdengar olehku bunyi serunai ( a )

Melagukan alam nan molek permai ( a )

Wahai gembala di segara hijau ( c )

Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau ( c )

Maulah aku menurutkan dikau ( c )

(Muhammad Yamin)

Page 9: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

CONTOH LAIN :

IbukuKarya : Wahyudi

Betapa susah payahnya

Engkau Meahirkan, mendidik, dan membesarkanmku

Engkau adalah perisai hidupku

Engkau adalah cermin hidupku

Aku akan berbakti kepadamu

Aku akan menurut kepadamu

Aku akan melindungi dirimu

Surga ada di telapak kaki ibu

Pengemis Tua

Seorang lelaki tua

Pakaiannya compang-camping

Badannya kurus kering

Mukanya pucat pasi

Dialah pengemis tua

Dia sebatang kara

Setiap hari menyusuri jalan penuh debu

Tidak ada yang peduli

Oh, pengemis tua

Sungguh malang nasibmu

Pengemis tua

Page 10: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Kau tetap tegar

Kau tetap tabah

Menjalani hidupmu

Yang penuh duka nestapa

PUISI LAMA

Puisi lama mempunyai beberapa kaidah mutlak yang harus diikuti,yaitu:

1. Jumlah baris atau jumlah kalimat dalam setiap baitnya.

2. Jumlah suku kata dalam setiap kalimat.

3. Rima atau persamaan bunyi.

4. Irama.

Puisi lama terdiri dari beberapa bentuk yaitu:

SyairCiri-ciri syair

Ø Terdiri dari 4 baris

Ø Berirama aaaa

Ø Keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair

CONTOH :

Kepada dirinya ia aniaya

Orang itu jangan engkau percaya

Lidahsuka membenarkan dirinya

Daripada yang lain dapat kesalahannya

Page 11: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Bidal

Ada sama dimakan, tidak ada sama ditahan

Merasakan bahagia bersama-sama, mearsa susahpun bersama-sama

Asal ada, kecilpun pada

Kalau tidak ada rejeki yang banyak, sedikitpun mersa senang

Harap pada yang ada, cemas pada yang tiada

Orang tidak bisa sabar dalam menghadapi masalah

Ketika ada jangan dimakan, bila habis maka dimakan

Uang siampanan jangan dihambur-hamburkan, biar suatu saat tidak menyusahkan diri

sendiri

Mantra

Ciri-ciri:

Ø Berirama akhir abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde.

Ø Bersifat lisan, sakti atau magis

Ø Adanya perulangan

Ø Metafora merupakan unsur penting

Ø Bersifat esoferik (bahasa khusus antara pembicara dan lawan bicara) dan misterius

Ø Lebih bebas dibanding puisi rakyat lainnya dalam hal suku kata, baris dan persajakan.

Contoh:

Assalammu’alaikum putri satulung besar

Yang beralun berilir simayang

Mari kecil, kemari

Aku menyanggul rambutmu

Page 12: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Aku membawa sadap gading

Akan membasuh mukamu

Pantun

Pantun adalah puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam setiap baitnya. Baris

pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat isi.Bunyi

huruf terakhir pada kalimat pertama dan ketiga kata terakhir di sebut sajak a. Bunyi huruf

terakhir pada kalimat kedua dan kalimat keempat disebut sajak b. Jadi pantun bersajak

ab-ab.

Ciri – ciri :

Ø Setiap bait terdiri 4 baris

Ø Baris 1 dan 2 sebagai sampiran

Ø Baris 3 dan 4 merupakan isi

Ø Bersajak a – b – a – b

Ø Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata

Ø Berasal dari Melayu (Indonesia)

CONTOH :

Planet Mars berwarna merah,

Sungguh indah walau diluar

Daripada kita marah-marah,

Lebih baik kita belajar

Berburu macan di hutan

Ada gajah berndam di sungai

Jangan suka bemalas-malasan

Sifat marah rugikan diri

Page 13: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Banyak jalan di negara Myanmar

Penduduknya senang bertamu

Rajin-rajinlah engakau belajar

Cara mudah mendapat ilmu

Burung camar terbang menari

Jatuh menukik masuk ke laut

Air laut asin sekali

Terkena rambut kusut sekali

GurindamCiri-ciri gurindam

Ø Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian

Ø baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris

pertama tadi.

CONTOH :

Pikir dahulu sebelum berkata

Supaya terelak silang sengketa

Seloka

Seloka disebut juga pantun berbingkai. Bedanya dengan pantun adalah kalimat ke-2 dan ke-4 pada bait pertama diulang kembali pengucapannya menjadi kalimat ke-1 dan ke-3 pada bait ke-2. Begitu seterusnya, kalimat ke-2 dan ke-4 pada bait kedua akan diulang lagi pada bait ketiga.

Ciri-ciri seloka

Page 14: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Ø Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,

Ø Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris.

CONTOH :

Ada nasi dicurahkan

Awak pulang kebuluran

Awak lihir memunggah pasang

Awak sampai selesailh orang

Waktu mudik meningkat surut

Awak sampai laparlah perut

CERITA RAKYAT BALI

JAYAPRANA DAN LAYONSARI

Bulan Berkalang di Buleleng

Di suatu malam tepat pada bulan purnama di pantai Buleleng, banyak orang

terutama para remaja menikmati keindahan bulan purnama di tepi pantai. Tidak

terkecuali Jayaprana dan rekannya Sumitra.

Namun, saat itu kedua pemuda nan gagah melihat ada keanehan pada

penampakan bulan yang tidak seperti biasanya. Bulan purnama kali ini begitu indah

namun di sekelilingnya diselimuti awan, yang oleh banyak orang disebut dengan bulan

berkalang.

Ramalan dari para tetua bulan berkalang merupakan pertanda akan adanya

peristiwa besar yang melibatkan petinggi negara. Oleh Sumitra dikatakan bahwa bulan

berkalang di langit dapat membawa petaka seperti akan adanya pemberontakan atau

bahkan perang yang melibatkan para pengagung kerajaan di Buleleng.

Ketika mereka sedang memperbincangkan masalah bulan berkalang, muncul

teman sekampung mereka Sugriwa. Akhirnya mereka kembali membicarakan pertanda

aneh alam tersebut.

Page 15: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Di tempat lain di sebuah perkampungan di pinggir kota Buleleng, ketika banyak

orang sedang terlelap dalam tidur, dari sebuah rumah lamat-lamat terdengar keluhan

seseorang yang bernada khawatir. Sementara teman lainnya mencoba bertanya tentang

kekawatirannya. Mereka adalah Suarta dengan Budiasta. Mereka pun sedang

memperbincangkan kejadia alam yang sama yang oleh Suarta dijelaskan bahwa sesuai

primbon bulan berkalang sebagai pertanda akan adanya musibah di Buleleng.

Demi memantapkan makna ramalannya baik Suarta dan Budiasta bergegas

menghadap seorang pendeta, yaitu Ida Pedanda Lanang yang kebetulan ayah dari Suarta.

Dariu mulut sang pendeta didapatkan keterangan yang serupa bahwa kejadian bulan

berkalang bermakna buruk bagi negeri Buleleng dan sekitarnya.

Ida Pedanda Lanang lantas menyarankan agar seluruh penduduk negeri

melaksanakan doa bersama agar bencana yang mungkin terjadi tidak sedahsyat ramalan.

Keesokan harinya dari setiap Banjar (bagian terkecil dari lembaga adat di Bali)

mengumumkan akan adanya upacara persembahyangan baik di pura maupun di tepi

pantai Buleleng. Sebagian masyarakat berbondong-bondong ke pura dan sebagian lagi ke

pantai Buleleng. Mereka membawa sesajian dan bunga untuk berdoa kepada Hyang

Widhi agar diberikan keselamatan bagi seluruh masyarakat.

Upacara persembahyangan berlangsung sampai tengah hari, dan dengan dipimpin

oleh Ida Pedanda, setiap warga berdoa kepada Hyang Widhi memohon agar mereka

dijauhkan dari marabahaya .

Seusai upacara persembahyangan bersama tersebut, baik Jayaprana dan kawan-

kawannya masih menyisakan tanda tanya di hati mereka tentang apakah gerangan yang

akan terjadi kelak.

Ancaman dari Karangasem

Hari demi hari berlalu, dan masyarakat telah mulai lupa pada ramalan bulan

berkalang. Mereka kembali pada keseharian mereka, yang bertani menggarap sawah dan

ladang, para nelayan kembali melaut dan para pembuat perhiasan kembali pada

pekerjaannya semula.

Pada suatu hari muncul seorang yang berkuda sedang memacu kudanya menuju

ke arah istana. Di istana, orang tersebut langsung menghadap pada Baginda Raja.

Page 16: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Ternyata diketahui orang tersebut adalah utusan dari Baginda Raja Karangasem, Gusti

Raka. Utusan ini menyerahkan surat rajanya yang intinya berisi kehendak dari raja

Karangasem untuk menyatukan kerajaannya dengan kerajaan Buleleng agar menjadi

kerajaan yang kuat di Bali. Namun, dalam suratnya dinyatakan dengan tegas bahwa bila

Raja Karangasem menjadi raja maka Raja Buleleng menjadi patihnya, demikian juga

sebaliknya.

Oleh karena Baginda Raja Buleleng agak bingung memahami isi surat dari Raja

Karangasem, maka raja mengatakan kepada utusan tersebut bahwa diperlukan adanya

sidang kerajaan untuk memusyawarahkan keinginan dari Raja Karangasem.

Baginda Raja Buleleng yakni Baginda Anak Agung lantas segera mengumpulkan

para petinggi kerajaan, diantaranya I Gusti Wayan Merta yang merupakan Panglima

Kerajaan Buleleng, dan Ida Bagus Sawunggaling salah seorang patih penting di Kerajaan

Buleleng.

Dalam persidangan, setelah mereka mengetahui isi surat tersebut, baik I Gusti

Wayan Merta dan Ida Bagus Sawunggaling begitu marah. Muka mereka merah padam

memendam amarah. Mereka berpendapat bahwa ini adalah siasat dari kerajaan

Karangasem untuk menduduki kerajaan Buleleng. Baik Merta dan Sawunggaling

berpendapat agar raja menolak usul dari Raja Karangasem.

Baginda Raja Buleleng memahami penjelasan dari para petinggi mereka, dan

akhirnya menyetujui usulan penolakan tersebut. Selanjutnya Sri Baginda Raja membuat

balasan surat yang intinya berisi penolakan Raja Buleleng atas usulan dari raja

Karangasem.

Usai surat balasan dipersiapkan, surat tersebut lantas diberikan kepada utusan

Karangasem. Selanjutnya sang utusan pun bergegas kembali ke daerahnya.

Senja harinya, sesampainya di perbatasan antara Karangasem-Buleleng, sang

utusan melihat kaki langit yang berwarna darah. Kaki langit seperti dilukis oleh warna

merah yang berasal dari sisa pantulan matahari yang akan tenggelam. Secara samar-

samar, ia juga mendengar suara parau burung gagak hitam. Di dalam hati si utusan

merasakan suatu kengerian bahwa akan ada sesuatu yang mengerikan terjadi.

Akhirnya sampai pula sang utusan di daerahnya, Karangasem. Baginda Gusti

Bagus Raka menyambut kedatangannya dengan sukacita. Seusai membaca surat balasan,

Page 17: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

wajahnya yang tadinya berseri-seri berubah menjadi suram. Tangan Sri Baginda tampak

tegang dan mengepal-ngepal seperti orang yang mau memukul. Beliau sangat murka

telah ditolak tawarannya oleh Baginda Raja Buleleng.

Lantas diutuslah utusan lainnya bernama Caraka untuk membawa surat

berikutnya. Utusan ini mengemban misi yang lebih berat karena beresiko kematian.

Dalam surat kali kedua, intinya berisi ancaman dari Raja Karangasem yang tetap pada

pendiriannya untuk menyatukan kerajaan. Raja Buleleng diberikan tempo satu minggu

untuk menjawab surat. Jikalau tidak ada jawaban maka kerajaan Buleleng akan diserang

dengan mengerahkan seluruh pasukan Karangasem.

Seperti pada surat pertama, kali inipun Baginda Raja Buleleng juga menolak surat

Baginda Raja Karangasem. Dan sepeninggal utusan dari Karangasem, Sri Baginda segera

memanggil semua petinggi kerajaan. Patih Sawunggaling, Panglima Gusti Wayan Merta

dan semua senapati merasakan penghinaan yang mendalam dari surat Baginda Raja

Karangasem.

Dengan ancaman tersebut, raja kemudian menitahkan semua pasukan disiapkan

guna melawan serangan musuh yang sewaktu-waktu datang. Sebagai pimpinan panglima

seluruh pasukan, I Gusti Wayan Merta diperintahkan raja untuk memilih pasukan terbaik

sedangkan Patih Sawunggaling diperintahkan untuk membentuk pasukan rakyat yang

mendukung pasukan utama.

Dari sekian banyak rakyat yang mau mengabdikan diri untuk membela negara

adalah Jayaprana. Dia adalah seorang pemuda desa yang tampan, gagah berani, patuh

pada pimpinan, dan memiliki ilmu kesaktian.

Peperangan antara Buleleng dengan Karangasem

Tepat di hari ketujuh, pasukan Buleleng yang dipimpin oleh Gusti Wayan Merta

dan Sawunggaling telah siap dimana mereka telah di tempatkan pada tempat-tempat

tersembunyi di pelosok desa utamanya di daerah perbatasan.

Semua pasukan rakyat telah bertekad mempertaruhkan nyawa demi membela

negara. Para pemuda menjaga lorong-lorong desa dengan semangat yang menyala,

sementara para wanita membantu menyediakan dapur umum agar para prajurit dan

tentara sukarela tidak kekurangan makanan.

Page 18: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Pada hari kedelapan, tentara besar dari Karangasem yang dipimpin oleh Cokorda

Rai memasuki wilayah Buleleng. Melihat desa dalam keadaan sepi tanpa dikawal prajurit

dan laskar rakyat, senapati Gede Ardana memerintahkan pasukan Karangasem untuk

membakar rumah-rumah warga.

Baru saja mereka memulai aksi pembakaran, lantas berhamburan pasukan

Buleleng keluar dari persembunyiannya. Kedua pasukan mulai bertempur dengan sengit.

Akibat serangan mendadak dari pasukan Buleleng, membuat pasukan yang dipimpin oleh

Gede Ardana mundur teratur.

Banyak korban mulai bergelimpangan dari kedua belah pihak. Darah mulai

membasahi bumi Buleleng. Darah mengalir dari penduduk tanpa dosa karena

keangkaramurkaan seorang raja yang haus akan kekuasaan.

Bala bantuan dari pasukan pimpinan Cokorda Rai mulai memberikan bantuan

pada pasukan dengan pimpinan Senapati Gede Ardana. Perlahan pasukan yang tadinya

mundur mulai menyerang lagi.

Keadaan menjadi berbalik, pasukan Buleleng mulai mundur menuju ke ibu kota

kerajaan. Mengetahui hal ini, Panglima Gusti Wayan Merta segera mengirim bala

bantuan.

Pertempuran menjadi semakin sengit. Sawunggaling kemudian mengerahkan

pasukan cadangan yang terdiri dari pasukan rakyat. Jayaprana, Wayan Gejir, Sumitra,

Sugriwa, dan rekan-rekan lainnya masuk ke medan perang.

Jayaprana dengan sigap menggunakan tombak menerjang musuh. Setiap tusukan

dan pukulan tombak Jayaprana berhasil merobohkan musuhnya. Hal ini sungguh tidak

disangka-sangka oleh Patih Sawunggaling dan Panglima Gusti Wayan Merta. Bashkan

ketika seorang prajurit musuh menyarangkan tombak di tubuh Jayaprana, pemuda gagah

perkasa ini tidak terluka sedikitpun.

Oleh karena semakin banyak prajurit yang tewas di tangan Jayaprana, Panglima

Karangasem Cokorda Rai mulai berang dan akhirnya memutuskan untuk melawan

Jayaprana sendiri. Semakin keras Cokorda Rai melawan Jayaprana, semakin tak karuan

serangannya dan semakin mudah bagi Jayaprana melumpuhkannya.

Akhirnya duel maut tersebut dimenangkan oleh Jayaprana. Namun, musuh yang

tidak berdaya tidak dibunuh oleh Jayaprana, tetapi diijinkan pulang meninggalkan medan

Page 19: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

perang dengan syarat semua pasukan Karangasem disuruh mundur dan tidak menyerang

Buleleng lagi.

Jayaprana Diangkat Menjadi Panglima

Kemenangan Buleleng dalam melawan Karangasem menimbulkan kegembiraan

yang luar biasa di kalangan rakyat. Masyarakat menyambut kedatangan pasukan dengan

meriah.

Kemenangan itu sebanarnya adalah kemenangan Jayaprana yang menaklukkan

panglima musuh. Sepanjang jalan rakyat mengelu-elukan Jayaprana dengan sambutan

yang luar biasa. Seluruh lapisan masyarakat, tua muda, besar kecil serempak menyambut

Jayaprana . Semua orang berebut ingin melihat wajah Sang Pahlawan Buleleng.

Kemenangan Jayaprana tersebut telah sampai pula ke telinga Sri Baginda Raja

Buleleng, Ida Anak Agung. Baginda sangat gembira dan berbahagia karena tanpa

Jayaprana, Buleleng hampir saja dikalahkan oleh balatentara Karangasem. Oleh sebab itu

Sri Baginda mengundang persidangan agung di istana. Beliau memanggil Patih

Sawunggaling, Panglima Gusti Wayan Merta, dan para petinggi lainnya. Undangan

istimewa Sang Raja adalah Jayaprana dan beberapa kawan lainnya.

Ketika mengetahui bahwa Jayaprana menghadiri persidangan agung tersebut,

sang panglima I Gusti Wayan Merta sungguh tidak senang. Gusti Wayan Merta

berpendapat tidak sepantasnya seorang rakyat jelata dari kasta Sudra menghadiri

persidangan agung tersebut. Baginya, orang Sudra tidak berhak mendapat kehormatan

seperti para kaum Ksatria.

Demikian halnya yang dirasakan oleh Patih Sawunggaling. Mereka berdua

kecewa dengan keputusan Sri Baginda menghadapkan Jayaprana pada Sang Raja.

Dalam persidangan agung tersebut, Sri Baginda memutuskan untuk mengangkat

Jayaprana yang telah membela negara dengan gagah perkasa menjadi seorang Panglima

Muda Buleleng. Sementara kedua kawannya, Wayan Gejir dan Sugriwa diangkat menjadi

Senapati.

Keputusan raja tersebut sudah tentu mendapat tentangan dari Panglima Gusti

Wayan Merta dan Patih Sawunggaling. Sawunggaling berpendapat bahwa Jayaprana

yang berketurunan kasta Sudra tidak patut mendapat penghargaan tinggi negeri.

Page 20: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Namun demikian, Sri Baginda yang bijaksana tetap pada pendirian dan menolak

saran dari para petinggi. Beliau berpendapat bahwa pranata kasta bagi bangsa tidak sesuai

lagi pada situasi genting saat itu. Menurut beliau, pada hakikatnya setiap manusia sama di

mata Sang Hyang Widhi, apalagi sudah jelas bahwa raja sudah sepantasnya memberikan

anugrah penghargaan yang sesuai bagi para pembela negara.

Beberapa hari kemudian di alun-alun kerajaan Buleleng diadakan upacara

pengangkatan resmi Panglima Muda Jayaprana dan dua senapati yaitu Wayan Gejir dan

Sugriwa. Rakyat berbondong-bondong menyaksikan pengangkatan mereka. Pada malam

harinya diadakan pertunjukan kesenian berupa tari-tarian sebagai penghormatan kepada

ketiga petinggi negara yang baru. Tari-tarian tersebut dibawakan oleh penari-penari muda

nan cantik. Ketika tiba saatnya Tari Oleg dipertunjukkan, maka semua mata terpana oleh

kecantikan si penari, yang tiada lain adalah Layonsari. Mata Jayaprana tak berkedip

terpesona melihat gerak tubuh si penari yang begitu serasi dengan parasnya yang ayu. Dia

begitu kagum pada Layonsari.

Si penari yang ditatap sedemikian rupa, merasakan hatinya bergetar. Layonsari

merasa bahwa hal ini aneh karena setiap saat yang menari dihadapan orang banyak,

belum pernah dia merasakan hatinya yang bergejolak melihat penonton seperti Jayaprana.

Dia berpendapat ternyata Panglima Muda yang baru diangkat raja ternyata tampan juga.

Malam itu Jayaprana sangat gelisah karena hatinya telah terpaut dengan seorang

penari yang belum dikenalnya. Dia memikirkan satu cara bagaimana dia bisa menjumpai

pujaan hatinya.

Jayaprana Melamar Layonsari

Pesta pengangkatan panglima muda dan senapati baru telah usai, namun bagi

Jayaprana pesta tari-tarian seperti masih ada di depannya. Kiranya benih asmara mulai

bersemi di dalam dadanya.

Rupanya Wayan Gejir yang telah menjadi senapati paham dengan kegundahan

hati sahabatnya. Wayan Gejir ternyata kenal dengan orangtuanya bahwa si penari tersebut

bernama Layonsari yang tinggal di desa Banjarsari. Lantas Gejir menyarankan pada

Jayaprana untuk berjalan-jalan sambil mengawasi keamanan ke desa tersebut dan

mencari tahu keberadaan si penari.

Page 21: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Gejir juga menyarankan agar Jayaprana melamar saja gadis pujaan hatinya

tersebut jikalau dia memang sudah sreg dengan pilihan hatinya. Ternyata Jayaprana

memang berniat serius dengan pilihannya dan setuju atas usul Gejir.

Sementara di sebuah rumah di desa Banjarsari, seorang gadis cantik sedang duduk

di undak-undak depan rumahnya. Dialah gadis yang bernama Layonsari, penari terkenal

di Banjarsari. Ternyata si penari sedang diganggu oleh lamunannya tentang si panglima

muda. Hatinya bergetar nan hebat semakin dia hanyut dalam khayalnya. Dia heran

dengan dirinya, dia tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya walaupun telah

bertemu dan ditonton oleh banyak orang. Dalam benaknya, Layonsari mengakui

panglima muda yang menatapnya benar-benar masih muda dan tampan rupawan.

Ketika Layonsari mulai merasakan kerinduan ingin bertemu dengan sang pujaan

hati, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara temannya Darti yang menepuk pundaknya. Darti

kemudian mengajak temannya pergi ke sungai mencuci pakaian, namun Layonsari tidak

ingin pergi saat itu, tetapi dia mengingatkan Darti untuk mengajaknya ke pasar pada hari

pasaran desa esok lusa.

Pada hari itu juga Jayaprana ingin mengajak sahabatnya Wayan Gejir berkunjung

ke Banjasari, namun Gejir berpendapat lebih baik kesana pada hari pasaran desa sehingga

mereka bisa saja bertemu dengan si gadis pujaan Jayaprana.

Tibalah waktunya hari pasaran yang ditunggu-tunggu oleh para pendudukan Desa

Banjarsari. Pada hari pasaran ini Panglima Muda Jayaprana yang diiringi oleh Senapati

Wayan Gejir menyempatkan diri berkunjung. Tujuan mereka ke sana sebenarnya adalah

untuk mencari-cari jikalau Layonsari ada di pasar. Namun, yang dicari dari ujung ke

ujung ke segenap penjuru pasar tidak kunjung kelihatan. Akhirnya mereka memutuskan

langsung pergi ke rumahnya saja.

Sebenarnya yang ditunggu baru saja keluar dari pasar. Layonsari sedang

menunggu temannya yang belum selesai berbelanja. Dan kini mereka hendak bersiap-

siap pulang. Di sebalahnya sudah berdiri Darti. Selanjutnya datang Warsih. Lantas

mereka bergegas pulang ke rumah. Perjalanan dari pasar ke rumah mereka berjarak kira-

kirea 10 km. Cukup jauh mereka harus berjalan menyusuri jalan setapak yang diteduhi

oleh pepohonan yang rindang.

Page 22: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Beberapa saat kemudian ketiga gadis tersebut tercekat kaget karena mereka

dicegat oleh dua laki-laki bertampang tidak ramah. Mereka adalah Made Bandem dan

Ketut Raka. Kedua pemuda ini adalah pemuda bergajulan yang sering membuat onar di

desa. Namun, kali ini dia ingin mengganggu ketiga gadis tersebut. Sudah lama Made

Bandem menaruh hati kepada Layonsari. Namun, lamarannya selalu ditolak oleh

Layonsari. Itu sebabnya pada hari itu Bandem mencoba merayu Layonsari, memaksa

memeluknya, karena dia ingin menikahinya.

Layonsari tidak ingin diperlakukan tidak senonoh oleh seorang pria begundal,

maka dia meronta-ronta dan bahkan tangannya sempat mencakar wajah Made Bandem.

Yang dicakar bahkan tidak melepas pelukannya malahan mempereratnya. Layonsari

semakin berteriak-teriak kalang kabut.

Pada saat itu, jeritannya yang meronta-ronta terdengar oleh Jayaprana dan Wayan

Gejir. Lalu mereka segera menghampiri ke arah datangnya suara itu. Denggan secepat

kilat Jayaprana menyarangkan tendangan dan pukulannya kepada pemuda yang telah

berani menggangu seorang wanita.

Setelah menyadari bahwa yang menghajarnya adalah panglima dan senapati,

maka keduanya Bandem dan Brata segera meminta maaf dan berjanji tidak akan

mengulangi perbuatan mereka.

Layonsari lantas menyatakan rasa terimakasihnya kepada Jayaprana yang telah

menjauhkan dirinya dari usaha pemerkosaan Bandem. Lalu Jayaprana mengusulkan

untuk mengantar ketiga gadis itu pulang ke rumahnya masing-masing. Layonsari merasa

tidak pantas diantarkan oleh seorang panglima karena dia hanya seorang warga dari kelas

rendah. Namun, Jayaprana bersikeras karena bagi beliau jabatannya itu hanya bersifat

sementara, lagipula dia sendiri juga berasal dari kasta yang sama.

Pembicaraan yang singkat namun penuh makna itu menyebabkan Jayaprana

semakin jatuh hati pada Layonsari yang cantik dan juga cerdas.

Akhirnya mereka tiba di rumah Layonsari. Sesampainya di halaman rumahnya

yang sederhana, Jayaprana berkata kepada Layonsari agar dia diperkenalkan dengan

orangtuanya.

Page 23: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Awalnya Nyoman Sujana, ayahanda Layonsari ketakutan mengetahui bahwa ada

dua pejabat tinggi kerajaan mengunjunginya. Dia mengira-ngira kesalahan apa yang

telkah diperbuatnya sehingga mereka mendatangi rumahnya.

Gejirlah yang kemudian menceritakan duduk persoalan yang baru saja dialami

anaknya di pasar, sehingga mereka harus mengantarkan anaknya pulang. Sujana sangat

berterimakasih kepada tamunya kerena telah membela kehormatan anaknya.

Sebagai imbalan atas apa yang dilakukan Jayaprana kepada anaknya, lantas

Sujana menyerahkan Layonsari sebagai pelayan panglima. Tentu usul tersebut ditolak

oleh Jayaprana karena sesungguhnya dia bukan berniat menjadikan Layonsari pelayan,

bahkan lebih dari itu menjadikannya istri.

Ayah Layonsari merasakan karunia yang begitu besar dari Hyang Widhi bahwa

mereka yang berasal dari kasta rendah justru mendapat penghargaan tinggi dimana

Layonsari ingin dipersunting oleh perwira tinggi kerajaan.

Sebelum berpamitan kembali ke kota kerajaan, Jayaprana menjelaskan bahwa

pinangan resmi akan segera dilakukan dalam sepekan.

Kebahagiaan dan Duri Penghalang

Tiba saatnya resmi dilaksanakan dan disusul dengan pernikahan Jayaprana dan

Layonsari di istana. Atas usul Baginda, pernikahan diadakan secara bsar-besaran sebagai

penghargaan raja terhadap panglima muda yang telah banyak berjasa bagi negeri

Buleleng.

Awalnya Baginda agak menyayangkan keputusan Jayaprana menikahi gadis dari

lingkungan di luar kerajaan, namun setelah melihat kecantikan Layonsari dipelaminan,

Baginda baru menyadari bahwa kecantikannya tidak kalah dengan gadis-gadis keraton.

Salah seorang yang sangat kagum dengan kecantikan Layonsari adalah putra

mahkota yang bernama Gusti Agung Ngurah. Anak Agung Ngurah bahkan menyesalkan

mengapa putri secantik itu didapatkan oleh Jayaprana. Dia merasa dirinyalah yang paling

berhak atas Layonsari.

Keadaan ini menyulut kedua petinggi kerajaan yakni Wayan Merta dan

Sawunggaling yang sejak awal penobatan Jayaprana sebagai panglima muda tidak senang

padanya, merencanakan siasat busuknya untuk menghancurkan Jayaprana.

Page 24: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Tidak lama setelah pernikahan, Layonsari mengandung. Dan pada waktunya, dia

melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Jayadarma. Dibesarkan di

lingkungan kerajaan membuat Jayadarma mewarisi ilmu orangtuanya dan mendapatkan

dasar-dasar keprajuritan dan pemerintahan.

Kehidupan pasangan Layonsari dan Jayaprana berjalan dengan penuh

keharmonisan dan kemesraan dengan kehadiran Jayadarma, namun keadaan ini membuat

putra mahkota Anak Agung Ngurah semakin membencinya.

Suatu petang Anak Agung Ngurah didatangi oleh Panglima Wayan Merta dan

Patih Sawunggaling. Tujuannya adalah untuk merencanakan bagimana caranya

menyingkirkan Jayaprana.

Beberapa hari kemudian, Jayaprana dipanggil oleh Raja Buleleng untuk

menghadap ke istana. Tidak seperti biasanya Wayan Merta dan Sawunggaling sudah

lebih awal hadir di istana. Raja lantas menitahkan Jayaprana untuk menumpas kawanan

bajak laut yang sedang beraksi di pantai Barat.

Jayaprana segera meninggalkan istana walaupun dengan perasaan agak heran.

Tugas penumpasan bajak laut tidak berasal dari panglima, melainkan langsung dari sang

raja.

Namun, Jayaprana tetap melaksanakan perintah raja dengan baik. Dia langsung

menyiapkan pasukannya bersama Senapati Wayan Gejir dan Senapati Sugriwa.

Beberapa saat kemudian pertempuran antara pasukan kerajaan dan gerombolan

perompak berlangsung sengit. Gerombolan penyerang tersebut mengenakan penutup

kepala sehingga tidak bisa dikenali. Jayaprana akhirnya dapat merobohkan pimpinannya

yang setelah jatuh tersungkur dibuka kain penutupnya. Disitu Jayaprana terperanjat

ternya gerombolan penyerang tersebut dipimpin oleh orang yang sangat dikenalnya yakni

Oka Atmaja yang tidak lain adalah orang kepercayaan Panglima Wayan Merta.

Oka Atmaja lantas menuturkan kepada Jayaprana bahwa dia diperintah oleh sang

panglima Wayan Merta untuk menyingkirkannya karena dia tidak patut menjadi seorang

panglima muda.

Dengan kemenangan itu, Jayaprana dan pasukannya kembali ke kota kerajaan.

Mengetahui Jayaprana diperdaya oleh Wayan Merta membuat Sang Raja Buleleng murka

Page 25: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

dan akhirnya memberikan hukuman kerja paksa seumur hidup padanya. Selanjutnya,

Jayaprana diangkat raja menjadi panglima menggantikan Wayan Merta.

Selama hampir lima tahunan suasana terlihat aman-aman saja. Namun

sesungguhnya terdapat gerakan tersembunyi yang dipimpin oleh Patih Sawunggaling.

Selain menggembleng pasukannya, Jayaprana juga melatih putra semata

wayangnya Jayadarma yang kini berusia 17 tahun menjadi prajurit yang pilih tanding.

Namun, secara mengejutkan tiba-tiba tersiar berita bahwa Baginda Raja Anak

Agung mangkat. Seluruh Buleleng berdukacita, karena mereka kehilangan seorang raja

yang adil dan bijaksana.

Setelah upacara pembakaran mayat Ngaben dilaksanakan, para pembesar kerajaan

berkumpul untuk menentukan pemangku kerajaan selanjutnya. Semua sepakat

mengangkat Gusti Anak Agung Ngurah menjadi raja berikutnya.

Tindakan politik pertama yang dilakukan raja baru adalah membebaskan Wayan

Merta dari hukuman kerja paksa, bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat kerajaan.

Hal ini tentu sangat menyakitkan hati Jayaprana dan pembesar istana lainnya karena

bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Suatu hari panglima Jayaprana mendapat laporan dari senapati Wayan Gejir dan

Sugriwa bahwa terdapat pasukan pengacau yang melancarkan serangan di perbatasan

Karangasem. Laporan tersebut kemudian dilbawa ke istana. Di istana telah berkumpul

Raja, penasihat raja Wayan Merta dan Patih Sawunggaling.

Betapa terkejutnya Jayaprana ketika raja mengatakan bahwa para pengacau itu

dicurigai adalah kelompok yang dipimpin oleh Jayaprana. Dia telah difitnah oleh orang

yang tidak bertanggung jawab. Lantas Jayaprana bersumpah atas nama Hyang Widhi

bahwa para perusuh itu bukan atas suruhannya.

Raja lantas menitahkan Jayaprana untuk mengadakan perlawanan terhadap

perusuh di perbatasan. Namun, sebelum Jayaprana melaksanakan tugas tersebut, beliau

meminta kepada raja agar Patih Sawunggaling dan penasihat Wayan Merta menjadi saksi

dalam melaksanakan perintah raja. Ini dilakukan Jayaprana agar dia tidak menjadi bahan

fitnahan.

Agar rekayasa kejahatan tidak bocor, maka raja dengan terpaksa mengijinkan

kedua petinggi tersebut ikut serta dalam pasukan Jayaprana sebagai saksi.

Page 26: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Gugurnya Jayaprana

Di suatu pagi Jayaprana berjalan-jalan di halaman istana dengan istrinya

Layonsari. Mereka berdua bersyukur atas kenikmatan kesehatan, keharmonisan, dan

seorang putra yang telah tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Saat itu pula Layonsari

tidak lupa mengutarakan mimpi buruknya kepada suaminya. Dalam mimpinya istana

dilanda banjir yang dahsyat, semua dibawa arus termasuk di dalamnya suaminya

Jayaprana yang dihanyutkan oleh air yang sangat deras. Layonsari begitu cemas dengan

mimpinya tersebut. Dia mengatakan kerisauannya pada suaminya bahwa dia tidak

mampu jikalau dia harus terpisah dengan suaminya tercinta.

Hari berikutnya Jayaprana kembali bertugas menumpas para perusuh di

perbatasan Karangasem sesuai dengan perintah sang raja. Dia lantas bergegas ke alun-

alun untuk mempersiapkan pasukannya.

Pemberangkatan semua pasukan dilakukan langsung oleh Sri Baginda. Pasukan

pertama dipimpin oleh Panglima Wayan Gejir, pasukan berikutnya oleh Jayaprana, yang

diikuti oleh pasukan kecil lainnya di belakangnya untuk mengawal Patih Sawunggaling

dan Penasihat Wayan Merta.

Di dalam hutan mereka mendirikan tenda-tenda tempat menginap. Pada suatu

malam nan gelap dan sunyi, Jayaprana melaksanakan tugas melaksanakan pengamanan di

sekitar tenda. Namun begitu terperanjatnya dia ketika menyaksikan Panglima Wayan

Merta dibelit oleh seekor ular raksasa. Saat itu pula dengan sigap Jayaprana memberikan

pertolongan sehingga Wayan Merta selamat dari maut. Sementara di luar sana di dekat

api unggun Patih Sawunggaling sedang berjuang dengan maut yang menghampirinya.

Dia dihadang oleh seekor harimau yang siap merobek-robek tubuhnya. Seketika itu pula

Jayaprana menolongnya mengusir harimau tersebut.

Keesokan harinya pasukan kerajaan melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di

perbatasan, mereka menyebar ke segenap sisi perbatasan. Perangpun akhirnya tak

terelakkan. Pertarungan prajurit antara kedua belah pihak berlangsung dengan dahsyat.

Korban pun banyak yang berjatuhan.

Saat berikutnya tiba-tiba muncul lima orang berwajah seram dan mengepung

posisi Jayaprana. Mereka ternyata jagoan dari Blambangan. Mereka begitu yakin akan

Page 27: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

memenangkan pertempuran itu dengan Jayaprana. Bahkan salah seorang dari mereka

mengatakan bahwa mereka mendapat amanat dari tiga orang yang sangat membencinya

untuk memenggal leher Jayaprana. Mereka adalah Sri Baginda Raja Buleleng, Panglima

Wayan Merta dan Patih Sawunggaling. Begitu terkejutnya Jayaprana mengetahui kalau

salah seorang yang sangat membencinya adalah Sri Baginda Raja Buleleng.

Walaupun kekuatan tidak seimbang, Jayaprana meladeni serangan-serangan

kelima jagoan tersebut. Pertarungan hebat tidak terelakkan dan tiga dari jagoan tersebut

dapat dikalahkan oleh Jayaprana, namun di saat dia kehilangan banyak tenaga maka dua

jagoan yang tersisa menghujaninya dengan pukulan telak yang menyebabkannya jatuh

tersungkur. Jayaprana terluka hebat, Wayan Gejir menghampirinya. Di pangkuan

temannya itu, Jayaprana menghembuskan nafas terakhirnya. Dia gugur sebagai seorang

pahlawan. Setelah diadakan upacara pemakaman sederhana, jenazah Jayaprana

dimasukkan ke liang lahat, demikian pula dengan prajurit lainnya yang tewas.

Baru saja upacara pemakaman selesai, hujan turun dengan derasnya diikuti oleh

kilat dan petir yang sambung menyambung. Semua orang merasa sedih dan ketakutan.

Sementara Wayan Merta dan Patih Sawunggaling tidak kelihatan batang hidungnya.

Esok harinya semua pasukan yang tersisa kembali ke kota kerajaan. Sebelum

meninggalkan tempat, mereka memberikan penghormatan terakhir kepada panglima yang

gagah nan perkasa, Jayaprana. Dalam perjalanan mereka melihat sesosok mayat. Setelah

diteliti dengan seksama mereka mengetahui bahwa mayat tersebut adalah Wayan Merta.

Ternyata dia meninggal akibat disambar petir. Tubuhnya hangus terbakar. Tidak jauh dari

situ, kembali lagi sesosok mayat lainnya ditemukan. Ternyata mayat itu adalah Patih

Sawunggaling. Tubuhnya dalam kondisi mengenaskan karena tercabik-cabik harimau.

Mereka telah mati karena iri dengkinya. Walaupun mereka telah dengan jahatnya

memperdaya Jayaprana, semua prajurit tetap menghormatinya sehingga melaksanakan

upacara pemakaman untuk mereka.

Gugurnya Layonsari dan Runtuhnya Raja Angkara

Suasana pagi di kota kerajaan Buleleng terasa dingin oleh hujan lebat yang terjadi

malam sebelumnya. Iring-iringan prajurit yang dipimpin Panglima Muda Wayan Gejir

mulai memasuki kota.

Page 28: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Beberapa penduduk merasa heran karena iring-iringan tidal langsung menuju ke

alun-alun pusat kota melainkan ke sebuah istana di pinggir kota yang merupakan

kediaman Panglima Jayaprana.

Mengetahui Panglima Muda Wayan Gejir memasuki areal rumahnya tanpa

suaminya, segera Layonsari menanyakan dimana keberadaan suaminya. Wayan Gejir

akhirnya menceritakan duduk persoalannya.

Berita tersebut membuat Layonsari jatuh pingsan, dan langsung saja tubuh ibunya

ditahan oleh Jayadarma. Begitu murkanya Layonsari ketika mengetahui bahwa suaminya

gugur karena diperdaya oleh tiga orang penguasa kerajaan.

Setelah berbicara dengan Panglima Muda Wayan Gejir, dan senapati Sugriwa,

Jayadarma maupun Layonsari sepakat menuntut bela atas kematian Jayaprana yang telah

dibunuh oleh raja yang lalim.

Akhirnya istana dikepung dari segala penjuru oleh pasukan yang dipimpin oleh

Wayan Gejir. Kemudian Wayan Gejir meminta pertanggungjawaban raja yang telah

memfitnah dan berlaku tidak adil pada Jayaprana serta merekayasa perang di perbatasan.

Namun, raja menolak sehingga perang antara pasukan utama kerajaan dengan

pasukan pimpinan Wayan Gejir tidak teralakkan. Walaupun dari segi jumlah, pasukan

Wayan Gejir lebih sedikit, namun karena bertempur dengan semangat juang yang tinggi,

pasukan Gejir mampu merobohkan pintu gerbang istana.

Pasukan istana akhirnya menyerah kalah ketika mengetahui senapati Manggala

yang memimpinnya dilumpuhkan oleh senapati Wayan Gejir.

Sementara itu, Wayan Gejir, Layonsari, dan Jayadarma sedang mencari-cari

dalang malapetaka ke berbagai ruangan istana. Mereka tidak menemukan raja yang tidak

bertanggung jawab itu.

Ketika Gejir menemukannya di sebuah lorong sempit, dia mengingatkan agar raja

menyerah saja. Namun, baginda menolak, sehingga pertempuran dengan raja yang lalim

pun kembali berlangsung. Layonsari meminta kepada Gejir untuk menghadapi Baginda.

Keris Baginda dan Layonsari pun saling beradu. Awalnya raja meremehkan kemampuan

Layonsari memainkan keris karena dia seorang perempuan. Di saat raja lengah,

Layonsari memanfaatkan kesempatan untuk menyarangkan kerisnya di tubuh Sang Raja.

Tak pelak lagi darah mengucur dari tubuh sang raja, namun raja juga sempat meyabetkan

Page 29: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

kerisnya di tubuh Layonsari sehingga dari tubuh wanita ini juga keluar darah mengucur.

Keduanya roboh bersimbah darah.

Jayadarma segara menolong ibunya yang tergolek lemah. Layonsari puas ketika

mengetahui dari anaknya bahwa raja yang angkara murka akhirnya tewas di tangannya.

Beberapa saat kemudian Layonsari pun menemui ajalnya. Jayadarma sangat sedih

melihat kenyataan bahwa dia telah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Namun, Panglima

Muda Wayan Gejir menasehatinya agar kuat hatinya karena ayah-ibunya berani

mengorbankan jiwa raga untuk membela kebenaran dan keadilan.

Tema dan Amanat

Peristiwa yang dikisahkan dalam cerita “Jayaprana dan Layonsari” adalah seorang

anak manusia dari kasta rendah di Bali yaitu kasta Sudra, yang bernama Jayaprana

mendapat kedudukan tinggi di kerajaan Buleleng karena jasanya membela negeri.

Pertemuannya dengan Layonsari, yang juga dari kasta rendah namun pandai, berhati

mulia dan sangat setia serta selalu membela kebenaran, memberikannya kebahagiaan

hidup. Namun, sang putra mahkota raja Buleleng yang memang dasar mata keranjang

sangat tergila-gila pada Layonsari. Setelah putra mahkota mengambil alih tampuk

pemerintahan menjadi raja, sifat dan tabiat buruknya yang ingin mempersunting istri

orang lain, dan selalu mementingkan diri sendiri membawa kerajaan Buleleng pada

keruntuhan. Baik Jayaprana dan Layonsari akhirnya meninggal sebagai pahlawan

pembela kebenaran.

Tema dari cerita ini adalah bahwa kerajaan yang dipimpin oleh raja yang hanya

mementingkan dirinya sendiri dan tidak berlaku bijaksana bagi rakyatnya akan membawa

kehancuran bagi negerinya.

Amanat yang terkandung dalam cerita ini adalah hendaknya seorang raja haruslah

menjadi raja yang bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri, tidak melirik istri orang

lain, selalu mengayomi rakyat, dan selalu berlaku adil demi kebenaran. Sudah selayaknya

seorang penguasa suatu kerajaan atau negara melihat orang tidak berdasarkan pada kasta,

yang cenderung mendiskriminasi manusia, tetapi lebih berdasarkan kemampuan dan

pengabdian. Dengan demikian kerajaan atau negara menjadi tenteram sehingga dapat

mensejahterakan rakyatnya.

Page 30: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Nilai Budaya

Nilai budaya yang terkandung dalam cerita “Jayaprana dan Layonsari” adalah

sebagai berikut:

Berserah Diri kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)

Berserah diri kepada Sang Pemilik kehidupan adalah satu sikap yang membuat

manusia merasakan ketentraman dan kedamaian dalam hidup. Ketika manusia tidak tahu

apa yang mesti diperbuat dalam memecahkan satu masalah, maka satu-satunya cara

adalah hanya berpasrah diri menyerahkan semuanya pada Tuhan Yang Maha

Merencanakan.

Ketika diramalkan oleh Ida Pedanda (pendeta) bahwa kerajaan Buleleng akan

menghadapi suatu malapetaka melalui pertanda alam yang terjadi yaitu bulan berkalang,

semua penduduk segera mempersiapkan upacara doa bersama agar negeri dapat

dihindarkan dari marabahaya. Hal ini dapatdilihat pada kutipan di bawah:

Peristiwa ini harus segera diumumkan kepada umat yang ada di negeri ini. Dan kita akan

mengadakan doa bersama, agar bencana yang mungkin akan terjadi itu tidak sedahsyat seperti

ramalan tersebut (hlm.11).

Keesokan harinya dari setiap Banjar – bagian terkecil dari lembaga adat di Bali – mengumumkan

akan diadakan upacara sembahyang baik di pura dan di tepi pantai Buleleng. Sebagian orang

berbondong-bondong ke pura, sebagian lainnya ke pantai. Mereka membawa sesajen dan bunga

untuk berdoa kepada Sang Hyang Widhi agar diberikan keselamatan dan kesentosaan bagi seluruh

rakyat negeri (hlm.13).

Sikap pasrah juga ditunjukkan oleh Jayaprana ketika suatu saat Layonsari

menyatakan kecemasannya sebagai istri seorang panglima yang mendapat tugas

bertempur, seperti kutipan di bawah.

“Ya, aku paham, Dinda. Tapi semua itu adalah takdir Gusti Yang Maha Adil. Hidup mati manusia

ada dalam genggaman Dia. Tidak setiap orang gugur dalam peperangan, banyak pula prajurit yang

mati di tempat tidurnya malahan dalam pengawasan istrinya. Sudahlah jangan merasa takut.

Semuanya kita pasrahkan kepada Gusti Yang Maha Kuasa.” (hlm.86)

Page 31: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Musyawarah

Ketika Sri Baginda Raja Buleleng mendapatkan surat dari Raja Karangasem, yang

intinya berisi keinginan dari raja Karangasem untuk mempersatukan kerajaannya dengan

kerajaan Buleleng, Sri Baginda Raja Buleleng Anak Agung tidak serta merta menyetujui

atau menolak usul tersebut. Berliau bahkan mengundang semua petinggi kerajaan untuk

memusyawarahkannya dalam sidang kerajaan untuk memberikan jawaban yang terbaik

sebagai balasan suratnya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan berikut.

“Wahai utusan dari Karangasem, karena hal ini menyangkut secara keseluruhan, maka kami akan

mengadakan sidang terlebih dahulu.” (hlm.18)

“Wahai para petinggi Kerajaan Buleleng, aku panggil kalian untuk membicarakan surat dari

Karangasem ini. Coba perhatikan isi surat ini dengan seksama. Dan selanjutnya apa kira-kira

pendapat kalian?” (hlm. 18).

Setelah ada kata sepakat dengan seluruh pembesar negeri, Sri Baginda menulis surat balasan

kepada Raja Karangasem. Semua sepakat dengan jawaban Baginda Raja Buleleng. Barulah

kemudian utusan dari Karangasem yang menginap di tempat khusus dipanggil ke istana. (hlm.20).

Dari kutipan di atas, tampak bahwa Baginda Raja Buleleng sangat berhati-hati

dalam memberikan jawaban surat dari Raja Karangasem. Apalagi usul tersebut

mengandung penguasaan terhadap suatu negeri. Di sini raja menunjukkan

kebijaksanaannya dalam menentukan suatu keputusan yang akan berpengaruh bagi

seluruh negeri. Untuk itulah beliau mengundang satu sidang khusus untuk membicarakan

hal tersebut secara musyawarah untuk mencapai suatu kata mufakat. Sebelum rapat

memutuskan akan meolak usul Raja Karangasem, semua petinggi kerajaan diminta saran

dan pendapatnya. Setelah kesepakatan bersama itulah, Baginda Raja Buleleng baru

menentukan sikap kemana kerajaan tersebut akan dibawa.

Kebijaksanaan

Walaupun Raja Buleleng kelihatannya diremehkan kemampuannya oleh Raja

Karangasem melalui surat yang kedua, tetapi di depan Caraka yang menjadi utusan

kedua, sang raja Buleleng tidak menunjukkan kemarahannya. Beliau justru menunjukkan

sikap penghargaannya kepada Caraka tersebut dan bahkan dengan tanpa menyinggung

Page 32: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

utusan tersebut, raja Buleleng memohon maaf bila beliau menolak dengan tegas usul dari

Raja Karangasem. Hal ini tercermin pada kutipan di bawah ini:

“Wahai utusan dari Karangasem, kami mohon maaf bila menolak usul Baginda Raja

Karangasem.” Sampaikan salamku pada beliau, Raja Karangasem, bahwa kami Kerajaan Buleleng

menolak ancaman yang ditujukan kepada kami.” (hlm.24).

Disamping kebijaksanaan Sri Baginda Raja Buleleng dalam menghadapi pihak

lawan dengan tetap berlaku baik, sebagai pemimpin suatu negara Sri Baginda juga

menunjukkan kebijaksanaannya dengan tidak membeda-bedakan manusia dilihat dari

kastanya. Ketika beliau ditentang oleh para petinggi kerajaan seperti Panglima Gusti

Wayan Merta dan Patih Sawunggaling saat pengangkatan Jayaprana menjadi Panglima

Muda dan teman-temannya Wayan Gejir dan Sugriwa menjadi senapati, Baginda Raja

tetap pada pendirian bahwa manusia tetap sama di mata Hyang Widhi dan bahwa ketika

negara dalam keadaan genting semua hal yang menyangkut soal kasta dan keturunan

perlu dikesampingkan. Ini bisa diketahui dari kutipan di bawah ini:

“Aku telah mendapatkan apa yang tersirat di balik ucapan kalian ini. Mengapa pada saat-saat

genting kita masih bicara soal kasta dan keturunan? Pranata kasta bagi bangsa kita sungguh tidak

sesuai, karena sebenarnya setiap manusia adalah sama di mata Sang Hyang Widhi. Dan yang

berbeda adalah kepatuhannya kepada perintah-perintahNya. Kupikir pandangan kalian berdua

sungguh picik dan sempit. Aku sebagai raja mempunyai pemikiran sendiri akan sesuatu masalah.”

(hlm.44-45)

Nilai kebijaksanaan dan keadilan juga ditunjukkan pada cerita ketika Raja

Buleleng mangkat. Seluruh rakyat berdukacita mendalam dengan kepergiannya. Berikut

adalah petikannya.

Dalam suasana aman dan damai itu, secara mengejutkan Baginda Anak Agung meninggal dunia.

Seluruh rakyat Buleleng berdukacita, karena ditinggalkan oleh raja yang adil dan bijaksana. Beliau

tidak pernah membeda-bedakan derajat dan pangkat apalagi kasta. (hlm. 80)

Kepatuhan kepada Raja (Atasan)

Jayaprana adalah seorang pemuda desa dari kasta terendah di Bali, kasta Sudra.

Kasta yang lebih rendah sudah selayaknya hormat kepada kasta yang lebih tinggi, apalagi

kepada sang raja yang menjadi penguasa negeri. Ketika dia harus berjuang membela

negara menjadi pasukan rakyat, Jayaprana dan rekan-rekannya menunjukkan pengabdian

yang besar kepada raja dengan ikut ambil bagian sebagai prajurit. Mereka siap membela

Page 33: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

negara sampai titik darah penghabisan. Di bawah ini adalah beberapa kutipan yang

menunjukkan kepatuhan Jayaprana dan rekan-rekannya dalam membela negara dan

kebenaran.

Jayaprana di kampungnya terkenal sebagai seorang pemuda yang tampan dan juga seorang yang

gagah berani, patuh pada pimpinan dan orang yang juga punya ilmu kesaktian.” (hlm. 26).

Kepatuhan Jayaprana sebagai Panglima kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh

raja baru yaitu putra mahkota tidak pernah luntur. Walaupun saat itu ada rencana dari raja

baru yaitu Baginda Raja Anak Agung Ngurah untuk menyingkirkannya dengan tipu

muslihat adanya bajak laut di pantai Barat Buleleng, namun Jayaprana tetap melakukan

perintah itu. Di bawah ini adalah kutipan tentang hal itu.

“Baiklah, kalau Baginda mengijinkan bolehlah hamba berangkat menumpas bajak laut tersebut.

Tugas akan hamba laksanakan sebaik-baiknya.” (hlm. 74)

Bela Negara

Sudah selayaknya semua rakyat membela negaranya bila negara dalam keadaan

terancam dari pihak luar. Baik Jayaprana, teman-temannya para pemuda dan semua

lapisan masyarakat di Kerajaan Buleleng menunjukkan sikap tersebut. Kutipan berikut

membuktikan bagaimana sikap bela negara ditunjukkan dalam cerita.

Kini mereka telah siap membela bangsa dan negara mereka dari ancaman Karangasem. (hlm.26)

Semua pasukan rakyat telah bertekad mempertaruhkan nyawanya untuk membela negara, sampai

titik darah penghabisan. Dari hari ke hari mereka melihat para pemuda menjaga lorong-lorong

desanya masing-masing dengan semangat menyala-nyala. Para wanita juga tak kalaj gesitnya,

mereka mulai membuat dapur umum dimana mana untuk menjaga agar para prajurit dan tentara

sukarela tidak kekurangan makanan, dan selalu sehat dan kuat. (hlm.27)

“Maaf, Tuang Panglima. Kami disini tidak ingin perang, tapi kalau kami diserang, maka kami

akan mempertahankan negeri kami sampai titik darah penghabisan.” (hlm.38)

Kerjasama/Tolong Menolong

Kerjasama atau tolong menolong adalah nilai budaya yang patut dimiliki oleh

setiap manusia. Dengan kerjasama kita mampu melaksanakan sesuatu dengan lebih baik.

Dalam cerita ini Semua rakyat Buleleng bekerja bahu membahu dalam membela negara

dari penjajahan Kerajaan Karangasem. Melalui kerjasama yang baik antara pihak

kerajaan bersama rakyat, maka pasukan berhasil mengalahkan para penyerang dari

Page 34: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

kerajaan tersebut. Pada petikan berikut dapat dilihat bagaimana Sri Baginda Raja

Buleleng mengakui bahwa kerjasama yang baik antara prajurit dengan rakyat yang

membawa kemenangan bagi negeri.

“Kami semua bersyukur atas kemenangan yang telak melawan pasukan Karangasem. Ini semua

adalah karena kerjasama yang baik antara pihak kerajaan dan dukungan rakyat Buleleng.”

(hlm.43)

Nilai kerjasama atau tolong menolong juga diperlihatkan ketika Jayaprana dan

temannya Wayan Gejir sedang berjalan-jalan menuju ke pasar Banjarsari dan tiba-tiba

mendengar jeritan Layonsari di pasar, yang dihadang oleh gerombolan pemuda

bergajulan yang ingin menggagunya. Layonsari begitu ketakutan saat ingin dipeluk dan

didekap oleh Made Bandem, namun kehormatannya diselamatkan oleh Jayaprana. Di

bawah ini adalah kutipan yang menunjukkan hal itu.

“Ah paman, mengapa terlalu dipikirkan. Bukankah kewajiban kita saling tolong menolong.

Paman, sudah selayaknya yang kuat menolong yang lemah.” (hlm.64)

Penghargaan terhadap Jasa Orang Lain

Menghargai jasa orang lain adalah suatu sikap yang patut dimiliki oleh setiap

orang. Dalam hal ini Sri Baginda Raja Buleleng menunjukkan kebijaksnaannya sebagai

penguasa di negerinya dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada Jayaprana

dan kawan-kawannya yang telah dengan gagah berani membela negara dan menyebabkan

kemenangan di pihak Kerajaan Buleleng. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut.

“Kami semua bangga dan terharu, karena ada seorang anak negeri berani tampil di saat negara

dalam keadaan bahaya. Oleh karena itu, jasanya kami anggap luar biasa. Sudah selayaknya kami

memberikan anugerah yang pantas buatnya.” (hlm.43)

Setelah melalui pemikiran yang matang, sudah selayaknya Jayaprana diangkat menjadi Panglima

Muda Buleleng, mendampingi Wayan Merta. Dua orang kawannya, yakni Wayan Gejir dan

Sugriwa akan diangkat sebagai senapati. (hlm.43)

Persamaan Kedudukan Manusia di Mata Tuhan

Manusia di mata Tuhan adalah sama. Tidak ada satupun manusia yang memiliki

kedudukan lebih antara yang satu dengan yang lain di mata Tuhan, kecuali

ketakwaannya. Maka dari itu, sudah selayaknya kita tidak membeda-bedakan manusia

Page 35: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

berdasarkan kasta, pangkat atau golongan tertentu. Dalam cerita ini, Sri Baginda Raja

Buleleng menunjukkan nilai manusia ini melalui kutipan berikut.

“Aku telah mendapatkan apa yang tersirat di balik ucapan kalian ini. Mengapa pada saat-saat

genting kita masih bicara soal kasta dan keturunan? Pranata kasta bagi bangsa kita sungguh tidak

sesuai, karena sebenarnya setiap manusia adalah sama di mata Sang Hyang Widhi. Dan yang

berbeda adalah kepatuhannya kepada perintah-perintahNya. Kupikir pandangan kalian berdua

sungguh picik dan sempit. Aku sebagai raja mempunyai pemikiran sendiri akan sesuatu masalah.”

(hlm.44-45)

Disamping Raja Buleleng yang memperlihatkan bagaimana beliau menghargai

persamaan manusia di mata Tuhan, Jayaprana selaku pemuda desa yang akhirnya

diangkat raja menjadi Panglima Muda juga menunjukkan hal serupa. Hal ini dapat dilihat

seperti pada kutipan di bawah.

“Paman Nyoman, tak perlu berlebihan. Ketahuilah kami dulunya juga seorang kaum Sudra seperti

paman sendiri. Jadi untuk apa merasa rendah diri, bukankah kedudukan kita ini sebenarnya sama?

Dan lagi apa sih yang membedakan manusia dengan manusia lain? Apakah pangkat, kedudukan,

keturunan, atau yang lain?” Di mata Sang Hyang Widhi penguasa jagat raya, tidak ada satu pun

yang dapat membedakannya, kecuali ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri.”

(hlm.66)

Begitupun halnya dengan Layonsari, sebagai istri seorang panglima muda

kerajaan Buleleng, beliau mendidik anaknya Jayadarma dengan pendidikan budi pekerti

yang luhur agar tidak membeda-bedakan kasta atau golongan ketika bergaul dengan

masyarakat, yang dapat dilihat pada kutipan berikut.

Dari ibunya Layonsari, ia mendapatkan pendidikan budi pekerti yang luhur, serta cara bergaul

dengan masyarakat tanpa membeda-bedakan kasta atau golongan. (hlm71)

Hukum Karmaphala (Buah dari Satu Perbuatan)

Dalam ajaran Hindu dikenal adanya kepercayaan hukum karmaphala. Jika

seseorang dalam hidupnya selalu berbuat baik, maka baik pula pahala yang diterima.

Namun jikalau dalam hidupnya orang selalu berbuat kejahatan, maka dalam hidupnya

akan menemui masalah, kesengsaraan, bahkan malapetaka.

Setiap manusia hendaknya selalu mengusahakan untuk berbuat sesuai dengan

ajaran agama, dan menghindari semua perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Seperti pada

cerita ini baik Panglima Wayan Merta dan Patih Sawunggaling yang memiliki sifat iri

dengki dan selalu tidak puas dengan keberadaan Jayaprana di istana, akhirnya mati

Page 36: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

mengenaskan karena disambar petir dan dicakar harimau setelah berhasil menipudaya

Jayaprana, padahal sebelumnya mereka telah diselamatkan dari maut oleh Jayaprana.

Walaupun, Jayaprana tidak bisa menuntut balas atas kematiannya, namun Tuhan Yang

Maha Adil telah menghukumnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Setelah diteliti dengan seksama, tahulah mereka bahwa itu mayat Wayan Merta, bekas Panglima

Buleleng yang kemudian menjadi penasihat raja Anak Agung Ngurah. Mereka meneliti sebab-

sebab kematiannya ternyata diakibatkan oleh petir yang menyambarnya. Tubuhnya terbakar

hangus dan agak sulit dikenali. Tak jauh dari situ mereka menemukan mayat Patih Sawunggaling

yang kiranya telah habis dicakar dan direncah harimau. Dia telah tewas dengan sangat

mengerikan. (hlm.102)

Begitu pun halnya dengan raja baru Anak Agung Ngurah yang telah bekerjasama

dengan Wayan Merta dan Sawunggaling memperdaya Jayaprana untuk dapat menyunting

istri Jayaprana, Layonsari. Sang Raja pun akhirnya menghembuskan nafasnya setelah

ditikam keris Layonsari dan dengan kepemimpinannya ini kerajaan Buleleng mengalami

kehancuran. Berikut adalah petikan dari perkataan Layonsari bahwa dia bersyukur Tuhan

mengabulkan doanya karena si durjana telah mendapatkan balasan dari perbuatan

kejinya.

“Syukurlah, Sang Hyang Widhi telah mengabulkan doa kita semua, Nak.”

Page 37: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

LEGENDA SANGKURIANG

(Asal Mula Tangkuban Prahu)

Dahulu ada pemuda sakti, Sangkuriang dengan kekasihnya Nyi Dayang Sumbi, mereka

berencana untuk menikah.

Ketika Dayang Sumbi mencari kutu Sangkuriang, ia melihat luka di kepala kekasihnya. Saat

Sangkuriang menceritakan tentang bekas luka itu,Dayang Sumbi sangat terkejut.

“Kalau begitu kau adalah Sangkuriang anakku, anakku sendiri!!”,pekik Nyi Dayang Sumbi.

“Tidak mungkin!! Jangan mencari-cari alasan!!”, kata Sangkuriang.

Dayang Sumbi berusaha meyakinkan Sangkuriang dengan menceritakan kejadian luar biasa

di masa kecil Sangkuriang. Nyi Dayang Sumbi adalah keturunan bidadari,ia tak pernah tua,wajahnya

tetap cantik dan muda. Sangkuriang telah dipukul kepalanya dengan entong,sehingga luka dan

langsung diusir. Kemarahan Dayang Sumbi dikarenakan Sangkuriang membunuh si Tumang,

anjing yang menemaninya saat Sangkuriang berburu di hutan. Anjing itu adalah jelmaan

Dewa,suami Nyi Dayang Sumbi dan ayahnya Sangkuriang.

Sedangkan Nyi Dayang Sumbi adalah anak Prabu Galuga di kerajaan Parahiayang (Priangan)

Jawa Barat,ibunya seekor babi jelmaan bidadari. Ayahnya mengasingkannya di tepi hutan,karena

Dayang Sumbi tidak mau menikah,dan hanya ditemani seekor anjing,si Tumang,jelmaan Dewa.

Yang akhirnya menjadi suami Nyi Dayang Sumbi dan Sangkuriang adalah anaknya.

“Kau bukan ibuku. Dan aku bukan anakmu, sementara kita terlanjur jauh cinta”, desak

Sangkuriang.

Page 38: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat

Nyi Dayang Sumbi berusaha menggagalkan rencana pernikahan mereka dengan suatu

muslihat, Sangkuriang diharuskan mampu membuat sebuah telaga di puncak gunung dan sebuah

perahu besar dalam tempo semalam saja.

“Sebelum ayam berkokok, semua harus sudah selesai”, pinta Dayang Sumbi.

Nyi Dayang Sumbi sangat terkejut, karena Sangkuriang ternyata menyanggupinya.

Sedangkan bagi Sangkuriang, hal tersebut tidak ada masalah karena ia adalah seorang pemuda yang

sakti.

Sangkuriang segera memanggil jin yang pernah ditaklukkannya. Jin itulah beserta anak

buahnya yang bertugas membuat telaga, sementara Sangkuriang yang membuat perahu besarnya.

Nyi Dayang Sumbi risau hatinya karena menjelang tengah malam,pekerjaan Sangkuriang

hampir selesai. Ia berdoa memohon pertolongan Dewa.Nyi Dayang Sumbi diberi ilham agar

memukul lesung penumbuk padi. Begitu lesung dipukul,seketika itu juga ayam jantan langsung

berkokok bersahut-sahutan. Akhirnya penduduk ikut terbangun dan segera menumbuk padi. Para jin

yang membantu Sangkuriang mengira hari sudah hampir pagi. Karena takut tubuh mereka akan

terbakar oleh sinar matahari, merekapun segera menghilang.

Sangkuriang sangat marah mengetahui hal itu dengan wajah yang beringas,ia berteriak,“ Kau

curang! Pasti kau menggunakan kekuatan para Dewa untuk menggagalkan pekerjaanku! “.

Pemuda sakti itu langsung menendang perahu yang sedang dibuatnya,ketika telungkup ke

bumi, perahu itu berubah menjadi sebuah gunung,yang sekarang dinamakan GUNUNG

TANGKUPAN PRAHU.

“ Aku tidak peduli, kau harus jadi istriku…..!”, desak Sangkuriang

“ Sangkuriang sadarlah, kau adalah anakku sendiri…”, pekik Nyi Dayang Sumbi sembari

berlari.

Saat Sangkuriang mencoba memeluk Dayang Sumbi,tiba-tiba terdengar ledakan

dahsyat,tubuh Dayang Sumbipun lenyap tanpa bekas. Sangkuriangpun berteriak-teriak seperti orang

gila. Konon Dayang Sumbi diselamatkan para Dewa,karena tidak mengijinkan seorang anak

menikahi ibunya sendiri. Dayang Sumbi dijadikan ratu makhluk halus di laut selatan dan masyrakat

mengenalnya sebagai NYI LORO KIDUL. Demikiankah kisah asal mula Legenda GUNUNG

TANGKUBAN PRAHU.

Page 39: Puisi Baru Lama Cerita Rakyat