pteregium rane.docx

51
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi 1

Upload: silvia-rane-rajendra

Post on 15-Feb-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: pteregium rane.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah

temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata

pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini

mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan

hialin dan elastik.

Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,

daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada

orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar

matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia

sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah

iklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat

ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di

Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium

terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15

tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia

muda dibandingkan dengan pasien usia tua.

Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus

diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah

1

Page 2: pteregium rane.docx

perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi

resiko kekambuhan.

2

Page 3: pteregium rane.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian

belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin

bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Konjungtiva terdiri atas 3 bagian:

1. Konjungtiva Palpebra : Hubungannya dengan tarsus sangat erat.

Gambaran dari glandula Meiboom yang ada d dalamnya, tampak membayang

sebagai garis sejajar berwarna putih.

2. Konjungtiva Fornik : Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra.

Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk

lekukan-lekukan, juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu

pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi, bila terdapat peradangan mata.

Dengan berkelok-keloknya konjungtiva ini, pergerakan mata menjadi lebih

mudah. Di bawah konjungtiva fornik superior terdapat glandula lakrimal dari

Krauss. Melalui konjungtiva fornik superior juga terdapat muara saluran air

mata.

3

Page 4: pteregium rane.docx

3. Konjungtiva Bulbi : Tipis dan tembus pandang, meliputi bagian anterior

bulbus okuli. Di bawah konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya

sama dengan konjungtiva palpebra, tapi tidak mempunyai kelenjar. Dari

limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai epitel kornea. Di dekat

kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plikasemilunaris yang

mengelilingi suatu pula kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan

kelenjar, yang disebut caruncule (Hartono, 2005).

Gambar 1. Anatomi konjungtiva

(Anonim, 2003)1

Konjungtiva bulbi dan fornik berhubungan dengan sangat longgar dengan

jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Perdarahan berasal dari

arteri konjungtiva posterior dan arteri siliaris anterior. (Ilyas, 2005).

4

Page 5: pteregium rane.docx

B. Definisi

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap. Pterygium merupakan

suatu pertumbuhan jaringan konjungtiva yang bersifat degeneratif. Pertumbuhan ini

biasanya terletak pada celah kelopak mata bagian dalam ataupun luar konjungtiva

yang meluas sampai daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di

daerah sentral atau kornea. Pterygium dapat mengenai kedua mata. Penyakit ini

mudah meradang dan bila terjadi iritasi maka bagian pterygium tersebut akan

berwarna merah (Whitcher, 2007).

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat  degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas kedaerah kornea.

Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau didaerah kornea.

Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan

berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata (Ilyas, 2005).

Pterygium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau

konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea.

Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena

biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea,

sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika

sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium

merupakan massa okular eksternal superfisial yang mengalami elevasi yang sering

kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea.

5

Page 6: pteregium rane.docx

Pterygium ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak

begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya

sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah

lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea (Whitcher,2007).

Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi

merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses

cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun

pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan

hilangnya penglihatan si penderita. Dan juga disarankan untuk melindungi mata dari

debu, sinar matahari dan udara yang dapat menyebabkan iritasi mata (Ilyas, 2005).

C. Epidemiologi

Pterygium merupakan kelainan bola mata yang umumnya terjadi di wilayah

beriklim tropis dan dialami oleh mereka yang bekerja atau beraktifitas di bawah terik

sinar matahari dan umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun. Penyebab paling sering

adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang di terima oleh mata.

Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat

pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat allergen, kimia dan pengiritasi

lainnya (Vaughan & Asbury, 2000).

Pada kasus ini, pasien bekerja sebagai tukang ojek yang mempunyai tingkat

insidensi terkena paparan sinar matahari yang berlebih dan debu jalanan yang dapat

mengiritasi mata.

6

Page 7: pteregium rane.docx

Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%

untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28o-

36o. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan

daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah

garis lintang utara ini (Whitcher, 2007).

Pterygium relatif jarang di Eropa. Kebanyakan pasien berasal dari daerah dengan

garis lintang 30-35 dari kedua sisi equator. Distribusi geografis ini mengindikasikan

bahwa sinar UV merupakan faktor risiko yang penting. Pterygium sering ditemukan

pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa.

Jarang mengenai anak-anak. Gejala-gejala pterygium biasanya berupa mata merah,

iritasi, inflamasi, dan penglihatan kabur (Vaughan & Asbury, 2000; Whitcher, 2007).

Penelitan yang dilakukan Departemen Kesehatan membuktikan, pterygium

menduduki peringkat kedua dalam hal gangguan mata, setelah kelainan refraksi.

Penderita pterygium terbesar di Indonesia terdapat di delapan provinsi. Diantaranya

Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Selatan (Anonim 2006)2.

Pterygium dilaporkan terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak

dibandingkan wanita dan umumnya mengenai orang-orang yang memiliki aktivitas di

luar ruangan. Prevalensi pterygium juga meningkat dengan bertambahnya usia.

Insidensi pterygium paling banyak ditemukan pada usia 20-40 tahun. Jarang sekali

orang menderita pterygium umurnya dibawah 20 tahun. Untuk penderita umurnya

diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tinggi, sedangkan penderita yang

7

Page 8: pteregium rane.docx

berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium paling tinggi

(Whitcher, 2007).

Pada kasus ini, penderita berumur 45 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang

menyebutkan bahwa insidensi paling tinggi ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun.

D. Etiologi dan Faktor Resiko

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.

Disebutkan bahwa  radiasi sinar ultraviolet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar

UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor

p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis

(program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan

dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler

dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid

kolagen dan timbulnya jaringan fibrovasikular, seringkali disertai dengan inflamasi.

Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan

dysplasia (Coroneo et al., 1999).

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan

iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang

yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan

lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang

melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena

pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun.

8

Page 9: pteregium rane.docx

Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan

adanya keturunan (faktor herediter) . Pterygium banyak terdapat di nasal daripada

temporal. Penyebab dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas

diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar

ultraviolet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri

dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar

ultraviolet ke area nasal tersebut. Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium

memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya

kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya

(radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis 

ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang

mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif

(Coroneo et al., 1999).

E. Gejala Klinis

Seringkali tidak ada gejala spesifik yang dirasakan oleh mereka dengan

pterygium, apalagi pada tahap-tahap awal. Jika puncak (apek) sudah memasuki area

pupil, maka bisa mengganggu penglihatan, di sini gejala baru pada umumnya

dirasakan karena adanya halangan pada aksis visual. Pada beberapa kasus, gaya tekan

terhadap kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea yang parah. Pterygium

yang tumbuh secara pasti semakin ke dalam yang juga menyebabkan perlukaan pada

9

Page 10: pteregium rane.docx

jaringan konjungtiva dapat mengganggu gerakan bola mata secara bertahap maka

pasien akan mengalami pandangan berganda pada abduksi (Coroneo et al., 1999).

Pterygium dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Pterygium  dapat hanya

terdiri atas sedikit vaskular dan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan. Pterygium dapat

aktif dengan tanda-tanda hiperemia serta dapat tumbuh dengan cepat. Penderita yang

mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik).

Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan  berupa iritasi, perubahan tajam

penglihatan, sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan

dapat timbul bila pterigium menyeberang aksis visual atau menyebabkan

meningkatnya astigmatisme. Efek lanjutnya yang disebabkan membesarnya ukuran

lesi menyebabkan terjadinya diplopia yang biasanya timbul pada sisi lateral. Efek ini

akan timbul lebih sering pada lesi-lesi rekuren (kambuhan) dengan pembentukan

jaringan parut (Coroneo et al., 1999).

Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :

(Whitcher, 2007)

1. Kelompok kesatu penderita yang mengalami pterygium berupa ploriferasi

minimal dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini

cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang

lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.

10

Page 11: pteregium rane.docx

2. Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat

dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygium dalam grup

ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan

yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.

Gambar 2. Pterygium nasal dengan puncak di kornea.

(Anonim, 2007)3

F. Patofisiologi

Menurut Whitcher (2007), Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi

elastotik kolagen dan ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi

epithelium, histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik

menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa

dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang

sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase. Secara

histopatologis ditemukan epitel konjungtiva irreguler kadang-kadang berubah

menjadi gepeng. Pada puncak pterygium, epitel kornea menarik dan pada daerah ini

11

Page 12: pteregium rane.docx

membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berfoliferasi

sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menekan

kedalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas.

Secara histologis, pterygium menujukkan perubahan yang sama dengan

pinguekula. Epitel dapat saja normal, akantotik, hiperkeratosis atau bahkan  displasia.

Pemeriksaan sitologi pada permukaan sel pterygium terlihat abnormal dan 

menunjukkan peningkatan densitas sel goblet dengan metaplasia squamosa juga

menunjukkan adanya permukaan sitologi yang abnormal pada area lain di

konjungtiva bulbi pada area tanpa adanya pterygium. Substansia propria

menunjukkan degenerasi elastotik jaringan kolagen seperti elastodisplasia dan

elastodistropi. Kolagen selanjutnya menghasilkan maturasi dan degenarasi abnormal.

Sumber serat atau fiber kemungkinan berasal dari fibroblast yang mengalami

degenerasi.

Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea

yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan

lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat

pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.

Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan vesikuler

tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala. Bagian badan atau ekor.

Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler

pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda

khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

12

Page 13: pteregium rane.docx

G. Klasifikasi dan Stadium

Klasifikasi Pterygium : (Gulani, 2005).

Tipe 1: Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan besi (ditunjukkan dengan

Stocker line) dapat terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan pterygium.

Lesi/jejas ini asimtomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat meradang

(intermittently inflamed). Jika memakai soft contact lens, gejala dapat timbul

lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada ujung kepala

pterygium yang sedikit naik/terangkat dan ini dapat menyebabkan iritasi.

Tipe 2: Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recurrent) sehingga perlu

tindakan pembedahan. Dapat mengganggu precorneal tear film dan

menyebabkan astigmatisme.

Tipe 3: Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual

axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan

dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornik yang terkadang

dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata.

Stadium Pterygium : (Gulani, 2005).

Stadium I : Hanya terbatas pada limbus

Stadium II : Melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea

13

Page 14: pteregium rane.docx

Stadium III : Memasuki pinggir pupil (dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

Stadium IV : Sudah melewati pupil

Jenis Pterygium : (Gulani, 2005).

Vaskuler : Pterygium tebal, merah, progresif, ditemukan pada anak muda

tumbuh lebih cepat karena banyak terdapat pembuluh darah.

Membran : Pterygium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah, terdapat pada

orang tua.

Berdasarkan penjelasan klasifikasi dan stadium diatas, maka pada kasus ini

penderita dapat digolongkan kedalam pterygium tipe I, stadium II dan jenis

pterygium membran.

H. Diagnosis Banding

Menurut Whitcher (2007), Pseudopterygium merupakan perlekatan konjungtiva

dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterygium ini terjadi pada proses

penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak

pseudopterygium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea

sebelumnya. Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan,

kecuali sangat mengganggu visus, atau alasan kosmetik.

14

Page 15: pteregium rane.docx

Pinguekula tampak sebagai bercak kekuningan yang menonjol, terletak pada

bagian temporal atau nasal, biasanya di bagian nasal dari kornea, di tempat

dimana konjungtiva banyak berhubungan dengan debu. Terutama didapat pada

orang dewasa berumur 20 tahun. Jaringan ini terdiri dari penebalan konjungtiva,

disebabkan pembentukan jaringan elastik kuning dengan hialin, oleh karena

rangsangan yang lama oleh debu dan angin.

Pannus adalah pembuluh darah yang terletak didaerah limbus atas dengan

infiltrat. Pada kornea selain keratitis pungtata superfisial, juga terlihat adanya

neovaskularisasi, yaitu pembuluh darah baru yang berjalan dari limbus ke arah kornea

bagian atas. Susunan keratitis pungtata superfisial dan neovaskularisasi tersebut

dikenal sebagai pannus.

I. Terapi

Menurut Leibowitz (2000), Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada

penderita yang masih muda. Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau

suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif

atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme irreguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.

15

Page 16: pteregium rane.docx

Lindungi mata dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata

pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat

diberi steroid. Bila terdapat dellen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam

bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila

terdapat perbaikan maka pengobatan dihentikan.

Terapi Konservatif

Terdapat beberapa terapi untuk pterygium. Secara umum pterygium primer

diterapi secara konservatif dan hal ini merupakan rekomendasi pertama pada

kebanyakan orang. Air mata buatan  dapat membuat perasaan nyaman pada penderita

dan menyingkirkan adanya sensasi adanya benda asing pada mata. Biasanya proses

inflamasi pada lesi menjadi berkurang, pada kasus ini pemberian dekongestan optik

ringan  atau yang lebih jarang, obat anti inflamasi juga dapat diresepkan oleh dokter.

Pterygium  atrofik yang berukuran kecil dapat diobservasi secara teratur. Cairan

pelumas dapat digunakan untuk mengatasi iritasi. Pterygium aktif dapat diterapi awal

dengan vasokonstriktor, obat-obat anti inflamasi non steroid atau tetes mata steroid.

Semua hal ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau sebelum dilakukan eksisi

bedah (Fisher, 2009).

16

Page 17: pteregium rane.docx

Terapi Bedah

Pembedahan merupakan tindakan terbaik untuk mengatasi pterygium ataupun

pinguekula, namun hasilnya seringkali mengecewakan. Bahkan dengan teknik

modern ini, angka kekambuhan cukup tinggi, yaitu antara 50-60%. Pembedahan tidak

direkomendasikan selama pterygium ataupun pinguekula tidak terlalu menimbulkan

masalah berat bagi penderita (Fisher, 2009).

Tiga tipe masalah yang merupakan indikasi dilakukannya pembedahan segera :

(Fisher, 2009; Withcher, 2007).

1. Tajam penglihatan terganggu. Hal ini dikarenakan pterygium berukuran cukup

besar sehingga mengenai zona penglihatan di bagian  tengah kornea.

Pembedahan dapat digunakan untuk menjernihkan media penglihatan dan

membatasi astigmatisma yang cepat dan irregular.

2. Pterygium (kadang pinguekula) sangat mengganggu secara kosmetik.

Pembedahan biasanya dapat mengurangi ukuran pterygium, namun eliminasi

secara menyeluruh kadang sulit dilakukan.

3. Baik pterygium maupun pinguekula menyebabkan perasaan yang sangat tidak

nyaman karena adanya kekeringan atau sensasi adanya benda asing yang kronik.

Pembedahan biasanya dapat meningkatkan rasa nyaman, namun gejala iritasi

juga dapat muncul.

17

Page 18: pteregium rane.docx

Pada penderita ini dipilih terapi pembedahan karena penderita merasa

mengganjal dan pegel, gatal serta pandangan yang kabur pada mata kanannya.

Sehingga dilakukan tindakan bedah dengan teknik Bare Sclera.

Jenis Operasi pada Pterygium antara lain : (Whitcher, 2007).

1. Bare Sclera

Pterygium diambil, lalu dibiarkan, tidak diapa-apakan. Tidak dilakukan untuk

pterygium progresif karena dapat terjadi granuloma kemudian granuloma diambil

kemudian di-graf dari amnion.

2. Subkonjungtiva

Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan di bawah

konjungtiva bulbi sehingga jika residif tidak masuk kornea.

3. Graf

Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa

mulut/konjungtiva fornik.

Prosedur preoperatif :

- Terapi peradangan dengan obat steroid.

- Berikan antibiotik untuk terapi profilaksis.

18

Page 19: pteregium rane.docx

Instrumen :

- Lid speculum

- Bishop harmon forceps

- Fine thoted tissue forceps

- Cauter disposable

- Benang (double-armed 6-0 silk, 7-0 vicryl dan jarum spatula)

- Scarifier

- Cellulose sponges

- Westcott scissors

- Diamond burr

- Castroviejo caliper

- Jarum holder

Teknik Bare Sclera : (Hers, 1988)

1. Anestesi :

- Berikan anestesi topikal seperti proparacaine.

- Kokain 4% dapat digunakan untuk anestesi mata dengan kapas pledget atau

suntikan subkonjungtiva lidocaine 1-2% dengan epinephrine.

2. Persiapkan duk steril untuk menutupi.

3. Siapkan Lid speculum.

4. Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan pterygium.

19

Page 20: pteregium rane.docx

5. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan 12.

6. Posisi mata pada jahitan korset.

7. Buatlah garis demarkasi pterygium dengan cautery.

8. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang

dilakukan pengikisan pterygium dari apek dengan menggunakan forsep jaringan.

9. Laksanakanlah pembedahan dari kepala pterygium yang ada didekat kornea mata

dengan menggunakan scarifier. Traksi dengan forsep ukuran 0.12 mm akan

memudahkan pengangkatan pterygium.

10. Bebaskan sclera dari pterygium.

- Menggunakan Westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda cautery.

- Kikislah pterygium dengan gunting.

- Pindahkan semua jaringan pterygium dari limbus dengan menggunakan

sharp sehingga tampak jaringan sklera yang telanjang.

- Jika perlu, mengisolasikan rektus otot horisontal dengan suatu sangkutan

otot untuk menghindari kerusakan jaringan yang akan membentuk sikatrik.

11. Pindahkan pterygium di limbus dengan menggunakan gunting.

12. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.

13. Menghaluskan sekeliling tepi limbus.

- Dengan menggunakan burr intan.

- Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.

14. Berikan antibiotik dan steroid topikal.

15. Kemudian tutup mata dengan kassa steril dan fiksasi.

20

Page 21: pteregium rane.docx

Teknik Transplantasi Konjungtiva : (Hers, 1988)

1. Anestesi retrobulbar dengan Lid block.

2. Persiapan dengan duk steril untuk menutupi.

3. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan 12.

4. Posisi mata pada jahitan korset.

5. Pindahkan pterygium seperti teknik Bare Sclera.

6. Setelah memindahkan pterygium, bebaskan tepi konjungtiva ke episklera dengan

menggunakan benang 7.0 vicryl.

7. Buatlah ukuran untuk melakukan pencangkokan yang diambil dari jaringan

konjungtiva, membran mukosa, membran amniotik, jaringan epitel, dan kornea.

8. Pilihlah daerah yang akan dicangkok, biasanya didaerah superotemporal

konjungtiva bulbar.

9. Buatlah garis demarkasi pterygium dengan cautery.

10. Mengeluarkan kapsul Tenon dan jaringan subkonjungtiva.

11. Lakukanlah pengeluaran jaringan tersebut dengan hati-hati.

12. Hindari buttonholing konjungtiva.

13. Lindungi jaringan transplantasi tersebut dengan memberi bantalan pada sklera

dengan menjahit bagian konjungtiva dan episklera dengan 7.0 vicryl.

14. Oleskan antibiotik dan steroid salep kemudian fiksasi.

21

Page 22: pteregium rane.docx

Teknik Mc Reynolds : (Blake, 19881).

Cangkok dan tanamkan pterygium didalam konjungtiva dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

1. Setelah pterygium dipindahkan dari kornea mata, buatlah goresan dibawah

konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan sklera, yang lebarnya disesuaikan

dengan lebar dari pertumbuhan pterygium yang semula, diharapkan bila terjadi

pterygium ulang tidak akan menyeberang ke kornea.

2. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah

dibawah konjungtiva yang terletak antara kornea dan sklera.

3. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antarakornea dan

sklera, kemudian lakukan fiksasi.

Teknik Variasi : (Blake, 1981).

Pterygium dipisahkan dari lapisan dibawahnya dengan pisau untuk memindahkan

epithelium sebelum ditanamkan.

1. Neher : Pterygium di tanamkan di bagian konjungtiva superior, kemudian

difiksasi pada episklera.

2. Desmares : Buatlah insisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek

dari pterygium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut,

kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya seperti

sayap.

22

Page 23: pteregium rane.docx

3. Berens : Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa

penguburan jaringan pterygium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk

menutup konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea yang terbuka.

Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterygium dalam ditempat yang baru.

4. Knapp : Teknik ini digunakan untuk pterygium yang sangat luas.

Pertumbuhannya dipisah dengan goresan horizontal, masing-masing dipindahkan

ke busur konjungtiva atas dan bawah.

5. Callahan : Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva 5-

10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterygium. Goresan juga

dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai penutup.

Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang di telanjangi atau membiarkan

area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).

6. Blaskovics : Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh,

dengan cara konjungtiva dilipat kebawah kemudian di jahit.

Teknik Radiasi Sinar β : (Blake, 1981).

Setelah pterygium diangkat maka sklera akan terlihat untuk itu baru dilakukan

iradiasi sinar beta. Setelah menyuntik xylocaine solusi 2% di bawah badan dari

pertumbuhan, pterygium diangkat dengan teknik seperti yang telah diuraikan di atas

kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah :

23

Page 24: pteregium rane.docx

1. Setelah limbus area dibersihkan dengan suatu pisau Desmares, pterygium dapat

dipisahkan dari sklera dan otot rektus horisontal dengan menggunakan gunting.

2. Dua goresan horizontal dibuat dengan suatu gunting di dalam konjungtiva yang

normal di atas dan di bawah pterygium, memusat di plika semilunaris.

3. Sklera yang telanjang dibersihkan dengan scraped dari sisa jaringan yang

abnormal. Dengan ujung cautery di lakukan goresan selebar area 3 mm

lebar/luas, bersebelahan dengan limbus.

4. Setelah mengangsir konjungtiva dengan gunting 10 mm goresan vertical di atas

cacat buat sekitar 3 mm dari limbus. Benang 7.0 digunakan untuk membuat

jahitan segitiga pada konjungtiva yang cacat dengan konjungtiva yang ada di

bawahnya.

5. Jahitan yang kedua melalui konjungtiva sampai episklera dan konjungtiva

kemudian diikat.

6. Dua jahitan tambahan dimasukkan untuk menutup area yang lebih rendah dari

celah horisontal. Sekitar 3 mm daerah sklera yang bersebelahan dengan limbus

dibiarkan terbuka.

7. Radiasi beta, 2000 rep, diberlakukan pada area sklera yang terbuka yang

bersebelahan dengan limbus. Strontium 9 aplikator digunakan untuk penyaringan

yang dipasang pada alat radiasi untuk melindungi daerah limbus.

24

Page 25: pteregium rane.docx

Tehnik intraoperatif dengan Mitomycin C : (Fisher, 2009).

1. Tehnik ini dimulai dengan melakukan tindakan bedah konvensional.

2. Kemudian sebuah spons yang dicelupkan dalam larutan Mitomycin C kemudian

diletakkan di bawah flap konjungtiva dan di belakang limbus.

3. Selanjutnya 0,1 cc dari 0.4 mg/mL (0.04%) Mytomitocin C diaplikasikan pada

ruangan subkonjungtiva  selama 3 menit.

4. Langkah selanjutnya adalah  dengan membasuh sklera selama kurang lebih 5

menit dengan menggunakan larutan fisiologis. Dengan dosis  Mitomycin-C yang

tepat, persentase kekambuhan pterygium menjadi semakin rendah dan

komplikasi terhadap penglihatan tidak ditemukan

Prosedur Post Operasi : (Blake, 1981).

1. Berikan steroid seperti maxidex atau pred forte 1%, 4 kali sehari dan setelah 2

bulan dosis diturunkan pelan-pelan. Serta berikan antibiotik seperti eritromisin 2

kali sehari.

2. Berikan tindakan pembalutan dengan pembalut tekan selama 2 sampai 3 hari.

3. Berikan pinhole pada mata yang tidak di operasi untuk membantu menjaga mata

yang di operasikan pada posisi diam atau istirahat. Penutupan ini dilakukan

selama 10 hari sesudah operasi.

4. Jahitan dipindahkan pada hari kesepuluh mengikuti resesi pada konjungtiva.

25

Page 26: pteregium rane.docx

5. Kortikosteroid, epinephrine dan methylcellulose diberikan setelah pembalut luka

di pindahkan, untuk mengurangi vaskularisasi.

6. Untuk melindungi bagian dari mata yang sudah di operasi dari angin, debu dan

sinar matahari, penderita dianjurkan memakai kacamata supaya tidak terjadi

pterygium berulang.

Kekambuhan Setelah Dilakukannya Eksisi Bedah

Pterygium dapat mengalami kekambuhan walaupun telah dilakukan

pembedahan. Kambuhnya pterygium setelah dilakukan pembedahan telah lama

menjadi masalah tersendiri bagi para ahli bedah walaupun tehnik yang digunakan

termasuk baru. Autograf konjungtiva pada sel benih limbus adalah tehnik

pembedahan yang paling banyak digunakan saat ini untuk mengatasi adanya

kekambuhan pterygium, namun seringkali tehnik ini saja tidak cukup untuk

mengatasi seringnya kekambuhan setelah dilakukannya pembedahan. Salah satu cara

yang paling banyak direkomendasikan adalah dengan tehnik intraoperatif dengan

menggunakan Mitomycin C. Mitomycin C, adalah antimetabolit yang telah

digunakan selama bertahun-tahun sebagai pengobatan glaukoma. Ternyata bahan ini

juga dapat mengatasi pterygium yang kambuh setelah pembedahan (Fisher, 2009).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Frucht-Pery et al (1999) dilakukan untuk

mengetahui efektifitas pemberian  Mitomycin C secara intraoperatif dalam

pembedahan pterygium. Metode penlitian : Efektifitas pemberian Mitomycin C

26

Page 27: pteregium rane.docx

secara intraoperatif dan kekambuhan post-operatif dinilai pada 17 pasien dengan dua

pasien diantaranya mengalami kekambuhan pterygium. Para peneliti menggunakan

tehnik Bare Sclera dan meletakkan spons steril yang dicelupkan ke dalam larutan

Mitomycin C 0,02% intraoperatif dalam ruangan episklera selama 3 menit. Kelompok

kontrol (15 pasien) hanya menjalani eksisi bedah saja. Pasien kemudian dimonitor

selama 21 sampai 30 bulan. Hasil penelitian adalah pterygium mengalami

kekambuhan pada satu (5,9%) dari 17 pasien dalam kelompok pertama dan sebanyak

6 pasien (40%) juga mengalami kekambuhan pada kelompok kontrol. Analisis

statistik dengan menggunakan test Fisher menunjukkan adanya pengurangan angka

kekambuhan yang signifikan (p=0,027) pada kelompok yang diberikan Mitomycin C 

intraopertif. Tidak terdapat komplikasi atau efek samping selama periode follow-up.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Mitomycin C dapat diberikan secara

intraoperatif dan merupakan tehnik yang efektif untuk meningkatkan angka

keberhasilan eksisi bedah pada pterygium (Fisher, 2009).

Pencegahan Kekambuhan Pterygium

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko

berkembangnya pterygium pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi.

Penderita di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai

tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung

dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk penderita

yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada penderita yang memiliki

27

Page 28: pteregium rane.docx

aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya,

memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya

pterygium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi

pelindung.

J. Komplikasi

Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:

- Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan

- Kemerahan

- Iritasi

- Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan

memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus

umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum

dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygium yang sudah diangkat, terjadi

pengeringan fokal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.

Komplikasi post operasi pterygium meliputi :

- Infeksi

- Reaksi material jahitan

- Diplopia

- Conjungtival graft dehiscence

- Corneal scarring

28

Page 29: pteregium rane.docx

- Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous,

atau retinal detachment.

Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada

pterygium adalah terjadinya pengenceran sklera dan kornea. Sebagian dari kasus ini

dapat memiliki tingkat kesulitan untuk mengatur.

K. Prognosis

Eksisi pada pterygium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur baik

saat dipahami oleh penderita dan pada awal operasi penderita akan merasa terganggu

setelah 48 jam pasca perawatan penderita bisa memulai aktivitasnya. Penderita

dengan pterygium yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan

pencangkokan, kedua-duanya dengan conjunctival limbal autografts atau selaput

amniotik, pada penderita yang telah ditentukan. Penderita yang ada memiliki resiko

tinggi pengembangan pterygium atau karena di perluas pemaparan radiasi sinar

ultraviolet, perlu untuk diberitahukan penggunaan kacamata dan mengurangi

pemaparan mata dengan ultraviolet.

Pada kasus ini berdasarkan gambaran klinis dan stadiumnya, angka kekambuhan

rendah namun penderita memiliki faktor resiko yang dapat meningkatkan angka

kekambuhannya, yaitu pekerjaan penderita sebagai seorang tukang ojek yang

memiliki insensitas tinggi terhadap pemaparan sinar matahari.

29

Page 30: pteregium rane.docx

Prognosis pada mata kanan penderita ini ad visam, ad sanam, ad vitam, dan ad

kosmetikam adalah dubia ad bonam. Sedangkan pada mata kiri penderita yang belum

dilakukan tindakan operatif ad visam, ad sanam, ad vitam adalah dubia ad bonam,

tetapi untuk ad kosmetikam adalah dubia ad malam.

30

Page 31: pteregium rane.docx

BAB III

KESIMPULAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat  degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas kedaerah kornea.

Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau didaerah kornea.

Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen

suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea.

Degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai

dengan inflamasi.

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi sinar ultraviolet untuk mengurangi

resiko berkembangnya pterygium pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi.

Pada kasus ini penderita dapat digolongkan kedalam pterygium tipe I, stadium II

dan jenis pterygium membran. Penanganan/terapi yang telah dilakukan pada

penderita adalah terapi operatif dengan teknik Bare Sclera.

Prognosis pada mata kanan penderita ini ad visam, ad sanam, ad vitam, dan ad

kosmetikam adalah dubia ad bonam. Sedangkan pada mata kiri penderita yang belum

dilakukan tindakan operatif ad visam, ad sanam, ad vitam adalah dubia ad bonam,

tetapi untuk ad kosmetikam adalah dubia ad malam.

31

Page 32: pteregium rane.docx

KEPUSTAKAAN

Anonim. 2003 Anatomi konjungtiva. Diakses dari

http://selfitridewi.wordpress.com/2010/04/28/salep-mata-hidrokortison-asetat

Anonim. 2006 Penanganan Pterigium. Diakses dari

http://www.digilib.litbang.depkes.go.id

Anonim. 2007 Pterygium. Diakses dari http://www.wikipedia.org/wiki/pterygium.

Blake, R. L. 1981 An Atlas of Ophtalmic Surgery. Associate in medical Art Duke

University. Toronto.

Coroneo, M. T., Di Girolamo, N., Wakefield, D. 1980 The Pathogenesis of

Pterigium. Curr Opin Ophtalmology.10(4):282-8(medline).

Fisher, J. P. 2009 Pterygium. Diakses dari

http://www.emedicine.medscape.com/article/1192527.

Gulani, A. C. 2005 Extended Sun Exposure Increases Risk of Eye Pterigium.

Diakses dari http://www.prweb.com/releases/2005/3/prweb221035.

Hartono. 2005 Ringkasan Anantomi dan Fisiologi Mata. Fakultas Kedokteran

Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.

Hers, 1998 Ophtalmic Surgical Proedure. Brown and Company. Boston.

Ilyas, S. 2005 Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

Leibowitz, H. M. 2000 The Real Eye. Diakses dari

http://www.nejm.gov.nih/NEJM 343: 1557-1557.

Vaughan, D. G., & Asbury, T. 2000 Oftalmologi Umum, 14th ed. Widya Medika,

Jakarta.

32

Page 33: pteregium rane.docx

Whitcher J. P. 2007 Pterygium. Diakses dari

http://www.emedicine.com/EMERG/topic284.htm.

33