psikosastra herlan hadiwibowo
TRANSCRIPT
Nama : Herlan Hadiwibowo
Kelas : 3A
Menanamkan Pendidikan Multikultural kepada Anak-anak dengan Sastra
MENANAMKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
KEPADA ANAK-ANAK DENGAN SASTRA
Oleh: Asef F. Amani
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental
bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah
patah dan retak (Musa Asy’arie).
astra sebagai salah satu jenis ilmu pengetahuan ternyata mampu masuk ke dalam
jenis bidang apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Sastra pun ternyata mampu
berkolaborasi dengan jenis ilmu pengetahuan yang lain, sebut misalnya ilmu sosial
yang menghasilkan ilmu Sosiologi Sastra, ilmu psikologi yang menghasilkan ilmu
Psikologi Sastra (Psikosastra), ilmu jurnalistik yang menghasilkan ilmu Jurnalisme
Sastra, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Kolaborasi antara sastra dengan jenis ilmu
pengetahuan yang lain ini, lazim disebut sebagai sastra interdisipliner.
Dalam tulisan ini yang akan berkolaborasi dengan sastra adalah ilmu budaya atau
bisa disebut sebagai ilmu Antropologi Sastra. Ilmu tentang manusia dan budaya atau
kebudayaannya kemudian dikaitkan dengan ilmu sastra akan menghasilkan sebuah kajian
tentang manusia dan kebudayaannya yang menarik, yaitu tentang pendidikan
multikultural kepada anak-anak dengan sastra.
Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dari pendidikan
multikulutral. Akan tetapi pada prinsipnya pengertian-pengertian itu sama. Salah satunya
adalah seperti yang disampaikan oleh Musa Asy’arie, bahwa pendidikan multikultural
adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
S
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Di sini jelas
terlihat bahwasanya pendidikan multikultural menitikberatkan pada sikap hidup yang
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada kemudian semacam tekanan,
dominasi, diskriminasi, saling mencemooh, dan lain-lain, yang ada kemudian adalah
hidup berdampingan secara harmonis, saling toleransi, menghormati, pengertian, dan
sebagainya.
Ada pendapat yang cukup menarik utnuk disimak, yaitu apa yang disampaikan
oleh Musa Asy’arie, seperti yang dikutip di atas, “Dengan pendidikan multikultural,
diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan
konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak”. Di sini terlihat
jelas salah satu pentingnya pendidikan multikultural bagi bangsa Indonesia, yaitu untuk
menjaga keutuhan bangsa, persatuan dan kesatuan tetap terjaga, dan yang pasti integritas
bangsa semakin kuat.
Itu hanya sedikit pengantar saja mengenai pendidikan multikultural yang dewasa
ini sedang berkembang di Indonesia. Pembahasan ini tidak hanya terpusat pada
pendidikan multikultural saja, tetapi kemudian pendidikan multikultural dikaitkan dengan
dunia anak-anak dan sastra.
Mengapa anak-anak?
Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1995: 14) memberi pengertian istilah anak-anak
adalah insan yang berusia antara dua sampai dua belas tahun, mencakupi anak-anak pra-
sekolah dan sekolah dasar. Ditinjau dari segi usia, anak-anak pra-sekolah dibagi lagi atas
empat kelompok, anak-anak sekolah dibagi atas tiga kelompok. Itu adalah pengertian
yang dilihat secara teoritis, sementara dilihat dari sisi yang lain, misalnya psikologi, masa
anak-anak pada umumnya merupakan masa yang sangat sensitif sekali untuk menerima
segala apa yang ada di lingkungannya. Pendek kata anak-anak merupakan pendengar
yang baik dan peniru yang baik. Pasalnya segala apa yang dilihat dan didengarnya dapat
dipastikan kemudian akan ditiru dan dipraktekan dalam kehidupannya. Dan jangan lupa
yang tak kalah pentingnya lagi bahwasanya anak-anak adalah generasi masa depan
bangsa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan tema tulisan ini, saat seperti inilah yang sangat tepat
untuk memberikan pendidikan multikultural kepada anak-anak. Anak-anak akan dengan
mudah menerima pendidikan yang disampaikan, menerima segala apa yang didengar dan
dilihatnya. Pendidikan multikultural masuk sebagai bahan ajar yang relefan dengan
kondisi bangsa saat ini dan menjadi bahan pendidikan yang sangat penting.
Ada apa dengan sastra?
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa sastra yang diambil sebagai media
untuk menyampaikan atau mengajarkan tentang pendidikan multikultural. Ada apa
dengan sastra? sudah tidak asing lagi di telinga kita dengan kata sastra. Sebagai sebuah
ilmu yang banyak menyimpan pengertian, sastra hadir sebagai oase di tengah padang
pasir kehidupan kita. Sastra bisa menjadi alternatif bagi orang-orang yang bosan dengan
kehidupan yang kaku.
Dengan banyak sekali ragam sastra yang ada, mulai dari yang berbentuk audio
(sastra lisan; dongeng, cerita rakyat, dll), visual (sastra tulis; puisi, cerpen, novel, naskah
drama, dll), sampai yang berbentuk audio visual (gabungan keduanya; film, pementasan
drama, dll), sastra bisa menjadi alat untuk menyampaikan pendidikan multikultural.
Tidak sedikit anak-anak yang menyukai ketiga bentuk sastra tersebut, banyak sekali
anak-anak yang suka mendengarkan cerita-cerita rakyat, dongeng-dongeng, atau bentuk
sastra lisan yang lain. Banyak juga anak-anak yang suka dengan sastra tulis, puisi,
cerpen, novel, dll. Serta tak sedikit pula yang menyukai sastra yang audio visual, film,
film kartun, animasi, pementasan drama, dll.
Sastra dan Pendidikan Multikultural
Kemudian bagaimanakah caranya sastra menjadi alat untuk menyampaikan
pentingya atau manfaat dari pendidikan multikultural, agar anak-anak memahami dan
melaksakan pendidikan multikultural. Sesuai dengan judul yang tertera di atas,
“Pendidikan Multikultural kepada Anak-anak dengan Sastra”, maka sastra memegang
peranan penting untuk mengajarkan hal tersebut. Ketiga bentuk sastra di atas semuanya
bisa digunakan untuk mengajarkan pendidikan multikultural.
Ada banyak contoh film karya-karya anak negeri sendiri yang mengajarkan
pendidikan multikultural. Ambil contoh Film Si Bolang (Trans7) dan Film Denias (film
layar lebar besutan sutradara John de Rantau). Pertama, Film Si Bolang (Si Bocah
Petualang) hampir setiap hari ditayangkan di stasiun swasta Trans7. Film ini
mengisahkan tentang sekelompok anak-anak yang berasal dari suatu daerah yang
memperlihatkan kondisi pendidikan di daerah setempat, bermain-main dengan alam
(natural), mempertontonkan macam-macam permainan tradisional, dan memperlihatkan
adat masyarakat setempat, misalnya, mengenai kesenian daerah setempat. Film Si Bolang
dengan mengisahkan kisah tersebut memberi arti kepada kita bahwa bangsa Indonesia
sangat kaya dengan budaya dan sangat berragam manusia, bahasa, adat, dan sebagainya.
Sebagaimana pengertian dari pendidikan multikultural yang tersebut di atas,
banyaknya ragam manusia Indonesia, kebudayaan Indonesia, Bahasa daerah, dan lain-
lain, akan semakin utuh persatuan dan kesatuan Indonesia jika kesadaran kita akan
perbedaan, menghargai keanekaragaman budaya, toleransi terhadap sesama, agama yang
berbeda, bahasa yang berbeda, adat yang berbeda, semakin kuat. Di sinilah peran dari
pendidikan multikultural untuk bisa mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Film Si Bolang yang semua aktor dan aktrisnya anak-anak, sangat tepat jika
anak-anak menjadi sasaran utama film tersebut, karena kebanyakan anak-anak sangat
suka sekali film tersebut. Film yang masuk ke dalam jenis sastra anak tersebut, sangat
tepat sebagai media pembelajaran pendidikan multikultural bagi anak-anak sedini
mungkin.
Kedua, film Denias yang mengisahkan kehidupan masyarakat di daerah Papua
dengan segala keanekaragaman kebudayaannya. Film yang disutradarai oleh John de
Rantau ini, mengisahkan tentang seorang anak yang bernama Denias yang giat belajar
dan sekolah walaupun kondisinya tidak memungkinkan. Denias yang lahir dari
masyarakat miskin tidak mungkin bisa bersekolah di sekolah yang bagus, hanya berupa
SD daruratlah yang bisa menampungnya bersekolah. Ditambah lagi dengan adat
msyarakat setempat yang menghendaki anak-anak laki harus bekerja membantu orang
tuanya di rumah. Akan tetapi, dengan kegigihannya dan semangatnya bersekolah,
akhirnya Denias bisa bersekolah di sekolah yang cukup bergengsi yang di situ diisi oleh
anak-anak kepala suku yang terhormat dan kaya.
Tidak hanya segi pendidikan saja yang ditonjolkan dalam film tersebut, dari segi
kebudayaan, ragam adat, bahasa, alam raya , dan semua elemen dari daerah Papua pun
masuk ke dalam film tersebut. Sama halnya dengan Si Bolang, Denias pun mencoba
memperlihatkan bahwasanya Indonesia sangat kaya dengan adat istiadat, kebudayaan,
bahasa, kekayaan alam, dan lain-lain. Dengan mengambil setting yang sangat alami,
rumah-rumah masyarakat Papua setempat, alam yang masih sangat alami, mencoba
menggugah hati masyarakat Indonesia seluruhnya agar tidak sempit pandangan terhadapt
Indonesia.
Di sinilah kemudian peran dari sastra yang berupa film Denias terhadap
pendidikan multikultural. Dengan berbagai kultur yang ada tersebut, diharapkan anak-
anak bisa lebih memahami arti penting dari sebuah perbedaan. Biasanya, jurang pemisah
antara kaya miskin, kulit hitam putih, agama yang berbeda, lapisan masyarakat yang
berbeda, semakin besar jika tidak ada semacam pendidikan mengenai semua perbedaan
tersebut. Sifat egois, sombong, diskrimanasi akan semakin berkembang seiring dengan
tidak berkembangnya sifat menghargai perbedaan. Di sinilah kemudian peran pendidikan
multikultural bagi anak-anak, agar anak-anak sejak usia dini bisa memahami arti
perbedaan.
Kedua film tersebut, merupakan sastra yang dilihat dari sisi sastra audio visual
(yang bisa didengar dan dilihat), selain itu pun masih banyak lagi jenisnya, seperti film
kartun, animasi, dan lain-lain. Sementara, dari sisi sastra visual sangat banyak ragamnya
yang berupa karya-karya tulisan, puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Banyak karya-karya
sastra yang mengajarkan tentang menghargai perbedaan-perbedaan, toleransi
antarsesama, dan sebagainya. Tak sedikit karya sastra yang mengangkat kebudayaan
suatu daerah di Indonesia, adat istiadat, dan lain-lain. Ambil contoh misalnya Novel
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) yang mengambil setting di daerah Paruk. Novel
Incest (I Wayan Artika) yang mengambil setting di daerah Bali. Kedua novel tersebut
sama-sama membicarakan mengenai adat kebiasaan daerah setempat, disertai pula
dengan berragam watak manusianya, dan tak ketinggalan pula kekayaan alam daerah
setempat. Ini mengisyaratkan bahwasanya Indonesia sangat berragam sekali
kebudayaannya, kekayaan ragawi yang cukup besar, dan sebagainya.
Sastra Anak
Untuk jenis sastra bagi anak-anak juga sangat banyak dan berragam jenisnya.
Ambil misalnya cerita-cerita bergambar mengenai cerita rakyat atau dongeng daerah
tertentu, misalnya Sangkuriang, Gunung Tangkuban Perahu, Si Kancil, Timun Mas,
Bawang Merah Bawang Putih, Malin Kundang, dan lain-lain yang kesemuanya itu
menggambarkan kekayaan kebudayaan Indonesia yang tersebar di mana-mana. Di sinilah
petingnya pendididikan multikultural bagi anak-anak, dengan membaca atau
menceritakan cerita-cerita tersebut diharapkan anak-anak bisa mengerti arti penting dari
perbedaan, sekaligus memperkenalkan kekayaan Indonesia.
Dengan cara bercerita (yang merupakan sastra audio) anak-anak akan semakin
antusias atau lebih tertarik untuk lebih mendengarkan cerita-cerita atau dongeng tersebut.
Pada dasarnya memang anak-anak suka sekali kalau diceritakan atau didongengkan
sesuatu dan ini biasanya lebih masuk ke dalam diri anak tersebut. Sangat efektif sekali
dengan metode bercerita ini, karena yang diserang adalah segi psikologi anak-anak, jiwa
dan pikiran anak-anak, dan akan sangat mudah sekali unsur pendidikan itu masuk ke
dalam diri si anak-anak. Seperti yang diungkapkan oleh Suwarjo (dosen FIKIP
Universitas Lampung) dalam tulisannya, beliau mengatakan, “Dengan bercerita dan/atau
menulis, siswa mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dia miliki”.
Jadi, anak-anak akan mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang
dimiliknya dengan bercerita dan/atau menulis. Anak-anak akan lebih bisa menangkap
materi-materi yang disampaikan dan mampu mengaktualkannya dengan metode
bercerita.
Itulah kehebatan dari sastra sebagai bahan pembelajaran dalam mengajarkan
pendidikan multikultural. Ada beberapa efek positif lain yang diperoleh melalui sastra,
seperti yang disampaikan oleh Suwarjo “Efek positif lain yang diperoleh melalui sastra,
antara lain, terdorongnya motivasi, berkembangnya kognisi, berkembangnya
interpersonal (personality), dan berkembanganya aspek sosial”. Di sini jelas terlihat
bahwasanya dengan sastra motivasi akan semakin terdorong, dalam hal ini motivasi
tentang pendidikan multikultural, kognisi anak-anak akan semakin berkembang, karakter
anak pun akan semakin terbentuk atau interpersonal (personality) anak semakin
berkembang, dan juga aspek sosial anak-anak akan semakin berkembang, interaksi sosial
terus berkembang.
Sastra dan Martabat Suatu Bangsa
Ada sebuah pendapat yang cukup menarik yang disampaikan oleh para ahli sastra,
para ahli sastra mengungkapkan, "Melalui sastra martabat suatu bangsa dapat terangkat
dan dengan membaca sastra tercipta pula keluhuran budi dan kehalusan rohani.”
Pendapat ini mengisyaratkan pada kita tentang arti penting dari sastra dan manfaat dari
sastra ternyata sangat besar, sampai-sampai martabat bangsa dapat terangkat dengan
sastra. Memang tidak berlebihan pendapat seperti itu, seperti yang dibahas dalam tulisan
ini salah satunya adalah memang dapat mengangkat martabat bangsa Indonesia. Dan juga
ternyata dengan membaca sastra tercipta pula keluruhan budi dan kehalusan rohani.
Sangat tepat sekali pendapat tersebut, jika memang yang dibaca adalah karya sastra yang
bermutu atau tidak ecek-ecek.
Berarti, dengan membaca sastra atau dengan sastra itu sendiri arti penting dari
pendididkan multikultural bisa sampai kepada anak-anak, dan tentunya tidak hanya
martabat bangsa bisa terangkat, tetapi persatuan dan kesatuan Indonesia semakin utuh
dan erat serta tidak akan tergoyahkan oleh gelombang apapun dan oleh jenis angin
apapun.
Yogyakarta, 04 Juni 2007