psikologi agama kognitif

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam keseharaian kita pernahkah kita berfikir bagaimana kita bisa mempercayai suatu kepercayaan? Bagaimana kita mengikuti norma-norma agama yang selama ini kita yakini?. Sebenarnya jika kita membicarakan hal itu maka kita akan mengaitkannya antara hubungan kognisi dengan agama. Bagaimana seseorang menangkap sebuah persepsi atau istilahnya menangkap penjelasan sebuah agama yang mencoba ditanamkan oleh orang sekitarnya misalnya. Hal itu akan berkaitan dengan pendekatan kognisi pada agama yang bakal mencakup tentang sebuah kedudukan persepsi, akal pikiran seseorang dengan sebuah agama yang di percayainya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana teori proses informasi itu? 2. Bagaimana hubungan akal dan agama? 3. Bagaimana peran akal pada agama? 1.3 Tujuan 1. Untuk memahami proses informasi 2. Untuk mengetahui hubungan akal dan agama 3. Untuk mengetahui peran akal pada agama 1

Upload: rina-musfiroh

Post on 14-Feb-2015

23 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Psikologi Agama Kognitif

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam keseharaian kita pernahkah kita berfikir bagaimana kita bisa mempercayai

suatu kepercayaan? Bagaimana kita mengikuti norma-norma agama yang selama ini kita

yakini?. Sebenarnya jika kita membicarakan hal itu maka kita akan mengaitkannya antara

hubungan kognisi dengan agama.

Bagaimana seseorang menangkap sebuah persepsi atau istilahnya menangkap

penjelasan sebuah agama yang mencoba ditanamkan oleh orang sekitarnya misalnya. Hal

itu akan berkaitan dengan pendekatan kognisi pada agama yang bakal mencakup tentang

sebuah kedudukan persepsi, akal pikiran seseorang dengan sebuah agama yang di

percayainya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana teori proses informasi itu?

2. Bagaimana hubungan akal dan agama?

3. Bagaimana peran akal pada agama?

1.3 Tujuan

1. Untuk memahami proses informasi

2. Untuk mengetahui hubungan akal dan agama

3. Untuk mengetahui peran akal pada agama

1

Page 2: Psikologi Agama Kognitif

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori Proses Informasi

Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang

menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak

(Slavin, 2000: 175). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah

informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu

menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi

diproses di dalam otak melalui beberapa indera.

Teori informasi memberikan persfektif baru pada pengolahan pembelajaran

yang akan menghasilkan belajar yang efektif. Dalam teori pengolahan informasi terdapat

persepsi, pengkodean, dan penyimpanan di dalam memori jangka panjang. Teori ini

mengajarkan kepada siswa siasat untuk memecahkan masalah.

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor

yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif

dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan

informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil

belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi

internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri

individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi

dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang

mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Istilah “pemrosesan/pengolahan informasi” mengandung pengertian adanya

pandangan tertentu ke arah studi individu. Pusat perhatian pokok studi adalah bagaimana

orang mempersepsi, mengorganisasi, dan mengingat sejumlah besar informasi yang

diterima setiap hari dari lingkungan sekeliling. Misalnya, mendengarkan siaran berita,

membaca dan menafsirkan catatan pelajaran, menemukan penyebab kerusakan mesin dan

sebagainya, semuanya merupakan kegiatan sehari-hari yang bergantung pada pengolahan

data dari lingkungan.

Pentingnya mengembangkan dan menyempurnakan model umum pengolahan

informasi yang berkaitan dengan masalah–masalah kehidupan nyata didukung oleh

2

Page 3: Psikologi Agama Kognitif

sejumlah ahli (Neisser dan Simon dalam Bell, 1991). Dalam rancangan

pemrosesan/pengolahan informasi terdapat 2 (dua) bidang yang penting secara khusus

bagi pembelajaran, yaitu:

a. Penyelidikan mengenai proses orang memperoleh dan mengingat informasi

b. Penelitian mengenai siasat yang digunakan dalam memecahkan masalah

Asumsi yang mendasari teori-teori pemrosesan/pengolahan informasi

menjelaskan tentang (1) hakekat sistem memori manusia, dan (2) cara bagaimana

pengetahuan digambarkan dan disimpan dalam memori. Konsepsi lama mengenai

memori manusia adalah bahwa memori itu semata-mata hanya tempat penyimpanan

untuk menyimpan informasi dalam waktu yang lama, sehingga memori diartikan sebagai

koleksi potongan-potongan kecil informasi yang terlepas-lepas atau saling tidak ada

kaitannya. Akan tetapi pada tahun 1960-an memori manusia mulai dipandang sebagai

suatu struktur yang rumit yang mengolah dan mengorganisasi semua pengetahuan

manusia (Neisser dalam Bell, 1991). Memori bukanlah sebuah gudang yang pasif tetapi

suatu sistem yang ada organisasinya dan aktif. Jadi dapat dikatakan bahwa memori secara

aktif memilih data penginderaan mana yang akan diolahnya, mengubah data itu menjadi

informasi yang bermakna, dan menyimpannya untuk digunakan diwaktu kemudian.

Model pemrosesan informasi yang mempengaruhi belajar dan model memori

dimulai dengan material semua pengalaman belajar yang masih mentah yaitu input

sensoris. Sistem sensoris manusia (penglihatan, pendengaran, pembau, perasa, dan

sentuhan) bersifat sensitif terhadap beragam perangsang yang berlimpah. Meskipun

manusia merespon hanya pada sebagian dari seluruh perangsang yang tersedia, sebagian

besar informasi yang tersedia dalam perangsang ini tidak pernah benar-benar diproses

yaitu tidak benar-benar menjadi bagian dari struktur kognitif. Ini yang disebut dengan

memori sensoris (sensory memory). Memori sensoris adalah memori yang

mempertahankan informasi dunia dalam bentuk sensoris aslinya hanya selama beberapa

saat. Memori sensoris ini merujuk pada sesuatu yang terjadi secara singkat (kurang dari 1

detik) dan efek stimulus tersebut pada manusia tidak disadari (manusia tidak

memperhatikan stimulus itu). Memori sensoris sangat terbatas dalam hal waktu untuk

memproses informasi yang tersedia dan jumlah informasi yang tersedia. Contohnya Ani

diminta guru untuk membacakan sejumlah bilangan. Kemudian 10 detik kemudian guru

3

Page 4: Psikologi Agama Kognitif

meminta kepada siswa yang lain untuk mengulangnya. Siswa tersebut tidak akan

mengingat bilangan-bilangan tersebut. Namun jika Ani membaca bilangan tiba-tiba dia

meminta Catur untuk menyebutkan bilangan terakhir yang dibaca maka Catur dapat

menjawab dengan tepat. Faktanya setiap bilangan disimpan dalam memori sensoris

dalam waktu yang sangat singkat, tetapi jika tidak diproses dalam waktu singkat maka

bilangan tersebut tidak akan lama tersedia dalam memori.

Dalam sistem pemrosesan informasi, psikolog kognitif berbicara tentang

penggunaan sejumlah aktivitas berbeda dengan tujuan umum : membuat pengertian input

sensoris yang penting dan pada saat yang bersamaan mengacuhkan/membuang input

yang dianggap remeh. Memberikan perhatian adalah salah satu aktivitas penting dalam

sistem pemrosesan informasi. Hal ini berarti input ditransfer dari sensoris ke

penyimpanan jangka pendek. Intinya, memori jangka pendek terdiri dari apa yang kita

sadari secara langsung pada waktu-waktu tertentu. Menurut Calfee (dalam Lefrancois,

1991) memori jangka pendek semacam coretan pada pikiran yang terdiri dari apa yang

kita sadari secara langsung. Karakteristik pentingnya adalah kapasitas yang terbatas.

Menurut Miller, rata-rata kapasitasnya sekitar 7 hal yang berlainan, kesadaran langsung

kita terbatas dalam kapasitas ini dan ketika informasi baru datang, informasi ini akan

menarik keluar informasi yang sudah ada dalam memori jangka pendek ini. Informasi

yang disimpan dalam memori jangka pendek lamanya 30 detik dan munculnya secara

cepat tergantung dari latihan yaitu informasi yang disimpan dalam memori ini harus

diulang-ulang (dipikirkan secara sadar). Jika tidak diulang maka informasi tersebut akan

cepat hilang dalam memori dalam 20 detik.

Memori jangka panjang adalah bagian dari sistem memori yang menyimpan

banyak informasi secara relatif permanen selama periode waktu yang lama, semua yang

kita ketahui tetapi tidak dalam kesadaran langsung, memiliki kapasitas yang sangat besar.

Memori jangka panjang bersifat pasif, prosesnya tidak sadar. Informasi dari memori

jangka pendek dapat diteruskan untuk diproses dan digabungkan ke dalam memori

jangka panjang. Namun tidak semua informasi dari memori jangka pendek dapat

disimpan. Kunci penting dalam penyimpanan di memori jangka panjang adalah adanya

motivasi yang cukup untuk mendorong adanya latihan berulang hal-hal dari memori

jangka pendek.

4

Page 5: Psikologi Agama Kognitif

Retrieval adalah hasil akhir dari proses memori. Mengacu pada pemanfaatan

informasi yang disimpan. Agar dapat diambil kembali, informasi yang disimpan tidak

hanya tersedia tetapi juga dapat diperoleh karena meskipun secara teoritis informasi yang

disimpan tersedia tetapi tidak selalu mudah untuk menggunakan dan menempatkannya.

Contohnya seorang siswa yang telah mengetahui (menyimpan) informasi nama-nama

negara dan ibukotanya tetapi dalam suatu waktu dia tidak dapat mengambil kembali

semua informasi tersebut. Dengan menyediakan petunjuk akan memberi bantuan kepada

siswa untuk mencari informasi yang disimpan dan mendapatkan kembali.

Interpretasi seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi.

Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi

dipengaruhi status mental, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak

faktor lain.

Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model

kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf

struktural sistem informasi, yaitu:

1. Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory

register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap

dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan

dengan informasi di long-term memory.

2. Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working

memory, dan disini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working

memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil

informasi secara serempak.

3. Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya

sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik.

Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di

dalamnya. Memori jangka panjang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu memori

episodik, yaitu bagian memori jangka panjang yang menyimpan gambaran dari

pengalaman-pangalaman pribadi kita, memori semantik, yaitu suatu bagian dari

memori jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan umum, dan

5

Page 6: Psikologi Agama Kognitif

memori prosedural adalah memori yang menyimpan informasi tentang bagaimana

melakukan sesuatu.

Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi 4 yaitu:

a. Tahap sensiomotor (umur 0-2 tahun)

Pada tahap ini, seorang anak belajar mengembangkan dan mengatur kegiatan fisik

dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Ciri pokok

perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi lngkah.

b. Tahap pra-operasional (umur 2-7 tahun)

Seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal kusus yang didapat dari

pengalaman menggunakan indra sehingga ia belum mamp untuk melihat

hubungan-hubungan dan menyimpilkan sesuatu secara konsisten.

c. Tahap operasional konkret (7-11 tahun)

Seorang anak dapat membuat kesimpulan dari sesuatu pada situasi nyata atau

dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek

dari situasi nyata secara bersama-sama (misalnya, antara bentuk dan ukuran)

d. Tahap operasional formal (11 tahun keatas)

Kegiatan kognitif seorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Pada tahap ini

kemampuan menalar secara abstrak meningkat sehingga seseorang mampu berfikir

secara deduktif, pada tahap ini pula, seseorang mampu mempertimbangkan

beberapa aspek dari suatu situasi secara bersama-sama.

Didalam pikiran seseorang, sudah terdapat struktur kognitif atau kerangka

kognitif yang disebut skema. Setiap orang akan selalu berusaha mencari suatu

keseimbangan, kesesuaian, atau ekuilibrium antara apa yang baru dialami (pengalaman

barunya) dan apa yang ada pada struktur kognitifnya. Jika pengalaman barunya cocok

atau sesuai dengan yang tersimpan pada kerangka kognitifnya, proses asimilasi dapat

terjadi dengan mudah, dan keseimbangan ekuilibrium tidak terganggu. Dan jika

sebaliknya, ketidakseimbangan akan terjadi, dan anak akan berusaha

menyeimbangkannya lagi. Dengan demikian, diperlukan proses akomodasi.

2.2 Hubungan Agama Akal dan Agama

6

Page 7: Psikologi Agama Kognitif

Akal, meskipun memiliki begitu banyak istilah-istilah khusus, secara umum

dapat dibagi dalam dua realitas:

A. Akal teoritis

Akal ini, menurut sebuah istilah, hanya terkhusus untuk menganalisa dan

mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, serta wilayah penilaian dan

keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada" (keberadaan) atau "tiada"

(ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk

sebuah pemikiran teoritis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indera

lahiriah. Hasil-hasil yang diperoleh dari akal ini adalah suatu kebenaran yang berkaitan

dengan perkara-perkara eksistensial atau masalah-masalah kewujudan. Hal-hal yang

dibahas di dalamnya misalnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan keberadaan

Nabi, urgensi eksistensi alam akhirat, dan yang semacamnya.

B. Akal praktis

Akal ini, menurut istilahnya, hanya menganalisa persoalan-persoalan praktis, dan

wilayah penilaian serta keputusannya berada pada dimensi-dimensi "keharusan"

(kemestian dan kewajiban) dan "larangan" (ketidakbolehan). Hasil-hasil yang dicapai dari

akal ini adalah suatu kebenaran yang bersifat relatif atau hal-hal yang tidak terkait

langsung dengan masalah-masalah eksistensial. Ranah dan domain pembahasannya

misalnya berkaitan dengan hak-hak manusia seperti hak kebebasan, hak kepemilikan, hak

tinggal, dan hak-hak lainnya. Potensi-potensi yang berada di bawah akal praktis ini antara

lain adalah syahwat dan emosi, dan melalui kedua potensi inilah akan terbentuk berbagai

tahapan-tahapan berbeda dari kehendak, iradah, dan keinginan.

Akal dan agama yang merupakan dua anugrah Tuhan yang di berikan kepada

manusia- ibarat dua sayap yang dengannya manusia bisa naik ke derajat yang sangat

tinggi. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia hanya

berpegang kepada salah satunya dan menyepelekan yang lain, dia akan terjerumus kepada

kehancuran yang sulit diobati. Orang yang hanya berpegang kepada akal dengan

meninggalkan agama, ia akan kehilangan jati dirinya dan akan hidup dalam kekeringan

jiwa. Selain itu, ia juga akan mengalami kegelisahan jiwa karena banyak hal yang selalu

muncul dalam jiwanya tentang arti dari kehidupan dimana ia tidak menemukan

jawabannya. Seperti yang dialami oleh kebanyakan orang di abad sekarang ini, sehingga

7

Page 8: Psikologi Agama Kognitif

sebagian ilmuan barat seperti Franklin L. Baumer menyebut abad ini sebagai abad

kegelisahan (Age of Anxiety). Di sisi lain ketika seseorang hanya berpegang kepada

agama tanpa menggunakan akalnya, ia akan terjerumus kepada jurang kejumudan,

penyimpangan-penyimpangan dan fanatisme buta.  Oleh karena itu, keduanya harus

dipadukan dengan menjadikan akal sebagai alat untuk memilih, mebuktikan dan

membela agama.

Antara agama dan akal terdapat hubungan dua arah dimana hubungan ini berada

dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga mustahil membayangkan adanya

pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya bisa dijabarkan dalam bentuk yang

lain.

Agama dari satu sisi telah menjelaskan urgensi akal dalam dua dimensi teoritis

dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya Allah Swt berfirman, "Allah-lah yang

menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di

antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala

sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. ath-

Thalaq: 12)

Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh langit adalah keberilmuan

seluruh manusia, dan karena akal teoritis memegang tanggungjawab dalam pemikiran

dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa hasil-hasil pemikiran yang berangkat dari

penciptaan keseluruhan langit dan alam, sangat bergantung pada akal teoritis ini, dan

manusia ketika meraih tujuan hakiki penciptaan alam, maka niscaya dia telah berhasil

memanfaatkan dan menggunakan secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan

perantaraan akal teoritis inilah manusia akan mampu menyingkap berbagai hakikat-

hakikat alam dan menambah luas pengetahuan-pengetahuan teoritisnya.

Demikian juga, dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt menjelaskan tentang

urgensi akal praktis sebagai berikut, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. adh-Dhariyat). Allah Swt dalam ayat

ini menganggap bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah ibadah dan

penghambaan. Dari satu sisi, ibadah dan penghambaan berada dalam cakupan motivasi-

motivasi yang benar dan hal ini tidak akan terwujud tanpa memanfaatkan akal praktis,

dengan artian bahwa jika manusia tidak mampu menciptakan motivasi-motivasi yang

8

Page 9: Psikologi Agama Kognitif

benar dan bernilai dalam dirinya dan ia tidak mampu menentukan tujuan mulia untuk

segala perbuatannya sendiri di alam materi, maka makna yang benar dan tepat dari aspek

penghambaan dan ubudiyahnya ini tidak akan pernah dia temukan.

Dari sini, bisa dikatakan bahwa kesadaran tentang kebertujuan penciptaan alam

dan makhluk tersebut juga merupakan hasil dari akal praktis. Dan tanpa adanya akal

praktis ini, manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk menciptakan motivasi-

motivasi yang tepat, ibadah-ibadah yang lurus, dan penghambaan yang benar, dengan

demikian tanpa adanya akal praktis, manusia akan terhalang dalam pencapaian tujuan

hakiki penciptaannya.

Tentunya tidak tepat jika kita berkesimpulan bahwa apabila akal teoritis dan akal

praktis adalah tujuan penciptaan itu sendiri, karena hal ini akan memunculkan adanya

pertentangan dan kontradiksi, dengan demikian penyimpulan ini tidaklah benar karena

tiap-tiap dari dua jenis akal ini dalam batasannya masing-masing memiliki peran yang riil

dan hakiki, dan dua realitas yang sama-sama hakiki tidak akan pernah saling bertolak

belakang dan saling menafikan satu sama lain. Dari sisi lainnya, agama di samping

menyebutkan tentang nilai penting akal, juga mengajarkan tentang arah dan alur berpikir

yang benar serta metodologi yang benar dalam memilih motivasi-motivasi, berarti

dengan demikian, agama tidak akan meninggalkan dan melepaskan akal secara sendirian,

melainkan dia akan membimbing akal untuk memperoleh hakikat-hakikat dan

pengetahuan-pengetetahuan dengan menjelaskan berbagai metode dan cara-cara yang

benar.

Setelah memperhatikan sebuah sisi dari suatu pemikiran, memberikan perhatian

pada arah lainnya pun merupakan suatu hal yang sangat penting dan berharga. Pada sisi

ini, nilai-nilai akal dan pemikiran tersebut telah dikenali melalui argumen-argumen yang

kokoh dari sudut pandang agama. Penegasan nilaia-nilai ini akan terbukti dengan

memperhatikan empat hal berikut ini:

1. Tolok ukur dan ruang lingkup syariat adalah hukum Tuhan;

2. Satu-satunya sumber hukum Tuhan adalah kehendak Tuhan;

3. Dalil-dalil syar'i hanyalah penyingkap dari kehendak Tuhan;

9

Page 10: Psikologi Agama Kognitif

4. Dalil-dalil syar'i terbagi dalam dua kelompok yaitu aqli (rasio dan akal) dan

naqli (teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan dalil naqli (tekstual)

adalah kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam Ahlulbait Nabi.

Kesimpulan yang bisa diambil dari keempat poin di atas adalah bahwa akal -

sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan hadis-hadis (baik yang

diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma' para ulama, dan yang sejenisnya-

juga memiliki keistimewaan dan berperan sebagai hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap

dari kehendak dan hukum Tuhan. Oleh karena itu, akal murni juga merupakan hujjah

Tuhan dan sepadan dengan teks-teks agama yang otentik. Dengan demikian, akal sama

sekali tidak memiliki perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar'i lainnya (baca: teks-

teks suci agama). Demikian juga menjadi jelaslah bahwa akal tidaklah bertolak belakang

dan bertentangan dengan agama serta tidak terpisah dari agama itu sendiri. Bahkan inti,

pesan, dan kandungan ajaran agama itu sendiri adalah dibentuk oleh nilai-nilai aqli

(rasional dan akal) dan naqli (teks-teks agama). Jadi yang terkadang bertentangan dan

bertolak belakang secara lahiriah adalah akal dan teks-teks suci agama, bukan akal dan

agama.

Sekarang apabila kita dengan seksama meneliti hubungan akal dan agama serta

ketidakterpisahan zona-zona riil mereka, maka sangat jelaslah bagi kita akan

ketidakbenaran konsep dan gagasan Sekuarisme yang memisahkan antara zona-zona akal

dan agama, dan tidak bisa lagi dikatakan bahwa agama itu hanya berhubungan dengan

Tuhan sebagai penentu hukum-hukum agama (syariat) dan akal tidak ada kaitannya

dengan agama, karena pada dasarnya keduanya telah mendapatkan penegasan dari Tuhan

dengan tanpa adanya sedikitpun pembedaan.

Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks yang otentik dan valid

merupakan hujjah Tuhan, maka akal murni pun merupakan hujjah Tuhan, dan kandungan

yang berada di dalamnya dalam bentuk apapun itu baik kandungannya yang berupa

hukum-hukum fikih dan rukun-rukun keimanan (mulai dari konsep ketuhanan, keadilan

Tuhan, kenabian, Imamah, dan eskatologi) adalah tidak memiliki perbedaan sama sekali

dengan kandungan-kandungan yang bersumber langsung dari teks-teks suci agama. Oleh

karena itu, dalam semua persoalan keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari teks-

10

Page 11: Psikologi Agama Kognitif

teks hadis dan al-Quran adalah tidak berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh dari

argumentasi akal.

Di sini kami akan mengingatkan beberapa poin:

1. Posisi akal berada dalam posisinya yang berhadapan dengan teks-teks suci

agama (naqli), bukan berhadapan dengan agama itu sendiri. Dan merupakan

sebuah tindakan yang tidak benar apabila kita menghadap-hadapkan akal

dengan syariat (baca:agama), dan yang benar adalah membagi agama itu dalam

dua kelompok, yakni argumen akal (aqli) dan teks-teks suci (naqli);

2. Keabsahan dan validitas akal memiliki syarat, sebagaimana halnya hujjiyah dan

validitas teks-teks suci agama;

3. Akal bukanlah qiyas (baca: qiyas dalam hukum fikih), karena akal adalah hujjah

sedangkan qiyas bukanlah hujjah.

Beberapa Faham Tentang Hubungan Akal dan Agama ada empat kelompok

dalam menyikapi hubungan antara akal dan agama ;

1. Kelompok  Radical Rationalism. Menurut faham ini, seluruh doktrin-doktrin

agama tanpa terkecuali bisa dibuktikan oleh akal. Dan syarat dari keimanan adalah

dengan pembuktian ini. Akan tetapi faham ini memiliki dua kelemahan; banyak dari

manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan semua doktrin yang

ada dalam agama, terus bagaimana nasib orang-orang seperti ini? Kelemahan lain

dari faham ini, mereka lupa bahwa ada hal-hal dalam agama yang sama sekali akal

tidak sampai kesana (bukan bertentangan dengan akal). Mungkin bebebapa hal

dalam agama seperti pembuktian pokok-pokok dari agama (tauhid, ma’ad,

kenabian, dll) akal bisa membuktikannya,  akan tetapi masalah-masalah partikular

(juz’i) akal tidak sampai kepadanya.

2. Kelompok Fideism. Faham ini meyakini bahwa semua doktrin agama tidak

membutuhkan kepada pembuktian dan analisa akal, keimanan bisa muncul tanpa

perlu argumentasi dan penelitian akal. Satu agama bisa diterima tidak perlu kepada

standart apapun. pendapat ini tidak bisa diterima karena pada masalah pokok-pokok

agama (ushuluddin) tidak mungkin bisa diyakini tanpa terlebih dahulu ada

pembuktian akal.

11

Page 12: Psikologi Agama Kognitif

3. Kelompok Critical Rationalism.  Dengan tidak menerima dua kelompok di atas,

faham ini selain meyakini bahwa kemungkinan melakukan kritik dan penelitian

terhadap agama juga menganggap bahwa tidak satupun dari ajaran agama yang

kebenarannya definitif (qath’i) dan mutlak. Faham ini jelas tidak bisa diterima,

dengan alasan bahwa sebagian dari doktrin-doktrin agama sesuai dengan hukum

pertama akal, dan sudah dibuktikan oleh akal.

4. Kelompok Rasionalisme yang seimbang (Moderat Rationalism). Doktrin agama

dibagi menjadi tiga kelompok; pertama ada yang sejalan dengan akal (dapat

diterima oleh akal) seperti ushuluddin, konsep-konsep umum moral dan lain-lain.

kedua ajaran agama yang di luar (bukan bertentangan ) dari jangkauan akal sepeti

jumlah rakaat dalam shalat,  ketiga doktrin agama yang bertentangan dengan hukum

akal seperti trinitas dalam Kristen, hal-hal ini tidak hanya bertentangan dengan akal

bahkan dapat digugurkan oleh akal.

2.3 Peran Akal Pada Agama

Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam

sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di

antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman? Masalah yang perlu dilontarkan

ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap

Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui

dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan

hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri

di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan

syariat?.

1. Akal dan Iman

Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan

akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah

keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan

yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak

mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal,

apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui

sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal?

12

Page 13: Psikologi Agama Kognitif

Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal,

terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-

keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima

secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273)

berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran

atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga

tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah

merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan

agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga

(1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan

manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal.

Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat

pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa

akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal

dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan

membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui

bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya,

jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep

keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan

haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.

Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu

pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu

kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa

arab supaya mereka berakal.” 1) Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya

dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah

satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan

kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin.

Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang

berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke

surga.”2) Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan

masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan

13

Page 14: Psikologi Agama Kognitif

yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal.

Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam

masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa

yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga

mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an,

sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka

mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum

Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah

Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara

langsung maupun tidak langsung.

2. Akal dan Syari’at

Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara

rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat

subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan

dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya:

berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba

dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum

miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu

orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang

mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita

temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah

diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada

nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah

(berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan

lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan

manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita

berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui

manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan

hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk

menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan

untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam

14

Page 15: Psikologi Agama Kognitif

menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini

Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.

3. Batasan Akal

Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang

lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas

pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa

yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui

perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal

(burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.

Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general (kulli) dan particular (juz’i)

adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah

partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal

(argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun

sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk

menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan

hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni

setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan

hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa

Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain,

oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam

adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan

maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada

manusia.

15

Page 16: Psikologi Agama Kognitif

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan

pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Tiga taraf

struktural sistem informasi, yaitu:

a. Sensory atau intake register

b. Working memory

c. Long-term memory

Akal dan agama yang merupakan dua anugrah Tuhan yang di berikan kepada

manusia- ibarat dua sayap yang dengannya manusia bisa naik ke derajat yang sangat

tinggi. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia hanya

berpegang kepada salah satunya dan menyepelekan yang lain, dia akan terjerumus kepada

kehancuran yang sulit diobati. Orang yang hanya berpegang kepada akal dengan

meninggalkan agama, ia akan kehilangan jati dirinya dan akan hidup dalam kekeringan

jiwa. akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya

menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami

turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.”

Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui

akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam.

Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan.

16

Page 17: Psikologi Agama Kognitif

DAFTAR PUSTAKA

http://buletinmitsal.wordpress.com/perspektif/kedudukan-akal-dalam-perspektif-agama/

http://murtadinkafirun.forumotion.net/t10446-peran-penting-akal-dalam-konsep-agama

http://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/01/13/akal-dan-agama/

http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/003/10.html

http://abuaqilah.wordpress.com/2007/04/11/17/

http://neosufizm.wordpress.com/2011/08/10/islam-dan-akal/

17