psikiatri - 29-35

27
Meskipun pemahaman mereka mengenai interaksi patologis kemudian, beberapa pasangan akan memilih untuk hidup dalam keadaan kacau dibandingkan dengan wajah cemas yang berhubungan dengan perubahan. Dalam analisis terakhir, tentunya, perubahan dalam terapi marital (yang berhubungan dengan pernikahan) bukan merupakan tanggung jawab dari terapis – hanya pasangan marital nya sendiri yang dapat memutuskan apakah meraka ingin untuk merubah pernikahannya. Saat terapis menemukan mereka sangat berpotensi dalam suatu keluaran tertentu, mereka sering ikut serta dalam interaksi bersekongkol dimana mereka telah menjadi teridentifikasi dengan bagian bagian yang direncanakan oleh anggota keluarga. Terlebih lagi, semakin keras terapis mendorong untuk perubahan, semakin kuat pasangan akan melawan. Saat terapi menjadi buntu karena perlawanan seperti itu, ini terkadang berguna untuk terapis untuk memberikan beberapa pilihan untuk pasangan dan untuk menyampaikan pada mereka bahwa mereka bebas untuk memilih pilihan-pilihan tersebut dan harus dinilai sebagai keluaran yang dapat dipertimbangkan oleh terapis. Hanya kemudian pasangan akan menyadari bahwa ini sepenuhnya terserah mereka bagaimana mereka memilih untuk hidup dalam kehidupan mereka.

Upload: gerin-orviyanti

Post on 14-Sep-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

terjemahan

TRANSCRIPT

Meskipun pemahaman mereka mengenai interaksi patologis kemudian, beberapa pasangan akan memilih untuk hidup dalam keadaan kacau dibandingkan dengan wajah cemas yang berhubungan dengan perubahan.Dalam analisis terakhir, tentunya, perubahan dalam terapi marital (yang berhubungan dengan pernikahan) bukan merupakan tanggung jawab dari terapis hanya pasangan marital nya sendiri yang dapat memutuskan apakah meraka ingin untuk merubah pernikahannya. Saat terapis menemukan mereka sangat berpotensi dalam suatu keluaran tertentu, mereka sering ikut serta dalam interaksi bersekongkol dimana mereka telah menjadi teridentifikasi dengan bagian bagian yang direncanakan oleh anggota keluarga. Terlebih lagi, semakin keras terapis mendorong untuk perubahan, semakin kuat pasangan akan melawan. Saat terapi menjadi buntu karena perlawanan seperti itu, ini terkadang berguna untuk terapis untuk memberikan beberapa pilihan untuk pasangan dan untuk menyampaikan pada mereka bahwa mereka bebas untuk memilih pilihan-pilihan tersebut dan harus dinilai sebagai keluaran yang dapat dipertimbangkan oleh terapis. Hanya kemudian pasangan akan menyadari bahwa ini sepenuhnya terserah mereka bagaimana mereka memilih untuk hidup dalam kehidupan mereka.

Terapi Marital SingkatGreenspan dan Mannino (1974) telah mengembangkan suatu model untuk terapi marital singkat berdasarkan identifikasi proyektif. Model ini didesain untuk pasangan dengan kekuatan ego yang cukup perlu untuk dipertimbangkan dan tanpa adanya tanda dari patologi berat lainnya. Tujuan dari bentuk terapi ini adalah terbatas, untuk menghadapkan masing-masing pasangan dengan aspek aspek tersebut dari kepribadian pasangan yang tidak dirasakan karena identifikasi proyektif. Setelah mendengarkan terhadap versi konflik dari wanita, terapis mungkin menanyakan pada suami untuk mengulangi pokok dari perhatian dang istri. Apabila dia mengabaikan aspek khusus dari perasaannya, terapis akan menunjuk penghilangan atau tidak dicantumkan.Proses terapeutik dalam model dari intervensi singkat ini membantu kedua pasangan untuk mendengarkan dengan lebih baik dan mengembangkan apresiasi empati yang lebih penuh untuk pengalaman internal pasangannya. Saat pasangan marital datang untuk mengakui bahwa mereka mengubah persepsi mereka satu sama lain, mereka mulai untuk menyadari bahwa mereka tidak mengetahui orang yang akan mereka nikahi dengan benar benar baik. Saat pendekatan ini sukses, ini mengatur dalam gerakan proses dari pemeriksaan perasaan satu sama lain dari pada mengasumsikan bahwa pasangan mereka merasakan suatu hal tertentu.

Terapi Marital Psikologi Diri Sendiri dan IntersubjektifDalam konsep psikologi diri sendiri akhir akhir ini juga telah diaplikasikan pada konflik marital. Kohut sendiri, dalam suatu catatan kaki dari buku terakhir nya (1984), mencatat bahwa pernikahan yang baik adalah satu dimana satu sama lain muncul tantangan untuk menyediakan fungsi pencerminan diriyang mana kekurangan sementara yang lain butuhkan pada saat-saattertentu (p. 220). Dia juga mencatat saat kebutuhan diri sendiri tidak disediakan oleh pasangan, hasilnya mungkin berupa perceraian atau kepahitan tiada akhir suatu bentuk dari kemarahan karena kecintaan pada diri sendiri yang kronis.Konflik yang muncul dari kebutuhan untuk respon pencerminan diri oleh satu pasangan dapat membentuk dasar strategi terapi marital (Ringstorm 1994, 1998; Shaddock 1998). Ringstorm menunjukkan kepentingan dari alam dua dimensi dari pemindahan kekuasaan dalam terapi dengan pasangan (lihat bab 1). Telah dibuat frustasi dalam percobaannya untuk mendapatkan kebutuhan pencerminan dirinya bertemu satu sama lain, pasangan mungkin terkunci dalam antagonistik yang bergonta ganti, pemindahan dimensi repetitif terhadap satu sama lain sementara masing-masing pasangan mengalami kerinduan untuk pencerminan diri dalam pemindahan terhadap terapis (Ringstorm 1994, p. 161). Meskipun perkembangan ini mungkin menimbulkan masalah pada beberapa keadaan, penyesuaian terapis terhadap ini mungkin mengembalikan harapan untuk pasangan. Ringstorm telah meringkas model enam langkah berdasarkan teori subjektivitas dan psikologi diri sendiri. Dalam dua langkah pertama, terapis memberikan penyesuaian terhadap subjektivitas dari masing-masing pasangan dan menekankan bahwa tidak ada salah satu pasangan yang lebih benar atau tidak ada versi dari kenyataan yang lebih benar dari pada yang lain. Dalam langkah 3 dan 4, terapis melacak riwayat perkembangan dari kerinduan pencerminan diri yang membuat frustasi dan mendemonstrasikan bagaimana masing-masing pasangan melakukan kembali hal-hal yang membuat konflik di masa lalu dalam suatu usaha untuk mempertahankan kohesi diri sendiri. Langkah ke 5 mengikutsertakan peningkatan kapasitas introspektif sehingga masing-masing pasangan dapat mengambil kepemilikan untuk bagian dari kesulitan hubungan. Langkah terakhir terpusat pada kapasitas masing masing pasangan untuk mendukung pertumbuhan personal dan introspeksi pasangannya untuk menyesuaikan dengan perspektifnya.Ringstorm (1998) juga menekankan varian khusus dari pemindahan kesulitan kembali dimana kedua pasangan berlomba untuk mengutip fungsi pencerminan diri dari terapis. Kebutuhan terapis sendiri untuk respon pencerminan diri mungkin mengarahkan mereka untuk ditarik dalam kesimpulan dengan satu pasangan melawan satu pasangan nya. Terapis harus mencoba untuk membangun kembali varian khusus dari sudut netral yang mana dia mendengar, mengerti, dan menerima persepsi subjektif masing-masing pasangan terhadap pasangan lain sebagai suatu hal yang terpercaya secara intrinsik.

Indikasi dan KontraindikasiModel konsumen merupakan pendekatan klinisi umum yang dapat digunakan dalam memutuskan apakah pasien membutuhkan terapi individu atau keluarga/marital. Apa yang pasien minta? Apakah satu pasien datang ke kantor atau dua? Apakah diskusinya fokus pada masalah saya atau masalah kita? Apakah masalahnya ditampilkan memiliki asal muasal internal atau eksternal? Bila orang tua datang dengan anaknya yang sudah dewasa, masalah dalam menentukan pilihan terapi menjadi lebih kompleks. Seringnya, yang dewasa tidak nyaman dengan kebutuhan dari terapi dan mungkin tetap diam selama sebagian besar pertemuan pertama. Sementara itu, orang tua mungkin selalu memikirkan mengenai masalah anaknya. Klinisi yang mengevaluasi butuh untuk membuat penentuan segera berhubungan dengan pertemuan selanjutnya. Apakah meilihat hanya satu pasien dapat menjadi satu dengan proses identifikasi proyektif dan terbagi dalam keluarga (Stewart et al, 1975)? Saat berada dalam keraguan, tentu saja, klinisi mungkin secara mudah melanjutkan proses evaluasi eksplorasi sampai dinamika dari keluarga menjadi lebih jelas. Pada waktu-waktu saat salah satu dari pasangan atau anggota keluarga tertentu dengan mudah menolak untuk menghadiri proses terapi, terapis dipaksa untuk bekerja dengan hanya satu anggota keluarga atau tidak untuk melakukan terapi sama sekali.Slipp (1988) menekankan bahwa tingkat perbedaan pasien yang telah diidentifikasi dari keluarga sebagai peraturan ibu jari yang baik dalam menentukan pilihan terapi. Psikoterapi individual mungkin merupakan terapi pilihan pada dewasa muda atau dewasa tua yang telah diatur untuk berpisah, secara psikologis dan geografis, dari keluarganya atau untuk hidup dalam kehidupannya dengan operasi defensif dewasa yang beralasan. Tetapi terapi keluarga atau kombinasi dari terapi keluarga dan terapi individual terlihat paling membantu dengan individu dalam kelompok usia yang sama yang masih tinggal di rumah, atau yang tinggal secara terpisah tetapi masih menemukan diri mereka ikut serta secara emosional dengan keluarganya dalam cara yang intens.Masalah yang sering muncul dalam psikoterapi individual adalah permintaan pasien untuk membawa pasangan ke suatu pertemuan untuk bekerja dalam isu marital. Apabila proses individual dibangun dengan baik, mencoba untuk mengubah ini menjadi proses terapi marital juga jarang menjadi sukses. Pasangan yang dibawa biasanya merasa bahwa kesetiaan primer terapis adalah pada pasangan nya dan jarang bisa untuk membentuk ikatan dengan terapis. Solusi yang lebih baik adalah merujuk pasangan untuk terapis marital sementara melanjutkan proses individual yang asli.

Farmakoterapi DinamisBeberapa dekade yang lalu ungkapan farmakoterapi dinamis akan dipertimbangkan sebagai kontraindikasi dalam istilahnya. Peninggalan dari dualisme pikiran/tubuh mempolarisasikan pendekatan dinamis dan farmakologis terhadap kelainan psikiater dalam beberapa tahun. Beruntungnya, tren integratif telah membawa psikiater kontemporer pada titik dimana penggunaan kombinasi dari medikasi dan psikoterapi sekarang hampir merupakan praktik umum untuk kondisi nonpsikotik dan psikotik (Gabbard 1999; Thompson da Brodie 1981).Dalam situasi dimana psikoterapi formal bukan merupakan bagian dari terapi, pemikiran psikodinamik mungkin sangat berguna dalam meningkatkan kepatuhan dengan regimen psikotropik. Sekitar satu per tiga pasien sebenarnya menuruti secara adekuat dengan medikasi yang diresepkan, satu pertiga yang lain agak kurang patuh, dan satu pertiga yang lain tidak patuh, menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan secara umum berkisar sekitar 50% (Wright 1993). Kepatuhan pasien rawat jalan dengan medikasi antidepresan hanya sekitar 40% setelah 12 minggu (Myers dan Branthwaite 1992). Di antara pasien dengan skizofrenia,74% pasien rawat jalan menjadi tidak patuh dengan regimen neuroepileptik nya dalam 2 tahun setelah keluar dari rumah sakit (Weiden et al. 1995). Meskipun pergantian untuk depo medikasi sementara meningkatkan kepatuhan, 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit ditemukan tidak ada perbedaan dalam tingkat kepatuhan antara pasien yang menerima medikasi depo dan mereka yang mengambil medikasi secara oral.Seperti yang telah didiskusikan pada bab 8, pasien bipolar terkenal tidak patuh dengan regimen medikasi. Komplikasi selanjutnya dalam menangani ketidakpatuhan adalah bahwa pasien cenderung tidak dilaporkan mengenai mereka tidak kooperatif dalam terapi yang diresepkan. Beberapa studi telah menggunakan metode berdasar processor mikro untuk monitoring kontinyu mengenai kepatuhan. Dalam metode ini, sirkuit mikroelektronik merekan tanggal dan waktu dari masing-masing pembukaan dan penutupan dari tempat penyimpanan obat. Satu studi yang menggunakan teknologi ini menunjukkan bahwa dimana tingkat ketidakpatuhan yang dilaporkan sendiri sebesar 7% saat dinilai menggunakan wawancara, ini menjadi 53% saat dinilai menggunakan metode berdasarkan processor mikro untuk monitoring kontinyu (Dunbar-Jacob, 1993).Fenomena dari ketidakpatuhan biasanya dapat dipahami dengan alat konsep psikodinamik seperti pemidahan, pemindahan kembali, tahanan, dan keterkaitan terapeutik.

PemindahanMedikasi yang diresepkan psikiater tidak lebih menggambarkan mengenai pemindahan dibandingkan psikoterapis. Untuk pasien, keputusan untuk patuh atau tidak patuh dengan rekomendasi dokter membangkitkan isu bawah sadar mengenai ekspektasi orang tua. Saat pasien menolak untuk mengambil medikasi sesuai dengan yang diresepkan, psikiater sering bereaksi dengan menjadi lebih otoriter, bersikeras bahwa perintah nya harus diikuti tanpa pertaanyaan. Pendekatan ini biasanya meledak sebelum waktunya karena ini sekedar mengeksaserbasi penempatan pemindahan menjadi datang ke dokter sebagai gambaran permintaan orang tua. Pendekatan yang jauh lebih produktif adalah dengan mendaftar kolaborasi pasien dalam mengeksplor masalahnya. Satu seri pertanyaan mungkin membantu: Apakahkamu memiliki masalah mengenai menggunakan obat selain efek samping nya? Apakah kamu mengingat masalah mu dengan menggunakan obat di masa lalu? Apakah kamu pernah mendengar sesuatu dari televisi atau membaca apapun di dalam koran mengenai obat ini? Apakah keluarga mu memiliki perasaan tertentu mengenai menggunakan obat? Apa yang kami pikirkan merupakan penyebab dari penyakitmu? Apakah obat ini memiliki arti khusus untuk kamu? Perasaan apa yang kamu miliki terhadap dokter yang memberikan resep?.Satu pasien pernah mendapatkan resep antidepresan sebagai kegagalan empati dari bagian psikiater. Saat ketidakpatuhan pasien dieksplor dengan nya, dia cerita kepada dokter, Saya sedang mencari seseorang untuk membenarkan perasaan saya. Sedangkan anda, anda malahmencoba untuk mengobati mereka. Saat psikiater mendorong untuk membuat cerita lebih rinci, pasien mampu untuk menghubungkan perasaan dengan pengalaman terdahulu nya dengan ayahnya, yang mengalami ketidakperhatian dan ketidakpedulian terhadap masalahnya.Pasien lain,terutama mereka yang memiliki tendensi kategorikal untuk mengontrol dan mendominasi, akan melihat medikasi sebagai ancaman terhadap fase dependenberlawanan. Mengkonsumsi pil berarti menyerahkan kepada dominasi dari gambaran orang tua yang kuat. Pasien ini harus diberikan beberapa kontrol apakah mau mengkonsumsi obat nya atau tidak (Thompson dan Brodie 1981). Dengan pasien yang sangat patuh, satu sering mengalami keadaan yang berlawanan. Pil membuat pasien ini merasa diberi makan dan dirawat sampai sejauh itu yang dapat membuat mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi butuh bertanggung jawab terhadap aspek apapun dari penyakitnya.Usaha pemindagan mungkin secara khusus lebih intens dengan merengek, membantu-penolak manipulatif (Groves 1978). Pasien ini secara sistematis melawan setiap intervensi terapi, farmakologis atau yang lain. Mereka sering melewati daftar panjang dari agen psikotropik tanpa merasakan adanya keuntungan. Mengeksplor dinamika perpindahan akan mengarahkan pada penguakan dari adanya kebencian yang luar biasa dan kepahitan terhadap gambaran orang tua yang pasien percaya tidak memberikan pengasuhan yang cukup. Dengan menolak bantuan yang ditawarkan pada mereka, pasien ini menjadi secara tidak sadar mencari cara untuk balas dendam melawan orang tua mereka (Gabbard 1988). Saat pasien merasakan hal seperti itu mereka membuat dokter menyedihkan, mereka sering merasakan kemenangan rahasia.Aspek unik dari pemidahan dalam farmakoterapi dinamis adalah pemindahan medikasi itu sendiri (Gutheil 1982). Respon placebo terhadap medikasi sering memiliki kualitas pemindahan yang sama. Pasien manik, sebagai contoh, menjadi berkurang banyak setelah satu dosis 300 mg dari lithium karbonat, sebuah respon yang tidak dapat dijelaskan secara farmakologis. Efek samping placebo juga umum. Manifestasi lain dari pemindahan terhadap medikasi adalah respon untuk mengganti kebiasaan obat dari pasien kronis (Appelbaum dan Gutheil 1980). Pasien seperti itu mungkin dekompensasi terhadap psikosis dengan perubahan paling sedikit dari regiman medikasi biasanya.Hubungan pemindahan terhadap medikasi mungkin paling jelas dalam keadaan dimana pil mengambil posisi dari dokter nya absen. Pil mungkin berfungsi sebagai objek transisi untuk beberapa pasien, memperbolehkan mereka untuk mempertahankan beberapa tanda dari hubungan dengan psikiater nya bahkan saat bertemu mereka kurang sering (Book 1987). Menyentuh dan melihat pil nya mungkin memiliki efek menenangkan pada pasien. Dalam program pelatihan, dimana residen berotasi melalui pelayanan dalam dasar tahunan, pasien mungkin berurusan dengan kehilangan dokternya dengan menjadi tertempel sangat intens dengan medikasi yang diresepkan oleh dokter sebelumnya yang telah pergi (Guteheil 1977).Pemindahan dari tipe ini adalah kuat dan mungkin mengarahkan pada bentuk lain dari kepatuhan penolakan untuk menghentikan medikasi karena arti bawah sadar dari medikasi terhadap pasien. Isu pemindahan harus selalu diambil dalam akun saat meresepkan agen psikotropik terhadap pasien paranoid. Dalam kasus yang lebih halus, pasien dapat menghentikan medikasi untuk alasan yang seolah-olah dari efek samping yang tidak menyenangkan, saat pada kenyataannya pasien takut bila diracuni. Desakan dalam kepatuhan akan meningkatkan paranoia secara signifikan, sementara eksplorasi empatik alami dari ketakutan mungkin membantu pasien untuk menyadari bahwa mereka tidak ditemukan dan untuk melihat terapis sebagai sesuatu yang tidak begitu mengancam.

Pemindahan BalikMedikasi yang diresepkan sama seperti intervensi terapi yang lain untuk dikontaminasi dengan pemindahan balik. Satu manifestasi umum dari pemindahan balik adalah peresepan yang berlebihan. Ini tidak umum untuk pasien untuk datang di rumah sakit atau ruang gawat darurat dengan paper bag coklat yang berisi penuh dengan agen psikoaktif. Satu dari pasien seperti itu mengkonsumsi tiga antipsikotik, dua antidepresan, lithium karbonat, dan dua benzodiazepines. Setelah beberapa hari di rumah sakit, ini terlihat bahwa pasien ini menimbulkan perasaan yang intens dari ketidakmampuan dan kemarahan dalam perlakuan. Jumlah berlebih dari medikasi mencerminkan keputusasaan pemindahan balik dari psikiater yang menangani.Trauma narsistik mungkin merupakan salah satu faktor dari pemindahan balik. Beberapa psikoterapis mungkin gagal untuk meresepkan medikasi yang benar benar dibutuhkan karena mereka percaya bahwa melakukan hal seperti itu akan serupa dengan mengizinkan keahlian psikoterapinya sudah tidak efektif. Yang lain mungkin menginduksi perasaan tidak enak dalam kepatuhan yang mereka akan merasa diwajibkan untuk patuh dengan medikasi yang mencerminkan keputusasaan pemindahan balik dari psikiater yang menangani. Beberapa psikiater menjadi cemas tentang perasaan yang intens dari berbagai macam pemindahan. Medikasi mungkin dilihat sebagai jalan untuk berurusan dengan pemindahan balik kecemasan ini. Diskusi mengenai efek sampaing juga mungkin dipengaruhi oleh kecemasan ini. Sebagai contoh, psikiater mungkin menghindari membawa efek samping seksual dari selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) karena ketidaknyamananya dengan mengeluarkan diskusi seksual. Sebagai hasil, pasien yang mengalami efek samping ini mungkin mudah untuk menghentikan medikasinya tanpa memberitahukan dokternya.Kemarahan pemindahan balik, dimana merupakan respon umum terhadap ketidakpatuhan pada pasien, mungkin mengambil beberapa bentuk. Beberapa psikiater mungkin bersekongkol dengan ketidakpatuhan dengan menunjukkan seberapa sakit pasiennya akan dapatkan bila tidak mengikuti perintah dokter (Book 1987). Klinisi lain mungkin menggertak pasien nya untuk mengkonsumsi medikasi nya atau mengancam untuk mengeluarkan mereka dari terapi bila mereka tidak patuh. Psikiater seperti itu yang memiliki kesulitan dalam mengontrol kemarahannya mungkin menolak untuk mengatur batas dalam pasien yang meminta untuk meningkatkan jumlah medikasi. Pada kasus-kasus seperti ini psikiater mengharapkan bahwa menggratifikasikan permintaan dari pasien akan menyimpan serangan dan permusuhan dari hubungan terapeutik. Sayang sekali, permintaan dan kemarahan pasien biasanya meningkat.

TahananTahanan terhadap terapi merupakan dorongan yang kuat dalam farmakoterapi karena ini dalam psikoterapi. Penyakit mungkin lebih baik dari pada kesehatan untuk beberapa alasan. Ini terkenal, sebagai contoh, bahwa pasiendengan kelainan afektif bipolar mungkin sangat menikmati episode maniknya sehingga mereka akan menghentikan konsumsi lithium. Pada satu studi dari pasien skizofrenia (Van Putten et al., 1976), sebuah penyebab tahanan yang mirip dibuka. Pada investigasi ini, efek samping dan tambahan sekunder tidak memiliki banyak hal yang dapat dilakukan dengan ketidakpatuhan. Sebuah psikosis besar egosintonik merupakan faktor diskriminatif yang paling kuat yang membedakan anatara pasien skizofrenia yang tidak patuh dan yang patuh. Jelasnya, pasien yang tidak patuh lebih akan mengalami psikotik yang besar.Penolakan terhadap penyakit juga merupakan sebab yang menonjol dari tahanan terhadap farmakoterapi. Untuk beberapa pasien, agen psikotropik membawa ini dengan stigma dari penyakit mental. Saat episode psikotik akut masuk ke dalam remisi, pasien mungkin menghentikan medikasi antipsikotik yang bertanggung jawab untuk remisi karena terapi pemeliharaan berarti juga sebuah penyakit mental kronis. Pasien non psikotik yang sangat ingin untuk mengumpulkan ke terapi psikoterapi akan menolak keras saran medikasi karena mereka yakin bahwa ini berarti mereka sangat diganggu dibandingkan yang mereka suka pikirkan. Demikian pula dengan pasien yang memiliki teman dalam terapi psikofarmakologi akan mengidentifikasi secara tidak sadar dengan temannya saat mereka diberikan obat yang sama (Book, 1987). Identifikasi ini mungkin dijadikan sebagai tahanan dalam menerima terapi, terutama saat temannya memiliki keluaran tertentu yang tidak diinginkan, seperti bunuh diri.Akhirnya, bentuk lain dari tahanan tidak berkaitan dengan kepatuhan dengan medikasi yang diresepkan memperlihatkan sisi lain dari keinginan untuk menolak penyakit. Ini tidak semuanya tidak umum untuk beberapa pasien yang sangat ingin mengkonsumsi medikasinya untuk bagaimanapun menolak efek terapeutik dari agen farmakologi. Pasien-pasien ini menanamkan dengan sangat kuat dalam penyakitnya bahwa mereka sangat berpegang teguh ke gejalanya bahkan saat penyakitnya dilawan dengan agen psikotropik yang poten. Untuk pasien-pasien seperti itu, pendekatan psikoterapeutik merupakan pilihan terapi.

Perserikatan TerapiDiskusi yang sedang berlangsung mengenai ketidakpatuhan harusnya membuat ini jelas bahwa perserikatan terapeutik memainkan peran penting dalam farmakoterapi dinamis. Banyak penulis telah menekankan bahwa menghadiri perserikatan terapeutik merupakan bagian dari proses peresepan (Docherty dan Fiester 1985; Elkin et al. 1988, Gutheil 1982; Howard et al. 1970). Meskipun banyak penelitian psikofarmakologikal kontemporer tidak menghitung hubungan dokter pasien, banyak peneliti telah mencatat pengaruhnya dalam kepatuhan. Satu studi (Howard et al. 1970) menemukan bahwa aspek halus dari perilaku terapis, termasuk antusiasme vokal, bahasa tubuh, dan penggunaan nama pasien, membedakan psikiater dengan tingkat dropout yang rendah dari mereka dengan tingkat pengurangan yang tinggi. Studi ini juga mengindikasikan bahwa perhatian terhadap perserikatan terapeutik dalam sesi pertama mencegah ketidakpatuhan dengan terapi obat.Penelitian pada pasien depresi telah mengindikasikan bahwa perserikatan terapeutik mungkin merupakan faktor kunci tanpa menghiraukan tipe terapi. Bahkan bila pasien diterapi secara primer dengan obat antidepresan, bangunan psikodinamis dari perserikatan terapeutik sama pentingnya dengan saat pasien hanya menerima psikoterapi. Sebuah tim peneliti (Krupnick et al. 1996) memeriksa sebuah sampel dari 225 pasien depresi dalam Institusi Nasional dari Kesehatan Mental (NIMH). Terapi dari Depression Collaborative Research Program. Penilai klinis menilai rekaman video transkrip dari sesi terapi dalam semua empat sel: 16 minggi dari terapi kognitif, 16 minggu dari terapi interpersonal, 16 minggu dari imipramine dan manajemen klinis, dan 16 minggu placebo ditambah manajemen klinis. Saat keluaran dinilai dari pasien ini, perserikatan terapeutik ditemukan memiliki efek signifikan dalam keluaran klinis di ke empat sel. Buktinya, kontribusi pasien terhadap perserikatan terapeutik adalah sebesar 21% dari variasi keluaran pada ukuran keluaran yang terstandarisasi, dengan lebih variasi pada keluaran berhubungan dengan perserikatan total dibandingkan dengan metode terapi itu sendiri! Di antara empat sel, tidak ada yang menunjukkan perbedaan kelompok yang signifikan dalam istilah hubungan antara perserikatan terapi dan keluaran klinis. Ini merupakan studiempiris untuk menunjukkan bahwa perserikatan terapeutik memiliki efek yang sama pada keluaran tanpa memikirkan apakah terapi nya psikoterapi atau farmakoterapi.Studi dari tingkat dropout pada pengaturan terapi psikofarmakologikal dan psikoterapeutik telah menekankan bahwa ekspektasi pasien dapat mempengaruhi pengurangan (Freedman at al. 1958; Overall dan Aronson 1963). Pasien yang berbeda datang ke psikiater dengan ekspektasi yang berbeda dari jenis terapi yang tersedia. Pada beberapa poin dalam wawancara pertama, psikiater harusnya mengeksplor ekspektasi pasien nya sehingga terapi yang diresepkan konsisten dengan dia pada beberapa cara. Apabila pilihan terapi berlawanan dengan keinginan pasien yang sebelumnya, usaha edukasi mungkin dibutuhkan untuk meyakinkan pasien mengenai kegunaannya.Pada bab 4, konsep dari kolaborasi ditekanan pada diskusi dari perserikatan terapeutik dalam psikoterapi. Konsep analog dari resep peserta (Gutheil 1982) releva dengan farmakoterapi. Tendensi yang tidak disadari dari beberapa psikiater adalah untuk mengganti menjadi mode lebih otoriter saat meresepkan medikasi dan ini sanat mudah menjadi dasar dari ketidakpatuhan pasien. Bahkan pada praktik dari ilmu penyakit dalam, ahli penyakit dalam yang sensitif waspada apabila mereka akan menimbulkan kepatuhan yang lebih baik apabila mereka mendiskusikannya dengan pasiennya alasan penggunaan antibiotik, sehingga memperoleh kerja sama pasien dalam proses terapi nya. Variabel dari edukasi pasien berpengaruh secara positif terhadap perkembangan perserikatan terpeutik dalam farmakoterapi. Semua pasien harus diinformasikan secara menyeluruh mengenai terapeutik dan efek samping dari setiap agen farmakologikal yang mereka terima. Dengan pasien psikotik akut, bagaimanapun, diskusi ini terkadang harus menunggu sampai episode akut nya berada di bawah kontrol farmakologi.Tipe khusus dari masalah kepatuhan sering terjadi saat medikasi ditambahkan pada proses psikoterapi yang sedang berlangsung, seperti contoh di bawah ini:Ibu D, 39 tahun, wanita profesional yang sudah menikah, datang ke terapi psikiater karena perasaan depresi, energi lemah, kurang puas dengan pekerjaannya, kesulitan tidur, dan penurunan gairah seksual. Dia terlihat sangat senang dengan kesempatan untuk memiliki seseorang yang dapat mendengarkan ceritanya. Setelah beberapa minggu dan beberapa sesi dari psikoterapi, Ibu D mulai untuk merasakan kepercayaan yang teramat sangat dengan terapis nya. Dia menuangkan seluruh isi hatinya yang perih dan cara yang berubah selama sesi. Dengan banyak sekali air mata, dia menceritakan kesulitan yang sangat luar biasa dalam hidupnya dan masalah yang dia dapatkan di rumah dan di lingkungan kerja.Setelah sekitar 6 minggu dari sesi ini, terapis nya menceritakannya bahwa gejala nya cukup parah dan akan diberikan resep antidepresan. Terapis menuliskan resep nya, menjelaskan efek samping yang mungkin dia dapatkan, dan mengirim nya ke rumah dengan arahan untuk memulai konsumsi medikasinya segera.Minggu selanjutnya Ibu D datang untuk janjinya dan mulai berbicara sekali lagi mengenai masalahnya tetapi tidak menyebutkan mengenai medikasinya. Saat terapis menanyakan bagaimana pengaruh agen yang sudah dia resepkan terhadap pasien, pasien mengatakan bahwa dia tidak memiliki waktu untuk ke apotik untuk membeli obat tetapi dia berjanji akan melakukannya dalam hari-hari selanjutnya ini. Terapis menekankan sekali lagi pentingnya memulai medikasi secepat mungkin. Ibu D meminimalkan kegagalan untuk menembus resep dan meyakinkan terapis nya bahwa dia akan sudah mengkonsumsi obatnya pada janji selanjutnya.Satu minggu berlalu dan Ibu D kembali untuk sesi terapi nya. Sekali lagi dia melaporkan bahwa dia telah gagal untuk ke apotik. Mengetahui bahwa kurangnya kepatuhan ini mencerminkan beberapa dinamika yang tidak siap untuk muncul, terapis nya mengeksplor dia dengan alasan apa yang mungkin dia punya sehingga dia tidak mau untuk mengkonsumsi medikasi. Dengan beberapa keengganan Ibu D mengaku bahwa dia sangat amat takut bila dia menerima medikasi karena terapis tidak mau mendengar semua keluhan yang dia bawa setiap sesi. Ibu D mengalami peresepan seberat dia dibilang untuk diam. Terapis nya bertanya apakah dia memiliki pengalaman yang mirip dalam hidupnya. Dia akhirnya cerita bahwa ayahnya bukan merupakan orang yang verbal dan bahwa ayahnya sering menghukum dia selama masa kanak-kanaknya hingga masa dewasanya karena sering mengeluh sepanjang waktu. Ibu D juga mencatat bahwa suaminya juga sama seperti ayahnya dan telah memaksa dia untuk pergi ke psikiater sehingga suami tidak perlu mendengarkan keluh kesah nya lahi. Dia takut bahwa terapis nya tidak mau lagi melihat wajahnya untuk psikoterapi bila dia berespon baik dengan medikasinya.Terapis bilang kepadanya bahwa medikasi dan psikoterapi tidak dilakukan bersamaan dan bahwa dia akan terus bekerja secara psikoterapeutik dengannya sementara dia mengkonsumsi medikasinya. Ibu D terlihat lega dengan memiliki penentraman itu, dan dia patuh dengan resep pada dasar reguler setelah sesi itu.

Terapi KombinasiMeskipun riwayat polarisasi antara psikoterapi dan farmakoterapi, kombinasi psikoterapi dan medikasi merupakan praktik klinis yang menghargai waktu dalam psikiatri. Dalam tiga kasus analitik yang berbeda termasuk depresi berat, Anna Freud mendaftar koleganya untuk merespkan medikasi dengan hasil menguntungkan yang tinggi (Lipton 1983). Dia diyakinkan bahwa penambahan agen farmakologikal penting dalam memperbolehkan analisis untuk dilanjutkan. Luborsky et al. (1975) mensurvey 26 studi penelitian yang mengevaluasi terapi kombinasi dan menemukan bahwa dalam 69% dari perbandingan, pendekatan yang dikombinasikan lebih efektif dibandingkan baik psikoterapo atau farmakoterapi sendiri. Sedikit klinisi yang berorientasi analitik yang masih mengandung perhatian bahwa medikasi akan mempengaruhi proses psikoterapi. Dalam survey dari terapis American Academy of Psychoanalysis, 90% responden melaporkan bahwa mereka meresepkan medikasi (Normand dan Bluestone 1986). Studi dari Universitas Columbia (Roose dan Stern 1995) melaporkan bahwa farmakoterapi digunakan dalam hubungannya dengan psikoanalisis dalam 29% dari kasus pelatihan dari institusi psikoanalitik yang diawasi, menyarankan bahwa medikasi tidak lagi dilihat sebagai faktor kontaminan yang mungkin berpengaruh dengan sertifikasi dari analis yang baru lulus. Hari ini, pertanyaannya bukan lagi apakah kombinasi dari psikoterapi dan medikasi adalah menguntungkan; tetapi, pertanyaan nya menjadi bagaimana kombinasi ini menjadi menguntungkan (Gabbard dan Bartlett 1998). Ada variasi yang berbagai macam dalam bagaimana keduanya mungkin berinteraksi dalam terapi tertentu manapun. Seperti, ada berbagai macam variasi dalam bagaimana pasien merespon saat medikasi ditambahkan dalam psikoterapi nya. Beberapa pasien akan merasakan bahwa terapi digantikan dengan medikasi dan bahwa terapis telah menyerah dengan mereka (Roose dan Stern 1995). Pasien lain akan merasa bahwa medikasi lebih membantu mereka dari pada terapi. Seringnya, persepsi pasien dan terapis dari kontribusi rekan terhadap medikasi dan terapi berlawanan secara langsung. Dalam suatu kasus dari pasien yang dalam analisisnya ditambahkan SSRI (Solomon 1995), pasien diyakinkan bahwa analisnya melihat efek positif pada medikasinya seperti halnya pada psikologikal secara primer. Berlawanan dari itu, pasien berpikir bahwa 90% dari efek medikasi adalah farmakologikal.Temuan terbaru bahwa SSRI memiliki efek yang kuat yang disebut ciri karakter (Coccaro dan Kavoussi 1997; Markovitz 1995; Salzman et al. 1995) membuat perbedaan antara kelainan aksis I dan aksis II menjadi kurang jelas dan hubungan antara medikasi dan psikoterapi menjadi lebih kompleks. Banyak pasien mengalami pertanyaan identitas fundamental saat medikasi mengubah pandangannya mengenai siapa dia. Mereka mungkin menemukan dirinya bingung karena garis tipid yang ada di antara efek dari gangguan fungsi neurotransmiter dan keraguan psikologikal dan ketidakmampuan untuk beraksi (Gabbard dan Bartlett 1998). Apablia ciri yang kita punya dihargai secara tradisional sebagai karakter yang dipengaruhi oleh medikasi, bagaimana ini bisa mempengaruhi pendangan pasien terhadap tanggung jawab untuk perasaan, pikiran, dan perilaku? Svrakic et al. (1993) menyarankan bahwa kepribadian dapat dibagi menjadi dua komponen penting: temperamen, bangunan biologis yang berbasis genetik, dan karakter, dimensi psikologis yang berdasarkan lingkungan. Mereka menyarankan bahwa medikasi mungkin mempengaruhi temperamen, sementara psikoterapi mempengaruhi karakter.Klinisi mungkin menemukan dirinya kehilangan untuk menilai apakah psikoterapi atau farmakoterapi yang merupakan pendekatan terbaik untuk mengobati gejala tertentu pasien. Apa yang dibutuhkan dari klinisi yang mengkombinasi pendekatan ini, bagaimanapun, adalah kewaspadaan dari hubungan bimodal yang melekat pada peran ganda (Docherty et al. 1977). Pasien harus diperlihatkan secara bersamaan sebagai seseorang yang terganggu dan sebagai penyakit sistem saraf pusat. Pandangan sebelumnya membutuhkan pendekatan empati, subjektif, sementara kemudian meminta model pendekatan medis, objektif. Klinisi harus mampu untuk merubah antara kedua mode ini secara apik sementara sisanya menyesuaikan terhadap efek dari perubahan pada pasien.Laporan kasus ekstensif dalam literatur memberikan contoh dari nilai terapi kombinasi. Wylie dan Wylie (1987) melaporkan kasus dari pasien analitik wanita yang tidak dapat bekerja saat perpindahan dalam analisis hingga monoamine oxidase inhibitors diresepkan untuk depresinya. Medikasi ini mengurangi afektifnya yang mudah sakit hati secara cukup untuk memungkinkan di untuk berurusan dengan pemindahan perasaan. Loeb dan Loeb (1987) menterapi tujuh pasien manik berat yang mengkonsumsi lithium karbonat sementara psikoterapi psikoanalitik atau psikoanalisis. Meskipun analisis atau terapi, pasien ini menjadi waspada terhadap peningkatan signifikan dalam dorongan seksual bawah sadar dan pertahanan dalam melawan mereka. Pasien kemudian mampu untuk mempelajari bahwa dorongan ini berkenaan dengan onset dari episode manik. Dengan membuat dorongan ini menjadi sadar, mereka mampu untuk mencegah episode manik selanjutnya dengan meningkatkan sosis lithium nya.Kecocokan dasar dari biologi dan psikodinamis ditekankan pada bab 1. Satu contoh dari pernikahan ini adalah peningkatan praktik dari kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi. Karena jembatan konseptual masih dibangun antara dua pendekatan, banyak dari praktik ini tetap menjadi empiris pada titik ini. Seperti pada semua psikiatri, prinsip pedoman harus untuk membantu pasien bukan untuk mempertahankan kebenaran pada satu bias teoritikal.