proteksionisme di tengah liberalisasi perdagangan dunia tugas karya...
TRANSCRIPT
PROTEKSIONISME DI TENGAH LIBERALISASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKDEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PROTEKSIONISME DI TENGAH LIBERALISASI PERDAGANGAN DUNIA
TUGAS KARYA AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarSarjana Sosial (S.Sos)
MUHAMMAD HANIF 1006764170
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKDEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK JUNI 2014
PROTEKSIONISME DI TENGAH LIBERALISASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
ii
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
iii
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat iman dan Islam sehingga dapat melalui kehidupan empat tahun di Kampus
Perjuangan Universitas Indonesia dengan penuh pemaknaan. Rasa syukur juga
penulis panjatkan atas berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kemudahan
dalam menyelesaikan Tugas Karya Akhir (TKA) ini. Penulisan Tugas Karya
Akhir (TKA) ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan Tugas Karya Akhir (TKA) ini,
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1) Umi, Ayah, Kak Hanifah, Hamid, Indah, dan Tika yang telah memberikan
berbagai dukungan dalam berbagai bentuk, khususnya berupa doa yang dapat
penulis rasakan dari berbagai kemudahan yang didapatkan;
2) Shofwan Al-Banna Chairuzzad, M.A., P.hD, selaku dosen pembimbing,
kakak, dan mentor yang tidak hanya menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan Tugas Karya Akhir (TKA) ini
akan tetapi juga membuka pikiran penulis tentang dunia pasca kampus yang
akan dihadapi;
3) Dra. Nurul Isnaeni, M.A. dan segenap jajaran program S1 Reguler Ilmu
Hubungan Internasional yang telah memberikan proses belajar terbaik untuk
kami selama 4 tahun menjadi mahasiswa di Dept Ilmu Hubungan
Internasional FISIP UI;
4) Keluarga BEM FISIP UI 2013 yang telah mewarnai banyak sisi kehidupun
penulis dan dari sini penulis mendapatkan semangat untuk selalu memberi arti
dalam setiap langkah dan gerak. Terimakasih atas kehebatan kalian semua
yang secara tidak langsung banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
Tugas Karya Akhir (TKA) ini.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
v
5) Mas Yono, Mang Ikin, Bapak Narwan, dan segenap pahlawan tanpa tanda jasa
yang selama ini telah membantu berlangsungnya dinamika kehidupan kampus
penulis dan seluruh mahasiswa FISIP UI. Terimakasih atas keihklasan yang
telah Mas, Mba, Bapak, dan Ibu berikan. Semoga Allah memuliakan dan
memberikan kesejahteraan.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Tugas Karya Akhir (TKA)
ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu dan Indonesia kedepannya.
Depok, 13 Juni 2014
Muhammad Hanif
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
vi
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
vii
ABSTRAK
Nama : Muhammad Hanif Program Studi : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Judul : Proteksionisme di Tengah Liberalisasi Perdagangan Dunia
Tugas Karya Akhir (TKA) ini merupakan kajian literatur yang meninjau pandangan pakar dalam ekonomi politik internasional tentang gagasan proteksionisme dan penerapan kebijakannya di tengah liberalisasi perdagangan dunia. Secara teoritis terdapat perdebatan yang mengkritisi pandangan ekonomi neo-klasik sebagai landasan dari perkembangan liberalisasi perdagangan dunia saat ini. Pandangan teoritis ekonomi neo-klasik yang bersifat statis dalam memandang nilai-nilai perdagangan yang liberal, multilateral, bebas hambatan, dan non-diskriminatif sulit berhadapan dengan perubahan ekonomi politik dunia yang sangat dinamis. Temuan secara teoritis konsiten dengan tinjauan empiris dari penerapan kebijakan perdagangan di negara maju dan negara berkembang. Dinamisnya faktor ekonomi politik, membuat negara tidak bisa menerapkan konsep perdagangan bebas secara utuh untuk memenangkan persaingan dalam perdagangan dunia. Proteksionisme akan selalu hadir dengan berbagai instrumen kebijakannya ditengah liberalisasi perdagangan dunia.
Kata kunci: Proteksionisme, Liberalisasi Perdagangan Dunia, Kebijakan
Perdagangan
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
viii
ABSTRACT Name : Muhammad Hanif Study Program : Social dan Political Sciences Title : Protectionism in the Liberalization of World Trade
This thesis is a literature review that looked at the views of experts in international political economy about the idea of protectionism and its policy implementation in world trade liberalization. Theoretically there is a debate in criticizing the classical economics’ liberal thought as the basic idea of the development of today's world trade liberalization. Theoretical view of neo-classical economics which are static in looking at the liberal, multilateral, barrier-free, and non-discriminatory values of world trade having some difficulty in dealing with dynamic changes in the world political economy. Consistently, theoretical findings have been approved by empirical review of the implementation of trade policies in the developed and developing countries. The dynamic of political economy factors makes the country can not apply the concept of free trade as a whole to win the competition in world trade. Protectionism will always be present, with its variety of policy instruments, in the liberalization of world trade. Keywords: Protectionism, World Trade liberalization, Trade Policy
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................... vi ABSTRAK ................................................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ............................................................................ x BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 11
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 11
1.2 Pendefinisian Proteksionisme .......................................................................... 14
BAB 2.PERKEMBANGAN WACANA TENTANG PROTEKSIONISME ...... 20
2.1 Wacana Tentang Proteksionisme Sebelum Perang Dunia I ............................. 21 2.2 Wacana Tentang Proteksionisme pada Masa Antar Perang Dunia .................. 25 2.3 Wacana Tentang Proteksionisme Pasca Perang Dunia II ................................ 29
BAB 3.DUKUNGAN TERHADAP WACANA PROTEKSIONISME DI
TENGAH LIBERALISASI PERDAGANGAN DUNIA ...................... 39 3.1 Dukungan dalam Kerangka Teoritis terhadap Wacana Proteksionisme .......... 39 3.2 Dukungan dalam Kerangka Empiris terhadap Wacana Proteksionisme .......... 46
BAB 4.KESIMPULAN ............................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 60
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Perkembangan Wacana Proteksionisme Sebelum Perang Dunia I ......... 25 Gambar 2 : Perkembangan Wacana Proteksionisme pada Masa Antar Perang
Dunia ....................................................................................................... 29 Gambar 3 : Perkembangan Wacana Proteksionisme Pasca-Perang Dunia II ............ 38
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Wacana yang Mendukung Proteksionisme di Tengah Liberalisasi Perdagangan Dunia .................................................................................... 55
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
11
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proteksionisme merupakan pandangan dalam perdagangan yang telah hadir
jauh semenjak ratusan tahun sebelum masehi seperti yang tergambar pada filosofi
Plato dan Aristoteles. Plato menganggap bahwa membiarkan kehadiran pedagang
asing masuk kedalam polis(negara-kota) akan berdampak pada rusaknya jiwa
(kehidupan).1 Hal yang sama dinyatakan oleh Aristotelesdimana kondisi terbaik
bagi suatu negara adalah kemandirian (self-sufficient). Berbagai bentuk pertukaran
produk domestik dengan uang dari luar hanya akan memberikan pengaruh yang
merusak bagi negara.2Filosofi proteksionisme yang membatasi kompetisi
perdagangan dengan pihak luarini telah ada semenjak berabad yang lalu dan
sampai sekarang masih menjadi salah satu landasan dalam pilihan kebijakan
perdagangan yang diterapkan oleh negara di dunia.
Di tengah perdagangan dunia yang saat ini berkembang ke arah liberalisasi
pun proteksionisme masih muncul sebagai pilihan kebijakan perdagangan.
Agenda liberalisasi perdagangan dunia yang secara masif di mulai semenjak
berakhirnya Perang Dunia II melalui instrumen GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade) dianggap telah berhasil menurunkan bentuk proteksionisme
perdagangan berupa tarif secara signifikan dan diyakini sebagai faktor yang
membawa kembali perdagangan dunia pada masa keemasannya.3 Akan tetapi,
berkurangnya secara signifikan penerapan instrumen kebijakan proteksionisme
perdagangan berupa tarif ini tidak berlangsung lama. Tren penerapan kebijakan
proteksionisme perdagangan kembali bangkit pada dekade tahun 1970an. Hampir
semua negara, termasuk negara maju yang merupakan promotor perdagangan
bebas,menerapkan berbagai bentuk instrumen baru proteksionisme berupa
hambatan perdagangan non-tarif.
1 Robert W. McGee, ”The Philosophy of Trade Protectionism,Its Costs and Its Implications,” Policy Analysis, 1996, no. 10: 3. 2Ibid. 3Dominick Salvatore, “Protectionism and World Welfare: Introduction,” dalam Protectionism and World Welfare,ed. Dominick Salvatore (Cambridge : Cambridge University Press., 2003), 2.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
12
Universitas Indonesia
Usaha liberalisasi untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas,
multilateral, dan non-diskriminatif terkendala oleh berkembangnya berbagai
instrumen kebijakan proteksionisme. Lingkungan perdagangan dunia yang benar-
benar bebas dan lepas dari campur tangan pemerintah belum berhasil
diwujudkan.Penting untuk menjadicatatan bahwasampai saat ini dalam
perkembangan liberalisasi perdagangan dunia tidak ada satupun negara di dunia
yang telah dapat membebaskan perdagangannya dari berbagai bentuk
proteksionisme.4
Tulisan ini merupakan kajian literatur yang akan melihat secara
komprehensif perkembangan wacana tentang proteksionisme yang melingkupi
liberalisasi perdagangan dunia. Dengan meninjau pandangan pakar dalam
ekonomi politik internasional, akan dikaji perdebatan tentang gagasan
proteksionisme dan penerapan kebijakannya. Kajian ini diharapkan dapat
memunculkan dialektika keilmuan terkait dengan tren kebijakan perdagangan
yang diterapkan oleh negara-negara di dunia. Selain itu kajian ini juga ditujukan
untuk dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam kerangka ekonomi politik
internasional terkait dengan perkembangan pemikiran kebijakan perdagangan dan
perdagangan dunia secara umum.
Literatur yang digunakan dalam penulisan kajian ini berasal dari berbagai
sumber berbentuk buku, peer-reviewed journal,working paper, dokumen resmi
WTO, dan berbagai sumber sekunder lainnya. Pengorganisasian literatur
disesuaikan dengan pola pembahasan. Pada pembahasan bagian awal Penulis
lebih banyak menggunakan literatur berupa buku yang secara umum menjelaskan
tentang perkembangan wacana tentang proteksionisme dan liberalisasi
perdagangan dunia. Sementara pada bagian analisis Penulis memilih untuk
menggunakanjurnal dan juga buku yang memiliki wacana spesifik terkait
dukungan dan penolakan terhadap proteksionisme perdagangan.
Penulisan akan dibagi menjadi empat bab utama. Pertama, bab
Pendahuluan. Pada bab ini Penulis membahas tentang pendefinisian mengenai
4Susan Strange,”Protectionism and World Politics,” International Organization 39, no. 2 (1985):245.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
13
Universitas Indonesia
proteksionisme. Perkembangan liberalisasi perdagangan dunia dengan berbagai
perjanjian multilateral telah berhasil menekan bentuk paling konvensional dari
proteksionisme yaitu hambatan perdagangan berupa tarif.Akan tetapi untuk
mewujudkan berbagai kepentingannya, berbagai bentuk proteksionisme dengan
instrumen yang beragam dan terus berkembang muncul sebagai pilihan kebijakan
perdagangan bagi negara.Dibutuhkan definisi yang lebih fungsional dalam
melihat penerapan dan perkembangan kebijakan proteksionisme sehingga
memudahkan pengkajian dan pembentukan berbagai kebijakan serta kesepakatan
internasional.Penulis akan membahas beberapa pendefinisan proteksionisme
mulai dari old protectionism, new protectionism, dan pendefinisan proteksionisme
secara fungsional yang disusun oleh Philip I Levy dalam Imaginative Obstruction:
Modern Protectionism in the Global Economy.
Kedua, bab Perkembangan Wacana tentang Proteksionisme. Bab ini akan
memberikan pemahaman secara umum tentang bagaimana wacana proteksionisme
muncul dalam perkembangan liberalisasi perdagangan dunia. Pembahasan akan
dimulai dari diasosiasikannya proteksionisme dengan pandangan ekonomi
merkantilisme yang berkembang pada abad ke-15 di Eropa. Selanjutnya wacana
tentang proteksionisme kembali menguat pada masa antar perang dimana
perdagangan dunia dikatakan terjebak dalam spiral lingkaran setan
proteksionisme. Wacana tentang proteksionisme pada masa antar perang ini
kemudian dijadikan landasan dalam liberalisasi perdagangan dunia secara masif
pasca-Perang Dunia II melalui instrumen GATT.5
Pembahasan akan berlanjut melihat bagaimana proteksionisme dengan
hambatan perdagangan berupa tarif menjadi fokus dari liberalisasi perdagangan
dunia dua dekade pasca-Perang Dunia II. Akan tetapi keberhasilan dalam
liberalisasi perdagangan yang dicapai oleh GATT dengan menekan tarif secara
signifikan selama dua dekade tersebut ternyata belum bisa menghilangkan bentuk
proteksionisme perdagangan. Wacana tentang proteksionisme kembali muncul
5Graham Dunkley, Free Trade : Myth, Reality, and Alternatives (New York: Palgrave Macmillan, 2004), 3.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
14
Universitas Indonesia
pada dekade 1970-an dengan bentuk yang berbeda, yaitu berkembangnya
hambatan perdagangan non-tarif yang dikenal dengan new protectionism.
Ketiga, bab Dukungan terhadap Proteksionisme di Tengah Liberalisasi
Perdagangan Dunia. Bab ini merupakan inti kajian literatur dalam Tugas Karya
Akhir ini. Dalam bab ini akan dibahas tentang pandangan pakar ekonomi politik
internasional secara teoritisyang mendukung proteksionisme sebagai pilihan
kebijakan bagi negara dalam perdagangan dunia. Dalam bab ini juga akan
disinggung secara empiris tentang penerapan kebijakan proteksionisme oleh
negara-negara di dunia secara umum dengan meninjau motif yang mendorong
sebuah kebijakan proteksionisme diambil serta kondisi apa yang melandasinya.
Keempat, setelah pembahasan secara komprehensif mengenai
perkembangan wacana dan perdebatan pandangan tentang proteksionisme, bab ini
merupakanbagian kesimpulan. Akan ditarik benang merah tentang perkembangan
wacana proteksionisme dan penerapan kebijakannya dalam liberalisasi
perdagangan dunia. Pada bab ini juga akan disimpulkan tentang perdebatan
wacana proteksionisme yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
perdagangan dunia, pun dalam proses liberalisasi perdagangan yang sedang
berlangsung saat ini. Pada bagian akhir akandisusun refleksi yang bisa Indonesia
ambil dari eksistensi kebijakan proteksionisme di tengah liberalisasi perdagangan
dunia dan dimensi yang bisa dijadikan kajian lebih lanjut.
1.2 Pendefinisian Proteksionisme
Secara umum proteksionisme dapat didefinisikan sebagai bentuk
kebijakan yang secara sengaja dibuat oleh pemerintah untuk melindungi produsen
domestik akan persaingan dari luar.6Para penganut perdagangan bebas melihat
proteksionisme perdagangan sebagai kebijakan yang berdampak pada inefisiensi
penggunaan sumber daya dan meningkatkan harga impor yang merugikan
konsumen secara luas.Akan tetapi bagi para aktor yang menerapkan kebijakan
6Ibid.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
15
Universitas Indonesia
proteksionisme biaya tersebut merupakan konsekuensiyang sebanding dengan
manfaat yang didapatkan.7
Proteksionisme dengan penerapan kebijakan yang menghambat
perdagangan telah muncul semenjak berabad lampau. Bentuk paling konvensional
dari proteksionisme yang dikenal dengan old protectionism adalah penerapan
instrumen hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota impor. Akan tetapi
seiring dengan agenda liberalisasi perdagangan dunia pasca-Perang Dunia II yang
berfokus untuk menghilangkan hambatan perdagangan berupa tarif, wacana
tentang proteksionisme telah bergeser jauh dari instrumen hambatan sederhana
ini. Pada dekade tahun 1970an muncul tren penerapan hambatan perdagangan
non-tarif yang dikenal dengan new protectionism. New protectionism merupakan
bentuk proteksionisme dengan instrumen hambatan yang cenderung lebih tidak
transparan dan berbeda sebagaimana hambatan berupa tarif dalam old
protectionism.8
Walaupun pada dasarnya penerapan kebijakan proteksionisme masih
memiliki kesamaan maksud umum berupa keberpihakan pada produsen dalam
negeri atas kompetisinya dengan pihak luar, motif dan instrumen kebijakan yang
digunakan pada saat ini jauh berbeda dari yang dikenal sebelumnya. Bentuk
konvesional dari old protectionismberupa tarif belum bisa dihilangkan secara
menyeluruh akan tetapi bentuk hambatan non-tarif dari new protectionism terus
berkembang mengikuti perkembangan perdagangan dunia. Diperlukan definisi
yang lebih fungsional dengan mengklasifikasikan bentuk-bentuk proteksionisme
modern ini guna memudahkan melihat eksistensi dan perkembangan paham serta
kebijakannya.
Philip I Levy dalam Imaginative Obstruction: Modern Protectionism in the
Global Economy menempatkan intensi (intent) sebagai kunci penting yang perlu
diidentifikasi dalam mendefinisikan kebijakan proteksionisme yang diterapkan
7Ibid. 8Salvatore, 1.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
16
Universitas Indonesia
oleh negara.9 Benar bahwa maksud umum dari kebijakan proteksionisme adalah
keberpihakan kepada produsen domestik atas kompetisi dengan pihak luar, akan
tetapi perkembangan modern menuntut adanya pendefinisian yang lebih
fungsional untuk melihat maksud khusus atau intensi dari negara dalam
mengeluarkan suatu kebijakan. Dalam konteks liberalisasi perdagangan dunia,
pendefinisian proteksionisme secara fungsional ini diperlukan untuk mengetahui
dan mengindentifikasi kondisi kesiapan negara-negara di dunia dalam
meliberalisasi perdagangannya.Levy mengklasifikasikan proteksionisme dilihat
dari sifat kebijakannya yang transparan atau implisit dan bentuk instrumen
kebijakan yang digunakan. Tiga kategori dalam pendefinisian proteksionisme
yang dirumuskan oleh Levy adalah sebagai berikut:10
Pertama, Intentional Protectionism.Bentuk proteksionisme ini merupakan
bentuk yang paling transparan dengan rumusan kebijakan yang secara eksplisit
berpihak kepada industri domestik daripada impor asing. Instrumen kebijakan
yang dipakai adalah instrumen yang dikenal dengan umum berupa penerapan tarif
impor, subsidi ekspor, dan kuota. Walaupun sudah mengalami pengurangan yang
sangat drastis semenjak dikuatkannya liberalisasi perdagangan di tingkat global,
jenis proteksionisme ini masih sangat lazim diterapkan di negara berkembang
untuk komoditas manufaktur dan hampir disemua negara untuk produk pertanian.
Penekanan dalam klasifikasi intentional protectionism adalah mengenai
tujuan yang eksplisit dan instrumen yang transparan.11 Penerapan subsidi
pendidikan dan pengembangan teknologi yang dianggap bukan merupakan jenis
proteksionisme akan diklasifikasikan kedalam bentuk intentional protectionism
ketika subsidi ditujukan untuk pengembangan suatu industri secara spesifik
seperti yang diterapkan oleh pemerintahan Jepang melalui Ministry of
9Philip I Levy, “Imaginative Obstruction: Modern Protectionism in the Global Economy,” Georgetown Journal of International Affairs, 2009, Summer/Fall: 9. 10Ibid., 7-14. 11Ibid., 9.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
17
Universitas Indonesia
International Trade and Industry (MITI) dalam mensubsidi riset produk
semikonduktor untuk dijual secara dumping ke negara industri maju.12
Selain bentuk diatas, akhir-akhir ini juga berkembang bentuk lain yang tidak
mengundang reaksi publik secara luas akan tetapi berdampak sama dalam
keberpihakan kepada produsen lokal, yaitu kampanye pemakaian produk dalam
negeri. Kampanye sejenis ini menggunakan legitimasi penjagaan budaya (cultural
preservation) akan tetapi pada dasarnya bertujuan yang sama yaitu secara eksplisit
memberikan keberpihakan kepada produsen domestik dengan instrumen yang
transparan. Contoh dari jenis proteksi ini adalah kampanye “Buy American”,
“Cintailah Produk-Produk Indonesia”, dan bentuk lainnya.
Kedua, Incidental Protectionismmerupakan bentuk proteksionisme yang
memberikan dampak yang hampir sama seperti intentional protectionism akan
tetapi bekerja secara tidak langsung. Secara kebijakan, bentuk proteksionisme ini
tidak terlihat secara eksplisit mendiskriminasikan produk luar negeri atas produk
yang berasal dari produsen domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan
ketetapan-ketetapan yang memiliki legitimasi kuat sebagai persyaratan atas
produk luar yang akan masuk ke pasar domestik. Proteksionisme jenis ini bekerja
secara tidak langsung dengan memasukkan unsur non-perdagangan kedalam
persyaratan impor produk.13 Bentuk yang paling kontroversial adalah penerapan
standar kesehatan dan keamanan.
Kekurangan yang terdapat pada produk luar tidak lagi dilihat sebagai sebuah
kecacatan yang dapat ditoleransi akan tetapi dijadikan sebagai cara untuk
mengeliminasi produk tersebut secara keseluruhan dari pasar domestik. Kasus
yang paling umum adalah pelarangan masuknya produk daging sapi Eropa yang
mengandungbovine spongiform encephalopathyatau penyakit sapi gila ke pasar
Amerika Serikat. Kebijakan yang sama juga diterapkan oleh Eropa terhadap
produk padi Amerika Serikat yang dikembangkan dengan sistem rekayasa
genenik (Genetically Modified Organism). Seringkali kekurangan dan kecacatan
12Ryuzo Sato, Rama Ramachandran, dan Shunichi Tsutsui.“Protectionism and Growth of Japanese Competitiveness,”dalam Salvatore, ed. Protectionism and World Welfare. 340-41. 13Levy, “Imaginative Obstruction,” 11.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
18
Universitas Indonesia
pada suatu jenis produk dijadikan landasan atas ketidakpercayaan produk dari
luar, khususnya terhadap negara tertentu sehingga menimbulkan pelarangan
masuk untuk semua produk sejenis dari negara tersebut ke dalam pasar domestik.
Bentuk lainnya adalah kebijakan anti-dumping. Kebijakan ini secara
eksplisit ditujukan untuk menghindari kebijakan perdagangan negara lain yang
bersifat predator terhadap pasar domestik dan perdagangan dunia. Kebijakan
dumping dilakukan dengan menerapkan subsidi yang sangat besar akan produk
domestik untuk bersaing di pasar global dengan harga yang jauh dibawah biaya
produksi. Hal ini dinilai harus direspon karena secara langsung negara yang
menerapkan kebijakan ini bertujuan untuk dapat menguasai pasar dunia secara
monopolistik.
Kebijakan anti-dumping merupakan kebijakan yang sah ketika ditujukan
untuk menghindari penguasaan pasar dunia dengan cara yang curang oleh satu
negara. Akan tetapi tuduhan bahwa negara lain menerapkan kebijakan dumping
seringkali dijadikan alasan dalam penerapan kebijakan anti-dumping yang
mendiskriminasikan produk dari luar padahal memang negara luar tersebut
memiliki comparative advantage dalam memproduksi suatu komoditas secara
efektif.14 Kebijakan seperti ini sama saja dengan memberikan ketidakpercayaan
akan kebijakan yang diterapkan pihak lain. Anti-dumping bisa menyebabkan
dampak yang lebih parah dari tarif karena cenderung kurang transparan.
Contoh lainnya dari incidental protectionism adalah permainan dalam
pengaturan nilai tukar mata uang. Pengaturan nilai tukar dilegitimasi sebagai cara
untuk mewujudkan stabilitas ekonomi makro akan tetapi secara implisit dapat
membuat naiknya harga produk luar yang masuk ke pasar domestik sehingga tetap
bisa bersaing dengan produk dalam negeri. Hal ini pernah diterapkan oleh China
dengan menerapkan instrumen undevaluationyang menyebabkan turunnya impor
ke pasar China dan mendorong ekspor produk domestik ke pasar dunia.
Ketiga, istrumental protectionism. Bentuk proteksionisme ini merupakan
bentuk yang paling tidak transparan dan diterapkan dengan menggunakan
14Ibid., 12.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
19
Universitas Indonesia
kebijakan perdagangan sebagai sebagai alat untuk mendorong perubahan
kebijakan politik di negara lain.15 Jika gertakan yang diberikan berhasil dalam
merubah kebijakan negara lain, maka kebijakan proteksionisme tidak jadi
diterapkan, walaupun pastinya berpengaruh terhadap hubungan politik antar
negara tersebut. Akan tetapi jika tidak ada perubahan politik maka akan
diterapkan bentuk proteksi perdagangan sebagai konsekuensi ancaman.
Cara ini pernah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan mengancam akan
keluar dari perjanjian North America Free Trade Area (NAFTA) jika negara-
negara anggotanya tidak mau memasukkan aspek kesejahteraan buruh dan
lingkungan kedalam mekanisme perjanjian perdagangan. Gertakan ini mendorong
negara di Amerika Utara untuk mereformasi beberapa kebijakan perdagangan
mereka. Hal serupa juga pernah diajukan oleh Amerika Serikat dalam kerangka
WTO, akan tetapi ditolak oleh mayoritas negara berkembang karena sulit bagi
mereka untuk mengadopsi aspek kesejahteraan buruh dan lingkungan dalam
waktu dekat. Penolakan dari mayoritas negara anggota WTO ini pada akhirnya
tidak menyebabkan Amerika Serikat menerapkan kebijakan proteksionisme
terhadap negara berkembang. Faktor keseimbang kekuatan politik menjadi salah
satu pertimbangan dalam penerapan jenis proteksi ini.
15Ibid., 12.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
20
Universitas Indonesia
BAB 2
PERKEMBANGAN WACANA TENTANG PROTEKSIONISME
Perkembangan wacana mengenai proteksionisme secara umum dapat dilihat
dari perkembangan liberalisasi perdagangan dunia. Perubahan pandangan serta
penerapan kebijakan proteksionisme perdagangan terjadi seiiring dengan
perkembangan liberalisasi perdagangan dunia pada masa sebelum Perang Dunia,
masa antar Perang Dunia, dan masa pasca-Perang Dunia hingga saat ini. Pada
masa sebelum Perang Dunia, proteksionisme dengan instrumen kebijakan berupa
tarif merupakan hal yang lazim diterapkan oleh berbagai negara. Wacana tentang
proteksionisme pada masa ini seringkali diasosiasikan dengan pandangan
merkantilisme yang berkembang di Eropa pada abad ke-15.
Wacana mengenai merkantilisme dan proteksionisme ini bergeser pada
akhir abad ke-17 dengan muncul dan berkembangnya teori absolute advantage
dan comparative advantage yang melandasi agenda liberalisasi perdagangan.
Pandangan mengenai liberalisasi perdagangan ini dengan cepat diadopsi oleh
negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika dalam kurun waktu hingga
pertengahan abad ke-19. Akan tetapi penyebaran pandangan liberalisasi
perdagangan ini secara praktik tidak semerta-merta menghilangkan penerapan
kebijakan proteksionisme.
Tidak lama setelah masa-masa kejayaan liberalisasi perdagangan di
kawasan Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-19, tren penerapan kebijakan
proteksionisme kembali meningkat dengan tajam. Negara industri maju di Eropa
dan Amerika Serikat serta hampir seluruh negara di dunia menerapkan kembali
hambatan perdagangan berupa tarif yang tinggisebagai akibat dari resesi ekonomi
pada masa antar Perang Dunia. Disebutkan bahwa pada masa ini perdagangan dan
perekonomian dunia terjebak dalam lingkaran setan proteksionisme.
Wacana mengenai terjebaknya perdagangan dunia dalam lingkaran setan
proteksionisme pada masa antar perang telah menjadi sorotan utama dalam
pemulihan perekonomian pasca-Perang Dunia II. Pasca-Perang Dunia II dibentuk
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
21
Universitas Indonesia
instrumen GATT yang berfungsi untuk meliberalisasi perdagangan dunia secara
multilateral dengan membuat pengaturan tentang pengurangan tarif sebagai
hambatan perdagangan. Dua dekade pasca-Perang Dunia II GATT dikatakan telah
berhasil menurunkan tarif secara signifikan pada mayoritas negara industri maju
dandapat mengikat komitmen negara-negara lainnya untuk meliberalisasi
perdagangan mereka.
Pada dekade 1970an, wacana konvensional proteksionisme terkait dengan
hambatan berupa tarif bergeser secara signifikan dengan munculnya berbagai
bentuk instrumen hambatan perdagangan non-tarif yang dikenal dengan sebutan
new protectionism. Instrumen hambatan perdagangan dalam new protectionism
bersifat tidak transparan, beragam, dan banyak diterapkan oleh negara maju yang
pada awalnya merupakan promotor dari liberalisasi perdagangan dunia. Hal ini
berdampak pada disorotnya wacana mengenai proteksionisme sebagai salah satu
isu utama dalam setiap agenda liberalisasi perdagangan dunia semenjak itu.
2.1 Wacana Tentang Proteksionisme Sebelum Perang Dunia I
Proteksionisme dalam sejarah pemikiran ekonomi seringkali diasosiasikan
dengan pandangan merkantilisme yang berkembang di Eropa pada abad ke-
15.Merkantilisme memiliki kedekatan pandangan dengan proteksionisme terkait
dengan campur tangan pemerintah yang erat dalam kegiatan
perdagangan.Penerapan pandangan merkantilisme tercatat sebagai salah satu
langkah yang mengawali sejarah kejayaan Inggris (Great Britain) dari abad ke-15
hingga abad ke-17. Pada masa ini pemerintah bekerjasama dengan para pedagang
(merchant) untuk melakukan ekspansi melalui pembentukan koloni-koloni
perdagangan yang melakukan pelayaran ke pelosok dunia. Hasil perjalanan
perdagangan (ekspansi) selanjutnya digunakan untuk menguasai pasar Eropa dan
memperkuat kekuasaan Inggris baik di kawasan Eropa maupun dunia.
Dalam paham merkantilisme, perdagangan dinilai sebagai proses zero-
sumgamedimana kemenangan bagi suatu pihak berarti kehilangan kekuasaan pada
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
22
Universitas Indonesia
pihak lainnya.16 Paham ini telah menghantarkan berbagai bentuk ekspansi dagang
dilakukan oleh negara-negara di Eropa pada abad pertengahan. Sektor
perdagangan dan pemerintah bekerjasama dalam meningkatkan kekayaan negara
dimana disaat yang bersamaan berusaha merebut kekayaan yang dimiliki
lawannya. Proses perdagangan ditujukan untuk memperkuat kekuasaan negara
dimana selain melakukan ekspansi negara juga melakukan pencegahan adanya
aliran uang dari dalam negeri ke luar dan memastikan total ekspor jauh melampui
total impor dengan menerapkan tarif impor yang tinggi.
Pada tahap ini proteksionisme memiliki kaitan yang sangat erat dengan
pandangan ekonomi merkantilisme dalam hal penerapan kebijakan tarif impor
yang tinggi oleh negara untuk melindungi produsen dan pedagang domestik dari
kompetisi dengan pihak luar. Perdagangan pada masa ini dinilai tidak stabil
dikarenakan tidak dapat diprediksinya harga komoditas lintas negara.17 Tingkat
hambatan perdagangan berupa tarif yang sangat bergantung pada kekuasaan
politik dari negara tujuan ekspor membuat perdagangan lintas negara tidak
berkembang dengan baik dan mendorong negara-negara besar untuk melakukan
ekspansi.
Paham merkantilisme yang mendorong kejayaan yang diraih Inggris melalui
ekspansi perdagangan diperkuat dengan terjadinya Revolusi Industri pada akhir
abad ke-17. Efisiensi produksi yang diperoleh melalui Revolusi Industriini
semakin mengokohkan posisi Inggris sebagai pelaku perdagangan dunia yang
terkuat dan hegemonik.Berbagai komoditas dagang dapat dihasilkan oleh Inggris
dengan cara yang sangat efektif dan dapat diekspor dengan murah sebagai dampak
posistif dari biaya produksi yang rendah. Untuk memasarkan produk industrinya,
Inggris melakukan berbagai perjanjian bilateral untuk guna menurunkan tingkat
hambatan tarif pada negara yang menjadi sasaran pasar.
Seiring dengan kekuatan baru Inggris dalam menguasai perdagangan dunia
dan pengaruh Revolusi Industri terhadap pola produksi di kawasan Eropa,
pandangan tentang perdagangan ikut bergeser. Perdagangan tidak lagi dianggap
16Natalie Goldstein, Globalization and free trade (New York: Infobase Publishing, 2007), 7. 17World Trade Organization, World Trade Report 2007, Switzerland: WTO Publications, 2007, 38.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
23
Universitas Indonesia
sebagai zero-sum game,akan tetapi merupakan proses positve-sum game.18Setiap
aktor dalam perdagangan diyakini akan mendapatkan keuntungan dari menjual
produk yang menjadi comparative advantagenya dimana setiap aktor yang terlibat
akan memperoleh kebermanfaatan dari perdagangan. Pandangan ini diperkenalkan
oleh David Ricardo yang merupakan penyempurnaan dari teori absolute
advantage yang dibawa oleh Adam Smithdalam rangka mengkritik pandangan
merkantilisme.
Pandangan tentang liberalisasi perdagangan yang diperkenalkan oleh
Adam Smith dan David Ricardo semenjak akhir abad ke-17 ini memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap perubahan kebijakan perdagangan di
wilayah Eropa. Dengan kejayaan yang diraih oleh Inggris, pandangan tentang
liberalisasi perdagangan dengan cepat diterima oleh negara-negara di Eropa dan
dunia. Berbagai perjanjian pengurangan tarif disepakati dalam perdagangan di
wilayah Eropa yang dengan cepat menghasilkan peningkatan volume
perdagangan.
Perdagangan bebas di wilayah Eropa mencapai titik puncaknya pada
pertengahan abad ke-19 ketika Inggris pada tahun 1846mencabut Corn Lawyang
sarat dengan penerapan nilai tarif impor yang tinggi.19Hal ini juga terjadi di
tatanan internasional. Berbagai perjanjian perdagangan bilateral dan perpacuan
teknologi serta efisiensi produksi di Amerika Serikat dan Jepang telah mendorong
pergerakan yang signifikan dalam peningkatan arus lalu lintas perdagangan
barang di dunia.
Dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
pandangan merkantilisme dan proteksionisme perdagangan mulai kehilangan
legitimasinya di negara-negara industri maju.20 Melalui berbagai perdebatan
akademis yang dimotori oleh para pemikir ekonomi neo-klasik, perdagangan
bebas menjadi arus utama dalam pemikiran kebijakan perdagangan pada abad ke-
18Gilpin, Global Political Economy, 79. 19Philip McMichael, “Globalization: Trend or Project,” dalam Global Political Economy: Contemporary Theories,ed. Rolen Palan (New York: Routledge, 2000),103. 20Arthur A. Stein,” The Hegemon's Dilemma: Great Britain, the United States, and the International Economic Order,” International Organization 38, no. 2 (1984): 356.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
24
Universitas Indonesia
19 dan awal abad ke-20. Hal ini didukung oleh penerapan kebijakan perdagangan
yang berorienstasi pada pengurangan hambatan perdagangan oleh negara industri
maju yang memiliki kekuatan politik yanghegemonik.
Akan tetapi perlu menjadi catatan bahwa perkembangan liberalisasi
perdagangan dunia pada masa sebelum Perang Dunia ini tidak berarti telah
menghilangkan bentuk proteksionisme perdagangan. Proses liberalisasi
perdagangan pada masa ini dilakukan melalui pembukaan pasar secara bilateral
dan tidak oleh semua negara. Proses pembukaan pasar dilakukan atas dasar
hubungan perdagangan antar negara dimana kesepakatan yang dibuat merupakan
kesepakatan tertutup antara pihak yang terlibat. Di wilayah Eropa, Prancis dengan
konsep perdagangannya laissez faire dikenal sebagai salah satu promotor
perdagangan bebas, pengurangan nilai tarif yang menghambat perdagangan hanya
dilakukan kepada rekan perdagangannya. Hingga akhir abad ke-20 Prancis masih
tercatat sebagai salah satu negara di wilayah Eropa yang menerapkan kebijakan
proteksionisme dengan masif berupa penetapan tarif impor yang sangat tinggi
terhadap pihak luar. 21
21World Trade Organization, World Trade Report 2007, 38.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
Perkembangan Wacana Proteksionisme Sebelum Perang Dunia I
Sumber: Disarikan oleh
2.2 Wacana tentang Proteksionisme pada Masa Antar
Tenggelamnya wacana proteksionisme di tengah liberalisasi perdagangan
dunia di Wilayah Eropa dan negara industri maju tidak berlangsung lama. Wacana
tentang proteskionisme dan
masa antar Perang Dunia
kembali mengalami pergeseran. Dunia yang mengalami keterpurukan ekonomi
Periodesasi
Sebelum Perang Dunia I
Universitas Indonesia
Gambar 1 Perkembangan Wacana Proteksionisme Sebelum Perang Dunia I
Sumber: Disarikan oleh Penulis dari berbagai sumber
2.2 Wacana tentang Proteksionisme pada Masa Antar Perang Dunia
Tenggelamnya wacana proteksionisme di tengah liberalisasi perdagangan
dunia di Wilayah Eropa dan negara industri maju tidak berlangsung lama. Wacana
tentang proteskionisme dan penerapan kebijakannya kembali menguat pada pada
Perang Dunia I dan II. Tren dalam kebijakan perdagangan dunia
kembali mengalami pergeseran. Dunia yang mengalami keterpurukan ekonomi
Perkembangan
Proteksionisme
Wacana dalam Kebijakan
Perdagangan
Merkantilisme diasosiasikan dengan
Proteksionisme
Proteksionisme masih dianggap sebagai pilihan terbaik untuk
memperkuat
Diperkenalkannya teori Comparative Advantage yang
melandasai liberalisasi
perdagangan dunia
Wacana mengenai proteksionisme
tergeser oleh wacana
perdagangan
Liberalisasi dilakukan dengan
pendekatan bilateral dan regional
Pengurangan hambatan perdagangan hanya
terjadi pada negara yang memiliki perjanjian bilateral. mayoritas
negara di dunia masih menerapkan protectionism.
25
Universitas Indonesia
Perkembangan Wacana Proteksionisme Sebelum Perang Dunia I
Perang Dunia
Tenggelamnya wacana proteksionisme di tengah liberalisasi perdagangan
dunia di Wilayah Eropa dan negara industri maju tidak berlangsung lama. Wacana
kembali menguat pada pada
Tren dalam kebijakan perdagangan dunia
kembali mengalami pergeseran. Dunia yang mengalami keterpurukan ekonomi
Perkembangan Wacana
Proteksionisme
Proteksionisme masih dianggap sebagai pilihan terbaik untuk
memperkuat powernegara
Wacana mengenai proteksionisme
tergeser oleh wacana liberalisasi
perdagangan
Pengurangan hambatan perdagangan hanya
terjadi pada negara yang memiliki perjanjian bilateral. mayoritas
negara di dunia masih menerapkan old protectionism.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
26
Universitas Indonesia
dalam Great Depression dengan puncaknya pada tahun 1930an diikuti dengan
diterapkannya kebijakan proteksionisme bahkan isolasionis oleh berbagai negara
terhadap perdagangan produk dari luar.
Selama masa antar perang ini terjadi proliferasi berbagai jenis kebijakan
proteksionisme yang menghambat perdagangan antar negara terutama penerapan
tarif impor yang sangat tinggi dan kontrol devisa yang ketat. Penerapan kebijakan
proteksionisme oleh satu negara dibalas oleh negara lain dengan juga menerapkan
kebijakan serupa. Volume perdagangan dunia turun secara drastis sebagai dampak
dari terjebaknya dunia dalam spriral lingkaran setan kebijakan proteksionisme
yang diterapkan oleh berbagai negara.22Pada masa ini wacana tentang
proteksionisme muncul sebagai salah satu isu paling sentral dalam perdagangan
dunia.
Kuatnya wacana tentang proteksionisme pada masa antar perang tidak bisa
dilepaskan dari sikap Inggris, negara perdagangan terkuat dan hegemonik pada
saat itu, yang menerapkan tarif impor yang tinggi.23 Penerapan kebijakan
proteksionisme dengan tarif impor yang tinggi oleh Inggris mendapatkan
respondari Amerika Serikat dan negara rekan perdagangan Inggris lainnya yang
juga menerapkan kebijakan yang sama. Pada masa ini perdagangan dunia terjebak
dalam sistem beggar-thy-neighbour (pengkambinghitaman) dan retaliation
(pembalasan) atas kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh negara lain.
Pertumbuhan perdagangan dunia yang mencapai 11,9 persen pada awal abad ke-
20 mengalami penurunan pertumbuhan hingga 7.1 persen diakhir Perang Dunia
II.24
Milton Friedman, seorang pemikir neo-liberal pendukung gagasan ekonomi
perdagangan bebas laissez-faire, berpendapat bahwa pada masa krisis pemerintah
memang akan memiliki kecenderung untuk menolak rasionalitas pasar.25
Pemerintah akan mengambil kebijakan melindungi perdagangan domestik dari 22Susan Strange, “Protectionism and World Politics,” 245. 23William R. Thompson and Rafael Reuveny, “Tariffs and Trade Fluctuations: Does Protectionism Matter as Much as We Think?,” International Organization 52, No. 2 (1998) : 433. 24Paul Krugman, “Growing World Trade: Causes and Consequences,” Brookings Papers on Economic Activity 1995, no.1: 331. 25Gilpin, Global Political Economy, 264-65.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
27
Universitas Indonesia
persaingan dengan pasar luar dengan meningkatkan berbagai instumen hambatan
perdagangan.Senada dengan Friedman, W. Max Corden dalam The Revival of
Protectionism mencatat bahwa resesi ataupun depresi ekonomi selalu diikuti
dengan peningkatan tekanan domestik terhadap pemerintah untuk membentuk
kebijakan proteksi perdagangan.26Akan tetapi hubungan ini hanya berlaku satu
arah dimana kebijakan proteksionisme tidak bisa memberikan dampak langsung
dalam memoderasi resesi yang tengah terjadi.Penerapan kebijakan proteksionisme
pada saat resesi perdagangan hanya berdampak sementara untuk mengamankan
sebahagian kecil permasalahan domestik seperti pengangguran,akan tetapi sulit
untuk menyelesaikan permasahan keterpurukan ekonomi secara keseluruhan.
Sikap proteksionis berbagai negara dengan menaikkan tarif masuk barang
impor pada masa antar perang dianggap sebagai salah satu permasalahan utama
yang menyebabkan turunnya volume perdagangan dunia.Hal ini diikuti oleh
kebijakan beggar-thy-neighbour dimana suatu negara menyalahkan kebijakan
proteksionisme yang diterapkan oleh negara lain dan membalasnya dengan juga
menerapkan kebijakan proteksionisme terhadap produk impor negara lawannya
(retaliation).27 Douglas Irwin dalam Free Trade Under Fire menilai bahwa
kebijakan beggar-thy-neighbour berpotensi menyebabkan pembalasan
(retaliation). Hal ini bisa terjadi karena impor suatu negara merupakan pasar
ekspor negara lain yang jika terhambat oleh penerapan kebijakan retaliation
makan akan menyebabkan sistem perdagangan dunia terjebak dalam lingkaran
setan proteksionisme.28 Dalam rentang waktu tahun 1929-1932, yang merupakan
puncak dari Great Depression, pertumbuhan volume perdagangan dunia turun
hingga 26 persen, produksi komoditas dunia turun sebesar 32 persen, dan
pengangguran meningkat hingga angka 20 persen populasi.29
Seperti yang telah diulas diatas, sebuah wacana umum dalam ekonomi
liberal bahwa disaat perekonomian dunia sedang mengalami kegagalan dimasa
26W Max Corden, The Revival of Protectionism in Developed Countries, dalam Salvatore, ed. Protectionism and World Welfare, 55-57. 27Joseph A. McKinney, “The World Trade Regime: Past Successes and Future Challenges,” International Journal 49, No. 3, (1994): 445. 28Irwin, Free Trade Under Fire, 219. 29Ibid.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
28
Universitas Indonesia
Great Depreesionkondisi diperparah oleh penguatan kebijakan proteksionisme
yang diterapkan oleh hampir semua negara. Penguatan tren penerapan kebijakan
proteksionisme dilakukan oleh negara untuk menekan pengeluaran atas
persaingan dengan barang dari luar negeri. Negara perlu untuk mengamankan
permasalahan domestik seperti pengganguran dan yang lebih umum untuk
kembali menciptakan stabilitas ekonomi.Akan tetapi hal ini tidak tercapai karena
bukannya stabilitas ekonomi yang terbentuk, pembalasan akan kebijakan
proteksonisme oleh negara lain menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini
berujung pada penderitaan yang dialami oleh semua negara dan aktor
perdagangan.tidak ada yang diuntungkandan berujung pada ekonomi dunia yang
semakin terpuruk.30
Terjebaknya perekonomian dan perdagangan dunia dalam spiral lingkaran
setan proteksionisme jelas saja akan memperlambat pemulihan ekonomi global.
Kehadiran berbagai forum diplomasi multilateral dinilai menjadi sebuah
keharusan untuk menghentikan pembusukan lebih lanjut.31Dampak yang
diakibatkan oleh kegagalan ekonomi mempunyai potensi untuk merambat ke
ranah politik yang berimplikasi pada rusaknya hubungan antar negara dan
memunculkan kemungkinan konflik. Jika tidak segera dihentikan, permasalahan
proteksionisme yang menghambat perdagangan akan menjadi semakin pelik dan
kehancuran ekonomi mustahil untuk dihindari.
30Jakob B Madsen, “Trade Barriers and the Collapse of World Trade During the Great Depression,” Southern Economic Journal 6, no. 4 (2001): 848–68. 31GATT, International Trade 1982/3 (Geneva, 1983 )
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
Perkembangan Wacana
Sumber: Disarikan oleh
2.3 Wacana Tentang Proteksionisme
Liberalisasi perdagangan yang dilakukan secara bilateral
akhir abad ke-17 dan
Amerika Serikat pada masa antar perang telah menghantarkan kepada pemahaman
bahwa negosiasi perdagangan dunia bersifat resiprokal
perdagangan lebih dahulu dari negara lain tanpa
Periodesasi
Masa Antar Perang Dunia
Universitas Indonesia
Gambar 2 Perkembangan Wacana Proteksionisme pada Masa Antar Perang Dunia
Sumber: Disarikan oleh Penulis dari berbagai sumber
2.3 Wacana Tentang Proteksionisme Pasca-Perang Dunia II
Liberalisasi perdagangan yang dilakukan secara bilateral oleh Inggris pada
17 dan beralihnya kekuatan hegemonik perdagangan dunia kepada
Amerika Serikat pada masa antar perang telah menghantarkan kepada pemahaman
i perdagangan dunia bersifat resiprokal. Melakukan liberalisasi
lebih dahulu dari negara lain tanpa adanya komitmen bersama
Perkembangan Wacana
Proteksionisme
Wacana dalam Kebijakan
PerdaganganPeriodesasi
Perang Dunia
Perekonomian Dunia terjebak dalam Great Depression
Proteksionisme disoroti sebagai kebijakan yang
bersifat beggar
neighbourretaliation
membuat perdagangan dunia
terjebak dalam spiral lingkaran setan hambatan perdagangan.
Terjadi pergeseran kekuatan
perdagangan dunia yang sebelumnya
dikuasai oleh Inggris kepada
Amerika Serikat sebagai
konsekuensi dari kemenangan atas
perang
Mayoritas negara di dunia masih menerapkan
proteksionisme dengan instrumen
29
Universitas Indonesia
Proteksionisme pada Masa Antar Perang Dunia
oleh Inggris pada
beralihnya kekuatan hegemonik perdagangan dunia kepada
Amerika Serikat pada masa antar perang telah menghantarkan kepada pemahaman
. Melakukan liberalisasi
adanya komitmen bersama
Perkembangan Wacana
Proteksionisme
Proteksionisme disoroti sebagai kebijakan yang
bersifat tit-for-tat, beggar-thy-
neighbour, dan retaliation dimana
membuat perdagangan dunia
terjebak dalam spiral lingkaran setan hambatan perdagangan.
Mayoritas negara di dunia masih menerapkan
proteksionisme dengan instrumen
tarif.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
30
Universitas Indonesia
seperti layaknya melucuti senjata sendiri dan masuk kedalam perperang dengan
tangan kosong.32 Hal inilah yang mendasari Amerika Serikatuntuk membentuk
sistem liberalisasi perdagangan dunia yang multilateral pasca-Perang Dunia II.
Liberalisasi perdagangan yang sebelumnya dilakukan oleh Inggris dan
negara industri maju dengan cara perundingan bilateral dirasa tidak cukup untuk
memulihkan perdagangan dunia yang telah terjebak dalam spiral proteksionisme
pasca-Perang Dunia II. Diperlukan instrumen yang bersifat multilateral dalam
agenda perdagangan dunia pasca perang untuk pemulihan di berbagai sektor
perekonomian. Diperlukan kekuatan politik untuk menyamakan tingkat
liberalisasi perdagangan semua negara yang diyakini sebagai salah satu jalan
untuk mendapatkan manfaat maksimal dari perekonomian pasar.Hambatan dalam
perdagangan harus dikurangi hingga dihilangkan.Volume perdagangan dunia yang
tergantung pada bagaimana batas-batas antar negara diukur dalam konteks alur
produksi harus dilepaskan dari intervensi negara yang berdampak pada
terhambatnya pertumbuhan perdagangan.33
Menjawab keresahan akan hal tersebut, dengan kekuatan politik yang
dimilikinya sebagai pemenang perang, pada tahun 1944 Amerika Serikat
menginisiasi diadakannya konferensi Bretton Woods.Sebanyak 730 delegasi dari
44 negara sekutu berkumpul pada konferensi iniguna merundingkan pengaturan
moneter dan tatanan keuangan internasional pasca-Perang Dunia.34 Selain
melahirkan International Bank for Reconstruction and Development (sekarang
dikenal sebagai World Bank) dan International Monetary Fund (IMF), dalam
konferensi ini juga diajukan proposal pendirian International Trade Organization
(ITO) yang nantinya akan mengatur perdagangan dunia. Akan tetapi proposal ini
gagal dan baru dibahas kembali dalam United Nations Conference on Trade and
Employment pada tahun 1947.
Perundingan untuk dibuatnya kerangka perjanjian perdagangan yang
bersifat multilateral mencapai kata sepakat dengan diresmikannya GATT pada
32Richard N. Cooper, US Response to Foreign Industrial Policies, dalam dalam Salvatore, ed. Protectionism and World Welfare, 151. 33Irwin, Free Trade Under Fire, 71. 34Gilpin, Global Political Economy, 217-19.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
31
Universitas Indonesia
akhir tahun 1947. Kerangka perjanjian perdagangan pertama yang bersifat
multilateral ini disepakati penerapannya pada tahun 1948 dan memuat prinsip-
prinsip liberalisme dengan mendukungliberalisasi perdagangan. Berdasarkan
pembukaan dalam piagamnya, GATT bertujuan untuk mengatur pengurangan tarif
pada barang-barang impor dengan proses yang sama pada setiap anggotanya
(substantial reduction of tarifs and other trade barriers and the elimination of
preferences, on a reciprocal and mutually advantageous basis).
Di bawah kesepakatan GATT tahun 1947, 23 negara menyepakati
diterapkannya sistem perdagangan dunia yang multilateral dengan 123 poin
negosiasi mencakupi lebih dari 50.000 jenis barang perniagaan.35 Perjanjian
perdagangan ini melingkupi berbagai masalah hambatan perdagangan yang
menyebabkan sulitnya suatu barang dari suatu negara masuk kedalam pasar impor
negara lain.Dengan instrumen GATT yang bersifat politik dan berbasiskan
kesepakatan semua anggota, hambatan perdagangan yang meningkat dengan
tajam selama masa antar perang dapat berangsur turun secara signifikan.
Semenjak berdirinya instrumen GATT, wacana tentang proteksionsime
telah berganti dengan agenda liberalisasi perdagangan dunia yang secara masif
dan multilateral berusaha meminimalisir bentuk umum hambatan perdagagan
berupa tarif. Secara politik, agenda liberalisasi perdagangan dunia yang digawangi
oleh Amerika dengan dukungan dan kerjasama yang kuat dari negara sekutu
pemenang Perang Dunia II ini dapat diterima secara luas oleh negara-negara di
dunia dengan menerapkan sistem “The Compromise of Embedded Liberalism”.36
Negara yang ikut dalam perjanjian perdagangan dibawah GATT untuk jangka
waktu tertentu diperbolehkan tetap mengadopsi beberapa bentuk kebijakan
proteksionis,akan tetapi diwaktu yang bersamaan harus memiliki komitmen untuk
membuka pasar mereka terhadap perdagangan dunia. Penerapan embedded
35Eichengreen, Barry, dan Douglas Irwin, “Trade Blocs, Currency Blocs and the Reorientation of World Trade in the 1930s,” Journal of International Economics, no. 38 (1995): 24. 36John Gerard Ruggie, International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order, dalam International Regimes, Ed. Stephen D. Krasner (Cornell: Cornell University Press, 1983),195-231.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
32
Universitas Indonesia
liberalism ini berhasil membawa mayoritas negara di dunia kearah liberalisasi
perdagangan dunia.37
Dua dekade setelah Perang Dunia II diklaim sebagai kembalinya
perdagangan duniapada masa keemasan.Total ekspor dunia dari negara bukan
komunis yang meningkat dengan luar biasa hingga 290 persen diantara tahun
1948 hingga tahun 1968 dilihat sebagai dampak langsung dari pengurangan
penerapan hambatan perdagangan berupa tarif.38Era pasca-Perang Dunia II ini
merupakan awal babak baru perkembangan ekonomi dunia.Sistem perekonomian
dunia dikatakan berpindah menjauh dari kebijakan yang cenderung isolasionis dan
protesionis yang menguat dimasa antar perang.Ledakan perdagangan pasca-
Perang DuniaII merupakandiklaim sebagai dampak positif dari liberalisasi
kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh berbagai negara.
Pertumbuhan volume perdagangan dunia naik secara konstan dan signifikan
dalam rata-rata 8 persen pertahunnya dalam dua dekade pasca lahirnya GATT.
Hal ini berimplikasi positif pada legitimasi yang semakin kuat bagi negara-negara
promotor liberalisasi pedagangan untuk memperluas penerapan perdagangan
dunia yang liberal, multilateral, dan non-diskriminatif sesuai dengan cita-cita
GATT. Enam perundingan awal GATT dari tahun 1947 di Geneva hingga tahun
1964 di Amerika Serikat (Kennedy Round) berfokus pada pengurangan hambatan
berupa tariff. Enam perundingan ini disebut telah berhasil menurunkan tingkat
tarif secara signifikan hingga hanya 5 persen untuk sebahagian besar produk
perdagangan. Volume perdagangan dunia pada tahun 1960an telah mencapai lebih
dari 125 miliar dollar pertahunnya atau 40 kali lipat volume perdagangan dunia
pada tahun 1929 tepat sebelum terjadinya Great Depression.
Wacana tentang proteksionisme pada dua dekade pasca-Perang Dunia II
nyaris tenggelam dalam wacana dan agenda liberalisasi perdagangan dunia.
Mayoritas negara di dunia telah menyetujui kerangka GATT untuk meliberalisasi
perdagangan mereka. Hambatan perdagangan berupa tarif turun secara signifikan
37Gilpin, Global Political Economy, 98. 38Ashworth, A Short History of the International Economy Since 1850.(London: Longman, 1987), 285.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
33
Universitas Indonesia
di hampir semua negara industri maju dan secara berangsur pada sebahagian besar
negara berkembang.
Akan tetapi kecenderungan pergeseran perdagangan dunia secara cepat ke
arah liberalisasi seperti sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Pada awal
dekade tahun 1970an dunia mengalami krisis minyak yang sangat hebat
disebabkan gangguan ekspor dari Timur Tengah sebagai efek dari beberapa
perang dan revolusi yang terjadi di Kawasan Teluk.39Volume perdagangan dunia
yang sebelumnya tumbuh diatas 8 persen pertahunnya turun secara dramatis
hingga menyentuh angka 3 persen di awal tahun 1980.40 Berbagai cara dilakukan
oleh negara untuk bertahan dalam masa krisis dan melindungi perekonomian
mereka.
Tercatat pada rentang dekade tahun 1970an wacana dan penerapan
kebijakan proteksionisme kembali menguat. Kebijakan proteksionisme
perdaganganditerapkan oleh mayoritas negara di dunia, tidak terkecuali negara
maju, untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan yang diakibatkan resesi
ekonomi ini. Hal yang paling mengejutkan adalah negara industri maju yang juga
menerapkan kebijakan proteksionisme perdagangan.
Negara-negara maju yang menjadi promotor pengurangan hambatan berupa
tarif pasca-Perang Dunia II menerapkan instrumen hambatan perdagangan yang
tidak umum yaitu instumen non-tarif yang selanjutnya dikenal sebagai new-
protectionism. Instrumen non-tarif ini meliputi berbagai bentuk mulai dari
penetapan lisensi impor terbatas, voluntary export restraint, embargo, dan
berbagai bentuk lainnya yang terus berkembang. Hambatan perdagangan non-tarif
ini belum diatur sepenuhnya dalam kesepakatan-kesepakatan liberalisasi
perdagangan dunia dibawah GATT.41 Perundingan mengenai hambatan non-tarif
baru mulai disusun di Tokyo Round pada tahun 1974 dan dibahas pada Uruguay
Round hingga tahun 1994.
39Patrick Love dan Ralph Lattimore, International Trade: Free, Fair and Open?, (France: OECD Publishing, 2009), 32. 40Salvatore, Protectionism and World Welfare, 3. 41Ibid., 4.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
34
Universitas Indonesia
Permasalahan bukan hanya berasal dari instrumen kebijakan non-tarif yang
belum diatur dalam kesepakatan GATT. Instrumen hambatan perdagangan dalam
new protectionism ini tidak hanya dilakukan oleh negara berkembang yang
sebelumnya menjadi sasaran pengurangan tarif, akan tetapi oleh hampir semua
negara yang terlibat dalam perdagangan dunia.Negara-negara industri maju seperti
Amerika Serika dan Eropa Barat secara masif menerapkan berbagai bentuk
instrumen new protectionism ini.
Paradoks keterlibatan negara maju yang merupakan promotor perdagangan
bebas dalam menerapkan berbagai instrumen proteksionisme menjadi perdebatan
yang memperpanjang perundingan perdagangan dunia selanjutnya.Negara
berkembang yang sudah mulai memperlihatkan kesiapan kearah liberalisasi
perdagangan dihadapkan dengan ketidakkonsistenan negara industri maju yang
juga ikut menerapkan berbagai instrumen kebijakan proteksionis.42Hal ini secara
langsung berdampak pada Uruguay Round yang dilaksanakan pada tahun
1986.Perundingan ini memakan waktu sangat lama dibandingkan dengan
perundingan-perundingan sebelumnya. Isu kedaulatan ekonomi dari mayoritas
negara berkembang dan keinginan negara maju untuk memperkuat efisiensi
teknologi industri dengan penerapan beberapa pengecualian instrumen kebijakan
proteksionisme menjadi hal mendasar yang diperdebatkan.
Sulitnya mencapai titik temu dalam Uruguay Round menyiratkan mulai
menguatnya pertentangan dalam kesepatan di bawah GATT.Tujuan dasar dari
GATT untuk menguatkan liberalisasi perdagangan dunia dan mengembalikan
kondisi perdagangan pada pertumbuhan yang cepat seperti masa keemasan dua
dekade pasca-Perang Dunia II menghadapi tantangan yang cukup serius. Uruguay
Round yang berakhir pada tahun 1994 ditutup dengan salah satu kesepakatan
berupa diinstitusionalisasikannya GATT menjadi WTO (World Trade
Organizations).
WTO didirikan sebagai bentuk institusionalisasi dari pengaturan umum
mekanisme penyelesaian perjanjian yang dilakukan oleh GATT.Hal ini dinilai
42W Max Corden, The Revival of Protectionism in Developed Countries, dalam Salvatore, ed. Protectionism and World Welfare, 54-55
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
35
Universitas Indonesia
perlu mengingat perundingan dibawah GATT semakin meruncing. Dengan
berbagai perdebatan yang muncul,dibutuhkan adanya institusi yang lebih
mengikat untuk menjadi penengah dalam berbagai konflik perjanjian perdagangan
multilateral.43
Pada satu sisi, institusionalisasi GATT menjadi WTO dapat diartikan
sebagai penguatan liberalisasi perdagangan dunia, akan tetapi disisi lain hal ini
juga berarti bahwa liberalisasi perdagangan dunia semakin mendapatkan
tantangan melalui lahirnya berbagai perdebatan tentang pandangan dalam
kebijakan perdagangan. Negara berkembang yang sebelumnya cenderung
mengikuti alur perundingan yang dibawakan oleh negara industri maju sebagai
promotor perdagangan bebas mulai dan terus mengambil peran aktif dalam
berbagai perundingan setelah Uruguay Round.44Dengan didirikannya WTO bukan
berarti agenda liberalisasi perdagangan dunia menghadapi jalan yang semakin
mudah, tantangan yang muncul dalam menghadirkan kesepakatan bersama pada
perundingan-perundingan berikutnyaakan semakin menguat.
Perundingan perdagangan multilateral kembali diadakan pada tahun 2001
dengan namaDoha Development Round. Perundingan yang dimulai di Doha ini
merupakan perundingan pertama di bawah WTO dengan agenda pembahasan
terkait hambatan perdagangan produk pertanian, jasa, dan hak kekayaan
intelektual. Perundingan dengan 21 subjek pembahasan yang seharusnya berakhir
pada bulan Januari tahun 2005 sampai saat ini belum berakhir dan tidak ada
kesepakatan utuh yang dihasilkan. Perdebatan substansial berasal dari permintaan
negara industri maju untuk diberlakukannya pengecualian proteksi perdagangan
dan subsidi produk sektor pertanian mereka.Sementara itu, negara berkembang
dan negara industri baru dengan comparative advantegenya di produk pertanian
meminta negara maju untuk meliberalisasi dan membuka pasar
mereka.Perdebatan ini berujung pada jalan buntu dimana sampai dengan awal
43Charles R. Carlisle, “Is the World Ready for Free Trade?,” Foreign Affairs 75, No. 6 (1996): 113-14. 44ODI briefing paper, The GATT Uruguay Round. Overseas Development Institute, 2011.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
36
Universitas Indonesia
tahun 2005, di waktu perundingan ini dijadwalkan selesai, tidak ada satupun
kesepakatan utuh yang disetujui oleh seluruh anggota WTO.45
Perjuangan liberalisasi perdagangan dunia yang diyakini sebagai jalan
terbaik dalam mendapatkan manfaat maksimal dari perekonomian pasar akan
menghadapi jalan yang masih panjang. Pada Desember 2013, WTO kembali
melaksanakan lanjutan perundingan Doha Round yang dinamakan Bali Package
dengan mengangkat tema “Global Recovery Round”.Walaupun menghasilkan
kesepakatan yang disetujui oleh seluruh anggota WTO, Bali Package masih
bersifat sangat terbatas dalam liberalisasi perdagangan dunia.Terdapat
pengecualian dimana India berhasil meloloskan hak khusus untuk penerapan
subsidi ekspor produk pertaniannya. Begitupun dengan banyak negara anggota
WTO seperti Kuba, Amerika Latin, dan lainnya yang masih menggantungkan Bali
Package kedalam beberapa persyaratan yang sangat dipengaruhi oleh faktor
politik domestik.46
Dari ulasan sejarah singkat diatas dapat kita ambil pemahaman umum
bahwa perkembangan wacana dan penerapan kebijakan proteksionisme
perdagangan dengan berbagai instrumen kebijakannyabelum bisa dihilangkan,
pun dalam agenda liberalisasi perdagangan dunia.Penting menjadi catatan dalam
perkembangan liberalisasi perdagangan dunia sampai saat ini tidak ada satupun
negara di dunia yang telah membebaskan perdagangannya dari berbagai bentuk
hambatan dan melepaskan diri dari campur tangan pemerintah.47 Bahkan secara
berulang wacana tentang proteksonisme beserta penerapan kebijakannya hadir
dengan masif dalam sejarah perdagangan dunia.
Semenjak diperkenalkannya konsep comparative advantage yang mendasari
perdagangan bebas oleh David Ricardo pada tahun 1887 setidaknya terdapat tiga
momentum besar dimana wacana mengenai proteksionisme menguat dan
diterapkan secara masif hampir oleh semua negara di dunia.Pada Great
Depression tahun 1930an muncul kebijakan proteksionisme dengan instrumen
45Andrew Walker, BBC, WTO agrees global trade deal worth $1tn, http://www.bbc.com/news/business-25274889 (diakses pada Mei 31, 2013). 46Ibid. 47Susan Strange, “Protectionism and World Politics,”233-259
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
37
Universitas Indonesia
tarif yang telah mengisolasi perdagangan antara negara di masa antar Perang
Dunia. Setelah melewati dua dekade masa keemasan pasca-Perang Dunia II,
wacana mengenai proteksionisme dengan instrumen kebijakan non-tarif (new-
protectionism) menguat kembali seiring dengan Oil Crisis tahun 1970an. Bahkan
negara industri maju yang pada awalnya merupakan promotor perdagangan bebas
pun secara masif ikut menerapkan instrumen kebijakan new-
protectionism.Begitupun dengan Great Recession tahun 2008-2009 yang juga
menjadi momentum menguatnya wacana tentang proteksionisme.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
Perkembangan Wacana Proteksionisme
Sumber: Disarikan oleh
Periodesasi
Pasca-Perang Dunia II
Universitas Indonesia
Gambar 3 Perkembangan Wacana Proteksionisme Pasca-Perang Dunia
Sumber: Disarikan oleh Penulis dari berbagai sumber
Perkembangan
Proteksionisme
Wacana dalam Kebijakan
Perdagangan
Perang Dunia
Liberalisasi perdagangan dunia dilakukan secara
multilateral melalui instrumen GATT
proteksionisme pada dua dekade pasca
Perang Dunia tertutup oleh
GATT. Mayoritas
komitmennya untuk
perdagangan mereka.
GATT diklaim berhasil
mengembalikan perdagangan dunia ke
masa keemasannya dalam dua dekade
pasca- Perang Dunia II
New protectionism. sebagai instrumen
kebijakan yang tidak
berkembang hingga
Pada dekade tahun 1970an, negara-negara
industri maju menerapkan
proteksionisme dengan instrumen
yang tidak transparan (new protectionism)
38
Universitas Indonesia
Perang Dunia II
Perkembangan Wacana
Proteksionisme
Wacana proteksionisme pada dua dekade pasca-
Perang Dunia tertutup oleh 'the compromise
of embedded liberalism' yang dilancarkan oleh
GATT. Mayoritas negara di dunia
menyatakan komitmennya untuk
meliberalisasi perdagangan mereka.
New protectionism. sebagai instrumen
kebijakan yang tidak transparan terus
berkembang hingga sekarang .
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
39
Universitas Indonesia
BAB 3
DUKUNGANTERHADAP WACANA PROTEKSIONISME DI TENGAH
LIBERALISASI PERDAGANGAN DUNIA
Wacana mengenai proteksionisme muncul menjadi sorotan seiring dengan
diperkenalkannya liberalisasi perdagangan oleh para ekonom klasik pada abad ke-
17. Proteksionisme sebagai gagasan yang telah lama diterapkan oleh negara dalam
kebijakan perdagangannya dihadapkan dengan gagasan liberalisasi perdagangan
yang dianggap mampu menghasilkan kebermanfaatan maksimal dari ekonomi
pasar.Bab ini akan membahas tentang pandangan para pakar ekonomi politik
internasional yang mendukung wacana serta penerapan kebijakan proteksionisme
di tengah liberalisasi perdagangan dunia.
Penulis membagi pembahasan dukungan terhadap wacana proteksionisme di
tengah liberalisasi perdagangan dunia ini kedalam kerangka empiris dan teoritis.
Dalam kerangka teoritis akan ditampilkan bagaimana para pakar dalam ekonomi
politik internasional mengemukakan wacananya mendukung proteksionisme
dengan mengkritisi asumsi-asumsi mendasar dari liberalisasi perdagangan dunia
yang mereka anggap lemah.Sementara itu dalam kerangka empiris akan dilihat
bagaimana dalam perkembangan liberalisasi perdagangan saat ini proteksionisme
masih diterapkan sebagai pilihan kebijakan perdagangan oleh negara-negara di
dunia. Kedua kerangka ini tidak bersifat mutually exclusive, pembabakan
dilakukan hanya untuk memudahkan pengkajian.
3.1 Dukungan dalam Kerangka Teoritis terhadap Wacana Proteksionisme
Mayoritas pakar ekonomi dunia saat ini merupakan mereka yang telah
menyatu dalam visi ekonomi liberal dan cenderung enggan untuk
mempublikasikan teori ataupun data yang mungkin akan diinterpretasikan secara
berbeda oleh publik dan menjadi justifikasi proteksionisme.48Berbagai argumen
dikemukakan oleh berbagai pakar tentang kenapa kebijakan proteksionisme terus
menjadi pilihan bagi negara di tengah liberalisasi perdagangan dunia. Berikut
48Rolen Palan, Global Political Economy: Contemporary Theories, 93.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
40
Universitas Indonesia
Penulis paparkan beberapa rasionalitas secara teoritis kenapa proteksionisme dan
penerapan kebijakannya terus muncul sebagai pilihan bagi negara dalam
kebijakan perdagangannya.
Kritik utama dalam pemikiran ekonomi liberal neo-klasik yang melandasi
liberalisasi perdagangan dunia terkait dengan efisiensi penggunaan sumberdaya
dan pencapaian kesejahteraan umum dalam perdagangan bebas.49Dalam
pemahaman ekonomi neo-klasik perdagangan bebas dengan mengoptimalkan
comparative advantage yang pasti dimiliki oleh setiap negara mengharuskan
kebijakan pemerintah berdasarkan pada penciptaan efisiensi maksimal dari proses
produksi barang dan jasa yang diorientasikan untuk bersaing dalam pasar. Dalam
konteks ini pemerintah berfungsi dalam memastikan agar persaingan dalam
perdagangan berlangsung dengan tanpa hambatan. Berikutnya, dalam pemahaman
ekonomi neo-klasik, pengejaran keuntungan individu dalam perdagangan bebas
bersifat konsisten dengan tercapainya kesejahteraan masyarakat secara umum.
Privatisasi merupakan hal tidak bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan
kesejahteraan untuk semua dikarenakan akan ada invisible hand yang akan
mengatur keseimbangan pasar sehingga kesejahteraan akan terdistribusikan
dengan baik.
Susan Strange dalam Protectionism and World Politics mengkritik hal
diatas dengan menekankan bahwa efisiensi tidak pernah, dan tidak akan pernah
menjadi dasar utama bagi negara dalam menentukan pilihan kebijakan. Keamanan
serta perlindungan dari ancaman luar dan penjagaan kondisi domestik selalu akan
menjadi perhatian utama pemerintah. Efisiensi hanya bisa dicapai ketika
didapatkan bahwa berbagai faktor ini konstan dan taken for granted.50Negara
dalam pembentukan kebijakannya mempertimbangkan prioritas apakah suatu
industri perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam tujuan untuk
mencapai kepentingan nasionalnya.Efektifitas alokasi sumber daya produsi yang
berorientasi pada persaingan untuk masuk pasar bisa saja dikorbankan oleh
49Strange, “Protectionism and World Politics,” 235-39. 50Ibid., 235
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
41
Universitas Indonesia
pemerintah baik untuk terjaga dari luar negeri ataupun stabilitas tatanan politik
domestik.
Susan Strange secara lebih detail menekankan bahwa perdagangan dalam
sistem internasional perlu dilihat sebagai kerangka sekunder dari empat kerangka
utama dari ekonomi politik internasional.51Empat kerangka yang menjadi faktor
penentu dalam pembentukan kebijakan perdagangan adalah kerangka keamanan,
kerangka keuangan dan kredit, kerangka produksi, dan kerangka ilmu
pengetahuan.Kerangka keamanan mencakup bagaimana negara menjaga tatanan
kondisi politik domestik dan bersiap merespon kemungkinan perang serta
menjaga perdamaian dalam sistem politik internasional.Kerangka keuangan dan
kredit menentukan siapa yang harus membayar perdagangan barang dan jasa.
Sementara itu kerangka produksi dan ilmu pengetahuan berinteraksi dalam
menentukan arah produksi dan penggunaan teknologi.
Jika hanya kerangka keamanan serta kerangka keuangan dan kredit dapat
diabaikan dalam kondisi yang dapat dikontrol, maka negara akan dengan mudah
punya pilihan dalam penerapan kebijakan perdagangannya. Dengan faktor
keamanan serta keuangan dan kredit yang konstan, negara bisa memilih antara
membebaskan perdagangannya atau menerapkan kebijakan proteksionisme.Dalam
kondisi ini negara juga bisa menerapkan campuran dua kebijakan tersebut dalam
waktu yang bersamaan untuk komoditas yang berbeda tanpa khawatir akan
membahayakan keamanan dam kesejahteraan dunia serta domestik. Akan tetapi
hal ini sangat mustahil untuk terjadi dimananegara memiliki ketidaksempurnaan
untuk bisa menempatkan kerangka keamanan serta keuangan dan kredit secara
taken for granted.
Lisa F. Carlson dalam tulisannya Game Theory: International trade, conflict
and cooperationmenekankan bahwa dalam menghadapi masalah keamanan,
negara seringkali berada pada posisi insecure.52Efisiensi penggunaan sumberdaya
dengan mudah dapat diterapkan ketika aspek keamanan telah dinilai cukup stabil
51Strange, “Protectionism and World Politics,” 233-59. 52Lisa F Carlson, “Game Theory: International trade, conflict and cooperation,” dalam Palan, Global Political Economy: Contemporary Theories,ed, 126.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
42
Universitas Indonesia
untuk menghadapi berbagai kondisi ancaman. Efisiensi produksi dengan
membuka hambatanperdagangan akan dilakukan negara ketika ancaman dari luar
dianggap tidak akan pernah ada.53
Bukanlah sebuah kebetulan bahwa dua garda terdepan perdagangan dunia
yaitu Inggris pada abad ke-19 dan Amerika Serikat pada abad ke-20 merupakan
negara yang telah memiliki power yang lebih dibandingkan dengan negara lainnya
pada saat itu. Dari sudut pandang keamanan ekonomi yang berbicara tentang
aspek sosial, negara-negara ini telah menerapkan sistem keamanan sosial yang
mapan di tingkat domestik di saat mereka menerapkan perdagangan bebas. Tidak
ada kekhawatiran dari dua negara yang memiliki kekuatan hegemonik ini akan
invansi dari luar ketika mereka menerapkan efisiensi alokasi sumber daya.54
Negara-negara ini tinggal berfokus dalam mempersiapkan proses produksi
industrinya untuk terus bersaing dalam pasar global.
Kondisi yang berbeda dihadapi oleh mayoritas negara pasca-Perang Dunia
II dimana sebahagian negara di Asia dan Afrika masih dalam penjajahan dan
sebahagian besar lainnya baru merdeka dan masih dalam ketakutan akan ancaman
dari luar. Ketidakefisienan dari alokasi sumber daya untuk produksi merupakan
sebuah keniscayaan.Berbicara tentang pilihan yang rasional, maka lebih rasional
bagi negara untuk menerapkan beberapa kebijakan yang berpihak kepada
beberapa kelompok kepentingan domestik untuk menjaga mereka tetap dalam
koridor. Membiarkan dan mengeluarkan biaya untuk mengamankan para
kelompok kepentingan ini ketika mereka mengorganisasi diri dan mengadakan
protes pada pemerintah hanya akan memunculkan beban yang baru bagi
pemerintahan yang belum stabil. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam
menjalankan kepentingan ekonomi dan politik, negara tidak akan bisa stabil tanpa
adanya konsensus dan dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan di
masyarakat.
Dalam menjaga stabilitas politik domestik, pengaruh kelompok kepentingan
dalam pembentukan kebijakan merupakan salah satu faktor yang menyudutkan
53Strange, “Protectionism and World Politics,” 233-59 54Ibid.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
43
Universitas Indonesia
kebijakan proteksionisme dikalangan liberal.Kepentingan ekonomi sekelompok
orang telah memakai legitimasi negara secara tidak sah dengan mengorbankan
beban ketidakefektifannya kepada masyarakat luas.55 Masyarakat yang memiliki
kepentingan akan kebijakan proteksionisme cenderung terorganisir dan
mempengaruhi proses politik yang ada dimana para pengambil kebijakan juga
bergantung kepada mereka untuk tetap bertahan dan mendapatkan legitimasi
politik.56Sementara itu masyarakat luas yang dalam perhitungan ekonomi menjadi
korban dari ketidakefektifan produksi bersifat tersebar dan tidak memiliki
kekuatan politik hingga mereka terorganisir.
Jeffry Frieden dan Lisa Martin dalam International Political Economy:
Global and Domestic Interactions menekankan tentang pengaruh faktor domestik
dalam kebijakan suatu negara menyikapi perubahan tren pada level internasional.
Inilah yang harus disadari bahwa teori ekonomi liberal yang taken for
grantedakan faktor politik yang tidak konstan sulit untuk diterapkan. Tren dalam
ekonomi internasional secara langsung akan berdampak pada kelompok
kepentingan domestik yang selanjutnya akan mendorong mereka untuk
mengajukan preferensi kebijakan yang memihak kepada kepentingannya.57
Selanjutnya dalam asumsi teori liberal diyakini bahwa pengejaran
keuntungan individu bersifat konsisten dengan tercapainya kesejahteraan
masyarakat secara umum. Graham Dunkley menganggap bahwa para pemikir
neo-klasik terlalu kaku dalam melihat individu sebagai pelaku yang rasional dan
akan memaksimalkan kebermanfatan. Individu hidup didalam lingkup kehidupan
yang memiliki berbagai aspek pertimbangan yang sangat memungkinkan ia untuk
tidak rasional dan tidak berorientasi pada peningkatan kesejahteraan umum.58
Dalam konteks perdagangan dunia diyakini bahwa setiap negara dengan
perbedaan faktor geografis, sosial, budaya, dan lainnya memiliki comparative
advantage yang membuat negara tersebut bisa bersaing di tingkat 55Irwin, Free Trade Under Fire,. 92. 56Jeffry Frieden dan Lisa Martin, “International Political Economy: Global and Domestic Interactions,” dalam “Political Science: The State of The Discipline,ed. Ira Katznelson dan Helen Milner (New York: W.W. Norton, 2003), 121. 57Ibid. 58Dunkley, Free Trade : Myth, Reality, and Alternatives, 12.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
44
Universitas Indonesia
global.Pandangan ini dikritik karena secara filosofis karena dianggap
mengabaikan bahkan memandang tidak penting penghitungan biaya dan resiko
dalam pembentukan kebijakan.Dalam teori negara dapat memilih secara bebas
untuk beradaptasi dengan perubahan dan perbedaan faktor produksi atau dengan
mengadaptasi permintaan internasional untuk dapat bersaing dengan
kompetitif.Akan tetapi tidak mudah dalam penerapannya terutama untuk negara
yang memiliki faktor domestik yang kompleks seperti tidak kuatnya kuasa
pemerintah atas kelompok kepentingan dll.
Secara garis besar pandangan ini dikritik dengan tajam dikarenakan konsep
comparative advantage merupakan konsep yang statis sementara ekonomi dunia
terus berubah dengan dinamis dengan berbagai dimensi perbedaan antar negara.59
Faktor politik sering menjadi sorotan para ekonom karena dinilai seringkali tidak
rasional dalam pembentukan kebijakan ekonomi, akan tetapi ini akan menjadi
pertanyaan yang lebih rumit lagi untuk mendefnisikan rasional secara politik
karena begitu banyak faktor yang mempengaruhinya.
Intervensi negara terhadap perdagangan dengan menerapkan berbagai
bentuk kebijakan proteksionisme merupakan faktor yang tidak bisa dipisahkan
dari proses pembangunan ekonomi suatu negara. Alasan paling awal kenapa
negara bisa memilih untuk menerapkan kebijakan proteksionisme diperkenalkan
oleh Friedrich List dengan argumennya berupa perlindungan infant industries
(industri yang baru berdiri) dalam pembangunan ekonomi.60 Argumen infant
industries ini memiliki landasan bahwa industri baru belum memiliki skala
ekonomi (economies of scale) yang sebanding dengan pesaingnya dari industri
yang lebih besar dan lebih dulu berdiri. Perlu adanya perlindungan dari
pemerintah untuk menjaga industri baru berdiri dari persaingan dengan produk
impor.
Argumen pemberian perlindungan terhadap industri baru diatas tercatat
sebagai argumen yang dikembangakan oleh Amerika Serikat dan Jerman di waktu
59Ibid,. 24-6. 60Gilpin, Global Political Economy, 200.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
45
Universitas Indonesia
ketika mereka tidak sekompetitif Inggris pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.61
Amerika Serikat dan Jerman menerapkan tarif yang tinggi diberbagai produk
manufaktur dan pertaniannya untuk menghindari persaingan dengan produk dari
negara lain. Para pembuat kebijakan di Amerika Serikat dan Jerman disokong
oleh legitimasi keilmuan yang disusun oleh para pemikir dari negara tersebut.
Dalam pandangan para pendukung kebijakan proteksionisme, industri yang
baru lahir dan memiliki potensi comparative advatage harus dilindungi sampai
bisa bersaing dengan produk dari luar.62 Kesempatan untuk dilindungi secara
temporer yang diberikan kepada industri baru dari persaingan dari pihak luar
dimaksudkan untuk dapat mengejar economic of scale mereka dalam hal
manajemen, produksi, aplikasi teknologi, dan lain-lain. Ketika industri yang baru
lahir ini dalam jangka waktu tertentu telah mencapai kekuatan comparative
advantagenya, maka dengan otomatis kebijakan proteksionisme akan dilepaskan
oleh negara dan industri tersebut siap ntuk bersaing dalam perdagangan bebas.63
Joseph Stiglitz seperti yang dikutip oleh Gilpin dalam Global Political
Economymenambahkan kritis atas keutopisan pandangan perdagangan bebas dan
liberalisasi perdagangan yang diusung oleh Adam Smith dan para pemikir
ekonomi klasik lainnya. Pemahaman mendasar dari ekonomi klasik yaitu laissez-
faire yang mengasumsikan setiap aktor dalam perdagangan memiliki akses yang
sama terhadap informasi tidak akan pernah terwujud.64Perbedaan kondisi
geografis, sosial budaya, dan berbagai faktor domestik membuat berbedanya
akses informasi yang dimiliki oleh masing-masing negara dalam perdagangan
internasional. Sikap negara untuk ikut dalam mengintervensi pasar merupakan
sebuah kewajaran dan konsekuensi dari perbedaan informasi yang dimilikinya.
Dari berbagai argumen diatas Penulis melihat bahwa hal yang paling
mendasar yang menjadi titik berangkat argumen pendukung proteksionisme
adalah konsep liberalisasi perdagangan yang tidak bisa diambil secara begitu saja
61Ibid,. 202. 62Jing Ma, “Free Trade or Protection: A Literature Review on Trade Barriers,” Research inWorld Economy 2, No. 1 (2011) : 72. 63Ibid. 64Gilpin, Global Political Economy, 272.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
46
Universitas Indonesia
(taken for granted. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Krugman, seorang
pakar ekonomi liberal akan tetapi memiliki pandangan yang berbeda, dalam
tulisannya “Is Free Trade Passe?”. Krugman menyatakan bahwa teori
comparative advantage yang liberalisasi perdagangan dunia bukanlah merupakan
teori yang sempurna begitupun dengan sistem perdagangan bebas sendiri.65
Krugman dengan posisinya sebagai pemikir liberal menekankan bahwa konsep
perdagangan bebas merupakan konsep yang masih relevan (free trade is not
passe) akan tetapi tidak bisa diambil secara begitu saja tanpa mempertimbangkan
berbagai faktor lainnya.66
3.2 Dukungan dalam Kerangka Empiris terhadap Wacana Proteksionisme
Proteksionisme merupakan pandangan paling kuno dalam kebijakan
perdagangan. Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, proteksionisme telah
muncul dalam filosofi Plato dan Aristoteles dimana pemerintah memberikan
perlindungan kepada produsen dan berbagai faktor domestik lainnya dari
persaingan dengan pihak luar. Dalam perkembangannya tujuan dari
proteksionisme untuk melindungi produsen dan berbagai faktor domestik lainnya
ini tidak pernah berubah, yang terjadi hanyalah perubahan instrumen penerapan
kebijakannya.67
Dalam perkembangan kebijakan perdagangan saat ini, terdapat
kecenderungan untuk menerima begitu saja persepsi yang dibentuk tentang
liberalisasi perdagangan dunia. Liberalisasi perdagangan dunia dipersepsikan
sebagai kebijakan terbaik yang akan memberikan kesejahteraan kepada semua
negara. Pertanyaan mendasar yang sangat jarang muncul dalam agenda-agenda
perundingan perdagangan internasional saat ini adalah mengenai apakah benar
bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang dianggap baik diterapkan oleh
negara maju di waktu mereka sedang mengalami proses pembangunan dahulunya.
65Paul Krugman, “Is Free Trade Passe?,” The Journal of Economic Perspectives 1, No. 2, (1987) : 131-44. 66Ibid. 67McGee, “The Philosophy of Trade Protectionism,Its Costs and Its Implications,” 3.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
47
Universitas Indonesia
Terdapat beberapa asumsi dalam ekonomi liberal yang utopis dan cenderung
tidak memperhatikan faktor tidak konstan dalam ekonomi politik internasional.
Pandangan para ekonom liberal yang secara logika dapat diterima dengan mudah
dan menurut alur pikir yang seharusnya, akan tetapi luput melibatkan fakta
empiris dalam sejarah yang melingkupinya dinamisasi ekonomi politik dunia.
Seringkali pengkajian tentang perdagangan dunia yang diambil secara tidak tepat
dijadikan landasan dalam memperkuat status-quo dengan kerangka liberalisasi
perdagangan dunia.68
Ha-JoonChang, seorang pakar sejarah ekonomi pembangunanmengkritik
agenda liberalisasi perdagangan dunia yang digerakkan oleh negara maju melalui
bukunya Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical
Perspective. Melihat dari sisi sejarah ekonomi pembangunan, Chang
mengungkapkan fakta bahwa semua negara yang saat ini menjadi promotor
perdagangan bebas pernah melalui masa dimana mereka menerapkan secara masif
kebijakan proteksionisme dalam proses pembangunan perekonomiannya.69
Pemaksaan terhadap liberalisasi perdagangan dan penghapusan kebijakan
proteksionisme saat ini tidak bisa dilepaskan dari agenda negara industri maju
untuk mempertahankan status-quo hegemoni kekuasaannya.
Fakta dalam sejarah ekonomi pembangunan memperlihatkan bahwa Inggris
(Great Britain) merupakan pemerintahan yang memberikan perlindungan dan
sokongan yang besar kepada produsen dan pedagang domestiknya dalam rangka
pembangunan ekonomi pada abad ke-15.70 Melalui penguasaan pasar dunia
dengan cara ekspansi dan penerapan proteksionisme perdagangan untuk kawasan
Eropa, Inggris mengokohkan kekuasaannya dalam perdagangan. Bahkan ketika
efisiensi produksi telah dicapai melalui Revolusi Industri pada akhir abad ke-17,
Inggris masih menerapkan hambatan tarif yang tinggi untuk komoditas
pertaniannya melalui penerapan Corn Law. Inggris baru mencabut Corn Law pada
68Strange, “Protectionism and World Politics,” 233-34. 69Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Wimbledon Publishing, 2002), 1 70Ibid., 3.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
48
Universitas Indonesia
tahun 1846 ketika intensifikasi teknologi industri pertanian dinilai sudah bisa
mencapai skala kompetisi dengan pihak luar.
Ketika supremasi industri sudah benar-benar jelas didapatkan oleh Inggris,
barulah Inggris mengkampanyekan liberalisasi perdagangan secara luas.71 Dengan
pandangan kebijakan laissez-faire Inggris mengarahkan hubungan dagangnya
dalam wilayah Eropa dan dunia kedalam kerangka pengurangan berbagai bentuk
hambatan perdagangan dan pembukaan pasar secara luas. Hal yang sama juga bisa
dilihat dari tren agenda liberalisasi perdagangan yang diusung oleh Amerika
Serikat pasca-Perang Dunia II.
Amerika Serikat pada rentang tahun 1816 hingga tahun 1945 merupakan
negara di dunia yang menerapkan proteksionisme dengan intrumen tarif
tertinggi.72 Amerika Serikat pada masa ini juga dikenal sebagai rumahnya para
pemikir yang menyusun berbagai rasionalisasi terkait dengan proteksionisme
perdagangan yang diterapkannya. Akan tetapi setelah menjadi negara terdepan
dalam industri dan mendapatkan supremasi kekuasan politik pasca-Perang Dunia
II, Amerika Serikat melalui inisiasi pendirian GATT mengkampanyekan
liberalisasi perdagangan yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk mencapai
kesejahteraan dunia.
Dalam perpektif sejarah ekonomi pembangunan yang dipaparkan oleh Ha-
Joon Chang, negara-negara yang saat ini disebut sebagai negara industri maju
menerapkan dan mempromosikan perdagangan bebas ketika sudah berada pada
posisi industri yang mapan dan memiliki supremasi kekuasaan di kawasan
ataupun dunia. Ha Joon Chang memakai terminologi “kicking away the ladder”
untuk menggambarkan tentang sikap negara maju tersebut. Negara maju dengan
kekuasaan politik yang mereka miliki tidak akan mempromosikan kebijakan yang
diterapkannya ketika sedang mengalami proses pembangunan dahulunya. Negara
maju akan memiliki kecenderungan untuk mengedepankan agenda liberalisasi
yang sesuai dengan kepentingannya untuk mempertahankan status-quo dan
memenangkan persaingan perdagangan dunia.
71Ibid., 13. 72Ibid., 61.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
49
Universitas Indonesia
Ha-Joon Chang melihat bahwa liberalisasi perdagangan dunia secara utuh
tidak akan bisa terwujud sampai semua negara di dunia telah terindustrialisasi
dengan taraf yang sama dan bisa bersaing secara vis-a-vis.73 Perspektif dalam
pembangunan ekonomi saat ini yang didorong oleh negara maju harus kembali
melihat faktor sejarah yang mendahului pembangunan negara mereka. Liberalisasi
perdagangan yang diterapkan oleh negara maju tidak bisa melepaskan diri dari
bentuk proteksionisme yang diterapkan sebelumnya di waktu proses
pembangunan. Negara maju tidak seharusnya memaksakan liberalisasi
perdagangan dunia ketika mayoritas negara di dunia masih dalam tahap
pembangunan.
Berikutnya terkait dengan proteksionisme yang dinilai menyebabkan
kehancuran ekonomi pada masa antar perang. Tren kebijakan proteksionisme
yang merebak pada masa antar perang telah dijadikan salah satu landasan utama
agenda liberalisasi perdagangan dunia pasca-Perang Dunia II.Hal ini menuai kritik
dari berbagai pakar dalam ekonomi politik internasional yang melihat bahwa
proteksionisme bukanlah penyebab utama dari keterpurukan ekonomi dan
perdagangan dunia dimasa antar perang pada dekade tahun 1930an.
Secara histroris, tidak berapa lama setelah berakhirnya Perang Dunia I,
negara-negara didunia dapat melihat secara jelas bahwa perang belum akan
berakhir dan dalam waktu dekat akan terjadi Perang Dunia selanjutnya.74Hal ini
memberikan tantangan untuk negara beserta sistem politik yang dijalankan untuk
dapat mengatasi berbagai kemungkinan yang dihadapi pada saat
perang.Keterpurukan pasar dan timbulnya berbagai dinamika permasalahan
domestik membuat penentu kebijakan di berbagai negara mempertimbangkan
untuk memprioritaskan kondisi ekonomi dan politik domestik dalam kondisi aman
dan mandiri.
Dari paparan tentang sejarah ekonomi pada masa antara perang, Arthur
Lewis dalam Susan Strange membenarkan bahwa terjadi peningkatan tren
penerapan kebijakan proteksionis, akan tetapi penyebab utama dari penurunan
73Ibid., 42. 74Strange, “Protectionism and World Politics,” 237.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
50
Universitas Indonesia
volume perdagangan dunia bukanlah disebabkan oleh peningkatan tarif, terdapat
faktor lain yang lebih signifikan.75Kekacauan bursa Wall Street pada tahun 1929
telah menghantarkan keruntuhan perekonomian dunia yang disebabkan oleh
menyusutnya secara drastis kredit yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan
Inggris.Permasalahan melemahnya kredit Amerika Serikat dan instabilitas
keamanan di masa perang menyebabkan daya beli produk luar negeri menjadi
lemah.76Dalam kondisi perang negara menempatkan prioritas produksi untuk
mencapai kondisi self-sufficient sehingga semua faktor produksi diarahkan untuk
mencukupi kebutuhan domestik dam untuk sementara waktu menghentkan
perdagangan dengan pihak luar. Penurunan volume perdagangan dunia bukan
disebabkan oleh peningkatan nilai tarif akan tetapi secara lebih mendasar pada
masa perang negara menempatkan kondisi self-sufficient sebagai prioritas.
Graham Dunkley dalam bukunya Free Trade : Myth, Reality, and
Alternatives menunjukkan beberapa data sejarah penerapan kebijakan
proteksionisme perdagangan pada masa Great Depression. Dunkley
menyimpulkan bahwa kenaikan tarif tidak berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan perdagangan suatu negara.77 Di Amerika Serikat,
dalam rangka untuk melindungi para petani domestik dan menciptakan stabilitas
ekonomi, pada tahun 1928Presiden Herbert Hoover mengajukan penaikan tarif
produk pertanian kepada kongres. Pengajuan tarif sebesar 50 persen untuk hampir
semua produk pertanian ini memakan waktu yang cukup lama karena ditentang
oleh sekelompok akademisi yang mengkhawatirkan bahwa peningkatan tarif tidak
akan berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi. Akan tetapi sejarah mencatat
dengan fakta yang berbeda dari asumsi para ekonom, Produk Nasional Bruto
(PNB) Amerika Serikat meningkat dengan rata-rata 2 persen pertahunnya setelah
penerapan tarif.78Hal serupa juga dilakukan oleh Inggris yang menuai kenaikan
pertumbuhan industri sebesar 8 persen pertahun dari tahun 1932-1937 sebagai
dampak positif dari penaikan tarif dan pemotongan kuota impor hingga sebanyak
50%.
75Ibid., 240-45. 76SusanStrange, “Protectionism—Why Not?,” The World Today 41, No. 8/9 (1985), 149. 77Dunkley, Free Trade : Myth, Reality, and Alternatives, 84 78Ibid.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
51
Universitas Indonesia
Begitupun dengan argumen terkait dengan kebijakan proteksionisme
perdagangan yang bersifatBeggar-Thy-Neighbour(saling tuding) dan
retaliation(saling balas). Tidak terbukti bahwa penerapan tarif yang tinggi telah
menyebabkan saling ditutupnya pasar impor atas produk ekspor negara lain
selama masa antar perang. Sejarawan dalam bidang ekonomi telah mengkaji
bahwa pada tahun 1930an, tarif yang diterapkan oleh mayoritas negara-negara di
dunia pada saat itu memang masih tinggi, belum banyak negara yang telah
terindustrialisasi dan membuka perdagangannya.Bahkan sebahagian besar negara
di Asia dan Afrika masih berada dibawah penjajahan Eropa.
Tidak ada perubahan tarif secara signifikan dalam merespon kenaikan tarif
dari negara lain. Peningkatan tarif impor memang terjadi akan tetapi tidak terdapat
indikasi aksi tit-for-tat antar negara.79Fakta yang terjadi adalah retaliation
diantara negara industri maju dalam kerangka hubungan bilateral. Penaikan tarif
di waktu yang hampir bersamaan telah mendorong terjadi penurunan volume
perdagangan baik di Amerika Serikat maupun Inggris yang sebelumnya memiliki
hubungan bilateral perdagangan yang kuat. Penurunan volume perdagangan antar
dua negara dengan kapasitas perdagangan paling besar ini secara otomatis
berdampak signifikan terhadap penurunan volume perdagangan dunia.
Adapun pemahaman tentang kebijakan pembalasan (retaliation) hanyalah
propaganda dari Amerika Serikat yang pada saat Great Depression mengalami
penurunan pertumbuhan perdagangan secara bilateral dengan Inggris.80Hal ini
dikuatkan oleh fakta sejalah lainnya bahwa propaganda yang menunjuk
proteksionisme sebagai penyebab utama keterpurukan ekonomi di masa antar
perang dimainkan oleh Amerika Serikat.Ekonom Amerika Serikat, Clair Wilcox
dan para pembuat kebijakan negara ini lah yang mengkampanyekan dampak yang
diakibatkan oleh proteksi perdagangan terhadap perekonomian dunia dalam
pembentukan kerangka liberalisasi perdagangan dunia pasca-Perang Dunia II
melalui GATT.81
79Strange, “Protectionism and World Politics,” 238. 80Ibid., 240. 81Ibid.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
52
Universitas Indonesia
Graham Dunkley kembali menekankan bahwa kajian kontemporer
mengenai dampak penerapan proteksionisme pada masa perang mendukung
argumen bahwapenerapan kebijakan peningkatan tarif membantu negara untuk
menanggulangi berbagai dampak yang dihasilkan dari instabilitas perang terhadap
kondisi domestik.82Proteksionisme pada masa Great Depression tidak
menyebabkan penurunan pada PDB berbagai negara di berbagai kawasan.Volume
perdagangan dunia yang diklaim turun ternyata tidak terlalu berdampak signifikan
terhadap PDB negara di masa antar perang.Akan tetapi perlu catatan bahwa
pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari proteksi perdagangan tidak selalu
hadir dalam setiap penerapan kebijakannya, terutama di masa bukan perang,
terdapat faktor kondisi domestik dan peralihan sistem kerja buruh yang sangat
mempengaruhi.83
Selanjutnya pada sejarah perkembangan perdagangan dunia pasca-Perang
Dunia II.Susan Strange dalam tulisannya dengan judul Westfailure System
mengemukakan fakta bahwa pengurangan tarif yang dijalankan oleh negara-
negara maju pada dua dekade pasca-Perang Dunia tidak bisa diklaim sebagai
dampak yang dihasilkan dari perundingan GATT. Terdapat faktor hubungan
bilateral yang mempengaruhi pengurangan tarif perdagangan antara negara-negara
maju sebagaimana perkembangan liberalisasi perdagangan dilancarkan oleh
Inggris pada abad ke-17 dengan pendekatan yang sama.84Di kawasan Eropa
misalnya, pengurangan hambatan berupa tarif merupakan bagian dari kesepakatan
bantuan Marshall Plan yang diberikan Amerika Serikat kepada Eropa.
Perundingan multilateral yang dilaksanakan untuk pengurangan tarif hanyalah
bentuk inovasi dalam diplomasi ekonomi yang membantu pembukaan pasar di
dunia dengan cara lebih meyakinkan.
Kesenjangan berikutnya dalam agenda liberalisasi perdagangan dapat kita
lihat dari menguatnya tren penerapan hambatan perdagangan oleh negara maju
pada dekade tahun 1970-an. Sebagai respon dari menguatnya kompetisi global,
meningkatnya angka pengangguran, dan lambatnya pertumbuhan ekonomi di saat
82Dunkley, Free Trade : Myth, Reality, and Alternatives, 84. 83Ibid., 85. 84Susan Strange, “The Westfailure System,” Review of International Studies 25, no. 3 (1999), 352.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
53
Universitas Indonesia
resesi ekonomi, terjadi perbincangan yang kuat di lingkup domestik negara-negara
maju tentang pentingnya untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang adil
(fair trade).Perbincangan tentang pentingnya keadilan dalam perdagangan (fair
trade) ini telah berujung pada legitimasi untuk penerapan kebijakan
proteksionisme.85
Bentuk proteksionisme yang diterapkan oleh negara-negara industri maju
adalah hambatan non-tarif yang dikenal dengan nama new-protectionism. Jenis
proteksionisme ini bersifat lebih tidak transparan dan berbeda dengan hambatan
tradisional seperti tarif dan kuota. Pilihan penggunaan instrumen non-tarif dalam
hambatan perdagang merupakan metode yang digunakan oleh negara maju
sebagai upaya melindungi produsen domestik akan tetapi tetap mendukung
perdagangan bebas.86Bentuk instrumen new protectionismini melingkupi
Voluntary Export Restraints (VERs), undang-undang anti-dumping,
countervailing duties, safeguard codes, dan bentuk lainnya yang terus
berkembang.87
Berbeda dengan negara maju, negara berkembang memiliki kecenderungan
pertumbuhan perdagangan yang pesat pada dekade 1970an.88 Negara berkembang
yang sedang mengalami industrialisasi, yang disebut juga dengan negara industri
baru, memiliki kenaikan yang signifikan dalam GDP, efisiensi produksi industri,
dan kemampuan untuk ekspor produk manufaktur ke negara industri maju.
Negara-negara ini diantaranya adalah Brazil, Hong Kong, Korea, Meksiko,
Singapura, dan Taiwan.Mereka telah memiliki comparative advantage yang vis-a-
vis dengan negara maju dalam produk tekstil, sepatu, televisi, produk elektronik
timah, baja, dan kerangka kapal.Hal ini jelas saja menjadi ancaman bagi negara
maju yang sedang dilanda resesi ekonomi.
Negara-negara maju menerapkan hambatan perdagangan non-tarif sedikit
demi sedikit dengan memainkan Generalized system of preferences(GSP) yang
85JM Finger, “The Meaning of' Unfair' in U.S. Import Policy,”World Bank WPS 745, (1991): 21. 86Susan Strange, “The Westfailure System,” 319. 87Ibid., 311-12. 88Patrick Love dan Ralph Lattimore, International Trade: Free, Fair and Open? (France: OECD Publishing, 2009), 32
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
54
Universitas Indonesia
merupakan instrumen non-diskriminatif dalam GATT. GSP yang telah di sepakati
oleh Uni Eropa dan Jepang pada tahun 1971-1972 dan oleh Amerika Serikat pada
1976 dilanggar oleh Amerika Serikat dan Eropa seiring dengan agenda
menghadapi persaingan dari negara industri baru.89Amerika Serikat dan negara
industri lainnya meminta pengecualian GSP untuk berbagai produk dari negara
industri baru seperti tekstil yang sangat berarti untuk perkembangan industri
negara-negara industri baru.
Pada titik ini negara maju dilihat seakan menghindari persaingan dengan
negara berkembang yang telah memiliki comparative advantageyang vis-a-vis
dengan negara maju dalam produk tekstil, sepatu, televisi, produk elektronik
timah, baja, dan kerangka kapal. Keseriusan negara maju sebagai promotor dalam
liberalisasi perdagangan yang multilateral dan non-diskriminatif dilihat pada titik
ini. Terbentuknya NAFTA dan Europen Community semakin memperlihatkan
melemahnya usaha untuk menciptakan liberalisasi perdagangan dunia dengan
kecenderungan ke arah bilateralisme dan regionalisme.
Negara industri baru mengalami ketidakberuntungan dimana ketika industri
mereka mampu bersaing dengan negara industri maju, negara industri maju
menerapkan berbagai hambatan perdagangan non-tarif untuk menghindari
persaingan.Akan tetapi hal yang juga mendapatkan perhatian adalah protes yang
dilakukan oleh negara berkembang ke negara maju tidak diikuti oleh pembukaan
pasar di negara-negara ini, mereka masih menerapkan berbegai hambatan
perdagangan baik ke sesama negara berkembang ataupun negara maju.90 Hal ini
sesuai dengan kajian dari Ha-Joon Chang bahwa negara berkembang
membutuhkan kebijakan proteksionisme dalam menjaga industri mereka hingga
siap untuk bersaing. Sementara itu negara maju menerapkan prinsip liberalisasi
perdagangan untuk mempertahankan status-quo mereka sebagai hegemonial
strong trader.
Tabel 1
89Salvatore, Protectionism and World Welfare, 376 90Ibid, 328.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
55
Universitas Indonesia
Tabel 1 Wacana yang Mendukung Proteksionisme di Tengah Liberalisasi
Perdagangan Dunia
No
Scholar(s) Wacana yang Mendukung Proteksionisme di Tengah Liberalisasi Perdagangan Dunia.
1. Susan Strange
Perdagangan dalam sistem internasional perlu dilihat sebagai kerangka sekunder dari empat kerangka utama yaitu kerangka keamanan, keuangan dan kredit, produksi, dan kerangka ilmu pengetahuan. Jika hanya kerangka keamanan serta kerangka keuangan dan kredit dapat diabaikan dalam kondisi yang dapat dikontrol, maka negara akan dengan mudah punya pilihan dalam penerapan kebijakan perdagangannya.
2. Lisa F. Carlson
Efisiensi produksi yang merupakan salah satu landasan dari liberalisasi perdagangan dengan membuka hambatanperdagangan akan bisa dilakukan negara ketika ancaman dari luar dianggap tidak akan pernah ada.
3. Jeffry Frieden dan Lisa Martin
Teori ekonomi liberal yang taken for granted akan faktor politik domestik yang tidak konstan sulit untuk diterapkan.
4. Joseph Stiglitz
Pemahaman mendasar dari ekonomi klasik yaitu laissez-faire yang mengasumsikan setiap aktor dalam perdagangan memiliki akses yang sama terhadap informasi tidak akan pernah terwujud
5. Friedrich List Industri baru belum memiliki skala ekonomi (economies of scale) yang sebanding dengan pesaingnya dari industri yang lebih besar dan lebih dulu berdiri. Perlu adanya perlindungan dari pemerintah untuk menjaga industri baru berdiri dari persaingan dengan produk impor.
6. Jing Ma Sebagaimana negara maju dahulunya menerapkan kebijakan proteksionisme ketika dalam proses pembangunan, kebijakan untuk melindungi infant industries dalam jangka waktu tertentu akan dilepaskan oleh negara ketika industri tersebut telah mencapai kekuatan comparative advantagenya dan siap untuk bersaing dalam perdagangan bebas.
7. Ha-Joon Chang
Proteksionisme merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh negara maju ketika dahulunya masih dalam proses pembangunan.Kampanye liberalisasi perdagangan dunia tidak bisa dilepaskan dari agenda negara maju untuk mempertahankan status-quo nya
8. Graham Dunkley
Penerapan kebijakan peningkatan tarif membantu negara untuk menanggulangi berbagai dampak yang dihasilkan dari instabilitas perang terhadap kondisi domestic.
9. JM Finger Perbincangan tentang pentingnya keadilan dalam perdagangan (fair trade) ini telah berujung pada legitimasi untuk penerapan kebijakan proteksionisme
10. Paul Krugman
Konsep perdagangan bebas merupakan konsep yang masih relevan (free trade is not passe) akan tetapi tidak bisa diambil secara begitu saja tanpa mempertimbangkan berbagai faktor lainnya.
Sumber: Disarikan oleh Penulis dari berbagai sumber
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
56
Universitas Indonesia
BAB 4
KESIMPULAN
Proteksionisme sebagai sebuah pandangan telah hadir menjadi pilihan
landasan bagi negara dalam menetapkan kebijakan perdagangannya semenjak
berabad yang lalu. Wacana mengenai protesionisme mulai disorot secara serius
ketika para ekonom klasik memperkenalkan teori absolute advantage dan
comparative advantage yang melandasi wacana liberalisasi perdagangan pada
abad ke-17. Seiring dengan menguatnya wacana liberalisasi perdagangan dunia
yang dimotori oleh Inggris pada abad ke-19 dan oleh Amerika Serikat pada abad
ke-20, proteksionisme dengan berbagai instrumen hambatan perdagangannya
dianggap sebagai permasalahan utama dalam perdagangan dunia.
Perkembangan wacana proteksionisme tidak bisa dilepaskan dari
pertumbuhan liberalisasi perdagangan dunia. Pada Bab 2 Penulis telah
memaparkan wacana proteksionisme saat sebelum Perang Dunia I, masa antar
Perang Dunia, dan pasca-Perang Dunia II. Dari perkembangan wacana tersebut
terdapat benang merah bahwa sebelum Perang Dunia II wacana mengenai
proteksionisme berkisar tentang penerapan tarif sebagai bentuk hambatan
perdagangan.Liberalisasi perdagangan yang dilangsungkan pada rentang waktu ini
dilakukan secara bilateral dan regional oleh para negara industri maju. Akan tetapi
secara umum proteksionisme dengan instrumen hambatan tarif masih diterapkan
secara masif oleh mayoritas negara di dunia.
Pasca-Perang Dunia II menjadi titik balik dari perdagangan dunia setelah
terpuruk pada Great Depressiondi dekade 1930an. Melalui instrumen GATT
dilangsungkan liberalisasi perdagangan dunia yang bersifat multilateral dan non-
diskriminatif. Saat itu wacana tentang proteksionisme dengan instrumen hambatan
berupa tarif diterima oleh hampir seluruh negara di dunia sebagai ancaman bagi
pertumbuhan perdagangan internasional. Akan tetapi wacana mengenai
proteksionisme kembali menguat pada dekade 1970an dengan munculnya new
protectionism yang diterapkan secara masif oleh negara industri maju. Instrumen
hambatan non-tarif dalam new protectionism bersifat tidak transparan dan terus
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
57
Universitas Indonesia
berkembang. Hal ini mendasari pergolakan wacana proteksionisme yang selalu
menguat disetiap agenda liberalisasi perdagangan dunia semenjak dekade 1970an.
Pada bab 2 seperti yang telah dijelaskan di atas, perkembangan liberalisasi
perdagangan dunia yang telah dimulai semenjak abad ke-17 tidak bisa melepaskan
diri dari wacana proteksionisme yang juga ikut berkembang. Eksistensi
proteksionisme ditengah liberalisasi perdagangan dunia ini selanjutnya telah
Penulis bahas pada Bab 3. Penulis meninjau tentang dukungan dalam kerangka
empiris dan teoritis dari para pakar ekonomi politik internasional seperti Joseph
Stiglitz, Susan Strange, Friedrich List, Jeffry Frieden dan Lisa Martin, Ha-Joon
Chang, Lisa F. Carlson, Graham Dunkley, JM Finger, Paul Krugman, dan lainnya
terkait dengan wacana proteksionisme.
Dalam kerangka teoritis Penulis melihat benang merah bahwa berbagai
rasionalitas yang dikemukakan oleh para pakar tentang kenapa kebijakan
proteksionisme terus menjadi pilihan bagi negara di tengah liberalisasi
perdagangan dunia merupakan bentuk sisi ketidaksempurnaan dari berbagai
konsepyang mendasari liberalisasi perdagangan dunia. Konsep yang mendasari
liberalisasi perdagangan dunia tidak bisa diambil begitu saja dalam penerapannya,
terdapat banyak faktor yang menjadi kelemahan dari liberalisasi perdagangan
yang menjadi dasar dari diterapkannya kebijakan proteksionisme. Hal ini sesuai
dengan apa yang Paul Krugman kemukakan dalam tulisannya “Is Free Trade
Passe?”. Krugman menyatakan bahwa teori comparative advantage yang
mendasari liberalisasi perdagangan dunia bukanlah merupakan teori yang
sempurna begitupun dengan sistem perdagangan bebas sendiri. Sebagai seorang
pemikir liberal, Krugman memberikan penekanan bahwa konsep perdagangan
bebas merupakan konsep yang masih relevan (free trade is not passe) akan tetapi
tidak bisa diambil secara begitu saja tanpa mempertimbangkan berbagai faktor
lainnya.
Dalam kerangka empiris penulis menghadirkan analisis dari para pakar
yang melihat dari perspektif sejarah ekonomi. Dari berbagai analisis yang telah
dipaparkan sebelumyna, Penulis mengambil benang merah bahwa dorongan
liberalisasi perdagangan dunia yang diusung oleh negara maju baik oleh Amerika
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
58
Universitas Indonesia
Serikat saat ini ataupun Inggris pada abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dari
kepentingannya untuk mempertahankan status-quo kekuatan ekonomi yang
dimilikinya. Hal ini terbukti dengan munculnya new protectionism yang
diterapkan secara masif oleh negara maju untuk menghindari persaingan dengan
negara industri baru pada dekade tahun 1970an. Sejarah ekonomi pembangunan
memperlihatkan fakta bahwa negara-negara maju sekarang pada proses
pembangunannya dahulu juga menerapkan berbagai bentuk proteksi perdagangan.
Wajar jika proteksionisme tidak bisa dihilangkan dalam agenda liberalisasi
perdagangan saat ini dikarenakan negara di duniamayoritas masih berada dalam
proses pembangunan.
Dari argumen-argumen diatas Penulis menggarisbawahi bahwa dalam
perkembangan liberalisasi perdagangan dunia, pandangan dan pilihan kebijakan
proteksionisme perdagangan akan terus hadir. Tidak samanya faktor ekonomi
maupun politik yang melandasi pembentukan kebijakan perdagangan negara-
negara di dunia membuat penyamaan secara menyeluruh dalam kebijakan
perdagangan menjadi sulit untuk diwujudkan. Proses liberalisasi perdagangan
hanya memungkinkan untuk mencipatakan perdagangan yang lebih bebas akan
tetapi tidak mungkin bisa menghilangkan segala bentuk hambatan perdagangan
dan menciptakan perdagangan bebas secara utuh.
Kondisi ini bisa menjadi refleksi bagi Indonesia yang merupakan negara
yang masih berkembang. Penulis melihat bahwa potensi laut dan pertanian
merupakan comparative advantage yang potensial bagi Indonesia untuk dapat
dikembangkan. Penerapaninstensifikasi pengolahan dan perlindungan
perdagangan terhadap sektor ini dalam jangka waktu tertentu penulis yakini akan
dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan untuk Indonesia. Pada
saatnya nanti bentuk proteksi tersebut bisa dilepaskan dan dialihkan ke sektor
potensial lainnya sehingga secara berangsur Indonesia akan dapat bersaing dengan
kuat di tengah persaingan liberalisasi perdagangan dunia.
Penulis menyarankan untuk diadakannya kajian lebih lanjut mengenai
perbedaan perkembangan liberalisasi negara-negara di dunia. Hal ini bisa
dilakukan dengan pengelompokan secara fungsional melingkupi motif, instrumen,
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
59
Universitas Indonesia
dan respon penerapan kebijakan proteksionisme di negara berkembang, negara
industri baru, dan negara maju. Kajian ini akan menjadi pembahasan yang
menarik untuk melengkapi kajian-kajian tentang proteksionisme dalam liberalisasi
perdagangan dunia.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
60
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal, Vinod K., Robert O. Keohane, dan David B. Yoffie. “The Dynamics of Negotiated Protectionism.”The American Political Science Review 81, no. 2, (1987):345-66.
Carlisle, Charles R. “Is the World Ready for Free Trade?,” Foreign Affairs 75, No. 6 (1996)
Chang, Ha-Joon, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. London: Wimbledon Publishing, 2002.
Dunkley, Graham. Free Trade : Myth, Reality, and Alternatives. New York: Palgrave Macmillan,2004.
Eichengreen, Barry, dan Douglas Irwin, “Trade Blocs, Currency Blocs and the Reorientation of World Trade in the 1930s,” Journal of International Economics, no. 38. (1995): 24.
Finger, JM. “The Meaning of' Unfair' in U.S. Import Policy,” World Bank WPS 745, (1991).
Frieden, Jeffry dan Lisa Martin, “International Political Economy: Global and Domestic Interactions,” dalam “Political Science: The State of The Discipline,ed. Ira Katznelson dan Helen Milner. New York: W.W. Norton, 2003.
Gilpin, Robert. Global Political Economy: Understanding the Internationla Economic Order. Oxfordshire: Princeton University Press, 2001.
Goldstein, Natalie. Globalization and free trade. New York: Infobase Publishing, 2007.
Irwin, Douglas. Free Trade Under Fire. Oxfordshire: Princeton University Press, 2009.
Krugman, Paul. “Is Free Trade Passe?,” The Journal of Economic Perspectives 1, No. 2, (1987) : 131-44.
-------- “Growing World Trade: Causes and Consequences,” Brookings Papers on Economic Activity, Vol.1 (1995)
Levy, Philip I. “Imaginative Obstruction Modern Protectionism in the Global Economy,” Georgetown Journal of International Affairs. (2009): 7-14
Love, Patric dan Ralph Lattimore, International Trade: Free, Fair and Open?, France: OECD Publishing, 2009.
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
61
Universitas Indonesia
Ma, Jing “Free Trade or Protection: A Literature Review on Trade Barriers,” Research inWorld Economy 2, No. 1. (2011).
Madsen, Jacob, “Trade Barriers and the Collapse of World Trade During the Great Depression,” Southern Economic Journal 6, no. 4 (2001) :848–68
McGee, Robert W. “The Philosophy of Trade Protectionism, Its Costs and Its Implications,” Policy Analysis 10. (1996) :1-42
McKinney, Joseph A., “The World Trade Regime: Past Successes and Future Challenges,” International Journal 49, No. 3, (1994): 445.
ODI briefing paper ,The GATT Uruguay Round. Overseas Development Institute (2011)
Palan, Rolen, ed. Global Political Economy: Contemporary Theories. New York: Routledge, 2000
Rugie, John Gerard, “International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order,” dalam International Regimes, Ed. Stephen D. Krasner. Cornell: Cornell University Press, 1983. 195-231.
Salvatore, Dominic, ed. Protectionism and World Welfare, Cambridge: Cambridge University Press, 1993.
Stein, A Arthur. “The Hegemon's Dilemma: Great Britain, the United States, and the International Economic Order,” International Organization 38, no. 2 (1984): 355-86
Strange, Susan. "Protectionism and World Politics,” International Organization 39, no. 2 (1985), 233-259.
---------- “Protectionism—Why Not?” The World Today 41, no. 8/9 (1985): 148-150
---------- “The Westfailure System,” Review of International Studies 25, no. 3 (1999): 345-54
Thompson, William R. and Rafael Reuveny, “Tariffs and Trade Fluctuations: Does Protectionism Matter as Much as We Think?,” International Organization 52, No. 2. (1998).
Walker, Andrew. WTO agrees global trade deal worth $1tn, http://www.bbc.com/news/business-25274889. (Mei 31, 2014)
Weck-Hannemann, Hannelore, “Protectionism in Direct Democracy.” Journal of Institutional and Theoretical Economics (JITE) / Zeitschrift für die gesamte Staatswissenschaft 146, No. 3, (1990): 389-418
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014
62
Universitas Indonesia
Yoffie, David B. “The Newly Industrializing Countries and the Political Economy of Protectionism.” International Studies Quarterly 25, No. 4, (1981):569-99
Proteksionisme di eengah…, Muhammad Hanif, FISIP UI, 2014