proteinuria (autosaved)

28
BAB I PENDAHULUAN Proteinuria sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, khususnya pa pasien usia lanjut. Proteinuria sering bersifat sementara dan jinak, tetapi proteinuria persisten tidak hanya tanda awal suatu penyakit ginja menunjukkan secara tidak langsung suatu penyakit aterosklerosis seperti p arteri koroner dan serebrovaskuler (Leinstein dan Gordon, !!"#. Pasiendengan proteinuria meningkatkan resiko kematian. Proteinuria ditemukan pada $%& persen orang dewasa yang asimptomatik. Proteinuria meningkatkan resiko terjadinya gagal ginjal. Pada suatu penelitian terhadap populasi yang berusia !-' tahun, ditemukan proteinuria sebanyak *ementara populasi berusia '!-%+ tahun, prevalensi meningkat menjadi $)- Populasi berusia %! tahun tanpa hipertensi dan diabetes terdapat peningk proteinuria sebesar $"- & dan jumlah tersebut tidak jauh berbeda dari populasi dengan unur yang sama dan menderita diabetes dan atau hipertensi. Prevale proteinuria meningkat terkait dengan obesitas. protein yang terbuang dal dapat mengidentifikasi risiko penyakit ginjal. Pengukuranini merupakan pemeriksaan penunjang sederhana dan murah, serta cukup menjanjikan bagi penderita penyakit ginjal kronik (PG #, sehingga dapat diambil sebagai l awal untuk tindakan pencegahan ( estefano, !$$#. *etiap tahun semakin banyak individu didiagnosis PG , tetapi banyak orang yang tidak menyadari risiko terkena PG . *alah satu studi yang meni tingginya protein pada urin dan risiko mendapatkan PG meneliti +!.!!! sampel urin yang diukur kadar proteinnya dan dipantau selama / tah 0ernyata dari semua pasien yang memiliki peningkatan kadar protein urin, dari setengahnya memulai dialisis atau melakukan transplantasi gin studi. ari hasil penelitan tersebut, para peneliti menyimpulkan individu dengan kadar protein urin tinggi, terjadi peningkatan risiko hil 1

Upload: gunawanoesman

Post on 05-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

proteinuria

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Proteinuria sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, khususnya pada pasien usia lanjut. Proteinuria sering bersifat sementara dan jinak, tetapi proteinuria persisten tidak hanya tanda awal suatu penyakit ginjal tetapi juga menunjukkan secara tidak langsung suatu penyakit aterosklerosis seperti penyakit arteri koroner dan serebrovaskuler (Leinstein dan Gordon, 2008). Pasien dengan proteinuria meningkatkan resiko kematian. Proteinuria ditemukan pada 17% persen orang dewasa yang asimptomatik. Proteinuria meningkatkan resiko terjadinya gagal ginjal. Pada suatu penelitian terhadap populasi yang berusia 20-65 tahun, ditemukan proteinuria sebanyak 6,3 persen. Sementara populasi berusia 60-74 tahun, prevalensi meningkat menjadi 13-20%. Populasi berusia >70 tahun tanpa hipertensi dan diabetes terdapat peningkatan proteinuria sebesar 18-25% dan jumlah tersebut tidak jauh berbeda dari populasi dengan unur yang sama dan menderita diabetes dan atau hipertensi. Prevalensi proteinuria meningkat terkait dengan obesitas. protein yang terbuang dalam urin dapat mengidentifikasi risiko penyakit ginjal. Pengukuran ini merupakan pemeriksaan penunjang sederhana dan murah, serta cukup menjanjikan bagi penderita penyakit ginjal kronik (PGK), sehingga dapat diambil sebagai langkah awal untuk tindakan pencegahan (Destefano, 2011).Setiap tahun semakin banyak individu didiagnosis PGK, tetapi banyak pula orang yang tidak menyadari risiko terkena PGK. Salah satu studi yang menilai tingginya protein pada urin dan risiko mendapatkan PGK meneliti lebih dari 40.000 sampel urin yang diukur kadar proteinnya dan dipantau selama 9 tahun. Ternyata dari semua pasien yang memiliki peningkatan kadar protein urin, lebih dari setengahnya memulai dialisis atau melakukan transplantasi ginjal selama studi. Dari hasil penelitan tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa pada individu dengan kadar protein urin tinggi, terjadi peningkatan risiko hilangnya fungsi ginjal, sehingga pasien memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal (Destefano, 2011). Semakin tinggi kadar protein urin, semakin tinggi risiko pasien memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal dan semakin cepat penurunan fungsi ginjal. Pendekatan melalui pengukuran protein dalam urine cukup efektif dalam mencegah penyakit jantung dan pada beberapa kelompok dengan risiko tinggi terjadi proteinuria menjadi sangat bermanfaat, sehingga kebutuhan untuk melakukan dialisis dapat dicegah (Mushlin dan Greene, 2010).

BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urogenital2.1.1 Pengertian Sistem UrogenitalSistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dlam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Pricw dan Lorraine, 2006).2.1.2 Susunan Sistem PerkemihanSistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria (Ganong, 1998).

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Urogenital

2.1.3 Ginjal (Ren)Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dextra yang besar (Buduanto, 2005).

Gambar 2.2 Anatomi Ginjal

2.1.4 Fungsi ginjalFungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana keseimbangan cairan, c) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuhd) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.e) menghasilkan hormon erotropoietin untuk pembentukan sel darah merah.

2.1.5 Anatomi Ginjal1. Fascia Renalis terdiri dari (Buduanto, 2005) :Fascia renalis terdiri dari a)fascia (fascia renalis), b)Jaringan lemak peri renal, dan c)kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan erat pada permukaan luar ginjal2. Struktur GinjalSetiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis (Ganong, 1998).Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores (Ganong, 1998).

Gambar 2.3 Potongan Melintang Ginjal

Gambar 2.4 Jaringan Ginjal (Warna biru menunjukkan satu tubulus)

Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius (Buduanto,2005).2.1.6 Proses Pembentukan Urine 1. Proses Filtrasi di glomerulusTerjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus(Guyton, 1996).2. Proses ReabsorbsiPada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis (Sherwood, 2007).3. Proses Sekresi.Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar (Shermoowd, 2007).

2.1.7 Pendarahan GinjalGinjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteria interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi arteriolae aferen glomerulus yang masuk ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriolae eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior (Guyton, 1996).

2.1.8 Persarafan GinjalGinjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal (Sherwood, 2007).

2.1.9 UreterTerdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis (Ganong, 1998).

Gambar 2.5 Anatomi Ureter

Lapisan dinding ureter terdiri dari (Sherwood, 2007):1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)2. Lapisan tengah lapisan otot polos3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosaLapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.2.1.10 Vesika Urinaria Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet (Ganong, 1998).

Gambar 2.6 Anatomi Vesica Urinaria

Dinding kandung kemih terdiri dari (Ganong 1998):1. Lapisan sebelah luar (peritoneum).2. Tunika muskularis (lapisan berotot).3. Tunika submukosa.4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).

2.1.11 UretraMerupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar (Guyton, 1996).

Gambar 2.7 Anatomi Uretra Pria

Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:1. Urethra pars Prostatica2. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)3. Urethra pars spongiosa.Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi.

Gambar 2.8 Anatomi Uretra WanitaDinding urethra terdiri dari 3 lapisan (Sherwood, 2007):1.Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.2.Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.3. Lapisan mukosa.2.1.12 UrineSifat fisis air kemih, terdiri dari (Ganong, 1998):1. Jumlah ekskresi dalam 24 jam 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan dan faktor lainnya.2. Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.3. Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.4. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.5. Berat jenis 1,015-1,020.6. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).Komposisi air kemih, terdiri dari (Sherwood,2007):1. Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.2. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan kreatinin.3. Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.4. Pagmen (bilirubin dan urobilin).5. Toksin.6. Hormon.

2.1.13 MikturisiMikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu (Guyton,1996):1.Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas (Hal ini terjadi bila telah tertimbun 170-230 ml urin), keadaan ini akan mencetuskan tahap ke 2.2.Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandung kemih.Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang) Sebagian besar pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di pelajari latih. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi mikturisi (normal: tidak nyeri) (Ganong, 1998)..Ciri-Ciri Urin Normal (Guyton, 1996)1.Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk.2.Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.3.Baunya tajam.4.Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.

2.2 Filtrasi Protein Oleh Ginjal Secara FisiologisKapiler Glomerolus merupakan filter yang sangat efektif yang secara selektif menyaring makromolekul seperti protein plasma dan 150-180 L air setiap hari, elektrolit, dan zat terlarut lain seperti urea dan kreatinin. Kemampuan tersebut dimiliki oleh glomerolus karena memiliki gradien tekanan transmembran yang tinggi sehingga menyebabkan filtrasi paksa. Dinding kapiler dapat dilewati oleh air dan zat terlarut kecil (500 mg %

Gambar 2.9 Interpretasi Pemeriksaan Proteinuria

Fungsi ginjal merupakan membuang sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh dan mengatur keseimbangan cairan serta elektrolit tubuh. Setiap saat, secara teratur, darah yang beredar di tubuh kita akan melewati ginjal untuk menjalani proses filtrasi di ginjal. Proses filtrasi tersebut akan menghasilkan urin yang membawa serta sisa metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi. Sedangkan zat-zat yang berguna bagi tubuh, seperti protein, tidak terfiltrasi dan tidak keluar di urin (Destefano, 2011).Proses metabolisme protein di dalam sistem pencernaan akan menghasilkan asam amino yang kemudian ikut dalam peredaran darah. Di dalam sel akan disintesa dan sebagai hasil akhir adalah asam urat. Asam urat merupakan suatu zat racun jika ada di dalam tubuh maka hepar akan dirombak sedikit demi sedikit menjadi urea dan dikeluarkan ginjal. Jika urine mengandung protein biasanya berupa asam amino. Keadaan demikian merupakan kelainan pada hepar ginjal (Scharier, 2009).Urine yang terdapat atau ditemukan protein disebut proteinuria. Proteinuria ini ditandai dengan adanya kekeruhan setelah diuji dengan suatu metode. Proteinuria ditentukan dengan berbagai cara yaitu: asam sulfosalisilat, pemanasan dengan asam asetat, carik celup (hanya sensitif terhadap albumin). Pada metode pemanasan dengan asam asetat terbentuknya protein disebabkan sifat asam atau suasana asam. Setelah diuji didapat hasil negatif yaitu dengan melihat ada atau tidak adanya kekeruhan. Berarti fungsi renal bekerja dengan baik dan tidak ada indikasi kelainan (Scharier, 2009).Albuminuria biasanya dapat terdeteksi dari pemeriksaan urine dipstick. Stik tersebut terdiri dari area dari kertas yang mengandung reagen yang sensitif dan akan berubah warna tergantung dari konsentrasi protein. Reagen tersebut sensitif terhadap konsentrasi albumin > 10mg/dl dan memberikan hasil positif pada kebanyakan hasil > 30mg/dl. Perubahan warna yang mencolok terjadi pada konsentrasi albumin > 2 gr/dl. Tidak ada perubahan warna lebih lanjut yang terjadi pada konsentrasi yang lebih tinggi. Reagen kurang sensitif terhadap globulin dan mukoprotein dan gagal untuk menemuan protein Bence Jones bahkan ketika konsentrasinya melebihi 100 mg/dl (Koay dan Walmsley, 1997).

Gambar 2.10 Urine Dipstick

2.3.7 Pemeriksaan MikroskopisPemeriksaan mikroskopik dari sedimen urine yang telah disentrifus merupakan komponen dasar untuk memeriksa proteinuria. Hal tersebut berguna untuk membedakan bila pasien terdapat proteinuria terisolasi dan memberikan indikator diagnostik yang penting. Sebagai contoh, mikroskopik hematuria dan silinder eritrosit merupakan penentu diagnosis glomerulonefritis, badan lemak oval, silinder lemak dan bintik-bintik lemak bebas biasanya terkait dengan patologis proteinuria berat yang kelainannya berasal dari glomerolus. Proteinuria ringan tanpa disertai oleh hematuria atau badan lemak disertai oleh sel tubulus renal, leukosit dan granulosit merupakan karakteristik dari kelainan tubulointerstisial (Marshall dan Banget, 2008). 2.3.8 Metode KuantitatifUntuk mengkonfirmasi terdapatnya urine dalam jumlah tidak normal, laju ekskresi protein urine total dan kreatinin urine sebaiknya diukur pada koleksi urine 24 jam. Karena laju ekskresi normal kreatinin 20-26 mg/kg/24 jam pada laki-laki; 14-22 mg/kg/24 jam pada wanita. Di sisi lain dengan menghitung jumlah perkiraan kreatinin urine dari urine 24 jam lalu kemudian dibandingkan dengan jumlah yang sudah diukur untuk menentukan apakah urine sudah tepat dikumpulkanselama 24 jam. Sebagai contoh spesimen urine 24 jam mengandung 800 mg kreatinin dari laki-laki dengan berat badan 80 kg hal tersebut jelas pengumpulan urinenya tidak lengkap 24 jam begitu juga dengan ekskresi total protein urine 24 jam (Marshall dan Bangert, 2008). Ekskresi protein pada urine normalnya 40-150 mg/ 24 jam pada orang dewasa dan 6 mg/m2/jam pada anak-anak. Ketika tidak mungkin memperoleh perhitungan waktu secara akurat (contoh, pasien dengan inkontinensia urine), hasil dari pengumpulan urine 24 jam dapat diperkirakan berdasarkan rasio konsentrasi protein urin terhadap kreatinin urine pada spesimen dengan jam acak. Dengan menggunakan rasio ini, orang normal memiliki rasio protein-kreatinin 3,5/24 jam. Nilai antara 0,2-3,5 mg biasanya terdapat pada beberapa kelainan ginjal. Microalbuminuria, suatu tanda dari diabetik nefropati, tidak dapat dideteksi melalui pemeriksaan urine rutin untuk protein dan membutuhkan radioimmunoassay (Koay dan Walmsley, 1997).

2.4 Diagnosis Banding Proteinuria Proteinuria merupakan tanda yang penting dari penyakit ginjal. Proteinuria dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu proteinuria terkait penyakit ginjal atau sistemik dan proteinuria terisolasi, yang mana proteinuria tidak berhubungan dengan kelainan ginjal dan sistemik (Barker dan Burton, 2003).

2.4.1 Proteinuria Terkait Penyakit Ginjal atau SistemikKelainan klinislain biasanya berhubungan dengan proteinuria tipe ini. Bukti dari suatu penyakit termasuk gangguan fungsi ginjal (peningkatan BUN atau kreatinin serum) kelainan sedimen urine (sel atau silinder), atau tanda dari penyakit sistemik (demam, eritema, arthalgia). Berbagai macam penyakit ginjal dapat menyebabkan proteinuria, termasuk glomerulonefritis, sindroma nefrotik, penyakit tubulointerstisial, penyakit tubulus ginjal primer, penyakit ginjal familial, obstruksi traktus urinarius, atau malformasi kongenital (Schrier, 2009). Ketika proteinuria dan tanda dari penyakit ginjal atau sistemik ditemukan, evaluasi ketat penting untuk dilakukan untuk menegakkan penyakit yang mendasari. Semua pasien dengan proteinuria sebaiknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap, memeriksa konsentrasi BUN dan kreatinin serum,dan pengukuran ekskresi protein urine 24 jam dan kreatinin clearence (Leinstein dan Gordon, 2008).Proteinuria berat, terutama pada sindroma nefrotik (>3 gr/24 jam) pada orang dewasa atau 40 mg/m2/jam pada anak-anak, biasanya menunjukkan lesi di glomerolus. Pada beberapa pasien, kemungkinan penyebab penyakit glomerolus diketahui (diabetes mellitus lama dengan retinopati) tapi pada beberapa pasien yang lain diperlukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis. Hasil pengukuran Proteinuria yang lebih kecil tidak menyingkirkan kemungkinan lesi di glomerolus tapi mengarah juga pada nefritis tubulointerstisial. Pemindaian ginjal akan menemukan penyakit ginjal yang tidak terduga seperti tuberkulosis ginjal, obstruksi saluran kemih atau nefropati refluks, penyakit kistik ginjal, atau tumor ginjal. Penting pada pasien dengan proteinuria dengan bukti penyakit ginjal atau sistemikuntuk dievaluasi dan ditindaklanjuti secara lengkap. Pasien tersebut memiliki resiko insufisiensi ginjal progresif bahkan pada ginjal yang awalnya normal (Schrier, 2009).

2.4.2 Proteinuria Non-nefrotik 1. Proteinuria terisolasi Proteinuria terisolasi didiagnosis ketika protein berlebih ditenukandi urine tanpa disertai bukti kelainanpada ginjal dan sistemik serta terjadi pada pasien yang sehat atau asimptomatik. Sedimen urine ditemukan normal. Pada radiologi tidak ditemukan kelainan pada ginjal ataupun saluran kemih. Ekskresi protein total urine biasanya di bawah 1 gr/hari. Prevalensi proteinuria terisolasi ditemukan pada berbagai usia atau populasi dan tidak terlalu banyak data yang diperoleh (Barker dan Burton, 2003).Prevalensi proteinuria kualitatif yang ditemukan pada analisis urine rutin dengan sekali pemeriksaan didapatkan 0,6-10,7% pada berbagai populasi dari penelitian yang berbeda. Proteinuria terisolasi dapat dibagi menjadi variasi jinak (termasuk proteinuria fungsional, idiopatik transient,dan ortostatik) dan variasi bahaya (proteinuria yang tidak terkait perubahan posisi dan persisten) (Schrier, 2009).Proteinuria terisolasi terdiri dari (Winters, 2001):1. Proteinuria FungsionalProteinuria fungsional merupakan suatu keadaan yang terjadi berkaitan dengan adanya demam tinggi, olah raga yang berlebihan, stress emosional, gagal jantung kongestif dan penyakit akut lainnya. Proteinuria yang terjadi pada kondisi ini akan segera menghilang setelah permasalahan yang mendasarinya diobati.2. Proteinuria Idiopatik TransienProteinuria tipe ini dikarakteristikkan sebagai keberadaan protein pada urinalisis urin yang dilakukan pada seseorang yang sehat. Proteinuria menghilang pada tes yang dilakukan selanjutnya dan biasanya tidak terdapat sekuele pada keadaan ini.3. Proteinuria OrtostatikProteinuria ortostatik (postural) merupakan proteinuria yng terdapat pada seseorang dalam keadaan berdiri dan menghilang pada posisi berbaring. Pola terjadinya proteinuria seperti ini umum terjadi pada usia muda dan dikaitkan dengan eksresi protein di bawah 2 g. Pola ortostatik ditemukan pada 90% usia muda dengan proteinuria dengan 80% merupakan proteinuria transien. Proteinuria menghilang seiring berjalannya waktu pada sisa kasus yang ada dan isufisiensi renal tidak terjadi pada pasien-pasien dengan proteinuria ortostatik.4. Proteinuria Terisolasi PersistenPasien-pasien dengan proteinuria terisolasi persisten baik dalam posisi berdiri maupun berbaring disebut memiliki proteinuria terisolasi persisten. Gangguan ini terjadi pada 5% sampai 10% laki-laki muda dengan proteinuria terisolasi. Pasien-pasien seperti ini memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan seseorang yang memiliki proteinuria intermitten.

2.5 Algoritma DiagnosisBerikut langkah-langkah untuk menindaklanjuti proteinuria (Winters, 2001):1. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengumpulkan bukti-bukti penyakit ginjal dan sistemik yang mendasari.a. Apabila ada bukti yang ditemukan terkait penyakit ginjal dan sistemik, lakukan pemeriksaan tes darah, radiologi, atau biopsi untuk meneggakkan diagnosis penyakit yang mendasari.b. Apabila tidak ada bukti keterlibatan ginjal dan penyakit sistemik, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria sebanyak 2-3 kali.1) Apabila proteinuria tidak ditemukan, asumsikan bahwa proteinuria tersebut adalah transien atau fungsional.2) Apabila proteinuria ditemukan, cek fungsi ginjal, USG ginjal, dan laulan tes proteinuria postural.2. Apabila tes fungsi ginjal atau ultrasonografi tidak normal, lakukan seperti poin 1a.3. Apabila fungsi ginjal dan ultrasonografi normal dan proteinuria yang ditemukan adalah proteinuria postural, tidak dibutuhkan. Pasien sebaiknya kontrol ulang setiap 1 atau 2 tahun sekali.Apabila proteinuria persisten, lakukan seperti poin 4b, apabila proteinuria tidak ada lagi, hentikan pemeriksaan.4. Apabila fungsi ginjal dan ultrasonografi normal dan proteinuria bukan merupakan proteinuria postural, lakukan pemeriksaan protein urine 24 jam sebanyak 1-2 kali untuk menyingkirkan kemungkinan proteinuria intermiten. a. Apabila proteinuria intermiten, pasien di bawah 30 tahun sebaiknya dipantau setiap 1-2 tahun sekali, pasien di atas 30 tahun sebaiknya kontrol ulang 6-12 bulan sekali ke ahli ginjalb. Apabila proteinuria tetap ada, pasien lebih dari 30 tahun sebaiknya menjalani pemeriksaan elektroforesis serum dan proteina) Apabila proteinurianya kurang dari 3 gr/24 jam, pasien sebaiknya kontrol ulang setiap 6-12 sekali ke ahli ginjal.b) Apabila proteinurianya lebih dari 3 gr/24 jam sehari, diagnosis sindroma nefrotik sebaiknya dipertimbangkan.

2.6 Indikasi Untuk MerujukPasien dengan proteinuria transien yang hilang sendiri tidak perlu dirujuk ke ahli ginjal. Pasien dengan diabetes dan mikroalbuminuria dapat diperiksa dan diobati secara tepat dengan ACE inhibitor atau ARB oleh dokter pelayanan primer tanpa perlu merujuk. Pada pasien dengan retinopati dan pada pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya glomerulonefritis dapat diobati dengan mengontrol tekanan darah dan menggunakan ACE inhibitor dan ARB (Goroll dan Muley, 2009).Pasien dengan proteinuria persisten sebaiknya dirujuk untuk melakukan evaluasi, khususnya bila terkait dengan insufisiensi ginjal. Pasien dengan sindroma nefrotik yang tidak diketahui etiologinya sebaiknya dirujuk untuk dievaluasi oleh ahli ginjal. Proteinuria ortostatik terkadang sulit didiagnosis oleh dokter pelayanan primer maka pasien dengan keadaan tersebut sangat direkomendasikan untuk dirujuk ke ahli ginjal (Goroll dan Mulley, 2009).

BAB IIIKESIMPULAN

Proteinuria sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, khususnya pada pasien usia lanjut. Pasien dengan proteinuria meningkatkan resiko kematian. Ada dua faktor utama yang meningkatkan filtrasi glomerolus terhadap protein plasma. Ketika sawar filtrasi terganggu akibat penyakit pada glomerolus, protein plasma (khususnya albumin) bocor melewati flitrasi glomerolus dalam jumlah tertentu yang melebihi kapasitas glomerolus untuk reabsorbsi. Pada penyakit di glomerolus, muatan listrik dinding kapiler glomerolus dapat berubah sehingga dapat terjadi albuminuria. Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Semakin tinggi kadar protein urin, semakin tinggi risiko pasien memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal dan semakin cepat penurunan fungsi ginjal. Pendekatan melalui pengukuran protein dalam urine cukup efektif dalam mencegah penyakit jantung dan pada beberapa kelompok dengan risiko tinggi terjadi proteinuria menjadi sangat bermanfaat, sehingga kebutuhan untuk melakukan dialisis dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pricw, Lorraine. 2006, Pathophysiology: clinical concepts of disease processes. Alsevier Science.2. Buduanto A.2005.Guidance to Anatomy II.Surakarta:keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS3. Ganong WF.1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed 17. Jakarta:EGC4. Guyton CA. 1996. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: W.B Saunders.5. Sherwood L. Human Physiology From Cells to System. Thomson Brooks: Ohio.6. Winters R. 2001. Kelleys Essentialof Internal Medicine. Lippincot Williams and Wilkins:Philadelphia7. Mushlin, Greene. 2010. Decision Making in Medicine. John F Kennedy:Philadelphia.8. Koay EVC, Walmsley N. 1997. A Primer of Chemical Pathology. World Scientific:London.9. Leinstein S, Gordon CM. 2008. Adolescent Health Care. Lippincott William and Wilkins:Philadelphia10. Brady HR, Wilcox CS. 2003. Therapy in Nephrology and Hypertension. WB Saunders:Philadelphia11. Goroll AH, Mulley AG.2009. Primary Care Medicine.Lippincott Williams and Wilkins.12. Marshall WJ, Bangert SK.2008.Clinical Biochemistry.Elsevier:London13. Schrier SW.2009.Manual of Nephrology. Lippincott Williams and Willkins:Philadelphia.14. Barker, Burton.2003.Principles of Ambulatory Medicine. Lippincot Williams and Willkins15. Destefano F. 2011. Handbook of Chronic Kidney Disease. Lippincot Williams and Willkins:Philadelphia9