prosiding v kupang, 27 oktober 2018

204

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROSIDING

Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke – V Fakultas Kelautan dan Perikanan

Universitas Nusa Cendana

Kupang, 27 Oktober 2018

Undana Press 2018

i SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke – V Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang, 27 Oktober 2018 Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan Pengarah : Dr. Ir. Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, M.Si Penyunting : Dr. Ir. Agnette Tjendanawangi, M.Si

Dr. Ir. Sunadji, MP Dr. Lady Cindy Soewarlan, S.Pi., M.Pi

Redaksi Pelaksana : Dr. Ismawan Tallo, S.Pi.,M.Si

Dr. Alexander L. Kangkan, S.Pi.,M.Si Kiik Gretty Sine, S.Pi.,M.Si Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si

Reviewer

:

Dr. Ir, Fonny J. L. Risamasu, M.Si Dr. Ir. Yahyah, M.Si Dr. Ismawan Tallo, S.Pi.,M.Si Dr. Lady Cindy Soewarlan, S.Pi.,M.Pi Ir. Felix Rebhung, M.Agr.,Ph.D Dr. Ir. Nicodemus Dahiklory, M.Si Dr. Pryo Santoso, S.Pi.,MP Dr. Yuliana Salosso, S.Pi.,MP Dr. Ir. Yulianus Linggi, M.Si Dr. Alexander L. Kangkan, S.Pi.,M.Si Dr. Chaterina Paulus, S.Pi.,M.Si Dr. Ade Y. H. Lukas, S.Pi.,M.Si Ir. Ridwan Tobuku, M.Si Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si Kiik Gretty Sine, S.Pi.,M.Si Lumban Nauli Lumban Toruan, S.Pi.,M.Si Crisca B. Eoh, S.Pi.,M.Si

Kepanitiaan Dr. Ismawan Tallo, S.Pi.,M.Si

Dr. Alexander L. Kangkan, S.Pi.,M.Si Kiik G. Sine, S.Pi.,M.Si Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si

ISBN : 978-602-6906-51-9 Penerbit : Undana Press

Lt. 3 Kantor Rektorat Jl. Adisucipto Undana Penfui Kupang-NTT PO BOX 104 (0380) 881580-881586, Fax 881674-881586

Email : [email protected] Website : www.undana.ac.id HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

i SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PENGANTAR

Peningkatan jumlah penduduk dunia dan efek pemanasan global telah berdampak

pada menurunnya produksi bahan pangan diberbagai Negara. Hal ini merupakan salah satu

ancaman bagi ketahanan pangan dunia tidak terkecuali Indonesia yang merupakan salah satu

Negara yang memiliki kekayaan hayati laut terbesar di dunia. Berdasarkan hal tersebut, laut

dan perairan tawar diharapkan dapat menopang ketersediaan sumber pangan nabati dan

hewani bagi penduduknya.

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut dan

perairan tawar (penangkapan, budidaya) telah banyak dilakukan, tetapi belum banyak

diaplikasikan oleh pengambil kebijakan maupun stakeholder. Menyadari hal tersebut maka

Fakultas Kelautan dan Perikanan berencana mengadakan seminar Nasional Kelautan dan

Perikanan yang merupakan media yang bisa mempertemukan berbagai kalangan baik dari

akademisi, peneliti, pengambil kebijakan, stakeholder, maupun masyarakat yang mempunyai

kepedulian pada bidang perikanan dan kelautan untuk mensinergikan hasil-hasil penelitian

yang telah dilakukan agar bisa diaplikasikan untuk mendukung pembangunan perikanan

secara berkelanjutan.

Pada kesempatan ini panitia mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas

Nusa Cendana beserta staf, Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan beserta staf, semua

panitia, serta semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan seminar nasional

tersebut. Selain itu, panitia juga memohon maaf kepada semua pihak, apabila pelaksanaan

seminar nasional sampai penyusunan prosiding ini kurang berkenan, serta panitia mengharap

kritik dan koreksi demi perbaikan isi dari prosiding ini.

Akhir kata semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Kupang, 27 Oktober 2018

Panitia

ii SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL hal

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

KELOMPOK BUDIDAYA PERAIRAN

Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dalam Sistem Akuaponik Terhadap Hematologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Seto Sugianto Prabowo Raharjo, M. Fadjar dan Hamidah Tsana Januarti

1-10

Kajian Penerapan Jarwo Pada Sistem Minapadi Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi dan Ikan Nila Arum Pratiwi, Sovia Sega dan Salmon De Haas

11-19

Potensi Maggot (Hermetia illucens) Sebagai Sumber Protein Alternatif pada Pakan Ikan Marlyn Kallau dan Yusuf Kamlasi

20-28

Studi Kelayakan Lokasi Budidaya Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) pada Keramba Jaring Apung di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat Yusuf Kamlasi, Alexander S. Tanody dan Mikson M. D Nalle

29-31

Pengaruh Salinitas Terhadap Penggunaan Energi Oleh Glass Eel Anguilla bicolor bicolor Selama 14 Hari Pemuasaan Ade. Y. H. Lukas

32-39

Uji Aktivitas Antibakteri Beberapa Madu Lokal Asal Kabupaten Kupang Terhadap Bakteri Aeromonas hydropilla Yuliana Salosso, Jeni Ressy dan Yenni

40-44

Tingkat Pertumbuhan dan Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii di Perairan Batubao Teluk Kupang dengan Menggunakan Bibit Petikan Thalus Marsion Takanjanji, Lien Ratoe Oedjoe dan Yulianus Linggi

45-52

Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii) dari Bibit Vegetatif yang Dibudidaya di Perairan Batubao Y. R. Tagu Pati, Marcelien Dj. R.Oedjoe dan Lumban N. L. Toruan

53-59

iii SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KELOMPOK MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Status Lamun Kawasan Buano Utara, Provinsi Maluku Frederik Willem Ayal

60-68

Komposisi dan Keanekaragaman Plankton di Wilayah Perairan Sekitar Pelabuhan Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur Maria Imaculata Rume, Erfin dan Sofia Dhengi

69-77

Struktur Komunitas Teripang (Holothuroidea) di Perairan Desa Warialau Kepulauan Aru Yona A. Lewerissa

78-88

Preliminary Investigation of Salt-Water Intrusion and Hypersaline Lake on The Outermost Small Island from North Part of Nusa Tenggara Timur Lumban N. Lumban Toruan, Alexander L. Kangkan dan Jotham

S.R. Ninef

89-95

Identifikasi Beberapa Jenis Biota dari Filum Artrophoda, Mollusca dan Echinodermata di Sekitar Perairan Pulau Siput, Kabupaten Lembata Aludin Al Ayubi, Kumala Sari, Cahyaningtias dan Sugiyanto Abdul Kadir

96-100

Kombinasi Sebaran Suhu, Oksigen Terlarut dan pH di Perairan Teluk Kupang Alexander Leonidas Kangkan

101-106

Persepsi Ramah Lingkungan Ditinjau dari Kualitasbio-Sosio Produsen Kerang Darah (Anadara granosa) Konsumsi di Desa Oebelo Crisca B. Eoh

107-119

Marine Reserves: Sustain Fishing Or Conservation? A Case Study From Kimbe Bay, Papua New Guinea Welem Linggi Turupadang

120-128

KELOMPOK PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN, PENGOLAHAN DAN

PENANGANAN HASIL PERIKANAN DAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

Teknologi Penangkapan Bubu di Kabupaten Alor Fonny Josane Laura Risamasu

129-141

Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Desa Wendewa Utara Kecamatan Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah Ismawan Tallo, Rusydi dan Herri Binarasa Putra

142-146

iv SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Pendugaan Parameter Mortalitas dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor, 1849) di Perairan Selat Ombai Beatrix M. Rehatta dan Jotham S. R. Ninef

147-156

Gerobak Ikan Dingin (Cold Fish Cart /CFC) Sebagai Wadah Alternatif untuk Pemasaran Ikan Keliling Lady Cindy Soewarlani, Maria Chinya Roi Ngey dan Laurensia Yolani Alfredy

157-162

Pendapatan dan Angka Konsumsi Ikan Segar Masyarakat di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur Umbu P. L. Dawa, Ovie Ningsih dan Rian Rivanto Renggi Halang

163-176

Analisis Sosio-Ekonomi Terhadap Penilaian Panelis Rumput Laut Eucheuma cottonii dari Hasil Panen Pembudidaya Desa Tablolong Crisca B. Eoh

177-193

v SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KELOMPOK

BUDIDAYA PERAIRAN

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

1 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR DALAM SISTEM AKUAPONIK TERHADAP HEMATOLOGI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Seto Sugianto Prabowo Raharjo, M. Fadjar dan Hamidah Tsana Januarti

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Jl. Veteran No. 16, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145

Abstrak - Akuaponik merupakan sistem yang menggabungkan antara kegiatan budidaya tanaman secara hidroponik dan budidaya ikan. Akuaponik memiliki prinsip dasar memanfaatkan produk sisa dari kegiatan budidaya perikanan berupa sisa pakan dan feses ikan sebagai sumber nutrisi tanaman. Permasalahan yang muncul dalam budidaya dengan sistem akuaponik yaitu hasil panen tanaman yang kurang dan produksinya rendah dikarenakan kurangnya nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Oleh karena itu diperlukan penambahan nutrisi untuk tanaman melalui pemberian pupuk organik cair AB Mix. Namun perlu diketahui bagaimana pengaruh pemberian pupuk organik cair AB Mix terhadap hematologi ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik cair AB Mix dengan dosis berbeda terhadap hematologi ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan dengan sistem akuaponik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Penelitian ini menggunakan perlakuan K (kontrol), A (0,275 ml./l), B (0,550 ml/l), dan C (0,825 ml/l). Hasil pengujian hematologi yang diperoleh yaitu jumlah eritrosit sebesar 6,185 sel/mm3, jumlah leukosit 4,571 sel/mm3, kadar hemoglobin 5,32 G% dan kadar hematokrit 12,667% pada perlakuan A dengan dosis pupuk organik cair AB Mix 0,275 ml/l. Kata kunci: Akuaponik, Pupuk organik cair AB Mix, Selada, Ikan Nila.

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki populasi penduduk yang cukup besar yaitu berjumlah 250 juta jiwa (Sayekti et al., 2016) dengan kepadatan penduduk sebesar 134 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik, 2017). Jumlah penduduk Indonesia tersebut menuntut kebutuhan akan pangan dalam jumlah yang cukup besar pula. Permasalahan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia adalah terbatasnya jumlah lahan yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan budidaya baik dalam sektor pertanian dan perikanan (Sayekti et al., 2016). Akuaponik menjadi solusi yang dapat menjawab permasalahan keterbatasan lahan tersebut dengan mengkombinasikan antara kegiatan budidaya tanaman sayur dengan budidaya ikan (Taufik, 2012).

Akuaponik merupakan teknologi yang dikembangkan dengan menggabungkan

antara kegiatan akuakultur dan hidroponik (Nugroho et al., 2012). Akuakultur sendiri merupakan kegiatan memproduksi biota air dalam lingkungan terkontrol dengan tujuan komersial. Kegiatan produksi tersebut meliputi proses pemeliharaan, penanganan, pemanenan dan pemasaran (Setyono, 2004). Sementara itu, hidroponik merupakan kegiatan memproduksi tanaman dengan prinsip penggunaan media tanah yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali (Diver, 2006).

Teknologi akuaponik ini memiliki prinsip dasar yaitu memanfaatkan produk sisa dari kegiatan budidaya perikanan berupa sisa pakan dan feses ikan sebagai sumber nutrisi bagi tanaman (Nugroho et al., 2012). Selain itu akuaponik juga menerapkan prinsip resirkulasi (Pratama et al., 2017) yang akan membantu menangani masalah ketersediaan air yang terbatas (Taufik, 2012). Prinsip resirkulasi dalam akuaponik juga dapat mengurangi zat beracun dari sisa metabolisme ikan berupa ammonia dan nitrit

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

2 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

yang akan dioksidasi oleh bakteri nitrifikasi menjadi nitrat. Senyawa nitrat tersebut selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya (Siantara et al., 2017).

Pemilihan komoditas ikan budidaya sangat penting dalam sistem akuaponik, hal ini agar kegiatan usaha budidaya yang dilakukan dapat berhasil. Kriteria yang diperhatikan dalam pemilihan ikan untuk akuaponik yaitu ikan yang proses pemeliharaannya cukup mudah (Nugroho dan Sutrisno, 2008). Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan yang dapat dibudidaya dalam sistem akuaponik (Zalukhu et al., 2016). Pemilihan ikan nila sebagai organisme budidaya dikarenakan ikan ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya yaitu mudah dikembangbiakkan, mudah beradaptasi, dan toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Siantara et al., 2017). Ikan nila juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yaitu protein sebesar 17,5% sehingga ikan ini cukup diminati sebagai salah sumber protein hewani (Marlina dan Rakhmawati, 2016).

Beberapa jenis tanaman yang diketahui dapat dibudidayakan dalam sistem akuaponik diantaranya yaitu kemangi, kangkung , tomat, stroberi, jagung, dan selada (Sungkar, 2015). Selada merupakan salah satu komoditi budidaya pertanian (Mas’ud, 2009) yang dapat ditanam baik di daerah dingin maupun tropis (Supriati dan Herliana, 2010). Tanaman ini tergolong tanaman sayur sehingga sering dijadikan sebagai sayuran penyegar. Daun selada mengandung vitamin A, vitamin B, dan vitamin C yang berguna untuk kesehatan tubuh (Sunarjono, 2013).

Pemberian pupuk organik cair pada sistem akuaponik dapat digunakan sebagai tambahan unsur hara bagi tanaman. Menurut Kusumawardhani dan Widodo (2003), kegiatan akuaponik yang merupakan kombinasi antara kegiatan akuakultur dengan kegiatan budidaya tanaman secara hidroponik, pemberian pupuk juga bertujuan untuk meningkatkan kebutuhan tanaman akan sumber unsur

hara makro dan mikro. Oleh karena itu perlu dikaji apakah penambahan pupuk organik cair kedalam sistem organik ikan akan mempengaruhi kondisi kesehatan ikan yang dapat dilihat melalui hematologinya yang meliputi total eritrosit, leukosit, hemoglobin dan hematokrit.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2018 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan dan Divisi Penyakit dan Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi akuarium ukuran 60 x 30 x 30 cm, nampan ukuran 50 x 40 x 20 cm, pompa, timbangan digital, DO meter, pH meter, TDS meter, thermometer Hg, washing bottle, botol gelap, pipet thoma leukosit, pipet thoma eritrosit, haemocytometer, centrifuge hematokrit, Hb Sahlimeter, gelas ukur, pipet volume, penggaris, netpot, selang air, seser, beaker glass, sprayer.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi ikan nila (Oreochromis niloticus), tanaman selada (Lactuca sativa), sampel darah ikan nila, jarum suntik (spuit) ukuran 1 ml, tube appendorf, pipet kapiler hematokrit, larutan hayem, larutan turk, Na-sitrat 3,8%, HCl 0,2 M, akhohol 70%, pakan FF999, tisu, pupuk AB Mix Purie Garden untuk tanaman sayur daun, akuades, plastik ziplock, kertas label, rockwoll, alat tulis. 2.2 Metode dan Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dan masing-masing perlakua diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan menggunakan perbedaan pemberian dosis pupuk organik cair, dengan perlakuan K (Kontrol), A (0,275 ml/l), B (0,550 ml/l) dan C (0,825 ml/l).

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

3 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

2.3 Prosedur Penelitian

2.3.1 Persiapan Penelitian

Wadah yang digunakan pada penelitian ini yaitu akuarium berukuran 60 x 30 x 30 cm sebanyak 12 buah dan nampan berukuran 50 x 40 x 20 cm sebanyak 24 buah. Akuarium dan nampan dicuci hingga bersih dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Akurium yang telah kering diletakkan pada rak akuarium dan diisi dengan air setinggi 20 cm. Pupuk organik cair AB Mix yang masih dalam bentuk padat dicairkan, dimana komposisi pupuk A dan B masing-masing dicairkan dengan 500 ml air mineral.

Wadah untuk tanaman menggunakan nampan berjumlah 24 buah dan styrofoam yang telah dilubangi. Tanaman selada yang telah berumur 10 hari ditempatkan pada lubang-lubang styrofoam yang telah dipasang netpot. Jumlah tanaman selada yang digunakan untuk 1 akurium yaitu 36 tanaman. Selanjutnya dilakukan pemasangan filter dan pompa pada sistem akuaponik. Benih ikan nila yang digunakan berukuran 5-8 cm dan diadaptasi terlebih dahulu selama 3 minggu dalam kolam adaptasi. Benih ikan nila yang digunakan pada masing-masing akurium berjumlah 36 ekor.

2.3.2 Pelaksanaan Penelitian

Ikan nila yang akan ditempatkan pada akuarium terlebih dahulu ditimbang berat dan diukur panjang tubuhnya kemudian ditempatkan pada masing-masing akuarium perlakuan. Sebelum dilakukan pemberian pupuk AB Mix, terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel darah ikan nila untuk diuji hematologinya untuk data hari ke-0. Setelah itu dilakukan pemberian pupuk AB Mix sesuai perlakuan yaitu K (Kontrol), A (0,275 ml/l), B (0,550 ml/l), dan C (0,825 ml/l). Pemberian pupuk dilakukan 7 hari sekali. Tanaman selada diukur panjang dan lebar daun serta jumlah daunnya. Kepadatan ikan nila pada akurium yaitu 36 ekor/36 liter. Selama pengamatan ikan nila

diberi pakan pelet 3% dari bobot tubuh setiap pagi dan sore hari. Selama penelitian juga dilakukan pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia, nitrit, nitrat dan padatan terlarut.

2.4 Parameter Uji

2.4.1 Parameter Utama

Parameter yang diujikan pada penelitian ini yaitu parameter utama dan parameter penunjang. Parameter utama yang diuji yaitu hematologi ikan nila meliputi total eritrosit, total leukosit, kadar hemoglobin dan hematokrit. Pengujian parameter utama dilakukan pada hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-24. a. Eritrosit

Perhitungan total eritrosit pada penelitian ini mengacu pada metode Blaxhall dan Daisley (1973), yaitu hisap sampel darah dengan pipet berskala sampai 0,5 ml dilanjutkan dengan menghisap larutan hayem sampai skala 101 ml. Masukkan sampel darah dan larutan Hayem ke dalam tabung reaksi kemudian di homogenkan. Hisap larutan yang sudah homogen dengan pipet, buang tetesan pertama, masukkan satu tetes sampel darah ke dalam hemacytometer dan tutup dengan kaca penutup. Amati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Perhitungan dilakukan pada 5 kotak kecil haemocytometer. Perhitungan jumlah eritrosit dihitung sesuai dengan rumus:

Jumlah eritrosit = Σ N X 104 sel/mm3

Keterangan: N : Jumlah eritrosit yang terhitung

b. Leukosit Perhitungan total leukosit pada penelitian ini mengacu pada Blaxhall dan Daisley (1973), yaitu hisap sampel darah dengan pipet sampai skala 0,5 ml dilanjutkan dengan menghisap larutan Turk sampai skala 11 ml, goyangkan pipet agar bercampur homogen. Buang

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

4 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

tetesan pertama, masukkan tetesan berikutnya ke dalam hemacytometer dan tutup dengan kaca penutup. Selanjutnya amati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Perhitungan dilakukan pada 4 kotak besar hemacytometer. Perhitungan jumlah leukosit dihitung sesuai dengan rumus:

Jumlah leukosit = Σ N X 50 sel/mm3

Keterangan:

N : Jumlah leukosit yang terhitung

c. Hematokrit

Pengujian kadar hematrokit pada penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya, yaitu Anderson dan Siwicki (1993), pertama darah diambil sebanyak ¾ bagian tabung. Ujung tabung yang telah berisi darah ditutup dengan crytoceal dengan cara menancapkan ujung tabung tersebut ke dalam crytoceal kira-kira sedalam 1 mm sehingga terbentuk sumbat crytoceal. Setelah itu, tabung mikrohematokrit tersebut di-sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 5.000 rpm dengan posisi tabung yang bervolume sama berhadapan agar putaran sentrifuse seimbang. Panjang bagian darah yang mengendap (a) dan panjang total volume darah yang terdapat di dalam tabung (b) diukur dengan menggunakan penggaris. Kadar Hematokrit dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah.

d. Uji Hemoglobin Pengujian kadar hemoglobin pada penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Hartika et al. (2014), yang menggunakan metode Sahli. Pertama sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet Sahli hingga skala

20 mm3 atau pada skala 0,2 ml. Lalu ujung pipet dibersihkan dengan kertas tisu. Langkah selanjutnya darah dalam pipet dipindahkan ke dalam tabung Hb-meter yang telah diisi HCl 0,2 M hingga skala 10 (merah). Setelah itu, darah tersebut lalu diaduk dengan batang pengaduk selama 3 hingga 5 menit. Setelah itu, akuades ditambahkan ke dalam tabung tersebut hingga warna darah tersebut menjadi seperti warna larutan standar yang ada dalam Hb-meter. Kadar hemoglobin dinyatakan dalam G%.

2.4.2 Parameter Penunjang

Parameter penunjang yang diamati adalah kualitas air (suhu, pH, oksigen terlarut, amonia, nitrit, nitrat dan padatan terlarut). Pengukuran suhu, pH, oksigen terlarut dan padatan terlarut dilakukan setiap hari selama penelitian pada pagi dan sore hari. Pengukuran amonia, nitrit dan nitrat dilakukan selama 7 hari sekali.

2.5 Analisa Data

Data yang diperoleh selama penelitian di analisa secara statistik dengan menggunakan analisa keragaman (ANOVA) sesuai rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (RAL).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Parameter Utama

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil penelitian hematologi ikan nila yaitu total eritrosit (sel/mm3), total leukosit (sel/mm3), hemoglobin (G%) dan hematokrit (%) ikan nila seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

5 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 1. Data Rerata Hasil Pengukuran Parameter Utama

Parameter K

(Kontrol) A

(0,275 ml/l) B (0,550 ml/l)

C (0,825 ml/l)

Eritrosit (sel/mm3) 6,253 6,185 6,082 6,113 Leukosit (sel/mm3) 4,465 4,571 4,637 4,613 Hemoglobin (G%) 5,533 5,32 5,187 4,747 Hematokrit (%) 13,2 12,667 12,533 11,667

Beradasarkan data pada Tabel 1

diketahui bahwa nilai rerata eritrosit ikan nila yang telah diubah dalam bentuk log semakin menurun pada perlakuan dosis pupuk yang lebih tinggi. Kadar eritrosit terendah terdapat pada perlakuan B yaitu 6,082 sel/mm3. Rendahnya nilai eritrosit ikan nila dapat disebabkan karen penambahan dosis pupuk yang semakin tinggi menyebabkan kualitas air menurun seperti meningkatnya kadar nitrit dan amonia dalam media budidaya. Sesuai dengan pendapat Afriansyah et al. (2016), keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai keberadaan nitrat dapat menstimulus ledakan pertumbuhan alga diperairan yang dapat menggunakan oksigen dalam jumlah besar sehingga berdampak pada penurunan kadar oksigen. Tingginya kedua senyawa tersebut dapat disebabkan oleh peningkatan limbah organik sisa pakan dan feses ikan serta kurang sempurnanya proses filtrasi yang dilakukan oleh tanaman. Selain itu sistem akuaponik yang memanfaatkan sistem perairan tertutup menyebabkan semakin lama bahan organik dan anorganik cenderung terakumulasi pada sistem yang akan menyebabkan pembentukan senyawa beracun bagi ikan berupa amonia.

Menurut Samsundari dan Wirawan (2013), pada saat kadar amonia dalam air tinggi, maka kemampuan ikan dalam mengekskresikan amonianya berkurang. Hal tersebut menyebabkan naiknya kadar amonia dalam darah maupun jaringan tubuh yang selanjutnya menyebabkan kadar pH darah meningkat dan memiliki efek yang merugikan pada reaksi berbagai enzim dan stabilitas membran. Efek negatif yang ditimbulkan diantaranya yaitu kerusakan insang, pengurangan kapasitas darah

dalam membawa oksigen dan kerusakan pada sel darah merah.

Data hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan nilai rerata leukosit ikan nila yang telah diubah dalam bentuk log semakin meningkat seiring dengan penambahan dosis pupuk organik cair. Nilai leukosit dari yang tertinggi berturut-turut yaitu pada perlakuan B (0,550 ml/l) sebesar 13,910 sel/mm3, C (0,825 ml/l) sebesar 13,839 sel/mm3, A(0,275 ml/l) sebesar 13,712 sel/mm3 dan K (Kontrol) 13,396 sel/mm3.

Penambahan dosis pupuk yang semakin tinggi diduga dapat menyebabkan stress pada ikan akibat penurunan kualitas air. Hal ini karena dosis pupuk yang semakin tinggi tidak diimbangi dengan kemampuan tanaman dalam menyerap senyawa anorganik yang ada dalam media budidaya. Menurut Neoriky et al. (2017), penyerapan pupuk organik cair oleh tanaman selada sebanyak 10% yakni unsur hara N sebanyak 5,16%, P sebanyak 1,35% dan K sebanyak 3,49%. Menurut Hastuti dan Subandiyono (2011), leukosit total dalam darah menunjukkan kondisi kesehatan ikan. Ikan yang mengalami stress akibat perubahan kondisi lingkungan ataupun benda asing memiliki respon kenaikan jumlah sel leukosit.

Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa kadar hemoglobin ikan nila semakin menurun seiring dengan meningkatnya dosis pupuk organik cair. Kadar hemoglobin dari nilai terendah yaitu berturut-turut pada perlakuan C (0,825 ml/l) sebesar 4,747 G%, B (0,550 ml/l) sebesar 5,187 G%, A (0,275 ml/l) sebesar 5,320 G% dan K (Kontrol) sebesar 5,533 G%.

Penurunan kadar hemoglobin pada dosis pupuk yang semakin tinggi diduga

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

6 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

akibat terjadinya penurunan kualitas air seperti meningkatnya kadar nitrit dan amonia dalam media budidaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Muhammad et al. (2016), bahwa rendahnya nilai hemoglobin dan hematokrit pada ikan dapat disebabkan oleh buruknya kualitas air, salah satunya kadar ammonia yang tinggi. Hal ini menyebabkan terganggunya transfer oksigen oleh hemoglobin dalam darah sehingga metabolisme ikan menjadi terganggu. Selain itu nilai hemoglobin pada darah berkorelasi kuat dengan nilai eritrosit, semakin rendah jumlah eritrosit dalam darah, makan semakin rendah pula kadar hemoglobin dalam darah

Menurut Kordi (2009), nitrit (NO2) bersifat racun terhadap ikan dan udang, hal ini dikarenakan nitrit dapat mengoksidasi Fe+2 didalam hemoglobin. Oksidasi Fe+2 akan menyebabkan kemampuan darah dalam mengikat oksigen menjadi menurun. Pada udang yang darahnya mengandung Cu (hemocyanin) memiliki kemungkinan terjadi oksidasi Cu oleh nitrit. Mekanisme toksisitas dari nitrit yaitu pengaruhnya terhadap transport oksigen dalam darah dan kerusakan jaringan.

Rendahnya kadar hemoglobin juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu kandungan protein pakan, defisiensi vitamin, kualitas air yang buruk dan ikan yang telah terinfeksi penyakit (Royan et al., 2014).

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa nilai hematokrit ikan nila dari yang terendah berturut-turut terdapat pada perlakuan C(0,825 ml/l) sebesar 11,667%, B (0,550

ml/l) sebesar 12,5535, A (0,275 ml/l) sebesar 12,667%, dan K (Kontrol) sebesar 13,2%. Data tersebut menunjukkan terjadi penurunan kadar hematokrit pada perlakuan dosis pupuk organik cair yang semakin tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya penurunan kualitas air akibat adanya penambahan dosis pupuk yang semakin tinggi yang selanjutnya menyebabkan kadar hematokri dalam darah ikan nila menjadi menurun.

Hematokrit sendiri merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan. Hematokrit dapat dijadikan sebagai sebagai salah satu indikator kesehatan ikan. Nilai hematokrit yang kurang dari 22% menandakan terjadinya anemia pada ikan. Perubahan lingkungan atau pencemaran lingkungan akan menyebabkan nilai hematokrit mengalami penurunan akibat respon stress pada ikan (Putri et al., 2013). Pada kasus seperti anemia, jumlah dan ukuran sel darah merah berkurang, sehingga menyebabkan hematokrit juga menjadi rendah. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan (Royan et al., 2014).

3.2 Parameter Penunjang

3.2.1 Kualitas Air

Parameter penunjang pada penelitian yaitu kualitas air meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia, nitrit, nitrat, dan padatan terlarut (TDS) seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Kualitas Air selama Penelitian

Parameter Hasil Pengamatan Literatur

Suhu (°C) 21-31 22°C-37°C (Kordi, 2010) pH 5,5-8,6 6-8,5 (Monalisa dan Minggawati, 2010) Oksigen Terlarut (mg/l) 2,96-8,5 >3 mg/l (Zalikhu et al., 2016) Amonia (mg/l) 0-1,5 <0,18 mg/l (Afriansyah et al., 2016) Nitrit (mg/l) 0,3-3,3 <0,05 mg/l (Pratama et al., 2017) Nitrat (mg/l) 0-100 20 mg/l (PP No. 82 Th. 2001) TDS (mg/l) 248-1200 1000 mg/l (Erlania et al., 2010)

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

7 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Bersadarkan hasil Tabel 2 diketahui bahwa hasil pengukuran kualitas air seperti amonia, nitrit, dan nitrat menunjukkan nilai yang tinggi melebihi batas yang telah di tetapkan. Amonia merupakan senyawa beracun yang menjadi faktor penghambat dalam kegiatan budidaya ikan. Keberadaan ammonia dengan konsentrasi lebih dari 0,18 mg/L dapat menghambat pertumbuhan ikan (Menurut Afriansyah et al., 2016). Batas nilai nitrit dalam perairan adalah <0,05 mg/l. Senyawa nitrit yang berlebih akan

menyebabkan menurunnya kemampuan darah dalam mengikat oksigen (Pratama et al., 2017).

3.2.2 Pengukuran Tanaman Selada

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan hasil pengukuran tinggi tanaman selada (Lactuca sativa) seperi yang disajikan pada Gambar 1 dan hasil pengukuran lebar daun selada disajikan pada Gambar 2.

Gambar 1. Grafik Tinggi Tanaman Selada (L. sativa)

Berdasarkan Gambar 1 diketahui

bahwa tinggi tanaman selada terus meningkat pada setiap minggunya dengan nilai tertinggi pada perlakuan C yang memiliki tinggi sebesar 21,277 cm pada pengukuran hari ke-28, diikuti dengan perlakuan B sebesar 16,653 cm dan perlakuan A sebesar 13,737 cm, tinggi tanaman terendah pada akhir pengukuran terdapat pada perlakuan K dimana tinggi tanaman selda hanya mencapai 10,533 cm.

Tingginya peningkatan tinggi tanaman selada pada perlakuan C diduga karena pemberian dosis pupuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K, A dan B.

Pertumbuhan tinggi tanaman dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dan fosfat dalam formulasi larutan nutrisi yang diberikan. Nutrisi AB Mix sayuran merupakan nutrisi hidroponik yang diformulasikan kandungan hara makro dan mikronya sesuai standard pertumbuhan tanaman dan kandungan unsur nitrogennya lebih tinggi dibandingkan unsur makro lainnya. Ketersediaan nitrogen bagi tanaman dapat merangsang pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun karena nitrogen berfungsi sebagai bahan dasar sintesis asam amino, nukleid, klorofil dan protein (Furoidah dan Wahyuni, 2017).

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

8 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 2. Grafik Lebar Daun Selada (L. sativa)

Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa peningkatan lebar daun tertinggi terdapat pada perlakuan C dengan dosis pupuk sebesar 0,825 mg/l dengan lebar daun pada hari ke-28 mencapai 13,6 cm. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan lebar daun pada perlakuan K, A, dan B yang diukur pada hari yang sama dengan lebar daun pada perlakuan K, A dan B berturut-turut sebesar 10,63 cm, 11,867 cm, dan 12,6 cm. Peningkatan lebar daun yang lebih besar pada perlakuan C (0,825 ml/l) diduga karena dosis yang diberikan tersebut dapat meningkatkan kadar N yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya.

Meningkatnya aktivitas metabolisme menyebabkan tanaman membutuhkan lebih banyak unsur hara dan mengingkatkan penyerapan air. Laju pertumbuhan tanaman akan cenderung meningkat jika unsur hara yang dibutuhkan tanaman cukup tersedia dan dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman, seperti halnya nitrogen (Sarido dan Junia, 2017).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian diketahui bahwa pemberian dosis pupuk organik cair yang berbeda terhadap media budidaya ikan nila

dalam sistem akuaponik memberikan pengaruh terbaik pada perlakuan A (0,275 ml/l) dengan jumlah eritrosit sebesar 6,185 sel/mm3, jumlah leukosit sebesar 4,571 sel/mm3, kadar hemoglobin sebesar 5,32 G%, dan kadar hematokrit sebesar 12,667%.

4.2 Saran

Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan menggunakan pupuk organik cair AB Mix dengan dosis 0,275 ml/l karena memberikan pengaruh yang lebih baik pada jumlah eritrosit, leukosit, hemoglobin dan hematokrit ikan nila. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait diferensiasi leukosit untuk mengetahui jenis leukosit apa saja yang terdapat dalam sampel darah ikan nila yang sleanjutnya dapat digunakan untuk menentukan status kesehatan ikan nila.

DAFTAR PUSTAKA

Afriansyah, I. Dewiyanti dan I. Hasri. 2016. Keragaan Nitrogen dan T-Phosfat pada Pemanfaatan Limbah Budaidaya Ikan Lele (Clarias gariepenus) oleh Ikan Peres (Osteochilus kappeni) dengan Sistem Resirkulasi. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2): 252-261.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

9 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Anderson, D. P. and Siwicki. 1993. Disease of Fish. Book 4: Fish Immunology. TFH Publication Ltd. Nepture City.

Badan Pusat Statistik. 2017. Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi. 2000-2015. https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/09/07/842/kepadatan-penduduk-menurut-provinsi-2000-2015.html. Diakses pada tanggal 13 Januari 2017 pukul 13.40 WIB.

Blaxhall, P. C and Daisley. 1973. The Haemathological Assesment of The Health of Fresh Water Fish. A Review of Selected Literature. Journal of Fish Biology 4: 593-604.

Diver, S. 2006. Aquaponics- Integration of Hydroponics with Aquaculture. ATTRA. 28 hlm.

Hartika. R., Mustahal dan A. N. Putra. 2014. Gambaran Darah Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Penambahan Dosis Prebiotik Berbeda dalam Pakan Ikan. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 4(4): 259-267.

Kordi K, M. G. H. 2009. Budi Daya Perairan: Buku Kedua. Citra Aditya Bakti. Bandung. 947 hlm.

Kusumawardhani. A. dan W. D. Widodo. 2003. Pemanfaatan Pupuk Majemuk sebagai Sumber Hara Budidaya Tomat secara Hidroponik. Bul Agron. 31(1): 15-20.

Marlina. E. dan Rakhmawati. 2016. Kajian Kandungan Amonia pada Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Menggunakan Teknologi Akuaponik Tanaman Tomat (Solanum lycopersicum). Prosiding Seminar Nasional Tahuna Ke-V Hasil-hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. 181-187.

Mas’ud, H. 2009. Sistem Hiroponik dengan Nutrisi dan Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Selada. Media Litbang Sulteng. 2(2): 131-136.

Muhammad. F. M.. S. Hastuti dan Sarjito. 2016. Pengaruh sistem Biofilter Akuaponik terhadap Profil Darah. Histologi Organ hati dan

Kelulushidupan pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus). Journal of Aquaculture Management and Technology. 5(1): 64-72.

Neoriky, R., D.R. Lukiwati dan F. Kusmiyati. 2017. Pengaruh Pemberian Pupuk Anorganik dan Organik diperkaya N. P Organik terhadap Serapan Hara Tanaman Selada (Lactuca sativa). J. Agro Complex. 1(2): 72-77.

Nugroho, R. A., L. T. Pambudi, D. Chilmawati dan A. H. C. Hadimoto. 2012. Aplikasi Teknologi Akuaponik pada Budidaya Ikan Air Tawar untuk Optimalisasi Kapasitas Produksi. Jurnal Saintek Perikanan. 8(1): 46-51.

Pratama, W. D., Prayogo dan A. Manan. 2017. Pengaruh Pemberian Probiotik Berbeda dalam Sistem Akuaponik terhadap Kualitas Air pada Budidaya Ikan Lele (Clarias sp.). Journal of Aquaculture Science. 1(1): 27-35.

Hasturti, S. dan Subandiyono. 2013. Performa Hematologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan kualitas air media pada sistem budidaya dengan penerapan kolam biofiltrasi. Jurnal Saintek Perikanan. 6(2): 1-5.

Pratama, W. D., Prayogo dan A. Manan. 2017. Pengaruh Pemberian Probiotik Berbeda dalam Sistem Akuaponik terhadap Kualitas Air pada Budidaya Ikan Lele (Clarias sp.). Journal of Aquaculture Science. 1(1): 27-35.

Putri, R.R., F. Basuki dan S. Hastuti. 2013. Profil Darah dan Kelulushidupan Ikan Nila Pandu F5 (Oreochromis niloticus) yang Diinjeksi Bakteri Streptococcus agalitiae dengan Kepadatan Berbeda. Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(2): 47-56.

Royan, F., S. Rejeki dan A. H. C. Hadimoto. 2014. Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Profil Darah Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Journal of Aquaculture Management and Technology. 3(2): 109-117.

Samsundari, S. dan G. A. Wirawan. 2013. Analisis Penerapan Biofilter dalam Sistem Resirkulasi terhadap Mutu

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

10 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Kualitas Air Budidaya Ikan Sidat (Anguilla bicolor). Jurnal Gamma. 8(2): 86-97.

Sarido, L. dan Junia. 2017. Uji Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Pakcoy (Brassica rapa L.) dengan Pemberian Pupuk Organik Cair pada Sistem Hidroponik. Jurnal AGRIFOR. 16(1): 65-74.

Sayekti, R. S., D. Prajitno dan D. Indrawan. 2016. Pengaruh Pemanfaatan Pupuk Kandang dan Pupuk Kompos terhadap Pertumbuhan Kankung (Ipomea retans) dan Lele Dumbok (Clarias gariepinus) pada Sistem Akuaponik. Jurnal Teknologi Lingkungan. 17(2) : 108-117.

Setyono, D. E. D. 2004. Pengetahuan Dasr Akuakultur. Oseana. 29(1): 27-32.

Siantara, A. P., L. Limantara.. L. Dewi dan W. Widawati. 2017. Analisis Kelayakan Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Akuaponik dan Pakan Buatan di Dusun Ponggang. Jawa Barat. Jurnal Metris 18: 29-36. Nugroho, E. dan Sutrisno. 2008. Budi Daya Ikan dan Sayuran dengan Sistem Akuaponik. Penebar Swadaya. Jakarta. 68 hlm.

Sunarjono, H. 2013. Bertanam 36 Jenis Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. 210 hlm.

Supriati, Y. dan E. Herliana. 2010. Bertanam 15 Sayuran Organik dalam Pot. Penebar Swadaya. Jakarta. 156 hlm.

Taufik, I. 2012. Pendederan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Sistem Akuaponik pada Berbebagai Lokasi yang Berbeda. Prosiding Indoaqua. 2012.

Zalukhu, J., M. Fitrani dan A. D. Sasanti. 2016. Pemeliharaan Ikan Nila dengan Padat Tebar Berbeda pada Budidaya Sistem Akuaponik. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 4(1): 80-90.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

11 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KAJIAN PENERAPAN JARWO PADA SISTEM MINAPADI TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI DAN IKAN NILA

Arum Pratiwi, Sovia Sega dan Salmon De Haas Program Studi Pertanian Berkelanjutan Politeknik Pembangunan Pertanian Malang

Abstrak - Minapadi merupakan salah satu subsistem usahatani padi-ikan di lahan sawah irigasi. Sistem Jajar Legowo (Jarwo) yaitu meningkatkan populasi tanaman dengan cara mengatur jarak tanam dan memanipulasi lokasi dari tanaman yang seolah-olah tanaman padi berada di pinggir (tanaman pinggir). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis seberapa besar pengaruh i sistem tanam jajar legowo dan populasi ikan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi dan ikan nila. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor yaitu: Faktor pertama : sistem tanam jajar legowo terdiri dari 4 taraf yaitu: tegel (control), (jajar legowo2 : 1), (jajar Legowo 3 : 1), (Jajar Legowo 4 : 1). Dan faktor kedua kepadatan populasi ikan nila yang digunakan terdiri dari 4 taraf yaitu:(tanpa ikan), (1 ekor bibit ikan/m²), (2ekor bibit ikan/m²), dan (3 ekor bibit ikan/m²). Hasil penelitian menunjukan bahwa sisten tanam jajar legowo 2 : 1 memberikan hasil terbaik pada parameter tinggi tanaman umur 60 HST, panjang malai, berat malai perumpun, berat bulir perpetak, produksi padi ton/ha. Sedangkan sistem jajar legowo 4 : 1 memberikan hasil tertinggi pada parameter jumlah anakan produktif, dan berat 1000 bulir gabah. Dan kepadatan populasi ikan nila 3 ekor/m2 memberikan hasil bobot ikan terbaik, sedangkan kepadatan populasi ikan 2 ekor/m2 memberikan hasil terbaik pada parameter tingkat kelangsungan hidup ikan dan bobot ikan per ekor. Kata kunci : Jajar legowo, Jarwo, Minapadi Abstract - Minapadi is a subsystem of rice-fish farming in irrigated rice fields. The Jajar Legowo (Jarwo) system is to increase the plant population by adjusting the spacing and manipulating the location of plants as if the rice plants were on the edge (edge crops). The purpose of this study was to analyze how much influence the legowo row planting system and fish population had on the growth and production of rice and tilapia. This research was conducted in Bedali Village, Lawang District, Malang Regency, East Java Province. The method used in this study is factorial randomized block design with 2 factors, First factor: Jajar Legowo planting system consists of 4 levels, namely: control (jajar legowo2: 1), (jajar Legowo 3: 1 ), (Jajar Legowo 4: 1). And the second factor of tilapia population density used consisted of 4 levels: (without fish), (1 fish seed / m²), (2 fish seeds / m²), and (3 fish seeds / m²). The results showed that the planting system of Jajar Legowo 2: 1 gave the best results in the parameters of plant height at 60 HST, panicle length, panicle weight, plot weight, production of ton / ha rice. While the jajar legowo 4: 1 system gives the highest results in the parameters of the number of productive tillers, and the weight of 1000 grain of grain. And the population density of tilapia 3 tails / m2 gave the best fish weight results, while the fish population density of 2 tails / m2 gave the best results on the parameters of fish survival rate and fish weight per fish. Keyword : Jajar legowo, Jarwo, Minapadi

I. PENDAHULUAN

Sistim usaha tani minapadi merupakan cara pemeliharaan (budidaya) ikan bersama padi atau memelihara ikan di sela-sela tanaman padi (Dewani,2014).Hal ini

dimaksudkan agar keuntungan yang didapatkan dari cara ini, bersasaran hasil ganda, yaitu: dari padinya itu sendiri dan dari ikan disisi lain (Nadira,2012). ada manfaat lain yang didapat melalui pemeliharaan ikan di sawah, yakni dapat meningkatkan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

12 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

kesuburan tanah, serta dapat mengurangi hama dan penyakit pada tanaman padi. Sistem jajar legowo adalah suatu rekayasa teknologi untuk mendapatkan populasi tanaman lebih dari 160.000 per hektar. Penerapan jajar legowo selain meningkatkan populasi pertanaman, juga mampu dapat berfotosintesa lebih baik. Penerapan sistem tanam legowo disarankan menggunakan jarak tanam (25x25) cm antar rumpun dalam baris; 12,5 cm jarak dalam baris; dan 50 cm sebagai jarak antar barisan/lorong atau ditulis (25x12,5x50) cm. Pola menanam padi dengan sistem jajar legowo yang direkomendasikan oleh Kementerian Pertanian memiliki manfaat dan keuntungan bagi petani padi. Keuntungan dan manfaat tersebut bisa diperoleh dari beberapa aspek seperti penambahan jumlah populasi, kemudahan perawatan, menekan populasi hama, menghemat biaya pemupukan, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gabah.

Keberadaan ikan dalam sistem minapadi diduga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi (Kurniasih,2003). Hasil pengujian di lapang menunjukkan bahwa keuntungan petani meningkat dengan memasukkan ikan ke dalam sistem produksi, dengan mengetahui populasi ikan yang optimum per luasan lahan diharapkan pertumbuhan dan produksi padi tidak terganggu dan pendapatan petani akan lebih ditingkatkan baik dari hasil padi maupun ikan. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis seberapa besar pengaruh jajar legowo (jarwo) dan kepadatan ikan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi dan ikan nila.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli 2018 di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Bahan yang digunakan dala penelitian ini adalah varietas benih situbagendit,dan bibit ikan Nila.

Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan rancangan acak

kelompok faktorial 2 faktor dimana faktor 1 adalah tipe sistem jajar legowo (J1 tipe tegel; J2 tipe 2:1; J3 tipe 3:1; dan J4 tipe 4:1). J1 adalah tipe tegel atau tanam petak antara dalam dan atar baris sama 25cm x25cmx25cm (kontrol); J2 adalah tipe 2:1 adalah tipe jajar legowo dimana setiap dua baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong. Jarak tanam tipe legowo 2 : 1 adalah 20 cm x 10 cm x 40 cm (jarak antar barisan, jarak antar tanaman/barisan pinggir, jarak barisan kosong). J3 adalah tipe 3:1 adalah tipe jajar legowo dimana setiap tiga baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong. Tipe ini memiliki 2 baris tanaman pinggir dan 1 baris tanaman tengah. Jarak tanam adalah 20 cm (antar barisan dan jarak antar tanaman pada barisan tengah) x 10 cm (antar tanaman pinggir) x 40 cm (jarak barisan kosong). J4 adalah tipe 4:1 adalah tipe jajar legowo dimana setiap empat baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong. Tipe ini memiliki 2 baris tanaman pinggir dan 2 baris tanaman tengah. Jarak tanam adalah 20 cm (antar barisan dan jarak antar tanaman pada barisan tengah) x 10 cm (antar tanaman pinggir) x 40 cm (jarak barisan kosong). Faktor kedua adalah kepadatan populasi ikan nila yang digunakan terdiri dari 4 taraf yaitu: i1 =(tanpa ikan;) i2 = (1 ekor bibit ikan/m²); i3= (2 ekor bibit ikan/m²); dan i4 = (3 ekor bibit ikan/m²). lebar petakan yang digunakan 10m2x 10m2, sehingga didapatkan i2:10 ekor/petak, i3 : 20 ekor/petak dan i4: 30 ekor/petak dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Parameter yang di amati dalam penelitian ini meliputi :Tinggi tanaman (cm), di ukur pada umur tanaman 20, 40, dan 60 HST, Jumlah anakan produktif (batang), Panjang malai (cm), Berat malai perumpun (g), Berat 1000 bulir (g), Berat gabah perpetak (kg), Produksi padi (ton/ha‾¹), Tingkat kelulusan hidup ikan nila (%), Bobot ikan/ekor (g), bobot ikan/petak diambil pada saat ikan dipanen dilahan sawah dengan indikator Wt – Wo, Analisis kwalitas air,

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

13 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

(Oksigen terlarut), dan analisis protein padi (%).

Data hasil pengamatan ditabulasi, kemudian dianalisis keragamanya. Jika analisis ragam terdapat pengaruh yang nyata pada tarap 5% diantara perlakuan yang diujikan, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT). Taraf nyata yang digunakan adalah ά = 0.05.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Parameter Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Produktif dan Berat Malai Perumpun

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan sistem tanam jajar legowo dan kepadatan populasi ikan nila tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman pada umur 20, dan 40 hst. Namun tinggi tanaman umur 60 HST, jumlah anakan

produktif dan berat malai perumpun rata-rata tinggi tanaman umur 60 hst hasil tertinggi terdapat pada perlakuan J2 (legowo 2 : 1) sebesar (92.66) dan berbeda nyata dengan perlakuan J1, dan J4. Namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan J3 (legowo 3 : 1). Rata-rata jumlah anakan produktif hasil terbaik terdapat pada perlakuan J4 legowo 4 : 1 (16.72) dan hasil terendah pada perlakuan J1 tegel (15.52). Hasil uji BNT menunjukan bahwa perlakuan J4 (legowo 4 : 1) berbeda nyata dengan perlakuan J1, (tegel) J3, (legowo 3 : 1) dan tidak berbeda nyata pada perlakuan J2 (legowo 2 : 1). Rata-rata berat malai perumpun (g) hasil tertinggi terdapat pada perlakuan (J2) legowo 2 :1 dan hasil terendah terdapat pada perlakuan (J3) Legowo 3 : 1 dan hasil uji BNT menunujkan bahwa sistem tanam legowo 2 : 1 memberikan hasil terbaik (1.88), dan berbeda nyata dengan perlakuan tandur jajar (1.87), legowo 3 : 1 (1.80) dan legowo 4 : 1 (1.814). Hasil uji lanjut BNT dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman 60 HST (cm), jumlah anakan produktif (malai) dan berat

malai perumpun (Kg)

Jajar Legowo (L)

Tinggi Tanaman 60 Hst.

Jumlah anakan Produktif

Berat malai perumpun

J1 J2 J3 J4

89.22 c 92.66 a 90.59 a 91.23 b

15.52 b 16.22 a 15.54 b 16.72 a

1.88 a 1.87 a 1.80 b 1.81 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak samaberarti berbeda nyata pada taraf nyata 5% berdasarkan uji BNT.

3.1.2 Panjang Malai dan berat 1000 Bulir

Hasil analisis sidik ragam panjang malai, dan 1000 bulir akhir percobaan menunjukan bahwa perlakuan sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan nila memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang malai, dan berat 1000 bulir. Rata-rata panjang malai sistem tanam legowo dan

kepadatan populasi ikan menunjukan bahwa hasil tertinggi terdapat pada perlakuan J2 (24.65 cm) dan hasil terendah pada perlakuan J3 (24.15 cm). Rata-rata berat 1000 bulir hasil tertinggi terdapat pada perlakuan J4 (19.45 g) dan hasil terendah pada perlakuan J1 (19.28). Hasil rata-rata panjang malai dan berat 1000 bulir dapat dilihat pada tabel 2.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

14 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 2. Rata-rata panjang malai (cm), dan berat 1000 bulir (g) sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan.

Jajar Legowo (L)

Rata-rata panjang malai

Rata-rata berat 1000 bulir

J1 J2 J3 J4

24.36 24.65 24.15 24.56

19.28 19.43 19.37 19.45

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata pada taraf nyata 5% berdasarkan uji BNT

3.1.3 Berat Bulir Perpetak dan Produksi

Padi (ton/ ha)

Hasil analisis sidik ragam rata-rata berat bulir pepetak (g), dan Produksi padi (ton / ha) menunjukan bahwa perlakuan sistem tanam jajar legowo dan kepadatan populasi ikan memberikan pengaruh nyata terhadap berat bulir pepetak dan jumlah populasi ikan memberikan pengaruh nyata terhadap berat bulir pepetak dan jumlah populasi ikan, akan tetapi tidak memberikan interaksi antara sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan. Hasil uji BNT rata-rata berat bulir perpetak (kg) menunjukan bahwa perlakuan J2 legowo 2 : 1 (3.85 kg) berbeda nyata dengan dengan perlakuan J1 (tegel) dan J3 (legowo 3 : 1), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan J4 legowo 4 : 1 sebesar (3.83 kg). Sedangkan perlakuan populasi ikan 30 ekor/petak (3.80) berbeda nyata dengan perlakuan (tanpa ikan), (20 ekor/petak), tetapi tidak berbedanya dengan

perlakuan populasi ikan 30 ekor/petak (3.76). Rata-rata produksi padi (ton/ ha) berdasarkan uji BNT menunjukan bahwa perlakuan (J2) legowo 2 : 1 memberikan hasil tertinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya dengan rata-rata produksi padi sebesar (3.14 ton/ha), dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan (J4) legowo 4 : 1 sebesar (2.84 ton/ha) namun berbeda nyata dengan perlakuan (J1) tegel sebesar (2.49 ton/ha) dan (J3) legowo 3 : 1 sebesar (2.68 ton/ha). Sedangkan perlakuan populasi ikan hasil tertinggi terdapat pada perlakuan (I4) kepadatan ikan 30000 ekor/ha sebesar (2.82 ton/ ha) berbeda nyata dengan perlakuan (I1) tanpa ikan dan (I2) kepadatan ikan 10000 ekor/ha. Namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan (I3) kepadatan ikan 20000 ekor / ha sebesar (2.98 ton/ha). Hasil uji lanjut BNT dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata berat bulir perpetak (kg), dan Produksi padi (ton haˉ¹) sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan nila.

Jajar Legowo

Berat bulir/petak

(Kg)

Produksi padi (ton/ha)

Populasi Ikan Berat

bulir/petak (Kg)

Produksi padi

(ton/ha)

J1 J2 J3 J4

2.87 b 3.85 a 3.09 b 3.83 a

2.49 b 3.14 a 2.68 b 2.84 a

I1 I2 I3 I4

2.90 b 3.30 b 3.76 a 3.80 a

2.42 b 2.75 b 2.98 a 2.82 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbednyata pada taraf nyata 5% a berdasarkan uji BNT.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

15 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan, Bobot Ikan Perekor dan Bobot Ikan Perpetak

Hasil analisis sidik ragam tingkat kelangsungan hidup ikan/petak (%), bobot ikan/ekor (g) dan bobot ikan/petak (g). Menunjukan bahwa perlakuan kepadatan populasi ikan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan, bobot ikan/ekor dan bobot ikan/petak.Hasil uji BNT menunjukan bahwa populasi ikan 10 ekor/petak (I12) memberikan hasil tertinggi (65.27 %) dan berbeda nyata dengan perlakuan I4 populasi ikan 30 ekor/petak (46.06 %) perlakuan I3 populasi ikan 20 ekor/petak sebesar (54.51%).Bobot rata-rata ikan nila/ekor menunjukan bahwa

perlakuan populasiikan 10 ekor/petak (I2) memberikan hasil tertinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu (18.79 g) dan berbeda nyata dengan perlakuan populasi ikan 30 ekor/petak (I4) sebesar 15.27 g). Akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan populasi ikan 20 ekor/petak (I3) sebesar (18.37 g).Rata-rata bobot ikan/petak (g) menunjukan bahwa perlakuan populasi ikan 20 ekor/petak memberikan hasil tertinggi yaitu (242.25 g) dan berbeda nyata dengan perlakuan populasi ikan 10 ekor/petak sebesar (139.33 g), tetapi tidak berbeda nyata terhadap perlakuan populasi ikan 30 ekor/petak yaitu (235.67 g). Hasil uji lanjut BNT dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan (%), bobot ikan/ekor (g) dan bobot

ikan/petak (g) sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan.

Rata-Rata Ikan

Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan

Bobot Ikan

Per Ekor Bobot Ikan Per Petak

J1 J2 J3 J4

0.00 65.27 a 54.51 b 46.06 b

0.00 18.79 a 18.37 a 15.27 b

0.00 139.33 b 242.25 a 236.67 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata pada taraf nyata 5 % berdasarkan uji BNT.

3.1.5 Analisis Oksigen Terlarut

Analisis oksigen terlarut dalam air sangat menetukan perkembangan dan kelangsungan hidup ikan, dari hasil analisis oksigen terlarut yang dilakukan dalam penelitian ini dengan mengambil empat sampel air pada tiap perlakuan yaitu : perlakuan (J1I1), (J2I2), (J3I3) dan (J4I4). Dan hasil analisis oksigen terlarut menunjukan bahwa perlakuan (I4) kepadatan ikan 30 ekor/petak kosentrasi oksigen yang dihasilkan sebesar (1.17 mg/Lˉ¹) (I3) kepadatan 20 ekor/petak kosentrasi oksigen yangdihasilkan sebesar (1.47 mg/Lˉ¹), perlakuan (I2) kepdatan ikan 10 ekor/petak sebesar (2,43 mg/Lˉ¹) dan perlakuan (I1) tanpa ikan menghasilkan kosentrasi oksigen sebesar (2,7 mg/Lˉ¹).

3.2 Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan dan produksi tanaman padi pada berbagai sistem tanam jajar legowo dan kepadatan populasi ikan nila secara umum dapat digambarkan bahwa hasil analisis sidik ragam dalam penelitian ini menunjukan bahwa sistem tanam jajar legowo memberikan pengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan (tinggi tanaman umur 60 HST, Jumlah anakan produktif, berat malai perumpun, berat bulir perpetak (kg) dan produksi padi ton/ha. Sedangkan pada parameter tinggi tanaman umur 20, 40 HST, panjang malai, dan berat 1000 bulir tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan nila. Tinggi tanaman umur 60 HST dalam

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

16 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

penelitian ini menunjukan bahwa sistem legowo 2 : 1 yang terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini dikarenakan bahwa sistim tanam jajar legowo 2 : 1 memiliki jarak yang cukup luas dan populasi tanaman lebih banyak sehingga unsur hara yang dikandung dalam tanah dapat diserap oleh tanaman secara merata. Hasil penelitian sebelumnya dikemukakan oleh Aribawa(2012), yang mendapatkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dihasilkan pada populasi tanaman yang lebih banyak dalam satu hamparan. Pertumbuhan tanaman yang tinggi belum menjamin produktivitas tanaman juga tinggi. Tanaman yang tumbuh baik mampu menyerap hara dalam jumlah banyak, ketersediaan hara dalam tanah berpengaruh terhadap aktivitas tanaman termasuk aktivitas fotosintesis, sehingga dengan demikian tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi.

Perlakuan sistem tanam legowo memberikan pengaruh nyata terhadap produksi padi/petak. Hal ini terlihat dari masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Aplikasi berbagai sistem tanam legowo mempengaruhi produksi secara langsung. Proses ini dapat saja terjadi karena masih banyak faktor lingkungan lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman antaranya curah hujan, hama yang menyerang, anakan yang mati atau tidak produktif. Yuhelmi (2002), faktor paling penting yang mempengaruhi hasil produksi adalah anakan dan jumlah malai yang terbentuk. Hasil penelitian Nadira dkk (2012), menunjukan bahwa peningkatan jumlah gabah berisi serta penurunan jumlah gabah hampa berpengaruh terhadap meningkatknya nilai indeks panen. Hal ini diduga disebabkan dengan adanya penambahan bahan organik pada dosis tertentu menyebabkan terciptanya lingkungan tumbuh yang ideal bagi perkembangan tanaman padi sehingga proses-proses fisiologis dapat berlangsung. Ketersediaan hara di media perakaran yang selanjutnya diangkut ke dalam tubuh

tanaman akan tetap menjamin berlangsungnya proses fotosintesis untuk membentuk asimilat yang pada akhirnya akan ditranslokasikan ke bagian biji (gabah), semakin banyak asimilat yang ditranslokasikan ke biji akan semakin meningkatkan hasil gabah kering. Yudafris dkk (1994) dalam Dewani dkk (2014), menyatakan bahwa jarak tanam yang terlalu rapat akan menghambat pertumbuhan tanaman, tetapi jika terlalu renggang juga akan mengurangi jumlah pupulasi tanaman per satuan luas sehingga produksi lebih rendah dan disamping itu peluang untuk pertumbuhan gulma lebih besar. Dimana sistim tanam jajar legowo 2 : 1 menjadikan hampir semua barisan tanaman berada dipinggir galengan atau mendapat efek samping, tanaman yang mendapat efek samping (border effect), produksinya lebih tinggi dari pada yang tidak mendapat efek samping.

Rata-rata kelangsungan hidup ikan berdasarkan hasil analisis sidik ragam memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan (%), dan bobot ikan/ekor dari hasil uji BNT menunjukan bahwa perlakuan (I2) kepadatan ikan 10 ekor/petak menghasilkan persentase ikan yang hidup lebih tinggi sebesar (65.27 %) bila dibandingkan dengan perlakuan (I1, dan I4). Namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan (I3) kepadatan ikan 20 ekor/petak sebesar (54.51 %). Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi kepadatan ikan semakin besar populasi ikan pada media pemeliharaan, maka semakin besar persaingan oksigen dan makanan diantara individu ikan, sehingga

semakin tinggi tingkat kematian ikan. Hal ini ditunjang oleh kosentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah pada kepadatan yang tinggi, oksigen yang diperlukandalam proses pernapasan ikan untuk metabolisme ikan diperlukan kosentrasi oksigen sekitar (2-4 mg/L). Pada tingkat kepadatan tinggi 36 ekor/petak kosentrasi oksigen terlarut lebih rendah dari persyaratan tersebut jika hanya (1.17 mg/L), sedangkan pada padat penebaran rendah kosentrasi oksigen

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

17 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

terlarut memenuhi persyaratan tersebut yaitu (2.43 mg/L). Hal ini didukung oleh pendapat Mintarjo (1984) diacu oleh Hasanudin (2001).Yang menyatakan bahwa besarnya kandungan oksigen yang perlu diperhatikan untuk menjamin kehidupan ikan yang baik adalah tidak kurang dari 3 ppm. Sedangkan hasil penelitian Karlyssa dkk (2013), menunjukan bahwa Kandungan oksigen terlarut pada media pemeliharaan benih ikannila gesit selama masa pemeliharaanmasih tergolong rendah untukpertumbuhan optimal ikan.

Kisaran oksigen terlarut selama pemeliharaanpada penelitian ini berkisar antara 3,2-4,9 mg/L dihasilkan oleh padat penebaran 2 dan 4 ekor/liter. Pada padat penebaran 6 ekor/liter terjadi penurunan kandungan oksigen yang mencapai 2,8 mg/L. Meningkatnya padat penebaran ikan seiring dengan peningkatan konsumsi oksigen yang menyebabkan penurunan pada kelarutan oksigen dalam media pemeliharaan. Rendahnya kadaroksigen terlarut selama masa pemeliharaan menyebabkan ikan stress dan lambatnya pertumbuhan ikan. Namun, stres yang dialami ikan pada masa pemeliharaan tidak sampai mengakibatkan nafsu makan ikan menurun.

Hal ini disebabkan oleh padat penebaran ikan berhubungan langsung dengan kompetisi pakan yang dihasilkan dari tanaman padi sehingga dengan padat penebaran ikan lebih banyak pertumbuhan ikan menurun, dibandingkan dengan padat penebaran yang lebih rendah. Selama masapemeliharaan ikan pada lokasi penelitian terjadi kematian pada ikan sehingga mengurangi jumlah ikan yang ditebar, hal ini diakibatkan oleh predator pemangsa seperti burung bangau, biawak, dan mamalia yang masuk kedalam lokasi percobaan. Hal ini seiring dengan pendapat Syamsuddin (2014), bahwa lingkungan budidaya menjadi faktor pemicu datangnya (masuknya) predator didalam dan disekitar lingkungan budidaya yang akan memangsa ikan-ikan didalam perairan umum. Predator tersebut dapat berupa ikan-ikan pemangsa,

burung, hewan reptil, dan mamalia yang masuk kedalam lingkungan budidaya. Serangan gerombolan burung, reptilian, dan mamalia tersebut dapat mengonsumsi ikan yang ada dalam jumlah yang banyak.

Hasil penelitian menunjukan bahwa antara sistem tanam legowo dan kepadatan populasi ikan berdasarkan analisis sidik ragam tidak memberikan interaksi yang nyata terhadap variable tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, bobot malai perumpun, berat 1000 bulir, berat bulir perpetak, tingkat kelangsungan hidup ikan, bobot ikan per ekor, dan bobot ikan perpetak. Hal ini terjadi di mana selama masa pemeliharaan ikan pada lokasi percobaan terjadi kematian pada ikan,sehingga mengurai fese yang dihasilkan dari ikan sebagai unsur hara untuk tanaman padi, sehingga proses penyerapan unsur hara oleh tanaman padi tidak berjalan secara maksimal. Menurut Supriyanto dkk (2008), menyatakan bahwa meningkatnya serapan unsur hara oleh tanaman menyebabkan proses metabolism berjalan dengan lancar sehingga meningkatkan produksi karbohidrat dan pati yang ditranslokasikan keseluruh bagian tanaman untuk pertumbuhan dan selebihnya diakumulasikan pada jaringan tanaman. Oleh karena itu makin banyak karbohidrat dan pati yang diakumulasikan pada jaringan tanaman maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Pertumbuhan ikan pada sistem tanam tegel 25 x 25 cm dengan rumpun yang padat membuat pergerakan ikan tidak bebas, pencahayaan dan kosentrasi oksigen yang masuk kedalam air menjadi kurang karena pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal. Faktor internal yaitu : bobot tubuh, sex, umur, kesuburan, kesehatan, pergerakan, aklimasi, aktivitas biomas, dan konsumsi oksigen. Sedangkan factor eksternal terdiri dari faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik terdiri dari tekanan, suhu, salinitas, kosentrasi oksigen air, buangan metabolit, ph, cahaya musim. Faktor nutrisi termasuk faktor biotik yang meliputi ketersediaan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

18 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

pakan, konsumsi pakan, kecernaan pakan, dan kompetisi pengambilan pakan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sistem tanam jajar legowo 2 : 1 memberikan pengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan tinggi tanaman umur 60 HST , berat malai perumpun, berat bulir perpetak dan hasil produksi padi. Sedangkan sistem tanam jajar legowo 4:1 memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah anakan produktif . Sedangkan kepadatan populasi ikan nila 3 ekor/m2 memberikan hasil bobot ikan terbaik, sedangkan kepadatan populasi ikan 2 ekor/m2 memberikan hasil terbaik pada parameter tingkat kelangsungan hidup ikan dan bobot ikan per ekor.

4.2 Saran

Sistem minapadi merupakan salah satu alternatife pengembangan usaha tani pada lahan persawahan, sehingga disarankan kepada petani terutama petani yang berlahan sempit, sebaiknya menerapkan system minapadi yang didukung dengan penggunaan pupuk organik sesuai anjuran. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang sistem tanam jajar legowo pada jarak tanam yang berbeda dengan kepadatan populasi ikan sistem minapadi, terhadap pertumbuhan dan produksi padi dan ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Darini M. TH. (2011). Pengaruh jenis Dan Kepadatan Ikan Terhadap Bobot Matalele (Azzola Pinnata L), padi IR-64 dan Ikan. Jurnal. Agrinimal 1 (No. 2): 64 – 70.

Dewani D., Santoso M & Sumarni T. (2014). Pengaruh penggunaan sistem tanam dengan pupuk kompos granul diperkaya untuk mengurangi dosis pupuk

anorganik pada pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.). Jurnal Produksi Tanaman, Volume 2, hlm. 369-378. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

Hasanuddin. (2001). Pengaruh pemberian berbagai pakan komersil terhadap laju pertumbuhan dan sintasan ikan lele dumbo (clariasgariepinus). Skripsi. Fakultas ilmu kelautan dan perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 21-22.

Hardinangsih I. & Kastono D. (2008). Sistem Integrasi Mina Padi Upaya Alternatif Efisiensi Pengairan GunaMeningkatkan Pendapatan Usaha Tani Padi Sawah. Prosed Dies Natalis Ke – 62 Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Karlyssa J. F., Irwanmay, & Leidonal R. (2013). Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Nila Gesit (Oreochromis niloticus). Jurnal. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Kurniasih A., Wahyu Q, & Mugnisjah. (2003). Pengaruh Sistem Tanam Padi (Oryza sativa L.) Dan Populasi Ikan Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Pada Sistem Mina Padi. Jurnal. Gakuryoku 9. (1); 36-42.

Nadira S. R, Syam’un E.,& Amirullah D. (2012). Pertumbuhan Dan Produksi Padi Yang Diaplikasi PupukOrganik Dan Pupuk Hayati. Jurnal. Agrivigor 11 (2): 161-170.

Nugraha A. R. (2009). Penerapan Teknologi minapadi pada Lahan Persawahan, CV ARFINO RAYA. Bandung.

SasaJ. J. & Syahromi O. (2006). Sistim Mina Padi Dalam Perspektif Produktivitas Lahan, Pendapatan, Dan Lingkungan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25 (2): 1 - 9.

Supriyanto E. A., Jazilah S. & Anggoro W. (2008). Pengaruh Sistem Tanam Legowo Dan Kosentrasi Pupuk

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

19 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Pelengkap Cair Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Padi. Jurnal. Fakultas Pertanian Universitas Pekalongan.

Supriadiputra & Setiawan. A. I.(2005). Mina padi (Budi Daya Ikan Bersama Padi). Penebar Swadaya,

Jakarta. Syamsuddin R. (2014). Pengelolaan Kualitas Air, Teori Dan aplikasi Di Sektor Perikanan. Pijar Press. Makasar.

Yudafris A. Faisal, & DenianA. (1994). Pengaruh Jarak Tanam dan Pupuk terhadap Pertumbuhan Tanaman nilam. Bulletin Penelitian TanamanIndustri. (7):50-54.

Yuhelmi R. (2002). Pengaruh Interval Penyiraman Terhadap BeberapaVarietas Padi Gogo dari Kabupaten Kuantan Singingi dan Siak Sri Indrapura. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Hal 10- 12.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

20 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

POTENSI MAGGOT (Hermetia Illucens) SEBAGAI SUMBER PROTEIN ALTERNATIF PADA PAKAN IKAN

Marlyn Kallau dan Yusuf Kamlasi Staf Dosen Politeknik Negeri Kupang

Abstrak - Adanya keterbatasan stok ikan rucah di pasaran menyebabkan upaya untuk menemukan pengganti yang sesuai untuk tepung maupun minyak ikan terus dilakukan. Pengganti kedua bahan tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat seperti harga yang kompetitif, ketersediaan secara global, penanganan mudah dan mempunyai profil nutrien yang menyerupai tepung ikan dan minyak ikan. Sebuah solusi yang dapat dipilih adalah pemanfaatan bahan baku pakan yang berasal dari tepung serangga atau insect meal. Serangga seperti lalat Black Soldier Fly (BSF), lalat rumah, cacing, dll dapat dibudidayakan dengan sistem biokonversi. Tepung maggot yang berasal dari lalat BSF lebih dipilih karena mempunyai keunggulan seperti mempunyai kandungan protein dan lemak yang tinggi dan mendekati profil nutrisi tepung ikan, tidak bertindak sebagai vektor penyakit dan mudah untuk dibudidayakan lewat biokonversi (low cost, low energy). Level inklusi tepung maggot berkisar antara 13 – 50 % tergantung dari spesies dan umur ikan, variasi dalam kualitas nutrisi tepung maggot (protein, lipid dan beberapa asam amino esensial) di antara penelitian, perbedaan dalam kemampuan cerna atau palatabilitas BSF dan kehadiran faktor antinutrisi dalam BSF. Kata kunci : Maggot BSF, Tepung ikan, Nutrisi, Pakan ikan

I. PENDAHULUAN

Pembenihan dan pembesaran merupakan kegiatan inti dalam budidaya perikanan. Salah satu faktor penentu yang menjadi ujung tombak dalam mendukung keberhasilan budidaya adalah pakan (Mudjiman, 2011). Pemberian pakan yang tepat dan sesuai dengan umur dan jenis ikan merupakan kunci keberhasilan dalam meningkatkan tingkat kelulushidupan (survival rate) baik dalam pembenihan maupun pembesaran. Pakan ikan haruslah memperhatikan beberapa faktor seperti jenis ikan dan preferensi makanannya, bentuk, ukuran, keras dan lunak, bau, rasa serta kandungan gizinya (Halver, 2013). Dalam lingkungan budidaya, ikan diberi pakan alami dan buatan. Pakan alami berupa plankton (fitoplankton dan zooplankton) sedangkan pakan buatan berupa pelet yang berasal dari bahan nabati, hewani maupun limbah.

Saat ini, ikan dibudidayakan dalam sistem budidaya yang bervariasi dari sistem ekstensif sampai intensif (Tacon dan Hasan, 2007). Tacon dan Hasan juga menjelaskan metode pemberian pakan yg diterapkan

untuk ikan budidaya antara lain (1) tanpa pakan buatan; mengandalkan produktivitas alami dari air, (2) endogen; pengayaan in-situ produktivitas alami dengan menggunakan pupuk atau substrat dan (3) eksogen; bergantung sepenuhnya pada pakan tambahan. Pakan tambahan dapat berupa pakan buatan pabrik maupun pakan hasil olahan petani ikan. Pakan buatan dikenal masyarakat luas, khususnya petani ikan, dalam bentuk tepung (crumble) dan pelet. Crumble adalah pakan yang berbentuk tepung dengan diameter mencapai 0,5-0,8 mm sedangkan diameter pelet berkisar antara 1-1,5 mm. Setengah dari estimasi produksi perikanan budidaya mengandalkan produktivitas alam di air sementara sisanya bergantung pada penggunaan pakan tambahan berupa bahan pakan tunggal, pakan buatan petani dan industri (FAO, 2013).

Bahan baku pakan buatan adalah bahan-bahan nabati dan hewani. Bahan baku nabati berasal dari hasil pertanian seperti biji-bijian sedangkan bahan baku hewani berasal dari ikan dan limbah rumah potong hewan (darah, tulang, dll). Formulasi pakan buatan disusun berdasarkan kadar

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

21 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

protein yang diinginkan, yaitu rata-rata 25-30% (Murtidjo, 2001). Saat ini salah satu sumber protein yang diharapkan dapat menggantikan tepung ikan atau lazimnya dikenal sebagai fishmeal adalah maggot yang merupakan larva serangga yang diproduksi secara biokonversi. Berdasarkan karakter nilai gizi yang terkandung dalam maggot maka perlu dikaji kemampuan penggunaan bahan ini sebagai sumber protein pengganti protein asal tepung ikan dalam ransum pakan ikan. Dengan adanya inovasi substitusi pengganti tepung ikan, pembudidaya tidak tergantung lagi pada pakan komersial dan dapat berinovasi untuk mengembangkan pakan ikan dengan bahan baku yang lebih ramah lingkungan dan mendukung pengembangan kegiatan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries).

Metode pemberian pakan dalam budidaya ikan adalah endogen dan eksogen. Semakin intensif suatu sistem budidaya, semakin tergantung pada pemberian pakan tambahan (eksogen). Seiring dengan perkembangan budidaya, kebutuhan untuk memformulasi pakan ikan berkualitas tinggi yang sesuai dengan kebutuhan ikan meningkat. Elemen dasar dari pakan ikan berasal dari ikan hasil tangkapan yang bernilai rendah atau lazimnya dikenal sebagai ikan rucah (ikan teri, makarel dan sarden) maupun produk olahan (tepung dan minyak ikan).

Tepung ikan memberikan kontribusi sebagai sumber protein penting karena kandungan protein yang tinggi, profil asam amino yang sesuai kebutuhan ikan, kecernaan nutrisi yang tinggi dan kurangnya antinutrients sementara minyak ikan berfungsi sebagai sumber energi (Gatlin III dll, 2007). Meskipun tepung ikan dan minyak ikan memiliki fungsi penting untuk ikan, tren penggunaan keduanya menurun dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kendala yang menyebabkan tren ini adalah 1) meningkatnya fishing cost dan tingginya permintaan pasar baik untuk konsumsi manusia langsung ataupun pakan ternak lainnya yang mengakibatkan tingginya

harga ikan rucah, 2) meningkatkan biaya operasional untuk pembuatan pakan ikan, minyak ikan dan transportasi dan 3) meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah perikanan berkelanjutan (Klinkhardt dalam FAO, 2007; Tacon dan Metian, 2008).

Adanya keterbatasan stok ikan rucah tersebut menyebabkan upaya untuk menemukan pengganti yang sesuai untuk tepung ikan maupun minyak ikan terus dilakukan. Pengganti kedua bahan tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat seperti harga yang kompetitif, ketersediaan secara global, penanganan mudah dan mempunyai profil nutrien yang menyerupai tepung ikan dan minyak ikan.

Seiring dengan perkembangan budidaya, kebutuhan untuk memformulasi pakan ikan berkualitas tinggi yang sesuai dengan kebutuhan ikan meningkat. Elemen dasar dari pakan ikan berasal dari ikan hasil tangkapan yang bernilai rendah atau lazimnya dikenal sebagai ikan rucah (ikan teri, makarel dan sarden) maupun produk olahan (tepung dan minyak ikan). Tepung ikan memberikan kontribusi sebagai sumber protein penting karena kandungan protein yang tinggi, profil asam amino yang sesuai kebutuhan ikan, kecernaan nutrisi yang tinggi dan kurangnya antinutrients sementara minyak ikan berfungsi sebagai sumber energi (Gatlin III dll, 2007).

Bila dibandingkan dengan bahan baku produk tanaman, bahan baku yang berasal dari protein hewani menjadi alternatif pengganti tepung ikan. Bahan baku ini lebih dipilih karena mempunyai profil nutrien yang menyerupai tepung ikan. Maggot sebagai salah satu substitusi bahan baku protein hewani mempunyai kandungan protein sekitar 32,31-60,2% dan lemak yang cukup tinggi sekitar 9,45-13,3% tergantung umur dan kualitas substrat (Fahmi & Subamia, 2007), sehingga pemanfaatannya sebagai bahan pakan ikan sangat potensial. Berdasarkan karakter nilai gizi yang terkandung dalam maggot maka perlu dikaji kemampuan penggunaan bahan ini sebagai

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

22 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

sumber protein pengganti tepung ikan dalam ransum.

II. PEMBAHASAN

2.1 Siklus Hidup Maggot

Maggot berasal dari lalat Black Soldier Fly atau lebih dikenal dengan nama lalat BSF (Hermetia illucens, Linneus 1758) berasal dari daerah beriklim hangat di Amerika dan sekarang tersebar luas di daerah yang lebih hangat di seluruh dunia

(Salomone et al., 2017). Organisme ini berasal dari dari telur Black Soldier Fly (BSF) yang mengalami metamorfosis pada fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase pupa yang kemudian berubah menjadi lalat dewasa (Gambar 1). Black Soldier Fly berwarna hitam dan bagian segmen basal abdomennya berwarna transparan (wasp waist) sehingga sekilas menyerupai abdomen lebah. Panjang lalat berkisar antara 15-20 mm dan mempunyai waktu hidup lima sampai delapan hari.

Gambar 1. Siklus Hidup Black Soldier (Wardhana, 2016)

Larva dari lalat BSF mempunyai berat mencapai 220 mg dengan panjang 27 mm dan lebar 6 mm. Larva memakan bahan organik yang membusuk seperti limbah buah dan sayuran, serta kotoran manusia dan hewan (Diener et al., 2011). Di bawah kondisi ideal (persediaan makanan, suhu, dan kelembaban) larva BSF dapat berkembang menjadi prepupa dalam dua minggu, tetapi waktu perkembangan sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Pada

akhir tahap larva, prepupa mengosongkan saluran pencernaan mereka, berhenti makan dan bermigrasi keluar dari sampah untuk menemukan tempat kering untuk memulai proses menjadi pupa (Tomberlin, et al, 2009). Lalat betina kawin dua hari setelah muncul dan bertelur di celah kering dan celah di dekat habitat larva (Diener et al., 2009).

Maggot BSF dewasa panjangnya 15-20 mm, tidak perlu diberi makan, bertahan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

23 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

hidup pada tubuh yang mempunyai kandungan lemak tinggi yang disimpan dari tahap larva dan karena itu tidak memerlukan perawatan khusus dan bukan pembawa penyakit potensial (Diclaro II & Kaufman, 2009). Karena lalat dewasa tidak tertarik pada habitat manusia atau makanan, mereka tidak dianggap sebagai gangguan dan tidak seperti spesies lalat lainnya, Hermetia illucens bukanlah vektor penyakit (van Huis, 2013). Proses pengolahan limbah organik oleh larva BSF sangat cepat, menahan pertumbuhan bakteri dan dengan demikian mengurangi produksi bau. Selain itu, larva adalah pesaing untuk larva lalat (Musca domestica) dan menghambat oviposisi oleh lalat, vektor utama penyakit (Newton, 2005). Selain itu, telah disarankan bahwa larva mengandung antibiotik alami dan mereka mampu memodifikasi mikroflora feces, berpotensi mengurangi bakteri berbahaya seperti Escherichia coli 0157:H7 dan Salmonella enterica (Erickson et al., 2004).

Lalat dewasa tidak memiliki bagian mulut yang fungsional, karena lalat dewasa hanya beraktivitas untuk kawin dan bereproduksi sepanjang hidupnya. Kebutuhan nutrien lalat dewasa tergantung pada kandungan lemak yang disimpan saat masa pupa. Ketika simpanan lemak habis, maka lalat akan mati (Makkar et al, 2014). Berdasarkan jenis kelaminnya, lalat betina umumnya memiliki daya tahan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan lalat jantan (Tomberlin et al. 2009). Menurut Tomberlin et al (2002) siklus hidup BSF dari telur hingga menjadi lalat dewasa berlangsung sekitar 40-43 hari, tergantung dari kondisi lingkungan dan media pakan yang diberikan.

Lalat betina akan meletakkan telurnya di dekat sumber pakan, antara lain pada bongkahan kotoran unggas atau ternak, tumpukan limbah bungkil inti sawit (BIS) dan limbah organik lainnya. Lalat betina tidak akan meletakkan telur di atas sumber pakan secara langsung dan tidak akan mudah terusik apabila sedang bertelur. Oleh karena itu, umumnya daun pisang yang telah kering

atau potongan kardus yang berongga diletakkan di atas media pertumbuhan. Seekor lalat betina BSF normal mampu memproduksi telur berkisar 185-1235 telur (Rachmawati et al, 2010). Literatur lain menyebutkan bahwa seekor betina memerlukan waktu 20-30 menit untuk bertelur dengan jumlah produksi telur antara 546-1.505 butir dalam bentuk massa telur (Tomberlin & Sheppard 2002). Berat massa telur berkisar 15,8-19,8 mg dengan berat individu telur antara 0,026-0,030 mg. Waktu puncak bertelur dilaporkan terjadi sekitar pukul 14.00-15.00. Lalat betina dilaporkan hanya bertelur satu kali selama masa hidupnya, setelah itu mati (Tomberlin et al, 2002).

Beberapa metode untuk membesarkan BSF pada substrat seperti limbah makanan (Barry, 2004), kotoran babi (Newton et al., 2005) dan kotoran unggas (Sheppard et al., 1994) telah dikembangkan. Kondisi optimum termasuk rentang suhu yang sempit (29-31°C) dan kelembaban (50-70%) bersama dengan suplai oksigen yang cukup (Barry, 2004). Holmes et al (2013) membandingkan lima substrat dalam stadia pupa, yaitu serbuk gergaji, tanah, humus, pasir dan tidak menggunakan substrat. Stadia pupa yang dipelihara pada substrat pasir dan humus lebih lama dibandingkan pada substrat tanah dan serbuk gergaji. Stadia pupa tanpa substrat berjalan paling cepat karena untuk mengurangi risiko dari predator atau ancaman lingkungan. Namun, kondisi ini menyebabkan daya tetas pupa menjadi imago (lalat dewasa) lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Hal ini diduga karena energi yang tersimpan selama menjadi larva banyak digunakan untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Bobot pupa betina rata-rata 13% lebih berat dibandingkan dengan bobot pupa jantan (Tomberlin et al. 2009). Setelah 14 hari, pupa berkembang menjadi lalat dewasa (imago). Dua atau tiga hari kemudian lalat dewasa siap untuk melakukan perkawinan.

Suhu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam siklus hidup BSF. Suhu

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

24 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

yang lebih hangat atau di atas 30°C menyebabkan lalat dewasa menjadi lebih aktif dan produktif. Suhu optimal larva untuk dapat tumbuh dan berkembang adalah 30°C, tetapi pada suhu 36°C menyebabkan pupa tidak dapat mempertahankan hidupnya sehingga tidak mampu menetas menjadi lalat dewasa. Pemeliharaan larva dan pupa BSF pada suhu 27°C berkembang empat hari lebih lambat dibandingkan dengan suhu 30°C (Tomberlin et al. 2009). Suhu juga berpengaruh terhadap masa inkubasi telur. Suhu yang hangat cenderung memicu telur menetas lebih cepat dibandingkan dengan suhu yang rendah.

Meskipun lalat dewasa tidak memerlukan pakan sepanjang hidupnya, tetapi pemberian air dan madu dilaporkan mampu memperpanjang lama hidup dan meningkatkan produksi telur. Rachmawati et al. (2010) membuktikan bahwa puncak kematian lalat dewasa yang diberi minum madu terjadi pada hari ke-10 hingga 11, sedangkan pada lalat yang diberi minum air terjadi kematian tertinggi pada hari kelima hingga kedelapan dan berlanjut pada hari ke-10 hingga 12. Ditinjau dari waktu bertelurnya, lalat betina yang diberi minum madu mencapai puncak waktu bertelur pada hari kelima, sedangkan pada perlakuan pemberian air terjadi pada hari ketujuh.

2.2 Potensi Maggot Sebagai Pengganti Tepung Ikan

Selaras dengan sektor perikanan budidaya global yang terus berkembang,

tantangan baru muncul untuk menemukan alternatif yang berkelanjutan untuk sumber protein konvensional (yaitu, tepung ikan, minyak ikan, dan bungkil kedelai) dalam pakan ikan. Sementara itu solusi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah pengembangan budidaya ikan yang cenderung omnivora (lele, nila, mas, dll) sehingga dapat menekan penggunaan tepung ikan dalam pakan. Solusi jangka panjang yang dapat ditempuh adalah mencari sumber protein alternatif yang terjangkau (Tschirner & Kloas, 2017).

Sebuah solusi jangka panjang yang dapat dipilih adalah pemanfaatan pakan yang berasal dari tepung serangga. Tepung serangga atau insect meal sangat cocok untuk diaplikasikan dalam pakan ikan karena mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dan dikategorikan sebagai budidaya yang ramah lingkungan. Serangga seperti lalat BSF, lalat rumah, cacing, dll dapat dibudidayakan dengan sistem biokonversi. Kandungan nutrisi dari beberapa serangga dan perbandingannya dengan sumber protein konvensional seperti tepung ikan dan kedelai dapat dilihat di Tabel 1. Dari berbagai tepung serangga, tepung yang berasal dari maggot BSF lebih dipilih karena lalat tersebut bukanlah vektor penyakit (van Huis, 2013) dan mudah untuk dibudidayakan (low cost, low energy) (Tschirner & Kloas, 2017).

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Beberapa Tepung Serangga (insect meal) dibandingkan dengan

Tepung ikan dan Kedelai

Nutrisi (% DM)

Maggot BSF Larva lalat

rumah Tepung cacing

Tepung belalang

Tepung ikan

Kacang kedelai

Protein Lemak Kalsium Phosphorus

42,1 26,0 7,56 0,90

50,4 18,9 0,47 1,60

52,8 36,1 0,27 0,78

57,3 8,5 0,13 0,11

70,6 9,9 4,34 2,79

51,8 2,0 0,39 0,69

Sumber : (Makkar et al, 2014)

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

25 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Erickson et al. (2004) mengemukakan bahwa kandungan nutrisi maggot sangat potensial untuk dijadikan sebagai sumber protein alternatif pada pakan ikan. Nilai nutrisi maggot dapat dilihat pada Tabel 2. Sebagai pengganti tepung ikan, maggot diolah dalam bentuk tepung. Tepung maggot ini selanjutnya dimasukkan dalam formulasi pakan sebagai salah satu sumber

protein menggantikan tepung ikan. Sebagai pakan alternatif, maggot dapat diberikan dalam bentuk fresh (segar) atau dapat juga diberikan dalam bentuk pelet kepada ikan. Untuk pengolahan menjadi pelet, maggot terlebih dahulu dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 25%, setelah itu langsung dimasukkan ke dalam mesin pellet untuk dicetak.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Maggot BSF

Proksimat (%) Asam amino (%) Asam lemak (%) Mineral (%)

Kadar air Protein Lemak

2,38 44,26 29,65

Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Sistin Isoleusin Leusin Lisin Taurin Sistein NH3 Orn

6,35 3,80 3,37

12,95 3,16

25,68 16,94 4,15 3,87 2,05 5,42 4,76

10,65 17,53 2,05 4,33 0,51

Linoleat Linolenat Saturated Monomer

0,70 2,24

20 mg/g 8,71

Mn Zn Fe Cu P Ca Mg Na K

0,05 mg/g 0,09 0,68 0,01 0,13

55,65 3,50

13,71 10,00

Sumber : Fahmi et al dalam Wardhana, 2017

Dari berbagai penelitian yang dilakukan, ikan karnivora seperti arwana, betutu, lele dan gabus sangat menyukai maggot segar sebagai pakannya. Sedangkan ikan-ikan yang berukuran kecil lebih menyukai pellet maggot. Inklusi parsial (20, 40, 60%) dari tepung maggot Hermetia illucens ke dalam diet clownfish (Amphiprion ochellaris) tidak memperlihatkan adanya efek negatif pada pertumbuhan, respon stres dan tingkat kelulusan hidup (Vargas-Abúndez et al., 2018). Hal ini selaras dengan hasil yang didapatkan dari inklusi tepung maggot ke dalam diet ikan salmon Atlantik (Salmo salar) (Lock et al., 2016), ikan kakap (Dicentrarchus labrax) (Magalhães et al., 2017), ikan trout (Oncorhynchus mykiss) (Renna et al., 2017), ikan yellow catfish (Pelteobagrus fulvidraco) (Xiao et al., 2018)

dan zebrafish (Danio rerio) (Vargas et al., 2018). Namun, pada spesies ikan lainnya, seperti turbot (Psetta maxima) dan gilthead sea bream (Sparus aurata), pemberian tepung maggot di atas 30% menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih rendah (Kroeckel et al., 2012; Gasco dkk., 2016; Piccolo et al., 2017).

Tepung maggot menjadi sumber protein alternatif pengganti tepung ikan dalam pakan ikan yellow catfish dengan batas inklusi < 48% dalam pakan (Xiao et al., 2018). Indeks pertumbuhan ikan yellow catfish yang diberi makan dengan inklusi tepung maggot 13%, 25%, 37% dan 48% lebih tinggi daripada kelompok kontrol dengan indeks pertumbuhan tertinggi didapat dari level 25%. Pemberian tepung maggot juga tidak memberikan efek negatif

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

26 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

pada tingkat pertumbuhan, konversi pakan dan meningkatkan system kekebalan tubuh ikan yellow catfish (Xiao et al., 2018). Inklusi tepung maggot sebanyak 20 dan 40% ke dalam pakan tidak merubah histologi hati, limpa dan usus ikan trout secara signifikan (Elia et al., 2018).

Penggantian pakan berbasis tepung ikan dengan tepung maggot pada pakan benih ikan yellow catfish menunjukkan adanya penurunan laju pertumbuhan pada level inklusi tepung maggot di atas 20% (Hu et al., 2017). Dengan demikian, penggantian tepung ikan dengan tepung maggot dianjurkan agar tidak melebihi 20%. Tingkat penggantian yang jauh lebih tinggi ditemukan pada spesies ikan lainnya yaitu 25% bagi ikan trout (St-Hilaire et al., 2007a; Sealey et al., 2011), dan 50% pada ikan nila (Rana et al., 2015). Adanya perbedaan penggunaan tepung maggot tidak ditentukan semata-mata oleh kandungan protein lalat BSF, tetapi juga tampaknya terkait dengan perbedaan antara spesies, variasi dalam kualitas nutrisi tepung maggot (protein, lipid dan beberapa asam amino esensial) di antara penelitian (Newton et al., 2005; Sealy et al., 2011; Kroeckel et al., 2012), perbedaan dalam kemampuan cerna atau palatabilitas BSF (seperti chitin, yang tidak dapat dicerna oleh banyak spesies ikan karena kurangnya aktivitas chitinase) dan kehadiran faktor antinutritional dalam BSF (Rust, 2002; Kroeckel et al., 2012).

III. KESIMPULAN

Penggunaan serangga (insect meal) sebagai salah satu alternatif pengganti tepung ikan (fishmeal) dalam pakan ikan dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi kelangkaan stok dan mahalnya harga tepung ikan di pasaran. Dari sekian banyak pilihan insect meal yang tersedia, tepung maggot yang berasal dari lalat Black Soldier Fly (BSF) dipilih karena mempunyai keunggulan seperti mempunyai kandungan protein dan lemak yang tinggi, tidak bertindak sebagai vector penyakit dan

mudah untuk dibudidayakan lewat biokonversi (low cost, low energy).

DAFTAR PUSTAKA Diener, S., Studt Solano, N. M., Roa

Gutiérrez, F., Zurbrügg, C., & Tockner, K. (2011). Biological Treatment of Municipal Organic Waste using Black Soldier Fly Larvae. Waste and Biomass Valorization, 2(4), 357–363. https://doi.org/10.1007/s12649-011-9079-1

Diener, S., Zurbrügg, C., & Tockner, K. (2009). Conversion of organic material by black soldier fly larvae: establishing optimal feeding rates. Waste Management & Research, 27(6), 603–610. https://doi.org/10.1177/0734242X09103838

Elia, A. C., Capucchio, M. T., Caldaroni, B., Magara, G., Dörr, A. J. M., Biasato, I., … Gasco, L. (2018). Influence of Hermetia illucens meal dietary inclusion on the histological traits, gut mucin composition and the oxidative stress biomarkers in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture, 496, 50–57. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2018.07.009

Erickson, M. C., Islam, M., Sheppard, C., Liao, J., & Doyle, M. P. (2004). Reduction of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella enterica Serovar Enteritidis in Chicken Manure by Larvae of the Black Soldier Fly. Journal of Food Protection, 67(4), 685–690. https://doi.org/10.4315/0362-028X-67.4.685

FAO. 2007. Global trade conference on aquaculture. FAO fisheries proceeding 9. 29-31 Mei 2007, Qingdao, Cina. Hal. 271.

FAO. 2013. The state of world fisheries and aquaculture 2013. A technical report. FAO fisheries and aquaculture department. Roma-Italia

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

27 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gasco, L., Henry, M., Piccolo, G., Marono, S., Gai, F., Renna, M., Lussiana, C., Antonopoulou, F., Mola, P., Chatzifotis, S., 2016. Tenebrio molitor meal in diets for European sea bass (Dicentrarchus labrax L.) juveniles: growth performance, whole body composition and in vivo apparent digestibility. Anim. Feed Sci. Technol. 220, 34–45

Gatlin III, D.M., Mackenzie, D.S., Craig, S.R., Neill, W.H.. 2007. Effects of Dietary Sodium Chloride on Red Drum Juveniles in Waters of Various Salinities. The Progressive Fish-Culturist. 54: 220-227.

Halver, J. 2013. Fish Nutrition. Edisi 3, Academic Press. San Diego-USA.

Hu, J., Wang, G., Huang, Y., Sun, Y., Zhao, H., & Li, N. (2017). Effects of Substitution of Fish Meal with Black Soldier Fly (Hermetia illucens) Larvae Meal, in Yellow Catfish (Pelteobagrus fulvidraco) Diets, 9.

Diclaro II, J. W., & Kaufman, P. E. (2009). Black Soldier Fly Hermetia illucens Linnaeus (Insecta: Diptera: Stratiomyidae), 4.

Kroeckel, S., Harjes, A.-G. E., Roth, I., Katz, H., Wuertz, S., Susenbeth, A., & Schulz, C. (2012). When a turbot catches a fly: Evaluation of a pre-pupae meal of the Black Soldier Fly (Hermetia illucens) as fish meal substitute — Growth performance and chitin degradation in juvenile turbot (Psetta maxima). Aquaculture, 364–365, 345–352. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2012.08.041

Magalhães, R., Sánchez-López, A., Leal, R.S., Martínez-Llorens, S., Oliva-Teles, A., Peres, H., 2017. Black soldier fly (Hermetia illucens) pre-pupae meal as a fish meal replacement in diets for European seabass (Dicentrarchus labrax). Aquaculture 476, 79–85.

Makkar, H. P. S., Tran, G., Heuzé, V., & Ankers, P. (2014). State-of-the-art on use of insects as animal feed. Animal Feed Science and Technology, 197, 1–

33. https://doi.org/10.1016/j.anifeedsci.2014.07.008

Mudjiman, A. 2011. Makanan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Murtidjo, B. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Edisi 7, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Newton, L. (2005). USING THE BLACK SOLDIER FLY, Hermetia illucens, AS A VALUE-ADDED TOOL FOR THE MANAGEMENT OF SWINE MANURE, 19.

Piccolo, G., Iaconisi, V., Marono, S., Gasco, L., Loponte, R., Nizza, S., Bovera, F., Parisi, G., 2017. Effect of Tenebrio molitor larvae meal on growth performance, in vivo nutrients digestibility, somatic and marketable indexes of gilthead sea bream (Sparus aurata). Anim. Feed Sci. Technol. 226, 12–20.

Rachmawati, R., Buchori, D., Hidayat, P., Hem, S., & Fahmi, M. R. (2015). Perkembangan dan Kandungan Nutrisi Larva Hermetia illucens (Linnaeus) (Diptera: Stratiomyidae) pada Bungkil Kelapa Sawit. Jurnal Entomologi Indonesia, 7(1), 28.

https://doi.org/10.5994/jei.7.1.28 Rana K. M. S., Salam M. A., Hasheml S. and

Md. A. Islam, 2015. Development of black soldier fly larvae production technique as an alternate fish feed. Int J Res Fish Aquacult., 5(1), 41-47.

Renna, M., Schiavone, A., Gai, F., Dabbou, S., Lussiana, C., Malfatto, V., Prearo, M., Capucchio, M.T., Biasato, I., Biasibetti, E., De Marco, M., Brugiapaglia, A., Zoccarato, I., Gasco, L., 2017. Evaluation of the suitability of a partially defatted black soldier fly (Hermetia illucens L.) larvae meal as ingredient for rainbow trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum) diets. J. Anim. Sci. Biotechnol. 8, 57.

Rust M.B. 2002. Nutritional Physiology. In J.E Halver and R.W. Hardy (Editors.): Fish Nutrition. 3rd Edition, Academic press, New York, U.S.A. PP 368-446.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

28 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Salomone, R., Saija, G., Mondello, G., Giannetto, A., Fasulo, S., & Savastano, D. (2017). Environmental impact of food waste bioconversion by insects: Application of Life Cycle Assessment to process using Hermetia illucens. Journal of Cleaner Production, 140, 890–905. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.06.154

St-Hilaire S., Sheppard C., Tomberlin J. K., Irving S., Newton L. M., McGuire A., Mosley E. E., Hardy R. W. and W. M. Sealey, 2007a. Fly prepupae as a feedstuff for rainbow trout Oncorhynchus mykiss. J World Aquacult Soc 38 (1) :309-313.

Sealey W. M., Gaylord T. G., Barrows F. T., Tomberlin J. K., McGuire M. A., Ross C. and S. St-Hilaire, 2011. Sensory analysis of rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, fed enriched black soldier fly prepupae, Hermetia illucens. J World Aquacult Soc 42(1),34-45.

Tacon, A.G.J. dan Hasan, M.R. 2007. Global synthesis of feeds and nutrients for sustainable aquaculture development. In: Hasan, M.R., Hecht, T., Silva, S.S.D., Tacon, A.G.J. (Eds.), Study and analysis of feeds and fertilizers for sustainable aquaculture development. A technical report. FAO. Roma.

Tacon, A.G.J. dan Metian, M. 2008. Global overview on the use of fish meal and fish oil in industrially compounded aquafeeds: Trends and future prospects. Aquaculture. 285: 146-158.

Tomberlin, J. K., Adler, P. H., & Myers, H. M. (2009). Development of the Black Soldier Fly (Diptera: Stratiomyidae) in Relation to Temperature: Table 1. Environmental Entomology, 38(3), 930–934. https://doi.org/10.1603/022.038.0347

Tschirner, M., & Kloas, W. (2017). Increasing the Sustainability of

Aquaculture Systems: Insects as Alternative Protein Source for Fish Diets. GAIA - Ecological Perspectives for Science and Society, 26(4), 332–340. https://doi.org/10.14512/gaia.26.4.10

Yan Huis, A. (2013). Potential of Insects as Food and Feed in Assuring Food Security. Annual Review of Entomology, 58(1), 563–583. https://doi.org/10.1146/annurev-ento-120811-153704

Vargas-Abúndez, A. J., Randazzo, B., Foddai, M., Sanchini, L., Truzzi, C., Giorgini, E., … Olivotto, I. (2018). Insect meal based diets for clownfish: Biometric, histological, spectroscopic, biochemical and molecular implications. Aquaculture,498,1–11. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2018.08.018

Wardhana, A. H. (2017). Black Soldier Fly (Hermetia illucens) as an Alternative Protein Source for Animal Feed. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences, 26(2), 069. https://doi.org/10.14334/wartazoa.v26i2.1327

Xiao, X., Jin, P., Zheng, L., Cai, M., Yu, Z., Yu, J., & Zhang, J. (2018). Effects of black soldier fly ( Hermetia illucens ) larvae meal protein as a fishmeal replacement on the growth and immune index of yellow catfish ( Pelteobagrus fulvidraco). Aquaculture Research, 49(4),1569–1577. https://doi.org/10.1111/are.13611

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

29 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

STUDI KELAYAKAN LOKASI BUDIDAYA IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) PADA KERAMBA JARING APUNG DI DESA LIFULEO

KECAMATAN KUPANG BARAT

Yusuf Kamlasi, Alexander S. Tanody dan Mikson M.D Nalle

Staf Dosen Politeknik Negeri Kupang Abstrak - Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer, Bloch) atau lebih dikenal dengan nama seabass/Baramundi merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Budidaya dengan pendekatan ekosistem merupakan salah satu solusi dalam menerapkan budidaya berkelanjutan dan ramah lingkungan. Budidaya semacam ini secara tidak langsung pernah dilakukan misalnya budidaya ikan kakap di keramba jaring apung terintegrasi. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) merupakan sistem budidaya dengan pendekatan ekosistem, sistem ini memiliki perbedaan dengan polikultur karena memanfaatkan organisme bertindak sesuai dengan fungsi dalam ekosistem. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kesesuaian ekologis wilayah perairan untuk pengembangan budidaya budidaya perikanan dengan model IMTA secara berkelanjutan di kabupaten Kupang. Penelitian ini menggunakan metode metode survey untuk melihat kondisi ekologis perairan. Pada metode survey dilakukan pengukuran parameter ekologi rumput laut yaitu parameter kualitas air meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisika, kimia dan biologi perairan layak untuk dilakukan pengembangan budidaya dengan model IMTA. Kisaran suhu di perairan berkisar antara 270C-300C, salinitas diperairan bervariasi yaitu antara 28-30 ppt. Hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara 5 - 6 mg/l serta kecepatan arus di perairan Kupang berfluktuasi yaitu berkisar antara 25-37 cm/detik. Kata kunci : Ikan Kakap, KJA, Kesesuaan lahan

I. PENDAHULUAN

Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer, Bloch) atau lebih dikenal dengan nama seabass/Baramundi merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Produksi ikan kakap di indonesia sebagian besar masih dihasilkan dari penangkapan di laut, dan hanya beberapa saja diantarannya yang telah di hasilkan dari usaha pemeliharaan (budidaya)

Budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung banyak diminati oleh para usahawan baik pengusaha maupun petani ikan, karena memiliki keuntungan antara lain jumlah dan mutu air selalu terjamin, pemangsa dapat dikendalikan, waktu panen dapat diatur dan ukuran lebih seragam, tidak memerlukan pengolahan tanah, produksi dijual dalam keadaan hidup sehingga harga jual lebih tinggi. Keuntungan lain dari

keramba jaring apung adalah mudah dipindah-pindahkan ketempat yang lebih produktif.

Budidaya dengan pendekatan ekosistem merupakan salah satu solusi dalam menerapkan budidaya berkelanjutan dan ramah lingkungan. Budidaya semacam ini merupakan sistem budidaya dengan pendekatan ekosistem, sistem ini memiliki perbedaan dengan polikultur karena memanfaatkan organisme bertindak sesuai dengan fungsi dalam ekosistem. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) merupakan budidaya dengan pendekatan ekosistem yang dapat diterapkan baik perikanan air tawar maupun perikanan air laut.

Dalam upaya memaksimalkan produksi budiadaya perikanan maka diperlukan suatu kajian dari aspek ekologis untuk kesesuaian lahan, daya dukung hingga strategi pengelolaannya yang dapat meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologi perairan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

30 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

untuk pengembangan usaha budidaya perikanan laut.

Sehubungan dengan itu maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pengembangan usaha budidaya perikanan yang ramah lingkungan memenuhi persyaratan lokasi dan teknis secara optimal dan berkelanjutan di desa Lifuleo Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian lahan/wilayah perairan di Kecamatan Kupang Barat dalam pengembangan budidaya perikanan.

Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi tentang pola usaha dan teknologi budidaya perikanan untuk diterapkan oleh masyarakat di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan kakap putih. Sedangkan alat-alat yang diperlukan untuk membantu pelaksanaan penelitian adalah alat-alat untuk suvey kualitas air.

2.2 Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana untuk menggambarkan keadaan yang aktual dan mengkaji penyebab dari gejala tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan data dalam pengembangan budidaya perikanan di desa Lifuleo kecamatan kupang Barat, kabupaten Kupang melalui kajian ekologis diperairan Kecamatan Kupang Barat dengan menggunakan metode survey

Pada metode survey dilakukan pengukuran parameter ekologi yaitu parameter meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut, keterlindungan dan keamaan.

2.3 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) data utama dan (2) data tambahan atau penunjang yang masing-masing terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pustaka.

2.4 Analisis Data Untuk menentukkan kesesuaian lahan

suatu wilayah perairan dalam pengembangan budidaya secara optimal dan berkelanjutan yang menjamin keletarian pesisir digunakan metode analisis meliputi berdasarkan kualitas air untuk keberlangsungan hidup.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Lingkungan Perairan

3.1.1 Suhu

Suhu air merupakan salah satu param-eter fisika yang memegang peranan di dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan biota akuatik lainnya. Suhu berpengaruh langsung pada proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses metabolisme dan siklus reproduksi (Sverdrup et al. 1961 dalam Mayunar, 1995). Hasil pengukuran bahwa kisaran suhu di perairan Lifuleo Kecamatan Kupang Barat berkisar antara 270C-300C. Menurut Sutrisno et.al., (1999) bahwa temperatur digunakan untuk pertumbuhan larva ikan kakap berkiras antara 27 – 31°C.

3.1.2 Salinitas

Kisaran salinitas diperairan Kecamatan Kupang Barat bervariasi yaitu antara 28-32 ppt. Menurut Sutrisno et.al., (1999) salinitas air optimal yang digunakan untuk pemeliharaan larva ikan kakap adalah 29 – 33 ppt. Menurut Mayunar (1995) bahwa ikan laut memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, namun salinitas juga merupakan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

31 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

salah satu faktor penentu terhadap perutmbuhan dan kelangsungan hidup.

3.1.3 Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara 5 - 6 mg/l. Oksigen terlarut di wilayah perairan lokasi penelitian ini dalam kondisi sangat bagus dan masih bersifat alami untuk budidaya perikanan karena nilai oksigen terlarut terendah adalah 5 mg/l, sebab apabila oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg/l dapat diindikasikan perairan tersebut mengalami gangguan (kekurangan oksigen) akibat kenaikan suhu pada siang hari, malam hari akibat respirasi organisme air juga disebabkan oleh adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terlarut. Pernyataan tersebut di atas didukung juga oleh Standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Budidaya Perikanan) Kep-02/MENKLH/I/88 yang diperbolehkan lebih besar dari 4 mg/l.

3.1.4 Arus

Hasil pengukuran kecepatan arus di perairan Kecamatan Kupang Barat berfluktuasi yaitu berkisar antara 25-37 cm/detik. Anonim (2001) menyatakan bahwa Pergerakan air yang cukup baik untuk pertumbuhan ikan kakap adalah dengan kecepatan arus 20-40 cm/detik.

3.2 Kesesuaian Lahan Budidaya Perikanan

Berdasarakan hasil survey dan analisis terhadap kesesuaian lahan dengan pendekatan data lapangan dan pustaka maka diperoleh hasil evaluasi/analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya perikanan ikan kakap putih pada keramba jaring apung di desa Lifuleo kecamatan Kupang Barat kabupaten Kupang

IV. KESIMPULAN

1. Hasil pengukuran kualitas air di perairan Lifuleo Kecamatan Kupang Barat antara lain Suhu berkisar antara 270C-300C, Salinitas bervariasi antara 28-32 ppt. Sedangkan Oksigen terlarut berkisar antara 5 - 6 mg/l dan kecepatan arus di perairan yaitu 25-37 cm/detik

2. Hasil evaluasi/analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya ikan kakap putih adalah sesuai atau layak untuk dikembangkan di desa Lifuleo kecamatan Kupang Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Petunjuk Teknis Pembesaran ikan kakap putih (Lates calcalifer, bloch) Di Keramba Jaring Apung. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta

Anggoro, S. 1983. Permasalahan Kesuburan Perairan Bagi Peningkatan Produksi di Tambak. Semarang, Indonesia. Universitas Diponegoro.

Bird, K.T dan Benson. 1987. Sea Weed Cultivation for Renewable Resources, Elsevier Amsterdam. Oxfor New York Tokyo.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisisus. Yogyakarta

Kune, S. 2007. Pertumbuhan Rumput Laut Yang Dibudidaya Bersama Ikan Baronang Jurnal Agrisistem., 3 (1) : 36-40.

Mayunar (1995) Budidaya Ikan Laut Dalam Keramba Jaring Apung Serta Prospeknya. Jurnal Oseana, Volume XX, Nomor 2

Wardoyo S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. PSLH-IPB. Bogor.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

32 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PENGGUNAAN ENERGI OLEH GLASS EEL Anguilla bicolor bicolor SELAMA 14 HARI PEMUASAAN

Ade Y. H. Lukas Staf Dosen Program Studi Budidaya Perairan

Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk menentukan penggunaan energi oleh glass eel Anguilla bicolor bicolor pada berbagai salinitas selama pemuasaan. Ikan yang digunakan adalah ikan sidat A.bicolor bicolor stadia glass eel berbobot 0,15 - 0,20 g dengan panjang 45 – 60 mm. Media pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 60 cm x 30 cm x 30 cm dengan volume air 30 liter per akuarium dan padat tebar yaitu 2 g/L. Penelitian ini dilakukan selama 14 hari dan selama pemeliharaan glass eel tidak diberikan makan (dipuasakan). Pengambilan data dilakukan setiap tujuh hari. Sedangkan pengukuran suhu, DO, dan pH dilakukan setiap hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan, yaitu (A) salinitas 0 ppt, (B) salinitas 10 ppt, (C) salinitas 20 ppt, dan (D) salinitas 30 ppt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan energi terendah terjadi pada salinitas 10 ppt. Kata kunci : Penggunaan energi, Glass eel, A. bicolor bicolor, Salinitas Abstract - This study aims to determine energy use by Anguilla bicolor bicolor glass eel on a variety of salinity during fasting. The fish used is stadium glass eel of A.bicolor bicolor weighing 0,15 - 0,20 g with length 45 - 60 mm. Maintenance media used is an aquarium measuring 60x30x30 cm with a volume of water 30 liters per aquarium and stocking density is 2 g/L. This research was conducted for 14 days and during maintenance glass eel was not given meal (fasting). Data collection is done every seven days. While the measurements of temperature, DO, and pH done every day. This study used a complete randomized design (RAL) with four treatments and three replicates, that is (A) 0 ppt of salinity, (B) 10 ppt of salinity, (C) 20 ppt of salinity, and (D) 30 ppt of salinity. The results showed that the lowest energy use occurred in treatment B (10 ppt). Keywords : Energy loss, Glass eel, A. bicolor bicolor, Salinity

I. PENDAHULUAN

Sebagai stadia awal budidaya sidat, glass eel sangat rentan pada dengan mortalitas yang sangat tinggi (Durif & Elie, 2008; Chow et al. 2010; Clevestam et al. 2010; Okamoto et al. 2009; Okamura et al. 2009). Glass eel akan menghabiskan waktu hidupnya di perairan payau, kemudian akan beruaya menuju perairan tawar ketika mencapai stadia elver hingga yellow eel, dan selanjutnya beruaya kembali ke laut untuk memijah. Perkembangan glass eel menjadi stadia yellow eel di sungai membutuhkan waktu tiga hingga sembilan tahun yaitu ketika diferensiasi seks pertama terjadi (Acou et al. 2003) dan mencapai

stadia dewasa (silver eel) tiga hingga enam tahun sesudahnya (Walsh et al. 2004).

Sidat merupakan salah satu komoditas unggulan yang memiliki nilai jual tinggi baik di pasar lokal maupun internasional (FAO, 2014). Namun hingga saat ini belum ditemukan metode perkembangbiakan yang tepat sehingga benih (stadia glass eel) masih sangat bergantung dari alam. Selain itu juga kegiatan budidaya sidat yang dilakukan belum menemukan metode tepat guna yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan glass eel. Rendahnya kelangsungan hidup ini menyebabkan eksploitasi terhadap komoditas ini meningkat. Perkembangan metode budidaya sidat diharapkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

33 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

pertumbuhan sehingga berdampak terhadap efisiensi pemanfaatan benih dari alam.

Salinitas berhubungan dengan osmoregulasi dan pertukaran ion dalam tubuh. Kestabilan regulasi asam basa dalam tubuh ikan juga terjaga akibat adanya pertukanan ion-ion antara darah ikan dan lingkungan karena salinitas berperan sebagai fasilitatornya (Wedemeyer 1996). Stickney (1979), menyatakan bahwa ikan yang dipelihara pada salinitas mendekati konsentrasi ion dalam darah (isoosmotik), menggunakan energi lebih banyak untuk pertumbuhan dan lebih sedikit untuk osmoregulasi.

Penggunaan energi berhubungan dengan pertumbuhan. Semakin besar energi yang digunakan untuk metabolisme tubuh, maka semakin sedikit energi yang tersimpan untuk pertumbuhan. Meningkatnya penggunaan energi disebabkan oleh kondisi stres terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu perlu disediakan lingkungan budidaya yang nyaman bagi glass eel untuk hidup dan bertumbuh. Menurut Nordlie, (2009); O’Neill et al. (2011); Perez-Robles et al. (2012) dan Fazio et al. (2013) salinitas merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ikan. Selanjutnya Cairns et al. (2009) menyatakan bahwa sidat Anguilla pada daerah beriklim sedang yang dibesarkan di air tawar memiliki pertumbuhan yang lambat. Sutrisno (2008) menyatakan bahwa salinitas 5 mg/L merupakan salinitas terbaik bagi benih Anguilla bicolor, Kearney et al. (2008) menyatakan bahwa salinitas 17,5 ppt memberikan kelangsungan hidup tertinggi pada glass eel A. australis dan A. dieffenbachia, sedangkan Affandi et al. (1995) menyatakan bahwa kisaran salinitas 0-7 ppt yang baik bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih sidat (glass eel dan elver). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian perlu dilakukan untuk menentukan kondisi yang nyaman bagi glass eel A. bicolor bicolor sehingga dapat menghemat energi untuk aktivitas metabolisme dan lebih banyak tersimpan

untuk pertumbuhan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh salinitas terhadap penggunaan energi oleh glass eel Anguilla bicolor bicolor selama 14 hari pemuasaan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Darmaga Bogor. Glass eel A bicolor bicolor yang digunakan berasal dari Cimaja, Pelabuhan Ratu, dengan bobot berkisar 0,15 – 0,20 g dan panjang 45 – 60 mm. Glass eel diangkut menggunakan air yang berasal dari daerah penangkapan dengan salinitas 10 ppt. Pasca pengangkutan, glass eel diadaptasi pada bak penampungan bersalinitas 10 ppt selama empat hari sebelum dilakukan adaptasi pada salinitas perlakuan. Adaptasi pada salinitas perlakuan dilakukan secara bertahap, yaitu dengan mengubah salinitas sebesar 2 ppt setiap 6 jam. Setelah mencapai salinitas tertinggi (30 ppt) dan terendah (0 ppt) maka glass eel ditebar ke dalam setiap unit percobaan sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Pemeliharaan dilakukan selama 14 hari yaitu pada bulan Oktober 2016 tanpa pemberian makan (dipuasakan). Akuarium yang digunakan berukuran 60x30x30 cm dengan volume air 30 liter dan padat tebar 2 g/L. Aerasi penuh dilakukan pada setiap unit percobaan.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan, sehingga terbentuk 12 unit percobaan. Rancangan penelitian diatur sebagai berikut (A) salinitas 0 ppt, (B) salinitas 10 ppt, (C) salinitas 20 ppt, dan (D) salinitas 30 ppt. Pengambilan data dilakukan setiap tujuh hari yang meliputi pengukuran berat, tingkat konsumsi oksigen, gradien osmotik, penggunaan energi dan fisika kimia air yaitu NH3. Pengamatan terhadap ikan yang mati, suhu, DO dan pH dilakukan setiap hari.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

34 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Variabel atau Parameter yang dianalisis berupa:

1. Kelangsungan hidup/Survival Rate (SR) yang dihitung menggunakan rumus Goddard (1996):

SR = 𝐍𝐭

𝐍𝟎 x 100 %

SR : Survival Rate (%) Nt : Jumlah ikan akhir (ekor) N0 : Jumlah ikan awal (ekor)

2. Laju penurunan biomassa mutlak (LPBM), yang dihitung berdasarkan rumus:

𝐋𝐏𝐁𝐌 = (𝐁𝐭 – 𝐁𝟎)

𝐭

LPBM : Laju penurunan biomassa

mutlak (g/hari) Bt : Rata-rata biomassa ikan

pada waktu t (g) B0 : Rata-rata biomassa ikan

awal (g) t : Waktu sampling (hari)

3. Tingkat konsumsi oksigen (TKO) pada metabolisme standar, yang dihitung berdasarkan NRC (1977) :

TKO = Vx (DOo - DOt) w x t

TKO : Tingkat konsumsi oksigen

(mg O2/g/jam) V : Volume air dalam wadah (L) DOo : Konsentrasi oksigen terlarut

pada awal pengamatan (mg/L)

DOt : Konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg/L))

w : Bobot ikan uji (g) t : periode pengamatan (jam)

4. Aktivitas osmoregulasi berupa gradien

osmotik (GO), yang diukur dengan cara menghitung selisih antara tekanan

osmotik media dan tekanan osmotik cairan tubuh ikan (Cambell et al. 2002). Rumus yang digunakan adalah:

GO = [ODI – OM]

GO : Gradien osmotik (mOsm/L H2O)

OD : Osmolaritas cairan tubuh ikan (mOsm/L H2O)

OM : Osmolaritas media (mOsm/L H2O)

5. Penggunaan energi selama pemuasaan (PE), yang dihitung menggunakan persamaan :

𝐏𝐄 = (𝐄𝐭𝐨 – 𝐄𝐭𝐭)

𝐄𝐭𝐨𝐱 𝟏𝟎𝟎

PE : Pembelanjaan energi tubuh

selama pemuasaan (%) Eto : Total energi tubuh awal (kkal) Ett : Total energi tubuh akhir (kkal)

6. Parameter fisika kimia air yaitu suhu diukur menggunakan termometer, pH diukur menggunakan pH-meter, DO diukur menggunakan DO-meter, NH3

diukur menggunakan spektrofotometer.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%. Apabila berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut Duncan. Sedangkan Data fisika kimia air dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data kecenderungan (tren) kelangsungan hidup glass eel A. bicolor bicolor selama 14 hari pemuasaan ditampilkan pada Gambar 1. Nilai kelangsungan hidup glass eel pada perlakuan salinitas 10, 20 dan 30 ppt adalah 100%, sedangkan pada perlakuan salinitas 0 ppt mengalami penurunan setiap minggunya. Hal ini diduga disebabkan karena salinitas 0 ppt tidak sesuai dengan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

35 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

lingkungan hidup glass eel A bicolor bicolor. Sesuai dengan Briand (2005) yang menyatakan bahwa glass eel akan melakukan migrasi dari daerah pemijahan di

laut menuju ke daerah estuari hingga mencapai stadia elver dan bertumbuh di habitat air tawar hingga mencapai stadia yellow eel.

Gambar 1. Grafik tren kelangsungan hidup glass eel (%) A.bicolor bicolor selama 14 hari Pemeliharaan

Data kecenderungan laju penurunan

biomassa mutlak (LPBM) (g/hari) glass eel selama 14 hari pemuasaan ditampilkan pada grafik 2.

Tabel 1. Data laju penurunan mutlak biomassa (g/hari)

Perlakuan (ppt)

Hari ke-

7 14

0 -3,79±0,028c -2,91±0,002b 10 -3,13±0,025d -2,79±0,032c 20 -4,11±0,020b -2,89±0,020b 30 -4,35±0,071a -2,95±0,011a

Ket. Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Analisis statistik menunjukkan menunjukkan bahwa laju penurunan biomassa mutlak (LPBM) berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 10 g/L memberikan laju penurunan biomassa mutlak (LPBM) yang terendah pada hari ke tujuh maupun hari ke-14. Perlakuan salinitas 30 ppt memberikan LPBM yang tertinggi pada akhir pemeliharaan, diikuti oleh perlakuan salinitas 0 ppt dan 20 ppt. Walaupun demikian pada hari ke tujuh pemeliharaan, perlakuan 20 ppt menunjukkan LPBM yang lebih tinggi dari perlakuan 0 ppt. Hal ini disebabkan karena

glass eel yang dipelihara pada perlakuan salinitas 20 ppt masih belum dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungannya, namun hingga hingga hari ke-14 pemeliharaan diduga proses adaptasi glass eel semakin baik sehingga lebih hemat dalam penggunaan energi untuk aktivitas metabolisme terutama untuk osmoregulasinya.

Penurunan bobot diakibatkan oleh adanya komponen material tubuh (protein, lemak, karbohidrat) yang diubah menjadi energi yang digunakan oleh glass eel selama dipuasakan. Semakin rendah penurunan bobot selama pemuasaan

99.1

99.2

99.3

99.4

99.5

99.6

99.7

99.8

99.9

100

100.1

0 10 20 30

Kela

ng

su

ng

an

hid

up

(%

)

Perlakuan salinitas (ppt)

Hari ke- 0

Hari ke-7

Hari ke-14

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

36 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

mengindikasikan semakin sedikit penggunaan energi untuk aktivitas metabolisme dan aktivitas biologi lainnya. Menurut Boeuf & Payan (2001) salinitas berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan yang berhubungan dengan pemanfaatan energi untuk osmoregulasi.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa glass eel A rostrata yang berasal dari

habitat yang berbeda (air tawar dan payau) memiliki pola pertumbuhan yang berbeda (Cote et al. 2009). Glass eel A Anguilla dan A rostrata menunjukkan pertumbuhan secara signifikan lebih tinggi yang dipelihara di air laut dibandingkan dengan yang dipelihara di air tawar (Edeline et al. 2005; Lamson et al. 2009).

Gambar 2. Grafik tren laju penurunan biomassa mutlak (LPBM) (g/hari) selama pemuasaan

Data terkait gradien osmotik (GO),

tingkat konsumsi oksigen (TKO), dan penggunaan energi (PE) ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Gradien osmotik (mOsm/L), tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g/jam), dan penggunaan energi (%) glass eel selama pemuasaan

Perlakuan (ppt)

GO (hari ke-) TKO (hari ke-) PE (hari ke-)

7 14 7 14 7 14

0 0,25±0,002a 0,31±0,001a 0,315±0,005b 0,428±0,002d 58,86±0,588c 64,61±0,497bc 10 0,28±0,001b 0,31±0,001a 0,142±0,005a 0,120±0,005a 24,97±0,432a 47,84±0,219a 20 0,28±0,001b 0,33±0,001b 0,326±0,002b 0,277±0,012b 41,63±1,253b 61,16±0,279b 30 0,29±0,001c 0,33±0,001b 0,368±0,015c 0,309±0,005c 55,08±1,069c 65,42±0,312c

Ket. Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Semakin jauh perubahan salinitas dari kondisi optimal maka akan semakin besar peningkatan beban osmotik sehingga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salinitas 10 ppt lebih mendekati kondisi isoosmotik sehingga berpengaruh terhadap beban kerja osmotik yang semakin kecil (Tabel 2). Semakin kecil beban kerja osmotik, maka semakin sedikit pula energi yang digunakan untuk aktivitas osmoregulasi sehingga tingkat konsumsi oksigen semakin rendah. Hal ini ini ditunjukkan dengan nilai penggunaan energi yang lebih kecil pada perlakukan salinitas 10 ppt dibandingkan dengan perlakuan lainnya, baik pada hari ke tujuh maupun pada hari ke-14 (Gambar 3). Sesuai dengan Boeuf et al (2001) menyatakan bahwa salinitas juga mempengaruhi sekresi hormon, metabolisme standar, nafsu makan dan konversi pakan.

-5.00

-4.50

-4.00

-3.50

-3.00

-2.50

-2.00

-1.50

-1.00

-0.50

0.00

0 10 20 30

LP

BM

(g

/hari

)

Perlakuan salinitas (ppt)

hari ke-7

hari ke-14

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

37 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 3. Tren gradien osmotik glass eel selama 14 hari pemuasaan

Hal ini sesuai dengan pendapat Boeuf et al (2001) yang menyatakan bahwa ikan yang berada pada kondisi mendekati isotonik memiliki tingkat metabolisme yang rendah dibandingkan yang berada pada kondisi hipotonik dan hipertonik. Kondisi

hipoosmotik dan hiperosmotik menyebabkan aktivitas metabolisme tubuh glass eel meningkat sehingga berpengaruh terhadap konsumsi oksigen, aktivitas osmoregulasi, pemanfaatan energi tubuh, dan laju ekskresi.

Gambar 4. Tren tingkat konsumsi oksigen glass eel selama 14 hari pemuasaan

Perlakuan 10 g/L pada Gambar 4

menunjukkan tingkat konsumsi oksigen terendah pada benih ikan sidat selama 14 hari pemuasaan dibandingkan dengan perlakuan salinitas lainnya. Tingkat konsumsi oksigen pada perlakuan salinitas 0 ppt terus mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Perlakuan salinitas 10, 20 dan 30 ppt

mengalami peningkatan TKO pada hari ke tujuh pemeliharaan dibandingkan dengan hari ke-14 pemeliharaan. Hal ini diduga karena sampai pada hari ke tujuh pemeliharaan, glass eel belum dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan hidupnya sehingga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigennya. Glass eel yang dipelihara pada kondisi mendekati

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0 10 20 30

GO

(m

Osm

/L

Perlakuan salinitas (ppt)

hari ke-0

hari ke-7

hari ke-14

0.000

0.050

0.100

0.150

0.200

0.250

0.300

0.350

0.400

0.450

0.500

0 10 20 30

TK

O (

mg

O2/g

/jam

)

Perlakuan salinitas (ppt)

hari ke-0

hari ke-7

hari ke-14

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

38 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

isoosmotik (10 g/L), lebih sedikit menggunakan energi untuk metabolisme

sehingga ekskresi amonianya rendah (Tabel 2).

Gambar 5. Tren penggunaan energi tubuh oleh glass eel selama 14 hari pemuasaan Data fisika kimia air selama

pemeliharaan ditampilkan dalam Tabel 3, menunjukkan parameter fisika kimia air masih layak untuk kegiatan budidaya.

Tabel 3. Parameter fisiki kimia air selama pemeliharaan

Perlakuan (ppt)

Suhu (ºC)

DO (mg/L)

pH

Alkalinitas (mg/L)

0 28,9-30,5 5,7-6,1 7,18-7,24 59,8-89,7 10 29,6-30,8 5,4-6,3 8,20-8,34 119,6-125,6 20 29,1-30,5 5,4-6,6 8,24-8,45 134,6-149,5 30 30,2-30,6 5,1-5,9 8,45-8,52 161,5-179,4

Kelayakan 23-31

(Ritonga, 2014) >3

(Herianti, 2005) 6,0-8,5

(Ritonga, 2014) 50-300

(Herianti, 2005)

Kisaran nilai fisika kimia air yang

ditampilkan pada Tabel 3 berupa suhu, DO, pH, NH3 dan alkalinitas pada setiap perlakuan selama pemeliharaan masih berada pada kisaran toleransi bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan sidat, hal ini sesuai dengan pendapat Usui (1974), Bieniarz et al. (1978), Yamagata & Niwa (1982), dan Boyd (1988). Kelayakan nilai fisika kimia air selama penelitian ini menyebabkan tingkat kelangsungan hidup benih ikan sidat mencapai 99,43-100% (Gambar 1).

IV. KESIMPULAN

Penggunaan energi terendah oleh glass eel A bicolor bicolor selama 14 hari pemuasaan ditunjukkan oleh perlakuan

salinitas 10 ppt yaitu sebesar 47,84±0,219a, dan tertinggi pada perlakuan salinitas 30 ppt yaitu sebesar 65,42±0,312c.

DAFTAR PUSTAKA

Acou A, Lefebre F, Contournet P, Poizat G, Panfili J, Crivelli AJ. 2003. Silvering of Female Eels (Anguilla anguilla) in two sub-populations of the Rhoˆne delta. Bulletin France Peˆche Piscic. 368: 55–68.

Affandi R, Riani. 1995. Pengaruh salinitas terhadap derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan sidat (elver), Anguilla bicolor bicolor. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan. 3: 39-48.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 10 20 30

Pen

gg

un

aan

En

erg

i (%

)

Perlakuan salinitas (ppt)

Harike-7

Hari ke-14

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

39 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Boeuf G, Payan P. 2001. How Should Salinity Influence Fish Growth?. Journal Comparative Biochemistry and Physiology. C: 411-423.

Briand C, Fatin D, Ciccotti E, Lambers P.2005. A Stage-structured Model to Predict the Effect of Temperature and Salinity on Glass Eel Anguilla Anguilla Pigmentation Development. Journal of Fish Biology. 67: 993-1009.

Cairns D, Tremblay V, Caron F, Casselman J, Verreault G, Jessop B, de Lafontaine Y, Bradford R, Verdon R, Dumont P, Mailhot Y, Zhu J, Mathers A, Oliveira K, Benhalima K, Dietrich J, Hallett J, Lagace M. 2008. American eel abundance indicators in Canada. Canadian Data Report of Fisheries and Aquatic Sciences No. 1207. 78.

Cote CL, Castonguay M, Verreault G, Bernatches L. 2009. Differential Effects of Origin and Salinity Rearing Conditions on Growth of Glass Eel of the American Eel Anguilla rostrata: Implications for Stocking Programmes. Journal of Fish Biology. 74:1934-1948.

Edeline E, Dufour S, Elie P. 2005. Role of Glass Eel Salinity Preference in the Control of Habitat Selection and Growth Plasticity in Anguilla anguilla. Marine and Ecology Progress Series. 304:191-199.

FAO [Food and Agriculture Organization]. 2014. Globefish Research Programme, Eel Anguilla spp.: Production and Trade. Rome, Italia: FAO Fishstat Plus.

Fazio F, Marafioti S, Arfuso F, Piccione G, Faggio C. 2013. Influence of different salinity on haematological and biochemical parameters of the widely cultured mullet, Mugil cephalus. Marine and Freshwater Behaviour and Physiology Journal. 46: 211-218.

Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. New York. 194.

Lamson HM, Cairns DK, Shiao CJ, Iisuka Y, Tzeng WN. 2009. American Eel, Anguilla rostrata, Growth in Fresh and Salt Water : Implications for Conservation and Aquaculture. Fisheries Management and Ecology. 16:306-314.

Nordlie FG. 2009. Environmental influences on regulation of blood plasma serum components in teleost fish: a review. Review in Fish Biology and Fisheries. 19: 481-564.

Perez-Robles J, Re AD, Giffard-Mena I, Diaz F. 2012. Interactive effects of salinity on oxygen consumption ammonium excretion, osmoregulation and Na+/K+-ATPase expression in the bullseye puffer (Sphoeroides annulatus, Jenyns 1842). Journal Aquaculture Research. 43: 1372-1383.

O’Neill B, De Raedemaecker F, McGranth D, Brophy D. 2011. An experimental investigation of salinity effects on growth, development and condition in the European flounder (Platichthys flesus. L.). Journal of experimental Marine Biology and Ecology. 410: 39-44.

Stickney RR. 1979. Principle of Warmwater Aquaculture. New York (US): John Willey and Son Incorporated.

Sutrisno. 2008. Determination of water salinity and proper type of natural feed in the maintenance of eel seeds Anguilla bicolor. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7: 71–77.

Usui A. 1974. Eel Culture Fishing News (Books) Ltd. London.

Walsh CT, Pease BC, Booth DJ. 2004. Variation in the sex ratio, size and age of longfinned eels within and among coastal catchments of south eastern Australia. Journal Fisheries Biology. 64: 1297–1312.

Wedemeyer GA. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture System. New York (US): Chapman and Hall.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

40 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI BEBERAPA MADU LOKAL ASAL KABUPATEN KUPANG TERHADAP BAKTERI Aeromonas hydropilla

Yuliana Salosso1, Jeni Ressy2 dan Yenni2

1Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang 2Balai Stasiun karantina Ikan kelas 1 Kupang

Jl Adisucipto, Penfui Kupang Email : [email protected]

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri Madu local asal kabupaten kupang terhadap bakteri A.hydropilla serta kandungan senyawa aktifnya. Madu yang digunakan adalah jenis madu Lokal asal kabupaten kupang. Pengujian aktivitas antibakteri madu dilakukan dengan metode cakram tanpa pengenceran. Uji kandungan senyawa kimia madu meliputi uji senyawa alkaloid dengan menggunakan metode Culvenor-Fiztgerald, senyawa saponin dengan uji busa, senyawa terpen dan steroid dengan Metode Lieberman-Burchard, sedangkan Flavanoid dengan penambahan Pereaksi HCl dan Mg Serbuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Semua madu local asal kabupaten kupang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri A,hydropilla namun zona hambat yang dihasilkan berbeda-beda dan masih lebih rendah dari pada control antibiotic tetapi lebih tinggi dari madu komersil. Zona hambat yang terbesar dihasilkan oleh madu semut yaitu 12 cm. Kata Kunci : Madu, antibakteri, Aeromonas hydropilla

I. PENDAHULUAN

Madu merupakan cairan kental yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber nectar, yang tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti Magnesium, Kalium, Potasium, Sodium, Klorin, Sulfur, Besi, dan Fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Disamping itu, didalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon.(Sarwono, 2001).

Madu mempunyai berbagai manfaat, diantaranya dapat digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi, karena mempunyai aktivitas antibakteri. Madu diketahui mempunyai aktivitas bakterisida dan bakteriostatik terhadap bakteri, baik terhadap gram positif ataupun gram negatif (Mulu, et al., 2004). Madu juga terbukti mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri, diantaranya bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosae

(Yuliati, 2017), bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Fitrianingsih, 2014). Selain itu Madu juga dapat mengobati luka bakar, dimana madu telah dimanfaatkan untuk manahan luka-luka bakar yang terjadi pada kulit.

Aktivitas antibakteri madu berhubungan dengan karakteristik dan kandungan kimia madu. Reaksi yang dikatalis enzim glukosa oksidase merupakan faktor utama yang menentukan aktivitas antibakteri pada madu (Mulu, et al, 2004). Berdasarkan hasil peneliti, madu memiliki aktivitas senyawa antibakteri terutama pada bakteri gram positif. Rio dkk (2012) mengatakan bahwa Madu telah terbukti sebagai antibakteri tetapi aktivitas antibakterinya tergantung pada jenisnya, lokasi geografis, dan bunga dari mana produk akhir berasal. Selanjutnya Parwata dkk., (2010) menegaskan bahwa madu memiliki komposisi kandungan senyawa kimia yang berbeda-beda berdasarkan sumber pakan nektarnya. Perbedaan tersebut diduga mempengaruhi perbedaan aktivitas madu sebagai antibakteri.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

41 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

II. METODE PENELITIAN

2.1 Pengadaan Madu dan Uji Fitokimia Madu

Dipilih beberapa jenis madu yang banyak ditemukan di kupang. Masing-masing madu diuji kandungan alkaloid, saponin, flavanoid,terpenoid dan steroid dengan metode sebagai berikut : Uji kandungan senyawa kimia madu meliputi uji senyawa alkaloid dengan menggunakan metode Culvenor-Fiztgerald, senyawa saponin dengan uji busa, senyawa terpen dan steroid dengan Metode Lieberman-Burchard, sedangkan Flavanoid dengan penambahan Pereaksi HCl dan Mg Serbuk dan uji Tanin dengan penambahan FeCl3

2.2 Pembuatan Media TSA Padat dan Semi Solid

Media untuk bakteri A. hydropilla menggunakan media TSA (Tripticase Soy Agar) dengan penambahan NaCl 0,5% dan untuk bakteri V.alginolitycus menggunakan media TSA dengan penambahan NaCl 2%. Media TSA yang digunakan untuk uji antibakteri ini dibuat dua lapis yaitu TSA padat dan TSA semi solid. Untuk TSA padat dibuat sehari sebelum dilakukan uji antibakteri dengan menggunakan TSA sesuai dengan yang tertera di label. sedangkan untuk media semi solid dibuat pada saat akan dilakukan uji antibakteri dengan menggunakan TSA 70% dari yang tertera di label. Media TSA padat dan semi solid dibuat 2 macam yaitu yang penambahan NaCl 0,5% dan 2%.

Untuk TSA padat setelah di autoclap dituang kedalam petri dish sebanyak 10 ml

dan dibiarkan sampai padat dan disimpan di kulkas dengan posisi terbalik. Sedangkan untuk media semi solid setelah diautoclap didinginkan sampai suhu + 50oC kemudian ditambahkan bakteri A.hydropilla pada media TSA 0,5% dan bakteri V.alginolitycus pada media TSA 2% pada kepadatan 106

sel/ml. kemudian masing masing dituang pada media TSA padat sebanyak 10 ml, setelah itu dibiarkan sampai beku. Setelah beku siap untuk dilakukan uji cakram (Salosso, 2017).

2.3 Uji antibakteri Madu dengan Metode Cakram

Semua jenis madu, diuji antibakteri untuk mencari yang mana madu yang aktif menghambat bakteri patogen pada ikan. Pada uji ini menggunakan uji cakram dimana kertas cakram steril dicelupkan pada masing-masing madu asli (tanpa pengenceran). Setelah 15 – 30 menit kertas cakram ditempelkan pada media TSA yang telah diinokulasi dengan bakteri A. hydropilla. Pengukuran dilakukan setelah masa inkubasi selama 24 jam pada 37 0C dengan mengamati ada tidaknya zona bening yang terbentuk disekitar kertas cakram.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Jenis-Jenis Madu Lokal NTT yang Diuji Pada penelitian ini telah berhasil

dikumpulkan 9 jenis madu asal NTT. Adapun jenis dan asal madu yang dikumpulkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

42 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 1. Jenis, Asal, Warna dan Bau Madu asal NTT

No Jenis Madu Asal Warna Bau

1 Madu pohon/hutan Ampoang Coklat muda Khas madu 2 Madu pohon/hutan Naikliu Coklat muda Khas madu 3 Madu pohon/hutan Ampoang selatan Coklat muda Khas madu 4 Madu semut Semau Coklat tua Khas madu 5 Madu Batu Semau Coklat muda Khas madu 6 Madu rasa (madu control) Coklat muda Khas madu

Pada Tabel 1, telihat bahwa untuk madu NTT terdiri atas madu pohon/hutan, madu semut dan madu batu. Madu pohon merupakan madu yang ditemukan di pohon dalam hutan sehingga dikategorikan madu multiflora, madu semut merupakan madu yang ditemukan pada pohon yang telah lapuk sehingga dikategorikan sebagai madu ekstraflora sedangkan madu batu merupakan madu yang ditemukan bersarang ditumpukan batu. Ketiga jenis

madu ini masih merupakan madu liar bukan madu yang ternak.

3.2 Kandungan Senyawa Aktif Madu lokal NTT

Untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang terkandung dalam madu local NTT maka dilakukan uji fitokimia. Hasil uji kualitatif kandungan senyawa aktifnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji Kandungan Senyawa Aktif Madu Lokal NTT

No Jenis madu Hasil uji senyawa aktif

flavanoid Alkaloid Steroid/

Terpenoid Tanin saponin

1 Madu Ampoang - ++ ++ - +

2 Madu Naikliu - ++ ++ - + 3 Madu Ampoang selatan - ++ + - +

4 Madu semut semau - + ++ - _

5 Madu Batu semau - + ++ - _

6 Madu Rasa - + - - -

Tabel 2 menunjukkan bahwa semua

madu local asal kabupaten Kupang mengandung senyawa Alkaloid dan tidak mengandung Flavanoid dan Tanin, sedang steroid dan Terpenoid, dikandung hampir semua madu, hanya madu Rasa yang tidak memiliki senyawa steroid dan terpenoid. Semua madu asal kabupaten Kupang mengandung saponin kecuali madu rasa dan madu semut semau serta madu batu semau.

Berdasarkan hasil uji kualitatif kandungan senyawa kimia madu diketahui bahwa madu mengandung flavanoid, triterpenoid dan saponin. Penemuan kimia dalam Madu Timor ini agak berbeda dengan

senyawa kimia yang ditemukan pada madu hutan yang dikaji oleh Fadmi (2015) dimana hanya ditemukan senyawa Triterpenoid dan saponin. Semua senyawa yang dikandung madu ini, memungkinkan madu untuk dikembangkan sebagai antibakteri alami karena mengandung senyawa yang bersifat antibakteri.

3.3 Aktivitas Antibakteri Madu lokal NTT

Semua jenis madu yang ditemukan diuji antibakteri, sehingga dapat diketahui mana dari madu tersebut yang dapat menghambat bakteri. Dalam pengujian ini digunakan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

43 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

bakteri A. hydropilla yang merupakan bakteri pathogen pada ikan air tawar.

Hasil pengujian madu terhadap bakteri A. hydropilla dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rata-rata diameter zona hambat madu terhadap bakteri A.hydropilla

Gambar 1, memperlihatkan bahwa

semua madu local asal kabupaten Kupang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri A,hydropilla namun zona hambat yang dihasilkan berbeda-beda dan masih lebih rendah dari pada control antibiotic. Jika diabndingkan dengan madu komersil (madu rasa), maka sebagaian besar aktivitas antibakteri madu local asal kabupaten Kupang lebih tinggi dari madu rasa, kecuali madu batu semau yang zona hambatnya sama dengan madu rasa yaitu hanya 8 cm. Zona hambat yang terbesar dihasilkan oleh madu semut yaitu 12 cm.

Madu mengandung senyawa organik sebagai antibakteri seperti polipenol, flavonoid, dan glikosida. Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang membuktikan bahwa madu dapat digunakan sebagai antimikroba pada bakteri patogen pada manusia seperti bakteri Staphylococus aureus dan Escherichia coli (Fitriningsih dkk, 2014; Rio, 2012). Pada penelitian telah dibuktikan kemampuan madu sebagai antibakteri pada bakteri patogen pada Ikan.

IV. KESIMPULAN

1. Semua madu local asal kabupaten kupang mengandung senyawa Alkaloid

dan tidak mengandung Flavanoid dan Tanin, sedang steroid dan Terpenoid, dikandung hampir semua madu, hanya madu Rasa yang tidak memiliki senyawa steroid dan terpenoid. Demikian pula saponin, kecuali madu rasa dan madu semut serta madu batu.

2. Semua madu local NTT memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri A,hydropilla namun zona hambat yang dihasilkan berbeda-beda dan masih lebih rendah dari pada control antibiotic tetapi lebih tinggi dari madu komersil.

3. Zona hambat yang terbesar dihasilkan oleh madu semut yaitu 12 cm.

DAFTAR PUSTAKA Evahelda, E., F. Pratama, N. Malahayati, B.

Santoso. 2017. Sifat Fisik dan Kimia Madu dari Nektar Pohon Karet di Kabupaten Bangka Tengah, Indonesia. AGRITECH, Vol. 37, No. 4, November 2017, Hal. 363-368

Fitrianingsih S.P., A.Khairat dan R. Choestrina. 2014. Aktivitas antibakteri madu Pahit dan Madu Hitam manis terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal farmasi Galenika Volume 01 No 02 hal 32-37

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

44 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Fadhmi, Mudatsir dan E. Syaukani, 2015. Perbandingan daya Hambat Madu Seulawah dengan Madu Trumon terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Jurnal Biotik, Vol 3 No 1, Hal 9-14.

Haniffa, M.A and K. Kavitha. 2012. Antibacterial activity of medicinal herbs against the fish pathogen Aeromonas hydrophila. Journal of Agricultural Technology 2012 Vol. 8(1): 205-211. Available online http://www.ijat-aatsea.com ISSN 1686-9141

Molan PC. The Antibacterial Activity of Honey: The Nature of the Antibacterial Activity, Bee World . 1992.73(1): 5-8.

Mundo, M.A., Olga I. Padilla-Zakour, and R.W. Worobo, 2004. Growth Inhibition of Food Pathogens and Food Spoilage Organisms by Selected Raw Honeys. International Journal of Microbiology 97 : 1-8

Mulu A, Tessema B, Derbie F (2004): In vitro assessment of the antimicrobial potential of honey on common human pathogens. Eur Health Dev., 18, 107–111

Nadhilla N.F. 2014. The Activity of antibacterial agent of Honey against Staphylococcus aureus. Artikel Review.

Jurnal Majority vol 3 no 7 Desember 2014. Hal 94-101.

Nithikulworawong N. 2012. Antibacterial Activity of Bauhinia sirindhorniae Extract Against Aeromonas hydrophila Isolated from Hybrid Catfish. Walailak J Sci & Tech 2012; 9(3): 195‐199.

Parwata, O. A., K. Ratnayani., dan Ana Listya. 2010. Aktivitas Antiradikal Bebas Serta Kadar Beta Karoten Pada Madu Randu (Ceiba pentandra) Dan Madu Kelengkeng (Nephelium longata L.). Jurnal Kimia. Vol 4 (1): 54-62

Rio Y.B.P., A. Djamal dan Asterina. 2012. Perbandingan Efek antibakteri Madu Asli Sikabu dengan Madu Lubuk Minturun terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus secara in Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas 2012: 1(2). Hal 59-62

Yuliati. 2017. Uji Efektivitas Larutan Madu

Sebagai Antibakteri Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Dan Pseudomonas aeruginosae Dengan Metode Disk Diffusion. Jurnal Profesi Medika, Vol. 11, No. 1 Januari – Juni 2017.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

45 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

TINGKAT PERTUMBUHAN DAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BATUBAO TELUK KUPANG DENGAN

MENGGUNAKAN BIBIT PETIKAN THALUS

Marsion Takanjanji1, Lien Ratoe Oedjoe2 dan Yulianus Linggi2 1)Alumni Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana

2)Staf Dosen pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana

Abstrak - Penelitian ini dilaksanakan selama Tiga Bulan, Lima Hari yang bertempat di perairan Batubao, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Penelitian bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut E. cottonii dari bibit petikan thalus. Metode yang digunakan dalam penelitian budidaya rumput laut E. cottonii adalah metode Long Line. Penelitian ini menggunakan rumput laut hasil bibit thalus yang di pelihara selama 45 hari dan rumput laut kovesional sebagai kontrol. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa penggunaan bibit rumput laut hasil thalus berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kadungan keraginan rumput laut E. cottonii. Hal ini terlihat pada bibit rumput laut hasil thalus, rata-rata laju pertumbuhan dan kandungan keraginannya yaitu 635 ± 23,30 g dan 7,2 % sedangkan laju pertumbuhan dan kandungan keraginan pada kontrol sebesar 616,66 ± 23,97 g dan 6,4 %. Dengan adanya perbedaan keberhasilan pertumbuhan dan kandungan keraginan menunjukan bahwa penggunaan bibit rumput laut E. cottonii hasil F2 memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan dan kandungan keraginan. Kata kunci : Rumput Laut, Bibit Petikan Thalus, Eucheuma Cottonii, Pertumbuhan, Keraginan

I. PENDAHULUAN

Rumput laut merupakan komoditi hasil perikanan bukan ikan (non fishes). Rumput laut juga merupakan komoditi ekspor hasil perikanan yang tingkat pengusahaannya masih tergolong rendah dibandingkan dengan usaha budidaya udang, ikan maupun moluska. Nilai permintaan pasar akan rumput laut, baik dari pasar dalam negeri maupun luar negeri, tampak jelas bahwa rumput laut memiliki nilai komoditas perdagangan pada pasar internasional. Kebutuhan rumput laut dunia untuk jenis-jenis yang mengandung karaginan mencapai 18.000-20.000 ton/tahun dan akan selalu meningkat 10% -15% pertahun.

Berdasarkan perhitungan BPPT (2003) menyatakan bahwa kebutuhan karaginan di dalam negeri terus meningkat yakni 13% - 15% pertahun (Setyati 2003). Laporan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (2000), dikemukakan hampir 5% dari produksi rumput laut diolah menjadi karaginan, sedangkan sisanya 25% diolah menjadi aneka ragam macam makanan,

seperti manisan, es krim, dodol, agar-agar dan lain-lain.

Ada beberapa aspek yang dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut seperti menggunakan bibit yang sudah berumur 3-5 Tahun dan tidak memikirkan tingkat pertumbuhan rumput laut. Hal ini dikarenakan masyarakat belum mendapatkan bibit yang baik yang dianjurkan untuk digunakan pada saat penanaman.

Salah satu keberhasilan budidaya rumput laut ditentukan oleh penanganan dan pemilihan kualitas bibit yang akan ditanam. Ciri-ciri bibit yang berkualitas seperti bibit thalus dengan warna cerah dan semakin ke ujung berwarna muda, bibit terasa padat saat ditekan, bebas dari penyakit dan tidak luka pada batang, tidak terdapat bercak yang ditimbulkan oleh penyakit maupun paparan dari sinar matahari yang dapat menyebabkan bibit rumput laut mati, thallus rumput laut memiliki cabang yang rimbun, pertumbuhanya

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

46 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

seimbang semakin keujung semakin runcing.

Kualitas bibit merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha budidaya rumput laut. Memilih bibit yang berkualitas juga merupakan kendala klasik yang sering ditemui di suatu wilayah karena pada umumnya pembudidaya rumput laut sudah terbiasa menggunakan bibit secara berulan-ulang sampai berumur 3-5 Tahun dari hasil budidaya mereka sendiri. Berdasarkan hal-hal diatas maka penelitian ini akan mengkaji Tingkat Pertumbuhan Dan Karaginan Di Perairan Batubao Teluk Kupang Dengan Menggunakan Petikan thalus.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan di perairan Batubao, Kecamatan Kupang Barat, kabupaten kupang. Pemeliharaan rumput laut (pengamatan) ini dilakukan selama tiga bulan lima hari di mulai dari awal bulan Maret 2017 sampai selesai.

2.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gunting, termometer air, pH meter, refrakto meter, timbangan, pena dan buku, keranjang, kamera, gelas, elemaiyer , timbangan analitik, petridics, tisu, hot plate, tali nilon ukuran 5 dan 1,5 mili, rumput laut jenis E. cottonii, larutan aquades laruran KOH dan larutan ethanol.

2.3 Prosedur Penelitian

2.3.1 Penyediaan Bibit Rumput Laut

Bibit rumput laut yang digunakan berasal dari daerah tempat melakukan penelitian di perairan Batubao. Bibit yang digunakan adalah bibit konvensional yang diseleksi karena bibit yang baik menpunyai cabang yang banyak, warna cerah, tidak terdapat bercak dan terkupas. Berat bibit yang digunakan adalah 100 gram.

2.3.2 Penanaman Rumput Laut

Berat awal rumput laut yang akan digunakan adalah 100 gram yang timbang mengunakan alat timbangan dan jarak tanam setiap bibit sekitar 20cm. Pemotongan bibit menggunakan gunting dan rumput laut yang diambil yaitu rumput laut yang masih muda terutama bagiang ujung-ujung rumput laut.

Rumput laut yang sudah dipotong dan ditimbang akan diikat pada tali yang sudah disediakan sesuai yang telah ditentukan. Rumput laut akan ditebar dan dibudidayakan selama 25 hari untuk mendapatkan petikan thalus 1 kemudian rumput laut dari bibit vegetatif 1 akan diambil dan dijadikan bibit sebanyak 100g ditanamkan lagi selama 25 hari untuk mendapatkan petikan thalus 2, dan rumput laut hasil dari petikan thalus 2 akan ambil lagi sebanyak 100g untuk dibudidayakan lagi selama 45 hari bersamaan dengan rumput laut yang dijadikan kontrol untuk dibandingkan pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut. Cara budidaya rumput laut dapat dilihat pada gambar sketsa berikut ini.

2.3.3 Matode Budidaya

Metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut E. cottonii adalah metode Long Line adalah metode budidaya dengan menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Tali Ris yang akan digunakan sepanjan 25 meter yang kedua ujungnya di pasang jangkar.

2.3.4 Perawatan dan Pemeliharaan

Metode perawatan yang akan dilaksanakan selama penelitian adalah pembersihan thalus rumput laut dari tumbuhan liar dan lumpur yang menempel, membersihkan tali dari sampah atau tumbuhan liar, dan tanaman rumput laut diperiksa dan di bersihkan.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

47 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

2.3.5 Hasil Pemanenan

Rumput laut yang sudah dipanen dan dijemur sampai kering, kemudian dicuci untuk mengurangi kadar garam pada rumput laut dan kemudian dijemur kembali hingga kering. Rumput laut E. cottonii yang sudah kering dipotong kecil-kecil dan diblender tujuannya untuk menghaluskan rumput laut, rumput laut yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 5g kemudian dicuci sampai bersih mengunakan air biasa. Rumput laut E. cottonii yang sudah bersihkan direndam menggunakan larutan aquathes sebanyak 100ml selama 20 menit, rumput laut yang sudah direndam dicuci lagi dan dituangkan pada tabung elemaiyer untuk dicampur larutan aquathes sebanyak 100ml dan larutan KOH sebanyak 3 mill dan selanjutnya akan direbus mengunakan hot plate. Selama perebusan rumput laut harus diaduk terus menerus sampai menjadi bubur, rumput laut yang sudah menjadi bubur disaring menggunakan kain kasa untuk mendapatkan getah rumput laut. Hasil filtrasi rumput laut yang sudah disaring dicampur dengan larutan ethanol sebanyak 25ml untuk diendapkan diaduk-aduk dan didiamkan selama 5 menit. Hasil endapan dikeringkan menggunakan sinar matahari yang dijemur sampai endapan menjadi kering.

2.4 Parameter yang Diukur

2.4.1 Pertumbuhan Mutlak

Salah satu parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan mutlak dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Zonneveld dkk (1999) dalam Wadu (2015) yaitu :

W= Wt – W0

Dimana :

W : Pertumbuhan mutlak Wt : Berat basah rumput laut akhir

penelitian W0 : Berat basah rumputlaut pada awal

peneitian

2.4.2 Kandungan Karaginan

Pengukuran persentase kandungan karaginan rumput laut digunakan rumus sebagai berikut (Susanto 1978) :

Karaginan =𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐠𝐢𝐧𝐚𝐧

𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 𝐤𝐚𝐫𝐚𝐠𝐢𝐧𝐚𝐧x 100 %

2.4.3 Parameter Penunjang

Sesuai dengan penunjang data pengamatan dilapangan dilakukan pengamatan oseanografi yang meliputi suhu, pH, dan salinitas.

2.5 Analisis Data

Data yang di peroleh selama penelitian dianalilis mengunakan Uji-T untuk mengetahui pengaruh terhadap pertumbuhandan karaginan rumput laut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan diperairan Batubao, kecamatan Kupang Barat, Kabupaten kupang. Dimana sebelah barat bersebelahan dari pulau Semau. Wilayah pesisir Batubao cukup luas, dan masih terlindung dari pengaruh gelombang dan badai yang besar karena bagian barat terhalang oleh pulau Semau, bagian utara terhalang oleh pantai Tablolong, dan bagian selatan terhalang oleh Bolok. Penelitian ini bertempat pada perairan Batubao Desa Thesabela, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang yang terletak pada lintang 121º30’ – 124º11’ Bujur Timur dan 9º19’ – 10º57’ Lintang Selatan.

Wilayah penelitian Batubao memiliki kondisi dasar perairan yang berlumpur dan berpasir. Pada pelaksanaan penelitian ini, rumput laut dibudidayakan pada areal lahan yang kondisi substratnya berumpur dan berpasir, rumput laut masih dapat tumbuh dengan baik.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

48 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.2 Pertumbuhan Rumput Laut E. Cottonii

Hasil perhitungan presentase rata-rata pertumbuhan rumput laut E. cottonii yang dilakuakan penelitian selama tiga bulan lima hari, dimana rumput laut dibudidaya dua puluh lima hari untuk mendapatkan F1, dua puluh lima hari untuk mendapatkan F2, dan hasil dari F2 dibudidaya bersamaan dengan kontrol selama 45 hari untuk membandingkan pertumbuhan rumput laut E. cottonii. Dimana pertumbuhan rumput laut E. cottonii yang menggunakan bibit F2 sebesar 635 ± 23,30 g dan hasil kontrol sebesar 616.66 ± 23,97 g (tabel 1) berikut ini.

Tabel 1. Rata-Rata Laju Pertumbuhan Rumput Laut Hasil F2 dengan Hasil Kontrol

Rumput Laut Tingkat Pertumbuhan

(gr)

Hasil dari Petikan Thalus

635 ± 23,30

Hasil dari control

616.67 ± 23,97

Berdasarkan Tabel 2 di atas menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan rumput laut E. cottonii berada pada antara hasil pembibitan F2 dan kontrol dimana pertubumhan yang tertinggi yaitu pada hasil hasil F2 (635 g) sedangkan yang terendah adaah kontrol (616,67 g). Selain itu, berdasarkan hasil analisis Uji-t hingga taraf 0,01% menunjukkan bahwa penggunaan bibit rumput laut hasil F2 berpengaruh sangat nyata yaitu t-hitung lebih besar dari t-tabel ( 3,00 > 1,67) terhadap pertumbuhan. Tingginya laju pertumbuhan harian rumput laut E. cottonii pada hasil pembibitan dari F2 yang dibudidayakan selama 45 hari di perairan Batubao dengan rata-rata laju pertumbuhan yaitu 635 g sedangkan laju pertumbuhan pada kontrol sebesar 616,67 g. Hasil rata-rata diatas menunjukan bahwa ada perbedaan pertumbuhan antara rumput laut dari bibit hasil F2 dan rumput laut hasil dari kontrol, karena menggunakan bibit

rumput laut dari hasil teknik pembibitan yang di petik secara berulang sebanyak tiga kali pada waktu umur 25 hari diduga karena thalus-thalus yang muda memiliki jaringan meristem lebih banyak di banding thalus yang berumur lebih tua. Menurut (Sutrian dan Cipta 2004) Jaringan meristem adalah suatu jaringan pada tubuh tumbuhan yang berisikan sekumpulan sel yang belum berdiferensiasi dan aktif beraktifitas dalam melakukan pembelahan sel. Pembelahan sel pada jaringan ini terus berlangsung sehingga terus menambah jumlah sel pada tumbuhan. Letak jaringan meristem pada rumput laut dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Jaringan Meristem

Sesuai yang dijelaskan Sutrian (2004) bahwa jaringan mudah atau meristem dapat terjadi dari sel-sel muda (Initiating cell) yang kegiatannya selalu meristematis. Meristem ujung (apical) adalah jaringan muda yang terbentuk oleh sel-sel initial (mua). Letak jaringan ini terdapat di ujung dari talus, meristem samping (lateral) adalah jaringan muda yang terbentuk oleh sel-sel initial, letak jaringan ini di tepi (Lateral) thalus, sedangkan meristem interkalar adalah jaringan muda yang terletak antara jaringan dewasa. Jaringan meristim memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertumbuhan jaringan merismatik dapat dirangsang atau diinduksi dengan jalan melukai bagian tubuh tumbuhan ataupun lewat kultur jaringan. Meristem pucuk dan kambium adalah jaringan meristem yang sangat mudah untuk dirangsang pertumbuhannya. Jaringan yang terbentuk dari proses induksi ini disebut sebagai kalus.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

49 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Sel-sel dalam kalus akan terus membelah secara in vitro.

Pertumbuhan alga dikenal dengan The Apical Cell Teorry atau teori sel ujung yaitu tumbuhan-tumbuhan yang kenyataannya banyak menggandung sel aplikal dengan sifatnya yang sendiri, pada pucuk talus terdapat sel initial. Sel initial ini kegiatannya selalu membelah untuk membentuk sel baru (Sutrian, 2004). Selain itu pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh factor lingkungan yang mendukung seperti air lautnya tidak tercemar, limbah rumah tangga berkurang karena penduduknya masih sedikit, dan juga kualitas air yang mendukung. Menurut Aslant (1998) menyatakan rumput laut tumbuh dengan proses penyerapan secara aktif dan penyerapan pasif. Terjadi penyerapan aktif pada rumput laut karena transpirasi secara langsung dan dipengaruhi oleh lingkungan. Sedangkan penyerapan pasif adalah penyerapan yang terjadi karena adanya transpirasi cepat yang merupakan respon balik oleh rumput laut terhadap lingkungan, cahaya, salinitas, suhu, dan kecepatan arus. Bibit rumput laut F2 merupakan petikan bibit pada umur 25 hari dari rumput laut F1 yang telah di pelihara selama 25 hari. Pada umur tertentu rumput laut dapat bertumbuh lebih cepat karena thalus rumput laut pada umur muda memeliki jaringan meristem lebih banyak dibanding bagian thalus yang berumur lebih tua. Untuk itu metoda petik bibit secara berulang sebanyak dua kali yang disebut sebagai turunan F2 dapat meningkatkan pertumbuhan dan kandungan karagenan dengan rumput laut E. cottonii.

3.3 Analisis Kandungan Karaginan

Rumput Laut (E. Cottonii) Karaginan merupakan getah rumput

laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali pada temperatur tinggi (Glicksman 1983). Karaginan merupakan nama yang diberikan untuk keluarga polisakarida linear yang

diperoleh dari alga dan penting untuk pangan.

Doty (1987), membedakan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya menjadi dua fraksi yaitu kappa karaginan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan iota karaginan jika lebih dari 30%. Winarno (1996) menyatakan bahwa kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut jenis E. cotonii, iota karaginan dihasilkan dari E. spinosum, sedangkan lambda karaginan dari Chondrus crispus, selanjutnya membagi karaginan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda karaginan.

Berikut merupakan hasi analisis kandungan keraginan rumput laut (E. Cottonii) pada penelitian di perairan Batubau, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, terlihat pada tabel 2 berikut ini.

Table 2. Kandungan Karagenan Rumput Laut (E. Cottonii)

Rumput laut Jumlah

karaginan

Hasil turunan dari Petikan Thalus

7,2 % ± 0,22

Hasil dari control

6,4 % ± 0,21

Selain tabel di atas, paparan karaginan juga dapat ditampilkan melalui gambar berikut.

Gambar 2. Karaginan Kertas

Gambar 2 merupakan gambar hasil ekstraksi rumput laut yang diakukan di laboratorium Fakultas Kelautan dan Perikanan yang dijalankan selama 1 minggu menunjukkan bahwa kandungan karaginan dari setiap rumput laut yang dibudidayakan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

50 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

memiliki nilai karaginan yang berbeda. Total berat kering karaginan hasil dari petikan thalus keseluruhan rumput laut yang di ekstrak sebesar 36 gram, sedangkan total berat kering karaginan hasil dari kontrol keseluruhan rumput laut yang di ekstrak sebesar 32 gram.

Hasil analisis Uji-t hingga taraf 0,01% menunjukan bahwa penggunaan bibit rumput laut hasil dari petikan thalus sangat berbeda nyata yaitu (t-hitung > t-tabel = 2,40 > 1,67) terhadap karaginan rumput laut. Dari hasil ekstraksi rumput laut yang tertera pada tabel (4) di atas menunjukan bahwa kandungan karaginan pada dua perlakuan yaitu hasi petikan thalus dan hasil kontrol memiliki nilai yang berbeda. Hal ini menunjukan bahwa rata-rata kandungan karaginan pada hasil bibit petikan thalus sebesar 1,24 %/hari dan bibit hasil kontrol 1,10%/hari. Rumput laut E. cottonii hasil bibit petikan thalus yang dibudidayakan tidak memiliki perbedaan yang jauh dimana kandungan rumput laut E. cottonii hasil bibit petikan thalus yang dibudidayakan berkisar antara 36%. Sedangkan kandungan karaginan rumput laut hasil kontrol yang dibudidayakan berkisar antara 32%.

Bedanya tingkat kandungan karaginan antara bibit hasil pembibitan petikan thalus dan rumput laut kontrol diduga karena penggunaan bibit yang berbeda yaitu bibit rumput laut hasil pembibitan petikan thalus dan bibit rumput laut kontrol yang tidak dipetik secara berulang kemudian dipelihara lagi bersamaan selama 45 hari sehingga menghasilkan tingginya kandungan karaginan rumput laut (E. cottonii) yang berbeda.

Hasil pengamatan secara visual menunjukan pertumbuhan thalus rumput laut pada penelitian ini cukup baik yaitu ukuran thalus yang gemuk dan mempunyai jumlah cabang yang banyak, sehingga menghasilkan karaginan yang tinggi. Menurut Effendi (1997) dalam Bambang (2006), pertumbuhan talus merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya rumput laut. Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh

lingkungan fisika dan kimiawi yang dapat berubah menurut ruang dan waktu, penanganan bibit, perawatan tanaman dan metode budidaya yang digunakan. Menurut Apriyana (2006) bahwa selain faktor lingkungan, faktor internal juga berperan bagi pembentukan kandungan karaginan antara lain faktor umur, pertumbuhan thallus dan jumlah cabang yang banyak akan menghasilkan karaginan dengan kadar tinggi.

Hasil ekstraksi rumput laut yang telah dilakukan di laboratorium Fakultas Kelautan dan perikanan yang menghasil kareginan rumput laut. Karaginan rumput laut kemudian dianalisis kandungan proksimat untuk menggetahui kadar gizi yang ada pada karaginan rumput laut. Proksimat rumput laut telah diakukan pada Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura Politeknik Pertanian Negeri Kupang, antara lain proksimat yang dihasilkan dari bibit vegetatif yaitu kadar protein sebesar 10,3%, kadar karbohidrat sebesar 61,14 %, kadar lemak sebesar 0,84 %, kadar air sebesar 14,45 %, dan kadar abu sebesar 22,54 %, proksimat yang dihasilkan dari hasil karaginan control yaitu kadar protein sebesar 1,78 %, kadar karbohidrat sebesar 58,18 % kadar lemak sebesar 1,56 %, kadar air sebesar 14,53 %, dan kadar abu sebesar 23,95 %. Rendemen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar persyaratan rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan RI, yaitu minimum sebesar 25% (Syamsuar, 2006).

Menurut Rigney dalam Dawes (1981), bahwa umur tanaman sangat berpengaruh terhadap kandungan kadar karaginan dan komposisi lainnya. Selain itu juga kondisi lingkungan perairan terutama ketersediaan unsurhara yang mendukung pertumbuhan rumput laut terutama terhadap kandungan karaginan, berbeda pada setiap kedalaman. Edward dan Sarabessy (1994) dalam Syamsuari (2003). Secara umum kandungan dan komposisi kimia rumput laut dipengaruhi oleh jenis rumput laut, fase

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

51 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

(tingkat pertumbuhan), dan umur panen. Hasil penelitian Pamungkas (1987) menunjukan bahwa rendaman dan viskositas karaginan tertinggi diperoleh dari E. cottonii yang dipanen pada umur 45 hari. Luthfy (1988) melaporkan bahwa E. cottonii mengadung abu 19,92%, protein 2,80 %, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan karbohidrat 68,48%.

3.4 Parameter Kualitas Air

Rumput laut merupakan suatu organisme laut yang memerlukan lingkungan untuk tumbuh dan berkembang biak. Pertumbuhan rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi seperti parameter fisika, kimia, dan biologi.

Penentuan lokasi untuk budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan pengamatan karakteristik perairan sebagai syarat tumbuh rumput laut.Kondisi ekologis perairan yang terdiri dari parameter fisika, kimia, dan biologi perairan.Hasil pengamatan dilokasi penelitian dapat disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian

Parameter Kualitas Air

Nilai Kisaran

Suhu (ºC) 28- 31 ºC Salinitas (ppt) 28-33 ppt pH 7,00-8,72 Kedalaman 50 cm – 2 m Dasar perairan Berpasir dan berlumpur

Pengamatan kisaran parameter kualitas air yang diukur selama penelitian bahwa air dilokasi budidaya rumput laut masih dalam taraf yang normal bagi pertumbuhan rumput laut. Hal ini didasarkan pada peryataan. Jana dkk., (2009) bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut E. cottonii adalah 26-30 ºC.

Kisaran salinitas yang diperoleh selama melakukan penelitian adalah 28 -33 ppt, dimana kisaran ini masih layak bagi pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Jana dkk., (2009) bahwa

salinitas yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut E. cottonii berkisasar antara 28 – 31 ppt.

Derajat keasaman pH yang didapatkan selama penelitian di perairan Batubao adalah berkisar antara 7,00 – 8,72. Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut E. cottonii berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2.

Hasil kedalaman air selama penelitian yaitu berkisar antara 2-4 meter diatas dasar laut. Hal ini dianggap menguntungkan bagi pertumbuhan rumput laut E. cottonii, hal ini sesuai dengan pendapat Poncomulyo, dkk. (2006) bahwa kedalaman air yang ideal untuk pertumbuhan rumput laut E. cottonii berkisar antara 30 – 50 cm pada saat surut terendah.

Kecerahan air yang diukur selama penelitian berkisar antara 4-5 meter, kondisi cukup baik dimana menurut Aslant (1998), kondisi air yang jernih dalam budidaya rumput laut dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 meter cukup baik untu pertumbuhan rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thalus merupakan faktor utama dalam fotosintesis.

Dasar perairan pada lokasi penelitian memeliki tipe substrat dasar berpasir dan berlumpur dimana hal ini mendukung pertumbuhan rumput laut, sejalan dengan pendapat Ghufran dan Khordi, (2011), jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Rumput laut bibit vegetatifyang

dibudidayakan pertumbuhan rumput laut lebih cepat dibanding dengan bibit konvensional.

2. Rumput laut bibit vegetatif yang dibudidayakan memiliki lebih banyak

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

52 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

kandungan karaginan dibanding dengan bibit konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawati, 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya.Bharata: Jakarta

Aslan, L. M., 2006. Budidaya Rumput Laut. Kanisius . Yogyakarta.

Anggadiredja, J, T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Anugarah, 1990. Potensi dan Pengembangan Budidaya Perairan di Indonesia. Lembaga penelitian Indonesia. Jakarta.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, (2000). Mataram. Nusa Tenggara Barat.

DeMan JM. 1989. Kimia Makanan. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari : Pticiples of Food Chemistry. Hlm 190 – 212

Doty, M.S,. 1985.Eucheuma alvarezii sp. Nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia In. I.A.Abbot and J.N. Noris Eds. Taxonomy Economig Seaweeds. California sea College Program: 37-45

Glicksman M. 1983. Food Hhydrocolids.Volume II. CRC Press, Inc. Boca raton Florida.

Indriani, H., dan Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7) Penebar Swadaya, Jakarta.

Kadi, A. 1990. Inventarisasi Rumput Laut di Teluk Tering dalam Perairan Pulau Bangka, (ed)

Poncomulyo, Taurino. Budidaya dan pengolahan rumput laut. AgroMedia. Jakarta, 2006.

Setyati, A. W., 2003. Pemasaran Budidaya Rumput Laut.Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Universitas Diponegoro Semarang. Semarang.

Sediadi A, dan U Budiardjo.,. "Rumput Laut Komoditas Unggulan." Grasindo, Jakarta., 1998: Hal 30.

Sediadi dan Budihardjo. Rumput Laut Komuditas Unggulan. Grasindo Jakarta, 2000.

Soegiarto. A., Sulistijo., Atmadja., Mubarak, H., 1989. Rumput Laut (Algae), Manfaat, Potensi dan Usaha Budidaya. LON, LIPI. Jakarta. 83 hal.

Suptijah, 2002. Rumput Laut. http:// www.rumput laut /com. Institut pertanian Bogor. Bogor

Suryaningrum., D., Murdinah., Arifin M. 2000. Penggunaan kappa-karaginan sebagai bahan penstabil pada pembuatan fish meat loaf dari ikan tongkol (Euthyinnus pelamys. L). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol: 8/6.

Supit. "Karakteristik Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Eucheuma alvaresi (Doti) yang Berwarna Abu-abu . Coklat Hijau yang di tanam di coba Lambangan Pasir Pulau Pari." Skripsi. Institut Pertanian Bogor, 1989: Hal 15-18

Sujatmiko dan Angkas., 2000. Teknik Budidaya Rumput Laut Dengan Metode Tali Panjang

Sutrian, Y. 2004. Pengantar Anatomi Tumbuhan-Tumbuhan Tentang Jaringan Sel dan Jaringan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

53 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT (Kappaphicus alvarezii) DARI BIBIT VEGETATIF

YANG DIBUDIDAYA DI PERAIRAN BATUBAO

Y. R. TaguPati¹, Marcelien Dj. R.Oedjoe² dan Lumban N. L. Toruan2 1)Mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana

2)Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana

Abstrak - Penelitian ini Telah dilakukan Perairan Pantai Batubao terletak di Desa Tesabela, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Wilayah perairan Batubao, yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut E. Cottonii dari bibit bibit vegetatif dan mengetahui kandungan karaginan rumput laut E. Cottonii dari bibit vegetatif. Telah digunakan rancangan percobaan Uji T dengan membandingkan hasil turunan petikan thalus dengan rumput laut yang dijadikan kontrol. Data penelitian dianalilis mengunakan Uji-T untuk mengetahui pengaruh terhadap pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut. Hasil penelitian bibit petikan thalus yang di budidayakan membuktikan bahwa pertumbuhan lebih cepat dan bibit petikan thalus yang di budidayakan memiliki lebih banyak kandungan karaginan. Kata Kunci : Rumput Laut K. alvarezii, bibit vegetatif, pertumbuhan dan kandungan

keragianan

I. PENDAHULUAN

Rumput laut merupakan komoditi hasil perikanan bukan ikan (non fishes). Rumput laut juga merupakan komoditi ekspor hasil perikanan yang tingkat pengusaha masih tergolong rendah dibandingkan dengan usaha budidaya udang, ikan maupun moluska. Budidaya memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan produksi perikanan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gisi serta memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan luar negeri, memperluas lapangan pekerjaaan, meningkatkan pendapat dan kesejahteraan nelayan dan petani ikan serta menjaga kelestarian sumber hayati perairan (Aslan, 2006).

Ada beberapa aspek yang dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut seperti berat bibit yang digunakan pada saat penanaman. Pada umumnya para petani rumput laut di Desa Batubao hanya berharap pada pertumbuhan alami dan tidak ada usaha untuk mempercepat laju pertumbuhan, hal ini karena petani belum sepenuhnya memperhitungkan berat bibit pada saat penanaman yang sesuai sehingga pertumbuhan rumput laut tidak

begitu optimal, bahkan rumput laut yang patah akibat hempasan ombak atau rumput laut yang patah karena tidak dapat menahan berat tanaman.

Perairan Batubao merupakan daerah yang sangat strategis untuk budidaya rumput laut, karena perairan di sekitar pesisir Batubao Belum mengalami pencemaran. Namun pertumbuhan rumput laut saat ini di perairan Batubao menurun diduga karena pengunaan bibit yang berulang-ulang setiap tahun. Beberapa faktor yang juga mempengaruhi menurunya produksi rumput laut di perairan ini antara lain kurangnya perawatan terhadap rumput laut, metode yang digunakan juga belum teratur, penempatan tempat rumput laut juga masih sembarangan penempatan, dan ada juga pengaruh penyakit ice-ice yaitu terjadinya perubahan lingkungan yang tampak ekstrim seperti : suhu, kecerahan, arus, dan kedalaman yang memungkinkan mikroba hidup dan berkembang (Sediadi dan Budiarjo, 1998).

Kualitas bibit merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha budidaya rumput laut. Memilih bibit yang berkualitas juga merupakan kendala yang sering ditemui di suatu wilayah karena pada umumnya

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

54 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

pembudidaya rumput laut sudah terbiasa menggunakan bibit dari hasil budidaya mereka sendiri . Berdasarkan hal-hal diatas maka penelitian ini akan mengkaji Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut (K. alvarezii) dari Bibit Vegetatif yang dibudidaya di Perairan Batubao.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah di laksanakan di Perairan Pantai Batubao Desa Tesabela, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Pemeliharaan rumput laut (pengamatan) ini dilakukan selama tiga bulan dimulai dari awal bulan April 2017 sampai selesai.

2.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu termometer Air (˚C) Untuk mengukur suhu air, pH meter untuk mengukur pH air, Timbangan (Kg) Untuk menimbang berat bibit rumput laut, Refraktometer untuk mengukur salinitas perairan, gunting untuk memotong bibit rumput laut, Pena dan Buku, untuk mencacat data yang ada, Keranjang untuk menampung rumput laut, Kamera untuk dokumentasi pada penelitian. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu tali nilon ukuran 4 dan 1,5 mili untuk mengikat rumput laut, Rumput laut jenis K. alvarezii bibit yang akan di pakai untuk penelitian.

2.3 Prosedur Kerja

Tahap pelaksanaan penelitian ini yakni dilakukan secara reproduksi aseksual dimana setiap bagian rumput laut dipotong akan menjadi rumput laut muda yang dilakukan budidaya untuk pengamatan pertumbuhan rumput laut dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii yang dibudidyakan di perairan Batubao. 1. Penyediaan bibit rumput laut

Bibit rumput laut yang digunakan adalah petikan bibit rumput laut dari pendahuluan pra penelitian di gunting

dan di timbang 100 gram dan di ikat pada tali yang sudah di sediakan. Bibit yang digunakan adalah bibit yang diseleksi dari vegetatif 1 dan vegetative 2, dengan ciri-ciri bibit yang baik yaitu menpunyai cabang yang banyak, warna cerah, bagian ujung rumput laut masih muda. Setelah vegetatif 1 dan fegetatif 2 diseleksi rumput laut di ikat dan dibudidaya selama 25 hari untuk mendapatkan bibit rumput laut dari bibit vegetatif, dari hasil bibit rumput laut petikan thalus tersebut diseleksi lagi sebanyak 100 gram untuk dibudidaya selama 25 hari untuk mendapatkan bibit vegetatif berikutnya. Hasil dari petikan thalus berikutnya ini diambil lagi 100 gram dan dibudidaya selama 45 hari bersamaan dengan kontrol untuk dibandingkan pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut.

2. Metode yang digunakan Metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut K. alvarezii adalah metode Long Line. metode budidaya dengan menggunakan tali sepanjang 25 meter yang kedua ujungnya dipasang jangkar.

3. Perawatan dan pemeliharaan Metode perawatan yang akan dilaksanakan selama penelitian adalah pembersihan thalus rumput laut dari tumbuhan liar dan lumpur yang menempel, membersihkan tali dari sampah atau tumbuhan liar, dan tanaman rumput laut diperiksa dan dibersihkan.

Rumput laut yang sudah dipanen akan dijemur sampai kering, kemudian dicuci untuk mengurangi kadar garam dan kemudian dijemur kembali hingga kering. Rumput laut K. alvarezii yang sudah kering dipotong kecil-kecil dan diblender tujuannya untuk menghaluskan rumput laut, rumput laut yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 5g kemudian dicuci sampai bersih mengunakan air biasa. Rumput laut K. alvarezii yang sudah bersihkan direndam menggunakan larutan aquades sebanyak 100 mililiter selama 20 menit, rumput laut yang sudah direndam dicuci lagi dan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

55 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

dituangkan pada tabung elemaiyer untuk dicampur larutan aquathes sebanyak 150 mililiter dan larutan KOH sebanyak 3 mililiter dan selanjutnya akan direbus mengunakan hot plate. Selama perebusan rumput laut harus diaduk terus menerus sampai menjadi bubur, rumput laut yang sudah menjadi bubur disaring menggunakan kain kasa untuk mendapatkan getah rumput laut. Hasil filtrasi rumput laut yang sudah disaring dicampur dengan larutan ethanol sebanyak 25 mililiter untuk diendapkan atau diaduk-aduk dan didiamkan selama 5 menit. Hasil endapan dikeringkan menggunakan sinar matahari yang dijemur sampai endapan menjadi kering.

2.4 Parameter yang Dihitung

2.4.1 Pertumbuhan Mutlak

Salah satu parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan mutlak dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Zonneveld (1999) yaitu:

W = Wt-Wo

W : Pertumbuhan mutlak Wt : Berat basah Rumput laut Akhir

Penelitian W0 : Berat Basah RumputLaut Pada

Awal Peneitian

2.4.2 Kandungan Karagenan

Untuk mengukur persentase kandungan karagenan rumput laut digunakan rumus sebagai berikut (Sunarto 1978) :

x100%RumputLautSampelBerat

KaraginanBeratKaraginanKandungan

2.5 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan menggunakan Uji T dengan membandingkan bibit vegetatif dengan rumput laut yang dijadikan kontrol. Rumput laut laut K. alvarezii yang dibudidayakan di perairan Batubao.

2.6 Analisis Data

Data yang diperoleh selama penelitian dianalilis mengunakan Uji-T untuk mengetahui pengaruh terhadap pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pertumbuhan Rumput Laut K. alvarezii

Rata-rata laju pertumbuhan rumput laut K. alvarezii dari bibit vegetatif dalam

penelitian ini dapat dirincikan melalui tabel berikut Tabel 1. Rata-rata laju pertumbuhan rumput

laut dari bibit vegetatif dengan hasil kontrol

Rumput Laut Tingkat

Pertumbuhan

1. Bibit vegetatif 645 g/hari ± 36,19

2. Hasil kontrol 620 g/hari ± 15,25

Tabel di atas menunjukan adanya

perbedaan pertumbuhan rumput laut dari bibit vegetatif dan Kontrol. pertumbuhan rumput laut paling tinggi pada bibit vegetatif sebesar 645 g/hari ± 36,19 sedangkan yang terendah adalah kontrol sebesar 620 g/hari ± 15,25.

Berdasarkan hasil Uji T hingga taraf 0,01% pertumbuhan mutlak rumput laut menunjukan ada pengaruh sangat nyata yaitu (t-hitung > t-tabel) ( 3,48 > 1,67) terhadap pertumbuhan. Tingginya laju

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

56 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

pertumbuhan mutlak rumput laut K. alvarezii pada hasil pembibitan rumput laut dari petikan thalus yang dibudidayakan selama 45 hari di perairan Pantai Batubao dengan laju pertumbuhan yaitu 645 g/hari ±36,19 sedangkan laju pertumbuhan pada kontrol sebesar 620 g/hari ± 15,25. Hasil di atas menunjukan bahwa ada perbedaan pertumbuhan antara rumput laut dari bibit hasil petikan thalus dan rumput laut hasil dari kontrol, karena menggunakan bibit rumput laut dari hasil teknik pembibitan yang dipetik secara berulang. Rumput laut yang telah mengalami proses adaptasi kemudian mengalami fase pertumbuhan yang cepat dan terjadi penurunan kemampuan pertumbuhan sel menyebabkan pertumbuhan lambat.

Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mendukung seperti air lautnya tidak tercemar, metode penanaman, dan juga kualitas air yang mendukung. Menurut Aslan (2006) menyatakan rumput laut tumbuh dengan proses penyerapan secara aktif dan penyerapan pasif. Terjadi penyerapan aktif pada rumput laut karena transpirasi secara langsung dan dipengaruhi oleh lingkungan. Sedangkan penyerapan pasif adalah penyerapan yang terjadi karena adanya transpirasi cepat yang merupakan respon balik oleh rumput laut terhadap lingkungan, cahaya, salinitas, suhu, dan kecepatan arus.

Bibit rumput laut petikan thalus merupakan petikan bibit rumput laut pada umur 25 hari yang dipelihara selama 25 hari. Pada umur tertentu rumput laut dapat bertumbuh lebih cepat karena thalus rumput laut pada umur muda memeliki jaringan meristem lebih banyak dibanding bagian tallus yang berumur lebih tua. Untuk itu metode petik bibit secara berulang sebanyak tiga kali yang disebut sebagai metode petikan thalus dapat meningkatkan pertumbuhan dan kandungan karaginan dengan rumput laut K. alvarezii .

Pertumbuhan alga dikenal dengan The Apical Cell Teorry atau teori sel ujung yaitu tumbuhan-tumbuhan yang kenyataannya banyak menggandung sel aplikal dengan

sifatnya yang sendiri, pada pucuk talus terdapat sel initial. Sel initial ini kegiatannya selalu membelah untuk membentuk sel baru (Sutrian, 2004).

Hal ini diduga rumput laut jenis K. alvarezii mengalami pertumbuhan yang sangat siknifikan pada umur 30 hari, pada umur tersebut rumput laut harus dilakukan pemanenan untuk mendapatkan hasil pertumbuhan yang optimal. Karena rumput laut mulai mengalami kejenuhan dalam proses pertumbuhan. Selain itu thallus mudah patah dan mudah diserang penyakit sehingga pertumbuhan menurun. Rumput laut jenis K. alvarezii baik dipanen pada umur 30 hari (lebih awal). Karena pada umur tersebut rumput laut mengalami pertumbuhan yang bagus dan tidak mampu mempertahankan thallusnya setelah melewati 30 hari.

3.2 Kandungan Karaginan Rumput Laut K. alvarezii

Kandungan Karaginan Rumput Laut K. alvarezii dari hasil ujicoba melalui bibit petikan thalus dapat dirincikan melalui tabel berikut.

Tabel 2. Kandungan Karaginan Rumput

Laut K. alvarezii

Rumput laut Jumlah karaginan

1. Bibit Vegetatif 37,4%/hari ± 0,22

2. Hasil dari control 33,3 %/hari ± 0,21

Dari gambar di atas merupakan hasil ekstraks rumput laut yang dilakukan di laboratorium Fakultas Kelautan dan Perikanan yang dijalankan selama 1 minggu menunjukkan bahwa kandungan karaginan dari setiap rumput laut yang dibudidaya memiliki nilai karaginan yang berbeda. Total berat kering karaginan dari bibit vegetatif keseluruhan rumput laut yang diekstraks sebesar 36 gram, sedangkan total berat kering karaginan hasil dari kontrol keseluruhan rumput laut yang diekstraks sebesar 32 gram.

Rendahnya kandungan karaginan pada Kontrol disebabkan rumput laut pada saat

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

57 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

panen banyak alga yang menempel pada rumput laut yang mengakibatkan rumput laut tidak bisa menerima sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis sehingga mengalami batang berlendir atau yang lebih dikenal penyakit ice – ice yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan perairan budidaya. Hal ini diduga yang mengakibatkan rendahnya presentase kandungan karaginan. Mubarak(1994) dalam penelitianya mengemukakan bahwa kadar karaginan sangat dipengaruhi oleh kondisi setempat, dimana siklus hidup rumput laut berperan dalam menentukan kualitas karaginan. Syaputra (2005) menyatakan bahwa kandungan karaginan dari rumput laut sangat bervariasi tergantung spesies, tahap pertumbuhan dan lingkungan setempat.

Berdasarkan Hasil analisis Uji T hingga taraf 0,01% menunjukan bahwa ada perbedaan bibit rumput laut hasil dari petikan thalusberpengaruh sangat nyata yaitu (t-hitung > t-tabel) (2,44 > 1,67) terhadap karaginan rumput laut. Dari hasil ekstraks rumput laut di atas pada tabel 4 menunjukan bahwa kandungan karaginan pada dua perlakuan yaitu bibit vegetatif dan hasil kontrol memiliki nilai yang berbeda. Hal ini diduga bahwa bibit bibit vegetatif dapat memacu tingginya karaginan serta ketersediaan unsur hara yang mendukung pertumbuhan rumput laut. Rumput laut K. alvarezii hasil bibit petikan thalus yang dibudidayakan tidak memiliki perbedaan yang jauh di mana kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii hasil bibit dari bibit vegetatif yang dibudidayakan berkisar antara 37,4% ± 0,22. Sedangkan kandungan karaginan rumput laut hasil kontrol yang dibudidayakan berkisar antara 33,3% ± 0,21.

Tingkat kandungan karaginan antara bibit hasil dari bibit vegetatif dan hasil rumput laut kontrol diduga karena penggunaan bibit yang berbeda yaitu bibit rumput laut hasil pembibitan vegetatif dan bibit rumput laut kontrol tidak dipetik secara berulang kemudian dipelihara lagi bersamaan kontrol selama 45 hari sehingga menghasilkan

tingginya kandungan karaginan rumput laut (K. alvarezii ) yang berbeda.

Berdasarkan Hasil pengamatan menunjukan pertumbuhan thalus rumput laut pada penelitian ini cukup baik yaitu ukuran thalus yang gemuk dan mempunyai jumlah cabang yang banyak, sehingga menghasilkan karaginan yang tinggi. Menurut Apriyana (2006) bahwa selain faktor lingkungan, faktor internal juga berperan bagi pembentukan kandungan karaginan antara lain faktor umur, lingkungan perairan, pertumbuhan thallus dan jumlah cabang yang banyak akan menghasilkan karaginan dengan kadar tinggi.

Berdasarkan hasil ekstraks rumput laut yang telah dilakukan di laboratorium Fakultas Kelautan dan perikanan selama 1 minggu. Karaginan rumput laut dianalisis kandungan proksimak untuk mengetahui kadar gizi yang ada pada karaginan rumput laut. Proksimak rumput laut telah dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Politeknik Pertanian Negeri Kupang, antara lain prosimak yang dihasilkan dari bibit vegetatif yaitu kadar protein sebesar 1,05%, kadar lemak sebesar 0,96 %, kadar abu sebesar 24,53 %, kadar air sebesar 16,68 %, dan kadar karbohidrat sebesar 56,78 %, proksimat yang dihasilkan dari hasil karaginan kontrol yaitu kadar protein sebesar 1,54 %, kadar lemak sebesar 1,08 %, kadar abu sebesar 22,17 %, kadar air sebesar 16,78 %, dan kadar karbohidrat sebesar 58,43 %. Rendamen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar persyaratan rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan RI, yaitu minimum sebesar 25% (Syamsuar, 2006).

Menurut Rigney dan Dawes (1981), bahwa umur tanaman sangat berpengaruh terhadap kandungan kadar karaginan dan komposisi lainnya. Selain itu juga kondisi lingkungan perairan terutama ketersediaan unsur hara yang mendukung pertumbuhan rumput laut terutama terhadap kandungan karaginan, berbeda pada setiap kedalaman.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

58 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Hasil penelitian Pamungkas (1987) menunjukan bahwa rendaman dan viskositas karaginan tertinggi diperoleh dari K. alvarezii yang dipanen pada umur 45 hari.

3.3 Parameter Kualitas Air Di Lokasi Budidaya

Rumput laut merupakan suatu organisme laut yang memerlukan lingkungan untuk tumbuh dan berkembang biak. Pertumbuhan rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi seperti parameter fisika, kimia, dan biologi. Penentuan lokasi untuk budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan pengamatan karakteristik perairan sebagai syarat tumbuh rumput laut.Kondisi ekologis perairan yang terdiri dari parameter fisika, kimia, dan biologi perairan.

Kisaran parameter kualitas air selama penelitian seperti yang tertera pada tabel di atas berada pada kisaran yang layak untuk pertumbuhan rumput laut (E. cottonii). Dasar perairan pada lokasi penelitian memeliki tipe substrat dasar berpasir dan berlumpur dimana hal ini mendukung pertumbuhan rumput laut, jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh rumput laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bibit hasil dari F4 yang dibudidayakan di

perairan Batubao dapat meningkatkan pertumbuhan rumput laut lebih cepat.

2. Bibit rumput laut bibit vegetatif yang dibudidayakan memiliki lebih banyak kandungan karaginan.

4.2 Saran

1. Dalam meningkatkan pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut perlu diperhatikan kondisi dari bibit rumput laut yang dipakai untuk budidaya.

2. Perlu diperhatikan kondisi lingkungan perairan tempat dilakukan budidaya rumput laut, dan parameter kualitas air pada perairan Pantai Batubao.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyana. 2006. Studi hubungan Karakteristik Habitat terhadap Kelayakan pertumbuhan dan kandungan Karaginan Alga Eucheuma spinosum di Perairan kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2000. Mataram Nusa Tenggara Barat.

Hellebest and Crugie. 1978. Marine Culture Media. Di dalam:Anderson R.A. Editor, Algae Cultural Techniques. USA: Elsevier Academic Press.

Indriani, H. dan Sumarsih, E. 1994. Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut Penebar Swadaya Jakarta.

Mubarak. 1994. Percobaan Budidaya Rumput Laut Eucheuma spinosum di Perairan Lorok Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Perikanan Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan

Rakhmawati. 2006. Proses Ekstraksi Pembuatan Karaginan dari Rumput laut Eucheuma cottonii. Makasar.

Rigney dan Dawes. 1981. Seasonal and reproductive aspect of plant chemistry and I-carrageenan from floridean Eucheuma (Rhodophyta, Gigartinales).

Sediadi, A. dan Budiardjo, U. 1998. "Rumput Laut Komoditas Unggulan." Grasindo Jakarta.

Setyati, A. W. 2003. Pemasaran Budidaya Rumput Laut. Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Universitas Diponegoro Semarang.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

59 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Sulistijo. 1977. Perkembangan budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang Oseanografi. Jakarta.

Sunarto. 1978. Peranan cahaya dalam proses produksi di laut. Fakultas Perikanan dan ilmu kelautan, Universitas Padjajaran. Bandung.

Sutrian, Y. 2004. Pengantar Anatomi Tumbuhan-Tumbuhan Tentang Jaringan sel dan jaringan. Jakarta PT Rineka Cipta.

Syahputra. 2005. Pertumbuhan dan kandungan karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Syamsuar. 2006. karakteristik Karaginan Rumput laut E. cottonii Pada Berbagai Umur Panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi.

Yasinta dan Rachmawati. 2009. Optimasi Proses Ekstraksi pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Mencapai Foodgrade. Universitas Diponegoro. Semarang.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

60 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KELOMPOK

MANAJEMEN SUMBERDAYA

PERAIRAN

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

60 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

STATUS LAMUN KAWASAN BUANO UTARA, PROVINSI MALUKU

SEAGRASS STATUS OF NORTH BUANO, MALUKU PROVINCE

Frederik Willem Ayal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura

Abstrak - Pulau Buano dan perairannya telah diinisasi untuk dikembangkan menjadi kawasan konservasi. Hal ini dilakukan mengingat kawasan ini memiliki sejumlah nilai penting yang berkaitan dengan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan kawasan beserta sumber daya pesisir yang ada di dalamnya. Kawasan Buano Utara merupakan bagian dari Pulau Buano yang juga memiliki kekayaan ekosistem pesisir beserta biota asosiatifnya. Salah satu dari ekosistem dimaksud yaitu padang lamun. Ekosistem ini memang memiliki nilai ekonomis yang rendah namun bermanfaat secara ekologis. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi komposisi spesies lamun, menghitung kerapatan spesies lamun, menghitung presentasi penutupan lamun serta menentukan status lamun di kawasan ini. Spesies lamun dikoleksi menggunakan transek linier kuadrat. Nilai komposisi, kerapatan dan persentasi penutupan lamun dihitung mengikuti referensi English et al., 1994. Sedangkan kondisi status lamun merujuk Kepmen LH No. 200 tahun 2004. Hasil penelitian menunjukkan secara umum ditemukan tujuh spesies lamun pada kawasan ini. Jumlah spesies terbanyak ditemukan di Pulau Kelapa dan Perairan Batu Butih sebanyak enam spesies sedangkan yang paling sedikit ditemukan di Pulau Pua dan Pulau Kasuari sebanyak tiga spesies. Rata-rata kerapatan lamun tertinggi ditemukan di Perairan Batusuan sebesar 248,3 ind/m2 sedangkan terendah di Pulau Kasuari mencapai 57,8 ind/m2. Persen tutupan lamun berkisar 50,19% sampai 72,44%. Status lamun pada kawasan Buano Utara terdiri dari Kaya/Sehat pada tiga titik sampling yaitu Pulau Kelapa, Pulau Pua dan Perairan Batu Butih sedangkan Kurang Kaya/Kurang Sehat pada Pulau Kasuari dan Perairan Batusuan. Kondisi ini dapat menjadi data awal pengelolaan padang lamun Kawasan Buano Utara sebagai bagian dari kawasan konservasi. Pendekatan rehabilitasi/replantasi perlu dilakukan pada titik dengan status lamun kurang kaya/kurang sehat sementara bagi titik dengan status sehat/kaya dapat terus dipertahankan tetapi juga dapat dikembangkan dengan kegiatan ekowisata lamun. Kata kunci: Status lamun, Buano Utara Abstract - As a part of an area that have been initiated to be developed into conservation area, North Buano area is part of Buano Island that also has a wealth of coastal ecosystems and associative biota. One of the ecosystems is seagrass beds. This ecosystem does have a low economic value but is ecologically useful. The purpose of this study is to identify the species composition of seagrass, calculate the density of seagrass, calculate the presentation of seagrass closure and determine the status of seagrass in the region. Seagrass species are collected using linear quadratic transects. The value of composition, density and percentage of seagrass closure was calculated following the reference of English et al., 1994. Whereas the status of seagrass status referred to the KEPMEN LH No. 200/2004. The results showed that there were generally found seven seagrass species in this region. The highest number of species were found in Kelapa Island and Batu Butih Waters as many as six species while the least found in Pua Island and Kasuari Island were three species. The highest average seagrass density was found in Batusuan waters of 248.3 ind/m2 while the lowest in Kasuari Island reached 57.8 ind/m2. Percentage of seagrass cover ranges from 50.19% to 72.44%. Seagrass status in the North Buano region consists of Rich/Healthy at three sampling points, namely Kelapa Island, Pua Island and Batu Butih Waters while Less Rich/Less Healthy on Kasuari

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

61 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Island and Batusuan Island. This condition can be the initial data for the management of seagrass beds in North Buano Region as part of a conservation area. Rehabilitation/replantation approaches need to be done at areas with less rich/less healthy seagrass status while for areas with healthy/rich status can be maintained but can also be developed with seagrass ecotourism activities. Keywords: Seagrass status, North Buano.

I. PENDAHULUAN

Dalam rangka mencapai target capaian luasan kawasan konservasi pesisir dan laut Provinsi Maluku pada tahun 2020 sebesar 1 juta hektar, maka Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku berupaya untuk melaksanakan tahapan penetapan Kawasan Konservasi Perairan (KKP)/Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) sebagaimana diatur di dalam Permen Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Saat ini di Provinsi Maluku tercatat baru empat kawasan yang sudah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan-RI (KKP-RI) menjadi kawasan konservasi perairan. Kawasan-kawasan dimaksud yaitu: 1) Kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Aru Bagian Tenggara dengan luasan mencapai 114.000 hektar; 2) Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda dengan luasan 2.500 hektar; 3) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kei Kecil Barat dengan luasan 150.000 hektar dan; 4) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Pulau Koon dan sekitarnya dengan luasan 9.901 hektar. Untuk kawasan yang pertama dan kedua dikelola langsung oleh KKP-RI sementara untuk kawasan yang ketiga dan keempat dikelola oleh Pemerintah Provinsi Maluku. Jika dijumlahkan maka sampai saat ini, luasan kawasan konservasi perairan yang sudah ditetapkan bahkan belum mencapai setengah dari yang ditargetkan. Oleh karena itulah maka Pemerintah Provinsi Maluku bersama pemangku kepentingan konservasi terkait lainnya, terus mendorong untuk percepatan kawasan-kawasan yang sudah berada pada

tahapan identifikasi, inisiasi, pencadangan maupun kawasan-kawasan potensial baru lainnya untuk diproses, sesuai pentahapannya, agar ditetapkan menjadi kawasan konservasi perairan.

Kawasan Pulau Buano, terletak pada bagian Utara Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu kawasan yang sudah diinisiasi untuk dikembangkan menjadi kawasan konservasi perairan. Inisiasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan seperti LSM, pihak Perguruan Tinggi (UNPATTI) dan masyarakat, selanjutnya direspon oleh pemerintah untuk secara bersama melakukan identifikasi dan penilaian potensi calon KKP/KKP3K, sesuai aturan yang ditetapkan. Salah satu potensi yang perlu juga untuk dinilai yaitu status lamun di kawasan Buano Utara, yang merupakan bagian dari kawasan Pulau Buano. Untuk itulah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) mengidentifikasi komposisi spesies lamun; (2) menghitung kerapatan spesies lamun; 3) menghitung presentasi penutupan lamun serta; (4) menentukan status lamun di kawasan ini. Informasi yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan menjadi data dasar dalam menilai kelayakan Pulau Buano untuk diusulkan menjadi kawasan konservasi perairan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2017 dan mengambil tempat pada Pulau Buano dan sekitarnya. Pengumpulan data padang lamun dapat dilakukan melalui interpretasi citra penginderaan jauh dan survei lapangan. Hasil interpretasi citra satelit berupa peta tentatif sebaran padang lamun yang selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam penentuan titik lokasi survei

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

62 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

lapangan. Data luasan padang lamun di Pulau Buano juga diperoleh berdasarkan interpretasi data citra dan pengukuran di lapangan.

Untuk survei lapangan, pengamatan padang lamun dilakukan menggunakan metode transek kuadrat. Metode ini mengacu pada metode Seagrass Watch (MacKenzie, 2008) yang umum dipakai dalam pengamatan struktur komunitas padang lamun. Line transect block dibentangkan tegak lurus terhadap garis pantai dimulai dari pertamanya ditemukan lamun sampai sejauh mendekati tubir ke arah laut. Di setiap stasiun pengamatan terdapat tujuah sampai delapan line transect dengan jarak antar transek yaitu 100 meter. Dalam setiap transek selanjutnya diletakan petak pengamatan berbentuk bujursangkar ukuran 1 m x 1 m. Jarak antara petak pengamatan ke arah laut yaitu rata-rata 10 m, sesuai dimana lamun masih ditemukan. Pengamatan didukung dengan kamera bawah air (underwater camera).

Pengamatan lamun meliputi jenis, jumlah tegakan, kerapatan dan persen tutupan lamun. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan transect quadrant 1 x 1 m dibagi menjadi 100 kisi dengan ukuran kisi yaitu 10 x 10 cm. Untuk memudahkan pengamatan jenis digunakan buku katalog morfologi lamun. Berbagai organsme asosiatif yang ditemukan saat sampling lamun juga direkam untuk kemudian dicatat.

Berbagai informasi yang mendukung juga direkam saat proses pengambilan data lamun. Informasi yang dimaksud seperti berbagai aktivitas yang terjadi di sekitar kawasan baik yang berkontribusi posisif maupun yang memberikan ancaman bagi kelestarian ekosistem lamun, keberadaan bahan-bahan pencemar, keberadaan organisme yang dilindungi dan aktivitas lainnya.

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah individu secara

keseluruhan. Komposisi jenis lamun dihitung dengan menggunakan rumus:

𝐊𝐢 = 𝐧𝐢

𝐍 𝐱 𝟏𝟎𝟎%

Keterangan: Ki = komposisi jenis ke-i (%) ni = jumlah individu jenis ke-i (ind) N = jumlah total individu (ind).

Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah total

individu suatu jenis lamun dalam unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus:

𝑲𝒊 = ∑𝒏𝒊

𝑨

𝒑

𝒊=𝟏

Keterangan: Ki : Kerapatan jenis ke-i (ind/m2) ni : Jumlah individu atau tegakan

dalam transek ke-i (ind) A : Luas total pengambilan sampel

(m2)

Hasil yang diperoleh dari metode ini adalah persentase tutupan relatif (English et al, 1994). Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan lamun. Persentase penutupan lamun ditentukan berdasarkan rumus:

𝐂 = ∑ 𝐌𝐢 𝐱 𝐅𝐢 / 𝐟

𝐧

𝐢=𝟏

Keterangan: C : Nilai persentase penutupan lamun

(%) Mi : Nilai tengah kelas penutupan ke-i

Fi : Frekuensi munculnya kelas penutupan ke-i

f

: Jumlah total frekuensi penutupan kelas

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

63 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 1. Status Padang Lamun (Kepmen LH No. 200 Tahun 2004)

PARAMETER KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN

(dalam %)

Prosentase Luas Tutupan Padang Lamun

Rusak Miskin < 29,9

Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59,9

Baik Kaya/sehat > 60

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejumlah titik ditentukan untuk memverifikasi data lamun pada kawasan Buano Utara yaitu ekosistem lamun Pulau Kelapa, Pulau Pua, Pulau Kasuari, Batusuan dan Batu Putih. Hasil analisis data citra serta setelah dilakukan pengoreksian di lapangan menemukan bahwa luas padang lamun di Pulau Buano beserta pulau-pulau kecil sekitarnya mencapai 79,56 hektar.

3.1 Deskripsi Umum Titik Pengambilan Sampel Kondisi substrat dasar perairan yang

menjadi habitat komunitas lamun di Pulau Kelapa yaitu lumpur berpasir dan pasir, dengan dominansi substrat berpasir. Pengambilan sampel di antaranya dilakukan pada titik 02°54’57,0”LS dan 127°54’33,0”BT. Sementara di Pulau Pua, substrat dasar perairan yang menjadi habitat komunitas lamun yaitu lumpur berpasir. Pengambilan sampel di antaranya dilakukan pada titik 02°56’07,3”LS dan 127°53’27,2”BT.

Pulau Kasuari berdekatan dengan Pulau Kelapa dan Pulau Pua. Agak berbeda dengan dua pulau sebelumnya, intensitas

aktivitas manusia/penduduk cukup tinggi di pulau ini dikarenakan pulau ini merupakan pulau berpenghuni. Lokasi padang lamun di pulau ini sangat dekat dengan lokasi pemukiman (yang umumnya merupakan perumahan gantung di atas badan perairan), merupakan aktivitas alur lalu lintas dan tambat labuh kapal tradisional dan berbagai aktivitas antropogenik lainnya. Kondisi substrat dasar perairan yang menjadi habitat komunitas lamun yaitu berpasir dengan sedikit lumpur. Pengambilan sampel di antaranya dilakukan pada titik 02°55’30,4”LS dan 127°54’04,2”BT.

Perairan Batusuan letaknya di sebelah ujung pemukiman Negeri Buano Utara. Kondisi substrat dasar perairan yang menjadi habitat komunitas lamun yaitu pasir berkarang. Pengambilan sampel dilakukan pada titik 03°00’07,0”LS dan 127°57’37,5”BT. Sementara kondisi substrat dasar perairan yang menjadi habitat komunitas lamun Batu Putih yaitu substrat berpasir. Kawasan Batu Putih adalah kawasan pantai yang masih cukup alami dikarenakan intensitas tekanan antropologi masih sangat rendah disini. Pengambilan sampel dilakukan di antaranya pada titik 02°59’08,3”LS dan 127°58’04,5”BT.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

64 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 1. Peta Pengambilan Sampel Lamun

3.2 Komposisi Spesies Hasil penelitian menunjukkan secara umum ditemukan tujuh spesies lamun pada kawasan ini. Jumlah spesies terbanyak ditemukan di Pulau Kelapa dan Perairan Batu Butih sebanyak enam spesies sedangkan yang paling sedikit ditemukan di Pulau Pua dan Pulau Kasuari sebanyak tiga spesies. Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih dominan

tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut (Azkab, 2006).

Tabel 2. Komposisi Spesies Lamun Yang Ditemukan di Buano Utara

No. Spesies Lamun

Komposisi Spesies (%)

P. Kelapa P. Pua P. Kasuari K.

Batusuan K.

Batu Putih

1. E. acoroides 6,88 14,99 16,27 3,59 3,91 2. T. hemprichii 18,03 42,42 41,58 16,46 8,89 3. H. ovalis 10,77 - - 9,20 14,31 4. S. isoetifolium 11,16 - - - 9,79 5. C. rotundata 40,12 42,59 42,15 34,60 27,72 6. H. uninervis 13,04 - - - - 7. H. pinifolia - - - 36,16 35,38

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

65 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Hasil penelitian menemukan tiga spesies lamun yang selalu hadir pada setiap titik stasiun pengamatan. Jenis-jenis lamun dimaksud yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea rotundata. Kiswara (2009) menulis bahwa ketiga spesies lamun ini dapat hadir secara bersamaan karena biasanya menyukai daerah mulai dari perairan dangkal yang selalu terbuka saat air surut dan mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah sampai pada perairan dengan kedalaman sedang atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar 1-5 meter. Substrat berlumpur maupun campuran dengan pasir juga merupakan preferensi spesies-spesies lamun tersebut.

Jenis H. pinifolia hanya ditemukan pada stasiun pengamatan Kawasan Batusuan dan Kawasan Batu Putih. Kehadiran jenis lamun H. pinifolia secara berkelompok dalam jumlah besar biasanya pada substrat berpasir, yang memang merupakan substrat dasar dominan kedua kawasan. Namun juga pada substrat berpasir dengan campuran karang. Jenis ini juga, secara zonasi lamun, biasanya berada pada zona paling belakang atau yang berbatasan dengan pantai. Lamun spesies ini mampu beradaptasi dengan wilayah pantai yang cukup lama tidak terendam dengan baik.

Selanjutnya spesies H. ovalis dan S. isoetifolium yang dalam survei di P. Kelapa,

Kawasan Batusuan dan Kawasan Batu Putih ditemukan hampir secara bersamaan zonasinya dikarenakan substrat berpasir yang merupakan preferensi spesies-spesies lamun ini memang berada lebih ke arah laut. Ke arah pantai, substratnya campuran lumpur dengan pasir.

3.3 Kerapatan Spesies

Kerapatan spesies lamun di Pulau Kelapa masih seiring dengan nilai komposisi spesies lamun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis C. rotundata cukup dominan di kawasan ini dengan nilai rata-rata kerapatan mencapai 76,5 individu/m2, sementara nilai rata-rata kerapatan jenis paling rendah yaitu untuk spesies E. acoroides yaitu 13,1 individu/m2. Sementara hasil penelitian di Pulau Pua menunjukkan bahwa nilai rata-rata kerapatan tertinggi diwakili oleh spesies C. rotundata dengan nilai 32,0 individu/m2, dan T. hemprichii mencapai 31,1 individu/m2. Masih sama dengan yang ditemukan di Pulau Kepala dan Pulau Pua, rata-rata kerapatan tertinggi di Pulau Kasuari ditemukan masih pada spesies C. rotundata memiliki nilai rata-rata kerapatan tertinggi yaitu 24,8 individu/m2, sementara nilai terendah pada spesies E. acoroides yaitu 9,1 individu/m2.

Tabel 2. Rata-Rata Kerapatan Spesies Lamun Yang Ditemukan di Buano Utara

No. Spesies Lamun

Rata-Rata Kerapatan Spesies (ind/m2)

P. Kelapa

P. Pua P. Kasuari K.

Batusuan K. Batu Putih

1. E. acoroides 13,1 11,1 9,1 8,9 8,2 2. T. hemprichii 34,1 31,1 23,9 41,1 18,7 3. H. ovalis 20,8 - - 22,8 30,0 4. S. isoetifolium 21,3 - - - 20,4 5. C. rotundata 76,5 32,0 24,8 86,3 57,7 6. H. uninervis 24,9 - - - - 7. H. pinifolia - - - 89,3 74,1

TOTAL 190,5 74,1 57,8 248,3 209,1

Berbeda dengan yang ditemukan pada ketiga stasiun pengamatan sebelumya, di Kawasan Batusuan dan Kawasan Batu

Putih, spesies H. pinifolia ditemukan dengan rata-rata kerapatan spesies tertinggi. Nilainya untuk kedua kawasan secara

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

66 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

berurutan yaitu 89,3 individu/m2 untuk kawasan Batusuan dan 74,1 individu/m2 untuk kawasan Batu Putih. Kehadiran spesies ini secara berkelompok dan dalam jumlah yang besar menjadi salah satu alasan spesies ini memiliki rata-rata nilai kerapatan spesies yang tinggi.

Secara umum, rata-rata total kerapatan lamun tertinggi ditemukan pada Kawasan Batusuan sebesar 248,3 individu/m2 dan Kawasan Batu Putih sebesar 209,1 individu/m2. Sementara rata-rata total kerapatan spesies terendah ditemukan pada Pulau Kasuari dengan nilai 57,8 individu/m2. Letak lokasi lamun yang berhadapan langsung dengan permukiman penduduk serta berbagai aktivitas penduduk yang berlangsung di atas habitat padang lamun pada perairan ini diduga menjadi penyebab rendahnya nilai ini.

3.4 Persen Tutupan

Persen tutupan lamun di Pulau Kelapa mencapai 72,44%. Nilai tutupan lamun per jenis yang paling tinggi ditemukan pada jenis C. rotundata yang mencapai 30,56%. Sementara nilai persen tutupan terendah ditemukan pada jenis H. uninervis yang mencapai 6,65%. Nilai persen tutupan yang tinggi ini juga diduga disumbangkan dari Pulau Kelapa merupakan pulau dengan tekanan antropogenik yang rendah di kawasan ini (teristimewa pada bagian Utara dan Timur) sehingga memberikan “ruang” bagi perkembangan lamun. Tentunya pengembangan dan pengelolaan pulau ini ke depannya diharapkan tetap mempertahankan kondisi alami lamun di perairan ini.

Sementara nilai persen tutupan lamun di Pulau Pua mencapai mencapai 60,44%. Nilai tutupan lamun per jenis yang paling tinggi ditemukan pada jenis T. hemprichii yang mencapai 22,66%. Sementara nilai persen tutupan terendah ditemukan pada jenis C. rotundata sebesar 17,43%. Nilai persen tutupan yang masih cukup tinggi ini juga diduga dikarenakan Pulau Pua juga masih sangat minim “disentuh” oleh

berbagai aktivitas manusia sehingga lamunnya juga dapat berkembang dengan baik.

Di sisi lain, nilai persen tutupan lamun di Pulau Kasuari hanya mencapai 50,19%. Nilai tutupan lamun per jenis tertinggi ditemukan pada jenis T. hemprichii sebesar 19,58%. Sementara nilai persen tutupan terendah ditemukan pada jenis E. acoroides yaitu 15,2%. Nilai persen tutupan yang rendah jika dibandingkan dengan persen tutupan lamun di Pulau Kelapa dan Pulau Pua ini, diduga dikarenakan padang lamun Pulau Kasuari sangat dekat dan terbuka dengan berbagai tekanan antropogenik. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian sehingga kondisi ini tidak semakin menurun ke depannya.

Pada perairan Batusuan, nilai persen tutupan lamun mencapai 58,92%. Nilai tutupan lamun per jenis yang paling tinggi ditemukan pada jenis C. rotundata yang mencapai 16,98%. Sementara nilai persen tutupan terendah ditemukan pada jenis E. acoroides yang mencapai 7,81%. Sementara untuk perairan Batu Putih, data persen tutupan lamun diperoleh mencapai 63,58%. Nilai tutupan lamun per jenis yang paling tinggi ditemukan pada jenis C. rotundata yang mencapai 17,98%. Sementara nilai persen tutupan terendah ditemukan pada jenis E. acoroides yang mencapai 5,65%.

3.5 Status Lamun

Persen tutupan lamun menjadi indikator penting dalam menentukan kesehatan padang lamun. Dalam konteks identifikasi kawasan konservasi, nilai ini juga menjadi indikator parameter dalam penentuan kelayakan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi perairan atau tidak. Status lamun yang didasari pada persen tutupan lamun selanjutnya akan menentukan pengelolaan ekosistem lamun pada suatu kawasan ke depannya. Berdasarkan hasil penelitian, status lamun di Kawasan Buano Utara terdiri atas dua

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

67 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

kriteria yaitu Kaya/Sehat dan Kurang Kaya/Kurang Sehat. Stasiun pengamatan dengan kriteria Kaya/Sehat yaitu di Pulau Kelapa (72,44%), Pulau Pua (60,44%) dan

Kawasan Batu Putih (63,58%). Sementara stasiun pengamatan dengan kriteria Kurang Kaya/Kurang Sehat yaitu Pulau Kasuari (50,19%) dan Kawasan Batusuan (58,92%).

Gambar 2. Status Lamun Buano Utara

Keterangan: = Kurang Kaya/Kurang Sehat = Kaya/ Sehat

3.6 Rekomendasi Pengelolaan

Berdasarkan bahasan sebelumnya di atas, maka rekomendasi pengelolaan secara deskriptif yang dapat diusulkan yaitu:

Untuk kawasan Pulau Kelapa, Pulau Pua dan Perairan Batu Putih dengan status lamun kaya/sehat dapat dikelola dengan pendekatan pengembangan ekowisata minat khusus lamun pada kawasan konservasi;

Untuk kawasan Pulau Kasuari dan Batusuan dengan status lamun kurang kaya/kurang sehat dapat dikelola

dengan pendekatan rehabilitasi /replantasi;

Jika nantinya dikembangkan menjadi kawasan konservasi, khusus untuk kawasan Pulau Kasuari, perlu untuk mengatur/menata aktivitas antropogenik supaya mengurangi tekanan terhadap habitat lamun.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

68 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

IV. KESIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini yaitu:

Tujuh spesies lamun ditemukan di Kawasan Buano Utara;

Tiga spesies lamun selalu hadir pada lima staisiun pengamatan yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea rotundata.

Ditemukan tiga kawasan dengan status lamun Sehat/Kaya yaitu Pulau Kelapa, Pulau Pua dan Perairan Batu Putih serta dua kawasan dengan staus lamun Kurang Sehat/Kurang Kaya yaitu kawasan Pulau Kasuari dan Batusuan.

DAFTAR PUSTAKA Azkab, M.H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun.

Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI.Oseana 31 (3): 45-55.

English, S, C Wilkinson and V Baker (1997). Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville, Australia, Australian Institute of Marine Science, Townsville Australia: pp. 378

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, Jakarta.

Kiswara W. 2009. Perspektif Lamun dalam Produktivitas Hayati Pesisir. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim”. 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta.

McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory 18- 20 Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9–16.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, Jakarta.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

69 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR PELABUHAN KABUPATEN FLORES TIMUR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Maria Imaculata Rume, Erfin dan Sofia Dhengi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Nipa Maumere-Flores

Email: [email protected]

Abstrak - Kabupaten Flores Timur memiliki luas perairan sebesar 69% dari luas wilayah keseluruhan. Perairan Flores Timur terkenal memiliki potensi perikanan, baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Selain itu, kabupaten Flores Timur memiliki beberapa pelabuhan penyeberangan, sehingga merupakan salah satu perairan yang padat lalu lintas pelayaran. Sehingga hampir setiap hari masyarakat setempat melakukan aktifitas di sekitar perairan tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi keberadaan plankton yang merupakan salah satu biota air yang memiliki peran penting dalam rantai makanan sebagai produsen primer dalam perairan. Terkait dengan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai komposisi dan keanekaragaman plankton di perairan sekitar beberapa pelabuhan di Kabupaten Flores Timur dan juga kondisi perairannya, sehingga diharapkan dapat menjadi dasar untuk profil sebaran plankton di perairan Kabupaten Flores Timur. Pengambilan sampel plankton dilakukan pada lima stasiun yakni stasiun I di pelabuhan PT. Okhisin Flores, stasiun II di pelabuhan Fey Waibalun, stasiun III dan IV di Pelabuhan penyeberangan Larantuka dan stasiun V di Pelabuhan penyeberangan Tobilota Adonara. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa jenis plankton yang ditemukan di sekitar perairan beberapa pelabuhan Kabupaten Flores Timur, terdiri dari 6 genus dari golongan fitoplankton Untuk golongan zooplankton dari hasil identifikasi ditemukan 7 genus. Nilai Keanekaragaman fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun IV yakni 1.339794 yang tergolong sedang, untuk nilai keanekaragaman zooplankton tertinggi terdapat pada stasiun V yakni 1.503428. Nilai indeks keseragaman fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun III yakni 0.98263. Nilai indeks dominansi tertinggi untuk zooplankton terdapat pada IV yakni 0.584774. Kisaran suhu untuk stasiun I,II, III, dan V berkisar antara 280 – 29 0C dan pada stasiun IV suhu berkisar antara 260 – 27 0C. Kisaran suhu yang diukur masih dapat ditolerir oleh plankton dalam pertumbuhannya. Untuk pengukuran pH, dinyatakan netral untuk stasiun I – IV (7,5 – 8,1 ppt), untuk kandungan oksigen terlarut untuk stasiun I – V, berkisar 6,8 – 9,1 mg/l. Untuk kandungan fosfat pada masing – masing stasiun berkisar -2,65 - (-1,32) mg/l dan kandungan nitrat untuk masing – masing stasiun berkisar -0,4 – 0,0 mg/l. Untuk pegukuran tingkat kecerahan untuk masing – masing stasiun dinyatakan cerah sampai pada kedalaman ± 6 m. Pada kedalaman ini masih dapat ditembusi oleh cahaya matahari, sehingga pertumbuhan plankton masih bisa berlangsung dengan baik. Kata Kunci : Plankton, Keanekaragaman, Pelabuhan Larantuka

I. PENDAHULUAN

Kabupaten Flores Timur memiliki luas perairan sebesar 69% dari luas wilayah keseluruhan. Perairan Flores Timur terkenal memiliki potensi perikanan, baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Selain itu, kabupaten Flores Timur memiliki beberapa pelabuhan

penyeberangan, sehingga merupakan salah satu perairan yang padat lalu lintas pelayaran. Sehingga hampir setiap hari masyarakat setempat melakukan aktifitas di sekitar perairan tersebut.

Kondisi suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan plankton di suatu perairan, dimana faktor fisika dan kimia perairan yang meliputi kedalaman,

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

70 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

kecerahan, kedalaman, arus air, suhu, salinitas, oksigen terlarut dan nutrient sangat mempengaruhi distribusi dan kelimpahan plankton. Penilaian kualitas perairan dengan menggunakan pendekatan materi biologi, khususnya organisme plankton, akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian yang besar.

Beberapa jenis fitoplankton hanya dapat hidup dan berkembang biak dengan baik dalam lokasi yang mempunyai kualitas perairan bagus, walaupun beberapa jenis masih dapat hidup dan berkembang dengan baik dalam perairan yang mempunyai kualitas buruk (Handayani, S dan Imran, 2008). Di dalam ekosistem perairan, plankton memiliki peranan yang sangat penting sebagai dasar dari kehidupan pelagis, karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya.

Selain memiliki potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya, perairan Flores Timur juga merupakan salah satu perairan yang padat lalu lintas pelayaran. Hal ini dapat mempengaruhi kelimpahan dan struktur komunitas plankton yang memiliki peran penting dalam rantai makanan sebagai produsen primer dalam ekosistem perairan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai komposisi dan keanekaragaman plankton di perairan Flores Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman plankton dan juga kondisi

lingkungan perairan pada perairan sekitar beberapa Pelabuhan di kabupaten Flores Timur (Pelabuhan PT. Okhisin, pelabuhan penyeberangan Waibalun, pelabuhan Larantuka dan pelabuhan penyeberangan Tobilota). Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk profil sebaran plankton di perairan kabupaten

Flores Timur.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Pengambilan Sampel di Lapangan

Penelitian ini dilakukan di perairan sekitar beberapa pelabuhan yang terdiri dari 4 stasiun, yakni Pelabuhan PT. Okhisin, Pelabuhan penyeberangan Waibalun, Pelabuhan penyeberangan Larantuka dan Pelabuhan Tobilota di Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pengambilan sampel plankton dilakukan pada setiap stasiun dengan cara menyaring air sebanyak 100 liter dengan menggunakan plankton net. Air yang tersaring kemudian dipindahkan ke botol sampel dan diawetkan menggunakan larutan lugol. Identifikasi dan pencacahan plankton di bawah mikroskop dilakukan dengan menggunakan Sedwicgk Rafter di Laboratorium Fakultas Ilmu Kesehatan Unipa Maumere. Dan sebagai data penunjang dilakukan pengamatan parameter fisika–kimia yang diamati meliputi: kecerahan, temperatur air, pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, dan fosfat.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

71 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 1. Stasiun Pengambilan Sampel Plankton

2.2 Analisa Data

2.2.1 Kelimpahan Jenis Plankton

Kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan Sedgwick-Rafter Counting Method dengan teknik sapuan dan yang diperoleh adalah satuan individu/m3. Untuk mencari kelimpahan fitoplankton digunakan rumus modifikasi dari Isnansetyo dan Korniataty (1995) dalam Yeani S.M. (2005), sebagai berikut :

𝐍 =𝐓

𝐋×

𝐏

𝐩×

𝐕

𝐯×

𝐈

𝐖

Keterangan : N : Kuantitas plankton (Plankter/liter) L : Luas kotak SCR perlapang (1 kotak) T : Total kotak SCR = 1000 P : Jumlah plankton yang teramati p : Jumlah kotak SCR yang teramati

(1000) V : Volume contoh plankton dalam botol

= 100 ml v : Volume contoh plankton dalam SCR

= 1 ml

W : Volume air yang disaring dengan plankton net =100 ltr

2.2.2 Keanekaragaman Plankton

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis plankton dengan menggunakan formula indeks keanekaragaman dari Shannon-Wiener ;

H’ = - (ni/N) Ln (ni/N)

Keterangan : H’ : Indeks keanekaragaman ni : Jumlah individu/spesies N : Jumlah individu keseluruhan

dengan kriteria: H’ < 1 : Menunjukkan tingkat

keanekaragaman jenis yang rendah.

1<H’< 3 : Menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang.

H’>3 : Menunjukkan tingkat keanekaragamanjenis yang tinggi.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

72 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

2.2.3 Indeks Keseragaman

Untuk menghitung keseragaman, maka digunakan indeks keseragaman (Odum, 1993) sebagai petunjuk pengelolaan data.

E = H’ / H’ max

H’ max = In s Keterangan : S = Jumlah seluruh spesies Hmax = Keanekaragaman maksimum E = indeks Keseragaman Kisaran indeks keseragaman antara 0 sampai 1, semakin kecil nilai keseragaman (mendekati nol) menunjukan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama. Sebaliknya jika nilai keseragaman semakin besar (mendekati 1) maka populasi akan menunjukkan keseragaman (jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda) (Odum, 1993).

2.2.4 Indeks Dominansi

Indeks Dominansi dihitung dengan menggunakan rumus indeks dominansi dari Simpson (Odum, 1993) :

D = (ni/N)2

Keterangan : D = Indeks Dominansi Simpson ni = Jumlah Individu tiap spesies N = Jumlah Individu seluruh spesies

Indeks dominansi berkisar antara 0 sampai 1, dimana semakin kecil nilai indeks dominansi maka menunjukan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi, sebaliknya semakin besar dominansi maka menunjukan ada spesies tertentu (Odum, 1993).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan ditemukan ada 12 spesies plankton diantaranya 6 spesies dari golongan fitoplankton dan 6 spesies dari golongan zooplankton. Jenis – jenis fitoplankton dan zooplankton yang ditemukan pada masing – masing stasiun dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Komposisi Jenis plankton yang ditemukan pada masing – masing stasiun

berdasarkan hasil identifikasi.

No. Jenis Plankton Stasiun

A. Fitoplankton I II III IV V 1 Cosconidiscus sp ˅ ˅ - ˅ - 2 Navicula, sp ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ 3 Chaetoceros sp - ˅ - ˅ 4 Pleurosigma sp - - ˅ ˅ - 5 Ditylum, sp ˅ ˅ - - ˅ 6 Ceratium,sp - - - - ˅ B. Zooplankton 1 Phialidium sp/ Pelagia ˅ - ˅ - ˅ 2 Calanus (copepoda) ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ 3 Zoea larva shrimp ˅ ˅ - - ˅ 4 Rotifera - - - - ˅ 5 Dapnia - - ˅ - - 6 Cladocera (Evadne) - - - - ˅ 7 Amphipoda (Hyperia) - - - - ˅

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

73 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 2. Nilai Kelimpahan Plankton yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Penyeberangan Flores Timur

No. Spesies (ind/L)

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

Stasiun IV

Stasiun V

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Fitoplankton 1. Cosconidiscus,sp 3 3 1 1 1 2 0 0 0 1 1 2 0 0 0 2. Navicula,sp 3 1 1 1 1 1 1 2 3 1 0 1 1 3 1 3. Ditylum,sp 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 4. Chaetoceros,sp 2 1 2 0 0 0 3 1 1 0 0 0 2 1 2 5. Pleurosigma,sp 0 0 0 0 0 0 3 4 1 1 2 1 0 0 0 6. Ceratium,sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 2 5 2 2

Total individu 9 5 5 3 2 4 7 7 5 5 4 6 9 7 5

Jumlah spesies 4 3 4 3 2 3 3 3 3 4 3 4 4 4 3

Zooplankton 1. Ubur-ubur 3 1 1 1 0 3 3 1 0 2 2 1 1 1 1 2. Copepoda 6 9 4 4 7 3 6 3 3 6 3 3 6 8 4 3. Larva shrimp 3 3 1 1 0 1 4 3 1 0 0 0 3 7 3 4. Rotifer 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 5. Dapnia 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 6. Cladocera (Evadne) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 7. Amphipoda (Hyperia) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 1

Total individu 9 13 6 6 7 7 14 8 5 8 5 4 14 18 13

Jumlah jenis 3 3 3 3 1 3 4 4 4 2 2 2 6 5 6

Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai kelimpahan plankton pada stasiun I sebesar 47 individu/L. Pada stasiun II nilai kelimpahan sebesar 29 individu/L. Pada stasiun III nilai kelimpahan plankton sebesar

46 individu/ L. Nilai kelimpahan plankton pada stasiun IV sebesar 32 individu/L, sedangkan nilai kelimpahan pada stasiun V sebesar 66 individu/L.

Tabel 3. Nilai Indeks Keanekaragaman Plankton pada masing – masing Stasiun

No. Spesies (ind/L) Stasiun

I II III IV V

Fitoplankton 1. Cosconidiscus,sp 0.367879 0.360413 - 0.352468 - 2. Navicula,sp 0.351316 0.366204 0.364004 0.268654 0.341687 3. Ditylum,sp 0.236978 0.334239 - - 0.223941 4. Chaetoceros,sp 0.351316 - 0.351316 - 0.341687 5. Pleurosigma,sp - - 0.364209 0.352468 - 6. Ceratium,sp - - - 0.366204 0.363128

Total individu 19 9 19 15 21

Jumlah spesies 4 3 3 4 4

H' 1.307489 1.060856 1.079529 1.339794 1.270435

Zooplankton

1. Ubur-ubur 0.307637 0.321888 0.282895 0.359934 0.180537 2. Copepoda 0.263127 0.249672 0.360413 0.245864 0.366516 3. Larva shrimp 0.346574 0.230259 0.360413 - 0.358717 4. Rotifer - - - - 0.138378 5. Dapnia - - 0.244136 - - 6. Cladocera (Evadne) - - - - 0.244136 7. Amphipoda (Hyperia ) - - - - 0.215144

Total individu 28 20 27 17 45

Jumlah jenis 3 3 4 2 6

H ' 0.917338 0.801819 1.247857 0.605798 1.503428

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

74 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 4. Nilai Indeks Keseragaman Plankton pada Masing – Masing Stasiun

No. Spesies (ind/L) Stasiun

I II III IV V

Fitoplankton 1. Cosconidiscus,sp 0.265369 0.328062 - 0.254252 - 2. Navicula,sp 0.253421 0.333333 0.331331 0.193793 0.246475 3. Ditylum,sp 0.170943 0.304237 - - 0.161539 4. Chaetoceros,sp 0.265369 - 0.319782 - 0.246475 5. Pleurosigma,sp - - 0.331517 0.254252 - 6. Ceratium,sp - - - 0.264160 0.261941

Total individu 19 9 19 15 21

Jumlah spesies 4 3 3 4 4

E 0.955102 0.965632 0.98263 0.966457 0.91643

Zooplankton

1. Ubur-ubur 0.280023 0.292995 0.204066 0.519275 0.100759 2. Copepoda 0.239509 0.227261 0.259983 0.354707 0.204556 3. Larva shrimp 0.315465 0.230259 0.259983 - 0.200204 4. Rotifer - - - - 0.077230 5. Dapnia - - 0.176107 - - 6. Cladocera (Evadne ) - - - - 0.136255 7. Amphipoda (Hyperia) - - - - 0.120074

Total individu 28 20 27 17 45

Jumlah jenis 3 3 4 2 6

E 0.834997 0.750515 0.900139 0.873982 0.839078

Tabel 5. Nilai Indeks Dominasi Plankton pada Masing –Masing Stasiun

No. Spesies (ind/L) Stasiun

I II III IV V

Fitoplankton 1. Cosconidiscus,sp 0.135734 0.197531 - 0.071111 - 2. Navicula,sp 0.069252 0.111111 0.099723 0.017778 0.056689 3. Ditylum,sp 0.011080 0.049383 - - 0.009070 4. Chaetoceros,sp 0.135734 - 0.069252 - 0.056689 5. Pleurosigma,sp - - 0.177285 0.071111 - 6. Ceratium,sp - - - 0.111111 0.183673

Total individu 19 9 19 15 21 Jumlah spesies 4 3 3 4 4 D 0.3518 0.358025 0.34626 0.271111 0.306121 Zooplankton

1. Ubur-ubur 0.031888 0.04 0.021948 0.086505 0.004444 2. Copepoda 0.460459 0.49 0.197531 0.498269 0.16 3. Larva shrimp 0.0625 0.01 0.087791 - 0.288889 4. Rotifer - - - - 0.044444 5. Dapnia - - 0.012346 - - 6. Cladocera (Evadne) - - - - 0.012346 7. Amphipoda (Hyperia) - - - - 0.007901

Total individu 28 20 27 17 45 Jumlah jenis 3 3 4 2 6 D 0.554847 0.54 0.319616 0.584774 0.518024

Dari hasil pengolahan data pada tabel 3, di atas diperoleh nilai keanekaragaman fitoplankton tertinggi pada stasiun IV sebesar 1.339794 dan terendah pada stasiun II sebesar 1.060856, sedangkan nilai keanekaragaman zooplankton tertinggi pada stasiun V sebesar 1.503428 dan

terendah pada stasiun IV sebesar 0.605798. Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman plankton pada perairan sekitar beberapa pelabuhan Larantuka masih tergolong sedang. Besarnya nilai keanekaragaman organisme zooplankton menunjukkan pola sebaran yang sama

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

75 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

dengan pola kelimpahannya. Menurut penelitian Rymper (2003) dalam Djokosetiyanto dan Sinung (2006), menjelaskan bahwa parameter salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan nitrat memiliki peranan yang sangat besar dalam membedakan tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton. Sementara itu hasil penelitian Effendi dan Susilo (1998) dalam Djokosetiyanto dan Sinung (2006), menjelaskan bahwa di Perairan pesisir sekitar PLTU Krakatau Steel Cilegon Jawa Barat menunjukkan sebaran horizontal fitoplankton semakin ke tengah semakin kelimpahannya semakin besar. Zooplankton memiliki peran penting dalm rantai makanan di lingkungan perairan. Keanekaragaman dan kelimpahan zooplankton dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, seperti tingkat kekeruhan, kecepatan arus, sifat fisik dan kimia air. Di samping itu, populasi zooplankton juga tergantung pada musim, habitat, salinitas dan kedalamn air (Mulyadi, 1985 dalam Heriyanto, 2012).

Hasil analisis indeks keseragaman pada tabel 4, berkisar antara 0.98263 – 0.91643 untuk fitoplankton dan 0.750515 – 0.900138 untuk zooplankton. Berdasarkan pengamatan didapat nilai indeks keseragaman pada fitoplankton dan zooplankton nilainya mendekati 1, ini mengindikasikan bahwa penyebaran individu setiap jenis merata.

Pada table 5, dari hasil olahan data indeks dominansi diperoleh nilai berkisar antara 0.358025 – 0.271111 untuk fitoplankton dan 0.584774 – 0.319616 untuk zooplankton. Apabila nilai dominansi mendekati 1, berarti dalam struktur komunitas tersebut terdapat jenis yang mendominasi jenis lainnya. Sebaliknya apabila nilainya mendekati 0, berarti di dalam struktur komunitas tersebut tidak terdapat jenis yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya (Pirzan & Pong-Masak, 2008).

Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient (Effendi, 2003 dalam Hanuma, 2018). Untuk hasil analisis konsentrasi kandungan nitrat dan konsentasi kandungan fosfat yang diperoleh sangat rendah . Hal ini diduga sangat mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan plankton berdasarkan hasil pengolahan data kelimpahan, keanekaragaman serta keseragaman yang tergolong rendah. Merujuk pada pernyataan dari Sediadi, 2004, bahwa kondisi fitoplankton, seperti keanekaragaman dan distribusi fitoplankton di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor atmosfer, faktor lokasi dan faktor kondisi lingkungan.

Tabel 6. Data Parameter Kualitas Air pada Masing – Masing Stasiun

No. Paremeter

Kualitas Air

Stasiun

I II III IV V

1. Suhu (0C) 28 – 29 28 – 29 28 – 29 26 – 27 28 – 29

2. Kecerahan Cerah (±6 m)

Cerah (±6 m)

Cerah (±6 m)

Cerah (±6 m)

Cerah (±6 m)

3. Salinitas (ppt) 30 30 31 30 29 4. pH 8,1 8,0 8,0 8,0 7,5 5. DO (mg/l) 7,8 7,5 7,1 6,8 9,1 6. Fosfat (mg/l) -2,12 -2,65 -1,53 -2,49 -1,32 7. Nitrat (mg/l) -0,3 0,0 -0,4 -0,3 -0,2

Dari hasil pengukuran suhu untuk kelima stasiun diperoleh bahwa suhu perairan di beberapa perairan pelabuhan Larantuka tersebut relatif sama yakni berkisar 26 – 28o

C. Kisaran suhu hasil pengukuran pada stasiun pengamatan masih dalam batas normal berdasarkan nilai baku mutu air laut untuk biota laut dalam Keputusan Menteri

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

76 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Negara Lingkungan Hidup No.5, tahun 2004, yang mana kisaran suhu ini sesuai dengan kehidupan dan pertumbuhan biota air.

Nilai pH dari hasil pengukuran untuk masing-masing stasiun pengamatan berkisar 7,5 – 8,1. Kisaran pH ini masih dalam batas aman dimana merujuk pada pendapat Odum (1971) dalam Hamuna, dkk (2018), bahwa nilai pH antara 6,5 8,0 sebagai batas aman pH perairan untuk kehidupan biota di dalamnya. Menurut Dojlido dan Best (1993) dalam Hamuna, dkk (20018) bahwa pH air laut relatif lebih stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4, kecuali dekat pantai. Nilai pH yang ideal bagi perairan adalah 7 – 8,5.

Hasil pengukuran DO (oksigen terlarut) pada msing – masing stasiun pengamatan berkisar antara 6,8 – 9,1 mg/l. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan tersebut dalam kondisi sangat baik dan memenuhi standar baku mutu air laut dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51, tahun 2004 untuk kehidupan biota laut dengan nilai DO > 5 mg/l, sehingga nilai DO di perairan sekitar pelabuhan masih tergolong untuk kehidupan biota laut

Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi fosfat berkisar antara – 2,65– (- 1,32) mg/l. Dari hasil perolehan ini menunjukkan bahwa kandungan fosfat ini sangat rendah di perairan yang mana nilai ini kurang dari standar baku mutu air laut untuk biota laut dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004, yaitu 0,015 mg/l. Kondisi ini tidak mendukung kehidupan dan pertumbuhan plankton di perairan, hal ini diduga Karena kurangnya zat hara yang ada di perairan tersebut. Fosfat merupakan zat hara yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan metabolisme fitoplankton dan organism laut lainnya dalam menentukan kesuburan perairan (Moriber, 1974 dalam Hamuna, 2018).

Hasil analisis konsentrasi nitrat pada stasiun pengamatan berkisar antara -0,4 – 0,0 mg/l. dari hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat pada perairan

sangat rendah, karena nilai tersebut tidak sesuai dengan standar baku mutu air laut untuk biota laut adalah 0,008 mg/l.

IV. KESIMPULAN Nilai Keanekaragaman fitoplankton

tertinggi terdapat pada stasiun IV yakni 1,339794 dan terendah 1,060856. Untuk nilai keanekaragaman zooplankton tertinggi pada stasiun V yakni 1,503428 dan terendah pada IV sebesar 0,605798 dimana dari nilai tersebut tingkat keanekaragamannya tergolong sedang.Nilai indeks keseragaman untuk fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun III yakni 0,98263 dan terendah pada stasiunV sebesar 0,91643. Nilai indeks dominansi tertinggi untuk fitoplankton terdapat pada II yakni 0,358025 dan terendah pada stasiun IV sebesar 0,271111. Dan untuk nilain indeks dominansi tertinggi pada zooplankton terdapat pada stasiun IV sebesar 0,584774 dan terendah pada stasiun III sebesar 0,319616.

Untuk pengukuran pH, dinyatakan netral untuk stasiun I – IV (7,5 – 8,1 ppt), karena pengukuran pH dengan mnggunakan kertas lakmus, tidak terdapat perubahan warna pada kertas lamus baik kertas lamus merah maupun kertas lakmus biru. untuk kandungan oksigen terlarut untuk stasiun I – V, berkisar 6,8 – 9,1 mg/l. Untuk kandungan fosfat pada masing – masing stasiun berkisar -2,65 - (-1,32) mg/l dan kandungan nitrat untuk masing – masing stasiunberkisar -0,4 – 0,0 mg/l.

DAFTAR PUSTAKA Akrimi dan Gato, S. 2002. Teknik

Pengamatan Kualitas Air Dan Plankton Di Reservat Danau Arang – Arang Jambi. Bulletin Teknik Pertanian. Vol.7, no. 2. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Palembang.

Al-Yamani, F.,Valeriy S., Aleksandra Gubanova., Sergey K., Irina Prusova. 2011. Marine Zooplankton Practical Guide; for the Northwestern Arabia Gulf.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

77 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Vol 1. Kuwait Institute for Scientific Research. Kuwait.

Bachiller, E dan JA, Fernandez. 2011. Zooplankton Image Analysis Manual: Automated Identification By Means Of Scanner And Digital Camera As Imaging Divices. Azti. Tecmalia. ISSN: 1988-818X. Portualdea.

Boter, L. 2010. Phytoplankton Identification Catalogue – Saldanha Bay, South Africa. Globallast Monograph. ISSN 1680-3078.

Djokosetiyanto, D dan Sinung, R. 2006. Kelimpahan dan Keanekaragaman Fitoplankton di Perairan Pantai dadap Teluk Jakarta. Jurnal – jurnal Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 13 No.2: 135-141

Dwirastian, M. 2011. Pengamatan Zooplankton Di Sungai Siak, Indra Pura Bagian Hilir Riau, Pekan Baru. BTL: vol. 9, no. 2. Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana. Palembang.

Hamuna, B.,Rosye, H.R.T., Suwito., Hendra, K.M dan Alianto. 2018. Kajian Kualitas Air Laut dan Indeks Pencemaran berdasarkan Parameter Fisika-Kimia Di Perairan Distrik Depapre Jayapura. Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol.16 (1): 35-43.

Handayani, S.,dan Mufti, P. Patria. 2005. Komunitas Plankton Di Perairan Waduk Krenceng, Cilegon, Banten. Makara, Sains, Vol. 9, No. 2. Fakultas Biologi Universitas Nasional dan Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia. Depok.

Heriyanto,NM. 2012. Keragaman Plankton dan Kualitas Perairan Di Hutan Mangrove. Bulletin Plasma Nutfah, Vol.18 No.1.

Kandari, MA., Faizal. YAY,. Kholood. AR. 2009. Marine Phytoplankton Atlas of Kuwait’s Waters. Kuwait Institute for Scientific Research. ISBN 99906-41-24-2. Kuwait. Makmur, M., Haryoto, K., Setyo, SM., Djarot S. Wisnubroto. 2012. Pengaruh Limbah Organik Dan N/P Terhadap Kelimpahan Fitoplankton Di

Kawasan Budidaya Kerang Hijau Cilinang. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah. ISSN 1410-9565. Vol. 15, No. 2. Pusat Teknologi Limbah Radio Aktif. Batam.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingku gan Hidup Nomor 51 Tahun 2004tentang Baku Mutu Air Laut.

Madinawati. 2010. Kelimpahan dan Keanekaragaman Plankton Di Perairan Laguna Desa Tolongano Kecamatan Banawa Selatan. Media Litbang Sulteng III (2):119-123, September 2010. ISSN: 1979-5971.

Mosriula. 2010. Struktur Komunitas Fitoplankton Pada Ekosistem Padang Lamun Pulau Sarappokeke Dan Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep Sulawesi selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press. Jakarta.

Pirsan, A.R dan P.R. Pong-Masak. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Baulang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Biodiversity. 9 (3):217-221.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

78 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

STRUKTUR KOMUNITAS TERIPANG (HOLOTHUROIDEA) DI PERAIRAN DESA WARIALAU KEPULAUAN ARU

COMMUNITY STRUCTURE OF SEA CUCUMBER (HOLOTHUROIDEA)

AT WATER OF WARIALAU VILLAGE, ARU ISLANDS

Yona A. Lewerissa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura JL. Mr. Chr.Soplanit Kampus Unpatti Poka- Ambon 97233

*e mail: [email protected]

Abstrak - Teripang mempunyai fungsi ekologi sebagai pengurai zat organik di dalam sedimen dan menghasilkan nutrisi ke dalam rantai makanan. Selain itu mempunyai manfaat secara ekonomi dan menjadi komoditi ekspor secara lokal maupun internasional. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji aspek ekologi yaitu struktur komunitas teripang yang meliputi komposisi spesies, kepadatan, potensi, frekuensi kehadiran, nilai indeks ekologi dan pola sebaran teripang serta paramater lingkungan di perairan Desa Warialau. Penelitian dilakukan di peraian Desa Warialau Kepulauan Aru, berlangsung dari bulan April-Mei 2008 dengan menggunakan transek linier kuadrat. Teripang yang diperoleh di perairan Desa Warialau terdiri atas 10 spesies, dengan nilai kepadatan, potensi dan frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh spesies Holothuria scabra, sedangkan nilai kepadatan, potensi dan frekuensi kehadiran terendah yaitu spesies Actinopyga echinities. Dari 10 spesies teripang yang ditemukan, tujuh spesies termasuk pola sebaran secara seragam, sedangkan tiga spesies termasuk dengan pola sebaran secara kelompok. Nilai indeks ekologi menunjukan bahwa keragaman jenis teripang di Desa Warialau tergolong rendah, nilai keserasian menandakan komuitas teripang ditemukan dalam kondisi stabil dan tidak ada spesies yang mendominasi. Dari faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, DO dan arus menunjukan bahwa perairan Desa Warialau masih sesuai untuk pertumbuhan teripang. Kata kunci: Struktur Komunitas, Teripang, Warialau Abstract - Ecologycally, sea cucumber function is to decay an organics matter in sediment and provide nutrition into the food chain. Economically, it also become an export commodity. The aim of the research was to study ecology aspect, which is structure community of sea cucumber include species compotition, density, potency, present frequency, ecology index degree, sea cucumber dispersion pattern and environmental parameter of Warialau Village waters. Research went from April-May, 2008. Sampling of data using line transect with 1 x 1 meter block. Result shows there are 10 species of sea cucumber found. Highest ammount in density, potency and present frequency confirmed by Holothuria scabra, while lowest ammount of them confirmed by Actinopyga echinities. Seven of ten species found, was disperse on regular pattern, while the rest on clumped pattern. The variability of sea cucumber in this water was nominated on low number while the compatibility index value of sea cucumber confirmed on stable condition and the aren’t dominant species. Measurements of environment paramaters such temperature, salinity, pH, DO and current showed that Warialau Village waters still suitable to sea cucumber growth. Keywords: Community structure, Sea cucumber, Warialau

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

79 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

I. PENDAHULUAN

Teripang (Holothuroidea) atau biasa disebut timun laut adalah hewan berkulit duri (echinodermata) dengan karakteristik umum berbentuk pentaradial simetri yang bernilai ekonomis penting yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan, farmasi dan lain sebagainya. Contohnya seperti di Australia, teripang dimanfaatkan sebagai food suplement yang mempunyai anti-inflammatory, ekstrak teripang yang direbus digunakan sebagai tonik, serta di cina dikenal sebagai salah satu aphrodisiac food ( Morgan & Acher, 1999, Subasinghe, 1992 dalam Hartati dkk., 2009). Secara ekologis teripang termasuk dalam lingkar pangan (food web) dan berperan sebagai deposit feeder, sehingga dapat mengolah substrat yang ditempatinya, selain itu berperan sebagai penyedia pangan dalam bentuk telur-telur, larva dan juwana teripang, bagi biota laut pemangsa di sekitarnya (Darsono 2007).

Desa Warialau terletak di Pulau Warialau Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Desa Warialau memiliki topografi dasar

perairan yang landai, pada daerah pasang surut jaraknya berkisar antara 90-130 meter serta memiliki ekosistem mangrove, lamun dan algae sehingga memiliki berbagai sumberdaya diantaranya teripang. Teripang di Warialau dimanfaatkan oleh masyarakat hanya pada saat “buka sasi’ atau kebutuhan tertentu dalam masyarakat. Informasi tentang keberadaan teripang belum tersedia meskipun telah ada upaya pelestarian berbasis kearifan lokal yang dikenal dengan “sasi’”. Dengan demikian perlu adanya data dan informai dasar terkait teripang, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek ekologi yaitu struktur komunitas teripang yang meliputi komposisi spesies, kepadatan, potensi, frekuensi kehadiran, indeks ekologi dan pola sebaran teripang serta berbagai macam parameter lingkungan diperairan Desa Warialau.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di peraian Desa Warialau Kepulauan Aru (Gambar 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan April-Mei 2008.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Pulau Warialau

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

80 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

2.2 Metode Pengumpulan Data

Pengambilan contoh teripang menggunkan metode transek linier kuadrat, secara tegak lurus garis pantai dari batas surut ke arah laut (Smith,1980). Plot pengamatan digunakan rangka berukuran 1x1 m2, titik plot pengamatan dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang garis transek dan jarak antar tarnsek 100 meter. Pengambilan contoh pada 8 transek yang meliputi 91 petak pengamatan dengan panjang 800 meter dan lebar 140 meter, sehingga luas keseluruhan area 112.000m2. Pengamatan diusahakan dilakukan pada saat air laut sedang surut sampai air laut bergerak naik dengan menggunakan masker dan snorkel. Setiap sampel teripang yang terkumpul dihitung, selanjutnya diawetkan dengan alkohol 70% untuk proses identifikasi.

Pada setiap transek dicatat jumlah dan komposisi jenis teripang dan habitat. Spesimen teripang diidentifikasi menurut Clark and Rowe (1971); Cannon and Silver (1987) dan Birtles (1989). Pengukuran

parameter lingkungan seperti Suhu, pH, DO, salinitas dan kecepatan arus diukur di lapangan setiap hari selama dua minggu pada tanggal 21 April-5 Mei 2008. Pada tiga transek yang dianggap mewakili diambil contoh sedimen untuk mengetahui tekstur dan komposisinya. Contoh sedimen tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 1100C selama 24 jam, setelah kering diayak dengan menggunakan mesin penyaring otomatis yang bertingkat. Penggolongan ukuran butiran tanah mengikuti skala Wentworth, dengan ukuran 4 mm (garnules), 2 mm (very coarse sand), 1 mm (coarse sand), 0.5 mm (medium sand), 0.25 mm (fine sand), 0.125 mm (very fine sand), 0.064 mm (silt) dan ≤ 0.038 mm (clay) (Morgan, 1958 dalam Yusron 1993)

2.3 Analisis Data

Analisa data kepadatan dan frekuensi kehadiran teripang dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Odum, 1971):

Kepadatan (ind/m²) = 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐢𝐧𝐝𝐢𝐯𝐢𝐝𝐮 𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐬𝐩𝐞𝐬𝐢𝐞𝐬

𝐋𝐮𝐚𝐬 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐦𝐚𝐭𝐚𝐧 (𝐦²)

Frekuensi Kehadiran = 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐦𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐒𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐒𝐩 𝐃𝐢𝐭𝐞𝐦𝐮𝐤𝐚𝐧

𝐓𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐦𝐚𝐭𝐚𝐧

Untuk menghitung potensi sumber daya teripang digunakan formula yang dikemukakan oleh (Sloan, 1985 dalam Lewerissa, 2014)) yaitu : Potensi (Ind) = Kepadatan(ind/m2) x Luas Area (m2). Dari data yang diperoleh, dilakukan analisa terhadap pola sebaran spesies untuk melihat perbandingan antara nilai Varians

(2) dan Mean () berdasarkan petunjuk Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut:

2 = (𝐱𝐢−)𝟐

𝐍 =

(𝐱𝐢) 𝐍

Keterangan :

2 : Varians

: Mean

Xi : Jumlah individu spesies pada pengambilan contoh ke-i

N : Jumlah total individu

dengan kriteria:

2 = : Pola penyebaran berbentuk acak, berdistribusi normal

2 >

: Pola penyebaran berbentuk kelompok, berdistribusi binomial negatif

2 < : Pola penyebaran berbentuk seragam, berdistribusi dengan poisson

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

81 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Indeks keragaman spesies SHANNON-Wiener (H’), dihitung menggunakan rumus berikut (Pielou, 1969 dalam Khouw, 2009) :

H’ = -∑ (pi) ln (pi)

N1 = eH’ dengan e = 2,71828 (digunakan untuk mengetahui jumlah

spesies jarang yang ditemukan.)

Keterangan : H’ : Indeks Keragaman SHANNON-

Wiener N1 : Jumlah spesies jarang yang sama

dengan H’ Pi : ni/N ln : Logaritma natural (2,302585 log10 =

0,693147 log2)

Indeks dominansi spesies SIMPSON (D), dihitung menggunakan rumus (Pielou, 1969 dalam Khouw, 2009) :

𝐃 = ∑𝐧𝐢 (𝐧𝐢 − 𝟏)

𝐍 (𝐍 − 𝟏)

𝐒

𝐢=𝟎

Keterangan : D : Indeks Simpson ni : Jumlah Individu dari spesies ke-i N : Jumlah Individu semua spesies S : Jumlah spesies contoh yang

diperoleh dari suatu pengamatan

Indeks dominansi Simpson dapat diinterpretasikan sehingga dapat diketahui jumlah spesies yang umum atau dominan (N2) pada suatu lokasi dengan menggunakan rumus berikut :

N2=𝟏

𝐃

Keterangan : D = Indeks Simpson N2 = Jumlah spesies yang dominan Untuk mengetahui keserasian antar spesies-spesies teripang dihitung dengan menggunakan rumus (Pielou, 1969 dalam Khouw, 2009) :

𝐞 =𝐇′

𝐥𝐧 𝐒

Keterangan : H’ : Indeks Keragaman SHANNON-

Wiener ln : logaritma natural (2,302585 log10 =

0,693147 log2) S : Jumlah spesies

Kriteria keserasian spesies teripang di dalam komunitasnya menurut Magurran (1991), yaitu berkisar antara 0-1.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Warialau terletak di Pulau Warialau Kecamatan Pulau-Pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Desa Warialau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Pulau-Pulau Aru, secara astronomis terletak pada 5º19'48"- 5º24'36" Lintang Selatan dan 134º37'12" - 134º67'15" Bujur Timur. Secara geografis Desa Warialau, memiliki batasan sebagai berikut yaitu Sebelah Utara dengan Selatan Provinsi Papua; Sebelah Selatan dengan Selat Kolwatu; Sebelah Barat dengan Laut Banda; Sebelah Timur dengan Kepulauan Jedan. Desa Warialau memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah pasang surut jaraknya berkisar antara 90-130 meter dengan kondisi substratnya yang dapat dibedakan atas 5 bagian yaitu berlumpur, berpasir, karang papan, patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai yang ada pada daerah pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae.

3.1 Komposisi Sumberdaya Teripang

Dari hasil pengambilan contoh pada

Desa Warialau, maka diperoleh 10 jenis teripang yang tergolong ordo Aspidochirotida yang terdiri dari 2 famili dan 5 genera (Tabel 1). Kesepuluh jenis tersebut yaitu Actinopyga miliaris, A.lecanora, A.echinities, Bohadschia marmorata, Bohadschia sp, B.argus

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

82 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Holothuria edulis, H.scabra, Stichopus chloronotus dan Thelenota ananas. Dari Tabel 1 terlihat bahwa dua spesies teripang termasuk dalam kategori nilai jual mahal, empat spesies teripang termasuk kategori nilai jual sedang dan empat spesies termasuk kategori nilai jual murah. Holothuria scabra dan Thelenota ananas merupakan jenis teripang yang termasuk

kategori mahal (Darsono, 2005), serta dapat mendiami habitat karang mati/hidup serta perairan dengan substratnya pasir sampai pasir halus. Di lokasi yang lain kedua spesies ini sudah sulit ditemukan, sehingga dapat dinilai bahwa upaya pelestarian sumberdaya teripang di Warialau masih berjalan dengan baik.

Tabel 1. Taksonomi dan Kategori Interval Sumberdaya Teripang di Desa Warialau

Kelas Ordo Famili Genera Spesies Kategori Nilai Jual (Darsono,

2005) Holothuroidea Aspidochirotida Holothuriidea Actinopyga

Bohadschia Holothuria

A.miliaris A.lecanora A.echinities B.marmorata Bohadschia sp B.argus H.edulis H.scabra

Sedang Sedang Sedang Murah Murah

Sedang Murah Mahal

Stichopodidae Stichopus S.chloronotus Murah Thelenota T.ananas Mahal

3.2 Kepadatan dan Potensi Sumberdaya

Teripang Secara keseluruhan kepadatan

sumberdaya teripang di Desa Warialau yang terdiri 10 jenis yaitu sebesar 1,5389 ind/m2 dengan total potensi 172307 ind (Gambar 2). Kepadatan teripang tertinggi di Desa Warialau ditemukan pada spesies Holothuria scabra yaitu 1,000 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah ditemukan pada Actinopyga echinities sebesar 0,022 ind/m2. Menurut Yusron (2009), tingginya nilai kepadatan diduga karena kemampuan bersaing di alam menempati habitat. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Yanti dan Wiryanto (2012) dalam Ratoe Oedjoe dan Eoh (2015), bahwa kepadatan teripang/timun laut di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh substrat dan media air.

Tingginya nilai kepadatan dan potensi dari Holothuria scabra diduga karena dapat mendiami habitat karang mati/hidup serta perairan dengan substratnya pasir sampai pasir halus. Hal ini didukung oleh pernyataan Hartati dkk.,( 2009) bahwa Teripang Pasir (Holothuria scabra) memiliki

habitat di daerah yang berpasir atau pasir yang bercampur dengan lumpur pada kedalaman 1-40 meter, walaupun terkadang teripang pasir juga ditemukan di perairan yang dangkal dan banyak ditumbuhi lamun.

Teripang di berbagai wilayah Indonesia memperlihatkan kepadatan yang sangat rendah, bervariasi antara 0,003-2,75 individu/m2 (Tabel 2). Dari Tabel 2 ini terlihat bahwa untuk Provinsi Maluku, kepadatan teripang sangat tinggi untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Tanimbar Selatan), Maluku Tenggara (Teluk Un) dan Kepulauan Aru (Desa Warialau) yaitu dengan kepadatan berkisar antara 1,54-2,75 individu tiap meter bujur sangkar. Sebaliknya di Kabupaten Maluku Tengah, kepadatan jenis teripang dibawah 1 individu per meter bujur sangkar. Namun jika dibandingkan dengan kepadatan jenis di kawasan Pasifik Barat, maka sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan delapan jenis teripang yang cukup besar berkisar antara 12-564 individu/m2, ditemukan dataran rataan terumbu Enewetak Atol, Marshal Island (Lawrence, 1980 dalam Darsono, 2003).

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

83 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 2. Grafik Kepadatan dan Potensi Sumberdaya Teripang di Desa Warialau

Tabel 2. Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan

Lokasi Jenis dan Kepadatan

Referensi

Abubu, Nusalaut, Maluku Sopura, Kolaka, Sulawesi Waisisil, Saparua, Maluku Bunaken, Sulawesi Utara Yamdena, Tanimbar Selatan Batunampar, Lombok P.Pari, Kepulauan Seribu Sapeken, Kangean, Madura Lembata, Flores Timur Teluk Un, Pulau Dulah, Maluku Negeri Porto, Pulau Saparua Desa Warialau, Kepulauan Aru*)

5 jenis 0,079 ind/m2 6 jenis 0,003-0,4 ind/m2 4 jenis 0,88 ind/m2 8 jenis 2,98 ind/m2

12 jenis 2,75 ind/m2 5 jenis 0,19 ind/m2 6 jenis 0,24 ind/m2 10 jenis 30 ind/m2 7 jenis 0,61 ind/m2 11 jenis 2,34 ind/m2 8 jenis 0,0512 ind/m2

10 jenis 1,5389 ind/m2

Matahurila, D (2001) Mangawe, A.G dan R.Daud (1988) Andamari, R. et al (1989) Tamanampo,J.F.W.S.et al (1989) Rumahpurute Boedje (1990) Prahoro,P dan Suprapto (1991) Pralampita, W.A.et al (1992) Suprapto et al (1992) Nuraini, S.et al (1992) Radjab, A.W (1996) Lewerissa, Y A (2014) Penelitian ini

Sumber : Darsono et al., 1998 dalam Darsono, 2003, Lewerissa Y.A (2014)

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

0.0000

0.2000

0.4000

0.6000

0.8000

1.0000

1.2000

Pote

nsi (

Ind)

Kepadata

n (

Ind/m

2)

Spesies Teripang

Kepadatan Potensi

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

84 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.3 Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang Di Desa Warialau, frekuensi kehadiran

tertinggi diwakili oleh Holothuria scabra dengan nilai frekuensi kehadiran 0,6154, sedangkan Actinopyga echinities merupakan jenis dengan nilai frekuensi kehadiran terendah yaitu 0,0220 (Gambar 3). Nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili

oleh Holothuria scabra, hal ini menunjukan kemampuan spesies dalam beradaptasi dengan lingkungan perairan serta kesukaan terhadap substrat yang ada. Selain itu berkaitan juga dengan sifat teripang pasir yang peka terhadap matahari dan bersifat fototaksis negatif sehingga cenderung membenamkan diri dalam substrat untuk menghindari predator karena memiliki gerakan yang lambat (Hartati dkk, 2009).

Gambar 3. Grafik Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang di Desa Warialau

Menurut Yusron dan Widianwari (2004), bahwa teripang/timun laut lebih menyukai habitat dengan dasar perairan pasir atau pasir berlumpur yang ditumbuhi lamun. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yanti et. al., (2014), bahwa banyaknya spesies timun laut di habitat lamun dan karang/tubir karena adanya substrat pasir lumpur yang bercampur dengan pecahan-pecahan karang dan terdapat rumput laut atau lamun. Hal ini disebabkan substrat pasir berlumpur dengan pecahan karang mengandung detritus sebagai bahan makanan dan tempat bersembunyi dari predator (Radjab et.al., 2014).

3.4 Pola Sebaran Sumberdaya Teripang

Di Desa Warialau, dari 10 jenis teripang yang ditemukan, tujuh jenis termasuk pola sebaran secara seragam,

sedangkan tiga jenis termasuk dengan pola sebaran secara kelompok, (Tabel 3). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di desa Warialau, pola penyebaran teripang secara umum (70%) merupakan pola penyebaran seragam. Menurut Odum (1975), pola sebaran seragam dapat terjadi karena adanya kompetisi antar individu dalam suatu komunitas yang sangat keras atau adanya perbedaan yang positif yang mengakibatkan peningkatan pembagian ruang dalam komunitas tersebut. Pola penyebaran secara berkelompok merupakan pola yang paling umum dan hampir merupakan aturan bagi individu (Hetty dan Kurniaty, 1994). Hal ini seperti yang dinyatakan Hartati dkk, (2009), bahwa teripang pasir (Holothuria scabra) kebanyakan hidup berkelompok dengan anggota 3-5 ekor, maupun kadang

0.0000

0.1000

0.2000

0.3000

0.4000

0.5000

0.6000

0.7000

Fre

ku

en

si

keh

ad

iran

Spesies Teripang Frekuensi Kehadiran

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

85 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

berkelompok hingga 10 ekor. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa pola penyebaran kelompok dapat terjadi oleh beberapa faktor antara lain: Adanya kecenderungan pengelompokkan tiap kelompok umur; Adanya kemungkinan pengelompokkan untuk kepentingan memijah; Adanya pengelompokkan untuk melindungi diri; Adanya proses regenerasi yang stabil sehingga mengakibatkan hadirnya beberapa kelompok umur dalam suatu populasi; Adanya lingkungan yang seragam; dan Tidak terjadi persaingan yang keras.

Untuk lokasi ini tidak ditemukan pola sebaran acak karena faktor lingkugan yang bervariasi. Hal ini karena penyebaran secara acak dapat terjadi apabila faktor lingkungannya sangat seragam dan terdapat kecenderungan untuk berkumpul (Odum, 1998 dalam Yuana, 2002). Selain itu Krebs (1978) dalam Pattiselanno (2001) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran organisme adalah substrat yang merupakan habitatnya, interaksi dengan spesies lain, juga kandungan dan ketersediaan makanan dalam sedimen.

Tabel 3. Pola Penyebaran Teripang di Desa Warialau

Spesies Varians (2) Mean () Penyebaran

Actinopyga miliaris Bohadschia marmorata Actinopyga echinities Holothuria edulis Bohadschia sp Holothuria scabra Thelenota ananas Actinopyga lecanora Bohadschia argus Stichopus chloronotus

0,0310 0,0310 0,0008 0,1190 0,0310

3399,8250 0,7259 0,0127 0,1190 0,0040

0,0357 0,0357 0,0143 1,0500 0,0357 0,6500 0,0786 0,0286 0,0500 0,0214

Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Kelompok Kelompok Seragam Kelompok Seragam

3.5 Sebaran Frekuensi Panjang Teripang Putih (Holothuria scabra)

Sebaran ukuran panjang Holothuria scabra begitu merata mulai dari ukuran 5,1-25 cm dan memuncak pada ukuran 15,1-20 cm. Tingkat kematangan gonad pertama untuk Holothuria scabra yaitu ukuran 16 cm (Conad, 1990) dan pada ukuran 16,8 cm (Kithaekeni and Ndaro, 2002), Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ketersediaan stok dari jenis ini sudah cukup tinggi dan memberikan peluang adanya pertumbuhan dan rekruitmen. Untuk ukuran panjang 25,1-35 cm terjadinya penurunan jumlah individu, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya waktu buka sasi pada tahun 2006, dimana jenis-jenis dengan ukuran besar sudah diijinkan untuk ditangkap, sehingga dalam selang waktu 2 tahun, ukuran panjang yang dewasa masih dalam jumlah yang agak rendah.

3.6 Keragaman, Keserasian dan Dominansi Spesies Teripang

Secara keseluruhan hasil perhitungan nilai indeks ekologi di perairan DesaWarialau yaitu nilai indeks keragaman spesies teripang (H’) rendah yaitu 1,38 dan nilai N1 sebesar 3,98. Berdasarkan hasil N1 dapat dikatakan bahwa terdapat tiga spesies yang ditemukan dalam jumlah yang rendah dibandingkan dengan spesies lainnya. Nilai indeks keserasian spesies teripang (E) yang diperoleh di Desa Warialau yaitu 0,60. Menurut Magurran (1991), bahwa kisaran nilai indeks keserasian spesies (e) yaitu 0-1, hal ini berarti bahwa nilai indeks keserasian spesies teripang pada lokasi penelitian cenderung mendekati 1 yang berarti komunitas berada dalam kondisi stabil dan memilki sebaran yang hampir merata. Hal ini menunjukan tidak terjadi kompetisi antar spesies. Nilai dominansi spesies teripang di

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

86 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

perairan Desa Warialau tergolong rendah yaitu 0,43 dan nilai N2 yaitu 2,30. Sesuai dengan pendapat Odum (1971) dan Maguran (1991), bahwa kisaran untuk nilai dominansi spesies yaitu 0-1. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat spesies yang mendominansi. Berdasarkan nilai N2, hal tersebut menandakan bahwa terdapat kecenderungan dominansi spesies teripang tertentu di perairan Desa Warialau yaitu Holothuria scabra dan Thelenota ananas

yang merupakan spesies umum dibutuhkan untuk menghasilkan nilai dominan.

3.7 Parameter Lingkungan

Perairan Desa Warialau masih sesuai untuk pertumbuhan teripang karena memenuhi kriteria Baku Mutu air laut untuk biota laut (KepMen LH no. 51 tahun 2004) maupun persyaratan budidaya teripang menurut Martoyo, et al (2002) dan Wibowo, et al, (1997),seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut dan Persyaratan Budidaya Teripang

Parameter

Warialau Persyaratan Budidaya

Kisaran Rerata Martoyo, et al, Wibowo, et al,

2002 1997

Suhu (0C) 27-30 28.8 24-30 27-30 pH 7.1-7.4 7.2 6.5-8.5 6.5-8.5 Salinitas (‰) 33-35 33.4 28-32 29-33 DO (mg/l) 7.2-7.5 7.31 4-8 4-8 Kecerahan (m) 6-16 11 > 5m > 5 m Arus (m/s) 0.3 0.3 0.3-0.5 0.3-0.5

Secara menyeluruh hasil analisis menunjukan substrat pada perairan Desa Warialau didominasi oleh sedimen berupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm). Sebaran sedimen berada pada kisaran ukuran pasir yaitu sebesar 94.11%. dengan dominasi pasir kasar berkisar 44.75-49.24 % (rerata 47.49%), selanjutnya diikuti oleh pasir sedang (Medium sand) dengan rerata 20.99%. Kondisi sedimen sebagai habitat bagi teripang di Desa Warialau dapat mendukung pertumbuhan teripang, khususnya yang mempunyai daerah sebaran di pasir hingga zona algae.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Teripang yang diperoleh di perairan Desa Warialau terdiri atas 10 spesies, dengan nilai kepadatan, potensi dan frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh spesies Holothuria scabra, sedangkan nilai kepadatan, potensi dan frekuensi kehadiran terendah yaitu spesies Actinopyga

echinities. Dari 10 spesies teripang yang ditemukan, tujuh spesies termasuk pola sebaran secara seragam, sedangkan tiga spesies termasuk dengan pola sebaran secara kelompok. Nilai indeks ekologi menunjukan bahwa keragaman jenis teripang di Desa Warialau tergolong rendah, nilai keserasian menandakan komuitas teripang ditemukan dalam kondisi stabil dan tidak ada spesies yang mendominasi. Dari faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, DO dan arus menunjukan bahwa perairan Desa Warialau masih sesuai untuk pertumbuhan teripang. 4.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan terkait aspek biologi seperti tingkat kematangan gonad teripang agar diketahui status reproduksi dan musim reproduksi teripang, sehingga dapat menentukan waktu buka dan tutup sasi di perairan Desa Warialau

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

87 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

DAFTAR PUSTAKA Birtles, R. A.1989. Class Holothuroidea.

Dalam Arnold, P.W & R.A.Birtles (eds.) 1989. Soft-sediment marine invertebrates of Southeast Asia and Australia. A guide to identification. Australian Institute of Marine Scinece, Townsville:221-235.

Cannon, L. R. G. & H. Silver. 1987. Sea Cucumber of Nothern Australia. Queensland Museum, South Brisbane: vii + 60 hlm.

Clark, A. M. & F. W. E. Rowe. 1971. Monograph of Shallow-water Indo-West Pacific echinoderms. Trustees of he British Museum (Nat. Hist.), London: (PP 171 - 210).

Conand C.1990. The fishery resources of Pacific Island countries. Part 2. Holothurians, FAO Fisheries Technical Papers. FAO, Rome, 143

Darsono,P. 2003. Sumberdaya Teripang dan Pengelolaannya. Oseana XXVIII (2) 1-7.

Darsono, P. 2005. Teripang (Echinodermata:Holothurians) Perlu dilindungi. Jurnal Biol.Indon. Vol III. No.9:405-410.

Darsono, P. 2007. Teripang (Holothuroidea): Kekayaan Alam Dalam Keragaman Biota Laut. Oseana, 32 (2): 1-10.

Hartati, R. Widianingsih, D. Pringgenies. 2009. Pembenihan dan Pembesaran Teripang Pasir. BP UNDIP Semarang. 128p

Hetty dan Kurniaty., 1994. Prinsip Dasar Ekologi, Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Raya Grafindo Persada, Jakarta. Hal 272.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta.Deputi Men.LH.

Khouw, A. S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Jakarta :PPPL. 346 hal.

Kithakeni T, Ndaro SGM.2002. Some aspects of sea cucumber, Holothuria scabra (Jaeger, 1935), along the Coast of Dares Salaam. J Mar Sci. 1(2):163-168.

Lewerissa, Y. A. 2014. Studi Ekologi Sumberdaya Teripang Di Negeri Porto Pulau Saparua, Maluku Tengah. Biopendix, 1 (1) :32-42.

Ludwig and Reynolds., 1988. Statistical Ecology A. Primer on Methods and Computing. Jhon Wiley and Sons, New York. 531 p.

Magurran, A.E., 1991. Ecological diversity and its measurement. Chapman and Hall. London

Martoyo, J., N.Aji dan T. Winanto. 2002. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 pp

Odum, E. P. 1971. Fundamentals Of Ecology 3rd. Philadelphia W. B. Sounders Company. 574 p.

Odum, E.P.1975. Ecology the Link Between the Natural and the Social Science .Second Edition.Rine Hast and Winston.p.35-56

Pattiselanno, 2001. Studi Ekologi Komunitas Moluska dan Echinodermata di Pantai May, Desa Mahia. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura.Ambon

Radjab, A.W., S.A. Rumahenga, A.Soamole, D. Polnayadan W. Barends. 2014. Keragaman dan Kepadatan Ekinodermata di Teluk Weda, Maluku Utara. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(1):17-30

Ratoe Oedjoe M.Dj dan C.B. Eoh,.2015. Keanekaragaman Timun Laut (Echinodermata: Holothuroidea) di Perairan Sabu Raijua, Pulau Sabu Nusa Tenggara Timur. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(1): 309-320.

Smith, R. L., 1980. Ecology and Field Biology. Third Edition. Harper and Row Publisher, New York. 664-670p.

Wibowo, S.,Yunizal, E. Setiabudi, M.D. Erlina dan Tazwir, 1997. Teknologi Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuroidea). Instalasi Penelitian

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

88 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Perikanan Laut Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.37 hal.

Yanti, M.P.N., N.J .Subagio, dan J. Wiryanto.2014. Jenis dan Kepadatan Teripang (Holothuroidea) di Perairan Bali Selatan. J. Simbiosis, 2(1);158-171

Yuana, S. 2002. Kelimpahan dan Distribusi Teripang (Holothuroidea) di Perairan Pantai Kepulauan Karimunjawa. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi, Semarang. 70 hal.

Yusron, E. 1993. Pengamatan Komunitas Teripang (Holothuroidea) di Tanjung Tiram, Teluk Ambon Bagian Dalam. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 67-72.

Yusron E dan P. Widianwari. 2004. Struktur Komunitas Teripang (Holothuroidea) di beberapa Perairan Pantai Kai Besar, Maluku Tenggara. Makara Sains 8(1):15-20.

Yusron, E. 2009. Keanekaragaman Jenis Teripang (Holothuroidea) Di Perairan Minahasa Utara Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 35 (1): 19 – 28.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

89 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PRELIMINARY INVESTIGATION OF SALT-WATER INTRUSION AND HYPER-SALINE LAKE ON THE OUTERMOST SMALL ISLAND

FROM NORTH PART OF NUSA TENGGARA TIMUR

Lumban N. Lumban Toruan1, Alexander L. Kangkan1, Jotham S.R. Ninef2 1Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana 2Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan,

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor email: [email protected]

Abstract - Sukun Island is one of the outermost small islands in the north of Flores - East Nusa Tenggara which borders the Flores Sea and faces Southeast Sulawesi and South Sulawesi. All the water in the aquifers on Sukun Island is brackish but is used by the community for daily necessities, even as drinking water. Samparong Lake has a higher level of salinity than the sea around the island. There is no fish found, but the location around the lake is used as a location for traditional/ritual ceremonies. This survey was conducted in the dry season in July to determine salinity, conductivity, and total dissolved solids in 19 wells and one lake. The three parameters were measured using HI9828 Multiparameter Meter. The distance of each well and lake to the sea at 0 m above sea level was measured through the Google Earth software approach. The measurement results showed the range of salinity, conductivity, and total dissolved solids in wells which were 1,5-7,8 0/00 (��=4,3 0/00, StDev 2,1), 3193-14480 µS/cm

(��=8360,6, StDev 3742), 1446-6772 mg/l (��=3907,3, StDev 1744,4). The distance from the well to the sea was between 98-426 m (��=229,4, StDev 91,6). There was no strong correlation between salinities and the distances of the subsaline wells to the sea (r = 0.08). Lake Samparong had a salinity of 53,8 0/00, the conductivity of 82480 µS/cm, and total dissolved solids of 38760 mg / l. The closest distance of the well to the sea was around 440 m. At the Samparong Lake, the salinity in this hyper-saline lake was higher than the sea around Sukun Island (��=31,0, n=4). Keyword: Sukun Island, Sikka, Brackish, Salinity, Aquifer, Well Abstrak - Pulau Sukun adalah salah satu pulau kecil terluar di bagian utara Flores-Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Laut Flores dan berhadapan dengan Sulawesi Tenggara serta Sulawesi Selatan. Semua air pada akuifer di Pulau Sukun bersifat payau, namun digunakan oleh untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat bahkan sebagai air minum. Danau Samparong memiliki tingkat keasinan yang lebih tinggi dari laut di sekitar pulau ini. Tidak ditemukan ikan pada danau ini, namun lokasi di sekitar danau digunakan sebagai lokasi upacara adat/ritual. Survey ini dilakukan pada musim kemarau di Bulan Juli untuk mengetahui kadar salinitas, konduktivitas, dan total padatan terlarut pada 19 sumur dan satu danau. Ketiga parameter tersebut diukur menggunakan HI9828 Multiparameter Meter. Jarak setiap sumur dan danau ke laut pada titik 0 m di atas permukaan laut diukur melalui pendekatan perangkat lunak google earth. Hasil pengukuran menunjukkan kisaran salinitas,

konduktivitas, dan total padatan terlarut pada sumur-sumur yaitu 1,5-7,8 0/00 (��=4,3 0/00, StDev 2,1), 3193-14480 µS/cm (��=8360,6, StDev 3742), 1446-6772 mg/l (��=3907,3, StDev 1744,4).

Jarak dari sumur ke laut antara 98-426 m (��=229,4, StDev 91,6). Tidak ada relasi yang kuat antara perubahan salinitas dengan jarak sumur ke laut (r = 0,08). Danau Samparong memiliki kandungan salinitas 53,78 0/00, konduktivitas 82480 µS/cm, dan total padatan terlarut 38760 mg/l dengan jarak terdekat ke laut sekitar 440 m. Salinitas pada danau hipersalin ini lebih tinggi dari lautan di sekitar Pulau Sukun (��=31,0 0/00, n=4). Kata kunci: Pulau Sukun, Sikka, Payau, Salinitas, Akuifer, Sumur

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

90 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

I. INTRODUCTION

Sukun Island (80 6 '57 "LS 1220 6' 59" BT) with an area of 5 km2 is one of the outermost small islands in the northern part of Flores-East Nusa Tenggara which borders the Flores Sea and faces Southeast Sulawesi and South Sulawesi. On Sukun Island there is only one village, namely Samparong Village. Samparong Village is part of the administrative area in Alok District, Sikka Regency. Samparong village has an area of 3.63 km2 with the highest altitude of 21 masl. The distance from the village office to the district capital is around 80 km by sea. The population in Sukun Island in 2012 was 1076 people (Statistics of Sikka Regency, 2013). Generally, residential areas are in the lowlands of the western part of the island adjacent to the sea area. The main agricultural / plantation products of Sukun Island are corn. There was no data on rainfall condition of Sukun Island, but the closest climate station to Sukun Island, namely in Magepanda showed the rainfall range between 0-320 mm (��=130, StDev 133,4) with the number

of rainy days between 0 - 21 days (��=7,8, StDev 8,2) (Statistics of Sikka Regency, 2012). Sea products obtained on this island were seaweed and fish, although on a small scale.

Sukun Island, which is formed as a result of older volcanic products (Suwarna et al., 1989), is a small-hilly extrusive volcanic island (Asriningrum, 2009). The shape of the crater as a feature of volcanoes is on Lake Samparong on this island. As a result of seawater intrusion, the groundwater found on the mainland of Sukun Island is entirely brackish water. In some places, brackish levels are higher than other places. The community uses the water for various necessities of life, even used as drinking water and part of various dishes. In the northeastern part of Sukun Island, there is Samparong Lake which has a high salt content in these waters. There were no fish found in this lake, but the people near the

location use the lake as an area for traditional ceremonies/rituals.

Although groundwater in Sukun Island is used for daily needs, there is no publication of water conditions on the land because of the intrusion of seawater and seawaters around Sukun Island. We conducted this study to get information about salt content, conductivity, and total dissolved solids in the waters of Sukun Island.

II. METHOD

We conducted the study on Sukun Island (Figure 1) during the dry season in July 2012. Measurements of salinity, conductivity, Total Dissolved Solid (TDS), and water depth were carried out on 19 wells. The use of chlorides, conductivity, and TDS are considered effective as indicators of seawater intrusion (Klassen et al., 2014). Chloride is one of the major conservatives ions in determining salinity because it has a very strong correlation (Effler et al., 1986), therefore the salinity value can be used as an indication of seawater intrusion in aquifers. In Samparong Lake, no water depth measurements were carried out. We measured salinity, conductivity, and TDS values in the seawater at four locations in the western and northern parts of the island as a comparison with the waters on the inland. We did not make measurements in the Eastern and Southern parts of the island because of the large waves in this season. The parameters were measured using the HI9828 Multi-parameter Meter.

The distance from each well and lake to the sea at 0 m above sea level (masl) and the distance from Earth software to estimate the elevation of each location above sea level (Figure 2). The Google Earth software was also used to estimate the elevation of each location above sea level (Figure 2). The cross-correlation was used to see the relationship between salinity, conductivity, and TDS. If the cross-correlation value is about 0.9, then one parameter will be used as the basis for an explanation of the

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

91 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

relationship of seawater intrusion. The Pearson correlation was used to measure the strength of the relationship between salinity and the distance between wells to point 0 masl and the relationship between salinity and the distance between wells to the coastline. Salinity distribution was

presented using the neighbour-joining clustering method based on the Euclidean index, where the root used was the location of the well with the lowest salinity. Excel software was used to calculate the Pearson correlation, while PAST 3.2 was used to analyse the clusters.

Figure 1. Study location from the centre of the capital city of NTT Province

Figure 2. Measurement of the closest distance between a well and a lake to the sea at a point

of 0 masl

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

92 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

III. RESULTS

The measurement results showed the range of salinity, conductivity, and total dissolved solids in wells which were

1.5-7.8 0/00 (�� = 4.3 0/00, StDev = 2.1), 3193-14480 µS / cm (�� = 8360.6, StDev = 3742), 1446-6772 mg / l (�� = 3907.3, StDev = 1744.4). The distance from the

well to the sea was between 98-426 m (�� = 229.4, StDev = 91.6) (see Appendix). The results of cross correlation between variables showed a value of 0.9, therefore one parameter can be used to explain the process of seawater intrusion, in this case the salinity parameter will be used.

There were no strong relationship between changes in salinity and the distance of the well to the sea (r = 0.08) or the relation between changes in salinity and the distance of the well to the coastline (r = -0.03) (Figure 3 and Figure 4). This result implied that in some wells far from the sea could have a high salinity value compared to other locations closer to the sea. Although ideally the higher the location of the well, the lower the salinity value due to the influence of sea intrusion on the well is getting smaller, the fact was that the height of the location of the well to the sea did not have a strong influence on the salinity value (r = -0.14).

Figure 3. Pearson correlation between salinity and well distance to point 0 masl and coastline

Three wells water samples (Site S, D, and A) had salinities of less than two, therefore they are usually used for drinking water. The well at location S (Pasir Putih) which is a residential area is located 81 m from the coastline with an altitude of 5 masl. The well at location D (Small Tong) is located in the garden area, some distances from the settlement with a distance of 232 m from the coastline with an altitude of 8 masl. Location A is the furthest location from the settlement, but it is still closer to the coastline than location D, which is 194 m from the coastline with an altitude of 14

masl. Location A is closer to Samparong Lake than to a settlement. The well at location A is called Air Akua because the water from this well feels close to fresh water. Water from other wells is used for bathing, washing, and gardening.

Samparong Lake has a salinity content of 53.78 0/00, a conductivity of 82480 µS / cm, and TDS of 38760 mg/l with the closest distance to the sea around 440 m. The salinity of this hypersaline lake was higher than the oceans around Sukun Island (�� = 31.0 0/00, n = 4).

y = 0.0018x + 3.9277R² = 0.0062

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

0 50 100150200250300350400450

Salin

ity (

0/0

0)

Distance from Well to 0 m point Above Sea Level (m)

y = -0.0009x + 4.4861R² = 0.001

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

0 100 200 300 400

Salin

ity (

0/0

0)

Distance from Well to Coastline (m)

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

93 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Figure 4. Neighbour-joining clustering of salinity on the well at the Samparong Village.

Note : In boxes at each location show salinity, the distance between wells to point 0 masl, the distance between wells to the coastline, and location height in masl.

IV. DISCUSSION

All inland waters that were studied showed brackish water conditions. Seawater intrusion is suspected as one of the main factors causing water salinity in aquifers to increase. Increasing salinity of this water is caused by the moving seawater flow pressing to the land through fissures in the inland so it changes the taste of freshwater to brackish. In the areas of Jakarta, Medan, Surabaya, and Semarang, seawater intrusion occurs due to high groundwater use (Delinom, 2008, Suhartono et al., 2015, Supriyadi et al., 2017), for industrial needs, residential communities, and hotels (Hilmi et al., 2017). Decreasing coastal vegetation such as mangroves also increases the impact of seawater intrusion (Hilmi et al., 2017). The use of massive groundwater causes land subsidence so that the distribution of seawater intrusion becomes wider towards the land (Marfai and King, 2007). These incidents do not seem to be the cause of seawater intrusion on Sukun Island, considering that the population in Sukun Island tends to be low along with less

water usage than the needs of large cities in general. In addition, the extent of coastal vegetation on Sukun Island tends to be small, so it is not enough to withstand seawater intrusion.

The distances of the wells from the shoreline are generally less than 200 m, while the furthest is not over 400 m. Most community settlements are built near the coast, where the geomorphological conditions tend to be sloping. The sea level at high tide which can reach 2 m greatly influences fluctuations in the volume of groundwater which ultimately affects the well water level. This happens because the depth of the well is below the mean sea level. So far, the community has observed that the rise and fall of wells’ water level are parallel with the tidal pattern, but with a lower height difference. The average rise and fall of the wells water surface are about 20 cm (as high as one brick). Besides, the well water level is also strongly influenced by rainfall. The facts in this field are consistent with the views of Hilmi et al. (2017) that seawater intrusion is influenced by tides, seasons, and regional topography. Even though the water

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

94 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

level of the wells followed the tidal flow, the changes in salinity value were not inversely proportional to the distance of seawater intrusion. This was different from the pattern found on the northern coast of Indramayu, where salinity in the soil because of seawater intrusion will be greater in areas adjacent to the sea than those far from the sea (Erfandi and Rachman, 2011).

The factors that cause the distribution pattern of different seawater intrusions on Sukun Island compared to other locations that have been mentioned are probably the geological structure patterns of Sukun Island. Spatial irregular salinity distribution in aquifers was also found in the study of Allen et al. (2002). Maity et al. (2018) revealed that the geological structure and the existence of boundary areas in aquifers are several factors that influence the pattern of seawater intrusion. The possibility of fissures or fractures can cause a salinity value in a well much larger than a well close to the ocean. This fissure functions as a conduit between the sea and the well (Klassen and Allen, 2016).

Unlike common lakes, which have fresh water, Samparong Lake is salty and there is no fish at all. The salinity is very high, especially when compared with sea salinity in the waters of around Sukun Island. Geomorphologically, Samparong Lake is a closed water area, so it is assumed that the volume of water depends on rainfall and also water flow from the land fissure that connects to the ocean. On the other hand, low rainfall in Sukun Island causes higher rates of evaporation than precipitation, so that the volume of water rapidly decreases due to evaporation. This results in a higher ratio of dissolved solids to one unit of water volume. Further research is needed to find out the process that causes high salinity of the lake and to find out the types of inorganic elements found in waters and lake sediments. Knowledge of the content of inorganic elements will reveal whether the proportion of salinity forming elements in the lake's water is the same or different from the

seawater and to reveal the origin of the elements in these water.

V. CONCLUSION

Seawater intrusion occurs in aquifers on Sukun Island. All wells studied show the impact of seawater intrusion indicated by the salinity of water that exceed normal freshwater. Salinity distribution in wells do not show spatial regularity, wherein some distant wells show higher salinity than wells close to the coastline. Samparong Lake has a higher salinity level than the salinity of the surrounding ocean.

VI. ACKNOWLEDGE

The data of this paper is part of “Final Report on Mapping Potential of Sukun Island Resources, Sikka Regency, East Nusa Tenggara”, that financially supported by Marine and Fishery Office, East Nusa Tenggara Province.

REFERENCES

Allen, D.M., Abbey, D.G, Mackie, D.C., Luzitano, R.D., and Cleary, M. 2002. Investigation of Potential Saltwater Intrusion Pathways in a Fractured Aquifer Using an Integrated Geophysical, Geological and Geochemical Approach. JEEG 7(1): 19-36. https://doi.org/10.4133/JEEG7.1.19

Asriningrum, W. 2009. Geomorphological Based Small Island and Its Ecosystems Classification in Indonesia. Dissertation. Institut Pertanian Bogor. 191 p.

Delinom, R.M. 2008. Groundwater Management Issues in The Greater Jakarta Area, Indonesia. Proceedings of International Workshop on Integrated Watershed Management for Sustainable Water Use in a Humid Tropical Region, JSPS-DGHE Joint Research Project, Tsukuba, October 2007. Bull. TERC, Univ. Tsukuba, No.8 Supplement, no. 2, 2008. 40-54 p.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

95 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Effler S.W., Schimel, K., and Millero, F.J. 1986. Salinity, Chloride, and Density Relationships in Ion Enriched Onondaga Lake, NY. Water, Air, and Soil Pollution. Vol. 27, Issue 1–2:169–180. doi.org/10.1007/BF00464779

Erfandi, D and Rachman, R. 2011. Identification of Soil Salinity Due to Seawater Intrusion on Rice Field in the Northern Coast of Indramayu, West Java. J Trop Soils, Vol. 16 (2): 115-121. DOI: 10.5400/jts.2011.16.2.115.

Hilmi, E., Kusmana, C., Suhendang, E., and Iskandar. 2017. Correlation Analysis Between Seawater Intrusion and Mangrove Greenbelt. Indonesian Journal of Forestry Research Vol. 4 (2):151-168. doi:10.20886/ijfr.2017.4.2.151-168.

Klassen, J., Allen, D.M., and Kirste, D. 2014. Chemical Indicators of Saltwater Intrusion for the Gulf Islands, British Columbia. Final report submitted to BC Ministry of Forests, Lands and Natural Resource Operations and BC Ministry of Environment. Department of Earth Sciences, Simon Fraser University. 42 p.

Klassen, J. and Allen D.M. 2016. Risk of Saltwater Intrusion in Coastal Bedrock Aquifers: Gulf Islands, BC. Department of Earth Sciences, Simon Fraser University. 40 p.

Maity, P.K., Das, S., Das, R. 2018. Remedial Measures for Saline Water Ingression in Coastal Aquifers of South West Bengal in India. MOJ Eco Environ Sci 3(1):17-26. doi: 10.15406/mojes.2018.03.00061

Marfai, M.A. and King, L. 2007. Monitoring Land Subsidence in Semarang, Indonesia. Environ Geol. 53:651–659. DOI 10.1007/s00254-007-0680-3

Statistics of Sikka Regency. 2013. Alok Subregency in Figures 2013. Statistics of Sikka Regency.

Statistics of Sikka Regency. 2012. Sikka in Figures 2012. Statistis of Sikka Regency.

Suhartono, E., Purwanto, P., and Suripin, S. 2015. Seawater Intrusion Modeling On Groundwater Confined Aquifer In Semarang. Procedia Environmental Sciences 23: 110 – 115. doi: 10.1016/j.proenv.2015.01.017

Supriyadi, Khumaedi, and Putro, A.S.P. 2017. Geophysical and Hydrochemical Approach for Seawater Intrusion in North Semarang, Central Java. International Journal of GEOMATE, Vol. 12, Issue 31: 134-140.

Suwarna, N., Santosa, S., and Koesoemadinata, S. 1989. Geological Map of The Ende Quadrangle, East Nusa Tenggara. Geological Research and Development Centre. Bandung.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

96 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

IDENTIFIKASI BEBERAPA JENIS BIOTA DARI FILUM ARTROPHODA, MOLLUSCA DAN ECHINODERMATA

DI SEKITAR PERAIRAN PULAU SIPUT, KABUPATEN LEMBATA

Aludin Al Ayubi1, Kumala Sari2, Cahyaningtias2 dan Sugiyanto Abdul Kadir3 1)Staf Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

2)Staf Dosen Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Kupang 3)Mahasiswa Fakultas Perikanan, Universitas Muhammadiyah Kupang

Email : [email protected] Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa jenis biota dari Filum Artrophoda, Mollusca dan Echinodermata yang terdapat di Sekitar Perairan Pulau Siput, Kabupaten Lembata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi baik yang dilakukan di lapangan dan juga di Laboartorium. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa biota dari filum molusca yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput adalah biota dari spesies Trachycardium consors, Barbatia obliquata, Barbatia candida, Anadara antiquata, Circomphalus fordi, Trivela bytonensis, Callista cinensis, Callista impar, Pinna bicolor, Paradione planatella, Malleus albus, Glycymeris pectunculus, Isognomon ephippium, Codakia tigerina, Cypraea tigris, Tonna cepa, Conus augur, Conus miles, Conus marmoreus, Terebra alveolata, Natica tabularis, Strombus aurisdianane, Strombus urceus, Lambis lambis dan Trochus radiates, kemudian biota dari filum Echinodermata yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput adalah terdiri dari spesies Pseudoboletia maculate, Tripneustes gratilla, Salmacis sphaeroides, Mespillia globules, Diadema antiilarum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Protoreaster nodulosus, Archaster typicus, Ophiomastix annulosa dan Holothuria atra. Sedangkan biota dari filum Arthrophoda yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput adalah terdiri dari spesies Calappa bicornis dan Actumnus sp. Kata kunci : Artrophoda,Mollusca, Echinodermata, Pulau Siput

I. PENDAHULUAN

Kawasan Perairan Pulau Siput adalah kawasan yang berada di dalam wilayah Teluk Lewoleba dan termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur . Selain itu, kawasan pulau siput ini juga merupakan kawasan yang berasal hasil pengendapan backwash (off shore bar atau barrier bar) dan berada lepas dari daratan induk disekitarnya, atau berada di laut lepas, sehingga dalam ilmu oseanografi, wilayah ini disebut sebagai wilayah yang hanya muncul saat air laut surut dan tenggelam atau tertutup laut kala air laut pasang. Pada kondisi yang lain, wilayah juga terlepas dari daeratan induk karena tidak ada sambungan langsung di permukaan kala surut terjauh dengan ujung pantai Pulau Lembata terdekat.

Secara umum, pemberian nama pulau siput oleh masyarakat setempat, dikarenakan terdapat jenis siput dan kerang dalam jumlah banyak yang ditemukan saat air surut di wilayah sekitar. Selain siput dan kerang yang merupakan biota yang tergolong ke dalam filum molusca, ada juga jenis biota lain yang berasosiasi di sekitar perairan Pulau Siput tersebut.yaitu berupa biota dari filum Echinodermata dan juga filum Arthrophoda. Biota-biota tersebut baik dari filum molusca, Echinodermata dan Arthrophoda ini sebagian besarnya banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan yang diketagorikan memiliki nilai ekonomi yang mampu menembus pasar lokal maupun ekspor. Sehingga dengan adanya berbaga potensi yang dimiliki oleh jenis biota-biota tersebut di atas, maka tidak heran aktivitas

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

97 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

penangkapan oleh pengeksploiterpun akan menjadi marak untuk dilakukan, yang mana menurut masyarakat setempat bahwa upaya penangkapan atau eksploitasi akan berbagai jenis biota dari ke tiga filum ini di sekitar kawasan Pulau Siput Kabupaten Lembata telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu hingga saat ini. Sehingga diduga bahwa pada saat ini kemungkinan komposisi jenis dari masing-masing biota dari ketiga filum tersebut semakin berkurang, oleh karena itu, dalam penelitian ini hendak di cari tahu jenis-jenis biota dari ketiga kelas tersebut yang masih tersisa guna menjadi data dasar untuk dijadikan sebagai informasi bagi penegelolaan sumberdayanya secara berkelanjutan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2018 yang bertempat di

perairan Pulau Siput Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastic sampel, buku identifikasi, air laut dan juga biota yang dijadikan sebagai objek untuk diidentifikasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi baik yang dilakukan di lapangan dan juga di Laboartorium.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Biota dari Filum Artrophoda

Biota dari filum Arthrophoda yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput berdasarkan hasil identifikasi adalah terdiri dari satu kelas yaitu kelas crustacea dengan jumlah spesies sebanyak dua spesies, diantaranya spesies Calappa bicornis dan Actumnus sp (Anggraeni, 2015). Spesies-Spesies tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Jenis Bentos dari Filum Arthrophoda yang ditemukan di sekitar kawasan perairan

Pulau Siput : (a) Calappa bicornis dan (b) Actumnus sp

3.2 Biota dari Filum Molusca

Biota dari filum molusca yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput berdasarkan hasil identifikasi adalah terdiri dari dua kelas yaitu kelas Bivalvia dan Gastrophoda Untuk Kelas bivalvia memiliki 14 spesies bentos yaitu spesies Trachycardium consors, Barbatia obliquata, Barbatia candida, Anadara antiquata,

Circomphalus fordi, Trivela bytonensis, Callista cinensis, Callista impar, Pinna bicolor, Paradione planatella, Malleus albus, Glycymeris pectunculus, Isognomon ephippium dan Codakia tigerina. Selanjutnya kelas gastrphoda memiliki 11 spesies bentos yaitu spesies Cypraea tigris, Tonna cepa, Conus augur, Conus miles, Conus marmoreus, Terebra alveolata, Natica tabularis, Strombus aurisdianane,

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

98 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Strombus urceus, Lambis lambis dan Trochus radiates (Abbot dan Dance, 2000; Sugianti dkk., 2014). Spesies-spesies dari

filum molusca tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Jenis Bentos dari Filum Molusca yang terdapat di sekitar kawasan perairan

Aulolon:(a) Trachycardium consors, (b) Barbatia obliquata, (c) Barbatia candida, (d) Anadara antiquata, (e) Circomphalus fordi, (f) Trivela bytonensis, (g) Callista cinensis, (h) Callista impar, (i) Pinna bicolor, (j) Paradione planatella, (k) Malleus albus,(l) Glycymeris pectunculus, (m) Isognomon ephippium, (n) Codakia tigerina, (o) Cypraea tigris, (p) Tonna cepa, (q) Conus augur, (r) Conus miles, (s) Conus marmoreus, (t) Terebra alveolata, (u) Natica tabularis, (v) Strombus aurisdianane, (w) Strombus urceus, (x) Lambis lambis dan (y) Trochus radiates

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

99 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.3 Biota dari Filum Echinodermata

Biota dari filum Echinodermata yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput berdasarkan hasil identifikasi adalah terdiri dari empat kelas yaitu Echinoidea, Astroidea, Ophiuroidea dan Holothuroidea. Untuk Kelas Echinoidea memiliki 7 spesies bentos yaitu spesies Pseudoboletia maculate, Tripneustes gratilla, Salmacis sphaeroides, Mespillia

globules, Diadema antiilarum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema. Kemudian Kelas Astroidea memiliki 2 spesies bentos yaitu Protoreaster nodulosus dan Archaster typicus. Selanjutnya kelas Ophiuroidea memiliki 1 spesies yaitu Ophiomastix annulosa dan kelas Holothuroidea juga memiliki 1 spesies bentos yaitu Holothuria atra (Setiawan, 2004) . Spesies-spesies dari filum Echinodermata tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Jenis Bentos dari Filum Echinodermata yang terdapat di sekitar kawasan perairan Aulolon: (a) Pseudoboletia maculate, (b) Tripneustes gratilla, (c) Salmacis sphaeroides, (d) Mespillia globules, (e) Diadema antiilarum, (f) Echinothrix calamaris, (g) Echinothrix diadema, (h) Protoreaster nodulosus, (i) Archaster typicus, (j) Ophiomastix annulosa dan (k) Holothuria atra

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Biota dari filum Arthrophoda yang

ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput adalah terdiri dari spesies Calappa bicornis dan Actumnus sp.

2. Biota dari filum molusca yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput adalah biota dari spesies Trachycardium consors, Barbatia obliquata, Barbatia candida, Anadara antiquata, Circomphalus fordi, Trivela bytonensis, Callista cinensis, Callista impar, Pinna bicolor, Paradione planatella, Malleus albus, Glycymeris pectunculus, Isognomon ephippium,

Codakia tigerina, Cypraea tigris, Tonna cepa, Conus augur, Conus miles, Conus marmoreus, Terebra alveolata, Natica tabularis, Strombus aurisdianane, Strombus urceus, Lambis lambis dan Trochus radiates

3. Biota dari filum Echinodermata yang ditemukan di sekitar kawasan perairan Pulau Siput adalah terdiri dari spesies Pseudoboletia maculate, Tripneustes gratilla, Salmacis sphaeroides, Mespillia globules, Diadema antiilarum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Protoreaster nodulosus, Archaster typicus, Ophiomastix annulosa dan Holothuria atra.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

100 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

DAFTAR PUSTAKA Abbot, T. R., Dance, P. S. 2000.

Compendium of Seashells. Odyssey Publishing. Pan-American.

Suguanti, B., Hidayat, H. E., Arta, P.A., Retnoningsih, S., Anggraeni, Y., Lafi, L. 2014. Daftar Mollusca yang Berpotensi Sebagai Spesies Asing Invasif di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan Karnatina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Pusat Karantina Ikan. Edisi Revisi. Jakarta.

Setiawan, F. 2004. Panduan Lapangan, identifikasi Ikan Karang dan Invertebrata Laut Dilengkapi Metode Monitoringnya. WCS Indonesia, Marine Programe. Manado-Indonesia.

Anggraini, P., Elfidasari, D., Pratiwi, R. 2015. Sebaran Kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Diversiti Indonesia. 1(2): 213-221p.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

101 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KOMBINASI SEBARAN SUHU, OKSIGEN TERLARUT DAN pH DI PERAIRAN TELUK KUPANG

Alexander Leonidas Kangkan Staf Dosen Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana Email : [email protected]

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran suhu, oksigen dan pH di perairan Teluk Kupang. Pengabilan sampel mengacu pada fisiografi lokasi, yang sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan keadaan lokasi tersebut. Metode eksploratif dilakukan dengan tahapan, pertama adalah membagun layer dari variabel suhu, oksigen dan pH dengan mentranfer geodetic/ position data‟ (degree; minute; second / D˚ M‟ S” ) data latitude and longitude ke dalam singel numeric. Kedua adalah pemrosesan data menggunakan ER. Mapper 6.4 dengan teknik RGB tiga band komposit. Hasil penelitian menunjukkan (a). suhu perairan Teluk Kupang berkisar antara 26,56 ºC sampai 28.95 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28.01 ºC ±SD 0.63, (b). pH mempunyai nilai sebesar 6.20 sampai 8.95, dengan nilai rata-rata 8.00 ± SD 0.76, (c), oksigen terlarut dengan kisaran sebesar 5,12 ppm dan nilai tertinggi adalah 8.54 ppm dengan nilai rata-rata sebesar 7.41 ppm ± SD 1,06. Kata kunci : Suhu, Oksigen Terlarut, pH, Perairan Teluk Kupang

I. PENDAHULUAN

Kawasan Teluk Kupang mempunyai cakupan yang luas, tertutup setengah lingkaran, terdapat beberapa pulau-pulau kecil yang berada di dalam teluk maupun di mulut teluk, seperti pulau Semau, pulau Kera, pulau Burung dan pulau Tikus (Hartoko dan Kangkan 2009 ; Kangkan, 2016). Bagian terpenting dari gambaran oceanografi perairan Teluk Kupang adalah suhu, oksigen terlarut dan pH. Variabel suhu, oksigen terlarut dan pH hampir tidak pernah ditinggalkan dalam berbagai riset kelautan sebab sangat berperan dalam proses fisika, kimia dan biologi perairan. Suhu perairan mempunyai perubahan suhu harian maupun tahunan, yaitu berkisar antara 27°C – 32ºC. Naiknya suhu dapat mempercepat reaksi-reaksi kimia, yang menurut hukum Van’t Hoff kenaikan suhu 10ºC akan melipat gandakan kecepatan reaksi (Romimohtarto, 2003). Pada kondisi tertentu, suhu permukaan perairan dapat mencapai 35 ºC atau lebih besar. Suhu yang mengalami perubahan akan mempengaruhi perairan yang berperan sebagai habitat organisme akuatik. Sebab itu setiap organisme akuatik mempunyai

batas kisaran maksimum dan minimum (Efendi, 2003). Semakin tinggi suhu semakin cepat perairan mengalami kejenuhan akan oksigen yang mendorong terjadinya difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan semakin menurun.

Perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen (Brotowidjoyo et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Kebutuhan oksigen pada lingkungan perairan mempunyai dua kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan dan juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

102 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

organisme yang hidup dalam perairan tersebut (SALMIN, 2000 ; Ghufron dan Kordi, 2005).

Derajat keasaman menunjukan aktifitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau pH = - log (H+). Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jazad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga, aktifitas pernapasan tinggi dan selera makan berkurang (Ghufron dan Kordi, 2005). pH air laut umunya berkisar antara 7.6 – 8.3 (Brotowidjoyo et al., 1995) dan berpengaruh terhadap ikan (Bal and Rao, 1984). pH air laut relatif konstan karena adanya penyangga dari hasil keseimbangan karbon dioksida, asam karbonat, karbonat dan bikarbonat yang disebut buffer (Black, 1986 ; Shephered and Bromage, 1998). Nilai pH, biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesa, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya, 2000).

Gambaran tentang kombinasi sebaran suhu, oksigen terlarut dan pH di perairan Teluk Kupang umumnya masih terbatas dalam publikasi utamanya dalam bentuk kombinasi spasial. Hal ini membatasi pemahaman tentang distribusi variabel diatas, sehingga diperlukan gambaran distribusi keruangan dari suhu, oksigen terlarut dan pH.

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling (Nasution 2001). Pengukuran variabel suhu, oksigen terlarut dan pH dilakukan di 19 stasiun di perairan Teluk Kupang. Tahapan pengambilan sampel dan analisa data adalah sebagai berikut: Lokasi yang dikaji adalah Perairan Teluk Kupang yang secara geografis terletak 10° 00' 0”- 10° 10' 0” LS dan 123° 30' 0” - 123° 47'0” BT. Variabel yang digunakan mencakup variabel suhu, pH dan oksigen terlarut. Langkah pertama adalah membagun layer dari variabel suhu, oksigen dan pH dengan mentranfer geodetic/ position data‟ (degree; minute; second / D˚ M‟ S” ) data latitude and longitude ke dalam singel numeric (Hartoko and Helmi,2004). Pemrosesan data menggunakan ER. Mapper 6.4dengan teknik RGB tiga band komposit.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Suhu Perairan

Suhu perairan di Teluk Kupang mempunyai kisaran antara 26,56 ºC sampai 28.95 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28.01 ºC ±SD 0.63. Kisaran suhu terendah terdapat pada koordinat 10 08' 23,815" LS dan 123 38' 12,095" BT dan suhu terendah terdapat pada koordinat 10 05' 30,0" LS dan 123 38' 0,03" BT (Gambar. 1)

Gambar 1. Sebaran Suhu (ºC) di Perairan Teluk Kupang

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

103 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 1 diatas memperliharkan adanya perbedaan suhu di perairan Teluk Kupang. Perbedaan tersebut diduga karena, adanya selisih waktu pengukuran in situ terhadap variabel ini. Suhu perairan berkaitan dengan kemampuan pemanasan dari sinar matahari, waktu dalam hari dan lokasi serta kedalam perairan (Effendi (2003). Lebih lanjut dikatakan oleh Basmi (2000) dan Hutabarat (2000) bahwa, air lebih lambat menyerap panas tetapi akan menyimpan panas lebih lama dibandingkan dengan daratan. Daerah yang semi atau tertutup, biasannya relatif terjadi peningkatan suhu perairan, karena sedikit atau tidak terjadi pergerakan massa air. Fluktuasi suhu lebih

bervariasi di daerah pesisir yang mempunyai kedalaman relatif dangkal, karena terjadi kontak dengan substrat yang terekspos (Kinne,1964 dalam Supriharyono, 2001).

3.2 pH (Derajat Keasaman) Perairan

Pengukuran in situ terhadap variabel pH di Teluk Kupang memperlihatkan kisaran nilai sebesar 6.20 sampai 8.95, dengan nilai rata-rata 8.00 ± SD 0.76. Nilai pH terendah terdapat pada koordinat 10 03' 52,54" LS dan 123 37' 27,12" BT dan nilai tertinggi ada pada koordinat 10 08' 23,815" LS dan 123 38' 12,905" BT (Gambar 2)

Gambar 2. Sebaran pH di Perairan Teluk Kupang

Gambar 2 diatas memperliharkan adanya perbedaan suhu dperairan Teluk Kupang. Perbedaan nilai pH dalam perairan diduga, oleh konsentrasi pH dalam perairan yang mempunyai siklus harian, juga disebabkan perbedaan waktu pengukuran. Siklus pH merupakan fungsi dari karbondioksida. Perairan mengandung kabondioksida bebas dan ion karbonat maka pH cenderung asam, dan pH akan kembali meningkat jika CO2 dan HCO3

mulai berkurang (Effendi, 2003). Kisaran pH dalam perairan alami, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi karbon dioksida yang merupakan substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi perairan lainya

menyerap karbon dioksida dari perairan selama proses fotosintesa berlangsung sehingga pH cenderung meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. Tetapi menurunya pH oleh karbondioksida tidak lebih dari 4.5 (Boyd, 1982). Proses nitrifikasi oleh bakteri dapat mengurangi nilai pH perairan karena adanya konsumsi karbonat dan pelepasan ion hidrogen selama proses berlangsung (Soderberg, 1995). Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti, amonia, nitrat dan fosfat berguna bagi fitoplankton dan tumbuhan air. pH dipengaruhi oleh

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

104 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

banyak sedikitnya bahan organik yang dibawa melalui aliran sungai (Kusumaningtyas, dkk., 2014). Proses akan lebih cepat jika kisaran pH basa dan mantap dimana pH diatas 7, amonia dalam bentuk molekul NH3 akan lebih dominan dari ion NH4, pada tingkatan tertentu dapat menembus membran sel atau juga menyebabkan rusaknya jaringan (Afriyanto dan Liviawaty, 1991)

3.3 Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran in situ terhadap peubah oksigen terlarut di perairan Teluk Kupang memperlihatkan kisaran sebesar 5,12 ppm dan nilai tertinggi adalah 8.54 ppm dengan nilai rata-rata sebesar 7.41 ppm ± SD 1,06. Kandungan oksigen terlarut tertinggi pada lokasi 10 8' 23,815" LS dan 123 38' 12,9055" BT dan terendah pada koordinat 10 08' 32,315" LS dan 123 36' 49,426" BT (Gambar 3).

Gambar 3. Sebaran Oksigen Terlarut (ppm) di Perairan Teluk Kupang

Gambar 3 diatas menunjukkan adanya perbedaan suhu di perairan Teluk Kupang. Bervariasinnya kandungan oksigen terlarut diduga karena adanya pergerakan dan percampuran massa air serta siklus harian variabel ini. Nilai rata-rata oksigen terlarut tersebut tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Utojo et al (2005) dengan kisaran 4.6 ppm sampai 9.6 ppm di Teluk Kupang. Daerah yang relatif terbuka mempunyai pergerakan masa air yang lebih baik sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran masa air. Disamping itu, daerah yang terbuka lebih memudahkan terdifusinya oksigen kedalam perairan, walupun kontribusinya diperairan lebih kecil dibandingkan dengan mikroalga. Secara normatif, oksigen terlarut di perairan ditopang oleh aktifitasi fotosintesa mikroalga dan difusi oksigen. Akan tetapi oksigen

terlarut merupakan variabel yang dinamis dalam perairan, sehingga sangat berkaitan dengan siklus hariannya. Kondisi tersebut yang menyebabkan perbedaan kandungan oksigen terlarut, jika waktu pengukuran in situ tidak sama. Brotowidjoyo et al (1995) mengatakan bahwa, pada kondisi perairan terbuka oksigen berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen. Hasil pengukuran terhadap oksigen terlarut di perairan diTeluk Kupang memperlihatkan kisaran yang layak dan mendukung kegiatan budidaya laut.

3.4 Kombinasi Suhu, Oksigen Terlarut dan pH

Kombinasi sebaran variabel suhu, oksigen terlarut dan pH di perairan Teluk Kupang diperlihatkan pada Gambar 4.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

105 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 4. Kombinasi Suhu, Oksigen Terlarut dan pH di Perairan Teluk Kupang

Gambar 4 diatas menunjukkan bahwa sebaran suhu di perairan teluk bangian dalam memperlihatkan nilai yang lebih tinggi dan mencolok, jika dibandingkan dengan perairan di mulut teluk. Perairan teluk dalam mempunyai kondisi perairan yang relatif dangkal dan pergantian masa air yang sangat rendah. Suhu perairan mempunyai hubungan dengan kemampuan dan tingkat pemanasan oleh sinar matahari, waktu dalam hari dan lokasi (Effendi, 2003). Hutabarat (2000) mengatakan bahwa air lebih lambat menyerap panas tetapi menyimpannya lebih lama. Daerah yang semi tertutup atau tertutup, umumnya akan terjadi peningkatan suhu perairan karena tidak terdapat pergerakan massa air. Selain itu suhu akan memperlihatkan fluktuasi yang bervariasi, pada daerah perairan pesisir yang mempunyai kedalaman relatif dangkal karena terjadi kontak dengan substrat yang terekspos.

Sebaran pH memperlihatkan perairan utara Teluk Kupang mempunyai gradasi warna yang mencolok dan mempunyai kisaran yang relatif lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kawasan lainnya di perairan Teluk Kupang. Sebaran variabel

oksigen terlarut cenderung lebih tinggi di perairan sebelah barat Teluk Kupang. Hal ini terlihat dengan adanya warna yang mencolok pada perairan sebelah barat jika dibandingkan dengan kwasan peraiaran lainnya dalam Teluk Kupang. Perairan sebelah barat cenderung terbuka, dimana terdapat pergerakan dan percampuran massa air serta siklus harian. Daerah yang relatif terbuka mempunyai pergerakan massa air yang lebih baik sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran, yang memudahkan terdifusinya oksigen ke dalam perairan.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Indentifikasi variabel sebagai berikut (a). suhu perairan Teluk Kupang berkisar antara 26,56 ºC sampai 28.95 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28.01 ºC ±SD 0.63, (b). pH mempunyai nilai sebesar 6.20 sampai 8.95, dengan nilai rata-rata 8.00 ± SD 0.76, (c), oksigen terlarut dengan kisaran sebesar 5,12 ppm dan nilai tertinggi adalah 8.54 ppm dengan nilai rata-rata sebesar 7.41 ppm ± SD 1,06. Kombinasi sebaran suhu perairan tertinggi terlihat di sebelah timur, pH tertinggi

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

106 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

di sebelah utara dan Oksegen terlarut di sebelah barat perairan Teluk Kupang.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada kepala dan staf laboran Laboraturium Fakultas Kelautan dan Perikanan UNDANA, Krisben, Acer, Epa, paji dan Jis Blegur bantuan alat dan informasi data.

DAFTAR PUSTAKA

Afriayanto, E dan E. Liviawaty. 1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Penerbit Kanisius.Yogyakarta

Bal .D. dan V.Rao.1984. Marine Fisheries. Tata Mcgraw-Hill Publishing Company Limited, New Dehli.

Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Makalah, Fakultas Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor.

Black ,J.A. 1986. Oceansand Coastal: An Introduction to Oceanography. W.M. Brown Publisher, IOWA. S.

Boyd, C .E. 1982. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University, Auburn.

Brotowijoyo,M.D., Dj. Tribawono, E. Mulbyantoro.1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan perairan. Penerbit Kanisius,Yogyakata.

Gufron. M.dan H.Kordi .2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung . Penerbit Rineka Cipta Jakarta.

Hartoko, A dan M. Helmi. 2004. Development of Digital Multilayer Ecological Model for Padang Coastal Water (West Sumatera). Journal of Coastal Development. Vol 7.No 3 hal 129-136.

Hartoko, A dan A. L. Kangkan, 2009. Spatial

modeling for mariculture site selection based on ecosystem parameters at

Kupang Bay East Nusa Tenggara. IReSES (6) : 57-64.

Hutabarat, S. 2000. Peranan Kondisi Oseanografi terhadap perbahan Iklim, Produktivitas dan Distribusi Biota Laut. UNDIP, Semarang

Kangkan, A.L., 2016. Penilaian Ekonomi Terumbu Karang dan Upaya Pengelolaan di Perairan Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Jurnal Biotropikal Sains Vol 3 (2) 45-53

Kusumaningtyas, M.A, Bramawanto, R., Daulat, A., Pranowo, W.S. 2014. Kualitas Perairan Natuna Pada Musim Transisi. Jurnal Depik, Vol 3 (1) : 10-20.

Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budodaya Laut.

www.fao,org/docrep/field/003. SALMIN. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di

Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI hal 42 – 46.

Sastrawijaya, A.T .2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Shephered, J, and N. Bromage. 1988. Intensive Fish Farming. Profesional Books Oxford London.Edinburgh, Boston Palo Alio Melbourne.

Soderberg, R.W.1995.Flowing Water Fish Culture. Lewis Publisher,Florida.

Supriharyono. 2000.Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam diwilayah Pesisir Tropis.. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, akarta

Utujo, A. Mansyur., Taranamulia., B. Pantjara dan Hasnawi., 2005. Identifikasi kelayakan lokasi budidaya laut di perairan Teluk Kupang. Nusa Tenggara Timur. Journal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol II. No 5 : 9-29.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

107 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PERSEPSI RAMAH LINGKUNGAN DITINJAU DARI KUALITASBIO-SOSIO PRODUSEN KERANG DARAH (Anadara granosa) KONSUMSI

DI DESA OEBELO

Crisca B. Eoh Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang

Jl. Adisucipto Penfui Kupang

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi ramah lingkungan, mendiskripsikan kualitas bio-sosio produsen dan mengkaji pengaruh antara kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi dengan persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo. Teknik analisa data yang digunakan, yaitu : ”Linear Probability Model, Uji Linearitas Regresi dan Uji Hipotesis Hubungan Antara Dua Variabel”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang diberikan 30 orang produsen yang memiliki kualitas sosio kerang darah konsumsi pada pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi ramah lingkungan memberikan pernyataan “Netral” hingga “Sangat Puas” dengan nilai berkisar 3.00 – 4.50, sedangkan rerata pernyataan persepsi ramah lingkungan pada kualitas sosio produsen kerang darah konsumsi adalah ”Puas” dengan rerata nilainya 4.02. Nilai kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi yang diberikan oleh 30 orang produsen berkisar antara 2.00 – 3.67 dengan rerata nilainya, yaitu 2.98. Selanjutnya untuk kriteria persepsi ramah lingkungan terhadap kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi terdiri dari 8 orang (26.67 %) menyatakan ”Tidak Puas”, 15 orang (50.00 %) menyatakan ”Netral” dan 7 orang (23.33 %) menyatakan ”Sangat Puas” dengan kriteria kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsinya, yaitu : 750 gr/ekor (berat), kelas VI – kelas XII / sederajat (pemahaman dan/atau pendidikan) dan ≤ 5 tahun – ≥ 25 tahun (pengalaman). Hasil regresi ganda : Y = 2.463 + 0.000 X1 + 0.578 X2 + 0.147 X3, jika pengaruh variabel terikat terhadap masing-masing variabel bebas Y = 2.463 + 0.000 X1 + 0.578 X2

** + 0.147 X3**. Hubungan antara persepsi ramah lingkungan

dengan pemahaman (tingkat pendidikan) kerang darah konsumsi kuat (koefisien korelasi = 0.740) dibandingkan dengan variabel lain. Besar hubungan antara persepsi ramah lingkungan dengan variabel lainnya berupa pengalaman kerang darah konsumsi (0.348) dan berat kerang darah konsumsi (0.000). Besar keragaman dalam persepsi ramah lingkungan yang mampu diterangkan oleh ketiga variabel bebas dalam fungsi (R2 = 49.875 %), sisanya (50.125 %). Uji Anova (F tes) menghasilkan Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat kepercayaan 99 persen (Fhitung = 8.62 > Ftabel = 4.64 untuk α = 1 % dan Ftabel = 2.98 untuk α = 5 % atau P > 0.01 > 0.05), yaitu ketiga variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi ramah lingkungan tentang kualitas bio-sosi produsen kerang darah konsumsi. Kata kunci : Persepsi Ramah Lingkungan, Kualitas Bio-Sosio Produen, Kerang Darah

Konsumsi

I. PENDAHULUAN

Anadara granosa sering disebut sebagai kerang darah karena adanya warna merah kecoklatan dari daging Anadara. Kerang darah adalah salah satu jenis kerang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan pada umumnya sebagai sumber makanan

laut di wilayah Asia Tenggara dan beberapa wilayah (Ulysses, et al., 2009), termasuk wilayah Indonesia khususnya di desa Oebelo.

Prospek pengembangan kerang darah juga diperkirakan memiliki peluang yang sama baiknya dengan pengembangan jenis ikan konsumsi lainnya. Hal ini terkait dengan

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

108 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun penduduk dunia yang meningkat tajam seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Sedangkan pasar dalam negeri tampaknya menunjukkan kecenderungan yang sama, begitu pula dengan pengembangan perekonomian daerah yang berorientasi pasar dan memanfaatkan potensi daerah sesuai dengan kemampuan sumberdaya lokal guna meningkatkan keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai komoditi keunggulan daerah. Ketersediaan potensi tersebut memberikan peluang untuk berkembangnya usaha di bidang perikanan melalui pemasaran (produsen) kerang darah guna memenuhi kebutuhan ikan bagi masyarakat.

Desa Oebelo merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, dan dari hasil observasi langsung ke beberapa titik di pasaran desa Oebelo (Eoh, 2018), bahwa ketersediaan kerang darah begitu banyak. Ini sesuai dengan data produksi komoditas kerang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang dalam Badan Pusat Statistik (BPS) Kecamatan Kupang Tengah dan BPS Kabupaten Kupang (2018), bahwa hasil penangkapan kerang-kerangan di perairan Kecamatan Kupang Tengah dan perairan Kabupaten Kupang sebesar 0,79 ton/tahun dan 7,75 ton/tahun.

Hasil penangkapan komoditas kerang termasuk didalamnya kerang darah dalam ukuran ‘ton’ oleh nelayan desa Oebelo di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Propinsi NTT yang terus menerus sepanjang tahun mengalami peningkatan. Dan jika pemanfaatan kerang darah tanpa memperhitungkan ukuran konsumsi dan kerang darah yang sedang aktif berkembang biak, akibatnya lama kelamaan ketersediaan kerang darah akan punah. Sedangkan permintaan dari pemasaran bivalvia konsumsi sepanjang tahun

terutama bagi kebutuhan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan karena pada umumnya masyarakat NTT belum memahami, mengenal dan memanfaatkan komoditas kerang bagi kebutuhan mereka.

Kerang darah (A. granosa) konsumsi juga merupakan salah satu jenis kerang yang banyak ditangkap di perairan pada umumnya dan khusus di perairan Oebelo dan/atau desa Oebelo dengan ukuran konsumsi yang layak (dipasarkan/dijual). Jadi kelayakan kerang konsumsi bukan saja ditentukan dari ukuran konsumsi melainkan didukung dengan pemahaman dan pengalaman dari pemasaran (produsen) A. granosa. Jika masyarakat NTT dapat memanfaatkan kerang darah yang dipasarkan di desa Oebelo, maka pengembangan bivalvia di NTT akan memberikan dampak bagi masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan diatas, maka perlu dilaksanakan penelitian untuk menjawab masalah : bagaimana hubungan kualitas bio-sosio kerang darah (Anadara granosa) konsumsi terhadap persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo; kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi; dan faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi ramah lingkungan terhadap kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi ramah lingkungan, mendiskripsikan kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi dan mengkaji pengaruh antara kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi dengan persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo. Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi yang aktual bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang dapat dijadikan pedoman dalam penerimaan kualitas bio-sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

109 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

II. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Oebelo Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Sedangkan pelaksanaan selama delapan (8) bulan, yaitu dari Mei sampai dengan Desember 2018, dan pengumpulan data lapangannya selama dua (2) mulai Juli sampai dengan September 2018.

2.2 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : ”Metode Survei”. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995). Sedangkan sebagai masalah dalam penelitian ini adalah persepsi ramah lingkungan dan kualitas bio-sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo pada saat ini, yang diperbandingkan dengan berbagai standar yang sesuai dan/atau berdasarkan Ilyas (1983); Standar Nasional Indonesia (SNI) Direktorat Jenderal Perikanan Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Jakarta (1993); Rahayu (2001); Sunarman (1972); Singarimbun dan Effendi (1995); Riduwan (2003); Sugiyono (2008); Mulki, dkk.; dan Eoh (2014).

2.3 Instrumen Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : data primer dan data sekunder. Data primer dapat diperoleh dengan menggunakan metode wawancara melalui survei langsung ke produsen (masyarakat) yang memiliki kualitas bio-sosio kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo, serta mewawancarai masyarakat tersebut sebagai responden berdasarkan daftar pertanyaan (Score Sheet). Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa publikasi dan dokumentasi yang

bersumber dari instansi-instansi yang terkait langsung dengan sasaran penelitian ini, disamping itu juga dengan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini.

2.4 Sampel Penelitian

Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah produsen yang memiliki kualitas bio-sosio kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo yang berjumlah 30 orang pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan pengambilan sampel dari produsen tersebut dilakukan dengan menggunakan metode “Accidental Sampling” yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan faktor spontanitas atau kebetulan, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu (kebetulan) dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel (responden) (Riduwan, 2003; Sugiyono, 2008 dan Sugiyono, 2009).

2.5 Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari pengukuran persepsi ramah lingkungan dan kualitas bio-sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi berupa pernyataan dan skor selama pelaksanaan penelitian, diedit dan diberi kode sebelum dimasukkan ke dalam kartu tabulasi (Tabulation Chart) serta di analisis secara kualitatif (Ilyas, 1983; Standar Nasional Indonesia (SNI) Direktorat Jenderal Perikanan Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Jakarta, 1993; Singarimbun dan Effendi,1995; Rahayu, 2001).

Untuk mengetahui dan mendiskripsikan persepsi ramah lingkungan dan kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo digunakan ”Linear Probability Model (Steel and Torrie, 1993)” dengan persamaan matematis secara umum adalah:

Pi = f (X1, X2, X3)

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

110 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Keterangan : Pi : Variabel keputusan bernilai 1 bagi

yang memilih puas/penerimaan kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi (berat, pemahaman dan pengalaman) dan bernilai nol bagi lainnya (tidak puas/penolakan)

X1 : Berat kerang darah konsumsi X2 : Pemahaman (tingkat pendidikan)

kerang darah konsumsi

X3 : Pengalaman kerang darah konsumsi

Sedangkan untuk mengkaji pengaruh

antara kualitas bio-sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi dengan persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo digunakan ”Uji Linearitas Regresi atau Analisis Varians (ANAVA) Regresi Linear Sederhana (Sugiyono, 2009)” dengan rumusan hipotesis sebagai berikut :

Taraf uji bagi kaidah ini adalah sebesar α ═ 0,05 dan 0.01. Selanjutnya jika dalam uji linearitas regresi atau analisis varians (ANAVA) regresi linear sederhana terdapat linear, maka dilanjutkan dengan ”Uji Hipotesis Hubungan Antara Dua Variabel” dengan rumusan hipotesis, yaitu : H0 : Ρ = 0 artinya tidak ada korelasi

antara kualitas bio-sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi dengan persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo.

H1 : Ρ ≠ 0 artinya ada korelasi antara kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi dengan persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Umum Produsen di Desa Oebelo

Secara umum dari hasil wawancara pada 30 orang produsen (masyarakat) yang

memiliki kualitas sosio kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo mulai dari tanggal 03 Juli sampai dengan 03 September 2018, dapat diuraikan dominansinya dari kualitas sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi berdasarkan analisis adalah sebagai berikut : a) umur produsen terbesar, yaitu antara 40 – 53 tahun (6 orang laki-laki dan 5 orang perempuan) atau 36,67 persen; b) jenis kelamin produsen terbesar adalah 16 orang laki-laki atau 53,33 persen; c) pemahaman (tingkat pendidikan) produsen terbesar, yaitu kelas IX / sedejat dengan jumlah laki-laki 9 orang dan perempuan 5 orang atau 46.67 persen; dan d) pengalaman produsen kerang darah konsumsi terbesar adalah antara 0 – 5 tahun yang terdiri atas laki-laki 6 orang dan perempuan 3 orang atau 30,00 persen.

Selain itu pula kualitas bio produsen kerang darah konsumsi yang ditemukan di desa Oebelo terdiri dari 2 (dua) ciri, yaitu kerang darah dengan cangkang berwarna putih ditutupi periostrakum yang berwarna kuning kecoklatan (berdaging putih, istilah produsen) dan kerang darah dengan cangkang berwarna coklat kehitaman (berdaging merah, juga istilah produsen). Sedangkan ciri kedua cangkang ini memiliki cangkang yang lebih tebal, lebih besar, lebih bulat dan bergerigi di bagian puncaknya serta ditumbuhi oleh rambut-rambut. Kerang darah konsumsi yang dipasarkan di desa

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

111 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Oebelo berasal dari dua (2) perairan dan/atau desa, yaitu : pertama, dari perairan dan/atau desa Pariti; dan kedua, dari perairan dan/atau desa Oebelo.

Produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo masih bersifat menunggu konsumen. Artinya bahwa produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo masih bersifat pasif (menantinya kedatangan calon pembeli). Sedangkan dalam pelayanannya bagi konsumen, kerang darah konsumsi langsung diterima atau didapatkan oleh pembeli dengan cara memberi kebebasan untuk memilih dan/atau mendapatkan kerang tersebut lewat ukuran kilogram (sekaleng blue band atau cat 1 kg) yang disiapkan oleh produsen sendiri dengan harga Rp. 20.000,-.

3.2 Persepsi Ramah Lingkungan Pada Kualitas Sosio Produsen Kerang Darah (Anadara granosa) Konsumsi

Pedoman persepsi ramah lingkungan pada kualitas sosio produsen kerang darah konsumsi dapat dinyatakan dalam “Skala Rasio” dalam bentuk “Skala Sikap Likert” berupa pernyataan : sangat puas (5), puas (4), netral (3), tidak puas (2) dan sangat tidak puas (1). Untuk itu berdasarkan survei yang dilakukan pada 30 orang produsen yang memiliki kualitas sosio kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo memberikan skor pada pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi ramah lingkungan sangat bervariasi, yaitu antara 2 – 5. Sedangkan nilai persepsi ramah lingkungan dari 30 orang produsen yang memiliki kualitas sosio kerang darah konsumsi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai persepsi ramah lingkungan pada kualitas sosio

produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo

No. Responden

Nilai Persepsi Ramah Lingkungan Pada Kualitas Sosio Produsen Kerang Darah

Konsumsi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

4.5 4.5 3.5 3.5 4 3

3.5 3.5 3

4.5 4.5 4 4 4

3.5 4

4.5 4.5 3

4.5 4.5 4.5

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

112 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

4.5 4.5 4.5 3.5 4.5 4.5 4.5 3

Sumber : Hasil Olahan 2018

Tabel 1 menunjukkan bahwa pernyataan yang diberikan 30 orang produsen yang memiliki kualitas sosio kerang darah konsumsi pada pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi ramah lingkungan memberikan pernyataan “Netral” hingga “Sangat Puas” dengan nilai berkisar 3.00 – 4.50, sedangkan rerata pernyataan persepsi ramah lingkungan pada kualitas sosio produsen kerang darah konsumsi adalah ”Puas” dengan rerata nilainya 4.02. Ini berarti bahwa produsen yang memiliki kualitas sosio kerang darah konsumsi merasa puas terhadap pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi ramah lingkungan di desa Oebelo. Hal ini disebabkan karena produsen yang memiliki kualitas sosio kerang darah konsumsi dalam pemberian persepsi ramah lingkungan sangatlah tergantung pada kebebasan dan perasaan. Ini sesuai dengan pernyataan Ilyas (1983), bahwa dalam

penilaian sensori subjektif (diskriptif) dimana penyimpangan tidak ditekan atau tidak diusahakan minimum dengan pendapat perorangan dibiarkan bebas terkendali.

3.3 Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang Darah (Anadara granosa) Konsumsi Terhadap Persepsi Ramah Lingkungan (Kriteria Dan Nilai)

Pengamatan pada 30 orang produsen yang memiliki kualitas bio-sosio kerang darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo, memberikan respon pada berat, pemahaman dan pengalaman kerang darah konsumsi ramah lingkungan berupa pernyataan yang bervariasi mulai ”Sangat Tidak Puas” hingga ”Sangat Puas”, begitu juga dengan persentasenya. Ini dapat dilihat dari persentase bio-sosio produsen kerang darah konsumsi terhadap persepsi ramah lingkungan dapat disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Persentase kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi terhadap persepsi

ramah lingkungan (kriteria dan nilai) selama penelitian

Kriteria Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang

Darah Konsumsi

Kriteria Persepsi Ramah Lingkungan Terhadap Kualitas

Bio-Sosio Produsen Kerang Darah

Konsumsi

Jumlah Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang Darah Konsumsi Terhadap

Persepsi Ramah Lingkungan (org)

Persentase Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang Darah Konsumsi Terhadap

Persepsi Ramah Lingkungan (%)

a. Berat, meliputi : - 1000 gr/ekor - 750 gr/ekor - 500 gr/ekor - 250 gr/ekor - 0 gr/ekor

Sangat Puas Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

-

30 - - -

0

100 0 0 0

b. Pemahaman, terdiri dari : - S1 - D1 – D4 / Sederajat - Kelas XII / Sederajat - Kelas IX / Sederajat - Kelas VI

Sangat Puas Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

- - 8 12 10

0 0

26.67 40

33.33

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

113 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Kriteria Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang

Darah Konsumsi

Kriteria Persepsi Ramah Lingkungan Terhadap Kualitas

Bio-Sosio Produsen Kerang Darah

Konsumsi

Jumlah Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang Darah Konsumsi Terhadap

Persepsi Ramah Lingkungan (org)

Persentase Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang Darah Konsumsi Terhadap

Persepsi Ramah Lingkungan (%)

c. Pengalaman, antara lain : - ≥ 25 tahun - 20 tahun - 15 tahun - 10 tahun - ≤ 5 tahun

Sangat Puas Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

9 4 4 4 9

30

13.33 13.33 13.33

30

Sumber : Hasil Olahan 2018

Sedangkan untuk skor kualitas bio-

sosio produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo yang diberikan 30 orang produsen, berkisar antara 1 – 5.

Sedangkan nilai kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo

No. Responden Nilai Kualitas Bio-Sosio Produsen Kerang Darah

Konsumsi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

2.67 3.33 3.33 2.67 2.33

2 2.33 3.33

2 3.33 3.67 2.67 2.33 2.33 3.33 2.67 3.67 3.33

2 2.67 3.33 3.67 3.67 3.67 3.67 3.33 3.67

3 3.33

2

Sumber : Hasil Olahan 2018

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

114 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi yang diberikan oleh 30 orang produsen berkisar antara 2.00 – 3.67 dengan rerata nilainya, yaitu 2.98. Selanjutnya untuk kriteria persepsi ramah lingkungan terhadap kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi terdiri dari 8 orang (26.67 %) menyatakan ”Tidak Puas”, 15 orang (50.00 %) menyatakan ”Netral” dan 7 orang (23.33 %) menyatakan ”Sangat Puas” dengan kriteria kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsinya, yaitu : 750 gr/ekor (berat), kelas VI – kelas XII / sederajat (pemahaman dan/atau pendidikan) dan ≤ 5 tahun – ≥ 25 tahun (pengalaman). Artinya bahwa selama penelitian rata-rata berat kerang darah konsumsi, pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi adalah sebagai berikut : 9.94 gr/ekor, kelas IX / sederajat dan 15.77 tahun. Hal ini disebabkan karena kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi (berat, pemahaman dan/atau pendidikan serta pengalaman) sudah dikenali. Ini sesuai dengan pernyataan beberapa ahli yang antara lain untuk : a) Berat, Mulki, dkk. (2014) menyatakan bahwa menyatakan bahwa variasi kerang darah yang ditangkap di perairan pesisir Kecamatan Genuk Kota Semarang dikelompokkan menjadi (3) kelas ukuran berat, yaitu : kelas ukuran kecil berkisar antara 0,5 – 4,5 gram, 4,6 – 8,5 gram untuk ukuran sedang dan kelas ukuran lebih dari 8,6 gram; b) Pemahaman (tingkat pendidikan), Sunu (2001), manusia yang bergerak di sektor pendidikan mempunyai peranan yang penting untuk jangka panjang, karena bertanggung jawab membentuk manusia yang seutuhnya agar mempunyai wawasan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup; dan c) Pengalaman, Dwidjoseputro (1994) menyatakan bahwa manusia adalah produk dari interaksi antara dirinya sendiri dengan lingkungan

sekitarnya sehingga pengetahuan mengenai lingkungan tidaklah diberikan sekedar untuk diketahui, tetapi untuk dijadikan sebagai sarana mendewasakan pemiliknya menjadi orang sadar dan bertanggung jawab.

Untuk kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi di desa Oebelo menunjukkan keberhasilan terutama beratnya yang menentukan pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman bagi produsen, yang artinya bahwa berat kerang darah konsumsi di desa Oebelo memuaskan produsen dan sesuai dengan berbagai standar permintaan kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi. Selain itu pula bahwa keberhasilan (berat) kerang darah konsumsi di desa Oebelo sangat didukung oleh kondisi topografi, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana produktivitas kerang darah konsumsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adimihardja (1981), bahwa kaidah efek atau akibat pendirian bahwa kepuasan yang menginginkan perbuatan yang berhasil, menjadikan respon ini lebih mungkin dari pada lainnya, sedangkan perasaan terganggu karena ketidakpuasaan yang mengiringi respon yang tidak berhasil, menjadikan respon-respon semacam ini kurang memungkinkan untuk menjadi kembali. Pendirian ini berupa kesenangan-ketidak-senangan menggambarkan alasan yang nyata mengapa kita belajar. Banyak kesukaan dan ketidaksukaan dengan jelas sebagai hasil belajar, ada yang tanpa rencana dan ada pula yang dengan rencana atau sengaja, namun belum tentu bahwa kesenangan-ketidaksenangan harus terjadi pada semua perbuatan belajar. Kesukaan yang kuat yang berkembang pada banyak orang terhadap teori dan praktek sosial, politik dan ekonomi tertentu, pasti menggambarkan sikap yang mengandung kepuasan-kepuasan yang sering diperoleh melalui proses asosiasi yang panjang.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

115 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.4 Pengaruh Bio-Sosio Produsen Kerang Darah (Anadara granosa) Konsumsi Terhadap Persepsi Ramah Lingkungan Di Desa Oebelo

Nilai-nilai dari kualitas bio-sosio produsen meliputi : berat kerang darah konsumsi, pemahaman (tingkat pendidikan)

dan pengalaman kerang darah (Anadara granosa) konsumsi dengan nilai persepsi ramah lingkungan selama penelitian di desa Oebelo, selanjutnya pengaruh dari ke ketiga (3) variabel terhadap persepsi ramah lingkungan dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Hasil pengujian nilai kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi dengan nilai persepsi ramah lingkungan di desa Oebelo selama penelitian

Variabel Koefisien Regresi

t hitung

Konstanta 1. Berat Kerang Darah Konsumsi 2. Pemahaman (Tingkat Pendidikan) Kerang Darah

Konsumsi 3. Pengalaman Kerang Darah Konsumsi

2.463 0.000

0.740**

0.348**

0.000 5.821

1.968

R2 = 0.49875 F hitung = 8.623441397**

Sumber : Hasil Olahan 2018

Keterangan : ** : Signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % dan 99 %

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil

pengujian dengan menggunakan regresi ganda diperoleh persamaan regresi Y = 2.463 + 0.000 X1 + 0.578 X2 + 0.147 X3, Y = variabel independen yaitu persepsi ramah lingkungan sedangkan X = variabel dependen berupa kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi (berat kerang darah konsumsi / X1, pemahaman dan/atau tingkat pendidikan / X2 serta pengalaman kerang darah konsumsi / X3).

Persamaan regresi ini menunjukkan bahwa persepsi ramah lingkunan mengalami peningkatan nilai oleh pemahaman (tingkat pendidikan) kerang darah konsumsi yang terbesar (0.740), pengalaman kerang darah konsumsi (0.348) dan berat kerang darah konsumsi (0.000), jika pengaruh variabel terikat (Y) terhadap masing-masing variabel bebas (X) diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = 2.463 + 0.000 X1 + 0.578 X2

** + 0.147 X3**.

Persamaan regresi ini juga menunjukkan bahwa berat kerang darah konsumsi di desa Oebelo dapat meningkatkan persepsi ramah lingkungan positif bagi produsen yang memiliki kualitas

bio-sosio kerang darah konsumsi sebesar 0.000; Begitu pula dengan pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi dapat menaikkan persepsi ramah lingkungan sebesar 0.578 dan 0.147.

Hubungan antara persepsi ramah lingkungan dengan pemahaman (tingkat pendidikan) kerang darah konsumsi kuat (koefisien korelasi = 0.740) dibandingkan dengan variabel lain, maka pengaruh pemahaman (tingkat pendidikan) kerang darah konsumsi pada persepsi ramah lingkungan lebih besar. Besar hubungan antara persepsi ramah lingkungan dengan variabel lainnya berturut-turut : pengalaman kerang darah konsumsi (0.348) dan berat kerang darah konsumsi (0.000). Ini sesuai dengan pedoman interprestasi koefisien korelasi nilai r dari Riduwan (2006) dan Sugiyono (2009), bahwa interval koefisien dari 0.60 – 0.799 termasuk dalam tingkat hubungan kuat, 0.20 – 3.99 rendah dan 0.000 – 1.999 tergolong dalam tingkat hubungan sangat rendah.

R2 menunjukkan berapa besar keragaman dalam persepsi ramah

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

116 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

lingkungan yang mampu diterangkan oleh ketiga variabel bebas dalam fungsi (49.875 %), sisanya (50.125 %) diterangkan oleh variabel lain seperti manajemen pengelolaan dari kualitas bio-sosio produsen kerang darah konsumsi ditingkatkan dan promosi ditingkatkan.

Besar pengaruh seluruh variabel tersebut secara bersama-sama terhadap persepsi ramah lingkungan diuji dengan menggunakan uji Anova (Ftes) menghasilkan Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat kepercayaan 99 persen (Fhitung = 8.62 > Ftabel = 4.64 untuk α = 1 % dan Ftabel = 2.98 untuk α = 5 % atau P > 0.01 > 0.05), yaitu ketiga variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi ramah lingkungan tentang kualitas bio-sosi produsen kerang darah konsumsi, namun kepuasan kualitas bio-sosi produsen kerang darah konsumsi perlu didukung oleh proses sosialisasi, permintaan dan pilihan dari produsen dan/atau konsumen dalam hubungannya dengan struktur pasar. Ini sesuai dengan pendapat Machfoedz (2004), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dibagi atas empat, yaitu faktor budaya, tingkat sosial, sosial dan faktor psikologis. Pendapat Nitimihardjo (1993), bahwa proses sosialisasi terbentuk karena kebiasaan-kebiasaan seseorang, dimana kebiasaan-kebiasaannya tidak akan jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dimana dia berada. Artinya kebiasaan yang sejalan dengan kultur yang berlaku. Selanjutnya menurut Rukmana (1997), permintaan pasar (konsumen) terhadap ikan ukuran konsumsi amat bervariasi, tergantung pada tingkat pendapatan, kebiasaan, adat, macam masakan dan selera konsumen. Kemudian Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro (2000) menyatakan bahwa pilihan konsumen atas berbagai barang-barang dan jasa-jasa terutama tentang struktur pasar dapat menjelaskan alokasi sumber-sumber daya yang terbatas tersedianya untuk berbagai penggunaan.

Pengujian interaksi yang menggunakan uji Anova (ttes), khusus untuk masing-masing variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y) secara terpisah menunjukkan bahwa kedua variabel bebas [pemahaman (tingkat pendidikan) kerang darah konsumsi dan pengalaman kerang darah konsumsi] berpengaruh sangat nyata secara statistik terhadap variabel terikat (tingkat kepuasan produsen kerang darah konsumsi). Hal ini disebabkan karena pemahaman (tingkat pendidikan) kerang darah konsumsi oleh produsen yang memiliki kualitas bio-sosio kerang darah cukup tinggi ; dan pengalaman kerang darah konsumsi yang dimiliki produsen sudah lama di desa Oebelo. Ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli antara lain : dalam Kamus Bahasa Indonesia (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan meliputi proses, cara dan perbuatan mendidik. Pendidikan yang dimaksudkan berhubungan dengan seorang atau kelompok orang adalah meningkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan keahlian atau profesi, yang artinya bahwa pendidikan seorang atau kelompok orang dapat diperoleh melalui proses belajar mengajar atau memperoleh pengetahuan melalui suatu ketrampilan dalam mengembangkan profesi. Kemudian Anonymous (1993) menyatakan bahwa panelis (konsumen) harus mempunyai pengalaman (latihan yang cukup) dan kepekaan atau ketelitian (ketajaman alat indra) terhadap perkembangan dan perubahan-perubahan atribut mutu produk ; dan selanjut dikatakan Rahayu (2001), bahwa keahlian seorang panelis biasanya diperoleh melalui pengalaman dan latihan yang lama. Meskipun keahlian diperoleh itu merupakan bawaan sejak lahir, tetapi mendapatkannya perlu latihan yang tekun dan terus-menerus. Hal senada juga dikatakan Adimihardja (1981), bahwa kesenangan-ketidaksenangan berbeda-beda menurut intensitas perangsangan.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

117 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Dengan kata lain bahwa umumnya prinsip relativitas suasana perasaan dapat diamati dalam keragaman pengalaman sosial.

Selanjutnya variabel bebas lainnya (berat kerang darah konsumsi) terhadap variabel terikat (persepsi ramah lingkungan) memberikan pengaruh yang tidak nyata. Artinya berat kerang darah konsumsi secara utuh tidak menjamin dalam keahlian [pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman] yang dimiliki produsen (seorang atau kelompok orang), namun keahlian produsen perlu ditunjang oleh ketelitian tentang ukuran kerang darah konsumsi, dasar dan/atau bawaan serta faktor sosial seperti keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, sekolah dan media massa. Ini sesuai pernyataan Suwignyo, et al. (2005), bahwa variasi kerang darah yang ditangkap di perairan pesisir Kecamatan Genuk Kota Semarang dikelompokkan menjadi (3) kelas ukuran panjang, yaitu : kelas ukuran kecil (1,0 – 2,0 cm), kelas ukuran sedang (2,1 – 3,0 cm) dan kelas ukuran besar (lebih dari 3,1 cm). Kemudian dalam aliran atau faham konvergensi dalam Suryabrata (1984) dan Ahmadi (1991) berpendapat bahwa perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memainkan peranan penting seperti keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, sekolah dan media massa. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Kualitas bio-sosio produsen kerang

darah (Anadara granosa) konsumsi di desa Oebelo memberikan kepuasan yang berarti.

2) Analisis statistik regresi ganda variabel kualitas bio-sosio produsen [berat kerang darah konsumsi, pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman kerang darah konsumsi] (X) terhadap persepsi ramah lingkungan (Y) menunjukkan bahwa : a. Kepuasan kualitas bio-sosi produsen

kerang darah konsumsi perlu didukung oleh proses sosialisasi, permintaan dan pilihan dari produsen dan/atau konsumen dalam hubungannya dengan struktur pasar di desa Oebelo.

b. Persepsi ramah lingkungan tidak menjamin dalam menentukan berat kerang darah konsumsi secara utuh, namun menjamin dalam keahlian [pemahaman (tingkat pendidikan) dan pengalaman] produsen (seorang atau kelompok orang), tetapi keahlian produsen perlu ditunjang oleh ketelitian tentang ukuran kerang darah konsumsi, dasar dan/atau bawaan serta faktor sosial.

4.2 Saran

Berdasarkan simpulan, maka dapat disarankan beberapa hal yang antara lain : 1) Perlu adanya penelitian lanjut mengenai

kualitas bio-sosio produsen kerang darah (Anadara granosa) konsumsi terhadap persepsi ramah lingkungan, baik pada pusat pemasaran tradisonal maupun pusat pemasaran modern.

2) Sosialisasi kualitas bio-sosio produsen kerang konsumsi perlu ditingkatkan, sehingga pada akhirnya masyarakat dapat memanfaatkan kerang darah konsumsi sesuai dengan standar pemasaran (permintaan produsen dan/atau konsumen).

3) Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pemasaran kerang darah konsumsi maka regulasi, penyediaan sarana dan prasarana perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah guna mendukung pengembangan ekonomi daerah.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

118 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, D., 1981. Psikologi Umum Bagi Guru SMP Yang Diangkat Dari Lembaga Pendidikan Non Keguruan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Hal. 61, 76 dan 77.

Ahmadi, A., 1991. Psikologi Sosial. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Hal. 255 – 273.

Anonymous, 1993. Standar Nasional Indonesia (SNI) Komoditas Perikanan Jakarta, Ikan Segar (SNI 01-2729-1992). Direktorat Jenderal Perikanan Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta. Hal. 110 dan 184.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang, 2018. Kabupaten Kupang Dalam Angka. Propinsi NTT. Hal.195.

Badan Pusat Statistik Kecamatan Kupang Tengah, 2018. Kecamatan Kupang Tengah Dalam Angka. Kabupaten Kupang – NTT. Hal. 62.

Dwidjoseputro, D., 1994. Ekologi Manusia dan Lingkungannya. Erlangga, Jakarta.

Eoh, B. E., 2014. Analisis Bio-Sosio-Ekonomi Terhadap Persepsi Konsumen Ikan Nila Hidup (Oreochromis Niloticus) Konsumsi Di Unit Pelaksana Teknis Kolam Pemancingan Noekele. Prosiding Lembaga Penelitian Undana Vol. I. ISBN : 978-979-2468250, Lembaga Penelitian Undana, Kupang.

Eoh, B. E., 2018. Survei Kerang Darah (Anadara granosa) Di Desa Oebelo. Kecamatan Kupang

Tengah, Kabupaten Kupang – NTT. Ilyas, S., 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil

Perikanan. Jilid I. Teknik Pendinginan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Hal. 6, 7 dan 66 – 78.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003. Edisi III. PT. Gramedia Pustaka Utama. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Machfoed, M., 2004. Kewirausahaan, Suatu Pendekatan Kontemporer. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta.

Mulki, Al B. R., Chrisna Adhi Suryono dan Jusup Suprijanto, 2014. Variasi Ukuran Kerang Darah (Anadara granosa) Di Perairan Pesisir Kecamatan Genuk Kota Semarang. Journal Of Marine Research, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang. Halaman 122-131.

Nitimihardjo, C., 1993. Psikologi Sosial. Edisi II. Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Bandung. Hal. 60, 73 dan 77.

Rahayu, P. W., 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak Diperdagangkan). Hal. 2, 29 – 31.

Reksohadiprodjo, S. dan A. B. P. Brodjonegoro, 2000. Ekonomi Lingkungan (Suatu Pengantar). Edisi II. BPFE- Yogyakarta, Anggota IKAPI, Yogyakarta. Hal. 17, 22, 24-25 dan 38.

Riduwan, 2003. Dasa-Dasar Statistika. Edisi IV. Alfabeta, CV, Anggota IKAPI, Jawa Barat. Hal. 19.

Riduwan, 2006. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru – Karyawan Dan Peneliti Pemula. Alfabeta, CV, Anggota IKAPI, Jawa Barat. Hal. 138.

Rukmana, R., 1997. Ikan Nila, Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisus (Anggota IKAPI), Yogyakarta. Hal. 26, 55 dan 66.

Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1995. Metode Penelitian Survai. Cetakan II. PT Pustaka Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Anggota IKAPI, Jakarta. Hal. 3, 16 dan 234.

Steel, D. G. R dan J. H. Torrie, 1993. Prinsip Dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 296.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuanlitatif, Kualitatif Dan R & D). Alfabeta Bandung, Anggota IKAPI, Bandung. Hal. 122, 131, 265, 275.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

119 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Sugiyono, 2009. Statistika Untuk Penelitian. CV. AlfaBeta, Anggota IKAPI, Bandung. Hal. 67, 231, 285, 286 dan 290.

Sunarman, 1972. Handling Ikan, Tegal. (Tidak Diperdagangkan). Hal. 1 dan 2.

Sunu, P., 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. PT. Grasindo, Jakarta.

Suryabrata, S., 1984. Psikologis Pendidikan. CV. Rajawali, Jakarta. Hal. 192.

Suwignyo, S., Widigdo, B., Wardianto, Y. dan Krisanti, M., 2005. Avertebrata Air Untuk Mahasiswa Perikanan. Jilid 2. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ulysses, M., et al. 2009. Comparative PSP Toxin Accumulation In Bivalves, Paphia Undulata And Perna Viridis In Sorsogon Bay, Philippines. Nantes : Prancis.

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

120 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

MARINE RESERVES: SUSTAIN FISHING OR CONSERVATION? A CASE STUDY FROM KIMBE BAY, PAPUA NEW GUINEA

Welem Linggi Turupadang Student of Faculty of Science and Engineering Victoria University of Wellington, New Zealand

Abstract - A study had been carried out in a marine protected area at Kimbe Bay Papua New Guinea. The primary objective of this research is to examine whether marine protected area plays its role as expected which to maintain the sustainability of fisheries management and conservation of biodiversity after seven years of establishment. Some recorded video footages on benthic, and fish transect from six different sites of reef areas (subjected to reserve and open to fishing site) were analysed in the JCU's marine conservation biology laboratory. A two-level nested ANOVA was employed for further investigation of the relationship among variables. The study confirmed that the increasing abundance of herbivorous fishes is largely determined by protection status. However, this study also revealed that there is a lack of a strong relationship between marine reserves status to benthic cover (cover percentage of coral and algae, as well as the abundance of sea urchin). Moreover, this study notably denoted that the establishment of the new protected zone also considers the benefit to fishing activity. Keywords: Marine reserves; protected area, conservation; fishing, biodiversity

Abstrak - Sebuah penelitian telah dilakukan di daerah perlindung laut (DPL) di Kimbe Bay Papua New Guinea. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah kawasan lindung laut memainkan perannya sebagaimana diharapkan halmana menjaga keberlanjutan pengelolaan perikanan dan konservasi keanekaragaman hayati setelah tujuh tahun ditetapkan sebagai DPL. Sejumlah rekaman video yang direkam pada transek benthik dan ikan dari enam lokasi yang berbeda dari kawasan terumbu karang (dibagi atas kawasan tertutup dan terbuka untuk penangkapan ikan) dianalisis di laboratorium biologi konservasi laut James Cook University. Rancangan tersarang dua tahap ANOVA digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut tentang hubungan antara variabel. Studi ini menegaskan bahwa ikan herbivora semakin bertambah di DPL karena kehadiran status perlindungan kawasan. Namun, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa ada hubungan yang kurang kuat antara status perlindungan laut terhadap penutupan bentik (tutupan persentase karang dan alga, juga kelimpahan landak laut). Studi ini juga menunjukkan bahwa pembentukan zona lindung baru telah mempertimbangkan manfaat kegiatan penangkapan ikan. Kata kunci : Daerah perlindungan laut; kawasan dilindungi, konservasi; perikanan,

biodiversitas

I. INTRODUCTION

The fact that the ocean is more than 70% covered the earth surface do not necessarily mean higher priority has been put to protect the sustainability of this vast ecosystem. In practices, human impact is claimed as a significant contributor to the destruction and degradation of the marine environment as a single, simultaneous or chain effect. It has strong evident, that ocean is overwhelmed with many activities mainly

of human economic related activities such as transportation and fishing (Jones et al. 1992, Hastings and Botsford 2003). Marine reserve or no-take zones, which also known as marine protected areas (MPAs) is introduced as management tools to cope with this great degradation.

As MPAs is developed, there is also some consideration from reviewers that marine reserve not only seen as of fishery management perspective but also conservation concern (Jones et al. 1992,

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

121 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Lubchenco et al. 2003). In this term, many steps are incorporated to gain sustainable of biodiversity and fisheries such as of protecting species and habitats, support to recovery of lost or degradation sites and promoting sustainable utilization (Jones et al. 1992, Bergen and Carr 2003, Hastings and Botsford 2003, Munday 2004). Some researches argue that there is a slight doubt of the marine reserves has been played the expected role (Lubchenco et al. 2003).

A marine protected area was established in 1999 at Kimbe Bay, Papua New Guinea. This area is instituted as a range of potentially complex threats that would endanger the ecosystem. The threats are, mainly due to some fishing activity is done by the local fishermen that catch herbivorous live fish, sedimentation from nearshore Kimbe Township, and nutrient enrichment from oil palm plantation. This study comprises the abundance of different organisms in different sites of MPA status, seven years after setting up the reserve.

This paper examines the response of a variety of key organisms encountering the MPA status. In specific, it is evaluated two critical questions: 1. How habitat forms, in this case, complex

coral and turf algae have responded to the protected reservation

2. How potentially essential consumers such as sea urchin and herbivore fishes have in turned effect to a protection status.

II. METHODS

2.1 Study Site

The study was carried out at Kimbe Bay (5o15’S; 150o15’E); an area of more than 980 mile2 (140 km × 70 km). Kimbe Bay is also known as a part world greatest marine diversity, the Coral Triangle (Allen 2008). The research was carried out in June 2006 to survey benthic organisms and fishes at three sites of marine reserve and three reefs which are open to fishing.

FIG. 1. Map of the research sites with open to fish reefs and closed protected areas (with regional location in inset). Kimbe Bay is located on the northern coast of West New Britain Province, Papua New Guinea

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

122 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

2.2 Sampling Design and Research Procedure

Video footage transects were recorded from three sites open to fishing (Luba Luba, Garbuna, Malena Huva) and three marine reserve areas (Limuka, Lady Di, Gava Gava). The sites were selected randomly. There is two type of transects; one is for benthic transect and fish transect in the other hand. The benthic transect is used to identify percentage coverage of complex coral and turf algae; also the abundance of Echinometra mathaei. This is by using 50metres of transect with 100 random points and resulted in four replicates for each site. The diver using an underwater video camera to capture images along the transect line. For fish transect, there is no transect line, the diver has to swim and record the relative abundance of two herbivorous fishes, Ctenochaetus striatus and Acanthurus lineatus in two minutes, thus provide five replicates for the fishes.

In the JCU's marine conservation biology laboratory, the video is played and using a computer screen to estimate the benthic cover, abundance of seas urchin and herbivorous fishes. The benthic cover is assessed by looking directly underneath the transect line. For seas urchin and

herbivorous fishes are calculated thorough counting the animals displayed in the entire screen. Seas urchin would be counted per individual if they appear in a group on the rock or somewhere else. Meanwhile, every fish that enter the monitor will be captured as a new individual.

2.3 Data Analysis

Two-way nested ANOVA was used to analyze the pattern of percentage coverage of complex corals and turf algae, also the abundance of seas urchin and herbivorous fishes. Open and closed status was included as fixed effect, and the reefs are considered as a random effect which is nested within reef status in Kimbe Bay, Papua New Guinea. Separately ANOVA is employed to variables in each species and benthic category. As benthic cover using percentage, an arcsine transformation is applied and for seas urchin as well as herbivorous fishes, a square-root transformation is deployed to improve the heterogeneous of the data. Statistica 10 (StatSoft Inc., USA) was used for all statistical analyses.

III. RESULT

3.1 Benthic Cover

Table 1. Two-level nested ANOVA for variation in percentage cover of complex corals to reefs

and open vs closed status. There is no difference between open and closed but there is a significant difference between reefs

e SS df MS F P

Open vs. Closed 0.013769 1 0.013769 0.04797 0.837351

Reef (Open vs. Closed) 1.148067 4 0.287017 26.17505 0.000000

Error 0.197375 18 0.010965

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

123 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Reefs

mean p

erc

enta

ge c

over

of com

ple

x c

ora

ls (

%)

Limuka Lady Di Gava Gava Luba Luba Garbuna Malane Huva0

10

20

30

40

50

60

Closed

Open

FIG. 2. Mean percentage cover of complex corals (±1 SE) on closed and open reefs in Kimbe

Bay, Papua New Guinea. The highest percentage cover of corals is in closed status but more reefs in closed areas have higher coral cover than in closed

The mean percentage cover of complex

coral in Kimbe Bay, Papua New Guinea showed that there is no difference between reserves and non-reserves area but has highly significant difference between reefs (Table 1). Lady Di in closed reef has the

highest percentage cover of complex coral; Luba Luba and Garbuna account for second and third most abundance respectively which have higher coral cover than two other reefs in the closed area (Figure 2).

TABLE 2. Two-level nested ANOVA for variation in percentage of turf algae cover to reefs

and open vs. closed status. No difference between closed and open status but has a significant difference between reefs

Sources SS df MS F P

Open vs. Closed 0.040187 1 0.040187 0.35896 0.581366

Reef (Open vs. Closed) 0.447821 4 0.111955 28.55021 0.000000

Error 0.070584 18 0.003921

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

124 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Reefs

Me

an

Pe

rce

nta

ge

co

ve

r o

f tu

rf a

lga

e (

%)

Limuka Lady Di Gava Gava Luba Luba Garbuna Malane Huva0

10

20

30

40

50 Closed

Open

FIG. 3. Mean percentage cover of turf algae (±1 SE) on closed and open reefs in Kimbe Bay, Papua New Guinea. Closed status has higher percentage cover of turf algae than in open system

There is no significant differences of percentage cover of turf algae between closed and open status but has a significant difference between reefs at Kimbe Bay, Papua New Guinea (Table 2). Closed reefs

have higher percentage cover of turf algae than in open areas (Figure 3). Two marine reserves’ reefs: Limuka and Gava Gava have the highest percentage cover of turf algae than other reefs.

Table 3. Two-level nested ANOVA for variation in number of Echinometra mathaei to reefs

and open vs closed status. No significant difference between open and closed status but have significant difference between reefs

Sources SS df MS F P

Open vs. Closed 0.6354 1 0.6354 0.02016 0.893952

Reef (Open vs. Closed) 126.0552 4 31.5138 33.06575 0.000000

Error 17.1552 18 0.9531

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

125 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Reefs

Mean n

um

ber

of

E.

math

aei

Limuka Lady Di Gava Gava Luba Luba Garbuna Malane Huva0

10

20

30

40

50

60

70

Closed Open

FIG. 4. Mean abundance of Echinometra mathaei (±1 SE) on closed and open reefs in Kimbe Bay, Papua New Guinea. Gava Gava in closed system has the highest abundance and two reefs in open status have higher abundance than two others reef in closed areas.

There is no significant differences of abundance of Echinometra mathaei between closed and open status but has a significant difference between individual reefs at Kimbe Bay, Papua New Guinea (Table 3). One reef in closed status (Gava Gava) is accounted for the highest

abundance of Echinometra mathaei but two reefs from open status have higher number of abundance than the rest of reefs in closed areas (Figure 4).

3.2 Fish Result

Table 4. Two-level nested ANOVA for variation in abundance of Ctenochaeus striatus to reefs

and open vs closed status. There are both significant differences between open and closed status and between reefs

Sources SS df MS F P

Open vs. Close 174.0906 1 174.0906 27.8430 0.006184

Reef (Open vs. Closed) 25.0103 4 6.2526 11.9213 0.000018

Error 12.5877 24 0.5245

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

126 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Reefs

Mean n

um

ber

of

Cte

nochaetu

s s

tria

tus (

n)

Limuka Lady Di Gava Gava Luba Luba Garbuna Malane Huva0

10

20

30

40

50

60

70

80

Closed Open

FIG. 5. Mean abundance of Ctenochaetus striatus (±1 SE) on closed and open reefs in Kimbe Bay, Papua New Guinea. Result shows that higher abundance in closed than in open reefs

There is a significant difference abundance of Ctenochaetus striatus between closed and open status also between individual reefs at Kimbe Bay, Papua New Guinea (Table 4). Closed reefs have higher abundance of Ctenochaetus striatus than in open areas which is ten times higher in

average (Figure 5). For reefs factor, there is also difference between abundance of Ctenochaetus striatus in individual reefs which Gava Gava has highest abundance C. striatus than others reefs in either closed or open status; meanwhile, Luba Luba is the highest abundance site for open reefs.

Table 5. Two-level nested ANOVA for variation in abundance of Acanthurus lineatus to reefs

and open vs closed status. The result shows that there is significant difference between open and closed status and no significant difference between reefs

Sources SS df MS F P

Open vs. Closed 13.94795 1 13.94795 88.0952 0.000718

Reef (Open vs. Closed) 0.63331 4 0.15833 0.2905 0.881238

Error 13.08074 24 0.54503

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

127 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Reefs

Me

an

nu

mb

er

of

Aca

nth

uru

s lin

ea

tus (

n)

Limuka Lady Di Gava Gava Luba Luba Garbuna Malane Huva0

1

2

3

4

5

6

7

8

Closed Open

FIG. 6. Mean abundance of Acanthurus lineatus (±1 SE) on closed and open reefs in Kimbe

Bay, Papua New Guinea. Reefs in closed status have higher abundance than that in open to fishing reefs

There is a significant difference between abundance of Acanthurus lineatus in closed and open status but showed no difference between reefs at Kimbe Bay, Papua New Guinea (Table 5). Closed reefs have five times higher abundance of Acanthurus lineatus than in open areas (Figure 6). Lady Di is the most abundance site for A.lineatus in closed areas in the meantime Luba Luba and Malena Huva have same value as the most abundance.

IV. DISCUSSION

4.1 Benthic Cover

This study not confirmed that the marine reserves largely determine the benthic cover. There is no strong relationship that no-take zone enhances benthic cover as to coral, algae, and abundance of seas urchin

in Kimbe Bay, at least after seven years of establishment.

After a few years of no fishing allowed, it is assumed that the coral cover increases after the establishment of MPA, but for seven years is not enough to drive the growth of coral cover in the reserve areas. It confirmed by the study that was done in Great Barrier Reef that there is no difference of total coral cover between protected and fished reefs (Graham et al. 2003) after 14 years of establishment.

The result of alga cover from marine reserve and fishing ground showed that there was a relatively similar pattern from the study conducted in St. Lucia (Hawkins et al. 2006). The percentage of alga cover in marine reserve area is higher than in fishing allowed after seven years of protected area. The low difference of coral and alga cover between reefs might be caused by another threat that happened around Kimbe Town

Optimalisasi Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Pembangunan Perikanan Secara Berkelanjutan

128 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

such sedimentation, nutrient enrichment, and global hazard ocean acidification.

Seas urchin should be declined after reservation as reported from New Zealand (Gell and Roberts 2003) because their predators have grown. But, a research in Africa has reported that highest diversity of seas urchin was found in the non-protected areas (McClanahan and Mutere 1994). As urchin also a targeted resource for people at Kimbe Bay, it obvious that that marine reserve would positively impact the abundance of Echinometra mathaei, but it was not caused rapid increase of stock.

4.2 Fish Abundance

Fish abundance for C. striatus and A. lineatus closed areas are detected as significantly higher than in the fishing ground. This study confirmed that surgeonfish were benefited along with the relatively high percentage of alga cover (Hawkins et al. 2006). But this pattern a little bit awkward, as fishing was decline, it might lead to improvement of piscivorous and carnivorous fish stock instead of herbivorous fishes (Jones et al. 1992). However, he also stated that marine reserves in definitely affected the abundance of targeted species as herbivorous is targeted catch for the fisherman in Kimbe Bay. This study can be improved by looking at the effect of marine reserve in more reefs and have a series of research overtime.

LITERATURE CITED Allen, G. R. 2008. Conservation hotspots of

biodiversity and endemism for Indo-Pacific coral reef fishes. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 18:541-556.

Bergen, L. K. and M. H. Carr. 2003. Establishing Marine Reserves How Can Science Best Inform Policy? Environment: Science and Policy for Sustainable Development 45:8-19.

Gell, F. R. and C. M. Roberts. 2003. Benefits Beyond Boundaries: The Fishery

Effects of Marine Reserves. Trends in Ecology & Evolution 18:448-455.

Graham, N. A. J., R. D. Evans, and G. R. Russ. 2003. The Effects of Marine Reserve Protection on the Trophic Relationships of Reef Fishes on the Great Barrier Reef. Environmental Conservation 30:200-208.

Hastings, A. and L. W. Botsford. 2003. Comparing Designs of Marine Reserves for Fisheries and for Biodiversity. Ecological Applications 13:65-70.

Hawkins, J. P., C. M. Roberts, C. Dytham, C. Schelten, and M. M. Nugues. 2006. Effects of Habitat Characteristics and Sedimentation on Performance of Marine Reserves in St. Lucia. Biological Conservation 127:487-499.

Jones, G. P., R. C. Cole, and C. N. Battershill. 1992. Marine Reserves: Do They Work? Pages 29-45 in Second International Temperate Reef Symposium. NIWA Marine, Welington, Auckland, New Zealand.

Lubchenco, J., S. R. Palumbi, S. D. Gaines, and S. Andelman. 2003. Plugging a Hole in the Ocean: The Emerging Science of Marine Reserves. Ecological Applications 13:3-7.

McClanahan, T. and J. Mutere. 1994. Coral and sea urchin assemblage structure and interrelationships in Kenyan reef lagoons. Hydrobiologia 286:109-124.

Munday, P. L. 2004. Habitat loss, resource specialization, and extinction on coral reefs. Global Change Biology 10:1642-1647.

113 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

KELOMPOK

PEMANFAATAN SUMBERDAYA

PERIKANAN, PENGOLAHAN DAN

PENANGANAN HASIL PERIKANAN

DAN SOSIAL EKONOMI

PERIKANAN

129 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

TEKNOLOGI PENANGKAPAN BUBU DI KABUPATEN ALOR

Fonny Josane Laura Risamasu Dosen Pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

Email/No.HP [email protected] /082144581773

Abstrak - Perairan Kabupaten Alor memiliki ekosistem terumbu karang yang begitu potensial dan saat ini dimanfaatkan nelayan sebagai lahan usaha penangkapan ikan terutama ikan karang, udang karang (lobster) dan sebagainya. Nelayan melakukan penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang menggunakan alat tangkap bubu yang material pembuatan alat tangkap dan teknologi penangkapannya masih sangat tradisional. Tujuan penulisan yakni mendeskripsikan teknologi penangkapan alat tangkap bubu di Kabupaten Alor. Pengambilan data di lapangan menggunakan metode wawancara dengan instrument pengambilan data mnggunakan kuisioner dan metode observasi lapangan pada beberapa lokasi (P. Ternatae, P. Buaya, Pantar, Pura dan Kalabahi). Data yang dikumpulkan berupa sebaran nelayan yang memiliki alat tangkap, jumlah alat tangkap, konstruksi alat tangkap, teknik/ metode penangkapan, daerah penangkapan, musim penangkapan, dan jenis hasil tangkapan (target dan non target). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jumlah nelayan yang memiliki alat tangkap bubu pada 20 desa/kelurahan di P. Ternate, P. Buaya, P. Pantar, P. Pura dan Kalabahi kabupaten Alor berjumlah 103 orang dimana 97 orang (94.17%) memiliki alat tangkap bubu silinder dan 6 orang (5.85%) memiliki bubu prisma. Jumlah alat tangkap bubu menurut jenis bubu terbanyak yakni bubu silinder sebanyak 1160 unit paling dominan dan bubu prisma 8 unit. Terdapat 2 jenis bubu yang dioperasikan nelayan di Kabupaten Alor yakni bubu silinder dan bubu prisma dengan konstruksi dan ukurangnya berbeda.Ala t tangkap bubu dioperasikan diperairan karang dengan cara yang sederhana pada kedalam 15-20 m dengan musim penangkapan hampir sepanjang tahun. Hasil tangkapan bubu berupa ikan karang yang terdiri atas 20 genus, 42 spesies yang tergolong dalam 14 famili dan paling dominan kelompok ikan target, kemudian family utama dan terendah kelompok indikator. Kata kunci : Teknologi, bubu, ikan karang

I. PENDAHULUAN

Kabupaten Alor merupakan salah satu kabupaten kepulauan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki potensi sumberdaya alam cukup tinggi. Secara geografis Kabupaten Alor terletak di bagian Utara dan paling Timur dari wilayah provinsi NTT, dengan luas daratan 2.928,87 km2 terdiri dari luas wilayah perairan 10.773,62 km² dengan panjang garis pantai 287,1 km. Secara geografis, memiliki 15 buah pulau, 9 pulau berpenduduk (Pulau Alor, Pantar, Pura, Ternate, Buaya, Tereweng, Kangge, Kura dan Pulau Kepa) dan 6 pulau belum berpenduduk (Pulau Sikka, Kapas, Batang, Lapang, Rusa dan Pulau Kambing). Secara administratif

pemerintahan Kabupaten Alor memiliki 17 (tujuh belas) kecamatan dan 175 desa.

Perairan Kabupaten Alor memiliki potensi ekosistem terumbu karang yang begitu potensial. Kehadiran ekosistem terumbu karang di perairan Kabupaten Alor telah menyumbangkan begitu besar potensi sumberdaya ikan dan non ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi. Meningkatnya jumlah penduduk di wilayah pesisir Kabupaten Alor dengan kebutuhan hidup yang begitu tinggi menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai lahan mencari nafkah dalam proses penangkapan ikan. Penangkapan ikan yang dilakukan nelayan berada pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Alor. Salah satu alat tangkap yang digunakan dalam proses penangkapan ikan yakni bubu. Tipe/bentuk bubu yang

130 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

digunakan nelayan dalam operasi penangkapan ikan di perairan karang terdiri dari bubu silinder dan bubu prisma. Tujuan utama penangkapan alat tangkap bubu ini yakni ikan karang, udang karang (lobster) dan sebagainya.Teknologi penangkapan masih sangat tradisional baik dilihat dari material pembuat konstruksi alat tangkap maupun cara pengoperasian alat tangkapnya. Hal ini terjadi karena modal usaha dan pemahaman tentang teknologi penangkapan bubu terbatas.

Sampai sejauh ini informasi tentang teknologi penangkapan akat tangkap bubu yang dilakukan nelayan Kabupaten Alor masih sangat terbatas, maka perlu dilakukan suatu kajian. Berdasarkan uraian ini maka tulisan ini bertujuan

mendeskripsikan teknologi penangkapan alat tangkap bubu di Kabupaten Alor. Diharapkan informasi ini dapat memberikan sumbagan dalam pengembagangan usaha perikanan bubu di Kabupaten Alor.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian tentang teknologi penangkapan alat tangkap bubu ini telah dilaksanakan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Alor pada 25 desa/kelurahan pantai yang tersebar di beberapa yakni P. Ternate, P. Buaya, Pantar, Pura dan Kalabahi. Peta Kabupaten Alor sebagai lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian bubu di Kabupaten Alor

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat tulis menulis, kamera, mistar, jangka sorong, timbangan elektrik, plastik sampel, kertas label, kuisioner dan buku identifikasi ikan. Selanjutnya bahan yang dibutuhkan adalah sampel ikan hasil tangkapan.

Proses pengambilan data di lapangan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan di lapangan terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer menggunakan metode interview (wawancara), kuisioner dan observasi menurut petunjuk Riduan (2003). Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah nelayan bubu. Menurut Tamarol, dkk (2012), jumlah sampel yang diamati pada setiap alat

131 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

tangkap antara 30-50% dari jumlah alat tangkap. Selain itu, dilakukan pengambilan data di tempat pendaratan ikan.

2. Data primer yang diambil menggunakan metode observasi dilakukan dengan mendatangi pusat pendaratan ikan, dan pengamatan langsung pada alat tangkap bubu oleh nelayan setempat. Data yang diambil berupa sebaran nelayan yang memiliki alat tangkap, jumlah alat tangkap, konstruksi alat tangkap, teknik/ metode penangkapan, daerah penangkapan, musim penangkapan, dan jenis hasil tangkapan (target dan non target). Data yang telah diperoleh kemudian diisi dalam data sheet (lembaran data) yang tersedia. Identifkasi hasil tangkapan menggunakan petunjuk Allen, & Stenee., 2002; Gloerfelt &

Kailola., 1984, ISA et al., 1998; Matsuura, et al., 2000 dan Peristiwady, 2006.

3. Pengambilan data sekunder diperoleh melalui kajian literatur berupa laporan hasil penelitian, data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor serta sumber pustaka lain yang relevan dengan kajian penelitian ini.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sebaran Nelayan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jumlah nelayan yang memiliki alat tangkap bubu sebanyak 103 responden (nelayan) yang tersebar pada 20 desa/kelurahan dari 25 desa/kelurahan di Kabupaten Alor yang menjadi lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah nelayan yang memiliki alat tangkap bubu pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor

No Desa/Kelurahan Jenis/ Bubu

Bubu silinder Bubu prisma

A. Pulau Ternate 1 Ternate (Kampung Amapura) 16 - 2 Ternate Selatan (Biatabang) 2 - 3 Ternate Selatan (Abangbol) 12 2 B Pulau Buaya 1 Desa Pulau Buaya 19 - C Pantar 1 Piring Sina (Baranusa) 2 - 2 Blangmerang (Baranusa) 2 - 3 Baralelang (Baranusa) 2 - 4 Munaseli 1 - 5 Batu 8 1 6 Ombay 7 - D Pura 1 Pura Barat (Dolabang Bawah) 4 1 2 Kelurahan Pura 3 2 E Kalabahi 1 Kokar 2 - 2 Alor Besar 7 - 3 Alor kecil 2 - 4 Lembur Timur 2 - 5 Likuwatang 1 - 6 Wolwal 1 - 7 Kabola 2 - 8 Tameming (Teluk Mutiara) 2 -

Total 97 6

Presentase 94,17 5,83

Sumber : Data primer hasil penelitian tahun 2014 diolah

132 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebaran jumlah alat tangkap bubu sangat bervariasi pada setiap desa/kelurahan. Jumlah bubu paling banyak terdapat di Pulau Ternate, kemudian Pulau Buaya dan diikuti oleh desa/kelurahan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nelayan bubu ternyata lebih terkonsertrasi di Pulau Ternate dan Pulau .Buaya. Berdasarkan jenis bubu yang dimiliki terlihat bahwa nelayan lebih banyak menggunakan bubu silinder yang merupakan salah satu ciri khas jenis bubu yang dikembangkan di Kabupaten Alor jika dibandingkan dengan bubu prisma. Diduga bubu prisma termasuk jenis bubu yang didatangkan dari luar Pulau Alor.

Lama usaha nelayan bubu terbanyak di atas 10 tahun sebanyak 95 orang (92,23%) dan hanya sedikit nelayan yang mempunyai lama usaha dibawah 10 tahun. Dilihat dari lama usaha tersebut artinya para nelayan bubu selama hidup hanya mengabdikan hidup sebagai nelayan atau tergolong nelayan penuh dalam usaha penangkapan ikan karang dengan alat tangkap bubu.

3.2 Jumlah Aat Tangkap Bubu

Jumlah alat tangkap bubu yang tersebar pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah alat tangkap bubu pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor

No Desa/Kelurahan Jumlah Bubu (unit)

Bubu silinder Bubu prisma

A. Pulau Ternate 1 Ternate (Kampung Amapura) 241 2 Ternate Selatan (Biatabang) 18 3 Ternate Selatan (Abangbol) 71 2 B Pulau Buaya 1 Desa Pulau Buaya 251 C Pantar 1 Piring Sina (Baranusa) 12 2 Blangmerang (Baranusa) 18 3 Baralelang (Baranusa) 31 4 Munaseli 11 5 Batu 39 6 Ombay 42 D Pura 1 Pura Barat (Dolabang Bawah) 54 3 2 Kelurahan Pura 152 3 E Kalabahi 1 Kokar 32 2 Alor Besar 88 3 Alor kecil 6 4 Lembur Timur 6 5 Likuwatang 13 6 Wolwal 15 7 Kabola 55 8 Tameming (Teluk Mutiara) 4

Total 1160 8

Sumber : Data primer hasil penelitian tahun 2014 diolah

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah

total alat tangkap bubu silinder untuk seluruh desa/kelurahan yang diamati

sebanyak 1160 unit dan bubu prisma sebanyak 8 unit sampai tahun 2014. Data ini dikaitkan dengan perkembangan trend alat

133 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

tangkap yang dikembangkan oleh para nelayan di Kabupaten Alor pada tahun 2012 dan 2013. Menurut BPS (2012,2013), bahwa jumlah alat tangkap bubu tidak mengalami kenaikkan tahun 2012 sebanyak 823 unit dan 2013 tetap sebanyak 823 unit, namun sesuai hasil penelitian ternyata jumlah alat tangkap bubu mengalami kenaikan pada tahun 2014 menjadi 1160 unit. Desa/kelurahan yang memiliki jumlah bubu terbanyak adalah Pulau Buaya, kemudian Pulau Ternate (Kampung Amapura), dan diikuti oleh desa/kelurahan lainnya. Namun dari kelima pulau yang dikunjungi untuk mengamati jumlah bubu ternyata Pulau Ternate memiliki jumlah bubu terbanyak, kemudian Pulau Buaya, Pura, Kalabahi dan Pantar. Selanjutnya dari jenis bubu yang diamati ternyata bubu silinder memiliki jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis bubu prisma. Bubu silinder merupakan bubu asli yang dikembangkan oleh para nelayan di Kabupaten Alor, sedangkan jenis bubu prisma merupakan jenis bubu yang berasal dari luar Kabupaten Alor.

3.3 Deskripsi Konstruksi Alat Tangkap Bubu

Penelitian tentang alat tangkap bubu (trap) telah dilakukan pada 20 desa/kelurahan penelitian di Kabupaten Alor. Dari 20 desa/kelurahan tersebut ditemukan alat tangkap bubu hanya terdapat pada 20 desa/ kelurahan. Jenis/tipe alat tangkap bubu yang ditemukan ada 2 (dua) jenis yakni bubu silinder dan bubu prisma. Bubu silinder terdiri atas 3 (tiga) ukuran antara lain : ukuran kecil memiliki ukuran panjang (P): 60 cm; lebar (L) : 30 cm dan tinggi (T) : 25 cm, dengan diameter mulut bubu (ø) : 9,6 cm, sedangkan jumlah pintu bubu sebanyak 2 pintu (Gambar 2a). Bubu ukuran sedang memiliki ukuran panjang (P): 1,5 cm; lebar (L) : 50 dan tinggi (T) : 50 cm, dengan diameter mulut bubu (ø) : 9,6 cm, sedangkan jumlah pintu bubu sebanyak 2 pintu (Gambar 2b). Ukuran besar memiliki ukuran panjang (P): 2 - 4 m; lebar (L) : 1,2 -1,5 m dan tinggi (T) ): 75 cm - 1 m, dengan diameter mulut bubu (ø) : 30 – 70 cm, sedangkan jumlah pintu bubu sebanyak 2 pintu (Gambar 2c)

Gambar 2. Bubu silinder ukuran kecil, sedang dan besar yang dioperasikan nelayan bubu di Kabupaten Alor

Bubu prisma hanya satu ukuran dengan

ukuran panjang (P): 2 m; lebar (L) : 1,5 cm dan tinggi (T) : 70 cm, diameter mulut bubu

(ø) : 9,6 cm, sedangkan jumlah pintu bubu sebanyak 1 pintu. Secara visual jenis bubu prisma dapat dilihat pada Gambar 3.

134 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 3. Bubu prisma yang dioperasikan

nelayan bubu di Kabupaten

Menurut Oki (2013), alat tangkap bubu

(trap) bersifat pasif dimana target tangkapan masuk ke dalam bubu atas minat dan inisiatif gerak dari target tangkapan tersebut. Pembuatan alat tangkap bubu (trap) relatif murah, mudah dan efisien dalam pengoperasiannya. Bubu (trap) terdiri atas beberapa macam bentuk seperti balok, segitiga, kubus, segi banyak, sangkar, silinder, kubah, setengah lingkaran dan bulat. Alat tangkap bubu (trap) yang digunakan oleh nelayan Desa Pacar berbentuk kubus.

Bahan pembuatan kedua jenis bubu ini berasal dari bahan alami seperti bambu, kayu dan rotan. Badan bubu terbuat dari bambu, sebagai alas dipasang kayu seperti tampak pada gambar di atas, sedangkan rotan digunakan untuk membuat tali untuk mengikat bubu. Biaya pembuatan unit penangkapan bubu bervariasi berada pada

kisaran Rp. 100.000 – Rp. 16.000.000, dengan jumlah terbanyak berada pada kisaran < Rp.2.000.000.

3.4 Metode Penangkapan Bubu

Metode penangkapan alat tangkap bubu yang diterapkan oleh nelayan pada lokasi penelitian untuk bubu silinder yang ukuran kecil biasanya dioperasikan pada zona intertidal (pasang surut) saat makameting (pengambilan hasil laut pada saat air laut surut) khusus di lembur Timur karena pengoperasiannya hanya menggunakan tenaga manusia atau dioperasikan pada kedalaman yang tidak terlalu dalam sekitar 3 m, sedangkan bubu ukuran besar baik bubu silinder maupun bubu prisma dioperasikan pada perairan yang dalam dengan kedalaman antara 15 - 20 m. Bubu kecil biasanya dipasang di perairan dengan cara membongkar karang kemudian bubu diletakkan ditempat karang di bongkar dan ditutup kembali dengan karang yang dibongkar, sedangkan bubu ukuran besar dipasang di perairan dalam dengan cara diturunkan pakai tali rotan dan diletakkan di atas hamparan karang. Metode pengoperasian ini sangat membawa resiko terhadap kerusakan terumbu karang. Sasaran penangkapan adalah ikan-ikan yang hidup di terumbu karang. Proses penangkapan ikan yang dilakukan nelayan bubu disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Persiapan nelayan bubu menuju daerah penangkapan (fishing ground)

135 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Pengoperasian alat tangkap bubu menggunakan armada penangkapan dengan klasifikasi sebagai berikut : 1. Tidak menggunakan armada (pakai

tenaga manusia) sebanyak 2 orang (1,94%)

2. Perahu tanpa motor sebanyak 87 orang (84,47%)

3. Perahu motor tempel sebanyak 4 orang (3,88%)

4. Kapal motor tidak ada Dari data ini dapat dikatakan bahwa

armada penangkapan yang digunakan para nelayan pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor untuk mengoperasikan alat tangkap bubu masih didominasi oleh perahu tanpa motor. Menurut BPS (2012,2013), perkembangan jumlah rumah tangga perikanan Laut menurut kategori usaha dan kecamatan cenderung berubah-ubah. Data ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan perahu tanpa motor pada 8 kecamatan, 3 kecamatan mengalami kenaikkan dan 6 kecamatan tetap. Jukung mengalami penurunan pada 2 kecamatan, sedangkan 8 kecamatan mengalami kenaikkan dan 7 kecamatan tetap. Perahu motor tempel mengalami penurunan pada 2 kecamatan, sedangkan 13 kecamatan mengalami kenaikkan dan 2 kecamatan tetap.

Selanjutnya untuk kapal motor terjadi penurunan pada 1 kecamatan, 12 kecamatan mengalami kenaikkan dan 4 kecamatan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah perahu jukung jauh lebih banyak dibandingkan dengan perahu motor tempel, kapal motor dan perahu papan. Berdasarkan kondisi ini, maka perlu meningkatkan kapasitas armada penangkapan di Kabupaten Alor kepada para nelayan, sehingga nelayan bisa melaut lebih jauh dan tidak terkonsentrasi di perairan pantai.

Dalam pengoperasian alat tangkap bubu nelayan menggunakan kacamata sebagai alat penunjang dalam pemasangan bubu di perairan. Trip penangkapan alat tangkap bubu selama 3 hari dengan lama waktu operasi/perendaman alat tangkap bubu 3 hari.

3.5 Daerah Penangkapan (Fishing

Ground) Alat Tangkap Bubu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor ditemukan sebaran daerah penangkapan (fishing ground) dan substrat tempat beroperasinya alat tangkap bubu disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran daerah penangkapan (fishing ground) dan substrat tempat beroperasinya

alat tangkap bubu pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor

No Desa/Kelurahan Daerah Penangkapan Substrat

A Pulau Ternate 1 Ternate (Kampung Amapura) Perairan Hilawaka, Kokar,

Ternate,Pura dan Kepa Berkarang

2 Ternate Selatan (Biatabang) Perairan Ternate, Pura, Biatabang,

Berkarang

3 Ternate Selatan (Abangbol) Abangbol, Wini, Atapupu, Bolok dan Tablolong

Berkarang

B Pulau Buaya 1 Desa Pulau Buaya Perairan Lewololong Berkarang C Pantar 1 Piring Sina (Baranusa) Perairan Pulau Lapang, Selat

Baranusa Berkarang

2 Blangmerang (Baranusa) Perairan Pulau Lapang, dan Baranusa

Berkarang

3 Baralelang (Baranusa) Perairan Pulau Lapang Berkarang 4 Munaseli Perairan Pulau Lapang Berkarang

136 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

5 Batu Perairan Batu, Tuabang dan Pantar

Berkarang

6 Ombay Perairan Ombay, Bakalang dan Tuabang

Berkarang

D Pura 1 Pura Barat (Dolabang Bawah) Perairan Pura Barat, dan

Bakalang Berkarang

2 Kelurahan Pura Perairan Pura Berkarang E Kalabahi 1 Kokar Teluk Buono, Perairan Pulau

Kambing, P. Rusa, Perairan Kokar, dan Pulau Buaya

Berkarang

2 Alor Besar Perairan Pura, Tereweng, Mulut Kumbang, Alor Besar, Lakowatang dan Pantai Musang

Berkarang

3 Alor kecil Perairan Pulau Kepa Berkarang 4 Lembur Timur Perairan Lembur, Pura,

Tereweng, dan Mulut Kumbang Berkarang

5 Likuwatang Perairan Likuwatang Berkarang 6 Wolwal Perairan Matap Berkarang 7 Kabola Perairan Sikka Berkarang 8 Tameming (Teluk Mutiara) Teluk Buono Berkarang

Sumber : Data primer hasil penelitian tahun 2014 diolah

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebaran

daerah penangkapan (fishing ground) alat tangkap bubu lebih dominan berada di perairan Alor. Namun ada beberapa nelayan yang sudah melakukan ekspansi mengoperasikan alat tangkap bubu sebagai nelayan andon di perairan laut Timor seperti Wini, Atapupu, Bolok dan Tablolong serta perairan Sikka. Substrat perairan tempat beroperasinya alat tangkap bubu dominan berkarang. Dengan melihat jumlah alat tangkap bubu yang dioperasikan di perairan karang, lama kelamaan terumbu karang di perairan Alor akan semakin rusak karena dengan luas perairan yang sempit dan secara kontinyu alat tangkap terus dioperasikan lama kelamaan sumberdaya ikan akan berkurang. Selain itu, penempatan alat tangkap dengan cara yang tidak ramah tentu akan merusak habitat perairan karang. Lebih parah lagi kalau penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) dan racun masih terus diaktifkan khusus pada daerah perairan yang potensial banyak ikan karang. Nelayan juga masih melakukan pengoperasian alat tangkapan bubu pada zona inti (P. Kambing dan P. Sikka), padahal sudah jelas zona ini

tidak boleh dimanfaatkan untuk penangkapan ikan. Menurut informasi nelayan belakangan ini produksi hasil tangkapan ikan karang sudah menurun sehingga mereka harus melaut lebih jauh mencari daerah penangkapan baru. Jika hal ini dibiarkan saja, maka dimasa mendatang stok ikan karang di perairan akan terus menurun dan berdampak pada penurunan produksi perikanan karang dan pendapatan nelayan di Kabupaten Alor.

Hasil penelitian Undana (2009), mengungkapkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang pada beberapa lokasi penelitian seperti Bana (Pantar), Kokar, Pulau Ternate, dan Pulau Buaya ternyata presentase penutupan karang keras rata-rata antara cukup sampai bagus dan dominan dibawah 50 %, hanya di Pulau Ternate 52,60 %. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan WWF ((2011) mengungkapkan bahwa beberapa perairan yang termasuk dalam wilayah penelitian khusus perairan Wolwal dan Pura persentase penutupan karang keras berada dalam kondisi sedang antara 25 – 49,9%. Sementara hasil penelitian WWF (2013) pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah

137 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

(KKPD) Kabupaten di zona inti, zona perlindungan (buffer), zona pemanfaatan (zona parawisata dan zona perikanan berkelanjutan) ternyata persentase tutupan karang keras hidup rata-rata dibawah 50% (kondisi sedang). Khusus zona inti rata-rata persentase penutupan karang dibawah 40 %, zona perlindungan dibawah 40 %, zona pemanfaatan (zona pariwisata dan zona perikanan berkelanjutan) juga dibawah 40%, mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Alor sudah harus

mendapat perhatian yang serius dari pihak pemerintah Kabupaten Alor khusus Dinas Kelautan dan Perikanan.

3.6 Musim Penangkapan Alat Tangkap Bubu

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan musim penangkapan alat tangkap bubu di Kabupaten Alor pada 20 desa/kelurahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Musim penangkapan alat tangkap bubu pada 20 desa/kelurahan di Kabupaten Alor

No Desa/kelurahan Musim Penangkapan

A Pulau Ternate 1 Ternate (Kampung Amapura) Maret – Desember, dan sepanjang tahun (Perairan

Ternate dan Kokar) 2 Ternate Selatan (Biatabang) Sepanjang tahun 3 Ternate Selatan (Abangbol) Maret – Desember, B Pulau Buaya 1 Des Pulau Buaya Maret – Desember C Pantar 1 Piring Sina (Baranusa) Sepanjang tahun 2 Blangmerang (Baranusa) Sepanjang tahun, Maret-Desember (Pulau Lapang dan

Baranusa 3 Baralelang (Baranusa) Sepanjang tahun 4 Munaseli Sepanjang tahun 5 Batu Sepanjang tahun 6 Ombay Mei – Nopember (Perairan Ombay dan Bakalang), dan

sepanjang tahun D Pura 1 Pura Barat (Dolabang Bawah) Sepanjang tahun 2 Kelurahan Pura Sepanjang tahun E Kalabahi 1 Kokar April – Nopember 2 Alor Besar Sepanjang tahun, April – Nopember (Perairan Mulut

Kumbang, Pura dan Tereweng) 3 Alor kecil Sepanjang tahun 4 Lembur Timur Sepanjang tahun 5 Likuwatang Sepanjang tahun 6 Wolwal Sepanjang tahun 7 Kabola Sepanjang tahun 8 Tameming (Teluk Mutiara) Sepanjang tahun

Sumber : Data primer hasil penelitian tahun 2014 diolah

Tabel 4 menunjukkan bahwa musim penangkapan alat tangkap bubu dilakukan hampir sepanjang tahun, hanya beberapa desa/kelurahan yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi karena pada bulan Januari – Maret (musim barat) kondisi perairan pada beberapa lokasi bergelombang dan arus kuat sehingga nelayan sulit melaut. Menurut Oki (2013), kendala yang dihadapi oleh nelayapi

bubu anatar lain iklim dan musim penangkapan ikan serta ketersediaan modal kerja untuk operasi penangkapan ikan.

3.7 Hasil Tangkapan Bubu

Hasil tangkapan bubu melalui pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara disajikan pada Tabel 5.

138 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 5. Hasil tangkapan bubu

No. Kelompok Ikan Family Nama Latin/Indonesia/Lokal

I. Famili utama (mayor) POMACENTRIDAE Chromis sp

Abudefduf sordidus POMACANTHIDAE Pomacanthus sp SCARIDAE Scarus longiceps/Kakatua/Kakatua S. sordidus/Kakatua/Kakatua S. pyrrhurus/Kakatua/Kakatua S. rivulatus/Kakatua/Kakatua S. niger/KakatuaKakatua BALISTIDAE Odonus niger/Triger/Kabakuk CAESIONIDAE Caesio teres/Lalosi/Lamuru C. caerulaurea/Lalosi/Lamuru C. erythrogaster/Lalosi/lamuru HOLOCENTRIDAE Sargocentron rubrum/Swanggi/Karo Myripristis sp/Swanggi/Karo MURAENIDAE Gymnothorax sp II. KELOMPOK TARGET ACANTHURIDAE Ctenochaetus striatus C. strigosus Acanthurus olivacea/Butana A. mata/Butana A. lineatus/Butana Zebrasoma scopas SERRANIDAE Epinephelus aerolatus/Kerapu/Kauk E. ongus/Kerapu/Kauk E. fasciatus/Kerapu/Kauk E. merra/Kerapu/Kauk E. caeroleopunctatus/Kerapu/Kauk Cephalopolis miniata/Kerapu/Kauk C.cyanostigma LUTJANIDAE Lutjanus sanguineus/ Bambangan/Ikan

merah Lates calcarifer/Kakap Putih/Kakap SIGANIDAE Siganus punctatus/Baronang/Lada S. virgatus/Baronang/Lada S. doliatus/Baronang/Lada S. argenteus/Baronang/Lada S. rivulatus/Baronang/Lada S. canaliculatus/Baronang/Lada S. corallinus/Baronang/Lada S. sordidus/Baronang/Lada LETHRINIDAE Lethrinus sp/Lencam/ikan putih MULLIDAE Parupeneus barberinoides/Biji

Nangka/Ikan Janggut III. Kelompok Indikator CHAETODONTIDAE Chaetodon lineolatus/Kepe-kepe/Kepe-

kepe

Sumber : Data primer hasil penelitian tahun 2014 diolah

Tabel 5 menujukkan bahwa ikan karang yang tertangkap pada alat tangkap bubu terdiri atas 42 sp, 20 genus yang tergolong dalam 14 famili umumnya didominasi oleh kelompok ikan target. Dari data ini terlihat bahwa ikan yang tertangkap pada alat tangkap bubu ditinjau dari kelompok ikannya ternyata cukup selektif karena banyak tertangkap kelompok ikan target. Menurut Risamasu, (2008), jenis dan sebaran hasil

tangkapan bubu prisma yang dioperasikan bersama rumpon dan tanpa rumpon pada waktu penangkapan malam (jam 18.00-07.00) dan siang (jam 07.00-17.00) secara keseluruhan berjumlah 107 spesies, 54 genus dan 22 famili. Kelompok famili utama (mayor) terdiri dari 54 spesies, 32 genus dan 15 famili, kelompok target terdiri dari 49 spesies, 20 genus 6 famili dan kelompok indikator terdiri dari 4 spesies, 2 genus dan

139 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

1 famili. Selanjutnya Najamuddin dkk, (2017), yang melakukan penangkapan di P. Libukang Kabaten Jeneponto Sulawesi Selatan dengan bubu prisma ditemukan

jenis ikan yang tertangkap . guttatus disamping yang lain. Secara visual jenis ikan hasil tangkapan bubu dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hasil tangkapan bubu di Kabupaten Alor

Untuk mengetahui ukuran ikan yang

tertangkap pada alat tangkap bubu, maka pengukuran terhadap panjang dan lebar tubuh ikan telah dilakukan di lapangan hanya pada beberapa contoh ikan karang

seperti Siganus sp yang mempunyai panjang berkisar antara 18,6 – 25,5 cm, sedangkan lebar tubuh antara 8,2 – 10,5 cm. Caesio sp dengan panjang berkisar antara 20,4 – 29,0 cm, sedangkan lebar tubuh

140 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

antara 4,1 – 5, 2 cm. Scarus sp dengan panjang berkisar antara 15,0 – 19,8 cm, sedangkan lebar tubuh antara 4,3 – 5,1 cm. Acanthurus sp dengan panjang berkisar antara 15,9 – 18,5 cm, sedangkan lebar tubuh antara 5,5 – 6,2 cm. Data ukuran ikan yang diperoleh dalam pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada ukuran tersebut ikan-ikan ini sudah layak dijual. Namun setiap famili ikan karang yang tertangkap pada alat tangkap bubu mempunyai ukuran tubuh yang berbeda.

Menurut Risamasu (2008), pada dasarnya ukuran panjang tubuh ikan karang yang tertangkap pada alat tangkap bubu tidak seragam seperti kelompok ikan lainnya. Ketiga kelompok ikan karang baik kelompok famili utama (mayor), kelompok target dan indikator ternyata memiliki ukuran tubuh bervariasi. Pada famili Pomacentridae (famili utama) umumnya ukuran ikannya relatif kecil, begitu juga pada famili Chaetodontidae (kelompok indikator). Namun beberapa famili ikan dari kelompok target mempunyai ukuran tubuh lebih panjang terutama dari famili Serranidae, Aulostomidae, Acanthuridae, Scaridae dan jenis famili lainnya. Dari ketiga kelompok ikan yang tertangkap ternyata ikan dari kelompok target mempunyai ukuran tubuh lebih panjang dibandingkan dengan kelompok famili utama (mayor) dan kelompok indikator.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Jumlah nelayan yang memiliki alat

tangkap bubu pada 20 desa/kelurahan di P. Ternate, P. Buaya, P. Pantar, P. Pura dan Kalabahi kabupaten Alor berjumlah 103 orang dimana 97 orang (94.17%) memiliki alat tangkap bubu silinder dan 6 orang (5.85%) memiliki bubu prisma.

2. Jumlah alat tangkap bubu menurut jenis bubu terbanyak yakni bubu silinder sebanyak 1160 unit paling dominan dan bubu prisma 8 unit.

3. Terdapat 2 jenis bubu yang dioperasikan nelayan di Kabupaten Alor yakni bubu silinder dan bubu prisma dengan konstruksi dan ukurangnya berbeda.

4. Alat tangkap bubu dioperasikan diperairan karang dengan cara yang sederhana pada kedalam 15-20 m dengan musim penangkapan hampir sepanjang tahun.

5. Hasil tangkapan bubu berupa ikan karang yang terdiri atas 20 genus, 42 spesies yang tergolong dalam 14 famili dan paling dominan kelompok ikan target, kemudian famili utama dan terendah kelompok indikator.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada WWF Lasser Sunda Kupang yang telah mendanai kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R. and R.C Stenee. 2002. Indo-Pacific coral reef field guide, Tropical Reef Research. 378 p.

BPS Kabupaten Alor, 2012. Alor Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor.

BPS Kabupaten Alor, 2013. Alor Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor.

Gloerfelt, T.T & P.J Kailola., 1984. Trawled fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. Published by Australian Development Assistance Bereau.Directorate General of Fisheries, Indonesia. Gema Agency for Technical Cooperation. 406 p.

ISA, M.M; H. Kohno; H. Ida; Nakamura, H.T; A. Zainal; & S.A.S.A Kadir., 1998. Field Guide to Important Commercial Marine Fishes of The South China Sea. Marine Fishery Development and Management Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. 287 p.

Matsuura, K; O.K Sumadhiharga and K. Tsukamoto, 2000. Field guide to Lombok Island identification guide to

141 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

marine organism in seagrass beds of Lombok Island Indonesia. Ocean Research Institut, Univercity of Tokyo.

Najamuddin, M. Abduh Ibnu Hajar,

Rustam1), Mahfud Palo, 2017. Penangkapan Ikan Dengan Bubu di Bawah Area Budidaya Rumput Laut Di Pulau Libukang, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Jurnal IPTEKS PSP,vol.4 (8) Oktober 2017 : 112-119,ISSN : 2355-729X.Journal.unhas.ac.id.

ISA, M.M; H. Kohno; H. Ida; Nakamura, H.T; A. Zainal; & S.A.S.A Kadir., 1998. Field Guide to Important Commercial Marine Fishes of The South China Sea. Marine Fishery Development and Management Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. 287 p.

Oki Sri Wiyono, 2013. Kendala dan strategi operasi penangkapan ikan alat tangkap bubu di Muara Angke, Jakarta. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, Vol.18,No.12,April 2013,ISSN 1402-2006.

Riduwan, 2003. Dasar-dasar statistik. Penerbut Alfabeta Bandung. Edisi revisi. 273 halaman.

Risamasu F.J.L, 2008. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar berumpon [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 244 halaman.

Tamarol, J, A. Luasunaung dan J. Budiman, 2012. Dampak Perikanan Tangkap Terhadap Sumberdaya Ikan dan Habitatnya di Perairan Pantai Tabukan Tengah Kepulauan Sangihe. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, Vo. VIII-1, April 2012. Diakses dari internet tanggal, 11 April 2014.

Tim Peneliti Undana, 2009. Laporan Hasil Studi Ekologi Kabupaten Alor. Kerjasama dengan WWF, Tim PPKKLD dan Pemda Kabupaten Alor.

WWF, 2013. Survey Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan (KKPD) Kabupaten Alor .

142 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DESA WENDEWA UTARA KECAMATAN MAMBORO, KABUPATEN SUMBA TENGAH

Ismawan Tallo1, Rusydi2 dan Herri Binarasa Putra3

1)Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana 2)Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Kupang

3)Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional Kupang

Abstrak - Penelitian bertujuan untuk mengetahui model pengelolaan perikanan tangkap. Pelaksanaanya dilakukan dari tanggal 2-12 September 2018 yang berlokasi di Desa Wendewa Utara Kecamatan Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metodenya adalah survey dan wawancara. Hasilnya menunjukkan bahwa nelayan di Desa Wendewa Utara terdiri atas nelayan jaring insang dan nelayan pukat cincin. Jumlah nelayan jaring insang sebanyak 200 orang dan nelayan pukat cincin sebanyak 49 orang. Hasil tangkapan dominan nelayan jaring insang adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata), sementara hasil tangkapan nelayan pukat cincing dominan adalah ikan tongkol (Auxis thazart), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan kembung (Rastrelliger brachysoma) dan (Rastrelliger kanagurta), dan ikan layang (Decapterus russeli). Di lokasi ini telah berlaku satu aturan yaitu nelayan pukat cincin dilarang secara sengaja menangkap ikan tembang kecuali dalam penangkapannya ikan tembang ikut tertangkap secara tidak sengaja dan bukan menjadi target penangkapan. Kegiatan penangkapan dilakukan setiap hari tergantung kondisi perairan memungkinkan untuk melaut. Nelayan-nelayan tersebut tetap beraktivitas sepanjang tahun terkecuali di musim berombak besar. Apabila ombak mereda maka aktivitas mereka berlangsung normal kembali. Kata kunci : Model Pengelolaan Perikanan Wendewa Utara

I. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sumber daya perairan laut yang berlimpah baik berupa sumber daya hayati dan non-hayati. Jutaan potensi sumber daya alam ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat khsususnya masyarakat pesisir. Namun hal ini menjadi ironi karena faktanya adalah masyarakat di desa-desa pesisir masih hidup dalam keadaan miskin (Dewi 2018). Terdapat banyak desa pesisir di negara ini salah satunya adalah Desa Wendewa Utara.

Desa Wendewa Utara termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Mamboro Kabupaten Sumba Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kotanya adalah Mamboro. Desa ini berhadapan langsung dengan Laut Sawu di bagian utaranya. Sebagai desa pesisir, masyarakatnya sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan atau kegiatan usaha lain

yang berhubungan dengan perikanan seperti pengolahan ikan dan bakulan ikan.

Secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara nelayan di Desa Wendewa Utara jika dibandingkan dengan nelayan di daerah lain jika dipandang dari aspek mata pencahariannya karena sama-sama bermata pencaharian sebagai nelayan. Akan tetapi ada hal yang menjadi pembeda yaitu kelangsungan usahanya sebagai nelayan. Jika di daerah lain nelayan harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ikan dalam kondisi penuh ketidakpastian dan persaingan diantara mereka atau bahkan tidak mendapatkan hasil tangkapan sama sekali, namun hal itu tidak terjadi pada nelayan di desa ini. Para nelayan di Desa Wendewa Utara tetap melakukan aktivitas penangkapan ikan sepanjang tahun dengan hasil tangkapan yang relatif banyak. Aktivitas mereka akan terhenti sementara waktu akibat cuaca dan kondisi perairan yang berombak besar, namun hal itu tidak berlangsung lama

143 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

karena aktivitas mereka akan berlangsung normal kembali setelah cuaca normal dan ombak mereda.

Jika hanya berdasarkan kondisi perairan maka sekilas juga tidak ada perbedaan nyata dengan nelayan di daeran lain karena pada saat kondisi perairan bergelombang besar tentunya tidak kondusif bagi semua nelayan untuk beraktivitas di laut. Sebenarnya yang membedakannya adalah hasil tangkapannya yang spesifik dan selalu tersedia sepanjang tahun walaupun terdapat dua tipe nelayan dengan alat penangkapan yang berbeda yaitu nelayan pukat cincing dan nelayan jaring insang, sementara hal ini tidak terjadi di lokasi lain.

Sekilas tampak bahwa dua tipe nelayan di Desa Wendewa Utara sebenarnya menyimpan potensi konflik yang sangat nyata karena kerakteristik alat tangkapnya sangat berbeda. Pukat cincin sebagai salah satu alat tangkap aktif dengan kemampuan

tangkap jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jaring insang. Walaupun demikian potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa muncul mampu diredam oleh suatu model pengelolaan perikanan dengan aturan yang telah disepakati bersama oleh para nelayan di desa ini. Model ini jugalah yang telah menyebabkan kegiatan para nelayan terus berlangsung sepanjang tahun. Akan tetapi bentuk model ini belum diketahui. Oleh karena itu, model pengelolaan perikanan di Desa Wendewa Utara ini menarik untuk diteliti.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian berlangsung dari tanggal 2 – 12 September 2018. Lokasi penelitian bertempat di Desa Wendewa Utara, Kecamatan Mamboro, kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Gambar 1 menunjukkan peta lokasi penelitian.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian Sumber : Peta RBI diolah

Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survey dan wawancara secara langsung terhadap para nelayandan stakeholder lainnya, sementara data

sekunder didapatkan dari data Kantor Desa Wendewa Utara tahun 2018. Selanjutnya data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif komparatif.

144 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Umum Perikanan

Di Desa Wendewa Utara terdapat sarana pendidikan yang terdiri atas 1 sekola SD, 1 sekola SMP. Penduduknya berjumlan 2449 jiwa dengan , 1195 orang laki-laki dan 1254 orang perempuan. Jumlah kepala keluarga 504 KK yaitu 440 KK laki-laki dan 64 KK perempuan. Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah nelayan.

Nelayan di Desa Wendewa Utara terdiri atas dua tipe nelayan yaitu nelayan jaring insang dan nelayan pukat cincing. Nelayan jaring insang berjumlah 220 orang sementara nelayan pukat cincin 49 orang dengan 7 orang pemilik atau juragan perahu.

Spesifikasi alat tangkap antara dua tipe nelayan tersebut juga berbeda. Nelayan jaring insang memiliki sebuah perahu sampan dayung sebagai alat apung. Nelayan jaring insang menggunakan jaring dengan ukuran mata 1 inci. Sementara itu, nelayan pukat cincing menggunakan perahu bermotor dengan ukuran tonase 6 GT (Gross Ton) dan pukat cincin.

3.2 Aktivitas Penangkapan dan Hasil Tangkapan Ikan

Nelayan jaring insang dan nelayan pukat cincing melakukan aktivitas penangkapan ikan dekat pantai. Waktu penangkapan ikan dimulai dari jam 05.00 pagi hingga jam 17.00 sore hari. Hasil tangkapan dominan nelayan jaring insang adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata), sementara hasil tangkapan nelayan pukat cincing dominan adalah ikan tongkol (Auxis thazart), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan kembung (Rastrelliger brachysoma) dan (Rastrelliger kanagurta), dan ikan layang (Decapterus russeli). Hasil tangkapan nelayan tersebut selalu terjual habis di pantai ketika nelayan merapat ke pantai.

Setiap nelayan yang merapat ke pantai selalu dihampiri para pengumpul (bakulan ikan). Para pengumpul ikan ikan melakukan penawaran dengan nelayan. Apabila terjadi kesepakatan harga maka semua ikan akan diambil oleh pengumpul ikan tersebut. Selanjutnya hasil tangkapan nelayan dipasarkan ke kota terdekat oleh pengumpul ikan. Gambar 2 menyajikan foto transaksi pengumpul ikan dan nelayan jaring insang.

Gambar 4. Transaksi antara nelayan jaring insang dan

pengumpul ikan di Pantai Mamboro. Sumber: Dokumentasi penelitian

Para nelayan mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada masalah dalam pemasaran ikan hasil angkapan. Penghasilan yang diperoleh bervariasi antara Rp.200.000,- hingga Rp.1.000.000, bahkan bisa lebih, setiap

hari. Dengan penghasilan ini selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga mampu menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi.

145 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap

Kesepakatan pengaturan kegiatan penangkapan ikan dibuat pada hari kamis tanggal 19 Oktober 2017 bertempat di Balai Pertemuan Desa Wendewa Utara. Keputusan dibuat secara musyawarah antara para nelayan jaring insang (sampan dayung) dan nelayan pukat cincin. Isi keputusan utamanya adalah batas daerah penangkapan ikan untuk pukat cincin adalah Sebelah Timur Pasir Hitam dan Sebelah Timur Mananga Kiow. Para nelayan pukat cincin dilarang menangkap ikan tembang atau ikan kecil lainnya yang menjadi target tangkapan nelayan jaring insang. Selain itu, nelayan pukat cincin tidak diperbolehkan melakukan aktivitas penangkapan ikan di dalam daerah penangkapan ikan nelayan jaring insang. Jika terjadi pelanggaran maka ikan hasil tangkapan nelayan pukat cincin diserahkan semuanya kepada yayasan atau lembaga yang berhak menerimanya.

Fakta menunjukkan bahwa nelayan jaring insang dan nelayan pukat cincin tetap melakukan aktivitas penangkapan setiap hari tanpa terjadi konflik antara satu dengan lainnya. Hal ini berbeda dengan nelayan di daerah lain. Sebagai contoh nelayan pukat cincin di Kota Kupang biasanya hanya melakukan kegiatan penangkapan selama masa bulan gelap atau selama dua minggu sementara nelayan pukat cincin di lokasi ini melakukan aktivitas penangkapan ikan realtif setiap hari sepanjang tahun. Hal ini berpengaruh terhadap taraf hidupnya yang terlihat dari kepemilikan kendaraan bermotor dan tampilan fisik bangunan tempat tinggal para nelayan di desa ini.

Kesejahteraan para nelayan di desa ini relatif lebih baik dibandingkan daerah lain. Pada umumnya setiap kepala keluarga nelayan memiliki kendaraan sepeda motor. Rumah tempat tinggal mereka terbuat dari bangunan tembok permanen berlantai keramik dan beratap seng. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan nelayan di daerah lain.

Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa kesepakatan dan pengaturan pemanfaatan ikan di daerah inilah yang telah berdampak pada tersediannya ikan sepanjang tahun dan adanya peningkatan kesejahteraan hidup para nelayan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan harus didahului dengan adanya ketaatan terhadap aturan pemanfaatan sumber daya perikanan. Mustaqim (2018) menyatakan, penegakkan hukum bagi pelaku usaha perikanan akan mewujudkan perikanan berkelajutan di Indonesia yang merupakan salah satu isu dan permasalahan utama selama ini. Alains et al. (2009) menambahkan bahwa sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia hidup dalam kemiskinan oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut. Sementara itu, saat ini dunia sedang menuju krisis sumberdaya perikanan. Menurut Sulaiman (2011) FAO menyatakan bahwa sumberdaya perikanan dunia terbagi atas 3 yaitu setengah dari persediaan ikan dunia telah dieksploitasi secara penuh, seperempat ikan dunia telah dieksploitasi secara berlebihan dan sekarang hanya tersisa seperempat bagian saja.

Adanya eksploitasi secaa berlebihan yang mengancam sumberdaya perikanan karena berbagai alasan klasik. Menurut Baskoro dan Wahju (2011) kelestarian sumberdaya perikanan seringkali kurang mendapat perhatian karena perhatiannya semata untuk memenuhi permintaan pasar yang permintaannya terus mengalami peningkatan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dunia. Apabila hal ini dibiarkan maka kehancuran ekosistem sumberdaya perikanan akan terus terjadi bahkan semakin meluas. Salah satu solusinya adalah dengan membangkitkan kesadaran masyarakat (public awareness) di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berbagai persoalan ekonomi dan sumberdaya maupun lingkungan yang sedang terjadi saat ini telah menjadi dasar

146 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

bahwa pengelolaan perikanan perlu ditekankan pada pemanfaatan yang tepat dan ramah lingkungan dengan harapan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Oleh karena itu maka diperlukan suatu konsep pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Menurut Sulaiman (2011), kearifan lokal adalah segala bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun prilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologisnya. Dengan demikian berarti pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa model pengelolaan perikanan perikanan tangkap di Desa Wendewa Utara merupakan model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Dengan model tersebut masyarakat secara sadar ikut menjaga kelestarian sumberdaya perikanan di wilayahnya dan telah ikut membantu pemerintah dalam program pembangunan khususnya dalam bidang pelestarian sumberdaya alam.

3.4 KESIMPULAN

Desa Wendewa Utara merupakan salah satu desa pesisir yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya pada kelestarian sumberdaya perikanannya. Salah satu uapaya untuk tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya perikanan dan sekaligus meningkatkan kesejahtraan hidup dan mempererat persatuan diantara masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan maka telah dibuat suatu model pengelolaan kegiatan perikanan tangkap. Model pengelolaan perikanan ini sebenarnya adalah model pengelolaan sumberdaya perikanan

berbasis masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat dan mengoptimalkan upaya pengelolaan yang sudah ada maka perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang aspek ekonomi, sosial, budaya, dari masyarakat dan kondisi biofisik dan kimia perairan setempat.

UCAPAT TERIMA KASIH

Penelitian ini terlaksana karena dukungan dari berbagi pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih Kepada Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Dr. Ir Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, M.Si dan Kepala BKKPN Kupang Ir. Ikram Sangaji, M.Si dan Para Staf. Ucapan terima kasih juga disampikan kepada para pimpinan desa, tokoh masyarakat, masyarakat dan para nelayan di Desa Wendewa Utara dan semua pihak yang telah ikut membantu.

DAFTAR PUSTAKA

Alains AM, Putri SE, Haliawan P. 2009. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) melalui model co-management perikanan. Jurnal Ekonomi Pembangunan 10(2): 172 - 198

Baskoro MS, Wahju RI (2011). Konsep pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Seminar Nasional Faperika. Malang, Universitas Brawijaya: 302-319p.

Dewi AAIAA. 2018. Model pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat: community based development. Jurnal Penelitian Hukum 18(2): 163 - 182p.

Mustaqim. 2018. Peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan perikanan di era desentralisasi Jurnal Sains dan Humaniora 2(1): 91-104.

Sulaiman. 2011. Kearifan trasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Aceh pada era otonomi khusus. Jurnal Dinamika Hukum 11(2): 298-305p.

147 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PENDUGAAN PARAMETER MORTALITAS DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN TONGKOL KOMO (Euthynnus affinis Cantor, 1849) PADA PERIODE MUSIM

TIMUR DI PERAIRAN SELAT OMBAI

ESTIMATION OF MORTALITY PARAMETER AND EXPLOITATION RATE OF MACKEREL TUNA (Euthynnus affinis Cantor, 1849) DURING EAST MANSOON

PERIOD IN OMBAI STRAIT WATERS

Beatrix M. Rehatta1 dan Jotham S. R. Ninef2

1)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Kristen Artha Wacana, Email: [email protected]

2)Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana Email: [email protected]

Jl. Adisucipto, Oesapa, Kupang, NTT, INDONESIA

Abstrak - Parameter mortalitas dan laju eksploitasi merupakan faktor yang penting dalam pengkajian stok sumberdaya ikan untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Informasi tentang parameter mortalitas dan laju eksploitasi ikan tongkol komo di perairan Selat Ombai masih sangat kurang. Penelitian ini dilakukan untuk menyediakan informasi tentang parameter mortalitas dan laju eksploitasi ikan tongkol komo di perairan Selat Ombai. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Mei – Agustus 2018 dengan cara melakukan pengukuran dan pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan tongkol komo yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Atapupu. Analisis data menggunakan program FAO-ICLARM Stock Assessment Tools (FiSAT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran panjang cagak (Fork Length, FL) ikan tongkol komo 163 – 450 mm dan panjang rata-rata 249,2 mm. Kisaran bobot ikan antara 47 – 1200 gram dan bobot rata-rata 226,6 gram. Laju mortalitas total (Z) sebesar 1,376/tahun, laju mortalitas alami (M) sebesar 0,695/tahun dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,681/tahun. Laju eksploitasi (E) ikan tongkol komo di perairan Selat Ombai sebesar 0,495 dan berada pada tingkat pemanfaatan yang rasional dan lestari (E < 0,5). Kata kunci: Euthynnus affinis, parameter mortalitas, Selat Ombai Abstract - Mortality parameter and exploitation rate are important factors in the assessment of fish resource stocks for sustainable management. Information about mortality parameter and exploitation rate of mackerel tuna in the Ombai Strait waters is still lacking. This research was conducted to provide information about mortality parameter and exploitation rate. Data collection was carried out during May - August 2018 by measuring and observing the mackerel tuna landed at the Atapupu Fish Landing Site. Data analysis uses the FAO-ICLARM Stock Assessment Tools (FiSAT) program. The results showed that the Fork Length (FL) range was 163 - 450 mm and the average length was 249.2 mm. The range of weight between 47 - 1200 grams with average 226.6 grams. The total mortality (Z) was 1.376 per year, natural mortality (M) was 0.695 per year and fishing mortality (F) was 0.681 per year. Exploitation rate (E) of mackerel tuna in the Ombai Strait waters was 0.495 per year and still at a rational and sustainable utilization range (E < 0.5). Keywords: Euthynnus affinis, mortality parameter, Ombai Strait

148 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

I. PENDAHULUAN

Ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) merupakan ikan pelagis besar yang memiliki peran penting secara ekologi dalam rantai makanan yaitu sebagai karnivor dan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem perairan (Johnson dan Tamatamah 2013). Selain itu secara sosial ekonomi, ikan tongkol komo merupakan komoditas penting yang strategis karena menjadi target utama penangkapan pada perikanan skala kecil dan menjadi sumber utama mata pencaharian rumah tangga nelayan (Wagiyo et al. 2017) serta sumber protein hewani bagi masyarakat pesisir.

Ikan tongkol komo di perairan Selat Ombai merupakan komoditas perikanan utama di Kabupaten Belu. Produksi tongkol komo pada tahun 2016 sebesar 141 ton, menyumbang sekitar 35% terhadap produksi perikanan pelagis besar dan menyumbang < 10% terhadap produksi ikan laut di Kabupaten Belu. Komposisi produksi ikan tongkol di Kabupaten Belu sebesar 242 ton terdiri dari tiga jenis ikan tongkol, yaitu tongkol komo (58,3%), tongkol abu-abu ( 37,2%) dan tongkol lisong (11,5%) (DKP NTT 2017).

Ikan tongkol komo di perairan Selat Ombai merupakan stok bersama yang dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia dan

Timor Leste. Seluruh nelayan di Kabupaten Belu Indonesia dan Distrik Bobonaro Timor Leste melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Selat Ombai. Armada dan alat penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol komo oleh kedua komunitas nelayan secara teknis hampir sama yaitu jaring insang (gillnet) dan pancing ulur (Rehatta et al. 2018).

Mengingat pentingnya ikan tongkol komo di Selat Ombai dan kurang tersedianya data dan informasi, maka penelitian ini menjadi penting guna menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengelola sumberdaya ikan tongkol komo secara berkelanjutan. Salah satu aspek penting untuk mendukung pengelolaan sumberdaya ikan tongkol komo adalah pengetahuan dasar mengenai aspek dinamika populasi terutama parameter mortalitas dan tingkat pemanfaatan.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan selama periode Mei – Agustus 2018. Lokasi pendataan ikan hasil tangkapan nelayan adalah di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Atapupu di Desa Jenilu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur

2.2 Pengumpulan Data

Sampel ikan sebanyak 298 ekor dikumpulkan dari hasil tangkapan nelayan jaring insang (gillnet) yang beroperasi di perairan Selat Ombai, Kabupaten Belu.

Pengumpulan data bulanan dilakukan secara kontinyu dengan bantuan enumerator. Pengukuran morfometrik individu ikan yaitu panjang ikan dilakukan dengan mengukur panjang cagak

Belu

149 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

(fork length) dengan ketelitian 0,1 mm (Gambar 2) dan berat ikan ditimbang hingga ketelitian 1 gr.

Gambar 2. Morfologi ikan tongkol komo (Euthynnus affinis)

2.3 Analisis Data

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Pauly

1984) yang perhitungannya menggunakan paket program FISAT II. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

𝐥𝐧 𝑴 = −𝟎, 𝟎𝟏𝟓𝟐 − 𝟎, 𝟐𝟕𝟎𝟎 𝐥𝐧 𝑳∞ + 𝟎, 𝟔𝟓𝟒𝟑 𝐥𝐧 𝑲 + 𝟎, 𝟒𝟔𝟑𝟎 𝐥𝐧 𝑻

M adalah mortalitas alami, 𝐿∞ adalah panjang asimptotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (mm), K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:

𝐅 = 𝐙 − 𝐌 Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

𝐄 = 𝐅

𝐅 + 𝐌=

𝐅

𝐙

E adalah laju eksploitasi, M adalah laju mortalitas alami, F adalah laju mortalitas penangkapan dan Z adalah laju mortalitas total.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Pengamatan terhadap 298 ekor ikan tongkol komo dari perairan Selat Ombai yang di daratkan di TPI Atapupu diperoleh panjang minimum (Lmin) 163,0 mmFL, panjang maksimum (Lmax) 450,0 mmFL dan

150 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

panjang rata-rata 249,2 mmFL. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo

dari perairan Selat Ombai selama periode musim timur disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran panjang cagak ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan

Selat Ombai.

Analisis kurva seleksi penangkapan

ikan menunjukkan bahwa ukuran ikan

tongkol komo pertama tertangkap (Lc) pada panjang 175,31 mmFL (Gambar 4).

Gambar 4. Ukuran pertama kali ikan tongkol komo tertangkap selama periode musim timur di perairan Selat Ombai

0

20

40

60

80

100

120

140

162.5 193.8 225.1 256.5 287.8 319.1 350.4 381.7 413.1 444.4 475.7

Fre

ku

en

si

(eko

r)

Nilai tengah panjang cagak (mm)

n = 298

151 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Analisis hubungan panjang berat ikan tongkol komo dihasilkan persamaan W = 0,000000007L3,4734, dengan koefisien

determinasi (R2) sebesar 98,29% dan nilai b sebesar 3,4734 (Gambar 5).

Gambar 5. Hubungan panjang dan berat ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai

Kurva hasil pengukuran setiap bulan menunjukkan sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol komo selama periode

musim timur memiliki nilai modus yang berbeda sesuai dengan waktu pengamatan (Gambar 6).

Gambar 6. Kurva sebaran panjang cagak yang telah di restrukturisasi dan garis pertumbuhan ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Om

152 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Analisis dengan program FISAT II terhadap frekuensi panjang cagak diperoleh panjang asimtotik (L∞) = 473,68 mmFL, koefisien pertumbuhan (K) = 0,75 per tahun dan nilai t0 = -0,1084 tahun, sehingga kurva pertumbuhan ikan tongkol komo mengikuti persamaan sebagai berikut : Lt = 473,68 [1-

e-0,75(t+0,1084)]. Kurva pertumbuhan ikan tongkol komo selama periode musim timur berdasarkan persaman Von Berthalanffy di perairan Selat Ombai disajikan pada

Gambar 7

Gambar 7. Kurva pertumbuhan ikan tongkol komo berdasarkan persamaan Von Berthalanffy

Analisis kurva hasil penangkapan yang dilinierkan untuk menduga laju mortalitas total (Z) memberikan hasil sebesar 1,376 per tahun (Gambar 8). Laju mortalitas alami (M) pada suhu 290C adalah 0,695 per tahun

dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,681 per tahun. Estimasi tingkat eksploitasi (E) ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai sebesar 0,495.

Gambar 8. Estimasi laju kematian total (Z) berdasarkan kurva hasil penangkapan yang dilinierkan

153 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.2 Pembahasan

Kisaran panjang ikan tongkol komo selama periode musim timur di perairan Selat Ombai 163,0 – 450,0 mmFL dengan panjang rata-rata 249,2 mmFL. Ukuran panjang ikan tongkol komo tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran ikan tongkol komo hasil penelitian sebelumnya. Chodijah et al. (2013) menyatakan bahwa panjang ikan tongkol komo di perairan Laut Jawa berkisar antara 117 – 554 mmFL, dengan panjang rata-rata 341 mmFL. Jatmiko et al. (2014) melaporkan bahwa kisaran panjang ikan tongkol komo di perairan Samudera Hindia bagian barat Sumatera adalah 300 – 600 mmFL. Wagiyo et al. (2017) menyebutkan bahwa ikan tongkol komo di perairan Selat Malaka memiliki kisaran panjang 160 – 600 mmFL, dengan panjang rata-rata 380 mmFL. Perbedaan kisaran panjang ikan tongkol ini diduga karena adanya perbedaan kondisi lingkungan perairan (Motlagh et al. 2010) dan perbedaan alat tangkap yang digunakan (Kaymaram dan Darvishi 2012).

Panjang ikan tongkol komo pertama kali tertangkap pada periode musim timur di perairan Selat Ombai dengan alat tangkap jaring insang (Lc) 175,3 mm lebih kecil dibandingkan di Laut Jawa Lc 445,4 mmFL (Chodrijah et al. 2013), di Selat Sunda Lc 308,0 mmFL (Ardelia et al. 2016), dan di Selat Malaka Lc 345,0 mmFL (Wagiyo et al. 2017). Perbedaan Lc ini terutama dipengaruhi oleh faktor perbedaan daerah penangkapan, tekanan penangkapan, ketersediaan energi, waktu dan musim pengambilan contoh (Johnson dan Tamatamah 2013).

Analisis hubungan panjang berat diperoleh nilai b ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai sebesar 3,4734. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa nilai b ikan tongkol di perairan Laut Jawa sebesar 3,127 (Chodrijah et al. 2013) dan di Selat Malaka nilai b sebesar 3,240 (Wagiyo et al. 2017). Sparre dan Venema (1999)

menyatakan variasi nilai b disebabkan oleh berbagai faktor seperti suhu, salinitas, makanan, jenis kelamin, tahap kematangan gonad dan kelestarian habitat. Lebih lanjut Lawson dan Doseku (2013) menyatakan bahwa perbedaan nilai b disebabkan adanya perbedaan musim, habitat, kematangan gonad, jenis kelamin, kepenuhan lambung, dan kesehatan ikan.

Perkiraan panjang asimtotik (L∞) ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat ombai sebesar 473,68 mmFL cenderung lebih kecil dibandingkan dengan di perairan Maharashtra India L∞ = 817 mmFL (Khan 2004), perairan Teluk Persia dan Laut Oman (Provinsi Hormozgan) L∞ = 876,6 mmFL (Motlagh et al. 2010), Teluk Persia Bagian Utara dan Laut Oman L∞ = 950,6 mmFL (Kaymaram dan Darvishi 2012), perairan Laut Jawa L∞ = 596,3 mmFL (Chodrijah et al. 2013), perairan Barat Sumatera L∞ = 635 mmFL (Jatmiko et al. 2014), dan Selat Malaka L∞ = 642,5 mmFL (Wagiyo et al. 2017). Sedangkan nilai koefisien pertumbuhan (K) = 0,75 per tahun lebih besar dibandingkan dengan nilai K ikan tongkol komo di perairan Teluk Persia dan Laut Oman (Provinsi Hormozgan) K = 0,51 per tahun (Motlagh et al. 2010), Teluk Persia bagian Utara dan Laut Oman K = 0,67 per tahun (Kaymaram dan Darvishi 2012), perairan Barat Sumatera K = 0,63 per tahun (Jatmiko et al. 2014), namun lebih kecil dibandingkan dengan perairan Maharashtra India K = 0,79 per tahun (Khan 2004), Laut Jawa K = 0,91 per tahun (Chodrijah et al. 2013) dan Selat Malaka K = 0,96 per tahun (Wagiyo et al. 2017). Hasil analisa ini menunjukkan bahwa ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai diperkirakan mampu tumbuh hingga mencapai panjang maksimal 473,68 mmFL dengan laju pertumbuhan sebesar 0,75 per tahun. Panjang maksimal dan laju perumbuhan ini tentu berbeda dengan ikan tongkol komo yang ditemukan dilokasi lainnya sesuai dengan data yang ditampilkan di atas. Li et al. 1995 menyatakan bahwa perbedaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang

154 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

asimtotik (L∞) kemungkinan disebabkan oleh struktur data yang terkumpul dan analisis data yang dilakukan. Lebih lanjut Motlagh et al. (2010) menyatakan bahwa perbedaan nilai K dan L∞ kemungkinan disebabkan karena adanya kesalahan dalam pengambilan contoh (sampling error), variasi intensitas penangkapan dan kondisi lingkungan.

Perkiraan laju mortalitas total (Z) ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai sebesar 1,376 per tahun dan cenderung lebih rendah dari semua lokasi penelitian sebelumnya. Hal yang sama terjadi juga pada laju mortalitas alami (M = 0,695 per tahun) dan laju mortalitas karena penangkapan (F = 0,681 per tahun) (Tabel 1). Laju mortalitas alami (M) relatif cukup tinggi dibandingkan dengan laju mortalitas karena penangkapan (F) ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai, Hal ini menunjukkan bahwa populasi ikan tongkol komo mengalami tingkat predasi dan kompetisi yang tinggi sehingga menghasilkan mortalitas alami yang cukup tinggi pula. Sparre dan Venema (1999) menyatakan bahwa mortalitas alami terjadi karena berbagai sebab antara lain pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan dan usia tua. Lebih lanjut Johnson dan

Tamatamah (2013) menyatakan bahwa laju kematian yang berbeda antar perairan disebabkan oleh target penangkapan alat tangkap, migrasi dan faktor ontogenik. Pada penelitian ini nilai rasio Z/K sebesar 1,83 dan lebih kecil dari 2 berarti pertumbuhan ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai lebih dominan dibandingkan dengan mortalitas, sehingga walaupun koefisien pertumbuhan relatif tidak cukup tinggi, namun panjang maksimum yang dapat tercapai tinggi.

Tingkat pemanfaatan ikan tongkol komo (E = 0,495 per tahun) pada periode musim timur di Selat Ombai lebih rendah dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia, Laut Jawa nilai E sebesar 0,57 per tahun (Chodrijah et al. 2013), perairan barat Sumatera nilai E sebesar 0,55 per tahun (Jatmiko et al. 2014) dan Selat Malaka nilai E sebesar 0,50 per tahun (Wagiyo et al. 2017). Nilai E sebesar 0,495 per tahun mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai berada dalam batas kondisi optimum. Pauly et al. (1984) menyatakan bahwa nilai tingkat pemanfaatan yang rasional dan lestari di suatu perairan berada pada kisaran nilai E < 0,5, atau laing tinggi pada nilai E = 0,5.

Tabel 1. Parameter mortalitas dan tingkat pemanfaatan ikan tongkol komo (Euthynnus

affinis) pada berbagai lokasi penelitian di perairan Indonesia dan sekitarnya

Lokasi M

(1/tahun) F

(1/tahun) Z

(1/tahun) E

(1/tahun) Referensi

Laut Jawa 1,13 1,51 2,64 0,57 Chodrijah et al. 2013 Perairan Barat Sumatera

1,07 1,33 2,40 0,55 Jatmiko et al. 2014

Selat Malaka 1,38 1,41 2,79 0,50 Wagiyo et al. 2017 Teluk Persia 0,65 1,72 2,37 0,65 Motlagh et al. 2010

Teluk Persia 0,76 1,82 2,58 0,7 Kaymaram dan Darvishi, 2012

Perairan India 0,93 0,75 1,68 0,36 Rohit et al. 2012

Tanzania 1,09 0,69 1,78 0,42 Johnson dan Tamatamah, 2013

155 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Populasi ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai memiliki kisaran ukuran panjang 163 – 450 mmFL dengan panjang rata-rata 249,2 mmFL. Panjang ikan tongkol komo pertama kali ditangkap sebesar 175,3 mmFL. Pendugaan parameter mortalitas ikan tongkol komo yaitu laju mortalitas total (Z) sebesar 1,376 per tahun, laju mortalitas alami (M) sebesar 0,695 per tahun dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,681 per tahun. Tingkat pemanfaatan (E) ikan tongkol komo sebesar 0,495. Tingkat pemanfaatan ikan tongkol komo pada periode musim timur di perairan Selat Ombai berada dalam batas kondisi optimum. Perlu ada pendekatan pengelolaan dengan prinsip kehati-hatian agar pemanfaatan sumberdaya ikan tongkol komo tidak mengalami peningkatan dan melampaui batas tingkat pemanfaatan yang rasional dan lestari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui program hibah Penelitian Produk Terapan (PPT) tahun 2017 - 2018. Terima kasih juga disampaikan kepada nelayan di TPI Atapupu Belu dan mahasiswa PS MSP FPIK UKAW yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA [DKP NTT] Dinas Kelautan dan Perikanan

Nusa Tenggara Timur (ID). 2017. Statistik Perikanan Tangkap Nusa Tenggara Timur. Kupang : DKP NTT.

Chodrijah U, T Hidayat, T Noegroho. 2013. Estimasi parameter populasi ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) di Perairan Laut Jawa. Bawal. 5(3). 167 – 174

Jatmiko I, RK Sulistyaningsih, D Nugroho. 2014. Laju pertumbuhan, laju kematian dan ekploitasi ikan tongkol komo, Euthynnus affinis (Cantor, 1849), di perairan Samudera Hindia Barat Sumatera. Bawal. 6(2), 69-76.

Johnson MG, Tamatamah AR. 2013. Length frequency distribution, mortality rate and reproductive biology of kawakawa (Euthynnus affinis Cantor, 1849) in the Coastal Waters of Tanzania. Pakistan Journal of Biological Sciences 16(21), 12701278.

Kaymaran F, M Darvishi. 2012. Growth and mortality parameters of Euthynnus affinis in the northern part of the Persian Gulf and Oman Sea . Second Working Party on Neritic Tunas, Malaysia, 19–21 November 2012 IOTC–2012–WPNT02–14 Rev_1. 14 p.

Khan MZ. 2004. Age and growth, mortality and stock assessment of Euthynnus affinis (Cantor) from Maharashtra waters. Indian. J. Fish. 51(2) : 209-213.

Lawson EO, PA Doseku. 2013. Aspects of Biology in Round Sardinella, Sardinella aurita (Valenciennes, 1847) from Majidun Creek, Lagos, Nigeria. World Journal of Fish and Marine Sciences. 5 (5): 575-581.

Li TF, CH Wang, YM Yeh, 1995. Age and growth of yellowfin tuna influenced by the human exploitation. ACTA Oceanographica Taiwanica. 34 (4): 43-60.

Motlagh TS, SA Hashemi, P Kochanian. 2010. Population biology and assessment of Kawakawa (Euthynnus affinis) in Coastal Waters of the Persian Gulf and Sea of Oman (Hormozgan Province). Iranian Journal of Fisheries Sciences. 9(2), 315326

Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM. Manila. Filipina. 325 p.

Pauly DJ, Ingles, R Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment related parameters

156 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

from length frequency data (ELEFAN I and II). In Penaeid Shrimp-Their Biology &Management. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England. 220234.

Rehatta BM, MM Kamal, M Boer, A Fahrudin, Zairion, Y Merryanto, JSR Ninef. 2018. Prospect for transboundary small pelagic fisheries management of Indonesia-Timor Leste in Ombai Strait. Paper presented on First International Conference on Climate Change, Biodiversity, Food Security and Local Knowledge. Kupang, 3 September 2018.

Rohit P, A Chellappan, EM Abdussamad, KK Joshi, KPS Koya, M Sivadas, S Ghosh, AMM Rathinam, S Kemparaju, HK Dhokia, D Prakasan, N Beni. 2012. Fishery and bionomics of the little tuna, Euthynnus affinis (Cantor, 1849) exploited from Indian waters. Indian J. Fish. 59 (3):33-42.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Buku I: manual Pusat Penelitiaan dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, penerjemah. Jakarta: Pusat Penelitiaan dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Terjemahan dari: Introduction to Tropical Fish Stock Assessment, Part I: Manual.

Wagiyo K, ARP Pane, U Chodrijah. 2017. Parameter populasi, aspek biologi dan penangkapan tongkol komo (Euthynnus affinis Cantor, 1849) di Selat Malaka. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 23 (4). 287-297.

157 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

GEROBAK IKAN DINGIN (COLD FISH CART /CFC) SEBAGAI WADAH ALTERNATIF UNTUK PEMASARAN IKAN KELILING

Ladi Cindy Soewarlan1, Maria Chinya Roi Ngey2 dan Laurensia Yolani Alfredy2

1)Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana 2) Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana Abstrak - Penelitian ini bertujun untuk mengetahui perbandingan media es garam untuk menurunkan suhu media air kurang dari 100C, suhu ikan yang mampu diturunkan dengan perbandingan media es-garam dan skor organoleptik ikan yang didinginkan dengan media air-es menggunkan modifikasi wadah “gerobak ikan dingin Cold Fish Cart /CFC” .Metode yang digunakan adalah ekperimental untuk kelompok sama. Terdiri dari kelompok control perbandingan es-garam dan kelompok eksperimen yaitu suhu media air dan ikan yang didinginkan serta nilai organoleptik. Hasil yang diperoleh: Perbandingan es-garam mampu menurunkan suhu media dan ikan yang didinginkan serta mampu mempertahankan nilai organoleptik sama dengan 7.

Kata kunci : Wadah, Pendinginan, ikan, CFC

I. PENDAHULUAN

Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya mengandung mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh. Protein dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh kita yang telah rusak. Tetapi produk perikanan tersebut merupakan produk yang memiliki sifat sangat mudah rusak atau busuk (perishable) . Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi dan pH tubuh yang mendekati netral sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk maupun organisme lain. Bahkan setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Proses perubahan pada tubuh ikan terjadi karena adanya aktifitas enzim, mikroorganisme atau oksidasi oksigen. Penyebab utama dari kehilangan (losses) ikan adalah pembusukan dan faktor penyebabnya terletak pada masalah ketersediaan fasilitas.

Penanganan dilakukan dengan bertujuan untuk menghambat proses pembusukan sehingga ikan dapat disimpan selama mungkin dalam keadaan baik. Salah

satu cara dalam penanganan ikan yaitu melalui pendinginan ikan. Kitinoja L (2013) menjelaskan penanganan menggunakan system rantai dingin merupakan infestasi untuk mencegah kehilangan (losses) bagi produk-produk yang bersifat perishable di negara berkembang dan ini membutuhkan biaya yang efektif tinggi dan terbatas. Pendinginan ikan merupakan salah satu proses yang umum digunakan untuk mengatasi masalah pembusukan ikan baik selama penagkapan, pengangkutan maupun pada tingkat pemasaran sampai pada tangan konsumen. Kesegaran ikan sebagai salah satu parameter penentuan kualitas ikan dan nilai jual. Dengan mempertahankan kualitas kesegaran ikan dapat mempengaruhi keuntungan baik dari segi nilai jual, keamanan pangan dan mengatasi kerugian pangan.

Distribusi ikan segar untuk pemasaran modern menggunakan pendinginan mekanik dengan pengawasan standar, tetapi untuk pasar tradisional dalam pelaksanaan system rantai dingin dalam penjualan dan distribusi ikan segar belum optimal. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan untuk distribusi ikan segar pada tingkat pedagang pengecer di kota Kupang dan sekitarnya ditemukan beberapa

158 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

masalah terkait penerapan rantai dingin pada produk ikan segar : (1). Metode pendinginan yang digunakan adalah air di dinginkan dengan es. Teknik ini seharusnya memperhatikan perbandingan ikan dengan media pendingin. Selain itu harus ada penambahan es setelah pelelehan untuk menjaga suhu media dan harus ada pergantian air. Pedangang umumnya karena alasan ekonomi memberikan es hanya pada awal penjualan dan tidak dilakukan penambahan es dan pergantian air. Sementara kondisi di Nusa Tenggara Timur (NTT) air merupakan sumber daya yang terbatas. Alasan lainya, berat es (sekitar I kg/batang) ditambah media air akan memberikan berat tambahan pada saat penjualan, karena proses pemasaran umumnya dilakukan tanpa menggunakan kendaraan bermotor (2). Wadah penampung yang digunakan umumnya menggunakan ember bekas cat berwarna putih. Material ember terbuat dari plastic yang bersifat insulator. Tetapi tebal dari material ember mampu mengalirkan panas dari lingkungan luar ke dalam wadah dan sebaliknya, sehingga akan mempengaruhi suhu media pendingin dan ikan. Ilyas (1993) menjelaskan bahwa jumlah panas yang berkonduksi memalui wadah pendingin salah satunya ditentukan oleh ketebalan material wadah.(3). Kisaran suhu udara luar pada musim kemarau di siang hari berkisar 300-350C . Kisaran suhu tersebut akan mempengaruhi laju pelelehan es dan peningkatan suhu media dan produk.

Pemasalahan - permasalahan yang diuraikan diatas akan menyebabkan ikan mengalami kehilangan nutrisi (lose in nutritional velue), kerusakan fisik (physical losses),kerusakan kualitas (quality losses) dan menurunya nilai ekonomi (economi closed) serta kehilangan kekuatan pasar

(Getu A, at all. 2015). Sebab itu perlu dikembangkan wadah alternatif untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh pedagang keliling di Kota Kupang dan sekitarnya. Permasalahan ini oleh pemerintah diatasi melalui program kerja tahunan yaitu: “meningkatnya mutu produkperikanan dan menurunnya (loss) hasil perikanan (Direktorat Bina Mutu dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2016). Salah satu wadah alternatif yang mungkin dikembangkan untuk mengoptimalkan proses penjualan ikan menggunakan rantai dingin pada pedagang eceran adalah Gerobak Ikan Dingin (Cold Fish Cart /CFC). Teknologi ini bukanlah hal yang baru dan telah digunakan secara luas oleh penjual es krim keliling (es putar). Penerapan untuk pendinginan ikan dilakukan dengan memodifikasi komposisi atau perbandingan media es - garam dan media air pendingin, tanpa merubah bentuk wadah.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Desain

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dimana kita ingin meneliti variable (perbandingan es-garam sebagai variabel kontrol) terhadap suhu media pendingin dan suhu ikan (sebagai variabel eksperimen). Kesulitan yang dihadapi dalam desain ini antara lain keterbatasan wadah yang akan digunakan. Sehingga kami menggunkan pendekatan ‘Ekperimental untuk kelompok sama’. Cara ini dilakukan karena keterbatasan peralatan menyebabkan sulit untuk membentuk kelompok kontrol. Dalam eksperimen ini kelompok yang sama (media air yang didinginkan) di ukur pada saat yang berlainan (W1,W2,W3,W4). Skemanya dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Desain eksperimental kelompok sama

159 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Proses pendinginan pada prinsipnya harus menggunakan perhitungan kebutuhan refrigrasi untuk pendininan ikan. Tetapi pada penelitian ini tidak digunakan prinsip-prinsip tersebut sebab hanya untuk mendapatkan informasi awal. Data dari penelitian ini akan di digunakan untuk merancang modifikasi wadah menggunkan perhitungan kebutuhan refrigrasi.

2.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember plastik, tabung satainless steel, thermometer dan score sheet organoleptik. Bahan yang digunakan antara lain : Es balok (1 kg/ batang), garam rakyat, air yang bersumber dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan ikan Kembung (Decapterus macrasoma).

2.3 Variabel

Objek yang menjadi titik pengamatan adalah perbandingan es-garam terhadap suhu media pendingin (air yang didinginkan), suhu ikan (yang didinginkan) serta nilai organoleptik ikan yang di dinginkan setelah 4 jam pasca pendinginan. Perbandingan es-garam adalah 5 : 1 untuk 5 liter air yang digunakan sebagai media pendingin dengan perlakuan berikut : a). Suhu media pendingin dan ikan pada 1 jam pasca pendinginan, b). Suhu media pendingin dan ikan pada 2 jam pasca pendinginan, c). Suhu media pendingin dan ikan pada 3 jam pasca pendinginan, d). Suhu media pendingin dan ikan pada 4 jam pasca pendinginan, e) Suhu media pendingin dan ikan pada 5 jam pasca pendinginan.

Ikan yang digunakan pada setiap perlakuan akan diambil secara acak untuk penilaian kualitas menggunakan metode penilaian oerganoleptik mengacu kepada Standar Nasional Indonesia nomor 01- 2346- 2006 menggunakan uji skoring (Scoring Test).

2.4 Prosedur

Tahap pertama: masukan tabung stainless steel yang berisi 5 liter air (suhu awal 280C) kedalam ember plastik yang berisi campuran es-garam (5:1). Selanjutnya lakukan pengukuran terhadap suhu media air pada selang waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Apabila perbandingan es-garam mampu mempertahankan suhu media < 100C maka dilanjutkna pada tahap selanjutnya. Tahap kedua : masukan ikan sebanyak 6 kg kedalam tabung berisi media air 5 liter dengan suhu awal 280C. Masukan tabung tersebut kedalam ember plastik berisi es-garam (5:1) kemudian lakukan pengukuran suhu ikan yang didinginkan. Pengukuran hanya sebatas suhu luar tubuh ikan. Pengukuran juga dilakukan terhadap suhu media air pendingin. Tahap ketiga : untuk menilai keberhasilan metode ini terhadap kualitas ikan maka dilakukan penilaian organoleptik. Penilaian ini hanya dilakukan pada awal sebelum pendinginan dan pada 5 jam terakhir pasca pendinginan.

2.5 Tabulasi dan Analisis Data

Tabulasi dan pengolahan data untuk parameter suhu menggunakan statistic deskriptif yang akan di sajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Sedangkan analisis data untuk nilai organoleptik menggunakan statistic inferensial dimana kesimpulan skor kualitas ikan ditentukan oleh penilaian panelis mengacu kepada prosedur statistic dalam SNI 01- 2346- 2006.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kemampuan Media Es Garam untuk Menurunkan Suhu Media Air (Pendingin) < 100C

Teknik refrigrasi menggunaan garam umumnya di terapkan pada industri-indusrti perikanan berskala besar yang berfokus pada pembekuan ikan. Sementara, industry kecil/tradisional dan menengah umumnya tidak menggunakan garam dalam proses

160 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

pendinginan atau pembekuan. Salah satu alasan kenapa nelayan tradiaional tidak menggunakan garam dalam proses pendinginan atau pembekuan karena garam dapat diserap oleh daging ikan dan menyebabkan perubahan rasa menjadi lebih asin. Jadi teknik refrigrasi menggunakan garam umumnya digunakan oleh indusrti makanan (contohnya es krim). Permasalahan yang dihadapi oleh pedagang pengecer adalah lemahnya penerapan sistem rantai dingin, seperti telah dijelaskan pada latar belakang bahwa kendalanya antara lain metode,wadah dan suhu udara luar yang berdampak kepada

penurunan kualitas,nilai nutrisi,nilai ekonomi dan lemahnya posisi tawar pedagang terhadap harga. Penelitian ini mengembangkan alternative teknik pendinginan yang di modifikasi, menggunakan campuran es-garam terhadap penurunan suhu ikan dan media pendinginnya. Tahapan eksperimen diawali dengan mempelajari perbandingan es-garam untuk menurunkan suhu media < 100C. Angka ini digunakan karena pertimbangan proses pendinginan, sebab itu di cobakan perbandingan es-garam 5:1 terhadap 5 liter air, hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penurunan suhu media air menggunakan perbandingan es-garam 5:1 (suhu udara luar 310C)

Waktu (jam)

Suhu Media (0C)

0 28 1 9 2 5 3 5 4 5 5 5

Tabel 1 menjelaskan bahwa perbandingan es-garam 5:1 mampu menurunkan suhu air dari 280C memjadi 50C pada waktu pendinginan 5 jam. Waktu ini adalah yang digunakan oleh pedagang pengecer untuk memasarkan ikan ke konsumen akhir. Saat penjualan dimulai dari jam 07.00-12.00 (kisaran suhu udara luar 300C-350C), waktu dimana konsumen tingkat rumah tangga berbelanja untuk konsusmsi. Yahia E. M ( 2010) menjelaskan bahwa wilayah-wilayah dengan iklim panas atau selama musim panas peningkatan suhu menjadi suatu masalah serius, bagi penerapan rantai dingin, ditandai oleh kurangnya aplikasi rantai dingin yang memadai dan pengetahuan yang tepat terutama dikalangan usaha-usaha kecil/tradisional. Pembuktian kemampuan

media pendingin untuk menurunkan suhu ikan dilakukan pada tahap selanjutnya.

3.2 Kemampuan Media Pendingin untuk

Menurunkan Suhu Ikan

Media pendingin (air yang didinginkan dengan campuran es-garam) digunakan untuk menurunkan suhu ikan ketingkat suhu yang lebih rendah dari suhu awal. Penurunan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu yang dapat menyebabkan penurunan kualitas selama penjualan. Ikan sebanyak 6 kg diturunkan suhunya menggunakan 5 liter air media pendingin kiasaran suhu 50C-90C dengan suhu udara luar 310C, hasilnya disajikan pada Tabel 2.

161 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 2. Penurunan suhu media dan suhu ikan (suhu udara luar 310C)

Waktu (jam) (setelah

pendinginan)

Suhu Media (0C) (air yang

didinginkan)

Suhu Ikan

0 29 26 1 9 19 2 5 10 3 5 10 4 5 8 5 5 10

Tabel 2 menjelaskan kisaran suhu

media pendingin mampu menurunkan suhu media dari 290C ke 50C dan suhu ikan 260C ke 80C selama 5 jam. Artinya laju kemunduran mutu dapat ditekan dengan menurunnya suhu produk. Ilyas (1993) menjelaskan bahwa suhu sedikit diatas titik beku ikan tepatnya pada suhu termal ikan adalah suhu yang ideal bagipendinginan karena mampu menghambat kegiatan enzim dan reaksi kimia.Pada penelitian ini suhunya diatas titik beku tetapi masih dapat mempertahankan kualitas khususnya untuk proses penjualan sekitar 5 jam. Penurunan suhu produk harus menjamin kualitas, untuk itu dilakukan penilaian organoleptik untuk mempelajari perubahan fisik yang terjadi

sebelum pendinginan dan setelah pendinginan selama 5 jam.

3.3 Skor Organoleptik Ikan Yang Didinginkan Dengan Media Air-Es

Pengujian Organoleptik adalah penilaian menggunakan indra manusia. Pengujian ini berperan penting dalam menentukan kualitas awal dari ikan sebelum sampai ke tangan konsumen. Meskipun bersifat subjektif tetapi umum digunakan oleh konsumen tradisional. Setelah proses pendinginan dilakukan maka indikasi untuk menentukan kemampuan teknik tersebut memelihara kesegaran atau kualitas adalah dengan mempelajari perubahan dari nilai organoleptik yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Rata-Rata Penilaian Organoleptik Sebelum Dan Setelah Pendinginan

Panelis Nilai rata-rata sebelum

pendinginan Nilai rata-rata

setelah pendinginan

1 8,4 7,3

2 8,7 7,5 3 8,4 8,2 4 8,6 7,4

5 8,2 7,2 6 8,3 7,5

Rata-rata 8,43 7,51

Sesuai SNI 01- 2346- 2006 maka nilai

organoleptik sebelum pendinginan adalah P (7,93≤µ≤8,93) dan setelah 5 jam pendinginan P (7,257≤µ≤7,763). Sebelum pendinginan nilai bawah tanpa dibulatkan sama dengan 7 dan sesudah didinginkan

sama dengan 7. Jadi berdasarkan SNI tidak terjadi perubahan nilai organoleptik sebelum dan sesudah pendinginan. Artinya, media pendingin mampu mempertahankan kualitas organoleptik pada skor 7 dan ini sesuai SNI layak untuk dikonsumsi.

162 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.4 Aplikasi untuk Pemasaran Tingkat Pengecer Keliling

Informasi yang diperoleh dari studi ini dapat digunakan untuk pengembangan teknologi pendinginan menggunakan larutan brine. Teknologi ini umumnya digunakan untuk industri makanan. Industri perikanan tradisional dan pemasaran ikan segar dapat memanfaatkan teknologi ini dengan modifikasi perbandingan es-garam, menggunakan wadah (gerobak ikan dingin /CFC) dengan perbaikan pada material insulasi bagian luar. Apabila ini biasa dikembangkan maka ada beberapa keuntungan yang diperoleh pedagang keliling antara lain kualitas ikan terjaga meskipun suhu udara luar tinggi,menggurangi beban kelelahan fisik ketika menjual ikan, waktu penjualan bias lebih lama,menggurangi kerugian ekonomi dan memperkuat posisi tawar penjual.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Wadah CFC dapat digunakan untuk penjual ikan keliling dengan modifikasi insulator luar serta perbandingan es-garam. Teknik ini mampu mempertahankan kesegaran ikan.

4.2 Saran

Perlu dikembangkan penelitian terkait variasi perbandingan es-garam terhadap volume media air, berat ikan dan variasi suhu udara luar. Selain itu perlu juga dikembangkan desain wadah yang mudah dibawah keliling untuk pemasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia 01-2346-2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik Atau Sensorik.

Getu A, Misganaw K and Bazezew M. 2015. Post-harvesting and major related problems of fish production. Fisheries

and Aquaculture Journal. Volume 6, Isue 4: 1-6.

Ilyas S.,1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jilid 1 Teknik Pendinginan Ikan, C.V. Paripurna. Jakarta.

Ilyas S.,1993. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jilid 2 Teknik Pembekuan Ikan, C.V. Paripurna. Jakarta.

Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2018. Rencana Kerja Tahunan Direktorat Jenderal Bina Mutu Dan Pemasaran Hasil Perikanan. Jakarta.

Kitinoja L.2013. Use Of Cold Chains For Reducing Food Losses In Developing Countries. The Postharvest Education Foundation (PEF). PEF White Paper No. 13-03.

Yahia E.M. 2010. Cold Chain development and challenges in the developing word. International Society for Horticultural Science.877.

163 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

PENDAPATAN DAN ANGKA KONSUMSI IKAN SEGAR MASYARAKAT DI KECAMATAN HAHARU KABUPATEN SUMBA TIMUR

THE INCOME AND CONSUMPTION FIGURES OF FISH FRESH OF COMMUNITY IN HAHARU SUBDISTRICT, EAST SUMBA DISTRICT

Umbu P. L. Dawa1, Ovie Ningsih1 dan Rian Rivanto Renggi Halang2 1)Dosen Program Studi Teknologi Hasil Perikanan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,UKAW Email :[email protected]

2)Alumni Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,UKAW

Abstrak - Pendapatan merupakan satu faktor yang diduga mempengaruhi angka konsumsi ikan masyarakat, untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan penelitian khusus mengenai Pendapatan dan Angka Konsumsi Ikan Segar Masyarakat di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur. Tujuan penelitian: 1) Untuk mengetahui angka konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu, 2) Untuk mengetahui hubungan pendapatan dan pengeluaran masyarakat di Kecamatan Haharu. Penelitian telah dilaksanakan selama 6 bulan (April-September) tahun 2016 bertempat di 8 desa Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur. Metode penelitian yang digunakan metode wawancara (daftar pertanyaan) dan observasi (pengamatan langsung) yang meneliti secara mendalam terhadap pendapatan dan angka konsumsi ikan segar. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa angka konsumsi ikan masyarakat di Kecamatan Haharu baru mencapai 15,19 kg/kapita/tahun masih berada di bawah angka konsumsi ikan Indonesia tahun 2015 mencapai (41,11 kg/kapita/tahun) dan angka konsumsi ikan NTT tahun 2015 mencapai (35,14 kg/kapita/tahun) (Dawa, 2015). Hasil analisis regresi linier dan koefesien korelasi tentang pendapatan dan pengeluaran untuk membeli ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu diperoleh persamaan regresi linear adalah 14,21 + 0,125X dengan nilai koefesien korelasi yaitu r = 0,77 (korelasi sedang) artinya pendapatan masyarakat mempengaruhi pengeluaran untuk membeli ikan segar. Kata kunci : Pendapatan, ikan, pengeluaran, gizi, perkapita. Abstract - Income is a factor that is thought to influence the level of fish consumption of the community, to prove this need to do a special research concerning income and consumption figures of fresh fish in the community in Haharu sub-district, East Sumba district. The purpose of this study is: 1) To determine the number of consumptions of fresh fish in Haharu Subdistrict, 2) To find out the relationship between income and expenditure of the community in Haharu Subdistrict. Research has been carried out for 6 months (April-September) in 2016 in 8 villages in Haharu Subdistrict, East Sumba Regency. The research method used is the interview method (list of questions) and observation (direct observation) which examines in depth the income and consumption rate of fresh fish. Based on the study showed that the rate of fish consumption of the people in Haharu Subdistrict had only reached 15.19 kg / capita / year which was still below the Indonesian fish consumption rate in 2015 reaching (41.11 kg / capita / year) and NTT fish consumption rate in 2015 reach (35.14 kg / capita / year) (Dawa, 2015). The results of linear regression analysis and correlation coefficients on income and expenditure to buy fresh fish in Haharu Subdistrict obtained linear regression equation is 14.21 + 0.125X with correlation coefficient value is r = 0.77 (moderate correlation) means that community income affects expenditure for buy fresh fish. Keywords: Income, fish, expenditure, nutrition, per capita

164 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

I. PENDAHULUAN

Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik (tinggi) tingkat pendapatan maka tingkat konsumsi makin baik (tinggi). Hal ini disebabkan ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi makin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan rumah tangga sebagai salah satu faktor yang menentukan tingkat konsumsi (Rahardja dan Manurung, 2008: 265 dalam Anonim 2017).

Konsumsi ikan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2012, angka konsumsi ikan di Indonesia adalah 33,8 kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2013 angka konsumsi ikan di Indonesia meningkat menjadi 35,1 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2014, angka konsumsi ikan di Indonesia akan ditargetkan lagi mencapai 38 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi ikan tersebut diprakarsai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) yang mengadakan program nasional, yaitu Gerakan Mari Makan Ikan (GEMARIKAN) (Daud, 2014). Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) dalam Direktorat Pemasaran Dalam Negeri/PDN (2011), penyediaan ikan untuk konsumsi di Indonesia pada tahun 2009 adalah 30,95 kg/kapita/tahun dengan angka konsumsi ikan 29,08 kg/kapita. Angka konsumsi ini masih di bawah angka konsumsi ikan di beberapa negara,diantaranya Jepang (110 kg/kapita/tahun), Korea Selatan (85 kg/kapita/tahun), Amerika Serikat (80 kg/kapita/tahun), Singapura (80 kg/kapita/tahun), Hongkong (85 kg/ kapita /tahun), Malaysia (45 kg/kapita/tahun) dan Thailan (35 kg/kapita/tahun).

Konsumsi ikan selama tahun 2011-2015 menunjukkan peningkatan sebesar 6,27 persen. Peningkatan konsumsi ikan

selama 5 tahun terakhir adalah hasil dari berbagai upaya kampanye dan kegiatan tentang gemar ikan kepada masyarakat. Angka konsumsi ikan merupakan angka konsumsi masyarakat Indonesia terhadap komoditas ikan yang dikonversi dalam satuan kg/kapita/tahun. Data konsumsi ikan selalu disandingkan dengan data peyediaan ikan konsumsi. Tercatat capaian angka konsumsi ikan (AKI) Indonesia pada tahun 2015 adalah 41,11 kg/kapita/tahun, melebihi target yang telah ditentukan sebesar 40,90 kg/kapita/tahun. Adapun penyediaan konsumsi ikan untuk konsumsi domestik tahun 2014 mencapai 13,07 juta ton, meningkat sebesar 10,01 persen dibandingkan tahun 2013 (Anonim, 2014).

Jika berpedoman pada batas standar kecukupan konsumsi kalori dan protein yang ditetapkan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi, maka asupan gizi penduduk NTT secara rata-rata masih di bawah standar (2000 kkal dan 52 gram protein per kapita per hari). Data Susenas mencatat rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT pada Maret 2014 hanya sebesar 1.701,94 kkal. Demikian halnya dengan asupan protein, masih di bawah standar yakni hanya sebesar 46,16 gram per kapita per hari (BPS, NTT 2014).

Angka konsumsi ikan masyarakat NTT berdasarkan hasil kajian telah mencapai angka 37,77 kg/kapita/tahun. Target ini telah berada di atas Standar Nasional untuk konsumsi ikan tahun 2013 adalah 35,14 kg/kapita/tahun. Sedangkan AKI (Angka Konsumsi Ikan) jika didasarkan pada rumusan SUSENAS AKI NTT baru mencapai 31,63 kg/kapita/tahun, karena ada sejumlah jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat NTT belum masuk pada Data SUSENAS (Dawa, 2015).

Kecamatan Haharu merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur yang memiliki lokasi perairan laut dan perairan tawar. Beberapa jenis ikan hasil tangkapan masyarakat kecamatan Haharu dari perairan laut, yakni: ikan paperek susu, ikan tembang, ikan belanak, gurita, kepiting, pari, ikan batu, ikan putih,

165 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

bulu babi dan rumput laut, sedangkan perairan tawar (sungai), yakni: kepiting sungai, ikan gabus, siput, belut, ikan belanak, dan udang.

Pola konsumsi ikan masyarakat Haharu masih dilakukan teknik pengolahan bersifat tradisional yang sederhana dan terbatas, yakni: rebus, pindang, fermentasi, bakar, dan goreng karena masyarakat kecamatan Haharu masih bergantung pada olahan yang bersifat lokal dan belum dikembangkan jenis olahan-olahan lainnya karena pengetahuan tentang hasil olahan perikanan masih rendah, dengan adanya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) masyarakat sudah mulai mengenal hasil olahan lainnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu dan untuk mengetahui hubungan pendapatan dan pengeluaran untuk membeli ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan (April-September) tahun 2016, bertempat di 8 (delapan) desa Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur.

2.2 Materi Penelitian

Materi penelitian yang digunakan dengan menggunakan metode wawancara (daftar pertanyaan) dan observasi (pengamatan langsung) yang meneliti secara mendalam terhadap pendapatan dan angka konsumsi ikan segar.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Data diambil dengan cara observasi dan wawancara dengan acuan kuisioner, terhadap responden terpilih mengenai pendapatan responden (Rupiah/Bulan), pengeluaran responden (Rp/Bulan) dan angka konsumsi ikan segar (Kg). Disamping data primer, juga diambil data sekunder yang ada kaitannya dengan objek penelitian terutama dari instansi terkait dan beberapa sumber pustaka dalam menunjang penelitian ini.

3.3 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Pada penelitian ini, yang dimaksud populasi adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang berada di 8 Desa di Kecematan Haharu Kabupaten Sumba Timur juga dipilah berdasarkan jenis pekerjaan (cluster). Populasi penelitian terdapat pada Tabel 5 dan 6.

166 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.4 Penentuan Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Pada penelitian ini, penentuan kriteria pengambilan sampel yakni responden yang telah berumah tangga (KK) diambil dari 8 (delapan) Desa di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan unsur-unsur kehidupan masyarakat, penentuan sampel berdasarkan persentase setiap kategori dari populasi setelah ditentukan total sampel berdasarkan petunjuk Sugiyono (1999) rumus penentuan sampel sebagai berikut:

𝐧 =𝐍

𝟏 + 𝐍(𝐝)𝟐

Keterangan : N : Besar Populasi n : Besar Sampel d : Angka Kepercayaan/Ketetapan

yang diinginkan, sebesar 0,1 (10%)

Penentuan sampel berdasarkan jenis pekerjaan responden di 8 (delapan) desa Kecamatan Haharu terdapat pada Tabel 7.

167 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.5 Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu menilai tahap-tahap penelitian sebagai berikut: 1. Survey Lokasi

Survey lokasi ini bertujuan untuk mendapatkan lokasi dan keadaan masyarakat yang menjadi target dalam penelitian ini. Dari hasil pengamatan awal, telah dipilih 8 (delapan) lokasi sampel untuk pengumpulan data lapangan melalui pengamatan dan wawancara yaitu: Desa Rambangaru, Desa Praibakul, Desa Kalamba, Desa Mbatapuhu, Desa Kadahang, Desa Wunga Desa Napu dan Desa Prailangina.

2. Penentuan Responden Setelahdilakukan survey, selanjutnya mendapat dan mengetahui jumlah Kepala Keluarga (KK) setiap desa. Cara untuk mendapatkan informasi tersebut yaitu diperoleh dari desa dimana responden (KK) tempat tinggal.

3. Pengambilan Data Pengambilan data dibagi dalam dua bagian adalah sebagai berikut: a. Setelah responden diperoleh, maka

dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner kepada responden yang dituju.

b. Untuk memperoleh data, maka pengambilan data terbagi atas: 1. Pengambilan data primer: data

diperoleh melalui wawancara secara semi terstruktur, dimana peneliti menetapkan pertanyaan yang akan di ajukan kepada responden. Langkah-langkah dalam proses wawancara antara lain: menyiapkan kuisioner, sampel ditetapkan sebagai target dan melakukan wawancara.

2. Pengambilan data sekunder: pengambilan data ini sebagai data tambahan dari istansi terkait dan pustaka.

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu: dengan cara pengamatan secara langsung dan pengambilan sampel secara langsung di lokasi penelitian (Hartono, 2004).

Korelasi merupakan angka yang menunjukkan arah kuatnya hubungan antar variabel atau lebih. Artinya dinyatakan dalam bentuk hubungan positif atau negatif, sedangkan kuatnya hubungan dinyatakan dalam besar koefesien korelasi (Hartono, 2014). Untuk mengetahui hubungan pendapatan dan pengeluaran masyarakat akan menggunakan regresi linier sederhana sebagai berikut:

Y = a + bX

Keterangan : Y : Pengeluaran Responden

(Rp/Bulan) X : Pendapatan Responden (Rp/Bulan) a : Konstanta b : Koefisien a = Konstanta, yang dapat dihitung

dengan menggunakan rumus :

𝒂 =(∑𝐘𝐢)(∑𝐗𝐢𝟐) − (∑𝐗𝐢)(∑𝐗𝐢𝐘𝐢)

𝐧∑𝐗𝐢𝟐 − (∑𝐗𝐢)𝟐

b = Koefisien, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

𝒃 =𝐧∑𝐗𝐢𝐘𝐢 − (∑𝐗𝐢)(∑𝐘𝐢)

𝐧∑𝐗𝐢𝟐 − (∑𝐗𝐢)𝟐

Untuk mengetahui kereratan hubungan antara pendapatan dan pengeluaran untuk membeli ikan segar dianalisa dengan menghitung koefisien korelasi, dengan rumus :

𝒓 =𝐍(∑𝐗𝐘) − (∑𝐗)(∑𝐘)

√[𝐍(∑𝐗𝟐) − (∑𝐗)𝟐] √[𝐍(∑𝐘𝟐) − (∑𝐘)𝟐]

168 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Keterangan : r : Koefesien Korelasi X : Pendapatan Responden (Rp/Bulan) Y : Pengeluaran Responden

(Rp/Bulan) N : Banyaknya Sampel

Menurut Sugiarto (1992), batas-batas nilai koefisien korelasi adalah sebagai berikut:

r : 0 = Tidak ada Korelasi r : 0 – 0,5 = Korelasi Lema r : 0,5 – 0,8 = Korelasi Sedang r : 0,8 – 1 = Korelasi Kuat r : 1 = Korelasi Sempurna

Untuk menghitung angka konsumsi ikan

segar (AKIS) dengan rumus (Modifikasi Rumus SUSENAS, 2017) sebagai berikut:

𝐀𝐊𝐈𝐒 =𝐚 𝐱 𝐛 𝐱 𝐜

𝟏. 𝟎𝟎𝟎 𝐠𝐫𝐚𝐦

Keterangan : AKIS : Angka Konsumsi Ikan Segar

(Kg) a : Konsumsi Ikan Responden/

hari (gram) b* : Banyaknya Hari

Mengkonsumsi Ikan Segar (gram /hari)

c** : Banyaknya Bulan Konsumsi Ikan Segar (gram/bulan)

Untuk menghitung banyaknya hari mengkonsumsi ikan segar dengan rumus sebagai berikut:

𝐛 =Ʃ(𝐛𝟏 𝐱 𝐛𝟐)

𝐛𝟑

Keterangan : b* = Banyaknya Hari Mengkonsumsi

Ikan Segar (gram/hari) b1 = Kisaran Tertinggi Konsumsi Ikan

Segar (gram) b2 = Jumlah Responden Konsumsi/hari

(KK/gram) b3 = Total Responden (KK)

* = Rata-rata jumlah konsumsi ikan segar dalam sebulan = 11 hari

** = Rata-rata jumlah konsumsi ikan segar dalam setahun = 12 dalam

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Gambaran Umum Lokasi

Kata Haharu sudah ada sebelum leluhur orang sumba sampai di pulau sumba karena nama Haharu dibawa dari Lii Marapu (Malaka-Tana Bara, Hapu Riu-Ndua Riu, Hapu Ja’wa-Ndua Ja’wa, Makaharu, Ruhuku-Mbay, Endi-Ambarai, Haharu Malay-Kataka Lendi Wacu), Malay berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti Tanjung jadi Haharu Malay adalah Tanjung Haharu, Kataka (Pacul/Kapak), Lindi Wacu (Jembatan Batu), jadi Haharu Malay Kataka Lindi Wacu (Tanjung Sasar) adalah gerbang dari jembatan batu yang menghubungkan pulau Sumba (Humba)-Desa Wunga-Kecamatan Haharu dengan pulau Flores (Desa Todo-Kecamatan Satermese). Haharu merupakan nama salah satu dari delapan (8) leluhur orang Sumba (Humba) yang sampai/mendarat (Taka “bahasa Lokal”) pertama di pulau Sumba (Humba) yakni; I Walu Haharu – I Njata Walu Njongu leluhur dari marga (kabihu “bahasa lokal”) dari Turapraing Wunga sebagai hasil musyawarah adat (Pulu Pamba Pata Bakul) pertama di Sumba (Humba).

Secara geografis Kecamatan Haharu memiliki batas wilayah (PP No. 40 tahun 1992) yaitu bagian Utara berbatasan dengan Selat Sumba, bagian Selatan berbatasan Kecamatan Lewa dan Kecamatan Goa, bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Kanatang, bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Lewa dan Kabupaten Sumba Tengah. Kecamatan Haharu terdiri dari 9 (Sembilan) desa yakni 7 (tujuh) desa tetap dan 2 (dua) desa persiapan pemekaran. Tujuh (7) desa tetap terdiri dari: Desa Kalamba, Desa Rambangaru, Desa Praibakul, Desa Mbatapuhu, Desa Kadahang, Desa Wunga, dan Desa Napu, sedangkan 2 desa

169 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

persiapan pemekaran yakni: Desa Matawai Padangu dan Desa Prailangina, dengan luas keseluruhan wilayah 601,5 km2 serta jumlah penduduk 6.645 jiwa. Pada umumnya Kecamatan Haharu merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur yang mendominasi perairan laut dan perairan tawar (sungai). Beberapa jenis ikan hasil tangkapan masyarakat Kecamatan Haharu dari perairan laut, yakni: ikan paperek susu (ji’ang walla “bahasa lokal”), ikan tembang (ji’ang tebang “bahasa lokal”), ikan belanak (ji’ang malanak “bahasa lokal”), gurita (kapaju “bahasa lokal”), kepiting (karanggu “bahasa lokal”), pari (pe “bahasa lokal”), ikan batu (nipu “bahasa lokal”), ikan putih (ji’ang hamau “bahasa lokal”), bulu babi (tawoda “bahasa lokal”) dan rumput laut (uhu woya dan ka’je “bahasa lokal”), sedangkan perairan tawar (sungai), yakni: kepiting sungai (karanggu loku “bahasa lokal”), ikan gabus (hagilli “bahasa lokal”), siput (kabirru “bahasa lokal”), belut (cunna “bahasa lokal”), ikan belanak (ji’ang malanak “bahasa

lokal”), ikan kaboku (bahasa lokal), dan udang (kurang “bahasa lokal”).

Kebiasaan masyarakat di Kecamatan Haharu untuk mendapat ikan segar dengan cara melakukan penangkapan sendiri bagi nelayan dan membeli yang bukan nelayan untuk jenis ikan air laut sedangkan jenis ikan air tawar (sungai) dengan cara melakukan penangkapan sendiri. Adapun satuan harga ikan air laut yang dijual oleh penjual (satu kumpul = Rp. 5.000; dan satu natok Rp. 20.00;). Pola konsumsi ikan masyarakat di Kecamatan Haharu masih dilakukan teknik pengolahan bersifat tradisional yang sederhana dan terbatas, yakni: rebus, pindang (kacumbu “bahasa lokal”), fermentasi (mambarru “bahasa lokal”), bakar (patunnu “bahasa lokal”) dan goreng (paranda “bahasa lokal”).

3.2 Jenis Pekerjaan Responden

Data responden yang diperoleh berdasarkan jenis Pekerjaan di 8 (delapan) desa Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur terdapat pada Tabel 8.

Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa jenis pekerjaan responden tertinggi adalah petani (86%) diikuti oleh nelayan (5%), PNS (4%), pemuka agama (3%), dan wairaswasta (2%). Tingginya persentase pekerjaan responden sebagai petani di

Kecamatan Haharu diduga disebabkan oleh keadaan masyarakat yang masih mengutamakan lahan perkebunan sebagai sumber makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam keluarga, kemudian diikuti pekerjaan responden

170 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

sebagai nelayan, PNS, pemuka agama dan wiraswasta. Menurut Scott (2011) dalam Anonim 2017 menyatakan bahwa petani merupakan jenis pekerjaan yang mayoritas digeluti oleh masyarakat Indonesia baik sebagai petani perkebunan, petani peternakan dan petani perikanan. Jika dibandingkan dengan data peneliti terdahulu terhadap pekerjaan responden di Kecamatan Mamboro Kabupaten Sumba Tengah (Tangamuli, 2014), menyatakan bahwa responden yang bekerja sebagai petani 36%, nelayan 34%, wiraswasta 15% dan pegawai negeri sipil (PNS) 15%, maka memiliki kesamaan dengan penelitian saat

ini dimana jenis pekerjaan sebagai petani yang paling dominan dan diikuti dengan nelayan, PNS, dan wiraswasta.

3.3 Pola Konsumsi Ikan Segar Masyarakat di Kecamatan Haharu

Pola konsumsi merupakan kebiasaan makan dan mengolah makanan. Pola konsumsi ikan masyarakat di Kecamatan Haharu masih mengkonsumsi ikan segar dengan dilakukan pengolahan secara tradisional yang sederhana dan terbatas dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 menunjukkan pola konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu masih dilakukan olahan secara tradisonal yakni dengan cara rebus, fermentasi (mabarru “bahasa lokal”), pindang (kacumbu “bahasa lokal”), goreng (paranda “bahasa lokal”), dan bakar (patunnu “bahasa lokal”).

Rebus, goreng (paranda “bahasa lokal”), dan bakar (patunnu “bahasa lokal”) merupakan olahan tradisional yang paling sering dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Haharu. Hal ini diduga kecenderungan pola konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu masih cenderung mengkonsumsi olahan secara

tradisional dan sudah ada secara turun temurun dari nenek moyang.

Menurut Hartati (2006) dalam Anonim 2017, menyatakan bahwa pola konsumsi makanan adalah cara atau kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam hal mengkonsumsi makanan yang dilakukan secara berulang-ulang pada jangka waktu yang singkat dan lama seperti rebus, goreng, fermentasi, dan pindang. Jika dibandingkan dengan peneliti terdahulu Tangamuli (2014) di Kecamatan Mamboro menyatakan bahwa pola konsumsi ikan relatif sama dengan di Kecamatan Haharu yakni dengan pengolahan secara tradisional yaitu dengan cara goreng, bakar, pindang (kabat’ta), dan rebus.

171 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

3.4 Tingkat Pendapatan Responden di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur

Pendapatan dalam rumah tangga berbeda-beda, tergantung dari banyaknya anggota keluarga yang bekerja sehingga mempengaruhi pendapatan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan.

Hasil wawancara dari masyarakat di Kecamatan Haharu, berdasarkan kisaran pendapatan responden per bulan berkisar antara Rp. 250.000; hingga lebih dari Rp. 1.000.000; per responden. Pendapatan masyarakat di Kecamatan Haharu terdapat pada Tabel 10.

Tabel 10 menyajikan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat di 8 (delapan) desa Kecamatan Haharu dengan jumlah 505 responden (KK) yakni pendapatan Rp. 500.000;-750.000; dengan persentase tertinggi 44% yang bekerja sebagai petani dan pendapatan Rp. 750.000;-Rp. 1. 000.000; adalah persentase terendah (9%) yang bekerja sebagai pemuka agama sedangkan lebih dari Rp. 1.000.000; sebanyak 9% yang bekerja sebagai PNS dan Nelayan. Hal ini diduga bahwa jenis pekerjaan seseorang sangat menentukan pendapatan yang diperolehnya.

Menurut Sukirno (2006:47) dalam Anonim 2017, menyatakan pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan, ataupun tahunan. Jika dibandingkan dengan peneliti terdahulu (Tangamuli, 2014) pendapatan tertinggi lebih dari Rp. 1.000.000; masyarakat yang bekerja sebagai PNS, wiraswasta,

sedangkan pendapatan terendah Rp. 250.000;-Rp. 500.000; adalah yang bekerja sebagai petani dan nelayan, tetapi ada juga beberapa nelayan yang pendapatan lebih dari Rp. 1.000.000; di 5 (lima) desa kawasan pesisir di Kecamatan Mamboro Kabupaten Sumba Tengah.

3.7 Jumlah Pengeluaran Responden Untuk Membeli Ikan Segar di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur Pola konsumsi masyarakat 8 (delapan)

desa di Kecamatan yang berbeda-beda mempengaruhi jumlah pengeluaran seseorang untuk mengkonsumsi makanan. Pengeluaran masyarakat di Kecamatan Haharu untuk membeli ikan segar berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan. Adapun biaya yang dikeluarkan dari pendapatan masyarakat (responden) jika diasumsikan untuk membeli ikan segar dalam sebulan selama 11 hari terdapat pada Tabel 11.

172 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 11 menunjukkan data yang diperoleh dari masyarakat di 8 (delapan) desa Kecamatan Haharu dengan jumlah responden 505 KK, yang mengeluarkan biaya untuk membeli ikan segar sebesar Rp 45.000; merupakan persentase tertinggi (45%) dimana respondennya bekerja sebagai petani. Pengeluaran sebesar Rp 45.000; adalah 7% dari pendapatan

responden (𝟒𝟓.𝟎𝟎𝟎

𝟔𝟐𝟓.𝟎𝟎𝟎 𝐱 𝟏𝟎𝟎% = 𝟕%),

pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli ikan segar. Pengeluaran untuk membeli ikan segar sebesar Rp. 360.000; merupakan persentase terendah (7%) dimana respondennya bekerja sebagai sebagai PNS, nelayan dan pemuka agama. Pengeluaran sebesar Rp. 360.000; adalah 18% dari pendapatan responden

(𝟑𝟔𝟎.𝟎𝟎𝟎

𝟐.𝟎𝟎𝟎.𝟎𝟎𝟎 𝐱 𝟏𝟎𝟎% = 𝟏𝟖%), pengeluaran

tersebut digunakan untuk membeli ikan segar.

Rata-rata pengeluaran masyarakat di Kecamatan Haharu untuk membeli ikan segar dalam satu bulan berkisar antara Rp. 45.000;-Rp. 360.000;. Hal ini diduga pengeluaran masyarakat untuk membeli ikan segar masih relatif rendah, akibatnya pengeluaran untuk membeli bahan pangan

juga relatif rendah maka alokasi untuk mengkonsumsi ikan akan semakin sedikit. Jika pengeluaran tinggi makin besar proporsi untuk membeli ikan segar untuk dikonsumsi. Menurut Ariani dan Purwantini, 2005 dalam Anonim 2017, semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk membeli bahan pangan, sandang, dan papan berarti tingkat kesejahteraan rumah tangga semakin tinggi. Jika dibandingkan dengan peneliti terdahulu (Tangamuli, 2014) menyatakan bahwa masyarakat di Kecamatan Mamboro melakukan pengeluaran untuk membeli ikan segar tertinggi Rp. 500.000;-600.000; per bulan yang bekerja sebagai PNS dan wiraswasta sedangkan yang melakukan pengeluaran terendah untuk membeli ikan segar Rp. 100.000;-200.000; yang bekerja sebagai petani.

3.8 Angka Konsumsi Ikan Segar Masyarakat di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur

Konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu berkisar antara 0-1000 gram per hari. Angka konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu dapat dilihat pada Tabel 12.

173 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 12 menunjukkan jumlah konsumsi ikan segar 500-750 gram dengan persentase tertinggi (43%) adalah yang bekerja sebagai petani dan wiraswasta, dan jumlah konsumsi 750-1000 gram dengan persentase terendah (10%) adalah yang bekerja sebagai sebagai PNS dan nelayan. Jika diasumsikan jumlah anggota keluarga berkisar antara 3-7 orang (asumsi 5 orang), dalam sebulan rata-rata masyarakat di Kecamatan Haharu mengkonsumsi ikan selama 11 hari maka angka konsumsi ikan segar di Kecamatan Haharu baru mencapai 15,19 kg/kapita/tahun, masih berada di bawah angka konsumsi ikan Indonesia tahun 2015 mencapai 41,11 kg/kapita/tahun dan Dawa (2015) menyatakan bahwa angka konsumsi ikan NTT tahun 2015 mencapai 35,14 kg/kapita/tahun.

Berdasarkan hasil wawancara penyebabkan rendahnya konsumsi ikan segar di Kecamatan Haharu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) kurangnya alat tangkap (air tawar dan air laut), 2) pendapatan yang rendah (pendapatan yang tidak menetap), 3) kurangnya penjual, 4) mitos (alergi), 5) budaya (dari keturunan (marga) yang tidak mengkonsumsi ikan), 6) pengetahuan mengenai gizi masih kurang dan sebagian daerah yang jauh dari pesisir pantai jika dibandingkan dengan peniliti terdahulu Sulistyo et al., 2004, memiliki

kesamaan yang menyatakan rendahnya konsumsi ikan masyarakat Indonesia dapat dikaitkan dengan berbagai faktor yaitu: 1) pengetahuan mengenai gizi dan teknik pengolahan ikan yang masih terbatas, 2) kendala mendapatkan ikan yang bervariasi, 3) harga ikan (misalnya udang, cumi-cumi, kakap merah) yang dinilai cukup mahal dibandingkan daya beli masyarakat pada umumnya, 4) angka preferensi/kesukaan ikan belum berkembang, 5) citra/image/gengsi ikan sebagai makanan secara khusus belum berkembang, 6) masih terdapatnya nilai budaya, tabu, mitos, dan pantangan sekelompok masyarakat mengenai dampak negatif konsumsi ikan, dan 7) promosi konsumsi ikan yang belum optimal. Namun antusias masyarakat di Kecamatan Haharu sangat setuju dengan adanya program pemerintah yang di prakarsai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) tentang Gerakan Mari Makan Ikan (GEMARIKAN).

Rata-rata masyarakat di Kecamatan Haharu 100% suka mengkonsumsi ikan segar karena sumber gizi, harganya terjangkau, dan mudah diperoleh, namun tidak menjadikan ikan sebagai prioritas utama untuk dikonsumsi, karena masyarakat di Kecamatan Haharu lebih

174 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

cenderung mengkonsumsi sayur-sayuran dan daging hewani lainnya.

Menurut Shinta, 2010 dalam Anonim 2017 menyatakan bahwa konsumi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Jika dibandingkan dengan peneliti terdahulu Tangamuli (2014) menyatakan bahwa angka konsumsi ikan masyarakat di Kecamatan Mamboro Kabupaten Sumba Tengah mencapai 48 kg/kapita/tahun, maka angka konsumsi ikan masyarakat di Kecamatan Haharu lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan perbedaan geografis lokasi dimana Kecamatan Mamboro dekat

dengan pesisir pantai dan di Kecamatan Haharu adalah 3 desa yang dekat pesisir dan 5 desa yang jauh dari pesisir.

3.9 Hubungan Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat di Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur

Berdasarkan analisis regresi linier dan koefisien korelasi antara pendapatan dan pengeluaran untuk membeli ikan masyarakat di Kecamatan Haharu menunjukkan korelasi sedang (0,77). Hubungan pendapatan dan pengeluaran masyarakat di Kecamatan Haharu terdapat pada Tabel 13.

Tabel 13 menunjukkan hubungan pendapatan dan pengeluaran masyarakat di Kecamatan Haharu tertinggi adalah Desa Kalamba dengan koefisien korelasi kuat (r = 0,95) artinya semakin meningkat pendapatan yang diterima maka semakin meningkat pengeluaran untuk membeli ikan segar. Hal ini diduga pendapatan yang berbeda sesuai jenis pekerjaan, kurangnya penjual dan letak geografis yang jauh dari pesisir pantai sedangkan hubungan pendapatan dan pengeluaran terendah

adalah Desa Napu dengan koefisien korelasi lemah (r = 0,46) artinya semakin rendah pendapatan yang diterima maka semakin rendah pula pengeluaran untuk membeli ikan segar. Hal ini diduga bahwa pendapatan yang rendah sesuai jenis pekerjaan, dan letak geografis yang jauh dari pesisir pantai. Hasil analisis regresi linear dan koefisien korelasi antara pendapatan dan pengeluaran masyarakat di Kecamatan Haharu terdapat pada Gambar 2.

175 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Gambar 2. Grafik hubungan pendapatan dan pengeluaran masyarakat Kecamatan Haharu

Gambar 2 menunjukkan hasil analisis

regresi linier dan koefesien korelasi tentang pendapatan terhadap pengeluaran untuk membeli ikan masyarakat di Kecamatan Haharu diperoleh persamaan regresi linear adalah 14,21 + 0,125X dengan nilai koefesien korelasi yaitu r = 0,77 (korelasi sedang) artinya pendapatan masyarakat mempengaruhi pengeluaran untuk membeli ikan segar. Hal ini diduga pendapatan semakin meningkat maka pengeluaran untuk membeli ikan segar semakin meningkat demikian juga sebaliknya semakin meningkat pengeluaran untuk membeli ikan segar mengindikasikan bahwa semakin meningkat pendapatan yang diterima juga semakin meningkat jumlah ikan (kuantitas) dan mutu ikan yang dibeli (kualitas) untuk dikonsumsi. Kualitas ikan yang dibeli untuk dikonsumsi dapat dilihat dari tingkat kesegaran ikan dan jenis ikan. Berdasarkan hasil analisis regresi linear dan koefisien korelasi menunjukan bahwa hubungan pendapatan dan pengeluaran di Kecamatan Haharu diperoleh hubungan/korelasi sedang. Walaupun angka konsumsi ikan masyarakat di

Kecamatan Haharu masih di bawah angka konsumsi ikan Indonesia tahun 2015 adalah 41,11 kg/kapita/tahun, namun kenyataannya hubungan pendapatan terhadap pengeluaran untuk membeli ikan tidak mempengaruhi angka konsumsi ikan. Hal ini diduga kebiasaan konsumsi masyarakat di Kecamatan Haharu yang tidak menjadikan ikan sebagai prioritas utama untuk dikonsumsi karena masyarakat masih cenderung mengkonsumsi sayur-sayuran dan daging hewani lainnya. Jika dibandingkan dengan peneliti terdahulu Tangamuli (2014), menyatakan bahwa pendapatan masyarakat naik, maka pengeluaran untuk mengkonsumsi ikan juga ikut naik, karena masyarakat yang pendapatannya meningkat ada kecenderungan pengeluaran untuk mengkonsumsi ikan juga meningkat.

Tindakan-tindakan yang diduga dapat meningkatkan angka konsumsi ikan (AKI) masyarakat di Kecamatan Haharu jika dihubungkan dengan 100% suka mengkonsumsi ikan, namun sebagian 57% masyarakat yang kurang tahu akan pentingnya nilai gizi dari ikan, hal ini bisa

176 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

dilakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya nilai gizi ikan bagi tubuh untuk mendukung program pemerintah yang di prakarsai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Gerakan Mari Makan Ikan (GEMARIKAN).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Angka konsumsi ikan masyarakat di

Kecamatan Haharu adalah 15,19 kg/kapita/tahun (di bawah angka konsumsi ikan (AKI) Indonesia tahun 2015 adalah 41,11 kg/kapita/tahun).

2. Pendapatan masyarakat di Kecamatan Haharu mempengaruhi pengeluaran untuk membeli ikan segar dengan nilai koefesien korelasi sedang (r = 0,77) namun tidak mempengaruhi angka konsumsi ikan segar masyarakat di Kecamatan Haharu.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka penulis memberikan beberapa saran adalah sebagai berikut: 1. Peran pemerintah dalam hal ini Dinas

Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya nilai gizi ikan bagi tubuh.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai Angka Konsumsi Ikan Masyarakat di Kabupaten Sumba Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

BPS-NTT. 2014. Ringkasan Pola Konsumsi Penduduk Provinsi Nusa Tenggara

Timur Triwulan III Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.

Daud, A. 2014. Konsumsi Ikan Masyarakat Indonesia Terus Meningkat. Tersedia pada https://ekbis.sindonews.com/read/824665/34/konsumsi-ikan-masyarakat-indonesia-terus-meningkat-1389165999. Diakses pada tanggal 6 Maret 2016, pukul 05:55 WITA.

Dir. PDN. 2014. Modul Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Dawa, U. P. L, 2015. Survey dan Pengkajian Angka Konsumsi Ikan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang.

Hartono, 2014. Statistik untuk Penelitian. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

Tangamuli, R. 2014. Pendapatan dan Angka Konsumsi Ikan di Kawasan Pesisir Kecamatan Mamboro. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang.

177 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

ANALISIS SOSIO-EKONOMI TERHADAP PENILAIAN PANELIS RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DARI HASIL PANEN

PEMBUDIDAYA DESA TABLOLONG

Crisca B. Eoh Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang

Jl. Adisucipto Penfui Kupang

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penilaian panelis, mendiskripsikan mutu meliputi : warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar serta mengkaji pengaruh antara mutu rumput laut Euchema cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong dengan penilaian panelis. Teknik analisa data yang digunakan, yaitu : ”Linear Probability Model, Uji Linearitas Regresi dan Uji Hipotesis Hubungan Antara Dua Variabel”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai yang diberikan 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan pada warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Euchema cottonii memberikan pernyataan antara “Netral” dan “Puas” dengan nilai berkisar 5.83 dan 6.00, sedangkan rerata nilai panelisnya adalah nilai 5.93 dengan pernyataan antara ”Netral dan Puas”. Skor dan nilai mutu yang diberikan oleh 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan pada mutu rumput laut Eucheuma cottonii berupa warna dengan skor 6 dan 7, nilai kadar air berkisar antara 5.13 – 6.98 %, protein 2.01 – 3.68 %, karbohidrat 40.91 – 44.01 %, lemak 20.83 – 25.82 % dan nilai kadar abu dengan kisaran 21.15 – 28.73 %. Sedangkan rerata nilai mutu rumput laut Eucheuma cottonii meliputi warna 6.6, kadar air 6.01 %, protein 2.88 %, karbohidrat 42.22 %, lemak 23.62 % dan kadar abu 25.01 %. Untuk kriteria penilaian panelis rumput laut Eucheuma cottonii, warna terdiri dari 6 orang panelis (40 %) dan 9 orang panelis (60 %) menyatakan “Netral” hingga “Paus”, kadar air 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Paus”, protein 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Paus”, karbohidrat 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Tidak Paus”, lemak 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Paus” dan kadar abu 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Tidak Paus”, dengan kriteria mutunya, yaitu : hijau kekuning-kuningan (warna), 31.6 – ≤ 14,5 % (kadar air), 2.93 – ≥ 3.46 % (kadar protein), 40.0 – 44.70 % (kadar karbohidrat), 0.72 – ≥ 0.93 % (kadar lemak) dan ≥ 15.09 % (kadar abu). Hasil regresi ganda : Y = 4.78017 + 0.17164 X1 - 0.00014 X2 + 0.00560 X3 - 0.00087 X4 + 0.00003 X5 + 0.00015 X6, jika pengaruh variabel terikat terhadap masing-masing variabel bebas : Y = 4.78017 + 0.17164 X1** - 0.00014 X2 + 0.00560 X3 - 0.00087 X4 + 0.00003 X5 + 0.00015 X6. Hubungan antara penilaian panelis dengan warna rumput laut Eucheuma cottonii (korelasi regresi = 0.96960) dibandingkan dengan variabel lain, maka pengaruh warna rumput laut Eucheuma cottonii pada penilaian panelis warna rumput laut Eucheuma cottonii lebih besar. Besar hubungan antara penilaian panelis dengan variabel lainnya berturut-turut : kadar karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii (0.22603), abu (0.10600), lemak (-0.00931), air (-0.13777) dan kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii rumput laut Eucheuma cottonii (-0.30595). Besar keragaman penilaian panelis yang mampu diterangkan oleh keenam variabel bebas dalam fungsi (R2 = 88.29396 %), sisanya (11.70604 %). Uji Anova (F tes) menghasilkan Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat kepercayaan 99 persen (Fhitung = 10.06 > Ftabel = 6.37 untuk α = 1 % dan Ftabel = 3.58 untuk α = 5 % atau P > 0.01 > 0.05), yaitu keenam variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap penilaian panelis tentang mutu rumput laut Eucheuma cottonii. Kata kunci : Sosio-Ekonomi, Penilaian Panelis, Rumput Laut Eucheuma cottonii

178 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

I. PENDAHULUAN

Rumput laut (seaweed) adalah komoditas unggulan pada kegiatan revitalisasi kelautan dan perikanan yang mempunyai pasar prospektif. Permintaan dunia yang cukup tinggi menyebabkan hasil produksi yang berasal dari alam tidak mencukupi, sehingga harus dilakukan upaya budidaya.

Seaweed adalah komoditas perikanan dan kelautan yang dapat dipergunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, memiliki nilai ekonomi yang tinggi (High Value Commodity), spektrum penggunaannya sangat luas, daya serap tenaga kerja yang tinggi dengan mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara massal, teknologi budidaya yang mudah, masa tanam relatif pendek (45 hari) dan biaya unit per produksi relatif murah serta menghasilkan keuntungan yang relatif besar, baik di pasar domestik maupun internasional (Nurdjana, 2006).

Salah satu jenis rumput laut yang bernilai ekonomi (peluang pasar) adalah genus Eucheuma terutama jenis Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii). Rumput laut dari genus Eucheuma dapat dijumpai pada beberapa wilayah perairan potensial di Indonesial baik dalam jumlah besar maupun kecil meliputi perairan Riau, Kepulauan Seribu, Serang, Madura, Jawa. Bali, Sulawesi, Lombok, Komodo, Maluku dan periaran Papua (Anonim, 2004).

Jenis Eucheuma cottonii secara ekonomi memiliki peranan penting sebagai penghasil karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat, karaginan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak, dkk., 1990 ; Meiyana, dkk., 2001).

Rumput laut Eucheuma cottonii sebagai bahan pangan memiliki karbohidrat sebagai kandungan utama. Namun karbohidrat yang terdapat dalam bahan pangan, sebagian besar terdiri atas senyawa gumi yang tidak dapat dicerna dalam pencernaan manusia

serta kandungan protein dan lemak pada rumput laut juga sangat kecil.

Dari sekian banyak wilayah perairan potensial penghasil rumput laut Eucheuma di dalam negeri, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah perairan yang memberikan kontribusi dan berpotensi untuk pengembangan budidaya dengan luas pengembangan rumput lautnya sebesar 6.000 ha. Wilayah perairan potensi yang berada di NTT antara lain : Tanjung Karoso, Warambadi, pulau Komodo, pulau besar Maumere dan Tablolong di pulau Timor (Afrianto dan Liviawati, 1987; Rismawati, 2012).

Wilayah perairan potensi yang berada di NTT, para pembudidayanya masih memiliki pengetahuan dan teknologi yang relatif minim baik untuk budidaya maupun pasca-panennya, khusus pemasaran akan rumput laut Eucheuma yang memenuhi standar permintaan pasar. Untuk memenuhi permintaan pasar yang berstandar, maka syarat utama adalah kualitas (mutu). Mutu di identik dengan kesegaran yang mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu material, produk atau jasa. Seperti pada hasil pertanian umumnya, hasil perikanan pun mengandung paling kurang beberapa aspek mutu, antara lain : aspek bio-tekno-ekonomi, aspek sanitasi dan hygiene (kesehatan), aspek komersial, aspek industri dan aspek hukum atau legal (Ilyas, 1983).

Beberapa aspek mutu ini tidak pernah diperhatikan oleh pembudidaya (produsen) di NTT, faktanya ada dua (2) hal yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu dari rumput laut Eucheuma, yaitu : aspek sosial dan aspek ekonomi. Penurunan mutu rumput laut Eucheuma ini disebabkan karena cara budidaya (penanaman rumput laut yang tidak seragam atau berbeda), lingkungan tempat tumbuh serta iklim dan penanganan pasca panen kurang baik, misalnya : umur panen yang belum waktunya, penjemuran yang kurang sempurna serta banyaknya benda asing yang mengakibatkan turunnya mutu hasil olahan rumput laut.

179 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Keberhasilan rumput laut sangat tetgantung pada metode penilaian mutu untuk kepentingan permintaan pasar. Metode penilaian mutu ikan secara umum dikelompokkan atas dua (2), yaitu : metode penilaian mutu yang bersifat subjektif dan metode penilaian mutu yang bersifat objektif. Metode penilaian mutu yang bersifat subjektif mengandalkan cara penilaiannya pada panca-indera seseorang, kelompok beberapa orang atau beberapa puluh orang atas faktor rupa (appearance), bau (odor), cita rasa (flavor) dan tekstur (texture) atau konsisten dari ikan secara umum. Sedangkan metode penilaian mutu yang bersifat objektif menggunakan perangkat uji baik secara kimiawi, fisik dan mikrobiologi (Ilyas, 1983).

Rumput laut Eucheuma cottonii adalah tumbuhan berthallus (divisi Thalophyta) dan memiliki kerangka tumbuh yang kekar, berbatang, berdaun serta mengandung memiliki karoten. Karoten merupakan pigmen atau zat warna yang dapat memberikan warna, terutama pada organisme yang hidup. Zat warna atau pigmen pada karoten berasal dari kandungan vitamin terutama vitamin A (Lesmana, 2002; Winarno, 1984).

Provitamin A adalah pigmen atau zat warna terdiri dari beta karoten dan karetonoid yang dapat membantu proses pencernaan, mempercepat pertumbuhan dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya (Winarno, 1984). Untuk itu ciri fisik Eucheuma cottonii segar yang baik, yaitu : mempunyai thallus silindris, permukaan licin, kartilogineous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah (Aslan, 1998).

Secara kimiawi, pengolahan (spesifikasi produk) rumput laut Eucheuma cottonii menjadi karaginan adalah sebagai berikut : kadar air 8 – 12.90 %, karbohidrat 13.38 %, protein 5.12 %, lemak 0.13 % dan kadar abu 18 – 23 % (Istini et al. 1986 dalam Winarno, 1996).

Dari uraian diatas, maka peneliti perlu melakukan penelitian untuk menjawab masalah : bagaimana hubungan rumput laut Euchema cottonii (Kappaphycus

alvarezii) meliputi : warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong terhadap penilaian panelis, mutu rumput laut Euchema cottonii serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penilaian panelis terhadap mutu rumput laut Euchema cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong. Sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penilaian panelis, mendiskripsikan mutu meliputi : warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar serta mengkaji pengaruh antara mutu rumput laut Euchema cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong dengan penilaian panelis. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi yang aktual bagi panelis (konsumen/ masyarakat) Nusa Tenggara Timur yang dapat dijadikan pedoman dalam penerimaan mutu (warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu) rumput laut Euchema cottonii (Kappaphycus alvarezii) dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong khususnya di Provinsi NTT.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga (3) lokasi yang berbeda, yaitu : desa Tablolong, Laboratorium Kering Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana serta Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Politeknik Pertanian Negeri, Kupang. Sedangkan pelaksanaan selama enam (6) bulan, yaitu dari September 2017 sampai dengan Febuari 2018, dan pengumpulan datanya selama dua (2) bulan dari tanggal 10 Nopember sampai dengan 10 Desember 2017. 3.3 Instrumen Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : data primer dan data sekunder. Data primer dapat diperoleh dengan

180 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

menggunakan metode observasi melalui pengamatan secara langsung ke pembudidaya dan panelis di Laboratorium Kering Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana serta Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Politeknik Pertanian Negeri, Kupang pada rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong, serta pengamatan panelis tersebut sebagai responden berdasarkan daftar pertanyaan (Score Sheet). Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa publikasi dan dokumentasi yang bersumber dari instansi-instansi yang terkait langsung dengan sasaran penelitian ini, disamping itu juga dengan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini.

2.4 Sampel Penelitian

Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah panelis pada rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong yang berjumlah 15 orang dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan pada saat penelitian dilakukan. Pengambilan sampel dari panelis tersebut dapat dilakukan dengan dua (2) teknik, yaitu : 1) metode “Accidental Sampling” yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan faktor spontanitas atau kebetulan, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu (kebetulan) dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya maka orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel (responden); dan 2) metode “Purposive Sampling” yaitu teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu. Hanya mereka yang ahli yang patut memberikan pertimbangan untuk pengambilan sampel yang diperlukan (Riduwan, 2003; Sugiyono, 2008; Sugiyono, 2009).

2.5 Teknik Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari pengukuran penilaian panelis dan rumput laut Eucheuma cottonii berupa pernyataan dan skor selama pelaksanaan penelitian, diedit dan diberi kode sebelum dimasukkan ke dalam kartu tabulasi (Tabulation Chart) serta di analisis secara kualitatif (Ilyas, 1983; Direktorat Jenderal Perikanan Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Jakarta, 1993; Rahayu; Singarimbun dan Effendi,1995; Rahayu, 2001). Sedangkan untuk mengetahui dan mendiskripsikan pengukuran penilaian panelis dan mutu meliputi warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong digunakan ”Linear Probability Model” (Steel and Torrie, 1993) dengan persamaan matematis secara umum adalah :

Pi = f (X1, X2, X3, X4)

Keterangan : Pi : Variabel keputusan bernilai 1 bagi

yang memilih puas/penerimaan untuk mutu rumput laut Eucheuma cottonii (warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu) dan bernilai nol bagi lainnya (tidak puas/penolakan)

X1 : Warna rumput laut Eucheuma cottonii

X2 : Kadar air rumput laut Eucheuma cottonii

X3 : Kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii

X4 : Kadar karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii

X5 : Kadar lemak rumput laut Eucheuma cottonii

X6 : Kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii

Secara formal, model peluang linear sering ditulis dalam :

181 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Pi =

0i

βXα

1i

βXα

1i

βXα0

bila

bila

bila

0

1i

βXα

Untuk keperluan penggolongan (pengelompokan) agar mengetahui sejauhmana ketepatan model peluang linear tersebut maka digunakan saran sebagai berikut :

Kelompok 1 (Y = 1) Jika Y > ½

Kelompok II (Y = 0) Jika Y < ½

Sedangkan untuk mengkaji pengaruh antara mutu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong dengan penilaian panelis digunakan ”Uji Linearitas Regresi atau Analisis Varians (ANAVA) Regresi Linear Sederhana” (Sugiyono, 2009) dengan rumusan hipotesis sebagai berikut :

< F tabel, terima H0 : Regresi Linear Jika F hitung > F tabel, tolak H0 : Regresi Non-Linear

Taraf uji bagi kaidah ini adalah sebesar α ═ 0,05 dan 0.01.

Selanjutnya jika dalam uji linearitas regresi atau analisis varians (ANAVA) regresi linear sederhana terdapat linear, maka dilanjutkan dengan ”Uji Hipotesis Hubungan Antara Dua Variabel” dengan rumusan hipotesis, yaitu : H0 : ρ = 0, artinya tidak ada korelasi

antara mutu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong dengan penilaian panelis.

H1 : ρ ≠ 0, artinya ada korelasi antara mutu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong dengan penilaian panelis.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Umum Konsumen Desa Tablolong

Desa Tablolong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang yang dimekarkan dari desa Lifu Leo dan didefenitifkan oleh Bupati Kupang pada tanggal 29 Mei 1999. Jarak tempuh desa Tablolong dari Kota Kupang + 10 km2, melalui jalan darat.Desa Tablolong berawal dari dua pemahaman yang berbeda, yaitu : a) Tobi Lolo yang berasal

dari bahasa Helong, artinya pantai asam, karena pada sekitar tahun 1750-an, di daerah pantai tersebut banyak ditumbuhi pohon asam besar, yang dipergunakan oleh nelayan untuk istirahat dan memperbaiki jarring sehabis pulang menangkap ikan di laut; dan b) Tobi Lolo yang berasal dari Rote Timor yang artinya lewat selat, karena untuk sampai desa Tablolong mereka arus melewati sebuah selat (Selat Pukuafu).

Dari dua pemahaman ini akhirnya secara turun-temurun sampai saat ini disebut Tablolong. Desa Tablolong terletak di pesisir pantai dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : 1) sebelah Utara berbatasan dengan desa Tesa Bela; 2) sebelah Selatan berbatasan dengan desa Lifu Leo; 3) sebelah Timur berbatasan dengan desa Lifu Leo; dan 4) sebelah Barat berbatasan dengan laut (selat Pukuafu). Sedangkan luas wilayah desa Tablolong secara keseluruhan 450 Ha + yang terbagi atas 4 dusun dengan 4 RW dan 7 RT. Sedangkan mata pencaharian masyarakat Tablolong berasal dari ladang nelayan/ pembudidaya, peternakan, pertanian, perkebunan dan industri kecil, terutama dan/atau khususnya di bidang perikanan.

Bidang perikanan yang dilakukan oleh masyarakat desa Tablolong adalah sebagai penangkap ikan dan pembudidaya rumput

182 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

laut terutama dari jenis Eucheuma cottonii dan jenis Halymenia durvillaei. Kedua jenis rumput laut ini dibudidayakan seluruhnya oleh rumah tangga perikanan (RTP) atau masyarakat di desa Tablolong. Desa Tablolong merupakan salah satu desa sentral yang adadi Kabupaten Kupang, khususnya Kabupaten Kupang Barat yang memberikan kontribusi rumput laut Eucheuma cottonii dan rumput laut Halymenia durvillaei terbesar bagi provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan tingkat nasional. Selain itu di tunjang dengan bidang pertanian dan bidang peternakan. Bidang-bidang ini didukung dengan lembaga penunjang, yaitu : kios pribadi, kelompok budidaya dan pembudidaya, KUD dan kelompok pemasaran komoditi-komoditi yang ada di desa Tablolong tersebut.

3.2 Penilaian Panelis Rumput Laut Eucheuma cottonii

Pedoman penilaian panelis pada rumput laut Eucheuma cottonii dapat dinyatakan dalam skala nominal dalam bentuk skala sikap Likert berupa pernyataan : sangat puas (9), puas (7), netral (5), tidak puas (3) dan sangat tidak puas (1). Untuk itu berdasarkan penilaian rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong yang dilakukan oleh 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan, memberikan skor pada warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu yaitu antara 1.00 – 9.00. Sedangkan nilai dari 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan untuk rumput laut Eucheuma cottonii konsumsi dapat dilihat pada Tabel 1.

No. Panelis

Nilai Panelis Rumput Laut Eucheuma cottonii Selama Penelitian

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

5.83 6 6

5.83 5.83 5.83 5.83

6 6 6 6 6

5.83 6 6

Sumber : Hasil Olahan 2018

Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai yang diberikan 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan pada warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii memberikan pernyataan antara “Netral” dan “Puas” dengan nilai 5.83 dan 6.00, sedangkan rerata nilai panelisnya adalah nilai 5.93 dengan pernyataan antara ”Netral

dan Puas”. Ini berarti bahwa panelis merasa ”Netral dan Puas” terhadap warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa. Hal ini disebabkan karena panelis dalam penilaian (bersifat subjektif dan bersifat objektif) pada suatu objek (produk) tertentu sangatlah tergantung pada kualitas panelis, persepsi

183 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

dan perilaku itu sendiri. Penilaian sensori subjektif (diskriptif) dimana penyimpangan tidak ditekan atau tidak diusahakan minimum dengan pendapat perorangan dibiarkan bebas terkendali. Sedangkan penilaian sensori objektif (kuantitatif / kardinal) yang sering digunakan pada ikan, yakni metode perbandingan berpasangan (Paired Comparison), tingkat nilai (Rangking), uji segitiga (Triangle Test), dan penilaian angka perangkat (Scoring Of Attribut) (Ilyas, 1983). Ini didukung dengan pendapat Anonymuos (1994), bahwa panel terlatih dan agak terlatih (15 – 25 orang) yang mempunyai kepekaan tinggi, cukup baik serta sebelumnya dilatih untuk mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik, cara pengolahan dan bahan baku terhadap hasil akhir sehingga penilaian panel biasnya dapat dihindari. Sedangkan Rahayu (2001) yang menjelaskan bahwa panel perorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan yang spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. sangat mengenal sifat, peranan dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai serta menguasai metoda-metoda analisis organoleptik dengan sangat baik. Kemudian dikatakanya pula bahwa panel terbatas terdiri dari 3 – 5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih tinggi dapat dihindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan dapat mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil setelah berdiskusi diantara anggota-anggotanya.

Selain itu, pandangan umum Sukmana (2003) bahwa persepsi lebih bersifat holistik, sehingga lingkungan tidak dipersepsikan dalam bentuk bagian-bagiannya tetapi dipahami sebagai suatu kesatuan makna. Persepsi tidak sekedar dibentuk dari pengalaman dan memori atau melalui proses struktural dan proses fungsional serta sifat holistik tetapi juga melibatkan perasaan. Apabila suatu lingkungan

dibentuk memiliki komponen yang beragam atau bervariatif, maka penilaian/tanggapan/persepsi tentang lingkungan akan semakin positif. Dipertegas oleh Kartono (1984) dan Koentjaraningrat (1986), persepsi merupakan salah satu unsur pengetahuan. Pengetahuan dan pemahaman yang berasal dari persepsi menjadi objek bagi attitude. Menurut Mar’at (1984) melalui komponen kognisi akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan atau belief terhadap objek tersebut. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang) terhadap objek. Tahap selanjutnya komponen konasi berperan menentukan kesediaan atau kesiapan jawaban yang berupa tindakan terhadap objek.

Kualitas persepsi senantiasa berkembang. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan persepsi adalah psikologi, keluarga, dan kebudayaan. Sementara pada pihak lain dikatakan bahwa kualitas dari proses olah pikir bergantung pada seperangkat pengetahuan, sebagai elemen dasar, yang terpateri di dalam pikiran seseorang. Perangkat pengetahuan itu digunakan sebagai alat untuk membedakan masalah-masalah kehidupan, baik itu sifatnya pribadi maupun kolektif (Thoha, 1992).

Selanjutnya pengetahuan merupakan salah satu aspek dari perilaku. Disebut pula bahwa pengetahuan merupakan kemampuan untuk mengingat-ingat sesuatu yang telah dipelajari atau dilakukan (Soedijanto, 1978). Perilaku ekonomi dapat diamati melalui bentuk-bentuk aktivitas empirik dari masing-masing individu dan kelompok, entah sebagai petani, pedagang, tukang, buruh dan lain-lain dalam rangka memanfaatkan sumberdaya (manusia, alam, teknologi) yang tersedia bagi pemenuhan kebutuhan dengan urutan-urutan kegiatan mulai dari : pengamatan, perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi. Mulanya perilaku

184 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

ekonomi masyarakat secara universal bersifat subsisten, di mana hasil produksi terutama untuk keperluan keluarga sendiri, sedangkan sarana produksi semuanya dicukupi dari keluarga sendiri. Sumberdaya alam yang tersedia oleh masyarakat tradisional dimanfaatkan dalam jumlah yang sangat terbatas, dengan pola eksploitasi yang sederhana pula. Dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini teknologi pertanian, bentuk perilaku ekonomi masyarakat petani yang subsisten terus mengalami perubahan ke arah yang semakin kompleks (Mubyarto, 1983).

Pendapat senada oleh Nazir (1988) bahwa dalam metodologi penelitian dikenal juga penemuan kebenaran dapat melalui proses non ilmiah, yaitu (1) kebenaran secara kebetulan, (2) common sense, (3) melalui wahyu, (4) secara intuitif, (5) secara trial and error, (6) melalui spekulasi dan (7) karena kewibawaan. Penemuan kebenaran intuitif yang ekonomis inilah yang diterapkan petani. Lebih lanjut menjelaskannya bahwa kebenaran secara intuisi diperoleh secara cepat melalui proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir, ataupun melalui suatu renungan.

Kebenaran yang diperoleh sukar dipercaya, karena kebenaran ini tidak menggunakan langkah-langkah yang sistematis untuk memperolehnya.

3.3 Penilaian Panelis Terhadap Mutu (Kriteria Dan Nilai) Rumput Laut Eucheuma cottonii

Pengamatan pada 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan pada rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong di Laboratorium Kering Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Kelautan Dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang dan Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Tanaman Pangan Dan Hortikultura Politeknik Pertanian Negeri Kupang, memberikan penilaian pada warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak serta kadar abu berupa pernyataan yang bervariasi mulai ”Sangat Tidak Puas” hingga ”Sangat Puas”, begitu juga dengan persentasenya. Ini dapat dilihat dari persentase penilaian panelis pada mutu rumput laut Eucheuma cottonii pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Persentase penilaian panelis pada mutu (kriteria dan nilai) rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian

Kriteria Mutu Rumput Laut

Eucheuma cottonii

Kriteria Penilaian Panelis

Jumlah Panelis Yang Memberikan

Penilaian Rumput Laut Eucheuma

cottonii (org)

Persentase Penilaian Panelis

Rumput Laut

Eucheuma cottonii

(%)

a. Warna rumput laut Eucheuma cottonii basah/segar, meliputi : - Hijau Kemerahan - Hijau Kekuning-Kuningan - Hijau Olive - Hijau - Terang

Sangat Puas Puas Netral

Tidak Puas Sangat Tidak Puas

- 9 6 - -

0 60 40

0 0

b. Kadar air rumput laut Eucheumacottonii,

terdiri dari : - 31.6 - ≤ 14.5 % - 48.8 – 31.7 % - 66.0 – 48.9 % - 83.2 – 66.1 % - ≥ 83.3 %

Sangat Puas

Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

15 - - - -

100

0 0 0 0

185 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

c. Kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii, yang antara lain : - 2.93 - ≥ 3.46 % - 2.39 – 2.92 % - 1.85 – 2.38 % - 1.31 – 1.84% - ≤ 1.30 %

Sangat Puas

Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

15 - - - -

100

0 0 0 0

d. Kadar karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii adalah : - 56.1 - ≥ 61.78 % - 50.40 – 56.09 % - 44.71 - 50,39 % - 40.0 – 44.70 % - ≤ 39. 99 %

Sangat Puas Puas Netral Tidak Puas

Sangat Tidak Puas

- - -

15 -

0 0 0

100

0

e. Kadar lemak rumput laut Eucheuma cottonii, yaitu : - 0.72 - ≥ 0.93 % - 0.51 – 0.71 % - 0.30 – 0.50 % - 0.09 – 0.29 % - ≤ 0.08 %

Sangat Puas

Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

15 - - - -

100

0 0 0 0

f. Kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii, yaitu : - 4.88 - ≤ 1.5 % - 8.28 – 4.89 % - 11.68 – 8.29 % - 15.08 – 11.69 % - ≥ 15.09 %

Sangat Puas Puas Netral Tidak Puas Sangat Tidak Puas

- - - -

15

0 0 0 0

100

Sumber : Hasil Olahan 2018

Sedangkan skor dan nilai mutu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong yang dilakukan penilaian di Laboratorium Kering Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang serta Laboratorium

Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Tanaman Pangan dan Hortikultura Politeknik Pertanian Negeri Kupang meliputi warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu serta dapat dilihat Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Nilai mutu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa

Tablolong yang diberikan penilaian panelis di Laboratorium Kering Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang serta di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Tanaman Pangan dan Hortikultura Politeknik Pertanian Negeri Kupang

No.

Nilai Mutu Rumput Laut Eucheuma cottonii (Xi)

Warna Kadar Air

(%) Kadar Protein

(%)

Kadar Karbohidrat

(%)

Kadar Lemak

(%)

Kadar Abu (%)

1. 6 5.57 2.81 42.68 24.79 21.15 2. 7 6.52 2.35 43.56 23.00 24.57 3. 7 5.57 2.46 43.52 24.00 23.45 4. 6 5.13 3.33 41.09 25.82 24.63 5. 6 6.02 3.71 43.77 21.36 25.14 6. 6 6.96 2.01 41.47 20.83 28.73 7. 6 6.95 2.95 41.34 24.10 24.66 8. 7 5.56 2.18 41.22 24.78 26.26

186 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

9. 7 5.57 2.97 42.31 22.00 27.15 10. 7 6.02 2.72 40.91 25.00 25.35 11. 7 5.59 2.50 42.63 25.00 24.28 12. 7 6.07 3.68 44.01 23.02 23.22 13. 6 6.05 3.64 41.07 24.97 24.27 14. 7 5.57 2.95 42.31 24.77 24.4 15. 7 6.98 2.93 41.34 20.83 27.92

Sumber : Hasil Olahan 2018

Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa skor dan nilai yang diberikan oleh 15 orang panelis dan/atau lebih kecil dari atau sama dengan pada mutu rumput laut Eucheuma cottonii berupa warna dengan skor 6 dan 7, nilai kadar air berkisar antara 5.13 – 6.98 %, protein 2.01 – 3.68 %, karbohidrat 40.91 – 44.01 %, lemak 20.83 – 25.82 % dan nilai kadar abu dengan kisaran 21.15 – 28.73 %. Sedangkan rerata nilai mutu rumput laut Eucheuma cottonii meliputi warna 6.6, kadar air 6.01 %, protein 2.88 %, karbohidrat 42.22 %, lemak 23.62 % dan kadar abu 25.01 %.

Kriteria penilaian panelis rumput laut Eucheuma cottonii, warna terdiri dari 6 orang panelis (40 %) dan 9 orang panelis (60 %) menyatakan “Netral” dan“Paus”, kadar air 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Paus”, protein 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Paus”, karbohidrat 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Tidak Paus”, lemak 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Paus” dan kadar abu 15 orang panelis (100 %) menyatakan “Sangat Tidak Paus”, dengan kriteria mutunya, yaitu : hijau kekuning-kuningan (warna), 31.6 – ≤ 14,5 % (kadar air), 2.93 – ≥ 3.46 % (kadar protein), 40.0 – 44.70 % (kadar karbohidrat), 0.72 – ≥ 0.93 % (kadar lemak) dan ≥ 15.09 % (kadar abu). Hal ini disebabkan karena mutu (warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak serta kadar abu) sudah dikenali oleh panelis. Ini sesuai dengan pernyataan beberapa ahli yang antara lain untuk : a) warna, Anggadiredja, dkk. (2006) dalam Zainuddin (2012) menyatakan bahwa warna rumput laut Eucheuma cottonii mulai dari warna terang, hijau olive dan warna cokelat kemerahan, begitu pula rumput laut

Eucheuma cottonii dapat berwarna terang, hijau olive dan cokelat kemerahan (Anggadiredja, et.al., 2006 dalam Fatimah, 2012); b) kadar air, rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottoni yang baru dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 80 – 90 % (Setiawati, 2007) dan dikeringkan 30 – 35 % yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor (Suryaningrum, et. al., 2003), Astawan, et al. (2004) dan Ristanti (2003) kadar airnya 10-20 % serta Yasita dan Rachmawati (2010) kadar airnya berkisar antara 0.25 – 14.34 %; c) kadar protein, kandungan protein rumput laut Eucheuma cottonii sangat kecil, yaitu : 5.91 %, 4.3 % dan 2.80 % (Setiawati, 2007; Astawan, et al, 2004; Yasita dan Rachmawati, 2010); d) kadar karbohidrat, kandungan karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii merupakan kandungan utama sebesar 63.84 %, 90.9 % dan 68.48 % (Setiawati, 2007; Astawan, et al, 2004; Yasita dan Rachmawati, 2010); e) kadar lemak, kandungan lemak rumput laut Eucheuma cottonii sebesar 0.28 %, 2.1 % dan 1.78 % (Setiawati, 2007; Astawan, et al, 2004; Yasita dan Rachmawati, 2010); dan f) kadar abu, kandungan abu rumput laut Eucheuma cottonii sebesar 29.97 %, 2,7 % dan 0.22 – 18.60 % (Setiawati, 2007; Astawan, et al, 2004; Yasita dan Rachmawati, 2010).

Untuk mutu rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong menunjukkan keberhasilan terutama warnanya yang menentukan kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu bagi panelis, yang artinya bahwa warna rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong memuaskan panelis sesuai dengan

187 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

berbagai standar permintaan mutu rumput laut Eucheuma cottonii. Ini sesuai dengan Nitimihardjo (1993) yang mengatakan bahwa objek yang dirasakan sebagai hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, sebagai hal yang disukai atau tidak disukai sangat dipengaruhi oleh perasaan terhadap hal-hal yang ada kaitannya dengan objek tersebut. Selanjut dikatakannya, bahwa sikap seseorang terhadap sesuatu objek akan tumbuh apabila orang itu mempunyai pengalaman yang ada hubungannya dengan objek tersebut. Makin beraneka ragam objek yang dihadapi seseorang di dalam hidupnya, makin beranekaragam pula macam sikap yang ada pada dirinya. Keanekaragaman objek yang dihadapi menimbulkan keanekaragaman pengalaman yang membentuk keanekaragaman sikap tersebut. Pengalaman yang beranekaragam dapat juga meningkat improvisasi seseorang terhadap objek yang dihadapinya. Artinya penilaian dan interpertasinya terlihat segar.

Selain itu pula bahwa keberhasilan warna rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen pembudidaya desa Tablolong sangat didukung oleh kondisi ekologi, sumberdaya manusia, metode, biologi dan kondisi ekonomi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kangkan, dkk. (2007), bahwa kegiatan budidaya meliputi komponen-komponen ekologi (tingkat kesesuaiannya), biologi (biota/ jenis kultivan yang sesuai) dan metode (teknik) budidaya yang tepat. Faktor penting lain terkait dengan pengembangan budidaya adalah ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas. Sumberdaya manusia merupakan faktor kunci keberhasilan satu kegiatan seperti halnya kegiatan budidaya. Sehingga dalam perencanaan pengembangan budidaya, perlu diketahui bagaimana kualitas

sumberdaya manusia di sekitar kawasan sehingga dapat direncanakan pengembangannya. Ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, maka kegiatan budidaya dapat berjalan dengan efisien dan efektif, serta dapat memberikan manfaat ekologis bagi lingkungan dan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar secara optimal. Ini didukung oleh pendapat Afrinto dan Liviawati (1987), bahwa untuk menjamin kontinuitas produksi dan kualitas rumput laut yang memenuhi standar, budidaya rumput laut hanya bermodal kerajinan, ketekunan dan kesabaran. Segi komersial merupakan hal yang sangat mempengaruhi keuntungan dan kesinambungan suatu usaha. Aspek-aspek yang membantu dalam menganalisa segi komersial usaha rumput laut, yaitu : segi sosial, segi teknis dan segi ekonomi. Selain itu pula yang dinyatakan H. Gufran dan Kordi (2000), bahwa pemilihan lokasi (parameter ke-ideal-an berupa ekologi, biologi, tanah dan sosial serta ekonomi) yang tepat membutuhkan waktu dan perencanaan cukup dan memadai serta ditunjang dengan kemampuan ilmu dan teknologi yang dapat direkayasa sehingga lokasi sudah layak untuk dijadikan lahan atau usaha budidaya perairan.

3.4 Pengaruh Mutu Rumput Laut Eucheuma cottonii Terhadap Penilaian Panelis dari Hasil Panen di Desa Tablulolong

Nilai-nilai dari warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii dengan nilai panelis persepsi konsumen selama penelitian di laboratorium Basah Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan serta di laboratorium Politani Negeri Kupang dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

188 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Tabel 4. Hasil pengujian nilai warna, kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii dengan nilai panelis selama penelitian

Variabel Koefisien Regresi t hitung

Konstanta 1. Warna rumput laut Eucheuma cottonii 2. Kadar air rumput laut Eucheuma cottonii 3. Kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii 4. Kadar karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii 5. Kadar lemak rumput laut Eucheuma cottonii 6. Kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii

4.78017 0.17164** -0.00014 0.00560 -0.00087 0.00003 0.00015

14.28644 -0.50151 -1.15868 0.83660 -0.03359 0.38436

R2 = 0.8829396164385 F hitung = 10.05679962854**

Sumber : Hasil Olahan 2018

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil pengujian dengan menggunakan regresi ganda diperoleh persamaan regresi Y = 4.78017 + 0.17164 X1 - 0.00014 X2 + 0.00560 X3 - 0.00087 X4 + 0.00003 X5 + 0.00015 X6, Y = variabel independen yaitu penilaian panelis sedangkan variabel dependen berupa kualitas rumput laut Eucheuma cottonii (warna rumput laut Eucheuma cottonii / X1 + kadar air / X2, kadar protein / X3 + kadar karbohidrat X4 + kadar lemak / X5 + kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii / X6).

Persamaan regresi ini menunjukkan bahwa penilaian panelis mengalami peningkatan nilai oleh warna rumput laut Eucheuma cottonii (0.17164), kadar karbohidrat (-0.00087), abu (0.00015), lemak (0.00003), air (-0.00014) dan kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii (0.00560), jika pengaruh variabel terikat (Y) terhadap masing-masing variabel bebas (X) diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = 4.78017 + 0.17164 X1** - 0.00014 X2 + 0.00560 X3 - 0.00087 X4 + 0.00003 X5 + 0.00015 X6.

Persamaan regresi ini juga menunjukkan bahwa warna rumput laut Eucheuma cottonii dapat meningkatkan penilaian positif bagi panelis sebesar = 0.17164; Begitu pula dengan kadar karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii, air, lemak, abu dan kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii dapat menaikkan

penilaian panelis sebesar -0.00087,-0.00014, 0.00003, 0.00015 dan 0.00560.

Hubungan antara penilaian panelis dengan warna rumput laut Eucheuma cottonii (korelasi regresi = 0.96960) dengan variabel lain, maka pengaruh warna rumput laut Eucheuma cottonii pada penilaian panelis warna rumput laut Eucheuma cottonii lebih besar. Besar hubungan antara penilaian panelis dengan variabel lainnya berturut-turut : kadar karbohidrat rumput laut Eucheuma cottonii (0.22603), abu (0.10600), lemak (-0.00931), air (-0.13777) dan kadar protein rumput laut Eucheuma cottonii rumput laut Eucheuma cottonii (-0.30595). Ini sesuai dengan pedoman interprestasi koefisien korelasi nilai r dari Riduwan (2006) dan Sugiyono (2009), bahwa interval koefisien dari 0.00 – 0.199 termasuk dalam tingkat hubungan sangat rendah, 0.20 – 0.399 tergolong dalam tingkat hubungan rendah, 0.40 – 0.599 tergolong dalam tingkat hubungan cukup, 0.60 – 0.799 tergolong dalam tingkat hubungan kuat dan interval koefisien dari 0.80 – 1.000 termasuk dalam tingkat hubungan sangat kuat.

R2 menunjukkan berapa besar keragaman dalam penilaian panelis yang mampu diterangkan oleh keenam variabel bebas dalam fungsi (88.29396 %), sisanya (11.70604 %) diterangkan oleh variabel lain seperti manajemen pengelolaan dari mutu rumput laut Eucheuma cottonii ditingkatkan,

189 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

sistem pemasaran diperhatikan dan promosi ditingkatkan.

Besar pengaruh seluruh variabel tersebut secara bersama-sama terhadap penilaian panelis diuji dengan menggunakan uji Anova (F tes) menghasilkan Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat kepercayaan 99 persen (Fhitung = 10.06 > Ftabel = 6.37 untuk α = 1 % dan Ftabel = 3.58 untuk α = 5 % atau P > 0.01 > 0.05), yaitu keenam variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap penilaian panelis tentang mutu rumput laut Eucheuma cottonii, namun kepuasan panelis perlu didukung oleh proses sosialisasi, permintaan dan pilihan dari panelis dalam hubungannya dengan struktur pasar. Ini sesuai dengan pendapat Nitimihardjo (1993), bahwa proses sosialisasi terbentuk karena kebiasaan-kebiasaan seseorang, dimana kebiasaan-kebiasaannya tidak akan jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dimana dia berada. Artinya kebiasaan yang sejalan dengan kultur yang berlaku. Pendapat Nitimihardjo (1993) ini diartikan oleh Machfoedz (2004), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dibagi atas empat, yaitu faktor budaya, tingkat sosial, sosial dan faktor psikologis. Selanjutnya menurut Rukmana (1997), permintaan pasar (konsumen) terhadap ikan ukuran konsumsi amat bervariasi, tergantung pada tingkat pendapatan, kebiasaan, adat, macam masakan dan selera konsumen. Kemudian Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro (2000) menyatakan bahwa pilihan konsumen atas berbagai barang-barang dan jasa-jasa terutama tentang struktur pasar dapat menjelaskan alokasi sumber-sumber daya yang terbatas tersedianya untuk berbagai penggunaan.

Pengujian interaksi yang menggunakan uji Anova (t tes), khusus untuk masing-masing variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y) secara terpisah menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas (warna rumput laut Eucheuma cottonii)

berpengaruh sangat nyata secara statistik terhadap variabel terikat (tingkat kepuasan konsumen). Hal ini disebabkan karena warna rumput laut Eucheuma cottonii sudah sesuai dengan keinginan dan atau kebutuhan panelis; pengetahuan warna rumput laut Eucheuma cottonii oleh panelis selama penelitian cukup tinggi ; dan panelis sudah lama mengenal warna rumput laut Eucheuma cottonii dari hasil panen masyarakat desa Tablolong. Ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli antara lain menurut Adimihardja (1981) menyatakan bahwa kesenangan-ketidaksenangan berbeda-beda menurut intensitas perangsangan. Dengan kata lain bahwa umumnya prinsip relativitas suasana perasaan dapat diamati dalam keragaman pengalaman sosial ; kemudian dalam Kamus Bahasa Indonesia (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan meliputi, proses, cara dan perbuatan mendidik. Pendidikan yang dimaksudkan berhubungan dengan seorang atau kelompok orang adalah meningkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan keahlian atau profesi, yang artinya bahwa pendidikan seorang atau kelompok orang dapat diperoleh melalui proses belajar mengajar atau memperoleh pengetahuan melalui suatu ketrampilan dalam mengembangkan profesi; dan selanjut dikatakan Anonymous (1993), bahwa panelis (konsumen) harus mempunyai pengalaman (latihan yang cukup) dan kepekaan atau ketelitian (ketajaman alat indra) terhadap perkembangan dan perubahan-perubahan atribut mutu produk. Hal senada juga dikatakan Rahayu (2001), bahwa keahlian seorang panelis biasanya diperoleh melalui pengalaman dan latihan yang lama. Meskipun keahlian diperoleh itu merupakan bawaan sejak lahir, tetapi mendapatkannya perlu latihan yang tekun dan terus-menerus.

Selanjutnya variabel bebas lainnya (kadar air rumput laut Eucheuma cottonii,

190 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

protein, karbohidrat, lemak dan kadar abu rumput laut Eucheuma cottonii) terhadap variabel terikat (penilaian panelis) memberikan pengaruh yang tidak nyata. Artinya faktor-faktor lingkungan (abiotik dan biotik) serta perkembangan individu (panelis) tidak menjamin dalam menentukan mutu rumput laut Eucheuma cottonii. Ini ditunjang oleh beberapa pendapat pakar antara lain : bahwa perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memainkan peranan penting seperti keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, sekolah dan media massa. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang (Suryabrata, 1984; Ahmadi, 1991). Sedangkan faktor- faktor lingkungan rumput laut, yaitu : 1) faktor abiotik berupa faktor-faktor fisik dan kimiawi dalam lingkungan meliputi : a) cahaya, kualitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Pengaruh ini dapat dirangsang oleh cahaya hijau dan cahaya merah dengan 400 – 7500 lux (Rismawati, 2012); b) musim, suhu dan kadar garam, produksi spora dapat dipengaruhi oleh musim, misalnya tetraspora dan karpospora umumnya terdapat di musim panas, sedangkan suhu air optimal untuk budidaya rumput laut berkisar 20 – 30 0C dan salinitas (kandungan garam NaCl dalam air) untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp. yang optimal berkisar 28 – 33 per mil (Anggadiredja, 2006); c) gerakan air, kadar nitrat dan fosfat, gerakan air berperanan penting dalam memerbaiki kondisi pertukaran zat hara dan menghindarkan pengendapan untuk menunjang pertumbuhan. Sedangkan kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi algae bila zat hara tersebut melimpah di perairaan, selain itu akan mempengaruhi kesuburan gametofit algae (Aslan, 1991); d) arus dan dasar perairan, arus merupakan akibat dari adanya pasang surut maupun angin dan ombak dengan

kecepatan untuk budidaya rumput laut adalah 20 – 40 cm/detik. Sedangkan dasar perairan berupa pecahan karang dan pasir kasar merupakan kondisi dasar perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut K. Alvarezii (Ditjenkanbud, 2006); e) kedalaman, kedalaman perairan sangat tergantung dari metode budi daya yang akan dipilih sehingga penyerapan makanan dapat berlangsung terus dan tanaman terhindar dari kerusakan akibat sinar matahari, sedangkan metode rakit, apung, rawai, dan jalur sebaiknya pada perairan dengan kedalaman 2 – 15 m (Poncomulyo, dkk., 2006); f) kecerahan, ketersediaan bibit, pencemaran air dan bukan merupakan jalur pelayaran, jarak pandang kedalaman budidaya rumput laut adalah 2 – 5 m sehingga cahaya matahari dapat mencapai tanaman untuk fotosintesis. Untuk bibit rumput laut yang berkualitas sebaiknya tersedia di sekitar lokasi budidaya yang dipilih, jika tidak tersedia sebaiknya didatangkan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penanganan bibit dan pengangkutan yang baik. Sedangkan lokasi budidaya rumput laut hendaknya terhindar dari daerah yang berdekatan dengan sumber pencemaran air sehingga keamanan budidaya dapat berkelanjutan (Anggadiredja, 2006); 2) faktor biotik terdiri dari : a) tumbuhan pengganggu, lumut sering menyerang, menempel serta menutupi seluruh tanaman sehingga pergerakan air sangat kurang dan temperatur air tinggi. (Poncomulyo, dkk., 2006); b) kegiatan manusia, campur tangan manusia dalam penentuan lokasi budidaya yaitu: faktor kemudahan, resiko (masalah dan keamanan) serta konflik kepentingan (pariwisata, perhubungan dan taman laut nasional) (Anggadiredja, 2006).

Selain itu Yunizal, et al. (2000) menyatakan bahwa bahan baku pengolahan rumput laut, harus dipanen pada umur yang tepat. Jenis Eucheuma dipanen setelah berumur 1.5 bulan atau lebih, beratnya sekitar 500 – 600 g tergantung dari metode dan perawatan yang dilakukan setelah bibit ditanam (Aslan 1998). Penanganan

191 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

(pengeringan) rumput laut Eucheuma juga baik bahan segar (2 – 3 hari) maupun bahan kering (1 – 2 hari) untuk menghasilkan karaginan (Winarno, 1996).

Kemudian menurut Anggadiredja, et al. (2009) dan Suryaningrum (2011) mengatakan bahwa teknologi pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii untuk menghasilkan karaginan dapat dibagi menjadi tiga (3) perlakuan, yaitu : 1) perlakuan alkali dingin (Cold Alkali Treatment), rumput laut Eucheuma cottonii mendapat proses alkali (larutan NaOH / KOH) lewat proses perendaman mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan rumput laut kering biasa; 2) perlakuan karaginan setengah murni (Semi-Refined Carrageenan / SRC), proses karaginan semirefine lebih banyak diaplikasikan pada rumput laut Eucheuma cottonii dan dibagi menjadi proses SRC chips (intinya dilakukan proses alkali dalam kondisi panas yang disebut dengan proses Alkali Treatment atau Alkali Modification) dan proses tepung SRC (proses tepung SRC merupakan kelanjutan produk SRC chips, caranya dengan menghancurkan atau grinding produk chips menjadi tepung berukuran 40-60 mesh yang disesuaikan dengan permintaan pasar); dan 3) perlakuan karaginan murni (Refined Carrageenan / RC), proses untuk mendapatkan karaginan murni melalui proses ekstrasksi melalui metode alkohol (alcohol method) dan metode tekan (pressing method).

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Mutu rumput laut Eucheuma cottonii

dari hasil panen pembubidaya desa

Tablolong dapat memberikan kepuasan

yang berarti bagi panelis.

2. Analisis statistik regresi ganda variabel

warna rumput laut Eucheuma cottonii,

kadar air, protein, karbohidrat, lemak

serta kadar abu rumput laut Eucheuma

cottonii (X) terhadap penilaian panelis (Y) menunjukkan bahwa : a) Kepuasan panelis pada rumput laut

Eucheuma cottonii sangat didukung dengan proses sosialisasi, permintaan dan pilihan dari panelis dalam hubungannya dengan struktur pasar (desa Tablolong).

b) Penilaian panelis tidak menjamin dalam menentukan mutu (warna) rumput laut Eucheuma cottonii. Namun dalam menentukan mutu rumput laut Eucheuma cottonii, penilaian panelis perlu didukung dengan faktor sosial secara umum terutama faktor-faktor lingkungan (abiotik dan biotik) serta perkembangan individu (panelis).

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, D., 1981. Psikologi Umum Bagi Guru SMP Yang Diangkat Dari Lembaga Pendidikan Non Keguruan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Hal. 61, 76 dan 77.

Afrianto, E. dan Liviawati, E., 1987. Budidaya Rumput Dan Cara Pengolahannya. Bhatara, Bandung. Hal. 45.

Ahmadi, A., 1991. Psikologi Sosial. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Hal. 255 – 273.

Anggadiredja, J., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.

Anggadiredja, J. T., Zatnika, A., Purwoto, H. dan Istini, S., 2009. Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.

Anonim, 2004. Prospek Pengembangan Industri Rumput Laut Indonesia. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Anonymous, 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Kerapu. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan. NO. PHP/ KAN/24/1993. Depertemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

192 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Pengembangan Perikanan, Jakarta. 68 hal.

Anonymous, 1994. Standar Nasional Indonesia (SNI), Kumpulan Standar Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan, Direktorat Bina Usaha Tani Dan Pengolahan Hasil, Jakarta. Hal. 184.

Anonymous, 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Jakarta.

Aslan, L. M., 1991. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.

Aslan, L. M., 1998. Budi Daya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.

Astawan M. Koswara S. Herdiani F. 2004. Pemanfaatan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Untuk Meningkatkan Kadar lodium Dan Serat Pangan Pada Selai Dan Dodol. Jurnal Teknologi dan Industri pangan. XV (1): 61.

Fatimah, S., 2012. Aplikasi Teknologi OHMIC Dalam Ekstraksi Karaginan Murni (Refined Carrageenan) Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Skripsi Program Studi Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanddin Makasar.

Gufran, M. H. dan Kordi K., 2000. Budidaya Ikan Nila. Edisi I. Dahara Prise, Semarang. Hal. 8, 10, 11, 16 dan 179 – 182.

Ilyas, S., 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I. Teknik Pendinginan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Hal. 6, 7 dan 66 – 78.

Kamus Bahasa Indonesia, 2003. Edisi III. PT. Gramedia Pustaka Utama. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Kartono, K., 1984. Psikologi Umum. Alumni, Bandung.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Anthropologi. Aksara, Jakarta.

Lesmana, D. S., 2002. Agar Ikan Hias Cemerlang. Penebar Swadaya, Jakarta.

Mar’at, 1984. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia.

Meiyana, M., Evalawati dan Prihaningrum, A., 2001. Biologi Rumput Laut. Petunjuk Tehnis No. 8. Balai Budidaya Laut Lampung, Lampung.

Mubarak, H. S., Ilyas, W., Ismail, I. S., Wahyuni, S. T., Hartati, E., Pratiwi, Z., Djangkaru dan Arifudin, A., 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangkan.

Nitimihardjo, C., 1993. Psikologi Sosial. Edisi II. Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Bandung. Hal. 60, 73 dan 77.

Nurdjana, M., 2006. Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Indonesia. Diseminasi Teknologi Dan Temu Bisnis Rumput Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Makassar.

Poncomulyo, T. dkk., 2006. Budidaya Dan Pengolahan Rumput Laut. PT. Agro Media, Jakarta.

Rahayu, P. W., 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Juruusan Teknologi Pangan Dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 1, (Tidak Dipublikasikan).

Reksohadiprodjo, S. dan A. B. P. Brodjonegoro, 2000. Ekonomi Lingkungan (Suatu Pengantar). Edisi II. BPFE- Yogyakarta, Anggota IKAPI, Yogyakarta. Hal. 17, 22, 24-25 dan 38.

Riduwan, 2003. Dasa-Dasar Statistika. Edisi IV. Alfabeta, CV, Anggota IKAPI, Jawa Barat. Hal. 19, 20 dan 57.

Riduwan, 2006. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru – Karyawan Dan Peneliti Pemula. Alfabeta, CV, Anggota IKAPI, Jawa Barat. Hal. 138.

Rismawati, 2012. Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) Yang Diproduksi Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Dengan Metode Pemanasan Konvensional Dan Pemanasan OHMIC. Skripsi Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas

193 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V

Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Ristanti. 2003. Pembuatan Tepung Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Sebagai Sumber Iodium Dan Dietary Fiber. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Indonesia.

Rukmana, R., 1997. Ikan Nila, Budidaya Dan Prospek Agribisnis. Kanisus (Anggota IKAPI), Yogyakarta. Hal. 26, 55 dan 66.

Setiawati, T. 2007. Keunikan Rumput Laut Dan Budi Dayanya. Mutiara Books, Jakarta.

Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1995. Metode Penelitian Survai. Cetakan II. PT Pustaka Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Anggota IKAPI, Jakarta. Hal. 3, 16 dan 234.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuanlitatif, Kualitatif Dan R & D). Alfabeta Bandung, Anggota IKAPI, Bandung. Hal. 122, 131, 265, 275.

Sugiyono, 2009. Statistika Untuk Penelitian. CV. AlfaBeta, Anggota IKAPI, Bandung. Hal. 67, 231, 285, 286 dan 290.

Sukmana, O., 2003. Dasar-Dasar Psikologis Lingkungan. Bayumedia dan UMM Pres, Jakarta.

Suryabrata, S., 1984. Psikologis Pendidikan. CV. Rajawali, Jakarta. Hal. 192.

Suryaningrum, D., Murdinah., Erlina, D. M. 2003. Pengaruh Perlakuan Alkali Dan Volume Larutan Pengekstrak Terhadap Mutu Karaginan Rumput laut Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 9 Nomor 5.

Suryaningrum, D., 2011. Teknologi Penanganan Rumput Laut. http://www.bbrp2b.dkp.go.id, diakses pada tanggal 18 Juli 2015.

Thoha, M., 1992. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar Dan Aplikasinya. CV.Rajawali, Jakarta.

Winarno, F. G., 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta.

Winarno, F. G., 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Yasita, D. dan Rachmawati, D. I., 2010. Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk Mencapai Food Grade. Skripsi, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.

Yunizal, Murtini, J. T., Utomo, B. S., Suryaningrum, T. H., 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakarta.

Zainuddin, M. N., 2012. Studi Proses Produksi Karaginan Murni (Refine Carrageenan) Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Secara Ohmic : Pengaruh Lama Ekstraksi Dan Suhu Alkalisasi. Skripsi Program Studi Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin Makasar.

194 SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - V