prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

479

Upload: wo-joyo

Post on 10-May-2015

10.516 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas
Page 2: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

SAINS DAN TEKNOLOGI KE-3 TAHUN 2012 Penguasaan Teknologi Rekayasa Proses Pengolahan Pangan

Guna Mendukung Pencapaian Kemandirian Bangsa

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

JULI 2012

Page 3: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Editor :

1. Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT. (Kimia, Obat dan Pangan)

2. Dr. Ir. Nazaruddin Sinaga, MS. (Energi)

3. Dr. Eko Marsyahyo, ST, M.Eng. (Material, Industri, Perancangan dan Manufaktur)

4. Dr. Ir. Hermawan, DEA (Elektronika dan Informatika)

5. Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi Dipl WRD., M. Eng. (Sipil dan Arsitektur)

Asisten Editor :

1. Rita Dwi Ratnani, ST., M. Eng. (Obat dan Pangan)

2. Ir. Suwardiono, MT. (Obat dan Pangan)

3. Indah Hartati, ST., MT. (Kimia)

4. Laeli Kurniasari, ST., MT. (Kimia)

5. Darmanto, ST., M.Eng. (Energi)

6. Ir. Tabah Priangkoso, MT. (Energi)

7. Helmy Purwanto, ST., MT. (Material)

8. Imam Syafa’at, ST., MT. (Perancangan dan Manufaktur)

9. S.M. Bondan Respati, ST., MT. (Industri)

10. Indah Riwayati, ST., MT. (Industri)

11. Agung Riyantomo, ST., M.Kom. (Informatika)

12. M. Subhan Mauluddin, ST., MT. (Elektronika)

Prosiding

Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-3 Tahun 2012

Penguasaan Teknologi Rekayasa Proses Pengolahan Pangan

Guna Mendukung Pencapaian Kemandirian Bangsa

Alamat : Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim

Jl. Menoreh Tengah X/22 Sampangan Semarang 50236

Telepon : 024-8505680 ext. 160,161

Fax : 024-8505681

E-mail : [email protected]

Website : www.teknik.unwahas.ac.id

ISBN 978-602-99334-1-3

2012, Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim

Page 4: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang i

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya, prosiding ini

dapat diterbitkan sehubungan dengan telah terselenggarakannya Seminar Nasional Sains dan

Teknologi (SNST) ke-3 Tahun 2012 pada tanggal 20 Juni 2012. Seminar ini merupakan seminar

ke-3, mengulang kesuksesan seminar pertama dan kedua. Seminar diselenggarakan oleh Fakultas

Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang dengan tema “Penguasaan Teknologi Rekayasa

Proses Pengolahan Pangan Guna Mendukung Pencapaian Kemandirian Bangsa”. Keynote speaker

pada SNST ke-3 kali ini adalah Dr. Nurul Taufiqu Rochman M.Eng (Peneliti LIPI), Ir. Lukmanul

Hakim, M.Si, Direktur LPPOM MUI dan Ir. Dian Risdianto, MT.IPP (PT. Sido Muncul).

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat

pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat

secara bersama-sama. Namun demikian, sejak krisis ekonomi hingga sekarang, terjadi penurunan

kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk. Salah satu kunci

bagi pencapaian kemandirian bangsa dalam ketahanan pangan adalah penguasaan teknologi

rekayasa proses pengolahan bahan makanan. Oleh karena itu, berbagai riset ilmu pengetahuan dan

teknologi, khususnya yang berkaitan dengan bidang pangan harus terus didorong dan difasilitasi

guna mendukung pencapaian kemandirian di sektor pangan.

Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian merupakan lembaga yang mengemban salah

satu misi untuk menghasilkan produk dalam bentuk penelitian dan penerapannya dalam pengabdian

kepada masyarakat sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh masyarakat.

Hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tersebut perlu dipublikasikan sehingga

diketahui oleh masyarakat secara luas.

Kegiatan ini merupakan ajang pemaparan hasil penelitian, kajian ilmiah dan diskusi ilmiah.

Telah terkumpul dan dipresentasikan delapan puluh satu (81) judul makalah yang terbagi dalam

kelompok keilmuan Kimia, Obat & Pangan, kelompok keilmuan Energi, kelompok keilmuan

Material, kelompok keilmuan Perancangan & Manufaktur, kelompok keilmuan Industri, kelompok

keilmuan Elektronika & Informatika dan kelompok keilmuan Sipil & Arsitektur. Peserta seminar

berasal dari berbagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia, lembaga pengembangan teknologi

dan industri. Prosiding seminar ini diharapkan dapat memberikan informasi perkembangan yang

paling mutakhir dalam bidang sains dan teknologi.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh peserta seminar, sponsor, dan

segenap pihak yang telah membantu dalam penyelenggaraan seminar ini. Panitia penyelenggara

telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun semua makalah dalam bentuk buku dan

salinan digital namun tentunya masih banyak kekurangan. Untuk itu berbagai masukan sangat

diharapkan. Harapan kami, semoga prosiding ini membawa manfaat bagi perkembangan teknologi

di Indonesia, khususnya bagi penguasaan teknologi rekayasa proses pengolahan pangan guna

mendukung pencapaian kemandirian bangsa.

Semarang, Juli 2012

Panitia Penyelenggara

Page 5: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

. (Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

ii

PANITIA PENYELENGGARA

Pelindung : Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang

Pengarah : Pembantu Rektor I

Penanggungjawab : Dekan Fakultas Teknik

Ketua : Darmanto, ST., M.Eng.

Wakil Ketua : Ir. Tabah Priangkoso, MT.

Sekretaris : Laeli Kurniasari, ST., MT.

Bendahara : Indah Riwayati, ST., MT.

Sie Acara : Agung Riyantomo, ST., M.Kom.

Rita Dwi Ratnani, ST., M.Eng.

Dr. Ir. Nugroho Widiasmadi, Dipl. WRD., M.Eng.

Ir. Suwardiyono, MT.

Sie Publikasi : M. Subhan Mauluddin, ST., MT.

S.M Bondan Respati, ST., MT.

Indah Hartati, ST., MT.

Sie Penerbitan : Imam Syafa’at, ST., MT.

Helmy Purwanto, ST., MT.

Sie Konsumsi : Farikha Maharani, ST.

Pembantu Umum : Suwarchan

Kusdi

Page 6: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

PANITIA PENYELENGGARA ii

DAFTAR ISI iii

A. Kimia, Obat dan Pangan

1. Analisa Sisa Chlor pada Jaringan Distribusi Air Minum PDAM Kota

Semarang

Benny Syahputra

A.1 – A.5

2. Development of Efficient Calcium Oxalate Removal Techniques from Taro

Corms

Andri Cahyo Kumoro

A.6 – A.11

3. Proses Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit dengan Mikroalga Liar

Hantoro Satriadi, Widayat, Hadiyanto, Uray Irzandi, Riky Yonas

A.12 – A.17

4. Simulasi Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas

Berbantukan Radiasi Ultrasonik

Haris Nu’man Aulia, Widayat, Setia Budi Sasongko

A.18 – A.23

5. Pengelolaan Mangrove Sebagai Salah Satu Upaya Keanekaragaman Bahan

Pangan

Sri Subekti

A.24 – A.28

6. Peran Mangrove Sebagai Ketersediaan Materi Pangan

Sri Subekti

A.29 – A.33

7. Pembuatan Slow Release Fertilizer dengan Menggunakan Polimer Amilum

dan Asam Akrilat serta Polivinil Alkohol sebagai Bahan Pelapis dengan

Menggunakan Metoda Fluidizedbed

Afri Yenni, Suherman, Aprilina Purbasari

A.34 – A.39

8. Pengujian Kandungan Total Fenol Kappahycus alvarezzi dengan Metode

Ekstraksi Ultrasonik dengan Variasi Suhu dan Waktu

Denni Kartika Sari, Dyah Hesti Wardhani,Aji Prasetyaningrum

A.40 – A.44

9. Pengaruh Suhu Udara dan Berat Sampel pada Pengeringan Tapioka

Menggunakan Pengering Unggun Terfluidakan

Suherman, Aprilina Purbasari, Margaretha Praba Aulia

A.45 – A.50

10. Pengaruh Penambahan Zeolit 3A terhadap Lama Waktu Pengeringan

Gabah Pada Fluidized Bed Dryer

Maria Augustine Graciafernandy, Ratnawati, Luqman Buchori

A.51 – A.54

11. Teknologi Imobilisasi Sel Mikroorganisme pada Produksi Enzim Lipase

Indah Riwayati, Indah Hartati, Laeli Kurniasari

A.55 – A.59

12. Ekstrak Daun Api-api (Avecennia Marina) untuk Pembuatan Bioformalin

Sebagai Antibakteri Ikan Segar

Syafiul Rofik, Rita Dwi R

A.60 – A.65

13. Potential Production of Food Colorant from Coffee Pulp

Indah Hartati, Indah Riwayati, Laeli Kurniasari

A.66 – A.71

Page 7: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

. (Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

iv

B. Energi

1. Efisiensi Penggunaan Musicool pada Mesin Pengkondisian Udara Merk

Saden pada Mobil Kijang Super

Samsudi Raharjo

B.1 – B.5

2. Kaji Eksperimental Kinerja Turbin Angin Vertikal Multiblade Tipe Sudu

Curved Plate Profile Dilengkapi Rumah Rotor dan Ekor Sebagai Pengarah

Angin

Yusuf Dewantoro Herlambang

B.6 – B.11

3. Analisa Pengaruh Variasi Sudut Mixing Chamber terhadap Entrainment

Ratio dan Distribusi Tekanan pada Steam Ejector dengan Menggunakan

CFD

Bachtiar Setya Nugraha

B.12 – B.18

4. Kaji Eksperiman Turbin Angin Poros Horizontal Tipe Kerucut Terpancung

dengan Variasi Sudut Sudu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin

Bono

B.19 – B.24

5. Efek Hot EGR terhadap Performa dan Emisi Jelaga pada Motor Diesel

dengan Menggunakan Bahan Bakar Campuran Biosolar dan Jatropha

Biodiesel

Jhonni Rentas Duling

B.25 – B.30

6. Analisa Performa Mesin Diesel dengan Sistem Venturi Scrubber – EGR

Menggunakan Bahan Bakar Campuran Solar – Minyak Jarak

Stefan Mardikus

B.31 – B.36

7. Peningkatan Kualitas Pengering Ikan dengan Sistem Tray Drying

Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat

B.37 – B.42

8. Peningkatan Unjuk Kerja Ketel Tradisional Melalui Heat Exchanger

Rianto, W.

B.43 – B.47

9. Kajian Eksperimental Kelayakan dan Performa Alat Penukar Kalor Tipe

Shell and Tube Single Pass dengan Metode Bell Delaware

Sri Utami Handayani, Didik Ariwibowo, Fauzi Kusuma NH

B.48 – B.53

10. Kaji Eksperimental Kinerja Turbin Crossflow Berbasis Konstruksi Silinder

(Drum) Poros Vertikal untuk Potensi Arus sungai

Sahid

B.54 – B.59

11. Kaji Eksperimental Kinerja Turbin Air Hasil Modifikasi Pompa Sentrifugal

untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

Gatot Suwoto

B.60 – B.64

12. Aplikasi Kolektor Matahari Model Plat Datar untuk Proses Pengeringan

Seno Darmanto dan Senen

B.65 – B.68

13. Aplikasi Tungku Tak Permanen untuk Pengeringan Blok Bata Mentah

Windu Sediono, Seno Darmanto

B.69 – B.73

14. Analisis Karakteristik Electrical Modul Photovoltaik untuk Pembangkit

Listrik Tenaga Surya Skala Laboratorium

M Denny Surindra

B.74 – B.78

Page 8: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang v

15. Design Simulator Fresh Water Tank di PLTU dengan Water Level Control

Menggunakan Mikrokontroler

M Denny Surindra

B.79 – B.84

16. Studi Desain Konseptual Sistem Balance of Plant (BOP) Pembangkit

Listrik Tenaga Uap (PLTU) Skala Kecil

Hariyotejo Pujowidodo

B.85 – B.90

C. Material

1. Pengaruh Temperatur Tuang dan Ketebalan Benda terhadap Kekerasan

Besi Cor Kelabu dengan Pengecoran Lost Foam

Sutiyoko, Suyitno

C.1 – C.5

2. Studi Analisis Pengaruh Variasi Beban dan Kecepatan terhadap Laju

Keausan Dies pada Proses Cold Upset Forging Aluminium dengan

Menggunakan Software Berbasis FEM

Norman Iskandar, Rusnaldy, Ismoyo Haryanto

C.6 – C.11

3. Pengaruh Bending Radius pada Lightening Holes Process terhadap

Keretakan AL 2024 T3 Sheet

Yurianto, Ardian Budi W , Eko Boedisoesetyo

C.12 – C.16

4. Pengaruh Kuat Arus Pada Pelapisan Nickel dan Nickel-Hard Chromium

Plating terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Permukaan Baja AISI 410

Noor Setyo, Viktor Malau

C.17 – C.22

5. Analisa Serbuk Tembaga Hasil Proses Electrorefining dengan Variasi

Tegangan dan Waktu Pengendapan Deposit terhadap Bentuk Serbuk dan

Komposisi kimia

Riles M. Wattimena

C.23 – C.28

6. Karakteristik AISI 304 sebagai Material Friction Welding

Moh Fawaid, Rifky Ismail, Jamari, Sri Nugroho

C.29 – C.33

7. Pengaruh Parameter Las dan Ketebalan Pelat pada Pengelasan Titik Baja

Karbon Rendah Terhadap Kekuatan Geser

Sisworo, Bayuseno, Sri Nugroho

C.34 – C.39

8. Kajian Komprehensif Struktur Mikro dan Kekerasan terhadap Paduan Al-7,

1Si-1,5Cu Hasil Pengecoran dengan Metode Evaporative

Wijoyo, Achmad Nurhidayat dan Osep Teja Sulammunajat

C.40 – C.45

9. Pengaruh Arah Serat Gelas dan Bahan Matriks terhadap Kekuatan

Komposit Airprofil Profile Fan Blades

Carli, S. A. Widyanto, Ismoyo Haryanto

C.46 – C.51

10. Pengaruh Tekanan Injeksi pada Pengecoran Cetak Tekanan Tinggi terhadap

Kekerasan Material ADC 12

Sri Harmanto

C.52 – C.57

11. Variasi Waktu Hard Chromium Plating terhadap Karakteristik Struktur

Mikro, Nilai Kekerasan dan Laju Korosi Baja AISI 1008

Sutrisno

C.58 – C.63

Page 9: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

. (Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

vi

12. Perilaku Mulur (Creep) Polipropilen dengan perubahan Tegangan dan

Temperatur

Iman Mujiarto, A.P. Bayuseno, Jamari

C.64 – C.69

13. Pengaruh Tebal Pelapisan Krom terhadap Rapat Arus Elektroplating pada

Geometri Plat, Profil dan Pipa

Sutomo dan Bambang Setyoko

C.70 – C.75

14. Pengaruh Geometri Permukaan dan Arus Listrik terhadap Proses Pelapisan

Nikel dengan Elektroplating

Sutomo dan Rahmat

C.76 – C.81

15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap Sifat Mekanis Paduan Al Cu pada

Proses Pembekuan Searah (Unidirectional Solidification)

Sugeng Slamet, Suyitno

C.82 – C.87

D. Perancangan dan Manufaktur

1. Penerapan Metode Rating Faktor dan Mekanika untuk Perbaikan

Rancangan Gerobak Bakso Sepeda Motor sebagai Upaya Menjamin

Keselamatan Pengendara

Lobes Herdiman, Taufiq Rochman, dan Hendry Pallas Prasetyo

D.1 – D.6

2. Rancang Bangun Prototipe Alat Tanam Benih Jagung Ergonomis dengan

Tuas Pengungkit dan Mekanik Pembuat Lubang untuk Meningkatkan

Kapasitas Tanam

Rindra Yusianto

D.7 – D.11

3. Perancangan Mekanisme Pengontrol Controllable Pitch Propeller

Lorentius Yosef Sutadi, Susilo Adi Widyanto, Ismoyo Haryanto

D.12 – D.17

4. Studi Eksperimental Pengaruh Beban terhadap Koefisien Gesek pada

Sliding Contact Fase Running-in dengan Tribometer Pin-On-Disc

Didi Dwi Krisnandi, Aan Burhanudin, Eko Armanto, Dian Prabowo

Sulardjaka, Jamari

D.18 – D.22

5. Studi Eksperimen Pengaruh Beban terhadap Perubahan Koefisien Gesek

pada Rolling Contact dengan Tribometer Pin- On- Disc Fase Running-in

Aan Burhanudin, Didi Dwi Krisnandi, Eko Armanto, Dian Prabowo,

Sri Nugroho, Jamari,

D.23 – D.28

6. Rancang Bangun dan Pengujian Pemanas pada Disc untuk Alat Uji

Tribometer Tipe Pin – On - Disc

Dian Prabowo, Aan Burhanudin, Eko Armanto, Didi Dwi K., Jamari,

Syaiful

D.29 – D.34

7. Proses Permesinan Bubut pada Kaca

Rusnaldy, Susilo A.W., Norman I., Triana A., Dika F.P.S

D.35 – D.39

8. Perancangan Mesin Uji Tribologi Pin-On-Disc

Eko Armanto, Aan Burhanudin, Didi Dwi Krisnandi, Dian Prabowo,

Ismoyo, Jamari

D.40 – D.45

Page 10: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang vii

E. Industri

1. Pemodelan Minimize Total Biaya Pengendalian Kualitas terhadap Proses

Manufakturing Produk Furniture

Sutrisno B, Abd. Haris, Romadhon

E.1 – E.5

2. Perancangan Standart Operating Procedures (SOP) Pengolahan Pasca

Panen Rimpang Tanaman Obat dan Identifikasi Good Manufacturing

Practices (GMP) di Klaster Biofarmaka Karanganyar

Fakhrina Fahma, Wahid A. Jauhari, Pungky Nor Kusumawardhani

E.6 – E.11

3. Upaya Peningkatan Kualitas pada Divisi Cetak Koran Menggunakan

Pendekatan USE-PDSA di PT. Masscom Graphy Semarang

Diana Puspita Sari, Heru Prastawa, Yuliana Rahmasari

E.12 – E.17

4. Perencanaan Kegiatan Maintenance Pada Sistem Pipe Making Line dengan

Pendekatan Reliability Centered Maintenance II (Studi Kasus PT Indonesia

Steel Tube Works Semarang)

Dyah Ika Rinawati, Bambang Purwanggono, Eko Lisysantaka

E.18 – E.23

5. Optimasi Kuantitas dan Jenis Produksi sebagai Upaya Peningkatan

Keuntungan Perusahaan

Ratnanto Fitriadi, Indah Pratiwi, Rudi Teguh Aryanto

E.24 – E.29

6. Analisis Efektifitas Reminding untuk Meningkatkan Kepuasan Pelanggan

(Studi Kasus PT. Telkom Semarang)

Suwarti, Dwiana Hendrawati

E.30 – E.34

7. Perancangan Kinerja Supply Chain Padi Pasca Panen

Mila Faila Sufa

E.35 – E.39

8. Pengaruh Faktor Wujud, Keandalan, Ketanggapan, Jaminan dan Empati

terhadap Kepuasan Praktikan di Laboratorium Distribusi Energi Politeknik

Negeri Semarang

Teguh Harijono Mulud, Indung Sudarso

E.40 – E.44

9. Usulan Perbaikan Proses Produksi Berdasarkan Pendekatan sistem HACCP

(Hazard Analysis Critical Control Point) (Studi Kasus Pembuatan Kue

Kroket di Toko Roti dan Kue "RAPI" Semarang)

Novi Marlyana, Wiwik Fatmawati, Nur Amalina

E.45 – E.51

10. Pemetaan Persepsi Konsumen terhadap Keluaran Produk Hasil

Perancangan Pemutih Beras Mekanik Menggunakan Metode Biplot

Siti Nandiroh

E.52 – E.57

11. Pengendalian Persediaan Barang Jadi Multi Item dengan Metode Lagrange

Multiplier (Studi kasus pada Depo Es Krim Perusahaan X di Magelang)

Agus Setiawan, Enty Nur Hayati

E.58 – E.63

12. Penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) Produk Rimpang Temulawak

Menggunakan Metode Full Costing sebagai Dasar Penentuan Harga Jual

(Studi Kasus : Klaster Biofarmakan Kabupaten Karanganyar)

Fakhrina Fahma, Murman Budijanto, Ayu Purnama

E.64 – E.69

Page 11: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

. (Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

viii

13. Perancangan Konsep Tempat Tidur Rumah Sakit Mempertimbangkan

Proses Pemindahan Pasien (Studi Kasus: Rumah Sakit ”ZZZ” di Surakarta)

Rahmaniyah Dwi Astuti, Ilham Priadythama, Nanung Eko Setyawan

E.70 – E.75

F. Elektronika dan Informatika

1. Analisis Hambatan Implementasi E-Government di Wilayah Kecamatan

Tingkir, Salatiga

Yusuf Sulistyo Nugroho, Fatah Yasin Al Irsyadi

F.1 – F.6

2. Building an Apple iPad Mini Theater System Through iXtreamer

Budi Berlinton Sitorus

F.7 – F.10

3. Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Nilai Resistansi Sensor Gas

Berbahan Polymer

Budi Gunawan, Arief Sudarmadji

F.11 – F.16

4. Pengaruh Kadar Air dan Kedalaman Elektroda Batang Tunggal terhadap

Tahanan Pembumian pada Tanah liat

Wahyono

F.17 – F.22

5. Aplikasi Motor DC 1000 W 48 V sebagai Penggerak Mobil Listrik Ramah

Lingkungan

Margana

F.23 – F.28

6. Kajian Sistem Kendali Space Vector Pulse Width Modulation sebagai

Pengendali Motor Induksi 3 Fasa

Emmanuel Agung Nugroho, Joga Dharma Setiawan

F.29 – F.34

7. Implementasi Sistem Kendali Space Vector PWM pada Inverter 3 Fasa

Menggunakan Mikrokontrol AT89S52

Emmanuel Agung Nugroho, Joga Dharma Setiawan

F.35 – F.40

8. Respon Sistem Ditinjau dari Parameter Kontroler PID pada Kontrol Posisi

Motor DC

Dwiana Hendrawati

F.41 – F.46

9. Analisis Keandalan Sistem Mekanik Controllable Pitch Propeller dengan

Pendekatan Kegagalan Keausan

Gutomo, Susilo Adi Widyanto, Ismoyo Haryanto

F.47 – F.51

10. Analisis Dampak Pemasangan Distributed Generation (DG) terhadap Profil

Tegangan dan Rugi-rugi Daya Sistem Distribusi Standar IEEE 18 Bus

Agus Supardi, Romdhon Prabowo

F.52 – F.57

11. Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan Premium pada SPBU di

Wilayah Semarang

Muhamad Danuri, Alex Sujanto

F.58 – F.63

G. Sipil dan Arsitektur

1. Konservasi Lahan Kritis untuk Pertanian Produktif dalam Pencapaian

Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan di Kecamatan Gunungpati

Semarang

Margareta Maria Sudarwani, Yohanes Dicky Ekaputra

G.1 – G.6

Page 12: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang ix

2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang Berpengaruh terhadap Luas

Genangan dan Kerusakan Infrastruktur Permukiman

Soedarsono

G.7 – G.12

3. Kualitas Estetika Geometris Fisik Ruang Kota Kawasan Lapangan

Pancasila Semarang

Esti Yulitriani Tisnaningtyas

G.13 – G.18

4. Fungsi Jalur Pedestrian Diantara Dua Bangunan Pusat Perbelanjaan di

Koridor Jalan A. Yani (Ditinjau dari Atribute Kenyamanan dan Visibilitas

Penggunanya pada Malam Hari)

Esti Yulitriani Tisnaningtyas

G.19 – G.25

H. Poster

1. Efektifitas Antibiotik Herbal dan Sintetik pada Pakan Ayam Broiler

Terhadap Performance, Kadar Lemak Abdominal dan Kadar Kolesterol

Darah

Winny Swastike

H.1 – H.6

IINDEKS PENULIS UTAMA MAKALAH

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL MAJALAH ILMIAH MOMENTUM

Page 13: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.1

ANALISA SISA CHLOR PADA JARINGAN DISTRIBUSI

AIR MINUM PDAM KOTA SEMARANG

Benny Syahputra

Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UNISSULA E-mail : [email protected]

Abstrak

Konsentrasi sisa chlor pada jaringan distribusi air minum PDAM Kota Semarang daerah

layanan Perumahan BSB Jatisari belum memenuhi standar baku mutu. Tujuan dari penelitian

ini yaitu untuk menentukan konsentrasi sisa chlor di setiap node dan untuk mengetahui

pengaruh dari jarak reservoir ke konsumen terhadap konsentrasi sisa chlor. Penelitian ini

menggunakan analisis kuantitatif menggunakan analisis korelasi dan regresi, sedangkan

analisis deskriptif dijelaskan melalui tabel dan grafik. Variabel bebas yang digunakan adalah

jarak distribusi (jarak reservoir ke konsumen), sedangkan variabel terikatnya adalah

konsentrasi sisa chlor. Hasil penelitian juga menunjukkan konsentrasi sisa chlor pada node

terdekat pompa injeksi adalah 1,19 mg/l, sedangkan pada node terjauh adalah 0,27 mg/l ,

adanya hubungan negatif antara jarak reservoir ke konsumen terhadap konsentrasi sisa chlor,

dimana semakin bertambah jarak reservoir ke konsumen maka konsentrasi sisa chlor akan

semakin berkurang. Hubungan ini mempunyai korelasi yang tidak kuat, artinya ada faktor-

faktor lain yang juga ikut mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut yaitu debit aliran, kecepatan

aliran, dimeter pipa dan koefisien kekasaran dinding pipa. Dari perhitungan regresi

didapatkan persamaan y=-0,002+1,17, itu artinya setiap jarak reservoir ke konsumen

bertambah 1 meter maka konsentrasi sisa chlor akan berkurang 0,002 mg/l. Dengan demikian,

sisa chlor akan habis pada jarak 585 meter dari reservoir.

Kata kunci: chlor, PDAM, distribusi

PENDAHULUAN Sisa chlor mempunyai hubungan yang sangat erat dengan jarak distribusi air, hal ini senada

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibroni (2007), didapatkan hasil bahwa terjadi

penurunan sisa chlor pada konsumen atau pelanggan yang jaraknya jauh dari proses pengolahan.

Sehingga sisa Chlor pada konsumen yang dianjurkan minimal 0,2 mg/l tidak dapat tercapai. Dari

penelitian tersebut didapat hasil keadaan sisa chlor pada konsumen atau pelanggan jarak dari

sumber pengolahan yaitu pada jarak dekat 72 % baik, jarak sedang 53 % baik, jarak jauh 43 % baik

, yaitu lebih dari 0,2 mg/l. Konsumen yang mempunyai jarak terjauh tentunya akan mempunyai

kandungan sisa chlor yang sangat rendah, sehingga kualitas air terancam tercemar oleh hadirnya

bakteri pathogen yang dapat mengganggu kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian M. Festiyanti (2006) didapatkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara sisa chlor bebas dengan jumlah bakteri Eschericia coli (p= 0,05). Penelitian yang

dilakukan oleh Festiyanti tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa pipa-pipa PDAM banyak yang

tercemar oleh bakteri terutama oleh bakteri Eschericia coli.

Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Afrilian (2004) didapatkan bahwa ada

hubungan antara jarak perpipaan dengan jumlah Eschericia coli (p= 0,002) pada distribusi air

perpipaan dari sumber mata air. Oleh karena itu, peneliti ini ingin membuat model sisa chlor dan

dwelling time agar aliran air PDAM terjaga kualitasnya serta aman dikonsumsi oleh masyarakat.

Pengawasan kualitas air minum harus tetap dijaga mengingat kondisi bakteri pathogen

kerap muncul pada daerah yang mempunyai sumber air kurang baik atau kondisi jaringan pipa

yang sudah tercemar oleh bakteri pathogen. Endarwanto (2009) menjelaskan dalam penelitiannya

yang dilakukan di Kodya Pekalongan. Hasilnya dinyatakan bahwa semua (100%) sample yang

diukur tidak ditemukan sisa chlor bebas pada air distribusi Rogoselo maupun reservoir

Simbangkulon dan kualitas bakteriologis menunjukkan 70% sample baik dan 30% sample tidak

baik. Tidak adanya sisa chlor bebas pada air distribusi Rogoselo dan reservoir Simbangkulon dan

kulaitas bakteriologis tidak baik disebabkan karena tidak cukup kaporit untuk mengoksidasi zat

organic maupun unsur lainnya dalam air apabila terjadi kontaminasi/pencemaran. Untuk

meningkatkan kualitas bakteriologis air minum pihak pengelola harus meningkatakan desinfeksi

Page 14: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.1. Analisa sisa chlor pada jaringan distribusi ... (Benny Syahputra)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.2

sampai diperoleh sisa chlor bebas 0,2 – 0,5 mg/l di semua bagian dari system distribusi dan pada

lokasi yang ditemukan positif bakteri coliform segera dicari penyebabnya dan kemudian

memperbaikinya.

METODE

Analisis Konsentrasi Sisa Chlor

Pada tahap ini digunakan program Waternet 2.1 untuk menentukan konsentrasi sisa chlor di

jaringan distribusi air minum Perumahan BSB Jatisari Semarang.

Analisis Pengaruh Dari Jarak Reservoir Ke Konsumen

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan analisis korelasi dan regresi,

sedangkan analisis deskriptif dijelaskan melalui tabel dan grafik. Variabel bebas yang digunakan

adalah jarak distribusi (jarak reservoir ke konsumen), sedangkan variabel terikatnya adalah

konsentrasi sisa chlor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil simulasi sisa chlor dengan program waternet 2.1 diperoleh konsentrasi sisa chlor

seperti pada tabel 1

Tabel 1. Konsentrasi Sisa Chlor

Nomor Node

Konsentrasi

Sisa Chlor

(mg/L)

2,3,4,5,7,8,9,10,16,17,18,19,20,21,22,32,33,34,35,36,37,58,94,

148,149,153,239,241

1,01-1,20

11,23,24,25,38,39,48,49,59,60,67,68,69,70,106,110,111,112,

113,114,115,116,117,150,151,154,155,156,165,166,183

0,91-1,00

12,13,26,27,28,40,41,42,43,50,51,52,53,61,62,71,72,73,74,75,

76,107,152,157,158,159,160,167,168,169,172,173,184,208,20

9,211,212,213,

0,81-0,90

29,30,31,54,55,63,64,77,78,79,101,120,122,123,124,125,131,1

32,133,134,135,136,161,162,171,174,185,201,202,203,203,20

4,205210

0,71-0,80

6,15,44,45,46,47,56,57,80,100,109,118,126,127,128,145,163,1

64,179,186,187,188,195,196,197,198,214,215

0,61-0,70

65,66,81,82,83,84,85,86,87,88,89,96,97,98,99,137,138,139,

140,146,147175,181,182,189,193,194,199,200,217,218,219,22

7,228,230,231

0,51-0,60

90,91,92,93,95,108,119,129,141,142,143,190,191,206,207,

229,232

0,41-0,50

121,130,144,176,177,178,180,192,216,220,221,223,225,

226,233,234,236,237,238

0,31-0,40

179, 224,235 0,21-0,30

- 0,00-0,20

Sumber : Hasil Analisis, 2012

Page 15: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.3

Gambar 1. Letak Nomor Pipa pada Jaringan Pipa Distribusi Air Minum

Reservoir,

pompa, tangki

Ket :

pipa 0,2 m

pipa 0,16 m

pipa 0,11 m

pipa 0,09 m

node

Page 16: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.1. Analisa sisa chlor pada jaringan distribusi ... (Benny Syahputra)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.4

Gambar 2. Letak Nomor Node pada Jaringan Pipa Distribusi Air Minum

Berdasarkan gambar 2, dapat diketahui adanya kecenderungan semakin jauh jarak anatara

reservoir dengan konsumen, maka semakin kecil atau sedikit sisa chlor. Hal ini dapat diketahui dari

nilai korelasi antara jarak distribusi air (jarak dari reservoir ke konsumen) dengan konsentrasi sisa

chlor adalah sebesar -0,677 dengan nilai signifikan = 0,000 (dimana nilai signifikan tersebut <

0,05). Hal tersebut dapat diartikan bahwa ada hubungan negatif antara jarak distribusi air (jarak

dari reservoir ke kosumen) dengan konsentrasi sisa chlor, dimana semakin jauh jarak distribusi air

(jarak dari reservoir ke konsumen) maka semakin kecil konsentrasi sisa chlornya.

Nilai korelasi dari kedua variabel tersebut tidak kuat, yaitu 0,677 (korelasi dinyatakan kuat

jika bernilai 1 atau mendekati 1), artinya ada faktor-faktor lain yang juga ikut mempengaruhi

berkurangnya konsentrasi sisa chlor dengan bertambahnya jarak reservoir ke konsumen. Hal

tersebut senada dengan pernyataan Triatmadja (2007) bahwa berkurangnya konsentrasi chlorin

Reservoir,

pompa, tangki

Ket :

pipa 0,2 m

pipa 0,16 m

pipa 0,11 m

pipa 0,09 m

node

Page 17: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.5

selama mengalir dalam pipa disebabkan oleh dua reaksi yaitu bulk reaction dan pipe wall reaction.

Bulk reaction merupakan pengurangan konsentrasi sisa chlor akibat reaksi dengan komponen-

komponen yang terlarut di dalam air. Hal ini dapat terjadi akibat masuknya komponen-komponen

organik maupun mikroorganisme ke dalam pipa. Bulk reaction merupakan koefisien laju

pengurangan konsentrasi sisa chlor diukur melalui pengujian laboratorium terhadap sampel air

pada jaringan distribusi air minum di Perumahan BSB Jatisari.

Untuk pipe wall reaction merupakan koefisien pengurangan konsentrasi sisa chlor akibat

reaksi dengan dinding pipa. Terjadinya reaksi dengan dinding pipa dapat disebabkan karena adanya

lapisan biologis/ biofilm atau karena terjadinya korosi pada pipa. Jenis pipa yang digunakan dalam

jaringan distribusi air minum di Perumahan BSB Jatisari adalah pipa GI (Galvanis Iron) dan

PVC(Polyvinyl Cloride). Pipa GI terbuat dari besi sehingga mudah terkorosi, sedangkan pipa PVC

terbuat dari bahan plastik. Sisa klor yang terlalu tinggi dalam jaringan pipa dapat menyebabkan

terjadinya korosi pada pipa. pH air yang terlalu asam juga dapat menyebabkan korosi. Untuk nilai

pipe wall reaction, ditentukan melalui prosedur kalibrasi oleh pihak penyedia layanan air minum.

Berdasarkan model regresi untuk jarak distribusi air (jarak dari reservoir ke konsumen)

dengan konsentrasi sisa chlor dinyatakan dengan persamaan Y = -0,002X+1,17. Hasil uji regresi

diperoleh R2=0,570. Y merupakan konsentrasi sisa chlor (mg/L), dan X adalah jarak dari reservoir

ke konsumen (meter). Model tersebut menunjukkan bahwa setiap bertambahnya jarak distribusi air

(jarak dari reservoir ke konsumen) sebesar satu meter, maka konsentrasi sisa chlor akan turun

sebesar 0,002 mg/L. Dengan demikian sisa chlor akan habis (konsentrasi sisa chlor = nol) pada

jarak 585 m dari reservoir.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil simulasi sisa chlor pada jaringan distribusi air minum Perumahan BSB

Jatisari Semarang dengan program waternet 2.1, serta hasil analisis mengenai pengaruh jarak dari

reservoir ke konsumen terhadap konsentrasi sisa chlor, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

konsentrasi sisa chlor pada titik terdekat (node 7) dengan pompa injeksi chlorin adalah 1,19 mg/L,

sedangkan pada titik terjauh (node 224) adalah 0,27 mg/L.

Konsentrasi sisa chlor akan semakin berkurang dengan semakin bertambahnya jarak dari

reservoir ke konsumen. Dari persamaan regresi Y = -0,002X + 1,17, diperoleh hasil bahwa sisa

chlor akan habis (konsentrasi sisa chlor = nol) pada jarak 585 meter dari reservoir.

SARAN

Sebaiknya pemantauan sisa chlor tidak hanya dilakukan pada titik terdekat pompa injeksi

chlorin, tetapi juga pada titik terjauh sehingga kualitas air yang terkait sisa chlor dapat diketahui

dengan baik, sehingga kualitas air PDAM dapat terjaga dan terhindar dari kontaminasi pathogen

yang mengganggu kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrilian, F. 2004. Hubungan Jarak Perpipaan Dengan Jumlah Eschericia coli Pada Distribusi Air

Perpipaan Dari Sumber Mata Air. e-journal Undip.

Endarwanto.2009. Hubungan Sisa Chlor Bebas Dengan Jumlah Bakteri Coliform Pada Air Minum

Perusahaan Daerah Air Minum Kodya Pekalongan. e-journal Undip..

Festiyanti, M. 2006. Hubungan Sisa Chlor Bebas Dengan Jumlah Bakteri Coliform Pada Air

Minum PDAM Kabupaten Semarang Tahun 2006. . e-journal Undip..

Ibroni, M. 2007. Tinjauan Pelaksanaan Chlorinasi Air Bersih dan Kaitannya Dengan Sisa Chlor Di

PDAM Tirtanadi Medan Tahun 1997. e-journal FKM USU.

Page 18: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.2. Development of efficient calcium oxalate … (Andri C. Kumoro)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.6

DEVELOPMENT OF EFFICIENT CALCIUM OXALATE

REMOVAL TECHNIQUES FROM TARO CORMS

Andri Cahyo Kumoro

Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Diponegoro University,

Jl. Prof. H. Soedarto, SH – Tembalang - Semarang, 50275 Email: [email protected]

Abstract

Taros (Colocusiu and Xanthosoma spp.) are tropical root crops commonly referred to as

cocoyams, which have been used as subsistence staple foods in many parts of the tropics and

sub-tropics in Africa and Australasia. Proximate analysis of the taro corms has shown that it

contains digestible starch, protein of good quality, vitamin C, thiamin, riboflavin and niacin.

However, one major limiting factor in the utilization of taros is the presence of oxalates which

impart acrid taste or cause irritation when foods prepared from them are eaten. Ingestion of

foods containing oxalates has also been reported to cause caustic effects, irritation to the

intestinal tract and absorptive poisoning as well as disrupting the bio-availability of calcium.

While several methods have been made to reduce oxalate content in taro corms, none has been

reported to meet the satisfactory level of the consumers. Considering that calcium oxalate

content in the skin is higher than in the tuber flesh and that physical (thermal and irradiation)

degradation of calcium oxalate is more pronounced than chemical and biological

degradations, a method to reduce the calcium oxalate content in the taro corms is proposed.

The proposed method involves peeling, washing, steeping, boiling and drying, which is

expected to remove about 93.14% of the original calcium oxalate content.

Keywords: taro; calcium oxalate; removal; development

INTRODUCTION

Taros (Colocasia) (Figure. 1) are root crops that are easily found in both the tropical and

subtropical regions of the world. Taros are native to Asia, which Colocasia esculenta is the species

that mostly grown in West Africa with Ghana and Nigeria being the main producers (Ihekoronye &

Ngoddy, 1985). They are also important crops in Hawaii, Japan, and other Pacific nations. The

world’s annual production of this crop is predicted to be 5.5 million tones, which provides about a

third of the food supply of more than 400 million people in the tropics (FAO, 1991). Taros can be

processed into several food and feed products and industrial inputs as good as potatoes in the

Western world. Taro corms processing is targeted for obtaining products that are stable in terms of

longevity, nutrition, and palatability. Peeling, boiling, roasting, deep frying, pasting and milling are

the important processing methods (Obiechina & Ajala, 1987). It has been observed that, in spite of

the fact that taros are neglected crops, their compositional value is high (Agbor-Egbe and Richard,

1990) leading to their use as subsistence staple foods in many parts of the tropics and sub-tropics in

Africa. They produce starch storage corms and cormels, and have several cultivars throughout the

Figure 1. Taro plant (a) and Taro Corms (b)

a b

(a) (b)

Page 19: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.7

world. Proximate analysis of the taro corms has shown that they contain digestible starch, protein

of good quality, vitamin C, thiamin, riboflavin and niacin Onwueme (1994).

Apart of all the above mentioned potentials, it has been reported that the consistent

palatability problems associated with taros have hindered the realization of its full potentials.

Bradbury & Holloway (1988) found that the causes of the antinutritional and off-taste problems

have been identified as calcium oxalate crystals and other acidic and proteinaceous principles. They

also reported that the content of calcium oxalate varied with the position in the corm. The content

was 451, 182 and 84 mg/100 in the skin, 1 cm below skin and the centre of the corm, respectively.

Ingestion of foods containing oxalates has been reported to cause caustic effects, irritation to the

intestinal tract and absorptive poisoning (Sakai, 1972) and disturb the bio-availability of calcium

(Guéguen and Pointillart, 2000). It occurs as the free acid, as soluble salts of potassium and

sodium, and as insoluble salts of calcium, magnesium and iron (Noonan and Savage, 1999). The

lethal dose of calcium oxalate to human is 2 g (Albihn and Savage, 2001). It could therefore be

recommended that the intake of calcium oxalate in one meal does not exceed two-third of this

lethal dose. However, the threshold level of calcium oxalate in food is 71 mg/100g (Sefa-Dedeh

and Agyir-Sackey, 2004). The objective of this paper was to propose an efficient technique to

reduce the calcium oxalate content in the taro corms.

LITERATURE SURVEYS ON THE CALCIUM OXALATE REMOVAL METHODS

Several attempts have been made to reduce oxalate content in taros. The peels of tubers

contain more oxalate than the peeled tubers (Akpan and Umoh, 2004), therefore peeling should be

the first step to do when removing calcium oxalate from tubers (Sangketkit et al., 2001). Removal

of the thick layer of skin and long period of cooking is required to remove acridity (Crabtree and

Baldry, 1982). Onayemi and Nwigwe (1987) observed that soaking of sliced taro corms in water

and in solutions of citric acid and EDTA reduced the oxalate levels ranging from 9 to 26%.

Steeping of taro slices in water at 30 oC for 24 hours was reported to reduce the oxalate-salt content

35% of its original content, respectively (Iwuoha and Kalu, 1995). In other investigation, soaking

of taro in 0.05% w/v NaOH solution with taro-NaOH solution ratio of 1:4 for 2 hours followed by

drying in the electric oven at 40oC for 16 hours, reduced calcium oxalate content by more than 40%

(Tattiyakul et al., 2006). While no detail information was given in their article, Carpenter and

Steinke (1983) reported that anaerobic fermentation, baking or extraction with ethanol also helps in

the reduction of acridity levels in taro. Fermentation in water affected a significant reduction in

oxalate level (58 to 65%) depending on the fermentation period (Oke and Bolarinwa, 2012).

Osisiogu et al. (1974) observed that boiling of taros for 15 min brought about considerable

reduction in the irritant effect. They concluded that the irritant principle of taros could be destroyed

by volatilization and not by heating. In another study, boiling for 30 min at 90oC removed about of

the irritant substance (Iwuoha and Kalu, 1995), indicating that irritation and itching caused by the

acridity factor may not be observed when taro is thoroughly cooked (Agwunobi et al. 2000).

Albihn and Savage (2001) observed that repeated boiling for 15 minutes with changes the water

every boiling reduced the calcium oxalate content in taro corm. Akpan and Umoh (2004) used of

heat treatment and different concentrations of tetracycline during cooking to reduce the level of

acridity in taro. Boiling for 40 minutes caused significant reduction of calcium oxalate of Japanese

taro (Catherwood et al., 2007). Similar results were reported previously by Savage et al. (2000),

Savage (2002) and Quinteros et al. (2003).

Although it has been reported that the traditional methods including drying of taros may

reduce oxalate (Purseglove, 1972), they do not completely remove it as itching is still reported by

many consumers (Onayemi & Nwigwe, 1987). The trend of oxalate levels obtained from oven

drying, observed for the 24 h dried samples, was not different from that obtained in the 12 h dried

samples (Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey, 2004), which was from 302 to 200g/100g (33.77%).

Drum-drying reduced oxalate levels by approximately 50% to average levels ranging from 99.9 to

192 g/100 g (Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey, 2004) from its original value between 302-309

g/100g. High temperature is known to cause the calcium oxalate-containing cells (raphides) to

collapse, leading to the breakdown of oxalate structure. The trend of oxalate levels observed for the

24 h solar dried samples was not different from that obtained in the 12 h dried samples (Sefa-

Page 20: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.2. Development of efficient calcium oxalate … (Andri C. Kumoro)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.8

Dedeh and Agyir-Sackey, 2004) from 302 to about 100g/100g (66.89%). It is clear that solar

drying performes better calcium oxalate reduction than oven drying. Roasting of taro corm at

165oC within 40-45 min reduces about 54.56% of its calcium oxalate content (Iwuoha and Kalu,

1995). However, more recent investigation reported that baking was found to increase the calcium

oxalate content in dry matter (Albihn and Savage, 2001). Similar results were reported by Savage

et al. (2000), Savage (2002), Quinteros et al. (2003) and Savage and Martensson (2010).

Despite all these efforts, there is little information about the detail and efficiency of the

various processes in relation to the measured parameter(s). In addition, the available reports about

the effects of processing on oxalates appear conflicting and inconclusive.

THE CALCIUM OXALATE DEGRADATION

As far as the literature surveys were done, the degradation of calcium oxalate might occur

through the following manners:

1. Thermal degradation

CaC2O4. n H2O(s) → CaC2O4 (s) + n H2O (g)

CaC2O4(s) + heat → CaCO3(s) + CO (g)

CaCO3(s) → CaO(s) + CO2 (g)

The presence of Na+ ions was found to increase the decomposition rate and reduce the

activation energy of the above reaction. The Na+ ions act as a catalyst for the decomposition

reaction (Schempf et al., 1965).

2. Irradiation degradation: Gamma ray irradiation increased the decomposition rate of calcium

oxalate (Basahel et al., 1987). This conclusion was based on their observation where morning

and afternoon sun drying caused different efficiency due to different sunlight intensity and rays

composition.

3. Biological degradation: Anaerobic fermentation helps in reduction of acridity levels in taro

(Carpenter and Steinke, 1983). In addition, uncontrolled fermentation of taro chips (2-2.5 cm

thickness) in water reduced their calcium oxalate content (Oke and Bolarinwa, 2012).

THE CALCIUM OXALATE REMOVAL METHOD DEVELOPMENT

Based on the degradation mechanisms of calcium oxalate and the previous investigations

by other researchers on the reduction of calcium oxalate in taro corms as affected by cooking

methods, an efficient technique to remove the calcium oxalate from taro corms in developed. With

the facts that discrepancy was reported by previous researchers on the effects of baking as an

example of dry thermal treatment on the reduction of calcium oxalate, two options are given to

whether or not using these techniques. The schematic diagram of the proposed calcium oxalate

removal method is depicted in Figure 2.

Holland et al. (1991) reported that the taro corm contains about 5 g skins for 100 g corm.

Therefore, removal of the skin from the corm will reduce 15% of the total calcium oxalate content

in the corm. If the average calcium oxalate content in the taro corm is about 590 mg/100 g corm

(Iwuoha and Kalu, 1995), then the expected concentration of calcium oxalate in the product dried

taro chips will be 38.8 mg/100 g corm. This value is about a half of the threshold levels of calcium

oxalate (71 mg/100g) in food products as suggested by Sefa-Dedeh and Agyir-Sackey (2004).

l method is depicted in Figure 2.

Page 21: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.9

Figure 2. The Schematic Diagram of Calcium Oxalate Removal from Taro Corm

CONCLUSIONS

A method has been developed to reduce the calcium oxalate content of taro corm to a safe

level based on the calcium oxalate degradation mechanism and effects of cooking methods on the

calcium oxalate reduction. The proposed method involves peeling, washing, steeping, boiling and

drying, which is expected to remove about 93.14% of the original calcium oxalate content.

ACKNOWLEDGEMENT

The author greatly acknowledges the Directorate of Research and Community Service,

Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture the Republic of

Indonesia for its financial support through National Strategic Research Grant 2012.

REFERENCES

Agbor-Egbe, T. and Richard, J. E., 1990, Evaluation of the chemical composition of fresh and

stored edible aroids. Journal of the Science of Food and Agriculture, 53, 487–495.

Agwunobi, I. N. Okafor, E. P. and Ohazurike, N., 2000, Tannia Cocyam tuber meal (Xanthosoma

sagittifolium) as a replacement for maize grain in the diets of rabbits, Global Journal of

Pure and Applied Sciences, 6 (3), 419-424

Akpan, E.J. and Umoh, I.B., 2004, Effect of heat and tetracycline treatments on the food quality

and acridity factors in Cocoyam [Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott], Pakistan Journal

of Nutrition, 3 (4), 240–243.

Albihn, P.B.E. and Savage, G.P., 2001, The effect of cooking on the location and concentration of

oxalate in three cultivars of New Zealand-grown oca (Oxalis tuberose Mol). Journal of the

Science of Food and Agriculture, 81, 1027-1033.

Basahel, N.S., Obaid, A. Y. and Diefallah, E. H. M, 1987, Kinetic Analysis of Thermal

Decomposition Reaction III. Irradiation Effects on the Thermal Decomposition of Calcium

Oxalate Monohydrate, Radiation Physics and Chemistry, 29, 6, 447-450.

Page 22: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.2. Development of efficient calcium oxalate … (Andri C. Kumoro)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.10

Bradbury, J. H. & Holloway, W. D., 1988, Chemistry ofTropical Root Crops: SigniJicance for

Nutrition and Agriculturein the Pact& Australian Center for InternationalAgricultural

Research, Canberra, Australia, pp. 51-68,110-19.

Carpenter, J. R. and Steinke, W. E., 1983, Animal feed. In Taro-a Review of Colocasia esculenta

and its Potentials, ed. J. Wang. University of Hawaii Press, Honolulu, HI, USA.

Catherwood, D.J., Savage, G.P., Mason, S.M., Scheffer, J.J.C. and Douglas, J.A., 2007, Oxalate

content of cormels of Japanese (Colocasia esculenta (L.) Schott) and the effect of cooking.

Journal of Food Composition and Analysis, 20, 147–151.

Crabtree, J. and Baldry, J., 1982, Technical note: the use of taro products in breed making. Journal

of Food Technology, 17, 771-777.

FAO, 1991, Quarterly Bulletin of Statistics of the Food and Agriculture Organization of the United

Nations (Vol. 4).

Guéguen, L. and Pointillart, A., 2000, The Bioavailability of Dietary Calcium. Journal of the

American College of Nutrition, 19(2), 119S-36S.

Holland, B., Unwin, I. D. and Buss, D. H., 1991, Vegetables, Herbs and Spices. The Fifth

Supplement to McCance & Widdowson's The Composition of Foods (4th Edition). 163

Seiten. Royal Society of Chemistry, Cambridge.

Ihekoronye, A. I. and Ngoddy, P. O., 1985, Cocoyams. In Integrated Food Science and Technology

for the Tropics. Macmillan, London, UK.

Iwuoha, I.C. and Kalu, A.F., 1995, Calcium oxalate and physico-chemical properties of cocoyam

(Colocasia esculenta and Xanthosoma sagittfolium) tuber flours as affected by processing,

Food Chemistry, 54 (1), 61 - 66.

Noonan, S. C. and Savage, G. P., 1999, Oxalate content of foods and its effect on humans. Asia

Pacific Journal of Clinical Nutrition, 8, 64-74.

Obiechina, O. C.and Ajala, A. A., 1987, Socioeconomic and cultural importance of cocoyam as a

staple food. In Proceedingsof the 1st National Workshop on Cocoyam.NRCRI, Umudike,

Nigeria, pp. 180-4.

Oke, M. O. and Bolarinwa, I. F., 2012, Effect of Fermentation on Physicochemical Properties and

Oxalate Content of Cocoyam (Colocasia esculenta) Flour, ISRN Agronomy,

doi:10.5402/2012/978709

Onayemi, O. and Nwigwe N.C., 1987, Effect of processing on the oxalate content of cocoyam.

Food Technology, 20, 293-295.

Onwueme, I.C., 1994, Tropical root and tuber crops - Production, perspectives and future

prospects. FAO Plant Production & Protection Paper 126, FAO, Rome. 228 pp.

Osisiogu, I.U.W., Uzo, J.O. And Ugochukwu, E.N. 1974. The Irritant Effect of Cocoyams. Planta

Medica, 26, 166–169.

Purseglove, J. W., 1972, Araceae. In Tropical Crops: Monocotyledons.Longman, Essex, UK.

Quinteros, A., Farre, R. and Lagarda, M.J., 2003. Effect of cooking onoxalate content of pulses

using an enzymatic procedure. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 54,

373–377.

Ross, A. B., G. P. Savaga, R. J. Martin, and L. Vanhanen. 1999. Oxalates in oca (New Zealand

Yam) (Oxalis tuberose Mol.). Journal of Agricultural and Food Chemistry , 47:5019–5022.

Sakai, W. S. and Nwufo, M. I., 1972, Raphides with Barbs and Groves in Xanthosoma sagitifolium

Aracae, Science, 314-315.

Sangketkit, C., Savage, G. P., Martin, R. J. and Mason, S. M., 2001, Oxalate content of raw and

cooked oca (Oxalis tuberosa). Journal of Food Composition and Analysis, 14, 389–397.

Savage, G. P., 2002, Oxalates in human foods. Proceedings of the Nutrition Society of New

Zealand 27, 4-24.

Savage, G.P., Vanhanen, L., Mason, S.M. and Ross, A.B., 2000, Effect of cooking on the soluble

and insoluble oxalate content of some New Zealand foods. Journal of Food Composition

and Analysis, 13, 201-206.

Schempf, J. M., Freeberg, F. E. and Angelon, F. M., 1965, Effect of Sodium Ion Impurity on

Thermal Decomposition Reaction of Calcium Oxalate as Studied by Absorption Infrared

Spectrometric and Thermoanalysis Techniques, Analytical Chemistry, 37 (13), 1704-1706

Page 23: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.11

Sefa-Dedeh, S. and Agyir-Sackey, E. K., 2004, Chemical composition and the effect of processing

on oxalate content of cocoyam Xanthosoma sagittifolium and Colocasia esculenta cormels,

Food Chemistry, 85, 479-487.

Tattiyakul, J., Asavasaksakul, S. and Pradipasena, P., 2006, Chemical and Physical Properties of

Flour Extracted from Taro Colocasia esculenta (L.) Schott Grown in Different Regions of

Thailand, Scienceasia, 32, 279-284.

Page 24: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.3. Proses pengolahan limbah industri kelapa sawit … (Hantoro Satriadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.12

PROSES PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT

DENGAN MIKROALGA LIAR

Hantoro Satriadi, Widayat1)

, Hadiyanto1)

, Uray Irzandi, Riky Yonas

Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang

Jl. Prof Soedarto SH Tembalang 1)

C-BIORE (Center of Biomass and Renewable Energy) E-mail: [email protected]

Abstrak

Industri kelapa sawit menghasilkan limbah cair yang dikenal palm oil mill effluent

(POME). POME memiliki kandungan BOD sebesar 230 mg/L dan COD sekitar 700

mg/L sehingga tidak dapat dibuang langsung ke lingkungan. Pengolahan yang umum

dilakukan adalah pengolahan fisika dan biologi. Penelitian ini bertujuan untuk

mempelajari proses pengolahan POME dengan menggunakan mikroalga liar, dimana

dipelajari konsentrasi urea (N) dan ammonium bikarbonat (C). Respon yang diamati

adalah konsentrasi biomassa sebagai optical density setiap harinya sampai diperoleh

nilai konstan. Prosedur analisis dengan alat spektrofotometri. Limbah setelah operasi

dianalisis nilai COD dan BOD Prosedur percobaan yang dilakukan berupa

pencampuran POME dan mikroalga kedalam bioreaktor sesuai perbandingan yang

ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroalaga liar yang diperoleh di

Jurusan Teknik Kimia FT UNDIP mampu mengolah POME, dimana pengaruh

pemberian nutrient C dan N terhadap COD dan BOD, bahwa semakin tinggi

penambahan unsur C dan N semakin besar penurunan nilai COD dan BODnya.

Kondisi optimum untuk pengolahan limbah industri kelapa sawit dengan teknologi

mikroalga pada media perbandingan 1 volume mikroalga berbanding 3 volume

POME dengan nutrient 40 ppm urea dan 120 ppm NaHCO3.

Kata kunci: POME, Mikroalga liar, BOD, COD, optical density

1. PENDAHULUAN

Selama bertahun-tahun, kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian Indonesia dan

merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Produksi kelapa sawit

cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Seiring dengan peningkatan prokduktifitas kelapa sawit,

diikuti juga peningkatan limbah yang dihasilkan. Setiap pabrik kelapa sawit membuang

limbah cair yang dikenal palm oil mill effluent (POME), emisi gas dari boiler dan insinerator,

bahan limbah padat seperti tandan buah kosong, serat dan cangkang, dan produk termasuk abu

kalium yang karbonat dan kernel kelapa sawit. Hal ini menjadi limbah di lingkungan yang

signifikan jika tidak dibuang dengan cara yang tepat (Sulaiman dan Ling, 2004).

POME adalah suspensi koloid yang mengandung 95-96% air, 0,6-0,7% minyak dan 4-5%

lemak dan padatan total. POME dikeluarkan dari industry berupa cairan coklat dengan suhu debit

antara 80 °C dan 90 °C dan cukup asam dengan nilai pH kisaran 4,0-5,0. Biasanya POME berisi

nilai rata-rata 6000 mg / l minyak dan lemak. POME rata-rata mengandung BOD (Biologycal

Oxygen Demand) berkisar antara 8.200-35.000 mg liter-1

dan COD(Chemical Oxygen Demand)

berkisar antara 15.103- 65.100mg liter-1

yang akan menjadi bahan pencemar apabila dibuang

langsung ke perairan bebas (DITJEN PPHP Departemen Pertanian, 2006).

Poh dan Chong (2009) telah merangkum tentang pengolahan POME yaitu dengan

anaerobik, aerobik mempunyai keuntungan penggunaan energy rendah (tidak ada aerasi), produksi

fas metana banyak pada produk tetapi pengolahan dengan anaerobic ini mempunyai kekurangan

yaitu memerlukan waktu yang lama dan strat up yang lambat. Pengolahan aerobic mempunyai

keuntungan waktu untuk proses pengolahan relative lebih cepat dan efektif untuk menangani

limbah beracun akan tetapi kekuranganya adlah memerlukan energy yang besar untuk aerasi.

Pengolahan dengan menggunakan membrane mempunyai keuntungan produksinya stabil dan

Page 25: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.13

kualitas air yang dihasilkan bagus dan kekuranganya adalah masa penggunaan membrane yang

singkat. Pengolahan dengan evaporasi mempunyai keuntungan bisa mengolah limbah dengan

konsentrasi padatan yang tinggi dari proses dan kekuranganya kosumsi energy yang dipakai besar.

Cara-cara tersebut merupakan cara-cara yang lazim digunakan dalam industri pengolahan CPO.

Kelemahan dari cara-cara tersebut adalah hanya menurunkan kandungan BOD dan COD,

sedangkan komponen lain seperti N,P,K, dan berbagai mineral lain kadarnya masih tinggi sehingga

masih bisa dimanfaatkan diolah lebih lanjut.

Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan kadar BOD dan COD yang terdapat di dalam

POME. Treatment yang dilakukan antara lain dengan perbandingan volume POME dengan

mikroalga.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan alat erlemeyer 500 ml dan magnetic stirer. Bahan yang

digunakan antara lain POME, Mikroalga, urea, dan NaHCO3. POME diperoleh dari PT.

Perkebunan Nusantara VII Lampung, Sumatra. Mikroalga diperoleh dari Laboratorium Pengolahan

Limbah Jurusan Teknik Kimia UNDIP. Berdasarkan pengamatan visual, jenis mikroalga yang

terdapat di kolam Laboratorium Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia UNDIP adalah

Clamidomonas.

2.2 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara aklimitasi POME dan mikroalga dengan ditambahkan

nutrient urea dan NaHCO3 sesuai dengan variabe percobaan. Campuran POME ini dengan

mikroalga ini diaduk pada kecepatan skala 4. Analisis konsentrasi mikroalga diukur jumlah Optical

Density(OD) sampel. Proses analisa dilakukan sampai dengan nilai OD tetap(14 hari). Setelah 14

hari pisahkan mikroalga pada campuran dengan tawas berkonsentasi 30ppm dan ditambahkan

NaOH 2M hingga pH 11. Campuran diendapkan selama satu hari kemudian filtrate dianalisa

kandungan COD, BOD, sedangkan endapan dianalisa kandungan minyak.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pertumbuhan Sel Dengan Variasi Perbandingan Volume Alga Terhadap POME

Dengan menggunakan variasi perbandingan volume mikroalga terhadap POME didapatkan

data seperti gambar 2 dibawah ini.

Gambar 1 Grafik pengaruh variasi perbandingan volume alga terhadap POME

Dari gambar 1 pertumbuhan mikroalga pada pengaruh perbandingan volume alga terhadap

POME cenderung meningkat. Hal ini disebabkan semakin lama waktuu maka jumlah sel yaang ada

semakin banyak. Pada hari pertama sampai hari keenam merupakan fasa adaptasi dari mikroalga

untuk tumbuh di media pertumbuhan POME, sehingga pertumbuhan mikroalga tidak signifikan.

Page 26: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.3. Proses pengolahan limbah industri kelapa sawit … (Hantoro Satriadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.14

Pada hari keenam sampai hari ke empat-belas merupakan fasa lag dimana mikroalga tumbuh sangat

cepat.

Dari hasil percobaan diatas dapat dilihat pengaruh dari komposisi perbandingan mikroalga

dan POME terhadap pertumbuhan mikroalga. Dari gambar 1 dapat dilihat fluktuasi pertumbuhan

sel mikroalga yang cukup bagus yaitu pada perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3. Pada ketiga

perbandingan ini perbedaan pertumbuhan mikroalga tidak berbeda jauh. Sedangkan untuk

perbandingan 1:4 dan 1:5 pertumbuhan mikroalga terlihat lambat dan tidak terlalu banyak. Dari

semua data diatas dapat disimpulkan bahawa perbandingan kosentrasi antara mikroalga dengan

POME sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga. Pengaruh ini disebabkan oleh jumlah

sel awal yang terdapat pada campuran. Semakin sel awal, maka kemampuan mikroalga untuk

membelah diri juga semakin banyak. Akan tetapi pada ratio 1:1 lama kelamaan jumlah selnya

hampir sama dengan 1:3 hal ini disebabkan karena pertambahan jumlah sel tidak dikuti oleh

pertambahan nutrisi untuk sel tersebut. Sehingga sel-sel mikroalga mati karena kekurangan nutrisi.

Setelah dilihat pada perbandingan 1:3 mempunyai pertumbuhan yang paling baik, maka digunakan

untuk variasi selanjutnya.

3.2 Pertumbuhan Sel Dengan Variasi Nutrisi UREA

Pada percobaan terhadap variasi nutrisi UREA teradap pertumbuhan sel mikroalga dapat

dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Grafik Pengaruh Variasi Penambahan Nutrient UREA

Nitrogen mengisi sekitar 12% protoplasma mikroalga dan 5% hingga 6% protoplasma

kapang atau mikroorganisme. Dalam air limbah, nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen amoniak,

proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. (Simanjuntak, 2009). Dari

penjelasan tersebut dilihat bahwa penambahan unsur nitrogen sangat berpengaruh untuk

pertumbuhan mikroalga.

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin banyak urea ditambahkan maka pertumbuhan

selnya semakin lambat. Hal ini dikarenakan jika rasio karbon terhadap nitrogen terlalu kecil

(jumlah nitrogen terlalu besar) maka akan terjadi kelebihan NH3 yang terbentuk yang akhirnya

dapat menyebabkan proses pengasaman. Proses pengasaman ini akan membuat pertumbuhan

mikroalga terganggu karena mengganggu kestabilan pH optimum. Hal ini terlihat pada jumalah

urea 40, 45 dan 50. Pada variasi-variasi ini, terlihat bahwa fase stasioner kurva pertumbuhan

mereka cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh pengasaman senyawa nitrogen yang

berlebihan sehingga menyebabkan lebih banyak mikroalga yang mati daripada yang direproduksi.

Pada variasi 20 dan 30 dengan rasio nutrisi yang optimum, pertumbuhan mikroalga tidak terganggu

oleh pengasaman nitrogen yang berlebih ataupun terjadi keterbatasan pembentukan sel akibat

Page 27: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.15

adanya faktor pembatas dari rasio N yang terlalu besar. Dengan pertumbuhan mikroalga yang

optimal, maka proses degradasi kontaminan dapat berjalan dengan lancar.

Unsur nitrogen sangat penting bagi metabolisme mikroorganisme karena nitrogen

merupakan unsur kunci dalam asam amino dan asam nukleat, dan ini menjadikan nitrogen penting

bagi semua kehidupan. Protein disusun dari asam-asam amino, sementara asam nukleat menjadi

salah satu komponen pembentuk DNA dan RNA. Selain itu, rasio karbon terhadap nitrogen juga

tergantung dari kontaminan yang ingin didegradasi, mikroalga serta jenis nitrogen yang digunakan.

Berkaitan dengan jenis nitrogen yang digunakan, laju degradasi hidrokarbon akan meningkat jika

menggunakan amonium-nitrogen.

3.3 Pertumbuhan Sel Dengan Variasi Penambahan Nutrient NaHCO3

Pada percobaan terhadap variasi nutrisi NaHCO3 teradap pertumbuhan sel mikroalga dapat

dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Grafik Pengaruh Variasi Penambahan Nutrient NaHCO3

Pemberian nutrient NaHCO3 berfungsi untuk menambah kandungan C pada media POME.

Karbon berpengaruh pada proses fotosintesis dari mikroalga dengan bantuan sinar matahri sesuai

dengan persamaan reaksi sbb:

CO2 + H2O + Energi [Cahaya] ( CH2O)N+ O2

Dari grafik pengaruh variasi penambahan nutrient NaHCO3 cenderung meningkat. Hal ini

disebabkan semakin lama waktu maka jumlah sel yaang ada semakin banyak. Gambar 5 diatas

menunjukan pemberian nutrien yang yang terbaik pada 100 ppm. Hal ini disebabkan penambahan

100 ppm NaHCO3 mengahasilkan perbandingan kandungan nutrisi C, N dan P di media POME

yang baik untuk terjadinya proses fotosintesis mikroalga.

3.4 Nilai COD dan BOD

Dari hasil percobaan pengolahan limbah POME didapatkan nilai BOD dan COD dari

sample awal dan akhir, berikut ini adalah nilai COD dan BOD disajikan pada tabel 1, 2, 3.

Page 28: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.3. Proses pengolahan limbah industri kelapa sawit … (Hantoro Satriadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.16

Tabel 1 Nilai BOD dan COD Dengan Variasi Perbandingan Volume POME Dan Mikroalga

Setelah Diaklimitasi Selama 14 Hari

Perbandingan volume

(POME : mikroalga) BOD (mg/l) COD (mg/l)

1:0 110,6 496,67

1:1 79 330

1:2 89,53 368,33

1:3 84,27 388,33

1:4 61,66 173,33

1:5 65,58 181,67

Parameter buangan

limbah 75 150

Pada analisa limbah POME dengan dengan variasi perbandingan volume POME dan

mikroalga menghasilkan nilai COD dan BOD tidak terlalu berkurang secara significant.. Pada

perbandingan volume 1:4 menghasilkan penurunan nilai COD dan BOD paling baik.

Dari gambar 3 dilihat bahwa pada variasi perbandingan volume 1:4 jumlah selnya tidak

terlalu banyak jika dibandingkan dengan variasi 1:1, 1:2 dan 1:3, hal ini dikarenakan dasar

penghitungan jumlah sel yang digunakan adalah counting chamber. Dimana pada teknik

penghitungan ini yang dihitung bukan hanya saja sel hidup akan tetapi sel yang telah mati juga

turut dihitung. Jadi pada variasi perbandingan volume 1:4 ini jumlah mikroalga yang masih aktif

lebih banyak dibandingkan dengan yang lain. Karena sekali lagi yang mempengaruhi nilai BOD

dan COD itu turun itu adalah aktivitas dari mikroalga yang masih hidup.

Tabel 2 Nilai BOD dan COD Dengan Variasi Penambahan Nutrient UREA Setelah Diaklimitasi

Selama 14 Hari Pada Perbandingan Volume Pome Dan Mikroalga 1:3

Kadar pemberian

nutrient UREA (ppm) BOD (mg/l) COD (mg/l)

0 110,6 496,67

20 66,58 181,67

30 84,27 388,33

40 55,41 158,33

45 67,08 191,67

50 67,50 190,00

Parameter buangan

limbah 75 150

Pada analisa limbah POME dengan dengan variasi variasi penambahan nutrient UREA

menghasilkan penurunan nilai COD dan BOD seperti yang terlihat pada tabel 2. Pada variasi

penambahan nutrient UREA 40ppm menghasilkan penurunan nilai COD dan BOD paling baik.

Hal ini dikarenakan zat-zat kimia yang terdapat pada sampel didegradasi dengan baik oleh

mikroalga.

Tabel 3 Nilai BOD dan COD Dengan Variasi Penambahan Nutrient NaHCO3 Setelah Diaklimitasi

Selama 14 Hari Pada Perbandingan Volume Pome Dan Mikroalga 1:3

Kadar pemberian nutrient

NaHCO3 BOD (mg/l) COD (mg/l)

0 110,6 496,67

50 68,08 191,67

80 68,25 195,00

100 84,27 388,33

120 65,33 186,67

150 68,83 196,67

Parameter buangan limbah 75 150

Page 29: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.17

Berdasarkan tabel 2, variasi penambahan nutrient NaHCO3 mampu menghasilkan

penurunan nilai COD dan BOD. Pada penambahan nutrient NaHCO3 120ppm menghasilkan

penurunan nilai COD dan BOD paling baik. Hal ini dikarenakan zat-zat kimia yang terdapat pada

sampel didegradasi dengan baik oleh mikroalga.

Dari semua analisa BOD dan COD, nilai COD yang dihasilkan belum cukup untuk bisa

dibuang ke lingkungan. Perda Provinsi Jawa Tengah No.10 Tahun 2004 batas nilai COD yang

layak dibuang kelingkungan adalah 150 mg/l. Sedangkan untuk nilai BOD yang didapat hampir

semua dari sampel nilai BOD bisa diterima oleh lingkungan karena ambang batas nilai BOD yang

bisa dibuang ke lingkungan adalah 75 mg/l.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Limbah POME pond IV dapat dijadikan media pertumbuhan mikrolga liar sehingga dapat

mengurangi kadar BOD dan COD dari limbah POME.

b) Pertumbuhan mikroalga yang terbaik diperoleh pada variasi perbandingan volume POME

dan mikroalga 1:3 dengan menambahkan nutrient 100ppmNaHCO3 dan 30ppm nutient

urea.

c) Penurunan BOD dan COD paling baik terjadi pada variasi perbandingan volume POME

dan mikroalga 1:4. Nilai BOD dan COD yang dicapai adalah 61,66 ppm dan 173,33 ppm

d) Pemberian nutrient C 120 ppm menghasilkan penurunan BOD dan COD paling baik yaitu

65,33 ppm dan 186,67ppm, sedangkan pengaruh pemberian nutrient N 40 ppm

menghasilkan penurunan BOD dan COD paling baik mencapai 55,41 ppm dan 158,33

ppm.

DAFTAR PUSTAKA

Chen Feng, 1991.”High Cell Density Culture Of Microalgae In Heterotropoic Growth”,

Department Of Botany. University of hongkong

Chisti Yusuf (2007), “Biodiesel From Microalgae”, Biotechnology Advances, Vol.25, hal. 294-306.

DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN, 2007, “Gambaran sekilas tentang industry kelapa sawit”.

DITJEN PPHP,2006 , Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit . Departemen

Pertanian. Jakarta

Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, 2006 .” Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa

Sawit”, Jakarta

Hidup Simanjuntak. (2009). “Study korelasi anatara hubungan BOD dengan C, N, dan K dari

limbah cair kelapa sawit”. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara. .

Poh P.E. dan Chong M.F., 2009, Development of anaerobic digestion methods for palm oil mill

effluent (POME) treatment. Jurnal Teknologi, Keluaran Khas. 100 (2009) 1–9 The

University of Nottingham Malaysia.

Retno widhiastuti dkk. 2006. “Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa

Sawit sebagai Pupuk terhadap Biodiversitas Tanah”. Universitas Sumatra Utara.

Song Donghui, Fu Jingjuang (2008), “Exploitation of oil-bearing Microalgae for Biodiesel”,

Chinese Journal of Biotechnologi, Vol. 24, No. 3, hal. 341-348.

Tobing P.L. dan Poelengan Z., 2000,” Pengendalian limbah cair pabrik kelapa sawit secara

biologis di Indonesia”. Warta PPKS , vol 8 (2): 99-106,

Zalina Othman dan Abdul Latif Ahmad. 2006. “Pretreatment of palm oil mill effluent (POME)

using Moringa oleifera seeds as natural coagulant”. Keluaran Khas. 145 (2007) 120–126

The Universiti Sains Malaysia.

Page 30: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.18

SIMULASI KINETIKA REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK GORENG

BEKAS BERBANTUKAN RADIASI ULTRASONIK

Haris Nu’man Aulia, Widayat*, dan Setia Budi Sasongko

Program Magister Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP

Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus Tembalang – Semarang 50239

*Center – Biomass and Renewable Energy E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Biodiesel adalah bahan bakar terbaharui, biodegradable, tak beracun dibuat dari minyak atau

lemak melalui transesterifikasi dengan alkohol. Pembuatan biodiesel umumnya memerlukan

waktu yang lama, dimana dapat diatasi dengan proses berbantukan gelombang ultrasonik.

Adapun untuk keperluan perancangan reaktor data kinetika dibutuhkan. Data-data kinetika

yang ada masih terbatas pada proses konvensional. Penelitian ini bertujuan mempelajari

model kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng bekas berbantukan radiasi ultrasonik.

Penelitian drylab (simulasi dengan menggunakan perangkat lunak berbasis matriks) dilakukan

dengan mengambil data sekunder dari penelitian Hingu, et al(2010). Pada penelitian tersebut

radiasi ultrasonik dilakukan dengan frekuensi rendah (20 kHz) dengan parameter variasi

temperatur, dan daya ultrasonik. Model kinetika reaksi yang digunakan adalah penurunan

dari reaksi reversible transesterifikasi orde 4. Hasil validasi menunjukkan bahwa model

kinetika reaksi yang digunakan dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dari proses

transesterifikasi berbantukan radiasi ultrasonik dimana nilai coefficient determination R2 >

0,9. Adapun model kinetikanya adalah sebagai berikut :

Dalam persamaan tersebut rA,P,R,T,CAo,X,XAe dan M secara berurutan adalah kecepatan

reaksi transesterifikasi, daya ultrasonik, konstanta gas ideal, suhu, konsentrasi awal bahan

baku, konversi tiap waktu, konversi saat setimbang dan perbandingan molar metanol.

Kata kunci: simulasi kinetika, transesterifikasi ultrasonik

1. Pendahuluan

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak solar dan terdiri dari

campuran fatty acid methyl esters (FAMEs) yang diperoleh dari sumber dapat diperbarukan seperti

minyak nabati dan lemak hewan (Ma and Hanna, 1999). Secara kimia biodiesel diproduksi melalui

transesterifikasi, yakni reaksi reversibel tiga tahap yang mengonversi trigliserida menjadi campuran

FAMEs dan gliserol dengan bantuan katalis (Han et al., 2009).

Proses produksi biodiesel telah dilakukan para peneliti, diantaranya proses

transesterifikasi dan esterifikasi berkatalis asam (Cao et al., 2008), transesterifikasi berkatalis basa

heterogen (Kawashima et al., 2008), transesterifikasi dengan proses enzymatic (Ranganathan et al.,

2008), transesterifikasi via-metanol superkritis non katalis (Hawash et al., 2009), transesterifikasi

berbantukan microwave (Azcan and Danisman, 2008), dan transesterifikasi berbantukan

gelombang ultrasonik (Stavarache et al., 2007). Penelitian tersebut dilakukan secara intensif untuk

memperbaiki konversi, waktu reaksi, konsumsi bahan, dan pengaruh lingkungan (Marchetti et al.,

2008).

Jika dibandingkan dengan beberapa metode yang telah dilakukan para peneliti,

transesterifikasi berbantukan ultrasonik memiliki beberapa keunggulan , antara lain menghasilkan

yield yang besar (98-99%) dengan jumlah penggunaan katalis yang rendah. Proses ini sangat

menghemat waktu dan energi, sebagai contoh : dalam sistem reaktor batch konvensional yang

dikerjakan 1 jam atau lebih bila dikerjakan dengan reaktor berbantukan ultrasonik hanya

memerlukan waktu 5 menit. Proses ini juga mengurangi waktu pemisahan yang statis sampai 25

menit, dibandingkan 8 jam pada metode konvensional (Refaat and Sheltawy, 2008).

Untuk perancangan reaktor kimia dibutuhkan data model kinetika kimia dari suatu reaksi

yang terjadi. Demikian juga dengan proses perancangan reaktor untuk produksi biodiesel. Beberapa

Page 31: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.19

peneliti telah melakukan kajian terhadap kinetika proses produksi biodiesel dengan berbagai bahan

baku, katalis, proses, dan suhu. Sebagian besar peneliti mendapatkan model reaksi orde 1 dan 2

yang irreversible, sedangkan dari tinjauan termodinamika reaksi transesterifikasi seharusnya

reversible karena nilai konstanta kesetimbangan (K) dalam reaksi tersebut sangat kecil .

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan masih terdapat beberapa permasalahan,

diantaranya belum mendapatkan proses produksi biodiesel yang sangat menghemat waktu dan

energi dengan perolehan yield yang maksimal. Permasalahan waktu dan yield dapat diatasi dengan

proses berbantukan gelombang ultrasonik (Amish, 2011). Adapun untuk model kinetika reaksi

dengan reaksi reversible untuk proses berbantukan gelombang ultrasonik sampai saat ini belum ada

yang mendapatkannya. Tujuan penulisan ini adalah mempelajari model kinetika reaksi

transesterifikasi minyak goreng bekas berbantukan radiasi ultrasonik.

2. Metodologi

Alat yang digunakan meliputi software penyelesaian berbasis matriks. Prosedur penelitian

yang ditempuh meliputi studi literatur, pemilihan dan penentuan model kinetika, simulasi model,

validasi model sampai mendekati data percobaan.

Data diperoleh dari penelitian Hingu et al. (2010). Pada penelitian tersebut, pembuatan

biodiesel dari minyak goreng bekas berbantukan ultrasonik berfrekuensi rendah (20 kHz) dilakukan

dengan parameter variasi temperature, dan disipasi daya ultrasonik. Skema penelitian tersebut

dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Rangkaian alat penelitian (Hingu et al., 2010)

2.1 Pemodelan kinetika

Penentuan model kinetika reaksi berdasarkan persamaan reaksi transesterifikasi yang dapat

disederhanakan sebagai berikut :

TG + 3 MeOH 3 FAME + GL

αA + βB εC + γD ……...…………………(1)

Analisa data kinetika dilakukan dengan menggunakan data hasil penelitian reaktor batch.

Anggapan-anggapan yang diambil pada analisa kinetik sebagai berikut :

1. Persamaan kinetika reaksi berdasarkan reaksi elementer dan reversibel

2. Persamaan laju reaksi berdasarkan trigliserida sebagai limiting reaktan.

Persamaan umum laju reaksi pada pers. (1) dengan anggapan reaksi reversibel :

(- rA) = = k1 k2 ……..………….…………………………….………(2)

menerapkan anggapan reaksi elementer , maka pers.(2) menjadi :

(- rA) = = k1 k2 ……..………………………….…………….………(3)

Berdasarkan persamaan stoikiometrinya :

CA = CAo(1 - XA) , dimana CAo= 1,064 mol/l

CB = CBo - CAo .3XA = CAo (M - 3XA) ; dimana M= CBo/ CAo = 6

CC = CCo + CAo.3XA ; dimana CCo = 0, maka CC = CAo. 3XA

CD = CDo + CAo.XA ; dimana CDo = 0 , maka CD = CA0.XA

Sehingga pers. (3) menjadi :

Page 32: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.20

M- - …………………………….(4)

M- - ………………………..……….………...(5)

Satuan untuk adalah ml3.mmol

-3.min

-1. Saat tercapai kesetimbangan , berlaku

persamaan berikut :

k1 k2 ……………………….……..……………………………(6)

= = …............................................... ...(7)

= …………………………………………………….……….(8)

= = ……………………………………………………….………………...….(9)

Substitusi pers. (9) ke pers. (5) , diperoleh persamaan berikut :

M- - ………………………………….…..(10)

[ …….........……….……...(11)

Persamaan (11) dapat diselesaikan dengan menggunakan program berbasis matrix kombinasi

metode fmincon dan ode untuk mendapatkan model yang mendekati data percobaan. Setelah

mendapatkan harga k1 maka nilai k2 dan Ke dapat ditentukan.

2.2. Analisa Statistika

Kualitas model dievaluasi menggunakan uji statistika sebagaimana digunakan Vega-

Galvez et al (2009): coefficient of determination (R2), sum of squares error (SSE), dan root mean

square error (RMSE) sebagaimana ditunjukan dalam persamaan (9) – (11). Kriteria optimum

ditentukan oleh nilai terendah SSE dan RMSE yang mendekati nol, dan nilai tertinggi R2 (R

2 ~ 1).

) ……………….………….(12)

………………………………………………….…(13)

………………………………………………....(14)

Adapun algoritma penyelesaiannya sebagai berikut :

Main Program

Subroutine-1

Function err=daya_suhu(k) Input tebakan k , LB, UB

Minimasi dengan program ode dan fmincon

start

[t,X1]=ode(@daya,tspan,x0) [t,X2]=ode(@suhu,tspan,x0)

RMSE, SSE, R2

Subroutine-3 Subroutine-2

end

Function dX1=daya(t,X1) Function dX2=daya(t,X2)

Input CA0, P, M, XAE

Input CA0, P, M, XAE

E1=k(1).P^0,9+k(2) k1=k(3).exp(-E1/RT)

model persamaan 12

E1=k(1).P^0,9+k(2) k1=k(3).exp(-E1/RT)

model persamaan 12 end

Page 33: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.21

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 500

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1Prediksi Model Kinetika Transesterifikasi Suhu 35, 45, dan 55 C

t,Waktu (s)

X,K

onvers

i(%

)

data exp 35 C

data exp 45 C

data exp 55 C

Model 35 C

model 45 C

model 55 C

Gambar 2. Algoritma penyelesaian model kinetika reaksi transesterifikasi

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Hipotesa Pengaruh Ultrasonik dalam Model Kinetika

Dalam studi ini, persamaan kinetika transesterifikasi (persamaan 12) digunakan untuk

melakukan simulasi kurva distribusi produk. Data eksperimen yang digunakan meliputi parameter

temperatur reaksi dan disipasi daya ultrasonik. Penentuan pengaruh ultrasonik pada model kinetika

dilakukan dengan meminimasi beberapa koefisien pada persamaan Energi aktivasi (Ea) sebagai

fungsi ultrasonik, dan faktor tumbukan (A).

Tabel 1 menunjukan berbagai persamaan Ea sebagai fungsi ultrasonik yang meliputi

persamaan eksponensial, linier, logaritma, polinomial orde 2, dan lainnya. Persamaan Ea yang

berkualitas bagus adalah yang menghasilkan nilai rata-rata R2 paling besar ( ~ 1) dan rata-rata

nilai SSE yang lebih kecil ( ~ 0). Jadi persamaan a. P0,9

+b digunakan sebagai hipotesa model

persamaan Ea sebagai fungsi ultrasonik karena memiliki error terkecil dari pada model yang

lainnya. Adapun koefisien a dan b yang didapatkan yakni 0,0054 dan 3 sedangkan faktor

tumbukannya (A) yakni 0,0011. Hasil minimasi nilai faktor tumbukan (A) pada beberapa

persamaan hipotesa Ea yakni 0,0011 sehingga mengindikasikan bahwa A bukanlah sebagai fungsi

dari daya ultrasonik.

Tabel 1. Beberapa hipotesa model persamaan Ea sebagai fungsi daya ultrasonik

Ea = f (P) Ea = f (P) A ≠ f (P)

a.P.exp (b)

a.P0,9

.exp (b)

a.P1,5

.exp (b)

a.P2+b.P+c

a.P1,5

+b.P+c

a. log (P)+ b

0,9782

0,9008

0,9008

0,9008

0,9009

0,9009

0,0097

0,0476

0,0476

0,0476

0,0476

0,0476

a.P 0,9

+ b

a.P1,0

+ b

a.P1,1

+ b

a.P1,2

+ b

a.P1,3

+ b

a.P1,4

+ b

0,0011

0,0011

0,0011

0,0011

0,0011

0,0011

0,9787

0,9785

0,9783

0,9784

0,9784

0,9786

0,0096

0,0097

0,0097

0,0097

0,0097

0,0096

3.2 Perbandingan dengan Data Eksperimen

Grafik 1 menunjukan perbandingan antara nilai simulasi konversi metil ester dengan data

eksperimen pada parameter suhu dan disipasi daya ultrasonik. Simulasi konversi metil ester dengan

data eksperimen pada menit ke 5 dan 10 mengalami ketidakcocokan. Hal ini terjadi karena

fluktuasi temperatur selama reaksi berlangsung. Akan tetapi simulasi distribusi konversi metil ester

secara umum memberikan nilai yang cocok dengan titik data eksperimen.

Grafik 1. Prediksi model kinetika transesterifikasi parameter suhu dan daya ultrasonik

Pengaruh Temperatur

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 500

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1Prediksi Model Kinetika Transesterifikasi Power 200, 200, 250 Watt

t,Waktu (s)

X,K

onvers

i(%

)

data exp 150 Watt

data exp 200 Watt

data exp 250 Watt

Model 150 Watt

model 200 Watt

model 250 Watt

Page 34: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.22

Pada data percobaan mengindikasikan bahwa pada suhu yang lebih rendah menghasilkan

konversi yang lebih rendah. Ketika suhu dinaikan konversi juga menjadi meningkat sampai batas

tertentu. Peningkatan suhu percobaan dilakukan pada suhu 35 sampai 45oC yang menghasilkan

konversi dari 64% sampai 89%. Walaupun suhu reaksi ditingkatkan menjadi 55oC akan tetapi

menghasilkan konversi yang menurun (77%). Peningkatan suhu reaksi menjadikan kelarutan

metanol tinggi dalam fase lain. Dengan demikian pada awalnya peningkatan kecepatan reaksi

terjadi tetapi dampak kavitasi menjadi berkurang pada suhu reaksi maksimum tertentu.

Tabel 2 menunjukan bahwa pada suhu reaksi 35 hingga 45 oC kecepatan reaksi balik

semakin rendah dari 0,0072 hingga 0,0003 ml3/mmol.menit dan pada suhu yang lebih tinggi lagi

kecepatan reaksi balik meningkat kembali sehingga konversi menjadi menurun.

Tabel 2. Nilai konstanta kecepatan reaksi transesterifikasi

Suhu (ml3/ mmol

3. menit) Ultrasonik (ml

3/ mmol

3 .menit)

(oC) k1 k2 (Watt) k1 k2

35

45

55

0,0011

0,0011

0,0011

0,0072

0,0003

0,0016

150

200

250

0,0011

0,0011

0,0010

0,0046

0,0003

0,0018

Pengaruh Disipasi Daya Ultrasonik

Dari data percobaan didapatkan bahwa pada daya 150 Watt menghasilkan konversi sekitar

66% , sedangkan pada daya 200 Watt konversi meningkat menjadi 89% . Hal ini mengindikasikan

kehebatan ultrasonik dalam pencampuran dan emulsifikasi dua larutan yang immiscible pada

disipasi daya yang maksimum. Peningkatan daya lebih lanjut dari 200 menjadi 250 Watt

menghasilkan konversi yang lebih rendah . Hal ini mengindikasikan terjadinya transfer energi ke

sistem berkurang dan aktivitas kavitasi menjadi lebih rendah.

Tabel 2 menunjukan bahwa pada daya disipasi 150 menjadi 200 Watt kecepatan reaksi

balik semakin rendah dari 0,0046 hingga 0,0003 ml3/mmol.menit dan pada daya yang lebih tinggi

lagi kecepatan reaksi balik menjadi meningkat kembali sehingga konversi menjadi menurun.

3.3 Analisa Statistika Model

Tabel 3 menunjukan nilai rata-rata SSE, RMSE, dan R2 yang ditentukan pada parameter

suhu reaksi dan disipasi daya ultrasonik. Secara umum model distribusi produk yang dihasilkan dan

dihubungkan dengan data eksperimen menghasilkan nilai SSE, RMSE mendekati 0 dan R2

mendekati 1. Berdasarkan tabel tersebut model yang bagus untuk parameter temperatur yakni

temperature reaksi 55oC (SSE=0,0058; RMSE=0,3183; R

2=0,9883), diikuti temperatur 45

oC

(SSE=0,0096; RMSE=0,4131; R2=0,9849) dan temperatur 35

oC (SSE=0,0237;

RMSE=0,4904;R2=0,9309). Untuk parameter disipasi daya ultrasonik yang bagus yakni daya 150

Watt (SSE= 0,0015; RMSE=0,2538; R2=0,9960), diikuti daya 250 Watt (SSE=0,0039;

RMSE=0,3045; R2=0,9917) dan daya 200 Watt (SSE=0,0139; RMSE=0,4480;R

2=0,9780).

Tabel 3. Analisa statistika model kinetika parameter temperatur dan daya ultrasonik

Suhu Reaksi (oC) SSE RMSE R

2 Daya (Watt) SSE RMSE R

2

35

45

55

0,0237

0,0096

0,0058

0,4904

0,4131

0,3183

0,9309

0,9849

0,9883

150

200

250

0,0015

0,0139

0,0039

0,2538

0,4480

0,3045

0,9960

0,9780

0,9917

4. Kesimpulan

Pemodelan kinetika transesterifikasi berbantukan ultrasonik dari minyak goreng bekas dan

metanol dilakukan dengan asumsi reaksi reversibel orde 4. Simulasi dilakukan dengan

membandingkan data penelitian Hingu, et al (2010). Adapun model kinetikanya adalah sebagai

berikut :

Dalam persamaan tersebut rA,t, P,R,T,CAo,X,XAe dan M secara berurutan adalah kecepatan

reaksi transesterifikasi, waktu, daya ultrasonik, konstanta gas ideal, suhu, konsentrasi awal bahan

baku, konversi tiap waktu, konversi saat setimbang dan perbandingan molar metanol.

Page 35: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.23

Hasil evaluasi menyatakan bahwa model tersebut dapat menggambarkan kondisi yang

sebenarnya dari proses transesterifikasi ultrasonik dengan nilai coefficient determination (R2) > 0,9

dan RMSE < 1 dan hasil simulasi model juga menyatakan bahwa keduanya sesuai dengan teori

transesterifikasi berbantukan ultrasonik.

Daftar Notasi

CA : konsentrasi trigliserida, mol/ lt

CA0, CAf : konsentrasi trigliserida mula-mula, mol/ lt

CAe : konsentrasi trigliserida dalam kesetimbangan, mol/ lt

CB : konsentrasi metanol, mol/ lt

CB0 : konsentrasi metanol mula-mula, mol/ lt

CBe : konsentrasi metanol dalam kesetimbangan, mol/ lt

CC : konsentrasi metyl ester, mol/ lt

CC0 : konsentrasi metyl ester mula-mula, mol/ lt

CCe : konsentrasi metyl ester dalam kesetimbangan, mol/ lt

CD : konsentrasi gliserol, mol/ lt

CD0 : konsentrasi gliserol mula-mula, mol/ lt

CDe : konsentrasi gliserol dalam kesetimbangan, mol/ lt

k1 : konstanta kecepatan reaksi ke arah produk, ml3/ mmol

3 .mnt

k2 : konstanta kecepatan reaksi ke arah reaktan, ml3/ mmol

3 .mnt

k0 : faktor frekuensi, menit -1

Ke : konstanta kesetimbangan

XA : konversi trigliserida, %

XAe : konversi trigliserida dalam kesetimbangan, %

- rA : kecepatan reaksi trigliserida, mol/ ml mnt

T : temperature, oK

t : waktu, menit

Ea : energy aktivasi, kal/ mol

R : konstanta gas ideal , kal/ mol oK

M : Perbandingan mol metanol : mol trigliserida

Daftar Pustaka

Azcan,N., A. Danisman,.2008. Microwave assisted transesterification of rapeseed oil, Fuel 87

1781–1788.

Cao,F. Y. Chen, F. Zhai, J. Li, J.Wang, X.Wang, S.Wang,W. Zhu.2008. Biodiesel production from

high acid value waste frying oil catalyzed by superacid heteropolyacid, Biotechnol. Bioeng.

101 93–100.

Han, M., Yi, W., Wu, Q., Liu, Y., Hong, Y., Wang, D., 2009. Preparation of biodiesel from waste

oils catalyzed by a Brønsted acidic ionic liquid. Bioresour. Technol. 100, 2308–2310.

Hawash,S., N. Kamal, F. Zaher, O. Kenawi, G.E. Diwani,.2009. Biodiesel fuel fromJatropha oil via

non-catalytic supercritical methanol transesterification, Fuel 88 579–582.

Hingu,S.M., Gogate, P.R., Rathod, V.K., 2010. Shynthesis of biodiesel from waste cooking oil

using sonochemical reactors. Ultrasonic Sonochemistry 17 : 827 – 832

Kawashima, A.K. Matsubara, K. Honda.2008. Development of heterogeneous base catalysts for

biodiesel production, Bioresour. Technol. 99 3439–3443.

Ma, F., Hanna,M.A., 1999. Biodiesel production: a review. Bioresour. Technol. 70, 1–15.

Marchetti,J.M., V.U. Miguel, A.F. Errazu,.2008. Techno-economic study of different alternatives

for biodiesel production, Fuel Process. Technol. 89 740–748.

Ranganathan,S.V., S.L. Narasimhan, K. Muthukumar.2008. An overview of enzymatic production

of biodiesel, Bioresour. Technol. 99 3975–3981.

Refaat,A.A., El Sheltawy, S.T.,2008. Comparing three options for biodiesel production from waste

vegetable oil. WIT transactions on Ecology and the Environment, Waste Management and

the Environment IV, Vol.109, WIT Press, 133 – 140

Stavarache,C., Vinatoru,M.,Maeda,Y.,Bandow, H., 2007.Ultrasonically driven continuous process

for vegetable oil transesterification. Ultrasonics Sonochem.14,413 – 417

Page 36: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.4. Simulasi kinetika reaksi transesterifikasi minyak goreng ... (Haris N. Aulia, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.24

Vyas, Amish P., Verma, J.W., Subrahmanyam, N.,2011. Effects of molar ratio, alkali catalyst

concentration and temperature on transesterification of jatropha oil with methanol under

ultrasonic irradiation. Advances in Chemical Engineering and Science,1, 45 – 50

Page 37: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.5. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu … (Sri Subekti)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.24

PENGELOLAAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU

KEANEKARAGAMAN BAHAN PANGAN

Sri Subekti

Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pandanaran

Jl. Banjarsari Barat No. 1 Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara pasang surut, tetapi juga dapat

hidup pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selaput tipis

pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur. Berbagai jenis mangrove terutama pada

buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku olahan pangan yang sat ini mulai berkembang

dengan pesat. Mangrove jenis Pedada (Sonneratia), Brayo (Avicennia), Bakau (Rhizophora)

dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde, klepon, resoles, kolak, dodol, bolu dan

panganan lezat lainnya. Untuk mendukung keberlanjutan kawasan mangrove diperlukan suatu

upaua pengelolaan mangrove yang berkelanjutan sehingga nantinya dapat digunakan oleh

generasi sekarang dan generasi yang akan datang, Perlu juga diupayakan pengembangan dan

penataan tata hijau di kawasan pesisir dengan pembangunan Green Belt (Sabuk Hijau).

Kata kunci: mangrove, buah, olahan pangan, pengelolaan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir

dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis

karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang

memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa

lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik

bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya

karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya

pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan

ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah

satunya adalah ekosistem hutan mangrove.

Menurut (Dahuri, 2002) luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total

mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem

mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove

di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran

mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24

juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan

penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata,

yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan

tambak, penebangan liar dan sebagainya

Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara pasang surut, tetapi juga dapat

hidup pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selaput tipis pasir atau

ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (UU Kehutanan No. 41 tahun 1999) .

Mangrove dapat didefinisikan secara luas sebagai tipe vegetasi yang terdapat di lingkungan

laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari batas air surut

terendah hingga pasang tertinggi (Giesen et al, 2006). Struktur vegetasi hutan mangrove meliputi

pohon dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia,

Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras,

Aegiatilis,Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2004).

Komunitas mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis.Hampir 75%

tumbuhan mangrove hidup di antara 35ºLU-35ºLS, terbanyak di kawasan Asia Tenggara (McGill,

1958 dalam Supriharyono, 2007).

Page 38: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.25

Komunitas mangrove Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dari

sekitar 89 jenis spesies mangrove yang tumbuh di dunia, sekitar 51 % spesies tersebut hidup di

Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove

(KLH, 1993). Kitamura dkk. (2003) mengatakan terdapat 32 jenis spesies mangrove sejati dan 20

asosiasi mangrove tumbuh subur di Indonesia Jenis-jenis mangrove tersebut antara lain: Avecenia

alba, Rhizopora apiculata, Bruguiera parviflora, Brugruiera gymnorhiza, Nypa fruticans,

Xylocarpus granatum, Excoecaria agallocha, Pandanus furentus, Bruguiera cylindrica, Soneratia

alba, Xylocarpus moluccensis, Camptostemon schultzii, Myristica hollrungii, Heritiera littoralis,

Manilkara fasciculata, Inocarpus fagiferus, Pandanus tectorius, Aegiceras corniculatum,

Lumnitzera littorea dan Pemphis acidul.

Setiap ekosistem alamiah, memiliki 4 fungsi pokok bagi manusia yaitu pendukung

kehidupan, pemberi kenyamanan, penyedia sumber daya alam dan penerima limbah. Mangrove

merupakan sumber daya hayati pesisir yang penting bagi manusia (Kepmen Kelautan dan

Perikanan No. 10 tahun 2002). Peran ekosistem mangrove antara lain sebagai pelindung dan

penahan pantai, mengurangi dampak pemanasan global (global warming), penghasil bahan

organik, bahan industri dan obat-obatan serta sebagai kawasan pariwisata dan konservasi

Saat ini, Indonesia masih merupakan negara terbesar dalam kepemilikan luas hutan

mangrove dengan menguasai 19% dari total hutan mangrove dunia. Namun demikian, jumlah hutan

mangrove Indonesia terus berkurang. Pada tahun 1980 luas hutan mangrove Indonesia diperkirakan

4,2 juta hektare, tahun 1990 berkurang menjadi sekitar 3,5 juta hektare, tahun 2000 kembali

berkurang menjadi sekitar 3,1 juta hektare, dan pada tahun 2005 diperkirakan jumlah mangrove

Indonesia hanya tinggal sekitar 2,9 juta hektare (FAO, 2007). Data tersebut mencerminkan bahwa

sampai saat ini pemerintah Indonesia masih belum maksimal di dalam melakukan upaya

meminimalisir terjadinya deforestasi mangrove. (Handa S. Abidin dalam Medan Bisnis,

Membangun Indonesia yang Lebih Baik 19-1-2012)

Pengembangan kawasan permukiman di kawasan pesisir tidak diperkenankan, karena

aktivitas masyarakat pesisir yang dapat merusak ekosistem, seperti: kerusakan mangrove akibat

pembuangan sampah, air limbah (grey water) dan black water langsung ke laut. Pemanfaatan hutan

mangrove yang berlebihan seperti penebangan untuk diambil menjadi kayu bakar,

penebangan/pengambilan untuk pembuatan bahan bangunan rumah, pengambilan kulit pohon

mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan

secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu secara tidak

bertanggung jawab untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi

hutang mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang

berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya

Berbagai jenis mangrove terutama pada buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku

olahan pangan yang sat ini mulai berkembang dengan pesat. Mangrove jenis Pedada (Sonneratia),

Brayo (Avicennia), Bakau (Rhizophora) dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde,

klepon, resoles, kolak, dodol, bolu dan panganan lezat lainnya.Sebagai upaya pemenuhan tersebut

maka upaya pengelolaan mangrove dan lingkungan perlu segera dilakukan sehingga ke depan

olahan bahan pangan tersebut semakin berkembang dan berfungsi sebagai sumber bahan pangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam hasil dan pembahasan Pengelolaan Mangrove Sebagai Salah Satu Keanekaragaman

Bahan Pangan dengan menggunakan Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara

sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat

meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Kedua faktor yaitu internal dan

eksternal harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Pengkajian analisis SWOT Pengelolaan

Mangrove Sebagai Salah Satu Upaya Keanekaragaman Bahan Pangan dapat ditampilkan pada tabel

berikut ini.

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan luasan mangrove yang paling terbesar di

dunia sehingga pusat keanekaragaman hayatipun terdapat di Indonesia, akan tetapi sungguh

disayangkan bahwa pembabatan terbesarpun terdapat di Indonesia. Melihat kondisi ini sangatlah

disayangkan karena dengan luasan yang sangat besar inilah sebenranya Indonesia sangatlah kaya

Page 39: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.5. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu … (Sri Subekti)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.26

akan keaneragaman hayati. Adapun kerusakan mengrove pada saat ini dalam tahap yang sangat

memprihatinkan yaitu 75 % mangrove di Indonesia sudah rusak. Banyaknya hutan mangrove yang

ditebang dengan dalih kayunya dijadikan bangunan rumah, untuk kayu bakar, kayunya sebagai

tonggak jaring ikan dan lain sebagainya. Dengan kondisi seperti ini maka keanekaragaman atau

jenis mangrove menjadi berkurang cukup banyak.

Olahan makanan dengan bahan dasar buah mangrove saat ini sudah mulai dilirik oleh

beberapa kalangan kelompok ibu ibu PKK. Adapun jenis mangrove yang dapat digunakan sebagai

olahan dasar makanan adalah Mangrove jenis Pedada (Sonneratia), Brayo (Avicennia), Bakau

(Rhizophora) dan Tancang (Bruguiera) menjadi sirup, onde-onde, klepon, resoles, kolak, dodol,

bolu dan panganan lezat lainnya.

Salah satu spesies mangrove yang sering dimanfaatkan untuk bahan makanan adalah buah

mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza). Buah ini biasa disebut dengan buah Lindur (dalam

bahasa Jawa). Ciri-cirinya adalah daunnya berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan

pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hitam, letak berlawanan, bentuk daun ellip ujung

meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13 – 30 cm.

Jenis tanaman api-api yang telah diketahui dimanfaatkansebagai sumber bahan makanan

adalah Avicennia marina, Avicenniaofficinalis. Jenis tanaman ini tersebar di sebagian besar pantai

diIndonesia. Termasuk jenis pionir (pada zonasi terdepan), cepat danmudah tumbuh, serta

permudaan alaminya sangat cepat, bahkandiperkirakan tanaman berumur 2 tahun telah mulai

menghasilkanbuah. Penggunaan buah tanaman yang telah masak perlu adaperlakuan, yaitu :

pengupasan kulit atau pembuangan kulit,dicampur dengan abu dapur dan dibilas air bersih, lalu

direndam 2 x 24 jam (untuk menghilangkan racun), ditiriskan dan dapat dipergunakan sebagai

bahan baku makanan.

Jenis Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba Tanaman ini banyak dijumpai di pantai utara

Pulau Jawa, Cilacap sampai Jawa Timur, juga di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,NTB dan NTT,

Irian Jaya. Termasuk jenis pionir (zona bagian depan). Daun tanaman ini sering dimanfaatkan

masyarakat sebagai pakan ternak.Sifat buah tidak beracun dan langsung dapat dimakan. Buahyang

telah masak berasa asam, namun binatang liar menyukai buahtanaman ini. Buah yang telah tua

merupakan bahan baku makanandan tidak memerlukan perlakukan atau landung dapat dimasak

menjadi aneka makanan atau minuman.Regenerasi alami tanaman ini cukup sulit atau tidak

semudahregenerasi alami tanaman bakau (Rhizophoraspp) Namun denganpermudaan buatan

(pembibitan) telah dapat diterapkan, sehinggatidak menyulitkan dalam pengadaan bibit.

Gambar 1 Jenis Mangrove Avicennia marina dan Sonneratia Alba

Gambar 2. Jenis Olahan Makanan dam Minuman dari Buah Mangrove

Page 40: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.27

Untuk mendukung semua kondisi di atas diperlukan pengelolaan mangrove yang

berkelanjutan sehingga nantinya dapat digunakan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan

datang, mengingat kondisi kawasan mangrove sekarang sangatlah memprihatinkan.

Tabel 1

Analisis swot pengelolaan mangrove sebagai salah satu keanekaragaman bahan pangan

Strength Weakness

1. Mangrove merupakan tanaman yang tersebar di

Indonesia

2. Olahan makanan yang memiliki gizi tinggi

3. Jenis olahan makanan yang dihasilkan sangat bervariasi

4. Peningkatan perekonomian masyarakat

1. Penanaman dan pemeliharaan mangrove dirasakan

masih rendah

2. Kegiatan pembuatan olahan makanan dari bahan

dasar buah mangrove masih belum memasyarakat

3. Masih kurangnya sosialisasi manfaat buah

mangrove yang dapat dijadikan bahan olahan

makanan

4. Belum terakomodasinya hasil olahan makanan

dengan bahan dasar olahan buah mangrove

Opportunity Threats

1. Buah mangrove sebagai bahan olahan makanan

2. Mangrove banyak dijumpai di kawasan pesisir

3. Jenis mangrove di Indonesia keanekaragaman hayati

tertinggi di dunia

1. Mangrove mulai berkurang karena pembabatan

2. Mangrove tergantikan untuk tambak

3. Kurangnya upaya pemeliharaan mangrove

Berdasarkan analisis SWOT untuk mengetahui Analisis Swot Pengelolaan Mangrove

Sebagai Salah Satu Keanekaragaman Bahan Pangan sebagai berikut:

1. Pengelolaan kawasan hutan mangrove di pesisir Inonesia dapat mendukung keanekaragaman

hayati di dalamnya

2. Penanaman dan pemeliharaan mangrove perlu lebih ditingkatkan yang didukung oleh

berbaga pihak seperti masyarakat, dunia pendidikan, instansi pemerntah baik pusat maupun

setempat

3. Buah mangrove dapat digunakan sebagai bahan olahan makanan

4. Pengoptimalan potensi buah mangrove yang didukung dengan pemanfaatan sebagai olahan

bahan makanan

5. Pemanfaatan buah mangrove sebagai olahan makanan mendukung tingkat perekonomian

mansyarakat

6. Pengelolaan lingkungan sekitar sebagai salah satu upaya pemeliharaan mangrove dengan

jalan membuang sampah pada tempatnya, pengolahan limbah cair dari rumah tangga

KESIMPULAN

Dari uraian di atas untuk Pengelolaan Mangrove Sebagai Salah Satu Keanekaragaman Bahan

Pangan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari kegiatan pewadahan/ penyimpanan pada

sumber sampah, kegiatan pengumpulan, pengangkutan serta pembuangan sampai dengan

pembuangan akhir harus bersifat terpadu.

2. Sistem perpipaan sanitasi lingkungan dengan cara membuat saluran pembuangan limbah

bersama/ komunal. Sistem ini menggunakan perpipaan yang tahan karat, karena letaknya di

kawasan pesisir yang sering mengalami pasang surut air laut.

3. Pengembangan dan penataan tata hijau tidak hanya ada di kawasan perkotaan saja, namun

juga terdapat di kawasan pesisir. dengan pembangunan Green Belt (Sabuk Hijau). Green

Belt disini direncanakan diwujudkan dalam bentuk penanaman mangrove di sekitar pantai

yang dahulu pernah ada dan sekarang telah mengalami kerusakan

4. Perlunya kesadaran warga dalam upaya penanaman dan pemeliharaan mangrove

5. Menjalin kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya pengelolan mangrove

Page 41: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.5. Pengelolaan mangrove sebagai salah satu … (Sri Subekti)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.28

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D. G. 2004. Sinopsis : Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Prinsip

Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor.

Giesen, W., S. Wulffraat., M. Zieren. dan L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast

Asia. Dharmasarn Co., Ltd. Bangkok

Handa S. Abidin, Membangun Indonesia yang Lebih Baik, Medan Bisnis, 19-1-2012

Hefni Effendi, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan,

Penerbit Kanisius 2003

Kitamura, dkk , 1997 , Handbook of Mangrove in Indonesia – Bali & Lombok , ISME & JICA

Ivan Widay, Direktur Eksekutif Bangka Conservation Foundation Mangrove Sumber Kehidupan

Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia Wetlands International – Indonesia Programme, 1999

Rokhmin Dahuri Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di

Jakarta, 6-7 Agustus 2002,

Sahala Hutabarat, Pengantar Oceanografi Penerbit Universitas Indonesa 1985

Sudharto P. Hadi, Materi Seminar Nasional Festival Hari Bumi, BEM FT UNDIP Semarang 2008

Supriharyono, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Penerbit

PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002

Page 42: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.29

PERAN MANGROVE SEBAGAI KETERSEDIAAN MATERI PANGAN

Sri Subekti

Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UNPAND

Jl.. Banjarsari Barat No 1, Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuary atau muara sungai,

dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka

mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi

yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya

di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan

payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan

nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga

dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove

maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan

yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai. Kawasan hutan mangrove merupakan

tempat asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds), dan daerah

pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya serta sebagai

penghasil sejumlah besar detritus bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama

biota laut. Dengan kondisi yang sedemikian tersebut maka perlu pengelolaan lingkungan yang

berwawasan lingkungan sehingga nantinya dapat dinikmati oleh generasi sekarang maupun

generasi yang akan datang. Pengelolaan mangrove secara terpadu adalah suatu proses

perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar

sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta

antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci: Mangrove, keanekaragaman,hayati, bahan pangan

PENDAHULUAN

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuary atau muara sungai,

dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove

merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai

mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai,

mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau.

Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies

penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang

keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah

ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di

daerah pantai.

Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di

daerah pasang surut. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan

hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan

payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove

dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan

subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika.Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari

bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah

tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak,kertas, arang). (Anonim, 2000)

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di

wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,

tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan,

dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga

mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu,daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan,

dan lain-lain.

Page 43: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.6. Peran mangrove sebagai ketersediaan materi pangan (Sri Subekti)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.30

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi bermacam-macam, yaitu :

fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau produksi (Naamin, 1991). Fungsi fisik dari

hutan mangrove atau ekosistem mangrove , yaitu: menjaga garis pantai agar tetap stabil,

melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai perangkap zat-

zat pencemar dan limbah. Fungsi biologi dari hutan atau ekosistem mangrove, yaitu sebagai daerah

pasca larva dan yuwana jenis-jenis tertentu dari ikan, udang dan bangsa krustecea lainnya serta

menjadi tempat bersarangnya burung-burung dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota.

Menurut (Romimotarto, 2001) hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting

di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis

Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali

banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis adalah sebagai daerah pemijahan

(spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding

ground) bagi ikan dan biota laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk

bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut

adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan menstabilkan ekosistem

laut maupun daratan.

Vegetasi pesisir berupa mangrove dalam aspek biologis merupakan tempat berpijahnya

udang, ikan, dan kepiting. Adapun untuk aspek kimiawinya mampu menyerap polutan. Untuk itu,

jika hutannya gundul maka polutan dari udara maupun daerah hulu tidak bisa lagi dinetralisir

karena ketiadaan fungsi hutan yang menghasilkan oksigen dan CO2 serta menyerap polutan-

polutan lain. Dalam upaya mewujudkan kelestarian hutan mangrove harus disusun grand design

rencana pelestarian atau tata ruang pesisir yang memperjelas zonasi pesisir dan kelautan, yaitu zona

inti, konservasi, penyangga, serta pemanfaatan. (Muh. Khamdan )

Sebagaimana di Jawa Barat, sekitar 96,95 persen kawasan hutan mangrove di pantai utara

Jawa Tengah juga mengalami pengrusakan, baik dalam status rusak sedang maupun berat. Hal itu

disebabkan adanya alih fungsi lahan untuk tambak, permukiman, industri, pengembangan

pariwisata yang tidak berbasis konservasi, serta adanya penebangan liar, sebagaimana

dikemukakan Sri Puryono Karto Soedarmo, dalam desertasi berjudul ’’Pelestarian Kawasan Hutan

Mangrove Berbasis Masyarakat di Pantai Utara Provinsi Jateng’’ pada 2009 yang lalu.

Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan

oleh berbagai hal, antara lain :

1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.

2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian

dari ekosistem mangrove.

3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.

Pengembangan kawasan permukiman di kawasan pesisir tidak diperkenankan, karena

aktivitas masyarakat pesisir yang dapat merusak ekosistem, seperti: kerusakan mangrove akibat

pembuangan sampah, air limbah (grey water) dan black water langsung ke laut. Pemanfaatan hutan

mangrove yang berlebihan seperti penebangan untuk diambil menjadi kayu bakar,

penebangan/pengambilan untuk pembuatan bahan bangunan rumah, pengambilan kulit pohon

mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan

secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu secara tidak

bertanggung jawab untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi

hutang mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang

berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hanson (1988) dalam Dahuri at all (2001) mengatakan bahwa perencanaan sumberdaya

alam secara terpadu diartikan sebagai suatu upaya .secara bertahap dan terprogram untuk mencapai

tingkat pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan semua

dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan

pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat

menhasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat.

Menurut Sorensen dan Mc Creary (1990) dalam Dahuri, keterpaduan diartikan sebagai koordinasi

Page 44: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.31

antara tahapan pembangunan diwilayah pesisir dan lautan yang meliputi pengumpulan dan analisis

data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi.

Pengelolaan mangrove secara terpadu adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,

pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar sektor, antara pemerintah dan

pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen

untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini,

keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu sektoral, bidang ilmu serta keterkaitan ekologis.

Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang

menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) dan pelayanan

lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi

tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi dan pembersih

air dari polutan. Kesemua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan secara gratis oleh

ekosistem mangrove. Dengan perkataan lain mangrove menyediakan berbagai jenis produk yang

berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik

skala lokal, regional maupun nasional. Kesemua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut

kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya

berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai

sumberdaya renewable jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat

berlangsung tanpa gangguan.

Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam dua

hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan

moluska (Davies & Claridge, 1993), karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan

makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk kedalam rantai makanan. Kedua, mangrove

merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang

hidup pada perairan sekitarnya (Mann, 1982). Produksi serasah mangrove berperan penting dalam

kesuburan perairan pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem

pesisir (Odum, dkk, 1974). Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 7 – 8

ton/ha/tahun (Nontji, 1987).

Hutan mangrove menangkap dan mengumpulkan sedimen yang terbawa arus pasang surut

dari daratan lewat aliran sungai. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan

angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil,

burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman

hayati (bio-diversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan

menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat

mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan

membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat

berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator.

Jaringan sistem akar mangrove memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan

tersebut. Sistem perakaran mangrove juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae.

Memberikan gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai bermangrove ini, dikatakan

bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah mangrove di pantai utara Queensland (Australia)

mengandung lebih dari 10 milyar bakteri, suatu densitas lumpur tertinggi di dunia.

Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di antara akar dan lumpur sekitarn

mangrove. Walaupun banyak hewan yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula

untuk pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang menggunakan dahan

mangrove untuk bertengger atau membuat sarangnya tetapi mencari makan di bagian daratan yang

lebih ke dalam, jauh dari daerah habitat mangrove. Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas

daratan seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di

habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut. (Nybakken, 1993)

Page 45: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.6. Peran mangrove sebagai ketersediaan materi pangan (Sri Subekti)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.32

Gambar 1. Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat ekosistem mangrove.

Hewan-hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau

akar mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis

kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya. Kelompok lainnya lagi

adalah yang selalu hidup dalam kolom air laut seperti macam-macam ikan dan udang.

Gambar 2. Jenis Fauna di Mangrove

Adapun jenis fauna yang terdapat di mangrove sangatlah beragam macamnya, seperti

terlihat pada gambar di atas. Sehngga untuk menjaga kelestariannya diperlukan suatu upaya

pengelolaan mangrove yang tepat sehingga ke depan fauna yang terdapat di kawasan mangrove

dapat menjadi andalan warga sekitar.

KESIMPULAN

1. Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak langsung (non

economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues).

2. Menghasilkan madu, kepiting, udang, tiram, kerang- kerangan dan ikan serta makanan bagi

binatang. Mangrove juga merupakan tempat terbaik bagi budidaya ikan air payau dalam

karamba.

Page 46: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.33

3. Memberikan tempat tumbuh untuk udang dan ikan yang bermigrasi ke area mangrove ketika

muda, dan kembali ke laut ketika mendekati usia matang seksual. Selain itu udang karang

dan ikan yang bereproduksi di hulu sungai (freshwater upstream) dan bermigrasi pada masa

mudanya karena makanan berlimpah di daerah mangrove.

4. Perlunya pengelolaan mangrove secara terpadu melalui proses perencanaan, pemanfaatan,

pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar sektor, antara pemerintah dan

pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan

manajemen untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove yang

melibatkan masyarakat pesisir sehingga masyarakat memahami arti pentingnya pemeliharaan

mangrove.

DAFTAR PUSTAKA

Davies, J & G. Claridge. 1993. wetland benefits. The potential for wetlands to support and maintain

development. Asian wetland beaureau, International waterfowl & wetlands research beaureu,

wetlands for america’s, 45 hal.

Muh.Khamdan Peneliti Paradigma Institute & Peserta Program Kajian Agama dan Perdamaian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Friday, 17 June 2011 11:41

Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia Wetlands International – Indonesia Programme, 1999

Rokhmin Dahuri Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di

Jakarta, 6-7 Agustus 2002,

Sri Puryono Karto Soedarmo, dalam desertasi berjudul ’’Pelestarian Kawasan Hutan Mangrove

Berbasis Masyarakat di Pantai Utara Provinsi Jateng’’ pada 2009

Soesanto, S.S dan M. Sudomo. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan Lingkungan Hidup.

Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

Managing Mangroves for Resilience to Climate Change Copyright: © 2006 The International

Union for the Conservation of Nature and Natural Resources / The Nature Conservancy

Mann, K.H. 1982. Ecology of coastal waters. A Systems Approach. Studies in ecology, vol 8,

blackwell scientific publications, 322 hal.

Martosubroto. P and Naamina 1997 Relationship between tidal forest mangrove and Commersial

shrimp productionin Indonesia

Nontji, A. 1987. Laut nusantara (marine nusantara). Djambatan. Jakarta, Indonesia

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis Diterjemahkan dari Marine

Biology an Ecological Approach oleh M. Eidman. . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T.

Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Page 47: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.7. Pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan … (Afri Yenni, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.34

PEMBUATAN SLOW RELEASE FERTILIZER DENGAN MENGGUNAKAN

POLIMER AMILUM DAN ASAM AKRILAT SERTA POLIVINIL ALKOHOL

SEBAGAI PELAPIS DENGAN MENGGUNAKAN METODA FLUIDIZEDBED

Afri Yenni, Suherman, Aprilina Purbasari

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Jl. Prof. Soedharto, SH.,Tembalang, Semarang, Indonesia, 50275, Telp. 024-7460058 Email: [email protected]

Abstrak

Pembuatan Slow release fertilizer bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk

terhadap laju pelepasan unsur-unsur nutrisi pupuk pada tanaman. Dalam studi ini dilakukan

pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan asam akrilik dan polivinil alkohol

(PVA) yang masing-masing dicampur dengan amilum dan Polietilen glikol (PEG) sebagai

bahan tambahan pelapis dengan menggunakan metoda fluidized bed spraying coating (FBSC).

Variable yang dipelajari konsentrasi polimer akrilik/amilum (18 %/0-2 %) dan PVA/amilum

(3 %/0-2 %) sedangkan berat PEG yang ditambahkan pada masing-masing campuran adalah

1 gram dan suhu udara bed (pengeringan) (35-55 oC) terhadap kualitas produk urea yang

terlapisi yakni efisiensi pelapisan, dissolution rate, persen dustiness, dan Scanning Electron

Microscopy (SEM). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa efisiensi pelapisan urea

dengan akrilik/amilum (18/2 %) pada suhu 40oC adalah 14,4 % sedangkan PVA/amilum (3/2

%) adalah 5,2 %. Efisiensi pelapisan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pelapis

dan berkurang jika terjadi peningkatan suhu bed. Hal yang sama terjadi pada dissolution rate,

dimana jika konsentrasi pelapis meningkat maka dissolution rate akan meningkat kebalikan

terhadap suhu bed, suhu bed meningkat maka dissolution rate menurun. Dustiness produk

meningkat dengan meningkatnya suhu bed serta konsentrasi pelapis. Pada analisa SEM

pelapis urea dengan menggunakan akrilik morfologi lebih bagus dibandingkan dengan PVA.

Kata Kunci: Slow Release Fertilizer, akrilik, PVA, amilum, urea, Fluidized Bed Spray

PENDAHULUAN

Pupuk merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, sekitar 20-

70 % dari pupuk yang digunakan akan hilang ke lingkungan. Kehilangan ini disebabkan karena

leaching ke tanah, dekomposisi dan volatilisasi ammonium ditanah (Shaviv dan Mikkelsen, 1993).

Oleh karena itu pada akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan teknologi slow release dengan

cara pelapisan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Slow release fertilizer (SRF)

merupakan pupuk lepas lambat yang mampu mengendalikan kecepatan pelepasan unsur-unsur

nitrogen pupuk yang mudah hilang akibat larut dalam air, mudah menguap maupun terjadinya

proses denitrifikasi (Trenkel, 1997). Penggunaan slow release fertilizer menjadi popular untuk

menghemat konsumsi pupuk dan meminimalkan pencemaran lingkungan.

Teknologi SRF ini telah banyak dikembangkan oleh peneliti sebelumnya dengan berbeda

metoda (rotating drum, fluidized bed, spouted bed, microwave) dan berbeda material pelapis yang

digunakan seperti resin, polimer dan sulfur. Teknologi fluidized bed untuk proses pelapisan

partikulat memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan teknologi lainnya. Fluidized bed

memiliki laju perpindahan panas dan massa yang tinggi, sehingga distribusi suhu lebih seragam dan

proses relatif singkat. Pembuatan komposit wheat straw-g-poly(acrylic acid)(WS/PAA)

superabsorban dan release urea, pelepasan urea dengan WS/PAA sangat cepat dalam air dengan

koefisien difusi 6,2 x 10-5

cm2/s, tetapi pelepasan nutrisi urea bisa berlangsung lama 50 hari

(Liang,dkk., 2009). Pelapisan urea dengan menggunakan suspensi polimer dalam spouted bed dua

dimensi, menghasilkan pelapisan urea dengan menggunakan polimer suspensi eudragit

meningkatkan empat kali holding kapasiti dari urea terlapisi terhadap urea konvensional. (Donida,

Marta W dan Rocha, Sandra C.S., 2002).

Pada tahun terakhir ini telah banyak dikembangkan pelapisan polimer dengan penambahan

amilum sebagai material pelapis. Amilum merupakan salah satu polimer polisakarida yang

melimpah yang dapat dicampur dengan polimer sintetik polivinil alkohol (PVA) yang juga telah

dipelajari sebagai polimer potensial biodegradable. (Chiellini, E, dkk., 1999; Tudorachi, N, dkk.,

Page 48: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.35

2000; Hanna, X, dkk., 2009; Li, Cheng, dkk., 2008). Pada penelitian ini akan dilakukan studi

tentang pembuatan pelapisan urea dengan menggunakan polimer campuran akrilik/amilum/PEG

serta PVA/amilum/PEG. PEG yang ditambahkan konstan 1 gram bertujuan untuk membentuk dan

mengontrol ukuran dan struktur pori partikel yang terlapisi sehingga tidak terbentuk agregat pada

urea yang terlapisi. Penelitian pembuatan urea dengan menggunakan polimer campuran

amilum/akrilik/PEG dan amilum/PVA/PEG diharapkan dapat melihat bagaimana proses perubahan

partikel urea dan pembentukkan pelapis urea dengan menggunakan metoda Fluidized Bed Spray

Coating.

METODOLOGI

Bahan

Granular urea (PT. Petrokimia Gresik, Indonesia) diameter 2 mm, Acrylic Acid, Polivinil

Alkohol, Amilum (Cas no. 9005-25-8) dan Polyethylene Glikol (PEG)-6000

Persiapan larutan pelapis

Larutan pelapis masing-masing 30 ml amilum/akrilik dan amilum/PVA dibuat sebagai

berikut. Sejumlah amilum(0-2%), asam akrilik (18 %) dan 1 gram PEG di campurkan dengan

aquadest secara perlahan-lahan pada suhu kamar sambil di aduk dengan magnetic stirrer. Sejumlah

amilum(0-2%), PVA (3%) dan 1 gram PEG dicampuran dengan aquadestcdi aduk secara perlahan

pada suhu 50oC sampai homogen.

Alat

Urea granular ditimbang 100 gram ditempatkan pada bagian dalam fluidized bed. Suhu bed

divariasikan 35-55 oC. Udara dialirkan dengan kecepatan superficial 2 m/det. Setelah udara

terfluidisasi disemprotkan cairan pelapis dengan laju alir 4 ml/menit. Proses pelapisan ini

berlangsung selama 35 menit. Setelah itu produk urea yang terlapisi dikeluarkan, selanjutnya

dilakukan analisa laju dissolusi, efisiensi pelapisan dan dustiness. Gambar 1. Menunjukkan skema

alat percobaan.

Gambar 1. Skema rangkaian Peralatan

Dustiness

10 gram urea terlapisi dimasukkan kedalam bunker funnel, udara tekan dimasukkan dari

bagian bawah funnel dengan tekanan 10 psi. Setelah 5 menit sample dikeluarkan dari bunker funnel

dan di timbang. Berat yang hilang di hitung sebagai debu (Vashishtha, 2010).

Dissolution rate (Laju Disolusi)

5 gram sample dimasukkan kedalam beaker yang mengandung 50 ml aquadest, di aduk

dengan magnetic stirrer pada kecepatan konstan. Waktu yang diperlukan sample untuk larut

sempurna di catat (Vashishtha, 2010).

Keterangan:

1. Coating solution 2. Pompa 3. Top spray 4. Heater 5. Blower

1

2

3

4 5

Page 49: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.7. Pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan … (Afri Yenni, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.36

Efisiensi Pelapisan (persen pelapisan)

10 g sample urea yang dilapisi dicampurkan kedalam 100 ml air. Setelah di aduk pelapis

yang ada akan terlepas dari urea. Pelapis yang dihasilkan disaring setelah disaring diuapkan dan di

timbang (Mulder,dkk., 2011)

(1)

mi = berat pelapis (gram); Mo = berat urea (gram)

Sifat (karakteristik sample)

SEM di analisa pada JSM-6360 SEM instrument dengan akselerasi 15 kV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dissolution rate

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0 0.5 1 1.5 2 2.5Amilum (%)

Dis

olu

si R

ate

(gr

/me

nit

)

Akrilik

PVA

Gambar 2. Pengaruh amilum terhadap PVA dan Akrilik

Pada gambar 2 dibawah masing-masing menjelaskan pengaruh berat polimer PVA, akrilik

dan amilum terhadap dissolution rate urea yang telah terlapisi. Dissolution rate menurun jika

terjadi penambahan berat dari polimer. Pada gambar 2, dimana terjadi penurunan dissolution rate

dengan variasi berat amilum (0-2%), 0 % amilum dengan akrilik 18% menunjukkan laju

dissolution rate urea 0,1562 g/menit sedangkan untuk 2% amilum dengan 18% akrilik, laju

dissolution urea 0,1 g/menit. Pada pelapisan dengan menggunakan 3% PVA, untuk 0% amilum

dissolution rate nya 0,16666 g/menit dan 2% amilum 0,1135 g/menit.

Berdasarkan grafik diatas, pengaruh PVA, akrilik dan amilum dapat membentuk lapisan

pelindung pada urea sehingga memberikan penghalang fisik yang dapat mempercepat dissolution

urea yang sangat tidak diinginkan. Hal ini juga telah dijelaskan dalam penelitian peningkatan urea

dengan menggunakan pelapis phospogypsum dimana phosphogypsum dapat memberikan

penghalang fsik urea yang menyebabkan dissolution rate urea akan semakin lama

(Vashishtha,2010). Semakin banyak lapisan polimer yang berada di permukaan urea semakian

lama waktu yang dibutuhkan nutrient urea untuk lepas ke lingkungan dan dissolution rate (release

rate) akan semakin kecil.

Mekanisme release urea bisa dijelaskan seperti berikut: (1) amilum/akrilik maupun

amilum/PVA pelan-pelan mengembang oleh air dalam tanah dan kemudian membentuk hidrogel

dan urea larut. (2) urea secara pelan terlepas melalui perubahan dinamik dari air bebas antara tanah

dengan amilum/akrilik maupun amilum/PVA (David dan Mark, 1994).

Gambar 3. Menunjukkan pengaruh temperatur bed terhadap dissolution rate. Semakin

tinggi temperature bed maka dissolution rate akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan oleh tingkat

pengeringan dari proses pelapisan semakin cepat yang menyebabkan ikatan lapisan permukaan

urea dengan polimer pelapis akan semakin berkurang (tidak terbentuk). Hasil ini juga telah

diperkuat oleh penelitian urea dengan menggunakan pelapis polimer untuk mengurangi dissolution

rate urea (Salman, 1989) dan peningkatan sifat urea dengan pelapisan menggunakan phospogysum

(Vashishtha, 2010) dimana pada penelitian mereka, semakin besar suhu, ikatan pelapisan urea

dengan polimer akan semakin berkurang yang dapat menyebabkan semakin cepatnya dissolution

rate urea terjadi.

Page 50: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.37

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

35 40 45 50 55 60temperatur bed (

oC)

Dis

olu

si R

ate

(gr

/me

nit

)PVA

Akrilik

Gambar 3. Pengaruh temperature bed pada dissolution rate

Dustiness

Dustiness merupakan hal yang sangat tidak diinginkan pada proses pelapisan urea,

dustiness menyebabkan sejumlah material yang hilang selama proses pelapisan, penyimpanan

maupun pada saat digunakan. Debu terjadi dikarenakan material pelapis tidak bisa berikatan kuat

dengan permukaan urea.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

35 40 45 50 55Suhu (C)

Dus

tine

s (%

)

PVA

Akrilik

Gambar 4. Pengaruh suhu bed terhadap persen dustiness

Pada gambar 4. Menunjukkan pengaruh suhu bed terhadap persen dustiness. Berdasarkan

gambar dibawah, terlihat bahwa semakin tinggi suhu bed maka persen dustiness akan semakin

tinggi. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi suhu pengeringan maka permukaan lapisan

yang terbentuk akan semakin kering.

Penelitian ini dapat diperkuat dari penelitian sebelumnya yang telah membandingkan

fertilizer coated wet dan dry, dimana dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa sejumlah debu

terbentuk lebih besar pada partikel urea terlapisi kering dengan urea yang terlapisi basah.

Pembentukkan debu akan banyak ketika partikel pelapis kering karena material pelapis tidak bisa

berikatan kuat dengan permukaan urea. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya

yang telah melapisi urea dengan menggunakan polimer phospogypsum dimana pembentukkan debu

akan banyak terjadi suhu yang digunakan terlalu kering (Vashishtha, 2010).

Efisiensi Pelapisan

Semakin besar massa dari polimer dalam larutan pelapis maka akan semakin baik efisiensi

pelapisannya. Konsentrasi larutan sangat berpengaruh pada pengoperasian alat dan mekanisme

pertumbuhan pelapis pada permukaan urea. Semakin besar massa pelapis akan berpengaruh pada

operasi dan mekanisme pertumbuhan (penempelan) polimer pada urea. Semakin besar massa

pelapis maka pada saat operasi tingkat kejenuhan selama pengeringan dapat mencapai maksimal.

Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan pembentukkan kritstalisasi pada pemukaan urea. Semakin

besar massa pelapis maka semakin banyak pelapis yang berikatan pada permukaan urea. Hal ini

diperkuat oleh pelapisan urea dengan menggunakan polimer (Salman, 1989).

Page 51: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.7. Pembuatan slow release fertilizer dengan menggunakan … (Afri Yenni, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.38

0

2

4

6

8

10

12

14

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Amilum (%)

efi

sie

nsi

pe

lap

isan

)PVA

Akrilik

Gambar 5. Pengaruh amilum terhadap efisiensi pelapisan

Pada gambar 5 terlihat bahwa efisiensi pelapisan akrilik lebih baik dibandingkan dengan

penambahan PVA pada 2% amilum.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

35 40 45 50 55

Suhu (C)

Efis

ien

si P

ela

pis

an (

η)

PVA

Akrilik

Gambar 6. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pelapisan

Pada gambar 6. Menunjukkan pengurangan efisiensi pelapisan terhadap kenaikan

temperature bed. Pada massa akrilik/amilum (18/2 %) dengan suhu 35 oC efisiensi pelapisan pada

14,4 % dan terjadi penurunan efisiensi pelapisan pada suhu 55 oC 4,4 % sedangkan pada pelapis

PVA/amilum (3/2 %) penurunan terjadi dari 5,2 % sampai 2,2 % terhadap kenaikan suhu.

Berdasarkan analisa penelitian yang berhubungan terhadap pengaruh suhu dan mekanisme

pertumbuhan menghasilkan dua jenis perubahan dalam ukuran menurut kisaran suhu. Pada suhu

lebih rendah dari 100oC maka ukuran partikel akan menurun dengan menurunnya suhu (Salman,

1989). Pengurangan yang terjadi selama proses pengeringan akan mempengaruhi ikatan cairan dan

dapat mempengaruhi efisiensi pelapisan.

Scanning Electron Microscopy (SEM)

Pada gambar 7, dapat dilihat struktur morfologi urea murni yang belum terlapisi dalam

pembesaran 50x. Sedangkan pada gambar 8 dan 9 memperlihatkan struktur morfologi urea terlapisi

oleh akrilik dan PVA dengan pembesaran 50x. permukaan urea yang dilapisi polimer terlihat lebih

halus meskipun masih terdapat rongga yang menyebabkan laju disolusi semakin cepat sehingga

dapat melarutkan kandungan nitrogen didalamnya. Pelapisan urea dengan menggunakan akrilik

terlihat lebih seragam dibandingkan dengan PVA.

Gambar 7. Analisa SEM pada urea tanpa pelapisan

Page 52: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.39

Gambar 8. Analisa SEM pada 3% PVA

Gambar 9. Analisa SEM pada 18% akrilik

KESIMPULAN

Slow release fertilizer telah dihasilkan dari metoda fluidized bed dengan menggunakan

polimer campuran amilum/akrilik/PEG dan amilum/PVA/PEG. Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan bahwa efisiensi pelapisan urea dengan akrilik/amilum (18/2 %) pada suhu 40oC adalah

14,4 % sedangkan PVA/amilum (3/2 %) adalah 5,2 %. Efisiensi pelapisan meningkat dengan

meningkatnya konsentrasi pelapis dan berkurang jika terjadi peningkatan suhu bed. Hal yang sama

terjadi pada dissolution rate, dimana jika konsentrasi pelapis meningkat maka dissolution rate akan

meningkat kebalikan terhadap suhu bed, suhu bed meningkat maka dissolution rate menurun.

Dustiness produk meningkat dengan meningkatnya suhu bed serta konsentrasi pelapis. Uji release

N-NH3 menggunakan Spektrofotometri DR 2800 menunjukkan bahwa pelapis dengan

menggunakan akrilik/amilum/PEG lebih lambat release nya dibandingkan dengan menggunakan

PVA/amilum/PEG. Pada analisa SEM dan TGA pelapis urea dengan menggunakan akrilik

morfologi terlihat lebih bagus dibandingkan dengan PVA.

DAFTAR PUSTAKA

Chen,Li, Zhigang Xie, Xiuli Zhuang, Xuesi Chen, Xiabin Jing, 2008, Controlled release of urea

encapsulated by starch-g-poly(L-lactide), Carbohydrate Polymers, 72, 343-348.

Chiellini, E, A. Corti dan R. Solaro, 1999, Biodegradation of poly (vinyl alcohol) based blown

films under different environmental conditions, Polym. Degrad. Stability, 64 (2), 305-312.

Choi, M.M.S., A. Meisen, 1997, Sulfur coating of urea in shallow spouted beds, Chemical

Engineering Science, 52 (7) 1073–1086.

Donida, Marta W. and Rocha, Sandra C. S., 2002, Coating of urea with an aqueous polymeric

suspension in a two-dimensional spouted bed, Drying Technology, 20: 3, 685 — 704.

Hana X, S. Chena, X. Hub, 2009, Controlled-release fertilizer encapsulated by starch/polyvinyl

alcohol coating, Desalination, 240, 21-26.

Mörl, L, S. Heinrich, and M. Peglow, 2007, Fluidized bed spray granulation, in Salman, A.D., M.J.

Hounslow, J-P-K. Seville, Handbook of Powder Technology , Vol. 11, Granulation, Elsevier,

UK.

Salman, O.A, 1988, Polymer Coating on Urea Prills to Reduce Dissolution Rate, Journal

Agricultural Food Chemistry, 36, 616–621.

Salman, O.A, 1989, Polyethylene-Coated Urea. 1. Improved Storage and Handling Properties,

Industrial Engineering Chemical Research, 28, 630–632.

Shaviv, A.; Mikkelsen, R.L., 1993, Controlled-release fertilizers to increase efficiency of nutrient

use and minimize environmental degradation—a review, Fertilizer Research, 35, 1–12.

Tudorachi, N, C.N. Cascaval and M. Rusu, 2000, Testing of polyvinyl alcohol and starch mixtures

as biodegradable polymeric materials, Polym.Testing, 19 (7), 785-799.

Vashishtha, M., P. Dongara , D. Singh., 2010, Improvement in properties of urea by

phosphogypsum coating, Int. J. of ChemTech Research, Vol.2, No.1, 36-44.

Page 53: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.8. Pengujian kandungan total fenol Kappahycus alvarezzi … (Denni K. Sari, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.40

PENGUJIAN KANDUNGAN TOTAL FENOL Kappahycus alvarezzi

DENGAN METODE EKSTRAKSI ULTRASONIK DENGAN VARIASI

SUHU DAN WAKTU

Denni Kartika Sari*)

, Dyah Hesti Wardhani, Aji Prasetyaningrum

Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP

Jl. Prof. H. Soedharto,SH, Tembalang – Semarang *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kappahycus alvarezzi atau Eucheuma cottonii merupakan salah satu penghasil

antioksidan. Salah satu senyawa yang berpotensi sebagai antioksian adalah

senayawa fenolik. Konsentrasi senyawa fenolik dipengaruhi oleh kondisi

ekstraksinya.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama ekstraksi dan

temperatur terhadap kandungan total fenolik Kappahycus alvarezzi dengan metode

ekstraksi ultrasonik. Ekstraksi dilakukan dengan metode ekstraksi ulltrasonik

menggunakan pelarut metanol dengan variasi waktu (1, 2, 4, 6, 8, 10 menit) dan suhu

(55oC, 60

oC). Semakin lama waktu ekstraksi menunjukan semakin naiknya

kandungan fenolik. Akan tetapi, pada suhu 60 0

C setelah menit ke 4 mengalami

penurunan kandungan total fenolik. Pada suhu 550C total fenolik yang dihasilkan

lebih tinggi dibandingkan suhu 60 0C . Kandungan fenolik tertinggi didapatkan

556.42845 mg/L yang diperoleh pada ekstraksi selama 10 menit dengan suhu 55 oC.

Kata kunci: Kappahycus alvarezzi, ultrasonik, total fenolik

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki potensi kelautan yang besar dengan 70 persen wilayah laut

memiliki 17.508 pulau garis pantai 81,000 kilometer ( Aslan, M. 1998 ).potensi yang

besar untuk mengembangkan budidaya berbasis kelautan. Produksi cottonii kering

Indonesia sebesar 87.000 ton atau 54% produksi cottonii kering dunia. Tahun 2010,

Indonesia total produksi mencapai 3.082.113 ton atau menguasai sekitar 50% produk

rumput laut dunia untuk jenis Euchema, Gracilaria, dan Kappaphycus

(http://www.seaweed81jpr.blogspot.com). Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis

rumput laut merah (Rhodophyceae). Cottonii merupakan bahan baku kappa-karaginan,

tepung rumput laut yang multi fungsi untuk berbagai industri seperti industri pangan,

pakan ternak, kosmetik, dan farmasi. Produk yang sering menggunakan karaginan

diantaranya produk olahan seperti sosis, es krim, pasta gigi, whiskas, pedigree, lotion,

cream, body scrub serta nutraceuticals.( http://www.jasuda.net)

Diketahui kandungan fenolik sangat sensitif, tidak stabil dan sangat rentan

terhadap degradasi. Faktor degradasi paling utama adalah temperatur, kandungan oksigen

dan cahaya (vatai,2009). Senyawa fenolikik rentan terhadap oksidasi karena salah satu

sifat dari senyawa fenolikik adalah sebagai antioksidan (Kalt et al., 2000). Studi telah

dilakukan oleh beberapa peneliti yang menunjukan hubungan antara kandungan total

fenolik dengan kemampuan antioksidan (De man, 1999). Paparan oksigen, cahaya, dan

suhu tinggi merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi (Ka hko¨nen et

al,1999, Rice-Evans, Miller, Bolwell,Bramley, & Pridham,1995).

Ekstraksi antioksidan dan pengujian total fenolik dari rumput laut dengan metode

maserasi selama tiga hari (wallaluck.,et.al,2011), selama 12 jam (lydia et al, 2008), dan

satu hari (Ganesahan et al, 2007). Pengukuran kadar antioksidan dan total fenolik dengan

metode soxhlet dilakukan selama 6 jam (lim et.al, 2002 ). Menurut Meloan 1999, ekstraksi

dengan menggunakan soxhlet ekstraksi menggunakan teknik maserasi merupakan teknik

Page 54: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.41

ekstraksi yang mudah dan sederhana dengan hasil produk yang baik. Kelemahan yang

dimiliki adalah waktu ekstraksi yang lama dan hasil pengekstrak kurang sempurna, bahan

terekstrak haruslah stabil pada temperatur didih pelarut sangat tidak cocok digunakan

untuk bahan yang sensitif terhadap suhu tinggi, ekstraksi berlangsung relatif lama karena

adanya pendinginan oleh udara.

Ultrasonik adalah gelombang akustik dengan frekuensi lebih besar dari 16-20 kHz

(Suslick, 1988).( Mcclemen,1995) menyatakan bahwa salah satu sifat dari ultrasonik

adalah non-destructive dan non-invasive, sehingga dengan mudah diadaptasikan ke

berbagai aplikasi gelombang ultrasonik dapat merambat dalam medium padat, cair, dan

gas. Cameron ,2006 mengungkapan bahwa pengembangan proses ekstraksi untuk

mendapat hasil yang lebih baik dan waktu yang lebih singkat terus dilakukan. Salah

satunya adalah dengan metode ultrasonik. Hasil waktu uji rendemen pati jangung dengan

menggunakan ekstraksi ultrasonik selama 2 menit adalah sekitar 55,2-67,8 % hampir sama

dengan rendemen yang didapat dari pemanasan dengan air selama 1 jam yaitu 53,4%.

Penggunaan ultrasonik pada proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik dapat

lebih cepat, getaran ultrasonik dapat memecahkan dinding sel sehingga kandungan

didalamnya dapat keluar dengan cepat.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh waktu dan temperatur ekstraksi ultrasonik terhadapa kandungan total fenolik .

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Kappaphycus

alvarezii yang didapat dari pantai Karimun Jawa dipanen pada bulan Juni 2012.

Metode yang dipakai adalah preparasi sampel, rumput laut segar dicuci dengan

aqudest untuk menghilangkan kotoran, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven

pada suhu 55 0C selama 48 jam, dihaluskan dengan menggunakan blender. Sebanyak 1

gram rumput laut kering dimasukan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan pelarut metanol

dengan perbandingan 1:10 dan ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya diekstraksi

dengan menggunakan ultrasonik dengan variasi waktu 1, 2, 4, 6, 8, 10 menit dan suhu 55 0C dan 60

0C. disaring dengan menggunakan kertas saring dan filtrat disimpan pada suhu 0

0C untuk pengujian lebih lanjut.

Total Senyawa Fenolik

Pengukuran kadar total fenolik dengan metode folin ciocalteau dengan metode folin

cioceltau (Sigma) 15.8 ml aquadest, 0,2 ml sampel dan 1 ml reagen folin ciocalteu

dicampur kemudian didiamkan selama 8 menit, ditambahkan 3 ml Na2CO3(Merck) (20%

w/v) kemudian di inkubasi selama 2 jam pada suhu ruang, absorbansi diukur pada 765 nm

kandungan total fenolik dihitung dengan standar asam galat (Merck).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari data didapat bahwa dengan naiknya temperatur mengalami penurunan

kandungan senyawa fenolik namun semakin lama waktu ekstraksi menunjukan semakin

naiknya jumlah kandungan senyawa fenolik akan tetapi pada suhu 60 0C menunjukan

penurunan kandungan senyawa fenolik setelah menit ke 4. Diketahui bahwa kandungan

fenolik sangat sensitif dan tidak stabil yang mengakibatkan degradasi kandungan fenolik,

salah satunya adalah temperatur (Vatai, 2009), Liyana, 2005 menyatakan bahwa ada

hubungan antara suhu dan fenolik secara kuadratik, naiknya suhu menyebabkan

peningkatan kadar fenolik sampai pada suhu tertentu kemudian menurun seiring dengan

peningkatan suhu yang lebih tinggi hal ini disebabkan dekomposisi senyawa fenolik dari

grafik data perbandingan antara waktu ekstraksi dan waktu dengan jumlah kandungan

total fenolik yang di peroleh dapat dilihat pada Grafik 1.

Page 55: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.8. Pengujian kandungan total fenol Kappahycus alvarezzi … (Denni K. Sari, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.42

Pada ekstraksi pada suhu 60 0C mengalami kenaikan pada menit pertama namun

menurun pada menit selanjutkan dikarenakan paparan sonifikasi yang lama dan pada suhu

tinggi yang dapat merusak fenolik itu sendiri, ekstraksi pada bermacam tumbuhan telah

dilakukan untuk mengukur kandungan total fenolik pada berbagai range suhu antara 35 0C

sampai 120 0C, beberapa kandungan fenolik sangat sensitif terhadap perubahan suhu.

Namun, hasil akan berbeda pada tiap jenis tumbuhan (Mario, 2010).

Prinsip ekstraksi ultrasonik adalah dengan meningkatkan transfer massa yang

disebabkan oleh naiknya penetrasi pelarut ke dalam jaringan tumbuhan lewat efek kapiler.

Gelembung kavitasi akan terbentuk pada dinding sel tanaman akibat adanya gelombang

ultrasonik. Efek dari pecahnya gelembung kavitasi ini dapat mengakibatkan peningkatan

pori-pori dinding sel. Gelembung kavitasi akan terpecah disebabkan oleh tipisnya bagian

kelenjar sel tumbuhan yang dapat mudah rusak oleh sonikasi (Melecchi dkk. 2006). Hal

ini yang menyebabkan proses ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik

menjadi lebih cepat dari metode konvensional dengan cara maserasi maupun ekstraksi

soxhlet. Medium yang dilewati akan mengalami getaran yang disebabkan oleh gelombang

elektronik. Getaran yang diberikan gelombang ultrasonik akan memberikan pengadukan

yang intensif terhadap proses ekstraksi. Proses Pengadukan akan meningkatkan osmosis

antara bahan dengan pelarut sehingga akan mempercepat proses ekstraksi . kandungan

fenolik pada suhu 60 0C senyawa fenolik mengalami degrdasi yang signifikan disebabkan

oleh pengaruh suhu tinggi dan lama waktu pemaparan gelombang ultrasonik yang

mengakibatkan berkurangnya kandungan fenolik.

0

100

200

300

400

500

600

0 2 4 6 8 10 12

suhu 55

suhu 60

Grafik 1 Kurva Fenolik dengan Variasi suhu dan waktu

0

100

200

300

400

500

600

0 2 4 6 8 10 12

suhu 55

suhu 60

Page 56: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.43

KESIMPULAN

Naiknya suhu menunjukan penurunan senyawa fenolik .Semakin lama waktu

ekstraksi maka total kandungan total fenolik yang dihasilkan semangkin meningkat namun

pada suhu 60 0C setelah menit ke 4 mulai terjadi penurunan yang signifikan. Lama waktu

ekstraksi pada menit yang sama pada suhu yang berbeda menunjukan bahwa nilai

kandungan total fenolik pada suhu 55 0 C lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Aslan. M. L, 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta

Cameron, D.K and Wang, Ya-Jane. 2006. Application of Protease and High-Intensity

Ultrasound in Corn Starch Isolation from Degermed Corn Flour. Journal Food

Sience University Of Arkansas : September/October 2006, Volume 83, Number

5.Page 505-509

DeMan, M.J, 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Aspen Publicher,

Inc.Gaithersburg, Maryland.

P. Ganesan, Chandini S. Kumar, N. Bhaskar, 2007,Antioxidant properties of methanol

extract and its solvent fractions obtained from selected Indian red seaweeds

fractions obtained from selected Indian red seaweeds , Food Chemistry

Kalt, W., J.E. Mcdonald and H Donner. 2000.Anthocyanins, phenolics and antioxidant

capacity ofprocessed lowbush blueberry products. J. Food Sci.

Ka¨hko¨nen, M. P., Hopia, A. I., Vuorela, H. J., Rauha, J. P., Pihlaja, K.,Kujala, T. S., et al.

1999. Antioxidant activity of plant extracts containing phenolic compounds.

Journal of Agriculture Food Chemistry,

Liyana-Pathirana, C. and F. Shahidi. 2005. Optimization of extractionof phenolic

compounds from wheat using response surfacemethodology. Food Chemistry

93:47–56

McClements D.J. 1995. Advances in The Application of Ultrasound in Food Analysis and

rocessing. Trends Food Sci. Techn. 6, 293-29

Meloan CE. 1999. Chemical Separation. Principle, Techniques and Expremints.Canada.

John Wiley and Sons publication.Canada

Rice-Evans, C., Miller, N. J., Bolwell, G. P., Bramley, P. M., & Pridham,J. B. ,1995. The

relative antioxidants activities of plant-derived polyphenolic flavonoids. Free

Radical Research

Suslick, K. S. 1988. Ultrasounds: Its Chemical, Physical and Biological Effects. VHC

Publishers, New York.

S.N.lim P.C.K Cheung,V.E Cooi and P.O . Ang,2002 Evaluation of Antioxidative Activity

of Extracts from a Brown Seaweed, Sargassum siliquastrum J. Agric. Food Chem.

Mário Roberto Maróstica Junior*, Alice Vieira Leite and Nathalia Romanelli Vicente

Dragano ,2010,Supercritical Fluid Extraction and Stabilization of Phenolic

Compounds From Natural Sources – Review (Supercritical Extraction and

Stabilizationof PhenolicCompounds), The Open Chemical Engineering

Journal,Brazil

Vatai, T.; Skerget, M.; Knez, Z. 2009 Extraction of phenolic compounds from elder berry

and differentgrape marc varieties using organic solvents and/or supercritical carbon

dioxide. J. Food Eng.

Walaluck boonchumi,Yuwadee Peerapornpisal, Duangta kanjanapothi, Jeereporn pekkoh,

Chayakorn pumas,Utan Jamjai, Doungporn Amornlerdpison, Thidarat Noirraksar

Page 57: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.8. Pengujian kandungan total fenol Kappahycus alvarezzi … (Denni K. Sari, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.44

and Panmuk Vacharapiyasophon, 2011 Antioxidant Activity of some Seaweed

from the Gulf of Thailand. J Food Eng

cocon, 2012,13 WIB http://www.seaweed81jpr.blogspot.com/

http://www.jasuda.net/ accessed 2012, 13 WIB

Page 58: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.45

PENGARUH SUHU UDARA DAN BERAT SAMPEL PADA PENGERINGAN TAPIOKA

MENGGUNAKAN PENGERING UNGGUN TERFLUIDAKAN

Suherman, Aprilina Purbasari, Margaretha Praba Aulia

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, UNDIP

Jl. Prof. Soedharto, SH., Tembalang, Semarang. Email: [email protected]

Abstrak

Industri tapioka di Kabupaten Pati merupakan kategori industri kecil/rumah tangga, yang

cukup memeliki potensi ekonomi yang sangat besar. Kendala utama yang dihadapi adalah

teknologi proses pengeringan produk. Selama ini proses pengeringan dilakukan dengan

menghamparkan tepung di lantai bak penjemuran. Proses pengeringan memerlukan waktu

minimal 6 jam, dan apabila mendung atau akan turun hujan, maka produk akan dikumpulkan

kembali walaupun masih basah. Hal inilah yang menyebabkan kualitas produk jauh dari

standar SNI dan seringkali proses produksi dihentikan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

tepung tapioka dengan kadar air 40% telah dikeringkan menggunakan pengering unggun

terfluidakan menjadi tapioka kering dengan kadar air dibawah 14%. Paramater operasi yang

diteliti adalah suhu pengeringan (30, 40, dan 60 °C) dan berat tapioka basah (100, 200, dan

250 g). Hasil eksperimen menunjukkkan bahwa tepung tapioka bisa dikeringkan hanya dalam

waktu 30 menit dengan suhu 50°C. Kurva pengeringan memperlihatkan adanya periode laju

pengeringan konstan di awal pengeringan sampai kadar uap air di padatan 0,3. Semakin

tinggi suhu pengeringan, maka laju pengeringan semakin besar dan kandungan air sisa di

padatan semakin rendah. Sedangkan, semakin banyak material padatan yang diumpankan,

maka laju pengeringan semakin rendah, akan tetapi kandungan air sisa di padatan relatif

sama.

Kata kunci: pengeringan, tapioka, unggun terfluidakan

PENDAHULUAN

Di Indonesia, kebutuhan tepung tapioka terus meningkat tiap tahunnya karena adanya

peningkatan penggunaan tepung tapioka sebagai bahan baku industi makanan. Kendala utama yang

dihadapi oleh industri pembuat tepung tapioka adalah teknologi proses pengeringan tepung tapioka

agar sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini terjadi sebab sebagian besar industri UKM pembuat

tepung tapioka di Indonesia masih menggunakan cara konvensional yang hanya mengandalkan

sinar matahari sebagai pengering.

Pada musim penghujan, proses produksi terhambat karena menumpuknya produk basah

pada bak pengendapan akibat produk tidak bisa dikeringkan karena membutuhkan sinar matahari.

Kegiatan produksi yang tidak teratur ini karena tergantung cuaca dan kualitas produk yang masih

dibawah standar, mengakibatkan harga jual tepung tapioka rendah dan mempersulit pemasaran.

Selain itu, proses pengeringan produk dengan cara dijemur menggunakan sinar matahari

membutuhkan waktu yang lama dan hasilnya sering dibawah standar. Sehingga, seringkali tepung

tapioka dijual dalam bentuk yang masih basah (kadar air 40% ) untuk menghindari kerugian lebih

besar. Namun, bila produk tapioka dijual dalam kondisi basah, maka keuntungan ukm akan lebih

kecil, karena harga produk dalam keadaan basah Rp 2.150/kg (kadar air 40%), jauh lebih murah

dibandingkan dalam keadaan kering Rp 3.300/kg (kadar air 14%).

Tepung tapioka termasuk material yang sulit dikeringkan, yakni dalam kondisi basah

lengket dan menggumpal (aglomeration). Selain masuk kategori Geldart Grup C, yakni material

yang bersifat kohesif, juga uap air yang terkandung dalam material termasuk jenis moisture terikat

bukan moisture permukaan (Perdomo, dkk, 2009). Selain itu, struktur kristal pati tapioka yang

sebagian besar adalah amilopektin memiliki dua keadaan yakni keadaan glassy dan rubbery. Dua

keadaan ini dibatasi dengan tanda suhu transisi gelas (glass transition temperature). Kedudukan

suhu transisi gelas tidak hanya dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung pati, tetapi juga oleh

kecepatan pemanasan pati. Perbedaan kondisi ini mengakibatkan perbedaan volume bebas (free

volume) di dalam molekul polimer pati. Akibatnya juga mempengaruhi laju pengeringan dan

distribusi pori di dalam molekul pati. Sehingga, selama proses pengeringan, beberapa fraksi pati

Page 59: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.9. Pengaruh suhu udara dan berat sampel pada pengeringan tapioka … (Suherman, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.46

teraglomerasi (menggumpal) menjadi partikel besar. Agromlerasi fraksi pati ini memiliki sifat

fungsional yang tidak diinginkan seperti viskositas rendah, suhu gelatinisasi tinggi dan laju

hidrolisis asam / enzim rendah (Liu, dkk, 2009; Tang, dkk, 2000; Tang, dkk, 2001). Selain itu,

partikel besar dapat menyebabkan masalah dalam proses penanganan seperti selama proses

transportasi atau pengeringan (Boonyai, dkk, 2004, Ozkan, dkk, 2002; Turchiuli, dkk, 2005).

Maka, fraksi pati ini akan diproses ulang, sehingga membutuhkan biaya produksi lebih tinggi.

Oleh karena itu, dalam penelitian telah dikembangkan teknologi pengeringan tepung

tapioka menggunakan unggun terfluidakan. Pemilihan jenis teknologi ini didasarkan karena

pengeringan unggun terfluidakan memiliki banyak kelebihan, yakni perpindahan massa dan panas

yang cepat (Strumillo dkk, 1983; Adamiec dkk, 2007; Kudra dan Mujumdar, 2007; Reyes dkk,

2008). Dalam makalah ini akan dibahas pengaruh suhu dan massa bahan di unggun terhadap

karakteristik kurva pengeringan.

METODOLOGI

Bahan yang digunakan tepung tapioka basah dari UKM di Pati. Tepung tapioka dengan

kadar air 40% basis basah (bb), dihancurkan bongkahannya menggunakan pengaduk. Material ini

dengan berat antara 100-250 gr dimasukkan ke dalam kolom fluidisasi.

Gbr 1. Rangkaian alat percobaan

Gambar 1 menunjukkan rangkaian peralatan yang digunakan. Kecepatan udara masuk

diatur 2 kali diatas kecepatan minimum fluidisasi. Suhu udara masuk (Tgi) divariasi 30, 40, dan 60

°C. Umpan dimasukkan ke unggun saat pertama kali proses pengeringan akan dimulai. Produk

dipisahkan dari aliran udara di siklon dan kantong penyaring. Temperatur kontroler TIC (di bawah

distributor) mempertahankan suhu udara masuk pada level yang dikehendaki. Temperatur kontroler

TIC ke dua yang ditempatkan pada 0,7 m di atas plat pembagi, diatur pada suhu 200C untuk

mencegah terjadinya pemanasan berlebih bila terjadi kesalahan sistem pemasukan umpan. Selama

percobaan, suhu udara yang masuk dan suhu udara keluar diukur menggunakan termometer digital.

Selain itu, untuk membuat kurva pengeringan, maka diukur humiditi udara masuk dan udara keluar

menggunakan humiditi meter (Krisbow, KW06-561).

Dari pengukuran humiditi udara, maka kandungan uap air di padatan dapat dihitung dengan

menggunakan rumus berikut:

t

0tinout

dry,s

g

0 dttYtYM

MXtX

, (1)

dimana Ms,dry adalah massa padatan kering, dan gM laju alir massa udara. Sedangkan laju

pengeringan masih dihitung dalam bentuk dX/dt.

Page 60: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.47

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Suhu

Gbr. 2 memperlihatkan tipikal kurva pengeringan tepung tapioka di pengering unggun

terfluidakan pada berbagai suhu yang berbeda. Pada awal pengeringan menunjukkan penurunan

kadar air di padatan sangat cepat, berbeda dengan di akhir pengeringan penurunan kadar air di

padatan relatif lebih lambat. Kadar air sisa di padatan di akhir pengeringan berbeda-beda yakni

semakin tinggi suhu pengeringan, maka kadar air sisa di padatan semakin rendah. Hal ini

disebabkan, dengan semakin tinggi suhu, maka relatif humiditi udara pengering semakin rendah.

Dengan semakin rendah relatif humiditi udara pengering maka kadar air di padatan semakin

rendah, karena kadar air di padatan akan berada pada kondisi berkesitambangan dengan relatif

humiditi udara. Kurva kesetimbangan antara kadar air di padatan dengan relatif humiditi udara

direpresentasikan dalam bentuk kurva sorption isotherm.

Adapun pengaruh suhu terhadap kurva ini adalah bahwa dengan semakin tinggi suhu maka

penurunan kadar air di padatan akan semakin lebih curam. Hal ini disebabkan karena dengan

semakin tinggi suhu maka air yang ada di padatan akan semakin mudah terlepas, akibat semakin

besarnya energi yang diberikan oleh udara pengering untuk melepaskan molekul air yang terikat di

padatan seiring kenaikan suhu.

Gbr. 2 Pengaruh suhu pada kurva kandungan uap air di padatan versus waktu

Gbr. 3 menunjukkan pengaruh suhu terhadap kurva hubungan antara kadar air di padatan

versus laju pengeringan. Pada kondisi kandungan uap air di padatan masih tinggi, sedikit terlihat

adanya perioda laju pengeringan yang hampir konstan. Perioda laju pengeringan konstan ini sangat

terlihat jelas untuk kurva pengeringan pada suhu 40°C. Namun, setelah kandungan uap air di

bawah 0,3 maka mulai terjadi penurunan laju pengeringan. Adanya perioda laju pengeringan

konstan ini membuktikan bahwa uap air ini merupakan uap air permukaan (surface moisture

content) yakni bukan uap air terikat. Sehingga laju pengeringan konstan. Namun, disaat kandungan

uap air di bawah 0,3 maka kandungan uap air merupakan uap air terikat, sehingga terjadi

penurunan laju pengeringan.

Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan jelas, yakni semakin tinggi suhu maka semakin

tinggi laju pengeringan. Kejelasan pengaruh ini terjadi baik di perioda pertama laju pengeringan

konstan maupun periode kedua laju pengeringan menurun. Hal ini dikarenakan, dengan semakin

tinggi suhu, maka akan meningkatkan difusivitas uap air baik untuk terlepas di permukaan padatan

maupun untuk berdifusi di dalam padatan partikel tapioka itu sendiri. Sedangkan, perbedaaan

kandungan uap air sisa di padatan, disebabkan karena kesetimbangan antara kandungan uap air di

padatan dengan relatif humiditi udara pengering, sebagaimana telah dibahas pada paragraf

sebelumnya.

Page 61: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.9. Pengaruh suhu udara dan berat sampel pada pengeringan tapioka … (Suherman, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.48

Gbr. 3 Pengaruh suhu pada kurva laju pengeringan

Pengaruh Massa Bahan

Gbr 4 menunjukkan pengaruh berat umpan tepung tapioka terhadap kurva pengeringan.

Semakin banyak berat umpan maka penurunan kandungan uap air di padatan akan semakin landai.

Hal ini disebabkan dengan semakin banyak bahan yang akan dikeringkan, maka kebutuhan energi

panas untuk mengeringkan akan semakin besar. Sementara itu, udara pengering yang diberikan

hampir sama, maka penurunan suhu di unggun akan semakin tinggi. Sehingga untuk massa bahan

yang semakin tinggi, maka penurunan suhu udara pengering akan lebih besar. Akibatnya, laju

pengeringan semakin rendah dan penurunan kandungan uap air di padatan akan semakin landai.

Namun demikian, di akhir pengeringan, penurunan kandungan uap air di padatan hampir sama, hal

ini dikarenakan dengan semakin rendahnya kandungan uap air sisa di padatan maka driving force

perpindahan massa uap air akan semakin rendah. Sehingga kadar air sisa di padatan di akhir

pengeringan hampir sama. Selain itu, kadar air sisa di padatan di akhir pengeringan hampir sama,

juga disebabkan karena relatif humiditi udara pengering yang sama. Relatif humiditi udara

pengering yang sama ini disebabkan oleh penggunaan suhu udara pengering yang sama yakni

50°C. Kesetimbangan antara kadar air sisa di padatan dengan relatif humiditi udara pengering telah

dibahas di atas.

Gbr. 4 Pengaruh berat bahan terhadap kurva pengeringan

Page 62: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.49

Gbr. 5 menunjukkan pengaruh berat bahan terhadap kurva hubungan antara kadar air di

padatan versus laju pengeringan. Pada kondisi kandungan uap air di padatan masih tinggi, sedikit

terlihat adanya perioda laju pengeringan yang hampir konstan. Perioda laju pengeringan konstan ini

akan terlihat lebih jelas dengan bertambahnya berat bahan. Hal ini menunjukan bahwa dengan

semakin banyak bahan yang akan dikeringkan maka perioda laju pengeringan konstan akan

semakin lama. Sehingga, penentuan kandungan uap air 0,3 sebagai critical moisture content (CM)

tidaklah benar. Hal ini disebabkan, karena kurva ini menunjukkan kurva pengeringan tapioka

integral bukan kurva pengeringan partikel tunggal tapioka. Untuk mendapatkan kurva pengeringan

partikel tunggal tapioka diperlukan proses diferensiasi atau scaling-down. Proses diferensiasi ini

memerlukan pemodelan neraca massa dan panas, dan akan dibahas pada kajian selanjutnya.

Gbr. 5 Pengaruh berat bahan terhadap kurva laju pengeringan

KESIMPULAN

Tepung tapioka bisa dikeringkan hanya dalam waktu 30 menit dengan suhu 50°C

menggunakan pengering unggun terfluidakan. Kurva pengeringan memperlihatkan adanya periode

laju pengeringan konstan di awal pengeringan sampai kadar uap air di padatan 0,3. Semakin tinggi

suhu pengeringan, maka laju pengeringan semakin besar dan kandungan air sisa di padatan

semakin rendah. Sedangkan, semakin banyak material padatan yang diumpankan, maka laju

pengeringan semakin rendah, akan tetapi kandungan air sisa di padatan relatif sama.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini telah didanai oleh Balitbang Provinsi Jawa Tengah dalam skim Riset

Unggulan Daerah (RUD) TA 2012.

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, B., Howes, T., Bhandari, B. R., & Troung, V. (2003). Surface stickiness of drops of

carbohydrate and organic acid solutions during convective drying: Experiments and

modeling. Drying Technology, 21(5), 839–873.

Aichayawanicha S., M. Nopharatanaa, A. Nopharatanab,W. Songkasiric, (2011), Agglomeration

mechanisms of cassava starch during pneumatic conveying drying Carbohydrate Polymers

84, 292–298

Al-Muhtaseb, A. H., McMinn, W., & Magee, T. (2004a). Water sorption isotherm of starch

powders Part 1: Mathematical description of experimental data. Journal of Food

Engineering, 61(3), 297–307

Bell, L., & Touma, D. (1996). Glass transition temperatures determined using a temperature-

cycling differential scanning calorimeter. Journal of Food Science, 61(4), 807–810.

Page 63: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.9. Pengaruh suhu udara dan berat sampel pada pengeringan tapioka … (Suherman, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.50

Bertuzzi, M. A., Armada, M., & Gottifredi, J. C. (2003). Thermodynamics analysis of water vapour

sorption of edible starch based films. Food Science Technology Institute, 9(2), 115–117.

Boonyai, P., Bhandari, B., & Howes, T. (2004). Stickiness measurement techniques for food

powders: A review. Powder Technology, 145, 34–46.929.

Hoover, R. (2001). Composition, molecular structure, and physicochemical properties of tuber and

root starches: A review. Carbohydrate Polymers, 45, 253–267.

Liu, D., Wu, Q., Chen, H., & Chang, P. R. (2009). Transitional properties of starch colloid with

particle size reduction from micro- to nanometer. Journal of Colloid and Interface Science,

339(1), 117–124.

Passos, M.L.;Mujumdar, A.S. Effect of cohesive forces on fluidized and spouted beds of wet

particles. Powder Technology 2000, 110, 222–238.

Perdomo, J. A. Cova, A.J. Sandoval, L. García, E. Laredo, A.J. Müller, (2009), Glass transition

temperatures and water sorption isotherms of cassava starch, Carbohydrate Polymers 76,

305–313

Schneider, T.; Bridgwater, J. The stability of wet spouted beds. Drying Technology 1993, 11 (2),

277–301.

Tonukari, N. (2004). Cassava and the future of starch. Electronic Journal of Biotechnology, 7(1),

5–8.

Page 64: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.51

PENGARUH PENAMBAHAN ZEOLIT 3A TERHADAP LAMA WAKTU

PENGERINGAN GABAH PADA FLUIDIZED BED DRYER

Maria Augustine Graciafernandy, Ratnawati, Luqman Buchori Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Sudharto, Kampus UNDIP Tembalang, Semarang 50239 E-mail: [email protected]

Abstrak

Kandungan air yang tinggi (lebih dari 14%) dalam gabah dapat menyebabkan penurunan

kualitas beras. Gabah panen umumnya mempunyai kandungan air sekitar 21-26 %. Gabah ini

harus segera dikeringkan setelah pemanenan. Sistem pengeringan tradisional yang sering

diterapkan oleh para petani di Indonesia mempunyai kendala antara lain ketergantungan

terhadap cuaca, waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta

mudahnya kontaminasi benda asing. Kajian mengenai sistem pengeringan pada suhu rendah

dan waktu yang singkat perlu dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas gabah.

Diperkenalkan sistem pengeringan gabah dengan sistem adsorbsi oleh zeolit 3A pada fluidized

bed dryer. Secara garis besar gabah panen akan dikeringkan dalam suatu unggun terfluidisasi

pada suhu 40 0C, flowrate 3 m/s dengan komposisi perbandingan zeolit:gabah berturut-turut

adalah sebagai berikut 0:100; 20:80; 40:60 dan 60:40 (% w). Pengamatan dilakukan terhadap

penurunan kadar air serta waktu pengeringan. Pengeringan akan dihentikan ketika kadar air

dalam gabah mencapai sekitar 14%. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa waktu

pengeringan tersingkat pada kompisi zeolit:gabah = 60:40 yakni selama 17,40 menit.

Pengeringan ini menghemat hingga 22,77 menit dibandingkan pengeringan tanpa zeolit.

Kata kunci: pengeringan gabah, zeolit 3A, fluidized bed dryer.

PENDAHULUAN

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang

kebutuhannya meningkat setiap tahunnya. Beras yang berkualitas baik tentunya dihasilkan dari

gabah yang berkualitas baik pula. Pemerintah telah mengatur kualitas gabah dan beras melalaui

SNI No. 01-0224-1987 dan SNI 6128:2008. Salah satu poin penting dalam ketentuan tersebut

adalah kandungan air maksimum yang diijinkan dalam butir gabah dan beras yakni 14%. Gabah

dengan kandungan air tinggi akan menghasilkan beras dengan kualitas buruk seperti menjadi rusak,

busuk, berjamur dan berubah warna. Sebaliknya, pada kadar air yang lebih rendah, butiran padi

akan mudah pecah atau patah sehingga akan menghasilkan banyak beras patah atau menir. Untuk

meningkatkan kualitasnya maka gabah harus segera dikeringkan setelah proses pemanenan.

Sistem pengeringan yang sudah diterapkan oleh para petani Indonesia umumnya adalah

sistem penjemuran dibawah sinar matahari. Sistem penjemuran ini sangat sederhana dan ekonomis

namun memiliki kelemahan antara lain ketergantungan terhadap cuaca, pemakaian lahan yang luas,

waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta mudahnya kontaminasi

benda asing. Umumnya dibutuhkan waktu tiga hari untuk proses pengeringan namun dengan masih

tingginya curah hujan maka waktu yang dibutuhkan menjadi satu minggu. Wongpornchai dkk.,

(2003) menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan gabah dengan kadar air 14,12% diperlukan

waktu penjemuran 54 jam. Peneliti lain menyebutkan diperlukan waktu 3-4 hari (Tabassum dan

Jindal,1992).

Diperkenalkan sistem pengeringan adsorbsi dengan penggunaan Zeolit 3A sebagai

adsorben pada fluidized bed dryer. Penggunaan fluidized bed dryer untuk mengeringkan bahan

pangan grain sudah digunakan secara komersial di berbagai negara (Soponronnarit, 2003) terutama

untuk bahan pangan yang membutuhkan waktu pengeringan singkat dan sensitif terhadap suhu

tinggi. Dibandingkan dengan jenis pengering lainnya, fluidized bed dryer mempunyai beberapa

keunggulan seperti: konsumsi energi yang rendah, drying rate yang lebih cepat dan kandungan air

pada produk seragam (Soponronnarit, 2003). Dryring rate yang lebih cepat ini tentunya akan

berdampak pada makin singkatnya watu pengeringan.

Page 65: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.10. Pengaruh penambahan zeolit 3A terhadap lama waktu … (Maria A. Graciafernandy, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.52

Zeolit 3A merupakan adsorbent sintetis tidak beracun yang mempunyai kemampuan

menyerap air sebesar 0,206 gr uap air/ gr adsorben (Kurniasari, 2010) dan mempunyai ruang

kosong pada pori 47% lebih banyak dibandingakan zeolit alam sehingga mempunyai kemampuan

menyerap air yang lebih baik (Agusniar dan Setiyani, 2011). Zeolit mampu mempercepat

penurunan kadar air dalam bahan sampai 20,84% pada suhu operasi 400C (Bestari dan Adityas,

2010). Kelebihan pemakaian zeolit antara lain dapat diaplikasikan pada sistem pengering dengan

suhu rendah dan medium, mampu mengurangi kandungan air dalam udara serta dapat

meningkatkan efisiensi pengeringan hingga 10-18% dibandingkan pengeringan konvensional

(Djaeni dkk., 2007) sehingga mampu mempersingkat waktu pengeringan.

Diharapkan dengan sistem pengeringan fluidized bed dryer- zeolit 3A ini, proses

pengeringan gabah dapat berlangsung pada suhu rendah dan waktu singkat. Sistem pengeringan ini

diharapkan pula dapat menjadi salah satu alternatif sistem pengeringan yang sudah ada di

Indonesia. Sistem ini dapat dilakukan dalam ruang sehingga musim panen yang jatuh pada musim

hujan tidak lagi menjadi masalah bagi para petani.

BAHAN DAN METODOLOGI

Gabah panen yang digunakan dalam penelitian ini adalah varian IR64 yang diperoleh dari

daerah persawahan di daerah Sayung, Demak, Jawa Tengah. Gabah panen ini meilikki kandungan

air awal 19 %. Zeolit 3A merupakan zeolit sintetis yang diperoleh dari Laboratorium Proses

Universitas Diponegoro Semarang. Alat utama yang digunakan adalah fluidized bed dryer dengan

rangkaian seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rangkaian alat pengering tipe fluidized bed dryer

Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah tahap

persiapan alat dan bahan baku. Dalam tahapan ini dipastikan bahwa semua alat dapat berfungsi

dengan baik. Flowrate diatur pada kecepatan 3 m/s dan suhu udara pemanas pada temperatur 40 0C. Gabah panen dibersihkan secar manual dengan menggunakan tampah untuk memisahkan gabah

isi dengan gabah hampa, jerami, kerikil dan benda asing lainnya. Zeolit 3A diaktivasi dengan cara

pemanasan dalam oven (Sutarti dan Rachmawati, 1994) pada suhu 200-2300C selama 2-3 jam

(anonim, 2012). Tujuan proses aktivasi ini adalah unutk meningkatkan daya serap zeolit terhadap

air. Dalam tahap ini juga dilakukan pengukuran kadar air awal gabah dengan meode oven. Tahap

kedua adalah tahap pengeringan. Ini merupakan tahapan utama dalam penelitian ini. Gabah yang

sudah bersihkan dan Zeolit 3A yang sudah diaktivasi dimasukkan ke dalam unggun sesuai dengan

variabel yang ditentukan. Variabel perbandingan komposisi zeolit: gabah berturut-turut adalah

sebagai berikut 0:100; 20:80; 40:60 dan 60:40 (% w). Selanjutnya dimasukan pula gabah dan zeolit

masing-masing dengan berat 5 gram yang sudah diikat secara terpisah dalam kain kassa. Gabah dan

Unggun

fluidisasi

Blower

Pengatur

suhu

Tombol

on off

Thermometer

Page 66: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.53

zeolit dalam kassa ini digantung ditengah-tengah unggun. Setiap interval waktu 5 menit gabah dan

zeolit dalam kassa ini ditimbang penurunan dan kenaikan beratnya. Proses pengeringan dilanjutkan

dan dihentikan hingga diperoleh kadar air dalam gabah sekitar 14%. Persentase kadar air dihitung

menggunakan Persamaan 1.

100%sampelberat

beratkehilangan%kadarair (1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian yang diperoleh berupa hubungan antara waktu pengeringan dan kadar

air dalam gabah seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan waktu pengeringan dan kadar air dalam gabah pada suhu 400C

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengeringan menggunakan zeolit memang lebih singkat

dibandingkan dengan pengeringan tanpa zeolit (100% wgabah). Hal ini dikarenakan zeolit

memilikki afinitas yang tinggi terhadap air, sehingga dapat mempercepat proses pengeringan gabah

(Agusniar dan Setiyani, 2011).

Penurunan kadar air pada berbagai variasi komposisi zeolit:gabah (80%, 60% dan 40% W

gabah) telah diamati. Penurunan kadar air paling cepat terjadi pada variabel 40% W gabah. Pada

variable ini, jumlah zeolit yang diikutkan dalam operasi pengeringan banyak (60% berat total)

sehingga akan lebih banyak pula uap air di udara yang diserap oleh zeolit. Zeolit 3A ini merupakan

jenis zeolit dengan yang kaya akan Al dan kadar Si rendah, dimana volume pori-porinya dapat

mencapai 0,5 cm3/cm

3 volume zeolit (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Zeolit yang sudah diaktivasi

ini akan mempunyai kemampuan menyerap air yang baik. Dengan adanya aktivasi maka air yang

terperangkap dalam pori-pori zeolit akan teruapkan sehingga luas permukaan pori zeolit bertambah.

Makin banyaknya jumlah zeolit yang mempunyai luas permukaan besar ini, maka akan semakin

banyak pula air yang dapat diserap oleh zeolit. Hal ini berakibat pada semakin cepatnya proses

pengeringan itu terjadi.

Waktu pengeringan yang terbaik untuk tiap variabel seperti yang tertera dalam Tabel 1.

Tabel 1. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 14%

Zeolit: Gabah t (menit)

0:100 40,17

20:80 20,55

40:60 19,07

60:40 17,40

Page 67: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.10. Pengaruh penambahan zeolit 3A terhadap lama waktu … (Maria A. Graciafernandy, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.54

Dari Tabel 1 terlihat bahwa waktu pengeringan terlama adalah pada variabel 100% W

gabah, dimana pada variabel ini tidak ada penambahan zeolit sama sekali. Untuk mendapatkan

kadar air 14% dibutuhkan waktu lebih dari 40 menit. Pada penambahan zeolit 20% ternyata waktu

pengeringan hampir 50% lebih singkat. Hal ini membuktikan bahwa memang zeolit mempunyai

kemampuan untuk mempersingkat waktu pengeringan. Ini dikarenakan kemampuannya untuk

menyerap air yang terkandung dalam gabah basah sehingga dengan adanya penambahan panas,

maka waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Bestari dan Adityas (2010) yang mengatakan bahwa pada suhu 400C, zeolit mampu

mempercepat penurunan kadar air dalam bahan sampai 20,84%.

Variable 60% W gabah memberikan waktu terpendek untuk mendapatkan kadar air 14%.

Perbedaan waktu pengeringan antara variable ini dibandingkan dengan variable 20% W gabah dan

40% W gabah tidak terlalu signifikan. Namun variabel ini cukup baik untuk menghemat waktu

pengeringan sampai dengan 22, 78 menit dibandingkan dengan pengeringan tanpa penambahan

zeolit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini disimpulkan bahwadengan adanya penambahan zeolit 3A pada

komposisi zeolit:gabah sebesar 60:40 (dalam persen berat) ternyata mampu menyingkat waktu

pengeringan gabah sebanyak 22,78 menit dibandingkan pengeringan tanpa zeolit. Penambahan

zeolit 3A sebagai adsorbent dalam sistem pengeringan fluidized bed dryer mampu menyingkat

waktu pengeringan. Semakin banyak jumlah zeolit yang diikutkan dalam proses pengeringan

semakin singkat waktu pengeringan walaupun memang perbedaannya tidak signifikan.

Aplikasi pengeringan adsorbsi menggunakan zeolit 3A ini sebaiknya diujicobakan dalam

skala lapangan sebagai salah satu alternatif rekomendasi dalam sistem pengeringan gabah.

Diharapkan sistem pengeringan ini memberikan manfaat kepada para petani sehingga kendala

cuaca yang mungkin dihadapi saat musim panen tiba dapat teratasi, karena sistem pengeringan ini

dapat dilakukan dalam ruangan.

DAFTAR PUSTAKA

Agusniar, A. dan D. Setiyani, 2011, Pengeringan Jagung Dengan Metode Mixed-Adsorpstion

Drying Menggunakan Zeolite Pada Unggun Terfluidisasi, Universitas Diponegoro: Skripsi.

Anonim, 2012, Zeolit 3A, 9 Maret 2012, http://www.alibaba.com/product-

gs/436332126/zeolite_3A.html.

Bestari, A. dan P. Adityas, 2010, Pengeringan Jagung Dengan Metode Mixed-Adsorption Drying

Menggunakan Zeolit Pada Unggun Terfluidisasi. Universitas Diponegoro: Skripsi.

Djaeni, M., P. Bartels, J. Sanders, G. van Straten dan A.J.B. van Boxtel, 2007, Heat Efficiency Of

Multi-Stage Zeolite Systems For Low Temperature Drying. In Proceedings of The 5th

Asia-Pacific Drying Conference, Hong Kong, August 13-15, 2007, pp. 589-594.

Kurniasari, 2010, Aktivasi Zeolit Alam Sebagai Adsorben Uap Air Pada Alat Pengering Bersuhu

Rendah. Universitas Diponegoro: Tesis.

Soponronnarit, S., 2003, Fluidised bed grain drying, Proceedings of the 3rd

Asia-Pacific Drying

Conference, 1-3 September 2003, Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand, pp.

55-71.

Sutarti, M. dan M.Rachmawati, 1994, Zeolit:Tinjauan Literatur, Pusat Dokumentasi dan Informasi

Ilmiah, Jakarta.

Tabasum, M., dan V.K.Jindal, 1992, Effect Of Drying On Moisture Removal Rate And Head Yield

Of Basmati-370, Pakistan J. Agric. Res. Technol,. Vol. 13, No 4, pp. 312-319.

Page 68: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.55

TEKNOLOGI IMOBILISASI SEL MIKROORGANISME

PADA PRODUKSI ENZIM LIPASE

Indah Riwayati*), Indah Hartati, Laeli Kurniasari

Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNWAHAS

Jl.Menoreh Tengah X/22 Sampangan, Semarang *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Enzim lipase merupakan biokatalis yang berperan dalam berbagai transformasi kimia

diantarnya hidrolisis, esterifikasi, transesterifikasi dan metanolisis. Aplikasi dalam industri

sebagian besar sebagai katalis reaksi hidrolisa. Mikroba penghasil lipase meliputi kelas fungi,

yeast dan bakteri. Penggunaan metode imobilisasi sel mikroba dapat meningkatkan

produktivitas, memudahkan pemurnian produk serta kemudahan dalam mengontrol kestabilan

sel. Sel yang diimobilisasi dapat diaplikasikan sebagai biokatalisator dalam unit reaktor

konversi. Walaupun mempunyai banyak kelebihan, dalam aplikasi teknologi masih perlu

investigasi lebih lanjut, terutama untuk data-data proses scale up pada bioreaktor.

Kata kunci: Imobilisasi sel, Mikroorganisme, lipase

PENDAHULUAN

Enzim merupakan salah satu komoditas yang penting di dalam industri. Mayoritas enzim

industrial dihasilkan oleh mikroorganisme melalui fermentasi. Penggunaan enzim sebagian besar

sebagai biokatalis dalam transformasi kimia. Saat ini, ada sekitar 400 jenis enzim yang telah

diketahui dan sekitar 200 yang digunakan secara komersial (Sharma, dkk., 2001). Menurut data

dari Euromonitor International, Company Report, January 2009, volume produksi enzim dunia

terus naik sejak tahun 2002. Kenaikan ini disebabkan oleh peran enzim untuk mengefisienkan

proses, meningkatkan yield serta menurunkan biaya produksi. Selain itu penggunaan enzim dalam

pangan fungsional turut meningkatkan volume enzim yang diproduksi. Eropa memproduksi sekitar

60% dari total enzim yang sebagian besar adalah enzim hidrolitik seperti protease dan karbohidrase

(amilase dan selulase) termasuk lipase. Produksi lipase hanya sekitar 21 % dari total volume enzim

yang diproduksi dunia pada tahun 2008. Penggunaan enzim lipase terbesar dalam pembuatan

deterjen.

Lipase merupakan enzim yang mempunyai peran dalam reaksi hidrolisa dan

transesterifikasi. Enzim ini berfungsi sebagai katalis pada hidrolisa trigliserida serta sintesa ester

dari gliserol dan asam-asam lemak rantai panjang. Disamping itu enzim lipase juga berperan

sebagai biokatalis dalam reaksi alkoholisis, acidolisis, esterifikasi dan aminolisis (Gunasekaran dan

Das, 2005).

Enzim dapat dihasilkan dari beberapa mikroba seperti bakteri, jamur, yeast dan juga

pankreas makhluk hidup seperti manusia serta babi. Jamur dikenal secara luas sebagai penghasil

lipase terbaik. Aspergillus niger merupakan salah satu fungi yang banyak diteliti untuk

menghasilkan lipase (Faloni, dkk., 2006). Metode produksi lipase yang banyak dilakukan dengan

solid state dan submerged fermentation.

Fermentasi jamur dengan menggunakan metode diatas mempunyai beberapa kekurangan

diantaranya kenaikan viskositas pada fase pertumbuhan mikroba menyebabkan kurangnya pasokan

oksigen untuk sel jamur. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sel dapat terhenti sehingga fermentasi

hanya dapat dilakukan dengan proses batch. Penggunaan sel mikroba yang diimobilisasi dalam

fermentasi dapat meningkatkan produktivitas karena dapat dilakukan secara kontinyu tidak

terpengaruh dengan kenaikan viskositas, disamping itu juga mempermudah pemisahan produk,

kemudahan dalam mengontrol proses serta kestabilan sel lebih baik dibandingkan sel bebas (Al-

shehri dan Mostafa, 2006).

Enzim lipase dan manfaatnya

Lipase disebut juga triasilgliserol hidrolase (E.C.3.1.1.3), merupakan enzim yang dapat

menjadi biokatalis pada reaksi hidrolisis triacilgliserol menjadi gliserol dan asam lemak. Enzim

Page 69: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.11. Teknologi imobilisasi sel mikroorganisme … (Indah Riwayati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.56

lipase membutuhkan substrat khusus. Kekhususan ini menjadi faktor pertimbangan utama dalam

analisa dan aplikasinya. Berdasarkan jenis substrat, lipase digolongkan menjadi beberapa jenis

yaitu kekhususan pada asam lemak, posisi, alkohol, asilgliserol, stereo dan kiral.

Lipase dengan kekhususan asam lemak akan terpengaruh aktivitasnya oleh panjang rantai

karbon dan jumlah ikatan rangkap dalam substrat. Lipase posisi mempunyai kekhususan aktivitas

pada posisi 1 dan 3 asilgliserol. Lipase alkohol merupakan jenis yang dapat bekerja pada

lingkungan dengan kandungan solven organik seperti alkohol atau senyawa fungsional yang lain.

Lipase asilgliserol mempunyai aktivitas berbeda jika substrat berbeda (triasilgliserol, diasilgliserol

atau monoasilgliserol). Lipase stereo merupakan enzim dengan kemampuan membedakan posisi

Sn-1 dan Sn-3 pada triasilgliserol. Jenis yang teakhir ini sangat penting untuk membuat isomer

kiral murni yang dipergunakan sebagai intermediet obat (Long, 2009).

Enzim lipase merupakan salah satu enzim yang banyak dipergunakan dalam industri.

Penggunaan enzim dalam industri serta fungsinya dapat dilihat seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Contoh Aplikasi Enzim Lipase pada Berbagai Industri (Gunasekaran and Das, 2005)

Industri Fungsi Produk Jenis Reaksi

Bakery

Brewing

Kosmetik

Dairy

Detergen

Lemak dan

Minyak

Bahan Bakar

Pengolahan daging

dan ikan

Polimer

Meningkatkan aroma

,rasa (kualitas) dan

umur simpan produk.

Meningkatkan aroma,

mempercepat reaksi

dengan

menghilangkan lemak.

Menghilangkan

lemak.

Hidrolisa lemak susu,

pematangan keju,

modifikasi lemak

mentega

Menghilangkan noda

minyak dan lemak

pada kain

Hidrolisa lemak dan

minyak,

transesterifikasi

minyak alam

Mengubah minyak

sayur menjadi ester

Memperbaiki rasa dan

menghilangkan

kelebihan lemak

Katalis sintesa polimer

Kue kering

Minuman ringan

beralkohokol

Kosmetik umum

(pelembab,emulsifier).

Flavoring agent untuk

produk harian seperti susu,

keju dan mentega.

Detergen untuk mencuci

dan kebersihan rumah.

Asam lemak, digliserida,

monogliserida. Reagen

untuk analisa lemak

Biodiesel

Produk ikan dan daging

Biopolimer

Hidrolisis

Hidrolisis

Sintesis

Hidrolisa

Hidrolisa

Hidrolisis dan

transesterifikasi

Transesterifikasi

Hidrolisis

Sintesis

Mikroorganisme Penghasil enzim lipase

Beberapa mikroorganisme penghasil enzim lipase berasal dari kelas fungi (Rizhopus sp.,

Aspergillus sp., Geothricum sp., Mucor sp., Thricordema reseei, Fusarium sp. dan Rizhomucor

sp.), yeast (Candida sp., Rhodotorula sp., Pichia sp., Saccharomyces crataegenesis, Torulospora

globosa dan Trichosporon asteroid) dan bakteri (Bacillus sp., Pseudomonas sp., Burkholderia sp.

Dan Staphylococcus sp.) (Treichel dkk., 2010). Berikut ini review beberapa penelitian yang telah

dilakukan dengan berbagai jenis mikroorganisme.

Fermentasi lipase pada media padat (solid state fermentation SSF) dari Rhizopus

homothallicus dengan penambahan urea,minyak zaitun dan oligo-elemen menghasilkan enzim

Page 70: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.57

dengan aktivitas maksimal sebesar 826 U/g DM setelah inkubasi selama 12 jam (Rodriquez, dkk.,

2006). Investigasi Trichoderma reseei dengan submerged fermentation menghasilkan enzim lipase

maksimun sebesar 4,23 U/ml dalam media yang mengandung minyak zaitun 5 %, diinkubasikan

dengan orbital shaker pada 150 rpm suhu 300 C . Sedangkan aktivitas enzim lipase optimum pada

kondisi pH 5 dan suhu 500 C (Rajesh, dkk., 2010). Trichoderma viridae menghasilkan lipase

ektraselular dengan aktivitas maksimum sebesar 7,3 U/ml dan sebesar 320 U/g miselium dari

enzim intraselularnya setelah fermentasi selama 48 jam dalam shake flask pada suhu 300 C

(Kashmiri dkk., 2006). Aspergillus niger menghasilkan enzim lipase dengan aktivitas sebesar 42,22

U/ml dengan jumlah mikroorganisme 50% dari jumlah substrat (Maryanty, dkk., 2010). Produksi

lipase dari Aspergillus niger dengan solid state fermentation menghasilkan enzim dengan aktivitas

lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan submerged fermentation (Faloni, dkk., 2006). Sumber

nutrien juga berpengaruh terhadap aktivitas enzim lipase yang dihasilkan dari Aspergillus niger.

Sumber karbon seperti fruktosa dan sukrosa akan menginduksi aktivitas enzim, sedangkan pati,

laktosa dan CMC menghambat aktivitas enzim. Sumber nitrogen seperti kasein dan pepton akan

meningkatkan produksi enzim. Sumber belerang seperti kalsium sulfat dan besi (II) sulfat serta

antibiotik (ampicillin, tetrasiklin dan norfloxasin) akan menurunkan produksi enzim. Sedangkan

sumber vitamin (riboflavin, asam folat dan vitamin C) akan menstimulasi produksi enzim lipase

pada Aspergillus niger (Kakde dan Chavan, 2011).

Produksi enzim lipase dari yeast Yarrowia lipolytica W29 dipengaruhi oleh tekanan.

Percobaan dilakukan pada reaktor batch bertekanan 4 bar dan 8 bar. Pertumbuhan sel yeast tidak

terganggu dengan adanya tekanan. Peningkatan kecepatan transfer oksigen dari gas ke medium

kultur sebagai akibat tekanan mempertinggi aktivitas enzim lipase menjadi 533,5 U/L pada 8 bar

dari 96,9 U/L pada tekanan atmosferik (Lopes, dkk., 2008). Penambahan minyak zaitun pada

media fermentasi mempengaruhi aktivitas enzim lipase dari Candida Lipolytica. Medium

fermentasi dengan rasio kandungan glukosa: minyak zaitun= 4:1 menghasilkan aktivitas enzim

lipase tertinggi yang dihasilkan yaitu sebesar 1,087 U/ml (Permatasari, 1994).

Enzim lipase dari Bacillus subtilis dari substrat bungkil kelapa dengan menggunakan

metode SSF menghasilkan aktivitas enzim tertinggi pada kandungan air awal sebesar 70% dan pH

8 (Chaturvedi, dkk., 2010; Singh, dkk., 2010). Fermentasi Staphylococcus epidermis menghasilkan

enzim lipase dengan aktivitas optimum 8,1 U setelah 72 jam pada 200 C dan pH 7 (Joseph, dkk.,

2006). Penicillium chrysogenum menghasilkan enzim lipase setelah 72 jam pada suhu 280 C

menggunakan substart (Almond+kedelai+bunga matahari) dan metode SSF. Enzim yang dihasilkan

mempunyai aktivitas maksimum sebesar 64,77 U/ml (Iftikhar, dkk., 2011).

Imobilisasi Sel Mikroba Penghasil Lipase

Metode imobilisasi sel dikembangkan dari imobilisasi enzim. Proses fermentasi

konvensional untuk menghasilkan enzim merupakan proses eksploitasi sel mikroorganisme dalam

medium selama proses. Dalam proses ini ada beberapa batasan yang dihadapi diantaranya densitas

sel rendah, terbatasnya nutrien dan proses batch yang membutuhkan waktu lama untuk

penyesuaian. Fermentasi dengan sel mikroba yang diimobilisasi dapat mengatasi batasan-batasan

tersebut. Keuntungan yang diperoleh dengan teknologi ini adalah produktivitas yang lebih tinggi

karena densitas sel tinggi, kemudahan dalam isolasi sel dan pemurnian produk, fermentasi dapat

dilakukan secara kontinyu dan dapat menstimulasi pembentukan metabolit sekunder serta

meningkatkan eksresi metabolit intraseluler (Ramakrishna dan Prakasham, 1999). Ada beberapa

metode imobilisasi yang dipergunakan dalam teknologi ini yaitu adsorbsi, ikatan kovalen, cross-

linking, entrapment dan encapsulasi. Metode imobilisasi sel dengan entrapment paling banyak

diteliti. Metode ini dilakukan dengan cara menjebak sel mikroorganisme di dalam matrik polimer.

Banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh berbagai jenis metode

imobilisasi terhadap aktivitas enzim lipase yang dihasilkan. Berikut ini beberapa penelitian yang

telah dilakukan untuk mengevaluasi berbagai jenis metode tersebut.

Aktivitas enzim lipase maksimum sebesar 4320 U/L diperoleh dari Aspergillus niger (ANT 90)

yang diimobilisasi dengan menggunakan bead alginat 3% dan waktu curing 60 menit (Ellaiah,

dkk., 2001). Imobilisasi sel Ralstonia pickettii terbaik dengan menggunakan matrik poliakrilamida

15% menghasilkan aktivitas retensi 66% (25 U/ml per menit) (Hemachander, dkk., 2001).

Page 71: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.11. Teknologi imobilisasi sel mikroorganisme … (Indah Riwayati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.58

Lipase yang diproduksi oleh Rhizopus arrhizus dari miselium yang diimobilisasi

mempunyai aktivitas maksimum sebesar 315 u/mL pada 26.5 °C, 130 rpm dalam flask dengan

kandungan media (%): tepung kedelai 4.0 (w/v), minyak kelapa 1.0 (v/v), MgSO4 0.1 (w/v),

K2HPO4 0.5 (w/v), (NH4)2SO4 0.2 (w/v), setelah 96 jam (Yang, dkk., 2004). Cadida rugosa yang

diimobilisasi dengan kalsium alginat menghasilkan aktivitas enzim lipase maksimum 1794 U/ml

dengan packed bed bioreactor serta penambahan gum arab dan asam kaprilat (Benjamin and

Pandey, 1998).

Untuk meningkatkan produksi enzim lipase, bukan hanya mikroorganisme galur murni

yang diimobilisasi tetapi juga yang telah rekayasa secara genetik.

Penggunaan sel yang diimobilisasi sebagai biokatalis dalam berbagai transformasi kimia telah

banyak diinvestigasi. Dalam hal ini sel mikroorganisme penghasil enzim yang diimobilisasi

digunakan sebagai biokatalis pada unit konversi reaksi seperti hidrolisis, esterifikasi,

transesterifikasi, metanolisis serta reaksi lain yang dapat dikatalis oleh enzim lipase. Aplikasi

nyata cara ini dalam produksi biodiesel dan asam organik secara enzimatik (Chen dan Wang, 1997)

KESIMPULAN

Imobilisasi sel untuk menghasilkan enzim lipase maupun untuk biokatalis pada tranformasi

kimia merupakan teknologi yang mempunyai banyak kelebihan. Untuk aplikasi dalam industri

masih diperlukan banyak penelitian terutama proses scale-up karena kebanyakan data yang ada

masih dalam skala sangat kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Al-shehri, A., M. and Mostafa, Y., S., 2006, Citric Acid production from Date Syrup using

Immobillized Cell of Aspergillus niger, Biotechnology, ISSN 1682-296X, Vol. 5 (4), pp.

461-465

Benjamin, S., and Pandey, A., 1998, Enhancement of lipase production during repeated batch

culture using immobilized Candida rugosa, Process Biochemistry, Vol. 32, Issue 5, 437-

440

Chaturvedi, M., Singh, M., Rishi, C., M. and Rahul, K., 2010, Isolation of Lipase Producing

Bacteria from Oil Contaminated Soil for the Production of Lipase by Solid State

Fermentation Using Coconut Oil Cake, International Journal of Biotechnology and

Biochemistry, ISSN 0973-2691, Vol. 6 No. 4, 585-594

Chen, J.,P. And Wang, J., B., 1997, Wax ester synthesis by lipase-catalyzed esterification with

fungal cells immobilized on cellulose biomass support particles, Enzym and Microbial

technology, Vol. 20, issue 8, 615-622

Ellaiah, P., Prabhakar, T., Ramakrishna, B., Thaer Taleb, A. And Adinarayana, K., 2001,

Production of Lipase by Immonilized Cells of Aspergillus niger, Process Biochemistry,

Vol. 39, Issue 5, 525-528

Faloni, G., Armas, J., C., Mendoza, J., C., D., and Hernandez, J., L., M., 2006, Production of

Extracelluler Lipase from aspergillus niger by Solid-state Fermentation, Food Technology,

Biotechnology, ISSN 1330-9862, vol. 44 (2), pp. 235-240

Gunasekaran, V. and Das, D., 2005, Lipase Fermentation: Progress and prospects, Indian Journal of

Biotechnology, Vol. 4 Oktober, pp. 437-445

Hemachander, C., Bose, N. and Puvanakrishnan, R., 2001, Whole cell imobilization of Ralstonia

pickettii for lipase production, Process Biochemistry, Vol. 36, Issue 7, 629-633

Iftikhar, T., Niaz, M., Un Nisa, Z., Thariq, A., Khalid, M., N., and Jabeen, R., 2011, Optimization

of Cultural Conditions for the Biosynthesis of Lipases by Penicillium chrysogenum (MBL

22) Through Solid Fermentation, Pak. J. Botany, 43 (4), 2201-2206

Joseph, B., Ramteke, P., W. And Kumar, P., A., 2006, Studies on the Enhanced Production of

Extracellular Lipase by Staphylococcus epidermidis, J. Gen. Appl. Microbiol., 52, 315-320

Kakde, R., B. And Chavan, A., M., 2011, Effect of Carbon, Nitrogen, Sulphur, Phosphorus,

Antibiotic and Vitamin Sources on Hydrolytic Enzym Production by Storage Fungi, Recent

Research in Science and Technology, ISSN 2076-5061, 20-28

Page 72: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.59

Kashmiri, M., A., Adnan, A. And Butt, B., W., 2006, Production, Purification and Partial

Characterization of Lipase from Trichoderma viridae, African Journal of Biotechnology

Vol. 5 (10), pp. 878-882

Long, K., 2009, Unlocking the Miracle of Lipases, a Research Inaugural Lecture (Syarahan

Perdana Penyelidikan), MARDI Serdang

Lopes, M., Gomes, N., Goncalves, C., Coelho, M., A., Z., Mota, M. and Belo, I., 2008, Yarrowia

Lipolytica Lipase Production Enhanced by Increased Air Pressure, Letters in Applied

Microbiology, ISSN 0266-8254, 46, 255-260

Maryanty, Y., Pristianti, H., dan Ruliawati, P., 2010, Produksi Crude Lipase dari Aspergillus niger

pada Substart Onggok Menggunakan metode Fermentasi Fasa Padat, Seminar Rekayasa

Kimia dan Proses, ISSN 1411-4216, B-12-1

Permatasari, T., 1994, Kajian Pengaruh Jenis Media dan penambahan Minyak Zaitun sebagai

Induser pada produksi Enzim Lipase oleh Candida lipolytica, Skripsi Fakultas Teknik

Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Rajesh, E., M., Arthe, R., Rajendran, R., Balakumar, C., Pradeepa, N. and Anitha, S., 2010,

Investigation of Lipase Production by Trichoderma reseei and Optimization of Production

Parameters, EJEAFChe, ISSN 1579-4377, 9 (7), 1177-1189

Ramakrishna, S., V., and Prakasham, R., S., 1999, Microbial Fermentations with Immobilized Cell,

Current Science, Vol. 77, No. 1, 87-100

Rodriguez, J., A., Mateos, J., C., Nungaray, J., Gonzalez, V., Bhagnagar, T., Roussos, S., Cordova,

J., and Baratti, J., 2006, Improving Lipase Production by Nutrient Source Modification

Using Rhizopus homothallicus Cultured in Solid state Fermentation, Process Biochemistry,

41, 2264-2269

Sharma, R., Chisti, Y., and Banerjee, C., 2001, Production, Purification, Characterization and

Applications of Lipases, Biotechnology Advances, 19, pp. 627-662

Singh, M., Saurav, K., Srivasta, N. And Kannabiran, K., 2010, Lipase Production by Bacillus

subtilis OCR-4 in Solid State Fermentation Using Ground Nut Oil Cakes as Substrate,

Journal of Biological Science, 2 (4), ISSN: 2041-0778, 241-245

Treichel, H., Oleivera, D., Mazzuti, M., A., Luccio, M., D., Oleivera, J., V., 2010, A Review on

Microbial Lipases Production, Food Bioproses Technology, Vol. 3, 182-196

Yang, X., Wang, B., Cui, F. And Tan, T., 2004, Production of lipase by repeated batch

fermentation with immobilized Rhizopus arrhizus, Process Biochemistry, Vol. 40, issue 6,

2095-2103

Page 73: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.12. Ekstrak daun api-api (Avecennia Marina) untuk pembuatan … (Syafi’ul Rofik dan Rita D. Ratnani)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.60

EKSTRAK DAUN API-API (Avecennia Marina) UNTUK PEMBUATAN

BIOFORMALIN SEBAGAI ANTIBAKTERI IKAN SEGAR

Syafi’ul Rofik*)

dan Rita Dwi Ratnani

Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNWAHAS

Jl.Menoreh Tengah X/22 Sampangan, Semarang *)

e-mail : [email protected]

Abstrak

Dalam lingkungan nelayan biasanya mengawetkan ikandengan cara memberi es, tapi daya

tahan es terbatas sehingga nelayan menambahi sesuatu zat campuran yang disebut dengan

formalin.Bioformalin adalah zat pengawet pengganti formalin yang berasal dari alam,

sehingga aman untuk dipakai dan harganya relative lebih dari formalin. Pembuatan

Bioformalin dari Simplisia daun api-api menggunakan metode infundasi dengan variable

bertingkat, caranya simplisia daun api-api ditambah pelarut aquades dengan perbandingan

1:5, 1:7,5 dan 1:10.rebus menggunakan panci infusa sampai suhu 90 C biarkan selama 15

menit. Saring dengan Corong Butcer dengan bantuan pompa vacum, hasilnya berbentuk

cairan. Aplikasikan satu variabel satu ikan dengan cara dicelupkan, masing-masing variable

diberi control. Pengamatan dilakukan kontinyu salama 2 jam sekali sampai ikan tersebut

membusuk. Hasil pengamatan berupa jumlah secor, secor standarnya adalah 18. Ikan

bandeng yang dibuat control dapat bertahan selama 12 jam. Ikan bandeng yang diberi beri

larutan Bioformalin dengan perbandingan 1:10, 1:7,5, 1:5 masing-masing dapat bertahan

hingga 18 jam,18 jam dan 20 jam. Jadi bandeng yang diberi bioformalin lebih awet dari

ikan yang dibuat kontrol. Dari tiga ikan bandeng yang dicelup dengan Bioformalin yang

bagus adalah dengan perbandingan 1:5 karena dapat mengawetkan lebih lama yaitu 20 jam,

jumlah secor 22 dengan ciri-ciri keadaan kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka,

daging agak kenyal, sisik kuat, aroma amis, sebab dengan pelarut yang sedikit kandungan

zat pengawet Api-api (Avecennia Marina) menjadi sangat pekat.

Kata Kunci:Pengawet, Daun api-api, Pengeringan, Infundasi

LATAR BELAKANG

Perkembangan pasar yang sangat pesat membuat manusia menginginkan sesuatu dengan

cepat dan praktis tidak memperdulikan apakah itu berbahaya atau tidak bagi dirinya maupun orang

lain, yang terpenting dapat untung yang banyak. Dalam dunia makanan ataupun minuman pasti

kita kenal dengan kata-kata “pengawet”. Pengawet adalah suatu zat yang dapat mencegah

kerusakan makanan dari segi rasa, warna dan bau karena zat pengawet dapat menghambat

tumbuhnya bakteri perusak (Zuraidah, Y., 2007).

Dalam lingkungan nelayan biasanya mengawetkan ikan segar biar tidak cepat busuk

dengan cara member es, tapi daya tahan es terbatas sehingga nelayan menambahi sesuatu zat

campuran yang disebut dengan formalin. Agar ikan bisa tetap segar selama mungkin hingga

sampai ke komsumen, maka kadang ditambahkan dengan formalin, padahal formalin adalah bukan

pengawet makanan tetapi pengawet mayat (Nurmasari, 2008).

Bioformalin adalah zat pengawet pengganti formalin yang berasal dari alam, sehingga

aman untuk dipakai dalam pengawetan ikan segar. Dan harganya relative lebih murah dibanding

formalin yang berfungsi sebagai pengawet mayat.

Pengolahan ikan agar lebih awet perlu dilakukan agar ikan dapat tetap dikonsumsi dalam

keadaan yang baik.Pada dasarnya pengawetan ikan bertujuan untuk mencegah bakteri pembusuk

masuk ke dalam ikan.Nelayan biasanya memberi es sebagai pendingin agar memperpanjang masa

simpan ikan sebelum sampai pada konsumen.Demikian pula dengan maraknya penggunaan bahan

tambahan pangan sebagai pengawet yang tidak diijinkan untuk digunakan dalam makanan seperti

formalin dan boraks yang membahayakan bagi kesehatan.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui cara mengekstrak Bioformalin dari daun api-api (Avicennia marina).

Page 74: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.61

2. Mengetahui konsentrasi penambahan larutan Bioformalin yang optimum sebagai senyawa

antimikroba ikan segar.

3. Mengetahui waktu simpan yang optimum agar mendapatkan ikan segar dengan kuatitas yang

baik.

TIJAUAN PUSTAKA

Daun Api-api (Avicennia marina)

Pohon api-api biasa adalah salah satu jenis bakau, yang komunitas hidupnya dipinggir

pesisir pantai, daratan, dan pinggir sungai. Nama latinnya ialah Avicennia marina. Pohon api-api

adalah salah satu tumbuhan yang hidup dipinggir laut yang dapat berfungsi menangkis ombak dari

lautan,karena komunitasya yang banyak dan cepat tumbuh penduduk sekitar memanfaatkannya

sebagai kayu bakar.

Klasifikasi dari Avicennia marina( daun Api-api ) adalah kingdom: plantae, divisi:

magnoliophyta, kelas: magnoliopsida, ordo: lamiales, family: acanthaceae, genus: avicennia,

species: avicennia marina.

Gambar 1. Daun api-api

Pada tumbuhan ini mempunyai daun tunggal, bertangkai, berhadapan, bertepi rata,

berujung runcing atau membulat; helai daun seperti kulit, hijau mengkilap di atas, abu-abu atau

keputihan di sisi bawahnya, sering dengan kristal garam yang terasa asin (Ini adalah kelebihan

garam yang dibuang oleh tumbuhan tersebut); pertulangan daun umumnya tak begitu jelas terlihat.

Kuncup daun terletak pada lekuk pasangan tangkai daun teratas. Bentuk daun elliptical-lanceolata

atau ovate-elliptica pj= 7 cm, l=4 cm.

Formalin

Formalin atau disebut juga dengan formaldehida merupakan aldehida berbentuk gas dengan

rumus kimia H2CO.Biasanya, formalin dihasilkan dari pembakaran bahan-bahan yang mengandung

karbon.Asap yang berasal dari pembakaran hutan, knalpot kendaraan bermotor, serta tembakau

mengandung senyawa tersebut. Di Bumi, senyawa yang disintetis kali pertama oleh kimiawan

Rusia, Alexander Butlerov, pada 1859 itu, dihasilkan dari reaksi cahaya Matahari dan oksigen

terhadap metana serta hidrokarbon lain yang ada di atmosfer Bumi. Meskipun di udara bebas

formaldehida berwujud gas, senyawa itu bisa larut dalam air. Larutan itulah yang biasanya ada di

pasaran dan disebut sebagai formalin oleh masyarakat Senyawa itu biasanya dijual di pasaran

dengan kadar larutan 37 persen (Handayani, 2006; Fadholi, 2007; Djauhari, 2008)

Bioformalin

Bioformalin adalah senyawa pengganti formalin yang diambil dari alam.kali ini peneliti

mengambil bioformalin dari daun api-api (Avicennia marina) daun api-api mengandung setidaknya

empat senyawa yang memiliki sifat mengawetkan.Keempat senyawa itu adalah saponin, tannin,

alkaloid, dan formalin.Senyawa-senyawa tersebut merupakan rangkaian senyawa yang bisa

mencegah perkembangan bakteri pembusuk disebut juga dengan antibakteri (Rozirwan, 2009;

Wibowo, 2006).

Page 75: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.12. Ekstrak daun api-api (Avecennia Marina) untuk pembuatan … (Syafi’ul Rofik dan Rita D. Ratnani)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.62

Ikan Segar

Ikan dikatakan baik adalah yang masih dalam kondisi segar. Kesegaran ini akan bisa

tercapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik. Aktifitas mikrobia dapat

menjadikan berbagai perubahan biokimia dan fisika yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan

secara menyeluruh yang disebut pembusukan ikan.

Untuk menentukan tingkat kesegaran ikan maka pada Tabel 1 dibawah ini ditunjukkan

perbedaan tanda-tanda antara ikan segar dan ikan dengan kondisi rusak secara fisik, yang mungkin

dapat digunakan konsumen sebagai petunjuk dalam memilih ikan.

Tabel 1. Tanda-Tanda Ikan Segar dan Tidak Segar

Keadaan Kondisi segar Kondisi tidak segar

Terlihat

Cerah, terang, tak berlendir dan

mengkilat

Nampak kasar, suram dan berlendir

bila diraba

Mata Cerah dengan kondisi masih

menonjol keluar

Cekung dan terlihat masuk kedalam

rongga mata

Mulut Terkatup Terbuka

Sisik

Masih nampak cerah dan kuat

melekat bila dipegang

Nampak kusam dan mudah lepas bila

dipegang

Daging

Kenyal dan masih dalam kondisi

lentur

Lunak (tidak kenyal)

Aroma

Segar dan normal seperti keadaan

didaerah asalnya

Busuk menyengat dan asam

METODE PENELITIAN

Populasi daun api-api yang digunakan untuk penelitian ini adalah daun api-api yang

berasal dari Tempat pinggir pantai Purworejo (Muara Demak) Kab,Demak Populasi ikan segar

yang digunakan adalah ikan bandeng hidup hasil petani tambak dan nelayan setempat. Sampel

dalam penelitian ini adalah bioformalin hasil eksrak daun api-api yang diekstrak di laboratorium

teknik Kimia UNWAHAS. Sampel ikan segar diambil secara acak dan diketahui beratnya.

Penelitian ini menggunakan sampel ikan bandeng, dengan pemberikan variabel bertingkat.

Antara api – api dengan pelarut paling pekat sampai dengan 1: 10. Ikan diamati dengan keadaan

diatas piring terbuka, bakteri dari udara bebas diaggap sama. Yang berfungsi menguji keaktifan zat

pengawet pada daun api-api tersebut, untuk mencari konsentrasi yang terbaik dan berapa lama

waktu simpan ikan.

Cara Pembuatan simplisia Api-api dimuliai dengan pengambilan atau pemanenan daun api-

api, dilaksanakan pada pagi hari atau sore hari, karena pada pagi hari daun belum menggunakan zat

tersebut, sedangkan pada sore hari, zat baru dihasilkan.Setelah melakukan pemanenan ambil daun

yang sedang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.Ambil 5kg.kemudian dikeringkan dengan

draying. Setelah kering ambil untuk di blender hingga hancur menjadi serbuk kasar pastikan jangan

sampai seperti serbuk bubuk. Karena nanti ditakutkan serbuk akan banyak yang lolos dari

penyaringan. Metode Infusa seperti yang dilakukan pada praktikum Fitokimia (Nuria, 2011).

Cara Pembuatan Bioformalin dimulai dengan pembuatan simplisia daun api-api dengan

pelarut air dengan perbandingan 1:5, 1:7,5 dan 1:10. ambil daun api-api yang sudah di serbukkan,

lalu serbuk direbus menggunakan panci infusa sampai suhu mencapai 90 C dibiarkan 15 menit.

Kemudian disaring dengan corong buchner diberi alas kertas saring lalu disedot dengan pompa

vacum sampai tidak menetes lagi. Buang ampasnya, dan diambil hasil saringannya berupa cairan

kemudian baru di aplikasikan pada ikan bandeng yang masih segar., kemudian diujikan pada ikan

bandeng dengan konsentrasi bioformalinyang sudah ditentukan, lalu catat berapa lama ikan

bandeng dapat awet dan berapa konsentrasi yang paling lama dalam pengawetan. Urutan proses

pembuatan dan aplikasi bioformalin dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 76: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.63

Gambar 2. Digram alir pembuatan Biofrmalin

Pengamatan ikan dilaksanakan secara kontinyu, pada saat dua jam sekali, selama

Pengamatan catat hasilnya, sesuai dengan ciri-ciri ikan bandeng yang tampak, kemudian gantikan

ciri-ciri tersebut dengan scor, lalu jumlahkan. Cara tersebut dapat dibuat pada tabel 2 dibawah ini.

Table 2. Korversi Ciri-Ciri Ikan Menjadi Score Ikan Bandeng

Poin +++++ ++++ +++ ++ +

Kulit Mengkilap Putih Mulai

kusam Kusam Kecokelatan

Mata Cembung Agak cembung Datar Agak datar Cekung

Mulut Terkatup Mulai terbuka Sedikit

terbuka

Setengah

Terbuka Terbuka

Daging Kenyal Agak kenyal Kaku Sedikit

lembek Lembek

Sisik Sangat

Kuat Kuat

Kurang

kuat Lemah

Sangat

Lemah

Aroma Amis ikan

segar

Amis, aroma

ikan segarnya

mulai hilang

amis Mulai busuk Busuk

Cara pemberian scor adalah sebagai berikut: Pengamatan Ikan dilihat dari-cirinya yaitu

kulit, mata, mulut, daging, sisik, aroma, setelah dapat cirri-cirinya kita gantikan dengan poin yang

sudah ada. Kemudian jumlahkan dari masing – masing poin, jika Jumlah Poin ikan segar kurang

dari 18 maka ikan tersebut dikatakan ikan segar dan tidak layak untuk dikonsumsi, sedangkan Ikan

dapat dikatakan masih segar apabila mempunyai poin ≥ 18. Kemudian catat mana ikan yang paling

lama awet dan berapa lama ikan dapat awet dengan penambahan Bioformalin (Wibowo, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Langkah awal yang peneliti lakukan dalam percobaan ini adalah pengambilan atau

pemanenan daun api-api (Avecennia Marina) sebanyak 5kg, pemanenan dilakukan pada waktu pagi

dan sore karena pada waktu tersebut daun mempunyai zat yang diperlukan sangat banyak sebab

zatnya belum digunakan dan baru dihasilkan oleh daun. Daun dijemur dengan permukaannya

ditutup menggunakan kain hitam agar zat yang terkandung didalam daun tidak rusak akibat

terkena sinar matahari secara langsung. Daun yang sudah kering kemudian diblender sehingga

menjadi serbuk. Serbuk dari daun api-api (Avecennia Marina) disebut dengan simplisia, hasil dari

daun api-api (Avecennia Marina) segar 5 kg yang dibuat menjadi simplisia menjadi 1.7,5 kg.

Page 77: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.12. Ekstrak daun api-api (Avecennia Marina) untuk pembuatan … (Syafi’ul Rofik dan Rita D. Ratnani)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.64

Pembuatan Bioformalin dari Simplisia daun api-api menggunakan metode infundasi

demgan variable bertingkat, caranya simplisia daun api-api ditambah pelarut aquadesdengan

perbandingan 1:5, 1:7,5 dan 1:10. Ambilsimplisia yang sudah decampur dengan pelarut, kemudian

direbus menggunakan panci infusa sampai suhu mencapai 90 C dibiarkanselama 15 menit.

Hasilnya disaring dengan corong buchner diberi alas kertas saring lalu disedot dengan pompa

vacum sampai tidak menetes lagi. Ambil cairannya dan siap diaplikasikan.

Percobaan pertama kita buat Bioformalin dengan perbandingan 1:10. Cara tersebut

digunakan sebagai pembandingan dua cara pemberian Bioformalin yaitu dengan cara ikan dicelup

dan direndam selama 15 menit, masing diberi control satu. Hasilnya menunjukkan ikan yang

dicelup lebih bagus daripada ikan yang diremdam bioformalin.bentuknya lebih kuning kecoklatan,

pemberian bioformalin lebih tahan lama daripada ikan yang dicelup atau direndam menggunakan

aquades.Dilihat dari hasil diatas kita langsung melakukan percobaan selanjutnya dengan memekai

varibel bertingkat seperti yang sudah dijelaskan diatas. Aplikasikan Bioformalin dengan ikan

bandeng dengan cara dicelupkan seuruh tubuh hingga rata, satu bandeng satu jenis larutan

bioformalin dan satu ikan ikan yang dicelupkan kedalam air sebagai control negatif. Taruh diatas

piring dan ditata berdampingan biar mudah untuk diamati. Pengamatan dilakukan kontinyu salama

dua jam sekali dan catat hasilnya yang berupa pengamatan penampakan fisik kedalam table

pengamatan

Dari hasil pengamatan ikan bandeng yang dibuat control hanya dapat bertahan selama 12

jam. Dan jumlah poin keseluruhan adalah 19 dengan rincian dapat dilihat di atas dengan keadaan

kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak kenyal, sisik kurang kuat, dengan bau

mulai busuk. Ikan bandeng yang diberi beri larutan api-api dengan larutan Bioformalin dengan

perbandingan 1:10 dapat awet hingga 18 jam dengan jumlah poin 20 dengan keadaan kulit putih,

mata datar, dengan mulut sedikit terbuka, daging agak kenyal, kurang kuat, dengan bau amis. Ikan

bandeng yang diberi larutan Bioformalin dengan perbandingan 1:7,5 dapat awet selama 18 jam

dengan jumlah poin 22 dengan ciri-ciri kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak

kenyal, sisik kurang kuat, aroma amis ikan segar mulai hilang. Sedang kan ikan bandeng yang di

beri larutan Bioformalin dengan perbandingan 1:5 lebih awet dengan daya tahan 20 jam. Dengan

jumlah poin 22 dengan keadaan kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak kenyal,

sisik kuat, aroma amis.

Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat penurunan kuwalitas ikan berdasarkan secor terhadap

waktu.pada control terlihat penurunannya sangat derastis menjorok kebawah. Pada ikan bandeng

yang diberi larutan Bioformain ketiganya sama-sama menurun tapi bertahap sedikit demi sedikit.

Pada variable perbandingan 1:10 dengan varibel perbandingan 1:7,5 keduanya memiliki waktu

busuk yang sama tapi memiliki kwalitas secor yang berbeda 20 dengan 22.

Gambar 3. Grafik Waktu Perendaman dalam Bioformalin

Page 78: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.65

Pada Gambar 3 dapat dilihat kualitas ikan yang diawetkan dengan menggunakan

bioformalin yang dibuat dari daun api-api. Ikan bandeng yang diberi Bioformalin lebih awet dari

ikan bandeng yang hanya dioles dengan air.Dari tiga ikan bandeng yang dioles dengan Bioformalin

adalah ikan yang diolesi bioformalin dengan kandungan konsentrasi 1:5 karena dapat mengawetkan

lebih lama yaitu 18, sebabzatpengawet dalam api-api saat ditarik pada proses infundasi sangat

tinggi dengan keadaan pelarut yang sedikit zatnya menjadi sangat pekat. Oleh karena itu lebih awet

dari pada yang lain.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ikan bandeng yang diberi Bioformalin lebih awet dari ikan bandeng yang hanya dioles

dengan air. Dari tiga ikan bandeng yang dioles dengan Bioformalin adalah ikan yang diolesi

bioformalin dengan kandungan konsentrasi 1:5 karena dapat mengawetkan lebih lama yaitu 18 jam,

dengan julah poin 22 dengan keadaan kulit putih, mata datar, mulut sedikit terbuka, daging agak

kenyal, sisik kuat, aroma amis.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menguji dari segi mikrobiologinya dengan cara

menguji bakteri, menguji kelayakan untuk dimakan manusia, dan analisa protein proksimat

DAFTAR PUSTAKA

Djauhari, M. A., 2008, “ Formalin Sebuah Fenomena Gunung Es “ Jurnal Sosioteknologi Edisi 13

Tahun, Bandung.

Fadholi, A.,2007, “ Analisis Formalin Pada Tahu ” F.Tarbiah, Tadris Kimia Institut Agama Islam

Negeri Walisongo, Semarang.

Handayani. 2006, “Bahaya Kandungan Formalin Pada Makanan ”, PT. Astra Internasional Tbk-

Head Office, Jakarta.

Nurmasari.2008, “Pengaruh Formalin Terhadap Mukosa Yeyunum Tikus Putih” F.Kedokteran

Universitas Muhammadiah Malang, Malang.

Nuria, M.C., 2001, “Petunjuk Praktikum Fitokimia”, Fakultas Farmasi Unwahas Semarang.

Rozirwan,dkk. 2009, “Ekstrak Mangrove Sebagai Bahan Anti Mikroba Bakteri Vibrio ”, Indralaya.

Wibowo, C,dkk. 2006, “Pemanfaatan Pohon Mangrove Api-Api (Aicennia Spp.) Sebagai Bahan

Pangan dan Obat” Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Bandung.

Zuraidah, Y., “ Factor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Formalin Pada Pedagang

Tahu Dipasar Flamboyan Kota Pontianak”,Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan

Depkes,Medan.

Page 79: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.13. Potential production of food colorant from coffee pulp (Indah Hartati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.66

POTENTIAL PRODUCTION OF FOOD COLORANT FROM COFFEE PULP

Indah Hartati*)

, Indah Riwayati, Laeli Kurniasari

Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Wahid Hasyim University

No. 22 Menoreh Tengah Road X, Semarang-Indonesia *)

E-mail: [email protected]

Abstract Coffee pulp is the waste produced during the pulping operation of the coffee berries. Coffee

pulp is reported as a good candidate of material for food colorant production. The food

pigment found in coffee pulp is anthocyanin. The anthocyanin content in coffee pulp is reported

up to 25 mg of monomeric anthocyanins/100 g of fresh pulp on a dry weight basis. As the fourth

largest coffee producer in the world, Indonesia has the potency to produce food colorant from

coffee pulp. There are several methods that can be applied in the separation of anthocyanins

from coffee pulp. The methods are include solvent extraction, microwave assisted extraction,

ultrasound assisted extraction, supercritical fluid extraction and enzymatics extraction. Further

researchs are needed in order to find the suitable method for anthocyanins production from

coffee pulp.

Keywords: coffee pulp, food colorant, anthocyanin

INTRODUCTION

Color appearance of food products is one of the major concerns of the food industry. The

use of colorants as additives for food and drinks is a significant factor to food manufacturer and

consumer in determining the acceptability of processed food.

Nowadays, it is reported that some food producers are using textile colorants to color their

food product. According to BPOM (2008), in 2006 approximately 12,9% of the food sample tested

used textile coloring for food (Martianto, 2010). The usage of textile colorants on food product will

effect on human health since it contain materials that can not be destroy and accumulate on human

body.

Color is added to food for one or more of the following reasons: (i) offsetting color loss

due to light, air, extremes of temperature, moisture, and storage conditions, (ii) masking natural

variations in color, (iii) enhancing naturally occurring colors, (iv) providing identity to foods;

protecting flavors and vitamins from damage by light, (v) decorative or artistic purposes, (vi)

crease appetite appeal, (vii) to make less desirable food more desirable, (viii) to mask defects, and

(ix) may keep certain foods tasting fresher for long time (Sabitha, 2012).

The food industry tends to classify colors into two classes: (i) chemically synthesised color

and (ii) color derived from natural sources. Chemically synthesised color is comprised of artificial

colors e.g. tartrazine and synthesised colors identical to those pigments in nature e.g synthetic beta-

carotene or riboflavin. While color derived from natural sources is comprised of color selectively

extracted by solvents e.g. anthocyanins and color selectively extracted by solvents then chemically

modified e.g. copper chlorophyll (FSA, 2011).

Because of health issues, nowadays, the use of unnatural additives is becoming less popular

among the consumers. It is especially due to psychological reasons as the consumer easily

associates natural colorants to health benefits and synthetic colorants to toxic issues (Ketmaro,

2010). Therefore, replacing synthetic colorants and textile colorants by natural colorants has

become a major issue over the last years.

Natural Colorant

Natural colorants for food are made from renewable sources. Most often, the colorants are

extracted from plant material, but other sources such as insects, algae, cyanobacteria and fungi are

used as well.

The natural food color industry market is growing at 10% -15% annually. The rationale for

growth is increasing awareness among the developed countries about the harmful effects and

consequences of using synthetic color. The reason for accelerating demand of the natural food

Page 80: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.67

colors in international market is the growing awareness of environmental hazards of synthetic

colors and harmful impact of chemicals used for manufacturing them. The demand for natural

colors is increasing because of the following reasons: (i) health-promoting properties of biocolorant

food; ii) natural colors has been the consumer priority; (iii) low-fat content„ is the objective for

many new or improved food formulations, replacing fats with thickeners or other food additives;

(iv) increased consumer preferences for organic food; (v) variety and internationalisation of food

color and flavours (Rymbai, 2011).

The global food colors market was worth an estimated $1.45 billion in 2009. World usage

of food colors is currently about 40,000-50,000 tons. From 2005-2009, the global market for

natural colors increased almost 35% in value, with much future growth expected to come from

natural colors and coloring foodstuffs. Foods account for some 67% of the food coloring global

market, followed by soft drinks (28%) and alcoholic beverages (5%). Europe accounts for 36% of

the global coloring market, followed by the U.S. (28%), Japan (10%) and China (8%), with the

remaining 18% from developed economies, such as Canada and Australia, and emerging food

markets, such as India and Brazil (Leatherhead Food Research, 2010).

Commonly, natural colorants can be grouped into a few of classes. The most important

classes are comprised of tetrapyrroles, tetraterpenoids and flavanoids (Aberounmand, 2011;

Rymbai, 2011). Tetrapyrroles are the most abundant pigment molecules on the planet.

Tetrapyrroles are compounds containing four pyrrole rings. With the exception of corrin, the four

pyrrole rings are interconnected through one-carbon bridges, in either a linear or a cyclic fashion.

The most important member of cyclic tetrapyrroles is chlorophyll, which is found in higher plants.

Tetraterpenoids are terpenoids of 8 isoprene units. Caretonoid is one of the most important

tetraterpenoids. While anthocyanin, chalcone, and flavones are belong to flavonoid.

Natural colorant gives a certain shades. Shades of several natural food colorant are given in

Table 1.

Table 1. Shades of natural food colorant

Color Wavelenght Biocolorant Shades

Red ~630-700 nm Red bit juice

Paprica

Orange ~590-630 nm Mango

Annato (bixin)

Yellow ~560-590 nm Turmeric

Green ~490-560 nm Chlorophyll

Blue-violet ~400-490 nm Anthocyanin

Source:Chattopadhay, 2008

Food Colorant from Fresh Cofee Pulp

One of biomass that can be used as source of food colorant production is cofee pulp. The

food pigment found in coffee pulp is anthocyanin. The acid extraction of coffee pulp is reported

yielded 25 mg of monomeric anthocyanins/100 g of fresh pulp on a dry weight basis (Murthy,

2012).

Figure 1. Structure of some major anthocyanin

Page 81: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.13. Potential production of food colorant from coffee pulp (Indah Hartati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.68

Anthocyanins are basically glycosides of anthocyanidins. The six major anthocyanidins are

illustrated in Figure 1. The sugar moieties are usually attached to the anthocyanidins via the 3 or 5-

hydroxyl positions and to a lesser extent the 7-hydroxyl position. The anthocyanin sugars may be

simple sugars such as glucose, galactose, rhamnose, and arabinose, or complex sugars such as

rutinose and sambubiose.

Anthocyanins are being responsible for their red to purple colors. The most common

anthocyanidins are cyanidin (red purple), delphinidin (blue-purple), malvidin (deep purple),

peonidin (red), petunidin (purple) and pelargonidin (orange-red) (Rymbai, 2011).

The role of anthocyanins as food colorant is becoming increasingly important. Not only do

they contribute to the most important attributes of food but also they tend to yield potential

positive health effects, as they have been observed to possess potent antioxidant properties.

Anthocyanins are also approved as food colorants. The use of anthocyanins may show benefits

over that of synthetic colours (Duangmal, 2004).

Figure 2. Morfology of Coffee Berries

After the coffee beries (Figure 2) are harvested, they are processed in order to separate the

outer part of the coffee berry e.g coffee berry skin (exocarp), pulp (mesocarp), mucilage and the

endocarpal parchment part (Endeen, 2002).

Figure 3. Coffee Processing Method

Page 82: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.69

There are two ways in processing of the coffee berries: dry and wet processing method

(Figure 3). On the dry processing method, the separation of the outer part of the berries is done

after the berries are dried. While on the wet processing method, the separation of the outer part is

done before the drying step (Ridwansyah, 2003). In the wet processing method, coffee cheries are

depulped to remove the skin (exocarp) and the pulp (outer mesocarp). The The skins separated by

pulping are led away from the vats into the collection pits. These coffee pulps (Figure 4) represent

the most abundant waste produced during the pulping operation of the coffee. It represent 55,4% of

the fruit on dry wet basis (Murthy, 2012).

Figure 4. Coffee husk

Indonesia is currently the fourth largest coffee producers after Brazil, Vietnam and

Colombia (Figure 5) (Mawardi, 2007). The coffee production of Indonesia is up to 683 thousand

tons on 2008. (Deptan, 2009). Hence the potency of the coffee pulp is up to 378,3 thousand tons.

Unfortunately, though the volume of the coffee pulp is enormous, the utilization of coffee

pulp is not optimal yet. Commonly, the coffee husk is just collected around the coffee processing

location and become a pollutant. Recently, it is used as compost raw material, animal feed, raw

material for biogas production and activated carbon (Rathinavelu & Grazioni, 2005; Yesuf, 2010).

Therefor, it is urge to find a way to utilize coffee pulp. As describe above it is possible to utiltize

coffee pulp as raw material for anthocyanins production and use them as food colorant.

Figure 5. Composition of world coffee production (Mawardi, 2007)

Anthocyanin Extraction Methods

Extraction is a very important stage in the isolation, identification, and use of anthocyanins

Isolation of anthocyanin pigments from plants is typically done using solvent extraction processes.

Anthocyanins are polar molecules and consequently more soluble in polar solvents. Methanol is the

most commonly used solvent, but it is also considered more toxic and hazardous to handle than

other alcohols. Ethanol for example is more environmentally friendly and can also recover

anthocyanins with good quality characteristics (Bridgers, 2010). Beside the solvent type, solvent

concentration, liquid-to-solid ratio, temperature, and time are another important parameters

that are needed to be optimized (Zou, 2011). Solvent extraction of anthocyanin was applied in the

extraction of anthocyanin from purple sweet potato (Bridgers, 2010) and grape (Vanini, 2009).

Page 83: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

A.13. Potential production of food colorant from coffee pulp (Indah Hartati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

A.70

In order to seek more efficient methods for anthocyanin separation, solvent consumption

should be decreased, extraction time should be shortened, and extraction yield should be increased.

Various novel extraction techniques have been developed for the extraction of anthocyanin from

plants, such as microwave assisted extraction, ultrasound-assisted extraction, supercritical fluid

extraction, and enzymatic extraction.

Microwave assisted extraction of anthocyanin was investigated in anthocyanin separation

from mulbery (Zou, 2011), red rasbery (Zhangzou, 2007), purple corn (Yang, 2010), and from

grape skin (Liazida, 2011). Ultrasound assisted extraction was already investigated in anthocyanin

extraction from mulberry (Zou, 2011), grape peel and seed (Ghafoor, 2011) and red rasberry (Chen,

2007). The enhancement in extraction obtained by using ultrasound is mainly attributed to the

effect of acoustic cavitations produced in the solvent by the passage of an ultrasound wave.

Ultrasound also exerts a mechanical effect, allowing greater penetration of solvent into the tissue,

increasing the contact surface area between the solid and liquid phase. As a result, the solute

quickly diffuses from the solid phase to the solvent. Supercritical fluid extraction with CO2 has

been used for the extraction of phytochemical compound from natural products. Supercritical fluid

extraction of anthocyanin from elderberry pomace is already conducted by Seagra et.al (2008).

While supercritical fluid extraction of anthocyanin from grape peel and seed is already conducted

by Ghafoor et.al (2011). CO2 is an inert, non-toxic, environmentally friendly solvent and allows

extraction at lower temperatures and relatively low pressures. The extracts obtained by SFE are of

better quality than those obtained by organic solvent extraction methods. Supercritical fluid

extraction can be particularly attractive for the extraction of antioxidants and anthocyanins because

it may also avoid their thermal degradation, and due to the absence of light and oxygen, it can

prevent oxidation reactions (Seagra, 2008). Ping et.al (2008) extracted anthocyanin from

blackcurrant by using cellulase and pectinase. The research result showed that pectinase gave better

effect to extraction rate.

One of the separation methods described above can be applied in the separation of

anthocyanin from coffee pulp. Further researchs are needed in order to find the suitable methods.

CONCLUSION

Coffee pulp with its anthocyanin content can be utilize as the raw material for anthocyanin

production. Indonesia is currently the fourth largest coffee producer in the world. Hence Indonesia

has the potency to produce anthocyanin from coffee pulp and use it as food colorant. Several

methods that can be applied in the separation of anthocyanin from coffee pulp are include solvent

extraction, microwave assisted extraction, ultrasound assisted extraction, supercritical fluid

extraction and enzymatics extraction. Further researchs are needed in order to find the suitable

method for anthocyanin production from coffee pulp.

REFFERENCES

Aberoumand, A., 2011, “ A Review Article on Edible Pigments Properties and Sources as Natural

Biocolorants in Foodstuff and Food Industry”, World Journal of Dairy and Food Sciences

6(1):71-78

Bridgers, E.N., Chinn, M.S., Truong, V.D., 2010, “ Extraction of Anthocyanins from Industrial

Purple Fleshed Sweetpotatoes and Enzymatics Hydrolysis of Residues for Fermentable

Sugars”, Industrial Crops and Products 32:613-620

Chattopadhay, P., Chatterjee, S., Sen, S.K., 2008, “ Biotechnological Potential of natural Food

Grade Biocolorants”, African Journal of Biotechnology Vol 7 (17): 2972-2985

Chen, F., Sun, Y., Ghao, W., 2007,” Optimization Of Ultrasound-Assisted Extraction Of

Anthocyanins In Red Raspberries And Identification Of Anthocyanins In Extract Using

High-Performance Liquid Chromatography–Mass Spectrometry”, Ultrasonic Sonochemistry

Vol 14 (6):767-778

Departemen Pertanian, 2009, “ Outlook Komoditas Pertanian (Perkebunan)”

Duangmal, K., Saicheua, B., Sueeprasan, S., 2004,” Roselle Antocyanin as a Natural Food

Colorant and Improvement of its Colour Stability”, Proceeding of International Color

Association

Page 84: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang A.71

Endeen, J.C., Calvert, K.C., 2002,” Review of Coffee Waste Water Characteristic and Approach to

Treatment”

FSA, 2011.” Guidelines on Approach to the Replacement of Tartrazine Allura Red, Ponceau 4 R,

Quinolone Yellow and Carmoisine in Food and Beverages

Ghafoor, K., Fahad, J., Choi, Y.H., 2011,” Effect of Grape peel and Seed Extract on Phenolics and

Anthocyanins in Grape Juice”, Pakistan Journal of Botany, 43(3):1581-1586

Leather Food Research, 2010, “ The Global Market for Food Color”

Liazida, A., Guerrero, R.F., Cantos, E., Palma, M., 2011,”Microwave Assisted Extraction of

Anthocyanins from Grape Skin” Food Chemistry Vol 124 No 3:1238-1243

Ketmaro, P., Muansiri, W., Werawatganone, P., 2010,” UV Spectroscopic Characterization and

Stabilities of natural Colorants from Roselle Calyx Lac Resin and Gardenia Fruit”, Journal

of Health Research, 24 (1) :7-13

Martianto, D., 2010, “ Food and Nutrition Security Situation in Indonesia and its Implication for

the Development of Food Agriculture and Nutrition Education and Research at Bogor

Agricultural University”, Journal of Developments in Suitable Agriculture 5:64-81

Mawardi, S., 2007,” Promoting Specialty Coffees from Indonesia to be Promoted by Geographical

Indication”, Seminar on Geographical Indication

Murthy, P.S., Manjunatha, M.R., Sulochannama, G., Naidu, M.M., 2012,” Extraction,

Characterization and Bioactivity of Coffee Anthocyanins”, European Journal of Biological

Science 4 (1) :13-19

Ping, W., Yu, M., 2008,” Study on Enzymatic Extraction of Anthocyanins from Blackcurrant

Marc”, Chemistry and Industry of Forest Product

Rathinavelu, R., Grazioni, G., 2005, “ Potential Alternative Use of Coffee Wastes and By Product”,

Coffee Organization:1-4

Ridwansyah, 2003, “ Pengolahan Kopi”, Publikasi pada Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas

Sumatera Utara.

Rymbai, H., Sharma, R.R., Srivastav, M., 2011,” Biocolorant and Its Implication in Health and

Food Industry-A Review”, International Journal of Pharmtech Research”, Vol 3 No 4:2228-

2244

Sabitha, M., 2012,” Food Color Additives”

Seagra, I.J., Braga, M.E.M., Batista, M.T.P., Sousa, H., 2008,” Fractiobe High Pressure Extractiob

of Anthocyanins from Elderberry Pomace”, Food Bioprocess Technology DOI

10.1007/s119470081234-2

Vanini, L.S., Hirata, T.A., 2009,” Extraction and Stability of Anthocyanin from the Benitaka

Grape Cultivar “, Brazilian Journal of Food Technology Vol 12 (3):213-219

Yang, Z., Zhai, W., 2010,” Optimization Of Microwave-Assisted Extraction Of Anthocyanins

From Purple Corn (Zea Mays L.) Cob And Identification With HPLC–MS”, Innovative Food

Science and Emerging Technologies Vol 11 (3): 470-476

Yanggzhao, S., Xiaojun, L., Zhengfu, H., Fang, C., 2007, “ Optimization Of Microwave-Assisted

Extraction Of Anthocyanins In Red Raspberries And Identification Of Anthocyanin Of

Extracts Using High-Performance Liquid Chromatography - Mass Spectrometry”, E uropean

Food Research and Technology 225 (3-4): 511-523

Yesuf, Y.K., 2010,” Chemical Composition and In Vitro Digestibility of Coffee Pulp and Coffee

Husk Ensiled with Grass Hay and EM”, A Thesis at Jimma University

Zou, T.B., Wang, M., Gan, R.Y., Ling, W.H., 2011,” Optimization of Ultrasound Assisted

Extraction of Anthocyanins from Mulberry Using RSM”, International Journal of Molecular

Science, 12:3006-3017

Zou, T., Wang, D., Guo, H., Zhu, Y., Luo,X., Liu, F., Ling, W., 2011, “ Optimization of

Microwave-Assisted Extraction of Anthocyanins from Mulberry and Identification of

Anthocyanins in Extract Using HPLC-ESI-MS” Journal of Food Science Volume 77, Issue

1, pages C46–C50

Page 85: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.1

EFISIENSI PENGGUNAAN MUSICOOL PADA MESIN PENGKONDISIAN UDARA

MERK SADEN PADA MOBIL KIJANG SUPER

H. Samsudi Raharjo

Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Semarang e-mail: [email protected]

Abstrak

Penggunaan Air Conditioner dalam kenyamanan berkendara maupun dalam ruangan tertentu

adalah mutlak dibutuhkan dengan melihat kondisi cuaca yang panas saat ini. Musicool adalah

refrigeran dengan bahan dasar hidrokarbon alam sehinggga termasuk dalam kelompok

refrigeran ramah lingkungan, yang dirancang sebagai alternatif pengganti refrigeran sintetik

kelompok Halokarbon CFC : R-12, HCFC : R-22, dan HFC : R-134a yang masih memiliki

potensi merusak alam. Refrigerant syntetic terutama yang mengandung senyawa

Clurofluorocarbon (CFC) R-11 & R-12 mempunyai efek negatif terhadap lingkungan seperti

merusak lapisan ozon (Ozone Depleting Potensial/ ODP) dan sifat menimbulkan pemanasan

global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan efisiensi pada sistem pengkondisian

udara pada mobil kijang super serta kondisi udara titik masuk dan keluar evaporator dan

membandingkan antara refrigeran R-12 dengan MC-12. Pada perhitungan COP, terlihat

bahwa performance yang dihasilkan MUSIcool dengan kerja yang lebih kecil 2,8

menghasilkan pendinginan yang lebih besar dibandingkan dengan kerja yang dibutuhkan

freon 3,1. Dari pengambilan data terlihat bahwa temperatur yang dihasilkan menggunakan

MUSIcool MC-12 lebih rendah (7,1 oC) dibandingkan menggunakan freon R-12 (7,6

oC),

dengan tekanan pengisian MUSIcool lebih kecil (28 Psi).

Kata kunci: refrigeran MUSIcool, efisien, koefisien prestasi, ramah lingkungan

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dimana hal tersebut memerlukan suatu

alat untuk mengkondisikan udara didalam ruangan seperti Air Conditioner (AC). Akan tetapi terjadi

pula fenomena lain dari penggunaan AC yaitu dampaknya pada pemakaian refrigerant dalam

sistem air conditioning itu sendiri. Dimana refrigerant yang digunakan sebagian besar refrigerant

syntetic seperti: R-11, R-12, R-22, R-134a, R-502 dibandingkan bahan pendingin hydrocarbon.

Saat ini refrigeran yang efektif dan efisien sebagai pengganti R-12 adalah; MUSIcool (MC-

12) karena beberapa sifat positif yang dimiliki. Namun dalam penggunaannya MUSIcool harus

sesuai standar prosedur operasi, yaitu dengan persyaratan tertentu yang harus dilakukan agar lebih

aman dan nyaman.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan efisiensi pada sistem pengkondisian udara

pada mobil kijang super serta kondisi udara titik masuk dan keluar evaporator dan membandingkan

antara R-12 dengan MC-12, sehingga dalam penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan

pengendarara.

Penggunaan refrigerant syntetic tersebut pada umumnya mempunyai sifat-sifat yang sangat

baik dari segi teknik seperti kestabilan yang sangat tinggi, tidak mudah terbakar, tidak beracun dan

mudah diperoleh. Namun disamping sifat-sifat yang baik itu refrigerant syntetic terutama yang

mengandung senyawa Clurofluorocarbon (CFC) R-11 & R-12 mempunyai efek negatif terhadap

lingkungan seperti merusak lapisan ozon (Ozone Depleting Potensial/ ODP) dan sifat

menimbulkan pemanasan global. Pengungkapan secara ilmiah dari hasil penelitian Rowland dan

Mollina (1974) menunjukan bahwa CFC memiliki kontribusi dalam penipisan lapisan ozon, dan

semakin mengkhawatirkan.

MUSIcool adalah refrigerant dengan bahan dasar hydrocarbon alam sehingga termasuk

dalam kelompok refrigeran ramah lingkungan, yang dirancang sebagai alternatif pengganti

refrigerant syntetic kelompok Halocarbon CFC : R-12, HCFC : R-22, dan HFC : R-134a yang

masih memiliki potensi merusak alam.

MUSIcool yang diproduksi telah memenuhi persyaratan teknis sebagai refrigerant yang

meliputi sifat Fisika dan Thermodinamika serta uji kinerja pada siklus refrigerasi. Untuk

Page 86: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.1. Efisiensi penggunaan musicool pada mesin pengkondisian udara … (Samsudi Raharjo)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.2

mengetahui perbandingan efektifitas penggunaan MUSIcool ini dengan melakukan percobaan,

pengukuran dan penelitian sebelum dan sesudah penggantian freon ke MUSIcool pada mesin

pengkondisian udara pada mobil kijang super.

II. LANDASAN TEORI

2.1. MUSIcool

MUSIcool diproduksi dan dipasarkan telah memenuhi persyaratan teknis sebagai refrigeran

yang meliputi sifat fisika, thermodinamika serta uji kinerja pada siklus refigerasi. Pengkondisian

udara pada ruangan mengatur mengenai kelembaban, pemanasan dan pendinginan ruangan, atau

prinsip mesin refrigeran adalah proses pengambilan panas dari sumber yang didinginkan dan

dibuang ke temperatur yang lebih tinggi, (Arismunandar, 2000).

2.2. Prinsip Refrigerasi dan pengkondisian Udara

Refrigerasi dan pengkondisian udara merupakan terapan dari teori perpindahan kalor dan

thermodinamika. Sistem refrigerasi adalah suatu sistem yang menjadikan kondisi temperatur suatu

ruang berada dibawah temperatur semula (menjadikan temperatur dibawah temperatur siklus). Pada

prinsipnya kondisi temperatur rendah yang dihasilkan oleh suatu sistem refrigerasi diakibatkan oleh

penyerapan panas pada reservoir dingin (low temperature source) yang merupakan salah satu

bagian sistem refrigerasi tersebut. Panas yang diserap bersama-sama energi (kerja) yang diberikan

kerja luar dibuang pada bagian sistem refrigerasi yang disebut reservoir panas (high temperature

sink). Dalam suatu sistem refrigerasi jumlah panas yang diserap pada reservoir dingin merupakan

kuantitas yang terpenting, yang dapat menunjukkan berapa kapasitas pendingin yang dapat

diberikan oleh sistem refrigerasi.

2.3. Sistem Kompresi

Siklus Refrigerasi Carnot

Siklus carnot secara thermodinamika bersifat reversible. Mesin carnot menerima energi

kalor pada suhu tinggi merubah sebagian menjadi kerja dan kemudian mengeluarkan sisanya

sebagai kalor pada suhu yang lebih rendah. Siklus refrigerasi carnot merupakan kebalikan dari

siklus carnot dimana siklus refrigerasi menyalurkan energi dari suhu rendah menuju suhu yang

lebih tinggi, sehingga siklus refrigerasi membutuhkan kerja luar untuk mendapatkan kerja.

Diagram peralatan, diagram entalphi suhu dari siklus refrigerasi diperlihatkan pada gambar 2.1 dan

2.2 berikut ini :

Gambar 2.1 Peralatan Refrigerasi Carnot.

Page 87: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.3

Gambar 2.2 Siklus Refrigerasi Carnot.

2.4. Peralatan Mesin Pendingin

2.4.1. Kompresor

Kompresor merupakan jantung sistem kompresi uap, dimana kompresor berfungsi

mengubah fluida kerja berupa gas dari yang bertekanan rendah menjadi gas bertekanan tinggi yang

kemudian diteruskan menuju kondensor. Beberapa jenis kompresor untuk refrigeran adalah jenis

bolak-balik, rotari, dan sentrifugal.

2.4.2. Kondensor

Kondensor merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengubah atau mendinginkan gas

yang bertekanan tinggi berubah menjadi cairan bertekanan tinggi, dimana cairan tersebut dialirkan

ke orifice tube. Orifice tube berfungsi menurunkan cairan yang bertekanan tinggi menjadi tekanan

yang lebih rendah dan menjadi cairan dingin bertekanan rendah, dalam suatu sistem lain yang

disebut katup ekspansi.

2.4.3. Peralatan Ekspansi

Peralatan ekpansi dalam sistem refrigeran adalah menurunkan tekanan cairan refrigeran

dan mengatur aliran refrigeran ke evaporator.

2.4.4. Evaporator

Evaporator merupakan alat penukar kalor yang menyerap panas dalam ruangan melalui

kumparan pendingin dan kipas. Evaporator meniupkan udara dingin kedalam ruangan. Refrigeran

dalam ruangan mulai berubah kembali menjadi bertekanan rendah tetapi masih mengandung cairan

sedikit, campuran refrigeran kemudian masuk ke accumulator (pengering). Hal ini dapat berlaku

seperti orifice kedua cairan yang berubah menjadi uap bertekanan rendah yang murni, sebelum

melaui kompresor untuk memperoleh tekanan dan beredar dalam sistem lagi.

2.5. COP (Coefficient of Performance)

Skala suhu sekarang yang digunakan menurut satuan internasional (SI) adalah skala

Celcius, berdasarkan nominal pada titik lebur es pada 0 oC dan titik didih air pada tekanan atmosfir

pada 100 oC. Hukum kekekalan energi menerangkan bahwa ketika kerja dan energi panas

dipertukarkan maka tidak ada energi laba atau energi rugi, namun jumlah energi panas yang

didapat dikonversikan menjadi kerja terbatas.

Panas dari suhu rendah ke suhu tinggi tanpa masukan kerja eksternal adalah tidak mungkin.

Hubungan antara Q1, Q2 dan W hanya bergantung pada suhu reservoir panas dan dingin. Fisikawan

Perancis Sadi Carnot (1796-1832) adalah orang pertama yang memprediksi bahwa hubungan antara

kerja dan panas yang bergantung pada temperatur, dan proses pendinginan yang ideal dikenal

sebagai siklus carnot. Untuk menemukan hubungan ini, suhu harus didefinisikan secara lebih

mendasar.

Kelvin (1824-1907) bersama fisikawan terkemuka lainnya menyimpulkan bahwa skala

suhu mutlak dapat didefinisikan dalam hal efisiensi mesin reversibel. Rasio ideal output bekerja

Page 88: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.1. Efisiensi penggunaan musicool pada mesin pengkondisian udara … (Samsudi Raharjo)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.4

untuk masukan panas (W/Q1) dari mesin reversibel E sama dengan suhu perbedaan (T1-T0) dibagi

dengan suhu reservoir panas (T1). Pada gambar 2.10 untuk mencari kerja W dapat dirumuskan

sebagai berikut :

W = o

o

T

TTQ )(2

Sebelum melakukan penilaian suatu suatu sistem refrigerasi terlebih dahulu harus

ditetapkan ukuran keefektifan. Indeks prestasi ini tidak sama dengan efisiensi, karena ukuran

tersebut biasanya hanya menggambarkan perbandingan keluaran dan masukan. Pada gambar 2.11

terlihat bahwa perbandingan keluaran dan masukan ini akan tidak berguna jika digunakan dalam

sistem refrigerasi, karena proses keluaran akan terbuang. Konsep indeks prestasi pada refrigerasi

sama dengan efisiensi, yang menyatakan perbandingan, Istilah prestasi dalam sistem refrigerasi

disebut dengan koefisien prestasi atau COP (Coefficient of Performance) yang didefinisikan

sebagai :

Refrigerasi bermanfaat

COP =

Kerja bersih

COP = W

Q2 = )( 1 o

o

TT

T

III. METODOLOGI PENELITIAN

Spesifikasi :

Air Conditioner mobil kijang super Merk Saden,Voltage 12 Volt, Frequency 50 Hz, Net

Weight Inner 2 Kg, Capacity 0,5 kW.

Dari gas refrigeran ditekan melalui kompresor kemudian masuk melalui kondensor, setelah

melalui kondensor freon dirubah dari cair ke gas melalui pipa kapiler yang sebelumnya masuk ke

filter yang dilanjutkan ke evaporator yang berfungsi menghisap kalor dan membuangnya ke

kondensor. Setelah dari evaporator udara dingin yang ada di evaporator dikeluarkan melalui

blower.

Yang dipakai dalam penelitian ini adalah AC mobil merk Saden dengan kapasitas 12 Volt,

150 Watt dengan dimensi ruangan 2x3 m2, dengan freon R-12.

Langkah-langkah Penelitian

Dilakukan secara eksperimen dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut :

Menyiapkan AC dan peralatan (tang ampere, pressure & temperature gauge, charging

manifold dan pompa vakum)

Mencatat suhu di in door dan tekanan kondensor

AC dimatikan dan dikuras freon nya, sesuai dengan SOP

Melakukan pemvakuman sesuai SOP

Setelah freon habis, mengisi MUSIcool sampai tekanan memenuhi syarat

Selanjutnya AC dihidupkan dan di tes dengan pencatatan indikator

Page 89: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.5

IV. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan pengambilan data, analisa dan perhitungan yang diperoleh, dapat diambil

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada perhitungan COP, terlihat bahwa performance yang dihasilkan MUSIcool dengan kerja

yang lebih kecil 2,8 menghasilkan pendinginan yang lebih besar dibandingkan dengan kerja

yang dibutuhkan freon 3,1.

2. Dari pengambilan data terlihat bahwa temperatur yang dihasilkan menggunakan MUSIcool

MC-12 lebih rendah (7,1 oC) dibandingkan menggunakan freon R-12 (7,6

oC), dengan tekanan

yang dibutuhkan MUSIcool lebih kecil (28 Psi).

REFERENSI

Stoecker, Wilbert F. Dan Jones, Jerold W. (1996), Refrigerasi dan pengkondisian udara, Edisi

Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Moran, Michael J. Dan Shapiro, Howard N. (2004), Termodinamika Teknik Jilid 2 Edisi 4, Penerbit

Erlangga, Jakarta.

Pudjanarsa, Astu. Dan Nursuhut, Djati. (2006), Mesin Konversi energi, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Hundy, GF. (2010), Refrigerant and Air Conditioning, E-Book, Edisi 4

Raharjo, Samsudi. (2010), Analisa Performa Mesin Pendingin dengan Menggunakan MUSIcool

Hydrocarbon Refrigerant dari Kilang Migas, Simposium Nasional RAPI IX 2010,

ISSN:1412-19612.

Raharjo, Samsudi. (2011), Efektifitas Penggunaan MUSIcool Pada Mesin Pengkondisian Udara

Merk Panasonic dan Toshiba, Prosiding Seminar Nasional Sains 2, Unwahas.

www.google.com, Internet.

Page 90: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.2. Kaji eksperimental kinerja turbin angin vertikal multiblade tipe ... (Yusuf D. Herlambang )

ISBN 978-602-99334-1-3

B.6

KAJI EKSPERIMENTAL KINERJA TURBIN ANGIN VERTIKAL MULTIBLADE TIPE

SUDU CURVED PLATE PROFILE DILENGKAPI RUMAH ROTOR DAN EKOR

SEBAGAI PENGARAH ANGIN

Yusuf Dewantoro Herlambang

Program Studi Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Semarang (POLINES)

Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fax.(024) 7472396 E-mail : [email protected], [email protected]

Abstrak

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik tertentu dari model

turbin vertikal multiblade dengan sudu curved plate profile terhadap unjukkerja turbin

pada pembangkit listrik tenaga angin. Penelitian diawali dengan merancang dan

membuat sebuah model Turbin Angin Sumbu Vertikal (TASV) dengan tipe sudu curved

plate profile berjumlah 6 buah sudu yang terbuat dari material galvalum yang dilengkapi

dengan rumah rotor dan ekor sebagai pengarah angin, lengkap dengan instalasi

pengujiannya. Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik model. Pengujian dengan

variabel uji yaitu kecepatan angin pada 12,6 m/s, 9,95 m/s, 8,5 m/s, 6,5 m/s, 6,12 m/s,

5,95 m/s. Parameter penelitian yang diukur adalah kecepatan angin sebagai variable uji

untuk menghitung daya input turbin serta daya keluaran yang dihasilkan oleh generator

untuk menghitung daya output. Kinerja generator yang paling baik adalah yang

menghasilkan daya keluaran paling tinggi. Hasil akhir pada tahap ini adalah efisiensi

sistem yang paling optimum. Data hasil pengujian diolah untuk mendapatkan putaran

turbin, putaran generator, tegangan generator, daya generator, dan daya kinetik. Hasil

pengolahan kemudian disajikan dalam bentuk grafik karakteristik turbin meliputi

karakteristik daya dan efisiensi. Spesifikasi turbin adalah diameter poros 25 mm,

diameter rotor 600 mm, tinggi rotor 650 mm. Hasil uji menunjukkan putaran tertinggi

turbin 290 rpm pada kecepatan angin 12,6 m/s, kecepatan putar turbin terendah pada

142 rpm pada kecepatan angin 5,95 m/s. Didapatkan efisiensi tertinggi sebesar 22,3 %

pada kecepatan angin 6,12 m/s, putaran poros generator 244 rpm.

Kata kunci : curved plate, karakteristik, rumah rotor, turbin vertikal

PENDAHULUAN

Dengan semakin berkurangnya persediaan bahan bakar fosil khususnya di Pulau Jawa dan

terbatasnya kekayaan alam yang lain maka tenaga angin saat ini menjadi pilihan sebagai sumber

energi alternatif dan dalam rangka membantu penyediaan energi dunia.Angin merupakan salah

satu sumber energi potensial yang kuantitasnya cukup banyak untuk daerah-daerah di Indonesia,

tetapi belum banyak dimanfaatkan. Di Indonesia pemanfaatan energi angin masih lebih kecil

dibandingkan dengan sumber daya alam yang lain seperti minyak, gas, air dan sebagainya

(Hofman, 1987).

Sedangkan di Indonesia, 2/3 wilayahnya dalah perairan, di mana pada wilayah perairan

terdapat potensi angin yang bertiup lebih stabil. Energi angin merupakan salah satu energi alternatif

yang disediakan oleh alam yang dapat dimanfaatkan sebagai PLTB (Pembangklit Listrik Tenaga

Bayu), yaitu menggerakkan suatu alat untuk mengubah energi kinetik angin yang nantinya dapat

dimanfaatkan sebagai penggerak generator, pompa air dan sebagainya. Rotor (sudu) pada turbin

angin digunakan sebagai alat pengkonversi energi angin tersebut (Ariati, 2008).

Untuk itu dalam penelitian ini akan dikaji eksperimental pembuatan turbin angin skala

mikro. Turbin angin yang berputar yang kemudian menggerakkan poros dengan tranmisi belt

(sabuk) yang mennggerakkan poros generator. Generator akan merubah energi mekanik menjadi

energi listrik. Prisip kerja dari turbin angin VAWT dengan memanfaatkan angin yang berasal dari

blower kemudian angin ditankap oleh sudu-sudu turbin sehingga timbul energi mekanik yang

berasal dari poros turbin selanjutnya dikonversikan menjadi energi listrik yang berasal dari

generator. Energi kinetik dari massa udara m yang bergerak pada kecepatan v ()De Renzo, 1979).

Page 91: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.7

Pkin = 2

1 m . v

2

Mengacu pada luas potongan melintang tertentu A, yang dilewati lintasan udara pada

kecepatan v, volume V˙ mengalir melewati unit waktu tertentu, dinamakan aliran volume (volume

flow) dan laju aliran massa disebut m adalah (Lysen, 1983).:

m = ρ . A1 . v1

Gambar 1. Kondisi aliran karena pengeluaran energi mekanik dari arus bebas

aliran udara, mengacu pada teori dasar momentum

Energi mekanik yang mana dikeluarkan dari disk-shaped konverter dari aliran udara

berkaitan dengan perbedaan daya dari arus udara sebelum dan sesudah konverter :

Pkin = 2

1 ρ . A1 . v1

3 -

2

1 ρ . A2 . v2

3=

2

1 ρ ( A1 . v1

3 - A2 . v2

3 )

v1 : kecepatan arus-bebas undelayed, kecepatan angin

v2 : kecepatan aliran dibelakang konverter.

Persamaan kontinuitas yang diperlukan adalah:

ρ . A1 . v1 = ρ . A2 . v2

P = 2

1 ρ . A1 . v1

3 (v1

2- v2

2)

Dengan :

ρ : Massa jenis udara [ ]

A : Luas sapuan angin [m2]

v : Kecepatan angin [ ]

indeks 1 merupakan arah masuk

indeks 2 merupakan arah masuk

Daya akan dapat mencapai maksimum bila kecepatan v2 adalah nol. Akan tetapi, hasil ini

tidak bisa dibuat secara fisik sebagaimana dapat diduga, secara fisik hasil berarti terdiri rasio

kuantitatip (numerik) tertentu v2/v1 dimana daya yang dapat dikeluarkan mencapai maksimum

dengan v2/v1 = 16/27 atau cp = 0,593.

Page 92: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.2. Kaji eksperimental kinerja turbin angin vertikal multiblade tipe ... (Yusuf D. Herlambang )

ISBN 978-602-99334-1-3

B.8

Memakai hukum konservasi momentum, gaya yang dikeluarkan udara pada konverter

dapat dinyatakan sebagai:

F = m (v1- v2)

Daya mekanik keluar/output dari konverter dapat dinyatakan sebagai :

Pm = 0,25 ρ . A . (v12- v2

2) (v1+ v2)

Daya dari arus udara bebas/free-air stream (energi kinetik) adalah:

Pkin = 2

1 ρ . A1 . v1

3

Dari persamaan dapat diartikan sebagai berikut:

1. Daya angin adalah berbanding lurus terhadap massa jenis udara.

2. Daya angin adalah berbanding lurus dengan luas area sapuan dari rotor, hal ini berarti yang

dihasilkan sebanding dengan kuadrat diameter rotor, sedangkan untuk rotor pada jenis turbin

angin poros vertikal sebanding dengan luas proyeksi rotor turbin angin.

3. Daya angin berbanding lurus dengan pangkat tiga dari kecepatan angin, hal ini berarti bahwa

pemilihan tempat baik akan sangat menentukan besarnya daya yang dihasilkan. Rasio antara

daya mekanik yang dikeluarkan oleh konverter dand arus udara yang tidak terganggu (arus

bebas) itu dinamakan “koefisien daya/ power coefficient” Cp:

Koefisien daya dapat dinyatakan secara langsung sebagai fungsi rasio kecepatan,

Cp = k

m

p

p =

2

1[ 1 –(

1

2

v

v)

2][ 1 +

1

2

v

v]

Koefisien daya, yaitu rasio daya mekanik yang dapat dikeluarkan dengan daya yang

dikandung arus udara, oleh karena itu, sekarang hanya tergantung pada rasio kecepatan udara

sebelum dan sesudah konverter.

METODE PENELITIAN

Tahap awal penelitian adalah perancangan alat untuk memperoleh desain dan alternative

yang terbaik. Perancangan ini meliputi rotor angin, (terdiri dari sudu-sudu turbin), poros, sistem

transmisi, generator, dan beban. Sudu rotor yang akan dibuat berjumlah sudu 8 buah Sudu turbin

dibuat dari pelat galvalum dengan tebal 2 mm. Tinggi rotor 650 mm dan diameternta 600 mm.

Rotor turbin dilengkapi dengan sebuah poros pejal yang dibuat dari besi St 37 berdiameter 50 mm

dengan pengerjaan bubut. Poros turbin ini melekat pada cakra pemegang sudu dan diperkokoh

dengan menggunakan 2 buah bearing, yang berfungsi untuk menahan gaya aksial pada saat sudu

berputar. Sudu turbin ini terpasang pada suatu cakra sebagai pemegang sudu akan digunakan mur

dan baut ukuran M12. Puli berfungsi untuk meneruskan energi mekanik putaran poros turbin

menuju ke generator. Puli ini terbuat dari bahan aluminium berdiameter 3 inchi dan disesuaikan

dengan sambungan puli pada generator listrik. Jenis puli yang digunakan adalah tipe v-belt dengan

maksud agar tidak terjadi slip puli. Sabuk atau belt yang digunakan menyesuaikan bentuk alur dari

puli, sabuk terbuat dari bahan karet campuran. Generator listrik, berfungsi untuk merubah energi

mekanik putaran poros turbin menjadi energi listrik. Generator listrik yang akan digunakan adalah

generator AC sinkron putaran 290 rpm pada tegangan 50 volt (pada beban nol). Panel papan kayu,

berfungsi untuk merekam data dan hasil uji alat. Instalasi panel dibuat dari kayu lapis setebal 0,5

cm dengan lebar 50 x 30 cm. Papan panel dilengkapi dengan instalasi kabel dan pada papan kayu

diberi lubang untuk rangkaian alat ukur Amperemeter, Voltmeter dan Beban yang berupa lampu

bohlam. Lampu bohlam ditempatkan pada fitting yang berjumlah 15 buah @ 2,5 Watt, fitting juga

dipasang pada papan kayu. Alat ukur, digunakan untuk mengukur parameter-parameter yang

Page 93: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.9

diperlukan dalam pengujian yang meliputi anemometer untuk mengukur kecepatan angin, Torsi

meter untuk mengukur torsi keluaran turbin, Tachometer untuk mengukur putaran poros turbin.

Amperemeter untuk mengukur arus listrik keluaran generator, dan Voltmeter untuk mengukur

tegangan listirk.

Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik model. Dalam uji ini akan dilakukan pengujian

turbin TASV dengan variabel uji kecepatan angin yaitu 12,6 m/s, 9,95 m/s, 8,5 m/s, 6,5 m/s, 6,12

m/s, 5,95 m/s. Uji dilakukan di laboratorium mesi-mesin fluida Program Studi Teknik` Konversi

Energi Jurusan Teknik Mesin Polines menggunakan alat Blower yang menghasilkan kecepatan

angin yang dapat diatur untuk menggerakkan rotor turbin HAWT. Parameter penelitian yang

diukur adalah kecepatan angin (sebagai variabel uji) untuk menghitung daya input turbin serta daya

yang dihasilkan oleh generator listrik untuk menghitung daya output generator. Kinerja generator

yang paling baik adalah yang menghasilkan daya keluaran paling tinggi. Hasil akhir pada tahap ini

adalah efisiensi system yang paling optimum.

Gambar 2. Rancangan instalasi pengujian turbin angin TASV : (1) ekor pengarah

angin; (2) rumah rotor; (3) sudu curved plate; (4) rangka alat; (5) transmisi

gear/puli; (6) generator; (7) papan/panel beban

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji kinerja turbin angin vertikal multiblade curved plate profile dilakukan untuk

mendapatkan karakteristik sistem turbin tersebut. Masing-masing karakteristik adalah efisiensi

turbin, daya generator, dan tegangan listrik. Hasil uji eksperimental untuk mendapatkan

karakteristik tertentu dari model turbin vertikal multiblade dengan sudu curved plate profile

terhadap unjukkerja turbin pada pembangkit listrik tenaga angin seperti terlihat pada gambar 3, 4,

dan 5.

Gambar 3 menunjukkan grafik hubungan antara efisiensi turbin terhadap putaran turbin.

Ada enam buah kurva berdasarkan input kecepatan angin yang berbeda, yaitu 12,6 m/s, 9,95 m/s,

8,5 m/s, 6,5 m/s, 6,12 m/s, dan 5,95 m/s. Keenam kurva memiliki kecenderungan yang sama yaitu

efisiensi turbin meningkat seiring bertambahnya putaran turbin (rpm) hingga mencapai titik

optimum, kemudian turun walaupun putaran turbin (rpm) bertambah, yang artinya kenaikan

putaran turbin (rpm) sebanding dengan kenaikan efisiensi turbin. Dapat dikatakan juga, bahwa

untuk input energy dan putaran yang sama, efisiensi dan daya yang dihasilkan turbin berubah.

Berdasarkan gambar 3 tersebut terlihat bahwa masing-masing kecepatan angin memiliki

efisiensi turbin optimum yang berbeda. Pada kecepatan angin 6,12 m/s turbin memiliki efisiensi

turbin tertingi yaitu 22,3% diperoleh pada putaran turbin 148 rpm. Sedangkan efisiensi terendah

yaitu 1,4% pada putaran 279 rpm, pada kecepatan angin 12,6 m/s.

Page 94: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.2. Kaji eksperimental kinerja turbin angin vertikal multiblade tipe ... (Yusuf D. Herlambang )

ISBN 978-602-99334-1-3

B.10

Gambar 3. Grafik hubungan efisiensi sistem (ηsistem) VS putaran turbin(n)

Gambar 4. Grafik hubungan Tegangan Generator Vs Putaran Generator

Gambar diatas menunjukkan grafik hubungan antara putaran generator (rpm) dengan

tegangan yang dihasilkan. Terdapat enam kurva yang membedakan setiap input kecepatan yaitu

seperti yang terlihat pada kurva diatas. Keenam kurva memiliki kecenderungan yang sama yaitu

tegangan listrik (volt) yang dihasilkan meningkat seiring dengan bertambahnya putaran generator

(rpm) hingga mencapai titik maksimum, yang berarti bahwa kenaikan tegangan listrik (volt) yang

dihasilkan turbin sebanding dengan kenaikan putaran generator (rpm). Turbin dengan input

kecepatan 12,6 m/s diperoleh tegangan keluaran generator tertinggi sebesar 50 Volt pada putaran

generator 567 rpm. Sedangkan tegangan keluaran generator terendah 11 Volt didapat pada putaran

generator 170 rpm pada kecepatan angin 5,95 m/s.

Gambar 5 menunjukkan grafik hubungan antara putaran generator (rpm) dengan daya

generator (Watt). Berdasarkan input kecepatan angin yang berbeda, ada enam kurva. Keenam

kurva memiliki kecenderungan yang sama yaitu daya generator (Watt) meningkat seiring dengan

bertambahnya putaran generator (rpm) hingga mencapai titik optimum. Kemudian akan turun

walaupun putaran generator (rpm) bertambah. Hal ini berarti kenaikan putaran generator (rpm)

sebanding dengan kenaikan daya generator (Watt). Berdasarkan kurva pada gambar 5 tersebut

terlihat bahwa masing-masing perbedaan input kecepatan angin memiliki daya generator optimum

yang berbeda. Hasil input kecepatan angin 9,95 m/s didapatkan daya generator optimum 10,5 Watt

Page 95: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.11

didapat pada putaran generator 369 rpm. Sedangkan daya generator terendah 0,88 Watt didapat

pada putaran generator 278 rpm, pada kecepatan angin 5,95 m/s.

Gambar 5. Grafik hubungan Daya Generator Vs Putaran Generator

KESIMPULAN Setelah melakukan pengujian pada turbin angin VAWT, maka dapat disimpulkan

spesifikasi turbin VAWT adalah sebagai berikut : Diameter Poros 25 mm, Diameter Rotor 600 mm,

Tinggi Rotor 650 mm, Kec putar tercepat turbin 290 rpm pada kec angin 12,6 m/s, Kec putar

terendah turbin 142 rpm pada kec angin 5,95 m/s. Spesifikasi Generator : Tegangan tertinggi 50

volt .pada 290 rpm (beban nol), Tegangan terendah 28 volt .pada 160 rpm (beban nol), Daya output

10,5 watt, Regulasi tegangan 60% pada 290 rpm. Berdasarkan hasil pengujian turbin angin VAWT,

didapatkan efisiensi turbin tertinggi sebesar 22,3 % pada kecepatan angin 6,12 m/s, putaran poros

generator 148 rpm. Pada tegangan keluaran 20 V, arus keluaran 0,29 A, energi kinetik 26 watt

,daya generator 5,8 watt. Efisiensi terendah adalah 1,4 % didapatkan pada kecepatan 12,6 m/s, dan

putaran generator 463 rpm. Pada tegangan 42 V. Arus keluaran 0,08 A, energi kinetik 227,02 watt,

daya generator 3,36 watt.

DAFTAR PUSTAKA

Ariati, R. 2008. Pengembangan Desa Mandiri Energi (DME) Berbasis Energi Non Fosil.

http://www.energi terbarukan.net., diakses 20 Agustus 2009

AWEA. 2004. The American Wind Energy Association. http://www.awea.org. diakses tanggal 5

Oktober 2009

BWEA. 2002. The British Wind Energy Association. http://www.bwea.com. diakses tanggal 6

Oktober 2009

De Renzo. 1979. Fundamentals of Wind Turbines. Mc Graw-Hill Inc Publisher. New York. USA

Dietzel, F. dan Dakso Sriyono. 1988. Turbin, Pompa Dan Kompresor, Erlangga, Jakarta.

El Wakil, M. 1987. Mesin Konversi Energi untuk Pembangkit Daya. Jakarta. Erlangga

Hartanto W. 2007. Pembuatan dan Pengujian Turbin Angin Darrieus dengan Variasi Sudut

Sudu untuk PLTAn. Polines. Semarang

Choiron M. 2007. Unjukkerja Turbin Angin Nibe 3-Sudu Menggunakan Inverter untuk

Pembangkit Listrik Tenaga Angin. Polines. Semarang

Hofman H dan Harun. 1987. Energi Angin. Penerbit Binacipta, Jakarta

Lysen, EH. 1983. Introduction to Wind Energy. 2nd Edition, Amersfoort, Netherlands,

Consultancy Services Wind Energy Developing Countries Sularso dan Kiyokatsu Suga, 2002, DasarPerencanaan & Pemilihan Elemen Mesin, Pradnya

Paramita, Jakarta

Page 96: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.12

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER

TERHADAP ENTRAINMENT RATIO DAN DISTRIBUSI TEKANAN

PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD

Bachtiar Setya Nugraha, ST

Program Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang

Program Studi Teknik Mesin Universitas Muria Kudus

Gondangmanis PO.Box 53-Bae, Kudus, telp 0291 4438229-443844, fax 0291 437198 E-mail: [email protected]

Abstrak

Pada situasi krisis energi seperti sekarang ini ejector refrigeration dapat sebagai solusi yang

tepat, karena ejector merupakan alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida dengan jalan

memanfaatkan aliran fluida lain. Fluida yang digunakan untuk mendorong aliran fluida lain

disebut primary fluid, sedangkan fluida yang terdorong disebut fluida isap/secondary fluid.

Steam ejector banyak digunakan pada industri misalnya pada proses pendinginan fluida,

proses pevakuman dan sebagainya. Keuntungan dari steam ejector di banding sistem-sistem

yang lain adalah steam ejector memerlukan sedikit sumber energi, umur komponen tahan

lama, karena tidak ada komponen yang bergerak, ramah lingkungan, karena menggunakan

fluida air. Adapun kelemahan steam ejector adalah COP yang dihasilkan rendah. Entrainment

ratio akan mempengaruhi nilai COP pada sistem, bila menginginkan nilai COP tinggi maka

harus meningkatkan entrainment ratio dan untuk meningkatkan nilai entrainment ratio,

dengan memvariasi geometri ejector. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

variasi sudut mixing chamber terhadap entrainment ratio dan distribusi tekanan pada steam

ejector dengan menggunakan CFD ( Computational Fluid Dynamics ) Geometri yang

divariasikan adalah pada sudut Mixing Chamber yaitu: 3,5o,5

o,7

o dan 13

o. Dari penelitian ini

dihasilkan pada eksperimen nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi pada sudut mixing

chamber 7° menghasilkan entrainment ratio (ω)= 0,71 pada tekanan boiler 5 . Pada simulasi

nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi terjadi pada sudut mixing chamber 7° menghasilkan

entrainment ratio (ω)= 3,32 pada tekanan boiler 5 . Semakin tinggi tekanan boiler, semakin

tinggi kecepatan yang terjadi di sepanjang ejector maka semakin besar daerah vakum yang

dihasilkan. Hal ini yang menyebabkan laju aliran massa secondary flow yang terhisap semakin

banyak sehingga semakin besar nilai entrainment ratio yang dihasilkan. Pada Eksperimen

Distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat nilai maximum pada

titik 9 pada throat sebesar 104693 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7° pada tekanan boiler

5 . Pada simulasi distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat

nilai maximum pada throat sebesar 101410,4 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7° pada

tekanan boiler 5 .

Kata kunci : COP, entrainment ratio, mixing chamber, steam ejector

1. PENDAHULUAN

Ejector adalah alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida dengan jalan

memanfaatkan aliran fluida lain. Fluida yang digunakan untuk mendorong aliran fluida lain disebut

primary fluid, sedangkan fluida yang terdorong disebut fluida isap/secondary fluid (R.F. Maria,

2001).

Gambar 1.1. Ejector (Mayer, A.J, 2006).

Page 97: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.13

Gambar 1.1 menunjukkan skema dari ejector. Ejector terdiri dari empat bagian, yaitu

primary nozzle, mixing chamber, throat, dan diffuser. Di dalam boiler, air dipanaskan sehingga

menjadi uap superheater yang bertekanan tinggi. Kemudian uap superheater (primary fluid)

mengalir melalui primary nozzle dan keluar dari nozzle mencapai kecepatan supersonic, karena

tekanan statis pada suction chamber sangat rendah maka uap yang berada dalam evaporator yang

disebut secondary fluid terhisap menuju suction chamber. Kemudian uap akan bercampur pada

mixing chamber dengan tekanan yang konstan, dan mengalir melalui constant area section yang

selanjutnya kecepatan menurun menjadi subsonic, seiring laju aliran ke diffuser, tekanan akan

meningkat.

Steam ejector banyak digunakan pada industri misalnya pada proses pendinginan fluida,

proses pevakuman dan sebagainya. Keuntungan dari steam ejector di banding sistem-sistem yang

lain adalah steam ejector memerlukan sedikit sumber energi, umur komponen tahan lama karena

tidak ada komponen yang bergerak, ramah lingkungan karena menggunakan fluida air. Adapun

kelemahan steam ejector adalah COP yang dihasilkan rendah (Chunnanond K., 2003). Entrainment

ratio mempengaruhi nilai COP pada sistem, bila menginginkan nilai COP tinggi maka entrainment

ratio ditingkatkan dengan memvariasi geometri pada ejector.

Kecenderungan dalam industri saat ini adalah dibutuhkannya suatu model desain yang

dapat ditampilkan secara visual. Hal ini disebabkan oleh kondisi persaingan global yang menuntut

strategi usaha untuk memasarkan produk yang lebih cepat dan juga adanya suatu tingkat kebutuhan

dalam mencari solusi yang lebih inovasi. Melalui visualisasi model desain komputerisasi dapat

meningkatkan efisiensi proses perancangan,

Computational Fluid Dynamics adalah salah satu metode komputasi yang tepat, karena

menggunakan metode numerik dan algoritma untuk menyelesaikan, menganalisa masalah-masalah

aliran fluida (Meyer,A.J., 2006). Dalam perancangan atau rekayasa pada aliran fluida, sebuah

software diperlukan untuk mensimulasikan secara cepat dan tepat, meskipun alirannya sangat rumit

untuk dianalisa, seperti halnya aliran turbulen.

Pada penelitian ini CFD digunakan sebagai sarana untuk menganalisa pengaruh variasi

sudut mixing chamber inlet terhadap entrainment ratio dan distribusi tekanan pada steam ejector,

Alasan pemilihan variasi sudut mixing chamber dapat dijelaskan sebagai berikut: Gelombang aliran

motive (jet core) akan menarik secondary flow masuk ke mixing chamber, dimana secondary flow

akan mengalami percepatan sehingga kecepatannya bertambah namun tekanan secondary flow akan

berkurang, sehingga akan terjadi perbedaan laju aliran massa dari secondary dan primary. Dan

karena steam ejector mempunyai beberapa bagian seperti, primery nozzle, mixing chamber, thoat

dan diffuser dengan variasi sudut mixing chamber yang berpengaruh terhadap perbedaan laju aliran

massa dari secondary dan primary, juga akan mempengaruhi distribusi tekanan pada bagian-bagian

dari steam ejector.

Dengan variasi sudut mixing chamber akan mempengaruhi besar kecilnya laju aliran massa

dari secondary dan primary, sehingga akan berpengaruh juga terhadap besar kecilnya entraiment

ratio sekaligus berpengaruh pada distribusi tekanan pada masing-masing bagian pada steam

ejector.

2. DASAR TEORI

Dalam sistem refrigerasi daur kompresi uap setiap komponen-komponen sistem bekerja

secara serempak dan simultan. Komponen-komponen utama sistem refrigerasi daur kompresi uap

terdiri dari:

1. Kompresor

2. Kondensor

3. Katup ekspansi

4. Evaporator

Gambar 2.1. Skema siklus dan diagram siklus kompresi uap (Çengel, 2005)

Page 98: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.14

2.1. Performa Ejector Refrigeration System

Gambar 2.2. P-h diagram ejector refrigeration system (K. Pianthong, 2007).

Gambar 2.2 merupakan P-h diagram ejector refrigeration system. Ejector berfungsi

sebagai pengganti kompresor yaitu menaikkan tekanan serta mensirkulasikan refrigerant dari

evaporator menuju kondenser. Dengan demikian berarti bahwa ejector membawa atau mengambil

uap refrigeran dari evaporator. Kemampuan ejector untuk mengambil uap refrigeran (secondary

flow) dapat dinyatakan dengan entrainment ratio yaitu perbandingan antara laju aliran massa

dari evaporator (secondary flow ms) dengan laju aliran massa dari boiler yang melalui nozzle

(primary flow mp) (K. Pianthong, 2007),

p

s

m

m

(2.1)

3. METODOLOGI

Gambar 3.1 Diagram Alir Prosedur Simulasi

Page 99: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Batas

1 Tipe meshing Quad

2 Tipe element Sub map

3 Jumlah mesh 12.351

4 Qualitas meshing 0,604 (0-0,85)

5

Motive

Suction

Discharge

Pressure inlet : 300.000, 400.000, 500.000 Pa

Pressure inlet : sesuai tabel

Pressure outlet : 101325 Pa

4.2. Material

Name

Material Type

Density (kg/m3)

Cp (J/kg-k)

Thermal Conductivity (W/m-k)

Viscosity(kg/m-s)

Water vapor

Fluid

Ideal Gas

2014

0,0261

1.34e-05

Tabel 4. 1. Hasil Entrainment Ratio Simulasi dan Eksperimen. Variasi

sudut Tekanan motive (bar )

Mixing

chamber

5 bar

simulasi 5 bar Eksp.

4 bar

simulasi 4 bar Eksp.

3 bar

simulasi 3 bar Eksp.

3,50 2,356783186 0,50543807 2,37983122 0,496243229 2,108872452 0,443908022

50 2,48836111 0,53670695 2,486030377 0,536781408 2,306128533 0,519076098

70 3,324303168 0,70574018 3,146691115 0,643019395 2,652623175 0,559063724

130 3,214501491 0,66344411 3,118724253 0,623973441 2,511208714 0,453908022

Gambar 4.1. Diagram perbandingan hasil entrainment ratio simulasi dengan eksperimen.

Data hasil perolehan perbandingan entrainment ratio simulasi dan eksperimen dapat di

lihat pada Tabel 4.1, dan bentuk diagram dapat dilihat pada Gambar 7.1 yaitu dapat dijelaskan

bahwa nilai entraiment ratio pada simulasi dan eksperimen yang terbesar adalah sama yaitu pada

tekanan motive 5 bar dengan sudut mixing chamber 70. Sedangkan nilai entraiment ratio pada

simulasi yang terkecil yaitu pada tekanan motive 3 bar dengan sudut 3,50, dan nilai entrainment

ratio pada eksperimen yang terkecil yaitu pada tekanan motive 3 bar dengan sudut 3,50.

Page 100: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.16

4.3. Perbandingan Vektor Kecepatan pada Tekanan Motive 5 bar pada sudut mixing

chamber 70 , dengan Tekanan Motive 3 bar pada sudut 3,5

0.

Gambar 4.2. Vektor Kecepatan pada Tekanan Motive 5 bar pada sudut 70.

Gambar 4.2 menunjukkan vektor kecepatan dengan Tekanan Motive 5 bar pada sudut 70

dapat dijelaskan bahwa laju aliran massa pada secondary flow relatif tinggi. yaitu dengan

penjelasan bahwa kecepatan maksimal 9.52e+01 sampai 1.67e+02 m/s, sehingga aliran massa

secondary flow yang terhisap relatif besar, maka nilai entrainment ratio yang dihasilkan juga

mengalami peningkatan.

Gambar 4.3. Vektor Kecepatan pada Tekanan Motive 3 bar pada sudut 3,50.

Gambar di atas menunjukkan vektor kecepatan dengan Tekanan Motive 3 bar pada sudut

3,50, dapat dijelaskan bahwa kecepatan yang dihasilkan relatif rendah yaitu dengan penjelasan

bahwa kecepatan maksimal 5.40e+01 sampai 1.7e+02 m/s,. Dengan demikian maka nilai

entrainment ratio yang dihasilkan juga mengalami penurunan.

Page 101: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.17

Gambar 2.4. Distribusi Tekanan Pada Ejector Sudut 7 Dengan Tekanan 5 bar

Pada distribusi tekanan 5 bar , sudut mixing chamber 70

hasil eksperimen menunjukkan

distribusi tekanan pada 10 mm / Titik 1, 85 mm / Titik 2 dan 160 mm / Titik 3 tekanan hampir

berimbang yaitu 101505 Pa, 101521 Pa, 101783 Pa. Hal ini karena pengaruh tekanan pada bagian

tersebut sangat kecil.

Menuju 180 mm / Titik 4 sebesar 102731 Pa tekanan sudah mengalami kenaikan, hingga

didapat tekanan maksimal pada 305 mm / Titik 9 yang berada pada throat. Pada titik ini

memiliki nilai tekanan maksimum sebesar 104693,1 Pa seperti terlihat pada Tabel 7.4. Ini terjadi

karena pada titik tersebut merupakan titik vakum terendah sehingga tekanan hisapnya semakin

besar.

Selanjutnya grafik menunjukkan terjadinya penurunan hingga nilai yang didapat sama

dengan tekanan atmosfer yaitu di mulai posisi 377 mm / Titik 12 hingga posisi 537 mm / Titik 14

pada tekanan 102257 Pa sampai tekanan 101341 Pa yang berada pada sisi diffuser.

Gambar 2.5. Distribusi Tekanan Pada Ejector Sudut 3.5 Dengan Tekanan 3 bar

Pada distribusi tekanan 3 bar , sudut mixing chamber 3,50

hasil eksperimen menunjukkan

distribusi tekanan pada posisi 10 mm / Titik 1, 85 mm / Titik 2 dan 160 mm / Titik 3 tekanan

hampir berimbang yaitu 101341 Pa, 101325 Pa. Hal ini karena pengaruh tekanan pada bagian

tersebut kecil.

Menuju posisi 180 mm / Titik 4 tekanan sudah mengalami kenaikan, hingga didapat tekanan

maksimal pada posisi 305 mm / Titik 9 yang berada pada throat. Pada titik ini memiliki nilai

tekanan maksimum sebesar 102273 Pa dengan hasil lebih rendah dari distribusi tekanan pada

tekanan motive 5 bar, sudut mixing chamber 70 yaitu sebesar 104693 Pa.

Page 102: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.3. Analisa pengaruh variasi sudut mixing chamber ... (Bachtiar S. Nugraha)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.18

Dan selanjutnya grafik menunjukkan terjadinya penurunan hingga nilai yang terjadi hampir

sama dengan tekanan atmosfer yang terjadi mulai 357 mm / Titik 11 hingga 537 mm / Titik 14

yaitu dari tekanan 101913 Pa sampai pada tekanan 101374 Pa yang berada pada sisi diffuser.

5. KESIMPULAN

1. Pada Sudut mixing chamber mempengaruhi nilai entrainment ratio dari sistem refrigerasi yang

terjadi karena pengaruh luasan constant area nozzle.

2. Pada Sudut mixing chamber mempengaruhi nilai entrainment ratio dari sistem refrigerasi yang

terjadi karena berpengaruh terhadap laju aliran massa secondary yang terhisap.

3. Pada Eksperimen Nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi terjadi pada sudut mixing chamber

7° menghasilkan entrainment ratio (ω)= 0,71 pada tekanan boiler 5 bar.

4. Pada Simulasi Nilai entrainment ratio (ω) paling tinggi terjadi pada sudut mixing chamber 7°

menghasilkan entrainment ratio (ω)= 3,32 pada tekanan boiler 5 bar .

5. Pada Eksperimen Distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat nilai

maximum pada titik 9 pada throat sebesar 104693 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7°

pada tekanan boiler 5 bar.

6. Pada Simulasi Distribusi tekanan terjadi sepanjang ejector dan pada pengujian didapat nilai

maximum pada titik 10 pada throat sebesar 101410,4 Pa yaitu pada sudut mixing chamber 7°

pada tekanan boiler 5 bar.

DAFTAR PUSTAKA

B.J. Huang, J.M. Chang, C.P. Wang and V.A. Petrenko, (1999) “A 1-D analysis of ejector

performance, Int. J. Refrigeration, 22, 354-364.

Çengel Yunus A, Michael A. Boles, (2005), “Thermodynamics An Engineering Approach”, 5th

1ed, McGraw-Hill.

Dalimunthe, Indra S, (2004),” Pengantar Teknik Refrigerasi”, Program Studi Teknik Kimia,

Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

E. Rusly, Lu Aye, W.W.S. Charters, A. Ooi, 2005,”CFD analysis ejector in a combined ejector

cooling system”, International Journal of Refrigeration 28.

Fox Robert W, Alan T. McDonald, (1999), “Introduction to Fluid Mechanics”, 4ed, John Wiley

and Sons.

FLUENT, Inc, (1998), “Manual FLUENT Documentation”, FLUENT, Inc.

Jacobus Meyer Adriaan, (2006), “Steam Jet Ejector Cooling Powered By Low Grade Waste or

Solar Heat”,

Stellenbosch University.

James R. Lines, Graham Corp,(2004), “Understanding Ejector System Necessary to Troubleshoot

Vacuum Distillation”.

Kanjanapon Chunnanond, Satha Aphornratana, (2003), “An experimental investigation of a steam

ejector refrigerator: the analysis of the pressure profile along the ejector”, Thammasat

University, Thailand.

K. Pianthong, Wirapan Seehanam, M. Behnia, T. Sriveerakul, S. Aphornratana, , (2007),

“Investigation And Improvement of Ejector Refrigeration System Using CFD technique”,

Ubon Ratchatany University, Thailand.

Schutte & Koerting, (2000),”Steam Jet Ejectors”.

Somsak Watanawanavet, (2005), “Optimization of High-Effeciency Jet Ejector By Computational

Fluid Dynamics Software”.

Shenyi Wu, BEng, MSc, (1999), “Investigation of Ejector Re-Compression Absorption

Refrigeration Cycle”, University of Nottingham.

Tuakia, Firman, (2008), “Dasar-dasar CFD Menggunakan FLUENT”, Informatika, Bandung.

Victor L.Steeter, (1990), “Mekanika Fluida”, Erlangga, Jakarta.

Wirapan Seehanam, Kulachate Pianthong, Masud Behnia, K. Chunnanond, S. Aphornratana,

(2007),”Simulation on performance of CPM and CRMC Steam Ejectors Using CFD

Technique”, Ubon Ratchatany University, Thailand.

Wilbert F Stoecker, Jerold W Jones, (1996),” Refrigerasi dan Pengkondisian Udara”, Erlangga.

White, Frank M, (1988), “Mekanika Fluida Edisi Keempat”, Erlangga, Jakarta.

Page 103: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.19

KAJI EKSPERIMEN TURBIN ANGIN POROS HORIZONTAL

TIPE KERUCUT TERPANCUNG DENGAN VARIASI SUDUT SUDU

UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ANGIN

Bono

Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. H. Sudarto, S.H., Tembalang, Kotak Pos 6199 SMS, Semarang 50329

Telp. 7473417, 7466420 (Hunting), Fax.7472396. E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan meneliti Turbin Angin poros horisontal tipe Kerucut Terpancung

dengan variasi sudut sudu untuk pembangkit listrik tenaga angin. Turbin yang diuji memiliki

diameter runner terbesar D1=60 cm,dan diameter runner terkecil D2=20 cm, tinggi kerucut

terpancung H=35 cm, jumlah sudu Z=10 buah, dan variasi sudut sudu. Penelitian ini diawali

dengan membuat Turbin Angin poros horisontal tipe Kerucut Terpancung dengan variasi sudut

sudu yang terdiri dari runner, dan poros turbin. Runner turbin terdiri dari piringan bentuk

kerucut terpancung dan sudu yang dapat diatur sudutnya. Instalasi pengujian terdiri dari

komponen utama blower, turbin angin, Generator listrik atau dinamometer turbin, yang

dilengkapi alat ukur pengujian meliputi anemometer, tachometer, termometer, Volt meter,

Ampere meter dan neraca pegas. Pengujian yang dilakukan meliputi uji karakteristik turbin,

dimana sudut sudu divariasikan mulai dari sudut 150. Sampai dengan 60

0. Parameter yang

diukur dalam pengujian adalah kecepatan aliran angin, putaran dan torsi poros turbin.

Parameter yang ditentukan dan merupakan variabel dalam penelitian ini adalah sudut sudu,

yaitu 150, 30

0, 45

0, 60

0. Beban turbin divariasikan dan setiap variasi dilakukan pencatatan

terhadap parameter-parameter diatas. Hasil penelitian terhadap masing-masing sudut sudu

turbin pada berbagai kecepatan angin menunjukkan bahwa pada sudut sudu sebesar 300

menghasilkan daya mekanik terbesar dibandingkan dengan sudut sudu 150, 45

0,dan 60

0.

Sedangkan efisiensi total maksimum sebesar 20,75% dicapai pada sudut sudu 300 dan

kecepatan angin 5 m/s.serta pada putaran 136,7 rpm.

Kata kunci : Turbin kerucut terpancung, jumlah sudu

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyediaan energi di masa depan merupakan permasalahan yang senantiasa menjadi

perhatian semua bangsa karena bagaimanapun juga kesejahteraan manusia dalam kehidupan

modern sangat terkait dengan jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkan. Bagi Indonesia yang

merupakan salah satu negara sedang berkembang, penyediaan energi merupakan faktor yang sangat

penting dalam mendorong pembangunan. Seiring dengan meningkatnya pembangunan terutama

pembangunan di sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan

akan energi terus meningkat.

Energi listrik yang disediakan oleh P.T.Perusahaan Listrik Negara (PT.PLN) sampai saat

ini masih belum dirasakan secara merata oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang jauh

dari jangkauan jaringan listrik. Oleh karenanya diperlukan sumber energi alternatif yang dapat

dimanfaatkan untuk pembangkit energi listrik. Salah satu sumber energi alternatif tersebut adalah

angin atau bayu. Sumber energi angin dapat dimanfaatkan dengan cara mengubah energi angin ke

dalam bentuk energi listrik melalui teknologi sistem pembangkit listrik tenaga angin yang terdiri

dari komponen utama yaitu turbin angin alternator, inverter, dan instalasinya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah seperti yang telah diuraikan, masalah yang hendak diatasi adalah

kendala masyarakat dalam pengadaan turbin angin. Isu-isu krisis energi dewasa ini menuntut

masyarakat untuk menggali potensi energi alternatif di Indonesia, seperti tenaga angin. Kendala

yang dihadapi masyarakat untuk memanfaatkan potensi energi angin adalah teknologi pembuatan

turbin yang kurang dipahami oleh masyarakat. Sementara pengetahuan masyarakat tentang

teknologi turbin angin masih sangat rendah. Solusi yang ditawarkan adalah dibuatkannya model

Page 104: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.4. Kaji eksperimen turbin angin poros horizontal ... (Bono)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.20

turbin yang cara pembuatannya sederhana dan dari bahan yang mudah ditemukan di pasaran yaitu

plat galvanis. Angin yang mempunyai kecepatan tertentu melewati sudu dan menggerakkan turbin

yang telah di kopel dengan Generator. Dengan variasi besar sudut sudu akan mempengaruhi kinerja

turbin, maka dari itu perlu dikaji pengaruh besar sudut sudu turbin terhadap kinerja turbin untuk

mendapatkan sudut sudu optimum dimana turbin menghasilkan efisiensi paling baik.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan turbin angin bentuk kerucut terpancung tipe

poros horisontal dengan sudut sudu dapat diatur, dan menguji kinerja turbin angin tersebut pada

berbagai harga sudut sudu, sehingga didapat harga sudut sudu yang optimum.

1.4 Tinjauan Pustaka

Angin merupakan energi murah dan ramah lingkungan dan dapat diperbaharui (Renewable

Energy). Angin dihasilkan secara hukum alam karena adanya perbedaan tekanan udara pada suatu

daerah tertentu. Perbedaan tekanan timbul akibat matahari memanaskan pada daerah tertentu

sehingga atmosfer disekitarnya menjadi hangat, atau dengan kata lain suhu udara di daerah tersebut

naik. Dengan naiknya suhu maka akan menaikan tekanan udara pada daerah tersebut. Sementara di

lain tempat ada daerah yang masih dingin, hal tersebut merupakan daerah dengan tekanan udara

relatif rendah. Adanya perbedaan tekanan udara tersebut, maka udara akan bergerak dari daerah

dengan udara bertekanan tinggi menuju ke daerah dengan udara bertekanan rendah. Perpindahan

udara tersebut yang sehari - hari kita kenal dengan nama angin.

a. Daya Total Energi Angin (Daya input) Daya input total aliran angin yang masuk pada daerah hembusan angin, dengan laju aliran

massa udara ( ), yang mengalir pada suatu penampang (A) dengan kecepatan (v), diperoleh

dengan rumus (Leysen, 1983). Besarnya daya input kinetis dapat dihitung dengan persamaan :

di mana ρ adalah massa jenis udara (kg/m

3), A adalah luas sapuan rotor turbin (m

2), v adalah

kecepatan angin (m/s), Pin adalah daya input (watt)

Sedangkan daya maksimum yang mampu dibangkitkan oleh turbin dapat diperoleh dengan

cara mendiferensialkan daya input terhadap kecepatan dan menjadikan turunannya sama dengan

nol, sehinggan didapat :

b. Daya Aktual (daya output) Besarnya daya keluaran turbin dipengaruhi sudut kecepatan masuk dan sudut kecepatan

aliran meninggalkan sudu. Efisiensi yang didapat diatas dengan mengasumsikan kondisi ideal

sepanjang sudu masuk. Daya keluaran suatu turbin angin tergantung kepada daya input yang

dihasilkan oleh angin, efisiensi aerodinamik rotor, efisiensi transmisi, dan efisiensi generator,

dimana hubungannya ditunjukkan pada persamaan sbb :

dimana efisiensi total dari turbin angin (ηt) yang meliputi efisiensi aerodinamik rotor, transmisi,

dan generator. Harga ini berkisar antara 30 % - 40 %.

Daya poros turbin angin tipe horizontal dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

di mana T adalah torsi (Nm), n adalah kecepatan putaran rotor (rpm), Pt adalah daya yang di

hasilkan (watt)

c. Efisiensi Maksimum (mak)

Page 105: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.21

Efisiensi maksimum atau efisiensi teoritis, dari sebuah turbin angin adalah perbandingan

antara daya maksimum yang dihasilkan terhadap daya input angin yang masuk turbin, jadi

Dengan kata lain, secara teoritis energi angin yang diubah turbin menjadi kerja adalah

sebesar 59,26 % dari total daya yang diberikan angin. Faktor 0,5926 atau 16/27

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini diawali dengan membuat turbin angin tipe kerucut terpancung yang terdiri

dari runner turbin, poros, ekor, dan kerangka. Runner turbin terdiri dari piringan berbentuk kerucut

terpancung dan sudu berbentuk bilah yang dirangkum menjadi satu. Runer yang dibuat mempunyai

sudu yang dapat diatur besar sudutnya. Runner dan sudu dapat dibongkar-pasang pada instalasi

pengujian.

Instalasi pengujian terdiri dari komponen utama blower, turbin angin, Generator listrik atau

dinamometer turbin, yang dilengkapi alat ukur pengujian meliputi anemometer, tachometer,

termometer, Volt meter, Ampere meter dan neraca pegas.

Gambar 1. Turbin angin kerucut terpancung yang direncanakan (1). Piringan turbin, (2).

Kopling, (3). Bearing, (4). Generator, (5). Ekor, (6). Kerangka

Pengujian yang dilakukan meliputi uji karakteristik turbin, dimana sudut sudu divariasikan

mulai dari sudut 150. Sampai dengan 60

0, sedangkan kecepatan angin bervariasi mulai dari 5 m/s

sampai dengan 9 m/s. Parameter yang diukur dalam pengujian adalah debit aliran, angin, putaran

dan torsi poros turbin, tegangan dan arus generator. Parameter yang ditentukan dan merupakan

variabel dalam penelitian ini adalah sudut sudu, yaitu 150, 30

0, 45

0, 60

0, Beban turbin divariasikan

dan setiap variasi dilakukan pencatatan terhadap parameter-parameter diatas.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Piringan putar (runner) turbin angin yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai

dimensi sebagai berikut : diameter piringan putar terkecil 20 cm, diameter piringan putar terbesar

60 cm, jumlah sudu Z = 10 buah.

Grafik hubungan antara daya mekanik, efisiensi total terhadap putaran turbin pada berbagai

sudut sudu (150, 30

0, 45

0, 60

0), dan pada berbagai kecepatan angin dapat dilihat seperti pada

gambar 2 dan gambar 8, berikut.

Page 106: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.4. Kaji eksperimen turbin angin poros horizontal ... (Bono)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.22

3.1. Grafik Hubungan antara Putaran Poros dan Efisiensi pada Berbagai Sudut Sudu untuk

Masing-Masing Kecepatan Angin

Dari hasil pengujian dapat digambarkan grafik hubungan antara putaran turbin dengan

efisiensi pada total pada berbagai kecepatan angin dan posisi sudut sudu seperti pada gambar 2

sampai dengan gambar 4.

Seperti pada daya mekanik, hal yang sama juga terjadi pada efisiensi total, yaitu efisiensi

total semakin bertambah besar seiring dengan bertambahnya kecepatan turbin, sampai pada putaran

tertentu efisiensi total akan mencapai maksimum, selanjutnya efisiensi total akan semakin

berkurang meskipun putaran turbin terus bertambah besar. Hal ini sesuai dengan persamaan

efisiensi total, dimana efisiensi total berbanding lurus dengan daya mekanik, sehingga jika daya

mekanik merupakan fungsi dari kuadrat kecepatan, maka efisiensi total juga merupakan fungsi

kuadrat kecepatan, sehingga kurva efisiensi total terhadap putaran juga merupakan garis lengkung

(persamaan kuadrat).

Efisiensi yang dihasilkan turbin pada kecepatan angin 9 m/s, sebesar 10,59 %, pada putaran

turbin 198,6 rpm, dan posisi sudut sudu sebesar 300 (gambar 2), sedangkan pada kecepatan angin 7

m/s, efisiensi yang dihasilkan sebesar 14,78 %, terjadi pada posisi sudut sudu 150 dan putaran

turbin 153,9 rpm (gambar 3), dan pada kecepatan angin 5 m/s, efisiensi yang dihasilkan sebesar

20,57 %, terjadi pada posisi sudut sudu 300 dan putaran turbin 136,7 rpm (gambar 4).

Terlihat dari ketiga grafik tersebut, bahwa efisieni total terbesar yang mampu dihasilkan

adalah sebesar 20,57 % pada kecepatan angin 5 m/s.

Gambar 2. Grafik Hubungan Putaran Poros

dan Efisiensi pada kecepatan Angin 9 m/s

Gambar 3. Grafik Hubungan Putaran Poros

Page 107: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.23

dan Efisiensi pada kecepatan Angin 7 m/s

Gambar 4. Grafik Hubungan Putaran Poros dan Efisiensi pada kecepatan Angin 5 m/s

3.2. Grafik Hubungan Antara Putaran Terhadap Efisiensi pada Berbagai Variasi Kecepatan

Angin untuk Masing-Masing Bukaan Sudut Sudu.

Dari hasil pengujian, hubungan putaran turbin dengan efisiensi total yang dihasilkan jika

digambarkan sesuai dengan posisi sudut sudu dan pada berbagai harga kecepatan angin dapat

dilihat pada gambar 5 sampai dengan gambar 8.

Pada gambar 5, harga efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu 600 dan berbagai variasi

kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s, adalah sebesar 15,35 %., terjadi pada kecepatan angin 5 m/s dan

putaran poros 98,7 rpm, sedangkan pada gambar 6, harga efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu

450 dan berbagai variasi kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s, adalah sebesar 19,64 %, terjadi pada

kecepatan angin 5 m/s dan putaran poros 122,5 rpm.

Pada gambar 7, efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu 300 dan berbagai variasi

kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s.adalah sebesar 20,75 %. terjadi pada kecepatan angin 5 m/s saat

putaran poros 136,7 rpm, sedangkan pada gambar 8, efisiensi tertinggi turbin pada sudut sudu 150

dan berbagai variasi kecepatan 9 m/s,7 m/s,dan 5 m/s adalah sebesar 16,22 %., terjadi pada

kecepatan angin 5 m/s saat putaran poros 161,8 rpm.

Gambar 5. Grafik hubungan antara putaran

poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 600

Gambar 6. Grafik hubungan antara putaran

poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 450

Page 108: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.4. Kaji eksperimen turbin angin poros horizontal ... (Bono)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.24

Gambar 7. Grafik hubungan antara putaran

poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 300

Gambar 8. Grafik hubungan antara putaran

poros dan efisiensi turbin pada sudut sudu 150

4. KESIMPULAN

Dari hasil pengujian dan analisis Turbin Angin Kurucut Terpancung, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Daya mekanik yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan angin, dan posisi sudut sudu,

semakin besar kecepatan angin semakin besar pula daya mekanik yang dihaslkan. Daya

mekanik tertinggi yang mampu dibangkitkan adalah sebesar 22,58 watt, pada kecepatan angin

sebesar 9 m/s dan posisi sudut sudu sebesar 300.

2. Efisiensi total tertinggi yang mampu dihasilkan turbin pada berbagai posisi sudut sudu terjadi

pada kecepatan angin 5 m/s. yaitu sebesar 20,75 % pada posisi sudut sudu 300.

3. Nilai efisiensi tertinggi untuk setiap bukaan sudut sudu, pada kecepatan angin 5 m/s adalah

sebagai berikut : Sudut sudu 600, efisiensi sebesar 15,35%, Sudut sudu 45

0, efisiensi sebesar

19,64%, Sudut sudu 300, efisiensi sebesar 21,27%, Sudut sudu 15

0, efisiensi sebesar 16,22%

DAFTAR PUSTAKA

Ammara I., Masson C., Leclerc C., A Viscous Three-Dimensional Differential/Actuator-Disk

Method for the Aerodynamic Analysis of Wind Farms,

AWEA. 2004. The American Wind Energy Association. http://www.awea.org diakses tanggal 4

April 2012

Conway J.T., Exact Actuator Disk Solutions for non-uniform heavy loading and slipstream

contraction, J. Fluid Mechanics, Vol. 365, pp. 235-267, (1998).

Lysen, EH. 1983. Introduction to Wind Energy. 2nd Edition, Amersfoort, Netherlands, Consultancy

Services Wind Energy Developing Countries

Master Flow Energy, Wind Funnel Turbine. http://www.vortexwindfunnel.com, diakses tanggal 6

April 2012

Masson C., Leclerc C., Predictions of Unsteady HAWT Aerodynamics, Proceedings of

WINDPOWER' 98, pp. 385-394, Bakers¯eld, 1998.

Masson C., Leclerc C., Wind Turbine Performance Predictions using a Di®erential Actuator-

Lifting Disk Modeling

Wall Such as a Stent. Weber et al, US 6,743,463 B2, Jun. 1, 2004.

Page 109: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.25

ANALISIS EFEK HOT EGR TERHADAP PERFORMA DAN EMISI JELAGA

PADA MOTOR DIESEL DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR

CAMPURAN BIOSOLAR DAN JATROPHA BIODIESEL

Jhonni Rentas Duling

Magister Teknik Mesin UNDIP

Jl.Prof. Sudarto, SH - Tembalang, Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Dalam rangka mencari solusi, krisis energy yang mulai terasa melanda dunia, maka disini

akan dicoba untuk mengembangkan sumber energy yang bukan merupakan bahan pangan

manusia maupun bahan pakan ternak. Untuk itu penelitian eksperimen ini, bertujuan untuk

mengetahui efek Exhaust Gas Recirculation (EGR) type panas, terhadap performa dan emisi

jelaga, pada motor diesel Isuzu Panther type C223 yang umum digunakan di Indonesia,

dengan menggunakan bahan bakar campuran biosolar dan jatropha biodiesel. Dalam

experiment output EGR dapat di tentukan pada temperatur 70°C sampai 100°C. Selain itu,

juga diberikan variasi dalam beban, rpm, % EGR dan komposisi campuran bahan bakar.

Jatropha biodiesel yang digunakan adalah produksi lokal, sehingga hasil experiment

diharapkan dapat diaplikasikan langsung oleh masyarakat. Hasil yang diperoleh, performa

campuran biosolar dengan jatropha tidak jauh berbeda dengan performa biosolar murni,

seperti yang terlihat pada daya, untuk EGR 10.3 % dengan beban 100% dengan variasi

putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan variasi campuran bahan bakar

B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%, mempunyai daya 28,47 kW. Emisi rata-rata

terendah diperoleh pada campuran, Biosolar 80% jatropha 20%.

Kata kunci: Hot EGR, performa, jelaga, motor diesel, jatropha.

1. PENDAHULUAN

Cadangan migas Indonesia, dari seluruh sumber yang telah di eksplotasi sekarang,

berjumlah sekitar 4.2 miliar barrel atau hanya cukup untuk sekitar 10 tahun kedepan, walaupun

masih mempunyai cadangan 55 milliar barrel tapi belum bisa diambil dengan teknologi yang ada

sekarang.( Harjono, 2010) Demikian juga keadaan dinegara-negara lain diseluruh dunia, tidak

begitu jauh berbeda dengan keadaan Indonesia, jadi krisis energi itu sudah ada didepan mata, dan

ini merupakan problem yang harus cepat dicari solusinya.

Sebagai langkah antisipasi menghadapi krisis, maka bidang-bidang stategis yang utama

harus diperhatikan seperti transfortasi dan industry. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS)

Indonesia yang bersumber dari Kepolisian Republik Indonesia diketahui jumlah kendaraan dengan

jenis bus dan truck yang menggunakan motor diesel pada tahun 2010 saja, sudah berjumlah

6.937.898 unit,(BPS,2010) belum lagi ditambah jumlah motor diesel yang digunakan pada bidang

industry dan bidang lainnya, ini menunjukkan betapa pentingnya fungsi motor diesel, sehingga

harus diberikan perhatian secara khusus.

Agar motor diesel ini dapat terhindar dari krisis, maka harus dilakukan konservasi dan

diversifikasi pada bahan bakarnya, dengan cara mencari bahan bakar alternative yaitu biodiesel,

biodiesel ini bisa dibuat dari berbagai macam bahan, baik dari bahan pangan maupun bahan non

pangan. Tapi agar dapat dikembangkan dengan baik maka harus berasal dari bahan non pangan

agar tidak bentrok dengan kebutuhan pangan yang akan menimbulkan masalah dikemudian hari.

Bahan dasar pembuatan biodiesel dari bahan non pangan ini seperti biji bunga matahari,

alga, pungamia, biji karet, jatropha (jarak pagar) dan banyak lagi yang lainnya.

Dari bahan biodiesel, yang bukan termasuk bahan pangan diatas, jatrophalah yang paling

menarik, dari penelitian sebelumnya diketahui, jatropha mempunyai kelebihan, seperti bisa tumbuh

dengan baik pada tanah yang kurang subur, dan kelebihannya bila dibandingkan dengan bahan

bakar motor diesel konvensional (solar), adalah tidak mengandung belerang atau zat aromatic,

mengandung oksigen sampai kadar 10%, hal ini tentunya sangat menguntungkan untuk bahan

bakar karena akan membuat, zat hidro karbon pada bahan bakar dapat lebih banyak terbakar dan

Page 110: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.4. Analisis efek hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga ... (Jhonni R. Duling)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.26

menghasilkan energy panas. Dalam hal pembakaran, konsumsi bahan bakar, output daya dan torsi

pada motor, relatif tidak terpengaruh oleh jatropha biodiesel ini. ( M. Gomaa, 2011)

Kekurangannya jika dibandingkan bahan bakar diesel hanya mempunyai nilai emisi NOx

(nitrogen oxides) yang lebih tinggi. ( M. Gomaa, 2011)

Dari penelitian sebelumnya, diketahui masalah ini dapat diatasi, dengan beberapa metode

yang telah ada, diantaranya memperlambat timing penyemprotan bahan bakar, sayangnya, cara ini

malah mengakibatkan borosnya bahan bakar, sebesar 10 - 15%. Kemudian bisa juga dengan

mensirkulasi exhaust gas kembali ke dalam ruang bakar atau dikenal dengan metode EGR.

(Agrawal, 2003)

Dengan metode EGR ini, penurunan emisi NOx, bisa dilakukan dengan dua cara, baik

dengan cara dingin, yaitu dengan melakukan pendinginan pada exhaust gas yang disalurkan

kembali keruang bakar maupun cara panas yaitu dengan menyalurkan exhaust gas keruang bakar

dengan tanpa melakukan pendingin atau diberi tambahan pemanas, agar output EGR dapat

ditentukan pada suhu tertentu, kedua cara ini sama-sama bisa menurunkan temperature ruang

bakar, hingga dibawah suhu 20000K, sehingga emisi NOx tidak bisa terbentuk.

Sayangnya lagi, bila temperature ruang bakar,berada pada 20000K atau turun dibawah suhu

itu, hal ini akan memicu terbentuknya emisi jelaga (soot).

EGR memang akan mengakibatkan berbagai efek pada motor diesel, khususnya efek hot

EGR, terhadap performa dan emisi motor diesel belum betul-betul diketahui, sehingga dilaporkan

hasilnya masih bisa positif atau negatif (Alain Maiboom, 2007).

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah, mencoba lebih dalam menggali tentang

efek dari hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga pada motor diesel dengan menggunakan

bahan bakar campuran biodiesel jatropha dan biosolar, agar dapat diketahui, pada campuran dan

perlakuan seperti apa, campuran ini, dapat digunakan dengan baik, sebagai bahan bakar pada motor

diesel.

1.1. Efek terhadap performa

Perhitungan performa dilakukan dengan parameter dibawah ini :

1. Daya Pengereman

2. Tekanan Efektif Rata-Rata

3. Konsumsi Bahan Bakar Spesifik

4. Perbandingan Udara Bahan Bakar (Air/Fuel Ratio)

5. Effisiensi Volumetris

6. Effisiensi Konsumsi Bahan Bakar

1.2. Efek terhadap emisi

Parameter emisi adalah opacity yang dihitung dari data density asap hasil pengukuran

.……..(1)

(SAE, 2006)

Dimana :

= Opacity dalam %

k = Density asap (m-1

)

L = Panjang efektive path optic (m)

2. METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan, dalam penelitian ini adalah metode experiment, dengan detail sebagai

berikut :

1) Material Penelitian

Nilai kalori bahan bakar yang digunakan:

Tabel 1. Nilai kalori bahan bakar No. Nama campuran bahan bakar Kalori/g

1. Biosolar 100 % 10801.2

2. Campuran biosolar 90% jatropha10% 10588.0

3. Campuran biosolar 80% jatropha 20% 10368.2

4. Campuran biosolar 70% jatropha 30% 10133.1

(Lab.Thermofluid Teknik Mesin UNDIP)

Page 111: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.27

Komposisi campuran bahan bakar :

D100 (Biosolar 100%)

B10D90 (Campuran biosolar 90% jatropha10% )

B20D80 (Campuran biosolar 80% jatropha 20%)

B30D70 (Campuran biosolar 70% jatropha 30%)

2) Peralatan Penelitian

1. Motor diesel 4 silinder Isuzu panther, dipasang EGR panas dan dingin dilengkapi pemanas

dan pendingin (heat exchanger shell and tube counter flow), spesifikasi motor diesel : - Type Motor : Diesel, swirt, OHV, C 233

- Jumlah silinder : 4 buah segaris (inline)

- Diameter langkah : 85 x 98 mm

- Volume silinder : 2238 cc

- Daya maksimum : 52,4 / 3000 ( HP/rpm).

- Torsi maksimum : 142,4/2250 (N.m/rpm).

- Tekanan kompresi : 21 : 1

2. Alat ukur temperatur thermocopel dipasang pada exhause, pada intake manifol, pada ouput

EGR dan pada intake manifol setelah output EGR.

3. Alat pengukur tekanan manometer dengan plat orifis pada intake dan pada input EGR.

4. Alat pengukur daya dynamometer merek dynomite Land&Sea

5. Alat pengukur emisi Stargas 898 dan Smokemeter OTC 495

6. Tachometer

7. Stopwatch

3) Variabel Penelitian

1. Variabel bebas yaitu :

o Campuran bahan bakar D100; D90B10; D80B20; D70B30.

o Katup input EGR : Bukaan 0.25 ;0.50; 0.75; 1(penuh).

o Beban : bukaan katup : 0.25 ;0.50; 0.75; 1(penuh).

o Temperatur heater : non heater; 700,80

0,90

0,100

0 Celsius.

o Putaran motor diesel : 1300 rpm; 1700rpm; 2100rpm; 2500 rpm.

2. Variabel terikat yaitu :

o Tekanan manometer intekmanifol

o Tekanan manometer input EGR

o Volume minyak 20 ml

o Waktu per 20 ml bahan bakar

o Temperatur exhause.

o Temperatur input EGR

o Temperatur output EGR

o Temperatur intek manifol

o Temperatur ruangan

o Temperatur motor diesel

o Opacity

4) Diagram Alir Pengujian dan Setup Experimen

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Gambar 2. Setup Experiment

Page 112: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.4. Analisis efek hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga ... (Jhonni R. Duling)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.28

3. Hasil dan Pembahasan

1. Data hasil pengujian daya dari tiga campuran biodiesel dengan biosolar

Gambar 3. Gambar 4.

Grafik hubungan Daya dan variasi EGR Grafik hubungan BMEP dan variasi EGR

Pada gambar 3 menunjukkan grafik hubungan P dengan variasi EGR untuk beban 100%

dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dengan variasi campuran

bahan bakar B10D90,B20D80,B30%D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan

campuran bahan bakar tidak terlalu berpengaruh dengan daya yang dihasilkan, hasil daya untuk

kenaikan EGR dari 0%-12,5% hampir sama. Untuk campuran 30% terlihat performanya mulai

menurun pada putaran tinggi dikarenakan daya bakarnya menurun sehingga berpengaruh pada daya

motor. Daya menurun pada EGR 12,5% dengan menggunakan campuran bahan bakar 30%,

dikarenakan ignation delay semakin panjang maka tekanan P akan mengalami penurunan dan hal

ini juga berpengaruh pada penurunan daya.

2. Data hasil pengujian BMEP dari tiga campuran biodiesel dengan biosolar.

Pada gambar 4. menunjukkan grafik hubungan BMEP dengan variasi EGR untuk beban

100% dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000 C dengan variasi

campuran bahan bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa

kenaikan campuran bahan bakar tidak terlalu berpengaruh dengan daya yang dihasilkan, hasil daya

untuk kenaikan EGR dari 0%-12,5% hampir sama. Untuk campuran yang 30% terlihat

performanya mulai menurun pada putaran tinggi dikarenakan daya bakarnya menurun sehingga

berpengaruh pada daya mesin. Daya menurun pada EGR 12,5% dengan menggunakan campuran

bahan bakar 30%, dikarenakan ignation delay semakin panjang maka BMEP tekanan akan

mengalami penurunan dan hal ini juga berpengaruh pada penurunan daya.

3. Data Hasil Pengujian ϕ(FARaktual/FARstokiometri)

Gambar 5. Gambar 6.

Grafik hubungan dan variasi EGR. Grafik hubungan Konsumsi dan variasi EGR.

Page 113: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.29

Pada gambar 5. menunjukkan grafik hubungan ϕ dengan variasi EGR untuk beban 100%

dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000 C dengan variasi campuran

bahan bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan

EGR berpengaruh terhadap hasil perhitungan nilai ϕ. Nilai konsumsi bahan bakar berbanding lurus

dengan % EGR dan temperatur EGR, serta berbanding terbalik dengan nilai rpm dan torsi.

Sedangkan nilai ṁa berbanding terbalik dengan %EGR

4. Data Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar.

Pada gambar 6 menunjukkan grafik hubungan konsumsi bahan bakar dengan variasi EGR

untuk beban 100% dan variasi putaran motor 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dengan

variasi campuran bahan bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat

bahwa kenaikan % EGR berpengaruh pada nilai hasil perhitungan konsumsi bahan bakar.

Konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh peningkatan temperatur EGR, N (rpm) dan T (Nm).

Semakin tinggi EGR dan temperatur EGR maka nilai konsumsi bahan bakar semakin kecil. Dari

grafik di atas terlihat bahwa konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan oleh campuran bahan bakar

30% lebih sedikit dibandingkan dengan campuran bahan bakar 20%,10% dan biosolar murni.

Peningkatan konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh besarnya campuran karena semakin besar

campuran maka viskositasnya juga semakin meningkat. Hal ini akan menyebabkan penguapan di

ruang bakar akan rendah. Sehingga dapat di simpulkan semakin banyak campuran bahan bakar

jatropa dengan biosolar maka konsumsi bahan bakar semakin irit.

5. Data Hasil Pengujian Efisiensi Bahan Bakar (ηƒ)

Gambar 7. Gambar 8.

Grafik hubungan ηƒ dan variasi EGR Grafik hubungan ηv dan variasi EGR

Pada gambar 7. Menunjukkan grafik hubungan ηƒ dengan variasi EGR untuk beban 100%

dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000 C serta variasi campuran bahan

bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan % EGR

berpengaruh pada hasil perhitungan ηƒ. Untuk bahan bakar biosolar nilai (QHV = 45,214 Mj/kg)

paling kecil dibandingkan dengan nilai QHV pada campuran 10%,20%dan 30% , dan nilai QHV

yang paling tinggi adalah pada campuran 30% yaitu 42,147 Mj/kg. Semakin kecil nilai QHV maka

nilai ηƒ akan semakin besar.

6. Data Hasil Pengujian Efisiensi Volumetrik (ηv).

Pada gambar 8. menunjukkan grafik hubungan ηv dengan variasi EGR untuk beban 100%

dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan variasi campuran bahan

bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan %EGR

berpengaruh pada hasil perhitungan ηv. Untuk penggunaan jatropha yang semakin tinggi akan

berbanding lurus dengan laju aliran massa udara sehingga ηv semakin meningkat. Hal ini

dikarenakan semakin banyak campuran bahan bakar maka semakin banyak dibutuhkan udara untuk

pembakaran.

7. Data Hasil Pengujian Opacity.

Pada gambar 9. menunjukkan grafik hubungan ηv dengan variasi EGR untuk beban 100%

dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan variasi campuran bahan

Page 114: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.4. Analisis efek hot EGR terhadap performa dan emisi jelaga ... (Jhonni R. Duling)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.30

bakar B10D90,B20D80,B30D70 dan Biosolar 100%. Dari grafik terlihat bahwa kenaikan % EGR

dan tingginya kadar campuran berpengaruh pada opacity gas exhaust, terutama pada tingkat EGR

tinggi, nilai opacity rata-rata rendah dari biosolar adalah campuran B20 D80.

Gambar 9. Grafik hubungan opacity dengan variasi EGR

4. KESIMPULAN

1. Dari segi performa campuran biosolar dan jatropha biodiesel masih layak digunakan untuk

bahan bakar diesel, seperti yang terlihat pada grafik 3, daya untuk EGR 10.3 % dengan

beban 100% dengan variasi putaran mesin 2100 (rpm) dan temperatur EGR 1000C dan

variasi campuran bahan bakar B10D90,B20D80,B30%D70 dan Biosolar 100%,

mempunyai daya 28,47 kW.

2. Dari segi emisi campuran 20% jatropha dan 80% biodiesel, mempunyai emisi rata-rata

dibawah biosolar.

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, Avinash Kumar, Singh, Srivastava, 2003 “Effect of EGR on exhaust gas temperature

exhaust opacity in compression ignation engines”, Environmental engineering and

management, India Institut of Teknology.

Badan pusat statistic, 2010, “Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun

1987-2010”.

Harjono, Yulvianus ,2010 “Cadangan minyak Indonesia tinggal 10 tahun”, Koran Kompas, 1(2), 5-

5.

M. Gomaa, AJ Alimin,KA. Kamarudin, 2010, “Trade-off between NOx Soot and EGR rate for an

IDI diesel engine fuelled with JB5”,World Academy of Science Engineering and

Technology.

M. Gomaa, AJ Alimin,KA. Kamarudin, 2011, “The effect of EGR rates on NOx and smoke

emissions of an IDI diesel engine fuelled with Jatropha biodiesel blends”, International

Journal of Energy and Environment (IJEE),, Volume 2, Issue 3.

Society of Automotive Engineers SAE J1667 Recommended Practice, 2006, “Snap Acceleration

Smoke Test Procedure for HeavyDuty Powered Vehincles”, Society of Automotive

Engineers Inc.

Alain Maiboom_, Xavier Tauzia, Jean-Franc-ois He´ tet, 2007, “Experimental study of various

effects of exhaust gas recirculation (EGR) on combustion and emissions of an automotive

direct injection diesel engine” UMR 6598 CNRS, Ecole Centrale de Nantes, BP 92101,

44321 Nantes Cedex 3, France.

Page 115: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.31

ANALISA PERFORMA MESIN DIESEL DENGAN SISTEM

VENTURI SCRUBBER – EGR MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR CAMPURAN

SOLAR – MINYAK JARAK

Stefan Mardikus

Magister Teknik Mesin UNDIP

Jl.Prof. Sudarto, SH - Tembalang, Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Mesin diesel telah dikenal sebagai jenis motor bakar yang mempunyai efisiensi tinggi. Salah

satu keunggulan mesin diesel adalah sistem pembakarannya menggunakan compression-

ignition sehingga memungkinkan tercapainya tekanan awal yang tinggi sebelum terjadi proses

pembakaran. Hal ini menjadikan mesin diesel mempunyai fleksibilitas jenis bahan bakar yang

bisa digunakan. Salah satunya adalah minyak nabati (biofuel). Jatropha telah dikenal sebagai

bahan bakar alternatif terbarukan yang menarik yang dihasilkan dari minyak nabati. Oleh

karena itu penggunaan Jatropha adalah pilihan yang tepat sebagai alternatif bahan bakar

untuk mesin diesel dalam menghadapi krisis minyak bumi di dunia. EGR (Exhaust Gas

Recirculaing) pada mesin disel digunakan untuk meningkatkan efisiensi bahan bakar dan

menurunkan konsumsi bahan bakar. Cold EGR adalah suatu metode yang digunakan untuk

mensirkulasikan gas buang kembali ke intake manifold. Pada penelitian ini, gas buang yang

disirkulasikan didinginkan terlebih dahulu dengan menggunakan venturi scrubber. Dalam hal

ini, gas buang sebelum masuk kembali ke ruang bakar temperaturnya diturunkan menjadi

60oC, 50

oC, 40

oC, dan 37

oC. Pengujian ini dilakukan dengan beberapa variasi, yaitu variasi

beban, rpm, % EGR, temperatur EGR, dan variasi campuran jatropha - solar. Dari hasil

penelitian ini diperoleh bahwa peningkatan dan penurunan nilai Daya, BMEP, dan ϕ tidak

terlihat signifikan dengan adanya Cold EGR. Yang mempengaruhi nilai tersebut adalah

peningkatan beban dan rpm. Penggunaan Cold EGR dengan variasi campuran bahan bakar

menyebabkan nilai ṁƒ semakin turun, ηf meningkat dan ηv turun dibandingkan tanpa

menggunakan cold EGR.

Kata kunci: mesin diesel, Venturi Scrubber - EGR, campuran solar – minyak jarak

PENDAHULUAN

Penggunaan mesin diesel berkembang pula dalam bidang otomotif, antara lain untuk

angkutan berat, traktor, dsb. Salah satu keunggulan mesin diesel adalah sistem pembakarannya

menggunakan compression-ignition yang tidak memerlukan busi. Sistem ini memungkinkan

tercapainya tekanan awal yang tinggi sebelum terjadi proses pembakaran. Hal ini akan

meningkatkan thermal-efficiency dibandingkan sistem yang lain. Keunggulan yang lain adalah

fleksibilitas jenis bahan bakar yang bisa digunakan. Karena pembakaran yang terjadi tidak

memerlukan pengontrolan bunga api, maka berbagai jenis bahan bakar bisa dipakai. Misalnya,

minyak tanah, alkohol, biofuel (minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, dsb), emulsi

(campuran air dan solar), dsb.

Disamping keunggulan yang dimiliki, mesin diesel juga memiliki masalah yang

berhubungan dengan pencemaran udara yaitu asap serta gas buang khususnya Nitrogen Oxide

(NOx). Selama beberapa tahun terakhir, perundang-undangan emisi ketat telah dikenakan pada

NOx dan asap yang dikeluarkan dari mesin diesel. Mesin diesel biasanya ditandai dengan konsumsi

bahan bakar rendah dan sangat rendah emisi CO. Namun, emisi NOx dari mesin diesel masih tetap

tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan,

jumlah NOx yang dilepaskan ke udara harus dikurangi.[Asif Faiz,1996]

EGR (Exhaust Gas Recirculation) merupakan salah satu metode yang dapat mengurangi

emisi gas buang sekaligus meningkatkan efisiensi bahan bakar. Prinsip kerja dari EGR adalah

dengan mensirkulasikan aliran gas buang kembali ke dalam engine . Temperatur gas buang yang

akan masuk kembali ke engine dapat disesuaikan dengan menempatkan heater (Hot EGR) atau

Page 116: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.6. Analisa performa mesin diesel dengan sistem ... (Stefan Mardikus)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.32

cooler (Cold EGR) atau kombinasi keduanya EGR pada sisi intake manifold. Penggunaan EGR

dapat diterapkan pada mesin diesel maupun mesin bensin.

Meskipun penggunaan EGR dapat mereduksi emisi NOx yang dihasilkan dari pembakaran

pada mesin diesel, namun dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, emisi soot (jelaga) masih

tetap tinggi. Penggunaan DPF (diesel particulate filter) atau SCR (selective catalytic reduction)

dapat menjadi teknologi yang tepat untuk dipadukan dengan EGR. Namun baik DPF maupun SCR,

keduanya bukan merupakan teknologi yang murah untuk masyarakat Indonesia umumnya.

Sehingga diperlukan suatu alat yang selain murah dan mekanismenya sederhana, juga dapat

mengurangi emisi soot dari pembakaran mesin diesel.

Pada penelitian ini digunakan venturi scrubber sebagai cooler dan particulate trap pada

EGR. Gas buang yang disirkulasikan kembali ke ruang bakar terlebih dahulu dilewatkan pada

venturi untuk dikontakkan dengan scrub air sehingga temperatur gas turun dan sebagian jelaga

terperangkap. Penelitian ini meneliti pengaruh Venturi Scrubber - EGR terhadap performa mesin

diesel dengan bahan bakar campuran minyak jarak (jatropha) dan solar. Biodiesel telah dikenal

sebagai bahan bakar alternatif terbarukan yang menarik meskipun biodiesel dihasilkan dari minyak

nabati sangat mahal dibandingkan konvensional diesel. Oleh karena itu, penggunaan biodiesel dari

minyak nabati non-pilihan jauh lebih baik. Saat ini Jatropha biodiesel (JBD) menerima perhatian

sebagai alternatif bahan bakar untuk mesin diesel.[M. Gomaa,2010]

METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini akan dilakukan variasi campuran bahan bakar solar 90% dan jatropha

10%, solar 80% dan jatropha 20%, dan solar 70% dan jatropha 30%. Setiap variasi campuran

bahan bakar akan dilakukan pengujian dengan variasi putaran mesin dari 1300, 1700, 2100 dan

2500 rpm dengan variasi beban 25%, 50%, 75%, dan 100%. Pengujian ini juga akan diberikan

EGR dengan variasi bukaan dari 25%, 50%, 75%, dan 100% terhadap variasi penurunan temperatur

venture scrubber dari 60 0C ke 50

0 C, 40

0C, 37

0C. Pada pengujian ini dimaksudkan untuk

mengetahui pengaruh prestasi mesin diesel seperti daya, torsi, AFR, konsumsi bahan bakar pada

kondisi pembebanan, dengan kenaikan suhu udara yang masuk pada intake manifold dan kenaikan

prosentase jatropha pada campuran bahan bakar. Penelitian ini menggunakan mesin diesel 4

silinder, 4 langkah IDI dengan skema alat dan spesifikasi mesin sebagai berikut ;

Gambar 1. Deskripsi alat uji

Keterangan:

1. Mesin diesel

2. Venturi scrubber

3. Termokopel T3

4. Heater

5. Termokopel T1

6. EGR orifice

7. Termokopel T2

8. Manometer EGR

9. Katup EGR

10. Dinamometer

11. Buret

12. Termokopel T4

13. Manometer intake

14. Termokopel T5

15. Intake orifice

16. Penampung

17. Katup

Page 117: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.33

Tabel 1. Spesifikasi mesin

HASIL DAN PEMBAHASAN

(a) (b)

Gambar 2. a. menunjukan hubungan antara daya (P) dan % EGR dan b. menunjukan hubungan

antara konsumsi bahan bakar dan % EGR untuk variasi campuran bahan bakar Solar, B10S90,

B20S80, dan B30S70 pada 2500 rpm, beban 100%, dan temperatur EGR 60ᵒC.

Pada gambar 2.a, terlihat bahwa kenaikan campuran bahan bakar sedikit berpengaruh

terhadap daya yang dihasilkan. Semakin tinggi campuran biodiesel dalam solar, daya yang

dihasilkan semakin turun. Hal ini dikarenakan densitas bahan bakar semakin naik, sedangkan QHV

semakin menurun sehingga ignition delay semakin panjang yang mengakibatkan daya menurun.

Pada variasi 20,9% EGR, penurunan nilai daya untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70

terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 2,62%, 2,93%, dan 3,13%. Dari hasil tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pemakaian biodiesel (jatropha) sebanyak 30% sebagai campuran bahan bakar

diesel masih layak untuk digunakan. Pada gambar 2.b, terlihat bahwa kenaikan % EGR

berpengaruh pada nilai hasil perhitungan konsumsi bahan bakar. Konsumsi bahan bakar

dipengaruhi oleh peningkatan temperatur EGR, N (rpm) dan T (Nm). Semakin tinggi EGR dan

temperatur EGR maka nilai konsumsi bahan bakar semakin kecil. Dari grafik di atas terlihat bahwa

konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan oleh B30S70 lebih kecil dari B20S80, B10S90, dan solar

murni. Peningkatan konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh besarnya campuran karena semakin

besar campuran maka viskositas dan densitasnya juga semakin meningkat. Peningkatan viskositas

akan menyebabkan penguapan di ruang bakar semakin rendah. Sedangkan peningkatan densitas

Spesifikasi Uraian

Tipe Mesin C223, Pendinginan air, 4 langkah

sejajar, tipe katup atas

Jumlah silinder - garis tengah x

langkah (mm) 4 - 88 x 92

Isi silinder (cc) 2.238

Perbandingan kompresi 21:1

Timing injeksi bahan bakar 10°

Tekanan awal injeksi (kg/cm2) 105

Tekanan kompresi (kg/cm2) 31 pada 200 rpm

Panjang x lebar x tinggi (mm) 741 x 546 x 716

0 12 14 16 18 20 22

06

8

10

12

P (

kW

)

% EGR

Solar

B10S90

B20S80

B30S70

0 12 14 16 18 20 22

0.0

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6K

onsum

si bahan b

akar

(ml/s)

% EGR

Solar

B10S90

B20S80

B30S70

Page 118: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.6. Analisa performa mesin diesel dengan sistem ... (Stefan Mardikus)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.34

akan menyebabkan tekanan fuel injector menurun sehingga laju aliran bahan bakar yang masuk ke

ruang bakar juga menurun. Penurunan tekanan tersebutlah yang menyebabkan ignition delay

semakin panjang sehingga mempengaruhi daya yang dihasilkan. Dari gambar 2.b, dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi campuran biodiesel dalam solar, maka konsumsi bahan bakar

menjadi semakin rendah. Pada variasi 20,9% EGR, penurunan nilai konsumsi bahan bakar untuk

bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 5,79%,

14,85%, dan 19,21%.

(a) (b)

Gambar 3. a. menunjukan hubungan antara ϕ dan % EGR dan b. menunjukan hubungan antara ηƒ

(%) dan % EGR untuk variasi campuran bahan bakar Solar, B10S90, B20S80, dan B30S70 pada

2500 rpm, beban 100%, dan temperatur EGR 60ᵒC.

Pada gambar 3.a. terlihat bahwa kenaikan % EGR berpengaruh dengan hasil perhitungan

nilai ϕ. Semakin besar % EGR, nilai ϕ semakin kecil. Hal ini disebabkan karena nilai konsumsi

bahan bakar dan nilai ṁa berbanding terbalik dengan % EGR. Semakin besar % EGR, konsumsi

bahan bakar dan udara luar yang masuk semakin kecil, digantikan dengan gas buang yang masuk.

Pada bahan bakar solar, penurunan konsumsi bahan bakar lebih besar daripada prosentase

penurunan udara pembakaran sehingga nilai ϕ cenderung mengalami penurunan. Sedangkan pada

bahan bakar campuran minyak jarak - solar, penurunan konsumsi bahan bakar cenderung

sebanding dengan penurunan udara pembakaran sehingga variasi % EGR tidak memberikan efek

yang signifikan terhadap penurunan nilai ϕ. Pada variasi 20,9% EGR, penurunan nilai ϕ untuk

bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap bahan bakar solar berturut-turut adalah

sebesar 23,46%, 34,42%, dan 40,69%. Pada gambar 3.b, terlihat bahwa kenaikan % EGR

berpengaruh pada hasil perhitungan ηƒ. Berdasarkan persamaan 2.10, ηƒ berbanding terbalik dengan

nilai hasil perhitungan konsumsi bahan bakar dan harga kalori bahan bakar (QHV), dan berbanding

lurus dengan daya. Untuk bahan bakar solar nilai QHV (45,214 Mj/kg) paling besar dibandingkan

dengan nilai QHV pada B10S90, B20S80, dan B30S70. Nilai QHV yang paling rendah adalah pada

B30S70 yaitu 42,147 Mj/kg. Semakin kecil nilai QHV maka nilai ηƒ akan semakin besar. Sedangkan

pengaruh daya tidak terlalu signifikan karena penurunan daya sebagai efek dari kenaikan

prosentase campuran biodiesel relatif kecil. Nilai ηƒ dari gambar di atas terlihat terlalu kecil untuk

kapasitas mesin diesel dalam pengujian. Hal tersebut terjadi karena pembebanan yang diberikan

pada mesin cukup kecil sehingga brake power yang dihasilkan masih jauh dari harga maksimalnya.

Meskipun demikian, dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi campuran

biodiesel dalam solar, maka ηƒ menjadi semakin tinggi pula. Pada variasi 20,9% EGR, kenaikan

nilai ηƒ untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar berturut-turut adalah

sebesar 4,97%, 17,67%, dan 26,05%.

0 12 14 16 18 20 22

0.0

0.2

0.4

0.6

% EGR

Solar

B10S90

B20S80

B30S70

0 12 14 16 18 20 22

0,0

10

15

20

25

f (%

)

% EGR

Solar

B10S90

B20S80

B30S70

Page 119: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.35

Gambar 4. Menunjukan hubungan antara ηv (%) dan % EGR untuk variasi campuran bahan bakar

Solar, B10S90, B20S80, dan B30S70 pada 2500 rpm, beban 100%, dan temperatur EGR 60ᵒC.

Dari gambar 4, terlihat bahwa kenaikan % EGR berpengaruh pada hasil perhitungan ηv.

Semakin tinggi % EGR, maka nilai ηv semakin kecil karena sebagian udara luar yang masuk ke

intake manifold digantikan oleh gas buang dari EGR. Peningkatan campuran biodiesel juga

mempengaruhi nilai ηv yang dihasilkan. Semakin tinggi prosentase campuran biodiesel, maka ṁa

semakin meningkat sehingga ηv juga semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin banyak

campuran bahan bakar, maka semakin banyak dibutuhkan udara untuk pembakaran. Pada variasi

20,9% EGR, kenaikan nilai ηv untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar

berturut-turut adalah sebesar 2,07%, 2,57%, dan 2,76%.

KESIMPULAN

Dari penelitian pengaruh Venturi Scrubber - EGR (Exhaust Gas Recirculation) dan variasi

campuran bahan bakar jatropha - solar terhadap performa mesin diesel, dapat diambil kesimpulan:

1. Nilai daya dipengaruhi oleh beban dan rpm, semakin meningkat nilai beban dan rpm, maka

daya yang dihasilkan juga semakin besar, begitu juga sebaliknya. Penggunaan Venturi

Scrubber - EGR tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan daya,

sedangkan semakin banyak campuran jatropha dalam solar, maka daya yang dihasilkan

semakin turun. Pada variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan

putaran 2500 rpm, penurunan nilai daya untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70

terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 2,62%, 2,93%, dan 3,13%.

2. Nilai BMEP dipengaruhi oleh torsi dan rpm, dimana torsi dipengaruhi oleh beban. Beban

didapatkan dari bukaan katub beban dan putaran mesin. Penggunaan Venturi Scrubber - EGR

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan BMEP, sedangkan semakin

banyak campuran jatropha dalam solar, maka BMEP yang dihasilkan semakin turun. Pada

variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm,

penurunan nilai BMEP untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar

berturut-turut adalah sebesar 2,62%, 2,93%, dan 3,13%.

3. Konsumsi Bahan Bakar meningkat dengan meningkatnya beban dan putaran mesin, dan

menurun dengan semakin meningkatnya % EGR dan campuran minyak jarak dalam solar.

Pada variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm,

penurunan nilai konsumsi bahan bakar untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70

terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 5,79%, 14,85%, dan 19,21%.

4. Nilai ϕ meningkat dengan meningkatnya beban dan putaran mesin, dan menurun dengan

semakin meningkatnya % EGR dan campuran minyak jarak dalam solar. Pada variasi

pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm, penurunan

nilai ϕ untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap bahan bakar solar berturut-

turut adalah sebesar 23,46%, 34,42%, dan 40,69%.

0 12 14 16 18 20 22

0

72

76

80

v (

%)

% EGR

Solar

B10S90

B20S80

B30S70

Page 120: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.6. Analisa performa mesin diesel dengan sistem ... (Stefan Mardikus)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.36

5. Nilai ηƒ meningkat dengan meningkatnya beban, putaran mesin, % EGR, dan campuran

minyak jarak dalam solar. Pada variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR

60oC, dan putaran 2500 rpm, kenaikan nilai ηƒ untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan

B30S70 terhadap solar berturut-turut adalah sebesar 4,97%, 17,67%, dan 26,05%.

6. Efisiensi volumetrik meningkat dengan meningkatnya beban dan dan campuran minyak jarak

dalam solar, dan menurun dengan semakin meningkatnya putaran mesin dan % EGR. Pada

variasi pembebanan 100%, 20,9% EGR, temperatur EGR 60oC, dan putaran 2500 rpm,

kenaikan nilai ηv untuk bahan bakar B10S90, B20S80, dan B30S70 terhadap solar berturut-

turut adalah sebesar 2,07%, 2,57%, dan 2,76%.

DAFTAR NOTASI/ISTILAH

Simbol Keterangan

BMEP Tekanan efektif rata-rata pengereman

Massa jenis udara

Massa jenis bahan bakar

QHV Harga panas dari bahan bakar

Efisiensi bahan bakar

Efisiensi volumetric

Rasio ekuivalen

DAFTAR PUSTAKA

Asif Faiz, Walsh Michael P, Weaver Christopher S. 1996.”Air Pollution From Motor

Vehicles, Standards and Technologies for Controlling Emissions”, The World

Bank Washington, D.C, USA.

M. Gomaa, A.J. Alimin,K.A. Kamarudin. 2010.”Trade-off between NOX, Soot and EGR

rates foran IDI diesel engine fuelled with JB5”. Engineering and Technolog, World

Academy Of Science.

Priambodo, Ir. Bambang. 1995. “Operasi dan Pemeliharaan Mesin Diesel”, Jakarta:

Erlangga.

Heywood, John B.L. 1988. “Internal Combustion Engine Fundamentals”, McGraw-Hill,

Inc, United States of America,

Tobias Husberg, Savo Gjirja, Ingemar Denbratt. 2004. “Visualitation of EGR Influence on

Diesel Combustion With Long Ignition Delay In a Heavy-Duty Enggine”, Chalmers

University of Technology, SAE International,

Avinash Kumar Agrawal, Shrawan Kumar Singh, Shailendra Sinha, Mritunjay Kumar

Shukla. 2003. “Effect of Egr on the Exhaust Gas Temperature And Exhaust”,

Indian Institute of Technology, Kanpur, India.

Holman, J.P. 1986. ”Heat Transfer”, McGraw-Hill Book Co, Singapore.

Cengel, Yunus A.2006. “Thermodynamics An Engineering Approach”, 5th 1ed, McGraw-

Hill.

Perry, Robert H. and Green, Don W.1984. “Perry's Chemical Engineers' Handbook (Sixth

Edition ed.)”, McGraw Hill, ISBN 0-07-049479-7,.

Fox, Robert W dan Alan T. Mc Donald. 1994. Introduction to Fluid Mechanics, fourth

edition, SI Version, John Wiley & Sons, Inc, Canada.

Rajan. K, K.R. Senthil Kumar. 2009. The Effect of Exhaust Gas Recirculation (EGR) on

the Performance and Emission Characteristics of Diesel Engine with Sunflower Oil

Methyl Ester, International Journal of Chemical Engineering Research, Volume 1,

Number 1 , pp. 31–39.

Page 121: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.37

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN

DENGAN SISTEM TRAY DRYING

Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat

Program Studi Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP

Jl. Prof H. Sudharto, SH, Tembalang, Semarang E-mail : [email protected], HP : 08156525854

Abstrak

Pada musim panen ikan, nelayan mendapatkan ikan teri dengan jumlah yang sangat besar.

Karena sangat banyak, ikan tidak dapat terjual habis. Hal ini mengakibatkan ikan membusuk

jika tidak disimpan di tempat pengawetan atau cool storage. Salah satu cara yang digunakan

nelayan untuk mengawetkan ikan adalah dengan mengeringkan ikan teri secara alami dengan

dijemur di bawah sinar matahari. Proses pengeringan demikian mempunyai banyak

kelemahan antara lain membutuhkan waktu lama, memerlukan tempat luas, kualitas ikan

menurun karena debu, lalat dan gangguan binatang. Untuk meningkatkan kualitas produk ikan

kering maka diperlukan alat pengering tepat guna yang dapat meminimalisir kendala di atas.

Pengeringan adalah pengeluaran air bahan hingga mencapai kandungan air tertentu agar

kecepatan kerus bahan dapat diperlambat. Proses ini dipengaruhi oleh suhu, kelembaban

udara, kecepatan aliran udara, kandungan air yang diinginkan, energi dan kapasitas

pengeringan. Alat pengering yang digunakan menerapkan sistem tray drying (pengering tipe

rak) konveksi paksa, dimana sirkulasi udara panas dan uap air ikan dibantu blower. Produk

diletakkan pada rak yang tersusun agar dapat dikeringkan dengan sempurna. Sumber panas

pengeringan dihasilkan dari tungku berbahan bakar batu bara. Sirkulasi udara panas melalui

4 lintas dan pembuangan uap air dilakukan secara paksa dengan exhaust fan yang diatur pada

kecepatan 0, 0,8, 1,4 dan 2,8 m/s. Waktu pengeringan tercepat yang dapat dicapai adalah 2

jam 45 menit dengan kecepatan fan 2,8 m/s, kadar air akhir 19,57 %, batu bara 1,95 kg,

kapasitas 5 kg, efisiensi kalor 59,7 % dan temperatur rata-rata ruang pengering 85o C.

Pengeringan tanpa fan dengan kapasitas 5 kg membutuhkan waktu 6 jam, kadar air 21,42 %,

effisiensi thermal 39,8 % dan batu bara 3,05 kg. Pengeringan dengan kecepatan fan 2,8 m/s,

kapasitas 25 kg membutuhkan waktu 12 jam, kadar air 18,46 %, effisiensi thermal 63,16 %

dan batu bara 6,3 kg. Produk ikan teri kering yang dihasilkan bersih, berwarna coklat muda

cerah, renyah, gurih dan tidak berbau asap. Bahkan produk ikan teri kering ini bisa

dikonsumsi secara langsung karena sudah matang dan higienis.

Kata kunci : tray drying, pengering ikan teri.

PENDAHULUAN

Pada musim panen ikan, nelayan banyak mendapatkan ikan teri hasil tangkapannya dengan

jumlah yang sangat besar. Mereka menjual hasil tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

Karena hasil sangat banyak terkadang ikan tidak dapat terjual habis. Hal tersebut mengakibatkan

ikan membusuk jika tidak ada tempat pengawetan (cool storage). Salah satu cara yang dilakukan

nelayan adalah dengan mengeringkan ikan tersebut secara alami (dijemur dibawah sinar matahari).

Proses pengeringan alami tersebut mempunyai banyak kekurangan antara lain waktu pengeringan

lama, memerlukan area yang cukup luas, kualitas ikan menurun karena terkena debu, rawan

terhadap gangguan binatang seperti lalat, ayam, kucing dan anjing serta membutuhkan tenaga kerja

yang cukup banyak. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka perlu dibuat suatu alat

pengering tepat guna yang mudah dioperasikan nelayan. Alat ini dapat dijadikan alternatif

pengeringan ikan yang dapat meningkatkan kualitas dan harga jual ikan sehingga meningkatkan

pendapatan para nelayan.

METODOLOGI

Pengeringan adalah proses pengeluaran kandungan air bahan hingga mencapai kandungan

air tertentu agar kecepatan kerus bahan dapat diperlambat. Proses ini dipengaruhi oleh suhu,

kelembaban udara lingkungan, kecepatan aliran udara pengering, kandungan air yang diinginkan,

energi pengering, dan kapasitas pengering. Pengeringan yang terlampau cepat dapat merusak

bahan, oleh karena permukaan bahan terlalu cepat kering sehingga kurang bisa diimbangi dengan

Page 122: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.7. Peningkatan kualitas pengeringan ikan ... (Bambang Setyoko, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.38

kecepatan ger air bahan menuju permukaan. Karenanya menyebabkan pengerasan pada permukaan

bahan selanjutnya air dalam bahan tidak dapat lagi menguap karena terhambat. Disamping itu,

operasional pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan. Pengaturan suhu

dan lamanya waktu pengeringan dilakukan dengan memperhatikan kontak antara alat pengering

dengan alat pemanas (baik itu berupa udara panas yang dialirkan maupun alat pemanas lainnya).

Namun demi pertimbangan-pertimbangan standar gizi maka pemanasan dianjurkan tidak lebih dari

85oC (Suharto, 1991).

Pengeringan dilakukan dengan menempatkan ikan teri basah di atas 5 rak dimana rangka

terbuat dari kayu dan diberi kawat ram. Aliran panas berasal dari panas tungku yang didorong

masuk ke cerobong asap kiri dan kanan yang melewati ducting untuk memanaskan udara di ruang

pengering. Sedangkan uap air yang dihasilkan terangkat naik ke cerobong yang disedot oleh

exhaust fan. Setiap 15 menit sekali, susunan rak diubah dari bawah ke atas agar pemanasan ikan

teri dapat terdistribusi secara merata. Data-data yang diambil selama pengujian adalah berat ikan

teri awal dan akhir, kelembaban lingkungan dan ruang pengering, temperatur ruang asap dan

pengering serta kecepatan fan exhaust. Dari data-data di atas kemudian dihitung beberapa

parameter sebagai berikut :

1. Perpindahan massa (Joeswadi,1986):

a. Masa ikan kering dengan kadar tertentu dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

mtk = 100

)100( 1m x mtb (1)

Dimana :

mtk = massa kering (Kg)

m1 = kadar air awal ikan (%)

mtb = massa basah (Kg)

b. Massa air yang diuapkan dari bahan (Mw).

Mw = TKxMmm

mm

)100)(100(

)(100

21

21

(2)

Dimana :

m1 = kadar air awal ikan (%)

m2 = kadar air akhir ikan (%)

MTK = massa akhir ikan (kg)

2. Kebutuhan energi pengeringan (Suharto,1991):

a. Panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan dalam proses pengeringan adalah :

Qb = t

M w x LH (3)

Dimana :

Qb = panas yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan (J/s)

Mw = massa air yang diuapkan dari bahan (Kg)

t = waktu pengeringan (detik)

LH = panas laten penguapan (kJ/kg),

panas laten untuk ikan adalah 2558,37 kJ/kg (Ilyas, 1973).

Besarnya panas spesifik udara kering (Cpu) dapat dilihat pada tabel sifat-sifat udara pada

tekanan atmosfer.

b. Entalphi udara lingkungan (h) didapat dengan rumus sebagai berikut (Ilyas,1973):

h = (Cpu x T) udara kering + (ωx hfg ) uap air (4)

Dimana :

Cpu = panas spesifik udara kering (J/kgo K)

T = temperatur udara kering (oK)

ω = kelembaban absolut

hfg = enthalpi uap (kj/kg)

Enthalpi uap (hfg) dapat dilihat pada tabel sifat cairan dan uap jenuh.

Page 123: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.39

3. Sistem perpindahan kalor (Cengel,2004) :

a. Konduksi

Qkonduksi = - kA dX

dT (5)

Dimana :

Qkonduksi = laju perpindahan panas secara konduksi (W)

K = konduktivitas termal bahan (W/m. K)

A = luas penampang perpindahan panas (m2)

dT = perubahan suhu (K)

dX = jarak dalam arah aliran panas (m)

b. Konveksi

Qkonveksi = hA ∆T (6)

Dimana :

Qkonveksi = laju perpindahan panas secara konveksi (W)

A = luasan perpindahan panas (m2)

ΔT = beda antara suhu permukaan dan suhu fluida lingkungan (C)

h = koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.

0C)

c. Radiasi

Qradiasi = σ. A. ( T14 – T2

4 ) (7)

Dimana :

Qradiasi = laju perpindahan panas secara radiasi (W)

σ = konstanta Stefan Boltzman yang nilainya 5,669x10-8

(W/m2 K

4)

A = luasan perpindahan panas (m2)

T1 = temperatur permukaan benda (K)

T2 = temperatur sekitar permukaan benda (K)

4. Kandungan air bahan pangan (Joeswadi,1986):

m1 = %100xm

mm

tb

tktb (8)

Dimana :

m1 = kandungan air awal pada ikan

mtb = massa awal (kg)

mtk = massa kering (kg)

SIRKULASI UAP AIR DAN ASAP PADAALAT PENGERING IKAN TERI

T0

T

T

1

T

2

3

T5

T

4

V1 V2RH3

RH2

RH1

(a) (b)

Gambar 1. (a) Disain pengering tipe rak (tray drying),

Page 124: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.7. Peningkatan kualitas pengeringan ikan ... (Bambang Setyoko, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.40

(b) Sistem aliran panas 4 lintas, pembuangan uap air dan posisi pengukuran. HASIL DAN PEMBAHASAN

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390

Waktu (menit)

Kan

du

ng

an

Kad

ar

Air

Ikan

Teri

(%

)

Kandungan air To 1R

Kandungan air To 2R

Kandungan air To 3R

Kandungan air To 4R

Gambar 2. Hubungan antara kandungan kadar air akhir ikan teri dengan waktu pengeringan.

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa untuk percobaan pertama tanpa fan, kandungan air

mengalami penurunan dari awal 79,78 % menjadi akhir 21,42 % pada menit ke 375. Untuk

percobaan kedua dengan kecepatan fan 0,8 m/s kandungan air menurun dari awal 82,61 menjadi

akhir 19,05% pada menit ke 285. Pada percobaan ketiga dengan kecepatan fan 1,4 m/s kandungan

air pada ikan teri mengalami penurunan dari awal 79,73% menjadi akhir 20,17 % pada menit ke

253. Untuk percobaan keempat dengan kecepatan fan 2,8 m/s kandungan air ikan teri mengalami

penurunan dari awal 80,5% menjadi akhir 19,57 % pada menit ke 180.

30

40

50

60

70

0 0,4 0,8 1,2 1,6 2 2,4 2,8 3,2

Kecepatan Fan (m/s)

Eff

isie

nsi

(%)

(a) (b)

Gambar 3.(a). Hubungan antara effisiensi thermal dengan kecepatan fan

(b) Hubungan antara kecepatan fan dengan kebutuhan bahan bakar.

Dari Gambar 3 didapat bahwa effisiensi thermal berturut-turut dari kecepatan fan 0, 0,8,

1,4 dan 2,8 m/s adalah 39,8%, 58,6%, 60,4% dan 59,7% , mengalami peningkatan dari pengeringan

tanpa fan sampai pengeringan dengan kecepatan fan 2,8 m/s. Semakin besar kecepatan fan yang

digunakan maka bahan bakar yang dibutuhkan semakin sedikit. Ini disebabkan karena fan

menghisap paksa udara basah dari ikan teri, dimana uap air dalam ruangan cepat keluar dan

mempercepat proses pengeringan. Kebutuhan bahan bakar berturut-tururt dari kecepatan fan 0, 0,8,

1,4 dan 2,8 m/s adalah 3000, 2250, 2100 dan 1950 gram. Pada kecepatan fan 0 m/s ikan teri

mengalami pengeringan secara lambat, sehingga membutuhkan bahan bakar yang cukup banyak.

Pada kecepatan 0,8 m/s fan menghisap paksa udara basah dari ikan teri, sehingga kebutuhan bahan

bakar mengalami penurunan secara drastis. Pada kecepatan 1,4 m/s fan menghisap paksa udara

basah lebih cepat sehingga ikan teri lebih cepat mengalami pengeringan. Pada kecepatan fan 2,8

m/s ikan teri mengalami pengeringan yang paling cepat.

1000

2000

3000

4000

0 0,4 0,8 1,2 1,6 2 2,4 2,8 3,2

Kecepatan Fan (m/s)

Keb

utu

han

Bah

an

Bakar

(gr)

Page 125: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.41

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150

160

170

180

190

200

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420

Waktu (t)

Tem

pera

tur

ruan

g p

en

geri

ng

(C

elc

ius)

Percobaan 1

Percobaan 2

Percobaan 3

Percobaan 4

Dari Gambar 4 didapat waktu pengeringan berturut-turut dengan kecepatan fan 0, 0,8, 1,4

dan 2,8 m/s adalah 6, 4,5, 4, dan 2,75 jam. Semakin tinggi kecepatan fan yang digunakan maka

semakin cepat juga proses pengeringan yang terjadi.

0

1

2

3

4

5

6

7

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Kecepatan Fan (m/s)

Wak

tu P

eng

erin

gan

(m

enit

)

Gambar 4. Hubungan antara kecepatan fan dengan waktu pengeringan

Jika ditinjau dari efisiensi thermal dan kebutuhan bahan bakar, pada Gambar 3 dapat dilihat

bahwa efisiensi thermal tertinggi terjadi pada kecepatan fan 1,4 m/s dan bahan bakar yang

dibutuhkan adalah 2100 gram. Pertambahan kecepatan fan menjadi 2,8 m/s ternyata tidak

menaikkan efisiensi thermal ataupun menurunkan kebutuhan bahan bakar secara signifikan .

Gambar 5. Hubungan antara temperatur ruang pengering (T5) dengan waktu

Pada Gambar 5 dan Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa untuk percobaan dengan kecepatan

fan 0 m/s, temperatur ruang pengering stabil tetapi waktu yang dibutuhkan lama. Untuk percobaan

dengan berkecepatan fan 0,8 m/s, 1,4 m/s dan 2,8 m/s suhu cenderung mengalami naik turun secara

fluktuatif. Semakin tinggi kecepatan fan yang digunakan maka semakin sedikit waktu pengeringan.

Fluktuasi suhu tersebut disebabkan karena kesulitan mengendalikan bahan bakar berupa briket

batubara. Apabila terjadi penambahan atau pengurangan briket batubara, suhu yang terjadi tidak

sesuai dengan suhu yang diinginkan yaitu kira-kira 80oC. Fluktuasi ini terjadi juga karena adanya

kerugian kalor pada saat pengambilan data. Pengambilan data dilakukan dengan membuka dan

menutup pintu ruang pengering atau pintu ruang bakar pada saat menambah batubara sehingga

suhu tidak stabil karena ada kalor yang terbuang atau hilang.

Pengeringan Ikan Teri Dengan Kapasitas 25 Kg

Pengeringan dengan kapasitas 25 kg ikan teri dilakukan untuk mengetahui kemampuan alat

pengering ini, sehingga kapasitas beban pengeringan dapat dimaksimalkan. Pengujian dilakukan

Page 126: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.7. Peningkatan kualitas pengeringan ikan ... (Bambang Setyoko, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.42

30

40

50

60

70

80

90

100

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420

Waktu (menit)

Tem

pera

tur

Ru

an

g P

en

geri

ng

(celc

ius)

Percobaan 1

Percobaan 2

Percobaan 3

Percobaan 4

dengan mengatur kecepatan fan maksimal 2,8 m/s dengan massa awal ikan teri basah sebanyak 25

kg dan mempunyai kadar air awal 85,2 %. Proses pengeringan ini membutuhkan waktu selama 12

jam dan menghabiskan bahan bakar sebanyak 6,3 kg briket batubara. Temperatur rata – rata dalam

ruang pengering diperoleh 55,07 oC dengan posisi alat ukur ditengah dan 91,9

oC pada alat ukur

dengan posisi dibawah. Sedangkan temperatur ruang bakar diperoleh 75,9 o

C. Setelah mengalami

proses pengeringan maka diperoleh massa akhir ikan teri sebanyak 3,7 kg dengan kadar air akhir

ikan teri 18,46 %. Alat pengering ini memiliki effisiensi thermal sebesar 63,16%.

Gambar 6. Hubungan antara temperatur ruang pengering (T4) dengan waktu.

Jika menggunakan kecepatan fan yang sama yaitu 2,8 m/s, maka efisiensi thermal, waktu

pengeringan, kebutuhan bahan bakar dan massa akhir ikan teri pada kapasitas 25 kg ikan teri lebih

baik dibandingkan dengan kapasitas 5 kg.

KESIMPULAN

Dari hasil pengujian, perhitungan dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Pengeringan tanpa fan dengan kapasitas 5 kg membutuhkan waktu 6 jam, kadar air 21,42

%, effisiensi thermal 39,8 % dan batu bara 3,05 kg.

2. Waktu pengeringan tercepat yang dapat dicapai adalah 2 jam 45 menit dengan kecepatan

fan 2,8 m/s, kadar air akhir 19,57 %, batu bara 1,95 kg, kapasitas 5 kg, efisiensi kalor 59,7

% dan temperatur rata-rata ruang pengering 85o C.

3. Pengeringan dengan kecepatan fan 2,8 m/s, kapasitas 25 kg membutuhkan waktu 12 jam,

kadar air 18,46 %, effisiensi thermal 63,16 % dan batu bara 6,3 kg.

4. Jika ditinjau dari efisiensi thermal dan kebutuhan batu bara, maka kondisi terbaik dicapai

pada kecepatan fan 1,4 m/s dengan efisiensi thermal 60,4 % dan batu bara 2100 gram.

5. Produk ikan teri kering yang dihasilkan bersih, berwarna coklat muda cerah, renyah, gurih

dan tidak berbau asap. Bahkan produk ikan teri kering ini bisa dikonsumsi secara langsung

karena sudah matang dan higienis.

DAFTAR PUSTAKA

Cengel,Y.A.,Boles, M.A.,2004, Thermodinamics An Engineering Approach, 4th Ed., International

Edition, The Mc Graw-Hill Co., Singapore.

Ilyas,S.,1973, Pengantar Pengolahan Ikan Edisi 3, Lembaga Teknologi Hasil Perikanan. Direktorat

Jendral Perikanan. Jakarta.

Joeswadi,1986, Alat pengering Ikan, BPPI Medan, Medan.

Suharto,1991, Teknologi Pengawetan pangan. Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta.

Page 127: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.43

PENINGKATAN UNJUK KERJA KETEL TRADISIONAL

MELALUI HEAT EXCHANGER

Rianto, W. Program Studi Teknik Mesin Universitas Muria Kudus

Gondangmanis PO.Box 53-Bae, Kudus, telp 0291 4438229-443844, fax 0291 437198 e-mail : [email protected]

Abstrak

Pada penelitian ini telah dilakukan upaya optimasi sistem energi pada pengolahan kedelai di

industri tahu dengan penggunaan heat exchanger dengan memanfaatkan uap panas sebagai

pemanas awal bagi ketel uap. Heat exchanger adalah alat penukar kalor, dengan mengalirkan

dua fluida didalamnya sehingga terjadi perpindahan kalor dari fluida bersuhu tinggi ke fluida

bersuhu rendah. Fluida pemanas yang masuk pada heat exchanger berasal dari pipa uap

panas sedangkan fluida yang dipanaskan adalah air yang akan menuju pada ketel uap. Proses

desain dan pembuatan heat exchanger tipe counter flow didasarkan atas data-data yang

didapat pada sistem ketel uap di usaha pembuatan tahu di kelurahan Mejobo, kabupaten

Kudus yang terdiri : suhu air masuk keterl (T1), suhu air pada ketel (T2), debit air menuju ketel

uap (Qin), suhu uap hasil ketel (t1) dan tekanan uap air yang dihasilkan ketel uap (P1).

Penurunan suhu uap air pada ketel memiliki hubungan yang kuat dengan panjang heat

exchanger yang digunakan, dengan nilai korelasi hubungan 0,988006. Kenaikan suhu air

untuk mengisi ketel uap memiliki nilai korelasi 0,998395 terhadap panjang heat exchanger.

Kata kunci : ketel uap, counter flow heat exchanger.

PENDAHULUAN

Penukar kalor / heat exchanger merupakan alat yang berfungsi untuk melakukan transfer

energy antara dua fluida, dan saat ini penggunaan heat exchanger telah meluas meliputi : power

plant, reaktor nuklir, sistem AC (Air Conditioning), industri otomotif, sistem heat recovery, proses

kimia, industri makanan dan lain-lain.

Beberapa kajian tentang performance pada helical heat exchanger telah dilakukan. Naphon

(2006) mengamati heat transfer dan pressure drop pada heat exchanger dengan menggunakan

counter flow heat exchanger dengan diameter shell 127 mm – 197 mm, dan diameter tube 9,5 mm.

Selain itu, bahwa aliran fluida dalam counter flow HE memberikan efek yang positif terhadap nilai

heat transfer pada heat exchanger juga telah dieliti oleh Rajavel dan Saravanan (2007).

Inti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti tercantum diatas adalah

mempelajari efek aliran fluida dengan arah berlawanan terhadap performa heat exchanger yang

dihasilkan, khususnya heat transfer yang dihasilkan dan pressure drop yang terjadi. Masalahnya

adalah belum adanya korelasi antara panjang tube terhadap nilai suhu awal fluida panas dalam ketel

uap dalam pemakaian sistem energi di industri, sehingga perlu dilakukan kajian terhadap pengaruh

perubahan geometri alat terhadap performanya.

METODE PENELITIAN

1. Geometri Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan seperti pada gambar 1.1 berupa helical heat exchanger.

Beberapa parameter non dimensional yang digunakan pada pembahasan data hasil penelitian ini,

meliputi Reynold number (Re), Dean number (De), Nuselt number (Nu), Prandtl number (Pr) dan

pitch (γ) dengan persamaan :

Re = , Pr = , Nu = , De = Re , γ =

Page 128: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.8. Peningkatan unjuk kerja ketel tradisional ... (Rianto, W.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.44

Gambar 1 Geometri seksi uji alat penelitian

2. Set up Alat Penelitian

Diagram skematik dari peralatan penelitian yang digunakan terlihat pada gambar 1.2. Pada

penelitian ini type aliran yang digunakan adalah counter flow horisontal pada aliran satu fasa.

Dimensi seksi uji yang digunakan seperti tercantum pada tabel 1.1.Air yang akan disirkulasikan

dalam heat exchanger berasal dari bak penampungan air dan pemanasannya dengan memanfaatkan

uap panas hasil dari ketel uap yang tidak digunakan untuk memanaskan kedelai. Sebagai pengukur

laju aliran air, digunakan flow meter dan suhu air pada sisi tube diukur dengan menggunakan

termokopel dengan akurasi 0,10C. Tekanan pada sisi inlet dan outlet tube diukur dengan

menggunakan manometer air dengan menambah pewarna agar mudah dalam pembacaan. Pada

bagain body luar shell diisolasi sehingga diharapkan tidak ada heat transfer yang terjadi antara

lingkungan dengan heat exchanger.

Tabel 1 Karakteristik dimensi seksi uji alat penelitian

Keterangan :

1.Ketel Uap 4.Katup

2.Heat Exchanger 5.Lorong kayu bakar

3.Alat ukur suhu dan tekanan 6. Pompa air

Page 129: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.45

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa parameter yang digunakan pada penelitian terlihat pada tabel 2. Laju aliran massa

air dibuat konstan dengan panjang tube yang digunakan pada heat exchanger divariasikan pada 3

variasi panjang. Perpindahan kalor dalam counter flow heat exchanger ini dirumuskan dengan:

q = U A ∆Tm

dimana q merupakan nilai kalor yang dipindahkan, U adalah koefisien perpindahan kalor

menyeluruh, dan A adalah luas perpindahan kalor, serta ∆Tm adalah beda suhu rata-rata dalam heat

exchanger. LMTD (log mean temperature difference) merupakan fungsi dari ∆T1 dan ∆T2 yang

dirumuskan dengan :

∆Tm =

Sedangkan nilai koefisien heat transfer total sebagai fungsi luas permukaan heat transfer

dan koefisien kondukitvitas dan konvektif dirumuskan dengan persamaan :

=

dimana hi adalah koefisien heat transfer konvektif sisi inner, ho adalah koefisien heat transfer

konvektif sisi outer,k adalah koefisien heat transfer konduktif, A adalah luas permukaan, d adalah

diameter pipa tube, L menunjukkan nilai panjang pipa tube.

Tabel 2 Parameter-parameter dalam penelitian

Parameters Range

Debit air panas

Debit air dingin

Temperatur masuk sisi tube

Temperatur keluar sisi tube

Temperatur masuk sisi shell

Temperatur keluar sisi shell

Perubahan tekanan pada sisi tube

1800 – 2000 ml/menit

2200 ml/menit

27 0C – 30

0C

80 0C – 82.5

0C

95 0C – 98.5

0C

60 0C – 62.5

0C

440 - 450 mmH2O

Page 130: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.8. Peningkatan unjuk kerja ketel tradisional ... (Rianto, W.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.46

Data hasil penelitian seperti terlihat pada grafik 1. yang menunjukkan temperatur pada

bagian shell heat exchanger untuk beberapa panjang lintasan tube, terlihat adanya penurunan suhu

yang berbeda antara ukuran pitch 0,75 ;1,5 dan 3 m. Demikian pula pada hubungan antara panjang

lintasan tube yang digunakan terhadap kenaikan suhu pada sisi output tube heat exchanger

menunjukkan semakin besar kenaikan suhu sebanding dengan panjang tube-nya terlihat pada grafik

2.

Grafik 1 Penurunan temperatur air pada sisi tube

Grafik 2 Hubungan antara Kenaikan Suhu Air dan Panjang HE

Berdasar hasil perhitungan optimasi energi terhadap nilai ekonomis bahan bakar yang

digunakan berdasar data penelitian didapatkan nilai bahwa makin meningkatnya panjang tube yang

digunakan pada HE akan didapatkan penurunan konsumsi bahan bakar yang digunakan (grafik 4) .

Grafik 3. Hubungan Panjang HE dan Konsumsi Bahan Bakar

Page 131: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.47

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasar hasil penelitian didapatkan hasil bahwa penurunan suhu uap air memiliki

hubungan yang kuat dengan panjang tube heat exchanger yang digunakan untuk mentransfer kalor

dengan nilai korelasi hubungan 0,988.

Kenaikan suhu air yang keluas pada sisi tube heat exchanger juga memiliki korelasi yang

kuat dengan panjang tube yang digunakan pada counter flow heat exchanger ini dengan nilai

korelasi 0,998.

DAFTAR PUSTAKA

Holloway and Smith. 1990. Single and Two Phase Flow In Helical Coils. Chalk River Laboratory,

Ontario, Canada and East Kilbride, United Kingdom. pp. 245 -278.

Holman, J.P. 2002. Heat Transfer. Mc Graw Hill,Singapore.pp.189-203.

Incropera, Frank P.1996. Fundamentals of Heat and Mass Transfer. John Wiley & Sons, Inc. New

York. pp.205-237.

Kakac, Hongtan.1997. Heat Exchangers Selection, Rating, and Thermal Design. CRC Press,

United States of America. pp. 28-97.

Naphon, P.2006. Thermal Performance and Pressure Drop of Helical-Coil Heat Exchangers .

Journal of Heat and Mass Transfer. pp.142-149

Neeras.2004. Experimental Shell-Side Heat Transfer and Pressure Drop in Gas Flow for Spiral-

Wound Heat Exchanger. International Journal of Heat and Mass Transfer. pp. 353-361.

Rajavel and Sarvanan.2008. An Experimental Study of Spiral Plate Heat Exchanger for

Electrolytes. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy. pp. 255-

260.

Salimpour,M.2008. Heat Transfer Characteristics of a Temperature-dependent-property fluid in

Shell and Coiled Tube Heat Exchanger. International Communcations in Heat and Mass

Transfer.Vol. 35. pp. 1190-1195.

Page 132: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa ... (Sri U. Handayani, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.48

KAJIAN EKSPERIMENTAL KELAYAKAN DAN PERFORMA

ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SINGLE PASS

DENGAN METODE BELL DELAWARE

Sri Utami Handayani

*1), Didik Ariwibowo

**1), Fauzi Kusuma NH

2)

1) PSD III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 2)

PT. Bukit Makmur Mandiri Utama, Kalimantan *)

Email : [email protected], **)

Email : [email protected]

Abstrak

Peranan Alat Penukar Kalor dalam industri sangat besar, misalnya dipergunakan pada

industri makanan, pembangkit tenaga listrik, perminyakan, transportasi, pendingin dan

pemanas, dll. Pada umumnya Alat Penukar Kalor berperan dalam peningkatan efisiensi

sistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa Alat Penukar Kalor tipe Shell and

Tube Aliran Tunggal dengan Metode Bell Delaware. Penelitian dilakukan di Lab Konversi

Energi PSD III Teknik Mesin Undip secara ekperimental dengan laju aliran pada shell

sebesar 5 lpm dan laju aliran pada tube sebesar 10 lpm. Dari hasil perhitungan data diperoleh

hasil bahwa nilai effectiveness peralatan adalah berkisar antara 0,4 – 0,5. Sedangkan nilai

koefisien perpindahan kalor total alat penukar kalor 132,618 W/m2K.

Kata kunci: penukar kalor, shell and tube single pass, bell delaware

PENDAHULUAN

Alat Penukar Kalor berfungsi untuk mengubah temperatur dan fasa suatu jenis fluida

dengan memanfaatkan proses perpindahan panas dari fluida bersuhu tinggi menuju fluida bersuhu

rendah atau sebaliknya. Peranan Alat Penukar Kalor sangat besar, misalnya dipergunakan pada

industri proses, makanan, pembangkit tenaga listrik, perminyakan, transportasi, pendingin dan

pemanas, dll. Pada umumnya Alat Penukar Kalor berperan dalam peningkatan efisiensi sistem.

Contohnya melalui heater yaitu alat penukar kalor yang berfungsi memanaskan feed water sebelum

masuk ke boiler menggunakan panas dari exhaust steam (uap sisa turbin) atau gas yang telah

diekspansikan di turbin gas

Dengan mempertimbangkan pentingnya Alat Penukar Kalor (APK) dalam industri, maka

keberadaannya sebagai alat peraga pendidikan menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kelayakan dan performa Alat Penukar Kalor yang dibuat di Lab Konversi

Energi PSD III Teknik Mesin FT Undip sebagai salah satu alat peraga pendidikan yang

dipergunakan pada Praktikum Konversi Energi.

Parameter untuk menentukan performa alat penukar kalor adalah efektivitas thermal,

pressure drop dan kecenderungan terjadinya pengotoran (fouling). Pemilihan Alat penukar kalor

umumnya didasarkan pada kriteria tertentu seperti : memiliki efektivitas thermal yang tinggi,

pressure drop rendah, kehandalan dan umur pakai yang lama serta kualitas produk serta keamanan (

Kuppan, 2000)

Ada berbagai macam jenis alat penukar kalor seperti and tube, flat tube, continuous plate

fins, fin tube, dll. Dari berbagai jenis tersebut yang paling banyak dipakai adalah jenis and tube

(Kern, 1950) Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Antara lain karena jenis and tube

memberikan rasio antara luas perpindahan kalor dan volume atu berat fluida yang cukup besar.

Jenis ini juga mudah dibuat dalam berbagai ukuran, handal, mudah dibersihkan,serta dapat

dimodifikasi untuk permasalahan khusus (TEMA, 1978)

METODOLOGI

Peralatan

Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Alat Penukar Kalor tipe shell dan

tube dengan satu lintasan aliran, tipe aliran adalah menyilang berlawanan arah dengan skema

sebagai berikut :

Page 133: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.49

Keterangan :

1. Bak air

2. Pompa

3. Flowmeter

4. Water Heater

5. Pipa bypass

6. Pipa air panas

7. Pipa air dingin

Gambar 1. Skema aliran fluida

Pada alat penukar kalor yang dipergunakan terdapat dua siklus air, yaitu air panas dan air

dingin, keduanya merupakan siklus terbuka. Dari bak air, air dingin dipompa sebagian masuk ke

tube dengan melewati flow meter terlebih dahulu. Setelah keluar dari tube air dibuang. Sebagian air

dialirkan ke heater dan keluar pada temperatur yang lebih tinggi dan kemudian dialirkan ke bagian

shell . Setelah keluar dari pada temperatur yang lebih rendah kemudian air dibuang.

Adapun peralatan yang dipergunakan adalah sebagai berikut (lihat Gambar 1 dan Tabel 1):

Keterangan :

1. Body

2. Header

3. Manometer

4. Thermometer

5. Bak air

6. Pompa Air

7. Water heater

8. Katup ventilasi

9. Body

10. Header

11. Manometer

12. Thermometer

13. Bak air

14. Pompa Air

15. Water heater

16. Katup ventilasi

17. Flowmeter

Gambar 2. Gambar Peralatan

Prosedur Pengambilan Data

Dalam penelitian ini prosedur yang dilakukan untuk pengambilan data adalah sebagai

berikut :

Pompa dinyalakan, dan kemudian heater dinyalakan dengan cara menyambungkan heater dengan

tabung gas, heater akan menyala secara otomatis. Alat penukar kalor diisi secara penuh, baik pada

sisi shell maupun tube. Kemudian dilakukan pengaturan laju aliran air yang menuju ke shell

maupun tube dengan menggunakan katup. Sedangkan temperatur air panas diatur dengan mengatur

tombol pada heater. Setelah semua variabel yang diinginkan telah sesuai, hasil pengukuran pada

manometer, flowmeter dan termometer dicatat. Untuk mendapatkan data pada suhu dan laju alir

yang lain, dapat disesuaikan dengan mengatur tombol pada heater dan katup baik yang menuju ke

sisi shell maupun ke sisi tube. Pada penelitian ini data diambil dalam rentang waktu 20 menit,

dengan interval waktu tiap data 2 menit.

Page 134: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa ... (Sri U. Handayani, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.50

Tabel 1. Spesifikasi alat

No Deskripsi Notasi Nilai Satuan

1 Diameter inside Ds 254 Mm

2 Diameter outside tube Dt,o 19,05 Mm

3 Diameter inside tube Dt,i 17,05 Mm

4 Koefisien konduksi pipa kt 40,5 W/mK

5 Jarak pitch tube Ltp 25,4 Mm

6 Sudut konfigurasi tube Өtp 90 o

7 Panjang tube Lti 1500 Mm

8 Jumlah tube Nt 52 Buah

9 Jumlah baffle 6 Buah

10 Tinggi baffle cut Lbch 51 mm

11 Baffle cut Bc 20,0787 %

12 Jarak antar baffle Lbc 214,376 mm

13 Densitas air r 1000 kg/m3

14 Laju alir volume sisi shell Vs 5 ltr/min

15 Laju alir massa sisi shell 0,08333 kg/s

16 Temperatur masuk shell Ts,i 47 oC

17 Temperatur keluar shell Ts,o 37,6 oC

18 Laju alir volume sisi tube Vt 2,4,6,8, 10 ltr/min

19 Laju alir massa sisi tube

0,133 kg/s

20 Temperatur masuk tube Tt,i 31,5 oC

21 Temperatur keluar tube Tt,o 37,7 oC

22 Jumlah pass shell Nt,o 1

23 Jumlah pass tube Ntp 1

24 Clearance dan bundel Lbb 25,4 mm

25 Viskositas dinamik air ms 0,00065 N/sm2

26 Panas spesifik air shell Cps 4,179 kJ/kg.K

27 Konduktivitas air shell ka,s 0,631 W/mK

28 Bilangan Prandtl shell Prs 4,34

29 Panas spesifik air tube Cpt 4,179 kJ/kg.K

30 Konduktivitas air tube ka,t 0,631 W/mK

31 Bilangan Prandtl tube Prt 5,20

32 Viskositas dinamik air tube mt 0,00077 Ns/m2

Analisa Hasil Penelitian

Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan persamaan-persamaan

untuk memperoleh koefisien perpindahan kalor serta nilai kalor yang dipindahkan.Ada beberapa

persamaan yang bisa digunakan untuk perhitungan tersebut, diantaranya adalah dengan metode

Kern (Kern, 2000), namun pada persamaan ini tidak memperhitungkan pengaruh kebocoran dan

aliran bypass pada sisi shell. Pada penelitian ini alat penukar kalor yang digunakan memiliki baffle

yang dipotong 20%, sehingga aliran yang terbentuk adalah seperti pada gambar 3. Dengan model

aliran ini, metode yang lebih sesuai adalah metode Bell Delaware, (Serna and Jimenez, 2005).

Page 135: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.51

Gambar 3. Aliran fluida ketika melintasi baffle

Metode Bell Delaware

Persamaan dasar untuk menghitung koefisien perpindahan kalor rata-rata adalah :

ho = hideal( JcJ1JbJsJr) (1)

dengan hsi adalah koefisien perpindahan kalor untuk aliran silang dengan tube bundle ideal, Jc, J1, Jb,

Jr, dan Js adalah faktor koreksi untuk sekat yang dipotong, kebocoran pada sekat, aliran bypass pada

sekat, aliran laminar dan ketidaksamaan jarak sekat pada sisi inlet dan outlet.

Koefisien perpindahan kalor untuk aliran silang dengan tube bundle ideal adalah sebagai

berikut :

(2)

(3)

dimana, Nu adalah bilangan Nusselt, k konduktifitas termal fluida dalam pada temperatur

rata-rata , Dt diameter luar tube, a dan m konsatanta korelasi yang ditentukan berdasar

harga bilangan Reynolds dan susunan tube, Re bilangan Reynold dan Pr bilangan Prandtl. Sebelum menghitung faktor-faktor koreksi di atas, sebaiknya harus diketahui besarnya

kebocoran serta luas aliran yang ada pada sisi . Kalkulasi ini meliputi : perhitungan besarnya

segmen sekat yang dipotong (jendela sekat), luas aliran jendela sekat, diameter ekivalen hidrolis,

jumlah efektif baris tube, jumlah sekat, besarnya by-pass , luas bocoran -baffle, luas bocoran tube-

baffle, luas area bundel yang melintang. Persamaan-persamaan yang digunakan telah dituliskan

oleh Thome, 2004.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan metode kalkulasi seperti diatas, performa alat penukar kalor dapat

digambarkan pada grafik-grafik berikut ini.

Gambar 4. Temperatur pada sisi inlet shell , sisi outlet shell, sisi inlet tube dan sisi outlet tube

Page 136: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa ... (Sri U. Handayani, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.52

Dari gambar 4 diatas terlihat bahwa temperatur air panas pada sisi inlet shell masih kurang

stabil. Hal ini dikarenakan heater yang digunakan memiliki sistem on off otomatis setiap 20 menit,

sehingga pada awal dan akhir penyalaan heater temperaturnya menjadi tidak stabil. Data pada awal

dan akhir penyalaan heater sebenarnya telah dihilangkan namun pengaruhnya masih terlihat pada

data yang lain. Ketidakstabilan temperatur inlet menyebabkan ketidakstabilan temperatur pada sisi

keluar dan temperature inlet dan outlet tube.

Gambar 5. Perbandingan antara nilai kalor yang ditransfer oleh fluida sisi shell dengan

nilai perubahan energi kalor fluida sisi tube.

Gambar 6. Perbedaan perubahan energi kalor pada fluida sisi shell dan fluida sisi tube

Gambar 7. Perbandingan antara nilai NTU terhadap effectiveness heat exchanger.

Page 137: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.53

Nilai kalor yang dipindahkan dengan variabel laju alir sisi shell 5 lpm dan sisi tube

10 lpm dalam rentang 20 menit proses berjalan berkisar antara 3258 – 4906 W. Dari kurva

pada gambar 5 terlihat bahwa nilai kalor yang dipindahkan memiliki selisih yang cukup

besar terhadap nilai kalor pada sisi tube. Hal ini menunjukkan adalnya kerugian kalor yang

timbul pada sisi shell akibat pertukaran kalor dengan lingkungan. Untuk menghindari

pertukaran kalor dengan lingkungan maka harus dilakukan isolasi pada sekeliling atau

perubahan konfigurasi aliran, dimana fluida panas ditempatkan di sisi tube.

Nilai kalor perubahan energi yang terjadi memiliki kisaran 1955 - 2960 W. Nilai

perubahan energi cenderung menurun, nilai pada menit ke 8 lebih tinggi dari pada menit ke

18. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama waktu heat exchanger beroperasi, nilai kalor

yang ditransfer semakin besar.

Nilai effectiveness heat exchanger, yaitu dalam rentang 0.4 – 0.5. Sedangkan

menurut grafik 4.9, dengan berpatokan hubungan antara NTU dan Cmixed/Cunmixed

diperoleh nilai effectiveness heat exchanger sekitar 0.2. Hal ini menunjukan bahwa heat

exchangeri yang didesain memiliki kualitas yang baik karena nilai effectiveness yang dihasilkan

lebih tinggi dari nilai effectiveness teoritis.

KESIMPULAN

1. Nilai koefisien perpindahan kalor total adalah sebesar 132.618 W/m2 K.

2. Bila dilihat dari nilai effectiveness, alat penukar kalor ini memiliki kualitas yang baik dan

layak untuk dipergunakan sebagai alat peraga pendidikan.

3. Nilai kalor yang dipindahkan memiliki selisih yang cukup besar terhadap nilai kalor pada

sisi tube, hal ini menunjukkan adanya kerugian kalor

4. Untuk meningkatkan unjuk kerja alat penukar kalor sebaiknya dilakukan beberapa

modifikasi seperti perubahan konfigurasi aliran, pemasangan isolator pada sekeliling dan

penambahan sensor untuk mengatur kestabilan temperature heater.

DAFTAR PUSTAKA

Hewitt,G.F,et all, 1994, Process Heat Transfer. CRC Press.USA

Incropera, Fundamental of Heat and Mass Transfer

Kern,D.Q, 1950, Process Heat Transfer, Mc Graw Hill Kohaguka, New York

Kuppan, 2000, T, Heat Exchanger Design Handbook, Marcel Dekker, Inc. NewYork,

Sitompul,T.M, 1993, Alat Penukar Kalor, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Serna, M and Jimenez, A, 2005, A compact formulation of the Bell-Delaware method for heat

exchanger design and optimization, Institution of Chemical Engineers, Trans IChemE Part

A May 2005, 83(A5): 539–550

Thome, JR, 2004, Engineering Data Book III, Wolverine Tube, Inc, Lausanne, Swistzerland

Tubular Exhange Manufacturers Association, 1978, Standard of the Tubular Exchange

Manufacturers Association, 6th ed., , New York,

Wolverine Tube, Inc., 2001, Wolverine Tube Heat Transfer Data Book, Wolverine Tube, Inc,

Page 138: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.10. Kaji eksperimental kinerja turbin crossflow ... (Sahid)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.54

KAJI EKSPERIMENTAL KINERJA TURBIN CROSSFLOW

BERBASIS KONSTRUKSI SILINDER (DRUM) POROS VERTIKAL

UNTUK POTENSI ARUS SUNGAI

Sahid

Program Studi Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fax.(024) 7472396 E-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji kinerja turbin crossflow berbasis konstruksi

silinder (drum) poros vertikal untuk potensi arus sungai. Tahap awal penelitian adalah

menyiapkan konstruksi silinder berdiameter 1 m yang dibuat dari lembaran stainless steel

ukuran 2 mm. Selubung silinder dibelah menjadi empat bagian. Bagian-bagian selubung

tersebut diputar dengan pusat sumbu adalah bagian tengah busur selubung sehingga silinder-

silinder tersebut membentuk turbin crossflow. Pada bagian luar dipasang rumah turbin yang

dilengkapi pengarah aliran menuju sudu-sudu turbin. Turbin crosflow dihubungkan dengan

pompa sentrifugal (sebagai beban) melalui sistem transmisi poros dan roda gigi. Tahap

selanjutnya adalah uji karakteristik turbin. Dalam uji ini akan dilakukan optimasi sudut sudu

jalan turbin. Uji dilakukan di aliran sungai. Parameter yang diukur adalah debit dan head

aliran sungai untuk menghitung daya input turbin serta head dan debit aliran yang dihasilkan

oleh pompa irigasi untuk menghitung daya output pompa. Berdasarkan pada hasil pengujian,

turbin aliran silang poros vertikal sebagai penggerak pompa air yang dibuat berdasarkan

konstruksi silinder yang dibelah menjadi empat mempunyai sudut sudu jalan optimum 60o

dengan debit aliran masukan sebesar 0,23 m3/det, debit aliran keluaran pompa sebesar

0,000253 m3/det, daya hidrolis yang dihasilkan pompa sebesar 3,05 watt, dan mempunyai

efisiensi sistem sebesar 4,98 %.

Kata kunci: Turbin Crossflow, Konstruksi Silinder, Arus Sungai, karakteristik turbin.

PENDAHULUAN

Krisis energi yang dikenal secara internasional sebagai “Peak Oil” yang disebabkan oleh

kelangkaan bahan bakar minyak, telah mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan di

bidang energi antara lain melalui Keppres Nomor 43 tahun 1991 tentang konservasi energi,

Keppres Nomor 10 tahun 2005 tentang penghematan energi. Keppres ini mengisyaratkan perlunya

segera mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan guna mengurangi

ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Pertanian adalah salah satu bidang yang memerlukan pengembangan teknologi pengolahan

memanfaatkan sumber energi alternative, antara lain adalah pompa irigasi tanpa bahan bakar.

Selama ini petani menggunakan pompa sentrifugal untuk keperluan irigasi. berukuran kecil dan

medium. Penggerak yang digunakan adalah motor bakar torak yang menggunakan bahan bakar

minyak (BBM). Sekitar 56,8% petani menggunakan pompa berukuran kecil (diameter 50 mm) dan

32.4% petani menggunakan pompa berukuran sedang (diameter 100 mm). Para petani

menggunakan sumber air dari aquifer dangkal dan sumber air dari sungai-sungai yang ada untuk

mensuplai irigasi saat musim kering. Pompa-pompa tersebut mengairi sekitar 120.000 hektar di

Jawa (Prabowo dkk, 2003). Penggunaan BBM pada pompa irigasi menambah biaya operasional

untuk pengolahan lahan. Menurut Supriyadi petani dari desa Cangkrep Purworejo, 1 hektar sawah

memerlukan biaya rata-rata sebesar Rp 150.000/minggu (harga solar Rp 4.300/liter) selama musim

kemarau. Demikian juga disampaikan oleh Subagio ketua kelompok tani Sebaung Makmur

Ambarawa Semarang, mereka harus mengeluarkan biaya bahan bakar sebesar 6 juta rupiah untuk

mengairi 4,5 hektar sawah (komunikasi langsung, 2008).

Berdasarkan masalah yang dihadapi para petani, maka perlu dilakukan usaha untuk

mengatasi kesulitan para petani. Salah satunya adalah pemanfaatan energi aliran sungai untuk

menggerakkan pompa irigasi bagi daerah persawahan yang memanfaatkan air sungai untuk irigasi.

Turbin crossflow merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengerakkan pompa memanfaatkan

Page 139: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.55

tenaga aliran sungai. Pengembangan desain turbin crossflow ke arah yang lebih sederhana sangat

diperlukan, karena turbin crossflow yang saat ini biasa digunakan memiliki desain yang rumit.

Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji secara eksperimental kinerja turbin crossflow

berbasis konstruksi silinder dengan poros vertikal memanfaatkan potensi aliran sungai. Turbin

crossflow digunakan untuk menggerakkan pompa sentrifugal (sebagai beban).

Turbin crossflow biasa digunakan sebagai penggerak mula pada pembangkit listrik tenaga

mikrohidro (PLTMh). Pemanfaatan turbin crossflow sebagai penggerak mula untuk beban lain

seperti pompa belum pernah dilakukan. Sehingga penelitian ini merupakan terobosan baru dalam

pemanfaatan turbin crossflow sebagai penggerak mula. Turbin crossflow yang biasa digunakan

mempunyai desain yang rumit dan harus memenuhi kaidah-kaidah tertentu. Penelitian ini

merupakan salah satu tahapan dalam mendesain turbin crossflow yang beorientasi pada

kemudahan, baik desain maupun pembuatannya memanfaatkan konstruksi silinder sebagai bahan

utama pembuatan.

Michell dan Banki, tahun 1920, mengembangkan turbin tekanan sama yang cocok untuk

tinggi jatuh air lebih rendah, yang dikenal dengan turbin aliran silang atau Crossflow (Bellis, 2002).

Salah satu keistimewaan turbin aliran silang adalah masih bisa digunakan pada tinggi jatuh 1 m

dengan kapasitasnya antara 0,02 m3/dt sampai dengan 7m

3/dt (Dietzel,1995). Di Indonesia turbin

crossflow biasa digunakan sebagai penggerak mula pada Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

(PLTMh).

Turbin crossflow skala mikro dibuat oleh Sahid dan Gatot (2004), digunakan untuk

membangkitkan tenaga 1 kW. Turbin ini masih memiliki efisiensi rendah 30 %. Mengacu pada

penelitian tersebut beberapa optimasi kemudian dilakukan untuk meningkatkan efisiensi turbin

crossflow. Antara lain Sahid dan Gatot (2006) mengkaji optimasi jumlah sudu pada turbin

crossflow. Hasil penelitian menunjukkan efisiensi maksimum diperoleh pada jumlah sudu 16

sebesar 50, 1% sehingga ada peningkatan 20,1 % dibandingkan turbin sebelumnya.

Kajian eksperimental terhadap sudut sudu keluaran turbin crossflow juga dilakukan oleh

Gatot dkk. (2006). Turbin crossflow dengan sudut keluaran 300 menghasilkan efisiensi terbaik

sebesar 72 %. Turbin ini kemudian digunakan sebagai penggerak mula pada PLTMh (skala lab.).

Gatot dkk. (2007) meneliti tentang pengaruh sudut sudu pengarah aliran jet terhadap kinerja turbin

crossflow. Hasil penelitian menunjukkan turbin crossflow dengan sudut sudu pengarah 160

memberikan hasil yang optimum.

Hasil-hasil penelitian yang terkait dengan pompa air antara lain adalah model pompa lobe

yang digerakkan oleh turbin angin savonius. Penelitian ini dilakukan oleh Gatot dkk. Tahun 2005.

Model pompa yang dibuat menghasilkan kapasitas yang kecil (debit 15 l/mnt dan head 70 cm),

sehingga untuk diterapkan di lapangan memerlukan dimensi savonius yang sangat besar. Model

pompa jenis ini hanya cocok untuk daerah yang mempunyai potensi angin dengan kecepatan

minimal 5 m/s sedangkan untuk daerah yang mempunyai potensi aliran sungai penggerak turbin air

lebih cocok digunakan.

Model pompa lain tipe sudu luncur dengan penggerak turbin angin nibe dibuat oleh Yusuf

DH (2008). Kapasitas yang dihasilkan juga kecil sehingga tidak cocok jika diterapkan untuk pompa

irigasi. Edi Wibowo mengembangkan model pompa air tipe lain yaitu pompa sentrifugal dengan

penggerak turbin aksial (2007). Turbin aksial merupakan turbin reaksi yang memanfaatkan energi

aliran menjadi energi mekanik yang digunakan untuk menggerakkan pompa. Oleh karena pompa

sentrifugal beroperasi pada putaran tinggi (1500 – 3000 rpm), maka model pompa irigasi ini hanya

cocok digunakan untuk daerah yang mempunyai potensi aliran sungai yang besar. Selain itu turbin

aksial sebagai penggerak pompa termasuk jenis turbin reaksi yang memerlukan instalasi pipa

masukan dan keluaran turbin yang rumit serta mahal. Pengembangan turbin air sebagai penggerak

pompa dengan teknologi yang lebih sederhana sangat diperlukan sehingga mudah diterapkan dan

cocok bagi para petani yang rata-rata berpendidikan SMA kebawah.

METODE PENELITIAN

Tahap awal penelitian adalah menyiapkan konstruksi silinder berdiameter 1 m yang dibuat

dari lembaran stainless steel ukuran 1 mm. Selubung silinder dibelah menjadi 4 bagian. Bagian-

bagian selubung tersebut diputar dengan pusat sumbu adalah bagian tengah busur selubung

sehingga silinder tersebut membentuk turbin crossflow. Pada bagian luar dipasang rumah turbin

Page 140: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.10. Kaji eksperimental kinerja turbin crossflow ... (Sahid)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.56

yang dilengkapi pengarah aliran menuju sudu-sudu turbin. Turbin crosflow dihubungkan dengan

pompa sentrifugal melalui sistem transmisi poros dan roda gigi. Pada tahap ini akan dihasilkan

model pompa irigasi tanpa bahan bakar dengan penggerak turbin crossflow dengan jumlah sudu 4

buah. Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik model. Dalam uji ini akan dilakukan optimasi

sudut putar selubung silinder atau sudut sudu jalan. Sudut sudu jalan yang merupakan variable

penelitian ini divariasikan masing-masing 100 hingga 90

0 dengan kelipatan 10

0. Uji dilakukan di

aliran sungai. Parameter yang diukur adalah debit dan head aliran sungai untuk menghitung daya

input turbin serta head dan debit aliran yang dihasilkan oleh pompa irigasi untuk menghitung daya

output pompa. Kinerja turbin yang paling baik adalah yang menghasilkan head dan debit keluaran

paling tinggi. Rancangan turbin crossflow poros vertikal sebagai penggerak pompa sentrifugal

dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Konstruksi Sudu Jalan Turbin basis silinder

Gambar 2. Turbin crossflow basis silinder penggerak pompa air

T

Page 141: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.57

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip kerja dari turbin aliran silang poros vertikal yaitu air yang mengalir di sungai

diarahkan melalui parit menuju tempat dipasangnya turbin. Kemudian air dialirkan melalui sudu

pengarah yang berfungsi untuk mengarahkan aliran air agar tepat menumbuk sudu jalan turbin

sehingga turbin bisa berputar secara optimal. Kemudian air menumbuk sudu jalan turbin dan turbin

tersebut akan menghasilkan energi mekanik. Energi mekanik berupa putaran turbin digunakan

untuk menggerakkan pompa sentrifugal dengan melalui transmisi roda gigi, sehingga impeller

pompa sentrifugal tersebut berputar dan menghasilkan daya hidrolik pompa. Pengujian turbin

aliran silang poros vertikal ini bertujuan untuk mengetahui sudut sudu jalan optimum dari turbin

aliran silang poros vertikal sehingga menghasilkan daya hidrolis optimal pompa.

Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 3 sampai dengan 5, masing-masing merupakan

grafik hubungan antara perubahan sudut sudu jalan turbin terhadap debit yang dihasilkan pompa

(Gambar 3), grafik hubungan antara perubahan sudut sudu jalan terhadap daya hidrolis yang

dihasilkan pompa (Gambar 4), dan grafik hubungan antara perubahan sudut sudu jalan terhadap

efisiensi sistem (Gambar 5).

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Perubahan Sudut Sudu Jalan Terhadap Debit

yang dihasilkan Pompa

Berdasarkan pada Gambar 3 terlihat bahwa sudut sudu jalan mempengaruhi jumlah debit

yang dihasilkan oleh pompa. Pada sudut sudu jalan 10o menghasilkan debit keluaran pompa

0,00003 m3/dt . Debit keluaran pompa yang dihasilkan meningkat dengan meningkatnya sudut sudu

jalan hingga mencapai debit keluaran pompa tertinggi sebesar 0,000253 m3/dt pada sudut sudu

jalan 60o. Kemudian debit keluaran pompa menurun pada sudut sudu jalan di atas 60

o. dari hasil ini

dapat ditunjukkan bahwa sudut sudu jalan 600 merupakan sudut sudu jalan optimum dimana debit

yang dihasilkan pompa adalah yang paling besar dengan debit masukan yang relatif konstan yaitu

sebesar 0,023 m3/det.

Demikian juga jika dilihat dari daya hidrolik keluaran pompa (Gambar 4), terlihat di atas

bahwa pada bukaan sudut sudu jalan turbin mulai dari 10o daya hidrolis yang dihasilkan pompa

yaitu sebesar 0,46 watt cenderung bertambah sampai pada sudut sudu jalan 60o. Tetapi pada sudu

jalan turbin 60o ke atas sampai pada sudu jalan turbin 90

o daya hidrolis yang dihasilkan pompa

terus menurun. Dari pengamatan grafik ini dapat diketahui bahwa bukaan sudut sudu jalan turbin

yang menghasilkan daya hidrolis pompa yang paling banyak adalah pada bukaan sudut sudu 60o

yaitu sebesar 3,05 Watt dengan debit aliran masukan relatif konstan yaitu sebesar 0,23 m3/det. Hal

ini tidak jauh berbeda dengan pengamatan pada gambar 3, karena debit yang dihasilkan pompa

akan berbanding lurus dengan daya hidrolis yang dihasilkan pompa.

Page 142: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.10. Kaji eksperimental kinerja turbin crossflow ... (Sahid)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.58

Gambar 4. Grafik Hubungan Antara Perubahan Sudut Sudu Jalan Terhadap Daya Hidrolis

yang dihasilkan Pompa

Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Perubahan Sudut Sudu Jalan Terhadap Efisiensi Sistem

Tren yang sama juga ditunjukkan oleh Gambar 5, dimana sudut jalan 600 memberikan hasil

yang paling baik. Titik-titik debit, daya hidrolik, dan efisiensi disekitar sudut sudu 600 terlihat

berdekatan. Pada awalnya pengujian dilakukan pada sudut sudu kelipatan 10 dan menghasilkan

sudut sudu terbaik pada 600. Oleh karena ring sudut yang besar, maka untuk meyakinkan hasil ini

dicoba juga sudut sudu di sekitar 600 yaitu 53

0, 58

0, dan 65

0. Hasilnya seperti terlihat, yaitu titik

optimum terjadi pada sudut sudu jalan 600 dengan efisiensi 4,98 %.

Page 143: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.59

KESIMPULAN

Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Turbin aliran silang poros vertikal sebagai penggerak pompa air untuk pengairan ini dibuat

berdasarkan konstruksi silinder dengan diameter 528 mm yang dibelah menjadi empat dan

masing – masing bagian selubung silinder yang berfungsi sebagai sudu jalan turbin tersebut

diputar pada sudut 60o. turbin aliran silang poros vertikal ini memiliki diameter dalam 133 mm,

diameter luar 808,9 mm, lebar sudu jalan turbin 400,4 mm, tinggi sudu jalan turbin 1000 mm,

tebal sudu jalan turbin 1,2 mm, jari – jari kelengkungan sudu jalan 264 mm, massa sudu jalan

turbin 32 kg dengan diameter poros 65 mm.

2. Berdasarkan pada hasil pengujian, turbin aliran silang poros vertikal sebagai penggerak pompa

air untuk pengairan yang dibuat berdasarkan konstruksi silinder yang dibelah menjadi empat

mempunyai sudut sudu jalan optimum 60o dengan debit aliran masukan sebesar 0,23 m

3/det,

debit aliran keluaran pompa sebesar 0,000253 m3/det, daya hidrolis yang dihasilkan pompa

sebesar 3,05 watt, dan mempunyai efisiensi sistem sebesar 4,98 %.

DAFTAR PUSTAKA

Bellis. 2002. Lester Allan Pelton-Water Turbines and the Beginnings of Hydroelectricity.

Inventors Journal. http://Inventors.abuot.com/gi/ dynamic/offsite.htm

Dietzel F. 1993. Turbin Pompa dan Kompresor. Erlangga. Jakarta

Edi Wibowo, Fitroh Amalia, Nadhir Yusmalina, Riza Muhamad N Z. 2007. Pompa sentrifugal

dengan penggerak turbin air tipe Aksial untuk keperluan irigasi. Polines. Semarang

Gatot S., Bono. 2005. Rancang bangun turbin savonius untuk menggerakkan pompa lobe. Jurnal

Eksergi. Vol 1 nomor 2. hal 60-66. ISSN 0216-8685

Gatot S., Bono, Yusuf DH. 2007. Optimasi Turbin Crossflow Terhadap Variasi Sudut Sudu

pengarah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidr. Jurnal Eksergi. Vol 3 nomor 1

hal 22-28. ISSN 0216-8685.

Gatot S., Sahid, Yusuf DH. 2007. Optimasi Turbin Crossflow Terhadap Variasi Sudut Sudu

outlet untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Jurnal Eksergi Vol 3 nomor 1 hal

9-16. ISSN 0216-8685

Prabowo A, A Hendriadi, Novi S, Hari G, dan Affifudin. 2003. Metode Perbaikan Disain Pompa

Sentrifugal Diterapkan Untuk Pompa Buatan Lokal. Temu Ilmiah Pengembangan

Mekanisasi Pertanian. Bogor, 16 Desember 2003

Sahid, Suwoto G. 2004. Rancang Bangun Turbin Mikro Aliran Silang untu Sistem Pembagkit

Listrik Tenaga Mikrohidro. Proseding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan

Pengabdian pada Masyarakat. Politeknik negeri Semarang, Semarang

Sahid, Gatot S. 2006. Peningkatan kinerja melalui optimasi jumlah sudu pada turbin crossflow

untuk PLTMh. Rekayasa mesin vol III nomor 3. hal 133-144. ISSN 1411-6863

Yusuf DH. 2008. Unjukkerja Turbin Angin Nibe 3-sudu Menggunakan Pompa Sudu Luncur

untuk Pengambilan Air, Jurnal Eksergi. Vol 4 nomor 2. hal 52-60. ISSN 0216-8685

Page 144: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.11. Kaji eksperimental kinerja turbin air hasil modifikasi ... (Gatot Suwoto)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.60

KAJI EKSPERIMENTAL KINERJA TURBIN AIR HASIL MODIFIKASI

POMPA SENTRIFUGAL UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO

Gatot Suwoto

Program Studi Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fax.(024) 7472396 E-mail : [email protected]

Abstrak

Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji kinerja turbin air hasil modifikasi pompa

sentrifugal untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Tahap awal penelitian adalah

menyiapkan pompa sentrifugal yang akan dimodifikasi, mengukur impeler dan lebar saluran

rumah pompa yang akan dimodifikasi sebagai patokan ukuran runner turbin yang akan dibuat.

Merubah sudut sudu impeler, ketirusan shock drat As impeller diperpendek agar tidak ada

celah air dan memperbesar lebar impeler agar seluruh air akan menumbuk runner turbin.

Agar perubahan ukuran lebar runner tidak menimbulkan perubahan debit maka jumlah sudu

runner turbin diperbanyak.yang awalnya sudunya berjumlah 6 diperbanyak menjadi 16 sudu.

Tahap selanjutnya adalah uji karakteristik turbin.. Uji dilakukan pada instalasi pengujian

turbin air (rig uji turbin). Parameter yang diukur adalah debit dan head untuk menghitung

daya input turbin serta putaran turbin dan torsi yang bekerja pada poros turbin untuk

menghitung daya output turbin. Berdasarkan pada hasil pengujian, turbin air hasil modifikasi

pompa sentrifugal untuk pembagkit listrik tenaga mikrohidro, daya output turbin maksimum

yang dihasilkan adalah 144,876 watt dengan putaran turbin 1315 rpm yang dioperasikan pada

debit 0,0034 m3/det ,head 23 m dan mnghasilkan efisiensi turbin 21,98 %

Kata kunci: Turbin Air, Hasil Modifikasi Pompa Sentrifugal, Karakteristik Turbin.

PENDAHULUAN

Energi listrik yang disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), masih belum

dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang jauh dari

jangkauan jaringan listrik. Desa diseluruh nusantara yang sudah terjangkau jaringan listrik sampai

tahun 2006 baru mencapai 47 % (Sutisno, 2007). Sisanya adalah daerah pelosok yang belum

terjangkau jaringan listrik. Beberapa desa yang belum terjangkau jaringan listrik memiliki potensi

mikrohidro yang belum dimanfaatkan, potensi mikrohidro di Indonesia yang telah dimanfaatakan

kurang lebih 64 MW sedangkan potensinya diperkirakan sebesar 460 MW (Zulkarnain dkk, 2004).

Sumber energi mikrohidro dapat dimanfaatkan dengan cara mengubah energi tersebut kedalam

bentuk energi mekanik. Energi mekanik kemudian digunakan untuk menggerakkan beban seperti

generator listrik, pompa dan lain lain. Alat yang dapat digunakan untuk mengubah energi potensial

air menjadi energi mekanik dikenal denan turbin air. Kendala yang dihadapi masyarakat untuk

memanfaatkan potensi mikrohidro adalah tidak tersedianya turbin air sekala mikro dipasaran.

Sementara pengetahuan masyarakat tentang teknologi turbin air sangat rendah.. Untuk mengatasi

hal tersebut diperlukan pemikiran alternatif yaitu mencari alat yang mudah didapatkan dan terjual

bebas dipasaran untuk dimodifikasi menjadi turbin air. Pompa sentrifugal secara geometris

memiliki kemiripan dengan turbin air namun prinsip kerjanya berkebalikan.. Penelitian ini

dimaksutkan untuk mengkaji kinerja turbin air hasil modifikasi dari pompa sentrifugal untuk

pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi alternatif

kelangkaan turbin air dipasaran sekaligus mendorong pemanfaatan energi mikrohidro yang lebih

baik.

LANDASAN TEORI

Turbin francis adalah sebuah turbin aliran kedalam yang mempunyai aliran radial pada sisi

masukan maupun pada sisi keluaranya. Jenis turbin ini paling banyak digunakan karena

menghasilkan daya tinggi, cocok dioperasikan pada tinggi jatuh air menengah. Semua hubungan

untuk menentukan berbagai sudut dan karakteristik lain yang digunakan dalam turbin aliran

kedalam, juga dapat diterapkan untuk turbin francis.

Page 145: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.61

Daya Hidrolik

Daya hidrolik adalah daya yang dimiliki oleh air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke

tempat yang rendah, dirumuskan pada persamaan 1 :

PhT .= ρgQH............................................................................................... (1)

dimana Ph adalah daya hidrolik (Watt), massa jenin air (kg/m3), Q adalah debit air (m

3/s) dan H

adalah tinggi jatuh air (m)

Daya Mekanik

Daya mekanik adalah daya yang dihasilkan pada poros turbin dapat dicari dengan

persamaan 2

Pm= 60

..2 nT................................................................................................. (2)

dimana: Pm = Daya mekanik (Watt), T = Torsi (Nm), π = 3.14 dan n = kecepatan putar (rpm)

Efisiensi Turbin (ƞt )

Efesiensi turbin merupakan perbandingan daya mekanik yang di hasilkan oleh turbin

dengan daya hidrolik yang di gunakan untuk menggerakkan turbin, dapat dihitung dengan

persamaan 3.

ƞt =h

m

P

Px100%............................................................................................... .(3)

METODOLOGI PENELITIAN

Proses perancangan dalam pembuatan sistem pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan

menggunakan pompa sentrifugal yang difungsikan sebagai turbin air dilakukan dengan modifikasi

jumlah sudu dan sudut sudu. Jumlah sudu dimodifikasi menjadi 16 sudu dan sudut sudu pada

posisi dalam dimodifikasi 35˚ dan sudut sudu di sisi luar menjadi 30˚.

Gambar 1 Rancangan Runner Turbin

Langkah yang dilakukan :

Mengukur impeler dan lebar saluran rumah pompa yang akan dimodifikasi sebagai patokan

ukuran runner turbinyangn akan dibuat. Mengubah sudut sudu runner pada bagian masukan 30º dan

pada bagian keluaran 35º, ketirusan shocck drat poros diperpendek dan lebar impeler diperbesar,

jumlah sudu diperbanyak menjadi 16. Spesifikasi pompa yang yang akan dimodifikasi sebagai

berikut : head maksimum pompa 22 m, debit maksimum 90 liter/menit, putaran pompa 1500 rpm

Page 146: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.11. Kaji eksperimental kinerja turbin air hasil modifikasi ... (Gatot Suwoto)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.62

dan daya listrik yang dibutuhkan 175 wat. Impeler yang dimodifikasi menjadi runner turbin air

adalah jenis tertutup dan rumah pompa yang digunakan sebagai rumah turbin adalah tipe siput.

Gambar 2 impeler pompa

.

Gambar 3 Rumah Siput

Instalasi Pengujian Turbin Air

Gambar di bawah ini merupakan instalasi pengujian turbin air hasil modifikasi pompa

sentrifugal. Komponen utama alat ini adalah pompa sirkulasi yang digunakan untuk menggantikan

waduk (bendungan) sebagai potensi tenaga air, dengan spesifikasi pompa sebagai berikut : head

tekan =37 m, debit = 200 l/menit, daya = 4 HP, turbin air, dinamometer sebagai alat pengukur torsi,

tachometer untuk mengukur kecepatan putar turbin dan bendung V sebagai alat pengukur debit.

Gambar 4 Instalasi Pengujian turbin air

Langkah Pengujian

1. Mempersiapkan semua peralatan yang dibutuhkan dalam pengujian

2. Memeriksa semua alat ukur yang digunakan

3. Membuat rangkaian pengujian

4. Memilih range alat ukur pada ampermeter maupun voltmeter.

Page 147: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.63

5. Menghidupkan pompa.

6. Mengatur bukaan katup disesuaikan dengan head yang diinginkan

7. Mukai pengambilan data dari pembebanan nol sampai pembebanan maksimum , catat head

masuk turbin dan keluar turbin, massa beban mekanik, beban lampu, arus dan tegangan

listrik keluaran generator.

8. Matikan pompa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Runner turbin hasil modifikasi impeller pompa yang telah dibuat mempunyai spesifikasi

sebagai berikut : diameter luar runner 127,5 mm , diameter dalam runner 24 mm, lebar sudu 12,5

mm, jari jari kelengkungan sudu 30 mm dan jumlah sudu16 buah, sudut sudu pada posisi dalam

35˚ dan sudut sudu di sisi luar 30º.

Gambar 5 Runner Turbin Air Dengan Runner Berjumlah 16 Sudu

Hasil pengujian karakteristik turbin dapat dilihat pada Gambar 6. Dari hubungan antara

daya mekanik dengan putaran pada pengujian karakteristik turbin dengan variasi beban mekanik

maksimum yang dihasilkan sebesar 144,876 Watt pada pada putaran 1315 rpm yang dioperasikan

pada head (tinggi jatuh air) 23 m.

Grafik daya mekanik vs putaran

120

125

130

135

140

145

150

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

putaran (rpm)

da

ya

me

ka

nik

(W

)

Gambar 6 Grafik hubungan Daya Mekanik Vs Putaran

Page 148: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.11. Kaji eksperimental kinerja turbin air hasil modifikasi ... (Gatot Suwoto)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.64

Dari Gambar 7 Grafik Hubungan efisiensi turbin vs putaran terlihat bahwa efisiensi turbin

terbesar yang dihasilkan 21,93% pada putaran 1315 rpm, dan tinggi jatuh air 23 m.

Grafik efisiensi turbin vs putaran

18,5

19

19,5

20

20,5

21

21,5

22

22,5

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

putaran (rpm)

efi

sie

ns

i tu

rbin

(%

)

Gambar 7 Grafik hubungan Efisiensi Turbin Vs Putaran

KESIMPULAN

1. Modifikasi impeller pompa menjadi runner turbin yang telah dibuat mempunyai spesifik

dengan diameter luar runner 127,5 mm , diameter dalam runner 24 mm, panjang, lebar sudu

12,5 mm, jari jari kelengkungan sudu 30 mm dan 16 buah sudu, sudut sudu runner turbin pada

posisi dalam 35˚ dan sudut sudu di sisi luar 30º.

2. Daya mekanik turbin yang dihasilkan pada head 23 m adalah 144,876 Watt dengan efisiensi

turbin 21,98 % pada putaran 1315 rpm,.

DAFTAR PUSTAKA

Bono,Gatot Suwoto,Mulyono,2006.”Rekayasa bentuk sudu turbin pelton Sistem pembangkit listrik

Tenaga mikrohidro”,Jurnal rekayasa MesinVol.3 No.1,hal:131-136

Maher P.,and N.Smith,2001,”Pico Hydro for village power”,Practical Manual for schemes Up To 5

KW in Hill Areas,Edition 2

Sularso, Tahara Haruo,2000,”Pompa dan kompresor”,Pradnya paramitha,Jakarta

Sriyono Dakso, Dietzel Fritz,1993.”Turbin pompa dan Kompressor”Erlangga,Jakarta

Sutisna, N. (20/07), ”Departemen energi kembangkan sistem mikrohidro”., Tempo News Room.

http://www.tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/ ./brk,20040417-08,id.html

Zulkarnain, Sukarno, H., Berlian, A. (2004), “Sistem piko hidro untuk daerah terpencil”., Majalah

P3TEK, http:/www.p3tek.com/conten publikasi /publikasi 04,htt htm.

Page 149: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.65

APLIKASI KOLEKTOR MATAHARI MODEL PLAT DATAR

UNTUK PROSES PENGERINGAN

Seno Darmanto dan Senen

Dosen Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang e-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian plat datar sebagai pengumpul kalor matahari dilakukan untuk menganalisa

tingkat efektifitas penyerapan kalor dan aplikasinya untuk proses pengeringan.

Tingkat efektifitas didasarkan pada bahan dan ukuran plat datar, pengaturan posisi,

bahan yang dikeringakan, temperatur dan efisiensi. Perancangan alat pengeringan

dengan kolektor matahari dilakukan di laboratorium dan pengujian unjuk kerja

dilakukan dengan mengeringan salah satu produk makanan pada waktu siang hari

dengan waktu efektif 5 jam. Dan berdasarkan hasil uji unjuk kerja prototipe plat

pengumpul kalor dengan ukuran 2 mx 1,2 m x 3 mm menunjukkan bahwa temperatur

di ruang kolektor dapat mencapai ±50oC.

Key word: plat datar, pengumpul, kalor, temperatur, efisiensi, pengeringan

PENDAHULUAN

Analisa pasar menunjukkan bahwa energi yang bersumber dari minyak bumi mengalami

kecenderungan peningkatan baik konsumsi dan harga sehubungan dengan permintaan masyarakat

dunia (terutama industri) yang meningkat. Peningkatan konsumsi energi cair (terutama minyak

bumi) bagi industri ternyata tidak sebanding dengan penyediaan bahan bakar yang diturunkan dari

minyak bumi tersebut meliputi bensin, minyak tanah, solar, minyak diesel dan residu. Penyediaan

bahan bakar cair yang tidak sebanding dengan permintaan menyebabkan kenaikan harga minyak

secara drastis. Diversifikasi energi (bahan bakar) menjadi solusi untuk mengatasi

masalah/kekurangan energi setiap negara di dunia termasuk Indonesia. Konsumsi energi untuk

skala dunia di tahun 2000 menunjukkan bahwa diversifikasi konsumsi energi tercatat 35% minyak

bumi, 25% batubara, 21% gas alam, 7% nuklir dan energi terbarukan 14% (Handaka, 2003).

Selanjutnya kontribusi energi terbarukan dari air, angin, surya dan panas bumi 1% -1,5% (IEA,

2002 di dalam Handaka, 2003). Kajian dan analisa diversifikasi energi terbarukan dapat bersumber

dari angin, air, panas bumi, matahari, minyak nabati dan hewani serta hidrogen. Kebijakan

diversifikasi energi di Indonesia sebenarnya sudah diatur melalui Garis Besar Haluan Negara

(GBHN) semasa era orde baru. Pelaksanaan kebijakan diversifikasi energi tersebut di level teknis

belum mengalami peningkatan yang signifikan hingga sekarang ini.

Potensi energi matahari cukup besar di Indonesia. Faktor potensi energi matahari

dipengaruhi oleh letak/posisi daerah, musim (hujan /kemarau) dan waktu (jam). Letak Indonesia di

jalur garis katulistiwa memberikan potensi pancaran matahari secara penuh di seluruh daratan

Indonesia. Selanjutnya berkenaan dengan musim, Indonesia hanya mempunyai 2 musim yakni

hujan dan kemarau di mana dengan rentang waktu musim kemarau lebih lama dari pada musim

hujan akan memberikan potensi energi matahari lebih besar. Pengaturan media transfer kalor/energi

surya akan mencapai maksimal pada kondisi pancaran sinar matahari tegak lurus dengan media

transfer/penyerap kalor/energi. Kondisi maksimal ini dicapai pada jam/saat matahari tepat di atas

media transfer kalor/energi.

Pengembangan potensi matahari menjadi sumber energi (pemanas, penerangan dan

pembangkit listrik) bagi industri dan rumah tangga mulai berkembang di Indonesia.

Transfer energi matahari untuk proses pemanasan dapat dilakukan secara langsung dan

tidak langsung. Proses pemanasan dengan energi matahari secara langsung dilakukan

dengan cara penjemuran. Metode pemanasan yang dilakukan di udara terbuka ini relatif

kurang baik terutama untuk produk makanan dan obat. Kajian dan analisa media transfer

Page 150: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.12. Aplikasi kolektor matahari model plat datar ... (Seno Darmanto dan Senen)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.66

energi matahari secara tidak langsung untuk proses pemanasan dilakukan dengan

pengumpul (collector) bed yang terbuat dari bahan pebble (Santos, 2005). Ada beberapa

kendala pengembangan energi matahari menjadi energi bermanfaat meliputi teknologi,

bahan, biaya dan kebijakan. Aplikasi energi matahari untuk pemanas mulai banyak

diterapkan untuk keperluan industri dan rumah tangga. Problem utama aplikasi energi

matahari sebagai pemanas meliputi tingkat kepercayaan, kontrol temperatur udara dan laju

aliran udara. Tingkat kepercayaan energi matahari dalam aplikasinya di lapangan

dipengaruhi oleh cuaca daerah yang tidak konstan.

Pemanasan dianjurkan tidak lebih dari 85oC untuk pertimbangan-pertimbangan

standar gizi (Kuntjoko et al.,1989 dalam Suharto, 1991). Batas kadar air pada produk

makanan secara umum kira-kira 30% atau setidak–tidaknya 40%. Sedangkan untuk jahe,

kadar air rimpang diharapkan mencapai 8%–10% (Rostiana et al., 2005). Pengaturan kadar

air pada prinsipnya dilakukan untuk menghentikan perkembangan jasad–jasad bakteri

pembusuk dan jamur (Moelyanto, 1992). Pada proses pengeringan bahan makanan dapat

mengalami reaksi pencoklatan non-enzymatic yang dapat menurunkan kadar gizi. Reaksi

pencoklatan non-enzymatic membentuk pigmen coklat (melanoidin) dan umumnya terjadi

pada bahan makanan yang mengalami pemanasan. Reaksi ini tergantung pada air yang

merupakan akibat dari dua peranan air, yaitu sebagai pelarut dan sebagai suatu produk dari

reaksi (Sutardi, et al., 1990).

METODE PENELITIAN

Bahan: jahe yang sudah dicuci dan disesuaikan dengan ukuran tertentu. Peralatan terdiri

dari ruang/peralatan pengering jahe, penangkap kalor matahari, 2 fan penghisap udara, 5 alat ukur

temperatur, 1 alat ukur kelembaban dan 1 alat timbangan massa. Langkah percobaan pertama-tama

dilakukan dengan menyiapkan peralatan pengering, merangkai alat pengering jahe, penangkap

kalor matahari dan menyiapkan dan pemasangan alat ukur meliputi alat ukur temperatur dan

kelembaban.

Gambar 1 Rancangan pengumpul kalor matahari untuk pengeringan pangan

Data-data yang perlu diambil sebelum alat dioperasikan, antara lain: massa awal jahe,

temperatur awal ruang pengering, temperatur awal lingkungan, dan kelembaban awal ruang

pengering. Selanjutnya pengambilan data pada saat mesin dalam keadaan tanpa beban meliputi

temperatur ruang pengering, temperatur udara keluar, temperatur udara masuk, dan temperatur

udara lingkungan. Kemudian pengambilan data selama mesin dioperasikan untuk pengeringan jahe.

Data-data yang perlu diambil, antara lain temperatur udara luar (T0), temperatur udara sebelum

melewati fan (T1), temperatur udara diatas plat (T2), temperatur udara setelah melewati rak

Page 151: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.67

pengering (T3), temperatur udara keluar (T4), temperatur plat hitam (T5). Pengukuran dilakukan

setiap 15 menit sekali. Dan pengambilan data kelembaban meliputi kelembaban udara sebelum

masuk ruang pengering (RH1) dan kelembaban udara keluar ruang pengering (RH2). Pengukuran

dilakukan setiap 15 menit sekali. Dan pengolahan data difokuskan pada analisa hubungan antara

temperatur operasional pengering dan waktu pengeringan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada proses pengeringan, kadar air dalam jahe akan menurun dan penurunan tertinggi

dicapai pada kecepatan fan 984 rpm dengan penurunan mencapai 7,6%.

Tabel 1. Penurunan kadar air jahe setelah pengeringan.

Kec. Fan (rpm) 0 984 1120 1250

Ka (%) 3,2 7,6 4 4,4

Distribusi temperatur selama 1 (satu) hari atau 5 jam efektif di beberapa titik di peralatan

pengering dengan kecepatan 984 rpm ditunjukkan di gambar 2. Temperatur di atas plat hitam (T5)

cenderung paling tinggi. Selanjutnya temperatur di ruang penangkap kalor (di atas plat kolektor

(T2)) cenderung di bawah T5 namun di atas T3. Kemudan temperatur ruang pengeringan bahan (T3)

cenderung di atas temperatur lingkungan (T4) namun di bawah T2.

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

0:00

:00

0:30

:00

1:00

:00

1:30

:00

2:00

:00

2:30

:00

3:00

:00

3:30

:00

4:00

:00

4:30

:00

5:00

:00

Pukul

Tem

per

atu

r (C

)

T 5 T 2 T 3 T 4

Gambar 2. Hubungan distribusi temperatur dengan waktu pengeringan

pada lokasi yang berbeda untuk kecepatan fan 984 rpm.

Distribusi temperatur ruang pengering (T3) selama 1 (satu) hari atau 5 jam untuk beberapa

kecepatan blower ditunjukkan di gambar 3. Pada kecepatan 984 rpm, temperatur ruang pengering

cenderung paling tinggi. Selanjutnya pada kecepatan 0 rpm, temperatur di ruang pengering

cenderung paling rendah.

20

25

30

35

40

45

50

55

0:00:

00

0:30:

00

1:00:

00

1:30:

00

2:00:

00

2:30:

00

3:00:

00

3:30:

00

4:00:

00

4:30:

00

5:00:

00

Pukul

Tem

per

atu

r(C

)

0 rpm 984 rpm 1120 rpm

Gambar 3. Hubungan distribusi temperatur di ruang pengering dengan waktu pengeringan

pada kecepatan fan yang berbeda

Page 152: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.12. Aplikasi kolektor matahari model plat datar ... (Seno Darmanto dan Senen)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.68

Efektifitas aliran kalor untuk pengeringan akan mencapai optimum pada kecepatan blower

984 rpm. Transfer kalor melalui media selain dipengaruhi oleh nilai koefisien perpindahan kalor

(heat conductifity) juga di pengaruhi oleh perpindahan secara konveksi dan radiasi (Incropera at al,

1990). Perpindahan kalor secara konveksi dipengaruhi oleh kecepatan aliran dan waktu tinggal

(resident time). Untuk transfer kalor melalui benda padat akan lebih dominan dipengaruhi oleh nilai

koefisien perpindahan kalor dan luasan bahan. Dan perpindahan kalor dengan media udara lebih

dominan dilakukan secara konveksi. Pada kecepatan blower 1120 rpm, waktu tinggal untuk transfer

kalor dari udara ke jahe diprediksi relatif rendah sehingga transfer kalor kurang maksimal. Dan

fenomena tersebut ditandai dengan temperatur ruang pengering relatif rendah.

KESIMPULAN

Kajian dan analisa secara eksperimen terhadap pengumpul (collector) matahari sebagai

sumber kalor/energi untuk proses pengeringan jahe menunjukkan kadar air jahe utuh (tanpa

perlakuan) yang menurun selama 5 jam. Selanjutnya temperatur maksimum di ruang pengeringan

dapat mencapai ±50oC. Kemudian kecepatan blower mempengaruhi transfer kalor di ruang

pengeringan. Dan kecepatan blower optimum untuk pengeringan di ruang pengering dicapai pada

kecepatan 984 rpm.

TERIMA KASIH

Kami dari hati yang paling dalam mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah terlibat dalam penelitian ini terutama mahasiswa, teknisi dan Program Studi Diploma III

Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip. Dan terima kasih kepada Fakultas Teknik Undip yang telah

mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Handaka, 2003,’’ Prospek Penggunaandan Penelitian Teknologi Energi untuk pertanian di

Indonesia’’, Seminar nasional dan Ekpose Meknisasi Pertanian, Badan Litbang Nasional,

Agustus 2003.

Incropera, F.P. and David P. Dewit, 1990, “Fundamental of Heat and Mass Transfer” , John Wiley

& Sons, New York.

Moeljanto, 1992, “Pengawetan & Pengolahan Hasil Perikanan”, Penebar Swadaya. Jakarta

Rostiana, O., Nurliani B. & Mono Raharjo, 2005,’’Budidaya Tanaman Jahe’’, Balai Penelitian dan

Pengembangan Obat dan Aromatika, Sekuler No. 11. http://www.balittro.go.id.

Santos, B. M., Queiroz, M.R. dan Borges T.P.F, 2005,’’A Solar Collector Design Procedure For

Croop Drying’’, Brzilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 22N0. 02,pp277-284.

ISSN 0104-6632, on line www.abeq.org.bc/bjche.

Suharto, 1991, “ Teknologi Pengawetan Pangan”, Cetakan Pertama. Rineka Cipta, Jakarta

Sutardi & Tranggono, 1990, “ Biokimia & Teknologi Pasca Panen”, Pusat Antar Universitas,

Yogyakarta.

Page 153: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.69

APLIKASI TUNGKU TAK PERMANEN

UNTUK PENGERINGAN BLOK BATA MENTAH

Windu Sediono dan Seno Darmanto

Dosen Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Jl.Prof. Soedharto, SH, Tembalang-Semarang e-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian tungku model tak permanen dilakukan untuk menganalisa peningkatan fungsi

sebagai media pembakaran dan pengeringan. Perancangan model tungku tak permanen

dilakukan di laboratorium dan pengujian model tungku dilakukan di industri bata merah

kecamatan Jogonalan kabupaten Klaten Jawa Tengah. Tahapan penelitian terdiri dari

persiapan blok bata, pengeringan awal bata, pembuatan bata yang akan dibakar, pembuatan

tungku, pembakaran dan pembongkaran tungku. Dan berdasarkan hasil uji pembakaran bata

merah menunjukkan bahwa dinding tungku tak permanen akan maksimal dengan pola 2/2 di

mana pola tersebut menghasilkan lebih dari 9000 blok bata kering untuk ukuran tungku 8 m x

6 m dan ketinggian 20x (kali) tinggi blok bata.

Key word: bata merah, tak permanen, pola, tungku, pembakaran, pengeringan

PENDAHULUAN

Aplikasi tungku bakar untuk industri bata telah berkembang cukup pesat di Indonesia. Ada

beberapa sentral industri bata di pulau Jawa meliputi Jawa Barat (Bekasi, Purwakarta, pinggiran

Bandung), Jawa Tengah (Pati, Penggaron dan Gunung pati kabupaten Semarang, Boyolali, Klaten),

Jawa Timur (Ngawi, Sukolilo Madiun, Sidorjo Mojokerto, Pasuruhan, Kediri) dan DI Yogyakarta

(Bantul dan Gunung Kidul). Pembakaran bata tanah liat atau bata merah dapat dilakukan dengan

mengunakan tungku permanen (furnace) dan tungku tak permanen. Tungku permanen merupakan

tungku yang didesain dan dibuat secara permanen di tempat atau lokasi tertentu. Konstruksi tungku

merupakan dinding vertikal (kadang tertutup) yang dilapisi bahan tahan api di sisi dalam dan

dilengkapi dengan pintu masuk. Tungku ini banyak digunakan oleh industri besar. Selanjutnya

tungku tak permanen merupakan tungku yang didesain dan dibuat sementara (secara tak permanen)

di tempat atau lokasi tertentu. Dan model tungku tak permanen terdiri dari rendemen dan dinding.

Pembakaran bata tradisional umumnya menggunakan tungku model rendemen. Perkembangan

industri bata tradisional skala bisnis (diperdagangkan) cenderung menggunakan tungku model

dinding untuk pembakaran bata merah. Tungku tak permanen model dinding terdiri dari dinding

tungku penuh (rigid) dan berpori. Dan dalam perkembangannya, dinding tungku model tak

permanen berkembang cukup baik dari segi bentuk, dimensi, susunan dan perekatannya. Aplikasi

tungku tak permanen dapat diterapkan untuk pembakaran bata, genteng, produk gerabah dan

pembakaran produk skala kecil

Mekanisme pengeringan dan pembakaran sebenarnya merupakan dua proses terpisah pada

pembuatan bata merah. Pengeringan dan pembakaran pada prinsipnya merupakan usaha

memberikan kalor kepada bata merah untuk mendapatkan kualitas bata merah yang dikehendaki.

Besar atau nilai kebutuhan kalor akan berbeda antara pembakaran dan pengeringan bata merah.

Pembakaran bata merah di tungku membutuhkan kalor lebih tinggi dari pada proses pengeringan

bata mentah basah ke bata mentah kering. Dalam praktek sehari-hari di industri bata merah,

kebutuhan kalor untuk pembakaran bata merah disediakan/diperoleh dari pembakaran bahan bakar

kayu, ranting, daun dan bahan bakar limbah pertanian. Sedangkan proses pengeringan bata merah

mentah dilakukan dengan penjemuran bata di bawah sinar matahari. Proses pengeringan bata

secara alami akan membutuhkan waktu relatif lama dan waktu pengeringan akan bertambah saat

memasuki musim penghujan.

Proses pengeringan bata mentah di industri bata skala kecil dan rumah tangga rata-rata

dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Waktu pengeringan blok bata mentah basah

pada kondisi cerah di musim kemarau membutuhkan waktu 5 – 6 hari. Perlakuan pengeringan bata

dengan cara membalik permukaan bata secara berulang akan mempercepat proses pengeringan

Page 154: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.13. Aplikasi tungku tak permanen ... (Windu Sediono dan Seno Darmanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.70

bata. Mekanisme pengeringan bata secara alami akan menemui banyak kendala saat memasuki

musim penghujan. Kunjungan dan pengamatan langsung ke industri bata di Klaten Jawa Tengah

menunjukkan bahwa waktu pengeringan blok bata mentah basah dapat mencapai 15 – 18 hari pada

musim penghujan. Dengan kapasitas pencetakan industri kecil mencapai 750 – 1000 blok bata tiap

orang per hari (Surono, 2010), maka potensi penumpukkan bata basah selama 15 hari akan

mencapai 11.250 – 15.000 blok bata. Dan dengan industri bata rata-rata mempunyai 3 orang tenaga

pembuat bata, maka potensi penumpukan bata basah tiap industri selama 15 hari dapat mencapai

33.750 – 45.000 blok bata. Dan untuk 1 (satu) bulan, potensi penumpukan bata dapat mencapai

60.000 – 90.000 blok bata mentah. Industri bata merah skala kecil atau rumah tangga di kecamatan

Jogonalan kabupaten Klaten mencapai 300-an yang tersebar di kelurahan Granting, Kraguman,

Gumul, Karang Dukuh, Titang, Pokoh, Sumopura dan Tambak (Surono et al., 2010).

METODOLOGI

Adanya desain berpori di dinding tungku tak permanen memberikan kesempatan

modifikasi ulang untuk mengkombinasikan fungsi tungku untuk pembakaran lingga bata dan

pengeringan blok bata basah. Pengeringan blok bata bata secara alami dilakukan di bawah sinar

matahari dengan temperatur 40oC – 75

oC. Sedangkan potensi kalor di dinding tungku tak permanen

berpori dapat mencapai temperatur 350oC. Ada potensi kalor cukup besar yang belum

termanfaatkan di dinding tungku. Sehingga selain merancang susunan dinding tungku tak

permanen, perlu ada perlakuan awal bata yang dikeringkan supaya bata penyusun dinding tungku

tidak retak, getas dan patah. Dan sehubungan industri bata merah rata-rata di tengah sawah, maka

potensi modifikasi tungku tak permanen akan semakin luas yakni selain untuk pembakaran bata

dan pengeringan bata dapat juga berpotensi untuk pengeringan produk pertanian pasca panen.

Modifikasi tungku tak permanen untuk proses pembakaran dan pengeringan bata merah dapat

dilakukan dengan mengatur prosentase ruang pori-pori di dinding tungku tak permanen.

Pembakaran bata merah dengan tungku tak permanen dilakukan dengan model pelapisan dan

dinding. Pembakaran bata dengan tungku model pelapisan menggunakan lingga bata model

rendemen. Sedangkan pembakaran dengan tungku model dinding menggunakan lingga bata model

baris dan kolom (Darmanto et al., 2004). Rancang bangun dinding tungku tak permanen model

dinding dibuat dalam 2 tipe yakni berpori dan rigid. Pembakaran bata merah dengan tungku tak

permanen berpori yang terbuat dari susunan bata mentah/matang menghasilkan kualitas

pembakaran bata merah relatif lebih baik. Kualitas bata merah yang baik ini ditandai dengan warna

merah yang merata (homogen) pada bata. Hasil pembakaran bata merah yang terletak di lapisan

lingga terluar dan lapisan dasar terlihat matang yang ditunjukkan dengan warna merah bata.

Beberapa industri mengisi pori-pori dinding tungku dengan abu bekas pembakaran bata merah.

Abu bahan bakar memberikan kalor tambahan selama pembakaran. Pengukuran temperatur di

dinding tungku berpengisi abu dapat mencapai ±350oC saat pembakaran (Murni at al, 2007;

Darmanto et al, 2004). Abu juga berfungsi sebagai isolator sehubungan nilai koefisien konduksi

relatif rendah. Selanjutnya optimasi tungku tak permanen untuk proses pembakaran dan

pengeringan bata merah dilakukan dengan mengatur prosentase ruang pori-pori di dinding tungku

tak permanen. Pengaturan prosentase ruang di dinding tungku dimungkinkan mengingat ketebalan

dinding tungku tak permanen diisi/disusun dengan 5 – 6 blok bata. Ketebalan dinding tungku

merupakan panjang blok bata mentah yang besarnya sama (equivalent) dengan 5 atau 6 x (kali)

ketebalan blok bata mentah. Prinsip dasar rancang bangun dinding tungku untuk proses

pembakaran dan pengeringan bata merah dilakukan dengan modifikasi pola dan teknik

penyusunan/pembuatan dinding tungku tak permanen yakni menyusun 10 (sepuluh) blok bata

membentuk huruf H (jika dipandang dari atas). Dari pola H yang tersusun dari 10 (sepuluh) blok

bata disambung dengan H blok bata lain mengelilingi lingga bata (bata yang akan dibakar).

Optimasi tungku tak permanen diarahkan pada analisa yang meliputi fungsi, ekonomi, kapasitas

dan kualitas. Khusus untuk analisa kualitas, optimasi dinding tungku tak permanen didasarkan pada

analisa teknik meliputi kekuatan, efisiensi termal, waktu dan tingkat kesederhanaan teknologi.

Page 155: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.71

Gambar 1. Teknik pembuatan tungku tak permanen model berpori

Metode yang diterapkan dalam penelitian tungku di industri bata merah meliputi persiapan

di laboratorium dan pelaksanaan di industri bata. Penelitian di laboratorium dilakukan dengan

memfokuskan pada perancangan dan pengujian skala laboratorium. Dan tahapan penelitian di

laboratorium dilakukan sebagai berikut menyiapkan dan menyempurnakan model dinding tungku

berpori tak permanen untuk pembakaran dan pengeringan bata, membuat prototipe tungku berpori

tak permanen dan menentukan langkah kerja. Langkah kerja memberikan tahapan-tahapan

pengerjaan pembuatan tungku tak permanen model 1/1, 2/2, 2/3, dan 3/2.

Untuk menghitung banyaknya bata penyusun dinding tungku yang dikeringkan maka perlu

mempergunakan rumus sebagai pembantu perhitungan total banyaknya bata yang kering. Pertama-

tama berdasarkan pengukuran di industri dimensi bata mentah menunjukkan panjang x lebar x tebal

= 25 cm x 12,5 cm dan 2,5/3 cm. Selanjutnya dengan mengacu model tungku dengan pola 1/1, 2/1,

2/2, 2/3 dan 3/2 dapat dihitung jumlah bata penyusun dinding tungku. Hal ini disesuaikan dengan

kodisi dan cara pengkajian penelitian ini, dimana variabel pola diletakkan pada satu tungku dalam

pembakaran bata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produk yang akan dihasilkan dalam penelitian ini adalah desain dan model tungku tak

permanen dengan dwifungsi yakni pembakaran dan pengeringan. Dinding tungku terbuat /tersusun

dari susunan bata mentah dengan pola tertentu. Sehubungan tungku terbuat dari blok bata mentah

maka analisa efektifitas tungku lebih lanjut dapat dilakukan pada variasi bahan baku bata, variasi

ukuran bata, ukuran tungku dan analisa ekonomi.

Desain tungku tak permanen secara umum ditunjukkan di gambar 1. Desain awal tungku

tak permanen dengan susunan bata membentuk huruf H dengan pola 1/1. Pola 1/1 berarti dinding

bata di bentuk dengan 1 bata mentah dengan posisi berdiri baik di sisi dalam dan luar tungku.

Selanjutnya dengan mengolah data dari hasil survey di industri bata merah di Granting kecamatan

Jogonalan kabupaten Klaten memberikan tungku tak permanen dengan susunan bata membentuk

huruf H dengan pola 2/2, 2/3 dan 3/2. Pola 2/2 berarti dinding tungku dibentuk dengan 2 (dua) bata

mentah dengan posisi berdiri baik di sisi dalam dan luar tungku. Selanjutnya pola 2/3 berarti

dinding tungku dibentuk dengan 2 (dua) bata mentah dengan posisi berdiri di sisi dalam dan 3

Pandangan Atas

Pandangan Samping

Arah ke atas &

menyamping

Bata

Page 156: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.13. Aplikasi tungku tak permanen ... (Windu Sediono dan Seno Darmanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.72

(tiga) bata mentah dengan posisi berdiri di sisi luar tungku. Dan analisa tungku tak permanen

difokuskan pada pola 2/2.

Gambar 2. Susunan dan dimensi bata di dinding tungku untuk pola 2/2.

Untuk menghitung banyaknya bata penyusun dinding tungku yang dikeringkan maka perlu

mempergunakan rumus sebagai pembantu perhitungan total banyaknya bata yang kering. Pertama-

tama berdasarkan pengukuran di industri dimensi bata mentah menunjukkan panjang x lebar x tebal

= 25 cm x 12,5 cm dan 2,5/3 cm. Selanjutnya dengan mengacu model tungku dengan pola 1/1, 2/1,

2/2, 2/3 dan 3/2 dapat dihitung jumlah bata penyusun dinding tungku. Hal ini disesuaikan dengan

kodisi dan cara pengkajian penelitian ini, dimana variabel pola diletakkan pada satu tungku dalam

pembakaran bata. Untuk menghitung atau memprediksi jumlah bata kering pada tungku tak

permanen maka perlu ada pola atau perumusan tertentu.

Selanjutnya dengan mendasarkan hasil observasi di industri bahwa dinding tungku

berukuran panjang x lebar = 8 m x 6 m dan tinggi disamakan dengan 20 x (kali) lebar bata maka

dapat diperkirakan jumlah bata mentah penyusun dinding tungku. Ltungku menunjukkan panjang

lintasan tungku dan dalam hal ini itu ditunjukkan

8 m + 6 m + 8 m + 6 m = 28 m atau 2800 cm.

Selanjutnya Lpola menunjukkan panjang lintasan setiap pola dan dalam hal ini itu

menunjukkan bahwa panjang bata ditambah tebal bata

25 cm + 2,5 atau 3 m = 27,5 cm – 28 cm

Kemudian n menunjukkan banyaknya bata dalam satu pola di mana untuk pola 1/1 n

mempunyai nilai 3, n mempunyai nilai 4 untuk pola 2/1, n mempunyai nilai 5 untuk pola 2/2. Dan

secara teoritis, untuk tungku tak permanen dengan ukuran panjang x lebar = 8 m x 6 m dan tinggi

disamakan dengan 20 x (kali) lebar bata menghasilkan bata kering 9.652 blok bata.

KESIMPULAN

Dinding tungku tak permanen disusun atau dibuat dari blok bata mentah dengan formasi H.

Dinding tungku tak permanen dengan formasi H untuk fungsi pembakaran dan pengeringan akan

maksimal dengan pola 2/2. Pembakaran bata dengan tungku tak permanen ukuran 8 x 6 m2 dan

tinggi disamakan dengan 20 x (kali) lebar bata untuk fungsi tambahan pengeringan akan

menghasilkan bata kering 9.652 blok bata. Dan kondisi lingkungan relatif juga berpengaruh pada

proses pembakaran dengan tungku tak permanen.

Page 157: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.73

DAFTAR PUSTAKA

Darmanto dan Murni., 2004, “Analisa Abu sebagai Bahan Pengisi Dinding Tungku Bata Merah

untuk Mereduksi Kehilangan Kalor”, Laporan Penelitian Dosen Muda Dikti 2004, Undip,

Semarang.

Incropera F. dan David P. Dewit, 1990, “Fundamental of Heat and Mass Transfer” , John Wiley &

Sons, New York.

Murni, Darmanto, S., dan Rahmat, W., 2007’’ Rancang Bangun Tungku untuk Pembakaran Bata

Merah’’, Laporan penelitian Beasiswa Unggulan Depdiknas 2007.

NN, 2008,’’ Industri Bata Merah di Klaten’’, Survey dan wawancara langsung di industri kecil

bata merah di Jogonalan kabupaten Klaten

Surono, 2009,’’ Survey Dan Wawancara Langsung Di Industri Kecil Bata Merah Di Jogonalan

Kabupaten Klaten’’, Pengusaha Bata Merah dan Ketua Paguyuban bata Merah Nganten.

Page 158: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.14. Analisis karakteristik electrical modul photovoltaic ... (M Denny Surindra)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.74

ANALISIS KARAKTERISTIK ELECTRICAL MODUL PHOTOVOLTAIC

UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA SKALA LABORATORIUM

M Denny Surindra Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Polines

Jl.Prof. H. Sudartho, SH, Semarang

E-mail: [email protected]

Abstrak

Pemakaian sumber energi surya di Indonesia mempunyai prospek yang sangat baik karena

secara geografis indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan merupakan negara tropis yang

mempunyai potensi tenaga surya yang cukup baik dengan penyinaran matahari sepanjang

tahun. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui karakteristik modul photovoltaic

dan besarnya daya yang dibangkitkan oleh modul photovoltaic. Metodologi pengujian

dilakukan dengan cara memasang modul photovoltaic yang dihubungkan dengan panel

kontrol. Panel control dilengkapi dengan BCR (Batteray Charger Regulator), aki dan alat

ukur yang diperlukan. Berdasarkan hasil pengujian modul photovoltaic yang memiliki arus

dan tegangan tertinggi adalah modul photovoltaic 3 (PV 3) dengan merk uerosolare yaitu

sebesar 2.06 A dan 17 V pada jam 12.00 dengan intensitas radiasi 726.71 W/m2. Sedangkan

modul photovoltaic 1 dan modul photovoltaic 2 (PV 1 dan PV 2) dengan merk indosolar arus

dan tegangan yang dihasilkan sebesar 1.68 A dan 17 V dengan intensitas radiasi matahari

726.71 W/m2.

Kata kunci: photovoltaic, pembangkit, listrik, tenaga, surya

PENDAHULUAN Program pemerintah mengenai pembangunan dan pemanfaatan energi diarahkan pada

pengelolaan energi secara hemat dan efisien dengan memperhitungkan peningkatan kebutuhan

dalam negeri untuk jangka panjang. Salah satu upaya memanfaatkan sumber energi yang memiliki

kemungkinan untuk dikembangkan di Indonesia adalah sumber energi matahari atau energi surya.

Pemanfaatan energi surya mempunyai berbagai keuntungan antara lain adalah :

Energi ini tersedia dengan jumlah yang besar di Indonesia.

Sangat mendukung kebijakan energi nasional tentang penghematan, diversifikasi dan

pemerataan energi.

Memungkinkan dibangun di daerah terpencil karena tidak memerlukan transmisi energi

maupun transportasi sumber energi.

Energi surya merupakan sumberdaya alternatif yang prospektif karena energi surya merupakan

sumber energi yang dapat diperbarui dan tidak menimbulkan polusi. Potensi energi surya di

Indonesia yang berada dijalur khatulistiwa memungkinkan penggunaan secara langsung dalam

bangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Gambar 1. Wilayah Indonesia Dilalui Garis Equator

Page 159: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke- Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.75

Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan memperoleh sinar matahari rata-rata 8

jam/hari memiliki potensi energi surya yang cukup besar. Besar daya yang dapat dibangkitkan

energi surya sekitar 100 watt per m2

, pada efisiensi sel surya sekitar 10%. Energi surya ini diubah

menjadi energi listrik dengan bantuan photovoltaic, sehingga merupakan salah satu alternatif

pembangkit tenaga listrik.

Jimmy (2000) mengungkapkan perpektif perancangan arsitektur bangunan yang

memanfaatkan energy surya ke dalam bangunan secara integratife akan menjadi tatanan arsitektur

baru. Di masa depan arsitektur bangunan tersebut akan menjadi trend dan tuntutan masyarakat luas.

Selain itu dalam kesimpulannya Jimmy (2000) memperkenalkan nama dari gaya bangunan dengan

nama arsitektur surya. Amien (2008) dalam analisisnya mengungkapkan bahwa bangunan

perumahan yang memasang photovoltaic akan dapat membangkitkan energi listrik sekitar 87 MWh

per tahun. Oleh karena itu, penempatan sel surya pada bangunan komersial sebagai bangunan

hemat energi perlu disosialisasikan dengan dukungan pemerintah melalui kebijakan yang tepat dan

kegiatan yang nyata.

Dalam paper ini bertujuan mengungkapkan karakteristik modul photovoltaic yang

dirangkai dalam system pembangkit listrik tenaga surya. Photovoltaic yang digunakan adalah

photovoltaic yang ada dijual bebas ke masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui karakteristik

photovoltaic dan besarnya daya yang dapat dibangkitkan jika dimanfaatkan sebagai pembangkit

listrik untuk kebutuhan manusia.

METODOLOGI

Pengujian dilakukan dengan memvariasi beban serta menvariasi pola pemasangan sel

photovoltaic dengan skema seperti dalam Gambar 2.

Gambar 2. Skema Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Instalasi pemasangan pembangkit listrik tenaga surya terdiri dari photovoltaic (modul

surya), baterai, BCR (Batteray Charger Regulator), dan beban. Photovoltaic merupakan alat yang

mengkonversi energi cahaya matahari menjadi energi listrik yang terbuat dari bahan-bahan

semikonduktor. Baterai berfungsi sebagai alat penyimpan energi listrik yang dihasilkan dari modul

photovoltaic. BCR (Batteray Charger Regulator) merupakan alat yang dapat mengatur pengisian

energi baterai dari modul surya dan alat yang dapat mengatur pemakaian energi baterai oleh beban.

Beban merupakan bagian akhir dari sistem pembangkit listrik tenaga surya yang berfungsi untuk

mengkonversikan energi listrik yang dihasilkan menjadi bentuk akhir seperti energi cahaya, panas,

mekanik dan sebagainya. Dalam menentukan besarnya beban akan berpengaruh langsung dengan

besar kecilnya modul photovoltaic dan peralatan lainnya. Energi yang dihasilkan oleh sistem PLTS

ini disimpan dalam baterai dan kemudian digunakan untuk memasok beban. Dalam penggunaan

energi listrik dari PLTS perlu memperhitungkan keseimbangan energi yaitu energi yang dihasilkan

perhari kurang lebih harus sama dengan yang digunakan. Untuk sel photovoltaic I dan II

+ - ++ --

Solar Panel

Baterai

Beban

+

+

+

-

-

-

BCR

1 2 3 4 5 6

Page 160: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.14. Analisis karakteristik electrical modul photovoltaic ... (M Denny Surindra)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.76

menggunakan merk Indosolar dengan tipe monocrystale dan sel photovoltaic III menggunakan

merk Eurosolare dengan tipe monocrystale.

Gambar 3. Rangkaian Percobaan

Gambar 3. Photovoltaic

Hasil dan Pembahasan

Dalam pengujian sel photovoltaic yang dilakukan di Laboratorium Konversi Energi,

didapatkan data arus dan tegangan keluaran. Berikut ini grafik antara arus dan tegangan dari sel

photovoltaic yang diperoleh dari percobaan.

Gambar 4. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Sel Photovotaic I (PV I)

Gambar 5. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Sel Photovotaic 2 (PV 2)

Page 161: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke- Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.77

Gambar 6. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Sel Photovotaic 3 (PV 3)

Intensitas radiasi matahari sepanjang hari dari pagi, siang sampai sore mengalami

perubahan yang signifikan seperti yang terlihat dalam gambar grafik. Hal ini diakibatkan oleh besar

kecilnya sudut datang sinar matahari pada permukaan bumi. Pada siang hari sekitar jam 12.00

siang, mempunyai sudut datang 900, sedangkan pada pagi dan sore hari mempunyai sudut datang

lebih besar dari 900. Sedangkan jumlah intensitas radiasi matahari yang diterima berbanding lurus

dengan besarnya sudut datang. Sinar matahari dengan sudut datang yang miring kurang

memberikan energi pada permukaan bumi, dimana disebabkan karena energinya tersebar pada

permukaan yang luas dan juga karena sinar tersebut harus menempuh lapisan atmosphir yang lebih

jauh ketimbang jika sinar matahari dengan sudut datang yang tegak lurus.

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pada saat pengambilan data jam 9.00 pagi

didapatkan radiasi matahari yang diterima sel photovoltaic sebesar rata-rata 471,1 W/m2. Untuk

pengambilan data pada jam 16.00 sore hari didapatkan radiasi matahari yang diterima sel

photovoltaic sebesar rata-rata 472,83 W/m2. Pada saat pengambilan data pada jam 12.00 siang

didapatkan radiasi matahari rata-rata 726.71 W/m2

dan merupakan radiasi terbesar yang diterima

oleh sel photovoltaic.

Arus dan Tegangan Sel Photovoltaik Pada Jam 12.00

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1,4

1,6

1,8

2

2,2

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

tegangan (V)

aru

s (A

) PV I

PV 2

PV 3

Gambar 7. Grafik Arus dan Tegangan Keluaran Pada Jam 12.00 yang Dihasilkan Oleh Sel

Photovotaik 1, Sel Photovoltaik 2,dan Sel Photovoltaik 3.

Gambar grafik pada saat pengambilan data jam 12.00 siang, besarnya arus dan tegangan

keluaran tertinggi dihasilkan oleh sel photovoltaic 3 yaitu sebesar 2.06 A dan 17 V. Untuk sel

photovoltaic 1 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 1.68 A dan 17

V. Pada sel photovoltaic 2 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan sebesar 1.76 A dan

Page 162: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.14. Analisis karakteristik electrical modul photovoltaic ... (M Denny Surindra)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.78

17 V. Sel photovoltaic 3 memiliki nilai yang lebih besar dari pada sel photovoltaic 1 dan sel

photovoltaic 2 disebabkan karena berdasarkan spesifikasinya, arus dan tegangan maksimum yang

dihasilkan photovoltaic 3 adalah sebesar 2.9 A dan 18.2 V. Sedangkan pada sel photovoltaic 1 dan

sel photovoltaic 2 mempunyai spesifikasi yaitu arus dan tegangan maksimum yang dihasilkan

adalah sebesar 2.3 A dan 17 V.

KESIMPULAN

Dari hasil analisis data dan pembahasan maka dapat mengambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Saat pengambilan data, radiasi matahari yang diterima sel photovoltaic pada jam 9.00 adalah

rata-rata 471,1 W/m2, jam 12.00 adalah rata-rata 726.71 W/m

2 dan jam 16.00 rata-rata 472,83

W/m2.

2. Besarnya arus dan tegangan keluaran tertinggi dihasilkan oleh sel photovoltaic 3 yaitu sebesar

2.06 A dan 17 V.

3. Sel photovoltaic 1 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 1.68 A

dan 17 V.

4. Sel photovoltaic 2 arus dan tegangan keluaran tertinggi yang dihasilkan adalah sebesar 1.76 A

dan 17 V.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, R., 2008, ”Optimasi Pemanfaatan Sel Surya Pada Bangunan Komersial Secara Terintegrasi

Sebagai Bangunan Hemat Energi”, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II,

III-417-426.

Jimmy, P., 2000, ”Perspektif Arsitektur Surya Di Indonesia”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 28,

No.1, 1-7.

Danny, S., 2000, ”Strategi Aplikasi Sel Surya (Photovoltaic Cells) Pada Perumahan Dan Bangunan

Komersial”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 28, No.2, 129-141.

Yushardi, 2002, “Pengaruh Faktor Meteorologi Terhadap Pola Efisiensi Tiap Jam Harian

Pada Modul Sel Surya”, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Institut Pertanian

Bogor.

Nur Choliq, 1999, “Penggunaan Energi Listrik Pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya Sel

Photovoltaik Di Desa Sekeper Sumowono Kabupaten Semarang”,. Semarang:

Politeknik Negeri Semarang.

Page 163: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.79

DESIGN SIMULATOR FRESH WATER TANK DI PLTU

DENGAN WATER LEVEL CONTROL MENGGUNAKAN MIKROKONTROLER

M Denny Surindra

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Polines

Jl.Prof. H. Sudartho, SH, Semarang

E-mail: [email protected]

Abstrak

Simulasi system fresh water tank di PLTU yang berfungsi sebagai tangki penampung air yang

akan dipompakan untuk memenuhi kebutuhan di mixed-bed demine plant. Simulator didesign

dengan sistem kontrol menggunakan mikrokontroler ATMega8535 dan program Delphi

sebagai media tampilannya supaya level air dapat dimonitor melalui komputer. Fungsi

daripada mikrokontroler ini adalah sebagai pengatur buka-tutup katup pada level minimum

dan maksimum. Selain itu sistem kontrol ini juga dapat menampilkan gambar dan data pada

komputer. Sistem control diuji dengan menggunakan gangguan berupa variasi bukaan katub

pembocor 300 dan 60

0. Hasil pengujian simulator sistem fresh water tank bekerja dengan baik

saat level air minimum, 1, 2, 3, dan 4 serta dapat dimonitor dengan menggunakan komputer

sesuai dengan levelnya yang telah diprogram.

Kata kunci: Water, Level, Control, Mikrokontroler

PENDAHULUAN Pada pembangkitan listrik, di area fresh water tank, air harus sesuai dengan yang

dibutuhkan oleh mixed-bed demine plant, jadi level air harus terjaga konstan. Apabila level air pada

fresh water tank terlalu tinggi akan menyebabkan pengolahan fresh water pada mixed-bed tidak

sesuai dengan standar karena takaran rinse untuk pengolahan air yang sudah disesuaikan dengan

debit rata-rata akan berlebihan sehingga kadar mineral yang dihasilkan dalam air tidak sesusai

dengan standar. Sedangkan bila level air pada fresh water tank terlalu rendah, maka air yang

dihasilkan dari proses pemurnian air pada mixed-bed tidak akan maksimal atau masih terdapat

mineral pada kandungan air yang akan diumpankan ke boiler. Untuk mengamankannya pada fresh

water tank dipasang sensor untuk level minimum dan level maksimum. Pada saat air menyentuh

level minimum katup secara otomatis akan membuka dan pada saat level maksimum maka katup

akan menutup. Pengontrolan pada fresh water tank kebanyakan masih menggunakan sistem

manual. Fresh water tank tersebut, dalam jurnal ini disimulasikan dengan mendesain dan

mengimplementasikan water level control yang dapat dimonitor dengan berbasiskan

mikrokontroler.

Gambar 1. Fresh water tank

Page 164: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.15. Design simulator fresh water tank di PLTU ... (M Denny Surindra)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.80

METODOLOGI

Mikrokontroler mendapatkan masukan signal level ketinggian air dari sensor tembaga.

Setelah melakukan pemrosesan variable input, hasil output memberikan signal untuk memutuskan

apakah pompa air on atau off sesuai dengan status ketinggian air di tanki. Pada saat signal

menginformasikan tangki kosong, maka pompa on dan mengisi tangki dengan air. Sensor akan

membaca tiap level dan memberikan indikasi ke LED sesuai dengan ketinggian level air. Design

flow chart sistem kerja diperlihatkan dalam Gambar 2.

Gambar 2: Flow chart sistem

Arsitektur Sistem

Mikrokontroler ini merupakan suatu keping IC dimana terdapat mikroprosesor dan memori

program (ROM) serta memori serbaguna (RAM), bahkan ada beberapa jenis mikrokontroler yang

memiliki fasilitas ADC, PLL, EEPROM dalam satu kemasan.

Gambar 3: Design Circuit Diagram

Page 165: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.81

Pengujian pada rangkaian mikrokontroler ATMega8535 ini dapat dilakukan dengan

menghubungkan rangkaian ini dengan power supply sebagai sumber tegangan. Kaki 40

dihubungkan dengan sumber tegangan 5 volt, sedangkan kaki 20 dihubungkan dengan ground.

Kemudian tegangan pada kaki 40 diukur dengan menggunakan voltmeter. Dari hasil pengujian

didapatkan tegangan pada kaki 40 sebesar 4,9 volt. Langkah selanjutnya adalah memberikan

program sederhana pada mikrokontroler ATMega8535.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Simulator fresh water tank terdapat salah satunya reservoir bawah dan atas, reservoir

bawah digunakan untuk menampung air sebagai sumber air dan untuk membuang air dari reservoir

atas setelah air digunakan. Reservoir bawah terlebih dahulu diisi dengan air sampai batas yang

telah ditentukan. Saat pompa bekerja mengisi resersoir atas pembocor harus dalam kondisi tertutup,

saat air mulai mengisi di dalam reservoir atas terdapat elektroda untuk membaca level air yang

telah ditentukan batas-batasnya sehingga saat air menyentuh salah satu elektroda maka lampu tanda

akan segera menyala sesuai dengan level air saat itu dan jika level air menyentuh elektroda pada

level maksimum maka dengan hitungan mili second pompa akan mati. Ketika pembocor dibuka

maka lampu tanda satu-persatu akan mati pada saat air menyentuh elektroda dengan kondisi air

turun untuk dibuang ke reservoir bawah, dan pada saat air menyentuh elektroda level 1 maka

dengan sendirinya pompa akan bekerja untuk mengisi reservoir atas kembali.

Gambar 4: Simulator fresh water tank

Dari panel keluaran mikrokontroler salah satunya terdapat keluaran untuk disambungkan

ke komputer yang sebelumnya harus dibuat sebuah program tampilan untuk dapat berhubungan

dengan mikrokontroler, sehingga tampilan pada komputer sesuai dengan kerja water level control

yang dikontrol dengan menggunakan mikrokontroler ini.

Hasil pengujian simulator sistem fresh water tank didapatkan data rata-rata waktu yang

dibutuhkan untuk mengisi reservoir atas sebagai berikut:

Tabel 1: Data pengisian reservoir dengan katup tertutup penuh (0o)

No. Level Air Waktu (detik)

Probe Lampu Tampilan

1. Level 1 21,00 21,63 21,38

2. Level 2 24,61 25,07 24,91

3. Level 3 24,58 25,00 24,75

4. Level 4 23,46 23,86 23,6

Sistem diberikan gangguan berupa katub pembocor yang dibuka dengan berbagai variasi

Page 166: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.15. Design simulator fresh water tank di PLTU ... (M Denny Surindra)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.82

Tabel 2: Data pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 1/3 (30o)

No. Level Air Waktu (detik)

Probe Lampu Tampilan

1. Level 1 31,12 31,70 31,21

2. Level 2 46,60 47,10 46,71

3. Level 3 55,24 55,49 55,32

4. Level 4 62,96 63,18 63,02

Tabel 3: Data pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 2/3 (60o)

No. Level Air Waktu (detik)

Probe Lampu Tampilan

1. Level 1 39,5 40,69 40,63

2. Level 2 73,83 74,70 74,37

3. Level 3 116,54 117,15 116,96

4. Level 4 213,39 214,17 213,91

Analisis pengujian pengisian reservoir:

a. Pada saat pengisian reservoir atas dengan bukaan katup pembocor tertutup penuh

membentuk kurva seperti gunung. Dengan waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 21,00 detik,

level 2 sebesar 24,61 detik, level 3 yaitu 24,58 detik, dan level 4 yaitu 23,46 detik.

Gambar 6: Pengisian reservoir dengan katup tertutup penuh

b. Pada saat pengisian reservoir atas dengan gangguan berupa bukaan katup pembocor terbuka 1/3

atau 30o membentuk kurva naik. Dengan waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 31,12

detik, level 2 sebesar 46,60 detik, level 3 yaitu 55,24 detik, dan level 4 yaitu 62,96 detik.

Gambar 7: Pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 1/3 (30o)

Page 167: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.83

c. Pada saat pengisian reservoir atas dengan gangguan bukaan katup pembocor terbuka 2/3 atau

60o membentuk kurva naik, dengan waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 39,5 detik, level

2 sebesar 73,83detik, level 3 yaitu 116,55 detik, dan level 4 yaitu 213,39 detik.

Gambar 8: Pengisian reservoir dengan gangguan katup pembocor terbuka 2/3 (60o)

Analisis pengujian tampilan komputer:

Pembacaan level air dan volume dengan menggunakan program Delphi sebagai tampilan

pada komputer supaya dapat memudahkan pengontrolan secara langsung tanpa melihat alat yang

sedang bekerja. Pada saat level minimum dengan ketinggian air yang mengisi hanya 2 cm dari

dasar reservoir maka akan terbaca volume sebesar 0,0032 m3, selanjutnya pompa akan memompa

air hingga permukaan air menyentuh probe level 1 dengan volume yang terbaca pada tampilan

sebesar 0,0112 m3. Pompa akan terus bekerja untuk mengisi reservoir atas dari level 1 hingga

permukaan air menyentuh probe level 2 dan volumenya akan terbaca 0,0224 m3. Kemudian saat

permukaan air menyentuh probe level 3 volume air akan terbaca pada tampilan sebesar 0,0352 m3

dan pada level 4 volumenya yang terbaca pada tampilan sebesar 0,0464 m3. Pada level 4 inilah

pompa akan berhenti bekerja dengan sendirinya dikarenakan volume sudah mencapai batas

maksimum

Gambar 9: Tampilan di komputer

Page 168: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.15. Design simulator fresh water tank di PLTU ... (M Denny Surindra)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.84

KESIMPULAN

Setelah melakukan pengujian simulator sistem fresh water tank dan pengambilan data maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Simulator sistem fresh water tank dapat bekerja dengan baik saat pengukuran level air

minimum, 1, 2, 3, dan 4 dan dapat dimonitor dengan menggunakan komputer sesuai dengan

levelnya yang telah diprogram.

2. Untuk katub tertutup penuh waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah 21,00 detik, level 2

sebesar 24,61 detik, level 3 yaitu 24,58 detik, dan level 4 yaitu 23,46 detik.

3. Untuk gangguan dengan katup terbuka 1/3 atau 30o, waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah

31,12 detik, level 2 sebesar 46,60 detik, level 3 yaitu 55,24 detik, dan level 4 yaitu 62,96 detik

4. Untuk gangguan dengan katup terbuka 2/3 atau 60o, waktu yang dibutuhkan pada level 1 adalah

39,5 detik, level 2 sebesar 73,83 detik, level 3 yaitu 116,55 detik, dan level 4 yaitu 213,39 detik.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, “Pengendalian Tinggi Muka Cairan Berbasis fuzzy (Fuzzy Based Liquid Height Controlling)

“, Fakultas Teknik, Universitas Semarang.

Antoni, “Aplikasi Scada System pada Miniatur Water Level Control, Jurusan Teknik Elektro,

Fakultas Teknologi, Universitas Kristen Petra Surabaya.

Candra, 2010. Tugas Akhir Pembuatan Level Kontrol Menggunakan Variasi Putaran Motor, Prodi

Konversi Energi, Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang.

Danang, 2010. Tugas Akhir Pembuatan Alat Pengontrol Tekanan Dengan Pemrograman Plc,

Program Studi Konversi Energy, Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang.

Eko Ari Bowo, Mohamad, 2009. Tugas Mata Kuliah Mikrokontroler, Program Studi D3 Ilmu

Komputer, Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Hidayat, Wahyu, 2010. Tugas Akhir Sistem Pengontrol Level Ketinggian Air Dengan

Menggunakan Tampilan Visual Basic Pada PC Berbasis Mikrokontroler AT89S52, Prodi

Teknik Elektronika, Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Sriwijaya.

Khaled, 2010. Microcontroller Based Automated Water Level Sensing and Controlling: Design

and Implementation Issue, Proceedings of the World on Engineering and computer Science

2010 vol 1 WCECS, San Francisco.

Page 169: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.85

STUDI DESAIN KONSEPTUAL SISTEM BALANCE OF PLANT (BOP)

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) SKALA KECIL

Hariyotejo Pujowidodo

Balai Termodinamika Motor dan Propulsi (BTMP)

Puspiptek Serpong Tangerang Selatan Banten 15314 e-mail : [email protected]

Abstraksi

Studi ini merupakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan program Pengembangan

Pembangkit Listrik Skala Kecil kapasitas 2x7 MegaWatt (MW), sebagai tahap awal studi

pendahuluan untuk mengumpulkan data dan informasi perancangan system Balance of Plant

(BOP). Studi berisi tentang kajian filosofi desain dan penetapan model acuan yang akan

digunakan dalam perancangan (desain) yang dilaksanakan berdasarkan eksplorasi data dan

dan tinjauan pada beberapa standar referensi Heat Exchanger Institute (HEI), TEMA (Tubular

Exchanger Manufacturer) dan ASME (American Society Mechanical Engineer) section VIII

untuk komponen condenser, feedwater heater dan deaerator.yang terdapat dalam system

BOP. Hasil studi yang diperoleh adalah berupa hasil analisa berupa sebuah desain konseptual

sistem BOP untuk PLTU 2x7 MW yang meliputi data dan informasi parameter persyaratan,

kerangka utama filosofi desain dan penetapan model/acuan yang akan digunakan.

Kata-kata kunci : BOP, PLTU, filosofi desain, model/acuan

Keywords : BOP, Steam Power Plant, Design Philosophy, Reference

1. LATAR BELAKANG

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Steam Power Plant) adalah satu system penghasil tenaga

listrik yang menggunakan energi uap sebagai sumbernya dan siklus uap Rankine (Rankine Cycle)

yang mengubah proses konversi energi system. Untuk kebutuhan pembangkit listrik 7 Megawatt,

terdapat sistem BOP (Balance of Plant) sebagai sistem optimasi termal memanfaatkan energi

uap/ekstraksi untuk memanaskan dan memurnikan air umpan boiler.

Untuk melaksanakan kegiatan perancangan, perlu dilakukan studi perancangan konseptual

untuk mengumpulkan kriteria persyaratan proses dan peralatan sistem BOP, melalui kegiatan

survei lapangan dan penelusuran standard desain komponen BOP seperti kondenser, heater dan

deaerator yang akan diuraikan dalam penjelasan berikut ini.

2. FILOSOFI DESAIN DAN TINJAUAN STANDARD

2.1. Filosofi Desain

Adalah sebuah kegiatan tentang studi beberapa hal terkait dengan asumsi-asumsi, landasan

utama dan segala implikasi yang berkaitan dengan sebuah perancangan (design). Sistem BOP

merupakan sebuah sistem yang bertujuan untuk meningkatkan utilisasi energi termal/mengurangi

irreversibilitas siklus tenaga uap, melalui pemanfaatan energi panas uap yang keluar/ekstrasi dari

komponen turbin setelah energi termal dikonversikan menjadi energi mekanik putaran poros.

Penentuan filosofi perancangan sistem BOP dilakukan kepada aspek perancangan termal (Thermal

Design) melalui kegiatan pengkajian siklus Rankine tertutup regenerative, fungsi dan deskripsi

komponen BOP (Kondenser, Pemanas Air Umpan dan Deaerator).

2.1.1. Siklus Rankine Tertutup Regenerative

Agar efisiensi siklus meningkat, maka air umpan boiler yang telah dipompakan perlu untuk

diproses hingga mendekati tingkat keadaan jenuh pada kondisi pemanasan uap. Hal ini dilakukan

dengan cara pemanasan air umpan (Feedwater Heating) yang menggunakan sebagian ekstraksi uap

keluar turbin. Proses pemanasan air umpan menggunakan 2 macam pemanasan yaitu pemanasan

terbuka (Open Feedwater Heater) dan pemanasan tertutup (Close Feedwater Heater). Dalam

pemanasan air umpan secara terbuka, air kondensat bercampur secara langsung dengan uap

ekstraksi turbin pada tekanan yang sama saat kondisi saturasi, sedangkan pemanasan tertutup

kontak terjadi pada tekanan berbeda melalui suatu bidang pemisah.

Page 170: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.16. Studi desain konseptual sistem balance of plant (BOP) ... (Hariyotejo Pujowidodo)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.86

(a) (b)

Gambar 1. Pemanas Air Umpan Sistem Terbuka (atas) dan Tertutup (bawah)

(a) Skema aliran (b) Non ideal Superheated dengan 2 pemanas air umpan

2.1.2. Kondenser

Merupakan bagian komponen system yang berfungsi untuk mengkondensasikan uap

keluar turbin, mengumpulkan kondensat dan mengurangi tekanan turbin keluar, melalui air

pendingin atau udara atmosfir secara langsung. Kondenser yang menggunakan air pendingin adalah

normal, kecuali dalam beberapa lokasi di mana air sangat mahal, maka pendingin udara dapat

digunakan.

2.1.2.1. Susunan Kondenser

Banyak condenser yang terpasang di dalam plant langsung di bawah turbin sehingga uap

mengalir ke bawah melalui leher condenser ke dalam condenser. Susunan fisik lainnya dapat

melokasikan condenser di sisi samping atau ujung dari turbin.

(a)

(b)

Gambar 2. Tipikal Kondenser (a) dan alternative susunan air sirkulasi (b)

2.1.2.2. Kondenser Pendingin Udara (Air-Cooled Condensers)

Kondenser ini dapat mengurangi masalah air penambah (make-up water) , polusi air

sirkulasi, plume pada menara ataupun pembekuan menara pendingin. Sementara kekurangan yang

dapat ditimbulkan yaitu tekanan operasi yang lebih tinggi, tempat yang lebih besar, kebisingan

yang tinggi dan biaya operasi yang lebih besar. Terdapat 2 macam condenser pendingin udara yaitu

condenser jet dengan menara pendingin kering, sebagian kondensat digunakan untuk

mengkondensasikan uap buang turbin dan condenser pendingin udara langsung. Pendingin udara

langsung memiliki kemudahan tidak membutuhkan saluran (ducting) buang uap yang besar dan

pompa air sirkulasi dan memberikan kondisi operasi vakum yang lebih baik dan hanya memiliki

satu pendekatan (approach) udara ke uap.

Page 171: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.87

Gambar 3. Jenis Kondenser Pendingin udara

2.1.3. Pemanas Air Umpan (Feedwater Heater)

Di dalam siklus regenerative, uap diekstrasikan dari turbin beberapa tingkat untuk

memanaskan air umpan, sehingga mengurangi kehilangan energy panas di condenser dan

meningkatkan efisiensi system.

2.1.3.1. Konstruksi Pemanas

Dalam analisis siklus terhadap perlunya pemanas air umpan, beberapa pertimbangan harus

dikaji tentang tipe pemanas yang akan digunakan, parameter desain, dan metode pembuangan uap

terkondensasi dari pemanas. Ada 2 jenis pemanas air umpan yaitu tipe terbuka (kontak langsung)

dan tertutup (kontak dengan separasi). Untuk tipe terbuka (Open FWH), uap ekstraksi bercampur

dengan air umpan untuk dipanaskan. Uap terkondensasi di dalam chamber dan keluar bersama air

umpan panas dari pemanas. Tipe ini juga didesain untuk men-deaerasi (sebagai De-aerator)

kondensat yang datang, membebaskan gas-gas terlarut dan non-kondensasi yang memiliki

kandungan utama oksigen, nitrogen, ammonia dan karbondioksida dari kondensat, yang berasal

dari adanya kebocoran dan reaksi kimia. Kelemahan tipe ini adalah ukurannya besar dan berat,

serta memerlukan pompa untuk mengalirkan air umpan keluar pemanas menuju proses berikutnya

di dalam siklus plant.

2.1.3.1. A. Konstruksi Pemanas terbuka

Terdiri atas 3 bagian yaitu bagian pemanas (heater), condenser vent, dan penyimpan

(storage). Proses deaerasi mengikuti gabungan ketetapan hukum Dalton dan Henry tentang

kuantitas sebuah gas terlarut di dalam sebuah cairan akan berkurang ketika temperature cairan

bertambah, dan jika cairan dipanaskan hingga titik didih seluruh gas terlarut akan terlepas.

Gambar 4. Tipikal Deaerator Tipe Tray (Open FWH)

Kemampuan deaerasi unit diukur dari banyaknya oksigen terlarut di dalam kondensat yang keluar

dari FWH. Kapasitas unit ditentukan oleh kuantitas air umpan yang dikeluarkan oleh bagian

penyimpan. Banyak unit yang beroperasi pada tekanan positif terhadap tekanan atmosferik dan

berada di atas tekanan ekstraksi uap.

Dearator juga berfungsi untuk memproses fluida buang dari pemanas tekanan tinggi, uap

ektraksi untuk pemanas udara pembangkit uap, trap tekanan tinggi, sehingga terdapat katup

pengaman untuk menjaga agar tekanan tidak melampaui batas tekanan cangkang. Untuk

Page 172: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.16. Studi desain konseptual sistem balance of plant (BOP) ... (Hariyotejo Pujowidodo)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.88

melindungi kehilangan suplai uap, terpasang pula perangkat vacuum breaker yang berfungsi

mencegah terjadinya tekanan subatmosferik.

2.1.3.1. B. Konstruksi Pemanas Tertutup

Merupakan bentuk penukar kalor cangkang dan tube, dengan kondensat atau air umpan

yang mengalir di dalam tube dan uap ekstraksi di sisi cangkang. Konstruksi terdiri atas pelat

pemisah pembagi aliran masuk dan keluar (partition plate), reverse channel, floating head cover

dan floating head tube shell, yang berguna memudahkan pada saat membersihkan deposit (scale) di

dalam tabung. Di samping itu juga terdapat desain floating head yang menggunakan konstruksi

tabung-U.

Uap ekstraksi yang masuk berada pada kondisi panas lanjut (superheated), dan ketika

kontak dengan permukaan luar tabung akan terkondensasi pada temperature saturasi. Sebuah desain

ekonomis, unit dirancang untuk beda temperature antara temperature keluar feedwater dan

temperature saturasi tersebut sebesar 5 oF (2,8

oF).

(a)

(b)

Gambar 5. Pemanas air umpan tabung lurus dengan

floating reverse channel (a) dan U pengkondensasi (b)

Pemanas air umpan sebaiknya dikonstruksikan menurut standar Boiler and Pressure Vessel Code,

Code for Unfired Pressure Vessels, Section VIII dan HEI (Heat Exchanger Institute) Standards for

Closed Feedwater Heaters

(a)

(b)

Gambar 6. Pemanas Air Umpan Vertikal Posisi Kanal: (a) di bawah, (b) di atas

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Filosofi Desain

(i) Siklus Rankine tertutup regenerative

Dalam siklus rankine tertutup, maka kondensasi uap terjadi di dalam komponen condenser.

Komponen tersebut berguna untuk mengubah kembali fluida uap keluar turbin menjadi air untuk

umpan (fluida kerja) boiler. Untuk meningkatkan efisiensi system, air umpan sebaiknya diproses

terlebih dahulu melalui pemompaan dan pemanasan hingga mendekati kondisi saturasi penguapan

di pembangkit uap. Komponen yang berfungsi memanaskan air umpan disebut dengan feedwater

heater beserta pompa air umpan yang menggunakan uap ekstraksi turbin sebagai fluida pemanas.

Page 173: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang B.89

Sebelum air umpan tersebut diproses di pembangkit uap, perlu diproses terhadap standar air baku

boiler terhadap kemurnian (kandungan impurities) agar tidak menyebabkan terjadinya korosi

maupun deposit di boiler, melalui komponen deaerator. Deaerator berfungsi untuk melepaskan

fluida gas non kondensasi (NonCondensible Gas) agar tidak mengandung gas korosif yang dapat

merusak tabung pembangkit uap, menggunakan fluida uap ekstraksi dari turbin untuk memanaskan

kondensat/air umpan.

Dalam menganalisa siklus tenaga uap, diperlukan analisa system termodinamika untuk

mengkaji proses perpindahan energy panas (entalpi) dan massa fluida dengan mengacu pada

sebuah ketetapan/hukum kesetimbangan panas dan massa (mass and heat balance). Terutama

dalam perencanaan desain BOP, sangat diperlukan hasil studi awal terkait dengan analisa heat and

mass balance dari system di dalam siklus berdasarkan analisa studi desain proses. Untuk analisa

perhitungan termal system BOP, maka kesetimbangan massa dan energy dari turbin merupakan

acuan awal di dalam analisa perancangan system komponen BOP guna menentukan perancangan

model penukar kalor dari komponen condenser, FWH dan Deaerator sesuai dengan

kebutuhan/kondisi batas desain yang direncanakan termasuk kebutuhan operasi maupun kondisi

batas lapangan/tempat.

(ii) Kondenser

Secara umum condenser yang banyak digunakan untuk PLTU adalah tipe penukar kalor

cangkang berbentuk pelat kotak dan tabung model permukaan uap (steam surface shell & tube heat

exchanger). Langkah awal dalam mempersiapkan perancangan komponen condenser adalah

menentukan besarnya panas uap yang akan dilepaskan melalui media pendingin yang tersedia.

Media pendingin yang umum digunakan adalah menggunakan fluida air yang sumbernya bisa

berasal dari air pemukaan atau fluida udara yang berasal dari lingkungan atmosfir. Penentuan tipe

media pendingin biasanya dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan air pendingin. Namun fluida air

memiliki properties fisik terhadap kemampuan memindahkan panas lebih baik dibandingkan

dengan fluida udara.

Susunan condenser untuk turbin ukuran besar dengan fluida buang uap yang besar dapat

dikonfigurasikan secara serial atau parallel beberapa condenser dengan jumlah laluan fluida

pendingin dapat 1 atau 2 laluan (pass). Namun dikarenakan proses kondensasi harus terjadi secara

mudah, umumnya tekanan di dalam condenser berada pada kondisi vakum, sehingga jarak dan

kerapatan system sambungan pada saluran fluida buang uap harus dapat menjaga kondisi tersebut.

(iii) Pemanas Air Umpan

Air umpan untuk boiler berasal dari air kondensat proses yang dihasilkan dari condenser,

perlu dinaikkan temperaturnya hingga mendekati kondisi saturasi penguapan. Metodenya adalah

dengan memanfaatkan fluida pemanas dari uap turbin melalui cara ekstraksi uap. Biasanya fungsi

pemanas air umpan ini juga untuk melepaskan campuran gas tidak terkondensasi terpisah dari

larutan air agar tidak bersifat korosif.

Ada 2 jenis model pemanas air umpan yaitu tipe terbuka (Open FWH) dan tipe tertutup

(Close FWH). Perbedaannya adalah kontak antara fluida uap dengan media pendingin (kondensat)

terjadi secara langsung atau tidak langsung melalui perantara dinding pemisah.

Berdasarkan proses pemanasan fluida kondensat oleh fluida uap ekstraksi, terdapat pembagian

daerah zone proses di dalam komponen FWH yaitu 2 zone berupa desuperheating dan kondensasi,

2 zone kondensasi dan subcooling serta 3 zone berupa gabungan desuperhetaing, kondensasi dan

subcooling.

Tata letak FWH terbagi 2 macam secara vertical dan horizontal. Masing-masing terdiri atas

aliran uap yang mengalir melalui cangkang dan aliran kondensat yang melalui pipa tabung. Untuk

tipe vertical kanal utama aliran kondensat masuk dan keluar bias berada di sisi atas atau sisi bawah.

Namun untuk tipe vertical terjadi sebagian permukaan pipa tabung yang berada di bawah level

ketinggian air kondensasi. Konstruksi untuk FWH yang beroperasi pada tekanan tinggi seluruh

bagian konstruksi disambung melalui proses pengelasan untuk mencegah terjadinya resiko

kebocoran/kegagalan.

3.2. Alternatif Metode/Model Acuan

Standar/Code yang menjadi acuan di dalam perancangan system BOP terdiri atas 3 macam

yaitu :

a. HEI (Heat Exchanger Institute) untuk Steam Surface Condenser dan Closed Feedwater Heaters

Page 174: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

B.16. Studi desain konseptual sistem balance of plant (BOP) ... (Hariyotejo Pujowidodo)

ISBN 978-602-99334-1-3

B.90

b. TEMA (Tubular Exchanger Manufacture Association).

c. Boiler and Pressure Vessel Code, Code for Unfired Pressure Vessels, Section VIII

4. KESIMPULAN

Sebagai penutup, berikut disampaikan beberapa hal catatan utama yaitu :

1) Sistem BOP yang perlu disiapkan dalam perancangan system PLTU terdiri dari 3 komponen

yaitu condenser, feedwater heater dan deaerator.

2) Kondenser menggunakan fluida pendingin air yang bersumber dari air permukaan melalui

proses pemurnian kandungan air (water treatment plant), yang memiliki sifat memindahkan

panas lebih baik dibandingkan jenis fluida pendingin yang lain.

3) Kondenser merupakan penukar kalor model cangkang dan tube dengan jenis kontak permukaan

uap (steam surface condenser) dengan material konstruksi yang terbuat dari baja karbon

(Carbon Steel).

4) Pemanas air umpan (Feedwater Heater) yang umum digunakan bagi PLTU skala kecil

merupakan tipe kontak langsung (open FWH) dengan aliran berlawanan (counterflow) steam

yang bertukar panas melalui fluida air yang mengalir melalui system tray (Tray Deaerator).

Banyaknya jumlah pemanas bergantung kepada ukuran atau kapasitas turbin yang dipakai.

5) Standar acuan yang digunakan dalam perancangan BOP terdiri dari 3 macam yang berasal dari

HEI (Heat Exchanger Institute), TEMA (Tubular Exchanger Manufacturer) dan ASME

(American Society Mechanical Engineer) section VIII

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepala Program Pengembangan PLTU Skala Kecil Pusat Teknologi Industri Manufaktur (PTIM)

BPP Teknologi Jakarta.

DAFTAR ACUAN

Black & Veatch, Power Plant Engineering, Springer, USA, 1996

Kiameh P., Power Generation Handbook, McGraw-Hill, 2008

Raja A.K., Power Plant Engineering, New Age International, New Delhi, 2006.

WP-2400, Technical Report Pendampingan Desain BOP, PP PLTU PTIM, BPPT, 2011.

Page 175: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.1

PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KETEBALAN BENDA TERHADAP

KEKERASAN BESI COR KELABU DENGAN PENGECORAN LOST FOAM

Sutiyoko*1)

, Suyitno2)

1) Jurusan Teknik Pengecoran Logam Politeknik Manufaktur Ceper

Batur, Tegalrejo, Ceper, Klaten

2) Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Jl.Grafika No.2 Yogyakarta *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Temperatur tuang cairan logam memegang peranan penting dalam produksi benda dengan

metode pengecoran. Perbedaan ketebalan benda cor akan menghasilkan karakteristik produk

yang berbeda walaupun dituang pada suhu dan cetakan yang sama. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh temperatur tuang dan ketebalan benda cor terhadap kekerasan

besi cor kelabu yang diproduksi dengan metode pengecoran lost foam. Temperatur tuang

berkisar antara 1300 – 1400 oC sedangkan ketebalan benda bervariasi dari 2 – 6,5 mm. Pola

menggunakan styrofoam dengan massa jenis 9 kg/m3. Kekerasan benda cor berkurang dengan

kenaikan temperatur tuang cairan logam. Ketebalan benda cor semakin besar juga

menurunkan nilai kekerasan benda cor. Kekerasan besi cor kelabu sangat dipengaruhi oleh

grafit yang terbentuk. Grafit memiliki sifat lunak sehingga semakin banyak grafit yang

terbentuk maka besi cor kelabu tersebut semakin lunak.

Kata kunci: temperatur tuang, kekerasan, pengecoran lost foam

1. PENDAHULUAN

Metode pengecoran lost foam merupakan metode yang tergolong baru dalam industri

pengecoran logam. Metode pengecoran lost foam dipatenkan oleh Shroyer pada tahun 1958

(Kumar dkk, 2008). Metode pengecoran ini menggunakan bahan styrofoam sebagai bahan untuk

membuat pola dan ditanam dalam pasir silika menjadi cetakan. Cetakan dipadatkan dengan

digetarkan dengan amplitudo dan frekuensi tertentu. Styrofoam akan mencair dan menguap ketika

cairan dituangkan ke dalam cetakan sehingga tempat itu akan diisi oleh cairan logam (Askeland,

2001).

Pengecoran lost foam dapat digunakan untuk memproduksi benda yang kompleks/

bentuknya rumit, tidak ada pembagian cetakan, tidak memakai inti, mengurangi tenaga kerja dalam

pengecorannya (Monroe, 1992) sehingga cepat untuk membuat benda-benda prototip. Cetakan dari

pola berbahan styrofoam mudah dibuat dan murah (Barone, 2005). Pengecoran lost foam dapat

memproduksi benda-benda ringan (Kim dan Lee, 2005) dan penambah pada dasarnya tidak

diperlukan untuk mengontrol penyusutan saat pembekuan (Askeland, 2001). Pasir yang digunakan

dapat dengan mudah digunakan lagi karena tidak menggunakan pengikat (Behm dkk, 2003).

Penggunaan cetakan foam meningkatkan keakuratan dimensi dan memberikan peningkatan kualitas

coran dibandingkan dengan cetakan konvensional (Monroe, 1992). Sudut-sudut kemiringan draf

dapat dieliminasi (Barone, 2005). Proses pembersihan dan pemesinan dapat dikurangi secara

dramatis (Kumar dkk, 2007). Pencemaran lingkungan karena emisi bahan-bahan pengikat dan

pembuangan pasir dapat dikurangi karena tidak menggunakan bahan pengikat dan pasir dapat

langsung digunakan kembali (Kumar dkk, 2007).

Pengecoran lost foam juga memiliki beberapa kekurangan. Porositas dalam pengecoran

aluminium dengan pola styrofoam lebih tinggi dibandingkan dengan cetakan CO2. Hal ini

menunjukkan bahwa sulit untuk mendapatkan kekuatan mekanik yang lebih baik pada pengecoran

aluminium tanpa perlakuan tertentu (Kim dan Lee, 2005). Pasir yang tidak diikat akan memicu

terjadinya cacat pada benda cor karena pasir yang jatuh ke logam cair (Kumar dkk, 2007). Usaha

untuk mengikat cetakan lost foam adalah dengan membuat cetakan tersebut vakum dimana cetakan

dilapisi dengan lapisan polietilen. Proses ini menghasilkan emisi ke gas hasil pembakaran

styrofoam yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan pekerja (Behm dkk, 2003).

Page 176: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.1. Pengaruh temperatur tuang dan ketebalan benda terhadap … (Sutiyoko dan Suyitno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.2

Banyak faktor yang mempengaruhi hasil pengecoran dengan metode pengecoran lost foam.

Ukuran benda cor, ukuran pasir silika, massa jenis styrofoam, lama penggetaran cetakan, ukuran

benda dan komposisi material yang dituang. Temperatur tuang memiliki faktor dominan dalam

menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor (Kumar dkk, 2008). Superheat (suhu diatas

temperatur cair) yang lebih tinggi akan menurunkan tegangan permukaan cairan logam (Kumar

dkk, 2007). Gas yang terbentuk meningkat 230% pada temperatur 750 – 1300 oC (Yao dkk, 1997).

Ketebalan pola bertambah besar akan meningkatkan panjang mampu alir logam (Shin dan Lee,

2004). Laju aliran logam paduan dengan temperatur tinggi akan menurun dengan meningkatnya

temperatur dikarenakan volume gas yang terbentuk meningkat secara (Khodai dan Parvin, 2008).

Laju aliran logam meningkat sebanding dengan peningkatan temperatur hingga 1150 o

C

(Shivkumar dkk, 1995). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur tuang dan

ketebalan benda cor terhadap kekerasan besi cor kelabu pada pengecoran lost foam.

2. METODOLOGI

Pola yang digunakan adalah styrofoam dengan massa jenis 9 kg/m3. Material cor yang

digunakan diantaranya besi cor kelabu, ferro silikon, arang tempurung kelapa, pasir silika ukuran

AFS grain fineness number 50, dan lem styrofoam. Pengecoran dilakukan dengan menuangkan

logam besi cor kelabu ke dalam cetakan pada suhu 1300, 1325, 1350, 1375 dan 1400 oC.

Pengukuran komposisi benda dilakukan dengan menggunakan sampel yang didinginkan dengan

cepat pada cetakan logam. Ketebalan pola divariasi dengan ukuran 2; 3,5; 5; 6,5 mm. Lebar pola

dibuat 10 mm dan panjang divariasi sesuai dengan perkiraan panjang yang mungkin dicapai oleh

benda cor. Pola setiap ketebalan dirangkai menjadi satu cetakan seperti tampak pada Gambar 1.

Pola dimasukkan dalam kotak dan ditimbun pasir kemudian digetarkan pada amplitudo 0,5 mm

dengan frekuensi 23 Hz selama 60 detik.

Gambar 1. Pola benda cor (satuan ukuran mm)

Benda hasil cor dipotong sepanjang 30 mm dari pangkal saluran turun. Pengukuran

kekerasan dilakukan pada bagian tengah dari permukaan benda sebanyak 5 titik. Pengukuran

dilakukan pada setiap suhu penuangan dan ketebalan benda kemudian dilakukan analisa

pengaruhnya terhadap kekerasan benda cor.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi besi cor kelabu hasil pengecoran ditunjukkan pada Tabel 1. Besi cor kelabu

yang paling banyak diproduksi memiliki komposisi Karbon 3,0-3,5 % dan Silikon 1,8-2,4 % (ASM

Handbook Commitee, 1998). Berdasarkan ketentuan ini maka komposisi besi cor kelabu dalam

penelitian ini termasuk komposisi yang paling banyak diproduksi.

Page 177: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.3

Tabel 1. Komposisi besi cor kelabu

Unsur Fe C Si Mn P S Cr Mo Ni Al

Prosentase 93,1 3,35 2,29 0,449 0,189 0,048 0,085 0 0,061 0,005

B Co Cu Mg Nb Pb Sn Ti V W

0 0,006 0,105 0,011 0,006 0,0088 0,026 0,016 0,018 0,029

Pengaruh temperatur penuangan terhadap kekerasan benda cor ditunjukkan pada Gambar 2.

Kekerasan benda cor mengalami penurunan dengan kenaikan temperatur tuang cairan. Kekerasan

terendah dicapai pada temperatur tuang 1400 oC pada ketebalan 6,5 mm sebesar 350 BHN dan pada

ketebalan yang sama nilai kekerasan tertinggi pada temperatur tuang 1300 oC sebesar 493 BHN.

Kenaikan kekerasan ini disebabkan karena penuangan pada suhu yang lebih tinggi memiliki

superheat lebih tinggi. Superheat yang lebih tinggi akan menyebabkan waktu pembekuan lebih

lama. Pembekuan dengan waktu lebih lama akan memberikan kesempatan silikon untuk

melepaskan karbon dari sementit (Fe3C). Karbon yang terlepas dari sementit akan mengumpul dan

membentuk grafit. Fenomena ini menyebabkan grafit terbentuk lebih banyak dan berkembang

setelah melewati temperatur eutektik. Grafit memiliki sifat lebih lunak dibandingkan dengan

sementit. Semakin banyak grafit terbentuk, kekerasan benda cor mengalami penurunan dengan

kenaikan temperatur tuang (Gupta, 2002).

Gambar 2. Pengaruh temperatur tuang terhadap kekerasan pada setiap ketebalan benda cor

Ketebalan benda cor semakin kecil juga menyebabkan kekerasannya mengalami kenaikan.

Kekerasan pada temperatur tuang 1400 oC pada ketebalan 6,5; 5 dan 3,5 mm berturut-turut adalah

350, 444 dan 483 BHN. Benda cor dengan panjang sama namun ketebalan berbeda akan

menyebabkan waktu pembekuan yang tidak sama. Waktu pembekuan ditinjau dari ukuran benda

ditentukan oleh modulus benda. Modulus adalah perbandingan volume benda dengan luas

penampang benda yang aktif melepaskan panas. Modulus benda semakin besar akan menyebabkan

waktu pembekuan yang lebih lama. Benda dengan ukuran semakin tebal akan memberikan

modulus yang semakin besar. Hal ini menyebabkan silikon memiliki kesempatan lebih banyak

untuk melepaskan karbon yang terdapat dalam sementit. Karbon yang terlepas membentuk struktur

yang dinamakan grafit. Semakin tebal benda cor, grafit terbentuk semakin banyak dan

menyebabkan kekerasan benda semakin lunak.

Grafit yang terbentuk pada setiap temperatur penuangan ditunjukkan pada Gambar 3. Pada

temperatur penuangan 1300 C grafit yang terbentuk paling sedikit dibandingkan dengan temperatur

Page 178: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.1. Pengaruh temperatur tuang dan ketebalan benda terhadap … (Sutiyoko dan Suyitno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.4

penuangan yang lain. Hal ini sebagai bukti bahwa semakin sedikit grafit yang terbentuk maka

kekerasan besi cor kelabu semakin meningkat.

(a) (b)

(c) (d)

grafit

(e)

4. KESIMPULAN

Temperatur tuang dan ketebalan benda cor memiliki pengaruh terhadap kekerasan besi cor kelabu.

Kenaikan temperatur tuang akan menurunkan kekerasan benda cor. Kekerasan benda cor juga akan

menurun jika ketebalan benda semakin besar. Penurunan kekerasan ini disebabkan terbentuknya

grafit yang lebih banyak karena waktu pendinginan lebih lama. Dalam pengecoran besi cor kelabu

dengan produk yang memiliki ketebalan tertentu, kekerasan benda cor dapat diatur dengan

menentukan suhu penuangan dengan tetap memperhatikan kemungkinan cairan dapat mengisi

seluruh cetakan.

Gambar 3. Foto struktur mikro sebelum dietsa, temperatur tuang (a)1300

oC (b)1325

oC (c)1350

oC (d)1375

oC (e)1400

oC

Page 179: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.5

5. DAFTAR PUSTAKA

Askeland, D.R., 2001, Encylopedia of Materials: Science and Technology, Elsevier Science Ltd.

ASM Handbook Commitee, 1998, ASM Metals Handbook . Casting, Vol.15, 9th edition, ASM

International.

Barone, M. R., Caulk, D. A., 2005, A foam ablation model for lost foam casting of aluminum,

International Journal of Heat and Mass Transfer, Vol. 48, pp. 4132–4149.

Behm, S.U., Gunter, K.L. and Sutherland, J.W., 2003, An Investigation into The Effect of Process

Parameter Setting on Air Emission Characteristics in The Lost Foam Casting Process,

American Foundry Society.

Gupta, R.B., 2002, Material Science, 11th Edition.”, Satya Prakashan, India.

Khodai, M. and Parvin, N., 2008, Pressure Measurement and Some Observation in Lost Foam

Casting, Journal of Material Processing and Technology, Vol.206, pp.1-8.

Kim, K. and Lee, K., 2005, Effect of Process Parameters on porosity in Aluminium Lost Foam

Process, Journal Material Science, Vol.21, No.5.

Kim, K., and Lee, K., 2005, Effect of Pro cess Parameters on Porosity in Aluminum Lost Foam

Process, Journal Material Science Technology, Vol. 21 No.5, pp. 681-685.

Kumar, S., Kumar, P. and Shan, H.S., 2008, Optimation of Tensile Properties of Evaporative

Casting Process through Taguchi’s Method, Journal of Materials Processing Technology,

Vol.204, pp.59-69.

Kumar, S., Kumar, P. and Shan, K.S., 2007, Effect of Evaporative Pattern Casting Process

Parameters on The Surface Roughness of Al-7%Si Alloy Casting, Journal of Materials

Processing Technology, Vol. 182, pp. 615-623.

Monroe, R.M., 1992, Expandable Patterns Casting, American Foundryman’s Society Inc., pp.96-

97.

Shin, S.R. and Lee, Z.H., 2004, Hidrogen Gas Pic-Up of Alloy Melt During Lost Foam Casting,

Journal of Material Science, Vol.39, pp.1536-1569.

Shivkumar, S., Yao, X. and Makhlouf, M., 1995, Polymer Melt Interactions During Formation in

The Lost Foam Process, Scripta Metallurgica et Materialia, Vol.33, pp.39-46.

Yao, X., Shivkumar, S., 1997, Molding filling characteristics in lost foam casting process,

Materials science and Technology, Vol. 31, pp. 841-846.

Page 180: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.2. Studi analisis pengaruh variasi beban dan kecepatan … (Norman Iskandar, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.6

STUDI ANALISIS PENGARUH VARIASI BEBAN DAN KECEPATAN

TERHADAP LAJU KEAUSAN DIES PADA PROSES COLD UPSET FORGING

ALUMINIUM DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE BERBASIS FEM

Norman Iskandar*)

, Rusnaldy, Ismoyo Haryanto

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Jl.Prof Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50275 *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Dalam proses micro forming perambatan dan pertumbuhan panas di pandang sebagai sebuah

fenomena yang signifikan karena panas ini akan mempengaruhi proses pelumasan, tool life,

microstruktur serta tentunya adalah sifat akhir dari produk yang dihasilkan. Energi mekanis

dalam proses forging sebagian akan dirubah menjadi panas dimana panas ini timbul akibat

adanya deformasi plastis serta gesekan dengan diesnya. Dalam proses forging yang

menggunakan sistem drop hammer, kombinasi dari variasi beban dan kecepatan tumbukan

adalah variabel yang harus dikontrol untuk menciptakan energi yang optimum dan

meminimalkan efek samping kerusakan pada die. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat

pengaruh variasi beban dan kecepatan jatuh terhadap kualitas dimensi produk yang

dihasilkan dan efek wear yang muncul pada dies. Metode yang digunakan adalah dengan

menggunakan Software Deform untuk melakukan simulasi prosesnya. Kondisi yang dimasukan

adalah set up temperatur 20oC, variasi beban 75N, 85N, 95N, 105N, 115N, 125N dengan

ketinggian jatuh beban adalah 25, 50, dan 75 mm. Material yang digunakan adalah

Aluminium murni dalam kategori jenis komersil berdimensi diameter 1,5mm dan panjang 5

mm.

Kata kunci: upset forging, aluminium, FEM, dies, wear

PENDAHULUAN

Dalam proses tempa (forging) ada dua tema utama yang harus di perhatikan untuk

mencapai sebuah proses yang efisien yang mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang

baik, yaitu tentang bagaimana merancang sebuah proses produksi produk serta merancang tool

yang akan digunakan dalam proses tersebut.

Die/cetakan adalah salah satu komponen terpenting dalam proses tempa. Cetakan berperan

dalam menentukan bagaimana kualitas produk tempa akan memiliki kualitas yang baik apalagi jika

di produksi dalam skala besar dia akan mampu menjawab tantangan kuantitatif jumlah produk yang

dihasilkan dan kualitas setiap keluarannya.Dengan kata lain cetakan yang bisa berumur panjang

menjadi sebuah tantangan yang harus diwujudkan dalam proses forging.

Gambar 1 Jenis kerusakan / cacat pada cetakan untuk proses forging (A. Kannapan)

Bukan hal yang mudah dan murah merancang cetakan untuk proses forging. Cetakan harus

bisa merespon dengan baik terhadap empat faktor utama dalam proses forging yaitu temperature,

tekanan, kecepatan pemukulan dan pelumasan. Empat variable utama ini memberikan kontribusi

yang besar terhadap tingkat kerusakan (failure), keausan (wear) atau cacat (defect) lainya pada

Page 181: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.7

proses forging. [Murjito, 2007]. Namun kendala tersebut saat ini bisa diminimalkan dengan adanya

bantuan Software.

Pemakaian software bantu untuk membantu menganalisa dan mendesain proses dan

cetakan sehingga resiko kerusakan seperti gambar 2 akan bisa tereduksi sudah menjadi hal jamak

saat ini. Vasquezh mendiskripsikan tujuan utama penggunaan software bantu yang merupakan

pengembangan solusi secara numerik dalam proses forging adalah untuk:

1. Mengembangkan desain dies yang memadai dan meningkatkan parameter proses yaitu :

a. Simulasi proses untuk memastikan dies akan penuh terisi

b. Mencegah cacat flow-induced

c. Memprediksikan batasan proses sehingga tak akan terlewati sehingga bisa mencegah cacat

internal maupun permukaan.

d. Memprediksikan temperatur sehingga karakteristik part yang dibuat, kondisi gesekan, dan

keausan die dapat terkontrol.

2. Meningkatkan kualitas part dan kompleksitas profilnya namun tetap dapat mengurangi biaya

manufaktur, yaitu dengan:

a. Memprediksi dan meningkatkan aliran butir dan microstruktur

b. Mengurangi proses ujicoba cetakan dan waktu yang terbuang.

c. Mengurangi reject dan meningkatkan keluluhan material

3. Memperkirakan beban dan energi forging seperti tercermin pada tegangan pada tools dan

temperatur sehingga :

a. Kegagalan tool secara prematur dapat dihindari.

b. Dapat memilih mesin forging yang tepat untuk aplikasi produk yang dinginkan.

Usia pakai sebuah cetakan dibatasi oleh indikasi pemakaian saat menghasilkan cacat

produk. Cacat produk terjadi yang disebabkan karena cetakan telah mengalami keretaka, pecah,

juga mungkin keausan yang telah terjadi. Hal ini menjadi semakin penting ketika diterapkan dalam

proses micro forging. Tingkat tolerasi kerusakan tentu akan semakin ketat, sehingga pembuatan

cetakan perlu direncanakan sebaik mungkin.

Untuk itulah penulis melakukan study analisis tentang cetakan untuk proses upset forging

untuk pembuatan miniatur produk. Sehingga cetakan pada akhirnya nanti dapat dibuat dengan

presisi serta memiliki umur pakai yang baik. Proses ini tentu saja juga dalam rangka meminimalkan

biaya pembuatan cetakan dengan meminimalkan resiko kegagalan.

II. METODOLOGI

Proses upset forging disimulasikan dengan menggunakan software DEFORM-2D ver 8.1.

penggunaan versi 2D dikarenakan produk yang dibuat berbentuk simetris sehingga akan

meringankan dan menyingkat waktu untuk melakukan proses simulasi. Dari proses simulasi akan

didapatkan data tentang mengetahui laju pembebanan, kecepatan, efektif stress, temperatur dalam

setiap langkahnya. Disamping itu visualisasi dari 2D bisa langsung di ubah menjadi 3D dengan

sangat mudah

Titik kritis pada cetakan untuk proses upset forging sesuai dengan peta potensi kerusakan

cetakan yang digambarkan A.Kannapan bisa digambarkan seperti pada Gambar 2. Pada titik 1

merupakan daerah yang paling rawan aus, sehingga penelitian akan difokuskan untuk pengambilan

data pada titik tersebut.

Gambar 2. Peta titik kritis pada cetakan upset forging

Wear

Permanen deformation

Thermal fatigue

1

2

Page 182: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.2. Studi analisis pengaruh variasi beban dan kecepatan … (Norman Iskandar, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.8

Data input yang diberikan untuk simulasi diantaranya adalah :

Material benda kerja : Al-1100

Young’s modulus [Gpa] : 69

Poisson’s ratio : 0,334

Thermal expansion [1/ oC] : 23,6. 10

-6

Thermal conductivity[W/m.K] : 180

Heat Capacity[N/mm2 oC] : 2,433

Emissivity : 0,05

Diameter [mm] : 1,5

Tinggi [mm] : 5,06

Temperatur [oC] : 20

Material cetakan : JIS: SKD11, AISI: D2; DIN: 1.2379

Young’s modulus [Gpa] : 210

Poisson’s ratio : 0,30

Thermal expansion [1/ oC] : 10,4. 10

-6

Thermal conductivity[W/m.K] : 20

Heat Capacity [N/mm2 oC] : 3,542

Emissivity : 0,7

Diameter [mm] : 2,86 (top dies)

: 1,5 (bottom dies)

Tinggi/kedalaman lubang [mm] : 0,6 (top dies)

: 2,92 (bottom dies)

Temperatur [oC] : 20

Parameter proses

Temperatur lingkungan [oC] : 20

Beban [N] : 75, 85, 95, 105, 115, 125

Blow Efficiency : 0,2

Sistem Mesin forging : Free Drop-Hammer

Ketinggian jatuh beban [mm] : 25, 50, 75

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

(a) (b)

Gambar 3. Titik pada Profil produk yang juga berimplikasi pada titik keausan cetakan, View 3D

(a) View 2D (b)

Page 183: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.9

Pengaruh variasi beban dan kecepatan terhadap Temperatur cetakan.

(a) (b)

(c)

Gambar 4. Grafik Pengaruh variasi beban terhadap temperatur pada titik 1 (a) Pemodelan

pengaruh variasi beban pada temperatur untuk beban 115N ketinggian 15 mm (b). Grafik Pengaruh

variasi kecepatan terhadap temperatur pada titik 1.

Dari hasil simulasi dengan pemberian varian beban dan kecepatan yang berpengaruh

terhadap kenaikan temperatur benda kerja yang selanjutnya akan terdistribusi ke cetakan, maka dari

hasil pengamatan pada titik kritis 1, didapatkan bahwa variasi kecepatan lebih berpengaruh

daripada variasi beban terhadap laju kenaikan temperatur pada titik kritis tersebut. Grafik beban

75N, 85N, 95N pada ketinggian jatuh 25mm memiliki kecenderungan berbeda dari yang lain

karena energi pembentukannya tidak cukup untuk melakukan proses deformasi sampai selesai.

Sehingga dengan menganalisa data yang tersisa terlihat kecepatan memiliki pengaruh lebih dalam

meningkatkan temperatur cetakan. Hal ini akibat semakin cepat laju aliran material maka semakin

besar gesekan yang terjadi antara cetakan dan material sehingga menimbulkan panas.Namun sejauh

mana panas akan berpengaruh juga tergantung dari lamanya proses, karena dengan kecepatan yang

tinggi, proses akan berlangsung cepat, gesekan yang besar terjadi dan menimbulkan panas namun

tidak cukup waktu untuk terdistribusi lebih ke cetakan.

Adanya peningkatan temperatur berakibat pada menurunnya kekuatan cetakan,karena

terjadi penurunan nilai kekerasan, apalagi hal ini terjadi pada bagian yang berdimensi kecil

(cetakan untuk micro part).Maka resiko keausan semakin besar.

Titik 1

Titik 2

Page 184: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.2. Studi analisis pengaruh variasi beban dan kecepatan … (Norman Iskandar, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.10

Pengaruh Variasi Kecepatan dan beban terhadap Effective stress pada cetakan.

(a) (b)

(c)

Gambar 5. Grafik Pengaruh variasi beban terhadap effective stress pada titik 1 (a) Pemodelan

pengaruh variasi beban pada effective stress untuk beban 115N ketinggian 15 mm (b). Grafik

Pengaruh variasi kecepatan terhadap temperatur pada titik 1

Pengaruh kecepatan dan beban yang diberikan terhadap besarnya effective stress yang terjadi dari

hasil simulasi menggambarkan bahwa kembali kecepatan yang memegang peranan dominan dalam

menghasilkan nilai besarannya. Besaran nilai stress yang terjadi bisa berakibat timbulnya

kegagalan pada cetakan. Dengan adanya arah pergerakan material secara sliding/memotong siku

dari daerah titik 1, maka dengan adanya konsentrasi tegangan disana dan adanya peningkatan

temperatur serta adanya proses secara berulang maka hal ini menjadi faktor domino penyebab

kegagalan dititik ini.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian bisa disimpulkan :

1. Variabel kecepatan lebih significant untuk diatur agar produk yang dihasilkan sesuai

kriteria namun tetap menjaga masa umur pakai cetakan lebih lama.

2. Variabel kecepatan lebih berpengaruh dalam hal peningkatan temperatur dan effective

stress pada cetakan dibanding variabel beban.

3. Dari produk yang dihasilkan lebih baik jika pada area kritis titik satu diberikan profil radius

yang tentu saja harus diteliti kembali besarannya untuk produk upsetting ini agar produk

yang dihasilkan lebih baik dan cetakan juga tidak mengalami keausan yang cepat.

Titik 1

Titik 2

Page 185: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.11

4. Perlunya penentuan titik optimum besaran beban dan kecepatan yang diberikan dalam

desain proses upset forging ini, agar resiko cacat/gagal produk dan cetakan bisa

diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A B, Ling K S, Samad Z. (2008). The Effect of Corner Radii and Part Orientation on

Stress Distribution of Cold Forging Die. American Journal of Applied Sciences 5 (4): 296-

300, 2008, ISSN 1546-9239.

American Society of Materials (ASM) Handbook. (1990). Volume 2: Properties and Selection:

Nonferrous Alloys and Special Purpose Materials. USA: ASM International.

Ab-Kadir A E, Othman, A R. (2009). Effect of Corner Radius and Friction Parameters on the

optimization of the Cold Forging Die Design. CCSE: Modern Applied Science Vol 3 No 2

Huda, Zainul. (2009). Effects of Degrees of Cold Working and Recrystallization on the

Microstructure and Hardness of Commercial-Purity Aluminum. European Journal of

Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.26 No.4 : 549-550.

Jolgaf M, Sulaiman S B, Ariffin M K A, Faieza A A. Billet Shape Optimization for Minimum

Forging Load. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.24 No.3

pp.420-427.

Kada O, Toda M, Yanagi H. Advanced Forming Analysis for Bar and Wire Rod with Finite

Element Method. Nippon Steel Technichal Report No. 96. UDC 621 . 73 : 669 . 14 – 422.

Kalpakjian & Schmid. (2001). Manufacturing Engineering and Technology. Prentice Hall.

Kang S G, et all. (2006). A study on the micro-formability of Al 5083 superplastic alloy

using micro-forging method. Materials Science and Engineering A 449–451 338–342.

Singh U K, Dwivedi M. (2009). Manufacturing Process Second Edition. New Delhi: New Age

International (P) Limited.

Taylan Altan, et all. (2005). Cold and Hot Forging: Fundamental and Applications. USA: ASM

International.

Page 186: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.3. Pengaruh bending radius pada lightening holes process … (Yurianto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.12

PENGARUH BENDING RADIUS PADA LIGHTENING HOLES PROCESS

TERHADAP KERETAKAN AL 2024 T3 SHEET

*1

Yurianto, 1Ardian Budi W,

2Eko Boedisoesetyo

1Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

2Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. Sudarto, SH. Semarang

Telpon/ Faks : 024 746 0059/ 024 746 0059 pesawat 102 *Surat elektronik: [email protected]

Abstrak

Penggunaan bahan yang ringan dan kuat sangat diperlukan dalam pembuatan pesawat

terbang, proses ligtening holes adalah salah satu cara efektif untuk mendapatkan konstruksi

ringan tetapi mempunyai kekuatan dan kekakuan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan bending radius yang tepat pada Al 2024 T3 sheet tanpa adanya retak. Adapun

metode penelitian ini adalah mempersiapkan benda uji untuk bending radius pada proses

lightening holes CAN 16070, dan melakukan penekanan menggunakan mesin eccentric press

dengan variasi radius die bending yaitu BT 20, BT 30 dan BT 40. Kemudian melakukan uji

tarik, uji keras mikro dan metalografi untuk melihat fenomena retak. Bending radius yang

dapat diterima Al 2024 T3 sheet dalam proses lightening holes tanpa terjadi retak adalah

dengan menggunakan die BT 20, yaitu dengan radius 3 mm dan diameter lobang 20 mm.

Angka kekerasan rata-rata Al 2024 T3 sheet sebelum proses lightening holes adalah 149,64

HV. Sementara kekerasan setelah proses lightening holes meningkat sebesar 217,712 HV

(dengan BT 20), 186,2 HV (dengan BT 30) dan 212,356 HV (dengan BT 40). Bending radius

pada Al 2024 T3 sheet tanpa adanya retak die BT 20.

Kata kunci: Al 2024 T3 sheet, lightening holes, bending radius, getas, retak

1. PENDAHULUAN

Lightening holes process (LHP) adalah salah satu cara efektif untuk memenuhi kebutuhan

penguatan bahan pesawat terbang. Pada proses lightening holes terdapat proses pelobangan pada

suatu titik dan pada titik pelubangan tersebut dilakukan bending radius atau deep drawing. Fungsi

dari LHP adalah agar bahan untuk pesawat terbang semakin ringan tetapi memiliki kekakuan tinggi

sehingga mampu menahan beban besar. Saat LHP bahan sering mengalami keretakan, hal ini

berkaiatan dengan ketebalan, kondisi dan bending radius bahan. Adapun masalah pada LHP adalah

timbulnya keretakan, sehingga bahan mengalami reject.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari bending radius yang bisa diterima oleh Al 2024

T3 sheet tanpa retak pada LHP.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Proses LHP adalah sebuah proses penguatan bahan yang memiliki dasar proses deep

drawing. Dengan proses tersebut maka kekakuan bahan yang diinginkan akan tercapai. Deep

drawing atau disebut drawing adalah proses pengubahan bentuk logam dari bahan lembaran yang

berbentuk lingkaran dengan diameter tertentu yang ditekan pada sebuah cetakan yang juga

berbentuk lingkaran dengan kedalaman tertentu. Pada proses deep drawing terdapat dua jenis

proses, yaitu: Shrink Forming dan Stretch Forming. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

Shrink Forming, pada proses ini terjadi kompresi melingkar selama proses dengan pe-

ngurangan diameter dan logam menipis. Karena bahan cukup tebal, maka dinding produk akan

terjadi kerutan. Stretch Forming, pada proses ini terjadi pengecilan benda kerja sebagai akibat

tarikan melingkar yang digunakan untuk memperbesar diameter. Untuk mencegah kerutan dan

tebal yang tidak merata, aliran logam harus diatur. Hal ini bisa diatasi dengan memberikan cincin

penahan, Gambar 1 [1]. Dalam proses LHP, bahan mengalami strain hardening untuk slip, dan

dikenal sebagai pengerasan regangan. Pengerasan regangan disebabkan oleh interaksi dislokasi

dengan yang lain dan penghalang yang menghalangi gerakan kisi-kisi kristal [2].

Page 187: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.13

Bahan yang digunakan dalam proses LHP adalah Al 2024 T3 sheet, yaitu jenis Aluminum

Alloy seri 2xxx yang memiliki kandungan aluminum dengan paduan Cu sebagai presipitatnya.

Sedang T3 adalah kondisi tempered dari bahan tersebut yang menunjukkan bahwa bahan telah

mengalami solution heat treatment, cold work dan naturally aging [3].

Gambar 1 Perbedaan shrink forming dan stretch forming [1]

Komposisi kimia Al 2024 T3 sheet adalah Al (93%) Cu (3,8 sd. 4,9%) Mg (1,2 sd. 1,9%).

Paduan aluminum jenis AL 2024 disebut juga superduralumin [4]. Process sheet lightening holes

CAN 16070 adalah nama dokumen LHP yang dibuat bersama antara Cassa Spanyol dan PT

Nurtanio Bandung (sekarang PT Dirgantara Indonesia).

3. METODOLOGI

Bahan penelitian adalah Al 2024 T3 sheet dengan tebal 1,2 mm, 1,4 mm dan 2,0 mm,

dengan ukuran benda uji adalah 100 mm×150 mm, tiap benda uji dikenai tiga macam yaitu:

bending radius BT 20 (2 mm), BT 30 (3 mm) dan BT 40 (4 mm). LHP menggunakan mesin

eccentric press dengan dies sesuai dengan bending radius yang sudah ditentukan. Metode yang

digunakan adalah trial solution dengan BT 20, BT 30 dan BT 40, dengan LHP. Penelitian ini

dilaksanakan dengan dasar dokumen process sheet lightening holes CAN 16070 yang berlaku di PT.

Dirgantara Indonesia.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji metalografi

Hasil uji metalografi ditunjukkan oleh Gambar 2a dan 2b (keduanya ditekuk dengan BT

20), nampak struktur butiran kasar. Gambar 2c dan 2d (keduanya ditekuk dengan BT 30), nampak

struktur butiran halus. Gambar 2e dan 2f (keduanya ditekuk dengan BT 40), nampak struktur

butiran lebih halus dibanding dengan BT 20 dan BT 30. Dari ketiga bending radius (BT 20, BT 30

dan BT 40), pergeseran butiran lebih besar terjadi pada bending radius dengan BT 20. Jika bending

radius dikenakan pada bahan yang lebih tebal, maka kecenderungan terjadi keretakan lebih besar

dibanding terkena bending radius BT 30 dan BT 40. Sementara itu diameter lobang semakin kecil

cenderung retak dibanding diameter lobang yang lebih besar.

4.2 Uji Kekerasan Mikro

Hasil uji kekerasan mikro ditunjukkan oleh Gambar 3 dan Tabel 1. Gambar 3a mempunyai

standard hardness seperti dalam Tabel 1.

Tabel 1 Angka kekerasan mikro Al 2024 T3 sheet.

Sebelum LHP Jarak (μm) 47,88 48,44 49,75 51,24 51,93

Kekerasan HV 161,70 158,00 149,80 141,20 137,50

Setelah LHP dengan

BT 20

Jarak (μm) 39,48 39,51 40,36 43,86 43,86

Kekerasan HV 237,90 237,53 227,63 192,75 192,75

Setelah LHP dengan

BT 30

Jarak (μm) 41,26 43,89 43,93 45,74 49,50

Kekerasan HV 217,81 192,49 192,14 177,23 151,33

Setelah LHP dengan

BT 40

Jarak (μm) 35,96 41,22 43,86 43,89 46,49

Kekerasan HV 286,75 218,23 192,75 192,49 171,56

Page 188: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.3. Pengaruh bending radius pada lightening holes process … (Yurianto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.14

a BT 20 permukaan atas b BT 20 permukaan bawah

c BT 30 permukaan atas d BT 30 permukaan bawah

e BT 40 permukaan atas f BT 40 permukaan bawah

Gambar 2 Metalografi Al 2024 T3 sheet dengan ketebalan 8 mm

a Sebelum LHP b Sesudah LHP dengan BT 20

c Sesudah LHP dengan BT 30 d Sesudah LHP dengan BT 40

Gambar 3 Hasil uji keras Al 2024 T3 sheet dengan ketebalan 8 mm

Page 189: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.15

Gambar 3b mempunyai kekerasan antara 192,5 HV sd. 237,53 HV. Gambar 3c mempunyai

kekerasan antara 151,33 HV sd. 271,81 HV. Gambar 3d mempunyai kekerasan antara 171,56 HV

sd. 286,75 HV. Dari uji kekerasan diatas Nampak bahwa kekerasan pada permukaan cekung lebih

tinggi dibanding kekerasan pada permukaan cembung. Dari ketiganya (setelah LHP) yaitu dengan

BT 20, BT 30 dan BT 40, permukaan cembung mengalami tegangan tarik, sementara permukaan

cekung mengalami tegangan tekan. Permukaan cembung lebih rentan terhadap keretakan dibanding

pada permukaan cekung. Semakin tebal Al 2024 T3 sheet, maka akan cenderung retak jika

mendapat bending. Karena pergeseran struktur yang sangat besar.

4.3 Uji LHP

4.3.1 Uji LHP

LHP dilakukan dengan menggunakan mesin eccentric press, gaya tekan yang digunakan 60

kN dan diameter punch 12 mm, 25 mm dan 34 mm. Hasil uji LHP ditunjukkan oleh Gambar 4.

Dari hasil pengerjaan benda uji didapatkan keretakan pada beberapa bending dan ketebalan yang

berbeda, dan retak yang terjadi pada Al 2024 T3 tebal 2 mm dan ditunjukkan oleh Gambar 5.

Keretakan yang timbul karena adanya pergeseran antar struktur mikro akibat bending radius yang

semakin kecil. Sementara bergeseran struktur mikro dengan bending radius semakin besar, ikatan

butiran masih mampu menahan geseran. Akibat bending radius semakin besar, maka

kecenderungan retak semakin kecil. Bending radius yang bisa diterima Al 2024 T3 pada LHP tanpa

terjadi retak adalah menggunakan die BT 20, yaitu dengan radius 3 mm dan diameter lobang 20

mm atau die BT 20.

Permukaan atas Permukaan bawah

Gambar 4 Benda uji hasil proses LHP

a BT 30 b BT 40

Gambar 5 Keretakan Al 2024 T3 tebal 2 mm

4.3.2 Uji Tarik

Hasil uji tarik bahan Al 2024 T3 setelah dilakukan LHP ditunjukkan oleh Tabel 2. Pada

dasarnya, Al 2024 T3 tergolong bahan getas. Dari hasil uji tarik, nampak bahwa setelah mengalami

LHP bahan menjadi lebih getas. Hal ini disebabkan karena adanya pemadatan struktur mikro akibat

LHP dengan die yang digunakan. Namun pada benda uji dengan tebal 2 mm mempunyai tegangan

maksimum lebih tinggi dibanding yang lain, tegangan luluh juga lebih tinggi dan mengalami

sedikit lebih liat dibanding pada benda uji dengan tebal 0,8 mm dan 1,4 mm.

Page 190: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.3. Pengaruh bending radius pada lightening holes process … (Yurianto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.16

Tabel 2. Hasil uji tarik Al 2024 T3 sheet setelah LHP.

Tebal Beban maksimum Tegangan Maksimum Tegangan Luluh Regangan Patah

0,8 mm 488,963 (kgf) 52,193 (kgf/mm2) 36,827 (kgf/mm

2) 19,432 %

1,4 mm 865,114 (kgf) 51,299 (kgf/mm2) 36,842 (kgf/mm

2) 18,318 %

2.0 mm 1316,964 (kgf) 52,705 (kgf/mm2) 40.732 (kgf/mm

2) 18,820 %

4.3.3 Uji Kekerasan

Hasil uji kekerasan bahan Al 2024 T3 dilakukan dengan dua macam, yaitu sebelum dan

sesudah LHP, dan hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 3. Setelah LHP, Al 2024 T3 menjadi lebih

keras disbanding sebelum LHP. Hal ini karena disebabkan oleh pemadatan struktur mikro, namun

setelah LHP kekerasan tertinggi dicapai pada bahan tebal 2 mm dengan BT 20 tanpa ada keretakan.

Tabel 3 Hasil uji kekerasan Al 2024 T3 sheet

Set

elah

LH

P

Tebal 2,0 mm

Jarak (μm) 47,88 48,44 49,75 51,24 51,93

Kekerasan HV 161,70 158,00 149,80 141,20 137,50

Kekerasan ta-rata HV 149,64 HV

Set

elah

LH

P Tebal 2,0 mm

BT 20

Jarak (μm)

Kekerasan HV 192,75 237,90 192,75 237,53 227,63

Kekerasan rata-rata HV 217,712

Tebal 2,0 mm

BT 30

Jarak (μm)

Kekerasan HV 177,23 192,14 192,49 151,33 217,81

Kekerasan rata-rata HV 186,2

Tebal 2,0 mm

BT 40

Jarak (μm) 35,96 41,22 43,86 43,89 46,49

Kekerasan HV 286,75 218,23 192,75 192,49 171,56

Kekerasan rata-rata HV 212,356

5. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan ahwa Aluminum 2024 dengan bending radius paling

kecil BT 20 memiliki nilai kekerasan paling tinggi diantara bending radius yang lain dengan nilai

kekerasan rata–rata 217,7 HV. Bending radius BT 20 adalah perlakuan bending paling baik karena

tidak mengalami retak bahan dengan berbagai tebal dan memiliki nilai kekerasan paling tinggi.

Pada uji metalografi dari semua bending radius hanya BT 20 yang memiliki struktur yang

mengalami tarik (dibagian permukaan bending) dan struktur yang tertekan dibagian bawah

permukaan bending. Sedangkan pada radius BT 30 dan BT 40, struktur mengalami tarik sehingga

kemungkinan terjadinya retak lebih besar.

Dari uji LHP, terjadi retak pada bahan Al 2024 T3 dengan tebal 2 mm dan mengalami

bending pada radius BT 30 dan BT 40. Retak terjadi karena bahan lebih getas dan mengikuti arah

keliling diameter bending.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada PT. Dirgantara Indonesia, Bandung Jawa Barat Indonesia atas tempat

dan segala fasilitas yang disediakan selama pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Eugene, D, Ostergaard,1967, Advanced Die Making, Prentice Hall, New Jersey.

[2] Dieter, E. George, 1987, Metallurgy Mechanics, 3rd

edition, McGraw Hill, Inc.

[3] Heinrich Grote, Karl, Antonson, K. Erik, 2009, 2009, Springer Handbook of Mechanical

Engineering, Volume 10, Springer.

[4] _____, Dokumen PT. Dirgantara Indonesia, Bandung Jawa Barat Indonesia.

Page 191: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.17

PENGARUH KUAT ARUS PADA PELAPISAN NICKEL

DAN NICKEL-HARD CHROMIUM PLATING TERHADAP SIFAT FISIS

DAN MEKANIS PERMUKAAN BAJA AISI 410

Noor Setyo*)

, Viktor Malau**)

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada *)

e-mail: [email protected] **)

e-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi kuat arus pada proses nickel dan

nickel-hard chrome plating terhadap sifat fisis dan mekanis permukaan baja martensitik 410.

Nickel-hard chrome plating diperoleh pada spesimen yang terlebih dahulu dilapisi dengan

nickel plating, kemudian dilanjutkan dengan hard chrome plating. Sifat fisis dan mekanis yang

dipelajari meliputi struktur mikro, tebal lapisan, kekerasan, laju korosi dan keausan sesudah

diberi lapisan. Variasi kuat arus yang digunakan adalah 1,25; 1,5 dan 1,75 Amper pada

tegangan dan lama pelapisan (30 menit) konstan. Nickel plating dilakukan dalam larutan

elektrolit berupa watt’s bath dengan campuran 150 gr/l NiSO4, 30 gr/l NH4Cl, 30 gr/l H3BO3

pada temperatur 25 – 35 oC, pH sekitar 4 -6, agitasi udara dan anoda berupa batang nikel.

Proses chromium plating menggunakan anoda batang Pb (lead) dan Sn (antimony) dan

larutan elektrolit 300 gr/l CrO3, 3gr/l H2SO4 pada temperatur kerja 40–55 oC, pH sekitar 0,4 –

0,5 dan agitasi udara. Tebal lapisan dapat diketahui dengan mikroskop optik, kekerasan

permukaan dengan uji mikro Vickers pada beban 25 gr, laju korosi dicari dengan alat sel tiga

elektroda potensiostat dalam larutan 0,9 % NaCl, dan keausan diketahui dengan mesin Ogoshi

High Speed Universal Wear Testing Machine. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tebal

lapisan dan kekerasan meningkat bila kuat arus meningkat. Tebal lapisan nikel yang didapat

lebih besar dari lapisan khromium untuk setiap lama pelapisan dan kuat arus sama.

Kekerasan tertinggi pada kuat arus 1,75 A dengan lama pelapisan 30 menit untuk lapisan

nikel, lapisan khromium, dan lapisan nickel-hard chrome secara berurutan adalah 335, 464

dan 534 VHN dengan tebal lapisan secara berurutan sebesar 52,01; 39,34 dan 69,63 mm. Laju

korosi terendah pada kuat arus 1,75 A yang dihasilkan oleh lapisan nikel, lapisan khromium,

dan lapisan nickel-hard chrome secara berurutan adalah sebesar 0,0172; 0,0078 dan 0,0231

mm/tahun. Sementara laju keausan terendah dari lapisan nikel, lapisan khromium, dan lapisan

nickel-hard chrome secara berurutan adalah sebesar 2,150E-08; 1,053E-08 dan 7,453E-09

mm3/kgm.

Kata kunci: nickel-hard chrome plating,tebal lapisan, kekerasan, korosi, keausan

PENDAHULUAN

Peningkatan sifat fisis dan mekanis permukaan material, bisa dilakukan dengan cara

mechanical treatment, termo kimia, konversi atau cara coating. Teknik lapis listrik nickel, hard

chrome dan nickel-hard-chrome merupakan salah satu teknik surface treatment bahan, baik untuk

bahan konduktor maupun non konduktor. Selain sifat dekoratif, keuntungan teknik surface

treatment juga bisa meningkatkan kekerasan, ketahanan aus, dan ketahanan korosi (Huang dkk,

2000).

Kekerasan dan ketahanan aus yang rendah merupakan kekurangan logam AISI 410, akan

tetapi bahan unggul terhadap ketahanan korosi dibandingkan baja karbon, sehingga permasalahan

ini menjadi kendala utama dalam aplikasinya untuk peralatan kedokteran, kesehatan dan komponen

mesin (Merlo, 2003). Untuk mengatasi kekurangan semua itu maka perlu dilakukan diantaranya

proses pelapisan nickel, hard chrome atau nickel-hard chrome plating.Atas pertimbangan di atas,

maka perlu dipelajari karakteristik lapisan tersebut pada AISI 410, untuk mengetahui perubahan

sifat fisis dan mekanis sesudah dilakukan proses plating yang mencakup struktur mikro, kekerasan

permukaan, tebal lapisan, laju korosi dan laju keausan.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang lapisan hard-chrome pada baja St 60 telah dilakukan oleh (Suarsana,

2006), dengan memvariasi tegangan listrik (4, 6, dan 8 Volt) dan waktu (30, 45, 60 menit). Hasil

pengamatan menyimpulkan bahwa semakin tinggi tegangan listrik yang di gunakan dan semakin

Page 192: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.4. Pengaruh kuat arus pada pelapisan nickel … (Noor Setyo dan Viktor Malau)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.18

lama waktu pelapisan tebal lapisan yang terjadi akan semakin meningkat. Tebal lapisan tertinggi

89,37 µm diperoleh pada tegangan 8 Volt, dengan waktu pelapisan 60 menit, sedang tebal lapisan

terendah 20,18 µm, diperoleh pada tegangan 4 Volt dengan waktu pelapisan 30 menit.

Hasil penelitian lain yang dilakukan Barbato dkk (2008) menunjukkan bahwa akibat

peningkatan suhu larutan pada proses hard-chromium baja 1045, menggunakan rapat arus konstan

sebesar 1 A/in2 dan temperatur larutan 30-60

0C, akan terjadi peningkatan nilai kekerasan

permukaan dari 550 BHN–700 BHN dan akan terjadi penurunan ukuran butir dari endapan

chromium.

Huang dkk (2000) mengamati pengaruh variasi kecepatan putar elektroda (200, 500, 1000 ,

2000 rpm) dan rapat arus (30, 40,50 dan 60 A/dm2) pada pelapisan hard-chromium baja (Cr-Mo)

terhadap besar efisiensi transportasi ion chromium pada katoda. Hasil pengamatan menyimpulkan,

bahwa efisiensi transportasi ion chromium pada katoda baru terjadi pada putaran diatas 200 rpm,

rapat arus pada 400 A/dm2. Transportasi ion Cr akan semakin meningkat dengan bertambahnya

rapat arus dan kecepatan putar elektroda, sebaliknya difusi hidrogen pada permukaan katoda akan

semakin berkurang.

DASAR TEORI

Elektroplating adalah suatu proses pelapisan permukaan material, dimana spesimen

berfungsi sebagai katoda yang berlangsung didalam larutan elektrolit dengan jalan dialiri arus

listrik melalui anoda. Sistem tersusun dari anoda, larutan elektrolit dan katoda (Gambar 1). Jika

arus listrik searah dari sumber arus dialirkan antara kedua elektroda dalam larutan elektrolit, maka

muatan ion positip akan ditarik oleh elektroda katoda, sedang ion negatip berpindah kearah

elektroda positip. Ion-ion akan dinetralisir oleh kedua elektroda dan larutan elektrolit dan hasilnya

akan diendapkan pada katoda.

Gambar 1. Sistem Proses elektroplating

Secara umum reaksi perpindahan ion dari logam pelapis ke benda kerja, berlangsung secara

redoks yang dapat digambarkan sebagai berikut :

(pelepasan ion)

Jika besar arus I (amper), waktu pelapisan t (detik), berat atom logam pelapis (B) , valensi

logam pelapis (Z), bilangan Faraday 96.500 coulomb, besar volume yang terendapkan V(mm3),

luas permukaan A (mm2) dan masa jenis ρ (gram/mm

3) dan efisiensi anoda (η), maka menurut

Michael Faraday tebal lapisan T (mm) dapat dirumuskan sebagai berikut:

ZFA

BtIT

... (1)

a. Proses pelapisan nickel Nickel plating diklasifikasikan menurut jenis larutan yang digunakan, sebagai anoda

digunakan logam nickel, sedang sebagai katoda benda kerja dan jenis larutan elektrolit watt’s bath

yang memiliki komposisi NiSO4: 220 -380 gr/l, NiCl2: 30- 60 gr/l dan H3BO3: 30-45 gr/l, pH: 5,8 –

6,2. Brightener I: 2 ml/l, Brightener M :1-2 m/l, pH: 5-5,5 dan rapat arus 0,2 A/dm2. Reaksi redoks

yang terjadi selama proses berlangsung pada nickel plating yaitu:

Reaksi reduksi nickel plating pada katoda Reaksi oksidasi nickel plating pada anoda:

Selanjutnya setelah proses plating selesai dilakukan proses sealling selama satu jam

pada temperatur 90–1100C, terus dilanjutkan proses pembilasan, pengeringan dan proses buffing

Page 193: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.19

b. Proses pelapisan chromium Proses pelapisan chrome bisa dilakukan secara langsung pada stainless steel atau sebagai

proses lanjut nickel plating. Mekanisme proses sama dengan proses nickel plating. Sebagai anoda

dipakai paduan lead (Pb), elektrolit dipakai chromic acid (C2O3, H2SO4), chromic flouride (C2O3):

150 -200 gr/l, H2SO4: 1,2 – 0,8 gr/l dan KF: 0,6 – 0,8. Reaksi redoks yang terjadi sebagai berikut:

Reaksi reduksi chromium plating pada katoda :

Pengendapan chromium :

Pelepasan gas hidrogen :

Pembentukan Cr (III) : Reaksi oksidasi chromium plating pada anoda :

Pelepasan hidrogen :

Oksidasi ion chromat :

Produksi timbal oksida : Berdasarkan reaksi di atas, terlihat hidrogen selalu dibebaskan pada katoda, sedang

sebagian terperangkap diantara lapisan chromium. Jika arus melewati elektrolit, endapan khrom

akan menempel di katoda dengan cara membebaskan hidrogen dan mereduksi Cr6+

menjadi Cr3+

.

Sedang pada anoda terjadi pembebasan oksigen bersamaan dengan oksidasi Cr3+

menjadi Cr6+

yaitu

pembentukan kembali CrO3, sehingga larutan elektrolit tetap konstan.

METODOLOGI PENELITIAN

a. Bahan penelitian Material yang digunakan dalam penelitian adalah martensitic stainless steels 410 (AISI

410) yang memiliki komposisi seperti terlihat dalam (Tabel 1)

Tabel 1. Komposisi kimia martensitic stainless steel 410

Komposisi Kandungan

C Si S P Mn Ni Cr Mo

0,1200 0,3385 0,0025 0,0199 0,4275 0,2119 12,8251 0,0285

Komposisi Kandungan

Cu W Ti Sn Al Ca Zn Fe

0,0550 0,0118 0,0030 0,0074 0,0034 0,0058 0,0173 85,9000

b. Alat penelitian Alat dan jenis peralatan yang digunakan dalam penelitian mulai dari tahap persiapan, tahap

pengujian hingga tahap akhir diantaranya yaitu :

proses pelapisan digunakan mesin lapis listrik merk K.ITEN AG Rudolf Stetten

produk Switzerland power input 3x380/220 Volt, Arus 35 Amper, mesin buffing,

burring, barreling, pH meter dan termometer skala 0 – 110OC

proses pengujian dipakai mikroskop optik, Vickers mikro hardness tester, sel tiga

elektroda dengan Potensio Tipe PGS-201 T, Ogoshi Hight Speed Universal Wear

Testing Machine.

preparasi digunakan mesin polesh merek metaserv dan alat pendukung lainnya

seperti ampelas, sarung tangan, masker, hair dryer, spidol. c. Pengujian

(i) Pengujian kekerasan

Pengujian dilakukan menggunakan mesin Micro Hardness Tester dengan gaya tekan (P) 25

gram dan lama penekanan (t) 10 detik, indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o. Jika

diagonal bekas injakan d (mm), nilai kekerasan spesimen dapat ditentukan berdasarkan persamaan:

(2)

(ii) Pengujian keausan

Pengujian keausan dilakukan dengan mesin Ogoshi High Speed Universal Wear Testing

Machine. Jika besar beban gesek P (kg), tebal disk pengaus B (mm), jarak abrasi b (mm), jari-jari

Page 194: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.4. Pengaruh kuat arus pada pelapisan nickel … (Noor Setyo dan Viktor Malau)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.20

pengaus r (mm), jarak sliding l (mm), maka besar laju keausan spesifik Ws (mm3/kgmm) dapat

ditentukan berdasarkan persamaan:

atau (3)

Sedang besar volume spesimen yang terabrasi Wo (mm3) ditentukan berdasarkan

persamaan:

(4)

(iii) Pengujian korosi

Pengujian korosi dilakukan dengan cara mengamati intensitas arus korosi Icorr (μA/cm2)

benda uji dalam media 0,9 % larutan Natrium chlorid (NaCl). Sebagai mesin uji dipakai mesin tipe

Sel Tiga Elektroda Potensiostat Tipe PGS–201T, teknik pengujian resistance dengan rentang

tegangan -20 mV s/d 20 mV , scan rate : 0,1 mV/s , dan scale Ecor = -248, MV/PT: 0,25.

Gambar 2. Skema alat uji korosi Gambar 3. Kurva potensial vs log intensitas arus

Untuk bahan paduan besar laju korosi ditentukan berdasarkan persamaan (Jones, 1991):

(5)

dimana besar berat equivalen (Equivalent Weight EW) ditentukan berdasarkan persamaan:

EW = NEQ-1

Neq -1

=

i

ii

ii

i

a

n

na

/

(6)

dimana : EW : berat jenis equivalen (gr/cm3) i : fraksi berat

NEQ : nilai equivalen total ia : nomor massa atom

in : elektron valensi r : laju korosi (mm/tahun)

(iv) Pengujian struktur mikro

Setelah spesimen uji dimounting menggunakan resin, permukaan benda kerja dihaluskan

dengan kertas amplas ukuran 120 terbesar hingga 2000 terkecil, dipolis dengan larutan alumina dan

dietsa dengan campuran larutan 65 % HCl dan 35% HNO3. Selanjutnya spesimen diamati dengan

mikroskop optik pembesaran 200 X terus dilanjutkan pemotretan.

(v) Pengujian tebal lapisan

Setelah dilakukan proses persiapan spesimen, pengukuran ketebalan lapisan dilakukan

dengan cara mengamati lapisan spesimen uji pada posisi potongan melintang, menggunakan

mikroskop optik pembesaran 200 X, kemudian dilanjutkan pemotretan dan pengukuran tebal

lapisan yang terbentuk pada substrat untuk masing-masing spesimen.

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Proses nickel, hard chromium dan nickel-hard chromium plating pada baja AISI 410

mampu meningkatkan sifat kekerasan permukaan spesimen. (Gambar 4) memperlihatkan, pada

kondisi operasi yang sama kekerasan tertinggi terjadi pada kuat arus 1,75 Amper, untuk nickel-

hard chromium 534 VHN0,025, hard-chromium 464 VHN0,025 dan nickel 335 VHN0,025.Kenaikan

kekerasan terjadi karena adanya proses pengendapan ion-ion elektrolit yang lebih cepat, sehingga

akan lebih banyak atom hidrogen yang masuk secara interstiti kedalam struktur endapan chromium,

hal ini akan menyebabkan terjadinya distorsi kisi dan tegangan dalam lapisan menjadi naik karena

gerakan dislokasi terhambat.

Page 195: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.21

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tebal lapisan nikel, hard chromium dan nickel hard

chromium diperoleh hasil seperti pada (Gambar 7). Terlihat semakin besar kuat arus, tebal lapisan

yang terbentuk semakin meningkat. Secara berurutan pada kuat arus 1,75 Amper dalam waktu 30

menit untuk nickel-hard chromium, nickel dan hard chromium plating, diperoleh tebal lapisan

69,63 µm, 52 µm dan 39 µm, sedang pada kuat arus 1,25 Amper tebal lapisan 60,73 µm,32,69 µm

dan 12 µm. Kenaikan tebal lapisan terjadi disebabkan jumlah ion Ni2+

dan Cr3+

akan semakin

banyak yang terlepas dari larutan dan mengendap pada katoda (spesimen) akibat kuat arus yang

meningkat. Penambahan berat dan ketebalan lapisan permukaan tersebut teridentifikasi

sebagaimana diperlihatkan pada (Gambar 5)

Gambar 4. Hubungan kuat arus terhadap Gambar 5. Hubungan kuat arus terhadap

tebal lapisan Ni, Cr, Ni-Cr kekerasan Vickers Ni, Cr, Ni-Cr

Pengujian struktur mikro dilakukan menggunakan mikroskop optik dengan pembesaran

200X. Hasil pengamatan terhadap struktur mikro, sebelum dan sesudah proses plating terlihat tidak

ada perubahan, baik matrik maupun struktur dasar dari material AISI 410 (Gambar 6 dan

7).Struktur mikro masih tetap didominasi oleh martensitic dengan matrik ferrit. Hal tersebut terjadi

dimungkinkan karena proses plating berlangsung jauh dibawah suhu kristalisasi martensitic

stainless steels 410, sehingga proses perubahan matrik maupun struktur mikro tidak terjadi.

Gambar 6. Struktur mikro sebelum proses Gambar 7. Struktur mikro setelah proses

pelapisan Ni, Cr dan Ni-Cr pelapisan Ni, Cr dan Ni-Cr

Nilai laju korosi AISI 410 setelah dilakukan nickel, hard chromium dan nickel-hard

chromium plating ditunjukkan seperti pada (Gambar 8). Hasil pengujian menunjukkan, bahwa

AISI 410 yang terlapisi nickel, dalam media 0,9 % larutan Natrium Chlorid (NaCl) akan jauh lebih

baik dalam memberi proteksi terhadap korosi, jika dibandingkan lapisan chromium. Kemampuan

lapisan nickel menahan laju korosi, dikarenakan besar potensial standar nickel jauh lebih besar

dibandingkan ferro maupun chromium (E0

Cr<E0

Fe < E0

Ni ), sehingga ferro dan chromium akan

cenderung lebih reaktif teroksidasi dibandingkan nickel. Besar laju korosi tertinggi untuk nickel-

hard chromium, hard chromium dan nickel secara berurutan yaitu 0,0231 mm/yr, 0,00777 mm/yr

dan 0,00177 mm/yr terjadi pada kuat arus 1, 75 Amper sedang terendah 0,00265 mm/yr, 0,0147

mm/yr dan 00185 mm/yr terjadi pada kuat arus 1,25 Amper.

Gambar 9 memperlihatkan bahwa kenaikkan kuat arus, besar keausan spesifik akan

semakin rendah. Secara berurutan terlihat, besar keausan spesifik pada kuat arus 1,25 Amper dari

nickel, hard chromium dan nickel hard chromium yaitu 2,15E-08 mm3/kgmm, 1,053E-08

Page 196: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.4. Pengaruh kuat arus pada pelapisan nickel … (Noor Setyo dan Viktor Malau)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.22

mm3/kgmm dan7,453E-09 mm

3/kgmm, dan pada kuat arus 1,75 Amper sebesar 5,326 E-9

mm3/kgmm, 2,716E-09 mm

3/kgmm

dan 2,448E-09 mm

3/kgmm.

Gambar 8. Hubungan kuat arus terhadap Gambar 9. Hubungan kuat arus terhadap

laju keausan Ni, Cr, Ni-Cr laju korosi Ni, Cr, Ni-Cr

Hal ini dikarenakan dengan semakin tinggi kuat arus, akan semakin banyak pemindahan

ion-ion Ni2+

dan Cr3+

dari larutan yang mengendap pada katoda (spesimen), semakin cepat ion-ion

Ni 2+

, Cr 3+

menempel pada permukaan spesimen akan menjadikan lapisan lebih padat, kerapatan

permukaan spesimen meningkat dan banyak deposit lapisan yang terbentuk pada permukaan

spesimen.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini memberi kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketebalan lapisan plating akan semakin meningkat seiring dengan naiknya kuat arus. Nilai

ketebalan lapisan dari masing-masing lapisan nickel,chromium dan nickel chromium secara

berurutan didapatkan pada kuat arus 1,75 Amper yakni 69,63 µm, 52 µm dan 39 µm, sedang

pada kuat arus 1,25 Amper 60,73 µm,32,69 µm dan 12 µm.

2. Kekerasan spesimen akan semakin meningkat dengan naiknya kuat arus. Pada kuat arus 1,25

Amper, kekerasan tertinggi terjadi pada lapisan nickel-hard chromium 301VHN0,025, hard-

chromium 234 VHN0,025 dan nickel 214 VHN0,025 , sedang pada kuat arus 1,75 Amper,

kekerasan tertinggi pada nickel-hard chromium 534 VHN0,025, diikuti hard-chromium 464

VHN0,025 dan nickel 335 VHN0,025.

3. Laju keausan akan semakin menurun dengan naiknya kuat arus untuk semua kondisi lapisan,

sedang laju korosi akan semakin meningkat pada lapisan hard chromium dan nickel- hard

chromium, hal ini terjadi karena potensial standar nickel lebih besar dibandingkan chromium

danferro.

DAFTAR PUSTAKA

Barbato, S.R., Ponce, J.F., Jara, M.V., Cuevas, J.S, Egana, R.A., 2008, “ Study Of The Effect Of

Temperature On The Hardness, Grain Size, And Yield In Electrodeposition Of Chromium

On 1045 Steel “, Journal Of The Chilean Chemical Society, Vol 53, N.1. pp

Huang, C.A, Tu, G.C., Liao,M.C., Kao, Y.L., 2000, “Hard Chromium Plating On Cold Swaged Cr-

Mo Steel Using Rotating Cylinder Electrode” Journal Of Materials Science Letters 19,

1357 – 1359.

Hutchings, I.M., 1992,”Tribology Friction and Wear of Engineering Materials”, London, Arnold.

Jones, D.A., 1991, “Principlels and prevention of Corrosion”, Mc Millan Publishing Company,

New York.

Merlo, A.M., 2003, “The Contribution Of Surface Engineering To The Product Performance In

The Automotive Industry”, Journal surface and Coatings Technology, Elsevier, 174-175, pp

21-26.

Sukrawan,Y., 2001, “Variasi Rapat Arus Dalam Proses Pelapisan Khromium Keras Pada Cincin

Torak”, Torsi, Volume 1, No 2, 24 – 36.

Suarsana, K .I., 2008,”Pengaruh Waktu Pelapisan Nikel Pada Tembaga Dalam Pelapisan Khrom

Dekoratif Terhadap Tingkat Kecerahan Dan Ketebalan Lapisan”, Jurnal Ilmiah Teknik

Mesin Cakram, Volume 2, No.1.

Page 197: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.23

ANALISA SERBUK TEMBAGA HASIL PROSES ELECTROREFINING

DENGAN VARIASI TEGANGAN DAN WAKTU PENGENDAPAN DEPOSIT

TERHADAP BENTUK SERBUK DAN KOMPOSISI KIMIA

Riles M.Wattimena

Jurusan Teknik mesin, Politeknik Negeri Semarang

Jln. Prof. Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50061

E-mail: [email protected]

Abstrak

Teknologi manufaktur masa depan mengunakan printer 3 dimensi (3 D) dengan Proses Sinter

Deposisi Multi Material (MMD-Is) merupakan proses alternatif yang berpotensi sangat baik

,fungsi tinta diganti beragam serbuk logam seperti tembaga. Proses pembuatan serbuk logam

dapat dilakukan proses deposisi elektrolisis.Ukuran distribusi ukuran serbuk optimum yang

digunakan ukuran 52 – 74 µm (mesh 200) sampai dengan 46 - 63 πm (230 mesh). Makalah

ini akan membahas pembuatan tentang serbuk tembaga, dengan pertimbangan di atas, metode

yang paling tepat yaitu proses elektrolisis dengan metode elektrorefining, karena metode ini

dapat menghasilkan bentuk serbuk butiran halus dengan spesifikasi serbuk berdiameter 40 µm

atau ukuran mesh berkisar 325 mesh ~ 400 mesh, serta mempunyai kemurnian yang tinggi,

99,97 % ~ 99,99 % tembaga. Tahapan pengujian serbuk dengan variasi, tegangan elektrolit

1,1, 1,25, 1,5 1,75 dan 2 (volt), interval waktu pengendapan 20, 23, 25, 29 dan 32

(menit),variasi tetap temperatur 50 oC, jarak anoda katoda 30 (mm), konsentrasi larutan

elektrrolit Cu 25 (gr/liter) dan larutan elektrrolit H2SO4 120 gr/liter), dianalisa distribusi

ukuran serbuk dengan (sieve analysis) Hasilnya menununjukan bahwa distribusi ukuran

serbuk 200 mesh (64 - 75 πm) 15 %, 230 mesh ( 46 - 63 πm) 20 % dan 325 mesh ( < 45 πm) 47

%.

Kata kunci: proses elektrolisis, metode elektrorefining , serbuk tembaga.

1. PENDAHULUAN

Serbuk tembaga merupakan salah satu bahan logam yang digunakan untuk membuat

komponen otomotif, elektronika dan juga sebagai bahan untuk produk cat yang bersifat konduktip.

Dalam industri otomotif dan elektronika, pembuatan komponen dari serbuk tembaga dilakukan

dengan teknologi metalurgi serbuk, dimana proses metalurgi serbuk terdiri dari tahapan – tahapan

mixing, compacting dan sintering (Subagja dkk, 1996).

Pembuatan serbuk ini menggunakan proses deposisi elektrolisis dengan metode

elektrorefinig, karena metode ini menghasilkan partikel serbuk hingga 40 µm serta dapat mencapai

kemurnian 99,97 % - 99,99 % tembaga murni (Popov dkk, 2002). Proses pembuatan serbuk

tembaga menggunakan elektroda lempengan tembaga sebagai anoda dan plat (stainless steel) 316L

sebagai katoda, keduanya ditempatkan dalam tangki yang berisi elektrolit. Katoda berfungsi untuk

proses pengambilan serbuk dilakukan dengan mengangkat katoda kemudian serbuk tembaga

diserut untuk dikeringkan.

Metode electrorefining (pemurnian elektrik) digunakan untuk memurnikannya lebih lanjut.

Misalnya logam tembaga mentah, dicetak menjadi lempeng, yang digunakan sebagai anoda dalam

sel elektrolisis yang mengandung larutan CuSO4 dan H2SO4.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Deposisi Elektrolisis Cara ini banyak digunakan secara luas dalam pembuatan serbuk tembaga, berilium, besi,

serta nikel. Kesesuaian antara material kimia dengan kondisi fisik selama elektrodeposisi

memungkinkan untuk melonggarkan endapan yang menempel pada katoda, sehingga mudah untuk

diserut menjadi serbuk. Metoda ini pula dapat menghasilkan serbuk logam dengan kemurnian

tinggi sehingga sangat baik untuk pengolahan metalurgi serbuk. Tetapi untuk pembuatan serbuk

besi contohnya, akan jauh lebih mahal operasinya bila dibanding dengan proses atomisasi, akan

tetapi untuk pembuatan serbuk tembaga cukup kompetitif.

Page 198: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.5. Analisa serbuk tembaga hasil proses electrorefining … (Riles M. Wattimena)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.24

Gambar 2.1. Skematik Proses Elektrolisis Pembuatan Serbuk Logam

(diadopsi dari Popov dkk, 2002).

Pada Gambar 2.1. menunjukkan skema dari proses elektrolisis untuk pembuatan serbuk.

Berbeda dengan serbuk tembaga, elektrolisis besi tidak disimpan berupa serbuk, tetapi sebagai

lembaran endapan pada stainless steel yang berupa katoda.

2.2. Metode Electrorefining

Logam seperti tembaga, perak, nikel, dan timah yang telah diproduksi dengan metode

pirometalurgi terlalu kurang murni untuk bisa digunakan dalam berbagai keperluan, maka metode

electrorefining ( pemurnian elektrik ) digunakan untuk memurnikannya lebih lanjut. Misalnya

logam tembaga mentah, dicetak menjadi lempeng, yang digunakan sebagai anoda dalam sel

elektrolisis yang mengandung larutan Cu SO4 dalam H2SO4 beraiar. Lembaran tipis tembaga murni

digunakan sebagai katoda, dan tembaga yang larut pada anoda diendapkan dalam bentuk yang lebih

murni pada katoda, sampai mempunyai kemurnian 99,97 % tembaga. Skema Teknologi

Electrorefining Tembaga diperlihatkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Skema Teknologi Electrorefining Tembaga

(diadopsi dari Popov dkk, 2002).

Page 199: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.25

Reaksi utama yang terjadi pada elektroda, yang menentukan potensi antara anoda dan katoda

selama proses electrorefining tembaga adalah sebagai berikut :

Pada Anoda : Cu → Cu2e

+ 2e-

Pada Katoda : Cu2e

+ 2e-

→ Cu ( serbuk )

Gambar 2.3. Alat pembuatan serbuk dengan proses elektrolisis metode electrorefining.

Gambar 2.3. Alat Uji (Riles dkk, 2011)

2.3. Karakteristik Serbuk Bentuk partikel mempengaruhi pengemasan serbuk logam, aliran serbuk logam dalam bentuk

bulk serta kompresibilitasnya. Bentuk ini dipengaruhi oleh teknik pembuatan serbuk logam.

Gambar 2.4 menunjukan beragam bentuk partikel serbuk logam, sesuai dengan ISO standard 3252,

pada dasarnya terdiri dari bentuk irregular, irregular rod – like, angular , acicular ( needle – like ),

dan dendritic, flake, rounded, porous.

Gambar 2.4. Bentuk - bentuk partikel serbuk (diadopsi Popov dkk, 2002)

2.3.1.Ukuran Partikel Ukuran partikel mempengaruhi salah satu karakteristik penting dalam metalurgi serbuk. Ada

dua cara penentuan ukuran partikel, yaitu dengan possible size measure dan equivalent sphere

diameter. Possible size measure dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Possible Size Measure (diadopsi dari German, 1994)

Page 200: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.5. Analisa serbuk tembaga hasil proses electrorefining … (Riles M. Wattimena)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.26

2.3.2.Distribusi Ukuran Partikel

Metode yang umum dan dapat digunakan dengan cepat untuk menentukan ukuran partikel

serbuk secara kolektif adalah menggunakan peralatan uji ayakan ( sieve analysis mesh).

3. METODOLOGI PENELITIAN

Variabel tetap konsentrasi elektrolit Cu 25 ( g / L ), konsentrasi elektrolit H2SO4 120 (g /L) ,

Temperatur elektrolit 50 (°C) dan jarak katoda anoda 30 (mm), data di variasi :

a. Tegangan elektrolit (Volt) : 1, 1.25, 1.5, 1.75, 2

b. Interval waktu pengendapan (min) : 20, 23, 26, 29, 32 Bahan penelitian hasil Serbuk tembaga kering dari penelitian Serbuk tembaga yang diteliti

hasil dari penelitian sebelumnya dengan prototipe peralatan, Gambar 2.3.

3.1. Pengamatan Bentuk Partikel Mikrografi adalah gambar hasil pengamatan mikroskop optik yaitu instrumen optik yang

terdiri dari suatu lensa atau lebih yang menghasilkan gambar dengan pembesaran puluhan atau

ratusan kali.

Pengamatan bentuk dan diameter ekivalen dilakukan setelah proses pengayaan distribusi

ukuran serbuk dipilih ukuran serbuk 200 mesh (64 - 75 πm), 230 mesh ( 46 - 63 πm), partikel

serbuk di ambil secara acak untuk pengamatan diameter ekivalen dengan mikroskop optik setiap

sampel uji 8 partikel yang di foto, di hitung diameter ekivalen setelah itu di ambil diameter rata-

ratanya diperlihatkan Gambar 2.5, dengan rumus DA = (4A / π) ½

dimana luas proyeksi, A = H x W

(H: tinggi/panjang proyeksi, W: lebar proyeksi).

Mikroskop optik

Untuk menganalisa Struktur Mikro menggunakan alat Metallurgical Microscop With Inverted

(Olympus PME 3), dengan perbesaran 50 x sampai 500 x skala foto satu strip 10 µm. Pada

Laboratorium Bahan Program Diploma Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. Urutan

proses pengujian pengamatan partikel nomor 1 sampai 4 seperti Gambar 3.1 dibawah ini

1. Letakan serbuk diatas double tape 2. Serbuk siap uji pada kaca

3. Foto serbuk perbesaran 50 x 4. Beri nama file serbuk yang

skala ukur foto 1 strip 10 µm difoto

Gambar 3.1.Urutan proses pengujian pengamatan partikel

3.2. Pengujian Komposisi Kimia

Pengujian komposisi kimia mengunakan Atomic Absorption Spectrometer 3110 PERKIN

ELMER, pada Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Diponegoro. Setiap unsur mempunyai struktur elektronik yang khas, maka panjang gelombang

Page 201: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.27

yang diemisikan pun merupakan sifat khas dari suatu unsur.Yang diukur adalah intensitas sinar

yang diserap maka disebut sebagai spektrofotometri serapan atom.

Gambar 3.2 Alat uji spektrofotometri serapan atom.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan Bentuk Partikel Serbuk

Dari hasil pengujian pengamatan bentuk patikel menggunakan menggunakan alat

Metallurgical Microscop With Inverted (Olympus PME 3), dengan perbesaran 50 x dihitung

diameter ekivalen (µm). Sebagai pembanding bentuk partikel serbuk tembaga hasil proses

electrorefining umumnya dendritic (ASM Hand book, 1998 & German ,1994) seperti diperlihatkan

Gambar 4.1 dan serbuk tembaga hasil proses electrorefining di BPPT Serpong diperlihatkan

Gambar 4.2 berbentuk irregular dengan distribusi ukuran serbuk rata-rata 94 µm. Hasil serbuk

tembaga dengan prototipe peralatan terlampir seperti diperlihatkan Gambar 4.3 lebih banyak

berbentuk irregular dan sebagian dendritic. Ukuran partikel yang dihasilkan besar (kasar) dengan

peningkatan suhu elektrolit diatas 60 °C (ASM Handbook, 1998).

(a) (b)

Gambar 4.1 Serbuk tembaga electrorefining (a) ASM Handbook, 1998 &

(b) German ,1994

Gambar 4.2 Serbuk tembaga electrorefining BPPT Serpong

(a)

(b)

Gambar 4.3 Bentuk partikel tembaga. a) E 1.75 volt, t 26 menit, 24.7 % 200 mesh

b) E 2 volt, t 26 menit, 27.6 % 230 mesh.

10 µm

10 µm

10 µm

85 X

Page 202: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.5. Analisa serbuk tembaga hasil proses electrorefining … (Riles M. Wattimena)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.28

4.2. Hasil Uji Komposisi Kimia

Hasil pengujian komposisi kimia dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer

(spektrofotometri serapan atom) di laboratorium kimia analisis Mipa Kimia Undip, bahan uji

distribusi ukuran serbuk 200 Mesh, 230 Mesh sebagai pembanding menggunakan serbuk hasil

produksi dari BPPT Serpong dan serbuk tembaga dari plat tembaga batangan anoda, diperlihatkan

pada Tabel 4.6.Satuan komposisi kimia dipakai ppm (part per million mg/l) untuk menjadi % di

bagi dengan 10.000 (http://www.rapidtables.com/convert/number/PPM_to_Percent.htm).

Dari hasil uji didapat kwalitas kemurnian Cu 200 Mesh 76.83%, 230 Mesh 87.05%, sebagai

pembanding serbuk BPPT Serpong 83.75% dan Cu batangan anoda 96.38%, unsur yang

mempengaruhi kemurnian Cu adalah Fe karena prosentase yang besar hal ini disebabkan pada saat

pengambilan serbuk yang terdeposisi dengan cara diserut permukaan plat stainless steel 304

sebagai katoda ikut tergerus sehingga tercampur dengan serbuk basah hasil proses electrorefining.

Karena kemampuan alat uji Atomic Absorption Spectrometer 3110 PERKIN ELMER

(spektrofotometri serapan atom), hanya komposisi unsur seperti diperlihatkan Tabel 4.1 yang dapat

terukur alat uji selain unsur-unsur tersebut tidak bisa terukur, sehingga jumlah persentasi unsur

kimia kurang dari 100%.

Tabel 4.1 Komposisi kimia serbuk tembaga.

Mesh %

Berat

Komposisi Kimia

Pb

(ppm)

Cd

(ppm)

Zn

(ppm)

Mn

(ppm)

Co

(ppm) Ni (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) %

200 (64 -

75 µm)

24,8 0 0 0.8000 1.0200 0 4.9100 23.0700 768292.6829 76.83

230 (46- 63

µm)

27,6 0 0 3.0800 0.5000 0 4.5100 19.9400 870454.5455 87.05

Serbuk

BPPT

- 0 0.0700 2.3600 0 0 4.3200 12.5600 837500.0000 83.75

Tembaga

Anoda - 0 0.0700 2.3600 0 0 4.0600 117.0000 963750.0000 96.38

5. KESIMPULAN

Sebagai pembanding bentuk partikel serbuk tembaga hasil proses electrorefining umumnya

dendritic (ASM Handbook, 1998 & German ,1994) seperti diperlihatkan Gambar 4.1 dan serbuk

tembaga hasil proses electrorefining di BPPT Serpong diperlihatkan Gambar 4.2 berbentuk

irregular. Hasil serbuk tembaga dengan prototipe peralatan terlampir seperti diperlihatkan Gambar

4.3 lebih banyak berbentuk irregular dan sebagian dendritic.

Dari data komposisi kimia serbuk import kemurnian serbuk Cu 99,7%, serbuk hasil uji

diperlihatkan Tabel 4.1 dari hasil uji didapat kwalitas kemurnian Cu 200 Mesh 76.83%, 230 Mesh

87.05%, kemurnian serbuk Cu dipengaruhi proses produksi pada saat penyerutan dari katoda

unsur Fe ikut tergerus.

6. DAFTAR PUSTAKA

ASM Handbook, ( 1998 ), “ Powder Metal Technologies and Applications “, Volume 7, ASM

International, Ohio, USA.

German, M.R. ( 1994 ),”Powder Metallurgy Science”, Metal Powder Industries Federation, New

Jersey.

Popov, K.I., Djokic, S.S., and Grgur, B.N. ( 2002 ),”Fundamental Aspect of Electrometallurgy”,

Kluwer Academic Publishers, New York.

Riles M.W. (2011), ‘Analisa Serbuk Tembaga Hasil Proses Electrorefining” Tesis Magister

Teknik Mesin Universitas Diponegoro.

Subagja, R., Binudi, R., Arief, A., Sudaryat, Undang, A.H. ( 1996 ), “Percobaan Pembuatan

Serbuk Tembaga Dalam Skala Pilot Plant”, Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu

Pengetahuan Teknik, Bandung.

Widyanto, S.A, (2008),”Proses Sinter-Deposisi Multi Material (MMD-Is) Pengembangan proses

rapid prototyping untuk pembuatan produk multi material,” Semarang.

Wayne Amstrong, (1999),”The Isa Prosess and Its Contribution to Electrolytic Copper”,

Presented at the Rautomead Coference,Scotland.

Page 203: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.29

KARAKTERISTIK AISI 304 SEBAGAI MATERIAL FRICTION WELDING

Moh Fawaid1, Rifky Ismail

2, Jamari

3, Sri Nugroho

4

1 Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro

Email: [email protected] 2 Teknik Mesin Universitas Diponegoro

Email: [email protected] 3 Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro

Email: [email protected] 4 Teknik Mesin Universitas Universitas Diponegoro

Email:[email protected]

Abstrak

Stainless steel tipe austenitic dipilih sebagai material untuk sebuah produk karena sifat tahan

korosi, non magnetic dan weldability yang baik. Beberapa peneliti menggunakan AISI 304

sebagai material riset yang disambung dengan material lain seperti alumunium dan copper

dengan metode friction welding. Pengelasan gesek menggunakan parameter seperti friction

time, friction pressure, upset time, upset pressure dan putaran spindle. Untuk memudahkan

analisa struktur mikro, Sathiya membagi spesimen menjadi 3 region, sedangkan Ozdemir

membagi zona menjadi fully plastic deformed zone (FPDZ), partial deformed zone (PDZ) dan

deformed zone (DZ). Nilai kekerasan daerah sekitar sambungan AISI 304 menurut Paventhan

adalah 490HV, Mumin Sahin nilai Hardness 225-250HV. Nilai kekerasan AISI 304-AISI 202

yang disambung dengan friction time 30 dan 40 detik mempunya nilai kekerasan pada AISI

304 kekerasan HAZ sebesar 686 HV dan 567 HV. Nilai kekerasan yang berbeda

didipengaruhi oleh friction time serta prosentase Cr didalam komposisi kimia material

Kata kunci: friction welding, austenitic, hardness

PENDAHULUAN

Stainless steel merupakan baja paduan yang mengandung sekitar 12% Cr yang

menunjukkan ketahanan korosi karena pembentukan lapisan film kromium oksida (Cr2O3).

Stainless steel tahan terhadap korosi dan oksidasi karena adanya unsur yang ditambahkan pada

paduan besi carbon seperti nikel, mangan, molybdenum, nitrogen dan elemen lain yang sangat

mempengaruhi properties material. Menurut kandungan prosentase Cr-Ni stainless steel dibagi

menjadi austenitic, martensitic, ferritic dan duplex. (W Martin, 2006).

AISI 304 merupakan jenis austenitic stainless steel yang mempunyai sifat non magnetic,

dapat dikeraskan dengan cold working tetapi tidak bisa dikeraskan dengan heat treatment. Pada

kondisi aneal stainless steel mempunyai sifat formability. Tipe 304 stainless steel paling banyak

digunakan dengan 18% Cr dan 8% Ni (Iron and Steel Society, 1999). Penggunaan AISI 304 di

industri antara lain: kimia, petrochemical, pengolahan makanan & minuman, farmasi, kriyogenik,

dan heat exchangers

Tabel 1. Komposisi kimia AISI 304 (Iron and Steel Society, 1999).

Element C Mn Si Cr Ni P S

Weight% 0.08 2.00 1.00 18.0-20.0 8.0-10.5 0.045 0.03

Komposisi kimia suatu material berpengaruh terhadap sifat mekaniknya misalnya karbon

(C) merupakan pembentuk struktur austenite yang kuat, oleh karena itu karbon secara substansi

dapat meningkatkan kekuatan mekanik. Karbon mengurangi ketahanan terhadap korosi

intergranular. Pada ferritic stainless steels karbon berpengaruh kuat mengurangi toughness dan

ketahanan korosi. Karbon pada martensitic dan martensitic-austenitic meningkatkan kekerasan

dan kekuatan. namun secara umum jika kekerasan dan kekuatan meningkat maka toughnessnya

akan turun.

Mangan (Mn) digunakan untuk peningkatan sifat ductility. Pada suhu rendah mangan

merupakan austenite stabiliser tetapi pada suhu tinggi berubah menjadi penstabil ferrite. Mangan

Page 204: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.6. Karakteristik aISI 304 sebagai material friction welding … (Moh Fawaid, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.30

menaikkan kelarutan nitrogen dan digunakan untuk memperoleh kandungan nitrogen yang tinggi

di dalam austenitic steels. Silicon (Si) berfungsi menaikkan resistance to oxidation, pada suhu

tinggi dan rendah.

Krom (Cr) unsur yang sangat penting bagi stainless steels. Sifat corrosion resistance

dipengaruhi oleh besarnya atau prosentase (Cr) krom content. Krom tahan terhadap oksidadi suhu

tinggi. Penambahan unsur Nickel (Ni) adalah untuk menaikkkan ductility and toughness. Nickel

mampu mereduksi laju korosi sehingga bermanfaat pada lingkungan yang asam. Pada

precipitation hardening nickel digunakan pembentukan intermetallic compounds yang berguna

untuk meningkatkan kekuatan. Sulphur (S) Penambahan belerang (Sulphur) untuk meningkatkan

sifat machinability. Pada kadar tertentu sulphur bisa berfungsi juga corrosion resistance, ductility

serta mampu las

Tabel 2. Komposisi kimia AISI 304 yang digunakan peneliti

Element C Mn Si Cr Ni P S Peneliti

Weight% <0.07 <2.0 <1.0 17-19 8.5-10.5 <0.045 <0.03 Sahin

Weight% 0.0468 1.313 0.3446 17.87 8.289 0.0182 - Sathiya

Weight% 0.06 1.38 0.32 18.4 8.17 - - Arivazhagan

Weight% 0.04 1.15 0.006 17.9 9.5 - - Maldonado

Weight% 0.09 1.42 0.29 14.08 8.413 - - Paventhan

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan AISI 304 mengandung 8-11% nickel and 14–19%

chromium. Keberadaan unsur pospor (P) dan sulphur (S) relatif kecil. Kadar karbon didalam AISI

304 berada pada 0.04-0.09% Carbon (C).

Pengelasan merupakan penyambungan dua material dengan atau tanpa bahan tambah

(filler) (Wiryosumarto, Harsono 2000). Metode pengelasan yang tidak menggunakan bahan tambah

salah satunya adalah pengelasan gesek (friction welding). Pengelasan gesek memanfaatkan

tekanan yang dihasilkan oleh silinder hidrolik. Benda kerja yang satu dipasang pada chuck yang

berputar sedangkan yang lain diam dan diberikan tekanan awal, pada saat dua buah benda

berdekatan dan terjadi gesekan maka akan muncul panas disekitar permukaan kontak.

Eksperimen ini menyambungkan AISI 202 – AISI 304 dengan friction welding sebagai

material yang akan digunakan untuk shaft pompa sentrifugal untuk nelayan.

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan untuk pengelasan gesek yaitu dengan eksperimen yang

menggunakan parameter pengelasan seperti friction time, friction pressure, upset time dan upset

pressure. Variasi kecepatan putar spindle juga digunakan untuk memperoleh nilai tensile strength.

Untuk memudahkan penelitian seperti Ozdemir membagi zona pengelasan menjadi tiga

bagian fully plastic deformed zone (Zpl) disekitar garis pengelasan, partial deformed zone (Zpd)

dan unaffected parent material. (N. Ozdemir, 2005). Sathiya membagi daerah pengelasan menjadi

zona rekristalisasi (region1), zona yang berdekatan dengan sisi pengelasan (region 2). Pada zona 2

sebagian batas butir terdeformasi serta undeformed base material microstructure (region 3) (

Sathiya dkk,2004).

Hasil pengelasan gesek yang optimal memperhatikan parameter pengelasan gesek seperti

yang dilakukan oleh peneliti yang menggunakan material AISI 304 sebagai bahan pengujian

pada tabel 3 berikut ini:

Tabel 3 Parameter pengelasan gesek

No Parameter Las Mumin Sathiya Arivazhagan Paventhan

1 Friction Pressure

(MPa)

20, 45,60 1.5-2.5 37.5 kN/m2 90

2 Friction Time (s) 3, 9,11 3-10 2

3 Upset Pressure (MPa) 3.5-4.5 50 kN/m2 90

4 Upset Time (s) 3-7 2

5 Rotating Spindle

(rpm)

1500 1500

6 Burn Off Length (mm) 5,7,9,12

Page 205: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.31

Parameter yang digunakan oleh Fawaid dkk adalah sebagai berikut :

Tabel 4 parameter pengelasan gesek ( Fawaid dkk , 2011)

Parameter pengelasan Besar/Satuan

Friction pressure (kg) 1,5 kg

Forging pressure (kg) 5 kg

Friction time (s) 30 dan 40 detik

Forging time (s) 20 detik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi pengelasan gesek AISI 304 dengan hasil optimum seperti dilakukan Sahin (Sahin,

2006) friction pressure (60 MPa), friction time (9s), upset pressure (110MPa), upset time (20s) dan

rotational speed (1440rpm) dihasilkan tensile strength 795.8 MPa.

Hubungan antara tensile strength dengan friction pressure dengan friction time

disampaikan (Sahin , 2004). friction pressure (60 MPa), upset pressure (110 MPa) dan upset time

(20s) nilai tensile strength 825 MPa, sedangkan untuk friction time (9s), upset pressure ( 110 MPa)

dan upset time (20s) tensile strength 825 MPa.

Sathiya melakukan eksperimen dengan variasi waktu gesek yang dihubungkan dengan

nilai tensile strength , variasi waktu yang digunakan yaitu 3, 5 , 6, 7, 8, 9,dan 10 detik. Nilai

tensile strength optimum yang didapatkan dari besarnya waktu gesek yaitu 3 detik dengan nilai

tensile strength 596, 7 MPa.

Pengujian AISI 304 dan AISI 202 yang dilakukan (Fawaid dkk. 2012) menunjukkan angka

kekerasan sebesar 423 HV untuk friction time 30 detik dan 294 HV friction time 40 detik. Tingkat

kekerasan pada HAZ sebesar 403 HV dan 368 HV untuk AISI 202. Sedangkan pada AISI 304

kekerasan HAZ sebesar 686 HV dan 567 HV.

Pengujian kekerasan AISI 304 nilai kekerasan AISI 304 menurut Sahin adalah seperti

gambar berikut :

Gambar 1 pengujian kekerasan AISI 304- Copper dan AISI 304 – Alumunium (Sahin, 2010)

Nilai kekerasan AISI 304 pada daerah disekitar sambungan berkisar antara 225-250 HV,

menurut sathiya nilai kekerasan AISI 304 pada daerah bond line sekitar 260 HV dan pada daerah

HAZ (Heat Affected Zone) adalah 200- 250 HV.

Page 206: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.6. Karakteristik aISI 304 sebagai material friction welding … (Moh Fawaid, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.32

Gambar 2 pengujian kekerasan AISI 304 (Sathiya dkk, 2004)

Penggunaan parameter pengelasan friction pressure paling kecil adalah Sathiya yaitu

antara 15-25 Bar atau 1,5-2.5 MPa . Uji kekerasan yang dilakukan menghasilkan nilai kekerasan

pada region I sebesar 260 HV untuk friction time 8 detik. Maldonado dalam exeperimen uji

kekerasan juga menyatakan nilai uji kekerasan daerah sekitar HAZ 200 - 240 HV.

Gambar 2 pengujian kekerasan AISI 304 (Maldonado, 2007)

Gambar 3 pengujian kekerasan AISI 304 (Paventhan, 2011)

Pengujian kekerasan AISI 304 yang nilainya berbeda dibandingkan dengan nilai kekerasan

pengujian peneliti lain adalah pengujian kekerasan Paventhan yaitu 500 HV dan minimal 220 HV

Page 207: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.33

dengan parameter pengelasan rotational speed 1500 rpm, friction pressure 90 MPa, forging

pressure 90 MPa, friction time 2 detik, forging time 2 detik.

KESIMPULAN

Pengelasan gesek dapat digunakan untuk material yang sejenis maupun yang berbeda

seperti stainless steel dengan baja karbon atau alumunium. Penentuan parameter pengelasan

mengikuti parameter dasar pengelasan gesek yaitu friction pressure, friction time, upset pressure

dan upset time. Pembagian zona pengelasan menjadi 3 bagian fully plastic deformed zone

(FPDZ), partial deformed zone (PDZ) dan deformed zone (DZ) bertujuan untuk memudahkan

analisa hasil eksperimen. Biasanya para peneliti menggunakan daerah- daerah tersebut untuk

melihat perubahan struktur mikro hasil pengelasan.

Nilai uji kekerasan dipengaruhi oleh parameter pengelasan gesek. Peneliti yang

mengunakan parameter pengelasan (friction pressure ) paling kecil adalah Sathiya. Nilai uji

kekerasan pada posisi bond line paling besar sebesar 500 HV adalah hasil penelitian paventhan

dengan friction pressure sebesar 90 MPa. Komposisi kimia material AISI 304 Paventhan

menyebutkan prosentase unsure Cr adalah 14% lebih rendah dibandingkan yang lain berkisar 17-

18% . Pembagian zona pengelasan berguna untuk memudahkan untuk mengetahui perubahan-

perubahan struktur mikro hasil lasan.

DAFTAR PUSTAKA

C. Maldonado, (2002), Softened zone formation and joint strength properties in dissimilar friction

welds, Journal Of Materials Science 37 (2002) 2087 – 2095

Fawaid M, Jamari, Rifky (2012), Pengujian kekerasan sambungan AISI 202- AISI 304 friction

welding, Prosiding Seminar Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Iron and Steel Society, (1999), Steel Products Manual Stainless Steel

J.W Martin , (2006), Materials for engineering , 3rd

,Woodhead Publishing Limited, Cambridge

England

Mumin Sahin, (2010), Friction Welding Of Different Materials, International Scientific

Conference

Mumin Sahin, (2006), Evaluation of the joint-interface properties of austenitic-stainless steels

(AISI 304) joined by friction welding, Materials and Design 28 (2007) 2244–2250

Mumin, (2009), Characterization of properties in plastically deformed austenitic-stainless steels

joined by friction welding , Materials and Design 30 (2009) 135–144

N. Ozdemir, (2005), Investigation of the mechanical properties of friction-welded joints between

AISI 304L and AISI 4340 steel as a function rotational speed, Materials Letters 59 (2005)

2504 – 2509

N.Arivazhagan , Surendra Singh Satya Prakash , G.M. Reddy ,(2011), Investigation on AISI 304

austenitic stainless steel to AISI 4140 low alloy steel dissimilar joints by gas tungsten arc,

electron beam and friction welding, Materials and Design 32 (2011) 3036–3050

P. Sathiya, S. Aravindan and A. Noorul Haq, (2004), Friction Welding Of Austenitic Stainless Stee

and Optimization Of Weld Quality, International Symposium of Research Students on

Materials Science and Engineering

Paventhan, (2011), Fatigue behaviour of friction welded medium carbon steel and austenitic

stainless steel dissimilar joints, Materials and Design 32 (2011) 1888–1894

Wiryosumarto, Harsono (2000), Teknologi Pengelasan Logam, Pradnya Paramita, Jakarta

Page 208: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.7. Pengaruh parameter las dan ketebalan pelat pada pengelasan … (Sisworo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.34

PENGARUH PARAMETER LAS DAN KETEBALAN PELAT PADA PENGELASAN

TITIK BAJA KARBON RENDAH TERHADAP KEKUATAN GESER

Sisworo*1)

, Bayuseno2)

, Sri Nugroho2)

1)Jurusan Teknik Mesin POLINES

Jl. Prof. Sudarto, SH – Tembalang, SEMARANG 50275 2)

Jurusan Teknik Mesin UNDIP

Jl. Prof. Sudarto, SH – Tembalang, SEMARANG 50275 *)

E-mail : [email protected]

Abstrak

Produk industri karoseri mobil, box dan bak angkut motor roda tiga kebanyakan menggunakan

pelat baja karbon rendah. Perakitan komponen ini menggunakan las titik dengan parameter –

parameter yang mempengaruhi kualitas pengelasan dianataranya : arus, waktu, gaya

penekanan dan tebal pelat. Penelitian ini bertujuan mengetahui kombinasi variabel lasan

terbaik terhadap kekuatan geser. Dalam melakukan eksperimen menggunakan desain Taguchi

dengan 4 faktor sebagai variable bebas yaitu : waktu las (WT), arus las (WC), gaya penekanan

(WF), tebal pelat (ST) dan 3 level untuk setiap factor sebagai variable terikat yaitu : level 1

terdiri dari 9 cycles; 7,8 kA; 1,8 kN; 0,9 mm, level 2 terdiri dari 10 cycles; 8,8 kA; 2,2 kN; 1

mm, level 3 terdiri dari 11 cycles; 9,8 kA; 2,6 kN; 1,1 mm, sehingga dipilih matriks orthogonal

L9(34). Hasil pengujian tarik geser memperlihatkan bahwa untuk pengelasan pelat 0,9 mm

dengan arus 9,8 kA, waktu 11 cycles, gaya penekanan 2,2 kN dicapai kekuatan geser terbesar

348 N/mm2 dan untuk pelat 1 mm dengan arus 9,8 kA, waktu 10 cycles, gaya penekanan 1,8 kN

dicapai kekuatan geser terbesar 349 N/mm2 serta untuk 1,1 mm dengan arus 9,8 kA, waktu 9

cycles, gaya penekanan 2,6 kN dicapai kekuatan geser terbesar 351 N/mm2. Kondisi patahan

geser terbesar ketiganya terjadi pada daerah pengaruh panas HAZ menjalar ke pelat induk,

hal ini akibat pengaruh peningkatan arus las sedangkan pemakaian arus dibawah 9,8 kA yaitu

8,8 kA kondisi patahan geser pada HAZ dan 7,8 kA kondisi patahan geser pada manik las

(nugget). Ranking pengaruh faktor yang signifikan adalah parameter : 1) arus las, 2) tebal

pelat, 3) gaya penekanan, 4) waktu las dengan prediksi kuat geser pada kondisi optimal 351

N/mm2.

Kata kunci : las titik, Taguchi, kekuatan geser

1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi pengelasan logam khususnya las titik sangat diperlukan pada

industri manufaktur. Penggunaan pelat logam sebagai bahan dasar pembuatan berbagai produk

industri seperti karoseri body mobil, box listrik, box perkantoran dan lain sebagainya. Pada industri

karoseri misalnya, kekuatan dan kerapian sambungan sangat diperlukan untuk memenuhi kualitas

produk. Kelebihan las titik adalah bentuk sambungan rapi, rapat dan proses cepat. Sedangkan

kekurangannya adalah tidak mampu untuk pelat ukuran tebal. Seperti pengelasan titik pada

perakitan komponen mobil ( kerangka, atap dan kabin ), pembuatan box dan pertakitan bak angkut

pada kendaraan motor roda tiga yang sekarang ini banyak diproduksi industri otomotif di dalam

negeri. Jenis kendaraan ini sangat fleksibel karena sebagai alat angkut barang yang bisa beroperasi

pada ruas jalan yang sempit. Bahan pelat yang digunakan adalah jenis baja JIS G 3141 SPCC – SD

merupakan jenis baja karbon rendah dengan kadar karbon 0,051%. Pertimbangan teknis

penggunaan bahan ini adalah bersifat mudah dilas dan mudah dibentuk.

Las titik merupakan salah satu cara pengelasan resistansi listrik, pada pengelasan ini ada

tiga faktor yang perlu diperhatikan yaitu : arus pengelasan dalam amper, tahanan listrik antara

elektroda dalam ohm dan waktu dalam detik. Faktor – faktor tersebut akan berperan pada

pembentukan panas yang dihasilkan. Besar kecilnya arus listrik akan mempengaruhi ukuran

diameter nugget ( manik las ) dan panas yang ditimbulkan. Waktu dan jenis bahan yang bersifat

penghantar listrik ( konduktor ) mempengaruhi intensitas panas yang masuk. Sedangkan ketebalan

pelat mempengaruhi kecepatan rambatan panas yang terjadi baik pada saat pengelasan maupun

sesudah pengelasan ( pendinginan ). Hal ini akan berpengaruh pada pembentukan fassa akhir yang

Page 209: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.35

terbentuk sehingga menentukan kekuatan sambungan las. Pemilihan parameter las titik yang tepat

akan berpengaruh pada perubahan sifat mekanis ( Wiryosumarto, H., Okumura, 1991 ).

1.1 Prinsip dasar

Pada dasarnya pengelasan titik merupakan proses penyambungan lembaran logam tipis.

Dalam pengelasan ini, dua pelat dijepit pada tempat sambungan dengan sepasang elektroda terbuat

dari chrome copper, dimana bahan tersebut mempunyai sifat konduktifitas listrik tinggi dan

tahanan kontak rendah. Arus listrik dialirkan dalam waktu relatif singkat dengan voltase rendah dan

kerapatan arus tinggi. Karena aliran listrik antara kedua elektroda harus melalui dua pelat yang

dijepit, maka pada tempat jepitan timbul panas yang tinggi menyebabkab logam tempat tersebut

mencair dan akhirnya tersambung. Pada proses ini sambungan mengalami tekanan selama proses

pemanasan yang diatur dengan cermat dan berlangsung dengan cepat. Hampir semua jenis logam

dapat di las dengan pengelasan titik, kecuali : timah putih, seng dan timbel agak sulit di las.

Besar arus pengelasan dibatasi oleh kemampuan transformer. Untuk memperoleh

sambungan las yang baik, ketiga variabel; arus, tahanan dan waktu perlu diperhatikan dan

ditentukan dengan cermat. Besaran ini tergantung pada tebal, jenis bahan dan jenis elektroda.

Waktu pengaliran arus sangat menentukan dan perlu ada tenggang waktu antara saat

sambungan las mulai dibentuk. Arus mulai mengalir, ini diatur oleh pengatur waktu dan dibiarkan

beberapa lama sampai las terbentuk. Arus dihentikan namun tekanan tetap ada sampai sambungan

las menjadi dingin, dengan demikian tidak terjadi busur antara elektroda dan sambungan. Tekanan

pada sambungan dapat berasal dari tenaga manusia, tekanan mekanik, udara, pemegasan ataupun

hidrolik. Penekanan harus dikendalikan dan diserasikan dengan arus pengelasan ( Amstead,at. al.,

1979).

2. METODOLOGI

2.1 Bahan penelitian

Pelat baja JIS G 3141 SPCC-SD dengan spesifikasi : kekuatan tarik 347 N/mm2, kekuatan

luluh 234,9 N/mm2, tebal pelat : 0,9 mm, 1,0 mm, 1,1 mm, komposisi kimia : 0,051 %C, 0,021

%Si, 0,216 %Mn, 0,010 %P, 0,011 %S, 0,050 %Al (PT. Essar Indonesia).

2.2 Peralatan dan standar pengelasan titik

Spot welding machines, model ARO 404 dengan spesifikasi ;

- Input power : 35 kVA

- Duty cycle : (16,4 ÷ 23,2) %

- Short circuit : 16.000 A

- Output Standart :14.400 A

- Open circuit : (1,2 ÷ 3,65) V

- Electrode force : 400 da N atau 4000 N

- Water consumption : 340 l/h

- Frequensi : (50 ÷ 63) Hz

Tabel 2.1 Standar pengelasan titik pelat baja lunak (Toyota Astra Motor)

2.3 Prosedur pengelasan

Pengelasan dilakukan pada 9 kondisi lasan atau eksperimen berdasarkan desain percobaan

(metode) Taguchi. Pada metode ini menggunakan 4 buah faktor sebagai variabel bebas yaitu :

waktu pengelasan (WT), arus pengelasan (WC), gaya penekanan (WF), tebal pelat (ST), dan 3 level

Panel

Thickness

(mm)

Optimum conditions Tip Diameter Effetiveness

Welding

Time

(Cycles)

Pressure

(N)

Welding

Current

(A)

d

(mm)

Min

D

(mm)

Shear

strengh

(N)

0.6

0.8

1.0

1.2

1.6

7

8

10

12

16

1.471

1.863

2.206

2.648

3.530

6.600

7.800

8.800

9.800

11.500

4.0

4.5

5.0

5.5

6.3

10

10

13

13

13

2.942

4.315

5,982

7.449

10.395

Page 210: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.7. Pengaruh parameter las dan ketebalan pelat pada pengelasan … (Sisworo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.36

untuk setiap faktor sebagai variabel terikat yaitu level 1 terdiri dari : 9 cycles; 7800 A; 1800 N; 0,9

mm, level 2 terdiri dari : 10 cycle; 8800 N; 2200 N; 1,0 mm, level 3 terdiri dari : 11 cycles; 9800

N; 2600 N; 1,1 mm. Sehingga matriks orthogonal yang dipilih adalah L9(34).

Tabel 2.2 Matriks ortogonal L9(34)

Eksperimen Waktu las

(cycles)

Arus las

(Amper)

Gaya tekan

(N)

Tebal pelat

(mm)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

9

9

9

10

10

10

11

11

11

7800

8800

9800

7800

8800

9800

7800

8800

9800

1800

2200

2600

2200

2600

1800

2600

1800

2200

0,9

1,0

1,1

1,1

0,9

1,0

1,0

1,1

0,9

2.4 Spesimen dan pengujian tarik geser

Spesimen uji tarik geser dibuat dari 2 buah pelat yang sama ukurannya kemudian diberi

satu buah lasan titik dengan cara sambungan tumpang (lap joint). Pembuatan specimen, pengelasan

dan pengujian dilakukan di bengkel produksi dan laboratorium teknik bahan jurusan Teknik Mesin

POLINES dengan standar ANSI/AWS/SAE/D8.9-97.

Gambar 2.1 Spesimen uji tarik geser (Marashi at.al.,2007; Goodarzi at.al., 2008)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengujian tarik geser menunjukkan bahwa patahan geser terjadi pada manik las, HAZ

dan HAZ – menjalar pada pelat dasar. Hal ini terjadi karena pengaruh variasi : arus las, tebal pelat,

gaya penekanan dan waktu las.

Gambar 3.1 Pengujian Tarik Geser Gambar 3.2 Hasil Pengujian Tarik Geser

Page 211: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.37

Tabel 3.1 Hasil pengujian tarik geser pengelasan titik baja JIS G 3141 SPCC-SD,3 replikasi:

Eksp

Diameter nugget

(mm) Diameter HAZ (mm) Gaya geser (N) Tegangan

geser

(N/mm2)

Kondisi

patahan

geser 1 2 3 Rt 1 2 3 Rt 1 2 3 Rt

1

2

3

4

5

6

7

8

9

4,4

4,8

5

5

4,5

4,9

4,7

5

4,5

4,5

4,9

5

5

4,4

5,1

4,8

5

4,5

4,5

4,9

5

5

4,5

5

4,7

5

4,5

4,5

4,9

5

5

4,5

5

4,7

5

4,5

7,5

9

10

7,5

7,5

8,8

7,5

9

9,2

7,5

9

10

7,5

7,5

8,9

7,6

9

9,4

7,5

9

10

7,5

7,5

9

7,4

8,9

9,3

7,5

9

10

7,5

7,5

9

7,5

9

9,3

4300

5500

6850

5400

4600

6850

4600

6000

5600

4250

5600

6900

5500

4500

6900

4800

5800

5500

4300

5700

6900

5400

4750

6800

4700

6050

5500

4283

5600

6883

5433

4617

6850

4700

5950

5533

269

297

351

277

290

349

271

303

348

Manik las

HAZ

HAZ-pelat

Manik las

HAZ

HAZ-pelat

Manik las

HAZ

HAZ-pelat

Tabel 3.2 Matrik orthogonal L9(34) dengan hasil eksperimen :

Eksperimen Tebal Pelat (mm) A B C D Tegangan

Geser (N/mm2)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0,9

1,0

1,1

1,1

0,9

1,0

1,0

1,1

0,9

1

1

1

2

2

2

3

3

3

1

2

3

1

2

3

1

2

3

1

2

3

2

3

1

3

1

2

1

2

3

3

1

2

2

3

1

269

297

351

277

290

349

271

303

348

3.1 Rata – rata total hasil eksperimen adalah :

3.2 Rata – rata respon untuk masing – masing faktor adalah :

3.2.1 Pengaruh faktor A (waktu las) :

Faktor A level 1 yaitu pada eksperimen 1,2,3.

Rata – rata respon faktor A yaitu rata – rata hasil untuk faktor A pada level 1.

Faktor A level 2 yaitu pada eksperimen 4,5,6.

Rata – rata respon faktor A yaitu rata – rata hasil untuk faktor A pada level 2.

Faktor A level 3 yaitu pada eksperimen 7,8,9.

Rata – rata respon faktor A yaitu rata – rata hasil untuk faktor A pada level 3.

3.2.2 Pengaruh faktor B (arus las) :

Faktor B level 1 yaitu pada eksperimen 1,4,7.

Rata – rata respon faktor B yaitu rata – rata hasil untuk faktor B pada level 1.

Faktor B level 2 yaitu pada eksperimen 2,5,8.

Rata – rata respon faktor B yaitu rata – rata hasil untuk faktor B pada level 2.

Faktor B level 3 yaitu pada eksperimen 3,6,9.

Rata – rata respon faktor B yaitu rata – rata hasil untuk faktor B pada level 3.

Page 212: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.7. Pengaruh parameter las dan ketebalan pelat pada pengelasan … (Sisworo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.38

3.2.3 Pengaruh faktor C (gaya tekan) :

Faktor C level 1 yaitu pada eksperimen 1,6,8.

Rata – rata respon faktor C yaitu rata – rata hasil untuk faktor C pada level 1.

Faktor C level 2 yaitu pada eksperimen 2,4,9.

Rata – rata respon faktor C yaitu rata – rata hasil untuk faktor C pada level 2.

Faktor C level 3 yaitu pada eksperimen 3,5,7.

Rata – rata respon faktor C yaitu rata – rata hasil untuk faktor C pada level 3.

3.2.4 Pengaruh faktor D (tebal pelat) :

Faktor D level 1 yaitu pada eksperimen 1,5,9.

Rata – rata respon faktor D yaitu rata – rata hasil untuk faktor D pada level 1.

Faktor D level 2 yaitu pada eksperimen 2,6,7.

Rata – rata respon faktor D yaitu rata – rata hasil untuk faktor D pada level 2.

Faktor D level 3 yaitu pada eksperimen 3,4,8.

Rata – rata respon faktor D yaitu rata – rata hasil untuk faktor D pada level 3.

Tabel 3.3 Respon dari pengaruh factor

Parameter

Level Selisih (maks-min) Ranking

1 2 3

Waktu Las (A)

Arus Las (B)

Gaya Tekan (C)

Tebal Pelat (D)

305,67

272,33

307,00

302,33

305,33

296,67

307,33

305,67

307,33

349,33

304,00

299,67

2,00

77,00

3,33

6,00

4

1

3

2

Gambar 3.3 Grafik respon dari pengaruh faktor

Page 213: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.39

Kondisi optimum adalah A3, B3, C2, D2. Dalam kasus ini dipilih level yang paling tinggi

karena karakteristik kualitas kuat geser mempunyai target semakin besar semakin baik (larget – the

better)

3.3 Prediksi kuat geser pada kondisi optimum.

Yaitu 4 faktor yang paling signifikan : A3, B3, C2 dan D2.

Prediksi kuat geser :

4. KESIMPULAN

Telah dilakukan penelitian eksperimen dengan analisa desain taguchi bahwa variable

parameter lasan terbaik terhadap kuat geser adalah sebagai berikut : untuk pelat 0,9 mm ; arus las

9,8 kA, waktu las 11 cycles, gaya penekanan 2,2 kN dicapai kekuatan geser terbesar 348 N/mm2,

untuk pelat 1 mm ; arus las 9,8 kA, waktu las 10 cycles, gaya penekanan 1,8 kN dicapai kekuatan

geser terbesar 349 N/mm2, untuk pelat 1,1 mm ; arus las 9,8 kA, waktu las 9 cycles, gaya

penekanan 2,6 kN, dicapai kekuatan geser terbesar 351 N/mm2. Kondisi patahan geser ketiganya

terjadi pada daerah HAZ menjalar ke pelat dasar, ini akibat pengaruh peningkatan arus pengelasan,

sedangkan pemakaian arus kurang dari 9,8 kA yaitu 8,8 kA kondisi patahan geser pada daerah

HAZ dan 7,8 kA kondisi patahan geser pada manik las. Ranking pengaruh faktor yang signiftikan

adalah : arus las, ketebalan pelat, gaya penekanan disusul waktu las, dengan prediksi kuat geser

pada kondisi optimal adalah 351 N/mm2.

DAFTAR PUSTAKA

Amstead, B.H., Ostwald, P.F., Begeman, M.L., 1979, Manufacturing Processes, 7th Edition, John

Wiley & Sons, New York, USA.

Aslanlar, S., Ogur, A., Ozsarac, U., Ilhan, E., 2007, Welding Time Effect on Mechanical Properties

of Automotive Sheets in Electrical Resistance Spot Welding, Journal of Materials & Design,

Volume 29, 1427 – 1431.

Goodarzi, M., Marashi, S.P.H., Pouranvari, M., 2009, Dependence of Overload Performance on

Weld Attributes for Resistance Spot Welded Galvanized Low Carbon Steel, Joutnal of

Materials Processing Technology, 209, 4379 – 4384.

Marashi, P., Amirabdollahian, S., Pouranvari, M., Abedi, A., Goodarzi, M., 2008, Microstructure

and Failure Behavior of Dissimilar ResistanceSpot Welds Between Low Carbon

Galvanized and Austenitic Stainless Steels, Journal of Materials Science and Engineering,

A 480, 175 – 180.

Masoumi, M., Marashi, S.P.H., Pouranvari, M., Sabbaghzadeh, J., Torkamany, M.J., 2009,

Assesment of The Effect of Laser Spot Welding Parameters on The Joint Quality Using

Tagucghi Method, Journal of Metal, 1 – 8.

Pouranvari, M., Marashi, P., 2009, Failure Behavior of Resistance Spot Welded Low Carbon Steel

in Tensile – Shear and Coach – Peel Tests : A Comparative Study, Journal Association of

Metallurgical Engineers of Serbia, Vol 15(3), 149 – 157.

Suyanto, 2009, Desain Eksperimen dengan Metode Taguchi, Edisi 1, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Wiryosumarto, H., Okumura, T., 1991, Teknologi Pengelesan Logam, Cetakan 5, Pradnya

Paramita, Jakarta

Zhou, M., Hu, S.J., Zhang, H., 1999, Critical Specimen Sizes for Tensile – Shear Testing of Steel

Sheers, The Welding Journal Research Suplement, 305 – 313.

Page 214: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.8. Kajian komprehensif struktur mikro dan kekerasan … (Wijoyo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.40

KAJIAN KOMPREHENSIF STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN

TERHADAP PADUAN Al-7,1Si-1,5Cu HASIL PENGECORAN

DENGAN METODE EVAPORATIVE

Wijoyo*1)

, Achmad Nurhidayat1)

dan Osep Teja Sulammunajat2)

1)

Teknik Mesin, Universitas Surakarta, Jl. Raya Palur Km. 5 Surakarta 57772 2)

Politeknik Manufaktur Ceper, Batur, Tegalrejo, Ceper, Klaten 57465 *)

E-mail : [email protected]

Abstrak

Proses pengecoran masih banyak menjadi pilihan utama pada proses produksi di industri.

Pilihan pada pengecoran ini disebabkan karena proses pengerjaan lain sangat tidak mungkin

dilakukan, misalnya pada pembuatan komponen-komponen otomotif, rumah pompa, poros,

baling-baling dan lain-lain. Metode pengecoran dengan menggunakan polystyrene foam

sebagai pola cetakan yang ditimbun dalam pasir cetak merupakan metode pengecoran

evaporative. Metode ini akan menghasilkan coran yang sesuai dengan pola cetakan yang

dibentuk. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji struktur mikro dan kekerasan paduan Al-

7,1Si-1,5Cu hasil coran yang dilakukan dengan metode evaporative. Bahan utama penelitian

ini adalah paduan Al-7,1Si-1,5Cu, polystyrene foam sebagai pola cetakan dan pasir cetak.

Pengecoran paduan Al-7,1Si-1,5Cu dilakukan dengan cara proses peleburan pada dapur

krusibel dan dituang pada variasi temperatur tuang 670, 700 dan 730oC. Pengujian hasil

coran meliputi pengujian foto struktur mikro dan uji kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa struktur mikro hasil pengecoran berubah dari eutektik silikon yang berupa serpihan-

serpihan panjang dan tebal pada temperatur tuang rendah, menjadi serpihan-serpihan pendek

dan tipis diantara dendrite pada temperatur tuang tinggi. Nilai kekerasan semakin menurun

seiring dengan meningkatnya temperatur tuang pada temperatur tuang 670, 700 dan 730oC,

yaitu berturut-turut adalah 124,2 HB, 102 HB dan 96 HB.

Kata kunci : paduan Al-7,1Si-1,5Cu, struktur mikro, kekerasan, evaporative, polystyrene foam

PENDAHULUAN

Proses pengecoran masih banyak menjadi pilihan utama pada proses produksi di industri.

Pilihan pada pengecoran ini disebabkan karena proses pengerjaan lain sangat tidak mungkin

dilakukan, misalnya pada pembuatan komponen-komponen otomotif, rumah pompa, poros, baling-

baling dan lain-lain. Penggunaan aluminium dalam industri sangat beragam. Standar mutu dari

aluminium paduan ditentukan oleh komposisi kimia paduannya seperti: Cu, Si, Mg, Zn, Mn, Ni.

Paduan aluminium dengan silikon (Al-Si) sering digunakan pada komponen-komponen mesin

kendaraan seperti piston dan blok mesin. Paduan Al-Si adalah material yang digunakan hampir 85-

90% dari total aluminium paduan produk pengecoran. Kandungan silikon dalam paduan aluminium

jenis ini menghasilkan keuntungan-keuntungan seperti sifat mampu cor yang baik, mudah

dilakukan proses permesinan, dan ketahanan terhadap korosi yang baik.

Ada dua kelompok pengecoran yang sering digunakan yaitu pengecoran cetakan permanen

dan pengecoran cetakan non permanen. Pengecoran cetakan permanen adalah proses pengecoran

dimana cetakan dapat digunakan berulang kali. Pengecoran jenis ini terdiri dari pengecoran cetakan

logam, pengecoran cetakan logam bertekanan, dan pengecoran sentrifugal. Pengecoran cetakan non

permanen adalah proses pengecoran dimana cetakan hanya dapat dipakai sekali saja karena untuk

mengeluarkan benda kerja cetakan harus dihancurkan. Jenis pengecoran ini terdiri dari pengecoran

cetakan pasir, pengecoran invesmen, dan pengecoran evaporative.

Metode pengecoran dengan menggunakan polystyrene foam sebagai pola cetakan yang

ditimbun dalam pasir cetak merupakan metode pengecoran evaporative. Metode ini akan

menghasilkan coran yang sesuai dengan pola cetakan yang dibentuk. Logam cair akan mengisi pola

cetakan setelah pola cetakan menguap akibat panas. Benda dengan ukuran besar dan rumit dapat

diproduksi dengan cara ini, misalnya blok mesin seperti dperlihatkan pada Gambar 1.

Page 215: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.41

Gambar 1. Pola cetakan polystyrene foam dan hasil coran blok mesin

(www.lostfoam.com)

Komposisi paduan aluminium sangat berpengaruh terhadap sifat mampu alir logam cair.

Paduan aluminium murni dan paduan eutektik mempunyai mampu alir yang baik, hal ini

disebabkan kerana jarak pembekuan yang pendek. Sebaliknya paduan yang mempunyai jarak

pembekuan yang panjang mempengaruhi sifat mampu alir menjadi jelek (Campbell, 2003).

Temperatur pengecoran mempengaruhi pembentukan intermetallics hasil coran.

Peningkatan temperatur tuang akan meningkatkan jumlah α-AIFeSi dan menurunkan jumlah β-

AlFeSi (Albonetti, 2000).

Droke (2006), melakukan penelitian dengan variasi temperatur tuang 1450, 1475 dan

1500oF, saluran turun horizontal dan vertical dengan dimensi 5 x 1 x 0,625 in, serta saluran masuk

adalah 1,5 x 1 x 0625 in. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat mampu alir logam pada

temperatur tuang 1450oF sangat jelek karena banyaknya void atau ruang kosong pada hasil coran,

sedangkan pada temperatur tuang 1500oF sifat mampu alir logam semakin baik dengan sedikit void

atau ruang kosong.

Bichler (2002), hasil penelitian pada variasi temperatur tuang 670, 710 dan 740oC,

ketebalan coating 35 Bc (low density) dan 45 Bc (high density), serta menggunakan pola cetakan

dengan variasi ketebalan 1 dan 1,5 cm, panjang 10 cm dan lebar 3,2 cm menunjukkan bahwa

peningkatan temperatur tuang semakin meningkatkan panjang mampu alir dengan menggunakan

cetakan pasir panas dan cetakan pasir dingin pada pola cetakaan dengan coating 45 Bc.

Ivan (2009), dengan variasi temperatur tuang 680, 710 dan 740oC dengan ketebalan pola

cetakan 3, 5, 7 dan 11 mm, serta bahan paduan aluminium 356,1 menunjukkan hasil bahwa dengan

meningkatnya temperatur tuang dari 680oC sampai 740

oC maka sifat mampu alir logam cair

meningkat sebesar 42,26%.

Pengaruh bahan cetakan pada tingkat pendinginan dipengaruhi oleh kombinasi endotermik

foam dan sifat cetakan. Dengan mempertimbangkan keseimbangan energi dan suhu awal maka

dapat digunakan untuk memprediksi total waktu pembekuan. Bentuk dendrit dipengaruhi oleh

waktu pembekuan dari logam cair (Ajdar, 2001).

Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur mikro dan kekerasan paduan Al-7,1Si-1,5Cu

hasil coran yang dilakukan dengan metode evaporative.

METODOLOGI

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian adalah paduan aluminium, polestyrene foam sebagai bahan pola cetakan

dan pasir cetak yang terdiri dari pasir kuarsa, bentonit 7,5%-9,1%, air 3,7%-4,5% dan bahan

tambahan debu karbon.

Tabel 1. Komposisi kimia paduan aluminium

Unsur Si Fe Cu Mn Mg Cr Ni Zn

% 7,11 2,10 1,49 0,189 0,191 0,0174 0,211 3,40

Unsur Sn Ti Pb Be Ca Sr V Zr

% 0,0538 0,0313 0,194 <0,0001 0,0675 <0,0005 0, 0164 0,0288

Page 216: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.8. Kajian komprehensif struktur mikro dan kekerasan … (Wijoyo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.42

Peralatan yang digunakan meliputi dapur krusibel dengan bahan bakar arang, pemotong

styrofoam elektrik, wadah pasir, thermokopel tipe K, kowi, tang panjang, mikroskop optik, alat uji

komposisi, jangka sorong dan peralatan keselamatan kerja.

Proses Pengecoran

Pola cetakan dibuat dengan menggunakan polystyrene foam, ketebalan pola cetakan adalah

5 dan 10 mm. Wadah pasir cetak berbentuk kotak yang digunakan untuk menempatkan pola

cetakan dan ditutupi dengan pasir cetak. Peleburan aluminium dilakukan dalam dapur krusibel

dengan temperatur tuang adalah 670, 700 dan 730oC.

Pengujian Hasil Coran

Pengujian hasil coran meliputi pengamatan foto struktur mikro yang berfungsi untuk

mengetahui ada atau tidaknya perubahan struktur mikro akibat adanya temperatur tuang yang

berbeda. Hal ini penting untuk diketahui, karena struktur mikro sangat erat kaitannya dengan sifat

mekanis dari hasil coran. Pengujian mekanis yang dilakukan adalah pengujian kekerasan dengan

mesin uji kekerasan brinel.

Gambar 2. Pola cetakan polystyrene foam

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Struktur Mikro

Struktur mikro hasil coran paduan aluminium pada pola cetakan polystyrene foam dengan

temperatur tuang 670, 700 dan 730oC terlihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa

struktur mikro paduan aluminium secara umum terlihat mengalami perubahan dengan naiknya

temperatur penuangan. Aluminium dendrite yang mendominasi permukaan coran pada temperatur

penuangan yang rendah menjadi lebih bulat atau hampir bulat pada temperatur penuangan yang

tinggi. Meningkatnya temperatur penuangan eutektik silikon yang berupa serpihan-serpihan

panjang dan tebal pada temperatur penuangan rendah, menjadi serpihan-serpihan pendek dan tipis

diantara dendrite pada temperatur penuangan tinggi.

Page 217: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.43

Gambar 3. Struktur mikro paduan aluminium pada temperatur tuang.

(a) 670oC, (b) 700

oC dan (c) 730

oC (100X)

Temperatur tuang yang tinggi akan menyediakan waktu pembekuan yang lebih panjang

dan struktur mikro yang tumbuh lebih kasar. Venkataramani dkk., (1999) kecepatan pembekuan

berkurang dengan meningkatnya temperatur penuangan pada cetakan pasir dan metode pengecoran

evaporative.

Pertumbuhan eutektik silikon pada temperatur tuang rendah terdapat diantara DAS

(Dendrite Arm Spacing) yang sempit sedangkan pada temperatur tuang yang tinggi Si terurai

menjadi lebih luas diantara DAS. Albonetti (2000), meningkatnya kecepatan pembekuan jarak

antara dendrite semakin berkurang, eutektik silikon pada temperatur tuang rendah memiliki waktu

pembekuan yang singkat dan pada ruang yang sempit sehingga struktur yang dihasilkan berbentuk

serpihan panjang dan tebal. Sebaliknya, eutektik silikon pada temperatur pembekuan tinggi

mempunyai waktu pembekuan yang lebih panjang sehingga silikon terurai membentuk struktur

mikro yang lebih pendek dan tipis.

Pengujian Kekerasan

Nilai kekerasan paduan aluminium hasil coran pada pola cetakan polystyrene foam dengan

temperatur tuang 670, 700 dan 740oC dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4, menunjukkan bahwa

nilai kekerasan hasil coran paduan aluminium mengalami penurunan dengan naiknya temperatur

tuang. Hal ini ada hubungannya dengan pengaruh temperatur tuang terhadap struktur mikro. Nilai

kekerasan tertinggi terjadi pada temperatur tuang 670oC yang mencapai 124,2 HB, sedangkan nilai

kekerasan terendah terjadi pada temperatur tuang 730oC yang mencapai 96 HB.

a

100 µm

b

100 µm

c

100 µm

Page 218: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.8. Kajian komprehensif struktur mikro dan kekerasan … (Wijoyo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.44

Gambar 4. Nilai kekerasan hasil coran paduan aluminium

pada berbagai temperatur tuang

Temperatur tuang yang rendah mengakibatkan laju pendinginan yang cepat, sehingga

struktur mikro yang terbentuk berupa aluminium dendrite mendominasi permukaan coran, serta

eutektik silikon diantara dendrite dengan bentuk panjang dan tebal. Temperatur tuang yang tinggi

mengakibatkan laju pendinginan yang lambat, sehingga struktur mikro aluminium dendrite menjadi

bulat panjang atau mendekati bulat, serta eutektik silikon menjadi serpihan-serpihan pendek dan

halus diantara dendrite. Struktur mikro eutektik silikon memiliki karakteristik mekanis yang keras

sehingga mempengaruhi kekerasan bahan. Struktur eutektik silikon berupa serpihan-serpihan

panjang meningkatkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik (ASM handbook vol.15, 1992).

Temperatur tuang sangat berpengaruh terhadap pembentukan struktur mikro, sedangkan struktur

mikro berpengaruh terhadap nilai kekerasan bahan. Peningkatan temperatur tuang akan mengurangi

nilai kekerasan, hal ini disebabkan laju pendinginan yang lambat sehingga terbentuk struktur mikro

eutektik silikon yang semakin banyak dan semakin tipis yang cenderung bersifat lunak.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan:

1. Meningkatnya temperatur tuang logam cair mengakibatkan struktur mikro berubah dari

eutektik silikon yang berupa serpihan-serpihan panjang dan tebal pada temperatur tuang

rendah, menjadi serpihan-serpihan pendek dan tipis diantara dendrite pada temperatur tuang

tinggi.

2. Nilai kekerasan hasil coran paduan aluminium mengalami penurunan dengan naiknya

temperatur tuang. Nilai kekerasan tertinggi terjadi pada temperatur tuang 670oC yang

mencapai 124,2 HB, sedangkan nilai kekerasan terendah terjadi pada temperatur tuang 730oC

yang mencapai 96 HB.

DAFTAR PUSTAKA

Ajdar, R., 2001. Effect Of Mold Materials On Solidification, Microstructure And Fluldlty Of A356

Alloy In Lost Foam Casting. Department of Materials Science and Engineering, University

of Toronto.

Albonetti, R., 2000. Porosity and Intermetallic Formation in Lost Foam Castings of 356 alloy.

The University of Western Ontario London, Ontario.

ASM International, 2004. ASM Metal Handbook Vol.15

Bichler, L., Ravindran, C., and Machin A., 2003. Chalengges In Lost Foam Casting of AZ91 alloy.

Material Science Forum Vols.426-432. Pp. 533-538

Campbell, J., 2003. Casting 2nd Edition. Butterworth-Heinemann. pp. 74

Droke, J.E., 2006. Magnesium Castability of AM60B in Lost Foam Casting Using Vakum

Assistance. Tennessee Technological University.

Page 219: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.45

Ivan J. A. K., 2009. Tesis. Pengaruh Temperatur Tuang, Kerapatan Polystyrene Foam dan Ukuran

Mesh Pasir Terhadap Mampu Alir, Sifat Mekanis, Struktur Mikro dan Munculnya Cacat

Aluminium Paduan 356,1 yang Dicor Dengan Metode Evaporative. Universitas Gadjah

Mada.

Khomamizadeh dan Ghasemi, A., 2004. Evaluation of Quality Index of A-356 Aluminum Alloy by

Microstructural Analysis. Sharif University of Technology.

Kim, K., and Lee, K., 2005. Effect of Proses Parameters on Porosity in Aluminum Lost Foam

Proses. Journal Material Science Vol. 21 No. 5

MacKenzie D. S., and Totten, G.E., 2006. Analytical Caracterization of Aluminium, Steel, And

SuperAlloy. Taylor & Francis Group. pp. 9

Mekanikal, http://indonesia-mekanikal.blogspot.com., Teknik pengecoran logam. 8/4/2009.

Mirbagheri, S. H. M., Silk, J. R., and Davami, P., 2004. Modelling of Foam Degradation in Lost

Foam Casting Process. Journal of Material science vol. 39. pp.4593-44603.

Venkataramani, R., Simpson R., and Ravinrran, C., 1995. Effec of Melt Superheat on Maximum

Nuclei Density in A356 Alloy. Elsevier Science. Material Characterization vol. 38 pp 81-92.

www.lostfoam.com, 5/7/2011

www.lostfoam.com/assets/content/learning_center/pdf/ironcasting.pdf, 5/7/2011

Page 220: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.9. Pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks … (Carli, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.46

PENGARUH ARAH SERAT GELAS DAN BAHAN MATRIKS

TERHADAP KEKUATAN KOMPOSIT AIRFOIL PROFILE FAN BLADES

Carli*1)

, S. A. Widyanto2)

, Ismoyo Haryanto2)

1)

Jurusan Teknik mesin, Politeknik Negeri Semarang

Jln. Prof. Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50061 2)

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang

Jln. Prof. Sudarto S.H. Tembalang, Semarang 50275 *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang analisis pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks

terhadap kekuatan mekanik pada komposit airfoil profile fan blade. Spesimen penelitian

menggunakan serat gelas / epoxy dan serat gelas / polyester. Serat gelas yang digunakan jenis

woven Roving, dengan jumlah lapisan serat sebanyak 6 lembar, arah serat 0/90˚ dan ± 45˚

dan fraksi volume serat masing-masing 20%. Serat gelas dipilih karena memiliki kekuatan,

kekakuan, ringan, tahan terhadap korosi, serta tahan temperatur tinggi sehingga cocok untuk

pembuatan elemen mesin seperti dalam pembuatan automobile, pesawat terbang maupun

maritim. Pemilihan metode dalam pembuatan sampel airfoil profile fan blade adalah dengan

metode Hand Lay-Up, metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan tidak

memerlukan banyak biaya. Alat untuk menguji spesimen adalah mesin uji bending, dengan

standar uji ASTM D 6272, dengan metode Four-Point Bending, sedangkan untuk uji tarik

menggunakan mesin uji tarik (selvopulser) dengan standar uji ASTM D 3039. Hasil pengujian

tarik dan bending menunjukkan bahwa airfoil profile fan blade dengan bahan serat gelas /

epoxy tegangan tarik maksimum dan tegangan bending lebih tinggi bila dibandingkan dengan

komposit serat gelas / polyester. Sedangkan untuk arah serat menunjukkan bahwa komposit

serat gelas dengan orientasi serat 0/90˚memiliki kekuatan tarik maksimum dan Modulus

Elastisitas lebih tinggi bila dibandingkan dengan orientasi serat ±45˚. sebaliknya dilihat dari

kelenturannya komposit orientasi serat ±45˚ nilai defleksinya lebih tinggi (lebih lentur).

Kata kunci: Komposit, metode Hand Lay-Up, serat gelas / epoxy, serat gelas / polyester

PENDAHULUAN

Propeller banyak digunakan dalam industri penerbangan, maritim, dan mesin energi,

seperti pembuatan pesawat terbang, kapal laut, hovercraft, dan berbagai jenis turbin. Propeller

bersama komponen lain seperti hub, poros, bantalan, pengatur sudut pitch propeller, dan sumber

tenaga, membentuk satu sistem kecil yakni sistem penggerak propeller, yang merupakan bagian

dari sistem yang lebih besar. Propeller yang sering digunakan adalah jenis sentrifugal fan. Disebut

sentrifugal fan karena fan jenis ini mengalirkan udara dari daerah masukan ( inlet ) menuju daerah

keluaran ( outlet ) dengan arah radial karena gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh putaran

impeller, selanjutnya udara yang secara radial telempar keluar dari impeller dengan kecepatan dan

tekanan yang tinggi. Salah satu komponen utama yang sering mengalami kerusakan ( patah ) pada

Propeller adalah fan blades (baling-baling), sehingga perlu dikembang kan alternatif bahan

pembuat fan blades yang lebih baik. Pada penerapannya, untuk memperoleh efisiensi yang tinggi,

fan blades harus memiliki karakteristik tertentu, seperti ringan, kaku, kuat, dan tidak mudah

terpengaruh oleh lingkungan (seperti korosi). Karena itu material untuk pembuatan fan blades ini

harus dipilih secara tepat.

Perkembangan teknologi material telah melahirkan suatu material jenis baru yang dibangun

secara bertumpuk dari beberapa lapisan. Material inilah yang disebut material komposit. Material

komposit terdiri dari lebih dari satu tipe material dan dirancang untuk mendapatkan kombinasi

karakteristik terbaik dari setiap komponen penyusunnya. Pada dasarnya, komposit dapat

didefinisikan sebagai campuran makroskopik dari serat dan matriks. Serat merupakan material

yang umumnya jauh lebih kuat dari matriks dan berfungsi memberikan kekuatan tarik, sedangkan

matriks berfungsi untuk melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan akibat benturan.

Dibanding dengan material konvensional keunggulan komposit antara lain yaitu memiliki kekuatan

Page 221: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.47

yang dapat diatur (tailorability), tahanan lelah (fatigue resistance) yang baik, tahan korosi, dan

memiliki kekuatan jenis (rasio kekuatan terhadap berat jenis) yang tinggi. Manfaat utama dari

penggunaan komposit adalah mendapatkan kombinasi sifat kekuatan serta kekakuan tinggi dan

berat jenis yang ringan. Dengan memilih kombinasi material serat dan matriks yang tepat, dapat

dibuat suatu material komposit dengan sifat yang tepat sama dengan kebutuhan sifat untuk suatu

struktur tertentu dan tujuan tertentu pula.

Multi-Wing America’s telah populer dengan fan axialnya dengan berbagai tipe, salah

satunya adalah tipe air foil yang digunakan untuk hovercraft berbahan thermoplastik ( glass

reinforced polypropylene ) seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Jenis Fan Blade model airfoil dari Multi-Wing.

Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen fan blades (baling-baling) untuk hovercraft

dengan mengambil model fan blades dari Multi-Wing jenis air foil menggunakan bahan komposit

dengan pengikat (matriks) thermosetting jenis resin epoxy dan polyester, bahan tersebut dipakai

karena mempunyai ketahanan bahan kimia yang sangat baik dan mempunyai kekuatan yang sangat

tinggi, sedangkan bahan pengisinya (filler) menggunakan serat gelas dikarenakan bahan tersebut

menpunyai kekuatan yang tinggi dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap bahan kimia dan

panas.

Sifat-sifat fisik dan mekanik

Pada umumnya pemilihan bahan matriks dan serat memainkan peranan penting dalam

menentukan sifat-sifat mekanik komposit. Gabungan matriks dan serat dapat menghasilkan

komposit yang mempunyai kekuatan dan kekakuan yang lebih tinggi dari bahan konvensional. Dua

sifat mekanik penting dari tiap sistem resin adalah kekuatan tarik dan kekakuan. (Gambar 1.2)

menunjukkan hasil tes yang dilakukan pada polyester komersial, vinylester dan epoxy pada

pengerasan 20 ° C dan 80 ° C. Setelah periode pengerasan selama tujuh hari pada suhu kamar dapat

dilihat bahwa epoxy akan memiliki sifat yang lebih tinggi dari polyester dan vinylester untuk

kekuatan dan kekakuan.

Gambar 2. Perbandingan kekuatan tarik dan modulus dari resin (www.gurit.com ,diakses 2011).

Unsur – Unsur Penyusun Komposit

Unsur – unsur utama penyusun komposit adalah matrik dan serat. Bahan – bahan

pendukung pembuatan komposit meliputi katalis, akselerator, gelcoat, dan pewarna. Bahan

Tensile strength: 85 MPa

Izod impact strength notched (at 73oF): 10.0 kJ/m²

Izod impact strength notched (at 32oF): 8.5 kJ/m²

Izod impact strength notched (at -40oF): 7.0 kJ/m²

Flexural modulus: 6.0 GPa

Page 222: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.9. Pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks … (Carli, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.48

tambahan tersebut memiliki fungsi yang sangat penting untuk menentukan kualitas suatu produk

komposit. Karena material komposit terdiri dari penggabungan unsur – unsur utama yang berbeda,

maka munculah daerah perbatasan antara serat dan matrik (Santoso, 2002).

a. Serat Gelas

Serat gelas mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pada penggunaannya, serat gelas

disesuaikan dengan sifat/karakteristik yang dimilikinya. Serat gelas terbuat dari silica, alumina,

lime, magnesia dan lain-lain. Karena biaya produksi rendah dan proses produksi sangat sederhana,

memberikan serat gelas unggul dalam ratio (perbandingan) harga dan performance. Serat gelas

banyak digunakan di industri-industri otomotif seperti pada panel panel body kendaraan, bahkan

sepeda motor sekarang seluruh body terbuat dari komposit yang berpenguat serat gelas.

b. Bahan Matriks

Menurut Gibson (1994), bahwa matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan

polimer, logam, maupun keramik. Matriks adalah fasa dalam komposit yang mempunyai bagian

atau fraksi volume terbesar (dominan).

Syarat utama yang harus dimiliki oleh bahan matriks adalah bahan matriks tersebut harus

dapat meneruskan beban, sehingga serat harus bisa melekat pada matriks dan kompatibel antara

serat dan matriks. Umumnya matriks yang dipilih adalah matriks yang memiliki ketahanan panas

yang tinggi. Sebagai bahan penyusun utama dari komposit,matriks harus mengikat penguat (serat)

secara optimal agar beban yang diterima dapat diteruskan oleh serat secara maksimal sehingga

diperoleh kekuatan yang tinggi.

Kekuatan Tarik Komposit

Salah satu pengujian tegangan dan regangan (stress strain test) adalah pengujian tarik

(tension test). Dari pengujian ini dapat kita ketahui beberapa sifat mekanik material yang sangat

dibutuhkan dalam desain rekayasa. Hasil dan pengujian ini adalah grafik beban versus

perpanjangan (elongation). Beban dan elongation dapat dirumuskansebagai berikut :

Engineering Stress (σ )

σ = ...................... ( 1 )

dimana:

F = Beban yang diberikan dalam arah tegak lurus terhadap penampang spesimen ( N )

Ao = Luas penampang mula-mula spesimen sebelum diberikan pembebanan ( m2 )

σ = Engineering Stress ( Mpa )

Engineering Strain (ε )

…………… (2)

dimana :

ε = Engineering Strain

l0 = Panjang mula-mula spesimen sebelum diberikan pembebanan

Δl = Pertambahan panjang

Metoda pengujian dilakukan dengan pengujian tarik terhadap sampel komposit dengan

menggunakan standar pengujian ASTM D 3039.

Kekuatan Bending (Flexural Strength) Untuk mengetahui kekuatan bending suatu material dapat dilakukan dengan pengujian

bending terhadap material komposit tersebut. Kekuatan bending atau kekuatan lengkung adalah

tegangan bending terbesar yang dapat diterima akibat pembebanan luar tanpa mengalami deformasi

yang besar atau kegagalan. Besar kekuatan bending tergantung pada jenis material dan

pembebanan. Akibat pengujian bending, bagian atas spesimen mengalami tekanan, sedangkan

bagian bawah akan mengalami tegangan tarik. Dalam material komposit kekuatan tekannya lebih

tinggi dari pada kekuatan tariknya. Karena tidak mampu menahan tegangan tarik yang diterima,

spesimen tersebut akan patah, hal tersebut mengakibatkan kegagalan pada pengujian komposit.

Kekuatan bending pada sisi bagian atas sama nilai dengan kekuatan bending pada sisi bagian

bawah. Pengujian dilakukan dengan metoda four point bending dengan standard ASTM D 6272.

Page 223: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.49

Pada perhitungan kekuatan bending ini, digunakan persamaan :

σ = …………….( 3 )

dimana :

σ = Tegangan bending (MPa)

F = Beban /Load (N)

L = Panjang Span / Support span(mm)

b = Lebar/ Width (mm)

d = Tebal / Depth (mm)

Sedangkan untuk mencari modulus elastisitas bending mengunakan rumus

E = ……………..(4 )

dimana :

E = Modulus Elastisitas Bending (MPa)

F = Beban /Load (N)

L = Panjang Span / Support span(mm)

b = Lebar/ Width (mm)

d = Tebal / Depth (mm)

δ = Defleksi (mm

METODOLOGI PENELITIAN

a. Bahan penelitian

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fiberglass jenis E- Glass ( Woven

roving ), untuk matriks nya menggunakan Epoxy dan Polyester.

Gambar 3. Susunan Serat gelas Woven Roving dengan orientasi serat 0/90˚ dan ±45˚

b. Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan pengujian tarik dan bending terlebih dahulu dibuat spesimen fan

blades (baling-baling) dan spesimen uji tarik dan bending yang dibuat dalam bentuk pelat komposit

yang diproduksi dengan metode hand lay-up, dibuat dalam enam lapisan serat gelas jenis Woven

Roving (WR). Geometri dan dimensi spesimen uji tarik dan bending disesuaikan dengan standard

ASTM D 3039 dan standar ASTM D 6272 ( four point bending ).

(a) (b)

Gambar 4. Spesimen uji bending dan uji tarik (a), spesimen fan blades (baling-baling) (b)

Page 224: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.9. Pengaruh arah serat gelas dan bahan matriks … (Carli, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.50

Pengukuran tegangan tarik spesimen didasarkan pada teori Hukum Hooke (Hooke Law).

Teori menyatakan bahwa suatu bahan berkelakuan secara elastis dan memperlihatkan suatu

hubungan liniear antara tegangan regangan yang disebut elastis secara linier.Variabel yang akan

diamati dalam penelitian ini yaitu beban atau gaya tarik sehingga mendapatkan nilai tegangan tarik

maksimumnya, pertambahan panjang yang menunjukkan regangan yang terjadi. Pada pengujian

bending dilakukan dengan metoda four point bending standard ASTM D 6272, variabel yang akan

diamati dalam penelitian ini yaitu beban yang diberikan dan defleksi yang terjadi pada setiap

pembebanan sampai batas maksimum (spesimen rusak ).

Metode pengolahan data pengujian dilakukan dengan analisis statistik pada Ms. Excel dan

perhitungan analitis matematis yang menerapkan teori Hukum Hooke. Data yang diperoleh berupa

grafik beban (gaya) dikembangkan secara perhitungan sehingga mendapatkan nilai tegangan tarik,

regangan dan modulus Elastisitas .

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasi uji tarik dan bending untuk komposit dengan matriks polyester dan Epoxy ditunjukkan

pada grafik dibawah ini :

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. Diagram pengaruh orientasi serat dan bahan matriks terhadap kekuatan mekanik :

Tegangan tarik maksimum (a), Modulus Elastisitas (b), Momen Bending (c) dan Defleksi (d).

Dari Hasil diatas tegangan tarik maksimum, tegangan bending maksimum dan Modulus

Elastisitasnya komposit dengan orientasi serat 0/90˚ lebih tinggi bila dibandingkan dengan

komposit dengan orientasi serat ± 45˚, sebaliknya untuk kelenturan, komposit dengan orientasi

serat ± 45˚ lebih lentur dibandingkan dengan komposit orientasi serat 0/90˚.

Page 225: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.51

Tegangan bending maksimum komposit dengan matriks epoxy lebih tinggi bila

dibandingkan dengan komposit dengan matrks polyester, sebaliknya untuk kelenturan komposit

dengan matrks polyester lebih lentur dibandingkan dengan komposit matriks epoxy. Dari Modulus

Elastisitasnya komposit dengan matriks epoxy lebih tinggi bila dibandingkan komposit dengan

matriks polyester.

KESIMPULAN

Dari hasil hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Dari hasil uji kekuatan tarik diperoleh kekuatan tarik dan mudulus elastisitas terbesar terdapat

pada komposit dengan orientasi serat 0/90˚ .

2. Dari hasil uji kekuatan bending diperoleh kekuatan bending dan momen bending terbesar

terdapat pada komposit dengan orientasi serat 0/90˚

3. Defleksi terbesar terjadi pada serat dengan orientasi serat ± 45˚

4. Karakteristik Flexural Strength matriks epoxy lebih baik dari matrks polyester.

5. Karakteristik Tensile Strength matriks epoxy lebih baik dari matrks polyester

6. Bila dibandingkan dengan produk dari Multi Wing , hasil percobaan ini menunjukkan bahwa

bahan martiks epoxy dan polyester mempunyai tensile strength dan flexural modulus lebih

tinggi terutama pada orientasi serat 0/90˚.

DAFTAR PUSTAKA

Annual Book of ASTM Standards, D 3379- 75, “Standard Test Method for Tensile Strength and

Young’s Modulus Single-Filament Materials”, ASTM Standards and Literature References

for Composite Materials, 2nd ed., 34-37, American Society for Testing and Material,

Philadelphia, PA (1990).

Berthelot J.M.,1999, ”Composite Material : Mechanical Behavior and Structural Analysis”,

Spinger, New York

Gibson, F.R., 1994, “Principles of Composite material Mechanis”, International Edition”,

McGraw-Hill Inc, New York.

Kroschwitz, J. I., Grestle, F. P., 1987, Encyclopedia of Polymer Science and Engineering, 2nd ed.,

John Wiley and Sons Inc., New York.

Munasir, 2011. “Studi Pengaruh Orientasi Serat Fiber Glass Searah Dan Dua Arah Single Layer

Terhadap Kekuatan Tarik Bahan Komposit Polypropylen” Vol I No. 1 Surabaya.

www.gurit.com ,diakses 2011.

Page 226: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi … (Sri Harmanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.52

PENGARUH TEKANAN INJEKSI PADA PENGECORAN CETAK TEKANAN TINGGI

TERHADAP KEKERASAN MATERIAL ADC 12

Sri Harmanto

Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50061 E-Mail: [email protected]

Abstrak

Jumlah sepeda motor yang semakin banyak menyebabkan kebutuhan sepatu rem juga semakin

meningkat. Sepatu rem sepeda motor ini dibuat dengan proses pengecoran cetak tekanan

tinggi atau High Pressure Die Casting (HPDC). Hal ini mendorong para pengusaha Industri

Kecil Menengah (IKM) khususnya di Juwana, Pati , Jawa Tengah untuk memproduksi

komponen tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti pengaruh tekanan injeksi

terhadap kekerasan pada proses pengecoran cetak tekanan tinggi dengan material Aluminium

Die Casting 12 (ADC 12). Metode penelitian yang dilakukan adalah pemilihan material ADC

12, pembuatan mesin HPDC, proses pengecoran HPDC, pembuatan spesimen, pengujian

kekerasan, pengambilan data, dan analisa data. Variabel penelitian yang digunakan adalah

tekanan injeksi sebesar: 3, 4, 5, 6, dan 7 MPa. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah

semakin tinggi tekanan injeksi, kekerasannya juga semakin tinggi. Kekerasan tertinggi yang

dicapai material ADC 12 adalah 85,2 BHN pada tekanan injeksi 7 MPa.

Kata kunci : tekanan injeksi, kekerasan, HPDC, ADC 12

PENDAHULUAN

Tuntutan untuk menghasilkan sepatu rem sepeda motor sesuai produk original dengan

kekerasan sekitar 107,3 BHN (Harmanto, S., 2012) dan harga yang lebih murah merupakan

tantangan besar bagi Industri Kecil Menengah (IKM) di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Hal ini

dimungkinkan dapat dilakukan dengan proses pengecoran cetak tekanan tinggi atau High Pressure

Die Casting (HPDC). Namun hal ini belum dapat dilakukan karena IKM tersebut masih

menggunakan proses pengecoran konvensional secara gravitasi. Proses pengecoran gravitasi

dengan cetakan pasir ini menghasilkan kekerasan sangat rendah, yaitu sekitar 35 BHN (Raji A. dan

Khan R.H., 2006), sehingga belum sesuai dengan kekerasan sepatu rem sepeda motor produk

original. Dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh tekanan injeksi terhadap kekerasan pada

pengecoran HPDC dengan material Aluminium Die Casting 12 (ADC 12) untuk bahan sepatu rem

sepeda motor produk original.

Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah selain menghasilkan mesin HPDC

dengan unjuk kerja yang baik, juga meneliti pengaruh tekanan injeksi terhadap kekerasan, serta

dengan material ADC 12 hasil proses HPDC dapat menghasilkan kekerasan sekitar 80 BHN

(Brinnel Hardness Number) sesuai standar BS (British standard) 1490 : 1998.

1.1 Pengaruh Tekanan Terhadap Kekerasan Pada Proses HPDC

Pengecoran HPDC adalah proses pengecoran dengan cara menginjeksikan logam cair ke

dalam cetakan dan memberikan tekanan selama pembekuan dalam ruang tertutup ( Masnur, D.,

2008).

Gambar 1.1 Proses pengecoran HPDC (Vinarcik, E.J.)

Page 227: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.53

Perbandingan pengaruh tekanan injeksi terhadap kekerasan dari beberapa peneliti dapat

dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini :

Tabel 1.1 Pengaruh tekanan terhadap kekerasan (pada temperatur tuang 750 ºC)

No Peneliti Jenis Proses Tekanan Kekerasan

1 Masnur, D (2008) HPDC 2 MPa

3 MPa

4 MPa

72,0 BHN

76,5 BHN

80,0 BHN

2 Purwanto (2007) Squeeze 20 MPa

50 MPa

75 MPa

100 MPa

55 BHN

65 BHN

57 BHN

70 BHN

3 Raji A. dan Khan R.H.

(2006)

Squeeze 25 MPa

50 MPa

75 MPa

100 MPa

125 MPa

150 MPa

42,0 BHN

44,0 BHN

44,5 BHN

45,0 BHN

46,5 BHN

49,0 BHN

Kekerasan suatu material adalah ketahanan terhadap deformasi plastik atau deformasi

permanen apabila dikenakan gaya luar. Metode yang sering digunakan pada pengujian kekerasan

adalah Rockwell, Vickers, dan Brinnel (Callister, 2001). Skala kekerasan metode Rockwell dapat

dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini.

Tabel 1.2 Skala kekerasan metode Rockwell (ASM Handbook, Vol. 8, 2000)

Tabel 1.3 Komposisi kimia material ADC 12 (PT. PINJAYA LOGAM, Mojokerto, Jatim)

Komposisi kimia

Cu Si Mg Zn Fe Mn Ni Sn Pb Ti Cr Ca Al

1,78 10,56 0,25 0,85 0,85 0,17 0,06 0,02 0,07 0,04 0,03 0,001 85,32

Standar : JIS = ADC 12; ASTM = 384 ; BS = LM 2

Sedangkan sifat fisik dan mekanik material ADC 12 seperti Tabel 1.4 di bawah ini.

Page 228: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi … (Sri Harmanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.54

Tabel 1.4 Sifat fisik dan mekanik material ADC 12 (BS 1490: 1998).

Sifat fisik dan mekanik Nilai Satuan

Densitas 2,74 gr/

Titik lebur 565- 575 ºC

Kekuatan tarik maksimum 180 MPa

Kekerasan 80 BHN

2. METODOLOGI

Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Melakukan survey ke IKM pengecoran di Juwana, Pati, Jawa Tengah

b. Melakukan survey mesin injeksi HPDC di POLMAN, Bandung, Jawa Barat

c. Merancang dan membuat mesin HPDC

d. Proses pengecoran HPDC dengan material ADC 12

e. Pengujian kekerasan

f. Analisa data dan Kesimpulan

Material yang digunakan pada penelitian ini adalah ADC 12

Variabel penelitian berupa tekanan injeksi sebesar: 3, 4, 5, 6, dan 7 MPa

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Mesin HPDC hasil rancang bangun

b. Dapur pemanas

c. Uji kekekerasan

Mesin HPDC hasil rancang bangun seperti Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Mesin HPDC hasil rancang bangun

Keterangan :

1. Cetakan 6. Piston Chamber

2. Tuas penekan cetakan 7. Digital control temperature

3. Katup pengatur tekanan 8. Saklar pemanas

4. Tuas penekan hidrolik 9. Tombol ON

5. Manometer pengukur tekanan 10. Tombol OFF

Page 229: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.55

Gambar 2.2 Dapur pemanas Gambar 2.3 Alat uji kekerasan

Gambar 2.4 Hasil coran HPDC Gambar 2.5 Pengujian kekerasan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian kekerasan pada spesimen disusun pada Tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3.1 Pengaruh tekanan terhadap kekerasan

No.

Tekanan,

MPa

Kekerasan, HRB (BHN)

1 2 3 Rata-rata,

BHN

1

3

47,0 (80,0)

45,0 (79,0)

48,5 (81,5)

79,8

2

4

47,0 (80,0)

51,5 (84,5)

48,0 (81,0)

81,8

3

5

49,0 (82,0)

50,0 (83,0)

50,0 (83,0)

82,6

4

6

51,0 (84,0)

50,0 (83,0)

52,0 (85,0)

84,0

5

7

52,0 (85,0)

51,5 (84,5)

53,0 (86,0)

85,2

Dari Tabel 3.1 di atas hubungan antara tekanan terhadap kekerasan kemudian diplot berupa

grafik seperti pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Page 230: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi … (Sri Harmanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.56

Gambar 3.1 Grafik hubungan antara tekanan terhadap kekerasan

Dari Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa semakin tinggi tekanan injeksi, kekerasannya juga

semakin tinggi. Kekerasan tertinggi sebesar 85,2 BHN diperoleh pada tekanan 7 MPa.

Pengujian kekerasan dilakukan pada bagian permukaan (kulit) material ADC 12 untuk

mengetahui pengaruh tekanan injeksi: 3, 4, 5, 6, dan 7 MPa terhadap kekerasan.

Kenaikan tekanan akan menaikkan temperatur liquidus, kecepatan pendinginan,

menghambat pertumbuhan butir, dan ukuran butir menjadi lebih kecil (Ghomashchi, M.R., 1998).

Ukuran butir yang lebih kecil menyebabkan kekerasannya lebih tinggi (Askeland, 1985).

Kenaikan kekerasan karena pengaruh tekanan injeksi ini relatif kecil. Hal ini disebabkan

karena variabel tekanan injeksi yang dilakukan juga relatif kecil.

Kekerasan sepatu rem sepeda motor produk original adalah 107,3 BHN masih di atas

kekerasan material ADC 12 hasil proses HPDC. Untuk meningkatkan kekerasan material ADC 12

hasil proses HPDC dapat dilakukan dengan proses heat treatment (T6).

4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

- Mesin HPDC hasil rancang bangun dapat berfungsi dengan baik.

- Tekanan injeksi berpengaruh terhadap tingginya kekerasan pada proses HPDC.

- Semakin tinggi tekanan injeksi, kekerasan yang dicapai juga semakin tinggi.

- Kekerasan tertinggi 85,2 BHN pada tekanan 7 MPa sudah melampaui BS Standar, sebesar 80

BHN, namun masih di bawah kekerasan sepatu rem produk original sebesar 107,3 BHN.

- Untuk menaikkan kekerasan sesuai sepatu rem sepeda motor produk original sebesar 107,3 BHN,

perlu dilanjutkan dengan proses perlakuan panas.

DAFTAR PUSTAKA

Askeland, D.R., 1985, “The Science and Engineering of Publ., Material”, PWS, Boston, MA,

USA.

ASM Handbook, 2000, Mechanical Testing and Evaluation, Volume 8, ASM International.

Brown, J.R., 1999, Foseco Non-ferrous Foundryman’s Handbook, Butterworth-Heinemana.

Callister, W.D., Jr., 2001, Fundamental of Materials Science and Engineering, Departement of

Metallurgical Engineering, John Wiley & Sons, inc, New York.

Ghomashchi, A. Vikhrov, 2000, “Squeeze Casting : On Overview”, Journal Of Materials

Processing Tecnology 101 (2000) 1 -9.

Harmanto S., 2012, “Pengaruh Tekanan dan Tebal Coran pada Proses HPDC terhadap Kekerasan

dan Porositas Material ADC 12 untuk Sepatu Rem Sepeda Motor”, Tesis S-2 Teknik Mesin

Universitas Diponegoro.

Masnur Dedy, 2008, “Pengaruh Parameter Proses Terhadap Fluiditas dan Kualitas Coran ADC 12

dengan High Pressure Die Casting”, Thesis S-2 Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada.

Page 231: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.57

Purwanto Helmy, 2007, “Pengaruh Temperatur Tuang, Temperatur cetakan, Tekanan dan

Ketebalan Coran pada Pengecoran Squeeze Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Paduan Al-

6,4% Si-1,93% Fe”, Thesis S-2 Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada.

Raji A. dan Khan R.H.,2006, “Effect of Pouring Temperature and Squeeze Pressure on Al-8% Si

Alloy Squeeze Cast Parts”, AU.J.T., PP 229-237.

Radji A., 2010, “A Comparative Analysis of Grain Size and Mechanical Properties of Al-Si Alloy

Component Produced by Different

Vinarcik, E.J., 2003, “High Integrity Die Casting Process”, John Wiley & Sons, Inc, New York.

Page 232: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.11. Variasi waktu hard chromium plating … (Sutrisno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.58

VARIASI WAKTU HARD CHROMIUM PLATING

TERHADAP KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO, NILAI KEKERASAN

DAN LAJU KOROSI BAJA KARBON RENDAH

Sutrisno

Program Studi Teknik Mesin, Politeknik Surakarta E-mail : [email protected]

Abstrak

Baja AISI 1008 merupakan salah satu jenis baja karbon rendah, dimana kandungan karbon (C)

maksimal hanya 0,1% C. Secara umum baja karbon rendah memiliki beberapa kelebihan yaitu

mempunyai sifat ulet, tangguh, memiliki kemampuan las dan mesin yang baik serta harganya

relatif murah. Namun demikian, baja karbon rendah juga memiliki beberapa kelemahan

diantaranya nilai kekerasan yang rendah dan juga laju korosi yang tinggi. Salah satu upaya

untuk meningkatkan ketahanan terhadap korosi pada baja adalah hard chromium plating.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi waktu hard chromium

plating terhadap struktur mikro, nilai kekerasan, nilai laju korosi pada baja karbon rendah

(AISI 1008). Proses hard chromium plating menggunakan variasi waktu proses 20 menit,40

menit dan juga 60 menit dengan kuat arus proses sebesar 10A. Analisa struktur mikro

menggunakan mikroskop optik dan Scanning Electron Microscope (SEM). Pengujian

kekerasan menggunakan metode Vickers dan pengujian korosi menggunakan alat uji laju

korosi tipe sel tiga elektroda dengan potensiostat tipe PGS - 201T dengan media korosi 0,5%

larutan NaCl. Hasil pengujian menunjukkan bahwa lapisan yang terbentuk pada proses hard

chromium plating sangat dipengaruhi waktu proses pelapisan. Nilai kekerasan akan meningkat

dengan meningkatnya waktu proses. Nilai kekerasan yang paling tinggi terjadi pada proses

hard chromium plating dengan kuat arus waktu 60 menit yaitu 562 VHN. Nilai laju korosi

mengalami penurunan dengan meningkatnya waktu proses, dimana laju korosi terendah pada

waktu 60 menit yaitu 0,989 mm/year.

Kata kunci : hard chromium plating, waktu, kekerasan, laju korosi

PENDAHULUAN.

Baja merupakan salah satu logam yang paling banyak digunakan dalam berbagai bidang

diantaranya pada kontruksi bangunan, komponen permesinan, komponen perkapalan, komponen

otomotif, mesin perkakas, bahan rel kereta api, perpipaan dan juga alat berat. Secara umum baja

memiliki sifat tangguh, mampu dilakukan proses permesinan, mempunyai sifat mampu las yang

baik. Namun demikian baja juga memiliki kelemahan yaitu tidak tahan terhadap korosi. Nilai

kekerasan baja lebih rendah dibanding besi cor karena kadar karbon yang terkandung dalam baja

lebih rendah antara 0 - 2% C.

Korosi adalah salah satu penyebab terjadinya penurunan mutu suatu logam. Korosi

merupakan penurunaan kualitas yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan logam dengan unsur-

unsur lain yang terdapat di alam (Jones, 1992). Salah satu metode pencegahan korosi pada logam

dengan cara pelapisan permukaan logam. Hard chromium plating merupakan salah satu cara untuk

memperpanjang umur pakai dari komponen seperti valve, ring piston dan journal bearing (Merlo,

2003).

Proses hard chromium plating adalah proses electroplating yang dilakukan pada larutan

asam chromic acid dengan menggunakan anoda inert (+) dan material yang dilapisi sebagai kutub

katoda (-). Mekanisme proses hard chromium plating dapat dijelaskan sebagai berikut:

Proses pelapisan berlangsung reaksi yang terjadi pada katoda adalah sebagai berikut :

1. Pengendapan khrom

Cr2O7- + 14H

+ + 12e

- 2Cr + 7H2O

2. Pelepasan gas hidrogen

2H+ + e

- H2

3. Pembentukan Cr (III)

Cr2O7- + 14H

+ + 6e

- 2Cr

+ + 7H2O

Pada anoda terjadi reaksi sebagai berikut:

Page 233: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.59

1. Pelepasan gas hidrogen

2H2O O2 + 4H+ + 4e

-

2. Oksidasi ion chromat.

2Cr3+

+ 6H2O 2CrO3 + 12H+ + 6e

-

3. Produksi timbal oksida

Pb + 2H2O PbO2 + 4H+ + 4e

-

Lapisan krom yang terbentuk menghasilkan sifat kekerasan yang tinggi, sehingga hard

chromium plating digunakan untuk pencegahan terhadap korosi. Aplikasi dari hard chromium

plating banyak digunakan dalam industri otomotif (transmission, differential component, sistem

kemudi), aerospace dan pipa-pipa oli/gas (Leahey, 2009).

Penelitian tentang proses tentang electroplating Raharjo (2010) melakukan penelitian

tentang pengaruh tegangan listrik dan waktu proses electroplating terhadap ketebalan dan juga

kekerasan ada baja ST 40 yang dilapisi krom. Ketebalan lapisan dan juga nilai kekerasan

meningkat seiring dengan naiknya tegangan listrik dan juga lamanya waktu proses electroplating

selama 15 menit. Ketebalan maksimum yang dicapai yaitu 37,79 µm pada tegangan 12 volt selama

15 menit, sedangkan kekerasan optimum yang dicapai adalah 351,29 VHN pada tegangan 12 volt

selama 15 menit.

Pengaruh tegangan pada proses electroplating pada baja dengan pelapis krom dan seng

terhadap nilai kekerasan dan laju korosi telah diteliti oleh Alian (2010). Penelitian ini

menggunakan unsur krom dan seng sebagai bahan pelapis. Uji korosi dilakukan pada media

menyerupai kondisi air laut selama 168 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapis krom

lebih baik dari pelapis seng dalam melindungi baja terhadap laju korosi dalam lingkungan air laut.

Penambahan kekerasan terbesar didapat pada tegangan listrik 12 volt pada pelapis krom sebesar

6,950 VHN dan pelapis seng sebesar 9,851 VHN. Laju korosi terkecil pada tegangan listrik 12 volt

dengan laju korosi untuk pelapis krom sebesar 0,0173 mm/tahun dan untuk pelapis seng sebesar

0,0573 mm/tahun.

Pada penelitian akan dipelajari pengaruh waktu proses hard chromium plating terhadap

struktur mikro, nilai kekerasan dan laju korosi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh waktu hard chromium plating terhadap struktur mikro, nilai kekerasan dan juga laju

korosi pada baja karbon rendah (AISI 1008).

METODOLOGI.

a Material.

Material yang dipakai adalah baja karbon rendah (AISI 1008) dengan kandungan karbon

(C) maksimal 0,1%, mangan (Mn) antara 0,3-0,5%, fosfor (P) maksimal 0,04 dan belerang (S)

maksimal 0,05%. Spesimen dipotong dengan ukuran diameter 13 mm dengan tebal 3 mm.

Gambar 1 foto spesimen material

b Hard chromium plating.

Proses pelapisan hard chromium plating secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2 .

Spesimen (baja AISI 1008) sebagai sumbu katoda sedangkan sumbu anodanya adalah anoda tak

terlarut (Pb). Komposisi larutan pada proses hard chromium plating adalah : Larutan chromic acid

(CrO3) = 260 g/l, Asam sulfat (H2SO4) = 3 g/l, dengan suhu larutan sekitar 45o – 55

o C. Arus yang

digunakan dalam proses hard chromium plating adalah 10A dengan waktu proses 20 menit, 40

menit serta 60 menit.

Page 234: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.11. Variasi waktu hard chromium plating … (Sutrisno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.60

Gambar 2 skema hard chromium plating

c Mikrostruktur.

Karakterisasi struktur mikro dari material akan dilihat dengan melakukan foto mikro pada

daerah yang mengalami proses hard chromium plating dan daerah yang diuji korosi. Untuk

mengetahui bentuk struktur mikro spesimen, yaitu dengan mengambil penampang permukaan

spesimen untuk dipoles dan dietsa dengan larutan Nital (2%HNO3 dan 98% propanol) selama 30

detik. Pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optik dan SEM dengan pembesaran

yang bervariasi.

d Analisa kekerasan

Pada penelitian ini pengujian kekerasan menggunakan metode Vickers. Uji kekerasan

Vickers menggunakan penumbuk piramida intan yang dasarnya berbentuk belah ketupat. Besarnya

sudut antara permukaan-permukaan piramid yang saling berhubungan adalah 136o. Metode

pengujian Vickers dapat dilihat pada Gambar 3. Pengujian kekerasan menggunakan beban 250 gr

dan ditahan selama 10 detik.

Gambar 3 metode pengujian Vickers (ASM Metal Handbook)

Angka kekerasan Vickers dapat dinyatakan dengan rumus:

1)

Dengan :

p = beban indentasi (kg)

d = diagonal rata-rata bekas injakan (mm)

e Analisa korosi.

Korosi merupakan proses perusakan logam dan degradasi sifat logam akibat berinteraksi

dengan lingkungannya. Korosi terjadi berdasarkan proses elektro-kimia (electrochemical process).

22

854,1mm

kg

d

pVHN

Page 235: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.61

Laju korosi (Jones, 1992) dapat dihitung dalam mils (0,001 in) per year (mpy) dengan rumus

seperti dibawah:

2)

Dengan :

r = laju korosi (mpy)

a = berat atom

n = valensi atom

i = rapat arus korosi (μA/cm2)

D = berat jenis sampel (gr/cm3)

Perhitungan laju korosi untuk paduan, terlebih dahulu dihitung berat equivalennya

(equivalen weight= EW) dengan persamaan (Jones 1992):

3)

4)

Dengan :

EW = berat equivalen

NEQ = nilai equivalen total

= fraksi berat

= nomor massa atom

= elekron valensi

Maka persamaan (2) menjadi:

5)

HASIL DAN PEMBAHASAN.

a Komposisi Material.

Uji komposisi material digunakan untuk mengetahui komposisi kimia dan menentukan

jenis material yang digunakan di dalam penelitian. Hasil pengujian komposisi kimia material dapat

dilihat pada Tabel 1

Tabel 1 Hasil uji komposisi kimia material C Mn Si P S Cr W Ni Cu

Standar ASM <0,1 0,3-0,5 - <0,4 <0,5 - - - -

Spesimen 0,0673 0,47 0,226 0,0388 0,0167 0,0518 0,296 0,0776 0,0765

Hasil uji komposisi kimia menunjukkan bahwa spesimen yang digunakan termasuk kedalam

kategori baja karbon rendah jenis AISI 1008.

b Mikrostruktur.

Gambar 3 memperlihatkan struktur mikro dari raw material, dimana struktur mikro berupa

ferit dan perlit. Hal tersebut menunjukkan bahwa material yang digunakan adalah jenis baja karbon

rendah

Page 236: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.11. Variasi waktu hard chromium plating … (Sutrisno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.62

Gambar 4 struktur mikro raw material baja karbon rendah (AISI 1008) dengan perbesaran 200x

c Nilai Kekerasan.

Gambar 5 dibawah menunjukkan grafik nilai kekerasan proses hard chromium plating pada

kuat arus 10A dengan interval waktu 20, 40 dan 60 menit. Nilai kekerasan material dasar sebesar

193 VHN, setelah material mengalami proses pelapisan nilai kekerasan meningkat dengan

bertambahnya waktu pelapisan. Hal ini disebabkan dengan semakin lama waktu proses pelapisan

akan semakin banyak deposit yang terbentuk pada permukaan material sehingga akan

meningkatkan nilai kekerasannya. Nilai kekerasan paling tinggi pada waktu 60 menit yaitu 562

VHN.

Gambar 5 grafik nilai kekerasan

d Laju Korosi.

Gambar 6 dibawah memeperliatkan grafik laju korosi hasil proses hard chromium plating

pada kuat arus 10A dengan interval waktu 20, 40 dan 60 menit. Laju korosi material dasar adalah

1,487 mm/year Laju korosi akan mengalami penurunan dengan adanya peningkatan waktu proses

hard chromium plating. laju korosi terendah pada waktu 60 menit sebesar 0,989 mm/year.

Gambar 6 laju korosi

Page 237: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.63

Penurunan laju korosi setelah proses hard chromium plating karena adanya lapisan pasif Cr2O3

yang terbentuk pada permukaan lapisan, sehingga dapat mengurangi laju korosi. Hal tersebut sesuai

dengan hasil foto SEM (Gambar 7).

Gambar 7 hasil SEM penampang ketebalan lapisan Cr2O3 pada waktu 60 menit

KESIMPULAN.

1. Hard Chromium plating akan meningkatkan nilai kekerasan dan menurunkan laju korosi pada

baja karbon rendah (AISI 1008).

2. Nilai kekerasan akan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu proses hard chromium

plating. nilai kekerasan tertinggi pada waktu 60 menit yaitu 562 VHN.

3. Laju korosi mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu proses hard chromium plating.

laju korosi terendah pada waktu 60 menit yaitu 0,989 mm/year.

DAFTAR PUSTAKA. Alian, H., 2010, “ Pengaruh Tegangan Pada Proses Electroplating Baja Dengan Pelapis Seng

Dan Krom Terhadap Kekerasan Dan Laju Korosi “, Prosedding Seminar Nasional

Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) Ke-9 Palembang.

ASM Handbook, 2005, “Properties and Selection: Irons, Steels, and High Performance Alloys”,

Metal Handbook, Vol 1.

Jones, D.A., 1991, “Principle and Prevention of Corrosion”, Mc. Millan Publishing Company,

New York.

Leahey, M.W., 2009, “Replacement Of Hard Chrome Electroplating By Tungsten Carbide Based

High Velocity Oxygen Fueled Thermal Spray”, A Project Submitted to the Graduate,

Rensselaer Polytechnic Institute, Hartford CT.

Merlo, A.M., 2003, “The Contribution Of Surface Engineering To The Product Performance In

The Automotive Industry”, Journal surface and Coatings Technology, Elsevier, 174-175, pp

21-26.

Raharjo, S., 2010, “Pengaruh Variasi Tegangan Listrik Dan Waktu Proses Electroplating

Terhadap Ketebalan Serta Kekerasan Lapisan Pada Baja Karbon Rendah Dengan Krom”,

Master Thesis, Universitas Diponegoro Semarang

Cr2O3

Page 238: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.12. Perilaku mulur (creep) polipropilen … (Iman Mujiarto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.64

PERILAKU MULUR (CREEP) POLIPROPILEN

DENGAN PERUBAHAN TEGANGAN DAN TEMPERATUR

Iman Mujiarto*1)

, Bayuseno AP2)

. Jamari2)

1)

Jurusan Teknika STIMART AMNI

Jl. Soekarno Hatta 180 Semarang 2)

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Pada beberapa sektor industri, ada beberapa metode pengujian yang dipakai untuk

mengetahui ketangguhan suatu material. Pengujian mekanik yang lazim dilakukan adalah uji

tarik, kekerasan, impak, creep, dan uji fatik. Penelitian pengujian mulur ini menggunakan

bahan dari jenis polimer termoplastik, yaitu polipropilen. Pengujian dilakukan untuk

mengetahui perilaku creep dari bahan yang akan diuji. Bahan uji mengalami tegangan tetap

pada temperatur tertentu, sementara regangan berubah terhadap waktu. Urutan proses

pengujian mulur: (1) Memasang beban yang direncanakan pada penggantung beban, (2)

Memasang spesimen pada dudukan dan pemanas dihidupkan. Setelah diperoleh temperatur

yang konstan, baru diberi beban selama kurun waktu 10.000 detik, (3) Pemberian beban yaitu

1 lb (0,46 kg), 1,5 lb (0,68 kg), 2 lb (0,91 kg). Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa

(1) Bahan Polipropilen mengalami gejala mulur bilamana mendapat aksi tegangan pada suhu

tertentu. Dengan variabel beban tegangan dan suhu operasi, pada beban tegangan tetap bila

suhu meningkat maka gejala mulur bahan akan lebih besar dan pada suhu tetap bila beban

tegangan bertambah maka gejala mulur bahan akan lebih besar. (2) Hasil penelitian adanya

kemiripan arah kurva creep dengan studi yang telah dilaksanakan oleh Crawford (2002),

Martin J. D., et al. (2002), Ben D. B., et al. (2007) dan Siljana L., et al. (2007

Kata Kunci : Mulur, Tegangan, Temperatur, Termoplastik, Polipropilen.

PENDAHULUAN

Dalam bidang rekayasa (engineering) adalah sangat penting bilamana perkiraan hasil

pengujian jangka panjang dapat dilakukan melalui pengujian jangka pendek. Sementara itu untuk

bidang polimer, hal yang paling penting adalah pengujian viskoelastisnya (Brostow, et al. 1999).

Alasan pengujian ini untuk mengevaluasi kinerja pengujian jangka panjang dan kehandalan bahan

polimer yang pada saat ini masih banyak belum dilakukan (Brostow, 2000).

Kegagalan material dapat terjadi antara lain akibat kelelahan (fatigue), deformasi plastis,

patah statik, korosi, mulur (creep) atau karena efek relaksasi. Pengujian mekanik yang lazim

dilakukan adalah uji tarik, kekerasan, impak, creep, dan uji fatik. Hasil pengujian tidak digunakan

untuk meneliti keadaan cacat tetapi ditujukan untuk mengetahui kualitas produk sesuai spesifikasi

standar. Pada penelitian ini dilakukan pengujian mulur menggunakan bahan dari jenis polimer

termoplastik, yaitu polipropilen. Pengujian dilakukan untuk mengetahui perilaku creep dari bahan

yang akan diuji. Bahan uji mengalami tegangan tetap pada temperatur tertentu, sementara regangan

berubah terhadap waktu.

Informasi tentang perilaku creep pada bahan ini sangat penting untuk menentukan umur

suatu rancangan produk atau konstruksi bila mendapat tegangan (beban) tetap, meskipun pada

temperatur kamar. Dengan analisa ini diharapkan dapat diambil suatu kesimpulan pengaruh

tegangan maupun temperatur terhadap regangan pada suatu rancangan produk atau konstruksi.

Creep (Mulur)

Sifat mekanik polimer sangat bergantung pada waktu dan temperatur, selanjutnya respon

terhadap tegangan dapat bersifat viskos dan elastis. Respon viskoelastis menjadi lebih jelas dalam

kondisi suhu tinggi dengan pemberian beban secara terus-menerus dan tingkat tegangan yang tinggi

(Severino, et al. 2007). Pada perilaku viskoelastis, regangan total terdiri dari komponen elastis

linier (sesuai Hooke) dan komponen viskos linier (sesuai Newton). Rasio tegangan-regangan

bergantung pada waktu (Smallman, 2006).

Pada temperatur yang relatif tinggi, creep terjadi pada semua level tegangan, tetapi pada

temperatur tertentu laju creep bertambah dengan meningkatnya tegangan.

Page 239: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.65

Gambar 1. Kurva creep yang lazim dijumpai (Smallman, 2006)

Pada Gambar 1 pada kurva a menampilkan karakteristik kurva creep yang ideal. Proses

creep dapat dibagi menjadi tiga tahapan (Harikishan Mandalapu, et al. 2007) yaitu creep primer

atau creep transient, creep sekunder atau creep keadaan stasioner dan creep tersier atau creep

dipercepat. Karakteristik kurva seringkali bervariasi, dan tahap creep tersier dapat dipercepat atau

diperlambat apabila temperatur dan tegangan uji tinggi atau rendah (lihat Gambar 1 kurva b dan c).

Penelitian Soekrisno dan Jamasri tentang perilaku creep bahan akrilik berlubang tunggal

dan ganda (Soekrisno, 1995), menjelaskan pengaruh kenaikan jumlah lubang tidak sebesar

pengaruh kenaikan temperatur. Kombinasi lubang dengan beda diameter yang agak besar ternyata

ketahanan terhadap creep lemah sekali. Pada penelitian selanjutnya tentang sifat creep bahan

polimer polyester sebagai matrik komposit, menjelaskan bahwa resin polyester termasuk bahan

yang tidak tahan temperatur tinggi (Soekrisno, 1994).

Model Matematik Bahan Viscoelastik

Pada beberapa tahun terakhir banyak percobaan dilakukan untuk mensimulasikan perilaku

bahan viskoelastik (Kierfeld, et al. 2000). Model matematik yang sesuai untuk bahan plastik adalah

yang berdasar pada pegas dan redaman (dashpot) dalam satu rangkaian. Tidak setiap model bisa

digunakan untuk mendekati hasil pengujian dan sifat sebenarnya. Adapun model matematik yang

sering digunakan adalah Model Maxwell, Kelvin, dan Burger (Crawford, 2002).

Model Maxwell terdiri dari pegas dan redaman (dashpot) dalam satu rangkaian. Pegas

merupakan komponen elastis linier yang merespon dengan persamaan:

έ = ση

ξ

1 ……………………………………. (1)

Regangan pada waktu (t) dan tegangan konstan (σo), ditunjukkan dengan persamaan:

ε(t) = tη

σ

ξ

σ oo … …………………………………… (2)

dimana:

ε(t)= regangan creep

ξ = konstanta pegas (MN/m2)

σo = tegangan (MN/mm2)

t = waktu (s)

Model Kelvin terdiri dari pegas dan redaman yang dirangkai secara parallel. Untuk model

Kelvin persamaan tegangan - regangan pada pegas dan redaman, sama dengan model Maxwell.

Sedangkan untuk kesetimbangan gaya dapat dilihat pada penerapan beban yang didukung dari

gabungan pegas dan redaman, sehingga persamaannya menjadi:

σ = ξ . ε + η . έ ……………………………………… (3)

Bila tegangan konstan (σo), maka persamaan (3) menjadi

Page 240: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.12. Perilaku mulur (creep) polipropilen … (Iman Mujiarto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.66

σo = ξ . ε + ηέ

Solusi dari persamaan diferensial untuk regangan totalnya dapat dituliskan persamaan sebagai

berikut:

ε(t) =

ξexp1

ξ

σo …………………………………… (4)

Model Burger (Walter, 2004) merupakan gabungan dari Model Maxwell dan Model

Kelvin. Regangan totalnya jumlah regangan pegas, regangan redaman dan regangan Kelvin dengan

persamaan:

ε(t) = tη

σo

ξ

σo +

t

η

ξexp1

ξ

σo …………………………. (5)

METODOLOGI

Bentuk dan ukuran spesimen pengujian mulur menggunakan standar ASTM D 638-03

dengan jenis spesimen tipe II dan ASTM D 2990-01 (Anonim, 2006), (Siljana, et al. 2007), seperti

yang ditunjukkan oleh Gambar 2 dan Tabel 1.

Gambar 2 Bentuk spesimen uji mulur

Tabel 1 Dimensi spesimen (Tipe II)

Mesin uji yang digunakan adalah creep testing machine tipe JE Machine 1060, temperatur

0-500oF (-17-1371

oC). Kapasitas beban mencapai 20.000 pound dan rasio lever arm 10 : 1. Mesin

ini diproduksi oleh SATEC Systems Inc. USA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian di atas diperoleh grafik eksperimen temperatur tetap dengan

perubahan tegangan seperti terlihat pada Gambar 3, sedangkan grafik eksperimen tegangan tetap

(2,47 MN/m2; 3,71 MN/m

2; 4,94 MN/m

2) dengan perubahan temperatur seperti terlihat pada

Gambar 4.

Bagian Dimensi (mm) Toleransi (mm)

Lebar (Wc)

Panjang (L)

Lebar keseluruhan (Wo)

Panjang keseluruhan (Lo)

Panjang ukur (G)

Jarak antar grip (D)

Radius fillet (R)

6

57

19

183

50

135

76

± 0,5

± 0,5

± 6,4

no max

± 0,25

± 5

± 1

Page 241: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.67

Gambar 3 Grafik perbandingan hasil perhitungan dan eksperimen creep PP

pada temperatur tetap 30ºC

Dari Gambar 3 menunjukkan grafik hasil perhitungan dengan pendekatan matematis untuk

persamaan Maxwell, Kelvin dan Burger, dibandingkan dengan grafik hasil pengujian. Dari grafik

diatas pada keadaan temperatur tetap dengan perubahan tegangan berdasarkan hasil pendekatan

perhitungan matematis, dapat diketahui bahwa hasil pengujian regangan bahan polipropilen pada

suhu 30ºC, 50ºC dan 70ºC ternyata cenderung mendekati perhitungan persamaan Burger.

Gambar 4 Grafik perbandingan hasil perhitungan dan eksperimen creep PP

pada tegangan tetap 4,94 MN/m²

Dari Gambar 4 yang menunjukkan gambar analisa grafik hasil perhitungan dengan

pendekatan matematis untuk persamaan Maxwell, Kelvin dan Burger, dimana grafik mulur pada

keadaan tegangan tetap dengan perubahan temperatur dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil

pendekatan perhitungan matematis, dapat diketahui bahwa hasil pengujian regangan bahan

Polipropilen pada suhu 30ºC, 50ºC dan 70ºC ternyata juga cenderung mendekati Perhitungan

Persamaan Burger. Sedangkan arah creep hasil pengujian sesuai dengan pendapat Barbero, et al. (2004), yang

menjelaskan pada temperatur < 0,4 Tm perubahan regangan creep konstan (tidak terjadi). Hal ini

ditunjukkan seperti eksperimen pada grafik Gambar 5. Bila melihat kurva hasil pengujian, bila

dibandingkan antara hasil ekperimen dengan grafik creep Crawford (2002), dimana pada tegangan

2 – 4 MN/m2 dalam waktu pengujian selama 10.000 detik arah kurvanya mendekati rata (belum

Page 242: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.12. Perilaku mulur (creep) polipropilen … (Iman Mujiarto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.68

ada kenaikan regangan yang besar), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Adanya selisih pada

grafik karena pada saat melakukan pengujian ada beberapa kendala seperti adanya getaran saat

pengujian sedang berlangsung, pengaruh spesifikasi mesin yang digunakan tidak sama dan

spesifikasi material yang digunakan untuk pengujian yang berbeda.

Gambar 5 Grafik perbandingan creep PP eksperimen dengan Crawford (2002)

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan membandingkannya dengan perhitungan yang telah dilakukan

maka dapar diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pada suhu tetap bila beban tegangan bertambah maka gejala mulur bahan akan lebih besar.

Saat T = 30oC regangan mulur pada = 2,47 MN/m

2 adalah sebesar 9,9124, pada = 4,94

MN/m2 adalah sebesar 25,6421.

Pada beban tegangan tetap bila suhu meningkat maka gejala mulur bahan akan lebih besar.

Dengan = 2,47 MN/m2 regangan mulur pada T = 30

oC adalah sebesar 9,9124, pada T =

70oC adalah sebesar 20,1346.

Bahan mengalami kuat mulur secara teoritis cenderung mengikuti persamaan Burger

dibandingkan dengan persamaan Maxwell dan Kelvin.

Hasil dari ketiga kesimpulan diatas adalah serupa dengan studi yang telah dilaksanakan oleh

Crawford (2002), Martin J. D., et al. (2002), Ben D. B., et al. (2007) dan Siljana L., et al. (2007)

tentang pengujian creep dimana adanya pengaruh perubahan tegangan dan temperatur terhadap

regangan mulur (creep) dengan hasil yang didapat adanya kemiripan arah kurva creep dan

pendekatan matematis yang mendekati persamaan Burger.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM (2006), Annual Book of ASTM, Vol. 08.01, USA

Barbero, E.J., Julius, M., and Yao, Z. (2003), “Time and frequency viscoelastic behavior of

commercial polymers”, Mechanical and Aerospace Engineering, West Virginia

University,Morgantown.

(citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.78.2224&rep...)

Beake, B.D., Bell, G.A., Brostow, W., and Chonkaew, W. (2007), “Nanoindentation creep and

glass transition temperatures in polymers”, Polymer International, 56, 773–778.

Brostow, W. (2000), “Time–stress correspondence in viscoelastic materials: an equation for the

stress and temperature shift factor”, Journal Mat. Res. Innovat., 3, 347-351.

Brostow, W., d’Souza, N.A., Kubat, J., and Maksimov, R.D. (1999), “Creep and stress relaxation in

a longitudinal polymer liquid crystal: prediction of the temperature shift factor”, Journal of

Chemical Physics, 110, No. 19, 9706-9712.

Page 243: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.69

Callister, W.D. (2007), Materials Science and Engineering, Sevent Edition, Department of

Metalogical Engineering The University of Utah.

Crawford, R.J. (2002), Plastics Engineering, Ed.3rd

, Butterworth-Heinemann, Oxford. UK.

Dropik, M.J., Johnson D.H., and Roth, D.E, (2002), “Developing an ANSYS Creep Model for

Polypropylene from Experimental Data”. Penn State-Erie, Erie, PA, USA,

(www.ansys.com/events/proceedings/2002 /.../161 .pdf) Duxbury, J. and Ward, I.I. (1997), “The creep behaviour of ultra-high modulus polypropylene”,

Journal of Materials Science, 22, 1215-1223.

Jones, H. (2001), Failure Analysis Case Studies II, Pergamon, UK.

Kierfeld, J., Nordborg, H., and Vinokur, V.M. (2000), “Theory of plastic vortex creep”, Physical

Review Letters, 85, Number 23, 4948-4951.

Krauss, H. (1980), Creep Analysis, A Wiley-Interscience Publication, New York.

Lakes, R.S. and Vanderby, R. (1999), “Interrelation of creep and relaxation: a modeling approach

for ligaments”, J Biomech. Engineering, 121, 612-615.

Lietz, S., Yang, J., Bosch, E., Sandler, J.K., Zhang, Z., and Altstadt, V. (2007), Macromol. Mater.

Eng. 292, 23–32.

Mandalapu, H. and Karanamsetty, S., (2007), Parameter Analysis of Creep Models of PP/CaCo3

Nanocomposites, Master Thesis, Department of Mechanical Engineering, Blekinge

Institute of Technology, Karlskrona, Swedia.

Ou, B.S. (1992), Laser Welding of High Density Polytethylene and Polypropylene Plates, Master

Thesis, Ohio State University, Ohio, USA.

Samsudin, S.A, Hassan, A., Mokhtar, M., and Jamaluddin, M.S. (2006), “Chemical resistance

evaluation of polystyrene/polypropylene blends: effect of blend compositions and SEBS

content”, Malaysian Polymer Journal (MPJ), 1, No. 1, 11-24.

Shenoi, R.A., Allen, H.G., and Clark, S.D. (1997), “Cyclic creep-fatigue interaction in sandwich

beams”, The Journal of Strain Analysis for Engineering Design, 32, No. 1, 1-18.

Smallman, R.E. dan Bishop, R.J. (2006), Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material, Ed. 6,

Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.

Soekrisno, R. (1995), “Sifat rangkak bahan polimer sebagai matrik komposit”, Media Teknik, 2,

Th. XVII, 89-93.

Soekrisno, R. dan Jamasri. (1994), “Rangkak pada acrylic berlubang”, Media Teknik, 2, Th. XVI,

176-180.

Starkova, O., Yang, J., and Zhang, Z. (2007), “Application of time–stress superposition to

nonlinear creep of polyamide 66 filled with nanoparticles of various sizes”, The Journal of

Composites Science and Technology, 67, No. 2, 2691–2698.

Strojny, A. and Gerberich, W.W. (1998), “Experimental analysis of viscoelastic behaviour in

nanoindentation”, Mat. Res. Soc, Symp. Proc, 522, 159-164.

Surdia, T. dan Shinroku. (2000), Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

Indonesia.

Trantina, G. and Nimmer, R. (1994), Structural Analysis of Thermoplastic Components, Mc. Graw

Hill , Singapore.

Vinogradov, A.M. (2002), “Creep-Fatigue Interaction In Polymers”, Department of Mechanical

and Industrial Engineering, Montana State University, Bozeman. USA.

(www.ce.washington.edu/em03/proceedings/papers/ 519.pdf)

Page 244: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.13. Pengaruh tebal pelapisan krom terhadap rapat arus … (Sutomo dan Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.70

PENGARUH TEBAL PELAPISAN KROM TERHADAP RAPAT ARUS

ELEKTROPLATING PADA GEOMETRI PLAT, PROFIL DAN PIPA

Sutomo, Bambang Setyoko

Program Diploma III Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Email: [email protected]

Abstrak

Sutomo, didalam penelitian pengaruh tebal pelapisan crom terhadap rapat arus eleitroplating

pada geometri alat profil dan pipa,peneliti ingin mengetahui geometri yang mana akan lebih

mengindikasikan lebih efektif didalam proses electroplating ini.Pelapisan crom akan dapat

mengurangi atau menahan proses korosi terhadap baja,didalam penelitian ini dilakukan

selama 100 menit untuk membuat sample. Hasil dari penelitian ini menghasilkan bahwa

geometri yang bentuk permukaan yang plat akan lebih efektif,selanjutnya yang profil L serta

bentuk pipa yang kurang efektif atau perlu waktu yang lebih lama untuk pelapisan dengan

luasan permukaan dan tebal pelapisan yang sama.Kejadian keadaan ini disebabkan karena

panjang lintasan electron menjadi berbeda pula.Setelah 100 menit pelapisan akan menambah

berat 0.8121 gram, 0.01 gram, 0.08 gram geometri plat, profil L dan pipa,sedangkan untuk

kerebalannya adalah 0.25 mm, 0.2mm, 0.016 mm.

Kata kunci: electroplating, pelapisan, crom, geometri

PENDAHULUAN

Dalam lakuan logam, selain dipakai untuk plating khrom, juga untuk khromisasi, coating

ubahan khromat, pasivasi, pembersihan permukaan dan etsa, pencegahan korosi, sampai stripping

deposit. Sifat mekanis khrom sangat peka terhadap pengotor, riwayat lakuan mekanisnya, ukuran

buritan, kondisi permukaan dan lain-lain. Karbon, belerang dan oksigen, biarpun sedikit, sangat

mempengaruhi keliatannya. Khrom relatif inert dalam berbagai kondisi lingkungan. Khrom

bereaksi dengan halogen, hidrogen khlorida, dydrogen fluorida. Asam semisal asam nitrat pekat,

fosfat, khlorat dan perkhlorat membentuk lapisan tipis khrom yang menghasilkan kepasifan,

sehingga tahan korosi. Dalam larutan netral kepasifan itu terjaga, tetapi dalam larutan asam, harus

diberi oksidator, tetapi jangan ada asam halogen. Logam-logam mulia emas-perak-platina

dikelompokkan dalam logam rekayasa ini, bersama-sama timah dan timbel. Penggolongan ini

sekali lagi, beralasan praktis. Emas dan perak diambil dari segi keindahan (dan harganya) di

samping sifat fisik dan kimianya. Lagi pula, di dunia industri (elektronika dan sekitarnya) kedua

logam ini makin penting pula. Di antara keenam logam kolompok platina (ruthenium, rhodium,

palladium, osmium, iridium, platina), hanya rhodium yang bermanfaat dekoratif. Laiinya

kebanyakan digunakan untuk tujuan rekayasa/teknik. Timah dan timbel hanya digunakan sebagai

pelapis industri. Kecuali timah dan timbel, logam-logam tersebut biasanya disebut mulia, sesuai

tempat golongan di daftar susunan Berkala Unsur Kimia. Timah dan timbel satu golongan

tersendiri, sifatnya mirip, timbal sendiri jarang dipakai plating, tetapi alloy timah-timbal makin

penting di industri (elektronik) pula. Pelapisan emas ditujukan untuk kedua bidang terapan, yakni

dekoratif dan industri (elektronika, komunikasi, dirgantara). Sering emas dipergunakan dalam

komponen elektronik karena tahan korosi, mudah disolder, tahan oksidasi, liat, bersifat listrik baik.

Untuk pemanfaatan dirgantara, emas daya pancar/pantul infra merahnya baik. Dalam industri

kimia, emas tahan korosi, maka secara electroforming dipakai dalam pembuatan reaktor, demikian

pula pada penukar panas kondensor dan sebagainya. Kebanyakan logam, kecuali di industri yang

menggarap penghantar listrik, biasanya dipergunakan dalam bentuk alloy. Dengan proses alloy,

berbagai sifat logam seperti yang dikehendaki dapat dicapai. Sebaliknya, kebanyakan eletrodeposit

justru logam murni (selain kodeposit dari aditif). Hal itu berhubungan dengan sulitnya kontrol

proses elektrodeposisi berbagai alloy. Akan tetapi justru dengan mampu mengatur komposisi

deposit, orang dapat membuat lapisan/coating bermacam-macam, ada yang keras atau lunak, ada

stress atau tidak, dan sebagainya. Alloy sungguh memikat, alloy di sini tidak sekadar yang biner

(dua komponen), tetapi dapat tiga, empat atau lebih. Alloy tembaga-timah-seng sudah banyak

Page 245: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.71

dipraktikan dalam elektroplating. Walau masalah biaya dan kontrol harus diperhitungkan masak-

masak sebelum berbuat. Yang jelas, dengan plating alloy, produknya dapat memiliki berbagai

keunggulan sepert; sifat fisik baik, lebih tahan korosi, warna dan daya pikat dekoratifnya unggul,

sifat magnetic piawai, mampu diberi lakuan panas, dapat menyaingi sifat logamlogam yang lebih

mahal, dan banyak lagi. Warna kekuning-kuningan dapat menyaingi emas, ketahanannya terhadap

korosi lebih bagus daripada tembaganya sendiri, dan lebih keras. Anodisasi merupakan proses

elektrolit dengan logam dijadikan anoda dalam elektrolit, sehingga bila dialiri listrik, permukaan

logamnya diubah menjadi oksidanya, serta mempunyai sifat dekoratif, protektif dan manfaat

lainnya. Sesuai dengan sifat dan kerja elektrolit terhadap oksida anodic, kondisi operasi, juga

hubungan tegangan/arus, anoda logam terus termakan dan diubah menjadi oksida yang terus

menjalar ke bagian dalam. Oksida yang terbentuk terakhir berdekatan dengan antar-muka logam

pelapis. Proses penganodaan khrom adalah proses elektrolisa sebagai elektrolit adalah asam sulfat

(H2SO4). Benda dari logam khrom itu dipasang pada kutub positif dan mengalami reaksi oksidasi

pada permukaannya. Dengan demikian terbentuklah suatu lapisan oksida khrom pada permukaan

benda itu, sehingga akan merupakan lapisan pelindung yang sekaligus dapat berfungsi dekoratif.

Proses penganodaan khrom pada prinsipnya berbeda dengan proses pelapisan logam. Pada proses

penganodaan terbentuk suatu lapisan logam terendapkan logam, sehingga merupakan lapisan

logam yang menyelubungi permukaan benda itu

KAJIAN PUSTAKA

Khromium atau khrom (Chrome) merupakan logam yang digunakan secara luas saat ini

baik untuk keperluan perabot rumah tangga, kendaraan bermotor maupun rol logam pada industri.

Pemakaian khrom tidak dalam bentuk murni tetapi dilapiskan pada suatu benda padat dari logam

lain. Dalam industri elektroplating, dikenal dua macam jenis pelapisan yaitu khrom dekoratif dan

khrom keras (hard chrome). Khromiun dekoratif merupakan suatu lapisan tipis khromium dengan

ketebalan antara 0.25 hingga 0.75 μm yang dilapiskan di atas lapisan dasar baik berupa tembaga-

nikel maupun nikel saja. Lapisan ini memberikan kenampakan yang indah dan bersifat

nontarnishing pada barang-barang yang dilapis. Lapisan khrom dekoratif tahan terhadap abrasi dan

memberiksan kenampakan yang cemerlang sehingga banyak digunakan untuk pelapisan perabot

rumah tangga, kendaaraan bermotor dan mobil, pesawat terbang, alat-alat bedah dan gigi. Khrom

keras memiliki ketebalan yang dapat mencapai 0.3 mm dengan kekerasan lebih dari 600HV,

dipakai pada alat-alat industri yang bergerak dan memerlukan ketahanan goresan dan abrasi tinggi.

Untuk proses plating khrom pada bahan besi/baja adalah pelapisan dasar dengan tembaga sianida,

dilanjutkan dengan pelapisan tembaga asam, pelapisan nikel dan tahap akhir berupa pelapisan

khrom yang dikenal sebagai plating 4 lapis. Sedangkan apabila menggunakan sistem 2 lapis, cukup

menggunakan pelapis dasar nikel saja. Pelapisan khrom keras dilakukan terhadap bahan dasar baja

yang dilapis.

Sifat-Sifat Khrom:

- Mempunyai massa atom 51,996 sma

- Mempunyai nomor atom 24

- Mempunyai jari-jari atom 1.30 Å

- Mempunyai konfigurasi elektron 2 8 13 1

- Dalam senyawa mempunyai bilangan oksidasi +6, +3, dan +2

- Mempunyai volume atom 7.33 cm3/mol

- Mempunyai struktur kristal bcc

- Mempunyai titik didih 2945 K

- Mempunyai titik lebur 2130 K

- Mempunyai massa jenis 7.19 gram/cm3

- Mempunyai kapasitas panas 0.449 J/g K

- Mempunyai potensial ionisasi 6.776 volt

- Mempunyai elektronegativitas 1.66

- Mempunyai konduktivitas listrik 7.9 x 106 ohm-1cm-1

- Mempunyai konduktivitas kalor 93.7 W/m K

- Mempunyai harga entalphi pembentukan 20 kJ/mol

- Mempunyai harga entalphi penguapan 339.5 kJ/mol

Page 246: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.13. Pengaruh tebal pelapisan krom terhadap rapat arus … (Sutomo dan Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.72

Sifat mekanis khrom sangat peka terhadap pengotor, riwayat lakuan mekanisnya, ukuran

butiran, kondisi permukaannya dan lain-lain. Karbon, belerang dan oksigen, biarpun sedikit sangat

mempengaruhi keliatannya. Khrom relatif inert dalam berbagai kondisi lingkungan. Khrom

bereaksi dengan halogen, hydrogen khlorida, hydrogen fluorida. Asam semisal asam nitrat pekat,

fosfat, khlorat, dan perkhlorat membentuk lapisan tipis khrom yang mengasilkan kepasifan,

sehingga tahan korosi. Dalam larutan netral kepasifan itu terjaga tetapi dalam larutan asam harus

diberi oksidator, tetapi jangan asam halogen. Ion khromo atau khrom (II) merupakan reduktor kuat.

Ion heksakuo berwarna biru membentuk banyak kompleks. Khrom paling stabil ialah khrom (III),

kimianya terutama koordinasi lingkungannya dapat anorganik maupun organik. Konsentrasi tinggi

dan pH rendah mendukung terbentuknya polianion semisal dikhromat, bahkan selain Cr2O-2 juga

dapat Cr3O10 2- dan Cr4O13 2- bilangan oksidasinya 4. Dalam larutan basa (di atas pH 6), CrO3

membentuk ion khromat kuning. Antara pH 2 sampai 6, HCrO4 - dan dikhromat bersetimbang dan

di bawah pH 1, spesi utama yang ada ialah H2CrO4. Larutan asam dikhromat merupakan oksidator

kuat:

Cr2O72- + 2 H+ + 6e- → 2Cr3+ + 7H2O Eo = 1.33 V

Dulu, lapisan tipis khrom pada tembaganikel- khrom komposit disangka hanya melindungi

nikel agar tidak membercak (tarnish). Dikira kemampuan mencegah korosi hanya fungsi jenis dan

tebal nikelnya saja. Baru sejak dasawarsa 1950-an khromnya diperhatikan. Dikembangkan pula

teknik pelapisan khrom mikrodiskuntinyu. Melihat khrom (III) yang memiliki banyak kompleks,

orang berminat membuat plat dari keadaan tersebut. Dan memang, khrom pun dibuat dari

elektrolisis bak khrom sulfat. Akan tetapi khrom tak dapat diplatkan dari larutan berair CrO3 saja,

harus ada sedikit radikal asam yang berperan sebagai katalis agar terjadi deposisi katodik

logamnya, misalnya CrO4 2- atau lazimnya fluosilikat (SiF6 2-). Pada sistem bak asam khromat

walau efisiensi arus platingnya rendah (untuk yang cerah 10-25%), laju deposisi tetap besar karena

rapat arus yang digunakan besar pula. Tegangan listrik sesuai rapat arus tersebut juga besar, antara

4 sampai 12 volt, tergantung kondisinya. Daya lontar bak plating khrom jelek. Liputan plating baik

bila nisbah optimum CrO3 terhadap katalis terjaga dan anodanya didesain dengan baik (dwi kutup

dan semacamnya). Asam khromat dalam larutan asam pekat bak plating berada kebanyakan

sebagai ion dikhromat. Pada katoda setidaknya tiga reaksi berlangsung: diposisi khrom,

pengeluaran hydrogen, pembentukan Cr (III), Cr2O7 2- + 14 H+ + 12e- → 2 Cr + 7 H2O H+ + 2 e-

→ H2 Cr2O7 2- + 14 H+ + 6e- → 2 Cr3+ + 7 H2O. Pengeluaran hidrogen menyedot 80 sampai

90% daya yang diberikan pada sistem. Hanya 10% saja dipergunakan untuk deposisi khrom

sesungguhnya. Anoda khrom larut tak efisien pada kondisi elektrolisis, apalagi logam khrom jauh

lebih mahal daripada bentuk CrO3, maka dipergunakan anoda larut, yakni timbel atau yang

berkandungan 10% unsur alloy, biasanya timah, antimony atau keduanya. Pada anoda terjadi tiga

reaksi serentak: pengeluaran oksigen, oksidasi ion khromat, produksi timbel dioksida pada anoda.

Reaksinya: 2 H2O → O2 + 4 H+ + 4 e+ 2 Cr+ + 6 H2O → 2 CrO3 + 12 H+ + 6 e- Pb + 2 H2O →

PbO2 + 4 H+ + 4 e-. Kebanyakan daya diserap untuk pengeluaran oksigen. Akan tetapi dua reaksi

lain amat penting: oksidasi-ulang Cr (III) pada anoda membantu menyeimbangkan produksinya

pada katoda dan menjaga tingkat Cr3+. Bagi operasi memadai bak plating khromnya, anoda timbel

harus tertutup lapisan timbel dioksida. Apabila film tersebut hilang atau tidak terbentuk, akan

terjadi timbel khromat dan anodanya tidak menjalankan fungsi pengaturan konsentrasi Cr3+ di

baknya. Anoda tak dipakai, pelapis oksidanya hilang membentuk film kuning timbel khromat. Bila

arus dialirkan lagi, segera terbentuk film oksida lagi. Bila tidak, jadi tidak ada lapisan oksida

kelabuhitam tersebut, berarti ada sesuatu yang keliru:kontak-kontak ke batang atau anoda kurang

baik, atau ada korsluiting anoda. Film timbel khromat dihilangkan dengan mengambil anodanya,

membersihkan batang-batang dan gantungannya, serta menggosok anoda dengan sikat kawat.

METODOLOGI

Khrom merupakan finishing bagi sistem plating protektif-dekoratif nikel/tembaga-nikel.

Warnanya putih-kebiruan dan cemerlang, tahan tarnish (noda), tahan korosi, tahan aus dan goresan

dan lebih melindungi substrat. Khrom jarang diplatkan langsung ke substrat untuk tujuan dekoratif,

kecuali pada plating baja stainless.

Page 247: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.73

Tabel 1. Komposisi dan kondisi operasi plating khrom

Larutan plating khrom standar

Komponen dan kondisi operasi

Asam khromat 250 – 280 gr/l

Asam sulfat 2.5 – 2.8 gr/l

Khrom valensi 3 1 gr/l

Khrom/sulfat 100 gr/l

Temperatur 43o – 55o C

Rapat arus 14.3 – 43.0 A/dm2

Efisiensi katoda 23

Larutan Albright & Wilson

Komponen dan kondisi operasi

Asam khromat 150 gr/l

Asam sulfat 0.87 gr/l

Katalis 15 ml/l

Temperatur 38o – 46o C

Rapat Arus 11 – 17 A/dm2

Tebal plat khrom yang dideposisi di atas tergantung pula pada kondisi pemakaiannya serta

mutu standar produknya. Alat-alat rumah tangga (indoor) biasanya 0.1 mikron. Untuk kendaraan

atau mobil sekitar 1.5 mikron lebih. Jenis khrom juga merupakan faktor: khrom mikropori juga

tidak boleh terlalu tebal (tidak memicu pori). Terdapat dua jenis utama bak plating asam khromat

yakni jenis konvensional dengan ion katalis sulfat (dapat encer atau pekat tergantung faktor macam

garapan, waktu dan ekonomi), serta bak katalis tercampur (katalis juga berkandungan

fluoride/fluorosilikat). Daya lontar dan daya liput bak plating asam khromat jelek, terjelek bila

dibandingkan berbagai larutan plating yang lazim digunakan. Daya hantar baik tapi merosot bila

ada pengotor seperti tembaga dan besi. Karena logam khrom tidak berfungsi dengan baik sebagai

anoda, hal ini disebabkan kelarutan yang tinggi. Maka biasanya digunakan timbal sebagai anoda.

Anoda yang terbuat dari logam Pb tidak larut dalam larutan untuk lapisan khrom keras. Oleh

karena itu hampir selalu digunakan sebagai anoda dalam proses pelapisan khrom dekoratif. Timbal

dalam bentuk chemical Pb dapat juga digunakan. Jika dibandingkan dengan Pb paduan, jenis ini

akan mudah dirusak larutan sehingga menghasilkan larutan PbCrO3 yang berlebihan. Banyak

sekali pada ahli lapis listrik yang menggunakan anoda dari bahan lain, misalnya besi murni, nikel,

baja dan baja tahan karat. Namun demikian ternyatan anoda Pb paduanlah yang terbaik. Kontrol

terhadap larutan elektrolit dilakukan secara rutin untuk menjaga komposisi larutan. Pengukuran

kadar larutan secara cepat dilakukan dengan hydrometer. Analisis kimia volumetrik maupun

gravimetrik diterapkan untuk mengetahui berapa kadar tiap-tiap komponen yang terdapat dalam

larutan lebih akurat dilakukan secara berkala.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Grafik 1. Hubungan waktu dan berat Grafik 2. Hubungan rapat arus dan berat

pelapisan khrom pelapisan khrom

Page 248: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.13. Pengaruh tebal pelapisan krom terhadap rapat arus … (Sutomo dan Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.74

Dari data-data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin lama pelaksanaan

pengaliran arus listrik pada elektroplating, maka akan meningkatkan massa atau berat yang

menempel dan menambah ketebalan pelapisannya yang akan lebih tahan terhadap korosi karena

lebih tebal.

Grafik 3. Hubungan rapat arus dan waktu Grafik 4. Hubungan waktu dan berat

pelapisan khrom pelapisan khrom

Rapat arus semakin besar maka waktu pelapisan akan lebih cepat, sedang untuk menambah

ketebalannya diperlukan waktu lagi supaya pelapisan dapat terus menerus dilakukan sehingga

tambah tebal. Dari bentuk geometrinya terlihat bentuk flat akan lebih cepat prosesnya untuk waktu

100 detik pada geometri flat dapat terlapiskan khrom seberat 0.012 gram, tebal 0.25 μm, sedangkan

untuk bentuk profil L pelapisannya sampai 0.01 gram dan tebal 0.2 μm. Selanjutnya untuk pipa

didapat data 0.0085 gran atau tebal 0.07 μm. Jadi geometri yang flat (pelat) yang lebih

menguntungkan. Hal ini dapat terjadi karena jarak tempuh elektron lebih dekat dibandingkan profil

L maupun pipa.

Grafik 5. Hubungan waktu dan tebal pelapisan khrom

Jadi letak benda kerja dan letak posisi elektrodanya sangat berpengaruh juga untuk

terjadinya pelapisan (lining) yang lebih cepat dan lebih merata ketebalannya. Pada bentuk pipa

terlihat visualnya bahwa pipa yang dalam kurang dapat mengikuti kecepatan pelapisannya

dibandingkan pipa yang di luar sehingga pada penelitian ini bentuk flat didapatkan kecepatan

proses pelapisan yang lebih baik dibandingkan untuk bentuk yang lain yaitu profil L dan pipa.

Untuk berat pelapisan pada bentuk plat dibandingkan dengan profil L dan pipa perbedaannya 10%

dan 30% sedangkan untuk ketebalannya ditemukan perbedaan untuk profil dan pipa 10% dan 40%.

Page 249: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.75

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Semakin lama waktu pelapisan dan semakin besar rapat arus listriknya maka

semakin bertambah pula berat pelapisannya dan semakin tebal pula pelapisannya.

2. Untuk peningkatan berat dan tebal pelapisan karena waktu, kelihatan bahwa bentuk

plat lebih cepat dibandingkan bentuk profil L dan pipa.

3. Perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam yaitu dengan banyak melakukan

percobaan untuk mengetahui secara pasti besar laju ketebalan per menitnya dari

pelapisan logam yang terjadi.

4. Pada saat pengujiam sebaiknya lebih berhati-hati karena menggunakan bahan kimia

yang cukup berbahaya, sehingga dapat dihindari halhal yang tidak diinginkan.

5. Perlu diperhatikan pula bahwa pada saat mencampur cairan dalam jumlah banyak

harus sedikit demi sedikit dan harus diperhatikan juga panas yang timbul karena

bisa menyebabkan polusi udara.

6. Dalam melakukan percobaan diperhatikan juga ketahanan wadah terhadap panas,

dan selalu dijaga agar tidak leleh.

7. Berdasarkan evaluasi hasil percobaan ditemukan bahwa hasil pelapisan masih

memiliki kelemahan pada kecemerlangannya, karena untuk ketiga hal lainnya

sudah pernah kami uji dan hasilnya sudah baik. Beberapa saran yang dapat kami

berikan demi kemajuan yang akan datang antara lain:

- Kondisi larutan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap hasil

pelapisan, oleh karena itu konsentrasi, termperatur dan kemurnian larutan harus

selalu dijaga.

- Selama proses pelapisan, konsentrasi larutan elektrolit cenderung tidak berubah

selama tidak ada faktor dari luar yang mengganggu.

8. Hal kedua yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan benda kerja, sebelum

dilakukan pelapisan, benda kerja harus dipoles dengan baik. Hasil poles yang rata

akan menghasilkan pelapisan yang lebih halus.

DAFTAR PUSTAKA

Arsianto, Ashar, Mengenal Teknologi Pelapisan Logam, Balai Besar Logam dan Mesin:

Bandung.

Arsianto, Ashar, Teknik Pelapisan Logam dengan Cara Listrik (Elektroplating), Balai Besar

Logam dan Mesin: Bandung.

Purwanto & Syamsul Huda, 2005, Teknologi Industri Elektroplating, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro: Semarang.

Rahayu, SS, dkk, 1966, Petunjuk Praktikum Elektroplating, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Sunardi, 2006, 116 Unsur Kimia, Yrama Widya: Bandung.

Wahyudi, Soleh, 2006, Buku Saku Elektroplating, Technic: Cimahi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Chrom

http://id.wikipedia.org/wiki/Nikel

http://id.wikipedia.org/wi

Page 250: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.14. Pengaruh geometri permukaan dan arus listrik … (Sutomo dan Rahmat)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.76

PENGARUH GEOMETRI PERMUKAAN DAN ARUS LISTRIK

TERHADAP PROSES PELAPISAN NIKEL DENGAN ELEKTROPLATING

Sutomo dan Rahmat

Program Diploma III Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Email: [email protected]

Abstrak

Sutomo, didalam penelitian pengaruh geometri permukaan dan arus listrik terhadap proses

pelapisan nikel dengan elektroplatung,bertujuan untuk mengetahui geometri manakah yang

akan mempunyai aliran pelapisan yang lebih cepat.Bertambahnya lama proses pelapisan akan

meningkatkan keperluan tenaga listrik dan dana.Berdasarkan geometri pelat,profil L dan

pippa dengan luasan yang sama maka dibuat sampel. Didalam penelitian ini diperoleh

kesimpulan bahwa geometri pelat lebih efectif dibandingkan yang bentuk profil L maupun

pipa.Hal ini disebabkan oleh panjang lintasan atom yang berbeda untuk waktu pelapisan 24

detik akan menghasikan ketebalan pelapisan nikel adalah 47,3 μm, 30 μm 10 μm untuk

plat,profil L serta pipa.

Kata kunci: electroplating, geometri, arus pelapisan, waktu pelapisan.

PENDAHULUAN

Pada proses lapis listrik yang umum dipakai perbandingan anoda dengan katoda sebesar 2 :

1 karena kontaminasi anoda adalah penyebab/sumber utama pengotor, maka usahakan

menggunakan anoda semurni mungkin.

Pada industri pelapisan secara listrik, air merupakan salah satu unsur pokok yang selalu

harus tersedia. Biasanya penggunaan air pada proses lapis listrik dikelompokkan dalam empat

macam, yaitu:

- Air untuk pembuatan larutan elektrolit

- Air untuk menambah larutan elektrolit yang menguap

- Air untuk pembilasan, dan

- Air untuk proses pendingin

Dari fungsi air tersebut dapat ditentukan kualitas air yang dibutuhkan untuk suatu proses.

Air ledeng/kota dipakai untuk proses pembilasan, pencucian, proses etsa (etching) dan pendingin,

sedangkan air bebas mineral (aquadest DM) dipakai khusus untuk pembuatan larutan, analisa

larutan dan pembuatan larutan penambah. Air suling (aquadest) dengan ukuran spesifikasi

konduktifitasnya tidak melebihi dari 50 microhos,

bisa diganti air aqua DM.

Pada proses pelapisan, air yang digunakan harus berkualitas baik. Air ledeng/kota yang

masih mengandung kation dan anion, jika bercampur dengan ion-ion dalam larutan akan

menyebabkan turunnya efisiensi endapan/lapisan.

Unsur-unsur yang tidak diinginkan dalam larutan adalah unsur kalsium dan magnesium,

karena mudah bereaksi dengan cadnium cyanida, cupper cianyda, silver cyanida dan

senyawasenyawanya lainnya, sehingga akan mempercepat kejenuhan larutan.

Unsur dalam air adalah kandungan dari garam-garam seperti bicarbonat, sulfat, chlorid,

dan nitrat. Unsur-unsur garam logam alkali (sodium/potassium) tidak begitu mempengaruhi

konsentrasi larutan, sewatku operasi pelapisan berlangsung, kecuali pada larutan lapis nikel, karena

akan menaikkan arus listrik (throwing power), tetapi akan menghasilkan lapisan yang getas

(brittle).

Adanya logam-logam berat seperti besi dan mangan sebagai pengotor menimbulkan cacat-

cacat antara lain kekasaran (roughness), porous, gores (streakiness), nota-noda hitam (straining),

warna yang suram (iridensceat) atau mengkristal, modular dan keropos. Untuk itu maka diperlukan

air murni (reagent water) untuk membuat larutan dan menggantikan larutan yang menguap. Faktor

yang berpengaruh pada plating Kualitas hasil elektroplating maupun efisiensi arus sangat

dipengaruhi oleh variabel proses sebagai berikut:

Page 251: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.77

- Konsentrasi elektrolit

- Sirkulasi elektrolit

- Rapat arus

- Tegangan

- Jarak anoda – katoda

- Rasio dan bentuk anoda – katoda

- Distribusi arus

- Temperatur

- Daya tembus (throwing power)

- Epitaxy dan leveling

- Aditif

- Kontaminasi

Konsentrasi Elektrolit

Larutan elektrolit terdiri dari komponen utama berupa senyawa logam dalam bentuk garam

terlarut dan asam atau basa. Senyawa logam merupakan sumber logam yang menempel pada benda

kerja. Larutan asam atau basa dalam elektrolit berfungsi untuk meningkatkan konduktivitas atau

daya hantar listrik. Konsentrasi elektrolit selama proses plating berlangsung akan mengalami

perubahan terutama karena adanya penguapan dan berpindahnya ion logam dari larutan yang

melapisi anoda. Pada umumnya kelebihan kadar logam akan menyebabkan menurunnya kekilapan

dan kerataan lapisan, dan juga mengakibatkan terjadinya pemborosan bahan. Apabila kadar logam

rendah terjadi penurunan konduktivitas sehingga prosesplating menjadi lambat. Oleh karena itu

konsentrasi elektrolit perlu dijaga konstan dengan melakukan analisis larutan secara teratur.

Sirkulasi Elektrolit

Distribusi ion-ion di dalam elektrolit seringkali tidak merata disebabkan adanya kelebihan

ion negatif di sekitar katoda karena terjadinya perpindahan ion logam positif yang terlapis,

sedangkan di sekitar anoda seringkali terjadi kelebihan ion positif yang berasal dari oksidasi logam.

Sirkulasi elektrolit bertujuan agar distribusi ion-ion baik positif maupun negatif di dalam elektrolit

menjadi merata sehingga dapat dihindari terjadinya polarisasi. Polarisasi terjadi bila dua daerah

dalam elektrolit sangat positif dan yang lainnya sangat negatif sehingga diperlukan tegangan yang

lebih tinggi agar arus dapat mengalir

melalui elektrolit dari anoda ke katoda. Sirkulasi elektrolit dapat dilakuakn dengan bantuan pompa

maupun dengan hembusan udara dari blower melalui pipa-pipa yang dipasang di dasar dan tepi

tangki.

TINJAUAN PUSTAKA

Rapat Arus

Berdasarkan hukum Faraday, banyaknya pelapisan sebanding dengan kuat arus. Akan

tetapi dalam praktik, besaran yang diperlukan untuk plating adalah rapat arus yaitu arus per satuan

luas, biasanya dinyatakan dalam Ampere/dm2 (A/dm2) atau Ampere/ft2 (A/ft2). Rapat arus antara

anoda dan katoda besarnya berbeda dan rapat arus katoda merupakan besaran yang perlu

diperhatikan agar kualitas pelapisan pada katoda berkualitas baik dan tidak sampai terbakar.

Semakin besar rapat arus maka laju plating makin cepat dan waktu yang diperlukan untuk me

peroleh lapisan dengan ketebalan tertentu akan makin singkat. Pada praktik bila benda yang

dilakukan plating berjumlah banyak atau luasan benda besar, maka diperlukan arus yang besar dan

kemudian diturunkan bila jumlah benda sedikit atau luasan benda kecil. Rapat arus yang terlalu

tinggi menyebabkan terjadinya panas sehingga benda kerja yang diplating dapat terbakar dengan

ditandai warna yang menghitam.

Tegangan

Tegangan yang diperlukan untuk proses elektroplating tergantung dari jenis, komposisi dan

konsisi elektrolit. Rapat arus dapat dinaikkan dengan menaikkan tegangan, akan tetapi hal ini dapat

menyebabkan terjadinya polarisasi dan tercapainya tegangan batas. Pada keadaan tegangan batas,

tidak terjadi aliran arus melalui elektrolit, dan bila tegangan dinaikkan akan terjadi elektrolisis air

yang menghasilkan gas hidrogen dan oksigen. Tegangan batas dapat dinaikkan dengan cara

sirkulasi elektrolit, mempertinggi temperatur laruran dan memperbaiki konsentrasi elektrolit.

Page 252: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.14. Pengaruh geometri permukaan dan arus listrik … (Sutomo dan Rahmat)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.78

Jarak Anoda – Katoda

Jarak anoda – katoda menentukan hantaran arus listrik dan sangat berpengaruh terhadap

keragaman tebal lapisan. Besarnya hantaran berbanding terbalik dengan jarak. Apabila jarak anoda

– katoda kecil, maka hambatan menjadi kecil dan konduktivitas besar sehingga untuk mendapatkan

rapat arus yang besar diperlukan tegangan yang lebih rendah.

V = I . R

V = tegangan (Volt)

I = arus (Ampere)

R = hambatan (Ohm)

Rasio Anoda – Katoda

Perbandingan permukaan anoda – katoda sangat penting untuk menjaga agar ion-ion di

dalam elektroplating selalu seimbang. Standar rasio anoda – katoda tergantung dari jenis plating.

Untuk menjaga agar konsentrasi elektrolit selalu seimbang, misalnya saja konsentrasi tembaga

sulfat terhadap asam sulfat maka pada plating tembaga harus dijaga agar perbandingan anoda

tembaga terhadap benda kerja selalu terjadi kekurangan ion tembaga di dalam larutan dan pelapisan

yang terbentuk menjadi lambat dan tidak normal.

Distribusi Arus

Lintasan arus dari anoda ke katoda tidak semuanya lurus tapi cenderung melengkung

terutama yang berasal dari ujung anoda ke ujung katoda. Keadaan ini menyebabkan rapat arus ke

ujung-ujung katoda menjadi lebih besar sehingga lapisan yang terbentuk pada bagian ujung

cenderung lebih tebal. Itulah sebabnya apabila melakukan plating batangan besi dengan tembaga

ataupun silinder dengan tembaga dan khrom sering dihasilkan ujung-ujung silinder cenderung lebih

tebal dibandingkan pada bagian tengah. Pada plating benda-benda yang rumit seringkali dihasilkan

pelapisan yang tak merata terutama pada daerah arus rendah (low current) yaitu daerah-daerah

yang berlekuk. Untuk mengatasi keadaan tersebut biasanya dipasang anoda sekunder sehingga

dapat diperoleh rapat arus yang seragam dan daerah yang sulit atau berarus rendah dapat diperkuat

dengan adanya anoda bantuan tersebut. Sedangkan pada daerah dengan arus yang tinggi dapat

dipasang pemecah arus yang biasanya berupa plastik berbentuk sikat gigi.

Temperatur

Temperatur berpengaruh terhadap konduktivitas. Temperatur semakin tinggi menyebabkan

konduktivitas larutan makin besar sehingga mempercepat hantaran arus listrik. Pada temperatur

tinggi dapat diperoleh rapat arus yang besar dan juga mempertinggi tegangan bebas polarisasi.

Namun demikian setiap jenis plating mempunyai tentang temperatur operasi optimum yang

berkaitan dengan sifat lapisan logam pada benda kerja maupun sifat dari aditif. Temperatur yang

terlalu tinggi dapat menyebabkan lapisan terbakar dan terjadi kerusakan aditif.

Daya Tembus (Throwing Power)

Daya tembus didefinisikan sebagai kemampuan proses elektronik untuk menutup katoda

dengan lapisan seseragam mungkin, ditentukan oleh pengaturan geometri tangki dan berbagai

parameter proses termasuk juga jenis elektrolit. Letak geometri katoda – anoda menentukan

distribusi arus primer seperti yang telah dibahas pada distribusi arus di atas. Daya tembus terutama

sangat perlu diperhatikan apabila melakukan plating benda yang rumit. Rapat arus yang besar

cenderung membuat lapisan pada ujung-ujung benda kerja menjadi lebih tebal karena mendapat

rapat arus yang lebih besar. Keadaan ini dapat diatas dengan pemasangan pemecah arus dari bahan-

bahan isolator seperti plastik berbentuk gerigi yang dipasang antara anoda dengan ujung benda

kerja. Idealnya pemasangan anoda – katoda tepat berhadap-hadapan pada jarak yang sama, namun

dalam praktik hal ini jarang dapat dilakukan dan menyebabkan daya tembus tidak sama. Pengaruh

lanjut dari daya tembus adalah distribusi arus sekunder sebagai hasil antara distribusi arus primer

dan polarisasi.

Epitaxy dan Leveling

Pengertian epitaxy adalah lapisan mengikuti bentuk dan struktur dari benda kerja sebagai

katoda, sehingga benda kerja yang kasar menghasilkan lapisan kasar. Contoh dapat diamati bila

benda yang akan dilapisi dengan khrom permukaannya kasar dan berserat maka hasil akhir

pelapisan khrom juga kasar dan berserat. Leveling dimaksudkan bahwa lapisan meratakan bagian-

bagian benda kerja yang cekung, sehingga plating mempunyai kecenderungan menutupi

permukaan-permukaan benda yang cekung menjadi rata. Epitaxy dapat dicegah dengan persiapan

Page 253: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.79

permukaan benda keras yang halus. Pembentukan leveling yang baik dapat dilakukan dengan

penambahan aditif, seperti pemberian aditif pada plating tembaga akan menghasilkan lapisan lebih

keras dan permukaan lebih rata.

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini ditetapkan suatu variabel penelitian, sebab penentuan variabel

merupakan parameter utama yang mempengaruhi hasil penelitian yang akan dicapai. Pada

penelitian ini ditetapkan variabel penelitian sebagai berikut:

1. Variabel bebas Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah besarnya rapat arus dan

lamanya waktu selama proses pelapisan.

2. Variabel kendali Sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu untuk bisa

mendapatkan penambahan berat dan ketebalan yang didapat setelah melakukan proses nikel,

maka variabel kendali dalam penelitian ini adalah berat dan tebal lapisan yang didapt setelah

terjadi proses pelapisan.

Bak diperlukan untuk menampung larutan elektrolit, larutan pencuci dan air pembilas.

Bahan bak tergantung dari jenis dan kondisi larutan yang ditampungnya atau dengan perkataan

lain bahan bak hendaknya tahan terhadap korosi yang ditimbulkan oleh larutan, tahan terhadap

suhu larutan dan tidak mencemari larutan yang ditampungnya. Untuk memenuhi persyaratan

tersebut di atas, maka bak harus dilining. Benda kerja terlebih dahulu harus dibersihkan / dicuci

untuk menghilangkan korosi dan menghilangkan lapisan yang sudah ada. Sebelum dilakukan

proses elektroplating, lakukan dahulu pengukuran berat dan ketebalan benda kerja, catat hasilnya.

Setelah itu dilakukan proses pelapisan nikel pada tegangan tertentu dan waktu tertentu. Pada saat

proses pelapisan nikel berlangsung, amati besar arus yang terjadi pada ampere meter kemudian

catat hasilnya. Setelah selesai proses pelapisan nikel maka lakukan pengukuran berat dan

ketebalan dari benda kerja dan catat hasil pengamatan. Untuk memelihara sarana kerja lakukan

hal-hal berikut: Pada kedua elektroda, batas larutan dan batang penggantung elektroda dalam bak

tidak terdapat halbur garam, kabel penghubung tidak terkelupas pembungkus isolasinya. Asam

yang dipakai adalah asam khlorida dan asam sulfat maupun asam nitrat. Penyimpanannya harus

terpisah dari bahan-bahan lainnya. Sifat bahaya dari senyawa nikel

- Dapat membahayakan mata, paru-paru dan kulit.

- Bersifat racun jika termakan.

- Dapat menyebabkan muntah-muntah.

- Dapat juga menyebabkan diare, bahkan sampai pingsan.

Pengamanannya:

- Pakailah alat pelindung diri (mata, tangan dan paru-paru).

- Jika tercecer dibasahi dengan air lalu disapukan ke tempat sampah.

- Jika terkena kulit, dibasahi dengan air.

- Jika terkena mulut, berkumur lalu dibawa ke dokter.

- Jika terhisap debunya, maka penderita dipindah ke ruang lain dan badannya dihangati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data-data dari percobaan untuk mengetahui tingkat efektifitas proses pelapisan nikel yang

terjadi pada bentuk-bentuk geometri flat, siku L, sistem pipa. Pada sampel plat, profil, dan pipa

semuanya memperlihatkan bahwa dengan naiknya arus listrik maka akan meningkat pula hasil

pelapisannya karena adanya peningkatan energi aktivasi karena energi listrik sehingga elektron

yang menumpuk semakin banyak yang akan meningkatkan ketebalan pelapisan atau lining.

Page 254: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.14. Pengaruh geometri permukaan dan arus listrik … (Sutomo dan Rahmat)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.80

Gambar 7. Hubungan hubungan rapat arus dan laju ketebalan pelapisan nikel bentuk Pipa

Grafik 1. Hubungan rapat arus dan ketebalan

pelapisan nikel bentuk Plat

Grafik 4. Hubungan hubungan waktu dan

berat pelapisan nikel bentuk Plat, Propil-L,

Pipa dan Teori

Grafik 3. Hubungan rapat arus dan

ketebalan pelapisan nikel bentuk Pipa

Grafik 2. Hubungan rapat arus dan

ketebalan pelapisan nikel bentuk Siku

Grafik 6. Hubungan hubungan rapat arus dan

laju ketebalan pelapisan nikel Propil-L Grafik 5. Hubungan hubungan rapat arus

dan laju ketebalan pelapisan nikel bentuk

Plat

Page 255: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.81

Untuk plat terlihat terjadi lonjakan ketebalan di saat perlu waktu 1200 detik saat arus dari 2

– 4 ampere, tetapi pada profil L terjadi saat 2400 detik, juga pada saat 2 – 4 ampere, seperti pada

pipa. Dari grafik korelasi antara berat pelapisan dengan arus listrik terlihat bahwa waktu yang

digunakan untuk pelapisan (lining) lebih dominan, tetapi perbedaan waktu 600 detik dari 600 –

1200 detik lebih terasa penambahan berat yang melapisinya. Untuk arus yang kecil 2 ampere

geometri flat dengan waktu pelapisan yang lama 2400 detik lebih menguntungkan karena beratnya

dapat meningkat. Dari grafik korelasi antara berat pelapisan dengan waktu yang diperlukan terlihat

bahwa arus 4 ampere disarankan karena hasil pelapisannya hampir sama dengan arus 6 ampere

untuk geometri flat, profil maupun pipa. Sedangkan untuk arus yang kecil 2 ampere, bentuk flat

akan lebih banyak yang dapat dilapiskan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Berdasarkan grafik-grafik hasil percobaan terlihat bahwa hasil pelapisan sangat beragam untuk

setiap bentuk benda kerja pada berbagai kondisi pelapisan. Namun secara garis besar dapat

ditarik dua kesimpulan:

a) Untuk penambahan berap pelapisan pada benda kerja, hampir diperoleh hasil yang sama

untuk kondisi pelapisan yang sama pada ketiga bentuk benda kerja. Efisiensi yang kecil

pada pipa disebabkan oleh karena pada pipa hanya bagian luarnya saja yang terlapis

sedangkan bagian dalamnya tidak, sehingga jumlah larutan yang menempel lebih sedikit.

Hal ini disebabkan pada bagian dalam pipa tidak terjadi aliran elektron karena tertutup

badan pipa sehingga aliran elektron hanya terfokus pada bagian luar pipa.

b) Untuk penambahan ketebalan benda kerja juga diperoleh kesimpulan yang sama, selama

luasan yang dilapis sama. Adapun penambahan tebal yang lebih besar pada pipa jika

dibandingkan dengan plat dan profil L disebabkan oleh karena pada pipa

c) hanya bagian luarnya saja yang terlapis sendangkan bagian dalamnya tidak. Sehingga jika

berat pelapisan sama akan tetapi luasan pelapisan lebih kecil, maka hasil pelapisannya akan

menjadi lebih tebal.

2. Besar ketebalan nikel yang terjadi tergantung dari rapat arus yang digunakan. Pada waktu

pelapisan yang sama jika rapat arus yang digunakan semakin naik / besar maka semakin naik /

besar pula ketebalan nikel yang terjadi.

3. Laju ketebalan pelapisan sangat bergantung dari rapat arus yang digunakan, yaitu semakin

naik rapat arus yang digunakan, semakin naik pula laku ketebalan pelapisan yang terjadi.

4. Efisiensi pelapisan terbaik adalah pada plat, hal ini dikarenakan bentuknya yang sederhana

sehingga kedua penampang plat dapat terlapis dengan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Arsianto, Ashar, Mengenal Teknologi Pelapisan Logam, Balai Besar Logam dan Mesin:

Bandung.

Arsianto, Ashar, Teknik Pelapisan Logam dengan Cara Listrik (Elektroplating), Balai Besar

Logam dan Mesin: Bandung.

Purwanto & Syamsul Huda, 2005, Teknologi Industri Elektroplating, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro: Semarang.

Rahayu, SS, dkk, 1966, Petunjuk Praktikum Elektroplating, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Sunardi, 2006, 116 Unsur Kimia, Yrama Widya: Bandung.

Wahyudi, Soleh, 2006, Buku Saku Elektroplating, Technic: Cimahi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Chrom

http://id.wikipedia.org/wiki/Nikel

http://id.wikipedia.org/wiki/Rectifier

Page 256: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap sifat mekanis paduan AlCu … (Sugeng Slamet dan Suyitno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.82

PENGARUH KONSENTRASI Cu TERHADAP SIFAT MEKANIS PADUAN Al Cu

PADA PROSES PEMBEKUAN SEARAH (UNIDIRECTIONAL SOLIDIFICATION)

Sugeng Slamet*1)

, Suyitno 2)

1)Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

2)Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

*)E-mail : [email protected]

Abstrak

Meningkatkan sifat mekanis bahan logam dapat ditempuh dengan beberapa cara, salah

satunya adalah melalui rekayasa pembekuan searah (unidirectional solidification). Proses ini

dilakukan dengan cara mengatur gradien temperatur sehingga terjadi laju pendinginan

lambat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh konsentrasi Cu pada paduan

Al-Cu terhadap sifat mekanis melalui pengujian tarik dan pengujian kekerasan. Material

utama adalah Al- dengan paduan (2.2, 3.1, 4.4,dan 4.7 %Cu) dilebur pada temperatur 700-710 0C menggunakan dapur listrik dengan media pendingin air. Pengujian spesimen dilakukan

dengan membandingkan struktur mikro yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi.

Pengujian sifat mekanis dilakukan dengan membandingkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik

pada material awal terhadap hasil pembekuan searah pada masing-masing konsentrasi Cu.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa struktur kolumnar terlihat lebih jelas pada konsentrasi

4,4 %Cu dan 4,7 %Cu, sedangkan pada konsentrasi 2,2 %Cu dan 3,1 %Cu sturktur kolumnar

cenderung sulit terbentuk. Sifat mekanis bahan yang meliputi kekuatan tarik dan kekerasan

bahan meningkat dari material awal untuk semua konsentrasi Cu. Al-4,4%Cu mempunyai

kekuatan tarik dan kekerasan bahan lebih tinggi dibandingkan dengan Al-(2,2 ; 3,1 dan 4,7%

Cu). Hal ini juga dipengaruhi oleh kelarutan unsur Magnesium dan Silikon yang ada dalam

paduan.

Kata kunci: pembekuan searah, kolumnar-dendrit, sifat mekanis

PENDAHULUAN

Perbaikan sifat mekanis suatu bahan dapat dilakukan melalui beberapa cara baik melalui

perlakuan panas, pengerasan endapan maupun rekayasa pembekuan (Amstead, 1989).

Metode pembekuan searah adalah proses untuk meningkatkan terbentuknya dendrite arm

spacing dan menurunkan kekasaran butir terutama pada daerah hypoeutectic (Oakwood dkk, 2002)

serta mengarahkan pertumbuhan butir menjadi searah dengan mengatur laju aliran kalor (Smith

dkk,1967). Metode ini dapat meningkatkan sifat mekanis material dalam hal ketangguhan,

kekuatan tarik dan kekuatan mulur (creep) (Axmann, 1983).

Aluminium murni memiliki kekuatan dan sifat mekanis yang rendah, maka untuk

memperbaiki sifat-sifat mekanisnya harus dipadu dengan unsur lainnya. Paduan Al-Cu mempunyai

kelebihan antara lain ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, tahan terhadap retak, mampu

mesin dan las, koefisien pemuaian yang kecil ( Saito dan Surdia,1992).

Paduan Al-Cu digunakan untuk konstruksi keling, konstruksi badan pesawat terbang,

impeller pompa dan sudu turbin. Untuk aplikasi dimana membutuhkan kemampuan yang tinggi

untuk menahan beban aksial dan kekuatan mulur (creep) rendah sangat dibutuhkan orientasi butir

searah (Robert, 2000).

Pada penelitian ini akan diteliti pengaruh komposisi Cu pada pembekuan searah terhadap

struktur mikro dan kekerasan paduan Al-Cu.

STUDI PUSTAKA

Al-Cu adalah kombinasi dari logam aluminium yang mempunyai sifat ringan, tahan korosi,

mudah dimesin, dengan tembaga yang mempunyai sifat penghantar listrik yang baik, keuletan yang

tinggi dan juga sifat tahan korosi (Surdia dan Saito,1992).

Paduan Al-Cu dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu hypoeutectic, eutectic dan

hypereutectic. Pada paduan Al-Cu dengan komposisi tembaga < 33% disebut hypoeutectic. Titik

eutectic pada paduan Al-Cu terdapat pada kandungan Cu sebesar 31,9 sampai 32,9%. Sedangkan

kandungan tembaga >33,0% disebut hypereutectic (Murray, 1985).

Page 257: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.83

Diagram fase biner paduan Al-Cu ditunjukkan pada Gambar 1.1. Fase yang terjadi selama

proses pembekuan dari ketiga golongan paduan Al-Cu dapat dijelaskan sebagai berikut: sebagai

contoh pada paduan Al-Cu hypoeutectic dengan kandungan 5,7% Cu, dengan menurunkan

temperatur dibawah garis liquidus maka fase yang terjadi adalah L + α dimana pada fase ini sudah

mulai terbentuk pengintian dendrit aluminium. Ketika temperaturnya diturunkan lagi dibawah garis

solidus (548 oC) maka semua fase cair akan berubah menjadi fase padat dan berujung dengan

terbentuknya struktur berbentuk dendrit, fase yang terjadi pada kondisi ini adalah α + θ.

Gambar 1.1 Diagram fase binary Al-Cu (Surdia dan Saito, 1992).

Titik eutectic pada paduan Al-Cu terjadi pada temperatur 548 oC dengan kandungan

tembaga 33,0%. Ketika temperatur diturunkan dibawah titik eutectic maka reaksi yang terjadi

adalah L α + θ , dimana L adalah fase cair, α adalah fase aluminium dan θ adalah fase tembaga.

Pada kondisi ini pengintian terjadi secara cepat dan menghasilkan struktur akhir berbentuk dendrit.

Pada paduan Al-Cu dengan kandungan Cu >33,0% disebut hypereutectic. Ketika

temperatur diturunkan dibawah garis liquidus maka fase yang terbentuk adalah L + θ, dimana pada

fase ini sudah mulai terbentuk pengintian fase tembaga. Selanjutnya dengan menurunkan

temperatur lebih rendah lagi sampai melewati garis solidus maka semua fase cair akan berubah

menjadi fase padat dan berakhir dengan menghasilkan struktur dendrit α + θ.

Proses pembekuan coran sebagaimana pada Gambar 1.2 dimulai dari bagian logam yang

bersentuhan dengan cetakan, yaitu ketika panas dari logam cair diambil oleh cetakan sehingga

bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan itu mendingin sampai titik beku, kemudian inti

kristal tumbuh (Fleming,1974).

Gambar 1.2 Struktur mikro logam pada cetakan ( Colton, 1992)

Bentuk butir dan ukurannya sangat tergantung pada pertumbuhan butir selama proses

pembekuan. Meski besar butir dinyatakan dalam ukuran diameter, sangat sedikit sekali butiran

logam fasa tunggal yang bentuknya bulat. Bentuk butir lain adalah bentuk pipih, kolumnar dan

dendritik (Van Vlack dan Sriati, 1983).

Struktur selular terjadi melalui proses pendinginan superkomposisi dengan bentuk butir

saling sejajar dan searah pertumbuhan kristal. Adanya gradien temperatur, menyebabkan bidang

antar permukaan menjadi kurang stabil dan cenderung tumbuh kearah lain. Proses ini berlangsung

terus-menerus sampai akhirnya terbentuk sederetan struktur selular yang disebut juga struktur

closed packed.

Struktur Selular dendrite terjadi bila gradien temperatur berkurang dan luas daerah

pendinginan superkomposisi semakin dominan, karakteristiknya akan berubah menjadi struktur

dendrit. Bentuk selular dengan ujung semi-lingkaran akan berubah menjadi struktur dendrit dengan

Page 258: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap sifat mekanis paduan AlCu … (Sugeng Slamet dan Suyitno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.84

ujung berbentuk piramid dan bahkan berbentuk kubah. Secara keseluruhan struktur selular dendrit

membentuk cabang dari jaring-jaring yang saling berhubungan satu dan lainnya. Kolumnar-dendrit merupakan bentuk butir kristal yang menyerupai cabang pohon. Struktur

kolumnar-dendrit ditunjukkan pada Gambar 1.3

Struktur ini terjadi jika gradien temperatur pada permukaan coran besar, misalnya pada

pengecoran dengan cetakan logam (Surdia dan Saito, 1992; Rusli, 1995). Sementara struktur

equiaxed terjadi karena laju pendinginan yang sangat tinggi, sehingga mudah terjadi makro

segregasi.

Laju pembekuan sangat menentukan struktur butir yang terbentuk. Laju pembekuan antara

0,01-0,5 μm/detik didapatkan pertumbuhan butir kolumnar-dendrit dari dasar sepanjang 2 inci pada

baja karbon rendah. Butiran dendrit semakin kasar dengan penambahan laju pembekuan (Smith

dkk, 1967 ; Oakwood dkk, 2002 ; Amauri dkk, 2002). Penurunan laju pembekuan antara 0,03–0,2

μm/detik didapatkan bentuk butir primary dendrite arm spacing, secondary dendrite arm spacing,

dendrite tipe radius dan mushy zone depth yang lebih jelas ( Gunduz dkk, 2001).

Konsentrasi unsur pada paduan akan mempengaruhi pembentukan struktur butir dendrit.

Pada paduan Al-Cu dengan variasi konsentasi, perubahan struktur dendrit mulai terjadi pada

temperatur 973 K (Gunduz dkk, 2001). Konsentrasi Zn yang rendah (<30 % berat) pada paduan Al-

Zn, lebih sulit terbentuk struktur butir dendrit pada daerah eutektik (Gonzales dan Rappaz, 2006).

Pengaruh gradien temperatur (G) dan laju pembekuan (V) yang rendah pada masing-masing

konsentrasi akan meningkatkan primary dendrite arm spacing (λ1), secondary dendrite arm

spacing (λ2), dendrite tipe radius (R), dan mushy zone depth (d) (Kou, 1987; Gunduz dkk, 2001).

Proses pembekuan searah meningkatkan sifat mekanis material seperti : kekerasan,

kekuatan mulur, kekuatan bending dibandingkan dengan proses pengecoran konvensional (Smith

dkk, 1967; Axmann, 1983; Piwonka, 1992; Kim, dkk, 2000).

METODOLOGI PENELITIAN

Al-4,7%Cu dalam bentuk ingot sebagai material dasar, untuk membuat beberapa variasi

konsentrasi Cu dilakukan dengan menambahkan Al 99% dengan perbandingan berat. Tabel1.

menunjukkan komposisi paduan Al-(2.2, 3.1, 4.4, 4.7%Cu) setelah dilakukan uji dengan

spectrometer.

Tabel 1. Komposisi kimia paduan (%)

Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al

0,1 0,2242 2,221 0,0089 0,0052 0,065 0,0147 0,0043 0,0008 0,002 0,0043 97,35

Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al

0,12 0,2866 3,189 0,0090 0,0063 0,0708 0,0150 0,0060 0,0014 0,0041 0,0079 96,28

Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al

0,46 0,0986 4,450 0,000 0,4978 0,0345 0,0026 0,0470 0,0003 0,0036 0,0081 94,39

Si Fe Cu Mn Mg Zn Ti Cr Ni Pb Sn Al

0,12 0,1468 4,767 0,0135 0,0071 0,0868 0,0085 0,0082 0,0013 0,0039 0,0089 94,83

Proses untuk menurunkan komposisi sampai dengan menuang ke dalam cetakan dilakukan

dengan menggunakan dapur peleburan konvensional dengan temperatur tuang 700 0C. Proses

Gambar 1.3 Struktur kolumnar dendrit ( Sindo Kou,1987)

Page 259: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.85

pembekuan searah dilakukan dengan cara melebur kembali logam yang telah ada dalam cetakan

dengan menggunakan dapur listrik sampai temperatur 700-710 0C. Besarnya pengaruh komposisi

yang ada pada paduan mulai terjadi pada temperatur tinggi yaitu ≥ 973 K (Gunduz dkk, 2001).

Setelah itu cetakan diturunkan untuk melakukan proses pendinginan sampai batang chill masuk

kedalam media air sepanjang 5 cm dan ditahan selama ± 10 menit. Gambar 1.4 dan 1.5

menunjukkan peralatan dan mekanisme pembekuan searah.

Cetakan terbuat dari logam dengan diameter dalam 5 mm, diamater luar 6 mm dan panjang

100 mm. Untuk menghambat pembekuan dari arah samping digunakan tanah liat (clay) yang

menyelimuti seluruh permukaan cetakan. Gambar 1.6 menunjukkan desain cetakan untuk

pembekuan searah.

Pengujian kekerasan Brinell menggunakan indentor bola baja dengan diamater 2,5 mm dan

beban 60 kg. Mesin yang digunakan untuk pengujian ini adalah Weinheim-Birkenau tipe 38505.

Pengujian dilakukan pada lima titik yang berbeda mulai dari dasar cetakan ke atas pada spesimen

potongan melintang sepanjang 60 mm dan tiga titik pada potongan membujur dengan diameter 5

mm, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.7.

Gambar 1.7 Pengujian kekerasan (a) potongan membujur (b) potongan melintang

Pengujian kekuatan tarik menggunakan Servopulser SHIMADZU tipe EHF-EB20.

Spesimen uji tarik ini dibuat berdasarkan standar ASTM B 557M (ASTM, 2002) sebagaimana di

tunjukkan pada Gambar 1.8. Beban maksimal yang diberikan pada spesimen sebesar 2000 kg.

Gambar 1.8 Spesimen uji tarik (ASTM, 2002)

Gambar 1.5 Mekanisme Pembekuan searah Gambar 1.4 Peralatan pembekuan searah

Gambar 1.6. Cetakan pembekuan searah

60 mm

5 mm

3

2 1

1 2 3 4 5

(a) (b)

Page 260: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

C.15. Pengaruh Konsentrasi Cu terhadap sifat mekanis paduan AlCu … (Sugeng Slamet dan Suyitno)

ISBN 978-602-99334-1-3

C.86

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil nilai kekerasan yang dilakukan pada potongan membujur berdasar titik pengujian,

menunjukkan terjadi penurunan nilai kekerasan dari pangkal hingga ke atas cetakan akibat makin

cepatnya laju pendinginan. Paduan Al-4,4% Cu menurun nilai kekerasannya sebesar 7,73%, Al-

4,7% Cu menurun nilai kekerasannya 5,07%, sedangkan Al-3,1% dan 2,2 % Cu nilai kekerasannya

relatif stabil dari dasar hingga atas cetakan. Gambar 1.9 menunjukkan hubungan antara titik

pengujian dari pangkal ke atas cetakan terhadap nilai kekerasan paduan.

0

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5

Titik pengujian

Nil

ai

kek

era

san

(B

HN

)

Al-4,7%Cu Al-4,4%Cu Al-3,1%Cu Al-2,2%Cu

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2,2 3,1 4,4 4,7

Konsentrasi Cu (% )

Nil

ai

kek

era

san

(B

HN

)

Material awal Hasil pembekuan searah

Nilai kekerasan hasil pembekuan searah yang dilakukan pada spesimen yang dipotong

membujur sepanjang 60 mm ditunjukkan pada Gambar 1.10. Pada gambar tersebut memperlihatkan

peningkatan kekerasan pada semua konsentrasi Cu.

Material awal Al-4,4%Cu menunjukkan peningkatan nilai kekerasan yang relatif besar

mencapai 58,24% dibanding Al-3,1%Cu, hal ini disebabkan adanya konsentrasi magnesium yang

relatif besar sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.

Sedangkan nilai kekuatan tarik gambar 1.11 memperlihatkan dengan jelas hubungan

antara konsentrasi Cu (%) dengan kekuatan tarik, dimana kekuatan tarik dari paduan berbanding

lurus dengan nilai kekerasannya. Konsentrasi Cu akan meningkatkan kekuatan tarik paduan lebih

tinggi dari kekuatan tarik material awalnya.

Hasil pengujian tarik yang dilakukan menunjukkan bahwa struktur hasil pembekuan searah

butir kolumnar-dendrit pada paduan Al-Cu akan meningkatkan kekuatan mekanis (Kim, dkk, 2000;

Axmann, 1983).

0

50

100

150

200

250

2,2 3,1 4,4 4,7

Konsentrasi Cu(%)

Kek

uat

an t

arik

(M

pa)

Material awal Hasil pembekuan searah

Gambar 1.11 Hasil uji tarik paduan Al-Cu

Struktur mikro patahan tarik Gambar 1.12 (a) dan (b) memperlihatkan terjadinya patahan

tarik pada struktur mikro kolumnar dendrit. Paduan Al-(2,2 dan 3,1%Cu) terjadinya patahan akibat

beban tarik disebabkan pengkasaran butir dan segregasi. Sementara patahan tarik paduan Al-(4,4

dan 4,7%Cu) terjadi pada daerah dimana adanya pengumpulan segregasi di sekitar butir kolumnar

dendrit.

Gambar 1.9 Nilai kekerasan Al-Cu dari

pangkal hingga jarak 60 mm

Gambar 1.10 Nilai kekerasan paduan Al-

Cu arah membujur

Page 261: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang C.87

Gambar 1.12 Bentuk patahan tarik pembekuan searah (a) 4,7%Cu, (b) 4,4%Cu, (c)

3,1%Cu, (d) 2,2%Cu.

KESIMPULAN

Konsentrasi Cu juga mempengaruhi sifat mekanis paduan. Proses pembekuan searah

meningkatkan sifat mekanis paduan dari material awal pada semua variasi konsentrasi Cu. Paduan

Al-4,4%Cu hasil pembekuan searah menunjukkan peningkatan kekerasan yang tinggi 85,41 BHN

dan kekuatan tarik sebesar 179,28 MPa. Peningkatan kekerasan dan kekuatan tarik Al-4,4%Cu juga

disebabkan adanya unsur magnesium dan silikon yang relatif besar. Penambahan konsentrasi

4,7%Cu menyebabkan peningkatan segregasi yang dapat menyebabkan penurunan sifat

mekanisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amstead B.H. dkk, 1989, “ Teknologi Mekanik” edisi 7, Erlangga, Jakarta, pp.156-157.

Axmann.W, 1983,” Dynamic Directional Solidification”,Workshop RWTH Aachen,pp.71-95.

Fleming,M.C, 1974, ” Solidification processing”, Mc Graw-Hill Book Company, New

York,pp.181-183.

Gunduz.M and Cadirh.E ,2001,”Directional solidification of Aluminium-Copper

alloys,”Elsevier,pp.167-185.

Murray J.L,1985,” Binary Alloy Phase Diagrams”,Int.Met.Rev.Trans. Metal.Soc.AIME.

Oakwood T.G, Goodrich G.M,2002, ”Role of Gravity Forces on the Directional Solidification of

Gray Cast Iron”, American Foundry Society,USA,pp.1-17.

Robert S.G, 2000, “ High Performance Alloys “,Trans Tech Publications LTD,USA.

Rappaz,Michel, Beckermann,C, dan Trivedi,R, 2004,” Solidification Processes and Microstructures

“, TMS,USA,pp.225,

Smith.L and Beeley P.R, 1967,”Controlled directional solidification of steel,”Leeds

University,pp.330-333.

Surdia dan Saito, S., 1992, “ Pengetahuan bahan teknik”, P.T. Pradnya Paramitha, Jakarta. pp. 135.

Sindo Kou,1987,” Welding Metallurgy”, John Wiley and Sons,Wisconsin,pp.129-140.

Van Vlack. H, Lawrence, dan Djaprie, S,1983,” Ilmu dan Teknologi Bahan “,Erlangga,Jakarta

pp.225-231

200 μm 200 μm

a b

Kolumnar

dendrit

Kolumnar

dendrit

c d

200 μm 200 μm

Page 262: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.1

PENERAPAN METODE RATING FAKTOR DAN MEKANIKA

UNTUK PERBAIKAN RANCANGAN GEROBAK BAKSO SEPEDA MOTOR

SEBAGAI UPAYA MENJAMIN KESELAMATAN PENGENDARA

Lobes Herdiman1, Taufiq Rochman

1, dan Hendry Pallas Prasetyo

2

1 Staf pengajar Jurusan Teknik Industri FT-UNS, Surakarta 2 Alumni mahasiswa Teknik Indsutri FT-UNS, Surakarta

Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Produk

Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Jebres, Surakarta 57126, Telp/Fax. (0271) 632110 e-mail : [email protected]

Abstrak

Rancangan pada gerobak bakso sepeda motor yang digunakan untuk berjualan keliling belum

mempertimbangkan aspek keseimbangan beban, kemudahan mobilitas, tempat penyajian, dan

daya tarik pembeli. Penelitian ini bertujuan memperbaiki pada rancangan gerobak bakso

sepeda motor berdasarkan kemudahan pelayanan bagi pembeli dan keseimbangan muatan

pada sepeda motor. Identifikasi awal dilakukan pada gerobak bakso sepeda motor di wilayah

Surakarta dan sekitarnya. Perbaikan awal ini melalui penerapan rating faktor untuk

pertimbangan dalam penempatan bagian-bagian dari peletakan beban muatan. Penentuan

ukuran pada dimensi rangka dengan memperhatikan aspek anthropometri. Hasil pada

penelitian ini memperoleh keseimbangan momen untuk penempatan beban muatan bagian

sisi kanan dan sisi kiri dari rancangan gerobak sepeda motor. Keseimbangan momen

keseluruhan untuk gerobak bakso sebesar 91,684 Nm. Bagian sisi kanan diseimbangkan

pada beban isi kompor 34,0 Nm dan beban isi dandang 46,84 Nm. Keseimbangan momen

untuk beban dan rangka di setiap komponen dicapai 162,74 Nm. Hasilnya pada gerobak

bakso sepeda motor memiliki tempat penyajian yang menjadi daya tarik pembeli, dan beban

muatan lebih seimbang agar memudahkan dalam mobilitas dan keselamatan pengendara.

Kata kunci: Gerobak bakso sepeda motor, faktor rating, anthropometri, momen

Pendahuluan Salah satu dari makanan yang disukai dan digemari sejak lama oleh masyarakat Indonesia

adalah bakso, makanan yang berasal dari negeri Cina (www. artikel. bermutu.com). Awalnya bakso

dibuat dengan bahan daging sapi, tetapi saat ini jenisnya semakin variatif. Bahan bakso mulai dari

bakso daging sapi, bakso ikan, bakso udang, hingga bakso keju. Bakso dihidangkan bersama mie

kuning, bihun, daging cincang, sawi dan tauge. Perlengkapannya terdiri dari saus tomat, saus cabai,

sambal dan kecap yang membuat makanan ini semakin nikmat disantap. Diasumsikan bilamana

jumlah penduduk sebanyak 238 juta jiwa. Survei satu dari seratus orang Indonesia rata-rata

mengonsumsi sebutir bakso sehari. Penjualan bakso mencapai lebih 868 juta butir bakso dalam

setahun (www.penebar-swadaya.com).

Meskipun kenyataanya di suatu daerah terdapat lebih dari satu pedagang bakso. Peluang

untuk bisnis berjualan bakso masih terbuka disebabkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap

makanan bakso yang tinggi (www.bakso-cakman.com). Alternatif media jualan dari gerobak bakso

dorong yang dimodifikasi sedemikian rupa. Gerobak bakso dapat diangkut di atas sepeda motor

tanpa harus mengurangi kapasitas angkut peralatan yang mendukung dalam penjualan bakso.

Persaingan dalam usaha penjualan bakso yang menggunakan fasilitas penjualannya menggunakan

sepeda motor terus bermunculan (karbonjournal.org).

Kondisi ini menuntut kreativitas para penjual bakso sepeda motor dalam merancang

gerobak bakso agar dapat menarik pembeli. Meskipun, rancangan gerobak bakso yang ditempat-

kan di sepeda motor yang selama ini dibuat atau dipesan oleh penjualnya masih belum

memperhatikan keselamatan bagi pengendaranya. Keseimbangan beban dalam mengendara sepeda

motor masih terganggu akibat kekurangtepatan beban dalam penempatan gerobak bakso pada

sepeda motor. Kondisi ini dapat menyebabkan kecelakaan karena ketidakseimbangan posisi

pengendara motor dan muatan pada saat mengendarai sepeda motor.

Page 263: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.1. Penerapan metode rating faktor dan mekanika ... (Lobes Herdiman, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.2

Proses perancangan dari perbaikan rancangan gerobak bakso merupakan sebuah langkah

strategis untuk menghasilkan produk yang secara komersial harus dicapai guna menghasilkan laju

pengembalian modal (rate of return on investment). Rancangan teknik (engineering design) dari

sebuah produk akan terkait dengan semua analisis perhitungan yang menyangkut pemilihan dan

perhitungan kekuatan material, dimensi geometris, toleransi dan standar kualitas yang dicapai.

Wignjosoebroto (2000) kesemuanya ini menentukan kualitas dan reliabilitas produk untuk

memenuhi tuntutan fungsi serta spesifikasi teknis yang diharapkan.

Perancang produk harus dapat mengintegrasikan aspek manusiawi dalam karya

rancangannya dalam sebuah konsep “human integrated design” (Pulat, 1992; Gupta, 1980).

Manuaba (2006) mengungkapkan masalah utama yang dihadapi pada pengangkutan produk di

industri primer dapat meliputi sistem angkat-angkut seperti sikap kerja yang tidak alamiah,

rancangan peralatan yang kurang tepat guna, pengorganisasian waktu yang tidak tepat, hanya

menggunakan pertimbangan faktor ekonomi dan teknik saja saat memecahkan masalah. Adanya

partisipasi sejak fase perencanaan mulai dari pengguna atau mereka yang terlibat dengan

permasalahan yang akan ditangani atau yang akan timbul (Manuaba, 2005). Analisis faktor

manusia dalam proses perancangan produk ini meliputi evaluasi karakteristik data fisiologi dan

psikologi manusia yang nantinya menjadi segmen utama dalam mengoperasikannya.

Evaluasi rancangan gerobak bakso sepeda motor yang dalam dimensi ukuran

(anthropometri) dengan memperhatikan manusia memiliki bentuk tubuh, karakter fisik yang

berbeda-beda (Wignjosoebroto, 1997). Penentuan geometris ukuran produk yang dirancang sedapat

mungkin mampu memberikan kelonggaran (Duncan, 1991). Agar digunakan ataupun dioperasikan

oleh mayoritas populasi secara leluasa bebas mengatur dan beradaptasi dengan ukuran anggota

tubuh masing-masing (Wignjosoebroto, 1997).

Tujuan dari paper ini untuk memperbaiki rancangan gerobak bakso sepeda motor. Analisa

rancangan dengan metode metode rating faktor, diperlukan untuk memberikan jaminan agar

rancangan mampu memenuhi harapan konsumen dan produsen. Pemilihan rancangan gerobak

bakso untuk keperluan penjualan berdasarkan dari segi estetika visual, higienis dan lay out gerobak

bakso agar mempunyai daya tarik pembeli (Ulrich dan Eppinger, 2000). Analisa teknis mekanika

diarahkan dalam hal meningkatkan derajat kualitas dan reliabilitas performansi dari produk guna

menghasilkan fungsi-fungsi (spesifikasi teknis) yang diharapkan. Penentuan keseimbangan gerobak

bakso mempertimbangkan dari mobilitas penjual pada saat sepeda motor yang digunakan sebagai

bagian dari fasilitas penjualan agar menghasilkan produk yang komersial dan berdaya saing.

METODOLOGI Pengamatan dilakukan pada 40 penjual di Kota Surakarta dan sekitarnya dengan berbagai

macam model gerobak bakso yang di survei dan diwawancarai. Model gerobak bakso yang

menggunakan fasilitas sepeda motor dikelompokkan menjadi 3 model. Pertama, terbuat dari rangka

kayu dengan dinding terbuat dari seng. Kedua, terbuat dari rangka kayu dengan dinding terbuat dari

triplek. Ketiga, terbuat dari rangka kayu dengan dinding terbuat dari seng.

Ukuran anthropometri penjual bakso melibatkan 40 orang yang diukur terdiri dari tinggi

bahu, plopitael menggunakan persentil 95 (Panero dan Zelnik, 2003). Dimensi dari lebar gerobak

bakso 90 cm disesuaikan ketentuan yang dikeluarkan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya

(DLLAJ) dengan kecepatan maksimum 80 km/jam (UU No. 22 tahun 2009). Pemilihan lay out

rancangan gerobak bakso menggunakan metode rating factor (Heizer, 1999). Pemilihan metode ini

untuk mengakomodasi keinginan dan kebutuhan dari penjual yang menggunakan gerobak bakso

sepeda motor. Penentuan keseimbangan rancangan gerobak bakso sepeda motor dihitung

berdasarkan momen terhadap beban (Popov, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan bisnis dalam cara menjajakan dalam menjual bakso keliling terjadi inovasi

dengan menggunakan fasilitas sepeda motor. Bentuk gerobak bakso sepeda motor yang digunakan

untuk menunjang kegiatan berjualan bakso harus mampu membawa peralatan yang terdiri dari

dandang, kompor, tempat bumbu, mangkok, sendok, garpu, dan ember. Rancangan gerobak bakso

sepeda motor berdasarkan dimensinya dikelompokkan menjadi tiga model. Gerobak pertama

terbuat dari rangka kayu dengan dinding terbuat dari seng.

Page 264: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.3

Gambar 1. Spesifikasi dan muatan dari gerobak bakso sepeda motor

Karakteristik di sisi kanan gerobak terdapat dandang dilengkapi kompor di bagian kanan

bawah. Sisi kiri atas untuk meletakan bakso cadangan, bakso goreng, pangsit, mei kuning dan

bihun. Sisi kiri bawah sebagai tempat menyimpan mangkok dan peralatan cuci. Bumbu bakso

ditempatkan di tengah.

Gambar 2. Model gerobak bakso sepeda motor dan ukurannya

Gerobak kedua terbuat dari rangka kayu dan dinding terbuat dari triplek. Karakteristik, sisi

kanan terdapat bakso cadangan, tempat mangkok, ember, dan tempat sendok garpu. Sisi kiri

terdapat dandang dan kompor. Gerobak ketiga terbuat dari rangka kayu dan dinding terbuat dari

seng. Sisi bagian kanan atas digunakan untuk meletakkan dandang dan kompor. Sisi kiri untuk

menempatkan bakso cadangan, bihun, dan pangsit.

Bagian dari karakteristik gerobak bakso digunakan untuk menentukan titik lokasi

berdasarkan metode faktor rating (Heizer, 1999). Metode ini digunakan karena melibatkan banyak

faktor dan mudah digunakan untuk menilai faktor yang berpengaruh. Alternatif yang dipilih

memiliki atribut faktor yang sudah ditentukan.

urutanjumlahTotal

urutankebalikanBobot ………………..……………………………..…..(1)

Bobot : Bobot tiap faktor yang berpengaruh.

Kebalikan urutan : Kebalikan dari urutan faktor pembobotan, jadi urutan awal jadi urutan

yang terakhir jadi awal.

Total jumlah urutan : Jumlah dari semua urutan.

Setelah di dapat bobot, diperoleh skor terbobot dengan ketentuan.

Skor terbobot = bobot x skor lokasi .......................................................... (2)

Skor terbobot : Pengaruh faktor yang ada

Bobot : Bobot tiap faktor yang berpengaruh.

Skor lokasi : Tingkat faktor pada lokasi

Pemberian skor pada setiap faktor disetiap lokasi yang ada, lokasi yang dipilih memiliki

atribut faktor yang sangat pekat maka diberi nilai yang tinggi. Berikutnya menghitung bobot tiap

faktor dengan jalan membagi kebalikan urutan dengan total jumlah urutan yang ada.

Mangkok yang dipilih berbahan keramik, melamin, dan plastik. Parameter yang diper-

timbangkan terdiri dari keamanan, berat, kehigienisan, dan daya tahan terhadap panas. Keamanan

perlu diperhatikan karena terkait bahaya yang ditimbulkan mangkok dalam hal ini termasuk ke

dalam barang pecah belah. Apabila mangkok yang digunakan cenderung mudah pecah, dapat

melukai pemakainya (menimbulkan luka).

Tempat bumbu merupakan kelengkapan penyajian bakso yang perlu diperhatikan.

Pemilihan tempat bumbu terdiri dari botol, kemasan kecil (sachet), dan tempat plastik. Parameter

yang dipertimbangkan meliputi kehigienisan, daya tampung, dan kemudahan penjual. Metode

faktor rating terpilih terdiri dari dandang bakso dengan bahan stainless steel dipilih karena

memiliki higienitas, tingkat keawetan, dan harga. Kompor arang dipilih karena aman, tidak

berpengaruh pada rasa bakso dan tahan awet. Mangkok dipilih mangkok melamin dengan kriteria

tidak mudah pecah, higienis, dan tahan panas. Tempat bumbu menggunakan wadah plastik.

Page 265: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.1. Penerapan metode rating faktor dan mekanika ... (Lobes Herdiman, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.4

Tabel 1. Penentuan dalam pemilihan bahan untuk rancangan gerobak bakso

Rangka menggunakan alumunium disebabkan awet dan ringan. Dinding yang terbuat dari

seng dan sistem pemasangannya menggunakan tali pengait. Selanjutnya ukuran dimensi meng-

gunakan data anthropometri untuk persentil tinggi bahu yang dihitung dari alas duduk tbp (P95)

setinggi 60 cm. Persentil plopiteal yang dihitung dari panjang jok bagian depan saat duduk ppd

(P95) panjang 47 cm pada perbaikan gerobak bakso sepeda motor.

Tabel 2. Pemilihan rating faktor untuk rancangan gerobak bakso

Rancangan untuk muatan dan rangka dari gerobak bakso harus memberikan keseimbang-an

antara bagian sisi kanan dan kiri pada sepeda motor, guna menjamin keselamatan pengendara

dalam mobilitas penjual bakso. Keseimbangan ini diperoleh dengan menghitung momen (Mσ) dan

titik tengah dari lebar jok sepeda motor digunakan pusat tumpuan atau titik 0.

Page 266: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.5

Gambar 3. Momen keseimbangan beban isi muatan

Persamaan menentukan keseimbangan muatan pada rancangan gerobak bakso.

∑Mσ = 0 ……………………………….…………………………………………..(3)

∑MRancangan gerobak bakso = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑MRangka (kanan-kiri ) .......................................(4)

∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) = ∑Mdandang dan kompor + ∑Mbakso cadangan + ∑Msaos-kecap cadangan dan mangkok

+ ∑Member-air dan arang + ∑Mmie dan pangsit + ∑Mbumbu tambahan + ∑Msendok dan garpu

+ ∑Mtempat saos dan kecap .................................................................................................(5)

∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) = (mdandang х g х ddandang+ mkompor х g х dkompor) + (- mbakso cadangan x g x

dbakso cadangan) + (-( msaos&kecap х g х dsaos&kecap + mmangkok х g х dmangkok)) + (-(member-air

х g х dember&air) + (marang х g х darang)) + (- mmie&pangsit х g х dmie&pangsit) + (- mbumbutamb

х g х dbumbutamb) + (- msendok&garpu х g х dsendok&garpu) + (- mtempat saos dan kecap х g х

dtempat saos dan kecap)........................................................................................................(6)

Persamaan menentukan keseimbangan rangka pada rancangan gerobak bakso.

∑MRangka (kanan-kiri ) = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑Mrangka A + ∑Mrangka B + ∑Mrangka C

+ ∑Mrangka D + ∑Mrangka tempat kompor + ∑Mtempat rangka dandang + ∑Mpintu + ∑Mlaci ….……(7)

∑MRangka (kanan-kiri ) = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑Mrangka A + ∑Mrangka B + ( ∑Mrangka C1 +

∑Mrangka C2 + ∑Mrangka C3 + ∑Mrangka C4 ) + ( ∑Mrangka D1 + ∑Mrangka D2 + ∑Mrangka D3

+ ∑Mrangka D4 ) + ∑Mrangka tempat kompor + ∑Mtempat rangka dandang + ( ∑Mpintu A1 + ∑Mpintu A2)

+ ( ∑Mpintu B1 + ∑Mpintu B2 + ∑Mpintu B3 + ∑Mpintu B4) + ∑Mpintu C

+ ( ∑Mlaci L1 + ∑Mlaci L2 +∑Mlaci L3) …………………………………………..……(8)

∑MRangka (kanan-kiri ) = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + (- mrangka A x g x drangka A) + (- mrangka B x g x

drangka B ) + (- mrangka C1 x g x drangka C1) + (- mrangka C2 x g x drangka C2) + (-mrangka C3 x g x

drangka C3) + (-mrangka C4 x g x drangka C4) + (mrangka D1 x g x drangka D1) + (mrangka D2 x g x drangka

D2) + (mrangka D3 x g x drangka D3) + (mrangka D4 x g x drangka D4) + (mrangka tempat kompor x g x drangka

tempat kompor) + (mtempat rangka dandang x g x dtempat rangka dandang) + (- mpintu A1 x g x dpintu A1) + (-

mpintu A2 x g x dpintu A2) + (- mpintu B1 x g x dpintu B1) + (-mpintu B2 x g x dpintu B2) + (-mpintu B3 x g

x dpintu B3) + (-mpintu B4 x g x dpintu B4) + mpintu C x g x dpintu C +

(- mlaci L1 x g x dlaci L1) + (-mlaci L2 x g x dlaci L2) + (-mlaci L13 x g x dlaci L3) …….….…(9)

mrangka A = m1rangka A + m2rangka A + m3rangka A + m4rangka A+ m5rangka A

mrangka B = m1rangka B + m2rangka B + m3rangka B

mpintu A1 = m1pintu A1 + m2pintu A1

mpintu A2 = m1pintu A2 + m2pintu A2

mpintu B1 = m1pintu B1 + m2pintu B1

mpintu B2 = m1pintu B2 + m2pintu B2

mpintu B3 = m1pintu B3 + m2pintu B3

mpintu B4 = m1pintu B4 + m2pintu B4

mpintu C = m1pintu C + m2pintu C

∑MRancangan gerobak bakso = ∑MBeban isi muatan (kanan-kiri) + ∑MRangka (kanan-kiri )

∑MRancangan gerobak bakso = (- 10,88 + 78,69 - 13,75 - 8,29 -5.44 - 3,33 - 1,66 - 0,55) + (- 13,01 - 6,31 -

1,07 - 0,89 - 0,55 - 0,38 + 0,514 + 0,65 + 0,79 + 0,93 + 36,40 + 47,72 -

0,11 - 0,11 - 1,69 - 1,69 - 1,27 - 0,79 + 3,22 - 2,97 - 1,82 - 0,67)

= 91,684 Nm (ke arah kanan)

Tabel 3. Beban dan rangka pada rancangan gerobak bakso sepeda motor

Page 267: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.1. Penerapan metode rating faktor dan mekanika ... (Lobes Herdiman, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.6

Keseimbangan secara keseluruhan muatan dan rangka terhadap momen yang menjadi

beban tumpuan berada di titik tengah sadel sepeda motor dicapai sebesar 91,684 Nm ke kanan.

Gerobak bakso bagian sisi kanan diseimbangkan dengan adanya beban isi kompor sebesar

34.0 Nm dan beban isi dandang sebesar 46.84 Nm. Beban dan rangka terhadap momen dari setiap

komponen rancangan gerobak bakso yang dihitung antara sisi kiri dan sisi kanan dicapai

keseimbangan sebesar 162.74 Nm.

KESIMPULAN

Perbaikan rancangan gerobak bakso sepeda motor sudah memenuhi keinginan penjual

bakso yang salah satunya adanya meja sebagai tempat penyajian untuk melayani pembeli.

Rancangan yang menarik menjadi daya tarik bagi pembeli dengan kemudahan pelayanan. Hasil

momen keseimbangan untuk sisi kiri dan kanan memberikan jaminan keselamatan bagi penjual

dalam mobilitas menjajakan jualan bakso.

DAFTAR PUSTAKA

Gupta, Vijay dan Murthy, PN., 1980, An Introduction to Engineering Method, Tata McGraw-Hill

Publishing Company Limited, New Delhi.

Heizer, Render, 1999, Operation Management, Fifth Edition, International Edition. Prentice Hall

Inc., New York.

Manuaba, A., 2004, Total Approach in Evaluating Comfort Work Place, Presented at UOEH

International Sysmposium on Comfort at the Workplace. Kitakyushu, Japan, 23-25 Oct.

2005.

Manuaba, A., 2006, Total Ergonomic Approach is Must for Products Transportation in Primary

Industry. Presented at Ergo Future 2006 International Symposium on Past, Pressent and

Future Ergonomics, Occupational Safety and Health Bali Indonesia, Universitas of

Udayana, Denpasar Bali Indonesia, 28-30 August.

Panero J.dan Zelnik M., 2003, Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Popov E.P., 1991, Mekanika Teknik, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Pulat, Mustafa B., 1992, Fundamentals of Industrial Ergonomics, Englewood Cliffs, Prentice Hall,

New Jersey.

Ulrich Karl T. dan Eppinger Steven D., 2000, Perancangan dan Pengembangan Produk, Penerbit

Salemba Teknika, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya,

Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, 22 Juni 2009, Jakarta.

Wignjosoebroto, Sritomo dan Dyah Santi Dewi, 1997, Perancangan dan Pengembangan Produk:

Suatu Upaya untuk Mempertahankan Eksistensi Perusahaan. Proceeding Seminar &

Lokakarya tentang “Rancang Bangun Produk Industri” – tanggal 27-28 Februari 1997,

Laboratorium Sistem Produksi, Jurusan Teknik Industri ITB – Bandung.

Wignjosoebroto, Sritomo, 1997, Ergonomic Analysis for Improving the Design of Spining Process

Facility in Textile Traditional Industry. Proceedings Asean Ergonomics 97: Human Factors

Vision – Care for the Future (Editor: Halimahtun M. Khalid), 6-8 Nopember 1997. Kuala

Lumpur: International Ergonomics Association (IEA) Pres.

Wignjosoebroto, Sritomo, 2000, Analisis Ergonomi dalam Proses Perancangan Produk : Studi

Kasus di Sektor Industri Tradisional. Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 1997, 6-7

Januari 1997 – Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi, Jurusan Teknik

Industri - ITB, Bandung.

Wignjosoebroto Sritomo, 2000, Evaluasi Ergonomis Dalam Proses Perancangan Produk,

Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS dan

Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) pada tanggal 20 Agustus 2000, Surabaya.

http://artikel.bermutu.com/sejarah-bakso-14.html, di akses pada 27 Pebruari 2012 pukul 20.05.

http://bakso-cakman.com, di akses pada 27 Pebruari 2012 pukul 20.10.

http://penebar-swadaya.com/catalog/product_info, di akses pada 17 November 2011, pukul 19.00.

http://karbonjournal.org, di akses pada 27 Pebruari 2012 pukul 21.11.

Page 268: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.7

RANCANG BANGUN PROTOTIPE ALAT TANAM BENIH JAGUNG ERGONOMIS

DENGAN TUAS PENGUNGKIT DAN MEKANIK PEMBUAT LUBANG UNTUK

MENINGKATKAN KAPASITAS TANAM

Rindra Yusianto

Fakultas Teknik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang 50131 E-mail : [email protected]

Abstrak

Alat tanam benih atau biji yang dipergunakan petani terutama pada saat menanam benih

jagung saat ini masih sangat sederhana yaitu menggunakan tongkat tanam dimana satu kali

aktivitas tanam hanya 1 benih jagung saja yang tertanam. Bahkan masih banyak pula petani

yang menanam benih jagung secara tradisional, yaitu dengan menggunakan galah dan alat

tanam seadanya. Sehingga untuk menanam benih jagung diperlukan waktu yang lama

tergantung dari luasan ladang yang akan ditanami. Pembuatan dan pengembangan alat

tanam merupakan salah satu kegiatan untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi sehingga

dapat menekan penggunaan waktu. Penelitian ini bertujuan merancang bangun sebuah alat

tanam benih jagung yang ergonomis dengan tuas pengungkit pada pegangan yang

menghasilkan daya tarik dan dorong yang lebih besar untuk mengangkat dan menekan 4 buah

pipa besi penumbuk berbentuk peluru dan mekanik pembuat lubang yang dikendalikan oleh

tuas. Rancang bangun alat tanam benih memperhitungkan data-data anthropometri agar

dalam proses tanam tingkat kenyamanan petani lebih diperhatikan. Dari penelitian ini,

dihasilkan prototipe alat tanam benih jagung yang ergonomis dan efektif yang memiliki

perbedaan mencolok dibandingkan dengan alat tanam benih yang sudah ada, yaitu pada

keberadaan sepasang tuas pengungkit pada pangkal pegangan yang mirip pegangan rem pada

sepeda yang mampu meningkatkan kapasitas tanam. Kemampuan alat adalah menaman 4

buah biji jagung secara simultan dengan kapasitas kotak penampung benih berisi 500 biji

jagung dalam sekali tanam. Dimana kemampuan mekanik pembuat lubang mampu membuat ke

dalaman lubang tanam antara 3,5 cm dan tiap lubang diisi 1 butir benih jagung.

Kata kunci : alat tanam, jagung, ergonomis, tuas pengungkit, kapasitas tanam

1. PENDAHULUAN

Di Indonesia jagung merupakan komoditi tanaman pangan penting, namun tingkat

produksi belum optimal. Untuk pertumbuhan diperlukan curah hujan ideal sekitar 85-200

mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji perlu mendapatkan cukup

air. Sebaiknya ditanam awal musim hujan atau menjelang musim kemarau. Membutuhkan sinar

matahari, tanaman yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji

yang tidak optimal. Suhu optimum antara 230 C - 300 C. Jagung tidak memerlukan persyaratan

tanah khusus, namun tanah yang gembur, subur dan kaya humus akan berproduksi optimal. pH

tanah antara 5,6-7,5. Aerasi dan ketersediaan air baik, kemiringan tanah kurang dari 8 %. Daerah

dengan tingkat kemiringan lebih dari 8 %, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu.

Ketinggian antara 1000-1800 m dpl dengan ketinggian optimum antara 50-600 m dpl (Wijaya,

2011).

Alat tanam benih atau biji yang dipergunakan petani terutama pada saat menanam benih

jagung saat ini masih sangat sederhana yaitu menggunakan tongkat tanam dimana satu kali

aktivitas tanam hanya 1 benih jagung saja yang tertanam. Bahkan masih banyak pula petani yang

menanam benih jagung secara tradisional, yaitu dengan menggunakan galah dan alat tanam

seadanya. Sehingga untuk menanam benih jagung diperlukan waktu yang lama tergantung dari

luasan ladang yang akan ditanami (Kurniawan, 2008). Salah satu indikator keberhasilan dalam

rancang bangun alat tanam benih adalah kombinasi antara satu atau beberapa petani dengan sebuah

alat dimana satu dengan lainnya akan saling berinteraksi untuk menghasilkan keluaran-keluaran

yang efektif sesuai dengan keinginan (Setyaningrum, 2008). Dan parameter utama yang sangat

menentukan terhadap efektivitas alat tersebut adalah faktor ergonomi (Nurmianto, 1996). Secara

umum, sistem kerja tanam benih terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu (1) Alat Utama (main

machine); (2) Tombol Penekan; (3) Katup. Prinsip kerja dari sistem alat tanam benih adalah

Page 269: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.2. Rancang bangun prototipe alat tanam benih jagung ergonomis ... (Rindra Yusianto)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.8

sebagai berikut; Main machine yang berupa tongkat pipa besi berisi sejumlah benih jagung di

dalamnya melubangi tanah dengan kedalaman tertentu dengan ujungnya yang runcing. Dengan

menekan tombol penekan pada pangkal main mechine maka katup penutup yang kurang lebih 5 cm

berada diatas ujung yang runcing akan membuka secara otomatis. Dengan tekanan pada tombol

penekan, maka pegas dengan pipa yang lebih kecil yang berada di dalam pipa utama pada main

machine akan mendorong sebuah benih jagung. Benih jagung ini akan mengalir melalui pipa besi

kemudian jatuh pada lubang tanah tersebut.

Oleh sebab itu, di dalam penelitian ini, dirancang bangun sebuah alat penanam benih

jagung yang sekali aktivitas tanam mampu menanam 4 benih jagung sekaligus yang sejajar dengan

jarak yang sama. Sehingga petani tidak perlu membuat garis yang simetris terlebih dahulu. Pada

pegangan alat tanam, dibuat tuas yang mampu melakukan aktivitas melubangi tanah, kemudian

memasukkan benih jagung ke dalam lubang tersebut dan menutupnya kembali dengan

mempertimbangkan faktor ergonomis. Secara detail dalam penelitian ini dibahas rancang bangun

pengembangan produk alat tanam benih yang ergonomis dengan menggunakan pendekatan

ergonomi dimana rancangan alat tanam benih di desain berdasarkan permasalahan pengguna alat

tanam benih khususnya petani dengan mempertimbangkan hal-hal : (1) Sekali tanam 4 benih

jagung sekaligus; (2) Rancangan atas dasar anthropometri; (3) Desain disesuaikan dengan presepsi

petani; (4) Menggunakan material besi yang awet; (5) Mendapatkan hasil kerja yang efektif; (6)

Mengurangi kelelahan akibat kerja.

Rancang bangun alat tanam benih memperhitungkan data-data anthropometri agar dalam

proses tanam tingkat kenyamanan petani lebih diperhatikan. Tahapan-tahapan perancangannya

adalah (1) Pengambilan data ukuran tubuh pengguna alat tanam benih; (2) Menghitung data

anthropometri yang akan di terapkan pada alat tanam benih jagung yang ergonomis; (3)

Merancang alat tanam benih jagung yang ergonomis; (4) Merakit kerangka alat tanam benih jagung

yang ergonomis dengan hasil hitungan anthropometri.

2. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen murni dengan melakukan rekayasa dan

pengembangan alat tanam benih jagung yang ergonomis dengan tuas pengungkit dan mekanik

pembuat lubang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tanam. Data yang dibutuhkan adalah

data antropometri yang meliputi (1) panjang bentangan tangan dari ujung kanan sampai kiri; (2)

Diameter genggaman tangan; (3) Panjang tangan; dan (4) Tinggi siku ke tanah, data petani atau

pengguna alat tanam benih, data respon alat tanam benih yang sudah ada dan potensi

pengembangan produk.Dalam penelitian ini dilakukan uji keseragaman data, uji kecukupan data,

uji kenormalan data, perhitungan persentil.

Prototipe di rancang bangun dengan memperhatikan kapasitas tanam secara simultan,

kedalaman lubang tanam dan jarak tanam antar benih. Prototipe hasil rancang bangun dilakukan

pengujian dengan pre test dan post test. Hasil ujicoba kemudian dievaluasi, sehingga pada akhirnya

diharapkan dihasilkan sebuah prototipe alat tanam benih jagung yang ergonomis, efektif dan

mudah dalam penggunaanya serta mampu meningkatkan kapasitas tanam.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian didapatkan hasil perhitungan ergonomis sebagai berikut : (1)

Jangkauan tangan ke samping, jarak bentang dari ujung tangan kanan sampai ujung tangan kiri

1218,4 mm; (2) Diameter genggaman tangan 39,71 mm; (3) Panjang tangan 150,195 mm; (4)

Tinggi siku ke tanah 886,265 mm. Sebagaimana telah dikemukan pada latar belakang bahwa salah

satu indikator keberhasilan dalam rancang bangun alat tanam benih adalah kombinasi antara satu

atau beberapa petani dengan sebuah alat dimana satu dengan lainnya akan saling berinteraksi untuk

menghasilkan keluaran-keluaran yang efektif sesuai dengan keinginan. Dimana secara umum,

sistem kerja tanam benih jagung yang saat ini ada terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu (1)

Alat Utama (main machine); (2) Tombol Penekan; (3) Katup. Berdasarkan hasil penelitian, ada 3

(tiga) hal yang sebenarnya bisa lebih dioptimalkan dari sistem alat tanam benih jagung yang

tradisional, yaitu (1) jumlah benih jagung yang keluar dari katup; (2) kapasitas penampung benih;

(3) penutup tanah yang terotomasi. Jika dilihat dari sisi studi gerak dan waktu, maka ada 2 gerakan

yang sebenarnya bisa dijadikan 1 (satu) gerakan saja dalam 1 (satu) kali aktivitas, yaitu (1)

Page 270: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.9

menekan tombol tekan; dan (2) menutup lubang dengan tanah. Gambar 1 menunjukkan alat tanam

benih jagung tampak samping.

Gambar 1. Alat Tanam Benih Tampak Samping

Kerangka utama alat tanam benih (A) di buat sesuai dengan dimensi antropometri tubuh

petani berdasarkan sampel penelitian sehingga dalam penggunaan di harapkan lebih nyaman dan

ergonomis. Bahan yang di gunakan yaitu pipa besi. Pada pangkal pegangan kerangka utama (A)

dibuat Tuas Pengungkit (B) dari besi yang dilapisi spons dengan tebal 1,5 mm dengan dimensi

panjang 110 mm dan diameter 27 mm. Tuas ini berfungsi untuk mengangkat dan menekan mekanik

Pipa Besi Penumbuk (C) yang menyerupai peluru dengan uliran dan di ujungnya dibuat runcing

untuk melubangi tanah serta membuka Tempat Benih (box) (E) yang terbuat dari besi plat dengan

tebal 1 mm dan memiliki kapasitas 500 benih jagung. Apabila Tempat Benih (E) membuka maka

benih jagung pada Pipa Benih (D) akan mengalir keluar menuju ujung pipa dan pada akhirnya jatuh

pada lubang tanah. Untuk menutup tanah digunakan Plat Penutup Tanah (F) yang terbuat dari plat

dengan tebal 2 mm lebar 20 mm yang akan menutup lubang secara otomatis ketika Roda (G)

digerakkan mundur.nMengacu pada Gambar 1, yang memperlihatkan suatu alat tanam benih

tampang samping sesuai dengan invensi ini. Tuas pengungkit seperti invensi yang diusulkan adalah

mengkondisikan mekanik pipa besi penumbuk berulir dengan ujung runcing yang mirip peluru (C)

bisa mengangkat dan menekan ke bawah serta kotak tempat benih (E) dengan katup pada bagian

bawahnya mampu membuka dan menutup. Pengkondisian yang dimaksudkan adalah dengan

memasang tuas pengungkit (B) yang terbuat dari besi dengan dilapisi spons berbentuk seperti

pegangan rem pada sepeda secara berpasangan pada pegangan kanan dan kiri dari rangka utama

(A). Penambahan sepasang tuas pengungkit (B) berbentuk seperti pegangan rem ini bertujuan

untuk memberikan daya angkat dan dorong yang lebih besar terhadap pipa besi penumbuk (C) dan

membuka tutup katup pada kotak penampung benih (E) untuk kemudian mengarahkan aliran benih

jagung menuju pipa benih (D) yang melintasi bagian/daerah rangka utama (A) tersebut, agar lebih

seragam (uniform) dan memiliki percepatan (akselerasi) yang lebih besar. Dengan kedua kondisi

tersebut, maka aliran benih jagung pada pipa benih (D) menjadi lebih baik dan lebih cepat, apabila

dibandingkan dengan hanya melakukan penekanan melalui pegas dengan pipa kecil di dalamnya.

Prototipe dirancang bangun dengan tuas pengungkit pada pegangan yang menghasilkan

daya tarik dan dorong yang lebih besar untuk mengangkat dan menekan mekanik yang terdiri dari 4

(empat) buah pipa besi penumbuk berbentuk peluru dengan ujung ulir dengan ketinggian ulir

tertentu, ulir dimaksudkan untuk memberikan daya bongkar yang lebih besar. Pada ujung ulirnya

dibuat runcing yang berfungsi untuk melubangi tanah. Tuas pengungkit mampu membuka katup

penutup pada box dengan kapasitas tertentu setidaknya berisi 500 benih jagung pada main machine

Page 271: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.2. Rancang bangun prototipe alat tanam benih jagung ergonomis ... (Rindra Yusianto)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.10

kemudian menutup katup kembali. Tuas pengungkit dapat menghasilkan daya dorong yang lebih

maksimal untuk mengalirkan benih jagung ke dalam 4 (empat) buah pipa sekaligus. Ujung pipa

secara otomatis menutup lubang dengan gesekan pada tanah; pada main machine dipasang 2 (dua)

buah roda dengan tinggi seimbang dengan panjang pipa besi, dimaksudkan untuk mempermudah

pergerakan. Penelitian ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan alat

tanam benih yang ada di pasaran atau yang dikenal oleh masyarakat luas. Yaitu pada keberadaan

sepasang tuas pengungkit pada pangkal pegangan yang mirip dengan pegangan rem pada sepeda.

Pipa besi dengan ujung runcing untuk menambah daya dorong dalam melubangi tanah dan

dikombinasikan dengan ulir untuk menambah daya bongkar pada tanah.

Gambar 2. Komponen Alat Tanam Benih

Berdasarkan gambar 2, kemampuan alat menaman 4 buah biji jagung secara simultan

dengan kapasitas kotak penampung benih berisi 500 biji jagung dalam sekali tanam. Dimana

kemampuan mekanik pembuat lubang mampu membuat kedalaman lubang tanam antara 3,5 cm

dan tiap lubang diisi 1 butir benih jagung. Sejalan dengan Pribadi (2007) yang menyatakan bahwa

pengaruh pengaturan pola tanam terhadap jagung menunjukkan dengan jarak tanam yang makin

rapat produktivitas jagung yang diperoleh per satuan m2 makin meningkat. Sehingga alat tanam

dirancang mampu membuat jarak tanam 20x50 cm.

4. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dihasilkan prototipe alat tanam benih jagung yang ergonomis dan

efektif yang memiliki perbedaan mencolok dibandingkan dengan alat tanam benih yang sudah ada,

yaitu pada keberadaan sepasang tuas pengungkit pada pangkal pegangan yang mirip pegangan rem

pada sepeda yang mampu meningkatkan kapasitas tanam. Prototipe dirancang bangun dengan tuas

pengungkit pada pegangan yang menghasilkan daya tarik dan dorong yang lebih besar untuk

mengangkat dan menekan mekanik yang terdiri dari 4 (empat) buah pipa besi penumbuk berbentuk

peluru dengan ujung ulir dengan ketinggian ulir tertentu, ulir dimaksudkan untuk memberikan daya

bongkar yang lebih besar. Pada ujung ulirnya dibuat runcing yang berfungsi untuk melubangi

tanah. Tuas pengungkit mampu membuka katup penutup pada box dengan kapasitas tertentu

setidaknya berisi 500 benih jagung pada main machine kemudian menutup katup kembali. Tuas

pengungkit dapat menghasilkan daya dorong yang lebih maksimal untuk mengalirkan benih jagung

ke dalam 4 (empat) buah pipa sekaligus. Ujung pipa secara otomatis menutup lubang dengan

gesekan pada tanah; pada main machine dipasang 2 (dua) buah roda dengan tinggi seimbang

dengan panjang pipa besi, dimaksudkan untuk mempermudah pergerakan.

Kemampuan alat adalah menaman 4 buah biji jagung secara simultan dengan kapasitas

kotak penampung benih berisi 500 biji jagung dalam sekali tanam. Dimana kemampuan mekanik

pembuat lubang mampu membuat ke dalaman lubang tanam antara 3,5 cm dan tiap lubang diisi 1

butir benih jagung dengan jarak tanam 20x50 cm.

Page 272: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.11

5. DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Taufiq Agus. 2008. Alat Tanam Biji Jagung, Semarang, Fakultas Teknik UDINUS.

Nurmianto, Eko. 1996. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya, PT. Guna Widya.

Pribadi, Ekwasita Rini. 2007. Kajian Kelayakan Usaha Tani Pola Tanam Sambiloto dengan Jagung. Jurnal Littri. Vol 13. No. 3 September. pp : 98-105.

Setyaningrum, Ratih. 2008. Modul Praktikum Analisa dan Perancangan Kerja, Semarang, Fakultas

Teknik UDINUS.

Wijaya, Yunius Girry. 2011. Pembuatan Alat Tanam Benih Jagung (zea mays) Otomatis Berbasis

Mikrokontroler. Scientific Repository. Institut Pertanian Bogor.

Page 273: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.3. Perancangan mekanisme pengontrol controllable pitch propeller (Lorentius Y. Sutadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.12

PERANCANGAN MEKANISME PENGONTROL CONTROLLABLE PITCH PROPELLER

Lorentius Yosef Sutadi1)

, Susilo Adi Widyanto2)

, Ismoyo Haryanto2)

1) Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof.H. Sudarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50275 2)

Program Studi Magister Teknik Mesin, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang

Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50061 Email: [email protected]

Abstrak

Propeller adalah salah satu bagian mesin yang berfungsi sebagai alat penggerak mekanik,

misalnya pada pesawat terbang, kapal laut, hovercraft dan lain-lain. Propeller dibedakan

menjadi dua jenis yaitu Fixed Pitch Propeller (FPP) dan Controllable Pitch Propeller

(CPP). Propeller jenis CPP dirancang agar besar sudut pitch dari propeller dapat diatur

walaupun propeller dalam keadaan berputar. Tujuan penelitian ini merancang mekanisme

pengontrol CPP yaitu mesin yang digunakan untuk mengatur serempak yang sama besar

sudut pitch dari 3 propeller blade agar menghasilkan gaya dorong (thrust) yang bervariasi

ketika propeller blade dalam keadaan berputar konstan yang diputarkan oleh motor

penggerak listrik arus bolak-balik melalui transmisi sabuk dan puli. Propeller blade yang

digunakan pada mekanisme ini adalah tipe airfoil ukuran medium seri TR11W untuk

penggerak hovercraft. Rentang pengaturan sudut pitch antara 45 s.d. 45. Berbagai

perancangan mekanisme pengontrol CPP menggunakan gabungan sistem mekanik dengan

komponen utama pasangan pin-slot eksentrik dan hidrolik, gabungan sistem mekanik dengan

komponen utama pasangan roda gigi dan hidrolik serta sistem mekanik saja dengan

penggerak manual. Pada perancangan ini menggunakan sistem mekanik dengan komponen

utama pasangan pin engkol silindris dan piringan beralur (crank pin in slot disc) dengan

penggerak manual.

Kata kunci: perancangan, mekanisme pengontrol CPP, pena engkol, piringan beralur,

manual

1. PENDAHULUAN

Propeller adalah salah satu bagian mesin yang berfungsi sebagai alat penggerak mekanik,

misalnya pada pesawat terbang, kapal laut, hovercraft dan lain-lain. Propeller dibedakan menjadi

dua jenis yaitu Fixed Pitch Propeller (FPP) dan Controllable Pitch Propeller (CPP). Propeller

dengan pitch tetap (FPP) dicetak dalam satu blok yang tetap sehingga sudut pitch propeller tidak

dapat diatur namun dirancang agar berfungsi optimum, sedangkan propeller jenis CPP dirancang

agar sudut pitch dari propeller dapat diatur walaupun propeller dalam keadaan berputar. Jumlah

propeller blade biasanya lebih dari satu yang terpasang pada hub poros pemutar propeller tersebut.

Tujuan pengaturan pitch propeller untuk mendapatkan gaya dorong (thrust) yang besarnya

bervariasi dari minimum hingga maksimum pada kecepatan putar poros propeller konstan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi dan Istilah Dasar Propeller

Propeller berbentuk baling-baling yang mentransmisikan daya dengan cara mengkonversi

gerak putar menjadi gaya dorong. Istilah-istilah dasar yang umum pada propeller yaitu:

a. Sudut blade (blade angle) adalah sudut antara bidang putar (plane of rotation) propeller

dan garis chord pada propeller airfoil. Istilah airfoil adalah luas penampang melintang blade

b. Stasiun blade (blade station) adalah posisi referensi pada blade yang memiliki jarak

tertentu terhadap pusat hub.

c. Pitch adalah jarak maju yang dapat dicapai (dalam satuan inci atau mm) suatu bagian

propeller dalam satu putaran penuh.

d. Sudut serang (angle of attack) adalah sudut lancip antara garis chord pada propeller dan

garis relative wind (relative airflow).

Page 274: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.13

Gambar 2. 1 Controllable Pitch Propeller

2. 2. Mekanisme CPP

Prinsip kerja mekanisme pengontrol CPP yaitu mengatur/mengubah sudut pitch propeller

dari posisi sudut pitch mula-mula ke posisi sudut pitch yang dikehendaki dengan cara memutar

serentak seluruh propeller blade pada sumbu putar tiap-tiap propeller blade tetapi poros propeller

dalam keadaan berputar sehingga menghasilkan perubahan gaya dorong yang dikehendaki.

Apabila sudut pitch dapat diatur pada sudut negatif, CPP dapat menghasilkan gaya dorong

mundur untuk pengereman atau bergerak mundur (Wikipedia, diakses 2010).

3. PERANCANGAN

Mekanisme pengontrol CPP adalah suatu peralatan yang digunakan untuk mengatur atau

menentukan seluruh sudut pitch propeller serentak yang besarnya sama terhadap datum ketika

poros propeller dalam keadaan berputar dengan kecepatan konstan. Kecepatan putar poros

propeller diperoleh dari sebuah motor listrik AC melalui transmisi sabuk dan puli. Pengontrol gerak

sudut pitch propeller biasanya menggunakan sistem hidrolik atau manual.

3. 1. Tujuan Perancangan

a. Merancang mekanisme pengontrol CPP sehingga dapat menghasilkan sudut pitch propeller

pada masing-masing propeller blade yang sama besar diukur dari satu referensi ketika poros

propeller dalam keadaan berputar.

b. Merancang mekanisme pengontrol CPP sehingga dapat mengukur sudut pitch propeller

yang diinginkan dimana besar maksimum sudut pitch propeller dibuat 45o dan 45

o.

c. Merancang mekanisme pengontrol CPP yang mampu keterulangannya baik, kuat,

sederhana tetapi memenuhi keperluan rancang bangun, biaya terjangkau dan semua komponen

tidak standar dapat diproses pemesinan (dibuat) di bengkel mesin Politeknik Negeri Semarang

serta memperhitungkan keselamatan/keamanan ketika mekanisme pengontrol CPP beroperasi.

3. 2. Kriteria Perancangan

Kriteria perancangan yang diharapkan dapat terpenuhi sesuai tujuan perancangan, secara

umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (Dieter, 1991)

a. Kriteria musts, yaitu kriteria yang harus dipenuhi dalam perancangan, meliputi:

Mekanisme dapat menghasilkan sudut pitch propeller pada masing-masing propeller blade

yang sama besar diukur dari satu referensi ketika poros propeller dalam keadaan berputar.

Mekanisme dapat mengukur sudut pitch propeller yang diinginkan dimana besar

maksimum sudut pitch propeller dibuat 45o dan 45

o.

Mekanisme pengontrol CPP yang mampu keterulangannya baik.

Aman bagi operator dan lingkungan kerja

b. Kriteria wants, yaitu kriteria yang diharapkan dipenuhi dalam perancangan, meliputi:

Mudah dalam pengoperasian

Mudah dalam perakitan

Mudah dalam perawatan dan perbaikan

Page 275: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.3. Perancangan mekanisme pengontrol controllable pitch propeller (Lorentius Y. Sutadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.14

3. 3. Perancangan Konsep Produk (Harsokoesoemo, 2004)

Adalah suatu kegiatan mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya yang dituangkan dalam

bentuk konsep mekanisme pengontrol CPP yang berfungsi untuk mengatur serempak 3 pitch

propeller blade ketika poros propeller dalam keadaan berputar.

Selanjutnya hasil konsep perancangan mekanisme-mekanisme tersebut dibandingkan satu

dengan yang lain untuk menentukan hasil perancangan yang terbaik. Di bawah ini diuraikan

beberapa konsep perancangan atau alternatif perancangan yang dapat dibandingkan setelah

sebelumnya melalui penyaringan yang tidak diuraikan disini sehingga diperoleh 4 alternatif bentuk

konsep perancangan yang akan dievaluasi untuk menentukan alternatif terbaik.

A. Alternatif Mekanisme I Cara kerja sistem pengontrol CPP (Gambar 3.1) ini digunakan pada kapal laut yaitu

dengan memutar spindel 54, plat 57 bergeser ke kiri sehingga pegas 53 tertekan dan menggerakkan

bagian 51 ke kiri. Hal ini dapat terjadi karena media penekan yang disuplai melalui pipa 61 oleh

pompa penekan media atau melalui beberapa sumber pipa-pipa kecil 62 menuju sistem transmisi

49. Peningkatan tekanan dalam sistem transmisi 49 menggerakkan bagian 51 ke kanan lagi pada

posisi akhir kemudian tekanan yang cukup tinggi menyeimbangkan peningkatan tekanan melawan

pegas 53. Akibat tekanan yang lebih tinggi pada sistem 49, permukaan 48 menerima tekanan yang

besar dan bagian kontrol 45 bergerak arah kiri. Media penekan dari pipa 46 melalui celah 63 pada

collar 47 dan melewati 64, 65 dan 66 ke dalam silinder 15 dan menggerakkan torak motorservo ke

kiri. Poros berputar searah anak panah dan mengatur sudut pitch propeller blade 7 (Atteslander,

1948).

Gambar 3. 1 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP I

B. Alternatif Mekanisme II

Sistem pengontrol pitch propeller (Gambar 3.2) menjadi satu kesatuan dalam mesin yang

dihubungan ke kotak roda gigi (gearbox) yang ada pada pesawat terbang. Sebatang tuas yang

dihubungkan ke kokpit dengan kabel digunakan untuk memutarkan sebuah piringan. Piringan

tersebut bergerak pada permukaan yang miring sehingga dapat mengubah gerak putar menjadi

gerak lurus yang bertujuan menekan batang pengatur pitch pada kedudukan yang

diinginkan.(Operation and Installation Manual (E – 309) of Mechanical Variable Pitch Propeller

MTV-24-( ), Gerd R. Muhlbauer, President of MT-Propeller Entwicklung GmbH, Revision 11:

February 09, 2010)

Page 276: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.15

Gambar 3. 2 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP II

C. Alternatif Mekanisme III

Skematik mekanisme pengontrol CPP yang ditunjukkan pada Gambar 3.3 digunakan pada

kapal laut. Sudut pitch propeller diatur menggunakan sebuah silinder hidrolik yang berada di dalam

hub. Akibat salah satu katup terbuka, oli mengalir ke dalam salah satu ruangan oli dan ke luar

melalui ruangan oli yang lainnya. Tekanan meningkat hingga terjadi perbedaan tekanan pada

silinder torak yang cukup besar untuk melawan beban dan gaya gesek. Selanjutnya aliran oli akan

mengakibatkan perpindahan gerak translasi torak yang dikonversi menjadi gerak rotasi semua

propeller blade dengan menggunakan mekanisme pin-slot eksentrik. (Dullens, 2009)

Gambar 3.3 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP III

D. Alternatif Mekanisme IV

Pengaturan semua pitch propeller blade pada sudut yang sama besar dapat dilakukan

dengan memutarkan secara manual batang silindris berulir dalam (sebagai mur) yang berputar

dalam rumahnya, mengakibatkan poros berulir luar pasangannya (sebagai baut) dapat bergerak

translasi. Hal ini dapat terjadi karena pada poros berulir luar diberi alur memanjang untuk tempat

masuk batang pengarah. Di dekat ujung poros berulir terdapat sebuah piringan yang beralur pada

bidang keliling (slot yang melingkar) dimana alur tersebut sebagai jalan atau lintasan dan pemutar

ke-3 pin engkol silindris (crankpin). Pemegang blade dihubungkan dengan pin engkol oleh baut

sehingga gerak maju atau mundur piringan yang beralur mengakibatkan gerak rotasi ke-3 propeller

Page 277: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.3. Perancangan mekanisme pengontrol controllable pitch propeller (Lorentius Y. Sutadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.16

blade yang dicekam oleh pemegang blade karena sumbu putar pin engkol silindris satu sumbu

dengan pemegang blade. Alternatif mekanisme IV ditunjukkan pada Gambar (3.4).

Gambar 3.4 Alternatif Mekanisme Pengontrol CPP IV

3. 4. Pemilihan Alternatif

Kriteria mekanisme-mekanisme pengontrol CPP yang disajikan tersebut di atas dievaluasi

berdasarkan matrik pengambilan keputusan (Harsokoesoemo, 2004). Pada tahap evaluasi ini setiap

kriteria mekanisme pengontrol CPP dibandingkan satu dengan yang lain secara berpasangan dalam

hal kemampuan memenuhi kebutuhan pengguna selanjutnya diberi skor. Konsep mekanisme

produk yang memperoleh skor paling tinggi adalah yang terbaik sehingga konsep tersebut yang

harus dibuat.

Tabel 3.1 Matriks evaluasi dalam menentukan Mekanisme Pengontrol CPP

Kriteria Alternatif Mekanisme

I II III IV

Mudah dalam pengoperasian

D

A

T

U

M

+ + +

Murah dalam pengoperasian S S S

Mudah dalam perakitan

Murah dalam perakitan

Mudah dalam perawatan +

Murah dalam perawatan

Mudah dalam perbaikan

Murah dalam perbaikan

S

3 1 6

4 6 1

1 1 1

Apabila terjadi keraguan untuk menilai suatu alternatif lebih baik atau lebih buruk daripada

alternatif mekanisme I, maka digunakan skor S yang berarti sama dengan alternatif mekanisme I.

(Pugh, 1991)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil matriks evaluasi alternatif produk mekanisme pengontrol CPP di atas, ternyata

alternatif mekanisme IV memiliki skor yang paling tinggi yaitu 6 dan skor paling rendah yaitu

1 serta skor S sama sehingga dapat ditentukan konsep perancangan alternatif IV yang dipilih,

selanjutnya akan dibuat.

Sintesis mekanisme pengontrol CPP terpilih, menggunakan persamaan Gruebler untuk

mengetahui derajat kebebasan, yaitu M = 3×(L1)2J dimana M = derajat kebebasan (DoF) atau

mobilitas (mobility); L = jumlah link; J = jumlah joint.

Piringan beralur

Batang silindris berulir dalam

Drum batang silindris berulir dalam

Pemegang blade 1

Pemegang blade 2

Pemegang blade 3

Hub

Pin engkol silindris 1

Pin engkol silindris 2

Pin engkol silindris 3 Poros berulir luar

Page 278: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.17

Gambar 4.1 Penghitungan derajat kebebasan

Pada Gambar 4.1 hasil perancangan mekanisme pengontrol CPP terpilih yang akan dibuat

memiliki jumlah link, L = 6 dan jumlah joint, J = 6,5 maka M = 3(61) 2(6,5) = 2. Hal ini

menunjukkan suatu gerak pasti , yaitu gerak tertentu terjadi bila suatu titik pada mekanisme

digerakkan dengan masukan tertentu, maka semua bagian yang lain akan bergerak tertentu pula

sehingga disebut mekanisme karena DoF adalah positif (Norton, 1999).

5. KESIMPULAN

Dari hasil perancangan dapat disimpulkan bahwa mekanisme pengontrol CPP dapat

dirancang berbeda bentuk dari mekanisme yang sudah ada sebelumnya tetapi memiliki fungsi yang

sama sehingga perancangan mekanisme pengontrol CPP alternatif IV memenuhi syarat untuk

pembuatan produks.

DAFTAR PUSTAKA

Atteslander, E., 1948, “ Device For Adjusting The Blades Of Ship’s Propellers”: United States

Patent Office.

Dieter, G.E., 1991, “ Engineering Design “: A Materials and Processing Approach, 2nd

Edition,

McGraw-Hill, Inc.

Dullens, F.P.M., 2009, “ Modeling and Control of a Controllable Pitch Propeller ”, Thesis for

Master of Science Degree in Mechanical Engineering at the Eindhoven University of

Technology.

Harsokoesoemo, H.D, 2004, “ Pengantar Perancangan Teknik “ (Perancangan Produk), Edisi

Kedua, Penerbit ITB, Bandung.

Norton, Robert L, 1999, “ Design of Machinery “ : An Introduction to the Synthesis and Analysis

of Mechanisms and Machines, 2nd

Edition, McGraw-Hill Inc., U.S.A.

Operation And Installation Manual (E – 309), 2010, “ Mechanical Variable Pitch Propeller MTV –

24 – ( )”, Propeller Entwicklung GmbH.

Pugh, Stuart, 1990, “ Total Design “, Addison-Wesley Publising Company.

http://en.wikipedia.org/wiki/Controllable_pitch_propeller

Page 279: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.4. Studi eksperimental pengaruh beban terhadap koefisien gesek ... (Didi D. Krisnandi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.18

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH BEBAN TERHADAP KOEFISIEN GESEK

PADA SLIDING CONTACT FASE RUNNING-IN DENGAN TRIBOMETER PIN-ON-DISC

Didi Dwi Krisnandi*)

, Aan Burhanudin, Eko Armanto, Dian Prabowo,

Sulardjaka, Jamari.

Magister Teknik Mesin UNDIP

Jl.Prof. Sudarto, SH, Tembalang Semarang *email: [email protected]

Abstrak

Kontak permukaan antar komponen merupakan salah satu fenomena yang tak terpisahkan

dalam suatu sistem permesinan. Kontak permukaan suatu sistem permesinan dapat berupa

sliding contact dan rolling kontak. Ketika kontak tersebut diberikan suatu gaya mekanik maka

akan terjadilah fenomena tribologi yang disebut sebagai wear (keausan). Kajian tribologi

sangat penting dalam kaitannya efesiensi dan peningkatan performance suatu sistem

permesinan. Proses keausan terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu running-in, steady state, dan

wear out. Tahapan running-in merupakan tahapan awal dari proses keausan. Tahapan ini

berlangsung sangat cepat dan memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap kehandalan

dan efisiensi suatu sistem permesinan. Penelitian ini membahas pengaruh beban terhadap

koefisisen gesek yang terjadi pada fase running-in pada material alumunium dan kuningan

dengan menggunakan tribometer pin-on-disc. Material alumunium memiliki H: 0.24 Gpa, E:

75.2 Gpa dan v: 0.34. Sedang material kuningan memiliki H: 1.8 GPa , E: 115 GPa, dan v:

0.34 . Variasi beban yang digunakan yaitu 2N, 3N dan 5N. Sedang kecepatan yang digunkan

(sliding speed) 10 rpm. Sebagai pin digunakan material bola baja (chrome steel ball) diameter

10mm, Ra:0.01μm, E:430 Gpa dan v:0.17. Bola baja diasumsikan tidak mengalami keausan.

Dari hasil pengujian didapatkan koefisien gesek pada fase running-in akan menurun sejalan

bertambahnya jarak sliding sampai fase steady-state dan akan memiliki nilai koefisien yang

hampir sama. Besarnya koefisien gesek pada fase running-in berbanding lurus dengan

besarnya beban yang diberikan (gaya normal). Besarnya koefisien gesek pada material

kuningan lebih besar dibanding dengan gaya gesek yang timbul pada alumunium. Untuk beban

dan kecepatan yang sama, fase running-in pada alumunium lebih singkat dari pada yang

terjadi pada alumunium. Fase running-in pada alumunium terjadi sampai ± 40 detik (6~7

putaran), sedangkan untuk kuningan pada 70 detik (11~12 putaran).

Kata kunci: koefisien gesek, keausan, sliding, running-in

PENDAHULUAN

Suatu sistem permesinan akan terdapat kontak antar permukaan part, yaitu kontak yang

dapat berupa point contact (kontak titik), surface contact (kontak permukaan), dan line contact

(kontak garis). Ketika kontak antar part tersebut dikenakan sebuah gaya mekanik, maka akan

timbul suatu fenomena yang disebut sebagai keausan (wear). Dawson, 1998 telah menyampaikan

sejarah panjang tentang tribologi. Tribologi adalah masalah krusial dalam permesinan yang

melibatkan proses sliding dan rolling. Jika tribologi diterapkan dengan semestinya, maka finansial

dapat dihemat sampai sebesar US$16 milyar di Negara Amerika dan £500 juta di Inggris. Hal ini

bisa dilihat dari laporan H.P. Jost, Menteri Pendidikan Inggris pada tahun 1966. Dalam laporannya

yang terkenal dengan nama The Jost Report, pemborosan terutama disebabkan oleh keausan karena

gesekan, munculnya panas akibat gesekan mengakibatkan material menjadi lunak dan

memungkinkan rusak pada kontak permukaannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Robinowicz

yang mengemukakan bahwa kehilangan fungsi suatu komponen mesin 70% disebabkan oleh

kerusakan pada permukaan logam yang meliputi keausan (55%) dan korosi (15%). Dimana

mekanisme keausan yang dominan adalah keausan adesif (25%) dan abrasif (20%), sedang sisanya

disebabkan oleh mekanisme keausan yang lain (Suryanto, 2007). Kehrwald tahun 1998

menyatakan bahwa dengan melakukan prosedur yang tepat saat running-in, dapat meningkatkan

life time suatu sistem permesinan sebesar 40% lebih, dan juga dapat mengurangi gesekan mesin

tanpa melakukan perubahan material (R. Ismail, dkk,1997).

Page 280: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.19

Data-data di atas menunjukan bahwa fenomena keausan sangat penting dalam kaitannya

umur pakai dan performance komponen dalam suatu sistem permesianan. Oleh karena itu

penelitian tentang wear akan sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi suatu sistem

permesinan, mempertimbangkan dan menentukan jenis dan propertis material yang akan

digunakan, dan menentukan kondisi lingkungan yang tepat sebagai optimalisasi suatu sistem

permesinan.

LANDASAN TEORI

Kontak sliding adalah kontak dengan kecepatan relatif antara dua benda atau

permukaan pada pusat kontak dalam bidang tangent (MB. Peterson, 1969). Pengaruh dari

adanya kontak sliding adalah hilangnya sebagian material dari permukaan yang saling

kontak yang dinamakan keausan. Keausan dalam ASTM didefinisikan sebagai kerusakan

permukaan benda yang secara umum berhubungan dengan peningkatan hilangnya material

yang disebabkan oleh pergerakan relatif benda dan sebuah substansi kontak (Blau,1997).

Keausan didefinisikan sebagai kehilangan substansi secara progresif dari permukaan

operasi dari benda akibat gerak relatif dari permukaan terhadap benda lain (Stachowiak,

2005) . Archard (1953) mengemukakan suatu model pendekatan untuk mendeskripsikan

keausan sliding, yang merupakan babak baru dalam perkembangan ilmu tribologi. Archard

berasumsi bahwa parameter kritis dalam keausan sliding adalah medan tegangan di dalam

kontak dan jarak sliding yang relatif antara permukaan kontak. Model ini sering dikenal

sebagai hukum keausan Archard, yang sering dikenal dengan Archard’s wear law (Holm,

1946). Model Archard didasarkan pada pengamatan-pengamatan bersifat percobaan.

Bentuk sederhana dari model keausan ini adalah:

(1)

dimana V adalah volume material yang hilang akibat keausan, s adalah jarak sliding, FN

adalah beban normal, k adalah koefisien keausan tak berdimensi (tidak memiliki satuan)

yang merupakan suatu konstanta yang didapatkan untuk mencocokkan perhitungan antara

teori dan pengujian, kD adalah koefisien keausan yang berdimensi yang didapat dari:

kD = k/H (2)

H adalah kekerasan dari material yang mengalami keausan. Tahapan keausan (Gb.1) dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri tiga tahap

(Jamari, 2006). Tahap pertama yaitu tahap running-in. Pada tahap ini keausan mengalami

peningkatan secara signifikan, tetapi laju keausan berkurang seiring dengan bertambahnya waktu

ataupun jarak sliding ataupun rolling. Tahap kedua adalah steady state, dimana keausan masih

meningkat tetapi tidak sebesar tahap pertama (running-in). Laju keausan (wear rate) berjalan

konstan dan tidak berubah dengan berjalannya waktu ataupun jarak sliding ataupun rolling.

Keadaan ini berahir sampai terjadi fatique wear. Tahap terakhir disebut wear-out, pada tahap ini

keausan dan laju keausan mengalami peningkatan tajam, sampai akhirnya permukaan kontak

mengalami kerusakan. Pada kondisi inilah awal dari kegagalan lelah.

Page 281: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.4. Studi eksperimental pengaruh beban terhadap koefisien gesek ... (Didi D. Krisnandi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.20

Gambar 1. Grafik tahapan keausan (Jamari,2006)

PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan alat yang disebut tribometer pin-on-disc

(Gb.2) , tipe slliding pada fase running-in dengan material alumunium dan kuningan sebagai disc

dan bola baja (crome steel ball) sebagai pin dengan variasi pembebanan (2 N, 35 N, dan 5 N). Bola

baja yang digunakan berdiameter 10mm, Ra:0.01μm, E:430 Gpa dan v:0.17 dengan lapisan crome.

Bola baja diasumsikan tidak mengalami keausan, sehingga yang dilakukan pengamatan hanya pada

disc saja. Material alumunium yang digunakan memiliki H: 0.24 Gpa, E: 75.2 Gpa dan v: 0.34.

Sedang material kuningan memiliki H: 1.8 GPa , E: 115 GPa, dan v: 0.34. Permukaan benda uji

memiliki kekasaran ±1.27 µm untuk alumunium, dan 1.28 µm untuk material kuningan. Kecepatan

yang digunakan dalam pengujian sebesar 10 m/s.

Gambar 2. Pin-on-disc tribometer

Pin

Disc

Load cell

Microcontroller

C P U

Page 282: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.21

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengujian untuk Material Alumunium

Gambar 3. Grafik koefisien gesek material alumunium untuk v: 10rpm,

beban 2 N, 3.5 N, dan 5 N

Fase running-in terjadi pada awal proses keausan (Gb. 3). Untuk material alumunium fase

running-in terjadi secara singkat. Dari grafik gaya gesek di atas menunjukan bahwa running-in

terjadi sampai ± 40 detik. Jika putaran yang digunakan 10 rpm berarti pada putaran ke ±6~7. Gaya

gesek akan menurun untuk menuju fase steady-state. Penurunan gaya gesek tersebut terjadi karena

permukaan material semakin halus, dimana asperiti-asperiti terdeformasi secara plastis akibat

proses keausan abrasi. Sejalan dengan penurunan gaya gesek, koefisien gesek akan menurun pula

dan akan terjadi kesetabilan sampai fase steady sate. Koefisien gesek pada running-in berbanding

lurus dengan besarnya beban (gaya normal). Seiring jarak sliding, koefisien gesek pada fase

running-in akan menurun dan akan memiliki nilai yang hampir sama pada fase steady-state

walaupun dengan beban yang berbeda.

2. Hasil Pengujian Material Kuningan

Gambar 4. Grafik koefisien gesek material kuningan untuk v: 10 rpm

dengan variasi pembebanan.

Fase running-in pada material kuningan lebih lama dibanding pada material alumunium

(Gb.3 dan 4). Hal ini dipengaruhi oleh kekerasan material yang lebih tinggi dibanding kekerasan

running-in Steady state

Steady state running-in

Page 283: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.4. Studi eksperimental pengaruh beban terhadap koefisien gesek ... (Didi D. Krisnandi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.22

alumununium. Sama seperti material alumunium, fase running-in akan berlangsung sampai terjadi

kesetabilan, dimana koefisien gesek yang terjadi tidak akan mengalami kenaikan ataupun

penurunan yang signifikan. Untuk material kuningan, fase running in terjadi kurang lebih sampai

detik ke 70, atau pada putaran ke 11~12. Nilai koefisien gesek pada fase ini berbanding dengan

besarnya beban, dan akan menurun sampai fase steady state dengan nilai yang hampir sama.

KESIMPULAN

Koefisien gesek pada material alumunium pada kontak sliding lebih kecil dibanding pada

material kuningan, ini dipengaruhi oleh kekerasan material itu sendiri. Besarnya koefisien gesek

pada fase ini akan berbanding lurus dengan besarnya gaya normal (beban), dan akan mengalami

penurunan sampai fase steady state. Besarnya koefisien gesek pada fase steady state memiliki nilai

yang hampir sama, walaupun dengan beban yang berbeda. Fase running-in pada proses keausan

merupakan tahapan yang krusial, karena tahapan ini akan mempengaruhi dari karakteristik keausan

yang terjadi selanjutnya. Karena tahapan ini akan menentukan besarnya gesekan yang terjadi ketika

fase steady state, dan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan performa sistem permesinan.

DAFTAR PUSTAKA

Archard, J.F.1953. Contact and rubbing of flat surfaces, Journal of Applied Physics, 24, pp. 981-

988,

Archard, J.F.1980. Wear theory and mechanisms, In: Peterson MB, Winer WO, editors. Wear

control handbook. New York: ASME.

Dowson, D. History of Tribology, Second edition, London: Professional Engineering Publishing,

1998.

Holm .R, 1946. Electric Contacts. Almquist and Wiksells Akademiska Handböcker, Stockholm

Hu, Y.Z., Li, N. and Tønder, K. 1991. A dynamic system model for lubricated sliding wear and

running-in. ASME-Journal of Tribology 113, pp. 499 – 505.

Ismail, R. 1997. Topographical Change of Engineering Surface due to Running-in of Rolling

Contacts. Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente

Jamari, J. 2006. Running-in of Rolling Contacts, PhD thesis, Twente University, The Netherland

Peterson M.B,dkk. 1980. Glossary of terms and definitions in the field of friction, wear and

lubrication. Research Group on Wear of Engineering Materials, Organisation for Economic

Co-operation and Development, reprinted in Wear Control Handbook (eds), American

Society of Mechanical Engineers, pp. 1143–1303.

Shirong, G. and Gouan, C. 1999. Fractal prediction models of sliding wear during the running-in

process. Wear 231, pp. 249 – 255.

Stachowiak, 2005.G.W. Engineering Tribology Third Edition, Elsevier Inc. USA.

Suryanto, H.2007. Pengaruh Penambahan Grafit Sebagai Reinforcement Komposit Perunggu

Terhadap Sifat Ketahanan Aus.

Wang,W; dkk.2000. Experimental Study of the Real Time Change in Surface Roughness During

Running-in for PEHL Contact. Shanghai University, Shanghai, China, 2000.

Xiao, L. 2006. The influence of surface roughness and the contact pressure distribution on friction

in rolling/sliding contact. Tribology International 40, pp. 694–698.

Page 284: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.23

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH BEBAN

TERHADAP PERUBAHAN KOEFISIEN GESEK PADA ROLLING CONTACT

DENGAN TRIBOMETER PIN- ON- DISC FASE RUNNING-IN

Aan Burhanudin*)

, Didi Dwi Krisnandi, Eko Armanto, Dian Prabowo,

Sri Nugroho, Jamari,

Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro

Jl.Prof. Sudarto, SH, Tembalang Semarang *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Dalam dunia industri dan rekayasa perancangan, tribologi merupakan salah satu ilmu penting

yang pempunyai kontribusi efisien pada suatu komponen permesinan. Tribologi mempelajari

tentang fenomena gesekan, keausan dan pelumasan pada dua buah benda yang saling

berkontak. Hal tersebut berpengaruh terhadap umur pakai suatu komponen, khususnya yang

bergerak pada kondisi cepat dengan tingkat pembebanan besar. Kontak permukaan suatu

sistem permesinan dapat berupa sliding contact (kontak luncur) dan rolling contact (kontak

mengelinding). Dalam rolling contact, para peneliti membagi keausan menjadi tiga fase yaitu:

running-in, steady state, dan wear out. Pada kondisi running-in awal terjadi kontak sampai

pada proses keausan steady state. Tanapan ini terjadi secara cepat dan mempunyai pengaruh

terhadap kehandalan serta efisiensi suatu permesinan. Penelitian ini menggunakan alat

berupa pin-on-disc untuk mengukur perubahan gaya gesek, koefisien gesek pada material

kuningan, alumunium pada kondisi running-in. Material alumunium mempunyai H = 0.24

GPa, E = 75 GPa, v = 0.34, sedang untuk material kuningan mempunyai H = 1.8 GPa, E =

115 GPa, v = 0.35. Untuk kecepatan yang digunakan dengan kecepatan rendah antara 10 rpm,

dimana proses running-in terjadi secara cepat, bola atau pin berupa baja dengan asumsi tidak

mengalami keausan. Material bola berupa baja krom dengan diameter 10 mm, H = 7.5 GPa,

E = 430 GPa, v = 0.3. Dari hasil pengujian didapatkan gaya gesek yang timbul pada kuningan

lebih besar dibanding dengan gaya gesek yang timbul pada alumunium. Demikian pula

koefisien gesek pada kuningan lebih tinggi dibanding pada alumunium. Fase running-in yang

terjadi pada kuningan lebih lama (± 340 second) dibanding fase running-in pada alumunium

(± 210 second).

Kata kunci: keausan, koefisien gesek, rolling, running-in

1. PENDAHULUAN

Suatu sistem permesinan akan terdapat kontak antar part, yaitu kontak statis yang dapat

berupa point contact (kontak titik), surface contact (kontak permukaan), dan line contact (kontak

garis). Ketika kontak antar part tersebut dikenakan sebuah gaya mekanik, maka akan timbul suatu

fenomena tribologi yang disebut sebagai keausan (wear).

Wear didefinisikan sebagai kehilangan substansi secara progresif dari permukaan operasi

dari benda akibat gerak relatif dari permukaan terhadap benda lain (Stachowiak, 2005). Wear

merupakan hal yang penting dalam rekayasa permesinan. Namun hal ini sering diabaikan. Proses

wear sangat sulit untuk diamati secara kasat mata, walaupun mudah untuk dikenali. Proses wear

berlangsung secara berangsur-angsur secara alami dan bukan merupakan sifat dasar material,

melainkan respon material terhadap sistem luar (kontak permukaan), ketika ada permukaan

material yang saling begesekan (Gb. 1).

Fenomena wear lebih lanjut dipelajari dalam ilmu yang disebut tribology, yaitu ilmu

pengetahuan dan teknologi yang membahas tentang interaksi antar permukaan dua benda atau lebih

dalam gerak relatif yang meliputi gesekan (friction), keausan (wear), dan pelumasan (lubrication).

Sejarah panjang tentang Tribologi telah disampaikan oleh (Dowson,1998). Robinowicz

mengemukakan bahwa kehilangan fungsi suatu komponen mesin 70% disebabkan oleh kerusakan

pada permukaan logam yang meliputi keausan (55%) dan korosi (15%). Dimana mekanisme

keausan yang dominan adalah keausan adesif (25%) dan abrasif (20%), sedang sisanya disebabkan

oleh mekanisme keausan yang lain (Suryanto, 2007). Data tersebut menunjukan bahwa fenomena

Page 285: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.5. Studi eksperimen pengaruh beban ... (Aan Burhanudin, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.24

keausan sangat penting dalam kaitannya umur pakai dan performance komponen dalam suatu

sistem permesianan. Oleh karena itu penelitian tentang wear ini akan sangat berguna untuk

memprediksi umur efektif suatu part (wear rate), mempertimbangkan dan menentukan jenis dan

propertis material yang akan digunakan, dan menentukan kondisi lingkungan yang tepat sebagai

optimalisasi suatu sistem permesinan.

Gambar 1. Contoh part pada sistem permesinan yang mengalami keausan

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan alat yang disebut tribometer pin on disc (Gb.

2), pada kondisi running-in tipe sliding dan rolling dengan material alumunium sebagai disc dan

steel ball sebagai pin dengan variasi kekasaran permukaan (surface roughness/Ra).

Gambar 2. Tribometer pin on disc rolling contact

2. LANDASAN TEORI

Untuk benda yang dapat menggelinding, terdapat jenis gaya gesek lain yang disebut gaya

gesek menggelinding (rolling friction) yang ditunjukan oleh (Gb. 3). Untuk kasus rolling, jika

bekerja tanpa beban maka hampir tidak ada gaya gesek atau sangat kecil sekali. Menurut Gwidon

Stachowiak , besarnya rolling friction antara 0.01 sampai 0.001. Koefisien ini merupakan suatu

gaya yang dibutuhkan agar tidak menggelinding (Gb. 4).

Pada rolling contact, tegangan yang terjadi pada area permukaan kontak sangat besar, hal

ini karena tegangan terkosentrasi di satu titik. Bisa dikatakan antara ujung asperiti dengan ujung

asperiti material kontak.

Page 286: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.25

Gambar 3. Koefisien rolling friction (Stachowiak, 2005)

Gambar 4. Mekanisme keausan pada rolling contact (Stachowiak, 2005)

Gambar 5. Mekanisme pembentukan crack pada fatique wear (Stachowiak, 2005)

Kegagalan material pada rolling contact tergolong sebagai keausan fatique, dimana

mekanismenya digambarkan seperti pada gambar (4) dan (5) di atas.

2.1 Running-in Tahapan keausan (Gb. 6) dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri tiga tahap

(Jamari, 2006). Tahap pertama yaitu tahap running-in. Pada tahap ini keausan mengalami

peningkatan secara signifikan, tetapi laju keausan berkurang seiring dengan bertambahnya waktu

ataupun jarak sliding ataupun rolling. Tahap kedua adalah steady state, dimana keausan masih

meningkat tetapi tidak sebesar tahap pertama (running-in). Laju keausan (wear rate) berjalan

konstan dan tidak berubah dengan berjalannya waktu ataupun jarak sliding ataupun rolling.

Keadaan ini berahir sampai terjadi fatique wear. Tahap terakhir disebut wear-out, pada tahap ini

keausan dan laju keausan mengalami peningkatan tajam, sampai akhirnya permukaan kontak

mengalami kerusakan. Pada kondisi inilah awal dari kegagalan lelah.

Page 287: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.5. Studi eksperimen pengaruh beban ... (Aan Burhanudin, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.26

Gambar 6. Skema tahap keausan (jamari, 2006)

3. PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan alat berupa pin-on-disc untuk mengukur perubahan

gaya gesek, koefisien gesek pada material kuningan, alumunium pada kondisi running-in.

Material alumunium mempunyai H = 0.24 GPa, E = 75 GPa, v = 0.34, sedang untuk

material kuningan mempunyai H = 1.8 GPa, E = 115 GPa, v = 0.35. Untuk kecepatan yang

digunakan dengan kecepatan rendah antara 10 rpm, dimana proses running-in terjadi

secara cepat, bola atau pin berupa baja dengan asumsi tidak mengalami keausan. Material

bola berupa baja krom dengan diameter 10 mm, H = 7.5 GPa, E = 430 GPa, v = 0.3. Uji

kekerasan rockwell hardness dilakukan untuk mengetahui kekerasan dari material uji

berupa disc, spesimen yang digunakan berupa disc dengan ketebalan 10 mm, dengan

diameter 96 cm, disc yang akan diuji tersebut diukur tingkat kekerasannya, kemudian

dibuat variasi kekasaran dengan nilai kekasaran mendekati 1.2 ± 0.12μm.

Gambar 7. Alat uji kekasaran mitutoyo SJ-301

Berbagai jurnal internasional telah melakukan penelitian untuk menghitung keausan

dengan pin-on-disc. Penelitian tentang keausan (Hegadekatte, 2008) diantaranya dengan

melakukan permodelan menggunakan pin-on-disc. W. Wang (2000) melakukan penelitian

tentang perubahan kekasaran permukaan kondisi running-in dengan menggunakan

tribometer jenis twin disc. Kemudian penulis melakukan penelitian keausan kondisi

running-in pada alumunium, kuningan dan baja lunak dengan tribometer pin-on-disc tipe

rolling tanpa menggunakan pelumas.

Gambar 8. Skema uji keausan pin-on-disc

Analog to

Digital Display

(CPU)

Page 288: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.27

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengujian material kuningan

Gambar 9. Grafik koefisien gesek material kuningan untuk v: 10 rpm,

beban 2 N, 3.5 N, dan 5 N

Dari gambar diatas perubahan koefisien gesek pada material kuningan untuk fase

running-in terjadi relatif singkat yaitu pada (± 340 s), pada putaran dengan kecepatan 10

rpm. Perbandingan bembebanan dilakukan untuk mengetahui perubahan koefisien gesek

yang terjadi pada fase running-in tersebut. Gaya gesek akan menurun untuk menuju fase

steady-state. Penurunan gaya gesek tersebut terjadi karena permukaan material semakin

halus, dimana asperiti-asperiti terdeformasi secara plastis akibat proses keausan abrasi.

Sejalan dengan penurunan gaya gesek, koefisien gesek akan menurun pula dan akan terjadi

kesetabilan sampai fase steady state. 2. Pengujian material alumunium

Gambar 10. Grafik koefisien gesek material alumunium untuk v : 10rpm,

beban 2 N, 3.5 N, dan 5 N

Fase running-in pada material kuningan lebih lama dibanding pada material alumunium.

Hal ini dipengaruhi oleh kekerasan material yang lebih tinggi dibanding kekerasan alumunium.

Sama seperti material alumunium, fase running-in akan berhenti sampai terjadi kesetabila, dimana

Page 289: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.5. Studi eksperimen pengaruh beban ... (Aan Burhanudin, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.28

gaya gesek yang terjadi tidak akan mengalami kenaikan ataupun penurunan yang signifikan. Untuk

material alumunium, fase running-in terjadi sampai data ke (± 220 s). Rolling contact pada material

alumunium untuk fase running-in prosenya lebih cepat karena materialnya relatif lebih lunak dan

tanpa pelumasan.

4. KESIMPULAN

Gaya gesek pada material alumunium pada kontak rolling lebih kecil dibanding pada

material kuningan, ini dipengaruhi oleh kekerasan material itu sendiri. Fase running-in pada proses

keausan merupakan tahapan yang relatif cepat, karena tahapan ini akan mempengaruhi dari

karakteristik keausan yang terjadi selanjutnya. Karena tahapan ini akan menentukan besarnya

gesekan yang terjadi ketika fase steady state, dan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan performa

sistem permesinan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Archard, J.F. 1980. Wear theory and mechanisms, In: Peterson MB, Winer WO, editors. Wear

control handbook. New York: ASME.

Blau, P.J, 1989. Friction and Wear Transitions of Materials: Break-in, Run-in, Wear-in. Noyes

Publications, Park Ridge, NJ, USA.

Blau, P.J. 1996. Friction Science and Technology, Marcel Dekker, New York, USA.

Dowson, D. 1998. History of Tribology, Second edition, London: Professional Engineering

Publishing, 1998.

Holm .R, 1946. Electric Contacts. Almquist and Wiksells Akademiska Handböcker, Stockholm

Hu, Y.Z., Li, N. and Tønder, K. 1991. A dynamic system model for lubricated sliding wear and

running-in. ASME-Journal of Tribology 113, pp. 499 – 505.

Ismail, R. 1997. Topographical Change of Engineering Surface due to Running-in of Rolling

Contacts. Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente

Jamari, J. 2006. Running-in of Rolling Contacts, PhD thesis, Twente University, The Netherland

Lin, J.Y. and Cheng, H.S. 1989. An analytical model for dynamic wear. ASME-Journal of

Tribology 111, pp. 486 – 474.

Peterson M.B,dkk. 1980. Glossary of terms and definitions in the field of friction, wear and

lubrication. Research Group on Wear of Engineering Materials, Organisation for Economic

Co-operation and Development, reprinted in Wear Control Handbook (eds), American

Society of Mechanical Engineers, pp. 1143–1303.

Shirong, G. and Gouan, C. 1999. Fractal prediction models of sliding wear during the running-in

process. Wear 231, pp. 249 – 255.

Stachowiak, G.W. 2005. Engineering Tribology Third Edition, Elsevier Inc. USA.

Suryanto, H.2007. Pengaruh Penambahan Grafit Sebagai Reinforcement Komposit Perunggu

Terhadap Sifat Ketahanan Aus.

Wang, W. and Wong, P.L. 2000. Wear volume determination during running-in for PEHL

contacts. Tribology International 33, pp. 501 – 506.

Wang, W; dkk. 2000. Experimental Study of the Real Time Change in Surface Roughness During

Running-in for PEHL Contact. Shanghai University, Shanghai, China, 2000.

Xiao, L. 2006. The influence of surface roughness and the contact pressure distribution on friction

in rolling/sliding contact. Tribology International 40, pp. 694–698.

Page 290: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.29

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN PEMANAS PADA DISC

UNTUK ALAT UJI TRIBOMETER TIPE PIN-ON- DISC

Dian Prabowo*1)

, Aan Burhanudin2)

, Eko Armanto2)

, Didi Dwi K.2)

Jamari2)

, Syaiful2)

1)

Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Cilacap

Jl. Dr. Soetomo no. 1 Sidakaya, 53212 Cilacap 2)

Magister Teknik Mesin, Universitas Diponegoro

Jl.Prof. Sudarto, SH, Tembalang Semarang *

)e-mail: [email protected]

Abstrak

Perancangan ini merupakan suatu kajian dasar dalam ilmu Mekanika kontak (contact

mechanics) yang berorientasi pada aplikasi tentang tegangan dan deformasi yang timbul

ketika dua permukaan solid bodies saling bersentuhan satu sama lain pada satu titik atau lebih

(contact). Perancangan ini akan menelaah karakteristik suatu material yang ditimbulkan oleh

adanya perbedaan beban yang diterima, variasi temperatur dan pemodelan kontak (sliding

dan rolling). Alat uji pin-on-disc ini terhubung dengan suatu program pada komputer sehingga

pengaturan variasi putaran, temperatur dan jumlah putaran disc dapat dengan mudah di atur

dengan tujuan agar dalam pengujian lebih mudah untuk memvariasikan parameter yang akan

dipakai. Kontrol yang dipakai pada alat ini menggunakan mikrokontroler sebagai pengatur

dari peralatan yang ada pada alat uji ini ke komputer. Variasi yang disediakan pada alat ini

terdapat pada beban yang dapat diganti, temperatur yang dapat dirubah dari 5 ˚C sampai

80˚C, putaran motor DC dapat diatur dan jumlah putaran disk dapat disesuaikan dengan

kebutuhan pengujian. Untuk mengetahui gaya yang bekerja karena adanya pengaruh putaran

pada lengan dipasang sensor gaya yang dapat langsung diketahui datanya pada komputer.

Sensor yang digunakan adalah sensor suhu tipe DS18B20 merupakan sensor suhu digital yang

mempunyai keluaran berupa data, sensor gaya menggunakan loadcell, sensor putaran

menggunakan optocoupler U, pemanas yang digunakan yaitu peltier dan catu daya

menggunakan swiching. Hasil penelitian menunjukkan temperatur memiliki peran dalam

mempengaruhi keausan pada suatu material, semakin tinggi suhu yang diberikan semakin

tinggi tingkat keausan yang akan terjadi.

Kata Kunci: Perancangan, Mekanika kontak, Pin on Disc, Temperatur, Sensor

1. PENDAHULUAN

Tribotester adalah suatu alat yang digunakan sebagai alat uji untuk mengetahui kondisi dari

material tersebut. Pin on disc merupakan salah satu dari Tribotester yang nantinya digunakan

sebagai alat uji suatu material untuk mengetahui prediksi keausan dan gesekan. Pin on Disc terdiri

dari pin yang berupa bola yang terbuat dari material tertentu dan disc yang juga dapat divariasikan

jenis materialnya. Pada proses pengujian menggunakan Pin on Disc ,bola ditekan pada disc dengan

beban tertentu yang berputar dengan kecepatan putaran tertentu juga.

Temperatur juga mempengaruhi umur pakai dari suatu material, baik temperatur dari

lingkungan, perubahan temperatur dari gesekan ataupun pangaruh perubahan temperatur dari

material tersebut. Permukaan yang tidak benar-benar bersih, kondisi material yang tidak seragam,

kecepatan dan gerakan rolling, rolling-sliding, sliding, fretting, dan impact yang bervariasi dapat

menyebabkan gesekan awal lebih tinggi dari pada gesekan tahap sliding selanjutnya. Hal ini

menjadi gaya gesek menjadi tidak tunak. Terkadang gesekan antar permukaan mengalami

perubahan yang cepat setelah melewati periode tunak. Jika kondisi ini terjadi, maka topografi

permukaan menjadi tidak rata dan tekanan kontak semakin besar jika dibandingkan kondisi awal.

Efeknyanya umur pakai menjadi pendek.

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka rancang bangun alat uji Pin-on-disc yang

khususnya desain pemanas ini bertujuan : Mengetahui pengaruh perbedaan temperatur pada

material,terhadap umur material tersebut. Penelitian tentang keausan karena kontak mekanik

mempunyai manfaat terhadap prediksi luluhnya material yang merupakan awal dari proses keausan

Page 291: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.6. Rancang bangun dan pengujian pemanas pada disc ... (Dian Prabowo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.30

akan dapat mendekati kenyataan yang sesungguhnya. Secara makro dapat dikatakan bahwa umur

pakai sebuah material dapat diprediksi secara akurat dengan memodelkan permukaan sebuah

benda.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Standard Test Method for Wear Testing with a Pin-on-Disk Apparatus (ASTM G-99). Pada

ASTM G-99 menjelaskan tentang standar dalam perancangan alat Uji Pin on disc. Metode uji ini

menjelaskan untuk skala laboratorium untuk menentukan umur suatu bahan selama meluncur

menggunakan pin-untuk aparatur-disk. Adapun Instrumentasi dan Data yang dapat diperolehan :

RPM, Keausan, Gaya gesekan, Suhu, Pengukuran resistensi kelistrikan.

Gambar 2.1. Skema umum Pin-on-Disc, dimana F : Beban normal,

R : Radius jalur yang digunakan, d : Diameter bagian atas bola pin, D : Diameter disk,

w : Kecepatan rotasi (ASTM G99-95a)

Tahapan keausan dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri atas tiga tahap (Jamari,

2006). Tahap pertama adalah tahap runing-in. Pada tahap ini, keausan meningkat secara signifikan

tetapi laju keausan berkurang seiiring dengan bertambahnya waktu ataupun rolling maupun jarak

sliding.

2.1. Perpindahan Kalor

Perpindahan kalor (heat transfer) merupakan ilmu yang meramalkan perpindahan energi

yang terjadi karena adanya perbedaan suhu diantara benda atau material.Jika pada suatu benda

terdapat gradien suhu (temperatur gradient), maka akan terjadi perpindahan energi dari bagian

bersuhu tinggi kebagian bersuhu rendah. Energi berpindah secara konduksi atau hantaran dan

bahwa laju perpindahan kalor itu berbanding dengan gradiaen suhu normal.

......................................................... 2.1

Perpindahan panas dari beban ke lingkungan sekitar, sebagian besar fungsi dari dua

konduksi termal-proses dan konveksi. Konduksi adalah transfer panas melalui materi (isolasi,

komponen struktural, segel, kancing, dll) dan merupakan fungsi dari perbedaan suhu (yaitu, Delta

T) di seluruh material, dimensi fisik, dan konduktivitas termal dari bahan (K). Konveksi adalah

perpindahan panas di lapisan batas udara pada permukaan material. Ini adalah fungsi dari ΔT

seluruh lapisan batas dan laju gerakan udara pada gerakan-permukaan lebih cepat udara, semakin

besar konveksi panas. konveksi merupakan komponen yang relative tidak penting dan Anda

seringkali dapat memfokuskan secara eksklusif pada elemen konduktif. Persamaan berikut dapat

digunakan untuk memperkirakan beban murni konduktif:

............................................... 2.2

dimana :

- Q adalah jumlah panas yang dilakukan (bisa juga dinyatakan dalam BTU / jam atau watt,

meskipun dalam industri themoelectric, dokumentasi dukungan sebagian besar didasarkan pada

wattage);

- ΔT adalah perbedaan suhu antara beban panas dan lingkungan sekitar (dalam ° F untuk BTU /

perhitungan jam,dalam °C untuk watt);

Page 292: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.31

- K (Kappa) adalah konduktivitas termal dari material yang dinyatakan dalam BTU baik / ° jam-

kaki F atau watt/meter °C;

- L adalah ketebalan bahan (di kaki untuk BTU / perhitungan jam, meter untuk watt), dan

- A adalah luas permukaan terkena material (dalam kaki persegi untuk BTU / perhitungan jam,

meter persegi untuk watt).

Konstanta positif k disebut konduktifitas atau kehantaran termal benda itu, sedangkan tanda

minus diselipkan agar memenuhi hukum kedua termodinamika, yaitu bahwa kalor mengalir

ketempat yang lebih rendah dalam skala suhu, sebagaimana juga ditunjukkan dalam sistem

koordinat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Bagan yang menunjukkan arah aliran kalor.

3. PROSES DESAIN DAN MANUFAKTUR

3.1. Desain pemanas pada alat uji pin-on-disc Penelitian ini adalah pada rancang bangun dan pengujian pemanas alat uji Pin-on-Disc.

Pada perancangan ini menggunakan solidworks 2010 untuk mendesain alat uji tersebut. Serta

pengujian yang dimampu dilakukan oleh alat tersebut dengan variasi temperatur yang hasilnya

dapat langsung dilihat pada komputer.

Gambar 3.1. Desain Pin on Disc

Gambar 3.2. Desain pemanas disc Gambar 3.3. Pemanas disc

Page 293: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.6. Rancang bangun dan pengujian pemanas pada disc ... (Dian Prabowo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.32

3.2. Persiapan elemen pemanas

Pada alat uji Pin-On-Disc ini Alat pemanas disk menggunakan peltier (Gambar 3.4) dan

pengontrol suhu pada disk.

Gambar 3.4. Peltier

Spesifikasi dari peltier yang digunakan :

- Thermoelectric

- Bagian luar komponen ini dibungkus sejenis keramik tipis yang berisikan batang-batang

BismuthTelluride di dalamnya

- Tinggi = 3,94 mm

- Panjang = 29,70mm

- Lebar = 29,70 mm

Penempatan elemen pemanas dan sensor diletakkan didalam piringan tempat material uji.

Gambar 3.5. Penempatan Peltier dan Sensor suhu pada dudukan disc

Data peralatan dan sensor yang akan digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1. Tabel alat dan spesifikasi

No Alat Spesifikasi

1 Motor DC Tegangan max 24 volt

2 Sensor Gaya Load cell dengan resolusi 1 gram

3 Sensor Suhu Type DS18B20

4 Sensor Putaran Optocoupler H21A2

5 Pemanas PELTIER Seri 9501/127/030 B

6 Driver Motor Mosfet Seri IRFZ44, teg s/d 60 volt & arus s/d 50 A

7 Catu Daya Swiching max 22A

8 Driver Control ATMEGA 16

3.1. Sistem pengoperasian

Pengoprasian pemanas dan sensor serta perangkat yang lain langsung dalam 1 kontrol

didalam komputer dengan software DHELPI.

Alur penggunaan Pemanas pada alat uji :

Sensor Suhu

PELTIER

Page 294: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.33

Gambar 3.6. Alur kerja rancangan alat uji

Gambar 3.7. Software pengoperasian

3.2. Analisa Data

Dari perencanaan dan pembuatan alat uji tersebut maka dapat ditentukan beberapa data-

data dari hasil pengujian. Parameter perancangan ini nantinya membandingkan variasi pengujian :

Tabel 3.2. Tabel Variasi Parameter No Parameter Keterangan

1 Putaran 5 Rpm sampai dengan 30 Rpm

2 Jarak rolling Disc (material uji) Ø 95 mm

3 Beban 0,05 N sampai dengan 5 N

4 Temperatur 25 ˚C sampai dengan 85˚C

5 Bola baja Diameter 6 mm sampai dengan 10 mm

Data pengujian yang direncanakan dengan beban 1,2,3 dan 5 N, bola baja diameter 10 mm,

variasi temperatur dibagi menjadi 5 level (40o C,50

o C ,60

o C ,70

o C ,80

o C) :

Gambar 3.8. Grafik hubungan temperatur dan waktu dari pemanas pin-on-disc

Catu daya Peltier

Sensor suhu

Motor DC

Komputer

Page 295: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.6. Rancang bangun dan pengujian pemanas pada disc ... (Dian Prabowo, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.34

4. KESIMPULAN

Pengaruh temperatur pada menggunakan pin-on-disk ini. Ditemukan bahwa pengaruh

temperatur terhadap kontak antara permukaan pada temperatur tinggi permukaan gesekan, hasil

dalam gesekan tinggi dan permukaan mengalami kerusakan. Disimpulkan bahwa seperti memakai

mekanisme dan transisi sebagai hasil dari peningkatan temperatur. Kekurangan dari desain ini

adalah pada proses peningkatan temperatur yang tidak bisa cepat dan tidak bisa untuk mencapai

temperatur yang tinggi.

5. DAFTAR PUSTAKA

N. MARJANOVIC, B. TADIC,B. IVKOVIC, S. MITROVIC. “Design of Modern Concept

Tribometer with Circular and Reciprocating Movement”. Tribology in industry, Volume

28, No. 3&4, 2006.

Johnson, K. L. (1985). Contact Mechanics, 9th Edition, Cambridge University Press, New York.

Standard Test Method for Wear Testing with a Pin-on-Disk Apparatus (ASTM G-99)

Ing. Jiří Hájek, Dr. Ing. Antonín Kříž, Ing. Petr Beneš (2005), “Tribological behaviour of

hardwear resistant layers at high temperatures”, University of West Bohemia in Pilsen.

Miti Developments, Mohawk Innovatiove. Technology,inc.(februari 2002) “High Speed, High

Temperature Tribometers, HTP Series” vol 14.

Jamari, . 2006.” Running-in of Rolling Contacts”, PhD Thesis, University of Twente, Enschede,

The Netherlands.

Yan, W., O'Dowd, N. P., & Busso, E. P. (2002). Numerical study of sliding wear caused by a

loaded pin on a rotating disc. J. Mech. Phys. Sol., 50, 449-470.

Amro M. Al-Qutub (april 2009),” EFFECT OF HEAT TREATMENT ON FRICTION AND WEAR

BEHAVIOR OF Al-6061 COMPOSITE REINFORCED WITH 10% SUBMICRON Al2O3

PARTICLES”, Department of Mechanical Engineering King Fahd University of Petroleum

and Minerals Dhahran, Saudi Arabia

A. Zulfia dan M. Ariati (APRIL 2006), Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik,

Universitas Indonesia.

Rahmat Saptono. Universitas Indonesia (2005), Prinsip-Prinsip Desain Rekayasa (Engineering

Desaign Prinsiples by Kenneth S. Hurst. University of Hull)

Zum – Gahr, K. H. (1987). Microstructure and Wear of Materials. Elseiver, Amsterdam, The

Netherlands.

Stachowiak, Gwidon W. (2005) Wear – Materials, Mechanisms And Practice. John Wiley & Sons,

Ltd., West Sussex, England.

Suh, N. P. (1986). Tribophysics. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliff, New Jersey.

Blau, P. J. (2001). The significance and the use of friction coefficient. Tribology International, 34,

585-591.

Stachowiak, Gwidon W. & Batchelor, Andrew W. (2005) Engineering Tribology. 3th Edition,

Elseiver, Burlngton, USA.

Liu, R. & Li, D.Y. (2001). Modification of Archard’s equetion by taking account of

elastic/pseudoelastic properties of materials. Wear, 251, 956-964.

J.P Holman .translate by Ir. E. Jasjfi M.Sc. LEMIGAS. Penerbit ERLANGGA.

(1994),Perpindahan kalor .edisi keenam.

[email protected]. “Pin on Disc type Tribometer Friction & Wear Machine”.

Paul C. Okonkwo, Georgina Kelly, Bernard F. Rolfe &Michael P. Pereira. (2012). The effect of

temperature on sliding wear of steel-tool steel pairs. Wear 282-283 (2012) 22-30.

Paul C. Okonkwo, Michael P. Pereira Georgina Kelly & Bernard F. Rolfe.

Page 296: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.35

PROSES PERMESINAN BUBUT PADA KACA

Rusnaldy*, Susilo A.W., Yusuf U., Norman I., Triana A., Dika F.P.S

*Lab. Metrologi Industri

Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang

Email: [email protected]

Abstrak

Kaca termasuk jenis material yang getas. Sebagai material yang getas, sifat ketermesinan

(machinability) kaca sangat rendah karena nilai fracture toughness-nya yang rendah.

Kekuatan fracture (fracture strength) kaca lebih rendah dari kekuatan luluhnya (yield

strength). Ketika kaca diberi beban tarik atau tekuk pada suhu kamar, maka kaca akan hancur

sebelum terjadi deformasi plastis. Itu sebabnya maka proses pemesinan jarang diterapkan

pada kaca. Permasalahan utama proses pemesinan material getas seperti kaca adalah proses

pembentukan geram dapat menimbulkan kerusakan yang cukup parah di permukaan dan di

bawah permukaan (subsurface). Kerusakan seperti ini jelas menurunkan kualitas hasil proses

pemesinan. Untuk menghasilkan permukaan yang halus pada material getas, adalah sangat

penting jika material getas dilakukan proses pemesinan dalam kondisi ulet (ductile cutting

mode). Untuk itu maka serangkaian eksperimen proses pemesinan bubut pada kaca telah

dilakukan untuk mencari parameter optimum dari proses pemesinan kaca. Selain itu juga

diteliti umur pahat yang digunakan dan proses pendinginan apa yang mampu untuk

memperpanjang umur pahat. Sehingga nantinya akan berdampak pada nilai ekonomi proses

pemesinan kaca jika nanti dapat diterapkan di masyarakat. Dari hasil yang didapatkan

ternyata proses bubut pada kaca dapat dilakukan. Kondisi permukaan paling baik didapatkan

ketika proses bubut dilakukan pada radius nose 5 mm, depth of cut 0,5 mm, feed rate 0,045

mm/rev, kecepatan spindel 30 rpm dan kondisi permesinan menggunakan cairan pendingin

dromus. Dari hasil ini juga terlihat bahwa Laju keausan tepi pahat HSS pada proses

permesinan kaca sangat tinggi, sehingga dengan pertimbangan ekonomis pahat HSS tidak

dapat digunakan

Kata Kunci : Permesinan, Kaca, High hydrostatic pressure, Ductile cutting mode, Laju

Keausan Pahat

PENDAHULUAN

Kaca banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Proses fabrikasi kaca sangat terbatas,

terutama untuk proses-proses manufakturing seperti proses pemesinan. Sifat kaca yang getas yang

menjadi penyebabnya. Mengingat kebutuhan akan kaca semakin meningkat terutama untuk

peralatan optik dan biochips. Selama ini proses untuk manufaktur kaca menggunakan proses

chemical etching, namun prosesnya berlangsung cukup lama dan zat kimia yang digunakan perlu

penanganan yang khusus agar tidak mencemari lingkungan ketika dibuang. Sehingga butuh biaya

lebih untuk hal tersebut. Belum lagi bahaya laten yang ditimbulkan oleh zat kimia tersebut bagi

kesehatan operator.

Sebagai material yang getas, sifat ketermesinan (machinability) kaca sangat rendah karena

nilai fracture toughnessnya yang rendah. Kekuatan fracture (fracture strength) kaca lebih rendah

dari kekuatan luluhnya (yield strenghth). Ketika kaca diberi beban tarik atau tekuk pada suhu

kamar, maka kaca akan hancur sebelum terjadi deformasi plastis. Itu sebabnya maka proses

pemesinan jarang diterapkan pada kaca. Permasalahan utama proses pemesinan material getas

seperti kaca adalah proses pembentukan geram dapat menimbulkan kerusakan yang cukup parah di

permukaan dan di bawah permukaan (subsurface). Kerusakan seperti ini jelas menurunkan kualitas

hasil proses pemesinan. Untuk menghasilkan permukaan yang halus pada material getas, adalah

sangat penting jika material getas dilakukan proses pemesinan dalam kondisi ulet (ductile cutting

mode).

Penelitian tentang ductile cutting mode pada material getas, seperti silikon dan germanium

telah banyak dilakukan orang [1-4]. Hal ini dilakukan untuk mendukung perkembangan komponen

atau sistem yang ukurannya semakin lama semakin mengecil (mikro dan nano). Sementara

penelitian terhadap proses pemesinan pada kaca juga telah dilakukan oleh peneliti lain [5-8].

Page 297: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.7. Proses permesinan bubut pada kaca (Rusnaldy, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.36

Ductile cutting mode berhasil diperoleh pada penelitian ini, namun sayangnya ductile cutting mode

diperoleh pada uncut chip thickness yang sangat kecil, yakni jauh dibawah 1 mm. Peneliti sendiri

juga pernah mendapatkan ductile cutting mode untuk proses micro end milling pada single crystal

silicon [9-11]. Halangan secara teknologi yang mesti diatasi pada proses pemesinan material getas

adalah proses pemesinan akan menyebabkan kerusakan pada permukaan dan juga sedikit di bawah

permukaan (sub surface). Tentu saja hasil proses pemesinan yang menimbulkan kerusakan pada

permukaannya tidak dapat digunakan, apalagi jika diaplikasikan untuk peralatan optik misalnya.

Untuk mendapatkan permukaan yang halus dan bebas cacat, sangatlah penting jika proses

pemesinan dilakukan dalam keadaan ulet (ductile cutting mode). Ductile cutting mode adalah suatu

terobosan teknologi untuk memperoleh permukaan yang bebas cacat dan retak pada material-

material yang getas. Untuk mendapatkan ductile cutting mode, ukuran uncut chip thickness (tebal

geram sebelum terpotong) haruslah sangat kecil. Ukuran kritis kedalaman potong (depth of cut) dan

kondisi high hydrostatic pressure selama proses pemotongan berlangsung harus menjadi perhatian

yang utama. Karena dengan kondisi seperti inilah maka ductile cutting mode akan bisa dicapai

Yang menjadi tantangan disini adalah bagaimana mendapatkan ductile cutting mode pada

proses pemesinan konvensional, seperti proses bubut, dimana kedalaman potongnya bisa lebih dari

1 mm. Untuk itu maka serangkaian eksperimen proses pemesinan bubut pada kaca akan dilakukan

untuk mencari parameter optimum dari proses pemesinan kaca. Selain itu juga akan diteliti umur

pahat yang digunakan dan proses pendinginan apa yang mampu untuk memperpanjang umur pahat.

Sehingga nantinya akan berdampak pada nilai ekonomi proses pemesinan kaca jika nanti dapat

diterapkan di masyarakat.

METODOLOGI PENELITIAN

Material Benda Kerja

Material benda kerja yang digunakan adalah kaca berbentuk silinder dengan panjang 100

mmm dan diameter 25 mm. Kaca tersebut mengandung SiO2, B2O3, Na2O + K2O dan Al2O3

sebanyak berturut-turut 81%, 13%, 4% dan 2%.

Pahat Potong

Pahat potong yang digunakan adalah pahat HSS dengan ukuran 0,5 x 0,5 x 4 inchi.

Kekerasan dari pahat yang digunakan adalah 62,35 HRC. Sementara geometri pahat yang

digunakan adalah radius nose 1 mm dan 5 mm, end cutting edge angle 5o dan side cutting edge

angle 5o.

Parameter Permesinan

Parameter kondisi permesinan yang digunakan pada penelitian ini adalah putaran spindel

30 – 90 rpm, gerak makan 0,045 mm/rev, kedalaman potong 0,2 – 1 mm dan tiga kondisi

permesinan yaitu tanpa cairan pendingin (kering), dengan cairan pendingin dromus dan minyak

nabati.

DATA DAN ANALISA

Kondisi Permukaan Kaca Hasil Proses Permesinan

Dalam penelitian ini pengukuran kekasaran permukaan tidak dapat dilakukan karena

kondisi permukaan kaca dikhawatirkan akan merusak ujung sensor (stylus) dari alat pengukur

kekasaran permukaan. Sehingga keadaan permukaan kaca hasil proses permesinan diamati dengan

menggunakan mikroskop optik. Gambar 1 menunjukkan contoh permukaan kaca hasil proses

bubut.

Pengaruh parameter permesinan terhadap kondisi permukaan kaca juga dilakukan secara

kualitatif. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 1. Dari tabel 1 terlihat bahwa kondisi permukaan benda

kerja hasil proses permesinan bubut yang menggunakan radius nose 5 mm lebih baik dibanding

dengan pahat yang memiliki radius nose 1 mm. Hal ini disebabkan karena nilai effective rake angle

dari pahat yang memiliki radius nose 5 mm lebih negatif daripada pahat yang mempunyai radius 1

mm. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin negatif nilai effective rake angle nya maka

permesinan tersebut akan menghasilkan kondisi permukaan yang baik karena kemungkinan tercipta

kondisi high hydrostatic pressure lebih besar terjadi.

Dari tabel 1 juga terlihat bahwa kondisi permukaan benda kerja hasil proses bubut yang

menggunakan kecepatan putar spindel 30 rpm lebih bagus dibandingkan dengan yang

Page 298: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.37

menggunakan kecepatan putar spindel 50 rpm dan 90 rpm. Pada proses permesinan benda getas

seperti kaca ketika kecepatan putar spindel besar maka gesekan yang terjadi antara pahat dengan

benda kerja semakin besar sehingga keausan pahat dan temperatur pahat juga akan meningkat.

Keausan pada pahat akan sangat berpengaruh terhadap kondisi permukaan hasil proses permesinan

bubut.

Sementara itu pada tabel 1 juga terlihat bahwa kondisi permukaan benda kerja hasil proses

permesinan bubut dengan depth of cut 0,2 mm paling kasar dibandingkan dengan depth of cut 0,5

mm, 0,7 mm dan 1 mm. Kondisi permukaan yang terbaik didapat ketika depth of cut 0,5 mm yang

diikuti oleh 0,7 mm dan 1 mm. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat depth of cut 0,2 mm

yang terjadi hanya gesekan antara pahat dan benda kerja dan tidak terjadi proses pemotongan

karena nilai depth of cut yang sangat kecil.

Kondisi permukaan benda kerja hasil proses permesinan bubut dengan menggunakan

dromus menghasilkan kondisi permukaan paling bagus dibanding proses permesinan kering dan

menggunakan minyak nabati.

Gb. 1. Kondisi Permukaan Kaca Hasil Proses Bubut dengan Depth of Cut 1 mm, kecepatan putar

spindel 30 rpm, radius nose 5 mm dan feed rate 0,045 mm/rev.

Tabel 1. Kondisi Permukaan Benda Kerja dengan Variasi Radius Nose

Radius Nose Kondisi Permukaan

5 mm Baik

1 mm Jelek

Kecepatan Spindel Kondisi Permukaan

30 rpm Baik

50 rpm Sedang

90 rpm Jelek

Kedalaman Potong Kondisi Permukaan

0,2 mm Paling Jelek

0,5 mm Baik

0,7 mm Sedang

1 mm Jelek

Kondisi Permesinan Kondisi Permukaan

Kering Sedang

Dromus Baik

Minyak Jelek

Keausan Pahat

Penelitian keausan pahat pada proses bubut menggunakan pahat HSS dan dilakukan

dengan tiga kondisi yang berbeda, yaitu kondisi permesinan kering (tanpa pendingin), dengan

cairan pendingin dromus, dan minyak nabati. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2. Dari gambar 2

Page 299: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.7. Proses permesinan bubut pada kaca (Rusnaldy, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.38

terlihat bahwa kondisi permesinan dengan menggunakan cairan pendingin dromus menunjukkan

laju keausan yang paling rendah. Hal ini disebabkan cairan dromus terdiri dari dari campuran air

dan minyak. Campuran pendingin ini sangat tepat digunakan sebagai pendingin karena dapat

menbantu mengurangi besarnya gesekan yang tejadi antara permukaan benda kerja dengan bidang

aktif pahat. Selain itu dromus dapat membantu membersihkan geram yang mungkin menempel

pada permukaan benda kerja sehingga mengurangi terjadinya gesekan yang semakin membuat

pahat cepat aus. Sedangkan fungsi air pada dromus adalah sebagai pendingin sehingga temperatur

yang terjadi pada bidang yang bergesekan akan turun, karena semakin besar temperatur yang

terjadi maka keausan pahat juga akan meningkat. Pada kondisi permesinan dengan menggunakan

cairan pendingin berupa minyak nabati, laju keausan pahat terlihat paling tinggi. Hal ini mungkin

disebabkan pada minyak nabati tidak terkandung air sebagai pendingin. Minyak nabati hanya

berfungsi sebagai pelumas dimana akan cenderung naik suhunya jika dipanasi. Kondisi bidang

potong yang panas telah membuat suhu di sekitar bidang potong menjadi semakin meningkat dan

akibatnya keausan pahat semakin cepat terjadi.

Untuk melihat besarnya temperatur yang terjadi saat proses permesinan kaca berlangsung

maka dilakukan pengukuran temperatur pahat. Sebagai pembanding digunakan material aluminium

cor. Posisi peletakan thermocouple pada pahat sekitar 1 mm dari bidang aktif pemotongan pahat.

Hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 3. Dari gambar 3 terlihat bahwa temperatur pada

proses permesinan kaca jauh lebih tinggi dibanding pada permesinan aluminium. Gesekan yang

terjadi antar permukaan kaca yang dibubut dan permukaan pahat membuat temperatur pada bidang

aktif tersebut meningkat dengan cepat.

Gb. 2. Grafik pertumbuhan keausan tepi pahat HSS pada proses permesinan kaca

Gb. 3. Temperatur pahat pada saat proses permesinan kaca dan aluminium

Page 300: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.39

KESIMPULAN

Dari data yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses permesinan bubut pada kaca dapat dilakukan.

2. Kondisi high hydrostatic pressure didapatkan ketika nilai effective rake angle negatif.

3. Kondisi permesinan yang menghasilkan kondisi permukaan paling baik adalah ketika proses

bubut dilakukan pada radius nose 5 mm, depth of cut 0,5 mm, feed rate 0,045 mm/rev,

kecepatan spindel 30 rpm dan kondisi permesinan menggunakan cairan pendingin dromus.

4. Laju keausan tepi pahat HSS pada proses permesinan kaca sangat tinggi, sehingga dengan

pertimbangan ekonomis pahat HSS tidak dapat digunakan.

REFERENSI

1. Blake, P.N., Scattergood, R.O., (1990), “Ductile regime machining of germanium and silicon”,

Journal of the American Ceramic Society 73, 949-957.

2. Cai, M.B., Li, X.P., Rahman, M., (2007), “Studi of the mechanism of nanoscale ductile mode

cutting of silicon using molecular dynamics simulation”, International Journal of Machine Tool

and Manufacture 47, 75-80.

3. Leung, T.P., Lee, W.B., Lu, X.M., (1998), “Diamond turning of silicon substrate in ductile

regime”, Journal of Materials Processing 73, 42-48.

4. Shibata, T., Fujii, S., Makino, E., Ikeda, M., (1996), ”Ductile regime turning mechanism of

single crystal silicon”, Precision Engineering 18, 129-137.

5. Boccacini, A.R., (1997), “Machinability and brittleness of glass ceramics”, Journal of Materials

Processing Technology 65, 302-304.

6. Fang.F.Z., Zhang, G.X., (2004), „An experimental study of optical glass

machining“,International Journal of Advanced Manufacturing Technology 23, 155-160.

7. Matsumura, T., Hiramatsu, T., Shirakashi, T., Muramatsu, T., ( 2005), ”A study on cutting

force in the milling process of glass”, Journal of Manufacturing Processes Vol. 7 No.2, 102-

108.

8. Wan, Z.P., Tang, Y., (2009), “Brittle-ductile mode cutting of glass based on controlling cracks

initiation and propagation”, International Journal of Advanced Manufacturing Technology 43,

1051-1059.

9. Rusnaldy, Ko, T.J., Kim, H.S., (2005) “Investigation of chip formation in micro end milling of

single crystal silicon wafer,” Proceeding of Nanoengineering Symposium, Daejeon, Korea.

10. Rusnaldy, Ko, T.J., Kim, H.S., (2007), “Micro-end-milling of single-crystal silicon,”

International Journal of Machine Tool and Manufacture, Vol. 47 Issue 1, 2111-2119.

11. Rusnaldy, Ko, T.J., Kim, H.S., (2008) “An experimental study on microcutting of silicon

using a micromilling machine,” The International Journal of Advanced Manufacturing

Technology, 39, pp 85-91.

Page 301: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.8. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc (Eko Armanto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.40

PERANCANGAN MESIN UJI TRIBOLOGI PIN-ON-DISC

Eko Armanto*, Aan Burhanudin, Didi Dwi Krisnandi, Dian Prabowo, Ismoyo, Jamari

Program Studi Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang

Jl.Prof. H. Sudarto, SH - Tembalang, Semarang

* email: [email protected]

Abstrak Makalah ini membahas tentang perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc. Pin-on-disc

adalah salah satu mesin uji gesek tribologi. Tribology salah satu ilmu terapan di bidang teknik

mesin yang mempelajari gesekan, keausan dan pelumasan, memberikan kontribusi dalam

upaya meminimalkan keausan dan kehilangan material akibat kontak antara dua permukaan

karena berdampak pada efisiensi, hidup mesin, desain mesin, jadwal pemeliharaan mesin.

Proses perancangan pada umumnya, tediri dari beberapa tahapan meliputi tahapan,

penyusunan dokumen, tahapan analisis masalah, penyusunan spesifikasi, tahapan

perancangan konsep produk, dan tahapan pembuatan produk. Tahapan-tahapan perancangan

di atas bersifat iteratif (iterative), artinya hasil setiap tahapan dijadikan umpan balik

(feedback) bagi tahapan yang sebelumnya. Konsep produk biasanya diekspresikan dengan

sketsa gambar tiga dimensi (3D) dengan uraian dan keterangan gambar.

Kata kunci: perancangan, pin-on-disc, gesekan, koefisien gesek

1. PENDAHULUAN

Salah satu fenomena yang terjadi dalam bidang pemesinan adalah fenomena kontak antar

komponen. Kontak yang terjadi antar komponen bisa berupa static contact, rolling contact, atau

sliding contact. Kontak mekanik (contact mechanics) merupakan hal yang penting, karena dapat

mempelajari bagaimana struktur topografi permukaan (asperity) mengalami deformasi, sedangkan

ilmu yang mempelajari tentang interaksi antar permukaan yang bergerak relatif satu sama lain

adalah tribologi. Tribology, salah satu ilmu terapan di bidang teknik mesin yang mempelajari

gesekan, keausan dan pelumasan, memberikan kontribusi dalam upaya meminimalkan keausan

akibat kontak antara dua permukaan, sehingga dapat diterapkan di industri untuk menganalisa

kasus kegagalan atau kerusakan pada komponen mesin. Gerak mekanik yang mengakibatkan

gesekan dapat dilihat pada gambar 1.1

Gambar 1.1. Contoh gerak mekanik

Dalam pengembangan ilmu tribologi terutama untuk keperluan penelitian, sangat

dibutuhkan alat-alat pengujian khususnya alat uji gesekan dan keausan pin-on-disc. Di Indonesia

alat-alat uji tribologi masih jarang sekali. Selama ini penelitian umumnya difokuskan pada

simulasi. Maka penulis akan merancang mesin uji gesekan dan keausan, untuk mengukur gaya

gesekan antara pin dan disc.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Mesin uji tribologi Pin-on-disc adalah alat uji gesek dan keausan yang terdiri dari pin dan

disc. Pin memiliki berbagai bentuk dan ukuran, umumnya berbentuk bola atau bentuk silinder

batang, sedangkan disc atau piringan dengan tebal tertentu berbentuk plat berdiameter. Penggunaan

Page 302: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.41

mesin pin-on-disc pada umumnya digunakan untuk menguji keausan jenis sliding dan rolling.

Dengan alat ini koefisien gesek antara pin dan disc (piringan uji) dapat diukur.

Perancangan dan pembuatan alat uji ini bertujuan untuk mengukur gaya gesek antara pin

dan disk. Dengan gaya gesek dan beban pada pin koefisien gesek dapat diketahui, keausan akan

dapat diketahui juga. Sesuai dengan aspek penelitian, manfaat alat secara umum adalah untuk

memprediksi keausan yang terjadi, maka usaha pencegahan keausan dapat lebih efektif

Perawatan terhadap komponen pemesinan karena adanya keausan dapat lebih efisien. Performa

sebuah mesin akan dapat berjalan dengan optimal. Hal ini akan berimbas pada nilai ekonomis,

yaitu penghematan biaya perawatan ataupun penghematan energi. Contoh kasus gesekan dapat

dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1. Proses gesekan

3. METODOLOGI PERANCANGAN

Proses Perancangan Perancangan alat uji ini bertujuan untuk membuat mekanisme gesekan pin-on-disc sebagai

alat mengukur gaya gesek antara pin dan disk. Dengan gaya gesek dan beban pada pin koefisien

gesek dapat diketahui, keausan akan dapat diketahui juga. Sesuai dengan aspek penelitian, manfaat

alat secara umum adalah untuk memprediksi keausan yang terjadi, maka usaha

pencegahan keausan dapat lebih efektif. Perawatan terhadap komponen pemesinan karena

adanya kontak mekanis dapat lebih efisien. Performa sebuah mesin akan dapat berjalan dengan

optimal. Hal ini akan berimbas pada nilai ekonomis, yaitu penghematan biaya perawatan ataupun

penghematan energi. Contoh penerapan kasus pengujian kontak pada mesin uji pin-on-disc dapat

dilihat pada gambar 3.1

Gambar 3.1. Gesekan pin-on-disc.

Merancang produk Merancang produk digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia merupakan suatu

masalah yang perlu dipecahan. Desain yang baik dan optimal hanya dapat dipastikan dengan

mengikuti dan mentaati proses desain formal. Suatu pendekatan yang sistematis memungkinkan

hasil perancangan yang jelas dan logis. Pada saat ini terdapat banyak metode perancangan yang

Page 303: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.8. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc (Eko Armanto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.42

dikembangkan oleh para pakar desain yang berpengalaman. Pada prinsipnya, metode perancangan

teknik tersebut memiliki tujuan yang sama.

Pada umumnya, tahapan perancangan meliputi :

a. Tahapan penyusunan dokumen

b. Tahapan analisis masalah dan penyusunan spesifikasi

c. Tahapan perancangan konsep produk

d. Tahapan pembuatan produk

Tahapan-tahapan perancangan di atas bersifat iteratif (iterative) , artinya hasil setiap

tahapan dijadikan umpan balik (feedback) bagi tahapan yang sebelumnya. Pengembangan produk

merupakan salah satu sarana bagi perusahaan agar mampu bersaing dengan perusahaan lain yang

membuat produk sejenis. Karena untuk setiap produk baru yang dihasilkan akan memiliki suatu

kelebihan dari produk lain yang sejenis, sehingga dikatakan produk itu memiliki competitive value

(nilai keunggulan)

Kriteria Perancangan Membangun kriteria sangatlah dibutuhkan karena akan menentukan kebutuhan yang akan

dipakai untuk merancang alat atau mesin.

Tahap permulaan dalam perancangan adalah menentukan kebutuhan (need) secara umum,

selanjutnya kriteria perancangan yang diharapkan untuk mencapai tujuan perancangan secara

umum, kriteria pembuatan mesin uji pin-on-disc dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (Dieter, G.E.,

1991)

Kriteria musts, yaitu kriteria yang harus dipenuhi:

A. Aman,meliputi:

- Aman bagi operator

- Aman bagi lingkungan

B. Berfungsi, meliputi

- Mampu mengukur gaya geser yang terjadi

- Mampu mengontrol putaran dalam periode tertentu dengan keterulangan yang baik

- Mampu mengontrol panas yang terjadi

Kriteria wants, yaitu kriteria yang diharapkan terpenuhi

A. Membuat mesin yang murah biaya pengoperasiannya

B. Membuat mesin yang murah harganya

Pemilihan Alternatif Konsep produk adalah sebuah gambaran atau perkiraan mengenai teknologi, prinsip kerja,

dan bentuk produk. Konsep produk merupakan gambaran singkat tentang bagaimana suatu produk

dapat memenuhi kebutuhan dan dapat dibuat. Konsep produk biasanya di- ekspresikan dengan

sketsa gambar tiga dimensi (3D) dengan uraian atau ke- terangan gambar. Penulis menemukan

beberapa alternatif bentuk rancangan mesin yang telah direncanakan, langkah selanjutnya adalah

diadakan penilaian terhadap semua alternatif desain.

Gambar Alternatif 1(ASTM G99-95) Gambar Alternatif 2 (Tim Wolda 2010)

Page 304: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.43

Gambar Alternatif 3 Gambar Alternatif 4

Pembobotan Kriteria Penilaian kriteria dibuat menurut tingkat kepentingan, semakin penting semakin tinggi

nilainya. Penilaian ini dilakukan untuk dapat menyimpulkan mengenai analisa terhadap beberapa

desain yang akan dilakukan, dengan cara me-berikan bobot atau point pada alternatif desain

tersebut. Setiap kriteria dibanding-kan satu persatu, angka 1 dimasukkan kedalam matrik bila

kriteria itu lebih baik dari kriteria pembanding atau 0 yang dimasukkan ke dalam sel matrik yang

dianggap kurang penting. Lihat contoh tabel 1, .(Cross, Nigel ,1989:123- 124)

Tabel 1. Perbandingan kriteria

Kri

teri

a

Perbandingan kriteria

Jum

lah

A 1 1 1 1 1 5 B 0 0 1 1 1 3 C 0 0 1 1 0 2 D 0 0 0 1 0 1 E 0 0 0 0 0 0 F 0 1 1 1 1 4

A = Kelengkapan Alat B = Kemudahan pengoperasian

C = Kemudahan proses pembuatan D = Kemudahan mendapatkan komponen

E = Kemudahan perawatan F = konstruksi

Berikut adalah hasil penilaian dari keempat alternatif bentuk rancangan dari berbagai

responden. Bobot dimasukkan dalam tabel, Untuk mempermudah pemilihan desain, dibuat tabel

perbandingan kriteria yang berisi bobot nilai berdasarkan pertimbangan diatas. Tabel penilaian

(Cross Nigel, 1989) dari keempat alternatif dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Penilaian Alternatif

No Kriteria

Bo

bo

t

Alternative 1 Alternative 2 Alternative 3 Alternative 4

Nila

i

Bo

bo

t

x n

ilai

Nila

i

Bo

bo

t

x n

ilai

Nila

i

Bo

bo

t

x n

ilai

Nila

i

Bo

bo

t

x n

ilai

1 A 5 2 10 1 5 5 25 5 25

2 B 3 3 9 4 12 3 9 3 9

3 C 2 3 6 3 6 3 9 3 9

4 D 1 1 1 1 1 5 5 5 5

5 E 0 3 0 3 0 3 0 3 0

6 F 4 3 12 2 8 2 8 3 12

Jumlah 37 32 56 60

Page 305: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

D.8. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc (Eko Armanto, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

D.44

Berdasar perhitungan dari 4 alternatif nilai yang tertinggi adalah alternatif 4 memiliki skor

tertinggi, maka alternatif 4 sebagai alternatif terbaik, sehingga dipilih sebagai alternatif yang akan

ditindak lanjuti (dibuat).

4. HASIL

Hasil proses perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc adalah dalam bentuk konsep

gambar perakitan dan gambar kerja lengkap yang menjadi panduan pembuatan alat tersebut. Dari

beberapa pertimbangan dalam perancangan maka hasil perancangan pembuatan mesin uji tribologi

pin-on-disc seperti gambar 4.1. Perancangan mesin uji tribologi pin-on-disc ini direncanakan

sebagai alat pengujian keausan, tipe sliding contact dan rolling contact. Pengujian menggunakan

mesin uji pin-on-disc ini dapat diperoleh gaya gesek, koefisien gesek.

- Pin dirancang agar dapat digunakan untuk pengujian sliding contact, dan Rolling Contact.

- Pin dirancang agar dapat disetel (berubah posisi) dimaksudkan agar dalam pengujian dapat

dilakukan lebih dari satu jalur.

- Tempat disc dirancang agar benda uji dapat diganti dengan mudah.

- Perencanaan pembuatan pemegang pin (bola baja) yang semula panjangnya dirancang sedekat

mungkin agar tidak terjadi momen puntir, dan dapat diatur possisinya.

Tabel 3 Spesifikasi rencana alat No Parameter Keterangan

1 Putaran 5 Rpm sampai dengan 30 Rpm

2 Jarak rolling Disc (material uji) Ø 95 mm

3 Beban 0,05 N sampai dengan 5 N

4 Temperatur 25 ˚C sampai dengan 85˚C

5 Bola baja Diameter 6 mm sampai dengan 10 mm

Gambar 4.1.Hasil perancangan

Page 306: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang D.45

5. KESIMPULAN

Dalam perancangan mesin uji tribologi pin-on -disc setiap langkah akan terjadi pemilihan

alternatif dan terjadi iterative, dan harus mepertimbangkan banyak faktor. Beberapa faktor adalah

kelengkapan alat, kemudahan pembuatan, kemudahan pengoperasian, kemudahan mendapatkan

komponen, kemudahan perawatan. Dari 4 alternatif yang terpilih adalah alternatif ke 4 karena

banyak keunggulan dengan nilai tertinggi 60, jumlah kelengkapan alat unggul, konstruksi

pemegang pin mengalami beberapa perubahan disebabkan ada perubahan loadcell. Kelengkapan

alat berkaitan dengan data dan hasil proses pengujian, seperti gaya gesek, temperatur, kecepatan

kontak dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Archard, J.F.1953.Contact and rubbing of flat surfaces, Journal of Applied Physics, 24, pp. 981-

988.

Chang, W.R. Etsion, I, dan Bogy,L, 2000 An Elasttic Model for the contact of Rough Surfaces vol

109.pp257-263.

Dieter, G.E., (1991), Engineering Design A Materials and Processing Approach, 2nd

Edition,

McGraw-Hill, Inc. London: Professional.

Dowson, D. History of Tribology, Second edition, Engineering Publishing, 1998.

Harsokoesoemo, Darmawan, (2004) Pengantar Perancangan Teknik, Edisi ke 2, ITB Bandung.

Ismail, R. 1997. Topographical Change of Engineering Surface due to Running-in of Rolling

Contacts. Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente.

Jamari, J, 2006, Running-in of Rolling Contacts, PhD Thesis, Unversity of Twente, Enschede, The

Netherlands.

Jamari, J. & Schipper, D.J., 2006, “An elastic-plastic contact model of ellipsoid bodies,” Tribology

Letters, 21 (3), pp. 262-271.

Jamari, J. 2005. Running-in of Rolling Contacts, PhD thesis, Twente University, The Netherland,

2006

Johnson, K. L1985, Contact Mechanics Cambridge University Press, Cambridge. UK.

Pugh, Stuart (1990), Total Design, Addison-Wesley Publising Company.

Sebastian Tim Wolda, Master student of Mechanical Engineering Department University of

Twente, Netherland 2010.

Stachowiak, G.W.2005 Engineering Tribology Third Edition, Elsevier Inc.USA.2005.

Wang,W; dkk.2000.Experimental Study of the Real Time Change in Surface Roughness During

Running-in for PEHL Contact. Shanghai University, Shanghai, China, 2000.

Page 307: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.1

PEMODELAN MINIMIZE TOTAL BIAYA PENGENDALIAN KUALITAS

TERHADAP PROSES MANUFAKTURING PRODUK FURNITURE

Sutrisno B., Abd. Haris, Romadhon

Jurusan Manajemen - Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Dharma Klaten

Jl. Ki Hajar Dewantara-Klaten Utara (57438)

Telp. 0272-322363; Fax.0272-323288 E-mail. [email protected]

Abstrak

Pengendalian kualitas merupakan usaha preveentif (pencegahan) sebelum terjadi kesalahan,

dan mengarahkan agar kesalahan tidak terjadi. Persoalan pengendalian kualitas adalah

bagaimana menjaga dan mengarahkan agar produk dan jasa dapat memenuhi standar kualitas

yang direncanakan. Tujuan penelitian ini untuk (1). Memecahkan masalah kerusakan produk

dengan metode SQC (Statistical Quality Control), (2). Menentukan biya kualitas total

minimum (minimize total cost quality) yang meliputi QCC (Quality Control Cost) dan QAC

(Quality Assurance Cost). Penelitian dilakukan dengan metode observasi secara mendalam

(indept observation), pengumpulan data secara langsung pada obyek observasi yaitu

pengendalian kualitas pada proses manufaktur produk furniture, analisis data menggunakan

formula statistiscal Quality Control (SQC) untuk mengetahui batas control atas (UCL) dan

batas control bawah (LCL) yang dilengkapi dengan control chart. Hasil analisis control charts

menunjukkan bahwa rata-rata kerusakan produk sebesar 2,6 % dari 96.500 produk yang

diperiksa. Uper Control Limit (UCL) sebesar 3,1 %, Lower Control Limit (LCL) 2,1 %. Total

biaya minimum kualitas sebesar Rp. 18.909.379 yang terdiri dari Quality Control Cost

sebesar RP. 9.456.579 dan Quality Assurance Cost sebesar Rp. 9.452.800. Sedangkan

análisis intensitas pengendalian kualitas yakni produk rusak yang benar-benar terjadi

sebanyak 2.531 unit, jumlah produk rusak yang dikehendaki yaitu yang menanggung biaya

kualitas terendah (q*) sebanyak 3.376 unit.

Key word: Uper Control Limit, Lower Control Limit, Minimum QCC, Minimun QAC

I. PENDAHULUAN

Kegiatan pengendalian kualitas merupakan usaha preverentif (penjagaan) dan dilaksanakan

sebelum kesalahan kualitas produk tersebut terjadi. Persoalan pengendalian kualitas adalah

bagaimana menjaga dan mengarahkan agar produk dapat memenuhi kualitas sebagaimana yang

telah direncanakan. Dengan demikian peranan pengendalian kualitas produk sangat penting dan

berguna bagi perusahaan. Untuk mengetahui apakah peranan pengendalian kualitas sudah

dilakukan dengan baik atau belum oleh perusahaan, biasanya analisis yang digunakan yaitu

control charts dan analisis intensitas pengendalian kualitas. Analisis tersebut digunakan untuk

mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan produk yang terjadi dan untuk mengetahui biaya

pengawasan kualitas yang efisien. Penelitian bertujuan untuk: (1). Memecahkan masalah yang

berkaitan dengan kerusakan produk dengan metode SQC, (2). Menentukan biaya kualitas total

minimum (minimize total cost quality)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengendalian kualitas adalah suatu aktivitas (manajemen perusahaaan) untuk menjaga dan

mengarahkan agar kualitas produk (dan jasa) perusahaan dapat dipertahankan sebagaimana yang

telah direncanakan. Teknik yang digunakan dalam pengendalian kualitas diantaranya dengan

metode control chart. Metode tersebut digunakan untuk mengetahui rata-rata kerusakan produk dan

besarnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

2.1. Metode SQC

1. Metode control chart.

Analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas dan batas bawah

pengawasan kualitas produk.

1) Rata-rata kerusakan:

Page 308: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.1. Pemodelan minimize total biaya pengendalian kualitas ... (Sutrisno B., dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.2

P

Pn

XP

Dimana: = rata-rata kerusakan produk

X = jumlah produk rusak

n = jumlah produk diobservasi

2) Standar deviasi

n

ppSp

)1(

Dimana:

= rata-rata kerusakan produk

Sp = standar deviasi/penyimpangan

n = jumlah produk diobservasi

3) Batasan Pengawasan.

- Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)= P + 3 Sp

- Batasan pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)= P – 3 Sp

1. Pengendalian kualitas akan berjalan baik jika kerusakan produk masih dalam

batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan atas (UCL) dan batasan pengawasan

bawah (LCL).

2. Apabila kerusakan produk di atas garis UCL maka perusahaan akan

mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk tinggi dan jika jumlah

kerusakan produk di bawah LCL maka perusahaan akan memperoleh keuntungan/laba besar

yang dikarenakan jumlah kerusakan produknya sedikit.

2.2 Minimize Total Biaya Pengendalian Mutu

Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah produk rusak yang optimal yaitu

jumlah produk rusak dengan biaya pengendalian mutu yang minimum.

Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah:

1) Biaya pengawasan kualitas

q

oRQCC

.

2) Biaya jaminan mutu

QAC = c.q

3) Total biaya atas kualitas

TQC = QCC + QAC

Dimana:

TQC = total biaya atas kualitas

QCC = total biaya pengawasan kualitas

QAC = total biaya jaminan mutu/kualitas

4) Jumlah produk yang rusak dengan biaya minimum

c

oRQ

.*

Dimana:

Q* = jumlah produk optimal

R = jumlah produk ditest

o = biaya pengetesan setiap kali test

c = biaya jaminan mutu tiap unit

III. PENERAPAN MODEL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Control Charts

Rata-rata kerusakan dari produk yang diperiksa,

- Jumlah produk yang diperiksa = 96.500 unit

- Jumlah produk yang rusak = 2.531 unit

- Persentase kerusakan

Page 309: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.3

67,8041

12

500.96

%6,2

026,0

500.96

531.2

n

XP

n rata-rata

- Standar Deviasi (penyimpangan)

0017746,0

0000031,0

67,8041

025324,0

67,8041

)026,01(026,0

)1(

n

PPSP

- Batasan pengawasan

Batasan Atas (Upper Control Limit = UCL)

%1,3031,0

0053238,0026,0

)0017746,0(3026,0

3

atau

SPPUCL

Batasan Bawah (Low Control Limit = LCL)

%1,2021,0

0053238,0026,0

)0017746,0(3026,0

3

atau

SPPLCL

Dari perhitungan dengan metode control charts diperoleh batas atas sebesar 0,031 atau 3,1

% dan batas bawah sebesar 0,021 atau 2,1 %. Dengan melihat batasan pengawasan yaitu batas

atas (UCL) dan batas bawah (LCL) serta kejadian selama satu tahun, maka dikatakan bahwa

pengendalian kualitas terhadap mebel sudah dilaksanakan dengan baik, karena kerusakan produk

yang terjadi masih dalam batas wajar yaitu masih terletak antara batas atas dan batas bawah.

Kejadian-kejadian itu bila digambarkan tampak sebagai berikut:

Page 310: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.1. Pemodelan minimize total biaya pengendalian kualitas ... (Sutrisno B., dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.4

Gambar 1. Grafik Control Charts

Indikator-indikator kerusakan produk dan sebab terjadinya kerusakan produk:

1. Produk rusak digudang sebelum barang dijual seperti: kotor, pecah, cacat dan lainnya

2. Produk rusak merupakan hal yang normal terjadi dalam proses pengolahan produk, seperti :

berlubang, cacat, kotor.

3.2 Analisis Minimize Total Biaya Pengendalian Kualitas

Dengan menggunakan analisis intensitas pengawasan kualitas, jumlah produk rusak yang

menanggung biaya terendah sebanyak 3376 unit dan total biaya atas kualitasnya sebesar Rp.

18.909.383 yang terdiri dari QCC sebesar Rp. 9.449.093 dan QAC sebesar Rp. 9.460.290 Apabila

diadakan perbandingan antara q* yang dikehendaki dengan q (produk rusak) yang benar-benar

terjadi terdapat selisih sebesar 3376 - 2.531 = 845 unit. Selisih ini menunjukkan bahwa produk

rusak yang benar-benar terjadi lebih kecil dari produk rusak yang dikehendaki. Maka dapat

dikatakan bahwa intensitas pengawasan kualitas yang dilaksanakan telah berjalan dengan baik.

Sedangkan perhitungannya akan nampak seperti tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah produk rusak (q), masing-masing biaya

(QCC, QAC, TQC)

q (Unit) QCC (Rupiah) QAC (Rupiah) TQC (Rupiah)

1000 31.924.414 2.800.000 34.725.414

2000 15.962.707 5.600.000 21.562.707

3000 10.641.805 8.400.000 19.041.805

3376 9.456.579 9.452.800 18.909.379

5000 6.385.082 14.000.000 20.385.082

Sumber : data primer yang diolah

Grafik QCC, QAC, TQC (Jutaan Rupiah) ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 2. Grafik biaya kualitas

Page 311: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.5

Keterangan :

Dari grafik tersebut diatas dapat dilihat bahwa :

1. QCC akan menurun apabila jumlah produk rusak meningkat dan sebaliknya QCC akan

meningkat apabila jumlah produk rusak menurun.

2. QAC akan menurun apabila jumlah produk rusak juga menurun dan sebaliknya QAC akan

meningkat apabila jumlah produk rusak juga meningkat.

3. Dengan jumlah produk rusak sebanyak 3376 unit akan diperoleh biaya QCC sebesar Rp.

9.456.579, biaya QAC sebesar Rp. 9.452.800 dan biaya TQC = Rp. 18.909.379

IV. KESIMPULAN 1. Analisis Control Charts

Jumlah produk yang diperiksa sebanyak 96.500 unit

Rata-rata kerusakan produk sebesar 0,026 atau 2,6 %

Untuk batasan pengawasannya: Batas atas (UCL) sebesar 0,031 atau 3,1 %

Batas bawah (LCL) sebesar 0,021 atau 2,1 %

Dengan demikian hasil análisis control chart menunjukkan bahwa pengendalian kualitas telah

dilaksanakan dengan baik, karena jumlah produk rusak masih dalam batas yang wajar yaitu

terletak antara batas atas dan batas bawah.

2. Analisis minimize total biaya pengendalian kualitas

1) Produk rusak yang benar-benar terjadi sebanyak 2531 unit.

2) Jumlah produk rusak yang dikehendaki yaitu yang menanggung biaya kualitas terendah (q*)

sebanyak 3376 unit.

3) Total biaya atas kualitas sebesar Rp. 18.909.379 yang terdiri dari biaya QCC sebesar RP.

9.456.579 dan biaya QAC sebesar Rp. 9.452.800.

Dengan demikian intensitas pengawasan kualitas telah dilaksanakan dengan baik, karena jumlah

produk rusak yang benar-benar terjadi sebanyak 2531 unit lebih kecil dari jumlah produk rusak

yang dikehendaki sebanyak 3376 unit.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Ahyari, 2000, Manajemen Produksi, BPFE-UGM, Yogyakarta.

Elwood S. Buffa dan Rakesh K. Sarin, 1999, Manajemen Operasi dan Produksi Modern, Binarupa

Aksara, Jakarta.

Fandi Tjiptono, 1995, Total Quality Management, Andi Offset, Yogyakarta.

Gasperz V, 1997, Manajemen Kualitas, PT. Gramedia, Jakarta.

Indriyo Gitosudarmo, 1993, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Produksi, BPFE-UGM,

Yogyakarta.

Lalu Sumayang, Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi, Salemba Empat, Jakarta.

Page 312: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.2. Perancangan standard operating procedures (SOP) ... (Fakhrina Fahma, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.6

PERANCANGAN STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)

PENGOLAHAN PASCA PANEN RIMPANG TANAMAN OBAT DAN IDENTIFIKASI

GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) DI KLASTER BIOFARMAKA

KARANGANYAR

Fakhrina Fahma*)

, Wahid A. Jauhari, Pungky Nor Kusumawardhani

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta *)

Email : [email protected]

Abstrak

Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal

yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Perubahan pola konsumsi obat ini dikarenakan

obat herbal memiliki risiko efek samping yang minim apabila digunakan secara tepat. Produk

biofarmaka yang salah satunya berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan

Industri Obat Tradisonal (IOT) dan kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan

potensi tersebut, pemerintah telah mengembangkan beberapa klaster biofarmaka salah

satunya di Karanganyar. Meskipun Karanganyar dikenal sebagai daerah yang berpotensi

besar dalam produk biofarmaka, masih terdapat banyak masalah yang menghambat

pengembangan biofarmaka terutama yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan

kontinuitas supply produk yang dipanen. Masalah tersebut muncul dikarenakan tidak adanya

suatu sistem penjaminan mutu dari hasil panen tanaman-tanaman biofarmaka. Untuk

menjamin mutu produk dari klaster perlu adanya dokumentasi terkait budidaya dan proses

produksi. Sistem pendokumentasian mutu dapat berupa Standard Operating Procedure (SOP)

dari budidaya tanaman hingga pasca panen dan GMP (Good Manufacturing Practices) Plan

yang mengatur agar hasil pengolahan proses produksi nantinya sesuai dengan standar mutu

dan aman untuk dikonsumsi. SOP disusun berdasarkan studi kasus di Kelompok Tani Sumber

Rejeki I dan studi lapangan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan

Obat Tradisional (B2P2TO-OT). Metode yang digunakan adalah Focus Group Discussion

(FGD) yang melibatkan ketua dan pengurus klaster, ketua dan anggota kelompok tani, dan

pihak-pihak terkait lainnya yaitu dinas pertanian dan B2P2TO-OT. SOP ini dapat digunakan

sebagai SOP percontohan di kelompok-kelompok tani lainnya. SOP ini sebagai standarisasi

untuk meminimalkan variasi proses budidaya dan pasca panen antar kelompok tani, sehingga

dapat menjamin mutu produk biofarmaka yang dihasilkan. Pengembangan dan penggunaan

SOP dapat meminimasi variasi output dan meningkatkan kualitas melalui implementasi yang

konsisten pada proses atau prosedur di dalam organisasi (U.S. Environmental Protection

Agency, 2007). SOP yang tersusun nantinya dapat diimplementasikan sehingga tercapai cara

penanganan dan pengolahan pangan hasil pertanian yang baik melalui Good Manufacturing

Practices (GMP). Dengan adanya sebuah sistem dokumentasi GMP (GMP Plan) diharapkan

klaster memiliki sebuah pedoman untuk dapat mengimplementasikan proses pasca panen yang

baik, sehingga dapat menghasilkan produk yang aman dan dapat memenuhi standar

penerimaan baik pasar maupun perusahaan jamu.

Kata kunci: Klaster biofarmaka, SOP, GMP, Rimpang Biofarmaka

A. PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal

yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Tanaman obat juga mudah didapatkan dan dapat

tumbuh dengan sendirinya. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tanaman obat yang sangat

besar. Terdapat 940 spesies tanaman yang berkhasiat sebagai tanaman obat dimana 180 spesies

diantaranya telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional (Departemen Pertanian, 2005).

Dengan adanya keanekaragaman tersebut tentunya Indonesia memiliki peluang untuk

mengembangkan potensi industri biofarmaka dalam negeri. Produk biofarmaka yang salah satunya

berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan Industri Obat Tradisonal (IOT) dan

kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah telah

mengembangkan beberapa klaster biofarmaka. Di Jawa Tengah terdapat beberapa klaster

biofarmaka antara lain di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan Semarang.

Page 313: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.7

Klaster biofarmaka yang terdapat di Kabupaten Karanganyar merupakan klaster

biofarmaka yang berpotensi tinggi menjadi salah satu sentra biofarmaka di Indonesia, sebab sektor

pertanian tanaman obat memberikan kontribusi 21% terhadap Produk Domestik Regional Bruto

(PRDB) Kabupaten Karangayar (BPP Jateng, 2010). Saat ini terdapat sepuluh kelompok tani yang

menjadi anggota klaster biofarmaka di Kabupaten Karanganyar. Komoditas utama klaster tersebut

antara lain jahe, temulawak, dan kunyit. Dalam satu kali panen dapat dihasilkan 544 ton jahe dari

lahan seluas 77 ha, 940 ton kunyit dari lahan seluas 94 ha, 365 ton temulawak dari lahan seluas 39

ha, dan masih banyak lagi jenis tanaman obat lainnya. Meskipun Karanganyar dikenal sebagai

daerah yang berpotensi besar dalam produk biofarmaka, masih terdapat banyak masalah yang

menghambat pengembangan biofarmaka terutama yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan

kontinuitas supply produk yang dipanen (BPP Jateng, 2010). Masalah tersebut muncul dikarenakan

tidak adanya suatu sistem penjaminan mutu dari hasil panen tanaman-tanaman biofarmaka. Sistem

penjaminan mutu dapat berupa dokumen mutu Standard Operating Procedure (SOP) dari teknik

budidaya tanaman hingga pasca panen untuk menunjang penerapan GMP (Good Manufacturing

Practices).

Standard Operating Procedure (SOP) merupakan sistem yang disusun untuk memudahkan,

merapikan, dan menertibkan pekerjaan yang berisi urutan proses melakukan pekerjaan dari awal

hingga akhir (Ekotama, 2011). SOP merupakan bagian dari sistem dokumentasi mutu. Klaster

belum memiliki prosedur terdokumentasi yang dapat disosialisasikan, sehingga para petani pun

hanya menjalankan prosedur budidaya dan pasca panen berdasarkan pengalaman. Dokumentasi

mutu berupa SOP pasca panen yang dihasilkan di klaster biofarmaka, diharapkan dapat digunakan

sebagai SOP percontohan di kelompok-kelompok tani yang menjadi anggota klaster.

Pengembangan dan penggunaan SOP dapat meminimasi variasi output dan meningkatkan kualitas

melalui implementasi yang konsisten pada proses atau prosedur di dalam organisasi (U.S. EPA,

2007). Selain SOP teknik juga dihasilkan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure).

Ditjen PPHP (2009) menyatakan bahwa untuk menjamin keamanan produk pangan segar hasil

pertanian, pelaku usaha harus menyusun serta menerapkan Standard Operating Procedure (SOP

Teknis) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SOP-Sanitasi) yang memuat delapan kunci

sanitasi meliputi keamanan air dan es, kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan

bahan pangan, pencegahan kontaminasi silang, fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, proteksi

dari bahan-bahan kontaminan, pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar,

pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi, dan

penanganan/pengendalian hama. SOP dan SSOP yang tersusun merupakan pre-

pequisite/persyaratan dasar yang menunjang dalam penerapan Good Manufacturing Practices

(GMP).

GMP (Good Manufacturing Practices) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara

pengolahan hasil pertanian yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak

dikonsumsi (Permentan, 2010). Agar produk-produk dari klaster biofarmaka terjamin mutunya

perlu menerapkan aturan GMP dalam proses pasca panennya. Aturan di dalam GMP berhubungan

dengan mutu yang harus dihasilkan, yang memungkinkan para produsen produk pangan untuk

memperkecil atau menghilangkan sama sekali faktor yang mempengaruhi mutu seperti

kontaminasi, pencampuran, dan kesalahan dalam berproduksi (Nurdjannah, 2005). Dengan adanya

dokumentasi GMP (GMP Plan) diharapkan klaster memiliki sebuah pedoman untuk dapat

mengimplementasikan proses pasca panen dan sanitasi yang baik, sehingga dapat menghasilkan

produk yang aman dikonsumsi dan dapat memenuhi standar penerimaan baik perusahaan jamu

maupun pasar.

B. METODOLOGI

Langkah-langkah inti penelitian berupa pengumpulan dan pengolahan data adalah sebagai

berikut:

1. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan pengurus klaster biofarmaka,

ketua dan anggota kelompok tani, peneliti & praktisi di Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT). Data primer yang

diperoleh adalah proses produksi pengolahan rimpang menjadi simplisia, mengenai prosedur

Page 314: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.2. Perancangan standard operating procedures (SOP) ... (Fakhrina Fahma, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.8

pasca panen rimpang tanaman obat, prosedur sanitasi dan hiegenitas yang dilakukan oleh

klaster.

2. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang bersumber dari hasil pengamatan sebelumnya dan mempunyai

kaitan dengan obyek yang akan diteliti. Data sekunder yang diperoleh dalam penelitian

bersumber pada:

a. Dokumen tertulis Standard Operating Procedure (SOP) pasca panen rimpang dari

Kementrian Pertanian.

b. Wawancara dengan praktisi di perusahaan jamu mengenai kriteria standar produk klaster

biofarmaka yang dapat diterima oleh perusahaan.

Pada tahap pengolahan data ini data dikumpulkan, lalu diolah dengan urutan sebagi berikut:

1. Merancang SOP pasca panen rimpang tanaman obat melalui metode Focused Group

Discussion (FGD) untuk mendapatkan SOP yang benar dan dapat diaplikasikan di klaster

biofarmaka.

2. Mengidentifikasi Good Manufacturing Practices (GMP) melaui delapan kunci sanitasi pada

proses pasca panen di klaster biofarmaka.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prosedur Pembuatan Simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar, B2P2TO-

OT, dan Kementrian Pertanian

Untuk pembuatan simplisia, bahan baku yang digunakan adalah rimpang kunyit dan

temulawak. Prosedur proses produksi simplisia diperoleh melalui wawancara dan studi literature

yaitu wawancara dengan pengurud klaster biofarmaka dan B2P2TO-OT, dan Kementrian

Pertanian. Berdasarkan identifikasi inilah kemudian dilakukan FGD untuk menetapkan prosedur

yang akan diterapkan di klaster seperti disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan prosedur yang ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah menyusun

prosedur kerja, instruksi kerja dan form-form yang dibutuhkan guna menjamin mutu proses sesuai

dengan yang ditetapkan.

Identifikasi Good Manufacturing Practices (GMP) melaui Delapan Kunci Sanitasi Proses

Pasca Panen di Klaster Biofarmaka

Untuk menilai penyimpangan ketidaksesuaian penerapan GMP pada klaster biofarmaka

dilakukan dengan menggunakan checklist Penilaian Ketidaksesuaian Penerapan Cara Penanganan

dan Pengolahan Hasil Pertanian yang Baik (GMP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal

Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen PPHP) Departemen Pertanian tahun 2009. Cara

penilaian identifikasi GMP adalah sebagai berikut:

Penilaian penyimpangan pada masing-masing aspek delapan kunci pokok

penerapan sanitasi dikategorikan menjadi empat ketidaksesuaian yaitu minor, mayor,

serius, dan kritis. a. Minor Tingkat penyimpangan yang kurang serius dan tidak menyebabkan risiko

terhadap kualitas keamanan pangan produk.

b. Mayor Tingkat penyimpangan yang dapat menyebabkan risiko terhadap kualitas

keamanan pangan produk.

c. Serius Tingkat penyimpangan yang serius yang dapat menyebabkan risiko terhadap

kualitas keamanan pangan produk dan segera ditindaklanjuti.

d. Kritis Tingkat penyimpangan yang sangat serius dan sangat dapat menyebabkan risiko

terhadap kualitas keamanan pangan produk dan harus segera ditindaklanjuti.

Dari identifikasi awal penerapan GMP dalam pengolahan pasca panen klaster biofarmaka

ditemukan

1. Dua penyimpangan minor pada aspek:

a. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan (poin 2.3) dimana

kebersihan lingkungan bangunan yang tidak mencukupi

b. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan (poin 5.1.2) dimana kondisi ruang sekretariat yang

kurang terawat.

Page 315: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.9

Tabel 1. Penetapan Prosedur Pembuatan Simplisia Melalui FGD

Tahapan

Pembuatan

simplia

Prosedur Pembuatan Simplisia

Pengumpulan

bahan baku

Rimpang dikumpulkan dari hasil panen lahan milik klaster dan lahan petani, apabila

ada petani yang ingin menjual keluar harus lapor ke klaster.

Tahap

penyortiran

basah

1. Memilih rimpang yang cukup umur panennya.

2. Membersihkan rimpang dari tanah, daun, dan akar

3. Kulit rimpang tidak dikupas

4. Memisahkan rimpang yang akan dibuat sebagai simplisia dengan bahan rimpang

segar.

Tahap

pencucian

rimpang

1. Rimpang dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan dari sisa tanah yang

masih menempel kemudian dibilas pada bak air.

2. Rimpang kemudian ditiriskan dan hindari kontaminasi langsung dengan tanah atau

lantai.

3. Menimbang rimpang untuk mengetahui berat rimpang basah

Tahap

pengirisan

rimpang

1. Rimpang diiris dengan ketebalan minimal 4 mm dengan menggunakan alat manual

perajang rimpang atau dengan menggunkan mesin perajang.

2. Menampung irisan rimpang ke dalam tempat yang sudah disediakan

Tahap

pengeringan

rimpang

1. Rimpang dijemur menggunakan sinar matahari langsung.

2. Rimpang diletakkan di atas widig yang terletak 50 cm dari tanah untuk

menghindari kontaminasi tanah, asap, dan gangguan binatang.

3. Rimpang yang diletakkan di atas widig tidak boleh ditumpuk.

4. Saat penjemuran rimpang tidak dibolak-balik ditutup kain hitam agar lebih

menyerap panas dan tidak mempengaruhi warna rimpang.

5. Rimpang dijemur sampai kadar air 10% yang ditandai dengan rimpang kering

mudah dipatahkan dan terdengar bunyi „klik‟

Tahap

penyortiran

akhir

1. Simplia yang telah kering disortir untuk memisahkan dengan bahan pengotor lain.

Berdasarkan hasil pengeringan menjadi tiga grade yaitu grade A, B, dan C.

Grade A apabila bentuk simplisia yang bulat dan berukuran besar.

Grade B apabila bentuk simplisia yang bulat dan ukurannya tidak terlalu besar.

Grade C apabila bentuk simplisia cenderung halus/hancur.

yang dikemas hanya simplisia grade A dan B, grade C sebagai bahan baku serbuk

2. Menimbang simplisia kering untuk mengetahui perbandingan hasil rimpang

kering dengan rimpang basah.

Tahap

pengemasan

dan pelabelan

1. Untuk keperluan komersil:

a. Menyiapkan bahan pengemas yang berupa plastik yang kedap udara.

b. Menimbang berat bersih untuk setiap kemasan.

c. Memberi silica gel agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.

d. Memberi label produk yang memuat informasi tentang nama produk, kegunaan

produk, tanggal kadaluarsa.

e. Menutup kemasan dengan menggunakan mesin press.

2. Untuk keperluan penyimpanan:

a. Menyiapkan bahan pengemas yang berupa plastik kantong karung yang kedap

udara.

b. Memasukkan bahan simplisia kedalam plastik, kemudian dibungkus di dalam

karung.

c. Memberi silica gel agar simplisia tetap kering dan tidak lembab.

d. Menutup kemasan dengan cara dijahit hingga rapat sehingga tidak

terkontaminasi udara dari luar.

e. Memberi label pada bagian luar kemasan yang memuat informasi tentang nama

produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, dan kadar air.

Tahap

penyimpanan

1. Bahan simplisia disimpan ke dalam gudang yang bersih, tidak lembab, dan tidak

dicampur dengan bahan lain.

2. Dilakukan pengamatan apabila simplisia yang telah lama disimpan dijemur

kembali untuk menjaga kadar air tidak melebihi 10%.

Page 316: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.2. Perancangan standard operating procedures (SOP) ... (Fakhrina Fahma, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.10

2. Lima penyimpangan mayor pada aspek:

a. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dimana Peralatan

yang tidak kontak/kontak langsung dengan produk yang tidak dibersihkan terlebih dahulu

sebelum dipergunakan (poin 2.2), misalnya penyangga widig dan rak penyimpanan.

b. Desain, lay out atau bahan yang digunakan untuk fasilitas menyebabkan fasilitas tidak dapat

dibersihkan dengan mudah atau disucihamakan; tidak mencegah terjadinya kontaminasi

(poin 3.2.1) dimana fasilitas berupa jamban/toilet tidak berventilasi, atap dan dindingnya

terbuat dari bambu, dan tidak dilengkapi dengan fasilitas pencuci tangan.

c. Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet (poin 4.2) dimana bahan-bahan

perlengkapan toilet tidak mencukupi.

d. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana

personil yang menangani makanan dan prosessing tidak menjaga kebersihan yang tinggi bagi

personil (poin 7.2) seperti tenaga kerja tidak memperhatikan kebersihan secara personil

seperti tidak mencuci tangan sebelum melakukan pekerjaan, sehat dan bebas dari luka,

merokok

e. Menghilangkan hama dari unit pengolahan pada upaya pengawasan binatang pengerat/

serangga tidak efektif (poin 8.2.1) dimana pencegahan seperti selalu menutup pintu gudang

tidak efektif selama gudang penyimpanan masih tercampur barang-barang lain.

3. Tujuh penyimpangan serius pada aspek:

a. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dimana peralatan

yang kontak langsung dengan produk yang tidak dibersihkan atau disucihamakan terlebih

dahulu sebelum digunakan (poin 2.1) seperti Mesin/alat produksi hanya dibersihkan saat

sesudah digunakan.

b. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan dimana peralatan yang rusak yang berhubungan

dengan produk tidak diperbaiki dengan benar atau tidak dipindahkan (poin 5.3.1) seperti

pisau pada alat perajang manual rimpang sudah berkarat namun tidak diganti dengan pisau

baru.

c. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan dimana terjadi kondensasi di ruangan yang

mempengaruhi produk atau material pengemasan (poin 5.4.1) yang terjadi kondensasi uap

pada gudang penyimpanan dimana dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar air pada

produk simplisia apabila disimpan terlalu lama di dalam gudang.

d. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana

personil yang menangani makanan dan prosessing tidak melakukan tindakan pengamanan

untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada makanan (poin 7.2) seperti tenaga kerja tidak

memakai sarung tangan/masker saat pengolahan.

e. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana

pengelola fasilitas tidak mempunyai peraturan yang berlaku untuk melarang orang yang

berpenyakit mengkontaminasi produk (poin 7.3.1) sebab tidak ada peraturan di klaster yang

melarang tenaga kerja yang sedang sakit untuk melakukan pengolahan

f. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dimana

tempat cuci tangan dan tempat mensucihamakan tangan tidak ada atau terletak di tempat

yang sulit dijangkau (poin 7.3.2) sebab hanya terdapat 1 keran air di daerah tempat

pengolahan dan tidak terdapat fasilitas pencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun.

g. Menghilangkan hama dari unit pengolahan dimana terdapat barang/benda/ tempat yang

menarik kehadiran hewan pengerat/serangga (poin 8.1) sebab kondisi tempat pengolahan

yang tidak cukup bersih dan gudang penyimpanan masih tercampur dengan hasil panen

padi dan jagung yang mengundang binatang pengerat.

4. Satu penyimpangan kritis pada aspek proteksi dari bahan-bahan kontaminan dimana langit-

langit, dinding, pintu atau penerangan dalam kondisi tidak terawat; lampu-lampu tidak

berpelindung pada daerah-daerah mempengaruhi produk atau bahan utama kemasan secara

langsung (poin 5.1.1) sebab kondisi langit-langit gudang penyimpanan produk kurang terawat,

jarang dibersihkan, lampu tidak ada pelindungnya.

Page 317: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.11

KESIMPULAN

1. Prosedur pasca panen pengolahan rimpang terdiri dari delapan tahap yaitu tahapan

pengumpulan bahan baku, pencucian, penyortiran basah, pencucian, perajangan, pengeringan,

pengemasan dan pelabelan, serta penyimpanan.

2. Dari hasil identifikasi GMP melalui delapan kunci sanitasi, terdapat 2 penyimpangan minor, 5

penyimpangan mayor, 7 penyimpangan kritis, dan 1 penyimpangan serius.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010. Identifikasi Potensi dan Prospek Pengembangan

Klaster Biofarmaka. Karanganyar : Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa

Tengah.

Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Jakarta

: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Direktorat Mutu dan Standardisasi Ditjen PPHP. 2009. Pedoman Penerapan Cara Penanganan

dan Pengolahan Pangan Segar Hasil Pertanian Yang Baik Jakarta: Direktorat Jenderal

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian.

Direktorat Mutu dan Standardisasi Ditjen PPHP. 2009. Pedoman Sertifikasi Dan Penilaian Cara

Penanganan Dan Pengolahan Pangan Segar Hasil Pertanian Yang Baik. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian.

Ekotama, Suryono. 2011. Cara Gampang Bikin Standard Operating Procedures. Jakarta : Media

Presindo.

EPA. 2007. Guidance for Preparing Standard Operating Procedures (SOPs). Washington DC :

United States Environmental Protection Agency.

Nurdjannah, Nanan. 2009. “Sistim Pengendalian Mutu Produk dan Peluang Implementasi Good

Agricultural Practices (GAP) Lada Hitam di Indonesia.” Perkembangan Teknologi TRO

Vol. 21. Hal. 7-14.

Page 318: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.3. Upaya peningkatan kualitas pada divisi cetak koran ... (Diana P. Sari, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.12

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PADA DIVISI CETAK KORAN

MENGGUNAKAN PENDEKATAN USE-PDSA DI PT MASSCOM GRAPHY SEMARANG

Diana Puspita Sari*)

, Heru Prastawa, Yuliana Rahmasari

Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik UNDIP

Jl.Prof. H. Soedarto, SH – Tembalang, Semarang *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

PT Masscom Graphy merupakan industri manufaktur yang bergerak di bidang percetakan.

Penelitian ini dilakukan di divisi cetak Koran, karena pada divisi ini persentase waste melebihi

target yang ditetapkan perusahaan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi akar penyebab

dan memberikan usulan perbaikan. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian yaitu

metode USE-PDSA (Understand, State, Evaluate, Plan, Do, Study and Act). Metode USE-

PDSA merupakan langkah-langkah analisis dan solusi masalah kualitas yang secara

sistematis, rasional, ilmiah, efisien, dan efektif dalam melaksanakan perbaikan

berkesinambungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar penyebab permasalahan adalah

penggantian plate, kertas putus dan kotor kurang setelan. Rekomendasi yang diusulkan adalah

perlu diadakan pelatihan bagi karyawan, perbaikan alat pada mesin cetak koran, dan

pemberian reward pada karyawan.

Kata Kunci : Divisi cetak koran , PT Masscom Graphy, USE-PDSA, Waste

PENDAHULUAN PT Masscom Graphy selalu menjaga kualitas koran baik dari segi isi berita maupun dari

segi cetakannya. Pada bagian proses produksi cetak koran, bagian Quality Control mempunyai

Standar Operasional Produksi (SOP) untuk memeriksa hasil cetakan koran. Jika terdapat hasil cetak

koran yang tidak memenuhi salah satu syarat SOP di atas, maka karyawan bagian Quality Control

akan mengambil hasil cetak koran tersebut. Cara terbaik agar dapat bersaing dan unggul dalam

persaingan global adalah dengan menghasilkan kualitas yang terbaik. Untuk menghasilkan kualitas

yang terbaik diperlukan upaya perbaikan berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses,

dan lingkungan. Kompleksitas persaingan suatu industri menyebabkan setiap perusahaan harus

selalu berusaha meningkatkan kualitasnya agar kepuasan pelanggan dapat terwujud. (Tjiptono &

Diana, 2003). Setiap produk dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam

suatu sistem/ lingkungan. Oleh karena itu sistem yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus

agar kualitas yang dihasilkan meningkat (Nasution, 2005). Peningkatan kualitas merupakan

tindakan-tindakan yang diambil guna meningkatkan nilai produk untuk pelanggan melalui

peningkatan efektivitas dan efisiensi dari proses dan aktivitas melalui organisasi. (Gaspersz, 2000)

Saat ini, divisi cetak koran menghadapi masalah mengenai persentase waste yang melebihi

target yang telah ditentukan perusahaan. Target yang telah ditentukan perusahaan yaitu sebesar 4%.

Berdasarkan studi pendahuluan pada divisi cetak koran, rata rata persentase waste selama bulan

November 2010 adalah sebesar 5.6 %. Angka ini menunjukkan bahwa persentase waste melebihi

target yang telah ditentukan perusahaan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini yaitu ingin

mengetahui akar penyebab masalah tersebut dan memberikan usulan perbaikan menggunakan

metode USE-PDSA.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan tiga sumber

data yaitu melalui observasi langsung di lapangan, wawancara dengan pihak perusahaan yang

terkait dengan objek penelitian yang diamati, dan studi literatur melalui buku-buku yang

berhubungan dengan peningkatan kualitas. Obervasi dilaksanakan di tempat proses produksi pada

divisi cetak koran di PT Masscom Graphy. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak

yang berhubungan dengan divisi cetak koran. Sedangkan untuk studi literatur didapatkan

melalui buku-buku dan jurnal.

Langkah-Langkah Implementasi Metode USE-PDSA yaitu:

Page 319: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.13

1. Understand

Langkah pertama adalah understand quality improvement needs. Perbaikan kualitas dapat dimulai

melalui identifikasi masalah kualitas yang terjadi atau kesempatan perbaikan yang mungkin dapat

dilakukan. Seyogianya manajemen dan karyawan sebagai satu tim kerja sama yang andal

memandang setiap masalah sbagai kesempatan untuk perbaikan kualitas. Pada dasarnya solusi

masalah berkaitan dengan peningkatan kualitas total QCSDM (Quality, Cost, Service/ Safety,

Delivery, Morale). (Gasperzs, 2007)

2. State

Langkah kedua adalah state the quality problem (menyatakan masalah kualitas yang ada). Masalah-

masalah utama peningkatan kualitas yang dipilih dalam langkah pertama, perlu dirumuskan dalam

suatu pernyataan yang spesifik, tegas, jelas, dan dapat diukur.

3. Evaluate

Langkah ketiga adalah evaluate the root cause (mengevaluasi akar penyebab masalah kualitas).

Akar penyebab masalah dapat dievaluasi menggunakan diagram sebab-akibat dan bertanya

“mengapa” beberapa kali, serta menggunakan teknik diskusi sumbang saran tim peningkatan

kualitas. Tim peningkatan kualitas perlu melakukan hal-hal berikut, yaitu mengidentifikasi semua

penyebab potensial dari masalah, menentukan akar penyebab yang paling mungkin dan

mengidentifikasi akar penyebab masalah yang sesungguhnya

4. Plan

Langkah keempat adalah plan the solution (merencanakan solusi masalah atau perbaikan kualitas).

Tim peningkatan kualitas perlu melakukan hal-hal berikut, yaitu : membuat daftar kemungkinan

solusi dan menentukan solusi yang terbaik

5. Do

Langkan kelima adalah do or implement the solution (melaksanakan atau menerapkan rencana

solusi terhadap masalah). Dua sublangkah berikut akan membantu tim peningkatan kualitas dalam

membantu menyusun rencana tindakan yaitu : membagi solusi menjadi tugas berurutan dan

menyusun rencana kemungkinan (Chang & Kelly, 1998)

6. Study

Langkah keenam adalah study the solution results (mempelajari hasil-hasil solusi masalah atau

perbaikan kualitas).

7. Act

Langkah ketujuh adalah act to standardize the solution (bertindak untuk menstandarisasikan hasil-

hasil solusi masalah atau perbaikan kualitas). (Gaspersz, 2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbaikan kualitas dapat dimulai melalui identifikasi masalah yang terjadi. Setelah

dilakukan studi pendahuluan melalui observasi langsung di lapangan, ditemukan bahwa terdapat

permasalahan yang terjadi di divisi cetak koran. Masalah tersebut yaitu persentase waste yang

melebihi target yang telah ditentukan perusahaan. Persentase waste tersebut merupakan masalah

prioritas yang harus segera ditangani karena berkaitan dengan QCSDM (Quality, Cost, Service/

Safety, Delivery, Morale). Kondisi tersebut sangat berpengaruh tidak hanya pada biaya produksi

yang meningkat tetapi juga kepada kepuasan pelanggan. Pengaruh terhadap kepuasan pelanggan

karena kualitas produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dan keterlambatan

datangnya koran sampai ke tangan konsumen.

Masalah utama atau proyek peningkatan kualitas yang telah dipilih dalam langkah pertama

yaitu tingginya persentase waste yang melebihi target perusahaan dan berkaitan dengan QCSDM,

perlu dirumuskan dalam suatu pernyataan yang spesifik, tegas, jelas, dan dapat diukur.

Berdasarkan data dari divisi Quality Control, terdapat data penyebab-penyebab waste

cetakan koran dari setiap mesin. Gambar 1 menunjukkan penyebab-penyebab waste cetak koran.

Page 320: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.3. Upaya peningkatan kualitas pada divisi cetak koran ... (Diana P. Sari, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.14

Gambar 1. Waste yang Melebihi Target Perusahaan

dengan Menggunakan Cause- Effect Diagram

Berdasarkan data penyebab-penyebab dari divisi cetak koran ditemukan frekuensi

(seringnya terjadi penyebab tersebut). Gambar 2 menunjukkan grafik frekuensi penyebab waste

yang ditampilkan melalui pareto chart.

Co

un

t

Pe

rce

nt

Penyebab

Count 3 3 2 2 2 2 2 1 1 147 1 1 1 1 1 1 1 1

Percent 29

35

22 8 7 6 5 4 2 2 2 1

13

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

11

1 1 1 1 1

Cum % 29 51 59 66

10

72 77 81 83 85 87 88 89 91 92

8

93 94 94 95 96 96 97 98 98 99

6

99 100

4

Oth

er

Pemotong

kor

an m

acet

Mem

pack

ing

plate blac

k

Mem

betulkan

posis

i plate

Kertas

ber

jalan tidak

sesuai

jalurn

ya

Katrol k

ertas mac

et

Inkform

mac

et

Gan

ti water

form

Coun

terv

eyor

mac

et

As ro

l pen

yan

gga

ku ra

ng k

uat

As pe

nyan

gga ro

l kur

ang an

gin

Register

ero

r

Men

yetel in

kform

Letak p la

te y

ang m

iring

Han

d le b

lank

et ber

gera

k se

ndiri

Gan

ti cu

tting

rubb

er

Pen fo

lder p

atah

Has

il ce

takan

kor

an tidak

fok

us

Men

cetak t

inta b

lok d

i cetak

an k

oran

Kertas

rol te

rlipa

t

Selang

angin b

ocor

Men

ggan ti

rol u

nit

Gag

al sp

lacing

Koto

r kur

ang setelan

Kertas

Putu s

Gan

ti Plate

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0

100

80

60

40

20

0

Pareto Chart of Penyebab

Gambar 2. Pareto Chart

Langkah berikutnya yaitu mencari akar penyebab masalah sesungguhnya melalui five whys

(Gaspersz, 2001). Dari langkah tersebut dapat mengetahui akar penyebab sesungguhnya yang

melatarbelakangi penyebab potensial tersebut. Beberapa penyebab, yang terpilih untuk dicari akar

penyebab sesungguhnya melalui five whys yaitu ganti plate, kertas putus, dan kotor kurang setelan.

Penyebab-penyebab yang paling potensial telah diketahui melalui pareto chart. Langkah

selanjutnya yaitu memberikan alternatif solusi yang dapat mengurangi waste yang terjadi pada

Page 321: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.15

divisi cetak koran. Solusi-solusi tersebut berasal dari tiap akar penyeba sesungguhnya yang telah

didapatkan melalui five whys. Pada tabel 1 menunjukkan alternatif solusi yang dapat digunakan

untuk mengurangi waste cetakan koran.

Tabel 1. Alternatif Solusi

No Akar Penyebab Alternatif Solusi

1 Tidak adanya pelatihan

bagi karyawan

Adanya pelatihan bagi karyawan

Perekrutan karyawan disesuaikan dengan keahlian

2 Belum adanya perbaikan

alat pada mesin

Perbaikan alat pada mesin

Penjadwalan perawatan pada setiap mesin

Pembelian mesin baru

Penggantian komponen pada mesin

Redesign lay out mesin

3 Tidak adanya sistem balas

jasa (reward) bagi

Pemberian reward bagi karyawan

Pemberian uang makan dan uang lembur tepat waktu

Langkah selanjutnya yaitu mendiskusikan alternatif-alternatif solusi untuk mengurangi

waste cetakan koran dengan tim peningkatan kualitas. Tim peningkatan kualitas yang terdiri dari

kepala divisi quality control dan staf-staf quality control. Pada tabel 2 menunjukkan pemilihan

alternatif solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi waste cetakan koran.

Tabel 2. Pemilihan Alternatif Solusi

No Akar Penyebab Alternatif Solusi Ranking Solusi yang

Dipilih

1 Tidak adanya

pelatihan bagi

karyawan

Adanya pelatihan bagi karyawan 1 √

Perekrutan kiaryawan disesuaikan

dengan keahlian

2

2 Belum adanya

perbaikan alat pada

mesin

Perbaikan alat pada mesin 1 √

Penjadwalan perawatan pada setiap

mesin

3

Pembelian mesin baru 5

Penggantian komponen pada mesin 2

Redesign lay out mesin 4

3 Tidak adanya

sistem balas jasa

(reward) bagi

karyawan

Pemberian reward bagi karyawan 1 √

Pemberian uang makan dan uang

lembur tepat waktu

2

Langkah berikutnya yaitu membagi solusi menjadi tugas berurutan. Membagi tugas yang

dimaksud yaitu setiap orang yang menjadi tim peningkatan kualitas mempunyai tugas masing-

masing untuk mengurangi waste yang terjadi pada divisi cetak koran. Pada tabel 3 terdapat

langkah-langkah rencana tindakan untuk mengurangi waste cetakan koran.

Tabel 3. Langkah-Langkah Rencana Tindakan

Gagasan Kunci Metode yang Mungkin

Mencatat orang yang

bertanggung jawab.

Adanya jadwal yang

disusun untuk

memulai aktivitas

perbaikan dari

persiapan sampai

akhir produksi.

RENCANA TINDAKAN

Apa Siapa Kapan

Pelatihan Staf QC

Mendata Mesin yang

perlu diperbaiki

Staf QC

Pemberian Reward Kepala Divisi QC

Page 322: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.3. Upaya peningkatan kualitas pada divisi cetak koran ... (Diana P. Sari, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.16

Setiap solusi mempunyai langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk mengurangi

waste pada cetakan koran. Berikut rencana tindakan tiap-tiap solusi:

Solusi 1: Pelatihan bagi karyawan

Gambar 3 menunjukkan diagram alir dari pelatihan karyawan.

Solusi 2: Perbaikan Alat pada Mesin

Gambar 4 menunjukkan diagram alir dari perbaikan alat pada mesin.

Solusi 3: Pemberian Reward pada Karyawan

Gambar 5 menunjukkan diagram alir dari pemberian reward pada karyawan

Menyusun rencana kemungkinan

Setiap rencana solusi yang akan diterapkan, pasti mempunyai ancaman dan kendala. Dari hal

tersebut, tim peningkatan kualitas harus melakukan pencegahan dan mendeteksi hal-hal apa saja

yang mungkin terjadi jika menerapkan solusi tersebut agar dapat mencegah hal-hal yang tidak

diinginkan. Berikut ancaman, cara mengahadapi, dan pencegahan yang mungkin terjadi pada tiap

solusi :

Solusi 1: Pelatihan bagi karyawan

Ancaman yang mungkin terjadi adalah tidak adanya semangat dari karyawan untuk melakukan

pelatihan kerja. Menghadapi ancaman yang mungkin terjadi dengan memberikan sistem balas jasa

bagi karyawan dapat berupa pemberian uang makan dan uang lembur bagi karyawan secara tepat

waktu. Pencegahan yang dilakukan untuk menghadapi ancaman yang mungkin terjadi adalah

dengan memberikan motivasi karyawan demi keberlangsungan perusahaan dan adanya anggaran

yang dipersiapkan untuk uang makan dan uang lembur bagi karyawan

Solusi 2: Perbaikan Alat pada Mesin

Gambar 3. Diagram Alir

Pelatihan bagi Karyawan

Gambar 4. Diagram Alir

Perbaikan Alat pada

Mesin

Gambar 5. Diagram Alir

Pemberian Reward pada

Karyawan

Page 323: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.17

Ancaman yang mungkin terjadi adalah anggaran untuk perbaikan mesin tidak segera direalisasikan,

saat di bengkel mesin, tidak langsung segera dilakukan perbaikan dan kurangnya koordinasi antar

satu divisi dengan divisi yang lain dalam melakukan perbaikan. Menghadapi ancaman yang

mungkin terjadi adalah dengan (a)segera melaporkan kepada tim manajemen dan kembali

memberikan penjelasan bahwa perbaikan alat mesin harus segera dilaksanakan demi kelancaran

produksi, (b) memberikan uang muka terlebih dahulu kepada pihak bengkel mesin dan memberikan

jaminan akan membayar tepat waktu dan (c) segera melakukan rapat koordinasi dan evaluasi

perkembangan rencana perbaikan. Pencegahan yang dilakukan untuk menghadapi ancaman yang

mungkin terjadi dapat dilakukan dengan (a) selalu mengontrol dana anggaran agar segera

diturunkan sesuai dengan kesepakatan yang ada, (b) setelah dana anggaran disiapkan, segera

menghubungi pihak bengkel mesin untuk mendaftar perbaikan mesin dan (c) adanya pembagian

tugas yang jelas dan diadakan rapat koordinasi untuk meninjau rencana perbaikan alat pada mesin

Solusi 3: Pemberian Reward pada Karyawan

Ancaman yang mungkin terjadi adalah anggaran untuk pemberian reward tidak segera

direalisasikan. Menghadapi ancaman yang mungkin terjadi dengan segera melaporkan kepada tim

manajemen dan kembali memberikan penjelasan bahwa pemberian reward harus dilaksanakan

kembali demi meningkatkan motivasi karyawan. Pencegahan yang dilakukan untuk menghadapi

ancaman yang mungkin terjadi adalah dengan selalu mengontrol dana anggaran agar segera

diturunkan sesuai dengan kesepakatan yang ada.

KESIMPULAN

Akar penyebab masalah waste pada divisi cetak koran di PT Masscom Graphy yaitu tidak

adanya pelatihan bagi karyawan, belum adanya perbaikan alat pada mesin dan belum adanya sistem

balas (reward) bagi karyawan. Usulan perbaikan untuk mengurangi waste di divisi cetak koran

yaitu yang pertama pelatihan bagi karyawan yang bekerja di proses produksi, yang dimulai dari

karyawan bagian CTP (Computer To Plate) sampai dengan karyawan bagian inspeksi hasil cetak

Koran, yang kedua perbaikan alat pada mesin penyambung kertas, laker, blanket, dan alat-alat lain

yang perlu diperbaiki. Sebaiknya karyawan mempunyai checklist mengenai alat-alat yang sedang

mengalami kerusakan, dan yang terakhir adanya pemberian reward bagi karyawan yang dapat

berupa pemberian intensif (bonus) bagi pekerja. Pemberian uang makan dan uang lembur harus

tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Richard Y. 1998. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah. Jakarta: PT Pustaka Binaman

Pressindo.

Gaspersz, Vincent. 2000. Total Quality Management Untuk Praktisi Bisnis dan Industri. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Gaspersz, Vincent. 2007. Organizational Excellence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gaspersz, Vincent. 2005. Team Oriented Problem Solving. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gaspersz, Vincent. 2001. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nasution, M.N. 2005. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Tjiptono, Fandy. & Diana, Anastasia. 2003. Total Quality Management. Yogjakarta: Penerbit

Andi

Page 324: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.4. Perencanaan kegiatan maintenace pada sistem pipe making line ... (Dyah I. Rinawati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.18

PERENCANAAN KEGIATAN MAINTENANCE PADA SISTEM PIPE MAKING LINE

DENGAN PENDEKATAN RELIABILITY CENTERED MAINTENANCE II

(STUDI KASUS PT INDONESIA STEEL TUBE WORKS SEMARANG)

Dyah Ika Rinawati*)

, Bambang Purwanggono, Eko Lisysantaka

Program Studi Teknik Industri Universitas Diponegoro

Kampus Undip Tembalang, Semarang 50275, Indonesia

Telp/ Fax : 024-7460052 *)

Email: [email protected]

Abstrak

Pada perusahaan mass production, terjadinya breakdown mesin dapat menimbulkan kerugian

bagi perusahaan karena adanya kehilangan kapasitas. Oleh karena itu perlu dilakukan

maintenance guna menurunkan frekuensi breakdown maupun tingkat keparahannya. PT

Indonesia Steel Tube Works (PT ISTW) telah menerapkan maintenance baik secara preventive

maupun corrective. Namun hingga saat ini PT ISTW belum bisa mencapai target breakdown

sebesar 0,5%. Lini yang memiliki tingkat breakdown yang tertinggi di PT ISTW adalah Pipe

Making Line. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rencana kegiatan maintenance guna

menjamin keandalan sistem pada Pipe Making Line berdasarkan modus-modus kegagalan

mesin dan konsekuensinya. Metode yang digunakan adalah Reliability Centered Maintenance

(RCM) II, dimana penilaian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif . Data yang

dikumpulkan antara lain modus dan efek kegagalan yang diperoleh dari hasil wawancara

serta manual vendor mesin, maintenance activity report dan machine history record yang

merupakan data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah perencanaan kegiatan maintenance

untuk modus-modus kegagalan yang terdiri dari scheduled discard task, on condition task, no-

scheduled maintenance dan usulan redesign.

Kata kunci: Maintenance, Reliability Centered Maintenance (RCM)

PENDAHULUAN

Mesin akan mengalami penurunan tingkat keandalan (reliability) apabila digunakan secara

terus menerus. Keandalan merupakan peluang suatu unit atau sistem berfungsi normal jika

digunakan menurut kondisi operasi tertentu untuk periode waktu tertentu. (Dhillon, 2007)

Meskipun demikian, tingkat keandalan dapat dijaga dan masa pakai mesin dapat diperpanjang

dengan melakukan penjadwalan maintenance mesin dengan baik. (Cahyono, 2005). Kegiatan

maintenance pada dasarnya terbagi menjadi dua kategori, yaitu preventive maintenance dan

corrective maintenance. Pemilihan kegiatan maintenance tersebut didasari atas sifat dari kerusakan

pada peralatan, apakah bersifat terprediksi atau tidak terprediksi.

Preventive maintenance merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengamatan secara berkala

terhadap performansi sistem dan telah direncanakan terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu

untuk memperpanjang kemampuan berfungsinya suatu peralatan. Preventive maintenance terbagi

dalam empat kategori yaitu time directed maintenance, condition based maintenance, failure

finding dan run to failure (no schedule maintenance). Sedangkan corrective maintenance

merupakan kegatan maintenance yang dilakukan setelah terjadinya kerusakan atau sistem tidak

dapat berfungsi dengan baik. Tindakan yang dapat diambil adalah berupa penggantian komponen

(corrective replacement), perbaikan kecil (repair), dan perbaikan besar (overhaul). (Priyanta, 2005)

PT. Indonesia Steel Tube Works Semarang (PT. ISTW) adalah sebuah industri manufaktur

yang bergerak dalam sektor industri pipa baja dengan produknya berupa black pipe, galvanized

pipe, dan mechanical tube. Sistem produksi pipa baja PT.ISTW dikelompokkan menjadi lima

sistem berdasarkan fungsi pada proses produksinya, yaitu Slitter Line, Pipe Making Line,

Galvanizing Line, Recutting Line, dan Packaging Line. Dari kelima sistem tersebut, Pipe Making

Line merupakan sistem yang memiliki kontribusi terhadap terjadinya breakdown. Dilihat dari

rekaman pada dua tahun terakhir, pada tahun 2009 persentase breakdown sebesar 0,69% dan tahun

2010 persentase breakdown sebesar 0,51%. Besarnya persentase breakdown yang masih belum

Page 325: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.19

sesuai target ini yakni sebesar 0,5 % disebabkan karena level keandalan dari sistem yang masih

rendah, sehingga terjadi breakdown ditengah-tengah waktu produksi.

Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menjamin ekspektasi dan menjaga keandalan

sistem Pipe Making Line (sub-sistem Mill) dalam menjalankan fungsinya. Metode yang digunakan

adalah Reliabiltty Centered Maintenance (RCM) II. Didalam RCM II juga terdapat fitur-fitur yang

membantu untuk merancang kegiatan perawatan dengan memperhatikan efek kegagalan yang

terjadi, selain terhadap kegiatan operasional, namun juga terhadap keselamatan pekerja dan

terhadap lingkungan sekitar. Hal ini sejalan dengan tujuan organisasi PT.ISTW yang juga

menerapkan ISO 14001 dan mempunyai target tinggi terhadap keselamatan kerja para

karyawannya, yaitu 1500 hari tanpa kecelakaan kerja. Sehingga dengan penerapan metode ini,

diharapkan akan terancang sistem yang handal dan aman.

METODOLOGI

Metode RCM II terdiri atas tujuh tahapan yaitu (Moubray, 2000):

1. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi

2. Definisi Batasan Sistem

3. Deskripsi Sistem dan Function Block Diagram.

4. Penentuan Fungsi dan Kerusakan Fungsional

5. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

6. Logic Tree Analysis (LTA)

7. RCM task selection

Adapun penjelasan masing-masing tahapan diuraikan sebagai berikut. Langkah awal

sebelum dilakukannya proses RCM II adalah penentuan sistem dan pengumpulan data berupa

history kerusakan mesin, data flow proses, mechanical catalog yang dapat membantu untuk

mengetahui jenis part dan sistem kerja peralatan secara jelas. Selanjutnya proses pendefinisian

batasan sistem, yaitu berupa penentuan input dan output dari masing-masing asset dalam sistem.

Proses ini sangatlah penting dan harus di definisikan secara jelas, agar fokus pengetahuan dan

pemikiran analis memiliki gambaran yang utuh dalam melakukan identifikasi dan mendefinisikan

fungsi dari sistem secara lengkap.Kemudian pembuatan Aset Block Diagram (ABD) dan Function

Block Diagram (FBD), tahap ini merupakan representasi pada level teratas dari penentuan fungsi

utama suatu sistem, Dengan teridentifikasinya In/Out interface pada Function Block Diagram,

maka akan dapat memberikan gambaran lengkap dari fungsi sistem.

Setelah seluruh informasi sistem pipe making line (mill 2) sudah tersusun dan terdefinisi dengan

jelas, maka selanjutnya dilakukan proses Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), untuk

mengidentifikasi modus-modus kegagalan dalam sistem hingga kemudian dapat dijelaskan efek

dari setiap kegagalan tersebut. Efek yang digambarkan dengan jelas dan luas akan membantu

memudahkan dalam menentukan konsekuensi dari masing-masing modus kegagalan. Dari proses

FMEA dapat dikuantitatifkan sebuah nilai Risk Priority Number (RPN) yaitu dengan mengalikan

nilai severity, occurrence, dan detection. Nilai RPN dapat digunakan untuk menentukan tingkat

kritis dari sebuah modus, nilai tersebut dapat dijadikan tambahan pertimbangan dalam menentukan

maintenance task yang paling sesuai.

Selanjutnya yaitu proses penentuan maintenance task dengan analisis konsekuensi

kegagalan berdasarkan Logic Tree Analysis. Keputusan maintenance dengan RCM II dibagi

menjadi proactive task dan default action. Langkah proactive task yaitu terdiri dari on condition

task berupa pemantauan secara berkala dengan analisis interval menggunakan potential failure

(PF), kemudian schedule restoration task berupa perbaikan secara berkala, dan schedule discard

task yaitu penggantian secara berkala. Keduanya dilakukan tanpa melihat kondisi mesin atau

komponen saat itu, interval perawatannya dapat ditentukan dengan mendefinisikan potential of

failure (PF) yaitu dengan analisis kehandalan berdasarkan data history kerusakan mesin.

Untuk dapat mendefinisikan waktu potential of failure, maka diperlukan data history yang

cukup untuk mengetahui pola distribusi kerusakan dari sebuah modus kegagalan. Uji distribusi

dilakukan terhadap waktu antar kerusakan (TTF) dan waktu lama perbaikan (TTR) yang ada pada

history card komponen mesin produksi dengan bantuan software Weibull ++ version 7.0. Setelah

didapatkan pola distribusinya, maka dapat ditentukan waktu interval potential of failure atau biasa

disebut mean time to failure (MTTF). Kemudian dengan parameter-parameter biaya repair (Cr),

Page 326: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.4. Perencanaan kegiatan maintenace pada sistem pipe making line ... (Dyah I. Rinawati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.20

biaya maintenance (Cm) dan mean time to repair (MTTR) dapat ditentukan interval waktu

maintenance yang optimal (TM) dengan meninjau dari segi minimasi biaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penjelasan singkat tentang proses kerja pada sistem pipe making line (mill 2) yang

digambarkan Functional Block Diagram (FBD) pada gambar 1. Kemudian proses FMEA dirunut

dengan mendefinisikan fungsi utama dan fungsi sekunder dari seluruh peralatan yang terlibat dalam

sistem tersebut begitupun kegagalan fungsinya, hingga akhirnya hasil identifikasi terdapat 14

fungsi dan 19 kegagalan fungsi dengan 36 bentuk modus kegagalan baik yang sudah pernah terjadi

maupun mempunyai potensi dapat terjadi. Dari hasil penghitungan nilai RPN didapatkan sebuah

modus yang keluar dari nilai batas toleransi kritis yaitu modus oil seal pompa hydraulic un-coil

bocor dengan nilai RPN sebesar 32 dan memiliki konsekuensi terhadap keselamatan. Modus lain

yang memiliki nilai RPN cukup tinggi dengan 24 poin adalah modus bearing main shaft saw blade

cutting rusak dan chain cutting kendur, kedua modus ini memiliki konsekuensi terhadap kondisi

operasional pabrik.

Gambar 1. Functional Block Diagram Sistem Pipe Making Line

RCM II decission worksheet digunakan untuk menentukan dampak atau konsekuensi yang akan

timbul jika kerusakan terjadi, dan tindakan proactive maintenance untuk mencegah atau

meminimalisir dampak yang timbul ketika kerusakan terjadi. Untuk menentukan concequence dan

proactive task pada setiap komponen dengan failure mode yang berbeda, maka digunakan decision

diagram yang merupakan diagram dalam RCM II untuk menentukan concequence dan proactive

task yang akan diberikan. Tabel 1 menunjukkan perencanaan kegiatan maintenance untuk sistem

pipe making line (Mill 2).

Tabel 1. Rencana Kegiatan Maintenance Sistem Pipe Making Line (Mill 2)

Modus Kegagalan Rencana Kegiatan Maintenance Initial

interval

Pin chuck patah uncoil Do the on-condition task : Check diameter pin chuck

(80mm)

1 bulan

Motor hydraulic pump

uncoilterbakar

Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa),

panas, dan suara

1 hari

Coil piston shaft solenoid valve

uncoil terbakar

Do the on-condition task : Check level temperatur oli

(400 C)

1

minggu

Page 327: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.21

Modus Kegagalan Rencana Kegiatan Maintenance Initial

interval

Oil seal pompa hydraulik uncoil

bocor

Usulan Redesign : Sistem Pengaman Pencekam -

Pin chuck un-coil longgar Do the on-condition task : Check diameter pin chuck

(80mm)

1 bulan

Brake pinch roll 1 stuck No Scheduled Maintenance : Usulan penambahan SOP

untuk operator sebelum bekerja hendaknya memeriksa

instalasi listrik stasiunnya masing-masing

-

Contactor listrik pinch roll 1 putus Do the on-condition task : Check instalasi listrik 1

minggu

Shaft pneumatic solenoid valve

macet

Do the on-condition task : Check oiller 1

minggu

Shaft pneumatic solenoid valve aus Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa) 1

minggu

Silinder pinch roll tidak bekerja No Scheduled Maintenance : Operator segera melapor

ke bagian maintenance bila mendengar noise akibat

kebocoran line piping.

-

Coil piston hydrolic cylinder

terbakar

Do the on-condition task : Check temperatur oli (40*C) 1

minggu

Nozle kotor No Scheduled Maintenance : Usulan SOP untuk

pembersihan ujung nozle setiap kali selesai digunakan

oleh operator

-

Operator kurang terampil No Scheduled Maintenance : (Usulan pembuatan SOP

kerja grinding)

-

Motor gear box trip Do the on-condition task (check oiller) 1

minggu

Air cylinder tidak bekerja No Scheduled Maintenance : Operator segera melapor

ke bagian maintenance bila mendengar noise akibat

kebocoran line piping.

-

Shaft pneumatic valve solenoid

macet

Do the on-condition task : Check oiller 1

minggu

Resistor putus No Scheduled Maintenance : Usulan pembuatan SOP

dalam pengaturan speed kepada operator

-

Shaft pneumatic solenoid aus Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa) 1

minggu

First gear pada gear box patah Do the on-condition task : Check gear box oil circulation

(pressure oil 2-3 Kg/cm2)

1

minggu

Induction motor terbakar Do the on-condition task : Check current (400 A) 1

minggu

Work coil kotor No Scheduled Maintenance : Usulan SOP (Sebelum

melakukan pemasangan work coil, operator harus

memastikan keadaan work coil dalam kondisi bersih dan

baik)

-

Insulating work coil terkelupas No Scheduled Maintenance : Usulan SOP (Sebelum

melakukan pemasangan work coil, operator harus

memastikan keadaan work coil dalam kondisi bersih dan

baik)

-

Impeder rusak No Scheduled Maintenance : Usulan SOP (Sebelum

melakukan pemasangan impeder, operator harus

memastikan keadaan impederl dalam kondisi baik dan

sesuai ukuran)

-

Heat exchanger kotor Do the on-condition task : Check water pressure (4,5

kg/Cm), Pembersihan heat exchanger / flushing

1 bulan

Water pump terbakar Do the on-condition task : Check water temperature

(40*C)

1

minggu

Induction motor terbakar Do the on-condition task : Check current (400 A) 1

minggu

Page 328: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.4. Perencanaan kegiatan maintenace pada sistem pipe making line ... (Dyah I. Rinawati, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.22

Modus Kegagalan Rencana Kegiatan Maintenance Initial

interval

First gearbox patah Do the on-condition task : Check gear box oil circulation

(pressure oil 2-3 Kg/cm2)

1

minggu

Setting adjuster dan balance tidak

sesuai

No Scheduled Maintenance : (Usulan pembuatan SOP

setting adjuster dan balance untuk operator)

-

Spray gun buntu No Scheduled Maintenance : Sebelum proses operator

hendaknya mengecek ujung gun terlebih dahulu

-

Unit rangkaian elektronik terbakar Do the on-condition task : Check instalasi listrik 1

minggu

Motor encoder rusak Do the on-condition task : Check cutter panel (voltage

370-405)

1

minggu

Motor hydraulic pump terbakar Do the on-condition task : Check pressure (5-7Mpa),

panas, dan suara

1 hari

Coil piston shaft solenoid valve

terbakar

Do the on-condition task : Check level temperatur oli

(40*C)

1

minggu

V-belt rusak No Scheduled Maintenance : Usulan untuk mencatat

identifikasi Potential FailureV-belt

-

Ball bearing main shaft rusak Do the scheduled discard task : Penggantian bearing

6312

46 hari

Chain cutting kendur Do the scheduled discard task : Penggantian chain

cutting R-S 80

108 hari

Penentuan interval pada proposed on condition task dapat ditentukan dengan

mendefinisikan dan analisis potential failure (PF) secara jelas, semakin detail analisis PF maka

akan semakin teliti tingkat intervalnya, initial interval yang digunakan didapatkan dengan

menghitung ½ dari interval PF. Untuk modus oil seal hydraulic pump bocor masih belum dapat

dipastikan secara tepat kondisi potential failure-nya, sehingga terlalu beresiko apabila dilakukan

on-condition task. Maka pada modus ini diusulkan untuk dilakukan redesign menilik dari

konsekuensinya terhadap keselamatan pekerja dengan nilai RPN 32. Usulan redesign yaitu dengan

memberikan alat pengaman berupa alat mekanis tambahan dengan sensor waktu yang secara

otomatis akan memberikan tekanan setiap 15 detik sekali kepada hydraulic pump, agar cekaman

yang melonggar segera kembali diberikan tekanan secara otomatis hingga dapat mencekam slitted

coil kembali.

Untuk modus ball bearing main shaft rusak dan chain cutting kendur diberikan usulan

kegiatan maintenance dengan scheduled discard task karena waktu potential failure yang cukup

cepat. Namun dengan data history yang cukup dapat ditentukan nilai probability of failure-nya.

Pola distribusi kegagalan dari kedua modus tersebut adalah weibull dengan 3 parameter. Nilai

parameter beta komponen ball bearing 6312 (β>1) yaitu sebesar 1,9506. Hal ini berarti bahwa

komponen tersebut termasuk dalam IFR (Increasing Failure Rate), yaitu komponen yang fungsi

kerusakannya akan meningkat seiring bertambahnya umur komponen. Sedangkan nilai parameter

beta Chain Cutting RS-80 (β<1) yaitu sebesar 0,927 sehingga kerusakan komponen termasuk

kedalam komponen DFR (Decreasing Failure Rate) yang berarti fungsi kerusakannya (failure rate)

menurun dengan semakin lamanya komponen tersebut dipakai. Dari nilai tersebut dapat dijadikan

dasar penentuan interval penggantiannya sebelum akhirnya terjadi kegagalan. Berikut ini adalah

hasil perhitungan nilai reliability dan probability of failure waktu TM (interval penggantian

optimal) dibandingkan nilai MTTF (mean time to failure). (tabel 2.)

Tabel 2. Perbandingan Nilai Reliability TM dan MTTF Bearing 6312 dan chain cutting RS-80

Modus Parameter Nilai Reliability Probability of Failure

Bearing 6312 TM* 1120 jam 0,97 0,03

MTTF 4912 jam 0,45 0,55

Chain cutting RS-80 TM* 2611 jam 0,82 0,18

MTTF 6309 jam 0,35 0,65

Page 329: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.23

Perbandingan biaya antara maintenance dengan preventive maintenance menggunakan TM

dengan corrective maintenance diberikan pada tabel 3. Berikut.

Tabel 3. Perbandingan Ekspektasi biaya maintenance

menggunakan interval penggantian/ TM dengan biaya corrective maintenance.

Komponen Biaya penerapan interval penggantian

(Tc(1120))

Biaya corrective

maintenance (CR)

Bearing 6312 Rp. 1.110.569,6 Rp. 21.811.657 / breakdown

chain cutting RS-80 Rp. 3.583.806,38 Rp. 18.738.865/ breakdown

Dengan menggunakan waktu maintenance optimal (TM) ini, maka penggantian pada

komponen akan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga dapat meminimalisir biaya yang

dikeluarkan untuk kegiatan maintenance dibandingkan dengan secara corrective.

KESIMPULAN

1. Terdapat 36 modus kegagalan dalam sistem pipe making line (mill 2). Dari hasil penilaian

risiko dengan RPN menunjukkan bahwa komponen kritis yang perlu mendapatkan prioritas

adalah kerusakan fungsi (functional failure) pada oil seal pompa hydraulic un-coil bocor,

dengan nilai RPN 32 serta modus bearing main shaft saw blade cutting rusak dan chain cutting

kendur berada pada urutan kedua dan ketiga dengan nilai RPN 24.

2. Kebijakan maintenance yang diusulkan untuk menghadapi modus-modus kegagalan

didasarkan pada konsekuensi yang dihasilkan, adalah sebagai berikut:

a) Kebijakan scheduled discard task digunakan untuk menghadapi modus bearing main shaft

saw blade cutting rusak dan chain cutting kendur, karena telah dapat diidentifikasi waktu

probability of failure-nya, sehingga dapat ditentukan TM yang optimal.

b) Untuk kebijakan on-condition digunakan pada modus-modus yang memiliki kondisi PF

yang jelas dan terukur, terdapat 21 modus yang menggunakan kebijakan ini.

c) Kebijakan no-scheduled maintenlance diterapkan pada modus-modus yang belum dapat

diidentifikasi secara detail dan konsisten kondisi PF-nya, serta untuk modus yang tidak

memiliki konsekuensi apapun bila terjadi kegagalan. Terdapat 12 modus yang diterapkan

pada kebijakan ini.

d) Usulan redesign diberikan pada modus oil seal pompa hydraulic un-coil bocor karena PF-

modus ini susah untuk dideteksi dan berpengaruh terhadap keselamatan kerja operator.

3. Dalam penentuan interval untuk maintenance task jenis on condition, didasarkan pada

potensial failure (PF). Untuk maintenance task jenis scheduled discard task yaitu pada modus

Bearing Main Shaft Saw Blade Cutting Rusak dan Chain Cutting Kendur ditentukan dengan

analisis keandalan untuk menentukan waktu maintenance optimal dengan mempertimbangkan

biaya maintenance dan biaya perbaikan, yaitu 1120 jam untuk penggantian komponen bearing

6312 pada Shaft Saw Blade mesin Cutting dan 2611 jam untuk penggantian komponen Chain

Cutting RS-80.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami sampaikan terima kasih kepada Program Studi Teknik Industri yang memberikan dukungan

kepada penulis untuk mengikuti seminar Seminar Nasional Sains dan Teknologi 3.

DAFTAR PUSTAKA

B.S, Dhillon, 2007, Engineering Maintenance: A Modern Approach, CRC Pres LLC, N.W.

Corporate Blvd, Boca Raton, Florida

B.T, Cahyono, 2005, Manajemen Produksi, IPWI, Jakarta

Moubray, John, 2000, Reliability Centered Maintenance II second Edition, Industria Press Inc.New

York, New York

Priyanta, Dwi, 2005, Introduction to Reliability Centered Maintenance (RCM) Workshop,

MAPREC (Maintenance and Production Reliability Conference), Jakarta

Page 330: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.5. Optimasi kuantitas dan jenis produksi ... (Ratnanto Fitriadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.24

OPTIMASI KUANTITAS DAN JENIS PRODUKSI

SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEUNTUNGAN PERUSAHAAN

Ratnanto Fitriadi*), Indah Pratiwi, Rudi Teguh Aryanto

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jl. A.Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Proses optimasi adalah untuk menentukan kombinasi yang merupakan solusi yang optimal terhadap

permasalahan yang bersifat trade off. Objek pada penelitian ini adalah perusahaan “SSS” di Solo

yang memproduksi bermacam-macam timbangan sebagai alat ukur. Permasalahan perusahaan

adalah multi objective yaitu mempunyai beberapa tujuan, diantaranya untuk memenuhi semua

order, memaksimalkan utilitas resources, meminimalkan biaya produksi dan pemakaian material,

yang pada akhirnya penentuan kombinasi dari jumlah dan jenis produk diharapkan memaksimalkan

keuntungan. Langkah pertama setelah mengidentifikasi permasalahan adalah membuat model/

persamaan matematis, selanjutnya adalah proses pengumpulan dan pengolahan data yang

diperlukan sebelum melakukan tahap optimasi. Dalam menentukan fungsi tujuan perusahaan

diperlukan proses pembobotan dan perankingan, hal ini menunjukkan proses interaktif yang

mengakomodasi preferensi dari manajemen perusahaan. Dengan pendekatan condorcet secara

sederhana kepentingan perusahaan dari beberapa perspektif dapat diakomodasi dan dengan

mudah dapat dirubah pembobotannya sebagai langkah yang interaktif dan fleksibel

(seandainya ada kebijakan baru dari perusahaan). Data yang digunakan diantaranya adalah

data jumlah permintaan, harga bahan baku, proses produksi, biaya produksi yang meliputi

biaya tenaga kerja, biaya listrik, biaya kerja lembur, biaya bahan baku dan bahan pembantu.

Pengumpulan data dilakukan dengan proses observasi, interview dan dokumentasi. Hasil

penelitian dapat diketahui bahwa kombinasi produk yang optimal untuk memenuhi kebutuhan

pesanan adalah produk timbangan dacin 110 yang harus dibuat sebanyak 1.683 unit; produk

dacin 50 sebanyak 1.675 unit; produk meja DXO sebanyak 2.517 unit; produk meja ariesta

sebanyak 2.433 unit; produk sentisimal 500 sebanyak 883 unit; produk sentisimal 300

sebanyak 896 unit dan produk sentisimal 150 sebanyak 904 unit. Sehingga hasil penjualan

yang diperoleh adalah menunjukkan keuntungan yang dapat diraih oleh perusahaan.

Kata kunci: optimasi produk, timbangan, condorcet, multi objective

PENDAHULUAN Proses optimasi pada penelitian ini merupakan masalah pengambilan keputusan (decision

making) yang merupakan kebijakan perusahaan dalam menentukan kapasitas produksi dan variasi

jenis produk untuk pesanan ataupun stok. Permasalahan pengambilan keputusan yang bersifat multi

objective pasti akan terjadi konfliktual antara fungsi tujuan yang akan dicapai (dan biasanya akan

terjadi trade off). Salah satu pendekatan yang lazim digunakan adalah goal programming yang

mendasarkan pada MCDM (multi-criteria decision making) untuk mencari solusi yang optimal.

Salah satu riset (Gupta, 2001) yang melakukan pendekatan dengan model goal

programming untuk menentukan batas toleransi yang diijinkan dari planned/unplanned inventory

dalam suatu lingkungan remanufacturing supply chain. Pada penelitian ini baru ditawarkan suatu

konsep dengan diberikan contoh persoalan pada proses disassembly komponen komputer. Pada

penelitian lainnya (Ciptomulyono, 2001) menggunakan model multi objective programming untuk

minimalisasi dampak lingkungan akibat pengembangan kapasitas sistem pembangkit listrik Jawa

Bali dengan pendekatan metode deviasi minimum. Penelitian ini mengupayakan solusi “optimal”

yang kompromis dengan memadukan fungsi objektif ekonomis (investasi) dan minimalisasi

produksi emisi.

Permasalahan utama pada penelitian ini adalah untuk memenuhi beberapa kepentingan

(multi objective) yaitu memaksimasi pendapatan (jumlah produksi) dan meminimasi biaya

produksi, dengan memperhatikan jumlah dan jenis order yang harus dipenuhi, kapasitas produksi

dan jumlah tenaga kerja, biaya dan ketersediaan bahan baku. Kondisi perusahaan “SSS” yang

memproduksi jenis-jenis produk timbangan (alat ukur berat) adalah ingin mengefisiensikan sistem

Page 331: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.25

produksi terkait dengan naiknya harga material, efisiensi utilitas produksi seperti penggunaan

mesin, listrik, dan tenaga kerja. Penentuan kuantitas dan jenis produk yang tepat terkait dengan

preferensi manajemen merupakan kombinasi yang akan diakomodasi dalam penelitian ini untuk

mendapatkan solusi yang optimal.

Konsep optimalisasi dalam multi-criteria decision making Banyaknya permasalahan yang muncul bagi pihak manajemen adalah kasus-kasus yang

bersifat tade off dimana peningkatan pemenuhan kepuasan pada satu sisi akan memberikan

konsekwensi penurunan kepuasan pada kepentingan lainnya. Preferensi dari pengambil kebijakan

merupakan factor yang harus terakomodasi dalam penyelesaian permasalahan multi objective.

Pendekatan konsep multi-criteria decision making (MCDM) akan mendefinisikan permasalahan

multi-objective dengan cukup aspiratif, beberapa alternatif solusi bisa dimunculkan dan beberapa

set kriteria bisa diakomodasi.

Penelitian lain tentang permasalahan pengambilan keputusan dengan konsep MCDM

adalah penggunaan fuzzi multiple atributes decision making pada persoalan yang bersifat kualitatif

tetapi di kuantifikasi dengan tetap mengakomodasi perbedaan penilaian yang imprecise seperti

tulisan (Kesimal dkk., 2002). Hal ini ditunjukkan fungsi tujuan dan rating/bobot nya tidak

dinyatakan secara tepat, contohnya adalah “large” profits, “fast” speed dan “cheap” price.

Pada artikel lainnya yaitu permasalahan model Multi Objective Goal Programming untuk

Optimasi Manajemen Kualitas Lingkungan Pencemaran Sungai Surabaya, (Ciptomulyono, 2001)

memaparkan integrasi metode Delphi dan prosedur AHP untuk mengidentifikasi dan menetapkan

prioritas obyektif/kriteria keputusan, yaitu pada pembobotan kriteria kebijakan energi nasional di

masa depan dari sisi preferensi mahasiswa Teknik Industri ITS tingkat akhir tahun 1997.

MOP Dengan Pendekatan Goal Programming Secara umum konteks pengembangan persoalan optimalisasi multi-objective programming

dari pendekatan goal programming dapat dibedakan menjadi dua yaitu goal programming

“terbobot” dan “préemptif” (Tabucanon, 1988).

Goal Programming Terbobot Pendekatan ini mencari suatu solusi yang sedekat mungkin mencapai level aspirasi yang

ditetapkan dengan cara meminimumkan jarak f j(x) dan f j.

Minimum ),()ˆ),(( pnDfxfd

Sedemikian sehingga :

gi (x)

bi , i = 1,2, … m

jjjj fpnxf ˆ)( j = 1,2, … k

jj pn , j = 1,2, … k

0lx l = 1,2, … n

Situasi berikut ini bilamana pengambil keputusan memberi preferensi untuk variabel deviasi

“over/under achievement” suatu obyektif, untuk itu preferensinya dapat diberikan ke dalam

pembobotan relatif wj+ , wj

- pada deviasi positif atau negatifnya pj , nj pada setiap obyektif

)(xf j sehingga diperoleh persamaan :

k

j

jjjjpnpnD ww

1

),( (1.1)

Goal Programming Préemptif Dalam model ini diperlukan urutan obyektif dalam kelas urutan/prioritas terbagi dalam K

kelompok, f1 , . . . . . . , fk menurut tingkat kepentingan obyektif masing-masing. Untuk setiap

kelas prioritas obyektif q, 1<q<k suatu urutan prioritas Pq bisa diurut berdasar urutan yang

pertama 1 sampai pada prioritas ke qi.

Page 332: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.5. Optimasi kuantitas dan jenis produksi ... (Ratnanto Fitriadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.26

Formulasi Goal Programming MOP memasukkan pertimbangan prioritas Préemptif, prioritas

dan bobot variabel deviasi positif dan negatif dirumuskan sebagai berikut :

Minimum

qjj

jjjj

k

q

q pnP ww1

(1.2)

Sedemikian sehingga :

gi (x)

bi , i = 1,2, … m

jjjj fpnxf ˆ)( j = 1,2, … k

jj pn , j = 1,2, … k

0lx l = 1,2, … n

Indeks keseluruhan fungsi obyektif yang terkait dengan prioritas ke q.

METODOLOGI PENELITIAN

Objek penelitian dilakukan di perusahaan pembuatan/perakitan timbangan PT. Timbangan

“SSS” yang berlokasi di Jalan Ki Mangun Sarkoro no 119, Sumber-Solo. Data-data dari perusahaan

yang diperlukan diantaranya adalah jenis produk, harga jual produk, waktu proses

pengerjaan produk, permintaan produk, kebutuhan bahan baku, harga bahan

baku dan bahan penolong lainnya, jumlah tenaga kerja, biaya tenaga kerja dan lembur,

jam kerja mesin, jumlah mesin, dan biaya listrik.

Selanjutnya data yang sudah terkumpul selanjutnya diolah untuk disiapkan menjadi

informasi yang berguna pada tahap perhitungan optimasi. Sebelum melakukan optimasi dilakukan

identifikasi penentuan tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu maksimasi pendapatan penjualan dan

minimasi biaya produksi.

Penetapan pembobotan dari fungsi tujuan ini dilakukan berdasarkan intensitas/ frekuensi

untuk perangkingan. Dalam hal ini, dilakukan wawancara terhadap pihak yang terkait dengan

pengambilan keputusan dari tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Adapun pihak-pihak

yang diminta preferensinya dalam perankingan condorcet adalah direktur perusahaan, manajer

administrasi, manajer pemasaran, manajer produksi.

Tahap berikutnya adalah optimasi dengan pendekatan goal programming terbobot untuk

mendapatkan solusi optimal berupa kombinasi jumlah produksi untuk setiap produk. Selanjutnya

analisa hasil perhitungan serta analisa terhadap beberapa skenario alternatif dan proses interaktif

preferensi.

Pengolahan Data

Data produk terbanyak yang diproduksi PT. TIMBANGAN “SSS” pada tahun 2010-2011

(tabel 1) dan data permintaan produk pada tabel 2. Tabel 3 menunjukkan kebutuhan bahan baku dan

penolong untuk tiap produk, hal ini untuk mengestimasi biaya material dan antisipasi persediaan

material. Selanjutnya bagian produksi memiliki total mesin yaitu 7 mesin potong, 7 mesin bor, 7

mesin bubut, dan 7 mesin label. Untuk data rata-rata waktu proses pengerjaan pada tabel 4 berikut.

Selanjutnya dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja regular dan borongan, serta rata-rata jam

lembur karyawan setiap bulannya maka estimasi biaya tenaga kerja dapat diestimasi. Biaya penggunaan

listrik disesuaikan dengan jam operasi mesin ditambah dengan pemakaian tetap.

Tabel 1. Data Jenis Produk No Produk Nama Produk

1 X1 Timbangan Dacin logam kekuatan 110 kg kuningan

2 X2 Timbangan Dacin logam kekuatan 50 kg kuningan

3 X3 Timbangan Meja 10 kg DXO piring kuning + AT 1,85

4 X4 Timbangan Meja 10 kg Besar Ariesta + AT 1,85

5 X5 Timbangan Sentisimal (CB) 500 kg + AT 1,85

6 X6 Timbangan Sentisimal (CB) 300 kg + AT 1,85

7 X7 Timbangan Sentisimal (CB) 150 kg + AT 1,85

Page 333: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.27

Tabel 2. Data Jumlah Permintaan

Bulan Produk

X1

Produk

X2

Produk

X3

Produk

X4

Produk

X5

Produk

X6

Produk

X7 Jumlah

Januari 1500 1700 2500 2400 900 950 950 10900

Februari 1500 1600 2500 2600 1000 900 850 10950

Maret 1800 1600 2500 2300 850 900 1000 10950

April 1900 1600 2400 2400 900 1000 900 11100

Mei 1600 1600 2300 2500 900 800 900 10600

Juni 1700 1800 2500 2500 950 800 950 11200

Juli 1700 1700 2600 2500 750 850 900 11000

Agustus 1500 1700 2500 2300 900 900 900 10700

September 1600 1600 2600 2300 850 1000 750 10700

Oktober 1700 1500 2600 2500 850 900 850 10900

November 2000 2100 2700 2500 950 950 1050 12250

Desember 1700 1600 2500 2400 800 800 850 10650

Rata-rata 1683 1675 2517 2433 883 896 904

Tabel 3. Data Kebutuhan Bahan Baku dan Penolong

Produk

Keb.Bahan

Baku

Kuningan

(Kg)

Keb.

Bahan

Baku

Besi

(Kg)

Keb.

Bahan

Penolong

Bandul

(Kg)

Keb.

Bahan

Penolong

Polo (Kg)

Keb.

Bahan

Penolong

Plat (Kg)

Keb.

Bahan

Penolong

Cor (Kg)

Keb.

Bahan

Penolong

AT (Kg)

Keb.

Bahan

Penolong

Kayu

(Kg)

X1 2.5 4.0 3.5 1.5 1.5 - - -

X2 1.5 2.0 3.0 1.0 1.0 - - -

X3 2.0 2.0 - - 2.0 2.0 1.85 -

X4 2.5 2.0 - - 2.0 3.0 1.85 -

X5 10 10 - - - 50 1.85 50

X6 8.0 8.0 - - - 35 1.85 50

X7 6.0 6.0 - - - 30 1.85 35

Pembobotan Fungsi Tujuan

Dengan pendekatan metode Condorcet untuk ke empat preferensi, yaitu mengumpulkan pilihan

dari masing-masing preferensi untuk kedua fungsi tujuan. Selanjutnya mencari nilai maximin yaitu nilai

maksimum dari yang terkecil jumlah pilihan tadi dinormalisasi untuk mendapatkan bobot kedua fungsi

tujuan yaitu 0,75 untuk maksimasi pendapatan dan 0,25 untuk minimasi biaya produksi.

Tabel 4. Data Rata-rata Waktu Proses

Proses Operasi Waktu Proses Operasi (menit/unit)

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

Pengukuran & Penyetripan 1 1 2 2 2 2 2

Pemotongan 1 1 3 3 5 5 5

Pembersihan 1 1 1 1 1 1 1

Pengeboran 2 2 3 3 5 5 5

Pembubutan 2 2 3 3 5 5 5

Perakitan 5 5 3 3 6 6 6

Pemberian Label 1 1 1 1 1 1 1

Pengepakan 2 2 2 2 5 5 5

Total 15 15 18 18 30 30 30

Sumber : Hasil wawancara bagian produksi di PT. TIMBANGAN “SSS”

Pengembangan Model Matematis

Formulasi dari tujuan perusahaan berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan sebelumnya,

diperoleh hasil sebagai berikut : Min Z = 0,75.S2 +0,25.S3

1. Sasaran memaksimalkan pendapatan penjualan.

Maximize :

400.000 X1 + 300.000 X2 + 400.000 X3 + 450.000 X4 + 1.400.000 X5 + 1.200.000 X6 +

Page 334: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.5. Optimasi kuantitas dan jenis produksi ... (Ratnanto Fitriadi, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.28

1.000.000 X7 + S1 - S2 > 6.492.750.000

2. Sasaran meminimalkan biaya produksi

Minimize :

297.286 X1 + 187.786 X2 + 224.611 X3 + 267.111 X4 + 1.239.309 X5 + 1.033.809 X6 + 813.309 X7 + S3 - S4 <

4.836.274.885

Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi adalah pemenuhan jumlah permintaan yang

tercermin dalam persamaan kendala sebagai berikut :

X1 > 1683 X5 > 883 S2 ≥ 0

X2 > 1675 X6 > 896 S3 ≥ 0

X3 > 2517 X7 > 904 S4 ≥ 0

X4 > 2433 S1 ≥ 0

Analisa Solusi Optimal

Solusi optimal dari hasil pengolahan data untuk kombinasi masing-masing produk yang harus

dibuat oleh perusahaan menunjukkan bahwa jumlah kombinasi produk yang harus dibuat adalah

produk X1 yang harus dibuat sebanyak 1.683 unit; produk X2 sebanyak 1.675 unit; produk X3

sebanyak 2.984 unit; produk X4 sebanyak 2.433 unit; produk X5 sebanyak 1.212 unit; produk X6

sebanyak 896 unit dan produk X7 sebanyak 904 unit.

Dengan kombinasi produk optimal yang diperoleh maka sasaran untuk memenuhi tujuan

satu yaitu memaksimalkan pendapatan penjualan terpenuh dengan memperoleh pendapatan

sebesar Rp. 7.140.150 dan tujuan meminimalkan biaya produksi terpenuhi yaitu sebesar Rp.

2.358.240 (rata-rata per bulan).

Analisa Sensitivitas

Untuk mengetahui perubahan dan melihat seberapa besar perubahan yang dapat

diterima oleh suatu parameter sebelum solusi optimal kehilangan optimalitasnya diperlukan suatu uji

sensitivitas. Ada empat alternatif yang akan diuji coba yaitu merubah biaya produksi dibawah

5% (alternative 1), merubah biaya produksi dibawah 10% (alternative 2), merubah biaya

produksi diatas 5% (alternatif 3) dan merubah biaya produksi diatas 10% (alternatif 4). Adapun

pergeseran nilai optimal dari fungsi tujuan terhadap perubahan biaya produksu untuk setiap

alternatif adalah seperti pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Hasil Optimasi uji sensitivitas

KESIMPULAN DAN SARAN

Kami sangat berterima kasih kepada pimpinan perusahaan khususnya Bapak Daniel

Nugroho, SE dan manajer produksi Bapak Herman yang telah membantu kami (saya dan rekan)

dalam melakukan pengamatan dan penelitian sederhana ini.

Kesimpulan:

1. Kombinasi produk yang optimal didapat dari pengolahan model goal programming adalah

produk X1 yang harus dibuat sebanyak 1.683 unit; produk X2 sebanyak 1.675 unit; produk X3

sebanyak 2.984 unit; produk X4 sebanyak 2.433 unit; produk X5 sebanyak 1.212 unit; produk

X6 sebanyak 896 unit dan produk X7 sebanyak 904 unit.

2. Metode goal programming mempunyai kemampuan untuk mencapai trade off antara aspek-

Page 335: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.29

aspek yang bertentangan sehingga sangat potensial digunakan untuk perencanaan produksi

yang merupakan masalah komplek karena mengandung tujuan yang berbeda.

3. Dari hasil analisa sensitivitas terlihat bahwa penelitian mengakomodasi perubahan-peubahan

alternatif dan perubahan kebijakan preferensi. Beberapa saran:

1. Dalam penelitian ini, variabel keputusan hanya berdasarkan volume timbangan, untuk

penelitian selanjutnya dapat memasukkan dimensi waktu, untuk mengetahui kapan harus

dilakukan produk.

2. Beberapa data yang berupa harga penjualan, harga material ada salah satu nilai kontanta pengali

yang disembunyikan (karena merupakan rahasia perusahaan, bisa berupa diskon dan biaya fixed

lain-lain yang hanya diasumsikan). Tetapi hal ini tidak mengurangi hasil optimasi untuk melihat

trend pendapatan dan biaya produksi perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Taha, Hamdy, 1996, Riset Operasi, Binarupa Aksara, Jakarta

Dimyati, Tjuju T. dan Dimyati, Akhmad, 2003, Operation Research: Model Pengambilan

Keputusan, Sinar Baru Algesindo, Bandung.

Gupta, Surendra M., and Kongar, Elif, 2001, A Goal Programming Approach to the

Remanufacturing Supply Chain Model, Laboratory for Responsible Manufacturing,

Departement of MIME Northeastern University Boston.

Ciptomulyono, U., 2001, Pengembangan Model Multi Objective Programming untuk Minimalisai

Dampak Lingkungan Pengembangan Kapasitas Pembangkit Listrik Sistem Jawa Bali,

Lembaga Penelitian ITS, Surabaya.

Kesimal, A., Bascetin, A., 2002, Application of Fuzzy Multiple Attribute Decision Making in

Mining Operations, Mineral Resources Engineering, 11, pp. 59-72.

Tabucanon, M.T., 1988, Multiple-criteria Decision Making in Industry, Elseiver Science Publishers

b.v.

Page 336: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.6. Analisis efektifitas reminding untuk meningkatkan kepuasan... (Suwarti dan Dwiana Hendrawati)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.30

ANALISIS EFEKTIFITAS REMINDING UNTUK MENINGKATKAN KEPUASAN

PELANGGAN (STUDI KASUS PT. TELKOM SEMARANG)

Suwarti, Dwiana Hendrawati

Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Kotak Pos 6199SMS, Semarang 50329

Telp.7473417,7499585(Hunting), Fax 7472396 email: [email protected]

Abstrak

Salah satu sektor bisnis pada jasa telekomunikasi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan

pesat adalah industri telekomunikasi.hal tersebut menjadikan persaingandi bidang

telekomunikasi semakin kuat.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa efektifitas

reminding untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.Semua perusahaan mempunyai pelanggan

sebagai sumber penghasilan. Reminding adalah mengingatkan ataupun memberitahukan

kepada pelanggan akan produk atau jasa yang digunakan agar pelanggan tetap loyal,

dengan adanya reminding pelanggan akan tahu hak dan kewajiban yang harus

dilakukan.Kepuasan pelanggan dapat menjadi dasar menuju terwujudnya konsumen yang

loyal. Tujuan perusahaan perlu diukur. apakah efektif atau tidak. Efektifitas bertujuan untuk

menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang diinginkan. Untuk menilai kualitas

jasa pelayanan PT. Telkom Semarang digunakan lima dimensi kualitas jasa yaitu reliability,

responsiveness,assurance, emphaty, tangibles. Metode penelitian yang digunakan adalah

deskriptif yaitu dengan penelitian studi kasus.Yaitu didasarkan data deskripsi dari suatu

status,keadaan, sikap,hubungan,atau suatu sistem pemikiran masalah yang menjadi obyek

penelitian. Dengan langkah-langkah mulai dari pengumpulan data,penyusunan dan analisis

data serta interpretasi dari data analisis. Rata-rata efektifitas kepuasan pelanggan dari kelima

dimensi pada PT. Telkom Semarang sebesar 71.115 berada pada rentang nilai skor 68 – 84

dengan kriteria efektif. Dengan demikian efektifitas reminding dalam kategori efektif untuk

meningkatkan kepuasan pelanggan studi.kasus PT. Telkom Semarang.

Kata kunci: reminding, Telkom, kepuasan .

1. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan era globalisasi, yang sangat pesat, menyebabkan persaingan

bisnis sangat ketat.Sehingga perlu mobilitas dan efektifitasyang tinggi. Efektifitas merupakan suatu

ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat tercapai,baik secara kualitas

maupun waktu.

Semua perusahaan mempunyai customer atau pelanggan sebagai sumber penghasilan

perusahaan.Sehingga pelanggan perlu dibuat loyal kepada produk ataupun jasa yang dipakai.

Selain itu diperlukan data pelanggan yang akurat untuk tetap loyal. Diperlukan tools yang

baik dan user friendly serta dapat diakses multiuser ,karena area pelanggan tersebar disemua titik

pelayanan yang paling cocok adalah berbasis web.

Reminding adalah mengingatkan atau memberitahukan kepada para pelanggan akan

produk atau jasa yang digunakan agar pelanggan tetap loyal..

Tujuan dari penelitian ini,yang merujuk kepada hal yang ada pada rumusan masalah

diatas yaitu: untuk menganalisa efektifitas reminding terhadap kepuasan pelanggan di PT.Telkom

Semarang.

2. LANDASAN TEORI

Reminding

Hal yang sangat mempengaruhi kebutuhan reminding adalah hubungan emosional antara

pelanggandan perusahaan.Reminding dilakukan untuk meningkatkan hubungan antara

perusahaandan pelanggan..Contohnya : PT Telkom memberitahukan kepada pelanggan bahwa

kecepatan speedy sekarang sudah 2 G.Reminding dilakukan karena kebutuhan

perusahaan,contohnya:remindingtunggakan rekening telepon. Makin tinggi hubungan emosional

antara perusahaan dengan pelanggannya ,maka makin rendah tingkat kebutuhan akan reminding.

Page 337: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.31

Ada beberapa macam reminding, diantaranya reminding call,reminding letter,visiting dan

juga bisa lewat iklan.Reminding call adalah pemberitahuan kepada pelanggan tentang beberapa hal

melalui telepon langsung kepada pelanggan,denganreminding call dapat terjadi interaktif antara

penelpon dan pelanggan. Remindingletter ,adalah pemberitahuan kepada pelanggan tentang

beberapa hal melalui surat.

Efektifitas

Pengukuran efektivitas sangat penting dilakukan. Tanpa dilakukannya pengukuran

efektivitas tersebut akan sulit diketahui apakah tujuan perusahaan dapat dicapai atau tidak. Menurut

Cannon, et al (2009) efektivitas bergantung pada sebaik apa medium tersebut sesuai dengan sebuah

strategi pemasaran yaitu, pada tujuan promosi, pasar target yang ingin dijangkau, dana yang

tersedia untuk pengiklanan, serta sifat dari media, termasuk siapa yang akan dijangkau, dengan

frekuensi seberapa sering, dengan dampak apa, dan pada biaya berapa besar. Kemudahan

pemahaman merupakan indikator yang penting dalam efektivitas pesan.Laskey et al (dalam

Indriarto, 2006) menyatakan bahwa efektivitas suatu iklan bergantung pada apakah konsumen

mengingat pesan yang disampaikan, memahami pesan tersebut, terpengaruh oleh pesan dan tentu

saja pada akhirnya membeli produk yang diiklankan.Efektivitas iklan juga dapat diukur dengan

menggunakan Epic model (Bram, 2005).Epic Model mencakup empat dimensi kritis yaitu empati

(empathy), persuasi (persuasion), dampak (impact) dan komunikasi (communications).

Efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang

diinginkan, kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan menentukan apakah

entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif lain yang memberikan hasil yang sama

dengan biaya yang paling rendah.

Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya.Apabila

suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan

dengan efektif.Hal terpenting yang perlu dicatat adalah bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang

berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut.Efektifitas hanya melihat

apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pengukuran efektifitas (Halim, 2001).

Kriteria efektifitas menurut Kepmendagri No. 690.900-327 tahun 1996 seperti yang dikutip

A.A.N.B. Dwiranda (http//ejournal.unud.ac.id) adalah sebagai berikut:

a. Lebih dari 100% = sangat efektif

b. 90% - 100% = efektif

c. 80% - 90% = cukup efektif

d. 60% - 80% = kurang efektif

e. Kurang dari samadengan 60% = tidak efektif

Kepuasan Pelanggan

Menurut Tse and Wilton (1988: p.207) dinyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan

pelanggan adalah respon pelanggan terhadap ketidakesuaian yang dirasakan antara harapan

sebelumnya dan kinerja aktual layanan setelah memakainya. Bila pelanggan merasa puas maka

akan memberikan dorongan yang besar untuk melakukan pembelian ulang begitu pula sebaliknya.

Spreng, Mackenzie and Olshavsky (1996: p.23) memperluas model Oliver (1993: p.77)

tentang kepuasan, yaitu pernyataan afektif tentang reaksi emosional terhadap pengalaman produk

atau jasa yang dipengaruhi oleh afeksi pelanggan oleh produk - produk tersebut. Shemwell; Yavas

and Bilgin (1998: p.161) secara tegas membedakan antara service quality dan customer

satisfaction, service quality merupakan bagian dari proses kognitif, sedangkan consumer

satisfaction merupakan bagian dari proses afektif. Lebih jauh lagi Shemwell, Yavas dan Bilgin

(1998- P.161) menyatakan bahwa antara service quality dan satisfaction mempunyai keterkaitan

yang erat.

Page 338: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.6. Analisis efektifitas reminding untuk meningkatkan kepuasan... (Suwarti dan Dwiana Hendrawati)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.32

Kepuasan pelanggan haruslah menjadi salah satu faktor terpenting dan menjadi muara kecil

dalam segala aktifitas pemasaran pada setiap perusahaan yang berorientasi kepada pasar (Jay

Kandampullly &Dwi Suhartanto, 2000). Pada awal tahun 90-an pengertian kepuasan pelanggan

diartikan sebagai penilaian pelanggan terhadap pengalamannya dan reaksinya pada setiap transaksi

yang dilakukan untuk pembelian produk, jasa dan pelayan , setelah berkembang pada tahun 1995.

Pengertian kepuasan pelanggan adalah menjadi lebih dalam lagi sampai menyentuh secara

keseluruhan dari pengharapan dan pengalaman yang diterimanya (Fornell et al 1996 dalam Line

Lervik Olsen, Feb 2003). Sedangkan Westbrook, Robert A dan Richard L. Oliver, l981 dalam Fuad

Mas'ud, 2004, menjelaskan dalam penelitiannya tentang indikator-indikator yang membentuk

kepuasan pelanggan, yaitu ; tingkat harga yang kompetitif; utilisasi produk, pengalaman yang

positif dalam bidang kepuasan konsumen (Olshavsky dan Spreng, 1989,Westbrook Can

Reilly,1983). Secara ringkas, menyatakan bahwa kepuasan keseluruhan yang ditentukan sebagai

keadaan yang efektif yaitu reaksi emosional terhadap suatu produk atau jasa (Cadotte, Woodrut dan

Jenkins, 1987, Umer 19801 diperigaruhi oleh kepuasan konsumen dengan produk itu sendiri

(attribute satisfaction) dan dengan informasi yang dipergunakan dalam pemilihan produk.

Pelanggan yang loyal belum tentu berarti puas.Sebaliknya pelanggan yang puas cerderung

untuk menjadi pelanggan yang loyal (Fandy Tjiptono, 1997). Menurut Tse and Wilton (1988:

p.207) dinyatakan bahwa kepuasaan atau ketidakpuasaan pelanggan adalah respon pelanggan

terhadap ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk

setelah memakainya. Bila pelanggan merasa puas maka akan memberikan dorongan yang besar

untuk melakukan pembelian ulang begitu pula sebaliknya.

Kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif

yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan (Engel,Blackwell and Miniard, 1993:

p.231). Model dikonfirmasikan harapan yang dikembangkan oleh Oliver (1993 : p.68) menyatakan

bahwa kepuasan keseluruhan ditentukan oleh ketidaksesuaian harapan, yang merupakan

perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.

Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepuasan dapat

dilihat dari beberapa indikator, yaitu: (1) kepuasan terhadap kemampuan untuk melaksanakan jasa

yang dijanjikan, (2) kepuasan terhadap kemampuan membantu pelanggan, (3) kepuasan terhadap

pengetahuan dan kesopanan, (4) kepuasan terhadap kepedulian pada pelanggan, dan (5) kepuasan

terhadap penampilan fasilitas fisik. Cronin and Taylor (1994: p.130) dalam penelitiannya berhasil

membuktikan bahwa kepuasan pelanggan ditentukan oleh penilaian pelanggan terhadap kualitas

pelayanan yang diberikan.

3. METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Sampel

Sampel adalah pemilihan subset unur-unsur dari kelompok obyek yang lebih besar (Churchill, 2005

: 7). Penentuan ukuran sampel pada penelitian ini adalah menggunakan rumus Yamane ( 1967,

yang dikutip oleh Rakhmat, 2001 : 78) sebagai berikut :

Keterangan :

n = ukuran sampel yang diinginkan

N = jumlah populasi

d = tingkat presisi

Berdasarkan rumus di atas dengan tingkat presisi 5%, maka diperoleh ukuran sampel sebagai

berikut :

)(dN1

Nn

2

Keterangan :

N = Besar populasi

n = Besar sampel

d= Tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan

Sumber: Soekidjo Notoadmodjo (2005;92) Maka,

)(dN1

Nn

2

Page 339: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.33

7043,71

5,3

250

5,21

250

(0,1)2501

250

)(dN1

Nn

2

2

Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini sebanyak

70 responden.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada data primer yang diperoleh dari hasil kuesioner dengan populasi

masyarakat yang berlangganan produk telkom, seperti telepon rumah, fleksi, speedy dan TV grovia

dan data sekunder yang didapatkan dari studi literatur , pustaka, serta laporan penelitian yang ada

hubungannya dengan penelitian penulis.

Metode Analisis Data

Dengan menggunakan skala likert,untuk keperluan analisis secara kuantitatif, jawaban kuesioner

diberi skor 1-5,untuk

sangat tidak setuju sampai sangat setuju.

Analisa data dilakukan dengan angka-angka dengan menggunakan metoda statistik.Dengan cara

melakukan penyebaran kuesioner kepada para responden.

Pengujian Data Atau Uji Validitas

Cara yang dipakai dalam menguji tingkat validitas adalah dengan variabel internal, yaitu menguji

apakah terdapat kesesuaian antara bagian instrumen secara keseluruhan. Rumus korelasi yang

digunakan adalah yang dikemukakan oleh Person yang dikenal dengan rumus korelasi product

moment (Arikunto Suharsimi, 2002:146) adalah sebagai berikut:

)()(

))((

2222 YYNXXN

yxxyNrxy

Keterangan:

rxy= Koefisien korelasi

N=Jumlah responden

X= Nilai skor butir/ skor tertentu

Y= Nilai skor total

∑X= Jumlah skor item

∑Y= Jumlah skor total

∑X2= Jumlah skor kuadrat nilai X

∑Y2= Jumlah skor kuadrat nilai Y

Kesesuaianrxy diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus di atas

dikonsultasikan dengan tabel harga regresi moment dengan korelasi harga rxy< dari rtabel maka butir

instrument tersebut tidak valid.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepuasan Pelanggan Secara Umum

Penilaian ini dilakukan terhadap seluruh dimensi kepuasan sebanyak 70 sampel pelanggan

yaitu dimensi tangible, reability, responsiviness, assurance, emphaty. Hasil perhitungan dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Page 340: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.6. Analisis efektifitas reminding untuk meningkatkan kepuasan... (Suwarti dan Dwiana Hendrawati)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.34

Tabel 3.1. Tanggapan Responden mengenai Kepuasan Pelanggan

No. Atribut Pelayanan Jumlah Indeks

1 Dimensi Tangible 446.25 74.38

2 Dimensi Relability 344.75 68.95

3 Dimensi Responsiviness 352.75 70.55

4 Dimensi Assurance 358.50 71.70

5 Dimensi Empaty 350.00 70.00

Jumlah 1852.25 355.575

Rata-rata 370.45 71.115

Berdasarkan pada tabel di atas rata-rata efektifitas kepuasan pelanggan pada PT Telkom

Semarang sebesar 71.115 berada pada rentang nilai skor 68 – 84 dengan kriteria efektif. Dalam hal

ini efektifitas reminding dalam kategori efektif dalam meningkatkan kepuasan pelanggan

studikasus PT. Telkom Semarang. Secara grafik dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

Gambar 3.1 Efektifitas Kepuasan Pelanggan studi kasus PT Telkom

5. KESIMPULAN

Berdasarkan atas hasil penelitian yang diuraikan diatas maka dapat diperoleh kesimpulan

bahwa efektifitas reminding dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dalam kategori efektif pada

study kasus PT Telkom Semarang.

DAFTAR PUSTAKA

Barata A.A. (2003). Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Engel, James F, Roger D. Blackwell and Paul W. Miniard, 1993.Consumer Behavior 6 th edition,

New York, Dryden Press.

Ellitan, Lena. 1999. Membangun Loyalitas Melalui Costumer Satisfaction dan Customer Oriented,

Kompak

Fandi Tjiptono, Strategi Pemasaran, Penerbit Andi Yogyakarta, 1999

Page 341: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.35

PERANCANGAN KINERJA SUPPLY CHAIN PADI PASCA PANEN

Mila Faila Sufa

Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Telp (0271) 717417 Surakarta 57102 Email : [email protected]

Abstrak

Pangan mempunyai arti yang sangat penting sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus

dipenuhi karena itu, pangan menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional.

Apabila ketersedaiaan pangan suatu bangsa tidak mencukupi dibandingkan kebutuhannya

maka dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi bangsa tersebut, selain itu berbagai gejolak

sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Di Indonesia pangan

diidentikkan dengan beras, karena beras merupakan makanan utama bangsa Indonesia pada

umumnya. Pemerintah Indonesia berupaya untuk menjaga ketersediaan beras sepanjang

tahun, dengan mendistribusikan beras secara merata dan menjaga harga beras agar tetap

stabil serta meningkatkan produksi dalam negeri (swasembada pangan).

Upaya pemerintah tersebut menjadi semakin kompleks mengingat pertambahan penduduk

Indonesia yang semakin besar dan tersebar di berbagai geografis serta memiliki keadaan

ekonomi yang bervariasi. Manajemen Rantai pasok beras perlu dilakukan, agar persediaan

beras cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negri. Penanganan pasca panen dan

manajemen rantai pasok perlu diperbaiki agar masyarakat memenuhi kebutuhan pangan

dengan harga relatif stabil. Jika persediaan beras terlalu sedikit maka kebutuhan masyarakat

tidak dapat dipenuhi yang dapat menimbulkan krisis pangan namun jika persediaan terlalu

besar, mengakibatkan pertambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh instansi berupa biaya

penyimpanan dan perawatan beras yang tidak tersalurkan, beban bunga bank, opportunity

loss dan kerusakan. Salah satu permasalahan pokok pada rantai pasok beras adalah masalah

distribusi yang diakibatkan oleh sulitnya akses informasi ketersediaan beras. Hal ini

menimbulkan masalah dalam distribusi padi berupa penumpukan beras maupun kekosongan

persediaan beras pada gudang yang lain. Jika hal seperti ini terus menerus terjadi, maka

dapat menimbulkan kerugian baik terhadap petani, konsumen dan semua pihak yang terlibat

dalam sistem rantai pasok beras. Fokus penelitian ini adalah merancang kerangka pengukuran

kinerja dalam supply chain beras yang didalamnya terlibat beberapa stakeholder antara lain

kelompok tani, pedagang dan konsumen. Sehingga dari rancangan ukuran kinerja ini nantinya

dapat diketahui seberapa baik kinerja elemen-elemen dalam supply chain padi dan dapat

ditingkatkan efektivitasnya untuk meningkatkan kepuasan stakeholder.

Key words : padi, supply chain, kinerja, customer, efektivitas

PENDAHULUAN

Pengelolaan supply chain tidaklah mudah karena melibatkan banyak pihak dari dalam

maupun dari luar perusahaan, selain itu kondisi yang tidak pasti dalam seluruh supply chain dan

semakin ketatnya kompetisi di pasar semakin menambah kompleksitas dalam manajemen supply

chain. Ketidakpastian dalam supply chain meliputi ketidakpastian permintaan dari konsumen dan

ketidakpastian suplai dari pemasok berupa lead time pengiriman, harga bahan baku dan resiko

kualitas yang buruk akibat proses dan cara pengiriman. Persediaan di sepanjang mata rantai

memiliki implikasi yang besar terhadap kondisi financial suatu perusahaan, hal ini ndikarenakan

persediaan merupakan asset terpenting dalam suatu supply chain sehingga keuangan perusahaan

banyak terserap di persediaan dalam berbagai bentuk dan fungsi. Tugas dari supply chain adalah

membentuk aliran material dan informasi yang tepat dalam arti tidak terlalu awal dan tidak

terlambat kedatangannya dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan. Beras sebagai makanan pokok

sebagian besar penduduk Indonesia merupakan komoditi agrobisnis yang vital. Pengelolaan

ketersediaan beras dapat didekati dengan pendekatan supply chain. Pemerintah berupaya untuk

menjaga ketersediaan beras dengan cara mengatur distribusi beras secara merata agar harga beras

tetap stabil dan meningkatkan produksi dalam negeri . Pertambahan penduduk Indonesia yang

semakin besar dan tersebar di berbagai geografis serta memiliki keadaan ekonomi yang bervariasi

menambah kompleksnya masalah distribusi beras. Manajemen supply chain beras perlu dilakukan

Page 342: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.7. Perancangan kinerja supply chain padi pasca panen (Mila F. Sufa)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.36

agar persediaan beras yang ada dapat memenuhi kebutuhan dalam negri. Pengadaan dan persediaan

beras ini perlu dipantau untuk menjamin ketahananpangan Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa penelitian tentang Supply Chain Management (SCM) telah banyak dilakukan, hal

ini mengingat pendekatan dalam SCM banyak digunakan dalam mencapai keuntungan kompetitif

dengan pertimbangan yang strategis. Tzafetas dan Kapsiotis (1994) menggunakan pendekatan

deterministik programn matematika untuk mengoptimalkan supply chain yang dilanjutkan denganh

teknik simulasi untuk menganalisa hasil numeric dari model optimisasi. Penelitian ini

menghasilkan tiga skenario yang berbeda yaitu :

1. Manufacturing Facility Optimization : objektif atau tujuan yang akan dicapai pada scenario ini

adalah minimasi total cost pada fasilitas produksi saja, biaya yang timbul selain dari fasilitas

produksi diabaikan.

2. Global Supply Chain Optimization : scenario ini mengasumsikan hubungan kerjasama pada

seluruh stage dalam supply chain dan tujuan yang akan dicapai adalah minimasi biaya

operasional seluruh chain dalam supply chain.

3. Decentralized Optimization : scenario ini bertujuan mengoptimalkan seluruh individu sekaligus

meminimalkan biaya pada tiap level dalam supply chain

Gambar 1. Proses Supply Chain

Secara umum kegiatan-kegiatan yang terkait dalam supply chain management terbagi

dalam empat tahap yaitu :

1. Kegiatan mendapatkan bahan baku (procurement)

2. Kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (planning and control)

3. Kegiatan melakukan produksi (manufacturing)

4. Kegiatan melakukan pengiriman/distribusi (distribution)

Komponen yang penting dalam desain dan analisa supply chain adalah penyusunan ukuran

kinerja. Sekelompok indicator kinerja adalah seperangkat alat ukur yang digunakan untuk

menentukan efisiensi atau efektifitas dari sebuah system yang ada, atau alat untuk membandingkan

beberapa alternatif system untuk mendapatkan yang terbaik. Indikator kinerja juga digunakan untuk

mendesain system dengan menentukan nilai dari variable keputusan yang menghasilkan level

kinerja yang diinginkan. Beberapa indicator kinerja yang telah diidentifikasi dari literatur terkait

dikelompokkan menjadi indikator kinerja kualitatif dan indikator kinerja kuantitatif.

1. Indikator kinerja kualitatif

Customer Satisfaction : derajat kepuasan konsumen terhadap produk atau servis yang

diterima, baik konsumen internal atau konsumen eksternal.

Flexibility: kemampuan supply chain merespon pola permintaan yang berfluktuasi

Information and Material Flow Integration : integrasi terpadu dari aliran informasi dan

aliran material dalam supply chain

Effective Risk Management : meminimalkan potensi terjadinya resiko pada tiap level

Page 343: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.37

Supplier Performance : terkait konsistensi supplier dalam menyuplai bahan baku pada

kondisi tepat waktu dan kondisi kualitas yang baik

2. Indikator kinerja kuantitatif

Indikator kinerja berbasis biaya, misalnya : cost minimization, sales maximization, profit

maximization, inventory investment minimization, return on investment maximization

Indikator kinerja berbasis customer responsiveness, misalnya : fill rate maximization,

product lateness minimization, customer response time minimization, lead time

minimization, function duplication minimization.

Beberapa rancangan indikator diatas dapat dikatakan berhasil jika sudah diterapkan dan

dipantau dalam pelaksanaannya, sedangkan ukuran keberhasilan dari manajemen supply chain pada

suatu organisasi adalah :

1. Meningkatkan profit

2. Menggurangi biaya

3. Memperpendek waktu pengiriman

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, hal ini dapat mempengaruhi ketahanan

pangan, ketidakstabilan politik dan dapat merambah masalah kesehatan. Beras sebagai bahan

pangan sebagian penduduk Indonesia dan merupakan salah satu komoditi agrobisnis hendaknya

dikelola dengan pendekatan supply chain untuk menjaga kesinambungan pasokan dan harga beras

di pasar. Agrobisnis merupakan komoditi yang unik dalam pengelolaannya karena sifatnya yang

mudah rusak yang dipengaruhi beberapa faktor yaitu persediaan dan pengangkutan, lamanya waktu

simpan, cuaca dan suhu. Ketersediaan beras juga terpengaruh oleh pengelolaan sumberdaya alam,

konservasi tanah dan air dan teknologi penanaman dan pengolahan beras, sistem produksi dan

pemasaran, struktur pasar yang bervariasi dan integrasi vertikal dan koordinasi vertical serta

agroindustrialisasi.

Persediaan Beras di

Sentra ProduksiDistribusi Beras ke

Pasar CipinangDistribusi Beras antar

Daerah Jawa Barat

+

-

+

-

Persediaan Beras di

Pasar Cipinang

+

Harga Beras di

Pasar Cipinang

-

Harga Beras di

Sentra Produksi

+

Produksi Gabah di

Sentra

+

Produksi Beras di

Sentra Produksi

++

+

-

Konsumsi Beras

Petani di Sentra-

Konsumsi Beras

Penduduk Jawa Barat

+

Ketersediaan Beras

di Jawa Barat

-

Persediaan Beras di

Jawa Barat

+

+

Populasi Penduduk

Jawa Barat

+

Tingkat Kelahiran di

Jawa Barat

+

-

Gambar 2. Contoh Close Loop system supply chain beras

PEMBAHASAN

Perubahan nilai dari komoditas padi pascapanen menjadi beras dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Gabah kering panen adalah hasil akhir dari produksi pertanian padi yang menjadi bahan

baku utama.

Page 344: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.7. Perancangan kinerja supply chain padi pasca panen (Mila F. Sufa)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.38

2. Gabah kering giling adalah bahan awal dari hasil olahan petani yang akan dimasukkan

dalam system penggilingan padi

3. Sekam adalah scrap atau sisa dari mesin pemecah padi pada penggilingan padi

4. Beras PK adalah output dari mesin pemecah kulit padi dan akan diolah ke proses berikut,

akan tetapi bukan merupakan komoditi bisnis.

5. Dedak atau bekatul adalah limbah dari mesin slyp industri dan merupakan komoditas bisnis

level kedua dari industri beras pascapanen.

6. Beras campur adalah output dari mesin slyp yang diolah ke proses berikutnya dan bukan

komoditas bisnis.

7. Beras rusak adalah scrap dari mesin pengayak pada system pengolahan padi dan

merupakan komoditas level ketiga dari industri padi pascapanen.

8. Beras baik adalah hasil dari mesin pengayak padi dan merupakan komoditas utama dari

system penggilingan padi.

Gambar 3. Value chain industri beras

Ukuran kinerja manajemen supply chain yang dapat diterapkan dalam industri padi pasca

panen :

1. On Time Delivery : prosentase order yang dapat terkirim sesuai dengan waktu yang telah

disepakati dengan Customer dibagi dengan total order yang diterima. Sedangkan order

yang hanya dapat dipenuhi sebagian maupun tidak tepat waktu adalah sisa

2. Customer Satisfaction & Loyalty : kepuasan Customer akan layanan, barang yang diterima

serta kesetiaannya untuk tetap berada dalam system yang ada

3. Business Cycle Time : jumlah hari barang di dalam sistem inventori sampai pengiriman

hingga jumlah hari sampai dengan pembayaran dari konsumen

4. Cost : delivery cost sampai konsumen dan cost efisiensi = (Value Added . Total cost of

adding the value) atau (Sales - Cost of Material) . (Labor Cost + Overhead)

Untuk menunjang proses aliran material dan aliran informasi yang terintegrasi dalam

supply chain industri beras pasca panen dapat memanfaatkan teknologi informasi sebagai

infrastruktur pendukung, diantaranya :

1. Pemanfaatan teknologi Internet, Web Application, Web Service

2. Pemanfaatan teknologi Mobile Network, GPRS, 3G

3. Pemanfaatan teknologi GPS

4. Penggunaan teknologi SQL, PHP sebagai application builder dan database enginee.

Di dalam manajemen supply chain beras melibatkan berbagai pihak didalamnya,

kesemuanya saling terkait dan mempunyai peran yang penting dalam supply chain beras. Pihak-

pihak yang terlibat (Stake holder) dalam manajemen supply chain padi pasca panen adalah :

1. Masyarakat (sebagai Customer 1)

2. Pengecer Beras/Outlet Beras/Koperasi Serba Usaha (sebagai Customer 2)

Page 345: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.39

3. Pedagang Besar Beras/ Dolog (Bulog) (sebagai Customer 3)

4. Perusahaan Penggilingan Padi (sebagai Supplier 1)

5. Kelompok Pengusaha/Koperasi Penggilingan Padi (Sebagai Supplier 2)

6. Koperasi Serba Usaha/BMT/Bank (sebagai Support System 1)

7. Warehouse Management System (WMS) (sebagai Support System 2)

8. Transportation Management System (TMS) (sebagai Support System 3)

9. Enterprise Resource Planning (ERP) (sebagai Support System 3)

KESIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari paper ini adalah pemilihan indikator kinerja

pada supply chain padi pasca panen masih dapat diperinci untuk tiap komoditas dan dapat

dirancang lebih spesifik untuk masing-masing stakeholder, sedangkan pemilihan teknologi

informasi untuk efisiensi aliran informasi dalam bidang mobile network connection adalah yang

mempunyai karakteristik dapat menjangkau pedesaan, murah, dan mudah digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Beamon, Benita M. (1998),”Supply Chain Design and Analysis : Models and Method”,

International Journal of Production Economics Vol.55 No.3 pp 281- 294

Khaled Sheikh (2004), Manufacturing Resource Planning (MRP II) with introduction to ERP,

SCM, and CRM. Mc.Graw Hill

Tzafestas, Spyros and George Kapsiotis (1994),” Coordinated Control of Manufacturing/Supply

Chains Using Multi-Level Techniques, Computer Integrated Manufacturing Systems

Wiyono, DS dan Sutopo, W (2009),”Perancangan Model Distribusi Komoditas Padi Pasca Panen

Berbasis Supply Chain Management”, Jurnal Teknik Industri Undip Vol IV No.2 Mei 2009

http://mediabelajarkoe.wordpress.com/2008/10 diakses 29 April 2012 jam 21.19

http://mediabelajarkoe.files.wordpress.com/2009/01/kapsel-3-wp.doc diakses 26 Mei 2012 jam

9.15

Page 346: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.8. Pengaruh faktor wujud, keandalan, ketanggapan, jaminan ... (Teguh H. Mulud dan Indung Sudarso)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.40

PENGARUH FAKTOR WUJUD, KEANDALAN, KETANGGAPAN, JAMINAN

DAN EMPATI TERHADAP KEPUASAN PRAKTIKAN DI LABORATORIUM

DISTRIBUSI ENERGI POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

Teguh Harijono Mulud(*1)

, Indung Sudarso(2)

(1)

Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang,

Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Semarang (2)

Jurusan Teknik Industri ITATS Surabaya.

Jl. AR Hakim 100, Surabaya *E-mail: [email protected]

Abstrak

Kebijaksanaan Politeknik Negeri Semarang yang berkaitan langsung dengan upaya

peningkatan kualitas layanan terhadap praktikan di Laboratorium Disitrbusi Energi adalah

dengan mengaplikasikan lima faktor yang meliputi, (1) faktor wujud (tangible), (2) keandalan

(reliability), (3) ketanggapan (responsivenes), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati

(emphaty). Diharapkan dengan melaksanakan kelima faktor tersebut, praktikan benar-benar

memperoleh kepuasan selama praktik di lab. Faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan

yang sangat erat dengan tingkat kepuasan praktikan, sehubungan dengan adanya keluhan

praktikan seperti belum terpenuhi kualitas dan kontinuitas praktik sesuai dengan target yang

diharapkan, peralatan praktik yang sudah aus, biaya praktik yang mahal, dan penanganan

keluhan praktikan dirasakan lambat. Uji anlisis dengan regresi linier berganda membutkikan

bahwa ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible), Keandalan (reliability) , Ketanggapan

(responsivenes), keyakinan (assurance), empati (emphaty) terhadap Kepuasan paktikan di lab

distribusi energi.

Kata kunci: kualitas pelayanan, kepuasan praktikan

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan Politeknik Negeri Semarang yang berkaitan langsung dengan upaya

peningkatan kualitas layanan terhadap praktikan di Laboratorium Disitrbusi Energi adalah dengan

mengaplikasikan reset Parasuraman, Leonard, Zeithaml dan Berry pada tahun 1991 (Mas’ud,

2004:431) pada lima faktor yang meliputi, (1) faktor wujud (tangible), (2) keandalan (reliability),

(3) ketanggapan (responsivenes), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati (emphaty). Diharapkan

dengan melaksanakan kelima faktor tersebut, praktikan benar-benar memperoleh kepuasan selama

praktik di lab. Faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tingkat

kepuasan praktikan, sehubungan dengan adanya keluhan praktikan seperti belum terpenuhi kualitas

dan kontinuitas praktik sesuai dengan target yang diharapkan, peralatan praktik yang sudah aus,

biaya praktik yang mahal, dan penanganan keluhan praktikan dirasakan lambat.

Fenomena ketidakpuasan praktikan di laboratorium distribusi energi antara lain: (1)

bertambahnya jumlah kelas menyebabkan jumlah jam mengajar/ beban dosen bertambah, beban

kerja yang tinggi menyebabkan kualitas mengajar turun, tidak disiplin dalam mengajar dan stamina

menurun, (2) bertambahnya jumlah kelas, frekuensi peralatan di laboratorium bertambah tinggi

sehingga dapat menyebabkan kondisi dan fungsi perabotan menurun yang tampak dari seringnya

kegagalan dalam pemakaian/ percobaan, dari banyaknya peralatan yang kurang berfungsi

mengganggu jalannya praktikum, (3) jumlah staf teknik tidak sebanding dengan jumlah kelas, jam

praktikan dengan waktu bersamaan berakibat pelayanan tidak optimal, (4) usia peralatan yang

sudah tua, (5) anggaran untuk perawatan dan perbaikan yang minim menyebabkan peralatan yang

rusak tidak dapat segera diperbaiki.

Dalam kaitannya dengan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan,

dalam hal praktikan, disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang

relatif dapat dikendalikan Polines, misalnya instruktor, jam karet, kesalahan prosedur penggunaan

lab. Sebaliknya, faktor eksternal yang di luar kendali Polines, seperti cuaca, gangguan pada

infrastruktur umum, aktivitas kriminal, dan masalah pribadi praktikan. Dalam hal terjadi

ketidakpuasan, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan praktikan, yaitu (1) tidak

Page 347: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.41

melakukan apa-apa, praktikan yang tidak puas tidak melakukan komplain, tetapi mereka praktis

tidak akan banyak mengambil manfaat dari kegiatan praktik di lab; (2) melakukan komplain, dan

hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang praktikan yang tidak puas akan

melakukan komplain atau tidak, yaitu (a) derajat kepentingan praktik yang dilakukan, (b) tingkat

ketidakpuasan praktikan, (c) manfaat yang diperoleh, (d) pengetahuan dan pengalaman, (e) sikap

praktikan terhadap keluhan, (f) tingkat kesulitan dalam melakukan praktik, (g) peluang

keberhasilan dalam melakukan praktik.

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh faktor wujud, keandalan ,

ketanggapan , jaminan dan empati terhadap kepuasan praktikan. Secara rinci masalah dalam

penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Seberapa besar pengaruh faktor wujud (tangible) terhadap kepuasan praktikan di laboratorium

distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?

2) Seberapa besar pengaruh faktor keandalan (reliability) terhadap kepuasan praktikan di

laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?

3) Seberapa besar pengaruh faktor tanggapan (responsivenes) terhadap kepuasan praktikan di

laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?

4) Seberapa besar pengaruh faktor keyakinan (assurance) terhadap kepuasan praktikan di

laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?

5) Seberapa besar pengaruh faktor empati (emphaty) terhadap kepuasan praktikan di

laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri Semarang?

6) Seberapa besar pengaruh faktor wujud (tangible), keandalan (reliability),

ketanggapan(responsivenes), keyakinan (assurance)dan empati (emphaty), secara bersama-

sama terhadap kepuasan praktikan di laboratorium distribusi energi Politeknik Negeri

Semarang?

METODE PENELITIAN

Mulai

Penentuan objek penelitian

Selesai

IDENTIFIKASI MASALAH 1. Masalah kualitas pelayanan 2. Masalah kepuasaan praktikan di lab Energi

Menghitung tingkat kualitas pelayanan

Menghitung tingkat kepuasan praktikan

Analisis regresi

Page 348: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.8. Pengaruh faktor wujud, keandalan, ketanggapan, jaminan ... (Teguh H. Mulud dan Indung Sudarso)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.42

Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan ex post facto. Lokasi penelitian di Politeknik

Negeri Semarang. Satuan pengamatan yang akan diteliti adalah para mahasiswa praktikan di

Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah

mahasiswa praktikan Politeknik Negeri Semarang. Besar populasi dalam penelitian ini adalah 160

orang mahasiswa terdiri atas 8 kelas (20 mahasiswa per kelas) dengan sampel 113 orang.

Dalam penelitian ini terdapat lima variable bebas dan satu variable terikat. Sebagai variable

bebas merupakan unsur kualitas pelayanan yaitu:

1. wujud (tangibel),

2. keandalan (reliability),

3. daya tanggap (responsiveness),

4. jaminan (assurance),

5. empati (empathy).

Adapun sebagai variable terikat yaitu kepuasan praktikan di laboratorium distribusi energi

Politeknik Negeri Semarang (Y)

1 Kualitas Pelayanan

Parasuraman, (1985;1988) mendefinisikan penilaian kualitas pelayanan sebagai

pertimbangan global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari suatu

pelayanan (jasa). Dengan kata lain, penilaian kualitas pelayanan adalah sama dengan sikap individu

secara umum terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa penilaian

kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah perbedaan antara persepsi dan harapan pelanggan.

Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya konsep gap (perception-

expectation gap) dan digunakan sebagai dasar skala SERVQUAL. Dari penelitian ini, penilaian

kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangibility, reliability,

responsiveness, assurance dan emphaty.

a. Wujud (tangibel), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap kemampuan

instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri Semarang yang

berkaitan dengan peralatan yang digunakan, fasilitas fisik di perusahaan, penampilan

karyawan yang bersih dan menarik, dan bahan-bahan yang berkaitan dengan layanan.

b. Keandalan (reliability), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap

kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri

Semarang yang berkaitan dengan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan,

senang hati dalam menyelesaikan masalah, memberikan layanan yang benar sejak pertama

kali, layanan tepat waktu, berusaha menghindari kesalahan.

c. Daya tanggap (responsiveness), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden)

terhadap kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik

Negeri Semarang yang berkaitan dengan pemberitahuan yang tepat ketika dibutuhkan,

pelayanan yang cepat, pemberian bantuan kepada mahasiswa praktikan, dan tidak merasa

terlalu sibuk untuk menanggapi mahasiswa praktikan.

d. Jaminan (Assurance), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap

kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri

Semarang yang berkaitan dengan upaya meyakinkan para praktikan, rasa aman dalam

melakukan praktik, bersikap ramah kepada pelanggan, dan mempunyai pengetahuan untuk

melaksanakan pekerjaan dengan baik.

e. Empati (empathy), diukur berdasarkan penilaian praktikan (responden) terhadap

kemampuan instruktur dan laboran Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri

Semarang yang berkaitan dengan perhatian secara individu kepada praktikan, mempunyai

jam kerja yang menyenangkan kepada semua praktikan, memberi perhatian kepada praktikan

secara pribadi, mengutamakan kepentingan praktikan, dan memahami kebutuhan khusus

para penggunanya.

2 Kepuasan pelanggan

Kepuasan konsumen adalah perasaan seseorang yang puas atau sebaliknya setelah

membandingkan antara kenyataan dan harapan yang diterima dari sebuah produk atau jasa (Kotler

2000:36). Indikator kepuasan praktikan dalam penelitian ini berkaitan dengan kualitas pelayanan di

Page 349: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.43

Laboratorium Distribusi Energi Politeknik Negeri Semarang kepada praktikan yaitu: (a) derajat

kepentingan yang dilakukan, (b) tingkat ketidakpuasan praktik, (c) manfaat yang diperoleh, (d)

pengetahuan dan pengalaman, (e) sikap praktikan terhadap keluhan, (f) tingkat kesulitan dalam

melakukan praktik, (g) peluang dalam melakukan komplain.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode:

dokumentasi dan angket.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda tiga

prediktor dengan rumus sebagai berikut.

Y = a + X1 + X2 + X3 + X4 + X5

Keterangan:

Y = kepuasan paktikan di lab distribusi energi

a = nilai konstanta

= koefesien regresi

X1 = wujud (tangible)

X2 = keandalan (reliability)

X3 = ketanggapan (responsivenes)

X4 = keyakinan (assurance)

X5 = empati (emphaty)

Menilai Goodness of Fit Model Regresi

Goodness of Fit dilakukan untuk mengukur ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir

nilai actual. Secara statistik, setidaknya dapat diukur dari nilai koefisien determinasi, nilai statistik

F dan nilai statistik t.

1) Koefesien determinasi

Koefesien determinasi atau r square digunakan untuk mengetahui besarnya variabel bebas dalam

mempengaruhi variabel terikat. Nilai koefesien determinasi adalah antara nol hingga satu. Nilai R2

yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat sangat

kecil. Nilai yang mendekat satu, bearti variabel-variabel bebas memberikan hampir semua

informasi yang dibutuhkan untuk menjelaskan variasi variabel terikat (Ghozali, 2005).

2) Uji Signifikansi Simultan (Uji statistik F)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas

dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/

terikat.

3) Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/

independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dijelaskan pada bab IV, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible) (X1), Keandalan (reliability) (X2),

Ketanggapan (responsivenes) (X3), keyakinan (assurance) (X4), empati (emphaty) (X5)

terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi (Y) secara simultan. Hal ini berdasarkan

uji ANOVA atau F test, F hitung (18,669) > F table (2,305). Kesimpulannya adalah Ho ditolak

dan Ha diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan kelima variabel bebas secara bersama-

sama terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi .

2. Tidak ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible) (X1) yang berupa: peralatan yang

digunakan, fasilitas fisik di perusahaan, penampilan karyawan yang bersih dan menarik,

bahan-bahan yang berkaitan dengan layanan terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi

energi (Y). Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (1,185) < t table (1,98).

3. Tidak ada pengaruh yang signifikan Keandalan (reliability) (X2) yang berupa: pelayanan

yang segera dan memuaskan, senang hati dalam menyelesaikan masalah, pelayanan yang

benar sejak awal, layanan tepat waktu, menghindari kesalahan terhadap Kepuasan paktikan di

lab distribusi energi (Y). Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (0,550) < t table (1,98).

4. Ada pengaruh yang signifikan Ketanggapan (responsivenes) (X3) yang berupa:

pemberitahuan yang tepat ketika dibutuhkan, pelayanan yang cepat, pemberian bantuan

Page 350: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.8. Pengaruh faktor wujud, keandalan, ketanggapan, jaminan ... (Teguh H. Mulud dan Indung Sudarso)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.44

kepada pelanggan, tidak merasa terlalu sibuk untuk menanggapi praktikan terhadap Kepuasan

paktikan di lab distribusi energi (Y). Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (-2,761) > t

table (-1,98).

5. Ada pengaruh yang signifikan Keyakinan (assurance) (X4) yang berupa: meyakinkan para

praktikan, merasa aman melakukan praktik, ramah kepada praktikan, mempunyai pengetahuan

melaksanakan pekerjaan dengan baik terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi (Y).

Hal ini berdasarkan perbandingan t hitung (3,300) > t table (1,98).

6. Ada pengaruh yang signifikan Empati (emphaty) (X5) yang berupa: perhatian kepada

praktikan, jam kerja yang menyenangkan kepada semua praktikan, perhatian kepada praktikan

secara pribadi, mengutamakan kepentingan praktikan, memahami kebutuhan khusus para

penggunanya terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi (Y). Hal ini berdasarkan

perbandingan t hitung (3,239) > t table (1,98).

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan Wujud (tangible),

Keandalan (reliability) , Ketanggapan (responsivenes), keyakinan (assurance), empati (emphaty)

terhadap Kepuasan paktikan di lab distribusi energi

DAFTAR PUSTAKA

Hope dan Muhlemann. 1997. Service operation Management: Strategy, Design and Delivery.

Printice Hall.

Khoiriyah, Siti. 2001. Pelatihan: Upaya Mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas

dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi. GEMA STIKUBANK Vol. 33, No. 4,

Agustus 2001:19-36

Kotler Philip.2003. Manajemen Pemasaran Edisi Kesebelas. Jakarta. PT. Prenhallindo.

Moh Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Palilati, Alida. 2007. Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap Loyalitas Nasabah

Tabungan Perbankan Di Sulawesi Selatan. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.

9, No. 1, Maret 2007: 73-81

Parasuraman, A., Zeithalm, V., dan Berry L., 1988. SERVQUAL: A Multiple item Scale for

Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retaliling.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Jakarta: Tarsito.

Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV Alfabeta.

Suharsimi Arikunto.1996. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Supranto J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar.

Jakarta : PT Renika Cipta.

Supranto, J. 1997, Mei. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan termasuk Analisis Tingkat

Kepentingan dan Kinerja. Usahawan..

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Tjiptono Fandy. 2000. Prinsip- Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta : Andi.

Tjiptono, Fandi dan Anastasia Diana, 2001, Total Quality Management, Penerbit Andi,

Yogyakarta.

Vincent Gaspersz. 2006. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement. Jakarta. PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Page 351: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.45

USULAN PERBAIKAN PROSES PRODUKSI BERDASARKAN

PENDEKATAN SISTEM HACCP (HAZARD ANALISYS CRITICAL CONTROL POINT)

(STUDI KASUS PEMBUATAN KUE KROKET DI TOKO ROTI DAN KUE ”RAPI”

SEMARANG)

Novi Marlyana*)

, Wiwiek Fatmawati, Nur Amalina

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri UNISSULA

Jl.Raya Kaligawe Km 4 Semarang *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Toko Roti dan Kue “RAPI” merupakan salah satu industri rumah tangga yang bergerak

dibidang makanan. Produksinya meliputi berbagai jenis kue dan roti. Untuk menjamin

keamanan atau higienitas produk makanannya Toko Roti dan Kue “RAPI” ini telah

mengantongi Surat Ijin DEPKES RI No. 315/11.04/94. Perbaikan proses dengan menggunakan

sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) ini diharapkan dapat melengkapi

standar yang ada dan dapat diaplikasikan kedalam sistem manajemen mutu sehingga

mendapatkan jaminan keamanan makanan yang sesuai dengan standar nasional maupun

internasional. Penerapan HACCP mengedepankan upaya preventive atau pencegahan,

dilakukan dengan jalan memperketat pengontrolan setiap tahapan titik kritis pada proses

pengadaan pangan hingga pangan dinyatakan aman dan terbebas dari kontaminan. Dalam

proses pembuatan kue kroket di Toko Kue dan Roti ”RAPI” ini ditemukan beberapa bahaya

(hazard) yang terjadi. Dengan penerapan HACCP akan menghasilkan produk kue kroket yang

memenuhi standar jaminan keamanan pangan.

Kata kunci : keamanan pangan, kue kroket, mutu, sistem HACCP

PENDAHULUAN Penerapan higienitas dalam industri makanan dan minuman sudah mulai banyak disadari

oleh para pelaku industri makanan dan minuman. Higiene adalah kondisi dan perlakuan yang

diperlukan untuk menjamin keamanan pangan di semua tahap rantai makanan (BPOM, 2003).

Toko Roti dan Kue “RAPI” merupakan salah satu toko roti dan kue yang ada di Semarang,

tepatnya berada di Jl. Kauman No.66 ini turut menunjukkan antusiasnya terhadap penyediaan

produk makanan yang terjamin dari segi higienitasnya. Toko Roti dan Kue “RAPI” ini berdiri sejak

tahun 1991 dengan pemiliknya adalah Ibu Fathiyah. Proses produksi dengan usulan sistem

pendekatan HACCP ini mengusulkan perbaikan pada proses pembuatan kue kroket di Toko Roti

dan Kue “RAPI”.

HACCP adalah kepanjangan dari Hazard Analysis and Critical Control Point (Analisa

Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis), mempunyai pengertian bahwa HACCP merupakan sistem

manajemen keamanan pangan atau sebuah upaya untuk mengelola pangan dengan jalan

mengurangi resiko kontaminasi mulai dari bahan baku, proses produksi hingga penyajian agar

produk aman dikonsumsi. Adanya pengertian tersebut maka dapat memberikan gambaran bahwa

penerapan HACCP itu mengedepankan upaya preventive atau pencegahan, dilakukan dengan jalan

memperketat pengontrolan setiap tahapan titik kritis pada proses pengadaan pangan hingga pangan

dinyatakan aman dan terbebas dari kontaminan.

Konsep HACCP

Konsep HACCP menurut CAC (Codex Alimentarius Commission) terdiri dari 12 langkah,

dimana 7 prinsip HACCP tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan

sistem HACCP menurut CAC ( Gambar 1). Indonesia mengadopsi sistem HACCP versi CAC

tersebut dan menuangkannya dalam acuan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan

Pengendalian Titik-Titik Kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya yaitu Pedoman BSN

1004/1999. Sistem yang penerapannya masih bersifat sukarela ini telah digunakan pula oleh

Departemen Pertanian RI dalam menyusun Pedoman Umun Penyusunan Rencana Kerja Jaminan

Mutu Berdasarkan HACCP atau Pedoman Mutu Nomor 5.

Page 352: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.9. Usulan perbaikan proses produksi berdasarkan pendekekatan ... (Novi Marlyana, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.46

Gambar 1. Konsep dasar HACCP (Sumber: Badan Standar Nasional, 1998).

Langkah-langkah Penerapan HACCP

Langkah – langkah analisa proses produksi dengan menggunakan sistem analisa bahaya

dan kendali titik kritis adalah sebagai berikut :

1. Pembentukan tim HACCP

Langkah pertama dalam usulan perbaikan dengan pendekatan sistem HACCP adalah

pembentukan tim HACCP. Dalam kasus ini bahwa tim HACCP belum bisa terbentuk, karena

dalam pembentukan tim HACCP ini harus membuat tim yang paham atau mengerti tentang

sistem HACCP sedangkan di Toko “RAPI” ini belum ada yang paham dan mengerti tentang

sistem ini. Tapi sebagai usulan dalam penelitian ini maka sebagai pemilik toko itu sendiri atau

perwakilan salah satu orang yang dipercaya dalam proses pembuatan ini dapat mengikuti

pelatihan-pelatihan HACCP yang ada.

2. Diskripsi produk dan Identifikasi Pengguna yang dituju

Pendeskripsian produk kue kroket ini dengan cara mengisi form-form yang sudah disiapkan

dan diisi sesuai dengan keterangan dari pemilik toko Rapi tersebut atau orang yang dipercaya

sebagai pengontrol dan pengawas dalam proses pembuatan kue atau roti (lihat Gambar 2).

3. Menyusun Diagram Alir Proses dan verifikasi Diagram Alir

Untuk mengetahui diagram alir proses dengan cara wawancara langsung dengan pembut kue

kroket yaitu pemilik toko agar dapat mengetahui proses awal sampai akhir pembuatan kue

kroket dan dapat mamverifikasinya. Diagram alir dibuat berdasarkan tiap proses yang ada

sesuai diagram aliran proses pembuatan kue kroket.

4. Identifikasi dan Analisa Bahaya

Untuk menganalisa bahaya diamati tiap proses dari mulai proses persiapan hingga sampai

ketangan konsumen. Dari diagram alir diatas maka langkah selanjutnya adalah

mengidentifikasi dan menganalisa bahaya. Analisa bahaya diurutkan berdasarkan proses

produksi yang ada dalam diagram alir, bentuk analisa bahaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 353: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.47

Gambar 2. Form Deskripsi Produk

Form : Deskripsi Produk Produk : Kue Kroket Pertanyaan – pertanyaan berikut ini perlu dijawab untuk mengembangkan diskripsi produk : 1. Apa nama umum dari produk yang ingin diteliti? Jawab : Kue kroket. 2. Berapa ukuran dan bentuk produk tersebut? Jawab : Kue ini berbentuk elips biasanya berdiameter 2-3

cm dan panjang sekitar 7 cm. 3. Bagaimana cara mengkonsumsi produk ini? Jawab : Produk ini siap untuk dikonsumsi dalm keadaan suhu

normal. 4. Bagaimana bentuk dan tipe pengemasan produk ini? Jawab : Kemasan kue kroket ini diberi alas yang

terbuat dari kertas sesuai ukuran kroket kemudian dimasukan kedalam plastik dan siap didistribusi ataupun dimasukan kedalam dos snack, dan untuk dijual di toko Rapi itu sendiri kue ini hanya ditata rapi daiatas sebuah nampan kecil yang berada dalam etalase.

5. Berapakah lama daya tahan produk dan pada temperatur berapa? Jawab : Lama kue ini adalah 2 hari karena isi didalamnya yang tidak dapat bertahan lama, sedangkan suhu mengikuti suhu ruangan sekitar 27º-30º.

6. Kemana tujuan produk ini akan dijual ? Jawab : Kue kroket ini siap di jual langsung ke konsumen yang memesan dahulu atau bisa menikmati di toko Rapi tersebut.

7. Siapakah Konsumennya ? Jawab : Konsumennya anak-anak hingga orang dewasa 8. Apakah dibutuhkan kontrol khusus dalam pendistribusian produk? Jawab : Dibutuhkan control khusus

dalam penditribusian, agar kue kroket ini tidak berubah bentuk 9. Bahan, formulasi dan proses pengolahan dengan diagram alur :

Jawab : Bahan Kulit : 1000 gr kentang, 250 gr tepung terigu, 1 sdt garam, 1/2 sdt merica bubuk, 150 gr margarin, 2 butir telur ambil kuningnya saja Cara Membuat :

Potong-potong kentang, goreng hingga matang, haluskan selagi panas

Aduk kentang halus dengan semua bahan sampai tercampur rata, sisihkan Bahan Isian : 100 gr wortel, iris kotak kecil. 1 batang daun bawang, iris halus. 1 butir bawang bombay, cincang. 4 butir bawang putih, haluskan. 1 sdt garam. 1/2 sdt merica. 1/2 sdt gula pasir. 1 sdm margarin untuk menumis. Cara Membuat :

Tumis bawang putih yang udah dihaluskan sampe harum, masukkan bawang bombay cinang, aduk rata.

Masukkan wortel dan daun bawang masak sampai berubah warna dan kaluar airnya.

Tambahakan semua bumbu, merica, garam, gula pasir, aduk rata. Bahan Paniran : Tepung Panir Penyelesaian :

Ambil adonan kulit, bentuk bulat kemudian pipihkan.

Taruh 1 sdt adonan isi keatas adonan kulit yang udah dipipihkan, tutup dan bentuk lonjong. Lakukan sampai semua adonan kulit habis.

Kemudian gulingkan ke tepung panir, lakukan 2 kali supaya tebal panirannya.

Goreng dalam minyak banyak dengan api sedang Digram Alir Proses Produksi Kue Kroket :

Persiapan/ingredient dan penimbangan

Pembuatan Kulit Kroket Pembuatan Isi

Penggabungan/pengisian, Penggorengan, dekorasi

Pengemasan

Penyimpanan/Pengiriman

Page 354: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.9. Usulan perbaikan proses produksi berdasarkan pendekekatan ... (Novi Marlyana, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.48

Tabel 1. Identifikasi dan Analisa Bahaya

No Tahap Proses Sumber Bahaya Titik

Kritis/Potensial Bahaya

Peluang Terjadinya Bahaya (L/M/H)*

Apakah Bahaya Potensial Nyata (Ya= Masuk Pohon keputusan TKK)

Ya Tidak

1 Persiapan karyawan

- Tidak mencuci tangan dengan benar

- Tidak mematuhi peraturan yang ada yaitu memakai sarung tangan dan celemek

Tumbuhnya bakteri salmonella

M v

2 Persiapan bahan bahan-bahan dan peralatan (meliputi pencucian dan pengupasan kentang, penimbangan tepung terigu dan margari)

– Peralatan yang dipakai untuk mengupas (pisau) tidak bersih/berkarat

– Pencucian kurang bersih

– Sayuran busuk – Bahan baku melewati

batas tanggal kadaluarsa

– Saat penimbangan tidak menggunakan sarung tangan

Pertumbuhan mikroba

M v (Tidak menggunakan sarung tangan saat penimbangan)

3 Pembuatan Kulit Kroket (meliputi pemotongan kentang, menggoreng, menumbuk/mengha luskan, mencampur semua adonan kentang, terigu, margarine,telur, gula, dan garam)

– Pisau yang dipakai tidak bersih atau berkarat

– Minyak yang dipakai untuk menggoreng kentang tidak baru

– Saat mencampur adonan tidak menggunakan sarung tangan atau masih ada kotoran baik dari tepung terigu maupun kulit telur

Terjadi kontaminasi silang maupun fisik

M v (saat mencampur adonan masih ada kotoran yang tertinggal baik dari tepung terigu maupun kulit telur)

4 Pembuatan Isi Kroket (meliputi wortel dipotong kecil-kecil, menumis semua bahan termasuk bumbu-bumbu dan wortel)

– Pisau yang dipakai tidak bersih atau berkarat

– Penumisan yang terlalu lama

Kontaminasi silang

L v

5 Penggabungan/pengisian,Pelapisan dan Penggorengan

– Tidak menggunakan sarung tangan

– Sarung tangan yang dipakai tidak bersih

– Tepung panir yang lama dicampur dengan tepung panir yang baru

– Minyak yang dipakai tidak baru atau minyak dipakai lebih dari 3x penggorengan

Dapat menyebabkan kontaminasi silang

M V (saat pencampuran sarung tangan yang digunakan tidak bersih, tepung panir yang dipakai adalah campuran tepung panir lama dengan baru, minyak yang dipakai untuk menggoreng tidak baru

Page 355: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.49

Tabel 1. Identifikasi dan Analisa Bahaya (lanjutan) 6 Pengemasan

(meliputi pemberian alas kue, dan pembungkusan)

– Tidak menggunakan sarung tangan

– Alas yang dipakai tidak bersih

Tercemar benda asing

L V (plastik yang dipakai tidak bersih

7 Penyimpanan – Tempat penyimpanan yang kurang bersih

– Lama penyimpanan

Pertumbuhan mikroba

M v

*Keterangan : L (:Low), M (Medium), H(High)

5. Menetapkan Titik Kendali Kritis (CCP) dan Batas Kritis (CL)

Untuk menetapkan titik kendali kritis dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Sementara batas

kritis adalah nilai maksimum atau minimum pada bahaya fisik, biologis, atau kimia yang harus

dikendalikan titik kendali kritisnya untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya

ke tingkat yang dapat diterima sehingga produk yang dihasilkan dapat dikategorikan aman dari

bahaya. Batas kritis dapat dilihat pada bagan kendali HACCP pada Tabel 3.

Tabel 2. Tabel Penentuan Titik Kendali Kritis Berdasarkan Pohon Keputusan (Kue Kroket) Langkah Proses Bahaya

Q1. Adakah tindakan pencegahan untuk bahaya yang ditemukan? Jika tidak = bukan TKK, Jika ya = pertanyaan berikutnya

Q2. Apakah tahapan dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai ke tingkat yang dapat diterima ? Jika tidak = pertanyaan berikutnya Jika ya = TKK

Q3.Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi melebihi tingkatan yang dapat diterima ? Jika tidak = bukan TKK Jika ya = pertanyaan berikutnya

Q4. Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yang teridentifikasi atau mengurangi tingkat kemungkinan terjadinya sampai pada tingkatan yang dapat diterima ? Jika tidak = TKK Jika ya = Bukan TKK

Justifikasi TKK/CCP

Penimbangan terigu dan margarin

Terdapat Bakteri pada tangan

Ya Tidak Ya Tidak Tidak menggunakan sarung tangan saat penimbangan

TKK 1

Pencampuran semua bahan

Tercampurnya benda asing

Ya Tidak Tidak - Kontaminasi yang masih dapat diterima

Bukan TKK

Pencetakan/ penggabungan adonan kue

Kontaminasi silang

Ya Ya - - Sarung tangan harus bersih

TKK 2

Penaburan/ pelapisan dengan tepung panir

Pertumbuhan mikroba

Tepung panir yang lama dicampur dengan tepung panir baru

TKK 3

Penggorengan Terjadi kontaminasi silang

Ya Tidak Ya Tidak Minyak yang dipakai adalah minyak bekas

TKK 4

Pengemasan Tercemar benda asing

Ya Ya - - Plastik yang tidak tersimpan dengan baik

TKK 5

Page 356: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.9. Usulan perbaikan proses produksi berdasarkan pendekekatan ... (Novi Marlyana, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.50

Tabel 3. Bagan Kendali HACCP

6. Menetapkan prosedur pemantauan CCP dan Tindakan Koreksi

Pengamatan atau pengukuran untuk menetapkan apakah suatu CCP dapat dikendalikan dengan

baik dan menghasilkan catatan yang teliti untuk digunakan selanjutnya dalam verifikasi suatu

prosedur yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan. Tetapi dalam pengolahan data ini

tidak dilakukan penetapan prosedur pemantauan CCP dan tindakan koreksi.

7. Verifikasi Program HACCP dan Menetapkan dokumentasi

Memverifikasi program HACCP dengan rencana HACCP yang telah ditetapkan dan

dokumentasi semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP

dan penerapannya. Dalam pengolahan data ini penetapan dokumentasi tidak dilakukan.

KESIMPULAN

1. Bahaya-bahaya yang teridentifikasi dengan menggunakan sistem HACCP pada setiap proses

pembuatan kue kroket yaitu bahaya terdapatnya bakteri pada tangan pada saat proses

penimbangan tepung terigu karena tidak menggunakan sarung tangan, bahaya kontaminasi fisik/

sarung tangan yang dipakai tidak diganti baru pada saat proses pencetakan atau penggabungan,

bahaya tepung panir lama dicampur tepung panir yang baru pada saat penaburan atau pelapisan

dengan tepung panir karena tepung panir yang digunakan sudah lama atau tidak layak dipakai

lagi, bahaya kontaminasi silang pada saat proses penggorengan karena minyak yang dipakai

tidak diganti atau minyak bekas dan bahaya kontaminasi fisik/ debu pada saat proses

pengemasan karena plastik yang dipakai tidak bersih.

Bagan Kendali HACCP Produk : Kue Kroket

No TKK

Langkah Proses/ TKK Bahaya Batasan Kritis Prosedur Pemantauan

Tindakan Perbaikan

1 Penimbangan terigu dan margarin

Terdapat bakteri pada tangan / Salmonella

Harus menggunakan sarung tangan

Setiap proses pastikan menggunakan sarung tangan bersih

Harus dilakukan pengawasan secara konsisten

2 Pencetakan/penggabungan Terjadi kontaminasi silang

Harus menggunakan sarung tangan

Setiap proses pastikan menggunakan sarung tangan bersih dan baru

Harus dilakukan pengawasan secara konsisten

3 Penaburan/pelapisan dengan tepung panir

Pertumbuhan mikroba

Spesifikasi tepung yang disetujui yaitu tepung panir yang masih bagus

Pastikan tepung panir masih baik untuk digunakan

Tepung panir yang telah dipakai jangan dipakai lagi, bila tersisa jangan dicampur dengan tepung panir yang masih baru

4 Penggorengan Terjadi kontaminasi silang

Minyak boleh digunakan untuk 3x penggorengan

Pastikan minyak yang sudah dipakai dan berubah warnanya sebaiknya tidak dipakai lagi

Mengganti dengan minyak yang baru

5 Pengemasan Bahan pengemas terkontaminasi

Bahan pengemas harus berada ditempat yang bersih dan terpisah dari penyimpanan bahan baku

Pastikan tempat penyimpanan jauh dari bahan baku tepung terigu ,dll

Plastik selalu dibersihkan sebelum digunakan

Page 357: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.51

2. Tindakan perbaikan dari setiap bahaya yang teridentifikasi adalah dengan memastikan bahwa

penggunaan sarung tangan yang bersih akan lebih diperketat dan dipantau, tepung panir yang

dipakai untuk pelapisan kue kroket dipastikan masih baru dan baik digunakan, memastikan

minyak yang dipakai diganti setelah 3 kali penggunaan, dan penyimpanan plastik untuk

pengemasan kue kroket disimpan ditempat yang tidak berdebu dan dibersihkan sebelum

digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1998, Standar Nasional Indonesia SNI 01-4852-1998: Sistem

Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-

HACCP) serta Pedoman Penerapannya, Jakarta: BSN.

Bryan, Frank L, 1995, Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. (Diterjemahkan oleh Ditjen

PPM dan PLP), Jakarta: Depkes RI.

Hubeis, M, 1994, Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia”. Buletin

Teknologi dan Industri Pangan, Vol. V (3), Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Kramer, A. dan B.A. Twigg, 1983, Fundamental of Quality Control for the Food Industry, The

AVI Pub. Inc., Conn., USA.

Suklan, H, 1998, Pedoman Pelatihan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

untuk Pengolahan Makanan, Jakarta: Depkes RI.

Thaheer, H, 2005, Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), Jakarta:

Bumi Aksara.

Page 358: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.10. Pemetaan persepsi konsumen terhadap keluaran produk hasil ... (Siti Nandiroh)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.52

PEMETAAN PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP KELUARAN PRODUK HASIL

PERANCANGAN PEMUTIH BERAS MEKANIK MENGGUNAKAN METODE BIPLOT

Siti Nandiroh

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik UMS

Jl.Ahmad Yani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura, Sukoharjo E-mail: [email protected]

Abstrak

Beras dengan penampilan bagus mempunyai standar harga yang lebih tinggi dibandingkan

dengan beras buruk. Dengan adanya selisih harga tersebut ada upaya yang dilakukan

pedagang untuk menaikkan harga beras penampilan buruk ke beras penampilan bagus, yaitu

dengan menggunakan pemutih dari zat kimia. Hal ini tentu saja sangat berakibat buruk bagi

kesehatan konsumen. Pada penelitian sebelumnya, telah berhasil dibuat alat pemutih beras

mekanik yang menggunakan tenaga penggerak dari penggiling beras atau Rice Milling Unit

(RMU). Hasil giling beras menunjukkan bahwa gabah berpenampilan buruk, yang biasanya

menghasilnya beras buruk mampu menjadi beras dengan penampilan bagus, dan proses

penggilingan menjadi lebih singkat. Beras hasil giling produk pemutih beras mekanik, yang

dinamai beras uji coba terbukti mampu bersaing dengan varietas yang lain, yaitu Rojolele, C4,

Membramo, IR, 64, Menthik Wangi. Disini disajikan batasan atribut yang mempengaruhi

konsumen berpindah dari satu varietas satu ke varietas yang lain adalah harga,

jenis/fanatisme, kemasan produk, tampilan, kepulenan dan unsur-unsur yang ada dalam beras.

Pemetaan persepsi konsumen menggunakan metode Biplot, menunjukkan peringkat yang stabil

dari tiga bulan terakhir yaitu peringkat lima. Hal ini menunjukkan peningkatan performansi

beras buruk menjadi lebih bagus yang cukup signifikan.

Kata kunci: beras, biplot, konsumen, performansi, varietas.

PENDAHULUAN Kenaikan laju konsumsi beras belum sepenuhnya membawa kepada peningkatan

pendapatan petani, karena masalah besarnya kehilangan hasil, mutu yang rendah dan harga yang

fluktuatif yang cenderung tidak memberikan insentif kepada petani, sehingga perlu segera

dipikirkan solusinya (Moehaimin-Sovan, 2002). Kehilangan hasil pasca panen masih tinggi yaitu

mencapai 20,5% (Anonim, 1995). Mutu beras yang dihasilkan umumnya sangat rendah yang

dicirikan oleh beras patah (broken) yang lebih dari 15% dengan rasa, warna yang kurang baik.

Selanjutnya harga gabah ditingkat petani belum dapat memperbaiki tingkat pendapatan. Kondisi

demikian akan semakin besarnya ancaman terhadap ketahanan pangan beras, sehingga diperlukan

teknologi pertanian yang mampu meningkatkan pendapatan di bidang pertanian.

Peningkatan pendapatan, salah satunya dapat diketahui dari strategi pemilihan produk dari

perilaku konsumen. Suatu pasar terdapat berbagai macam pembeli dengan kebutuhan dan perilaku

yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sangat sulit bagi suatu produk untuk menguasai pasar secara

keseluruhan. Strategi yang umum ditempuh adalah memilih segmen pasar tertentu yang dapat

memberikan kedudukan yang paling kuat bagi produk bersangkutan. Strategi ini yang disebut

dengan market positioning. Selain itu, strategi pemasaranpun perlu diperhatikan oleh pedagang

maupun pelaku pasar yang lain . Strategi pemasaran mempunyai dua kegiatan pemasaran pokok,

yaitu : pertama pemilihan pasar-pasar yang akan dijadikan sasaran pemasaran (target market) dan

yang kedua merumuskan dan menyusun suatu kombinasi yang tepat dari bauran pemasaran

(marketing mix), agar kebutuhan para konsumen dapat terpenuhi secara memuaskan. Salah satu

metode yang dapat memprediksikan posisi pasar dan persaingan produk adalah metode Biplot.

Artikel ini membahas mengenai respon dan perilaku konsumen terhadap beras keluaran

produk rancangan pemutih beras mekanik, dibandingkan dengan beberapa beras pesaing yang laku

di pasaran.

Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap, menurut

Schiffman dan Kanuk (2000), antara lain:

a) Tahap perolehan (acquistion) : mencari (searching) dan membeli (purchasing)

Page 359: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-2 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.53

b) Tahap konsumsi (consumption) : menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating)

c) Tahap tindakan pasca beli (disposition) : apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu

digunakan atau dikonsumsi.

Hasil Perancangan Produk Pemutih Beras Mekanik

Spesifikasi Produk Rancangan:

1. Dudukan terbuat dari besi baja

2. Penghisap menggunakan blower

3. Kumparan blower terbuat dari kawat email

4. Penggerak dicangkokan dinamo

5. Saluran pipa sebagai penghubung rice huller

6. Terdapat pipa penghubung pada tempat buang

7. Terdapat tempat buang katul

8. Blower terbuat dari baja

9. Frekuensi giling berkurang hingga 50 %

10.Diameter alat 38 cm

11.Perekat menggunakan baut

12.Plat dudukan terbuat dari baja

13.Plat dudukan terbuaat dari baja

14.Panjang plat 30 cm

15.Terdapat lubang angin pada dudukan cor

16.Diameter lubang angin 14 cm

17.Tebal dudukan 1.3 cm

18.Diameter lubang penghubung besar 17 cm

19.Diameter lubang penghubung kecil 11 cm

20.Sidu kipas 6 buah

21.Saluran sambungan menggunakan pipa PVC

diameter 10 cm

22.Ruang buang permanen

23.Cat dudukan anti karat

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian diawali dengan penyebaran kuesioner kepada responden, pengguna beras hasil

ujicoba produk rancangan, terhadap beras Rojolele, Setra Ramos, C4, Membramo, IR 64, dan

Menthik Wangi. Tahap selanjutnya adalah mengetahui persepsi konsumen terhadap seluruh

produk, dengan perbandingan waktu yang berbatas tiga bulan, sehingga dapat diketahui peta posisi

produk ujicoba terhadap jenis yang lain.

Untuk menggambarkan proses Marcov, akan dijelaskan tentang kegiatan-kegiatan

pemilihan merek dan peramalan probabilitas transisi yang dilakukan oleh konsumen yaitu

mengenai pergantian dari suatu merek ke merek yang lain. Disini disajikan batasan bahwa atribut

yang mempengaruhi konsumen berpindah dari satu produk ke produk yang lain. Pemilihan atribut

produk oleh responden telah ditentukan sebagai berikut :

1. Harga Produk

2. Jenis/fanatisme (Rojolele, C4, Membramo, Ujicoba, IR 64, Setra Ramos Menthik Wangi)

3. Kemasan

4. Tampilan

5. Pulen

6. Unsur-unsur yang terkandung dalam produk

Gambar 1. Gambar Pemutih Beras Mekanik

Page 360: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.10. Pemetaan persepsi konsumen terhadap keluaran produk hasil ... (Siti Nandiroh)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.54

Pertanyaan dalam kuesioner untuk masing-masing jenis disediakan empat alternatif

jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Peringkat atribut produk

yang ditentukan oleh konsumen berdasarkan prioritas utama dalam memilih produk, artinya atribut

produk apa yang dipertimbangkan lebih dulu oleh konsumen dalam membeli suatu produk (beras).

Tahapan pemecahan masalah penelitian, ditunjukkan pada Gambar 2, berikut ini,

Gambar 1. Kerangka Pemecahan Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengumpulan data menunjukkan adanya persepsi konsumen terhadap pemilihan jenis

beras selama tiga bulan, seperti terlihat pada Tabel 1. berikut ini,

Page 361: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-2 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.55

Tabel 1. Urutan Pemilihan Beras Selama Tiga Bulan

No. Merek Bln.1 (%) Rank Bln.2 (%) Rank Bln.3 (%) Rank

1 Menthik Wangi 26 26% I 24 24% I 25 25% II

2 C4 22 22% II 19 19% III 17 17% III

3 Membramo 14 14% IV 17 17% IV 15 15% IV

4 Ujicoba 11 11% V 10 10% V 8 8% V

5 IR 64 20 20% III 21 21% II 31 31% I

6 Setra Ramos 4 4% VI 5 5% VI 2 2% VI

7 Rojolele 3 3% VII 4 4% VII 2 2% VI

Total 100 100% 100 100% 100 100%

Dari data diatas, langkah selanjutnya adalah mengubah pergantian Jenis yang dilakukan

para konsumen agar seluruh perolehan (mendapatkan) dan kehilangan tersebut diatas menjadi

bentuk probabilitas transisi. Hal ini ditunjukkan pada Tabel.2,

Tabel 2. Matrik Probabilitas Transisi / Brand Switching Pattern dalam Persentase

Jenis MW C4 Mb Uj 64 SR RJ

Menthik Wangi 0.708333 0.052631 0.176470 0.1 0.142857 0 0.25

C4 0.083333 0.789473 0.1176470 0 0.095238 0.2 0

Membramo 0.041667 0 0.5882352 0 0.095238 0.2 0

Ujicoba 0 0.052631 0.1176470 0.7 0 0.2 0

IR 64 0.125 0.052631 0 0.2 0.666667 0 0

Setra Ramos 0.041667 0.052631 0 0 0 0.2 0.25

Rojolele 0 0 0 0 0 0.2 0.5

Total 1 1 1 1 1 1 1

Perhitungan pangsa pasar pada bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga adalah seperti terlihat

pada Tabel 3, berikut:

Tabel 3. Perubahan Penjualan

Jenis Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3

Menthik Wangi 26% 24% 25%

C4 22% 19% 17%

Membramo 14% 17% 15%

Ujicoba 11% 10% 8%

IR 64 20% 21% 31%

Setra Ramos 4% 5% 2%

Rojolele 3% 4% 2%

Analisis indeks sikap diperlukan untuk mengetahui sikap dan perilaku konsumen terhadap

suatu objek/produk yaitu beras yang digunakannya. Indeks sikap ini meliputi penilaian atribut jenis

beras yaitu harga, Jenis (fanatisme), kemasan, tampilan, kepulenan dan kandungan dalam beras.

Pada tahap ini responden diminta memberikan urutan-urutan peringkat dengan keterangan bahwa

atribut yang paling penting (peringkat pertama) sampai pada atribut yang paling tidak penting.

Keutamaan disini diperoleh melalui penentuan peringkat atribut tersebut, seperti pada Tabel 4.

Page 362: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.10. Pemetaan persepsi konsumen terhadap keluaran produk hasil ... (Siti Nandiroh)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.56

Tabel 4. Nilai Peringkat Atribut

Atribut Peringkat Total

Nilai

Timbangan

Atribut Ranking

I II III IV V VI

Harga 53 14 13 7 9 4 483 0.230 1

Jenis/fanatisme 12 13 14 22 19 20 317 0.151 4

Kemasan 3 6 13 20 40 18 258 0.123 6

Tampilan 11 36 25 22 4 2 422 0.201 2

Kepulenan 4 13 22 19 18 24 294 0.140 5

Kandungan 16 19 12 11 11 31 325 0.155 3

Total 2099 1

Contoh perhitungan total nilai untuk harga :

Total Nilai =∑ (Jumlah Atribut x Nilai Atribut)

= (53 x 6) + (14 x 5) + (13 x 4) + (7 x 3) + (9 x 2) + (4 x 1) = 483

Dengan cara yang sama diperoleh total nilai untuk atribut-atribut yang lain.

Contoh perhitungan timbangan atribut untuk harga :

Timbangan atribut = atributnilaijumlahTotal

atributnilaiJumlah

=2099

)14()29()37()413()514()653( xxxxxx = 0.230

Dengan cara yang sama diperoleh nilai timbangan atribut produk yang lain. Jadi peringkat

keutamaan atribut adalah atribut harga, tampilan, kandungan, jenis, kepulenan dan kemasan.

Angka indeks sikap konsumen diperoleh dengan cara mengalikan antara timbangan atribut dengan

nilai atribut. Kemudian angka indeks sikap dicocokkan dengan daerah penerimaan untuk

mengetahui kecenderungan sikap konsumen terhadap atribut jenis beras.

Daerah penerimaan untuk mengetahui kecenderungan sikap konsumen terhadap atribut produk

tersebut adalah :

0,0 < x < 0,99 : sikap sangat buruk

1,0 < x < 1,99 : sikap buruk

2,0 < x < 2,99 : sikap cukup baik

3,0 < x < 3,99 : sikap baik

Kecenderungan sikap konsumen terhadap atribut jenis beras dapat dilihat pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Indeks Sikap Konsumen

Atribut Timbangan Atribut Nilai Atribut Indeks Sikap

Harga 0.230 2.84 0.654

Jenis 0.151 2.81 0.424

Kemasan 0.123 2.69 0.331

Tampilan 0.201 3.18 0.639

Kepulenan 0.140 2.79 0.391

Kandungan 0.155 3.08 0.477

Total 2.916

Sikap konsumen terhadap atribut jenis beras cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks

sikap sebesar 2.916 yaitu berada pada daerah penerimaan yang ketiga.

Page 363: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-2 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.57

KESIMPULAN

1. Persepsi konsumen terhadap beras ujicoba (produk keluaran pemutih beras mekanik) cenderung

stabil selama tiga bulan pengamatan, yaitu rangking lima dari tujuh jenis beras unggulan.

2. Peringkat keutamaan atribut adalah atribut harga, tampilan, kandungan, jenis, kepulenan dan

kemasan.

3. Sikap konsumen terhadap atribut jenis beras cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks

sikap sebesar 2.916 yaitu berada pada daerah penerimaan yang ketiga.

DAFTAR PUSTAKA

------, 2006., Dokumen Kajian Departemen Agronomi Dan Holtikultura Fakultas Pertanian –

Institut Pertanian Bogor.

Anonimus, 1995, Pertumbuhan Pertanian, --

Cohen, Lou, 1995, How to Make QFD Work For You, Addison Wesley, USA.

Moehaimin Sovan. 2002. Peranan Penanganan Pasca Panen Untuk Menurunkan Kehilangan Hasil.

Makalah pada workshop Kehilangan Hasil Pasca Panen. Jakarta.

Purwaningsih, H., Rob. Mudjisihono, 2006. Kajian Efek Penggunaan Rice Milling Unit (RMU)

Stasioner dan Keliling Terhadap Kualitas Beras di Kabupaten Bantul, Prosiding Seminar

Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan MarginalDaerah Istimewa Yogyakarta.

Umar, Husein. 2000. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. JBRC. Jakarta

Wijayanto, Hary. 1998. Analisis Pengembangan Konsep Produk Menggunakan Metode Biplot.

Forum Statistika dan Komputasi. Jurnal Publikasi

Page 364: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.11. Pengendalian persediaan barang jadi multi item ... (Agus Setiawan dan Enty N. Hayati)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.58

PENGENDALIAN PERSEDIAAN BARANG JADI MULTI ITEM

DENGAN METODE LAGRANGE MULTIPLIER (STUDI KASUS PADA DEPO ES KRIM

PERUSAHAAN “X” DI MAGELANG)

Agus Setiawan, Enty Nur Hayati

Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik UNISBANK

Jl Trilomba Juang No. 1, Semarang E-mail : [email protected] E-mail : [email protected]

Abstrak

Perusahaan “X” adalah Cabang Distributor es krim Campina di Magelang. Perusahaan

mengelola 13 jenis produk jadi (multi item). Di perusahaan ini, sering terjadi kondisi

overstock atau kelebihan persediaan pada produk jenis tertentu dan kondisi stockout atau

kekurangan persediaan pada produk jenis tertentu pula. Hal ini terjadi karena untuk masing-

masing produk dengan berbagai tipe/jenis tersebut memiliki tingkat penjualan yang berbeda-

beda. Perusahaan “X” mengelola 13 jenis es krim yang siap dipasarkan. Kendala yang

dihadapi untuk penyimpanan es krim adalah ruang penyimpanan dan biaya persediaan.

Untuk menetapkan jumlah pemesanan es krim pada perusahaan “X” menggunakan metode

Lagrange Multiplier. Jumlah pemesanan optimal untuk 13 jenis es krim yaitu (1) Fantasi

Orange Grape = 327 unit, (2) Viola = 127 unit, (3) Fantasy = 148 unit, (4) Big Time = 84

unit,(5) Didi Cup 129 unit, (6) Hula-hula = 114 unit, (7) Olympia Cup = 176 unit, (8)

Tropicana = 153 unit, (9) Heart = 86 unit, (10) Double Stick =106 unit, (11) Double Cone =

100 unit, (12) Bazzoka Vanilla = 57 unit dan (13) Bazzoka Coklat = 69 unit. Jumlah

pemesanan ini menghasilkan biaya persediaan/nilai total omset baru sebesar Rp

5.700.302,00 dan volume ruang terpakai sebesar 92.819 ml.

Kata Kunci : pengendalian persediaan, produk multi item, metode Lagrange Multiplier

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Suatu perusahaan, baik itu yang bergerak di bidang industri manufaktur atau jasa, pasti

akan selalu berusaha untuk tetap eksis dan berjalan dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan

yaitu tetap memproduksi dengan memperoleh keuntungan yang maksimal. Kebijakan-kebijakan

dari perusahaan akan sangat menentukan kondisi tersebut. Salah satu kebijakan yang perlu

dilakukan adalah menerapkan aktivitas perencanaan dan pengendalian produksi. Salah satu bagian

penting dalam perencanaan dan pengendalian produksi adalah pengendalian persediaan. Dikatakan

penting karena dengan pengendalian persediaan, perusahaan dapat menentukan kebijakan dalam

membeli atau membuat dan menyimpan item dalam jumlah yang optimal dengan biaya ekonomis.

Penelitian yang dilakukan di Cabang Distributor es krim Campina Perusahaan “X” di

Magelang. Dalam kegiatan produksinya perusahaan tersebut hanya mengelola produk jadi dalam

jumlah banyak dan terdiri dari berbagai jenis produk (multi item). Produk jadi tersebut dalam

kondisi siap dipasarkan, yang sebelumnya harus mendapat perlakuan penyimpanan untuk

persediaan kebutuhan penjualan pada waktu selanjutnya dalam jangka waktu tertentu. Di

perusahaan ini, sering terjadi kondisi overstock atau kelebihan persediaan pada produk jenis

tertentu dan kondisi stockout atau kekurangan persediaan pada produk jenis tertentu pula. Hal ini

terjadi karena untuk masing-masing produk dengan berbagai tipe/jenis tersebut memiliki tingkat

penjualan yang berbeda-beda.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana metode Lagrange Multiplier sebagai sistem perencanaan persediaan produk multi item

es krim Campina perusahaan “X” di Magelang dapat mengantisipasi kendala ruang penyimpanan

dan biaya persediaan, sehingga diperoleh jumlah pemesanan yang optimal?”

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis sistem perencanaan dan

pengendalian persediaan produk jadi multi-item es krim Campina perusahaan “X” di Magelang

yang optimal berdasarkan kendala kapasitas ruang penyimpanan dan biaya persediaan melalui

metode Lagrange Multiplier.

Page 365: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.59

Asumsi-asumsi

Asumsi-asumsi yang digunakan antara lain:

a. Penelitian ini hanya melibatkan item produk es krim Campina dari hasil penjualannya di

perusahaan “X” Magelang.

b. Perhitungan biaya-biaya persediaan dalam rentang waktu mingguan dengan satu bulan ada 4

(empat) minggu.

c. Jumlah hari kerja dalam satu bulan adalah setiap hari.

d. Jumlah biaya yang digunakan setiap ada pemesanan dianggap tersedia.

e. Gudang penyimpanan produk dianggap dapat menampung jumlah produk yang dipesan.

f. Dalam penelitian ini tidak akan membahas struktur organisasi perusahaan dan aspek

finansialnya, walaupun ada keterkaitan dengan persediaan. Jadi, penelitian ini hanya dibatasi

pada data-data harga produk, biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan batasan ruang gudang

penyimpanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Persediaan

Taylor III (2005) menyebutkan persediaan (inventory) merupakan stok barang yang

disimpan oleh suatu perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan. Umumnya setiap jenis

perusahaan memiliki berbagai bentuk persediaan. Berdasarkan jenis dan posisi barang dalam urutan

pengerjaan produk, persediaan dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: a. Persediaan bahan baku.,

b. Persediaan komponen produk atau parts yang dibeli, c. Persediaan bahan-bahan pembantu atau

barang-barang perlengkapan, d. Persediaan barang setengah jadi, e. Persediaan barang jadi.

Biaya-Biaya Persediaan

Biaya-biaya persediaan ini timbul karena adanya rencana persediaan dalam perusahaan

untuk memperlancar kegiatan produksi. Menurut Sumayang, L (2003), biaya-biaya akibat

pengelolaan persediaan dibedakan menjadi enam, yaitu: cost item atau harga barang per unit,

ordering cost atau biaya pemesanan, holding cost atau biaya penyimpanan, stockout cost atau biaya

kekurangan persediaan, biaya resiko kerusakan dan kehilangan persediaan dan safety stock atau

biaya persediaan pengaman.

Model-Model Persediaan

Menurut Taha, H.A. (2002), secara umum model persediaan dapat dikelompokkan menjadi

dua bagian:

a. Model Deterministik. Contoh model yang dipakai adalah model Economic Order Quantity

(EOQ) dan pemesanan barang multi-item dengan Metode Lagrange Multiplier.

b. Model Stokastik (Probabilistik). Contoh dari model ini antara lain adalah model pengendalian

persediaan Sistem P dan Sistem Q. Model ini dibagi lagi menjadi dua yaitu probabilistic static

dan probabilistic dynamic.

Model Persediaan EOQ, Deterministik

Model EOQ merupakan model persediaan yang sederhana yang bertujuan untuk

menentukan ukuran pemesanan yang ekonomis dan dapat meminimumkan biaya total persediaan.

Menurut Render dan Heizer (2001), model ini dapat diterapkan apabila terdapat asumsi-asumsi

adalah kebutuhan permintaan adalah tetap dan diketahui, lead time (waktu tunggu) adalah tetap,

harga beli per unit tetap, biaya simpan dan biaya setiap kali pesan tetap, diskon kuantitas tidak

diperkenankan dan tidak terjadi kekurangan persediaan atau back order.Model ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Qmak

Q/2

O

Waktu Pemesanan

Ku

anti

tas

Pem

esan

an

Page 366: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.11. Pengendalian persediaan barang jadi multi item ... (Agus Setiawan dan Enty N. Hayati)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.60

Gambar 2.1 Grafik Siklus Persediaan Sederhana

Jika D adalah jumlah permintaan, dalam kasus ini per minggu, Q adalah kuantitas pesanan,

dan S adalah biaya setiap kali pesan, maka biaya pemesanan per minggu dirumuskan:

Biaya pemesanan per minggu Q

DS .............................................................................. (2.1)

Biaya simpan dapat dirumuskan:

Biaya penyimpanan 2

QH ............................................................................................... (2.2)

Berdasarkan persamaan (2.1) dan persamaan (2.2) maka dapat dirumuskan sebagai:

Biaya persediaan per minggu (TC) 2

QH

Q

DS .............................................................. (2.3)

Hubungan dari ketiga persamaan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Kurva Biaya Persediaan

Dari Gambar 2.2 dapat diilustrasikan bahwa total biaya persediaan akan mencapai nilai

minimum pada saat biaya simpan dan biaya pesan mencapai titik yang sama, sehingga titik

minimal kurva biaya total dapat dicari dengan turunan TC terhadap Q sama dengan 0, yaitu:

= 0 ..................................................................................................................... (2.4)

= 0 ......................................................................................................... (2.5)

= 0 ............................................................................................................... (2.6)

..................................................................................................................... (2.7)

sehingga diperoleh

Q2 = .................................................................................................................. (2.8)

Q = .................................................................................................................. (2.9)

keterangan:

D = jumlah permintaan per periode (unit)

H = IP, biaya simpan per periode (Rp/unit/periode)

S = biaya pemesanan per periode (Rp/pesan)

Q = kuantitas pesanan yang optimal (unit)

P = harga satuan unit (Rp/unit)

I = biaya simpan dalam prosentase persediaan (%)

Sistem Persediaan Produk Multi Item dengan Kendala Dalam dunia industri, banyak model persediaan yang digunakan untuk mengelola

persediaan lebih dari satu tipe produk (multi item), karena banyak perusahaan yang hanya memiliki

satu tempat penyimpanan dan sering digunakan untuk menyimpan lebih dari satu tipe produk.

Gambar 2.3 merupakan ilustrasi model persediaan produk jadi.

Bia

ya

Jumlah EOQ

Biaya Pesan

Biaya Simpan

Total Biaya Persediaan

Page 367: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.61

Gambar 2.3 Skema Sistem Persediaan Produk Jadi

Permasalahan ini diformulasikan melalui model optimasi dengan pembatas dan

penyelesaiannya menggunakan Metode Lagrange Multiplier. Dalam penerapannya metode ini

hanya mengacu kepada satu atau dua kendala. Kasus ini pendekatan awalnya akan

mempertimbangkan permasalahan anggaran biaya dengan menghendaki pada banyak titik solusi,

namun total investasi dalam persediaan tidak melebihi B satuan uang yang diwakili oleh formulasi:

............................................................................................... (2.10)

dengan

Ci = harga satuan unit item produk i dalam rupiah

Qi = kuantitas pesanan optimal item produk i dalam unit

B = besarnya investasi dalam persediaan dalam rupiah

Jika n adalah jumlah item, maka tujuan dari penyelesaian permasalahan ini adalah untuk

meminimisasi total biaya persediaan per periode. Sebagai langkah awal maka perlu dicari kuantitas

pemesanan paling optimal dengan mengabaikan adanya konstrain atau kendala, sehingga untuk

mendapatkan nilai Qi* digunakan formulasi:

Qi* = ..................................................................................................... (2.11)

Dari perhitungan melalui persamaan (2.11), cek kondisinya dengan mensubstitusikan nilai

Qi* pada persamaan (2.10). Apabila nilai Qi

* belum memuaskan, maka metode Lagrange mulai

digunakan. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan mengembangkan Lagrange Expression

(LE) atau persamaan Lagrange, yakni:

LE(Qi,) = ................................. (2.12)

Notasi adalah faktor pengali Lagrange. Dengan mengambil turunan atau derivatif dari

persamaan (2.12) yang dikondisikan pada nilai Qi, , dan menyelesaikan persamaan tersebut

dengan ruas kanan disamadengankan nol, maka diperoleh formulasi:

........................................................................................... (2.13)

nilai Q*Li adalah kuantitas pemesanan optimal yang diperoleh dari penggunaan metode Lagrange.

Harga dari * dapat diperoleh dengan formulasi:

* = ...................................................................... (2.14)

kemudian mensubstitusikannya ke persamaan (2.13) dan akan memberikan persamaan:

= ............................................................................. (2.15)

Untuk Q*i dicari dengan persamaan (2.11) dan E dicari dengan persamaan:

E = ................................................................................................. (2.16)

sedangkan untuk kendala ruang penyimpanan, total ruang penyimpanan dihitung dengan formulasi:

...................................................................................... (2.17)

Selanjutnya, untuk mencari total investasi dari perhitungan Lagrange dikondisikan pada total

investasi dari kebijakan perusahaan dan dapat dicari dengan formulasi:

.............................................................................................. (2.18)

Surplus Stock

Excess Stock

Seasonal Stock (Anticipation)

Safety Stock

Working Stock

nonproductiv

e

productive

INPUT

OUTPUT

Page 368: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.11. Pengendalian persediaan barang jadi multi item ... (Agus Setiawan dan Enty N. Hayati)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.62

keterangan: Ci = harga item per unit dalam rupiah

Ai = biaya pengadaan atau pemesanan per

item dalam rupiah

Di = permintaan hasil peramalan dalam unit

B = investasi maksimum yang diijinkan di

perusahaan dalam rupiah

E = total investasi persediaan tanpa

konstrain dalam rupiah

Q*

i = kuantitas pemesanan optimal tanpa

konstrain dalam unit

Qi = kuantitas pemesanan hasil peramalan

dalam unit

*

= faktor pengali Lagrange

A = biaya penyimpanan inventori dalam

persentase

S = kapasitas gudang

Sa = kapasitas persediaan akhir

Q*Li = kuantitas pemesanan optimal dengan

Lagrange dalam unit

III. PEMBAHASAN

DATA

Jenis es krim Campina yang dikelola untuk dipasarkan kembali oleh Stock Point Barokah

terdiri dari 13 jenis yaitu Petit Grape, Liliput n’Nut, Fantasy, Concerto, Didi Cup, Hula-hula,

SpongeBob Stick, Tropicana Cup, Heart, Double Stick, Avatar Caramel, Bazzoka Cashew Nut, dan

Bazzoka Hazelnut. Ruang penyimpanan es krim terdiri dari tiga freezer dengan kapasitas

penyimpanan 150 liter. Saat proses pendistribusian digunakan dry ice sebagai pengawet yang

langsung dibawa satu paket dengan es krim dari agen Campina Yogyakarta. Pemasaran kembali es

krim dilakukan melalui penjualan di perusahaan dan armada pemasaran keliling. Perusahaan “X”

memiliki 13 unit three-cycle dengan hawker resmi sebanyak 13 orang. Data penjualan es krim

Campina adalah sekumpulan data penjualan es krim di Perusahaan “X” dengan jangka waktu

mingguan yang dihitung mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2011, yang

diperoleh dari bagian pemasaran.

ANALISA

Tabel 4.1 Hasil Peramalan dengan Kriteria MAD Terkecil untuk Minggu

Pertama Bulan Januari 2012

Jenis Produk Hasil Peramalan

Penjualan Jenis Produk

Hasil Peramalan

Penjualan

Fantasy Orange Grape 539,4116 Tropicana 189,0000

Liliput n’Nut 122,5860 Heart 73,9174

Didi Straw Chocolate 149,4992 Avatar New Face 99,8855

Spongebob Stick 106,9206 Avatar Dual Cone 100,3283

Didi Cup 147,6187 Bazzoka Cashew Nut 73,3986

Hula-hula 98,9104 Concerto 71,9128

Avatar Double Stick 195,0000

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012

Pengendalian persediaan ini akan menentukan tingkat persediaan yang seharusnya

dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah dan jenis es krim Campina, serta luas ruang

penyimpanan (freezer atau kelvinator), sehingga jumlah es krim untuk tiap item nantinya tidak

akan selalu sama karena pertimbangan kendala luas ruang dan biaya persediaan.

Setelah diketahui nilai EOQ masing-masing item produk, maka nilai EOQ tersebut

disubstitusikan ke dalam konstrain. Jika hasil perhitungan memuaskan, maka tidak perlu

diselesaikan dengan metode Lagrange multi item. Namun, jika hasil perhitungan tidak memuaskan,

maka dilakukan penyelesaian melalui metode Lagrange multi item.

Tabel 4.2 Hasil Perhitungan EOQ/Q* untuk masing-masing item

Jenis Produk Hasil EOQ/Q*

(unit) Jenis Produk

Hasil EOQ/Q*

(unit)

Fantasy Orange Grape 344 Tropicana 161

Liliput n’Nut 134 Heart 90

Didi Straw Chocolate 156 Avatar New Face 112

Spongebob Stick 88 Avatar Dual Cone 105

Didi Cup 136 Bazzoka Cashew Nut 60

Hula-hula 120 Concerto 73

Avatar Double Stick 185

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012

Page 369: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.63

Dari perhitungan Q* dengan menggunakan metode EOQ tersebut, kemudian dihitung total

omset untuk persediaan yang baru. Dari perhitungan diperoleh nilai investasi persediaan baru

sebesar (E) Rp 6.003.493,00 dan nilai investasi persediaan ini lebih besar dari nilai omset lama (B)

Rp 5.700.302,08. Hal ini menunjukkan kondisi belum memuaskan, maka penyelesaiannya

dilanjutkan ke metode Lagrange.

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan EOQ dengan metode Lagrange/QLi* untuk masing-masing item

Jenis Produk Hasil EOQ/ QLi*

(unit) Jenis Produk

Hasil EOQ/ QLi*

(unit)

Fantasy Orange Grape 327 Tropicana 153

Liliput n’Nut 127 Heart 86

Didi Straw Chocolate 148 Avatar New Face 106

Spongebob Stick 84 Avatar Dual Cone 100

Didi Cup 129 Bazzoka Cashew Nut 57

Hula-hula 114 Concerto 69

Avatar Double Stick 176

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2012

Dari perhitungan tersebut dihasilkan kuantitas Q*Lagrange yang selanjutnya akan digunakan

untuk mencari nilai total investasi persediaan yang baru dengan metode Lagrange. Dari

perhitungan, diperoleh nilai investasi persediaan baru (ELagrange) sebesar Rp 5.700.302,00sehingga

terjadi kondisi nilai ELagrange sama dengan nilai investasi persediaan awal (B) sebesar Rp

5.700.302,08. Ini menunjukkan bahwa perhitungan dengan konstrain biaya memberikan hasil yang

memuaskan, namun untuk memastikan keakuratan metode ini perlu dilakukan perhitungan

konstrain ruang.

Dari hasil perhitungan tersebut dihasilkan kapasitas ruang terpakai sebesar 92.819 ml atau

92,819 liter, sedangkan kapasitas ruang terpakai yang tersedia di gudang sebesar 110,635 liter,

sehingga kuantitas produk yang dihitung menggunakan metode Lagrange masih bisa ditampung di

tempat penyimpanan atau freezer yang tersedia. Total biaya persediaan dengan metode Lagrange

sebesar Rp 140.743,00. Dengan demikian, penghematan yang diperoleh dengan metode Lagrange

untuk total biaya persediaan sebesar 26,50%.

IV. SIMPULAN

Dari hasil pengolahan dan analisis data, maka dapat ditarik simpulan bahwa dari

perhitungan dengan metode Lagrange dihasilkan jumlah pemesanan optimal (Q) produk es krim

Campina untuk periode minggu pertama bulan Januari 2012 adalah (1) Fantasi Orange Grape = 327

unit, (2) Viola = 127 unit, (3) Fantasy = 148 unit, (4) Big Time = 84 unit,(5) Didi Cup 129 unit, (6)

Hula-hula = 114 unit, (7) Olympia Cup = 176 unit, (8) Tropicana = 153 unit, (9) Heart = 86 unit,

(10) Double Stick =106 unit, (11) Double Cone = 100 unit, (12) Bazzoka Vanilla = 57 unit dan (13)

Bazzoka Coklat = 69 unit.

V. DAFTAR PUSTAKA Assauri, S, 1993, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi 4, Lembaga Penerbitan Fakultas

Ekonomi, UI. Jakarta

Dervitsiotis, K.N. 1984. Operations Management: International Student Edition. 2nd

Printing.

McGraw-Hill International Book Company. Singapore

Elsayed, A.E. dan Boucher, O.T. (19XX). Analysis and Control of Production System. 2nd

Edition.

Prentice Hall International Series in Industrial Engineering. London

Ernawati, Y dan Sunarsih. 2008. Sistem Pengendalian Persediaan Model Probabilistik dengan

Back Order Policy. Jurnal Matematika Vol. 11, No.2, Agustus 2008: 87-93

Handoko, T.H. 1995. Dasar-dasar Produksi dan Operasi. Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta

Hantoro, S. 1993. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Penerbit UPP IKIP. Yogyakarta

Render dan Heizer. 2001. Prinsip-prinsip Manajemen Operasi. Edisi 8. Penerbit Salemba Empat.

Jakarta

Sumayang, L. 2003. Dasar-dasar Manajemen Produksi & Operasi. Penerbit Salemba Empat.

Jakarta

Taylor III, B.W. 2005. Sains Manajemen. Edisi 8. Penerbit Salemba Empat. Jakarta

Page 370: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.12. Penetapan harga pokok produksi (HPP) produk rimpang temulawak ... (Fakhrina Fahma, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.64

PENETAPAN HARGA POKOK PRODUKSI (HPP) PRODUK RIMPANG TEMULAWAK

MENGGUNAKAN METODE FULL COSTING SEBAGAI DASAR PENENTUAN HARGA

JUAL (STUDI KASUS : KLASTER BIOFARMAKA KABUPATEN KARANGANYAR)

Fakhrina Fahma*)

, Murman Budijanto, Ayu Purnama

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta *)

Email : [email protected]

Abstrak

Kabupaten Karanganyar merupakan sentra produksi biofarmaka terbesar di Jawa Tengah

dengan luas area lahan 270 hektar dan jumlah produksi mencapai 1.390.700 kg (Balitpang

Provinsi Jawa Tengah, 2010). Demi membantu pengembangan biofarmaka pemerintah

Kabupaten Karanganyar membentuk lembaga Klaster Biofarmaka yang beranggotakan 10

kelompok tani. Produk unggulan klaster yang banyak diminati oleh konsumen adalah rimpang

temulawak, simplisia temulawak, dan serbuk temulawak. Harga tawar produk yang ditentukan

oleh Klaster Biofarmaka kepada petani cenderung rendah, sehingga petani lebih memilih

menjual produknya ke tengkulak. Hal ini terjadi karena rendahnya pengetahuan petani

mengenai cara menetapkan harga jual produk sehingga petani tidak memiliki daya tawar

produk yang baik. Untuk menghindari adanya kesalahan dalam perhitungan harga pokok

produksi temulawak dan untuk menghasilkan biaya yang efisien diperlukan penerapan suatu

metode yang tepat untuk menghitung penetapan harga pokok produksi. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode full costing. Berdasarkan hasil penelitian, maka

dapat ditunjukkan bahwa hasil dari perhitungan harga pokok produksi (HPP) dengan

menggunakan metode full costing untuk produk temulawak basah adalah Rp 2.116 per

kilogram, produk simplisia temulawak adalah Rp 21.278, dan produk serbuk temulawak

adalah Rp 47.557.

Kata kunci: biofarmaka, klaster, temulawak, harga.

1. PENDAHULUAN

Indonesia, merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki banyak lahan

pertanian yang cocok untuk dijadikan budidaya tanaman biofarmaka. Salah satu wilayah di

Indonesia yang merupakan penghasil biofarmaka terbesar di Indonesia adalah Jawa Tengah yang

telah menyuplai kebutuhan nasional sebesar 50% (Gudegnet, 2011). Kabupaten Karanganyar

merupakan sentra produksi biofarmaka terbesar di Jawa Tengah dengan luas area lahan 270 hektar

dan jumlah produksi mencapai 1.390.700 kg (Balitpang Provinsi Jawa Tengah, 2010). Demi

membantu pengembangan biofarmaka pemerintah Kabupaten Karanganyar membentuk lembaga

Klaster Biofarmaka yang beranggotakan 10 kelompok tani. Keberadaan Klaster Biofarmaka

diharapkan dapat meningkatkan daya saing petani biofarmaka.

Produk unggulan klaster yang banyak diminati oleh konsumen adalah rimpang temulawak,

simplisia temulawak, dan serbuk temulawak. Seiring ketatnya persaingan pasar pada produk

biofarmaka, maka pihak Klaster dituntut untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, dan

cermat dalam menetapkan harga jual produk agar produk yang dihasilkan memiliki daya tawar.

Peningkatan mutu pada produk yang dihasilkan oleh petani harus diikuti dengan peningkatan harga

beli yang dilakukan oleh klaster kepada petani.

Harga tawar produk yang ditentukan oleh Klaster Biofarmaka kepada petani cenderung

rendah, sehingga petani lebih memilih menjual produknya ke tengkulak dengan harga yang sudah

ditentukan oleh tengkulak. Hal ini terjadi karena rendahnya pengetahuan petani mengenai cara

menetapkan harga jual produk sehingga petani tidak memiliki daya tawar produk yang baik. Hal-

hal tersebut bisa diatasi apabila Klaster Biofarmaka mampu menetapkan harga pokok produksi

yang tepat sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan harga jual yang wajar dan akurat.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada petani yang merupakan anggota

Klaster Biofarmaka (2012) harga jual produk temulawak yang diberikan kepada pihak Klaster

Biofarmaka dan tengkulak untuk produk rimpang adalah Rp 1.000 – Rp 1.500 per kilogram. Harga

Page 371: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.65

jual yang diberikan petani untuk simplisia temulawak adalah Rp 15.000 per kilogram. Harga jual

yang diberikan petani untuk produk serbuk adalah Rp 35.000 – Rp 40.000 per kilogram.

Untuk menghindari adanya kesalahan dalam perhitungan harga pokok produksi temulawak

dan untuk menghasilkan biaya yang efisien diperlukan penerapan suatu metode yang tepat untuk

menghitung penetapan harga pokok produksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode full costing. Full costing adalah metode penentuan harga pokok produksi dengan

memasukkan seluruh komponen biaya produksi sebagai unsur harga pokok yang meliputi biaya

bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik variabel dan biaya overhead pabrik

tetap (Mirhani, 2001).

2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Pengumpulan data

Data yang digunakan adalah data biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk

olahan temulawak. Metode pengumpulan data adalah dengan wawancara langsung kepada

pengurus Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar, pengurus Gapoktan Sumber Makmur, dan

pengurus Kelompok Tani Sumber Rejeki. Data yang dikumpulkan adalah identifikasi proses atau

aktifitas produksi pembuatan produk temulawak yang berupa :

1. Temulawak basah atau rimpang merupakan produk yang dihasilkan dari hasil panen

temulawak.

2. Simplisia temulawak adalah produk yang dihasilkan dari pengirisan rimpang temulawak yang

kemudian dikeringkan.

3. Serbuk temulawak adalah produk yang dihasilkan dari simplisia temulawak yang dihaluskan

menjadi serbuk.

Berdasarkan proses atau aktifitas produksi yang didapatkan kemudian diidentifikasi

aktifitas apa saja yang menimbulkan biaya, setelah itu biaya-biaya yang ditimbulkan

dikelompokkan kedalam komponen biaya yang terdiri dari:

1. Biaya Produksi yang meliputi:

a. Biaya bahan baku langsung yang dibutuhkan untuk proses produksi produk olahan

temulawak adalah:

- Temulawak basah : benih dan pupuk organik

- Simplisia temulawak : temulawak basah

- Serbuk temulawak : simplisia temulawak

b. Biaya tenaga kerja langsung

Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk proses produksi produk olahan temulawak

merupakan tenaga kerja langsung yang terbagi menjadi: - Temulawak basah: tenaga kerja persiapan lahan, tenaga kerja penanaman

temulawak, tenga kerja pemeliharaan, dan tenaga kerja saat panen tiba.

- Simplisia temulawak: tenaga kerja pencucian dan pengemasan, tenaga kerja

pengirisan dan penjemuran temulawak, dan tenaga kerja untuk pengemasan

temulawak.

- Serbuk temulawak: tenaga kerja penggilingan dan tenaga kerja pengemasan.

c. Biaya overhead pabrik yang dibutuhkan adalah:

- Temulawak basah: biaya sewa lahan, biaya depresiasi karung penyimpanan panen.

- Simplisia temulawak: biaya depresiasi keranjang biaya depresiasi mesin pompa air,

biaya depresiasi alat pengiris, biaya depresiasi mesin sealer, biaya depresiasi kotak

pengering, dan biaya listrik yang dibutuhkan

- Serbuk temulawak: biaya depresiasi alat penggiling dan biaya listrik yang

dibutuhkan.

2. Biaya Komersial yang meliputi:

a. Biaya administrasi: pembelian alat tulis kantor.

b. Biaya pemasaran: biaya distribusi produk sampai ke pembeli.

3. Perhitungan bunga majemuk diskret

Selain menghitung biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead dilakukan juga

perhitungan bunga majemuk diskret. Perhitungan bunga bertujuan untuk menghitung rasio

Page 372: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.12. Penetapan harga pokok produksi (HPP) produk rimpang temulawak ... (Fakhrina Fahma, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.66

dari bunga yang dibayarkan terhadap induk dalam suatu periode waktu tertentu (Pujawan,

2003).

2.2. Tahap Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah sebagai input untuk perhitungan harga pokok

produksi yang menjadi dasar penentuan harga jual produk temulawak. Pengolahan data untuk

menetapkan harga pokok produksi dilakukan dengan metode full costing. Metode full costing

mempertimbangkan biaya overhead pabrik dibebankan kepada produk jadi atau ke harga pokok

produksi berdasarkan tarif yang ditentukan pada aktivitas normal atau aktivitas yang sesungguhnya

terjadi sehingga meningkatkan akurasi analisis biaya (Eprilianta, 2011). Tahap yang dilakukan

untuk menentukan harga pokok produksi (HPP) untuk produk temulawak basah, simplisia, dan

serbuk yaitu menghitung total biaya produksi telebih dahulu, kemudian menghitung total HPP

dengan menambahkan biaya produksi dengan biaya komersial dan biaya bunga majemuk diskret.

Biaya Bahan Baku = xx

Biaya Tenaga Kerja Langsung = xx

Biaya Overhead Perusahaan = xx +

Total Biaya Produksi = xx ......................................... (3.1)

Untuk menghitung besarnya HPP suatu produk secara menyeluruh maka:

Total Biaya Produksi = xx

Biaya Komersial = xx

Bunga Majemuk Diskret = xx +

Total HPP = xx …………………………. (3.2)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Proses Produksi Produk Temulawak

Di tingkat petani, produk biofarmaka dijual dalam bentuk rimpang, simplisia, dan serbuk

(proses produksinya masing-masing disajikan pada Gambar 1). Rimpang adalah hasil panen

tanaman biofarmaka yang segar dan belum diolah, sedangkan simplisia adalah rimpang yang telah

dipotong atau diiris (ketebalan 4-8 mm) dan dikeringkan sampai kadar air kurang dari 10%. Dan

serbuk adalah simplisia biofarmaka yang diolah menjadi serbuk seperti tepung.

a. Temulawak basah b. Simplisia Temulawak c. Serbuk Temulawak

Gambar 1. Proses Produksi Temulawak

Page 373: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.67

3.2 Perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) Produk Temulawak

a. HPP Temulawak Basah

Perhitungan HPP dapat dilakukan dengan menambahkan seluruh total komponen biaya yang

sudah didapatkan yaitu total baiaya bahan baku + total biaya tenaga kerja + total biaya

overhead + bunga majemuk diskret. Perhitungan HPP dengan metode full costing tersaji

dalam Tabel 1 dengan menghasilkan biaya produksi Rp 2.116 per kilogram.

b. HPP Simplisia Temulawak

Perhitungan HPP produk simplisia dapat dilakukan dengan menambahkan seluruh total

komponen biaya yang sudah didapatkan yaitu total baiaya bahan baku + total biaya tenaga

kerja + total biaya overhead + bunga majemuk diskret. Perhitungan HPP dengan metode full

costing tersaji dalam Tabel 2 yang menunjukkan bahwa HPP produk simplisia per kilogram

adalah Rp 21.278.

c. HPP Serbuk Temulawak

Perhitungan HPP produk serbuk dapat dilakukan dengan menambahkan seluruh total

komponen biaya yang sudah didapatkan yaitu total baiaya bahan baku + total biaya tenaga

kerja + total biaya overhead. Perhitungan HPP dengan metode full costing tersaji dalam

tabel 4.16 yang menunjukkan bahwa HPP produk serbuk per kilogram adalah Rp 47.557.

Tabel 1 HPP Produk Temulawak Basah dengan Metode Full Costing

Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga Kerja Biaya Overhead

1 Persiapan lahan

a. Sewa lahan 1,400,000.00Rp

b. Pembersihan lahan 180,000.00Rp

c. Penggemburan tanah 120,000.00Rp

2 Penanaman

a. Benih yang dibutuhkan 100,000.00Rp

b. Biaya tenaga kerja 90,000.00Rp

c. Pemupukan awal 550,000.00Rp

3 Pemeliharaan lahan

a. Pemupukan ke-2 275,000.00Rp

b. Pemupukan ke-3 275,000.00Rp

c. Biaya tenaga kerja 160,000.00Rp

4 Panen

a. Biaya tenaga kerja 170,000.00Rp

5 Penyortiran hasil panen 49.68Rp

6 Penyimpanan hasil panen

a. Sewa gudang 324,000.00Rp

1,200,000.00Rp 720,000.00Rp 1,724,049.68Rp

Metode Full Costing:

Biaya Bahan Baku 1,200,000.00Rp

Biaya Tenaga Kerja 720,000.00Rp

Biaya Overhead Tetap 1,724,000.00Rp

Biaya Overhead Variabel 49.68Rp

Total HPP 3,644,049.68Rp

Bunga Majemuk diskret 588,149.62Rp

Total HPP 4,232,199.30Rp

Hasil panen 2000 kg

HPP Temulawak basah/Kg 2,116.10Rp

No. KegiatanKlasifikasi Biaya

Total masing-masing komponen biaya

Page 374: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.12. Penetapan harga pokok produksi (HPP) produk rimpang temulawak ... (Fakhrina Fahma, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.68

Tabel 2 HPP Produk SimplisiaTemulawak dengan Metode Full Costing

Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga KerjaBiaya Overhead

1 Persiapan bahan baku 1,058,049.82Rp

2 Pencucian dan pengupasan temulawak

a. Biaya tenaga kerja 50,000.00Rp

b. Biaya depresiasi keranjang 114.16Rp

c. Biaya depresiasi mesin pompa air 144.60Rp

d. Biaya listrik yang dibutuhkan 109.20Rp

3 Pengirisan temulawak

a. Biaya tenaga kerja 50,000.00Rp

b. Biaya depresiasi alat pemotong manual 16.44Rp

4 Penjemuran

a. Kotak pengering 913.24Rp

5 Pengemasan simplisia

a. Plastik pengemas 3,000.00Rp

b. Biaya depresiasi mesin sealer 45.66Rp

c. Biaya listrik yang dibutuhkan 218.40Rp

d. Biaya tenaga kerja 15,000.00Rp

6 Sewa gudang penyimpanan 243,000.00Rp

Total masing-masing komponen biaya 1,058,049.82Rp 115,000.00Rp 247,561.69Rp

Metode Full Costing:

Biaya Bahan Baku 1,058,049.82Rp

Biaya Tenaga Kerja 115,000.00Rp

Biaya Overhead Tetap 243,000.00Rp

Biaya Overhead Variabel 4,561.69Rp

Total Biaya Produksi 1,420,611.52Rp

Bunga Majemuk diskret 345,492.72Rp

Total HPP 1,766,104.24Rp

Hasil simplisia 83 kg

HPP Simplisia/Kg 21,278.36Rp

No. KegiatanKlasifikasi Biaya

Tabel 3 HPP Produk Serbuk Temulawak dengan Metode Full Costing

Biaya Bahan Baku Biaya Tenaga Kerja Biaya Overhead

1 Persiapan simplisia yang dibutuhkan 2,127,836.43Rp

2 Penggilingan simplisia

a. Biaya depresiasi alat penggiling 547.95Rp

b. Biaya tenaga kerja 150,000.00Rp

c. Biaya listrik yang dibutuhkan 1,228.50Rp

3 Pengemasan

a. Plastik pengemas 3,000.00Rp

b. Biaya tenaga kerja 15,000.00Rp

c. Biaya depresiasi mesin sealer 45.66Rp

d. Biaya listrik yang dibutuhkan 218.40Rp

4 Sewa gudang penyimpanan 81,000.00Rp

Total masing-masing komponen biaya 2,127,836.43Rp 165,000.00Rp 86,040.51Rp

Metode Full Costing:

Biaya Bahan Baku 2,127,836.43Rp

Biaya Tenaga Kerja 165,000.00Rp

Biaya Overhead Tetap 81,000.00Rp

Biaya Overhead Variabel 5,040.51Rp

Total Biaya Produksi 2,378,876.94Rp

Total HPP 2,378,876.94Rp

Hasil Serbuk 50 kg

HPP serbuk/Kg 47,577.54Rp

No. KegiatanKlasifikasi Biaya

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil dari perhitungan

harga pokok produksi (HPP) dengan menggunakan metode full costing untuk produk temulawak

basah adalah Rp 2.116 per kilogram, produk simplisia temulawak adalah Rp 21.278 per kilogram,

dan produk serbuk temulawak adalah Rp 47.557 per kilogram. Hal tersebut menjelaskan bahwa

harga jual yang diberikan oleh petani berada jauh dibawah harga pokok produksi pembuatan

produk.

Page 375: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.69

DAFTAR PUSTAKA

Amorita, Dewi. (2009). Penerapan Metode Costing System dalam Penentuan Harga Pokok

Produksi Ban Vulkanisir Sistem Dingin PT. Alkarin Mariendal. Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah. 2010. Laporan Kajian Strategis

Identifikasi Potensi dan prospek Pengembangan Klaster Biofarmaka.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan

Arahan Pengembangan Bisnis Tanaman Obat.

Eprilianta, Silvana. 2011. Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Tahu dengan Metode Full

Costing pada Industri Kecil (Studi Kasus CV Laksa Mandiri). Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Bogor.

Mirhani, Siti. 2001. Variable Costing dan Full Costing untuk Pengambilan Keputusan. Fakultas

Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Pujawan, I. 2003. Ekonomi Teknik. Guna Widya, Surabaya.

http:gudeg.net/id/news/20011/07/6532/50-persen-Biofarmaka-Nasional-Berasal-dari-Jateng-html

Yudistra, Marfianda. 2010. Analisis Biaya dan Penetapan Harga Pokok Penjualan Nata De Coco

Koktail (Sun Coco) (Kasus: Pt. Tonsu Wahana Tirta, Kota Depok, Jawa Barat). Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor.

Page 376: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.13. Perancangan konsep tempat tidur rumah sakit ... (Rahmaniyah D. Astuti, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.70

PERANCANGAN KONSEP TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT

MEMPERTIMBANGKAN PROSES PEMINDAHAN PASIEN

(STUDI KASUS: RUMAH SAKIT ”ZZZ” DI SURAKARTA)

Rahmaniyah Dwi Astuti*)

, Ilham Priadythama, Nanung Eko Setyawan

Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126, Telp/Fax. (0271) 632110 *)

Email : [email protected]

Abstract

Manual patient bed transfer is still bringing in a problem for nurses and also for patients when

the nursing moves from or to wards in hospital, especially in a nursing with surgery. For the

nurses, it can lead to low back pain because they must bow when they lift and move the patient

body. For the patients, the transfer process can definitely cause body movement which can

cause inconvenience, for example for a patient with a physical trauma. Therefore, it would be

very helpfull if there is something which can change the traditional technique of patient

transfer. The objective of this study is to design a concept of interchangeable hospital bed

mattresses.The first step of this study is the problem analysis to the patient transfer process

and the beds they currently use. This activity was begins trough observation, direct

interrogation, and the deployment of Nordic Body Map equiped questionaire. After the analysis

showed the ponits of the problem, there can be developed a bed design concepts with their

fitures which can accommodate requirements of the process, encompass the nurses’

anthropometry based bed dimension, the bed mechanical mechanisms, and some supporting

fitures. The result of this study are concepts of both hospital wards bed and transit bed which

theoretically can eliminate the nurses low back pain. The transfer is enabled with

interchangeable mattress slide mechanisms with remote locks to ensure the effectivity and the

safety of the process. The transit bed is designed with light costruction and remote brake

equiped handle to increase its mobility and handling.

Kata kunci : nurse, design, manual patient bed transfer.

1. PENDAHULUAN

Pemindahan pasien antar tempat tidur di rumah sakit sering dilakukan selama proses

perawatan. Aktivitas semacam ini termasuk penanganan pasien secara manual. Penanganan pasien

secara manual meliputi lifting, transferring dan repositioning, yang tidak hanya beresiko bagi

perawat tetapi juga bagi pasien yang dipindahkan (Marras dkk., 1999). Perawat yang melakukan

pemindahan pasien cenderung memiliki tingkat resiko low back pain yang bahkan lebih tinggi

daripada penanganan material di bidang industri. Dikarenakan pasien adalah manusia yang dapat

bergerak dan memiliki massa yang relatif besar sehingga memungkinkan pusat gravitasi dan jarak

perawat ke pasien dapat berubah selama kegiatan penanganan (Feletto, 2001). Dengan kata lain

perawat akan mengalami pembebanan dinamik. Seperti telah dinyatakan sebelumnya, penanganan

beban dinamik lebih berat daripada beban statik sehingga beban maksimum yang diijinkan kurang

dari beban statik (Winter, 1995). Ditinjau dari kritisnya permasalahan ini, pemindahan pasien antar

tempat tidur pasien harus dilakukan secara tepat. Hal ini sejalan dengan Nurmiyanto (2004)

menyatakan, bahwa suatu pekerjaan apabila tidak dilakukan secara tepat akan menimbulkan

kecelakaan kerja karena beban kerja yang berlebihan, sikap kerja yang tidak sesuai maupun tingkat

frekuensi yang tinggi.

Pada umumnya mekanisme kedatangan pasien yang akan menjalani operasi di rumah

sakit, pertama kali pasien ditempatkan di tempat tidur pasien (bangsal) di bagian Instalasi Gawat

Darurat (IGD) untuk menjalani pemeriksaan oleh tim medis. Dari ruang IGD, pasien dipindahkan

ke tempat tidur transit yang berada di kamar transit sebelum dilakukan operasi. Pemindahan pasien

dilakukan di kamar transit dikarenakan tempat tidur bangsal dianggap kurang steril untuk

memasuki kamar operasi. Oleh karena itu, mobilitas pasien di kamar operasi hanya menggunakan

tempat tidur transit. Dari tempat tidur transit, pasien dipindahkan ke tempat tidur operasi yang

khusus dirancang untuk kegiatan operasi. Setelah selesai operasi pasien kembali dipindahkan ke

Page 377: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.71

tempat tidur transit, kemudian dibawa ke ruang pulih sadar (recovery room) sebelum ditempatkan

di tempat tidur bangsal selama penyembuhan.

Berdasarkan pengamatan secara langsung dan wawancara terhadap perawat di Rumah Sakit

Islam Surakarta, diketahui bahwa dalam pelaksanaan operasi terdapat kesulitan pada proses

pemindahan pasien dari tempat tidur bangsal ke tempat tidur transit maupun sebaliknya di ruang

operasi. Dalam pengangkatan dan pemindahan pasien antar tempat tidur rumah sakit ini, pasien

berpotensi tinggi mengalami perubahan posisi tubuh apabila dibandingkan dengan pergerakan yang

dilakukan pasien sendiri maupun pergerakan pasien saat aktivitas sterilisasi oleh perawat. Aktivitas

sterilisasi pasien oleh perawat meliputi mengganti bed cover tempat tidur rumah sakit maupun

mengenakan pakaian operasi ke tubuh pasien. Di Rumah Sakit “ZZZ” di Surakarta, pasien

dipindahkan sebanyak dua kali antar tempat tidur bangsal dan transit sebelum maupun sesudah

dilakukan operasi. Ditambah dengan dua kali pemindahan pasien antar tempat tidur transit dan

tempat tidur operasi, baik sebelum maupun sesudah dilakukan operasi. Di rumah sakit pada

umumnya, frekuensi pemindahan pasien antar tempat tidur pasien juga hampir sama dengan yang

ada di Rumah Sakit “ZZZ” Surakarta. Posisi perawat sewaktu melakukan pengangkatan dan

pemindahan pasien berpotensi menimbulkan low back pain karena dilakukan perawat dengan

posisi membungkuk. Aktivitas pemindahan pasien ini juga berakibat tidak baik bagi pasien,

terutama pasien yang mengalami cidera patah tulang atau gegar otak karena kecelakaan.

Pada umumnya, tempat tidur bangsal dan transit dilengkapi dengan roda dan pengaman

sisi. Salah satu perbedaan tempat tidur bangsal dan transit yaitu pada pengatur sandaran belakang

tempat tidur bangsal yang dapat diatur sudutnya mulai dari 0o sampai 75

o. Biasanya tempat tidur

bangsal memiliki ketinggian yang tidak sama dengan tempat tidur transit sehingga perawat

mengalami kesulitan saat melakukan pemindahan pasien antar tempat tidur pasien.

Alat bantu yang biasanya digunakan perawat dalam memindahkan pasien antar tempat

tidur pasien di rumah sakit berupa slide sheet. Slide sheet atau “perlak” dapat berupa lembaran kain

yang digunakan untuk membantu memindahkan pasien. Sewaktu perawat melakukan pemindahan

pasien dengan menggunakan slide sheet, posisi tubuh pasien masih mengalami perubahan. Slide

sheet tidak bisa digunakan dalam aktivitas pemindahan pasien antar tempat tidur pasien apabila

ketinggian tempat tidur bangsal dan tempat tidur transit tidak sama.

Dalam kenyataannya, di suatu rumah sakit terkadang masih memposisikan tempat tidur

bangsal sebagai transit serta tidak adanya konsep yang membantu dalam pemindahan pasien antar

tempat tidur pasien. Padahal diperlukan alat akomodasi utama yang dirancang khusus untuk

membantu memindahkan pasien antar tempat tidur pasien. Umumnya tempat tidur transit di rumah

sakit, bagian plat penempatan kasur pasien menyatu dengan bagian kerangkanya sehingga tidak

dapat digerakkan. Dengan mekanisme yang memungkinkan perpindahan bagian plat penempatan

kasur pasien, diharapkan pemindahan pasien dapat dilakukan antar tempat tidur bangsal dan transit

sehingga mengurangi potensi low back pain bagi perawat dan pasien merasa nyaman.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

perancangan konsep tempat tidur rumah sakit yang mempertimbangkan proses pemindahan pasien

sehingga dapat mengurangi keluhan low back pain perawat.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Tahap I (Tahap Pendahuluan)

Tahap ini merupakan langkah awal dalam memulai penelitian. Latar belakang

menunjukkan bahwa terdapat suatu permasalahan sehingga layak untuk diangkat ke dalam

penelitian ini. Latar belakang penelitian ditentukan dengan mengangkat suatu permasalahan yang

ada pada proses pemindahan pasien antar tempat tidur rumaha sakit (bangsal dan transit) yang

dilakukan oleh perawat. Kemudian bedasarkan penjelasan latar belakang peneliti menentukan

perumusan masalah sebagai batasan pembahasan yang akan dilakukan pada penelitian ini. Setelah

perumusan masalah ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dan manfaat

penelitian, sebagai penjelasan tentang solusi yang akan dipenuhi untuk menyelesaikan

permasalahan yang terjadi, dimana solusi yang akan diberikan pada penelitian ini untuk

menyelesaikan permasalahan pada proses pemindahan pasien antar tempat tidur rumah sakit

dengan merancang tempat tidur bangsal dan transit beserta alternatif mekanisme pemindahan

pasien.

Page 378: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.13. Perancangan konsep tempat tidur rumah sakit ... (Rahmaniyah D. Astuti, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.72

2.2 Tahap II (Pengumpulan Data)

Tahap ini diawali dengan deskripsi permasalahan meliputi observasi tempat tidur bangsal

maupun transit yang terdiri dari penelitian mendalam mengenai permasalahan pada proses

pemindahan pasien. Observasi dilakukan dengan wawancara perawat dan pemberian kuesioner

Nordic Body Map.

2.3 Tahap III (Pengolahan Data)

Tahap ini dilakukan dengan penentuan fitur dan konsep perancangan, yang merubah

kebutuhan perancangan berdasarkan harapan dan keluhan perawat, fitur dan ide rancangan serta

kebutuhan rancangan dari perancang, pengumpulan data anthropometri, penentuan dimensi utama

rancangan serta fitur-fitur penunjang rancangan, rancangan keseluruhan produk.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Identifikasi Masalah

Data yang diambil meliputi komponen-komponen tempat tidur pasien baik transit maupun

bangsal, dimensi tempat tidur pasien dan prosedur penggunaan tempat tidur pasien awal. Hasil

pengumpulan data tempat tidur transit dan bangsal adalah sebagai berikut:

Tempat tidur transit merupakan tempat tidur pasien yang berada di kamar transit operasi.

Tempat tidur transit digunakan untuk membawa pasien sebelum dan sesudah operasi. Pasien yang

akan menjalani operasi dibawa oleh perawat menggunakan tempat tidur bangsal dari tempat tidur

pasien (bangsal) di bagian IGD menuju kamar transit.

Mekanisme pemindahan pasien di Rumah Sakit ”ZZZ” Surakarta dapat dilihat pada bagan

di bawah ini :

Gambar 1. Mekanisme pemindahan pasien di Rumah Sakit Islam Surakarta

Postur tubuh perawat pada aktivitas pemindahan pasien dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Postur tubuh saat mengangkat pasien

Postur tubuh saat pengangkatan pasien dilakukan dengan postur membungkuk karena

ketinggian tempat tidur pasien kurang sesuai dengan anthropometri tinggi perawat. Proses ini

dilakukan oleh tiga perawat, perawat secara bersamaan mengangkatan pasien dari tempat tidur

bangsal. Postur ini menyebabkan keluhan nyeri bagian leher, punggung, bahu dan pinggang.

b. Postur tubuh saat meletakkan pasien

Postur tubuh saat meletakkan pasien dilakukan dengan postur membungkuk. Perawat secara

bersamaan meletakkan pasien ke tempat tidur transit. Postur ini menyebabkan keluhan nyeri

pada leher, punggung, pinggang dan lutut.

Dalam proses pemindahan pasien, baik pengangkatan dan peletakkan pasien, perawat berusaha

melakukan gerakan yang sehalus mungkin sehingga tidak menimbulkan goncangan.

Gambar 2. Postur tubuh perawat saat mengangkat dan meletakkan pasien

Page 379: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.73

3.2 Hasil Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Deskripsi keluhan dan harapan perawat berdasarkan hasil wawancara dengan keenam perawat

dan kuesioner Nordic Body Map. Perawat yang melakukan pengangkatan dan pemindahan pasien

berusia 20 sampai 35 tahun. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung

dari perawat mengenai keluhan ketidaknyamanan yang dialami perawat pada aktivitas

pengangkatan dan pemindahan pasien. Keluhan ketidaknyamanan ini yang nantinya diidentifikasi

menjadi kebutuhan perancangan. Identifikasi ini bertujuan untuk membantu perancang dalam

merancang tempat tidur transit dan bangsal. Hasil wawancara terhadap perawat mengenai keluhan

ketidaknyamanan pada aktivitas pemindahan pasien dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Keluhan Perawat Pada Aktivitas Pemindahan Pasien

No Keluhan Perawat Jumlah Perawat

1. Nyeri pada bagian leher 4 (dari 6)

2. Nyeri pada bagian punggung 6 (dari 6)

3. Nyeri pada bagian pinggang 4 (dari 6)

4. Nyeri pada bagian bahu 4 (dari 6)

5. Nyeri pada bagian lutut 2 (dari 6)

Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mengetahui harapan perawat yang selanjutnya

dijadikan pertimbangan dalam perancangan. Tabel 2 menunjukkan beberapa pernyataan harapan

perawat mengenai aktivitas pemindahan pasien.

Tabel 2. Harapan Perawat

No Harapan Perawat Jumlah Perawat

1. Saya ingin posisi yang nyaman (badan tidak terlalu

membungkuk) saat melakukan pemindahan pasien. 6 (dari 6)

2. Saya ingin rancangan tempat tidur pasien yang bisa

mengurangi nyeri di punggung. 6 (dari 6)

3. Saya ingin tempat tidur pasien dengan mekanisme

sederhana yang mudah digunakan. 4 (dari 6)

4. Saya ingin aktivitas pemindahan pasien tetap bisa

dilakukan walau hanya dengan 1 perawat. 4 (dari 6)

5. Saya ingin tempat tidur pasien yang bisa membantu

pemindahan pasien antar tempat tidur pasien. 6 (dari 6)

2. Penentuan fitur dan konsep perancangan dalam penelitian ini terdiri dari penentuan kebutuhan

perancangan berdasarkan harapan dan keluhan perawat, penentuan fitur dan ide rancangan serta

kebutuhan rancangan dari perancang.

a) Dari keluhan dan harapan perawat dapat ditentukan kebutuhan perancangan.

b) Dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan perancangan, kemudian diidentifikasikan

menjadi fitur rancangan. Penambahan kebutuhan rancangan dari perancang bertujuan untuk

melengkapi kebutuhan perancangan dan fitur yang harus ada pada rancangan. Fitur remote

brake (pengerem roda depan pada tempat tidur transit) berdasarkan sistem pengereman roda

sepeda pada umunya. Fitur remote lock I (pengunci plat I penempatan kasur pasien) dan remote

lock II (pengunci antar tempat tidur pasien) berdasarkan sistem remote lock pada sepeda yang

biasanya sebagai pengatur suspensi dan perpindahan ger sepeda. Dengan pengaplikasian remote

brake dan remote lock ini, perawat tidak harus menundukkan kepala untuk melakukan

pengereman dan penguncian. Posisi tangan perawat pada remote brake dan remote lock,

pandangan mata perawat tetap fokus ke arah depan sehingga tetap konsentrasi terhadap medan

tempuh. Mekanisme sliding berdasarkan prinsip kerja slide sheet yang digunakan dalam

aktivitas pemindahan pasien antar tempat tidur rumah sakit. Berdasarkan fitur rancangan yang

ditambah dengan kebutuhan rancangan dari perancang, dapat dikembangkan ide-ide rancangan

tempat tidur transit dan bangsal. Ide rancangan yang dikembangkan diharapkan mampu

memenuhi kebutuhan dan berdasarkan prinsip ergonomi agar perawat dapat menggunakan hasil

rancangan dengan nyaman.

Ide rancangan yang dikembangkan adalah merancang ketinggian tempat tidur bangsal dan

transit sama tinggi disesuaikan dengan anthropometri tinggi badan. Merancang plat penempatan

Page 380: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

E.13. Perancangan konsep tempat tidur rumah sakit ... (Rahmaniyah D. Astuti, dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

E.74

kasur pasien yang dapat digeser antar tempat tidur pasien sehingga pasien dapat dipindahkan. Plat I

penempatan kasur pasien dirancang terpisah dengan plat II penempatan kasur pasien, plat I berada

di atas plat II penempatan kasur pasien. Plat I penempatan kasur pasien terdiri dari 2 bagian yang

dihubungkan dengan engsel yaitu bagian atas (head bed plate) dan bagian bawah (fix bed plate).

Roda di desain pada bagian head bed plate, bagian fix bed plate dan bagian engsel. Dalam

perancangan tempat tidur transit masih tetap mempertahankan desain tempat tidur transit awal yang

dilengkapi dengan tempat tabung oksigen di bagian bawahnya. Selain itu, perancangan tempat tidur

bangsal juga masih mempertahankan desain tempat tidur bangsal awal. Perancangan tempat tidur

transit dan bangsal juga berdasarkan data anthropometri dan sistem ergonomi agar dapat

mengurangi potensi low back pain bagi perawat dan pasien merasa nyaman. Dalam ide rancangan

dan mekanisme pemindahan pasien antar tempat tidur bangsal dan transit memperhatikan beberapa

aspek, dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

Gambar 3. Aspek dalam ide rancangan dan mekanisme pemindahan

Dalam perancangan tempat tidur transit dan bangsal ini juga diperlukan data anthropometri

yang digunakan untuk menetapkan ukuran rancangan. Hal ini dimaksudkan agar rancangan yang

dihasilkan dapat digunakan dengan baik. Pengumpulan data anthropometri diperoleh dari jurnal

„Korelasi Dimensi Tubuh Manusia Indonesia Sebagai Acuan penentuan Dimensi Tubuh Manusia’,

karya Anny Maryani, 2004. Data anthropometri tersebut di dapat dari sampel yang terdiri dari 313

pria, dan 233 wanita, berusia 19-35 tahun. Setelah hasil pengukuran di dapat, hasil pengukuran

tersebut diseragamkan dengan cara membuang data-data ekstrim (nilainya diluar batas atas dan

batas bawah). Setelah diseragamkan, didapat data seragam untuk pria 144 data, dan wanita 118

data. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel anthropometri untuk persentil 5%, 50% dan 95%

yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Data tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai

dasar penentuan dimensi pada perancangan tempat tidur transit dan bangsal. Dalam tahapan ini

memperhatikan perbandingan antara ukuran tempat tidur pasien (transit dan bangsal) awal dengan

ukuran yang seharusnya berdasarkan data anthropometriData perbandingan antara dimensi tempat

tidur pasien dengan ukuran yang seharusnya berdasarkan data anthropometri di atas yang akan

digunakan sebagai dasar perancangan tempat tidur transit dan bangsal.

3. Dalam tahapan rancangan keseluruhan produk ini berdasarkan perancangan bagian per bagian

dari rancangan, kemudian rancangan disatukan menjadi rancangan utuh.

Gambar 4. Rancangan tempat tidur transit (posisi normal)

Page 381: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang E.75

Gambar 5. Rancangan tempat tidur bangsal (posisi normal)

4. KESIMPULAN

1. Penelitian ini menghasilkan rancangan konsep tempat tidur rumah sakit (tempat tidur bangsal

dan transit) yang mempertimbangkan proses pemindahan pasien yang secara konseptual dapat

mengurangi keluhan low back pain perawat.

2. Ketinggian tempat tidur transit dan bangsal pada hasil rancangan didesain dengan ketinggian

yang sama. Didesain dengan roda dan rel pada plat penempatan kasur yang bertujuan

menghilangkan aktivitas pengangkatan pasien.

3. Rancangan tempat tidur pasien yang dilengkapi dengan remote brake (pengerem roda depan

untuk tempat tidur transit), remote lock I (pengunci plat I penempatan kasur pasien untuk tempat

tidur transit dan bangsal) dan remote lock II (pengunci antar tempat tidur transit dan bangsal).

4. Mekanisme pemindahan pasien antar ruang dengan perancangan konsep tempat tidur transit dan

bangsal yang baru dapat diimplementasikan menjadi tiga alternatif, yaitu :

a) Pasien dari kamar pasien dibawa dengan tempat tidur bangsal ke ruang transit, kemudian

dipindahkan ke tempat tidur transit oleh satu perawat. Setelah itu dibawa ke ruang operasi.

b) Pasien dipindahkan dari tempat tidur bangsal ke tempat tidur transit di kamar pasien oleh satu

perawat, kemudian dibawa ke ruang operasi.

c) Pasien dipindahkan dari tempat tidur bangsal ke tempat tidur transit di kamar pasien oleh satu

perawat. Kemudian dibawa ke ruang transit untuk dipindahkan ke tempat tidur transit yang

kedua, dengan alasan menjaga sterilisasi.

Dari ketiga alternatif di atas, setelah operasi pasien dibawa ke recovery room dengan tempat

tidur transit sebelum dipindahkan kembali ke tempat tidur bangsal dengan mekanisme yang

sama.

DAFTAR PUSTAKA

Corlett, E.N. 1992. Evaluation Of Human Work, A Practical Ergonomics Methodology. London:

Tayor & Francis. Inc.

Feletto, M., and Graze, W. 2001. A Back Injury Prevention Guide For Health Care Provider.

California: Sacramento, CA.

Maniadakins, N., and Gray, A. 2000. The Economic Burden of Back Pain in The UK. Pain 2000,

84: 95–103.

Marras, W. S., Davis, K. G., Kirking, B. C., and Bertsche, P. K. 1999. A Comprehensive Analysis

of Low-Back Disorder Risk and Spinal Loading During the Transferring and

Repositioning of Patients Using Different Techniques. Ergonomics, 42: 904-926.

Nelson, A. 2003. State of The Science in Patient Care Ergonomies: Lesson Learned and Gaps in

Knowledge. Third Annual Safe Patient Handling and Movement Conference : Clearwater

Beach.

Nurmianto, E. 2004. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Edisi 2. Surabaya: Guna Widya.

Pullat, B.M. 1992. Fundamentals of Industrial Ergonomics. United States of America: Prentice

Hall Inc.

Roebuck, J. A. 1975. Body Space Antropometry, Ergonomi and Design. London : Taylor & Francis

Inc.

Page 382: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.1

ANALISIS HAMBATAN IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT

DI WILAYAH KECAMATAN TINGKIR, SALATIGA

Yusuf Sulistyo Nugroho*), Fatah Yasin Al Irsyadi**

)

Jurusan Teknik Informatika Fakultas Komunikasi dan Informatika UMS

Jl.A.Yani Tromol Pos I Pabelan, Kartasura, Surakarta Email :

**) [email protected] ,

**) [email protected]

Abstrak

E-government telah diterapkan di berbagai wilayah dan instansi di seluruh Indonesia, namun

tidak semua penerapannya berjalan optimal. Hal ini dikarenakan tiap wilayah atau instansi

memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga kendala yang dihadapi juga terjadi perbedaan.

Hal ini yang sering dirasakan oleh warga Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga terhadap

pelayanan menggunakan e-government yang tidak sepenuhnya berjalan lancar. Untuk itu,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem informasi yang diterapkan di

Kecamatan Tingkir, Salatiga dan mengetahui alasan utama tidak optimalnya penerapan sistem

informasi yang ada. Berdasarkan obyek penelitian, terdapat dua data penting yang diperlukan

dari proses studi ini. Pertama, data primer seperti kondisi nyata yang meliputi implementasi

dan infrastruktur e-government pemerintah daerah. Data primer ini diperoleh dengan

observasi dan angket yang didistribusikan di 3 instansi pemerintah wilayah Kecamatan

Tingkir. Kedua, data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan pada hal

tersebut maka pendekatan studi yang dipakai adalah perpaduan antara metode survei dan

non-survei. Dengan perpaduan ini diharapkan mampu dihasilkan data yang lengkap dan tepat

sehingga mampu mereduksi bias kesalahan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini

dapat diketahui bahwa model sistem informasi yang diterapkan di 3 (tiga) instansi

pemerintahan yakni Kecamatan Tingkir, Kelurahan Gendongan dan Kelurahan Kalibening

pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu tersentralisasi/terpusat, namun tingkat kesiapan

implementasinya tergantung pada ketersediaan SDM dan komitmen pimpinan lembaga

masing-masing. Di samping itu, ketergantungan keputusan pada pimpinan lembaga menjadi

hambatan dalam melaksanakan e-Government. Dengan demikian visi pemimpin sangat

berpengaruh terhadap komitmen birokrasi pemerintahan dalam melayani masyarakat melalui

e-Government.

Kata kunci: e-Government, observasi, implementasi, tersentralisasi

PENDAHULUAN Selama 10 tahun terakhir ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi demikian

pesatnya, bahkan dalam waktu kurang dari satu tahun dapat terjadi beberapa kali perubahan

teknologi yang setiap perubahan tidak jarang terjadi perubahan mendasar yang cukup signifikan.

Adanya perubahan yang mendasar di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah

menyebabkan perubahan yang mendasar pula pada berbagai aspek, bahkan pada saat ini informasi

telah menjadi komoditi yang sangat berharga dan menentukan untuk mencapai suatu keberhasilan

(Arief, dkk, 2005). Tidak disangkal lagi bahwa teknologi informasi dan komunikasi dapat

digunakan untuk menunjang dalam sistem operasional dan manajerial dari berbagai kegiatan

institusi yang di dalamnya termasuk kegiatan pemerintahan baik dari pemerintah pusat sampai

pemerintah tingkat daerah.

Salah satu bentuk teknologi informasi yang diterapkan di pemerintahan tingkat daerah

adalah sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK). Sistem administrasi kependudukan ini

merupakan sub sistem dari sistem administrasi negara yang memiliki peranan penting dalam

pemerintahan. Penyelenggaraan administrasi kependudukan diarahkan pada pemenuhan hak asasi

setiap orang di bidang pelayanan administrasi, pemenuhan data statistik dan peristiwa

kependudukan yang meliputi mutasi seperti datang, pergi, lahir dan mati penduduk. Dengan

demikian perubahan jumlah penduduk dapat diketahui dari waktu ke waktu. Perubahan jumlah

penduduk ini dapat digunakan untuk merencanakan pembangunan, pemenuhan kebutuhan dasar

dan penyelenggaraan kesejahteraan pada umumnya.

Page 383: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.1. Analisis hambatan implementasi e-government … (Yusuf S. Nugroho dan Fatah Y. Al Irsyadi)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.2

Saat ini pemerintah telah berusaha menerapkan dan mengembangkan e-government di

berbagai wilayah dan instansi di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan

hingga tingkat nasional. Namun tidak semua penerapan e-government berjalan secara optimal. Hal

ini dikarenakan tiap wilayah atau instansi memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga kendala

yang dihadapi juga terjadi perbedaan. Sebagai contoh penerapan e-government di wilayah

Kecamatan Tingkir, Salatiga. Hampir semua desa/kelurahan yang tersebar di wilayah kecamatan

ini mengalami kendala yang sama dalam hal penerapan e-government. Hal ini dapat dilihat ketika

proses pelayanan pembuatan atau perpanjangan masa berlaku KTP (Kartu Tanda Penduduk),

penelusuran data kependudukan dan layanan lainnya yang tidak sepenuhnya berjalan secara

optimal.

Sebagai contoh pada saat proses perpanjangan masa berlaku KTP di Kelurahan Kalibening

Salatiga. Masyarakat tidak terlayani dengan baik karena belum adanya petugas yang mampu

mengoperasikan perangkat e-government. Pihak kelurahan terpaksa meminta bantuan pada salah

seorang warga yang mampu mengoperasikan perangkat tersebut. Hal ini menyebabkan proses tidak

bisa berlangsung mudah, efektif dan efisien karena sangat tergantung pada warga tersebut yang di

sisi lain memiliki tugas dan kesibukan sendiri di luar kepentingan kelurahan. Sehingga tujuan

penerapan e-government belum tercapai secara maksimal. Hal ini dapat menggambarkan bahwa

penerapan e-government belum dapat terlaksana dengan optimal.

Sementara tuntutan terhadap pelaksanaan e-government tetap dan tidak dapat ditunda dan

harus dilaksanakan sesuai dengan tujuan pemerintah, sehingga Pemerintah Kota Salatiga harus

mampu mengatasi kendala-kendala yang terjadi. Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui berbagai kendala yang ada, baik dari segi teknologi informasi maupun segi sosial

masyarakat, dan memberikan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai kendala tersebut.

METODOLOGI

A. Pendekatan Studi

Berdasarkan obyek penelitian, terdapat dua data penting yang diperlukan dari proses studi

ini. Pertama, data primer seperti kondisi nyata yang meliputi implementasi dan infrastruktur e-

government pemerintah daerah. Data primer ini diperoleh dengan observasi dan angket. Kedua,

data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.

Berdasarkan pada hal di atas maka pendekatan studi yang dipakai adalah perpaduan antara

metode survei dan non-survei. Dengan perpaduan ini diharapkan mampu dihasilkan data yang

lengkap dan tepat sehingga mampu mereduksi bias kesalahan dalam penelitian ini.

1. Metode Survei

Metode ini digunakan untuk memperoleh data pendukung, khususnya data yang bersifat

kualitatif yang dapat menjawab aspek hambatan implementasi e-government. Di samping itu,

dengan metode survei dapat diperoleh data yang lebih up to date sementara itu data sekunder

biasanya memiliki tenggang waktu sekitar 2 tahun.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan snowball sampling, yakni

mengimplikasikan jumlah yang semakin membesar seiring dengan perjalanan waktu pengamatan.

Penelitian mengambil data pertama dari seorang key informant (Informan kunci) kemudian

menanyakan kepada informan kepada siapa lagi masalah tersebut harus ditanyakan (Pawito, 2007:

92).

2. Metode Non-Survei

Berbeda dengan metode survei, metode ini mengacu pada data sekunder yang telah ada,

termasuk data yang tersedia di literatur-literatur ilmiah yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga-

lembaga terkait.

B. Pemilihan lokasi penelitian.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Tingkir, Salatiga yang terdiri dari 3 (tiga)

instansi pemerintah pengguna e-government yaitu Kantor Kecamatan Tingkir, Kantor Kelurahan

Gendongan dan Kantor Kelurahan Kalibening. Lokasi penelitian ini dipilih dengan pertimbangan

situasi dan kondisi yang merupakan wilayah kecil dengan jumlah penduduk yang memiliki tingkat

kepadatan tinggi sehingga diharapkan dapat mewakili sebagai daerah tujuan dari penelitian ini.

Page 384: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.3

C. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan metode Snowball

Sampling di 3 (tiga) instansi pemerintah di wilayah Kecamatan Tingkir.

D. Pengumpulan data.

Data yang diperlukan diperoleh dari dua sumber, yaitu:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian untuk

mendapatkan data yang diperlukan, melalui :

a) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan

terhadap obyek.

b) Interview (wawancara), yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya

jawab langsung secara lisan terhadap responden.

c) Kuesioner, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara memberikan beberapa

pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh obyek penelitian sebagai responden.

2. Data Sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang berfungsi sebagai

data pendukung. Data ini diperoleh antara lain dari:

a) Buku-buku ataupun laporan-laporan hasil penelitian yang pernah dilakukan, sepanjang

masih ada hubungannya dengan tujuan penelitian ini agar diperoleh hasil yang lebih baik.

b) Data-data dari instansi setempat maupun instansi-instansi terkait yang berkaitan sebagai

data pendukung penelitian.

E. Analisis data

Hal penting yang perlu diingat dalam melakukan analisis data adalah mengetahui dengan

tepat penggunaan alat analisis, sebab jika kita tidak memenuhi prinsip-prinsip dari pemakaian alat

analisis, walaupun alat analisisnya sangat canggih, hasilnya akan salah diinterpretasikan dan

menjadi tidak bermanfaat untuk mengambil suatu kesimpulan. Analisis data yang dilakukan

meliputi pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status

terakhir dari obyek penelitian. Analisis berupaya untuk memperoleh deskripsi yang lengkap dan

akurat dari suatu situasi. Dalam penelitian ini, analisis digunakan untuk mengemukakan hasil

penelitian mengenai hambatan implementasi e-government.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi e-government di

Kota Salatiga secara umum diperoleh berdasarkan data-data yang dikumpulkan meliputi data

primer dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian di Salatiga.

Dilengkapi dengan data sekunder yang diperoleh dari studi literatur/kepustakaan dari instansi

terkait.

Berikut adalah hasil penelitian di 3 (tiga) instansi pemerintahan di Kecamatan Tingkir.

Tabel 1. Ketersediaan Organisasi TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)

Pertanyaan Kecamatan Tingkir Kelurahan

Gendongan

Kelurahan

Kalibening

Apakah ada unit khusus pengelola

TIK? Ada Ada Tidak

Apa nama lembaga pengelola TIK

tersebut?

Bagian Humas Setda

Kota Salatiga PDE -

Tingkat eselon lembaga ini? Bagian Kantor Sub Bagian

Page 385: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.1. Analisis hambatan implementasi e-government … (Yusuf S. Nugroho dan Fatah Y. Al Irsyadi)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.4

Tabel 2. Kepemimpinan

Pertanyaan Kecamatan

Tingkir

Kelurahan

Gendongan

Kelurahan

Kalibening

Apakah lembaga anda memiliki

rencana strategi e-Government ?

Ya Ya Ya

Apakah lembaga anda memiliki blue

print / master plan e-Government ?

Ya Ya Ya

Apabila terjadi pergantian pimpinan

tertinggi lembaga anda, maka

implementasi e-Government akan tetap

berjalan?

Ya Ya Ya

Bagaimana keterlibatan pimpinan

lembaga dalam implementasi e-

Government?

Memberikan

masukan,

review dan

persetujuan

dalam

perencanaan

dan

implementasi

e-Government

lembaga

Memberikan

masukan,

review dan

persetujuan

dalam

perencanaan

dan

implementasi

e-Government

lembaga

Hanya

memberikan

persetujuan

Siapakah pejabat (selaku CIO) yang

bertanggung jawab atas seluruh

implementasi e-Government?

Bagian

organisasi

setda kota

salatiga /

Dukcapil

Pimpinan

tertinggi

lembaga

Pimpinan

tertinggi

lembaga

Siapakah yang memiliki peran aktif

yang memastikan bahwa layanan e-

Government lembaga anda

memberikan peningkatan kualitas

layanan masyarakat?

Bagian

organisasi

setda kota

salatiga / PDE

Pejabat TI

lembaga

Pimpinan

tertinggi

lembaga

22

0

2

7

13

0

16

0

2

5

9

0

8

01 1

6

00

5

10

15

20

25

Total Pegawai Pejabat Eselon II

Pejabat Eselon III

Pejabat Eselon IV

Staf PNS Staf Honorarium

Jumlah

Jumlah SDM di Kecamatan Tingkir

Jumlah Pegawai Jumlah Pegawai Bisa Komputer Jumlah Pegawai Bisa Internet

Gambar 1. Jumlah SDM Kantor Kecamatan Tingkir

Page 386: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.5

20

0 0

6

13

1

15

0 0

6

8

1

10

0 0

5 5

00

5

10

15

20

25

Total Pegawai Pejabat Eselon II

Pejabat Eselon III

Pejabat Eselon IV

Staf PNS Staf Honorarium

Jumlah

Jumlah SDM di Kelurahan Gendongan

Jumlah Pegawai Jumlah Pegawai Bisa Komputer Jumlah Pegawai Bisa Internet

Gambar 2. Jumlah SDM Kantor Kelurahan Gendongan

10

0 0

6

4

0

7

0 0

4

3

0

5

0 0

4

1

00

2

4

6

8

10

12

Total Pegawai Pejabat Eselon II

Pejabat Eselon III

Pejabat Eselon IV

Staf PNS Staf Honorarium

Jumlah

Jumlah SDM di Kelurahan Kalibening

Jumlah Pegawai Jumlah Pegawai Bisa Komputer Jumlah Pegawai Bisa Internet

Gambar 3. Jumlah SDM Kantor Kelurahan Kalibening

Analisis Deskriptif

Tabel 1 menjelaskan tentang ketersediaan organisasi TIK dari masing-masing instansi.

Ketersediaan unit khusus pengelola TIK tersebut berbeda di setiap instansi. Kelurahan Gendongan

memiliki unit khusus pengelola TIK yaitu PDE (Pengolahan Data Elektronik) sedangkan di

Kecamatan Tingkir ditangani oleh Bagian Humas Setda. Namun di Kelurahan Kalibening tidak

memiliki unit khusus tersebut sehingga menjadi salah satu hambatan tidak termanfaatkannya TIK

secara optimal. Sebagai contoh ketika ada masyarakat yang membutuhkan surat pengantar untuk

pembuatan KTP, terpaksa pihak kelurahan mendatangkan orang lain yang dianggap mampu di

bidang TIK untuk membuatkan surat pengantar tersebut.

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat peran aktif pimpinan lembaga dalam menentukan

implementasi e-government di instansi masing-masing. Di Kecamatan Tingkir dan Kelurahan

Gendongan, pimpinan lembaga terlibat aktif dalam memberikan masukan, review dan persetujuan

dalam perencanaan serta implementasi e-Government lembaga. Di samping itu, Kecamatan Tingkir

dan Kelurahan Gendongan sudah memiliki level manajemen yang bertanggungjawab atas seluruh

implementasi e-government yaitu pejabat TI. Sedangkan di Kelurahan Kalibening belum memiliki

Page 387: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.1. Analisis hambatan implementasi e-government … (Yusuf S. Nugroho dan Fatah Y. Al Irsyadi)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.6

level manajemen yang bertanggungjawab terhadap TI sehingga implementasi e-government sangat

tergantung pada pimpinan tertinggi lembaga.

Gambar 1, gambar 2 dan gambar 3 menjelaskan tentang jumlah SDM dari masing-masing

instansi. Setiap instansi memiliki SDM yang mampu mengoperasikan komputer dan internet lebih

dari 50% dari total pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa SDM di masing-masing instansi

memungkinkan untuk implementasi e-government.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Model sistem informasi yang diterapkan di 3 (tiga) instansi pemerintahan yakni Kecamatan

Tingkir, Kelurahan Gendongan dan Kelurahan Kalibening pada dasarnya memiliki kesamaan

yaitu tersentralisasi/terpusat, namun tingkat kesiapan implementasinya tergantung pada

ketersediaan SDM dan komitmen pimpinan lembaga masing-masing.

2) Ketersediaan organisasi TIK mempengaruhi terhadap implementasi e-Government di Salatiga.

Hal ini terlihat di Kelurahan Gendongan yang memiliki unit khusus pengelola TIK yaitu PDE

(Pengolahan Data Elektronik) sedangkan di Kecamatan Tingkir pengolahan e-Government

ditangani oleh Bagian Humas Sekretariat Daerah Kota Salatiga. Sementara di Kelurahan

Kalibening tidak memiliki unit tersebut sehingga menjadi salah satu hambatan tidak

termanfaatkannya fasiltas Teknologi Informasi dan Komunikasi yang telah tersedia secara

optimal.

3) Peran aktif pimpinan lembaga juga mempengaruhi implementasi e-Government.

Ketergantungan keputusan pada pimpinan lembaga tersebut menjadi hambatan dalam

melaksanakan e-Government. Dengan demikian visi pemimpin sangat berpengaruh terhadap

komitmen birokrasi pemerintahan dalam melayani masyarakat melalui e-Government.

Daftar Pustaka

Arief, M., Samargi, M. Layooari, 2005. Analisa Hasil Survei Kondisi Teknologi Informasi

Kabupaten Dompu dalam Rangka Pengembangan Rencana Strategis E-Government,

Prosiding KNSI 2005, Bandung.

Dasuki, 2008. Memposisikan Pekerja Sosial sebagai Ketahanan Sosial Masyarakat dalam

Pengembangan E-Government Di Indonesia, Margaguna.

J. Surat Djumadal, 2005. Penerapan E-Government dan Berbagai Kendala di Pemerintah Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan

Komunikasi Indonesia, ITB.

Pawito, 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.

Raharjo, Budi, 2001. Membangun E-Government, PPAU Mikroelektronika ITB.

Teguh Kurniawan, 2006. Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui

Penerapan E-Government di Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi

2006, Bandung.

Page 388: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.7

BUILDING AN APPLE IPAD MINI THEATER SYSTEM

THROUGH IXTREAMER

Budi Berlinton Sitorus Program Studi Teknik Informatika, Fak.Ilmu Komputer, UPH

Jl.M.H.Thamrin No.2, Karawaci, Tangerang, Banten E-mail: [email protected]

Abstrak

iPad as a tablet PC was designed to be used as personal tablet PC. It offers several exciting

features for users to browse, schedule, open documents, play game, listen to music, view

photos, and more. Unfortunately, they only can be enjoyed personally. They are possible to

extend by the help of couple of peripherals such as Apple Digital AV adapter, Camera

Connection Kit, Composite Cable, etc. It may not result the great performance which involves

limitation to iPad for wider use. The features offered are possible to extent in the purpose of

using iPad not only as personal device but also usage of iPad for larger scope. Xtreamer

technology, specifically iXtreamer, make it possible for iPad to enhance and build a mini

theater system. Their combination will improve the perform of iPad. A research was conducted

to explore the limitations it has and find solutions. By combining iPad and iXtreamer, an

enhanced function of iPad will show how the iPad becomes a mini theater system. This system

is extending the capability of iPad previously as a personal device only to a great system

offering high multimedia features

Keywords: tablet PC, iPad, mini theater system, multimedia, iXtreamer

INTRODUCTION

One of the popular tablet PC is iPad launced by Apple as the same manufacture of other

iPod, iPhone, Mac, etc. It is primarily as a platform for audio-visual media including books,

periodicals, movies, music, games, apps and web content and mainly designed as personal use

purposes. Originaly, it has two internal speakers reproducing left and right channel audio located

on the bottom-right of the unit. In iPad1, the speakers push sound through two small sealed

channels leading to the three audio ports carved into the device [ Djuric, 2010]. Not only the

speakers exist, but also it provides a microphone that can be used for voice recording. It also

features 1024×768 VGA video output for limited applications, screen capture,connecting an

external display or television through an accessory adapter.

There are two ways in iPad possible to view its screen display through the AV Adapter

which are (1) Video Mirroring ; and (2) Video Out. By Video mirroring , the external display will

show the same content , while in Video out, display only on an external display. To use both ways,

an Apple Digital AV Adapter or VGA Adapter is a must. It is possible to display to an external

TV, or digital projector. Some applications supporting this feature are Video, Safari, YouTube,

Photos and Keynote. Apple also provides some peripheral such as Camera Connection Kit,

Composite Cable, to support display to external devices.

Usage of those peripherals may increase iPad functionality which previously for personal

use only to become a better media. For example, the use of the composite cable may return the

display of the video files it has to a larger view either to a projector or to a big TV. Audio Video

(AV) wiring or connections will end up to some advantages as long as they are correctly

configured. [Hofstetter, 2001] Another example is, for it is designed to personal use, the level of

the sound produced is limited, inadequately to support bigger environment. Therefore connecting

iPad to an active speaker may fulfill the demand.

Incorporating additional media may arise some issues to concern. Much of what is

considered technical issues with additional issues should be determined carefully. One of the

important issue of using additional audio device is the viewer control. [Bennett, 2005]

Unfortunately the two channels source it has will limit the expansion the iPad and it

requires other media to produce a high standar Dolby Pro Logic technology. This technology

enables production of multichannel home experience that decodes source audio to four-channel

Page 389: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.2. Building an apple iPad mini theater system … (Budi B. Sitorus)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.8

capability [Parekh, 2006]. As a portable mobile device, one of its features is fully supporting the

video streaming. Video streaming comprises of three major component: (1) streaming server

(sender); (2) the Internet; and (3) a client (receiver) [Fong & Sui, 2006]. Oen of the most useful

illusions in sound perception is stereophony. The brain identifies the source of a sound on the basis

of differences in intensity and phase between the signals received from the left and right ears

[Chapman & Chapman, 2009].

Other important aspect to consider is what is called subjective quality factors. Viewer of

the video when watching depends on many factors : (1) individual interests and expectations; (2)

display type and properties, (3) viewing conditions; (4) the fidelity of the reproduction; and (5)

accompanying soundtrack [Winkler, 2005]. The digital video started when Apple Computer

invented FireWire or IEEE 1394, a protocol that allows digital video cameras and computers to

transmit digital video signals back and forth. [Rysinger, 2005]

METHOD

Initially, substantial amount of literatures have been reviewed to come up with an idea for

formulating this paper. Next step is to investigate the limitations of iPad which previously for

personal purpose only, as part of the analysis phase. Table 1 shows the standard iPad specs

Table 1. Standar iPad Specs.

Audio Stereo, 3.5 mm TRRS connector

audio-out

Screen Display 9.7 inche (250 mm) multi touch

display at a resolution of 1024 x

768 pixels with LED backlighting

and a fingerprint and scratch-

resistant coating

TV Display Composite AV Cable

External Monitor Display VGA Mini Adapter

Its audio output is designed for personal use not larger audience, not enough power to

connect to external speakers. The screen display in 9.7 inches size, and for displaying to external

output device, either a VGA mini adapter cable used if device provides VGA port or a composite

AV cable if the device accepts RCA connection. Connection of iPad using mini adapter has a

drawback which is an interuption while displaying video files. It is fine for photos but not videos.

Figure 1. Shows diagram of the connection.

VGA Mini Adapter

Mini jack audio cableComposite AV Cable

Figure 1. iPad Connection Diagram

Page 390: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.9

To solve this limitations, an excellent hardware is required : (1) to boost level of the audio;

(2) to increase the audio control; (2) to enchance sound capability ; (4) to solve the video display

problem; and (5) to increase A media player, iXtreamer, has this capacity to answer the problems.

RESULTS AND DISCUSSION

The limitations that exist may get overcome by combining iPad with iXtreamer media

player. It is capable of streaming High-Definition (MKV H.264) movies or user-generated videos,

returning high-quality digital music and displaying high-resolution slideshows photos on your TV.

It is also equipped with 1 normal size 3.5" HDD capacity of up to 3TB storage, double memory and

docking fot the iPad to use iTunes collection on TV. It supports two types of audio output : (1)

analog and (2)digital. Its analog type uses stereo audio type but its digital support from 5.1Ch for

its optical and coaxial cable connection to 7.1Ch for its HDMI connection. Its video output

supports three types : (1)HDMI 1.3a ; (2) Component; and (3) Composite.

Figure 2. shows diagram of the combination of iPad and iXtreamer. Figure shows how iPad

now not only is available for personal use but combining iPad with also enable it to has greater

functions. The combination includes the following new features : (1) easiness and remotely control

to multimedia files; (2) higher-quality video display; (3) higher-quality audio environment and (4)

internet streaming simplicity.

LCD Projector LCD/LED TV

iXtreamer

5.1Ch Speakers

7.1Ch Speakers

Optical/ Coaxial

HDMI

RCAHDMI/

Composite/Component

Figure 2. shows diagram of the combination of iPad and iXtreamer.

Using iPad as a single device requires full multitouch interactivity of the user while

accessing it multimedia files. This combination adds an easy way to play multimedia files by a

remote control. The previously 9.7inches screen display now has increased to a high resolution

video files through HDMI connection to external device, wide screen LCD / LED TV. More

Page 391: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.2. Building an apple iPad mini theater system … (Budi B. Sitorus)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.10

important new feature is the raise of the standard audio environment, which previous listened by its

internal speaker or a headphone, now have combined with iXtreamer media player, iPad has

capability to provide high quality audio environment up-to a 7.1Ch Surround environment through

HDMI connection or 5.1 Ch audio environment through either optical or coaxial connection.

CONCLUSION

Combining iPad with iXtreamer create an enhanced function of iPad which previously as personal

use table computer to become a mini theater system. It extends the capability of iPad to a high

quality high multimedia environment

Acknowledgement

Special thanks to Universitas Pelita Harapan of the financial supports for conducting this research.

REFERENCES

Apple Inc., 2010, About iPad Dock Connector to VGA Adapter compatibility". May 8 2012,

http://support.apple.com/kb/ht4108

Bennett J.G., 2005, Design Fundamentals for New Media, Thomson Delmar Learning, USA

Chapman N., Chapman J. , 2009, Digital Multimedia, John Wiley & Sons Ltd, England.

Djuric M., 2010, "Apple A4 Teardown". iFixit. Retrieved May 8, 2012,

http://www.ifixit.com/Teardown/iPad-Teardown/2183/3#s11201

Fong A.C.M., Hui S.C, 2006, Multimedia Engineering: A pracrtical Guide for Internet

Implementation, Wiley, England.

Hofstetter F., 2001, Multimedia Literacy, Mc.GrawHill, NewYork

Parekh R., 2006, Principles of Multimedia, Tata McGrawHill, New Delhi

Rysinger L., 2005, Digital Video: An In-Depth Guide to the Art and Techniques of Digital Video,

Thomson Delmar Learning, USA

Winkler S., 2005, Digital Video Quality : Vision Models and Metrics, Wiley, England.

Page 392: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.11

PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP NILAI RESISTANSI

SENSOR GAS BERBAHAN POLYMER

Budi Gunawan*1)

, Arief Sudarmadji2)

1) Jurusan Teknik Elektro Fak Teknik Universitas Muria Kudus

2) Jurusan Teknologi Pangan Fak Pertanian UNSOED Purwokerto

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Polymer adalah bahan yang bersifat non konduktif. Material ini bisa dijadikan sebagai bahan

yang bersifat konduktif dengan menambahkan karbon aktif sebagai doping, bahan campuran

ini disebut composite polymer-carbon. Sifat konduktifitas dari bahan ini bisa berubah apabila

terpapar gas dengan perubahan resistansi tergantung dari jenis dan gas yang dideteksinya.

Dengan karakteristik ini, composite polymer-carbon bisa digunakan sebagai sensor gas. Sifat

konduktifitas dari sensor gas berbahan polymer ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya; jenis gas, konsentrasi gas, suhu dan kelembaban. Penelitian ini akan menguji

pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistansi dari sensor gas berbahan polymer.

Dalam pengujian ini akan dibuat sensor gas dari 6 jenis polymer, yaitu: PEG6000, PEG20M,

PEG200, PEG1540, Silicon and Squelene. Enam jenis polymer tersebut akan diuji dengan 9

jenis gas, yaitu : Acetone, Acetone Nitrile, Benzene, Ethanol, Methanol, Ethyl Acetone,

Chloroform, n-Hexane and Toluene. Metode pengujian dilakukan dalam sebuah chamber

terisolasi yang bisa dikondisikan variasi suhu dan kelembabannya. Hasil dari penelitian

menunjukkan bahwa nilai resistansi dari ke 6 jenis polymer naik sebanding dengan naiknya

suhu dan kelembaban.

Kata kunci: temperatur, kelembaban, polymer, resistansi, konduktifitas

PENDAHULUAN

Salah satu perkembangan dalam bidang sensor adalah penggunaan sensor dari bahan

kimia atau disebut chemical sensor. Polimer merupakan salah satu bahan kimia yg mempunyai sifat

awal non konduktif, dalam penelitian ditemukan cara untuk membuat polimer mempunyai sifat

konduktif. Cara untuk membuat polimer menjadi konduktif adalah dengan menambahkan karbon

aktif atau black carbon sebagai dopping. Polimer yang terdopping dengan karbon ini menjadi

sebuah komposit polimer-karbon. Komposit polimer karbon yang bersifat konduktif ini ternyata

mempunyai sifat berubah nilai resistansinya apabila terpapar dengan jenis gas tertentu dan nilai

resistansinya tidak sama antara satu jenis polimer dengan polimer yang lain. Karena sifat

konduktifitas yang berubah, maka komposit polimer-karbon bisa digunakan sebagai sensor gas [1]

.

Dalam eksperimen ini akan diuji karakteristik resistansi sensor polimer terhadap pengaruh

suhu dan kelembaban udara. Untuk mengetahui karakteristik resistansi dari sensor komposit

polimer-karbon, telah dibuat dan diuji sensor dari 6 jenis polimer, yaitu; Poly ethelin Glycol (PEG)

6000, PEG 1540, PEG 20M, PEG 200, silikon, dan squalane. Sebagai gas penguji digunakan 9

jenis gas, yaitu; aseton, aseton nitril, benzena, etanol, metanol, etil aseton, kloroform, n-hexan dan

toluena. Pengujian ini akan mengetahui hubungan antara variabel kenaikan suhu dan kelembaban

terhadap resistansi dari ke enam sensor polimer dengan injeksi sembilan gas penguji.

TINJAUAN PUSTAKA

Polimer merupakan senyawa-senyawa yang tersusun dari molekul besar yang terbentuk

oleh penggabungan berulang dari banyak molekul kecil. Molekul yang kecil disebut monomer dan

dapat terdiri dari satu jenis maupun beberapa jenis [3]

. Molekul panjang yang terbentuk

mengandung rantai-rantai atom yang dipadukan melalui ikatan kovalen melalui proses polimerisasi

dimana molekul monomer bereaksi bersama-sama membentuk suatu rantai linier atau jaringan tiga

dimensi dari rantai polimer[4]

. Molekul polimer umumnya mempunyai massa molekul yang sangat

besar. Hal inilah yang menyebabkan polimer memperlihatkan sifat sangat berbeda dari molekul-

molekul biasa meskipun susunan molekulnya sama.

Polimer merupakan materi non-konduktif atau bersifat isolator. Ada beberapa jenis

polimer yang bisa dibuat menjadi konduktif dengan memberi dopping karbon aktif. Tidak semua

Page 393: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.3. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistensi … (Budi Gunawan dan Arief Sudarmadji)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.12

polimer dapat menjadi konduktif. Hanya polimer terkonjugasi (ikatan pada rantai berupa ikatan

tunggal dan rangkap yang berposisi berselang-seling) yang bisa menjadi konduktor. Peranan atom

atau molekul doping adalah menghasilkan cacat dalam rantai polimer tersebut (cacat struktur).

Cacat inilah yang berperan dalam penghantaran listrik. Cacat dapat bermuatan positif, negative,

atau netral. Cacat ini berperilaku seolah-olah sebagai partikel. Cacat dapat berpindah sepanjang

rantai, sehingga menimbulkan aliran muatan. Elektron atau hole juga dapat meloncat dari satu

posisi cacat ke posisi cacat yang lain (cacat tidak berpindah), sehingga timbul pula aliran listrik [5]

.

Pemakaian polimer sebagai bahan sensor dipilih jenis polimer yang bisa bersifat konduktif

agar memenuhi sejumlah kriteria yang dituntut oleh suatu sensor. Salah satunya adalah bahwa

polimer itu harus mampu mengikat molekul-molekul yang dideteksinya sehingga mempengaruhi

sifat konduktifitasnya [6]

.

Sensor komposit polimer-karbon dibuat dari campuran polimer dengan karbon aktif.

Sensor ini mampu merespon rangsangan yang berasal dari berbagai senyawa kimia atau reaksi

kimia. Saat campuran dipapar dengan uap bahan kimia, maka uap bahan kimia akan mengenai

permukaan polimer dan berdifusi ke campuran bahan polimer dengan karbon dan menyebabkan

ukuran permukaan polimer bertambah luas karena adanya efek swelling. [7]

Efek swelling atau mengembang ini sebanding lurus dengan konsentrasi gas yang

dideteksi. Dengan efek mengembang ini memungkinkan perubahan luas permukaan komposit

polimer-karbon jika terkena gas. Efek swelling pada polimer diperlihatkan seperti pada gambar 1;

(a) (b)

Gambar 1. Efek ‘swelling’ pada polimer;

(a) sebelum mengembang, (b) sesudah mengembang

Perubahan luas permukaan ini mempengaruhi perubahan resistansi dari polimer sehingga

dengan perubahan resistansi ini bisa mempengaruhi juga nilai konduktivitas. Perubahan resistansi

dari sensor ini dipakai sebagai masukan bagi sistem instrumentasi elektronik.

METODOLOGI EKSPERIMEN

Metodologi yang digunakan adalah eksperimen pengujian 6 jenis chemical sensor based

polymer menggunakan chamber terisolasi dengan variabel pengujian perubahan suhu dan

kelembaban. Pengujian ini menggunakan 9 jenis gas sebagai obyek yang dideteksi. Tempat

pengujian yang dipakai menggunakan sebuah chamber yang terisolasi sehingga kondisi suhu dan

kelembaban didalamnya bisa diatur.

Untuk membaca data pengujian ke enam sensor digunakan sebuah rangkaian akuisisi data

berbasis mikrokontroller yang akan membaca secara real time ke enam sensor yang diuji dan

ditampilkan pada komputer menggunakan serial interface. Data hasil pengujian selain ditampilkan

pada layar komputer juga akan tersimpan secara otomatis sebagai file yang kemudian digunakan

untuk pengolahan data. Blok diagram dari sensor, akuisisi data dan personal komputer

diperlihatkan pada gambar 2;

Gambar 2. Blok diagram

Page 394: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.13

Chamber yang dipakai sebagai ruang pengujian dikondisikan agar bisa diinjeksi gas dan

dialiri udara dari luar sehingga suhu dan kelembaban udara dalam chamber bisa diatur.

Untuk membaca kondisi suhu dan kelambaban didalam chamber, diperlukan sensor suhu

dan kelambaban. Sensor suhu-kelembaban yang dipakai adalah HSM-20G. Sensor HSM-20G

adalah sensor pengukur kelembaban dan temperatur buatan Cytron Technologies. HSM-20G

merupakan sensor yang sdh bulit in sensor suhu dan kelembaban dalam satu board

Skema chamber pengujian, diperlihatkan pada gambar 3;

Gambar 3. Skema instrumentasi pengujian

Prinsip kerja instrumentasi pengujian sebagi berikut; sensor polimer yang akan diuji

ditempatkan di dalam chamber pengujian secara array. Chamber pengujian dihubungkan dengan 2

buah chamber pengkondisi udara dari luar, chamber pertama berisi silica gel yang berfungsi

sebagai pengering dan pembersih sisa-sisa gas yang menempel pada sensor sebelum dialirkan gas

penguji yang lain, chamber kedua berfungsi untuk mengkondisikan udara dengan temperatur dan

kelembaban tertentu. Sebagai masukan gas penguji, ruang pengujian diberi jalan masuk untuk

menginjeksikan gas penguji ke dalam chamber pengujian. Saat pengujian sensor, chamber

pengujian terisolasi dari suhu dan kelembaban dari luar. Untuk pembacaan data, chamber

pengujian pengujian terhubung secara langsung dengan rangkaian akuisisi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Terhadap Suhu

Pada pengujian pengaruh suhu, 6 sensor polimer diuji didalam chamber pengujian dengan

kondisi suhu yang bervariasi dengan volume injeksi tiap gas dan kelembaban tetap. Pengujian ini

akan melihat pengaruh kenaikan suhu terhadap perubahan resistansi tiap sensor.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kenaikan suhu menyebabkan kenaikan resistansi.

Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap kenaikan suhu dan koefisien pengaruh suhu

(ohm/0C) diperlihatkan pada tabel 1 dan 2;

Tabel 1. Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap suhu

Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol

PEG6000 11% 14% 4% 4% 5%

PEG20M 7% 27% 24% 0% 3%

PEG200 14% 31% 21% 16% 23%

PEG1540 18% 31% 37% 31% 28%

SILICON 0% 3% 3% 3% 4%

SQUELENE 5% 2% 12% 4% 1%

EtilAseton Metanol nHexane Toluena %rata2

PEG6000 4% 5% 7% 4% 6%

PEG20M 2% 0% 1% 3% 22%

PEG200 22% 17% 17% 10% 19%

PEG1540 36% 12% 35% 31% 29%

SILICON 2% 2% 5% 3% 3%

SQUELENE 2% 1% 7% 8% 5%

Page 395: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.3. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistensi … (Budi Gunawan dan Arief Sudarmadji)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.14

Tabel 2. koefisien pengaruh suhu (ohm/0C)

Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol

PEG6000 18 25 40 40 40

PEG20M 18 40 30 26 26

PEG200 114 105 149 149 150

PEG1540 224 348 510 452 483

SILICON 116 126 121 122 128

SQUELENE 176 185 185 180 177

EtilAseton Metanol nHexane Toluena Rata2

PEG6000 40 40 40 41 36

PEG20M 26 26 26 26 27

PEG200 146 140 144 146 138

PEG1540 489 446 476 505 437

SILICON 130 136 143 146 130

SQUELENE 181 175 188 190 182

Dari data rata-rata prosentase kenaikan polimer pengaruh suhu dapat dilihat secara umum

semua polimer mengalami kenaikan resistansi karena pengaruh kenaikan suhu lingkungan. Grafik

prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan suhu ditunjukkan pada gambar 4

sedangkan koefisien pengaruh suhu (ohm/0C) diperlihatkan pada gambar 5;

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena

PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE

Gambar.4 Grafik prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan suhu

0

100

200

300

400

500

600

Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena

PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE

Gambar.5 Grafik koefisien pengaruh suhu (ohm/

0C)

B. Pengujian Terhadap Kelembaban

Pada pengujian pengaruh kelambaban, sensor polimer diuji didalam ruang pengujian

dengan kondisi kelembaban yang bervariasi volume injeksi tiap gas dan suhu tetap.

Page 396: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.15

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kenaikan kelembaban menyebabkan kenaikan

resistansi. Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap kenaikan kelembaban dan koefisien

pengaruh kelembaban (ohm/%) diperlihatkan pada tabel 4 dan 5;

Tabel 4. Prosentase rata-rata kenaikan resistansi terhadap kelembaban

Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol

PEG6000 0,40% 6,60% 4,11% 0,70% 5,87%

PEG20M 7,70% 11,26% 7,86% 3,90% 6,62%

PEG200 1,96% 13,03% 12,22% 1,68% 5,56%

PEG1540 12,05% 12,93% 32,30% 28,59% 40,46%

SILICON 14,57% 5,73% 1,73% 1,64% 1,44%

SQUELENE 4,46% 6,12% 1,22% 3,80% 5,77%

EtilAseton Metanol nHexane Toluena %rata2

PEG6000 3,29% 3,51% 5,17% 6,36% 4,00%

PEG20M 3,01% 4,24% 4,72% 2,14% 5,72%

PEG200 11,87% 7,96% 1,40% 0,00% 6,19%

PEG1540 9,26% 31,46% 39,11% 42,91% 27,67%

SILICON 4,63% 1,66% 1,61% 0,23% 3,69%

SQUELENE 4,32% 1,71% 16,84% 7,15% 5,71%

Tabel 5. koefisien pengaruh kelembaban (ohm/%)

Polimer Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol

PEG6000 18 25 40 40 40

PEG20M 18 40 30 26 26

PEG200 114 105 149 149 150

PEG1540 224 348 510 452 483

SILICON 116 126 121 122 128

SQUELENE 176 185 185 180 177

EtilAseton Metanol nHexane Toluena rata2

PEG6000 40 40 40 41 36

PEG20M 26 26 26 26 27

PEG200 146 140 144 146 138

PEG1540 489 446 476 505 437

SILICON 130 136 143 146 130

SQUELENE 181 175 188 190 182

Dari data rata-rata prosentase kenaikan polimer pengaruh kelembaban dapat dilihat secara

umum semua polimer mengalami kenaikan resistansi karena pengaruh kenaikan kelembaban

lingkungan. Grafik prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan kelembaban

ditunjukkan pada gambar 6 sedangkan koefisien pengaruh kelembaban (ohm/%) diperlihatkan pada

gambar 7;

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena

PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE

Gambar.6 Grafik prosentase kenaikan resistansi sensor polimer terhadap kenaikan kelembaban

Page 397: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.3. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap nilai resistensi … (Budi Gunawan dan Arief Sudarmadji)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.16

0

20

40

60

80

100

120

140

Aseton AsetonNitril Benzena Kloroform Etanol EtilAseton Metanol nHexane Toluena

PEG6000 PEG20M PEG200 PEG1540 SILICON SQUELENE

Gambar.7 Grafik koefisien pengaruh kelembaban (ohm/%)

KESIMPULAN

Dari hasil pengujian dapat disimpulkan:

1. Bahan polimer (PEG6000, PEG20M, PEG200, PEG1540, silicon dan squelene) bisa dibuat

menjadi sensor gas dengan memberi additif karbon aktif menjadi komposite polimer-karbon.

2. Sensor komposit polimer-karbon mempunyai resistansi yang berbeda-beda tergantung dari

jenis bahan polimernya.

3. Pada pengujian terhadap kenaikan suhu antara 29 - 440

C, hasil pengujian menunjukkan bahwa

kenaikan suhu menyebabkan kenaikan resistansi sensor dengan prosentase kenaikan yang

bervariasi tergantung jenis polimer dan gas penginjeksi dengan prosentase kenaikan antara 3-

29%. Kenaikan terbesar pada jenis polimer PEG 1540.

4. Pada pengujian terhadap kenaikan kelembaban antara 26 – 76%, hasil pengujian menunjukkan

bahwa kenaikan kelembaban menyebabkan kenaikan resistansi sensor dengan prosentase

kenaikan yang bervariasi tergantung jenis polimer dan gas penginjeksi dengan prosentase

kenaikan antara 3,7-27,6%. Kenaikan terbesar pada jenis polimer PEG 1540

5. Pada ploting garis menggunakan regresi, resistansi sensor akan naik sebanding dengan

kenaikan suhu dan kelembaban dengan persamaan garis polinomial orde 2 dan 3 dan sebagian

linier

DAFTAR PUSTAKA

[1] Jiri Janata And Mira Josowicz (2002), Conducting Polymers In Electronic Chemical Sensors.

[2] Hua Bai and Gaoquan Shi (2006), Gas Sensors Based on Conducting Polymers.

[3] Atkins, P. W. (1990), Physical Chemistry. 4th ed. New York: W.H. Freeman.

[4] Elias, H.-G. (1987), Mega Molecules. Berlin: Springer-Verlag

[5] Department Of Chemical Engineering Brigham Young University (2006), Modeling And Data

Analysis Of Conductive Polymer Composite Sensors.

[6] Frank Zee and Jack Judy (1999), Mems Chemical Gas Sensor Using A Polymer-Based Array,

Published at Transducers ’99 - The 10th International Conference on Solid-State ensors and

Actuators on June 7-10, Sendai, Japan

[7] Kohlman, R. S. and Epstein, Arthur J. (1998), Insulator-Metal Transistion and Inhomogeneous

Metallic State in Conducting Polymers. Skotheim, Terje A.; Elsenbaumer, Ronald L., and

Reynolds, John R., Editors. Handbook of Conducting Polymers. 2nd ed. New York: Marcel

Dekker; pp. 85-122

Page 398: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.17

PENGARUH KADAR AIR DAN KEDALAMAN ELEKTRODA BATANG TUNGGAL

TERHADAP TAHANAN PEMBUMIAN PADA TANAH LIAT

Wahyono

Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jalan: Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang E mail: [email protected]

Abstrak

Sistem pembumian yang baik adalah suatu sistem yang memenuhi peryaratan instalasi yang

berlaku. Nilai tahanan pembumian (grounding) dipengaruhi oleh bentuk elektroda, tahanan

jenis tanah, kedalaman penanaman elektroda dan lain sebagainya. Sedangakan tahanan jenis

tanah juga dipengaruhi oleh struktur tanah, Pengaruh temperatur, pengaruh gradien

tegangan, pengaruh besarnya arus, pengaruh kandungan air dan pengaruh kandungan bahan

kimia. Bagaimana menurunkan tahanan pembumian dengan elektroda batang pentanah pada

tanah liat. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh nilai tahanan pembumian terhadap

kedalaman penanaman elektroda dan jenis tanah. Sistem kelistrikan supaya aman terhadap

gangguan yang terjadi dan untuk membantu perencana yang akan memasang elektroda

pembumian maka perlu diadakan penelitian tentang pembumian. Metode pengukuran dengan

menggunakan elektroda batang, sistem pengukurannya dengan tiga titik dan alat ukur digital

earth resistance tester tool Statistical Process Control (SPC). Hasil penelitian ini menampilkan

pengaruh kadar air terhadap tahanan pembumian dan menurunkan tahanan pembumian

dengan menambah kedalaman elektroda pada tanah liat. Tahanan pembumian pada tanah liat

dicapai 4,7 Ω pada kedalaman 225 cm dan kadar air 49,8 %.

Kata kunci : grounding, elektroda, kadar air

PENDAHULUAN

Sistem pembumian merupakan hal yang penting didalam sistem tenaga listrik terutama

masalah pengamanan dan keamanan baik terhadap manusia dan peralatan. Untuk memenuhi

persyaratan sistem pembumian yang sasuai yang diinginkan atau memenuhi Standar Nasional

Indonesia (SNI) misalnya untuk bangunan rumah tempat tinggal dibawah 5 ohm , untuk daerah

yang tahanan jenisnya tinggi tahanan pembumian tidak boleh lebih dari 20 ohm, maka tanah yang

bila dipasang sistem pembumian nilainya tidak memenuhi syarat harus diturunkan. Upaya untuk

menurunkan nilai tahanan pembumian ini ada banyak cara antara lain menurunkan tahanan jenis

tanah, menambah kedalam elektroda yang ditanam dalam tanah, mengganti jenis elektroda serta

diameternya dan lain sebagainya.

Tinjauan Pustaka

Penelitian yang dilakukan oleh Wiwik, (2009), upaya menurunkan tahanan pembumian

dengan membuat parit melingkar yang diisi dengan bentonit sebagai zat aditif. Elektroda

pentanahan memakai jenis batang tunggal dengan metode tiga elektroda yaitu satu elektroda

sebagai obyek atau yang diuji dan yang dua sebagai elektroda bantu. Dari hasil penelitiannya

pengujian pada tanah liat tanpa bahan tambahan dengan kedalaman 50 cm, tananan pembumianya

97, 01 ohm, dan pada kedalaman 100 cm, tahanan pembimiannya 28,90 ohm. Setelah

menggunakan bentonit untuk kedalaman elektroda 50 cm tahanan pembumiannya 35,54, sehingga

penurunannya 63,36 %, sedangkan pada kedalaman elektroda 100 cm, tahanan pembumiannya

10,20 ohm, sehingga penurunannya 64,71 %

Kharisma D., (2007), dalam penelitiannya, nilai tahanan pembumian dipengaruhi oleh

kedalaman penanaman dan jarak elektroda. Jurnal ini memaparkan bagaimana pengaruhnya

terhadap nilai tahanan pembumian. Dalam penelitian digunakan metode pengukuran tiga titik

dengan menginjeksikan arus AC konstan di antara elektroda uji dan elektroda arus yang

menimbulkan beda potensial di antara elektroda uji dan elektroda tegangan, sehingga

didapatkan nilai tahanan pembumian. Hasil analisa menunjukkan bahwa nilai tahanan

pembumian akan semakin kecil bila kedalaman penanaman ditambah, jumlah elektroda yang

ditanam, dan jarak penanamannya ditambah.

Page 399: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.4. Pengaruh kadar air dan kedalaman elektroda batang tunggal … (Wahyono)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.18

Penelitian yang dilakukan oleh Tadjuddin (1998) pada uji eksperimennya panjang tiap

konduktor batang =3.5 meter diameter konduktor batang = 3/4 inch = 0.01905 meter ,jari-jari

batang konduktor =9.525x10-3 meter, tahanan jenis tanah rata-rata lapisan pertama =750 Ohm-m.

Kedalaman penanaman elektroda hb = 0.5 meter menghasilkan nilai tahanan elektroda pembumian

Rd1 = 191.0741 ohm, untuk satu batang elektroda tersebut ditanam semakin jauh dari permukaan

tanah menjadi Rd1 = 157.4655.

Hasil dari penelitian diatas maka upaya menurunkan tahanan pembumian ada berbagai

macam cara. Salah satu cara untuk menurunkan nilai tahanan pembumian memperkecil tahanan

jenis tanah yaitu merubah kadar air tanah dan menambah kedalaman elektroda tang ditanam dalam

tanah. Penelitian yang akan dilakukan sebagai obyak adalah pada jenis tanah liat. Masalah yang

dapat mempengaruhi tahanan pembumian dan mencari masalah yang dominan dengan memakai

alat atau tool. Bagaimana pengaruh tahanan kadar air dan kedalaman penanaman elektroda batang

terhadap nilai tahanan pembumian ?

Jenis-jenis elektroda pembumian

Elektroda yang dipakai untuk sistem pembumian telah disyaratkan oleh Standar Nasional

(SNI) 2000 adalah elektroda batang, elektroda pita dan elektroda pelat.

Elektroda batang adalah elektroda dari pipa besi baja profil atau batangan logam

lainnya yang dipancangkan ke dalam tanah secara dalam. Panjang elektroda yang digunakan

sesuai dengan pembumian yang diperlukan. Elektroda batang yang ditanam tegak lurus

dengan permukaan tanah disebut pembumian rod. Bila elektroda - elektroda tersebut dialiri arus

gangguan ke tanah ketika daerah perumahan terjadi gangguan tanah, maka arus tersebut akan

menyebar atau mengalir ke tanah dan akan mengakibatkan naiknya beda potensial pada

permukaan tanah.(Janardana, 2005)

Gambar 1. Jenis elektroda

Rp = ........................................................................... (1)

Dimana :

Rp: tahanan pembumian (Ω)

ρ : tahanan jenis tanah (Ω cm)

L : kedalaman elektroda (cm)

a : jari-jari elektroda (cm)

π : 3,14

Kandungan Air Tanah

Kandungan air tanah sangat berpengaruh terhadap perubahan tahanan jenis tanah (ρ)

terutama kandungan air tanah sampai dengan 20%. Perubahan tahanan jenis tanah akan

mempengaruhi nilai tahanan pembumian (Hutahuruk, 1998) Dalam salah satu test laboratorium

untuk tanah merah penurunan kandungan air tanah dari 20% ke 10% menyebabkan tahanan jenis

tanah naik sampai 30 kali. Kenaikan kandungan air tanah diatas 20% pengaruhnya sedikit

sekali(Janardana, 2005). Bila segumpal tanah mungkin terdiri dari dua atau tiga bagian yaitu pori-

Page 400: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.19

pori udara dan butiran tanah atau pori-pori udara, butiran tanah dan air (Subiyanto,2004). Pada

gambar 2.a elemen – elemen tanah yang mempunyai volume (V) dan berat total (W), sedangkan

gambar 2.b menunjukan hubungan berat dan volumenya.

Dari gambar 2.10 dapat dituliskan peramaanya :

W = Ww + Ws

V = Vw + Vs +Va

V = Vw + Vs

Dengan Ws = berat butiran padat, Ww = berat air, Vs = volume butiran padat, Vw = volume

air, Va = volume udara, volume udara dianggap nol.

(a) (b)

Gambar 2. Diagram fase tanah

Kadar air (Ka) merupakan perbandingan antara berat air dan berat butiran-butiran tanah (Ws) yang

di nyatakan dalam persen (Subiyanto,2004).

Ka(%) = ................................................................... (2)

METODE

Alat dan bahan penelitian

Bahan penelitian yang digunakan meliputi :

a. Tanah liat, pasir, tanah padas, segumpal tanah pada kedalaman tertentu diambil untuk sampel

yang kemudian diteliti kadar airnya

b. Elektroda satu batang yang terbuat dari besi pejal lapis tembaga diameter 1,5 cm, dan dua

elektroda bantu yang terbuat dari besi galvanis.

Alat yang digunakan untuk pengukuran tahanan pembumian adalah :

a. Earth Risestance Tester untuk mengukur tahanan pembumian jens digital model 4105A. Alat

ini dirancang menurut standart IEC. Earth Resistance Tester dengan data spesifikasi sebagai

berikut :

1. Sumber tenaga : 9V DC jenis baterai R6P (SUM-3) x 6

2. Jenis : Digital Earth Resistance Tester 4105A

3. Alat ini berfungsi untuk menampilkan nilai tahanan pentanahan yang terukur dengan

kemampuan mengukur sampai 1999 Ω (ohm).

(W) (V) (Ww)

(Ws)

(Wa)=0 (Va)

(Vw)

(Vs)

Page 401: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.4. Pengaruh kadar air dan kedalaman elektroda batang tunggal … (Wahyono)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.20

Keterangan :

1. = layar penempilan

2. = lampu indikator

3. = pemutar

4. = Hold / push botton

5. = Ring selektor

6. = Terminal ke elekroda utama dan bantu

Gambar 3. Digital Earth Resistance Tester 4105A

b. Martil, rol meteran, kabel, tang, bor,alat pengungkit, jangka sorong kunci pipa, bambu, alat

penunjang lain yang diperlukan.

Dalam pengambilan data tahanan pembumian divariasi dengan kedalaman penanaman

elektroda yaitu dari 25 cm sampai dengan 225 cm. Pengambilam data kadar air dilakukan dengan

mengambil sampel pada kedalaman tanah sesuai variasi kedalaman kemudian ditimbang. Setelah

itu tanah dikeringkan dan ditimbang lagi guna mencari kadar air. Perbandingan antara berat air

dengan berat tanah diklikan 100 % merupakan kadar air.

HASIL DAN ANALISA

Hasi pengukuran dan analisa nilai tahanan pembumian (Rp) pada kedalaman (L) tertentu

dan tahanan jenis tanah (ρ) serta kadar air (Ka) diperlihatkan pada tabel 1 dibawah ini Terlihat pada

tabel 1 bahwa tahanan pembumian semakin kecil dan tahanan jenis tanah kecenderungan menurun.

Hubungan antara tahanan pembumian dengan kedalaman elektroda (L) sampai mendapatkan yang

standar atau tahanan pembumian dibawah 5 Ω dengan kedalaman 225 cm. Kadar air semakin tinggi

disertai dengan penurunan nilai tahanan pembumian.

Tabel 1. Data tahanan pembumian dan kadar air pada tanah liat

dengan satu elektroda batang

No Kedalaman

Elektroda (cm)

Rp tanah

liat (Ω)

Kadar air

(%)

ρ

(Ω-cm)

1 25 71,2 28,9 5107,87

2 50 51,9 30,4 4996,43

3 75 36,3 34,7 4507,54

4 100 25,3 36,9 4081,24

5 125 20,4 39,3 3757,16

6 150 15,8 41,7 3199,68

7 175 11,9 44,8 2938,78

8 200 8,1 47,3 2219,53

9 225 4,7 49,8 1412,57

Pengaruh kedalaman terhadap tahanan pembumian dan kadar air terhadap kedalaman pada

tanah liat dengan satu batang elektroda seperti diperlihatkan pada gambar 4.

Page 402: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.21

Gambar 4. Hubungan antara Rp (Ω) dengan L (cm)

dan Ka dengan L (cm) pada tanah liat

Pada gambar 4 diperlihatkan pengaruh kedalaman elektroda terhadap kadar air dan tahanan

pembumian dengan elektroda batang. Semakin dalam penanaman elektroda maka tahanan

pembumian akan semakin kecil dan semakin besar kadar air dalam tanah karena semakin dekat

dengan sumber air tanah.

Kadar air 49,8 % pada kedalaman 225 cm, tahanan pembumian telah mencapai standar

untuk perumahan (dibawah 5 Ω) dan untuk sistem pembangkit energi listrik dengan kadar air 47,3

% dengan kedalaman 200 cm tahanan pembumianya sudah mencapai standar (dibawah 10 Ω).

Pada gambar 5 diperlihatkan pengaruh kadar air dalam tanah terhadap tahanan pembumin bahwa

semakin besar kadar air dalam tanah maka tahanan pembumianya semakin kecil.

Gambar 5. Grafik antara Rp (Ω) dengan Ka (%)

Gambar 6. Grafik antara Rp (Ω) dengan ρ ( Ω cm)

Page 403: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.4. Pengaruh kadar air dan kedalaman elektroda batang tunggal … (Wahyono)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.22

Pada gambar 5 perlihatkan bahwa kecenderungan tahanan pembumian terhadap kadar air

adalah lengkung dan berbanding terbalik. Tahanan pembumian dicapai 4,7 Ω pada kadar air 49,8 %

Diperlihatkan pada gambar 6 bahwa semakin kecil tahanan jenis tanah maka tahanan pembumian

juga akan semakin kecil untuk tahanan pembumian dibawah 100 ohm. Tahanan pembumian

mencapai standar (dibawah 5 Ω) besarnya tahanan jenis tanah 1424,57 (Ω-cm).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengaruh kedalaman terhadap nilai tahanan pembumian yaitu semakin dalam elektroda yang

ditanam dlam tanah semakin kecil tahanan pembumianya.

2. Nilai tahanan pembumin juga dipengaruhi oleh kadar air tanah, semakin besar kadar air maka

semakin kecil tahanan pembumianya.

3. Untuk mencapai tahanan pembumian yang standar ( dibawah 5 Ω) pada tanah liat dengan

kedalaman 225 cm dan kadar air 49,8 %

DAFTAR PUSTAKA

Janardana, (2005), “Pengaruh umur pada beberapa volume zat aditif bentonit terhadap nilai

tahanan pentanahan“, Vol 4, (2): (1-6).

Kharisma D., (2007), Pengaruh kedalaman penanaman dan jarak elektroda terhadap nilai

tahanan pembumian, jurnal ilmu-ilmu teknik-sistem, VOL. 5, (2): (39-48)

Subiyanto, dkk (2004), “Pengaruh porositas terhadap pentanahan dalam sistem tenaga listrik”,

Teknosains, Vol. 17, No. 2: (196-206)

T.S Hutauruk (1991),” Pengetanahan Netral Sistem tenaga & Pengetanahan Peralatan”, Jakarta ,

Penerbit Erlangga.

Wiwik, (2009), “menurunkan nilai tahanan pembumian dengan bentonit”, Yogyakarta, UGM.

Page 404: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.23

APLIKASI MOTOR DC 1000 W 48 V SEBAGAI PENGGERAK MOBIL LISTRIK

RAMAH LINGKUNGAN

Margana Program Studi Konversi Energi, Jurusan Teknik Mesin Polines

Jl.Prof. Sudarto Tembalang, Semarang e-mail: [email protected]

Abstrak

Sejalan dengan krisis bahan bakar minyak khususnya di bidang otomotif, inovasi yang

berkaitan dengan menipisnya sumber energi banyak dikembangkan disamping tanpa polusi

sehingga ramah lingkungan. Salah satunya yaitu mengaplikasikan motor listrik sebagai

penggerak mobil listrik. Tujuan dari perancangan ini adalah untuk menciptakan mobil listrik

dengan menggunakan 2 buah motor listrik DC masing-masing mempunyai daya 500 Watt 48

Volt dilengkapi pengatur kecepatan dengan PWM ( Pulse Width Modulation ). Adapun metode

yang digunakan adalah dengan membuat mobil listrik kapasitas satu penumpang dengan berat

keseluruhan 170 kg , lebar 140 cm dengan panjang 2 m menggunakan pipa, dan pernah

digunakan untuk mengikuti lomba kompetisi mobil listrik III di Bandung. Hasil yang diperoleh

yaitu dapat menempuh jarak 7,5 km dengan waktu tempuh 12,37 menit dengan kecepatan

maksimum 36,4 km/jam dengan energy yang diperlukan sebesar 206,17 Wattjam sehingga

memperoleh juara 1 kategori kecepatan. Adapun jarak tempuh yang dapat dicapai tergantung

dari batere yang ada, dengan batere 48 V/128 A Jam dapat mencapai jarak 181 km.

Kata kunci: motor DC, PWM, mobil listrik

PENDAHULUAN

Mobil listrik pertama kali dikenalkan oleh Robert Anderson dari Skotlandia pada tahun

1832-1839, namun pada saat itu harga bahan bakar minyak (BBM) relatif murah sehingga

masyarakat dunia cenderung mengembangkan Motor Bakar yang menggunakan BBM.

Saat ini harga BBM semakin mahal dan cadangannya menjadi sangat terbatas serta sulit

dikendalikan untuk masa yang akan datang. Selain itu, terdapat isu lingkungan yang menjadi

perhatian dunia yang tertuang dalam Education for Sustainable Development (EfSD). Hal ini

memicu pengembangan penggunaan energi listrik dalam system transportasi sebagai pengganti

bahan bakar fosil, sebab energi listrik mudah dibangkitkan dari berbagai macam sumber termasuk

dari sumber-sumber energi terbarukan

Berdasarkan uraian diatas maka Politeknik Negeri Semarang turut serta mengirimkan

kontingennya untuk mengikuti kegiatan Kompetisi Mobil Listrik Indonesia yang diselenggarakan

oleh Politeknik Negeri Bandung.

Prinsip kerja Motor DC

Prinsip motor listrik berdasarkan pada kaidah tangan kiri. Sepasang magnet permanen utara

-selatan menghasilkan garis medan magnet , kawat penghantar diatas telapak tangan kiri

ditembus garis medan magnet . Jika kawat dialirkan arus listrik DC sebesar I searah keempat jari

tangan, maka kawat mendapatkan gaya sebesar F searah ibu jari (Gambar 1)

Gambar 1. Aturan tangan kiri prinsip kerja motor

Page 405: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.5. Aplikasi motor DC 1000 W 48 V sebagai penggerak mobil listrik … (Margana)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.24

Percobaan sederhana prinsip kerja motor dapat dilakukan dengan menggunakan sepasang

magnet permanen berbentuk U, sebatang kawat digantung di kedua sisi ujungnya, pada ujung

kawat dihubungkan sumber listrik DC (Gambar 2). Arus listrik mengalir dari terminal positif (+) ke

batang kawat sebesar I ampere ke terminal negatif (-). Kawat yang dipotong garis medan magnet,

pada batang dihasilkan gaya tolak sebesar F searah panah.

Besarnya gaya F yang dibangkitkan:

F = B · I · L · z Newton ……………………………….. (1)

F = Gaya pada kawat, Newton

B = Kerapatan medan magnet, Tesla

I = Arus mengalir di kawat, Amper

L = Panjang kawat efektif, meter

Z = Jumlah belitan kawat

Gambar 2. Model Kerja Motor DC

Brushless DC motor

Brushless DC (BLDC) motor adalah sebuah mesin listrik berputar, dimana stator merupakan

belitan stator tiga phasa seperti motor induksi, dan rotor terdapat magnet permanen

dipermukaannya seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Dalam hal ini, motor BLDC setara dengan motor DC dengan komutator terbalik, di mana

magnet berputar sedangkan konduktor tetap diam. Dalam komutator motor DC, polaritas ini

diubah oleh komutator dan sikat. Namun, dalam brushless motor DC, pembalikan polaritas

dilakukan oleh transistor switching untuk mensinkronkan dengan posisi rotor. Oleh karena itu,

BLDC motor sering menggabungkan baik posisi sensor internal atau eksternal untuk merasakan

posisi rotor yang sebenarnya, atau posisi dapat dideteksi tanpa sensor (Leonard N. Elevich,2005).

Gambar 3 Motor BLDC

Page 406: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.25

Kontrol digital motor BLDC

Gambar 4. Tegangan langkah Untuk 3-ph BLDC motor

Gambar 5. Daya tiga phasa motor BLDC

Gambar 6. Jenis independen switching power transistor

Gambar 7. Jenis komplemen switching power transistor

Page 407: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.5. Aplikasi motor DC 1000 W 48 V sebagai penggerak mobil listrik … (Margana)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.26

PWM (Pulse Width Modulation)

PWM merupakan suatu teknik yang dipakai untuk mengatur kerja peralatan yang

memerlukan arus pull in yang besar dan untuk menghindari disipasi daya yang berlebihan dari

peralatan yang akan dikontrol. PWM merupakan suatu metoda untuk mengatur kecepatan

perputaran motor dengan cara mengatur prosentase lebar pulsa waktu tinggi ( high) terhadap

perioda dari suatu sinyal persegi dalam bentuk tegangan periodik yang diberikan ke motor sebagai

sumber daya. Semakin besar perbandingan waktu tinggi dengan perioda sinyal maka semakin

cepat motor berputar.

Sinyal PWM dapat dibangun dengan banyak cara, dapat menggunakan metode analog

menggunakan rankaian op-amp atau dengan menggunakan metode digital. Dengan metode analog

setiap perubahan PWM-nya sangat halus, sedangkan menggunakan metode digital setiap perubahan

PWM dipengaruhi oleh resolusi dari PWM itu sendiri. Misalkan PWM digital 8 bit berarti PWM

tersebut memiliki resolusi 2 pangkat 8 = 256, maksudnya nilai keluaran PWM ini memiliki 256

variasi, variasinya mulai dari 0 – 255 yang mewakili daur tugas (duty cycle) 0 – 100% dari keluaran

PWM tersebut.

Perhitungan daur tugas (duty cycle) PWM

Dengan cara mengatur lebar pulsa “on” dan “off” dalam satu perioda gelombang melalui

pemberian besar sinyal referensi output dari suatu PWM akan didapat duty cycle yang diinginkan.

Gambar 8 Pulsa PWM dengan duty cycle

Perhitungan Pengontrolan tegangan output motor dengan metode PWM cukup sederhana.

Gambar 9. Pulsa PWM

Dengan menghitung duty cycle yang diberikan, akan didapat tegangan output yang dihasilkan.

Sesuai dengan rumus yang telah dijelaskan pada gambar.

Average voltage merupakan tegangan output pada motor yang dikontrol oleh sinyal PWM.

a adalah nilai duty cycle saat kondisi sinyal “on”. b adalah nilai duty cycle saat kondisi sinyal

“off”. V full adalah tegangan maximum pada motor. Dengan menggunakan rumus diatas, maka

akan didapatkan tegangan output sesuai dengan sinyal kontrol PWM yang dibangkitkan (Seno Ajie

Nugroho, 2011).

……………………( 2)

Page 408: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.27

METODOLOGI

Mobil Listrik Yang dirancang mempunyai Spesifikasi:

Kapasitas penumpang : 1 orang

berat maksimum pengemudi (kg) : 70

kecepatan maksimun (km/j) :80

ukuran (L x P) :140 cm X 200 Cm

berat mobil : 100 Kg

kerangka :baja hollow

Kontroller : 2 x 500 W/48 V ( Trekko)

kursi kemudi : sfon

lantai :baja hollow+plat

setir (sistim kemudi) : Mekanik

Battery :12 volt 32 AH (4 buah)=48 volt/128 AH=48 volt/128 AJam

Motor : 2 x 500W/48 V=1000 watt/48 V

roda : diameter 14 inchi (Ring 14)

jenis rem+sistim rem :Tromol

Suspensi :Singgle

Proses Pengambilan data :

Pada proses pengambilan data mula-mula dilakukan dengan melakukan uji kecepatan menempuh

jarak 750 m ( Kualifikasi ) dengan catatan waktu 2,37 menit.62 detik. Selanjutnya setelah

mendapatkan posisi dilakukan dengan pengujian 10 kali putaran menempuh jarak 7,5 km dengan

waktu 12 menit36.18 detik .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil uji kecepatan

No Mobil Kualifikasi lap Time

1 PML 2 2.37.62 10 12.36.18

2 Bogi Power 2.55.72 10 12.46.17

3 Titen GX3 2.46.62 10 12.49.42

4 All New Rex 2.49.09 10 14.02.19

5 Blue Warrior 3.00.69 10 14.13.31

6 Speeder II Rev 2.40.59 10 14.16.09

7 Denkiaka 2.52.47 10 14.59.57

8 BM3CH 2.45.28 10 15.20.41

9 UNY EVO 2.38.44 10 18.09.59

10 EVRT 21 3.21.84 3 DNF

11 Graziolli 4.25.57 1 DNF

Tabel 2. Hasil Penilaian

Page 409: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.5. Aplikasi motor DC 1000 W 48 V sebagai penggerak mobil listrik … (Margana)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.28

Analisa perhitungan:

Kecepatan maksimum = 7,5 km/12,37 menit x 60 menit/jam= 36,4 km/jam

Energy listrik yang diperlukan = 1000 W x (12,37 menit/60 menit) x 1 jam: 206,17 WJam.

Energi yang tersedia pada battery = 48 W x 20,83 A x 6,14 Jam : 6139.0176 W Jam

Arus yang diperlukan motor = 1000 W/48 V= 20,83 Amper

Waktu yang dapat ditempuh = 128 AJam/20,83 A: 6.14 Jam

Jarak tempuh = 5jam/(12,37menit/60menit)x7.5km=181 km (catatan lomba)

Dari hasil perhitungan Jarak yang dapat ditempuh: dengan kecepatan konstan 36,4 km/jam, pada

jarak 7,5 km dengan energy listrik yang diperlukan 206,17 WJam, sehingga untuk energy yang

tersedia 6139.0176 W Jam. Jarak yang dapat ditempuh = (6139,0176 W Jam/206,17WJam ) x 7,5

km = 223.32 km.

Sehingga jarak yang bisa ditempuh berbanding lurus dengan kapasitas battery

KESIMPULAN

1. Jarak yang dapat ditempuh mobil listrik tergantung dari besarnya kapasitas battery, berdasar

perhitungan dengan menggunakan battery 48 V/128 A-jam mampu menempuh jarak 223,32

km.

2. Kecepatan rata-rata dari mobil listrik 36,4 km/jam saat dilakukan lomba.

3. Mobil yang kami beri nama PML-2 dirancang dengan mengunakan dua buah motor DC untuk

mempercepat laju mobil, selain itu aerodinamis mobil stabil.

4. Untuk menempuh jarak 7,5 km diperlukan energy listrik sebesar 206,17 WJam, sehingga

memperoleh urutan ke tiga kategori efisiensi.

DAFTAR PUSTAKA

Leonard N. Elevich,2005, 3-Phase BLDC Motor Control with Hall Sensors Using 56800/E Digital

Signal Controllers, 20 Mei 2012,http://cache.freescale.com/files/product/doc/AN1916.pdf

Seno Ajie Nugroho, 2011, PWM (Pulse Width Modulation), 20 Mei 2012,

http://digilib.ittelkom.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=820:pwm-

pulse-width-modulation&catid=15:pemrosesan-sinyal&Itemid=14

http://goldenmotor.com/ -------- ,2011, 07 July 2011, http://kmli.polban.ac.id/panduan-lomba.html

Page 410: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.29

KAJIAN SISTEM KENDALI SPACE VECTOR PULSE WIDTH MODULATION

SEBAGAI PENGENDALI MOTOR INDUKSI 3 FASA

Emmanuel Agung Nugroho*)

, Joga Dharma Setiawan

Program Studi Magister Teknik Mesin Spesialisasi Mekatronika

Universitas Diponegoro Semarang *)

Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas metode Space Vector Pulse Width Modulation (SVPWM) inverter

sebagai pengendali motor induksi yang dimodelkan dengan software Power Simulator. Tujuan

kajian ini adalah memberikan referensi agar dapat diimplementasikan ke dalam hardware

untuk mendorong pemanfaatan metode SVPWM inverter sebagai pengendali motor induksi

secara lebih luas. Melalui simulasi dengan software Power Simulator ini diketahui kurva

tegangan, arus, torsi dan kecepatan motor yang terkendali oleh sistem SVPWM, selain itu juga

menghasilkan data pola penyaklaran inverter yang secara langsung dapat digunakan untuk

diaplikasikan kedalam pemrograman mikrokontroler. Kajian ini sangat membantu bagi para

peneliti untuk menyelesaikan algoritma pemrograman SVPWM yang sangat panjang menjadi

mudah sebab data pola penyaklaran inverter dapat secara langsung diprogram kedalam

mikrokontroler secara look up table sehingga menghemat flash memory yang digunakan oleh

mikrokontrol.

Kata kunci : motor induksi, space vector pulse width modulation, power simulator, look up

table

PENDAHULUAN

Dewasa ini pengendalian motor induksi dilakukan dengan cara mengatur tegangan, arus,

fluks dan torsi secara proposional. Divais seperti ini umumnya dinamakan Variable Speed Drive

(VSD), dengan sistem kendali menggunakan skalar control ataupun vector control.

Pengendalian motor induksi dengan menggunakan vector control selain dapat

mengendalikan torsi dan kecepatan secara baik, juga mempunyai keuntungan lain, yaitu :

1. Penggunaan energi menjadi efisien,

2. Peningkatan fleksebilitas produksi,

3. Peningkatan umur komponen mekanik

4. Memudahkan untuk pemeliharaan.

Landasan Teori

Kumparan stator motor induksi dinyatakan dengan persamaan :

................................................... (1)

........................................ (2)

......................................... (3)

Motor induksi 3 fasa dapat dianalisa melalui rangkaian ekuivalen sumbu Vd dan Vq seperti

terlihat pada gambar 1.

(a) Rangkaian sumbu-ds

s (b). Rangkaian sumbu-qs

s

Gambar 1. Model dinamik motor induksi tiga fasa [Bose, 2002]

Page 411: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.6. Kajian sistem kendali space vector pulse width modulation … (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.30

Konsep pengendalian motor induksi

Metode vector control bertujuan mengendalikan motor induksi yang diemulasikan dari

kinerja mesin DC. Pada mesin DC, fluksi stator s dihasilkan oleh arus yang dialirkan pada

belitan medan stator (field winding) dan fluksi rotor r dihasilkan oleh arus yang dialirkan ke

belitan jangkar (armature winding) melalui sikat dan komutator yang selalu menyebabkan posisi

medan magnet stator dan medan magnet rotor saling tegak lurus sehingga torsi elektromagnet yang

dihasilkan kedua medan magnet tersebut selalu maksimum. Dengan melihat rangkaian ekuivalen

motor induksi pada gambar 1 maka pengendalian motor induksi 3 fasa dapat di lakukan seperti

pada pengendalian motor DC yaitu dengan metode pengendaliam vektor ruang. Pengendalian

vektor ruang adalah mentransformasikan elemen tiga fasa kerangka acuan tetap (a,b,c) menjadi

elemen dua fasa kerangka acuan tetap (α,β) kemudian menjadi elemen dua fasa kerangka acuan

bergerak (d,q).

Perubahan sistem tiga fasa menjadi dua koordinat dipisahkan menjadi dua langkah yaitu :

Transfomasi Clarke (a,b,c) (α,β) dan Transfomasi Park (α,β) (d,q)

Transformasi arus tiga fasa (Ia, Ib, Ic) menjadi dua fasa kerangka acuan diam (Iα,Iβ) yang saling

tegak lurus satu sama lain dinyatakan dengan menggunakan persamaan berikut :

c

b

a

i

i

i

i

i

2

3

2

30

2

1

2

11

3

2

......................................... (4)

Representasi persamaan tersebut dapat dijelaskan seperti pada gambar 2. Sedangkan untuk

mempresentasikan kerangka acuan tetap (α,β) menjadi kerangka acuan bergerak (d,q), maka

digunakan transformasi Park. Transformasi Park dapat dilihat pada gambar 3 :

a

b

c

is

is

Gambar. 2 Transfomasi Clarke (a,b,c)(α,β) Gambar. 3 Transfomasi Park (α,β) (d,q)

Gambar 3 menunjukkan proyeksi sistem dua dimensi diam (α,β) menjadi sistem dua dimensi

bergerak (d,q). Proyeksi sistem ini menghasilkan arus direct (isd) yang merepresentasikan fluksi

dan arus quadratur (isq) yang merepresentasikan torsi. Besarnya komponen fluksi dan torsi dalam

sistem ini dijelaskan dengan persamaan sebagai berikut :

s

s

ee

ee

qs

ds

i

i

tt

tt

i

i

cossin

sincos

........................... (5)

Dengan memproyeksikan menjadi sistem 2 fasa (d,q) yang mengendalikan fluksi dan torsi secara

terpisah maka motor induksi dapat dikendalikan seperti motor DC.

Strategi pengendalian SVPWM pada motor induksi 3 fasa

Untuk mengendalikan motor induksi menggunakan SVPWM dilakukan melalui implementasi

inverter 3 fasa seperti pada gambar 4.

a

B = q

c

is

is

isq

isd

d

Page 412: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.31

Gambar. 4 Konfigurasi inverter 3 fasa

Teknik pengendalian saklar daya inverter ditunjukkan pada tabel 1

Tabel 1 konfigurasi penyaklaran inverter

Dari konfigurasi penyaklaran pada tabel 1 dapat dilakukan dengan membangun 8 buah

vektor yang terdiri dari 6 buah vektor aktif yang saling tergeser 600

dan 2 buah vektor pasif yang

berada di pusat koordinat. Pembagian vektor gelombang sinusoida 3 fasa sepanjang 3600

menjadi

6 buah sektor ditunjukkan pada gambar 5

Gambar. 5 Gelombang sinusoida 3 fasa, ruang vektor 3 fasa [Kelvin Lye 2008]

Untuk menyatakan pola penyaklaran dibuat suatu pendekatan dengan membentuk tegangan

referensi dalam setiap sektor. Sebagai contoh suatu vektor tegangan referensi Vs1 berada pada

sektor-1 sehingga berada diantara vektor tegangan aktif V1 dan V2 seperti pada gambar 6

V1

V2

d1

d2

Vs1

d0

Gambar. 6 Realisasi tegangan referensi yang dibentuk oleh dua buah vektor [Zhenyu Yu, 1998]

Dari gambar 6, Vs1 merupakan nilai tegangan refrensi yang dihasilkan dari resultan

magnitude vektor V1 yang disimbolkan d1 dengan magnitude vektor 2 yang disimbolkan dengan d2.

Persamaan yang dapat diturunkan dari kondisi tersebut adalah

Page 413: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.6. Kajian sistem kendali space vector pulse width modulation … (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.32

21s ttT 21 VVV ...................................................... (6)

sT = waktu sampling

1t = durasi waktu PWM converter membentuk vektor 1V

2t = durasi waktu PWM converter membentuk vektor 2V

Karena 210s tttT maka dibutuhkan waktu tambahan sebesar 0t di setiap sektor.

Agar nilai persamaan (6) tetap berlaku maka 0t harus dikalikan dengan vektor tegangan nol (dapat

merupakan V0 atau V7).sehingga persamaan tersebut menjadi :

2211700s1 VVV/VV tttTs ………..…………(7)

atau

221170022

11

70

0

s1 VVV/VVVV/VV dddT

t

T

t

T

t

sss

……..…(8)

Dimana Vs1 merupakan tegangan refrensi pada sektor 1. Tegangan Vs1 yang bekerja pada

sektor 1 dibentuk dari 4 buah vektor V0 ,V1,V2 dan V7 yang memiliki logika penyaklaran

ditunjukkan pada tabel 2

Tabel 2. logika penyaklaran vektor tegangan pada sektor 1 V0 V1 V2 V7

U 0 1 1 1

V 0 0 1 1

W 0 0 0 1

Pemodelan SVPWM inverter dengan software Power Simulator

Pemodelan dengan Power Simulator dimulai dari transformasi Clarke hingga pengukuran

torsi pada rangkaian daya inverter dengan pembebanan motor induksi 3 fasa. Pemodelan

transformasi Clarke dan transformasi Park untuk menghasilkan transformasi 3 fasa menjadi 2 fasa

dari kerangka acuan diam menjadi kerangka acuan gerak ditunjukkan pada gambar 7.

Gambar 7. Pemodelan transformasi Clarke dan Park untuk menghasilkan tegangan

referensi dan sudut θ dengan PSim

Pada gambar 7 menjelaskan proses transformasi 3 fasa Va, Bb dan Vc menjadi Vd dan Vq.

Sudut berada disepanjang gelombang antara 00 hingga 360

0 harus dideteksi untuk menentukan

lokasi vektor yang aktif. Dengan memodelkan menggunakan software Power Simulator hal ini

dapat dilakukan seperti pada gambar 8.

Gambar 8. menentukan lokasi vektor dengan pemodelan software PSim

Page 414: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.33

Gambar 8 digunakan untuk menentukan lokasi vektor yang aktif disepanjang gelombang.

Dengan memberikan batasan referensi setiap kelipatan 600 pada komparator 1-6. Titik r1 dan r2

adalah koefisien tegangan disetiap sektor yang aktif dalam domain waktu. Besarnya nilai koefisien

tegangan ini menentukan time duration switching. Untuk menentukan time duration switching

dinyatan dalam persamaan berikut:

sedangkan

.

Penjumlahan T1 dan T2 belum memenuhi lama time sampling sehingga diperlukan tambahan

waktu sebesar T0 yaitu waktu sampling dikurangi dari total waktu T1 dan T2. Pemodelan rangkaian

daya yang dilakukan dengan software Power seperti pada gambar 9.

Gambar 9 Pemodelan rangkaian daya inverter dengan beban motor induksi 3 fasa

menggunakan software PSim

Parameter pemodelan motor induksi yang digunakan adalah :

Tegangan kerja sebesar 380 Volt/50 Hz, Jumlah kutub (p) 4, Tahanan stator (Rs) 0,294Ω,

Reaktansi stator (Xs) 0,0139 Ω, Tahanan rotor (Rr) 0,156 Ω, Reaktansi rotor (Xr) 0,0074 Ω,

Reaktansi magnetic (Xm) 0,41 Ω.

Dengan menggunakan parameter tersebut dihasilkan kurva pengukuran kecepatan torsi, arus dan

tegangan motor seperti pada gambar 10

a. Kurva kecepatan motor b. Kurva torsi motor

c. Kurva krus motor d. Tegangan fasa dan fasa netral motor

Gambar 10. Kurva kecepatan, torsi, arus dan tegangan motor induksi dengan kendali inverter

SVPWM yang dimodelkan dari software Power Simulator

Page 415: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.6. Kajian sistem kendali space vector pulse width modulation … (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.34

1. Menentukan pola penyaklaran IGBT pada tiap vektor .

Pola penyaklaran SVPWM inverter pada tiap-tiap sektor dapat dibentuk dengan pemodelan

software Power Simulator. Dengan menggunakan informasi T1,T2 dan T0, maka dapat dibangun

suatu kombinasi pulsa pada gambar 11 berikut :

Gambar 11. Metode penyaklaran IGBT

Dengan Pemodelan pada gambar 14 maka pola penyaklaran S1/S2, S3/ S4 dan S5/S6 dapat

dibentuk. Pola inilah yang digunakan sebagai data untuk memprogram mikrokontroler sebagai

kontrol digital saklar daya inverter

KESIMPULAN

1. Pemodelan SVPWM dengan Power Simulator ini menghasilkan data-data dan sinyal model

ideal sehingga dapat dijadikan didalam merancang dan menguji implementasi alat SVPWM.

2. Pemodelan SVPWM dengan Power Simulator menghasilkan data digital yang diperlukan

sebagai pengendali saklar inverter. Data digital tersebut dapat di-download secara langsung

kedalam mikrokontroler untuk aplikasi penyaklaran inverter.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bose, Bimal K, Modern Power Electronics and AC Drives, The University of Tennessee,

Knoxville, Prentice Hall, Inc. United State of America, 2002.

[2] Kelvin Lye kwong Loong., Nik ramzi bin Idris, Microcontroller Based Space Vector

Modulation (SVM) Signal Generator, Faculty of Electrical Engineering UTM, May 2008.

[3] Mohan, Ned, Power Electronics: Converters, Applications, and Design, John Willey & Sons,

Inc, 1995.

[4] Nguyen Phung Quang., Jörg-Andreas Dittrich, “Vector Control of Three Phase AC Machine”,

e-ISBN: 978-3-540-79029-7, September 1965.

[5] Riyadi, Slamet, “Penggerak Kecepatan Variable Pada Motor Induksi Tiga Fasa Bberbasis

V/Hz dan Direct Ttorque Control “, Unika Soegijapranata, 2010.

[6] Trzynadlowsky Andrzej M, “Control of Induction Motors”, department of electrical

engineering university of Nevada, 2001.

[7] Zhenyu Yu and David Figoli, “AC Induction Motor Control Using Constant V/Hz Principle and

Space Vector PWM Technique with TMS320C240”, Texas Instruments Incorporated, April, 1998.

[8] “Field Orientated Control of 3-Phase AC-Motors”, Literature Number: BPRA073, Texas

Instruments Europe, February 1998.

Page 416: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.35

IMPLEMENTASI SISTEM KENDALI SPACE VECTOR PWM PADA

INVERTER 3 FASA MENGGUNAKAN MIKROKONTROL AT89S52

Emmanuel Agung Nugroho*)

, Joga Dharma Setiawan

Program Studi Magister Teknik Mesin Spesialisasi Mekatronika

Universitas Diponegoro Semarang Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini merancang inverter yang dikendalikan dengan metode Space Vector Pulse Width

Modulation (SVPWM) sebagai pengendali motor induksi 3 fasa. Untuk merealisasi sistem

kendali SVPWM dilakukan dengan pemodelan menggunakan software Power Simulator.

Melalui pemodelan ini dihasilkan data digital yang digunakan untuk mengisi mikrokontroler

AT89S52 sebagai rangkaian kontrol digital yang mengendalikan saklar daya inverter. Hasil

pengujian inverter SVPWM ini dibandingkan dengan pengujian inverter Volt/Hertz dengan

beban motor induksi 3 fasa yang memiliki rating daya 1 KVA. Pengujian meliputi pengukuran

frekuensi, arus, tegangan dan kecepatan kerja motor induksi. Dengan menggunakan metode

SVPWM sebagai pengendali inverter untuk menggerakkan motor induksi berhasil

meningkatkan efisiensi tegangan keluaran inverter sehingga menyebabkan motor induksi

bekerja lebih optimal. Hasil penelitian pada skala laboratorium menunjukkan dengan

menggunakan metode SVPWM efisiensi tegangan inverter sebesar 58,8% sedangkan dengan

metode Volt/Hertz efisiensi tegangan inverter sebesar 53,7%.

Kata kunci : Inverter, Space vector pulse width modulation, mikrokontrol AT89S52, Power

Simulator

PENDAHULUAN

Inverter terkendali SVPWM adalah alat yang digunakan untuk mengatur kecepatan motor

induksi. Metode SVPWM merupakan penggabungan dari pengaturan vektor kecepatan motor

dengan PWM yang digunakan sebagai pengatur amplitudo dan frekuensi. Selama ini penjelasan

SVPWM terbatas pada persamaan matematis dan kurang dalam hal implementasinya. Pada

penelitan ini dibahas implementasi kendali SVPWM pada inverter 3 fasa untuk mengendalikan

motor induksi 3 fasa. Implementasi ini meliputi perancangan perangkat lunak yang teraplikasi

pada pemodelan dengan menggunakan software Power Simulator dan hardware yang teraplikasi

pada komponen mikrokontrol AT89S52 sebagai implementasi sistem kontrol digital SVPWM.

Tinjauan Pustaka

Inverter (Konverter DC to AC)

Inverter mode pensaklaran DC ke AC umum digunakan pada aplikasi penggerak motor

yang biasa disebut Variable Speed Drive (VSD) dan Uninteruptable Power Supplies (UPS).

Sistem umum untuk merancang sebuah inverter ditunjukkan pada gambar 1:

Penyearah

Dioda

Kapasitor

Filter

Inverter

Mode saklar

50Hz

ac

Keluaran

ac

S1

S2

S3

S4

S5

S6

Va Vb Vc (a) (b)

Gambar1. (a) Bagan sistem inverter, (b)Konfigurasi inverter 3 fasa 3 lengan [Mohan, 1995]

Pada gambar 1(a) diperlihatkan sumber AC yang dimiliki oleh PLN disearahkan sehingga

menghasilkan tegangan DC yang difilter dengan kapasitor. Melalui pengendalian saklar daya

inverter tegangan DC ini oleh diubah menjadi tegangan AC. Gambar 1 (b) menunjukkan

Page 417: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.7. Implementasi sistem kendali space vector PWM pada… (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.36

konfigurasi inverter 3 fasa 3 lengan yang dibentuk oleh 6 buah saklar daya. Suatu converter jenis

sumber tegangan (voltage type) harus memenuhi dua syarat, yaitu saklar yang terletak pada satu

lengan tidak boleh konduksi secara bersamaan dan arus sisi AC harus selalu dijaga kontinuitasnya.

Mengacu pada kedua syarat tersebut maka akan terdapat 23 kondisi (delapan kondisi saklar).

Konfigurasi saklar daya inverter ditunjukan pada gambar 2

000 001 010 011

100 101 110 111 Gambar 2. Konfigurasi saklar daya inverter 3 fasa 3 lengan

Gambar 2 menjelaskan konfigurasi penyaklaran inverter yang dibentuk dari 3 pasang

saklar daya sehingga menghasilkan 8 kondisi penyaklaran inverter dari 000 hingga 111.

Implementasi SVPWM Inverter ke dalam mikrokontrol AT89S52

Untuk merealisasikan pola penyaklaran SVPWM dilakukan dengan pemodelan

menggunakan software Power Simulator seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Pemodelan SVPWM dengan Power Simulator

Dari pemodelan Power Simulator menghasilkan pola penyaklaran digital untuk S1/S2,

S3/S4 dan S5/S6. Data digital inilah yang dimasukkan kedalam mikrokontrol AT89S52 secara

look up table. Alat ini juga menampilkan frekuensi yang dihasilkan oleh inverter dengan

menggunakan mikrokontrol Atmega 8535. Implementasi hardware SVPWM Inverter ditunjukkan

pada gambar 4.

Gambar 4. Skema perancangan alat SVPWM Inverter

Page 418: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.37

Gambar 4 menjelaskan skematik rangkaian yang dirancang untuk keseluruhan sistem

SVPWM inverter. Blok rangkaian Volt/Hertz digunakan sebagai seting point adjuster untuk

mengatur frekuensi kerja inverter sekaligus sebagai pengendali clock mikrokontrol AT89S52.

Counter 8 bit digunakan untuk menguraikan pulsa clock dari rangkaian Volt/Hertz menjadi 8 pulsa

untuk memberikan data masukan pada port 0 mikrokontrol AT89S52. Dari mikrokontrol AT89S52

menghasilkan 3 buah sinyal kontrol yang dimasukan kedalam rangkaian dead time dan driver

untuk diolah sehingga menghasilkan 6 buah sinyal kontrol untuk memicu gate saklar daya IGBT.

Pemrograman mikrokontrol AT89S52

Sebelum dimasukkan ke dalam mikrokontrol AT89S52 pulsa look up table yang dihasilkan

oleh simulasi dengan Power Simulator di cek dengan program proteus untuk memastikan

kebenaran pulsa kontrol tersebut seperti ditunjukkan pada gambar 5.

CLK1

E2

MR7

Q03

Q14

Q25

Q36

KONTER A

4520AM FM

+

-

CLOCK

A

B

C

D

OSILOSCOPE

CLK1

E2

MR7

Q03

Q14

Q25

Q36

KONTER B

4520

XTAL218

XTAL119

ALE30

EA31

PSEN29

RST9

P0.0/AD039

P0.1/AD138

P0.2/AD237

P0.3/AD336

P0.4/AD435

P0.5/AD534

P0.6/AD633

P0.7/AD732

P1.0/T21

P1.1/T2EX2

P1.23

P1.34

P1.45

P1.56

P1.67

P1.78

P3.0/RXD10

P3.1/TXD11

P3.2/INT012

P3.3/INT113

P3.4/T014

P3.7/RD17

P3.6/WR16

P3.5/T115

P2.7/A1528

P2.0/A821

P2.1/A922

P2.2/A1023

P2.3/A1124

P2.4/A1225

P2.5/A1326

P2.6/A1427

MIKROKONTROL AT89S52

AT89C52 Gambar 5. Skematik rangkaian kontrol SVPWM dengan software Proteus

Gambar 6 menunjukkan skematik rangkaian kontrol SVPWM inverter yang berfungsi

membangkitkan pulsa pemicu saklar inverter. Rangkaian clock untuk mengatur frekuensi.

Rangkaian counter untuk menguraikan pulsa clock menjadi 8 bit pulsa yang mengendalikan

mikrokontrol AT89S52.

Pengujian SVPWM Inverter

Tegangan antar fasa inverter 3 fasa ditunjukkan pada gambar 6.

a.Tegangan antar fasa b. Tegangan fasa netral

Gambar 6. Tegangan motor induksi

Gambar 6a adalah tegangan antar fasa dari inverter 3 fasa dengan beban motor induksi.

Pengujian fasa Vab pada gambar 6a membuktikan persamaan berikut :

Vc

Vb

Va

V

V

V

V

dc

ca

bc

ab

101

110

011

.................................................................. (1)

Page 419: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.7. Implementasi sistem kendali space vector PWM pada… (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.38

Sedangkan tegangan fasa dan netral motor induksi 3 fasa ditunjukkan pada gambar 6b yang

berbentuk stupa hal ini membuktikan persamaan berikut

Vc

Vb

Va

V

V

V

V

dc

cn

bn

an

111

121

112

3

1

....................................................................(2)

Dari pengujian tegangan fasa-fasa dan fasa netral yang dihasilkan oleh inverter terkendali

SVPWM dapat dibuktikan dengan perhitungan tegangan inverter seperti pada tabel 1

Tabel 1. Tegangan keluaran inverter 3 fasa

Pengujian arus inverter dengan beban motor induksi 3 fasa ditunjjukan pada gambar 7

Gambar 7. Arus antar fasa yang masuk pada stator motor induksi 3 fasa

Gambar 7 adalah pengukuran arus pada fasa a dan fasa b yang dihasilkan oleh keluaran

inverter 3 fasa dengan beban motor induksi 3 fasa. Hasil pengujian tegangan dan arus inverter 3

fasa dengan beban motor induksi adalah :

Tabel 2. Pengujian arus, tegangan motor dan frekuensi dengan inverter SVPWM

Page 420: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.39

Pengujian inverter terkendali Volt/Hertz

Pengujian inveter dengan metode kendali Volt/Hertz dilakukan sebagai pembanding

inverter SVPWM. Model inverter Volt/Hertz yang digunakan adalah VSD merk Toshiba model

TOSHIBA TOSFERT VFS-9. Gambar variable speed drive TOSHIBA TOSFERT VFS-9

ditunjukkan pada gambar 8.

Gambar 8. TOSHIBA TOSFERT VFS-9

Gambar 8 VSD yang digunakan sebagai pembanding pada pengambilan data ini. Tipe

TOSHIBA TOSFERT VFS-9 ini dilengkapi dengan panel potensiometer dengan ukuran yang cukup

besar sehingga memudahkan semua orang untuk bisa mengoperasikan pengaturan frekuensi

keluarannya. Terdapat 4 panel kontrol otomatis untuk memudahkan pengoperasian percepatan dan

perlambatan frekuensi hingga 60 Hz. Dengan alat ini dihasilkan data-data pengukuran seperti pada

tabel 3

Tabel 3. Pengujian arus tegangan motor dan frekuensi dengan VSD

Dari pengujian Inverter dengan variable speed drive merk TOSHIBA TOSFERT VFS-9

tersebut dapat dibandingkan tegangan yang dihasilkan dengan inverter terkendali vektor yang

dirancang pada catu daya input yang sama yaitu 220 volt AC dengan perbandingan sebagai berikut

:

Vdc penyearah gelombang penuh :

VF-F inverter SVPWM : 183 Volt, sehingga efisiensi sebesar :

VF-F inverter Volt/Hertz : 167 volt, sehingga efisiensi sebesar

Page 421: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.7. Implementasi sistem kendali space vector PWM pada… (Emmanuel A. Nugroho dan Joga D. Setiawan)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.40

Sehingga pada kecepatan nominal perancangan inverter SVPWM ini memiliki efisiensi

tegangan lebih baik sebesar 5,1 % dari pada Variable speed Drive Volt/Hertz pada pengujian

laboratorium ini.

Pengujian DOL sebagai pengendali motor induksi

Pengujian DOL (Direct On Line) dilakukan dengan menggunakan sebuah relay kontaktor

untuk menghubungkan sumber jala-jala PLN dengan Stator motor induksi. Melalui pengujian ini

dihasilkan data pengukuran seperti pada tabel 4.

Tabel 4. Pengujian rangkaian DOL

KESIMPULAN

1. Berdasar hasil pengujian di laboratorium dengan menggunakan metode Volt/Hertz dan

SVPWM inverter , terbukti bahwa tegangan AC yang dihasilkan oleh metode SVPWM lebih

tinggi daripada tegangan AC yang dihasilkan oleh metode V/Hz.

2. Jika dibandingkan dengan sistem DOL arus mula yang dihasilkan oleh inverter SVPWM jauh

lebih kecil, demikian juga ketika motor telah melaju pada kecepatan nominal.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bose, Bimal K, Modern Power Electronics and AC Drives, The University of Tennessee,

Knoxville, Prentice Hall, Inc. United State of America, 2002.

[2] Kelvin Lye kwong Loong., Nik ramzi bin Idris, Microcontroller Based Space Vector

Modulation (SVM) Signal Generator, Faculty of Electrical Engineering UTM, May 2008.

[3] Mohan, Ned, Power Electronics: Converters, Applications, and Design, John Willey & Sons,

Inc, 1995.

[4] Nguyen Phung Quang., Jörg-Andreas Dittrich, “Vector Control of Three Phase AC Machine”,

e-ISBN: 978-3-540-79029-7, September 1965.

[5] Riyadi, Slamet, “Penggerak Kecepatan Variable Pada Motor Induksi Tiga Fasa Bberbasis

V/Hz dan Direct Ttorque Control “, Unika Soegijapranata, 2010.

[6] SZABÓ C, Maria IMECS., Ioan Iov, Incze, ”Volt-Hertz Control of the Synchronous Motor

With Ramp Exciting Voltage”, Annals of the University of Craiova, Electrical Engineering series,

No. 30, 2006.

[7] Trzynadlowsky Andrzej M, “Control of Induction Motors”, department of electrical

engineering university of Nevada, 2001.

[8] Zhenyu Yu and David Figoli, “AC Induction Motor Control Using Constant V/Hz Principle and

Space Vector PWM Technique with TMS320C240”, Texas Instruments Incorporated, April, 1998.

[9] “Field Orientated Control of 3-Phase AC-Motors”, Literature Number: BPRA073, Texas

Instruments Europe, February 1998.

Page 422: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.41

RESPON SISTEM DITINJAU DARI PARAMETER KONTROLER PID

PADA KONTROL POSISI MOTOR DC

Dwiana Hendrawati Prodi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof. H. Sudarto, SH., Tembalang, Semarang E-mail : [email protected]

Abstrak

Aspek penting dalam penerapan kontroler PID ialah penentuan parameter kontroler PID

supaya sistem closed loop mempunyai respon sistem yang baik (memenuhi kriteria performansi

yang diinginkan). Untuk mendapatkan respon tersebut, dapat dilakukan dengan mengkaji

secara eksperimental terhadap beberapa nilai parameter kontroler PID. Pada prinsipnya,

penambahan kontroler PID akan menaikkan tipe sistem. Semakin tinggi tipe sistem, ESS

(Error Steady State) sistem makin mendekati nol. Untuk itulah perlu dikaji penambahan

kontroler PID dengan parameter yang tepat untuk mendapatkan sistem dengan ESS mendekati

nol, dengan tidak mengesampingkan kestabilan sistem. Untuk mengetahui dampak perubahan

parameter terhadap respon sistem inilah, diujikan pada kontrol posisi motor DC yang

digunakan pada boiler mini (skala laboratorium). Respon sistem yang terbaik pada model

plant tersebut ditentukan dengan Metode Ziegler-Nichols pada penerapan kontroler PID

dengan Kp =6,84; Ti =0,06; dan Kd = 0,015

Kata kunci: respon, kontroler PID, kontrol posisi, motor DC

PENDAHULUAN Pengendalian sistem selalu berupaya untuk mendapatkan hasil kerja sistem seperti yang

diharapkan, dengan meminimalkan atau bahkan menghilangkan error . Disinilah peran Kontroler

menjadi bagian utama keberhasilan pengendalian sistem. Kontroler menjalankan mekanisme

mengatur kinerja actuator agar berjalan atau bekerja sesuai hasil isyarat yang diolahnya. Salah

satu jenis kontroller dapat diaplikasikan untuk mengontrol bukaan safety valve boiler.. Kontroler ini

menggunakan motor DC (Direct Current) sebagai media penerjemah sinyal elektrik dari kontroller

menjadi suatu gerakan mekanis untuk membuka katup jika tekanan lebih dan akan menutup

kembali setelah tekanan turun pada level aman.

Kontrol otomatik Sistem pengendali motor DC merupakan salah satu bentuk perancangan

teknologi yang mengaplikasikan sistem kendali otomatis untuk mengarahkan posisi katup.

Pengendalian posisi dapat dilakukan dengan pengendalian secara On-Off atau dengan

menambahkan pengendali Proportional–Integral–Derivative (PID). Dari kedua jenis kontroler

konvensional ini,kontroler PID mempunyai performansi pengendalian yang lebih baik, dengan

pemilihan konstanta PID yang tepat.

Untuk menerapkan sistem pengendalian dengan aksi kontrol PID, perlu penalaan

konstanta PID, untuk mendapatkan respon yang terbaik. Untuk satu jenis (karakteristik) plant

(obyek pengaturan) tertentu; perlu nilai penalaannya karena nilai-nilai ini sangat spesifik untuk

tiap plant (Ziegler,J.G dan Nichols, N.B; 1942). Pengujian yang umumnya dilakukan adalah

dengan mengamati perubahan tanggapan motor servo untuk kemudian dianalisis sehingga

diperoleh sistem kendali motor servo dengan respon cepat dan tingkat kestabilan yang baik.

DASAR TEORI

Respon waktu yaitu karakteristik respon yang spesifikasi performansinya didasarkan pada

pengamatan bentuk respon output sistem terhadap berubahnya waktu. Secara umum spesifikasi

performansi respon waktu dapat dibagi atas dua tahapan pengamatan, yaitu;

1. Spesifikasi Respon Transient, adalah spesifikasi respon sistem yang diamati mulai saat

terjadinya perubahan sinyal input/gangguan/beban sampai respon masuk dalam keadaan steady

state.

2. Spesifikasi Respon Steady State, adalah spesifikasi respon sistem yang diamati mulai saat

respon masuk dalam keadaan steady state sampai waktu tak terbatas (dalam praktek waktu

Page 423: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.8. Respon system ditinjau dari parameter kontroler PID .... (Dwiyana Hendrawati)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.42

pengamatan dilakukan saat TS ≤ t ≤ 5TS). Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas

respon steady state ini antara lain; %eror steady state baik untuk error posisi, error kecepatan

maupun error percepatan.

Respon output sistem orde I dan orde II, untuk masukan fungsi Impulsa, step, ramp dan

kuadratik memiliki bentuk yang khas sehingga mudah diukur kualitas responnya (menggunakan

tolok ukur yang ada).

Tabel 1. Kesalahan keadaan tunak sistem untuk input step, ramp, dan parabola.

Input Step Input Ramp Input Parabola

Sistem jenis 0 1/ (1+K) ~ ~

Sistem jenis 1 0 1/K ~

Sistem jenis 2 0 0 1/K

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa untuk membangun sistem dengan respon waktu yang baik,

khususnya besarnya error steady state; sistem yang baik apabila tipe sistemnya makin tinggi. Salah

satu yang bisa diupayakan untuk mempertinggi tipe sistem adalah dengan menambahkan kontroler

pada sistem (kontroler Integral). Hal ini didasarkan dari fungsi alih kontroler integral adalah 1/s.

Berbagai metode pengendali telah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, salah satunya adalah

dengan menerapkan metode pengendali PID. Persamaan umum pengendali PID diperlihatkan pada

Persamaan (1) dan (2).

t

0

e(t).dtTi

Kp

dt

de(t) . Td . Kp e(t) . Kp m(t) ……………….. (1)

) s . Ti

1 s . Td 1 ( KpE(s)

M(s) ………………. (2)

Blok diagram pengendali PID diperlihatkan dalam gambar 1, dengan m(t) adalah sinyal kendali, K

adalah penguatan, e(t) adalah sinyal error yang diperoleh dari selisih antara nilai sinyal output–

sinyal setpoint . Sinyal pengendali PID merupakan penjumlahan dari pengolahan ketiganya yaitu

Proporsional, Integral), dan Derivatif/Turunan.

Gambar 1. Blok Diagram Pengendali PID

Parameter utama dari pengendali PID adalah penguatan proporsional Kp, waktu integral

Ti, dan waktu derivatif Td. Sinyal pengendali PID merupakan penjumlahan dari pengolahan

ketiganya yaitu Proporsional (sebanding dengan perubahan error), Integral (sebanding dengan

integral/penjumlahan error), dan Derivatif/Turunan (sebanding dengan kecepatan perubahan

error). Sebuah kontroler proporsional (Kp) akan memiliki efek mengurangi waktu naik dan akan

mengurangi, tetapi tidak pernah menghilangkan, kesalahan keadaan tunak.

Kontrolintegral (Ki) akan memiliki efek menghilangkan kesalahan keadaan tunak, tetapi

dapat membuat respon buruk. Suatu pengendalian derivatif (Kd) akan memiliki efek

Page 424: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.43

meningkatkan stabilitas sistem, mengurangi overshoot, dan memperbaiki respontransien. Efek dari

masing-masing kontroler Kp, Kd, dan Ki pada sistem loop tertutupdirangkum dalam tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh penambahan kontroler terhadap respon

transient dan steady state sistem

Controller RISE TIME OVERSHOOT SETTLING TIME S-S ERROR

Kp Decrease Increase Small Change Decrease

Ki Decrease Increase Increase Eliminate

Kd Small Change Decrease Decrease Small Change

Metode penalaan PID Ziegler-Nichols merupakan cara populer untuk menyelesaikan

permasalahan dalam merancang kontroler PID yaitu menentukan parameter Kp, Kd, dan Ki. Etode

ini dapat dilakukan berdasarkan model sistem lup terbuka dan lup tertutup (Metode penalaan PID

Ziegler-Nichols 1 dan 2). Metode penalaan PID Ziegler-Nichols 1 dilakukan berdasarkan

eksperimen dengan memberikan input step pada sistem dan mengamati hasilnya. Pada metode ini,

sistem harus mempunyai respon terhadap step berbentuk kurva S. Prosedur praktis metode ini

adalah member input step ke sistem, mendapat kurva S, dan menentukan nilai L dan T untuk

mendapatkan nilai parameter kontroler. Penentuan parameter sesuai dengan tabel 3.

Tabel 3. Penentuan parameter PID Ziegler-Nichols

Tipe Pengendali Kp Ti Td

P T/L 0

PI 0.9 T/L L/0.3 0

PID 1.2 T/L 2L 0.5L

Gambar 2. Kurva S analisa Grafis Ziegler-Nichols

Metode penalaan PID Ziegler-Nichols 2 berguna untuk sistem yang mungkin mempunyai

respon step yang berosilasi secara terus menerus dengan teratur (sistem dengan integrator). Metode

ini dilakukan dengan eksperimen yaitu dengan menambahkan kontroler P pada sistem closed loop

dengan plant terpasang, Kemudian nilai Kp ditambahkan sampai sistem berosilasi terus menerus

dengan teratur. Nilai Kp saat itu disebut penguatan kritis (Kcr) dan periode saat itu disebut periode

kritis (Pcr).

METODOLOGI

Untuk menentukan besarnya parameter PID pada servo posisi motor DC tersebut dilakukan

tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Menentukan fungsi alih sistem pengaturan lup terbuka

Page 425: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.8. Respon system ditinjau dari parameter kontroler PID .... (Dwiyana Hendrawati)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.44

Gambar 3. Blok diagram sistem kontrol

Fungsi alih motor DC (servo posisi motor)

(3)

Konstanta yang belum diketahui bisa diperoleh dari percobaan identifikasi plant, yaitu momen

inersia rotor (J), damping rasio sistem mekanik (b) , Konstanta ggl (K=Kb=Ka) , resistansi (R),

induktansi (L)

b. Menggambarkan kurva S untuk menentukan nilai L dan T

c. Menentukan besarnya parameter PID dengan dasar tabel 3.

d. Analisa dan kesimpulan

Dari pengamatan keluaran (respon) dengan bantuan Matlab sesuai parameter yang

ditentukan sebelumnya, serta dengan memperbandingkan respon penambahan kontroler P, PI, PD,

dan PID dapat ditunjukkan respon yang lebih baik dengan penambahan kontroler tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Dengan memasukkan nilai konstanta pada fungsi alih motor DC (persamaan 3), diperoleh

respon sistem dengan input step (gambar 4).

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20

1

2

3

4

5

6

7

Respon Step

Waktu (sec)

Posis

i

Gambar 4. Respon step sistem

b. Dengan dasar gambar 4 diperoleh nilai L = 0,17 dan T = 0,03, sehingga berdasar tabel 3

didapatkan nilai parameter PID seperti tertuang dalam tabel 4.

Tabel 4. Nilai parameter PID sesuai dengan Metode Ziegler-Nichols

Tipe Pengendali Kp Ti Td

P 5,7 ∞ 0

PI 5,13 0,1 0

PID 6,84 0,06 0,015

Page 426: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.45

c. Hasil respon sistem dengan input step dengan nilai parameter seperti dalam tabel 4 ditunjukkan

dalam gambar 5, 6, dan 7

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20

0.5

1

1.5

Respon Step dengan Kp = 5,7

Waktu (sec)

Posis

i

Gambar 5. Respon step sistem dengan penambahan kontroler Proporsional

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.40

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

Respon Step dengan Kp = 5,13 dan Ti = 0,1

Waktu (sec)

Posis

i

Gambar 6. Respon step sistem dengan penambahan kontroler Proporsional Integral

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

Respon Step dengan Kp = 6,84 ;Ti = 0,06 ; dan Td = 003

Waktu (sec)

Posis

i

Gambar 7. Respon step sistem dengan penambahan kontroler Proporsional Integral Derivatif

Page 427: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.8. Respon system ditinjau dari parameter kontroler PID .... (Dwiyana Hendrawati)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.46

KESIMPULAN

1. Penambahan kontroler dalam pengendalian posisi motor DC dapat memperbaiki respon waktu

sistem, baik respon transient maupun Steady State

2. Penambahan kontroler Integral terutama sangat bermanfaat untuk menghilangkan ESS (Errror

Steady State)

3. Penambahan kontroler Proporsional dan Derivatif terutama bermanfaat untuk memperbaiki

respon transient sistem

DAFTAR PUSTAKA

Dwiana Hendrawati, 2009, Perbaikan Karakteristik Kontroler Tekanan dengan menggunakan

Metode Kontroler PID, Laporan Penelitian Pengembangan, Polines 2009

Lettu Lek Ardhimas Wimbo Wasisto, I. Gde Permana, 2011, Implementasi Motor DC Pengendali

PID sebagai Aktuator Sistem Penjejak Obyek Berbasis Warna, AAU Journal of Defense

Science and Technology Volume 2, number 1

Wawan Ismanto, 2010, Perancangan dan Simulasi Sistem Kontrol Posisi Pada Panel Surya

dengan Menggunakan Metode Fuzzy Sliding Mode Control (FSMC), Tugas Akhir ITS

Surabaya

Ziegler, J. G. dan N.B. Nichols, 1942, Optimum Setting for Automatic Controllers, Tans. ASME,

vol. 64, pp. 759-768

……….., 2002, Getting Started with Matlab Version 6,The Math Works, Inc, 3, Apple Hill Drive

Matick, MA

Page 428: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.47

ANALISIS KEANDALAN SISTEM MEKANIK

CONTROLLABLE PITCH PROPELLER DENGAN PENDEKATAN

KEGAGALAN KEAUSAN

Gutomo*1)

, Susilo Adi Widyanto2)

, Ismoyo Haryanto2)

1) Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang

Jl. Prof.H. Sudarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50275 2)

Program Studi Magister Teknik Mesin, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang

Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275 *) Email: [email protected]

Abstrak

Perancangan komponen mesin merupakan proses yang menghasilkan bentuk geometrik,

ukuran komponen secara lengkap, jenis bahan komponen, beban yang bekerja, dan kondisi

lingkungan tempat komponen akan bekerja. Hasil perancangan tersebut diharapkan komponen

dapat bekerja dengan aman, namun dalam prakteknya kadang kala ada komponen yang

mengalami kerusakan atau kegagalan (failure). Untuk itu dilakukan analisis kegagalan

(failure analysis) untuk mengetahui keandalan suatu produk. Sasaran utama analisis

keandalan adalah untuk mengidentifikasi atau meramalkan perilaku kegagalan sebuah produk

sedini mungkin. Tulisan ini meneliti kegagalan produk pena engkol pada sistem mekanik

Controllable Pitch Propeller (CPP) untuk penggerak hovercraft dengan pendekatan keausan.

Parameter yang digunakan jumlah siklus putaran. Pengukuran keausan komponen dilakukan

mulai dari jumlah 250.000 siklus sampai dengan 2.000.000 siklus. Hasil yang diperoleh

diperbandingkan dengan masa hidup (life cycle) sebuah produk terhadap kegagalan melalui

kurva bak mandi (bathtub curve).

Kata kunci: sistem mekanik CPP, analisis keandalan, kegagalan keausan.

PENDAHULUAN

Propeller adalah komponen mesin yang digunakan untuk mentransmisikan daya dengan

mengkonversi gerakan rotasi menjadi daya dorong (thrust). Perbedaan tekanan dihasilkan antara

permukaan depan dan belakang sudu (blade). Propeller banyak digunakan dalam industri

penerbangan, maritim, dan mesin energi. Pengembangan desain propeller blade semakin baik

dengan bentuk aerodinamis yang memadai, sehingga dapat menghasilkan daya dorong yang

semakin besar.

Berdasarkan mekanisme sistem pemegang blade propeller, ada dua jenis mekanisme yang

umum dipakai, yaitu mekanisme tetap yang disebut Fixed Pitch Propeller (FPP) dan mekanisme

yang dapat diatur sudut serangnya yang biasa disebut dengan Controllable Pitch Propeller (CPP)

atau Variable Pitch Propeller (VPP). Mekanisme CPP lebih menguntungkan dibandingkan dengan

mekanisme FPP, karena pada CPP dapat dihasilkan daya dorong yang bervariasi dengan putaran

propeller yang konstan.

Propeller bersama komponen lain seperti hub, poros, bantalan, pengatur sudut pitch

propeller, dan sumber tenaga, membentuk satu sistem yang disebut sistem penggerak propeller.

Sistem penggerak propeller harus memenuhi kaidah-kaidah perancangan dan produksi. Salah satu

kaidah tersebut adalah memberikan rasa aman bagi pemakainya. Untuk maksud tersebut diperlukan

analisis dan uji keandalan (reliability) pada rancang bangun suatu produk.

Salah satu konsep dasar keandalan suatu produk adalah dengan melakukan analisis

kegagalan (failure analysis) (Murthy, dkk., 2008). Segala bentuk (mode) kegagalan di dalam

perancangan produk tidak dapat diterima dan harus dihindarkan. Sistem mekanik propeller bekerja

secara dinamis dan mengalami pola pembebanan bervariasi dan berulang (cyclic loading atau

repeated loading), sehingga analisis dapat dilakukan melalui pendekatan kegagalan keausan (wear

failure).

Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah analisis keandalan sistem melalui

salah satu komponen yang mempunyai potensi kegagalan yang besar, yakni komponen pena engkol

yang bergesekan dengan piringan beralur.

Page 429: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.9. Analisis keandalan sistem mekanik .... (Gutomo dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.48

Konsep Dasar Keandalan

Suatu produk dikatakan memiliki nilai sebagai akibat dari utilitas atau performansinya

dalam memenuhi suatu kebutuhan atau permintaan dari pengguna atau konsumen (customer).

Beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap nilai yang tinggi bagi suatu produk adalah

kemudahan pengoperasian, keamanan, estetika, ergonomi, dan keandalannya.

Kebutuhan terhadap keandalan dan keamanan yang lebih tinggi lebih disebabkan karena

faktor-faktor berikut ini (Verma, dkk., 2010) :

a. bertambahnya kompleksitas produk

b. peningkatan pertumbuhan teknologi

c. kesadaran atau kebutuhan pengguna

d. pertanggungjawaban keselamatan

e. kompetisi pasar

f. kegagalan sistem yang lampau

g. jaminan dan biaya kegagalan

Berbagai literatur memberikan definisi yang beragam terhadap keandalan. Namun

demikian, ada beberapa kesamaan di dalam definisi tersebut, khususnya parameter tetap yang

terkandung dalam definisi tersebut. Parameter tersebut adalah peluang, sistem atau produk atau

komponen, tidak gagal, waktu, dan kondisi operasi.

a. The reliability of a product is defined as “The ability of a product to perform required

functions, under given environmental and operational conditions and for a stated period of

time.” (Murthy, dkk., 2008).

b. Reliability is the probability of a device performing its purpose adequately for the period of

time intended under operating conditions encountered. (Barlow, 1998).

c. Reliability is the probability that an item will perform its specified mission satisfactorily for

the stated time when used according to the specified conditions. (Dhillon, 2005).

d. Reliability is the probability of a product performing its intended function over its specified

period of usage, and under specified operating conditions. (Wasserman, 2003).

Empat definisi keandalan memberikan pengertian bahwa keandalan adalah peluang atau

probabilitas sebuah sistem, produk, komponen, atau item, melakukan tugas atau operasi sesuai

dengan fungsinya, dalam rentang waktu dan kondisi operasi tertentu. Analisis keandalan bertujuan

untuk mempelajari konsep, karakteristik, pengukuran, analisis kegagalan, dan perbaikan sistem

sehingga menambah waktu ketersediaan operasi sistem dengan cara mengurangi kemungkinan

kegagalan (Ebeling, 1997).

Analisis Keandalan

Sasaran utama analisis keandalan adalah untuk mengidentifikasi atau meramalkan perilaku

kegagalan sebuah produk sedini mungkin (Gambar 2.1). Dengan demikian, titik lemah dalam

desain dapat ditentukan dan dieliminasi dalam tahap awal. Analisis keandalan juga dimaksudkan

untuk menghindari percobaan yang dapat memakan waktu dan permasalahan yang melebar.

Identifikasi yang tepat hanya dapat dicapai, apabila perilaku kegagalan komponen relatif dikenal.

Gambar 1. Analisis Keandalan pada Siklus Hidup Suatu Produk (Bertsche, B., 2010)

Page 430: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.49

Prosedur Analisis Keandalan

Prosedur yang dilakukan untuk menentukan kehandalan suatu sistem dilakukan seperti

Gambar 1.2 (Bertsche, B., 2010). Fokus utama dari analisis sistem, untuk menentukan komponen-

komponen yang relevan dengan keandalan dan untuk membangun sebuah struktur keandalan

sistem. Komponen-komponen sistem dianggap terpisah dan kehandalan komponen tersebut

ditentukan. Analisis keandalan diakhiri dengan perhitungan keandalan untuk sistem yang lengkap.

Gambar 2. Prosedur Analisis Keandalan Sistem

Kurva Bak Mandi

Kurva bak mandi (bathtub curve) merupakan kurva yang sering digunakan dalam teknik

atau analisis keandalan. Kurva bak mandi merupakan kurva untuk memetakan tingkat kegagalan

suatu sistem atau komponen mesin terhadap waktu. Masa hidup (life cycle) sebuah produk terhadap

kegagalan dapat dijelaskan dengan bathtub curve, seperti terlihat pada Gambar 1.3.

Kegagalan awal sebuah produk terjadi pada masa infant mortality, yang disebabkan

kemungkinan oleh kesalahan pemasangan, kegagalan produksi, pemilihan material yang tidak

tepat. Kegagalan berikutnya terjadi pada masa useful life, yang disebabkan oleh kegagalan

operasional, pembebanan berlebih (overloading), kegagalan perawatan. Kegagalan pada masa

wearout terjadi karena proses penuaan (aging), korosi, fatigue. Kegagalan pada masa infant

mortality dan masa useful life merupakan kegagalan yang sulit diperkirakan sejak awal (pre-

estimate), sementara kegagalan masa wearout pada banyak kasus merupakan penyebab kegagalan

yang paling dominan.

Gambar 3. Siklus Hidup Sebuah Produk Terhadap Kegagalan (Wasserman, 2003)

Kegagalan Komponen

Perancangan komponen mesin merupakan proses yang menghasilkan bentuk geometrik,

ukuran komponen secara lengkap, jenis bahan komponen, beban yang bekerja, dan kondisi

lingkungan tempat komponen akan bekerja. Hasil perancangan tersebut diharapkan komponen

dapat bekerja dengan aman, namun dalam prakteknya kadang kala ada komponen yang mengalami

kerusakan atau kegagalan (failure).

Page 431: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.9. Analisis keandalan sistem mekanik .... (Gutomo dkk.)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.50

Kegagalan komponen atau elemen mesin sering terjadi ketika mesin sedang beroperasi.

Kegagalan tersebut dapat terjadi yang disebabkan oleh kesalahan perancangan, kesalahan dalam

manufaktur, kesalahan operasi, kesalahan perawatan, dan pengaruh lingkungan (Ramachandran,

2005).

Mechanical failure may be defined as any change in the size, shape, or material

properties of a structure, machine, or machine part that renders it incapable of satisfactorily

performing its intended function (Collins, 1981).

Jadi, komponen mesin dikatakan gagal, apabila komponen tersebut menunjukkan gejala

adanya perubahan ukuran, bentuk, maupun sifat-sifat bahan, yang menyebabkan komponen mesin

tidak dapat melakukan fungsinya lagi dengan baik.

Bentuk-bentuk (mode) kegagalan yang terjadi merupakan gabungan dari aspek-aspek

manifestasi kegagalan, penyebab kegagalan, dan lokasi kegagalan (Collins, 1981).

Manifestasi kegagalan (manifestation of failure) dapat berupa :

a. Deformasi elastis (elastic deformation)

b. Deformasi plastis (plastic deformation)

c. Retak (fracture)

d. Perubahan material : metallurgical, chemical, nuclear

Penyebab kegagalan (failure-inducing agents) meliputi :

a. Force : steady, transient, cyclic, random

b. Time : very short, short, long

c. Temperature : low, room, elevated, steady, transient, cyclic, random

d. Reactive environment : chemical, nuclear

Lokasi kegagalan (failure locations) terjadi pada :

a. Body type

b. Surface type

METODOLOGI

Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Merancang dan membuat sistem mekanik CPP.

b. Melakukan pengujian keausan.

- Material yang digunakan adalah ST.60.

- Variabel penelitian adalah jumlah siklus putaran.

c. Analisa data dan kesimpulan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah :

a. Sistem mekanik CPP hasil rancang bangun, seperti Gambar 2.1.

b. Neraca (timbangan).

c. Penghitung putaran (speed counter).

Gambar 4. Posisi Pena Engkol Pada Sistem Mekanik CPP

Page 432: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.51

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian dari komponen pena engkol terhadap keausan, diharapkan membentuk

kurva bak mandi seperti Gambar 3.1.

Gambar 5 Kurva Bak Mandi Untuk Komponen Pena Engkol

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Analisis keandalan terhadap suatu sistem atau produk merupakan prosedur yang harus

dilakukan untuk memenuhi kaidah-kaidah perancangan dan produksi.

2. Salah satu konsep dasar keandalan suatu produk adalah dengan melakukan analisis kegagalan

(failure analysis).

3. Untuk memahami dan memprediksi potensi kegagalan pada awal tahap perancangan produk,

sangat diperlukan pembuatan peta kegagalan (failure mapping).

DAFTAR PUSTAKA

Barlow, R.E., (1998), Reliability Engineering, ASA-SIAM, Philadelphia.

Bertsche, B., (2010), Reliability in Automotive and Mechanical Engineering, Springer-Verlag,

Berlin.

Collins, J.A., (1981), Failure of Materials in Mechanical Design: Analysis, Prediction, Prevention,

John Wiley & Sons, New York.

Dhillon, B.S., (2005), Reliability, Quality, and Safety for Engineers, CRC Press, Florida.

Ebeling, C.E., (1997), An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering, The

McGraw-Hill Companies, Inc., Singapura.

Murthy, D.N.P., Rausand, M., Osteras, T., (2008), Product Reliability, Specification, and

Performance, Springer-Verlag, London.

Ramachandran, V., Raghuram, A.C., Krishnan, R.V., Bhaumik, S.K., (2005), Failures Analysis of

Engineering Structures: Methodology and Case Histories, ASM International, Ohio.

Verma, A.K., Ajit, S., Karanki, D.R., (2010), Reliability and Safety Engineering, Springer-Verlag,

London.

Wasserman, G.S., (2003), Reliability Verification, Testing, and Analysis in Engineering Design,

Marcel Dekker, New York.

Page 433: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.10. Analisis dampak pemasangan distributed generation (DG) .... (Agus Supardi dan Romdhon Prabowo)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.52

ANALISIS DAMPAK PEMASANGAN DISTIBUTED GENERATION (DG)

TERHADAP PROFIL TEGANGAN DAN RUGI-RUGI DAYA

SISTEM DISTRIBUSI STANDAR IEEE 18 BUS

Agus Supardi*), Romdhon Prabowo

Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos I Surakarta 57102 *)

E-mail: [email protected]

Abstrak

Pusat pembangkit listrik berkapasitas besar biasanya terletak jauh dari pusat beban sehingga

membutuhkan saluran transmisi yang panjang. Dampaknya adalah susut tegangan dan rugi-

rugi dayanya menjadi semakin besar. Distributed generation (DG) dengan kapasitas kecil dan

tegangan nominal rendah menjadi salah satu alternatif dalam membangkitkan energi listrik.

Pengoperasian DG pada sistem distribusi mengakibatkan aliran daya yang terbalik arahnya

sehingga bisa berpengaruh terhadap profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengoperasian DG terhadap profil tegangan dan rugi-

rugi daya sistem. Penelitian diawali dengan memodelkan sistem distribusi standard IEEE 18

bus dan DG ke dalam software ETAP. Setelah modelnya lengkap, dilakukan simulasi aliran

daya pada berbagai kondisi. Profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem akan diamati dari hasil

simulasi ini. DG yang dipakai dalam simulasi ini divariasi lokasi pemasangan. Hasil simulasi

menunjukkan bahwa pemasangan DG dapat memperbaiki profil tegangan dan menurunkan

rugi-rugi daya sistem.

Kata kunci: distributed generation (DG), profil tegangan, rugi-rugi daya

PENDAHULUAN Energi listrik merupakan sumber energi utama dunia. Tenaga listrik dibangkitkan di stasiun

pembangkit dan disalurkan ke konsumen melalui saluran transmisi dan saluran distribusi.

Pertimbangan ekonomi dan masalah lingkungan mengakibatkan fasilitas pembangkitan

berkapasitas besar biasanya diletakkan di daerah pinggiran yang jauh dari pusat beban. Dengan

demikian diperlukan banyak komponen sistem tenaga untuk menyalurkan energi listrik.

Pembangkit listrik yang beroperasi menggunakan batubara atau nuklir menimbulkan

permasalahan polusi terhadap lingkungan. Energi yang tersedia dari matahari, air dan angin

merupakan energi yang bersih, tidak mengotori lingkungan, dan gratis. Energi ini dapat diubah

menjadi listrik dengan menggunakan sel surya, pembangkit listrik mikrohidro dan turbin angin. Di

sisi lain, peningkatan permintaan energi listrik tidak dapat dipenuhi oleh pembangkit berkapasitas

besar karena adanya keterbatasan saluran transmisi. Oleh karena itu diperlukan pembangkit yang

efisien seperti jenis pembangkit listrik tersebar (DG, Distributed Generation). Isu lain yang

mendorong pengembangan DG adalah tingginya biaya transmisi dan distribusi (Willis and Scott,

2000). Pembangunan saluran transmisi baru membutuhkan biaya investasi yang besar. Dengan

demikian diperlukan suatu pembangkit yang bisa dipasang di dekat beban seperti DG.

DG menggunakan generator berukuran lebih kecil dari stasiun pembangkitan terpusat. DG

biasanya mempunyai kapasitas kurang dari 10 MW. DG mendistribusikan tenaga listrik di dekat

beban dan dapat diterapkan pada cakupan luas. DG dengan kapasitas daya yang kecil dapat

digunakan untuk melayani beban puncak yang hanya terjadi pada jam-jam tertentu tiap harinya

(Delfino, 2002). Manfaat DG antara lain :

a. Pada pengguna akhir atau pelanggan, umumnya mendapat keuntungan dengan adanya

pembangkit cadangan skala kecil yang dapat meningkatkan keandalan penyaluran tenaga

listrik.

b. Dapat mengatasi pertumbuhan beban yang tidak pasti dan dapat menekan harga listrik

melambung tinggi

Dengan adanya DG ini, kondisi sistem tenaga menjadi lebih rumit untuk dipahami. Oleh

karena itu, sangat diperlukan untuk mengetahui pengaruh pemasangan DG terhadap perubahan

apapun di dalam sistem. Wang dan Nehrir (2003) menyajikan suatu metoda analitis untuk

menentukan lokasi optimal dalam menempatkan DG di sistem distribusi radial untuk memperkecil

Page 434: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.53

rugi-rugi daya sistem. Paper ini juga menunjukkan suatu studi simulasi untuk memverifikasi hasil

yang diperoleh secara analitis untuk sistem radial dan interkoneksi.

Secara konvensional, dianggap bahwa tenaga listrik pada sistem distribusi selalu mengalir

dari gardu induk ke ujung penyulang baik dalam operasi dan perencanaannya. Pengoperasian DG

mengakibatkan aliran daya terbalik dan profil tegangan yang kompleks pada sistem distribusi.

Dengan adanya pemasangan DG, maka akan terjadi perubahan besar arus pada suatu saluran

tertentu sehingga akan berpengaruh terhadap profil tegangan dan rugi-rugi daya saluran. Dalam

penelitian ini akan dianalisis dampak pemasangan DG terhadap profil tegangan dan rugi-rugi daya

sistem distribusi standar IEEE 18 bus.

METODOLOGI

Bahan utama penelitian ini adalah sistem distribusi standard IEEE 18 bus seperti yang

digunakan oleh Grady et al (1992) dengan diagram garis tunggal seperti gambar 1.

Jalannya penelitian diuraikan sebagai berikut:

1. Penelitian dimulai dengan membuat model sistem distribusi dan DG dengan menggunakan

ETAP Power Station dan memasukkan data-data sistem yang diperlukan.

2. Setelah modelnya lengkap dilakukan simulasi aliran daya. Mula-mula dilakukan simulasi aliran

daya tanpa adanya DG dalam sistem, setelah itu dilakukan simulasi aliran daya dengan adanya

DG. Profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem distribusi dapat diketahui dari hasil simulasi.

3. Simulasi dilakukan dengan memvariasi lokasi pemasangan DG.

4. Setiap langkah simulasi diikuti dengan pencatatan profil tegangan dan rugi-rugi daya sistem.

Gambar 1 menunjukkan sistem distribusi standard IEEE 18 bus. 16 bus terletak pada sistem

distribusi 12,5 kV dan 2 bus (50 dan 51) terletak pada sisi 138 kV dari trafo gardu induk yang

disuplai dari sebuah swing bus. Sistem distribusinya bertipe radial dengan 2 penyulang utama.

Penyulang pertama terdiri dari 8 bus (bus no.1 – 8) dan penyulang kedua terdiri dari 7 bus (bus no.

20 – 26). Pada sistem distribusi 12,5 kV terpasang kapasitor di 9 busnya. Sistem ini sama dengan

yang digunakan oleh Grady et al (1992). DG yang akan dipakai dalam simulasi ini adalah turbin

mikro 480 V, 250 kW seperti yang digunakan oleh Kirawanich et al (2004).

8

7

6 54 3 2 1

20

21

2223

2425

26

Swing busSubstation51

50

Gambar 1. Diagram garis tunggal sistem distribusi standard IEEE 18 bus

Page 435: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.10. Analisis dampak pemasangan distributed generation (DG) .... (Agus Supardi dan Romdhon Prabowo)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.54

N50

2612.5 kV

24

12.5 kV

23

12.5 kV

21

12.5 kV

20

12.5 kV

9

12.5 kV

8

12.5 kV

22

12.5 kV

2

12.5 kV

1

12.5 kV

51

138 kV

25

12.5 kV

3

12.5 kV

4

12.5 kV5

12.5 kV

6

12.5 kV7

12.5 kV substation

100 MVA

L1

L14

L15

L11

L12

L10

L9

L7

L6L5L4

L13

L16

L3L2

B8

1177 kVA

B7

233 kVAB6

943 kVA

B5

1 kVA B4

1765 kVA

B3

472 kVA

B9

588 kVA

B2

233 kVA

B1

1 kVA

B51

1 kVA

B20

1177 kVA

B21

355 kVA

B23

943 kVA

B24

588 kVA

B22

233 kVA

B25

1177 kVA

B26

233 kVA

B50

1 kVA

L.bL.a

C21

1200 kvar

C20

600 kvar

c7

600 kvar

c5

1800 kvar c4600 kvar

c3

600 kvar c50

1200 kvar

c25

900 kvar

c24

1500 kvar

c2

1050 kvar

Swing Power Grid10 MVAsc

T3

250 kVA

bus

Turbin mikro sebagai DG

250 kW

0.48 kV

Gambar 2. Model sistem distribusi standard IEEE 18 bus dalam ETAP

Tabel 1. Data beban

Bus Beban

Aktif

( kW )

Reaktif

( kVAr)

1 1 0

2 200 120

3 400 250

4 1500 930

5 1 0

6 800 500

7 200 120

8 1000 620

9 500 310

20 1000 620

21 300 190

22 200 120

23 800 500

24 500 310

25 1000 620

26 200 120

50 1 0

51 1 0

Tabel 2. Impedansi saluran

distribusi Dari

Bus

Ke

Bus

Resistansi

(Ohm)

Reaktansi

(Ohm)

1 2 0,0673 0,1881

2 3 0,0939 0,2620

3 4 0,0494 0,1378

4 5 0,1400 0,3909

5 6 0,0461 0,1288

6 7 0,2688 0,3313

7 8 0,6359 0,4770

2 9 0,2666 0,3452

20 21 0,3472 0,4495

21 22 0,7505 0,9716

21 23 0,6227 0,8063

23 24 0,4547 0,5888

23 25 0,5823 0,7177

25 26 0,3450 0,4250

50 1 0,0488 1,0552

50 51 0,0078 0,0538

Tabel 3. Data Kapasitor yang

terpasang

Nama Bus

Daya

Reaktif

( kVAr )

C1 2 1050

C2 3 600

C3 4 600

C4 5 1800

C5 7 600

C6 20 600

C7 21 1200

C8 24 1500

C9 25 900

C10 50 1200

HASIL DAN PEMBAHASAN

Program analisis aliran daya dalam ETAP Power Station akan menghitung besarnya

tegangan bus, faktor daya pada percabangan rangkaian, arus, dan aliran daya pada keseluruhan

sistem tenaga listrik. Programnya memberikan pilihan sumber tenaga berjenis swing, voltage

regulated, dan unregulated. Jenis sistem yang bisa ditangani meliputi sistem radial dan sistem loop.

Berbagai medote analisis aliran daya disediakan untuk menghasilkan perhitungan yang paling

Page 436: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.55

efisien seperti Newton-Raphson, fast decoupled, accelerated Gauss – Seidel, apply XFMR phase-

shift.

Hasil simulasi profil tegangan sistem distribusi sebelum dan setelah pemasangan DG pada

suatu bus ditunjukkan pada tabel 4. Hasil simulasi rugi-rugi dayanya ditunjukkan pada tabel 5.

Tabel 4. Profil tegangan sistem distribusi

Bus

Tegangan sistem distribusi (Volt)

Sebelum DG

terhubung

Setelah 1 buah DG terhubung dengan bus

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 12485 12504 12505 12506 12507 12508 12508 12508 12509 12506

2 12476 12496 12499 12500 12500 12501 12501 12502 12502 12499

3 12458 12477 12480 12483 12483 12484 12484 12485 12485 12480

4 12446 12466 12468 12471 12472 12473 12474 12474 12475 12468

5 12459 12479 12481 12484 12485 12489 12489 12490 12490 12481

6 12445 12465 12467 12470 12471 12475 12476 12476 12477 12467

7 12415 12435 12437 12440 12441 12445 12446 12452 12452 12437

8 12339 12360 12362 12365 12366 12370 12371 12377 12390 12362

9 12457 12477 12479 12480 12481 12482 12482 12482 12483 12484

20 12485 12504 12505 12506 12507 12508 12508 12508 12509 12506

21 12459 12479 12480 12481 12481 12482 12482 12483 12483 12480

22 12438 12457 12459 12460 12460 12461 12461 12462 12462 12459

23 12384 12404 12405 12406 12407 12408 12408 12408 12409 12405

24 12421 12441 12443 12444 12444 12445 12445 12446 12446 12443

25 12335 12356 12357 12358 12359 12359 12360 12360 12360 12357

26 12326 12346 12347 12348 12349 12350 12350 12350 12351 12347

Rerata perbaikan

tegangan (volt) 19,87 21,62 23,37 24,06 25,75 26,06 27,12 28,44 22,06

Tabel 4 (lanjutan)

Bus

Tegangan sistem distribusi (Volt)

Sebelum DG

terhubung

Setelah 1 buah DG terhubung dengan bus

20 21 22 23 24 25 26

1 12485 12505 12507 12507 12509 12510 12510 12510

2 12476 12496 12499 12499 12501 12502 12502 12502

3 12458 12478 12480 12480 12483 12484 12484 12484

4 12446 12466 12468 12468 12471 12472 12472 12472

5 12459 12479 12481 12481 12484 12485 12485 12485

6 12445 12465 12467 12467 12470 12471 12471 12471

7 12415 12435 12437 12437 12440 12441 12441 12441

8 12339 12360 12362 12362 12365 12366 12366 12366

9 12457 12477 12479 12479 12482 12483 12483 12483

20 12485 12505 12507 12507 12509 12510 12510 12510

21 12459 12479 12488 12488 12491 12492 12492 12492

22 12438 12458 12467 12481 12470 12471 12471 12471

23 12384 12404 12413 12413 12429 12430 12431 12431

24 12421 12442 12451 12451 12466 12476 12468 12468

25 12335 12356 12365 12365 12381 12382 12394 12394

26 12326 12347 12356 12356 12371 12372 12384 12391

Rerata perbaikan

tegangan (volt) 20,25 24,94 25,82 30,88 32,44 33,5 33,94

Page 437: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.10. Analisis dampak pemasangan distributed generation (DG) .... (Agus Supardi dan Romdhon Prabowo)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.56

Tabel 5. Rugi-rugi daya sistem saat 1 buah DG terhubung pada berbagai bus

Saluran

Rugi-rugi daya aktif sistem distribusi (kW)

Sebelum

DG

Terhubung

Setelah 1 buah DG terhubung dengan bus

1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 21 22 23 24 25 26

1-2 9,8 9,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 8,8 9,8 9,8 9,8 9,8 9,8 9,7 9,7

50-1 25,8 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5

2-3 9,4 9,4 9,4 8,3 8,3 8,3 8,3 8,3 8,2 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4 9,4

2-9 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,3 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6

3-4 3,9 3,9 3,9 3,9 3,4 3,4 3,4 3,4 3,4 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9

4-5 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 3,9 3,9 3,9 3,9 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8

5-6 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,0 1,0 1,0 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3

6-7 2,6 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 1,6 1,6 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

7-8 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 4,0 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7 5,7

20-21 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 26,6 23,3 23,3 23,3 23,3 23,3 23,3

21-22 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,1 0,3 0,3 0,3 0,3

21-23 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 28,0 23,1 23,1 23,1 23,1

23-24 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,8 4,2 4,8 4,8

23-25 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 3,5 3,5

25-26 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0 0,0

Total 129,2 127,8 126,8 125,7 125,2 124,3 124 123,1 121,3 126,5 127,8 124,5 124,3 119,6 119 117,4 117,4

Tegangan nominal sistem distribusi standar IEEE 18 bus adalah sebesar 12,5 kV.

Berdasarkan tabel 4, profil tegangan sistem distribusi akan menjadi lebih kecil dari tegangan

nominalnya ketika sistem distribusi mulai menyalurkan energi listrik ke beban. Pada saat belum

terpasang DG, besarnya tegangan pada bus 1 (bus yang terletak paling dekat dengan sumber)

sebesar 12485 volt, sedangkan tegangan pada bus 26 (bus yang terletak paling jauh dari sumber)

sebesar 12326 volt. Kondisi ini menunjukkan adanya susut tegangan. Tabel 4 menunjukkan bahwa

semakin jauh dari sumber maka tegangannya akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan Hukum

Ohm yang menyatakan besarnya tegangan berbanding lurus dengan arus dan impedansi saluran.

Semakin panjang saluran, maka impedansinya akan semakin besar sehingga susut tegangannya

akan semakin besar. Dampaknya profil tegangan pada bus yang terjauh akan menjadi paling rendah

bila dibandingkan dengan tegangan pada bus yang lainnya.

Profil tegangan sistem distribusi akan naik ketika suatu DG dihubungkan pada suatu bus

seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. Pada penyulang 1 yang menyuplai beban dari bus 1 – bus 9,

terlihat bahwa kenaikan tegangan yang paling kecil (= 19,87 volt) terjadi ketika DG dihubungkan

pada bus 1 dan kenaikan tegangan yang paling besar (= 28,44 volt) terjadi ketika DG dihubungkan

pada bus 8. Pada penyulang 2 yang menyuplai beban dari bus 20 – bus 26, terlihat bahwa kenaikan

tegangan yang paling kecil (= 20,25 volt) terjadi ketika DG dihubungkan pada bus 20 dan kenaikan

tegangan yang paling besar (= 33,94 volt) terjadi ketika DG dihubungkan pada bus 26. Hal ini

disebabkan adanya perubahan arus yang mengalir ketika DG dihubungkan pada sistem distribusi.

Sebelum terpasang DG, arus mengalir dari power grid menuju ke bus tersebut. Sesudah terpasang

DG, arus akan mengalir dari bus tersebut ke bus yang lainnya. Besarnya arus yang mengalir

ditentukan oleh kapasitas DG dan besarnya beban yang terhubung. Pemilihan lokasi pemasangan

DG yang tepat akan menyebabkan arus yang mengalir pada suatu saluran akan berkurang secara

signifikan sehingga akan memperkecil susut tegangannya. Berdasarkan tabel 4, lokasi pemasangan

DG yang tepat pada penyulang 1 adalah pada bus 8, sedangkan pada penyulang 2 adalah pada bus

26.

Rugi-rugi daya pada sebuah saluran juga dipengaruhi oleh besarnya arus dan impedansi

saluran sesuai dengan rumusan P = I2R. Sebuah saluran dalam sistem distribusi mempunyai

impedansi yang konstan. Oleh karena itu, rugi-rugi dayanya lebih dipengaruhi oleh besarnya arus

yang mengalir. Variasi lokasi pemasangan DG akan menghasilkan perubahan arah dan magnitude

arus pada sistem, sehingga akan berpengaruh terhadap rugi-rugi dayanya. Pemasangan DG pada

lokasi yang tepat akan menghasilkan rugi-rugi yang paling kecil. Tabel 5 menunjukkan bahwa rugi-

rugi daya total sistem sebelum pemasangan DG adalah sebesar 129,2 kW. Rugi-rugi daya total

sistem berkurang ketika sebuah DG dihubungkan pada suatu bus tertentu. Besarnya penurunan

Page 438: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.57

rugi-rugi daya berkisar antar 1,4 - 11,8 kW. Pemasangan DG di bus 25 atau bus 26 menghasilkan

rugi-rugi daya total yang paling kecil (= 117,4 kW). Hal ini berarti bahwa bus 25 atau bus 26

merupakan lokasi pemasangan DG yang paling optimal ditinjau dari kriteria rugi-rugi daya sistem.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemasangan 1 buah DG berkapasitas 250 kW dapat memperbaiki profil tegangan sistem

distribusi. Nilai kenaikan tegangannya diantara 19,87 - 33,94 volt. Kenaikan tegangan terkecil

terjadi ketika DG dipasang di bus 1 dan kenaikan tegangan terbesar terjadi ketika DG

dipasangan di bus 26.

2. Pemasangan 1 buah DG berkapasitas 250 kW pada bus 25 atau bus 26 akan menghasilkan rugi-

rugi daya sistem yang paling kecil yaitu sebesar 117,4 kW.

DAFTAR PUSTAKA

Delfino, B., 2002, Modeling of the integration of distributed generation into the electrical system,

Proceedings of the 2002 IEEE Power Engineering Society Summer Meeting, Volume 1,

Pages: 170 – 175

Grady, W.M., Samotyj, M.J., and Noyola, A.H, 1992, The application of network objective

functions for minimizing the impact of voltage harmonics in power systems, in IEEE Trans.

on Power Delivery, vol.7. no.3, pp. 1379 - 1385

Kirawanich, P., O’Connell, R.M., and Brownfield, G., 2004, Microturbine harmonic impact study

using ATP-EMTP, in 2004 11th International Conf. on Harmonics and Quality of Power, pp.

117 - 122

Wang C. and Nehir, M. H , 2003, Analytical approaches for optimal placement of distributed

generation sources in distribution system, IEEE Transaction on Power Systems, in press

Willis, H. L. and Scott, W. G., 2000, Distributed Power Generation Planning and Evaluation,

Marcel Dekker, Inc.

Page 439: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.11. Sistem pemantauan dan pengendalian persediaan premium .... (Muhamad Danuri dan Alex Sujanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.58

SISTEM PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN PREMIUM

PADA SPBU DI WILAYAH SEMARANG

Muhamad Danuri *)

, Alex Sujanto**)

Jurusan Manajemen Informatika, AMIK JTC Semarang

Jl. Kelud Raya 19 Semarang *)

E-mail : [email protected], [email protected] **)

E-mail : [email protected]

Abstrak Konsep rantai pasokan kebutuhan persediaan telah banyak digunakan perusahaan untuk

meningkatkan pemenuhan kebutuhan bagi pelanggannya. Kehilangan penjualan akibat

kekurangan persediaan adalah hal penting yang dihindari oleh perusahaan. Penelitian ini

bertujuan membangun sistem untuk Pemantauan dan pengendalian persediaan BBM pada SPBU

di wilayah semarang dengan menggunakan sistem pengendalian persediaan Premium berbasis

web yang terintegrasi dengan jaringan internet. Pembangunan sistem dilakukan dengan

menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL sebagai pengolah databasenya adapun

metode pengendalian yang digunakan adalah metode pengendalian persediaan Premium dengan

konsep min-max stock level dan time Phased order point (Danuri, 2011). Hasil dari sistem

Pemantauan dan pengendalian ini adalah sebuah sistem yang dapat memantau persediaan

premium pada setiap SPBU dan memberikan informasi setiap saat tentang penjualan dan

pengisian kembali pada tiap-tiap SPBU.

Kata Kunci : Pengendalian Persediaan, Pemantauan, Persediaan Premium, Sistem

Pengendalian, SPBU

PENDAHULUAN

BBM merupakan sumber daya alam yang dimiliki Bangsa Indonesia, pemanfaatan dan

pemakaiannya harus dengan arif dan bijak. Kebutuhan masyarakat terhadap BBM ini sudah begitu

besarnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan sangat menggangu aktivitas operasionalnya

jika kebutuhan BBM tidak dapat terpenuhi setiap saat. Dengan bantuan teknologi persediaan BBM

dapat dipantau setiap saat ditiap wilayah diseluruh Indonesia, shingga nantinya distribusi yang

dilakukan oleh pihak yang berwenang akan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.

SPBU merupakan sebuah agen yang mendistribusikan BBM bagi masyarakat, Pemantauan

dan pengendalian persediaan di SPBU menjadi faktor utama dalam proses pemenuhan kebutuhan

masyarakat. Dengan berkembangnya teknologi perlu adanya suatu sistem yang dapat memantau

persediaan BBM untuk pengendalian persediaan sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat

terpenuhi.

Sistem informasi yang terintegrasi dengan jaringan dapat dijadikan media untuk melakukan

pengawasan persediaan pada suatu organisasi. Dengan adanya integrasi jaringan komputer pada

SPBU diwilayah semarang pendataan data transaksi dan persediaan masing-masing user SPBU dapat

dipantau setiap saat.

METODOLOGI

Model Pengendalian Persediaan

Sebagai bahan penelitian adalah model pengendalian pemesanan persediaan Premium

dengan mengoptimalkan titik pemesanan berdasar rentang waktu (Time Phased Order Point) seperti

gambar 1.

Page 440: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.59

Gambar 1. Model Pemantauan dan Pengendalian Persediaan Premium

(Sumber : Danuri, 2011)

Model pengendalian persediaan premium berawal dari berkurangnya stok premium pada

tangki pendam karena proses penjualan, jika stok mencapai titik pemesanan berdasar rentang waktu

(Time Phased Order Point) atau berada dibawahnya maka sistem akan memberikan peringatan untuk

mengadakan pemesanan premium.

Jika terjadi keterlambatan datangnya pemesanan maka penjualan akan tetap dapat dipenuhi

dengan stok pengaman yang telah diperhitungkan berdasarkan waktu keterlambatanya. Posisi stok

premium diukur untuk menentukan level indikator persediaan, jika diatas Qmax maka level

persediaan adalah AMAN, jika dibawah Qmin maka Level Persediaan adalah Kurang dan jika berada

antara Qmin dan Qmax maka level persediaan adalah SEDANG.

Arsitektur sistem

Gambar 2. Arsitektur sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan Premium

Sistem yang akan dibangun berbasis Web dimana program akan dijalankan dan disimpan

pada server. Semua data akan disimpan didalam database dengan mengunakan database My SQL.

Data penjualan diolah dari tiap-tiap SPBU dan dicatat stok akhirnya, kemudian ditentukan

pengendalian persediaannya dan menampilkan hasil pengolahnnya pada layar Admin maupun user.

Page 441: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.11. Sistem pemantauan dan pengendalian persediaan premium .... (Muhamad Danuri dan Alex Sujanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.60

Disain Sistem

Pada tahap proses perancangan sistem menggunakan peralatan Unified Modeling Language

(UML) yang merupakan bahasa pemodelan berorientasi objek untuk melakukan spesifikasi,

visualisasi, dan konstruksi terhadap sistem atau software (Booch et al., 1999). Berikut ini merupakan

model-model yang digunakan dalam pengembangan sistem penjadwalan :

1. Use Case Diagram

menggambarkan aktivitas yang dapat dilakukan oleh sistem dari sudut pandang user sebagai

pemakai (external observer) dan berhubungan dengan skenario-skenario yang dapat dilakukan oleh

user (Booch et al., 1999).

Gambar 3. Uses Case Diagram Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan

Gambar 3. menunjukkan bahwa sistem yang akan dikembangkan memiliki 3 aktor dan 12

use case.

2. Class Diagram :

Sebuah diagram ini menggambarkan objek yang terdapat pada sistem dan relasi antar objek

tersebut (Booch et al., 1999). Diagram Class dibawah ini mengambarkan objek yang terdapat pada

sistem penjadwalan persediaan pada SPBU dan relasi antar objek tersebut.

Gambar 4. Class Diagram Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan

Page 442: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.61

Gambar 4 diatas menunjukkan kinerja masing – masing object didalam sistem beserta relasi

database yang digunakan pada proses didalamnya. Class pertama berisi penjualan, persediaan,

Pemantauan, profile, login, log out, view SPBU dan Registrasi SPBU. Class diagram kedua adalah

penjabaran dari class diagram pertama, sebagai berikut :

1. Class Login User digunakan untuk memvalidasi user yang akan masuk sebagai penanggung

jawab SPBU. Class ini sebagai syarat untuk dapat mengakses class yang lain di dalam

sistem.

2. Class Penjualan berisi merupakan proses user berupa input penjualan dan report penjualan

yang menggunakan tabel jual, koneksi Database. Dimana class ini dapat diakses setelah

melakukan login terlebih dahulu.

3. Class Persediaan berisi merupakan proses user berupa Penjadwalan persediaan, Pemantauan

persediaan, pemesanan persediaan, penerimaan pesanan dan grafik persediaan. Masing-

masing Class menggunakan tabel SPBU, jual, pesan dan koneksi Database. Dimana class ini

dapat diakses setelah melakukan login terlebih dahulu.

4. Class Daftar SPBU adalah sebuah class yang digunakan untuk registrasi SPBU. Data yang

dihasilkan disimpan pada tabel user

5. Class Profile Di dalam menu user terdapat beberapa menu yang digunakan untuk mengelola

data user, data penjualan, Pemantauan persediaan, Penjadwalan persediaan sampai pada

pemesanan dan penerimaan persediaan.

3. Konseptual Data Model Diagram

Merupakan diagram yang menunjukan keterkaitan antar entitas-entitas data dan atribut yang

dimiliki dari database sistem. Untuk mengambarkan desain database yang akan digunakan pada

sistem dengan disain Conceptual Data Model (CDM). Relasi-relasi antar entity pada Conceptual

Data Model tersebut dapat dilihat pada gambar 5. Sistem menggunakan 4 buah tabel untuk

pembuatan sistem ini. Masing-masing tabel mempunyai fungsi, field-field, jumlah field yang

berbeda.

Gambar 5. Konseptual Data Model Sistem Pemantauan dan Pengendalian Persediaan

Tabel-tabel yang digunakan ada 4 buah yaitu User1, tabel SPBU, tabel Pesan dan Tabel Jual

yang masing-masing memiliki primary key (PK) yang digunakan agar dalam pengisian data pada

tabel tidak akan terjadi penggandaan data dan foreign key (FK) sebagai kunci tamu untuk relasi

antara tabel . Field yang digaris bawah merupakan primary key dari tabel tersebut .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pembuatan Program

Sistem informasi pengendalian persediaan premium pada SPBU ini dibuat menggunakan

bahasa pemrograman PHP 5.0, database MySQL. Setelah semua desain sudah selesai

dimplementasikan dan sistem sudah dilakukan pengujian selanjutnya sistem digunakan untuk

menyelesaikan kasus menggunakan data penjualan pada SPBU.

Page 443: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

F.11. Sistem pemantauan dan pengendalian persediaan premium .... (Muhamad Danuri dan Alex Sujanto)

ISBN 978-602-99334-1-3

F.62

1. Antarmuka Sistem MonitroingPersediaan

Hasil rancangan antarmuka sistem penjadwalan persediaan berbasis web diimplementasikan

dalam dua halaman web dengan menggunakan bahasa pemrograman berbasis web yaitu PHP.

Halaman pertama merupakan halaman awal bagi user yang berisi perintah fungsi-fungsi bagi user.

Tampilan pertama kali yang akan dilihat oleh user adalah halaman login, yang didalamnya terdapat

fungsi login, dan daftar SPBU. Hanya user yang sudah mendaftar yang dapat melakukan login.

2. Menu User sistem Pengendalian

Gambar 6. Menu User

Tampilan pertama kali yang akan dilihat oleh user setelah melakukan proses login adalah

seperti gambar 6, didalamnya terdapat tombol-tombol untuk pendataan penjualan, pendataan

persediaan dan user profile serta log out. Semua aktifitas dimulai dari input penjualan, kemudian

memeriksa penjadwalan baik dengan tombol penjadwalan maupun tombol grafik persediaan, setelah

itu dapat melakukan pemesanan dan penerimaannya. Pada halaman ini juga user dapat melihat data

profile SPBU dan mengadakan perubahan data user dengan menekan tombol edit SPBU. Jika user

sudah selesai bisa menekan tombol log out dan akan meningalkan halaman ini menuju halaman Log

in.

3. Informasi persediaan SPBU

Fungsi utama bagi Admin SPBU adalah informasi Persediaan SPBU diwilayah Semarang

yang dapat ditampilkan dengan menekan tombol menu Persediaan semua SPBU, dan akan muncul

tampilan seperti gambar dibawah ini

Gambar 7. Informasi Persediaan SPBU di wilayah Semarang

PEMBAHASAN

Dari simulasi data penjualan dan pengisian persediaan pada SPBU dengan menggunakan

Sistem Monitroing persediaan dapat memberikan informasi persediaan secara lebih cepat dan efektif,

bahkan Sistem Monitroing ini dapat memberikan informasi lebih dini terhadap kekosongan atau

kekurangan stok pada SPBU di wilayah Semarang.

Dari hasil penjualan dan penngisian kembali SPBU dapat juga dipantau melalui grafik

persediaan seperti Gambar 8.

Page 444: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012

Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang F.63

Gambar 8 .Grafik Level Persediaan Tiap SPBU Di Wilayah Semarang

Dari hasil diatas terlihat bahwa persediaan tiap-tiap SPBU diwilayah Semarang dapat dipantau

setiap saat. Hal ini berarti Sistem Monitroing persediaan ini dapat memberikan efisiensi dan

efektifitas dalam proses pemantauan ataupun evaluasi bagi manajemen untuk pengambilan

keputusan selanjutnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Sistem Pemantauan dan Pengendalian persediaan

bahan bakar minyak jenis premium dapat memberikan kemudahan dan kecepatan informasi

persediaan SPBU setiap saat bagi perusahaan. Sehingga sistem ini dapat dijadikan alternatif dalam

pengawasan untuk melakukan pemenuhan persediaan pada SPBU. Hal ini ditunjukkan bahwa

sistem ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya :

a. Rencana pemenuhan dan Penjadwalan persediaan premium menjadi lebih terkendali karena ada

informasi pendukungnya setiap saat berupa pemantauan penjualan dan stok persediaan.

b. Memberikan keamanan dan kemudahan dalam pengolahan data karena semua data tersimpan

dalam database.

c. Mengurangi resiko kekurangan persediaan dan kerugian akibat losses pemesanan, pembongkaran

dan penjualan yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Enns, S.T. ;s Suwanruji, P. 1999 , Distribution Planning and Control:An Experimental Comparison

of DRP and Order Point Replenishment Strategies, Dept. of Mechanical and Manufacturing

Engineering University of Calgary, Canada.

Baroto, Teguh. 2006, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Ghalia Indonesia: Jakarta.

Booch, G; Rumbaugh, J ; Jacobson, I, The UML User‟s Guide, 1st Edition, Addison and Wesley,

1999

Danuri, M.; Mustafid; Imam, S; Design system Fuel Inventory control system with Min-Max Stock

Level and Time Phased Order Point, International Jurnal ICISBC, Universitas Diponegoro,

2011.

Jonsson, Patrik; Rudberg; Martin ; Holmberg, Stefan O. 2009, Global supply chain planning at

IKEA, International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, Sweden.

Pressman, R. S. (2001). Software Engineering (A Practitional’s Approach)., McGraw-Hill.

Subagyo, P., Manajemen Operasi. Cetakan pertama. 2000, Yogyakata: Penerbit PT BPFE.

Sommerville, Ian, 2003, “Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak)/ Edisi 6/Jilid 1”

Erlangga, Jakarta.

Page 445: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.1

KONSERVASI LAHAN KRITIS UNTUK PERTANIAN PRODUKTIF

DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

DI KECAMATAN GUNUNGPATI SEMARANG

Margareta Maria Sudarwani*), Yohanes Dicky Ekaputra

**)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Pandanaran

Jl. Banjarsari Barat No.1 Banyumanik, Semarang

E-mail: *)

[email protected] - **)

[email protected]

Abstrak Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian lebih kurang sebesar 2% per tahun, akibatnya

adalah berkurangnya total produksi pertanian yang berakibat pada berkurangnya ketersediaan

pangan. Situasi ini diperparah lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.

Masyarakat menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan lahan,

sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan usaha yang bersifat ekonomis untuk

meningkatkan kesejahteraan, termasuk akses terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budi

daya pertanian, sebagai salah satu usaha yang paling mudah dalam rangka memanfaatakan

potensi sumber daya alam setempat. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh

akses terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas

tanah pertanian. Beberapa fenomena yang terjadi di wilayah Kota Semarang yang secara fisik

menjadi penyebab meningkatnya lahan kritis, adalah sebagai berikut: karakteristik wilayah kota

semarang yang bervariasi, perubahan fungsi guna lahan pada kawasan lindung menjadi kawasan

budidaya & lahan pertanian menjadi lahan terbangun, dan semakin banyaknya lahan kritis, pada

wilayah kawasan yang tidak produktif dan tidak memiliki investasi ekonomi yang tinggi.

Konservasi Lahan melalui Optimalisasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian

bertujuan menjaga kelestarian fungsi lahan di kawasan lindung dan meminimalisir terjadinya

bencana, sehingga optimalisasi lahan pertanian akan peningkatan luas areal tanam dan

produktivitas pertanian sebagai upaya untuk meningkatkan Ketahanan Pangan yang

berkelanjutan. Karena potensi Pertanian Kota Semarang secara khusus banyak tersebar di

wilayah Kawasan dataran Tinggi / Kawasan Perbukitan, maka lokasi penelitian ini akan

diarahkan pada wilayah kota Semarang yang memiliki potensi Sektor Pertanian cukup besar, dan

memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap upaya pencapaian Ketahanan Pangan di

wilayah Kota Semarang, yaitu di Kecamatan Gunungpati.

Kata kunci : konservasi lahan, ketahanan pangan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas

Pertanian Pemerintah Kota Semarang, sampai dengan Akhir Tahun 2010, jumlah Lahan Kritis di

wilayah Kota Semarang mencapai 11.652 Ha, dimana jumlah lahan kritis tersebut yang tersebar di

wilayah Pantai mencapai seluas 3.212 ha sementara jumlah lahan kritis yang tersebar di wilayah

perbukitan mencapai seluas 8.440 Ha.

Konservasi Lahan melalui Optimalisasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian

bertujuan menjaga kelestarian fungsi lahan di kawasan lindung dan meminimalisir terjadinya

bencana, serta meningkatkan luas areal tanam dan produktivitas pertanian sebagai upaya untuk

menjaga Ketahanan Pangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu Pemerintah Kota Semarang perlu

memfasilitasi upaya pemanfaatan kembali lahan kritis dengan melakukan konservasi lahan untuk

Optimalisasi Peningkatan Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian, agar mudah diakses oleh

kelompok warga masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukannya pada lahan-lahan yang

menjadi aset milik Pemerintah Kota, dan memfasilitasi masyarakat untuk upaya pemanfaataannya.

Karena potensi Pertanian Kota Semarang secara khusus banyak tersebar di wilayah

Kawasan dataran Tinggi / Kawasan Perbukitan, maka lokasi penelitian ini akan diarahkan pada

wilayah kota Semarang yang memiliki potensi Sektor Pertanian cukup besar dan memberikan

sumbangan yang cukup signifikan terhadap upaya pencapaian Ketahanan Pangan di wilayah Kota

Semarang, yaitu di Kecamatan Gunungpati.

Page 446: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.1. Konservasi lahan kritis untuk pertanian produktif … (Margareta M. Sudarwani dan Yohanes D. Ekaputra)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.2

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana Implikasi Kebijakan Tata Ruang dalam Pengaturan Konservasi Lahan Kritis ?

2. Bagaimana metode optimalisasi lahan pertanian yang dapat dilakukan di atas Lahan Kritis ?

3. Jenis komoditas pertanian apa yang tepat dikembangkan sesuai dengan kondisi lahan kritis

yang ada ?

Tujuan, Sasaran dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Mengkaji karakteristik, sebaran dan besaran Lahan Kritis pada lokasi Wilayah Penelitian

b. Menganalisis pola Pengelolaan Konservasi Lahan Kritis

c. Mengkaji komoditas pertanian yang layak dikembangkan

d. Menganalisis pola Sistem Pertanian pada Kawasan Lahan Kritis

2. Sasaran Penelitian

a. Meminimalisir terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan

budidaya serta lahan pertanian menjadi lahan terbangun

b. Menurunnya jumlah luasan Lahan Kritis untuk mencegah terjadinya bahaya rawan bencana

c. Meningkatnya potensi sumber daya lahan untuk menambah jumlah luasan lahan pertanian

perkotaan

3. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis mampu memberikan masukan dalam upaya mencapai ketahanan pangan

yang berkelanjutan

b. Secara empiris, dapat menjadi bahan pertimbangan terhadap upaya konservasi lahan kritis

selanjutnya dan dapat menjadi arahan terhadap pengendalian kebijakan dan rencana Tata

Ruang yang telah ditetapkan.

c. Secara realistis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan Lahan

secara produktif.

STUDI PUSTAKA

1. Tujuan Penelitian

Lahan kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan

dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan

air, sehingga lahan mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas

yang telah ditentukkan atau diharapkan.

2. Lahan Pertanian

Fungsi lahan pertanian adalah mengukur hasil gabah dan jerami yang dihasilkan untuk

satuan luas tertentu, adapun fungsi lain persawahan yang berpengaruh lebih luas adalah menjaga

ketahanan pangan, menjaga kestabilan hidrologis daerah aliran sungai (DAS), menurunkan erosi,

menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik perdesaan (rural amenity) dan

mempertahankan nilai-nilai budaya.

METODOLOGI

1. Lokasi Penelitian

Penelitian direncanakan akan dilaksanakan di Kecamatan Gunungpati Semarang yang

merupakan kawasan perbukitan Semarang. Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive

berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan ini masih banyak memiliki lahan pertanian untuk

dikembangkan, sebagian besar masyarakat Kecamatan Gunungpati bermata pencaharian sebagai

petani, dan selain itu karena adanya kebijakan pemerintah bahwa pertanian kota Semarang

diarahkan di sana.

2. Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan adalah pendekatan rasionalistik dengan paradigma kualitatif.

(Muhadjir, 1996). Pendekatan penelitian rasionalistik kualitatif ini sesuai dengan sifat masalah

penelitian yaitu untuk mengungkap atau memahami adanya konservasi lahan kritis sekaligus

membantu masyarakat miskin yang tidak memiliki akses pengembangan lahan kritis untuk dapat

berpartisipasi dalam mengolah lahan pertanian.

Page 447: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.3

3. Metode Analisis

Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif (analisis data verbal) yang

disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan yang telah ditetapkan, serta mencari esensi dengan

mendudukkan kembali hasil penelitiannya pada grand concepts nya (Muhadjir, 1996).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Lahan Kritis

1. Analisis Kebijakan

Lahan kritis merupakan lahan yang tidak dapat berfungsi lagi secara baik sesuai

peruntukkannya, baik sebagai media produksi (pertanian, perkebunan, perladangan) maupun

sebagai media tata air (fungsi hidro-orologis), sehingga dapat menimbulkan bahaya erosi, tanah

longsor dan banjir di daerah hulu dan hilir serta mengakibatkan sedimentasi di daerah hilir atau

daratan. Di Kota Semarang, kawasan lahan kritis ini terdapat di hampir semua Kecamatan termasuk

di wilayah perencanaan yaitu di Kecamatan Gunungpati. Kondisi lahan di Kecamatan Gunungpati

tergolong kritis. Hal ini karena kondisi tanah yang labil dan rawan terhadap longsor terutama di

daerah yang memiliki kelerengan >40%.

Menurut Arahan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 Kerapatan

Penghijauan Kawasan Lindung / Konservasi antara 60%-80% dari Luas Lahan. Sedangkan

kawasan lindung / konservasi yang ada di Kota Semarang belum dapat memenuhi persyaratan

tersebut secara maksimal karena kerapatan tingkat penghijauan masih rendah. Tabel 1. Data Inventarisasi Kawasan Lahan Kritis Kota Semarang

NO KONSERVASI TAHUN 2008 TAHUN 2009

LAHAN

KRITIS

PANTAI

&TAMBAK

LAHAN

KRITIS

PANTAI

&TAMBAK

1

Lahan Kritis

Lahan kritis belum tertangani awal 5.227,00 - 4.220,00 -

Rehabilitasi lahan kritis 1.007,00 - 3.403,27 -

Lahan kritis belum tertangani akhir 4.220,00 - 816,77 -

2

Pantai dan Tambak

Blum tertangani di awal tahun - 1.766,00 - 1.606,00

Penanaman mangrove - 160,00 - 130,00

Belum tertangani di akhir tahun - 1.606,00 - 1.476,00

JUMLAH 10.454,00 3.532,00 8.440,00 3.212,00

Salah satu penanganan yang dilakukan terhadap lahan kritis adalah dengan adanya

rehabilitasi hutan atau rehabilitasi lahan kritis. Rehabilitasi yang dilakukan untuk memanfaatkan

lahan kritis sebagai daerah konservasi. Rehabilitasi ini dapat dilakukan dengan program penanaman

pohon atau pemanfaatan lahan kritis untuk pertanian.

Sisa luas lahan kritis di Kota Semarang sampai dengan tahun 2009 mencapai 916, 730 ha

dari total lahan kritis pada tahun 2009 yaitu 4.220,00 ha. Tabel 2. Data Inventarisasi Lahan Kritis di Wilayah Gunungpati Tahun 2011

TIPOLOGI

KAWASAN

KONDISI LAHAN (HA) JUMLAH

(HA) KRITIS AGAK

KRITIS

POTENSIAL

KRITIS

TIDAK

KRITIS

Kaw. Budidaya 144 1.454 805 1.954 4.357

Kaw. Lindung 307 845 417 267 1.836

JML TOTAL 451 2.299 1.222 2.221 6.193

Analisis Optimalisasi Lahan Pertanian Dan Kesesuaian Komoditas Pertanian

1. Analisis Kesesuaian Komoditas Pertanian Dengan Jenis Tanah

Pengembangan pertanian di Kecamatan Gunungpati dikembangkan pada kelerengan 2 – 25

% sampai 25 – 40 %. Pertanian yang dikembangkan di wilayah perencanaan adalah jenis pertanian

lahan basah dan pertanian lahan kering. Pengembangan pertanian lahan basah seperti sawah di

kelerengan agak curam biasanya menggunakan terasiring. Hal ini untuk mengurangi dampak

lingkungan yang ditimbulkan. Dalam pengembangan pertanian di wilayah perencanaan harus

memperhatikan kelerengan yang ada sehingga peruntuknnya tidak mengurangi fungsi konservasi

yang ada di wilayah perencanaan.

Jenis tanah di Kecamatan Gunungpati terdiri dari latosol coklat tua kemerahan, latosol

coklat, dan mediteran coklat tua,

Page 448: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.1. Konservasi lahan kritis untuk pertanian produktif … (Margareta M. Sudarwani dan Yohanes D. Ekaputra)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.4

a. Jenis tanah Latosol merupakan tanah yang banyak mengandung zat besi dan alumunium,

mempunyai kesuburan yang rendah. Tanah latosol mempunyai antara lain:

1) Sifat cepat mengeras bila tersingkap dan berada di udara terbuka.

2) Kadar liat > 60% remah sampai gumpal gembur.

3) Warna tanah seragam dengan batas horison yang kabur.

4) Solum dalam lebih dari 150 cm.

5) Kejenuhan basa kurang dari 50%.

6) Umumnya mempunyai epipedon kambrik dan horison kabrik.

Jenis tanah ini cocok ditanami padi, palawija, sayuran, buah-buahan, karet, sisal, cengkeh,

kakao, kopi dan kelapa sawit.

b. Jenis tanah mediteran mempunyai ciri:

1) Mempunyai lapisan solum yang cukup tebal.

2) Teksturnya agak bervariasi lempung sampai liat dengan struktur gumpal bersudut sedang

kosistensinya adalah gempur sampai teguh.

3) PH sekitar 6-7,5.

4) Unsur hara yang terkandung umumnya tinggi tetapi tergantung dari bahan induknya.

5) Daya menahan air sederhana dan permeabilitasnya sedang.

6) Kepekaan bahaya erosi sedang sampai besar.

7) Mempunyai sifat fisik yang sedang sampai baik.

8) Nilai produktifitas tanah sedang sampai tinggi.

Tanah mediteran ini cocok untuk tanaman jati.

2. Analisis Wilayah Lahan Pertanian

Penetapan penentuan kawasan pertanian perlu dilakukan untuk memudahkan dalam

menumbuhkan dan mengembangkan kawasan pertanian, berbasis agribisnis mulai dari penyediaan

sarana produksi, budidaya, pengolahan pasca panen, dan pemasaran serta kegiatan pendukungnya

secara terpadu, terintergrasi, dan berkelanjutan. Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan

berdasarkan kesesuaian lahan.

Tabel 3. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Persyaratan Agroklimat & Kesesuaian Lahan

KAWASAN KESESUAIAN LAHAN PERSYARATAN

AGROKLIMAT

Tanaman

Pangan

Dataran Rendah & Dataran Tinggi dgn bentuk lahan datar

sampai berombak (Kelerengan <8%)

Kesesuaian Lahan S1, S2 atau S3

Tidak terlalu perlu Irigasi utk Pengembangan

Disesuaikan Komoditas yg

dikembangkan sesuai agroklimat

setempat

S1: Lahan Sangat Sesuai

S2: Lahan Cukup Sesuai

S3: Sesuai Marjinal

Hortikultura Dataran Rendah & Dataran Tinggi dgn bentuk lahan datar

sampai berbukit

Kesesuaian Lahan S1, S2 atau S3

Tersedia Sumber Air Cukup

Perkebunan Dataran Rendah & Dataran Tinggi dgn Bentuk Lahan Datar

– Berbukit

Kesesuaian Lahan S1, S2, S3

Upaya Konservasi Lahan Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dengan cara

Optimalisasi Lahan Pertanian

1. Aplikasi Usaha Tani Konservasi

Sistem usaha tani konservasi adalah penataan usahatani yang stabil berdasarkan daya

dukung lahan yang didasarkan atas tanggapannya terhadap faktor-faktor fisik, biologis dan sosial

ekonomis serta berlandaskan sasaran dan tujuan rumah tangga petani dengan mempertimbangkan

sumber daya yang tersedia. Dalam usaha peningkatan produktivitas lahan harus diperhatikan

mengenai budidaya tanaman pangan yang berkelanjutan. Hal yang perlu diperhatikan dalam

budidaya tanaman berkelanjutan ini antara lain:

a. Mengusahakan Agar Tanah Tertutup Tanaman Sepanjang Tahun Guna Melindungi Tanah Dari

Erosi Dan Pencucian

b. Mengembalikan Sisa-Sisa Tanaman, Kompos Dan Pupuk Kandang Ke Dalam Tanah Guna

Memperbaiki/Mempertahankan Bahan Organik Tanah

2. Penggunaan Pupuk Kandang Sebagai Amelioran

Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang atau pupuk hijau ) dan kapur dapat

meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk anorganik, karena kedua unsur tersebut dapat

Page 449: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.5

meningkatkan daya pegang air dan hara di tanah, sementara itu, residu pupuk diharapkan dapat

mengurangi jumlah pemakaian pupuk anorganik pada tanam berikutnya.

3. Peningkatan Sistem Budidaya Lorong

Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman

semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang umumnya berupa famili

kacang-kacangan. Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik

yang dapat meningkatkan produktivitas lahan.

4. Seleksi Tanaman Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan

Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi pada lahan kritis adalah

bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan produktif dan bagaimana menghambat agar

lahan kritis tidak semakin meluas. Karena itu berbagai teknik rehabilitasi dan sistem budidaya yang

tepat telah banyak dicobakan pada lahan kritis tersebut. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan

membutuhkan biaya yang cukup besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu

dukungan ahli ekofisiologi dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman pangan

yang adaptif pada lahan kritis yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan tertentu (kesuburan

rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain). Tanaman pangan adaptif yang dimaksud

adalah tanaman yang di satu sisi mampu beradaptasi dan di sisi lain mampu berproduksi secara

optimal sehingga dapat diharapkan sebagai penyedia pangan di masa mendatang.

5. Keterpaduan Vertikal

Keterpaduan vertikal dimaksudkan untuk mencapai suatu pola agribisnis dan agroindustri

yang mantap, keterpaduan ini mencakup keterpaduan antara beberapa subsistem agribisnis yaitu

produksi dan pengelolaan sumberdaya alam, produksi dan budidaya, penanganan pasca panen dan

agroindustri, pemasaran dan distribusi. Tabel 4. Permasalahan, Kondisi, Pemecahan

No Permasalahan Kondisi Pemecahan

Aspek Lahan

1. Pengembangan pertanian pada

lahan kritis di daerah rawan

bencana seperti longsor atau

daerah patahan

Beberapa lokasi peruntukan

merupakan daerah yang

dilewati patahan atau sesar.

Pengembagan pertanian dilakukan

dengan menggunakan teknologi misal

terasering dengan menyesuaikan

kondisi lahan yang ada

2. Terjadi penurunan kualitas

sumberdaya lahan petani krn

konservasi kurang

Kesuburan tanah menurun.

Terjadi lahan kritis

Mudah banjir

Perlu adanya penghijauan kembali

pada tanah dengan kelerengan > 30 %

dengan tanaman keras.

Sumber Daya Manusia

1. Kualitas SDM rendah Pengetahuan & ketrampilan

kurang

Alih teknologi lambat

Peningkatan kemampuan SDM dg

penyuluhan & pelatihan

2. Tenaga kerja terbatas Menggangu pola tanam Peningkatan penyuluhan & pelatihan

Aspek Kelembagaan

1. Terbatasnya modal kelompok

tani

Jangkauan usaha kelompok

terbatasi

Kerjasama dg investor/kel.tani lain

yang mampu

2. Terbatasnya jalinan kemitraan

antara kel.tani dg lembaga

ekonomi pihak ketiga yang

mampu meningkatkan kel.tani

menjadi lembaga yang mantap

Kel.tani tidak berkembang Perlunya bantuan pemerintah pada

kel.tani untuk menjembatani dengan

kedua.

6. Keterpaduan Horisontal

Keterpaduan horizontal menyangkut aspek wilayah, sektoral dan kegiatan, berdasarkan

komoditas pertanian yang tepat.

Tabel 5. Keterpaduan Horisontal Komoditas Potensial di Wilayah Perencanaan

NO KESESUAIAN LAHAN KOMODITAS

UNGGULAN

KOMODITAS

POTENSIAL

1 Jenis tanah lapisan batuan breksi vulkanik dengan sisipan

lava batu pasir tufa dan tanah berwarna merah; kelerengan: 0-

2% dan 2-15%; curah hujan: 1500-3000 mm

Durian, Rambutan Mangga, Pisang,

Kopi, Jati

2 Jenis tanah lapisan batuan breksi vulkanik dengan sisipan

lava batu pasir tufa dan tanah berwarna merah; kelerengan: 2-

15%; curah hujan: 1500-3000 mm

Durian, Rambutan,

Klengkeng

Mangga, Pisang,

Kelapa

Page 450: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.1. Konservasi lahan kritis untuk pertanian produktif … (Margareta M. Sudarwani dan Yohanes D. Ekaputra)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.6

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Beberapa fenomena yang terjadi di wilayah Kota Semarang yang secara fisik menjadi

penyebab meningkatnya Lahan kritis / Lahan Tidur yang tidak dimanfaatkan sebagaimana

mestinya, seperti : Karakteristik Wilayah Kota Semarang yg bervariasi, memiliki potensi

Gangguan Lingkungan berbeda di setiap Kawasan, Perubahan Fungsi Guna Lahan pada

Kawasan Lindung menjadi Kawasan Budidaya & Lahan Pertanian menjadi Lahan Terbangun

memunculkan permasalahan Degradasi Lingkungan dan Semakin banyaknya Lahan Kritis,

pada Wilayah Kawasan yang tidak Produktif karena tidak memiliki Investasi Ekonomi yang

Tinggi.

b. Lahan kritis di Kota Semarang hingga tahun 2009 semakin berkurang yaitu 5.227,00 ha pada

tahun 2008, jumlahnya menurun hingga 4.220,00 ha pada tahun 2009. Sedangkan rehabilitasi

lahan kritis mengalami kenaikan yaitu 1.007,00 ha pada tahun 2008 meningkat hingga

mencapai 3.403,27 ha pada tahun 2009.

c. Dengan Jumlah Luasan Lahan Kritis mencapai 6.193 Ha., Kawasan Gunungpati potensial

menjadi area pengembangan dan konservasi yang dapat menyeimbangkan kondisi fisik di Kota

Semarang, dengan tetap mempertimbangkan : Kesimbangan deliniasi kawasan lindung dengan

budidaya, Mengembangkan permukiman kepadatan rendah dan Pengembangan fungsi ekonomi

perkotaan yang mendukung fungsi ekologis.

2. Saran

a. Masih perlu kajian, identifikasi dan inventarisasi Status Lahan dan Kepemilikan Lahan yang

menjadi potensi Lahan Kritis, untuk menentukan kebijakan penataan lahan dari aspek

kelembagaan.

b. Perlu penataan ruang hijau untuk mencegah terjadinya gerakan tanah, longsor atau erosi

maupun bahaya yang ada di daerah patahan / sesar aktif, dengan kegiatan pertanian tanaman

tahunan dan perkebunan, menggunakan pola penataan dan pengembangan di sepanjang lokasi

bencana dengan kerapatan padat, terutama di Kelurahan Sumurejo, Mangunsari, Gunungpati,

Sukorejo, Kalipancur dan Bambankerep.

c. Pertanian yang layak dikembangkan antara lain sawah, tegalan, hutan produksi, melalui

tindakan konservasi pada tanah tegalan/tanah kering yang berlereng 15%-40% dengan cara

memperbaiki teras dan menanam tanaman penguat teras, peningkatan kualitas dan produktifitas

tegalan, sawah tadah hujan yang berlereng <15% dengan teknologi pertanian disertai

peningkatan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk meningkatkan daya dukung pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Altman, Irwin. 1980. Culture and Environment. Cambridge University Press California.

Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo. 1983. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung.

Budihardjo, Eko dan Djoko Sujarto. 1998. Kota Yang Berkelanjutan. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Budihardjo, Eko. 1997. Lingkungan Binaan Dan Tata Ruang Kota. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Frick, Heinz. 1988. Arsitektur Dan Lingkungan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Hadi, Sudharto P. 1995. Ekologi Manusia. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian

Universitas Diponegoro, Semarang.

Hadi, Sutrisno, 1984, Metodologi Reserarch, Jilid 1 dan 2, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Hakim, Rustam, 1987, Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bina Aksara, Jakarta.

Krier, Rob, 1979, Urban Space, Academy Editions, London.

Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV, Rake Sarasin, Yogyakarta.

Norberg – Schulz, Christian , 1979, Genius Loci, Rizzoli International Publications, New York.

Rapoport, Amos, 1977, Human Aspects of Urban Form, Pergamon Press, New York.

Sumarwoto, Otto. 1989. Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Penerbit Djambatan,

Jakarta.

Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Page 451: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.7

AMBLESAN TANAH DI MUARA KALI SEMARANG

BERPENGARUH TERHADAP LUAS GENANGAN DAN KERUSAKAN

INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN

Soedarsono

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - UNISSULA Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak Kota Semarang adalah ibukota Propinsi Jawa Tengah Indonesia, memiliki luas wilayah 373,4

km2 dengan jumlah penduduk 1.481.460 jiwa (tahun 2008). Kota dibagian selatan terdiri dari

perbukitan struktural denudasional dan perbukitan vulkanik, sedangkan dataran alluvial

terletak di bagian utara. Pada dataran alluvial tanahnya terus mengalami amblesan (land

subsidence), kondisi ini menjadi masalah yang serius khususnya pada permukiman yang

tumbuh secara alamiah di muara kali Semarang. Saat pasang air laut masuk ke permukiman

melewati beberapa sungai dan menggenang, akibatnya merusak infrastruktur permukiman.

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan mengevaluasi perubahan luas genangan pada

permukiman di muara kali Semarang antara tahun 1996 – tahun 2010 dan untuk mengetahui

tingkat kerusakan infrastruktur. Penelitian ini menggunakan metode survey dan laboratorium,

analisis data untuk mengetahui perubahan luas genangan digunakan program Geographic

Information System (GIS) dengan software Arc GIS Desktop 9.2 dari Environmental System

Research. Untuk mengetahui pengaruh genangan terhadap kerusakan infrastruktur

permukiman digunakan statistik dengan tabulasi silang. Untuk menakar pengaruh genangan

terhadap kerusakan lingkungan menggunakan software Statistical Product Service Solution

(SPSS) versi 16 dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, sedangkan evaluasi perubahan

luas genangan di permukiman dengan cara overlay peta genangan tahun 1996 dan tahun

2010, hasilnya merupakan perubahan luas genangan di permukiman penduduk. Hasil

penelitian menunjukkan : antara tahun 1996 sampai tahun 2010 terjadi penambahan

genangan seluas 29,62 ha; terjadi kerusakan infrastruktur permukiman antara lain : jalan

aspal (37,10%), jalan beton (26,20%), jalan dengan paving block (22,50%) dan saluran

drainase (23,90%); 3) secara komulatif genangan berpengaruh terhadap kerusakan

infrastruktur permukiman sebesar 20%, sedangkan sisanya dari unsur lain. Beberapa

penyebab bertambahnya luas genangan antara lain amblesan tanah pada dataran alluvial

terus berlanjut, lokasi penelitian di lewati beberapa sungai, saat pasang air laut masuk ke

permukiman, topografi datar dan jenuh, air yang menggenang merusak infrastruktur jalan.

Kata kunci : amblesan tanah, genangan, merusak infrastruktur

PENDAHULUAN

Kota Semarang merupakan satu diantara kota besar di Indonesia, berpenduduk 1.481.460

jiwa dan memiliki luas 373,4 km2 dengan laju pertumbuhan penduduk 1,86% setiap tahun. Kondis

geografisnya terdiri dari dua unit morfologi, di bagian selatan (kota atas) merupakan Perbukitan

Struktural Denudasional, sedangkan dataran aluvial terletak di bagian utara (kota bawah). Di antara

16 kecamatan di Kota Semarang, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Tengah

merupakan wilayah yang terpadat penduduknya dengan kepadatan 11.556 jiwa dan 12.089 jiwa

setiap km2 (BPS Kota Semarang, 2008).

Seiring bertambahnya penduduk di Kota Semarang, maka kebutuhan akan tempat tinggal

mengalami peningkatan, untuk itu mulai tahun 1984 Pengembang membangun kawasan

permukiman (real estate) pada dataran aluvial di kawasan Tanah Mas, Puri Anjasmoro, Pantai

Marina dan komplek PRPP Jawa Tengah. Dari pengamatan di lokasi penelitian penyiapan lahan

untuk membangun kawasan permukiman dengan cara menimbun tambak dan reklamasi pantai

setinggi 2 sampai 4 m.

Hasil penelitian Tobing, dkk. (2000) menjelaskan amblesan tanah (land subsidence) pada

dataran aluvial di sebagian Kota Semarang mencapai 8 cm pertahun terjadi di Tanjung Mas ke arah

timur hingga pantai di wilayah Kecamatan Genuk dan sebagian Kecamatan Sayung yang masuk

wilayah Kabupaten Demak, kemudian disusul daerah Bandarharjo dan sekitarnya sebesar 10 – 15

Page 452: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang … (Soedarsono)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.8

cm per tahun, Tanah Mas, Stasiun Tawang, Karang Tengah, Marina dan Tawang Mas 5 – 10 cm

per tahun. Di daerah selatan dan tenggara seperti Bangetayu dan sekitarnya amblesan tanah

umumnya kurang dari 5 cm per tahun.

Amblesan tanah pada dataran aluvial di Kota Semarang menjadi masalah yang serius,

karena daerah tersebut umumnya berupa kawasan permukiman. Akibat amblesan tanah sebagian

lahan pada kawasan permukiman yang lokasinya dekat pantai menjadi lebih rendah dari laut, saat

terjadi pasang air laut mengalir ke daratan melalui sungai dan saluran drainase selanjutnya

menggenangi daerah permukiman. Karena amblesan tanah terus berlanjut, akibatnya terjadi

genangan pada permukiman di muara Kali Semarang seperti di Kelurahan Bandarharjo, Kuningan,

Dadapsari dan Tanjung Mas. Luas genangan dan jumlah rumah yang tergenang di muara kali

Semarang pada tahun 1992 seperti terlihat pada Tabel 01.

Tabel 1. Luas Genangan dan Jumlah Rumah Tergenang Berdasarkan Kelurahan Tahun 1992

No Kelurahan Luas Wilayah

(Ha)

Luas Genangan

pada Permukiman (Ha)

Jumlah Rumah yang

Tergenang (Buah)

Keterangan

(solusi)

1. Bandarharjo 373,73 41,52 4.216 Dipasang 3

pompa

2. Kuningan 342,65 26,65 3.039 Dipasang 2

pompa

3. Dadapsari 83,25 2,77 2.025 Dipasang 2

pompa

4. Tanjung Mas 141,51 6,28 4.528 Dipasang 3

pompa

Jumlah 941,14 77,22 13.808

Sumber: Data Monografi Kecamatan Semarang Utara 2002

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode survai, sasarannya berupa permukiman penduduk pada

dataran alluvial di muara Kali Semarang seluas 941,14 ha, tanahnya terdiri dari susunan batuan

aluvium yang masih muda, usianya baru ratusan tahun sehingga terus mengalami pemampatan

(compaction).

Amblesan tanah (land subsidence) telah banyak diteliti antara lain Rappley (1933) dalam

Poland dan Devis (1969); Mohz dan kovac (1981), Whittaker dan Reddish (1989), Johnson (1991),

Fulton (1997), Yin dkk (2006), Carbogin (2003) Donelly (2006), Piend dan Natalaya (2008). Hasil

penelitian menjelaskan secara umum penyebab amblesan tanah antara lain : turunnya air bawah

tanah, pemadatan lempung pada akuifer, penambangan dan pemadatan sedimen, pemampatan

endapan aluvial secara alami, timbunan tanah dan pembebanan bangunan.

Air yang menggenang dipermukiman berpotensi merusak rumah dan infrastruktur, seperti

jalan dan saluran drainase. Untuk mendapatkan campuran aspal yang tahan terhadap air pada

lapisan jalan telah diatur di dalam Standar Nasional Indonesia (S.N.I) 03–6753–2002. SNI

memberi pedoman standar benda uji dan pengukuran perubahan kekuatan tarik diametral yang

didapat dari penjenuhan kekuatan tarik diametral yang didapat dari penjenuhan dalam pembahasan

benda uji campuran beraspal.

Jalan beton dapat mengalami kerusakan umumnya pada slab dan lapisan tanah dasarnya.

Kerusakan jalan beton terdiri dari kerusakan struktur dan kerusakan karakteristik permukaan,

berupa retak-retak pada lapisan perkerasan, patahan (fault) dan deformasi. Patahan pada lapis

perkerasan berhubungan tarikan dan tekanan akibat beban, menurut hukum degredasi kekuatan

material pada proses patahan dan kerusakan jalan tergantung pada pemeliharaan (Hong dkk, 2008).

Menurut Dowson (2006) masuknya air pada sambungan paving block menyebabkan kerusakan

jalan lebih awal, air yang ada di bawah paving block dapat menggerus (erosion) dan

menghilangkan pasir antar paving, akibatnya kondisi paving tidak stabil (Emery, 1993).

Untuk mengetahui perubahan luas genangan pada penelitian ini menggunakan program

Geografic Information System (GIS), Software Are Gis Distop 92 dari Environmental System

Research menggunakan Interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) dan fasilitas Ektension

Spatial Analist. Nilai yang dihasilkan oleh metode ini, berdasarkan rentang nilai dari titik-titik

interpolasi. Metode IWD menggunakan jarak rerata, sehingga nilai yang dihasilkan tidak lebih

kecil dari nilai minimum dan tidak lebih besar nilai maximum (Waston and Philip, 1985)

Page 453: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.9

Hasil dari penelitian berupa peta luas genangan pada lokasi penelitian tahun 2010,

selanjutnya luas genangan pada permukiman tahun 1996 di overlay dengan luas genangan pada

permukiman tahun 2010, maka dapat diketahui perubahan luas genangan selama 16 tahun akibat

amblesan tanah. Untuk mengetahui pengaruh genangan pada permukiman terhadap kerusakan

infrastruktur dan daya dukung lingkungan digunakan metode survai dengan analisis diskriptif

kuantitatif. Untuk mengetahui tingkat kerusakan infrastruktur permukiman penelitian ini digunakan

statistik dengan analisisnya menggunakan tabulasi silang, sedangkan untuk menakar daya dukung

lingkungan akan dibahas hubungan fungsional antara Dependent Variable berupa kerusakan

infrastruktur permukiman dan tingkat kesehatan penduduk dengan Independent Variable berupa

genangan di rumah, pekarangan, jalan dan saluran, sehingga dapat diketahui seberapa besar

pengaruh Independent Variable terhadap Dependent Variable. Analisisnya menggunakan alat

bantu Software Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Genangan pada permukiman akibat amblesan tanah pada dataran aluvial berpotensi

merusak rumah dan infrastruktur permukiman dan turunnya kesehatan penduduk. Penelitian

dilakukan di muara Kali Semarang terdiri dari 4 kelurahan yaitu : Kelurahan Kuningan, Dadap

Sari, Bandarhardjo dan Tanjung Mas seluas 941,14 ha, masuk wilayah Kecamatan Semarang Utara.

Lapisan tanah umumnya terdiri dari susunan batuan alluvium yang masih muda, usianya baru

ratusan tahun, sehingga terus mengalami pemampatan. Proses amblesan tanah ini dipercepat akibat

penambahan beban untuk pembangunan permukiman, selain itu lokasi permukiman letaknya di

muara kali Semarang, saat terjadi pasang air laut masuk dan menggenang, akibatnya merusak

infrastruktur permukiman.

Setelah dilakukan validasi data, pengamatan pada lokasi penelitian dan di analisis,

selanjutnya dibuat peta genangan di Kelurahan Kuningan, Dadap Sari, Bandarhardjo dan Tanjung

Mas, pada tahun 2010 (hasil penelitian) seperti terlihat pada Gambar 01.

Gambar 1. Peta Genangan Tahun 2010

Untuk mengetahui perubahan luas genangan pada permukiman dilakukan overlay peta

genangan tahun 1996 (data sekunder) dengan peta genangan tahun 2010 (hasil penelitian) hasilnya

berupa peta penambahan luas genangan pada permukiman penduduk, seperti terlihat pada Tabel 02

Tabel 2. Luas Wilayah Dan Luas Genangan Tahun 1996 dan Tahun 2010

Lokasi

Luas

Wilayah

(Ha)

Luas Genangan

Tahun 1996

(Ha)

Luas Genangan

Tahun 2010

(Ha)

Perubahan

Genangan

(Ha)

Keterangan

Kel. Tanjung Mas 373,73 44,02 48,55 4,53 Ada peningkatan luas

genangan

Kel. Bandarharjo 342,65 42,95 27,65 -15,30 Ada penurunan luas

genangan

Kel. Dadapsari 83,25 8,36 25,57 17,21 Ada peningkatan luas

genangan

Kel. Kuningan 141,51 13,74 36,92 23,18 Ada peningkatan luas

genangan

Jumlah 941,14 109,07 138,69 29,62

Sumber: Soedarsono, (1997), Kelurahan Tanjung Mas, Bandarharjo, Dadapsari dan Kuningan, (2010), dan

pengamatan lapangan, (2010).

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM

SULTAN AGUNG

Page 454: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang … (Soedarsono)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.10

Berdasarkan Gambar 01 dan Tabel 02 dapat diketahui selama 14 tahun ada pertambahan

genangan di lokasi penelitian seluas 29,62 ha dengan sebaran umumnya di kiri dan kanan kali

Semarang, ditepi saluran drainase dan pada permukiman yang topografinya rendah. Perubahan

genangan di lokasi penelitian antara tahun 1996 dan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 02.

Gambar 2. Peta Perubahan Genangan

Untuk mengetahui tingkat kerusakan infrastruktur permukiman pada daerah yang sering

tergenang digunakan data primer berupa kuesioner, wawancara yang mendalam dan pengamatan

langsung pada lokasi penelitian. Setelah dilakukan analisis menggunakan tabulasi silang, tingkat

kerusakan infrastruktur permukiman hasilnya dapt dilihat pada Tabel 03.

Tabel 3. Tingkat Kerusakan Infrastruktur Permukiman Yang Sering Terendam Air Hujan Dan Air Laut

Jalan Aspal Rusak Parah Rusak Agak Rusak

37,10 % 42,70 % 15,20 %

Jalan Paving Block Rusak Sedikit Rusak Tidak Rusak

22,50 % 49,70 % 27,80 %

Jalan Beton Rusak Sedikit Rusak Tidak Rusak

26,20 % 15,50 % 62,30 %

Saluran Drainase Rusak Parah Rusak Agak Rusak

23,90 % 41,70 % 34,40 %

Untuk mengetahui besar pengaruh genangan pada permukiman terhadap daya dukung

lingkungan digunakan software SPSS versi 16, hasilnya tingkat kerusakan infrastruktur

permukiman terprediksi (y) yang dipengaruhi oleh genangan di rumah, pekarangan, jalan dan

saluran sebesar 20%.

PEMBAHASAN

Lahan di muara kali Semarang berupa dataran aluvial yang masih muda, baru ratusan tahun

(http//www.semarang.ne), sehingga tanahnya terus mengalami pemampatan. Beban diatas tanah

berupa permukiman, daya dukung tanah yang kecil dan muka air tanah tertekan (Confined aquifer)

semakin turun (Soedarsono, 2011), akibatnya amblesan tanah terus berlanjut. Penelitian Tobing

dkk (2000) menunjukkan pada dataran aluvial terjadi amblesan tanah (land subsidence) bervariasi

antara 5 – 15 cm/tahun.

Permukiman di muara kali Semarang dilewati beberapa sungai yaitu : Kali Asin, Kali

Semarang, dan Kali Baru, saat terjadi hujan air masuk ke permukiman, demikian pula saat pasang

air laut masuk ke permukiman melewati beberapa sungai dan menggenang di lokasi penelitian.

Genangan pada lokasi penelitian di 4 Kelurahan terus bertambah luas. Selama 14 tahun,

antara tahun 1996 – 2010 luas genangan di 4 Kelurahan terjadi peningkatan seluas 29,62 ha, ini

disebabkan tanah pada permukiman terus mengalami amblesan. Selain terjadi penambahan juga

terjadi pengurangan genangan seluas 15,30 ha, di Kelurahan Bandarhardjo karena ada penimbunan

tanah setinggi 1,65 m untuk perluasan gudang pelabuhan Tanjung Mas.

Penyebab genangan antara lain : lokasi permukiman topografinya datar, secara gravitasi air

hujan dan air laut (rob) cukup lama kembali ke laut; tanahnya jenuh karena sering tergenang; air

tanahnya tinggi (1-2m) akibatnya air sulit meresap ke dalam tanah; (d) tanah terus mengalami

amblesan dan; lokasi permukiman yang berada di muara Kali Semarang. Lama genangan

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM

SULTAN AGUNG

Page 455: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.11

disebabkan permukiman tumbuh secara alamiah sesuai dengan kemampuan ekonomi penduduk,

sehingga posisi rumah tidak tertata secara baik, kemiringan saluran drainase (ί) kurang dari 2% dan

tidak memenuhi syarat teknis, akibatnya air yang menggenang butuh waktu 3 – 5 jam mengalir

kembali ke laut. Dampak dari genangan antara lain lantai, dinding dan komponen fisik rumah

kropos, apalagi sebagian rumah penduduk dibangun tidak memenuhi syarat teknis. Upaya

memperbaiki rumah yang dilakukan penduduk terkait dengan kemampuan ekonomi, separuh dari

penduduk sudah memperbaiki rumahnya satu kali selama 14 tahun dengan cara membongkar

rumah atau meninggikan lantainya saja untuk menghindari genangan, sedangkan bagi yang tidak

mampu rumahnya dibiarkan tergenang.

Dampak air laut yang sering menggenang di lingkungan permukiman dapat dilihat dari

kerusakan bangunan dan infrastruktur. Air laut akan mempercepat rusaknya bangunan di daerah

yang sering tergenang terutama bangunan yang terbuat dari campuran porland cemen (PC) dan

pasir, karena secara kimiawai, air laut mampu melepaskan (mengurai) senyawa yang terkait dalam

semen, akibatnya bangunan cepat lapuk (Kusnandar 2009). Infrastruktur yang mengalami

kerusakan antara lain jalan dengan lapisan perkerasan aspal, beton dan paving block.

Hasil penelitian Prabowo (2009) menggunakan desain campuran lataston lapis aus hot

relled sheet wearing cource, menjelaskan semakin tinggi keasaman air dan semakin lama terendam

air laut, campuran aspal semakin cepat mengelupas. Kerusakan jalan dengan perkerasan aspal yang

terjadi di jalan Dorang, jalan Tombro dan jalan Empu Tantular banyak disebabkan oleh rendaman

air laut.

Kerusakan konstruksi jalan dengan lapisan beton yang terjadi di jalan Usman Janatin akibat

kerusakan struktur, berupa retak-retak pada lapis perkerasan (lapisan atas), namun tidak sampai

dasar slab beton. Kerusakan jalan dengan lapis perkerasan beton di jalan Usman Janatin Kelurahan

Tanjung Mas disebabkan lapisan tanah dasar yang lunak akibat sering terendam air dan jalan

sering dilalui kendaraan dengan muatan berat. Kerusakan jalan dengan lapis perkerasan paving

block disebabkan keluarnya lapisan pasir bawah paving block akibat rendaman air, perpindahan

pasir di bawah paving (bedding sand) menyebabkan lapisan jalan tidak stabil (Hatta dkk 2003).

Kerusakan jalan di jalan Layur dan jalan Kolonel Sugiono yang menggunakan paving block, selain

jalan sering terendam juga akibat kendaraan yang lewat dengan tonase berat.

Kondisi saluran drainase di lokasi penelitian sebagian rusak di kiri kanan (bibir) saluran,

sebagian besar saluran penuh sedimen dan sampah rumah tangga, eksisting saluran drainase

berbelok – belok mengikuti kondisi rumah dengan kemiringan (i) kurang dari 2%, akibatnya saat

hujan dan pasang air meluap dan menggenang di rumah penduduk.

Dari analisis statistik dengan program SPSS versi 16, dapat diketahui genangan pada

permukiman berpengaruh 20% terhadap kerusakan rumah dan infrastruktur permukiman,

sedangkan sisanya dimungkinkan pengaruh dari kualitas bahan bangunan, kualitas konstruksi dan

unsur lainnya.

KESIMPULAN

1. Genangan pada permukiman terjadi di sekitar sungai dan saluran drainase, saat hujan dan

pasang air laut yang masuk ke permukiman melalui Kali Asin, Kali Semarang, Kali Baru dan

Kali Banger. Penyebab utama terjadinya pertambahan luas genangan antara lain: permukiman

padat, topografinya datar dan jenuh, tanah mengalami amblesan, air laut semakin jauh ke hulu,

genangan semakin luas. Antara tahun 1996 sampai tahun 2010 di lokasi penelitian terjadi

penambahan genangan seluas 29,62 Ha.

2. Air yang menggenang di permukiman dapat merusak rumah dan infrastruktur permukiman.

Infrastruktur berupa jalan dengan lapis perkerasan aspal yang mengalami rusuk parah sebesar

37,10%, rusak 47,70% dan sedikit rusak sebesar 15,20%, untuk jalan paving block dan beton,

kondisinya lebih baik, karena lebih tahan terhadap air. Sebagian saluran drainase tidak

berfungsi maksimal karena topografinya datar, saluran berbelok-belok, bibir saluran banyak

yang rusak dan saluran penuh sedimen. Saluran yang rusak parah sebesar 23,8%, rusak sebesar

41,7% dan 34,5% kondisi agak rusak. Secara keseluruhan genangan berpengaruh sebesar 20%

terhadap kerusakan rumah dan infrastruktur permukiman, sisanya dari unsur lain.

Page 456: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.2. Amblesan Tanah di Muara Kali Semarang … (Soedarsono)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.12

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi PT. Rinea

Cipta, Jakarta

BPS Kota Semarang, 2008, Profil Kependudukan Kota Semarang Tahun 2008, BPS Kota

Semarang, Semarang.

BPS Kota Semarang, 2008, Semarang Dalam Angka Tahun 2008, BPS Kota Semarang, Semarang.

Burrough, P. (1986) Principles of GIS. M.N. Demers, Fundamentals of GIS,Eddy Prahasta.”Sistem

Informasi Geografis, P.A. Longley Geographical Inforamtion Systems, volume 1&2.

Carbognin, L., 2003, Overview of The Activity of The UNESCO-IHP Working Group IV Project M-

3.5(C) on Land Subsidence, International Hydrologial Programme Division of Water

Sciences, Paris Cedex 15, France. www.unesco.org/water/ihp/land_subsidence.pdf, 20 Mei,

Jam 14.30 WIB.

Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-6753-2002, Cara

Uji Ketahanan Campuran Beraspal Terhadap Kerusakan Akibat Rendaman, LitBang Dinas

Pekerjaan Umum, Jakarta.

Donnelly, The Monetoring and Prediction of Mining Subsidence in The Amaga, Angelopolis,

Venencia and Bolanbo Regions, Antiogna, Colombia. www.elsevier/locate/enggeo, 4

Agustus, jam 15.00 WIB.

Dowson, A.J., 2006, The Influence and effect of water in laying course material in concert block

paving countruction, Proceeding of the 5 th international confrence of concrete block

pavement (CBP), Tokyo

Emery, J.A., Member ASCE, 1993, Stabilization of jointing sand enginering, vol. 119 No. 01,

ASCE, ISSN 0733-947X/93/001-0142.

Fulthon, A., 1997, Land Subsidence: What Is It and Why Is It an Important Aspect of Groundwater

Management?, in Cooperation with the California Departement of Resources. USA,

http://www.glenncountywater.org/documents/LandSubsidence.pdf, 4 Agustus, Jam 15.20

WIB.

Gamma Design Software, 2005, Interpolation in GS+, http://www.geostatistics.com/

OverviewInterpolation.html, 20 Agustus 2010, Jam 15.30 WIB.

Johnson, A.I., 1991, Prosesing of The Fourth International Syimposium on Land Subsidence,

Texas, 12-17 Mei 1991 http://iahs.info/redbooks/a200/iahs_200_0000.pdf, 20 Agustus 2010,

Jam 9.20 WIB.

Kecamatan Semarang Utara, 2007, Data Monografi Kelurahan Tanjung Mas 2007, Kecamatan

Semarang Utara

Kecamatan Semarang Utara, 2008, Nomografi Kelurahan Tanjung Mas,Bandarharjo, Kuningan

dan Dadapsari, Kel Semarang Utara, Semarang.

Marfai, M. A., dan King, L. 2007, Monitoring Land Subsidence In Semarang, Indonesia.

Enviomental Geology,53 : 651-659. Doi: 10.1007/s00254-007-0680-3.

Prabowo, A.H., 2003,Pengaruh rendaman air laut pasang (Rob) terhadap kinerja latastan (HRS-

WC) berdasarkan uji Marshal dan uji durabilitas modifikasi, Pilar volume 12, nomor 2.

Poland J.F dan Davis, G. H., 1969, Land Subsidence due to with drawal of fluids, A.R. Eng.Geol,

USGS, Sacra and Wash, DC Vol 2, P 187-269.

Soedarsono, 1997, Pengaruh Banjir Genangan Akibat Pasang Air Laut Terhadap Permukiman Di

Muara Kali Semarang, Tesis Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.

Soedarsono, 2011. Pengaruh Amblesan Tanah (land subsidence) Terhadap Lingkungan

Permukiman Di Dataran Aluvial Sebagian Kota Semarang, Disertasi, UGM, Yogyakarta.

Tobing, T., MHL, Panggabean dan Murdohardono, D., 2001, Evaluasi Geologi Teknik Penurunan

Muka Tanah (land subsidence) Daerah Semarang dan Sekitarnya Propinsi Jawa Tengah,,

DGTL, Bandung.

Whittaker and Reddish, 1989, Faktor-Faktor Penyebab Penurunan Muka Tanah

(Land Subsidence), www.land subsidence.com May 6, 2009...2:36 am.

Page 457: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.13

KUALITAS ESTETIKA GEOMETRIS FISIK RUANG KOTA

KAWASAN LAPANGAN PANCASILA SEMARANG

Esti Yulitriani Tisnaningtyas Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNPAND

Jl.Banjarsari Barat No. 1 Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak Lapangan Pancasila merupakan satu ruang kota yang cukup strategis bagi kota Semarang.

Perkembangan kawasan yang sangat cepat dapat berdampak bagi kualitas estetika ruang

kotanya. Penelitian tentang kualitas estetika geometris fisik ruang kota adalah bertujuan untuk

mencari gambaran kualitas estetika ruang kota ditinjau dari aspek geometris fisik ruang kota,

mengetahui unsur-unsur pembentuk estetika ruang kota dan faktor-faktor yang dapat merusak

kualitas estetika ruang kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan rasionalistik dengan

menggunakan paradigma kualitatif dalam kaitannya dengan tujuan penelitian . Pendekatan ini

memerlukan kerangka teoritis didasarkan pada teori-teori para ahli, untuk disusun menjadi

sebuah konsep dasar (grand concept ) terkait dengan keseluruhan studi. Dari hasil penelitian

di lapangan memperlihatkan kualitas estetika ruang kota yang baik antara lain terbentuk oleh

kesatuan open space lapangan Pancasila dengan jalan yang menuju ke Lapangan Pancasila

dan Jl. Pahlawan sebagai poros sumbu simetri. Unsur estetika lainnya adalah komposisi solid

dan void fisik ruang kota. Adapun unsur-unsur yang dapat menurunkan kualitas ruang kota

adalah ketinggian bangunan, kedekatan antar masa bangunan, keserasian unsur fasade

bangunan yang satu dengan yang lainnya di Kawasan Simpang Lima. Melihat potensi

kawasan Lapangan Pancasila Semarang sebagai ruang kota yang bernilai tinggi dari unsur-

unsur geometrisnya maka perlu dilakukan penataan dalam bentuk urban design guideland. Hal

ini penting agar unsur yang bernilai tinggi tetap dipertahankan, sedangkan unsur yang dapat

menurunkan kualitas ruang kota dapat dieliminasi.

Kata kunci: kualitas estetika, geometris, fisik, ruang kota

PENDAHULUAN

Estetika ruang kota antara lain terbentuk dari estetika fisik pembentuk ruang kota. Estetika

ruang kota dapat ditinjau dari aspek makna ruang kota dan aspek fisik ruang kota. Lapangan

Pancasila merupakan satu ruang kota yang cukup strategis bagi kota Semarang. Di kota Semarang

ruang kota yang berupa lapangan kota (town square) tidak banyak. Dahulu ada alun-alun kota

Semarang di daerah Kanjengan, namun karena kebutuhan untuk perluasan pasar Johar yang

diakibatkan bertambahnya jumlah pedagang di pasar johar, sehingga alun-alun kota Semarang

dipindah ke Simpang Lima. Berbagai kegiatan baik yang formal dan tidak formal ada di kawasan

ini.Berbagai kegiatan baik yang formal dan tidak formal ada di kawasan ini.

Kawasan Simpang Lima Semarang dengan lapangan Pancasila di tengahnya yang

merupakan ruang publik yang cukup penting bagi masyarakat kota Semarang. Letaknya yang

strategis mengundang aktifitas komersiil ke kawasan ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya

perubahan penggunaan lahan dan bangunan di sekitar lapangan Pancasila. Dahulu di kawasan ini

terdapat Gedung Olah Raga yang sekarang berganti menjadi Citralandmall, gedung pertemuan

Wisma Pandanaran berganti menjadi bangunan Simpang Lima Plasa. Namun perkembangan

kawasan yang sangat cepat dikhawatirkan dapat berdampak bagi kualitas estetika ruang kotanya.

Berbagai masalah yang tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan pada peneliti. Apakah

ruang kota kawasan Lapangan Pancasila memiliki estetika fisik ruang kota yang berkualitas.

Unsur-unsur apa yang mendukung estetika fisik ruang kota tersebut. Faktor-faktor apa yang dapat

mempengaruhi nilai estetika fisik ruang kota kawasan Lapangan Pancasila Semarang?.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang fisik ruang kota kawasan Lapangan Pancasila..

Penelitian tentang kualitas estetika geometris fisik ruang kota kawasan Lapangan Pancasila,

bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk estetika geometris fisik ruang kota dan factor-

faktor yang dapat merusak kualitas estetika ruang kota. Penelitian ini dilakukan dengan

pendekatan rasionalistik dengan menggunakan paradigma kualitatif dalam kaitannya dengan tujuan

Page 458: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.3. Kualitas estetika geometris fisik ruang kota … (Esti Y. Tisnaningtyas)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.14

penelitian. Pendekatan ini memerlukan kerangka teoritis didasarkan pada teori-teori para ahli,

untuk disusun menjadi sebuah konsep dasar (grand concept ) terkait dengan keseluruhan studi.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang perancangan kota, khususnya kualitas estetika geometris fisik ruang kota di

kawasan Lapangan Pancasila Semarang.

KAJIAN PUSTAKA

Estetika dalam arsitektur adalah nilai yang menyenangkan mata dan pikiran yang berupa

nilai bentuk dan ekspresi. Keindahan bentuk bersifat nyata, fisik, dapat diukur atau dihitung,

sedangkan keindahan ekspresi bersifat abstrak. Keindahan bentuk memiliki dasar tertentu, yang

disebut prinsip estetika seperti keterpaduan, keseimbangan, proporsi, dan skala. (Yolanda,) Prinsip

estetika meliputi komposisi/susunan, keselarasan, keterpaduan, keseimbangan, proporsi dan skala.

Komposisi merupakan dasar yang penting untuk menghasilkan bentuk yang jelas, teratur. Susunan

yang tidak teratur dapat menimbulkan kesan kurang nyaman

Kualitas Ruang Publik juga mencakup makna dari keberadaan ruang publik tersebut

dalam konteks yang lebih luas dan berkelanjutan, yaitu memenuhi kelayakan terhadap kriteria

: kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan (Danisworo, 1992). Garnham

(1965) menyebutkan bahwa komponen pembentuk identitas ruang publik yang menentukan

kualitas suatu tempat meliputi tiga komponen yaitu fisik, aktivitas atau fungsi serta makna (Dalam

Prihastoto, 2003). Kualitas lingkungan meliputi kenyamanan,pencapaian, vitalitas, image. Menurut

Darmawan ( ), kualitas ruang publik kota meliputi aktifitas dan fungsi campuran, ruang khusus,

keramahan pedestrian, skala manusia dan kepadatan, struktur, kejelasan, dan identitas, kerapihan

dan keyamanan, manajemen kota, ragam visual. Menurut Fisher estetika kawasan meliputi

keteraturan, texture, keakraban, keleluasaan pandangan ,kemajemukan , misteri . The ultimate

aesthetic goal in urband design is to create pleasure places for behavior setting in the public

realm. (John Lang, 1994).

Datum

Datum merupakan suatu benda yang berupa garis bidang atau volume yang oleh karena

kesimbangan dan keteraturannya menjadikannya sebagai suatu yang mampu mengumpulkan ,

mengukur dan mengorganisir suatu pola tertentu (DK. Ching , 1996).

Kesatuan (Unity)

Menurut Noreberg-scultz (1971) dan (Moughtin C 1992), mengemukakan konsepnya ,

bahwa pertama kali yang dipikirkan dalam mendisain adalah pusat-pusat lokasi kegiatan

(proximity), arah dan tujuan jalan (continuity), dan area yang telingkupi (enclosure). Komposisi

dalam perancangan kota adalah seni, kesatuan visual masing-masing elemen kota dengan

menghindarkan semaksimal mungkin adanya perbedaan. Kembali kepada tujuan perancangan kota

yang terpenting adalah menciptakan imege kota yang kuat dalam struktur kota yang memiliki

visual dan penataan organisasi ruang yang menyatu (lynch, 1960).

Proporsi

Metoda untuk penyusunan tata ruang (order) yang menyatu (unity ) dapat menggunakan

metode proporsi dengan memberikan keseimbangan komposisi elemen-elemen (Ching, D.K, 1979)

Beberapa contoh proporsi antara lain suatu rumah tinggal dengan proporsi jendela yang sama

bentuk dengan dimensinya antara sebelah kiri dengan sebelah kanan bisa dikatakan simetri. Pintu

utama sebagai elemen bangunan tinggal atau aparte,en dibuat dengan elemen alin maka akan

membentuk ptoporsi. Dalam skala kota kita dapat menentukan proporsi melalui penampakan garis

langit (skyline), bangunan mana yang akan menjadi landmarknya dan bagaimana komposisi

dengan bangunan lain akan nampak pada silhouete kota tersebut. (Spreiregemn, 1965).

Skala dan Proporsi

Skala dalam ruang publik berkaitan dengan geometri (geometrical qualities), yang akan

mempengaruhi pada proporsi yang siginifikan. Disini ada 3 kategori skala yaitu skala akrab, skala

sedang, skala luas. Rob Krier, 1979 dalam Agus Heru 1998. Contoh ruang publik yang dikenal

sebagai Masterpiece of civic art. Untuk obyek dua dimensional seperti patung atau sculpture di

tengah taman , pengertian proporsi ditentukan oleh ketinggian dan lebar. Definisi proporsi

kaitannya dengan penataan ruang publik berupa taman kota sedikit lebih kompleks. Karena

berhubungan dengan bagian struktur kota secara sinergis. Dengan kata lain sistem proporsi dapat

Page 459: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.15

diterapkan pada ruang publik sebagai bagian dari struktur kota secara keseluruhan. Perbedaan skala

dan proporsi tergantung dari perbandingan dari dimensi dan proporsi ruang yang satu dengan ruang

yang lain. (Moughtin, 1992).

Simetri, Keseimbangan

Sumbu adalah suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik didalam ruang dimana ruang –

ruang dapat disusun dalam suatu paduan yang simetri dan seimbang. Simetri merupakan suatu

penataan atau sususnan elemen untuk mencapai komposisi yang lebih rigid. Kemudian kalau

dikaitkan dengan keseimbangan (balance) menjadi salah satu ekspresi yang sederhana dan jelas

dalam perancangan. Ada komentar proporsi (a sense of proportion) merupakab dna faktor yang

dapat memberi nilai tambah dalam desain. Simetri formal (formal symetri) , hal ini merupakan satu

tipe keseimbangan yang mudah dilihat dan dimengerti, tetapi menimbulkan kesulitas dalam

menyelaraskan antara fungsi ruang dalam dan ruang luar.

Ritme, Harmoni dan Kontras.

Ritme dalam ruang publlik kota seperti halnya properti yang dijelaskan dengan analisis-

analisis ang dapat dipertanggung jawabkan . Di samping itu merupakan produk kelompok elemen-

elemen seperti suatu penonjolan, ruang antara, aksen dan arah menuju suatu obyek yang

dintunjuukkan dengan deretan kolom-kolom atau pohon atau elemen lain sebagai pengarah.

Keberhasilan desain ruang publlik dari segi estetis agar menghindari kemonotonan, meiliki daya

tarik dan aksentuasi. Beberapa ruang publik yang menyenangkan ditunjukkan dari bentuk-bentuk

kontras yang berasal dari alam, sinar matahri, dan bayangan (Ching, DK, 1987). Harmonis dalam

komposisi ruang publlik kota merupakan upaya konsfirmasi untuk mencapai konsistensi melalui

beberapa pengulangan dari material, detail-detal tinggi rendah sebagai sentuhan dalam proses

kekompakan dalam menata komposisi kota. Kontras dalam ruang publik kota merupakan

pemanfatan semaksimal mungkin lahan yang terbatas dengan unsur-unsur bentuk dan anti bentuk,

bangunan dan ruang, jalan dan ruang terbuka publik, lansekap dan perangkat keras dan lunak.

Tanpa elemen-elemen yang kontras dan kejutan-kejutan maka yang terjadi adalah pengulangan-

pengulangan yang membosankan.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yaitu dengan pendekatan

kualitatif rasionalistik. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan studi pustaka.

Teknik analisis menggunakan analisis kesamaan isi (analysis).

Bertolak dari teori sistem. visual yang dikemukakan oleh Gordon Cullen dalam The

Concept of Townscape (1996: 9 - ll), bahwa ada tiga aspek mendasar yang harus diperhatikan

dalam sistem visual, yaitu yang berkaitan dengan aspek pemandangan (optic), tempat (place) dan

isi (content). Sistem visual dipengaruhi oleh peta mental seseorang. Penggalian data ini dilakukan

pemahaman seseorang pada lingkungan nya memlaui memori. Penentuan responden berdasarkan

stratifield random sampling.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambar. 1. Kawasan Lapangan Pancasila (Simpang Lima)

Mall Ciputra

Jalan Pahlawan Jalan A Yani

Jalan Pandanaran Jalan KH Ahmad

Dahlan

Page 460: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.3. Kualitas estetika geometris fisik ruang kota … (Esti Y. Tisnaningtyas)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.16

Sumbu, Simetri dan Keseimbangan

Sumbu adalah suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik didalam ruang dimana ruang –

ruang dapat disusun dalam suatu paduan yang simetri dan seimbang. Dua titik dalam ruang di

Simpang Lima dapat dilihat dengan adanya jalan Pandanaran dengan jalan A Yani. Jalan A Yani

dan Jl. Pandanaran membentuk satu garis melintang dari arah timur ke barat. Sebagai penghubung

kawasan kota Semarang bagian barat dengan kawasan kota Semarang bagian timur. Dimana jalan

ini membagi urban space ke dalam dua bagian yang hampir seimbang antara urban space bagian

sisi utara dengan bagian sisi selatan Lapangan Pancasila. Sumbu di kawasan Simpang Lima

terbentuk sumbu timur-barat. Di sisi selatan Lapangan Pancasila terdapat jalan yang paling besar

yaitu Pahlawan. Jalan Pahlawan memiliki dua jalur yang terbesar dengan boulevard di tengahnya,

membujur dari selatan ke utara dan berakhir di Simpang Lima. Di sisi Utara Lapangan Pancasila.

Jalan ini membagi ruang yang seimbang bagian timur dengan bagian barat terhadap terletak di

poros tengah di tengah lapangan Pancasila. Sementara di sisi utara Dari lapangan Pancasila Jalan

Gajah Mada membujur ke barat daya dan Jl KH Ahmad Dahlan membujur ke arah timur laut.

Posisi Jalan Gajah Mada dan Jl KH Ahmad Dahlan serta Jalan Pahlawan membuat membuat lahan

Mall Ciputra menjadi focal point dari sumbu jalan Pahlawan.

Simetri merupakan suatu distribusi yang seimbang dari bentuk bentuk dan ruang yang

sama dan seimbang pada sisi yang saling berlawanan( DK. Ching , 1996 ) Keseimbangangan yang

terbentuk dari sumbu utara-selatan dan sumbu timur barat serta lahan Mal Ciputra membentuk

keseimbangan yang sama sisi timur dengan sisi barat kawasan Simpang Lima. Keseimbangan yang

sama membentuk simetri formal. Derajat paling tinggi dalam estetika geometri adalah kesimbangan

simetri formal. Dari Hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa lokasi yang paling

strategis di kawasan Simpang Lima adalah alahan Mall Ciputra karena dpat dilihat dari jalan

Pahlawan. Terletak di tengah sumbu yang terbaik dan dapat dilihat dari berbagai sudut di Simpang

Lima

Hasil wawancara dengan responden 57 % menyatakan seimbang antara massa di sisi timur

dengan barat. Dari konfigurasi massa bangunan, massa bangunan di sisi utara sumbu timur barat

dengan massa bangunan di sisi selatan tidak seimbang. Sedangkan massa bangunan disisi timur

sumbu jalan Pahlawan dengan sisi barat seimbang. Secara vertikal , ketinggian bangunan di sisi

timur dengan sisi barat seimbang. Sedang sisi selatan dengan sisi utara tidak seimbang. Simetri

merupakan suatu penataan atau susunan elemen untuk mencapai komposisi yang lebih rigid.

Kemudian kalau dikaitkan dengan keseimbangan (balance) menjadi salah satu ekspresi yang

sederhana dan jelas dalam perancangan. Ada komentar proporsi ( a sense of proportion) merupakan

dan faktor yang dapat memberi nilai tambah dalam desain. (Moughtin, 1992 ).

Hirarki

Bentuk massa bangunan Citraland paling mencolok dibandingkan dengan bangunan lain di

Simpang Lima. Bangunan lain berbentuk persegi dan persegi panjang, bangunan Citraland

berbentuk hexagonal. Hirarki adalah merupakan suatu penekanan pada suatu hal yang penting atau

menyolok merupakan keutamaan dari suatu bentuk( DK. Ching , 1996 ). Dari konfigurasi massa

yang terbentuk tersebut maka tercipta hirarki dengan puncak dari hirarki adalah bangunan

Citraland.Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan 65 % responden bahwa bangunan yang

paling mencolok di Simpang Lima adalah Bangunan Citraland, baik dari segi lokasi, bentuk massa

dan bentuk fasad bangunan.

Irama / pengulangan (Ritme), Datum

Bentuk massa dan fasad bangunan sebagai pembentuk ruang kota dan orientasi visual

sistem visual dalam kaitannya dengan serial vision , (Cullen ,1965). Bangunan-bangunan di

Simpang Lima tidak menvisualkan adanya pengulangan bentuk mulai dari bentuk atap bangunan,

bentuk bukaan pada fasad bangunan, bentuk kolom bangunan, bentuk iklan pada bangunan. Desain

satu bangunan dengan bangunan lainnya sangat berbeda. Irama adalah kondisi yang

menggambarkan sesuatu yang berulang atau yang tampak sebagai pergerakan yang saling

menyatukan dan berpola ( DK. Ching , 1996 ). Berdasarkan hasil wawancara tidak ada irama.

Page 461: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.17

Pohon glodogan pecut yang tinggi menjulang sebagai unsur lansekap Lapangan Pancasila

di tanam mengikuti pola Lapangan Pancasila yang berbentuk persegi dengan ujung tumpul.

Deretan pohon yang menjulang membentuk suatu bidang dinding hijau yang membentuk ruang di

lapangan Pancasila seolah-olah memisahkan Lapangan Pancasila dengan ruang terbuka lainnya.

Skala dan Proporsi

Lapangan Pancasila di kawasan Simpanglima ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan

komersial dan mesjid Baiturrahman yang secara keseluruhan membentuk 'enclosure'. Hal ini

ditunjukkan dengan dominasi orientasi bangunan, hubungan antar bangunan, jarak antar bangunan.

Dari perbandingan antara lebar lapangan dengan tinggi bangungan ruang kota bersifat enclosure .

Perbandingan Namun demikian 1apangan (square) dengan jalan­ jalan yang mengelilinginya

membentuk publik space dengan enclosure bangunan-bangunan yang mengitarinya. Keadaan ini

yang memisahkan antara fungsi 1uar (external space) dengan fungsi ruang di dalam bangunan

(internal space), walaupun secara visual bi1a dipandang dari ruang publik (public space)

merupakan satu kesatuan ruang yang enclosed. (Spreiregen,1995; Yoshinobu Ashihara, 1983:62-

63). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden 65 % mengatakan bahwa urban space di

kawasan Simpang Lima termasuk manusawi antara lain mencaklup hubungan antar bangunan, pola

msssa bangunan terhadap lingkungan, ketinggian bangunan dari jalan. 57 % menyatakan luas

lapangan Pancasila masih manusiawi, mudah dilihat dari tengah lapangan dan dapat mengenali

wujud utuh bangunan.

Simpang Lima sebagai kawasan komersiil tentu tak lepas dari adanya iklan. Beberapa iklan

dipasang dalam bentuk iklan yang berdiri sendiri berupa baliho, dan iklan yang didisain sebagai

bagian dari fasad bangunan seperti fasad bangunan Mal Ciputra. Dominasi iklan di Simpang Lima

dari segi ukuran sangat besar, hingga ada yang menutupi elemen-elemen fasad bangunan, menutupi

pandangan ke arah ruang kota atau jalan ( jalan Pahlawan), menutupi elemen lansekap ruang kota.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden 100 % menyatakan iklan di kawasan Simpang

Lima sudah membuat kualitas estetika ruang kota jelek. Terutama dari faktor ukuran yang tidak

proporsional dengan desain bangunan atau elemen ruang kota lainnya. Proporsi antara ketinggian

dan lebar lapangan masih kurang seimbang . Lapangan Pancasila dapat dikategorikan skala luas ,

sedangkan bangunan yang mengitarinya masih ada yang mempunyai ketinggian 2 atau tiga lantai

sehingga kurang membentuk rasa ruang atau enclosure. Terutama di sisi utara sumbu jalan A Yani

– Pandanaran Bangunan berketingian7-8 lantai sedangkan di sisi selatan 2-3 lantai. Walaupun

bangunan Rayamana memupunyai ketinggian 7 lantai.

Keterpaduan (Unity)

Keserasian unsur sumbu dengan fasade, keserasian elemen – elemen pada fasade, kesatuan

rupa bentuk muka di belakang. Pola ruang kota di Simpang Lima mengikuti bentuk lapangan

Pancasila yang berbentuk persegi pannjang dengan ujung tumpul. Pola jalur pedestrian, tanaman di

dalam lapangan, jalur pedestrian, tempat PKL, taman di luar lapangan. Ruang terbuka kota milik

privat juga mengikuti bentuk Lapangan Pancasila. Berdasarkan orientasi bangunan terhadap

sumbu jalan pahlawan. Orientasi bangunan sisi timur dan barat dan utara mengarah kelapangan

Pancasila. Namun bangunan di sisi selatan yaitu bangunan Telkom dengan bangunan Ramayana

tidak ke arah lapangan Pancasila namun menghadap ke arah sumbu jalan Pahlawan.

Menurut Noreberg-scultz (1971) danMoughtin C 1992, mengemukakan konsepnya , bahwa

pertama kali yang dipikirkan dalam mendisain adalah pusat-pusat lokasi kegiatan (proximity), arah

dan tujuan jalan (continuity), dan area yang telingkupi (enclosure). Komposisi dalam perancangan

kota adalah seni, kesatuan visual masing-masing elemen kota dengan menghindarkan semaksimal

mungkin adanya perbedaan. Kembali kepada tujuan perancangan kota yang terpenting adalah

menciptakan imege kota yang kuat dalam struktur kota yang memiliki visual dan penataan

organisasi ruang yang menyatu (Lynch, 1960).

Page 462: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.3. Kualitas estetika geometris fisik ruang kota … (Esti Y. Tisnaningtyas)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.18

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari hasil penelitian di lapangan memperlihatkan kualitas estetika ruang kota yang baik

antara lain terbentuk oleh kesatuan open space lapangan Pancasila dengan jalan yang menuju ke

Lapangan Pancasila dan Jl. Pahlawan sebagai poros sumbu simetri. Unsur estetika lainnya adalah

komposisi solid dan void fisik ruang kota. Adapun unsur-unsur yang dapat menurunkan kualitas

ruang kota adalah ketinggian bangunan, kedekatan antar masa bangunan, keserasian unsur fasad

bangunan yang satu dengan yang lainnya di Kawasan Simpang Lima. Melihat potensi kawasan

Lapangan Pancasila Semarang sebagai ruang kota yang bernilai tinggi dari unsur-unsur

geometrisnya maka perlu dilakukan penataan dalam bentuk urban design guideline. Hal ini penting

agar unsur yang bernilai tinggi tetap dipertahankan, sedangkan unsur yang dapat menurunkan

kualitas ruang kota dapat dieliminasi.

Rekomendasi

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang kriteria perancangan estetika

fisik ruang kota berdasarkan unsur geometri yang dapat membentuk citra kawasan dan makna

simbolis dari persepsi pengguna ruang publik, penentu kebijakan, pemilik lahan dan stakeholder

lainnya.

Kualitas estetika ruang kota yang salah satu nya dipengaruhi oleh adanya bangunan dan

unsur-unsur geometrinya. Dengan demikian bagi perancang bangunan di dalam mendisain

bangunan sudah selayaknya mempertimbangkan komposisi gubahan massa dan fasad bangunan

yang dapat memberi nilai estetika tinggi bagi ruang kota. Untuk merancang ruang kota terutama

lapangan kota maka dalam penyusunan urban design guideline juga menyertakan partisipasi dari

pemilik lahan atau bangunan, masyarakat pengguna sehingga dapat diperoleh rancangan lapangan

kota yang menjadi harapan bersama seluruh masyarakat kota.

Bagi penentu kebijakan perlu penyusunan urban design guideline yang mengarahkan

pembangunan ruang kota kawasan lapangan kota dengan berbagai unsurnya menjadi ruang kota

yang berkualitas estetika tinggi , mengendalikan pembangunan kawasan lapangan kota agar tidak

terjadi penurunan kualitas estetika ruang kota.

DAFTAR PUSTAKA

Gosling, David dan Barry Maitland, 1984. Concept of Urban Design ,St. Martin's Press, New York.

Krier, Rob, Urban Space, Fore Word by Collin Rowe, Academy Edition London.

Lynch, Kevin, 1962. The Image of /The City The HI.T.Press Massachusette.

Spreiregen ,Paul D, 1965. The Architectur of Town And The City, Mc Graw Hill Book Company,

Mougtin ,Cliff, 1992. Urban Design Street and Square, An Imprit of Butterwort -Heinemann Ltd

Lincare House.

Page 463: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.19

FUNGSI JALUR PEDESTRIAN DIANTARA DUA BANGUNAN

PUSAT PERBELANJAAN DI KORIDOR JALAN A. YANI

(DITINJAU DARI ATRIBUT KENYAMANAN DAN VISIBILITAS PENGGUNANNYA

PADA MALAM HARI)

Esti Yulitriani Tisnaningtyas Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNPAND

Jl. Banjarsari Barat No 1 Semarang E-mail: [email protected]

Abstrak

Jalan A. Yani merupakan linkage yang cukup strategis di kota Semarang. Jalan ini

menghubungkan node Kawasan Simpang dengan jalan MT. Haryono. Fungsi jalur pedestrian

jalan A. Yani sangat dipengaruhi oleh berjalannya kegiatan di Jalan A. Yani dan di bundaran

kawasan Simpang Lima. Pada malam hari pejalan kaki belum memanfaatkan jalur pedestrian

di antara dua bangunan perbelanjaan di ujung koridor jalan A. Yani secara maksimal.

Penelitian tentang fungsi jalur pedestrian di ruang publik koridor jalan A. Yani ditinjau dari

aspek kenyamanan dan visibilitas penggunanya, bertujuan untuk mengetahui perilaku pejalan

kaki dalam memanfaatkan jalur pedestrian, mencari properti jalur pedestrian yang diinginkan

pejalan kaki untuk memenuhi tuntutan atribut tersebut. Penelitian intens di fokuskan dilakukan

di titik pengamatan antara bangunan Simpang Lima Plasa dengan bangunan Pertokoan

Simpang Lima. Dari hasil penelitian, pemanfaatan jalur pedestrian lebih banyak untuk

digunakan untuk bergerak dari jalan menuju ke bangunan atau sebaliknya. Sedangkan untuk

bergerak dari ruang satu ke ruang yang lain, pejalan kaki lebih banyak memanfaatkan tepi

jalan atau badan jalan untuk sirkulasi. Jalur pedestrian belum memenuhi aspek kenyamanan

dan visibilitas pejalan kaki. Faktor fungsi lahan untuk pusat perbelanjaan, kurangnya

penyediaan parkir, pemanfaatan ruang publik oleh pengguna ruang publik lainnya

mempengaruhi perilaku pejalan kaki di dalam memanfaatkan jalur pedestrian.

Kata kunci: jalur pedestrian, ruang publik, pejalan kaki, kenyamanan, visibilitas

PENDAHULUAN

Ruang publik adalah ruang luar yang digunakan untuk kegiatan penduduk kota sehari-hari,

antara lain untuk kegiatan berjalan kaki, sirkulasi menuju ke suatu tempat, bersantai, upacara,

parkir, kampanye, bahkan sebagai tempat untuk berdagang. Jalan A. Yani merupakan salah satu

ruang publik yang berbentuk koridor. Dimana jalan ini berujung di bundaran Simpang Lima dan

perempatan jalan. M.T. Haryono. Kawasan Simpang Lima Semarang dengan Lapangan Pancasila

di tengahnya merupakan ruang publik yang cukup penting bagi masyarakat kota Semarang.

Simpang Lima menjadi tempat berkumpulnya warga kota Semarang di waktu-waktu senggang.

Efent-efent cukup besar sering dilakukan di Lapangan Pancasila seperti pertunjukan musik terbuka,

upacara kenegaraan, kegiatan olah raga.

Di kawasan Simpang Lima di ujung jalan A. Yani, terletak bangunan dengan fungsi pusat

perbelanjaan, yaitu Simpang Lima Plasa. Di seberangnya terdapat pertokoan Simpang Lima. Kedua

bangunan ini menyediakan tempat parkir, selain di dalam bangunan juga di ruang terbuka publik.

Tempat parkir diruang terbuka kedua bangunan ini sering dipadati dengan kendaraan pengunjung

Simpang Lima. Sementara itu aktifitas komersil di kawasan Simpang Lima jalan A. Yani dan

mengundang pelaku-pelaku aktifitas di ruang publik yang memanfaatkan hilir mudik pejalan kaki,

yang merupakan pengunjung kawasan tersebut. Pengguna ruang publik tersebut antara lain

pedagang kaki lima, tukang becak, tukang parkir. Aktor pengguna ruang publik sebagian

memanfaatkan jalur pedestrian di kawasan Simpang Lima dan koridor jalan A. Yani untuk kegiatan

mereka. Berbagai masalah yang tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan pada peneliti.

Bagaimana pengaruh keberadaan kedua bangunan dengan aktifitas komersiil tersebut tersebut pada

penggunaan ruang publik dalam hal ini jalur pedestrian di jalan A. Yani. Apakah kondisi jalur

pedestrian yang ada telah mampu mengakomodasi atau memenuhi kebutuhan kenyamanan dan

visibilitas pejalan kaki untuk beraktifitas di ruang publik tersebut? Apakah pemanfaatan ruang

publik yang ada mempengaruhi berjalannya fungsi jalur pejalan kaki ?.

Page 464: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.4. Fungsi jalur pedestrian diantara dua bangunan … (Esti Y. Tisnaningtyas)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.20

Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang fungsi jalur pedestrian diantara dua pusat

perbelanjaan di jalan A. Yani. Kegiatan di ruang publik di koridor jalan A. Yani dan kawasan

Simpang Lima lebih banyak pada malam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

keberadaan dua bangunan komersiil terhadap pemanfaatan ruang publik, kondisi jalur pedestrian

pada malam hari, juga mengetahui pula pola perilaku pejalan kaki dalam memanfaatkan jalur

pedestrian tersebut. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang perancangan kota, khususnya penerapan jalur pedestrian yang memenuhi

atribut di lingkungan koridor jalan A. Yani dan kawasan Simpang Lima Semarang.

Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang menggali fenomena perilaku masyarakat.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenogis rasionalistik. Tujuannya adalah untuk

menggambarkan dan menjelaskan kompleksitas hubungan antara perilaku dengan lingkungan

dengan proses pengujian kebenaran tidak hanya diukur melalui indera tetapi juga melalui

pemaknaan hasil temuan. Untuk mengetahui pola perilaku pejalan kaki digunakan place centered

mapping, person centered mapping dan melakukan wawancara.

Ruang Publik Dan Pemanfaatannya

Ruang publik adalah ruang luar yang digunakan untuk kegiatan penduduk kota sehari-hari.

Ruang publik dapat diartikan sebagai ruang milik bersama yaitu tempat masyarakat melakukan

aktifitas fungsional dan ritual dalam suatu ikatan komunitas, baik dalam kehidupan rutin sehari-hari

maupun dalam perayaan berkala. Bentuk ruang publik di kawasan terbangun kota, dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu koridor dan lapangan kota (town square). Koridor merupakan

ruang publik berbentuk memanjang dengan deretan bangunan yang membatasinya. Ruang publik

berupa koridor bisa berbentuk sungai, jalur jalan. Sedangkan bentuk ruang publik lainnya adalah

berupa lapangan kota (town square).

Lapangan kota seringkali didisain sebagai titik simpul pembagi transportasi atau

merupakan titik persilangan dari beberapa jalur transportasi. Lapangan kota karena letaknya yang

stragegis mengundang pelaku-pelaku kegiatan komersiil untuk berkegiatan di sekitar kawasan

lapangan kota seperti pusat perbelanjaan, hotel, pusat perkantoran, perdagangan. Pengguna ruang

publik adalah semua orang yang memanfaatkan ruang publik baik untuk melakukan aktifitas

sehari-harinya dalam mencari nafkah maupun hanya sekedar lewat untuk menuju ke suatu tempat

antara lain pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor beroda dua, pengendara kendaraan

bermotor beroda empat, pedagang kaki lima, tukang beca, tukang parkir dan lainnya.

Istilah pejalan kaki atau pedestrian berasal dari bahasa Latin pedester-pedestris yaitu orang

yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata pedos bahasa Yunani yang

berarti kaki, sehingga pedestrian, dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan

kaki. Pedestrian juga diartikan sebagai pergerakan, atau sirkulasi, atau perpindahan orang atau

manusia, dari suatu tempat sebagai titik asal ke tempat lain sebagai tujuan dengan berjalan kaki

(Rubenstein, 1992). Jalur pejalan kaki juga dikenal sebagai jalur pedestrian antara lain jalan

setapak, trotoar dan jembatan penyeberangan. Pedestrian merupakan jalur pejalan kaki di luar

bangunan, bagian dari jalan berupa jalur yang terpisah khusus untuk pejalan kaki. Biasanya

terletak bersebelahan di tepi sepanjang jalan. Sirvani (1985) mengatakan bahwa jalur pejalan kaki

harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perancangan kota.

METODOLOGI PENELITIAN

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengkaji Fungsi Jalur Pedestrian di Kawasan

Simpang Lima Semarang pada Malam Hari Ditinjau dari Aspek Kenyaman dan Visibilitas

Penggunanya. Penelitian ini merupakan. penelitian terapan (applied research). Menurut Haryadi

(1995), tujuannya adalah untuk menjawab persoalan-persoalan praktis yang dihadapi masyarakat,

karena ingin memecahkan masalah sehari-hari. Penelitian aplikatif agar hasilnya dapat segera

dimanfaatkan untuk memecahkan problem-problem praktis di bidang perancangan arsitektur dan

perancangan kota. Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dan jenis yang akan ditinjau maka dipilih

penelitian kualitatif Tujuan utama penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman

menyeluruh tentang suatu fenomena yang diteliti dengan pendekatan yang menyeluruh. Karena

menyangkut fenomena perilaku masyarakat, maka keluasan cakupan dan kedalaman dalam

penelitian kualitatif sangat diutamakan.(Lexy Moeleong).

Page 465: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.21

Untuk penggalian data dilakuakan dengan menggunakan metode B. Sommer ( 1980),

tentang person centre map dan place centre map. Dalam metode ini digunakan untuk mengetahui

pergerakan pejalan kaki dan aktivitas pada periode tertentu dengan melihat satu tempat untuk

aktivitas. Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui perilaku pejalan kaki dalam dalam

suatu lingkungan tertentu. Pengamatan perilaku pejalan kaki dimaksudkan untuk mengetahui

pergerakan pejalan kaki, kecenderungan yang dilakukan pejalan kaki menyangkut pemilihan

tempat sirkulasi atau aktifitas, faktor yang terkait perilaku sirkulasi pejalan. Pemetaan perilaku

difokuskan pada pengamatan perilaku pejalan kaki di ruang publik di jalan A. Yani , diantara

bangunan Simpang Lima Plasa dan Pertokoan Simpang Lima. Setelah melakukan observasi awal,

pemilihan waktu survei dilakukan pada hari kerja, sabtu dan minggu Untuk penggalian persepsi

pengguna jalur pedestrian dilakukan dengan wawancara. Untuk analisis digunakan analisis ke

samaan isi (content analysis ) untuk mencari jawaban terhadap suatu kecenderungan.

Variabel penelitian antara lain variabel pengaruh, terpengaruh dan variabel kontrol. Ruang

publik sebagai variabel terpengaruh, perilaku pejalan kaki sebagai variabel terpengaruh, dan

atribute kenyamanan dan visibilitas sebagai variable kontrol. Atribut kenyamanan,Menurut

Uterman (1984) kenyamanan dipengaruhi oleh jarak tempuh. Faktor yang mempengaruhi jarak

tempuh adalah waktu yang berkaitan dengan maksud atau kepentingan pejalan kaki dan kenyaman

berjalan kaki dipengaruhi oleh cuaca dan jenis aktifitas. Menurut Weisman (1981) kenyamanan

adalah suatu keadaaan lingkungan yang memberi rasa yang sesuai kepada panca indera dan

anthropometry disertai fasilitas yang sesuai dengan kegiatannya. Visibilitas diartikan sebaga jarak

penglihatan dimana terlihat dengan jelas obyek yang diamati termasuk akses dan komponen setting

(Weisman, 1981). Selanjutnya Hesselgran (1975), mengatakan bahwa jarak penglihatan berkaitan

dengan jarak yang dirasakan secara dimensional atau geometris saja, tetapi juga menyangkut

persepsi visual dimana seseorang merasa ada tidaknya halangan untuk mencapai obyek tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Temuan Penelitian

1. Kondisi lingkungan

Kawasan Simpang Lima Semarang merupakan ruang publik yang cukup penting bagi

masyarakat kota Semarang. Simpang Lima menjadi tempat berkumpulnya warga kota Semarang di

waktu-waktu senggang. Efent-efent cukup besar sering dilakukan di Lapangan Pancasila seperti

pertunjukan musik terbuka, upacara kenegaraan, kegiatan olah raga. Di kawasan Simpang Lima di

ujung jalan A. Yani, terletak bangunan dengan fungsi pusat perbelanjaan, yaitu Simpang Lima

Plasa di sisi utara jalan. Simpang Lima Plasa merupakan bangunan pusat perbenajaan tujuh lantai.

Orientasi bangunan menghadap ke lapangan Pancasila. Fasilitas parkir kendaraan roda empat

berada di dalam gedung. Sedangkan kendaraan bermotor berada di halaman depan dan samping

bangunan. Di sisi selatan jalan A. Yani terdapat bangunan pertokoan Simpang Lima. Orientasi

bangunan menghadap ke lapangan Pancasila. Pertokoan simpang Lima merupakan kompleks

pertokoan dua lantai yang cukup luas. Fasilitas parkir terletak di halaman depan dan samping

bangunan. Jalur pedestrian di sisi utara jalan A. Yani 4 meter, sedangkan sisi selatan 1,5 meter.

Jalur pedetsrian di sisi utara dibangun dan desain menarik oleh pengelola bangunan Simpang Lima

Plasa. Penerangan pada malam hari selain diperoleh dari lampu jalan diperoleh dari lampu yang

lalu lalang di jalan A. Yani.

2. Tempat-tempat yang menjadi kekuatan

Berdasarkan place centered mapping, Dari pengamatan yang dilakukan tiga hari Senin,

Minggu dan Sabtu, diperoleh jumlah n yang tertinggi pada hari Sabtu. Tempat-tempat yang

menjadi kekuatan di koridor jalan AYani: dari n sejumlah 2006 pejalan kaki pada hari sabtu, 1).

Entrance menuju ke tempat parkir atau bangunan Pertokoan Simpang Lima, kepadatan pejalan kaki

11 %; 2). Entrance menuju ke tempat parkir atau bangunan pusat perbelanjaan Simpang Lima

Plasa, 31 %; 3). Tempat pemberhentian kendaraan umum, 12 %; 4). Jalur pedestrian dengan lebar

jalur 4 meter, dengan perkerasan lantai keramik. sebanyak 7 %; 5). Badan jalan Jalan A. Yani 26

%.

3. Perlaku pengguna ruang publik

Berdasarkan place centered mapping, aktor yang pengguna ruang publik adalah: 1).

Pejalan kaki: berjalan menyusuri jalan, duduk-duduk di atas pagar pembatas selokan yang dan

Page 466: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.4. Fungsi jalur pedestrian diantara dua bangunan … (Esti Y. Tisnaningtyas)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.22

berdiri di jalur pedestrian menunggu kendaraan umum, menyeberang, berjalan satu-satu diantara

pedagang kaki lima, menyusuri jalur pedestrian, berdiri melihat-lihat barang dagangan yang

ditawarkan oleh pedagang kaki lima yang berjualan diatas jalur pedestrian; 2). Pedagang kaki lima

: berjualan di atas jalur pedestrian, berjualan cinderamata, berjualan makanan dan minuman; 3).

Tukang beca; 4). Sopir angkota atau kendaraan umum,

Berdasar person centered mapping perilaku pejalan kaki di jalan A. Yani antara lain

berjalan menyeberang, berhenti, berbelok menghindari beca atau angkota, berjalan memiringkan

badan, berjalan satu-satu diantara pedagang kaki lima yang berjualan diatas trotoar, berdiri

menunggu angkota, melihat-lihat dan menawar dagangan. Karakteristik perjalanan di jalan A. Yani

antara lain berjalan hendak menuju ke bangunan Simpang Lima Plasa dan pertokoan Simpang

Lima, santai, membeli makanan dan minuman, menuju ke kawasan lain di sekitar Simpang Lima,

menuju ke Lapangan Pancasila.

Sirkulasi pejalan kaki, berdasarkan person centered mapping, arah pergerakan pejalan kaki, di

koridor jalan A. Yani adalah :

a. Dari tempat parkir pertokoan Simpang Lima - menyeberang jalan A.Yani - melintas jalur

pedestrian-menyeberang tempat parkir-menuju bangunan pusat perbelanjaan Simpang Lima

Plasa

b. Turun dari angkutan umum – menyeberang jalan A. Yani – menyeberang jalur pedestrian-

menyeberang tempat parkir- menuju bangunan pusat perbelanjaan Simpang Lima plasa.

c. Keluar dari bangunan Simpang Lima Plasa-menyeberang tempat parkir-menyusuri jalur

pedestrian-membeli makanan dan minuman di pedagang kaki lima yang berjualan diatas jalur

pederstrian-menyusuri jalur pedestrian - menyeberang tempat parkir-menuju bangunan Simpang

Lima Plasa

d. Turun dari angkutan umum - berjalan menyusuri jalan A. Yani - menyeberang jalan Simpang

Lima menuju ke Lapangan Pancasila

4. Hasil wawancara dengan pejalan kaki

Dari hasil wawancara diperoleh kecenderungan kegiatan antara lain : berjalan memilih

jalur yang rata, tidak berlobang, tidak naik turun, tidak gelap, tidak becek, tidak bersenggolan,

berjalan satu-satu diantara pedagang kaki lima, berjalan untuk santai, berdiri dan duduk menunggu

angkota. Sedangkan motivasi berkunjung ke Simpang Lima yaitu bersantai, rekreasi dan

berbelanja.

5. Jalur pedestrian ditinjau dari aspek kenyamanan

Jalur pedestrian jalan A. Yani sisi utara mempunyai lebar 4 m sedangkan sisi selatan 2

meter. Sebagian dari jalur pedestrian di pakai pedagang kaki lima. Hanya tersisa ruang selebar 1

meter saja di antara pedagang kaki lima. Kepadatan pejalan kaki yang bergerak dari jalan melintas

jalur pedestrian menuju ke Matahari pada hari Sabtu mencapai 623 orang per jam. Jalur pedestrian

ditempat pedagang kaki lima dan steet furnitre, kondisi jalur pedestrian ini embuat pejalan kaki

yang menyusuri jalur pedestrian harus berbelok-belok. Hal ini menunjukkan adanya tuntutan

artibute kenyamanan.

6. Jalur Pedestrian Ditinjau dari Aspek Visibilitas

Visibilitas di kawasan Simpang Lima adalah visibilitas terhadap obyek yang terkait dengan

kegiatan rekreasi, berjalan santai, berbelanja. Jarak jalur pedestrian dengan bangunan Simpang

Lima Plasa dan bangunan pertokoan Simpang Lima Plasa sejauh 8 meter. Tanda-tanda bangunan

tidak dapat dilihat, baik ke arah Simpang Lima Plasa dan bangunan pertokoan Simpang Lima.

Halangan tersebut adalah karena adanya pagar pembatas halaman dan pedagang kaki lima yang

menempati jalur pedestrian. Visibilitas diperoleh pejalan kaki saat mengamati barang dagangan

yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima. Jalur pedestrian terletak di tepi jalan raya memudahkan

pejalan kaki melihat ke arah sirkulasi lalu lintas pada malam hari, keindahan bangunan di seberang

pada malam hari.

Analisa

1. Pemanfaatan Ruang Publik

Bentuk ruang publik di area penelitian di jalan A.Yani berbentuk koridor jalan, jalur

pedestrian, tempat parkir milik lahan atau bangunan di kanan kiri jalan A. Yani. Sesuai dengan

fungsinya ruang publikdipakai sesuai dengan peruntukannya yaitu menunjang aktifitas sehari-hari.

Namun ruang publik berupa jalur pedestrian di area penelitian dimanfaatkan oleh berbagai aktor

Page 467: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.23

pengguna ruang publik. Aktor tersebut antara lain pejalan kaki, pedagang kaki lima, tukang beca,

tukang parkir, kondektur angkutan kota. Sehingga karena adanya pemanfaatan jalur pedestrian oleh

aktor pengguna ruang publik lainnya, maka fungsi jalur pedestrian sebagai media untuk pergerakan

atau sirkulasi pejalan kaki sudah tidak maksimal.

2. Perilaku pejalan kaki :

Perilaku pejalan kaki berdasarkan waktu aktifitas, jumlah pejalan kaki tertinggi pada hari

Sabtu yaitu sekitar 557 orang perjam. Hal ini dapat di mengertibahwa hari Sabtu merupakan hari

libur. Berdasarkan waktu pengamatan, jam 19.00-20.00 merupakan waktu luang dimana orang

sudah tidak bekerja. Dikaitkan dengan motivasi datang ke Simpang Lima, mayoritas berkunjung ke

Simpang Lima adalah bertujuan untuk rekreasi (sebanyak 48 % dari 60 responden), dan dengan

tujuan santai sebanyak 24 %.

Perilaku pejalankaki berdasarkan tempat tujuan, jalan A. Yani, merupakan salah satu jalan

terdekat menuju ke Simpang Lima Plasa, pertokoan Simpang Lima dan ke Citraland. Ketiganya

merupakan bangunan dengan berbagai macam kegiatan yang ditawarkan, baik perbelanjaan,

pameran, bioskop dan sebagainya. Rubeintein (1992), kegiatan campuran akan menarik perjalanan

kaki dalam jumlah yang besar pula. Kegiatan terebut menjadi daya tarik pejalan kaki untuk

melihat-lihat dan bersantai (induce response) (Simon, 1961) dan (pull factor). Waktu luang setelah

bekerja merupakan waktu yang tepat karena tidak tergesa-gesa dan tersedia waktu yang cukup. Dua

bangunan pusat perbelanjaan yang berdekatan menjadi magnet yang menawarkan alternatif di

dalam belanja. Apabila si bangunan yang satu barang tidak diproleh maka bisa mencari alternatif di

bangunan pusat perbelanjaan yang ada di dekatnya.

Perilaku pejalan kaki berdasarkan pemanfaatan media aktifitas, Pejalan kaki di sisi utara

jalan A. Yani sebagian besar memanfaatkan jalur pedestrian sebagai wadah untuk melintas dalam

bergerak menuju ke tempat parkir dan bangunan Simpang Lima Plasa, sedangkan sisi selatan untuk

menuju ke tempat parkir dan bangunan Pertokoan Simpang Lima. Kondisi lingkungan yang jelek,

tidak adanya kelengkapan jalur pedestrian di jalan A.Yani, baik sisi utara maupun sisi selatan

membuat berjalan kaki menjadi tidak nyaman. Pejalan kaki cenderung berjalan ingin cepat sampai

dan hanya sekedar lewat. Pejalan kaki mendapat faktor penolakan (repelling factor) akibat kondisi

jalur pedestrian yang jelek. Pejalan kaki memanfaatkan jalur pedestrian hanya untuk lintasan

menuju ke bangunan pusat perbelanjaan. Calhoun (1995), mengatakan lingkungan dapat

menghalangi perilaku. Jalur pedestrian sisi selatan tidak dilalui (repelling factor) (Simon 1961),

sehingga menghalangi perilaku pejalan kaki di jalur pedestrian dan memilih berjalan di tepi jalan.

Perilaku pejalan kaki berdasarkan rute perjalanan, Pengamatan pejalan kaki yang

melewati area ini menghasilkan rute pejalan kaki yang menunjukkan rata-rata pejalan kaki

melewati area ini untuk menuju ke Matahari dan Citraland. Dikaitkan dengan adanya tempat parkir

di Pertokoan Simpang Lima dan Simpang Lima Plasa, serta tempat pemberhentian kendaraan

umum, ketiga tempat tersebut merupakan tempat asal pergerakan pejalan kaki (origin) dan titik

konsentrasi pejalan kaki yang akan melanjutkan perjalannnya (secondary node) (Rubenstein 1994).

Bagi pejalan kaki yang membawa kendaraan bermotor yang akan berkunjung ke Lapangan

Pancasila, pertokoan Simpang Lima dan Simpang Lima Plasa menyediakan sarana tempat parkir

untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Tempat parkir bangunan Pertokoan Simpang Lima dan

Simpang Lima Plasa, merupakan tempat terdekat menuju ke lapangan Pancasila, Simpang Lima

Plasa dan Citraland ke kawasan lain di jalan K.H. Dahlan. Tempat parkir di bangunan pertokoan

Simpang Lima menjadi alternatif pilihan bagi pengunjung bangunan Simpang Lima Simpang Lima

Plasa, apabila tempat parkir yang ada sudah penuh, demikian pula sebaliknya. Keadaan ini akan

terjadi apabila masing-masing bangunan pusat perbelanjaan tidak menyediakan fasilitas parkir

dengan daya tampung sesuai dengan kebutuhan. Melihat kondisi di lapangan dimana parkir sudah

meluber sampai ke badan jalan dan jalur lambat, hal tersebut mengindikasikan bahwa daya

tampung parkir kendaraan bermotor kedua bangunan komersiil tersebut kurang.

Perilaku pejalan kaki berbelanja di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima menyediakan

kebutuhan makanan dan minuman saat haus. Menurut Maslow (1954) dan Uterman (1984)

kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan fisioligis, yaitu lapar dan haus. Adanya pedagang kaki

lima memenuhi kebutuhan tersebut bagi pejalan kaki lima. Tujuan ke simpang Lima sebaian besar

untuk berekreasi dan bersantai. Sehingga peluang ini dimanfaatkan pedagang kaki lima untuk

menawarkan barang-barang berupa souvenir untuk oleh-oleh.

Page 468: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

G.4. Fungsi jalur pedestrian diantara dua bangunan … (Esti Y. Tisnaningtyas)

ISBN 978-602-99334-1-3

G.24

3. Jalur pedestrian ditinjau dari atribut kenyamanan

Kondisi fisik jalur pedestrian di kawasan Simpang Lima belum memberikan kenyamanan

dan visibilitas bagi pejalan kaki. Hal ini disebabkan jalur pejalan kaki belum berfungsi dengan baik

untuk mendukung berjalannya aktifitas pejalan kaki. Bila dilihat terhadap tata letak jalur pedestrian

jalan A. Yani terhadap pencapaian menuju ke bangunan, antara jalur pedestrian di jalan A. Yani

sisi selatan maupun sisi utara dengan bangunan Pertokoan Simpang Lima atau bangunan Simpang

Lima Plasa terdapat tempat parkir. Letak jalur pedestrian demikian mengkondisikan untuk menuju

bangunan dari jalur pedestrian, pejalan kaki harus melintasi tempat parkir terlebih dulu. Tidak ada

jalur khusus untuk pejalan kaki dari trotoar menuju ke pintu masuk bangunan.

Pejalan kaki mendapati adanya faktor penolakan (repelling factor) karena adanya

ketidaknyamanan, Namun walaupun ada hambatan, pejalan kaki tetap berjalan melalui tempat

parkir menuju ke bangunan. Faktor pendorong (impelling factor), mendorong pejalan kaki bergerak

menuju ke tempat yang dibutuhkan, atau menuju ke sasaran. (Simon, 1961).

Jalur pedestrian di jalan A. Yani sisi selatan,maupun utara sebagian digunakan untuk

penempatan street furniture dan pohon untuk penghijauan dan pedagang kaki lima. Dengan adanya

pohon dan street furnitre di jalur pedestrian, lebar jalur untuk pejalalan kaki menjadi berkurang.

4. Jalur pedestrian ditinjau dari atribute visibilitas

Visibilitas kearah bangunan perlu diamati karena motivasi berjalan santai, rekreasi,

membutuhkan, pemandangan yang terkait dengan kegiatan rekreasi, bersantai, berbelanja. Antara

jalur pedestrian dengan bangunan terdapat pagar terdapat pedagang kaki lima, pagar pembatas

halaman, dan parkir. Jarak dari jalur pedestrian ke bangunan rata-rata 10 m. Jarak 10 meter tersebut

merupakan jarak untuk memahami ekspresi sesorang (Spreinegen, 1965). Untuk mengenali

entrance atau pintu masuk, jarak tersebut memenuhi visibilitas. Tetapi untuk melihat obyek yang

lebih detail diperlukan jarak 3,1 meter.

Menurut Uterman (1984) dan Rubeinstein (1992), jalur pejalan kaki akan mengundang

apabila daya tarik antara lain berupa pandangan yang menarik. Pada malam hari di Simpang Lima,

pemandangan yang menarik adalah keramaian lalu lintas yang selalu bergerak pada malam hari,

bangunan, lampu warna-warni. Obyek tersebut dapat ditangkap dengan jelas dari tepi jalan raya

tanpa ada hambatan. Dengan demikian, berjalan-jalan di jalur pedestrian tidak membosankan

karena ada pemandangan yang selalu berganti-ganti.

Di jalur pedestrian sisi utara terdapat pedagang kaki lima. Letak pedagang kaki lima

memungkinkan pejalan keki berjalan diantara pedagang kaki lima. Jarak yang terdekat 1 meter dari

obyek yang dapat dilihat yaitu barang dagangan yang ditawarkan pedagang kaki lima. Jarak 1

meter, pejalan kaki dapat melihat dengan detail barang yang ditawarkan (Spreinegen, 1995).

Adanya PKL di jalur pedestrian memenuhi atribute visibilitas.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Kesimpulan penelitian mengenai fungsi jalur pedestrian di antara dua bangunan pusat

perbelanjaan di Koridor Jalan A. Yani, dengan pendekatan perilaku pejalan kaki adalah motivasi

utama pejalan kaki berjalan-jalan di kawasan Simpang Lima Semarang pada malam hari adalah

berekreasi, berbelanja dan bersantai. Motivasi utama pejalan kaki terkait dengan kawasan Simpang

Lima sebagai node Kota Semarang yang menjadi daya tarik bagi aktifitas komeersil dan tempat

berkumpulnya masyarakat kota Semarang. Pejalan kaki di koridor jalan A. Yani lebih banyak

menggunakan jalur pedestrian hanya untuk melintas dari tempat parkir atau tempat penurunan

penumpang kendaraan umum menuju ke bangunan pusat perbelanjaan atau sebaliknya. Dua

bangunan pusat perbelanjaan yang berdekatan menjadi asal dan tujuan sirkulasi pejalan kaki terkait

dengan kesamaan fungsi bangunan yang menawarkan alternatif di dalam berbelanja Daya tarik

Simpang Lima juga mengundang pengguna ruang publik lainnya untuk beraktifitas di jalur

pedestrian seperti pedagang kaki lima. Di satu sisi menawarkan kebutuhan pejalan kaki dan

alternatif pemandangan yang menarik, namun di sisi lain menimbulkan ketidak nyamanan karena

sudah mengurangi kapasitas jalur pedestrian. Dari kondisiyang ada disimpulkan bahwa jalur

pedestrian belum memenuhi aspek kenyamanan dan visibilitas pejalan kaki.

Page 469: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang G.25

Rekomendasi

Rekomendasi ini ditujukan kepada Pemerintah Daerah , Perencana dan Perancang Kota

dan dorongan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna pengembangan ilmu perilaku dalam

arsitektur dan penataan ruang publik.

Bagi Perencana dan Perancang Kota, perancangan bangunan atau perancangan ruang

publik publik perlu memperhatikan fungsi-fungsi ruang publik yang lain. Antara lain fungsi

kawasan rekreasi terkait dengan waktu berlangsungnya aktifitas pada malam hari. Fungsi tersebut

antara lain sebagai kawasan rekreasi. Perlu memperhatikan munculnya pengguna ruang publik

lainnya di jalur pedestrian selain pejalan kaki. Perancangan bangunan pusat perbelanjaan juga

memperhatikan kapasitas dan tata letak parkir.

Rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kota Semarang, diharapkan penentu kebijakan

dapat membuat peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur pemanfaatan ruang publik

yang tidak sesuai dengan peruntukan atau fungsi ruang publik. Mengatur penataan pedagang kaki

lima sebagai salah satu daya tarik ruang publik agar tidak menganggu fungsi jalur pedestrian bagi

aktifitas pejalan kaki. Penyediaan fasilitas parkir terutama untuk bangunan pusat perbelanjaan atau

bangunan komersiil lainnya baik dalam proses perancangan maupun pada saat operasional

memperhatikan kapasitas pelayanan dan tata letak fasilitas parkir.

Untuk para peneliti, perlu dilakukan penelitian berjalannya fungsi ruang publik yang sama

namun ditinjau dengan pendekatan mental mapping pejalan kaki. Perlu pula dilakukan penelitian

tentang pengguna ruang publik lainnya dalam hal ini kaitan antara pedagang kaki lima dengan

properti jalur pedestrian yang ada, tuntutan dan atribute pedagang kaki lima.

DAFTAR PUSTAKA

1. Altman, Irwin, 1980. Culture & Environment, Cambridge University Press, California,

2. Brambilla, 1977. For Pendestrian Only. Planning, Design and Management of Traffic Free

Zone.v, Whitney Library of Design, New York.

3. Lynch, Kevin, 1962. The Image of /The City The HI.T.Press Massachusette.

4. Mougtin,Cliff, 1992. Urban Design Street and Square, An Imprit of Butterwort -Heinemann

Ltd Lincare House,

5. Rapopport, Amos, 1997. Human Aspects of Urban Form, Towards a Man Environment

Approach to Urban (Form and Design), Perhamon Press, First Edition,

6. Rustam Hakim, 1987, Unsur Perancangan Dalam Arsitektur Lansekap , Bina Aksara, Jakarta.

7. Setiawan, Hariadi B, 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

8. Simons, John Crown, 1961. Lanscape Architecture, The Shaping of man's Environment, Fw.

Dodge Coorporation, New York.

9. Sirvani, Hamid, 1985. The Urban Design Process, Element of Urban Phsyical Form, van

Nostrand Reinhold Company, New York.

10. Unterman, Richard, 1984, The Pendestrian and The Bysic!ist.

11. Weisman, J, 1981. Modeling Environment Behavior System, Journal of Man Environmental

Relation,

Page 470: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang H.1

EFEKTIFITAS ANTIBIOTIK HERBAL DAN SINTETIK

PADA PAKAN AYAM BROILER TERHADAP PERFORMANCE,

KADAR LEMAK ABDOMINAL DAN KADAR KOLESTEROL DARAH

Winny Swastike Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas dan potensi kunyit dan temulawak sebagai

antibiotic herbal dibanding antibiotic sintetik yang sering digunakan dalam pakan ternak

ayam broiler. Sebanyak 100 ekor day old chicken (DOC) ayam broiler digunakan dalam

penelitian ini, yang dibagi secara acak ke dalam 5 perlakuan pakan dengan 4 ulangan.

Masing-masing ulangan terdiri dari terdiri dari 5 ekor ayam broiler. Perlakuan pakan yang

diberikan meliputi P0= ransum basal (kontrol), P1= ransum basal + 0,05 oxcytetracycline,

P2= ransum basal + penambahan tepung kunyit 1% + tepung temulawak 1%, P3= ransum

basal + penambahan tepung kunyit 2% + tepung temulawak 2%, dan P4= ransum basal +

penambahan tepung kunyit 3% + tepung temulawak 3%. Peubah yang diamati meliputi

konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, lemak abdominal dan kolesteril darah.

Penelitian dilaksanakan secara eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

pola searah, apabila hasil menunjukkan adanya pengaruh dilanjutkan dengan uji Duncan’s.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kunyit dan temulawak dalam ransum sangat

nyata (P<0,01) menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, lemak abdominal

dan kolesterol darah. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah semakin tinggi

penambahan tepung kunyit dan tepung temulawak maka akan menurunkan konsumsi pakan,

pertambahan bobot badan, kadar kolesterol darah dan lemak abdominal pada ayam broiler.

Kata kunci: tepung kunyit, tepung temulawak, performan, lemak abdominal dan kolesterol

darah.

PENDAHULUAN

Permasalahan dalam industri broiler di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan

yang harus segera diatasi agar Indonedia mampu menyediakan daging dalam jumlah yang cukup

dengan kualitas yang baik dan menguntungkan produsen tanpa merugikan konsumen.

Permasalahan yang dihadapi adalah pertama rendahnya efisien produksi broiler, yang disebabkan

oleh tingginya harga pakan broiler, sehingga sering dilakukannya upaya untuk meningkatkan

efisiensi penggunaan pakan dengan pemberian pakan lemak tinggi dan meningkatkan feed

convertion rate (FCR) dengan memaksimalkan penyerapan pakan oleh organ pencernaan. Masalah

kedua adalah tuntutan konsumen yang menghendaki daging broiler yang rendah lemak seperti

kolesterol, tetapi tinggi protein, dan bebas mikrobia patogen serta bebas antibiotika. Wuryaningsih

(2005) dan Rahmianna (2006) menyatakan bahwa isu keamanan pangan asal ternak yang

meresahkan masyarakat antara lain cemaran mikroba pathogen dan residu antibiotik dalam daging

sebagai efek samping dari pemberian antibiotik dalam pakan yang berfungsi sebagai antibiotik

growth promoter (AGP).

Pemeliharaan broiler dengan menggunakan antibiotik dalam campuran pakan dapat

menyebabkan residu dalam daging ayam. Hal tersebut disebabkan antibiotik yang diberikan tidak

disekresikan dengan sempurna sehingga masih terdapat residu yang disimapan dalam daging

broiler. Antibiotik yang sering dicampur ke dalam pakan adalah Bacitracin, kuramicin, higromicin,

kolistin, kiamisin, spiramisin, tiamulin, virginiamisin, aviamisin ,flavomisin dan tetrasiklin

(Direktorat Jenderal Peternakan, 1991).

Beberapa efek yang mungkin timbul pada manusia akibat residu antibiotik, antara lain

alergi, menyebabkan gangguan kulit, kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan

sakit perut serta urtikaria dan hipotensi. Hal tersebut menyebabkan munculnya problem kesehatan

baru bagi manusia juga menyebabkan keresahan terhadap pengkonsumsian produk daging ayam.

Bukan hanya problem kadar kolesterol yang tinggi dalam kandungan daging ayam tetapi juga akan

Page 471: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

H.1. Efektifitas antibiotik herbal dan sintetik … (Winny Swastike)

ISBN 978-602-99334-1-3

H.2

timbul problem jika manusia mengkonsumsi daging ayam yang mengandung residu antibiotik.

Oleh karena itu, dewasa ini masyarakat terutama di negara Eropa, mulai menghindari penggunaan

antibiotika sebagai imbuhan pakan.

Salah satu bahan yang banyak diteliti sebagai pengganti antibiotika adalah bioaktif yang

terdapat dalam tanaman berkhasiat. Tanaman berkhasiat mengandung zat aktif seperti alkaloid,

“bitters”, flavonoids, glikosida, saponin, terpenoid dan tanin yang dapat meningkatkan kesehatan

atau menyembuhkan penyakit (Sreenivas, 1999). Sebagian dari zat aktif di dalam tanaman sudah

diteliti berikut fungsinya (Direkbusarakom, et al., 1998; Taylor dan Towers, 1998; Kamel, 2000;

Wenk, 2003).

Di Indonesia, penggunaan tanaman berkhasiat yang diramu menjadi jamu atau ramuan

tradisional untuk pencegahan penyakit dan pengobatan secara tradisional sudah lama diterapkan

pada manusia. Pemanfaatan jamu pada ternak di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa

tanaman berkhasiat yang sudah diteliti penggunaannya untuk ternak diantaranya adalah: lidah

buaya atau Aloe vera, mengkudu atau Bancudus latifolia, bawang putih, jinten atau black cumin.

Berbagai macam tanaman berkhasiat yang banyak digunakan pada manusia, kunyit dan temulawak

sangat potensil digunakan sebagai imbuhan pakan pengganti antibiotika pada unggas.

Kunyit mengandung zat aktif ’kurkumin’ yang dapat berfungsi sebagai antibakteri.

Sedangkan temulawak mengandung zat aktif ’xanthorrhizol’ yang dapat menghambat pertumbuhan

jamur. Penelitian tentang penggunaan temulawak sebagai imbuhan pakan unggas belum banyak

diteliti. Rukayadi dan Hwang (2006) melaporkan bahwa efektifitas xanthorrhizol yang diisolasi

dari temulawak sama khasiatnya dengan anti jamur komersil amphotericin B. Penggunaan kedua

bahan ini sebagai imbuhan pakan diharapkan dapat menggantikan fungsi antibiotika dalam

meningkatkan produktifitas ternak unggas dan efisiensi penggunaan pakan. Pengurangan

penggunaan antibiotika ini akan memberikan sumbangan berupa terciptanya produk ASUH (Aman,

Sehat Utuh dan Halal) juga akan meningkatan kualitas produk daging dan kesehatan konsumen.

Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk menguji efektifitas dan potensi kunyit dan

temulawak sebagai Feed Additive herbal sebagai upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dan

residu antibiotika dalam daging ayam broiler demi terwujudnya keamanan pangan bagi konsumsi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menguji efektifitas dan potensi kunyit dan

temulawak sebagai Feed Additive herbal terhadap performance, lemak abdominal dan kolesterol

darah ayam. Manfaat penelitian ini adalah berrtambahnya antusiasme untuk meneliti lebih

lanjut potensi tamanan herbal lain yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Day Old Chick (DOC) ayam broiler

jantan strain New Lohmann (MB 202) sebanyak 100 ekor, dari PT Multi Breeder Adirama

Indonesia Tbk. Rerata bobot badan awal perlakuan adalah 319,32 ± 37,86 g.

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang ditambahkan

tepung kunyit dan tepung temulawak sesuai dengan perlakuan pada tebel 2 dan table 3. Ransum

basal yang digunakan terdiri dari jagung kuning, bungkil kedelai, MBM (Meat Bone Meal), minyak

sawit, dicalcium phospat, garam, dan grit.

Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

pola searah, dengan perlakuan (P0, P1, P2, P3, dan P4), masing-masing perlakuan diulang 4 kali

dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler. Adapun perlakuannya sebagai berikut: P0 :

Ransum basal (kontrol); P1 : P0 + 0,05 Oxcytetracyclin; P2 : Ransum+ tepung kunyit 1% + tepung

temulawak 1%; P3 : Ransum+ tepung kunyit 2% + tepung temulawak 2%; P4 : Ransum+ tepung

kunyit 3% + tepung temulawak 3%. Peubah Penelitian yang diamati adalah Konsumsi Ransum,

Pertambahan Bobot Badan Harian, Lemak Abdominal dan Kolesterol darah.

Berikut ini merupakan kebutuhan nutrient ayam broiler.

Page 472: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang H.3

Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Ayam Broiler

No Nutrien Starter (1-21 hari) Finisher (22-42 hari)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Energi Metabolis (Kkal/kg)

Protein Kasar (%)

Serat Kasar (%)

Lemak (%)

Ca (%)

P tersedia (%)

Lisin (%)

Metionin (%)

3200

23,00

4,00

6,00

1,00

0,45

1,10

0,50

3200

20,00

5,00

6,00

0,90

0,35

1,00

0,38

Sumber : NRC (1994).

Tabel 2. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Fase Starter

No Bahan Pakan %

P0 P1 P2 P3 P4

1. Jagung kuning 62,80 62,80 60,80 57,60 55,70

2. Bungkil kedelai 29,00 29,00 29,00 29,40 29,30

3. MBM 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00

4. Minyak sawit 1,00 1,00 1,00 2,00 2,00

5. Dicalcium phospat 2,00 2,00 2,00 1,80 1,80

6. Garam 0,20 0,15 0,20 0,20 0.20

7. Oxcytetracycline 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00

8. Tepung kunyit 0 0 1 2 3

9. Tepung temulawak 0 0 1 2 3

Total 100 100 100 100 100

Kandungan Nutrien

1. ME (Kcal/Kg) 3296,04 3296,04 3220,76 3200,33 3126,31

2. Protein kasar (%) 22,94 22,94 22,93 22,99 22,93

3. Kalsium (%) 1,10 1,10 1.10 1.06 1.06

4. Fosfor (%) 0,81 0,81 0,81 0,77 0,77

Tabel 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Fase Finisher

No Bahan Pakan %

P0 P1 P2 P3 P4

1. Jagung kuning 70,05 70,05 68,03 65,98 63,96

2. Bungkil kedelai 21,45 21,45 21,47 21,52 21,54

3. MBM 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00

4. Minyak sawit 0,00 0,00 0,00 0,70 1,30

5. Dicalcium phospat 3,00 3,00 3,00 2,60 2,00

6. Garam 0,25 0,25 0,25 0,20 0,20

7. Grit 0,25 0,20 0,25 0,00 0,00

8 Oxcytetracycline 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00

9. Tepung kunyit 0 0 1 2 3

10. Tepung temulawak 0 0 1 2 3

Total 100 100 100 100 100

Kandungan Nutrien

1. ME (Kcal/Kg) 3289,76 3289,76 3214,23 3201,32 3179,78

2. Protein kasar (%) 19,96 19,96 19,95 19,96 19,95

3. Kalsium (%) 1,30 1,30 1,30 1,21 1,08

4. Fosfor 0,98 0,98 0,98 0,90 0,79

Sumber: hasil perhitungan tabel 2

Page 473: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

H.1. Efektifitas antibiotik herbal dan sintetik … (Winny Swastike)

ISBN 978-602-99334-1-3

H.4

Cara Analisis Data Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis variansi

berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah untuk mengetahui adanya pengaruh

perlakuan terhadap peubah yang diamati. Apabila hasil analisis data ditemukan adanya pengaruh

maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple range Test/DMRT)

untuk mengetahui perbedaan antara 5 perlakuan (Yitnosumarno, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum

Rerata konsumsi ransum selama penelitian tercantum pada tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi ransum (gram/hari).

Perlakuan Ulangan

Rerata 1 2 3 4

P0 119,34 138,60 131,39 133,56 130,72A

P1 143,90 132,15 139,94 138,28 138,57A

P2 125,41 123,95 127,75 130,62 126,93A

P3 123,91 108,03 97,36 113,45 110,69B

P4 76,76 87,08 94,01 84,26 85,53C

Keterangan: Berbeda sangat nyata (P<0,01)

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan kunyit dan temulawak dalam

ransum terjadi penurunan konsumsi sangat nyata (P<0.01). Penurunan konsumsi ransum

kemungkinan disebabkan oleh penurunan palatabilitas ransum dengan adanya penambahan kunyit

dan temulawak. Penurunan palatabilitas ransum pada penelitian ini disebabkan oleh rasa pahit dan

bau yang menyengat dari kunyit dan temulawak (Rukmana, 1995), sehingga ayam kurang suka

untuk mengkonsumsinya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Solichedi (2001) bahwa penambahan

temulawak sampai taraf 9% nyata menurunkan konsumsi ransum. Hal ini diperkuat dengan

penelitian Hendrawati (1999) bahwa pemberian kunyit sebesar 4% dapat menurunkan konsumsi

ransum secara nyata (P<0.05).Selain itu, pada penelitian (Susanti, 2002) menunjukkan bahwa

ransum komersial dengan penambahan 4% kunyit dan 6% temulawak maupun kombinasi antara

keduanya menunjukkan perbedaan yang nyata menurunkan konsumsi ransum dan kecernaan

lemaknya.

Rerata pertambahan bobot badan (PBBH) dari ayam broiler jantan dapat dilihat pada tabel

5.

Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan (PBBH) (gram/hari).

Perlakuan Ulangan

Rerata 1 2 3 4

P0 63,19 64,38 67,81 61,29 64,17A

P1 61,24 65,19 64,19 71,00 65,41A

P2 55,14 53,81 59,76 53,33 55,51B

P3 49,57 50,62 41,00 46,71 46,98C

P4 27,71 27,00 28,86 28,81 28,10D

Keterangan: Berbeda sangat nyata (P<0,01)

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan kunyit dan temulawak dalam

ransum terjadi penurunan bobot badan sangat nyata (P<0.01). Hasil ini menunjukkan bahwa

peningkatan taraf kunyit dan temulawak akan menurunkan PBB.

Semakin tinggi penambahan kunyit dan temulawak dalam ransum semakin rendah

pertumbuhan berat badan ayam. Hal ini disebabkan oleh penurunan palatabilitas dan konsumsi

ransum dengan peningkatan taraf penambahan kunyit dan temulawak dalam ransum. Diketahui

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi bobot badan antara lain adalah konsumsi ransum baik

secara kualitas maupun kuantitas (Suprijatna dkk, 2005).

Page 474: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang H.5

Penelitian ini sesuai dengan Hendrawati (1999) bahwa penambahan 9% temulawak

menurunkan pertambahan bobot badan yang nyata. Ayam yang mendapat tambahan 0% temulawak

mempunyai pertambahan bobot badan paling besar dibanding dengan perlakuan lainnya, dan

diikuti dengan ayam yang mendapat perlakuan 3% dan 6% temulawak. Hasil ini sependapat dengan

penelitian Solichedi (2001) bahwa mulai pemberian kunyit 2% pada umur 35 hari dan 42 hari

terjadi penurunan bobot badan secara nyata (P<0,05), sedangkan pada umur 49 hari mulai

pemberian kunyit 4% baru menunjukkan penurunan secara nyata (P<0,05).

Perbedaan tersebut disebabkan karena palatabilitas ayam broiler terhadap jenis perlakuan.

Seiring dengan meningkatnya level pemberian feed additive herbal (tepung Kunyit dan tepung

Temulawak). Palatabilitas terhadap pakan menurun disebabkan oleh timbulnya sensasi rasa pahit

dan bau yang ditimbulkan pada pakan perlakuan seiring dengan meningkatnya level pemberian

tepung Kunyit dan tepung Temulawak.

Perlakuan P2, P3 dan P4 berangsur-angsur menurun seiring dengan meningkatnya

level pemberian tepung Kunyit dan tepung Temulawak. Walaupun di dalam tepung kunyit dan

tepung temulawak terdapat senyawa kurkumin yang dapat meningkatkan nafsu makan tetapi hal

tersebut tidak menyebabkan meningkatnya konsumsi

Tabel 6. Berat Lemak abdominal dan Kadar Kolesterol Darah ayam broiler**

Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

Lemak Abdom (g/e) 23 29,75 19 15 7,25

Kolesterol 108,8 158,8 152,9 138,2 129,4

** signifikan pada taraf 0,01

Data rerata bobot badan ayam broiler akibat pemberian feed additive disajikan dalam table

2. Selama penelitian umur 1 sd 35 hari ayam yang diberikan pakan perlakuan menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan yang sangat nyata pada taraf 0,01% antar perlakuan baik pada rerata konsumsi

pakan.

Perbedaan tersebut disebabkan karena palatabilitas ayam broiler terhadap jenis perlakuan.

Seiring dengan meningkatnya level pemberian feed additive herbal (tepung Kunyit dan tepung

Temulawak). Palatabilitas terhadap pakan menurun disebabkan oleh timbulnya sensasi rasa pahit

dan bau yang ditimbulkan pada pakan perlakuan seiring dengan meningkatnya level pemberian

tepung Kunyit dan tepung Temulawak.

Perlakuan P2, P3 dan P4 berangsur-angsur menurun seiring dengan meningkatnya level

pemberian tepung Kunyit dan tepung Temulawak. Walaupun di dalam tepung kunyit dan tepung

temulawak terdapat senyawa kurkumin yang dapat meningkatkan nafsu makan tetapi hal tersebut

tidak menyebabkan meningkatnya konsumsi

Umumnya penggunaan kunyit dalam pakan ayam diberikan dengan tujuan menurunkan

tingkat populasi bakteri dalam saluran pencernaan ayam. Menurut Liang et al. (1985) diacu dalam

Rahayu dan Budiman (2008) senyawa kimia yang ada dalam kunyit mampu menurunkan lemak

dalam tubuh, berperan pada proses sekresi empedu dan pankreas yang dikeluarkan lewat feses.

Komposisi dari kurkumin memiliki khasiat dapat memperlancar sekresi empedu.

Kunyit mengandung zat aktif ’kurkumin’ yang dapat berfungsi sebagai antibakteri.

Sedangkan temulawak mengandung zat aktif ’xanthorrhizol’ yang dapat menghambat pertumbuhan

jamur. Penelitian tentang penggunaan temulawak sebagai imbuhan pakan unggas belum banyak

diteliti. Rukayadi dan hwang (2006) melaporkan bahwa efektifitas xanthorrhizol yang diisolasi dari

temulawak sama khasiatnya dengan antijamur komersil amphotericin B. Penggunaan kunyit dan

temulawak secara bersamaan belum digunakan sebagai imbuhan pakan. Hal tersebut

menginterpretasikan bahwa dengan meningkatnya level pemberian tepung kunyi dan tepung

temulawak dalam pakan mampu menurunkan lemak abdominal dan kadar kolesterol dalam darah

ayam broiler yang dipelihara. Akan tetapi pada perlakuan P1 meskipun ayam mempunyai bobot

dan konsumsi pakan paling tinggi ternyata didalam karkasnya terdapat berat lemak abdominal yang

paling tinggi dan juga terdapat kadar kolesterol darah yang tertinggi.

Page 475: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

H.1. Efektifitas antibiotik herbal dan sintetik … (Winny Swastike)

ISBN 978-602-99334-1-3

H.6

Zat-zat bioaktif yang terkandung dalam herbal juga mampu merangsang pankreas untuk

mensekresikan getah pancreas yang mengandung enzim-enzim pencernaan seperti enzim amilase,

lipase dan protease (Winarto, 2003 dan Sastroamidjojo, 2001). Widodo (2002), menyatakan zat

yang terkandung dapat memperbaiki kerja sistem hormonal khususnya metabolisme karbohidrat

dan memetabolisir lemak dalam tubuh.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan Terdapat perbedaan yang

sangat nyata antara perlakuan dengan penambahan feed additive sintetik (antibiotic) dengan feed

additive herbal (tepung kunyit dan tepung temulawak). Semakin tinggi penambahan tepung kunyit

dan tepung temulawak maka akan menurunkan bobot badan, konsumsi pakan, kadar kolesterol

darah dan lemak abdominal ayam broiler.

Saran

Perlu diteliti lebih lanjut tingkat pemberian tepung kunyit dan tepung temulawak pada

pakan basal yang diberikan antibiotic disetiap perlakuannya. Sehingga lebih tergalinya potensi

tepung kunyit dan tepung temulawak sebagai feed additive herbal juga potensinya untuk

menurunkan pengaruh buruk yang ditimbulkan pada penggunaan feed additive sintetik.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Ringkasan imbuhan pakan (Feed Additive) untuk hewan.

Edisi II. Direktorat Binaan Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Kartasudjana, R dan Edjeng S. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta

Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta.

Rahmianna, A.A. 2006. Aflatoksin pada kacang tanah dan usaha untuk mengendalikannya.

Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 24 Februari 2006.

Rohayanah. 2006. Pola Pengembangan Peternakan Sapi Potong dalam Rangka Pencapaian

Swasembada Daging 2010 di Kalimantan Timur. Tesis S2. ITB.

Rukayadi, Y And J.K. Hwang. 2006. In vitro antifungal activity of xanthorrhizol isolated from

Curcuma xanthorrhiza Roxb against pathogenic candida, opportunistic filamentous fungi

and Malassezia. Pros. Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia.Palembang, 19-22 Juli

2006. Dept. Kimia FMIPA IPB dan Himpunan Kimia Indonesia Cab. Jawa Barat dan

Banten. Bogor. hlm. 191-202.

Rusfidra. 2006. Aplikasi Bioteknologi dalam Pemuliaan Ternak.

Rusfidra.multiply.com/journal/item/7/Aplikasi_Bioteknologi_dalam_Pemuliaan_Ternak.

Samarasinghe, K., C. Wenk, K.F.S.T. Silva And J.M.D.M. Gunasekera. 2003. Turmeric Satrio, U.

2000. Sebuah fakta dari lapangan: jamu jawa mendongkrak karkas broiler. Poult. Ind. 75:

36-37.

Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suryana, A. 2008. Dukungan teknologi penyediaan produk pangan peternakan bermutu, aman dan

halal. www.litbang.deptan.go.id/special/HPS/dukungan_tek_peternakan.pdf.

Taylor, R.S.L. And G.H.N. Towers. 1998. Antibacterial constituents of the Nepalese herb,

Centipeda minima. Phytochem. 47: 631-634.

Wuryaningsih, E. 2005. Kebijakan pemerintah dalam pengamanan pangan asal hewan. Prosiding

Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 9−13.

Page 476: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Prosiding SNST ke-3 Tahun 2012 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang i

INDEKS PENULIS UTAMA MAKALAH

Pemakalah Institusi Halaman

Aan Burhanudin Universitas Diponegoro D.23

Afri Yenni Universitas Diponegoro A.34

Agus Setiawan Universitas Stikubank Semarang E.11

Agus Supardi Universitas Muhammadiyah Surakarta F.52

Andry C. Kumoro Universitas Diponegoro A.6

Bachtiar S. Nugraha Universitas Muria Kudus B.12

Bambang Setyoko Universitas Diponegoro B.37

Benny Syahputra Universitas Islam Sultan Agung A.1

Bono Politeknik Negeri Semarang B.19

Budi B. Sitorus Universitas Pelita Harapan F.7

Budi Gunawan Universitas Muria Kudus F.11

Carli Politeknik Negeri Semarang C.46

Denni K. Sari Universitas Diponegoro A.40

Dian Prabowo Politeknik Cilacap D.29

Diana P. Sari Universitas Diponegoro E.12

Didi D. Krisnandi Universitas Diponegoro D.18

Dwiana Hendrawati Politeknik Negeri Semarang F.41

Dyah I. Rinawati Universitas Diponegoro E.18

Eko Armanto Universitas Diponegoro D.40

Emmanuel A. Nugroho Universitas Diponegoro F.29, F.35

Esti Y. Tisnaningtyas Universitas Pandanaran Semarang G.13, G.19

Fakhrina Fahma Universitas Sebelas Maret E.6, E.64

Gatot Suwoto Politeknik Negeri Semarang B.60

Gutomo Politeknik Negeri Semarang F.47

Hantoro Satriadi Universitas Diponegoro A.12

Haris N. Aulia Universitas Diponegoro A.18

Hariyotejo Pujowidodo Puspiptek Serpong B.85

Iman Mujiarto Sekolah Tinggi Maritim dan Transport AMNI C.64

Indah Hartati Universitas Wahid Hasyim A.66

Indah Riwayati Universitas Wahid Hasyim A.55

Jhonni R. Duling Universitas Diponegoro B.25

Lobes Herdiman Universitas Sebelas Maret D.1

Lorentius Y. Sutadi Politeknik Negeri Semarang D.12

M Denny Surindra Politeknik Negeri Semarang B.74, B.79

Margana Politeknik Negeri Semarang F.23

Margareta M. Sudarwani Universitas Pandanaran Semarang G.1

Maria A. Graciafernandy Universitas Diponegoro A.51

Mila F. Sufa Universitas Muhammadiyah Surakarta E.35

Moh Fawaid Universitas Diponegoro C.29

Muhamad Danuri Akd. Manajemen Informatika dan Komputer JTC F.58

Noor Setyo Universitas Gadjah Mada C.17

Norman Iskandar Universitas Diponegoro C.6

Novi Marlyana Universitas Islam Sultan Agung E.45

Rahmaniyah D. Astuti Universitas Sebelas Maret E.58

Ratnanto Fitriadi Universitas Muhammadiyah Surakarta E.24

Rianto, W Universitas Muria Kudus B.43

Riles M.Wattimena Politeknik Negeri Semarang C.23

Rindra Yusianto Universitas Dian Nuswantoro D.7

Page 477: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

. (Bambang Setyoko)

ISBN 978-602-99334-1-3

ii

Rusnaldy Universitas Diponegoro D.35

Sahid Politeknik Negeri Semarang B.54

Samsudi Raharjo Univ. Muhammadiyah Semarang B.1

Seno Darmanto Universitas Diponegoro B.65

Sisworo Politeknik Negeri Semarang C.34

Siti Nandiroh Universitas Muhammadiyah Surakarta E.52

Soedarsono Universitas Islam Sultan Agung G7

Sri Harmanto Politeknik Negeri Semarang C.52

Sri Subekti Universitas Pandanaran Semarang A.24, A.29

Sri U. Handayani Universitas Diponegoro B.48

Stefan Mardikus Universitas Diponegoro B.31

Sugeng Slamet Universitas Muria Kudus C.82

Suherman Universitas Diponegoro A.45

Sutiyoko Politeknik Manufaktur Ceper Klaten C.1

Sutomo Universitas Diponegoro C.70, C.76

Sutrisno Politeknik Surakarta C.58

Sutrisno B. Universitas Widya Dharma Klaten E.1

Suwarti Politeknik Negeri Semarang E.30

Syafi’ul Rofik Universitas Wahid Hasyim A.60

Teguh H. Mulud Politeknik Negeri Semarang E.40

Wahyono Politeknik Negeri Semarang F.17

Wijoyo Universitas Surakarta C.40

Windu Sediono Universitas Diponegoro B.69

Winny Swastike Universitas Sebelas Maret H.1

Yurianto Universitas Diponegoro C.12

Yusuf D. Herlambang Politeknik Negeri Semarang B.6

Yusuf S. Nugroho Universitas Muhammadiyah Surakarta F.1

Keterangan kelompok:

A : Kimia, Obat dan Pangan

B : Energi

C : Material

D : Perancangan dan Manufaktur

E : Industri

F : Elektronika dan Informatika

G : Sipil dan Arsitektur

H : Poster

Page 478: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas

Redaksi Majalah Ilmiah Momentum ISSN 0216-7395

Tim Penyusun

Redaksi Majalah Ilmiah

Momentum Fakultas Teknik Universitas Wahid

Hasyim Semarang

Jl Menoreh Tengah X / 22

Sampangan Semarang 50236

Telp (024) 8505680 fax (024)

8505681

Email :

[email protected]

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL

MAJALAH ILMIAH Momentum

Petunjuk Umum

Artikel merupakan / diangkat dari hasil penelitian, kajian ilmiah dan kajian

analitis kritis serta pemecahan permasalahan di industri yang relevan di

bidang keteknikan (teknik mesin, teknik kimia dan teknik Elektro). Artikel

dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang baik dan

benar. Maksimum artikel adalah 10 halaman dan Artikel belum pernah

dipublikasikan dalam majalah ilmiah lainnya.

Petunjuk Penulisan

Artikel harus ditulis pada kertas HVS ukuran A4 (210

x 297 mm) . Ditulis dengan program MS Word dengan

jenis huruf Times New Roman. Sistematika penulisan

memuat hal hal sebagai berikut : judul, nama penulis,

Abstrak, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan

Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Ucapan

terimakasih (kalau ada), Daftar Notasi (kalau ada) dan

Daftar Pustaka.

Artikel diawali dengan judul artikel ditulis rata tengah

dengan font 16 pt bold format upper case. Nama

penulis ditulis tanpa gelar, di samping judul dengan

font 12 pt bold format tittle case. Nama penulis yang

ditulis secara lengkap hanya nama terakhir. Untuk

nama pertama dan nama tengah diambil huruf

pertama. Apostrop ditulis dibelakang nama penulis

akhir dengan format superscript. Jarak antara judul

dengan nama penulis adalah 2 spasi.

Abstrak ditulis dengan huruf miring (Italic) sepanjang

150 – 200 kata. Dengan margin kiri 35 mm dan

margin kanan 30 mm. Abstrak ditulis dengan format

satu (1) kolom. Jarak antara teks abstrak dengan judul

abstrak adalah 1 spasi (10 pt). Kata kunci ditulis di

bawah teks abstrak, disusun urut abjad dan dipisahkan

oleh tanda titik koma. Judul kata kunci ditulis dengan

format reguler dengan font 10 pt bold sedangkan kata

kuncinya ditulis dengan huruf miring (italic).

Isi artikel ditulis dengan format margin kiri 25 mm,

margin kanan 20 mm, margin bawah 21 mm dan

margin atas 33 mm. Jarak header dari tepi kertas

adalah 20 mm, dan jarak footer dari tepi kertas (edge)

adalah 17 mm. Artikel diketik dengan font 10 pt, satu

spasi dan dalam format dua kolom yang terpisah 10

mm.

Sub judul ditulis dengan huruf tebal (bold) dengan

format Title Case dan disusun rata kiri tanpa nomor

dan garis bawah. Sub – sub judul ditulis dengan huruf

tebal dengan format Sentence case dan disusun rata

kiri tanpa nomor dan garis bawah.

Gambar dan Tabel diletakkan di dalam kelompok teks

dan diberi keterangan. Gambar dan Tabel diikuti

dengan judul gambar yang diletakkan dibawah gambar

yang bersangkutan dan judul tabel yang diletakkan

diatas tabel yang bersangkutan. Gambar harus dapat

tercetak dengan jelas dan sebaiknya diletakkan sesuai

kolom diantara kelompok teks atau jika terlalau besar

diletakkan di bagian tengah halaman. Untuk gambar

atau grafik yang berwarna, mohon dikirimkan

sebanyak 100 lembar jika ingin dicetak berwarna.

Persamaan ditulis rata tengah dan diberi nomor yang

ditulis didalam kurung. Nomor tersebut ditempatkan

di akhir margin kanan dari kolom.

Daftar Notasi ditulis berdsasarkan urutan abjad. Notasi

huruf latin ditulis terlebih dahulu, baru diikuti dengan

huruf arab.

Sistem penulisan kutipan/ cuplikan suatu naskah atau

literatur menggunakan sistem Harvard. Sumber

pustaka dituliskan di dalam uraian hanya terdiri dari

nama penulis dan tahun penerbitannya.

Daftar Pustaka disusun menurut abjad tanpa

penomoran dan jarak antara daftar pustaka adalah satu

spasi.

Pemuatan Artikel

Artikel dikirimkan sebanyak dua (2) dalam bentuk

hasil cetak (print) dan disket bebas virus komputer.

Artikel siap untuk dicetak, selain itu dilampirkan data

pribadi penulis yang meliputi nama penulis (lengkap

dengan gelar akademis), tempat tanggal lahir, instansi

tempat bekerja, alamat korespondensi, pendidikan ,

pengalaman penelitian dan publikasi. Sebagai

prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang

artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu

tahun. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah

akan diberitahu secara tertulis. Redaksi berhak

menolak artikel yang dikirimkan apabila tidak relevan

dengan bidang keteknikan, tidak up to date, dan sudah

pernah dipubilkasikan dalam majalah ilmiah lainnya.

Artikel dikirimkan kepada :

Redaksi Majalah Ilmiah Momentum Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang

Jl Menoreh Tengah X / 22

Sampangan Semarang 50236

Telp (024) 8505680 fax (024) 8505681

Email : [email protected]

Page 479: Prosiding snst ke 3 tahun 2012 - ft unwahas