prosiding snfua 2015.compressed 55 105

51
Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 45 sebagai binder pada komposisi pasir 48gr, batu apung 48gr,limbah padat benang karet 4g F (48:48:4) menunjukkan sifat morfologi dengan memiliki pori pori kerapatan yang lebih kecil atau rapat. DAFTAR PUSTAKA Balaga A, dan J.J. Beandoin, 1985. Polymer Modified Concrete, Canadian Building Digest 241. Bilmayer, 1984, Text Book of Polymer, Third edition, New York, John Willey and Sons PP:242. Efendi, H., 2002. Karekteristik bahan refraktasi, Penelitian, Fakultas Teknik, Universitas Hasanudin, Makasar. Emilia, Y., 2008, Pengaruh Penambahan Polimer Jenis Polyethilene Terhadap Tekanan Beton, Politeknik Sriwijaya Palembang. Gomez J., et al (2009), Interpreting Polymer Networks Based on Ctor Oil Polyurethane Celluse Derivatives and Polycrycid, Latin American Applied Research 39,pp. 131- 136. Pacheco-Turgal, F. et al, 2012. Properties and Durability of Concrete Containing Polymeric Waste, Tryre Rubber and Polyethylene Composition from Polyurethane.pp 999-1003. Pelong, C., 2012: Physical and Zology binders anti aging agents. Jurnal Fuel 97. Rommel, E.1999, Pengaruh Penambahan Resin Polymer tehadap Perbaikan Karekteristik Beton dengan Agregat Batu, http:// digilib gunadarma,ac.id Satyarno, I, 2005. Light weight Styrofoam Concrete for Highter and More Ductile Wall, Universitas Gajah Mada. Sebayang. P, dkk 2008. Sintesa dan Perekayasaan Beton Polimer untuk Enkapsulasi Limbah Padat tanpa menggunakan semen. Semiar Nasional Fundenmental. Teknik Kimia, ITS Surabaya. Simbolon.T, 2009. Pembuatan dan karekteristik batako ringan yang terbuat dari Styron-semen,USU Medan. Siperix, O, 2000. Autocleaved concrete. Blok, RT Envirionmental Declaration.1 (2) 3.23 House. Sperling, LH, Utracki L.A 1994. Advances in Polymer Chemistry 231. Wasington DC. Son, K. S. et,al, 2011. Strength Deformability of Waste Tyre Rubber Filled Reinforrced Concrete Columns. Yassar E.2008. Strength and Thermal Conductivity in Light weigh Building Materials, Bull Eng. Geo0l, Environ; 67: 513 – 519.

Upload: russell-ongdrus-voc

Post on 30-Jan-2016

55 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Prosiding SNFUA 2015 part II

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

45

sebagai binder pada komposisi pasir 48gr, batu apung 48gr,limbah padat benang karet 4gF (48:48:4) menunjukkan sifat morfologi dengan memiliki pori pori kerapatan yang lebih kecil atau rapat.

DAFTAR PUSTAKA Balaga A, dan J.J. Beandoin, 1985. Polymer Modified Concrete, Canadian Building Digest 241. Bilmayer, 1984, Text Book of Polymer, Third edition, New York, John Willey and Sons PP:242. Efendi, H., 2002. Karekteristik bahan refraktasi, Penelitian, Fakultas Teknik, Universitas Hasanudin,

Makasar. Emilia, Y., 2008, Pengaruh Penambahan Polimer Jenis Polyethilene Terhadap Tekanan Beton,

Politeknik Sriwijaya Palembang. Gomez J., et al (2009), Interpreting Polymer Networks Based on Ctor Oil Polyurethane Celluse

Derivatives and Polycrycid, Latin American Applied Research 39,pp. 131- 136. Pacheco-Turgal, F. et al, 2012. Properties and Durability of Concrete Containing Polymeric Waste,

Tryre Rubber and Polyethylene Composition from Polyurethane.pp 999-1003. Pelong, C., 2012: Physical and Zology binders anti aging agents. Jurnal Fuel 97. Rommel, E.1999, Pengaruh Penambahan Resin Polymer tehadap Perbaikan Karekteristik Beton

dengan Agregat Batu, http:// digilib gunadarma,ac.id Satyarno, I, 2005. Light weight Styrofoam Concrete for Highter and More Ductile Wall, Universitas

Gajah Mada. Sebayang. P, dkk 2008. Sintesa dan Perekayasaan Beton Polimer untuk Enkapsulasi Limbah

Padat tanpa menggunakan semen. Semiar Nasional Fundenmental. Teknik Kimia, ITS Surabaya.

Simbolon.T, 2009. Pembuatan dan karekteristik batako ringan yang terbuat dari Styron-semen,USU Medan.

Siperix, O, 2000. Autocleaved concrete. Blok, RT Envirionmental Declaration.1 (2) 3.23 House. Sperling, LH, Utracki L.A 1994. Advances in Polymer Chemistry 231. Wasington DC. Son, K. S. et,al, 2011. Strength Deformability of Waste Tyre Rubber Filled Reinforrced Concrete

Columns. Yassar E.2008. Strength and Thermal Conductivity in Light weigh Building Materials, Bull Eng.

Geo0l, Environ; 67: 513 – 519.

Page 2: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

46

SINTESIS NANOPARTIKEL SILIKA DARI PASIR PANTAI PURUS PADANG SUMATERA BARAT DENGAN METODE KOPRESIPITASI

Rahma Hayati

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang Kampus UNAND Limau Manih, Pauh Padang 25163

e-mail:[email protected]

ABSTRAK Sintesis nanopartikel silika telah berhasil dilakukan menggunakan metode kopresipitasi dari pasir pantai Purus Padang Sumatera Barat. Hasil karakterisasi XRF menunjukkan bahwa pasir pantai Purus Kota Padang mengandung silika sebesar 71%. Nanopartikel silika disintesis dengan menggunakan metode kopresipitasi, yaitu dengan cara merendam pasir dengan HCl 10 M selama 12 jam, kemudian pasir direaksikan dengan NaOH 5 M, 6 M dan 7 M. Larutan disaring kemudian dititrasi dengan HCl 10 M sampai pH akhir mendekati 1. Hasil sintesis dikeringkan pada suhu 80 ᵒC selama 5 jam. Berdasarkan hasil XRD ditemukan bahwa sampel yang disintesis dengan NaOH 5 M mempunyai fasa amorf, sedangkan fasa kristal ditemukan pada sampel dengan konsentrasi NaOH 6 M dan 7 M, dengan ukuran kristal lebih kecil dari pada 50 nm. Sampel silika memiliki bentuk dan ukuran partikel yang cukup bervariasi dengan ukuran partikel antara 25 nm dan 80 nm. Kata kunci : nanopartikel silika, kristal, amorf, kopresipitasi, XRD, XRF, SEM

I. PENDAHULUAN Keberadaan sumber daya alam khususnya sumber daya mineral di muka bumi ini sangat

melimpah. Potensi tersebut meliputi minyak, gas dan bahan-bahan mineral (Trisko, dkk., 2013). Salah satu mineral yang terdapat di alam yang potensial untuk dikembangkan adalah silika (SiO2). Perkembangan teknologi menjadikan aplikasi silika pada bidang industri semakin banyak terutama silika dalam ukuran partikel yang lebih kecil sampai skala nanometer. Ukuran partikel bahan baku yang diperkecil membuat produk memiliki sifat yang berbeda yang dapat meningkatkan kualitas produk.

Sintesis silika memerlukan perlakuan khusus untuk sampai pada skala nano, yaitu menggunakan beberapa metode seperti metode sol-gel process, metode gas phase process, metode kopresipitasi, metode emulsion techniques, dan metode plasma spraying & foging process (polimerisasi silika terlarut menjadi organo silika). Metode kopresipitasi merupakan salah satu metode sintesis senyawa anorganik yang didasarkan pada pengendapan lebih dari satu substansi secara bersama-sama ketika melewati titik jenuhnya. Kopresipitasi merupakan metode yang menjanjikan karena prosesnya menggunakan temperatur rendah sehingga waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat, yaitu ± 12 jam. Beberapa zat yang paling umum digunakan sebagai zat pengendap dalam kopresipitasi adalah hidroksida, karbonat, sulfat dan oksalat (Rio, 2011) dan juga merupakan metode paling sederhana dan mudah dilakukan. Selain itu, proses kopresipitasi menggunakan alat dan bahan yang mudah diperoleh, sehingga proses sintesis dapat dilakukan secara fleksibel (Jayanti, 2014).

Silika terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang mengandung mineral utama, seperti kuarsa dan feldspar, yang berwujud bubuk putih. Silika merupakan senyawa yang tidak reaktif dan hanya dapat dilarutkan dalam asam kuat, contohnya dengan menggunakan asam klorida (HCl). Silika mempunyai tiga bentuk kristal yaitu quartz, cristobalite dan trydimite (Hadi, dkk., 2011).

Nanopartikel silika memiliki beberapa sifat diantaranya: luas permukaan besar, ketahanan panas yang baik, kekuatan mekanik yang tinggi dan inert sehingga digunakan sebagai prekursor katalis, adsorben dan filter komposit (Kalapathy, dkk., 2000), juga memiliki kestabilan yang bagus, bersifat biokompatibel yang mampu bekerja selaras dengan sistem kerja tubuh dan membentuk sperik tunggal (Yuan, dkk., 2010). Nanopartikel SiO2 amorf bisa digunakan dalam proses pembuatan substrat elektronik, substrat lapisan tipis, insulator listrik dan insulator termal. Selain itu juga diungkapkan bahwa nanopartikel SiO2 dapat digunakan sebagai suatu material pendukung yang ideal untuk nanopartikel magnetik, karena sangat mudah untuk mencegah tarikan magnetik dipolar anisotropik ketika diberikan medan magnet luar dan meningkatkan daya tahan terhadap korosi dari nanopartikel magnetik. Partikel silika memiliki peran yang berbeda-beda untuk masing-masing produk yang dihasilkan, dimana kualitas produk ditentukan dari ukuran dan distribusi ukuran partikel silika itu sendiri di dalam sistemnya (Zawrah, dkk., 2009). Selain itu juga dapat diaplikasikan sebagai

Page 3: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

47

bahan filler untuk pembuatan keramik, dimana filler berguna untuk memperkuat keramik karena filler tersebut dapat mengisi kekosongan pada matriks.

Pada penelitian ini, dilakukan sintesis silika dari pasir pantai Purus Padang Sumatera Barat dengan menggunakan metode kopresipitasi. Dimana sebelumnya dilakukan identifikasi kandungan silika menggunakan XRF (X-Ray Flourescence)pada tiga pantai, yaitu : pantai Pulau Cingkuak Pesisir Selatan Kota Painan, pantai Purus Kota Padang dan pantai Tiram Kota Pariaman. Pasir pantai dengan kandungan silika tertinggi yaitu pantai Purus Padang disintesis menjadi nanopartikel silika.

II. METODOLOGI Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, pipet spatula logam, corong

kaca, cawan keramik, lumpang, kertas saring, kertas ph, timbangan digital, oven, ayakan 200 mesh. Sedangkan bahan yang digunakan adalah pasir pantai, aquades, HCl 10 M dan NaOH 5 M, 6 M, 7 M.

Pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi pantai Sumatera Barat yaitu pantai Pulau Cingkuak Pesisir Selatan Kota Painan, pantai Purus Kota Padang dan pantai Tiram Kota Pariaman. Awalnya pasir pantai di destruksi dengan cara penggerusan dan pengayakan dengan ayakan 200 mesh, kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan XRF (X-Ray Flourescence) untuk mengetahui nilai persentase silika paling banyak diantara sampel tersebut. Selanjutnya sampel yang memiliki kandungan silika tertinggi, diekstraksi magnet dan kemudian disintesis dengan metode kopresipitasi.

Langkah-langkah metode kopresipitasi adalah sebagai berikut : sampel pasir direndam sebanyak 4 g dalam HCl 10 M selama 12 jam untuk melarutkan pengotor yang ada pada sampel. Kemudian sampel dicuci dengan aquades untuk memurnikannya kembali dan dikeringkan dengan oven. Selanjutnya direaksikan dengan NaOH (5 M, 6 M dan 7 M), kemudian disaring dengan kertas saring. Larutan lolos saring dititrasi sedikit demi sedikit dengan HCl dengan mengontrol sampai pH akhir. Hasil titrasi dicuci dengan aquades untuk menghilangkan NaCl sampai lima kali dengan aquades 300 ml. Setelah itu dikeringkan dengan oven pada temperatur 80 ᵒC selama 5 jam. Setelah kadar air hilang, dilakukan penggerusan dengan lumpang sehingga didapatkan serbuk silika.

Uji karakterisasi dilakukan dengan XRD (X-Ray Diffractometer) dan SEM (Scanning Electron Microscope) untuk mengetahui fasa kristalinitas sampel serta ukuran silika dan melihat morfologi permukaan silika yang dihasilkan.

III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Komposisi Material Pasir Pantai

Berdasarkan hasil uji ketiga sampel pasir pantai dengan menggunakan XRF dapat diketahui bahwa pasir pantai Purus Kota Padang memiliki senyawa silika yang paling tinggi yaitu sebesar 71 %, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil karakterisasi XRF sampel pantai Purus Kota Padang

Compound Unit Compound Unit Compound Unit Al 17,064 % Al2O3 19,842 % Al2O3 19,813 % Si 66,406 % SiO2 71,701 % SiO2 71,561 % P 0,535 % P2O5 0,5 % P2O5 0,498 % Cl 0,041 % Cl 0,017 % K2O 1,369 % K 2,891 % K2O 1,372 % CaO 3,596 % Ca 6,777 % CaO 3,605 % TiO2 0,38 % Ti 0,633 % Ti 0,229 % V2O5 0,008 % V 0,013 % V 0,005 % MnO 0,052 % Mn 0,115 % Mn 0,041 % Fe2O3 2,497 % Fe 5,02 % Fe2O3 2,505 % CuO 0,003 % Cu 0,007 % Cu 0,002 % ZnO 0,006 % Zn 0,015 % Zn 0,005 % Ga2O3 0,001 % Ga 0,003 % Ga 0,001 % As2O3 0,001 % As 0,002 % As 0,001 % Rb2O 0,005 % Rb 0,014 % Rb 0,005 % SrO 0,027 % Sr 0,07 % Sr 0,023 % Y2O3 0,002 % Y 0,004 % Y 0,001 % ZrO2 0,022 % Zr 0,05 % Zr 0,016 % Ag2O 0,115 %

Page 4: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

48

Ag 0,27 % Ag 0,107 % Eu2O3 0,027 % Eu 0,066 % Pb 0,001 % IrO2 0 % Re 0 % Eu 0,023 % PbO 0,001 % Ir 0 % Re 0 % Cl 0,017 % Pb 0,003 % Ir 0 % Re 0 % Al 17,064 % Al2O3 19,842 % Al2O3 19,813 %

3.2 Karakterisasi Nanopartikel Silika Hasil sintesis silika dengan variasi NaOH dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2

terlihat bahwa semakin besar variasi NaOH yang digunakan maka semakin besar tingkat kemurnian silika yang dihasilkan, terlihat pada hasil sintesis bahwa warna yang dihasilkan pada variasi NaOH 7 M lebih bewarna putih jika dibandingkan dengan variasi NaOH 5 M dan NaOH 6 M.

(a) (b) (c)

Gambar 1 Hasil sintesis silika dengan variasi (a) NaOH 5 M, (b) NaOH 6 M, (c) NaOH 7 M

3.2.1 Struktur dan ukuran kristal Pengujian sampel silika menggunakan XRD dilakukan untuk mengetahui struktur dan ukuran

kristal. Hasil karakterisasi XRD dapat dilihat pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4. Hasil XRD tersebut kemudian dicocokkan dengan data ICDD (International Centre for Diffraction Database) untuk silika dengan kode referensi yang berbeda untuk masing-masing sampel. Dari Gambar 2 tidak terlihat adanya puncak-puncak difraksi yang tajam. Hal ini menunjukkan bahwa sampel dengan variasi NaOH 5 M mempunyai fasa amorf, dimana struktur atom-atom yang terbentuk tidak beraturan.

Gambar 2 Hasil XRD sampel dengan NaOH 5 M

Position [ᵒ2Theta] (Copper (Cu))

Counts

Page 5: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

49

Gambar 3 Hasil XRD sampel dengan NaOH 6 M

Gambar 3 adalah hasil karakterisasi XRD sampel dengan NaOH 6 M. Berdasarkan Gambar 3 terlihat adanya puncak difraksi yang tajam. Hal ini menunjukkan bahwa struktur silika yang terbentuk adalah kristal, dengan satu orientasi kristal atau monokristal, dengan indeks bidang (011). Pola-pola difraksi yang terbentuk merupakan akibat adanya hamburan atom-atom yang terletak pada bidang hkl dalam kristal tersebut.

Menurut data ICDD dengan kode referensi 01-075-8320 struktur kristal yang terbentuk adalah heksagonal dengan α = β = 90ᵒ dan γ = 120ᵒ, hasil ini sesuai dengan teori dimana silika murni

memiliki struktur heksagonal dengan puncak tertinggi berada pada sudut 2Ɵ = 26.5318ᵒ dan nilai FWHM (Full Width at Half Maximum) sebesar 0.5117. Pada hasil XRD tersebut juga dapat diketahui nilai parameter kisi dari sampel dengan variasi NaOH 6 M dimana nilai a = 4,9230 Ǻ, b = 4,9230 Ǻ dan c = 5,4090 Ǻ.

Gambar 4 Hasil XRD sampel dengan NaOH 7 M

Gambar 4 adalah hasil karakterisasi XRD sampel dengan NaOH 7 M. Pada Gambar 4 terlihat struktur silika yang terbentuk merupakan kristal dimana terdapat banyak puncak-puncak difraksi. Menurut data ICDD dengan kode referensi 01-089-8938, struktur kristal silika yang terbentuk adalah

heksagonal yang memiliki puncak tertinggi pada sudut 2Ɵ = 26.4821ᵒ dan nilai FWHM sebesar 0.3582 serta juga diketahui nilai parameter kisi dari sampel dengan variasi NaOH 7 M dimana nilai a = 4,9509 Ǻ, b = 4,9509 Ǻ dan c = 5,4285 Ǻ.

Hasil karakterisasi menggunakan XRD dapat ditentukan ukuran kristal dengan menggunakan persamaan Scherrer. Hasil perhitungan ukuran kristal dari silika dengan variasi molar NaOH 6 M dan

Position [ᵒ2Theta] (Copper (Cu))

(011)

(021)

(222) (032)

(015) (132)

(011)

Position [ᵒ2Theta] (Copper (Cu))

Counts

Counts

Page 6: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

50

7 M dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nanopartikel silika terdiri dari nanokristalin, dimana ukuran kristalnya ≤ 100 nm. Pada sampel dengan variasi NaOH 6 M ukuran kristal silika adalah 31,93 nm sedangkan pada sampel dengan variasi NaOH 7 M ukuran kristal silika adalah 45,57 nm.

Tabel 2 Ukuran Kristal Silika dengan variasi molar NaOH 6 M dan 7 M

Sampel Molar NaOH

B (rad) Ɵ (ᵒ) D (nm)

B 6 M 0,0044

6 13,2

7 31,9

3

C 7 M 0,0031

2 13,2

4 45,5

7 Berdasarkan karakterisasi menggunakan XRD dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh

konsentrasi NaOH terhadap kristalinitas silika. Peningkatan konsentrasi NaOH dari 5 M menjadi 6 M menyebabkan terbentuknya keteraturan susunan atom-atom dalam silika, yaitu fase amorf menjadi fase kristal dan konsentrasi NaOH sampai 7 M menunjukkan kristalinitas yang semakin baik dengan munculnya beberapa puncak difraksi dan peningkatan ukuran kristal.

3.2.2 Morfologi permukaan Silikon Dioksida (SiO2) Hasil karakterisasi sampel dengan variasi NaOH 5 M, 6 M dan 7 M menggunakan SEM

dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a) terlihat bahwa permukaan dari silika lebih homogen (seragam), dimana partikelnya tidak terlalu terlihat namun yang terlihat hanya berupa bulir-bulir saja. Berdasarkan Gambar 5(b) diketahui bahwa partikel silika mempunyai ukuran di bawah 100 nm, yaitu antara 45 nm dan 80 nm. Sebagian besar dari partikel-partikel kecil tersebut membentuk partikel yang besar atau beraglomerasi dan membentuk nanostruktur. Dari Gambar 5(c) terlihat bahwa ukuran partikel silika yang dihasilkan adalah antara 25 nm dan 70 nm, dimana sampel ini mempunyai puncak-puncak difraksi yang tinggi.

(a) (b) (c)

Gambar 5 Morfologi permukaan sampel perbesaran 20.000x sampel dengan NaOH 5 M (b) sampel dengan NaOH 6 M (c) sampel dengan NaOH 7 M

Usaha untuk memperoleh silika dengan kemurnian tinggi dan ukuran partikel dalam skala nanometer menggunakan metode kopresipitasi dilakukan dengan beberapa perlakuan awal. Salah satu perlakuan yang dilakukan adalah merendam pasir dalam larutan HCl 10 M selama 12 jam untuk mereduksi zat pengotor yang ada dalam pasir sebelum dilanjutkan dengan proses sintesis.

Penggunaan variasi molaritas NaOH dan pH akhir saat titrasi dalam penelitian ini untuk mendapatkan kemurnian dan ukuran yang ingin dicapai. Berdasarkan konsentrasi NaOH yang digunakan ternyata konsentrasi tertinggi yaitu 7 M menghasilkan kemurnian silika tertinggi. Hal ini terlihat dari hasil XRD yang menunjukkan bahwa silika tersebut memiliki struktur kristal dan memiliki banyak arah orientasi kristal atau yang disebut dengan polikristal.

IV. KESIMPULAN Pasir pantai yang memiliki kandungan silika tertinggi adalah dari pasir pantai Purus Kota

Padang yaitu sebesar 71,701 %. Dari hasil karakterisasi XRD diketahui hasil penggunaan NaOH 5 M menghasilkan silika yang memiliki struktur amorf, dimana atom-atom tersusun tidak beraturan. Sedangkan penggunaan NaOH 6 M dan 7 M menghasilkan silika dengan struktur kristal, dimana atom-atomnya tersusun teratur dan memiliki struktur heksagonal. Ukuran partikel yang terbentuk cukup bervariasi yaitu 25 nm – 80 nm, dengan bentuk partikel yang tidak homogen dan membentuk gumpalan (aglomerasi).

Page 7: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

51

DAFTAR PUSTAKA Hadi, S., Munasir., dan Triwikantoro., 2011, Sintesis Silika Berbasis Pasir Alam Bancar

Menggunakan Metode Kopresipitasi, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol.7, No 2, Jur. Fisika ITS.

Jayanti, D.N., 2014, Optimalisasi Parameter pH Pada Sintesis Nanosilika dari Pasir Besi Merapi dengan Ekstraksi Magnet Permanen Menggunakan Metode Kopresipitasi, Skripsi, Yogyakarta.

Kalapathy., Proctor, A., Shultz, J., 2000, A Simple Method for Production of Pure Silica from Rice Hull Ash, Bioresource Technology. Vol. 73, hal. 257-262.

Rio, B.F., 2011, Sintesis Nanopartikel SiO2 Menggunakan Metode Sol-Gel dan Aplikasinya Terhadap Aktifitas Sitotoksik, Jurnal Nanoteknologi, UNAND, Padang.

Trisko, N., Hastiawan, I., Rakhmawaty, D.E., 2013, Penentuan Kadar Silika dari Pasir Limbah Pertambangan dan Pemanfaatan Pasir Limbah Sebagai Bahan Pengisi Bata Beton, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir, PTNBR – BATAN, Bandung.

Yuan, H., Gao, F., Zhang, Z., Miao, L., Yu, R., Zhao, H., Lan, M., 2010, Study of Controllable Preparation of Silica Nanoparticles with Multi-sized and Their Size-dependent Cytotoxicity in Pheochromocytoma Cells and Human Embryonic Kidney Cells, Journal of Health Science, Vol. 56, No. 6, hal 632-640.

Zawrah, M.F., EL-Kheshen, 2009, Facile And Economic Synthesis of Silica Nanoparticles, J Ovonic Research, Vol. 5, hal 129-133.

Page 8: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

52

PENGARUH PENAMBAHAN GULA JAGUNG TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN BIODEGRADABILITAS PLASTIK CAMPURAN

POLYPROPYLENE BEKAS DAN PATI SAGU

Sri Mulyadi Dt.Basa 1*, Maria Elvi Hutagalung2 Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Andalas, Padang1* Laboratorium Mesin dan CNC Teknik

Mesin Politeknik Negeri Padang e-mail [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh gula jagung terhadap sifat mekanik dan biodegradabilitas plastik campuran polypropylene bekas dan pati sagu. Pada penelitian ini dibuat 5 sampel dengan variasi massa gula jagung yang berbeda. Pengukuran dilakukan terhadap kuat tekan dan kuat lentur dari setiap sampel. Untuk mengetahui tingkat degradabilitasnya, dilakukan penguburan selama 7 hari. Hasil menunjukkan bahwa kuat lentur dan kuat tekan plastik mengalami kenaikan dengan penambahan gula jagung. Nilai kuat tekan dan kuat lentur maksimum terdapat pada komposisi 90gr : 10gr : 10gr yaitu 87,04 kg/cm2 dan 96,9 kg/ cm2. Ditinjau dari segi fisis setelah proses penguburan, plastik campuran dengan komposisi gula jagung terbanyak memiliki permukaan paling kasar dan paling banyak lobang. Hal ini dapat diartikan bahwa plastik dengan komposisi gula jagung terbanyak memiliki tingkat degradabilitas tertinggi. Kata kunci : Kuat lentur, kuat tekan, biodegradabilitas, polypropylene, pati sagu dan gula jagung.

ABSTRACT The aims of this research are to determine effects of adding corn sugar to the mechanical properties and biodegradability of mixed plastic of the used polypropylene and the sago starch. We used five samples with variations different mass of corn sugar. Strength flexural and compressive strength were used to observe the effects of corn sugar addition as plasticizer. The results showed that the flexural strength and compressive strength of plastics increased with the addition of corn sugar, with maximum value of flexural strength is 87,04 kg / cm2 and 96,9 kg/ cm2 for compressive strength (with compotition 90gr polypropylene plastic, 10gr sago starch, 10gr corn sugar). From the physical observation of the buried sample, showed that plastic with the highest mass of corn sugar has the most rough surface and highest biodegradability. Key words: Strong flexural, compressive strength, biodegradability, polypropylene, sago starch and corn sugar.

I. PENDAHULUAN Saat ini ada banyak jenis bahan yang digunakan untuk mengemas makanan dan minuman

salah satunya adalah plastik. Intensitas penggunaan plastik sebagai kemasan pangan terus meningkat. Penelitian bahan kemasan diarahkan pada bahan-bahan organik, yang dapat dihancurkan secara alami dan mudah diperoleh. Salah satu penelitian terbaru adalah ditemukannya plastik biodegradable. Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan layaknya plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida. (Pranamuda, 2009)

Adapun objek penelitian kali ini adalah plastik kemasan polypropylene bekas dengan penambahan pati sagu sebagai material yang dapat terurai. Pati sagu merupakan bahan homopolimer glukosa. Jika dipanaskan di dalam air, ukuran granula pati membesar dan campurannya menjadi kental. Jika didinginkan, campuran tersebut akan berbentuk gel (Gaman and Sherrington, 1992). Untuk mempertahankan sifat mekaniknya, peneliti menggunakan gula jagung sebagai bahan pemlastis. Gula jagung (sorbitol) merupakan pemlastis yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekul (Harahap, 2009). Plastik yang sudah jadi, sebagian akan diuji untuk mengetahui karakteristiknya dan sebagian lagi dikubur dalam tanah berlumpur selama 7 hari sebelum diuji (Firdaus dan Anwar, 2004). Penguburan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana plastik tersebut dapat terurai didalam tanah, dengan memperhatikan sifat fisis dan pengujian mekanik. Pengujian mekanik yang akan dilakukan adalah uji kuat tekan dan uji kuat lentur. Dengan menganalisis hasil pengujian ini diharapkan adanya informasi bahwa pendaurulangan plastik kemasan polypropylene bekas dengan penambahan pati sagu dan gula jagung

Page 9: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

53

sebagai pemlastis menghasilkan plastik yang dapat terurai oleh mikroorganisme dengan sifat mekanik yang baik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penambahan gula jagung terhadap kuat tekan, kuat lentur dan degradabilitas pada plastik campuran polypropylene bekas dan pati sagu dan membandingkan nilai kuat tekan dan kuat lentur plastik campuran polyepropylene dan pati sagu sebelum dan sesudah dilakukan penguburan.

II. METODOLOGI PENELITIAN Peleburan plastik kemasan polypropylene bekas dilakukan pada bulan April 2011 – Mei 2011

di Industri Besi Rumahan di Sungai Puar, Agam. Sedangkan pencetakan dan penguburan plastik campuran polypropylene, pati sagu dan gula jagung dilakukan pada bulan Juni 2011 di kapalo koto, Unand, Limau Manih. Pengujian kuat tekan dan kuat lentur dilakukan pada bulan Juni 2011 di Balai Riset Standarisasi Industri, Gadut, Padang.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik kemasan polypropylene bekas, pati sagu dan gula jagung. Plastik kemasan polypropylene bekas, pati sagu dan gula jagung. Untuk mengetahui kuat tekan dan kuat lentur benda uji digunakan mesin kompresor. Spesifikasi mesin kompresor adalah Merek Wecob 2153 Neu Wulmstrof. Bahnhofstr, dengan kuat tekan maksimal 300 kN dan kuat lentur maksimal 10 kN. Mesin ini dapat dilihat pada pada Gambar 1.

Gambar 1 Mesin kompresor

Pada penelitian ini cetakan yang digunakan terbuat dari aluminium. Ukuran cetakan untuk uji tekan adalah 5 cm x 5 cm x 5cm, uji lentur 15 cm x 3 cm x 2 cm. Ukuran ini merupakan standar dalam pengujian kuat tekan dan kuat lentur.

Pada penelitian ini akan dibuat 5 variasi massa gula jagung, dengan massa plastik polypropylene dan pati sagu tetap. Jumlah sampel untuk pengujian kuat tekan sebanyak 30 buah, 15 sampel tanpa penguburan dan 15 sampel dengan penguburan. Untuk uji lentur, juga dibutuhkan sampel sebanyak 30 buah, 15 sampel tanpa penguburan dan 15 sampel dengan penguburan.

Pencampuran dilakukan secara manual, dengan menggunakan wadah dari kaleng besi yang dipanaskan diatas kompor. Setelah semua plastik kemasan polypropylene tersebut mencair, kemudian pati sagu dan gula jagung dimasukkan dan diaduk menggunakan sendok kayu sampai bahan tercampur rata. Pelaksanaan penelitian secara garis besar ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Page 10: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

54

Gambar 2 Tahapan Penelitian Tanpa Perlakuan Penguburan

PERSIAPAN

PENCAMPURAN

Pengujian Sifat mekanik 1. Kuat Tekan 2. Kuat Lentur

Data

PP 90gr Sagu 10gr Gula 0gr

PP 90gr Sagu10gr Gula 2gr

PP 90gr Sagu 10gr Gula 4gr

PP 90gr Sagu 10gr Gula 8gr

PP 90gr Sagu 10gr

Gula 10 gr

PENCETAKAN

SELESAI

Page 11: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

55

Gambar 3 Tahapan Penelitian Dengan Perlakuan Penguburan

III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Hasil Pengujian Kuat Lentur (fr)

Data perhitungan lengkap ditunjukkan pada Lampiran 3 dan hasil perhitungan yang didapatkan ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 4.

PERSIAPAN

PENCAMPURAN

Pengujian Sifat mekanik 1. Kuat Tekan 2. Kuat Lentur

Data

PP 90gr Sagu 10gr Gula 0gr

PP 90gr Sagu10gr Gula 2gr

PP 90gr Sagu 10gr Gula 4gr

PP 90gr Sagu 10gr Gula 8gr

PP 90gr Sagu 10gr

Gula 10 gr

PENCETAKAN

PENGUBURAN

SELESAI

Page 12: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

56

Tabel 1Perbandingan kuat lentur masing-masing konsentrasi sebelum dan sesudah penguburan.

No

Konsentrasi polypropylene, pati

tapioka dan gula jagung

Kuat lentur Penurunan kuat lentur

(%) Sebelum penguburan

(kg/cm2) Sesudah penguburan

(kg/cm2)

1 90gr:10gr:0gr 43,35 40,8 5,88 2 90gr:10gr:2gr 48,45 45,9 5,26 3 90gr:10gr:4gr 68,85 56,1 18,52 4 90gr:10gr:8gr 89,25 76,5 14,28 5 90gr:10gr:10gr 96,9 86,7 10,52

Gambar 4 Grafik perbandingan nilai kuat lentur masing-masing konsentrasi sebelum dan sesudah penguburan

Pada Tabel 1 dilihat bahwa nilai kuat lentur semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah gula jagung. Hal ini dapat terjadi karena gula jagung dapat larut dalam tiap-tiap rantai polimer polypropylene dan pati sagu (Paramawati, 2001). Proses ini diilustrasikan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 (a) Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan pemlastis pada

polimer (Spink dan Waychoff, 1958)

Larutnya gula jagung pada rantai polimer polypropylene dan pati sagu menyebabkan mudahnya gerakan molekul polimer bekerja menurunkan suhu transisi gelas (Tg), suhu kristalinitas dan suhu pelelehan (Tm) dari polimer. Hal ini dikarenakan mampunya molekul gula jagung mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekul (Paramawati,2001). Ikatan hidrogen terbentuk antara atom hidrogen dan atom lain dengan elektronegatifitas tinggi. Ikatan hidrogen mempengaruhi titik didih suatu senyawa, dimana semakin kuat ikatan hidrogen, semakin tiggi titik didihnya (Sukardjo, 1985).

Page 13: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

57

+

Gula Jagung

Gambar 6 Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan gula jagung (Juari, 2006)

\ Dari Gambar 6 dapat diketahui bahwa gula jagung mengikat gugus OH yang terdapat pada

kedua ujung rantai polimer PHA (Poly-3-Hidroksialkanoat). PHA merupakan salah satu bahan baku pembuatan bioplastik yang terbuat dari hidrolisis pati sagu (Juari, 2006). Dalam hal ini, PHA diilustrasikan sebagai plastik campuran polypropylene dan pati sagu.

3.2 Hasil Pengujian Kuat Tekan ( )

Berdasarkan Tabel 4.4, nilai kuat tekan meningkat dengan bertambahnya jumlah gula jagung. Kuat tekan minimum terjadi pada plastik campuran polypropylene pati sagu tanpa gula jagung yaitu 54,4 kg/cm2 sedangkan kuat tekan maksimum 87,04 kg/cm2. Hal ini dapat dilihat jelas pada Gambar 7, dimana grafik semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah gula jagung.

Tabel 2 Perbandingan kuat tekan masing-masing konsentrasi sebelum dan sesudah penguburan.

No

Konsentrasi polypropylene, pati

tapioka dan gula jagung

Kuat tekan Penurunan kuat tekan

(%) Sebelum penguburan

(kg/cm2) Sesudah penguburan

(kg/cm2)

1 90gr:10gr:0gr 55,76 54,4 2,43 2 90gr:10gr:2gr 58,48 57,12 2,32 3 90gr:10gr:4gr 68 66,64 2 4 90gr:10gr:8gr 80,24 76,16 5,08 5 90gr:10gr:10gr 87,04 81,6 6,25

Gambar 7 Grafik perbandingan nilai kuat tekan masing-masing konsentrasi sebelum dan sesudah penguburan

Ikatan Hidrogen

Page 14: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

58

3.3 Hasil Uji Degradabilitas Permukaan yang paling kasar dan berlobang terdapat pada kolom dan baris terakhir pada

komposisi 90gr:10gr:10gr. Hal ini dapat terjadi karena bertambahnya material organik pada plastik campuran tersebut, sehingga memudahkan mikroorganisme dalam proses penguraian (Firdaus, 2004).

Pernyataan di atas tidak didukung oleh pengurangan sifat mekanik. Pada pengujian kuat lentur, persentase penurunan kuat lentur tertinggi terdapat pada komposisi 90gr:10gr:4gr yaitu 18,52 %. Sedangkan pada penambahan gula jagung terbanyak, penurunan kuat lentur setelah penguburan hanya 10,52 %. Hal yang sama juga terjadi pada pengujian kuat tekan, dimana persentase pengurangan nilai kuat tekan yang didapat adalah acak. Hal ini dapat terjadi karena kecepatan mengaduk yang tidak konstan saat pencampuran pati sagu, gula jagung dan plastik polypropylene, yang mengakibatkan terbentuknya gumpalan-gumpalan kecil. Hal ini menyebabkan perbedaan kerapatan molekul dari setiap sampel yang dapat mempengaruhi nilai kuat tekan dan kuat lentur.

IV. KESIMPULAN Dari data yang diperoleh pada pengujian sifat mekanik (kuat lentur dan kuat tekan), dapat

disimpulkan bahwa penambahan gula jagung mengakibatkan peningkatan sifat mekanik. Nilai mekanik terbaik dimiliki oleh sampel yang mengandung 10 gr gula jagung dengan nilai kuat lentur 96,9 dan nilai kuat tekan 87,04 .

Jika ditinjau dari segi fisis, plastik campuran polypropylene pati sagu dan gula jagung merupakan plastik biodegradable karena permukaan plastik dapat terurai oleh mikroorganisme tanah dalam waktu 7 hari. Campuran plastik polypropylene pati sagu dengan kandungan 10 gr gula jagung merupakan plastik yang dapat terurai dengan cepat dengan sifat mekanik yang baik.

TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa dan tenaga pendidik yang terlibat

dalam penelitian dan penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Abner, L. dan Miftahorrahman, 2002, Keragaman Industri Sagu di Indonesia, Warta Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri 8(1), http://perkebunan.litbang.deptan.go.id.warta%20vol%208%20n%201%20juni%202002.htm. Billmayer, F.W. Jr, 1971, Text Book of Polymer Science, John Wiley and Sons, New York. Budiman N., 2003, PolimerBiodegradable,http://www.kompas.com/0302/28/llpeng/151875.htm-35k. Dian dkk, Mengatasi Masalah Sampah Plastik Melalui Pemanfaatan Limbah Topioka, Program

Kreativitas Mahasiswa Fakultas teknologi Pertanian Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Emriadi, 2005, Material Polimer, Andalas University Press, Padang. Fahruddin, Sonai dan Indah, 2010, Pembuatan Plastik Biodegradable Berbasis Ubi Kayu Dengan

Aditif Senyawa Limonen Dari Kulit Jeruk Untuk Meningkatkan Elastisitas, Program Kreativitas Mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang, Malang.

Firdaus, F. dan Anwar, C., Juli 2004, Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung Tapioka sebagai Bahan Baku Film Plastik Biodegradabel, LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Hal 38-44, Yogyakarta.

Haryadi, 2004. 2010 Masih Defisit Beras: Kembangkan Sagu untuk Tekan Impor Beras dalam Jangka Panjang. http://www.pikiran-rakyat.com [10 Juni 2004].

Jensen, Alfred, dkk, 1984, Kekuatan Bahan Terapan Edisi Ke-Empat, Erlangga, Jakarta. Juari, 2006, Pembuatan Dan Karakterisasi dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) yang dihasilkan

Ralstonia Eutropha Pada hidrolisat Pati Sagu dengan penambahan Dimetil Ftalat (DMF), Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nogroho, KS, 2010, Analisa Pengujian kekerasan Material Baja karbon Rendah, Besi, Tembaga, Serta Zn (seng) dengan menggunakan metodeUji kekerasan Brinell. Tugas Akhir Program S1 Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Pamulang, Tangerang Selatan.

Whooila, Simbol Daur Ulang pada Plastik, http://www.whooila.com/2010/10/arti-7-simbol-daur-ulang-pada-plastik.html, 8 Februari 2011.

Zainuri. M, 2008, Kekuatan Bahan, Andi Off Set, Yogyakarta. Zhang QX, Yu ZZ, Xie XL, Naito K, Kagawa Y, 2007, Preparation and crystalline morphology of

biodegradable starch nanocomposites, Polymer 48(24): 7193-7200.

Page 15: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

59

ANALISIS MODEL MATEMATIKA SISTEM GETARAN MEKANIK SATU DERAJAT KEBEBASAN UNTUK MENENTUKAN KESTABILAN

PERGERAKAN SUSPENSI

Rusmanto Dwi Saputra, Novizal, Amir Institut Sains dan Teknologi Nasional, Moh. Kahfi 2, Jakarta Selatan, Indonesia

Email Address: [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan pemodelan matematika sistem getaran mekanik satu arah pada kasus mobil Daihatsu Xenia untuk menentukan kestabilan pergerakan suspensi terhadap respon posisi dan respon kecepatan.Model matematika ini merujuk pada [Caldwell, Jim, Mathematical Modelling Case and Project, New York, 2004]. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu, mengambil data massa mobil tanpa beban, dan data pertambahan panjang pegas (defleksi statis), tahap kedua menganalisa model yang terdiri dari 3 kasus yaitu kondisi dibawah redaman, redaman kritis, dan terlalu redam untuk mengetahui pergerakan suspensi pada respon posisi dan respon kecepatan mobil Daihatsu Xenia. Berdasarkan pengukuran mobil Daihatsu Xenia didapatkan massa tanpa beban sebesar 1130 kg ,dan pertambahan panjang pegas (defleksi statis) sebesar 0,032 m . Hasil perhitungan model pada kasus dibawah redaman didapat respon posisi 0,0016 m pada saat waktu 1,4s, sedangkan respon kecepatan −0,0655 m/det pada saat waktu 0,20 s, kasus redaman kritis didapat respon posisi −0,0001 m pada saat waktu 0.11s sedangkan respon kecepatan 0.0114 m/s pada saat waktu 0.12 s, dan kasus terlalu redam didapat repon posisi −0.0003 m pada saat waktu 0.06 s dan respon kecepatan 0.0512 m/s pada saat waktu 0,05 s. Kata Kunci: Sistem Getaran Mekanik, Sistem Satu Derajat Kebebasan, Respon Kecepatan,Respon Posisi.

ABSTRACT On this research, mathematical modeling of the mechanical vibration system of one-way in the case of Daihatsu Xenia to determine the stability of the suspension movement of the position response and the speed response refers to the mathematical Model [Caldwell, Jim, Mathematical Modelling and Project Case, New York, 2004]. This study consists of several stages, taking mass data car without a load, and the data the length of the spring (deflection static), the second stage of analyzing a model consisting of three cases, namely the conditions under damping, critical damping, and too faint to determine the movement of the suspension in position response and thespeed response of the car Daihatsu Xenia. Based on the measurements obtained mass Daihatsu Xenia car without a load of 1130 kg, and the length of the spring (static deflection) of 0,032 m. Results of the model calculations in the case of damping obtained under 0,0016 m response to the position at the time of 1,4s, while the speed response of -0,0655 m/s at the time of 0,20 s, the case of critical damping position response obtained -0,0001 m at the time of 0,11s while the speed response of 0,0114 m/s during time 0,12 s, and the case is too faint obtained position reponse -0,0003 m at the time of 0,06 s and thespeed response of 0,0512 m/s during a time of 0,05 s Keywords: MechanicalVibrationSystem, System OneDegree ofFreedom, Speed Response, PositionResponse.

I. PENDAHULUAN Secara umum pengertian modeladalah suatu usaha menciptakan suatu replikta atau

tiruan dari suatu fenomena alam atau sosial. Model matematika mendeskripsikan fenomena dengan sejumlah persamaan matematika.Kecocokan model terhadap fenomena tersebut tergantung dari ketepatan formulasi persamaan dalam mendeskripsikan fenomena yang ditirukan. Dalam pemodelan matematika, ilmuwan hanya mencari persamaan-persamaan atau rumus-rumus yang berlaku pada fenomena, sehingga ditemukannya suatu model matematika. Pemodelan matematika berfungsi untuk menyederhanakan permasalahan agar lebih mudah dipahami dan lebih efisien.

Seiring dengan kemajuan zaman, transportasi menjadi kebutuhan yang penting. Alat transportasi telah berkembang menjadi berbagai jenis kendaraan. Jenis kendaraan tersebu tmemiliki karakteristik yang sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.

Jenis dari kendaraan tersebut dapat berupa truk, sedan, minibus, semi minibus,dan sport. Jenis kendaraan memiliki suspensi yang berbeda.Sebagai contoh mobil semi minibus dengan

Page 16: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

60

truk.Mobil sedan, minibus dan semi minibus dipergunakan untuk kendaraan penumpang, maka suspensi yang dimiliki harus memenuhi aspek kenyamanan.Sedangkan truk sebagai kendaraan angkutan barangtidak dituntut untuk memenuhi aspek kenyamanan.

Suspensi adalah suatu sistem yang terkoneksi antara kendaraan dan roda. Sistem suspensi memberikan dua kontribusi pada kendaraan yaitu handling dan breaking untuk keamanan dankenyamanan serta dapat meredam getaran pada jalan yang kasar. Model sistem getaranmekanik dalam satu arah getaran yang merujuk pada (Caldwell, 2004) untuk mengetahui kestabilan pergerakan terhadap respon posisi dan respon kecepatan pada mobil Daihatsu Xenia menggunakan persamaan diferensial, model matematika variabel massa, gaya pegas dan gaya peredaman. Dimana kasus mobil Daihatsu Xenia yang dianalisa adalah gaya periodik. Permasalahan realistis untuk menentukan kestabilan dirancang agar menciptakan kenyamanan yang baik dijalan yang kasar dan bergelombang Tentu saja, sejumlah asumsi pemodelan, termasuk penggunaan data yang realistis, diperlukan untuk mencapai hasil yang baik.

Model yang diusulkan berupa persamaan diferensial orde dua mempunyai banyak bentuk solusi bergantung pada hubungan hubungan antara c dengan . Kondisi pertama yaitu sistim teredaman lemah( under damped) kondisi tersebut mobil mengalami redaman osilasi, kondisi kedua yaitu sistim teredaman kritis (critically damped) kondisi mobil perlahan-lahan menuju kembali ke titik kesetimbangannya, kondisi ketiga yaitu sistim teredam kuat (over damped) kondisi mobil akan bergerak lebih perlahan-lahan untuk kembali ketitikkeseimbangannya.

Kenyamanan dalam berkendaraansudah menjadi tuntutan bagi para pengendaranya. Sistem suspense pada kendaraan memegang peranan yang penting dalam memperoleh kenyamanan.Mobil memang menjadi permasalahan karena banyak keluhan mengenai suspensikeamanan dan kenyamanan pengendara.Denganadanya permasalahan tersebutdilakukan analisa bagaimana kestabilan respon posisidan respon kecepatan terhadap waktu. Pada observasi kali ini dilakukan pada penyelesaian persoalan sistem spring-shock absorber untuk sebuah mobil Daihatsu Xenia yang sistem suspensinya di disain menggunakan coil spring-shock absorber. Suspensi mobil Daihatsu Xenia menggunakan sistem coil-ring shock absorber untuk mendukung ma sa kosong 1130 kg dengan pertambahan panjang (defleksi statis) 0.032m. Pada kondisi geteran bebas merupakan persamaan diferensial orde dua homogen dengan kondisi bergantung pada hubungan antara c dan dengan . Selanjutnya terjadi getaran paksa karena gaya luar F akibat ada perubahan massa, frekuensi sudut, dan perpindahan posisi dengan mengasumsikan massa diisi beban 4 orang masing-masing memiliki massa 50 kg sehingga massa total adalah 1130 + 200 kg = 1330 kg begitu pula dengan frekuensi sudut dan perpindahan posisinya mengalami perubahan akibat gaya luar.

Untuk mengetahui kestabilan pergerakan mobil dipengaruhi massa, pegas, shock absorber, kondisi awal, kecepatan awal serta adanya gaya dari luar, maka didapat perhitungan pergerakan kestabilan respon, posisi dan kecepatan mobil Daihatsu tersebut

II. LANDASANTEORI 2.1 Sistem Getaran Mekanik

2.1.1 Sistem Getaran Bebas Teredam Getaran bebas teredam adalah sistem yang berosilasi akibat kondisi awal berupa simpangan

awal atau kecepatan awal , dimana osilasi tersebut akan mengecil amplitudonya. Menurut Hukum Hooke, perlawanan dari gaya pegas sebanding dengan konstanta pegas dan simpangan dari posisi ekuilibrium x . sehingga diperoleh persamaan

(2.1) Dimana tanda negatif menunjukkan arah gaya pada pegas pada mobil dan penumpang

berlawanan dengan gerak mobil tersebut. Hal ini menunjukkan gaya pegas berfungsi untuk mengembalikan mobil ke titik keseimbangan (arah negatif). Gaya redaman pada shock breaker di tunjukkan pada persamaan (2.2.3)

(2.2)

Dimana c merupakan koefisien redaman dan merupakan kecepatan vertikal. Tanda negatif

menunjukkan gerak gaya redaman berlawan dengan arah kecepatan.

Page 17: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

61

Persamaan untuk sistem dinyatak dengan menggunakan Hukum Newton kedua (F = ma) sehingga dapat dinyatakan :

atau

(2.3)

Dalam model persamaan tersebut mempunyai solusi tiga kondisi diantaranya :

1. Kondisi teredam lemah (underdamped)

Dimana dan

2. Kondisi teredamkritis (critical damped)

3. Kondisi terlalu teredam (overdamped)

Dimana

2.2 Sistem Getaran Paksa

Getaran Paksa adalah sistem yang bergetar karena ada gaya luar yang bekerja pada sistem tersebut. Secara umum sistem satu derajat kebebasan yang mengalami gaya luar yang dimodelkan sebagai berikut.

(2.4)

dimana solusi keadaan steadi adalah :

Sehingga, solusi dari sistem getaran paksa penjumlahan sistem getaran bebas dan solusi

keadaan steadi, diantaranya:

1. Kondisi teredam lemah

2. Kondisi teredam kritis

+ 3. Kondisi terlalu teredam

+

Page 18: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

62

Dimana :

2.3 Sistem Suspensi Mobil Tujuan utama dari sistem suspensi yaitu memberi kenyamanan dan keamanan dalam

berkendaraan.Sistem suspensi mobil terdiri dari :

1. Pegas 2. Shock-Absorber 3. Suspension Damping

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan padatanggal 12 September 2014, penelitian dilakukan di Astra Daihatsu Perum BSD Blok 405/2A Sektor 8, Serpong, Tangerang, Banten, Indonesia.

3.2 Variabel dan Data Penelitian

3.2.1 Variabelpenelitian terdiri dari:

1. Massa (m ), 2. Konstanta redaman (c), 3. Konstanta pegas (k), 4. Waktu (t), 5. Gaya Luar terhadap waktu (F (t) ), 6. Respon Posisi terhadap waktu(x(t) ), 7. Respon Kecepatan terhadapwaktu . 8. Kondisi Awal (xo ) = x(0) 9. Kecepatan Awal( ̇(0) ). 10. Perubahan posisi setelah diberi gayaluar (X) 11. Frekuensi sudut ( ) 12. Sudut fase ( )

3.2.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalampenelitian ini adalah

1. Data Primer Pengukuran pertambahanpanjang pegas mobil Daihatsu Xenia,percobaan dilakukan sebanyak

lima kali, diambil data pertambahanpanjang rata-rata.

Tabel 1 Percobaan pengukuran data pertambahan panjang pegasmobil Daihatsu Xenia.

No Pertambahan panjang pegas (m)

1 0,029 2 0,032 3 0,031 4 0,036 5 0,032

2. Data Sekunder

Massa mobil beban kosongsebesar 1130 kgSumber data yang didapat daripengukuran [Astra Daihatsu BSD Blok405/2A Sektor 8, Serpong, Tangerang,Banten, Indonesia ].

3.3 Prosedur penelitian

3.3.1 Pengambilan data Berdasarkan data percobaan pertambahan panjang pegas penulismengambil data dari Mobil

Daihatsu Xeniapertambahan panjang pegas sebesar 0.032m, Dan massa kosong sebesar 1130 kg

Page 19: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

63

3.3.2 Analisis Penelitian Sistem Getaran Bebas Dalam penelitian ini digunakan analisis persamaan diferensial yang merujuk [ Caldwell, Jim,

Mathematical Modelling Case and Project, New York, 2004 ] untuk menentukan kondisi tiga kasus serta kestabilan respon posisi dan kecepatan dengan menganalisa tiga kasus persamaan model dalam bentuk persamaan diferensial.

3.3.3 Analisis Penelitian Sistem Getaran Paksa Pada Penelitian sistem getaran paksa juga mempunyai berbagai bentuk jawaban, bergantung

pada hubungan antara c dengan , tetapi kondisi tersebut dipengaruhi gaya luar, sehingga menimbulkan perubahan massa, frekuensi sudut, dan perpindahan posisi. Dimana kondisi getaran paksa dipengaruhi gaya dari luar , terlihat nilai respon posisi dan respon kecepatan dipengaruhi adanya gaya F(t). Akibatnya, terjadi perubahan massa , frekuensi sudut , dan perpindahan posisi dengan mengasumsikan massa diisi beban 4 orang masing-masing memiliki massa 50 sehingga massa bertambah menjadi 1130 kg + 200 kg = 1330 kg begitu pula dengan frekuensi sudut dan perpindahan posisinya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perhitungan Solusi SistemGetaran Bebas

Dimana kondisi getaran bebas tanpa dipengaruhi gaya dari luar , terlihat nilairespon posisi dan respon kecepatan tanpagayaF(t).

1. Kondisi di bawah Redaman Respon Posisi :

Respon Kecepatan :

2. Kondisi Redaman Kritis

Respon posisi :

Respon Kecepatan :

3. Kondisi Terlalu Redam

Respon posisi :

Respon Kecepatan :

4.2 Hasil Perhitungan Getran Paksa

Dimana kondisi getaran paksa dipengaruhi gaya luar, terlihat nilai respon oisisi dan respon kecepatan dipengaruhi dengan adanya gaya F(t). Akibat pengaruh gaya sehingga terjadi perubahan massa, frekuensi sudut, dan perpindahan posisi.

1. Kondisi Dibawah Redaman Respon Posisi :

Page 20: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

64

Respon Kecepatan :

2. Kondisi Redaman Kritis :

Respon Posisi :

Respon Kecepatan :

Page 21: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

65

3. Kondisi Terlalu Redam

Respon Posisi :

Respon Kecepatan :

V. KESIMPULAN Berdasarkan dariseluruh pembahasan dalam makalahini, maka dapat diperoleh kesimpulan

sebagai berikut:

1. Berdasarkan perhitungan respon posisidan respon kecepatan pada masing-masing kondisi, waktu untuk menuju ke posisi keseimbangan kondisi terlalu teredam lebih cepat dibandingkan yang lain sedangkan hasil perhitungan dari amplitudo pada kondisi teredam lemahlebih besar dibandingkan dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh koefisien redaman cmakin besar

Page 22: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

66

koefisien redaman redamanmaka waktu yang diperlukan untuk menuju kestabilan lebih cepat. Akan tetapi pergerakan amplitudonya koefisien redaman yang lebih kecil menghasilkan amplitudo yang lebih besar dibandingkan yang lain

2. Pada hasil simulasi terlihat adanya pergerakan osilasi dikarenakan adanya sebuah gaya F yang menyebabkan paksaan dan frekuensi sudut w terhadap waktu t.

DAFTAR PUSTAKA Bronson, R dan Costa. G, 2007, Persamaan Differensial, Edisi ketiga, Terjemahan Layukallo,T.

dkk. Erlangga Jakarta:. Caldwell, Jim, Mathematical ModellingCase and Project, New York, 2004 Hayt,W.H. danKemmerly,J.E., Engineering Circuit Analysis, McGraw-Hill,New York, 1986. Hutahean, R.Y, 2011, Getaran Mekanik, CVAndi Yogyakarta Crouse,W.H. dan D. L. Anglin., 1978, MotorVehicle Inspection, McGraw-Hill Book Company. USA James, G., 1996, Modern Engineering Mathematics, 2nd ed., Addison- Wesley, London Kartono,1994, Penuntun Belajar Persamaan Diferensial, Andi Offset, Yogyakarta Kreyszig, E., 1993, AdvancedEngineering Mathematics,7thed., Wiley,New York, Purcell, EJ. dan Varberg, D, 1999, Kalkulus dan Geometri Analitis, Edisi kelima jilid2. Terjemahan

Susila, INyoman dkk. Erlangga Jakarta Yakowitz, S. and Szidarovsky, F., 1986 An Introductionto Numerical Computation, Macmillan,

NewYork http://id.wikipedia.org/wiki/DaihatsuXenia.(diakses tanggal13September 2013).

Page 23: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

67

SINTESIS DYE DARI RIMPANG KUNYIT, AKAR BEET DAN DAUN PANDAN SERTA CAMPURANYA UNTUK APLIKASI DYE SENSITIZED

SOLAR CELLS(DSSC)

Dahyunir Dahlan, Tjiauw Siaw Leng Jurusan Fisika, FMIPA - Universitas Andalas Kampus LimauManis, Pauh, Padang 25163

e-mail: [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan sintesis dan karakterisasi dye organik dari bahan rimpang kunyit(Curcumae Domesticae Rhizoma), akar bit (Beta Vulgaris), daun pandan (Pandanus Amaryllifolius Rexb), dye campuran rimpang kunyit dan daun pandan, dye campuran akar bit dan daun pandan serta dye campuran akar bit dan rimpang kunyit. Bahan-bahan dye dihaluskan secara mekanik dengan mortar, kemudian dilarutkan dalam etanolsehingga membentuk larutan dye. Larutan tersebut disaring dengan kertas saring Whatman 1001125. Larutan dye yang telah disaring kemudian dikarakterisasi denganSpectrophotometer UV-Vis (ultra violet-visible). Didapatkan hasil spektrofotometri UV-Vis untuk puncak panjang gelombang serapan rimpang kunyit, akar beet dan daun pandan masing-masingadalah 468,03 nm, 534,85 nm dan 668,99 nm. Campuran dye dengan rentang gelombang lebar sangat berguna untuk diaplikasikan pada DSSC, karena lebih banyak energi matahari yang diubah menjadi energi listrik. Kata Kunci: DSSC, kunyit, akar beet, daun pandan, dye tunggal, dye campuran.

ABSTRACT The synthesis and characterization of organic dye from material turmeric(Curcumae Domesticae Rhizoma), beetroot(Beta vulgaris), pandanus(Pandanu samaryllifoliusRexb), dyemixture ofturmericandpandanus leaves, the dyemixture ofbeet rootandleaves of pandanusanddyemixturebeetrootandturmeric have been Prepared. Dye materials mechanically crushed with a mortarand then dissolved in ethanol to form a dye solution. The solution was filtered by What man filter paper1001125.Dye solution is filtered and then characterized byUV-Vis Spectrophotometer(ultraviolet-visible). The results ofUV-Visspectrophotometry was obtained for peak absorption wavelength of turmeric, beetroot and leaves of pandanusrespectively are 468.03nm, 534.85nm and 668.99nm. A mixture of dye with a wide range of wavelengths is very useful for application in DSSC, because more solar energy is converted into electrical energy.

I. PENDAHULUAN Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) merupakan sel surya generasi ketiga (Kalyanasundaram

K., 2010 ) yang mendapat banyak perhatian ilmuwan dan dunia industri keenergian. DSSC merupakan kandidat utama energi terbarukan di masa sekarang dan masa depan. Secara umum DSSC terdiri atas komponen-komponen fotoanoda, zat elektrolit dan elektroda lawan (counter electrode).

Gambar 1: Struktur standar DSSC

Fotoanoda merupakan bagian dari DSSC dengan kaca substrat TCO (tranparent conductive oxide)yang pada permukaan konduktifnya, semikonduktor TiO2(Titanium oksida) dideposisikan dan dye menenempel pada TiO2. Larutan elektrolit berfungsi menjaga keberlangsungan reaksi reduksi

Page 24: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

68

oksidasi pada DSSC. Umumnya larutan yang dipakai merupakan pasangan ion iodida dan ion triiodida (I- /I3

-). Elektroda lawan umumnya berupa subtrat TCO yang dilapisi dengan platina, emas atau karbon, berfungsi mempercepat kinetika reaksi reduksi ion triiodida menjadi ion iodida.

Dye merupakan salah satu bagian penting pada DSSC, dan secara umum dibedakan atas dye sintesis dan dye alami. Dye sintesis umumnya berasal dari kompleks polipiridil seperti Ruthenium, Osmium, Porpirin dam lainnya. Dye yang berasal dari senyawa kompleks Ruthenium memiliki beberapa kelebihan, diantaranya menghasilkan efisiensi yang tinggi, memiliki stabilitas yang tinggi dan menyerap spektrum cahaya yang cukup lebar (Hernandez, dkk.,2013). Kekurangan dye jenis sintesis adalah jumlahnya yang terbatas di alam, beracun mahal dan proses sintesisnya yang rumit. Dye alami umumnya berasal dari bagian daun, bunga, batang(kulit), biji, buah dan akar tanaman. Dye alami menarik perhatian karena ramah lingkungan, murah, tersedia melimpah dan sensitif terhadap cahaya yang berintensitas rendah (Park, dkk., 2012). Namun memiliki kekurangan dalamhal stabilitas yang rendah, mudah tergradasi oleh air dan sinar ultraviolet.

Pemilihan jenis dye alami dan pengolahan yang tepat dapat mengatasi keterbatasan penggunaan dye alami.Dye memiliki pigmen warna yang berbeda-beda menyerap panjang gelombang yang berbeda pula.Dye alami yang digunakan sebagai foto sensitiser berasal dari Coumarin, Antosianin, Cyanin, Indolin, Hemicyanin, Triphenilamin, dialkilanilin dan sebagainya (Chiang, dkk., 2013; Monishka, 2011). Penggunaan dua atau lebih janis dye yang berbeda warna akan memberikan keuntungan bagi DSSC karena dapat menyerap panjang gelombang dalam rentang yang lebih lebar(Park, dkk., 2014; Cho, dkk., 2014). Disamping itu gugus fungsi yang berbeda membuat dye yang memiliki gugus karboksilat dapat menempel dengan baik pada semikonduktor TiO2. Hasilnya efisiensi DSSC dapat meningkat dibanding penggunaan dye tunggal.

II. METODOLOGI 2.1 Pemilihan Dye Alami

Dye alami yang akan dijadikan sebagai sensitiser pada DSSC dipilih berdasarkan panjang gelombang serapnya, seperti dye dari klorofil menyerap panjang gelombang 600-700 nm, dye yang mengandung antosianin dengan panjang gelombang 500-600 nm. Faktor lain dye alami yang baik pada DSSC adalah dye yang dapat menempel dengan baik pada material semikonduktor, seperti dye dari kunyit yang menempel kuat pada material. Pada penelitian ini dye yang digunakan berasal dari rimpang kunyit (Curcumae Domesticae Rhizoma) yang mengandung kurkumin yang memberikan warna kuning. Akar bit (Beta Vulgaris) dan daun pandan (Pandanus Amaryllifolius Rexb) juga digunakan sebagai sumber dye.

2.2 Pembersihan Bahan Dye Alami Bahan-bahan dye alami dari rimpang kunyit, akar bit dan daun pandan dibersihkan dengan air

ledeng, dibilas beberapa kali dan terakhir dibilas dengan air suling. Kemudian akar bit dan rimpang kunyit dikupas kulitnya sampai bersih.

2.3 Proses Pengeringan dan Penggerusan Dye Alami Daun pandan yang telah dibersihkan, ditaruh di atas tisu, ditutup dengan tisu dan dibiarkan

sampai kering. Setelah kering, daun pandan dipotong kecil-kecil dan digerus dalam mortar sampai halus. Akar bit dan rimpang kunyit yang sudah dibersihkan juga digerus dalam mortar sampai halus. Penggerusan bahan-bahan tersebut dilakukan pada ruang gelap agar dye tidak bereaksi dengan cahaya.

2.4 Proses Perendaman Dye Alami Bahan-bahan dye alami yang sudah halus, ditimbang sebanyak 10 gram dengan timbangan

digitaldan dicampur dengan 50 ml etanol murni dalam botol gelap dan dibiarkan selama kurang lebih 2 jam, supaya pigmen-pigmen dye larut dalam etanol.

2.5 Proses Penyaringan Dye Alami Larutan dye yang telah direndam selama 2 jamdisaring dengan kertas saring berpori kecil

merek Whatman 1001125. Ekstrat hasil penyaringan selanjutnya disimpan dalam botol gelap dan siap digunakan sebagai sumber dye pada DSSC.

Page 25: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

69

2.6 Karakterisasi dengan Spektrofotometer UV-Vis (Ultravilet-Visible) Karakterisasi dye dengan spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui tingkat serapan dan

panjang gelombang yang diserap oleh larutan untuk dye tunggal dan dye campuran. Pengukuran dengan spektrometer UV-Vis dilakukan pada dye yang berasal dari daun pandan, akat bit, rimpang kunyit, dye campuran pandan-kunyit, dye campuran pandan-akar bit, dye campuran kunyit-akar bit.Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 1-6.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Grafik 1 hingga 6 menunjukkan hasil pengukuran spektrofotometer UV-Vis. Puncak panjang

gelombang yang diserap oleh dye kunyit, dye akar bit dan dye daun pandan masing-masing adalh 468,03 nm, 534,85 nm dan 668,99 nm.

Dari hasil pengukuran UV-Vis panjang gelombang berbeda-beda yang diserap dapat dimanfaatkan sebagai dye pada DSSC. Penggunaan campuran dua jenis dye atau lebih membuat daya absorsi DSSC terhadap cahaya tampak menjadi lebih efektif karena lebih lebarnya panjang gelombang yang diserap.

Gambar 1. Spektrum absorpsi akar bit

Gambar 2. Spektrum absorpsi kunyit

Page 26: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

70

Gambar 3. Spektrum absorpsi pandan

Gambar 4. Spektrum absorpsi akar bit dan pandan

Gambar 5. Spektrum absorpsi kunyit dan akar bit

Page 27: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

71

Gambar 6 Spektrum absorpsi kunyit dan pandan

IV. KESIMPULAN Penelitian sintesis Dye rimpang kunyit, akar bit dan daun pandan menunjukkan bahwa dye-

dye diatas dapat digunakan sebagai sumber dye untuk aplikasi DSSC organik. Selain itu penggunaan campuran dye-dye ini diharapkan akanmeningkatkan efisiensi pada DSSC karena rentang panjang gelombang yang diserap menjadi lebih lebar.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada

masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI melalui DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran).Universitas Andalas No DIPA:023.04.1.673453/2015, atas bantuan pembiayaan pada penelitian Hibah Program Pascasarjana Unand 2015 ini.

DAFTAR PUSTAKA Chien Yu Chiang dan Hsu Dar Ban, 2013, ‘Optimization of the dye sensitized solar cell with

anthocyanin as photosensitizer’, Solar Energy, Elsevier, vol.98, pp. 203-211. Cho Ching Kun, Chang Ho, Chen Hao Chih, Kao Jung Mu dan Lai RongXuan., 2014,‘A study of

Mixed Vegetable Dyes with Different Extraction Concentrations for Use as a Sensitizer forDye Sensitized Solar Cells’, Hindawi Publishing Corporation International journal of Photoenergy, vol. 10, pp. 1155-1160.

Kalyanasundaram K., 2010, ‘Photochemical and photoelectrochemical approaches to energy conversion’, in Kalyanasundaram K. (ed) Fundamental sciences dye sensitized solar cells, EPFL, Switzerland, pp. 9

Martinez Hernandez, Estevez Miriam, Vargas Susana,F. Quintanilla dan R. Rodríguez., 2013, ‘ Stabilized Conversion Efficiency and Dye Sensitized Solar Cells from Beta Vulgaris Pigment’, Int. J. Mol. Sci, vol. 14, pp. 4081-4093.

Park Hee Kyung, Kim Young Tae, Han Shin, Ko Seok Hyun, Lee Ho Suk, SongMin Yong, Kim Hun Jung dan Lee Wook Jae., 2014, ’Light Harvesting over a wide Range of Wavelength using natural dyes of gardenia and cochineal for dye Sentisitized solar cells’, Spectrocimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy, Elsevier, vol. 128, pp. 868-873.

Park H. Kyung, Kim Y. Tae, Park Young Ju, Jin Mei En, Yim Ho Soon, Fisher Gerald John dan Lee Wook Jae., 2012, ‘ Photochemical properties of dye sensitized solar cell using mixed natural dyes extracted from Gardenia Jasminiode Ellis’, Journal of Electroanalytical Chemistry, Elsevier, vol. 689, pp. 21-25.

Narayan Rita Monishka, 2011, ‘ Review: dye Sensitized solar cells based on natural photosensitizers’, Renewable and Sustainable Energy Reviews, Elsevier, vol. 16, pp. 208-215.

Page 28: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

72

EFEK WAKTU WET MILLING DAN SUHU ANNEALING TERHADAP SIFAT FISIS, MIKROSTRUKTUR DAN MAGNET DARI FLAKES NdFeB

Wahyu Solafide Sipahutar1*, Awan Maghfirah1, Prijo Sardjono2 1Jurusan Fisika, FMIPA – Universitas Sumatera Utara

Padang Bulan, Medan,Sumatera Utara,20155 2Laboratorium Keltian Magnet Pusat Penelitian Fisika-LIPI

Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan,15314 *Email: [email protected]

ABSTARK Telah dilakukan penelitian pembuatan magnet dari flakes NdFeB dari proses wet milling menggunakan ball mill terhadap sifat fisis, mikrostruktur,dan sifat magnetnya dengan variasi waktu milling yaitu 16 jam,24 jam, 48 jam,72 jam. Serbuk hasil mechanical milling menggunakan ball mill kemudian dianalisa ukuran partikel yang dihasilkan dengan menggunakan PSA dan XRD. Kemudian dilakukan pembuatan sampel uji berupa pelet dengan proses kompaksi melalui cetak isotropi dengan tekanan 10 Ton. Setelah didapatkan sampel pelet, diberikan suhu annealing untuk memperbaiki strukturkristal dengan variasi 150,170 ˚C, kemudian dilakukan karakterisasi mikrostruktur dengan SEM-EDX dan sifat magnet dengan Gaussmeter, Permaegraph dan VSM. Dari hasil penelitian diperoleh ukuran partikel optimum dengan waktu milling 48 jam yaitu 1,49 µm. Hasil XRD menunjukkan bahwa fasa yang muncul hanya fasa Nd2Fe14B, fasa ini dapat dipertahankan hingga variasi waktu milling 72 jam. Densitas yang dihasilkan semakin meningkat dengan meningkatnya variasi waktu millling. Mikrostruktur dan komposisi yang dihasilkan dari analisa SEM-EDX adalah Nd, Fe, dan Pr, serta kuat medan magnet yang dihasilkan dengan suhu annealing 170˚C pada sampel 72 jam yaitu 430 Gauss. Kata Kunci : Flakes NdFeB, Mechanical Milling, Wet Milling, Sifat Fisis, Mikrostruktur, Sifat Magnet

ABSTRACT

Had made research manufacture magnets flakes NdFeB of wet milling process using a ball mill to the physic properties, microstructure, and magnetic properties with variations milling time is 16 hours, 24 hours, 48 hours, 72 hours. Powder result of mechanical milling using a ball mill and then analyzed the resulting particle size by using PSA and XRD. Then do the manufacture of test samples in the form of pellets by compaction process through print isotropy. Having obtained a sample of pellets, given annealing temperature for repair the cristal structure with a variation of 150.170 ° C, then the microstructural characterization by SEM-EDX and magnetic properties with a Gaussmeter, Permaegraph and VSM. The results were obtained with the optimum particle size milling time of 48 hours is 1.49 lm. XRD results showed that the phase appeared only Nd2Fe14B phase, this phase can be maintained until the variation of milling time of 72 hours. The resulting density increases with increasing variation millling time. Microstructure and composition resulting from the analysis of SEM-EDX is Nd, Fe, and Pr, as well as the magnetic field strength generated by annealing temperature 170C on a sample of 72 hours is 430 Gauss. Keywords: Flakes NdFeB, Mechanical Milling, Wet Milling, Physic properties, microstructure, Properties Magnet

I. PENDAHULUAN 1.1 Magnet Permanen

Perkembangan magnet permanen pada saat ini sangat difokuskan untuk magnet permanen energi tinggi. Salah satu bahan magnet yang dapat menghasilkan energi tinggi adalah jenis dari RE-Fe-B (RE (Rare Earth)= Nd,Pr)(Scott, dkk., 1996). Magnet permanen berjenis RE-Fe-B ini terbuat dari paduan logam tanah jarang berjenis Neodymium atau Praseodymi-um, logam Besi, dan Boron dengan fasa magnet (Fraden, 2010). Nd2Fe14B merupakan salah satu jenis magnet permanen yang berbasis logam tanah jarang.

Jenis magnet permanen yang diketahui terdapat pada :

Page 29: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

73

1. Magnet Neodymium, merupakan magnet tetap yang paling kuat. Magnet neodymium (juga dikenal sebagai NdFeB, NIB, atau magnet Neo), merupakan sejenis magnet tanah jarang terbuat dari campuran logam neodymi-um.

2. Magnet Samarium – Cobalt : salah satu dari dua jenis magnet bumi yang langka, merupakan magnet permanen yang kuat tebuat dari paduan samarium cobalt.

3. Magnet Keramik, misalnya Barium Hexaferrite . 4. Plastic Magnet dan Magnet Alnico.

Tabel 1. Perbandingan karakteristik magnet permanen.

Dari beberapa macam bahan magnet tersebut yang memiliki sifat kemagnetan yang tinggi dan

menjadi trend material magnet ke depan adalah magnet berbasis Nd-Fe-B. Pada era kemajuan teknologi dimana material magnet berbasis Nd-Fe-B banyak dibutuhkan oleh industri-industri motor listrik, industri otomotif, industri elektronik, dan industri generator listrik (Bahadur, dkk., 2006).

Aplikasi magnet permanen pada saat ini semakin berkembang dengan diperolehnya serbuk bahan tersebut dalam ukuran yang sangat kecil atau dalam skala nanometer. Magnet permanen merupakan suatu material yang sangat strategis untuk dikembangkan di masa depan. Penguasaan teknologi produksi magnet permanen diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang signifikan, dengan mempertimbangkan belum adanya produsen magnet lokal untuk memenuhi kebutuhan magnet permanen dalam negri. Oleh karena itu, diperlukan suatu kegiatan riset yang intensif untuk mengembangkan sistem produksi magnet permanen (Sardjono, dkk., 2012).

1.2 Mechaniccal Milling Mechanical Milling atau dipendekkan milling adalah suatu penggilingan mekanik dengan

suatu proses penggilingan bola dimana suatu serbuk yang ditempatkan dalam suatu wadah penggilingan di giling dengan cara dikenai benturan bola-bola berenergi tinggi. Proses ini merupakan metode pencampuran yang dapat menghasilkan produk yang sangat homogen. Proses milling disini selain bertujuan untuk memperoleh campuran yang homogen juga dapat memperoleh partikel campuran yang relatif lebih kecil sehingga dapat diharapkan sifat magentik dari bahan NdFeB yang lebih baik. Pada penelitian ini akan ditambahkan Toluen pada saat penggilingan basah (Wet Milling) untuk mencegah terjadinya proses oksidasi (korosi) NdFeB pada saat penggilingan dilakukan (Izumi dan Rietveld, 2012).

Untuk mengembangkan perkem-bangan teknologi yang semakin pesat dan canggih tersebut, maka pada penelitian ini akan dipelajari efek waktu wet milling dan suhu annealing terhadap sifat fisis, mikrostruktur dan magnet dari flakes NdFeB.

II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Bahan

Berikut ini adalah bahan bahan yang digunakan dalam percobaan :

1. Flakes NdFeB type N35H, digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan magnet permanen. 2. Celuna (WE-518), digunakan sebagai pereket atau matriks pengikat bahan NdFeB 3. Toluen, digunakan sebagai pelarut dalam proses milling dengan metode wet mill.

Material Induksi Remanen (Br)T

Koersifitas (Hc)MA/m

Energi Produk (BHmax)

SrFerit 0,43 0,20 34 Alnico 5 1,27 0,05 44 Sm2Co17 1,05 1,30 208 Nd2Fe14B 1,36 1,03 350

Page 30: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

74

2.2 Alat Berikut adalah peralatan utama yang digunakan selama percobaan :

1. Ball Milling Berfungsi sebagai alat penggiling serbuk magnet NdFeB menjadi serbuk yang sangat halus.

2. Vacum Oven Furnace Berfungsi sebagai pengering sampel dan sebagai alat yang digunakan untuk proses Annealing

3. Micro-Computer Universal Testing Machiness Berfungsi untuk menekan pada proses cold compression sampel yang telah dimasukkan ke dalam cetakan dengan kekuatan tekanan 10 Ton.

4. Magnet-Physic Dr Steingroever GmbH Impulse magnetizer K-Series Berfungsi sebagai alat magnetisasi sampel magnet NdFeB

5. Neraca Digital 4 digit ( BP 221 S ISO 9001) Berfungsi untuk menimbang massa serbuk magnet NdFeB dengan ketelitian 0,0001 g.

6. PSA Cilas (Particle Size Analyzer) Berfungsi untuk menganalisa ukuran partikel serbuk magnet NdFeB

7. XRD (X-Ray Difractometer)Berfungsi untuk menganalisa struktur serbuk magnet NdFeB. 8. VSM (Vibrating Sample Magnetometer ) Tipe OXFORD VSM l.2H. Berfungsi untuk mengetahui

sifat magnetik material. 9. Gaussmeter Berfungsi untuk menganalisa sifat magnet pelet magnet NdFeB.

2.3 Prosedur Penelitian Dilakukan teknik preparasi proses milling yaitu dengan menimbang massa NdFeB dengan

massa bolla milling 1:8. Proses preparasi dilakukan dalam keadaan vacum, sehingga dilakukan di dalam glove box. Selanjutnya dilakukan proses mechanical milling dengan ball milling dengan metode wet milling (dalam keadaan basah) yaitu dengan menambahkan toluen untuk menghindari proses oksidasi, variasi milling yang dilakukan adalah 16, 24, 48, dan 72 jam.

Kemudian serbuk yang didapatkan dari proses milling, dikarakterisasi dengan PSA untuk mengetahui diameter partikel dari proses milling, XRD untuk mengetahui kualitas fasa kristal yang terbentuk selama proses mechanical milling dan VSM untuk mengetahui perubahan sifat magnet yang dihasilkan melalui proses mechanical milling. Setelah proses milling kemudian bahan dicampur dengan perekat Polimer Celuna WE – 518 sebanyak 3% (berat), dicetak dengan tekanan 70 kgf/cm, sesudah dicetak sampel pelet yang didapatkan dari proses kompaksi dihitung nilai densitasnya kemudian dilanjutkan dengan proses annealing dengan variasi suhu 150˚C dan 170˚C, kemudian dimagnetisasi dengan tegangan 1500 V. Setelah perlakuan magnetisasi sampel pelet siap untuk dikarakterisasi dengan Gaussmetter untuk mengetahui kuat medan magnet tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Data Dari Karakterisasi PSA

Adapun hasil pengukuran partikel serbuk magnet NdFeB terhadap variasi waktu milling adalah sebagai berikut: ukuran diameter partikel terbesar dimiliki oleh serbuk NdFeB dengan waktu milling 16 jam, yaitu pada diameter 10% sebesar 20,26 µm, pada diamater 50% sebesar 41,65 µm, dan pada dimater 90% sebesar 68,67 µm.Ukuran diameter partikel terkecil dimiliki oleh serbuk NdFeB pada waktu milling 48 jam yaitu pada diameter 10% sebesar 0,3 µm, pada diameter 50% sebesar 1,49 µm, dan pada diameter 90% 4,7 µm. Hal ini menunjukkan bahwa waktu milling memiliki korelasi yang berbanding lurus dengan ukuran diameter partikel.

Tabel 1 Karakterisasi hasil analisa ukuran partikel (PSA)

Waktu (Jam)

Diameter 10%(µm)

Diameter 50%(µm)

Diameter 90%(µm)

16 20,26 41,65 68,67 24 6,82 18,48 42,15 48 0,3 1,49 4,7 72 3,42 8,66 17,05

Page 31: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

75

Gambar 2 Hasil Pengukuran PSA terhadap Variasi Waktu Milling

Dari tabel 1 dan Gambar 2 ini dapat diketahui bahwa dengan metode wet milling maka diameter partikel akan semakin kecil seiring bertambahnya waktu milling dan mencapai puncaknya pada 48 jam dengan ukuran 0,3µm. Namun pada waktu milling diteruskan hingga 72 jam terjadi aglomerasi atau penggumpalan yang menyebabkan diameter partikel semakin besar. Penggumpalan ini disebabkan karena semakin lamanya waktu milling (Radyumikono, dkk., 2012).

Aglomerasi merupakan proses bergabungnya partikel-partikel kecil menjadi struktur yang lebih besar melalui peningkatan sifat fisis seperti suhu. Semakin lama proses milling maka ukuran partikel cenderung semakin halus dan cenderung teraglomerasi akibat interaksi gaya elektrostatis yang cukup kuat pada partikel tersebut (Johan, dkk., 2007). Semakin lama waktu milling maka temperatur milling akan meningkat juga. Dengan naiknya temperatur milling maka ukuran serbuk yang dimilling akan mengecil kemudian semakin membesar (Suryanarayan, 2001).

3.2 Hasil Analisa Densitas Bulk NdFeB Pengujian untuk mengetahui densitas Bulk magnet NdFeB dilakukan dengan metode biasa,

yaitu dengan mebagi langsung massa dengan volume bulk magnet NdFeB. Dan hasil pengujian densitas bulk dari setiap variasi waktu milling dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 2 Hasi pengukuran densitas terhadap waktu milling

Variasi Waktu Milling(Jam)

Densitas Bulk Magnet NdFeB (gr/cm3)

16 5,025 24 5,045 48 5,084 72 5,061

Gambar 3 Densitas dari setiap waktu milling.

Page 32: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

76

Hasil densitas ditunjukkan pada Gambar 3. Dari tabel 2 dan gambar 3 diatas diketahui bahwa nilai densitas dari bulk magnet NdFeB tersebut semakin besar dengan bertambahnya waktu milling. Hal ini disebabkan jika ukuran diameter partikel semakin kecil maka nilai bulk density akan semakin membesar. Selain itu korelasi antara bulk density dengan ukuran partikel juga berbanding terbalik. Semakin kecil ukuran serbuk magnet maka nilai bulk density cenderung naik. Hal ini disebabkan karena semakin kecil ukuran serbuk maka kepadatan pelet juga semakin tinggi (Yuswita, 2012). Namun nilai densitas pada waktu milling 72 jam menurun dikarenakan ukuran serbuk yang lebih besar dari serbuk magnet pada waktu milling 48 jam.

3.3 Data Dari Pengujian Kuat Medan Magnet (Gaussmeter) Adapun hasil dari magnetisasi untuk keadaan suhu annealing 150˚C dan 170˚C pada Tabel 3

dibawah ini.

Tabel 3 Kuat medan terhadap suhu

Waktu Milling (Jam)

Suhu 150˚C (Gauss)

Suhu 170˚C (Gauss)

16 284,4 312 24 254,5 301 48 340,6 412,4 72 380,3 430

Dari hubungan Tabel 3 dan Gambar 4 dijelaskan nilai kuat medan dari setiap waktu milling

cendrung naik, namun terjadi penurunan kuat medan magnetik pada waktu milling 24 jam. Akan tetapi Penurunan kuat medan pada waktu milling 24 jam tidak lah terlalu turun secara dratis. Pada penelitian sebelumnya oleh Johan, dkk. (2007) tentang “Hubungan Proses Milling Disertai Proses Annealing Terhadap Sifat Magnetik Bahan” menjelaskan bahwa Penurunan sifat magnetik ini diperkirakan akibat mekanisme interaksi spin momen magnet atom di dalam kristalit terganggu akibat cacat kristal yang terbentuk selama proses milling. Untuk memperbaiki struktur kristal dan rekonstruksi bahan akibat proses milling, dapat dilakukan melalui proses annealing. Dengan penambahan suhu annealing sifat magnetik bahan tersebut semakin membaik. Hal ini dikarenakan bahwa melalui suhu annealing tersebut dapat membentuk kembali fasa NdFeB yang deformasi akibat proses milling, namun dengan ukuran kristal yang tetap halus.

Gambar 4 Hasil Pengukuran Gaussmeter

Menurut hasil penelitian Tony Kristiantoro, dkk menjelaskan bahwa besar fluks magnetik dapat dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka semakin besar juga nilai Br dan kuat medan dari pelet magnet tersebut (Kristiantoro, dkk., 2013).

Page 33: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

77

3.4 Data Dari Pengujian Sifat Magnet (VSM) Pengukuran sifat magnetik bahan dengan VSM ini dilakukan di laboratorium Magnetik-

Bidang Zat Mampat -PJIB-BATAN dengan tipe VSM Oxford VSM 1.2 T. Adapun hasilnya sebagai berikut:

Tabel 4 Besaran magnetisasi dan medan magnet dengan waktu milling

Dari Gambar 5 dan Tabel 4 dapat diketahui dengan perbedaa waktu milling antara 0 jam dan 24 , 48 dan 72 jam terjadi peningkatan nilai magnet remanen (Mr), magnet saturasi(Ms), dan medan magnet(Hc). Hal ini karena, dari pengujian nilai densitas dapat kita ketahui bahwa dengan adanya penambahan waktu milling maka nilai densitas yang dihasilkan cendrung naik.

Menurut Hasil penelitian Endang, S. Barorani dijelaskan bahwa Pengaruh waktu milling terhadap sifat –sifat magnet menunjukkan bahwa pengaruh waktu milling akan menaikkan harga U, H , Br, dan BHmax, serta dapat menurunkan Bmax dan Ps. Sifat-sifat magnet ditentukan oleh sifat fisik dari magnet yang dihasilkan seperti besar butir dan densitas . Setiap peningkatan harga densitas maka secara umum akan meningkatkan sifat kemagnetan seperti Hmax, Br, Uc dan Hc. Dengan semakin padatnya material (densitas naik) maka jumlah momen magnet per satuan volume semakin banyak sehingga sifat magnet menjadi bertarnbah dibanding dengan material dengan harga densitas lebih kecil.

Gambar 5 Kurva histerisis besaran magnetisasi dengan waktu milling

Waktu Milling (Jam)

Mr (emu/gr)

Ms (emu/gr)

Hc (Tesla)

0 18 80 0,05

24 40 100 0,1

48 42 110 0,11

72 50 110 0,12

Page 34: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

78

Magnet permanen yang berukuran kecil dan menyebar memiliki domain yang lebih searah, dibanding butir kristal yang berukuran besar. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan domain tunggal, diperlukan butiran kristal berukuran yang sangat kecil, yaitu melalui proses milling. Dengan membuat magnet yang berstruktur domain tunggal, kekuatan magnet yang terbentuk dapat lebih optimal.(Suryadi, dkk., 2007)

Hal ini dapat dijelaskan juga, bahwa faktor struktur kristal memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap sifat-sifat magnet permanen. Nilai Hc juga dipengaruhi oleh ukuran kristal yang berperan dalam menghambat pergerakan dinding domain. Semakin kecil ukuran kristal berarti semakin banyak batas antar kristal dan semakin banyak penghalang pergerakan dinding domain sehingga ketahanan terhadap medan demagnetisasi semakin besar yang berarti harga Hc semakin tinggi. Sebaliknya semakin besar ukuran kristal, dinding domain makin mudah bergerak sehingga ketahanan terhadap medan magnet demagnetisasi semakin kecil yang berarti harga Hc semakin kecil (Saidah dan Zainuri, 2012).

IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Melalui proses mechanical milling dengan semakin lama waktu milling maka didapatkan ukuran diameter partikel yang semakin kecil. Waktu optimum milling adalah 48 Jam yaitu dengan ukuran diameter partikel 50% 1,49 µm. Dan apabila proses milling dilanjutkan hingga 72 jam akan terjadi aglomerasi atau penggumpalan.

2. Melalui proses mechanical milling dengan semakin lama waktu milling dapat menaikkan harga sifat magnet yaitu menaikkan nilai Hc, Ms, dan Mr. Hal ini dikarenakan ukuran partikel yang semakin kecil sehingga membuat partikel tersebut menjadi single domain, sehingga arah medan magnet mudah menjadi searah.

3. Dengan pemberian suhu annealing yang semakin meningkat dapat menaikkan kuat medan magnet, hal ini dikarenakan suhu annealing dapat memperbaiki struktur kristal dan rekontruksi bahan.

UCAPAN TERIMA KASIH Bapak Awan Maghfirah, S.Si, M.Si, Bapak Ing. Prijo Sardjono dan Bpk.Ir.Muljadi,M.si. Ibu

Mujamillah sebagai dosen pembimbing penelitian dan seluruh staf laboratorium Magnet , Bidang Fisika Bahan Baru, Pusat Penelitian Fisika LIPI Gd. 440 Kawasan Puspiptek Serpong, dan PSTBM-BATAN Gd. 42 Kawasan Puspiptek Serpong.

DAFTAR PUSTAKA Bahadur D., S. Rajakumar and Ankit Kumar, 2006, Influence of Fuel Ratios on Auto Combustion

Syntehesis of Barium Ferrite Nano Particles, J. Chem. Sci., Vol., 118, No. 1, pp. 15-21. Fraden, J. 2010. Handbook of Modern Sensors: Physics, Design, and Applications, 4th Ed.

USA : Springer. pp. 73. ISBN 1441964657 Idayanti, N, Irasari,P Sudrajat,N Muliani,L. dan Kristiantoro,T., 2007,“Pembuatan Magnet Permanen

Bonded Hybrid Untuk Aplikasi Generator Kecepatan Rendah”, Jurnal Sains Materi Indonesi, No.536, 141-144.

Izumi, I., dan A, Rietveld. 2012. Refinement Program RIETAN – 94 for Angie – Dispersive X – Ray and Neutron Powder Difraction. National Institute for Research In organic materials 28. 104 -110

Johan, A., Ridwan, Mujamilah dan Ramlan.2007, Magnetik Nanokristalin Bari -um Heksaferit (Bao 6fe2o3) Hasil Proses High Energy Milling, Jurnal Sains Materi Indonesia Edisi Khusus. 120 – 125

Kristiantoro, T., Nanang Sudrajat, dan Widhya Budiawan. 2013, Pembuatan dan Karakterisasi Magnet Bonded NdFeB dengan Teknik Green Compact, Jurnal Fisika Dan Aplikasinya Volume 9, Nomor 1. 9-11

Radyumikono, Nofrizal, Dwiwahyu Nugroho dan Tito Prastyorahman.2012. ”Sintesis Nano-partikel Zno Dengan Metode Mechano-chemical Milling”.Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan 2012.60 – 62

Saidah, N.I. dan M. Zainuri. 2012, Pengaruh Variasi pH Pelarut HCl Pada Sin-tesis Barium M-Heksaferrit Dengan Doping Zn(BaFe11,4Zn0,6O19) Menggunakan Metode Kopresipitasi, Jurnal Sains Dan Seni ITS Vol. 1, No. 1. 41 – 46

Page 35: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

79

Sardjono,P., Kurniawan,C., Sebayang,P. dan Muljadi, 2012, “Aplikasi Magnet Permanen di Indonesia (Data Pasar dan Pengembangan Material Magnet), Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan Teknik, 1-5.

Scott, B.W., B. M. Ma, Y. L. Liang, and C. O. Bounds, 1996, Microstructural control of NdFeB cast ingots for achieving 50 MGOe sintered magnets, J. Appl. Phys. Vol. 79, No. 8, pp. 4830 – 4832

Suryadi, Budhy Kurniawan, dan Hasbiyallah, 2007, Sintesis Nanopartikel Ferit Untuk Bahan Pembuatan Magnet Domain Tunggal Dengan Mechanical Alloying, Indonesian Journal of Materials Science Vol. 11, No. 1. 33 – 37

Suryanarayan, C. 2003, Mechanical Alloying and Milling, Network : Colorado School of Mines Golden ,Colorado . Co 80401 – 1887, USA

Suryanarayan , C . 2001, Mechanical Alloying dan Milling, Progress In Materials Science 46 hal 11 – 15, 22 – 31, 32 – 39

Page 36: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

80

EFEK TEMPERATUR SINTERING PADA UKURAN KRISTAL DAN KONSTANTA DIELEKTRIK MATERIAL FERROELEKTRIK BARIUM

TITANAT

Y.Iriani1*, A.Supriyanto1, A.Jamaluddin2, M.Istiqomah1 1Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret

2Program Studi Fisika FKIP Universitas Sebelas Maret *email: [email protected]

ABSTRAK Material ferroelektrik Barium Titanat (BaTiO3) dengan variasi suhu telah berhasil dibuat dengan metode solid state reaction. Bahan dasar yang digunakan pada pembuatan Barium Titanat adalah Barium Carbonat (BaCO3) dan Titanium Oksida (TiO2) berdasarkan perhitungan mol. Kedua bahan tersebut dicampur menggunakan mortar selama 5 jam dan dipress. Sampel yang terbentuk berupa padatan (bulk). Selanjutnya dilakukan proses termal menggunakan furnace dengan variasi temperatur 700oC, 800oC, dan 900oC pada waktu tahan 5 jam. Peralatan X-ray Diffraction (XRD) digunakan untuk menguji struktur mikro dan RLC meter untuk menguji konstanta dielektrik. Data pola difraksi yang didapatkan menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur semakin homogen BaTiO3. Seiring dengan bertambahnya temperatur sintering, mengakibatkan intensitas, ukuran kristal dan tingkat kekristalan makin besar. Konstanta dielektrik material ferroelektrik BaTiO3 makin tinggi seiring dengan bertambahnya temperatur sintering. Konstanta dielektrik untuk temperatur 700oC, 800oC dan 900oC adalah : 127, 197, 250 satuan, dan nilai tersebut untuk temperatur berapa?. Konstanta dielektrik tidak bersatuan Kata kunci: BaTiO3, solid state reaction, ukuran kristal, ferrolektrik

ABSTRACT Ferroelectric material of Barium Titanate (BaTiO3) with temperature variation were successfully made by solid state reaction methods. Raw materials used in making Barium Titanate are Barium Carbonate (BaCO3) dan Titanium Oxide (TiO2) based on calculation mole. Both materials are mixed using a mortar and pressed for 5 hours. Formed samples are solid (bulk). The next step is thermal process using a furnace with temperature 700oC, 800oC and 900oC at holding times 5 hours. Equipment X-ray Diffraction (XRD) was used to examine the microstructure and RLC meter to test the dielectric constant. Data obtained diffraction pattern shows that the higher the temperature the more homogeneous BaTiO3. The increasing sintering temperature causes increased amount of intensity, crystal size and crystal level. The dielectric constant of ferroelectric materials BaTiO3 higher along with increassing the sintering temperature. The dielectric constant for temperature 700oC, 800oC and 900oC are: 127, 197, 250. Keywords: BaTiO3, solid state reaction, crystal size, ferroelectric

I. PENDAHULUAN BaTiO3 merupakan material yang bersifat feroelektrik apabila mempunyai struktur kristal

tetragonal, orthorhombik, dan rhombohedral, serta akan bersifat paraelektrik apabila mempunyai struktur kristal heksagonal dan kubik. Pada temperatur Curie, BaTiO3 akan bertransformasi secara spontan dari fasa paraelektrik menjadi fasa feroelektrik. BaTiO3 yang semula mempunyai struktur kristal kubik dengan sifat paraelektriknya akan mengalami polarisasi sehingga struktur kristalnya akan berubah menjadi tetragonal sehingga mempunyai sifat feroelektrik. BaTiO3 dapat digunakan sebagai bahan dielektrik untuk membuat kapasitor karena dipol listriknya sangat besar sehingga kapasitansinya menjadi bertambah atau meningkat.

Barium Titanat (BaTiO3) mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi. Hal ini lah yang menyebabkan BaTiO3 dibuat untuk piranti elektronik diantaranya, Multi Layers Ceramic Capacitors (Wang, 2003; Hu, 2015), PTC thermistor (Buscaglia, 2000), Dynamic Random Acces Memory (Scott, 1998), thermistor (Alles, 1993).

Pembuatan BaTiO3 dibuat dengan mereaksikan barium dengan titanium. Beberapa metode yang digunakan untuk pembuatan BaTiO3 adalah metode sol gel (Stawski, 2012), spray pyrolysis (Ko, 2012), co-precipitation (Mahata, 2014 ), metode reaksi padatan (Manzoor, 2007; Istoqomah, 2015). Metode reaksi padatan adalah metode yang konvensional dan dengan biaya yang murah. Beberapa parameter yang berpengaruh pada metode ini adalah temperatur sintering dengan waktu tahan

Page 37: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

81

tertentu. Temperatur sintering sangat berpengaruh pada proses pembentukan barium titanat dari bahan-bahan pembentuknya, sehingga diharapkan sampel yang homogen dan ukuran kristal yang besar. Pada makalah ini akan dibahas variasi temperatur sintering dengan waktu tahan saat proses sintering tetap. Uji struktur mikro dan uji sifat listrik yang dalam hal ini kontanta dieletrik menggunakan peralatan X-Ray Diffraction (XRD) dan RLC meter.

II. METODOLOGI Pembuatan material feroelektrik Barium titanat (BaTiO3) berhasil dilakukan menggunakan

metode solid state reaction (reaksi padatan). Padatan BaTiO3 dibuat dengan cara mencampurkan serbuk Barium Carbonat (BaCO3) dan Titanium Oksida (TiO2) berdasarkan perhitungan mol. Pencampuran pembuatan BaTiO3 mengikuti persamaanberikut:

BaCO3 + TiO2 BaTiO3 (1) Serbuk yang telah ditimbang dicampur sambil dilakukan penggerusan dengan tujuan

memperkecil ukuran partikel dan memperoleh campuran yang homogen. Sampel digerus menggunakan mortar selama 5 jam. Sampel bubuk dibuat bulk dengan melakukan pengepresan. Pengepressan dilakukan dengan alat press. Serbuk BaTiO3) diletakkan pada alat cetak (dies) dengan ukuran diameter 1 cm dan tebal 0,5 cm dan ditekan dengan tekanan 75 Mpa. Sampel yang terbentuk berupa padatan (bulk) disintering pada variasi temperatur 700oC, 800oC, dan 900oC serta pada variasi waktu tahan 5 jam. Karakterisasi dilakukan menggunakan peralatan X-Ray Diffraction (XRD) Bruker D8 Advance dengan anoda Cu yang mempunyai panjang gelombang 1,54187 Å. Karakterisasi menggunakan peralatan XRD menghasilkan data hubungan antara intensitas (I) dengan sudut difraksi (2θ). Data dianalisa menggunakan International Commission Data Diffraction (ICDD) database dengan cara pencocokan puncak-puncak yang muncul. Setelah dilakukan pencocokan dengan database, data hasil XRD diolah menggunakan metode Rietveld dengan bantuan software General Structure Analysis System (GSAS). Nilai parameter kisi (a, b, dan c) dari data base ICDD berfungsi sebagai masukan pada software GSAS sehingga ketika dilakukan penghalusan (refinement) dapat diketahui pergeseran sudut yang terjadi antara hasil eksperimen dengan teori RCL meter merek GW-Insteak series RCL-800 untuk mengetahui konstanta dielektrik. Data yang diperoleh dari uji ini berupa nilai kapasitansi (C) dan nilai faktor dissipasi (D), dari data tersebut dapat dihitung nilai konstanta dielektrik, menggunakan persamaan 2.

(2) K adalah konstanta dielektrik, C adalah kapasitansi (µF), d adalah ketebalan bulk atau jarak antara dua elektroda (m), adalah permitivitas bahan yakni sebesar 8,85x10-12 C2 N/m2 dan A adalah luas

permukaan bulk (m).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Terbentuknya suatu bidang kristal pada karakterisasi menggunakan peralatan XRD

diidentifikasikan dengan munculnya puncak-puncak, seperti pada Gambar 1. Puncak-puncak yang muncul pada Gambar 1 menunjukkan bahwa puncak yang teridentifikasi adalah puncak milik BaTiO3 setelah dicocokkan dengan ICDD-database atau PCPDFWIN dengan nomor #81-2205. Ada satu puncak yang teridentifikasi milik BaCO3. Hal ini diduga karena kurang homogennya campuran yang dibuat. Semakin bertambah temperatur sintering mengakibatkan puncak BaCO3 yang muncul semakin sedikit.

Tabel 1 menunjukkan perubahan nilai intensitas terhadap variasi temperatur 700oC, 800oC, dan 900oC dengan variasi waktu tahan 5 jam. Tiga puncak tertinggi diperoleh pada sudut difraksi yang sama seperti pada Gambar 1 yaitu sudut difraksi 31,45 pada orientasi bidang (101); 38,81 pada orientasi bidang (111); dan 56,06 pada orientasi bidang (112). Seiring dengan bertambahnya temperatur sintering nilai intensitas (count) makin bertambah besar. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi temperatur sintering mengakibatkan atom-atom BaTiO3 yang terbentuk semakin teratur sehingga sinar-X yang terdifraksi semakin banyak yang tertangkap oleh detektor.

Page 38: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

82

10 20 30 40 50 60 70 80

*

**

**

(311)(301)(212)

(202)

(211)

(201)

(200)(111)

(101)

(001)

Inte

nsita

s

2 theta

800oC700oC

900oC*

*BaCO3

Gambar 1. Pola Difraksi BaTiO3 dengan Variasi Temperatur 700oC, 800oC, dan 900oC pada

Waktu Tahan 5 jam

Tabel 1. Intensitas Tiga Puncak Tertinggi untuk Variasi Temperatur Sintering 700oC, 800oC, dan 900oC pada Waktu Tahan 5 jam

Temperatur (oC) Intensitas (count)

31,45 38,81 56,06

700 21867 6236 5934

800 23158 7516 7333

900 31566 8923 7833

Tabel 2 merupakan tabel yang menunjukkan perubahan ukuran kristal pada variasi temperatur 700oC, 800oC, dan 900oC. Ukuran kristal ini didapat dari dari perhitungan menggunakan persamaan Scherrer. Seiring bertambahnya temperatur sintering ukuran kristal semakin besar. Hal ini disebabkan karena bertambanya temperatur atom-atom pembentuk BaTiO3 yang akan berdifusi membentuk ukuran kristal yang besar.

Tabel 2. Ukuran Kristal untuk Variasi Temperatur Sintering 700oC, 800oC, dan 900oC

Temperatur (oC) Ukuran kristal (nm)

700 35

800 36

900 37

Kristalinitas semua sampel hampir sama seiring dengan bertambahnya temperatur sintering.

Hal ini seperti ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Kristalinitas BaTiO3 untuk Variasi Temperatur Sintering 700oC, 800oC, dan 900oC kapan tabel ini dipakai di dalam teks?

Temperatur (oC) Kristalinitas (%)

700 96

800 96

900 95

Page 39: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

83

Gambar 2 merupakan hasil penghalusan menggunakan metode Rietveld dengan bantuan software GSAS. Pada gambar terdapat beberapa garis dengan warna yang berbeda. Kurva berwarna hitam merupakan kurva yang terbentuk dari data hasil XRD, kurva berwarna hijau menunjukkan background dari histogram, dan warna merah menunjukkan olahan data dari program. Warna biru menunjukkan adanya perbedaan antara data hasil XRD dengan data olahan dari program.

Hasil yang paling signifikan dari penghalusan program ini diidentifikasikan oleh nilai chi square (λ2) yang kecil. Nilai λ2 pada gambar ditunjukkan oleh garis merah muda, dengan masing-masing nilainya mendekati 1. Grafik hasil refinement ini menunjukkan bahwa hasil analisa Rietveld telah berhasil dilakukan. Dari data penghalusan menggunakan metode Rietveld ini juga menunjukkan bahwa data yang diduga adalah milik BaTiO3.

(a) (b)

(c)

Gambar 2. Hasil Penghalusan dengan Software GSAS untuk Variasi Temperatur Sintering (a) 700oC, (b) 800oC, (c) 900oC

Tabel 4. Parameter Kisi Hasil Refinement Software GSAS dan Tetragonalitas untuk Variasi Temperatur Sintering 700oC, 800oC, dan 900oC

Temperatur (oC)

a=b (Å) c (Å) c/a

700 4,003 4,025 1,006

800 4,000 4,023 1,006

900 4,006 4,031 1,006

Tabel 4 merupakan nilai parameter kisi dan tetragonalitas BaTiO3 untuk variasi waktu tahan

pada proses sintering 4 jam, 5 jam, dan 6 jam. Nilai parameter kisi dan tetragonalitas ini diperoleh dari data hasil XRD yang telah dilakukan penghalusan dengan metode Rietveld menggunakan software GSAS. Nilai a, b, dan c pada masing-masing sampel merupakan nilai parameter kisi yang mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan data masukan awal yang bersumber dari data base ICDD. Data ICDD tersebut sebagai masukan awal untuk menjalankan software GSAS yaitu a =

Page 40: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

84

b = 3,995 Å dan nilai c = 4,035 Å. Data masukan lain berupa nilai α, β, γ = 900 dan space grup = p4 mm. Apabila nilai c/a lebih besar dari satu, maka kristal tersebut mempunyai bentuk kristal tetragonal. Nilai tetragonalitas pada ketiga variasi adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa variasi waktu tahan dan variasi temperatur sintering tidak mempengaruhi tetragonalitas suatu kristal.

Karakterisasi sifat listrik dilakukan menggunakan serangkaian alat RLC-meter dengan tujuan medapatkan nilai konstanta dielektrik BaTiO3. Tabel 5 merupakan nilai konstanta dielektrik terhadap variasi temperatur pada proses sintering, yaitu: 700oC, 800oC, dan 900oC dengan waktu tahan 5 jam. (tidak terlihat ada variasi waktu pada tabel, yang ada variasi temperatur!)

Tabel 5 Nilai Konstanta Dielektrik untuk Variasi Temperatur Sintering 700oC, 800oC, dan 900oC

Temperatur (oC) Konstanta Dielektrik

700 127

800 197

900 250

Nilai konstanta dielektrik diperoleh dari perhitungan yang mengikuti persamaan 2. Seiring

dengan penambahan waktu tahan pada proses sintering maka nilai konstanta dielektriknya semakin tinggi. Hal ini seperti halnya ukuran kristal. Bertambahnya temperatur sintering mengakibatkan ukuran kristal bertambah besar, sehingga muatan yang mempengaruhu kapasitansi dan konstanta dielektrik makin besar.

IV. KESIMPULAN Data pola difraksi yang didapatkan menunjukkan bahwa variasi suhu menunjukkan bahwa

makin tinggi temperatur mengakibatkan BaTiO3 makin homogen. Seiring dengan bertambahnya temperatur intensitas, ukuran kristal dan tingkat kekristalan makin besar. Konstanta dielektrik material ferroelektrik BaTiO3 makin tinggi seiring dengan bertambanya temperatur sintering yaitu: 127, 197, 250 satuan. Konstanta doelektrik tidak bersatuan

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Universitas Sebelas maret atas dukungan dana

melalui Hibah Maintanance Research Grup (MRG) DIPA PNBP UNS dengan nomor kontrak No:624/UN27.11/PL/2015.

DAFTAR PUSTAKA Alles, A.B. and Burdick, V.I., 1993, Grain boundary oxidation in PTCR barium titanate thermistors,

Journal of he American Ceramic Society,76:2, 401–408. Buscaglia, M.T., Buscaglia, V., Viviani, M., Nanni, P., Hanuskova, M., 2000, Influence of Foreign

Ions on the Crystal Structure of BaTiO3, J. Eur. Ceram. Soc., 20, 1997–2007. Hu, Q., Li Jin, Wang, T., Li, C., Xing, Z., We, X., 2015, Dielectric and temperature stable energy

storage properties of 0.88BaTiO3–0.12Bi(Mg1/2Ti1/2)O3 bulk ceramics, Journal of Alloys and Compounds, 640, 416–420

Istiqomah, M., Jamaluddin, A., Iriani, Y., 2015, Pembuatan mataerial Ferroelektrik Barium Titanat (BaTiO3) dengan Metode Solid State Reaction, Jurnal Fisika Indonesia, 18:53, 59-61

Ko, Y.N. and Kang, Y.C., 2012, Characteristics of Ag-doped BaTiO3 Nanopowders Prepared by Spray Pyrolysis, Ceramics International, 38, 2071-2077.

Mahata, M.K., Kumar, K., Rai, V.K., 2014, Structural and Optical Properties of Er3+/Yb3+ Doped Barium Titanate Phospor prepared by co-Precipitation Method, Spetrohimica Acta Part A, 124, 285-291.

Manzoor, U. and Kim, D.K., 2007, Synthesis of Nano-sized Barium Titanate Powder by Solid-state Reaction between Barium Carbonate and Titania, J. Mater. Sci. Technol., 23:5.

Scott, J.F., 1998, Status report on ferroelectric memory materials, Integrated Ferroelectrics, 20:4, 15–23.

Stawski, T.M., Vijselaar, W.J.C., Gobel, O.F., Veldhuis, S.A., Smith, B.F., Blank, D.H.A., Elshof, J.E., 2012, Influence of High Temperature Processing of Sol Gel Derived Barium Titanate

Page 41: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

85

Thin Films Deposited on Platinum and Strontium Ruthenate Coated Silicon Wafers, Thin Solid Films, 520, 4394-4401.

Wang, X.H., Chen, R., Gui, Z.L., Li L.T., 2003, The grain size effect on dielectric properties of BaTiO, Materials Science and Engineering B, 99, 199-202.

Page 42: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

86

PENENTUAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK PASIR BESI PANTAI PARIAMAN SUMATRA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN

MAGNETIC PROBE PASCO 2126

Erwin, Usman Malik dan Amril Fahmi Department of Physics Faculty of Mathematics and Natural Sciences Riau University

Kampus Bina Widya Simpang Baru, Tampan, Pekanbaru, Riau - Indonesia 28293 [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang sifat magnetik khususnya tingkat kemagnetan dan susceptibilitas dari pasir besi pantai Arta, Gandoriah, Kata, Nareh, dan Tiku Pariaman, Sumatera Barat dengan menggunakan iron sand separator. Induksi magnetik total diukur dengan mengguakan magnetic probe Pasco PS2126. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai tingkat kemagnetan (magnetic degree) berada dalam interval 3,07 sampai 10,98 %. Variasi nilai ini mencerminkan adanya perbedaan proses pembentukan pasir besi yang berhubungan langsung dengan topologi dari tanah pembentuk pasir pantai tersebut. Nilai suseptibilitas magnetik dari konsentrat bervariasi mulai dari 4,97 x 10-4 m3/kg sampai 6,34 x 10-4 m3/kg, nilai tertinggi dan terendah berasal dari pantai Kata dan pantai Nareh dengan nilai masing masing yaitu 6,34 x 10-4 m3/kg dan 4,97 x 10-4 m3/kg. Nilai ini berada dalam interval nilai susceptibilitas dari partikel magnetic Fe3O4. Kata kunci : induksi magnetik, susceptibilitas magnetik, tingkat kemagnetan, pasir besi, pantai Pariaman, dan iron sand separator.

ABSTACT Measurement of magnetic properties especially magnetic degree and susceptibility of iron sand along Pariaman Beach ,West Sumatra such as Arta, Gandoriah, Kata, Nareh, and Tiku beach has been done. Total magnetic induction of the concentrate was measured using Pasco magnetic probe PS-2126. The results show that the value of magnetic degree of the samples varies in the range of 3,07 to 10,98 %. This variation reflects the different process in the formation of the iron sand and is related to the topology of the beach. The value of magnetic susceptibility of the concentrate varies from 4,97 x 10-4 m3/kg to 6,34 x 10-4 m3/kg. The highest and lowest value of magnetic susceptibility is originated from Kata and Nareh beach that are 6,34 x 10-4 m3/kg and 4,97 x 10-4 m3/kg respectively. These values are in the range of magnetic susceptibility of magnetic particles of Fe3O4. Keywords : magnetic induction, magnetic susceptibility, magnetic degree, iron sand, Pariaman beach and iron sand separator.

I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup

banyak. Sumber daya alam ini berupa bahan-bahan galian industri atau bahan tambang seperti pasir besi. Pemanfaatan pasir besi secara komersial telah dilakukan oleh beberapa negara diantaranya adalah India (Banerjee, 1995). Di Indonesia, Pasir besi terdapat dalam beberapa bentuk deposit yang tersebar luas hampir di semua pulau pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pada saat ini, keberadaan dari pasir besi mendapat perhatian khusus bagi peneliti mengingat aplikasi dari oksida-oksidanya seperti Fe3O4 yang begitu luas mulai dari pengembangan industri otomotif, elektronika, komputasi sampai peralatan rumah tangga. Lebih jauh lagi, oksida besi ini digunakan sebagai bahan baku utama dalam industri baja dan industri alat berat (Yulianto, dkk., 2003). Beberapa peneliti terdahulu (Peters,1998 dan Wu, 2008) telah melaporkan tentang sifat magnetik dari partikel magnetite.

Pasir besi memiliki unsur utama yaitu magnetit dengan komposisi kimia Fe3O4 dan maghemite (Fe2O3). Unsur unsur ini memberi kontribusi dalam sifat kemagnetan, disamping itu pasir besi juga terdiri dari titanium, silika, manganese, kalsium dan vanadium (Templeton, 2013) serta senyawa-senyawa lain dengan kadar yang lebih rendah. Pasir besi dengan senyawa Fe2O3 memiliki interaksi yang lebih lemah terhadap medan magnet dibandingkan dengan magnetite. Sifat magnetik khususnya suseptibilitas magnetik endapan pasir merupakan parameter yang sangat penting, karena dengan mengetahui sifat magnetik dari endapan pasir tersebut maka dimungkinkan untuk melakukan kajian sifat magnetik terhadap keberadaan endapan pasir. Eksplorasi ini dapat dilakukan

Page 43: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

87

dengan menggunakan metode magnetik melalui pemisahan antara elemen magnetite dan endapan untuk mendapatkan konsentrat magnetik dengan kualitas tinggi.

Kegiatan eksplrorasi dan inventarisasi dari derajat atau tingkat kemagnetan yang terkandung dalam endapan pasir di sepanjang pantai Pariaman Sumatera Barat sampai saat ini belum sepenuhnya dilakukan sehingga keberadaannya belum dapat dimanfaatkan secara maksimum. Melalui penelitian ini kandungan oksida besi dari endapan pasir tersebut agar memiliki potensi tinggi, sehingga sifat magnetik endapan pasir diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan industri dan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomi.

II. METODOLOGI PENELITIAN Sampel pasir besi diambil dari lokasi penelitan yaitu sepanjang pantai Pariaman, Sumatera

Barat masing masing sebanyak 20kg. Sampel mula mula dikeringkan di bawah sinar matahari untuk menghilangkan kandungan air sehingga mempermudah proses pemisahan antara fraksi magnetik dari non-magnetik dengan menggunakan iron sand separator. Pemisahan ini dilakukan berulang-ulang sebanyak 5 kali untuk mendapatkan konsentrat yang bersih. Sampel yang diperoleh berupa konsentrat bahan magnetik yang selanjutnya disaring dengan bahan penyaring sehingga konsentrat yang lolos kecil .Tingkat kemagnetan (magnetic degree) dari pasir besi ini ditentukan dengan membandingkan masa konsentrat dan masa sampel. Konsentrat ini selanjutnya dimasukkan kedalam tabung plastik yang berdiameter 2,7 cm dengan panjang 9.8 cm. Kemudian Tabung ini dimasukkan kedalam solenoid yang telah dipersiapkan. Induksi magnetik total dari konsentrat yang diperoleh diukur menggunakan sensor magnetik probe Pasco PS-2162. Pengukuran induksi magnetik total dari sampel dilakukan dengan memvariasikan arus listrik yang digunakan yaitu dari 2 sampai 10A untuk jarak pengukuran yang tetap yaitu 1 mm dari ujung solenoid. Nilai induksi magnetik total ini direkam dalam komputer dengan menggunakan software Data Studio. Dari nilai ini maka dapat dihitung nilai suseptibilitas magnetik dari sampel.

III. HASIL DAN DISKUSI Grafik tingkat kemagnetan dari masing masing sampel untuk masing masing lokasi sampel

ditampilkan dalam gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Grafik tingkat kemagnetan dari sampel

Tingkat kemagnetan untuk sampel dari pantai Kata, pantai Gandoriah, pantai Nareh, pantai Arta dan pantai Tiku yang ditampilkan pada gambar 4.1 menunjukkan bahwa pantai Kata memiliki nilai tingkat kemagnetan paling tinggi yaitu 10.9% dan di ikuti oleh pantai Tiku yaitu 4,73%, pantai Nareh yaitu 4,51%, pantai Arta yaitu 4.07%, dan pantai Gandoriah yaitu 3,07%. Nilai ini sebanding dengan nilai rapat massa dari sampel. Tingginya nilai tingkat kemagnetan untuk pasir besi dari pantai Kata disebabkan oleh tingginya jumlah partikel magnetik seperti Fe3O4 dalam pasir besi tersebut. Sementara itu nilai tingkat kemagnetan paling kecil berasal dari pantai Gandoriah yang nilainya sebesar 3.07%. Rendahnya nilai tingkat kemagnetan dari sampel pantai Gandoriah diduga disebabkan oleh pasir pada pantai tersebut memiliki jumlah partikel magnetik lebih kecil dibandingkan dengan pantai Kata.

Gambar 2 menampilkan grafik induksi magnetik total rata – rata solenoid dengan inti pasir besi pantai Arta, pantai Gandoriah, pantai Nareh, pantai Kata, dan pantai Tiku sebagai fungsi arus

Page 44: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

88

yang digunakan. Nilai induksi magnetik total solenoid dengan inti besi ditampilkan dalam gambar sebagai pembanding seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 2 Grafik induksi magnetik total rata rata ( mT ) sebagai fungsi arus listrik (I)

untuk solenoid dengan konsentrat pasir besi.

Gambar 3 Grafik hubungan antara arus listrik I dan induksi magnetic B untuk

solenoid dengan inti besi

Gambar 2 diatas menampilkan grafik induksi magnetik yang ditimbulkan oleh solenoid sebagai fungsi arus yang diberikan, diukur pada jarak yang tetap yaitu 1mm dari solenoid. Dari gambar dapat dilihat bahwa secara umum nilai induksi magnetik naik secara linier ketika arus dinaikkan dari 2 sampai 10A. Kenaikan ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu nilai induksi magnetik sebanding dengan besarnya arus yang diberikan pada solenoid. Sebagai perbandingan maka telah dilakukan pengukuran induksi magnetik total dari besi sebagai inti dari solenoid sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. Dari gambar terlihat jelas bahwa induksi magnetik total bertambah ketika nilai arus diperbesar. Nilai induksi magnetik total yang ditimbulkan oleh inti besi seperti ditampilkan pada gambar 3 lebih besar dibandingkan dengan nilai induksi magnetik total yang ditimbulkan oleh konsentrat pasir besi dari pantai Kata, pantai Gandoriah, pantai Nareh, pantai Arta dan pantai Tiku. Tingginya induksi magnetik total yang ditimbulkan oleh besi disebabkan oleh tingkat kemagnetan yang besar yaitu lebih besar dari 99% sementara konsentrat sampel pasir besi yang diperoleh dalam penelitian ini memilki tingkat kemagnetan paling besar yaitu 10.9%.

Sementara Gambar 4 menjelaskan hubungan antara induksi magnetik dari solenoid terhadap jarak horizontal untuk arus konstan yaitu 10A. Dari gambar terlihat bahwa nilai induksi magnetik solenoid menurun seiring dengan pertambahan jarak horizontal. Penurunan ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu nilai induksi magnetik berbanding terbalik dengan jarak pangukuran horizontal (Reitz, 1992, dan Serway 1994).

Page 45: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

89

Gambar 4 Grafik hubungan antara induksi magnetik solenoid dan jarak 2 sampai 10cm

untuk arus 10A.

Grafik hubungan antara induksi magnetik dari solenoid menggunakan inti besi dan konsentrat pasir besi yang berasal dari pantai Kata, pantai Gandoriah, pantai Nareh, pantai Arta dan pantai Tiku sebagai fungsi arus yang digunakan ditampilkan pada gambar 2. Secara umum dari gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai induksi magnetik total (BT) yaitu nilai induksi magnetik dari solenoid ditambah dengan nilai induksi magnetik dari konsentrat pasir besi meningkat seiring dengan penambahan nilai arus listrik yang digunakan (2 sampai 10A). Nilai induksi magnetik paling besar untuk arus 2 sampai 6A dihasilkan oleh konsentrat pasir besi yang berasal dari pantai Arta dan diikuti oleh pantai Gondoriah, pantai Tiku, pantai Kata dan pantai Nareh. Namun untuk arus besar dari 6 Ampere terjadi inconsistensi dari nilai induksi magnetik dimana nilai terbesar pada arus 10 Ampere adalah Pantai Gondoriah diikuti oleh pantai Tiku, pantai Kata, pantai Arta dan pantai Nareh. Tingginya nilai induksi magnetik total untuk sampel yang berasal dari pantai Kata menunjukkan bahwa konsentrat pasir besi memiliki jumlah partikel mgnetik yang lebih banyak dan ini sesuai dengan nilai yang diperoleh pada gambar 1.

Nilai suseptibilitas dari sampel ditunjukkan pada gambar 4. Dari gambar terlihat bahwa nilai susceptibilitas tertinggi berasal dari pantai Kata yaitu 6,34 x 10-4 m3/kg dan diikuti oleh pantai Tiku sebesar 5,63 x 10-4 m3/kg, pantai Gandoriah sebesar 5,59 x 10-4 m3/kg, pantai Nareh 5,01 x 10-4 m3/kg, pantai Arta sebesar 4,97 x 10-4 m3/kg. Nilai suseptibilitas magnetik yang diperoleh dari kelima sampel berada dalam interval nilai susceptibilitas hematite (Fe2O3) dan magnetite (Fe3O4) yaitu 0,1 sampai 11,0 x 10-4 m3/kg (P. Hunt, 1995) yang berarti bahwa susceptibilitas magnetik dari sampel berasal dari komponen hematite (Fe2O3) dan magnetite (Fe3O4).

Gambar 5 Grafik suseptibilitas magnetik untuk masing masing sampel.

Page 46: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

90

IV. KESIMPULAN Nilai induksi magnetik total terbesar berasal dari pasir besi pantai Kata kemudian di ikuti

oleh pantai Gandoriah, pantai Tiku, pantai Arta dan pantai Nareh. Nilai ini sebanding dengan nilai rapat massa dan tingkat kemagnetan dari sampel. Induksi magnetik total dari sampel lebih kecil dibandingkan dengan nilai induksi magnetik total dari inti besi, artinya bahwa konsentrat pasir besi diduga memiliki campuran lain selain partikel hematite dan magnetite. Nilai suseptibilitas magnetik tertinggi berasal dari konsentrat pasir besi pantai Kata dengan nilai 6,34 x 10-4 m3/kg, sedangkan yang terendah berasal dari konsentrat pasir besi dari pantai Nareh yaitu 5,01 x 10-4 m3/kg. Nilai ini berada dalam interval nilai susceptibilitas dari bahan hematite (Fe2O3) dan magnetite (Fe3O4).

DAFTAR PUSTAKA Banerjee, D.C., Sinha, R.P. and Dwivedy, K.K., 1995, Xenotime Resources in India - an Overview,

Proceeding of Seminar on Recent developments in the Science and Technology of Rare Earths, December 14-16, Cochin, India.

Christopher P. Hunt, Bruce M. Moskowitz, Subir K. Banerjee, 1995. Rock Physics and Phase Relations, A Handbook of Physical Constants, AGU, Washigton, pp 189.

Peters, C. and Thompson, R. 1998. Magnetic Identification of Selected Natural Iron Oxides and Sulphides. Journal of Magnetism and Magnetic Materials, Vol. 183, Hal. 365- 374.

Reitz, J.R., Milford, and F.J., Christy, R.W. 1992. Foundation of Electromagnetic Theory. Addison-wesley publishing company, Inc

Serway, R.A. 1994. Physics for Scientists and Engineers with Modern Physics, Third Edition. Templeton, F., 2011, Chemical composition of ironsands - Iron and steel, Te Ara Encyclopedia of

New Zealand.. Wu, W., He, Q. and Jiang, C. 2008. Magnetic Iron Oxide Nanoparticles: Synthesis and Surface

Functionalization Strategies. Nanoscale Research Letters, Vol. 3, Hal. 397–415. Yulianto, A., Bijaksana, S., dan Loeksmanto,W., 2002 Karakterisasi Magnetik Endapan dari Cilacap,

Jurnal Fisika Himpunan FisikaIndonesia, vol. A5 no. 0527.

Page 47: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

91

PENGARUH SUBSTITUSI AGREGAT KASAR DENGAN SERAT AMPAS TEBU TERHADAP KUAT TEKAN DAN KUAT LENTUR BETON K-350

MENGGUNAKAN SEMEN PORTLAND KOMPOSIT

Ayu Sucia Rahmi, Sri Handani, Sri Mulyadi Jurusan Fisika FMIPA Univeritas Andalas

e-mail:[email protected], [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh substitusi agregat kasar dengan serat ampas tebu terhadap kuat tekan, kuat lentur, porositas dan densitas beton menggunakan semen Portland komposit, dengan kualitas beton K-350 pada variasi ampas tebu 0%, 0,5%, 1%, 1,5%. Kuat tekan tertinggi diperoleh pada beton dengan serat ampas tebu 1 % yaitu 37,9 MPa. Kuat lentur tertinggi sebesar 5,04 MPa diperoleh pada beton dengan serat ampas tebu 1 %. Porositas sebesar 7,6 % diperoleh pada beton normal dan densitas sebesar 2,28 g/cm3 diperoleh pada variasi serat ampas tebu 0,5%. Kata kunci: kuat tekan, kuat lentur, densitas, porositas, serat ampas tebu.

ABSTRACT The research on the effects of variation of bagasse to compressive strength, flexural strength, porosity and density of concrete has been conducted. Concrete are from Portland cement composites (PCC) with bagasse variation of 0%, 0.5%, 1% and 1.5%. Maximum compressive strength (37,9 MPa) obtain on concrete with bagasse of 1%. The highest flexural strength (5.04 MPa) obtain on bagasse of 1 %. Porosity was 7.6 % in normal concrete and density was 2.28 g/cm3 on variation of bagasse 0.5 %. Keywords: compressive strength, strong flexural, porosity, density, bagasse

I. PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan bangunan seperti rumah, gedung bertingkat,

jalan, jembatan dan bangunan lainnya sangat meningkat. Untuk keperluan tersebut kita harus selektif dalam memilih bahan yang akan digunakan. Selain bahan yang kuat dan bermutu kita juga mencari harga yang terjangkau. Salah satu bahan yang dibutuhkan untuk membuat bangunan tersebut adalah beton.

Beton merupakan hasil campuran bahan agregat halus dan agregat kasar dengan menambahkan semen secukupnya sebagai bahan perekat dan air sebagai bahan pembantu untuk reaksi kimia selama proses pengerasan beton. Beberapa jenis beton yang ada diantaranya beton normal, beton bertulang, beton pratekan, beton serat dan lain-lain.

Berdasarkan ACI Committee 544. IR-82, tahun 1982, beton serat adalah beton yang terbuat dari campuran semen hidrolis dengan agregat halus dan agregat kasar dengan tambahan potongan serat. Menurut Sudarmoko dalam Resmi (2008), penambahan serat di dalam adukan beton diharapkan akan menurunkan kelecakan adukan secara cepat sejalan dengan pertambahan konsentrasi serat dan aspek rasio serat (perbandingan antara panjang serat dan diameter serat).

Pada dasarnya, prinsip dari beton serat adalah menulangi beton dengan serat yang disebarkan dalam adukan beton dengan orientasi random, sehingga mencegah terjadinya retakan-retakan beton yang terlalu dini akibat pembebanan (Soroushin dan Bayasi, 1997, dalam Suhendro, 2000).

Salah satu serat alami yang bisa digunakan sebagai bahan pengganti serat sintetis adalah serat ampas tebu. Serat ampas tebu (baggase) merupakan limbah organik yang banyak dihasilkan di pabrik-pabrik pengolahan gula tebu yang ada di Indonesia dan juga dapat ditemukan pada penjual air tebu. Selama ini pemanfaatan ampas tebu masih terbatas sebagai pakan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board. Sekarang para peneliti mulai memanfaatkan serat ampas tebu untuk pembuatan komposit, desain produk perlengkapan rumah, beton dan lainnya. Pemanfaatan serat ampas tebu sebagai penguat beton akan mempunyai arti yang penting yaitu dari segi pemanfaatan limbah industri khususnya industri pembuatan gula di Indonesia yang belum dioptimalkan dari segi ekonomi dan pemanfaatan hasil olahannya. Selain itu serat tebu memiliki modulus elastis 15-19 Gpa dan juga mengandung senyawa kimia SiO2 (silika) sebesar 70,79 % yang berfungsi untuk meningkatkan kuat tekan.

Page 48: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

92

II. METODE Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu mesin kuat tekan (Universal testing machine

Co.Id Tokyo Japan No.6609), mixer, neraca, gelas ukur, cetakan silinder, kawat penggantung, scrap, ayakan dan oven. Bahan yang digunakan yaitu semen Portland komposit, agregat kasar ukuran 4,75 mm – 19 mm, pasir, serat ampas tebu dan air. Air yang digunakan adalah air yang ada di Laboratorium Biro Jaminan Kualitas dan Pelayanan Teknis PT. Semen Padang Indarung.

2.1 Persiapan material Masing – masing bahan dicuci untuk mengurangi kadar organik dan kadar lumpur agregat.

Kemudian dilakukan penyaringan agregat halus lalu dicuci dan dibiarkan sampai keadaan SSD (saturated and surface dry) konstan. Setelah itu, bahan ditimbang sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan. Bahan yang telah ditimbang,dicampur dengan menggunakan mixer. Kemudian bahan yang telah tercampur dicetak menggunakan silinder dengan ukuran 10 x 20 cm untuk benda uji kuat tekan, porositas dan densitas. Untuk benda uji kuat lentur menggunakan cetakan balok dengan ukuran 10 x 10 x 50 cm, masing-masing sampel benda uji dicetak sebanyak 3 buah. Benda uji yang telah dicetak dibiarkan mengeras selama 1 x 24 jam kemudian benda uji dibuka dari cetakan dan direndam dalam kolam rendaman beton selama umur pengujian beton yang telah ditentukan. Benda uji yang telah direndam sesuai umur di angkat dan dikeringkan permukaannya, setelah itu benda uji ditimbang dan dikaping untuk meratakan permukaan benda uji yang tidak rata.

2.2 Pengujian Kuat Tekan Pengujian kuat tekan beton menggunakan metode beton standar yang telah diatur oleh SNI

1974 : 2011 dengan langkah-langkah : mesin kuat tekan dihidupkan. Benda uji yang telah siap dikaping diletakkan di landasan beban bagian bawah dengan permukaan yang dikaping di bagian atas. Pembebanan pada benda uji dilakukan secara terus menerus dan tanpa ada kejutan. Pembebanan pada benda uji dilakukan hingga benda uji hancur. Beban maksimum yang diterima benda uji selama pembebanan dicatat. Kuat tekan dihitung dengan menggunakan Persamaan 1.

A

Pfc (1)

dengan fc adalah kuat tekan benda uji beton (MPa), P adalah beban maksimum (kg), dan A adalah luas penampang benda uji (cm).

2.3 Pengujian Kuat Lentur Pengujian kuat lentur beton dengan menggunakan metode standar yang telah diatur oleh SNI

4431 : 2011 dengan tahapan sebagai berikut : mesin uji tekan beton dihidupkan dan ditunggu selama 30 detik. Benda uji diatur dan diletakkan pada tumpuan. Diatur pembebanannya untuk menghindari terjadi benturan. Kecepatan pembebanan diatur pada kedudukan yang tepat sehingga jarum skala bergerak secara perlahan-lahan. Kecepatan pembebanan dikurangi pada saat-saat menjelang patah yang ditandai dengan kecepatan gerak jarum pada skala beban agak lambat sehingga tidak terjadi kejut. Pembebanan dihentikan dan dicatat beban maksimum yang menyebabkan patahnya benda uji. Diukur dan dicatat lebar dan tinggi tampang lintang patah dengan ketelitian 0,25 mm pada 3 tempat dan diambil nilai rata-ratanya. Diukur dan dicatat jarak antara tampang lintang patah dari tumpuan luar terdekat pada 4 tempat di bagian tarik pada arah bentang dan diambil nilai rata-ratanya. Nilai kuat lentur dihitung dengan menggunakan Persamaan 2 dan 3:

21

bh

PL (2)

21

bh

Pa (3)

dengan σ1 adalah kuat lentur benda uji (MPa), P adalah beban tertinggi yang terbaca pada mesin uji (N), L adalah jarak (bentang) antara dua garis perletakan (mm), b adalah lebar tampang lintang patah arah horizontal (mm), h adalah lebar tampang lintang patah arah vertikal (mm), a adalah jarak rata-rata antara tampang lintang patah dan tumpuan luar yang terdekat, diukur pada 4 tempat pada sudut dari bentang (mm).

2.4 Pengujian Densitas Pada pengujian densitas, dilakukan langkah-langkah :

Page 49: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

93

Benda uji yang direndam sesuai umur dikeringkan dengan tisu atau kain bersih lalu ditimbang sebagai massa kering permukaan (C). Kemudian benda uji dikeringkan dengan menggunakan oven dan ditimbang sebagai massa kering oven (A). Setelah itu, benda uji dimasukkan ke dalam air dan ditimbang sebagai massa dalam air (D). Maka didapatkan nilai densitas dengan menggunakan Persamaan 4:

airxDC

A

Bulk Densitas (4)

dengan A adalah massa kering oven sampel (g), C adalah massa kering permukaan sampel (g), D adalah massa sampel dalam air (g), ρair adalah massa jenis air (1 g/cm3).

2.5 Pengujian Porositas Pada pengujian nilai porositas dilakukan langkah-langkah : Benda uji yang telah direndam sesuai umur dikeringkan permukaannya dengan tisu atau kain

bersih lalu ditimbang sebagai masa kering permukaan (C). Kemudian benda uji dikeringkan dengan oven dan ditimbang sebagai massa kering oven (A). Setelah itu benda uji dimasukkan ke dalam air dan ditimbang sebagai massa dalam air (D). Kemudian dicari nilai porositas dengan menggunakan Persamaan 5:

%100xDC

ACPorositas

(5)

dengan A adalah massa kering oven sampel (g), C adalah massa kering permukaan sampel (g), D adalah massa sampel dalam air (g).

III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Kuat tekan

Pada Gambar 1 terlihat bahwa nilai kuat tekan beton yang menggunakan serat ampas tebu 0,5%, 1% dan 1,5% lebih besar dari pada beton yang tidak menggunakan serat ampas tebu (beton normal). Hal ini disebabkan oleh sifat beton serat yaitu beton serat memiliki kekerasan dan ketangguhan yang mampu menahan patahan jika diberikan gaya padanya. Nilai kuat tekan beton akan bertambah apabila umur beton semakin lama. Kekuatan beton akan bertambah secara cepat sampai umur 28 hari seperti yang telihat pada Gambar 1. Pada umur beton 3 hari nilai kuat tekan yang diperoleh adalah 15,5 MPa pada beton normal, pada umur beton 7 hari kuat tekannnya menjadi 20 MPa pada beton normal dan pada umur beton 28 hari kuat tekan beton menjadi 28,9 MPa pada beton normal. Hal ini juga berlaku pada beton yang menggunakan serat ampas tebu yaitu semakin lama umur beton maka nilai kuat tekannya semakin bertambah.

Gambar 1 Grafik pengaruh umur beton terhadap kuat tekan beton

Pada Gambar 1 nilai kuat tekan maksimum diperoleh pada variasi serat ampas tebu 1 % sebesar 37,9 MPa pada umur 28 hari, pada beton dengan variasi serat 0,5 % didapatkan nilai kuat tekan beton sebesar 37,5 MPa pada umur 28 hari dan pada variasi serat 1,5 % nilai kuat tekan betonnya sebesar 36,9 MPa. Nilai kuat tekan dari beton dengan variasi serat ampas tebu 0,5 % dan 1,5 % lebih rendah dari pada nilai kuat tekan dengan variasi serat 1 %, hal ini disebabkan kerena pemakaian serat yang terlalu sedikit tidak dapat mengurangi kelecakan beton sehingga nilai kuat tekannya berkurang dan terlalu banyak serat dapat mengakibatkan beton kekurangan air yang sangat

Page 50: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6

94

drastis sehingga kuat tekan pada beton juga berkurang. Sedangkan nilai kuat tekan minimum diperoleh pada beton normal sebesar 15,5 MPa pada umur 3 hari.

3.2 Kuat Lentur Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai kuat lentur beton dengan menggunakan semen

Portland komposit meningkat dengan adanya serat ampas tebu. Nilai kuat lentur maksimum diperoleh pada variasi serat ampas tebu 1 % sebesar 5,04 MPa pada umur 28 hari, sedangkan nilai kuat lentur minimum dihasilkan dari pengujian beton tanpa serat atau beton normal dengan nilai kuat lentur 4,16 MPa pada umur 28 hari. Peningkatan nilai kuat lentur seperti yang terlihat pada Gambar 2 disebabkan karena serat berfungsi sebagai tulangan yang disebarkan secara merata pada adukan beton sehingga dapat mencegah terjadinya retakan-retakan terlalu cepat akibat adanya pembebanan. Selain itu terjadinya penurunan nilai kuat lentur pada variasi serat 1,5 % disebabkan oleh penggunaan serat yang terlalu banyak akan mengurangi kelecakan dalam adukan beton secara drastis serta dapat mengakibatkan balling, dimana serat akan berkaitan dan membentuk bola yang sangat berongga yang dapat mengurangi kekuatan beton.

Gambar 2 Grafik pengaruh serat ampas tebu terhadap kuat lentur beton

3.3 Porositas Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai porositas beton yang menggunakan serat ampas tebu

lebih kecil dengan nilai minimum 4,4% pada variasi serat 0,5% jika dibandingkan dengan porositas beton normal dengan nilai 7,6%. Hal ini terjadi karena serat mampu mengisi pori-pori kosong pada beton sehingga porositas beton berkurang. Dari Gambar 3 juga terlihat bahwa porositas pada beton yang menggunakan serat ampas tebu 1% meningkat dari nilai porositas beton yang menggunakan variasi serat 0,5%, setelah itu pada beton yang menggunakan variasi serat ampas tebu 1,5% nilai porositasnya menurun dari nilai porositas beton dengan variasi serat 1%. Hal ini terjadi karena kurarng sempurnanya pencampuran pada beton dengan variasi serat 1% sehingga serat tidak tersebar rata pada beton dan mengakibatkan serat tidak mampu menutupi pori-pori pada beton dengan baik.

Gambar 3. Grafik pengaruh serat ampas tebu terhadap porositas

3.4 Densitas Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai minimum densitas beton yang menggunakan semen

Portland komposit didapat pada hasil uji beton yang tidak menggunakan variasi serat ampas tebu atau beton normal sebesar 2,24 g/cm3. Sedangkan nilai maksimum densitas terdapat pada beton dengan variasi serat ampas tebu 0,5 % sebesar 2,28 g/cm3. Nilai porositas minimum pada semen Portland komposit yang didapat sebesar 4,4 %. Nilai ini bersesuaian dengan nilai maksimum densitas pada

Page 51: Prosiding SNFUA 2015.Compressed 55 105

Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6

95

semen Portland komposit yang didapat 2,28 g/cm3 karena semakin besar densitas maka semakin rendah porositasnya.

Gambar 4. Grafik pengaruh serat ampas tebu terhadap densitas

IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian tentang pengaruh substitusi agregat kasar dengan serat ampas tebu

terhadap kuat tekan dan kuat lentur beton K 350 dengan menggunakan semen Portland komposit, maka didapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil kuat tekan maksimum diperoleh pada beton dengan variasi serat ampas tebu 1% sebesar 37,9 MPa.

2. Hasil kuat lentur maksimum diperoleh pada beton dengan variasi serat ampas tebu 1% sebesar 5,04 MPa.

3. Hasil porositas maksimum diperoleh pada beton normal yaitu sebesar 7,6% 4. Hasil densitas maksimum diperoleh pada beton dengan variasi serat ampas tebu 0,5% yaitu

sebesar 2,28 g/cm3.

DAFTAR PUSTAKA ACI Committee. 544. 1982. State Of The Art Report On Fiber Reinforced Concrete Report : ACI 544

IR-82. Farmington Hills : American Concrete Institute. Badan Standardisasi Nasional, 2011, SNI 4431: 2011, Cara Uji Kuat Lentur Beton Normal dengan

Dua Titik Pembebanan, Jakarta, Badan Standardisasi Nasional. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. 1971. Peraturan Beton Bertulang Indonesia N.I-2

1971. Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Mulyono, T., 2005, Teknologi Beton, Andi, Yogyakarta. Nugraha, Paul, Antoni, 2007, Teknologi Beton, Surabaya, Andi. Resmi, 2008, Kajian tentang Aplikasi Serat Sintetis dan Serat Alami untuk Campuran Beton, Skripsi,

Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.