prosiding seminar regional radiologi irepository.unjaya.ac.id/3151/1/2018 jan_prosiding seminar...

70
PROSIDING SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018 Diterbitkan Oleh : D-III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA Jl. Ring Road Utara, Condong-Catur, Depok, Sleman 55281, Telp (0274)4477701, 4477703, fax (0274) 4477702, email:[email protected] Website: www.gunabangsa.ac.id YOGYAKARTA-INDONESIA

Upload: ngoxuyen

Post on 05-Aug-2019

262 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I

Yogyakarta, 27 Januari 2018

Diterbitkan Oleh :

D-III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA

Jl. Ring Road Utara, Condong-Catur, Depok, Sleman 55281, Telp (0274)4477701, 4477703,

fax (0274) 4477702, email:[email protected]

Website: www.gunabangsa.ac.id

YOGYAKARTA-INDONESIA

ii

EDITOR/PENILAI

LPPM STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA

Dian Wuri Astuti S.Si., M.Sc

REVIEWER

M.Radifar M.Biotech

Darmawati S.T., M.Si (FM)

PRODI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

Alpha Olivia Hidayati S.Si., M.P.H

Muhammad Sofyan S.ST., M.Kes

Siti Arifah M.Kes

Efita Pratiwi Adi S.Pd., M.Sc

Muflihatun S.Si., M.Sc

PROSIDING

Ayu Wita Sari S.Si., M.Sc

Anita Nur Mayani S.Tr. Rad

Devy Novita Ikadari S.Tr. Rad

Alamat Institusi

Jl. Ring Road Utara Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta,

Telp.0274-4477701, 4477703, fax 0274-4477702

Email:[email protected]

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas petunjuk

dan Karunia-Nya sehingga dapat diterbitkan Prosiding Seminar Regional Radiologi I

dengan mengambil Tema “Implementasi Msct Dan Mri Dalam Screening,

Diagnosis Dan Teraphy Planning Pada Pasien Kanker”. Penerbitan prosiding ini

merupakan dokumentasi karya ilmiah para peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang

berkaitan dengan kesehatan dan telah dipresentasikan pada tanggal 27 Januari 2018 di

Hotel Grand Serela Yogyakarta.

Seminar dan presentasi ilmiah ini diselenggarakan yang ke I dan akan menjadi

kegiatan rutin tahunan di program studi diploma tiga teknik radiodiagnostik dan

radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta dengan tujuan untuk mengetahui

perkembangan aktivitas penelitian yang telah dicapai oleh para peneliti di bidang

kesehatan. Pembukaan kegiatan seminar regional radiologi dan presentasi ilmiah

dilakukan oleh Ketua STIKES Guna Bangsa Yogyakarta dr., R. Soerjo Hadijono,

SpOG(k), DTRM&B(Ch) dan dilanjutkan dengan ceramah umum I dengan judul

INTERPRETASI MRI ONCOLOGY DARI SEGI SCREENING,DIAGNOSIS DAN

THERAPHY PLANNING oleh Dr. Elia Aditya B.K., Sp.Onk.Rad, ceramah umum II

oleh Franky Jacobus Dimpudus, M.MagRes. Tech dengan judul MRI ONCOLOGY

DALAM SCREENING, DIAGNOSIS DAN THERAPHY PLANNING, ceramah

umum III oleh Wahyu Widhianto S.Si dengan judul PERKEMBANGAN

TEKNOLOGI MRI DALAM SCREENING, DIAGNOSIS DAN THERAPHY

PLANNING.

Di dalam buku prosiding ini berisi karya tulis ilmiah yang telah

dipresentasikan dalam seminar regional radiologi I sebanyak 10 makalah yang

disampaikan dalam siding oral dan parallel. Karya tulis ilmiah tersebut berasal dari

STIKES Guna Bangsa (3), UNDIP (3), STIKES Jendral A.Yani (1), UII (1), UNAIR

(1), RS. Kasih Ibu Bali (1). Prosiding ini telah melalui proses penilaian dan editing

oelh dewan editor serta dilengkapi dengan diskusi dan tanya jawab pada saat seminar

berlangsung.

Semoga penerbitan prosiding ini dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk

lebih memacu dan mengembangkan penelitian yang akan datang. Kepada semua

pihak yang telah ikut membantu penerbitan prosiding ini kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, Maret 2018

Editor

iv

SAMBUTAN

KETUA PROGRAM STUDI D3

TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kami

sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Editor dan semua pihak

yang terlibat dalam penyelesaian dan penerbitan prosiding ini. Prosiding ini

merupakan dokumentasi karya ilmiah para penulis yang telah dipresentasikan pada

seminar regional radiologi I pada tanggal 27 Januari 2018 di Hotel Grand Serela

Yogyakarta dengan tema “Implementasi Msct Dan Mri Dalam Screening,

Diagnosis Dan Teraphy Planning Pada Pasien Kanker”.

Prosiding ini ditulis oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang

berkaitan dengan ilmu kesehatan. Di dalam prosiding ini diungkap beberapa

permasalahan yang mencakup kemajuan dan perkembangan litbang ilmu pengetahuan

di bidang kesehatan. Laporan hasil penelitian dalam prosiding ini diharapkan dapat

menjadi bahan referensi ilmiah dalam meningkatkan penelitian dan pengembangan

iptek bidang kesehatan di masa mendatang guna mendukung pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang kesehatan yang lebih luas.

Akhirnya kami berharap, semoga prosiding ini menjadi acuan yang

bermanfaat bagi berbagai pihak untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang

kesehatan diseluruh Indonesia.

Yogyakarta, Maret 2018

Alpha Olivia Hidayati S.Si., M.P.H

ISSN 2620-8040

v

DAFTAR ISI

Halaman Cover i

Editor ii

Pengantar Editor iii

Sambutan Kepala Prodi D3 Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi iv

Daftar isi v-vi

PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING TERHADAP

KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

Jennifa, Agus Santoso

Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro

1-7

SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DOKUMENTASI

ASUHAN KEPERAWATAN

Regista Trigantara

Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro

8-13

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT

PADA ORGANISASI KERJA

Amalia Mastuty

Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro

14-19

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL

YOGYAKARTA

Reni Merta Kusuma, Ristiana Eka Ariningtyas

STIKES Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

20-27

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH

PADA LANSIA DI BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA

ABIYOSO YOGYAKARTA

Siti Arifah

STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

28-37

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN

E TERHADAP PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC

PROGRESSION KNEE OSTEOARTHRITIS

Alpha Olivia Hidayati

STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

38-43

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA

MENGGUNAKAN ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN

2016

Defi Istiyani, Ginanjar Zakiah, Moh Khuailid Yusuf, Annisa Selma Timur Patria, Ika

Fatati Noviara, Edy Widodo

Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta

44-50

ISSN 2620-8040

vi

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

Gusti Bagus Yudhi Jaya Putra Atmaja

RS.Kasih Ibu Tabanan Bali

51-59

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT

SINAR-X DI LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA

YOGYAKARTA MENGGUNAKAN SURVEYMETER RANGER

Ayu Wita Sari

STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

60-64

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Jennifa, dkk PISSN 2620-8040 Page 1

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE

PLANNING TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN

STROKE

Jennifa, S.Kep., Ns, Agus Santoso, S.Kp., M.Kep

Program Studi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro

[email protected]

ABSTRAKS

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE. Stroke saat ini

merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di seluruh dunia setelah penyakit jantung dan

menempati urutan pertama dalam hal penyebab kecacatan fisik. Terdapat lebih dari 5 juta pasien

stroke hidup, 50% sampai 70% pasien dapat kembali seperti kondisi semula dan sebanyak 30%

mengalami cacat permanen. Sebagian besar pasien stroke tersebut dirawat oleh anggota keluarganya

dirumah. Pemberian informasi yang adekuat melalui program discharge planning dapat

meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan, sehingga pendidikan kesehatan yang diberikan oleh

perawat kepada pasien dan keluarga sangat dibutuhkan untuk merencanakan kesiapan pemulangan

pasien. Systematic review bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode discharge

planning terhadap kesiapan keluarga dalam merawat pasien stroke. Systematic review ini

dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi pada Ebsco, Pubmed, dan Google

Scholar. Artikel yang sesuai kemudian dilakukan penilaian kualitas studi dengan menggunakan

Critical Appraisal Skills Programe (CASP). Artikel yang direview sebanyak 3 artikel dengan kualitas

tinggi. Discharge planning yang dilakukan menggunakan berbagai metode pendekatan yang berbeda

meliputi penggunaan Audio Visual Aids, pendekatan Family-centered approach model, dan

pendekatan family centered nursing. Penerapan discharge planning berpengaruh terhadap kesiapan

keluarga merawat pasien stroke. Dischare planning dengan pendekatan Family Centered Nursing

merupakan metode yang signifikan meningkatkan kesiapan keluarga dalam merawat pasien stroke.

Kata Kunci : Discharge Planning, Family Readiness, dan Stroke Patient

PENDAHULUAN

Stroke adalah suatu keadaan yang

timbul karena terjadi gangguan peredaran

darah di otak yang menyebabkan

terjadinya kematian jaringan otak

sehingga penderita menderita kelumpuhan

atau kematian [6]. Stroke saat ini

merupakan penyebab kematian kedua

terbanyak di seluruh dunia setelah

penyakit jantung dan menempati urutan

pertama dalam hal penyebab kecacatan

fisik (Apriwanto, 2008). Orang Amerika

yang mengalami stroke baru dan stroke

berulang setiap tahunnya diperkirakan

mencapai sekitar 780.000 orang. Terdapat

lebih dari 5 juta pasien stroke hidup, 50%

sampai 70% pasien dapat kembali seperti

kondisi semula dan sebanyak 30%

mengalami cacat permanen. Sebagian

besar pasien stroke tersebut dirawat oleh

anggota keluarganya dirumah. Rata-rata

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

2 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk

waktu bertahan setelah stroke pertama

bagi individu usia 60-69 tahun adalah 6,8

tahun untuk pria dan 7,4 tahun untuk

wanita. Pasien yang berusia lebih tua dari

usia 80 tahun rata-rata waktu bertahan 1,8

tahun untuk pria dan 3,1 tahun untuk

wanita [5]. Menurut WHO (2013),

Indonesia telah menempati peringkat ke-

97 dunia untuk jumlah penderita stroke

terbanyak dengan jumlah angka kematian

mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari

total kematian yang terjadi pada tahun

2013.

Jumlah penderita penyakit stroke di

Indonesia tahun 2013 berdasarkan

diagnosis tenaga kesehatan (Nakes)

diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang

(7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis

Nakes/gejala diperkirakan sebanyak

2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan

diagnosis Nakes maupun diagnosis/

gejala, Provinsi Jawa Barat memiliki

estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu

sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan

533.895 orang (16,6%), sedangkan

Provinsi Papua Barat memiliki jumlah

penderita paling sedikit yaitu sebanyak

2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang

(5,3%).

Stroke adalah penyakit yang

membutuhkan perawatan jangka panjang

(long-term support). Hal ini dikarenakan

adanya tingkat ketergantungan yang tinggi

pada pasien stroke yang disebabkan oleh

kecacatan mereka. Oleh karena itu

perawatan jangka panjang perlu diberikan

untuk memperbaiki kualitas hidup pasien,

baik setelah pasien dipulangkan atau

dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang

lainnya. Orang yang paling berperan

penting dalam pelaksanaan perawatan

jangka panjang adalah keluarga atau orang

terdekat pasien. Mereka harus benar-benar

siap dengan segala sesuatu yang harus

mereka lakukan nanti ketika pasien

dipulangkan dari rumah sakit [6].

Peran keluarga sangat penting

dalam tahap-tahap perawatan kesehatan,

mulai dari tahapan peningkatan kesehatan,

pencegahan, pengobatan, sampai dengan

rehabilitasi. Dukungan sosial dan

psikologis sangat diperlukan oleh setiap

individu di dalam setiap siklus kehidupan,

dukungan sosial akan semakin dibutuhkan

pada saat seseorang sedang menghadapi

masalah atau sakit, disinilah peran anggota

keluarga diperlukan untuk menjalani

masa-masa sulit dengan cepat [2]. Salah

satu dukungan keluarga yang dapat di

berikan yakni dengan melalui perhatian

secara emosi, diekspresikan melalui kasih

sayang dan motivasi anggota keluarga

yang sakit agar terus berusaha mencapai

kesembuhan [8].

Perawat mempunyai peranan yang

sangat besar dalam memberikan dukungan

dan asuhan keperawatan pada pasien

stroke dan keluarganya. Peranan perawat

dimulai dari tahap akut hingga tahap

rehabilitasi serta pencegahan terjadinya

komplikasi pada pasien stroke, sedangkan

peran utama perawat terhadap keluarga

pasien adalah meningkatkan koping

keluarga melalui penyuluhan kesehatan.

Dalam menigkatkan kesiapan

keluarga dalam melakukan perawatan bagi

pasien post stroke, sangat bergantung pada

kualitas penatalaksanaan dan asuhan yang

diberikan. Sehingga dibutuhkan peran

serta tenaga kesehatan dalam hal ini

adalah perawat. Perawat melibatkan

keluarga agar memiliki pemahaman

tentang proses penyakitnya, mengetahui

cara penanganan serta kontinuitas

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

3 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk

perawatan pada fase rehabilitasi dan

adaptasi yang disusun dalam suatu

discharge planning (Almborg el al, 2009).

Discharge planning adalah

mempersiapkan pasien untuk

mendapatkan kontinuitas perawatan baik

dalam proses penyembuhan maupun

dalam mempertahankan derajat

kesehatannya sampai pasien merasa siap

untuk kembali ke lingkungannya dan

harus di mulai sejak awal pasien datang ke

pelayanan kesehatan (Cawthorn, 2005).

Discharge planning yang belum

berjalan optimal dapat mengakibatkan

kegagalan dalam program perencanaan

perawatan pasien di rumah dan akan

mempengaruhi tingkat ketergantungan

pasien, dan tingkat keparahan pasien saat

di rumah. Perencanaan pulang bertujuan

untuk membantu pasien dan keluarga

dapat memahami permasalahan dan upaya

pencegahan yang harus di tempuh

sehingga dapat mengurangi resiko

kekambuhan. Tujuan Penelitian ini yaitu

mengetahui pengaruh penerapan

discharge planning terhadap kesiapan

keluarga dalam merawat pasien stroke.

METODE PENELITIAN

Design

Metode yang digunakan yaitu

dengan systematic review, dengan mencari

artikel penelitian dengan beberapa kriteria

pencarian dan kata kunci, kemudian

dilakukan review dari semua artikel

tersebut.

Kriteria Inklusi dan Ekslusi

a. Kriteria inklusi dari artikel yang dicari,

yaitu dengan konsep PICO berikut ini:

P (Tipe participant/responden) adalah

keluarga dari pasien stroke. I (Tipe

intervensi) adalah discharge planning

dengan pendekatan khusus. C

(Pembanding) adalah kelompok kontrol

dengan sesuai standar RS. O (Tipe

outcome) adalah kesiapan keluarga.

b. Kriteria ekslusi yaitu artikel tentang

discharge planning pada keluarga

pasien selain penyakit stroke.

Strategi Pencarian Literatur

Artikel penelitian yang akan

dilakukan review dicari melalui Ebsco,

Pubmed, dan Google Scholar. Pencarian

melalui Ebsco dan Pubmed dilakukan

menggunakan advance search dengan kata

kunci Discharge Planning, Family

Readiness, dan Stroke Patient. Setelah

dilakukan pencarian ditemukan artikel 21

pada Ebsco dan 77 artikel pada Pubmed.

Langkah selanjutnya adalah dengan

melakukan screening untuk mendapatkan

artikel yang full-text dalam bentuk pdf dari

tahun 2006-2016. Pada langkah ini

ditemukan 6 artikel pada Ebsco dan 48

artikel pada Pubmed. Pencarian melalui

google scholar ditemukan 86 artikel.

Setelah dilakukan screening maka

ditemukan 62 artikel yang dianggap

memenuhi kriteria peneliti.

Semua judul artikel yang dianggap

sesuai dengan tujuan penelitian kemudian

dijadikan satu dan dilakukan screening

apakah judul artikel tersebut sama atau

tidak. Setelah dilakukan screening

terdapat 5 artikel yang judulnya sama.

kemudian 5 artikel ini di screening

berdasarkan eligibility sesuai dengan

kriteria inklusi dan ekslusi. Berdasarkan

kriteria inklusi dan ekslusi didapatkan 3

artikel yang kemudian dilakukan review.

Strategi pencarian literatur dalam

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

4 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk

systematic review ini ditunjukkan dalam

tabel 1.

Tabel 1. Strategi Pencarian Literatur

Mesin pencari Ebsco

Host

Pubmed Google

Scholar

Hasil penelusuran 21 77 86

Fulltext,pdf,2006-2016 6 48 62

Judul yang sama 2 2 1

Eligible sesuai kriteria

inklusi dan ekslusi

1 1 1

Result 3

Metode Pengkajian Kualitas Studi

Dalam melakukan pengkajian

kualitas studi dari artikel yang di review,

penulis menggunakan TOOLS yang

dikembangkan oleh Critical Appraisal

Skills Programme (CASP) yang diakses

dari www.casp-uk.net . Hasil kualitas

studi ini tidak akan mempengaruhi hasil

sistematic review, pengkajian kualitas

studi hanya digunakan untuk melihat

seberapa jauh tingkat atau kualitas artikel

yang digunakan.

Cara Ekstraksi Data

Ekstraksi data dilakukan oleh

mahasiswa Program Studi Magister

Keperawatan Universitas Diponegoro

angkatan 2016. Data diekstraksi dengan

melihat isi artikel. Ekstraksi ini

menganalisa data berdasarkan 4 tema

yaitu Author, Participan, Intervention, dan

Outcome.

Sintesis Data

Data-data ditampilkan secara

naratif. Penyajian data meliputi

karakteristik artikel, intervensi discharge

planning, dan kesiapan keluarga setelah di

lakukan discharge planning.

HASIL

Karakteristik studi

Desain penelitian dari 3 artikel yang

dilakukan review adalah 2 artikel dengan

desain RCT (Randomized Control Trial)

dan 1 artikel dengan desain Quasi

Eksperiment. Tahun publikasi yaitu 2

artikel di publikasi tahun 2006 dan 1

artikel di publikasi tahun 2015.

Karakteristik studi ditampilkan dalam

tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Studi

Author Participants Intervensi Outcome Utama

(Discharge

planning)

Kontrol

Giosa

et al

(2006)

Intervensi (n

= 23)

Kontrol(n=

22)

Keluarga dari

pasien stroke

Menggunakan

media audio

visual aids

Media

visual

aids

p < 0,020

(sangat

signifika

n)

Lutz BJ

(2006)

Intervensi (n

= 20)

Kontrol(n=

20)

Keluarga dari

pasien stroke.

Family-

centered

approach

model

Dischar

ge

plannin

g sesuai

standar

RS.

p < 0,001

(sangat

signifika

n)

Damaw

iyah

(2015)

Intervensi (n

= 14)

Kontro(n=

14)

Keluarga dari

pasien stroke.

Family

Centered

Nursing

Dischar

ge

plannin

g sesuai

standar

RS.

p < 0,009

(Sangat

signifika

n)

Metode Penerapan Discharge Planning

Metode penerapan discharge

planning yang digunakan pada masing-

masing artikel memiliki perbedaan.

Pengaruh discharge planning yang

dilakukan dengan media audio visual aids

[4]. Discharge planning dengan

pendekatan Family-centered approach

model dengan tahapan melakukan

pengkajian dan analisa kemampuan

keluarga dalam melakukan perawatan

pada pasien stroke [7]. Lalu melakukan

discharge planning sesuai dengan hasil

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

5 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk

analisa tentang kebutuhan keluarga dalam

melakukan perawatan pada pasien stroke.

Penelitian dengan melakukan discharge

planning menggunakan pendekatan

Family Centered Nursing yaitu keluarga

difasilitasi untuk dapat menjadi pusat

keperawatan yang dapat memberikan

perawatan kepada anggota keluarga yang

sakit [1]. Hal ini didasarkan dari

perspektif bahwa keluarga adalah unit

dasar dari perawatan individu dalam

keluarga.

Hasil Penerapan Discharge Planning

Dari ketiga artikel yang telah di

review, didapatkan hasil bahwa penerapan

discharge planning berpengaruh dalam

meningkatkan kesiapan keluarga dalam

merawat pasien stroke, dengan nilai p

sangat signifikan.

PEMBAHASAN

Kelebihan dan Kekurangan Artikel

Kelebihan artikel penelitian yang di

review adalah keseluruhan artikel

menunjukkan bahwa penerapan discharge

planning menunjukkan hasil yang

signifikan terhadap kesiapan keluarga

dalam merawat pasien stroke.

Intervensi discharge planning yang

dilakukan dengan menggunakan media

audio visual aids menunjukkan hasil yang

signifikan terhadap kesiapan keluarga.

Penggunaan audio visual aids efektif

sebesar 86% untuk dalam meningkatkan

pemahaman keluarga saat diberikan

informasi kesehatan tentang perawatan

pasien stroke [4]. Pada metode ini

discharge planning diberikan dengan

media audio-visual, menggunakan sebuah

video yang berisi tentang segala informasi

terkait perawatan pasien stroke di rumah.

Video yang diberikan rata-rata berdurasi

10-15 menit untuk setiap materi yang

disampaikan. Kekurangan metode

discharge planning yang menggunakan

audio visual aids adalah apabila keluarga

yang merawat pasien stroke sudah berusia

lanjut dan telah memiliki gangguan pada

sistem persepsi sensori [4].

Pada penelitian discharge planning

dengan pendekatan Family-centered

approach model juga menunjukkan

pengaruh yang signifikan. Penerapan tidak

memerlukan alat khusus untuk

melakukannya. Intervensi dilakukan

dengan melakukan pengkajian dan analisa

kemampuan keluarga dalam melakukan

perawatan pada pasien stroke [7]. Lalu

melakukan discharge planning sesuai

dengan hasil analisa tentang kebutuhan

keluarga. Family-centered approach

model hanya terbatas terhadap hasil

pengkajian dan analisa kemampuan

keluarga yang diperoleh perawat

sebelumnya. Peran keluarga dalam

melakukan perawatan langsung terhadap

pasien selama di rumah sakit kurang

difasilitasi.

Intervensi dengan pendekatan

Family Centered Nursing, dilakukan

dengan memfasilitasi keluarga untuk dapat

menjadi pusat keperawatan yang dapat

memberikan perawatan kepada anggota

keluarga yang sakit. Keluarga diberikan

informasi kesehatan tidak hanya saat

pasien akan pulang. Tetapi sejak awal

perawatan pasien. Keluarga juga di

libatkan selama proses perawatan pasien

di rumah sakit. Sehingga tingkat

kemandirian keluarga dalam perawatan

pasien dirumah meningkat [1].

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

6 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk

Kelebihan dan Kekurangan Review

Kelebihan dari review ini adalah

keanekaragaman metode pendekatan yang

yang digunakan dalam penerapan

discharge planning dapat dipilih untuk

dapat diimplementasikan di pelayanan

kesehatan. Artikel penelitian yang

dilakukan review dilaksanakan di

beberapa negara yang berbeda yaitu

Amerika, Canada, dan Indonesia.

Sehingga diharapkan penerapan discharge

planning dapat dengan mudah untuk

diimplementasikan di pelayanan kesehatan

yang ada di Indonesia. Kekurangan dari

proses review ini adalah hanya melakukan

review pada 3 artikel penelitian saja. 2

artikel penelitian RCT dan 1 artikel

penelitian quasi experiment. Bisa yang

dapat terjadi yaitu tingkat subjektifitas

dalam review ini. Karena review hanya

dilakukan oleh satu reviewer saja,

sehingga tidak ada proses diskusi.

KESIMPULAN

Penerapan discharge planning dapat

meningkatkan kesiapan pasien dan

keluarga secara fisik, psikologis, dan

sosial ; meningkatkan kemandirian klien

dan keluarga ; meningkatkan perawatan

yang berkelanjutan pada pasien ;

membantu pasien dan keluarga memiliki

pengetahuan dan keterampilan serta sikap

dalam memperbaiki serta

mempertahankan status kesehatan pasien.

Berbagai metode dapat digunakan dalam

penerapan discharge planning pada

keluarga dengan pasien stroke. Salah satu

metode yang paling efektif adalah Family

Centered Nursing. Diharapkan penerapan

discharge planning dapat dilakukan

dengan menerapkan metode - metode

yang ada dengan baik sehingga tahap

kemandirian keluarga yang tertinggi

dalam melakukan perawatan pada pasien

dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Damawiyah. 2015. Pengaruh

Penerapan Discharge Planning

Dengan Pendekatan Family Centered

Nursing Terhadap Motivasi dan

Kesiapan Keluarga Dalam Merawat

Pasien Stroke Pasca Akut di RS.

Islam Surabaya. Tesis. Magister

Keperawatan. Universitas Indonesia.

[2] Effendi, F & Mahfudi. Keperawatan

Kesehatan Komunitas Cetakan

Pertama. Jakarta : Salemba Medika.

2009.

[3] Febrie. Gambaran Fungsi Kognitif

Pada Pasien Stroke Post Opname di

Poliklinik.

http://www.Academia.edu.2013.

Diakses tanggal 03 Desember 2016.

[4] Giosa et al. 2006. An Examination of

Family Caregiver Experiences

during Care Transitions of Stroke

Patient.

[5] Haugh. Long-term Care for The

Stroke Patient in Family Home Care.

http://www.annalsoflongtermcare.co

m/article/9026.2018. Diakses tanggal

03 Desember 2014.

[6] Lanny. All About Stroke Hidup

Sebelum dan Pasca Stroke. Jakarta :

PT. Elex Media Komputindo. 2013.

[7] Lutz BJ et al. 2006. Improving Stroke

Caregiver Readiness for Transition

From Inpatient Rehabilitation to

Home.

[8] Ratna,W. Sosiologi dan Antropologi

Dalam Perspektif Ilmu Keperawatan.

Yogyakarta : Pustaka Rihana.2010.

SYSTEMATIC REVIEW PENGARUH PENERAPAN METODE DISCHARGE PLANNING

TERHADAP KESIAPAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE

7 | PISSN 2620-8040 Jennifa, dkk

TANYA JAWAB

Siti Arifah

Apakah metode discharge planning sudah

diterapkan secara baik untuk setiap rumah

sakit?

Jennifa

Ada yang sudah menerapkan dan

sebagian belum menerapkan

Shanti Retno wulansari

Seberapa besar peran keluarga dalam

merawat pasien stroke di rumah?

Jennifa

Bisa membantu ADL (activity day living),

mengontrol konsumsi obat secara rutin

dan melatih pergerakkan otot, serta

memotivasi pasien.

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Regista Trigantara PISSN 2620-8040 8

SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DOKUMENTASI

ASUHAN KEPERAWATAN

Regista Trigantara

Program Studi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro

[email protected]

ABSTRAKS

SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DOKUMENTASI ASUHAN

KEPERAWATAN. Pendampingan/supervisi dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan

dapat dilakukan supaya seluruh anggota ruangan memiliki kesempatan yang sama memperoleh

pendampingan. Supervisi adalah proses pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan untuk

memastikan apakah kegiatan tersebut berjalan sesuai tujuan organisasi dan standar yang telah

ditetapkan. Supervisi dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan yang cakap dalam bidang yang

disupervisi. Supervisi biasanya dilakukan oleh atasan terhadap bawahan atau konsultan terhadap

pelaksana. Manajer keperawatan atau kepala ruang memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan yang efektif serta aman kepada sejumlah pasien dan memberikan kesejahteraan

fisik, emosional dan kedudukan bagi perawat. Sistematik review ini dilaksanakan dengan melakukan

penelusuran artikel publikasi pada CINAHL, MEDLINE, dan Google Scholar dengan kata kunci:

Clinical Supervision dan Nursing Care Documentation Quality . Sedangkan untuk penelusuran dengan

Google Scholar menggunakan kalimat Clinical Supervision for improved nursing care documentation

quality. Penelusuran dibatasi terbitan 2006-2016, dapat diakses fulltext dalam format pdf dengan

desain penelitian kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan pada mahasiswa keperawatan. Artikel yang

sesuai kemudian dilakukan penilaian kualitas studi menggunakan TOOLS dari CASP. Artikel yang

direview sebanyak 3 buah artikel dengan kualitas tinggi. Supervisi klinis Model Proctor yaitu fungsi

formatif, normatif, dan restoratif untuk meningkatkan kemampuan supervisor ruangan melaksanakan

supervisi klinis Model Proctor terhadap peningkatan kualitas dokumentasi asuhan keperawatan

Kata Kunci: Clinical Supervision, and Nursing Care Documentation Quality

PENDAHULUAN

Setiap pelaksanaan proses

keperawatan, perawat akan selalu melakukan

pencatatan atau sering disebut

pendokumentasian, mulai dari pengkajian,

diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi. Dokumentasi merupakan aspek

penting dari praktik keperawatan karena

berisi catatan-catatan yang berguna untuk

komunikasi, tagihan finansial, edukasi,

pengkajian, riset, audit dan dokemenatasi

legal. Dokumentasi didifinisikan sebagai

segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang

dapat diandalkan sebagai catatan tentang

bukti bagi individu yang berwenang.

Dokumentasi yang baik mencerminkan tidak

hanya kualitas perawatan tetapi juga

membuktikan pertanggunggugatan setiap

anggota tim perawat dalam memberikan

perawatan (Potter & Perry, 2005).

Dokumentasi yang akurat adalah salah

satu pertahanan diri yang terbaik terhadap

tuntutan yang berkaitan dengan asuhan

keperawatan.

Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan

9 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara

Asuhan keperawatan dapat saja berjalan

dengan sangat baik, namun asuhan

keperawatan yang tidak didokumetasikan

berarti asuhan yang tidak dilakukan dalam

peradilan hukum (Perry & Potter, 2005).

Penelitian yang berhubungan dengan

pendokumentasian asuhan keperawatan

dilakukan oleh Pribadi (2009) yang didapatkan

hasil bahwa pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawatan di RSUD Kelet Jepara dalam

kategori baik 58,1% dan kategori tidak baik

41,9%. Selain itu menurut Mastini, 2013

temuan di salah satu rumah sakit yang berada

di Bali menunjukkan formulir dokumentasi

keperawatan yang telah disiapkan tidak tuntas

atau tidak terisi lengkap. Ditemukan rata-rata

perbulan rekam medis yang tidak lengkap

antara 5 sampai 10 rekam medis setelah pasien

pulang rawat inap di IRNA.

Perawat dalam melaksanakan tugas

sehari-hari dipimpin oleh seorang kepala

ruang. Kaitannya dengan dokumentasi asuhan

keperawatan tersebut, kepala ruangan

memiliki tugas untuk memberikan

pendampingan /supervisi terhadap anggota

ruangannya karena sebagian besar hasil dari

audit dokumentasi masih kurang dari nilai 75

(Keliat, 2012). Pendampingan / supervisi

dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawatan dapat dilakukan supaya seluruh

anggota ruangan memiliki kesempatan yang

sama memperoleh pendampingan. Menurut

Keliat (2012) supervisi adalah proses

pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan

untuk memastikan apakah kegiatan tersebut

berjalan sesuai tujuan organisasi dan standar

yang telah ditetapkan.

Supervisi klinis diperlukan untuk

mendapatkan sebuah praktik profesional

sebagai bagian dari sistem pelayanan

kesehatan yang dapat membuat seseorang

merefleksikan praktik dengan dukungan dari

supervisor. Dalam sebuah proses refleksi dapat

dikembangkan skill, pengetahuan dan

pemahaman dari praktik yang dijalankan (Care

et al., 2013; Jones, 2006).

Supervisi klinis mencakup beberapa

aspek yaitu pengarahan, observasi, pemberian

motivasi dan evaluasi. Supervisi klinis

dikonseptualisasi mempunyai 4 tujuan yaitu

membantu supervisee tumbuh dan

berkembang, melindungi dari

ketidaksejahteraan klien, memonitor

penampilan supervisee dan sebagai sebuah

penjagaan profesi. Supervisi klinis berperan

untuk mendorong supervisee melakukan

evaluasi sendiri dan mencapai tujuan sebagai

sebuah profesional yang mandiri. (Butterworth

& Faugier, 2013; Corey, 2013; Lynch et al.,

2009).

Supervisi klinis dapat membantu

perawat mengeksplorasi kontribusi

perkembangan praktik keperawatan dan

implementasi dalam praktik keperawatan

(Butterworth & Faugier, 2013). Supervisi

klinis juga terbukti mampu membuat seorang

perawat bekerja dengan profesional, kompeten

dan tanggung jawab. Supervisi klinis efektif

untuk mengembangkan potensi individu baik

pengetahuan, skill dan sikap dan kompetensi

dalam perawatan pasien.(Bormann &

Abrahamson, 2014; Casillas et al., 2014; Scott

Tilley, 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui seberapa efektif supervisi

klinis dalam peningkatan kualitas dokumentasi

asuhan keperawatan.

METODE

Design

Metode yang digunakan yaitu dengan

sistematik review, dimana artikel penelitian

dicari dengan beberapa criteria pencarian dan

kata kunci, kemudian dilakukan review dari

semua artikel tersebut.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi dari artikel yang

dicari yaitu : tipe participant/responden (P)

adalah perawat pelaksana. Tipe intervensi (I)

yaitu supervisi klinis dan tidak menggunakan

intervensi pembanding (C). Tipe outcame (O)

yang diukur yaitu kualitas dokumentasi asuhan

keperawatan.

Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan

10 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara

Tipe Studi adalah Randomized Control Trials

(RCT). Kriteria Eksklusi yaitu: artikel yang

tidak menggunakan bahasa inggris.

Strategi Pencarian Literatur

Artikel pencarian dicari melalui

CINAHL, MEDLINE, dan Google Scholar.

Pencarian melalui CINAHL, dan MEDLINE

dilakukan menggunakan advanced search

dengan kata kunci Clinical Supervision dan

Nursing Care Documentation Quality. Setelah

dilakukan pencarian ditemukan 48 artikel pada

CINAHL, dan 13 artikel pada MEDLINE.

Langkah selanjutnya adalah dengan

melakukan screening untuk mendapatkan

artikel yang full text dalam bentuk pdf dari

tahun 2005-2017.

Pada langkah ini ditemukan 20 artikel

pada CINAHL, dan 6 artikel pada MEDLINE.

Pencarian melalui google scholar dengan

menggunakan kalimat Clinical Supervision for

improved nursing care documentation quality

dan ditemukan ada 1460 artikel. Karena

keterbatasan waktu analisis peneliti maka

artikel yang diidentifikasi judulnya hanya

sampai pada page 20. Setelah diidentifikasi

judulnya maka ditemukan 21 artikel yang

dianggap memenuhi criteria peneliti. Semua

judul artikel yang dianggap sesuai dengan

tujuan penelitian

kemudian dijadikan satu dan

dilakukan screening apakah judul pada artikel

tersebut ada yang sama atau tidak. Setelah

dilakukan screening didapatkan ada 41 artikel

yang memiliki judul yang sama. Ke- 41 artikel

ini kemudian di screening berdasarkan

eligibility sesuai dengan criteria inklusi dan

eksklusi. Berdasarkan kriteria inklusi dan

eksklusi di dapatkan 3 artikel untuk

selanjutnya dilakukan review. Adapun strategi

pencarian literature tadi dapat dilihat pada

tabel 1.

Metode Pengkajian Kualitas Studi

TOOLS yang dikembangkan oleh

Critical Appraisal Skills Programme

(CASP)digunakan penulis untuk mengkaji

kualitas studi di akses dari www.casp-uk.net.

Critical Appraisal dilakukan oleh satu orang

yang sedang menjalani studi S2 Keperawatan

semester 3 di Universitas Diponegoro

angkatan 2016. Hasil kualitas studi ini tidak

akan mempengaruhi sistematik review,

pengkajian kualitas studi hanya digunakan

untuk melihat sejauh mana tingkat atau

kualitas artikel yang digunakan.

Sintesis Data

Data-data akan ditampilkan secara

naratif. Penyajian data meliputi karakteristik

artikel, metode supervisi yang digunakan dan

hasil setelah dilakukan supervisi.

Tabel 1. Strategi pencarian Literature

Mesin Pencari CINAHL MEDLI

NE

Google

Scholar

Hasil penelusuran 48 13 16.000

Fulltext, pdf, 2006-

2016

20 6 1460

Judul yang sama 15 5 21

Eligible sesuai

dengan criteria

inklusi dan eksklusi

1 1 1

RESULT 3

Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan

11 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara

HASIL

Hasil Penerapan Metode Supervisi Klinis

Secara umum banyak manfaat dari

implementasi supervisi klinis Model Proctor,

penelitian White et al dalam Lynch et al

menjelaskan manfaatnya diantaranya adalah:

1) proses evaluasi yang ideal dari rencana

kegiatan yang sudah dilakukan; 2) konsistensi;

3) saranan brainstroming atau diskusi yang

baik; 4) peningkatan kualitas pelayanan; 5)

mempermudah pelaksanaan tindakan nyata

terkait isi terbaru. Lynch, et al., (2008)

menjelaskan kelebihan model Proctor

dibanding yang lain diantaranya adalah proses

evaluasi yang ideal dari rencana kegiatan yang

sudah dilakukan, konsistensi, sarana

branstorming atau diskusi yang baik,

peningkatan kualitas pelayanan, dan

meningkatkan pelaksanakan kegiatan

diruangan. Penelitian Carney menyatakan

supervisi model Proctor dapat di terima oleh

sebagian besar perawat sehingga layak untuk

di terapkan dalam pelayanan keperawatan

(Carney, 2005).

PEMBAHASAN

Supervisi klinis Model Proctor

dikembangkan oleh Brigid Proctor, merupakan

model supervisi klinis paling populer di

Inggris dan hampir semua pelatihan supervisi

klinis menggunakan model ini. Pelaksanaan

pelatihan ini menggunakan Model Proctor

karena model ini relatif lebih lengkap dan

merangkum beberapa ciri dari model yang ada

serta berbagai penelitian.

Tiga fungsi supervisi klinis Model

Proctor yaitu fungsi formatif, normatif, dan

restoratif untuk meningkatkan kemampuan

supervisor ruangan melaksanakan supervisi

klinis Model Proctor terhadap peningkatan

kualitas dokumentasi asuhan keperawatan.

Secara umum banyak manfaat dari

implementasi supervisi klinis Model Proctor,

penelitian White et al dalam Lynch et al

menjelaskan manfaatnya diantaranya adalah:

1) proses evaluasi yang ideal dari rencana

kegiatan yang sudah dilakukan; 2) konsistensi;

3) saranan brainstroming atau diskusi yang

baik; 4) peningkatan kualitas pelayanan; 5)

mempermudah pelaksanaan tindakan nyata

terkait isi terbaru.

Fungsi formatif berfokus pada

pengembangan pengetahuan dan ketrampilan

staf sehingga terjadi integrasi antara teori dan

kegiatan praktik.

Fungsi restoratif adalah fungsi saling

memberi dukungan atau motivasi, diperlukan

hubungan yang baik antara supervisor dan staf

juga didukung iklim kerja yang baik sehingga

timbul saling menerima, dihargai, memberikan

rasa aman, mencegah konflik sehingga tujuan

supervisi akan tercapai. Pitman, Allen dan

Armoel; Brunero dan Punbury; Zakiyah

menyatakan, proses dari kegiatan supervisi

klinis Model Proctor yaitu sebagai berikut:

Fungsi Normatif

Komponen ini dapat dicapai oleh

supervisor yang memiliki persepsi positif

untuk staf yang disupervisi, dihubungkan

dengan kemampuan supervisor untuk

mempertahankan kinerja staf yang baik

dengan cara menciptakan lingkungan kerja

yang kondusif, membuat suatu perencanaan,

mengidentifikasi kebutuhan dan

permasalahan yang diperlukan untuk

memberikan dukungan lebih lanjut.

Fungsi Formatif

Komponen ini berfokus pada

pengembangan pengetahuan dan

ketrampilan staf sehingga menunjukkan staf

bekerja sesuai dengan standar yang berlaku

sebagai aspek tanggung jawab dalam

melakukan praktik. Kondisi ini dapat

dicapai melalui refleksi pada praktik yang

sudah dilakukan dengan dukungan dan

menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal

ini merupakan tanggung jawab bersama dari

supervisor dan staf yang disupervisi.

Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan

12 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara

Adapun tugas dari supervisor

adalah; 1) mengkaji kinerja staf yang

melakukan kegiatan; 2) memonitor

kepatuhan terhadap kode etik dan standar

yang berlaku; 3) memberikan tantangan

dalam praktik apabila diperlukan; 4)

memberikan kritik yang konstruktif; 5)

memberikan umpan balik yang jujur;

6)mengidentifikasi pencapaian staf yang

melakukan tindakan; 7) memberikan solusi;

8) menjadi role model; 9) mengidentifikasi

pemecahan masalah atau rencana tindak

lanjut yang diperlukan; 10)

mendokumemtasikan supervisi secara

teratur dan mengevaluasi efektivitas

kegiatan supervisi.

Fungsi Restoratif

Komponen ini berhubungan dengan

kemampuan memberikan rasa aman bagi

staf untuk terbuka dalam mengungkapkan

perasaan dan permasalahan yang dihadapi,

pengalaman dalam praktek dan

pembelajaran, mencegah stress, mengatasi

konflik, pemberian dukungan. Supervisi

Proctor merupakan model supervisi yang

paling direkomendasikan dalam pelatihan

supervisi. Supervisi model Proctor dapat

meningkatkan pelayanan klinis yang dapat

memberikan dukungan yang adekuat pada

pelayanan klinis dan mengembangkan

profesionalisme supervisor keperawatan

(Lynch, et al., 2008). Supervisi model Proctor

memiliki beberapa fungsi dalam melakukan

pengarahan pada perawat yang disupervisi

yaitu fungsi normatif, formatif dan restoratif

yang efektif diterapkan dalam pelayanan

keperawatan.

Menurut peneliti, aplikasi fungsi

normatif bermanfaat untuk mengembangkan

perawatan pasien berkaitan dengan praktik

keperawatan yang professional, fungsi

formatif meningkatkan kesadaran diri melalui

peran edukatif dapat melaksanakan kegiatan

pelayanan dengan memperhatikan keselamatan

pasien melalui pemberian dukungan dan

komunikasi efektif.

Sehingga perawat dapat termotivasi

untuk melaksanakan kegiatan kepada pasien

yang sesuai standar. Aplikasi fungsi normatif

dalam supervisi model Proctor dapat dicapai

oleh supervisor yang memiliki persepsi positif

untuk staf yang disupervisi, dihubungkan

dengan kemampuan supervisor untuk

mempertahankan kinerja staf yang baik

dengan cara menciptakan lingkungan kerja

yang kondusif, menyusun dan

mensosialisasikan suatu perencanaan,

mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah

yang diperlukan untuk memberikan dukungan

lebih lanjut, mempertahankan standar yang

ada, dan memberikan kepercayaan pada staf

sehingga hal tersebut dapat meningkatkan

profesionalisme dan menciptakan kualitas

pelayanan yang bermutu.

Aplikasi fungsi formatif berfokus

pada perkembangan pengetahuan dan

keterampilan staf sehingga memungkinkan

staf bekerja sesuai dengan standar yang

berlaku sebagai aspek tanggung jawab dalam

melakukan praktek. Kondisi ini dapat dicapai

melalui refleksi pada praktek yang sudah

dilakukan. Hal ini merupakan tanggung jawab

bersama dari supervisor dan staf yang

disupervisi. Fungsi restoratif berfokus pada

pemberian dukungan. Supervisor harus

memastikan kesiapan staf dapat menerima

dukungan atau motivasi yang diberikan.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari review artikel ini

adalah bahwa supervisi klinis model Proctor

dapat meningkatkan kualitas dokumentasi

asuhan keperawatan. Rumah sakit perlu

meningkatkan kualitas dokumentasi asuhan

keperawatan salah satunya melalui dukungan

kebijakan untuk pelaksanaan supervisi kepala

ruang model Proctor dengan melaksanakan

pada seluruh ruangan pelayanan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Keliat, BA., Akemat, (2012), Model

Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumentasi Asuhan Keperawatan

13 | PISSN 2620-8040 Regista Trigantara

praktik keperawatan profesional jiwa,

EGC, Jakarta.

[2] Potter P.A., & Perry, A.G., (2005),

Buku saku: ketrampilan & prosedur

dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC

[3] Pribadi, A., (2009), Analisis faktor

pengetahuan, motivasi dan

pengetahuan persepsi perawat tentang

supervisi kepala ruang terhadap

pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawat di ruang rawat inap RSUD

Kelet Provinsi Jawa Tengah di Jepara,

Tesis Magister Ilmu Kesehatan

Masyarakat Konsentras Administrasi

Rumah Sakit.

[4] Butterworth, T., & Faugier, J. (2013).

Clinical Supervision and Mentorship in

Nursing. Springer. Retrieved from

https://books.google.com/books?id=j1

H2BwAAQBAJ&pgis=1

[5] Care, P., New, H., Local, E., Health,

R., Hunter, J., & Lambton, N. (2013).

Finding a way forward: A literature

review on the current debates around

clinical supervision, 45(1), 22–32.

[6] Carryer, J., Gardner, G., Dunn, S., &

Gardner, A. (2007). The core role of

the nurse practitioner : practice ,

professionalism and clinical leadership.

doi:10.1111/j.1365-2702.2006.01823.x

[7] Bormann, L., & Abrahamson, K.

(2014). Do staff nurse perceptions of

nurse leadership behaviors influence

staff nurse job satisfaction? The case of

a hospital applying for Magnet®

designation. The Journal of Nursing

Administration, 44(4), 219–25.

doi:10.1097/NNA.0000000000000053

[8] Brunero, S., & Purbury, J.S. (2006).

The effectiveness of clinical

supervision in nursing: an evidenced

based literature review. Australian

Journal of Advanced Nursing, 25 (3),

86–94.

[9] Lynch, L., Hancox, K., Happel, B., &

Parker, J. (2008). Clinical supervision

for nurse: Model for clinical

supervision. United Kingdom: Willey-

Blackwell

[10] Carney, A.S. (2005). Clinical

supervision in a challenging behaviour

unit. Nursing Times, 101 (47), 32-34.

Diperoleh dari http://

www.nursingtimes.net

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Amalia Mastuty PISSN 2620-8040 14

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA

Amalia Mastuty

Program Studi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro

[email protected]

ABSTRAKS

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA. Ketidakhadiran atau absenteeisme tenaga perawat mengakibatkan hilangnya

waktu kerja untuk menyelesaikan tugas sehingga pekerjaan yang harusnya bisa diselesaikan dalam

jangka waktu tertentu menjadi terbengkalai. Hal ini secara tidak langsung akan menimbulkan

kerugian bagi tenaga perawat dan bagi Rumah Sakit baik dari segi materi maupun terhadap system

yang berlaku. Pada umumnya abseenteisme dan waktu kerja yang hilang di Rumah Sakit di Amerika

12% tidak hadir, di Indonesia berkisar antara 3%-10% diantaranya Puskemas di Papua 30,7% tidak

hadir,di Rumah Sakit Bekasi 93,20 % datang terlambat, di Rumah Sakit Semarang 4,3% perawat tidak

hadir. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi indentifikasi intervensi efektif yang membantu

manajemen dalam mengurangi absenteeisme tenaga perawat dan meningkatkan produktivitas kerja.

Metode yang digunakan adalah pencarian literatur mulai dari tahun 2009-2017 yang menggunakan

kata kunci reduce absenteeism / mengurangi absenteeisme dan Nursi / Tenaga Perawat. Penelusuran

dilakukan di situs Ebscohost, Elsevier dan Google Sholar. Hasil yang diperoleh yaitu kajian dari

ketiga belas literatur yang digunakan dalam artikel ini ditemukan 9 upaya untuk mengurangi

absenteeisme tenaga perawat adalah diantaranya terangkum dalam : pemberian dukungan sosial,

melaksanakan 6 strategi pengorganisasian karyawan, pendekatan kepemimpinan serta peningkatan

motivasi ekstrinsik dalam organisasi kerja.

Kata Kunci : Mengurangi absenteeisme, tenaga perawat, organisasi kerja

PENDAHULUAN

Ketidakhadiran atau absenteeisme

adalah keadaan tidak hadir untuk pekerjaan

yan dijadwalkan. Karyawan tidak hadir karena

sejumlah alasan. Perbedaan sering dibuat

antara absenteeisme putih, abu-abu dan hitam.

Dalam kasus absensi putih, sangat jelas bahwa

karyawan tersebut sakit. Ketidakhadiran

disebut abu-abu jika penyakitnya bersifat

psikologis atau psikosomatik seperti sakit

kepala dan kelelahan. Ketidakhadiran disebut

hitam jika seseorang yang tidak sakit

melaporkan dirinya sebagai orang sakit. Ini

juga dikenal sebagai absensi illegal.1

Ketidakhadiran perawat disebabkan

oleh beberapa faktor diantaranya pendidikan

dan beban kerja, moralitas, fleksibilitas jadwal

kerja, shift kerja, presenteeisme / hadir namun

bekerja tidak maksimal, umur, jenis kelamin,

tempat tinggal karyawan dapat mempengaruhi

ketidakhadiran kerja.2,3.

Ketidakpuasan

terhadap pekerjaannya juga menjadi faktor

ketidakhadiran, hal ini diungkapkan dengan

berbagai cara diantaranya dengan

meninggalkan pekerjaannya, mengeluh,

membangkang, mencuri milik organisasi,

menghindari sebagian tanggung jawab dari

pekerjaan mereka.2. Kemudian beberapa faktor

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA

15 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty

lain disebabkan oleh dukungan supervisor

rendah, tuntutan fisik pada pekerjaan, kontrol

rendah dari atasan.4

Sejauh ini manajemen organisasi kerja

dalam hal ini Rumah Sakit telah melaksanakan

beberapa upaya guna meminimalkan kejadian

absenteeisme tenaga perawat diantaranya

pengadaan absensi kehadiran namun pihak

manajemen rumah sakit kurang

memperhatikan prosedur pengisian absensi

dan monitoring yang dilaksanakan secara

profesional dan baik, dengan adanya

pengawasan dan kontol secara memusat,

melaksanakan supervisi oleh kepala bidang

namun belum menetapkan kontinuitas

pelaksanaan supervisi berkala baik secara

langsung pada perawat pelaksana yang ada

dalam ruangan perawatan, dari sistem reward

dan sistem promosi yang ada dirasakan kurang

adil3 dan sanksi disiplin bagi petugas

kesehatan yang bekerja dengan tidak baik6.

Dengan beberapa upaya yang telah

dilakukan tersebut diatas masih didapatkan

perolehan data empiris yang menegaskan

bahwa masalah absenteeisme tenaga perawat

masih menjadi fokus penelitian yang harus

ditanggapi segera ditemuka solusi kemudian

ditangani. Pada RSUP. Dr. Kariadi Semarang

pada tahun 2012 sebesar 4,3%, sedangkan

pada tahun 2013 tingkat ketidakhadiran

perawat karena sakit menurun menjadi 1,8%,

rekap absensi perawat di Ruang Rawat Inap

RSUD Kabupaten Bekasi datang terlambat

bulan Agustus 2011, sebanyak 91,20%.

Perawat, dan Rata-rata ketidakhadiran petugas

kesehatan puskesmas di 4 kabupaten di

Provinsi papua : 30.7% dikategorikan dengan

tingkat ketidakhadiran tinggi dan sebanyak

20% dari Perawat beralih kerja dan 12%

meninggalkan pekerjaan (keperawatan)

karena luka-luka di tempat kerja di Virginia

Barat, Amerika. 3,4,6.

Persentase ketidakhadiran yang tinggi

merupakan tantangan yang luar biasa di sektor

kesehatan yang pada hakikatnya tenaga

kesehatan dalam hal ini perawat seharusnya

selalu hadir di unit dimana mereka ditugaskan

agar sistem berfungsi dengan baik dalam

menyediakan pelayanan kesehatan dan

mencapai tujuan pembangunan. Hal ini perlu

mendapat perhatian karena menimbulkan

kerugian, baik dari segi fisik, materi maupun

terhadap sistem yang berlaku di perusahaan

diantaranya berpengaruh terhadap rekan kerja

dan atasan yang harus berurusan dengan

volume bisnis yang lebih besar, tetapi juga

keuntungan perusahaan dengan demikian,

terjadi penurunan kepuasan dan moral

karyawan dan produktivitas mereka, Selain itu,

juga telah ditemukan bahwa penyakit jiwa dan

stres dalam beberapa tahun terakhir akibat

penundaan kerja sehingga terjadi peningkatan

jumlah hari yang luar biasa. Hal ini harus

diwaspadai secara dini 4.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian menggunakan

metode penelusuran jurnal dengan sistem

literature review dengan menggunakan kata

kunci mengurangi absenteeism / reducing

absenteeism, tenaga perawat / nurse,

organisasi kerja/work organization. Pencarian

artikel dilakukan pada website Ebscohost,

Elsevier, dan Google Scholar. Artikel yang

mempunyai kesamaan diambil salah satunya.

Pencarian literatur dilakukan pada artikel yang

terpublikasi pada tahun 2009-2017.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis dari delapan jurnal didapatkan

bahwa ada beberapa intervensi yang efektif

untuk mengurangi absenteeisme tenaga

perawat diantaranya :

Dukungan Sosial

Dari hasil penelitian oleh Ambarwati

didapatkan bahwa intervensi untuk

mengurangi absenteeisme tenaga perawat

dengan cara pemberian dukungan sosial

diberikan kepada perawat sehingga dapat

mengurangi atau menekan tingkat stress.

Dukungan sosial adalah bantuan yang

diperoleh individu melalui hubungan

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA

16 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty

interpersonal dengan orang-orang di sekitar

individu yang memiliki arti bagi individu

tersebut dalam menghadapi masalahnya.

Adapun sumber-sumber dukungan sosial dapat

diperoleh dari : Rekan kerja dapat berupa

persahabatan, menciptakan situasi tolong-

menolong, dan kerja sama yang

menyenangkan. Atasan dapat berupa mau

mendengarkan masalah yang dialami dengan

penuh perhatian baik masalah pribadi maupun

pekerjaan, toleransi terhadap kesalahan yang

dibuat dan memberikan kepercayaan pada

pekerja bahwa dirinya mampu, sehingga

kondisi kerja yang menekan dapat terkurangi.

Pasangan hidup / Keluarga dapat berupa

dukungan emosi yang berbentuk dorongan

membesarkan hati, memberikan ungkapan

penghargaan, dukungan material serta

memberikan informasi yang dapat

memberikan sebuah solusi atas masalah yang

dihadapi. 7. Upaya ini cenderung jarang dipilih

untuk diaplikasikan karena faktor dukungan

sosial yang dimiliki perawat sudah dianggap

cukup sehingga dirasakan kurang berpengaruh

dalam pengurangan tingkat absentesi perawat.

Strategi Pengorganisasian Karyawan

Ketidakhadiran adalah fluktuasi

tenaga kerja yang merupakan parameter

terpenting yang perlu dipantau. Berikut stategi

pengorganisasian karyawan oleh manajer 8.

Kebijakan Tidak Hadir / Cuti Sakit

Manajemen membuat kebijakan

menggabungkan berbagai program insentif

yang dirancang untuk meningkatkan kehadiran

staf dengan memberi imbalan pada perawat

yang bisa jaga diluar jadwal piket akibat

ketidakhadiran temannya, penghargaan dari

kehadiran yang tidak terputus Program

Monitoring Absensi. Pengorganisasian

pertama ini salah satunya dengan membuat

kebijakan tentang program kontrol absensi

yang dinilai memiliki dampak terbesar dalam

mengurangi ketidakhadiran. Dalam program

kontrol absensi ini, pimpinan perawat dapat

menggunakan pengahargaan atau imbalan dan

kekuatan koersif untuk mengurangi

ketidakhadiran. Kekuatan pengahargaan atau

imbalan didefinisikan sebagai kemampuan

seseorang untuk menghargai perilaku orang

lain. Kekuatan koersif didefinisikan sebagai

kemampuan untuk menghukum

ketidakpatuhan para pengikut. Program

kontrol absensi positif adalah intervensi yang

menawarkan penghargaan atau motivasi

positif untuk kehadiran yang baik. Ini

termasuk: pengakuan pribadi, membeli

kembali cuti sakit yang tidak terpakai, dan

pembayaran bonus untuk kehadiran teladan.

Program lainnya adalah program

kontrol disipliner yang mencakup intervensi

yang memberikan konsekuensi yang tidak

menyenangkan terhadap kehadiran yang

buruk. Ini termasuk: tindakan disipliner,

kesalahan kinerja bebas, dan ulasan akhir

tahun. Kombinasi penghargaan dan program

kedisiplinan berpotensi menimbulkan dampak

terbesar dalam mengurangi ketidakhadiran.

Melibatkan karyawan dalam membangun dan

memantau program ini akan membantu

perawat menyesuaikan diri dengan kebijakan

ini dan memikul tanggung jawab pribadi.

Tingkat absensi dapat diatasi dengan

menggunakan langkah-langkah berikut:

Manajer harus menetapkan besaran dan pola

ketidakhadiran. Mereka harus memastikan

bahwa setiap orang mengetahui hak dan

tanggung jawab mereka terkait cuti dan

konsekuensi melanggar peraturan ini.

Manajer harus mengatasi masalah

secara keseluruhan dan berurusan dengan

individu dalam setiap kasus di mana satu

orang berulang kali absen dari pekerjaan.

Pemantauan bulanan yang berkelanjutan akan

membantu manajer untuk mengetahui apakah

tingkat absensi ditangani dengan cukup dan

durasi kerja lembur yang diperbolehkan untuk

perawat harus ditentukan sesuai dengan

manajemen sehubungan dengan beban kerja

dan perawatan kesehatan dari perawat itu

sendiri. 6

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA

17 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty

Pengelolaan Sektor Kepegawaian

Pengelolaan institusi perawatan

kesehatan harus menentukan jumlah petugas

keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah

kondisi kekurangan tenaga kerja terjadi karena

kekurangan memiliki pengaruh negatif

terhadap kinerja pekerja dan pada akhirnya

menyebabkan absennya atau penghentian

pekerjaan.

Monitoring sistem yang efektif

Sanksi sistem pemantauan harus

cukup kuat untuk membatasi marjin

kebijaksanaan kegiatan dan jadwal waktu staf

perawat seperti halnya pengambilan cuti

dengan alasan tepat. Penguatan control dan

mekanisme hukuman harus diterapkan untuk

ketidakhadiran petugas perawatan kesehatan

yang kurang informasi. Demikian pula,

pekerja terbaik harus diberi penghargaan atas

kinerjanya berdasarkan kinerja dan kehadiran

mereka.

Peningkatan Sistem Informasi

Database yang tepat harus dipelihara

di mana catatan kehadiran staf, informasi

mereka dan informasi yang kurang informasi

dipertahankan. Sistem informasi dapat

digunakan untuk mengamati pola absensi di

petugas layanan kesehatan dan dapat

dimanfaatkan dalam perancangan program

manajemen yang efektif. Catatan harus

dievaluasi secara rutin oleh otoritas pelaporan

staf perawatan kesehatan dan berdasarkan

evaluasi, insentif, dan promosi dan penurunan

pangkat dari nilai ini harus didasarkan.

Kebijakan Pelayanan Kesehatan

Pengadaan staff perawat, strategi

promosi, dan rekrutmen pegawai baru harus

digabungkan oleh manajemen.

Koordinasi Antar Tenaga Kesehatan

Koordinasi diantara staf perawat juga

mempengaruhi kualitas layanan perawatan

pasien yang diberikan oleh institusi perawatan

kesehatan. Peningkatan koordinasi

memudahkan dalam mengurangi tekanan dan

tekanan dalam kasus beban kerja yang tinggi. 9

Salah satu wujud dorongan koordinasi antar

tenaga kesehatan dengan pengadaan mitra

kesehatan aktif. Beberapa rumah sakit

menggunakan mitra kesehatan aktif.

Karyawan melaporkan sakit dengan

memanggil perawat dari apa yang disebut

sebagai mitra kesehatan aktif. Perawat

mendapat panggilan dari sejawat. Idenya

adalah untuk meminta penelepon secara rinci

tentang penyakit mereka untuk memberi tahu

mereka langkah-langkah apa yang harus

mereka lakukan seperti tinggal di tempat tidur

atau pergi ke dokter. Melihat sebuah solusi

untuk ketidakhadiran sebagai menawarkan

konseling terus menerus terhadap sejawat di

tempat kerja, itu bisa membantu perawat

mengurangi ketegangan mengalihkan

perhatian mereka dari masalah di rumah dan

manajerial mengusahakan pengadaan fasilitas

penitipan anak di tempat kerja. 10

Upaya ini

dinilai sangat aplikatif dalam mengurangi

absensi perawat karena sub variabel

didalamnya sudah meliputi beberapa aspek

pendukung yang berpengaruh dan di luar

negeri juga pernah dilakukan dengan hasil

bahwa 6 stategi pengorganisasian karyawan

bernilai signifikan terhadap absenteeisme

namun diindonesia sendiri strategi ini masih

belum maksimal bisa dilakukan oleh

manajemen.

Pendekatan Kepemimpinan

Pada saat manajer mengetahui

ketidakhadiran abu-abu maupun keterlambatan

terjadi hendaknya ditangani segera. Perlu

dilakukannya mediasi untuk mencapai kondisi

kelembagaan yang lebih baik dan

meningkatkan hubungan pribadi dan

profesional. Untuk pendekatan yang

digunakan dengan beberapa pilihan gaya

kepemimpinan diantaranya gaya

kepemimpinan transformasional. Beberapa

juga memberi jawaban yang menunjukkan sisi

yang lebih transaksional juga. Terakhir

memiliki cara yang lebih ketat untuk

memimpin dengan menggunakan penghargaan

dan hukuman. Hal ini dilakukan dengan

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA

18 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty

"budaya menakut-nakuti", yang menurut

mereka bisa mencegah ketidakhadiran staff.

Para manajer yang mengambil

pendekatan transformasional memiliki tingkat

pertimbangan yang tinggi bagi individu.

Mereka lebih fokus pada kepercayaan,

dukungan dan menjadi pemain tim. Mereka

tidak menyebutkan lebih banyak kursus dan

pendidikan bagi karyawan sebagai sarana

untuk meningkatkan motivasi di antara

karyawan sampai pada tingkat yang

ditentukan. Mereka lebih fokus untuk

mendapatkan lingkungan kerja yang lebih baik

dengan mengambil berbagai inisiatif seperti

memberikan informasi yang memadai. Para

manajer transformasional menunjukkan

kualitas visioner dan kreatif yang membantu

mereka menginspirasi karyawan untuk

menindaklanjuti perubahan dan untuk

mencegah ketidakhadiran penyakit dan

meningkatkan pengetahuan tentang proses

perubahan. 12,13,7,14.

Kekurangan dari upaya ini yang

sering terjadi adalah kurangnya kemampuan

dan motivasi dari seorang manajer untuk

mengembangkan pendekatan kepemimpinan

dengan mengadopsi gaya kepemimpinan yang

ada untuk disesuaikan pada masalah yang

terjadi dilapangan sehingga manajer atau

pimpinan cenderung menggunakan gaya

kepemimpinan situasional tidak meningkatkan

kemampuannya dalam mengekplore

keterbaruan atas keilmuan dan

mengaplikasikannya. Gaya kepemimpinan

yang digunakan akan berhubungan dengan

perilaku disiplin tenaga perawat yang ada.

Peningkatkan Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah pendorong

pekerja yang bersumber dari luar diri pekerja

sebagai individu, berupa suatu kondisi yang

mengharuskan melaksanakan pekerjaan secara

maksimal. Jika organisasi tidak mencukupi

faktor pendorong tersebut maka ia akan

mendapat kesulitan dalam menarik karyawan

yang baik dan perputaran dan kemangkiran

akan meningkat. Berikut ini beberapa bentuk

motivasi ekstrinsik yang perlu ditingkatkan

dalam organisasi terkait absenteeisme

diantaranya :

Pemberian Insentif/ imbalan

Berupa gaji dan upah memang

merupakan salah satu motivator yang kuat

bagi seseorang untuk berprestasi karena

dengan kenaikan insentif akan membuat

seseorang terdorong untuk melakukan yang

terbaik dalam pekerjaannya dan sebaliknya

jika insentif tidak sesuai dengan yang

diharapkan akan menyebabkan motivasi

seseorang menurun.

Pemantapan Kondisi Kerja

Lingkungan yang bersih dan rapi

akan membuat para perawat nyaman dan

semangat dalam hadir untuk bekerja tanpa ada

beban yang disebabkan ruangan kerja yang

kotor. Sementara dengan perlengkapan dan

peralatan yang memadai sudah tentu akan

memudahkan dalam meningkatkan kinerja

melayani pasien. Namun tanpa jaminan

keamanan, para perawat akan tidak tenang

dalam melakukan aktivitas. Kondisi kerja yang

baik tersebut dapat mendukung pelaksanaan

kerja sehingga perawat memiliki semangat

bekerja dan meningkatkan kinerja perawat.

Untuk dapat memunculkan motivasi prestasi

kerja yang tinggi dalam suatu organisasi

seorang Manajer harus memperhatikan

fenomena tersebut.

Pengadaan Promosi Kerja

Promosi memberikan peran penting

bagi karyawan bahkan menjadi idaman yang

selalu dinantikan. Karena hal itu berarti ada

kepercayaan dan pengakuan mengenai

kemampuan serta kecakapan karyawan

bersangkutan untuk menduduki suatu jabatan

yang tinggi. Seseoarang akan termotivasi

untuk hadir dan bekerja dengan disipilin dan

giat dan berprestasi karena adanya kesempatan

yang diberikan oleh pimpinan sehingga dia

akan lebih memacu diri bekerja sebaik-

baiknya dan meraih prestasi yang gemilang. 8.

Upaya ini merupakan upaya yang paling

berpengaruh secara langsung terhadap

UPAYA DALAM MENGURANGI ABSENTEEISME TENAGA PERAWAT PADA

ORGANISASI KERJA

19 | PISSN 2620-8040 Amalia Mastuty

pengurangan absensi perawat karena

manfaatnya dapat dirasakan secara langsung

dan memotivasi kerja perawat untuk

berproduktivitas tinggi namun biasanya

fungsinya hanya jangka pendek.

KESIMPULAN

Ditemukan beberapa intervensi efektif

yang dapat diterapkan oleh manajemen dalam

mengurangi absenteeisme tenaga perawat

mengingat kerugian yang ditimbulkannya

diantaranya :dukungan sosial oleh rekan,

atasan, dan pasangan hidup / keluarga yang

dapat memberikan pengaruh yang positif bagi

tenaga perawat, 6 strategi pengorganisasian

karyawan oleh manajerial dengan 1) kebijakan

tidak hadir / cuti sakit 2) pengelolaan sektor

kepegawaian 3) monitoring sistem yang efektif

4) peningkatan sistem informasi 5) Kebijakan

pelayanan kesehatan 6) mendorong koordinasi

antar tenaga kesehatan, kemudian dengan

melakukan pendekatan kepemimpinan dengan

mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang

sesuai serta peningkatkan motivasi ekstrinsik

meliputi pemberian insentif/imbalan,

pemantapan kondisi kerja, pengadaan promosi

kerja.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Wang. 2012. Nurse Absenteeism And

Staffing Strategies For Hospital

Inpatient Units

[2] Alfriyanti dkk. 2012. Faktor Yang

Berhubungan Dengan Absenteisme Pada

Tenaga Perawat Di Badan Rumah Sakit

Daerah Luwuk Kabupaten Banggai

Provinsi Sulawesi Tengah

[3] Asmaningrum. 2007. Hubungan Antara

Ketidakhadiran dan Kepuasan Kerja

Perawat Paviliun di RSUD Jombang

[4] Davey et al. 2009. Predictors of Nurse

Absenteeism in Hospitals: Journal of

Nursing Management

[5] Kanwal et al. 2017. Identify The Causes

Of Absenteeism In Nurses Mayo Hospital

Lahore Pakistan

[6] USAID From American People. 2016.

Survey Tenaga Kesehatan Di Papua

[7] Ambarwati, Diah. 2014. Pengaruh beban

kerja terhadap stres perawat igd dengan

dukungan sosial sebagai variabel

moderating (studi pada RSUP Dr.

Kariadi Semarang)

[8] Agus, M Haerul. 2013. Hubungan

Motivasi Kerja Dengan Kinerja Perawat

Di RSUD Sinjai.

[9] Pinnock, Cordelia. 2012. Reducing

Sickness And Absence: The Effectiveness

Of Managers

[10] Madibana. 2010. Factors Influencing

Absebteeism Amongst Professional

Nurses In London

[11] Lee, doohee. 2011 . Transformational

Leadership And Workplace Injury And

Absenteeism: Analysis Of A National

Nursing Assistant Survey

[12] Hakull et al. 2015. Leaders Approach To

Sickness Absence

[13] Kurcgant et al. 2015. Absenteeism of

Nursing Staff: Decisions and Actions of

Nurse Managers 2015 Paulina. Journal

of school of Nursing

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Renni, dkk PISSN 2620-8040 20

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI

DI BANTUL YOGYAKARTA

Reni Merta Kusuma, Ristiana Eka Ariningtyas

Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAKS

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA.

Makanan terbaik bagi bayi baru lahir sampai 6 bulan kehidupannya adalah air susu ibu (ASI).

Kementerian Kesehatan menghimbau agar pemberian ASI dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun.

Asupan ASI yang cukup dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui motivasi ibu dalam memberikan ASI kepada anaknya dan perilaku ibu

saat menyusui. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antara motivasi dan perilaku ibu dalam

memberikan ASI kepada anaknya. Rancangan penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan

pendekatan cross-sectional menggunakan metode survei untuk menguji hubungan-hubungan yang

terkait antara motivasi memberikan ASI dan perilaku ibu saat menyusui. Sampel sejumlah 202 ibu

menyusui yang memiliki anak berusia 6-12 bulan dengan teknik sampling Cluster Random Sampling.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Uji analisis yang digunakan adalah analisis deskripsi dan

analisis korelasi Chi Square (X2). Hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah Bantul menyatakan

bahwa analisis korelasi antara motivasi dengan perilaku didapatkan hasil nilai r=0,172 dan p=0,014

artinya ada hubungan bermakna antara motivasi memberikan ASI dengan perilaku pemberian ASI

dengan cara menyusui. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan bermakna antara

motivasi ibu memberikan ASI dengan perilaku ibu saat menyusui.

Kata Kunci : Motivasi dan prilaku menyusui

PENDAHULUAN

Ibu yang sehat baik secara fisik

maupun psikologi memiliki kemampuan untuk

mengeluarkan air susu. Air Susu Ibu (ASI)

merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI

mengandung zat gizi lengkap yang dibutuhkan

oleh bayi. ASI matur yang disekresi hari ke-10

dan selanjutnya mengandung antibody

terhadap bakteri dan virus, sel (fagosit

granulosit dan makrofag serta limfosit tipe T),

enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase,

katalase, fosfatase, amylase, fosfodiesterase,

alkalinfosfatase), protein (laktoferin, B12

binding protein), resistance factor terhadap

stafilokokus, komplemen, interferon producing

cell, dan hormon-hormon.1

ASI memiliki Kandungan yang lengkap

dan sesuai dengan kebutuhan bayi, sehingga

sampai dengan 6 bulan bayi cukup diberi ASI

saja. Bayi yang hanya diberi ASI saja selama 6

bulan memiliki kekebalan tubuh lebih baik

sehingga dapat terhindar dari kesakitan dan

kematian.2 World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pemberian ASI eksklusif

selama 6 bulan pertama kehidupan bayi dan

dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun3.

Pemberian ASI ekskluasif tidak hanya berada

dalam skala nasional bahkan WHO sudah

rekomendasikannya. Pemerintah Republik

Indonesia melalu Kementerian Kesehatan juga

sepakat dan berkomitme dalam menyukseskan

program ASI eksklusif di Indonesia.

Pemerintah berupaya untuk

menyukseskan program ASI eksklusif, salah

satunya dengan mengeluarkan Peraturan

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

21 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

Pemerintah Republik Indonesia No. 33 Tahun

2012 berisi tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Peraturan ini dibuat untuk menjamin

pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan

sumber makanan terbaik sejak dilahirkan

sampai berusia 6 bulan, kebijakan ini juga

melindungi ibu dalam memberikan ASI

eksklusif kepada bayinya.4 Pemberian ASI

menguntungkan banyak pihak di antaranya ibu

dan bayi. Bayi yang mendapatkan ASI, apalagi

mendapatkan ASI saja selama 6 bulan, akan

memiliki ketahanan hidup lebih tinggi

dibandingkan yang tidak mendapat ASI. Hasil

penelitian menyatakan bahwa bayi yang diberi

ASI lebih dari 6 bulan memiliki ketahanan

hidup sebesar 33,3 kali dibandingkan yang

diberi ASI kurang dari 4 bulan.5

Dinas Kesehatan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) tahun 2015 mencatat

jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif

sebanyak 73,7%. Jumlah tersebut tidak jauh

beda dengan Kabupaten Bantul. Jumlah bayi

yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar

74,7%.6 Capaian ASI eksklusif di Indonesia

belum mencapai angka yang diharapkan yaitu

sebesar 80%. Dinas Kesehatan (DIY) tahun

2015 mencatat pada tahun 2013 jumlah bayi

yang mendapatkan ASI eksklusif sebanyak

62,05%. Pemberian ASI eksklusif meningkat

pada tahun 2014 menjadi 71,55% dan pada

tahun 2015 meningkat menjadi 74,73%.6 Data

tersebut menguatkan semua pihak untuk terus

giat meningkatkan cakupan pemberian ASI

eksklusif karena dengan pemberian ASI

eksklusif banyak sekali keuntungan baik bagi

ibu maupun kepada bayi.

Peningkatan prosentase pemberian ASI

eksklusif menjadi tanggung jawab semua

pihak dan segala upaya dilakukan agar

pemberian ASI eksklusif meningkatkan.

Banyak upaya meningkatkan pemberian ASI

eksklusif di antaranya dengan pelaksanaan

inisiasi menyusu dini dan program kelompok

pendukung ibu dalam pemberian ASI

eksklusif. Kelompok pendukung ibu untuk

menyukseskan pemberian ASI eksklusif

(praktik menyusu) sangat bermanfaat dalam

meningkatkan pengetahuan ibu tentang ASI

pada responden yang berpendidikan rendah,

tidak bekerja (sebagai ibu rumah tangga saja),

dan mendapatkan inisiasi menyusu dini.7

Sebanyak 75% bayi cukup bulan yang

dilakukan IMD di RS St. Carolus telah

berhasil menjalankan ASI eksklusif.

Keberhasilan ASI eksklusif yang tersebut juga

dipengaruhi keyakinan ibu terhadap produksi

ASI, dukungan keluarga, pengetahuan ibu

tentang ASI eksklusif, dan konseling ASI dari

petugas kesehatan.8 Hasil penelitian lain juga

menyatakan inisiasi menyusu dini, dukungan

tenaga kesehatan, dan dukungan suami

berhubungan dengan keberhasilan pemberian

ASI eksklusif. Dukungan tenaga kesehatan

merupakan factor paling berpengaruh terhadap

keberhasilan pemberian ASI eksklusif di

wilayah kerja Puskesmas Cilandak Jakarta.9

Banyak faktor yang memengaruhi

keberhasilan seorang ibu dalam memberikan

ASI eksklusif. Cakupan ASI tidak hanya

tergantung pada faktor ekstrinsik seperti

dukungan keluarga, dukungan tenang

kesehatan, atau fasilitas yang tersedia, tetapi

faktor intrinsik juga memegang peranan

penting. Faktor intrinsic di antaranya motivasi

diri dan tekad untuk mampu memberikan ASI

secara eksklusif pada bayinya. Pengalaman

menyusui dan informasi tentang ASI eksklusif

yang menjadi pengetahuan dapat

memengaruhi motivasi ibu dalam memberikan

ASI.10

Motivasi dari seorang ibu untuk

memberikan ASI kepada bayinya sangat

penting karena jika ibu tersebut memiliki

motivasi rendah untuk menyusui bayinya,

besar kemungkinan pelaksanaan pemberian

ASI juga menjadi rendah. Perilaku menyusui

yang tidak benar juga dapat menyebabkan

pendeknya waktu pemberian ASI. Bayi

memiliki hak untuk mendapatkan ASI mulai

lahir sampai 2 tahun kehidupannya. Kegagalan

pemberian ASI eksklusif diperparah dengan

ketidakyakinan dan ketidaksanggupan ibu

menyusi bayinya. Perilaku memberikan ASI

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

22 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

eksklusif salah satunya dipengaruhi oleh

motivasi ibu menyusui dalam memberikan

ASI eksklusif. Hasil penelitian menyatakan

bahwa pengetahuan dan motivasi berpengaruh

terhadap perilaku seseorang.11

Berdasarkan

uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk

mencari hubungan antara motivasi

memberikan ASI eksklusif dengan perilaku

ibu saat menyusui. Pemberian ASI dilakukan

secara langsung maupun secara tidak langsung

dengan ASI perah. Pemberian ASI perah pada

umumnya dilakukan oleh ibu menyusui yang

bekerja atau ibu yang tidak selalu berada di

dekat bayinya. Penelitian ini lebih fokus pada

motivasi memberikan ASI dan perilaku

menyusui yang tergambar selama menyusui/

teknik menyusui.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah analistik

korelasi dengan pendekatan cross-sectional.

Penelitian ini menggunakan metode survei

untuk menguji hubungan-hubungan yang

terkait antara motivasi memberikan ASI dan

perilaku ibu saat menyusui. Penelitian

dilakukan di Desa Bantul, Desa Guwosari,

Desa Bangunjiwo, dan Desa Pleret. Sumber

data berasal dari ibu menyusui yang memiliki

bayi berusia 6-12 bulan sebagai responden

karena tidak semua ibu yang melahirkan bayi

hidup mau menyusui bayinya. Alat ukur

berupa kuesiner.

Populasi penelitian ini adalah semua ibu

menyusui di Kabupaten Bantul Yogyakarta

yang berjumlah 2.176 orang. Sampel

penelitian ini adalah ibu menyusui di

Kabupaten Bantul Yogyakarta yang memiliki

bayi berusia 6-12 bulan dan tidak memiliki

riwayat penyakit yang menghalangi ibu untuk

menyusui berjumlah 202 ibu. Teknik

pengambilan sampel dilakukan secara cluster

random sampling. Analisis yang dilakukan

adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis

data bertujuan untuk mencari deskripsi tiap

variabel dan hubungan antar variabel (motivasi

memberikan ASI dan perilaku ibu saat

menyusui). Uji analisis yang digunakan adalah

analisis deskripsi dan analisis korelasi Chi

Square (X2).

HASIL

Tabel 1 menyajikan data karakteristik

responden yang terdiri dari usia, pendidikan,

dan pekerjaan. Responden terbanyak berusia

21-30 tahun sebanyak 60,9%. Responden

terbanyak berpendidikan SLTA sebanyak

70,8%. Responden lebih banyak yang bekerja

(PNS, pegawai swasta, dan buruh) sebesar

56,4%.

Tabel 1. Karakteristik responden

Jenis Kriteria Jumlah Prosentase

Usia 15-20 tahun 2 1%

21-30 tahun 123 60,9%

31-40 tahun 74 36,6%

>40 tahun 3 1,5%

Pendidikan SD 9 4,5%

SLTP 39 19,3%

SLTA 143 70,8%

PT 11 5,4%

Pekerjaan Bekerja 114 56,4%

Tidak bekerja 88 43,6%

Tabel 2. Analisis Deskripsi Motivasi

Memberikan ASI dan Perilaku Ibu Saat

Menyusui N Min Max Mean S.Dev

Motivasi

MemberikanASI

1. Waktu Pemberian ASI (%)

202 33,33 100 91,91 16,81

2. Manajemen

Laktasi (%)

202 0 100 93,81 17,95

3. Simpang Siur 4. ASI (%)

202 60 100 93,56 9,98

Perilaku Ibu

Saat Menyusui

Perilaku Menyusui

(%)

202 50 100 81,83 9,60

Tabel 2 menyajikan data deskripsi motivasi

(waktu pemberian ASI, manajemen laktasi,

dan simpang siur ASI) dan perilaku saat

menyusui. Analisis deskripsi pada variabel

motivasi memberikan ASI memperlihatkan

nilai mean yang tidak terlalu jauh berbeda

pada ketiga sub pokok materi. Nilai Mean

yang tertinggi adalah sub pokok materi

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

23 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

Manajemen Laktasi sebesar 93,81 dengan

Standar Deviasi 17,95. Analisis deskripsi pada

variabel perilaku ibu saat menyusui diperoleh

nilai Mean 81,83 dengan Standar Deviasi 9,6

tanpa ada sub pokok materi lain.

Tabel 3. Deskripsi Faktor Agregat Sub Faktor

N Min Max Mean S.Dev

Faktor

Motivasi

Ibu (%)

202 55.56 100 93.10 8.70

Faktor

Perilaku

Menyus

ui (%)

202 50.00 100 81.83 9.60

Tabel 3 menyajikan deskripsi faktor agregat

sub faktor motivasi dan perilaku menyusui.

Sub faktor motivasi memiliki nilai Mean 93,10

yang artinya motivasi memberikan ASI masuk

dalam kategori sangat baik. Sub faktor

perilaku memiliki nilai Mean 81,83 yang

artinya perilaku ibu saat menyusui masuk

dalam kategori baik.

Tabel 4. Korelasi Motivasi Memberikan ASI

dan Perilaku Ibu Saat Menyusui

Faktor Motivasi

Ibu (%)

Faktor

Perilaku

Menyusui (%)

Faktor

Motivasi Ibu (%)

Pearson

Correlation

1 .172*

Sig. (2-tailed)

.014

N 202 202

Perilaku Menyusui

(%)

Pearson Correlation

.172* 1

Sig. (2-

tailed)

.014

N 202 202

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Tabel 4 menyajikan korelasi motivasi dan

perilaku ibu menyusui. Analisis korelasi antara

motivasi dengan perilaku didapatkan hasil

nilai r=0,172 dan p=0,014 artinya ada

hubungan bermakna antara motivasi

memberikan ASI dengan perilaku ibu saat

menyusui.

PEMBAHASAN

Tabel 1 memperlihatkan jumlah

responden paling banyak berusia 21-30 tahun

(60,9%). Rentang usia 21-30 tahun merupakan

usia produktif dan usia reproduksi sehat bagi

perempuan. Usia reproduksi sehat yang

dimaksud adalah sehat untuk mampu melalui

masa kehamilan, persalinan, nifas, dan

menjadi akseptor kontrasepsi. Rentang usia

tersebut termasuk masa dewasa muda

merupakan rentang usia dengan pertumbuhan

fungsi tubuh dalam tahap yang optimal.12,13

Responden yang berusia kurang dari

20 tahun berjumlah 1% sedang 99% lainnya

berusia lebih dari 20 tahun. Data ini

memperlihatkan bahwa masyarakat semakin

sadar bahwa usia reproduksi sehat adalah lebih

dari 20 tahun. Semakin tingginya tingkat

kesadaran masyarakat terkait usia reproduksi

sehat, maka besar kemungkinan pengendalian

angka kematian ibu dan anak. Data ini sejalan

dengan hasil penelitian di RS Cipto

Mangunkusumo Jakarta yang menemukan

bahwa proporsi ASI eksklusif lebih tinggi

pada kelompok ibu yang berusia lebih dari 25

tahun. Kematangan usia juga dipengaruhi oleh

faktor psikis. Faktor psikis yang positif seperti

percaya diri yang kuat, merasa yakin akan

kecukupan ASI, tidak stres dan sikap positif

terhadap perilaku menyusui berperan

mendukung keberhasilan ASI eksklusif.8

Semakin matangnya usia pasangan

suami istri dalam menjalani kehidupan rumah

tangga, maka kesadaran mengenai keluarga

berkualitas juga semakin tinggi. Salah satunya

dengan kesadaran memberikan makanan

terbaik bagi bayi untuk mendukung tumbuh

kembang. Komposisi ASI yan terdiri dari zat

gizi yang dibutuhkan bagi bayi dan untuk

mendapatkan ASI, keluarga tidak perlu

mengeluarkan biaya sehingga dapat membantu

pengaturan pengeluaran anggaran rumah

tangga. ASI mengandung kolostrum yang kaya

akan antibodi karena mengandung protein

untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman

dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI

eksklusif dapat mengurangi risiko kematian

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

24 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

pada bayi. ASI mengandung immunoglobulin,

protein, dan laktosa lebih sedikit dibandingkan

kolostrum tetapi lemak dan kalori lebih tinggi

dengan warna susu lebih putih. Selain

mengandung zat-zat makanan, ASI juga

mengandung zat penyerap berupa enzim

tersendiri yang tidak akan menganggu enzim

di usus.1,7,14,15

Tabel 1 memperlihatkan responden

berpendidikan SLTA dan PT berjumlah

76,2%. Prosentase tersebut memperlihatkan

bahwa perempuan yang memasuki usia

reproduksi tahap menyusui mempunyai

pendidikan lanjut. Tingkat pendidikan sering

dikaitkan dengan kemampuan seseorang

menerima, melakukan, dan mengembangkan

informasi agar kehidupannya lebih berkualitas.

Dalam hal ini kemampuan seorang ibu untuk

memberikan makanan terbaik bagi bayinya

berupa ASI saja selama 6 bulan dan

dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun.12

Salah

satu penelitian menemukan ibu dengan

pendidikan menengah ke atas mampu mencari

pengetahuan dan wawasan mengenai ASI

melalui situs internet, komunitas jejaring

sosial. Komunitas sosial tersebut menjadi

salah satu wahana bagi ibu untuk berbagi

informasi mengenai ASI dan berdiskusi

mengenai masalah ataupun kesulitan selama

menyusui.8

Komunitas pendukung ibu dalam

memberikan ASI juga merupakan salah satu

solusi jika selama menyusui ditemukan

masalah. Kelompok Pendukung Ibu (KP-Ibu)

merupakan peer-support (kelompok sebaya),

bukan kelas edukasi/penyuluhan. KP-Ibu

muncul karena penyuluhan telah banyak

dilakukan tetapi tidak dapat meningkatkan ASI

eksklusif. Pengetahuan tidak cukup mengubah

perilaku dalam memberikan ASI, sehingga ibu

membutuhkan keterampilan dan dukungan

(kepercayaan, penerimaan, pengakuan, dan

penghargaan) terhadap perasaan-perasaan ibu

menyusui. Suasana saling memberi dukungan

lebih mudah terbangun dalam kelompok

sebaya yang mempunyai pengalamandan

situasi lingkungan yang sama.7

Tabel 1 memperlihatkan 56,4% ibu

yang menjadi responden merupakan ibu

bekerja (PNS, pegawai swasta, dan buruh). Ibu

yang bekerja dituntut untuk mempu mengatur

antara pemberian ASI dan pekerjaan tidak

saling mengganggu. Pengaturan waktu untuk

hal-hal tersebut tidak dapat dianggap mudah.

Hal ini terlihat dari hasil penelitian di antara

27 informan yang bekerja sebagai buruh hanya

2 informan yang berhasil memberikan ASI

eksklusif. Kegagalan tersebut disebabkan

beberapa hal. Pengetahuan tentang

menyimpang ASI dan tata laksana pemberian

ASI di tempat kerja, ketersediaan fasilitas dan

sarana ASI, serta dukungan atasan kerja dan

tenaga kesehatan merupakan sejumlah faktor

(predisposing, enabling, dan reinforcing) yang

berperan dalam keberhasilan pemberian ASI

eksklusif di tempat kerja buruh industri tekstil

di Jakarta.14

Suatu hasil penelitian determinan

perilaku pemberian ASI eksklusif pada ibu

bekerja memperlihatkan bahwa 62,5%

responden memberikan ASI eksklusif. Alasan

responden berhenti menyusui eksklusif bukan

karena bekerja melainkan karena ASI sedikit.

Hasil analisis multivariat ditemukan bahwa

variabel umur, sikap, dukungan pengasuh, dan

ketersediaan fasilitas berhubungan dengan

perilaku pemberian ASI eksklusif.16

Pernyataan sedikitnya ASI yang

diproduksi tidak lepas dari sikap ibu. Rasa

percaya diri seorang ibu mampu memberikan

ASI eksklusif merupakan modal penting dalam

keberhasilan proses menyusui. Sikap yang

muncul juga dipengaruhi oleh motivasi. Hasil

penelitian menyatakan bahwa ibu yang

menyusui eksklusif memiliki motivasi

intrinsik dan ekstrinsik yang tinggi

dibandingkan ibu yang tidak menyusui

eksklusif. Motivasi instrinsik terdiri dari

tanggung jawab, harapan masa depan, menjadi

contoh, pengakuan dari orang lain, dan

memperluas pergaulan. Motivasi ekstrinsik

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

25 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

terdiri dari kebijakan atau program, fasilitas,

anjuran dukungan, dan tenaga kesehatan ahli

dan ramah.13,16

Deskripsi motivasi dalam penelitian

ini tercantum pada tabel 2. Nilai mean dari

ketiga sub pokok motivasi menyusui tidak

jauh berbeda. Semua bernilai di atas 90

dengan maksud motivasi dalam menyusui

terkategori tinggi. Tingginya motivasi ini

dapat menjadi daya dorong seorang ibu

memiliki perilaku untuk menyusui bayinya.

Terlaksananya perilaku menyusui maka besar

kemungkinan pemberian ASI dapat

berkesinambungan sampai anak berusia 2

tahun. Tabel 3 menyajikan data bahwa nilai

motivasi dan perilaku berkategori tinggi. Data

tersebut menjadi komponen pendukung untuk

analisis korelasi motivasi dan perilaku.

Hasilnya ada hubungan antara motivasi

memberikan ASI dengan perilaku menyusui

(tabel 4). Kedua variabel tersebut saling terkait

dari motivasi akan terlihat perilaku.

Motivasi yang muncul diharapkan

muncul dan mendukung terbentuknya perilaku

untuk mampu menyusui anaknya. Jika

seseorang tidak memiliki motivasi untuk

menyusui bayinya maka orang tersebut juga

tidak ingin memiliki perilaku menyusui

bayinya, meskipun di dalam penelitian ini

hasil analisis menyatakan bahwa tidak ada

kaitannya antara motivasi dengan perilaku.

Motivasi diri memengaruhi perilaku

seseorang. Motivasi menjadi pendorongan atau

usaha yang disadari memengaruhi tingkah laku

seseorang agar hatinya tergerak bertindak

melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil

atau tujuan tertentu.17

Hasil penelitian lain menemukan

bahwa motivasi instrinsik dan ekstrinsik ibu

menyusui secara eksklusif lebih tinggi

daripada ibu yang tidak menyusui secara

eksklusif. Penelitian tersebut memisahkan 2

kelompok ibu yang dapat memberikan ASI

eksklusif dan yang tidak eksklusif. Kedua

kelompok tersebut setelah diteliti lebih dalam

ibu yang menyusui eksklusif memiliki

motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik

yang lebih tinggi. Motivasi yang tinggi juga

didukung oleh lain di antaranya tenaga

kesehatan.13

Hasil temuan dalam penelitian ini

berbeda dengan penelitian di wilayah

Puskesmas Cilandak Jakarta. Penelitian di

wilayah Puskesmas Cilandak Jakarta

menemukan bahwa tidak ada hubungan

bermakna antara motivasi diri dengan

keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Tidak

ada hubungan keduanya karena responden

penelitian di wilayah Puskesmas Cilandak

Jakarta masih beranggapan bahwa ASI mereka

masih kurang untuk kebutuhan bayi dan

kebiasaan memberikan makanan selain ASI

pada usia kurang dari 6 bulan telah dilakukan

turun menurun. Pemahaman tersebut

diperberat dengan menyatakan bahwa

pemberian makanan selain ASI pada usia

kurang dari 6 bulan tidak pernah timbul

masalah selama ini.9

Anggapan tersebut banyak dialami

oleh ibu menyusui dan menjadi pekerjaan

besar bagi tenaga kesehatan agar konsep yang

tertanam dapat berubah menjadi konsep baru

bahwa hanya ASI saja makanan terbaik baik

bagi bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dan

pemberian ASI dilanjutkan sampai anak usia 2

tahun dengan ditambah makanan pendamping

ASI.

Dukungan bagi ibu menyusui sangat

penting agar keberlanjutan sehingga anak

disusui sampai usia 2 tahun. Dukungan

keluarga terutama suami berupa dukungan

emotional (rasa empati, cinta, kepercayaan,

dan motivasi), dukungan informational

(wacana pengetahuan pemberian ASI

eksklusif), dukungan indtrumental

(ketersediaan sarana dan dana memudahkan

ibu memberikan ASI eksklusif), dan dukungan

appraisal (penghargaan atas usaha yang

dilakukan ibu untuk memberikan ASI

eksklusif).9

Dukungan dari tenaga kesehatan

juga dapat meningkatkan motivasi ibu untuk

memberian ASI eksklusif (motivasi eksternal).

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

26 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

Salah satu hasil penelitian menemukan bahwa

kedudukan tenaga kesehatan sangat penting.

Hal ini bisa jadi karena pengaruh pemahaman

warga terhadap kedudukan tenaga kesehatan.

Tingginya kedudukan tenaga kesehatan dalam

pemahaman warga dapat dioptimalkan agar

program ASI eksklusif dapat sukses.

Dukungan dari tempat kerja juga berperan

dalam memotivasi ibu untuk memberikan ASI

eksklusif. Ketersediaan ruangan, wastafel, dan

peralatan untuk memerah serta penyimpan ASI

(pompa ASI, botol ASI, kulkas, alat steril

botol, cooler bag).14

Motivasi dan perilaku seseorang juga

bisa muncul dari pergaulan seseorang dengan

orang lain, terlebih lagi motivasi dapat muncul

dari sekelompok orang yang memiliki niat

untuk mendukung ibu menyusui memberikan

ASI sebagai makanan bergizi bagi bayinya

sampai bayi berusia 24 bulan. Kelompok

tersebut disebut dengan Kelompok Pendukung

ASI (KP-ASI) atau KP-Ibu. KP-ASI

merupakan kumpulan beberapa orang yang

mengalami situasi yang sama atau memiliki

tujuan yang sama, yang bertemu secara rutin

untuk saling menceritakan kesulitan,

keberhasilan, informasi dan ide berkaitan

dengan situasi yang dihadapi atau upaya

mencapai tujuan yang diinginkan.7,18

KESIMPULAN

Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa

ada hubungan bermakna antara motivasi ibu

memberikan ASI dengan perilaku ibu saat

menyusui. Konstinuitas ibu memberikan ASI

kepada bayinya membutuhkan dukungan dari

pihak lain. Dukungan dari keluarga, tenaga

kesehatan, dan tempat bekerja jika ibu

menyusui berstatus bekerja sangat dibutuhkan

untuk ibu menyusui guna menyukseskan

program ASI eksklusif.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Suraatmaja, S., 1997, ASI Petunjuk untuk

Tenaga Kesehatan, Editor: Soetjiningsih,

EGC, Jakarta

[2] World Health Organization, 2009, Infant

and Young Child Feefing (IYCT) Model

Chapter for Textbook for Medical

Students and Alied Health Professionals,

World Health Organization, Switzerland

[3] Setegn, T., Belachew, T., Gerbaba, M.,

Deribe, K., Deribrew, A., Biadgilign, S.,

2012. Factors Associated with Exclusive

Breasfeeding Practices Among Mothers in

Goba District, South East Ethiopia: A

Cross-Sectional Study, International

Breastfeeding Journal, No. 17, Vol. 7, 1-8

[4] Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013, Laporan Hasil Riset

Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kementerian

Kesehatan, R.I., Jakarta.

[5] Nurmiati, Besral, 2008, Pengaruh Durasi

Pemberian ASI terhadap Ketahanan

Hidup Bayi di Indonesia, Makara

Kesehatan, No. 2, Vol. 12, 47-52

[6] Dinas Kesehatan Daerah Istimewa

Yogyakarta, 2015, Profil Kesehatan

Daerah Istimewa Yogyakarta 2015, Dinas

Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta,

Yogyakarta

[7] Susilo, J., Kurdanti, W., Siswati, T., 2012,

Hubungan Program Kelompok

Pendukung Ibu Terhadap Pengetahuan

dan Praktik Pemberian ASI Eksklusif,

Gizi Indon, No. 1, Vol. 35, 30-40

[8] Fahriani, R., Rohsiswatmo, R., Hendarto,

A., 2014, Faktor yang Memengaruhi

Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi

Cukup Bulan yang Dilakukan Inisiasi

Menyusu Dini, Sari Pediatri, No. 6, Vol.

15, 394-402.

[9] Azriani, D., Wasnidar, 2014, Keberhasilan

Pemberian ASI Eksklusif, Jurnal Health

Quality, No. 2, Vol. 4, 77-83.

[10] Racine, E. F., Friock, K. D., Strobino, D.,

Laura M., Carpenter, L. M., Milligan, R.,

Pugh, L. C., 2011, How Motivation

Influences Breastfeeding Duration Among

Low Income Women. J Hum Lact, No. 2,

Vol. 25, 173-181

[11] Suharti, S., 2010, Hubungan Pengetahuan

dan Sikap dengan Perilaku Kepala

Keluarga dalam Pemberantasan Sarang

Nyamuk Demam Berdarah (di Wilayah

Kerja Puskesmas Loa Ipuh Kabupaten

MOTIVASI MEMBERIKAN ASI DAN PERILAKU MENYUSUI DI BANTUL YOGYAKARTA

27 | PISSN 2620-8040 Renni, dkk

Kutai Kartanegara), Laporan Penelitian

Tugas Akhir

[12] Kusuma, R., Ariningtyas, R., 2015,

Hubungan Pengetahuan tentang ASI

dengan Perilaku Ibu Saat Menyusui di

Kabupaten Bantul, Media Ilmu

Kesehatan, No. 3, Vol. 4, 7-14

[13] Armini, N. W., Somoyani, N. K., Budiani,

N. N., 2015, Perbedaan Motivasi

Instriksik dan Motivasi Ekstrinsik dalam

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) oleh Ibu

Menyusui Eksklusif dengan Ibu Menyusui

Tidak Eksklusif, Jurnal Skala Husada,

No. 1, Vol. 12, 8-14

[14] Rizkianti, A., Prasodjo, R., Novianti,

Saptarini, I., 2014, Analisis Faktor

Keberhasilan Praktik Pemberian ASI

Eksklusif di Tempat Kerja pada Buruh

Insdustri Tekstil di Jakarta, Bul. Penelit.

Kesehat, No. 4, Vol. 42, 237-248

[15] Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2015, Profil Kesehatan

Indonesia 2015, Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta.

[16] Abdullah, G. I., Ayubi, D., 2013.

Determinan Perilaku Pemberian Air Susu

Ibu Eksklusif pada Ibu Bekerja. Jurnal

Kesehatan Masyarakat Nasional, No. 7,

Vol. 7, 298-303

[17] Purwanto, M. N., 2007, Psikologi

Pendidikan, Remaja Rosdakarya,

Bandung.

[18] Tim, 2015, Gelar Kelompok Pendukung

ASI,.http://www.tubankab.go.id/public/c_

news/news_detail/356.shtml tertanggal 15

Juni 2015 diunduh 30 Oktober 2015

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Siti Arifah PISSN 2620-8040 28

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH

PADA LANSIA DI BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA

ABIYOSO YOGYAKARTA

Siti Arifah S.Kep. Ns, M.Kes

Prodi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAKS

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA. Memasuki usia tua

akan mengalami kondisi kemunduran fisik, salah satu masalah fisik yang dapat mengakibatkan

kecacatan atau kematian. Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan proyeksi pusat

tubuh pada landasan penunjang baik saat berdiri, duduk, transit dan berjalan Jatuh adalah kejadian

tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring atau terduduk di lantai.

Kejadian jatuh sebagai dampak langsung dari gangguan keseimbangan. Metode yang telah

dikembangkan untuk menilai gangguan keseimbangan dan cara berjalan adalah Berg Balance Scale

(BBS). Tujuan Mengetahui hubungan keseimbangan tubuh dengan frekuensi jatuh pada lansia di Balai

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Abiyoso Yogyakarta. Jenis penelitian ini merupakan penelitian

Observasional analitikdengan rancangan cross sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 44 orang

yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil dari Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdah Abiyoso

Yogyakarta. Pengambilan sampel menggunakan Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel

dengan pertimbangan tertentu. Data yang di kumpulkan kemudian di analisis menggunakan uji

statistik Kendall’s tau. Instrumen yang di gunakan pada penelitian adalah lembar observasi yang di

dapat dari adobsi dari penelitian sebelumnya.Berdasarkan 44 subjek penelitian menunjukkan

mayoritas lansia usia 75-90 tahun sebanyak 22 (50,0%), berjenis kelamin perempuan sebanyak 30

(68,2%), sedangkan sebagian besar responden memiliki keseimbangan tubuh resiko jatuh rendah yaitu

34 responden (77,3%), dan sebagian besar responden memiliki frekuensi jatuh sedang yaitu sebanyak

20 responden (45,5%), Sedangkan dari hasil uji statistik Kendall-Tau diperoleh p-value 0,013

(p<0,05) yaitu Ada hubungan yang signifikan antara keseimbangan tubuhdengan frekuensi jatuh.

Kata kunci: Lanjut usia, Resiko jatuh, Keseimbangan tubuh, Frekuensi jatuh.

PENDAHULUAN

Menua atau menjadi tua adalah

suatu keadaan yang terjadi secara alami di

dalam kehidupan manusia. Menurut World

Health Organization (WHO) dalam

Health in South East-Asia tahun 2010 [1].

Menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia, yang dimasuk

dengan lanjut usia (lansia) adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

29 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

tahun ke atas. Jumlah penduduk Indonesia

pada tahun 2015 sebanyak ± 255.461.686

jiwa, dengan jumlah penduduk yang

tinggal di pedesaan sebanyak ±

119.018.460 jiwa (46,6%) dan yang

tinggal di perkotaan sebanyak

136.443.226 jiwa. Indonesia adalah

termasuk negara memasuki era penduduk

berstruktur lanjut usia (aging structured

population) karena jumlah penduduk yang

berusia 60 tahun keatas sekitar 7,18% [2].

Yogyakarta menempati posisi tertinggi

dengan persentasi jumlah lansia di atas

rata-rata nasional pada tahun 2010 jumlah

lansia di Yogyakarta tersebut 12,48%.

Pada tahun 2014 jumlah lansia di

Yogyakarta mencapai 15% secara nasional

dengan usia harapan hidup sebesar 75,5

tahun.

Usia harapan hidup menempati

perngkat tertinggi di Indonesia [3]. Lanjut

usia adalah seseorang yang karena usianya

yang lanjut yang mengalami perubahan

biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial.

Perubahan ini akan memberikan pengaruh

pada seluruh aspek kehidupan, termasuk

kehidupannya [4]. Memasuki usia tua

akan mengalami kondisi kemunduran fisik

yang ditandai dengan kulit mengendur,

rambut memutih, gigi ompong,

pendengaran kurang jelas, penglihatan

semakin memburuk, gerakan lambat, dan

gerakan tubuhyang tidak proporsional.

Selain itu lansia juga akan mengalami

kemunduran kemampuan kognitif, serta

psikologis, artinya lansia mengalami

perkembangan dalam bentuk perubahan-

perubahan yang mengarah pada perubahan

yang negatif. Akibatnya perubahan fisik

lansia akan mengalami gangguan

mobilitas fisik yang akan membatasi

kemandirian lansia dalam memenuhi

aktifitas sehari-hari [5]. Salah satu

masalah fisik yang dapat mengakibatkan

kecacatan atau kematian yang sering

terjadi pada lansia yang harus dicegah dan

perlu mendapatkan perhatian dari

masyarakat keperawatan adalah jatuh,

sebab kecelakaan dan jatuh merupakan

masalah yang sering menyebabkan

kecacatan, cidera, depresi, dan cidera fisik

terhadap lansia, karena bertambahnya usia

kondisi fisik, mental, dan fungsi tubuh

pun menurun [6].

Kejadian jatuh sebagai dampak

langsung dari gangguan keseimbangan

dapat diminimalisasi dengan mengenal

faktor risiko gangguan keseimbangan.

Faktor tersebut terdiri dari faktor internal

dan eksternal. Faktor internal yang

berhubungan dengan gangguan

keseimbangan adalah usia, jenis kelamin,

pekerjaan, gangguan afektif dan

psikologis, penyakit kardiovaskuler,

gangguan metabolik, gangguan

muskuloskeletal, gangguan neurologis,

abnormalitas sensori, aktivitas fisik,

penggunaan medikasi tertentu berjumlah 4

jenis atau lebih seperti antiaritmia,

diuretik, digoxin, narkotik, antikonvulsan,

psikotropik, antidepresan [6].

Berdasarkan survei di masyarakat

Indonesia terdapat sekitar 30% lansia

berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap

tahunnya. Separuh dari angka tersebut

mengalami jatuh berulang, lima persen

dari penderita jatuh ini mengalami patah

tulang atau memerlukan perawatan di

rumah sakit [5].

Berdasarkan hasil studi

pendahuluan yang dilakukan peneliti di

Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha

Abiyoso yogyakarta bahwasannya belum

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

30 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

pernah dilakukan penelitian tentang

hubungan keseimbangan tubuh dengan

frekuensi jatuh pada lansia. Maka dari

hasil studi pendahuluan diatas peneliti

tertarik untuk meneliti tentang hubungan

keseimbangan tubuh dengan frekuensi

jatuh pada lansia.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan

penelitian observasional analitik dengan

rancangan cross sectional. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh lansia berusia

60 tahun ke atas yang tinggal di Balai

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Abiyoso

Yogyakarta yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Sebanyak 100 orang

lansia. Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan purposive

sampling dan menggunakan rumus besar

sampel slovin, didapatkan 44 responden.

Analisa data menggunakan analisis

univariat dan bivariat dengan Kendall’s

Tau. Variabel independen penelitian ini

yaitu keseimbangan tubuh, sedangkan

dependent yaitu perilaku frekuensi jatuh.

Instrumen dalam penelitian ini

menggunakan lembar lembar observasi

dan kuesioner.

HASIL

Responden dalam penelitian ini

adalah lansia yang tinggal menetap di

lingkungan Balai Pelayanan Sosial Tresna

Werdha Abiyoso Yogyakarta, yang

memenuhi standar krikteria. Secara

lengkap karakteristik responden akan

disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan

Karakteristik Responden di Balai

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit

Abiyoso Yogyakarta.

Karakteristik F (%) Responden

Karakteristik

Responden

Frekuensi Presentase

60-70 21 47,7%

Usia 75 -90 22 50,0%

>90 1 2,3

Jenis

Kelamin

Laki-Laki 14 31,8

Perempuan 30 68,2

Total 44 100

Sumber: Data Primer Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 1 diatas

menunjukkan bahwa sebagian besar

responden berusia 75-90 tahun yaitu

sebanyak 22 responden (50,0%).

Sedangkan pada Karakteristik jenis

kelamin perempuan lebih banyak

dibandingkan dengan laki-laki yaitu

sebesar 30 responden (68,2%). Hal ini di

karenakan semakin bertambahnya usia

maka akan semakin berkurangnya fungsi

tubuh. Penelitian ini didukung oleh

penelitian dari Valentine Meril “Pengaruh

senam lansia terhadap keseimbangan

tubuh pada lansia di lingkungan dajan

bingin sading” yang menyatakan bahwa

sebagian besar responden 60-64 tahun

yang berjumlah 10 orang (37%) dari 27

responden yang diteliti. Hal tersebut

terjadi karena adanya akumulasi radikal

bebas dalam tubuh yang semakin

menumpuk seiring dengan meningkatnya

usia, sehingga menyebabkan degenerasi

sel dan kerusakan jaringan yang

mempengaruhi kemampuan fungsional

tubuh, salah satunya penurunan kekuatan

otot penopang tubuh yang berfungsi

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

31 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

sebagai efektor dan berperan dalam

pengaturan mekanisme keseimbangan

tubuh melalui ankle strategy, hip strategy,

dan stepping strateg). Untuk

mempertahankan kekuatan otot agar tetap

optimal dapat dilakukan melalui olahraga

teratur dan memadukan gerak dengan

latihan kekuatan otot dan kelenturan

seperti senam lansia. Gerakan-gerakan

senam lansia akan memicu kontraksi otot,

sehingga sintesis protein kontraktil otot

berlangsung lebih cepat dari

penghancurannya. Hal ini meningkatkan

filamen aktin dan miosin di dalam

miofibril sehingga massa otot bertambah.

Peningkatan ini disertai dengan

peningkatan komponen metabolisme otot

yaitu ATP yang berdampak pada

peningkatan kekuatan otot.

Kekuatan otot optimal akan

membantu lansia mempertahankan

keseimbangan tubuhnya melalui strategi

postural [7]. Usia berhubungan dengan

keseimbangan karena terjadi perubahan

fungsi tubuh yang menyebabkan

keseimbangan menurun. Banyak lansia

yang tidak tahu mengenai perubahan yang

terjadi pada tubuhnya dan hanya

membiarkannya saja atau pasrah. Lansia

hendaknya dapat mencegah kondisi

tubuhnya menjadi lebih menurun dan

mepertahankan fungsi tubuhnya dengan

baik. Oleh karena itu, lansia perlu

diberikan edukasi mengenai perubahan

pada tubuhnya yang dapat mempengaruhi

keseimbangan sehingga lansia dapat

mencegah kejadian jatuh [7]. Hasil

Kemenkes R.I Tahun 2014, didapatkan

bahwa jumlah dimungkinkan karena usia

harapan hidup lansia perempuan lebih

banyak dibandingkan dengan laki - laki,

hal ini karena usia harapan hidup

perempuan lebih tinggi dari laki-laki.

Secara fisik keadaan dan ketahanan tubuh

laki-laki dan perempuan berbeda

disebabkan oleh struktur hormon yang

berbeda. Hormon estrogen memperkuat

sistem kekebalan tubuh, membuat

perempuan lebih tahan terhadap infeksi.

Hal ini yang membuat usia harapan hidup

lebih tinggi, sehingga jumlah perempuan

lebih banyak dari pada laki-laki [1].

Penelitian ini didukung oleh

penelitian dari Achmanagara Andriyani

Ayu yaitu Persentase lansia perempuan

lebih banyak dari pada laki-laki. Dimana

gangguan keseimbangan lebih banyak

ditemukan pada lansia perempuan

dibanding laki-laki. Lansia laki-laki

sebagian besar bekerja di luar rumah

sedangkan perempuan lebih banyak di

rumah atau sebagai ibu rumah tangga

sehingga dapat mengikuti aktivitas

posyandu lansia di Desa Pamijen. Kader

posyandu lansia di Desa Pamijen

mengatakan bahwa lansia perempuan

lebih sering datang ke posyandu lansia

untuk mengikuti kegiatannya dibanding

lansia laki-laki. Secara hormonal, lansia

wanita mengalami menopouse dimana

terjadi penurunan hormon estrogen yang

dapat mengakibatkan tulang kehilangan

kalsium sehingga mempengaruhi

keseimbangan. Lansia wanita juga lebih

mengalami berkurangnya kekuatan otot,

kekuatan genggaman tangan, kelemahan

otot ekstremitas bawah, dan berkurangnya

kemampuan dalam mengembalikan

stabilitas tubuh sehingga mengurangi

keseimbangan. Lansia wanita memiliki

sedikit kontrol muskular dan langkah yang

sempit sedangkan lansia laki-laki berjalan

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

32 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

dengan sedikit ayunan lengan, penurunan

tinggi langkah, langkah yang pendek, dan

posisi kepala dengan tubuh menjadi lebih

fleksi. Perubahan tersebut dapat

mempengaruhi keseimbangan dan

meningkatkan risiko jatuh. Masalah

keseimbangan sering terjadi pada lansia

wanita juga karena dihubungkan dengan

perubahan gaya hidup, metabolik istirahat,

dan lemak tubuh yang terjadi pada lansia

wanita. Lansia wanita biasanya lebih

memilih aktivitas di dalam rumah

daripada laki-laki yang bekerja di luar

rumah dimana aktivitas di luar rumah

seperti bekerja intensitasnya lebih banyak.

Lemak tubuh dapat mempersulit posisi

pada landasan penunjang yang dapat

menjaga keseimbangan [8].

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Keseimbangan Tubuh di

Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha

Unit Abiyoso Yogyakarta.

Keseimbangan

Tubuh

Frekuensi Presentase

Resiko jatuh

tinggi

3 6,8

Resiko jatuh

sedang

7 15,9

Resiko Jatuh

Rendah

34 77,3

Total 44 100

Sumber: Data Primer Tahun 2017

Berdasarkan tabel 2 hasil analisis

uji statistik didapatkan distribusi frekuensi

keseimbangan tubuh pada lansia

menunjukan bahwa sebagian besar

responden yang memiliki keseimbangan

tubuh resiko jatuh rendah yaitu 34

responden (77,3%). Ini menunjukkan

bahwa lansia sudah mengenal dan

memahami dari faktor-faktor yang

mempengaruhi keseimbangan tubuh

sehingga akan mengurangi resiko jatuh.

Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian dari Valentine Meril yang

menyatakan bahwa sebagian besar

responden memiliki keseimbangan baik

dengan skor 41 - 56 sebanyak 14

responden (51,9%) dari 27 responden

yang diteliti [7]. Keseimbangan adalah

kemampuan untuk mempertahankan

proyeksi pusat tubuh pada landasan

penunjang baik saat berdiri, duduk, transit

dan berjalan [9].

Kejadian jatuh sebagai dampak

langsung dari gangguan keseimbangan

dapat diminimalisasi dengan mengenal

faktor risiko gangguan keseimbangan.

Faktor tersebut terdiri dari faktor internal

dan eksternal. Faktor internal yang

berhubungan dengan gangguan

keseimbangan adalah usia, jenis kelamin,

pekerjaan, gangguan afektif psikologis,

penyakit kardiovaskuler, gangguan

metabolik, gangguan muskuloskeletal,

gangguan neurologis, abnormalitas

sensori, aktivitas fisik, penggunaan

medikasi tertentu berjumlah 4 jenis atau

lebih seperti antiaritmia, diuretik, digoxin,

narkotik, antikonvulsan, psikotropik,

antidepresan [6]. Faktor eksternal adalah

lingkungan dan penggunaan alat bantu

jalan, Lingkungan merupakan faktor yang

dapat mempengaruhi keseimbangan dan

berkontribusi pada risiko jatuh. Kejadian

jatuh di dalam ruangan lebih sering terjadi

di kamar mandi, kamar tidur dan dapur.

Sekitar 10% kejadian jatuh terjadi di

tangga terutama saat turun karena lebih

berbahaya dari pada saat naik tangga [10].

Penggunaan alat bantu jalan dalam jangka

waktu lama dapat mempengaruhi

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

33 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

keseimbangan sehingga dapat

menyebabkan jatuh. ukuran, tipe dan cara

menggunakan alat bantu jalan seperti

walker, tongkat kursi roda dan kruk

berkontribusi menyebabkan gangguan

keseimbangan dan jatuh [11].

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Frekuens jatuh di Balai

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Abiyoso

Yogyakarta.

Frekuensi

Jatuh

Frekuensi Presentase

Tinggi 14 31,8

Sedang 10 45,5

Rendah 20 27,7

Total 44 100

Sumber: Data Primer Tahun 2017

Berdasarkan tabel 3 diatas Hasil

Analisis Uji statistik didapatkan distribusi

frekuensi jatuh pada lansia sebagian besar

responden memiliki frekuensi jatuh

sedang yaitu sebanyak 20 responden

(45,5%). Ini di karenakan lansia lebih

sering melakukan latihan keseimbangan di

Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha

Abiyoso Yogyakarta sehingga akan

mengurangi resiko untuk jatuh. Hasil

penelitian ini di dukung oleh penelitian

dari Nurkuncoro Danar Irawan yang di

mana setelah dilakukan pemeriksaan atau

postest kembali pada lansia yang

mengalami risiko jatuh, menunjukan

lansia yang tidak lagi mengalami risiko

jatuh berjumlah 18 lansia (90%)

sedangkan 2 lansia (10%) masih

mengalami risiko jatuh. Kondisi tersebut

mengindikasikan bahwa terdapat

perubahan atau penurunan jumlah lansia

yang memiliki risiko jatuh, sehingga dapat

dijelaskan bahwa perlakuan latihan

keseimbangan berpengaruh terhadap

kondisi lansia yang memiliki risiko jatuh.

Latihan keseimbangan membuat jumlah

lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budhi

Luhur yang memiliki risiko jatuh juga

menurun dibandingkan dengan jumlah

lansia yang memiliki risiko jatuh sebelum

dilakukan intervensi. Dari hasil penelitian

didapatkan pula tanggapan dari lansia

yang diberikan intervensi. Responden

mengatakan bahwa setelah berlatih latihan

keseimbangan, mereka juga mempraktikan

latihan keseimbangan dikamar secara

mandiri. Para lansia juga mengatakan

perasaan nyaman dengan otot-otot yang

sudah tidak kaku lagi membuat mereka

lebih rilek, nyaman, dan tidak takut

melakukan aktivitas sehari-hari berjalan,

menyapu lantai, menjemur pakaian dan

lain-lain.

Selain itu, keseimbangan tubuh

lansia dirasakan lebih baik sehingga jika

berjalan risiko jatuh bisa diminimalisir.

Kejadian jatuh pada lansia setelah

diberikan perlakuan latihan keseimbangan

selama tiga minggu tidak dilaporkan lagi.

Lansia selalu bersemangat menanti waktu

tiap adanya jadwal latihan keseimbangan

[6]. Hasil penelitian ini juga oleh

penelitian dari Waras Mulkin yang

menunjukkan bahwa besar lansia yang

berjenis kelamin perempuan memiliki

resik jatuh rendah sebanyak 42 responden

(49,4%) [12]. Ini di karenakan lansia yang

berjenis kelamin perempuan lebih banyak

melakukan aktifitas sehari-hari seperti

bertani, berdagang, mengikuti kegiatan

untuk lansia danlain sebagainya dari pada

lansia yang berjenis kelamin laki-laki.

Jatuh dapat mengakibatkan cedera dan

lain sebagainya [13]. Menurut Jusminar

penyebab jatuh diakibatkan karena

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

34 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

beberapa faktor yaitu sistem sensorik,

sistem syaraf pusat, kognitif, dan sistem

musculoskeletal dan jatuh merupakan

suatu kejadian yang dialami seseorang

dikarenakan oleh faktor usia [14].

Menurut Kurniawan faktor-faktor

yang mempengaruhi resiko jatuh pada

lansia ada dua yaitu intrinsik dan

eksterinsik, intrinsik antara lain penyakit

jantung, gangguan sistem anggota gerak,

kelemahan otot-otot dan lain sebagainya,

sedangkan ekstrinsik antara lain

cahaya,ruangan yang licin, dan ruangan

yang gelap [15].

Tabel 4 Crosstabulation Hubungan

keseimbangan tubuh dengan frekuensi

jatuh pada lansia di Balai Pelayanan Sosial

Tresna Werdha Abiyoso Yogyakarta.

Frekuensi Jatuh P-

Value

Keseimban

gan

Tubuh

T S R

F % F % F %

Resi

ko

Jatuh

Tinggi

2 4,5 1 2,3 3 6,8 0,013

Resi

ko

Jatuh

Seda

ng

4 9,1 3 6,8 7 15,

9

Resi

ko

Jatuh

Ren

dah

8 18,

2

1

6

36,

4

3

4

77,

3

Total 14

31,8

20

45,5

44

100

Sumber: Data Primer Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 4 di atas hasil

uji statistik terhadap 44 responden,

didapatkan sebagian besar responden yang

memiliki keseimbangan tubuh resiko jatuh

rendah dengan frekuensi jatuh sedang

yaitu sebanyak 16 responden (36,4%), Hal

ini karena yang ada di Balai Pelayanan

Sosial Tresna Werdha Abiyoso

Yogyakarta lebih memperhatikan gaya

berjalan dan keseimbangan tubuh

sehingga dapat meminimalisir untuk tidak

terjadinya jatuh. Hasil penelitian ini di

dukung oleh penelitian dari Nurkuncoro

Danar Irawan yang di mana pengaruh

latihan keseimbangan terhadap risiko jatuh

yang menyatakan bahwa latihan atau

terapi fisik yang dilaksanakan secara

bertahap dan teratur akan mengurangi

risiko jatuh dengan meningkatkan

kekuatan tungkai dan tangan,

memperbaiki keseimbangan, koordinasi,

dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya

lingkungan [6]. Pada usia lanjut sering

kali terjadi penurunan mobilitas fisik.

Gangguan mobilitas fisik biasanya

ditandai dengan gangguan motorik halus

dan motorik kasar, ketidakstabilan

postural, perubahan gaya berjalan,

pergerakan melambat, untuk mencegah

hal tersebut dapat dilakukan latihan fisik

untuk meningkatkan secara signifikan

keseimbangan dan mobilitas fisik lansia

jika dibandingkan dengan kontrol. Hal

tersebut dikarenakan adanya interaksi

yang kompleks antara sistem

muskuloskeletal dengan sistem syaraf

[16].

Hasil analisis data dengan

menggunakan uji kolerasi Kendall’s Tau

didapatkan nilai p-Value 0,013, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

keseimbangan tubuh dengan frekuensi

jatuh pada lansia di Balai Pelayanan Sosial

Tresna Werdha Abiyoso Yogyakarta. Hal

ini dikarenakan lansia yang dengan

keseimbangan tubuh yang kurang akan

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

35 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

sangat mempengaruhi terjadinya resiko

untuk jatuh. Hasil penelitian ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh

Astriyana Sevy dengan Uji Paired Sample

T-Test, menunjukkan bahwa ada pengaruh

latihan keseimbangan terhadap risiko jatuh

di Posyandu lansia Ngadisono Kadipiro

Surakarta dengan p-value (0,001) (17).

Hasil penelitian ini juga didukung oleh

Farabi Aristo yaitu Hubungan Tes “Timed

Up And Go” Dengan Frekuensi Jatuh

Pasien Lanjut Usia dengan hasil setelah

dilakukan uji korelasi Spearman

menunjukkan ada hubungan yang

bermakna antara waktu tes-TUG dengan

frekuensi jatuh dengan nilai korelasi

(r=0,677) [5]. Jatuh terjadi ketika sistem

kontrol postural tubuh gagal mendeteksi

pergeseran dan tidak mereposisi pusat

gravitasi terhadap landasan penopang pada

waktu yang tepat untuk menghindari

hilangnya keseimbangan. Keseimbangan

dapat pula terganggu oleh karena adanya

penyakit dan obat-obatan. Semua

perubahan tersebut dapat berperan untuk

terjadinya jatuh, terutama pada

kemampuan untuk mencegah terjadinya

jatuh manakala terpeleset atau

menghadapi situasi lingkungan yang

membahayakan [5]. Faktor-faktor yang

mempengaruhi keseimbangan antara lain

pusat gravitasi, garis gravitasi, bidang

tumpu[18].

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini,

antara lain:

1. Sebagian besar responden yang tinggal

di Balai Pelayanan Sosial Tresna

Werdha Abiyoso Yogyakarta berusia

75-90 tahun sebanyak 22 responden

(50,0%).

2. Sebagian besar responden yang tinggal

di Balai Pelayanan Sosial Tresna

Werdha Abiyoso Yogyakarta berjenis

kelamin perempuan sebanyak 30

responden (68,2%).

3. Sebagian besar responden yang tinggal

di Balai Pelayanan Sosial Tresna

Werdha Abiyoso Yogyakarta

memilikikeseimbangan tubuh resiko

jatuh rendah yaitu 34 responden

(77,3%).

4. Sebagian besar responden yang tinggal

di Balai Pelayanan Sosial Tresna

Werdha Abiyoso Yogyakarta memiliki

frekuensi jatuh sedang yaitu sebanyak

20 responden (45,5%).

5. Ada hubungan yang signifikan antara

keseimbangan tubuhdengan frekuensi

jatuh pada lansia yang ditunjukan

dengan hasil uji statistik Kendall- Tau

diperoleh p-value 0,013 (p<0,05).

DAFTAR PUSTAKA

1]. Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia. Situasi dan Analisis Lanjut

Usia; 2014.

2]. Badan Pusat Statistik. Kebutuhan

Data Ketenagakerjaan untuk

Pembangunan Berkelanjutan; 2015.

3]. Kementrian Sosial Republik

Indonesia. Kajian Tentang Kota

Ramah Lanjut Usia; 2015.

4]. Murwani, A dan Priyantari W.

“Gerontik Konsep Dasar dan

Asuhan Keperawatan Home Care

dan Komunitas”.Fitramaya :

Yogyakarta. 2011.

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

36 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

5]. Farabi, A. “Hubungan Tes “Timed

Up and Go” dengan Frekuensi

Jatuh Pasien Lanjut Usia”. Karya

Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran

Deponegoro Semarang; 2007.

6]. Nurkuncoro, I, D. “Pengaruh

Latihan Keseimbangan terhadap

Resiko Jatuh pada Lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Yogyakarta

Unit Budhi Luhur Kasongan

Bantul”. Naskah Publikasi.

Program Studi Ilmu Keperawatan

Sekolah Tinggi Kesehatan

Aisyiyah Yogyakarta; 2015.

7]. Valentine, M. Pengaruh Senam

Lansia Terhadap Keseimbangan

Tubuh Pada Lansia Di Lingkungan

Dajan Bingin Sading. Karya

TulisIlmiah. Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana; 2011.

8]. Achmanagara, A.A. Hubungan

Faktor Internal Dan Eksternal

Dengan Keseimbangan Lansia Di

Desa Pamijen Sokaraja Banyumas.

Fakultas Ilmu Keperawatan

Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Peminatan

Keperawatan Komunitas Depok;

2012.

9]. Howe, TE., Rochester, L., Jackson,

A., Banks, PMH., & Blair, VA.

Exercise for improving balance in

older people. Glasgow: John Wiley

& Sons; 2008.

10].Mauk, K.L. Gerontologicalnursing

competencies for care (2nd ed.).

Sudbury: Janes and Barlett

Publisher; 2010.

11].Safe Saskatchewan and the

Seniors’ Falls Provincial Steering

Committee. A fiveyear strategic

framework (2010-2015): Towards

a vision of seniors living fall free

lives. Regina: Safe Saskatchewan;

2010.

12].Mulkin ,W. Gambaran Tingkat

Resiko Jatuh Pada Lansia Di

Puskesmas Sedayu II Kecamatan

Sedayu Bantul Yogyakarta.

Program Studi Ners Fakultas Ilmu-

Ilmu Kesehatan Universitas Alma

Ata Yogyakarta; 2016.

13].Suhartati, C. “Perbedaan Resiko

Jatuh pada Lanjut Usia yang

Mengikuti Senam dengan yang

Tidak Mengikuti Senam di PSTW

Budhi Luhur Yogyakarta”. Naskah

Publikasi. Program Studi Ilmu

Keperawatan Sekolah Tinggi

Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta;

2014.

14].Jusminar. “Analisis Praktik Klinik

Keperawatan Kesehatan

Masyarakat Perkotaan pada Nenek

G dengan Masalah Resiko Jatuh di

Wisma Bungur Sasana Tresna

Werdha Karya Bakti”. Karya

Ilmiah Akhir Ners. Depok.

Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia; 2013.

15].Kurniawan, A, B. “Hubungan

Pengetahuan dan Perilaku

Keluarga dengan Resiko Jatuh

Lansia di Desa Pondok

HUBUNGAN KESEIMBANGAN TUBUH DENGAN FREKUENSI JATUH PADA LANSIA DI

BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA

37 | PISSN 2620-8040 Siti Arifah

Karanganom Klaten”. Naskah

Publikasi. Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan universitas

Muhammadiyah Yogyakarta;

2014.

16].Rahayu, P. “Hubungan Fungsi

Kognitif dengan Risiko Jatuh pada

Lanjut Usia di PSTW Unit Budhi

Luhur Yogyakarta. Naskah

Publikasi”. Program Studi Ilmu

Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehata Aisyiyah Yogyakarta;

2014.

17].Astriyana, S. “ Pengaruh Latihan

Keseimbangan Terhadap

Penurunan Risiko Jatuh Pada

Lansia” Naskah publikasi.

Program Studi D IV Fisioterapi

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhamadiyah

Surakarta; 2012.

18]Syafarina Putri B,A. “Pengaruh

Senam Kesegaran Jasmani (Skj)

Terhadap Keseimbangan Anak

pada Usia 8-9 Tahun”.Program

Studi Diploma IV Transfer

Fisioterapi Politeknik Kesehatan

Surakarta; 2013.

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Alpha Olivia Hidayati PISSN 2620-8040 38

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E

TERHADAP PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC

PROGRESSION KNEE OSTEOARTHRITIS

Alpha Olivia Hidayati S.Si., M.P.H

Program Studi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAKS

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP

PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE

OSTEOARTHRITIS. Osteoarthritis adalah penyakit degeneratif yang menyerang persendian.

Penyakit ini ditandai dengan rasa sakit dan kaku pada bagian persendian yang diakibatkan terkikisnya

jaringan kartilago. Sendi yang paling sering mengalami kondisi ini meliputi tangan, lutut (knee joint),

pinggul (hip joint), dan punggung. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi

timbulnya gejala serta menekan perkembangan knee osteoarthritis adalah dengan mengkonsumsi

suplemen antioksidan, seperti vitamin A, C dan E serta asam askorbat. Namun demikian beberapa

penelitian berdasarkan pemeriksaan radiografi menunjukan penggunaan antioksidan vitamin A, C

dan E mempunyai hubungan yang signifikan negatif terhadap hilangnya jaringan kartilago.

Berdasarkan hasil penelitian vitamin A, C dan E memberikan efek protektif pada perkembangan knee

osteoarthritis.

Kata Kunci : knee osteoarthritis, radiografi, vitamin A, vitamin C, vitamin E

PENDAHULUAN

Osteoarthritis (OA) merupakan

penyakit sendi yang paling sering

dijumpai di dunia (60%) dibandingkan

dengan penyakit arthritis lainnya seperti

Gout Arthritis dan Rheumatoid Arthritis.

Berdasarkan hasil RISKESDAS 2013

pada lansia didapatkan bahwa penyakit

sendi berada pada urutan ketiga penyakit

tidak menular yaitu sebesar (24,7%)

setelah stroke (57,9%) dan hipertensi

(36,8%). WHO memperkirakan 40%

lansia diatas umur 70 tahun mengalami

OA dan 80% nya mengalami keterbatasan

gerak.

Sendi yang paling sering mengalami

kondisi ini meliputi tangan, lutut (knee

joint), pinggul (hip joint), dan tulang

punggung serta pergelangan kaki. Tetapi

tidak menutup kemungkinan bahwa sendi-

sendi yang lain juga bisa terserang. Dalam

kasus OA, kartilago mengalami kerusakan

secara perlahan. Kartilago sendiri

merupakan jaringan ikat padat yang

kenyal, licin, serta elastis. Jaringan ini

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP

PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE

OSTEOARTHRITIS.

39 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati

menyelubungi ujung tulang pada

persendian untuk melindunginya dari

gesekan saat ada pergerakan. Saat

kartilago mengalami kerusakan,

teksturnya yang licin akan menjadi kasar.

Seiring waktu, sendi akan rusak dan

tulang yang satu dengan yang lain akan

bergesekan sehingga menimbulkan nyeri

sendi [3].

OA merupakan penyakit degeneratif

yang hampir pasti menyerang semua

orang. terutama orang yang memiliki

faktor resiko antara lain usia, jenis

kelamin, cedera pada sendi, obesitas,

faktor keturunan, menderita kondisi

arthritis, penyakit penyerta dan aktivitas

fisik [4]. Terdapat dugaan bahwa radikal

bebas berperan dalam patogenesis

berbagai penyakit degeneratif sendi dan

stres oksidatif dapat merupakan aspek

penting dalam mekanisme terjadinya

gangguan sendi. Salah satu usaha untuk

megendalikan perkembangan OA adalah

melalui konsumsi suplemen antioksidan,

yaitu Vitamin A, C dan E.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan yaitu

dengan systematic review, dengan mencari

artikel penelitian dengan beberapa kriteria

pencarian dan kata kunci, kemudian

dilakukan review dari semua artikel

tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan atom, ion,

atau molekul yang secara bebas

mempunyai satu atau lebih elektron yang

tidak berpasangan di orbit luarnya.

Radikal bebas bersifat sangat aktif, ia akan

menyerang molekul di sekitarnya dengan

mengambil elektron sehingga diperoleh

konfigurasi yang lebih stabil. Dalam tubuh

manusia, sumber utama radikal bebas

adalah oksigen, yang berbentuk

superoksida (O2-), hidrogen peroksida

(H2O2) dan radikal hidroksil (OH-) [1].

Radikal bebas di dalam tubuh

berfungsi sebagai messenger kedua

dengan mengaktifkan fungsi sel,

pergantian matriks ekstraseluler dan

pengaturan ekspresi gen. Namun

demikian, jika jumlahnya berlebihan

dalam jaringan akan menimbulkan

kerusakan molekul ekstraseluler dan

intraseluler serta aktivasi berlebihan

proses seluler. Keadaan yang

mengakibatkan terjadinya penumpukan

radikal bebas dalam suatu jaringan disebut

stres oksidatif [1].

Untuk mengendalikan kerusakan

jaringan akibat akumulasi radikal bebas,

tubuh membentuk enzim dismutase

superoksida, katalase dan peroksidase

yang berfungsi merubah radikal bebas

yang reaktif menjadi molekul yang kurang

aktif. Selain enzim yang terdapat di dalam

tubuh, pada kondisi ketidakseimbangan

antara pembentukan dan pembersihan

radikal bebas, tubuh memerlukan

antioksidan antara lain glutation,

tokoferol, dan askorbat yang dapat

diperoleh dari luar tubuh seperti sayuran,

buah – buahan dan suplemen [9].

Pembentukan Radikal Bebas Pada

Sendi Lutut (Knee Joint)

Stres mekanik karena adanya tekanan

pada sendi dapat menyebabkan

terbentuknya reactive oxygen spesies

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP

PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE

OSTEOARTHRITIS.

40 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati

(ROS) atau radikal bebas. ROS

menyebabkan viskositas cairan sinovial

tereduksi melalui depolimerisasi dan atau

konfigurasi molekuler asam hialuronik

(HA). Selain itu, ROS juga mereduksi

lubrikasi permukaan sendi karena

memburuknya permukaan lapisan

fosfolipid aktif (SAPL) yang merupakan

pelumas dan pelindung sendi. ROS juga

menyebabkan terurainya kolagen dan

proteoglikan serta meningkatkan enzim –

enzim degradasi kartilago [10].

Hubungan Pemberian Vitamin A

Terhadap Perkembangan Knee

Osteoarthritis

Penelitian yang membandingkan

kadar vitamin A, vitamin E, selenium

(Se), dan L-laktat dalam serum darah dan

cairan sinovial pada kelompok kontrol

(tanpa OA) dan kelompok dengan OA

telah dilakukan [13].. Objek yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 6

ekor anjing pada masing - masing

kelompok.

Berdasarkan penelitian ini

diperoleh hasil bahwa Konsentrasi vitamin

A tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan antara kelompok OA dan

kontrol dalam serum (P = 0,03; tidak

signifikan setelah koreksi berurutan

Bonferroni) dan begitu pula konsentrasi

vitamin A pada cairan sinovial. Namun

demikian, konsentrasi vitamin A pada

kelompok OA lebih rendah baik di dalam

serum maupun dalam cairan sinovial.

Penurunan vitamin A terjadi karena

vitamin A menghambat peradangan

inflamasi di OA melalui penghambatan

oksidasi metalokeptida matriks

interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis-

alpha dan produksi protein MMP-13 dan

aktivitas enzim pada manusia

chondrocytes [13].

Penelitian sebelumnya juga telah

dilaksanakan oleh McAlindon TE et al.

(1996) terhadap subjek berjumlah 977

orang partisipan di Framingham dengan

studi kohort. Dilakukan pencatatan nutrisi

melalui FFQ (Food Frequency

Questionnaire) dan pemeriksaan radiologi.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara kejadian OA dengan konsumsi

antioksidan. Konsumsi suplemen Vitamin

A berhubungan dengan pengurangan

resiko sakit pada lutut (OR = 0,3;95% CI:

0,1-1,0). Sehingga konsumsi suplemen

vitamin A dimungkinkan dapat

menurunkan perkembangan penyakit OA

namun tidak dapat mencegah terjadinya

OA.

Hubungan Pemberian Vitamin C,

Terhadap Perkembangan Knee

Osteoarthritis

Melakukan penelitian dengan

studi kohort prospektif dengan jumlah

subjek penelitian 293 orang berumur 27 –

75 tahun dengan rata – rata umur 58 tahun

[12]. Waktu penelitian dari tahun 2003-

2004, subyek tidak mempunyai riwayat

penyakit sendi sebelumnya. Dilakukan

pencatatan makanan melalui FFQ (Food

Frequency Questionnaire), pemeriksaan

MRI, pengukuran kartilago, area tulang,

lesi pada bonemarrow, dan cacat pada

kartilago.

Hasil penelitian menunjukan

bahwa konsumsi vitamin C mempunyai

hubungan terbalik dengan pembentukan

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP

PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE

OSTEOARTHRITIS.

41 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati

daerah plateau tulang tibia dan keberadaan

lesi bone marrow. Hal ini menunjukan

Vitamin C memberikan efek protektif

terhadap resiko terjadinya knee OA. Bone

area akan meningkat pada pasien dengan

knee OA dibandingkan dengan yang tidak

mengalami knee OA, dan daerah ini akan

meningkat seiring dengan perkembangan

OA. Lesi bone marrow berhubungan

dengan rasa sakit dan hilangnya jarak

antar sendi pada knee OA [11].

Penelitian kohort di Framingham

terhadap OA menunjukan bahwa

konsumsi vitamin C, E dan A tidak

berpengaruh signifikan terhadap kejadian

OA pada knee joint. Konsumsi tinggi

antioksidan, khususnya vitamin C

dimungkinkan dapat menurunkan resiko

hilangnya kartilago dan perkembangan

penyakit pada orang dengan OA [7].

Vitamin C sebagai kofaktor hidrolisis lisin

dan prolin yang dibutuhkan dalam

pembentukan serabut kolagen dalam

tulang. Vitamin C menstimulasi aktivitas

alkalin fosfatase, pembentuk osteoblas.

Beberapa studi menunjukan konsumsi

vitamin C mempengaruhi densitas

mineral tulang. Densitas mineral tulang

yang tinggi berhubungan dengan

kekakuan dan kekuatan tulang [8].

Penelitian yang sejalan adalah

penelitian [6] yang menggunakan 46 babi

Hartley Guinea jantan umur 2 bulan dibagi

menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu dosis

rendah asam askorbat 2,5 – 3 mg/hr ( n =

15), dosis sedang asam askorbat 30

mg/hr(n =15) dan dosis tinggi asama

askorbat (n = 16) 150 mg/hr. Berdasarkan

penelitian ini menunjukan level cairan

sinovial mempunyai hubungan signifikan

dengan gambaran histologi OA, hal ini

seiring dengan peningkatan dosis asam

askorbat dan konsentrasi asam askorbat

dalam plasma darah. Peningkatan nilai

osteosit seiring dengan peningkatan dosis

asam askorbat mendukung proses

pembentukan kondrosit yang akan

berubah menjadi osteosit. Sehingga

konsumsi suplemen vitamin C (asam

askorbat) mengurangi resiko hilangnya

kartilago yang dimungkinkan karena

radikal bebas.

Hubungan Pemberian Vitamin E,

Terhadap Perkembangan Knee

Osteoarthritis

Penelitian yang membandingkan

kandungan vitamin A, E dan serta

penanda stres oksidatif L-laktat dalam

serum dan cairan sinovial pada anjing

[13]. Penelitian ini menunjukkan

konsentrasi vitamin E secara signifikan

lebih tinggi pada cairan sinovial anjing

dengan OA dibandingkan dengan anjing

tanpa OA. Hasil ini tidak terduga,

dikarenakan vitamin E dianggap

menetralkan kondisi stres oksidatif,

sehingga kadarnya menurun. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa ada lebih banyak

konsumsi vitamin E di sendi OA melalui

perannya dalam menghentikan proses

peroksidasi lipid daripada pada persendian

normal. Sehingga dimungkinkan terjadi

peningkatan mobilisasi vitamin E di sendi

OA karena kebutuhan vitamin ini untuk

menetralisir radikal bebas yang diproduki

dan untuk menjaga stabilitas membran sel

dan perlindungannya terhadap peroksidasi

lipid.

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP

PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE

OSTEOARTHRITIS.

42 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati

Penelitian yang lain menunjukkan

bahwa serum vitamin E merupakan

penentu massa tulang melalui pengaturan

fusi osteoklas. Uji berbasis sel

menunjukkan bahwa α-tocopherol

merangsang fusi osteoklas, terlepas dari

kapasitas antioksidannya, dengan

mendorong ekspresi protein transmembran

spesifik dendritik. Protein ini adalah

molekul penting untuk fusi osteoklas,

yang terjadi melalui aktivasi protein

kinase mitogen-activated proteinase (hal

38) dan faktor transkripsi terkait

mikroftalmia, serta melalui perekrutan

langsungnya ke promotor Tm7sf4 (sebuah

gen yang mengkodekan DC-STAMP ) [2].

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil

dari beberapa penelitian adalah konsumsi

suplemen antioksidan, terutama vitamin C

dimungkinkan dapat menurunkan resiko

hilangnya kartilago dan konsumsi

suplemen vitamin A, C dan E dapat

memberikan efek protektif pada

perkembangan knee osteoarthritis.

DAFTAR PUSTAKA

1]. Chismirina S & Ibrahim EA.2006.

Aspek Molekular Penuaan: Pengaruh

Stres Oksidatif Akibat Radiasi Ion

terhadap Mitokondria, Telomer dan

Sistem Kekebalan Tubuh.

IJD.13(2):84 – 89.

2]. Fujita K, Iwasaki M, Ochi H, Fukuda

T, Ma C, Miyamoto T, Takitani K,

Negishi-Koga T, Sunamura S,

Kodama T.2012. Vitamin E decreases

bone mass by stimulating osteoclast

fusion. Nat Med.18:589–594. doi:

10.1038/nm.2659.

3]. Goldring MB & Goldring SR. 2007.

Osteoarthritis. J Cell Physiol.

213:626–634. doi: 10.1002/jcp.21258.

4]. Joewono, I Haryy,K Handono, B

Rawan, P Riadi. 2006.Chapter 279 :

Osteoarthritis. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi IV FKUI: 1195-

1202.

5]. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) 2013. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI:

94-96.

6]. Kraus VB, Janet LH, Thomas S,

Charlene MF, Lori AS, Christian F,

Vladimir V, &Amy G.C. 2004.

Ascorbic Acid Increase the Severity of

Spontaneous Knee Osteoarthritis in a

Guinea Pig Model. Arthritis and

Rheumatism. 50(6): 1822-1831.

7]. Mc Alindon TE, Paul J, Yuqing Z,

Marian TH, Piran A, Barbara W,

David R, Daniel L & David TF. 1996.

Do Antioxidant Micronutrients

Protect Againts The Developments

&Progression of Knee Osteorthritis?

Arthritis And Rheumatism. 39(4):648-

656.

8]. Peregoy J & Frances VW. 2010. The

Effects of Vitamin C Supplementation

on Incident and Progressive Knee

Osteoarthritis: a Longitudinal Study.

Public Health Nutrition, 14(4)709-

715.

9]. Rosenbaum CC, O’Mathuna DP,

Chavez M & Shields K. Antioxidants

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ANTIOKSIDAN VITAMIN A, C DAN E TERHADAP

PENANGANAN KNEE OSTEOARTHRITIS : RADIOGRAPHIC PROGRESSION KNEE

OSTEOARTHRITIS.

43 | PISSN 2620-8040 Alpha Olivia Hidayati

and Antiinflammatory dietary

supplements for osteoarthritis and

rheumatoid arthritis.Altern Ther

Health Med 2010, 16(2): 32-40.

10]. Tanzil A. 2008. Radikal Bebas pada

Gangguan Fungsi Sendi Rahang,

Indonesian Journal of Denistry.15(1):

77-82.

11]. Wang Y, Prentice LF, Vitetta L,

Wluka AE, Cicuttini FM. The

Determinants of change in tibial

plateau bone area in osteoarthritis

knees: a cohort study . arthritis Res

Ther 2005,7: R687-R693.

12]. Wang Y, Allison MH, Anita EW,

Dallas RE, Graham GG, Richard OS,

Andrew F & Flavia MC. Research

Article: Effect of Antioxidants on

Knee Cartilage and bone in healthy,

middle-aged subjects: a cross-

sectional study.Arthritis Research &

therapy 2007,9(4): 1-9.

13].Warrak OA, Mouhamed R, Audrey A,

Soren RB & Younes C. 2012.

Measurement of vitamin A, vitamin E,

selenium, and L-lactate in dogs with

and without osteoarthritis secondary

to ruptured cranial cruciate

ligament.The Canadian Veterinary

Journal. 53(12): 1285–1288.

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Defi, dkk PISSN 2620-8040 44

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA

MENGGUNAKAN ANALISIS CLUSTER HIERARKI

PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

Defi Istiyani, Ginanjar Zakiah, M. Khuailid Yusuf, A.S Timur Patria, I. Fatati Noviara, Edy Widodo

Universitas Islam Indonesia

[email protected]

ABSTRAKS

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016. Salah satu permasalahan

kesehatan yang sekarang menjadi Global Issues adalah HIV dan AIDS. HIV merupakan virus yang

menyerang daya tahan tubuh manusia sehingga seseorang mudah terserap penyakit. Orang yang

terinfeksi HIV, cepat atau lambat (2 sampai 10 tahun) akan menderita AIDS jika tidak berobat secara

teratur. Salah satu penanggulangan yang dapat dilakukan untuk menguranginya adalah dengan

melakukan pemetaan terhadap tingkat kerawanan HIV/AIDS di Indonesia. Dalam penelitian ini

variabel-variabel yang digunakan adalah Jumlah Penderita HIV/AIDS (JP), Konseling dan Tes (KT),

Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA), Infeksi Menular Seksual (IMS), Program Terapi Rumatan

Metadon (PTRM), dan Tuberkulosis HIV (TB HIV). Metode yang digunakan untuk memetakan dalam

penelitian ini adalah metode cluster hierarki. Cluster hierarki adalah cluster yang didasarkan pada

tingkatan. Sehingga didapatkan 3 tingkatan cluster yang dipetakan. Cluster 1 beranggotakan 28

provinsi dengan tingkat kerawanan HIV/AIDS rendah, cluster 2 yang beranggotakan 3 provinsi yaitu

provinsi Jawa Tengah, Bali, dan Papua, yang merupakan cluster dengan tingkat kerawanan HIV/AIDS

sedang. Cluster 3 merupakan cluster yang mempunyai tingkat kerawanan HIV/AIDS yang tinggi yang

beranggotakan 3 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur.

Kata kunci : HIV/AIDS, Cluster Hierarki, Pengelompokan, Pemetaan

PENDAHULUAN

Terdapat beberapa masalah

kesehatan di dunia yang hingga saat ini

belum bisa terselesaikan. Salah satu

permasalahan kesehatan yang sekarang

menjadi Global Issues adalah HIV dan

AIDS. HIV merupakan virus yang

menyerang daya tahan tubuh manusia

sehingga seseorang mudah terserap

penyakit. Orang yang terinfeksi HIV,

cepat atau lambat (2 sampai 10 tahun)

akan menderita AIDS jika tidak berobat

secara teratur. Sementara AIDS

merupakan kumpulan gejala penyakit

dengan karakteristik defisiensi imun yang

berat dan merupakan manifestasi stadium

akhir infeksi HIV [2]. Sejak kasus pertama

kali terjadi pada tahun 1987 sampai

dengan bulan September 2014, HIV dan

AIDS di Indonesia tersebar di 381 (76%)

dari 498 kabupaten atau kota diseluruh

provinsi di Indonesia. Provinsi pertama

kali ditemukan adanya kasus HIV dan

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

45 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk

AIDS adalah di Provinsi Bali, sedangkan

yang terakhir melaporkan adalah Provinsi

Sulawesi Barat pada tahun 2011. Jumlah

kumulatif penderita HIV dari tahun 1987

sampai dengan September 2014 sebanyak

150.296 orang sedangkan jumlah

kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799

orang. Berdasarkan laporan provinsi,

jumlah kumulatif kasus infeksi HIV yang

dilaporkan sejak tahun 1987 sampai

dengan September 2014 yang terbanyak

adalah provinsi DKI Jakarta yaitu 32.782

kasus. 10 besar kasus HIV terbanyak

adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua,

Jawa Barat, Sumatra Utara, Jawa Tengah,

Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan

Sumatra Selatan [3].

Berdasarkan fakta di atas, maka

pemerintah masih mempunyai tantangan

besar dalam mengatasi permasalahan

jumlah penderita HIV/AIDS. Sebagai

upaya untuk melakukan penanganan

permasalahan tersebut, maka dilakukan

analisis statistika deskriptif, clustering dan

pemetaan daerah yang mengalami

permasalahan jumlah penderita HIV/AIDS

sehingga diharapkan dapat mempermudah

dalam visualisasi provinsi-provinsi yang

mengalami masalah tersebut di Indonesia

serta dapat diketahui daerah mana saja

yang mempunyai jumlah penderita

HI/AIDS terbanyak. Sehingga penelitian

ini dapat digunakan sebagai acuan untuk

penanganan masalah HIV/AIDS secara

tepat dan maksimal.

Terdapat beberapa penelitian

sebelumnya yang berkaitan dengan

HIV/AIDS, metode yang digunakan

sebelumnya dan ditinjau dari berbagai

sudut pandang para penelitinya. Penelitian

mengenai HIV/AIDS pernah dilakukan [4]

dengan judul “K-Means Analisis

Klasterisasi Kasus HIV/AIDS di

Indonesia”. Penelitian ini menggunakan

metode K-Means. Hasil dari penelitian

tersebut adalah provinsi DKI Jakarta, Jawa

Timur dan Papua berada pada kondisi

yang sangat kritis akan penyebaran virus

HIV/AIDS. Hal itu dikarenakan jumlah

kasus HIV/AIDS terbanyak ada pada

ketiga provinsi tersebut.

Penelitian dengan judul “Analisis

Cluster Spasial Tingkat Kerawanan

Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015”.

Penelitian ini menggunakan metode

Cluster Hierarki Single Linkage, Average

Linkage, dan Ward’s. Hasil dari penelitian

ini adalah Berdasarkan 3 metode tersebut

didapat metode yang paling baik adalah

Single Linkage, dengan 4 cluster dimana

Kota Semarang menjadi satu-satunya kota

dengan tingkat kerawanan DBD yang

tinggi [5].

Penelitian selanjutnya dengan judul

“Analisis Cluster dengan Average Linkage

Method dan Ward’s Method untuk Data

Responden Nasabah Asuransi Jiwa Unit

Link”. Penelitian ini menggunakan

metode perbandingan kedua metode

tersebut. Hasil dari penelitian ini,

berdasarkan nilai rasio simpangan baku,

metode average linkage merupakan

metode terbaik. Dimana pada metode ini,

alasan seorang yang berprofesi sebagai

dokter, dosen, guru, pedagang, pengusaha,

pengacara, teknisi, militer, pegawai

swasta, dan PNS memutuskan untuk

membeli Asuransi Jiwa Unit Link untuk

persiapan pendidikan anak [6].

METODE PENELITIAN

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

46 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk

Metode dalam penelitian ini

terdiri atas alat, bahan, dan prosedur

penelitian yang dilakukan.

Alat yang digunakan adalah

software Excel, SPSS, dan Tableau yang

dilakukan untuk mengolah data dengan

metode analisis deskriptif, analisis cluster

hierarki average linkage, dan pemetaan.

Pada penelitian ini bahan yang

dimaksud adalah data yang digunakan,

yaitu data sekunder yang bersumber dari

website Komisi Penanggulangan AIDS

Indonesia. Data tersebut merupakan data

yang diambil secara sensus di 34 provinsi

di Indonesia untuk Triwulan I tahun 2016.

Variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Provinsi, Jumlah

Penderita HIV/AIDS (JP), Konseling dan

Tes (KT), Pencegahan Penularan Ibu ke

Anak (PPIA), Infeksi Menular Seksual

(IMS), Program Terapi Rumatan Metadon

(PTRM), dan Tuberkulosis HIV (TB

HIV). Dalam penelitian ini tidak

mempertimbangkan jumlah penduduk

karena penularan HIV/AIDS disebabkan

oleh kontak langsung dengan penderita

seperti berhubungan seks, pemakaian

jarum suntik secara bergantian, pemberian

ASI dari ibu ke anak dan lain-lain.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa

seberapa besar jumlah penduduk pada

suatu wilayah tidak akan berpengaruh

terhadap penularan apabila penduduk

tersebut tidak mempunyai perilaku yang

dapat menyebabkan penularan HIV/AIDS.

Metode penelitian yang digunakan

untuk menganalisis data adalah analisis

deskriptif, analisis cluster hierarki average

linkage, dan pemetaan. Analisis deskriptif

digunakan untuk menjelaskan dan

menggambarkan data HIV/AIDS di

Indonesia pada triwulan I tahun 2016,

yang bertujuan untuk melihat gambaran

umum tentang HIV/AIDS di 34 provinsi

yang terdapat di Indonesia.

Analisis cluster, digunakan untuk

mengelompokkan 34 provinsi berdasarkan

tingkat kerawanan HIV/AIDS di Indonesia

pada triwulan 1 tahun 2016. Pemetaan

digunakan untuk menvisualisasi tingkat

kerawanan HIV/AIDS hasil dari analisis

cluster hierarki di 34 provinsi di Indonesia

pada triwulan I tahun 2016.

Prosedur penelitian

Terdapat tujuh langkah prosedur

penelitian dalam penelitian ini, berikut

penjelasan untuk masing-masing langkah:

Memilih Variabel

Pada penelitian ini, pemilihan

variabel pengelompakan didasarkan pada

hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS

di Indonesia.

Analisis Deskriptif

Melakukan analisis deskriptif

dengan membuat diagram batang pada

masing-masing variabel yang telah dipilih.

Menentukan Ukuran Kesamaan

Ukuran kesamaan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah ukuran jarak,

yaitu jarak squared euclidean.

Pengecekan Multikolinieritas

Pengecekan multikolinieritas

dilakukan dengan melihat korelasi antar

variabel, dengan menggunakan nilai VIF

dan tolerance. Apabila tidak terdapat

multikolinieritas dalam data maka analisis

dapat dilanjutkan ke tahap penerapan

metode analisis cluster, namun apabila

terdapat multikolinieritas maka perlu

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

47 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk

dilakukan analisis komponen utama

(PCA) terlebih dahulu dan setelah itu

dilanjutkan ke tahap penerapan metode

analisis cluster.

Penerapan Metode Cluster Heirarki

Metode analisis cluster yang

digunakan yaitu metode cluster hierarki

average linkage, dengan menggunakan

software SPSS.

Terbentuk Cluster

Menggunakan metode cluster

hierarki average linkage, cluster yang

terbentuk akan ditentukan berdasarkan

dendogram.

Intepretasi dan Profiling

Pada tahap ini, dilakukan

intepretasi terhadap cluster yang terbentuk

sehingga dapat diketahui profil atau

karakteristik dari masing-masing cluster,

dengan cara menghitung rata-rata tiap

variabel pada masing-masing anggota

cluster.

Pemetaan

Pemetaan merupakan tahap

terakhir dalam penelitian ini. Pada tahap

ini, pemetaan dilakukan berdasarkan

cluster yang terbentuk, yaitu memetakan

34 provinsi di Indoesia menggunakan

software Tablue.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kasus penderita HIV/AIDS

tertinggi pada triwulan I tahun 2016

adalah provinsi DKI Jakarta sebanyak

1176 jiwa. Provinsi Maluku Utara menjadi

provinsi dengan jumlah penderita paling

sedikit yang hanya berjumlah 5 jiwa.

Sedangkan provinsi Gorontalo dan

Sulawesi Barat tidak ada penderita untuk

periode tersebut

Provinsi dengan jumlah konseling

dan tes tertinggi adalah Jawa Barat

sebanyak 363 jiwa. Provinsi Maluku Utara

menjadi provinsi dengan jumlah paling

sedikit individu yang melakukan

konseling dan tes, yaitu hanya 1 orang

saja. Namun ada 2 provinsi dengan

penduduknya yang tidak melakukan

konseling dan tes sama sekali, yaitu

Gorontalo dan Sulawesi Barat.

Banyaknya ibu yang melakukan

pencegahan dari ibu ke anak di Indonesia

pada tahun 2016 triwulan I tertinggi

dengan jumlah 85 orang adalah provinsi

Papua. Terdapat 8 provinsi yang hanya

terdapat 1 ibu yang melakukan

pencegahan antara lain provinsi Bengkulu

dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi

Gorontalo dan Sulawesi Barat adalah

provinsi yang tidak ada satupun ibu yang

melakukan pencegahan ke anak.

Jumlah individu yang melakukan

terapi rumatan metadon terbanyak adalah

41 orang yaitu berasal dari provinsi Papua.

Terdapat 7 provinsi yang hanya terdapat 1

orang saja yang terapi, antara lain provinsi

Aceh dan Kalimantan Utara. Sedangkan

provinsi yang penduduknya tidak

melakukan terapi ada sebanyak 12

provinsi, antara lain Sulawesi Utara dan

Riau.

Provinsi Papua merupakan

provinsi dengan jumlah individu yang

menderita tuberkulosis HIV paling banyak

yaitu 21 orang. Yang paling sedikit

berjumlah 2 ada pada 7 provinsi antara

lain NTT, dan Jambi. Sedangkan

Kalimantan Timur tidak ada satu pun

orang yang menderita.

Jumlah individu yang terkenal

infeksi menular seksual paling banyak ada

di Jawa Barat dengan jumlah 317 jiwa.

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

48 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk

Dan paling sedikit ada pada provinsi

Gorontalo yang hanya berjumlah seorang

saja. Sedangkan untuk provinsi Sulawesi

Barat dan Maluku Utara tidak ada

penduduknya yang terkena.

Pengelompokan tingkat

kerawanan HIV / AIDS di Indonesia pada

triwulan I tahun 2016 menghasilkan tiga

cluster berdasarkan dendogram pada

Gambar 1. Sehingga pembagian anggota

pada masing-masing cluster dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Anggota Masing-masing Cluster

Cluster Anggota

1

Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung,

Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau,

DI Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat,

Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur, Kalimantan Utara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,

Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua

Barat

2 Jawa Tengah, Bali, Papua

3 DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur

Gambar 1. Dendogram

Interpretasi masing-masing cluster

dilakukan dengan menghitung centroid

pada masing-masing cluster yang merujuk

pada Tabel 2. Cluster 1 beranggotakan 28

provinsi. Dengan melihat centroid

masing-masing variabel, cluster 1

didominasi oleh variabel konseling dan

tes, pencegahan dari ibu ke anak, dan

program terapi rumatan metadon. Maka

dapat dikatakan bahwa cluster 1

merupakan cluster dengan kerawanan

HIV/AIDS rendah.

Tabel 2. Interpretasi Cluster

JP KT PPIA IMS PTRM

TB

HIV

Cluster 1 77,286 23,143 4,5 16,215 2,536 4,286

Cluster 2 626 166 39 63,334 18 14,334

Cluster 3 1136,667 262 16 192 10,334 19,334

Cluster 2 yang beranggotakan 3

provinsi yaitu Jawa Tengah, Bali, dan

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

49 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk

Papua. Bila dibandingkan dengan cluster

1, nilai centroid untuk variabel konseling

dan tes, pencegahan dari ibu ke anak, dan

program terapi rumatan metadon memiliki

nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan

dengan nilai centroid variabel jumlah

penderita, infeksi menular seksual, dan

tuberkulosis HIV pada cluster 3, nilainya

lebih tinggi. Sehingga, cluster 2

merupakan cluster dengan kerawanan

HIV/AIDS sedang.

Cluster 3 beranggotakan 3

provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,

dan Jawa Timur. Berdasarkan hasil

centroid variabel, cluster 3 didominasi

oleh variabel jumlah penderita, infeksi

menular seksual, dan tuberkulosis HIV

karena nilai centroid pada variabel

tersebut lebih tinggi dibandingkan cluster

1 dan 2. Sehingga dapat dikatakan bahwa

cluster 3 merupakan cluster dengan

kerawanan HIV/AIDS yang tinggi.

Peta dibedakan menjadi tiga

tingkatan yaitu angka 1 menunjukan

kerawanan rendah, angka 2 menunjukan

kerawanan sedang, dan angka 3

menunjukkan kerawanan tinggi. Tingkat

kerawanan rendah disimbolkan dengan

warna coklat muda, tingkat kerawanan

sedang disimbolkan dengan warna orange

dan pada tingkat kerawanan tinggi

disimbolkan dengan warna coklat tua.

Berdasarkan peta pada Gambar 2, dapat

dilihat bahwa daerah dengan kerawanan

HIV/AIDS yang tinggi adalah provinsi

DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur,

sedangkan daerah dengan tingkat

kerawanan sedang adalah provinsi Jawa

Tengah, Bali dan Papua, sedangkan

provinsi sisanya adalah provinsi dengan

tingkat kerawanan HIV/AIDS yang

rendah.

Gambar 2. Peta Tingkat Kerawanan

HIV/AIDS di Indonesia pada Triwulan 1

Tahun 2016

KESIMPULAN

Berdasarkan data tentang

HIV/AIDS di Indonesia pada triwulan I

tahun 2016 yang sudah dianalisis maka

dapat disimpulkan bahwa pada kasus

penderita HIV/AIDS provinsi dengan

jumlah penderita tertinggi adalah provinsi

DKI Jakarta sebanyak 1176 jiwa. Provinsi

dengan jumlah konseling dan tes tertinggi

adalah Jawa Barat sebanyak 363 jiwa.

Banyaknya ibu yang melakukan

pencegahan dari ibu ke anak tertinggi

dengan jumlah 85 orang adalah provinsi

Papua. Jumlah individu yang melakukan

terapi rumatan metadon terbanyak adalah

41 orang yaitu berasal dari provinsi Papua.

Provinsi Papua merupakan provinsi

dengan jumlah individu yang menderita

tuberkulosis HIV paling banyak yaitu 21

orang. Jumlah individu yang terkenal

infeksi menular seksual paling banyak ada

di Jawa Barat dengan jumlah 317 jiwa.

Cluster 1 beranggotakan 28

provinsi yang merupakan cluster dengan

kerawanan HIV/AIDS rendah dan

disimbolkan dengan warna cokelat muda

pada peta. Cluster 2 beranggotakan 3

provinsi yaitu Jawa Tengah, Bali, dan

Papua yang merupakan cluster dengan

kerawanan HIV/AIDS sedang dan

disimbolkan dengan warna orange pada

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN HIV/AIDS DI INDONESIA MENGGUNAKAN

ANALISIS CLUSTER HIERARKI PADA TRIWULAN 1 TAHUN 2016

50 | PISSN 2620-8040 Defi, dkk

peta. Cluster 3 beranggotakan 3 provinsi,

yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa

Timur yang merupakan cluster dengan

kerawanan HIV/AIDS yang tinggi dan

disimbolkan dengan warna coklat tua pada

peta.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Kumar P, Clark M. 2009. HIV and

AIDS in Clinical Medicine 7th

Edition. London, Elsevier.pp 184-

206.

[2] Neferi, Andria. 2016. Hubungan

Antara Pengetahuan Tentang HIV

dan AIDS Dengan Respon

Masyarakat Terhadap ODHA.

Jurusan Sosiologi, Fakultas Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas

Lampung.

[3] Ditjen PP & PL, Kemenkes RI. 2014.

Statistik Kasus HIV/AIDS di

Indonesia dilapor s/d September

2014. Jakarta.

[4] Riverandra, Okta. 2016. K-Means

Analysis Klasterisasi Kasus HIV /

AIDS di Indonesia. Pekanbaru:

Politeknik Caltex.

[5] Fithriyyah, Anisahtul. 2017. Analisis

Cluster Spasial Tingkat Kerawanan

Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015.

Skripsi Jurusan Statistika, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Islam Indonesia.

[6] Laeli, Sofya. 2014. Analisis Cluster

dengan Average Linkage Method dan

Ward‟s Method untuk Data

Responden Nasabah Asuransi Jiwa

Unit Link. Program Studi Matematika

Universitas Negeri Yogyakarta

TANYA JAWAB

Ludowika

HIV/AIDS itu penularannya selama ini

melalui apa saja?

Annisa

Jawab:

1. Kontak dengan penderita HIV/AIDS

melalui hubungan seksual

2. Penggunaan jarum suntik bekas

penderita HIV/AIDS

3. Persalinan dan menyusui seorang ibu

yang terinfeksi HIV

4. Transfusi darah

Malina Tuarisa

Apakah penderita HIV/AIDS di Indonesia

sudah tertangani dengan baik?

Annisa

Jawab:

1. Pemerintah Indonesia telah

mencanangkan komitmennya untuk

memberikan akses yang lebih luas

bagi penderita HIV/AIDS (ODA)

2. Banyak rumah sakit yang

menyediakan ruangan dan fasilitas

khusus untuk penderita HIV/AIDS

agar punya harapan hidup yang sama

dengan yang sehat.

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Bagus Yudi PISSN 2620-8040 51

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING

DI PROVINSI BALI

Gusti Bagus Yudhi Jaya Putra Atmaja1

Rumah Sakit Kasih Ibu Bali

[email protected]

ABSTRAKS

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI. Telah dilakukan penelitian tentang pengujian kinerja pesawat Magnetic

Resonance Imaging (MRI) ini dilakukan uji kinerja pada sembilan parameter berbeda yang

dilakukan pada tiga rumah sakit berbeda di Provinsi Bali, dimana pesawat MRI di dua dari tiga

rumah sakit tersebut sedang mengalami gangguan yang berpengaruh secara langsung terhadap

kualitas citranya sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja dari pesawat MRI di

beberapa rumah sakit yang terdapat di Provinsi Bali dan untuk baseline data apabila dilakukan

pengujian kembali.Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei.

Alat dan bahan pada penelitian ini adalah tiga pesawat MRI yang terdiri dari dua pesawat MRI 1,5

Tesla dan satu pesawat MRI 0,3 Tesla, phantom ACR, koil kepala, alat tulis dan kamera. Data

dikumpulkan dengan melakukan sembilan prosedur pengujian kinerja pesawat MRI menggunakan

panduan ACR (2015) dan kemudian dianalisis menggunakan standar internasional yang dikeluarkan

oleh ACR (2015). Hasil penelitian tentang pengujian kinerja pesawat MRI dari sembilan parameter

yang diuji, hanya empat parameter saja yaitu pengujian high contrast resolution, low contrast

resolution, slice position accuracy dan setup and table position accuracy yang memenuhi standar

pengujian internasional di seluruh rumah sakit, sedangkan pada pengujian geometric accuracy

seluruh rumah sakit tidak memenuhi standar pengujian internasional. Pada pengujian signal to

noise ratio terdapat dua rumah sakit yang tidak memenuhi standar pengujian internasional,

sedangkan pada pengujian artifact analysis dan slice thickness accuracy terdapat satu rumah sakit

yang tidak memenuhi standar internasional

Kata kunci: Pengujian Kinerja, Pesawat Magnetic Resonance Imaging (MRI)

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu sarana

penegakan diagnosa pada suatu kelainan

maka kualitas citra pemeriksaan

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

menjadi suatu hal yang penting untuk

diperhatikan, maka dari itu diperlukan

suatu program pengendalian mutu

kualitas citra, baik sejak pengadaan,

pemasangan, penggunaan, dan

pemeliharaan pesawat MRI untuk

memastikan bahwa operasional dari

pesawat MRI tersebut berjalan dengan

lancar sehingga nantinya akan dihasilkan

kualitas citra yang selalu baik,tepat dan

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

52 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

akurat. Prosedur pengendalian mutu pada

modalitas MRI dibuat untuk

mendokumentasikan perbedaan dari hasil

pengukuran tersebut dan untuk

menetapkan standar pengukuran kinerja

sistem secara harian. Salah satu usaha

dalam penjaminan mutu kualitas citra

adalah dengan melakukan prosedur

quality control (QC) atau kendali mutu.

Tujuan dari kendali mutu adalah untuk

menemukan adanya perubahan atau

potensinya pada performa sistem dari

pesawat Magnetic Resonance Imaging

(MRI). Salah satu bagian dari program

quality control atau kendali mutu adalah

dengan melakukan uji kinerja pesawat

Magnetic Resonance Imaging (MRI)[3].

Pengujian harian atau mingguan

pada pesawat Magnetic Resonance

Imaging (MRI) yang dilakukan oleh

radiografer antara lain : setup and table

position, center frequency, transmitter

gain or attenuation, geometric accuracy

measurements, high contrast spatial

resolution, low contrast detectability,

artifact evaluation, film printer quality

control dan visual checklist [1].

Uji kinerja tahunan pada 98

pesawat MRI yang berbeda. Dari 98

pesawat MRI yang dilakukan uji kinerja

tahunan, NessAiver menemukan

beberapa gangguan pada pesawat MRI,

seperti : gangguan pada homogenitas

magnetisasinya, noise radiofrekuensi

yang sangat banyak, ghosting yang

sangat besar, kalibrasi gradient yang

buruk dan hard copy serta soft copy yang

buruk [2].

Selanjutnya penulis melakukan

peninjauan awal di 3 rumah sakit berbeda

di Provinsi Bali, dan menjumpai 2 dari 3

pesawat Magnetic Resonance Imaging

yang dilakukan peninjauan sedang

mengalami masalah seperti : terjadi

gangguan pada salah satu gradient coil,

sehingga menganggu hasil citra yang

dihasilkan, parameter fat sat yang kadang

dapat digunakan dan kadang tidak dapat

digunakan serta terdapat kerusakan pada

komponen RF coil.

Dari penelitian ini nantinya akan

diketahui kesesuaian hasil uji yang

didapat dari tiap – tiap pesawat MRI

dengan standar nilai uji yang telah

ditetapkan secara internasional oleh [1].

Uji kinerja pada pesawat Magnetic

Resonance Imaging (MRI) akan

dilakukan dengan dua cara yaitu :

pengujian tanpa menggunakan phantom

ACR dan dengan menggunakan phantom

ACR.

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Phantom ACR, Koil Kepala, Alat Tulis

dan Kamera, 3 Pesawat MRI yang terdiri

dari 2 pesawat MRI 1,5 Tesla dan 1

pesawat MRI 0,3 Tesla.

Prosedur penelitian

Prosedur pengujian menggunakan

panduan ACR (2015) yang diawali

dengan melakukan pengujian tanpa

menggunakan phantom yaitu pengujian

visual checklist. Selanjutnya setelah

pengujian tanpa menggunakan phantom

selesai dilanjutkan dengan melakukan

pengujian dengan menggunakan phantom

yang diawali dengan memasang phantom

pada koil kepala. Setelah pengaturan

posisi phantom selesai, maka dilanjutkan

dengan pemilihan protokol potongan

sagittal pada pemeriksaan brain dengan

parameter sebagai berikut : Sagital Spin-

Echo, TR = 200ms, TE = 20ms, Slice

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

53 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

Thickness = 20mm, FOV = 25cm, Matrix

= 256 x 256, NEX = 1. Localizer sagital

yang digunakan sebagai perencanaan

pengambilan potongan aksial selanjutnya.

Sekuen yang digunakan untuk potongan

axial yaitu T1 WI Spin Echo Axial

dengan TE 20ms, TR 500ms, FOV 25cm,

matriks 256 x 256, Slice Thickness 5mm

dan NEX 1.

Kemudian dilakukan beberapa

jenis pengujian dengan menggunakan

phantom yaitu pengujian signal to noise

ratio, artifact analysis, high contrast

resolution, low contrast resolution, slice

thickness accuracy, geometric accuracy,

slice position accuracy, dan setup and

table position accuracy.

Analisis Data

Data hasil pengukuran dari

masing–masing pengujian tersebut

dianalisa dengan cara membandingkan

hasil pengukuran dari tiap masing –

masing pengujian dengan nilai standar

international yang telah ditetapkan oleh

ACR (2015), sebagai berikut:

A. Pengujian tanpa menggunakan

phantom ACR

Pengujian Visual Checklist

Pengujian ini dilakukan selama

18 hari dalam sebulan. Setelah

didapatkan hasil pengujian dari masing-

masing parameter ditiap kategori diatas

nantinya hasil pengujian tersebut akan

dihitung banyaknya jumlah pass dalam 1

parameter selama pengujian 18 hari.

Selanjutnya hasil pengujian dari tiap-tiap

parameter tersebut akan dikategorikan

sesuai rentang yang penulis buat, kategori

buruk apabila jumlah pass dalam rentang

14 - 15, kategori cukup apabila jumlah

pass dalam rentang 16 - 17, kategori

baik apabila jumlah pass 18 sedangkan

untuk hasil akumulasi jumlah pass untuk

tiap–tiap kategori pengujian,

dikategorikan sebagai berikut: kategori

buruk apabila jumlah pass dalam rentang

15 (untuk 1 kategori pengujian yang

hanya memiliki 1 parameter), 60 (untuk 1

kategori yang hanya memiliki 4

parameter), dan 90 (untuk 1 kategori

yang hanya memiliki 6 parameter),

kategori cukup apabila jumlah pass

dalam rentang 17 (untuk 1 kategori

pengujian yang hanya memiliki 1

parameter), 68 (untuk 1 kategori yang

hanya memiliki 4 parameter), dan 102

(untuk 1 kategori yang hanya memiliki 6

parameter), kategori baik apabila jumlah

pass dalam rentang 18 (untuk 1 kategori

pengujian yang hanya memiliki 1

parameter), 72 (untuk 1 kategori yang

hanya memiliki 4 parameter), dan 108

(untuk 1 kategori yang hanya memiliki 6

parameter)

B. Pengujian menggunakan phantom

ACR

Pengujian Signal To Noise Ratio

(SNR) data akan dibandingkan dengan

standar international untuk Signal To

Noise Ratio (SNR) yaitu nilai SNR lebih

dari atau sama dengan 70.

Pengujian Artifact Analysis

dilakukan pengamatan selanjutnya data

akan dibandingkan dengan standar

international. Standar international untuk

artifact analysis yaitu hasil pengamatan

tidak boleh terdapat artifact.

Pengujian High Contrast

Resolution setelah melakukan

pengamatan selanjutnya data akan

dibandingkan dengan standar

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

54 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

international. Standar international untuk

high contrast resolution yaitu tampak

resolution insert terpisah hingga

kelompok no 2.

Pengujian Low Contrast

Resolution setelah melakukan

pengamatan selanjutnya data akan

dibandingkan dengan standar

international. Standar international untuk

low contrast resolution yaitu jumlah

spokes yang tampak sebanyak minimal 9

spokes.

Pengujian Slice Thickness

Accuracy setelah didapatkan hasil

perhitungan diatas selanjutnya hasil

perhitungan dibandingkan dengan standar

internasional. Standar internasional slice

thickness accuracy yaitu +0,7mm pada

tebal irisan 5mm.

Pengujian Geometric Accuracy

setelah didapatkan hasil perhitungan

diatas selanjutnya hasil perhitungan

dibandingkan dengan standar

internasional. Standar internasional

geometric accuracy (sumbu x,y, dan z)

yaitu < + 2mm.

Pengujian Slice Position

Accuracy setelah didapatkan hasil

perhitungan diatas selanjutnya hasil

perhitungan dibandingkan dengan standar

internasional. Standar internasional slice

position accuracy yaitu + 5mm.

Pengujian Setup and Table

Position Accuracy setelah mendapatkan

hasil pengukuran selanjutnya hasil

pengukuran dibandingkan dengan standar

internasional. Standar internasional setup

and table position accuracy yaitu bagian

tepi atas struktur grid + 5mm dari

isosenter magnet. Kemudian hasil

pengujian tersebut dideskripsikan dan

selanjutnya diambil kesimpulan dan

saran. Hasil pengukuran tersebut juga

didokumentasikan sebagai patokan atau

baseline untuk program pengujian kinerja

pesawat Magnetic Resonance Imaging

(MRI) 1,5 Tesla dan 0,3 Tesla

selanjutnya di masing-masing rumah

sakit tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Visual Checklist

Hasil pengujian visual checklist

yaitu seluruh rumah sakit yang dilakukan

pengujian ini mendapatkan jumlah pass

yang sama yaitu 12 pass setiap harinya

untuk seluruh parameter mulai hari

pertama hingga hari keduapuluh, jumlah

pass yang didapatkan selama dua puluh

hari yaitu 20 pass untuk setiap parameter

yang ada di tabel pengujian visual

checklist di semua rumah sakit , sehingga

semua parameter yang terdapat pada

tabel visual checklist di seluruh rumah

sakit lolos uji visual checklist dan masih

dalam keadaan baik.

Pengujian Signal to noise ratio

Hasil pengujian signal to noise

ratio yaitu di RSUD Badung

mendapatkan hasil pengukuran nilai SNR

yaitu sebesar 268,17, dan di BRSU

Tabanan mendapatkan hasil pengukuran

nilai SNR yaitu sebesar 15.78 serta di

RSUP Sanglah mendapatkan hasil

pengukuran nilai SNR yaitu sebesar 2,4.

Pada pengujian Signal Noise To

Ratio sebagian besar rumah sakit tidak

memenuhi standar pengujian

internasional yaitu BRSU Tabanan dan

RSUP Sanglah sedangkan pada RSUD

Badung hasil pengujian Signal to noise

ratio sudah memenuhi standar pengujian

internasional. Nilai SNR dipengaruhi

oleh beberapa parameter yaitu : receiver

bandwidth, field of view (FOV), size of

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

55 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

the (image) matrix, number of

acquisitions, scan parameters (TR, TE,

flip angle), selection of the transmit,

receiver coil (RF coil), magnetic field

strength [4]. Pada pengujian ini telah

menggunakan parameter yang ditetapkan

oleh ACR (2015) sehingga faktor – faktor

yang mempengaruhi nilai SNR seperti

receiver bandwidth, field of view (FOV),

size of the (image) matrix, number of

acquisitions, dan scan parameters (TR,

TE, flip angle) dapat dikesampingkan.

Sedangkan faktor lainnya yang dapat

mempengaruhi nilai SNR seperti faktor

selection of the transmit, receiver coil

dan magnetic field strength dapat

menyebabkan penurunan nilai SNR

karena magnetic field strength pada

pesawat MRI di BRSU Tabanan hanya

0,3 Tesla dan receiver coil pada BRSU

Tabanan juga telah mengalami gangguan

pada RF switch nya sehingga faktor-

faktor tersebut dapat menyebabkan

penurunan nilai SNR. Sedangkan pada

pesawat MRI di RSUP Sanglah

penurunan nilai SNR dapat disebabkan

oleh receiver coil karena receiver coil

pada RSUP sanglah sering mengalami

error. Menurut ACR (2015) gangguan

pada komponen coil dapat mempengaruhi

impendasi coil dan dapat mengakibatkan

penurunan Image Uniformity dan Signal

to noise ratio.

Maka dari itu ACR [1]

menyarankan sebaiknya menggunakan

Magnitude-reconstructed images karena

software tersebut dapat membuat hasil

citra yang dihasilkan terbebas dari

kesalahan dalam sinyal MRI dan pastikan

juga bahwa coil tidak berpindah – pindah

pada saat melakukan scanning dan

sebaiknya juga menghubungi service

engineer agar dapat dilakukan pengujian

Radiofrequency Coil Checks untuk dapat

memastikan kinerja dari RF coil tersebut

dan agar dapat dilakukan recalibrating

pada quadrature channels dari receiver

coil, hal tersebut dapat mengurangi noise

yang terdapat pada citra yang dihasilkan

nantinya.

Pengujian Artifact Analysis

Hasil pengujian artifact analysis

didapatkan hasil yaitu pada BRSU

Tabanan ditemukan satu jenis artifact

pada citra MRInya. Pada RSUD Badung

dan RSUP Sanglah tidak ditemukan jenis

artifact apapun pada citra MRInya.

Pada pengujian Artifact Analysis

hanya satu dari tiga rumah sakit yang

dilakukan pengujian ini tidak memenuhi

standar pengujian internasional yaitu

BRSU Tabanan, dimana pada slice

kelima terdapat artifact geometric

distortion. Menurut ACR (2015) faktor –

faktor yang menyebabkan artifact

geometric distortion yaitu misscalibrated

pada satu atau lebih dari gradient coil

tersebut, misscalibrated pada gradient

coil dapat menyebabkan gradient x, y,

atau z dalam citra yang dihasilkan

tampak melengkung atau lebih panjang

atau lebih pendek daripada yang

sebenarnya. Gradient coil perlu waktu

untuk melakukan warm up dan untuk

menstabilisasikan gradient nya ketika

gradient coil dihidupkan. Pada salah satu

gradient coil di BRSU Tabanan telah

mengalami gangguan beberapa waktu

lalu sehingga hal tersebut dapat

menyebabkan terjadi nya artifact

geometric distortion.

Maka dari itu ACR [1]

menyarankan sebaiknya permasalahan ini

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

56 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

disampaikan kepada service engineer

agar dapat dilakukan calibrating dengan

baik pada gradient coil nya.

Pengujian High Contrast Resolution

Hasil pengujian high contrast

resolution didapatkan hasil yaitu pada

RSUD Badung dan RSUP Sanglah sama

– sama mendapatkan hasil resolution

insert yang terpisah hingga kelompok

yang ketiga. Lalu pada BRSU Tabanan

resolution insertnya hanya terpisah

hingga kelompok kedua sehingga pada

pengujian High Contrast Resolution

seluruh rumah sakit yang dilakukan

pengujian ini telah memenuhi standar

pengujian internasional.

Pengujian Low Contrast Resolution

Hasil pengujian low contrast

resolution didapatkan hasil yaitu pada

RSUD Badung dan RSUP Sanglah sama-

sama mendapatkan jumlah spokes yang

tampak yaitu sebanyak 10 spokes. Lalu

pada BRSU Tabanan mendapatkan

jumlah spokes yang tampak sebanyak 9

spokes sehingga pada pengujian Low

Contrast Resolution seluruh rumah sakit

yang dilakukan pengujian ini telah

memenuhi standar pengujian

internasional.

Pengujian Slice Thickness Accuracy

Hasil pengujian slice thickness

accuracy didapatkan hasil yaitu pada

RSUP Sanglah mendapatkan hasil

pengukuran slice thickness accuracy

dengan standar deviasi yaitu sebesar

5,12mm. Lalu pada RSUD Badung

mendapatkan hasil pengukuran slice

thickness accuracy dengan standar

deviasi sebesar 0,64mm dan pada BRSU

Tabanan mendapatkan hasil pengukuran

slice thickness accuracy dengan standar

deviasi sebesar 0,48mm.

Pada pengujian Slice Thickness

Accuracy hanya satu dari tiga rumah sakit

yang dilakukan pengujian ini tidak

memenuhi standar pengujian

internasional yaitu RSUP Sanglah. Faktor

– faktor yang dapat menyebabkan

kegagalan pada pengujian ini antara lain :

RF amplifier yang tidak linier dapat

menyebabkan distorsi pada bentuk pulsa

RF sehingga pada beberapa scanner,

seorang service engineer harus secara

berkala mengkalibrasi RF power

amplifier nya dan terjadinya malfungsi di

mana saja di bagian high-power RF

portion yang terdapat di scanner seperti

RF power amplifier, kabel coaxial, RF

switch, dan pada transmitter yang

terdapat di coil itu sendiri sehingga

bentuk pulsa yang dihasilkan dapat

terdistori serta kalibrasi gradient coil

yang buruk juga dapat menyebabkan

kegagalan pada pengujian ini [1]. RF coil

di RSUP Sanglah sering mengalami

gangguan sedangkan RF power amplifier

dan gradient coil di RSUP Sanglah juga

tidak pernah dilakukan kalibrasi secara

berkala sehingga faktor – faktor tersebut

yang dapat menyebabkan kegagalan pada

pengujian ini.

Maka dari itu sebaiknya

permasalahan ini disampaikan kepada

service engineer agar dapat dilakukan

recalibrating pada radiofrekuensi

amplifier power nya agar dapat linier

kembali dan gradient coil nya juga dapat

dilakukan recalibrating dengan baik [1].

Pengujian Geometric Accuracy

Hasil pengujian geometric

accuracy didapatkan hasil yaitu hasil

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

57 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

pengukuran sumbu X di BRSU Tabanan

memiliki selisih yang paling tinggi

dibandingkan dengan ukuran sumbu X

yang sebenarnya, dengan selisih sebesar

4,2mm. Lalu hasil pengukuran sumbu X

di RSUD Badung memiliki selisih

sebesar -3,1mm dan hasil pengukuran

sumbu X pada RSUP Sanglah memiliki

selisih sebesar 1,36mm. Pengukuran

sumbu Y di BRSU Tabanan juga

memiliki selisih hasil pengukuran sumbu

Y yang paling tinggi jika dibandingkan

dengan ukuran sumbu Y yang sebenarnya

dengan selisih sebesar 1,3mm. Lalu pada

RSUP Sanglah memiliki selisih hasil

pengukuran sumbu Y sebesar 0,39mm

dan pada RSUD Badung tidak memiliki

selisih hasil pengukuran sumbu Y

sehingga ukuran sumbu Y di RSUD

Badung sama dengan ukuran sumbu Y

yang sebenarnya. Hasil pengukuran

sumbu Z di RSUP Sanglah memiliki

selisih yang paling tinggi dibandingkan

dengan sumbu Z yang sebenarnya dengan

selisih sebesar -3,53mm. Lalu hasil

pengukuran sumbu Z di RSUD Badung

memiliki selisih sebesar 2mm dan pada

BRSU Tabanan tidak memiliki selisih

pengukuran sumbu Z sehingga ukuran

sumbu Z di BRSU Tabanan sama dengan

ukuran sumbu Z yang sebenarnya.

Pada pengujian Geometric

Accuracy seluruh rumah sakit yang

dilakukan pengujian ini tidak memenuhi

standar pengujian internasional, dimana

pada BRSU Tabanan dan RSUD Badung

sumbu x nya tidak memenuhi standar

pengujian internasional, sedangkan pada

RSUP Sanglah sumbu z nya tidak

memenuhi standar pengujian

internasional. Faktor – faktor penyebab

yang paling umum dari kegagalan

pengujian ini yaitu misscalibrated pada

satu atau lebih dari gradient coil tersebut,

misscalibrated pada gradient coil dapat

menyebabkan gradient x, y, atau z dalam

citra yang dihasilkan tampak melengkung

atau lebih panjang atau lebih pendek

daripada yang sebenarnya [1]. Gradient

coil perlu waktu untuk melakukan warm

up dan untuk menstabilisasikan gradient

nya ketika gradient coil dihidupkan.

Penyebab lainnya yang menyebabkan

kegagalan pada pengujian ini yaitu

penggunaan receiver bandwidth yang

rendah dengan tujuan untuk

meningkatkan nilai signal to noise ratio,

hal ini dapat menyebakan terjadinya

inhomogenitas pada medan magnet

sehingga distorsi pada citra semakin

besar dan menyebabkan kesalahan

dimensi yang signifikan dalam citra

phantom tersebut. Selain itu penyebab

terjadinya inhomogenitas pada medan

magnet antara lain pengaturan yang tidak

tepat pada offsets gradient, shim magnet

yang aktif maupun yang pasif, atau

terdapat benda – benda ferromagnetic

seperti pisau saku atau jepit rambut yang

besar pada bore magnet. Inhomogenitas

pada medan magnet sering terjadi

terutama pada pesawat MRI yang

menggunakan sistem open magnet, yang

secara keseluruhan memiliki jumlah

gradient linier dan homogenitas medan

magnet yang kecil. Receiver bandwidth

yang digunakan pada pengujian ini sudah

sesuai dengan yang telah ditetapkan

sehingga hal tersebut dapat

dikesampingkan [1]. Pada salah satu

gradient coil di BRSU Tabanan telah

mengalami gangguan beberapa waktu

lalu dan pesawat MRI di BRSU Tabanan

menggunakan sistem open magnet

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

58 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

sehingga inhomogenitas magnetnya

tinggi dan faktor – faktor tersebut

menyebabkan kegagalan pada pengujian

ini. Pesawat MRI di RSUD Badung dan

RSUP Sanglah tidak menggunakan

sistem open gantry sehingga hal tersebut

dapat kesampingkan sedangkan gradient

coil di RSUD Badung dan RSUP Sanglah

tidak pernah dilakukan calibrating

sehingga faktor tersebut yang dapat

menyebabkan kegagalan pada pengujian

ini.

Maka dari itu sebaiknya

permasalahan ini disampaikan kepada

service engineer agar dapat dilakukan

calibrating pada gradient coilnya dan

dapat dilakukan pengujian Magnetic

Field Homogeneity karena

inhomogeneity magnet yang cukup besar

dapat menyebabkan kegagalan geometric

accuracy sehingga setelah pengukuran

tersebut dapat dilakukan pengujian

geometric accuracy ulang [1].

Pengujian Slice Position Accuracy

Hasil pengujian slice position

accuracy didapatkan hasil yaitu pada

RSUP Sanglah mendapatkan hasil

pengukuran slice position accuracy

dengan standar deviasi yaitu sebesar -

1,33mm. Lalu pada BRSU Tabanan

mendapatkan hasil pengukuran slice

position accuracy dengan standar deviasi

sebesar 0,85mm dan pada RSUD Badung

mendapatkan hasil pengukuran slice

position accuracy dengan standar deviasi

sebesar -0,3mm sehingga pada pengujian

Slice Position Accuracy seluruh rumah

sakit yang dilakukan pengujian ini telah

memenuhi standar pengujian

internasional.

Pengujian Setup and Table Position

Accuracy

Hasil pengujian setup and table

position accuracy diatas didapatkan hasil

sebagai berikut: Semua rumah sakit yang

dilakukan pengujian setup and table

position accuracy mendapatkan hasil

pengukuran yang sama yaitu sebesar

5mm sehingga pada pengujian Setup and

Table Position Accuracy seluruh rumah

sakit yang dilakukan pengujian ini telah

memenuhi standar pengujian

internasional.

KESIMPULAN

Pada pengujian High Contrast

Resolution, Low Contrast Resolution,

Slice Position Accuracy, dan Setup and

Table Position Accuracy seluruh rumah

sakit yang dilakukan pengujian tersebut

memenuhi standar pengujian

internasional sedangkan pada pengujian

geometric accuracy, seluruh rumah sakit

tidak memenuhi standar pengujian

internasional. Pada pengujian Signal To

Noise Ratio terdapat dua rumah sakit

yang tidak memenuhi standar pengujian

internasional. Pada pengujian Artifact

Analysis hanya terdapat satu rumah sakit

saja yang tidak memenuhi standar

pengujian internasional dan pada

pengujian Slice Thickness Accuracy juga

hanya terdapat satu rumah sakit saja

yang tidak memenuhi standar pengujian

internasional.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. American College Radiology,

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Quality Control Manual, hh. 22-100,

America, 2015

PENGUJIAN KINERJA PESAWAT MAGNETIC RESONANCE IMAGING DI

PROVINSI BALI

59 | PISSN 2620-8040 Bagus Yudi

[2]. NessAiver, Moriel S, The Pyhsics

Components Of The ACR MRI

Accreditation Program Are Overly

Tedious And Beyond Whats Is

Needed To Ensure Good Patient

Care, hh. 3420, Department

Radiology University Of Alabama.,

Birmingham, 2008

[3]. Papp, Jeffry, Quality Management

In The Imaging Science Third

Edition, hh. 243-251, Saint Louis.,

Mosby, 2006

[4]. Weishaupt, Dominik, How Does

MRI Work Second Edition, hh. 7-42,

Springer Berlin Hiedelberg., New

York, 2006

TANYA JAWAB

Akhmad Muzamil

Pada setting Parameter mengenai

pengaturan matriks dan filter

(normalized) apakah menjadi bahan

pertimbangan?

Bagus Yudi

Matriks standart 150x256

Filter Standart

Normalized non Aktiv

PROSIDING

SEMINAR REGIONAL RADIOLOGI I Yogyakarta, 27 Januari 2018

Ayu W.S PISSN 2620-8040 60

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-

X DI LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA

MENGGUNAKAN SURVEYMETER RANGER

Ayu Wita Sari

Prodi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAKS

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI

LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN

SURVEYMETER RANGER. Telah dilakukan pengukuran dosis radiasi dan kebocoran pesawat

sinar-x di Laboratorium Radiologi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta menggunakan Surveymeter

Ranger. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui dosis radisi di ruangan dan sekitar serta

mengetahui kebocoran pesawat sinar-x yang digunakan di Lab.Radiologi sehingga tingkat

keamanan radiasi bisa diketahui. Pengukuran dosis radiasi dilakukan pada 6 titik pengukuran yang

ditempatkan di dalam ruangan maupun sekitar ruangan. Untuk pengukuran kebocoran pesawat

Sinar-x dilakukan pada 4 titik yang berada disekitar dengan kolimator tertutup. Pengukuran dosis

radiasi dan kebocoran pesawat dilakukan pada saat penyinaran Cranium AP dengan 70kVp, 63mA,

dan 0.25s. Hasil penelitian menunjukkan tingkat laju paparan radiasi disekitar ruang laboratorium

radiologi STIKES Guna Bangsa masih dikategorikan aman yang dibuktikan dengan nilai yang

berada di bawah standar yang ditetapkan. Sedangkan untuk pengukuran kebocoran tabung sinar-X

nilai paparan tertinggi yaitu di sisi kanan atau pada sisi anodanya yaitu sebesar (0,801 ± 0,031)

μGy/h diukur pada jarak 1m dari sumber. Akan tetapi masih dikategorikan aman karena nilainya

dibawah batas intensitas yang diizinkan. Sesuai dengan acuan peraturan bahwa tingkat paparan

radiasi tabung tidak boleh lebih dari 100 mR/h pada jarak 1m dari sumber sinar-X pada setiap arah.

Sedangkan untuk tingkat paparan radiasi yang ditempati oleh pekerja radiasi tidak boleh melebihi

2,5mR/h untuk penduduk umum tidak boleh melebihi 0,25mR/h. Maka dari itu penelitian ini

menyimpulkan bahwa tabung dan lingkungan pesawat sinar-X di ruang Laboratorium STIKES Guna

Bangsa untuk sistem radiografi konvensional termasuk aman dan masih layak digunakan.

Kata Kunci : Laju Dosis Radiasi, Surveymeter digital, dan Kebocoran Tabung Sinar-X

PENDAHULUAN

Paparan radiasi dalam pekerjaan

dapat terjadi akibat dari berbagai aktivitas

manusia, termasuk pekerjaan yang

berhubungan dengan tahap-tahap

pengelolaan siklus bahan bakar nuklir, di

bagian radiologi rumah sakit dan lain -

lain. Di rumah sakit sendiri sinar-X

dimanfaatkan untuk mendiagnosis adanya

suatu penyakit pasien yang ditempatkan

dalam suatu ruangan khusus yang didesain

agar paparan radiasi tidak dapat

menembus keluar dari ruangan yang akan

menyebabkan pekerja radiasi dan

masyarakat sekitar ikut terpapar. Olehnya

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI

LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN

SURVEYMETER RANGER.

61 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S

itu, untuk menangkal paparan radiasi

tersebut, perlu adanya material yang

mampu mencegah kemungkinan adanya

kebocoran radiasi untuk mewujudkan

dalam hal kesehatan dan keselamatan

kerja. Pelayanan radiologi harus

memperhatikan aspek keselamatan kerja

radiasi sehingga dalam upaya

pengendalian, Pemerintah telah

menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor

33 tahun 2007 tentang Keselamatan

Radiasi Pengion dan Keamanan sumber

radioaktif, Surat Keputusan Kepala

Bapeten nomor 01/Ka-Bapeten/V-99

tentang Kesehatan terhadap radiasi

pengion disebut keselamatan radiasi, yang

memuat nilai batas dosis yaitu pekerja

radiasi < 50 mSv/tahun dan masyarakat

umum < 5 mSv/tahun (Bapaten, 2003).

Untuk mewujudkan hal ini, maka

diperlukan material yang mampu

berfungsi sebagai perisai. Penelitian

tentang keluaran radiasi pada pesawat

sinar -X telah dilakukan pada tahun 2008

oleh Djoko Maryanto dkk, hasil dari

penelitian menyatakan bahwa secara

umum hasil perbandingan menunjukkan

bahwa tebal dinding beton penahan radiasi

di Unit Radiologi (beton 18 cm yang

dilapisi Pb 1 mm) lebih tebal dari hasil

perhitungan tebal minimal penahan radiasi

secara teoritis untuk beton adalah 17,8 cm,

dan laju dosis yang dihasilkan 2,232

R/Jam maka untuk operasional pesawat

sinar–X di Unit Radiologi RSU Kota

Yogyakarta sudah sesuai dengan

persyaratan sistem keselamatan kerja

radiasi dari BAPETEN. Penelitian

berikutnya tentang sinar-X juga dilakukan

pada tahun 2012 oleh Anugrah

Firmansyah dengan hasil dari penelitian

menyatakan bahwa terdapat kebocoran

pada Phywe X-Ray Unit.

Penahan dinding radiasi yang

biasanya digunakan di rumah sakit ruang

radiologi yaitu beton dengan Pb (timbal),

sedangkan di Laboratorium Radiologi

STIKES Guna Bangsa Yogyakarta sendiri

penahan dinding radiasinya terdiri dari

gypsum dan Pb setebal 2 mm, maka perlu

adanya proteksi radiasi untuk keselamatan

kerja radiasi, salah satunya yaitu

mengetahui laju paparan dosis sinar-X dan

tingkat kebocoran tabung pesawat Sinar-

X. Maka pada penelitian ini akan

dilakukan pengukuran Laju Paparan

Radiasi dan Kebocoran radiasi pada

pesawat Sinar-X di Laboratorium

Radiologi STIKES Guna Bangsa

Yogyakarta. Sehingga karyawan dan

dosen serta mahasiswa yang berada

disekitar laboratorium dapat mengetahui

kelayakan keselamatan kerja di

Laboratorium Radiologi STIKES Guna

Bangsa Yogyakarta. Tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui

seberapa besar laju paparan radiasi

disekitar ruang laboratorium radiologi dan

seberapa besar tingkat kebocoran radiasi

pesawat sinar-X mobile unit merk

Shanghai Guangzheng.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan pada

penelitian ini yaitu dengan eksperimen

atau pengambilan data secara langsung

dengan menggunakan alat deteksi radiasi

lingkungan/surveymeter ranger. Penelitian

ini dilakukan pada bulan mei 2017.

1. Alat dan bahan yang digunakan

a. Pesawat Sinar-X unit mobile Merk

Shanghai Guangzheng model SF 100

BY dengan nomor seri 150014 tahun

pembuatan 2015.

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI

LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN

SURVEYMETER RANGER.

62 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S

b. Alat deteksi radiasi lingkungan yaitu

Surveymeter digital Merek Ranger.

c. Alat pelindung Diri (Apron)

d. Pita Pengukur

e. Blok Pb tebal 2 mm

2. Prosedur Pengukuran Laju

paparan radiasi

a. Mencatat data pesawat sinar-x

meliputi merk pesawat, type tabung

dan no. seri tabung (tabung bagian

dalam/Insert Tube, bukan wadah

tabung/Tube Housing)

b. Mencatat data ruangan tempat

pesawat sinar-x meliputi

ukuran ruangan, dinding, ruang

operator, pintu, tanda radiasi.

c. Menyiapkan surveymeter untuk

mengukur laju paparan radiasi.

d. Menggunakan apron sebelum

melakukan penyinaran.

e. Melakukan penyinaran untuk kondisi

penyinaran tertentu, misalnya

Cranium dan mencatat tegangan

(70kV), arus (63mA) dan waktu

(0,25s) paparan.

f. Memposisikan switch pada

surveymeter diawali dengan

mengukur laju dari titik 1 dan titik 2

hingga skala penunjuk terbaca saat

pengukuran dilakukan. (Posisi switch

yang benar adalah pada kedudukan

switch dengan satuan mGray/jam atau

mRad/jam, Ingat : Dosis persatuan

waktu ).

g. Melakukan pengukuran laju paparan

radiasi di beberapa tempat atau titik

tertentu, misalnya tempat dibelakang

pesawat dan operator, dibalik pintu

dan ruang tunggu, kamar gelap dan

ruang sekitar (sesuai dengan lembar

data pengukuran), dengan kondisi

ruang penyinaran tertutup.

3. Prosedur Pengukuran

Kebocoran Tabung Sinar-X

a. Mencatat jenis pemeriksaan yang

dilakukan dengan kondisi penyinaran

yang maksimum yang pernah

digunakan, misalnya Cranium.

b. Mencatat tegangan operasi ( 70

kV), arus ( 63 mA) dan waktu (

0,25 s) paparan.

c. Memposisikan switch pada

surveymeter diawali dengan skala

yang lebih besar untuk mengukur

laju dosis radiasi, bila tidak

terbaca ulangi dengan skala yang

lebih kecil hingga skala penunjuk

terbaca saat pengukuran

dilakukan. (Posisi switch yang

benar adalah pada kedudukan

switch dengan sastuan mGray/jam

atau mRad/jam, Ingat : Dosis

persatuan waktu).

d. Memegang Surveymeter pada

jarak 1 meter dari tabung pesawat

dengan arah depan, belakang,

samping kiri dan kanan tabung.

e. Mengoperasikan pesawat sinar-x

sesuai dengan kondisi penyinaran

yang ditentukan dan melakukan

pembacaan pada surveymeter

seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Surveymeter

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI

LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN

SURVEYMETER RANGER.

63 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S

4. Analisis Data

Analisis data dapat dilakukan

dengan mengolah data pengukuran,

baik di sekitar tabung maupun di

sekitar ruang pesawat sinar-X. Rerata

data yang telah diolah selanjutnya

dilakukan verifikasi data menurut

acuan paparan radiasi yang telah

diizinkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran laju paparan

radiasi dari tiap-tiap posisi pengukuran

menunjukkan nilai yang beragam, yang

ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Akumulasi pengukuran Laju Paparan

radiasi Jenis

Pemerik

saan

Posisi

pengukuran

Material Rata2 Hasil ukur

(μGy/h)

Cranium

AP

Km. Gelap Partisi

gypsum

lapis Pb

2mm

0.430 ± 0,023

R.Kelas 0.228 ± 0,015

R.LPMI 0.312 ± 0,022

R.Operator 0.560 ± 0,028

Di setiap titik atau posisi

pengukuran yang dikategorikan aman dan

tidak membahayakan. Akan tetapi laju

paparan radiasi tertinggi terdapat pada

ruang operator sebesar (0,560 ± 0,028)

μGy/h dan untuk laju paparan terendah

terdapat di ruang kelas sebesar (0,228 ±

0,015) μGy/h. Berdasarkan hasil analisa di

atas bagi mahasiswa atau civitas

akademika yang berada di sekitar

laboratorium radiologi STIKES Guna

Bangsa mendapatkan paparan yang aman

jika berada di ruang tersebut. Akan tetapi

sangat dipertimbangkan untuk pembatasan

waktu pada ruang tersebut. Secara

keseluruhan hasil paparan radiasi sudah

sesuai standar keamanan dibuktikan

dengan nilai rata-ratanya dibawah standar

toleransi.

Berikut adalah hasil pengukuran

kebocoran radiasi pada tabung pesawat

sinar-X dari masing-masing posisi ukur

menunjukkan nilai yang beragam, yang

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Akumulasi pengukuran kebocoran

tabung sinar-X kondisi kolimator tertutup

Faktor Eksposi Posisi Ukur

(1 meter dari

tabung)

Rata-rata

Hasil ukur

(μGy/h)

kVp mA s

70 63 0,25 Depan 0,089 ± 0,001

70 63 0,25 Kanan 0,801 ± 0,031

70 63 0,25 Kiri 0,201 ± 0,010

70 63 0,25 Belakang 0,077 ± 0,002

Berdasarkan tabel 2 di setiap titik atau

posisi pengukuran masih ditergolong

aman dan juga tidak membahayakan untuk

para mahasiswa yang sedang melakukan

kegiatan praktikum atau penelitian. Akan

tetapi harus memperhatikan jarak aman

dari sekitar tabung sinar-X. Untuk lebih

amannya harus berada di atas radius 1m

dari sumber radiasi. Selain itu juga harus

membatasi waktu jika berada di daerah

dekat dengan tabung sinar-X yang sedang

bekerja. Untuk petugas atau mahasiswa

harus menggunakan alat pelindung diri

sesuai dengan SOP laboratorium atau

berada di dalam ruang operator. Hal ini

dikarenakan konstruksi dinding pada

ruangan sudah memenuhi standar

keamanan dengan material partisi gypsum

dan lapisan Pb 2mm.

KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan dari penelitian

ini dapat diambil kesimpulan bahwa laju

paparan radiasi tertitinggi berada di dalam

operator sebesar (0,560 ± 0,028) μGy/h

karena posisinya dekat dengan pesawat

sinar-X dan bagian atas terbuka.

Sedangkan laju terendahnya di sekitar

PENGUKURAN LAJU PAPARAN RADIASI DAN KEBOCORAN PESAWAT SINAR-X DI

LABORATORIUM RADIOLOGI STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN

SURVEYMETER RANGER.

64 | PISSN 2620-8040 Ayu W.S

ruang kelas sebesar (0,228 ± 0,015)

μGy/h. Tingkat laju paparan radiasi

disekitar ruang laboratorium radiologi

STIKES Guna Bangsa masih

dikategorikan aman yang dibuktikan

dengan nilai yang berada di bawah standar

yang ditetapkan. Sedangkan untuk

pengukuran kebocoran tabung sinar-X

nilai paparan tertinggi yaitu di sisi kanan

atau pada sisi anodanya yaitu sebesar

(0,801 ± 0,031) μGy/h diukur pada jarak

1m dari sumber. Akan tetapi masih

dikategorikan aman karena nilainya

dibawah batas intensitas yang diizinkan.

Sesuai dengan acuan peraturan bahwa

tingkat paparan radiasi tabung tidak boleh

lebih dari 100 mR/h pada jarak 1m dari

sumber sinar-X pada setiap arah.

Sedangkan untuk tingkat paparan radiasi

yang ditempati oleh pekerja radiasi tidak

boleh melebihi 2,5mR/h untuk penduduk

umum tidak boleh melebihi 0,25mR/h.

Maka dari itu penelitian ini menyimpulkan

bahwa tabung dan lingkungan pesawat

sinar-X di ruang Laboratorium STIKES

Guna Bangsa untuk sistem radiografi

konvensional termasuk aman dan masih

layak digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Akhadi, Muhlis. 2002. Pancaran

Sinar­X Karakteristik untuk

Pemeriksaan Medis.Online. www.

tempointeraktif.com[diakses23/06/07]

.

[2] Beiser, A. 1984.Concept of Modern

Physics (3rd

ed). Singapore: Mc­Graw

Hill.

[3] Electromedical. 2008. Dasar­dasar

pesawatRoengent.Online:electromedic

alengineering. blogspot. Com [diakses

12/02/09]

[4] Halmshaw, R. 1986. Industrial

Radiography. Agfa­Gevaert N.V:

AGFA

[5] Siemens. 2003. Pengukuran Proteksi

dan Paparan Radiasi. Jakarta: PT

Siemens Indonesia.

[6] Suratman.1996. Introduksi Proteksi

Radiasi Bagi Siswa/Mahasiswa

Praktek. Batan­Yogyakarta:Puslitbang

T eknologi Maju.

TANYA JAWAB

Nadela

Bagaimana jika laju paparan radiasi sudah

melebihi standar yang diizinkan?

Ayu Wita Sari

Coordinator Lab. Radiologi akan

menyampaikan hasil pengukuran kepada

ketua STIKES dan Yayasan mengenai

tidak amannya kondisi pesawat yang

digunakan dan mengajukan permohonan

untuk melakukan service atau pengajuan

alat yang baru.