prosiding seminar nasional dalam rangka dies natalis ke ... fileprosiding seminar nasional dalam...

96
Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 i

Upload: doanminh

Post on 28-Aug-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 i

Page 2: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 ii

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

PERAN AGROBISNIS DAN AGROINDUSTRI SERTA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN KEMANDIRIAN ENERGI DENPASAR, 21 SEPTEMBER 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Copyright @ 2014 ISBN: 978-602-70412-0-2 Penyunting: Ir. Yohanes Parlindungan Situmeang, M.Si. Ir. Dewa Nyoman Sadguna, M.Agb. Ir. I Nengah Suaria, M.Si. Diterbitkan oleh: Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa Alamat : Jl. Terompong No.24 Tanjung Bungkak Denpasar, 80235 Email : [email protected], [email protected] Website : http://www.pertanian-warmadewa.ac.id/

Page 3: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional dengan topik "Peran Agrobisnis dan Agroindustri serta Antisipasi Perubahan Iklim terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Energi" dapat diselesaikan dengan baik.

Buku prosiding ini memuat makalah-makalah hasil Seminar Nasional "Peran Agrobisnis dan Agroindustri serta Antisipasi Perubahan Iklim terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Energi" pada tanggal 21 September 2013 yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa. Pelaksanaan seminar nasional ini berkaitan dengan acara Dies Natalis ke-29, Wisuda Sarjana ke-48 dan Pascasarjana ke-1 Universitas Warmadewa pada Tanggal 17 September 2013. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Warmadewa, Bapak Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE, MS. yang telah

mendukung kegiatan seminar nasional. 2. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa, Bapak Ir. I Nyoman Kaca, M.Si.

yang telah memfasilitasi kegiatan seminar nasional. 3. Bapak/Ibu yang berpartisipasi dengan menyampaikan makalah utama, full paper

makalah pendamping, dan abstrak seminar. 4. Bapak/Ibu donator yang bersedia menjadi sponsor kegiatan Seminar Nasional ini. 5. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi dan berpartisipasi dalam

penyelenggaraan seminar, dan secara khusus ucapan terima kasih saya sampaikan kepada tim penyusun.

Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, sebagai akhir kata terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung terbitnya buku ini. Buku ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun.

Denpasar, 21 September 2013 Ketua Panitia, ttd. Dr. Ir. I Gusti Bagus Udayana, M.Si NIP. 1964 0529 199103 1 001

Page 4: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iv

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................iii DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iv RUMUSAN SEMINAR NASIONAL.....................................................................................vi MAKALAH UTAMA 1. Kebijakan Pengembangan Energi Baru Dan Terbarukan (EBT)

Oleh Dr. Dadan Kusdiana (Direktur Bioenergi, Kementrian ESDM RI)......................1-11 2. Antisipasi Perubahan Iklim.

Oleh: Dr. Ir. Nur Masripatin,M.For.Sc. (Kepala Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan RI)........................................................................................12-31

3. Healthy Food & Agro-Based Industri, Local Resources.

Oleh: Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE (Pakar Bidang Sistem dan Pangan pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor)........................................................22-34

4. Memberikan Persembahan Kepada Bumi

Oleh: Ir. Jaya Wahono, M.Sc ((Presiden Direktur Charta Putra Indonesia, Clean Energy Projects Development Company)................................................................................35-44

5. Mendampingi Petani Dalam Menghadapi Climate Change, Berkontribusi Lalu

Menikmati Bersama Petani Oleh: Nunik Sri Martini (Direktur Utama PT. Sarotama Dharma Kalpariksa, Jakarta)........................................................................................................................45-51

6. Peran Agribisnis Dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Dan Energi Oleh: Dr. Ir. Yuli Hariyati, M.S (Pakar Bidang Agrobisnis pada Universitas Jember, Jawa Timur dan Reviewer Dikti Bidang Penelitian)...................................................51-64

MAKALAH PENDAMPING 1. Respon Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) terhadap

Sistem Tanam Alur dan Pemberian Jenis Pupuk Oleh: Rizal Mahdi Kurniawan, Heni Purnamawati, Yudiwanti Wahyu E.K (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.................65-73

2. Biosintesis Benzyl Acetat dan Jasmone Dengan 3 Macam Prekusor Karbohidrat Pada

Pengkalusan Jasminum sambac L. Oleh: Dwie Retna Suryaningsih, Sri Arijanti Prakoeswa dan Ribkahwati (Fakultas Pertanian Universitas Wijaya Kusuma Surabaya).......................................................74-78

3. Kajian Kandungan Anthocyanin Pada Kalus Buah Naga Hylocereuspolyrhizus Sebagai

Senyawa Antioksidan Melalui Propagasi In Vitro Dengan Manipulasi Sumber Dan Jumlah Eksplan Oleh: Indarwati, Sri Arijanti Prakoeswa dan Ribkawati (Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya).....................................79-84

Page 5: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 v

4. Pengaruh Umur Panen Terhadap Hasil Kedelai Oleh: Jajuk Herawati, Indarwati, Tatuk Tojibatus S., Dwi Haryanta Joeniarti (Dosen Fakultas Pertanian Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)..................................... 85-91

5. Upah Sebagai Variabel Penentu Backward Bending Supply (Studi pada Rumahtangga

Tani Padi di kabupaten Jombang) Oleh : Erna Haryanti K dan Rahmawiliyanti (Program Studi Agribisnis Fak. Pertanian Univ. Wijaya Kusuma Surabaya)..............................................................................92-109

6. Pengembangan Potensi Dan Nilai Tambah Sumberdaya Lokal Melalui Diversifikasi Produk Olahan Oleh: R.M. Wardhani dan L. S. Budi (Program Studi Agoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Madiun).................................................................................110-115

7. Fenologi Tanaman Salak (Salacca Zalacca Var. Amboinensis) Kultivar Gula pasir Pada

Ketinggian Berbeda Di Tabanan Bali Oleh: I Ketut Sumantra (Fak. Pertanian Univ.Mahasaraswati Denpasar)..............116-123

8. Pemanfaatan Pestisida Nabati Dalam Pengendalian OPT Hasilkan Pangan Sehat Dan

Ramah Lingkungan Oleh: I Wayan Suanda (FP-MIPA IKIP PGRI Bali)..............................................124-129

9. Perbandingan Kopi Dengan Mengkudu Terhadap Karakteristik Kopi Mengkudu

Oleh: Ni Made Ayu Suardani Singapurwa, I Putu Candra, Yohanes Antonius Rema Gaba (Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa, Denpasar).......................................................................130-135

10. The Potential of Bamboo & Bamboo-waste as Source of Supply Feedstock Community

Based Biomass Fuel Cell at Bangli Regency – Bali Province Oleh: Yohanes P. Situmeang, I Gusti Bagus Udayana, AA Ngr. Mayun Wirajaya, Made Suarta, I Nengah Suaria, Dewa Nyoman Sadguna, Made Sri Yuliartini dan Ni Made Dwi Wahyuni, dan Bayu Susila (Prodi Agroteknologi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa, Denpasar).......................................................136-143

11. Respon Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Pulut Pada Aplikasi Biochar Bambu Oleh: Yohanes P. Situmeang dan Ketut Agung Sudewa (Program Studi Agroteknologi,

Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa)..........................................................144-147

LAMPIRAN

JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL.......................................................................148 PANITIA PELAKSANA SEMINAR NASIONAL..............................................................150 DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL....................................................................151

Page 6: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 vi

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL

Seminar Nasional "Peran Agrobisnis dan Agroindustri serta Antisipasi Perubahan Iklim terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Energi" diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa. Pelaksanaan seminar nasional ini berkaitan dengan acara Dies Natalis ke-29, Wisuda Sarjana ke-48 dan Pascasarjana ke-1 Universitas Warmadewa pada Tanggal 17 September 2013. Rumusan seminar ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bagian dari kebijakan energi nasional, pengembangan dan pemanfaatan energi

terbarukan termasuk bioenergi akan terus dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, memperkuat ketahanan energi Nasional serta memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan untuk kesejahteraan Indonesia.

2. Linking kebijakan di sektor kehutanan dan sektor lahan lainnya ke kebijakan mitigasi dan adaptasi dalam scope yang lebih luas, dalam kerangka Strategi Pembangunan rendah emisi dan resilien terhadap perubahan iklim (Low Emissions and Climate Resilience Development Strategy),

3. Mengendalikan aktivitas manusia (mengurangi deforestasi dan degradasi hutan/emisi dan meningkatkan cadangan carbon serta menjaga cadangan carbon) untuk mengurangi resiko bencana/kejadian cuaca ekstrim (banjir, kekeringan, gagal panen, penyakit, kerusakan biodiversitas dll) dalam proses perubahan iklim

4. Pengembangan konsep industri hijau, untuk industri makanan sehat kecil dan menengah dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi masyarakat.

5. Perbaikan kebijakan untuk meningkatkan pasokan pangan melalui rantai pasokan yang berkelanjutan untuk sistim NRSF (non rice stapple food) dapat dilakukan, terutama untuk daerah kurang berkembang di Indonesia.

6. Potensi Biomassa di Indonesia terbesar untuk dikerjakan dibanding Energi Terbarukan lainnya. Proyek Pembangkit Biomassa di Indonesia paling menarik di seluruh ASEAN. Proyek pembangkit listrik biomassa di pedesaan Indonesia dapat memberi peluang pengembalian modal yang relatif cepat (BEP 57 tahun), sekaligus sebagai penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan masyarakat setempat.

7. Pengembangan sistem dan usaha agribisnis dan ketahanan pangan merupakan tujuan dan sekaligus menjadi sasaran pembangunan pertanian. Pendekatan yang dinilai efektif adalah model agropolitan yang mensinergikan pengembangan agribisnis dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah, sehingga total nilai tambah pengembangan agribisnis dapat dinikmati oleh masyarakat setempat.

8. Pelandaian produksi pertanian, terutama sumber pangan pokok (staple food) selain secara inherent disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang terus mengalami penurunan karena intensifnya pemanfaatan lahan, penyempitan lahan pertanian, juga dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor perubahan dan anomali iklim. Hal ini mengingat suatu lingkungan pertanaman merupakan satu kesatuan sistem yang saling berinterkasi, sehingga satu faktor dalam kondisi minimum akan menjadi pembatas bagi perkembangan tanaman secara keseluruhan. Guna mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan yang berhubungan erat dengan perubahan dan anomali iklim, maka diperlukan upaya strategis, melalui adaptasi dan modifikasi pengelolaan lingkungan pertanaman. Upaya antipasi perubahan iklim melalui pengelolaan lingkungan pertanaman (agrobisnis) dan agroindustri untuk keberlanjutan ketahanan pangan serta kemandirian energi.

Page 7: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 65

PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP SISTEM TANAM ALUR

DAN PEMBERIAN JENIS PUPUK

GROWTH RESPOND AND PRODUCTION OF PEANUT (ARACHIS HYPOGAEA L.) TO DEEP FURROW PLANTING SYSTEM AND APPLICATION

OF DIFFERENT FERTILIZERS

Rizal Mahdi Kurniawan 1, Heni Purnamawati1, Yudiwanti Wahyu E.K 1

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Telp.&Faks. 62-251-8629353 e-mail [email protected]

ABSTRACT This research was to determine the effect of deep furrow planting system and

different fertilizer types on the growth and production of peanut (Arachis hypogaea L.). This research was conducted in KP Leuwikopo Dramaga IPB, Bogor in February - June 2013. This research used a split plot design consists of two factors, such as planting system as main plots and fertilize type as the subplot. The results showed that deep furrow planting system was signifficant on the productivity of dry seeds, dry peas productivity, and dry weight of seeds per plant better than conventional planting systems. This shown by yielding productivity of deep furrow planting system reached 2.93 tons ha-1dry pods, while conventional planting system produce 2.55 tons ha-1 dry pods. Peanut planting systems using deep furrow seemed to improve efficiency nutrients utilization from organic and inorganic fertilizers, showed by the better growth and yield of peanut under this treatment. Growth and the average plant yield respond better to aplication of organic chicken manure + Dolomite + NPK Phonska than other types of fertilizers. Keywords: peanut productivity, deep furrow planting system

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem tanam alur dan pemberian jenis pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Penelitian dilaksanakan di KP Leuwikopo IPB Dramaga, Bogor pada bulan Februari - Juni 2013. Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan dua faktor perlakuan, yaitu sistem tanam alur sebagai petak utama dan jenis pupuk sebagai anak petak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam alur meningkatkan daya hasil pada produktivitas biji kering, produktivitas polong kering, dan bobot kering biji per tanaman lebih baik dibandingkan sistem tanam konvensional. Hal tersebut ditunjukkan dengan perlakuan sistem tanam alur yang memiliki produktivitas 2.93 ton ha-1 polong kering, sedangkan sistem tanam konvensional sebesar 2.55 ton ha-1 polong kering. Sistem budidaya kacang tanah pada sistem tanam alur dapat meningkatkan efisiensi tanaman dalam memanfaatkan unsur hara yang telah diberikan baik pupuk organik maupun anorganik, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah menjadi lebih baik. Pemberian jenis pupuk kandang ayam + Dolomit + NPK memberikan respon terhadap pertumbuhan dan daya hasil rata-rata tanaman yang lebih baik dibandingkan jenis pupuk lainnya. Kata kunci: produktivitas kacang tanah, sistem tanam alur

PENDAHULUAN

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) di Indonesia merupakan komoditas pertanian

terpenting setelah kedelai yang memiliki peran strategis pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati. Kacang tanah dimanfaatkan sebagai bahan pangan konsumsi langsung atau campuran makanan seperti roti, bumbu dapur, bahan baku industri, dan pakan ternak, sehingga kebutuhan kacang tanah terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk (Balitkabi 2008).

Page 8: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 66

Produktivitas rata-rata kacang tanah nasional dari tahun 2008 hingga 2012 mengalami sedikit peningkatan. Data BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa produktivitas kacang tanah pada tahun 2008 sekitar 1.21 ton ha-1 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 1.26 ton ha-1. Produktivitas kacang tanah di Indonesia tergolong rendah, jika dibandingkan potensi hasil verietas-verietas kacang tanah yang telah dilepas. Peningkatan produktivitas kacang tanah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan produksi kacang tanah, produksi kacang tanah nasional bahkan menurun dari tahun 2008 hingga 2012. Tahun 2008 produksi kacang tanah sekitar 770 054 ton, dan tahun 2012 sekitar 709 063 ton. Kemampuan produksi rata-rata hanya sekitar 1 ton ha-1 biji kering. Salah satu penyebab produktivitas kacang tanah yang masih rendah karena proses pengisian polong kacang tanah belum maksimal, masih banyak ditemukan polong yang hanya terisi setengah penuh bahkan cipo (Kasno 2005). Hasil polong kacang tanah di tentukan oleh fotosintat yang di akumulasi ke dalam kulit dan biji kacang tanah (Kadekoh 2007). Bahan kering untuk pengisian biji pada kacang tanah diduga lebih banyak diperoleh dari fotosintesis selama pengisian biji (Purnamawati et al. 2010).

Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan produksi kacang tanah nasional disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: a) Penerapan teknologi belum dilakukan dengan baik, sehingga produktivitas belum optimal, b) Penggunaan benih bermutu masih rendah, c) Penggunaan pupuk hayati dan organik masih rendah (Dirjen Tanaman Pangan 2012). Rendahnya hasil kacang tanah juga dipengaruhi jumlah bulan basah kurang dari tiga bulan sehingga tanaman mengalami kekeringan. Penurunan hasil kacang tanah akibat kekeringan berkisar atara 22-96% tergantung pada fase pertumbuhan saat kekeringan terjadi (Harsono 2007).

Produksi kacang tanah dapat ditingkatkan dengan memperhatikan beberapa sasaran yaitu luas tanam, luas panen, produksi, dan produktivitas (Pitojo 2005). Peningkatan produksi kacang tanah dapat dicapai melalui beberapa strategi, salah satunya dengan meningkatkan produktivitas, upaya yang dilakukan adalah menerapkan teknologi produksi yang tepat guna, pengembangan dan penerapan teknologi budidaya terbaru (Dirjen Tanaman Pangan 2012).

Sumarno et al. (2001) menyatakan bahwa kacang tanah membutuhkan unsur hara N, P, K, dan Ca dalam jumlah yang cukup, sehingga membutuhkan pemberian kapur dan pemupukan baik organik maupun anorganik. Kari et al. (2000) menambahkan bahwa penambahan bahan organik dapat meningkatkan efisiensi penyerapan unsur fosfor (P), yang dapat meningkatkan agregasi tanah sehingga tanah menjadi lebih gembur, dan sangat menguntungkan untuk pertumbuhan ginofor. Pengapuran juga dapat mengatasi lahan asam untuk meningkatkan produksi.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem tanam alur dan pemberian jenis pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah (Arachis hypogaea L.).

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Dramaga, Bogor dari

bulan Februari sampai Juni 2013. Bahan yang digunakan meliputi kacang tanah varietas Gajah, pupuk kandang ayam dengan dosis 1 ton ha-1, dan pupuk majemuk NPK Phonska dengan dosis 200 kg ha-1. Pengendalian OPT menggunakan profenofos, mankozeb dan karbofuran. Kapur pertanian yang digunakan adalah Dolomit dengan dosis 600 kg ha-1. Alat yang digunakan terdiri dari alat budidaya pertanian, sprayer, timbangan digital, LICOR LI-3000L, dan oven pengering.

Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan perlakuan terdiri dari dua faktor, yaitu sistem tanam alur sebagai petak utama dan jenis pupuk sebagai anak petak. Petak utama merupakan faktor perlakuan sistem tanam alur terdiri dari dua taraf yaitu sistem tanam alur dan sistem tanam konvensional. Pemberian jenis pupuk sebagai anak petak yang terdiri dari tiga taraf yaitu pupuk kandang ayam, pupuk kandang ayam + kampur Dolomit, dan pupuk kandang ayam + kapur Dolomit + pupuk NPK Phonska. Terdapat 6 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali.

Page 9: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 67

Perlakuan konvensional pemberian kapur Dolomit CaMg(CO3)2 dan pupuk kandang dilakukan bersamaan saat pengolahan tanah yaitu dua minggu sebelum tanam dengan cara disebar diatas tanah yang akan diolah, sedangkan pupuk NPK diberikan bersamaan saat tanam. Pada perlakuan sistem tanam alur Dolomit, pupuk kandang, dan pupuk NPK diberikan sehari sebelum tanam dengan dosis yang sama pada perlakuan konvensional. Pupuk tersebut diberikan dalam alur dengan kedalaman alur 20 cm dan lebar alur 20 cm, sehingga dalam satu alur tanaman terdapat campuran antara pupuk kandang, kapur Dolomit, dan pupuk NPK tergantung perlakuan. Setelah campuran tersebut dimasukan ke dalam alur, kemudian alur di tutup dengan tanah dan benih ditanam.

Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiraman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama penyakit. Pembubunan dilakukan dua kali pada perlakuan konvensional saat 3 MST dan 5 MST. Pemanenan dilakukan ketika umur tanaman 15 MST.

Pengamatan pada tanaman kacang tanah dilakukan dua tahap yaitu pengamatan saat pertumbuhan tanaman dan pengamatan saat panen, pengamatan dilakukan untuk semua perlakuan. Pengamatan destruktif dilakukan pada saat tanaman berumur 4, 6, 10, dan 15 MST. Pengamatan meliputi: (1) tinggi tanaman, (2) jumlah cabang pada tanaman, (3) indeks luas daun (ILD), dan (4) bobot kering brangkasan. Pengamatan komponen produksi dan produktivitas tanaman kacang tanah yang dilakukan pada saat panen untuk setiap perlakuan dari setiap ulangan secara ubinan, luasan ubinan yaitu 1 m x 1 m. Peubah yang diamati adalah: (1) jumlah dan persentase polong total, penuh, setengah penuh dan cipo, (2) bobot kering polong, (3) bobot kering 100 butir, (4) indeks panen, dan (5) produktivitas polong kering dan biji kering kacang tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman. Perlakuan jenis pupuk memberikan pengaruh nyata pada tinggi tanaman saat tanaman berumur 6 MST dan 10 MST. Tinggi tanaman keterkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mendapatkan sinar matahari yang lebih banyak untuk proses fotosintesis. Sutrisno (2004) menyatakan bahwa bertambahnya tinggi tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara didalam tanah yang seimbang, antara lain N, P, dan K, unsur tersebut mendorong pembelahan sel, terutama sel-sel meristem sehingga tanaman tumbuh tinggi.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk memberikan pengaruh nyata pada tinggi tanaman 10 MST. Sistem tanam alur dengan pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit dan pupuk kandang + Dolomit + NPK memberikan tinggi tanaman lebih baik dibandingkan hanya pemberian jenis pupuk kandang, sedangkan sistem tanam konvensional dengan pemberian pupuk kandang + Dolomit + NPK memberikan tinggi tanaman lebih baik dari kombinasi perlakuan lainnya (Tabel 2). Jumakir et al. (2000) menyatakan bahwa kombinasi antara kapur dan pemupukan menghasilkan pertumbuhan kacang tanah lebih tinggi dibanding tanpa kapur dan pupuk.

Indeks Luas Daun

Indeks luas daun (ILD) merupakan suatu peubah yang menunjukan hubungan antara luas daun dan luas bidang yang tertutupi (Risdiyanto dan Setiawan 2007). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun (Tabel 3).

Bobot Kering Brangkasan

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap bobot kering brangkasan tanaman saat 4 MST dan 6 MST, sedangkan perlakuan jenis pupuk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering brangkasan tanaman pada 6 MST dan berpengaruh nyata pada 10 MST. Pemberian pupuk kandang + Dolomit + NPK pada bobot kering brangkasan tanaman 6 MST dan 10 MST berbeda nyata terhadap jenis pupuk lainnya. Bobot kering brangkasan tanaman dari 4 MST hingga 10 MST terus

Page 10: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 68

bertambah, sedangkan pada 15 MST bobot kering brangkasan tanaman mengalami penurunan (Tabel 4). Hal ini diduga bahan kering yang dihasilkan dari proses fotosintesis berkurang karena daun kacang tanah mulai terserang bercak daun dan warna daun tanaman menguning menjelang panen, sehingga proses fotosintesis terganggu.

Interaksi perlakuan sistem tanam dengan jenis pupuk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering brangkasan tanaman pada 6 MST dan berpengaruh nyata pada 10 MST. Kombinasi sistem tanam alur dengan pupuk kandang + Dolomit + NPK menunjukkan bobot kering brangkasan tanaman pada 6 MST lebih besar dari perlakuan lainnya, sedangkan bobot kering brangkasan tanaman saat 10 MST pada perlakuan sistem tanam alur maupun konvensional dengan pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit + NPK memberikan bobot kering lebih besar dari kombinasi perlakuan jenis pupuk lainnya (Tabel 5).

Jumlah dan Persentase Polong per Tanaman

Yudiwanti et al. (2008) menyatakan bahwa persentase polong terisi penuh dan cipo merupakan cerminan partisi fotosintat. Perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah dan persentase polong penuh, setengah penuh, cipo, dan polong total (Tabel 6). Bobot Kering Polong, Bobot Kering 100 Butir, dan Indeks Panen Tanaman

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam berpengaruh sangat nyata dan perlakuan jenis pupuk berpengaruh nyata terhadap bobot kering polong per tanaman. Bobot kering 100 butir pada perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk tidak berpengaruh nyata (Tabel 7). Hal ini diduga berat 100 butir pada kacang tanah dipengaruhi oleh varietas atau genetik.

Indeks panen menggambarkan pembagian asimilat antara bagian biomassa ekonomis dengan biomassa total tanaman. Hasil penelitian menunjukan indeks panen nyata dipengaruhi perlakuan jenis pupuk. Indeks panen pada pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit + NPK lebih besar dibandingkan hanya pemberian jenis pupuk kandang. Tanaman yang mendapat perlakuan pupuk kandang + Dolomit + NPK membagi bobot keringnya pada bagian yang ekonomis lebih banyak daripada tanaman yang hanya mendapat perlakuan pupuk kandang.

Terdapat interaksi nyata antara sistem tanam dan jenis pupuk terhadap bobot kering polong per tanaman. Sistem tanam alur dengan pemberian jenis pupuk kandang dan pupuk kandang + Dolomit menghasilkan bobot kering polong per tanaman lebih baik dibandingkan sistem tanam konvensional, sedangkan pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit + NPK terhadap perlakuan sistem tanam alur maupun konvensional memberikan bobot kering polong per tanaman sama baiknya (Tabel 8).

Hasil interaksi antara sistem tanam dan jenis pupuk terhadap indeks panen tanaman menunjukkan bahwa kombinasi antara sistem tanam konvensional dengan pemberian jenis pupuk kandang memberikan indeks panen tanaman paling rendah dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya (Tabel 9). Produktivitas Tanaman

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa produktivitas polong kering dan biji kering pada perlakuan sistem tanam alur lebih baik dibandingkan perlakuan sistem tanam konvensional. Produktivitas rata-rata pada sistem tanam alur dapat menghasilkan 2.93 ton ha-

1 polong kering dan 1.90 ton ha-1 biji kering, sedangkan sistem tanam konvensional menghasilkan 2.55 ton ha-1 polong kering 1.67 ton ha-1 biji kering. Perlakuan jenis pupuk berbeda nyata terhadap produktivitas polong kering per ha tetapi tidak berbeda nyata terhadap produktivitas biji kering per ha (Tabel 10).

Interaksi antara sistem tanam dengan jenis pupuk berpengaruh nyata terhadap produktivitas polong kering. Sistem tanam alur maupun konvensional dengan pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit + NPK memberikan produktivitas polong kering lebih baik dari kombinasi jenis pupuk lainnya. Sistem tanam alur dengan pemberian pupuk kandang memberikan produktivitas polong kering lebih baik daripada sistem konvensional dengan pemberian pupuk kandang (Tabel 11). Terjaminnya ketersediaan unsur hara menyebabkan pertumbuhan tanaman pada fase generatif lebih baik.

Page 11: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 69

Analisis Usaha Tani

Analisis usaha tani budidaya kacang tanah dengan perlakuan sistem tanam alur menghasilkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan sistem tanam konvensional. Pada sistem tanam konvensional jumlah pekerja yang dibutuhkan adalah 147 HOK, sedangkan pada sistem tanam alur adalah 144 HOK. Selisih HOK tersebut terdapat pada kebutuhan tenaga kerja saat penyiapan lahan dan pemupukan. Tingkat kerumitan budidaya kacang tanah dengan sistem tanam alur dianggap petani lebih rumit dibandingkan sistem tanam konvensional, hal ini karena petani terbiasa menggunakan sistem tanam konvensional. Pendapatan petani adalah hasil pengurangan antara penerimaan kotor dan biaya usahatani (Muklis et al. 2012). Pendapatan bersih yang diperoleh dari budidaya sistem tanam alur Rp 21 325 000,-, sedangkan sistem tanam konvensional Rp 16 920 000,-. Nilai R/C rasio pada sistem tanam alur 2.54 dan konvensional 2.21.

KESIMPULAN

Budidaya kacang tanah sistem tanam alur dapat meningkatkan efisiensi tanaman dalam memanfaatkan unsur hara yang telah diberikan baik pupuk organik maupun anorganik, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah menjadi lebih baik. Pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit + NPK memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan daya hasil rata-rata tanaman yang lebih baik dibandingkan jenis pupuk lainnya. Pertumbuhan dan hasil kacang tanah budidaya sistem tanam alur menghasilkan nilai interaksi dengan perlakuan ketiga jenis pupuk lebih baik dibandingkan sistem tanam konvensional, namun pada sistem tanam konvensional memberikan pertumbuhan kacang tanah yang sama baiknya pada pemberian jenis pupuk kandang + Dolomit + NPK.

DAFTAR PUSTAKA

[Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Teknologi Produksi Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Tanaman Pangan. [Internet]. [diunduh 26 Januari 2013]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php

[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Analisis usaha tani [Internet]. [diunduh 8 September 2013]. Tersedia pada: http://tanamanpangan.deptan.go.id

Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2012. Pengelolaan Produksi Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Tanaman Pangan.

Harsono A. 2007. Kekeringan pada kacang tanah di lahan kering dan penanggulangannnya. Di dalam: Harnowo D, Rahmianna AA, Suharsono, Adie MM, Rozi F, Subandi, Makarim AK, penyunting. Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan; Waktu pertemuan (8 September 2006); Malang. Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 347-357.

Jumakir, Waluyo, Suparwoto. 2000. Kajian berbagai kombinasi pengapuran dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dilahan pasang surut. J Agron. 8(1):11-15.

Kadekoh I. 2007. Komponen hasil dan hasil kacang tanah berbeda jarak tanam dalam sistem tumpangsari dengan jagung yang didefoliasi pada musim kemarau dan musim hujan. J Agroland. 14(1):11-17.

Kari Z, Yuliar Z, Suhartono. 2000. Pengaruh pupuk kalium (K) dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah. J Stigma. 8(2): 123-126.

Page 12: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 70

Kasno A. 2005. Profil dan perkembangan teknik produksi kacang tanah di Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

[Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2013. Daftar Harga Sembako [Internet]. [diunduh 28 Juni 2013]. Tersedia pada: http://ews.kemendag.go.id

Muklis I, Wicaksono IA, Hasanah U. 2012. Analisis usahatani kacang tanah (Arachis hypogaea, L.) di Desa Pasar Anom Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo. Surya Agritama. 1:46-56.

Pitojo S. 2005. Benih Kacang Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Purnamawati H, Poerwanto R, Lubis I, Yudiwanti, Rais SA, Manshuri AG. 2010. Akumulasi dan distribusi bahan kering pada beberapa varietas kacang tanah. J Agron Indonesia. 38(2):100-106.

Purnamawati H. 2011. Analisis potensi hasil kacang tanah dalam kaitan dengan kapasitas dan aktivitas sources dan sink [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Risdiyanto I, Setiawan R. 2007. Metode neraca energi untuk perhitungan indeks luas daun mrnggunakan data citra satelit multi spektal. J Agromet Indonesia. 21(2):27-28.

Sumarno, Hartati S, Widjianto H. 2001. Kajian macam pupuk organik dan dosis pupuk P terhadap hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) di tanah latosol. Sains Tanah. 1(1):1-6.

Sutrisno. 2004. Studi Dosis Pupuk dan Jarak Tanam Kacang Tanah (Arachis hypogaea, L.). Pati (ID): Kantor Litbang Kabupaten Pati.

Yudiwanti, Sudarsono, Purnamawati H, Yusnita, Hapsoro D, Hemon AF, Soenarsih S. 2008. Perkembangan Pemuliaan Kacang Tanah di Institut Pertanian Bogor. Di dalam: Harsono A, Taufiq A, Rahmianna AA, Suharsono, Adie MM, Rozi F, Wijanarko A, Widjono A, Soehendi R, Penyunting. Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi; (9 November 2007); Malang. Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 152-160.

Tabel 1 Rata-rata tinggi tanaman kacang tanah pada perlakuan tunggal sistem tanam dan

jenis pupuk

Perlakuan Tinggi tanaman minggu ke- 4 6 10 15

…………. (cm) …………. Sistem Tanam

Alur 11.39 23.95 a 64.52 a 89.61 Konvensional 10.31 23.24 a 63.41 a 83.01

Jenis pupuk Pukan 10.03 21.04 b 60.70 b 80.94 Pukan+Dolomit 10.51 24.20 ab 62.13 b 91.72 Pukan+Dolomit+NPK 12.02 25.53 a 69.69 a 86.25

Angka-angka pada kolom faktor tunggal yang sama pada tiap peubah diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Page 13: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 71

Tabel 2 Rata-rata tinggi tanaman kacang tanah 10 MST pada interaksi perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk

Sistem tanam Jenis pupuk

Pupuk kandang Pupuk kandang + Dolomit

Pupuk kandang + Dolomit + NPK

…………. (cm) …………. Alur 60.38 b 65.34 ab 67.83 Ab Konvensional 59.75 b 58.93 b 71.56 A Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Tabel 3 Indeks luas daun kacang tanah pada perlakuan tunggal sistem tanam dan jenis pupuk

Perlakuan Indeks luas daun pada minggu ke- 4 6 10

Sistem Tanam Alur 0.74 1.87 4.57 Konvensional 0.65 1.70 4.39

Jenis pupuk Pukan 0.69 1.80 4.21 Pukan+Dolomit 0.82 1.43 4.06 Pukan+Dolomit+NPK 0.58 1.92 5.17

Tabel 4 Bobot kering brangkasan kacang tanah pada perlakuan tunggal sistem tanam dan jenis pupuk

Perlakuan Bobot kering brangkasan pada minggu ke- 4 6 10 15

…………. (g) …………. Sistem Tanam

Alur 4.08 a 17.18 a 32.13

29.66 Konvensional 3.57 b 13.70 b 29.65

26.24

Jenis pupuk Pukan 3.63 13.97 b 28.27 b 26.27 Pukan+Dolomit 3.99 13.45 b 26.19 b 27.68 Pukan+Dolomit+NPK 3.85 18.90 a 38.20 a 27.89 Angka-angka pada kolom faktor tunggal yang sama pada tiap peubah diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Tabel 5 Bobot kering brangkasan kacang tanah hasil interaksi sistem tanam dan jenis pupuk

Sistem tanam Jenis pupuk

Pupuk kandang Pupuk kandang + Dolomit

Pupuk kandang + Dolomit + NPK

…………. (g) …………. BK Brangkasan 6 MST

Alur 15.56 abc 15.44 abc 20.55 a Konvensional 12.38 bc 11.47 c 17.26 ab

BK Brangkasan 10 MST

Alur 28.27 b 27.84 b 40.28 a Konvensional 28.28 b 24.55 b 36.12 a

Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Page 14: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 72

Tabel 6 Jumlah polong kacang tanah pada perlakuan tunggal sistem tanam dan jenis pupuk

Perlakuan

Jumlah polong per tanaman Persentase jumlah polong

per tanaman

Polong penuh

Polong setengah penuh

Polong cipo

Polong total

Polong penuh

Polong setengah penuh

Polong cipo

Sistem Tanam Alur 18.86 1.89 0.67 21.41 87.92 8.90 3.17 Konvensional 17.97 1.81 0.83 20.61 87.03 8.84 4.12

Jenis pupuk Pukan 17.62 1.79 0.79 20.12 87.47 8.95 3.56 Pukan+Dolomit 17.91 1.92 0.75 20.62 86.74 9.32 3.93 Pukan+Dolomit+NPK 19.70 1.83 0.71 22.29 88.21 8.33 3.45

Tabel 7 Bobot kering polong per tanaman, bobot kering 100 butir, dan indeks panen kacang

tanah pada perlakuan tunggal sistem tanam dan jenis pupuk

Perlakuan Bobot kering polong per tanaman Bobot kering 100 butir

Indeks panen

…………. (g) …………. -- % -- Sistem Tanam

Alur 29.30 a 51.25 49.80a Konvensional 25.55 b 50.34 49.21a

Jenis pupuk Pukan 25.23 b 47.54 46.98b Pukan+Dolomit 26.77 b 52.29 49.31abPukan+Dolomit+NPK 30.27 a 52.56 52.22a

Angka-angka pada kolom faktor tunggal yang sama pada tiap peubah diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Tabel 8 Bobot kering polong hasil interaksi perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk

Sistem tanam Jenis pupuk

Pupuk kandang Pupuk kandang + Dolomit

Pupuk kandang + Dolomit + NPK

…………… (g) …………… Alur 28.01 ab 28.57 ab 31.32 a Konvensional 22.44 c 24.97 bc 29.27 a Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Tabel 9 Indeks panen tanaman kacang tanah hasil interaksi perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk

Sistem tanam Jenis pupuk

Pupuk kandang Pupuk kandang + Dolomit

Pupuk kandang + Dolomit + NPK

…………… (%) …………… Alur 50.40 a 48.39 ab 50.61 a Konvensional 43.56 b 50.22 a 53.84 a a Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Page 15: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 73

Tabel 10 Produktivitas tanaman kacang tanah pada perl. tunggal sistem tanam & jenis pupuk

Perlakuan Produktivitas

Produktivitas polong kering

Produktivitas biji kering

Produktivitas polong kering

Produktivitas biji kering

…….. (g m-2) …….. …….. (ton ha-1) …….. Sistem Tanam

Alur 433.36 a

281.88 a 2.93 a 1.90 a Konvensional 372.53 b

242.47 b 2.55 b 1.67 b

Jenis pupuk

Pukan 358.10 c

247.40 a 2.52 b 1.74 a

Pukan+Dolomit 401.59 b

260.17 a 2.67 b 1.73 a Pukan+Dolomit+

NPK 449.30 a

278.95 a 3.03 a 1.88 a

Angka-angka pada kolom faktor tunggal yang sama pada tiap peubah diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Tabel 11 Produktivitas polong kering kacang tanah hasil interaksi perlakuan sistem tanam dan jenis pupuk

Sistem tanam Jenis pupuk

Pupuk kandang Pupuk kandang + Dolomit

Pupuk kandang + Dolomit + NPK

…………… (ton ha-1) …………… Alur 2.80 ab 2.86 ab 3.13 A Konvensional 2.24 c 2.49 bc 2.92 A Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α= 5%

Page 16: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 74

BIOSINTESIS BENZYL ACETAT DAN JASMONE DENGAN 3 MACAM PREKUSOR KARBOHIDRAT PADA PENGKALUSAN Jasminum sambac L

Dwie Retna Suryaningsih*), Sri Arijanti Prakoeswa dan Ribkahwati

Fakultas Pertanian Universitas Wijaya Kusuma Surabaya *) [email protected] HP 081357233669, 081553499971

Abstrak

Bunga melati (Jasminum sambac) merupakan tanaman bunga berupa perdu. Bunganya berwarna putih dan harum. Bunga melati dimanfaatkan sebagai : pengharum, bunga rangkai, hiasan sanggul, bunga tabur, pengharum teh, dan minyak atsiri (Satuhu, 2004). Bunga melati sangat potensial untuk bahan baku minyak atsiri, sebagai parfum alami dan aroma terapi. Kebutuhan akan minyak melati ini bersaing dengan kebutuhan bunga melati sebagai bunga tabur dan bunga rangkaian. Dalam usaha unntuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder (Benzylacetate dan Jasmone) maka dicoba melakukan peningkatan kandungan metabolit sekunder melalui kultur jaringan daun Jasminum sambac dengan penambahan senyawa prekursor karbohidrat pada proses biosintesisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis media dan konsentrasi prekusor karbohidrat yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan kalus Jasminum sambac L. dengan kandungan Benzylacetate dan Jasmone yang terbaik. Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama jenis karbohidrat (Glukosa, Fruktosa dan Sukrosa). Faktor kedua konsentrasi penambahan karbohidrat ( 5 %, 10 %, 15 %, 20 %, 25 % dan 30 %). Hasil penelitian Menunjukan Penambahan 5 % dan 10 % glukosa serta penambahan 25 % sukrosa membentuk kalus friabel dengan kuantitas kalus banyak. Kandungan Jasmone dan Benzyl Asetat terbanyak terbentuk pada perlakuan penambahan 20 % fruktosa, 15 % dan 20 % Sukrosa. Kata Kunci : Kalus, Jasminum sambac L., Prekusor, Benzyl Acetate dan Jasmone

Abstract Jasmine (Jasminum sambac) is a flowering plant in the form of shrubs. The flowers are white and fragrant. Jasmine used as: fragrance, flower cluster, ornate bun, sow flowers, fragrances, tea, and essential oils (Satuhu, 2004). Potential jasmine essential oil for raw materials, as a natural perfume and aromatherapy. The need to compete with jasmine oil jasmine needs as sowing flowers and flower series. In an effort to reverse current produces secondary metabolites (Benzylacetate and jasmone) then try doing increased content of secondary metabolites through tissue culture leaves of Jasminum sambac by the addition of carbohydrate precursor compounds in the biosynthetic process. This study aims to determine the type and concentration of media appropriate carbohydrate precursors for the growth and development of Jasminum sambac L. callus with content jasmone and Benzylacetate best. This study was conducted using a completely randomized design with 2 factors. The first factor of the type of carbohydrates (glucose, fructose and sucrose). The second factor is the addition of carbohydrate concentration (5%, 10%, 15%, 20%, 25% and 30%). The results Showing the addition of 5% and 10% glucose and 25% sucrose addition callus callus quantity friabel with many. The content of Benzyl Acetate jasmone and most established in the treatment of the addition of 20% fructose, 15% and 20% sucrose. Keywords: Callus, Jasminum sambac L., precursor, Benzyl Acetate and Jasmone PENDAHULUAN Bunga melati (Jasminum sambac L.) merupakan tanaman bunga berupa perdu. Bunganya berwarna putih dan harum. Sebagai bunga yang berbau harum, minyak atsiri melati memiliki potensial sebagai bahan baku parfum alami, juga bermanfaat untuk pengobatan dan aromaterapi (Satuhu, 2004). Permintaan minyak atsiri melati diperkirakan

Page 17: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 75

akan meningkat sejalan dengan meningkatnya industri yang menggunakan minyak atsiri sebagai bahan baku, misalnya industri parfum, sabun, kosmetik, makanan, dan farmasi. Sampai saat ini, kebutuhan minyak atsiri melati untuk keperluan industri masih di impor dari luar Negeri (Juhaeni, 1997). Semakin meningkatnya kebutuhan minyak melati, prospek wirausaha bagi para petani melati semakin terbuka. Disisi lain, kualitas dan kuantitas harus lebih ditingkatkan melalui kerjasama dengan berbagai pihak. Oleh karena itu untuk memenuhi permintaan dan minyak atsiri yang semakin meningkat maka jumlah produksinya harus ditingkatkan. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi minyak atsiri melati (Jasminum sambac L ) adalah dengan metode kultur jaringan. Produksi metabolit sekunder melalui kultur sel tanaman merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kandungan yang lebih efektif dibandingkan dengan produksi secara konvensional. Kultur sel dapat menghasilkan senyawa sepanjang tahun dengan kondisi lingkungan yang dapat diatur. Dengan demikian, kebutuhan akan selalu terpenuhi (Taji, et. al., 2002). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), metabolit sekunder yang diambil dari kalus dapat ditingkatkan kadarnya dengan cara memanipulasinya. Misalnya mengunakan media yang sesuai dengan mengubah salah satu kadar komponen dalam media, atau menambah senyawa prekusor tertentu ke dalam media. Dalam usaha untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder maka dicoba melakukan perbanyakan melalui kultur jaringan Jasminum sambac dengan penambahan senyawa prekursor karbohidrat dan konsentrasinya. Perlakuan tersebut diharapkan mampu memacu proses biosintesis membentuk senyawa metabolit sekunder Benzyl Acetate dan Jasmone yang lebih banyak dibandingkan bila di ekstrak secara konvensional. Bagi industri metabolit sekunder menggunakan kultur jaringan tanaman sudah lama menjadi tujuan yang berharga. Hal ini disebabkan melalui kultur jaringan dapat ditingkatkan kandungan metabolit sekunder, bahkan dari yang tidak ada menjadi ada dengan car menambahkan senyawa-senyawa yang merupakan prekursor pada proses biosintesis pembentukan metabolit sekunder. Karbohidrat merupakan sumber karbon yang diperlukan di dalam metabolisme sebagai sumber energi. Pada umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Penambahan sumber karbon yang berasal dari karbohidrat sangat mutlak di dalam media kultur jaringan (Kristanto, 2006). Sumber karbohidrat yang sering digunakan pada media kultur jaringan adalah: sukrosa, glukosa dan fruktosa. Pada penelitian analisis polifenol dan citronellol Rosa hibrida dengan penambahan 3 (tiga) macam sumber karbohidrat diperoleh hasil bahwa penambahan glukosa lebih banyak membentuk kalus. Kandungan citronellol yang lebih banyak dihasilkan dari penambahan fruktosa 12,5 % (Arijanti, dkk., 2006). Penelitian ini menggunakan senyawa prekursor sukrosa, glukosa dan fruktosa untuk meningkatkan pembentukan senyawa Benzyl Acetate dan Jasmone dari kalus daun melati (Jasminun sambac L.) METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboraturium Kultur jaringan Fakultas Pertanian Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan mulai pertengahan bulan April dan berakhir pada bulan Agustus 2013 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah : Eksplan tunas melati kultivar Madura, Media Dasar Murashige and Skoog, Zat Pengatur Tumbuh NAA dan BAP, Air kelapa, Glukosa, Fruktosa, Sukrosa, Alkohol 70% dan 90%, Clorox, Betadine, Aluminium foil dan Plastik wrap. Peralatan yang dibutuhkan selama penelitian : Timbangan Sartorius, Autoclave, Oven, LAF, pH meter, Pinset, Scalpel, Erlenmeyer, Gelas ukur, Pipet ukur, Pipet tetes, Petridist, Spatula, Tabung kultur dan Magnetik stirrer.

Page 18: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 76

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap berfaktorial dengan 2 (dua) faktor, yaitu : Faktor I Sumber Karbohidrat (S1 = Glukosa, S2 = Fruktosa dan S3 = Sukrosa) Faktor II Konsentrasi Penambahan Karbohidrat (K1 = 5 %, K2 = 10 %, K3 = 15 %, K4 = 20 %, K5 = 25 % dan K6 = 30 %). Sterilisasi alat Peralatan yang akan digunakan dibungkus dengan kertas coklat kemudian disteril menggunakan oven pada suhu 121 0C selama 30 menit. Sedangkan tabung kultur disteril dengan Autoclave 17 psi selama 30 menit. Pembuatan media Media yang digunakan media MS yang telah dimodifikasi dengan 2 ppm NAA dan 3 ppm BAP Penanaman Eksplan daun Jasminum sambac L. disterilkan dengan Clorox 20 % + Tween 1 tetes selama 5 menit dilanjutkan Clorox 10 % + Tween 1 tetes selama 10 menit dan Clorox 5 % + Tween 1 tetes selama 20 menit kemudian dibilas 3 kali dengan air steril. Setelah steril dipotong-potong dengan ukuran ± 1 cm2 dan ditanam pada tabung kultur yang telah berisi media sesuai dengan perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Kalus Hasil pengamatan menunjukan terdapat interaksi nyata antara sumber karbohidrat dan konsentrasi penambahan karbohidrat terhadap kualitas kalus seperti pada Tabel 1. di bawah ini. Pada Tabel 1. menunjukan kualitas kalus friabel terbentuk pada perlakuan penambahan 5 % dan 10 % glukosa serta penambahan 25 % sukrosa. Perlakuan penambahan 15 % Sukrosa kearah kalus friabel, sedangkan perlakuan yang lain membentuk kalus kompak. Pembentukan kualitas kalus menunjukan arah pertumbuhan selanjutnya dimana kalus friabel mengarah ke pertumbuhan embriogenesis, sedangkan kalus kompak mengarah ke pertumbuhan organogenesis (Prakoeswa, dkk., 2009). Disamping menunjukan arah pertumbuhan kalus friabel merupakan kalus yang remah dan menghasilkan metabolit sekunder yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Arijanti, dkk. (2006) yang memperoleh kandungan Citronellol dan Phenol dari kalus kompak Rosa hybrida L.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kualitas Kalus

Perlakuan Umur kalus (minggu)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Glukosa 5% Glukosa 10% Glukosa 15% Glukosa 20% Glukosa 25% Glukosa 30% Fruktosa 5% Fruktosa 10% Fruktosa 15% Fruktosa 20% Fruktosa 25% Fruktosa 30% Sukrosa 5% Sukrosa 10% Sukrosa 15% Sukrosa 20% Sukrosa 25% Sukrosa 30%

1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

1,07 1,07 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

1,53a 1,13b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,00b 1,13b 1,00b

1,70a 1,40ab 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,17bc 1.00c

2,33a 1,93ab 1,27bc 1,33bc 1,00c 1,20bc 1,40b 1,20bc 1.20bc 1,20bc 1,27bc 1,20bc 1,27bc 1,27bc 1,27bc 1,20bc 1,73ab 1,13c

2,53a 2,40a 1,60b 1,67b 1,40cd 1,60b 1,20d 1,60b 1,53c 1,60b 1,53c 1,47

1,87bc 1,73bc 1,87bc 1,53c 2,13b 1,27d

2,80a 2,67a 1,87b 2,00b 1,60c 1,87b 1,27d 2,00b 1,87b 1,87b 1,73bc 1,80b 2,13b 2,00b 2,13b 1,87b 2,80a 1,47cd

2,93a 2,87a 2,00bc 2,00bc 2,00bc 2,00bc 1,47d 2,13b 2,00bc 2,00bc 2,07bc 1,93 2,27b 2,02bc 2,47b 2,13b 2,93a 1,87c

3,00a 3,00a 2,00b 2,00b 2,00b 2,00b 2,00b 2,33b 2,00b 2,00b 3,13a 2,00b 2,33b 2,07b 2,47b 2,00b 3,00a 2,00b

3,00a 3,00a 2,07b 2,13b 2,00b 2,00b 2,00b 2,40b 2,00b 2,07b 2,47b 2,00b 2,40b 2,07b 2,60b 2,07b 3,00a 2,00b

3,00a 3,00a 2,07c 2,13c 2,00c 2,00c 2,07c 2,40bc 2,07c 2,40bc 2,13c 2,07c 2,47bc 2,07c 2,60b 2,13c 3,00a 2,00c

5% TN TN TN N N N N N N N N N

Keterangan : TN = Tidak Nyata, N = Nyata

Page 19: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 77

Kuantitas Kalus Hasil pengamatan menunjukan terdapat interaksi nyata antara perlakuan sumber karbohidrat dan konsentrasi penambahan karbohidrat terhadap pembentukan kuantitas kalus seperti pada Tabel 2. di bawah ini. Pada Tabel 2. ini menunjukan kuantitas kalus yang terbanyak pada perlakuan penambahan 25 % Sukrosa, yang tidak berbeda dengan penambahan 5 % dan 10 % Glukosa. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurchayati dan Afiah (2010), yang mengatakan bahwa sukrosa sangat dibutuhkan untuk menginduksi dan menginisiasi pembentukan kalus. Bila konsentrasi sukrosa terlalu tinggi akan mengakibatkan penghambatan pertumbuhan ini terlihat pada penambahan 30 % sukrosa menghasilkan kuantitas kalus yang rendah. Penghambatan ini terjadi karena media menjadi lebih pekat sehingga menghambat penyerapan air maupun mineral yang ada dalam media.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Kuantitas Kalus Perlakuan

Umur kalus (minggu) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Glukosa 5% Glukosa 10% Glukosa 15% Glukosa 20% Glukosa 25% Glukosa 30% Fruktosa 5% Fruktosa 10% Fruktosa 15% Fruktosa 20% Fruktosa 25% Fruktosa 30% Sukrosa 5% Sukrosa 10% Sukrosa 15% Sukrosa 20% Sukrosa 25% Sukrosa 30%

1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

1,63a 1,36b 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c 1,00c

2,06a 1,80b 1,26d 1,40c 1,20d 1,46c 1,33d 1,40c 1,33d 1,40c 1,40c 1,40c 1,40c 1,40c 1,40c 1,40c 1,73b 1,40c

2,53a 2,13b 1,53d 1,80c 1,40d 1,80c 1,80c 1,87c 1,80c 1,73cd 1,80c 1,80c 1,80c 1,80c 1,80c 1,80c 2,07bc 1,80c

2,70a 2,40ab 1,73 2,00b 1,60c 2,00b 2,17ab 1,93bc 1,93bc 2,00b 2,00b 2,00b 2,00b 2,00b 2,00b 2,00b 2,23ab 2,00b

3,13a 2,93a 2,26bc 2,33bc 2,00c 2,20bc 2,06c 2,20bc 2,20bc 2,20bc 2,27bc 2,20bc 2,47b 2,47b 2,47b 2,20bc 2,73b 2,13c

3,53a 3,40a 2,60

2,67cd 2,40de 2,60cd 2,20 e 2,60cd 2,53d 2,60cd 2,53d 2,37e 2,87c 2,73c 2,87c 2,53d 3,13b 2,27e

3,80a 3,67a 2,87b 3,00b 2,60c 2,87b 2,27d 3,00b 2,87b 2,87b 2,73bc 2,80b 3,13b 3,00b 3,13b 2,87b 3,47ab 2,47c

3,93a 3,87a 3,00b 3,00b 3,00b 3,00b 2,47d 3,13b 3,00b 3,00b 3,07b 2,93c 3,27b 3,07b 3,47b 3,07b 3,95a 2,87c

4,00a 4,00a 3,07bc 3,07bc 3,00bc 3,00bc 2,60c 3,40b 3,07bc 3,07bc 3,40b 3,13bc 3,40b 3,13bc 3,67b 3,20bc 4,13a 3,00bc

4,20a 4,20a 3,20bc 3,20bc 3,13c 3,13bc 3,00c 3,53b 3,13bc 3,27bc 3,60b 3,13c 3,53b 3,27bc 3,73b 3,27bc 4,40a 3,07c

4,40a 4,27a 3,27d 3,27d 3,20d 3,20d 3,07d 3,60b 3,20d 3,27d 3,67b 3,20d 3,60b 3,27d 3,73b 3,40c 4,60a 3,13d

LSD 5% TN N N N N N N N N N N N

Keterangan : TN = Tidak Nyata, N = Nyata Kandungan Benzyl Acetat dan Jasmone Hasil pengamatan Menunjukan terdapat interaksi nyata antara perlakuan sumber karbohidrat dan konsentrasi penambahan karbohidrat terhadap pembentukan kandungan Benzyl Acetat dan Jasmone pada kalus melati seperti pada Tabel 3. di bawah ini. Pada Tabel 3. menunjukan kandungan Jasmone terbanyak terbentuk pada perlakuan penambahan 20 % fruktosa, 15 % dan 20 % Sukrosa. Demikian juga pembentukan Benzyl Asetat pada kalus terbanyak terbentuk pada perlakuan penambahan 20 % fruktosa, 15 % dan 20 % Sukrosa. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulabagal dan Tsay (2004) peningkatan metabolit sekunder dapat diinduksi melalui senyawa prekusor yang efisien sebagai sumber produksi metabolit sekunder. Menurut Nurchayati dan Afiah (2010) konsentrasi penambahan sukrosa akan diserap oleh selsel kalus untuk pembentukan metabolit sekunder. Hal ini karena gula digunakan sebagai sumber energi, sumber karbon dan untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi ekspresi gen dalam pembentukan metabolit sekunder. Gambar 1. dan 2. Foto Kalus Yang Menghasilkan Kandungan Jasmone dan Benzyl Acetat

yang tinggi 3. Kuantitas dan kualitas kalus yang terbaik

3 2 1

Page 20: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 78

Tabel 3. Hasil Analisa Kandungan Benzyl Acetat dan Jasmone

Perlakuan Kandungan Jasmone (%) Kandungan Benzyl Acetat (%)

Umur 8 minggu Umur 12 minggu Umur 8 minggu Umur 12 minggu Glukosa 5% Glukosa 10% Glukosa 15% Glukosa 20% Glukosa 25% Glukosa 30% Fruktosa 5% Fruktosa 10% Fruktosa 15% Fruktosa 20% Fruktosa 25% Fruktosa 30% Sukrosa 5% Sukrosa 10% Sukrosa 15% Sukrosa 20% Sukrosa 25% Sukrosa 30%

0,42 d 0,64 c 0,66 bc 0,73 b 0,58 cd 0,56 cd 0,56 cd 0,78 ab 0,82 a 0,83 a 0,71 b 0,69 bc 0,73 b 0,82 a 0,84 a 0,85 a 0,76 b 0,74 b

0,44 e 0,66 c 0,70 bc 0,76 b 0,60 cd 0,58 d 0,58 d 0,80 ab 0,84 a 0,86 a 0,72 bc 0,70 bc 0,76 b 0,84 a 0,86 a 0,86 a 0,78 b 0,75 b

0,85 d 1,29 c 1,33 bc 1,47 ab 1,17 c 1,13 c 1,13 c 1,57 ab 1,65 a 1,67 a 1,43 b 1,39 bc 1,47 b 1,63 a 1,69 a 1,71 a 1,53 ab 1,49 b

0,89 c 1,33 b 1,41 b 1,53 b 1,21 c 1,17 c 1,17 c 1,61 c 1,69 a 1,73 a 1,45 b 1,41 b 1,53 b 1,69 a 1,73 a 1,73 a 1,57 b 1,51 b

LSD 5 % N N N N

KESIMPULAN Penambahan 5 % dan 10 % glukosa serta penambahan 25 % sukrosa membentuk kalus friabel dengan kuantitas kalus banyak. Kandungan Jasmone dan Benzyl Asetat terbanyak terbentuk pada perlakuan penambahan 20 % fruktosa, 15 % dan 20 % Sukrosa. DAFTAR PUSTAKA Arijanti, S. Ribkahwati dan Andriani. 2006. Analisis Polifenol Pada Rosa hibrida Dengan

Peambahan 3 macam Karbohidrat.Laporan Penelitian Fundamental DIKTI 2006 ST:241 /SP3 /PP/DP2M/2/2006.

Hendaryono, D. P.S. dan A.Wijayani 1994.Teknik Kultur Jaringan .Kanisius Yogyakarta.P.139.

Juhaeni, Radi. 1997. Melati Putih. Kanisius. Yogyakarta

Kristanto,H. 2006 Kajian penambahan Fruktosa Pada Multiplikasi Rosa sp secara In Vitro Laporan Penelitian Lab.KJ.Faperta UWKS Surabaya.

Mulabagal and H. – S. Tsay. 2004. Plant Cell Cultures – An Alternative and Efficient Source for the Production of Biologically Important Secondary Metabolites. International Journal of Applied Science and Engineering 2, 1 : 29 – 48.

Nurchayati, Y. dan F. Afiah. 2010. Kandungan Asam Askorbat Pada Kultur Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Dengan Variasi Konsentrasi Sukrosa Dalam Media MS. Majalah Obat Tradisional 15 (2) 71 – 74.

Prakoeswa, S.A. Ribkahwati dan D.R. Suryaningsih. 2010. Teknik Kultur Jaringan Tanaman Implementasi Beserta Aplikasi, dan Hasil Penelitian. Dian Prima Lestari

Satuhu, S. 2004. Melati Penanganan segar dan Pembuatan Minyak Bunga Melati. Jakarta. Penebar Swadaya.

Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan. 2002. In Vitro Plant Breeding. Food Products Press. 15 – 44.

Page 21: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 79

KAJIAN KANDUNGAN ANTHOCYANIN PADA KALUS BUAH NAGA HYLOCEREUS POLYRHIZUS SEBAGAI SENYAWA ANTIOKSIDAN MELALUI

PROPAGASI IN VITRO DENGAN MANIPULASI SUMBER DAN JUMLAHEKSPLAN

Indarwati*), Sri Arijanti Prakoeswa dan Ribkahwati

Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya * )[email protected] Hp. 081330931806

Abstrak

Buah naga termasuk buah tropis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal ini disebabkan manfaat buah naga untuk kesehatan yang cukup besar. Salah satu manfaat dari buah naga adalah kandungan Anthocyaninyang mampu membebaskan radikal bebas serta mampu memperlambat proses penuaan(anti aging) (Anonimus, 2004). Penelitian ini bertujuan meningkatan kandungan Anthocyanin melalui teknik kultur jaringan dan biosintesis metabolisme sekunder. Dalam memenuhi kebutuh anakan metabolisme sekunder tersebut, maka dilakukan penelitian untuk memproduksi dan meningkatkan kandungan Anthocyanin dengan menambahkan 15 % sukrosa pada media Murashige and Skoog dengan Rancangan Acak Lengkap factorial. Faktor I: Sumber eksplan yang berasal dari eksplan daun muda dan kalus buah naga dan factor II : jumlah eksplan 1, 2, 3 dan 4 pada tiap tabung kultur. Hasil penelitian menunjukan kalusmulai terbentuk pada umur 8 minggu setelah tanam dengan kualitas kalus kearah kompak. kuantitas kalus yang cenderung lebih baik pada eksplan yang berasal dari daun dibandingkan yang berasal dari kalus. Kuantitas kalus cenderung terbanyak dibentuk pada jumlah ekplan 4. Kandungan anthocyanin pada buah naga tertinggi pada eksplan yang berasal dari daun (0,74%) dan (0,76%) pada jumlah eksplan 3 .Kalus terberat pada perlakuan eksplan satu. Kata Kunci : Eksplan Hylocereus polyrhizus, Kalus, Biosintesis Anthocyanin

Abstract

Dragon fruit including tropical fruit that has a high economic value. This is due to the health benefits of dragon fruit is quite large. One of the benefits of dragon fruit contains Anthocyanins which is able to liberate free radicals and is able to slow the aging process (Anonimus, 2004).

This study aims to improve the content of anthocyanins through tissue culture techniques and the biosynthesis of secondary metabolites. In full filling the need for secondary metabolism, then do the research to produce and improve the content of anthocyanins by adding 15% sucrose on Murashige and Skoog medium with factorial completely randomized design. Factor I: Source of explants derived from young leaf explants and callus dragon fruit and factor II: the number of explants 1, 2, 3 and 4 in each culture tube. The results showed callus began to form at the age of 8 weeks after planting with quality towards compact callus. Callus quantity which tends to be better in explants derived from leaves than from callus. Most likely formed callus quantity in 4 ekplant number. The content of anthocyanins in dragon fruit highest in explants derived from leaf explants (0,74%) and (0,76%) the number 3. the heaviest callus was on treatment one explant. Keywords: Hylocereuspolyrhizus explants, callus, Anthocyanin Biosynthesis. PENDAHULUAN Buah naga termasuk buah tropis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal ini disebabkan manfaat buah naga untuk kesehatan yang cukup besar. Salah satu manfaat dari buah naga adalah kandungan Anthocyaninyang mampu membebaskan radikal bebas serta mampu memperlambat proses penuaan(anti aging)(Anonimus, 2004). Buah naga sebagai tanaman obat–obatan mampu menyeimbangkan gula darah, asam urat, penurun kolesterol serta penurun panas. Di Thailand buah naga dimanfaatkan sebagai tambahan produksi es krim, jus, anggur dan salad buah. Tunas bunga dapat dimasak sebagai

Page 22: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 80

sayuran yang lezat banyak mengandung nutrisi dan rendah lemak. Kemampuan ini disebabkan kandungan Nutrisi Buah Naga per 100 g mengandung 82,5 – 83 mgMoisture, 0,159–0,229 g Protein, 0,21–0,61 g Lemak, 0,7– 0,9 g CrudeFiber, 0,005–0,012 mg Anthocyanin, 6,3–8,8 mg Calcium, 30,2–36,1 mg Phosphor, 0,55–0,65 mg Iron, 0,28–0,43 mg Vitamin B1, 0,043–0,045 mg Vitamin B2, 0,297–0,42 mg Vitamin B3, 8–9 mg Vitamin C, 0,43–0,44 mg Vitamin B6, 1,297–1,300 mg Vitamin B12, 67,70 Kcal Energie, 85,30% Air, 11,20 mg Karbohidrat, 38,90 mg Magnesium, 8,90 mg Sodium dan 3,20 mg Fruktosa(Anonimus, 2004). Di bidang farmasi teknik kultur jaringan sangat menguntungkan karena dapat menghasilkan metabolit sekunder untuk keperluan obat–obatan dalam jumlah besar dengan waktu yang relative lebih singkat. Melalui teknik ini metabolit sekunder yang dihasilkan dalam jaringan tanaman utuh dapat juga dihasilkan dalam sel-sel yang dipelihara pada media buatan yang aseptic (Rahmawati, 2006). Industri kimia atau industri farmasi merupakan industri yang didukung oleh senyawa–senyawa alami dari tumbuhan. Sampai batas–batas tertentu senyawa–senyawa alami dari tumbuhan ini tidak dapat digantikan karena keaktifannya untuk menyembuhkan. Potensi untuk sintesa kimia dalam dunia tumbuhan sangat besar. Kira-kira 2 x 104 struktur senyawa kimia dari tanaman telah diidentifikasi (Lavid, et al. , 2002). Beberapa keuntungan dari pemakaian teknik Kultur Jaringan tanaman untuk produksi senyawa metabolit sekunder antara lain : (1) tidak tergantung pada faktor-faktor lingkungan seperti : iklim, hama penyakit, hambatan–hambatan geografi dan musim. (2) sistem produksinya dapat diatur, pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diinginkan, sehingga mendekati keadaan pasar yang sesungguhnya. (3) kualitas dan hasilproduksinyalebihkonsisten dan (4) mengurangi penggunaan tanah Hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di dalam sel–sel kalus Rosa hybridadapat diekstrak senyawa polifenol dan citronellol (Arijanti, dkk., 2006), dalam kalus Jatropha curcas dapat diekstrak asam oleat dan asam linoleat merupakan bahan dasar biodiesel (Ribkahwati, dkk, 2008) dan dalam kalus Pachyrhizus esosus L dapat diperoleh isoflavon sebagai bahan anti aging (Indarwati, dkk., 2010). Pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap hasil metabolisme sekunder pada kultur jaringan tanaman sudah diuji oleh berbagai kelompok peneliti. Pada beberapa senyawa hasil metabolisme sekunder, peningkatan konsentrasi prekusor mengakibatkan peningkatan senyawa yang bersangkutan (Mulabagal dan Tsay, 2004).

Produksi Anthocyaninpada kultur kalus Populus hybridadapat ditingkatkan dengan menambahkan sukrosa 5% (Ernawati, 1991).Kandungan polifenol dan citronellol pada Rosa hybrida dapat meningkat dengan penambahan 12,5 % fruktosa (Arijanti, Ribkahwati dan Andriani, 2006). Sedangkan kandungan asam oleat dan asam linoleat pada kalus Jatropha curcas L dapat meningkat dengan penambahan 25 % fruktosa (Ribkahwati. dkk., 2008).

Dalam usaha untuk menghasilkan senyawa metabolisme sekunder (kandungan anthocyanin) yang lebih tinggi pada kalus buah naga maka dicoba melakukan perbanyakan melalui kultur jaringan dan biosintesa senyawa Anthocyanin dengan menambahkan 15 % sukrosa pada dua macam sumber eksplan dan jumlah eksplan dalam tabung kultur

Tujuan penelitian ingin meningkatkan kandungan anthocyanin dalam kalus Hylocereus polyrhizus yang ditumbuhkan dalam media Murashige and Skoog dengan jumlah eksplan dan sumber eksplan yang berbeda

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboraturium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas

Wijaya Kusuma Surabaya. Penelitian ini dimulai pada pertengahan bulan Januari 2013 dan berakhir pada bulan Agustus 2013. Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah :Eksplan yang berasal dari shoot/tunas muda tanaman buah naga dan kalus, Media dasar Murashige and Skoog, Zat Pengatur Tumbuh NAA dan BAP, Air kelapa, Sukrosa, Alkohol 70% dan 96%, Hypoclorite, Betadine, Aluminiumfoil dan Plastikwrap. Peralatan yang dibutuhkan adalah :Timbangan Sartorius, Autoclave, Oven, LAF, pH meter, Pinset, Scalpel, Erlenmeyer, Gelasukur, Pipetukur, Pipet tetes, Petridist, Spatula, Tabung kultur dan Hot platemagnetik stirrer.

Page 23: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 81

MetodePenelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap berfaktorial dengan 2 faktor. Faktor I. Sumber Eksplant (S1 = Daundan S2 = Kalus). Faktor II. Jumlah eksplan (E1 = 1, E2 = 2, E3 = 3 dan E4 = 4). Penelitian ini terdapat 8 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan diulang 5 kali dan tiap ulangan terdapat 10 sampel percobaan.

Pelaksanaan 1. Peralatan (scalpel, pinset, petidist) yang akan digunakan dibungkus dengan kertas coklat

kemudian disteril dengan menggunakan oven pada suhu 1210C selama 30 menit. Sedangkan tabung kultur disteril dengan menggunakan Autoclave 17 psi selama 30 menit.

2. Media yang digunakan media Murashige and Skoog yang telah dimodifikasi dengan menambahkan 15 % Sukrosa

3. Eksplan tunas muda buah naga disterilkan dengan Peroxida 5% ditambah Tween 1 tetes selama 5 menit, dilanjutkan hipoclorite 25 % + Tween 1 tetes selama 5 menit dan hipoclorite 15 % + Tween 1 tetes selama 15 menit serta dibilas 3 kali dengan air steril dan dipotong-potong ± 1 cm. Kemudian ditanam pada tabung kultur yang telah berisi media sesuai dengan perlakuan.

Parameter 1. Kualitas kalus.

Diamati dengan interval 1 minggu sekali secara visual dengan menggunakan skoring 1= tidak ada kalus, 2 = kalus kompak dan 3 = kalus friable

2. Kuantitaskalus. Diamati dengan interval 1 minggu sekali secara visual denganskoring: 1 = tidak ada kalus, 2 = terjadi pembengkakan eksplan, 3 = kalus sedikit (<1 kali ukuran eksplan), 4 =. kalus sedang (1-2 kali ukuran eksplan) dan 5 = kalus banyak (> 2 kali ukuran eksplan )

3. Berat Kalus Menimbang berat kalus yang terbentuk saat umur 12 minggu secara destruktif.

4. Kandungan metabolit sekunder pada kalus. Diamati setelah kalus berumur 8 dan 12 minggu secara destruktif melalui analisa kandungan anthocyanin

Pengolahan Data Hasil pengamatan yang diperoleh dilakukan dengan analisis anova factorial dengan SPSS dan bila diperoleh hasil menunjukkan adanya perbedaan nyata akan dianalisis dengan uji LSD 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Kalus Hasil pengamatan terhadap kualitas kalus menunjukan tidak terdapat perbedaan yang nyata dintara perlakuan sumber eksplan dan jumlah eksplan pada tiap tabung kultur. Kalus mulai terbentuk pada umur 8 minggu setelah tanam dengan kualitas kalus kearah kompak seperti yang tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Scor Kualitas Kalus Buah Naga

Perlakuan Scor Kualitas Kalus pada berbagai umur pengematan (minggu)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 S1E1 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.12 1.28 1.44 1.60 1.60 S1E2 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.04 1.12 1.12 1.12 1.20 S1E3 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.12 1.28 1.36 1.40 1.48 S1E4 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.16 1.40 1.56 1.64 1.68 S2E1 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.04 1.16 1.16 1.16 1.20 S2E2 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.04 1.16 1.16 1.16 1.20 S2E3 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.12 1.32 1.44 1.48 1.52 S2E4 1.00 100 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.12 1.28 1.32 1.32 1.36 LSD 5% TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN

Keterangan : TN= Tidak Nyata

Page 24: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 82

Pembentukan kalus dimulai pada minggu ke 8 cenderung lambat, karena selama 8 minggu eksplan hanya mengalami pembengkakan. Sedangkan jumlah eksplan satu sampai empat tidak berpengaruh terhadap persaingan unsur hara karena pertumbuhan yang lambat tersebut. Hal ini diduga faktor dari luar maupun dari dalam lingkungan kultur jaringan belum memberikan dukungan maksimal. Menurut Taji., dkk. (2002) Pertumbuhan kalus ini sangat tergantung dari bahan tanam, sifat jaringan, umur eksplan, komposisi media, sumber karbohidrat dan spesies tanaman.

Hal ini sesuai dengan pendapat Prakoeswa dkk. (2010) bahwa timbulnya perbedaan kualitas kalus tergantung dari kondisi lingkungan tumbuh dan pertumbuhan yang dipengaruhi sumber eksplan.

Kuantitas Kalus Hasil pengamatan terhadap kuantitas kalus menunjukan tidak terdapat perbedaan nyata terhadap perlakuan sumber eksplan dan jumlah eksplan terhadap kuantitas Kalus Buah Naga. Perbedaan nyata hanya terjadi pada faktor tunggal sumber eksplan pada minggu ke 2 sampai ke 5 terhadap kuantitas kalus yang terbentuk seperti tersaji pada Tabel 2. di bawah ini. Tabel 2. Scor Kuantitas Kalus Pengaruh Faktor Tunggal Sumber Eksplan dan Jumlah

Eksplan Perlakuan Scor Kuantitas Kalus pada berbagai umur pengamatan (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 S1 1.00 1.00b 1.12b 1.35b 1.76b 2.00 2.00 2.11 2.27 2,33 2.44 2.49 S2 1.00 1.29a 1.48a 1.88a 2.00a 2.00 2.00 2.08 2.20 2.27 2.28 2.32 LSD 5% TN N N N N TN TN TN TN TN TN TN E1 1.00 1.14 1.28 1.56 1.84 2.00 2.00 2.08 2.20 2.30 2.38 2.40 E2 1.00 1.16 1.30 1.62 1.88 2.00 2.00 2.06 2.14 2.14 2.14 2.20 E3 1.00 1.14 1.30 1.62 1.88 2.00 2.00 2.10 2.30 2.40 2.44 2.50 E4 1.00 1.14 1.32 1.66 1.92 2.00 2.00 2.14 2.34 2.44 2.48 2.52 LSD 5% TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN

Keterangan : TN = Tidak Nyata N = Nyata Pada Tabel 2. menunjukan kuantitas kalus yang cenderung lebih baik pada eksplan yang berasal dari daun dibandingkan yang berasal dari kalus. Kuantitas kalus cenderung terbanyak dibentuk pada jumlah ekplan 4 walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Hal ini diduga jumlah eksplan 4 dengan pertumbuhan kalus yang lambat belum terlihat adanya persaingan nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Kalus merupakan suatu massa sel yang terbentuk pada bagian permukaan eksplan atau pada irisan/luka. Munculnya kalus pada permukaan yang dipotong tersebut adalah sebagai respon pertahanan untuk menutup jaringan luka atau sebagai respon perlindungan bagi tanaman untuk memperbaiki jaringan yang rusak (Arijanti, dkk., 2006). Kuantitas kalus menunjukkan banyaknya kalus yang terbentuk dari hasil pembelahan sel. Pada umumnya pertumbuhan dan perkembangan kalus dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada di dalam media. Setiap eksplan dari spesies yang berbeda memiliki kebutuhan media yang berbeda pula dalam hal ini nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Keberhasilan dalam teknik kultur jaringan tanaman sangat tergantung pada media yang digunakan. Seperti diketahui bahwa media kultur jaringan mengandung unsur hara makro, mikro, vitamin dan karbohidrat (glukosa) pengganti karbon (Rahmawati, 2006). Berat Kalus Hasil pengamatan berat kalus pada umur 12 minggu terdapat perbedaan nyata pada faktor tunggal.Rata-rata berat kalus umur 12 minggu disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3. terlihat bahwa kalus terberat dihasilkan pada perlakuan jumlah eksplan satu. Dibandingkan dengan perlakuan yang lain, hal ini diduga pada eksplan satu tidak terdapat persaingan nutrisi antar eksplan sehingga alokasi nutrisi mampu meningkatkan berat kalus.

Page 25: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 83

Tabel 3. Berat Kalus Pengaruh Perlakuan Sumber Eksplan dan Jumlah Eksplan Perlakuan Berat Kalus ( g)

S1 0.605 a S2 0.596 b

LSD 5% N E1 0.798 a E2 0.546 b E3 0.543 b E4 0.513 c

LSD 5% N Keterangan : N = Nyata

Taji, dkk. (2002), bahwa timbulnya perbedaan berat kalus tergantung dari kondisi

pertumbuhan yang dipengaruhi sumber eksplan. Eksplan yang berasal dari daun muda atau jaringan segar memiliki sifat meristematik dan aktif membelah. Selain itu sumber karbohidrat sebagai energi sangat tergantung dari konsentrasi karbohidrat. Kandungan Anthocyanin pada Kalus Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kandungan anthocyanin pada kalus umur 8 dan 12 minggu tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan sumber eksplan dan jumlah eksplanseperti terlihat pada Tabel 4. di bawah ini. Pada Tabel 4. menunjukan kandungan anthocyanin pada buah naga tertinggi pada eksplan yang berasal dari daun dan dengan jumlah eksplan 3.Hal ini sesuai dengan penelitian Arijanti, dkk.,(2006) pada mawar yang mengatakan bahwa jumlah daun 3 dan 4 efisien meningkatkan kandungan metabolit sekunder. . Tabel 4. Kandungan Anthocyanin Pengaruh Perlakuan Sumber Eksplan dan Jumlah Eksplan

Perlakuan Kandungan Anthocyanin pd kalus (%) 8 MST 12 MST

S1 0.679 a 0.741a S2 0.650 b 0.712 b

LSD 5% N N E1 0.615 c 0.680 c E2 0.665 b 0.730 bc E3 0.699 a 0.757 a E4 0.680 ab 0.740 b

LSD 5% N N Keterangan : TN = Tidak Nyata N = Nyata Menurut Ernawati (1991) bahwa pertumbuhan sel berpengaruh pada terjadinya sintesis metabolit sekunder yang maksimum. Adanya kesimbangan nutrisi karbon dalam proses metabolisme sel tanaman di mana jika ketersediaan nutrisi di dalam tanaman berlebih maka akan dipergunakan sel tanaman untuk memproduksi metabolit sekunder Gambar 1. Menunjukan Kalus dengan Kualitas, Kuantitas dan Berat Kalus Terbaik Gambar 2. Menunjukan kalus dengan Kandungan Anthocyanin yang Tertinggi

1 2

Page 26: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 84

KESIMPULAN Kalus mulai terbentuk pada umur 8 minggu setelah tanam dengan kualitas kalus

kearah kompak. kuantitas kalus yang cenderung lebih baik pada eksplan yang berasal dari daun dibandingkan yang berasal dari kalus. Kuantitas kalus cenderung terbanyak dibentuk pada jumlah ekplan 4. Kandungan anthocyanin pada buah naga tertinggi pada eksplan yang berasal dari daun dan dengan jumlah eksplan 3.Berat kalus terberat pada jumlah eksplan satu.

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2004. Jatim Kembangkan Dragon Fruit Sebagai Produk Unggulan Tersedia Pada

(http;//www.agroindonesia.com/ag.news/ind(/2003augustus05-20augustus2011.html) diakses pada 24 Mei 2008.

Arijanti Sri, Ribkahwati dan Andriani. 2006. Analisis Polifenol Pada Rosa hibrida Dengan Penambahan 3 macam Karbohidrat. Laporan Penelitian Fundamental DIKTI 2006 ST:241 /SP3 /PP/DP2M/2/ 2006.

Ernawati, A, 1991. Produksi Senyawa-senyawa Metabolisme sekunder dengan Kultur Jaringan. Bioteknologi Tanaman PAU – IPB. 273 – 362.

Indarwati, S. A. Prakoeswa dan Ribkahwati. 2012. Upaya Meningkatan Kandungan Anthocyanin pada Kalus Buah Naga (Hylocereus polyrhyzus) dengan Modifikasi Media MS Prosiding seminar NasionalHortikultura ISBN : 978-979-25-1265-6

Lavid, N., J. Wang., M. Shalit., I. Guterman., E. Bar., T. Beuerle., N. Menda., Sharoni., D. Zamir., Z. Adam., A. Vainstein., D. Weiss., E. Pichersky and E. Lewinsohn*. 2002. O – Methyltransferases Involved in the Biosynthesis of Volatile Phenolic Derivatives in Rose Petals1. Plant Physiology. August 2002. Vol. 129. PP. 1899-1907.

Rahmawati. 2006. Pengaruh Jenis Gula Terhadap akumulasi Isoflavon Pada kalus Bengkoang (PochyrhizusesosusL) Univ. Brawijaya Malang.

Ribkahwati, Arijanti dan Dwie Retna. 2008. Manipulasi Diesel Oil (Metil Oil ) pada Penkalusan Jatrophacurcas L Laporan DIKTI ST:249/SP2H/PP/DP2M/III/2008 tanggal 6 Maret 2008

Mulabagal and H. – S. Tsay. 2004. Plant Cell Cultures – An Alternative and Efficient Source for the Production of Biologically Important Secondary Metabolites. International Journal of Applied Science and Engineering 2, 1 : 29 – 48.

Prakoeswa, S.A. Ribkahwati dan D.R. Suryaningsih. 2010. Teknik Kultur Jaringan Tanaman Implementasi Beserta Aplikasi, dan Hasil Penelitian. Dian Prima Lestari

Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan. 2002. In Vitro Plant Breeding. Food Products Press. 15 – 4

Page 27: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 85

PENGARUH UMUR PANEN TERHADAP HASIL KEDELAI

Jajuk Herawati 1*, Indarwati 2, Tatuk Tojibatus S.3, Dwi Haryanta4danElika Joeniarti5 1*,2,345Dosen Fakultas Pertanian – Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Email: [email protected]

Abstrak

Penanganan panen dan pascapanen merupakan salah satu komponen teknologi produksi kedelai yang bisa menyebabkan produktivitas kedelai kurang optimal karenna terjadinya susut hasil. Selamaini, penanganan panen dan pascapanen kedelai belum banyak mendapat perhatian, sehingga terjadi kehilangan hasil yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah saat panen yang kurang tepat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh umur panen terhadap produksi tanaman kedelai. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor :Faktor I: Varietas; V1 = Kaba; V2= Wilis ;V3 = Argomulyo dan ; V4= Anjasmoro. Faktor II: Saat/umur panen: S1= Umur 77 HST; S2= Umur 84 HST dan S3= 91 HST. Masing – masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga dibutuhkan sebanyak 36 petak percobaan. Parameter yang diamati adalah parameter produksi, yaitu: Jumlah polong pertanaman, berat biji kering per tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis of Varian (Anova) bila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT 5 %. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) terjadi interaksi antara perlakuan varietas(V) dengan saat/umur panen (S) pada parameter pengamatan berat kering brangkasan, berat basah polong danberat kering biji per tanaman; (2) terjadi perbedaan nyata pada perlakuan varietas pada parameter berat basah brangkasan total/tanaman danjumlah polong per tanaman, serta terjadi perbedaan nyata perlakuan saat/umur panen pada parameter berat basah brangkasan total/tanaman. Kata kunci: Varietas, Umur Panen, dan Hasil Kedelai

EFFECT OF AGE ON SOYBEAN HARVEST

Abstract

Harvest and post-harvest handling is one component of soybean production technology that could lead to less than optimal productivity of soybean Karenna occurrence shrinkage results. During this time, harvest and post-harvest handling of soybeans have not got a lot of attention, resulting in yield loss caused by various factors, among which are the lack of proper harvest time. In order to support activities that reduce crop losses, this research was conducted, with the title: "Effect of Soybean Harvest Time for Results".

The purpose of this study was to determine the effect of harvesting the soybean crop production. The study was conducted using a randomized block design with two factors: Factor I: Varieties; V1 = Kaba; V2 = Wilis; V3 = Argomulyo and; V4 = Anjasmoro. Factor II: Current / harvest: S1 = Age 77 HST; S2 = Age 84 HST and S3 = 91 HST. Each - each treatment combination was repeated 3 times, so it takes a total of 36 experimental plots. The parameters measured were the production parameters, namely: Total crop pods, dry seed weight per plant. Data were analyzed by analysis of variants (ANOVA) followed when there is a significant difference by LSD 5%. From the results of this study concluded: (1) an interaction between treatment varieties (V) with time / age harvest (S) on the parameter brangkkasan dry weight, fresh weight and dry weight of seed pods per plant, (2) significant differences in treatment occurred varieties the parameters of the total wet weight of stover / plant and number of pods per plant, as well as real differences occur when treatment / harvesting stover on total wet weight parameter / plant. Keywords: Varieties, Harvest Time, and Results Soybeans

Page 28: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 86

1. PENDAHULUAN

Kedelai sebagai sumber protein nabati merupakan bahan makanan yang penting yang dapat diolah menjadi tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, tepungkedelai, dan lain-lain. Jumlah kebutuhan kedelai dalam negeri cukup besar sekitar 2,0 juta ton. Ketidakseimbangan antara kemampuan untuk memproduksi kedelai di dalam negeri dengan kenaikan permintaan, sebenarnya telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dalam era globalisasi saat ini, teknologi memegang posisi kunci dalam menghasilkan produksi kedelai yang optimal. Penanganan panen dan pascapanen merupakan salah satu komponen teknologi produksi kedelai yang bisa menyebabkan produktivitas kedelai kurang optimal karenna terjadinya susut hasil.

Selama ini, penanganan panen dan pascapanen kedelai belum banyak mendapat perhatian, sehingga terjadi kehilangan hasil yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah saat panen yang kurang tepat. Dalam rangka mendukung kegiatan mengurangi susut hasil panen tersebut, maka dilakukan penelitian ini, dengan judul: “Pengaruh Umur Panen terhadap Produksi Tanaman Kedelai”.

2. BAHAN DAN METODE

2.1. Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan kebun percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Penelitian ini dimulai pada bulanApril 2013 dan berakhir pada bulanSeptember 2013. 2.2. Bahan dan Alat Bahan :

Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah :benih kedelai varietas kaba, wilis, argomulyo serta anjasmoro dan lain-lain. Alat :

Peralatan yang dibutuhkan selama penelitian adalah :cangkul, gembor, cetok, timba, kamera dan lain-lain

3.METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok berfaktorial dengan 2 faktor, Faktor I : Varietas Kedelai, ada 4 level V1 = Kaba V3 = Argomulyo V2 = Wilis V4 = Anjasmoro Faktor II : Umur Panen, ada 3 level S1 = Umur panen 77 HST S2 = Umur panen 84 HST S3 = Umur panen 91 HST Masing–masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga dibutuhkan sebanyak 36 petak percobaan

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan.

Perlakuan V1 V2 V3 V4 S1 V1S1 V2S1 V3S1 V4S1 S2 V1S2 V2S2 V3S2 V4S2 S3 V1S3 V2S3 V3S3 V4S3

Page 29: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 87

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Persiapan Lahan

Kegiatan persiapan lahan berupa pengolahan tanah untuk meningkatkan produksi (Siswadi, 2006), dan harusdilakukan bila akan menanam kedelai di lahan kering di awal musim hujan. Hal ini karena permukaan tanah umumnya sudah mengeras akibat tanah diberokan cukup lama. Pembuatan saluran draenase juga diperlukan untuk mempercepat pembuangan kelebihan air dan untuk mencegah terjadinya peningkatan erosi akibat tindakan pengolahan tanah.

3.4.2. Pembuatan Petak Percobaan untuk Penanaman Setelah dilakukan persiapan lahan dengan penggemburan tanah, maka petak percobaan dibiarkan selama satu minggu agar hama dan penyakit mati terkena sinar matahari. Setelah itu kemudian disiram dengan air untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah. Persiapan petak percobaan yang akan digunakan untuk penanaman kedelai berukuran 3 x 6 m2 =18 m2.Dibuat petak-petakpercobaansebanyak 36 petak percobaan, dibagi menjadi 3 larik yang masing-masing larik terdapat 12 petak. 3.4.3. Penanaman, Pemupukandan pemeliharaan Tanaman Kedelai

Setelah tanah selesai diolah selanjutnya dilakukan kegiatan penanaman dengan jarak tanam kedelai 40 cm x 15 cm (Danarti dan Najiyati, S., 1992), yang dilanjutkan dengan pemupukan. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk ponska dan organik. Pupuk dasar yang digunakana dalah pupuk phonska dengan dosis 1 kg / petak. Pupuk organik diberikan pada saat penggemburan tanah agar cepat merata dan bercampur dengan tanah yang digunakan sebagai media, yang diberikan sebelum penanaman. Pemupukan dilakukan dengan cara disebar kemudian dicangkul, disiram dan dibiarkan selama tiga hari.Selanjutnya dilakukan kegiatan penanaman dengan jarak tanam kedelai 40 cm x 15 cm; dengan 2 benih / lubang tanam. 3.4.4. Pemeliharaan Tanaman Kedelai Pemeliharaan adalah hal yang penting untuk budidaya kedelai, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan didapat. Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah penyiraman. Penyiraman pada musim kemarau dilakukan 1 kali dalam sehari pada pagi atau sore hari, sejak tanam sampai menjelang panen. Tahap selanjutnya adalah penyiangan. Penyiangan dilakukan untuk mengurangi persaingan antara kedelai dengan tumbuhan liar (gulma) dalam mendapatkan air dan unsur hara dari dalam tanah. Penyiangan dilakukan secara mekanik untuk membuang gulma atau tumbuhan liar yang kemungkinan dijadikan inang hama ulat bawang. Pada saat penyiangan dilakukan pengambilan hama jika ada serangan (Sartono J., dan Wibisono I., 2007) Pemeliharaan yang lain adalah dengan pengendalian hama dan penyakit, yang dilakukan dengan pemakaian bibit yang bebas virus; sanitasi; pergiliran tanaman; dengan mencabut, membuang atau membakar tanaman terserang di tempat yang jauh; mengambil dan memusnahkan telur atau ulat yang menyerang tanaman; dan cara alami lainnya. 3.4.5. Panen

Waktu panen tanaman kedelai selain ditentukan oleh ketepatan umur sesuai dengan diskripsi varietas yan ditanam, juga oleh banyaknya polong yang telah berubah menjadi coklat kuning (kurang 95 % polong sudah berubah warna dan daun yang masih tertinggal di tanaman sekitar 5-10 %). Pemanenan dilakukan sesuai dengan perlakuan.

Panen dilakukan dengan cara memotong batang tanaman kedelai sedekat mungkin dengan permukaan tanah dengan menggunakan sabit bergerigi tajam. Setelah itu baru dilakukan penimbangan terhadap hasil kedelai.

Page 30: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 88

3.5. Peubah � Berat basah brangkasan total/tanaman � Jumlah polong / tanaman � Berat basah polong / tanaman � Berat basah biji / tanaman � Berat kering biji kedelai / tanaman

3.6. Analisis Data Data diperoleh dengan cara melakukan penghitungan dan penimbangan hasil tanaman kedelai secara langsung di lapangan.

3.7. Pengolahan Data Hasil pengamatan pada penelitian ini diolah dengan menggunakan Analisis Ragampola RAK, untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata di antara perlakuan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata di antara perlakuan, maka pengujian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT 5%).

4. HASIL PENGAMATAN 4.1. Berat Basah Brangkasan Total / Tanaman

Tabel 2. Rata-Rata Berat Basah Brangkasan Total (gram) / Tanaman karena

PerlakuanVarietas dan Umur/Saat Panen

Perlakuan BB Brangkasan Total/Tanaman (Gram)

Varietas V1 V2 V3 V4

50,15a 51,41a 37,98b 39,66b

BNT 5% 10,13 Saat/Umur Panen

K1 K2 K

62,19a 41,38b 30,83c

BNT 5% 8,77

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Dari hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak terjadi interaksi antara

perlakuan varietas dan saat/umur panen. Pada tabel 2 dapat dilihat terjadi perbedaan nyata pada parameter berat basah brangkasan total pada masing-masing perlakuan. Pada perlakuan varietas dapat diketahui, bahwa pada varietas wilis (V2) memberikan berat basah brangkasan total yang terbaik dibandingkan dengan varietas lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan varietas kaba (V1). Sedangkan pada perlakuan saat/umur panen, K1 dengan umur panen 77 HST, memberikan berat basah brangkasan total terbaik dibandingkan dengan saat/umur panen yang lain.

Page 31: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 89

4.2. Berat Kering Brangkasan / Tanaman

Tabel 3. Rata-Rata Berat Kering Brangkasan (gram) / Tanaman karena interaksi Perlakuan Varietas dan Umur/Saat Panen

Perlakuan Berat Kering Brangkasan (gram)

V1S1 17,37a V1S2 10,65b V1S3 7,41bcd V2S1 18,21a V2S2 5,76cde V2S3 4,83de V3S1 9,2bc V3S2 2,73e V3S3 9,29bc V4S1 7,82bcd V4S2 6,04cde V4S3 11,19b

BNT 5% 4.36 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

Dari hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa terjadi interaksi antara kombinasi perlakuan varietas dan saat/umur panen. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan V1S1 (varietas kaba dengan saat/umur panen 77 HST) pada parameter berat kering brangkasan memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain. Sedangkan pada kombinasi perlakuan varietas argomulyo dengan umur panen 84 HST (V3S2) dapat diketahui memberikan berat kering brangkasan yang terendah dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan V4S2; V2S2 4.3. Jumlah Polong / Tanaman

Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Polong/Tanaman karena Perlakuan Varietas dan Umur Panen

Perlakuan Jumlah Polong

Varietas V1 V2 V3 V4

50,86ab 60,83a 38,14c

40,61 bc BNT 5% 11,33

Saat/Umur Panen K1 K2 K3

50,35 51,65 40,83

BNT 5% TN Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5% Dari hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa tidak terjadi interaksi antara

perlakuan varietas dan saat/umur panen. Pada tabel 4 dapat dilihat terjadi perbedaan nyata pada parameter jumlah polong pada perlakuan varietas. Varietas wilis (V2) memberikan jumlah polong yang terbaik dibandingkan dengan varietas lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan varietas kaba (V1).

Page 32: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 90

Sedangkan pada perlakuan saat/umur panen tidak terjadi perbedaan nyata di antara perlakuan, meskipun K2 dengan umur panen 84 HST, cenderung memberikan jumlah polongterbanyak.

4.4. Berat Basah Polong / Tanaman

Dari hasil analisis ragamdapat diketahui bahwa terjadi interaksi antara kombinasi perlakuanvarietas dan saat/umur panen. Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan V2S1 (varietas wilis dengan saat/umur panen 77 HST) pada parameter berat basah polong memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan V2S2 (varietas wilis dengan saat/umur panen 84 HST) dan V3S1 (varietas argomulyo dengan saat/umur panen 77 HST).

Sedangkan pada kombinasi perlakuan V3S3 (varietas argomulyo dengan umur panen 91 HST) dapat diketahui memberikan berat basah polong yang terrendah dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan V4S3 (varietas anjasmoro umur panen 91 HST); dan V3S2 (varietas argomulyo umur panen 84 HST).

Tabel 5. Rata-Rata Berat Basah Polong (gram) / Tanaman karena interaksi Perlakuan

Varietas dan Umur/Saat Panen Perlakuan Berat Basah Polong (gram)

V1S1 33,01bc V1S2 25,58cde V1S3 18,99def V2S1 44,34a V2S2 34,17abc V2S3 15,86ef V3S1 42,06ab V3S2 21,74def V3S3 13,64f V4S1 27,13cd V4S2 26,39 cde V4S3 14,23f

BNT 5% 10,85 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5% 4.5. Berat Kering Biji / Tanaman Tabel 5. Rata-Rata Berat Kering Biji (gram) / Tanaman karena interaksi Perlakuan Varietas

dan Umur/Saat Panen Perlakuan Berat Kering Biji (gram)

V1S1 5,81ef V1S2 8,85abc V1S3 7,94bcd V2S1 8,95abc V2S2 9,69 ab V2S3 5,89ef V3S1 6,95cdef V3S2 5,17f V3S3 5,19f V4S1 7,31cde V4S2 10,49a V4S3 6,28def

BNT 5% 2,03 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

Page 33: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 91

Dari hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa terjadi interaksi antara kombinasi perlakuan varietas dan saat/umur panen. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan V4S2 (varietas anjasmoro dengan saat/umur panen 84 HST) pada parameter berat kering biji memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan V2S2 (varietas wilis dengan saat/umur panen 84 HST) dan V2S1 (varietas wilis dengan saat/umur panen 77 HST).

Sedangkan pada kombinasi perlakuan V3S2 (varietas argomulyo dengan umur panen 84 HST) dapat diketahui memberikan berat kering biji yang terendah dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain, meskipun tidak berbeda nyata dengan V3S3; V2S3, V1S1, V4S3 dan V3S1.

5. PEMBAHASAN

Varietas kedelai yang digunakan adalah kaba, wilis, argomulyo dan anjasoro. Varietas anjasmoro adalah tanaman kedelai dengan tipe tumbuh determinit, yaitu tanaman yang tumbuhnya tegak tegak, dan berbunga serempak. Pada hasil ppenelitian ini menunjukkan bahwa varietas anjasmoro memiliki berat kering biji yang terbaik pada umur panen 84 HST dibanding dengan varietas lain, meskipun tidak berbeda nyata nyata dengan varietas kaba maupun wilis pada umur panen yang sama 84 HST, serta varietas wilis pada umur panen 77 HST.

Varietas anjasmoro adalah tanaman kedelai dengan daya hasil 2,03 – 2,25 ton/ha, dengan umur polong masak 82,5 – 92,5 hari (Anomymous, 2012). Varietas anjasmoro merupakan kelompok varietasberukuran biji besar (Suhartina, Purwantoro, Abdullah T., dan Novita, N., 2012).

Sedangkan pada parameter berat basah polong, yang terbaik adalah varietas wilis, pada umur panen 77 HST yang tidak berbeda nyata dengan umur 84 HST, selain itu juga tidak berbeda nyata dengan varietas argomulyo pada umur panen 77 HST. Varietas argomulyo adalah varietas introduksi dari thailand, dengan umur saat panen 80 – 82 HST.

6. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terjadinya interaksi antara kombinasi perlakuan varietas dan saat/umur panen pada

parameter pengamatan berat kering brangkasan, berat basah polong dan berat kering biji 2. Terjadinya perbedaan nyata pada perlakuan varietas untuk parameter berat basah

brangkasan total dan jumlah polong

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian

Danarti dan Najiyati, S. 1992. Budidaya dan Analisis Usatani Palawija.Penebar Swadaya. Jakarta.

Joko, S. dan Indriyati, W. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan. PT.Citra-Aji Parama. Yogyakarta

Kartasapoetra. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Penerbit Bina Aksara.Jakarta.

Purwono dan Heni, P. 2010. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Suhartina, Purwantoro, Abdullah T., dan Novita, N., 2012. Panduan Roguing Tanaman dan Pemeriksaan Benih kedelai. Kementrian Pertanian Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian.

Page 34: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 92

UPAH SEBAGAI VARIABEL PENENTU BACKWARD BENDING SUPPLY (Studi pada Rumahtangga Tani Padi di kabupaten Jombang) *

Oleh :

Ir. Erna Haryanti K, MMA dan Ir. Rahmawiliyanti, MP., S.Pd. Dosen Program Studi Agribisnis Fak. Pertanian Univ. Wijaya Kusuma Surabaya.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alokasi waktu kerja rumah tangga tani baik pada kegiatan usahatani maupun di luar usahatani, sumbangan pendapatan dari kegiatan usahatani maupun luar usahatani terhadap pendapatan total rumah tangga, faktor-faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani sekaligus untuk mengetahui apakah tenaga kerja pada kegiatan usahatani telah mengalami backward bending supply.Penelitian dilakukan di desa Sepanyul pada tahun 2013 terhadap 90 rumahtangga tani padi-jagung yang terbagi dalam 3 strata berdasarkan luas lahan dengan masing-masing strata berjumlah 30 rumah tangga tani. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan yang menunjukkan semakin pentinghnya kegiatan di luar usahatani bagi rumahtangga tani berlahan sempit , sedang maupun luas.Terdapat hubungan yang positif antara pendapatan dari kegiatan usahatani dengan luas lahan, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan luar usahatani mempunyai hubungan yang negatif dengan luas lahan.Upah berpengaruh negatif terhadap curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani, karena besaran upah di kegiatan usahatani kurang cukup menarik dibandingkan dengan waktu kerja yang ditambahkan, sehingga respon penawaran tenaga kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani berlawanan atau mengalami backward bending supply Kata Kunci: Curahan waktu kerja, kegiatan usahatani, kegiatan luar usahatani, backward

bending supply.

Abstract

The aim of this research are to know the allocation of family labor between activity on farm and off farm, the contribution of on farm income and off farm income to total household income, factors influencing time allocations of family labor on farm and to know whether the labor supply on farm is backward bending supply.The research is held in Sepanyul Village in 2013 and 90 households farm of rice-corn were studied. The farm houshods are stratified in 3 strata based on size of land which the each stratum is 30 farm households.

The results of this research is the off farm activities ten to become more important for the small , medium and large farm households There are positive relationship between on farm income and farm size and off farm income is related negatively to farm size.The farm wage is negatively related to on farm work because of the subsitence so that the labor supply response of farm households on the opposite farming activities or having backward bending supply Keywords: time of work, on farm activity, off-farm activity, backward bending supply. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pencurahan waktu kerja dalam rumahtangga tani dipengaruhi oleh luasan lahan usahatani yang digarap. Bagi petani kecil, hari kerja yang dapat dimanfaatkan sangat pendek, sehingga jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia dalam setahun, kesempatan kerja menjadi relatif lebih kecil. Dalam keadaan demikan, petani memerlukan kesempatan kerja yang lebih banyak di luar usahataninya guna meningkatkan pendapatannya. Kondisi ini sesuai dengan teori Hart (1980) yang menyatakan bahwa rumahtangga tani berlahan sempit akan bekerja baik pada kegiatan usahatani (on farm) maupun luar usahataninya (off farm). Sering dijumpai di pedesaan bahwa petani pemilik lahan sempit bekerja sebagai buruh tani di atas lahan miliknya sendiri karena tanah tersebut telah disewakan kepada pihak lain. Dalam

Page 35: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 93

keadaan demikian, buruh tani atau petani kecil memerlukan kesempatan kerja di luar pertanian yang lebih banyak untuk meningkatkan pendapatannya.

Kondisi tersebut tidak hanya berlaku bagi petani kecil saja, tetapi juga bagi petani yang berlahan relatif lebih luas pun masih bekerja di kegiatan luar usahatani. Hal ini dikarenakan sifat usahatani yang sangat kompleks dan banyak mengandung resiko serta ketidakpastian oleh karena itu petani memerlukan pendapatan lain agar dapat mempertahankan kehidupannya.

Ghatak dan Ingersen (1984) menyatakan bahwa respon tenaga kerja pertanian di negara yang belum berkembang pertaniannya akan mengakibatkan terjadinya backward bending supply. Backward bending supply dalam pasar kerja menyatakan adanya hubungan negatif antara upah dengan besarnya curahan waktu kerja, yaitu semakin tinggi upah yang ditawarkan, semakin kecil curahan waktu kerja yang diberikan atau semakin besar waktu luang (leisure) yang digunakan. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat masih belum banyak penelitian yang meneliti hubungan antara upah sebagai penentu backward bending supply pada penawaran tenaga kerja di kegiatan usahatani. Adapun penelitian terdahulu yang melihat hubungan antara upah dan curahan waktu kerja dan terjadi backward bending supply adalah pada kegiatan di luar usahatani (off farm). Penelitian lainnya yang terkait adalah fokus pada alokasi waktu kerja antara kegiatan usahatani dan luar usahatani. 2. TUJUAN PENELITIAN

2.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan lingkup permasalahan, maka tujuan dari penelitian

ini adalah : Tahun ke 1:

1. Untuk mengetahui alokasi waktu kerja rumahtangga tani baik di dalam usahatani maupun luar usahataninya.

2. Untuk mengetahui besarnya sumbangan pendapatan dari kegiatan usahatani dan luar usahatani terhadap pendapatan total rumahtangga.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja petani pada kegiatan usahatani.

4. Untuk mengetahui apakah tenaga kerja di dalam usahatani telah mengalami backward bending supply.

Tahun ke 2: Bertujuan untuk menggali lebih dalam melalui pendekatan depth interview dengan

menggunakan pola penelitian eksplanatori guna mengetahui mengapa di daerah penelitian terjadi atau tidak terjadi backward bending supply pada usahatani padi. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian pada tahun pertama dirancang dengan menggunakan variabel-variabel rasio beban tanggungan, jumlah anggota rumahtangga yang bekerja, pendapatan total rumahtangga, upah dari kegiatan usahatani, upah dari kegiatan luar usahatani, umur pernikahan, pendidikan dan luas lahan garapan. Pola penelitian adalah penelitian yang bermaksud menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan dan pengaruh antara satu variabel yang satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2002),

Penelitian pada tahun kedua akan mengacu pada hasil penelitian tahun petama dengan menggali secara lebih mendalam faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya atau tidak terjadinya backward banding supply pada usahatani padi dengan menggunakan metode depth interview dengan menggunakan pola penelitian eksplanatori. 3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dipilih secara purposive di kabupaten Jombang mengingat Jombang merupakan salah satu daerah lumbung padi terbesar di Jawa Timur.

Page 36: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 94

3.3. Pemilihan Sampel Penentuan sampel dilakukan dengan metode multistage sampling, yaitu metode

pengumpulan sampel yang dilakukan secara bertahap yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode stratified random sampling (Sugiono dkk, 2003). Jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 90 rumah tangga tani padi dan palawija yang terbagi dalam tiga strata berdasarkan luas lahan dengan besaran masing-masing strata baik strata satu, dua dan tiga adalah 30 resoponden. 3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan questionnaire serta pengamatan langsung di lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. 3.5. Metode Analisis Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis hipotesis pertama dan kedua terhadap masing-masing variabel penelitian pada tahun pertama dan tahun kedua, yang kemudian diuji secara statistik dengan menggunakan metode ANOVA dan dilanjutkan dengan menggunakan uji LSD (Least Significance Difference) atau uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Uji untuk hipothesis ketiga dan keempat diuji dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan OLS. Adapun persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Model 1 : untuk rumahtangga tani strata sempit, sedang dan luas. Y = f (X1. X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8) Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + u Model 2 : untuk total rumahtangga tani Y = f (X1. X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, D1, D2) Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9D1 + b10D2 + u

Y = Curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani (JKO= Jam Kerja Orang) a = konstanta

b1 – b8 = koefisien regresi X1

= Rasio beban tanggungan (%) X2 = Jumlah anggota rumahtangga yang bekerja (orang) X3 = Pendapatan total rumahtangga X4 = Upah usahatani (Rupiah) X5 = Upah luar usahatani (Rupiah) X6 = Umur Perkawinan (tahun) X7 = Tingkat Pendidikan kepala keluarga (tahun) X8 = Luas lahan garapan (ha) Katagori Dasar : Strata Sempit D1 = 1 untuk strata sedang 0 untuk strata lainnya D2 = 1 untuk strata luas 0 untuk strata lainnya

Pengujian Hipothesis 1. Hipothesis 1 :

a. H0 : µ1 = µ2 = µ3 , H1 : µ1 < µ2 < µ3

µ1 = rata-rata curahan waktu kerja rumah tangga tani strata satu di kegiatan usahatani

µ2 = rata-rata curahan waktu kerja rumah tangga tani strata dua di kegiatan usahatani

µ3 = rata-rata curahan waktu kerja rumah tangga tani strata tiga di kegiatan usahatani

b. H0 : µ1 = µ2 = µ3 , H0 : µ1 > µ2 > µ3

Page 37: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 95

µ1 = rata-rata curahan waktu kerja rumah tangga tani strata satu di kegiatan luar usahatani

µ2 = rata-rata curahan waktu kerja rumah tangga tani strata dua di kegiatan luar usahatani

µ3 = rata-rata curahan waktu kerja rumah tangga tani strata tiga di kegiatan luar usahatani

2. Hipothesis 2 :

a. H0 : µ1 = µ2 = µ3 , H1 : µ1 < µ2 < µ3

µ1 = rata-rata pendapatan rumah tangga tani strata satu di kegiatan usahatani µ2 = rata-rata pendapatan rumah tangga tani strata dua di kegiatan usahatani µ3 = rata-rata pendapatan rumah tangga tani strata tiga di kegiatan usahatani

b. H0 : µ1 = µ2 = µ3 , H0 : µ1 > µ2 > µ3

µ1 = rata-rata pendapatan rumah tangga tani strata satu di kegiatan luar usahatani µ2 = rata-rata pendapatan rumah tangga tani strata dua di kegiatan luar usahatani µ3 = rata-rata pendapatan rumah tangga tani strata tiga di kegiatan luar usahatani

3. Hipothesis 3 :

Hipothesis tiga menggunakan uji statistik model regresi linier berganda yang meliputi : a. Uji R2 (koefisien determinasi), adalah besaran yang dipakai untuk menunjukkan

sampai seberapa jauh variabel dependen dijelaskan oleh variabel independen.

b. Uji F, digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen secara bersama-sama

terhadap variabel dependen. F = ______________

c. Uji-t (partial test), digunakan untuk melihat pengaruh tiap-tiap independent variable

(variabel bebas) terhadap dependent variable (variabel tak bebas). bi

T = Se (bi)

Secara statistik, hipothesis diterima bila nilai t hitung atau F hitung signifikan atau berbeda nyata pada tingkat kesalahan α = 1% dan α = 5%. Pengujian hipothesis keempat terkandung dalam pengujian hipotesis ketiga

4. HASIL YANG DICAPAI. 4.1. Alokasi Waktu Kerja Dan Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Tani

Alokasi waktu kerja rumah tangga dalam penelitian ini dibedakan dalam dua kegiatan yaitu kegiatan rumah tangga pada kegiatan usahatani dan luar usahatani. 4.1.1. Alokasi Waktu Kerja Rumah Tangga

Kepala keluarga berperan penuh pada kegiatan usahatani, sedangkan ibu rumah tangga tani dan anggota rumah tangga lainnya hanya berkontribusi pada kegiatan luar usahatani. Sebagian besar kegiatan usahatani dilakukan dengan menggunakan jasa orang lain, yaitu dengan sistem borongan khususnya untuk persiapan lahan dan panen, sedangkan kegiatan tanam, pemupukan, perawatan serta pasca panen dilakukan oleh kepala keluarga dan buruh tani. Sistem borongan adalah membayar sebesar harga yang berlaku kepada pihak lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan usahatani hingga selesai.

SSR/db ( k – 1)

SSE/db ( n – k)

Page 38: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 96

Tabel 1. Rata-rata Curahan Waktu Kerja Rumah Tangga Tani Strata Satu di Desa

Sepanyul (Jam), Tahun 2013

Keterangan Suami Istri Anggota Rumah Tangga

Jumlah

Usahatani : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

275

34,16

-

0,00

-

0,00

275

15,67 Luar Usahatani : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

530

65,84

420

100,00

531

100,00

1.480 84,33

Total : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

805 100

420

100,00

531

100,00

1.755 100,00

Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani Strata Satu, Tahun 2013. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai curahan waktu kerja sebesar 805

jam/tahun dan bila diperhitungkan dalam waktu kerja per minggu, maka curahan waktu untuk mencari nafkah sebesar 15,48 jam/minggu (1 tahun = 52 minggu). Lamanya curahan waktu kerja ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan waktu kerja normal yaitu 35 jam/minggu. (Simanjuntak, 1985). Begitu pula curahan waktu kerja per minggu dan anggota rumah tangga yaitu 8,08 jam/minggu dan 10,21 jam/minggu Hal ini disebabkan karena sempitnya luas lahan usahatani yang dikerjakan serta kegiatan yang dilakukan di luar usahatani tidak seluruhnya membutuhkan waktu kerja yang lama dan kontinyu serta hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu atau musiman (misalnya : saat panen padi maka petani memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari merontokan padi milik petani lain dengan menggunakan mesin perontok padi, atau saat mengairi sawah, dll).

Tabel 2. Rata-rata Curahan Waktu Kerja Rumah Tangga Tani Strata Dua di Desa

Sepanyul (Jam), Tahun 2013.

Keterangan Suami Istri Anggota

Rumah Tangga Jumlah

Usahatani : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

1.057 54,54

-

0,00

-

0,00

1.057 34,76

Luar Usahatani : a Jam Kerja b Persentase (%)

881

45,46

718

100,00

385

100,00

1.984 65,24

Total : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

1.938 100

718

100,00

385

100,00

3.041 100,00

Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani Strata Satu, Tahun 2013. Rumah tangga tani strata dua juga mempunyai rata-rata curahan waktu kerja di luar

usahatani yang lebih besar daripada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani (1.984 jam/tahun) atau 65,24 %, sedangkan kegiatan pada usahatani 1.057 jam/tahun atau 34,76 % dari seluruh waktu kerjanya.

Kepala rumah tangga strata dua mempunyai curahan waktu kerja yang normal yaitu 37,26 jam/minggu atau 1.938 jam/tahun, sedangkan curahan waktu kerja istri dan anggota rumah tangga lainnya masih di bawah lamanya waktu kerja normal, masing-masing yaitu : 13,81 jam/minggu dan 7,40 jam/minggu.

Lebih besarnya total curahan waktu kerja rumah tangga tani strata dua (3.041 jam/tahun) bila dibandingkan dengan rumah tangga strata satu (1.755 jam/mimggu) adalah dikarenakan lahan usahatani yang menjadi tanggung jawabnya lebih luas dan terdapatnya kegiatan pencarian nafkah yang sifatnya rutin, yaitu adanya anggota keluarga yang menjadi pegawai di suatu perusahaan swasta.

Page 39: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 97

Tabel 3. Rata-rata Curahan Waktu Kerja Rumah Tangga Tani Strata Tiga di Desa Sepanyul (Jam), Tahun 2013.

Keterangan Suami Istri Anggota

Rumah Tangga Jumla

h Usahatani : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

78

54,54

-

0,00

-

0,00

78

4,05 Luar Usahatani : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

92

45,46

1.075 100,00

679

100,00

1.846 95,95

Total : a. Jam Kerja b. Persentase (%)

170 100

1.075 100,00

679

100,00

1.924 100,00

Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani Strata Satu, Tahun 2013.

Rumah tangga tani strata tiga, mempunyai rata-rata curahan waktu kerja pada kegiatan luar usahatani yang lebih besar daripada curahan waktu kerja pada kegiatan usahataninya, yaitu 1.846 jam/tahun atau 95,95 % dari seluruh curahan waktu kerjanya dan 78 jam/tahun atau 4,05 % dari seluruh curahan waktu kerjanya.

Sedikitnya curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dikarenakan rumah tangga tani strata tiga dalam hal ini kepala keluarga, sifatnya hanya mengontrol kegiatan usahatani, tidak terlibat penuh untuk melaksanakan seluruh aktivitas pada usahatani baik padi maupun jagung (pola tanam petani padi di Desa Sepanyul adalah padi-padi-jagung). Menurut Hart (1980), petani yang mempunyai lahan luas, kebutuhan tenaga kerjanya tidak dapat dipenuhi dari anggota keluarganya, sehingga diperlukan bantuan tenaga kerja dari luar keluarganya. Kondisi rumah tangga tani strata tiga atau berlahan luas sesuai dengan pendapat Hart dengan alasan yang berbeda. Kebutuhan tenaga kerja pada kegiatan usahatani lebih banyak dilakukan dengan sistem borongan khususnya dalam kegiatan persiapan lahan dan panen

Lebih kecilnya waktu kerja kepala rumah tangga tani berlahan luas dikarenakan aktivitas yang dilakukan baik pada kegiatan usahatani dan di luar usahatani bersifat sebagai pengontrol atau pengawas. Adapun kegiatan luar usahatani yang dilakukan oleh kepala rumah tangga tani strata tiga adalah mengawasi kegiatan tanah mereka yang disewa oleh pabrik gula untuk ditanami tebu, mengawasi mesin perontok padi dan jagung miliknya yang dipercayakan kepada opertor mesin, menyewakan mesin hand tractor, dsb. Curahan waktu kerja yang dilakukan oleh istri dan anggota rumah tangga lainnya lebih lama daripada curahan waktu kerja kepala keluarga, hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukannya bersifat rutin, yaitu sebagai pegawai negeri sipil, pegawai di suatu perusahaan, pegawai bank, aparat desa dan (membuka usaha warung).

Berdasarkan tabel 1, tabel 2 dan tabel 3 curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani mempunyai kondisi yang unik, karena hingga sampai rumah tangga tani strata dua saja curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani semakin membesar, dan kemudian curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani menurun pada rumah tangga tani berlahan luas (strata tiga). Sebaliknya, curahan waktu kerja pada kegiatan luar usahatani berkecenderungan sebaliknya yaitu semakin menurun dengan semakin luasnya lahan usahatani yang menjadi tanggung jawabnya, dan hanya berlaku hingga rumah tangga tani strata dua, sedangkan curahan waktu kerja rumah tangga tani berlahan luas (strata tiga) lebih lama dibandingkan dengan curahan waktu kerjanya pada kegiatan usahatani. Dilihat dari besarnya persentase curahan waktu kerja luar usahatani yang lebih besar daripada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani menunjukan adanya kecenderungan semakin pentingnya kegiatan luar usahatani bagi rumah tangga tani padi.

Berdasarkan uji statistik, curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani berbeda nyata antara curahan waktu kerja rumah tangga tani strata satu, dua dan tiga.

Page 40: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 98

ANOVA CurahanWK_UT

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1.608E7 2 8040355.300 345.469 .000 Within Groups 2024815.500 87 23273.741 Total 1.811E7 89

4.1.2.. Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Tani 4.1.2.1. Kontribusi Pendapatan RumahTangga Tani Strata 1

Pendapatan rumah tangga tani dalam penelitian ini berasal dari dua kegiatan yaitu usahatani dan luar usahatani serta dibedakan atas dasar luas lahan garapan, yaitu strata satu untuk rumah tangga tani berluas lahan garapan sempit ( < 0,378 Ha), strata dua adalah rumah tangga tani berlahan garapan sedang ( 0,378 – 0,834 Ha) dan strata tiga adalah rumah tangga tani berlahan garapan luas ( > 0,834 Ha). Tabel 5. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Tani Strata Satu di Desa

Sepanyul (Jam), Tahun 2013.

Keterangan Suami Istri Anggota

Rumah Tangga Jumlah

Usahatani : a. Pendapatan b. Persentase

7.703.019

56,53

-

0,00

-

0,00

7.703.019

39,16 Luar Usahatani : a. Pedapatan b. Persentase

5.923.000

43,47

2.739.850

100,00

3.305.600

100,00

11.968.50

60,84 Total : a. Pendapatan b. Persentase

13.626.019

100

2.739.850

100,00

3.305.600

100,00

19.671.469

100,00 Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani Strata Satu, Tahun 2013.

Pendapatan total rumah tangga tani strata satu sebagian besar (60,84 %) berasal

dari luar usahatani. Kegiatan di usahatani memberikan kontribusi sebesar 39,15 % dari total pendapatan rumah tangga. Sumbangan pendapatan dari perolehan nafkah dari curahan waktu kerja istri dan anggota rumah tangga lainnya memberikan kontribusi yang setara dengan kontribusi pendapatan suami dari luar usahatani, yaitu 50,51 % terhadap pendapatan total rumah tangga tani yang berasal dari luar usahatani. Besarnya sumbangan pendapatan dari istri dan anggota keluarga lainnya adalah karena memperoleh pendapatan yang rutin setiap bulannya karena bekerja sebagai karyawan perusahaan suasta dan kegiatan berdagang (marung). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan luar usahatani sangat penting bagi rumah tangga tani berlahan sempit.

4.1.2.2. Kontribusi Pendapatan RumahTangga Tani Strata 2 Tabel 6. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Tani Strata Dua di Desa

Sepanyul (Jam), Tahun 2013.

Keterangan Suami Istri Anggota Rumah

Tangga Jumlah

Usahatani : a. Pendapatan b. Persentase

21.493.071

73,52

-

0,00

-

0,00

21.493.071

62,44 Luar Usahatani : a. Pedapatan b. Persentase

7.730.500

26,48

3.094.517

100,00

2.105.000

100,00

12.930.017

37,56 Total : a. Pendapatan b. Persentase

29.223.571

100

2.739.850

100,00

3.305.600

100,00

34.423.088

100,00 Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani Strata Dua, Tahun 2013.

Page 41: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 99

Kontribusi pendapatan rumah tangga tani strata dua yang berasal dari usahatani lebih besar (62,44 %) daripada kontribusi pendapatan rumah tangga tani yang berasal dari kegiatan luar usahatani (37,56 %). Tidak seperti halnya rumah tangga tani strata satu (berlahan sempit), kegiatan usahatani pada rumah tangga tani berlahan sedang masih berperan besar dalam menunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Peran istri pada rumah tangga tani strata dua cukup besar dalam menunjang perekonomian keluarga, yaitu 23,93 % dari total pendapatan rumah tangga tani yang berasal dari luar usahatani.

4.1.2.3. Kontribusi Pendapatan RumahTangga Tani Strata 3 Tabel 7. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Tani Strata Tiga di Desa

Sepanyul (Jam), Tahun 2013.

Keterangan Suami Istri Anggota Rumah

Tangga Jumlah

Usahatani : a. Pendapatan b. Persentase

33.795.320

62,68

-

0,00

-

0,00

33.795.320

51,92 Luar Usahatani : a. Pedapatan b. Persentase

20.118.333

37,32

4.576.667

100,00

6.605.600

100,00

31.300.600

48,08 Total : a. Pendapatan b. Persentase

53.913.653

100

2.739.850

100,00

3.305.600

100,00

65.095.920

100,00 Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani Strata Tiga, Tahun 2013.

Kontribusi pendapatan rumah tangga tani strata tiga dari berkegiatan usahatani

lebih besar (51,92%) dibanding dengan kegiatan diluar usahatani ( 48.08) hanya saja perbedaan besarnya kontribusi pendapatan terhadap total pendapatan rumah tangga tani relatif kecil, yaitu berselisih 3,84 %. Besarnya kontribusi pendapatan rumah tangga tani dari berkegiatan usahatani karena luasnya lahan garapan usahatani, sedangkan besarnya kontribusi pendapatan rumah tangga tani yang berasal dari luar usahatani adalah adanya petani pemilik lahan luas yang menyewakan lahannya untuk ditanami tebu. Adapun pendapatan yang diperoleh dari menyewakan tanah untuk ditanami tebu adalah sekitar Rp. 35.000.000,- per hektar. Tabel 8. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Tani di Desa Sepanyul (Jam),

Tahun 2013.

Keterangan Strata 1 Strata 2 Strata 3 Rata-rata

Usahatani : a. Pendapatan b. Persentase

7.703.019

39,16

21.493.071

62,44

33.795.320

51,92

62.991.410

51,92 Luar Usahatani : a. Pedapatan b. Persentase

11.968.450

60,84

12.930.017

37,56

31.300.600

48,08

56.199.067

48,08 Total : a Pendapatan b Persentase

19.671.469

100,00

34.423.088

100,00

65.095.920

100,00

119.190.477

100,00 Sumber : Analisis Data Primer Rumah Tangga Tani, Tahun 2013.

Tabel 8 menunjukkan adanya hubungan yang positif antara luas lahan dengan

besarnya pendapatan yang diperoleh baik dari berkegiatan di usahatani maupun di luar usahatani. Semakin luas lahan garapan usahatani, maka semakin besar pula pendapatan yang diperoleh baik dari kegiatan usahatani maupun luar usahatani. Kegiatan luar usahatani merupakan sumber pendapatan yang penting bagi rumah tangga tani strata satu (berlahan sempit), sedangkan bagi rumah tangga tani strata dua dan tiga, pendapatan yang berasal dari berkegiatan di usahatani lebih berperan dari pada pendapatan yang berasal dari kegiatan luar usahatani.

Page 42: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 100

4.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Curahan Waktu Kerja Rumah Tangga Tani pada Kegiatan Usahatani

4.2.1. Rumah Tangga Tani Strata 1

Untuk menguji beberapa faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dalam penelitian ini digunakan regresi linier berganda. Adapun hasil perhitungan statistik adalah sebagai berikut :

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .980a .960 .945 15.21066

ANOVA b

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 117714.155 8 14714.269 63.598 .000a

Residual 4858.645 21 231.364

Total 122572.800 29

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

T Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 286.014 47.016 6.083 .000

Rasio Beban Tanggungan 7.368 14.907 .026 .494 .626

Jml Angt Kel yg Bekerja -14.758 9.152 -.143 -1.612 .122

Pedapatan Total Rumah Tangga

1.504E-6 .000 .151 1.709 .102

Upah di UT -.007 .001 -.266 -5.054 .000

Upah di LUT .000 .000 -.041 -.664 .514

Usia Pernikahan -.175 .638 -.017 -.274 .787

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

1.078 3.862 .014 .279 .783

Luas Lahan 881.823 49.556 .964 17.794 .000

a. Dependent Variable: CWK UT (Jam/th)

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan alat bantu statistik yaitu SPSS

versi 17 menunjukkan bahwa F-hitung lebih besar daripada F-tabel dengan tingkat kepercayaan 100 %, dengan demikian Ho ditolak dan Hi diterima. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8 secara simultan berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani.

R2 yang dihasilkan dari uji statistik ini sebesar 96 % yang menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model regresi linier berganda mempunyai peluang menjelaskan variasi atau keragaman pada variabel tidak bebasnya yaitu curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani sebesar 96 %, sedangkan sisanya yaitu 4 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan sebagai variabel bebas atau variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Page 43: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 101

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani (pengujian secara parsial) digunakan uji t, yaitu :

Upah dari berkegiatan usahatani (X4) berpengaruh sangat nyata dengan tingkat kepercayaan 100 % serta mempunyai arah hubungan yang negatif. Hal ini karena rumah tangga tani strata satu adalah rumah tangga tani yang subsisten, yaitu yang menggunakan sebagian besar hasil produksinya untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu peningkatan upah dari kegiatan usahatani tidak menarik perhatian bagi rumah tangga tani strata satu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa respon penawaran tenaga kerja rumah tangga tani strata satu pada kegiatan usahatani berlawanan atau mengalami backward bending supply.

Seperti halnya upah pada kegiatan usahatani, luas lahan (X8) juga berpengaruh sangat nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan tingkat kepercayaan 100 %. Arah hubungan antara luas lahan dan curahan waktu kerja di usahatani adalah positif yang mengandung arti bahwa semakin luas lahan yang digarap akan semakin besar pula curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan asumsi faktor lainnya tetap.

Rasio beban tanggungan (X1) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani karena jumlah anggota rumah tangga yang belum atau tidak produktif relatif kecil.

Jumlah anggota yang bekerja (X2) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani. Hal ini dikarenakan tidak adanya anggota keluarga yang bekerja pada kegiatan usahatani.

Pendapatan total rumah tangga (X3) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan pendapatan yang bersumber dari kegiatan luar usahatani berkontribusi lebih besar terhadap pendapatan total keluarga daripada pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani.

Upah di luar usahatani (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukan di luar usahatani, dilaksanakan tidak bersamaan waktunya dengan saat berkegiatan usahatani, atau dengan kata lain kegiatan di luar usahatani dilaksanakan pada saat tidak melakukan kegiatan usahatani.

Usia pernikahan merujuk pada anggota rumah tangga lainnya dalam hal ini adalah anak. Dengan semakin tua usia pernikahan, maka semakin dewasa pula usia anak-anak, dan diharapkan dapat membantu kepala keluarga dalam berkegiatan usahatani. Pada rumah tangga tani strata satu (berlahan sempit), usia pernikahan (X6) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani di kegiatan usahatani. Hal ini dikarenakan anggota rumah tangga pada usia kerja atau produktif tidak berkegiatan di usahatani, tetapi berkegiatan di luar usahatani atau sekolah.

Pendidikan kepala rumah tangga (X7) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan pekerjaan usahatani adalah pekerjaan sehari-hari yang tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan yang tinggi.

4.2..2. Rumah Tangga Tani Strata 2

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .957a .916 .883 87.50227

b. Dependent Variable: CWK UT (Jam/th)

ANOVA b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1742408.264 8 217801.033 28.446 .000a

Residual 160789.603 21 7656.648

Total 1903197.867 29

Page 44: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 102

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 25.748 223.722 .115 .909

Rasio Beban Tanggungan -73.917 100.061 -.073 -.739 .468

Jml Angt Kel yg Bekerja -27.037 46.450 -.049 -.582 .567

Pedapatan Total Rumah Tangga

7.417E-6 .000 .284 2.968 .007

Upah di UT -.014 .006 -.196 -2.447 .023

Upah di LUT .003 .003 .078 1.080 .292

Usia Pernikahan 2.495 4.844 .081 .515 .612

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

41.054 46.961 .092 .874 .392

Luas Lahan 1356.036 248.158 .653 5.464 .000

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan alat bantu statistik yaitu SPSS versi 17 menunjukkan bahwa F-hitung lebih besar daripada F-tabel dengan tingkat kepercayaan 100 %, dengan demikian Ho ditolak dan Hi diterima. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8 secara simultan berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani.

R2 yang dihasilkan dari uji statistik ini sebesar 91,6 % yang menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model regresi linier berganda mempunyai peluang menjelaskan variasi atau keragaman pada variabel tidak bebasnya yaitu curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani sebesar 91,6 %, sedangkan sisanya yaitu 8,4 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani (pengujian secara parsial) digunakan uji t, yaitu :

Pendapatan total rumah tangga (X3) berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani dengan tingkat kepercayaan sebesar 99,3 % serta mempunyai arah hubungan yang positif. Hal ini berarti bahwa semakin besar pendapatan total rumah tangga tani, maka semakin besar pula curahan waktu kerja untuk berkegiatan di usahatani. Kontribusi pendapatan total rumah tangga tani strata dua berasal dari pendapatan yang bersumber dari berkegiatan luar usahatani, yaitu 62,44 % dari total pendapatan rumah tangga tani.

Upah dari berkegiatan usahatani (X4) berpengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 97,7 % serta mempunyai arah hubungan yang negatif. Hal ini karena rumah tangga tani strata dua adalah rumah tangga tani yang juga masih bersifat subsisten, yaitu yang menggunakan sebagian besar hasil produksinya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual untuk modal tanam pada musim tanam berikutnya, oleh karena itu peningkatan upah pada kegiatan usahatani tidak menarik perhatian bagi rumah tangga tani strata dua. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa respon penawaran tenaga kerja rumah tangga tani strata dua pada kegiatan usahatani berlawanan atau mengalami backward bending supply.

Seperti halnya upah pada kegiatan usahatani, luas lahan (X8) juga berpengaruh sangat nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan tingkat kepercayaan 100 %. Arah hubungan antara luas lahan dan curahan waktu kerja di usahatani adalah positif yang mengandung arti bahwa semakin luas lahan yang digarap akan semakin besar pula curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan asumsi faktor lainnya tetap.

Page 45: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 103

Seperti halnya pada rumah tangga tani strata satu, rasio beban tanggungan (X1) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani karena jumlah anggota rumah tangga yang belum atau tidak produktif relatif kecil.

Jumlah anggota yang bekerja (X2) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani. Hal ini dikarenakan tidak adanya anggota keluarga yang bekerja pada kegiatan usahatani. Upah di luar usahatani (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukan di luar usahatani dilaksanakan tidak bersamaan waktunya dengan saat berkegiatan di usahatani, atau dilaksanakan pada saat tidak melakukan kegiatan usahatani.

Usia pernikahan merujuk pada anggota rumah tangga lainnya dalam hal ini adalah anak. Dengan semakin tua usia pernikahan, maka semakin dewasa pula usia anak-anak, dan diharapkan dapat membantu kepala keluarga dalam berkegiatan usahatani. Pada rumah tangga tani strata satu (berlahan sempit), usia pernikahan (X6) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani di kegiatan usahatani. Hal ini dikarenakan anggota rumah tangga pada usia kerja atau produktif tidak berkegiatan di usahatani, tetapi berkegiatan di luar usahatani atau sekolah.

Pendidikan kepala rumah tangga (X7) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan pekerjaan usahatani adalah pekerjaan yang dipelajari secara turun meurun dari orang tua rumah tangga tani, sehingga tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan yang tinggi.

4.2.3. Rumah Tangga Tani Strata 3

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .943a .890 .848 .987

ANOVA b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 165.718 8 20.715 21.273 .000a

Residual 20.449 21 .974

Total 186.167 29

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 57.418 5.285 10.864 .000

Rasio Beban Tanggungan 2.547 1.572 .173 1.620 .120

Jml Angt Kel yg Bekerja .049 .451 .009 .110 .914

Pedapatan Total Rumah Tangga

4.140E-9 .000 .017 .180 .859

Upah di UT -4.466E-5 .000 -.345 -2.735 .012

Upah di LUT 7.481E-7 .000 .040 .468 .645

Usia Pernikahan .023 .044 .065 .515 .612

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

-.367 .312 -.086 -1.176 .253

Luas Lahan 43.147 4.276 1.135 10.092 .000

Page 46: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 104

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 57.418 5.285 10.864 .000

Rasio Beban Tanggungan 2.547 1.572 .173 1.620 .120

Jml Angt Kel yg Bekerja .049 .451 .009 .110 .914

Pedapatan Total Rumah Tangga

4.140E-9 .000 .017 .180 .859

Upah di UT -4.466E-5 .000 -.345 -2.735 .012

Upah di LUT 7.481E-7 .000 .040 .468 .645

Usia Pernikahan .023 .044 .065 .515 .612

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

-.367 .312 -.086 -1.176 .253

Luas Lahan 43.147 4.276 1.135 10.092 .000

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan alat bantu statistik yaitu SPSS versi 17 menunjukkan bahwa F-hitung lebih besar daripada F-tabel dengan tingkat kepercayaan 100 %, dengan demikian Ho ditolak dan Hi diterima. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8 secara simultan berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani.

R2 yang dihasilkan dari uji statistik ini sebesar 89 % yang menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model regresi linier berganda mempunyai peluang menjelaskan variasi atau keragaman pada variabel tidak bebasnya yaitu curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani sebesar 89 %, sedangkan sisanya yaitu 11 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan sebagai variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani (pengujian secara parsial) digunakan uji t, yaitu :

Upah dari berkegiatan usahatani (X4) berpengaruh sangat nyata dengan tingkat kepercayaan 98,8 % serta mempunyai arah hubungan yang negatif. Hal ini karena rumah tangga tani strata tiga adalah juga rumah tangga tani yang subsisten, yaitu yang menggunakan sebagian besar hasil produksinya untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu peningkatan upah dari kegiatan usahatani tidak menarik perhatian bagi rumah tangga tani strata tiga. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa respon penawaran tenaga kerja rumah tangga tani strata tiga pada kegiatan usahatani berlawanan atau mengalami backward bending supply.

Luas lahan (X8) berpengaruh sangat nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan tingkat kepercayaan 100 %. Arah hubungan antara luas lahan dan curahan waktu kerja di usahatani adalah positif yang mengandung arti bahwa semakin luas lahan yang digarap akan semakin besar pula curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan asumsi faktor lainnya tetap.

Rasio beban tanggungan (X1) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani karena jumlah anggota rumah tangga yang belum atau tidak produktif relatif kecil.

Jumlah anggota yang bekerja (X2) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani. Hal ini dikarenakan tidak adanya anggota keluarga yang bekerja pada kegiatan usahatani.

Pendapatan total rumah tangga (X3) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan pendapatan yang bersumber dari kegiatan luar usahatani berkontribusi lebih besar terhadap pendapatan total keluarga daripada pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani.

Page 47: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 105

Upah di luar usahatani (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukan di luar usahatani, dilaksanakan tidak bersamaan waktunya dengan saat berkegiatan usahatani, atau dengan kata lain kegiatan di luar usahatani dilaksanakan pada saat tidak melakukan kegiatan usahatani.

Usia pernikahan merujuk pada anggota rumah tangga lainnya dalam hal ini adalah anak. Dengan semakin tua usia pernikahan, maka semakin dewasa pula usia anak-anak, dan diharapkan dapat membantu kepala keluarga dalam berkegiatan usahatani. Pada rumah tangga tani strata satu (berlahan sempit), usia pernikahan (X6) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani di kegiatan usahatani. Hal ini dikarenakan anggota rumah tangga pada usia kerja atau produktif tidak berkegiatan di usahatani, tetapi berkegiatan di luar usahatani atau sekolah.

Pendidikan kepala rumah tangga (X7) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan pekerjaan usahatani adalah pekerjaan yang dipelajari secara turun meurun dari orang tua rumah tangga tani, sehingga tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan yang tinggi. 4.2.4. Total Rumah Tangga Tani

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .987a .973 .970 78.07120

ANOVA b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1.763E7 10 1762827.123 289.220 .000a

Residual 481513.892 79 6095.113

Total 1.811E7 89

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 65.864 61.095 1.078 .284

Rasio Beban Tanggungan -17.274 48.271 -.008 -.358 .721

Jml Angt Kel yg Bekerja -29.192 17.272 -.034 -1.690 .095

Pedapatan Total Rumah Tangga

3.989E-6 .000 .188 3.422 .001

Upah di UT -.005 .001 -2.236 -6.160 .000

Upah di LUT .000 .000 -.045 -2.047 .044

Usia Pernikahan 1.764 1.637 .029 1.078 .284

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

4.534 13.023 .007 .348 .729

Luas Lahan 1261.239 117.127 .863 10.768 .000

Dummy_1 94.649 56.414 .099 1.678 .097

Dummy_2 839.723 332.722 .882 2.524 .014

Page 48: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 106

Perhitungan secara statistic total rumah tangga tani yang merupakan bagian dari populasi dimaksudkan untuk mengetahui secara keseluruhan faktor -faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani. Penggunaan dummy pada perhitungan regresi linier berganda ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya perbedaan curahan waktu kerja rumah tangga tani berdasarkan strata luas lahan pada rumah tangga tani berlahan sempit, sedang dan luas.

Berdasarkan hasil uji statistic diperoleh model regresi linier berganda sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9D1 + b10D2 + u Y = 65.864 - 17.274 X1 - 29.192 X2 + 3.989E-6 X3 -. 005 X4 + .000 X5 + 1.764

X6 + 4.534 X7 + 1261.239 X8 + 94.649 D1 + 839.723 D2 + u Hasil analisis curahan waktu kerja total rumah tangga tani terhadap kegiatan

usahatani mempunyai F- hitung 289.220 dengan tingkat kepercayaan 100 %, dengan demikian hal ini berarti bahwa variabel-variabel bebasnya yaitu X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7

dan X8 secara simultan berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani.

R2 yang dihasilkan dari uji statistik ini sebesar 97,3 % yang menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model regresi linier berganda mempunyai peluang menjelaskan variasi atau keragaman pada variabel tidak bebasnya yaitu curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani sebesar 97,3 %, sedangkan sisanya yaitu 2,7 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan sebagai variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani (pengujian secara parsial) digunakan uji t. Curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dipengaruhi secara nyata oleh jumlah anggota keluarga yang bekerja (X2), pendapatan total rumah tangga tani (X3), upah dari kegiatan usahatani (X4), upah di luar usahatani (X5), luas lahan (X8).

Jumlah anggota yang bekerja (X2) berpengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 90,5 % terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani dengan arah hubungan yang negatif. Hal ini mengandung arti bahwa bila terjadi penambahan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (1), maka akan mengurangi kontribusi terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani sebesar 29,192 jam/tahun. Hal ini dikarenakan sebagian besar anggota rumah tangga bekerja pada kegiatan luar usahatani.

Pendapatan total rumah tangga tani (X3) berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani dengan tingkat kepercayaan 99 % dengan arah hubungan yang positif. Hal ini mengandung arti bahwa bila terjadi peningkatan Rp 1,- pada pendapatan total rumah tangga, maka curahan waktu kerja rumah tangga tani akan meningkat sebesar 3.989E-6 jam/tahun. Hal ini dikarenakan 51,92 % pendapatan total rumah tangga tani bersumber dari kegiatan usahatani, sedangkan 48,08 % bersumber dari kegiatan luar usahatani.

Upah dari berkegiatan usahatani (X4) berpengaruh sangat nyata dengan tingkat kepercayaan 100 % serta mempunyai arah hubungan yang negatif. Hal ini karena rumah tangga tani di desa Sepanyul adalah rumah tangga tani yang subsisten, yaitu yang menggunakan sebagian besar hasil produksinya untuk dikonsumsi sendiri, dan sebagian kecil sisanya digunakan sebaga modal tanam untuk musim tanam berikutnya, oleh karena itu peningkatan upah dari kegiatan usahatani tidak menarik perhatian bagi rumah tangga tani strata tiga. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa respon penawaran tenaga kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani berlawanan atau mengalami backward bending supply.

Upah di luar usahatani (X5) berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani dengan tingkat kepercayaan 95,6 % dengan arah hubungan yang negatif. Hal ini berarti bahwa bila terjadi peningkatan upah pada kegiatan luar usahatani, maka rumah tangga tani akan mengurangi curahan waktu kerjanya pada kegiatan usahatani dengan anggapan faktor lainnya tetap. Hal ini dikarenakan peningkatan upah di luar usahatani yang diperolehnya menarik rumah tangga tani untuk meningkatkan curahan waktu kerjanya.

Luas lahan (X8) berpengaruh sangat nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dengan tingkat kepercayaan 100 %. Arah hubungan antara luas lahan dan curahan waktu kerja di usahatani adalah positif yang mengandung arti

Page 49: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 107

bahwa semakin luas lahan yang digarap akan semakin besar pula kebutuhan curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani (dengan asumsi faktor lainnya tetap) dan diperlukan bantuan tenaga dari luar anggota rumah tangga baik dalam bentuk perorangan maupun dengan sistim borongan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hart (1980) yang menyatakan bahwa rumah tangga tani dengan penguasaan lahan yang luas, kebutuhan tenaga kerja tidak dipenuhi dari anggota keluarganya.

Kedua dummy mempunyai pengaruh yang nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani dengan tingkat kepercayaan masing-masing 90,3 % dan 98,6 %. Hal ini berarti bahwa strata luas lahan usahatani berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani.

Rasio beban tanggungan (X1) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani karena jumlah anggota rumah tangga yang belum atau tidak produktif relatif kecil.

Usia pernikahan merujuk pada anggota rumah tangga lainnya dalam hal ini adalah anak. Dengan semakin tua usia pernikahan, maka semakin dewasa pula usia anak-anak, dan diharapkan dapat membantu kepala keluarga dalam berkegiatan usahatani. Pada rumah tangga tani strata satu (berlahan sempit), usia pernikahan (X6) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani di kegiatan usahatani. Hal ini dikarenakan anggota rumah tangga pada usia kerja atau produktif tidak berkegiatan di usahatani, tetapi berkegiatan di luar usahatani atau sekolah.

Pendidikan kepala rumah tangga (X7) tidak berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumahtangga tani. Hal ini dikarenakan pekerjaan usahatani adalah pekerjaan yang dipelajari secara turun meurun dari orang tua rumah tangga tani, sehingga tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan yang tinggi.

5. Kesimpulan

� Rumah tangga tani strata satu, dua dan tiga mempunyai rata-rata curahan waktu kerja pada kegiatan luar usahataninya lebih besar daripada curahan waktu kerja pada kegiatan usahataninya

� Pendapatan total rumah tangga tani strata satu sebagian besar (60,84 %) berasal dari luar usahatani. Kegiatan di usahatani memberikan kontribusi sebesar 39,15 % dari total pendapatan rumah tangga.

� Kontribusi pendapatan rumah tangga tani strata dua yang berasal dari usahatani lebih besar (62,44 %) dibanding dengan kegiatan luar usahatani (37,56 %). kegiatan usahatani pada rumah tangga tani berlahan sedang masih berperan besar dalam menunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.

� Kontribusi pendapatan rumah tangga tani strata tiga dari berkegiatan usahatani lebih besar (51,92%) dibanding dengan kegiatan diluar usahatani ( 48.08)

� Hasil analisis curahan waktu kerja total rumah tangga tani terhadap kegiatan usahatani mempunyai F- hitung 289.220 dengan tingkat kepercayaan 100 %, dengan demikian hal ini berarti bahwa variabel-variabel bebasnya yaitu X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 dan X8 secara simultan berpengaruh nyata terhadap curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani.

� R2 yang dihasilkan dari uji statistik ini sebesar 97,3 % yang menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model regresi linier berganda mempunyai peluang menjelaskan variasi atau keragaman pada variabel tidak bebasnya yaitu curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani sebesar 97,3 %, sedangkan sisanya yaitu 2,7 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan sebagai variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

� Curahan waktu kerja rumah tangga tani pada kegiatan usahatani dipengaruhi secara nyata oleh jumlah anggota keluarga yang bekerja (X2), pendapatan total rumah tangga tani (X3), upah dari kegiatan usahatani (X4), upah di luar usahatani (X5), luas lahan (X8).

� Respon penawaran tenaga kerja rumah tangga tani pada strata satu, dua dan tiga pada kegiatan usahatani berlawanan atau mengalami backward bending supply.

Page 50: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 108

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, http://www.artikata.com

Biro Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, Jakarta.

Drapper, N.R. 1981. Applied Regression Analysis. Second Edition. John Wiley and Sons, New York.

Ehrenberg and Smith. 1988. Modern Labor Economics : Theory and Public Policy. Third editon. Scott, Foresman and Company London.

Granau, R. 1980. Leisure, Home Production and Work : The Theory of Allocation of Time Revisted in Rural Household Studies in Asia.

Gujarati, Damodar. 1991. Ekonometrika Dasar, Erlangga., Cetakan kedua, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.

Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research, Edisi ke 20, Fakultas Psikologi Universitaes Gadjah Mada, Yogya.

Hart, Gilian Patricia. 1978. Labor Allocation Strategies in Rural Jawa Households. A Thesis Presented to the Faculty of The Graduate School of Cornell University in Partial Fulfilment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy.

Hart, Gilian Patricia. 1980. Patterns of Household LaborAllocation in a Jawa Village in Rural Household Studies in Asia, Singapore Press University.

Irawan, Bambang, Djauhari, A dan Suryana. 1988. Peneyrapan Tenaga Kerja di Daerah Produksi Padi di Jawa Barat dalam Prosiding Patanas Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang, Pusat Penelitan Agro Ekonomi Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Kasryono, Faisal. 1988. Pola Penyerapan Tenaga Kerja Pedesaan di Indonesia dalam Patanas Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang, Pusat Penelitan Agro Ekonomi Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Lee, J.E. 1985. Allocating Farm Resource between Farm and Non Farm Uses, Journal of Farm Economics, Vol. 47 No. 1.

Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi, Nur Cahya, Yogya.

Nicholson, Walter. 1985. Teori Ekonomi Mikro II, Edisi 1, CV. Rajawali, Jakarta.

Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Cetakan ketiga, Jakarta.

Nakjima, Cihiro. 1970. Subsistence and Comercial Familiy Farms : Some Theoritical Models of Subjective Equilibrium in Subsistence Agriculture and Economic Development, Second Printing, Aldine Publishing Comapany, Chicago.

Parel, C.P. 1973. Sampling Design and Procedures, Trial Edition, PSSC Social Survey Series, Quezon City.

Ratina, Ratna. 1993. Curahan Jam Kerja Rumahtangga Petani pada Kegiatan di dalam dan Luar Usahatani Padi Sawah serta Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya (studi kasus di desa Ngenep, kecamatan Karang Ploso), Program Pasca Sarjana, UGM, Program KPK Universitas Brawijaya.

Rosenzweigh, M.R. 1980. Neoclassical Theory and the Optimizing Peasant : An Econometric Analysis of Market Family Labor Supply in Development Country.

Sawit, M. Husein, Saifudin Y. dan Hartoyo S., 1985. Aktivitas Non Pertanian, Pola Musiman dan Peluang Kerja Rumahtangga di Pedesaan Jawa dalam Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan, BPFE, Yogyakarta.

Sajogyo, 1978. Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa dalam Prisma. No. 3, LP3ES, Jakarta.

Page 51: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 109

Sajogyo, 1985. Peluang Berusaha, Peluang Bekerja dan Lembaga Sosial Pedesaan, P3PK, Universitas Gadjah Mada.

Sajogyo, 1989. Peluang Berusaha dan Bekerja pada Masyarakat Petani dalam Prisma. No.2, LP3ES, Jakarta.

Shand, R.T. 1986. Off Farm Employment in The Development of Rural Asia, Vol two, National Centre for Development Studies Australian National University, Canbera.

Sigit, Hananto. 1989. Transformasi Tenaga Kerja di Indonesia Selama Pelita dalam Prisma No. 5, Tahun XVIII, LP3ES, Jakarta.

Sidik, Muhamad. 1990. Alokasi Waktu Kerja dan Pendapatan Rumahtangga Petani (Studi Kasus di Empat Desa Miskin Kabupaten Lombok Tengah NTB). Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Simanjuntak, Payaman. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Soekartawi, 1986. Analisis Fungsi Cobb-Douglas, Edisi Pertama, Universitas Brawijaya, Malang

Soekartawi, Soeharjo A., Dillon, A.J. dan Hardaker J.B., 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani kecil. Cetakan ketiga, Universitas Indonesia, Jakarta

Sugiarto, D. Siagian, L.T Sunaryanto, dan D.S. Oetomo. (2003). Tehnik Sampling. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan (Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Surachmad, Winarno. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode Teknik Tarsito, Bandung.

Tongroj Onchan and Yongyuth Chalamwong, 1986. Rural Off-Farm Income and Employment in Thailand Current Evidence, Future Trends and Implications in Off-Farm Employment in The Development of Rural Asia, Volume One, National Centre for Development Studies, Australian National University, Canbera.

Marwanti, Sri., Widodo, Sri. dan Soedjono, Mas. 1992. Kerja Luar Usahatani oleh Rumahtangga Tani Padi di Kecamatan Tawangsari Sukoharjo, Fakultas Pertanian, UGM, Yogyakarta.

Widodo, Sri., Soedjono, Mas., Alisadono, Sadono., Pudjiastuti W., Soebadilan dan Irham, 1980. Perilaku Rumahtangga Transmigran dalam Mengalokasikan Waktu untuk Meningkatkan Pendapatan, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Yotopoulus P.A. dan Nugent J.B., 1976. Economic of Development Emppirical Investigation, Harper International Edition, Harper and Row Publisher, New York.

Page 52: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 110

PENGEMBANGAN POTENSI DAN NILAI TAMBAH SUMBERDAYA LOKAL MELALUI DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN

R.M. Wardhani (1) dan L. S. Budi(1)

2Program Studi Agoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Madiun, Jl Serayu No 79 Madiun, Email:[email protected], 63133

ABSTRAK

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri adalah hubungan antara

sektor pertanian dan industri terutama dalam penyediaan bahan baku yang lemah. Sejauh ini tanaman hortikultura (pisang dan nangka dan garut) dijual dalam bentuk segar bukan produk akhir agroindustri sehingga belum memberikan nilai tambah. Penelitian ini tujuan untuk mengidentifikasi potensi ketersediaan bahan baku dan menganalisis pendapatan dan nilai tambah pada agroindustri pisang, nangka dan garut bagi produsen (kripik pisang, kripik nangka dan kripik garut ). Penelitian sengaja dipilih di desa Kuwiran, Kecamatan Kare Kabupaten Madiun yang merupakan pusat industri keripik pisang, nangka dan garut. Pengembangan produk olahan di analisis menggunakan metode perbandingan ekponensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan baku kripik pisang dan nangka disediakan oleh pedagang yang datang dari luar daerah penelitian masing-masing 51,85% (pisang) dan 42,85% (nangka) . Sedangkan dari kripik garut dipasok oleh para pedagang di sekita daerah penelitian dengan sebesar 45,55%. Nilai tambah yang diperoleh dari produksi keripik pisang adalah 37,35% dari harga pisang. Nilai tambah keripik nangka adalah 50,12% dari harga nangka dan nilai tambah yang diperoleh dari produksi kripik garut adalah 59,57% dari harga garut. Sedangkan hasil pengembangan produk olahan buah pisang prioritas ke dua adalah Sele pisang, prioritas kedua olahan buah nangka adalah dodol nangka, dan garut prioritas olahan kedua adalah dodol garut. Kata kunci: Agroindustri, Nilai Tambah, Bahan Baku, Kripik PENDAHULUAN

Agroindustri pada saat ini semakin diharapkan peranannya untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, sekaligus sebagai penggerak industrialisasi di daerah pedesaan. Banyak harapan ditumpukan pada agroindustri, namun keberhasilannya lebih banyak ditentukan oleh potensi yang ada. Dengan berkurangnya kemiskinan berarti pendapatan masyarakat meningkat , dengan meningkatnya pendapatan berarti akan terjadi peralihan minat konsumen pada produk-produk olahan dan berkualitas lebih baik, yang dengan sendirinya menghendaki kegiatan agribisnis berkembang lebih cepat. Untuk mewujudkan harapan tersebut perlu dilakukan pengkajian apakah agroindustri yang dikembangkan sesuai dengan peranannya.

Di Kabupaten Madiun banyak desa yang dikembangkan sebagai sentra tanaman buah-buahan dalam usaha agribisnis seperti pisang, nangka dan masih banyak yang lainnya. Jumlah tanaman produktif dan produksi buah pisang dan nangka di Kabupaten Madiun cenderung mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Selain tanaman buah-buahan juga tanaman garut (Maranta arundinacea L) yang merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang dapat maksimal dibawah lindungan pohon dengan kadar matahari minimum maka tanaman ini potensial diusahakan pada tanah pekarangan, maupun daerah yang tingkat kesuburannya rendah, seperti Kecamatan Kare merupakan daerah yang kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman pangan, karena merupakan daerah lahan kering sehingga tanaman garut sangat mungkin dikembangkan di daerah tersebut. Selama ini usaha agroindustri yang ada dikembangkan hanya sebagai usaha sampingan atau mengisi waktu luang.

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri adalah masih lemahnya keterkaitan anatar sektor pertanian dan sektor industry terutama dalam penyediaan bahan baku agroindustri. Selama ini tanaman hortikultura (pisang dan nangka) serta tanaman garut hanya dipasarkan dalam bentuk primer daripada diolah lebih lanjut kedalam kegiatan agroindustri.

Page 53: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 111

Oleh karena agroindustri pengolahan kripik pisang, kripik nangka dan emping garut merupakan bagian dari system agribisnis yang memproses dan mentransformasikan produk-produk mentah hasil pertanian menjadi barang-barang setengah jadi maupun barang jadi yang langsung dapat dikonsumsi, maka perlunya pengembangan komoditas tanaman hortikultura dan tanaman garut untuk menciptakan struktur agribisnis dan agroindustri yang memadai.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dikaji apakah agroindustri kripik pisang, kripik nangka dan emping garut memberikan nilai tambah dari setiap kilogram bahan baku yang digunakan oleh pengrajin. Disamping itu perlu dianalisis terkait dengan alternatif produk olahan berdasarkan skala prioritas yang didasarkan pada indikator-indikator yang relefan. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, pada Juni-Nopember 2010. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini meliputi analisis diskripsi dan analisis nilai tambah. Analisis nilai tambah berguna untuk mengetahui berapa nilai tambah yang terdapat pada satu kilogram produk olahan. Dari angka ini dapat dihitung berapa pendapat kerja (labour income) yang menunjukan berapa besar satu kilogram produk olahan memberikan imbalan pendapatan bagi para pekerjaannya. Apabila pendapatan kerja terhadap nilai tambah (%) tinggi, maka agroindustri yang demikian lebih berperan dalam memberikan pendapatan bagi para pekerjanya. Sedangkan sisa nilai tambah yang tidak digunakan sebagai imbalan tenaga kerja merupakan bagian (keuntungan) pengrajin. Untuk membuktikan bahwa agroindustri memberikan nilai tambah yang layak bagi para pengrajin agroindustri digunakan analisi nilai tambah yang dikemukakan Hayami, et.al (1987). Selanjutnya untuk mengetahui alternatif produk olahan prioritas kedua dilakukan menggunakan kajian pustaka dan studi pakar dan dianalisis menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE). HASIL DAN PEMBAHASAN I. Agroindustri Kripik Pisang Produksi Pisang dan Kebutuhan Bahan Baku Kripik Pisang

Di Kabupaten Madiun perkembangan tanaman pisang dari tahun ke tahun cenderung tinggi, hal ini seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap buah pisang baik dalam bentuk segar maupun sebagai bahan baku kripik pisang. Kenaikan produksi pisang dari tahun ke tahun bukan berarti kebutuhan pisang sebagai bahan baku kripik tercukupi, hal ini dikarenakan produksi pisang yang diwilayah Kabupaten Madiun merupakan jenis pisang buah, sehingga sebagian besar dijual secara primer dalam bentuk buah segar.

Tabel 1. Asal dan Kebutuhan Bahan Baku Agroindustri Kripik Pisang selama 1 tahun

No

Asal Bahan Baku Kebutuhan Bahan Baku Daerah Asal Bahan Baku

(kg/tahun) %

1. Pengrajin sendiri 180 16,67 Lahan sendiri

2. Petani Lain 340 31,48 Desa Kuwiran, Desa Kare

3. Pedagang 560 51,85 Luar Kec. Kare

Jumlah 1080 100

Sumber: Data Primer yang diolah,2010 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa 51,86% bahan baku diperoleh dari pedagang

diluar daerah Kecamatan Kare, hal ini menunjukkan bahwa budidaya tanaman pisang untuk dikembangkan sebagai bahan baku agroindustri kripik pisang di desa Kuwiran masih sangat kurang dikembangkan .

Page 54: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 112

Tabel 2. Struktur Biaya Produksi Dan Penerimaan Agroindustri Kripik Pisang.

No Output,Input dan Harga Kripik Pisang

01 02 03 04 05 06 07

Hasil Produksi : Kripik Pisang (kg/bulan) Bahan Baku : Pisang (kg/bulan) Tenaga kerja (HK/bulan) Faktor konversi (1)/(2) Koefisien Tenaga Kerja (3)/(2) Harga Produk : Kripik Pisang (Rp/Kg) Upah rata-rata (Rp/HK)

30 90 6

0,33 0,06

30.000 8333,34

Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg input bahan baku)

08 09 10 11 12 13 14 15 16

Input: bahan baku: Pisang (Rp/kg) Input lain (Rp/kg bahan baku) Nilai Produksi (Rp/kg=faktor konvensi x harga kripik pisang) Nilai tambah per kg bahan baku (10-09-08) Rasio nilai tambah (11/10 x 100 %) Imbalan kerja (Rp/kg bahan baku = koefisien kerja x upah rata-rata) Rasio bagian tenaga kerja (13/11 x 100%) Keuntungan pengolah (11-13) Tingkat Keuntungan pengolah (15/10 x 100%)

4000 2202,08

9900 3697,9

37,35 % 500

13,5 % 3197,89 32,30 %

Sumber: Data Primer yang diolah,2010

II.Agroindustri Kripik Nangka Produksi Nangka dan Kebutuhan Bahan Baku Kripik Nangka

Perkembangan tanaman hortikultura di Kabupaten Madiun dari tahun ke tahun cenderung meningkat, mulai dari jumlah tanaman produktif sampai produksi buahnya. Hal ini menunjukkan bahwa peranan tanaman hortikultura dalam meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan cukup berarti , baik dijual secara primer (buah segar) atau sebagai bahan baku agroindustri yang ada di pedesaan. Sebagai bahan baku kripik nangka tidak semua jenis nangka dapat digunakan sebagai bahan baku, hal ini dikarenakan bahan baku kripik nangka diperlukan nangka yang tidak terlalu masak dengan jenis tertentu, seperti jenis nangka salak. Sedangkan jenis nangka yang lain seperti jenis nangka bubur, kunir tidak bisa dipergunakan sebagai bahan baku kripik nangka dikarenakan mempunyai kandungan air yang tinggi serta terlalu lunak.

Tabel 3. Asal Dan Kebutuhan Bahan Baku Agroindustri Kripik Nangka selama 1 tahun

No Asal Bahan Baku Kebutuhan Bahan Baku Daerah Asal (kg/tahun) % 1 Pengrajin sendiri 156 20,65 Lahan sendiri 2 Petani Lain 276 36,5 Desa Kuwiran 3 Pedagang 324 42,85 Luar Kec. Kare

J u m l a h 756 100

Sumber: Data Primer yang diolah,2010 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa bahan baku kripik nangka terpenuhi dari

pedagang (42,85 %) yang berasal dari luar Kecamatan Kare , hal ini disebabkan karena bahan baku yang berasal disekitar daerah penelitian kurang dapat menyediakan secara kontinyu dikerenakan jenis nangka yang dibutuhkan untuk kripik nangka dikembangkan dan tidak dibudidayakan secara baik sehingga tidak dapat memasok bahan baku pada pengusaha agroindustri kripik nangka.

Page 55: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 113

Analisa Nilai Tambah Tabel 4. Struktur Biaya Produksi dan Penerimaan Agroindustri Kripik Nangka

No Output, Input dan Harga Kripik Nangka

01 02 03 04 05 06 07

Hasil Produksi : Kripik Nangka (kg/bulan) Bahan Baku : Nangka (kg/bulan) Tenaga kerja (HK/bulan) Faktor konversi (1)/(2) Koefisien Tenaga Kerja (3)/(2) Harga Produk : Kripik Nangka (Rp/Kg) Upah rata-rata (Rp/HK)

21 63 7

0,33 0,11

50.000 7500

Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg input bahan baku)

08 09 10 11 12 13 14 15 16

Input : bahan baku : Nangka (Rp/kg) Input lain (Rp/kg bahan baku) Nilai produksi (Rp/kg= faktor konversi x harga kripik nangka) Nilai tambah per kg bahan baku ( 10-09-08) Rasio nilai tambah (11/10 x 100%) Imbalan kerja (Rp/kg bahan baku =koefisien kerja x upah rata-rata) Rasio bagian tenaga kerja (13/11 x 100%) Keuntungan pengolah (11-13) Tingkat keuntungan pengolah (15/10 x 100%)

4500 3728,98 16.500

8271,02 50,12 825,00

9,97 % 7446,02 45,12 %

Sumber: Data Primer yang diolah,2010

III. Agroindustri Emping Garut Perkembangan budidaya tanaman garut dari tahun ke tahun sudah mulai meningkat .

hal ini dilihat dari asal bahan baku yang tertinggi (45,55%) berasal dari petani yang berada dari Desa Kuwiran. Sehingga dengan terpenuhinya bahan baku agroindustri emping garut yang berasal dari Desa Kuwiran sendiri berarti sudah dapat meningkatkan usaha agroindustri emping garut yang ada di Desa Kuwiran. Adapun data asal dan kebutuhan bahan baku emping garut selama 1 tahun adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Asal Dan Kebutuhan Bahan Baku Agroindustri Emping Garut selama 1 tahun.

No Asal Bahan Baku Kebutuhan Bahan Baku Daerah Asal Bahan Baku

(kg/tahun) %

1 Pengrajin sendiri 1800 33,34 Lahan sendiri

2 Petani Lain 2460 45,55 Desa Kuwiran

3 Pedagang 1140 21,11 Luar Kecamatan Kare

J u m l a h 5400 100

Sumber: Data Primer yang diolah,2007

Page 56: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 114

Analisa Nilai Tambah Tabel 6. Struktur Biaya Produksi dan Penerimaan Agroindustri Emping Garut

No Output, Input dan Harga Emping Garut Tepung

01 02 03 04 05 06 07

Hasil Produksi : Emping Garut (kg/bulan) Bahan Baku : Garut (kg/bulan) Tenaga kerja (HK/bulan) Faktor konversi (1)/(2) Koefisien Tenaga Kerja (3)/(2) Harga Produk : Emping Garut (Rp/Kg) Upah rata-rata (Rp/HK)

75 450 15

0,16 0,03

15.000 7333,34

12,5 112,5

4 0,11 0,03 7,000 3400

Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg input bahan baku)

08 09 10 11 12 13 14 15 16

Input : bahan baku : Garut (Rp/kg) Input lain (Rp/kg bahan baku) Nilai produksi (Rp/kg= faktor konversi x harga emping garut) Nilai tambah per kg bahan baku ( 10-09-08) Rasio nilai tambah (11/10 x 100%) Imbalan kerja (Rp/kg bahan baku =koefisien kerja x upah rata-rata) Rasio bagian tenaga kerja (13/11 x 100%) Keuntungan pengolah (11-13) Tingkat keuntungan pengolah (15/10 x 100%)

600 370,29 2400

1429,71 59,57 %

220

15,38 % 1209,7 50,4 %

600 -

770

170 22,07%

102

6% 68

0.08% Sumber: Data Primer yang diolah,2010

Disamping itu, berdasarkan hasil kajian pustaka dan diskusi mendalam dengan pakar diperoleh prioritas kedua pengolahan pisang, pengolahan nangka dan juga garut. Penilaian alternatif pemilihan produk dengan mempertimbangkan sejumlah kriteria. Kriteria tersebut ditentukan berdasarkan kajian pustaka dan pendapat pakar. Kriteria-kriteria tersebut meliputi; permintaan pasar produk, peningkatan nilai tambah, aspek fnansial, aspek teknologi, ketersediaan bahan baku, penyerapan tenaga kerja, dampak lingkungan, dan daya tahan/simpan. Hasil analisis produk prioritas pengolahan pisang, nangka dan garut sebagai berikut:. Tabel 7. Hasil analisis pemilihan prioritas produk olahan pisang, nangka dan garut

No Produk unggulan hilir Alternatif produk olahan Bobot Agregat Prioritas

1 Pisang Kripik Pisang 6784536745 I

Sale Psang 5773456523 II

Dodol Pisang 3452132890 III

2 Nangka Kripik Nangka 7634561298 I

Dodol Nangka 5698971234 II

Bubur Nangka 4349765821 III

3 Garut Emping Garut 6997650321 I

Dodol Garut 5889783456 II

Roti Garut 4763246599 III

Tabel 7, menunjukkan hasil analisis dimana alternatif produk olahan pisang prioritas kedua adalah produk sale pisang, alternatif produk olahan nangka prioritas kedua dodol nangka, dan produk olahan garut prioritas kedua adalah dodol garut. Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan memilih prioritas kedua sebagai alternatif produk unggulan adalah merupakan keputusan yang tepat, karena dengan alternatif kedua tersebut dapat dipergunakan sebagai diversifikasi produk olehan yang masih diminati masyarakat.

Page 57: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 115

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pada agroindustri kripik pisang dan kripik nangka kebutuhan bahan baku dipenuhi dari

pedagang diluar daerah penelitian yaitu 51,85 % dan 42,85 % dari keseluruhan kebutuhan bahan baku( yang berasal dari pengrajin sendiri maupun petani lain dalam desa Kuwiran) , sedangkan pada agroindustri emping garut kebutuhan bahan baku dipenuhi dari petani disekitar daerah penelitian yaitu sebesar 45,55% dari keseluruhan kebutuhan bahan baku dari pengrajin sendiri atau petani diluar daerah penelitian.

2. Nilai tambah yang diperoleh dari usaha : - agroindustri kripik pisang sebesar Rp.3697,9/kg bahan baku atau 37,35 % nilai kripik

pisang. - agroindustri kripik nangka sebesar Rp. 8271,02/kg bahan baku atau 50,12 % nilai

kripik nangka - agroindustri emping garut sebesar Rp. 1429,71/kg bahan baku atau 59,57 % nilai

emping garut dan Rp.170,- /kg bahan baku atau 22,07% nilai tepung garut. 3. Alternatif produk olahan prioritas kedua dari pisang, nangka dan garut dapat di lakukan

sebagai diversifikasi produk olahan dan tidak asing lagi bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Douglas,E.J 1993 Managerial Economic: Analysis and Strategy, Prentice-Hall, New

Jersey, pp. 69-104 Hoocker and Caswell,1996 Trend in Food Quality Regulation: Implications for Processed

Food Trades and Foreign Direct Investment’ Amer. J.Agri.Econ,vol 12 No 5 pp 411-419

Hayami,Y,et 1997 Agricultural Marketing and Processing In Upland Java: A Prospective from Sunda Village, CGR PT Bogor, ch.6,p 43-47

Siebert ,J.W et.all 1997 The Vest Model : An Alternative Approach to Value Added” Agribisness,Vol 13 No 6 ,pp 561-567

Page 58: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 116

FENOLOGI TANAMAN SALAK ( Salacca zalacca var. amboinensis) KULTIVAR GULAPASIR PADA KETINGGIAN BERBEDA DI TABAN AN BALI

(THE PHENOLOGY OF SALAK TREES ( Salacca zalacca var. amboinensis) cv. GULAPASIR ON DIFFERENT ALTITUDE IN TABANAN BALI)

I Ketut Sumantra

Staf Pengajar Fak. Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar Jl. Kamboja 11 A Denpasar-Bali (0361) 265322:

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Setiap kultivar salak memiliki adaptasi terhadap elevasi yang erat kaitannya dengan toleransi tanaman terhadap suhu. Namun sejauh ini belum diketahui satuan panas salak Gulapasir yang dibutuhkan untuk mencapai fase tertentu bila ditanam di Tabanan. Penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan satuan panas dan fenologi tanaman salak Gulapasir pada ketinggian berbeda di Tabanan Bali. Penelitian mempergunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor sebagai peubah tak bebas dengan sepuluh ulangan sekaligus sebagai sampel. Sebagai peubah tak bebas adalah ketinggian tempat terdiri dari : desa Saribuana (460 m dpl), desa Pajahan (570 m dpl) dan desa Batungsel (700 m dpl). Hasil penelitian menunjukkan perbedaan ketinggian tempat menyebabkan perbedaan satuan panas dan perbedaan fenologi tanaman salak yang meliputi perkembangan pelepah, muncul seludang bunga dan waktu panen. Buah salak yang ditanam di Saribuana mencapai masak konsumsi lebih awal 7.4 hari dibandingkan dengan yang ditanam di Batungsel dan 4.2 hari lebih awal dibandingkan dengan yang ditanam di Pajahan. Tanaman salak Gulapasir yang ditanam pada ketinggian 570 m dpl menghasilkan tebal daging buah, dan edible portion lebih tinggi dari dua tempat lainnya. Kata kunci: Tanaman salak Gulapasir, Satuan panas, Fenologi, Elepasi

ABSTRACT

Each cultivar of zalacca could adapt to elevation, which has close relationship with the

plant tolerance to temperature. However, heat unit of salak trees cv. Gulapasir , which are required to reach definite phase if they are grown in Tabanan areas have not known yet. The current research was aimed at getting the heat unit and phenology of salak trees cv. Gulapasir on different altitude in Tabanan Bali. This study utilized Randomized Completely Design with one factor as a non-independent variable with ten replications. The non-independent variable was the altitude of three sites namely the village of Saribuana (460 m asl), the village of Pajahan (570 m asl) and the village of Batungsel (700 m asl). The results showed that the heat unit difference causes the difference of phenology of salak trees including the growth of midrib, the spathe and harvest time. The fruits in the village of Saribuana were ready for consumption within 7.4 days earlier than those planted in the village of Batungsel and 4.2 days earlier than those planted in the village of Pajahan. The salak trees were planted at Pajahan (570 m asl) shows the highest of thick flesh and edible portion then the others two altitude. Key words: Salak trees cv. Gulapasir, Heat unit, Phenology, Altitude.

PENDAHULUAN

Salak Gula pasir merupakan komoditas indigenus Indonesia yang berpotensi untuk

dikembangkan, baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun pasar ekspor. Keistimewaan salak Gulapasir ialah citarasa yang memenuhi preferensi konsumen karena memiliki rasa buah manis tanpa rasa asem dan sepet walaupun buah masih muda. Sifat buah ini tergolong ideal untuk memenuhi tuntutan pasar baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor (Bank Indonesia, 2004). Sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap buah salak, diprediksi kebutuhan buah salak akan meningkat dan berpotensi untuk dikembangkan

Page 59: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 117

sebagai agribisnis dan agroindustri. Disamping itu keragaman genetik salak yang tinggi memungkinkan tanaman dikembangkan untuk memperoleh varietas unggulan (Ashari 2002).

Permintaan salak Gulapasir terus meningkat, dilain pihak prospek pasar salak Bali terus menurun karena kalah bersaing dengan salak Pondoh, mendorong pemerintah Kabupaten Karangasem mengembangkan salak Gulapasir secara intensif, melalui program penanaman pada areal baru atau sebagai pengganti pertanaman salak Bali (Rai et al., 2010; Dinas Pertanian Bali, 2009). Pada tahun 1989 populasi salak Gulapasir sekitar 133 pohon (Wijana, 1990), tahun 1992 menjadi 950 pohon (Wijana et al., 1993) dan tahun 2007 mencapai 1,5 juta pohon (Bappeda Karangasem, 2007) atau sekitar 25 % dari total populasi 5.897.315 salak yang ada di Kabupaten Karangasem (Dinas Pertanian Bali, 2009).

Keberhasilan Kabupaten Karangasem mengembangkan salak Gulapasir membuat daerah lain tertarik untuk membudidayakan komoditas ini. Bila pada saat awal perkembangan tanaman salak Gulapasir terbatas di Kabupaten Karangasem-Bali, maka saat ini telah meluas ke kabupaten lain di Bali seperti Kabupaten Tabanan, Buleleng, Badung dan Bangli (Wijana et al., 1993).

Penampilan pertumbuhan dan produksi tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama iklim mikro dan faktor endogen tanaman, seperti kandungan karbohidrat, status nutrisi dan hormon tumbuh (Bernier et al., 1985; Kinet et al., 1985). Keragaman suhu di daerah tropis disebabkan ketinggian yang berbeda dari permukaan laut. Makin tinggi tempat atau lokasi penanaman akan makin panjang umur suatu tanaman (Oldeman, 1977), karena tanaman tersebut membutuhkan sejumlah satuan panas untuk mencapai tingkat perkembangan tertentu hingga panen. Suhu berpengaruh pada phenologi tanaman seperti pola dan laju pertumbuhan (Calvo dan Obesco, 2004 ), mempengaruhi keberhasilan penyerbukan (Widiastuti dan Palupi, 2008), mempengaruhi proses fisiologi dan biokimia selama pertumbuhan dan perkembangan buah (Léchaudel et al., 2005). Pada tanaman salak, suhu terlalu tinggi menghambat perkembangan buah dan biji (Anarsis 1990) daun muda mudah terbakar dan tanaman menjadi kerdil (Soleh et al., 1996). Sedangkan bila suhu terlalu rendah dapat menghambat perbungaan tanaman salak (Anarsis 1999; Tjahjadi, 1989)., rasa buah salak menjadi masam (Soleh et al., 1996), bobot buah dan daging buah rendah (Purnomo dan Sudaryono, 1994).

Setiap kultivar salak memiliki adaptasi terhadap elevasi yang erat kaitannya dengan toleransi tanaman terhadap suhu (Soleh et al., 1996). Di daerah ini informasi tentang keragaman suhu pada berbagai elevasi masih sangat terbatas sehingga fenologi tanaman di berbagai elevasi juga belum diketahui. Informasi tentang fenologi sangat penting dalam melakukan berbagai aktivitas budidaya tanaman seperti waktu pemberian pupuk, pengairan dan jadwal panen (Zavalloni et al., 2006). Namun sejauh ini belum diketahui mutu buah dan satuan panas salak Gulapasir yang dibutuhkan untuk mencapai fase tertentu bila ditanam di daerah baru. Informasi ini sangat penting sebab selama ini penentuan umur panen hanya menggunakan satuan waktu dalam hari. Metode ini kurang tepat disebabkan adanya keragaman suhu rata-rata harian akibat perbedaan elevasi dan musim (Calvo dan Obesco, 2004). Keragaman tersebut akan menyebabkan jumlah hari tanaman mencapai suatu periode pertumbuhan dan kematangan tertentu beragam pula. Beberapa penelitian menunjukkan akumulasi satuan panas setelah bunga mekar dapat menjelaskan keragaman pertumbuhan buah pada lokasi berbeda (Black et al., 2008). Metode akumulasi satuan panas juga digunakan untuk memprediksi ukuran dan mutu buah apel (Kaack dan Pedersen, 2010) serta tingkat kematangan buah jeruk (Stenzel et al., 2006).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenologi dan satuan panas salak Gulapasir yang ditanam pada ketinggian berbeda di Tabanan Bali, sehingga hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pengembangan dan upaya perbaikan mutu buah di daerah ini.

Page 60: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 118

BAHAN DAN METODE

Penelitian dimulai pada bulan Maret 2011 – bulan September 2011 bertempat di tiga lokasi di daerah Tabanan-Bali yaitu : 1). Desa Saribuana dengan letak lintang 08o20’15.6” LS 115o02’26.4” BT. Tinggi tempat 460 m dpl, suhu rata-rata 23.80 oC, kelembaban udara rata-rata 86.78%. Tekstur tanah lempung berdebu, kandungan C-organik tinggi, NPK tanah rendah, pH 5,46. 2). Desa Pajahan dengan letak lintang 08o20’08.6” LS, 114o59’17.4” BT. Tinggi tempat 570 m dpl, suhu rata-rata 22.21 oC kelembaban udara 87.96 %. Tekstur tanah lempung berdebu dengan kandungan C-organik tinggi, NPK tanah rendah, pH 5,75. 3). Desa Batungsel dengan letak lintang 08o20’15.6”LS, 115o02’26.4” BT, tinggi tempat 700 m dpl, suhu rata-rata 21,53 oC. Tekstur tanah lempung berdebu kandungan C-organik tinggi, N tanah sedang dan kandungan P, K rendah pH 5,65

Tanaman salak Gulapasir yang dipakai sebagai obyek penelitian ialah tanaman yang sudah pernah berbuah, berumur 8 tahun. Sebelum pengamatan dan pengukuran untuk mengetahui satuan panas yang dikumpulkan oleh tanaman salak, terlebih dahulu dilakukan pemilihan tanaman sampel pada masing-masing lokasi. Sampel tanaman didasarkan pada keseragaman morpologi, umur dan tidakan budidaya yang diberikan. Tindakan budidaya dimaksud adalah tanaman hanya mendapat perawatan berupa pemangkasan pelepah dan anakan serta pembersihan gulma. Dalam penelitian ini tanaman tidak dipupuk, pemberiaan air hanya dari curah hujan sesuai dengan kebiasaan yang diterapkan oleh petani salak.

Penelitian mempergunakan rancangan lingkungan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor sebagai peubah tak bebas dengan sepuluh ulangan sekaligus sebagai sampel. Sebagai peubah tak bebas adalah ketinggian tempat yang terdiri dari : desa Saribuana (460 m dpl), desa Pajahan (570 m dpl) dan desa Batungsel (700 m dpl). Ketiga lokasi tersebut terletak di Kabupaten Tabanan. Besarnya satuan panas (heat unit) yang dikumpulkan oleh tanaman dihitung dengan persamaan berikut :

n ∑ Satuan panas (SP) = ∑ ( Ti - Tbase) i =1

dimana : i = hari 1, 2, 3........n, Ti = suhu udara rata rata harian (Tmax + T min)/2, Tbase = suhu dasar tanaman 15 oC (Djaenudin et al., 2004).

Fenologi dan satuan panas muncul pelepah daun dan muncul seludang bunga dihitung dengan cara menjumlahkan satuan panas yang diakumulasikan setiap hari sampai terbentuk pelepah dan seludang bunga baru. Buah masak konsumsi diperoleh dengan cara menghitung satuan panas yang diakumulasikan mulai dari saat mekar bunga sampai buah masak konsumsi.

Hasil buah dari tiga lokasi yang diamati meliputi: jumlah buah per tandan, berat buah per biji dan berat buah per pohon, tebal daging buah, dan bagian buah yang dapat dimakan. Suhu udara harian diukur setiap hari, Data suhu harian yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi satuan panas.

Data dianalisis dengan analisis ragam (Steel and Torrie, 1980), apabila uji ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5 %. Hubungan satuan panas dan fenologi tanaman di analisis dengan regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbedaan ketinggian tempat tidak saja menyebabkan perbedaan temperatur udara

juga berpengaruh pada phenologi seperti pola dan lama masa pertumbuhan tanaman. (Calvo dan Obesco, 2004). Hasil penelitian menunjukkan tinggi tempat berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman salak. Tanaman salak Gulapasir yang ditanam pada ketinggian 460-700 m dpl, pertumbuhan pelepah daun baru ,muncul antara 40.42 – 44.32 hari dengan satuan panas antara 129.00 – 289.47 doC (Tabel 1). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier : Y= -0.383x + 549.01 (R2 = 0.87) antara tinggi tempat dengan satuan panas muncul pelepah daun. Nilai ini memberi makna bahwa peningkatan tinggi tempat tumbuh tanaman salak dari 460 m dpl menjadi 700 m dpl

Page 61: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 119

menyebabkan penurunan pada nilai satuan panas dari 380.03 doC menjadi 289.47 doC. Sebaliknya terjadi hubungan positip Y = 0.017x + 32.751 (R2 = 0.97) antara tinggi tempat tumbuh terhadap waktu muncul pelepah. Semakin meningkat tempat tumbuh dari 460 m menjadi 700 m menyebabkan waktu muncul pelepah menjadi lebih lama yaitu dari 40.42 hari menjadi 44.32 hari.

Sejalan dengan pertumbuhan pelepah daun, seludang bunga muncul dari punggung pangkal pelepah. Kemunculan seludang baru terjadi pada pelepah daun ke tiga atau ke empat dari titik tumbuh tergantung dari tinggi tempat. Waktu muncul seludang baru berkisar antara 129.00 hari - 145.10 hari dengan satuan panas yang dibutuhkan antara 1233.62 – 1047.90 doC. Terdapat hubungan linier antara tinggi tempat tumbuh dengan satuan panas Y = -0.7804x + 1573.4 (R2 = 0.824). Nilai ini memberi makna bahwa semakin rendah tempat tumbuh jumlah panas yang dibutuhkan untuk membentuk seludang bunga lebih rendah. Namun sebaliknya terhadap waktu muncul seludang bunga menunjukkan hubungan positif dengan persamaan Y = 0.0168x + 32.751 ( R2= 0.974). Hal ini berarti semakin rendah tempat tumbuh muncul seludang bunga lebih awal dibandingkan di tempat lebih tinggi (Tabel 1).

Panen salak musim Gadu di Tabanan berbeda-beda tergantung lokasi dan ketinggian tempat. Tanaman salak yang ditanam pada ketinggian 460 m waktu panen terjadi antara minggu pertama sampai dengan minggu ke dua bulan Agustus, pada ketinggian 570 m panen terjadi pada minggu ke tiga sampai dengan minggu ke empat bulan Agustus, pada ketinggian 700 m panen terjadi minggu ke empat Agustus sampai dengan minggu pertama bulan September. Waktu yang dibutuhkan agar buah dapat dipanen adalah 167 hari pada ketinggian 460 m, 171 hari pada ketinggian 570 m dan 174 hari pada ketinggian 700 m (Tabel 1). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa terjadi hubungan negatif dan sangat nyata antara tinggi tempat dengan satuan panas untuk mencapai panen Y= -1.424x + 2129 (R2 = 0.81). Sebaliknya terhadap waktu panen bahwa semakin bertambah tinggi tempat tumbuh tanaman salak semakin lama untuk mencapai masak konsumsi Y = 0.03x +1 52.0 (R2 = 0.976). Dengan demikian waktu panen salak yang ditanam di Saribuana lebih awal 7.4 hari dibandingkan dengan yang ditanam di Batungsel dan 4.2 hari lebih awal dibandingkan dengan yang ditanam di Pajahan. Perbedaan waktu dari masing fase perkembambangan tanaman disetiap lokasi sangat ditentukan oleh jumlah satuan panas yang dikumpulkan setiap hari. Dalam satu siklus pertumbuhan dan perkembangan tanaman salak musim gadu (musim kemarau) yang dihitung mulai bulan Maret sampai minggu ke dua bulan September jumlah satuan panas di Batungsel 1285.72 doC, di Pajahan 1355.75 doC, di Saribuana 1635.12 doC. Perbedaan satuan panas yang dikumpulkan sangat dipengaruhi oleh suhu rata-rata harian. Di Saribuana suhu rata-rata harian paling tinggi yaitu 23.80oC, Pajahan 22.21oC dan Batungsel 21.53oC. Waktu panen berkorelasi negatif dengan suhu (r= -0.99 **). Ini berarti semakin rendah suhu semakin lama waktu yang dibutuhkan agar tanaman dapat dipanen. Suhu yang rendah pada ketinggian 700 m akan mempengaruhi komponen iklim yang lain terutama kelembaban udara dan curah hujan. Hal ini ditunjukkan dari korelasi kelembaban udara dan curah hujan dengan waktu panen sangat nyata dengan nilai masing-masing (r=0.98**) dan (r=0.88**). Sejalan dengan hasil penelitian ini, Singh et al. (2011) menyatakan, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi mutu buah, namun yang paling dominat adalah faktor iklim terutama suhu. Polii (2003) melaporkan suhu rata-rata harian pada ketinggian berbeda berpengaruh terhadap waktu perkecambahan, waktu berbunga dan waktu berbuah. Semakin tinggi tempat, waktu perkecamabahan, waktu berbunga dan waktu berbuah semakin panjang.

Tinggi tempat berpengaruh nyata terhadap jumlah buah, persentase bagian buah yang dapat dimakan dan tebal daging buah, sedangkan terhadap berat buah berpengaruh tidak nyata (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan, tanaman salak pada ketinggian tempat 570 m menghasilkan jumlah buah, bagian buah yang dapat dimakan dan tebal daging tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan buah salak yang ditanam pada ketinggian 460 m dpl. Bagian buah yang dapat dimakan berhubungan dengan tebal daging buah dan berat buah. Buah dengan tebal daging lebih besar akan mengahasilkan berat buah lebih tinggi.

Sejalan dengan penelitian ini Purnomo dan Sudaryono (1994) melaporkan tebal daging dan bobot buah dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh dan ketinggian lokasi tanam. Kultivar Gondok dan Gulapasir yang ditanam di dataran medium (400 – <650 m

Page 62: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 120

dpl) menunjukkan bobot buah dan tebal daging buah lebih besar dari pada yang ditanam di dataran rendah (250 - <400 m dpl) dan dataran tinggi (> 650 m dpl).

Berat buah dan komponen mutu buah tidak menunjukkan pola linier sejalan dengan pertambahan tinggi tempat seperti pada hasil perhitungan satuan panas yang dibutuhkan tanaman. Satuan panas dalam penelitian ini hanya untuk menentukan fase pertumbuhan tanaman terutama dalam menentukan saat panen optimal untuk mendapat hasil buah maksimal. Bertolak dari hasil penelitian ini, Salisbury dan Ross (1992) menyatakan, setiap spesies mempunyai rentang suhu minimum, optimum dan suhu maksimum. Disatu sisi peningkatan suhu akan mempercepat proses biokimia fotosintesis dan perkembangan tanaman, disisi lain proses respirasi juga berjalan cepat. Oleh karena itu makin banyak asimilat yang dirombak kembali untuk menghasilkan energi untuk kebutuhan proses fisiologi. Karena itu salak yang ditanam di ketinggian 460 m berat buahnya lebih rendah dari yang ditanam pada ketinggian 570 m dpl. Hasil penelitian ini sejalan dari penemuan Rubiyo dan Sunarso (2004) bahwa salak Bali yang ditanam pada ketinggian 501-600 m dpl menghasilkan jumlah buah dan berat buah per pohon tertinggi dibandingkan bila ditanam pada ketinggian kurang dari 500 m dpl dan di atas 600 m dpl. Soleh et al. (1996) melaporkan bahwa tanaman salak Bali yang ditanam pada ketinggian di bawah 300 m dpl. akan tumbuh merana, daun mengering, sedangkan bila ditanam pada ketinggian tempat > 600 m dpl, rasa buah menjadi lebih masam. Ghosh dan Palit (2003) melaporkan pada tanaman jeruk yang ditanam pada temperatur udara harian lebih tinggi akan masak lebih awal, ukuran buah lebih besar dan kandungan asam buah lebih rendah.

Pembungaan dan pembuahaan tanaman buah-buahan dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama iklim mikro dan faktor endogen tanaman, seperti kandungan karbohidrat, status nutrisi dan hormon tumbuh (Bernier et al., 1985). Suhu berpengaruh pada phenologi tanaman seperti pola dan laju pertumbuhan (Calvo dan Obesco, 2004; Qadir et al., 2007), mempengaruhi keberhasilan penyerbukan (Widiastuti dan Palupi, 2008), mempengaruhi proses fisiologi dan biokimia selama pertumbuhan dan perkembangan buah (Léchaudel et al., 2005). Pada tanaman salak, suhu terlalu tinggi menghambat perkembangan buah dan biji (Anarsis 1990) daun muda mudah terbakar dan tanaman menjadi kerdil (Soleh et al., 1996). Sedangkan bila suhu terlalu rendah dapat menghambat perbungaan tanaman salak (Anarsis 1999; Tjahjadi, 1989), rasa buah salak menjadi masam (Soleh et al., 1996), bobot buah dan daging buah rendah (Purnomo dan Sudaryono, 1994).

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulakan : 1. Perbedaan satuan panas menyebabkan perbedaan fenologi tanaman salak yang

meliputi perkembangan pelepah, muncul seludang bunga dan waktu panen. Buah salak masak konsumsi yang ditanam di Saribuana lebih awal 7.4 hari dibandingkan dengan yang ditanam di Batungsel dan 4.2 hari lebih awal dibandingkan dengan yang ditanam di Pajahan.

2. Perbedaan satuan panas menyebabkan mutu buah salak Gulapasir berbeda. Salak Gulapasir yang ditanam pada ketinggian 570 m dpl menghasilkan mutu buah lebih tinggi yang meliputi tebal daging buah, dan edible portion, dibandingkan dua lokasi lainnya.

Page 63: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 121

DAFTAR PUSTAKA

Anarsis, W. 1999. Agribisnis komoditi salak. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. pp.98.

Bank Indonesia. 2004. Pola pembiayaan usaha kecil (PPUK). Budidaya salak unggul. pp. 35. http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/salak.asp. (28 Nopember 2010).

BAPPEDA, 2007. Karangasem dalam angka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Karangasem. pp. 25.

Dinas Pertanian. 2009. Luas tanam, luas panen dan produksi buah-buahan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prop. Bali. p. 25-30.

Ashari 2002. On the agronomy and botany of Salak (Salacca zalacca). PhD Thesis Wageningen University. pp. 126.

Bernier, G.B., J.M. Kinet, R.M. Sachs. 1985. The initiation of flowering. In The Physiology of Flowering. Vol. I. Florida CRC Press, Inc. p 3-116.

Black, B., J. Frisby, K. Lewers, F. Takeda, C.Finn. 2008. Heat unit model for predicting bloom dates in Rubus. Hort. Science 43(7): 2000-2004

Calvo, I.C.F., and J.R. Obesco. 2004. Growth, nutrient content, fruit production and herbivory in bilberry Vaccinium myrtillus L. along an altitudinal gradient. Forestry, 77 (3): 213-223.

Djaenudin, Marwan H., H. Subagyo, A. Mulyani dan N. Suharta. 2000. Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian (Salak). Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 167-168 p.

Ghosh, B.C. and S. Palit. 2003. Nutrition of tropical horticulture crops and quality products. in Ramdane Dris R. Niskanen, S.M. Jain (ed). Crop management and postharvest handling of horticultural products. Crop fertilization nutrition and growth. Science Publishers. Vol.III, 133-200 p.

Ghulam Qadir, G., M. A. Cheema, F.Hassan, M. Ashraf, and M.A. Wahid. 2007. Relationship of heat units accumulation and fatty acid composition in Sunflower. Pak. J. Agri. Sci., 44(1) 24-29.

Kaack, K. and H. L. Pedersen. 2010. Prediction of diameter, weight and quality of Apple fruit (Malus domestica borkh.) cv. ‘Elstar’ using climatic variables and their interactions. Europ.J.Hort.Sci. 75 (2): 60-70.

Kinet,J.M., R.M. Sach, G.B. Bernier. 1985. The development of flowers. In The Physiology of Flowering. Volume III. Florida:CRC Press. Inc. pp. 274.

Léchaudel, M., M. Génard, F. Lescourret, L. Urban, and M. Jannoyer. 2005. Modeling effects of weather and source–sink relationships on mango fruit growth. Tree Physiology 25: 583–597

Oldemann, L.R.1977. Climate of Indonesia. Proceeding of The Sixii Asian Pasik Weed Science Society

Conference APWSS 1: 14 - 30.

Polii, M.G.M. 2003. Penentuan umur berbuah tanaman cabe merah (capsicum anuum var.longum sendt) pada tiga tinggi tempat yang berbeda menggunakan metode satuan panas. Eugenia 9 (2):104-108.

Purnomo, S., Sudaryono. 1994. Seleksi tanaman unggul dalam populasi salak Bali dan salak Pondoh. Laporan Penelitia. Sub Balai Penelitian Hortikultura, Malang. 1 – 27 p.

Rai, I.N., C.G.A. Semarajaya, I.W.Wiratmaja, 2010. Studi fenofisiologi pembungaan salak Gula Pasir sebagai upaya mengatasi kegagalan fruit set. J. Hort. 20 (3): 216-222.

Page 64: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 122

Rubiyo dan B. Sunarso. 2004. Tingkat produktivitas salak (Salacca Edulis L.) dan status hara tanah menurut ketinggian tempat di Bali. BPTP, Bali. pp. 7.

Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology 4th Edition. Terjemahan Lukman DR, Sumaryono. Fisiologi tumbuhan. jilid III. Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Bandung: Penerbit ITB Bandung. pp.343.

Singh, D. K., V. K. Singh, R. B. Ram and L. P. Yadava. 2011. Relationship of heat units (degree days) with softening status of fruits in mango cv. Dashehari. Plant Archives 11 (1): 227-230

Soleh, M. Suhardjo, A.Suryadi. 1996. Pengaruh pemberian air dan masukan hara makro dan mikro terhadap produksi salak. Laporan Hasil Penelitian. Sub Balihorti, Malang. 43 – 52 p.

Steel R.G.D and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. Mc. Graw-Hill, Inc. 748 p.

Stenzel, N. M. C., C. S. V. J. Neves, C. J. Marur, M. B. dos Santos Scholz, J. C Gomes. 2006. Maturation curves and degree-days accumulation for fruits Of ‘Folha Murcha’ orange trees. Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.).63(3): 219-225.

Sumantra, K., Sumeru Ashari, Tatik. Wardiyati, Agus Suryanto. 2012. The agroecosytem approach as a basis concept in sustainable cultivation of gulapasir snake fruit in new development areas in Bali. International Conference on Sustainable Development (ICSD) 6 March 2012, Grand Inna Bali Beach, Sanur Denpasar, Bali, Indonesia. 15 p.

Tjahyadi, N. 1998. Bertanam Salak. Panerbit Kanisius, Yogyakarta. pp 39.

Widiastuti, A., E. R. Palupi. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Biodiversitas. 9 (1) 35-38

Wijana, G. 1990. Telaah sifat-sifat buah salak Gulapasir sebagai dasar penggunaannya. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. pp. 163.

Wijana, G. A. Gunadi dan N. Kencana Putra. 1993. Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas buah salak Bali dengan penentuan waktu penjarangan dan jumlah buah per tandan. Laporan Penelitian. F.P. Unud Denpasar. Pp. 40

Wijana, G., K.Suter, A.Semarajaya. 1994. Upaya pelestarian pengembangan dan peningkatan produksi salak kultivar Gula Pasir. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I/2 Perguruan Tinggi 1993/1994. F.P. Unud Denpasar. pp. 85.

Zavalloni, C., J.A. Andresen, J.A. Flore. 2006. Phenolocical models of flower bud stages and fruit growth of ‘Montmorency’ Sour Cherry based on growing degree-day accumulation. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 131(5): 601-607.

Page 65: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 123

Tabel 1. Fenologi dan satuan panas tanaman salak Gulapasir pada elevasi berbeda.

Lokasi Muncul pelepah daun (hsp)

Jumlah satuan panas muncul pelepah daun (doC)

Muncul seludang bunga (hsp)

Jumlah satuan panas muncul seludang bunga (doC)

Waktu panen (hari setelah bunga mekar)

Jumlah satuan panas waktu panen (doC)

Saribuana (460 m)

40.42 b

380.03 a

129.00 b

1233.62 a

166.60 b

1510.73 a

Pajahan (570 m)

42.66 a

311.49 b

139.70 a

1080.75 b

170.80 a

1227.58 b

Batungsel (700 m)

44.32 a

289.47 c

145.10 a

1047.90 b

174.00 a

1171.45 b

BNT 5% 1.95 15.83 6.44 42.87 5.26 15.48 KK(%) 5.09 5.35 5.17 4.23 3.42 3.31

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf BNT 5%.

Tabel 2. Pengaruh tinggi tempat terhadap jumlah buah, berat buah dan tebal daging salak

Gulapasir

Lokasi Jumlah buah tandan-1 (buah)

Berat buah butir-1 (g)

Berat buah pohon-1 (g)

Edibel portion (%)

Tebal daging buah (cm)

Saribuana (460 m)

15.70 a 38.29 621.72 70.41 a 0.61 ab

Pajahan (570 m)

15.90 a 39.12 662.03 72.27 a 0.64 a

Batungsel (700 m)

14.50 b 37.60 617.15 67.88 b 0.57 b

BNT 5% 1.00 tn tn 1.87 0.05 KK(%) 7.03 8.03 9.83 2.89 8.62

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf BNT 5%.

Page 66: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 124

PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN O PT HASILKAN PANGAN SEHAT DAN RAMAH LINGKUNGAN

Oleh

Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRAK

Masyarakat mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian, sehingga semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Pangan sehat atau lebih dikenal dengan pangan organik merupakan produk pertanian yang diproduksi dan ditumbuhkan dari bahan organik. Pangan organik dihasilkan dari sistem pertanian yang bebas dari unsur kimia sintetis, baik pestisida sintetsi maupun pupuk sintetetis.

Menurut badan Dunia yang menangani kesehatan (WHO) memperkirakan setiap tahunnya 20.000 orang meninggal akibat pencemaran lingkungan dari penggunaan pestisida sintetis, serta 5.000 sampai 10.000 orang lainnya mengalami dampak yang sangat fatal. Keracunan pestisida sintetis dapat menimbulkan penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan, penyakit lever dan gangguan lainnya akibat penggunaan jenis pestisida sintetis untuk mengendalikan hama dan patogen tanaman pertanian yang kemudian terakumulasi dalam tanah dan air.

Revolusi hijau telah mengantarkan Indonesia meraih predikat swasembada beras pada tahun 1984, namun tidak sedikit masalah yang kita hadapi hingga saat ini akibat dari penerapan revolusi hijau. Kondisi agroekosistem tanah bisa dikatakan rusak, antara lain ditandai dengan punahnya satwa dan serangga non-target, pencemaran lingkungan, keracunan dan dampak negatif lainnya akibat penggunaan pestisida kimia sintetis secara berlebihan dan tidak bijaksana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, masyarakat mulai meninggalkan makanan yang mengandung residu bahan kimia sintetis. Kata kunci: pestisida nabati, pangan sehat, ramah lingkungan

ABSTRACT

Community began to realize the danger posed by the use of synthetic chemicals in agriculture, so the wise in choosing food that is safe for health and environment friendly. Healthy food or better known as organic food is manufactured and agricultural products grown from organic material. Organic food is produced from agricultural systems that are free from synthetic chemicals, both pesticides and synthetic fertilizers.

According to the agency that handles the World Health (WHO) estimates that 20,000 people die every year due to environmental pollution from the use of synthetic pesticides, as well as 5,000 to 10,000 other people suffered fatal impact. Synthetic pesticide poisoning can cause cancer, deformities, infertility, liver disease and other disorders due to the use of synthetic pesticides to control agricultural pests and plant pathogens which then accumulates in soil and water.

The green revolution has led Indonesia achieved the self-sufficiency of rice in 1984, but not a few problems that we face up to this time the result of the application of the green revolution. Conditions agroecosystems damaged land can be said, among other things characterized by the extinction of species and non-target insects, environmental pollution, poisoning and other adverse effects caused by the use of synthetic chemical pesticides excessively and unwisely. Along with the increasing awareness of the importance of healthy living, people started leaving food containing residues of synthetic chemicals. Keywords: botanical pesticide, healthy food, eco-friendly

Page 67: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 125

I. PENDAHULUAN Memasuki abad 21 masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh

pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Masyarakat semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan (Suanda dan Darmayasa, 2007). Gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi trend baru dengan meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk kimia sintetis, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh sintetis dalam produksi pertanian. Dampak penggunaan pestisida kimia sintetis yang berlebih dan kurang bijaksana menimbulkan kasus yang merugikan seperti terjadinya keracunan, polusi lingkungan, perkembangan serangga menjadi resisten, resusrgensi serta menurunnya kualitas kesehatan petani (Darmayasa, et al. 2006).

Penggunaan insektisida sintetis sering menimbulkan dampak negatif yang tidak diharapkan seperti : terjadi resistensi hama utama, timbulnya hama sekunder, terbunuhnya parasit dan predator, residu pada bahan makanan, berbahaya pada pemakai dan pencemaran lingkungan (Bramble, 1989; Machbub, et al. 1988; Russel, 1993). Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida sintetis, perlu dilakukan upaya seperti : penggunaan musuh alam dan pestisida nabati.

Tumbuhan yang telah diuji potensinya sebagai sumber pestisida nabati, seperti : mindi (Melia azedarach L.) mengandung senyawa insektisida azadirachtin (Balandrin, et al. 1985). Umbi dan daun rumput teki (Cyperus rotundus) memiliki daya anti jamur dan antifidan terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1987), Ekstrak daun Brotowali (Tinospora criospa L.) bersifat antifeedan (mengurangi nafsu makan) ) terhadap Larva Plutella xylostella L. pada daun kubis (Suanda, 2002), Ekstrak Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.) efektiftTerhadap Phytophthora infestans penyebab penyakit Hawar daun pada kentang (Darmayasa, 2006), Ekstrak Daun Nimba (Azadirachta indica A. Juss) sebagai Biopestisida pada Hama Kutu Beras (Situphilus oryzae L.) (Suanda, 2008), serta beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati (Kardinan, 1999).

Masyarakat mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian, sehingga semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Pangan sehat atau lebih dikenal dengan pangan organik merupakan produk pertanian yang diproduksi dan ditumbuhkan dari bahan organik. Pangan organik dihasilkan dari sistem pertanian yang bebas dari unsur kimia sintetis, baik pestisida sintetsi maupun pupuk sintetis (Soenandar, 2012). Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.

Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat (Anonim., 2005)

Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu yang diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya. Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria (Anonim,2005) yaitu: a. Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih

mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau ”Low External Input Sustainable Agriculture” (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida kimia sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati.

Page 68: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 126

b. Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.

Penerapan pertanian organik merupakan salah satu dari pendekatan dalam pertanian berkelanjutan, karena itu pengembangan pertanian organik tidak terlepas dari program pembangunan pertanian secara keseluruhan. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan bukan berarti penggunaan bahan kimiawi pertanian (agrochemical) tidak diperbolehkan sama sekali, namun sampai batas tertentu masih dimungkinkan. Hal ini juga dipakai dalam penerapan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) selama ini. Dalam Grand Strategi Pembangunan Pertanian disebutkan bahwa pembangunan pertanian harus dilakukan secara berkelanjutan, dengan memadukan antara aspek organisasi, kelembagaan, ekonomi, teknologi dan ekologis.

LEISA menurut Reijntjes, et al. (1999); Plucknert dan Winkelmann (1995), tidak bertujuan untuk mencapai produksi maksimal dalam jangka pendek, melainkan untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah sistem LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) atau pertanian berkelanjutan dengan input luar yang rendah yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam (tanah, air, tumbuhan, tanaman, hewan dan mikroorganisme) serta manusia (tenaga, pengetahuan dan ketrampilan) yang tersedia di tempat; dan yang layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya. II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pestisida Nabati

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati termasuk jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif pestisida (Suanda, 2002). Tersedianya kekayaan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang cukup, peraturan pendaftaran pestisida nabati yang sederhana serta tersedianya berbagai teknologi sederhana merupakan peluang yang besar untuk mengembangkan pestisida nabati di Indonesia (Suprapta, 2001a). Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (Hutton dan Reilly, 2001).

Pada umumnya pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih mengandung senyawa komplek yang relatif kurang stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan senyawa kimia sintetis (Duke, 1990). Jenis pestisida ini biasanya hanya terdiri dari C, H, O dan kadang-kadang N yang mudah terdegradasi oleh alam dan relatif aman bagi lingkungan (Anerson, et al. 1993; Nasahi, et al. 1999).

Tumbuh-tumbuhan mempunyai sifat istimewa yaitu kemampuannya untuk mensintesa sejumlah besar molekul organik sekunder atau bahan alami melalui metabolisme sekunder dari bahan organik primer seperti : karbohidrat, lemak dan protein (Wink, 1987). Beberpa jenis tumbuhan telah mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan senyawa bersifat spesifik untuk mempertahankan diri terhadap serangan hama dan penyakit, misalnya: likomarasmin, asam fusarat, glikopeptida dan naflokuinon. Suprapta (2001b), menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan tertentu dapat memproduksi senyawa “constitutive” yang mempunyai aktivitas sebagai anti jamur seperti: fenol dan glikosida fenol, saponin, glikosida synorgenik dan glikosinolat. Selain zat pengatur tumbuh yang sudah diisolasi seperti : auksin, sitokinin, giberilin dan etilena, juga diketahui beberapa senyawa penting yang dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk mempertahankan diri terhadap serangan hama dan patogen, misalnya : likomarasmin, asam fusarat, glikopeptida dan naftokuinon (Harborne, 1996).

Bahan-bahan alam yang mengandung racun dimanfaatkan untuk membuat pestisida yang mudah terurai secara biologi, juga bersifat selektif dan dapat diproduksi secara lokal. Perhatian serius terhadap ekstrak tumbuhan tingkat tinggi yang diketahui mengandung senyawa anti jamur (fungisida). Fungisida dalam bentuk alkaloid dapat membantu melawan patogen (Suprapta, 2005).

Page 69: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 127

Menurut Badan Dunia yang menangani kesehatan (WHO) memperkirakan setiap tahunnya 20.000 orang meninggal akibat pencemaran lingkungan dari penggunaan pestisida sintetis, serta 5.000 sampai 10.000 orang lainnya mengalami dampak yang sangat fatal. Keracunan pestisida sintetis dapat menimbulkan penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan, penyakit lever dan gangguan lainnya akibat penggunaan jenis pestisida sintetis untuk mengendalikan hama dan patogen tanaman pertanian yang kemudian terakumulasi dalam tanah dan air.

Penggunaan pestisida kimia sintetis untuk memberantas hama dan penyakit tanaman sering menimbulkan dampak sampingan yang bersifat merugikan seperti terjadinya resistensi, timbulnya resurgensi, terbunuhnya OPT non target, residu pada bahan makanan, bahaya pada pemakai dan mencemari lingkungan (Russel, 1993). Dilema dalam menangani masalah produksi pertanian khususnya sayuran kubis yaitu apabila kegiatan pertanian dilaksanakan tanpa penggunaan pestisida, sering menyebabkan kegagalan panen. Namun dilain pihak dengan penggunaan pestisida (khususnya pestisida kimia sintetis) sering merugikan konsumen, petani dan merusak lingkungan, karena residu pestisida kimia sintetis (Ahmed, 1995; Bramble, 1989). Senyawa kimia sintetis tersebut akan terkandung dalam pangan tersebut sehingga dapat mengganggu kesehatan konsumen. 2.2. Pertanian Berkelanjutan

Revolusi hijau telah mengantarkan Indonesia meraih predikat swasembada beras pada tahun 1984, namun tidak sedikit masalah yang kita hadapi hingga saat ini akibat dari penerapan revolusi hijau. Kondisi agroekosistem persawahan bisa dikatakan rusak, antara lain ditandai dengan punahnya satwa dan serangga non-target, pencemaran lingkungan, keracunan dan dampak negatif lainnya akibat penggunaan pestisida kimia sintetis secara berlebihan dan tidak bijaksana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, masyarakat mulai meninggalkan makanan yang mengandung residu bahan kimia sintetis. Untuk mengembalikan kehidupan pada tatanan yang lebih seimbang sekaligus menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh revolusi hijau, masyarakat dari berbagai elemen giat mendengungkan dan menerapkan pertanian berkelanjutan (Salikin, 2003).

Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian, pengurangan input bahan kimia sintetis dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.

Pertanian yang berkelanjutan adalah kembali ke alam, yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah. Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil. Namun, dalam jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan kehancuran lingkungan. Sistem pertanian berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang didasarkan pada nilai-nilai moral (Anonim., 2007) III. PENUTUP 3.1. Simpulan

1. Penggunaan pestisida nabati dalam kegiatan pertanian tidak menimbulkan dampak negatif dan aman bagi konsumen, petani, ternak, organisme non target serta ramah lingkungan

2. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan

Page 70: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 128

3.2. Saran Perlu dilakukan penelitian dengan mengekplorasi sumber daya hayati dari berbagai

tumbuhan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman yang selalu menurunkan produks pertanian secara kuantitas maupun kualitas

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S. 1995. Overview of the Current Status and Future Prospects of Botanical Pesticides in Asia and the Pasific. Report of the FAO Expert Consultation on Regional Perspektives for use of Botanical Pesticides in Asia and the Pasific. Bangkok. 317 p.

Arneson, J.I.; S. Mackinnon; A. Durst; B.J.R. Philognene; C. Hasbun, and P. Shancez. 1993. Insecticides in Tropical Plant with Non Neorotixis Mode of Action. pp. 107-152.

Anonim., 2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Editorial Departemen Pertanian.

Anonim., 2007. Prinsip Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Direktorat Jendral Hortikultura. Departemen Pertanian, 26 Maret 2007. www.horticulture.deptan.go.id

Bramble, B.J. 1989. An Environmentalists View of Pest Management and the Green Revolution. Trop. Pest Manage. 35:228-230.

Darmayasa, I.B.G; I W. Suanda dan S.K. Sudirga. 2006. Aktivitas Fungisida Ekstrak Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.) terhadap Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Hawar Daun pada Tanaman Kentang. Laporan Penelitian Dosen Muda. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Duke, S.O. 1990. Natural Pesticides from Plants. Timber Press Portland. pp. 511-517.

Harborne, J.B. Metode Fitokimia. Penerjemah Kosasih Padma Winata dan Inang Soediro. ITB. Bandung. hal. 353

Hutton, P and S. Reilly. 2001. Biopestisides. United States Enviromental Production Agency. pp 1-3.

Kardinan, A. 1999. Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium (Trev)) Bahan Insektisida Nabati Potensial. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 19 No. 4.

Machbub, B.; H.F. Ludwig and D. Gunaratnam. 1988. Environmental Inpacts from Agrochemicals in Bali. Env. Mon. Assess. 11: 1-23.

Nasahi, C.H; A. Susanto dan T. Sunarto. 1999. Inventarisasi Potensi dan Pemanfaatan Agensia Hayati dan Pestisida Nabati pada Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat. Pros. Hasil Penel. Lembaga Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran. hal. 1-4.

Plucknert, Winkelmann DI. 1992. Technology for sustainable agriculture. Scientific American. 182 – 186.

Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayers A. 1999. Pertanian Masa Depan. Diterjemahkan oleh Y. Sukoco. Yogyakarta: Kanisius.

Salikin, K.A., 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. 126 hal

Suanda, I W. 2002. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Brotowali (Tinospora crispa L) terhadap Larva Plutella xylostella L. Pada Daun Kubis. (Tesis) Program Pascasarjana Bioteknologi Pertanian. Universitas Udayana. 57 hal.

Suanda, I W; I.B.G. Darmayasa. 2007. Kemampuan Fungisida Ekstrak Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.) Terhadap Phytophthora infestans Secara In-Vitro. Denpasar: Majalah Ilmiah Mahawidya Universitas Mahasaraswati Volume 65 Edisi Juni 2006 – Januari 2007. hal. 22-25.

Page 71: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 129

Suanda, I W. 2008. Aktivitas Senyawa Aktif Ekstrak Daun Nimba (Azadirachta indica A. Juss) sebagai Biopestisida pada Hama Kutu Beras (Situphilus oryzae L.) (dalam Majalah Ilmiah Mahawidya Saraswati UNMAS Denpasar No. 57, Januari – Juni 2008, hal. ISSN 0215-966X).

Suprapta, D.N. 2001a. Meninjau Kembali Kebijakan Penggunaan Pestisida pada Lahan Pertanian. Pertanian Masa Depan; Kembali ke Pupuk Nabati. Yayasan Manikaya Kauci. Hal. 1-6.

Suprapta, D.N. 2001b. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan terhadap Infeksi Jamur. Agritrop 20: 42-53.

Suprapta, D.N. 2005. Petanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Taru Lestari Foundation, Denpasar Bali.

Russel, J. M. 1993. Bioactive Natural Products : Detection, Isolation and Struktural Determination. Research Chemist. Plant Protection Research, Western Regional Research Centre, Agricultural Research Service. United States Departemen of Agriculture Albany. California. pp. 47-51

Wink, H. 1987. Chemical Ekology of quinolizisin alkaloids: Allelochemicals: Rolein Agriculture, Forestry and Ecology. Am. Chem.Soc. 330: 424-433

Page 72: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 130

PERBANDINGAN KOPI DENGAN MENGKUDU TERHADAP KARAKTERISTIK KOPI MENGKUDU

Ni Made Ayu Suardani Singapurwa, I Putu Candra, Yohanes Antonius Rema Gaba

[email protected] Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan

Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa Denpasar

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik Kopi Mengkudu ditinjau dari

Perbandingan Kopi dan Mengkudu serta tingkat Kematangan Buah Mengkudu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2012 di Laboratorium Pengolahan Teknologi Pertanian Universitas Warmadewa dan Analisanya dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitasa Udayana dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Denpasar. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah perbandingan kopi dengan mengkudu yang terdiri atas 6 level yaitu K0=0:100, K1=10:90, K2=20:80, K3=30:70, K4=40:60, dan K5=50:50. Faktor kedua adalah tingkat kematangan buah Mengkudu yang terdiri atas 3 level yaitu M1= Kematangan buah kurang dari 30 %, M2= Kematangan buah antara 50 sampai 60 %, dan M3= Kematangan buah lebih dari 80 %. Pengamatan dilakukan secara Objektif dan Subjektif. Secara Objektif mencakup: Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Kafein, Kadar Vitamin C, dan pH. Pengamatan secara Subjektif meliputi: Warna, Aroma, Rasa, serta Penerimaan Keseluruhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan Kopi Mengkudu 50:50 pada tingkat kematangan buah Mengkudu lebih dari 80 % menghasilkan karakteristik kopi mengkudu yang baik dengan Kadar Air 4,78 %, Kadar Abu 5,17 %, Kadar Kafein 0,63 %, Kadar Vitamin C 105,32 mg/100 g, dan pH 4,90. Karakteristik kopi mengkudu ditinjau dari uji subjektif meliputi Warna tidak suka sampai suka, Aroma tidak suka sampai biasa, Rasa tidak suka sampai biasa, serta Penerimaan Keseluruhan biasa sampai suka. Kata Kunci : Kopi, Mengkudu

1. PENDAHULUAN

Kopi sebagai minuman tradisional dengan aroma yang harum, rasa yang khas, nikmat, dan digemari dapat membuat badan lebih segar (Danarti dan Najiyati, 1992). Kopi mengandung kafein yang dapat mengambil alih reseptor adenosin dalam sel syaraf yang akan memacu produksi hormon adrenalin (Anon, 2011). Dari faktor psikologis kecenderungan seseorang mengkonsumsi kopi masih terbatas pada motivasi untuk menghilangkan rasa haus dan belum mengetahui secara luas manfaat dari kopi. Minum kopi yang berlebihan mengandung kafein ternyata dapat meningkatkan resiko terkena insomnia, sakit kepala, dan cepat marah (Nurmaladewi, 2011). Untuk mengatasi resiko tersebut, maka dibuatlah minuman fungsional dari bahan baku Kopi dicampur dengan Mengkudu (Anon, 2013).

Mengkudu (Morinda citrifolia L.) merupakan salah satu tanaman obat yang dapat diolah menjadi produk minuman atau pangan fungsional. Buah Mengkudu mengandung zat yang penting, seperti senyawa terpenoid yang merupakan zat terpen yang membantu tubuh dalam proses sintesa organik serta pemulihan sel-sel tubuh sedangkan zat anti bakteri yang terdapat di dalam buah mengkudu yang dapat melawan golongan bakteri infeksi seperti Pseudonzonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Escherichiacoli. Secara keseluruhan mengkudu merupakan bahan makanan yang bergizi lengkap (Anon, 2004).

Kopi Mengkudu menjadi salah satu minuman fungsional dari bahan baku lokal, seperti yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani tingkat Propinsi Bali tahun 2008 oleh Kelompok Wanita Tani Suka Jati, Desa Taman, Kecamatan Abian Semal, Kabupaten Badung. Sebagai bahan dasar Kopi Mengkudu adalah Kopi Arabika yang ditambahkan

Page 73: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 131

Mengkudu bubuk dan dilakukan secara tradisional, namun belum ada formulasi yang tepat untuk campuran Kopi dan Mengkudu dalam menentukan karakteristik Kopi Mengkudu yang baik. Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai formulasi yang tepat untuk menentukan campuran Kopi dan Mengkudu untuk dapat menghasilkan karakteristik Kopi Mengkudu yang baik.

Rumusan Masalah - Berapakah perbandingan kopi dengan mengkudu untuk menghasilkan kopi

mengkudu dengan karakteristik yang baik? - Pada tingkat kematangan berapakah mengkudu yang baik untuk dijadikan bahan

campuran dengan kopi?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: - Untuk mengetahui perbandingan kopi dengan mengkudu yang dapat menghasilkan

kopi mengkudu dengan karakteristik yang baik. - Untuk mengetahuai tingkat kematangan buah mengkudu yang baik agar dapat

dijadikan bahan campuran kopi.

Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi

ilmiah bagi masyarakat luas tentang pembuatan kopi mengkudu dengan karakteristik yang baik serta formulasi yang tepat dalam pembuatan kopi mengkudu. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah perbandingan bubuk kopi dengan bubuk mengkudu 40 : 60 pada tingkat kematangan buah lebih dari 80% akan menghasilkan kopi mengkudu dengan karakteristik yang baik.

2. MATERI DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Teknologi Pertanian

Universitas Warmadewa dan analisanya dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2012.

Bahan dan Alat

Bahan baku adalah kopi dari jenis Arabika yang diperoleh dari Bajawa-NTT dan Mengkudu yang diambil di wilayah Tanjung Benoa-Bali. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk analisa kimia adalah: H2SO4, akuades, NaOH, alkohol, asam asetat, asam askorbat, asam sulfat, Na2SO4, MgO, Khloform, KOH 1%, Kafein, Yodium, larutan buffer, dan larutan amillum.

Peralatan yang dipakai diantaranya Timbangan, Pisau Stainless Steel, Waskom plastik, Panci, Kompor, Wajan, Pengaduk kayu, Saringan, Termometer, Stopwatch. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis kimia yaitu: Oven, Timbangan analitik, Erlenmeyer, Tabung reaksi, Gelas ukur, Pipet volume, Timbangan, pH meter, Soxlet, Buret, Pipet tetes, Eksikator. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan 2 faktor yaitu: Faktor I adalah perbandingan Kopi dan Mengkudu yang terdiri atas 6 level yaitu:

K0 = Kopi 0% : Mengkudu 100% K3 = Kopi 30% : Mengkudu 70% K1 = Kopi 10% : Mengkudu 90% K4 = Kopi 40% : Mengkudu 60% K2 = Kopi 20% : Mengkudu 80% K5 = Kopi 50% : Mengkudu 50%

Page 74: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 132

Faktor II adalah tingkat Kematangan buah Mengkudu terdiri atas 3 level yaitu: M1 = Kematangan buah kurang dari 30% M2 = Kematangan buah antara 50 sampai 60% M3 = Kematangan buah lebih dari 80%

Sehingga diperoleh 6 x 3 = 18 perlakuan kombinasi, masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 2 kali, menjadi 36 unit percobaan: K0M1 K0M2 K0M3 K1M1 K1M2 K1M3 K2M1 K2M2 K2M3

K3M1 K3M2 K3M3 K4M1 K4M2 K4M3 K5M1 K5M2 K5M3

Pelaksananaan Penelitian

Pada penelitian ini proses penyangraian kopi terdiri atas beberapa tahapan, yakni dilakukan sortasi pada biji kopi (berwarna hijau kebiru-biruan), disangrai selama 2 jam, kemudian didinginkan, setelah itu digiling dan dihaluskan. Sedangkan proses pembuatan bubuk mengkudu meliputi: penyortiran yakni pemilihan atau pemisahan buah berdasarkan tingkat kematangan, buah tersebut dicuci dengan air kran dalam wadah (ember), masing-masing buah dengan tingkat kematangan yang berbeda diblanching selama 15 menit dengan suhu 85 oC, kemudian buah mengkudu tersebut diiris dengan ukuran 1-2 cm, dijemur menggunakan nyiru dengan sinar matahari selama 3-4 hari mulai dari pukul 08.00 WITA sampai pukul 16.00 WITA. Buah yang sudah kering disangrai selama 10-15 menit sampai warna menghitam, setelah itu digiling dan dihaluskan. Bubuk mengkudu dicampur dengan bubuk kopi Arabika sesuai dengan perlakuan dicampur hingga menjadi homogen. Kemudian kopi mengkudu siap dianalisa.

Pengamatan dan Analisa

Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing perlakuan dilakukan pengamatan secara obyektif (Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Kafein, Kadar vitamin C, dan pH), dan pengamatan secara Subyektif meliputi: Warna, Aroma, Rasa, serta Penerimaan keseluruhan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Rata-rata kadar Air tertinggi diperoleh pada perlakuan perbandingan Kopi

Mengkudu 0:100 dengan nilai 6,02% dan terendah pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 50:50 dengan nilai kadar air 4,26%. Kadar air kopi pada mengkudu akan semakin kecil seiring dengan peningkatan jumlah bahan pencampur yang ditambahkan karena perbandingan air terhadap total padatan dalam kopi bubuk juga akan semakin kecil. Sedangkan perlakuan tingkat kematangan buah Mengkudu lebih dari 80% memberikan nilai kadar air tertinggi yaitu 5,99% dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan buah mengkudu kurang dari 30% yaitu 4,81%. Kadar air kopi mengkudu ini masih memenuhi standar mutu kopi bubuk yaitu maksimal 8% (Anon, 1972).

Kadar Abu

Rata-rata kadar Abu tertinggi diperoleh pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 0:100 dengan dengan tingkat kematangan buah Mengkudu kurang dari 30% yaitu 5,37% dan terendah pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 40:60 dan 50:50 dengan tingkat kematangan buah mengkudu lebih dari 80% dengan nilai kadar abu 5,17%. Kadar abu kopi mengkudu masih memenuhi standar kopi bubuk yaitu maksimal 6% (Anon, 1972). Penentuan kadar abu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui banyaknya kandungan mineral yang terdapat pada kopi mengkudu yang dihasilkan. Menurut Sudarmadji et al. (1996) abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran organik.

Kadar Kafein

Rata-rata kadar kafein tertinggi diperoleh pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 50:50 dengan nilai 0,62% dan terendah pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 0:100 dengan nilai kadar kafein 0,00%. Sedangkan perlakuan tingkat kematangan buah mengkudu kurang dari 30%, antara 50 sampai 60%, dan lebih dari 80% memberikan nilai kadar kafein yang sama yaitu 0,37% dan kematangan buah yang dipakai adalah lebih

Page 75: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 133

dari 80% karena memiliki kematangan yang sudah optimal. Nilai kadar kafein kopi berkisar antara 1,0-1,1%, oleh karena itu penggunaan bahan pencampur seperti mengkudu dapat menekan kadar kafein pada kopi dengan nilai kadar kafein berkisar antara 0,00%-0,62%. Tinggi rendahnya kadar kafein umumnya digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan racikan pencampuran untuk resep campuran bubuk kopi (Panggabean, 2011). Kadar kafein yang dipersyaratkan dalam mutu kopi untuk kopi mengkudu ini sesuai dengan SNI 01-3542-2004 untuk kopi bubuk adalah 0,42-2%.

Kadar Vitamin C

Rata-rata kadar vitamin C tertinggi diperoleh pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 0:100 dengan tingkat kematangan buah mengkudu lebih dari 80% yaitu 139,89 mg/100 g dan terendah pada perlakuan perbandingan kopi mengkudu 50:50 pada tingkat kematangan buah mengkudu kurang dari 30% dengan nilai kadar Vitamin C 92,08 mg/100 g. Adanya kecenderungan meningkatnya kadar vitamin C akibat semakin sedikit kopi dalam perbandingan dengan mengkudu. Asam askorbat yang ada di dalam buah mengkudu adalah sumber vitamin C dan antioksidan yang bermanfaat untuk menetralisir radikal bebas. Mengkudu juga mengandung nutrisi yang dibutuhkan tubuh antara lain karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral-mineral esensial (Jones, 2000). Vitamin C pada kopi mengkudu dapat meningkatkan manfaat kopi mengkudu sebagai minuman fungsional.

Derajat Keasaman ( pH )

pH terendah didapat dari interaksi perlakuan 0:100 dengan tingkat kematangan buah mengkudu antara 50 sampai 60% dan lebih dari 80% yaitu 4,50 dan tertinggi pada perlakuan 30:70, 40:60, dan 50:50 dengan tingkat kematangan buah kurang dari 30% dengan nilai 5,00. Semakin banyak penambahan kopi dalam perbandingan dengan mengkudu dapat menyebabkan peningkatan nilai pH, hal ini disebabkan oleh asam-asam organik yang terkandung dalam kopi tersebut (Martoharsono, 1978). Pada umumnya mikroorganisme dapat tumbuh pada bahan pangan dengan kisaran pH 6,0-8,0, tetapi beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil (Buckle et al, 2007). Pengujian Subjektif Warna

Secara keseluruhan warna Kopi mengkudu tidak memiliki perbedaan yang nyata, hal ini karena perlakuan kesemuanya memiliki warna cokelat kehitaman akibat proses selama penyangraian. Menurut Sudjud, (2000), semakin tinggi suhu dan waktu penyangraian akan mengakibatkan kecerahan produk semakin berkurang, intensitas warna merah meningkat dan intensitas warna kuning berkurang artinya produk yang dihasilkan semakin gelap. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang menjadi pertanda penurunan mutu. Suatu bahan makanan yang bernilai gizi, enak, dan teksturnya sangat baik kurang disukai apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna seharusnya, (Winarno, 1997).

Aroma

Aroma yang dihasilkan pada Kopi mengkudu tidak terlalu sedap, hal ini disebabkan karena kandungan asam kaproat dan kaprat yang ada pada Mengkudu yang menimbulkan aroma menyengat pada kopi mengkudu tersebu. Aroma adalah sesuatu yang dapat dicium dengan indra penciuman. Dalam industri pangan pengujian terhadap aroma dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau ditolaknya produk tersebut, aroma dapat juga sebagai indikator terjadinya kerusakan pada produk.

Page 76: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 134

Rasa Bubuk mengkudu memiliki rasa yang pahit, dan benar-benar larut dalam cairan dan

tidak ada efek samping dalam menggunakan bubuk mengkudu (Meritt, 2011). Perbedaan penilaian rasa yang diberikan oleh panelis dikarenakan rangsangan terhadap rasa yang diterima penelis berbeda-beda, ada yang menyukai rasa manis dan ada yang tidak menyukai rasa manis. Dalam hal ini untuk panelis bubuk kopi mengkudu ditambahkan gula dalam seduhan. Sumber rasa manis terutama adalah gula (Winarno, 1997). Rasa lebih banyak melibatkan panca indera lidah, penginderaan pengecapan dapat dibagi menjadi 4 kecapan utama yaitu asin, asam, manis, dan pahit, (Winarno, 1997).

Penerimaan Keseluruhan

Penerimaan keseluruhan kopi mengkudu sangat berkaitan dengan hasil penilaian panelis secara keseluruhan terhadap warna, aroma, dan rasa sehingga kopi mengkudu masih disukai oleh panelis.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari hasil penelitian kajian perbandingan Kopi dengan Mengkudu terhadap karakteristik Kopi Mengkudu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kopi Mengkudu dengan karakteristik yang baik dari Perbandingan Kopi dengan

Mengkudu 50:50 dengan karakteristik : Kadar Air 4,78%, Kadar Abu 5,17%, Kadar Kafein 0,63%, Kadar Vitamin C 105,32 mg/100 g, pH 4,90, dan karakteristik Organoleptik meliputi : Warna (tidak suka sampai suka), Aroma (tidak suka sampai biasa), Rasa (tidak suka sampai biasa), serta Penerimaan Keseluruhan (biasa sampai suka).

2. Tingkat kematangan buah Mengkudu yang baik untuk dijadikan bahan campuran Kopi adalah lebih dari 80%.

Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan: 1. Untuk membuat Kopi Mengkudu yang baik dilakukan perbandingan Kopi dengan

Mengkudu (50 : 50) dan kematangan buah Mengkudu lebih dari 80%. 2. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengetahui cara mengurangi aroma yang

tidak sedap pada Kopi Mengkudu serta mengetahui umur simpan dan bahan pengemas yang tepat untuk memperpanjang umur simpan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1972. Standar Perindustrian Indonesia. Jakarta. Anonimous. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Departemen

Kesehatan RI Bharata Aksara. Jakarta. Anonimous. 2004. Prosiding Seminar dan Kongres Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan

Indonesia (PATPI). Jakarta. Anonimous. 2011. Dinas Perkebunan Propinsi Bali, Denpasar. Anonimous. 2011. http://www. Nonimaui. com/noni news/comparison. Html-V. (12 Februari

2012). Anonimous. 2013. Kopi Mengkudu. Pustaka Teknologi Pangan. Malang. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 2007. Ilmu Pangan. Penerjemah,

Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta. Danarti dan S. Najiyati. 1992. Kopi Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Penebar

Swadaya. Jakarta. Jones, W., 2000. Noni Blessings Holdings. Food Quality Analysis. Oregon.

Martoharsono, 1978. Deskripsi Pengolahan Nabati. Penerbit Agritech. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta.

Page 77: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 135

Meritt, R. 2011. The Function of Noni Powder. Edinboro University, England. Nurmaladewi. 2011. Studi Pembuatan Minuman Kopi Bubuk dengan Cokelat Bubuk

beraroma Rempah. Skripsi UGM Yogyakarta.

Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

SNI 01-3542-2994. Standar Kopi Bubuk. Official Method of Analysis: 16 th Edition Volume 2: 1995: Chapter 30 p. 2 “Caffeine in Roasted Coffee”.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1966. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sudjud, R. 2000. Mempelajari Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Keripik buah Cempedak. Skripsi Fapeta. IPB. Bogor.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 78: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 136

THE POTENTIAL OF BAMBOO & BAMBOO-WASTE AS SOURCE OF SUPPLY FEEDSTOCK COMMUNITY BASED BIOMASS FUEL CE LL

AT BANGLI REGENCY – BALI PROVINCE

POTENSI LIMBAH BAMBU SEBAGAI SUMBER PASOKAN BAHAN BAKU ENERGI BIOMASSA BERBASIS MASYARAKAT

DI KABUPATEN BANGLI PROVINSI BALI

Yohanes P. Situmeang, I Gusti Bagus Udayana, AA Ngr. Mayun Wirajaya, Made Suarta, I Nengah Suaria, Dewa Nyoman Sadguna, Made Sri Yuliartini dan Ni Made Dwi Wahyuni,

Bayu Susila Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa

Jl. Terompong 24, Tanjung Bungkak Denpasar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dan memperkirakan potensi limbah bambu sebagai sumber bahan baku energi biomassa yang menghasilkan bahan bakar berbasis masyarakat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober hingga November 2012 di Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Ada 178 keluarga (KK) yang menanam dan memiliki lahan bambu, dan 50 unit usaha mikro dan pengrajin bambu skala rumah tangga yang memproduksi limbah bambu. Responden merupakan 4% dari total populasi, dan hampir 98% dari responden setuju dan mendukung gagasan energi listrik dari biomassa limbah bambu. Total lahan yang dimiliki oleh rumah tangga petani 205,8 hektar, dan sekitar 105,7 hektar khusus digunakan untuk perkebunan bambu, dengan kepadatan bambu 20 batang/m2 dan berat per meter bambu adalah 1,5 kg. Berdasarkan pengamatan lapangan, dan dengan asumsi jumlah bambu 30% di wilayah tertentu, maka limbah bambu yang dihasilkan per batang bambu adalah 40%, dan efisiensi limbah bambu yang dikumpulkan adalah 30%, sehingga total limbah bambu yang bisa dihasilkan oleh rumah tangga responden diperkirakan menjadi 31,3 ton/hari. Selain itu, pengrajin bambu yang memiliki lahan sendiri seluas 14,8 hektar, bisa menghasilkan 4,4 ton/hari, dan tambahan 0,6 ton/hari dari sampah/limbah bambu juga bisa dihasilkan dari proses produksi kerajinan bambu. Oleh karena itu, jumlah cadangan dari semua responden dapat menghasilkan sampah bambu dengan volume 36,3 ton/hari. Angka ini adalah 2 kali lebih besar dari 15 ton/hari limbah bambu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 MW listrik melalui proses Fuel Cell. Kata Kunci: Potensi Limbah Bambu, Energi Biomassa

Abstract

This report presents the result of survey and mapping of bamboo and bamboo-waste in Bangli Regency done by LP2M/Faculty of Agriculture Warmadewa University in cooperation with Bali Clean Energy TaskForce for the purpose of calculating and estimating the potential of bamboo-waste as source of supply feedstock for 1 MW pilot project Community Based Biomass Fuel Cell (CBBFC) is planned located at Desa Bangkalet, in Bangli Regency. There were 178 households (HH) that having and planting bamboo at their land area, and 50 unit micro and smallscale household handy-crafts (MSSHH) that producing bamboo-waste by-product) surveyed. The respondents constitute of 4% of their total population, and nearly 98% of respondents agrees and supports the idea of the proposed pilot project.

The total land area having by the said households is nearly 205.8 Hectare (≈ 2,058,000 m2), and out of this figure, there are around 105.7 Hectare (≈ 1,057,000 m2) specifically used for bamboo plantation, with typical bamboo’s density of 20 sticks/m2 and typical weight of 1.5 kg/m of bamboo-length. Based on site observation, and by using conservative-assumption that is default-number of specific bamboo-area is 30%, typical bamboo-waste produced by 1 stick of bamboo is 40% and efficiency of collecting bamboo-waste of 30%, then the total bamboo-waste that could be produced by the said household respondents is estimated to be of 31.3 ton/day.

Page 79: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke

Moreover, there are 39 units (out of 50 units) of MSSHH have their own land area, this accounted of 14.8 Hectare additional of 0.6 ton/day from their byrespondents could produce bambootimes bigger than 15 ton/day othrough Fuel Cell process. Key word: Potensial Bamboo, INTRODUCTION

Bangli Regency locates at NorthProvince. Bangli Regency lays land area, has 216,800 of populations, and income of 9,500,000 IDR/capita in 2011 [1]. Bangli Regency can be considered as one of the smallest population and the lowest income per capita, among 9 regencies and 1 city in Bali. Bangli Regency consists of 4 subnamely: Bangli, Susut, Kintamani and Tembuku. Bangli is the source of fresh water for neighboring regencies that contributes to agricultures and tourism activities surround. In themerging of tourism industry in Bali over the latest 3 felt of receiving direct impact from its strategic position.

Bamboo-handy-craft (and/or bambooBangli’s primary commodity, where its rawOver the last 2 decades, Bamboogrowth and development. The industry spread over several villages in Bangli, that is Desa (village) Kubu and Desa Kayubihi at subsub-district Susut. There were around 2,000 units of bambooindustries in Bangli in 2000, and they absorbed around 4,838 workers [2].

According to Bureau of Farming, Agriculture and Forestry Bangli Regency, Bangli has a potential of 6,119 Hectare of bamboo plantation (planted by local resident) and 4,731 unit micro and small household handybamboo and its waste are scattered and unvision to utilize these un-produce electricity, and charcoalthe households through tradeidea is shown in Figure 1.

Figure 1 –

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013

, there are 39 units (out of 50 units) of MSSHH have their own land area, this accounted of 14.8 Hectare (≈ 148,000 m2) of land, could produce 4.4 ton/day, and additional of 0.6 ton/day from their by-product-waste. Therefore, the sum up of all respondents could produce bamboo-waste at volume of 38.3 ton/day. The last figure is 2 times bigger than 15 ton/day of bamboo-waste required to produce 1 MW of electricity through Fuel Cell process. Key word: Potensial Bamboo, Biomass Fuel Cell

Bangli Regency locates at North-Eastern of Denpasar, the capital city of Bali Province. Bangli Regency lays from 200m to 1,800 above sea level. It occupies 520.8 kmland area, has 216,800 of populations, and income of 9,500,000 IDR/capita in 2011 [1]. Bangli Regency can be considered as one of the smallest population and the lowest income

regencies and 1 city in Bali. Bangli Regency consists of 4 subnamely: Bangli, Susut, Kintamani and Tembuku. Bangli is the source of fresh water for neighboring regencies that contributes to agricultures and tourism activities surround. In themerging of tourism industry in Bali over the latest 3 – 4 decades, however Bangli has never felt of receiving direct impact from its strategic position.

craft (and/or bamboo-based related small scale home industries) is ommodity, where its raw-materials is mostly got from within Bangli.

Over the last 2 decades, Bamboo-handy-craft in Bangli has shown its significant rapid growth and development. The industry spread over several villages in Bangli, that is Desa (

) Kubu and Desa Kayubihi at sub-district Bangli, and Desa Tenganan and Desa Tiga at district Susut. There were around 2,000 units of bamboo-based small scale home

industries in Bangli in 2000, and they absorbed around 4,838 workers [2]. Bureau of Farming, Agriculture and Forestry Bangli Regency, Bangli

has a potential of 6,119 Hectare of bamboo plantation (planted by local resident) and 4,731 unit micro and small household handy-craft industries exist in Bangli [3]. At present, both

o and its waste are scattered and un-treated. The head of Bangli’s regency has clear -treated resources to use “fuel-cell” technology as a pilot project to

produce electricity, and charcoal-bamboo side-process, as well as to improthe households through trade-in process of the supply feedstock. The whole concept of the

.

The One-line diagram activities of the whole concept

29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 137

, there are 39 units (out of 50 units) of MSSHH have their own land area, ) of land, could produce 4.4 ton/day, and

waste. Therefore, the sum up of all waste at volume of 38.3 ton/day. The last figure is 2

waste required to produce 1 MW of electricity

Eastern of Denpasar, the capital city of Bali from 200m to 1,800 above sea level. It occupies 520.8 km2 of

land area, has 216,800 of populations, and income of 9,500,000 IDR/capita in 2011 [1]. Bangli Regency can be considered as one of the smallest population and the lowest income

regencies and 1 city in Bali. Bangli Regency consists of 4 sub-districts, namely: Bangli, Susut, Kintamani and Tembuku. Bangli is the source of fresh water for neighboring regencies that contributes to agricultures and tourism activities surround. In the

4 decades, however Bangli has never

based related small scale home industries) is materials is mostly got from within Bangli.

craft in Bangli has shown its significant rapid growth and development. The industry spread over several villages in Bangli, that is Desa (≈

district Bangli, and Desa Tenganan and Desa Tiga at based small scale home

industries in Bangli in 2000, and they absorbed around 4,838 workers [2]. Bureau of Farming, Agriculture and Forestry Bangli Regency, Bangli

has a potential of 6,119 Hectare of bamboo plantation (planted by local resident) and 4,731 craft industries exist in Bangli [3]. At present, both

treated. The head of Bangli’s regency has clear cell” technology as a pilot project to

process, as well as to improve the income of in process of the supply feedstock. The whole concept of the

line diagram activities of the whole concept

Page 80: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 138

GOAL AND OBJECTIVES

The availability and the continuity of bamboo and bamboo-waste as source of supply feedstock for the Fuel Cell Technology are important, necessary and vital. Therefore, in order to get more accurate figures, it is necessary to conduct a detailed survey and make a mapping on their potential and availability in Bangli Regency.

It is known that there are more than 1500 known species of bamboo in the world (Ohrnberger 1999), of these, probably there are some species known very well in Bali, for instance: bamboo-Tali, bamboo-Petung, bamboo-Santong, bamboo-Tultul, etc. Taking the vast potential of bamboo resources and the huge amount of bamboo available in the Bangli Regency along with the considerable annual growth rate, this study will try to find out and verify the potential of bamboo and bamboo-waste as a raw material for feedstock CBBFC, and its value chain. The study will be focused on the community highland-bamboo within Bangli Regency, due to its vast uses. Therefore, the purpose of the study is

• to get a more detailed and accurate figures of bamboo and bamboo-waste as source of feedstock (i.e.: kind of bamboos, the coverage, )

• to mapping their potential and availability in correlating as sourced and collecting/delivery system

• to know to what extend is the bamboo become a source of income for farming-households

• to know to what extend is the likely acceptance, willingness, (the possibility of) participation and buy-in of local farmers and small-enterprises in supporting the above idea

• to create an initial “baseline” for the whole idea (and pilot), as it can be used to evaluate the difference of some key-performances between before and after implementing the program

• to mapping the coverage, and to estimate on to what extend the project can be enlarged, replicated and extended Due to the limitation of time and resources, this activity focuses on the two major

actors of the value chain and concentrates on local-farmers (in the villages) and small-enterprises of 4 sub-districts (i.e.: Susut, Bangli, Kintamani, and Tembuku) that currently exist in Bangli. Moreover, the output of the study (Activity 1) is that

1. Mapping and counting the potential annual volume feedstock of bamboo and bamboo-waste in Bangli

2. Giving a recommendation to related stake-holders about the sustainability of feedstock, and its Feed-stock Conservation Measures (FCMs)

METHODOLOGY SURVEY ACTIVITIES AND ITS MANAGEMENT The followings are the description of project (survey and mapping) activity and its management:

1. The list of questions – both for households (HH) and micro-small-scale households handy-crafts (MSSHH) are prepared by team leader

2. The activity to collect primary data are divided into some sub-activities (i.e. visiting villages, meeting with local-farmers and small-scale-handy-crafts enterprises, asking relevant information, taking data collection, checking and observing bamboo-land, etc.), tabulating and analyzing the collected information, and mapping the potential

3. All sub-districts in Bangli regency were surveyed; there were 4-5 villages and 15 MSSHH surveyed in every sub-district, and around 10 households were surveyed in a village

4. Searching relevant secondary data from internet 5. The survey and mapping activity was done (was carried out) by 8 (eight) key staff of

Agriculture Department of University Warmadewa – Denpasar, and 2 (two) local facilitators from Bangli Regency.

Page 81: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 139

6. The preparation of survey took 3 (three) working-days, and followed by the survey itself that took 7 (seven) working-days, and another 10 (ten) working-days for recapitulating and analyzing data, as well as making a final report

7. Once data is collected and tabulated, then it will be analyzed to find out how is the potential bamboo-waste can be produced and/or collected to support the idea of 1 MW pilot project Community Based Biomass Fuel Cell, and what other conditions are required later on in order to sustain the pilot

DATA COLLECTION AND ANALYSIS

The survey, meeting with local farmers and handycrafts, asking questionnaires, and taking data collection were carried out from 26th October to 3rd November 2012, with random approach. There are 178 respondents-households and 50 unit respondents micro-small-scale household handycraft surveyed. They spread over in 4 sub-districts, 15 villages, and 35 sub-villages in Bangli, as shown in Table 2. The full list of respondents can be seen in Appendix 2 and Appendix 3. In addition, there are 220.6 Hectare of local farmer were surveyed, with specific land area for bamboo-plantation accounted of 120.5 Hectare (≈ 12,050 Are = 1,205,000 m2).

Most of the surveyed land area bamboos were inherited from their father of grandfather, as they are part of local tradition to continue planting bamboo-plantation, or it is “taboo” to discontinue bamboo-plantation in their own land. It means they plant the bamboo. The respondents use the bamboo – the good one, the good stick bamboo – for the following reasons, i.e.: 4% for own purpose, for instance for making part of houses, 24% for making bamboo related handycraft (if they have their own), 68% is sold to middle-man or others (to get additional income), and only a small fraction is used for fire-work and other purposed. It can be said that the good one of bamboo-stick has its economic value.

The price of 1 no bamboo-stick – with average of 8 to 10 meter length – is vary according to its type and/or its size diameter, which is in the range of 5,000 to 25,000 IDR/stick. Type bamboo-Petung with diameter of 20cm to 25cm can have the highest price. However, although type of bamboo-Tali is small in diameter with price of 5,000 to 8,000 IDR/stick, but this type is widely planted, used, and sold. This is because bamboo-Tali is widely used for making handycraft, especially “GEDEG” and “Sok-kasi”.

From the survey, it is revealed that 42% of bamboo-waste is neglected in their land or their backyard, 50% is used for fire-wood for cooking, 2% is re-sold to middle-man for making “bamboo-based-charcoal”, and 6% used for other purposed. It can be said here that the bamboo-waste is less utilized (or lacking of utilization). This is mainly due to the fact that the local-farmer do not know and/or having very lack of information for the potential of its utilization.

Table 2 – List of items surveyed for estimating feedstock bamboo-waste

No Item Surveyed Volume Unit Estimated Aggregate 1 Total respondents-HH 178 HH 2 Total respondents-MSSHH 50 unit 4,000 unit MSSHH 3 Total banjar (sub-village) 35 sub-village 300 banjar 4 Total desa (village) 15 village 72 desa 5 Total land-area 220.6 Hectare 19,612 Hectare 6 Total land bamboo-area 120.5 Hectare 12,790 Hectare

Note: HH = local-farmer households; MSSHH = Micro-Small Scale Household Handycraft

Page 82: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke

Figure 2 – Sketch-mapping of surveyed land bamboo as compared with whole aggregate After collecting, compiling and tabulating all data, and from the explanation of

aforementioned paragraphs, it can be said that there is a potential of bambooboth respondents-HH (which is local farmers) and respondentshandycrfat bamboo-based industry) that can be used and utilized as feedingCBBFC pilot project. How much is the potential stock? It will be described in the following paragraphs.

Total land area of bambooand for Micro-Small-Scale household handycraft (MSSHH) is 14.8 Hectare. By using the consideration and assumptions that have been described in previous chapters conservative approach -- respondents are 31.3 ton/day and 4.4 ton/day, respectively, as they are shown in Table 3 and Table 4. Moreover, an additional of 0.6 ton/day of bambooprocess production of MSSHH, as shown in Tablton/day of bamboo-waste can be produced. Further, if we take into account of 7,500 Hectare of land bamboo area developed by GNbamboo belongs to community and Desa Adat, and of 2,000 Hectare , then the total potential bamboo

Table 3 – Estimated calculation of potential bamboo

respondents-HH

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013

mapping of surveyed land bamboo as compared with whole aggregate

After collecting, compiling and tabulating all data, and from the explanation of aforementioned paragraphs, it can be said that there is a potential of bamboo

HH (which is local farmers) and respondents-MSSHH (which is local based industry) that can be used and utilized as feeding

CBBFC pilot project. How much is the potential stock? It will be described in the following

Total land area of bamboo-plantation for household local-farmer iScale household handycraft (MSSHH) is 14.8 Hectare. By using the

consideration and assumptions that have been described in previous chapters then the bamboo-waste that could potentially be produced by both

respondents are 31.3 ton/day and 4.4 ton/day, respectively, as they are shown in Table 3 and Table 4. Moreover, an additional of 0.6 ton/day of bamboo-waste can also be produced from process production of MSSHH, as shown in Table 5. Therefore, there are a total of

waste can be produced. Further, if we take into account of 7,500 Hectare of land bamboo area developed by GN-RHL/ (2008), other 3,000 Ha land area bamboo belongs to community and Desa Adat, and forestry bamboo along rivers and gorges of 2,000 Hectare , then the total potential bamboo-waste would be of 3,785 ton/day

Estimated calculation of potential bamboo-waste produced by

29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 140

mapping of surveyed land bamboo as compared with whole aggregate

After collecting, compiling and tabulating all data, and from the explanation of aforementioned paragraphs, it can be said that there is a potential of bamboo-waste from

MSSHH (which is local based industry) that can be used and utilized as feeding-stock of 1 MW

CBBFC pilot project. How much is the potential stock? It will be described in the following

farmer is 105.7 Hectare, Scale household handycraft (MSSHH) is 14.8 Hectare. By using the

consideration and assumptions that have been described in previous chapters – which is very ntially be produced by both

respondents are 31.3 ton/day and 4.4 ton/day, respectively, as they are shown in Table 3 and waste can also be produced from

e 5. Therefore, there are a total of 36.3 waste can be produced. Further, if we take into account of 7,500

RHL/ (2008), other 3,000 Ha land area forestry bamboo along rivers and gorges

3,785 ton/day.

waste produced by

Page 83: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 141

Table 4 – Estimated calculation of bamboo-waste produced by respondents-MSSHH

Table 5 – Estimated calculation from by-product of respondents-MSSHH (Gedeg)

FACTs & FINDINGs There were some points observed and noted from the survey, as the followings: 1. There are 176 respondents-HH (≈ 99%) agree and support the idea of the program i.e.

utilizing and purchase bamboo-waste of local-farmers as source of feedstock Community Based Biomass Fuel Cell that, if everything goes well, will be located in Bangli, and 2 respondents-HH (≈ 1%) were not agree about the idea.

2. There are 49 respondents-MSSHH (≈ 98%) agree and support the idea of the program i.e. utilizing and purchase bamboo-waste of local-farmers as source of feedstock Community Based Biomass Fuel Cell (CBBFC) that, if everything goes well, will be located in Bangli, and 1 respondents-HH (≈ 2%) were not agree and support about the idea. The reason for not agree and support the idea is that he were afraid that the CBBFC would increase the price of bamboo-stick as raw material, and would limited the supply to MSSHH

3. Almost 95% of respondents inherited their bamboo land area from their predecessor (i.e. from their grandfather)

4. There is a lot of land area bamboo-plantation in the surveyed banjar (sub-villages) or desa (villages) that are not belongs to the people, but belongs to the villages themselves; this bamboo-plantation is managed by chief of banjar or desa

Page 84: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 142

5. The respondents-MSSHH usually make very simple design of bamboo-based handycraft, they have lack of new idea to utilize their bamboo for other product; They are also lacking of information and knowledge where bamboo-waste can be used as feedstock for Fuel Cell Technology to produce electricity

6. Some bamboo-stick from Bangli Regency is also sold to regencies surround, but this quantity is not well recorded

SUMMARY 1. From random survey, all respondents-HH have their land with bamboo-plantation, and

most of plantation is inherited. On the other hand, only 39 unit respondents-MSSHH (out of 50) has their own land for bamboo-plantation.

2. Nearly 42% of the bamboo-waste from respondents-HH is neglected, while 50% is used for fire-wood; They have lack of idea on how to utilize bamboo-waste, and how to maximize its economic value

3. Both respondents giving primary data and proved, although their land area bamboo-plantation is only a small fraction (≈ 3.8% - 4.2%) of total aggregate (≈ 100% ≈ 10,500 Hectare), however they could potentially produce bamboo-waste at total of 36.3 ton/day; this figure is almost 2 times bigger than the required to feeding 1 MW Fuel Cell to produce electricity.

4. Both respondents i.e. 98% respondents-HH and 99% respondents-MSSHH agree and support the idea of utilizing bamboo-waste to produce electricity. Moreover, the average distance of bamboo-waste location to the location of CBBFC is around 13 km.

5. In term of volume of feedstock, supporting and agreeing idea from the respondents, and their distance to the location, it is safe.

6. The secondary data revealed that total land area of bamboo-plantation in Bangli Regency reach the minimum (or conservative) figure of 10,500 Hectare; if this figure is taking into consideration, and is accounted, then the potential bamboo-waste could reach a volume of 3,106 ton/day; this is enough to feeding a Fuel Cell facility with capacity of 200 MW

RECOMMENDATION 1. Bamboo and Bamboo-plantation and its related-household-industry are unique for

Bangli Regency. It has a long history, rooted and mixed with local tradition, therefore it is recommended that bamboo needs to be planted, managed and developed accordingly and wisely, so that it would give its maximum economic-value, and eventually could increase the income of the community; For instance: creating and making new and innovative design of “Corrugated-Roof” and/or “Laminated-Floor” from bamboo-stick, to increase its added-value

2. The side product of point 1, in the form of bamboo-waste, has a great potential to be utilized and used as feedstock for Fuel Cell technology to produce electricity and other energy; This mainly due to that bamboo is a unique plantation with advantage, where it can easily grow, and its cycle-of-generation is much more faster as compared with other plants, say for instance coconut tree or “sengon”. Therefore, it is recommended that the Bangli’s Government could introduce and promote “Bamboo-Cultivation”, as well as Capacity Building for its community

3. The result of this survey and mapping could be used as a based to make a better socialization and advocacy program about the background, the objective and the outcome of the CBBFC pilot project, as well as to find out a common understanding and agreement about the price of bamboo-waste per ton, so that every stake-holders would get the benefit from the pilot

4. The price of bamboo biomass for power generation will have to established to create investor's confidence in biomass-based power generation

5. Government of Bangli should adopt this study as inputs for creating local in guaranteeing bamboo as feedstock for power generation

6. Community need to be engaged in the process of creating this Perda and biomass price.

Page 85: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 143

REFERENCES [1] Biro Pusat Statistik Kabupaten Bangli (available at http://banglikab.bps.go.id/;) Date cited: 29 Oct. 2012 [2] Kementerian Dalam Negeri (available at http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/name/bali/detail/5106/bangli). Date cited: 29 Oct.2012 [3] Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli / Bamboo Development in Bangli Regency, 2008, Chapter V, Bureau of Farming, Agriculture and Foresty of Bangli Regency [4] Bangli Dalam Angka 2012, Tabel I.4, Halaman 16-17 (available at http://banglikab.bps.go.id/publikasi/2012/bangli_dalam_angka_2012/

Page 86: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 144

RESPON PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN JAGUNG PULUT PADA APLIKASI BIOCHAR BAMBU

Yohanes Parlindungan Situmeang dan Ketut Agung Sudewa

(Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa)

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan vegetatif tanaman jagung pulut pada perlakuan biochar bambu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan dosis biochar, terdiri atas 5 taraf, yaitu: tanpa biochar (B0), 10 ton/ha biochar (B1), 20 ton/ha biochar (B2), 30 ton/ha biochar (B3), dan 40 ton/ha biochar (B4). Masing-masing taraf dosis biochar diulang tiga kali sehingga didapatkan 15 pot percobaan. Berat kering oven total per tanaman tertinggi diperoleh pada dosis biochar 10 ton/ha seberat 87,80 g atau meningkat sebesar 26,02% bila dibandingkan dengan berat kering total per tanaman yang diperoleh pada perlakuan tanpa biochar seberat 69,67 g. Dari hasil analisis regresi didapatkan dosis biochar bambu optimum yaitu 12,91 ton/ha, dengan berat kering oven total per tanaman maksimum 80,01 g. Kata Kunci : Biochar bambu, jagung pulut

ABSTRACT

This study aims to determine the response of vegetative growth of waxy corn in bamboo biochar treatment. The design used in this study is a randomized block design (RBD) with treatment doses of biochar, consists of 5 levels, ie: without biochar (B0), 10 tons/ha of biochar (B1), 20 tons/ha of biochar (B2), 30 tons/ha of biochar (B3), and 40 tons/ha of biochar (B4). Each dose level of biochar was repeated three times to obtain 15 pot experiment. Total oven dry weight per plant was obtained at the highest dose of biochar 10 tons/ha weighing 87.80 g, an increase of 26.02% when compared to the total dry weight per plant was obtained on treatment without biochar weighing 69.67 g. From the results of the regression analysis found that the optimum dose of bamboo biochar 12.91 tons/ha, with a total oven dry weight per plant maximum of 80.01 g. Keyword: Biochar bamboo, waxy corn I. PENDAHULUAN

Jagung pulut (Zea ceritina Kulesh) termasuk jenis jagung khusus yang makin populer dan banyak dibutuhkan konsumen dan industri. Jagung pulut (waxy corn) mempunyai citarasa yang enak, lebih gurih, lebih pulen dan lembut. Rasa gurih muncul karena kandungan amilopektin yang terkandung dalam jagung pulut sangat tinggi, mencapai 90%. Kreasi baru makanan olahan berbasis jagung pulut bermunculan termasuk beras jagung instan, bubur jagung instan dan lain-lain. Jagung pulut tingkat produktivitasnya masih rendah, antara 2,0-2,5 ton/ha (Balitsereal, 2011). Upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung pulut, dapat dilakukan dengan perbaikan kesuburan tanah yaitu dengan pemberian biochar sebagai pembenah tanah pada media tumbuh tanaman.

Biochar atau arang hayati merupakan materi padat yang terbentuk dari karbonisasi biomasa. Biochar dapat ditambahkan ke tanah untuk meningkatkan fungsi tanah dan mengurangi emisi dari biomasa yang secara alami terurai menjadi gas rumah kaca. Biochar berguna sebagai pembenah tanah yang penting untuk meningkatkan keamanan pangan dan keragaman tanaman di wilayah dengan tanah yang miskin hara, kekurangan bahan organik, dan kekurangan air dan ketersediaan pupuk kimia. Biochar juga meningkatkan kualitas dan kuantitas air dengan meningkatnya penyimpanan tanah bagi unsur hara dan agrokimia yang digunakan oleh tanaman (IBI, 2012). Selain itu penambahan biochar ke tanah meningkatkan ketersediaan kation utama dan fosfor, total N dan kapasitas tukar kation tanah yang pada akhirnya meningkatkan hasil karena dapat mengurangi risiko pencucian hara khususnya kalium dan N-NH4 (Bambang, 2012).

Page 87: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 145

Limbah arang dapat diterapkan sebagai biochar tanah pertanian untuk meningkatkan hasil panen pada tanah masam dan tanah tropis subur di mana sumber nutrisi yang langka. Dengan relatif kecil 2-5 mg C ha-1 dari biochar, perbaikan yang signifikan dari pertumbuhan tanaman dapat diamati (Lehmann dan Rondon, 2005).

Pengaruh biochar terhadap produktivitas tanaman bergantung pada sumber bahan baku dan jumlah penggunaannya. Penelitian menunjukkan, pemberian 4 - 8 ton karbon (C) per hektar meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 20-220%, bergantung pada komoditas yang dibudidayakan (Gani, 2009). Selanjutnya Rostaliana, dkk. (2012), pemanfaatan biochar 12 ton/ha memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kualitas tanah, yaitu berat volume dan K tersedia, selain itu juga berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman jagung. Sejumlah studi yang dilakukan melaporkan efek positif dari aplikasi biochar ke tanaman pangan dengan dosis 5-50 ton/ha dengan pengelolaan yang tepat, ini merupakan kisaran yang besar, akan tetapi seringkali beberapa kisaran penggunaan dosis tertinggi menunjukkan hasil terbaik (Adi, 2013).

Biochar berbahan baku dari limbah bambu dapat memperbaiki kualitas tanah dengan berbagai cara, antara lain meningkatkan porositas, BV dan ketersediaan air, meningkatkan pH, C-Organik, K, dan KTK, mengurangi pencucian N, dan meningkatkan aktivitas populasi mikroba. Pengaruh biochar bambu di tanah terhadap sifat biologi, kimia dan fisik sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan kajian biochar hingga diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman meningkat secara signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dosis biochar bambu terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung. Hipotesis yang diajukan adalah dengan pemberian berbagai dosis biochar akan diperoleh hasil yang paling tinggi. II. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan pada polybag di Rumah Kaca Stasiun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa, Jalan Terompong Tanjung Bungkak, Denpasar, Bali. Percobaan dilakukan dari bulan Juli sampai September 2013. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan dosis biochar, terdiri atas 5 taraf, yaitu tanpa biochar (B0), 10 ton/ha biochar (B1), 20 ton/ha biochar (B2), 30 ton/ha biochar (B3), dan 40 ton/ha biochar (B4). Masing-masing taraf dosis biochar diulang tiga kali sehingga didapatkan 15 pot percobaan. Pengamatan akhir terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan berat basah total tanaman jagung dilakukan saat tanaman berumur 42 hari. Kemudian dilanjutkan pengamatan berat kering oven total tanaman jagung di laboratorium. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Signifikansi pengaruh perlakuan dosis biochar bambu terhadap variabel yang diamati disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa perlakuan dosis biochar menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman maksimum, berat basah total per tanaman, dan berat kering oven total per tanaman, serta berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap variabel jumlah daun maksimum dan luas daun per tanaman.

Tabel 1. Signifikansi pengaruh dosis biochar bambu terhadap variabel yang diamati Variabel Perlakuan Biochar 1. Tinggi tanaman maksimum per tanaman(cm) * 2. Jumlah daun maksimum per tanaman (helai) ns 3. Luas daun per tanaman ns 4. Berat basah total per tanaman (g) * 5. Berat kering oven total per tanaman (g) * Keterangan : ns = Berpengaruh tidak nyata (P>0,05)

* = Berpengaruh nyata (P<0,05)

Page 88: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 146

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan dosis biochar 10 ton/ha memberikan nilai tertinggi terhadap seluruh variabel yang diamati, sedangkan perlakuan dosis biochar 40 ton/ha memberikan nilai terendah terhadap seluruh variabel yang diamati.

Berat basah total per tanaman tertinggi diperoleh pada dosis biochar 10 ton/ha (B1) seberat 683,33 g atau meningkat sebesar 30,57% bila dibandingkan dengan berat basah total per tanaman yang diperoleh pada perlakuan tanpa biochar (B0) seberat 523,33 g. Demikian juga dengan berat kering oven total per tanaman tertinggi diperoleh pada dosis biochar 10 ton/ha (B1) seberat 87,80 g atau meningkat sebesar 26,02% bila dibandingkan dengan berat kering total per tanaman yang diperoleh pada perlakuan tanpa biochar (B1) seberat 69,67 g (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh dosis biochar bambu terhadap seluruh variabel yang diamati Perlakuan Dosis Biochar

Tinggi Tanaman

(cm)

Jumlah Daun (helai)

Luas Daun (cm2)

Berat Basah Total (g)

Berat Kering Oven Total

(g) 0 ton/ha (B0) 173,00 ab 9,00 a 354,36 a 523,33 ab 69,67 a 10 ton/ha (B1) 182,67 a 10,00 a 362,30 a 683,33 a 87,80 a 20 ton/ha (B2) 158,00 bc 9,67 a 356,77 a 533,33 ab 72,00 a 30 ton/ha (B3) 157,00 bc 8,67 a 343,95 a 456,67 b 66,93 ab 40 ton/ha (B4) 154,00 c 8,33 a 338,93 a 380,00 b 49,33 b Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama,

menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf uji Duncant 5% Tingginya berat basah total dan berat kering oven total per tanaman pada dosis

biochar 10 ton/ha (B1) diduga disebabkan biochar mampu memperbaiki kesuburan tanah, efek biochar pada kesuburan tanah mencakup peningkatan porositas tanah, kapasitas menahan air, KTK, KB, C-organik, penambahan nutrisi, dan meningkatnya aktivitas mikroba di dalam tanah. Sifat-sifat tanah ini sangat penting dalam mendorong pertumbuhan awal dan merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman, seperti terlihat bahwa pada perlakuan dosis biochar 10 ton/ha (B1) memberikan tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun per tanaman tertinggi. Meningkatnya jumlah daun dan luas daun dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena jumlah cahaya yang dapat di intersepsi dalam proses fotosintesis untuk membentuk bahan kering tanaman akan semakin meningkat. Asimilat yang terbentuk sebagai hasil dari proses fotosintesis akan digunakan untuk pembentukan sel-sel baru dalam proses pertumbuhan dan perkembangan organ-organ vegetatif tanaman.

Dosis Biochar Bambu (ton/ha)

Be

rat

Ke

rin

g O

ve

n T

ota

l Ta

na

ma

n J

ag

un

g (

g)

403020100

90

80

70

60

50

Y = 72,78 + 1,120 X - 0,04338 X2, R2 = 85,20 %

X optimum = 12,91 ton/ha, Y maks = 80,01 g/tan

Gambar 1. Hubungan antara dosis biochar bambu dengan berat kering oven total per

tanaman

Page 89: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 147

Hasil analisis regresi antara dosis biochar bambu dengan berat kering oven total per tanaman menunjukkan hubungan kuadratik dengan persamaan garis regresi : Ŷ = 72,78 + 1,120 X - 0,04338 X2 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 85,20 % (Gambar 1). Dari hasil analisis regresi didapatkan dosis biochar bambu optimum yaitu 12,91 ton/ha, dengan berat kering oven total per tanaman maksimum 80,01 g. Dari hasil analisis regresi menunjukkan bahwa berat kering oven total per tanaman makin tinggi dengan makin meningkatnya dosis biochar bambu sampai optimum, kemudian mengalami penurunan bila melebihi dosis optimum.

IV. KESIMPULAN 1. Perlakuan dosis biochar menunjukkan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman

maksimum, berat basah total per tanaman, dan berat kering oven total per tanaman, serta berpengaruh tidak nyata terhadap variabel jumlah daun maksimum dan luas daun per tanaman.

2. Berat kering oven total per tanaman tertinggi diperoleh pada dosis biochar 10 ton/ha seberat 87,80 g atau meningkat sebesar 26,02% bila dibandingkan dengan berat kering total per tanaman yang diperoleh pada perlakuan tanpa biochar seberat 69,67 g.

3. Dari hasil analisis regresi didapatkan dosis biochar bambu optimum yaitu 12,91 ton/ha, dengan berat kering oven total per tanaman maksimum 80,01 g.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, R.K., 2013. Biochar sang pembenah tanah. http://bbppbinuang.info/news23-.html. 10 Mei 2013

Balitsereal, 2011. Jagung Ketan/Jagung Pulut. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros Sulawesi Selatan

Bambang S.A., 2012. Si Hitam Biochar yang Multiguna. PT. Perkebunan Nusantara X (Persero), Surabaya

Gani, A. (2009). Biochar penyelamat lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 31 No:6

IBI, 2012. What is Biochar?. International Biochar Initiative. www.biochar-international. org

Lehmann, J. and Rondon, M.: 2005, ‘Bio-char soil management on highly-weathered soils in the humid tropics’, in N. Uphoff (ed.), Biological Approaches to Sustainable Soil Systems, Boca Raton, CRC Press, in press.

Rostaliana, P. Prawito, P., dan Turmudi, E., 2012. Pemanfaatan Biochar untuk perbaikan kualitas tanah dengan indikator tanaman jagung hibrida dan padi gogo pada sistem lahan tebang dan bakar. Naturalis-Jurnal penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Vol 1No 3. Univ. Bengkulu.

Page 90: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 148

LAMPIRAN 1.

PANITIA PELAKSANA SEMINAR NASIONAL FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WARMADEWA

TEMA “PERAN AGROBISNIS DAN AGROINDUSTRI SERTA ANTISIPASI PERUBAHAN

IKLIM TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN KEMANDIRIAN ENERGI”

21 September 2013

PELINDUNG : Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE, MS. (Rektor Unwar) PENASEHAT : Ir. I Nyoman Kaca, M.Si. ( Dekan ) PENANGGUNG JAWAB : Ir. I Nengah Suaria, M.Si. (Wakil Dekan I) PANITIA PENGARAH : Ketua : Prof. Dr. Ir. I Gde Suranaya Pandit, MP. Anggota : 1. Ir. Ni Made Yudiastari, M.Si. (Wakil Dekan II) 2. Ir. I Made Kawan, MP. (Wakil Dekan III) PANITIA PELAKSANA: 1. Ketua : Dr. Ir. I Gusti Bagus Udayana, M.Si 2. Wakil Ketua : Ir. Made Suarta, MP. 3. Sekretaris : 1. Ir. Dewa Nyoman Sadguna, M.Agb 2. Ni Made Ayu Suardani S., STp, M.Si. 4. Bendahara : 1. Ir. Made Dwi Wahyuni, M.Si. 2. Ir. Luh Suariani, M.Si. 5. SEKSI-SEKSI :

a) Upacara/Persidangan, Registrasi dan Penerima Tamu : Koordinator : Ir. I Dewa Nyoman Sudita, MP. Wakil Koordinator : Ir. Made Sri Yuliartini, M.Si. Anggota : 1. Ir. Ni M.A. Gemuh R.A., MP. 2. Ir. A.A. Made Semariyani, M.Si. 3. Ir. Ni Komang Alit Astiari, M.Si.

4. Ir. Ni Ketut Mardewi, MP. 5. Ir. I Ketut Sunadra, M.Si. 6. Ir. Ida Bagus Komang Mahardika, M.Si.

b) Sekretariat, Prosiding dan Pelaporan Hasil Seminar : Koordinator : Ir. Yohanes P.Situmeang, M.Si Wakil Koordinator : Ir. I Dewa Gede Semara Edi, M.Si Anggota : 1. Ir. I Gede Sudiarta, M.Si. 2. Ir. Ni Made Darmadi, M.Si. 3. Ida Bagus Putu Wiriadi Wibawa c) Perlengkapan, Tata Ruang dan Transportasi : Koordinator : Ir. I Putu Candra, MP. Wakil Koordinator : Ir. Ketut Agung Sudewa, M.Si. Anggota : 1. Ir. I Ketut Irianto, M.Si 2. Ir. I Nyoman Rudianta, M.Agb 3. Ir. I.G.N. Sugiana, M.MA. 4. Ir. A.A.S. Putri Risa A. M.Si 5. I Made Sudiana, SH

d) Humas, Publikasi dan Dokumentasi:

Koordinator : Ir. Yan Tonga, MP. Wakil Koordinator : Ir. I Wayan Sudiarta, MP. Anggota : 1. Ir. I Ketut Sudiarta, M.Si. 2. Ir. Ni Luh Komang Sulasmini Mudra, MSi 3. Ir. Ni Made Suardani

Page 91: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 149

e) Fieldtrip dan Akomodasi : Koordinator : Ir. Anak Agung Ngurah Mayun Wirajaya, MM. Wakil Koordinator : Ir. I Gusti Made Arjana, MP. Anggota : 1. Ir. I Wayan Arya, MP. 2. Ir. Putu Januar Ardana 3. Ir. Gde Sutapa 4. Ir. I Nyoman Sutadnya, MMA 5. Ir. I Gde. Pasek Mangku, MP.

f) Konsumsi dan Hidangan :

Koordinator : Dra. Sang Ayu Made P. Suryani, M.Si. Wakil Koordinator : Ir. I G. A. Sri Rejeki, M.Si. Anggota : 1. Ir. Ni Ketut Etty Suwitari, M.Si. 2. Ir. Ni Putu Anom Sulistiawati, M.Si. 3. Ir. Luh Suriati, M.Si. 4. Ir. Ni Ketut Sri Rukmini, MP. 5. Ir. Dewa Ayu Ngurah Krisnawati 6. Ir. Luh Kartini, MSi 7. Ni Nyoman Wiratni g) Pembantu Umum : Beberapa anggota HMJ masing-masing Prodi FP Unwar.

Page 92: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 150

LAMPIRAN 2. JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL

FAKULTAS PERTANIAAN UNIVERSITAS WARMADEWA Tema:

"Peran Agrobisnis dan Agroindustri serta Antisipasi Perubahan Iklim terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Energi", 21 September 2013,

di Gedung Auditorium Widya Sabha Utama, Universitas Warmadewa (Diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-29, Wisuda Sarjana ke-48 dan

Pascasarjana ke-1 Universitas Warmadewa, Tanggal 17 September 2013)

Pukul (WITA)

Acara Panitia/ Moderator

07.30-08.30 Registrasi Peserta Panitia

08.30-09.00 - Laporan Ketua Panitia - Pembukaan oleh Rektor Universitas Warmadewa

-Panitia/MC -Panitia/MC 09.30-10.00 Istirahat/Snack/Coffee Break Panitia/MC

10.00-13.00 Presentasi pada Diskusi Umum dengan Pembicara Utama (keynote speech): 1.Dr. Dadan Kusdiana, Direktur Bioenergi,

Kementrian ESDM RI. Kebijakan Pengembangan Energi Baru Dan Terbarukan (EBT)

2.Dr. Ir. Nur Masripatin,M.For.Sc. Kepala Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan RI. Antisipasi Perubahan Iklim.

3.Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE (Pakar Bidang Sistem dan Pangan pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor). Healthy Food & Agro-based Industri, Local Resources.

4.Dr. Ir. Yuli Hariyati, M.S (Pakar Bidang Agrobisnis pada Universitas Jember, Jawa Timur dan Reviewer Dikti Bidang Penelitian). Peran agribisnis dalam pemantapan ketahanan pangan dan energi.

5.Ir. Jaya Wahono, M.Sc (Presiden Direktur Charta Putra Indonesia, Clean Energy Projects Development Company). Memberikan Persembahan kepada Bumi.

6.Nunik Sri Martini, Direktur Utama PT. Sarotama Dharma Kalpariksa, Jakarta. Mendampingi Petani dalam Menghadapi Climate Change, Berkontribusi lalu Menikmati Bersama Petani.

Moderator: Ir. I Dewa Nym Sudita, MP

13.00-14.00 ISHOMA + Pendaftaran Fieldtrip Panitia/MC 14.00-16.00 Presentasi pada Diskusi Kelompok I, II, III

(supplement speech) dengan topik masing-masing peserta (discussant participant).

Moderator: 1.Ir. A.A,Ngr. Mayun W. MM 2.Ir. IBK. Mahardika, M.Si 16.00-16.30 Istirahat/Snack/Pengundian doorprize Panitia/MC

16.30-16.45 Penutupan oleh Dekan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa

Panitia/MC

Page 93: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 151

LAMPIRAN 3. DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL NO. NAMA LENGKAP INSTANSI

1 Dr. Dadan Kusdiana Kementrian ESDM RI 2 Dr. Ir. Nur Masripatin,M.For.Sc. Kementerian Kehutanan RI 3 Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE IPB, Bogor 4 Ir. Jaya Wahono, M.Sc PT. Charta Putra Indonesia 5 Nunik Sri Martini PT. Sarotama Dharma Kalpariksa, Jakarta 6 Dr. Ir. Yuli Hariyati, M.S Universitas Jember 7 Rizal Mahdi Kurniawan IPB, Bogor 8 Yoga Setiawan Santoso IPB, Bogor 9 Sugiyanto IPB, Bogor 10 Egia Fasliansa IPB, Bogor 11 Nunung Nurhayati IPB, Bogor 12 Jajuk Herawati Univ. Wijaya Kusuma Surabaya 13 Erna Haryanti K. Univ. Wijaya Kusuma Surabaya 14 Indarwati Univ. Wijaya Kusuma Surabaya 15 Dwie Retna Suryaningsih Univ. Wijaya Kusuma Surabaya 16 R.M. Wardhani Univ. Merdeka Madiun 17 L. S. Budi Univ. Merdeka Madiun 18 I Ketut Sumantra Univ. Mahasaraswati Denpasar 19 I Wayan Guwet Univ. Mahasaraswati Denpasar 20 Farida Hanum Univ. Mahasaraswati Denpasar 21 Ketut Turaini Indra Univ. Tabanan 22 I Nengah Karnata Univ. Tabanan 23 I Wayan Suanda FPMIPA IKIP PGRI Bali 24 I Nyoman Budiana BPTP Bali 25 I G.A. Maya Kurnia Distanak Kab. Buleleng 26 Made Pulasan Pemda Bangli 27 I GN. Laksana BLH Bangli 28 Guntur Wibisono BI Wil. III 29 I Wayan Gede Suacana LP2M Unwar 30 I Dewa Putu Sumantra LP2M Unwar 31 Nyoman Surayasa LP2M Unwar 32 Wianto Putra LP2M Unwar 33 I Wayan Wesna Astara LP2M Unwar 34 Muliawan LP2M Unwar 35 I Wayan Parwata FT-Unwar 36 Agus Kurniawan FT-Unwar 37 Putu Aryastana FT-Unwar 38 Eryani FT-Unwar 39 Nuri Arthana FT-Unwar 40 I Made Widiana FH-Unwar 41 Ida Ayu Putu Widiati FH-Unwar 42 I Made Sara FE-Unwar 43 Ni Luh Pradnyadewi FE-Unwar 44 I Gusti Lanang T. FE-Unwar 45 I Nyoman Mardika FS-Unwar 46 Ni Ketut Sukiani FS-Unwar 47 I Gede Suarjaya FS-Unwar 48 Janamijaya FISIP-Unwar 49 I Nyoman Sudi Parwata Mahasiswa Unwar 50 Benitha Nathania S Mahasiswa Unwar 51 Eka Ari Sutrisnawati Mahasiswa Unwar 52 I Kadek Ari Putra Mahasiswa Unwar

Page 94: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 152

53 Ni Made Pertiwi Jaya Mahasiswa Unwar 54 A A Putri Pinantri Dewi Mahasiswa Unwar 55 Ayu Nitha Kharisma Dewi Mahasiswa Unwar 56 A A Sagung Ratu Cinintya A Mahasiswa Unwar 57 I Gusti Komang Adi Wibawa Mahasiswa Unwar 58 Ni Made Widi Adnyani Mahasiswa Unwar 59 I Gede Sendy Pratama Mahasiswa Unwar 60 Ni Kadek Subhati Mahasiswa Unwar 61 I Nyoman Wisnu Suantara P Mahasiswa Unwar 62 Made Abdi Pringgada P Mahasiswa Unwar 63 I Gusti Ngurah Alit Parka Yudha Mahasiswa Unwar 64 Mardiana Lande Mahasiswa Unwar 65 I Kadek Purna Adiyana Mahasiswa Unwar 66 Makrina Haryuni Pas Mahasiswa Unwar 67 Bomisius Muga Gili Mahasiswa Unwar 68 Retang Hamba Banju Mahasiswa Unwar 69 I Wayan Andria Anandika Mahasiswa Unwar 70 I Wayan Eka Juliarta Mahasiswa Unwar 71 Indra Umbu Lindi Linna Mahasiswa Unwar 72 I Wayan Yoga Pratama Mahasiswa Unwar 73 I Wayan Jaya Mahardika Mahasiswa Unwar 74 Kasiyanto Mahasiswa Unwar 75 Kadek Indra Purnama Putra Mahasiswa Unwar 76 I Dewa Gede Adnyana Putra Mahasiswa Unwar 77 I Wayan Ade Palguna Mahasiswa Unwar 78 Napson Mapa Marlanda Mahasiswa Unwar 79 Sumarni May Tida Mahasiswa Unwar 80 Putu Arta Subagia Mahasiswa Unwar 81 Kadek Manis Lanang Sugiri Mahasiswa Unwar 82 Petrus Kaliang Lelu Mahasiswa Unwar 83 Paulus P Holo Mahasiswa Unwar 84 Nengah Winada Mahasiswa Unwar 85 Eftanto Catur Putera Mahasiswa Unwar 86 Wayan Suartana Mahasiswa Unwar 87 Komang Intan Cahyani Mahasiswa Unwar 88 I Wayan Darmayasa Mahasiswa Unwar 89 I Nyoman Sumerta Mahasiswa Unwar 90 I Wayan Riandana Mahasiswa Unwar 91 Kadek Riastana Mahasiswa Unwar 92 Putu Yonda Yayan Santika Mahasiswa Unwar 93 I Ketut Gus Santiuka Mahasiswa Unwar 94 Putu Ardika Sugiantara Mahasiswa Unwar 95 Wayan Sudiraputu Dian Pratama Mahasiswa Unwar 96 Putu Subagia Mahasiswa Unwar 97 Ni Putu Eka Lely Agustini Mahasiswa Unwar 98 I Gusti Made Arya Sedana Mahasiswa Unwar 99 I Gede Agus Subertha Yasa Mahasiswa Unwar 100 Catur Anggara Yasa Mahasiswa Unwar 101 Dominto Huki Radandima Mahasiswa Unwar 102 I Gst Lanang Agung Alit A A Mahasiswa Unwar 103 Amedu R Soares Mahasiswa Unwar 104 I Made Suyatna Mahasiswa Unwar 105 Glory Sabathani Mahasiswa Unwar 106 Ni Putu Eka Sumerti W Mahasiswa Unwar

Page 95: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 153

107 Yehezkiel Ndilu Mehang Mahasiswa Unwar 108 Rodianto I Banunaek Mahasiswa Unwar 109 Sukmawati Mahasiswa Unwar 110 I Putu Budi Utama Mahasiswa Unwar 111 Axel Umbu Remu Zen A Mahasiswa Unwar 112 Nyoman Rai Wijana Mahasiswa Unwar 113 I Ketut Suardika Mahasiswa Unwar 114 Adrianus Neto Mahasiswa Unwar 115 Modesta Nona Mideng Mahasiswa Unwar 116 Darius Mahasiswa Unwar 117 Yosua K Woli Mahasiswa Unwar 118 Agustinus Awat Mahasiswa Unwar 119 Yandry Iomelson Tabelak Mahasiswa Unwar 120 Gede Iwan Setiawan Mahasiswa Unwar 121 I Made Bayu Permana Mahasiswa Unwar 122 Kadek Siliani Mahasiswa Unwar 123 Yashinta A Tallo Mahasiswa Unwar 124 Driwantari R W K Mahasiswa Unwar 125 Indriawati Rambu Anna K Mahasiswa Unwar 126 Gusti Agung Alit Adnyana Mahasiswa Unwar 127 Dewa Ayu Manik Chandra P Mahasiswa Unwar 128 Ni Kadek Primantari Mahasiswa Unwar 129 Ni Kadek Dewi Meiyanti Mahasiswa Unwar 130 Aurelia Ivoni Busak Mahasiswa Unwar 131 Ida Ayu Candra Warmadewi Mahasiswa Unwar 132 Ni Made Ayu Nila Kumala S Mahasiswa Unwar 133 Yosefa Ema Ritan Mahasiswa Unwar 134 Dwi Enny Parlindawati Mahasiswa Unwar 135 Fransiskus A Busung Mahasiswa Unwar 136 Made Suwida Adi Kusuma Mahasiswa Unwar 137 Komang Gustika Nirasari Mahasiswa Unwar 138 I Kadek Sunarta Mahasiswa Unwar 139 I Gede Edy Prasta Putra Mahasiswa Unwar 140 Yandi Umbu Sorakayu Mahasiswa Unwar 141 Gusti Ayu Ary Laksmi Dewi Mahasiswa Unwar 142 Ni Putu Triani Pujanita Mahasiswa Unwar 143 Kadek Dwi Cahya Pariana Mahasiswa Unwar 144 Wayan Ardi Purnawan Mahasiswa Unwar 145 Desak Made Gladys A Mahasiswa Unwar 146 I Kadek Wira Dharma P Mahasiswa Unwar 147 I Gusti Ayu Oka Risdayanti Mahasiswa Unwar 148 Yohanes T S Jebau Mahasiswa Unwar 149 Anugerah Daddu Mahasiswa Unwar 150 I G A Ayu Danniswari Mahasiswa Unwar 151 Sonny M Mahasiswa Unwar 52 Melki K Niga Mahasiswa Unwar 153 Petrus Lalam Mahasiswa Unwar 154 I Wayan Arika Yasa Mahasiswa Unwar 155 Rolandus Sariata Gampur Mahasiswa Unwar 156 Dharma Atmaja Mahasiswa Unwar 157 Gabriel N Aben Mahasiswa Unwar 158 Dominggus Dewa Data Mahasiswa Unwar 159 Yusuf Melkins Alexandew Tebay Mahasiswa Unwar 160 I Gede Surya Prahadi Mahasiswa Unwar

Page 96: Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke ... fileProsiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 iii KATA

Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke- 29 Universitas Warmadewa, Denpasar, 21 September 2013 154