proposal skripsi ok

Upload: ykotarumalos

Post on 15-Jul-2015

746 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

GEOLOGI DAN FASIES GUNUNGAPI PLEISTOSEN DAN BREKSI VULKANIK DAERAH SANGIRAN KECAMATAN KALIJAMBI KABUPATEN SRAGEN PROPINSI JAWA TENGAH

NOMOR LEMABAR PETA 1408-621 + 1408-622

PROPOSAL TUGAS AKHIR TIPE - IA

OLEH : JUVENAL FATIMA ALMOR 07.10.0515P

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND YOGYAKARTA 2011

i

ii

PRAKATADengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat yang diberikan kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan draft proposal tugas akhir ini dengan baik. Proposal tugas akhir dengan judul Geologi Dan Fasies Gunungapi Pleistosen dan Breksi Vulkanik Daerah Sangiran Kecatamatan Kalijambi Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah Dibuat untuk memenuhi syarat untuk melakukan tugas akhir pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Ir. Dwi Indah Purnamawati, M.Si. selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral 2. Ibu Dr. Sri Mulyaningsih, ST, M.T sebagai Ketua Jurusan Teknik Geologi Dan sebagai dosen pembimbimg I 3. Bapak Ir.Inti Widi Prasetyanto sebagai dosen pembimbing II 4. Rekan-rekan Geologi GAIA Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta atas ide-ide yang baik dan semua pihak yang tidak mungkin Penyusun sebutkan satu persatu. Penyusun menyadari bahwa draft Proposal tugas akhir ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Yogyakarta, Mei 2011 Penulis iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN ii PRAKATA iii DAFTAR ISI. iv BAB I PENDAHULUAN. 1 1.1. Latar Belakang. 2 1.2. Letak, Luas dan Kesampaian Daerah.. 3 BAB II GEOLOGI REGIONAL.. 4 2.1. Geomorfologi Regional.4 2.2. Stratigrafi Regional.. 7 2.3. Struktur Regional.... 8 2.4. Peneliti Terdahulu.. 12 BAB III FASIES GUNUNGAPI KUARTER14 3.1. Tinjauan Umum14 3.2. Dasar Teori...15 3.3. Hipotesa16 Daftar Pustaka Lampiran Jadwal Rencana Kerja

iv

BAB I PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang luas, dimana terdiri dari pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil yang membentang dari sabang sampai merauke. Kelima pulau besar tersebut adalah, suamatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Pulau-pulau tersebut menyimpan berbagai potensi sumber daya alam yang sangat melimpah dan belum tereksploitasi secara maksimal.

Museum Sangiran terletak di desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, sekitar 40 km dari kota Sragen dan kurang lebih 17 km dari kota Solo. Museum Sangiran menyimpan hingga puluhan ribu fisil dai jaman Pleistocen sekitar 2 juta tahun yang lalu. Fosil-fosil ini merupaka 65% dari yang ada di Idonesia dan 50% di seluruh Indonesia. Sampai sekarang ini telah diketemukan lebih dari 13.685 fosil, dan 2.931 fosil yang ada Museum, sisa di simpan di dalam tempat penyimpanan. Juga terdapat menara pandang yang dapat kita gunakan untuk melihat keasrian daerah sekitar Sangiran. Tempat yang memiliki titel World Heritage List (Warisan Budaya Dunia) ini, memiliki fasilitas-fasilitas yang cukup memadai seperti Ruang Pameran (fosil manusia dan hewan purba), laboratorium, gudang penyimpanan fosil, ruangan slide, dan toko-toko yang menjajakan souvenir khas Sangiran.

Nilai lebih yang dimiliki Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi, pada jaman dahulu Sangiran merupakan lautan. Akibat perubahan proses Geologi dan letusan gunung Lawu, Merapi, dan Merbabu, wilayah ini menjadi daratan. Hal ini dapat terlihat dari struktur tanah yang terdapat di wilayah tersebut yang berbeda

1

2

dengan yang lainnya. Dan beberapa fakta yang menunjukkan bahwa tempat tersebut dulunya hamparan laut adalah ditemukannya fosil-fosil binnatang laut pada lapisan paling bawah.Museum Sangiran merupakan wisata sejarah yang sangat layak untuk kita kunjungi.

1.1 Latar Belakang

Secara regional daerah rencana penelitian telah di lakukan pemetaan geologi oleh beberapa peneliti terdahulu. Namun tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk melakukan penelitian dan pemetaan geologi secara detail dengan harapan dapat memecahkan permasalahan geologi daerah penelitian. Kegiatan penelitian ini pada dasarnya adalah mempelajari kondisi geologi yang nyata pada daerah penelitian yang meliputi Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, Sejarah Geologi dan Geologi Lingkungan serta proses-proses geologi yang terjadi pada masa lampau, sekarang serta kemungkinan yang terjadi pada waktu yang akan datang. Dengan mengetahui kondisi geologi daerah penelitian, maka kita dapat memprediksi sumber daya alam yang terdapat pada daerah penelitian yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat.

1.2. Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Daerah rencana penelitian terletak didaerah kecamatan Kalijambi Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Terletak pada lembar peta 1408-621 + 1408-622 dengan luas daerah peneltian 9kmx9km atau sama dengan 81km.

3

Daerah rencana penelitian dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat sedangkan untuk menuju beberapa lokasi pengamatan dapat ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak atau melalui sungai.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

2.1. Geomorfologi Regional

Menurut Van Bemmelen ( 1949 ), secara fisiografi Jawa Tengah dibagi menjadi enam zona fisiografi berturut-turut dari Utara hingga Selatan adalah sebagai berikut : 1. Dataran Aluvial Jawa Utara 2. Gunungapi Kwarter 3. Antiklinorium Bogor-SerayuUtara dan Kendeng 4. Pematang dan dome pada pusat depresi 5. Pusat depresi Jawa dan zona Randublatung 6. Pegunungan Selatan (Lihat Gambar)

Gambar 1. Peta fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bemmelen, 1949)

4

5

Berikut ini adalah uraian singkat mengenai Geomorfologi dari masingmasing jalur tersebut diatas : 1. Dataran aluvial Jawa Utara Jalur ini tidak begitu luas karena sepanjang Cirebon sampai semarang, laut Jawa menjorok kearah darat, daerah paling luas pada jalur ini adalah terdapat di Brebes lalu kearah Timur dan menyempit dan menghilang disebelah Timur Pekalongan. 2. Gunungapi Kwarter Jalur Gunungapi ini muncul pada jalur depresi Tengah Jawa ( pusat depresi Jawa ). 3. Antiklinorium Bogor Serayu Utara dan Kendeng Jalur ini merupakan hasil pengangkatan dari geosinklin Jawa bagian Utara. Jalur Bogor Serayu Utara dan Kendeng ini dipisahkan oleh sebuah kuarter yaitu gunung Slamet. 4. Pematang dan dome pada pusat depresi Jalur ini disebut juga jalur pegunungan Serayu Selatan dan pegunungan Kulon progo, pegunungan Kulon progo merupakan kubah ( dome ) lonjong dengan bentuk yang agak teratur memanjang dengan arah Utara-Timur laut dengan diameter panjang kurang lebih 32 km dan kearah selatan barat daya dengan diameter panjang kurang lebih 20km. Bagian utara timur pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo sedangkan bagian selatan dan barat daya dibatasi oleh dataran pantai jawa tengah,

6

dibagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan jajaran pegunungan Serayu selatan yang juga berbentuk kubah memanjang dengan arah sumbu Utara-Selatan dan Barat-Timur, panjangnya kurang lebih 100 km ( Van Bemmelen, 1949 ). Dalam pembagian fisiografi pulau jawa oleh Van Bemmelen ( 1949 ) pegunungan Kulon Progo termasuk dalam jalur kubah dan perbukitan dalam depresi sentral jawa pada zona selatan jawa tengah. Secara umum daerah Kulon progo merupakan sutau tinggian yang berstruktur dome memanjang dan dicirikan oleh kompleks gunung api purba yang melandai kearah barat dan dibatasi oleh ketinggian kebumen serta melandai kerah timur dibatasi oleh rendahan Yogjakarta, jadi termasuk kedalam zona pegunungan serayu selatan bagian paling timur. 5. Pegunungan Selatan Jalur ini juga disebut sebagai dataran pantai selatan, jalur ini merupakan jalur plato yang sebagian besar mengalami proses penengglaman dan tertutup oleh endapan aluvial, tetapi sisa-sisa plato ini masih dapat disaksikan yaitu berupa pegunungan karang bolong dan pulau Nusakambanggan. Berdasarkan uraian singkat diatas maka daerah penelitian termasuk dalam jalur pegunungan serayu selatan bagian paling timur yaitu Pegunungan Kulon progo.

7

2.2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi dari kubah sangiran terdiri dari emapat formasi, yaiitu formasi notopuro, kabuh, pucangan dan kalibeng (Bemmelen 1949). Formasi notopuro tersusun oleh aglomerat dan tuff yang satuan litologinya kerikil, pasir, lanau, lempung air tawar, lahar pumisan dan tuff., tebal perkiraan 10-50 meter terbentuk pada pliostosen atas. Formasi kabuh tersusun oleh konglomerat, batupasir, dan tuff, satuan litologinya adalah lempung, lanau dan pasir, tebal di perkirakan dari 50 meter terbentuk pada pliostosen tengah. Formasi pucangan pada bagian atas tersusun oleh batulempung hitam dengan tebal 50-100 meter, sedangkan di bagian bawah tersusun oleh breksi vulkanik dengan tebal 15-30 meter, satuan litologinya berupa breksi laharik, satuan napal bercampuur batulempung, lapisan tersebut mencirikan adanya trangresi air laut, terbentuk pada zaman pleitosen bawah. Formasi kalibeng tersusun oleh napal dan batulempung, batulempungnya berwarna abu-abu kebiruan dengan tebal kurang dari 110 meter, pasir lanau tebal 4-6 meter dan batugamping balanus setebal kurang dari 10 meter, di atas lapisan tersebut terdapat lapisan diatomae yang berwarna putih kecoklatan, terbentuk pada jaman pliosen atas. Atas dasar strarigrafi tersebut dapat di ketahui keempat-empat formasi tersebut memiliki litologi yang berbeda. Perbedaan litologi menurut Thornbury (1959) dan Mekel (1970) akan mempengaruhi konfigurasi relief, sedangkan menurut Todd (1959) akan menpengaruh oleh ketersediaan air tanah. Imformasi litologinya,

8

stratigrafi dan struktur geologi yang merupakan faktor yang penting dalam menpelajari agihan ari tanah dapat di kaji melalui pendekatan geomorfologi terutama yang menekankan pada bentuk lahan Walton (1970).

2.3

Struktur Regional

Berdasarkan hasil penelitian terbentuknya Kubah Sangiran merupakan peristiwa geologis yaitu diawali pada 2,4 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan,gerakan lempeng bumi,letusan gunung berapi dan adanya masa glacial sehingga terjadi penyusutan air laut yang akhirnya membuat wilayah Sangiran terangkat keatas, hal ini dibuktikan dengan endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut.

Formasi Kalibeng merupakan lapisan stratigrafi di Situs sangiran yang paling tua, lapisan tanah ini merupakan endapan dari lautan yang hadir pada Akhir Kala Pliosen (kurang lebih 2 juta tahun yang lalu). Lapisan ini di dominasi oleh lempung abu-abu kebiruan (napal) dan lempung lanau, serta satuan pasir lanau dan gamping balanus. Satuan lempung abu-abu kebiruan itulah yang merupakan ciri khas endapan laut (marine) dan banyak terdapat fosil foraminifera (jenis Operculina) dan moluska laut (Turritela, Nassarius, Arca, Choine, Anomia, Turricula, Ostrea, Pleurotama, Murex dan Natica).

9

Keberadaan pasir lanau dan gamping balanus menandakan endapan dari laut dangkal dan formasi ini tersingkap di wilayah Puren dan Pablengan,dan pada masa ini belum ada kehidupan manusia maupun vertebrata karena lingkungan masih berupa lautan. Saat laut mulai surut yang diakibatkan oleh proses pengangkatan regional dari kegiatan gunung api, dan juga dari proses glasial terjadi pendangkalan. Daratan yang terbentuk (gunung api dan perbukitan) menjadi luas oleh adanya pelapukan buatan gunung berapi, erosi perbukitan serta sisa-sisa organisme pantai. Vegetasi yang menonjol pada masa ini adanya perkembangan hutan bakau, akibat banyaknya aktivitas vulkanik maka hutan bakau mulai menghilang dan daratan semakin luas (A.M. Semah, 1984).

Kemudian pada kala 1,8 juta tahun yang lalu terjadi peningkatan aktivitas vulkanik yang mingkin didominasi oleh kegiatan Gunung Lawu dan Gunung Merapi Purba dan material lahar dari kedua gunung tersebut terendapkan mengisi laguna-laguna yang ada di wilayah Sangiran sehingga mengendap membentuk lapisan-lapisan yang ada di bagian bawah Formasi Pucangan. Formasi Pucangan yaitu formasi yang tersingkap antara lain di wilayah Cengklik, Bapang, dan Jagan. Lapisan ini didominasi oleh satuan breksi laharik yang mengandung lensa batu pasir silang-siur dan konglomerat vulkanik tipe endapan alur sungai. Satuan ini diendapkan oleh system arus pekat yang dikenal dengan istilah lahar hujan atau lahar dingin. Lapisan ini terdiri dari lapisan napal dan lempung hitam yang merupakan endapan danau air tawar dan zona Solo. Pada lapisan ini terdapat sisipan lempung berwarna kuning yang mengandung horizon moluska marine (Anadara, Conus, dan Murex). Horizon ini menunjukkan adanya transgresi laut

10

secara singkat. Pada formasi Pucangan Bawah sudah banyak ditemukan fosil-fosil binatang vertebrata (bertulang belakang) yaitu antara lain : Gajah (Stegodon Trigonocephalus), Axis Lydekkeri, Panthera Tigris, dan Kuda Nil (Hexaprotodon Simplex) dan Tetralophodon Bumiajuensis (Widianto, 1995).

Pada masa ini daerah Sangiran dulunya merupakan rawa pantai dimana terdapat endapan khusus yang disebut diatomit, yang mengandung cangklang diatomea lautan (alga silika mikroskopis). Vegetasi yang ada awalnya berupa hutan rawa yang kemudian karena adanya perubahan iklim maka berubah sifatnya menjadi hutan terbuka dimana pohon-pohon beradaptasi dengan musim kemarau yang keras (A.M. Semah, 1984). Binatang reptil seperti buaya dan kura-kura banyak juga yang muncul pada kala ini dan juga babi (Suidae) dan monyet serta pertama kali ditemukan adanya fosil manusia Homo Erectus dan Meganthropus palaeo-javanicus pada lapisan Pucangan bagian atas.

Masa glasial yaitu masa pembekuan es di kutub utara yang mengakibatkan terjadinya penyusutan air laut dan daratan pun terangkat ke atas dan berubah menjadi laut dangkal. Pada kala itu juga, aktivitas gunung berapi pun terjadi sehingga laharnya terendapkan di wilayah Sangiran dan lingkungan laut dangkal berubah menjadi lingkungan air payau. Menurut A.M. Semah, hal ini terjadi kirakira 1,5 juta tahun yang lalu sehingga diendapkan lapisan lempung hitam Pucangan dan terbentuklah hutan payau dan hutan-hutan bakau (Semah, A.M., 1984).

11

Pada masa berikutnya terjadi erosi di daerah Pegunungan Kendeng dari arah utara dan pegunungan selatan dari arah selatan yang membawa material gravel dan pasir, endapan ini bersifat klastik sehingga terbentuklah konkresi konglomeratan yang terdiri dari konglomeratan gamping dan pasir yang kemudian dikenal dengan sebutan grenzbank. Ini terjadi kurang lebih 900 ribu tahun yang lalu, erosi tersebut terjadi dari arah selatan ke utara dan menutupi perairan payau dan membentuk suatu daratan. Pada masa ini perairan sama sekali hilang dari wilayah Sangiran.

Pada lapisan ini ditemukan Meganthropus palaeojavanicus dan Crocodilus sp. Grenzbank yang berasal dari periode 900.000-800.000 tahun yang lalu, karena adanya proses pelipatan pada Pegunungan Kendeng maka relief yang sudah etrbentuk mengalami erosi sehingga banyak meterial yang terangkut oleh sungai dan diendapkan membentuk suatu konglomerat yang kasar. Endapan tersebut berupa endapan batu gamping calcareous dan batu pasir konglomerat. Lapisan ini yang menandakan bahwa perairan sudah benar-benar lenyap dari wilayah Sangiran.

Lapisan ini banyak kita jumpai singkapannya di Brangkal, Ngebung, Dayu, Tanjung, Wonolelo, Bubak, glagahombo, dan Blimbingkulon. Penelitian yang dilakukan oleh Missi Gabungan antara Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Museum national d'Histoire Naturelle Perancis pada lapisan ini berhasil menemukan fosil sisa manusia purba berupa fragmen tulang paha (femur) yang diberi kode Kresna 11 dan fragmen rahang bawah (mandibula) dengan kode

12

Ardjuna 9. Pada formasi ini banyak juga ditemukan fosil-fosil mamalia dan tidak jarang temuan sisa-sisa koral.

2.4 Peneliti Terdahulu Daerah penelitian sudah banyak dilakukan penelitian oleh berbagai peneliti baik secara makro maupun secara mikro. Para peneliti terdahulu tersebut antara lain :

2. Asikin, (1947), membahas tentang struktur geoogi secara regional daerah jawa Tengah dan sekitarnya, dalam bukunya Evolusi Geologi Jateng dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi Tektonik Dunia yang Baru . 3. Keller,J. (1980) dalam bukunya The Island Of Vulcano. Membahas tentang petrologi batuan gunung api. 4. Van Bemmelen (1949) dalam bukunya Geologi Of Indonesia yang membagi pulau jawa kedalam beberapa satuan geomorfik. Juga menyatakan bahwa geantiklin jawa mengalami pengangkatan yang disusul patahnya bagian puncak yang terletak di Zona Solo meluncur ke utara. Batuan tertua yang tersingkap berumur Oligosen-Miosen dan dikenal sebagai Formasi Kebo-Butak, kemudian selaras diatasnya diendapkan Foemasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, dan Formasi Kepek 5. Pola Struktur Jawa (Sribudiyani dkk., 2003) Secara umum struktur struktur yang ada di Zona Kendeng berupa Lipatan Lipatan, Sesar Naik, Sesar Geser Sesar, Struktur Kubah. 6. Menurut Harsono P. (1983) Stratigrafi daerah kendeng terbagi menjadi dua cekungan pengendapan, yaitu Cekungan Rembang (Rembang Bed)

13

yang membentuk Pegunungan Kapur Utara, dan Cekungan Kendeng (Kendeng Bed) yang membentuk Pegunungan Kendeng.

BAB III FASIES GUNUNGAPI

3.1

Tinjauan Umum

Berdasarkan bentuk bentang alam dan asosiasi batuan penyusun, suatu kerucut gunung api komposit dapat dibagi menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal (Williams dan Mcbirney) (1979). Secara bentang alam, pembagian tersebut dimulai dari pusat erupsi di bagian puncak, menurun ke arah lereng, kaki, serta dataran di sekelilingnya. Fasies sentral gunung api dicirikan oleh asosiasi batuan beku intrusi dangkal, kubah lava, dan batuan ubahan hidrotermal. Fasies proksimal tersusun oleh perselingan aliran lava dan breksi piroklastika. Fasies medial terutama berupa breksi piroklastika, breksi lahar, dan konglomerat, sedangkan fasies distal lebih banyak disusun oleh batuan epiklastika berukuran butir pasir-lempung. Tuf dapat tersebar mulai dari fasies proksimal sampai distal karena berbutir halus dan ringan (Vesel dan Davies) (1981) dan (Bogie dan Mackenzie) (1998). Pembagian fasies gunung api di dalam batuan berumur Tersier atau lebih tua dilakukan dengan pendekatan inderajageomorfologi, stratigrafi batuan gunung api, vulkanologi fi sik, struktur geologi, serta petrologi-geokimia. Pembagian fasies gunung api ini dapat dimanfaatkan dalam rangka pencarian sumber baru di bidang mineral dan energi, penataan lingkungan, serta mitigasi bencana geologi.

14

15

3.2

Dasar Teori

Schieferdecker (1959) mendefinisikan gunung api (volcano) adalah a place at the surface of the earth where magmatic material from the depth erupts or has erupted in the past, usually forming a mountain, more or less conical in shape with a crater in the top (sebuah tempat di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk suatu gunung, kurang lebih berbentuk kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya). Sementara itu Macdonald (1972) menyatakan bahwa volcano is both the place or opening from which molten rock or gas, and generally both, issues from the earths interior onto the surface, and the hill or mountain built up around the opening by accumulation of the rock material (gunung api adalah tempat atau bukaan dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung). Dari dua definisi tersebut maka untuk dikatakan sebagai gunung api harus ada magma yang berupa batuan pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan bumi melalui bukaan (kawah). Hasil kegiatan berupa bahan padat yang teronggokkan di sekeliling lubang biasanya membentuk bukit atau gunung dan disebut sebagai batuan gunung api. Menurut Schieferdecker (1959) fasies ialah the sum of the lithological and paleontological characters exhibit by a deposit at a particular point (sejumlah ciri litologi dan paleontologi yang ditunjukkan oleh suatu endapan pada suatu lokasi tertentu). Sementara itu litofasies diartikan sebagai the collective physical and organic characters found in any sedimentary rock which

16

indicate environment of deposition (sekumpulan ciri fi sik dan organik yang dijumpai di dalam batuan sedimen yang mengindikasikan lingkungan

pengendapannya; Schieferdecker, 1959). Di dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) fasies adalah aspek fi sika, kimia, atau biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapkan pada waktu yang sama dikatakan berbeda fasies, kalau kedua batuan tersebut berbeda ciri fi sika, kimia, atau biologinya. Istilah fasies dan litofasies tersebut lebih dititikberatkan untuk batuan sedimen. Oleh sebab itu untuk fasies gunung api perlu dilakukan modifi kasi, yakni sejumlah ciri litologi batuan gunung api dalam kesamaan waktu pada suatu lokasi tertentu. Ciri-ciri litologi dapat menyangkut aspek fi sika, kimia, dan biologi. Berhubung di dalam batuan gunung api tidak selalu dijumpai fosil, maka aspek biologi tidak dijadikan parameter utama. Batuan vulkanik piroklastika dibentuk oleh erupsi eksplosif lava dan batuan yang berada pada kolom letusan, termasuk juga batuan yang berasal dari dinding konduit magma, atau secara fisik terbawa oleh gelombang piroklastik berikutnya. Lava, terutama riolit dan dasit, cenderung membentuk batuan vulkanik klastik dengan proses yang dikenal sebagai autobreksiasi. Ini terjadi ketika lava yang hampir padat memecah menjadi blok-blok dan blok ini kemudian masuk dan bergabung lagi ke aliran lava dan bercampur dengan magma cair yang tersisa. Breksi dihasilkan memiliki komposisi kimia dan jenis batuan yang seragam. Lava juga dapat membawa fragmen batuan, terutama jika mengalir di atas reruntuhan yang tidak dikonsolidasi pada sisi-sisi gunung api, dan bentuk breksi vulkanik ini,

17

juga disebut breksi bantal. Breksi vulkanik juga dapat terbentuk akibat adanya lahar yang membawa material vulkanik hasil erupsi.

3.3. Hipotesa

Secara bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman ini kemudian dikembangkan oleh Williams dan McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central Zone, Proximal Zone, dan Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung api, Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung api, dan Distal Zone sama dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun dalam uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan facies, sehingga menjadi Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies. Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial Facies, dan Distal Facies (Gambar 1). Sesuai dengan batasan fasies gunung api, yakni sejumlah cirri litologi (fisika dan kimia) batuan gunung api pada suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies gunung api tersebut dapat diidentifi kasi berdasarkan data: 1. Inderaja dan geomorfologi, 2. Stratigrafi batuan gunung api, 3. Vulkanologi fi sik, 4. Struktur geologi, serta

18

5. Petrologi-geokimia.

Gambar 2. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie, 1998).

Gambar 3. Pembagian fasies gunung api pada gunung api aktif masa kini seperti halnya di kerucut komposit Gunung Merapi, Jawa Tengah. Fasies sentral terletak di bagian puncak atau pusat erupsi, fasies proksimal pada lereng atas dan fasies medial di lereng bawah. Fasies distal terletak di kaki dan dataran di sekeliling gunung api, di antaranya dataran di latar depan gunung api.

19

Gambar 4. Pulau Maitara di daerah Ternate, Maluku Utara sebagai salah satu pulau gunung api Kuarter di mana fasies distalnya berada di bawah muka air laut.

DAFTAR PUSTAKABronto, S., dan Mulyaningsih, S., 2001. Volcanostratigraphic development from Tertiary to Quaternary: A case study at Opak River, Watuadeg-Berbah, Yogyakarta, Abstr.. 30th Annual Convention IAGI & 10th Geosea Regional Conggres, Sept. 10-12, 2001, Yogyakarta, 158h. IAGI., 1996., Pertemuan ilmiah Tahunan XXV sumber daya mineral, geodinamik, magmatic dan vulkanologi, IAGI, Bandung Mulyaningsih. S., 2008., Geologi Lingkungan., Ardana Media, Yogjakarta

Mulyaningsih. S., 2007, Vulkanologi, Diktat Kuliah Vulkanologi, Jurusan Teknik Geologi IST AKPRIND, Yogyakarta. Schieferdecker, A.A.G. (Ed.), 1959. Geological Nomenclature. Royal Geol. And Minings Soc. Of the Netherlands, J. Noorduijn en Zoon N.V., Gorinchem, 523h. Vessels, R.K. dan Davies, D.K., 1981. Non Marine Sedimentation in an Active Fire Arc Basin, in F.G. Etridge & R.M. Flores (Eds.), Recent and Ancient Non Marine Depositional Environments: Models for Exploration. Society of Economic Paleontology, Special Publication, no. 31. Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol IA, Government Printing Office, The Haque Martinus Nijhroff Williams, H. dan McBirney, A.R., 1979. Volcanology. Freeman, Cooper, San Francisco, h.135-142.

Lampiran

RENCANA KERJATahap I Bentuk Kerja Rencana Jenis Pekerjan/Tgl Pelaksanan 1. Studi Pustaka : Dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasih tentang daerah penelitian sebelum melakukan pemetan secara langsung dilapangan. ( Tgl 1sampai 25-29 Maret 2011 )

2. Reconaisance : Dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari kondosi-kondisi medan agar dapat menentukan jalur atau lintasan yang cocok untuk melakukan pemetaan dan juga sekaligus

menentukan lokasi dari base camp.

( Tgl 30-01 Mei 2011 )

II

Pekerjan Lapangan

1.

Pemetan : Pemetan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data geologi berupa Struktur, litogi, dan morfologi

(Tgl 2-14 Mei 2011 )

2.

Pengukuran Stratigrafi ( Tgl 17-19 Mei 2011 )

III

Penyusunan Laporan

1.

Pembuatan Peta : Peta Geologi, peta Geomorfologi, peta lintasan, pembuatan kolom stratigrafi

( Tgl 23 Mei - 23 Juli )

2.

Penyusunan laporan