proposal skripsi

25
 1 A. Judul HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY  DENGAN PROKRASTINASI PENYELESAIAN SKRIPSI (STUDI KORELASIONAL PADA MAHASISWA UNIVERSITAS P ENDIDIKAN INDONESIA). B. Latar Belakang Perguruan tinggi adalah satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah dengan beragam pilihan vokasi yang menitikberatkan pada persiapan lulusan untuk mengaplikasikan keahliannya. Peserta didik yang belajar di perguruan tinggi dikenal dengan sebutan mahasiswa. Ada beberapa alasan mengapa seseorang belajar di perguruan tinggi, diantaranya untuk memperoleh gelar akademik yang bisa menunjang karir di masa mendatang, untuk mendalami suatu ilmu pengetahuan karena betul-betul  berminat pada ilmu pengetahuan tersebut, ingin mendapatkan status sebagai mahasiswa sekaligus memberi waktu untuk memikirkan masa depan atau  pilihan yang lebih baik daripada mengganggur atau mengalami kebosanan dalam pekerjaan serta bisa disebabkan oleh adanya paksaan dari lingkungan (Wright dal am Oktary, 2007). Sudarman (2004) menambahkan bahwa belajar di perguruan tinggi bertujuan untuk membentuk sikap intelektual serta menyiapkan tenaga-tenaga terampil, mandiri dan profesional, baik untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja maupun untuk pengembangan ilmu, teknologi, seni dan pengetahuan tertentu, dengan cara dididik dan dibina agar siap melangsungkan pembangunan di masa yang akan datang. Dari alasan- alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perguruan tinggi merupakan tempat  belajar untuk menyiapkan sumber daya manusia berkualitas yang siap menghadapi tantangan dunia kerja dan meneruskan pembangunan di masa depan.

Upload: noviarianti

Post on 15-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hubungan antara Self Efficacy dengan Prokrastinasi Penyelesaian Skripsi

TRANSCRIPT

A. Judul HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN PROKRASTINASI PENYELESAIAN SKRIPSI (STUDI KORELASIONAL PADA MAHASISWA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA).

B. Latar Belakang Perguruan tinggi adalah satuan penyelenggara pendidikan tinggi yang merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah dengan beragam pilihan vokasi yang menitikberatkan pada persiapan lulusan untuk mengaplikasikan keahliannya. Peserta didik yang belajar di perguruan tinggi dikenal dengan sebutan mahasiswa. Ada beberapa alasan mengapa seseorang belajar di perguruan tinggi, diantaranya untuk memperoleh gelar akademik yang bisa menunjang karir di masa mendatang, untuk mendalami suatu ilmu pengetahuan karena betul-betul berminat pada ilmu pengetahuan tersebut, ingin mendapatkan status sebagai mahasiswa sekaligus memberi waktu untuk memikirkan masa depan atau pilihan yang lebih baik daripada mengganggur atau mengalami kebosanan dalam pekerjaan serta bisa disebabkan oleh adanya paksaan dari lingkungan (Wright dalam Oktary, 2007). Sudarman (2004) menambahkan bahwa belajar di perguruan tinggi bertujuan untuk membentuk sikap intelektual serta menyiapkan tenaga-tenaga terampil, mandiri dan profesional, baik untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja maupun untuk pengembangan ilmu, teknologi, seni dan pengetahuan tertentu, dengan cara dididik dan dibina agar siap melangsungkan pembangunan di masa yang akan datang. Dari alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perguruan tinggi merupakan tempat belajar untuk menyiapkan sumber daya manusia berkualitas yang siap menghadapi tantangan dunia kerja dan meneruskan pembangunan di masa depan. Perguruan tinggi akan memberikan gelar akademis kepada mahasiswa sesuai dengan jalur pendidikan yang ditempuh. Gelar sarjana adalah salah satunya. Pada era sekarang, sarjana merupakan prasyarat dasar untuk terjun ke dalam dunia kerja yang semakin kompetitif. Gelar tersebut akan diperoleh mahasiswa setelah menempuh perkuliahan dalam jangka waktu tertentu dan telah menyelesaikan suatu tugas akhir berupa skripsi. Skripsi merupakan suatu karya ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa sebagai bukti kemampuan akademik dalam melakukan penelitian yang kemudian dipertahankan dalam suatu ujian sidang. Melalui skripsi, mahasiswa diharapkan bisa memperoleh pengalaman belajar dalam mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh selama berkuliah sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Skripsi dipandang sebagian mahasiswa sebagai tugas yang cukup berat. Pada proses penyusunan skripsi, mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri, aktif dan bertanggung jawab dalam pemenuhan tugas akademiknya. Hal tersebut terkait dengan proses belajar dalam penyusunan skripsi yang dilakukan secara individual, berbeda dengan kondisi ketika mahasiswa mengikuti mata kuliah lain yang umumnya dilakukan secara klasikal dan biasanya dosen memberikan batas waktu ketika memberikan tugas kepada mahasiswa. Sedangkan pada skripsi perencanaan, pelaksanaan dan penulisan skripsi semuanya dilakukan oleh mahasiswa dan batas waktu pengerjaan skripsi pun biasanya ditentukan oleh diri sendiri dengan pertimbangan batas masa studi yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi. Sastradipoera (2005: 5) menambahkan bahwa pada prinsipnya skripsi merupakan penulisan yang autonom, dalam arti tanggung jawab ilmiah sendiri. Mahasiswa dituntut untuk mencari pemecahan masalah sendiri, ketika dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dalam penyusunan skripsi. Peran dosen pembimbing dalam skripsi hanya bersifat membantu mahasiswa mengatasi kesulitan yang ditemui oleh mahasiswa dalam menyusun skripsi (Red dan Watten dalam Gunawati dkk., 2006: 94). Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan skripsi biasanya adalah satu sampai dua semester. Berdasarkan data BAAK UPI pada Agustus 2012, mahasiswa UPI rata-rata membutuhkan waktu selama dua semester untuk menyelesaikan skripsi mereka, yaitu dengan persentase sebesar 38, 39%, hanya sekitar 30,74% mahasiswa yang menyelesaikan skripsi dalam waktu satu semester, itu pun didominasi oleh jurusan yang menggunakan sistem paket. Sisanya yaitu sebesar 30, 87% mahasiswa harus menghabiskan waktu lebih dari dua semester bahkan ada yang sampai delapan semester untuk menyelesaikan skripsi yang hanya berbobot enam sks tersebut, padahal nyatanya mahasiswa bisa menempuh sekitar 140 sks dalam kurun waktu tujuh sampai delapan semester. Fenomena yang terjadi pada mahasiswa pengambil skripsi di Universitas Pendidikan Indonesia mengarah pada kepada apa yang disebut prokrastinasi. Lay (LaForge, 2005) mendefinisikan prokrastinasi sebagai penundaan terhadap hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Penundaan tersebut meliputi penundaan dalam memulai, melaksanakan dan mengakhiri suatu aktivitas (Rumiani, 2006). Prokrastinasi dapat terjadi pada seluruh aspek kehidupan, termasuk pada aspek akademik yang menimpa sebagian besar mahasiswa. Seperti hasil penelitian Ellis dan Knaus (Solomon dan Rothblum, 1984) yang menunjukkan bahwa sebanyak 95% mahasiswa terjerat dalam perilaku prokrastinasi dan sekitar 25% mahasiswa termasuk ke dalam prokrastinasi kronis yang pada umumnya berakhir mundur di perguruan tinggi (Knaus dalam Tatan, 2012). Prokrastinasi akademik juga cenderung meningkat seiring dengan semakin lamanya masa studi seseorang, dimana mahasiswa tingkat akhir lebih banyak melakukan prokrastinasi dibandingkan mahasiswa tingkat awal (Semb et al., dalam Solomon dan Rothblum, 1984). Hasil penelitian Solomon dan Rothblum (1984) menunjukkan bahwa bentuk tugas akademik yang paling sering dijadikan sasaran prokrastinasi oleh mahasiswa adalah tugas menulis makalah atau tugas menulis lainnya yaitu sebesar 46%. Selanjutnya adalah tugas membaca sebesar 30% , belajar untuk ujian sebanyak 28%, 23% dalam menghadiri pertemuan, dan 11% dalam memenuhi tugas administratif. Dari hasil penelitian tersebut juga ditemukan sebanyak 65% mahasiswa mengaku sangat ingin mengurangi kecenderungan prokrastinasi mereka dalam tugas menulis. Mahasiswa menilai bahwa tugas tersebut sangat penting dan berpengaruh terhadap prestasi akademik mereka (Solomon dan Rothblum, 1984). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat dilihat bahwa tugas menulis merupakan bentuk tugas akademik yang paling sering ditunda oleh mahasiswa dan dianggap cukup problematik bagi mereka sehingga tidaklah salah jika skripsi yang juga merupakan salah satu bentuk tugas menulis menjadi sasaran prokrastinasi bagi kalangan mahasiswa. Prokrastinasi dalam lingkup akademik termasuk dalam penyelesaian skripsi merupakan hal yang dianggap lumrah di kalangan mahasiswa, padahal perilaku tersebut banyak menimbulkan konsekuensi negatif baik bagi mahasiswa itu sendiri maupun orang lain. Menurut Ilfiandra (2008), prokrastinasi penyelesaian skripsi yang berujung pada keterlambatan penyelesaian studi dapat mengakibatkan mahasiswa kehilangan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih cepat yang saat sekarang semakin sulit dan kompetitif. Penundaan ini seringkali diikuti pula oleh rasa bersalah dan dapat memunculkan gangguan karier, konflik peran, dan relasi sosial (Sia, 2010). Di sisi lain, prokrastinasi mungkin bisa meringankan stres dalam jangka pendek karena menghindar dari tugas yang seharusnya dikerjakan, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan mendekatnya batas penyelesaian tugas ternyata tingkat stres pada prokrastinator bisa meningkat dan bahkan bertambah (Tice dan Baumeister, 1997). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pangestuti (Fibrianti, 2009) terhadap mahasiswa yang sedang menyusun skripsi menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakukan prokrastinasi dalam skripsi mengalami peningkatan stres yang cukup tinggi.Konsekuensi yang ditimbulkan oleh prokrastinasi dalam penyelesaian skripsi tidak hanya menimpa mahasiswa itu sendiri, tetapi juga orang lain di sekitarnya, seperti halnya orang tua mahasiswa akan mengalami kerugian secara materi karena menanggung biaya tambahan untuk kuliah. Sia (2010) mengungkapkan bahwa keterlambatan per semester yang dilakukan mahasiswa dapat menimbulkan penambahan biaya hingga triliunan rupiah pada skala nasional. Tidak hanya itu, penundaan penyelesaian skripsi yang berimbas pada keterlambatan kelulusan akan berdampak pula pada penumpukan beban kerja dosen di perguruan tinggi yang menambah deretan masalah yang diakibatkan oleh prokrastinasi.Meskipun banyak konsekuensi negatif yang ditimbulkan dari prokrastinasi, namun mengapa perilaku ini banyak dilakukan mahasiswa. Ada beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan mengenai hal tersebut. Solomon dan Rothblum (1984) mengemukakan bahwa prokrastinasi bukan hanya disebabkan oleh kebiasaan belajar dan pengaturan waktu yang buruk, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks antara komponen perilaku, afektif dan kognitif. Tuckman (1990) berpendapat bahwa perilaku prokrastinasi muncul karena ketidakpercayaan akan kemampuan diri. Ketika seseorang merasa tidak akan mampu dalam melakukan suatu tugas, maka ia akan menunda atau menghindari tugas tersebut. Hasil penelitian serupa juga dikemukakan oleh Milgram et al. (1995) bahwa perilaku menunda-nunda tugas tidak terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengerjakan tugas, namun lebih kepada persepsi akan ketidakmampuan dirinya untuk mengerjakan tugas yang dihadapi. Adanya persepsi terhadap ketidakmampuan diri ini berkaitan dengan tinggi atau rendahnya tingkat self efficacy. Self efficacy berkaitan dengan penilaian individu tentang seberapa baik dirinya dapat melakukan sesuatu dalam situasi spesifik (Haycock et al., 1998). Self efficacy ini menentukan bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri mereka dan berperilaku. Individu yang memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya akan menetapkan tujuan dan berkomitmen kuat terhadap tujuan tersebut. Sebaliknya, individu yang tidak yakin atau ragu akan kemampuan dirinya memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan-tujuan yang mereka tetapkan (Bandura, 1994). Bandura (Haycock, 1998) berpendapat bahwa self efficacy yang kuat mengarah kepada ketekunan dan usaha yang lebih besar untuk pengerjaan tugas sedangkan self efficacy yang lemah menyebabkan kurangnya ketekunan dan penghindaran tugas. Dan prokrastinasi merupakan salah satu jenis perilaku menghindar. Self efficacy juga turut menentukan berapa besar usaha yang dilakukan dan berapa lama seseorang dapat bertahan ketika menghadapi kegagalan dan kesulitan. Individu dengan self efficacy tinggi, tidak cepat menyerah dan tetap berusaha ketika menghadapi kegagalan. Sedangkan individu dengan self efficacy rendah akan cenderung menghindari tugas yang sulit dan mengurangi usaha serta cepat menyerah ketika dihadapkan pada kegagalan (Bandura, 1994). Dalam kaitannya dengan proses penyelesaian skripsi, mahasiswa seringkali dihadapkan pada hambatan-hambatan yang kemudian dijadikan alasan mengapa mereka akhirnya menunda penyelesaian skripsi. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya sulitnya mencari literatur pendukung, tidak terbiasanya menulis, masalah dana, kurang terbiasa dengan sistem pengerjaan skripsi serta sulitnya mengembangkan komunikasi dengan pembimbing secara konstruktif (Wirartha, 2006). Keyakinan yang kuat akan kemampuan diri untuk dapat menyelesaikan skripsi sangatlah diperlukan oleh mahasiswa. Ketika mahasiswa merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan skripsi seperti apapun kemampuan yang dimiliki akan menganggap kesulitan-kesulitan yang menghadang sebagai sesuatu yang harus dihadapi dan mengerahkan segala kemampuan secara produktif dan optimal untuk mengatasi kesulitan tersebut bukan dengan melakukan penghindaran terhadap hambatan yang kemudian berujung pada penyelesaian skripsi yang tertunda.Adanya pemahaman mengenai alasan prokrastinasi penulisan skripsi di kalangan mahasiswa dengan melibatkan self efficacy mungkin bisa menjadi langkah awal untuk mengendalikan dan mereduksi prokrastinasi. Seperti yang diungkapkan oleh Thakar (2009) bahwa aspek kunci untuk memahami perilaku prokrastinasi adalah self efficacy. Mengacu dari masalah tersebut, dirasa perlu mengadakan penelitian mengenai hubungan antara self efficacy dengan prokrastinasi penyelesaian skripsi pada mahasiswa UPI.

C. Identifikasi dan Rumusan MasalahSkripsi merupakan suatu bentuk karya ilmiah yang menjadi tiket bagi mahasiswa memperoleh gelar kesarjanaan setelah menempuh kuliah selama bertahun-tahun. Namun, skripsi sebagai tugas akhir tampaknya menjadi tugas yang memberatkan bagi mahasiswa. Hal tersebut tampak dari banyaknya mahasiswa yang menunda pengerjaan skripsinya sampai waktu yang cukup lama bahkan ada yang harus putus kuliah karena tidak bisa menyelesaikan skripsi. Perilaku penundaan terhadap skripsi menjadi suatu masalah yang cukup serius karena meskipun konsekuensi yang ditimbulkan oleh prokrastinasi tidak sedikit, namun perilaku tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan tak kunjung putus dari generasi ke generasi.Munculnya prokrastinasi terhadap skripsi ini tidak terlepas dari kompleksitas faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu faktor yang dinilai mempunyai keterkaitan dengan prokrastinasi adalah self efficacy. Self efficacy yang rendah akan menghindari kesulitan-kesulitan yang dialami dalam proses penyelesaian skripsi sehingga tentu saja berujung pada tertundanya penyelesaian skripsi.Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:1. Bagaimana gambaran self efficacy penyelesaian skripsi pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.2. Bagaimana gambaran prokrastinasi penyelesaian skripsi pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.3. Apakah terdapat hubungan yang negatif signifikan antara self efficacy dengan prokrastinasi penyelesaian skripsi pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

D. Tujuan PenelitianUntuk menjawab rumusan masalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan mendapatkan data yang empirik mengenai:1. Tingkat self efficacy penyelesaian skripsi pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.2. Tingkat prokrastinasi penyelesaian skripsi pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.3. Hubungan antara self efficacy dengan prokrastinasi penyelesaian skripsi pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

E. Manfaat PenelitianManfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalalah sebagai berikut:1. Manfaat teoritisPenelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi pendidikan yang berhubungan self efficacy dan prokrastinasi dalam penulisan skripsi.2. Manfaat praktisPenelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan acuan mengenai self efficacy sebagai salah satu aspek kunci untuk memahami perilaku prokrastinasi akademik khususnya dalam penulisan skripsi sehingga baik mahasiswa maupun dosen pembimbing mampu mengendalikan dan mereduksi perilaku prokrastinasi dengan meningkatkan self efficacy pada mahasiswa.

F. Landasan Teori1. Konsep Self Efficacya. Definisi Self EfiicacyPremis dasar dari teori self efficacy adalah kepercayaan seseorang akan kemampuannya untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan tindakan mereka, hal tersebut merupakan faktor penting yang menentukan seseorang dalam memilih apakah seseorang tersebut akan gigih dan berusaha menghadapi rintangan dan tantangan atau sebaliknya (Maddux: 2000). Bandura (1997: 3) menjelaskan bahwa self efficacy mengacu pada keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Self-efficacy bukan merupakan keterampilan, melainkan kepercayaan untuk dapat melakukan sesuatu dengan keterampilan yang dimiliki dalam situasi tertentu. Hal ini tidak terkait dengan keyakinan terhadap akan kemampuan untuk melakukan tindakan yang sepele, tetapi lebih kepada keyakinan akan kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengatur keterampilan dalam mengubah dan menantang situasi. Self efficacy juga bukan sebagai prediksi perilaku seperti saya percaya saya akan melakukan, tetapi saya percaya saya dapat melakukan (Maddux: 2000). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas dalam situasi tertentu.

b. Dimensi Self EfficacyBandura (1997) menjelaskan bahwa self efficacy pada individu berbeda-beda dilihat dari beberapa dimensi. Dimensi-dimensi yang dimaksud yaitu:1) Level Dimensi pertama, self efficacy berbeda dalam level. Self efficacy seseorang dapat berbeda tergantung pada tuntutan tugas yang memiliki tingkat kesulitan. Misalnya dari tuntutan yang sederhana, sedang lalu meluas kepada tuntutan yang lebih berat pada satu bidang tertentu. Rentang kemampuan yang dipersepsi individu bisa diukur dengan tingkatan tuntutan tugas yang menunjukkan bermacam-macam tingkat rintangan atau hambatan dalam mencapai hasil kerja yang baik. Jika sama sekali tidak ada hambatan pada tugas tersebut sehingga mudah untuk diselesaikan, maka sudah tentu setiap individu mempunyai self efficacy yang sama tinggi untuk tugas tersebut. Prediksi mengenai situasi kontekstual yang menggambarkan tantangan atau rintangan dalam mencapai keberhasilan kinerja juga perlu dimasukkan dalam menilai self efficacy individu. Selain itu, kondisi situasional yang dibutuhkan dalam mengatasi rintangan juga bisa membantu menilai self efficacy individu. Oleh karena nya, informasi untuk mengidentifikasi tingkat tantangan dan hambatan yang sesuai dengan ruang lingkup bidang aktivitas perlu diketahui oleh peneliti dalam mengukur self efficacy. Tantangan dapat dinilai sesuai dengan tingkat kepandaian, daya juang, ketepatan, produktivitas, ancaman, dan pengaturan diri.2) GeneralitySelf efficacy juga berbeda pada masing-masing individu dalam hal generality. Individu dapat menilai dirinya apakah mampu dalam melakukan aktivitas di berbagai bidang atau hanya mampu pada bidang tertentu saja. Penilaian self efficacy yang terkait dengan bidang aktivitas dan situasi kondisi dapat menunjukkan pola dan tingkat generality pada self efficacy seseorang. Generality ini dapat bervariasi pada sejumlah dimensi yang berbeda, termasuk tingkat kesamaan aktivitas, kemampuan kognitif, afektif dan perilaku yang ditampilkan, gambaran dari situasi, dan kesamaan karakteristik dari individu. 3) StrengthSelain itu, self efficacy bervariasi dalam strength atau kekuatan. Orang-orang yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan terus gigih dalam berusaha meskipun dihadapkan pada banyak kesulitan dan hambatan. Kekuatan self efficacy yang dirasakan tidak selalu berhubungan linear dengan pilihan tindakan, namun dengan self efficacy yang kuat dan ketekunan yang besar, tindakan yang telah dipilih akan menunjukkan keberhasilan. Dalam mengukur self efficacy, individu diberikan item yang menggambarkan berbagai tingkat tuntutan tugas, dan mereka menilai kekuatan keyakinan akan kemampuan mereka dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Item yang diungkapkan adalah sesuatu yang dapat dilakukan bukan sesuatu yang akan dilakukan. Sesuatu yang dapat dilakukan merupakan penilaian kemampuan, sedangkan sesuatu yang akan dilakukan merupakan pernyatan niat dimana keduanya mempunyai konstruk yang berbeda.

c. Sumber-sumber Self EfficacySelf efficacy seseorang dapat dikembangkan secara kognitif melalui empat sumber pengaruh utama yaitu mastery experiences, vicarious experiences, social/verbal persuasion dan physiological and affective state (Bandura, 1994). 1) Mastery ExperiencesCara yang paling efektif untuk menciptakan self efficacy yang kuat adalah melalui mastery experiences atau pengalaman bahwa seseorang mampu menguasai keterampilan tertentu. Suatu keberhasilan yang diraih oleh seseorang bisa membangun efikasi dirinya sedangkan suatu kegagalan bisa meruntuhkan self efficacy-nya, terutama jika kegagalan terjadi ketika self efficacy belum terbentuk secara mantap. Jika seseorang hanya mengalami keberhasilan yang mudah dicapai, mereka akan mengharapkan hasil yang cepat dan mudah menyerah ketika mengalami kegagalan. Ketahanan self efficacy membutuhkan pengalaman dalam mengatasi rintangan-rintangan melalui usaha yang tekun dan gigih. Adanya hambatan dan kesulitan dalam kehidupan manusia dijadikan sebagai pembelajaran bahwa keberhasilan itu membutuhkan usaha yang terus menerus. Setelah seseorang menjadi yakin bahwa mereka memiliki apa yang dibutuhkan untuk berhasil, maka mereka akan mampu bertahan saat menghadapi kesulitan dan cepat bangkit saat mengalami kegagalan dan setelah melalui masa-masa sulit, mereka akan jauh lebih kuat ketika dihadapkan kembali pada kesulitan dan kegagalan. 2) Vicarious ExperiencesCara kedua untuk menciptakan dan memperkuat self efficacy adalah melalui vicarious experiences atau pengalaman yang dapat diamati dari model sosial. Melihat orang lain yang serupa dengan dirinya bisa meraih keberhasilan melalui suatu usaha yang terus menerus dapat meningkatkan keyakinan seseorang bahwa mereka juga mampu menguasai aktivitas yang kurang lebih sama untuk mencapai keberhasilan. Sama halnya dengan mengamati orang lain yang mengalami kegagalan padahal sudah berusaha dengan keras, hal tersebut bisa menurukan self efficacy mereka. Pengaruh dari modeling terhadap perceived self efficacy sangat dipengaruhi oleh persamaan diri dengan model yang diamati. Makin besar kesamaan model yang dipersepsi, makin besar pula pengaruhnya terhadap self efficacy seseorang. Sebaliknya, apabila seseorang melihat model berbeda dengan dirinya, maka self efficacy menjad tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh perilaku dan pencapaian model tersebut. Pengaruh modeling lebih dari sekedar memberikan standar sosial yang digunakan untuk menilai kemampuan seseorang. Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi sesuai dengan keinginan mereka. Dari perilaku dan cara pemikiran model maka akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi yang efektif dalam mengelola tuntutan lingkungan. 3) Social PersuasionSocial persuasion merupakan cara ketiga yang dapat memperkuat self efficacy. Orang-orang yang dipersuasi secara verbal bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk menguasai suatu aktivitas tertentu akan cenderung mengerahkan usaha yang lebih besar dan mempertahankannya sampai tujuannya tercapai daripada orang-orang yang tidak dipersuasi sehingga mereka cenderung menyembunyikan keraguan diri dan terus terpaku pada kekurangan pribadi ketika menghadapi masalah. Secara lebih luas, pengaruh persuasi dalam self efficacy adalah mengarahkan orang untuk berusaha dengan keras sampai berhasil, mengembangkan keterampilan dan meningkatkan self efficacy. Namun, meningkatkan self efficacy seseorang dengan hanya menggunakan social persuasion jauh lebih sulit dibandingkan menurunkan self efficacy-nya. Penanaman mengenai self efficacy yang tidak realistis bisa membuat seseorang itu kecewa akan hasil usahanya sendiri, dan orang yang telah dipersuasi bahwa mereka kurang mampu cenderung akan menghindari aktivitas menantang yang sebenarnya dapat mengembangkan potensinya dirinya, serta akan cepat menyerah saat dihadapkan pada kesulitan. Seseorang yang berhasil menumbuhkan self efficacy orang lain tidak hanya sekedar memberikan penilaian positif saja tetapi menumbuhkan keyakinan akan kemampuan mereka, membangun situasi-situasi yang bisa membawa jalan menuju kesuksesan dan menghindarkan mereka dari situasi-situasi yang bisa menyebabkan kegagalan sehingga kemudian mereka mengukur kesuksesan dari peningkatan diri sendiri bukan dari kesuksesan orang lain.4) Phsiological and Affective StatesSeseorang menjadikan keadaan fisik dan emosional dalam menilai kemampuan dirinya. Individu merasa gejala stres dan ketegangan sebagai pertanda bahwa ia tidak dapat menguasai keadaan yang membuat hasil kerjanya buruk. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan fisik dan stamina, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang dialami merupakan tanda kelemahan fisik yang menurunkan keyakinan akan kemampuan fisiknya. Suasana hai atau mood juga mempengaruhi penilaian seseorang terhadap self efficacy-nya. Mood positif bisa memperkuat self efficacy dan mood negatif dapat menurunkan self efficacy seseorang. Cara keempat untuk menumbuhkan self efficacy adalah dengan mengurangi gejala stres, mengubah kondisi emosional negatif dan mengubah kesalahan interpretasi mengenai keadaan fisik. Hal yang terpenting adalah bukan dari keadaan fisik dan emosional, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang merasakan dan menginterpretasikan keadaan fisik dan emosionalnya. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung memandang hal tersebut sebagai fasilitator yang memberikan energi terhadap kinerja mereka, sedangkan mereka yang merasa ragu akan kemampuan dirinya melihatnya sebagai sesuatu yang menghambat2. Konsep Prokrastinasi a. Definisi Prokrastinasi Prokrastinasi merupakan suatu bahasan yang dapat dipandang dari berbagai segi, karena prokrastinasi ini melibatkan berbagai unsur masalah yang kompleks, yang saling terkait satu dengan lainnya, sehingga tidak ada definisi baku mengenai definisi prokrastinasi ini. Lay (LaForge, 2005: 1) mendefinisikan prokrastinasi sebagai the putting off of that which is necessary to reach some goal yang dapat diartikan sebagai penundaan terhadap hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Penundaan tersebut meliputi memulai, melaksanakan dan mengakhiri suatu aktivitas (Rumiani, 2006). Prokrastinasi meliputi penundaan, penangguhan, penghindaran aktivitas yang berkaitan dengan pengerjaan tugas hingga ke hari berikutnya, serta melakukan aktivitas lain yang tidak memiliki relevansi dengan pekerjaan yang dihadapi (Knaus, 2003). Suatu penundaan dinamakan prokrastinasi jika penundaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan menimbulkan perasaan tidak nyaman secara subyektif dirasakan oleh prokrastinator (Solomon & Rothblum, 1984; Solomon et al, 1986). Dengan demikian, dari berbagai pendapat para ahli di atas, dapatditarik kesimpulan bahwa prokrastinasi dapat didefinisikan sebagai suatu penundaan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan aktivitas lain yang tidak memiliki relevansi dengan tugas yang dihadapi serta menimbulkan keadaan emosional yang tidak menyenangkan.b. Prokrastinasi Akademik dan DimensinyaProkrastinasi dapat dilakukan pada beberapa area pekerjaan. Froelich (Gunawinata, 2008) menyebutkan ada enam area masalah prokrastinasi yaitu area rumah tangga, keuangan, personal, sosial, pekerjaan dan sekolah. Namun, yang sering menjadi kajian dalam penelitian adalah dalam lingkup sekolah atau akademik. Prokrastinasi akademik adalah jenis penundaan yang dilakukan pada tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademik yang pada umumnya dilakukan pelajar atau mahasiswa. Sedangkan penundaan yang dilakukan pada jenis tugas nonformal atau yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti tugas rumah tangga, tugas sosial, atau tugas kantor biasa disebut prokrastinasi non akademik. Solomon et al. (1986) mendefinisikan prokrastinasi akademik sebagai hampir selalu atau selalu menunda tugas akademik dan hampir selalu atau selalu mengalami pengalaman kecemasan dengan tugas akademik. Dengan kata lain, prokrastinasi akademik merupakan penundaan pada tugas akademik yang dilakukan secara berulang-ulang dan menimbulkan kecemasan. Penundaan tersebut meliputi penundaan dalam memulai, melaksanakan dan menyelesaikan tugas akademik. Jenis tugas akademik yang kerap ditunda oleh mahasiswa yaitu sebanyak 46% mahasiswa melakukan prokrastinasi pada tugas menulis makalah, 30% dalam tugas membaca, 28% tugas belajar untuk ujian, 23% dalam menghadiri pertemuan, 11% dalam memenuhi tugas administratif dan 10% dalam kinerja akademik secara keseluruhan (Solomon dan Rothblum, 1984). Tugas akademik yang sering ditunda oleh mahasiswa adalah tugas menulis misalnya menulis makalah atau laporan penelitian. Selanjutnya, tugas membaca mencakup penundaan untuk membaca buku referensi yang berkaitan dengan tugas kuliah. Tugas belajar untuk menghadapi ujian seperti ujian tengah semester, ujian akhir semester atau kuis. Kemudian, menghadiri pertemuan yaitu penundaan atau keterlambatan dalam menghadiri kuliah atau menemui dosen pembimbing. Tugas administratif seperti menyalin catatan, membayar SPP, mengembalikan buku perpustakaan atau melengkapi persyaratan kelulusan. Dan terakhir, penundaan dalam kinerja akademik secara keseluruhan yaitu menunda mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas akademik secara keseluruhan.Schouwenberg (Ferrari et al., 1995) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik termanifestasikan dalam beberapa aspek di antaranya sebagai berikut:1) Penundaan untuk memulai ataupun menyelesaikan tugas.Individu yang melakukan prokrastinasi memahami bahwa tugas yang dihadapinya harus segera diselesaikan, namun mereka cenderung menunda untuk memulai pengerjaan atau menunda untuk menyelesaikannya sampai tuntas.2) Kelambanan dalam mengerjakan tugasIndividu yang melakukan prokrastinasi cenderung memerlukan waktu yang lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan tugas. Prokrastinator cenderung menghabiskan waktu untuk mempersiapkan dirinya secara berlebihan atau melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu yang dimilikinya. Tindakan tersebut terkadang yang menyebabkan individu tidak mampu menyelesaikan tugasnya secara optimal.3) Kesenjangan antara rencana dan kinerja aktual. Individu yang melakukan prokrastinasi mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Prokrastinator cenderung sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan, baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri.4) Melakukan aktivitas lain selain pengerjaan tugas.Prokrastinator cenderung tidak segera mengerjakan tugasnya, namun lebih memilih menggunakan waktunya untuk melakukan aktivitas lain yang dinilai lebih menyenangkan, seperti menonton film, mendengarkan musik, mengobrol dengan teman, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang tidak memiliki keterkaitan dengan tugas yang harus dilakukannya. Hal tersebut yang menyita waktu mereka untuk mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi ProkrastinasiTuckman (1990) mengemukakan bahwa prokrastinasi dibentuk oleh tiga faktor yang ada dalam diri indivindu yaitu:1) Ketidakmampuan untuk menunda kesenangan.2) Menyalahkan sesuatu di luar dirinya untuk kesalahan yang dilakukannya.3) Ketidakpercayaan akan kemampuannya untuk melakukan suatu tugas atau dikenal dengan self efficacy.

3. Hubungan antara Self Efficacy dengan Prokrastinasi Penyelesaian SkripsiTelah dikemukakan sebelumnya bahwa tugas akademik yang paling sering ditunda oleh mahasiswa adalah tugas menulis, dan skripsi juga termasuk tugas menulis yang kerap menjadi sasaran prokrastinasi dalam lingkup akademik. Skripsi secara etimologis berasal dari bahasa Latin scriptio yang arti harfiahnya, hal menulis, karangan tertulis mengenai sesuatu uraian. Skripsi adalah karya ilmiah yang merupakan bukti kemampuan akademik mahasiswa dalam melakukan penelitian dengan topik sesuai bidang studinya yang disusun dan dipertahankan untuk mencapai gelar sarjana dan biasanya menjadi salah satu syarat kelulusan (Wirartha, 2006). Peranan skripsi sebagai karya ilmiah di perguruan tinggi adalah untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengintegrasikan pengalaman dan keterampilan yang telah diperoleh serta melatih diri dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara mandiri dan ilmiah (Wirartha, 2006). Mahasiswa sudah berhak menulis skripsi apabila telah lulus mata kuliah prasyarat skripsi yang ditetapkan oleh jurusan, telah menyelesaikan mata kuliah minimal 105 sks, IPK minimal 2,50 dan mendapat rekomendasi dari dosen pembimbing akademik (Pedoman Akademik UPI, 2012). Prokrastinasi penulisan skripsi diartikan sebagai kecenderungan menunda-nunda untuk memulai maupun menyelesaikan skripsi sebagai salah satu tugas akademik. Penundaan tersebut meliputi penundaan untuk memulai ataupun menyelesaikan skripsi, kelambanan dalam mengerjakan skripsi, kesenjangan antara rencana dan kinerja aktual, serta melakukan aktivitas lain selain mengerjakan skripsi. Penundaan terhadap penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah self efficacy yang diyakini mempunyai peranan yang besar terhadap kemunculan prokrastinasi. Self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam penulisan skripsi sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya yaitu penyelesaian skripsi tepat waktu. Hal yang penting dari self efficacy tidak berfokus pada jumlah kemampuan yang dimiliki tetapi pada keyakinan tentang apa yang mampu dilakukan pada berbagai variasi situasi dalam proses penyelesaian skripsi. Mahasiswa yang memiliki self efficacy tinggi akan mempersepsi bahwa mereka mampu mengintegrasikan kemampuannya dan mengerahkan upaya yang besar untuk pengerjaan tugas. Sebaliknya, mahasiswa dengan self efficacy rendah akan mempersepsi kemampuannya bahwa mereka belum tentu dapat menyelesaikan skripsi sesuai dengan apa yang diharapkan dan melakukan penghindaran terhadap skripsi ketika mengalami kesulitan dalam proses penyelesaian skripsi. Dan prokrastinasi merupakan salah satu jenis perilaku menghindar. Penelitian mengenai prokrastinasi dan self efficacy telah dilakukan oleh Haycock (1998) yang menunjukkan bahwa self efficacy merupakan prediktor yang signifikan terhadap perilaku prokrastinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Sugiarto (2012) menunjukkan bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap prokrastinasi akademik mahasiswa sebesar 27,4%. Penelitian yang dilakukan oleh Julianda (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang negatif signifikan antara self efficacy dan prokrastinasi akademik, namun dengan korelasi yang kurang memadai. Hal tersebut dimungkinkan karena setiap angkatan mahasiswa sebagai subjek penelitian memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut yaitu jumlah SKS dan beban tugas yang diambil pada tiap angkatan berbeda.

G. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel1. Variabel PenelitianVariabel merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011: 61). Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah self efficacy sebagai variabel bebas dan prokrastinasi sebagai variabel terikat. 2. Definisi Operasional Variabela. Self Efficacy Definisi operasional self efficacy penyelesaian skripsi adalah seberapa tinggi keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya dalam membuat dan menyelesaikan skripsi yang meliputi level (tingkat keyakinan mahasiswa atas kemampuannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan penyelesaian skripsi), generality (tingkat keyakinan mahasiswa akan kemampuannya dalam melaksanakan berbagai tuntutan dalam penyelesaian skripsi), dan yang terakhir adalah strength (tingkat kekuatan keyakinan mahasiswa dalam menghadapi tugas skripsi). Semakin tinggi skor total yang diperoleh individu dari aaitem-aaitem self efficacy penyelesaian skripsi, maka semakin tinggi tingkat self efficacy penyelesaian skripsi, sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh individu dari aitem-aitem skala self efficacy penyelesaian skripsi maka semakin rendah tingkat self efficacy penyelesaian skripsi. b. Prokrastinasi Penyelesaian SkripsiProkrastinasi penyelesaian skripsi dioperasionalkan sebagai seberapa tinggi perilaku penundaan yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi yang meliputi penundaan untuk memulai ataupun menyelesaikan skripsi, kelambanan dalam mengerjakan skripsi, kesenjangan antara rencana dengan penyelesaian skripsi serta melakukan aktivitas lain selain pengerjaan skripsi. Semakin tinggi skor total yang diperoleh individu dari aitem-aitem skala prokrastinasi penyelesaian skripsi, maka semakin tinggi tingkat prokrastinasi penyelesaian skripsi, sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh individu dari aitem-aitem skala prokrastinasi penyelesaian skripsi maka semakin rendah tingkat prokrastinasi penyelesaian skripsi.

H. HipotesisHipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara self efficacy dengan prokrastinasi penyelesaian skripsi pada mahasiswa UPI. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin rendah prokrastinasi penyelesaian skripsi. Sebaliknya, semakin rendah self efficacy, maka semakin tinggi prokrastinasi penyelesaian skripsi.

I. Metode Penelitian1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif korelasional. Sugiyono (2011: 14) menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu dengan teknik pengambilan sampel yang pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan datanya dengan instrumen penelitian dan kemudian dianalisis menggunakan statistik yang bertujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Sedangkan metode deskriptif korelasional adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki suatu keadaan dengan mengetahui tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa melakukan perubahan, tambahan, atau manipulasi terhadap data yang sudah ada (Arikunto, 2010: 4). Pada penelitian ini metode korelasional digunakan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy sebagai variabel bebas dengan prokrastinasi penyelesaian skripsi sebagai variabel terikat. 2. Populasi dan Sampel Penelitiana. PopulasiPopulasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2011: 117). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yang sedang menyusun skripsi dengan karakteristik yaitu mahasiswa S1 baik reguler maupun ekstensi di Universitas Pendidikan Indonesia yang sedang menyelesaikan skripsi pada saat penelitian dilakukan dan sudah mengambil mata kuliah skripsi minimal dua semester. Penentuan masa mengambil mata kuliah skripsi minimal dua semester adalah dengan pertimbangan bahwa rata-rata mahasiswa UPI menyelesaikan skripsi dalam waktu dua semester, berarti mahasiswa yang menyelesaikan skripsi dalam kurun waktu dua semester atau kurang merupakan sesuatu yang normal di UPI dan belum termasuk dalam kategori prokrastinator. b. Teknik SamplingSubjek yang memenuhi karakteristik di atas akan diambil sebagai sampel dengan menggunakan salah satu metode pengambilan sampel probability yaitu simple random sampling dimana di dalamnya setiap individu dalam populasi memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih. Dengan pengambilan sampel acak, memungkinkan peneliti untuk melakukan generalisasi terhadap suatu populasi (Creswell, 2013: 220). c. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner dibagi atas daftar isian identitas subjek dan skala. Daftar isian identitas subjek terdiri nama, fakultas dan jurusan, serta tahun angkatan. Sedangkan skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari skala self efficacy dan skala prokrastinasi penyelesaian skripsi. Kedua skala merupakan skala dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu aspek-aspek pada teori yang ada kemudian dari aspek-aspek tersebut dibuat indikator dan pernyataan-pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), KS (kurang setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Skala self efficacy mengacu aspek-aspek self efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997) yaitu level (tingkat), generality (keadaan umum), dan strength (kekuatan). Sedangkan skala prokrastinasi penyelesaian skripsi mengambil aspek-aspek prokrastinasi akademik yang dikemukakan oleh Schouwenburg (1995) yang terdiri dari penundaan untuk memulai ataupun menyelesaikan skripsi, kelambanan dalam mengerjakan skripsi, kesenjangan antara rencana dengan penyelesaian skripsi serta melakukan aktivitas lain selain pengerjaan skripsi.3. Teknik Analisis DataTeknik analisis data diawali dengan uji normalitas data untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data dengan menggunakan teknik Kolmogorov- Smirnov. Selanjutnya jika data berdistribusi normal data dihitung dengan menggunakan statistik parametrik yaitu teknik korelasi product-moment dari Pearson untuk melihat hubungan antara self efficacy dengan prokrastinasi penyelesaian skripsi. Apabila data tidak berdistribusi normal maka peneliti menggunakan statistik non parametrik yaitu teknik korelasi Spearman-Rank.

J. Sistematika PenulisanLaporan penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan menguraikan latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dari penelitian yang dilakukan, gambaran singkat metode penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Kajian Pustaka menjabarkan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yakni self efficacy dan prokrastinasi penyelesaian skripsi. Self efficacy meliputi definisi, dimensi, serta faktor yang mempengaruhinya. Selanjutnya dijelaskan pula mengenai prokrastinasi penyelesaian skripsi mulai dari sejarah singkat, definisi, dimensi, siklus prokrastinasi sampai pada faktor-faktor yang mempengaruhi prokrastinasi. Selanjutnya, pada Bab III Metodologi Penelitian dibahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian dan proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.Yang tercakup dalam Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan adalah paparan mengenai hasil temuan dalam penelitian kemudian akan dianalisis menggunakan teori-teori yang relevan.Bab V merupakan Kesimpulan dan Saran yang berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitiaan yang telah dilakukan serta saran yang berhubungan dengan hasil penelitian.

25