proposal qwl
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan kerja seseorang dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya,
baik di tempat kerja maupun di luar tempat kerja. Hal ini akan mempengaruhi
sikap kerja dan menentukan prestasi kerja seseorang. Kehidupan kerja yang
menyenangkan, menciptakan sikap yang positif dan memberi dorongan untuk
bekerja dengan lebih tekun dan lebih baik. Sebaliknya, jika situasi kehidupan
kerja tidak menyenangkan akan menimbulkan ketidakpuasan yang dapat
menghilangkan komitmen dan motivasi kerja seseorang. Sebagaimana diungkap
Ghiselli dan Brown (dalam Tjalla, 1989) bahwa lingkungan kerja berpengaruh
terhadap kuantitas dan kualitas hasil kerja karyawan.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum,
berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi sesuai
tujuan nasional yang terkandung dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 1999, maka diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur
aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang
menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara harus
berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggungjawab
1
dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itu diperlukan upaya
meningkatkan manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari
Pegawai Negeri.
Menteri PAN mengkaji besaran biaya untuk gaji PNS saat ini, terlalu
membebani APBN. Tapi kualitas kinerja birokrasi dinilai masih sangat buruk.
Ada yang terlibat korupsi, terlibat affair sesama, asusila, tidak displin, bolos, kerja
asal- asalan dan lain sebagainya (citraindonesia.com, 31 Juli 2011). Bahkan, hal
tersebut terjadi di lingkungan Kementerian/Lembaga (K/L) ataupun di lingkungan
pemerintah daerah (metronews.com, 8 November 2011). Buruknya kinerja
pegawai negeri sipil (PNS) selama ini sudah menjadi rahasia umum. Kaum
birokrat identik dengan pelayanan buruk, malas dan tidak disiplin, hingga mental
korupsi yang seakan mentradisi di setiap lapisan dari tingkat bawah sampai pusat
(sindonews.com, 11 November 2011). Kinerja aparatur negara atau pegawai
negeri sipil masih minim. Bahkan, hal tersebut terjadi di lingkungan
Kementerian/Lembaga (K/L) ataupun di lingkungan pemerintah daerah
(metronews.com, 8 November 2011).
Hal ini pun dialami oleh PNS di lingkungan pemerintah Provinsi Papua.
Dengan kekhususan Provinsi Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 yang sudah berjalan kurang lebih 10 tahun ternyata PNS belum mampu
memperbaiki citranya dimata masyarakat. Masyarakat semakin menyudutkan PNS
dengan alasan penggunaan anggaran pembangunan (dana otsus) yang semestinya
dikelola seoptimal mungkin untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,
2
namun telah disalah gunakan dan dimanfaatkan oleh PNS dan sekelompok orang
saja untuk kepentingan mereka.
Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Latihan Aparatur (BKPLA) Provinsi
Papua sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertugas mengelola
sumber daya aparatur (Planning, Recruitment dan Staffing) di daerah harus
melakukan evaluasi terhadap kinerja PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi
Papua terutama terhadap PNS pada BKPLA Provinsi Papua itu sendiri.
BKPLA Provinsi Papua sebagai pusat pembinaan dan pengembangan PNS
di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua memiliki tanggungjawab besar dalam
menciptakan PNS yang berkompetensi dan profesional. Untuk itu BKPLA
Provinsi Papua memerlukan PNS yang berkompetensi dan profesional yang
mampu menjadi teladan bagi PNS lain di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut salah satu faktor yang perlu menjadi
perhatian penting manajemen adalah pelaksanaan progam kualitas kehidupan
kerja (Quality of Work Life) yang mampu memberikan kepuasan kerja dan
kepuasan kehidupan lainnya bagi PNS pada BKPLA Provinsi Papua.
Berdasarkan hasil wawancara (terlampir) yang dilakuan peneliti terhadap
enam orang PNS pada BKPLA Provinsi Papua tetang Quality of Work Life
(QWL), diketahui bahwa secara umum menurut responden QWL pada BKPLA
Provinsi Papua belum optimal dirasakan. Dimensi QWL seperti kompensasi (gaji
dan tunjangan), kesempatan (peluang) pengembangan karir, program keamanan
pekerjaan, kebanggaan terhadap organisasi, keterbukaan dan keadilan organisasi
dan iklim organisasi dirasa belum optimal dalam pemenuhannya. Pengelolaan
3
sumber daya aparatur masih kental dengan fanatisme kelompok, hal ini
menimbulkan kesenjangan di antara PNS.
Peraturan mengenai kompensasi bagi PNS telah ditentukan dengan
Undang-undang, sehingga PNS tidak memiliki kesempatan untuk melakukan
negosiasi terhadap kompenasi yang diterimanya. Dengan memilih menjadi PNS
berarti bersedia dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
tentang kompensasi bagi PNS.
Lima dari enam responden berpendapat bahwa dimensi kepuasan dalam
kompensasi masih dirasa kurang dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup
sedangkan pada keadilan kompensasi terdapat PNS yang merasa tidak adil karena
beban kerja yang berbeda namum menerima kompensasi yang sama.
Setiap PNS berkewajiban mengembangkan karir sesuai Peraturan
Pemerintah No.53 Tahun 2010 pasal 3, butir 16. Ini menunjukan bahwa setiap
PNS memiliki peluang yang sama dalam pengembangan karir.
Pada dimensi ini beberapa responden menyatakan bahwa setiap PNS
memiliki peluang yang sama dalam pengembangan diri. Namun, dalam
aplikasinya masih terjadi tebang pilih dalam menentukan PNS yang mengikuti
diklat maupun pelatihan dan promosi, masih kurangnya dukungan manajemen
dalam penerapan hasil pendidikan maupun pelatihan dalam kehidupan organisasi.
Secara tidak langsung hal ini memberikan dapak yang kurang harmonis dalam
kehidupan organisasi.
Sebagai organisasi pemerintah, dibutuhkan kerjasama dan hubungan
interpersonal yang baik antar PNS. Dengan terciptanya kerjasama dan hubungan
4
interpersonal yang baik antar PNS baik antar staf maupun antara staf dengan
pimpinan, apa yang menjadi tujuan organiasi akan lebih mudah dicapai. Sebagai
pimpinan harus memberikan keteladanan dalam menjalin kebersamaan dalam
organisasi sehingga dapat dicontoh oleh PNS yang lain demi tercipta integrasi
sosial di tempat kerja.
Lima dari enam responden menyatakan bahwa integrasi sosial hanya
terjadi karena hubungan kerja. Belum tercipta integrasi sosial seperti yang
seharusnya, dimana setiap PNS dapat saling berinteraksi karena perasaan
kekeluargaan yang tentu akan memberikan suasana harmonis dalam lingkungan
kerja di kantor, tidak ada prasangka negatif atas interaksi dimaksud.
Dalam rangka menciptakan PNS yang berintegritas tinggi, organisasi
hendaknya memberikan ruang yang sama kepada setiap PNS dalam memahami
penerapan prosedur kerja yang tepat sesuai peraturan. Organisasi pun harus
memberikan umpan balik yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh PNS,
keterbukaan dan keadilan organisasi menjadi penting dalam penerapan aturan
untuk melindungi hak-hak PNS.
Empat dari enam pendapat responden, menunjukan bahwa masih
kurangnya keterbukaan dan keadilan organisasi dalam memfasilitasi apa yang
menjadi hak PNS dalam kebutuhannya akan lingkungan kerja yang mendukung
efektifitasnya dalam bekerja.
Apapun yang dikerjakan oleh PNS tentunya dalam rangka pemenuhan
kebutuhannya, baik untuk dirinya maupun keluarga. Secara psikologis dukungan
keluarga terhadap pekerjaan PNS akan meningkatkan produktifitas PNS, begitu
5
pula sebaliknya dukungan organisasi terhadap keluarga PNS akan semaking
meningkatkan produktifitas PNS. Dengan hubungan yang harmonis antara apa
yang dirasakan di rumah dengan apa yang dirasakan di kantor tentunya akan
mendorong keinginan yang tinggi dalam meningkatkan produktifitas.
Enam dari enam responden menyatakan bahwa meraka telah berusaha
melaksanakan perannya untuk memberikan pengertian bagi keluarga dalam
rangka menciptakan suasana yang harmonis dalam keluarga untuk mendukung
aktivitasnya di kantor. Namun, sebagai organisasi perlu lebih proaktif dalam
membangun hubungan yang harmonis antar organisasi dengan keluarga.
Bagaimana BKPLA Provinsi Papua menciptakan PNS yang berkompetensi
dan profesional di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua, jika PNS pada BKPLA
Provinsi Papua sendiri belum mampu dioptimalkan kompetensi dan
profesionalismenya. Sumber daya manusia sebagai aset belum menjadi perhatian
bagi manajemen.
QWL menjadi isu menarik yang menantang bagi organisasi dalam
penataan lingkungan kerjanya. Reformasi di berbagai bidang pada beberapa
dekade ini dalam melindungi kepentingan dan hak-hak karyawan menjadi topik
yang menarik dalam rangka mensinerjikan tujuan organisasi dengan tujuan
masing-masing individu dalam organisasi. Hal ini juga dapat dilihat sebagai upaya
untuk memberikan perspektif yang komprehensif dan seimbang dengan
keanekaragaman sebelumnya (Hackman dan Suttle, 1977). Oleh karena itu, pada
tahun 1981, konferensi internasional tentang QWL diadakan di Toronto, Kanada.
Ketika itu istilah ini didefinisikan secara luas mencakup tujuan umum mengatur
6
organisasi, prosedur manajemen dan pekerjaan pemanfaatan maksimal bakat
individual dan keterampilan dalam rangka menciptakan lebih menantang dan
memuaskan kerja dan meningkatkan efektivitas organisasi (Jenkins, 1981).
Perhatian pada temuan baru QWL dalam kehidupan organisasi
memungkinkan realisasi bahwa sumber daya manusia merupakan aset terpenting
yang harus diapresiasikan dan dikembangkan. Manajemen memandang program
QWL sebagai cara untuk mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas
(Gordon, 1987). Faktor lain yang tampaknya telah memainkan peranan dalam hal
ini adalah masalah hubungan manusia dan efektivitas organisasi yang dihadapi
oleh banyak organisasi di berbagai negara. Program QWL di Skandinavia dan
Amerika Serikat pada Pabrik Volvo dan General Motors misalnya, dilakukan
sebagai respon terhadap masalah ekstrim organisasi, alkoholisme yang melibatkan
karyawan, absensi, keterlambatan, kesalahan kerja dan keluhan yang diajukan
oleh serikat pekerja (Pfeiffer dan Jones, 1980). Survei karyawan Amerika selama
tahun 1970-an mengungkapkan situasi memalukan tersebut (Taylor, 1977).
Akhirnya, disadari bahwa perbaikan QWL memberikan banyak keuntungan antara
lain menyebabkan perasaan lebih positif terhadap diri seseorang (harga diri yang
lebih besar), terhadap pekerjaan seseorang (peningkatan keterlibatan dan kepuasan
kerja), dan terhadap organisasi (komitmen kuat untuk tujuan organisasi).
Masyarakat secara keseluruhan mungkin diuntungkan oleh QWL.
Peningkatan dalam QWL pemerintahan mungkin membantu memerangi
masalah sosial tertentu, seperti kerusuhan dalam masalah masyarakat, mental dan
kesehatan, obat dan penyalahgunaan alkohol dan distribusi pendapatan nasional
7
yang tidak merata (Hackman dan Suttle, 1977). Menurut penelitian pengalaman
antar negara cukup menunjukkan bahwa peningkatan QWL memiliki potensi yang
pasti dan lingkup untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas organisasi
secara keseluruhan (Cherns, 1975; Lawler, 1978; Lawler dan Ledford, 1982;
Buchanan dan Boddy, 1982; Levitan dan Werneke, 1984; Simmons dan Mares,
1987). Tingkat tertinggi dari QWL telah ditemukan berhubungan dengan
kepuasan kerja yang tinggi terhadap banyak aspek kerja, komitmen hidup dan
kinerja (Nadler dan Lawler, 1983; Wilcock dan Wright, 1991). Ini juga telah
diidentifikasi sebagai prediktor yang berarti terhadap komitmen organisasi para
manajer (Anuradha dan Pandey, 1995).
Walaupun tidak terdapat definisi formal mengenai QWL, psikolog industri
dan para ahli manajemen umumnya setuju bahwa QWL adalah sebuah gagasan
yang berurusan dengan kesejahteraan pekerja dan bahwa QWL berbeda dari
kepuasan kerja (e.g, Champoux, 1981; Davis and Cherns, 1975; Efraty and Sirgy,
1990; Hackman and Suttle, 1977; Kabanoff, 1980; Kahn, 1981; Lawler, 1982;
Near et al., 1980; Quinn and Shephard, 1974; Staines, 1980). QWL berbeda dari
kepuasan kerja dalam hal bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu dari hasil
QWL. QWL tidak hanya berdampak dalam menghasilkan kepuasan kerja akan
tetapi juga menghasilkan kepuasan dalam aspek yang lain yaitu : kehidupan
keluarga, waktu luang, kehidupan sosial, kehidupan keuangan, dan lain-lain.
Maka dari itu fokus dari QWL adalah berada di luar kepuasan kerja. Hal ini
mempengaruhi banyak hal, seperti contohnya mempengaruhi kepuasan kerja,
8
kepuasan hidup di luar pekerjaan, dan kepuasan seluruh kehidupan, kebahagiaan
pribadi, dan kesejahteraan individu.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengukur pengaruh dimensi-dimensi QWL terhadap kepuasan kerja karyawan
non manajerial pada BKPLA Provinsi Papua.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya
masalah utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut
Bagaimana pengaruh dimensi-dimensi QWL (kesehatan dan keamanan,
ekonomi dan keluarga, sosial, penghargaan, aktualisasi, pengetahuan dan
estetika) terhadap kepuasan kerja PNS non manajerial pada BKPLA Provinsi
Papua?
1.3. Batasan Masalah
Agar tidak meluas, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi sebagai
berikut :
1. PNS non manajerial yang menjadi objek penelitian adalah PNS pada
BKPLA Provinsi Papua yang tidak menduduki jabatan struktural.
2. QWL yang dimaksud dalam penelitian berdasarkan hasil wawancara lima
isu QWL memunculkan tujuh isu yang sesuai dengan penelitian M.J.
Sirgy, D. Efraty, P. Siegel, dan D.J. Lee (2001) tentang tujuh dimensi
9
QWL, yaitu: kesehatan dan keamanan, ekonomi dan keluarga,
bersosialisasi, penghargaan, aktualisasi, pengetahuan, dan estetika.
a. Kesehatan dan Keamanan, yaitu proteksi akan kesehatan yang
memburuk dan kecelakaan pada waktu kerja, proteksi akan kesehatan
yang memburuk dan kecelakaan diluar waktu kerja (berbagai
keuntungan kesehatan yang berkaitan dengan pekerjaan), dan
peningkatan kesehatan yang baik (dukungan pada saat bekerja bagi
pengukuran pencegahan perawatan kesehatan).
b. Ekonomi dan Keluarga, yaitu gaji (upah yang cukup), keamanan kerja
(perasaan aman dari tindakan pemecatan), dan kebutuhan keluarga yang
lain (memiliki waktu yang cukup bagi pekerjaan untuk melayani
kebutuhan keluarga).
c. Sosial, yaitu kebersamaan atau rekanan dalam bekerja (interaksi sosial
yang positif dalam pekerjaannya) dan waktu luang (memiliki cukup
waktu bagi pekerjaan untuk bersantai dan mengalami kesenangan).
d. Penghargaan, yaitu pengenalan dan apresiasi dari pekerjaan seseorang
di dalam organisasi (pengenalan dan penghargaan untuk melakukan
pekerjaan yang baik) dan pengenalan dan apresiasi dari pekerjaan
seseorang di luar organisasi (pengenalan dan penghargaan dari
komunitas lokal dan/atau asosiasi professional untuk pekerjaan yang
dilakukan di dalam organisasi ataupun mengatasnamakan organisasi
tersebut).
10
e. Aktualisasi, yaitu realisasi potensial seseorang dalam organisasi
(pekerjaan yang diterima digunakan untuk melihat pengenalan
kemampuan potensial) dan realisasi potensial seseorang sebagai
seorang profesional (pekerjaan yang diterima memungkinkan orang
tersebut menjadi ahli dalam bidangnya).
f. Pengetahuan, yaitu belajar meningkatkan keahlian dalam pekerjaan
(menerima kesempatan belajar untuk melakukan pekerjaan dengan
lebih baik) dan belajar meningkatkan keahlian professional (menerima
kesempatan belajar untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut).
g. Estetika, yaitu kreatifitas saat kerja (menerima kesempatan untuk
menjadi kreatif dalam memecahkan persoalan yang berkaitan dengan
pekerjaan) dan kreatifitas personal dan keindahan umum (menerima
berbagai kesempatan dalam pekerjaan yang memungkinkan
perkembangan personal akan perasaan terhadap keindahan dan ekspresi
kreatif).
3. Kepuasan kerja yang dimaksud dalam penelitian ini mengadopsi dari
penelitian M.S. Rehman dan A. Waheed (2011).
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi organisasi pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat
untuk pengembagan manajemen sumber daya manusia, terutama dalam
11
implementasi dimensi-dimensi QWL untuk memberikan kepuasan kerja
PNS non manajerial.
2. Bagi penelitian lain
Dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu, serta sebagai
referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh
dimensi-dimensi QWL terhadap kepuasan kerja karyawan non manajerial
organisasi publik.
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh dimensi-dimensi QWL (kesehatan dan keamanan, ekonomi dan
keluarga, sosial, penghargaan, aktualisasi, pengetahuan dan estetika) terhadap
kepuasan kerja PNS non manajerial pada BKPLA Provinsi Papua.
1.6. Landasan Teori
1.6.1 Kualitas kehidupan kerja (Quality of work life/QWL)
Kualitas kehidupan kerja, istilah ini merujuk pada tingkat kepuasan,
motivasi, keterlibatan dan komitmen pengalaman individual dengan penghargaan
terhadap kehidupan kerja mereka (Bernadine & Russell, 1998). Lebih lanjut
diungkap oleh Bernadine & Russell (1998) kualitas kehidupan kerja dapat
dimaknai sebagai tingkat individu dapat memenuhi kebutuhan diri yang terpenting
tatkala bekerja di satu perusahaan.
12
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Di
satu sisi dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan
praktek dari tujuan organisasi (contohnya: perkayaan kerja, pengawas yang
demokratis, keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang nyaman). Sementara
pandangan yang lain menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-
persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas
dan mendapat kesempatan mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai
layaknya manusia (Cascio, 1991).
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan
terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting
dari kualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim organisasi agar secara tehnis
dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik
(Luthans, 1995).
QWL mengacu pada pengaruh situasi kerja keseluruhan terhadap seorang
individu (Jewell & Siegell, 1992). Lebih lanjut Jewell & Siegell, (1992)
menyatakan bahwa untuk menggambarkan ada tidaknya pengaruh kualitas kerja
dalam kehidupan individu, Jewell & Siegel (1992) melukiskan konsep kualitas
kehidupan kerja dengan indikator negatif, yaitu dua gejala QWL yang rendah:
ditandai dengan tingkat kebosanan (boredom) dan kehilangan semangat kerja
(burnout).
Berbeda dengan Jewell & Siegel dalam memberikan kriteria tentang bagus
tidaknya kualitas kehidupan kerja, Umstot (1988) menyatakan bahwa ada lima (5)
kriteria yang dapat digunakan untuk mentegarai baik tidaknya QWL, yaitu (1)
13
kepuasan dan keadilan kompensasi; (2) peluang untuk menggunakan dan
mengembangkan potensi orang; (3) integrasi sosial di tempat kerja; (4)
konstitusionalisme di organisasi kerja; (5) hubungan antara pekerjaan dengan
kehidupan.
Mencermati makna dari QWL ini, tampak betapa pentingnya kehadiran
QWL dalam diri karyawan. Hal ini karena secara umum QWL dapat
membangkitkan rasa aman, rasa kesejajaran, rasa bangga, rasa kekeluargaan,
kebermilikan, otonomi, tanggungjawab dan fleksibilitas pegawai.
Levering and Moskowitz (1994) mendefinisikan QWL sebagai upaya
organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan atas (1) Upah dan manfaat; (2)
Peluang/Kesempatan; (3) Keamanan Pekerjaan; (4) Merasa bangga atas
perusahaan dan pekerjaan; (5) Kewajaran dan keterbukaan; (6) Keakraban dan
kesetiakawanan.
Riggio (2000), mengartikan bahwa QWL adalah keadaan dari seluruh
aspek kehidupan di tempat kerja. Meija, et al (2001) menyatakan bahwa QWL
adalah suatu ukuran keamanan dan kepuasan yang dirasakan pekerja dalam
melakukan pekerjaan.
M.J. Sirgy, et al (2001), QWL merupakan determinan kepuasan dalam domain
kehidupan bekerja, kepuasan dalam domain kehidupan lain, dan juga kepuasan
keseluruhan dengan hidup.
Sedangkan menurut Newstroom dan Davis (2002) mengemukakan bahwa,
QWL adalah suatu bentuk cara lain dalam organisasi untuk mengenali
14
tanggungjawab para karyawan untuk mengembangkan pekerjaan dan kondisi
kerja yang terbaik.
Menurut Morin (2003), QWL adalah gagasan multi dimensional yang
biasanya mengarah pada seluruh kepuasan dengan kehidupan kerja dan
keseimbangan kerja atau kehidupan kerja, perasaan untuk bekerja dengan
kelompok, perasaan untuk diri sendiri, dan perasaan untuk menjadi lebih bernilai
atau bermanfaat dan dapat dihormati.
Menurut Mondy dan Neo (2005), QWL merupakan suatu tingkat dimana
anggota dari suatu organisasi mampu memuaskan kebutuhan pribadi yang penting
melalui pengalamannya dalam melakukan pekerjaan pada organisasi tersebut.
Sedangkan Cascio (2006) QWL ditentukan dari persepsi karyawan
terhadap keadaan, mental dan fisik pada saat bekerja. QWL merupakan hal yang
sederhana sehingga menyangkut pemberian kesempatan pada karyawan untuk
membuat keputusan tentang pekerjaan para karyawan, desain dari tempat kerja,
dan yang diperlukan untuk membuat produk atau jasa yang paling efektif.
1.6.2. Kepuasan kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja merupakan sikap secara umum atau cara karyawan
merasakan pekerjaannya. Menurut Robbins & Judge (2007), pada level organisasi,
organisasi dengan karyawan yang lebih puas cenderung lebih efektif daripada
organisasi dengan karyawan yang kurang puas. Lebih lanjut Robbins & Judge
(2007), menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara
lain pekerjaan itu menantang atau membutuhkan ketrampilan dan keahlian yang
15
sangat kompleks, pekerjaan tersebut menjanjikan pemberian penghargaan yang
adil dan pantas, pekerjaan tersebut dikerjakan pada kondisi kerja yang
mendukung, baik secara fisik maupun psikis, dalam pekerjaan tersebut terdapat
rekan kerja yang mendukung dan bersahabat, dan yang tidak kalah penting adalah
adanya kesesuaian pekerjaan tersebut dengan kepribadian orang yang
mengerjakannya.
Dalam tulisannya Jewell & Siegell (1992) mengungkap bahwa kepuasan
kerja merupakan sikap yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja.
Lebih lanjut diungkap oleh Jewell & Siegell bahwa karyawan yang puas lebih
menyukai situasi kerjanya dibandingkan yang tidak. Lebih lanjut diungkap oleh
Jewell & Siegell, mengingat kepuasan kerja adalah sikap, dan karenanya
merupakan konstruksi hipotesis sesuatu yang tidak dilihat, tetapi ada atau tidak
adanya diyakini berkaitan dengan pola perilaku tertentu.
Sebagai sesuatu yang bersifat hipotesis dan karenanya tidak dapat dilihat
meski keberadaannya diyakini, serta akan berdampak pada perilaku individu maka
batasan puas tidaknya seseorang serta bagaimana cara mengukur tingkat kepuasan
tersebut bervariasi tergantung pada siapa dan kapan hal tersebut dilakukan.
Setidaknya ada tiga konsep batasan tentang kepuasan kerja, yaitu (1) kepuasan
kerja sebagai konsep global; (2) kepuasan kerja sebagai konsep permukaan; dan
(3) kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan (Jewell & Siegell, 1992).
Menurut Mowday et al., kepuasan kerja juga dipandang sebagai hasil
afektif atau sikap yang berhubungan dengan situasi dan pengalaman kerja dan
merupakan variabel yang penting bagi organisasi (Parnell, 2003).
16
Selanjutnya, Locke menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan
dengan sifat kepribadian, di mana kepuasan kerja dipengaruhi oleh sifat
kepribadian yang berhubungan dengan emosi karena kepuasan kerja sama dengan
kondisi emosi yang menyenangkan (Dormann & Zapf, 2001). Hasil penelitian
mereka menyatakan bahwa kepribadian mempengaruhi kondisi kerja, dan hal ini
akan berpengaruh pada kepuasan kerja. Mereka juga menyatakan bahwa kepuasan
kerja ditempatkan sebagai konsep inti dalam kerja dan psikologi organisasi yang
memediasi hubungan antara kondisi kerja di satu sisi dan hasil organisasi dan
individu di sisi lain.
Bagi Jewell & Siegell (1992) kepuasan kerja sebagai konsep global
dimaknai sebagai penilaian positif dari situasi kerja tertentu, dan Jewell & Siegell
menyebutnya sebagai konsep satu dimensi. Dinamakan sebagai konsep satu
dimensi karena merupakan ringkasan psikologis dari semua aspek yang disukai
atau tidak disukai.
Definisi kepuasan kerja menurut Wexley dan Yukl dalam As'ad (1998)
disebutkan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya. Sementara As’ad (1998) memberikan definisi kepuasan kerja
sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini berarti bahwa konsepsi
kepuasan kerja semacam ini melihat kepuasan kerja itu sebagai hasil interaksi
manusia dengan lingkungan kerjanya.
Menurut T. Hani Handoko (1987), kepuasan kerja (Job satisfaction)
adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, dengan
mana karyawan memandang pekerjaan mereka.
17
Sedangkan pendapat Hoppech & Vroom (1964 dalam As'ad) kepuasan
kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara
keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
Pendapat As'ad (1995) kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya. Stephen Robbins (1996) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.
Kepuasan kerja dipandang sebagai perasaan senang atau tidak senang yang
relatif, yang berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku. Karena
perasaan terkait dengan sikap seseorang, maka kepuasan kerja dapat didefinisikan
sebagai sikap umum seseorang terhadap pekerjaan dan harapannya pada
organisasi tempat ia bekerja. Kepuasan kerja menunjukkan pada sikap emosional
positif yang berdasar pada pengalaman kerja seseorang ( Locke dalam Luthans
1998 )
Luthans (1998) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi,
yaitu (1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja, jadi
tidak dapat dilihat, hanya bisa diduga, (2) kepuasan kerja seringkali ditentukan
oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi/melebihi harapan seseorang. Contohnya
jika anggota suatu departemen merasa telah bekerja lebih berat daripada anggota
lain tetapi memperoleh pengharapan lebih sedikit dari yang mereka harapkan
maka mereka mungkin akan bersifat negatif terhadap pekerjaan, atasan dan rekan
kerjanya. Di lain pihak jika mereka merasa lingkungan kerja memberikan
kepuasan kerja maka mereka akan bersikap positif terhadap pekerjaan mereka dan
18
atasan mereka. (3) kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai
sikap lainnya.
Smith (dalam Robbin, 2001) menyatakan terdapat 5 dimensi yang
mempengaruhi respon afektif seseorang terhadap pekerjaannya, yaitu :
1. Pekerjaan itu sendiri, yaitu sejauh mana pekerjaan menyediakan
kesempatan seseorang untuk belajar memperoleh tanggung jawab dalam
suatu tugas tertentu dan tantangan untuk pekerjaan yang menarik;
2. Bayaran, yaitu upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha
yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain
dalam posisi kerja yang sama;
3. Kesempatan untuk promosi, yaitu kesempatan seseorang untuk meraih
atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi;
4. Atasan, yaitu kemampuan atasan untuk memberikan bantuan tehnis dan
dukungan terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab para bawahan;
5. Rekan kerja, yaitu sejauh mana rekan kerja secara tehnis cakap dan secara
sosial mendukung tugas rekan kerja lainnya.
1.6.3. Kualitas kehidupan kerja (QWL) dan Kepuasan kerja (Job
satisfaction)
Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seseorang terhadap
pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukan sikap
yang positif terhadap pekerjaan itu. Seseorang tidak puas dengan pekerjaannya
menunjukan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu (Stephen Robbins, 1996).
19
Pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi, ia membawa serta
seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang
menyatu membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukan kesesuaian
antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan (A.
Dale Timpe, 1994). Ketidakpuasan kerja muncul akibat harapan-harapan individu
tidak terpenuhi (Robert, L. Mathis and John, H.Jackson, 2001).
Faktor-faktor motivator dalam kepuasan kerja secara tidak langsung
merefleksikan praktek-praktek yang berhubungan dengan kualitas kehidupan
kerja. Penemuan Field dan Thucker (1992) mengimplikasikan bahwa organisasi
yang menginginkan pegawai yang puas dapat memilih pegawai dengan
predisposisi memperoleh kepuasan atau menciptakan lingkungan kerja yang
memfasilitasi kepuasan, atau semuanya dengan terlebih dahulu membangun
kualitas kehidupan kerja. Penelitian oleh Farley dan Allen (1987) menunjukkan
bahwa kondisi kerja yang buruk, pendapatan yang tidak memadai dan kurangnya
otonomi serta kurangnya stabilitas kerja berakibat pada rendahnya kepuasan kerja
di kalangan pekerja Afrika-Amerika .
Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan
kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil
akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan
pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk
pindah kerja yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku
sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja
dalam organisasi tersebut secara keseluruhan.
20
Oleh karena itu semakin tinggi potensi kontribusi komitmen dan kepuasan
kerja dalam suatu perusahaan, semakin mungkin perusahaan akan berinvestasi
dalam kualitas kehidupan kerja dan bahwa investasi ini akan mengarah pada
produktivitas individual dan kinerja karyawan yang lebih tinggi (Pruijt, 2003)
QWL berhubungan erat dengan lingkungan kerja yang kondusif dan
kepuasan kerja (Osterman, 1995; Taylor, 1991)
1.7. Hipotesis
Dimensi QWL mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja.
Dimana dimensi QWL seperti kebutuhan kesehatan dan keselamatan, ekonomi dan
keluarga, kebutuhan sosial, penghargaan, aktualisasi, pengetahuan dan estetika sangat
penting untuk mengukur seberapa baik organisasi memberikan kepuasan kerja pada
individu (M.J. Sirgy et al., 2001). Model QWL M.J. Sirgy et al (2001) dirancang untuk
menjelaskan determinan kepuasan dalam domain kehidupan bekerja, kepuasan dalam
domain kehidupan lain, dan juga kepuasan keseluruhan dengan hidup.
Kebutuhan kesehatan dan keamanan, yaitu perlindungan terhadap
kesehatan yang memburuk dan kerugian pada saat bekerja serta peningkatan
kesehatan diluar masa kerja akan sangat mempengaruhi kepuasan individu dalam
bekerja. Pemenuhuan jaminan kesehatan dan keamanan kerja kepada pegawai saat
bekerja maupun diluar masa kerja akan semakin meningkatkan kepuasan kerja
pegawai.
Jadi, H1: Dimensi kesehatan dan keamanan mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja.
21
Kebutuhan ekonomi dan keluarga, yaitu gaji, keamanan pekerjaan,
berbagai kebutuhan keluarga yang lain merupakan jaminan yang dapat
mempengaruhi pegawai dalam meningkatkan produktifitasnya. Semakin tercukupi
kebutuhan ekonomi dan keluarga akan semakin memberikan kepuasan kerja bagi
pegawai.
Jadi, H2: Dimensi ekonomi dan keluarga mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja.
Kebutuhan-kebutuhan bersosialisasi pada saat bekerja dan diluar waktu
bekerja akan memberikan keleluasaan kepada pegawai dalam berinteraksi baik di
tempat kerja maupun diluar waktu kerja. Hal ini akan menciptakan hubungan
yang harmonis antar pegawai dengan pegawai lainnya di kantor maupun pegawai
dengan lingkungan di luar kerja. Keharmonisan hubungan ini tentunya akan
mendorong rasa puas pegawai terhadap kebutuhan untuk bersosialisai
(berinteraksi) baik pada saat bekerja maupun diluar waktu kerja.
Jadi H3: Dimensi sosialisasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja.
Kebutuhan untuk dihargai, yaitu penghargaan dan apresiasi terhadap
pekerjaan yang dilakukan baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi
merupakan bagian penting lainnya yang akan memberikan kepercayaan diri
kepada pegawai atas keahlian yang dimiliki. Tingkat kepuasan kerja pegawai akan
semakin meningkat ketika kemampuan yang dimilikinya dalam menyelesaikan
pekerjaan baik di kantor maupun di luar kantor mendapatkan apresiasi positif .
22
Jadi, H4: Dimensi penghargaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja.
Kebutuhan mengaktualisasi diri, yaitu kebutuhan aktualisasi dari bakat
potensial seseorang sebagai seorang professional di dalam organisasi. Organisasi
yang mampu mengenali dan meningkatkan potensi yang dimiliki oleh pekerja
dengan memberikan kesempatan bagi pekerja untuk mengaktualisasikan bakat
potensialnya sebagai profesional akan meningkatkan kepuasan kerja bagi pekerja.
Jadi, H5: Dimensi aktualisasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja.
Kebutuhan akan pengetahuan, yaitu belajar meningkatkan keahlian dalam
pekerjaan dan secara professional. Memberikan kesempatan belajar baik formal
maupun non formal bagi pekerja sehingga pekerja dapat melakukan pekerjaannya
dengan lebih baik dan semakin ahli dalam bidang tersebut, hal ini akan semakin
menigkatkan kepuasan kerja dari pekerja.
Jadi, H6: Dimensi pengetahuan mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja
Kebutuhan akan rasa seni (estetika), yaitu kreatifitas dalam bekerja baik
sebagai pribadi maupun dalam keindahan secara keseluruhan. Pekerja yang
memperoleh kesempatan untuk menjadi kreatif dalam memecahkan persolan yang
berkaitan dengan pekerjaannya cenderung lebih puas dengan pekerjaannya
dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki kesempatan untuk kreatif
dalam memecahkan persoalan yang berkaitan dengan pekerjaannya.
23
Jadi, H7: Dimensi estetika mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerja.
1.8. Kerangka penelitian
Berdasarkan apa yang sudah dibahas di depan kerangka penelitian dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Gambar 2.1
Dimensi QWL
1.9. Metodologi Penelitian
1.9.1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian survei dengan menggunakan kuesioner.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian dengan metode cross sectional yaitu
24
Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Aktualisasi
H1
H2
H3
H4
H5
Pengetahuan
Estetika
Penghargaan
Sosial
Ekonomi dan Keluarga
Kesehatan dan Keamanan
H6
H7
suatu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan informasi (data) dari
sampel tertentu yang hanya dilakukan satu kali (Santoso dan Tjiptono, 2001).
1.9.2. Konteks Penelitian
Penelitian ini bertempat di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Latihan
Aparatur (BKPLA) Provinsi Papua. BKPLA Provinsi Papua merupakan Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua.
Penelitian dilaksanakan pada tanggl 12 sampai 29 Oktober 2011.
1.9.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang bersumber dari
subjek yang diamati dan diteliti secara langsung dengan mengadakan
pengumpulan data kepada sampel yang telah ditentukan. Data dikumpulkan
melalui penyebaran kuesioner yang telah dibuat dan disusun dalam bentuk
pertanyaan yang berisi rangkaian pernyataan-pernyataan sesuai dengan data
variabel yang akan diteliti, yaitu dimensi-dimensi QWL (Kesehatan dan
Keamanan, Ekonomi dan Keluarga, Sosial, Penghargaan, Aktualisasi,
Pengatahuan dan Estetika) dan kepuasan kerja sehingga total pertanyaan sebanyak
22 item. Dasar dari pengambilan data adalah self report dari subyeknya. Dengan
metode ini diharapkan dapat mengenai sasaran, karena subyek dianggap paling
tahu dirinya sendiri. Dalam penelitian ini digunakan juga data sekunder dari
dokumen BKPLA Provinsi Papua yang diperlukan untuk keperluan penelitian.
25
1.9.4. Populasi dan Sampel
Populasi merupakan kumpulan individu atau obyek penelitian yang
memiliki kualitas-kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Berdasarkan
kualitas dan ciri tersebut, populasi dapat dipahami sebagai sekelompok individu
atau obyek pengamatan yang minimal memiliki satu persamaan karakteristik
(Cooper & Emory, 1995). Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah
seluruh pegawai yang tidak menduduki jabatan struktural pada BKPLA Provinsi
Papua yang berjumlah 114 orang.
Metode pengambilan sampel untuk penelitian ini menggunakan metode
Pusposive Sampling dengan status PNS digunakan sebagai dasar untuk
menentukan sampel. Kriteria ini dipilih dengan alasan seorang PNS telah
memiliki 100 persen hak sebagai Pegawai Negeri, telah memiliki masa kerja
minimal dua tahun dan telah memahami kondisi kerja. Sampel dalam penelitian
ini adalah seluruh PNS non manajerial, yaitu 114 sampel.
1.9.5. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini merupakan data primer dan sekunder yang
diperoleh dari responden secara langsung dan BKPLA Provinsi Papua.
Kuesioner (daftar pertanyaan terlampir) yang digunakan terdiri dari :
Bagian I : Berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai karakteristik responden,
yaitu berapa usia berdasarkan ulang tahun terakhir, sudah berapa
lama bekerja, golongan/ruang saat ini, agama, sudah menikah atau
belum, jenis kelamin dan pendidikan terakhir.
26
Bagian II : Berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai Kualitas Kehidupan Kerja
(QWL) yang diadaptasi dari M.J. Sirgy, D. Efraty, P. Siegel, D.J.
Lee (2001). Total pertanyaan sebanyak 16 butir dengan
menggunakan skala likert. Pilihan jawaban tersebut adalah sebagai
berikut:
1 = Sangat Tidak Setuju (STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Antara Tidak/Setuju (Antara TS/S)
4= Setuju (S)
5= Sangat Setuju (SS)
Bagian III : Berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai Kepuasan Kerja (Job
Satisfaction) yang diadaptasi Muhammad Safdar Rehman dan
Ajmal Waheed (2001). Total pertanyaan sebanyak 6 butir dengan
menggunakan skala likert. Pilihan jawaban tersebut adalah sebagai
berikut :
1 = Sangat Tidak Setuju (STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Antara Tidak/Setuju (Antara TS/S)
4= Setuju (S)
5= Sangat Setuju (SS)
27
1.9.6. Teknik Analisis Data
Suatu penelitian membutuhkan analisis data dan interpretasinya yang
bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti dalam rangka
mengungkap fenomena sosial tertentu. Analisis data merupakan proses
penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Metode yang dipilih untuk menganalisis data harus sesuai
dengan pola penelitian dan variabel yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini digunakan analisis kuantitatif. Persepsi responden
merupakan data kualitatif yang akan diukur dengan suatu skala sehingga hasilnya
berbentuk angka. Selanjutnya angka atau skor tersebut diolah dengan metode
statistik. Pengukuran metode ini adalah untuk mempermudah proses analisis data.
Dari berbagai macam alat analisis, peneliti menentukan beberapa alat
analisis yang sesuai dengan kebutuhan guna pembuktian hubungan hipotesis
penelitian. Alat analisis tersebut adalah uji validitas dan uji Reliabilitas dan
Regresi Linier Berganda.
1.9.7. Uji Validitas
Validitas mengukur apa yang semestinya diukur dan melakukan apa yang
semestinya dilakukan (Sekaran, 2000). Bila skala pengukuran tidak valid maka
skala tersebut tidak bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur atau
melakukan apa yang seharusnya dilakukan (Kuncoro, 2003).
Menurut Sugiyono (2000), validitas instrumen diuji dengan menggunakan
korelasi skor butir dengan skor total “Product Moment (Pearson Correlation)".
28
Analisis dilakukan terhadap semua butir instrumen. Kriteria pengujiannya
dilakukan dengan cara membandingkan dengan pada taraf a = 0,05.
Uji validitas diperoleh dengan menggunakan rumus Pearson Correlation
yang penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0.
Sebuah item dinyatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari
batas korelasi tabel.
1.9.8. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat kestabilan dan keandalan alat ukur dalam
mengukur segala gejala. Untuk mengukur reliabilitas digunakan koefisien
Cronbach Alpha (Sekaran, 2006). Reliabilitas merupakan alat ukur untuk
mengukur konsistensi dan stabilitas dari suatu skor (skala pengukuran). Untuk
mengetahui tingkat reliabilitas item digunakan rumus Cronbach Alpha, dimana
rumus ini digunakan untuk menguji reliabilitas berdasarkan atas uraian kuesioner
dengan skala bertingkat.
Dalam metode pengujian reliabilitas, standar yang digunakan dalam
menentukan reliabel dan tidaknya suatu instrumen adalah nilai Cronbach Alpha
harus lebih besar dari 0,6 (Sekaran, 2006). Apabila Cronbach Alpha > 0,6, berarti
kuesioner tersebut sebagai alat pengukur dalam penelitian ini telah memenuhi
syarat keandalan atau reliabel. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan
program SPSS 17.0.
29
1.9.9. Uji Statistik Regresi Linear
Uji statistik regresi bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel
yang diteliti, dimana hasil dikonsultasikan dengan korelasi product
moment, pada taraf kesalahan ditetapkan 5% (taraf kepercayaan 95%), dengan
ketentuan: 1) Jika > , maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti
ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel X dengan Y; 2) Jika <
, maka Ha ditolak dan Ho diterima yang berarti tidak ada pengaruh positif
dan signifikan antara variabel X dengan Y.
Uji statistik regresi linear berganda dilakukan dengan menggunakan
progam SPSS 17.0.
1.10. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab pendahuluan memuat latar belakang masalah, perumusan
masalah, batasan masalah, manfaat yang diharapkan, tujuan
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini membahas membahas tentang tinjauan pustaka tentang
temuan peneliti terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian
yang mendukung penelitian, landasan teori tentang konsep/teori
yang berkaitan dengan topik penelitian dan hipotesis.
30
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini membahas tentang penjelasan tempat dan waktu
penelitian, populasi dan sampel, hipotesis penelitian, metode
penelitian, cara pengumpulan data, cara menganalisis data yang
diperoleh dan cara menyimpulkan hasil penelitian pada BKPLA
Provinsi Papua.
Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini membahas tentang penjabaran dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti. Penjabaran ini mengunakan alat-alat
analisis yang sesuai dengan bukti hipotesis yang telah dikemukakan
penulis.
Bab V : Penutup
Bab ini membahas kesimpulan dari seluruh pembahasan, disertai
dengan saran dari penulis berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan, implikasi manajerial dan keterbatasan penelitian.
31