proposal penyuluhan

20
SATUAN ACARA PENYULUHAN Pentingnya Pengetahuan tentang Kegawatdaruratan Psikiatri I. IDENTITAS Topik : Pentingnya Pengetahuan Tentang Kegawatdaruratan Psikiatr Sub topik : Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi Kegawatdaruratan Psikiatri Hari / tanggal : Waktu : Sasaran : Pasien dan keluarga pasien yang datang ke poliklinik Tempat : Poliklinik II. TUUAN INSTRUKSI!NAL U"U" Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang Pentingnya Pengetahuan t Kegawatdaruratan Psikiatri diharapkan pasien dan keluarga dapat memahami d baik pentingnya pengetahuan tersebut. III. TUUAN INSTRUKSI!NAL KHUSUS Setelah dilakukan penyuluhan selama 6 menit diharapkan para peserta da #. !en"elaskan yang dimaksud dengan kegawatdaruratan psikiatri $. #dukasi tentang kegawatdaruratan psikiatri %. !endeteksi dini ge"ala dan tanda$tanda kegwatdaruratan psikiatri &. !engetahui penanganan atautindakan segera yang harus dilakukan bil menemukan atau mengalami kegawatdaruratan psikiatri '. Pen%egahan gangguan per%obaan bunuh diri& perilaku kekerasan dan gelisah I(. "ATERI )ter*a+,ir- '. Pengertian kegawatdaruratan psikiatri (. Tu"uan penanganan segera pada kegawatdaruratan psikiatri ). *ontoh kegawatdaruratan psikiatri +. Penyebab kegawtdaruratan psikiatri ,. Tanda dan ge"ala kegawatdaruratan psikiatri 6. Deteksi dini kegawatdarurtan psikiatri -. Penanganan kegawatdaruratan psikiatri (. "EDIA '. aptop (. *D ). !i%rophone +. ea let (I. "ET!DE '. *eramah (. Diskusi ). Tanya "awab

Upload: adhelia-kusuma-wardhani

Post on 08-Oct-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Proposal Penyuluhan

TRANSCRIPT

SATUAN ACARA PENYULUHANPentingnya Pengetahuan tentang Kegawatdaruratan PsikiatriI. IDENTITASTopik: Pentingnya Pengetahuan Tentang Kegawatdaruratan PsikiatriSub topik

: Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi

Kegawatdaruratan Psikiatri Hari / tanggal: Waktu

: Sasaran

: Pasien dan keluarga pasien yang datang ke poliklinik

Tempat

: Poliklinik

II. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang Pentingnya Pengetahuan tentang Kegawatdaruratan Psikiatri diharapkan pasien dan keluarga dapat memahami dengan baik pentingnya pengetahuan tersebut.III. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Setelah dilakukan penyuluhan selama 60 menit diharapkan para peserta dapat :

1. Menjelaskan yang dimaksud dengan kegawatdaruratan psikiatri2. Edukasi tentang kegawatdaruratan psikiatri3. Mendeteksi dini gejala dan tanda-tanda kegwatdaruratan psikiatri4. Mengetahui penanganan atau tindakan segera yang harus dilakukan bila menemukan atau mengalami kegawatdaruratan psikiatri5. Pencegahan gangguan percobaan bunuh diri, perilaku kekerasan dan gaduh gelisahIV. MATERI (terlampir)

1. Pengertian kegawatdaruratan psikiatri2. Tujuan penanganan segera pada kegawatdaruratan psikiatri3. Contoh kegawatdaruratan psikiatri4. Penyebab kegawtdaruratan psikiatri5. Tanda dan gejala kegawatdaruratan psikiatri6. Deteksi dini kegawatdarurtan psikiatri7. Penanganan kegawatdaruratan psikiatriV. MEDIA1. Laptop

2. LCD

3. Microphone

4. Leaflet

VI. METODE

1. Ceramah

2. Diskusi

3. Tanya jawab

VII. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (KBM)

No Kegiatan Penyuluhan Audience Waktu

1Pembukaan Mengucapkan salam

Memperkenalkan diri Menjawab salam

Memperhatikan penyuluh5 menit

2Isi 1. Pengertian kegawatdaruratan psikiatri2. Tujuan penanganan segera kegawatdaruratan psikiatri3. Contoh kegawatdaruratan psikiatri4. Penyebab kegawatdarurtan psikiatri5. Tanda dan gejala kegawatdaruratan psikiatri6. Deteksi dini kegwatdaruratan psikiatri7. Penanganan kegawatdaruratan psikiatri Menyampaikan pengetahuannnya

Mendengarkan dan memperhatikan penyampaian materi45 menit

3Penutup Menyimpulkan materi

Memberikan kesempatan peserta untuk bertanya

Menutup dan mengucapkan salam Mendengarkan dan memperhatikan

Aktif mengajukan pertanyaan

Menjawab salam10 menit

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRIKedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)a. Kondisi gaduh gelisah

b. Tindak kekerasan (violence)c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri

d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat

e. Delirium

Evaluasi

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus dilakukan secara tepat adalah:

a. Menentukan diagnosis awal

b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien

c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik

Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

a. Keamanan pasien

Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.

b. Medik atau psikiatrik?

Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.c. Psikosis

Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat.

d. Suicidal atau homicidal

Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.

e. Kemampuan merawat diri sendiri

Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan

c. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi

1. Diagnosis

Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.

2. Terapi

Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:

a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine, perphenazine dsb

b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.

c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat efektif.

A. Keadaan Gaduh Gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).Etiologi

Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):

1. Delirium

2. Skizofrenia katatonik

3. Gangguan skizotipal

4. Gangguan psikotik akut dan sementara

5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium

Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).

Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal

Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.

Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).

Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara

Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

4. Psikosis bipolar

Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).

Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).

5. Amok

Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia (culture bound phenomena). Efek malu (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode meditasi atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan

Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):

a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalub. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan

c. Membawa benda-benda tajam atau senjatad. Adanya perilaku agitatif

e. Adanya intoksikasi alkohol atau obatf. Adanya pikiran dan perilaku paranoid

g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.

h. Kegelisahan katatonik

i. Episode manik

j. Episode depresi agitatif

k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):

a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan

b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 24 tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah

c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosisd. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)Tatalaksana

Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).

Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).

Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).

Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

B. Tindak kekerasan (violence)

Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.

a. Gambaran klinis dan diagnosis

Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:

Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),

Intoksikasi alkohol atau zat lain,

Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif

Katatonik furor

Depresi agitatif

Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),

Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,

Adanya rencana spesifik,

Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,

Laki-laki,

Usia muda (15-24 tahun),

Tatus sosioekonomi rendah,

Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,

Tindakan antisosial lainnya

Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.Panduan wawancara dan Psikoterapi

Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: minum tablet ini sekarang

Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,

Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan penuh kontrol.

Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

Evaluasi dan penatalaksanaan

1) Lindungi diri anda

Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata

Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.

Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada anggota staf yang terlatih.

Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.

Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa bahwa anda mengancamnya

Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan pernah membelakangi pasien2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:

Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

Ancaman verbal,

Agitasi psikomotor,

Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

Waham kejar, dan

Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu, asbak)3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara aman.

4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan pasien.

5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik.

Terapi Psikofarmaka

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:

Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per hari 13-14mg,

Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).

Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian -blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum

Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:1. Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.

2. Bunuh diri altruistik

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di Jepang, puputan di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.

3. Bunuh diri anomikHal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:

1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (Death as retaliatory abandonment).Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.

2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as retroflexed murder).Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.

3. Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion).Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan). 4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self punishment).

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.Faktor Risiko

Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):

l. Jenis kelamin

Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.m. UsiaKasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.

n. Ras

Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras kulit hitam.

o. Status perkawinan

Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.

p. Pekerjaan

Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.

q. Kesehatan fisik

Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.

r. Gangguan mental

Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.

s. Kecanduan alkohol

Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.

t. Gangguan kepribadian

Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri

Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):

a. Pasien pernah mencoba bunuh diri

b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman: kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi (sering dikatakan pada keluarga)

c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan lain-lain)

e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya.

f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

Mulailah dengan menanyakan:

Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

Tanyakan isi pikiran pasien:

Berapa sering pikiran ini muncul?

Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

Selidiki :

Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh dirinya?

Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?

Seberapa pesimiskah mereka?

Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

Evaluasi dan PenatalaksanaanPertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.

Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka

Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.

D. Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut: Diaforesis

Disfagia

Tremor

Inkontinensia Penurunan kesadaran Mutism

Takikardia Tekanan darah yang meningkat atau labil Leukositosis

Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi

Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan ototFaktor resiko

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan PsikoterapiSindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.

Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik maligna.

Hentikna pemberian antipsikotik segera. Monitor tanda-tanda vital secara berkala. Lakukan pmeriksaan laboratorium Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan terjadiny agagal ginjal. Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari

Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUIMaramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

PROPOSAL PENYULUHANKEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Oleh :Adhelia Kusuma WardhaniYudi Siswanto

RS ISLAM JIWA KLENDER

Jl.Bunga Rampai X Perumnas Klender

Jakarta Timur 13460November 2013