proposal model spatial iklim ainurrasjid1

36
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penurunan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim yang ekstrim, yaitu kekeringan yang sangat panjang dan curah hujan yang berada di atas normal. Iklim di Jawa Timur telah mengalami perubahan iklim global. Malang Raya sebagai bagian dari propinsi Jawa Timur tidak terlepas pula dari pengaruh perubahan iklim global, dimana kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2008 tercatat rata- rata suhu udara berkisar antara 22,7°C - 25,1°C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum 18,4°C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban maksimum 99% dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember. Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah. Perubahan iklim yang terjadi di Malang Raya akan berdampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian. Usaha pertanian yang efektif adalah memadukan penggunaan sumber daya alam terutama iklim dan tanah. Mempelajari perilaku iklim terutama curah hujan setidaknya telah meningkatkan effisiensi penggunaan air, mengurangi 1

Upload: mastertommy25

Post on 30-Nov-2015

27 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

oke

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penurunan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim

yang ekstrim, yaitu kekeringan yang sangat panjang dan curah hujan yang

berada di atas normal. Iklim di Jawa Timur telah mengalami perubahan iklim

global. Malang Raya sebagai bagian dari propinsi Jawa Timur tidak terlepas pula

dari pengaruh perubahan iklim global, dimana kondisi iklim Kota Malang selama

tahun 2008 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,7°C - 25,1°C.

Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum 18,4°C . Rata

kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban maksimum 99%

dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia,

Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim

kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah hujan

yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember.

Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah.

Perubahan iklim yang terjadi di Malang Raya akan berdampak pada

berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian. Usaha pertanian yang

efektif adalah memadukan penggunaan sumber daya alam terutama iklim dan

tanah. Mempelajari perilaku iklim terutama curah hujan setidaknya telah

meningkatkan effisiensi penggunaan air, mengurangi resiko bencana alam,

banjir dan kekeringan pada tanaman pangan. Selain itu, memudahkan untuk

merencanakan pola tanam yang tepat yang tidak terlepas dari penggunaan data

hujan seberapun sederhananya. Data yang baik memberikan kontribusi yang

optimal pada perencanaan waktu tanam dan menentukan prakiraan iklim yang

akurat dalam lingkup area tertentu.

Produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami

penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-20C

sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya

frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak

negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di

1

Page 2: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim

kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen,

krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan

perubahan pola hujan, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan

pangan. Langkah yang bias dilakukan adalah melakukan adaptasi (KLH,

1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan menciptakan bibit unggul atau

mengatur waktu tanam.

Jawa Timur merupakan salah satu propinsi penghasil apel di

Indonesia khususnya di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar. Jika dilihat

dari perkembangannya tanaman apel mengalami masa kejayaan pada

tahun 1980-an hingga 1996 dan apel dijadikan sebagai maskot kota Batu.

Sentra tanaman apel berada di kecamatan Bumiaji yang menempati

luasan sekitar sembilan puluh lima persen dari total lahan apel di Batu.

Namun luas lahan apel dari tahun ke tahun terus menyusut. Berdasarkan

data Dinas Pertanian tahun 2009 menyebutkan bahwa luas lahan apel

saat ini sekitar 600 hektare, dengan jumlah pohon apel sebanyak

2.506.546. Dari jumlah itu, produksi apel hanya 24.625 ton per tahun.

Berkurangnya lahan apel ini disebabkan oleh banyak terjadi alih

fungsi lahan apel menjadi lahan perkebunan jeruk, sayur, dan bunga

seperti yang terjadi di Desa Bumiaji, Sidomulyo, dan Punten. Alih fungsi

lahan apel disebabkan karena tanaman apel sudah tidak bisa tumbuh

dengan baik di daerah tersebut. Ditinjau dari perubahan iklim yang terjadi

bahwa menurunnya kelembaban udara dan meningkatnya suhu

menyebabkan jumlah dan mutu produksi apel terus menurun. Kondisi ini

menyimpang dari persyaratan tumbuh yang diperlukan tanaman apel

yaitu suhu 16-27 derajat Celsius dengan kelembapan udara 75-85 persen

dengan ketinggian ideal untuk tanaman apel berkisar pada 700-1200

mdpl. Dengan adanya kondisi di atas perlu upaya prakiraan iklim

khususnya curah hujan sehingga dapat digunakan untuk menentukan

crop calendar budidaya apel.

2

Page 3: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah

perubahan iklim ini, adalah melalui pendekatan taktis dengan pengembangan

metode dan teknik ramalan musim yang lebih handal, serta melalui penerapan

berbagai model dan ragam data (Peragi dan Perhimpi,1994). Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melakukan prakiraan curah

hujan 10 harian untuk kepentingan informasi pertanian. Prakiraan ini digunakan

untuk menentukan awal masuk dan berakhirnya musim penghujan atau

kemarau. Informasi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan kapan awal

musim tanam padi harus dilakukan.

Saat ini model-model peramalan iklim mulai banyak dikembangkan di

Indonesia dan umumnya menggunakan pendekatan stokastik (Gooddard, 2000).

Beberapa model stokastik yang sudah dikembangkan di Indonesia di antaranya

model Autoregressive Integrated Moving Average atau ARIMA, Fungsi Transfer,

Adaptive Splines Threshold Autore-gression atau ASTAR (lihat Andriansyah,

1998; Boer, Notodiputro, dan Las, 2000).

Beberapa model peramalan iklim yang sering digunakan oleh Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah ARIMA, tranformasi wavelet, dan

Adaptive Neuro-Fuzzy Inference Systems atau ANFIS (Indragustari, 2005a;

2005b; Nuryadi, 2005). Permasalahan yang sering muncul dalam hal ini adalah

tidak terpenuhinya asumsi kestasioneran, dimana seringkali dijumpai kondisi

yang berbeda-beda pada setiap lokasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa model-

model tersebut spesifik atau hanya bisa diaplikasikan untuk lokasi tertentu saja.

Model-model peramalan iklim yang berkembang saat ini belum memberikan

hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan antara lain adalah masih

rendahnya akurasi model peramalan yang digunakan, yaitu : (Suhartono,

Sutikno, Otok, dan Setiawan, 2009)

(1). data yang tersedia kurang memadai (terbatas),

(2). metode-metode yang dikembangkan tidak dapat berlaku umum (setiap

lokasi cenderung mempunyai metode tersendiri),

(3). metode yang digunakan untuk meramalkan iklim sebagian besar belum

melibatkan variabel-variabel indikator iklim lainnya (masih menggunakan

metode peramalan univariat).

Seiring dengan perkembangan model peramalan iklim, seringkali dijumpai

data yang tidak hanya mengandung keterkaitan dengan kejadian pada waktu-

3

Page 4: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai keterkaitan dengan lokasi atau

tempat yang lain yang disebut dengan data spasial. Kondisi ini juga berlaku

pada data iklim yang cenderung tidak hanya mengandung keterkaitan dengan

iklim pada waktu sebelumnya, tetapi juga berkaitan dengan iklim di lokasi yang

lainnya yang dikenal dengan fenomena space-time atau spatio-temporal. Salah

satu contoh variabel iklim yang mengikuti pola space-time adalah data tentang

curah hujan.

Pendekatan model spatio-temporal berupa model Space-Time

AutoRegressive Moving Average (STARMA) merupakan pengembangan model

time series ARMA dari Box-Jenkins untuk beberapa lokasi, atau dinamakan

model vektor time series (Ruchjana, 2005). Model Space-Time AutoRegressive

(STAR) yang merupakan bagian dari model STARMA dari Pfeifer (1980)

memiliki keterbatasan, yaitu model tersebut mengasumsikan bahwa parameter

untuk semua lokasi yang tersampel bernilai sama, artinya lokasi-lokasi yang

diamati bersifat serba sama atau homogen.

Dalam fenomena alam seringkali lokasi-lokasi pengamatan bersifat

heterogen. Misalnya di beberapa daerah memiliki curah hujan atau iklim yang

berbeda, sehingga dipredikisi curah hujan di Malang Raya mempunyai

heterogenitas yang tinggi.

Untuk mempelajari pendekatan model spatio-temporal bagi lokasi-lokasi

dengan sifat heterogenitas yang tinggi, seperti curah hujan di berbagai lokasi di

jawa timur khususnya, maka Ruchjana (2002) mengembangkan model STAR

menjadi model Generalisasi Space Time AutoRegresi, GSTAR. Keterbatasan

model GSTAR adalah hanya dapat digunakan untuk data yang stasioner saja

tanpa mempertimbangkan adanya pola musiman. Sedangkan curah hujan selalu

mengandung pola musiman. Lebih lanjut, penggunaan model GSTAR belum

pernah diaplikasikan untuk budidaya apel. Sehingga dalam penelitian ini ingin

dikembangkan model GSTAR untuk meramalkan curah hujan di lokasi-lokasi

pertanaman apel dengan mempertimbangkan pola musiman.

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana mengembangkan model prakiraan

iklim dengan GSTAR untuk data musiman.

4

Page 5: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

b. Bagaimana meramalkan curah hujan dengan menggunakan model

GSTAR.

1.3. Tujuan Penelitian

a) Mengembangkan model prakiraan iklim dengan menggunakan model

GSTAR untuk data musiman.

b) Meramalkan curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.

1.4 Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada :

1. Model GSTAR untuk data musiman

2. Variabel yang digunakan adalah curah hujan

3. Lokasi yang digunakan tiga lokasi pertanaman apel yaitu Batu,

Poncokusumo dan Nongkojajar.

1.5 Manfaat

a. Manfaat teoretis hasil penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model-model

peramalan, khususnya yang terkait pada model space-time, melalui

model GSTAR untuk mendapatkan model ramalan iklim yang lebih

akurat.

b. Manfaat praktis hasil penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi

kepada BMKG dan Departemen Pertanian dalam menyusun kalender

tanam di wilayah pertanaman apel sehingga kegagalan panen karena

faktor curah hujan akan dapat dikurangi.

5

Page 6: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agronomi Tanaman Apel

Apel dalam ilmu botani disebut Malus sylvestris Mill. Apel merupakan

tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat dengan iklim sub

tropis. Di Indonesia apel telah ditanam sejak tahun 1934 hingga saat ini.

Tanaman apel mulai berkembang setelah tahun 1960, terutama jenis Rome

Beauty. Menurut sistematika, tanaman apel termasuk dalam:

1) Divisio : Spermatophyta

2) Subdivisio : Angiospermae

3) Klas : Dicotyledonae

4) Ordo : Rosales

5) Famili : Rosaceae

6) Genus : Malus

7) Spesies : Malus sylvestris Mill

Dari spesies Malus sylvestris Mill ini, terdapat bermacam-macam varietas yang

memiliki ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan

antara lain: Rome Beauty, Manalagi, Anna, Princess Noble dan Wangli/Lali

jiwo.

Gambar 2. 1. Apel (Malus sylvestris Mill)

Sumber: warintek.ristek

Seluruh kultivar apel yang ditanam di Indonesia pada kenyataannya

adalah introduksi dari luar negeri. Jenis Rome Beauty merupakan kultivar yang

paling banyak ditanam, hampir sekitar 70 % dari total populasi apel di Malang.

Tanaman apel di Indonesia dapat dipanen 2 kali setahun, tetapi produksinya

selain dipengaruhi oleh umur tanaman juga dipengaruhi oleh musim.

Berdasarkan data yang didapat dari Balai Penelitian Hortikultura Malang,

6

Page 7: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

produksi apel jenis Rome Beauty pada musim penghujan lebih sedikit yaitu

sekitar 2, 44 kg/pohon/musim, dibandingkan dengan musim kemarau yang bisa

mencapai 12,25 kg/pohon/musim. Rendahnya produksi pada musim hujan

disebabkan oleh air hujan yang menimpa bunga yang sedang mekar yang

dapat menggagalkan penyerbukan (Suhardjo, 1985).

2.2. Teknik Budidaya Tanaman Apel

Budidaya tanaman apel dilakukan secara bertahap mulai dari

pembibitan hingga pemanenan. Perbanyakan tanaman apel dilakukan secara

vegetatif dan generatif. Perbanyakan yang baik dan umum dilakukan adalah

perbanyakan vegetatif, sebab perbanyakan generatif memakan waktu lama dan

sering menghasilkan bibit yang menyimpang dari induknya. Berikutnya adalah

pengolahan media tanam, yang pertama dilakukan adalah persiapan

pengolahan tanah dan pelaksanaan survei. Tujuannya untuk mengetahui jenis

tanaman, kemiringan tanah, keadaan tanah, menentukan kebutuhan tenaga

kerja, bahan paralatan dan biaya yang diperlukan. Tanaman apel dapat

ditanam secara monokultur maupun intercroping. Intercroping hanya dapat

dilakukan apabila tanah belum tertutup tajuk-tajuk daun atau sebelum 2 tahun.

Tapi pada saat ini, setelah melalui beberapa penelitian intercroping pada

tanaman apel dapat dilakukan dengan tanaman yang berhabitat rendah, seperti

cabai, bawang dan lain-lain. Tanaman apel tidak dapat ditanam pada jarak

yang terlalu rapat karena akan menjadi sangat rimbun yang akan menyebabkan

kelembaban tinggi, sirkulasi udara kurang, sinar matahari terhambat dan

meningkatkan pertumbuhan penyakit. Jarak tanam yang ideal untuk tanaman

apel tergantung varietas. Untuk varietas Manalagi dan Princes Noble adalah 3-

3.5 x 3.5 m, sedangkan untuk varietas Rome Beauty dan Anna dapat lebih

pendek yaitu 2-3 x 2.5-3 m. Penanaman apel dilakukan baik pada musim

penghujan atau kemarau (di sawah). Untuk lahan tegal dianjurkan pada musim

hujan. Pemeliharaan Tanaman dilakukan beberapa tahap yaitu: penjarangan

dan penyulaman, penyiangan, pembubunan dan perempalan/pemangkasan

serta pemupukan. Untuk pemupukan biasanya pupuk yang diberikan pada

pengolahan lahan adalah pupuk kandang sebanyak 20 kg per lubang tanam

yang dicampur merata dengan tanah, setelah itu dibiarkan selama 2 minggu.

Untuk pertumbuhannya, tanaman apel memerlukan pengairan yang memadai

7

Page 8: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

sepanjang musim. Pada musim penghujan masalah kekurangan air tidak

ditemui, tetapi harus diperhatikan jangan sampai tanaman terendam air. Karena

itu perlu drainase yang baik. Sedangkan pada musim kemarau masalah

kekurangan air harus diatasi dengan cara menyirami tanaman sekurang

kurangnya 2 minggu sekali dengan cara dikocor.

Pada umumnya buah apel dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah

bunga mekar, tergantung pada varietas dan iklim. Rome Beauty dapat dipetik

pada umur sekitar 120-141 hari dari bunga mekar Manalagi dapat dipanen

pada umur 114 hari setelah bunga mekar dan Anna sekitar 100 hari. Tetapi,

pada musim hujan dan tempat lebih tinggi, umur buah lebih panjang.

Pemanenan paling baik dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak

fisiologis (ripening), yaitu tingkat dimana buah mempunyai kemampuan untuk

menjadi masak normal setelah dipanen. Ciri masak fisiologis buah adalah:

ukuran buah terlihat maksimal, aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah

segar.

2.3. Cuaca dan Iklim

Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja

dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang

tidak sama. Cuaca oleh Gibbs (1987) didefinisikan sebagai keadaan atmosfer

yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan,

angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah

selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Ilmu

yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi. Sedangkan

iklim didefinisikan sebagai peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara

lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama

kurun waktu yang panjang. Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang iklim

disebut klimatologi.

Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi,

maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di

Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu

iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut.

8

Page 9: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

A.Iklim Musim (Iklim Muson)

Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap

periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan.

Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan

Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan

Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan.

Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang

sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim

kering/kemarau.

B.  Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)

Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim

tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau

dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis,

sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim

tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang

banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.

C.  Iklim Laut

Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut

mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan

yang tinggi. 

Perubahan iklim

9

Gambar 2.1 Peta Indonesia

Page 10: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah

curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang

sama. Pola hujan di daerah Jawa Timur adalah pola munsonal atau dipengaruhi

oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu.

2.4 Pengembangan Model Prakiraan Iklim

2.4.1 Model ARIMA

Secara umum model ARIMA musiman merupakan model time series yang

fleksibel untuk memodelkan beberapa tipe baik musiman atau non musiman.

Model ARIMA musiman menurut Wei, 1990 adalah

φ p( B )ΦP( BS )(1−B )d (1−BS )D y t=θq (B )ΘQ( BS )at , (1)

dengan

φ p( B ) = 1−φ1 B−φ2B2−…−φp B p

ΦP( BS ) = 1−Φ1 BS−Φ2 B2 S−…−ΦP BPS

θq( B) = 1−θ1B−θ2 B2−…−θq Bq

ΘQ( BS ) = 1−Θ1 BS−Θ2B2S−…−ΘQ BQS,

dan S adalah panjang periode musiman, B adalah operator mundur atau back

shift operator, dan a t adalah suatu deret white noise dengan rata-rata nol dan

varians konstan. Box dan Jenkins pada tahun 1976 telah memperkenalkan

suatu strategi pembentukan model yang efektif untuk ARIMA musiman

berdasarkan pada struktur autokorelasi dalam suatu data time series (lihat Wei,

1990).

2.4.2 Vector Autoregressive (VAR)

Vector autoregressive (VAR) dapat didefinisikan sebagai sistem

persamaan yang meregresikan setiap peubah endogen terhadap nilai konstan

dan nilai lag-nya serta nilai lag dari peubah lain. Vector autoregression (VAR)

merupakan siste m persamaan dinamis yang memiliki kemampuan untuk

10

Page 11: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

menjelaskan hubungan antar peubah-peubah iklim dan memberikan gambaran

statistik yang akurat hubungan diantaranya pada masa lalu.

Menurut Wei (1990), secara umum proses Vektor AR(p) dituliskan sebagai:

(I −Θ1 B−.. . .. .−Θp B p) Z t=at

atau

Z t= Θ1Z t−1+. .. . ..+Θp Z t−p+at

Untuk p=1 atau model vector AR(1) dapat dituliskan sebagai

( I−Θ1 B ) Z t=at

atau

Z t= Θ1 Z t−1+at

Untuk banyaknya peubah endogen M=2,

[Z1 , t

Z2 ,t]=[θ11 θ12

θ21 θ22] [Z1 ,t−1

Z2, t−1]+[a1 ,t

a2, t]

atau dapat dituliskan

Z1 , t = θ11 Z1 ,t−1+θ12Z2 , t−1+a1 t

Z2, t= θ21Z1 , t−1+θ22 Z2, t−1+a2t (2.1)

Jadi masing-masing Zi,t melibatkan bukan hanya nilai lagnya sendiri tapi

juga nilai lag dari peubah lain Zj,t sebagai contoh jika Z1,t dan Z2,t adalah curah

hujan dan suhu yang diamati dari suatu lokasi pada saat ke-t, persamaan (2.1)

menyatakan secara tidak langsung bahwa curah hujan saat ini tidak hanya

tergantung pada curah hujan satu periode sebelumnya tapi juga dipengaruhi

oleh suhu periode satu periode sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hubungan

bolak balik di antara kedua variabel tersebut, sehingga suhu saat ini juga

dipengaruhi oleh curah hujan pada periode sebelumnya.

2.4.3 Model STAR (Space-Time Autoregressive)

Model eksplisit yang memperhitungkan ketergantungan spasial disebut

sebagai space time model. Model space time autoregressive (STAR)

diperkenalkan oleh Cliff (1976) dan Ord (1973). Sejak tahun 1979, Pfeifer

mempelajari model Space Time Autoregressive (STAR) dengan bobot seragam

dan menggabungkan autoregressive (AR) model Box-Jenkins (1976) dari

beberapa lokasi secara bersamaan. Asumsi utama dari model STAR adalah

11

Page 12: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

parameter autoregressive sama dan parameter space-time untuk semua lokasi

homogen. Model Space Time Autoregressive orde p dan spasial orde λ1, …,λp

(STAR(pλ1, …, λp)) dirumuskan sebagai berikut (Pfeifer-Deutsch, 1980b):

(2.20)

di mana:

. = parameter STAR pada lag waktu k dan lag spasial l,

= matriks bobot ukuran ( ) pada lag spasial l (di mana l = 0,1),

dengan adalah matriks identitas ukuran ( ),

= vektor noise ukuran ( ) berdistribusi normal multivariat dengan

mean 0 dan matriks varians-kovarians ,

= vektor acak ukuran ( ) pada waktu t, yaitu

.

= jumlah lokasi.

2.4.4 Model Generalized Space Time Autregressive (GSTAR)

Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) model yang relatif

baru untuk data time series. GSTAR merupakan generalisasi dari model Space

Time Autoregresssive (STAR). Model GSTAR adalah bentuk spesifik dari

model VAR (Vector Auto Regressive), ini menunjukkan dependensi linier space-

time. Perbadaan utama adalah pada spatial dependent dan berat matriks.

Model GSTAR orde p dan spasial orde λ1 λ2,..., λp, GSTAR (p λ1 λ2,...,

λp) dirumuskan sebagai berikut (Borovkova, Lopuhaä and

Nurani, 2002):

(2.21)

di mana:

Pembobot dipilih sedemikian hingga dan

Sebagai contoh, model GSTAR (11) untuk kasus produksi oli bulanan di 3

lokasi yang berbeda, sebagai berikut:

12

Page 13: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

(2.22)

atau

Pendugaan parameter model GSTAR dilakukan menggunakan metode

kuadrat terkecil dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangannya.

2.4.5 Pendugaan Parameter Autoregresi untuk GSTAR Orde 1

Mengingat model GSTAR (11) didefinisikan pada persamaan (2.20), di

mana :

untuk k = 0,1,…,dst

Apabila t = 0, 1, …, T ; untuk lokasi ke-i = 1, 2, …, N lalu dengan

(2.26)

Model persamaan untuk lokasi ke-i dapat ditulis sebagai berikut

(2.27)

di mana

, , ,

13

Page 14: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Persamaan model untuk semua lokasi secara serentak mengikuti struktur model

linier , dengan , ,

dan .

Untuk setiap lokasi ke-i = 1,2,…,N, didapatkan model parsialnya

, di mana rata-rata untuk setiap pendugaan kuadrat terkecil

untuk βi dapat diperhitungkan secara terpisah. Bagaimanapun juga nilai

pendugaan tergantung pada nilai Z(t) pada lokasi yang lain karena

Tujuan secara teoritis, akan membawa ke beberapa struktur tambahan untuk

memisahkan bobot wij dari variabel acak Zi(t). Jika untuk setiap

maka didefinisikan sebagai berikut:

(2.28)

Lalu Xi dapat ditulis

, (2.29)

dan demikian

(2.30)

di mana . merupakan matriks blok .

Disimpulkan bahwa pendugaan kuadrat terkecil

cukup baik pada persamaan umum

dengan X dan u dari penjelasan diatas. Dapat menentukan

secara khusus bahwa matriks X’X adalah nonsingular. Dapat dilihat dari

persamaan (2.30) mengikuti hal tersebut, yaitu:

di mana operator vec (.) merupakan tumpukan kolom matriks. Hal ini dibatasi

oleh perilaku yang sepenuhnya dipengaruhi oleh

14

Page 15: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

B C

12

3

A

2.4.6 Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR

Permasalahan yang sering terjadi pada pemodelan GSTAR adalah

pemilihan atau penentuan bobot lokasi. Menurut Suhartono dan Atok (2006)

terdapat beberapa cara untuk menentukan bobot lokasi pada aplikasi model

GSTAR yaitu:

Gambar 2.1 Contoh kasus untuk perhitungan bobot lokasi

a. Bobot seragam (uniform)

Bobot seragam dihitung dengan rumus dengan ni adalah jumlah

lokasi yang berdekatan dengan lokasi i. Bobot lokasi digunakan untuk

data yang lokasinya homogen atau mempunyai jarak antar lokasi yang

sama. Nilai bobot untuk ketiga lokasi yang berbeda dari contoh lokasi

pada gambar 2.1 dapat ditulis sebagai berikut:

(2.38)

b. Bobot inverse jarak

Nilai bobot invers jarak didapatkan dari perhitungan berdasarkan jarak

sebenarnya anatar lokasi. Lokasi yang berdekatan mempunyai nilai

bobot yang lebih besar.

2.4.7 Kriteria Pemilihan Model Terbaik

Pemilihan kriteria model terbaik dapat dilihat melalui Akaike’s Information

Criterion (AIC) dan nilai Root Mean Squared Error (RMSE). Akaike’s

15

Page 16: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Information Criterion (AIC) digunakan pada in sample sedangkan Root Mean

Squared Error (RMSE) digunakan untuk out sample. Berikut akan dijelaskan

masing-masing kriteria pemilihan model terbaik.

a. Akaike’s Information Criteria (AIC)

Menentukan model terbaik dalam data training yaitu menggunakan

Akaike’s Information Criteria (AIC). Pada suatu model dikatakan baik apabila

nilai AIC nya paling kecil. Berikut perhitungan nilai AIC (Lutkepohl, 2005) :

AIC (p) = log det (2.39)

di mana :

Log adalah notasi logaritma natural

Det (.) adalah notasi determinan

adalah matriks taksiran kovarian residual dari model

VAR (p)

b. Root Mean Squared Error (RMSE)

Penaksiran dengan nilai sebenarnya dari observasi disebut Root Mean

Squared Error (RMSE). Fungsi RMSE yaitu memperoleh gambaran tentang

standar deviasi yang muncul saat perbedaan antar model. Nilai RMSE diperoleh

dari rumus sebagai berikut :

(2.40)

di mana: M adalah banyak ramalan yang dilakukan

16

Page 17: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Time Series Univariate (Box-Jenkin, 1976)

ARIMA :

17

VAR Multivariate (Hanan, 1969 ; Wei, 2006 ; Lopuhaa ; Judge)

STAR (Pfeifer)

GSTAR (Borovkova ; Lopuhaa ; Nurani, 2002)

Page 18: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang di

peroleh dari hasil pengamatan tim BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso

Kabupaten Malang. Data ini berupa data pengamatan intensitas curah hujan

dasa harian 3 lokasi pos hujan di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar selama

20 tahun dari tahun 1990-2009.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Obyek penelitian adalah kawasan yang mewakili daerah-daerah apel di

wilayah Kabupaten Malang.

18

Page 19: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Gambar 3.1 . Peta situasi lokasi penelitian

Wilayah-wilayah tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan

pertimbangan bahwa sebaran pertanaman apel di kabupaten Malang masih

relatif luas pada berbagai varietas.

4.3 Teknik Pengambilan Sampel

Untuk mendapatkan data produksi apel dilakukan dengan mengambil data

primer dan sekunder.

4.3.1 Tahapan Pengumpulan Data

19

Inventarisasi Data Pada Lokasi Sample

Pengumpulan data dari produksi apel

Penentuan Lokasi Penelitian

Page 20: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Total produksi apel di bbrp lokasi di kabupaten Malang

Analisa Space Time produksi apel di kabupaten Malang

PREDIKSI potensi wilayah produksi apel

Gambar 3.2. Diagram Alir Pengumpulan Data Produksi Apel

4.4. Analisis Data

Tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Memeriksa data apakah stasioner atau tidak dengan cara melihat plot

ACF dan PACF. Apabila tidak stasioner dalam mean dilakukan

differencing

2. Menentukan MACF, MPACF dan memilih model terbaik dengan

menggunakan AIC pada persamaan (2.39).

3. Menentukan orde VAR model GSTAR-I yang akan dipakai untuk

menentukan model di setiap lokasi pos hujan.

4. Analisis data menggunakan model GSTARI untuk masing-masing bobot

lokasi.

20

Page 21: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

CH Batu Poncokusumo Nongkojajar

Menentukan MACF, MPACF dan Nilai AIC

Penentuan Orde GSTAR-I

Pendugaan Parameter Model GSTAR-I

Apakah data stasioner?Differencing

5. Mendapatkan model GSTARI tiap lokasi pos hujan untuk masing-masing

bobot lokasi.

6. Uji signifikasi parameter dan cek diagnosa kesesuaian model

- Evaluasi white noise dari residual model GSTAR-I.

7. Melakukan forecast / peramalan curah hujan untuk 3 lokasi pos hujan

dengan menggunakan model GSTARI.

8. Validasi model untuk data out sample (menggunakan RMSE)

9. Menyusun kesimpulan untuk menjawab permasalahan.

Tidak

Ya

21

Page 22: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Apakah model sesuai?

Peramalan

selesai

Validasi (out sample )RMSE

Tidak

Ya

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembentukan Model GSTAR-I

4.5. Implementasi Prakiraan Iklim model GSTAR Untuk Data Musiman

Implementasi prakiraan iklim model GSTAR dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan Matlab atau R. Selanjutnya hasil prakiraan

disajikan dalam bentuk peta kesesuaian iklim untuk pertanaman apel.

DAFTAR PUSTAKA

Borovkova, S.A.; LopuhaTM, and Ruchjana, B.N. 2002. Generalized S-TAR with

Random Weights. Proceeding of the 17th International Workshop on

Statistical Modeling. Chania-Greece.

Borovkova, S.A.; LopuhaTM, and Ruchjana, B.N. 2002. The Space Time

Autoregressive Models. Workshop on Space Time Models and Its

Applications. Bandung, 2-4 Agustus 2005.

Chiles, J.P., Pierre Delfiner. 1999. Geostatistics. Modeling Spatial Uncertainty.

A Wiley Interscience Publication. John Wiley & Sons, Inc.

Fotheringham, A.S., Brunsdon C, Carlton M. 2002. Geographically Weighted

Regression. John Wiley & Sons, Ltd. England.

22

Page 23: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Hannan, E.J. 1970. Multiple Time Series. John Wiley and Sons, Inc. New

York.

Hanan S. 1990. The Design and Analysis of Spatial Data Structures. John

Wiley and Sons, Inc. New York.

Ingragustari. 2005a. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan Transformasi

Wavelet. Prosiding Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan

Validasi BMG. Hotel Nam Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember

2005.

Ingragustari. 2005b. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan ANFIS.

Prosiding Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan Validasi

BMG. Hotel Nam Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember 2005.

Peragi dan Perhimpi. 1994. Rumusan Panel Diskusi Antisipasi Kekeringan Dan

Penanggulangan Jangka Panjang. Dalam I. Las, N. Sinulingga, R. Boer,

Handoko, E. Syamsudin dan D. Sopandi (Editor). Prosiding Panel Diskusi

Antisipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang. Perhimpun-

an Agronomi Indonesia dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian

Indonesia.

Pfeifer, P.E. 1979. Spatial Dynamic Modeling, unpublished Ph.D Dissertation.

Georgia Institute of Technology. Georgia.

Pfeifer, P.E and Deutsch, S.J. 1980. Stationarity and Invertibility Regions for

Low Order STARMA Models. Communications in Statistics-Simulation

and Computation 9 (5). P. 551-562.

Ruchjana, B.N. et al. 1999. The Study of the Location Weighted Matrix in the

First Order Space-Time Autoregressive Model. Proceeding of the

SEAMS-GMU International Conference on Mathematics and Its

Application. Sri Wahyuni et al., Editor. UGM. Yogyakarta. P. 408-417.

________, 2001. Study on the Weight Matrix in the Space-Time Autoregressive

Model. Proceeding of the Tenth International Symposium on Applied

Stochastic Models and Data Analysis (ASMDA). Gerard Govaert, et al.

Editor. Universite de Technologie Compiegne. Prancis. Vol. 2/2. p. 789-

794.

Setiawan. 1992. Kajian tentang Seemingly Unrelated Regression (SUR) dan

Penerapannya Pada model Almost Ideal Demand System (AIDS). Thesis.

IPB. Bogor.

23

Page 24: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Suhartono, Sutikno, Otok, B.W., dan Setiawan. 2009. Pengembangan model

prakiraan iklim untuk pengendalian ketahanan pangan. Laporan Penelitian

Strategis ITS, Surabaya.

Zifwen. 1999. Peramalan ENSO dan Pemodelan Hubungan ENSO dengan

Curah Hujan Monson. Skripsi Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.

Wutsqa, D.U., Suhartono and Sutijo, B. 2010. Generalized Space-Time Auto-

regressive Modeling. Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on

Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010), Universiti Tunku

Abdul Rahman, Kuala Lumpur, Malaysia, pp. 752-761.

MODEL SPASIO-TEMPORAL PRAKIRAAN

IKLIM UNTUK PRODUKSI APELTugas Mata Kuliah : Perencanaan Lingkungan dan Pengembangan Wilayah

Dosen : Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS

24

Page 25: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

Oleh : Ir.RB.Ainurrasjid,MS

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA2012

Daftar Isi

I. PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................4

1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................5

1.4 Batasan Masalah......................................................................................5

1.5 Manfaat....................................................................................................5

II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6

25

Page 26: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

II.1 Agronomi Tanaman Apel........................................................................6

II.2 Teknik Budidaya Tanaman Apel.............................................................7

2.3 Cuaca dan Iklim.......................................................................................8

2.4 Pengembangan Model Prakiraan Iklim.................................................10

2.4.1 Model ARIMA.............................................................................10

2.4.2 Vector Autoregressive (VAR)......................................................10

2.4.3 Model STAR (SPACE-Time Autoregressive)...............................11

2.4.4 Model Generalized Space Time Autregressive (GSTAR)............12

2.4.5 Pendugaan Parameter Autoregresi untuk GSTAR Orde 1...........13

2.4.6 Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR.............................15

2.4.7 Kriteria Pemilihan Model Terbaik................................................15

III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN........................................................17

IV. METODE PENELITIAN..............................................................................18

4.1 Sumber Data...........................................................................................18

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................18

4.3 Teknik Pengambilan Sampel..................................................................19

4.4 Analisis Data...........................................................................................20

4.5 Implementasi Prakiraan Iklim Model GSTAR Untuk Data Musiman. . .21

Daftar Pustaka......................................................................................................22

26

Page 27: Proposal Model Spatial Iklim Ainurrasjid1

27