proposal kultur lidah buaya.doc
TRANSCRIPT
PROPOSAL PENELITIAN KULTUR JARINGAN
PERBANYAKAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) PADA TARAF KONSENTRASI BAP DAN NAA SECARA IN VITRO
Oleh :
AGISTA MAHRINI (E1A209027)AKHMAD KAMAL (E1A209052)
DARMA SETIA JAYA (E1A209217)
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU2013
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu dari 10 jenis tanaman di
dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan
bahan baku industri (Atherton, 1998; Wahjono dan Koesnandar, 2002). Tanaman
ini dapat dijumpai di seluruh Indonesia dan umumnya dibudidayakan sebagai
tanaman obat keluarga sekaligus tanaman hias pot atau pekarangan.
Lidah buaya memiliki daun berwarna hijau berlapis lilin putih, berbentuk
agak runcing seperti taji dengan tepi daun bergerigi/berduri kecil. Pemanfaatan
lidah buaya sebagai bahan kosmetika dan obat tradisional telah dilakukan sejak
1400 SM, terutama untuk penyubur rambut, penghalus dan pengencang kulit, obat
anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri dan regenerasi sel. Akhir-akhir ini diketahui
bahwa lidah buaya juga berfungsi menurunkan kadar gula darah, obat kanker dan
mengontrol tekanan darah, mengatasi stres dan kecanduan, serta merupakan
nutrisi pendukung bagi penderita HIV (Atherton, 1998; Pangabean, 2002).
Lidah buaya dikenal dengan sebutan the miracle plant (tanaman ajaib),
karena dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit (Plaskett, 2000; Sumarno,
2002).
Bahan aktif yang dikandungnya antara lain adalah aloin, glukomannan,
acemannan, aloe-emodin, aloenin, folocin, asam sinamat, yang memiliki efek
farmakologi sebagai anti radang, anti pencahar, anti diabetes, anti kanker, anti
inflamatori, dan anti bakteri. Prospek pengembangan tanaman lidah buaya sangat
cerah mengingat jenis ini telah dimanfaatkan dalam bidang kedokteran di 23
negara dan tercantum dalam Daftar Tanaman Obat Prioritas WHO (Koesnandar
2002).
Multiplikasi lidah buaya biasanya dilakukan melalui pemisahan anakan,
stek batang, dan dengan teknik kultur jaringan. Akibat dari perbanyakan vegetatif
yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang tersebut, variasi
genetik lidah buaya menjadi sempit. Pemuliaan lidah buaya hampir tidak pernah
dilakukan, namun silangan alami mungkin dapat ditemukan di daerah
pembudidayaan. Untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan bibit, sejalan
dengan berkembangnya industri berbahan baku lidah buaya, kiranya perlu
dikembangkan teknologi in vitro yang efisien bagi perbanyakan tanaman lidah
buaya. Teknik tersebut kelak dapat diterapkan pada varietas terpilih yang berdaya
produksi atau mengandung bahan aktif tinggi. Menurut George dan Sherrington
(1984) dan Yusnita (2003), kultur jaringan tanaman merupakan teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman baik berupa sel, jaringan atau organ
dalam kondisi aseptik secara in vitro.
Pada dasarnya langkah-langkah dalam melakukan proses kultur jaringan ada
3 tahap, yaitu :
1. Tahap I atau disebut juga tahap persiapan eksplan
2. Tahap II atau disebut juga tahap penggandaan.
3. Tahap III atau disebut juga tahap penndewasaan (D.F.Wetherell,1976).
Penanaman eksplan harus dilakukan pada ruangan yang harus steril, dan
eksplan juga dalam keadaan yang steril pula. Penanaman dapat dilakukan pada
ruangan tertutup atau ruangan penabur dalam Laminair Air Flow (LAF). Ruangan
digunakan, setelah dilakukan sterilisasi dengan menggunakan larutan alkohol 96
% pada lantai dan dinding ruangan, dan membiarkan ruangan selama 30 menit
dengan sinar UV yang menyala (Gunawan, 1992).
Kontaminasi yang terjadi pada kultur jaringan merupakan momok yang
cukup mengganggu proses kultur jaringan. Namun kontaminasi juga dapat
dicegah dengan perlakuan-perlakuan yang aseptic. Stelah dua acara praktikum
diatas dilakukan sterilisasi terhadap peralatan kultur dan media kultur, tanaman
atau eksplan yang akan ditanam juga harus dalam keadaan steril dan sehat artinya
eksplan tidak terserang penyakit ataupun terkena serangan mikroba (Gunawan,
1992).
Keberadaan kontaminan yang berasal dari spora maupun mikroba lainnya
sangat sulit dihindari termasuk juga di dalam ruang kultur. Untuk itu sterilisasi
ruangan juga perlu dilakukan tentunya dengan tujuan untuk menciptakan
lingkungan yang aseptic dan menghilangkan mikroba maupun spora penyebab
kontaminan (Gunawan, 1990).
Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur
telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang dikulturkan.
Pemanfaatan lidah buaya dalam negeri hingga saat ini sangat beragam
mulai dari sebagai tanaman obat sampai industri makanan olahan. Minat
masyarakat terhadap produk-produk berbahan dasar lidah buaya cukup baik
sehingga peranan lidah buaya mendapat tempat cukup baik. Hal ini menjadi salah
satu alasan penting mengenai pentingnya perbanyakan tanaman lidah buaya. Salah
satu metode perbanyakan adalah dengan kultur jaringan bagian tanaman lidah
buaya (Fathini, et al, 2012).
Dalam media kultur jaringan diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh
untuk mendukung pertumbuhan eksplan. Salah satu zat pengatur tumbuh yang
sering digunakan adalah zat pengatur tumbuh yang berasal dari kelompok
sitokinin. Menurut Badriah et al. (1998), sitokinin berpengaruh terhadap inisiasi
tunas. Jenis sitokinin yang yang paling sering dipakai adalah 6-Benzyl Amino
Purine (BAP) karena efektivitasnya tinggi (Yusnita, 2003). Penggunaan NAA
(Napthalene Acetic Acid), salah satu jenis auksin sintetis banyak digunakan untuk
meningkatkan rasio pertumbuhan akar tanaman dalam kultur in-vitro, karena akan
mendorong pembentukan akar-akar baru pada selang konsentrasi tertentu. Dengan
pertumbuhan akar yang sehat dan kuat akan meningkatkan kemampuan tanaman
untuk bertahan hidup pada tahap aklimatisasi ke lapangan. Namun belum
diketahui konsentrasi BAP dan NAA yang sesuai yang mampu meningkatkan
pertumbuhan lidah buaya.
Meskipun pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya
dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh seperti anakan atau
mata tunas. Penelitian ini bertujuan untuk mencari media yang optimal bagi
pertambahan jumlah daun dan tunas lidah buaya dengan BAP dan NAA pada
media MS.
Perumusan Masalah
1. Apakah terdapat komposisi media tanam yang tepat untuk kultur jaringan
lidah buaya?
2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara BAP dan NAA terhadap
pertumbuhan terbaik eksplan kultivar tunas pucuk lidah buaya yang ditanam
dengan teknik kultur jaringan?
3. Apakah pengaruh konsentrasi BAP dan NAA dengan kultivar tunas pucuk
lidah buaya yang terbaik terhadap pertumbuhan eksplan tunas pucuk yang
ditanam dengan teknik kultur jaringan?
Tujuan
1. Untuk mendapatkan komposisi media tanam yang tepat untuk kultur jaringan
lidah buaya.
2. Mengetahui pengaruh interaksi antara BAP dan NAA terhadap pertumbuhan
terbaik eksplan kultivar tunas pucuk lidah buaya yang ditanam dengan teknik
kultur jaringan,
3. Mengetahui pengaruh masing-masing konsentrasi BAP dan NAA dengan
kultivar tunas pucuk lidah buaya yang terbaik terhadap pertumbuhan eksplan
tunas pucuk yang ditanam dengan teknik kultur jaringan.
Hipotesis
1. Terdapat komposisi media tanam yang tepat untuk kultur jaringan lidah
buaya.
2. Terdapat pengaruh interaksi antara BAP dan NAA terhadap pertumbuhan
terbaik eksplan kultivar tunas pucuk lidah buaya yang ditanam dengan teknik
kultur jaringan,
3. Terdapat pengaruh konsentrasi BAP dan NAA dengan kultivar tunas pucuk
lidah buaya yang terbaik terhadap pertumbuhan eksplan tunas pucuk yang
ditanam dengan teknik kultur jaringan.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan menjadi media bagi para pembaca untuk
mendapat beberapa manfaat, yaitu:
1. Sebagai sumber informasi bagi kalangan peneliti, akademisi, instansi,
maupun wirausaha daun sambung nyawa
2. Sebagai langkah alternatif untuk pembaca untuk memulai proyek kultur
jaringan daun sambung nyawa.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Lidah Buaya
Lidah buaya dikenal dengan berbagai nama, di Indonesia lidah buaya,
Inggris crocodiles tongues, di Malasyia disebut jadam karena merupakan bahan
baku pembuatan jadam, yaitu obat kunyah untuk menyehatkan badan, sedang di
spanyol dinamai salvila, di Cina disebut lu hui, dan di Perancis Portugis, Jerman
dan lain-lain disebut aloe (Sudarto, 1997).
Tanaman ini termasuk liliceae yang diduga mempunyai 4.000 jenis yang
terbagi dalam 240 marga dan 12 anak suku, penggolongan klasifikasi tanaman
dapat dilihat sebagai berikut (Sudarto, 1997).
Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Ordo : Asparagales
Famili : Asphodelaceae
Genus : Aloe
Spesies : Aloe vera L.
Lidah buaya adalah sejenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan
tahun silam dan digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, dan untuk
perawatan kulit. Tumbuhan ini dapat ditemukan dengan mudah di kawasan kering
di Afrika. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan
tanaman lidah buaya berkembang sebagai bahan baku industri farmasi dan
kosmetika, serta sebagai bahan makanan dan minuman kesehatan (Briggs , G. B.
dan C. L. Calvin, 1987).
Secara umum, lidah buaya merupakan satu dari 10 jenis tanaman terlaris di
dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan
bahan baku industri. Berdasarkan hasil penelitian, tanaman ini kaya akan
kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan
komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Briggs , G. B. dan C. L.
Calvin, 1987).
Selain itu, lidah buaya berkhasiat sebagai anti inflamasi, anti jamur, anti
bakteri dan membantu proses regenerasi sel. Di samping menurunkan kadar gula
dalam darah bagi penderita diabetes, mengontrol tekanan darah, menstimulasi
kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit kanker, serta dapat digunakan
sebagai nutrisi pendukung penyakit kanker, penderita HIV/AIDS (Sudarto, 1997).
Salah satu zat yang terkandung dalam lidah buaya adalah aloe emodin,
sebuah senyawa organik dari golongan antrokuinon yang mengaktivasi jenjang
sinyal insulin seperti pencerap insulin-beta dan -substrat1, fosfatidil inositol-3
kinase dan meningkatkan laju sintesis glikogen dengan menghambat glikogen
sintase kinase 3beta, sehingga sangat berguna untuk mengurangi rasio gula darah.
Di negara-negara Amerika, Australia, dan Eropa, saat ini lidah buaya juga telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman kesehatan
(Briggs , G. B. dan C. L. Calvin, 1987).
Aloe vera/lidah buaya mengandung semua jenis vitamin kecuali vitamin
D, mineral yang diperlukan untuk fungsi enzim, saponin yang berfungsi sebagai
anti mikroba dan 20 dari 22 jenis asam amino. Dalam penggunaannya untuk
perawatan kulit, Aloe vera dapat menghilangkan jerawat, melembabkan kulit,
detoksifikasi kulit, penghapusan bekas luka dan tanda, mengurangi peradangan
serta perbaikan dan peremajaan kulit. Dengan beragam manfaat yang terkandung
dalam lidah buaya, pemanfaatannya kurang optimal oleh masyarakat yang hanya
memanfaatkannya sebagai penyubur rambut (Sudarto, 1997).
Perbanyakan secara In Vitro
Untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan bibit, sejalan dengan
berkembangnya industri berbahan baku lidah buaya, kiranya perlu dikembangkan
teknologi in vitro yang efisien bagi perbanyakan tanaman lidah buaya. Teknik
tersebut kelak dapat diterapkan pada varietas terpilih yang berdaya produksi atau
mengandung bahan aktif tinggi.
Menurut George dan Sherrington (1984) dan Yusnita (2003), kultur
jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman baik
berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Meskipun
pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman
yang masih muda dan mudah tumbuh seperti anakan atau mata tunas.
Dengan semakin berkembangnya usaha di bidang pertanian maka
kebutuhan bibit semakin meningkat. Melalui perbanyakan konvensional sangat
sulit untuk memenuhi kebutuhan bibit yang sangat banyak dengan waktu relatif
cepat. Dengan demikian, teknologi kultur jaringan telah terbukti dapat digunakan
sebagai teknologi pilihan (Gunawan, 1995).
Menurut Sriyanti (1994), kultur jaringan adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel,
jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga
bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi
tanaman lengkap kembali. Tujuan dari Kultur jaringan diantaranya menciptakan
tanaman baru bebas penyakit, memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak
secara seksual, dan menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun.
Kultur jaringan atau biakan jaringan merupakan teknik pemeliharaan
jaringan atau bagian dari individu secara buatan (artifisial). Yang dimaksud secara
buatan adalah dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Karena itu teknik ini
sering kali disebut kultur in vitro, sebagai lawan dari in vivo. Dikatakan in vitro
(bahasa Latin, berarti "di dalam kaca") karena jaringan dibiakkan di dalam tabung
inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Kultur
jaringan secara teoretis dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan
maupun hewan (termasuk manusia) namun masing-masing jaringan memerlukan
komposisi media tertentu (Gunawan, 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: faktor genetik, media tumbuh, faktor lingkungan,
dan zat pengatur tumbuh. Menurut Wetherell (1982), zat pengatur tumbuh (ZPT)
di dalam dalam media berfungsi untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan
tanaman pada setiap tingkat pertumbuhan dan perkembangan.
Di dalam tanaman terdapat fitohormon yang mendorong pertumbuhan dan
perkembangan, serta fitohormon yang menghambat. ZPT akan bekerja secara
aditif (sinergis) dengan fitohormon (pendorong) atau antagonis dengan
fitohormon yang menghambat. Resultan dari interaksi ini akan tampil dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanaman pada kultur jaringan tidak
dapat menghasilkan karbohidrat sendiri dalam jumlah cukup sehingga perlu
diberikan sumber energi karbon dalam media berupa sukrosa (Rahardja, 1994).
Untuk mendukung keberhasilan kultur tanaman yang akan dikulturkan
berupa jaringan muda yang sedang dalam kondisi tumbuh. Jaringan yang akan
dikuturkan biasanya berupa ujung akar, tunas atau daun muda. Jaringan yang
diambil dan ditumbuhkan melalui kultur jaringan disebut eksplan. Sejak diambil
dari tumbuhan induk sampai dengan dikulturkan, eksplan harus berada dalam
keadaan steril. Persiapan eksplan sampai penanaman dalam media buatan harus
dilakukan di dalam enkas atau laminar air flow (Rahardja, 1993).
Proses perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri atas seleksi
pohon induk (sumber eksplan), sterilisasi eksplan, inisiasi tunas, multiplikasi,
perakaran, dan aklimatisasi. Eksplan berupa mata tunas, diambil dari pohon induk
yang fisiknya sehat. Tunas tersebut selanjutnya disterilkan dengan alkohol 70%,
HgCl2 0,2%, dan Clorox 30%. Inisiasi tunas. Eksplan yang telah disterilkan di-
kulturkan dalam media kultur (MS + BAP). Setelah terbentuk tunas, tunas
tersebut disubkultur dalam media multiplikasi (MS + BAP) dan beberapa
komponen organik lainnya. Multiplikasi dilakukan secara berulang sampai
diperoleh jumlah tanaman yang dikehendaki, sesuai dengan kapasitas laborato-
rium. Setiap siklus multiplikasi berlangsung selama 2–3 bulan. Untuk biakan
(tunas) yang telah responsif stater cultur, dalam periode tersebut dari 1 tunas dapat
dihasilkan 10-20 tunas baru. Setelah tunas mencapai jumlah yang diinginkan,
biakan dipindahkan (dikulturkan) pada media perakaran (Santoso, 2001).
Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada
umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar)
diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam di lapang. Aklimatisasi.
Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya
(terutama kelembaban) dapat dikendalikan. Planlet dapat ditanam dalam dua cara.
Pertama, planlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah
+ pupuk kandang) yang telah disterilkan. Planlet (dalam polibag) dipelihara di
rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit ditaruh di atas bedengan yang dinaungi
dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya tergantung keadaan tempat.
Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan pupuk
kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan
jarak 20 cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi
cara pertama dapat dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian
dan cara kedua dilakukan bila pesemaian berada di sekitar areal pertanaman
(Santoso, 2001).
Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh dalam Kultur Jaringan
Hormon (dari kata Yunani hormaein yang berarti menguatkan) pada
khusunya dibentuk disuatu tempat, akan tetapi melaksanakan fungsinya ditempat
lain. Pada tumbuhan tidak diketahui adanya berjenis-jenis hormon seperti pada
manusi. Diantara zat-zat yang telah agak banyak diketahui ialah auksin, hetero-
auksin, asam indol asetat, asam traumatat, kinin, giberelin, hidrazidamalat dan
vitamin (Dwijoseputro, 1980).
Zat tumbuh nabati, sebagai istilah kolektif untuk hormon dan pengatur zat-
zat itu pada proses fisiologi tertentu. Hal ini secara tidak langsung dinyatakan
dengan nama beberapa kelompok misalnya absisi, auksin mengatur perpanjangan
sel, sitokinin mempengaruhi sitokinesis dan florigen terlibat dalam menginduksi
pertumbuhan bunga (Loveless, 1991).
Pola perkembangan tanaman kultur jaringan dipengaruhi oleh jenis,
jumlah dan perbandingan zat-zat pengatur tumbuh yang digunakan. Zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin tidak hanya menentukan tumbuhnya jaringan yang
dikulturkan, tetapi bagaimana jaringan itu tumbuh (Yusnita, 2003).
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan pada awal kultur jaringan
adalah auksin dan sitokinin. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang
berfungsi untuk menginisiasi pemanjangan dan pembesaran sel (Loveless, 1991).
Salah satu golongan auksin yang paling banyak digunakan pada teknik
kultur in vitro adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA). NAA merupakan zat
pengatur tumbuh sintetik yang mempunyai sifat lebih stabil dan tidak mudah
terurai oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi
dibandingkan golongan auksin lainnya.
Zat pengatur tumbuh lain yang digunakan adalah sitokinin. Sitokinin
berfungsi untuk meregulasi pembelahan sel, memacu morfogenesis,
perkembangan kloroplas, menginduksi embriogenesis, dan organogenesis
(Yusnita, 2003).
Golongan sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah
kinetin, BA, zeatin dan BAP. Penggunaan BAP sering digunakan karena bersifat
tahan terhadap degradasi dan harganya lebih murah. Menurut Badriah et al.
(1998), sitokinin berpengaruh terhadap inisiasi tunas. Jenis sitokinin yang yang
paling sering dipakai adalah 6-Benzyl Amino Purine (BAP) karena efektivitasnya
tinggi (Yusnita, 2003).
Penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dalam waktu yang lama
seringkali menyebabkan regeneren sulit berakar dan dapat menyebabkan
penampakan pucuk abnormal. Secara umum konsentrasi sitokinin yang digunakan
berkisar daro 0,1 – 10 mg/l (Gunawan, 1992).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum Kultur Jaringan ini adalah :
- Bahan eksplan berupa tunas pucuk lidah buaya kultivar kecil, tinggi 3-4 cm.
- Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan media MS adalah larutan
stok hara makro, larutan hara mikro, stok Fe.EDTA, stok Myo-Inositol, stok
vitamin, ZPT, gula/sukrosa, aquades dan agar-agar.
- Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan stok hara makro
adalah aquades, KNO3, NH4NO3, CaCl2.2H2O, MgSO4.7H2O, dan KH2PO4.
- Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan stok hara mikro
campuran adalah Kl 83.0 mg, H3BO3 620.0 mg, MnSO4 H2O 1690.0,
ZnSO4.7H2O 860.0 mg, CuSO4.5H2O 2.5 mg, CoCl2.6H2O 2.5 mg, Stok
FeSO4.7H2O dan Na2 EDTA.
- Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan stok vitamin adalah Tiamin
HCl, Asam mikotinat, Piridoksin HCl, Gilisin, Mioinositol, Sukrosa, Agar.
- Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sterilisasi eksplan adalah air,
aquades steril, larutan sabun (sunlight), larutan klorox 35%, larutan klorox
20%, dan larutan alkohol 70 %.
- Spiritus
- Konsentrasi BAP 1 mg/l dan NAA 0,1 mg/l
Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum Kultur Jaringan ini adalah :
- Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), digunakan sebagai tahap perlakuan
penanaman.
- Shaker (penggojok), merupakan alat penggojok yang putarannya dapat
diatur menurut kemauan kita.
- Timbangan Analitik, berfungsi sebagai alat untuk menimbang bahan-
bahan kimia yang digunakan untuk kultur jaringan.
- Erlenmeyer, berfungsi sebagai sarana menuangkan air suling maupun
untuk tempat media dan penanaman eksplan.
- Gelas Ukur, digunakan untuk menakar air suling dan bahan kimia yang
akan digunakan.
- Gelas Piala, digunakan untuk menuangkan atau mempersiapkan bahan
kimia dan air suling dalam pembuatan medium.
- Petridish, merupakan tempat pemotongan eksplan.
- Pinset dan Scalpel. Pinset digunakan untuk memegang atau mengambil
irisan eksplan atau untuk menanam eksplan, Scalpel digunakan untuk
memotong eksplan.
- Lampu Spiritus, digunakan untuk sterilisasi dissecting kit (skalpel dan
pinset) di dalam laminar air flow cabinet pada saat kita mengerjakan
penanaman.
- Lampu UV, berfungsi untuk sterilisasi fisik.
- Lampu Neon, berfungsi untuk pencahayaan bagi eksplan.
- Hot plate/magnetic stirrer atau kompor berfungsi untuk menggojok dengan
pemanas/memasak media.
- Peralatan gelas (gelas ukur, erlenmeyer) atau stainless steel untuk
memanaskan dan melarutkan media.
- Autoclave, merupakan alat sterilisasi dengan tekanan uap (sterilisasi
basah).
- pH meter, berfungsi untuk mengukur pH.
- Timbangan (analitical dan bench top loading), berfungsi untuk menimbang
bahan kimia.
- Botol kultur dengan penutupnya, berfungsi sebagai tempat menanam
eksplan.
- Alat diseksi (spatula, scalpel (pinset), forcep, gunting)
- Refrigerator, berfungsi untuk menyimpan larutan kimia atau bahan kimia
- Distiling unit atau water deionizer, berfungsi untuk membuat aquades
- Oven, berfungsi untuk sterilisasi kering
- Pipet ukur, berfungsi untuk mengambil dan mengukur larutan kimia.
- Rak, berfungsi untuk tempat media dan plantlet.
Metode Penelitian
Metode percobaan yang digunakan adalah faktorial dua faktor,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor yang digunakan
meliputi:
Konsentrasi BAP (B) yang terdiri dari 1 taraf:
b1 : BAP 1 mg/l
Konsentrasi NAA (A) yang terdiri dari 1 taraf:
a1 : NAA 0,1 mg/l
Dari percobaan tersebut terdapat 1 perlakuan, dimana setiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali, sehingga perlakuannya terdiri dari 3 satuan percobaan.
Tiap satuan percobaan terdapat 4 botol, sehingga semuanya terdapat 12
percobaan. Pucuk tunas lidah buaya yang diperlukan sebagai eksplan adalah 12
eksplan. Perlakuan zat pengatur tumbuh BAP dan NAA pada kultur pucuk tunas
lidah buaya disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA
Konsentrasi NAA mg/l (A) Konsentrasi BAP mg/l (B)a1 = 1 b1 = 1
a1b1
Pemakaian konsentrasi NAA dan BAP yang diberikan berdasarkan pada
kombinasi perbandingan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin
dalam metode Mohr. Menurut Mohr dan Schoper (1978) dalam Hendaryono dan
Wijayani (1994) bahwa penggunaan dosis kombinasi sitokinin 2mg/l dan auksin 3
mg/l, serta sitokinin 3 mg/l dan uksin 2 mg/l menghasilkan pertumbuhan eksplan
akar dan tunas anggrek.
Pelaksanaan Percobaan
Tempat dan Waktu
Percobaan kultur jaringan lidah buaya dilaksanakan di Laboratorium
Kultur Jaringan, jurusan Budidaya Prtanian, Fakultas Pertanian Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 6
Minggu, yaitu mulai bulan Mei sampai Juni 2013.
Persiapan
Persiapan dilakukan terutama untuk pengadaan bahan dan alat yang
digunakan. Bahan eksplan berupa tunas pucuk lidah buaya kultivar kecil, tinggi 3-
4 cm.
Pelaksanaan
Sterilisasi alat tanam dan botol kultur. Alat tanam seperti botol kultur,
cawan petri, pinset, gunting, scalpel yang akan digunakan dicuci kemudian
disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan autoclaf selama satu jam pada
tekanan 17.5 psi dan suhu 121oC. untuk cawan petri, pinset, gunting, dan pisau
scalpel sebelum di autoclaf dibungkus dahulu dengan kertas tebal.
Sterilisasi aquadest. Sterilisasi aquadest dilakukan dengan memasukkan
aquadest ke dalam erlenmeyer 250 ml , diisi sampai 100 mlkemudian sterilisasi
yang digunakan sama dengan sterilisasi alat.
Laminar air flow sebelum digunakan disterilkan dulu dengan
mengusapkan atau menyemprotkan alkohol 70% pada dinding dan lantainya,
kemudian didiamkan slama kurang lebih 30 menit.
Sterilisasi eksplan. Tunas pucuk lidah buaya dicuci bersih dengan air
mengalir, lalu direndam dalam larutan sabun (sunlight) selama 5 menit dan
direndam dalam larutan klorox 35% selama 30 menit. Selanjutnya tunas
dicelupkan dalam larutan alkohol 70% selama 2 menit, dan dalam larutan klorox
20% selama 15 menit. Pekerjaan terakhir ini dilakukan dalam laminar air flow
cabinet. Setelah itu eksplan tersebut dibilas beberapa kali dengan akuades steril
agar bersih dari sisa-sisa klorox dan alkohol.
Pembuatan larutan stok
a. Bahan-bahan kimia makro nutrien ditimbang dengan neraca analitik
sebagai berikut :
- KNO3 = 1900 mg/l x 20=38 gram
- NH4NO3 =1650 mg/l x 20=33 gram
- CaCl2.2H2O = 440 mg/l x 20=8,8 gram
- MgSO4.7H2O = 370 mg/l x 20=7,4 gram
- KH2PO4 =170 mg/l x 20=3,4 gram
Larutan makro = 1000 ml (1000/20=50 ml)
b. Bahan-bahan yang sudah ditimbang, dimasukkan ke dalam erlenmeyer
volume 1000 ml yang telah berisi 700 ml aquades.
c. Bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan menggoyang-goyangkan
erlenmeyer.
d. Setelah semua hara makro larut, ditera dengan aquades hingga 1000 ml.
e. Masukkan ke dalam botol tempat penyimpanan larutan stok lalu ditutup
dengan aluminium foil dan diikat dengan karet, kemudian diberi label dan
tanggal pembuatan.
Pembuatan Media tumbuh. Media dasar Murashige dan Skoog (MS)
(1962), yang dilengkapi dengan gula 30 g/L, agar Gelrite 2,5 g/L serta zat
pengatur tumbuh (ZPT) BAP 1 mg/L (media inisiasi) digunakan untuk
menginduksi penggandaan tunas in vitro. Tunas yang dihasilkan digunakan
sebagai bahan eksplan. Media tersebut diatur keasamannya pada pH 5,7, diberi
agar, lalu diautoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1 atm selama 15 menit,
kemudian disimpan selama 3 hari untuk mengeliminasi media yang
terkontaminasi jamur atau bakteri. Untuk menginduksi penggandaan tunas in vitro
lidah buaya, maka dicari kombinasi hormon BAP dan NAA yang optimal.
Penanaman eksplan. Tunas pucuk yang telah disterilkan dibuang daun-
daun luarnya, sehingga diperoleh pucuk tunas berukuran ± 1-2 cm. Tunas tersebut
ditumbuhkan dalam media tumbuh awal (MS + BAP 1 mg/l dan MS + NAA 0,1
mg/l), penanaman dilakukan secara aseptik di dalam laminar flow cabinet, lalu
diinkubasikan dalam ruangan bersuhu 25°C yang diberi pencahayaan dari lampu
TL selama 16 jam per hari sampai terbentuk tunas baru untuk eksplan, kemudian
tunas yang baru (dengan 2 daun) ditumbuhkan kembali pada media tumbuh.
Pengamatan
Pengamatan adalah untuk mendapatkan data secara kuantitas dan kualitas
terhadap perkembangan morfologi eksplan. Pengamatan dilakukan terhadap
jumlah daun dan jumlah tunas seminggu sekali sampai data yang diperoleh tidak
berubah lagi. Data dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam dan Uji Lanjut Tukey
pada taraf 5%.
1. Peubah yang diamati setiap minggu pada percobaan pertama:
a. Jumlah daun, dengan cara menghitung daun yang tumbuh atau keluar.
b. Tinggi tanaman, dengan mengukur eksplan dari pangkal batang sampai
daun yang tertinggi (mm).
c. Jumlah tunas, dengan menghitung tuna syang telah tumbuh
2. Peubah yang diamati setiap minggu pada percobaan pkdua:
a. Jumlah daun, dengan cara menghitung daun yang tumbuh atau keluar.
X2 =
b. Tinggi tanaman, dengan mengukur eksplan dari pangkal batang sampai
daun yang tertinggi (mm).
c. Jumlah tunas, dengan menghitung tuna syang telah tumbuh
d. Jumlah akar, dengan menghitung akar yang telah tumbuh pada tanaman.
Analisis Data
Statistik yang digunakan dalam menganalisa peubah-peubah yang diamati
adalah sebagai berikut:
1. Statistik non paramtik untuk data kualitatif (perubahan kesegaran morfologi
eksplan menggunakan uji friedman)
Keterangan:
X2 = Statistika analisis varian ranking dua arah friedman
K = 1, 2, 3, 4 ......., n (banyaknya kelompok
n = 1, 2 ,3 .........., n (banyaknya perlakuan)
Rp = Jumlah peringkat perlakuan
RA = Jumlah peringkat perlakuan A
RB = Jumlah peringkat perlakuan B (Schefler, 1997).
2. Statistik parametik untuk data kuantitatif menggunakan Model Linear Aditif
dalam Rancangan Acak Kelompok (Langai, 2002).
Keterangan:
i = 1, 2, 3, ......., a
12 n k (k + 1) [ ( ∑ Rp )2 + ( ∑ RA )2 ] + ( ∑ RB )2) – 3 n (k+1) ]
Yijk = µ + ρi + αj + (αβ)jk + εijk
j = 1, 2, 3, ......., b
k = 1, 2, 3, ......., n
Yijk = Respon satuan percobaan yang menerima taraf perlakuan
konsentrasi NAA dan konsentrasi BAP ke-k pada kelompok ke – i
µ = Nilai tengah umum
ρi = Pengaruh kelompok ke –i
αj = Pengaruh konsentrasi NAA taraf ke-j
βk = Pengaruh konsentrasi BAP taraf ke-k
(αβ)jk = Pengaruh-pengaruh interaksi konsentrasi NAA taraf ke-j dengan
konsentrasi BAP taraf ke-k
εijk = Pengaruh galat acak yang menerima perlakuan konsentrasi NAA
taraf ke-j dan konsentrasi BAP taraf ke-k pada kelompok-i
Dua kualitatif akan uji Friedman pada taraf nyata 5% dan 1%. Sedangkan
untuk data kuantitatif dilakukan analisis ragam, bila uji F berbeda nyata atau
berbeda sangat nyata, amaka analisis dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda
Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5% dan 1%.
DAFTAR PUSTAKA
Atherton, P. 1998. Aloe vera-mith or medicine?. http://www.positivehealth. com/permit/articles/aloe%20vera/atherton.htm.
Briggs , G. B. dan C. L. Calvin. 1987. Indoor Plants. John Wiley and Sons. New York. 516 p.
Fathini, Nur Dannar et al. 2012. Perbanyakan Lidah Buaya (Aloe Vera) dalam Media In Vitro dengan Penambahan NAA dan BAP pada Berbagai Konsentrasi. Sumber:http://tissuecultureandorchidologi.blogspot.com/2012/03/perbanyakan-lidah-buaya-aloe-vera-dalam.html. Diakses tanggal 6 Mei 2013.
George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Reading, UK.: Eastern Press.
Gunawan, L.W. 1990. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB. Bogor. P. 304.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultr In Vitro dalam Holtikultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Loveless, A. R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Hal: 364,369.
Pangabean, F.I. 2002. Lidah Buaya Sembuhkan Bermacam Penyakit Berat. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=37868.
Plaskett, L. 2000. Aloe vera, Aloe in Alternative Medicine Practice. http://www.wholeleaf.com/aloevera/plaskett.htm.
Raharja, P.D. 1993. Kultur Jaringan: Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Penebar Swadaya, Jakarta. 53 hlm.
Rahardja, P.C. 1994. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Penebar Swadaya. Jakarta.
Santoso, U. Dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. Malang.
Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius. Yogyakarta. Hal. 18, 54, 57, 63, 67, 69, 82-83.
Sudarto, Y. 1997. Lidah Buaya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sumarno. 2002. Program Pengembangan lidah buaya di Indonesia. Pertemuan Nasional Pengembangan Lidah Buaya, Pontianak 21-22 Juni 2002. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Wahjono, E. dan Koesnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya secara Intensif. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Wetherell, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In vitro. Avery Publishing Group Inc., Wayne, New Jersey.
Yusnita, 2003. Kultur Jaringan : Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta. 105 hlm.