proposal aston

58
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini, bisnis di Indonesia semakin berkembang ke arah yang lebih mementingkan harapan dan keinginan para pembeli/pelanggan. Perusahaan berlomba-lomba untuk menarik minat konsumen dengan menciptakan sesuatu yang serba bagus dalam kualitas maupun harga yang wajar, sehingga diciptakanlah sesuatu hal yang dapat menarik para pelanggan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan banyak konsumen sehingga meningkatkan pendapatan perusahaan. Salah satu bisnis yang berusaha menarik minat konsumen dengan menciptakan sesuatu yang lain dari yang lainnya adalah bisnis hotel. Pada mulanya hotel hanya berfokus pada penginapan yang disediakan serta kualitas pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Memasuki era globalisasi ini hotel tidak lagi hanya mengandalkan sekedar tempat menginap saja, dan kualitas layanan serta pelayanan saja, tetapi hotel mulai memperhatikan tentang suasana, dekorasi dan desain interior (Kurnia, 2006).

Upload: pertama-tama

Post on 24-Jun-2015

790 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Aston

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman sekarang ini, bisnis di Indonesia semakin berkembang ke arah yang

lebih mementingkan harapan dan keinginan para pembeli/pelanggan. Perusahaan

berlomba-lomba untuk menarik minat konsumen dengan menciptakan sesuatu yang serba

bagus dalam kualitas maupun harga yang wajar, sehingga diciptakanlah sesuatu hal yang

dapat menarik para pelanggan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan banyak

konsumen sehingga meningkatkan pendapatan perusahaan.

Salah satu bisnis yang berusaha menarik minat konsumen dengan menciptakan

sesuatu yang lain dari yang lainnya adalah bisnis hotel. Pada mulanya hotel hanya

berfokus pada penginapan yang disediakan serta kualitas pelayanan yang diberikan

kepada konsumen. Memasuki era globalisasi ini hotel tidak lagi hanya mengandalkan

sekedar tempat menginap saja, dan kualitas layanan serta pelayanan saja, tetapi hotel

mulai memperhatikan tentang suasana, dekorasi dan desain interior (Kurnia, 2006).

Menurut Blackwell, Miniard & Engel (2001) bauran pemasaran dikelompokkan

menjadi 4 kelompok yang dikenal dengan sebutan 4P: product (produk), place (tempat),

price (harga), promotion (promosi). Product adalah barang atau jasa yang ditawarkan

perusahaan kepada konsumen. Place adalah kegiatan dimana perusahaan membuat

produk atau jasa bagi konsumen. Price adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan

oleh konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Promotion adalah suatu kegiatan yang

mengkonsumsikan produk atau jasa yang mempengaruhi konsumen untuk membelinya.

Menurut Lovelock (1998) dalam industri jasa selain 4P yang telah

disebutkan di atas masih ada tambahan lagi antara lain: people (sumber daya

Page 2: Proposal Aston

2

manusia). process (proses), physical evidence (bukti fisik) dan customer service

(kualitas layanan). Salah satu karakteristik jasa adalah tidak berwujud. Oleh sebab

itu jasa tidak dapat dinilai sebelum digunakan. Hal tersebut merupakan masalah

bagi konsumen yaitu dalam pengambilan keputusan pembelian. Untuk itu

konsumen memerlukan physical evidence (bukti fisik). Physical evidence sebuah

restoran diantaranya dapat terupa desain interior, menu dan penampilan

karyawan.

Dewasa ini bidang pemasaran dari beberapa dunia usaha menjadi sarana

yang dapat dikatakan penting dalam suatu perusahaan atau dunia usaha, bahkan

dapat dikatakan secara berlebihan, bahwa pemasaran merupakan tulang punggung

keberhasilan suatu perusahaan atau dunia usaha, yang tidak lain adalah

pencapaian tingkat keuntungan atau tingkat profitabilitas usaha yang maksimum.

Dalam arti yang lebih luas kita tidak dapat memisahkan fungsi dari bidang

pemasaran ini menjadi fungsi yang tersendiri dari kegiatannya itu. Dilain hal

dalam pemasaran ini adanya kemungkinan suatu masalah yang dihadapi dan

penanggulangannya harus dipikirkan secermat mungkin. Dari berbagai kendala

atau hambatan-hambatan tersebut dalam pemasaran tidak lain hanyalah berupa

terdapatnya penyimpangan-penyimpangan dari sifat kompleksitas pemasaran itu

sendiri, baik itu ditinjau dari segi mikro maupun ditinjau dari segi makro

perusahaan, dan hal ini sangat mempengaruhi sasaran perusahaan pada umumnya

dan dalam bidang pemasaran itu sendiri khususnya akibat adanya perubahan-

perubahan kebutuhan lingkungan ekonomi yang sedang berjalan, sehingga suatu

perusahaan dituntut untuk menentukan langkah-langkah cermat dalam

Page 3: Proposal Aston

3

kegiatannya untuk mencapai sasaran yang diinginkan, baik dalam pemasaran jasa

maupun pemasaran hasil produksi.

Tingkat persaingan antar perusahaan sangat tajam dan kompleks. Hal ini

dapat dirasakan oleh perusahaan besar maupun kecil. Terutama bagi perusahaan

kecil yang mengalami banyak hambatan dalam upaya memasarkan hasil

produksinya, kondisi yang demikian benar-benar menimbulkan permasalahan

yang cukup rumit.

Untuk menghadapi persaingan tersebut, perusahaan yang mengeluarkan

produk sejenis perlu mengambil keputusan strategik dan responsif untuk

mengevaluasi kekuatan, kelemahan, kesempatan dan hambatan yang terjadi di

pasar, sehingga dengan demikian perusahaan secara dini dapat mengetahui

langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam memasarkan produk dan dalam

menghadapi pesaing, sehingga perusahaan diharapkan dapat meningkatkan pangsa

pasar yang dikuasainya. Dalam memperluas pangsa pasar sangat tergantung

berhasil atau tidaknya mengelola aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh

perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut manajer pemasaran harus bisa

mengantisipasi situasi perubahan pasar yang terjadi didalam perusahaan maupun

diluar perusahaan untuk merencanakan kegiatan pemasaran yang tepat dan

berhasil.

Dalam menunjang usaha ini, Hotel Aston Marina Jakarta perlu memiliki

sarana atau alat pemasaran yang baik, yang dalam ilmu pemasaran di kenal

dengan bauran pemasaran (Marketing Mix). Bauran pemasaran bidang jasa terdiri

dari 7 unsur pokok yaitu: produk, harga, tempat, promosi, manusia, bukti fisik dan

Page 4: Proposal Aston

4

proses, dari ketujuh unsur bauran pemasaran itu, kegiatan promosi merupakan

suatu sistem pemasaran modern yang mempunyai arti dalam ekspansi dan

pemantapan pasar. Selain itu dalam upaya meningkatkan kepuasan kepada

pelanggan, unsur yang terpenting dalam pemasaran suatu jasa hotel adalah

kualitas layanan yang mencakup unsur manusia.

Kualitas pelayanan dalam industri jasa dan pariwisata memiliki peran yang

sangat strategis untuk mengembangkan bisnis di bidang ini. Semakin baik kualitas

pelayanan yang diberikan oleh industri jasa maka akan semakin tinggi tingkat

kepuasan yang dirasakan pelanggan. Dengan demikian dapat meningkatkan

kepercayaan atau loyalitas pelanggan dalam menggunakan produk jasa yang

ditawarkan. Layanan maupun pelayanan yang diberikan oleh industri pariwisata

terkait erat dengan sumber daya manusia yang terlibat di dalam industri tersebut.

Faktor manusia merupakan salah satu unsur terpenting dalam

meningkatkan kepuasan pelanggan. Dalam upaya mewujudkan sumber daya

manusia yang berkualitas tinggi dan mampu meningkatkan daya serap teknologi

secara menyeluruh diperlukan persiapan yang matang dengan sebanyak mungkin

menjaring manusia yang mampu mengelola kehidupan secara produktif, efisiensi

dan berkesadaran kebangsaan yang tinggi serta berwatak sosial yang serasi,

selaras dan seimbang dalam bereksistensi terhadap lingkungannya.

Dalam mewujudkan keberhasilan dalam peningkatan kemampuan

karyawan disamping dari beberapa indikator-indikator seperti yang tersebut

diatas, kemampuan karyawan dapat berhasil dengan cara adanya kemauan dari

diri karyawan itu sendiri. Artinya bagaimana cara karyawan tersebut

Page 5: Proposal Aston

5

menunjukkan kemampuannya dalam bekerja. Dalam mengembangkan tingkat

kemampuan dan pengetahuan karyawan sangat diperlukan, karena dalam hal ini

karyawan dituntut harus dapat memiliki atau dapat menciptakan suatu metode

yang dapat digunakan untuk mengarahkan dan membentuk atau menciptakan

suatu tatanan metode kerja yang tepat sehingga akan menghasilkan suatu hasil

kinerja yang berkualitas.

Peningkatan, kompetensi karyawan, dan kualitas layanan kepada

pelanggan merupakan upaya meningkatkan kepuasan pelanggan. Dengan

membentuk kualitas layanan terpadu, yaitu sistem kualitas layanan kepada

pelanggan yang dilakukan secara terpadu antara instansi terkait, memudahkan

pelanggan atau tamu hotel dalam mendapatkan kualitas layanan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis dalam penelitian ini tertarik memilih

judul: ”Pengaruh Physical Evidence dan People Quality Terhadap Kepuasan

Pelanggan pada Hotel Aston Marina Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen/pengunjung untuk

menggunakan jasa hotel, termasuk diantaranya faktor phisical evidence

(sarana/fasilitas fisik) dan quality people (kualitas SDM), Bagaimana pihak

manajemen Hotel Aston Marina Jakarta merespon hal-hal tersebut dalam situasi

persaingan usaha jasa yang semakin ketat.

Page 6: Proposal Aston

6

C. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya faktor yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan

pada Hotel Aryaduta, maka perlu dilakukan pembatasan agar penelitian lebih

terfokus.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka masalah yang akan menjadi

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh physical evidence terhadap kepuasan

pelanggan/pengunjung.

2. Bagaimana pengaruh People Quality terhadap kepuasan

pelanggan/pengunjung.

3. Bagaimana pengaruh physical evidence dan people quality secara

bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan/pengunjung.

D. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka

penulis merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh physical evidence terhadap kepuasan pelanggan

pada Hotel Aston Marina Jakarta?

2. Apakah terdapat pengaruh people quality terhadap kepuasan pelanggan

pada Hotel Aston Marina Jakarta?

3. Apakah terdapat pengaruh physical evidence dan y people quality secara

bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan pada Hotel Aston Marina

Jakarta?

Page 7: Proposal Aston

7

E. Tujuan Penelian

Merujuk pada perumusan masalah tersebut, adapun tujuan penelitian yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh physical evidence terhadap kepuasan

pelanggan pada Hotel Aston Marina Jakarta.

2. Untuk mengetahui pengaruh quality people terhadap kepuasan pelanggan

pada Hotel Aston Marina Jakarta.

3. Untuk mengetahui pengaruh physical evidence dan people quality secara

bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan pada Hotel Aston Marina

Jakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna :

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan

kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang

ilmu manajemen pemasaran dengan cara membandingkan teori yang

diperoleh dalam perkuliahan dengan praktek yang ada khususnya

mengenai pengaruh physical evidence dan people quality terhadap

kepuasan pelanggan pada Hotel Aston Marina Jakarta .

2. Secara praktis diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi

Hotel Aston Marina Jakarta dalam mengatasi faktor-faktor penghambat

Page 8: Proposal Aston

8

physical evidence dan people quality dalam meningkatkan kepuasan

pelanggan

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dalam membahas masalah

tesis ini, diperlukan suatu pembahasan secara sistematika yang terbagi dalam 5

bab sehingga akan memudahkan bagi pembaca untuk memahami serta mengambil

suatu kesimpulan dari apa yang penulis bahas. Kemudian penulis membagi dan

mengelompokkan menjadi 5 bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini menjelaskan tentang latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab yang kedua ini dibahas tentang pengertian fisik, pengertian

kualitas layanan, system kualitas layanan, physical evidence, services

experience, kerangka pemikiran, dan hipotesis.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini menguraikan tentang waktu dan tempat penelitian,

desain penelitian, operasionalisasi variabel, metode pengumpulan data,

populasi, teknik pengambilan sampel, dan teknik analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN INTERPRETASI

Page 9: Proposal Aston

9

Pada bab ini dibahas tentang deskripsi data, pengujian persyaratan

analisis, interprestasi data penelitian, dan uji hipotesis.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini akan diuraikan kesimpulan dan saran yang

mungkin berguna bagi organisasi dan pihak-pihak lain yang

memerlukannya.

Page 10: Proposal Aston

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaahan Teori dan Literatur

1. Pengertian Jasa

Menurut Philip Kotler (1994: 464) definisi jasa adalah :

“A service is any act or performance that one party can offer to another

that is essencially intangible and does not result in the ownership of

anything. Its production may or may not be tied to physical product”.

Selanjutnya American Marketing Association (1981: 441) mendefinisikan

jasa sebagai berikut :

“Services are those seperately identifiable, essential intangible activities

which provide want satisfaction and that is not necessarily tied to the sales

of a product or another sevice. To produce a service may or may not

required, there is no transfer of title (permanent ownership) to these

tangible goods”.

Jasa pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan

cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki serta pelanggan lebih

dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut.

Dalam strategi pemasaran, definisi jasa harus diamati dengan baik, karena

pengertiannya sangat berbeda dengan produk berupa barang.

Kondisi dan cepat lambatnya pertumbuhan jasa akan sanagt tergantung

pada penilaian pelanggan terhadap kinerja (penampilan) yang ditawarkan

oleh pihak produsen.

Page 11: Proposal Aston

11

Oleh karena keragamannya, jasa secara tradisional sulit didefinisikan dan

yang lebih menyulitkan lagi adalah kenyataan bahwa cara menciptakan

dan mengirimkan jasa kepada pelanggan sering sulit dipahami, karena

banyak masukan dan keluaran yang tidak nyata.

Kebanyakan orang tidak terlalu sulit mendefinisikan manufaktur atau

pertanian, tetapi mereka sangat sulit mendefinisikan jasa.

Berikut ini secara esensi, dapat dilakukan dua pendekatan :

Jasa adalah tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada

pihak lainnya. Walaupun prosesnya mungkin terkait dengan produk fisik,

kinerjanya pada dasarnya tidak nyata dan biasanya tidak menghasilkan

kepemilikan atas faktor-faktor produksi.

Jasa adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat

bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari tindakan

mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama

penerima jasa tersebut.

2. Karakteristik Jasa

Menurut Philip Kotler, Karakteristik jasa dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Intangible (tidak berwujud)

Suatau jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan

dan dinikmati sebelum dibeli oleh konsumen.

b. Inseperability (tidak dapat dipisahkan)

Page 12: Proposal Aston

12

Pada umumnya jasa yang diproduksi (dihasilkan) dan dirasakan

pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seorang untuk

diserahkan kepada pihak lainnya, maka dia akan tetap merupakan

bagian dari jasa tersebut.

c. Variability (bervariasi)

Jasa senantiasa mengalami perubahan, tergantung dari siapa

penyedia jasa, penerima jasa dan kondisi dimana jasa tersebut

diberikan.

d. Perisability (tidak tahan lama)

Daya tahan suatu jasa tergantung dari suatu situasi yang diciptakan

oleh berbagai faktor.

3. Physical Evidence

Bitner (1992) merujuk physical evidence sebagai “built

environment” atau secara khusus sebagai “man-made, physical

surrounding as opposed to the natural or social environment”.  Untuk itu,

ada dua aspek penting dari physical evidence, yaitu:  spatial layout and

functionality serta elemen-elemen yang berhubungan dengan aesthetic

appeal.  Aspek yang pertama merujuk pada bagaimana cara mendesain

dan mengatur seats, aisles, hallways, walkways, food service lines, rest-

rooms, entrance, dan exits dalam setting wisata leisure.  Tempat wisata

leisure – seperti opera, theater, konser – sangat memerlukan tata letak dan

fungsionalitas yang baik, sebab hal tersebut akan mempengaruhi rasa

Page 13: Proposal Aston

13

nyaman para pengunjung. Aspek kedua – aesthetic appeal – merujuk pada

faktor seperti: lingkungan eksternal yang ada di sekitar  tempat wisata,

desain arsitektural, fasilitas yang terpelihara dan bersih, tanda-tanda, dan

elemen-elemen fisik lainnya yang bisa dilihat oleh dilihat dan dievaluasi

kualitasnya oleh pengunjung.  Faktor estetis penting karena variabel ini

mempengaruhi suasana (ambience) tempat di mana pengunjung berada.

Berdasarkan persepsi pada dua variabel tersebut, maka pengunjung akan

memikirkan dan merasakan (secara emosional dan fisikal), yang pada

akhirnya akan menuntun pengunjung untuk menerima atau menolak

kualitas layanan di tempat wisata tersebut.

Pendekatan seperti itu digunakan oleh para pemasar dan akademisi

berdasarkan pendekatan environmental psychology. Bidang ini

mempelajari bagaimana orang merespon pada lingkungan. Berdasarkan

model Mehrabian-Russell (Gambar 1), dapat dinyatakan bahwa feeling

merupakan kunci penggerak respon pengunjung pada lingkungan kualitas

layanan.  Perasaan merupakan titik pusat model, daripada persepsi atau

pikiran, yang akan menggerakkan perilaku.  Contoh:  kita berada pada

sebuah lingkungan yang penuh sesak. Kerumunan yang padat dapat

diartikan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak bisa

dikendalikan, atau kita tidak mampu memperoleh apa yang kita inginkan

secara cepat. Akan tetapi, kita belum tentu menolak situasi tersebut

sesederhana asumsi-asumsi tersebut.  Jika kita memiliki banyak waktu 

dan merasa senang menjadi bagian dari suatu kerumunan (misal:

Page 14: Proposal Aston

14

menonton konser Earth, Wind & Fire), maka ekspos terhadap suatu

kerumunan mungkin akan mengarahkan kita pada perasaan “pleasure dan

excitement” yang akan membuat kita ingin tetap tinggal dan

mengeksplorasi lingkungan yang berjejal tersebut.

Dalam industri ritel, lingkungan toko ditata sedemikian rupa

dengan tujuan agar pembelanja terdorong untuk lebih banyak

menghabiskan waktu untuk berbelanja di toko tersebut.  Jumlah waktu

yang dihabiskan oleh pembelanja (bukan di dalam antrian) mungkin

merupakan satu-satunya variabel yang bisa memprediksi berapa banyak

pembelanja akan menghabiskan uangnya.  Semakin banyak waktu yang

dihabiskan, semakin tinggi jumlah uang yang dibelanjakan (Berman &

Evans, 2004).  Analog dengan situasi tersebut, kondisi tersebut juga

berlaku dalam setting wisata leisure.  Contoh:  semakin banyak waktu

yang dihabiskan wisatawan untuk melihat cindera mata dan tanaman yang

ada di Bloemenmarkt-Singel, maka semakin tinggi probabilitas wisatawan

untuk membeli produk yang dijual di pasar bunga yang terletak di antara

Muntplein dan Koningplein (Amsterdam) tersebut.

4. People Quality (Kualitas SDM)

People Quality (Kualitas SDM) pada dasarnya merupakan

pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang

merupakan prioritas dan tantanganyang harus dihadap[i dalam menyambut

era globalisasi. Salah satu usaha organisasi yang diterapkan dalam

Page 15: Proposal Aston

15

peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah penerapan peran

Total Quality Management (TQM) atau di Indonesia dikenal istilah

Pengendalian Mutu Terpadu (PMT). TQM merupakan suatu pendekatan

dalam menjalankan usaha untuk memaksimalkan daya saing organisasi

melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan

lingkungannya.

Agar organisasi memiliki daya saing yang tinggi dalam skala

global, maka organisasi tersebut harus mampu melakukan pekerjaan secara

lebih baik, efektif dan efisien dalam menghasilkan barang dan jasa yang

berkualitas tinggi dengan harga yang bersaing. Untuk menghasilkan

barang dan jasa yang bersaing, pada masa mendatang bukan lagi

mengandalkan keunggulan komparatif saja tetapi harus meningkatkan

keunggulan kompetitif. Pengelolaan sumber daya alam akan memiliki

keunggulan kiompetitif jika sumber daya manusia memiliki potensi yang

tinggi untuk mengelolanya.

TQM diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke

dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas,

teamwork, produktivitas serta kepuasan pelanggan (Pawitra, 1993: 135).

Definisi lainnya menyatakan TQM merupakan suatu pendekatan dalam

menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing

organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia,

proses dan lingkungannya (Tjiptono dan Diana, 2001: 4).

Page 16: Proposal Aston

16

Dasar pemikiran perlunya TQM, yakni bahwa cara terbaik agar bersaing

dan unggul dalam persaingan global adalah dengan menghasilkan kualitas

yang terbaik. Untuk menghasilkan kualitas terbaik diperlukan upaya

perbaikan berkesinambungan terhadap kemampuan komponen-komponen

tersebut secara berkesinambungan adalah dengan menerapkan peran TQM.

Penerapan TQM dalam suatu perusahaan dapat memberikan beberapa

manfaat utama yang pada gilirannya meningkatkan laba serta daya saing

perusahaan bersangkutan.

Produk, kualitas SDM, kepuasan pelanggan dan profitabilitas

perusahaan saling berhubungan erat. Semakin tinggi kualitas produk dan

kualitas SDM dalam memberikan pelayanan, semakin tinggi pula tingkat

kepuasan pelanggan yang didukung oleh kewajaran harga. Pelanggan

dalam melakukan pilihan akan selalu membandingkan yang mereka

harapkan (expectation customer) dengan apa yang benar-benar mereka

terima selama pasca pembelian dalam proses pembelian jasa (perceptions

customer). Apabila kualitas jasa yang sebenarnya berada dibawah yang

diharapkan pelanggan maka muncullah kesenjangan (customer gap).

Kesenjangan kualitas adalah perbedaan antara kinerja penyedia jasa dan

harapan-harapan pelanggan. Christopher H Lovelock dan Lauren K

Wright (hal 97-98, 2005) mengemukakan 7 kesenjangan kualitas yaitu:

1. Kesenjangan pengetahuan yaitu perbedaan antara apa yang diyakini

penyedia jasa akan diharapkan pelanggan dan kebutuhan dan harapan

pelanggan yang sesungguhnya.

Page 17: Proposal Aston

17

2. Kesenjangan standar yaitu perbedaan antara persepsi manajemen

terhadap harapan pelanggan dan standar kualitas yang ditetapkan untuk

penyerahan jasa.

3. Kesenjangan penyerahan yaitu perbedaan antara standar penyerahan

yang ditentukan dan kinerja penyedia jasa yang sesungguhnya

4. Kesenjangan komunikasi internal yaitu perbedaan apa yang dianggap

oleh iklan dan tenaga penjual perusahaan tersebut sebagai fitur produk,

kinerja dan tingkat kualitas jasa dan apa yang benar-benar dapat

diserahkan oleh perusahaan.

5. Kesenjangan persepsi yaitu perbedaan antara apa yang benar-benar

diserahkan dan apa yang dianggap pelanggan telah mereka terima

(karena mereka tidak dapat menilai kualitas jasa secara akurat).

6. Kesenjang interpretasi yaitu perbedaan antara apa yang sesungguhnya

dijanjikan penyedia jasa dalam upaya-upaya komunikasinya dan apa

yang pelanggan pikir telah dijanjikan dalam komunikasi tersebut.

7. Kesenjangan jasa yaitu perbedaan antara apa yang diharapkan

pelaggan akan mereka terima dan persepsi mereka terhadap jasa yang

benar-benar diserahkan.

A Parasuraman dan A Zeithaml (tahun: hal) mengidentifikasikan

dalam 5 kesenjangan yaitu:

1. Kesenjangan tingkat kepentingan konsumen dan persepsi manajemen

Page 18: Proposal Aston

18

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap tingkat kepentingan

konsumen dan spesifikasi kualitas jasa

3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa

4. Kesenjangan antara penyampaian jasa komunikasi eksternal

5. Kesenjangan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan

Kesenjangan jasa bukanlah satu-satunya cara pelanggan menilai

kualitas jasa. Mereka mengenal 5 dimensi yang dikenal sebagai

SERVQUAL, Lovelock dan Wright dalam alih bahasa Agus

Widyantoro(hal (2005: 98-99) mengemukakan ke lima dimensi tersebut

sebagai berikut:

1. Kehandalan (reliability): apakah perusahaan dapat diandalkan dalam

menyediakan jasa seperti yang dijanjikan dari waktu ke waktu

2. Keberwujudan (tangible): seperti apa yang terlihat fasilitas fisik,

perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi penyedia jasa tersebut.

3. Daya tanggap (responsiveness): apakah karyawan perusahaan tersebut

senang membantu dan mampu memberikan jasa yang cepat.

4. Jaminan (assurance): apakah karyawan jasa memiliki pengetahuan

yang cukup, sopan, kompeten dan dapat dipercaya.

5. Empati (emphaty): apakah perusahaan jasa tersebut memberikan

perhatian yang besar dan khusus.

Page 19: Proposal Aston

19

Dalam rangka menghasilkan suatu pelayanan yang berkualitas,

perusahaan diharapkan dapat pula mengukur kualitas sumber daya

manusianya dalam melaksanakan pelayanan kepada pelanggannya.

Parasuraman, Zeithaml dan Berry (Rambat Lupiyoadi dan A Hamdani, hal

182, 2006) dalam studi penelitiannya dengan menggunakan SERVQUAL

menyimpulkan bahwa keandalan merupakan dimensi yang paling kritis,

kemudian jaminan, keberwujudan (terutama perusahaan perbankan),

ketanggapan, yang terakhir emphaty.

5. Service  Experience

Saat ini, para pemasar di industri kualitas layanan berusaha

memberikan “experience” pada pelanggan.  Sebab, jantung dari  produk

layanan adalah pengalaman yang didapat oleh konsumen yang terjadi

secara real time (Bateson, 1995; Berman & Evans, 2004; Haeckel et. al.,

2003).  Pengalaman tersebut biasanya merupakan proses interaktif yang

menghasilkan manfaat yang diinginkan oleh konsumen.  Oleh karena itu,

mendesain proses layanan merupakan kunci untuk setiap desain produk

yang ditawarkan oleh perusahaan jasa. Tawaran experience yang

ber-‘resonansi’ kepada konsumen akan berbuah pada kesetiaan pelanggan

(Haeckel et. al., 2003).

Proses interaktif yang kasat mata merupakan dasar yang digunakan

oleh konsumen dalam memilih produk. Selanjutnya, proses yang bersifat

kasat mata tersebut sebenarnya didukung oleh komponen-komponen yang

Page 20: Proposal Aston

20

tidak kasata mata, yaitu komponen yang menyediakan penatausahaan dan

pemeliharaan fasilitas fisik.  Ketika kualitas layanan diberikan kepada

beberapa kelompok konsumen secara simultan, maka manfaat yang

didapat merupakan turunan dari interaksi diantara konsumen tersebut.

Oleh Langeard dan Eiglier (dalam Bateson, 1995) situasi tersebut

dimodelkan dalam bentuk yang diberi label sebagai servuction. Jadi,

servuction merupakan model untuk menggambarkan interaksi konsumen

dengan bagian kasat mata dari suatu sistem dan interaksi dengan

konsumen lain untuk menghasilkan suatu service experience.  Selanjutnya,

keseluruhan sistem servuction akan menghasilkan experience,   dan

sebaliknya, experience akan menghasilkan manfaat bagi konsumen.

Menurut Haeckel et al. (2003), ada tiga prinsip dasar yang harus

dilakukan untuk menghasilkan distinctive customer value melalui

experience, yaitu:  fuse experiential breadth and depth, use mechanics and

humanics to improve function, connect emotionally.

Fuse experiential breadth and depth.  Luasnya experiential

mengacu pada urutan experience yang dialami konsumen ketika

berinteraksi dengan perusahaan. Experiences ini mungkin dimulai  sejak

konsumen melewati pintu perusahaan. Misal:  tamu hotel memulai

experiences-nya sejak berjalan menuju lobby. Apakah staf reservasi

kompeten dan ramah? Apakah hotel tersebut mudah ditemukan dan

dijangkau?  Apakah paket promosi yang ditawarkan hotel didesain dengan

baik dan informatif?  Apabila pihak hotel mampu memberikan clue/tanda-

Page 21: Proposal Aston

21

tanda yang menyebabkan tamu memperoleh experiences yang

menyenangkan, maka tanda-tanda tersebut akan menghasilkan persepsi

positif di mata tamu hotel.

Sedangkan experiential depth merujuk pada jumlah dan variasi dari

sensory clues pada setiap tahapan experiences. Semakin banyak lapisan

dari multi-sensory clues yang memperkuat impresi yang ditargetkan, maka

semakin sukses perusahaan tersebut dalam menjangkar dan  menopang

impresi yang ada dalam  persepsi konsumen.

Kesamaan atau fusi dari tanda-tanda yang ada dalam dan diantara

tahapan experience merupakan hal yang kritis.  Ketidaksamaan tanda-

tanda akan menghasilkan sebuah ketidaksamaan pesan  sehingga

memungkinkan konsumen me-recall sebagian experience yang paling

berbeda terhadap kebutuhan mereka.  Hal ini bisa menjelaskan mengapa 

suatu ruang yang luas, lobby hotel dengan mebel yang bagus tidak mampu

mendandani/memberikan experience yang positif dari ruangan hotel yang

berjejal serta menggunakan mebel yang jelek.  Tamu tidak tinggal di

lobby.  Artinya, kalau tanda-tanda yang ada di lobby sejajar dengan tanda-

tanda yang ada di ruang tamu, maka experience yang ada di satu ruangan

akan memperkuat experience di ruangan yang lain. Yang terjadi adalah

sebaliknya, tamu me-recall ruang tamu hotel yang “bermutu rendah”

sebagai sentral experience-nya, melupakan experience di lobby yang

“bermutu tinggi”.

Page 22: Proposal Aston

22

Use mechanics and humanics to improve function. Tanda-tanda

yang bersifat mekanis dan humanis, dalam beberapa kasus, dapat

meningkatkan fungsionalitas suatu produk (barang/layanan). Konsumen

memproses tipe-tipe perbedaan ini secara holistik.  Stimuli yang

membungkus  produk dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap

kualitas fungsional.

Cara-cara mekanis dan humanis harus diberikan secara simultan

dan dicampur dengan tanda-tanda fungsional yang ditawarkan dalam clues

experience yang didukung secara timbal balik. Sebuah restoran yang

memiliki pemandangan langsung ke taman yang asri tentu saja lebih

menarik daripada yang dibatasi oleh tembok yang masif.  Oleh karena itu,

lingkungan luar sebuah restoran dapat didesain agar dapat tetap menjaga

privasi pengunjung tetapi memiliki akses yang luas untuk melihat

lingkungan/pemandangan indah  sekitarnya.

Connect emotionally.  Perusahaan yang memiliki sistem

manajemen experience yang efektif memahami dan menanggapi

kebutuhan emosional dari konsumen mereka.  Perusahaan tersebut harus

meramu sebuah seri tanda-tanda yang didesain untuk memprovokasi reaksi

emosional yang positif, seperti: joy, awe, interest, affection, dan trust.

Menjadi tugas perusahaan  untuk mengintegrasikan value emosional dalam

total experience sebab konsumen tidak membuat keputusan pembelian

dalam ruang hampa (Drucker, 1991).

Page 23: Proposal Aston

23

Mengelola experiences konsumen membutuhkan awareness dari

semua indera yang ada. Penglihatan, gerakan, suara, rasa, bau, dan

sentuhan merupakan jalan langsung menuju emosi konsumen.

Berhubungan langsung dengan konsumen secara sensory merupakan hal

krusial dalam mengelola elemen-elemen emosional yang positif dari suatu

experience.

Service experience memainkan peran penting dalam wisata leisure

karena pengkonsumsian layanan jenis ini juga dikendalikan oleh motif-

motif hedonis (emosional). Konsumsi hedonis dapat didefinisikan sebagai

semua asperk perilaku konsumen yang diasosiasikan dengan multisensory,

fantasi, dan elemen-elemen emosi dari pengalaman pengkonsumsian suatu

produk (Hirschman & Holbrook, 1982 dalam  Mattila, 2001). Artinya,

wisatawan tidak sekedar hanya menginginkan kualitas dari layanan

diberikan provider (misal:  apakah makanan yang dipesan disajikan dalam

waktu yang cepat) tetapi wisatawan juga ingin mengekspresikan diri.

Wisatawan ingin mengekspresikan mengapa mereka  pergi ke taman,

theater, atau menonton liga primer. Semua itu dilakukan karena wisatawan

ingin mendapatkan kegembiraan, stimulasi (Wakefield & Blodgett, 1994),

bahkan sensasi (misal: naik roller coaster).

Oleh karena itu, paper ini ingin membahas peran fasilitas fisik – 

diberi label “physical evidence” oleh Bitner (1992) – dalam wisata

leisure.  Sebab, physical evidence memainkan peran penting dalam

Page 24: Proposal Aston

24

meningkatkan atau menekan kebutuhan emosi yang ingin didapatkan oleh

wisatawan (Wakefield & Blodgett, 1994).

6. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah

membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya (Oliver,

1980). Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara

kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja sesuai dengan

harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,

pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk oleh

pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan

informasi pemasar dan saingannya. Pelanggan yang puas akan setia lebih

lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik

tentang perusahaan.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan pada dasarnya kepuasan

pelanggan merupakan kesesuaian antara harapan dengan kinerja yang diterima

pelanggan menurut pendapat Engel, et al dalam Tjiptono (2004 :146)

mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna

beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil

(outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan. Kotler, dkk (2001 :

50) menandaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan

seseorang setelah membandingkan kinerja yang ia rasakan dibandingkan

dengan harapan.

Page 25: Proposal Aston

25

Untuk menciptakan kepuasan pelanggan, perusahaan harus

menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pelanggan

yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pelanggannya.

7. Manfaat Kepuasan Pelanggan

Pada prinsipnya, kualitas jasa berpotensi menciptakan kepuasan pelanggan

yang pada gilirannya akan memberikan sejumlah manfaat seperti

(Tjiptono dan Gregorius 2004 : 140) :

1. Terjalin relasi saling menguntungkan jangka panjang antar perusahaan

dan para pelanggan,

2. Terbukanya peluang pertumbuhan bisnis melalui pembelian ulang,

cross-selling dan up-selling (penjualan silang dan penjualan keatas).

3. Loyalitas pelanggan dapat terbentuk.

4. Terjadinya komunikasi mulut ke mulut (gethok tular) positif yang

berpotensi menarik pelanggan baru.

5. Presepsi pelanggan dan public terhadap reputasi perusahaan semakin

positif.

6. Laba yang duperoleh bisa meningkat.

Harapan pelanggan mempunyai peranan yang besar dalam

menentukan kualitas produk jasa dan kepuasan pelanggan. Dalam konteks

kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan/keyakinan

pelanggan tentang apa yang akan diterimanya (Zeithmal, et al. 1993).

Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa factor

diantaranya pengalaman berbelanja dimasa lampau, opini teman dan

kerabat serta informasi dan janji perusahaan dan para pesaing (Kotler

Page 26: Proposal Aston

26

1995).

8. Atribut-atribut Pembentuk Kepuasan Pelanggan

Bahwa menurut Hawkins dan Lonney dalam Maylina (2003: 102), atribut-

atribut pembentuk kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang

dikenal dengan “The Big Eight” yang terdiri dari :

a. Value to Price Relationship

Yaitu merupakan hubungan antara harga dan nilai produk yang

ditentukan oleh perbedaan antara nilai yang diterima oleh pelanggan

terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh badan usaha.

b. Product Qulity

Yaitu merupakan mutu dari semua komponen-komponen yang

membentuk produk sehingga produk tersebut mempunyai nilai tambah

atau dapat memberikan manfaat kepada pelanggannya.

c. Product Features

Artinya merupakan komponen-komponen fisik dari suatu produk yang

menghasilkan menfaat.

d. Reliability

Artinya merupakan gabungan dari kemampuan suatu produk dari

badan usaha yang dapat diandalkan, sehingga suatu produk yang

dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan

atau sesuai harapan pelanggan.

Page 27: Proposal Aston

27

e. Warranty

Yaitu penawaran untuk pengembalian harga pembelian atau

mengadakan perbaikan terhadap produk yang rusak dalam suatu

kondisi dimana suatu produk mengalami kerusakan.

f. Respone to and remedy of problems

Artinya merupakan sikap dari karyawan didalam memberikan

tanggapan terhadap keluhan atau membantu pelanggan didalam

mengatasi masalah yang terjadi.

g. Sales Experience

Artinya merupakan hubungan antar pribadi antara karyawan dengan

pelanggan khususnya dalam hal komunikasi yang berhubungan dengan

pembelian.

h. Convenience of Acquisition

Artinya merupakan kemudahan yang diberikan oleh badan usaha pada

pelanggan terhadap produk yang dihasilkannya.

9. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Sedangkan menurut Kotler dalam Tjiptono (2004:148)

mengemukakan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan,

yaitu:

a. Sistem Keluhan dan Saran.

Setiap perusahan yang berorientasi pada pelanggan (Customer

oriented) perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para

pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan

mereka. Media yang bisa digunakan meliputi kotak saran yang

Page 28: Proposal Aston

28

letakkan ditempat strategis, menyediakan kartu komentar,

menyediakan saluran telepon khusus, dan lain-lain.

b. Survai kepuasan pelanggan

Melalui survai perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan

balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan

tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap

para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan dengan metode

ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :

c. Directly reported satisfaction

Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti

“ungkapkan seberapa puas saudara terhadap pelayanan Po. Timbul

Jaya pada skala berikut :sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas,

sangat puas”.

d. Derived dissatisfaction

Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni

besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya

kinerja yang mereka rasakan.

e. Problem analysis

Pelanggan diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama,

masalah–masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran

dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan.

f. Importance performance analysis

Dalam tehnik ini responden diminta untuk meranking berbagai

elemen dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen

tersebut.

g. Ghost shopping

Page 29: Proposal Aston

29

Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa

orang untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan produk

perusahaan dan pesaing. Lalu Ghost shopper menyampaikan temuan-

temuan mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan

pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-

produk tersebut. 8. Lost customer analysis

Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusaha menghubungi para

pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih

pemasok. Yang diharapkan adalah akan diperolehnya informasi

penyebab terjadinya hal tersebut.

B. Kerangka Berpikir

Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian teoretik maka dapat

disusun sebuah kerangka berpikir sebagai berikut:

a. Pengaruh physical evidence terhadap kepuasan pelanggan

Physical evidence adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan fasilitas

fisik yang dimiliki oleh suatu produk, yang dalam hal ini adalah sarana hotel,

seperti halnya fasilitas gedung, kamar, dapur, kamar mandi, ruang tunggu,

tempat parker, perabot gedung/kamar, sarana administrasi, alat-alat penunjang

kegiatan administrasi, dan lain-lain. Semakin lengkap atau semakin bagus

kulitas fasilitas fisik yang dimiliki oleh sebuah hotel maka akan semakin

tinggi tingkat kepuasan yang dimiliki oleh pelanggan. Dengan demikian dapat

diduga bahwa physical evidence memiliki pengaruh terhadap kepuasan

pelanggan.

b. Pengaruh people quality (kualitas SDM) terhadap kepuasan pelanggan

Page 30: Proposal Aston

30

Kualitas sumber daya manusia pada dasarnya adalah sebuah proses yang

melibatkan interaksi antara pihak yang melayani, dalam hal ini manajemen

hotel, dan pihak yang menerima kualitas pelayanan, dalam hal ini

konsumen/pelanggan. Kemampuan setiap orang dipengaruhi oleh beberapa

factor yang dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu keterampilan kerja dan

motivasi atau etos kerja. Semakin tinggi tingkat kualitas layanan yang

diberikan manajemen hotel terhadap konsumen maka akan semakin tinggi

pula kepuasan yang diperoleh pelanggan. Dengan demikian dapat diduga

terdapat pengaruh kualitas layanan dengan terhadap kepuasan pelanggan.

c. Pengaruh physical evidence dan people quality secara bersama-sama terhadap

kepuasan pelanggan

Telah diuraikan di atas bahwa physical evidence dan service quality memiliki

pengaruh secara sendiri-sendiri terhadap kepuasan pelanggan. Berdasarkan

uraian tersebut maka dapat diduga pula terdapat pengaruh kedua variabel

secara bersama-sama terhadap kepuasan pelanggan.

Hubungan antara physical evidence dan people quality terhadap kepuasan

pelanggan dalam bentuk bagannya dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2.

Bagan Pengaruh Physical Evidence dan People Quality

Terhadap Kepuasan Pelanggan

Page 31: Proposal Aston

31

C. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir sebagaimana diuraikan pada halaman-

halaman sebelumnya, maka hipotesis penelitian disusun sebagai berikut:

H1: Physical Evidence memberikan pengaruh terhadap kepuasan

pelanggan.

H2: Service Quality memberikan pengaruh terhadap kepuasa pelanggan

H3: Physical evidence dan service quality secara bersama-sama

memberikan pengaruh terhadap kepuasan pelanggan

Physical Evidence

People Quality

Kepuasan Pelanggan

Page 32: Proposal Aston

32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil obyek penelitian di

Hotel Aryaduta Tangerang. Penelitian mulai dilaksanakan pada Agustus 2009

sampai Oktober 2009.

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua Karyawan dan Pengunjung Hotel

Aryaduta Tangerang yang berjumlah 100 orang. Sementara sampel penelitian ini

adalah sebanyak 60 karyawan dan pengunjung dari total populasi penelitian.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana (simple

random sampling), di mana setiap anggota populasi diberi kesempatan yang sama

untuk menjadi sampel penelitian. Penentuan sampel dilakukan dengan cara

undian.

Dilakukan teknik acak atau random, karena dalam pengambilan sampelnya

dilakukan dengan mencampur subyek-subyek yang ada dalam populasi tersebut

sehingga semua subyek dianggap mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

kesempatan untuk dipilih menjadi sampel.

Page 33: Proposal Aston

33

C. Metode Penelitian

1. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis membuat penelitian dengan menggunakan

dua variabel bebas yaitu physical evidence (X1) dan people quality (X2) dan satu

variabel terikat yaitu kepuasan pelanggan (Y).

2. Definisi Operasional variabel

Mengacu pada kajian teori yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,

maka secara operasional variabel-variabel yang akan diteliti didifinisikan sebagai

berikut:

a. Physical Evidence adalah segala sesuatu yang berhubungan

dengan fasilitas fisik yang dimiliki oleh suatu produk, yang dalam hal ini

adalah sarana hotel, seperti halnya fasilitas gedung, kamar, dapur, kamar

mandi, ruang tunggu, tempat parker, perabot gedung/kamar, sarana

administrasi, alat-alat penunjang kegiatan administrasi, dan lain-lain.

b. People Quality pada dasarnya adalah sebuah proses yang

melibatkan interaksi antara pihak yang melayani, dalam hal ini sumber daya

manusia hotel, dan pihak yang menerima kualitas pelayanan, dalam hal ini

konsumen/pelanggan. Kemampuan setiap orang dipengaruhi oleh beberapa

factor yang dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu keterampilan kerja

dan motivasi atau etos kerja

c. Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa

seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesan kinerja (hasil) suatu

produk dan harapan-harapannya.

Page 34: Proposal Aston

34

3. Teknik Pengambilan Data

Untuk memperoleh data yang obyektif, valid dan dapat dipercaya, peneliti

akan menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

responden yaitu para Karyawan dan Pengunjung Hotel Aston Marina Jakarta,

yang terpilih sebagai sampel pengambilan data. Bentuk alat pengumpul data yang

dimaksud adalah questionnaire yang dikembangkan oleh peneliti.

4. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan 3 (tiga) macam instrumen penelitian yang

difungsikan untuk mengukur variabel penelitian. Ketiga instrumen tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Instrumen Physical Evidence

b. Instrumen People Quality

c. Instrumen Kepuasan Pelanggan

Seluruh instrumen tersebut dikembangkan oleh peneliti dengan mengikuti

prosedur pembuatan instrumen penelitian, yakni, masukan para ahli (expert

appraisal), dan uji coba instrumen, baik dilakukan pada kelompok kecil maupun

kelompok besar.

Ketiga instrumen ini dikembangkan dengan skala Likert (Likert Scale)

yang terdiri atas 5 (lima) rentang:

a. SS = (Sangat Setuju)

b. S = (Setuju)

c. KS = (Kurang Setuju)

d. TS = (Tidak Setuju) dan

Page 35: Proposal Aston

35

e. STS = (Sangat Tidak Setuju).

Masing-masing rentang mempunyai nilai SS = 5; S = 4; KS = 3; TS = 2;

dan STS = 1. Seluruh butir pertanyaan/pernyataan untuk mengukur instrumen

Physical evidence, kualitas layanan dan kepuasan pelanggan adalah 10, 14, dan 10

item pertanyaan masing-masingnya. Dengan demikian setiap instrumennya

mempunyai rentang nilai 10 – 70.

5. Disain Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan disain ex post facto dimana data

yang dianalisis dikumpulkan setelah data yang dimaksud terjadi sebelumnya.

Peneliti, dalam hal ini, tidak melakukan intervensi atau manipulasi tertentu atas

terbentuknya data penelitian.

Sesuai dengan hakikat tujuan penelitian yang diantisipasi dalam penelitian

ini, yaitu, hubungan antara variabel terikat (dependent variable) dengan sejumlah

variabel bebas (independent variable), maka disain penelitian secara sederhana

dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1.

Disain Penelitian Expost Facto yang Melibatkan Hubungan antara Sebuah Variabel

Terikat (Y) dengan Beberapa Variabel Bebas (X)

X1 Y

X2 Y

R

Page 36: Proposal Aston

36

6. Teknik Analisis Data

Untuk mengukur dan menguji hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat, dimana variabel bebasnya terdiri dari lebih dari satu variabel,

maka pengujian data dilakukan dengan menggunakan analisis Komputer Statistik

SPSS for Windows Ver. 16 guna memproses data dari responden yang

memberikan penilaian dari kuesioner yang dinyatakan dalam angka-angka dalam

Skala Likert.

Program Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS for

Windows Ver. 16 terdiri dari beberapa pokok bahasan antara lain mengenai uji t-

test, Analysis of Variance (ANOVA), Multiple Regression, analisis diskriminan,

Logistic Regression dan uji reliabilitas dan validitas.

Page 37: Proposal Aston

37

DAFTAR PUSTAKA

Bateson, John E.G. 1995.  Managing Services Marketing: text and reading. Fort Worth:  Dryden Press.

Berman, Barry & Evans, Joel R. 2004. Retailing Management and Strategic Approach (9 th ed) . New Jersey: Prentice Hall.

Berry, Leonard L. And A. Parasuraman, (1995), Marketing Services, Macmillan Inc. USA

Bitner, Mary Jo, 1992. Physical evidence:  The Impact of Physical Surrounding on Customers and Employees. Journal of Marketing, Vol. 56, April, pp. 57-71.

Bright, Alan D. 2000. The Role of Social Marketing in Leisure and Recreation Management. Journal of Leisure Research, Vol. 32, No. 1, pp. 12-17.

Cooper, Donald R and C. William Emory, (1995), Business Reseach Method, Richard D. Irwin, Inc.

Drucker, Peter F. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan Dasar-dasar. Jakarta:  Erlangga.

Haeckel, Stephan H.; Carbone, Lewis P; & Berry, Leonard L. 2003.  How to Lead the Customer Experience. Marketing Management, Januari-February, 18, pp. 19-23.

Kasali, Rhenald. 2004. Jangan Abaikan Pariwisata. (online,  http://jkt.detik.com/ kolom/rhenal/bbisnis/200409/20040923-140434.shtml, diakses 19 Januari 2006).

Kotler, Philip.2000. Marketing Management. 10th ed. Upper Saddle River, New Jersey:  Prentice Hall.

Mattila, Anna S. 2001.  Do Emotional Appeals Work for Hotel? An Exploratory Study. Journal of Hospitality & Tourism Research, Vol. 25, No. 1, February, pp. 31-45.

Morgan, Michael. 1996.  Marketing for Leisure and Tourism. London:  Prentice Hall.

Page 38: Proposal Aston

38

Richardson, Paul; Jain, Arun K., & Dick, Alan. 1996. The Influence of Store Aesthetics on Evaluation of Private Label Brands. Journal of Product & Brand Management, Vol. 5, No. 1, pp. 19-28.

Vellas, Francois & Becherel, Lionel (eds.). 1999. The International Marketing of Travel and Tourism:   a strategic approach .  New York:  Palgrave MacMillan.

Wakefield, Kirk L. & Blodgett, Jeffrey G. 1994. The Importance of Physical evidence in Leisure Service Setting. Journal of Services Marketing, Vol. 8, No. 3, pp. 66-76.

Wakefield, Kirk L. & Blodgett, Jeffrey G. 1996.  The Effect of The Physical evidence on Customers’ Behavioral Intentions in Leisure Service Setting. Journal of Services Marketing, Vol. 10, No. 6, pp. 45-61.

Zeithmal, & Bitner (2003), Services Marketing: Intergrating Customer Focus Across the Firm, McGraw Hill, chapters 1, 3 and 6.

Page 39: Proposal Aston

39