prolog kajian mengenai - pkkmb.fisip.uns.ac.id · adapun ukt pertama kali berlandaskan pada surat...

23
PROLOG Kajian mengenai “ Susah Kuliah “ Disusun oleh panitia PKKMB FISIP UNS 2019 Gama Cakra

Upload: others

Post on 08-Jan-2020

18 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PROLOG

Kajian mengenai

“ Susah Kuliah “

Disusun oleh panitia PKKMB FISIP UNS 2019

Gama Cakra

KAJIAN TENTANG BIAYA PENDIDIKAN

A.PENDAHULUAN

Sepuluh tahun terakhir, gelombang protes atas kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi

semakin masif. Hal ini seiring dengan biaya kuliah yang meningkat lebih dari 10 kali lipat

selama 36 tahun terakhir. Mahalnya biaya kuliah menghambat kemajuan generasi muda

Indonesia dalam membangun bangsanya. Hal ini terbukti dari mayoritas angkatan kerja

Indonesia merupakan lulusan SD dan SMP, sedangkan yang merupakan lulusan sarjana dan

diploma hanya 11 persen saja. Cukup jauh dari negara tetangga seperti Malaysia yang sarjana

dan diplomanya mencapai 24 persen, ataupun Singapura yang mencapai 29 persen dari angkatan

kerja di negerinya, Dengan riwayat pendidikan formal yang rendah, banyak generasi muda

Indonesia terserap di industri sebgai buruh murah dengan hubungan kerja yang tidak adil seperti

outsourcing dan kontrak berkepanjangan,

Padahal Indonesia adalah negara yang punya cita-cita mulia yaitu mencerdaskan kehidupan

bangsa. Negara harus aktif melindungi warganya, termasuk dalam hal menjamin pemenuhan hak

atas pendidikan. Dalam kenyataannya, pendidikan diperlakukan seperti komoditas yang

diperdagangkan. Apa yang membuat pendidikan seperti seolah diperdagangkan? Apakah

mungkin pendidikan dapat dijadikan barang dagangan? Kenapa kuliah semakin mahal? Apa

yang bisa dilakukan?

B.PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI TANGGUNG JAWAB SIAPA?

“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 ini

menjadi jaminan bagi sebuah warga negara untuk mendapatkan sebuah hak dalam mengakses

pendidikan. Disisi lain, tentulah ada yang berkewajiban dalam pendanaan pendidikan yakni

Negara.

Layaknya manusia dalam konsep agama terdapat kewajiban untuk beribadah. Tentunya ia

harus melaksanakannya. Jika tidak, pasti akan terkena imbasnya yakni sebuah dosa. Begitu pula

dengan negara. Ia harus mampu melaksanakan kewajibannya. Jika ia tidak mampu melaksanakan

sebuah kewajiban—Salah satunya dalam pemenuhan hak warga negara terhadap pendidikan, maka

imbasnya ia akan mendapat sebuah perlawanan/ protes dari rakyat.

pasal 31 ayat 1 UUD 1945 Menunjukkan dengan tegas bahwa siapapun berhak

memperoleh pendidikan. Hanya saja kadang-kadang makna yang terkandung didalamnya kurang

dimaknai dengan baik. Pasal tersebut menempatkan pemerintah sebagai pihak yang mengusahakan

dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Jika ditafsirkan dengan benar, maka

makna yang terkandung di dalamnya memiliki konsekuensi negara sebagai pihak yang paling

bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Amanah konstitusi ini juga mengandung arti bahwasannya pendidikan merupakan sebuah

barang publik (public goods) yang tentunya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai

kalangan baik kaya ataupun miskin.

C. KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI ERA UKT

Besarnya nominal Uang Pangkal dirasa memberatkan secara finansial bagi sebagian orang

tua mahasiswa. Belum lagi di perjalanan, kerap ada pungutan-pungutan lain Akhirnya Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan sistem biaya pendidikan tinggi yang sampai saat

ini terus digunakan, yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT dimaksudkan agar mahasiswa

ataupun orang tua yang membiayainya hanya perlu membayar biaya pendidikan tinggi sekali pada

tiap semester,

Adapun UKT pertama kali berlandaskan pada Surat Edaran (SE) Dikti No. 21/ E/T/2012,

dan SE Dikti No. 274/E/T/2012. Selain itu juga ada SE No. 305/E/T/2012 tentang Larangan

Kenaikan Biaya pendidikan tinggi. Peraturan yang melandasi UKT telah berkali-kali berganti,

antara lain Permendikbud No. 55 Tahun 2013, Permendikbud No. 73 Tahun 2014,

Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015, Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016, Permenristekdikti

No. 39 Tahun 2017, dan yang terakhir Kepmenristekdikti No. 91 Tahun 2018.

Nominal UKT ini bermacam-macam tergantung pilihan jurusan dan kelompok UKT-nya.

Nominal-nominal tersebut muncul dari besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT) di tiap-tiap PTN.

Pengelompokkan UKT dirancang oleh masing-masing PTN untuk kemudian ditetapkan

oleh Menteri. Pengelompokkan UKT ini dimaksudkan untuk menyesuaikan biaya UKT dengan

kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tuanya, atau pihak lain yang membiayainya. Berikut

adalah contoh penerapan UKT di jurusan Pendidikan Dokter Universitas Jenderal Soedirman,

dengan BKT Rp22.319.000,00 :

1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00

2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00

3. UKT Kelompok III : Rp7.100.000,00

4. UKT Kelompok IV : Rp9.450.000,00

5. UKT Kelompok V : Rp15.000.000,00

6. UKT Kelompok VI : Rp16.500.000,00

7. UKT Kelompok VII : Rp17.500.000,00

Sebagai perbandingan, contoh lain di jurusan Pendidikan Dokter Universitas Mataram,

dengan BKT Rp22.319.000,00 :

1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00

2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00

3. UKT Kelompok III : Rp8.750.000,00

4. UKT Kelompok IV : Rp15.000.000,00

5. UKT Kelompok V : Rp20.000.000,00

6. UKT Kelompok VI : Rp22.000.000,00

Contoh lain di jurusan Manajemen Universitas Negeri Semarang, dengan BKT

Rp6.472.000,00 :

1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00

2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00

3. UKT Kelompok III : Rp3.000.000,00

4. UKT Kelompok IV : Rp4.100.000,00

5. UKT Kelompok V : Rp5.100.000,00

6. UKT Kelompok VI : Rp5.800.000,00

7. UKT Kelompok VII : Rp6.400.000,00

Contoh di jurusan Manajemen Universitas Tanjungpura, dengan BKT Rp7.443.000,00 :

1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00

2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00

3. UKT Kelompok III : Rp2.050.000,00

4. UKT Kelompok IV : Rp3.550.000,00

5. UKT Kelompok V : Rp4.600.000,00

Seperti yang sempat dijelaskan di awal, biaya pendidikan tinggi pada sistem UKT ini

cenderung semakin ke sini semakin bertambah karena diperluasnya pungutan-pungutan di luar

UKT. Mahasiswa Universitas Negeri Makassar misalnya, pada tahun 2018 pernah memprotes

kebijakan KKN berbayar yang nominalnya sebesar Rp415.000,00 sampai Rp590.000,00. Atau

barangkali kita masih ingat pada Mei 2016, mahasiswa-mahasiswa di berbagai PTN (Undip, UNJ,

UGM, Unsoed, Unud, Unnes, Unesa, dsb) memprotes kebijakan mengenai akan diberlakukannya

kembali Uang Pangkal di kampus masing-masing.

D.LALU BAGAIMANA DENGAN UANG PANGKAL?

Masalah Uang Pangkal ini sempat muncul di beberapa PTN, dan tidak sedikit yang

menolaknya. Ketentuan yang melarang adanya Uang Pangkal ini sudah jelas, Pasal 6

Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 mengatakan bahwa PTN dilarang memungut Uang Pangkal

dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Diploma dan Program Sarjana

untuk kepentingan pelayanan pembelajaran secara langsung. Persoalannya adalah kemudian, ada

pasal lain yang mengatakan bahwa dibolehkan adanya pungutan selain UKT dan/atau Uang

Pangkal bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang masuk lewat jalur

kerja sama, dan mahasiswa yang masuk melalui seleksi jalur mandiri.

Uang Pangkal dibayarkan saat fase-fase penerimaan mahasiswa baru. Hal ini menjadikan

adanya Uang Pangkal rentan terjadinya praktek jual beli kuota kursi, seperti pada masa-masa

sebelum UKT. Para calon mahasiswa atau orang tuanya kemudian berlomba-lomba memperbesar

nominal Uang Pangkal dengan harapan agar diterima di PTN. Padahal jelas bahwa menurut Pasal

73 ayat (5) bahwa Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis

dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

Jika ternyata Uang Pangkal adalah sumbangan, maka cara penarikannya pun juga diatur

berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Permendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan

Biaya Pendidikan. Yang dimaksud sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa

uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau

lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak

mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu

pemberiannya. Dari ketentuan ini, jika Uang Pangkal adalah sumbangan, maka mahasiswa boleh

memberikannya dan boleh juga tidak memberikan. Jumlahnya bisa berapapun dan waktunya

kapanpun. Karena sifatnya tidak mengikat, maka sumbangan tidak boleh dikaitkan dengan

penerimaan mahasiswa baru ,sebagai contoh inilah SPI di UNS

E.PENUTUP

Dengan tulisan yang dengan penggambaran yang sangat sedikit ini panitia PKKMB

FISIP UNS memberikkan gambaran kepada seluruh Elemen Mahasiswa Baru Tentang Biaya

Kuliah di pendidikan Tinggi. Kami melalui kajian ini juga menegaskan bahwa demokrasi kita

sedang tidak baik-baik saja. Mengapa demikian? Karena Gawang Demokrasi yakni kampus pun

sudah semakin nyata dibungkam dan dikekang kebebasannya artinya apabila kampus sudah

dikekang maka bagaiman akal sehat demokrasi kita akan dapat terjaga? Karena hanya kampuslah

yang memiliki cita-cita murni untuk terus menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang terbebas

dari kepentingan politik praktis manapun.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/97415/pil-merah-dan-biru-pendidikan-tin

https://www.edunews.id/edunews/kampus/mahalnya-ukt-tak-dibarengi-peningkatan-fasilitas-

kampus/

Peraturan rektor universitas sebelas maret no 14 tahun 2019

Pasal 31 ayat 1 UUD 1945

UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Disusun oleh Raka Aditya Putra Tama, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Aksesibilitas Pendidikan Tinggi di Indonesia

Iklil Mara Abidyoga

FISIP UNS, 2019

Abstraksi

Aksesibilitas pendidikan dibagi pada 2 jenis akses, yang pertama akses pendidikan dari segi biaya,

yang kedua akses pendidikan dari keberadaan/persoalan mengenai fisiknya. Apabila dilihat dari

kedua faktor tersebut, dinilai masih sulit untuk diakses. Biaya pendidikan tinggi yang masih terlalu

mahal apabila ingin diakses oleh masyarakat kurang mampu. Keberadaan fisik Perguruan Tinggi

Negeri (PTN) yang masih belum merata (perkotaan-pedesaan) maupun antarpulau di Indonesia.

Memperoleh pendidikan dari dasar sampai pendidikan di perguruan tinggi adalah hak dan

harapan setiap Warga Negara Indonesia untuk memperoleh nasib yang lebih baik.

Keyword : Aksesibilitas, Pendidikan, PTN Pendahuluan

Pendidikan memiliki peran penting dalam pembangunan. Hal ini dikarenakan sasaran

utamanya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Terlebih lagi, hak memperoleh

pendidikan merupakan amanat konstitusi bagi warga negara Indonesia. Dalam sistem pendidikan

nasional yang berlaku saat ini, yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu dan merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakannya.

UU No. 20 tahun 2003 Pasal 11 ayat 1 mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah

wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang

bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Penyelenggaraan pendidikan yang dapat

diakses dengan mudah dipengaruhi oleh adanya pemerataan pendidikan.

Amanat Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan pemerintah bertanggung

jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum. Oleh

karena itu semua warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran tanpa

terkecuali. Dari sinilah pemerintah dituntut untuk mewujudkan pemerataan di bidang pendidikan.

Pada 2017, berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek

Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Angka ini didominasi

oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri

(PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 122 unit. Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan

perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.Namun

demikian, jumlah ini masih tak sebanding dengan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi

di Tanah Air. APK Indonesia berada di kisaran 31,5 persen. Kondisi ini membuat banyak PTS

yang mempunyai mahasiswa kurang dari 500 dan membuat kondisi PTS tersebut tak sehat. Disisi

lain, tingginya minat calon mahasiswa pada PTN yang notabene menghadirkan kuliah dengan

biaya lebih terjangkau masih belum mampu tertampung seluruhnya karena minimnya perguruan

tinggi negeri.1

1 www.katadata.co.id

Keadaan ini tentunya belum sesuai dengan UU dan Amanat UUD 1945 untuk mengadakan

penyelenggaraan pendidikan yang dapat dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan

masyarakat dengan ketersediaan jumlah PTN yang ada.

Pada tahun 2013/2014, jumlah PTN yang ada di Indonesia (termasuk institusi, sekolah

tinggi, politeknik, dan akademik) 99 PTN dengan jumlah mahasiswa 1.827.240. Pada tahun

2014/2015, jumlah PTN yang tersedia 121 PTN dengan jumlah mahasiswa 1.958.111.2 Sampai

saat ini Tahun 2019, universitas yang termasuk PTN berjumlah 85, dengan penyebaran pada setiap

provinsi: Papua Barat (1), Papua (3), Maluku Utara (1), Maluku (1), Sulawesi Barat (1), Gorontalo

(1), Sulawesi Tenggara (2), Sulawesi Selatan (3), Sulawesi Tengah (1), Seulawesi Utara (2),

Kalimantan Timur (2), Kalimantan Utara (1), Kalimantan Selatan (1), Kalimantan Tengah (1),

Kalimantan Barat (1), NTT (2), NTB (1), Bali (3), Banten (1), Jatim (10), D.I.Y (5), Jateng (7),

Jabar (8), D.K.I Jakarta (4), Lampung (2), Bangka Belitung (1), Sumatra Selatan (2), Bengkulu

(1), Jambi (1), Kep. Riau (1), Sumatera Barat (3), Sumatera Utara (3), Aceh (6).3 Untuk Sekolah

Tinggi ada 19 pendidikan tinggi kedinasan di 8 kementerian/lembaga yang membuka kesempatan

bagi generasi muda yang memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi. Untuk tahun 2019, dibuka

9.176 kursi calon siswa-siswi/taruna-taruni.4 Sedangkan untuk Politeknik Negeri di tahun 2019

ada 42 Politeknik Negeri se-Indonesia yang membuka pendaftaran.5

Mahasiswa baru yang dapat bersaing dan memperoleh pendidikan tinggi di kampus negeri

hanya sebanyak 470.838, dan yang lainnya 966.587 diterima di PTS.6 Beruntunglah kita yang

masih mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus negeri, karena

jumlah lulusan siswa SMA negeri maupun swasta sebanyak 1.525.4187, yang notabene siswa SMA

perlu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sebelum memasuki dunia pekerjaan.

Hal ini tentunya masih jauh dari harapan untuk mendapatakan akses pendidikan yang mudah dan

merata, jumlah universitas yang masih dirasa kurang dan juga belum tersebar dengan merata

menjadi salah satu sebab aksesibilitas pendidikan tinggi masih sulit untuk dijangkau oleh seluruh

kalangan masyarakat.

1. Aksesibilitas dan Persebaran PTN di Indonesia

Pendidikan menurut Dewey dalam Puslitjak (2012) adalah education is the process without

end. Hal ini merujuk pada pengertian pendidikan dalam arti luas. Pendidikan tidak berhenti ketika

individu telah mencapai kedewasaan baik jasmani maupun rohani.Selanjutnya, muncul konsep

pendidikan seumur hidup (lifelong education), yang berarti pendidikan berlangsung seumur hidup

atausampai mati. Merupakan konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa

kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan hidup manusia. Dalam upaya

mendapatkan pendidikan dalam berproses, perlu adanya kesempatan untuk dapat mengakses

pendidikan.

Aksesibilitas dapat dianggap sebagai sesuatu yang di luar keberadaan atau

availibilitas(ketersediaan) dari sumber daya dalam waktu dan tempat yang tepat. Termasuk

karakteristik dari sumber-sumber yang memberikan peluang atau rintangan yang dirasakan oleh

2 www.bps.go.id 3 https://web.snmptn.ac.id 4 https://www.menpan.go.id 5https://edukasi.kompas.com/read/2019/02/07/15534991/pmdk-politeknik-negeri-dibuka-ini-tata-cara-pendaftarannya 6 STATISTIK PERGURUAN TINGGI 2017, KEMENRISTEKDIKTI 7 STATISTIK SMA 2019, KEMENDIKBUD

klien-klien (pelanggan) potensial. Carneiro dalam(Finnie dan Mueller, 2008) memberikan pokok-

pokok pikirannya bahwa ada dua perlakuan aksesibilitas, yaitu a) aksesibilitas keuangan yang

diartikan sebagai “kemampuan individu”,seperti kemampuan membayar biaya

pendidikan(financial accessibility, defined as the individualability to pay for education) dan b) apa

saja yang berhubungan dengan aksesibilitas fisik. Kemudian Carneiro mengistilahkan dalam

definisinya sebagai transportasi, waktu dan pencarian biaya dalam proses memperoleh kesempatan

pendidikan. Dari beberapa definisi, aksesibilitas finansial mengacu pada karakteristik kemampuan

masyarakat, dibandingkan denganfaktor-faktor atau sumber-sumber pendidikan lainnya.

Aksesibilitas pendidikan adalah kemudahan yang diberikan kepada setiap warga

masyarakat untuk menggunakan kesempatannya dalam memasuki suatu program pendidikan.

Akses tersebut dapat berupa sikap sosial yang non-diskriminatif, kebijakan politik dalam bentuk

peraturan perundang-undangan yang mendukung dan mencegah diskriminasi, tersedianya

lingkungan fisik pendidikan yang aksesibel, tersedianya alat bantu belajar/mengajar yangsesuai,

dan biaya pendidikan yang terjangkau,yang memungkinkan setiap warga

masyarakatmenggunakan kesempatannya untuk mengikutiproses belajar/mengajar pada program

pendidikan yang dipilihnya.

Teori utama yang mendasari penelitian ini adalah teori Liberal Klasik dari Darwin yang

ditemukan pada tahun 1859 Andrew dan Orodho(2014). Menurut teori ini setiap orang dilahirkan

dengan jumlah kapasitas tertentu yang untuk sebagian besar diwariskan dan tidak dapat diubah

secara substansial. Dengan demikian, sistem pendidikan harus dirancang sedemikian rupa untuk

menghilangkan hambatan apapun termasuk faktor alamiah/takdir anak-anak yang melekat pada

dirinya (termasuk latar belakang ekonomi orang tua, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga,

geografis/keadaan lingkungan) yang menghambat siswa untukmemperoleh pendidikan. Rousseau

(dalam Kainuwa dan Najeemah, 2013) berupa Teori Keadilan Sosial, yang menyatakan bahwa

faktor “alam” yang melekat pada manusia sejak lahir seharusnya tidak menjadi masalah dalam

mendapatkan keadilan sosial terutama dalam memperoleh pendidikan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi aksesibilitas pendidikan adalah daerah tempat

tinggal (perkotaan-pedesaan). Upaya Pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan tidak

lepas dari faktor kesenjangan antarwilayah, utamanya wilayah perkotaan dan perdesaan. Adanya

perbedaan layanan antarwilayah terutama wilayah perdesaan dengan perkotaan dapat

menimbulkan kesenjangan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan/bersekolah, di samping

karena keterbatasan jumlah sekolah yang tersedia diperdesaan yang menyebabkan keterjangkauan

jarak sekolah dari tempat tinggal menjadi lebih jauh, juga karena mayoritas penduduk

miskinberada di daerah perdesaan. Penduduk perkotaan relatif lebih mudah mengakses pelayanan

pendidikan jika dibandingkan dengan penduduk perdesaan karena jumlah sekolah lebih banyak.

Fasilitas pelayanan pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas di daerah pedesaan,

terpencil, dan kepulauan masih terbatas, sehingga menyebabkan sulitnya mencapai pendidikan

sampai ke jenjang tertinggi/perguruan tinggi. Selain itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus

bagi anak-anak yangmempunyai kelainan fisik, emosional, mental,sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai, terutama di daerah

pedesaan, terpencil,dan kepulauan. Minimnya fasilitas pendidikan di daerah pedesaan berpengaruh

terhadap partisipasi anak-anak dalam memperoleh pendidikan, sehingga Pemerintah perlu segera

melakukan percepatan pembangunan fasilitas pendidikan di perdesaan agar tidak terjadi

kesenjangan yang tinggi dengan wilayah perkotaan. Penelitian Ibrahim, Okumu., Nakajo Alex,

dan Isoke (2008) dan Lasfitri (2013), menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal diperkotaan

memiliki peluang bersekolah(probabilitas) yang lebih baik (tidak drop out) daripada anak yang

tinggal di perdesaan

Persebaran Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia juga masih terpusat di pulau

Jawa dengan 48 PTN yang ada, masih sangat jauh jumlahnya apabila kita bandingkan dengan yang

ada di pulau-pulau lain: Sumatera (28), Kalimantan (14), Sulawesi (14), Maluku (4), Bali (4), NTB

(1), NTB (4), Papua (5). Persoalan ini tentunya tidak sejalan dengan pembangunan infrastruktur

yang banyak dilakukan oleh pemerintah, yang belum berfokus pada pembangunan infrastruktur

yang difokuskan untuk peningkatan SDM berkualitas melalui pendidikan yang tinggi. Juga

termasuk pula apabila mahasiswa dari pulau-pulau yang jauh dari akses pendidikan tinggi

utamanya tapi memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di PTN yang berada jauh

dari rumahnya, biaya tanggungan hidup juga masih harus dipikirkan olehnya serta keluarganya.

Selain itu, Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi. Pada tahun 2020-2030,

jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70% dari total penduduk. Saat ini saja,

jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 261,8 juta jiwa, diperkirakan pada 2020 akan

bertambah menjadi 271 juta jiwa dan pada 2030 menjadi 296 juta jiwa.8

Menariknya, pemerintah Indonesia cenderung konservatif menghadapi perkembangan

zaman yang katanya sedang memasuki Revolusi Industri 4.0 ini. Mengacu pada data UNESCO,

Indonesia hanya menggunakan 3,58% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk belanja

pendidikan.9 Negara- negara yang indeks pembangunan manusianya tinggi menggunakan

setidaknya 7% PDB untuk belanja pendidikan, seperti Norwegia dan Finlandia. Bahkan negara-

negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam menggunakan sekitar 6% PDB untuk belanja

pendidikan.10

3. Kesimpulan

Pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk keberlangsungan hidup manusia.

Aksesibilitas pendidikan yang mudah untuk diakses oleh masyarakat dari aspek biaya maupun

keberadaan fisik masih perlu diperhatikan. Kemenristekdikti merilis data bahwa Angka Partisipasi

Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia adalah 31,5%. Capaian ini patut diapresiasi karena

adanya kenaikan angka dari yang tadinya 26,86% pada tahun 2015. Berdasarkan Rencana Strategis

Pengembangan Pendidikan Tinggi 2015-2019, Indonesia menargetkan APK pendidikan tinggi

mencapai 32,56% pada 2019. Akan tetapi capaian ini masih tidak lebih tinggi jika dibanding APK

pendidikan tinggi negara-negara tetangga seperti Malaysia (38%), Thailand (54%), dan Singapura

(78%).11Selain itu, juga sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alenia ke 4.

8 www.bps.go.id 9http://data.uis.unesco.org/ 10http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2017/doc/INS- 2016_human_development_report.pdf 11http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia- kampus/17/11/20/ozpyyo280-apk-perguruan-tinggi-tak-sebanding-denganjumlah-kampus

Daftar Pustaka

Ahmad, P M 2019, Kuliah Kok Mahal, Best Line Press, Yogyakarta.

Ekowati ,T 2014, ‘Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Pelayanan Pendidikan pada

Sekolah RSBI/SBI’, Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik, vol. 18, no 1, hh. 20-36.

Perdana, N S 2015, ‘Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Aksesibilitas

Memperoleh Pendidikan untuk Anak-Anak di Indonesia’, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,

vol. 21, no. 3, hh. 279-298.

Dokumen Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003

TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.

UUD 1945.

Transparansi Sistem Seleksi Perguruan Tinggi

Disusun Oleh Axel Adam Mahendra, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Angkatan 2018

Abstrak: Selama beberapa tahun terakhir, sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri beberapa

kali mengalami perubahan. Melalui siaran pers No : 4 /SP/HM/BKKP/XII/2019 (Kementrian

Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi, 2019), disebutkan bahwa perubahan sistem seleksi

Perguruan Tinggi Nasional diharapkan agar sistem seleksi yang baru dapat menerapkan 6 nilai

di antaranya: Adil, Transparan, Fleksibel, Efisien, Akuntabel, dan Sesuai dengan perkembangan

jaman (digital). Meskipun begitu, transparansi tetap menjadi hal yang penulis rasa belum tuntas

sejak sistem Seleksi Masuk Perguruan Tinggi dilaksanakan beberapa tahun lalu hingga saat ini.

Artikel ini secara khusus membahas permasalahan transparansi sistem seleksi masuk perguruan

tinggi sejak 2017 - 2019 .

Pendahuluan

Secara umum, pelaksanaan sistem

seleksi masuk perguruan tinggi negeri baik

tahun ini hingga bertahun-tahun sebelumnya

dapat dikatakan terdiri dalam 3 tahapan

seleksi. Yang pertama adalah sistem seleksi

tanpa tes dengan melihat nilai rapor dan

prestasi calon mahasiswa baru (selanjutnya

disebut camaba). Beberapa sebutan atau

contoh sistem seleksi tanpa tes ini adalah

“Jalur Undangan”, “Penelusuran Minat dan

Kemampuan (PMDK)”, “Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN)”, dan lain sebagainya.

Pelaksanaan seleksi ini ada yang bersifat

nasional dan serentak (contohnya SNMPTN)

dan ada juga yang dilaksanakan secara

mandiri oleh kampus-kampus penerima.

Sistem seleksi yang kedua adalah

sistem seleksi berbasis ujian yang

dilaksanakan nasional dan serentak. Ada

beberapa nama yang digunakan untuk sistem

seleksi ini, seperti “Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB)”, “Ujian Masuk

Bersama PTN (UMB-PTN)”, “Seleksi

Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SBMPTN)”, hingga yang terbaru adalah

“SBMPTN dengan metode UTBK (Ujian

Tulis Berbasis Komputer)”. Meskipun

memiliki nama dan teknis pelaksanaan yang

berbeda-berbeda, secara garis besar sistem

seleksi ini mengharuskan camaba mengikuti

tes serentak dan hasil dari tes tersebutlah

yang digunakan untuk menyeleksi maha-

siswa yang diterima di PTN se-Indonesia.

Sistem seleksi yang ketiga adalah

sistem seleksi yang dilaksanakan secara

mandiri oleh kampus-kampus penerima.

Mekanise penyeleksiannya pun berbeda-beda

seperti sistem seleksi berbasis tes (tertulis

maupun komputer), sistem seleksi

menggunakan nilai SBMPTN sebelumnya

sebagai acuan, ataupun gabungan dari kedua

sistem tersebut.

Agar pembahasan dari tulisan ini tidak

terlalu luas, permasalahan transparansi yang

akan penulis angkat berfokus kepada sistem

seleksi yang dilaksanakan secara nasional

(baik dengan tes ataupun tanpa tes). Hal

tersebut dikarenakan seleksi yang

dilaksanakan mandiri oleh kampus-kampus

terkait mengacu kepada sistem dan kebijakan

tiap kampus yang berbeda-beda.

Dikarenakan hal tersebut, sudah jelas bahwa

transparansi seleksi penerimaan mahasiswa

baru tiap kampus berbeda-beda dan menjadi

tidak bijaksana apabila hal tersebut penulis

bahas di sini.

Di sisi lain, ada 2 hal yang selalu

menjadi polemik apabila kita berbicara

tentang transparansi sistem seleksi.

Permasalahan yang pertama berkaitan

dengan transparansi dan dan anggaran seleksi

masuk perguruan tinggi negeri.

Permasalahan kedua adalah proses dan hasil

seleksi itu sendiri yang masih tidak dapat

diakses secara penuh oleh calon mahasiswa

baru.

Transparansi Dana

Berbicara mengenai tes tertulis

nasional atau yang sejak tahun 2013 kita

kenal dengan SBMPTN (sebelumnya

SNMPTN), tentu tak dapat dipisahkan

dengan uang pendaftaran yang harus

dibayarkan para calon mahasiswa baru

apabila ingin mengikuti tes tersebut. Pada

tahun 2017, 2018, hingga 2019, meskipun

mekanisme dan teknis seleksi SBMPTN

berbeda-beda, biaya pendaftaran SBMPTN

tidak berubah yaitu sebesar dua ratus ribu

rupiah bagi peserta golongan regular dan

gratis bagi peserta Bidikmisi. Sebelum

tulisan ini dilanjutkan lebih jauh, penulis

ingin mengajak pembaca untuk memikirkan

berapa banyak uang yang diterima oleh

panitia pelaksana SBMPTN dari uang

pendaftaran camaba.

Pada tahun 2017, tercatat 639.049

pendaftar dari golongan reguler dan 157.974

pendaftar dari golongan bidikmisi (Panitia

Pusat SNMPTN-SBMPTN 2017, 2017).

Apabila dijumlahkan, dana yang dihimpun

oleh panitia pusat SBMPTN 2017 adalah

sebesar Rp 127.809.800.000,00. Pada tahun

2018, jumlah peserta SBMPTN jalur reguler

adalah sebanyak 672.816 dan bidikmisi

187.185 peserta (Debora, 2018). Dengan

demikian, dana pendaftaran yang dihimpun

di tahun 2018 adalah sebesar Rp

134.563.200.000,00. Pada tahun 2019,

jumlah peserta UTBK reguler adalah 541.339

dan bidikimisi sebanyak 173.313 peserta

(Harususilo, 2019). Total dana yang

dihimpun adalah Rp 108.267.800.000,00.

Yang menjadi pertanyaan adalah ke mana

larinya dan bagaimana alokasi dana ini?

Dibalik besarnya angka jumlah

pendaftar SBMPTN tiap tahunnya, yang

sering kali dilupakan oleh masyarakat umum

adalah adanya sejumlah dana yang

jumlahnya besar dan dihimpun dari

masyarakat. Sayangnya dana ini tidak pernah

dilaporkan atau bahkan sekedar disebutkan

dalam berbagai siaran pers dan rilis-rilis

resmi. Angka-angka ini bahkan penulis dapat

dengan mengalikan sendiri biaya pendaftaran

dengan jumlah pendaftar setiap tahun. Yang

menjadi pertanyaan adalah mengapa panitia

pelaksana SBMPTN tidak pernah merilis

data-data ini? Jika memang seluruh dana

yang dihimpun ini dialokasikan untuk

seleksi, panitia seharusnya merilis besar

anggaran dan realisasinya sehingga rakyat

dapat melihat secara langsung ke mana uang

yang mereka bayarkan dialokasikan. Hal ini

mencoreng nilai transparan dan akuntabel

yang digaungkan oleh LTMPT sebagai

penyelenggara SBMPTN 2019.

Di sisi lain, tidak adanya laporan baik

anggaran maupun realisasi dana juga

melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun

2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Pasal 9 ayat 2 secara khusus mengatur

informasi yang harus diberikan oleh badan

layanan publik (seperti Lembaga Tes Masuk

Perguruan Tinggi atau Panitia Seleksi

Perguruan Tinggi Negeri) yaitu:

a. informasi yang berkaitan dengan Badan

Publik;

b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja

Badan Publik terkait;

c. informasi mengenai laporan keuangan;

dan/atau

d. informasi lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Tidak adanya laporan keuangan berkaitan

dengan dana yang dihimpun maupun

digunakan oleh LTMPT/ Panitia Seleksi

Perguruan Tinggi jelas telah melanggar

undang-undang ini dan seharusnya

diberlakukan tindakan lebih lanjut.

Transparansi Proses dan Hasil

Seleksi

Hal lain yang perlu disorot berkaitan

dengan transparansi adalah tidak adanya

informasi mengenai bagaimana panitia

menyeleksi nilai, prestasi, dan atau hasil tes

camaba. Selama ini, proses seleksi yang

diketahui oleh masyarakat umum hanya

cukup sampai pengumpulan berkas (nilai dan

prestasi camaba) atau pengumpulan hasil tes

yang telah dilakukan sebelumnya. Baik

camaba maupun masyarakat umum tidak bisa

mengakses informasi bagaimana berkas,

nilai, atau hasil tes yang mereka input diolah

dan diseleksi. Yang mereka tahu hanyalah

hasil diterima atau tidak, tanpa catatan-

catatan tertentu atau penjelasan mengapa

hasil tersebut yang mereka dapatkan.

Apabila penulis boleh mengiaskan,

sistem seleksi SNMPTN dan SBMPTN yang

dilaksanakan sekarang seolah dilaksanakan

oleh tangan-tangan gaib nan transparan, tidak

terlihat, tiba-tiba memberi hasil. Sekali lagi,

hal seperti ini mencoreng nilai transparan

yang dianut oleh LTMPT itu sendiri,

bukannya transparan memberikan informasi

mekanisme dan proses seleksi, keberadaan

dan kerja LTMPT justru terkesan transparan

alias tidak terlihat.

Meskipun begitu, pelaksanaan Seleksi

Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri

tahun 2019 dapat diapresiasi karena

transparansinya meningkat dari tahun

sebelumnya. Jika tahun 2018, 2017 dan

tahun-tahun sebelumnya camaba yang

mengikuti tes tertulis maupun komputer

hanya bisa mengakses diterima atau tidaknya

mereka di perguruan tinggi yang mereka

daftarkan, tahun ini camaba juga dapat

mengetahui perolehan nilai/ hasil tes yang

mereka lakukan. Hal ini dikarenakan sistem

tahun ini yang sedikit berbeda di mana

camaba melaksanakan tes terlebih dahulu.

Setelah nilai/ hasil dari tes mereka keluar,

mereka dapat menggunakan nilai tersebut

untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri

yang sekiranya dapat menerima mereka

(berdasarkan hasil tes tersebut).

Selain lebih transparan, hal lain yang

dapat diapresiasi dari hal ini adalah

berkurangnya proses trial and error dan

camaba dapat mengukur kemampuan serta

potensi mereka untuk masuk ke kampus

idaman. Menurut penulis, dampak dari hal ini

adalah berkurangnya peminat kampus-

kampus peringkat teratas nasional seperti

Universitas Indonesia, Universitas Gadjah

Mada, Intitut Teknologi Bandung. Camaba

lebih memilih aman dan mendaftar ke

Universitas-universitas dengan peringkat

intermediate seperti Universitas Diponegoro,

Universitas Brawijaya, dan Universitas

Sebelas Maret (Kementrian Riset, Teknologi,

dan Pendidikan Tinggi, 2019).

Kesimpulan

Polemik transparansi seleksi masuk

perguruan tinggi negeri masih menjadi satu

tugas besar yang belum bisa dituntaskan oleh

penyelenggara seleksi masuk perguruan

tinggi negeri (dalam hal ini pemerintah

melalui LTMPT). Permasalahan tersebut

mencakup transparansi dana

penyelenggaraan seleksi itu sendiri, baik

yang dianggarkan oleh pemerintah maupun

yang dihimpun dari masyarakat (melalui

biaya pendaftaran seleksi). Masalah kedua

berkaitan dengan proses seleksi itu sendiri

yang sampai saat ini masih tidak diketahui

secara utuh bagaimana mekanisme dan

prosesnya.

Di sisi lain, tidak dapat disangkal

bahwa pelaksanaan seleksi masuk perguruan

tinggi tahun 2019 terutama SBMPTN yang

berbasis kepada tes komputer mengalami

peningkatan dalam hal keterbukaan nilai/

hasil seleksi dan sudah sepatutnya

diapresiasi. Harapan ke depan berkaitan

dengan transparansi seleksi masuk perguruan

tinggi negeri adalah pemerintah senantiasa

mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan-

kekurangan seperti yang telah penulis

uraikan sebelumnya sehingga akses

informasi publik dapat terlaksana dengan

baik sesuai dengan kewajiban pemerintah

sebagai penyedia layanan umum.

Referensi

Debora, Y. (2018). Total Pendaftar SBMPTN 2018 Sebanyak 860.001 Siswa. Jakarta: Tirto.id.

Harususilo, Y. E. (2019). Pendaftaran SBMPTN 2019 Ditutup, Berapa Mendaftar Tahun Ini?

Jakarta: Kompas.com.

Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (2019). 168.742 Peserta Lulus SBMPTN

2019 di 85 PTN se-Indonesia. Jakarta: Kemenristekdikti.

Kementrian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi. (2019). Luncurkan LTMPT, Menristekdikti

Harapkan Sistem Baru Seleksi Masuk PTN Disosialisasikan Dengan Baik. Jakarta:

Kemenristekdikti.

Panitia Pusat SNMPTN-SBMPTN 2017. (2017). Hasil Rekapitulasi Pendaftaran SBMPTN 2017.

Surakarta: Kemtrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Inkonsistenan Sistem Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Negri (SBMPTN) yang kurang

berpihak kepada calon mahasiswa

Oleh:

Muhammad Abduh Alfaruqie

FISIP UNS,2019

Abstraksi

Setiap tahunya sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru banyak mengalami perubahan.

Banyak kebijakan pemerintah yang kurang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh

masyarakat.Evaluasi dari tiap tahunya seharusnya dapat menjadikan masukan untuk proses

seleksi ditahun yang akan datang menjadi lebih baik lagi bukan sama saja sistem yang digunakan.

Keyword:

SBMPTN,SNMPTN,Menristekdikti,sistem seleksi

Seleksi bersama perguruan tinggi negeri atau sering dikenal dengan SBMPTN Dari tahun-ketahun

sistem seleksi banyak terjadi perubahan dikarenakan menyesuaikan dengan perkembangan

teknologi dan diharapkan lebih efektif dan efisien proses pelaksaanya.

Perubahan sistem SBMPTN dari tahun-ketahun

Di lihat dari lebih jauh lagi sejarah SBMPTN atau dahulu juga di kenal dengan SNMPTN

awalnya adalah tes penerimaan mahasiswa baru .Tahun 1976 istilah yang dipakai adalah

Sekretariat Kerja Sama Antar Lima Universitas disingkat SKALU.SKALU dibuat dan

dilaksanakan oleh lima perguruan tinggi secara serentak. Lima perguruan tinggi yang mengadakan

SKALU adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi

Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (UNAIR).SKALU

hanya diberlakukan selama tiga tahun dan diubah namanya menjadi Sekretariat Kerja Sama Antar

Sepuluh Universitas atau SKASU. Sistem ini diperbaharui di mana calon mahasiswa dapat

memilih program studi. Selain itu SKASU juga memungkinkan para calon mahasiswa untuk

mendaftar di tiga perguruan tinggi, serta tiga program studi yang berbeda pada masing-masing

universitas.

Tahun 1983, istilah penerimaan mahasiswa baru kembali berganti. Kali ini bernama Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru. Perubahan istilah dan sistem ini untuk

menyelaraskan sistem penerimaan karena perbedaan sistem yang dilakukan tiap perguruan tinggi

pada tahun-tahun sebelumnya.Berbeda dengan sistem sebelumnya, Sipenmaru melibatkan seluruh

perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Pada tahun 1989 Pemerintah mengubah nama Sipenmaru Ujian Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (UMPTN) karena sistemnya berubah lagi. Kelompok Ujian masuk di UMPTN terbagi

menjadi tiga, yakni IPA, IPS, dan IPC (Campuran) berdasarkan program studi yang dipilih.Tak

hanya itu, untuk meningkatkan kualitas, pemerintah memberlakukan sistem poin, yang memiliki

aturan dikuranginya (minus) 4 poin per satu jawaban yang salah dalam ujian.

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan

SPMB Nusantara pada tahun 2002. Dalam SPMB, muncul metode ujian baru, yakni ujian mandiri.

Dalam ujian mandiri, beberapa calon mahasiswa dapat melakukan tes secara mandiri untuk dapat

masuk ke dalam perguruan tinggi yang dituju.SPMB diberlakukan selama hampir tujuh tahun, dan

pada akhirnya diganti menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada

tahun 2008. Hal tersebut terkait terjadinya kekisruhan dalam forum rektor PTN penyelenggaraan

SPMB yang dianggap tidak sesuai dengan pola keuangan PTN non-BHMN (Badan Hukum Milik

Negara).

SNMPTN sempat mengalami beberapa perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008,

cara pendaftaran SNMPTN yang masih menggunakan kertas, diubah menjadi sistem online yang

dikenalkan pemerintah setahun kemudian untuk mempermudah registrasi.Di tahun 2011,

SNMPTN memberlakukan dua jalur seleksi masuk, yakni Jalur Undangan, dan Jalur Ujian

Tertulis.

Nama Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) kemudian muncul di

tahun 2013. Sistem SBMPTN dilakukan berdasarkan peringkat nilai ujian yang diselenggarakan

di sekolah, dengan soal dari pemerintah. Sistem kuota membagi persentase kursi tersedia di PTN

dengan tiga tipe ujian, yakni SBMPTN, SNMPTN dan ujian mandiri PTN. Kuota penerimaan

mahasiswa baru berdasarkan jenis jalur masuk adalah 50% dari peringkat hasil ujian SNMPTN,

30% dari SBMPTN, dan 20% dari ujian mandiri kala itu.

Pada tahun 2017, terjadi perubahan kuota untuk kursi perguruan tinggi yang tersedia. Jalur

SNMPTN berubah menjadi minimal 30% , SBMPTN minimal 30% , dan Ujian mandiri menjadi

maksimal 30% untuk masing-masing PTN.

Evaluasi pada SBMPTN tahun kemarin

Selanjutnya, pada tahun 2018, SBMPTN dibagi menjadi dua metode ujian yakni UTBC

(Ujian Tulis Berbasis Cetak) dan UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer). Pada tahun kemarin

penilaian untuk SBMPTN sampai hari H pelaksaan belum ada keputusan yang pasti antara jika

soal diisi dan kemudian jawaban salah akan mendapatkan pengurangan point atau tidak.Karena

pada saat itu adanya isu jika soal hendaknya diisi penuh karena tidak akan mempengaruhi jika

dijawab salah dan akhirnya pada saat itu perserta dibuat binggung untuk mengisi jawaban

keseluruhan atau hanya sebatas mengisi jawaban yang dianggapnya benar atau sering disebut tidak

menembak jawabanya secara asal. Ketua Pokja SBMPTN 2018 Profesor Budi Prasetyo

Widyobroto telah menjelaskan perihal sistem penilaian baru ini. Sistem lama SBMPTN

menggunakan penilaian skor empat bila benar, minus satu kalau salah dan yang tidak mengerjakan

akan mendapat nilai nol. Tahap penilaian SBMPTN yang baru pun disederhanakan dari tiga tahap

menjadi dua tahap. Tahap pertama seluruh jawaban peserta akan diproses.Adapun tahapan kedua

menggunakan teori 'response butir'.

Teori Response butir

Teori Responsi Butir (Item Response Theory disingkat IRT) dinamai juga sebagai Teori

Ciri Laten (Latent Trait Theory disingkat LTT) atau Lengkungan Karakteristik Butir (Item

Characteristic Curve disingkat ICC). Untuk memudahkan pengertian, di sini hanya digunakan

istilah IRT. Seperti disebutkan di atas, pada hakekatnya IRT bertujuan untuk mengatasi kelemahan

yang terdapat pada pengukuran klasik. Pada IRT, peluang jawaban benar yang diberikan siswa,

ciri atau parameter butir, dan ciri atau parameter peserta tes dihubungkan melalui suatu model

formula yang harus ditaati baik oleh kelompok butir tes maupun kelompok peserta tes (Hambleton

& Rogers, 1991).

Tujuan teori butir yaitu memebaskan dari interdependensi, sehingga. taraf sukar butir tidak

lagi bergantung kepada kemampuan responden. Kemampuan responden tidak lagi bergantung

kepada taraf sukar butir. Melalui independensi di antara taraf sukar butir dan kemampuan

responden, dapat dipilih butir yang cocok dengan responden. Dalam hal terjadi kecocokan di antara

taraf sukar butir dan kemampuan responden, maka: kalau taraf sukar butir diketahui, kemampuan

responden dapat ditentukan. Kalau kemampuan responden diketahui, taraf sukar butir dapat

ditentukan.

Artinya, butir yang sama terhadap peserta tes yang berbeda harus tunduk pada aturan rumus

itu, atau peserta tes yang sama terhadap butir tes yang berbeda juga harus patuh terhadap rumus

tersebut. Dalam proses semacam ini terjadilah apa yang disebut invariansi di antara butir tes dan

peserta tes. Pada pengukuran modern, taraf sukar butir tidak dikaitkan langsung dengan

kemampuan responden. Teori ini digunakan untuk menganalisis karakteristik setiap soal. Soal

dibagi ke dalam 3 kategori yaitu mudah, sedang dan sulit. Karakteristik soal yang didapatkan pada

tahap kedua kemudian digunakan untuk menghitung skor peserta. Jadi meski setiap peserta dapat

menjawab soal dengan sama benar, namun hasil akhir belum tentu memiliki skor yang sama

tergantung jenis soal yang dikerjakan. Dihubungi Kompas.com, Pokja

SBMPTN meminta peserta SBMPTN berhati-hati terhadap informasi yang tidak

bertanggungjawab. "Banyak orang yang ambil kesempatan dengan adanya seleksi SBMPTN ini.

Saya sudah jelaskan di 8 stasiun TV," jelas Budi. Sebelum dimulai pendaftaran pun sudah

dilakukan sosialisasi, jelas Budi menanggapi kurangnya waktu sosialisasi SBMPTN. "Intinya

sebetulnya bagi peserta tidak berpengaruh sistem apapun yang digunakan. Yang terpenting

sebetulnya bahwa peserta telah menyiapkan diri untuk ujian," lanjutnya. Sistem baru ini dibuat

malah menguntungkan (peserta). Budi meminta untuk peserta yang telah melalui SBMPTN

kemarin seharusnya fokus pada substansi tes dan bukan strategi mengerjakannya. Budi juga

mengajak semua pihak untuk menyampaikan hal yang benar baik kepada mahasiswa maupun

perguruan tinggi yang akan menerima mahasiswa.

Di sisi lain, Sekretaris Panitia Pusat SNPMB PTN 2018 Joni Hermana mengatakan

pelaksanaan ujian dengan menggunakan sistem android yang pertama kalinya dilakukan tahun ini,

dinilai berjalan cukup baik.Meski demikian, perlu dilakukan perbaikan pada ujian tersebut.

Berdasarkan hasil evaluasi pada penggunaan Android, soal ujian yang masih konversi dari versi

cetak sehingga untuk ukuran layar handphone Android yang relatif kecil membuat peserta

kesulitan. Selain itu dari aspek keamanan, karena menggunakan Wi-Fi sehingga masih rentan

untuk diretas. Ini jadi evaluasi untuk semakin meningkatkan keamanan.

Di tahun 2019, ada beberapa perubahan lagi dalam sistem SBMPTN. SBMPTN tahun 2019

kini diselenggarakan oleh LTMPT (Lembaga Masuk Tes Perguruan Tinggi) dan hanya memiliki

satu metode tes yaitu UTBK, dengan dua materi tes, yakni tes Potensi Skolatik dan Tes

Kompetensi Akademik. Selain itu, apabila peserta ujian telah dinyatakan lulus SNMPTN 2019,

maka tidak diperbolehkan untuk mengikuti SBMPTN 2019.

Pada tahun ini peserta mengikuti tes dahulu dan setelah itu baru keluar nilainya dan nilai

tersebut yang digunakan untuk mendaftar di perguruan tinggi .Dapat melakukan tes sebanyak 2

kali dari dua kali tes tersebut akan di ambil nilai tertinggi .

Kuota SBMPTN 2019 oleh kemenristekdikti

Untuk kuota sendiri Lebih lanjut Menteri Nasir menjelaskan pola seleksi masuk PTN tahun

2019 tetap akan dilaksanakan melalui tiga jalur yaitu, yakni SNMPTN, SBMPTN dan Ujian

Mandiri, dengan masing-masing daya tampung SNMPTN minimal 20%, SBMPTN minimal 40%

dan Seleksi Mandiri maksimal 30% dari kuota daya tampung tiap prodi di PTN.Kuotanya ternyata

cukup banyak juga karena pada tahun ini juga mengalami perubahan dari pada tahun sebelumnya.

Setelah melihat kilas balik seleksi penerimaan mahasiswa penerimaan mahasiswa baru,

Selalu ada perubahan yang diterapkan tiap pelaksanaanya.Dari awalnya hanya 5 PTN sekarang

telah mencapai 87 PTN dengan bentuk seleksi yang bermacam-macam .Mulai dari presetasi

akademik sampai dengan ujian mata pelajaran sesuai dengan peminatan program studi.

Sistem yang ideal yang harus diterapkan

Sistem yang digunakan idealnya hendaklah mengikuti dengan perkembangan zaman dan

sesuai dengan kebutuhan pendidikan tinggi untuk mempersiapkan lulusanya untuk memecahkan

persoalan dan menjawab segala tantangan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan menjawab

tantangan juga untuk masalah yang akan di hadapi oleh Negara kita di masa yang akan datang.

Menristekdikti pernah menyampaikan bahwa pendidikan Indonesia masih berorientasi nilai

akademuik.Padahal, ada hal yang jauh lebih penting untuk dikuasai dibandingkan mengejar nilai

,yaitu menguasai kemampuan yang di butuhkan di masa depan.Dari hal tersebut seharusnya

berdampak pada kualitas output PTN yang akhirnya lulus dan masuk ke dunia kerja.Kompetensi

mereka masih jauh di bawah standar karena tidak memiliki kemampuan yang di butuhkan ,Yang

mereka punya adalah nilai saja.

Benang merah yang dapat diambil

Dapat dilihat benang merahnya adalah sebenarnya dari awal di laksanakanya sistem seleksi

perguruan tinggi negri tidak ada perubahan yang cukup berarti.Sistem seleksi hanya sama saja

yang berbeda cuman namanya dan ditambah sistem yang membingunggkan bagi para peserta.

Kemudian outputnya juga dapat dikatakan tidak ada perkembangan atau tetap sama. Ternyata ini

salah satu alasan kenapa kuota SNMPTN di kurangi,Menristekdikti pernah menyampaikan

bahwasanya sejauh ini performa mahasiswa SNMPTN ternyata tidak sejalan dengan nilai rapor

mereka yang tinggi dan portofolio yang ditumpuk.

Dari segi seleksi sendiri bentuk, dan teknis pelaksanaanya pun begitu saja monoton . Setiap

tahun prosesnya hampir sama yaitu pemerintah ganti aturan seenaknya saja tanpa mengkaji ulang

dengan matang masalag tersebut dan pihak-pihak yang terkait juga tidak dilibatkan dalam

pembuatan keputusan, kemudian mahasiswa panik dan binggung dengan kepetusan tersebut,calon

mahasiswa protes dengan kebijakan tersebut tapi ternyata tidak ada perubahan yang berarti atau

hanya menjadi omong kosong saja, pemerintah tidak mendapatkan hasil yang diinginkan ,

kemudian pemerintah ganti aturan lagi dan kembali seperti proses yang tadi. Prosesnya pun di

nomor sekiankan . Padahal, ketika prosesnya berjalanlah seorang bisa menguasai dan belajar dari

kemampuan-kemampuan tersebut.

Penutup

Dulu sempat ada wacana dilaksanakannya test center oleh kemenristekdikti untuk dapat di

implementasikan di tahun 2019.Ini menimbulkan banyak pro kontra dalam pembahasanya karena

hal ini akan menggantikan sistem SBMPTN dan SNMPTN dimasa depan,Perjuangan peserta akan

lebih berat lagi ia akan berjuang secara mati-matian untuk mengalahkan sainganya dan agar dapat

masuk perguruan tinggi negri (PTN) . Peserta di hanya di perintah untuk menghafal ribuan bahkan

jutaan halaman meteri pelajaran di bangku sekolah dan di tambah lagi materi-materi di bimbel dan

ditambah lagi soal yang disuguhkan adalah soal dengan sistem HOTS yang akan berbeda sekali

dengan soal pada umumnya karena banyak sekali membutuhkan penalaran.

Hal ini mungkin bisa jadi menjadi wacana lagi di tahun 2020 dan mungkin juga dapat ditetapkan

karena dapat dilihat dari kemenristekdikti yang sedang memperbaiki sistem-sistem seleksi ini

Referensi:

https://www.youthmanual.com/post/terkini/berita/teknis-lengkap-pelaksanaan-sbmptn-

2019-dan-mengapa-sistem-seleksi-perguruan-tinggi-di-indonesia-sudah-sepatutnya-diubah

https://news.okezone.com/read/2018/07/03/65/1917344/hanya-19-8-peserta-sbmptn-

2018-yang-lolos-seleksi

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190709144055-20-410517/pengumuman-

sbmptn-168742-peserta-lulus-seleksi

Lord, Frederick, M.1990. Aplications of Item Response Theory to Practical Testing

Problems. New Jersey: LawrenceErlbaum Associates, Publishers.

Hambleton, Ronald K., Hariharan Swaminathan, dan H. Jane Rogers. 1991. Fundamentals

of Item Response Theory. SAGE Publication