prolog kajian mengenai - pkkmb.fisip.uns.ac.id · adapun ukt pertama kali berlandaskan pada surat...
TRANSCRIPT
KAJIAN TENTANG BIAYA PENDIDIKAN
A.PENDAHULUAN
Sepuluh tahun terakhir, gelombang protes atas kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi
semakin masif. Hal ini seiring dengan biaya kuliah yang meningkat lebih dari 10 kali lipat
selama 36 tahun terakhir. Mahalnya biaya kuliah menghambat kemajuan generasi muda
Indonesia dalam membangun bangsanya. Hal ini terbukti dari mayoritas angkatan kerja
Indonesia merupakan lulusan SD dan SMP, sedangkan yang merupakan lulusan sarjana dan
diploma hanya 11 persen saja. Cukup jauh dari negara tetangga seperti Malaysia yang sarjana
dan diplomanya mencapai 24 persen, ataupun Singapura yang mencapai 29 persen dari angkatan
kerja di negerinya, Dengan riwayat pendidikan formal yang rendah, banyak generasi muda
Indonesia terserap di industri sebgai buruh murah dengan hubungan kerja yang tidak adil seperti
outsourcing dan kontrak berkepanjangan,
Padahal Indonesia adalah negara yang punya cita-cita mulia yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Negara harus aktif melindungi warganya, termasuk dalam hal menjamin pemenuhan hak
atas pendidikan. Dalam kenyataannya, pendidikan diperlakukan seperti komoditas yang
diperdagangkan. Apa yang membuat pendidikan seperti seolah diperdagangkan? Apakah
mungkin pendidikan dapat dijadikan barang dagangan? Kenapa kuliah semakin mahal? Apa
yang bisa dilakukan?
B.PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI TANGGUNG JAWAB SIAPA?
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 ini
menjadi jaminan bagi sebuah warga negara untuk mendapatkan sebuah hak dalam mengakses
pendidikan. Disisi lain, tentulah ada yang berkewajiban dalam pendanaan pendidikan yakni
Negara.
Layaknya manusia dalam konsep agama terdapat kewajiban untuk beribadah. Tentunya ia
harus melaksanakannya. Jika tidak, pasti akan terkena imbasnya yakni sebuah dosa. Begitu pula
dengan negara. Ia harus mampu melaksanakan kewajibannya. Jika ia tidak mampu melaksanakan
sebuah kewajiban—Salah satunya dalam pemenuhan hak warga negara terhadap pendidikan, maka
imbasnya ia akan mendapat sebuah perlawanan/ protes dari rakyat.
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 Menunjukkan dengan tegas bahwa siapapun berhak
memperoleh pendidikan. Hanya saja kadang-kadang makna yang terkandung didalamnya kurang
dimaknai dengan baik. Pasal tersebut menempatkan pemerintah sebagai pihak yang mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Jika ditafsirkan dengan benar, maka
makna yang terkandung di dalamnya memiliki konsekuensi negara sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Amanah konstitusi ini juga mengandung arti bahwasannya pendidikan merupakan sebuah
barang publik (public goods) yang tentunya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai
kalangan baik kaya ataupun miskin.
C. KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI ERA UKT
Besarnya nominal Uang Pangkal dirasa memberatkan secara finansial bagi sebagian orang
tua mahasiswa. Belum lagi di perjalanan, kerap ada pungutan-pungutan lain Akhirnya Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan sistem biaya pendidikan tinggi yang sampai saat
ini terus digunakan, yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT dimaksudkan agar mahasiswa
ataupun orang tua yang membiayainya hanya perlu membayar biaya pendidikan tinggi sekali pada
tiap semester,
Adapun UKT pertama kali berlandaskan pada Surat Edaran (SE) Dikti No. 21/ E/T/2012,
dan SE Dikti No. 274/E/T/2012. Selain itu juga ada SE No. 305/E/T/2012 tentang Larangan
Kenaikan Biaya pendidikan tinggi. Peraturan yang melandasi UKT telah berkali-kali berganti,
antara lain Permendikbud No. 55 Tahun 2013, Permendikbud No. 73 Tahun 2014,
Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015, Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016, Permenristekdikti
No. 39 Tahun 2017, dan yang terakhir Kepmenristekdikti No. 91 Tahun 2018.
Nominal UKT ini bermacam-macam tergantung pilihan jurusan dan kelompok UKT-nya.
Nominal-nominal tersebut muncul dari besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT) di tiap-tiap PTN.
Pengelompokkan UKT dirancang oleh masing-masing PTN untuk kemudian ditetapkan
oleh Menteri. Pengelompokkan UKT ini dimaksudkan untuk menyesuaikan biaya UKT dengan
kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tuanya, atau pihak lain yang membiayainya. Berikut
adalah contoh penerapan UKT di jurusan Pendidikan Dokter Universitas Jenderal Soedirman,
dengan BKT Rp22.319.000,00 :
1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00
2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00
3. UKT Kelompok III : Rp7.100.000,00
4. UKT Kelompok IV : Rp9.450.000,00
5. UKT Kelompok V : Rp15.000.000,00
6. UKT Kelompok VI : Rp16.500.000,00
7. UKT Kelompok VII : Rp17.500.000,00
Sebagai perbandingan, contoh lain di jurusan Pendidikan Dokter Universitas Mataram,
dengan BKT Rp22.319.000,00 :
1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00
2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00
3. UKT Kelompok III : Rp8.750.000,00
4. UKT Kelompok IV : Rp15.000.000,00
5. UKT Kelompok V : Rp20.000.000,00
6. UKT Kelompok VI : Rp22.000.000,00
Contoh lain di jurusan Manajemen Universitas Negeri Semarang, dengan BKT
Rp6.472.000,00 :
1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00
2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00
3. UKT Kelompok III : Rp3.000.000,00
4. UKT Kelompok IV : Rp4.100.000,00
5. UKT Kelompok V : Rp5.100.000,00
6. UKT Kelompok VI : Rp5.800.000,00
7. UKT Kelompok VII : Rp6.400.000,00
Contoh di jurusan Manajemen Universitas Tanjungpura, dengan BKT Rp7.443.000,00 :
1. UKT Kelompok I : Rp500.000,00
2. UKT Kelompok II : Rp1.000.000,00
3. UKT Kelompok III : Rp2.050.000,00
4. UKT Kelompok IV : Rp3.550.000,00
5. UKT Kelompok V : Rp4.600.000,00
Seperti yang sempat dijelaskan di awal, biaya pendidikan tinggi pada sistem UKT ini
cenderung semakin ke sini semakin bertambah karena diperluasnya pungutan-pungutan di luar
UKT. Mahasiswa Universitas Negeri Makassar misalnya, pada tahun 2018 pernah memprotes
kebijakan KKN berbayar yang nominalnya sebesar Rp415.000,00 sampai Rp590.000,00. Atau
barangkali kita masih ingat pada Mei 2016, mahasiswa-mahasiswa di berbagai PTN (Undip, UNJ,
UGM, Unsoed, Unud, Unnes, Unesa, dsb) memprotes kebijakan mengenai akan diberlakukannya
kembali Uang Pangkal di kampus masing-masing.
D.LALU BAGAIMANA DENGAN UANG PANGKAL?
Masalah Uang Pangkal ini sempat muncul di beberapa PTN, dan tidak sedikit yang
menolaknya. Ketentuan yang melarang adanya Uang Pangkal ini sudah jelas, Pasal 6
Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 mengatakan bahwa PTN dilarang memungut Uang Pangkal
dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Diploma dan Program Sarjana
untuk kepentingan pelayanan pembelajaran secara langsung. Persoalannya adalah kemudian, ada
pasal lain yang mengatakan bahwa dibolehkan adanya pungutan selain UKT dan/atau Uang
Pangkal bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang masuk lewat jalur
kerja sama, dan mahasiswa yang masuk melalui seleksi jalur mandiri.
Uang Pangkal dibayarkan saat fase-fase penerimaan mahasiswa baru. Hal ini menjadikan
adanya Uang Pangkal rentan terjadinya praktek jual beli kuota kursi, seperti pada masa-masa
sebelum UKT. Para calon mahasiswa atau orang tuanya kemudian berlomba-lomba memperbesar
nominal Uang Pangkal dengan harapan agar diterima di PTN. Padahal jelas bahwa menurut Pasal
73 ayat (5) bahwa Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis
dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
Jika ternyata Uang Pangkal adalah sumbangan, maka cara penarikannya pun juga diatur
berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Permendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan
Biaya Pendidikan. Yang dimaksud sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa
uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau
lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak
mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu
pemberiannya. Dari ketentuan ini, jika Uang Pangkal adalah sumbangan, maka mahasiswa boleh
memberikannya dan boleh juga tidak memberikan. Jumlahnya bisa berapapun dan waktunya
kapanpun. Karena sifatnya tidak mengikat, maka sumbangan tidak boleh dikaitkan dengan
penerimaan mahasiswa baru ,sebagai contoh inilah SPI di UNS
E.PENUTUP
Dengan tulisan yang dengan penggambaran yang sangat sedikit ini panitia PKKMB
FISIP UNS memberikkan gambaran kepada seluruh Elemen Mahasiswa Baru Tentang Biaya
Kuliah di pendidikan Tinggi. Kami melalui kajian ini juga menegaskan bahwa demokrasi kita
sedang tidak baik-baik saja. Mengapa demikian? Karena Gawang Demokrasi yakni kampus pun
sudah semakin nyata dibungkam dan dikekang kebebasannya artinya apabila kampus sudah
dikekang maka bagaiman akal sehat demokrasi kita akan dapat terjaga? Karena hanya kampuslah
yang memiliki cita-cita murni untuk terus menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang terbebas
dari kepentingan politik praktis manapun.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/97415/pil-merah-dan-biru-pendidikan-tin
https://www.edunews.id/edunews/kampus/mahalnya-ukt-tak-dibarengi-peningkatan-fasilitas-
kampus/
Peraturan rektor universitas sebelas maret no 14 tahun 2019
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945
UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Disusun oleh Raka Aditya Putra Tama, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Aksesibilitas Pendidikan Tinggi di Indonesia
Iklil Mara Abidyoga
FISIP UNS, 2019
Abstraksi
Aksesibilitas pendidikan dibagi pada 2 jenis akses, yang pertama akses pendidikan dari segi biaya,
yang kedua akses pendidikan dari keberadaan/persoalan mengenai fisiknya. Apabila dilihat dari
kedua faktor tersebut, dinilai masih sulit untuk diakses. Biaya pendidikan tinggi yang masih terlalu
mahal apabila ingin diakses oleh masyarakat kurang mampu. Keberadaan fisik Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) yang masih belum merata (perkotaan-pedesaan) maupun antarpulau di Indonesia.
Memperoleh pendidikan dari dasar sampai pendidikan di perguruan tinggi adalah hak dan
harapan setiap Warga Negara Indonesia untuk memperoleh nasib yang lebih baik.
Keyword : Aksesibilitas, Pendidikan, PTN Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran penting dalam pembangunan. Hal ini dikarenakan sasaran
utamanya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Terlebih lagi, hak memperoleh
pendidikan merupakan amanat konstitusi bagi warga negara Indonesia. Dalam sistem pendidikan
nasional yang berlaku saat ini, yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu dan merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakannya.
UU No. 20 tahun 2003 Pasal 11 ayat 1 mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Penyelenggaraan pendidikan yang dapat
diakses dengan mudah dipengaruhi oleh adanya pemerataan pendidikan.
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan pemerintah bertanggung
jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum. Oleh
karena itu semua warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran tanpa
terkecuali. Dari sinilah pemerintah dituntut untuk mewujudkan pemerataan di bidang pendidikan.
Pada 2017, berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek
Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Angka ini didominasi
oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri
(PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 122 unit. Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan
perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.Namun
demikian, jumlah ini masih tak sebanding dengan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi
di Tanah Air. APK Indonesia berada di kisaran 31,5 persen. Kondisi ini membuat banyak PTS
yang mempunyai mahasiswa kurang dari 500 dan membuat kondisi PTS tersebut tak sehat. Disisi
lain, tingginya minat calon mahasiswa pada PTN yang notabene menghadirkan kuliah dengan
biaya lebih terjangkau masih belum mampu tertampung seluruhnya karena minimnya perguruan
tinggi negeri.1
1 www.katadata.co.id
Keadaan ini tentunya belum sesuai dengan UU dan Amanat UUD 1945 untuk mengadakan
penyelenggaraan pendidikan yang dapat dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan
masyarakat dengan ketersediaan jumlah PTN yang ada.
Pada tahun 2013/2014, jumlah PTN yang ada di Indonesia (termasuk institusi, sekolah
tinggi, politeknik, dan akademik) 99 PTN dengan jumlah mahasiswa 1.827.240. Pada tahun
2014/2015, jumlah PTN yang tersedia 121 PTN dengan jumlah mahasiswa 1.958.111.2 Sampai
saat ini Tahun 2019, universitas yang termasuk PTN berjumlah 85, dengan penyebaran pada setiap
provinsi: Papua Barat (1), Papua (3), Maluku Utara (1), Maluku (1), Sulawesi Barat (1), Gorontalo
(1), Sulawesi Tenggara (2), Sulawesi Selatan (3), Sulawesi Tengah (1), Seulawesi Utara (2),
Kalimantan Timur (2), Kalimantan Utara (1), Kalimantan Selatan (1), Kalimantan Tengah (1),
Kalimantan Barat (1), NTT (2), NTB (1), Bali (3), Banten (1), Jatim (10), D.I.Y (5), Jateng (7),
Jabar (8), D.K.I Jakarta (4), Lampung (2), Bangka Belitung (1), Sumatra Selatan (2), Bengkulu
(1), Jambi (1), Kep. Riau (1), Sumatera Barat (3), Sumatera Utara (3), Aceh (6).3 Untuk Sekolah
Tinggi ada 19 pendidikan tinggi kedinasan di 8 kementerian/lembaga yang membuka kesempatan
bagi generasi muda yang memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi. Untuk tahun 2019, dibuka
9.176 kursi calon siswa-siswi/taruna-taruni.4 Sedangkan untuk Politeknik Negeri di tahun 2019
ada 42 Politeknik Negeri se-Indonesia yang membuka pendaftaran.5
Mahasiswa baru yang dapat bersaing dan memperoleh pendidikan tinggi di kampus negeri
hanya sebanyak 470.838, dan yang lainnya 966.587 diterima di PTS.6 Beruntunglah kita yang
masih mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus negeri, karena
jumlah lulusan siswa SMA negeri maupun swasta sebanyak 1.525.4187, yang notabene siswa SMA
perlu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sebelum memasuki dunia pekerjaan.
Hal ini tentunya masih jauh dari harapan untuk mendapatakan akses pendidikan yang mudah dan
merata, jumlah universitas yang masih dirasa kurang dan juga belum tersebar dengan merata
menjadi salah satu sebab aksesibilitas pendidikan tinggi masih sulit untuk dijangkau oleh seluruh
kalangan masyarakat.
1. Aksesibilitas dan Persebaran PTN di Indonesia
Pendidikan menurut Dewey dalam Puslitjak (2012) adalah education is the process without
end. Hal ini merujuk pada pengertian pendidikan dalam arti luas. Pendidikan tidak berhenti ketika
individu telah mencapai kedewasaan baik jasmani maupun rohani.Selanjutnya, muncul konsep
pendidikan seumur hidup (lifelong education), yang berarti pendidikan berlangsung seumur hidup
atausampai mati. Merupakan konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa
kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan hidup manusia. Dalam upaya
mendapatkan pendidikan dalam berproses, perlu adanya kesempatan untuk dapat mengakses
pendidikan.
Aksesibilitas dapat dianggap sebagai sesuatu yang di luar keberadaan atau
availibilitas(ketersediaan) dari sumber daya dalam waktu dan tempat yang tepat. Termasuk
karakteristik dari sumber-sumber yang memberikan peluang atau rintangan yang dirasakan oleh
2 www.bps.go.id 3 https://web.snmptn.ac.id 4 https://www.menpan.go.id 5https://edukasi.kompas.com/read/2019/02/07/15534991/pmdk-politeknik-negeri-dibuka-ini-tata-cara-pendaftarannya 6 STATISTIK PERGURUAN TINGGI 2017, KEMENRISTEKDIKTI 7 STATISTIK SMA 2019, KEMENDIKBUD
klien-klien (pelanggan) potensial. Carneiro dalam(Finnie dan Mueller, 2008) memberikan pokok-
pokok pikirannya bahwa ada dua perlakuan aksesibilitas, yaitu a) aksesibilitas keuangan yang
diartikan sebagai “kemampuan individu”,seperti kemampuan membayar biaya
pendidikan(financial accessibility, defined as the individualability to pay for education) dan b) apa
saja yang berhubungan dengan aksesibilitas fisik. Kemudian Carneiro mengistilahkan dalam
definisinya sebagai transportasi, waktu dan pencarian biaya dalam proses memperoleh kesempatan
pendidikan. Dari beberapa definisi, aksesibilitas finansial mengacu pada karakteristik kemampuan
masyarakat, dibandingkan denganfaktor-faktor atau sumber-sumber pendidikan lainnya.
Aksesibilitas pendidikan adalah kemudahan yang diberikan kepada setiap warga
masyarakat untuk menggunakan kesempatannya dalam memasuki suatu program pendidikan.
Akses tersebut dapat berupa sikap sosial yang non-diskriminatif, kebijakan politik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang mendukung dan mencegah diskriminasi, tersedianya
lingkungan fisik pendidikan yang aksesibel, tersedianya alat bantu belajar/mengajar yangsesuai,
dan biaya pendidikan yang terjangkau,yang memungkinkan setiap warga
masyarakatmenggunakan kesempatannya untuk mengikutiproses belajar/mengajar pada program
pendidikan yang dipilihnya.
Teori utama yang mendasari penelitian ini adalah teori Liberal Klasik dari Darwin yang
ditemukan pada tahun 1859 Andrew dan Orodho(2014). Menurut teori ini setiap orang dilahirkan
dengan jumlah kapasitas tertentu yang untuk sebagian besar diwariskan dan tidak dapat diubah
secara substansial. Dengan demikian, sistem pendidikan harus dirancang sedemikian rupa untuk
menghilangkan hambatan apapun termasuk faktor alamiah/takdir anak-anak yang melekat pada
dirinya (termasuk latar belakang ekonomi orang tua, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga,
geografis/keadaan lingkungan) yang menghambat siswa untukmemperoleh pendidikan. Rousseau
(dalam Kainuwa dan Najeemah, 2013) berupa Teori Keadilan Sosial, yang menyatakan bahwa
faktor “alam” yang melekat pada manusia sejak lahir seharusnya tidak menjadi masalah dalam
mendapatkan keadilan sosial terutama dalam memperoleh pendidikan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi aksesibilitas pendidikan adalah daerah tempat
tinggal (perkotaan-pedesaan). Upaya Pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan tidak
lepas dari faktor kesenjangan antarwilayah, utamanya wilayah perkotaan dan perdesaan. Adanya
perbedaan layanan antarwilayah terutama wilayah perdesaan dengan perkotaan dapat
menimbulkan kesenjangan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan/bersekolah, di samping
karena keterbatasan jumlah sekolah yang tersedia diperdesaan yang menyebabkan keterjangkauan
jarak sekolah dari tempat tinggal menjadi lebih jauh, juga karena mayoritas penduduk
miskinberada di daerah perdesaan. Penduduk perkotaan relatif lebih mudah mengakses pelayanan
pendidikan jika dibandingkan dengan penduduk perdesaan karena jumlah sekolah lebih banyak.
Fasilitas pelayanan pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas di daerah pedesaan,
terpencil, dan kepulauan masih terbatas, sehingga menyebabkan sulitnya mencapai pendidikan
sampai ke jenjang tertinggi/perguruan tinggi. Selain itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus
bagi anak-anak yangmempunyai kelainan fisik, emosional, mental,sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai, terutama di daerah
pedesaan, terpencil,dan kepulauan. Minimnya fasilitas pendidikan di daerah pedesaan berpengaruh
terhadap partisipasi anak-anak dalam memperoleh pendidikan, sehingga Pemerintah perlu segera
melakukan percepatan pembangunan fasilitas pendidikan di perdesaan agar tidak terjadi
kesenjangan yang tinggi dengan wilayah perkotaan. Penelitian Ibrahim, Okumu., Nakajo Alex,
dan Isoke (2008) dan Lasfitri (2013), menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal diperkotaan
memiliki peluang bersekolah(probabilitas) yang lebih baik (tidak drop out) daripada anak yang
tinggal di perdesaan
Persebaran Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia juga masih terpusat di pulau
Jawa dengan 48 PTN yang ada, masih sangat jauh jumlahnya apabila kita bandingkan dengan yang
ada di pulau-pulau lain: Sumatera (28), Kalimantan (14), Sulawesi (14), Maluku (4), Bali (4), NTB
(1), NTB (4), Papua (5). Persoalan ini tentunya tidak sejalan dengan pembangunan infrastruktur
yang banyak dilakukan oleh pemerintah, yang belum berfokus pada pembangunan infrastruktur
yang difokuskan untuk peningkatan SDM berkualitas melalui pendidikan yang tinggi. Juga
termasuk pula apabila mahasiswa dari pulau-pulau yang jauh dari akses pendidikan tinggi
utamanya tapi memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di PTN yang berada jauh
dari rumahnya, biaya tanggungan hidup juga masih harus dipikirkan olehnya serta keluarganya.
Selain itu, Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi. Pada tahun 2020-2030,
jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70% dari total penduduk. Saat ini saja,
jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 261,8 juta jiwa, diperkirakan pada 2020 akan
bertambah menjadi 271 juta jiwa dan pada 2030 menjadi 296 juta jiwa.8
Menariknya, pemerintah Indonesia cenderung konservatif menghadapi perkembangan
zaman yang katanya sedang memasuki Revolusi Industri 4.0 ini. Mengacu pada data UNESCO,
Indonesia hanya menggunakan 3,58% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk belanja
pendidikan.9 Negara- negara yang indeks pembangunan manusianya tinggi menggunakan
setidaknya 7% PDB untuk belanja pendidikan, seperti Norwegia dan Finlandia. Bahkan negara-
negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam menggunakan sekitar 6% PDB untuk belanja
pendidikan.10
3. Kesimpulan
Pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk keberlangsungan hidup manusia.
Aksesibilitas pendidikan yang mudah untuk diakses oleh masyarakat dari aspek biaya maupun
keberadaan fisik masih perlu diperhatikan. Kemenristekdikti merilis data bahwa Angka Partisipasi
Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia adalah 31,5%. Capaian ini patut diapresiasi karena
adanya kenaikan angka dari yang tadinya 26,86% pada tahun 2015. Berdasarkan Rencana Strategis
Pengembangan Pendidikan Tinggi 2015-2019, Indonesia menargetkan APK pendidikan tinggi
mencapai 32,56% pada 2019. Akan tetapi capaian ini masih tidak lebih tinggi jika dibanding APK
pendidikan tinggi negara-negara tetangga seperti Malaysia (38%), Thailand (54%), dan Singapura
(78%).11Selain itu, juga sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alenia ke 4.
8 www.bps.go.id 9http://data.uis.unesco.org/ 10http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2017/doc/INS- 2016_human_development_report.pdf 11http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia- kampus/17/11/20/ozpyyo280-apk-perguruan-tinggi-tak-sebanding-denganjumlah-kampus
Daftar Pustaka
Ahmad, P M 2019, Kuliah Kok Mahal, Best Line Press, Yogyakarta.
Ekowati ,T 2014, ‘Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Pelayanan Pendidikan pada
Sekolah RSBI/SBI’, Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik, vol. 18, no 1, hh. 20-36.
Perdana, N S 2015, ‘Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Aksesibilitas
Memperoleh Pendidikan untuk Anak-Anak di Indonesia’, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
vol. 21, no. 3, hh. 279-298.
Dokumen Negara
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
UUD 1945.
Transparansi Sistem Seleksi Perguruan Tinggi
Disusun Oleh Axel Adam Mahendra, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Angkatan 2018
Abstrak: Selama beberapa tahun terakhir, sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri beberapa
kali mengalami perubahan. Melalui siaran pers No : 4 /SP/HM/BKKP/XII/2019 (Kementrian
Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi, 2019), disebutkan bahwa perubahan sistem seleksi
Perguruan Tinggi Nasional diharapkan agar sistem seleksi yang baru dapat menerapkan 6 nilai
di antaranya: Adil, Transparan, Fleksibel, Efisien, Akuntabel, dan Sesuai dengan perkembangan
jaman (digital). Meskipun begitu, transparansi tetap menjadi hal yang penulis rasa belum tuntas
sejak sistem Seleksi Masuk Perguruan Tinggi dilaksanakan beberapa tahun lalu hingga saat ini.
Artikel ini secara khusus membahas permasalahan transparansi sistem seleksi masuk perguruan
tinggi sejak 2017 - 2019 .
Pendahuluan
Secara umum, pelaksanaan sistem
seleksi masuk perguruan tinggi negeri baik
tahun ini hingga bertahun-tahun sebelumnya
dapat dikatakan terdiri dalam 3 tahapan
seleksi. Yang pertama adalah sistem seleksi
tanpa tes dengan melihat nilai rapor dan
prestasi calon mahasiswa baru (selanjutnya
disebut camaba). Beberapa sebutan atau
contoh sistem seleksi tanpa tes ini adalah
“Jalur Undangan”, “Penelusuran Minat dan
Kemampuan (PMDK)”, “Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN)”, dan lain sebagainya.
Pelaksanaan seleksi ini ada yang bersifat
nasional dan serentak (contohnya SNMPTN)
dan ada juga yang dilaksanakan secara
mandiri oleh kampus-kampus penerima.
Sistem seleksi yang kedua adalah
sistem seleksi berbasis ujian yang
dilaksanakan nasional dan serentak. Ada
beberapa nama yang digunakan untuk sistem
seleksi ini, seperti “Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB)”, “Ujian Masuk
Bersama PTN (UMB-PTN)”, “Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN)”, hingga yang terbaru adalah
“SBMPTN dengan metode UTBK (Ujian
Tulis Berbasis Komputer)”. Meskipun
memiliki nama dan teknis pelaksanaan yang
berbeda-berbeda, secara garis besar sistem
seleksi ini mengharuskan camaba mengikuti
tes serentak dan hasil dari tes tersebutlah
yang digunakan untuk menyeleksi maha-
siswa yang diterima di PTN se-Indonesia.
Sistem seleksi yang ketiga adalah
sistem seleksi yang dilaksanakan secara
mandiri oleh kampus-kampus penerima.
Mekanise penyeleksiannya pun berbeda-beda
seperti sistem seleksi berbasis tes (tertulis
maupun komputer), sistem seleksi
menggunakan nilai SBMPTN sebelumnya
sebagai acuan, ataupun gabungan dari kedua
sistem tersebut.
Agar pembahasan dari tulisan ini tidak
terlalu luas, permasalahan transparansi yang
akan penulis angkat berfokus kepada sistem
seleksi yang dilaksanakan secara nasional
(baik dengan tes ataupun tanpa tes). Hal
tersebut dikarenakan seleksi yang
dilaksanakan mandiri oleh kampus-kampus
terkait mengacu kepada sistem dan kebijakan
tiap kampus yang berbeda-beda.
Dikarenakan hal tersebut, sudah jelas bahwa
transparansi seleksi penerimaan mahasiswa
baru tiap kampus berbeda-beda dan menjadi
tidak bijaksana apabila hal tersebut penulis
bahas di sini.
Di sisi lain, ada 2 hal yang selalu
menjadi polemik apabila kita berbicara
tentang transparansi sistem seleksi.
Permasalahan yang pertama berkaitan
dengan transparansi dan dan anggaran seleksi
masuk perguruan tinggi negeri.
Permasalahan kedua adalah proses dan hasil
seleksi itu sendiri yang masih tidak dapat
diakses secara penuh oleh calon mahasiswa
baru.
Transparansi Dana
Berbicara mengenai tes tertulis
nasional atau yang sejak tahun 2013 kita
kenal dengan SBMPTN (sebelumnya
SNMPTN), tentu tak dapat dipisahkan
dengan uang pendaftaran yang harus
dibayarkan para calon mahasiswa baru
apabila ingin mengikuti tes tersebut. Pada
tahun 2017, 2018, hingga 2019, meskipun
mekanisme dan teknis seleksi SBMPTN
berbeda-beda, biaya pendaftaran SBMPTN
tidak berubah yaitu sebesar dua ratus ribu
rupiah bagi peserta golongan regular dan
gratis bagi peserta Bidikmisi. Sebelum
tulisan ini dilanjutkan lebih jauh, penulis
ingin mengajak pembaca untuk memikirkan
berapa banyak uang yang diterima oleh
panitia pelaksana SBMPTN dari uang
pendaftaran camaba.
Pada tahun 2017, tercatat 639.049
pendaftar dari golongan reguler dan 157.974
pendaftar dari golongan bidikmisi (Panitia
Pusat SNMPTN-SBMPTN 2017, 2017).
Apabila dijumlahkan, dana yang dihimpun
oleh panitia pusat SBMPTN 2017 adalah
sebesar Rp 127.809.800.000,00. Pada tahun
2018, jumlah peserta SBMPTN jalur reguler
adalah sebanyak 672.816 dan bidikmisi
187.185 peserta (Debora, 2018). Dengan
demikian, dana pendaftaran yang dihimpun
di tahun 2018 adalah sebesar Rp
134.563.200.000,00. Pada tahun 2019,
jumlah peserta UTBK reguler adalah 541.339
dan bidikimisi sebanyak 173.313 peserta
(Harususilo, 2019). Total dana yang
dihimpun adalah Rp 108.267.800.000,00.
Yang menjadi pertanyaan adalah ke mana
larinya dan bagaimana alokasi dana ini?
Dibalik besarnya angka jumlah
pendaftar SBMPTN tiap tahunnya, yang
sering kali dilupakan oleh masyarakat umum
adalah adanya sejumlah dana yang
jumlahnya besar dan dihimpun dari
masyarakat. Sayangnya dana ini tidak pernah
dilaporkan atau bahkan sekedar disebutkan
dalam berbagai siaran pers dan rilis-rilis
resmi. Angka-angka ini bahkan penulis dapat
dengan mengalikan sendiri biaya pendaftaran
dengan jumlah pendaftar setiap tahun. Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa panitia
pelaksana SBMPTN tidak pernah merilis
data-data ini? Jika memang seluruh dana
yang dihimpun ini dialokasikan untuk
seleksi, panitia seharusnya merilis besar
anggaran dan realisasinya sehingga rakyat
dapat melihat secara langsung ke mana uang
yang mereka bayarkan dialokasikan. Hal ini
mencoreng nilai transparan dan akuntabel
yang digaungkan oleh LTMPT sebagai
penyelenggara SBMPTN 2019.
Di sisi lain, tidak adanya laporan baik
anggaran maupun realisasi dana juga
melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pasal 9 ayat 2 secara khusus mengatur
informasi yang harus diberikan oleh badan
layanan publik (seperti Lembaga Tes Masuk
Perguruan Tinggi atau Panitia Seleksi
Perguruan Tinggi Negeri) yaitu:
a. informasi yang berkaitan dengan Badan
Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja
Badan Publik terkait;
c. informasi mengenai laporan keuangan;
dan/atau
d. informasi lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Tidak adanya laporan keuangan berkaitan
dengan dana yang dihimpun maupun
digunakan oleh LTMPT/ Panitia Seleksi
Perguruan Tinggi jelas telah melanggar
undang-undang ini dan seharusnya
diberlakukan tindakan lebih lanjut.
Transparansi Proses dan Hasil
Seleksi
Hal lain yang perlu disorot berkaitan
dengan transparansi adalah tidak adanya
informasi mengenai bagaimana panitia
menyeleksi nilai, prestasi, dan atau hasil tes
camaba. Selama ini, proses seleksi yang
diketahui oleh masyarakat umum hanya
cukup sampai pengumpulan berkas (nilai dan
prestasi camaba) atau pengumpulan hasil tes
yang telah dilakukan sebelumnya. Baik
camaba maupun masyarakat umum tidak bisa
mengakses informasi bagaimana berkas,
nilai, atau hasil tes yang mereka input diolah
dan diseleksi. Yang mereka tahu hanyalah
hasil diterima atau tidak, tanpa catatan-
catatan tertentu atau penjelasan mengapa
hasil tersebut yang mereka dapatkan.
Apabila penulis boleh mengiaskan,
sistem seleksi SNMPTN dan SBMPTN yang
dilaksanakan sekarang seolah dilaksanakan
oleh tangan-tangan gaib nan transparan, tidak
terlihat, tiba-tiba memberi hasil. Sekali lagi,
hal seperti ini mencoreng nilai transparan
yang dianut oleh LTMPT itu sendiri,
bukannya transparan memberikan informasi
mekanisme dan proses seleksi, keberadaan
dan kerja LTMPT justru terkesan transparan
alias tidak terlihat.
Meskipun begitu, pelaksanaan Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
tahun 2019 dapat diapresiasi karena
transparansinya meningkat dari tahun
sebelumnya. Jika tahun 2018, 2017 dan
tahun-tahun sebelumnya camaba yang
mengikuti tes tertulis maupun komputer
hanya bisa mengakses diterima atau tidaknya
mereka di perguruan tinggi yang mereka
daftarkan, tahun ini camaba juga dapat
mengetahui perolehan nilai/ hasil tes yang
mereka lakukan. Hal ini dikarenakan sistem
tahun ini yang sedikit berbeda di mana
camaba melaksanakan tes terlebih dahulu.
Setelah nilai/ hasil dari tes mereka keluar,
mereka dapat menggunakan nilai tersebut
untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri
yang sekiranya dapat menerima mereka
(berdasarkan hasil tes tersebut).
Selain lebih transparan, hal lain yang
dapat diapresiasi dari hal ini adalah
berkurangnya proses trial and error dan
camaba dapat mengukur kemampuan serta
potensi mereka untuk masuk ke kampus
idaman. Menurut penulis, dampak dari hal ini
adalah berkurangnya peminat kampus-
kampus peringkat teratas nasional seperti
Universitas Indonesia, Universitas Gadjah
Mada, Intitut Teknologi Bandung. Camaba
lebih memilih aman dan mendaftar ke
Universitas-universitas dengan peringkat
intermediate seperti Universitas Diponegoro,
Universitas Brawijaya, dan Universitas
Sebelas Maret (Kementrian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi, 2019).
Kesimpulan
Polemik transparansi seleksi masuk
perguruan tinggi negeri masih menjadi satu
tugas besar yang belum bisa dituntaskan oleh
penyelenggara seleksi masuk perguruan
tinggi negeri (dalam hal ini pemerintah
melalui LTMPT). Permasalahan tersebut
mencakup transparansi dana
penyelenggaraan seleksi itu sendiri, baik
yang dianggarkan oleh pemerintah maupun
yang dihimpun dari masyarakat (melalui
biaya pendaftaran seleksi). Masalah kedua
berkaitan dengan proses seleksi itu sendiri
yang sampai saat ini masih tidak diketahui
secara utuh bagaimana mekanisme dan
prosesnya.
Di sisi lain, tidak dapat disangkal
bahwa pelaksanaan seleksi masuk perguruan
tinggi tahun 2019 terutama SBMPTN yang
berbasis kepada tes komputer mengalami
peningkatan dalam hal keterbukaan nilai/
hasil seleksi dan sudah sepatutnya
diapresiasi. Harapan ke depan berkaitan
dengan transparansi seleksi masuk perguruan
tinggi negeri adalah pemerintah senantiasa
mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan-
kekurangan seperti yang telah penulis
uraikan sebelumnya sehingga akses
informasi publik dapat terlaksana dengan
baik sesuai dengan kewajiban pemerintah
sebagai penyedia layanan umum.
Referensi
Debora, Y. (2018). Total Pendaftar SBMPTN 2018 Sebanyak 860.001 Siswa. Jakarta: Tirto.id.
Harususilo, Y. E. (2019). Pendaftaran SBMPTN 2019 Ditutup, Berapa Mendaftar Tahun Ini?
Jakarta: Kompas.com.
Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (2019). 168.742 Peserta Lulus SBMPTN
2019 di 85 PTN se-Indonesia. Jakarta: Kemenristekdikti.
Kementrian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi. (2019). Luncurkan LTMPT, Menristekdikti
Harapkan Sistem Baru Seleksi Masuk PTN Disosialisasikan Dengan Baik. Jakarta:
Kemenristekdikti.
Panitia Pusat SNMPTN-SBMPTN 2017. (2017). Hasil Rekapitulasi Pendaftaran SBMPTN 2017.
Surakarta: Kemtrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Inkonsistenan Sistem Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Negri (SBMPTN) yang kurang
berpihak kepada calon mahasiswa
Oleh:
Muhammad Abduh Alfaruqie
FISIP UNS,2019
Abstraksi
Setiap tahunya sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru banyak mengalami perubahan.
Banyak kebijakan pemerintah yang kurang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
masyarakat.Evaluasi dari tiap tahunya seharusnya dapat menjadikan masukan untuk proses
seleksi ditahun yang akan datang menjadi lebih baik lagi bukan sama saja sistem yang digunakan.
Keyword:
SBMPTN,SNMPTN,Menristekdikti,sistem seleksi
Seleksi bersama perguruan tinggi negeri atau sering dikenal dengan SBMPTN Dari tahun-ketahun
sistem seleksi banyak terjadi perubahan dikarenakan menyesuaikan dengan perkembangan
teknologi dan diharapkan lebih efektif dan efisien proses pelaksaanya.
Perubahan sistem SBMPTN dari tahun-ketahun
Di lihat dari lebih jauh lagi sejarah SBMPTN atau dahulu juga di kenal dengan SNMPTN
awalnya adalah tes penerimaan mahasiswa baru .Tahun 1976 istilah yang dipakai adalah
Sekretariat Kerja Sama Antar Lima Universitas disingkat SKALU.SKALU dibuat dan
dilaksanakan oleh lima perguruan tinggi secara serentak. Lima perguruan tinggi yang mengadakan
SKALU adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi
Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (UNAIR).SKALU
hanya diberlakukan selama tiga tahun dan diubah namanya menjadi Sekretariat Kerja Sama Antar
Sepuluh Universitas atau SKASU. Sistem ini diperbaharui di mana calon mahasiswa dapat
memilih program studi. Selain itu SKASU juga memungkinkan para calon mahasiswa untuk
mendaftar di tiga perguruan tinggi, serta tiga program studi yang berbeda pada masing-masing
universitas.
Tahun 1983, istilah penerimaan mahasiswa baru kembali berganti. Kali ini bernama Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru. Perubahan istilah dan sistem ini untuk
menyelaraskan sistem penerimaan karena perbedaan sistem yang dilakukan tiap perguruan tinggi
pada tahun-tahun sebelumnya.Berbeda dengan sistem sebelumnya, Sipenmaru melibatkan seluruh
perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Pada tahun 1989 Pemerintah mengubah nama Sipenmaru Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (UMPTN) karena sistemnya berubah lagi. Kelompok Ujian masuk di UMPTN terbagi
menjadi tiga, yakni IPA, IPS, dan IPC (Campuran) berdasarkan program studi yang dipilih.Tak
hanya itu, untuk meningkatkan kualitas, pemerintah memberlakukan sistem poin, yang memiliki
aturan dikuranginya (minus) 4 poin per satu jawaban yang salah dalam ujian.
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
SPMB Nusantara pada tahun 2002. Dalam SPMB, muncul metode ujian baru, yakni ujian mandiri.
Dalam ujian mandiri, beberapa calon mahasiswa dapat melakukan tes secara mandiri untuk dapat
masuk ke dalam perguruan tinggi yang dituju.SPMB diberlakukan selama hampir tujuh tahun, dan
pada akhirnya diganti menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
tahun 2008. Hal tersebut terkait terjadinya kekisruhan dalam forum rektor PTN penyelenggaraan
SPMB yang dianggap tidak sesuai dengan pola keuangan PTN non-BHMN (Badan Hukum Milik
Negara).
SNMPTN sempat mengalami beberapa perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008,
cara pendaftaran SNMPTN yang masih menggunakan kertas, diubah menjadi sistem online yang
dikenalkan pemerintah setahun kemudian untuk mempermudah registrasi.Di tahun 2011,
SNMPTN memberlakukan dua jalur seleksi masuk, yakni Jalur Undangan, dan Jalur Ujian
Tertulis.
Nama Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) kemudian muncul di
tahun 2013. Sistem SBMPTN dilakukan berdasarkan peringkat nilai ujian yang diselenggarakan
di sekolah, dengan soal dari pemerintah. Sistem kuota membagi persentase kursi tersedia di PTN
dengan tiga tipe ujian, yakni SBMPTN, SNMPTN dan ujian mandiri PTN. Kuota penerimaan
mahasiswa baru berdasarkan jenis jalur masuk adalah 50% dari peringkat hasil ujian SNMPTN,
30% dari SBMPTN, dan 20% dari ujian mandiri kala itu.
Pada tahun 2017, terjadi perubahan kuota untuk kursi perguruan tinggi yang tersedia. Jalur
SNMPTN berubah menjadi minimal 30% , SBMPTN minimal 30% , dan Ujian mandiri menjadi
maksimal 30% untuk masing-masing PTN.
Evaluasi pada SBMPTN tahun kemarin
Selanjutnya, pada tahun 2018, SBMPTN dibagi menjadi dua metode ujian yakni UTBC
(Ujian Tulis Berbasis Cetak) dan UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer). Pada tahun kemarin
penilaian untuk SBMPTN sampai hari H pelaksaan belum ada keputusan yang pasti antara jika
soal diisi dan kemudian jawaban salah akan mendapatkan pengurangan point atau tidak.Karena
pada saat itu adanya isu jika soal hendaknya diisi penuh karena tidak akan mempengaruhi jika
dijawab salah dan akhirnya pada saat itu perserta dibuat binggung untuk mengisi jawaban
keseluruhan atau hanya sebatas mengisi jawaban yang dianggapnya benar atau sering disebut tidak
menembak jawabanya secara asal. Ketua Pokja SBMPTN 2018 Profesor Budi Prasetyo
Widyobroto telah menjelaskan perihal sistem penilaian baru ini. Sistem lama SBMPTN
menggunakan penilaian skor empat bila benar, minus satu kalau salah dan yang tidak mengerjakan
akan mendapat nilai nol. Tahap penilaian SBMPTN yang baru pun disederhanakan dari tiga tahap
menjadi dua tahap. Tahap pertama seluruh jawaban peserta akan diproses.Adapun tahapan kedua
menggunakan teori 'response butir'.
Teori Response butir
Teori Responsi Butir (Item Response Theory disingkat IRT) dinamai juga sebagai Teori
Ciri Laten (Latent Trait Theory disingkat LTT) atau Lengkungan Karakteristik Butir (Item
Characteristic Curve disingkat ICC). Untuk memudahkan pengertian, di sini hanya digunakan
istilah IRT. Seperti disebutkan di atas, pada hakekatnya IRT bertujuan untuk mengatasi kelemahan
yang terdapat pada pengukuran klasik. Pada IRT, peluang jawaban benar yang diberikan siswa,
ciri atau parameter butir, dan ciri atau parameter peserta tes dihubungkan melalui suatu model
formula yang harus ditaati baik oleh kelompok butir tes maupun kelompok peserta tes (Hambleton
& Rogers, 1991).
Tujuan teori butir yaitu memebaskan dari interdependensi, sehingga. taraf sukar butir tidak
lagi bergantung kepada kemampuan responden. Kemampuan responden tidak lagi bergantung
kepada taraf sukar butir. Melalui independensi di antara taraf sukar butir dan kemampuan
responden, dapat dipilih butir yang cocok dengan responden. Dalam hal terjadi kecocokan di antara
taraf sukar butir dan kemampuan responden, maka: kalau taraf sukar butir diketahui, kemampuan
responden dapat ditentukan. Kalau kemampuan responden diketahui, taraf sukar butir dapat
ditentukan.
Artinya, butir yang sama terhadap peserta tes yang berbeda harus tunduk pada aturan rumus
itu, atau peserta tes yang sama terhadap butir tes yang berbeda juga harus patuh terhadap rumus
tersebut. Dalam proses semacam ini terjadilah apa yang disebut invariansi di antara butir tes dan
peserta tes. Pada pengukuran modern, taraf sukar butir tidak dikaitkan langsung dengan
kemampuan responden. Teori ini digunakan untuk menganalisis karakteristik setiap soal. Soal
dibagi ke dalam 3 kategori yaitu mudah, sedang dan sulit. Karakteristik soal yang didapatkan pada
tahap kedua kemudian digunakan untuk menghitung skor peserta. Jadi meski setiap peserta dapat
menjawab soal dengan sama benar, namun hasil akhir belum tentu memiliki skor yang sama
tergantung jenis soal yang dikerjakan. Dihubungi Kompas.com, Pokja
SBMPTN meminta peserta SBMPTN berhati-hati terhadap informasi yang tidak
bertanggungjawab. "Banyak orang yang ambil kesempatan dengan adanya seleksi SBMPTN ini.
Saya sudah jelaskan di 8 stasiun TV," jelas Budi. Sebelum dimulai pendaftaran pun sudah
dilakukan sosialisasi, jelas Budi menanggapi kurangnya waktu sosialisasi SBMPTN. "Intinya
sebetulnya bagi peserta tidak berpengaruh sistem apapun yang digunakan. Yang terpenting
sebetulnya bahwa peserta telah menyiapkan diri untuk ujian," lanjutnya. Sistem baru ini dibuat
malah menguntungkan (peserta). Budi meminta untuk peserta yang telah melalui SBMPTN
kemarin seharusnya fokus pada substansi tes dan bukan strategi mengerjakannya. Budi juga
mengajak semua pihak untuk menyampaikan hal yang benar baik kepada mahasiswa maupun
perguruan tinggi yang akan menerima mahasiswa.
Di sisi lain, Sekretaris Panitia Pusat SNPMB PTN 2018 Joni Hermana mengatakan
pelaksanaan ujian dengan menggunakan sistem android yang pertama kalinya dilakukan tahun ini,
dinilai berjalan cukup baik.Meski demikian, perlu dilakukan perbaikan pada ujian tersebut.
Berdasarkan hasil evaluasi pada penggunaan Android, soal ujian yang masih konversi dari versi
cetak sehingga untuk ukuran layar handphone Android yang relatif kecil membuat peserta
kesulitan. Selain itu dari aspek keamanan, karena menggunakan Wi-Fi sehingga masih rentan
untuk diretas. Ini jadi evaluasi untuk semakin meningkatkan keamanan.
Di tahun 2019, ada beberapa perubahan lagi dalam sistem SBMPTN. SBMPTN tahun 2019
kini diselenggarakan oleh LTMPT (Lembaga Masuk Tes Perguruan Tinggi) dan hanya memiliki
satu metode tes yaitu UTBK, dengan dua materi tes, yakni tes Potensi Skolatik dan Tes
Kompetensi Akademik. Selain itu, apabila peserta ujian telah dinyatakan lulus SNMPTN 2019,
maka tidak diperbolehkan untuk mengikuti SBMPTN 2019.
Pada tahun ini peserta mengikuti tes dahulu dan setelah itu baru keluar nilainya dan nilai
tersebut yang digunakan untuk mendaftar di perguruan tinggi .Dapat melakukan tes sebanyak 2
kali dari dua kali tes tersebut akan di ambil nilai tertinggi .
Kuota SBMPTN 2019 oleh kemenristekdikti
Untuk kuota sendiri Lebih lanjut Menteri Nasir menjelaskan pola seleksi masuk PTN tahun
2019 tetap akan dilaksanakan melalui tiga jalur yaitu, yakni SNMPTN, SBMPTN dan Ujian
Mandiri, dengan masing-masing daya tampung SNMPTN minimal 20%, SBMPTN minimal 40%
dan Seleksi Mandiri maksimal 30% dari kuota daya tampung tiap prodi di PTN.Kuotanya ternyata
cukup banyak juga karena pada tahun ini juga mengalami perubahan dari pada tahun sebelumnya.
Setelah melihat kilas balik seleksi penerimaan mahasiswa penerimaan mahasiswa baru,
Selalu ada perubahan yang diterapkan tiap pelaksanaanya.Dari awalnya hanya 5 PTN sekarang
telah mencapai 87 PTN dengan bentuk seleksi yang bermacam-macam .Mulai dari presetasi
akademik sampai dengan ujian mata pelajaran sesuai dengan peminatan program studi.
Sistem yang ideal yang harus diterapkan
Sistem yang digunakan idealnya hendaklah mengikuti dengan perkembangan zaman dan
sesuai dengan kebutuhan pendidikan tinggi untuk mempersiapkan lulusanya untuk memecahkan
persoalan dan menjawab segala tantangan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan menjawab
tantangan juga untuk masalah yang akan di hadapi oleh Negara kita di masa yang akan datang.
Menristekdikti pernah menyampaikan bahwa pendidikan Indonesia masih berorientasi nilai
akademuik.Padahal, ada hal yang jauh lebih penting untuk dikuasai dibandingkan mengejar nilai
,yaitu menguasai kemampuan yang di butuhkan di masa depan.Dari hal tersebut seharusnya
berdampak pada kualitas output PTN yang akhirnya lulus dan masuk ke dunia kerja.Kompetensi
mereka masih jauh di bawah standar karena tidak memiliki kemampuan yang di butuhkan ,Yang
mereka punya adalah nilai saja.
Benang merah yang dapat diambil
Dapat dilihat benang merahnya adalah sebenarnya dari awal di laksanakanya sistem seleksi
perguruan tinggi negri tidak ada perubahan yang cukup berarti.Sistem seleksi hanya sama saja
yang berbeda cuman namanya dan ditambah sistem yang membingunggkan bagi para peserta.
Kemudian outputnya juga dapat dikatakan tidak ada perkembangan atau tetap sama. Ternyata ini
salah satu alasan kenapa kuota SNMPTN di kurangi,Menristekdikti pernah menyampaikan
bahwasanya sejauh ini performa mahasiswa SNMPTN ternyata tidak sejalan dengan nilai rapor
mereka yang tinggi dan portofolio yang ditumpuk.
Dari segi seleksi sendiri bentuk, dan teknis pelaksanaanya pun begitu saja monoton . Setiap
tahun prosesnya hampir sama yaitu pemerintah ganti aturan seenaknya saja tanpa mengkaji ulang
dengan matang masalag tersebut dan pihak-pihak yang terkait juga tidak dilibatkan dalam
pembuatan keputusan, kemudian mahasiswa panik dan binggung dengan kepetusan tersebut,calon
mahasiswa protes dengan kebijakan tersebut tapi ternyata tidak ada perubahan yang berarti atau
hanya menjadi omong kosong saja, pemerintah tidak mendapatkan hasil yang diinginkan ,
kemudian pemerintah ganti aturan lagi dan kembali seperti proses yang tadi. Prosesnya pun di
nomor sekiankan . Padahal, ketika prosesnya berjalanlah seorang bisa menguasai dan belajar dari
kemampuan-kemampuan tersebut.
Penutup
Dulu sempat ada wacana dilaksanakannya test center oleh kemenristekdikti untuk dapat di
implementasikan di tahun 2019.Ini menimbulkan banyak pro kontra dalam pembahasanya karena
hal ini akan menggantikan sistem SBMPTN dan SNMPTN dimasa depan,Perjuangan peserta akan
lebih berat lagi ia akan berjuang secara mati-matian untuk mengalahkan sainganya dan agar dapat
masuk perguruan tinggi negri (PTN) . Peserta di hanya di perintah untuk menghafal ribuan bahkan
jutaan halaman meteri pelajaran di bangku sekolah dan di tambah lagi materi-materi di bimbel dan
ditambah lagi soal yang disuguhkan adalah soal dengan sistem HOTS yang akan berbeda sekali
dengan soal pada umumnya karena banyak sekali membutuhkan penalaran.
Hal ini mungkin bisa jadi menjadi wacana lagi di tahun 2020 dan mungkin juga dapat ditetapkan
karena dapat dilihat dari kemenristekdikti yang sedang memperbaiki sistem-sistem seleksi ini
Referensi:
https://www.youthmanual.com/post/terkini/berita/teknis-lengkap-pelaksanaan-sbmptn-
2019-dan-mengapa-sistem-seleksi-perguruan-tinggi-di-indonesia-sudah-sepatutnya-diubah
https://news.okezone.com/read/2018/07/03/65/1917344/hanya-19-8-peserta-sbmptn-
2018-yang-lolos-seleksi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190709144055-20-410517/pengumuman-
sbmptn-168742-peserta-lulus-seleksi
Lord, Frederick, M.1990. Aplications of Item Response Theory to Practical Testing
Problems. New Jersey: LawrenceErlbaum Associates, Publishers.
Hambleton, Ronald K., Hariharan Swaminathan, dan H. Jane Rogers. 1991. Fundamentals
of Item Response Theory. SAGE Publication