prolaps uteri

47
BAB I PENDAHULUAN Prolapsus alat-alat genitalia dapat disamakan dengan suatu hernia, di mana suatu organ genitalia turun ke dalam vagina, bahkan bila mungkin ke luar dari liang vagina. Keadaan ini sebagian besar dikarenakan kelemahan dari otot-otot, fascia dan ligamentum- ligamnetum penyokongnya. Prolapsus genitalia yang sering ditemukan adalah Pelvic Organ Prolapse (POP) yaitu prolapsus uteri, uterosistokel, sistokel, atau rektokel (Wiknjosastro, 2007; Decherrney, 2007; Schorge J et al, 2008). Kasus ini sering terdapat pada wanita dengan paritas yang tinggi dan 40% dari mereka membutuhkan tindakan pengobatan dan kasus ini jarang sekali ditemukan pada seorang wanita nulipara. Diperkirakan 50% dari wanita yang telah melahirkan akan menderita prolapsus genitalia dan hampir 20% kasus ginekologi yang menjalani operasi adalah akibat kasus prolapsus genitalia. Angka ini akan terus meningkat jumlahnya akibat usia harapan hidup wanita Indonesia yang terus meningkat (Decherrney, 2007, Schorge J et al, 2008; Junizat, 2002). Keluhan penderita pada saat datang ke rumah sakit yang tersering antara lain perdarahan, infeksi dan

Upload: abang-keluang

Post on 06-Nov-2015

71 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Prolapsus Uteri

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Prolapsus alat-alat genitalia dapat disamakan dengan suatu hernia, di mana suatu organ genitalia turun ke dalam vagina, bahkan bila mungkin ke luar dari liang vagina. Keadaan ini sebagian besar dikarenakan kelemahan dari otot-otot, fascia dan ligamentum-ligamnetum penyokongnya. Prolapsus genitalia yang sering ditemukan adalah Pelvic Organ Prolapse (POP) yaitu prolapsus uteri, uterosistokel, sistokel, atau rektokel (Wiknjosastro, 2007; Decherrney, 2007; Schorge J et al, 2008).Kasus ini sering terdapat pada wanita dengan paritas yang tinggi dan 40% dari mereka membutuhkan tindakan pengobatan dan kasus ini jarang sekali ditemukan pada seorang wanita nulipara. Diperkirakan 50% dari wanita yang telah melahirkan akan menderita prolapsus genitalia dan hampir 20% kasus ginekologi yang menjalani operasi adalah akibat kasus prolapsus genitalia. Angka ini akan terus meningkat jumlahnya akibat usia harapan hidup wanita Indonesia yang terus meningkat (Decherrney, 2007, Schorge J et al, 2008; Junizat, 2002).Keluhan penderita pada saat datang ke rumah sakit yang tersering antara lain perdarahan, infeksi dan nyeri. Sedangkan keluhan akibat penyakit yang sering dijumpai antara lain: perasaan adanya benda yang mengganjal didalam vagina, perasaan ada sesuatu yang keluar, nyeri pinggang, sistokel rektokel, kesulitan koitus, enterokel sampai kesulitan berjalan (Junizaf, 2002; Schorge J et al, 2008).Penanganan prolapsus uteri bersifat individual terutama pada mereka yang mempunyai keluhan. Penanganan kasus prolapsus uteri pada dasarnya ada dua yaitu konservatif dan operatif. Tindakan konservatif diambil biasanya bila pasien tidak memungkinkan dilakukan tindakan operatif. Tindakan operasi dipilih terutama bila terapi dengan pesarium gagal, penderita menginginkan penanganan definitif, sudah menopause dan tidak memerlukan organ reproduksi lagi (Junizaf, 2002; Schorge J et al, 2008).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi PelvisKerangka panggul dibentuk oleh tulang sakrum, coccyx dan sepasang tulang pinggul, yang menyatu dibagian depan membentuk simfisis pubis.

Gambar 2.1. Ilustrasi tulang-tulang panggul beserta ligamen dan foramen yang dibentuk (Sumber : Anderson and Genadry, 2007).

Gambar di atas mengilustrasikan tulang-tulang panggul beserta ligamen dan foramen yang dibentuk. Sakrum dan coccyx merupakan perluasan kolumna vertebralis yang dibentuk oleh penggabungan 5 vertebra sakral dan 4 vertebra coccygeal. Kedua vertebra ini bergabung melalui artikulasi simfisial (sendi sakrokoksigeal), yang memungkinkan beberapa gerakan (Anderson and Genadry, 2007).Pada saat wanita berdiri, spina iliaka anterior superior (SIAS) dan tepi depan simfisis pubis berada pada bidang vertikal yang sama. Sebagai konsekuensi, pintu atas panggul miring ke arah anterior dan ramus ischiopubis dan hiatus genitalis sejajar dengan tanah. Pada posisi tegak, lengkungan tulang pintu atas panggul berada dalam bidang mendekati vertikal. Pada arah ini, tekanan di dalam abdomen dan panggul lebih mengarah ke tulang-tulang panggul dan bukan ke otot-otot atau fasia endopelvic (Barber MD, 2005).

Gambar 2.2. Oreintasi tulang-tulang panggul saat posisi berdiri (Sumber: Barber, 2005)

Otot-otot skeletal dasar panggul meliputi otot-otot levator ani, koksigeus, sfingter ani eksternus, sfingter striata uretra, dan otot perineum dalam dan superfisial. Otot-otot dasar panggul, khususnya otot-otot levator ani, memiliki peran penting dalam menyokong organ-organ panggul. Selain itu, otot-otot levator ani berperan juga pada saat buang air kecil (BAK), buang air besar (BAB) dan aktivitas seksual. Kompleks otot-otot levator ani terdiri dari pubococcygeus (puboviseral), puborectalis, dan iliococcygeus (Barber MD, 2005).

Gambar 2.3. Ilustrasi otot-otot dasar panggul (Sumber: Barber, 2005)

Pubococcygeus berawal dari ramus pubis posterior inferior dan berakhir pada organ viseral bagian tengah dan anococcygeal raphe. Puborectalis juga berawal dari tulang pubis, tetapi serabut-serabutnya mengarah ke posterior dan membentuk sebuah lembaran yang mengelilingi vagina, rektum, dan badan perineum, membentuk sudut anorektal dan penutup hiatus urogenitalis. Iliococcygeus berawal dari arcus tendineus levator ani (ATLA), yang merupakan sebuah penebalan berbentuk garis dari fasia yang menutupi obturator internus dari spina ischiaka ke permukaan posterior dari ramus pubis superior ipsilateral. Otot ini berakhir pada garis tengah sampai anococcygeal raphe. Celah antara otot-otot levator ani dimana terdapat uretra, vagina, dan rektum disebut dengan hiatus urogenitalis. Penggabungan otot-otot levator ani pada garis tengah disebut dengan levator plate (Barber MD, 2005).

Gambar 2.4. Persarafan dan suplai darah panggul (Sumber: Barber, 2005)

Saraf pudendal menginervasi otot striata uretra, sfingter ani, otot perineum dalam dan superfisial dan juga saraf sensoris genitalia eksternal. Saraf ini berasal dari S2-S4, dimana S3 memiliki kontribusi terbesar. Saraf ini melewati bagian belakang ligamen sakrospinosus, di sebelah medial spina ishiaka, keluar panggul melalui foramen skiatika mayor. Kemudian masuk ke fossa ishiorektal melalui foramen skiatika minor dan melewati kanal pudendal (Alcocks canal) pada bagian medial otot obturator internus, sebelum terpecah menjadi beberapa cabang terminal yang menginervasi otot dan kulit perineum (Barber MD, 2005).Uterus merupakan organ berongga yang berbentuk buah pir dan berdinding tebal, berfungsi untuk menerima, mempertahankan dan memberi makan ovum yang telah dibuahi. Pada orang dewasa muda nullipara, panjang uterus 3 inci (8 cm), lebar 2 inci (2,5 cm). Uterus terbagi menjadi fundus, corpus dan cevix uteri Uterus diliputi oleh peritoneum kecuali dibagian anterior dan di bawah ostium histologikum uteri internum (Snell, 2006).Uterus berada di rongga panggul dalam anteversiofleksio sedemikian rupa sehingga bagian depannya setinggi simfisis pubis dan bagian belakang setinggi artikulasio sakrokoksigea.Jaringan ikat di parametrium, dan ligamentum-ligamentum membentuk suatu sistem penunjang uterus, sehingga uterus terfiksasi relatif cukup baik. Jaringan-jaringan itu ialah (Wiknjosastro H, 2007): 1. Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (Mackenrodt) merupakan ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal, dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak pembuluh darah, antara lain vena dan arteri uterina.2. Ligamentum sakrouterinum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan, melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sakrum kiri dan kanan.3. Ligamentum rotundum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi, dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan.4. Ligamentum puboservikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os pubis melalui kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum vesikouterinum sinistrum dan dekstrum ke serviks.5. Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral, dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba, dan berbentuk lipatan. Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.6. Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba Falopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.7. Ligamentum ovarii propium sinistrum dan dektrum, yakni ligamentum yang menahan tuba Falopii, berjalan dari sudut kiri dan kanan belakang fundus uteri ke ovarium. Ligamentum-ligamentum dan jaringan-jaringan di parametrium tidak semuanya berfungsi sebagai penunjang uterus. Terdapat ligamentum-ligamentum yang mudah sekali dikendorkan, sehingga alat-alat genital mudah berganti posisi. Ligamentum latum sebenarnya hanya satu lipatan peritoneum yang menutupi uterus dan kedua tuba, dan terdiri atas mesosalpink, mesovariun, dan mesometrium. Di lipatan tersebut ditemukan jaringan ikat yang letaknya disebut intraligamenter (di dalam ruangan ligamentum latum). Ruangan tersebut berhubungan pula dengan ruangan retroperitoneal yang terdapat di atas otot-otot dasar panggul dan di daerah ginjal (Wiknjosastro H, 2007).

Gambar 2.5. Organ-Organ dalam panggul

Ureter yang di abdomen letaknya retroperitoneal masuk ke pelvis minor melewati arteria iliaka interna dan melintasi arteri uterina dekat pada serviks hampir tegak lurus, dan akhirnya bermuara di kandung kencing sisi belakang di trigonum Lieutaudi (Wiknjosastro H, 2007).Vesika urinaria (kandung kencing) umumnya mudah menampung 350 ml, akan tetapi dapat pula terisi cairan 600 ml atau lebih. Bagian kandung kencing yang mudah berkembang adalah bagian yang diliputi oleh peritoneum viserale. Pada dasar kandung kencing terdapat trigonum Lieutaudi, yang bersamaan dengan uretra, dihubungkan oleh septum vesiko-uretro-verginale dengan dinding depan vagina. Di trigonum Lieutaudi bermuara kedua (atau lebih) ureter. Dasar kandung kencing ini terfiksasi, tidak bergerak atau tidak mengembang seperti bagian atas yang diliputi oleh serosa. Di septum-septum vesiko-uretro-varginale terdapat fascia yang dikenal sebagian fascia Halban (Wiknjosastro H, 2007).Dinding kandung kencing mempunyai lapisan otot polos yang kuat, beranyaman seperti anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah kandung kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan melekat pada dasarnya. Pada daerah kandung kencing dan bagian atas uretra terdapat muskulus lissosfingter, terdiri atas otot polos, dan berfungsi menutup jalan urine setempat (Wiknjosastro H, 2007).Uretra panjangnya 3,5-5 cm berjalan dari kandung kencing kedepan di bawah dan belakang simfisis, dan bermuara di vulva. Pada wanita yang berbaring arahnya kurang lebih horisontal. Di sepanjang uretra terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat adalah muskulus lissosfingter dan muskulus rhabdosfingter. Yang terakhir ini adalah bagian dari diafragma urogenitale (Wiknjosastro H, 2007).Rektum berjalan melengkung sesuai dengan lengkungan os sakrum, dari atas ke anus. Antara rektum dan uterus terbentuk ekskavasio rektouterina, terkenal sebagai kavum Douglasi, yang diliputi oleh peritoneum viserale. Dalam klinik rongga ini mempunyai arti penting: rongga ini menonjol jika ada cairan (darah atau asites) atau ada tumor di daerah tersebut. Dasar rongga tersebut terletak 5-6 cm di atas anus. Anus ditutup oleh muskulus sfingter ani eksternus, diperkuat oleh muskulus bulbokavernosus, muskulus levator ani, dan jaringan ikat perineum (Wiknjosastro H, 2007).

Gambar 2.6. Jaringan dan Dinding Penyokong Organ Pelvic2.2 DefinisiProlapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena kelemahan otot atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya, turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis. Prolapsus uteri adalah suatu keadaan pergeseran letak uterus ke bawah sehingga serviks atau seluruh uterus berada di dalam orificium vagina, atau keluar hingga melewati vagina. Turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis disebabkan karena kelemahan otot-otot, fascia, ligamentum-ligamentum yang menyokongnya (Wiknjosastro H, 2008, Junizaf, 2002).

2.3 InsidenFrekuensi prolapsus genitalia di beberapa negara berbeda, seperti dilaporkan di klinik d`Gynocologie et Obstetrique Geneva insidensnya 5,7% dan pada periode yang sama di Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang kejadiannya lebih tinggi, sedangkan pada orang Negro Amerika, Indonesia lebih kecil angka kejadian pada kasus ini. Pada suku Bantu di Afrika Selatan jarang sekali terjadi (Fortnes K et al, 2007).Di Indonesia prolapsus genitalis lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua yang menopause dan wanita dengan pekerjaan yang cukup berat. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1995-2000 telah dirawat 240 kasus prolapsus genitalia yang mempunyai keluhan dan memerlukan penanganan terbanyak dari penderita pada usia 60-70 tahun dengan paritas lebih dari tiga. Khalilullah dkk (2011) melaporkan kasus prolaps uteri di rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh selama tahun 2007 sampai 2010 sebanyak 71 kasus, terbanyak dari kasus adalah pada usia 60-80 tahun (57,74%), dan kasus terbanyak ditemukan pada pasien yang sudah menopause (90,14 %). Anhar dan Fauzi juga melaporkan kasus prolap uteri di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang selama lima tahun (1999-2003) jumlah kasus prolapsus uteri adalah 43 kasus, terbanyak dari kasus adalah pada usia 45-64 tahun (65%) dan usia termuda adalah 30 tahun (2,32%), grandemultipara (47%) dan prolapsus uteri grade III (77%).

2.4 PatofisiologiProlapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya persalinan pervaginam yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligamentum-ligamentum yang tergolong dalam fascia endopelvis dan otot-otot serta fascia-fascia dasar panggul. Pada keadaan tekanan intraabdominal yang meningkat dan kronis akan memudahkan terjadinya penurunan uterus, terutama apabila tonus otot-otot mengurang seperti pada penderita dalam menopause (Wiknjosastro H, 2007; Decherrney AH et al, 2007).Serviks uteri terletak di luar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita tersebut dan lambat laun akan menimbulkan ulkus yang disebut dengan ulkus dekubitus. Jika fascia di bagian depan dinding vagina kendor biasanya akibat trauma obstetrik maka akan terdorong oleh kandung kencing sehingga menyebabkan penonjolan dinding depan vagina ke belakang yang di namakan sistokel. Sistokel yang pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar karena persalinan berikutnya yang kurang lancar sehingga akan menyebabkan terjadinya uretrokel. Uretrokel harus dibedakan dari divertikulum uretra. Pada divertikulum keadaan uretra dan kandung kencing normal, hanya di belakang uretra ada lubang yang membuat kantong antara uretra dan vagina (Schorge J et al, 2008).Kekendoran fascia di bagian belakang dinding vagina oleh trauma obstetrik atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina yang dinamakan rektokel. Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun dan menonjol ke depan. Kantong hernia ini dapat berisi usus dan omentum (Schorge J et al, 2008).

2.5 EtiologiPenyebab prolapsus alat genitalia adalah multifaktorial dan semakin berkembang. Namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan pelvic floor yang terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik, dan ligamentum-ligamentum yang menyokong organ-organ genitalia tersebut (Junizaf, 2002; Wiknjosastro H, 2007).

2.6 Faktor PrediposisiTabel 2.1. Faktor Resiko Prolap Organ Panggul (Sumber: Jelovsek et al. 2007)

Sampai saat ini belum ada penjelasan mengenai apakah karena kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi faktor resiko dari prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko yang paling sering dikutip. Tidak ada kesepakatan apakah kehamilan atau nifas itu sendiri yang merupakan predisposisi untuk disfungsi dasar panggul. Namun banyak penelitian statistik jelas menunjukkan bahwa persalinan pervaginam ini meningkatkan kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic Organ Prolapse (POP). Sebagai contoh, dalam dukungan Pelvic Organ Study (POSST), peningkatan paritas dikaitkan dengan peningkatan resiko prolapsus. Selain itu, risiko POP meningkat 1,2 kali dengan setiap pengiriman vagina. Studi Kohort Keluarga Berencana Oxford dari 17.000 wanita, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan mengalami peningkatan resiko delapan kali lipat di rumah sakit untuk POP (Decherrney AH et al, 2007; Schorge J et al, 2008).Penyebab lain seperti makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot jalan lahir yang terlalu lama bisa menjadi faktor resiko yang dapat menyebabkan POP.

Selain itu beberapa ahli ginekologi menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi, laserasi sfingter anal, penggunaan forceps, stimulasi oksitosin berulang, riwayat operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat meningkatkan resiko terjadinya POP dikemudian hari walaupun hal ini masih menjadi pertimbangan. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan oleh adanya kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus (Junizaf, 2002; Wiknjosastro H, 2007).Faktor resiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps untuk mempersingkat kala kedua dan episiotomy. Beberapa ahli menyatakan penggunaan forceps dan episiotomi tidak dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama, penggunaan forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter anal. Kedua, Forcep tidak terbukti dalam memperpendek kala dua. Karena alasan inilah, pengguanaan forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti bermanfaat tetapi dapat menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi postpartum, dan nyeri postpartum. Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena belum ada panjelasan jelas mengenai hal tersebut (Schorge J et al, 2008; Thomson JD, 2003).Usia lanjut juga juga merupakan faktor resiko prolapsus uteri. Pada wanita yang telah menopause, disamping akibat kurangnya hormon estrogen (hipoestrogenism) yang dihasilkan oleh ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar panggul seperti diafragma pelvis, diafragma urogenital dan ligamentum serta fascia akan mengalami atrofi dan melemah, serta terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dan fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus genitalia (Wiknjosastro H, 2007; Schorge J et al, 2008).

Wanita dengan gangguan jaringan ikat mungkin akan lebih beresiko untuk terjadinya prolapsus uteri.Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan wanita Asia menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki risiko tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah dibuktikan antara ras, namun perbedaan tulang panggul dalam setiap ras mungkin juga berperan. Misalnya, perempuan kulit hitam, umumnya arcus pubis < 90 derajat dan umumnya bentuk panggulnya adalah android atau antropoid. Bentuk panggul ini mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri dibandingkan dengan ras Barat dimana rata-rata bentuk panggulnya ginekoid. Peningkatan tekanan intra-abdominal yang berlangssung lama diyakini mempunyai peranan dalam patogenesis prolapsus uteri. Contohnya dalam kasus ini adalah pasien yang obesitas, konstipasi yang lama, sering mengangkat berat, batuk kronis, dan berulang.

2.7 Klasifikasi Prolaps UteriMengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat antara para ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal yaitu (Junizaf, 2002): a. Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina; b. prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol ke luar dari introitus vagina; c. prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus ke luar dari vagina, prolapsus ini sering juga dinamakan prosidensia uteri.Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo/FK UI pembagian prolapsus uteri sebagai berikut (Wiknjosastro H, 2007): a. Prolapsus derajat I, bila serviks uteri belum melewati introitus vagina tetapi uterus terletak di bawah kedudukan normal,b. Prolapsus uteri derajat II, bila serviks sudah melewati introitus vagina,c. Prolapsus uteri derajat III, bila seluruh uterus sudah melewati introitus vagina

Selain itu dikenal juga pembagian prolapsus uteri menurut Baden-Walker, metode pemeriksaannya menggunakan pemeriksaan Baden-Walker. Pembagiannya adalah:a. Stage 0 = Tidak ada prolapsb. Stage I = Ujung prolaps turun sampai setengah dari introitusc. Stage II = Ujung prolaps turun sampai introitusd. Stage III = Ujung prolaps sampai setengahnya diluar vaginae. Stage IV = Ujung prolaps sampai lebih dari setengahnya ada di luar vagina.

ABGambar 2.7. Derajat Prolapsus Uteri Baden-Walker: A. Skema Prolaps Organ Pelvic, B. Pembagian Derajat Prolap Uteri (Sumber: Persu C et al, 2011).

Pemeriksaan Prolapsus Uterus juga mengenal pembagian berdasarkan system POPQ (Pelvic Organ Prolapse Quantification) yang dicetuskan oleh Baden-Walker.

Gambar 2.8. Pembagian Klasifikasi Prolapsus Uteri Menurut Sistem POPQ (Sumber: Persu C et al, 2011).

Tabel 2.2. Deskripsi dan stadium Prolapsus dengan system POPQ (Persu C et al, 2011).

2.8 Gejala KlinisGejala-gejala prolapsus genitalia sangat berbeda dan bersifat individual. Kadangkala penderita yang satu berbeda dengan yang lainnya dan prolapsus genitalia yang cukup berat dapat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolapsus yang ringan saja telah mempunyai banyak keluhan. Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai (Junizaf, 2002; Wiknjosastro H, 2007).a. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genitalia eksterna.b. Rasa sakit di panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita berbaring, keluhan menghilang atau menjadi kurang.c. Sistokel yang dapat menyebabkan gejala-gejala:1) Miksi yang lebih sering dan sedikit-sedikit mula-mula pada siang hari, kemudian bila lebih berat juga pada malam hari.2) Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat di kosongkan seluruhnya.3) Stress inkontinensia, yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk, mengejan. Kadang-kadang dapat terjadi retensio urin pada sistokel yang besar sekali.d. Rektokel dapat menjadi gangguan pada defekasi:1) Obstipasi karena feses berkumpul dalam rongga rektokel.2) Baru dapat defekasi, setelah diadakan tekanan pada rektokel dari vagina. e. Prolapsus uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:1) Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja. Gesekan porsio uteri oleh celana akan menimbulkan lecet sampai luka dan ulkus dekubitus pada porsio uteri.2) Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan karena infeksi serta luka pada porsio uteri.f. Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa penuh di vagina.

Tabel 2.3. Gejala Klinis Perempuan dengan POP (Sumber: Jelovsek et al. 2007; Schorge et al., 2008).

2.9 DiagnosisBerdasarkan keluhan-keluhan pada penderita dan pemeriksaan ginekologik umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia. Dari anamnesis ditanyakan mengenai adanya benda asing yang keluar dari kemaluan, apakah terasa mengganjal di sekitar kemaluanya, apakah seperti ada suatu ruangan antara anus dan vagina, apakah menggunakan laxatives secara rutin, apakah ada low back pain, adakah dispareunia, ataupun inkontenensia dan konstipasi.Friedman dan Little (1991) menganjurkan cara pemeriksaan sebagai berikut: Penderita dalam posisi jongkok lalu disuruh mengejan dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal atau porsio sampai pada introitus vagina atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi lalu ditentukan pula panjangnya serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari biasanya dinamakan elongasio kolli (Wiknjosastro H, 2007).

Pada sistokel dijumpai pada dinding vagina depan berupa benjolan kistik, lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita di suruh mengejan. Jika dimasukkan ke dalam kandung kencing kateter logam, lalu kateter itu diarahkan ke dalam sistokel dapat diraba kateter tersebut dekat sekali pada dinding vagina. Uretrokel letaknya lebih ke bawah dari sistokel, yaitu dekat pada orifisium uretra eksternum (Wiknjosastro H, 2007; Decherrney AH et al, 2007).Menegakkan diagnosis retrokel sangatlah mudah yaitu ditandainya dengan menonjolnya rektum ke lumen vagina sepertiga bagian bawah. Penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke distal, kistik dan tidak nyeri. Untuk memastikan diagnosis jari dimasukkan ke dalam rektum dan selanjutnya dapat diraba dinding rektokel yang menonjol ke lumen vagina. Enterokel menonjol ke lumen vagina lebih atas dari rektokel. Pada pemeriksaan rektal dinding rektum lurus dan terdapat benjolan ke arah vagina di atas rectum (Wiknjosastro H, 2007; Schorge j et al, 2008).

Gambar 2.9. Cara pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse(Sumber: Wiknjosastro H, 2007).

a. AnamnesisGejala diperberat saat berdiri atau berjalan dalam waktu lama dan pulih saat berbaring. Pasien merasa lebih nyaman saat pagi hari, dan gejala memberat saat siang hari. Gejala-gejala tersebut antara lain (Junizaf, 2002; Fotnes K et al, 2007; Thomson JD, 2003): Pelvis terasa berat dan nyeri pelvis Protrusi atau penonjolan jaringan Disfungsi seksual seperti dispareunia, penurunan libido, dan kesulitan orgasme Nyeri punggung bawah Konstipasi Kesulitan berjalan Kesulitan berkemih Peningkatan frekuensi, urgensi, dan inkontinensia dalam berkemih Nausea Discharge purulen Perdarahan Ulserasi

b. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pelvis lengkap, termasuk pemeriksaan rektovaginal untuk menilai tonus sfingter. Alat yang digunakan adalah spekulum Sims atau spekulum standar tanpa bilah anterior. Penemuan fisik dapat lebih diperjelas dengan meminta pasien meneran atau berdiri dan berjalan sebelum pemeriksaan. Hasil pemeriksaan fisik pada posisi pasien berdiri dan kandung kemih kosong dibandingkan dengan posisi supinasi dan kandung kemih penuh dapat berbeda 1-2 derajat prolaps. Prolaps uteri ringan dapat dideteksi hanya jika pasien meneran pada pemeriksaan bimanual. Evaluasi status estrogen semua pasien. Tanda-tanda menurunnya estrogen: Berkurangnya rugae mukosa vagina Sekresi berkurang Kulit perineum tipis Perineum mudah robek

Pemeriksaan fisik juga harus dapat menyingkirkan adanya kondisi serius yang mungkin berhubungan dengan prolaps uteri, seperti infeksi, strangulasi dengan iskemia uteri, obstruksi saluran kemih dengan gagal ginjal, dan perdarahan. Jika terdapat obstruksi saluran kemih, terdapat nyeri suprapubik atau kandung kemih timpani. Jika terdapat infeksi, dapat ditemukan discharge serviks purulen (Junizaf, 2002; Fotnes K et al, 2007; Thomson JD, 2003).

c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan pada perempuan POP yang mengalami keluhan pada saluran kencingnya. Urinalisis serta pemeriksaan residu urin pasca berkemih dengan menggunakan kateter atau ultrasonografi sering dilakukan. Sama juga halnya dengan pemeriksaan endoskopi pada saluran anus juga perlu dilakukan pada pasien POP dengan keluhan inkontinensia feses. Secara umum pemeriksaan radiografi untuk mendiagnosis pasien prolaps tidaklah perlu untuk dilakukan. Dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan ginekologi diagnosis sudah dapat ditegakkan. Disamping itu hasil dari pemeriksaan radiografi belum didefinisikan secara nasional. Selama ini pemeriksaan radiografi dengan menggunakan kontras dan MRI digunakan untuk mengetahui lokasi kelemahan dari otot-otot dasar panggul sebelum melakukan terapi bedah dan sering pula digunakan dalam hal penelitian (Jelovsek et al., 2007 ; Schorge, 2008).

2.10 KomplikasiKomplikasi yang dapat menyertai prolapsus genitalia adalah:a. Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri, prosidensia uteri disertai dengan keluarnya dinding vagina (inversio), karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut dan berwarna keputih-putihan.b. Dekubitus, jika serviks uteri terus ke luar dari vagina maka ujungnya bergeser dengan paha pada pakaian dalam, sehingga hal ini dapat menyebabkan luka dan radang yang lambat laun dapat menjadi ulkus yang disebut ulkus dekubitus. Dalam keadaan demikian perlu dipikirkan kemungkinan suatu keganasan, lebih-lebih pada penderita yang berusia lanjut. Pemeriksaan sitologi biopsi perlu dilakuakan untuk mendapatkan kepastian akan adanya proses keganasan tersebut.c. Hipertrofi serviks uteri dan elongasio kolli, jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih kuat maka akibat tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta karena pembendungan pembuluh darah, maka serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli. Hipertrofi ditentukan dengan pemeriksaan pandang dan perabaan. Pada elongasio kolli serviks uteri pada perabaan lebih panjang dari biasanya.d. Gangguan miksi dan stress inkontinensia, pada sistokel berat, miksi kadang-kadang terhalang sehingga kandung kencing tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga menyempitkan ureter sehingga bisa menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra sehingga dapat menyebabkan stress inkontinensia.e. Infeksi saluran kencing, adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan infeksi. Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis dan pielonefritis yang akhirnya keadaan tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal.f. Kemandulan, karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vagina atau sama sekali ke luar dari vagina sehingga tidak akan mudah terjadi kehamilan.g. Kesulitan pada waktu persalinan, jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka pada waktu persalinan dapat menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan sehingga kemajuan persalinan jadi terhalang.h. Hemoroid, varises yang terkumpul dalam rektokel akan memudahkan terjadinya obstipasi sehingga lambat laun akan menimbulkan hemoroid.i. Inkarserasi usus halus, usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit sehingga kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit tersebut.

2.11 PencegahanPemendekan waktu persalinan terutama pada saat kala dua dengan memperbaiki power yaitu memimpin persalinan dengan baik agar penderita dihindari untuk mengejan sebelum pembukaan lengkap adalah tindakan yang benar, episiotomy yang benar dipertimbangkan, memperbaiki dan mereparasi luka atau kerusakan jalan lahir dengan baik, menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus paska persalinan yang tetap baik dan cepat, serta mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal seperti batuk yang kronis. Menghindari mengangkat benda-benda yang berat dan menganjurkan para wanita jangan terlalu banyak punya anak atau terlalu sering melahirkan (Wiknjosastro H, 2007; Schorge J et al, 2008)

2.12 PenatalaksanaanPenatalaksanan pada prolapsus genitalia bersifat individual, terutama pada mereka yang telah memiliki keluhan dan komplikasi, namun secara umum penatalaksanan dengan kasus ini terdiri dari dua cara yakni konservatif dan operatif (Wiknjosastro H, 2007; Schorge j et al. 2008).a. Pengobatan KonservatifPengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu para penderita dengan prolapsus uteri. Cara ini biasanya diberikan pada penderita prolapsus ringan tanpa keluhan atau pada penderita yang masih ingin mendapatkan anak lagi atau penderita yang menolak untuk melakukan tindakan operasi atau pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.Tindakan yang dapat diberikan pada penderita antara lain (Schorge J et al, 2008; Fortnes K et al, 2007).1) Latihan-latihan otot dasar panggul. Latihan ini sangat berguna pada penderita prolapsus uteri ringan terutama yang terjadi pada penderita pasca persalinan yang belum lewat enam bulan. Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi miksi. Latihan ini dilakukan selama beberapa bulan. Caranya adalah dimana penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan dasar panggul seperti biasanya setelah buang air besar atau penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan air kencing dan tiba-tiba menghentikannya. Latihan ini bisa menjadi lebih efektif dengan menggunakan perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri atas obturator yang dimasukkan ke dalam vagina dan dengan suatu pipa dihubungkan dengan suatu manometer. Dengan demikian kontraksi otot-otot dasar panggul dapat diukur kekuatannya. 2) Stimulasi otot-otot dengan alat listrik. Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat pula ditimbulkan dengan alat listrik, elektrodenya dapat dipasang di dalam pessarium yang dimasukkan ke dalam liang vagina.3) Pengobatan dengan pessarium. Pengoabatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif saja, yakni menahan uterus ditempatnya selama alat tersebut digunakan. Oleh karena itu jika pessarium diangkat maka timbul prolapsus kembali.Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Jika pessarium terlalu kecil atau dasar panggulnya terlalu lemah maka pessarium akan jatuh dan prolapsus uteri akan timbul kembali. Pessarium yang paling baik untuk prolapsus genitalia ialah pessarium cicic yang terbuat dari plastik. Jika dasar panggul terlalu lemah dapat digunakan pessarium Napier. Pessarium ini terdiri atas suatu gagang (stem) dengan dengan ujung atas suatu mangkok (cup) dengan beberapa lobang dan diujung bawah terdapat 4 tali. Mangkok ditempatkan di bawah serviks dan tali-tali dihubungkan dengan sabuk pinggang untuk memberikan sokongan pada pessarium. Sebagai pedoman untuk mencari ukuran yang cocok maka diukur dengan jari berupa jarak antara fornik vagina dengan pinggir atas introitus vagina, kemudian ukuran tersebut dikurangi dengan 1 cm untuk mendapatkan diameter dari pessarium yang akan digunakan. Pessarium diberi zat pelicin dan dimasukkan miring sedikit ke dalam vagina. Setelah bagian atas masuk ke dalam vagina maka bagian tersebut ditempatkan ke forniks vagina posterior.

Kadang-kadang pemasangan pessarium dari plastik mengalami kesukaran, akan tetapi kesukaran ini biasanya dapat diatasi oleh penderita. Apabila pessarium tidak dapat dimasukkan sebaiknya digunakan pessarium dari karet dengan per di dalammnya. Pessarium ini dapat dikecilkan dengan menjepit pinggir kanan dan kiri antara 2 jari dan dengan demikian lebih mudah dimasukkan ke dalam vagina. Untuk mengetahui setelah dipasang apakah ukurannya cocok maka penderita disuruh batuk atau mengejan. Jika pessarium tidak keluar lalu penderita disuruh berjalan-jalan dan apabila ia tidak merasa nyeri maka pessarium dapat digunakan terus.Pessarium dapat dipakai selama beberapa tahun, asalkan penderita diawasi dan diperiksa secara teratur. Pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan 2-3 bulan sekali. Vagina diperiksa secara inspekulo untuk menentukan ada tidaknya perlukaan, pessarium lalu dibersihkan dan disterilkan lalu kemudian dipasang kembali. Pada kehamilan, reposisi prolapsus uteri dengan memasang pessarium berbentuk cincin dan kalau perlu ditambah tampon kassa serta penderita disuruh tidur mungkin sudah dapat membantu penderita. Apabila pessarium dibiarkan di dalam vagina tanpa pengawasan yang teratur, maka dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti ulserasi, terpendamnya sebagian dari pessarium ke dalam dinding vagina, bahkan dapat terjadi fistula vesikovaginalis atau fistula rektovaginalis. Kontraindikasi terhadap pemakaian pesarium ialah adanya radang pelvis akut atau subakut serta adanya keganasan. Sedangkan indikasi penggunaan pessarium antara lain kehamilan, hingga penderita belum siap untuk dilakukan tindakan operasi, sebagai terapi tes untuk menyatakan bahwa operasi harus dilakukan, penderita yang menolak untuk dilakukan tindakan operasi dan lebih suka memilih terapi konservatif serta untuk menghilangkan keluhan yang ada sambil menunggu suatu operasi dapat dilakukan.

Gambar 2.10. Jenis-jenis Pessarium: A. Cube pessary, B. Behrung pessary, C. Hodge with knob pessary, D. Regula pessary, E. Gelhorn pessary, F. Shaatz pessary, G. Incontinence dish pessary, I. Donut pessary(Sumber: Schorge j et al. 2008)

b. Pengobatan OperatifProlapsus uteri biasanya disertai dengan adanya prolapsus vagina, sehingga jika dilakukan pembedahan untuk prolapsus uteri maka prolapsus vagina perlu ditangani pula secara bersamaan. Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina yang membutuhkan pembedahan, padahal tidak ada prolapsus uteri atau prolapsus uteri yang ada belum perlu dilakukan tindakan operasi. Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus vagina ialah jika didapatkan adanya keluhan pada penderita (Wiknjosastrro H, 2007).Di bawah ini akan dibicarakan terapi pembedahan pada jenis-jenis prolapsus genitalis (Wiknjosastro H, 2007; Thomson JD, 2003).1) SistokelOperasi yang lazim dilakukan ialah kolporafi anterior. Setelah diadakan sayatan pada dinding vagina depan lalu dilepaskan dari kandung kencing dan uretra, lalu kandung kencing didorong ke atas dan fascia puboservikalis sebelah kiri dan kanan dijahit di garis tengah. Sesudah dinding vagina yang berlebihan dibuang maka dinding vagina yang terbuka ditutup kembali. Kolporafi anterior dilakukan pula pada uretrokel. Kadang-kadang tindakan operasi ini tidak mencukupi pada sistokel dengan stress inkontinensia yang berat. 2) RektokelPada kaus ini operasi yang dilakukan disebut dengan kolpoperineoplastik. Dimana mukosa dinding belakang vagina disayat dan dibuang berbentuk segitiga dengan dasarnya batas antara vagina dan perineum dan dengan ujungnya pada batas atas rektokel. Sekarang fascia rektovaginalis dijahit di garis tengah dan kemudian muskulus levator ani kiri dan kanan didekatkan di garis tengah. Luka pada dinding vagina dijahit, demikian pula otot-otot perineum superfisialis sebelah kanan dan kiri, lalu dihubungkan di garis tengah dan akhirnya luka pada kulit perineum dijahit.3) EnterokelSayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas sampai ke serviks uteri. Setelah hernia enterokel yang terdiri atas peritoneum dilepaskan dari dinding vagina lalu peritoneum ditutup dengan jahitan setinggi mungkin. Sisanya dibuang dan di bawah jahitan itu ligamentum sakrouterina kiri dan kanan serta fascia endopelvik dijahit di garis tengah. 4) Prolapsus uteriSeperti telah diterangkan di atas bahwa indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita, kemungkinannya untuk masih mendapatkan anak lagi atau untuk mempertahankan uterus, tingkatan prolapsus uteri dan adanya keluhan yang ditemukan pada penderita. Macam-macam operasi prolap uteri sebagai berikut (Wiknjosastro H, 2007; Thomson JD, 2003):a) VentrofiksasiPada wanita yang masih tergolong muda dan masih ingin menginginkan anak lagi, maka dilakukan tindakan operasi untuk membuat uterus ventrofiksasi dengan cara memendekkan ligamentum rotundum atau mengikatkan ligamentum rotundum ke dinding perut.b) Operasi ManchesterPada tindakan operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri dan dilakukan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong di muka serviks lalu dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi serviks dilakukan untuk memendekkan servik yang memanjang (elongasio kolli).

Gambar 2.11. Teknik opersi Manchester pada kasus prolapsus uteri dan sistokel

Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus, partus prematurus dan distosia servikalis pada saat persalinan berlangsung. Bagian yang paling penting pada tindakan operasi ini adalah penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek sehingga uterus akan terletak dalam posisi anteversiofleksi dan turunnya uterus dapat dicegah.

Gambar 2.12. Teknik opersi rektokel dan enterokel menurut Manchester

c) Histerektomi pervaginamOperasi ini tepat untuk dilakukan pada prolapsus uteri dalam tingkatan yang lebih lanjut dan pada wanita yang telah menopause. Setelah uterus diangkat, puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri, bagian atas pada ligamentum infundebulopelvikum, kemudian tindakan operasi dilanjutkan dengan melakukan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah terjadinya prolapsus vagina dikemudian hari.

Gambar 2.13. Teknik operasi histerektomi pervaginam pada prolapsus uteri secara LeFort

d) KolpoklesisPada waktu obat-obat serta pemberian anestesi dan perawatan pra dan pasca tindakan operasi belum baik untuk perempuan tua yang seksual tidak aktif lagi dapat dilakukan operasi sederhana dengan menjahitkan dinding vagina depan dengan dinding bagian belakang, sehingga lumen vagina tertutup dan uterus terletak di atas vagina. Akan tetapi tindakan operasi jenis ini tidak akan memperbaiki sistokel atau rektokel sehingga akan dapat menimbulkan inkotinensia urin. Obstipasi serta keluhan pada prolapsus uteri lainnya juga tidak akan hilang pada tindakan ini.

e) Purandare Purandare adalah operasi yang ditujukan bagi nulipara yang mengalami prolaps uteri. Yang mempunyai dinding abdomen yang baik. Pada operasi ini, uterus digantungkan dari ligamentum latum ke fascia muskulus rektus abdominis menggunakan pita mersilene. Operasi efektif selama dinding abdomen masih kuat. Ketika dinding abdomen tidak kuat, prolaps uterus dapat terjadi kembali.

2.13 PrognosisBila prolaps uteri tidak ditatalaksana, maka secara bertahap akan memberat. Prognosis akan baik pada pasien usia muda, dalam kondisi kesehatan optimal (tidak disertai penyakit lainnya), dan Indeks Masa Tubuh ( IMT ) dalam batas normal. Prognosis buruk pada pasien usia tua, kondisi kesehatan buruk, mempunyai gangguan sistem respirasi (asma, PPOK), serta IMT diatas batas normal. Rekurensi prolaps uteri setelah tindakan operasi sebanyak 16% (Fortnes K et al, 2007).

BAB IIIKESIMPULAN

Kesimpulan1. Angka kejadian prolapsus alat genitalia cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup penduduk di Indonesia.2. Penyebab prolapsus genitalia multifaktorial dan semakin berkembang dari tahun ke tahun namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan pelvic floor yang terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik dan ligamentum-ligamentum yang menyokong organ-organ genitalia. Penyebab yang paling sering adalah karena multiparitas.3. Gejala klinik dari prolapsus itu sendiri berbeda-beda dan berifat individual. Bisanya gejala yang dirasakan penderita adalah adanya suatu benda yang menonjol atau mengganjal di genitali eksterna, rasa sakit di pinggang, miksi yang sedikit tapi sering.4. Penatalaksanan pada prolapsus genitalis pada umumnya adalah konservatif, sedangkan tindakan operatif baru dilakukan jika secara konservatif tidak berhasil dan jika tidak ada kontraindikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson JR and Genadry R. 2007. Anatomy dan Embryology. In: Berek JS. (eds). Berek & Novaks Gynecology. 14th. New York: Lippincott Williams & Wilkins. p75-83.Barber MD. 2005. Contemporary views on female pelvic anatomy. Cleveland Clinic Journal Of Medicine. 72 (4) : S3-S11.Decherrney AH, Goodwin, TM, et al. 2007. Current Diagnosis and Treatment. New York: The McGraw hill. p720-734.Fortnes K et al. 2007. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. Baltimore: Lippincott Williams & WilkinsJelovsek JE, Maher C, Barber MD. 2007. Pelvic organ prolapse. Lancet. 369)10271038.Junizaf. 2002. Prolapsus alat genitalia. Dalam Buku ajar: Uroginekologi. Subbagian uroginokologi rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: FKUI/RSUPN-CM. p70-76.Khalilullah. S A dkk. 2011. Prolapsus Uteri pada Ruma Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia Selama 2007 sampai 2010. Penelitian Deskriptif Retrospektif. FK Syiahkuala.Persu C, et al. 2011. Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) a new era in pelvic prolapse staging. Journal of Medicine and Life. 4 (1): p. 75-81.Schorge j et al. 2008. Anatomi. In: Schorge. Schaffer. Halvorson. Hofman. Bradshaw. Cunningham, editors. Williams Gynecology 1st. Ed. McGraw-Hill Companies, p.773-802.Schorge J et al. 2008. Williams Gynecology. chapter 24. United States: The McGraw hill Snell RS. 2006. Anatomi Klinik edisi keenam: pelvis; bagian II cavitas pelvis. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. p356-360. Subramanian D, Szwarcensztein K, Mauskopf JA, Slack MC. 2009. Rate, type, and cost of pelvic organ prolapse surgery in Germany, France, and England. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. (80): p177181.Thomson JD. 2003. Surgical techniques for pelvic organ prolapse. In: Bent AE, Ostergard DR, Cundiff GW, et al, eds. Ostergards urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & WilkinsWiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. p103-131, p421-446.

23