profil kesehatan 2010
DESCRIPTION
profil kesehatan kalbar 2010TRANSCRIPT
1
B A B I
P E N D A H U L U A N
Penyusunan buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
merupakan hasil dari salah satu mata rantai pelaksanaan Sistem Informasi
Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka menyediakan berbagai data &
informasi di bidang kesehatan. Data dan informasi kesehatan tersebut akan menjadi
faktor pendukung didalam sistem manajemen pembangunan kesehatan, dalam
proses perencanaan maupun pelaksanaan berbagai upaya kesehatan akan menjadi
berdaya guna dan berhasil guna sebagaimana termaktub dalam Rencana Strategis
(Renstra) dinas kesehatan provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 – 2013.
Sistem Informasi kesehatan merupakan bagian fungsional dari Sistem
Kesehatan secara keseluruhan. Oleh karena itu penerbitan buku Profil Kesehatan
Provinsi Kalimantan Barat sekarang ini lebih dikaitkan dengan sistem kesehatan yang
diarahkan pada pencapaian Visi Kalimantan Barat Sehat 2013 yakni ” mewujudkan
masyarakat kalimantan barat yang beriman, sehat, cerdas, aman, berbudaya
dan sejahtera”. Artinya, Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 ini
disusun agar dapat menjadi salah satu sarana untuk menilai pencapaian
Pembangunan Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka mencapai Visi
tersebut.
Profil adalah dokumen yang berisi tentang data dan informasi dari sistem
manajemen data/informasi sebuah organisasi, mulai dari pengumpulan, pengolahan,
analisis, penyajian dan penyebar luasan informasi. Untuk fungsi manajemen dan
pengambilan keputusan sebuah organisasi memerlukan dukungan data/informasi.
Dalam penyusunan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 ini
kami menggunakan berbagai sumber data antara lain
Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010.
Data dari berbagai sektor/ Instansi terkait, data dari berbagai bidang di
lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.
Walaupun dengan berbagai keterbatasan data dan informasi yang dapat kami
sajikan, akhirnya buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 ini
dapat diselesaikan. Apa yang kami tampilkan pada buku Profil Kesehatan ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang berbagai perubahan maupun
2
perbaikan pada program pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Barat khususnya
sektor kesehatan secara menyeluruh. Untuk memenuhi kebutuhan berbagai data dan
informasi guna menunjang manajemen program kesehatan pada semua tingkat
administrasi. Untuk itu segala upaya dan perbaikan terhadap isi buku profil ini telah
kami coba laksanakan baik terhadap kualitas maupun kuantitas dan juga dalam hal
menganalisa data-data yang ada.
Penyusunan Buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 ini
mengalami keterlambatan jika disesuaikan dengan waktu yang seharusnya dimana
bulan Juli sudah harus tersusun, hal ini disebabkan karena adanya keterlambatan
laporan data profil dari Dinas Kesehatan Kabupatan/Kota.
Guna memberikan gambaran yang lebih baik tentang situasi kesehatan di Provinsi
Kalimantan Barat maka buku Profil Kesehatan ini kami susun dengan sistimatika
sebagai berikut :
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Gambaran umum Provinsi
Bab III : Pembangunan Kesehatan Daerah
Bab IV : Pencapaian Pembangunan Kesehatan
Bab V : Situasi Sumber Daya Kesehatan
Bab VI : Penutup
Lampiran tabel-tabel
3
BAB II
GAMBARAN UMUM PROVINSI
2.1. Letak Wilayah
Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di
antara garis 2° 08' LU serta 3° 05' LS serta di antara 108° 0' BT dan 114° 10' BT pada
peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini maka, daerah Kalimantan
Barat tepat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0° ) tepatnya di atas Kota
Pontianak. Karena pengaruh letak ini pula, maka Kalimantan Barat adalah salah satu
daerah tropik dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi.
Ciri-ciri spesifik lainnya adalah bahwa wilayah Kalimantan Barat termasuk
salah satu Provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing,
yaitu dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Bahkan dengan posisi ini,
maka daerah Kalimantan Barat kini merupakan satu-satunya Provinsi di Indonesia
yang secara resmi telah mempunyai akses jalan darat untuk masuk dan keluar dari
negara asing. Hal ini dapat terjadi karena antara Kalimantan Barat dan Sarawak telah
terbuka jalan darat antar negara Pontianak – Entikong – Kuching (Sarawak, Malaysia)
sepanjang sekitar 400 km dan dapat ditempuh sekitar enam sampai delapan jam
perjalanan.
Batas-batas wilayah selengkapnya bagi daerah Provinsi Kalimantan Barat
adalah :
Utara : Sarawak (Negara Malaysia)
Selatan : Laut Jawa & Provinsi Kalimantan Tengah
Timur : Provinsi Kalimantan Timur
Barat : Laut Natuna dan Selat Karimata
Sebelah utara Provinsi Kalimantan Barat terdapat empat kabupaten yang
langsung berhadapan dengan negara jiran yaitu; Sambas, Sanggau, Sintang dan
Kapuas Hulu, yang membujur sepanjang Pegunungan Kalingkang – Kapuas Hulu.
2.2. Luas Wilayah
Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah merupakan
daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari
luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari
Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur.
4
Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk Provinsi
terbesar keempat setelah pertama Irian Jaya (421.891 km2 ), kedua Kalimantan Timur
(202.440 km2 ) dan ketiga Kalimantan Tengah (152.600 km2).
Dilihat dari luas menurut Kabupaten/Kota, maka yang terbesar adalah
Kabupaten Ketapang (31.588 km2 atau 21,52 persen) kemudian diikuti Kapuas Hulu
(29.842 km2 atau 20.33 persen), dan Kabupaten Sintang (21.635 km atau 14,74
persen), sedangkan sisanya tersebar pada 11 (sebelas) kabupaten/kota lainnya.
2.3. Topografi
Secara umum, daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah dan
mempunyai ratusan sungai yang aman bila dilayari, sedikit berbukit yang
menghampar dari Barat ke Timur sepanjang “Lembah Kapuas” serta Laut
Natuna/Selat Karimata. Sebagian daerah daratan ini berawa-rawa bercampur gambut
dan hutan mangrove.
Wilayah daratan ini diapit oleh dua jajaran pegunungan yaitu, Pegunungan
Kalingkang/Kabupaten Kapuas Hulu di bagian Utara dan Pegunungan Schwaner di
Selatan sepanjang perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah.
Dilihat dari tekstur tanahnya maka, sebagian besar daerah Kalimantan Barat
terdiri dari jenis tanah PMK (podsolet merah kuning), yang meliputi areal sekitar 10,5
juta hektar atau 17,28 persen dari luas daerah yang 14,7 juta hektar. Berikutnya,
tanah OGH (orgosol, gley dan humus) dan tanah Aluvial sekitar 2,0 juta hektar atau
10,29 persen yang terhampar di seluruh Kabupaten/Kota, namun sebagian besar
terdapat di kabupaten daerah pantai.
2.4. Sungai dan Danau
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki
Provinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang
mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering
dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur
utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah
dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.
Sungai besar utama adalah S. Kapuas, yang juga merupakan sungai
terpanjang di Indonesia (1.086 km), yang mana sepanjang 942 km dapat dilayari.
Sungai-sungai besar lainnya antara lain : Sungai Melawi (dapat dilayari 471 km),
Sungai Pawan (197 km), Sungai Kendawangan (128 km), Sungai Jelai (135 km),
5
Sungai Sekadau (117 km), Sungai Sambas (233 km), Sungai Landak (178 km), dan
lainnya seperti terlihat pada tabel 1.11.
Jika sungai-sungai sangat menonjol jumlahnya di Kalimantan Barat, maka
sebaliknya yang terjadi dengan danau. Dari danau-danau yang ada hanya dua yang
cukup berarti. Kedua danau ini adalah Danau Sentarum dan Danau Luar I yang
berada di Kabupaten Kapuas Hulu.
Danau Sentarum mempunyai luas 117.500 hektar yang kadang-kadang
nyaris kering di musim kemarau, serta Danau Luar I yang mempunyai luas sekitar
5.400 hektar. Kedua danau ini mempunyai potensi yang baik sebagai objek wisata.
2.5. Gunung-gunung
Dipengaruhi oleh dataran rendah yang amat luas, maka ketinggian gunung-
gunung relatif rendah serta non aktif. Gunung yang paling tinggi adalah gunung
Baturaya di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang yang mempunyai ketinggian
2.278 meter dari permukaan laut, jauh lebih rendah dibanding G. Semeru
(Jatim,3.676 meter) atau G. Kerinci (Jambi, 3.805 meter).
Gunung Lawit yang berlokasi di Kapuas Hulu, Kec. Embaloh Hulu dan lebih
dahulu dikenal di Kalimantan Barat, ternyata hanya menempati tertinggi ketiga karena
mempunyai tinggi 1.767 meter, sedangkan tertinggi kedua adalah Gunung
Batusambung (Kec. Ambalau) dengan ketinggian mencapai 1.770 meter (Tabel 1.13).
2.6. Pulau-pulau
Walaupun sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan laut,
akan tetapi Kalimantan Barat memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak
berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang
berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera.
Pulau-pulau besarnya seperti Pulau Karimata, Pulau Maya dan Pulau
Panebangan di Kabupaten Kayong Utara, serta Pulau Bawal dan Pulau Gelam di
perairan Selat Karimata, Kabupaten Ketapang. Pulau besar lainnya antara lain adalah
Pulau Laut, Pulau Betangin Tengah, Pulau Butung, Pulau Nyamuk dan Pulau Karunia
di Kabupaten Pontianak.
Sebagian kepulauan ini, terutama di wilayah Kabupaten Ketapang
merupakan Taman Nasional serta wilayah perlindungan atau konservasi.
6
2.7. Penggunaan Tanah
Sebagian besar luas tanah di Kalimantan Barat adalah hutan (41,61%) dan
padang/semak belukar/alang-alang (32,64%). Adapun areal hutan terluas terletak di
Kabupaten Kapuas Hulu seluas 1.960.578 ha, sedangkan padang/semak belukar
terluas berada di Kabupaten Ketapang yaitu seluas 1.374.146 ha. Sementara itu areal
perkebunan mencapai 1.755.558 ha atau 11,93 %.
Dari 14,68 ribu ha luas Kalimantan Barat, areal untuk pemukiman hanya
berkisar 0,83 persen. Adapun areal pemukiman terluas berada di Kabupaten
Ketapang diikuti kemudian oleh Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu.
2.8. I k l i m
2.8.1. Angin dan Udara
Faktor yang merupakan ciri umum bagi suatu daerah dataran rendah di
daerah tropis adalah suhu udara yang relatif panas atau tinggi, sedangkan khusus
daerah Kalimantan Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan kelembaban udara
yang tinggi. Berdasarkan catatan empiris dari Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak
yang meliputi Stasiun Meteorologi (SM) Supadio Pontianak, SM Pangsuma
Putussibau, SM Paloh Sambas, SM Susilo Sintang, SM Nanga Pinoh Melawi dan
Stasiun Klimatologi Siantan Kabupaten Pontianak, umumnya suhu udara di daerah
Kalbar cukup normal namun bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 25,80C sampai dengan
28,30C.
Selama tahun 2010, temperatur udara di Kalimantan Barat maksimum
mencapai 34 0C. yang terjadi di stasiun meteorologi Nangapinoh pada bulan Oktober
2010. Demikian juga temperatur minimum tercatat 22 0C yang terjadi di stasiun
meteorologi Nangapinoh pada Bulan Desember 2010
Pada umumnya, kecepatan angin di Kalimantan Barat dari beberapa stasiun
meteorologi, sepanjang bulan di tahun 2010, secara rata-rata berkisar antara 03
knot/jam sedangkan maksimum tercatat sebesar 30 knot/jam terjadi di stasiun
meteoreologi Siantan pada Bulan Desember 2010.
2.8.2. Curah Hujan dan Hari Hujan
Pada tahun 2010, rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terjadi di Stasiun
Meteorologi Pangsuma pada bulan Agustus 776,8 mm dan terendah terjadi di
Stasiun Metereologi Paloh yaitu pada bulan Maret mencapai 70,4 mm. Banyaknya
7
hari hujan tertinggi dan terendah yang tercatat di Stasiun Metereologi Supadio yaitu
tertinggi pada Bulan Juli seanyak 26 hari dan terendah terjadi pada Bulan Maret, April
dan Juni yang tercatat sebanyak 18 hari.
Hasill Pemantauan di Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak
menggambarkan bahwa curah Hujan tertinggi terjadi pada Bulan November 2010,
yang mencapai 449,9 mm, sedangkan yang terendah tercatat 173,9 mm yang terjadi
pada Bulan Agustus 2010.
Demikian juga halnya dengan beberapa stasiun meteorologi lainnya seperti,
Siantan, Susilo dan Nanga Pinoh masing-masing curah hujan tertinggi mencapai
474,8 mm, 541,2 mm dan 549,9 mm ; angka terendah masing-masing 103,7 mm,
214,2 mm, dan 220,6 mm.
2.9. Wilayah Administratif dan Pemerintahan.
Pada tahun 2010 berdasarkan Data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota,
Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 14 (empat belas) kabupaten/kota yaitu dua belas
kabupaten dan 2 (dua) kota. Empat belas Kabupaten/kota ini terbagi dalam 173
kecamatan dengan 1.895 desa/kelurahan. Rincian jumlah kecamatan dan
Desa/Kelurahan dapat terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel : 2.1.
Jumlah Kecamatan Dan Desa/Kelurahan Menurut Kabupaten/Kota
Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
8
2.10. Kependudukan
Penduduk Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010 diperkirakan berjumlah
sekitar 4,395.983 juta jiwa (angka proyeksi BPS), dimana sekitar 2,246.903 juta jiwa
berjenis kelamin laki-laki dan 2,149.080 juta jiwa adalah perempuan. Luas wilayah
Provinsi Kalimantan Barat sebesar 146.807 Km2, sehingga jika dilihat dari luas
wilayah dan jumlah penduduk, maka kepadatan penduduk di Kalimantan Barat adalah
sekitar 29 atau lebih besar dari Pulau Jawa, maka kepadatan penduduk Kalimantan
Barat sekitar 29 Jiwa per Km2.
Tabel : 2.2
Jumlah Penduduk Menurut Daerah Dan Kepadatan Per Kabupaten/Kota
Tahun 2010
Sumber : BPS
Dilihat dari tabel 2.2. Persebaran penduduk Kalimantan Barat tidak merata
antar wilayah kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, maupun antar wilayah
kawasan pantai bukan pantai atau perkotaan dan pedesaan. Seperti daerah pesisir
yang mencakup Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak,
Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota
Pontianak, dan Kota Singkawang yang dihuni oleh hampir 50 persen dari total
penduduk Kalimantan Barat dengan kepadatan rata-rata mencapai 48 jiwa per Km2.
Sebaliknya enam kabupaten lain (bukan pantai) secara rata-rata tingkat kepadatan
penduduknya relatif lebih jarang. Wilayah yang paling jarang penduduknya adalah
9
Kabupaten Kapuas Hulu, dengan luas wilayah 29.842 km2 atau sekitar 20,33% dari
luas wilayah Kalimantan Barat hanya dihuni rata-rata 7 (tujuh) jiwa per kilometer
persegi, sedangkan Kota Pontianak yang luasnya hanya 0,07% (107,80 km2)
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya, dihuni oleh rata-rata sekitar 5.145
jiwa per Km2.
Komposisi penduduk Kalimantan Barat, dari 4.395.983 jiwa penduduk,
51,11% atau 2.246.903 jiwa adalah laki-laki dan 48,89% atau 2.149.080 jiwa adalah
perempuan. Rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk adalah sebesar 104.55 artinya
dalam setiap 205 penduduk terdapat 105 jiwa penduduk laki-laki dan 100 jiwa
penduduk perempuan. Dilihat dari ratio penduduk berdasarkan kabupaten/kota,
hampir seluruh kabupaten/kota di wilayah Kalimantan Barat (kecuali Kabupaten
Sambas) memiliki ratio lebih dari 100 yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih
besar dari penduduk perempuan, untuk lengkapnya dapat dilihat pada lampiran profil
kesehatan tabel 2.
Gambar : 2.1
Piramida Penduduk Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
300.000 200.000 100.000 0 100.000 200.000 300.000
0 - 45 - 9
10 - 1415 - 1920 - 2425 - 2930 - 3435 - 3940 - 4445 - 4950 - 5455 - 5960 - 6465 - 6970 - 74
75+
Laki-Laki Perempuan
Sumber : BPS
10
Mewujudkan Kemandirian Masyarakat Kalimantan Barat Sehat 2013
B A B III
PEMBANGUNAN KESEHATAN DAERAH
3.1. Visi
Visi merupakan cara pandang jauh kedepan tentang kemana Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat akan diarahkan dan apa yang akan dicapai.
Dalam mengantisipasi tantangan kedepan menuju kondisi yang diinginkan,
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat secara terus menerus mengembangkan
peluang dan inovasi agar tetap eksis dan unggul dengan senantiasa mengupayakan
perubahan ke arah perbaikan. Perubahan tersebut harus disusun dalam tahapan
yang terencana, konsisten dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan
akuntabilitas kinerja yang berorientasi pada pencapaian hasil (outcomes).
Untuk memenuhi harapan diatas, maka Visi Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat adalah :
3.1.1. Penjelasan Makna
Didalam pernyataan Visi tersebut, terdapat kata–kata kunci sebagai berikut :
Masyarakat Kalimantan Barat Sehat 2013 yang diharapkan adalah
masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mecegah
risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, berpartisipasi aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu. Sehat dalam hal ini mengandung arti dalam perspektif luas, tidak
sebatas pada kondisi fisikal yang prima, melainkan juga sehat rohani, mental,
intelektual dan sosial.
Mewujudkan Kemandirian Masyarakat Kalbar mengandung makna bahwa
masyarakat Kalbar mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kesehatannya
dimana setiap penduduknya mampu memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya dengan pembiayaan secara mandiri.
Kemandirian masyarakat untuk hidup sehat juga tidak terlepas dengan
keluarga, yang merupakan unit terkecil dari masyarakat. Di dalam sistem pelayanan
kesehatan masyarakat, keluarga merupakan sumber informasi dalam perawatan di
11
rumah dan pengobatan sendiri. Diharapkan dalam keluarga menunjukkan
kemandiriannya dalam memberikan pelayanan kesehatan pada anggota keluarganya
dan mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu.
Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat,
pemerintah dan swasta. Apapun peran yang dimainkan oleh pemerintah, tanpa
kesadaran individu dan masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan
mereka, hanya sedikit yang dapat dicapai. Perilaku yang sehat dan kemampuan
masyarakat untuk memilih dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu
sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, salah
satu upaya kesehatan pokok adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup
sehat.
3.2. Misi
Pernyataan Misi mengandung pernyataan yang mencerminkan pandangan
organisasi tentang kemampuan dirinya. Pernyataan misi merupakan hal yang sangat
penting untuk mengarahkan kegiatan Dinas Kesehatan untuk lebih eksis dan dapat
mengikuti efek global otonomi daerah.
Misi ditetapkan untuk mengarahkan operasionalisasi Dinas Kesehatan
sehingga terus eksis dan mengikuti perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi,
yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Misi yang ditetapkan
diharapkan seluruh pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dan pihak-
pihak yang berkepentingan (stakeholders) mengetahui peran dan program-program
serta hasil yang akan diperoleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dimasa
mendatang.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, dalam penetapan misinya, telah
mempertimbangkan tugas pokok dan fungsi, keinginan dan harapan pelanggan dan
stakeholders, serta permasalahan yang akan dihadapi/ditangani sehubungan dengan
perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Karena itu, misi
yang telah ditetapkan memungkinkan untuk dilakukan perubahan dan penyesuaian
sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan yang signifikan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Dinas Kesehatan dengan
memperhatikan tugas pokok dan fungsi, menetapkan Misi sebagai berikut :
1. Mewujudkan Aparatur Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat yang
professional.
2. Membuat Masyarakat Kalimantan Barat Yang Sehat dan Mandiri Di Bidang
Kesehatan serta Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
12
3. Meningkatkan Upaya Pelayanan Kesehatan, Penyediaan Obat dan
Perbekalan Kesehatan Yang Optimal, Bermutu dan Terjangkau Serta
Meningkatnya Upaya Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan
4. Terbinanya Keluarga Sehat, Mandiri dan Sadar Gizi Yang Ditunjang Oleh
Perilaku Hidup Bersih Sehat
5. Memantapkan Sumber Daya dan Informasi Kesehatan
3.3. Tujuan dan Sasaran
3.3.1. Tujuan
Tujuan merupakan target kualitatif organisasi, sehingga pencapaian target ini
dapat merupakan ukuran kinerja faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi. Tujuan
sifatnya lebih konkrit daripada misi dan mengarah pada suatu titik terang pencapaian
hasil. Dengan adanya pernyataan tujuan, maka akan jelas bagi organisasi mengenai
arah yang akan dituju dalam rangka mempertahankan eksistensi dimasa datang.
Untuk menetapkan tujuan, diperlukan suatu alat bantu berupa metode atau
analisis yang dapat memberikan suatu rujukan teoritis dalam menggambarkan situasi
dan kondisi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. Dari pencermatan
lingkungan intern dan ekstern ini akan diperoleh strategi yang akan menentukan
faktor-faktor kunci keberhasilan guna memberikan rambu-rambu dalam menetapkan
tujuan.
Agar dapat mengukur pencapaian tujuan pada suatu periode tertentu
diperlukan adanya indikator kinerja tujuan, yang pada hakekatnya merupakan benefit
atau impacts dari suatu kegiatan. Untuk keperluan ini dibutuhkan adanya Sistem
Pengukuran Kinerja yang berlaku untuk di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat.
Suatu instansi pemerintah dalam menetapkan tujuan harus memperhatikan
kriteria:
1) Cukup jelas
2) Diselaraskan dengan Visi dan Misi
3) Mempertimbangkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
instansi
4) Menggambarkan hasil yang ingin dicapai
5) Mengakomodasi issue strategis yang dihadapi
13
6) Mencerminkan “Core Area” dimana organisasi berperan.
Dengan demikian, tujuan merupakan penjabaran secara lebih nyata dari
perumusan visi dan misi yang unik dan idealistik.
Adapun tujuan strategis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Strategis untuk mencapai misi: “Mewujudkan aparatur Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat yang profesional” adalah
Terciptanya pegawai yang profesional guna memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat.
2. Tujuan strategis untuk mencapai misi: “Membuat masyarakat Kalimantan
Barat yang sehat dan mandiri di bidang kesehatan serta Meningkatkan
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan” adalah Tercapainya
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan yang sehat dan
bermutu.
3. Tujuan Strategis untuk mencapai misi: “ Meningkatkan upaya Pelayanan
Kesehatan, Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan yang Optimal,
Bermutu dan Terjangkau serta Meningkatnya upaya Penanggulangan
bencana bidang Kesehatan “ adalah sebagai berikut:
a. Meningkatnya pelayanan kesehatan khusus yang bermutu.
b. Meningkatnya penanggulangan bencana bidang kesehatan.
c. Meningkatnya pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu.
d. Meningkatnya penanganan obat & perbekalan kesehatan yang
optimal.
4. Tujuan strategis untuk mencapai misi: “ Terbinanya Keluarga sehat,
mandiri dan sadar gizi yang ditunjang oleh perilaku hidup bersih sehat ”
adalah Meningkatnya jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan di
Puskesmas dan jaringannya, serta peningkatan dukungan manajemen
upaya pelayanan kesehatan.
5. Tujuan strategis untuk mencapai misi: “ Memantapkan Sumber Daya dan
Informasi Kesehatan ” adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya Kesehatan
dalam rangka meningkatkan profesionalisme.
b. Meningkatnya pelaksanaan manajemen informasi dan
pengembangan kesehatan.
14
c. Meningkatnya pengembangan sumber daya pembiayaan dan
jaminan kesehatan.
3.3.2. Sasaran Dan Indikator Kinerja Sasaran
Sasaran merupakan penjabaran dari tujuan secara terukur yang akan dicapai
secara nyata dalam jangka waktu tahunan. Sasaran merupakan bagian internal dalam
proses perencanaan strategis Dinas Kesehatan.
Sasaran harus bersifat spesifik, dapat dinilai, diukur, menantang namun
dapat dicapai, orientasi pada hasil dan dapat dicapai dalam periode tertentu. Sasaran
Dinas Kesehatan selama 5 (lima) tahun periode 2008– 2013 juga disertai dengan
indikator kinerja sasaran. Indikator kinerja sasaran merupakan ukuran keberhasilan
dari suatu sasaran strategis organisasi yang bersifat kuantitatif atau kualitatif dan
dijadikan patokan/tolok ukur dalam menilai keberhasilan atau kegagalan
penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai visi dan misi organisasi.
Berdasarkan pengertian tersebut maka Dinas Kesehatan menetapkan
sasaran sebagai berikut :
3.3.2.1. Tujuan Pertama:
“Terciptanya pegawai yang profesional guna memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat ”, dengan sasaran :
1. Meningkatkan pegawai yang profesional yang didukung oleh rencana
kerja, penganggaran, sarana dan prasarana yang efektif dan efisien
serta memadai, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya:
- Prosentase pejabat struktural yang telah mengikuti diklatpim.
- Prosentase pejabat struktural yang telah memenuhi syarat kompetensi
jabatan.
- Prosentase pegawai fungsional yang telah mengikuti diklat teknis
fungsional sesuai dengan jenjangnya.
- Tingkat ketepatan penempatan pegawai sesuai dengan keahliannya/
pendidikannya.
- Indeks kepuasan pegawai terhadap pelayanan administrasi
ketatausahaan.
- Indeks kepuasan pegawai terhadap penerapan disiplin.
- Indeks kepuasan pegawai terhadap penerapan sanksi pelanggaran
disiplin pegawai.
15
- Indeks kepuasan pegawai terhadap tingkat kesejahteraan (ekonomi)
dikaitkan dengan kebutuhan minimal dilingkungan Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan Barat.
- Indeks kepuasan pegawai terhadap penghargaan dan prestasi kerja.
- Prosentase kegiatan yang telah menyampaikan laporan hasil akhir
kegiatan.
- Prosentase hasil pencapaian pelaksanaan kegiatan yang sesuai
dengan rencana.
- Prosentase tertatanya administrasi kepegawaian, dengan rincian
indikator sebagai berikut :
Penyelesaian proses kenaikan pangkat
Penyelesaian proses gaji berkala
Penyelesaian proses Cuti PNS
Penyelesaian proses usul pensiun PNS
Penyelesaian proses usul penghargaan satya lencana
a. Dokter PTT
b. Dokter Gigi PTT
c. Bidan PTT
Penyelesaian proses selesai masa bakti tenaga kesehatan PTT :
a. Dokter PTT
b. Dokter Gigi PTT
Penilaian tenaga puskesmas teladan
Fasilitasi pelatihan peningkatan keterampilan & kemampuan PNS
Analisis jabatan
- Berfungsinya sarana dan prasarana gedung.
- Tingkat pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana gedung.
- Berfungsinya sarana dan prasarana mobilitas.
- Tingkat pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana mobilitas.
- Berfungsinya sarana dan prasarana alat kantor dan rumah tangga.
- Tingkat pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana alat kantor
dan rumah tangga.
16
2. Meningkatkan ketertiban pelayanan perijinan di bidang Kesehatan
sesuai dengan ketentuan, dengan indikator kinerja sasaran
diantaranya:
- Tingkat kesesuaian waktu pelayanan perijinan dengan ketentuan
- Kontribusi PAD dari pelayanan perizinan terhadap PAD Provinsi
Kalimantan Barat.
-
3.3.2.2. Tujuan Kedua :
“Tercapainya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan yang sehat
dan bermututu”, dengan sasaran :
3. Meningkatkan Kualitas Kesehatan Lingkungan, dengan indikator
kinerja sasaran diantaranya:
- Keluarga yang menggunakan air bersih memenuhi syarat kesehatan
diperkotaan dan pedesaan.
- Keluarga menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan.
- Sarana air bersih memenuhi syarat kesehatan.
- TTU yang memenuhi syarat kesehatan
- Rumah makan/restoran yang memenuhi Laik Hygiene Sanitasi
- Institusi Yang Sehat
- Dokumen AMDAL yang memenuhi kriteria kajian kesehatan
masyarakat
- Tenaga sanitasi yang pernah mengikuti diklat di bidang kesling
- Dinkes Kab/kota yang memiliki simkesling
- Informasi kesling yang tersedia
4. Menurunnya angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit
menular dan penyakit tidak menular, dengan indikator kinerja sasaran
diantaranya:
- Persentase darah donor di skrining terhadap HIV/AIDS dan Sifilis
- Jumlah klien yang mendapatkan testing HIV lengkap
- Terbentuknya klinik VCT baru
- Jumlah orang yang mendapatkan ARV
- Jumlah Orang dengan profilaksis dan pengobatan ODHA sesuai
standar
- Infeksi menular seksual (IMS) yang ditemukan dan diobati sesuai
standar
- Menurunkan transmisi penularan HIV/AIDS di kelompok resiko tinggi
17
- Cakupan UCI desa/kelurahan
- Cakupan imunisasi Anak sekolah (BIAS)
- Cakupan imunisasi BCG
- Cakupan imunisasi DPT/HB1
- Cakupan imunisasi polio 4
- Cakupan imunisasi campak
- AFP rate per 100.000 penduduk < 15 tahun
- Jumlah Kab/kota yang melakukan SKD KLB
- Persentase desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani <24 jam
- Persentase calon jamaah haji mendapatkan pemeriksaan kesehatan
- Persentase Kab/kota melaksanakan SKD KLB pada kondisi matra
- Persentase Kab/kota melaksanakan pengendalian faktor resiko
Penyakit Tidak Menular (PTM)
- Angka Kesakitan DBD (IR)
- Angka kematian akibat DBD, dengan rincian indikator :
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Penderita DBD yang ditemukan & di obati sesuai standar
Prosentase Desa/Kel yang melaksanakan PJB (Pemantauan
Jentik Berkala)
- Penderita DSS (Dengue Shock Syndrom) yang ditemukan di RS Pusk
- Angka kesakitan malaria (positif) per 1.000 penduduk
- Angka kematian malaria
- Penderita malaria yang ditemukan dan diobati sesuai standart
- Persentase penemuan penderita baru malaria klinis
- Persentase malaria klinis yang dilakukan pemeriksaan lab
- API (Annual Parasite Incident)
- Penemuan TB baru BTA (+)
- Angka kesembuhan TB baru BTA (+)
- Angka kematian akibat TB paru
- Cakupan pengobatan massal Filariasis
- Jumlah kasus klinis filariasis yang ditangani
- Prevalensi kusta per 10.000 penduduk
- Angka kesembuhan kusta (RFT rate)
- Cakupan penemuan penderita kusta baru
- Jumlah Kab/Kota yang melaksanakan kewaspadaan Pandemi
Influenza
- Prevalensi ibu hamil yang positif malaria
- Prevalensi ibu hamil yang positif TB
- Cakupan penemuan dan tata laksana penderita Pneumonia balita
18
- Prosentase penemuan dan pengobatan pneumonia balita sesuai
standart
- Prosentase penemuan kasus diare pada balita dan ditangani sesuai
standart
- Angka kematian diare saat KLB
- Prosentase diare yang diberi oralit
- Prosentase penemuan kasus diare di sarkes dan kader
- Prevalensi kecacingan pada anak SD
- Prevalensi kasus kusta pada anak <15 tahun
3.3.2.3. Tujuan Ketiga :
“Meningkatnya pelayanan kesehatan khusus yang bermutu”, dengan sasaran :
5. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khusus dengan
dukungan/peran serta masyarakat dan stakeholder terkait, dengan
indikator kinerja sasaran diantaranya:
- Rasio cabut dan tambal gigi pada sarana pelayanan kesehatan
- Pemeriksaan gigi dan mulut pada anak sekolah dasar
- Pelayanan gangguan jiwa disarana pelayanan kesehatan umum
- Tempat kerja formal menerapkan kesehatan kerja
- Puskesmas melaksanakan upaya kesehatan kerja
- Puskesmas melaksanakan upaya kesehatan indera
- Pelayanan darah yang memenuhi standar transfusi darah
- Akreditasi Laboratorium Klinik
- Akreditasi Laboratorium Kesehatan dan Laboratorium swasta
- Pelayanan Spesialistik penyakit paru
- Puskesmas yang melaksanakan program kesehatan olahraga
masyarakat
- Terbentuknya balai kesehatan kerja dan olah raga masyarakat
6. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rujukan yang efektif dan
efisien, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya:
- Tingkat pemanfaatan RS :
BOR
LOS
TOI
BTO
- Net Death Rate
- Persentase rujukan ke rumah sakit regionalnya
19
- Persentase rumah sakit yang telah terakreditasi
3.3.2.4. Tujuan Keempat :
“Meningkatnya penanggulangan bencana bidang kesehatan”, dengan sasaran :
7. Meningkatnya penanggulangan bencana bidang kesehatan yang tepat
dan cepat, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya:
- Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat
sesuai standar
- Dinkes Kab/Kota yang melakukan kegiatan pra bencana
3.3.2.5. Tujuan Kelima :
“Meningkatnya pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu“, dengan
sasaran :
8. Meningkatkan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Persentase pemilihan ISO
- Persentase Pemilihan akreditasi
- Persentase Pemilihan terlaksananya kinerja pemerintah
- Persentase puskesmas kota yang melaksanakan program puskesmas
perkotaan
- Persentase tenaga pelayanan kesehatan terlatih
- Persentase pada jangka menengah algoritma klinik
- Persentase pada jangka rendah perkesmas
- Persentase RS terakreditasi
- Persentase RS PONEK
- Persentase RS yang mempergunakan perizinan dan kesehatan RS
- Persentase RS yang mudah untuk pengkalibrasi alat-alat
3.3.2.6. Tujuan Keenam :
9. Meningkatkan kualitas penanganan obat & perbekkes, alat kesehatan,
obat tradisional, pangan, kosmetik dan PKRT, dengan indikator kinerja
sasaran diantaranya :
- Persentase pengadaan obat esensial
- Persentase ketersediaan obat generik
- Persentase penulisan resep obat generik
20
- Persentase pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan
kefarmasian
- Persentase pembinaan pada sarana gudang/instalasi farmasi Kab/kota
- Persentase peredaran alkes & PKRT yang memenuhi syarat
- Persentase upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh tenaga kesehatan
- Cakupan pemeriksaan sarana produksi & distribusi produk terapeutik
(obat), obat tradisional, alat kesehatan, PKRT kosmetik, pangan dll
- Persentase pembinaan sarana produksi & distribusi produk terapeutik
(obat), obat tradisional, alat kesehatan, PKRT kosmetik, pangan dll
- Persentase produksi & distribusi produk obat, obat tradisional, alat
kesehatan, PKRT kosmetik, pangan dll
- Bimbingan teknis terhadap sarana produksi Obat Asli Indonesia
3.3.2.7. Tujuan Ketujuh:
“Meningkatnya jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas dan
jaringannya, serta peningkatan dukungan manajemen upaya pelayanan kesehatan”,
dengan sasaran :
10. Meningkatkan upaya kesehatan ibu dan kesehatan anak di tingkat
propinsi dan kabupaten, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Cakupan Kunjungan ibu hamil K4
- Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani
- Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi kebidanan
- Cakupan pelayanan nifas
- Cakupan neonatus dengan kompilkasi yang ditangani
- Cakupan kunjungan bayi
- Cakupan pelayanan anak balita
- Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat
- Cakupan peserta aktif KB
- Persentase balita yang naik berat badannya (N/D)
- Persentase balita Bawah Garis Merah
- Cakupan balita mendapat kapsul vitamin A 2 kali per tahun
- Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
- Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi gizi kurang
dari keluarga miskin
- Persentase balita gizi buruk mendapat perawatan sesuai dengan
standar tata laksana gizi buruk
- Persentase bayi yang mendapat ASI-Eksklusif
21
- Persentase desa dengan garam beryodium baik
- Kecamatan bebas rawan gizi
- Balita gizi buruk mendapat perawatan
11. Menumbuhkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan
mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat, dengan
indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat
- Persentase posyandu Aktif
- Desa siaga aktif
- Persentase upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
3.3.2.8. Tujuan Kedelapan:
“Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya Kesehatan dalam rangka
meningkatkan profesionalisme”, dengan sasaran :
12. Meningkatkan jumlah dan jenis tenaga kesehatan, menyelenggarakan
kegiatan pelatihan seminar dan bentuk-bentuk kegiatan peningkatan
keterampilan tenaga kesehatan, memfasilitasi kegiatan organisasi
profesi dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan
masyarakat, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Peningkatan Jumlah dan Jenis Tenaga kesehatan, terselenggaranya
kegiatan-kegiatan Pelatihan, Seminar dan Kegiatan peningkatan
keterampilan
13. Meningkatkan Kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan
pengelola, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Meningkatkan Kemampuan pengelolaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan
- Meningkatnya persentase Puskesmas yang memiliki Tenaga dokter
- Meningkatnya persentase rumah sakit yang memiliki dokter spesialis
- Meningkatnya jumlah jenis dan kualitas sumber daya kesehatan,
dengan rincian indiaktor sasaran :
Dr. Spesialis
Dr. Umum
Dr. Gigi
Perawat
Bidan
Apoteker
22
Asisten Apoteker
Kes. Mas
Sanitarian
Gizi
Fisioterapi
Analis Lab
Atem/rotgen
Perawat Anestesi
- Meningkatnya pemerataan/distribusi tenaga kesehatan, dengan rincian
indiaktor sasaran :
Ratio dokter per 100.000/pddk
Ratio dokter spesialis per 100.000/pddk
Ratio dokter gigi per 100.000/pddk
Ratio perawat per 100.000/pddk
Ratio Bidan per 100.000/pddk
Ratio apoteker per 100.000/pddk
Ratio asisten apoteker per 100.000/pddk
Ratio kesehatan masyarakat per 100.000/pddk
Ratio tenaga sanitasi per 100.000/pddk
Ratio tenaga gizi per 100.000/pddk
Ratio tenaga fisioterapi per 100.000/pddk
Ratio analis laboratorium per 100.000/pddk
Ratio aterm & rontgen per 100.000/pddk
Ratio perawat anestesi per 100.000/pddk
- Meningkatnya prosentase tenaga strategis pada Dacilgatas
3.3.2.9. Tujuan Kesembilan:
“Meningkatnya pelaksanaan manajemen informasi dan pengembangan kesehatan”,
dengan sasaran :
14. Meningkatkan pelaksanaan dan kesinambungan SIK, sehingga
memperoleh data yang berkualitas, dengan indikator kinerja sasaran
diantaranya :
- Tersusunnya profil kesehatan yang berkualitas, akurat dan tepat waktu
- Tersedianya data yang berkualitas, akurat dan tepat waktu
- Tersedianya SDM yang memiliki kapasitas di Bidang IT (teknologi
informasi)
- Optimalisasi pemanfaatan Sistem Informasi Kesehatan
23
15. Meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan,
dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Tersedianya SDM yang memiliki kapasitas untuk penelitian dan
pengembangan kesehatan
- Terlaksananya pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan
- Tersosialisasinya dan termanfaatkannya hasil penelitian dan
pengembangan kesehatan
Tujuan Kesepuluh :
“ Meningkatnya pengembangan sumber daya pembiayaan dan jaminan
kesehatan ”, dengan sasaran :
16. Meningkatkan pelaksanaan pengembangan sumber daya pembiayaan
dan jaminan kesehatan, dengan indikator kinerja sasaran diantaranya :
- Tersusunnya dokumen PHA dan DHA agar dapat terlaksana
penyusunan perencanaan dan penganggaran berbasis Health Account
- Peningkatan cakupan kepesertaan jaminan kesehatan prabayar
- Tercakupnya seluruh masyarakat miskin dalam jaminan kesehatan
24
BAB IV
PENCAPAIAN PEMBANGUNAN KESEHATAN
Mengacu kepada sistimatika dari uaraian Visi, Misi Kalimantan Barat Sehat
2013, pada bab ini akan menyajikan gambaran tentang hasil-hasil yang telah dicapai
dalam tahun 2010 di Provinsi Kalimantan Barat.
Uraian pada bab ini meliputi gambaran tentang derajat kesehatan masyarakat,
keadaan lingkungan, keadaan perilaku masyarakat dan keadaan pelayanan
kesehatan.
4.1. DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT
Untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat Provinsi Kalimantan Barat
dipergunakan beberapa indikator berdasarkan data-data yang diperoleh dari SDKI,
SUSENAS, RISKESDAS, BPS atau data-data terkait lainnya.
Indikator-indikator yang digunakan antara lain meliputi :
4.1.1. MORTALITAS
4.1.1.1. Angka Kematian Bayi (AKB)
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir
sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan
kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua
macam yaitu endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal : adalah
kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya
disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang
tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Dan eksogen atau
kematian post neo-natal : adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan
sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian
dengan pengaruh lingkungan luar.
Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2010
berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Barat (Kalbar dalam angka tahun 2008) masih mengacu pada AKB tahun 2005 yaitu
sebesar 38,41 per 1.000 kelahiran hidup, hal ini disebabkan karena sampai saat ini
instansi yang berwenang belum mengeluarkan angka yang terbaru. Angka tersebut
jika dibedakan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan, 33,34 per 1.000
kelahiran hidup untuk AKB perempuan dan 43,73 per 1.000 kelahiran hidup untuk
25
AKB laki-laki. Sedang berdasarkan data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI), berturut-turut AKB di Kalimantan Barat mulai tahun 1994 adalah 97 per 1.000
Kelahiran Hidup, Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per
1.000 KH dan turun menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI Tahun
2007. Jika dilihat dari kurun waktu 1994 sampai dengan tahun 2007 meskipun
terlihat adanya penurunan angka kematian bayi di Kalimantan Barat, namun masih di
atas rata-rata nasional yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup. Adapun target Indonesia
pada tahun 2015 (target MDG‟s) adalah menurunkan AKB sampai 19 per 1.000
kelahiran hidup.
Namun demikian jika merujuk pada data profil kesehatan kabupaten/kota yang
masuk di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, terlihat bahwa kasus kematian
bayi adalah sebesar 595 kasus dimana kelahiran hidupnya berjumlah 83.871
sehingga dengan demikan jika dihitung angka kematian bayinya hanya sebesar 7,09
per 1.000 kelahiran hidup (tabel 8).
Gambar 4.1.
Angka Kematian Bayi Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 1994 s.d 2007
Sumber : SDKI 1994; 1997; 2002-2003, 2007
26
Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat
dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk
pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi
yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang
berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk mengurangi angka
kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan
Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi (tablet Fe) dan suntikan anti tetanus.
Sedangkan Angka Kematian Post-NeoNatal dan Angka Kematian Anak serta
Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi, serta
program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak, program
penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak dibawah usia 5
tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir
(neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka
kematian balita (AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup
terenggut nyawanya dalam rentang waktu 0-12 hari pas-cakelahirannya.
4.1.1.2. Angka Kematian Ibu (AKI)
Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian
dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya
kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena
kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti
kecelakaan, terjatuh dan lain-lain (Budi, Utomo. 1985).
Di Provinsi Kalimantan Barat untuk tahun 2009, Angka Kematian Ibu masih
merujuk pada Laporan Indikator Data Base 2005. Dengan asumsi 15% dari kematian
wanita (Famale Death), Angka Kematian Ibu adalah sebesar 403,15 per 100.000
Kelahiran Hidup. Sedang Jika AKI menggunakan asumsi 20% dari kematian wanita
(Female Death), maka AKI di Kalimantan Barat sebesar 566 per 100.000 kelahiran
hidup. Jika dibandingkan dengan angka nasional sebesar 307 per 100.000 kelahiran
pada periode 1998 – 2002, dan 228 pada tahun 2007, maka kematian ibu di
Kalimantan Barat masih jauh lebih tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan target nasional
yang akan dicapai pada tahun 2010 yaitu menurunkan angka kematian ibu sampai
150 per 100.000 kelahiran hidup, serta target yang ingin dicapai pada Millenium
Development Goals (MDGs), yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015. Maka Kalimantan Barat akan sulit mencapai target tersebut. Untuk itu
27
perlu dilakukan berbagai upaya, serta koordinasi yang lebih baik antara pemegang
program maupun lintas sektor dalam upaya penurunan AKI di Kalimantan Barat.
Gambar 4.2
Angka Kematian Ibu Prov. Kalbar periode 2003 -2005
Sumber : SDKI 2002-2003; 2007 & Laporan Indikator Data base 2005 (kerjasama
BPS dengan UNFPA 2005),Kalbar dalam Angka Tahun 2008
Berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010, kasus kematian
ibu maternal adalah sebanyak 117 kasus kematian dengan rincian sebanyak 26
kasus kematian ibu hamil, 79 kasus kematian ibu pada saat persalinan serta
sebanyak 5 kasus kematian ibu nifas. Sehingga jika dihitung angka kematian ibu
maternal dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 83.871, maka kematian ibu
maternal di provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar 139 per 100.000 kelahiran
hidup (tabel 8).
Informasi mengenai tingginya Angka Kematian Ibu bermanfaat untuk
pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan
kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy
safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan,
penyiapan sistim rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan, penyiapan
keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang semuanya bertujuan
untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan
reproduksi.
28
4.1.1.3. Angka Kematian Balita (AKABA)
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian anak berusia 0-5
tahun (59 Bulan) selama satu tahun tertentu per 1.000 anak umur yang sama pada
pertengahan tahun itu (termasuk kematian bayi).
AKABA menggambarkan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan.
Gambar 4.3
Angka Kematian Balita Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 1994 – 2007
Sumber : SDKI 1994; 1997; 2002-2003; 2007
AKABA Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan hasil SDKI berturut-turut mulai
tahun 1994 adalah 93 per 1.000 Balita, turun menjadi 88,2 per 1.000 Balita pada
tahun 1997, turun menjadi 63 per 1.000 Balita pada tahun 2003 dan turun menjadi 59
per 1.000 balita pada tahun 2007. Angka ini masih lebih tinggi dari rata-rata angka
kematian balita secara nasional yaitu 51 per 1.000 Balita. Jika dibandingkan dengan
target yang akan dicapai pada tahun 2010 yaitu sebasar 58 per 1.000 kelahiran
hidup, maka AKABA Kalimantan Barat sudah hampir mancapai target. Namun jika
dibandingkan dengan target pada 2015 sesuai dengan MDGs yaitu sebesar 32 per
1.000 kelahiran hidup, maka AKABA Kalimantan Barat masih tinggi. Dengan
29
demikian, meskipun terjadi penurunan angka kematian balita di provinsi Kalimantan
Barat dan hasil yang dicapai cukup menggembirakan, namun masih perlu
ditingkatkan kegiatan yang menunjang penurunan angka kematian Balita.
4.1.1.4. Angka Harapan Hidup
Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial ekonomi
pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan angka harapan hidup penduduk dari
suatu negara. Meningkatnya perawatan kesehatan melalui Puskesmas, meningkatnya
daya beli masyarakat akan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan,
mampu memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, mampu mempunyai pendidikan yang
lebih baik sehingga memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, yang
pada gilirannya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan
memperpanjang usia harapan hidupnya.
Angka Harapan Hidup pada suatu umur x adalah rata-rata tahun hidup yang
masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu
tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
Angka harapan hidup saat lahir adalah rata – rata hidup yang akan dijalani oleh bayi
yang baru lahir pada tahun tertentu.
Angka Harapan Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan
meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka Umur Harapan Hidup yang
rendah di suatu daerah, harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan dan
program sosial lainnya, termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori
serta program pemberantasan kemiskinan.
Dilihat dari tahun ke tahun, Umur Harapan Hidup di Kalimantan Barat terjadi
peningkatan. Angka Harapan Hidup tahun 2005 berdasarkan Data yang dikeluarkan
oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat adalah 65,2 dan meningkat
menjadi 66,6 pada tahun 2010. Angka Harapan Hidup tingkat nasional pada tahun
2005 adalah 68,1 dan meningkat menjadi 69,2 pada tahun 2009. Dengan demikian,
angka Umur Harapan Hidup penduduk di Kalimantan Barat masih lebih rendah
dibanding dengan rata-rata umur harapan hidup tingkat nasional. Secara berurutan
kecenderungan peningkatan umur harapan hidup di Kalimantan Barat dapat dilihat
pada Gambar 4.4.
30
Gambar 4.4.
Angka Harapan Hidup Penduduk Kalimantan Barat Tahun 2005 s.d 2010
Sumber : BPS
Meningkatnya Umur Harapan Hidup secara tidak langsung juga memberi
gambaran tentang adanya peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan
masyarakat serta turut berpengaruh terhadap Index Pembangunan Manusia (IPM).
4.1.1.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Pembangunan manusia adalah proses agar manusia mampu memiliki lebih
banyak pilihan dalam hal pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan
sebagainya.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang
menggabungkan tiga aspek penting, yaitu peningkatan kualitas fisik (kesehatan),
intelektualitas (pendidikan), dan kemampuan ekonominya (daya beli) seluruh
komponen masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Indeks Pembangunan Manusia
adalah mengukur pencapaian keseluruh negara atau provinsi. Dengan demikian IPM
mengukur pencapaian kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi di negara atau
provinsi tertentu.
IPM direpresentasikan oleh 3 dimensi, yaitu umur panjang dan sehat
(longevity), pengetahuan (knowledge) dan hidup yang layak (standard of living).
31
Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi umur panjang dan sehat adalah
angka harapan hidup. Untuk mengukur dimensi pengetahuan adalah angka melek
huruf dan rata-rata lama sekolah, sedangkan dimensi kehidupan yang layak diukur
dengan paritas daya beli (purchsing power parity/PPP).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Barat Tahun 2010 adalah
sebesar 69,15 poin. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Badan Pusat
Statistik Provinsi Kalimantan Barat, dengan kondisi tersebut, IPM Kalimantan Barat
menempati posisi peringkat ke 28 dari 33 Provinsi se Indonesia, hal ini berarti pada
tahun 2010 Kalimantan Barat berada pada posisi yang sama dengan tahun 2009.
Dari sisi perencanaan pembangunan, angka IPM yang semakin tinggi
menunjukkan keberhasilan di dalam pembangunan sumber daya manusia, sebaliknya
angka IPM yang semakin rendah menunjukkan kekurang berhasilan di dalam
pembangunan sumber daya manusia. Secara lengkap Indeks Pembangunan Manusia
Kaliamantan Barat dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada
gambar 4.5.
Gambar. 4.5.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2005 – 2010
Sumber : BPS
32
4.1.2. MORBIDITAS
4.1.2.1. Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia
plasmodium terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium
vivax, plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat
spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu plasmodium falciparum yang
meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana,
plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan plasmodium ovale
yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang
sebelumnya terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan
transplasenta atau sesudah transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara
gigitan nyamuk yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai
dengan spesies; pada P. falciparum masa inkubasinya 10 – 13; pada P.vivaks dan P.
ovale, 12 – 16 hari; dan pada P. malariae 27 – 37 hari, tergantung pada ukuran
inokulum. Malaria yang ditularkan melalui tranfusi darah yang terinfeksi nampak nyata
pada waktu yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Data WHO menyebutkan tahun 2008 terdapat 544.470 kasus malaria positif
di Indonesia, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1.100.000 kasus malaria klinis,
dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi 1.800.000 kasus malaria klinis dan telah
mendapatkan pengobatan. (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI).
Penyakit Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Berdasarkan rekapitulasi laporan Seksi Bimdal Pemberantasan Penyakit
Dinas Kesehatan Provinsi Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 (tabel 24) terdapat
72.054 kasus Malaria tanpa pemeriksaan sediaan darah dan 70.758 kasus Malaria
dengan pemeriksaan sediaan darah. Jika mengacu pada definisi operasional pada
indikator Indonesia Sehat 2010, dimana penderita malaria di luar Jawa dan Bali
adalah kasus dengan gejala klinis (demam tinggi disertai menggigil) dengan atau
tanpa pemeriksaan sediaan darah di laboratorium, maka berdasarkan definisi
operasional tersebut angka kesakitan malaria di Kalimantan Barat adalah 16,4 per
1.000 penduduk. Hal ini berati bahwa dari setiap 1.000 penduduk terdapat 16 orang
yang terjangkit penyakit Malaria. Sedang untuk kasus malaria dengan pemeriksaan
sediaan darah, angka kesakitannya adalah 16,1 per 1.000 penduduk. Jika
33
dibandingkan dengan target pada Indonesia sehat 2010 sebesar 5 per 1.000
penduduk, maka angka kesakitan malaria di Kalimantan Barat masih tergolong tinggi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010, Data Kasus Baru
Malaria tahun 2009/2010 yang diperoleh melalui wawancara ART dan ditanyakan
apakah selama satu tahun terakhir pernah didiagnosis menderita malaria ya,5%g
sudah dipastikan dengan pemeriksaan darah oleh tenaga kesehatan. Hasilnya
menunjukkan bahwa besarnya angka Kasus Baru malaria tahun 2009/2010 di seluruh
Indonesia adalah 22,9 per mil. Kasus terendah adalah di Bali (3,4‰), sedang yang
tertinggi adalah Provinsi Papua (261,5‰) diikuti Papua Barat (253,4‰), NTT
(117,5‰), Maluku Utara (103,2‰), Kepulauan Bangka Belitung (91,9‰), Maluku
(76,5‰), Sulawesi Utara (61,7‰), Bengkulu (56,7‰), Sulawesi Barat (56,0‰),
Kalimantan Barat (53,1‰), dan Jambi (52,2‰). Besarnya angka Kasus Baru malaria
dikawasan Luar Jawa-Bali adalah 45,2 per mil atau hampir 6 kali angka Kasus Baru
malaria di kawasan Jawa-Bali (7,6‰).
4.1.2.2. TB Paru
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat
infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan
selaput otak. TBC menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat.
Pada sedikit kasus, TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini,
bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis.
Berdasarkan Hasil rekapitulasi laporan TB Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat tahun 2010 tercatat TB Paru dengan BTA Positif (+) sebanyak
4.634 kasus dengan angka kesakitan 105 per 100.000 penduduk. Sedang untuk
persentase kesembuhan penderita TB Paru dengan BTA positif di Kalimantan Barat
merujuk pada kasus yang diobati tahun 2009 adalah sebesar 92,90, dengan rincian
dari 4.156 penderita yang diobati, sebanyak 3.733 penderita dinyatakan sembuh.
(tabel 12).
Hasil wawancara ART pada Riskesdas tahun 2010 menunjukan bahwa
Kasus Baru Malaria dalam satu tahun terakhir (2009/2010) di seluruh Indonesia
adalah: 22,9 permil. Lima provinsi dengan Kasus Baru Malaria tertinggi adalah Papua
(261,5‰), Papua Barat (253,4‰), Nusa Tenggara Timur (117,5‰), Maluku Utara
(103,2‰) dan Kepulauan Bangka Belitung (91,9‰). Kejadian malaria ditemukan pada
semua kelompok umur dan terendah pada bayi dengan angka Kasus Baru malaria
11,6 permil, sedangkan kelompok umur lain hampir sama yaitu sekitar 21,4-23.9
34
permil. Kasus baru malaria lebih banyak pada laki-laki (24,9‰), pada pendidikan tidak
tamat SD (27,5‰), petani/nelayan/buruh (29,8‰) dan di perdesaan (29,8‰).
4.1.2.3. HIV/AIDS
Menurutnya, “Penyebab meningkatnya HIV dan AIDS lebih banyak
dikarenakan adanya heteroseksual atau bergonta-ganti pasangan, homoseksual,
jarum suntik atau IDU, dan ibu yang sedang hamil yang mengidap HIV dan AIDS
yang mengakibatkan terjadinya penularan terhadap bayi yang dikandungnya,”
Jumlah kasus baru AIDS di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Bila pada 2005 hanya ada 2.638 kasus AIDS baru, tahun 2006 jumlahnya
bertambah menjadi 2.873 kasus, naik lagi menjadi 2.974 pada 2007 dan menjadi
sebanyak 4.969 kasus baru pada 2008.
Pada tahun 2010, di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan rekapitulasi data
profil kesehatan kabupaten/kota, kasus HIV sebesar 362 kasus, sedang AIDS ada
sebesar 111 kasus.
Gambar 4.6.
Distribusi Kasus HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Barat
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Pusat Komunikasi Publik,
Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI, sampai tanggal 30 Juni 2010,
35
secara kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1978 berjumlah 21.770 dari
32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS nasional
sampai 30 Juni 2010 adalah 9,44 kasus per 100.000 penduduk. Rate kumulatif kasus
AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,34 kali angka nasional), Bali (5,2
kali angka nasional), DKI Jakarta (4,4 kali angka nasional), Kep. Riau (2,4 kali angka
nasional), Kalimantan Barat (1,8 kali angka nasional), Maluku (1,5 kali angka
nasional), Bangka Belitung (1,2 kali angka nasional), Papua Barat, Jawa Timur, DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau (1,0 kali angka nasional).
Kasus HIV positif, sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif berjumlah
44.292 kasus dengan positive rate rata-rata 10,3%. Jumlah kasus baru pada triwulan
kedua 2010 sebanyak 3.916 kasus. Daerah yang paling banyak terjadi kasus HIV
positif adalah DKI Jakarta (9.804 kasus), Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa Barat
(3.798 kasus), Sumatera Utara (3.391 kasus), Papua (2.947 kasus), dan Bali (2.505
kasus) (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI).
Gambar 4.7.
Kasus HIV di Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2005 s.d Tahun 2010
Sumber : Laporan Bidang P2PL Dinkes Prov. Kalbar
36
Berdasarkan laporan Bidang Bina Pencegahan dan Penanggulangan
Penyakit, untuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sejak tahun 1993 sampai dengan
bulan Desember tahun 2010 tercatat sebanyak 2.869 penderita HIV dan 1.440 orang
penderita AIDS. Kecenderungan kasus HIV di Kalimantan Barat dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Menurut Sasongko, Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks
(5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang
tercemar (terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah
yang tercemar. Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok
usia produktif (15-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita
cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu yang
mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV akan
menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, selama
proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan antiretroviral pada
ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan dapat dikurangi menjadi hanya 8%.
4.1.2.4. Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Kejadian AFP diproyeksikan sebagai indikator untuk menilai keberhasilan
program Eradikasi Polio (Erapo). Upaya pemantauan terhadap keberhasilan Erapo
yaitu dengan melaksanakan kegiatan ” Surveilans Secara Aktif ” untuk menemukan
kasus AFP sebagai upaya untuk mendeteksi secara dini munculnya virus polio liar
yang mungkin ada di masyarakat untuk segera dilakukan penanggulangannya.
Tahun 2010, berdasarkan hasil rekapitulasi data profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2010 (tabel 9) terdapat 23 kasus AFP atau sebesar 1,64 per
100.000 penduduk berisiko (usia < 15 Tahun). Dilihat dari kasus AFP, angka AFP
Kalimantan Barat masih diatas angka AFP yang ditargetkan pada tahun 2010 yaitu
sebasar 0,9 per 100.000 anak usia < 15 tahun.
4.1.2.5. DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut
yang disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri
demam tinggi mendadak dengan manivestasi perdarahan dan bertendensi
menimbulkan shock dan kematian. Penyakit DBD ini ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti dan mungkin juga Aedes Albopictus.
37
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali di
ketinggian lebih 1.000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini
diperkirakan lebih kurang 7 hari. Penyakit DBD dapat menyerang semua golongan
umur. Sampai saat ini penyakit DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi
dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita
Demam Berdarah Dengue pada orang dewasa (Faziah, 2004).
Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah endemik untuk penyakit DBD, hal
ini disebabkan karena letak geografis Kalimantan Barat yang sebagian besar
merupakan dataran rendah dan merupakan daerah rawa. Di samping itu, budaya
masyarakat perkotaan di Kalimantan Barat cenderung menyimpan persediaan air
pada tempat-tempat penampungan air di sekitar rumahnya. Hal ini akan menjadi
tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti yang paling disukai.
Gambar 4.8.
Kasus DBD di Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2005 s.d Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Di Provinsi Kalimantan Barat dalam tiga tahun terakhir berturut-turut dari tahun
2007 terjadi kenaikan kasus DBD adalah sebagai berikut : Pada tahun 2007 terjadi
808 kasus DBD dengan angka kesakitan 20,24 per 100.000 penduduk. Pada tahun
2008 terjadi peningkatan kasus menjadi 960 kasus dengan angka kesakitan sebesar
38
22,59 per 100.000 penduduk, pada tahun 2009 terjadi peningkatan kasus yang
sangat tinggi menjadi 9.710 kasus dengan angka kesakitan 225 per 100.000
penduduk. Untuk tahun 2010, berdasarkan rekapitulasi data profil kesehatan
kabupaten/kota mengalami penurunan kasus yang cukup tajam dari tahun
sebelumnya menjadi 677 kasus dengan angka kesakitan 15 per 100.000 penduduk,
dengan penderita meninggal sebanyak 13 orang (CFR 1,9%) (tabel 23).
Kecenderungan kasus DBD dari tahun ke tahun dapat dilihat pada gambar 4.8.
4.1.3. STATUS GIZI
Status gizi masyarakat dapat diukur malalui beberapa indikator, diantaranya
adalah bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Status Gizi balita, status gizi
wanita usia subur Kurang Energi Konis(KEK).
4.1.3.1. Gizi Buruk
Status Gizi merupakan suatu indikator yang sangat penting untuk menilai
status indikator derajat Kesehatan Masyarakat. Di dalam Indikator Indonesia Sehat
2010, status gizi merupakan salah satu indikator yang menggambarkan derajat
kesehatan masyarakat.
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan
gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara
sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut
umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan
menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah
standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Gizi
buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor.
Sementara itu, pengertian di masyarakat tentang ”Busung Lapar” adalah tidak tepat.
Sebutan ”Busung Lapar” yang sebenarnya adalah keadaan yang terjadi akibat
kekurangan pangan dalam kurun waktu tertentu pada satu wilayah, sehingga
mengakibatkan kurangnya asupan zat gizi yang diperlukan, yang pada akhirnya
berdampak pada kondisi status gizi menjadi kurang atau buruk dan keadaan ini terjadi
pada semua golongan umur. Tanda-tanda klinis pada ”Busung Lapar” pada umumnya
sama dengan tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor. Anak kurang gizi pada
tingkat ringan dan atau sedang tidak selalu diikuti dengan gejala sakit. Dia seperti
anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama
badannya mulai kurus.
39
Gambar 4.9.
Kasus Gizi Buruk Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Berdasarkan hasil rekapitulasi Laporan Program Seksi Gizi Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010, terdapat kasus gizi buruk sebanyak 604
(tabel45), angka tersebut didapatkan dari laporan kasus dilihat berdasarkan tanda-
tanda klinis kasus gizi buruk. Sedang kasus gizi buruk yang berasal dari banyaknya
Balita yang ditimbang/pemantauan status gizi (PSG) adalah sebanyak 3.243 kasus
dari 135.354 Balita yang ditimbang (2,40%).
Pada gambar 4.8, terlihat bahwa kasus gizi buruk terbanyak di Kabupaten
Kapuas Hulu yaitu sebanyak 117 kasus, diikuti oleh Kabupaten bengkayang
sebanyak 112 kasus, Kabupaten Sanggau 99 kasus dan Kabupaten Sambas
sebanyak 87 kasus. Kabupaten lainnya rata-rata masih dibawah 40 Kasus. Dilihat dari
gizi buruk yang mendapat perawatan, seluruh balita gizi buruk mendapat perawatan
sesuai prosedur tatalaksana gizi buruk.
40
Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukan bahwa ditingkat nasional sudah
terjadi penurunan prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur)pada balita dari
18,4 persen tahun 2007 menjadi 17,9 persen tahun 2010. Penurunan terjadi pada
prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen pada
tahun 2010. Sedang untuk prevalensi gizi kurang, pada tahun 2010 tidak terjadi
penurunan, yaitu tetap 13,0 persen.
Prevalensi. pendek pada balita adalah 35,7 persen, menurun dari 36,7 persen pada
tahun 2007. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi balita pendek yaitu dari 18,0
persen tahun 2007 menjadi 17,1 persen tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita
sangat pendek hanya sedikit menurun yaitu dari 18,8 persen tahun 2007 menjadi 18,5
persen tahun 2010. Penurunan juga terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana
prevalensi balita sangat kurus menurun dari 13,6 persen tahun 2007 menjadi 13,3
persen tahun 2010.
4.1.3.2. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum
cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas, artinya bayi lahir
cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil
ketimbang masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500 gram. "Biasanya hal ini
terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang
disebabkan oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan
keadaan-keadaan lain yang menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi berkurang."
(Pringgardani, SpA).
Berat Badan Lahir Rendah (< 2.500 gram) merupakan salah satu faktor utama
yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan nenonatal. Barker dkk dalam
Hardiansyah dkk (2000) mengungkapkan bahwa BBLR mempunyai dampak yang
kompleks sampai usia dewasa antara lain meningkatkan resiko terkena penyakit
jantung koroner, diabetes mellitus, gangguan metabolik dan kekebalan tubuh serta
katahanan fisik yang resultantenya adalah beban ekonomi individu dan masyarakat.
Di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan rekapitulasi data profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2010, terdapat 1.485 bayi dengan BBLR dari 71.076 bayi lahir
hidup yang ditimbang (2,1%).
41
4.2. KEADAAN LINGKUNGAN
Untuk menggambarkan keadaan lingkungan di Provinsi Kalimantan Barat,
berikut ini disajikan indikator-indikator persentase rumah sehat, tempat-tempat
umum sehat, serta sarana sanitasi dasar seperti air bersih, pembuangan air limbah
dan kepemilikan jamban.
4.2.1. Rumah Sehat
Rumah sehat dinilai dengan menggunakan indikator komposit 8 – 10 indikator
tunggal PHBS yaitu : Pertolongan Persalinan nakes, Aktif secara fisik, Jamban sehat,
lantai rumah bukan tanah, ASI eksklusif, Konsumsi sayur dan Buah, Akses air bersih,
Tidak merokok, JPK dan Luas hunian > 9 m2 per orang (Depkes RI, 2005). Suatu
rumah tangga dikatakan sehat jika memenuhi semua indkator PHBS (8-10 indikator).
Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010 (Tabel 62),
dari 297.501 Rumah Tangga yang diperiksa, terdapat 191.549 (64,4%) rumah tangga
diantaranya merupakan rumah tangga sehat. Jika dibandingkan dengan tahun 2008
dimana rumah tangga sehat yang terlaporkan sebesar 52,066%, maka terjadi
peningkatan rumah sehat di Kalimantan Barat tahun 2010.
4.2.2. Jamban Keluarga
Rumah tangga yang tidak menggunakan/mempunyai jamban yang baik, lebih
mudah terkena penyakit seperti disentri, diare dan tipus. Laporan SDKI 2002-2003
menyatakan bahwa rumah tangga yang mempunyai jamban sendiri hanya sebesar
86% di daerah perkotaan dan 52% di daerah pedesaan.
Di Kalimantan Barat pada tahun 2009 berdasarkan hasil rekapitulasi data
profil kesehatan Kabupaten/Kota, dari 443.228 rumah tangga yang diperiksa, ada
sebesar 283.293 (63,9%) rumah tangga yang memiliki Jamban, dan 41,6% yang
memiliki jamban dengan kriteria sehat.
4.2.3. Tempat-Tempat Umum Sehat
Tempat-tempat Umum dan Tempat Pengelolaan Makanan (TUPM)
merupakan suatu sarana yang dikunjungi oleh banyak orang sehingga
dikhawatirkan dapat menjadi sumber penyebaran penyakit. Yang termasuk TUPM
antara lain adalah hotel, restoran, pasar dan lain-lain. Adapun TUPM yang dapat
dikategorikan sehat adalah TUPM yang memiliki sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan limbah, ventilasi yang baik serta
42
luas yang sesuai dengan banyaknya pengunjung.
Pada Tahun 2010, di Kalimantan Barat berdasarkan rekapitulasi data profil
kesehatan Kabupaten/Kota, dari keseluruhan tempat-tempat umum yang diperiksa
sebanyak 5.761 tempat-tempat umum, sebesar 3.671 (63,72%) diantaranya merupakan
tempat-tempat umum yang telah dinyatakan sehat.
4.2.4. Akses Air Minum
Berasarkan rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010,
terlihat bahwa sumber air minum yang digunakan di rumah tangga dibedakan
menurut air kemasan, ledeng, sumur gali, sumur pompa dan penampungan air hujan.
Dari data yang ada, sebagian besar rumah tangga di Provinsi Kalimantan Barat masih
didominasi dengan keluarga yang memanfaatkan air hujan maupun ledeng sebagai
sumber air minumnya. Pada tahun 2010 dari 192.206 keluarga yang diperiksa,
79.517 (41,4%) diantaranya menggunakan sumber air minum yang terlindung.
Dimana yang paling besar masih didominasi oleh yang menggunakan air ledeng
sebanyak 51.168 (21,1%), diikuti oleh penggunaan air hujan sebanyak 30.845 (16%)
keluarga (tablel 65). Sedangkan berdasarkan criteria MDGs, akses rumah tangga
terhadap sumber air minum terlindung adalah 45,1%.
Hasil riskesdas tahun 2010, Ada penurunan akses rumah tangga terhadap
sumber air minum terlindung, terutama diperkotaan sehingga capaian MDGs pada
posisi „on the wrong track‟. Apabila memperhitungkan air kemasan dan air dari depot
air minum, persentase rumah tangga yang akses terhadap sumber air minum
terlindung menjadi 66,7 persen. Akses terhadap sumber air minum „berkualitas‟ yang
mempertimbangkan jenis sumber air terlindung (termasuk air kemasan dandepot air
minum), jarak ke sumber air minum, kemudahan memperoleh air minum dan
kualitasfisik air minum adalah sebesar 67,5 persen dengan persentase tertinggi di
Provinsi DKI Jakarta (87,0%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Barat (35,9%).
Apabila ditinjau dari segi kepemilikan sarana, maka seluruh masyarakat
yang ada di Provinsi Kalimantan Barat dapat dikatakan telah memiliki sarana air
bersih yang memadai. Akan tetapi dari segi kualitas air, masih belum dapat
dipastikan apakah masyarakat telah mengkonsumsi air yang memenuhi standar
kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena wilayah Kalimantan Barat meskipun
banyak sumber air, tetapi sumber air tersebut belum dapat diolah maksimal sebagai
air bersih, apalagi jika musim kemarau tiba, dimana dengan adanya interupsi air laut
ke Sungai Kapuas, menyebabkan air menjadi asin, sehingga air bersih yang
didistribusikan ke masayarakat oleh PDAM pun menjadi payau, sehingga tidak layak
43
untuk dikonsumsi. Hal lainnya adalah masih banyaknya masyarakat memanfaatkan
air hujan sebagi sumber air bersih. Hal tersebut kemungkinan pula berdampak
terhadap derajat kesehatan masayarakat, oleh karenanya perlu diuji kelayakan
kualitas airnya untuk dikonsumsi.
4.3. PERILAKU MASYARAKAT
Menurut teori Blum, salah satu faktor yang berperan penting dalam
menentukan derajat kesehatan adalah perilaku. Perilaku dianggap penting
karena ketiga faktor lain seperti lingkungan, kualitas pelayanan kesehatan
maupun genetika kesemuanya masih dapat dipengaruhi oleh perilaku. Selain itu,
banyak penyakit yang muncul pada saat ini disebabkan karena perilaku yang tidak
sehat. Perubahan perilaku tidak mudah untuk dilakukan akan tetapi mutlak
diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4.3.1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Rumah Tangga Berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan salah
satu pilar Indonesia dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Diantara salah satu sub sistem dalam SKN adalah sub sistem pemberdayaan
masyarakat. Tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah terselenggaranya upaya
pelayanan, advokasi dan pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok, dan
masyarakat dibidang kesehatan secara efesien dan efektif guna meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pemberdayaan perorangan
mempunyai target minimal mempraktekan perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS)
yang diteladani oleh keluarga dan masyarakat sekitar dan target maksimal berperan
aktif sebagai kader kesehatan dalam menggerakan masyarakat untuk berperilaku
hidup bersih dan sehat.
Dari hasil rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010 pada
Tabel 61, menunjukan bahwa di Kalimantan Barat dari 268.916 rumah tangga yang
dipantau, sebesar 78.998 (29,4%) merupakan Rumah Tangga ber Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).
4.3.2. Posyandu
Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat berbagai upaya dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di
masyarakat telah lama dilakukan dalam bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat (UKBM). Posyandu merupakan salah satu bentuk UKBM yang telah lama
44
di kembangkan untuk menjangkau pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Pencapaian persentase posyandu aktif di tingkat kabupaten/kota dapat dilihat pada
Gambar 4.10.
Pada Gambar 4.10, sebagian besar Posyandu di Kabupaten/Kota masih
dibawah target nasional yang akan dicapai pada tahun 2010 yaitu mencapai
posyandu aktif sebesar 40%. Kabupaten Sambas dan Kabupaten Sintang
merupakan kabupaten yang pencapaian posyandu aktifnya sudah melebihi target
nasional yaitu masing-masing sebesar 43,7% untuk Kabupaten Sambas, dan 43%
untuk Kabupaten Sintang. Sedangkan kabupaten yang paling rendah persentase
posyandu aktifnya adalah Kabupaten Landak, karena pada tahun 2010, Kabupaten
Landak tidak mempunyai Posyandu aktif.
Gambar 4.10.
Persentase Posyandu Aktif (Purnama + Mandiri )
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Target nasional yang akan dicapai pada tahun 2010 untuk Posyandu aktif
(Purnama + mandiri) adalah sebesar 40%. Pada tabel 72 lampiran Profil Kesehatan,
terlihat bahwa pencapaian Kalimantan Barat untuk peningkatan posyandu aktif pada
pada tahun 2010 sebesar 21,85, mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya
45
dimana posyandu aktif pada tahun 2009 adalah sebesar 20,45%. Kecenderungan
persentase posyandu aktif di Provinsi Kalimantan Barat terlihat pada gambar 4.11.
Gambar 4.11.
Persentase Posyandu Aktif Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2007 s.d Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaaten/Kota Tahun 2010
4.4. PELAYANAN KESEHATAN
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, berbagai upaya pelayanan kesehatan masyarakat
telah dilakukan. Dibawah ini diuraikan beberapa hal mengenai upaya pelayanan
kesehatan pada Tahun 2010.
4.4.1. Pelayanan Antenatal (K1-K4)
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan
profesional (dokter, bidan maupun perawat) kepada ibu hamil dimasa kehamilannya
dengan mengikuti program pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat
pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil kegiatan antenatal dapat dilihat
berdasarkan cakupan pelayanan K1 dan K4.
Cakupan K1 atau disebut juga akses pelayanan ibu hamil,
menggambarkan besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan
46
pertama/kontak pertama dengan tenaga kesehatan/ fasilitas kesehatan untuk
mendapatkan pelayanan antenatal. Indikator akses ini digunakan untuk
mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam
menggerakkan masyarakat. Sedangkan cakupan K4 adalah besaran ibu hamil yang
telah mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar minimal empat kali
kunjungan selama masa kehamilannya dengan distribusi satu kali pada trimester
pertama, satu kali pada trimester kedua dan dua kali pada trimester ketiga.
Indikator ini berfungsi untuk menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di
suatu wilayah dan untuk menggambarkan kemampuan manajemen ataupun
kelangsungan program KIA. Kecenderungan pencapaian cakupan K1 dan K4 di
Provinsi Kalimantan Barat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 4.12.
Persentase K4 Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2010 berdasarkan data
Profil Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 85,60%, terjadi kenaikan cakupan sebesar
2,95% dari tahun 2009. Namun demikian, jika dibandingkan dengan target cakupan
K4 berdasarkan Permenkes RI Nomor 741 Tahun 2008 tentang SPM Bidang
Kesehatan adalah sebesar 95%, cakupan K4 di Kalimantan Barat masih lebih
rendah.
Gambar 4.12.
Cakupan K-1 dan K-4 Prov. Kalbar Tahun 2005 s.d 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2009
47
Pada gambar 4.12. terlihat bahwa dapat dilihat bahwa dari tahun ke
tahun selalu terjadi kesenjangan cakupan K1 dan K4. Berturut-tururt kesenjangan
K1 dan K4 mulai tahun 2007 adalah sebagai berikut : Pada tahun 2007
kesenjangannya adalah 5,957%, menjadi 8,39% pada tahun 2008, menjadi 8,19 pada
tahun 2009 dan terakhir, pada tahun 2010 kesenjangan yang terjadi antara K1 dan
K4 adalah sebesar 7,7%. Hal ini berarti masih terjadi adanya ibu hamil yang tidak
terlindungi secara maksimal dalam proses kehamilannya selama tahun 2010.
Dikemudian hari perlu tetap dilakukan upaya yang lebih optimal agar kesenjangan
yang terjadi antara cakupan K1 dengan K4 menjadi semakin kecil yang berarti bahwa
perlindungan terhadap ibu hamil semakin meningkat.
Informasi yang didapat dari hasil Riskesdas 2010 adalah, akses ibu hamil
tanpa memandang umur kandungan saat kontak pertama kali adalah 92,7persen
(K1), sedangkan akses ibu hamil yang memeriksakan kehamilan dengan tenaga
kesehatan pada trimester 1 (K1-trimester 1) adalah 72,3 persen. Adapun cakupan
akses ibu hamil dengan pola 1-1-2 (K4) oleh tenaga kesehatan saja adalah 61,4
persen. Gorontalo menunjukkan angka terendah untuk K1-trimester 1 (25,9%) dan K4
(19,7%). Ada kecenderungan cakupan K1 dan K4 yang rendah pada kelompok ibu
hamil berisiko tinggi: umur<20 tahun, dan >35 tahun; kehamilan ke 4 atau lebih;
tinggal di perdesaan, tingkat pendidikan, dan status ekonomi terendah.
4.4.2. Pertolongan Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan salah satu dari
enam indikator pemantauan program KIA. Dengan indikator ini dapat
diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan
sekaligus menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam
menangani persalinan secara profesional.
Komplikasi dan kematian ibu maternal dan bayi baru lahir sebagian besar
terjadi pada masa di sekitar persalinan, hal ini dapat disebabkan persalinan yang
tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai potensi kebidanan. Adapun
definisi cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi kebidanan adalah Ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan disatu wilayah kerja
pada kurun waktu tertentu.
48
Gambar 4.13.
Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2006 s.d Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di wilayah Provinsi Kalimantan
Barat berdasarkan hasil analisis dari profil kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2010
adalah 77,9%. Hasil ini masih lebih rendah dari target Standar Pelayanan Minimal
(SPM) 2010 – 2015 yaitu sebesar 90%. Pada gambar 4.15 terlihat bahwa cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan paling tinggi adalah Kota Singkawang (97,5%),
diikuti oleh Kota Pontianak (94,4%), dengan pencapaian tersebut, berarti Kota
Pontianak maupun Kota Singkawang telah mencapai target SPM. Sedang yang
paling rendah adalah Kabupaten Sekadau (55,5%). Secara keseluruhan pencapaian
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Provinsi Kaliamantan Barat masih lebih
rendah dari target SPM, sehingga perlu diupayakan untuk meningkatkan cakupan di
tahun 2001, sehingga target SPM 2010 - 2015 dapat tercapai.
49
Hasil risksdas 2010 manyatakan bahwa Penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan pada ibu yang melahirkan setahun sebelum survey adalah 82,2 persen,
angka ini terus membaik jika dibandingkan dengan Susenas pada tahun 1990 yaitu
40,7 persen, dan tahun 2007 yaitu 75,4 persen. Pada tahun 2010, kesenjangan
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan tempat tinggal cukup lebar,
yaitu 91,4 persen di perkotaan dan 72,5 persen di perdesaan, demikian juga menurut
tingkat pengeluaran, dimana pada kuintil 1, penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan hanya 69,3 persen dibanding pada kuintil 5 yaitu 94,5 persen. Menurut
Provinsi, DI Yogyakarta adalah provinsi yang terbaik (98,6%) dibanding Maluku utara
(26,6%).
Gambar 4.14..
Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Provinsi Kalbar
Tahun 2006 s.d Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Kecenderungan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2010 dapat dilihat pada gambar 4.14. Dari gambar 4.14
terlihat bahwa cakupan pertolongan persalinan di Provinsi Kalimantan Barat dari 2006
sampai tahun 2008 mengalami kenaikan, yaitu dari 69,24% pada tahun 2006
meningkat menjadi 75,61% pada tahun 2008. Pada tahun 2009 cakupan persalinan
50
oleh tenaga kesehatan mengalami penurunan menjadi 74,45%, pada tahun 2010
meningkat kembali menjadi 77,9%.
4.4.3. Kunjungan Bayi
Cakupan kunjungan bayi adalah cakupan bayi yang memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar oleh dokter, bidan, dan perawat yang memiliki
kompetensi klinis kesehatan, paling sedikit 4 kali disatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu. Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program KIA dalam
melindungi bayi sehingga kesehatannya terjamin melalui penyediaan pelayanan
kesehatan.
Gambar 4.15.
Cakupan Kunjungan Bayi
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
Sumber : Laporan program Bimdal Kesga
Berdasarkan Permenkes No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang standar
pelayanan kesehatan Bidang Kesehatan, ditetapkan target Cakupan Kunjungan Bayi
pada tahun 2010 adalah sebesar 90%.
Pada gambar 4.15. terlihat dari 14 Kabupaten Kota yang ada di Kalimantan
Barat ada 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota di Provinsi Kalimantan Barat yang
cakupan kunjungan bayinya telah melampaui target, yaitu Kabupaten Sanggau,
51
Kayong Utara dan Kabupaten Kubu Raya serta Kota Pontianak. Kabupaten dengan
cakupan Kunjungan Bayi terendah adalah Kota Singkawang, yaitu sebesar 36,8%.
4.4.4. Pelayanan KB
Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) berdasarkan data profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2009 (tabel 19) sebesar 719.437 dengan jumlah peserta KB
aktif sebesar 497.374 (69,13%) dan peserta KB Baru sebesar 126.892 (17,64%).
Adapun untuk penggunaan alat kontrasepsi oleh peserta KB aktif secara rinci
ditunjukan pada Gambar 4.16.
Gambar 4.16..
Persentase Penggunaan Alat Kontrasepsi Peserta KB Aktif
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Gambar 4.16. menunjukan bahwa pada tahun 2010 di Kalimantan Barat,
penggunaan suntik sebagai alat untuk menunda kehamilan paling banyak dipilih oleh
Pasangan usia Subur (PUS) yaitu sebanyak 48,84%, kemudian diikuti oleh
penggunaan pil sebanyak 38,2%. Sedang penggunaan MOP dan MOW merupakan
alat kontrasepsi yang paling sedikit diminati oleh PUS untuk menunda kehamilannya
yaitu masing-masing sebesar 0,5% untuk MOW dan 1,1% untuk MOP.
52
4.4.5. Pelayanan Imunisasi
Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya merupakan
suatu gambaran terhadap cakupan sasaran bayi yang telah mendapatkan imunisasi
secara lengkap dengan ditunjukan pada cakupan imunisasi campak. Bila cakupan
UCI dikaitkan dengan batasan wilayah tertentu (desa), hal ini berarti dalam wilayah
tersebut dapat diprediksi tingkat kekebalan masyarakat terhadap penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi.
Gambar 4.17..
Persentase Desa/Kelurahan UCI
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 – 2010
Sumber : Laporan Program Seksi Bimdal Pencegahan Penyakit
Pada gambar 4.17. terlihat bahwa cakupan UCI tingkat provinsi Kalimantan
Barat pada tahun 2010 adalah 59,8%. Dilihat dari kecenderungannya selama tiga
tahun terakhir, terlihat adanya penurunan cakupan persentase UCI di wilayah
Kalimantan Barat dari 62,0% pada tahun 2008 menjadi 59,8% pada tahun 2010. Hal
ini perlu menjadi perhatikan, karena berdasarkan indikator SPM bahwa pada periode
2010 – 2015 UCI di seluruh Provinsi di Indonesia harus mencapai 100%.
Pada lampiran profil kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010 pada
tabel 39, terlihat bahwa pencapaian UCI terbesar ada pada Kabupaten Sambas
(89,1%), diikuti oleh Kabupaten Kayong Utara (88,4%). Pencapaian UCI terendah ada
pada Kabupaten Kapua Hulu, yaitu sebesar 28,2%.
53
Gambar 4.18.
Cakupan Imunisasi DPT-1 dan Campak Prov. Kalbar
Tahun 2008- 2009
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Pelayanan imunisasi bayi mencakup vaksinasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis B
dan Imunisasi Campak yang dilakukan melalui pelayanan rutin Posyandu dan fasilitas
pelayanan kesehatan dasar lainnya. Berdasarkan pengolahan data profil kesehatan
kabupaten/kota tahun 2010, menunjukan bahwa cakupan imunisasi DPT + HB1
maupun campak dalam tiga terakhir cenderung stabil, yaitu berkisar antara 91% –
93% untuk DPT1+HB1, dan berkisar antara 84% - 86% untuk imunisasi campak.
Selain itu, meskipun masih adanya Droup Out (DO) untuk imunisasi, namun jika
dilihat dari kecenderungan tiga tahun terakhir, terlihat hasil yang cukup
menggembirakan, kerena meskipun sedikit, tetapi terlihat adanya penurunan kasus
DO dari tahun 2008 sampai tahun 2010.
54
4.4.6. Pemberian Kapsul Vit A
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan,
pertumbuhan dan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah
kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006, diperoleh
gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang
dari 20µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan terjadinya
penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survei vitamin A pada tahun 1992.
Di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan hasil pengolahan data dari profil
kesehatan kabupaten/kota, pada tahun 2010 menunjukan bahwa pencapaian
cakupan pemberian kapsul vitamin A 2 kali pada balita sebesar 65,7% (Tabel 32
lampiran profil kesehatan ), dengan pencapaian tersebut, berarti jika dibandingkan
dengan target yang akan dicapai pada untuk tahun 2010 sebesar 90%, maka
pencapaian cakupan vitamin A masih lebih rendah sekitar 24,7% dari target yang
ditetapkan. Lebih jelasnya untuk pencapaian masing-masing kabupaten/kota dapat
dilihat pada gambar 4.19.
Gambar 4.19.
Cakupan Balita Mendapatkan Vitamin A 2 kali/Th
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
55
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A
secara nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi
dengan cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi
dapat mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan
pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar 79,2%. Provinsi
dengan cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan
Selatan sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian
kapsul vitamin A < 60% .
4.4.7. Pemberian Tablet Besi
Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian
tablet tambah darah (Fe). Ibu Hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama
kehamilannya. Paparan dari Direktur Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan KIA, berdasarkan
laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada
ibu hamil pada tahun 2009 rata-rata nasional 68,5%. Beberapa propinsi seperti
provinsi Bali, Lampung dan NTB, mempunyai cakupan diatas 80%, sementara
provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi Tengah cakupannya dibawah 40%.
Gambar 4.20.
Cakupan Pemberian Tablet Fe3
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
56
Di Kalimantan Barat, cakupan pemberian tablet Fe pada bumil dalam empat
tahun terakhir cenderung terjadi peningkatan. Gambar 4.20 menunjukan bahwa
pencapaian cakupan pemberian tablet Fe3 di Provinsi Kalimantana Barat pada tahun
2010 adalah 77,6. Jika dibandingkan dengan target yang akan dicapai pada tahun
2010 berdasarkan Indikator Indonesia Sehat 2010 sebesar 80%, maka cakupan
pemberian tablet Fe3 Provinsi Kalimantan Barat masih lebih rendah sekitar 2,4% dari
target yang akan dicapai.
57
BAB V
SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN
Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokan dalam sajian
data dan informasi mengenai sarana kesehatan dan tenaga kesehatan serta alokasi
anggaran kesehatan.
5.1. SARANA KESEHATAN
5.1.1. Tenaga Kesehatan
Dalam pembangunan kesehatan, faktor penggerak utamanya adalah sumber
daya manusia. SDM kesehatan yang berkualitas menentukan keberhasilan dari
seluruh proses pembangunan tersebut.
Informasi tenaga kesehatan diperlukan bagi perencanaan dan pengadaan
tenaga serta pengelolaan pegawai. Kesulitan memperoleh data ketenagaan yang
mutakhir disebabkan antara lain oleh sifat dari data ketenagaan yang selalu berubah
dengan cepat dan terus menerus dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2010 jumlah tenaga kesehatan di seluruh Kabupaten/Kota Provinsi
Kalimantan Barat adalah 10.357 orang dengan ratio tenaga kesehatan untuk
masyarakat per 100.000 penduduk adalah 424 orang tenaga kesehatan, atau 1
orang tenaga kesehatan melayani 236 penduduk. Adapun rincian ratio tenaga
kesehatan dengan jumlah penduduk dan standar ratio tenaga kesehatan sesuai
target pada Indikator Indonesia sehat 2010 dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Dari Tabel 5.1, dapat dijelaskan bahwa untuk dokter spesialis, 1 orang dokter
spesialis menangani 24.022 penduduk, sedang menurut standar pada tahun 2010,
diharapkan 1 orang dokter spesialis menangani sekitar 16.667 penduduk, atau
dengan perbandingan 6 dokter spesialis menangani 100.000 penduduk. Sehingga
Dilihat dari ratio yang dicapai, maka ada kekurangan ratio Dokter spesialis per
100.000 penduduk. Karena pada tahun 2010 jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan
Barat sebesar 4.395.983, maka kebutuhan dokter spesialis di Kalimantan Barat
sesuai stándar adalah 264 dokter spesialis, sehingga kekuranganya adalah 81dokter
spesialis. Penjelasan ini berlaku pula untuk memperkirakan kebutuhan tenaga
kesehatan lainnya di Kalimantan Barat, sehingga diharapkan pada akhirnya dapat
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di Kalimantan Barat yang berdampak pada
peningkatan derajat kesehatan penduduk Kalimantan barat.
58
Tabel 5.1.
Distribusi Jumlah Tenaga Kesehatan dan Ratio Tenaga Kesehatan
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
5.1.2. Sarana Pelayanan Kesehatan
Selain ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah dan kualifikasi
yang cukup, diperlukan juga dukungan sarana dan prasarana yang memadai
agar pelaksanaan pembangunan kesehatan dapat berjalan dengan baik.
Tahun 2010 jumlah pelayanan kesehatan masyarakat di Provinsi Kalimantan
Barat terdiri dari 233 puskesmas yang terdiri dari 96 Puskesmas perawatan dan 137
puskesmas non perawatan. Tabel 5.2 menunjukan bahwa terlihat rata-rata setiap
kecamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat mempunyai 1-2 Puskesmas. Kota
Pontianak merupakan wilayah yang setiap kecamatannya paling banyak mempunyai
Puskesmas, yaitu rata-rata 4 Puskesmas. Dilihat dari jangkauan pelayanan, rata-rata
setiap Puskesmas di Kalimantan Barat melayani 18.867 penduduk. Kota
Singkawang merupakan wilayah yang paling tinggi tingkat jangkauan pelayanan
Puskesmas bagi masyarakat yaitu dengan perbandingan rata-rata 1 Puskesmas
melayani 37.292 penduduk, diikuti oleh Kabupaten Kubu Raya dengan perbandingan
1 Puskesmas melayani 29.469 Penduduk dan Kota Pontianak dengan perbandingan
1 Puskesmas melayani 24.120 penduduk. Lebih lengkapnya jangkauan Puskesmas
terhadap pelayanan penduduk dapat dilihat pada tabel 5.2.
59
Tabel 5.2.
Distribusi Sarana Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2010
5.1.3. Pembiayaan Kesehatan
Pada tahun 2010 berdasarkan hasil rekapitulasi data profil kesehatan
Kabupaten/Kota Tahun 2010, total jumlah anggaran pembangunan kesehatan seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat (tidak termasuk anggaran kesehatan
provinsi) yang bersumber dari APBN, PHLN dan APBD serta sumber pemerintah lain
sebesar Rp. 573.184.481.051,- Sehingga dengan jumlah penduduk sebesar
4,395.983 jiwa, maka anggaran kesehatan perkapita penduduk di Kalimantan Barat
pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 130.388,24,-.
Berdasarkan rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota total anggaran
APBD Kesehatan Kabupaten/Kota adalah sebasar Rp. 452.716.994.468,- dengan
total anggaran APBD Kabupaten/Kota sebesar Rp. 7.364.946.559.308,-. Sehingga
persentase anggaran APBD kesehatan Kabupaten/Kota terhadap APBD
Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat adalah 6,12%.
APBD Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar Rp.
48.011.323.973,- dan anggaran APBD Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan
adalah sebesar Rp. 1.560.000.000.000,-. Berdasarkan angka tersebut, maka
persentase anggaran APBD kesehatan untuk tingkat Provinsi Kalimantan Barat
adalah sebesar 3,08%.
60
BAB VI
PENUTUP
Data dan Informasi merupakan sumber daya strategis bagi pimpinan dan
organisasi dalam pelaksanaan manajemen, maka penyediaan data dan informasi
yang berkualitas sangat diperlukan sebagai masukan dalam proses pengambilan
keputusan juga sebagai alat monitoring dan evaluasi berjalannya kegiatan sehingga
menjadi lebih efesien dan efektif. Data dalam pembuatan Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Barat ini diperoleh melalui penyelenggaraan sistem informasi kesehatan
berdasarkan profil maupun draf data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota dan data dari
masing-masing pemegang program.
Penyusunan profil kesehatan sebagai salah satu instrumen dalam
Sistem Informasi Kesehatan Daerah disadari maupun tidak, memegang
peranan penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pembangunan. Hal ini
karena data dan informasi merupakan sumber daya strategis bagi organisasi
maupun individu dalam menjalankan sistem manajemen yaitu dalam proses
perencanaan sampai pengambilan keputusan. Keputusan yang baik dapat
dihasilkan apabila ditunjang dengan data yang akurat dan validitasnya tidak
diragukan.
Namun sangat disadari, sistem informasi kesehatan yang ada saat ini belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga tidak dapat memenuhi data dan
informasi yang dibutuhkan, apalagi dalam era desentralisasi pengumpulan data
menjadi relatif lebih sulit didapatkan dari Kabupaten/Kota yang berimplikasi terhadap
ketepatan, kelengkapan maupun keakuratan data yang dihasilkan. Hal ini
menyebabkan data dan informasi yang disajikan pada profil kesehatan provinsi saat
ini belum sesuai dengan harapan.
Kedepan, berangkat dari permasalahan yang dihadapi dari penyusunan
Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010 ini, diharapkan
kesadaran dan peran serta aktif dari semua pihak untuk membenahi sistem
manajemen data agar kinerja dari masing-masing bidang dapat lebih terukur dan
memberikan gambaran yang lebih rinci dari pencapaian masing-masing program
serta kontribusinya bagi pencapaian visi dan misi pembangunan kesehatan
Provinsi Kalimantan Barat.
61
Namun demikian, diharapkan Profil Kesehatan Provinsi dapat memberikan
gambaran secara garis besar tentang seberapa jauh keadaan kesehatan masyarakat
yang telah dicapai.
Walaupun profil kesehatan propinsi sering kali belum mendapatkan apresiasi
yang memadai, karena belum dapat menyajikan data dan informasi yang sesuai
dengan harapan, namun profil ini merupakan salah satu publikasi data dan informasi
yang meliputi data pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Indikator
Indonesia sehat 2010. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kualitas Profil
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, perlu dicari terobosan dalam mekanisme
pengumpulan data dan informasi secara cepat agar dapat dihasilkan informasi yang
cepat, lengkap dan akurat, khususnya data dan informasi yang bersumber dari
Kabupaten/Kota.
Demikianlah Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 ini
disusun, kiranya dapat bermanfaat untuk semua pihak yang memerlukannya,
terutama jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dan Lintas Sektor
terkait.
.
Pontianak, Oktober 2011