profil dhurung elmo - bawean

21
1

Upload: teguhwibowo13

Post on 13-Aug-2015

28 views

Category:

Education


8 download

TRANSCRIPT

1

2

Bawean, sebuah pulau kecil yang berada di tengah Laut Jawa, memiliki sejarah

akulturasi budaya yang panjang. Bawean memiliki masyarakat yang multi etnis. Lantas

tidak aneh apabila Pulau Bawean sebagai wadah interaksi budaya yang mapan,

akhirnya menghasilkan berbagai macam produk budaya lokal. Salah satunya adalah

“dhurung”. Jika di Jawa Barat memiliki saung, maka di Pulau Bawean dhurung memiliki

fungsi dan filosofi yang berbeda. Dhurung dimiliki oleh hampir seluruh rumah di

Bawean. Pada awalnya, secara simbolis melambangkan tempat untuk menetralisir

energi negatif sebelum sesorang masuk ke dalam rumahnya setelah perjalanan jauh.

Secara fungsional, dhurung digunakan untuk berbagai kegiatan sosial seperti sebagai

lumbung padi, tempat berkumpulnya warga hingga tempat belajar mengaji. Hal ini

menunjukkan betapa penting dan tingginya posisi dhurung dalam ekosistem sosial

kemasyarakatan Bawean pada masa itu.

Namun laiknya produk budaya lain yang dinamis, dhurung pun juga mengalami

pergeseran fungsi dan persepsi. Saat ini dhurung masih digunakan sebagai pusat

interaksi keseharian masyarakat seperti bercengkrama. Akibatnya dhurung akhrisnya

dipersepsikan hanya sebagai tempat bergosip. Saat ini padi telah disimpan di rumah

warga, kegiatan keagamaan dilaksanakan di masjid dan mushala, hingga dhurung pun

kehilangan pamornya.

Melihat fenomena ini, beberapa komunitas dusun yang ada di Bawean bersama dengan

Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar berinisiatif utuk lebih memanfaatkan

keberadaan dhurung. Fokus yang dipilih adalah kegiatan pendidikan dengan

menjadikan dhurung sebagai tempat pembelajaran masyarakat dari usai anak, remaja

sampai dewasa yang dilengkapi dengan berbagai bahan bacaan serte media

oembelajaran anak. Kegiatan ini diharapkan dapat merevitalisasi nilai-nilai luhur yang

selama ini lekat dengan dhurung, utamanya dengan mengembalikan khitah dhurung

sebagai pusat pembelajaran masyarakat dan tempat menyimpan aset penting

masyarakat. Dulu aset penting itu mungkin berbentuk padi, namun kini masyarakat

telah sepakat bahwa ilmu adalah aset yang paling hakiki. Itulah mengapa kegiatan

modifikasi kearifan lokal ini dinamakan “Dhurung Elmo” (Elmo, dalam bahawa Bawean

berarti Ilmu)

3

Dhurung elmo

adalah taman

baca dalam

sebuah wadah

interaksi alami

di tengah-tengah

masyarakat

Dhurung Elmo,

menggalang bahan

bacaan berbentuk

majalah dari

masyarakat, karena

majalah memiliki

karakteristik

berkelanjutan dan isi

beragam

Dhurung elmo

dikelola secara

mandiri oleh

masyarakat,

mulai dari

mekanisme

distribusi

dampai

Dhurung elmo secara

perlahan akan

membawa isu

pendidikan ke tengah-

tengah ranah

keseharian masyarakat,

sehingga masyarakat

akan menjadikan

pendidikan sebagai

urusan bersama

Dhurung elmo

bercita-cita

untuk

membentuk

sebuah ruang

interaksi positif

bagi masyarakat

antar dusun

4

Dhurung Elmo adalah sebuah aksi keterlibatan, banyak pihak yang bekerja secara

bersama-sama untuk mewujudkan sebuah cita-cita mulia di bidang pendidikan

GRESIK

(Dikumpulkan di

rumah relawan,

dikirim ke

Bawean 3 bulan

sekali melalui

kapal. Biaya

ditanggung oleh

pengelola

Dhurung Elmo)

Pulau Bawean

(diambil dan

dikumpulkan di

rumah relawan

untuk proses

pernyortiran bahan

bacaan, bahan

bacaan diambil

oleh masing-

masing pengelola

Dhurung Elmo

yaitu

Penganggungjawab

dusun)

Pengelola Dhurung

Elmo

(bertanggung

jawab mengambil

bahan bacaan ke

rumah

pengumpulan buku

dan masin-masing

dhurung elmo

mengumpulkan

iuran Rp. 500,- per

hari untuk

mengganti biaya

pengiriman dari

Gresik ke Bawean)

GRESIK

(kantor-kantor

instansi

pemerintahan

Kabupaten

Gresik dan

dikumpulkan

sebulan sekali

oleh relawan di

Kabupaten

Gresik)

5

Pada tahap pertama, ada sepuluh dusun yang menyelenggarakan Dhurung Elmo sebagai

Persebaran tersebut antara lain ada di dusun Pinanggunung, Batulintang, Serambah, Tanahrata,

Telukmur, Grejeg, Panyalpangan, Pamona, Daun, dan Pulai Gili. Sepuluh dusun tersebut siap

untuk menjadi role model bagi dusun-dusun lainnya di Pulau Bawean.

6

7

Satu Cita-cita yang Sama

Oleh : Tuti Alfiani

khir Januari 2015 lalu, barangkali menjadi momentum yang membangkitkan

optimisme. Di aula Pondok Pesantren Hasan Jufri Pulau Bawean, belasan orang

berkumpul dalam workshop “Dhurung Elmo” dengan tekad yang sama, yaitu

bertekad mengambil bagian dalam upaya perubahan pendidikan dan wawasan bagi

masyarakat di Pulau Bawean, terutama di dusun tempat mereka tinggal. Di luar

dugaan bahwa yang berkumpul tidak hanya berasal dari satu latar belakang saja. Mereka

adalah kepala dusun, guru SD, guru madrasah, kader kesehatan dusun, mahasiswa, hingga

kepala sekolah turut berkomitmen untuk bersama-sama gotong royong mewujudkan taman

baca “dhurung elmo” sebagai salah satu cara untuk membuat perubahan itu semakin

mendekat. Tiap sesi sepanjang workshop berlangsung, peserta menunjukkan antusiasme akan

rencana “Dhurung Elmo”, terutama pada saat sesi diskusi.

Bagi kami ini adalah awal yang baik, bukan karena kuantitas yang hanya belasan

orang, tapi kami percaya bahwa yang hadir adalah orang-orang yang terpanggil hatinya yang

secara sadar siap bergerak bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang-orang

yang ada di tanah kelahirannya. Mereka adalah pemilik sah “Dhurung Elmo”, yang siap

mengelola secara bersama-sama dan menjadikannya sebagai salah satu alat untuk membuat

dusun-dusun di Pulau Bawean semakin berilmu dan berwawasan.

Sekilas tentang taman baca “Dhurung Elmo”, berasal dari kata “Dhurung” dan Elmo

(Elmo - Bahasa Bawean, yang berarti Ilmu). ”Dhurung” merupakan produk kekayaan budaya

lokal yang kurang lebih memiliki fungsi sebagai tempat berkumpul dan menyimpan padi

A

8

sehingga tidak heran selalu ramai, sepanjang hari. Banyak usia anak-anak hingga dewasa

berkumpul di sana. Berkumpulnya warga di dhurung adalah modal untuk menciptakan

interaksi positif satu sama lain antar warga dusun. Guna meningkatkan manfaat dan nilai

dhurung maka berbagai pihak sepakat untuk menjadikan dhurung sebagai taman baca.

Dengan harapan bahwa hadirnya bahan bacaan berupa buku dan majalah di dhurung-dhurung

mereka, akan banyak ilmu, informasi dan wawasan yang bisa didapat baik untuk anak-anak

maupun warga dusun. “Dhurung Elmo” juga sebagai pengikat antar warga lokal yang peduli

dengan pendidikan, relawan, dan masyarakat luas yang memiliki kontribusi yang sama di

bidang pendidikan.

Uniknya, “Dhurung Elmo” dikelola secara mandiri oleh orang-orang lokal di Pulau

Bawean, dibantu oleh relawan yang dekat dengan kabupaten dan menggalang bahan bacaan

dari masyarakat luas. Seperti yang kami saksikan dalam satu bulan terakhir ini, bahwa orang

berbondong-bondong untuk mendonasikan bahan bacaan berupa buku dan majalah yang akan

menjadi sahabat baru bagi warga di dusun-dusun. Seperti tetesan embun saat kerontang, ini

menjadi pelepas dahaga yang menyejukkan. Relawan, donatur, koordinasi dan bergerak

bersama, setidaknya ramuan inilah yang membuat denyut perubahan itu semakin terasa.

Kini, 10 dusun di Pulau Bawean telah siap mengambil langkah baik ini, menjadikan

dusunnya sebagai dusun percontohan yang membantu menyelamatkan kualitas pendidikan

dan memperkaya wawasan warga di dusun masing-masing.

9

Bukan Ngerumpi Biasa!

Oleh: Sonya Winanda

“Eh, lakena si A ternyata selingkuh! Tao be’na?” (suami si A ternyata selingkuh! Tau kamu?)

“Ongkhu? Pantaslah binina ngamuk-ngamuk phei” (serius? Pantas istrinya marah-marah aja)

Demikianlah kira-kira potongan percakapan yang akan anda dengar jika duduk-duduk di dhurung.

Salah seorang warga pernah mengatakan, jika ingin tahu berita terbaru, tak perlu susah. Datanglah

ke dhurung lalu pasang telinga baik-baik. Anda akan mendapatkan lebih dari yang diharapkan.

Itu dulu. Kini para warga yang sering ngariung di dhurung, terutama dhurung di Dusun Panyal

Pangan, Pulau Bawean, terdengar membicarakan topik yang agak berbeda. Gosip tetap ada namun

dengan pembahasan yang lebih berkualitas. Mereka berbicara tentang petualangan di planet Nibiru,

resep masakan, cara memanfaatkan berang bekas hingga posisi tidur yang baik. Semua itu mereka

dapatkan dari buku dan majalah yang tersedia di Dhurung Elmo (DE)

Dhurung merupakan salah satu hasil produk kearifan lokal Pulau Bawean. Bentuknya mirip dengan

saung dari Jawa Barat namun dengan fungsi dan filosofi berbeda. Hampir semua rumah di Bawean

memiliki dhurung, baik secara individu maupun kolektif oleh beberapa rumah. Awalnya, secara

simbolis dhurung melambangkan tempat menetralisir energi negatif seseorang sebelum memasuki

rumahnya dari perjalanan jauh. Secara fungsional, dhurung dipakai sebagai lumbung padi, tempat

berkumpulnya warga hingga tempat mengaji.

Namun laiknya produk budaya yang dinamis, dhurung pun mengalami pergeseran fungsi dan

persepsi. Saat ini dhurung masih menjadi pusat interaksi keseharian masyarakat seperti

10

bercengkarama; namun tak lebih dari itu. Akibatnya dhurung lebih dikenal sebagai tempat bergosip.

Saat ini padi telah disimpan di rumah warga, kegiatan keagamaan telah dipindah ke masjid dan

mushola. Dhurung pun kehilangan pamornya.

Kini, kehadiran DE tengah berusaha mengembalikan fungsi positif dhurung bahkan semakin

memperluasnya. Warga tak hanya menggosipkan tetangga atau hal kurang penting lainnya.

Masyarakat, terutama Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang pulang beraktifitas dari sawah atau kebun

menyempatkan diri singgah di DE. Ada yang melanjutkan bacaan kemarin atau mencari tahu solusi

permasalahan sehari-hari dari buku baru.

Untuk tahap pertama, telah tersebar sepuluh dhurung di sepuluh Dusun di Bawean. Buku dan

majalah pengisi DE datang dari berbagai sumber: korporat, donasi masyarakat dan kotak

pengumpulan. Hingga saat ini ada seribu buah buku dan majalah yang telah diterima. Menariknya,

proses pengumpulan, pengklasifikasian dan distribusi ditangani langsung oleh para relawan baik dari

Bawean maupun luar Bawean.

Tercipta pola interaksi yang sebetulnya telah lama dirindukan warga, berbagi hal bermanfaat lalu

mendiskusikannya. Tak sampai disitu saja, Ibu-ibu muslimat Dusun Panyal Pangan yang sekaligus

menjadi penanggung jawab, sepakat untuk terus mengembangkan fungsi DE. Dalam salah satu

pertemuannya, dengan serius mereka membahas tata kelola DE. Termasuk pengurus, tata tertib

serta sumber dana.

Warga selalu antusias terhadap hal baru. Oleh sebab itu, penanggung jawab berkomitmen untuk

terus berinovasi. Seperti salah satu ide yang disampaikan Bu Fatimah, kader kesehatan Dusun,

bahwa ilmu yang diperoleh dari buku atau majalah dapat dipraktekkan langsung di DE. Contohnya

demo cara memanfaatkan barang-barang bekas. Kegiatan ini tentu akan menarik perhatian warga

baik yang telah memanfaatkan DE maupun yang belum. Diharapkan nama DE bergaung sampai ke

sudut Dusun hingga makin ramai pengunjung.

Membaca buku mungkin hanyalah kegiatan yang sederhana namun tidak demikian dengan efek yang

ditimbulkannya. Terutama di DE, warga tak hanya mendapat pengetahuan baru tapi juga jejaring.

Diharapkan hubungan baik ini dapat merekatkan orang-orang hebat Bawean sehingga mereka dapat

saling bertukar pikiran. Dan sangat mungkin tercipta inovasi-inovasi yang lebih menarik nantinya.

Maka jika Anda ingin menjadi bagian dari perubahan ini, jangan ragu. Mari terlibat! Satu bacaan pun

amat berharga di DE. Tunggu apa lagi

11

Pendidikan Tanpa Sekat

(Abdul Fatah)

“Tangan kanan ke depan, ke belakang

Depan belakang lalu goyangkan

Tepuk tangan dan berputarlah

Mudahkan caranya“

“Sekali lagi!” teriak Mas Danang dan Mbak Nana memberi semangat kepada anak-anak

Dusun Telukmur, sesekali mereka juga menggoda dengan gerakan yang mengundang

semangat anak-anak untuk bergoyang lebih semangat lagi. Hasilnya heboh luar biasa,

sehingga Mbak Tuti repot dibuatnya dalam mencari momen yang tepat untuk

mengabadikannya. Itulah kira-kira sekelumit gambaran saat acara peresmian Dhurung Elmo

(DE) Dusun Telukmur, semua bernyanyi dan bergembira bersama cuaca cerah pagi itu.

Namun sayang sekali karena Mbak Laila, Mas Teguh dan Mbak Sonya berhalangan hadir

pada acara tersebut. Padahal panitia telah memundurkan jadwal kegiatan yang seharusnya

dilaksanakan pada minggu yang lalu, dengan harapan seluruh Pengajar Muda (PM) dapat

hadir di Dusun Telukmur, namun rupanya kesibukan para PM memang cukup padat. Aku

sangat kagum dengan totalitas pengabdian yang telah diberikan mereka untuk kampung

halamanku—Bawean—karena ternyata kita jadi mengetahui bahwa semalam mereka semua

12

baru saja mengisi acara di Dusun Paginda hingga larut malam. Sementara keesokan paginya

pukul 09.30 WIB mereka sudah harus berada di dusunku dalam rangka peresmian DE

sekaligus sebagai ajang silaturahmi dengan warga. Mungkin dapat dibayangkan bagaimana

rasa lelah yang mereka rasakan.

Akhirnya momen yang telah dinanti pun datang. Mas Danang dan Mbak Nana tiba dengan

wajah yang sangat sumringah dan tidak tampak rasa lelah di wajah mereka, walaupun mereka

sehabis melaksanakan tugas sampai larut pada malam sebelumnya di Dusun Paginda. “Maaf

Pak kami sedikit telat,” kata Mas Danang, “Mbak Tuti masih di belakang karena ban

motornya bocor di Diponggo” katanya. Aku salut dengan semangat yang mereka tampakkan.

Andaikata mereka dapat lebih lama lagi tinggal di sini aku sangat yakin akan lebih banyak

lagi kolaborasi segar yang mereka tawarkan pada kami, sebagaimana ketika mereka

menawarkan konsep DE dalam pertemuan di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan

Jufri Januari lalu. Masih jelas dalam ingatanku diskusi awal dengan para PM, untuk

menyediakan bahan bacaan yang layak baca di tempat yang tidak biasa, yaitu dhurung.

Padahal sebagaimana yang selama ini kita pahami, bahan bacaan biasanya ditempatkan di

tempat yang lebih familiar seperti sekolah dan perpustakaan. Tapi kali ini PM menawarkan

inisiatif kolaborasi dengan „selera lebih‟. “Kita harus bisa memberi manfaat lebih dari

keberadaan dhurung yang ada di Bawean,” kata Mbak Tuti dalam sesi pertemuan tersebut.

Kata-katanya meluncur dengan tegas berupaya memberikan keyakinan kepada kami bahwa

kita perlu melakukan sesuatu di daerah masing-masing agar pergaulan masyarakat dengan

pendidikan tidak terlalu dibatasi oleh sekat-sekat formal. Sehingga buku sebagai sumber ilmu

pengetahuan bisa dengan mudah dijangkau oleh siapapun dalam keadaan apapun. Memang

dalam konteks ini aku mengakui dhurung sangat strategis; posisinya mudah dijumpai dan

suasana kekeluargaan yang ada. Fakta bahwa mulai dari orang tua, remaja sampai anak-anak

sudah terbiasa berinteraksi di dalamnya, semakin menambah kesan yang ada.

Semua yang hadir dalam pertemuan itu bersemangat karena merasa mendapat wawasan baru,

semangat baru dan kami semua pulang dengan membawa kesepakatan untuk mewujudkan

keberadaan DE di dusun masing-masing. Aku pun pulang dengan perasaan bangga karena

sebentar lagi salah satu dhurung di tempatku sudah bukan dhurung biasa lagi, sudah bukan

lagi dhurung yang hanya dimanfatkan untuk beristirahat atau sekedar tempat bercengkrama.

Namun lebih dari itu, sebagai tempat menyenangkan semua warga untuk mencari berbagai

13

informasi yang dibutuhkan. Amboi, suatu nilai manfaat yang sangat indah dan semua itu

dapat dirasakan berkat kerja sama seluruh elemen masyarakat bersama para PM.

14

“DHURUNG ELMO”

Oleh : Saiful, S.Pd.I

“Dhurung elmo”, itulah sebutan untuk salah satu dhurung yang

ditempati buku-buku didusun serambah, istilah itu di ambil dari salah satu

gagasan guru IM (Indonesia Mengajar) yang memang mempunyai inisiatif

untuk memanfaatkan dhurung-dhurung dipulau Bawean ini bukan hanya

sekedar tempat ngobrol, ngerumpi ataupun tempat beristirahat dan sekedar

duduk santai. Tapi juga bisa dibuat sebagai wadah yang paling tepat untuk

membaca dan belajar.

Memang realita dimasyarakat Bawean, khususnya didaerah pegunungan,

dhurung secara esensinya dijadikan tempat penyimpanan padi waktu panen,

selain sebagai tempat masyarakat berkumpul dan duduk beristirahat. Namun

setelah kedatangan enam orang Pengajar Muda periode ke-empat yang berasal

dari berbagai kota yang ditempatkan di enam dusun terpencil dibawean, mereka

langsung mempunyai inisiatif mengubah fungsi dhurung itu sendiri, yang

awalnya hanya dijadikan tempat ngobrol, namun sekarang dijadikan tempat

belajar. Itu juga yang berlaku didusun serambah.

“Kami mempunyai sebuah gagasan, gimana kalau salah satu dhurung

15

didusun serambah ini, kita jadikan tempat buku-buku, seperti

perpustakaan, agar anak-anak dan masyarakat disini lebih besar

kemauan untuk membacanya “

Kata salah satu guru IM yang bertugas di dusun Serambah, Bu Ratna. Ia

menjelaskan gagasannya kepada kami dan kamipun menimpalinya dengan

sangat semangat, karena bagi kami itu adalah langkah yang baik dan harus

didukung serta di implementasikan di masyarakat kami.

“Itu ide yang bagus loh Bu. Aku sangat setuju, tapi kira-kira dhurung

yang mana ya, yang sekiranya cocok ditempati buku-buku itu?“

“Iya,makanya itu juga sih yang harus saya bicarain sama kamu “

Lama dengan obrolan panjang, sambil dibumbui candaan dan gurauan,

kita sama-sama setuju memilih dhurung Bu Yuna yang letaknya tepat ditengah

tengah Dusun Serambah dan tepat disamping jalan poros dusun. Kami memilih

dhurung itu karena beranggapan dhurung itu letaknya strategis sehingga mudah

dijangkau anak-anak maupun masyarakat.

Letak dhurung tersebut, tepat berada ditengah-tengah dusun kami.

Sebelum ditempati buku-buku, kami meminta izin terlebih dahulu kepada Bu

Yuna, selaku pemilik. Setelah mendapatkan izin darinya, kami dengan dibantu

oleh beberapa siswa di MDU (Madrasah Diniyah Ula) membersihkan dan

merapikan dhurung tersebut, serta sedikit menghiasnya dengan beberapa

gambar dan kertas crep yang kami gunting berbentuk panjang yang dijadikan

penghias atap dhurung itu. Lalu, setelah semuanya dirasa siap, selang tiga hari

kemudian, kami jemput buku-buku yang telah disediakan untuk dusun kami di

kawasan Kecamatan Sangkapura, disalah satu rumah relawan Bawean, buku-

buku itu sudah dibungkus dengan satu kardus dan dipilah menjadi beberapa

bagian yang akan dibawa ke masing-masing dusun yang memiliki Dhurung

Elmo. Setelah itu buku-buku yang sudah kami ambil, dan sudah ada dirumah

kami, kami bawa ke dhurung Bu Yuna, kami tata buku itu sebagus mungkin

dibeberapa kardus yang sudah kami hias bersama siswa kami.

16

Sejak terbentuknya Dhurung Elmo di dusun kami banyak siswa SD,

MDU maupun MTs berdatangan yang tujuannya hanya untuk membaca buku-

buku yang sudah kami tata disana, bahkan ada juga yang meminjam buku itu.

“Ustadz, aku pinjam bukunya ya ustadz, mau dibawa kerumah” Kata

salah satu dari mereka kepada kami sambil memegang buku yang

diperlihatkan kepada kami.

“ Ya, boleh, tapi kalau sudah membaca kembalikan ya.”

Itu jawaban kami dengan tersenyum bangga kepadanya. Bahkan bukan

hanya siswa-siswi pelajar saja yang membaca buku-buku didhurung itu, sampai

kepada beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu masyarakat sekalipun ada yang

meminjam dan membaca buku buku di Dhurung Elmo tersebut.

Luar biasa ! Kami bangga melihatnya, berarti masyarakat begitu antusias

dengan adanya dhurung elmo ini, kami tau dan yakin, masyarakat serambah

haus dan senang terhadap ilmu pengetahuan, hanya saja mungkin kurang

adanya motivasi ekstrinsik bagi mereka. Guru IM ! I like it ! fantastic ! itulah

,mungkin luapan yang bisa kami ungkapkan, rasa bangga karena telah mampu

menumbuhkan inovasi sebagus itu. Berkat teman teman IM Kami sekarang bisa

melihat indahnya keramaian membaca anak anak siswa dan siswi kami

khususnnya dan masyarakat serambah Umumnya.

Thanks for you All!

17

Bacalah!

Oleh : Pak Bul

“Membaca adalah salah satu proses

untuk memperoleh elmu dan pengetahuan.

Begitu pentingnya membaca hingga Allah

menurunkan wahyu pertamanya dengan kata iqra”

Ada yang sedikit berbeda dari salah satu sudut dhurung di Pulau Gili, sore itu

para ibu dan anak-anak berdatangan, satu-satu mulai mengobrak-abrik kardus

bertuliskan Dhurung Elmu. Awalnya agak ribut, namun satu persatu mulai

terdiam. Telihat mereka khusuk dengan bukunya masing-masing.

Dhurung adalah tempat multi guna bagi warga Bawean, khususnya Pulau Gili.

Di sebuah tempat yang diberi nama dhurung inilah warga bisa bebas berdialog,

berdiskusi, dan bertukar ide, atau sekedar melepas lelah sepulang memancing.

Namun rupanya dhurung ini telah menjadi begitu nyaman bagi warga untuk

18

istirahat dan bersenda gurau hingga terkadang mereka lupa, ada waktu luang

yang terlalu sayang untuk dibuang.

Elmu ialah suatu pengetahuan yang harus dimiliki oleh seseorang agar hidupnya

terarah menuju hidup yang bahagia. Elmu ini bisa didapat melalui suatu proses

yang cukup melelahkan, menantang, dan sekaligus menyenangkan. Selain

belajar di sekolah, sebenarnya ada juga cara yang mudah untuk memperoleh

suatu pengetahuan, misalnya dengan membaca di tempat yang tidak formal

seperti dhurung ini.

Dari keanekaragaman fungsi dhurung ini, alangkah baiknya jika dhurung juga

dijadikan tempat untuk belajar dan membaca buku. Belajar dan membaca di

dhurung di sela-sela waktu luang membuat proses belajar menjadi tidak terasa.

Untuk itulah, Pengajar Muda angkatan 8 bersama warga Bawean berkolaborasi

bersama memberdayakan dhurung ini sebagai taman baca yang dikenal dengan

sebutan Dhurung Elmu.

Agar kemanfaatannya semakin besar, sejumlah buku hasil donasi para relawan

ditempatkan di dhurung, dengan harapan agar aktivitas membaca semakin

digandrungi dan menjadi kebiasaan positif yang diturunkan. Sehingga ilmu

pengetahuan warga dan anak-anak kami semakin bertambah. Karena penulis

yakin, membaca adalah salah satu proses untuk memperoleh elmu dan

pengetahuan. Begitu pentingnya membaca hingga Allah menurunkan wahyu

pertamanya dengan kata iqra yang artinya bacalah. Jadi, mari kita manfaatkan

Dhurung Elmu ini untuk menambah ilmu pengetahuan kita.

19

Dhurung Elmu Desa Grejek

Oleh : Laila Tri Nurachma

“Nis, pembukaan Dhurung Elmu Minggu nanti di Grejek ya. Ada Pak

Mahfud juga.”

Sepenggal informasi dari Ratna pada saya dan teman-teman satu tim di

Bawean mengawali Senin kami di bulan Maret 2015.

Setelah proses diskusi panjang dengan para penggerak lokal sejak akhir

tahun 2014, akhirnya kami (Pengajar Muda dan penggerak lokal di Bawean)

sepakat untuk meningkatkan manfaat produk lokal kami (dhurung) dengan

mengadakan Dhurung Elmu. Dhurung Elmu adalah sebuah gerakan masyarakat

guna meningkatkan minat baca warga dengan memanfaatkan fasilitas dhurung

yang banyak dimiliki oleh warga Bawean. Dhurung sendiri, kawan, adalah

gazebo khas Bawean.

Ok, kembali ke bulan Maret. Malam Minggu saya dan teman-teman

menginap di Sangkapura untuk rapat koordinasi. Minggu paginya kami bersiap

20

untuk berangkat ke Grejek. Karena tahu akan ada Pak Mahfud (kepala UPTD

Pendidikan Tambak), saya sengaja memilih baju yang agak formal untuk datang

ke Desa Grejek. Saya sendiri tak tahu akan seperti apa kegiatan di Grejek nanti.

Ratna hanya mengatakan bahwa kita akan mengisi kegiatan awal dhurung elmu

dengan membuat alat permainan bersama anak-anak dan orang tuanya.

Pagi ini kami iseng mencoba jalur baru menuju Grejek, yaitu lewat jalur

tengah. Ternyata, kondisi jalan di jalur tengah penuh liku, menurun, dan

menanjak. Alhasil kami pun kepayahan dan butuh waktu perjalanan cukup

lama. Sungguh terkejutnya saya ketika tiba di Grejek. Tenda biru telah

memayungi sebuah rumah. Dhurung di pekarangannya sudah dihias menarik

dengan kertas warna-warni, tulisan-tulisan arahan, struktur organisasi Dhurung

Elmu, dan tak lupa sebuah rak berisi berbagai macam buku dan majalah telah

terpasang di dhurung. Bahkan, sebuah tempat sampah kayu sudah disiapkan di

pinggir dhurung agar setiap warga yang membaca di dhurung sambil makan-

makan tidak kesulitan untuk membuang bungkus makanannya.

Pembukaan Dhurung Elmu Grejek diawali dengan sambutan dari Pak

Agus, koordinator II yang juga kepala sekolah SDN 2 Kebun Teluk Dalam

tempat Ratna mengajar. Setelah itu, dilanjutkan oleh sambutan dari Tuti,

perwakilan Pengajar Muda. Peresmian Dhurung Elmu dilaksanakan setelahnya

dan dilakukan oleh Pak Mahfud. Dalam pidato singkatnya, Pak Mahfud sangat

mengapresiasi usaha bersama warga Desa Grejek yang juga didukung oleh

kepala desa dan kepala dusunnya. Tentu saja, dengan adanya Dhurung Elmu ini

bisa meningkatkan kemampuan baca bagi anak dan menambah informasi baru

bagi orang dewasanya. Di tengah sambutan, tiba-tiba Pak Arabi dan Pak

Rahman (relawan Dhurung Elmu Bawean) datang dengan kaos sederhana. Kami

pun tercenang, mereka pun tercenang.

Bagian yang paling menarik bagi saya dimulai setelah pita peresmian

digunting, yaitu membuat alat permainan. Anak-anak dan orang tua bersama-

sama mewarnai pola-pola gambar hewan yang sudah saya dan teman-teman

saya siapkan sebelumnya. Kami semua hari ini membuat wayang-wayangan

dengan karakter hewan. Setelah diwarnai, kami menempelkannya di atas kardus

bekas, lalu diberi bambu. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat

wayang-wayangan ini adalah bahan-bahan yang mudah dijumpai di sini dan

sudah familiar bagi warga. Penutupnya, saya, Teguh, Sonya, dan Ratna

21

memainkan lakon wayang di depan anak-anak Desa Grejek. Anak-anak tertawa

melihat wayang yang mereka buat digerak-gerakan dan memainkan sebuah

cerita. Kebahagiaan ini semakin lengkap saat kami makan bersama. Dengan

sukarela, para ibu datang ke dhurung dengan membawa nampan-nampan berisi

berbagai macam kudapan dan minuman. Ada juga ibu yang sengaja menyiapkan

soto untuk santap siang kami. Pak Arabi dan Pak Rahman pun sampai tak

menyangka bahwa kegiatan hari ini akan semeriah itu.

Begini lah ceritanya ketika sekelompok masyarakat yang ingin lebih maju

dan memajukan dirinya dalam pendidikan bertemu dengan sekelompok anak

muda gila yang selalu optimis bahwa perubahan baik pasti bisa dilakukan. Saat

keduanya bertemu, berkolaborasi, dan berusaha bersama, semuanya akan

mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukan. Walau mungkin publikasi

kami belum maksimal, gaya bercerita kami kurang jelas, kami, Pengajar Muda

Bawean, terus mengupayakan agar semakin banyak aktor yang terlibat dalam

Dhurung Elmu ini, baik sebagai penyumbang buku, pengisi kegiatan dhurung,

atau bisa jadi kegiatan kembangan lainnya yang belum terpikirkan saat ini. Dan,

para warga, khususnya penggerak lokal yang telah mengupayakan berjalannya

Dhurung Elmu hingga saat ini, selalu bersemangat untuk saling mengajak

memanfaatkan Dhurung Elmu dan memberikan ide kegiatan tambahan yang

bisa dilakukan di dhurung kami.

Pendidikan ternyata tidak hanya bisa dilakukan di sekolah, dan tidak hanya

bisa dilakukan oleh guru. Membaca bersama di dhurung sambil berkegiatan

bersama antara anak-anak dan orang tuanya ternyata bisa menjadi alternatif

pendidikan baru bagi kami di Pulau Bawean. Jadi, mau ikut bergabung bersama

kami?