produktivitas kerja

Upload: edgaralfarizi

Post on 08-Jul-2015

942 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang menjadi sorotan dunia dalam hal kejahatan narkotika. Perkembangan kejahatan yang menyangkut narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di Indonesia mengalami perkembangan yang begitu pesat. Dalam tiga tahun terakhir kejahatan narkotika menunjukkan kecenderungan meningkat. Dalam satu setengah tahun terakhir ini saja, kejaksaan telah mengajukan 764 perkara narkotika ke pengadilan. Sebagian telah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap, dan sebagian lainnya masih diperiksa di pengadilan tingkat pertama, di tingkat banding dan tingkat kasasi (BNN: 2004). Jumlah ini tentunya tidak termasuk dark number yang diperkirakan lebih besar jumlahnya. Menurut data terakhir United Nation Drugs Control Program (UNDCP), saat ini kurang lebih 200 juta orang di seluruh dunia telah menggunakan jenis barang berbahaya ini, dari jumlah tersebut 1% ( 2 juta orang) berada di Indonesia (Depsos: 2003). Data berikut mendukung pernyataan diatas, yaitu :

2 Tabel 1.1 Kasus Peredaran gelap dan Penyalahgunaan Narkoba se-Indonesia periode tahun 2002NO PROPINSI DEPSOS KORBAN NARKOBA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 N. Aceh D Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogya Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Banten Bangka B Gorontalo Maluku Utara Riau Kep. 227 2104 242 218 451 449 149 772 3217 2949 2470 2623 2699 234 197 47 368 120 841 211 150 230 1169 147 889 231 149 39 41 27 124 23784PERINGKAT

LAPAS/RUTAN NAPI DAN TAHANAN NARKOBA 122 875 399 215 242 37 106 79 2789 1365 77 286 638 397 45 5 27 22 278 620 4 47 287 28 0 13 1028 4 21 8 0 10762 PERINGKAT 15 4 8 14 13 20 16 17 1 2 11 12 6 7 18 29 29 24 10 6 27 19 9 22 30 25 3 28 23 11 31

POLDA TERSANGKA NARKOBA 0 2740 133 232 218 72 38 79 648 672 77 208 998 270 48 69 87 51 183 246 92 26 222 30 0 31 0 0 0 0 0 7472

18 4 14 19 11 12 23 10 1 2 5 6 3 15 21 28 13 27 9 20 22 17 7 25 8 16 24 30 29 31 26

Jumlah Total

Sumber : Data Mabes POLRI, September 2003

Data yang didapat dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa dalam tahun 2004, jajaran Polda Metro Jaya telah menangani 4.510 kasus narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 5.847 orang. Dari jumlah itu, 2.303 merupakan pengedar dan bandar, 3.025 pemakai (Batavia, 2005 : 10).

3 Selain itu, peningkatan kasus narkotika juga terlihat dari meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan yang terdapat di beberapa lapas dan rutan di wilayah DKI Jakarta. Data yang didapat sebagai berikut: Tabel 1.2 Data jumlah narapidana dan tahanan di lapas dan rutan wilayah DKI Jakarta tahun 2002-2004No 1 Lapas/Rutan Kapts 2002 umum Narkt Isi Rata-rata/bulan 2003 umum narkt 2004 umum narkt 1.366 44 2.303 481 4.194 1.952 711 1.184 352 4.199 Beroperasi tahun 2004 Ket

Lapas Klas I 1.789 1.204 1.213 1.567 1.274 Cipinang 2 Lapas Khusus Narkotika 1.084 Jakarta 3 Rutan Jakarta Pusat 753 1.502 988 1.343 1.184 (Salemba) 4 Rutan Jakarta Timur (Pondok 504 567 291 531 352 Bambu) Jumlah 3.273 2.492 3.441 2.810 Sumber : Kanwil Dep. Hukum dan HAM DKI Jakarta, tahun 2005

Dari tabel di atas terlihat adanya peningkatan pesat jumlah narapidana narkoba di berbagai lapas dan rutan yang ada di wilayah Jakarta. Pada tahun 2002, jumlah narapidana narkoba sebanyak 2.492 atau sebesar 43,25%, tahun 2003 sebanyak 2.810 atau sebesar 44,95%, sedangkan pada tahun 2004 jumlah narapidana narkoba sebesar 4.199 atau sebesar 50,03%. Khusus untuk Lapas Narkotika Cipinang Jakarta tempat penelitian ini dilaksanakan, tercatat hingga periode 03 Maret 2006 jumlah penghuni telah melebihi kapasitas yaitu 1201 orang. Dari jumlah tersebut kasus narkotika berjumlah 780 orang, psikotropika 415 orang dan kasus lain sebanyak 6 orang. Kondisi diatas dijabarkan secara global melalui gambar berikut ini :

4 Gambar 1.1 Situasi Penjara di IndonesiaKapasitas Penjara (dalam ribuan) 88.887 89.708

90 80

67.960

71.587

70 60 50 40 30 20 10 0 2002 2003 2004 2005Tahun 7.211 17.066 11.973 21.082

Tahanan Total Tahanan Narkoba

Sumber : Ditjen Pemasyarakatan (Maret 2005) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)/Rumah Tahanan Negara (Rutan) sebagai instansi terakhir dalam Integrated Criminal Justice System (ICJS) mengalami over kapasitas. Tercatat bahwa Lapas/Rutan yang ada banyak menampung narapidana/tahanan

narkotika/psikotropika dan hal ini sangat memungkinkan terjadinya transfer kejahatan kepada narapidana non narkotika/psikotropika. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di Lapas Wirogunan Yogyakarta yang kebobolan dengan adanya peredaran shabu-shabu di kalangan narapidana

(http://www.indomedia.com/bernas/022001/01/UTAMA/01uta3.htm).

5 Data berikut merupakan data jumlah penghuni Lapas Cipinang yang menunjukkan mayoritas penghuni adalah kasus narkotika /psikotropika. Lapas Cipinang saat ini menampung 1.543 narapidana dan tahanan. Narapidana narkotika 147 orang dan tahanan narkotika 39 orang. Jumlah tahanan dan napi itu sudah mendekati kapasitas LP yang menampung 1.797 tahanan dan narapidana. Dari jumlah itu, juga terdapat 38 narapidana narkotika dari negara lain antara lain Nepal, Myanmar, dan Thailand (LP Cipinang dan Rutan salemba Dipadati Tahanan Narkotika http://kompas.com/). Sementara di Rutan Salemba yang bertugas menampung seluruh tahanan untuk wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat sudah penuh dengan tahanan narkotika. Jumlah tahanan di Rutan Salemba saat ini berjumlah 1.462 orang dan 207 tahanan diantaranya adalah narapidana kasus narkotika. Jumlah itu jauh lebih banyak dari kapasitas Rutan Salemba yang hanya 753 orang tahanan dan narapidana. Sebanyak 207 tahanan narkotika itu, sebagian besar sudah memenuhi dua blok dari 14 blok yang digunakan. Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba tersebut, tentu saja baik pemerintah maupun masyarakat perlu memberikan perhatian yang serius agar masalah tersebut tidak semakin meningkat dan meluas.

Penanggulangan penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan karena adanya bukti nyata bahwa narkoba membawa berbagai dampak negatif baik terhadap korban yang memakai dengan timbulnya penyakit HIV/AIDS, hepatitis dan lain lain maupun terhadap kehidupan keluarga, masyarakat, perekonomian, bahkan mengancam dan membahayakan keamanan dan ketertiban.

6 Lapas sebagai sebuah lembaga yang memiliki tujuan reintegrasi sosial dituntut untuk mampu membuat narapidana jera dengan tindak pidana yang dilakukannya serta membentuk perilaku yang lebih positif bagi narapidananya. Tujuan pidana penjara adalah memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara terpidana dengan masyarakat.

(Soeryobroto, 2002 : 3). Sebagai sebuah organisasi setiap lapas memiliki strategi dan kebijakan yang akan dijalankan bagi berlangsungnya organisasi. Meskipun semua lapas yang ada di Indonesia menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), namun tentu saja masing-masing lapas akan memiliki strategi tersendiri dalam operasionalisasi kegiatannya. Hampir semua lapas memiliki pola penanganan narapidana yang hampir sama, baik dalam segi pengamanan maupun pembinaan. Namun demikian, setiap lapas tentu memiliki ciri khas atau kekhususan yang membedakan dengan lapas-lapas lainnya. Diantara beberapa kekhususan tersebut antara lain dengan ditetapkannya pembangunan lapas khusus bagi para narapidana narkoba. Lapas yang diperuntukkan khusus bagi para pelaku tindak pidana narkoba tersebut memiliki kekhususan, terutama dalam pembinaan

narapidana. Pembinaan yang dilakukan selain meliputi tahapan pembinaan seperti pada umumnya lapas biasa, juga harus mampu menyelenggarakan pembinaan khusus bagi para narapidana narkoba. Pembinaan narapidana khusus narkotika diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dan

7 merehabilitasi narapidana yang menjadi korban ketergantungan serta dapat memutus mata rantai peredaran narkotika. Untuk mewujudkan maksud tersebut, tentu saja dibutuhkan langkah yang strategis dan didukung dengan sumber daya yang memadai baik dari segi sarana prasarana maupun sumber daya manusianya. Dalam

menghadapi tantangan semakin meningkatnya jumlah narapidana di lapas narkotika, tentu saja faktor sumber daya manusia menjadi faktor penting. Karyawan dituntut mampu menghadapi tantangan dan hambatan yang berkenaan dengan pesatnya jumlah narapidana narkotika. Untuk itu pembinaan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu kebutuhan terutama sebagai upaya memelihara atau meningkatkan produktivitas karyawan. Produktivitas tidak terjadi begitu saja, melainkan sekurangkurangnya dipicu oleh tiga faktor, yaitu komunikasi organisasi, lingkungan kerja dan kepuasan kerja karyawan. Pentingnya komunikasi dalam sebuah organisasi adalah hal yang wajar, karena komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi apabila antar karyawan dalam organisasi

komunikasinya terganggu, yang diantaranya disebabkan oleh persaingan antar karyawan yang tidak sehat sehingga menumbuhkan sikap permusuhan, saling curiga, iri, sikap pilih kasih pimpinan terhadap bawahan sehingga dapat mengganggu komunikasi secara vertikal, atau sikap-sikap negatif lainnya yang potensial menimbulkan ketidakefektifan komunikasi dalam organisasi.

8 Apabila sikap-sikap tersebut benar-benar muncul dalam sebuah organisasi, akibatnya sangat fatal, seperti munculnya miskoordinasi, hilangnya semangat kerjasama, menurunnya semangat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas karyawan dan secara umum akan menurunkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu, penting kiranya menciptakan iklim komunikasi organisasi yang kondusif, sehingga dapat memacu semangat kerja karyawan dan meningkatkan kualitas kerjasama demi mencapai tujuan organisasi. Lingkungan kerja perlu diwujudkan dalam situasi dan kondisi yang mendorong kesediaan dan kemauan serta kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama yang menyangkut faktor karyawan dalam organisasi. Melalui lingkungan kerja yang baik, dapat dihindari kekurangharmonisan dalam pelaksanaan tugas, yang pada akhirnya dapat mengatasi hal-hal yang menghambat kelancaran pelaksanaan tugas. Lingkungan kerja karyawan yang diciptakan dan dikembangkan oleh atasan dan seluruh karyawan sebagai anggota organisasi, memerlukan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan memberikan kesempatan keikutsertaan karyawan dalam kegiatan organisasi dan membawa pengaruh terhadap produktivitas kerja karyawan. Terciptanya komunikasi organisasi yang baik yang didukung oleh lingkungan kerja fisik yang baik pula akan menciptakan kepuasan dalam bekerja. Kepuasan kerja ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya seberapa baik kebutuhan dan keinginan kita dapat dipertemukan melalui

9 pekerjaan, kondisi pekerjaan, perasaan memiliki terhadap organisasi, pencapaian diri, pencukupan kebutuhan pribadi, hubungan dengan atasan, bawahan dan rekan sejawat, dan lain sebagainya. Dengan komunikasi dan lingkungan kerja yang baik karyawan akan merasa dihargai secara adil, nyaman, dan dihargai. Kondisi ini pada akhirnya akan menimbulkan semangat dalam bekerja dan produktif dalam bekerja. Kepuasan kerja menurut pendapat Wexley dan Yukl (1977 : 98) adalah the way an employee feels about his or her job. Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Dengan memperhatikan uraian diatas, maka dalam fokus penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan hubungan komunikasi organisasi dan lingkungan kerja dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

B. POKOK PERMASALAHAN Manusia merupakan unsur terpenting dalam organisasi, karena manusia adalah pelaku organisasi yang menjalankan dan mengendalikan jalannya organisasi. Sedangkan alat-alat dan perlengkapan lain dalam organisasi hanya merupakan instrumen yang dikendalikan manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi sebuah organisasi untuk memberikan perhatian kepada karyawan agar dapat menghasilkan kinerja sesuai dengan harapan.

10 Pada kenyataannya, tidak semua karyawan mampu produktif sesuai dengan yang diharapkan organisasi. Hal ini disebabkan karena setiap individu memang memiliki kapasitas pribadi yang tidak sama. Selain itu, adanya pengaruh dari lingkungan kerja fisik juga akan sangat menentukan produktivitas seseorang. Lingkungan kerja yang tidak kondusif cenderung akan membuat karyawan kurang termotivasi untuk menunjukkan produktivitas yang lebih baik. Sebagai sebuah organisasi fungsi kerja, tentu saja Lapas Narkotika Cipinang Jakarta berharap untuk mewujudkan keberhasilan sesuai dengan visi dan misinya, yang ingin dicapai dengan produktivitas yang tinggi dari karyawannya. Lapas Narkotika Cipinang Jakarta merupakan Lapas tipe Klas IIA yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Pembangunan Lapas Narkotika Jakarta merupakan tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.04.PR.07.03 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan, Martapura, Bangli, Maros, dan Jayapura. Untuk mendukung tercapainya keberhasilan tugas Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, maka diperlukan adanya produktivitas yang optimal dari seluruh karyawan. Hal ini dilakukan dengan memahami serta dilaksanakannya visi dan misi organisasi, juga

11 dukungan komunikasi organisasi antara pimpinan dan bawahan, lingkungan kerja yang kondusif serta faktor kepuasan kerja karyawan. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, timbul pertanyaan bagaimanakah produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dari sekian banyak faktor yang berhubungan dengan produktivitas karyawan, diduga ada tiga faktor yang berhubungan erat dengan produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, yaitu faktor komunikasi organisasi, lingkungan kerja dan kepuasan kerja karyawan yang memotivasi karyawan untuk produktif. Berkenaan dengan hal tersebut maka pemasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta ? 2. Bagaimana hubungan antara kepuasan kerja karyawan dengan

produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta?

C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk melihat hubungan komunikasi organisasi, lingkungan kerja dengan kepuasan kerja karyawan dan produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, sehingga memiliki tujuan sebagai berikut:

12 1. Mengetahui hubungan antara komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. 2. Mengetahui hubungan kepuasan kerja dengan produktivitas kerja

karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta

D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, terutama pengetahuan serta keterampilan bagi organisasi untuk mengelola sumber daya manusia dengan lebih baik, serta memberikan sarana dan dukungan bagi terciptanya produktivitas yang tinggi.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan terdiri dari enam bab yang masing-masing berisikan : BAB I PENDAHULUAN Menggambarkan permasalahan, tentang tujuan latar belakang manfaat masalah, penelitian pokok dan

penelitian,

sistematika penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA

13 Berisi tentang teori komunikasi organisasi, lingkungan kerja, kepuasan kerja dan produktivitas kerja. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini menjelaskan metode penelitian yang terdiri dari populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik

pengolahan data dan analisis data. BAB IV GAMBARAN UMUM LAPAS KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA Bab ini berisi tentang struktur organisasi, keadaan petugas, penghuni, harapan dan tantangan organisasi Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi tentang deskripsi karakteristik responden, analisis dan deskripsi variabel penelitian (deskripsi variabel komunikasi organisasi, deskripsi variabel lingkungan kerja, deskripsi variabel kepuasan kerja dan deskripsi variabel produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta), analisis hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja, kepuasan kerja dengan produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Uji signifikansi hipotesa penelitian. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab penutup, dimana peneliti akan memberikan kesimpulan-kesimpulan penting dari hasil penelitian berikut rekomendasi-rekomendasi yang relevan.

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KOMUNIKASI ORGANISASI Dalam kehidupan organisasi, para anggota organisasi tidak dapat, dan memang tidak mungkin hidup terisolasi, baik dari rekan sekerjanya maupun lingkungannya. Tujuan yang hendak dicapai, strategi yang hendak dijalankan, keputusan yang harus dilaksanakan, rencana yang harus direalisasikan, program kerja yang harus diselenggarakan, kegiatan individu maupun antar satuan kerja. Dengan perkataan lain, para anggota organisasi mutlak perlu berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi adalah transfer informasi dan pemahaman dari satu orang ke orang lain. Ini merupakan suatu jalan untuk mencapai pada ide, fakta, pikiran, dan nilai-nilai yang lain. Komunikasi dapat menjadi jembatan untuk mencapai suatu pengertian antar individu dengan mereka berbagi apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui (Davis dan Newstorm, 1989). Menurut Davis dan Newstorm (1989) dengan jembatan ini orang dapat merasa aman untuk mengatasi ketidaktahuan yang menjadi penyebab terbatasinya satu individu dengan individu yang lain. Komunikasi adalah apa yang dipahami oleh penerima, bukan apa yang diucapkan oleh pengirim. Selama penerima belum mampu memahami pesan yang disampaikan oleh pengirim, maka sebenarnya belum terjadi komunikasi antara keduanya.

15 Menurut Robbins (1996) komunikasi merupakan suatu aktivitas pentransferan dan pemahaman makna dari satu orang ke orang lain. Tidak peduli besar kecilnya suatu gagasan, tidak akan ada gunanya apabila belum diteruskan kepada orang lain dan dipahami oleh orang lain. Jaringan komunikasi dapat bersifat formal maupun informal. Komunikasi formal lazimnya vertikal, merupakan komunikasi yang bertalian dengan tugas, mengikuti rantai wewenang. Sedangkan komunikasi informal biasanya seperti selentingan, bebas untuk bergerak ke segala arah, tidak memperhatikan tingkat-tingkat wewenang (Robbins, 1996). Komunikasi dapat mengalir ke bawah, yaitu dari satu tingkat dalam suatu kelompok atau organisasi ke suatu tingkat yang lebih bawah. Ke atas, yaitu ke suatu tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi tersebut, dan lateral yaitu bila komunikasi terjadi diantara anggota kelompok kerja yang sama, dalam tingkat yang sama. Komunikasi mempunyai empat fungsi utama (Robbins, 1996) di dalam suatu kelompok atau organisasi, yaitu sebagai kendali (kontrol atau pengawasan), motivasi, pengungkapan emosional, serta informasi. Keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut: a. Komunikasi menjalankan fungsi kontrol jika komunikasi tersebut bertindak untuk mengendalikan perilaku anggota dalam kelompok atau organisasi. Setiap organisasi mempunyai hirarki wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh para karyawan. Bila karyawan, misalnya diminta untuk terlebih dulu mengkomunikasikan setiap keluhan yang berkaitan dengan pekerjaan kepada atasan langsungnya sesuai dengan uraian

16 tugasnya, atau sesuai dengan kebijakan perusahaan, berarti komunikasi itu menjalankan suatu fungsi kontrol. b. Komunikasi membantu perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada karyawan apa yang harus dilakukan, bagaimana mereka bekerja baik, dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja jika itu di bawah standar. c. Komunikasi dapat digunakan sebagai pengungkapan emosional dari setiap karyawan dengan jalan menggunakan komunikasi tersebut untuk

menunjukkan kekecewaan atau rasa puas mereka terhadap perusahaan. d. Komunikasi dapat memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenali dan menilai dengan pilihan-pilihan peran alternatif. Fungsi ini dapat

berhubungan

komunikasi

untuk

mempermudah

pengambilan keputusan. Davis dan Newstorm (1989) mengemukakan bahwa komunikasi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu organisasi, komunikasi menjadi faktor yang sangat vital. Organisasi tidak akan dapat bertahan tanpa komunikasi. Jika tidak ada komunikasi, karyawan tidak akan tahu apa yang harus dilakukannya, apa yang dilakukan oleh atasannya, atasan tidak akan mendapat masukan dari bawahan, serta atasan juga tidak akan dapat menyampaikan instruksi kepada bawahannya. Koordinasi kerja tidak mungkin terjadi, dan organisasi mungkin akan ambruk jika tidak ada komunikasi. Kerjasama menjadi sangat tidak mungkin, karena orang tidak akan dapat

17 mengkomunikasikan apa yang mereka butuhkan dan rasakan kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa segala sesuatu dari komunikasi akan mempengaruhi jalannya organisasi. Gambar 2.1 Komunikasi Organisasi Sebagai Faktor Perantara Antara Sumber Daya Manusia dan Berfungsinya Organisasi dan Hasil Organisasi

Sumber daya manusia dan berfungsinya organisasi

Komunikasi Organisasi

Hasil organisasi dalam bentuk produktivitas, kualitas dan vitalitas

Sumber : Pace dan Faules (ed) Mulyana, 2001 : 386 Terkait dengan pentingnya masalah komunikasi dan hubungannya dengan produktivitas, dapat dilihat dari pendapat Furtwengler (2002 : 73)

yang menyatakan bahwa ketidakefektifan komunikasi akan menyebabkan kesalahan, ketinggalan deadline dan penurunan efektivitas tim, dan jika tidak segera diambil tindakan dapat menyebabkan tingkat absensi yang semakin meningkat, sikap can do berubah menjadi cant do dan penurunan tajam pada produktivitas. Dengan demikian ada suatu hubungan yang positif atara komunikasi efektif (mencakup faktor kepercayaan yang dianut, kecermatan yang dirasakan, hasrat akan interaksi, kemauan menerima dari manajemen puncak, dan persyaratan informasi keatas) dengan produktivitas (Hellweg dan Philips, 1980 : 92-188). Karena itu, dengan memilih saluran yang benar, dengan menjadi seorang pendengar yang efektif, dan memanfaatkan umpan balik dapat membuat komunikasi lebih efektif. Komunikasi yang efektif akan

18 mendorong kinerja yang lebih baik dan menimbulkan kepuasan kerja. Orang akan memahami pekerjaannya dan merasa lebih terlibat dengannya. Sebagai contoh, mereka akan merasa bangga dengan pengorbanannya kepada organisasi karena mereka melihat bahwa pengorbanannya dibutuhkan. Menurut Effendi (1992 : 76), komunikasi dalam suatu organisasi berlangsung dalam tiga bentuk, yakni horizontal, vertikal dan diagonal. Masing-masing bentuk komunikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Komunikasi Vertikal Komunikasi vertikal adalah komunikasi dari atas ke bawah (downward communication) dan dari bawah keatas (upward communication). Ini maksudnya komunikasi yang berasal dari pimpinan ke bawahan dan dari bawahan ke pimpinan secara timbal balik. Komunikasi vertikal dalam manajemen sangat penting sekali, oleh karena jika hanya satu arah saja dari pimpinan ke bawahan, proses manajemen besar kemungkinan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. b. Komunikasi Horizontal Komunikasi horizontal adalah komunikasi antara seseorang dengan seseorang lainnya yang sama kedudukannya. Berbeda dengan komunikasi vertikal yang sifatnya lebih formal, maka komunikasi horizontal seringkali berlangsung dalam suasana sedang istirahat, sedang pulang atau sedang berekreasi.

19 c. Komunikasi Diagonal Komunikasi diagonal sering juga dinamakan komunikasi silang, yakni komunikasi yang berlangsung antara seseorang dengan seseorang lainnya dalam kedudukan yang berbeda dan unit yang berbeda. Orang-orang yang terlibat dalam komunikasi diagonal pada umumnya tidak menampakkan kekuatan seperti halnya pada komunikasi vertikal, dan juga tidak menunjukkan keakraban sebagaimana halnya pada komunikasi horizontal. Menurut Siagian (2001 : 308) komunikasi ini berlangsung antara dua satuan kerja yang berada pada jenjang hierarki organisasi yang berbeda, tetapi menyelenggarakan kegiatan yang sejenis. Menurut Furtwengler (2002 : 67), minimal ada enam kunci untuk mewujudkan komunikasi yang efektif, yakni : 1. Kelengkapan Komunikasi Biasanya komunikasi yang tidak lengkap tidaklah salah. Pembicara hanya percaya pendengarnya memiliki pengetahuan yang lebih banyak daripada dirinya. Tidak adanya maksud buruk tidaklah mengubah kenyataan bahwa asumsi ini memiliki potensi untuk menciptakan banyak masalah. Dampak kesalahan tersebut

terhadap hubungan antara kedua belah pihak. Pendengar mungkin merasa dihianati, dikambinghitamkan, meskipun tanpa unsur-unsur kesengajaan. Sikap ini mudah menular. Pendengar memberi tahu anggota tim yang lain mengenai pengkhianatan itu dan

20 memperingatkan mereka untuk berhati-hati sehingga hal tersebut tidak terjadi pada mereka. Dampak pada moral sangatlah efektif. 2. Mendengarkan Pendengar yang kurang percaya diri tidak akan sering mengajukan pertanyaan. Mereka takut kelihatan bodoh. Sebaliknya mereka akan mengulangi apa yang dikatakan. Demikian pula pendengar yang terlalu percaya diri juga tidak akan mengajukan pertanyaan. Masalahnya adalah karena tidak memikirkan pendekatan yang akan digunakan dan semata-mata hanya bertindak. 3. Hormat Dalam hal berkomunikasi hendaknya setiap karyawan dapat menghormati kemampuan orang lain, memiliki kemampuan untuk belajar dengan cepat, memiliki minat terhadap kesejahteraan orang lain, mengakui bahwa gagasan orang lain berharga dan mencoba untuk mengangkat derajat orang lain. 4. Gaya Terdapat empat jenis gaya yang secara umum terjadi dalam berkomunikasi, yaitu diktator, kooperatif, patuh dan parental. Gaya diktator merupakan gaya yang mendominasi percakapan dan meminta agar gagasan-gagasan diterima. Diktator cenderung mudah jengkel, frustrasi dan menghasut teman kerjanya untuk membuat kerusuhan. Gaya kooperatif ditunjukan dengan suara yang dapat menyegarkan jiwa pada waktu terjadi ketidaksepakatan

21 sehingga tim dapat terus maju. Gaya patuh adalah lawan dari spektrum gaya diktatorial. Karyawan yang lebih menyukai gaya ini seringkali pendiam dan membiarkan orang lain memaksakan kehendak mereka pada dirinya. Dan terakhir adalah gaya parental, yaitu gaya dalam berkomunikasi yang mengharuskan bertindak sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang tua. Hal ini baik jika seseorang masih dalam usia anak-anak dan tidak memiliki banyak pengalaman. 5. Suasana Hati Seseorang yang dalam keadaan normal bersuasana hati positif dan suportif, pada hari yang jelek akan menjadi kasar, tidak sensitif dan kadang-kadang suka bertengkar dalam komunikasinya. Orang yang terbiasa dengan suasana hati yang jelek akan menunjukkan sikap kasar, tidak sensitif, dan suka bertengkar serta menghambat komunikasi. Komunikasi yang tidak efektif akan menyebabkan kesalahan, ketinggalan deadline dan penurunan efektivitas tim. Suasana hati yang jelak juga menular dan jika tidak segera diambil tindakan, dapat menyebabkan tingkat absensi yang semakin meningkat, sikap can do berubah menjadi cant do dan penurunan tajam pada produktivitas karyawan. 6. Nada Nada yang secara umum muncul dalam komunikasi diantaranya adalah nada positif, menyemangati, faktual, tidak emosional,

22 mencela. Tentu nada yang positif, tidak emosional dan yang menyemangati akan memiliki dampak positif pada kinerja karena dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif. Komunikasi merupakan aktivitas dasar setiap manusia. Dengan komunikasi manusia dapat saling berhubungan satu sama lain, baik di lingkungan rumah tangga, lingkungan pekerjaan, masyarakat atau dimana saja manusia berada. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidak dapat dipungkiri. Begitu pula dengan organisasi, komunikasi juga merupakan kebutuhan yang sangat mendasar, karena dapat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

B. LINGKUNGAN KERJA FISIK

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja individu. Lingkungan kerja akan mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi, dimana individu cenderung akan menunjukkan kinerja yang lebih baik bila berada dalam lingkungan kerja yang sesuai. Yang dimaksud dengan lingkungan kerja disini adalah kondisi lingkungan fisik tempat kerja, yang di dalamnya antara lain mencakup suhu, penerangan, kebisingan, serta arsitektur dan penampilan tempat kerja (Jewell & Siegall, 1998). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap kinerja individu, dimana karyawan yang bekerja pada lingkungan dengan suhu tinggi yang berkepanjangan akan membuat kesalahan yang lebih banyak

23 daripada jika bekerja dalam suhu relatif rendah (Jewell & Siegall, 1998). Penerangan akan mempengaruhi kinerja individu, terutama yang

berhubungan dengan jumlah sumber cahaya, jenisnya, dan penempatannya di tempat kerja. Namun, pengaruh cahaya ini juga tergantung pada sifat tugas yang diberikan. Kebisingan di tempat kerja juga akan mempengaruhi kinerja karyawan. Tempat kerja yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi cenderung akan membuat karyawannya menunjukkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat kerja yang lebih tenang. Kebisingan yang tidak dikehendaki dapat menciptakan stres dan suasana tidak nyaman dalam bekerja. Faktor lingkungan kerja lain yang turut mempengaruhi kinerja karyawan adalah arsitektur dan penampilan tempat kerja. Arsitektur dan penampilan tempat kerja ini terutama akan berpengaruh terhadap perilaku kerja karyawan. Dengan arsitektur dan penampilan tempat kerja yang kurang menguntungkan cenderung akan membuat karyawan kurang bersemangat dalam bekerja sehingga kurang terpacu untuk menunjukkan kinerja yang optimal. Menurut Davis (Jewell & Siegall, 1998), yang perlu mendapat perhatian dalam arsitektur dan penampilan tempat kerja antara lain ukuran dan tata letak tempat kerja, pembagian tempat kerja, pengaturan kantor, serta warna dinding tempat kerja. Menurut Sumamur (1986 : 49), faktor yang berpengaruh pada pembentukan lingkungan kerja yang berdampak pada kemampuan manusia sebagai pekerja antara lain : (1) faktor fisik seperti ruang kerja, penerangan,

24 suhu udara, kelembaban, ventilasi dan peralatan; (2) faktor kimia seperti gas, uap, debu dan sebagainya; (3) faktor biologi; serta (4) faktor mental, psikologi, gaji/upah, kesempatan memperoleh penghasilan. Ilmu yang khusus mempelajari tentang hubungan antara kesesuaian lingkungan kerja dengan pekerja adalah Ergonomi. Ergonomi mencoba menyatukan kesenjangan antara desainer (pembuat) produk (alat) dengan masyarakat pengguna, dengan maksud agar pembuat produk dan masyarakat pengguna produk saling diuntungkan. Ergonomik memberikan keyakinan bahwa kesesuaian alat (produk) dengan manusia pengguna produk akan meningkatkan hasil kerja. Asal muasal konsep ergonomi dimulai ketika masyarakat primitif

membuat alat dari batu yang digunakan untuk memotong hewan sebagai makanan (Kamal, 2004). Kenyataan selanjutnya konsep ergonomi diterapkan pada dunia industri. Revolusi yang dicetuskan sekitar tahun 1900-an. FW Taylor dan Frank serta Lilian Gilbreth mengawali menyebut kata ergonomits. Taylor memberikan prinsip bahwa hal itu sangat baik dan terkait dengan metode yang digunakan untuk melakukan kerja. Frank dan Gilbreths memfokuskan pada studi gerak dalam melakukan tugas kerja di industri sehingga memiliki gerakan kerja yang ekonomis dan mapan (nyaman). Mereka menganjurkan agar saat bekerja tidak menggunakan otot pada kedua tangan bersamaan, berposisi simetris dan bergerak pelan (statik) serta berbagai gerakan yang berlebihan harap dikurangi agar tenaga lebih optimal dan efisien.

25 Biasanya, jika ingin meningkatkan kemampuan tubuh manusia, maka beberapa hal di sekitar lingkungan alam manusia misal peralatan, lingkungan fisik, posisi gerak (kerja) perlu direvisi untuk dimodifikasi atau didesain ulang disesuaikan dengan kemampuan tubuh manusia. Dengan kemampuan tubuh meningkat secara optimal, maka tugas kerja yang dikerjakan juga akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika lingkungan alam sekitar manusia tidak sesuai dengan kemampuan alamiah tubuh manusia, maka akan menimbulkan hasil kerja yang tidak optimal. Pendekatan ergonomi dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.2 Pendekatan Ergonomi

Manusia

-

Anatomi Fisiologi Psikologi Biomekanik Kinesiologi Enginering Manajemen/Organisasi Desain/Redesain

L I N G K U N G A N

Tujuan : Optimasi Efisiensi (Produktivitas ) Kesehatan Aman Nyamann

Sumber : Santoso, 2004 : 8 Santoso (2004) menyebutkan bahwa tujuan ergonomik adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada suatu institusi atau organisasi. Hal ini dapat tercapai apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan

26 pekerjaannya. Banyak yang menyimpulkan bahwa tenaga kerja harus dimotivasi dan kebutuhannya terpenuhi. Dengan demikian akan menurunkan jumlah karyawan yang tidak masuk kerja (absenteeism). Pendekatan ergonomik mencoba untuk mencapai kebaikan bagi pekerja dan pimpinan institusi. Hal ini dapat tercapai dengan cara memperhatikan empat tujuan utama ergonomik, antar lain : (1) memaksimalkan efisiensi kerja; (2) memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja; (3) menganjurkan agar bekerja aman (comfort), nyaman (convinience) dan bersemangat; serta (4) memaksimalkan bentuk (performance) kerja yang meyakinkan. Sumamur (1989) mengatakan bahwa penerapan ergonomi pada berbagai bidang pekerjaan telah terbukti menyebabkan kenaikan produktivitas secara jelas. Besarnya kenaikan mencapai 10% atau lebih. Tomanic (1995) mengatakan pula, dalam hasil penelitiannya pada pekerja hutan bahwa dengan mengembangkan metode dan teknik baru, fungsi mesin memberikan pelayanan kebutuhan manusia secara ergonomi sehingga informasi mesin tersebut dengan cepat diterima manusia (pekerja) maka kualitas operator meningkat secara profesional, memperkecil kebutuhan energi dan kerja para pekerja hutan dapat optimal. Santoso (1999) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian pada tenaga kerja kerajinan kayu bagian gosok dengan posisi kerja lesehan di lantai yang diubah menjadi posisi duduk di kursi dan meja kerja ergonomis, ternyata dapat meningkatkan produktivitas kerja 21,8% dan menurunkan kelelahan 8,4%.

27 A. KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja (job satisfaction) karyawan sangat menentukan produktivitasnya dalam organisasi. Ketika seorang karyawan merasa tidak puas dengan apa yang ada di organisasi maka umumnya dia tidak akan menunjukkan produktivitas yang tinggi. Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya sementara pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang ideal, dan yang serupa. Ini berarti penilaian (assessment) seorang karyawan terhadap betapa puas atau tidak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain). Faktor-faktor yang lazim akan dicakup adalah kodrat (nature) kerja, penyeliaan, upah sekarang, kesempatan promosi, dan hubungan dengan rekan sekerja. Study Work America National (1989) dari The Wyatt Company mengidentifikasikan 12 dimensi kepuasan, yaitu organisasi kerja, kondisi kerja, komunikasi, kinerja pekerjaan, dan tinjauan ulang kinerja, penyeliaan, manajemen perusahaan, upah tunjangan, pengembangan karir dan pelatihan, isi dan kepuasan pekerjaan, serta citra perusahaan dan perubahan. Locke (1976) menyebutkan faktor-faktor penting yang mendorong kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, dan rekan sekerja yang mendukung. Ganjaran yang pantas bisa dipersepsikan para karyawan menginginkan

28 sistem upah dan kebijakan promosi yang adil, tidak kembar-arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan pada jam-jam kerja. Tetapi kunci yang menautkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah persepsi keadilan. Oleh karena itu karyawan yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dalam pekerjaan mereka. Konsekuensi dari ketidakpuasan adalah perilaku defensif, sabotase, mangkir dan turn over. Ketika karyawan bekerja dibawah potensi terbaik mereka, maka organisasi akan menderita rendahnya efektivitas dan efisiensi kerja. Tingginya tingkat mangkir dan turn over menjadi masalah untuk para manajer dan personalia. Salah satu sasaran penting dalam kerangka manajemen sumber daya manusia di dalam sebuah organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggotanya, yang lebih lanjut akan meningkatkan prestasi kerja, sehingga mendorong lebih cepat tercapainya tujuan organisasi. Kepuasan adalah seperangkat perasaan seseorang tentang menyenangkan atau tidaknya

29 pekerjaan dia. Seperti yang dikemukakan oleh Martoyo (1999 : 115-116), berikut ini : Kepuasan kerja adalah keadaan konvensional seseorang dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja dari organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh anggota organisasi yang bersangkutan. Dalam studi lainnya dikatakan bahwa kepuasan kerja mengacu kepada sikap orang tersebut terhadap pekerjaannya, dan juga ditentukan oleh karakteristik pekerjaan, dan pada tingkatan dimana kebutuhan dari si pekerja dapat terpenuhi dari jenis pekerjaannya, seperti yang dijelaskan oleh Sampath MA (1994) : Job satisfaction refers to the emloyees attitude towards his job. Job satisfaction is determined by the characteristic of the job, and the degree to which ones personnel needs are fulfilled on the job situation. The nature of the job, the leadership, the working condition, the pay, and the relationship with fellow employees also contribute to the job satisfaction. Disamping itu, bentuk atau jenis pekerjaannya, kondisi pekerjaan,

penghasilan, dan hubungan antar rekan sejawat juga memberikan kontribusi kepada kepuasan kerja. Dari sisi lain, pekerja juga mempunyai prefalensi dalam mengukur kepuasan kerja untuk dirinya dengan beberapa alasan berikut oleh Katz (1998) seperti dikutip Anwar (1984 :70) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sesuai dengan bakat dan keahliannya Memiliki fasilitas memadai Memiliki informasi lengkap Dipimpin oleh pemimpin yang mendorong untuk pencapaian tujuan Memberikan penghasilan memadai Mempunyai tantangan untuk mengembangkan diri Memberi rasa aman dan tentram Memberikan harapan masa depan

30

Selanjutnya Mangkunegara (2000 : 117) mengutip pendapat

Davis

(1985 : 96), bahwa Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employees view their work. Dan dalam buku yang sama dikutip juga penadapat Wexley dan Yukl (1977 : 98) yang mendefinisikan kepuasan kerja sebagai the way an employee feels about his or her job. Berdasarkan pendapat Keith Davis, Wexley dan Yukl tersebut diatas, kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspekaspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan karyawan lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi, dan mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan diri si karyawan antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan, dan pendidikan. Karyawan akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dalam dirinya menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong maka karyawan akan merasa tidak puas. Oleh karena itu sesuai pendapat Keith Davis (1995 : 106) dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan kepuasan hidup. Menurut Wexley dan Yukl, 1977 (dalam Asad : 1991), bahwa teoriteori tentang kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu yang disebut sebagai a) Discrepancy theory; b) Equity theory; dan c) Two

Faktor theory. Masing-masing tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

31 Discrepancy Theory (Teori Perbedaan) Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there is now). Locke (1969) juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada Discrepancy antara should be expectation, need or values dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah dicapai atau diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataannya, karena batas minimum yang diinginkan telah tercapai. Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka akan menjadi puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Sebaliknya, semakin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka akan semakin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan (Asad : 1991). Equity Theory (Teori Keseimbangan) Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Adam (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zeleznik (1958) dikutip oleh Locke (1969), dalam Asad (1991). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity)

32 atau tidak atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Adapun elemen-elemen dari teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu elemen input, outcome, comparison, dan equity-in-equity. Yang dimaksud dengan input menurut Wexley dan Yulk (1977) adalah sebagai berikut ; input is anything of value that and employee perceives that he contributes to his job (input adalah segala sesuatu yang sangat berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan atau semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Sebagai contoh input adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha,

peralatan,dll) Outcomes is anything of value that the employee perceives he obtain from the job (semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri). Sedangkan Comparison Person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri di waktu lampau (the comparison person may be someone in a different organization, or even the person himself in a previous job). Equity-in-equity diartikan bahwa setiap karyawan akan

membandingkan rasio input-outcomes dirinya sendiri dengan rasio inputoutcomes orang lain (comparison person). Bila perbandingan itu dianggapnya

33 cukup adil (equity), maka karyawan tersebut akan merasa puas. Bila perbandingan tersebut tidak seimbang tetapi menguntungkan (over

compensation in equity), maka bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation in-equity), maka akan timbul ketidakpuasan (Wexley dan Yulk, 1977, dalam Asad : 1991) Two Factor Theory (Teori Dua Faktor) Yang dimaksud dengan dua faktor tentang motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg adalah faktor yang membuat orang merasa puas (satisfiers) dan faktor yang membuat orang tidak puas (dissatisfiers). Dalam pandangan lain, dua faktor yang dimaksudkan dalam teori motivasi Herzberg adalah adanya dua rangkaian kondisi. Kondisi pertama dimana orang merasa sehat dan faktor yang memotivasi (hygiene-motivators) dan faktor ekstrinsik dan intrinsik (extrinsic-intrinsic), sesuai dengan bagaimana cara pandang orang yang membahasnya. Menurut Herzberg, ada serangkaian kondisi yang menyebabkan orang merasa tidak puas. Jika kondisi ini ada dan tidak diperhatikan, maka orang itu tidak akan termotivasi, faktor-faktor ini meliputi : a) Kondisi kerja; b) Status; c) Keamanan kerja; d) Mutu dari penyelia; e) Upah; f) Prosedur perusahaan; serta g) Hubungan antar personal. Kondisi kedua yang digambarkan Herzberg adalah serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan kerja yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Apabila kondisi tersebut tidak ada, maka kondisi

34 tersebut ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian kondisi itu biasa disebut sebagai satisfiers atau motivator. Davis (1985 : 99) menyebutkan bahwa terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : a. Turn Over Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turn over pegawai yang rendah. Sedangkan perusahaan dengan turn over yang tinggi menunjukkan pegawai tidak mendapatkan kepuasan kerja. b. Tingkat kehadiran pekerja (tingkat absensi). Pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidak-hadiranya (absen) tinggi, dengan alasan yang tidak logis dan subyektif. c. Umur Ada kecenderungan pegawai yang lebih tua merasa lebih puas daripada pegawai yang berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang lebih tua lebih berpengalaman dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Sedangkan pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atas keseimbangan, dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas. d. Tingkat Pekerjaan Pegawai-pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada pegawai yang menduduki

35 tingkat pekerjaan yang lebih rendah. Pegawai-pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreativitas dalam bekerja. e. Ukuran Organisasi Perusahaan Besar kecilnya perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi dan partisipasi pegawai. Menurut Robbins (1998 : 152), faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja adalah : a. Mentally Challenging Work (pekerjaan yang secara mental menantang) Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan peluang untuk dapat serta menggunakan menawarkan keterampilan tugas dan yang

kemampuannya

sejumlah

bervariasi, kebebasan, serta umpan balik mengenai seberapa baik pekerjaan mereka. Pekerjaan dengan tantangan yang lebih kecil seringkali menimbulkan kebosanan, tetapi apabila tantangan yang dihadapi karyawan dalam pekerjaannya terlalu berat, akibatnya dapat menimbulkan frustrasi dan perasaan gagal. Dengan tantangan yang sesuai kondisi mereka, dapat

memberikan pengaruh senang dan puas.

36 b. Equitable Rewards (penghargaan yang adil) Karyawan menginginkan sistem penggajian dan kebijakan

promosi yang adil, tidak ambisius, dan sesuai dengan harapan mereka. Kepuasan kerja akan terwujud apabila penggajian dirasakan adil, sesuai kebutuhan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar penggajian yang umum. Sebab tidak semua orang bertujuan hanya untuk mendapatkankan uang. Banyak yang rela menerima uang sedikit pada pekerjaan yang lokasi sesuai baginya, atau ada yang memilih pekerjaan yang kurang diminati orang lain, atau memilih pekerjaan yang membutuhkan kewaspadaan yang lebih dan waktu kerja yang panjang. Tetapi disamping itu, petunjuk yang berkaitan dengan gaji dan pengaruhnya terhadap kepuasan kerja, secara tidak pasti dinyatakan dalam jumlah yang dibayar, agaknya hal itulah yang menjadi persepsi dari keadilan. c. Supportive mendukung) Lingkungan kenyamanan, kerja juga menjadi fasilitas perhatian kerja karyawan, baik. baik Studi Working Conditions (kondisi kerja yang

maupun

yang

menunjukkan bahwa pada umumnya karyawan memilih fasilitas dengan lingkungan kerja yang tidak berbahaya atau nyaman, dengan suhu dan penerangan yang baik. d. Supportive Colleagues (rekan sekerja yang mendukung)

37 Orang bekerja lebih dari hanya mendapatkan uang, prestasi atau materi. Sebagian besar bekerja juga untuk kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu dengan rekan kerja yang mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja. Perilaku salah seorang pimpinan juga besar artinya dalam menentukan kepuasan kerja. Studi secara umum menemukan bahwa kepuasan karyawan meningkat ketika supervisor dapat melakukan pendekatan dengan cara antara lain memahami karyawan, menumbuhkan rasa kedekatan, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan dan juga memberikan

perhatian yang sepatutnya kepada karyawan. e. The Personality-Job Fit (kecocokan antara kepribadian dan pekerjaan) Menurut Hollands personality-job fit theory bahwa kesesuaian antara kepribadian seorang karyawan dengan pekerjaan akan menimbulkan kepuasan seseorang. Logika dasar adalah : orang yang mempunyai tipe kepribadian yang sama dengan pekerjaan yang dipilih akan menemukan pendapat bakat sebenarnya yang dimilikinya dan juga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan kerjanya sehingga dapat lebih menyukai pekerjaaannya dan sukses. Melalui pekerjaan dan kesuksesan, kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi.

38 Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja dikemukakan oleh Blum (1956) adalah : a. Faktor Individual seperti usia, kesehatan, jenis kelamin b. Faktor Sosial seperti interaksi dan hubungan dengan orang lain c. Faktor dalam Pekerjaan seperti upah, kondisi kerja dan lain-lain. Dalam kenyataannya faktor-faktor tersebut diatas sangat tergantung pada pribadi masing-masing orang. Misalnya saja, bagi seseorang faktor finansial, seperti gaji/upah sangat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dirinya. Tetapi di lain pihak, untuk orang lain mungkin justru kelengkapan fasilitas tempat bekerja yang menjadi penyebab timbulnya kepuasan kerja.

B. PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN Suatu organisasi dapat dikatakan mencapai tingkat produktivitas yang baik, bila hasil yang didapat sekurang-kurangnya harus seimbang antara pengeluaran dengan masukan yang diperoleh. Dengan kata lain setiap karyawan harus memiliki prinsip bahwa setiap pekerjaan harus diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dengan perhitungan waktu, tenaga dan biaya diupayakan seminimal mungkin berhemat, dalam arti kata bahwa tenaga dan biaya ditekan lebih kecil atau penghematan. Produktivitas berasal dalam bahasa Inggris yaitu kata productivity mengandung pengertian produk atau hasil, sehingga productivity dapat diindonesiakan sebagai daya hasil atau kemampuan menghasilkan. Secara khusus banyak para ahli mendefinisiskan produktivitas menurut sudut

39 pandang ataupun menurut tujuan organisasi masing-masing, dimana dalam organisasi pemerintah produktivitas berorientasi kepada pemberian pelayanan terhadap masyarakat, sedangkan pada organisasi swasta/bisnis bertujuan untuk mencari keuntungan. Istilah produktivitas pertama kali muncul pada tahun 1766 oleh Quesnay, seorang sarjana ekonomi Perancis yang juga pendiri aliran Phisiokrat. Sebaliknya Walter Aigner menyatakan bahwa : istilah produktivitas sebenarnya sudah ada sejak awal peradaban manusia. Karena makna produktivitas adalah keinginan dan upaya manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan manusia. Namun demikian produktivitas sebagai konsep yang melibatkan output (luaran) dan input (masukan) sebagai parameter utamanya, baru pertama kali dicetuskan oleh Ricardo dan Smith sekitar tahun 1810. Inti konsep produktivitas tersebut adalah bagaimana output (luaran) akan berubah jika besaran input (masukan) berubah. Mali (1979) dalam Gaspersz (2000 :18) mengatakan bahwa : Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi, performasi kualitas, hasil-hasil, merupakan komponen dari usaha produktivitas. Dengan demikian produktivitas merupakan kombinasi dari efektivitas dan efisiensi, sehingga produktivitas dapat diukur berdasarkan sebagai berikut : Produktivitas = Output yang dihasilkan = Pencapaian Tujuan Input Yang Digunakan = Penggunaan Sumber Daya = Efektivitas Pelaksanaan Tugas = Efektivitas Efisiensi Penggunaan Sumber Efisiensi Dan menurut Werther dan Davis (1998 : 8), produktivitas didefinisikan sebagai rasio atau hasil sebagai berikut :

40 Productivity = Outputs Inputs = Goods and Services = People, Capital, Materials, Energy

Pendapat mengenai produktivitas dikemukakan oleh Ivancevich (1995 : 30) sebagai berikut : Productivity is defined as output of goods and services per unit of input of resources used in a production process. Inputs, as applied in productivity measurement, are expressions of the physical or dollar amount of several elements used in producing a good or a service, including labor, capital materials, fuel and energy. Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa produktivitas didefinisikan sebagai output dari barang dan jasa per unit dengan input berupa sumber daya yang digunakan dalam proses produksi. Input dalam pengukuran produktivitas diwujudkan dalam bentuk fisik dan atau jumlah uang dari beberapa unsur yang digunakan dalam menghasilkan suatu barang atau jasa, melalui tenaga kerja, modal, material, bahan bakar dan energi. Produktivitas dapat ditinjau dari sisi produktivitas organisasi dan produktivitas karyawan. Produktivitas organisasi sangat tergantung kepada produktivitas karyawan, semakin tinggi produktivitas karyawan semakin tinggi pula produktivitas organisasi. Untuk itu perlunya suasana komunikasi yang efektif antara atasan dan bawahan, lingkungan kerja yang mendukung dan kepuasan akan kerja bagi setiap karyawan. Menurut Kasim (1989) bahwa konsep produktivitas di sektor bisnis berbeda dengan produktivitas di sektor publik (pemerintah), karena ada perbedaan pokok yang mendasar. Berkaitan dengan produktivitas di sektor

41 publik tersebut, dapat kita simak pendapat dari Blank (1976) dikutip oleh Kasim (1993 : 21) dalam uraian sebagai berikut : Blank mengatakan bahwa produktivitas dalam organisasi pemerintahan juga harus diukur dari segi kualitas hasil yang dipersembahkan kepada masyarakat, yaitu seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan. Standar ini meliputi ciri-ciri dari output misalnya, berapa unit atau event yang dihasilkan, bagaimana jadual penyelesaiannya (timelines), dan seberapa jauh kepuasan dari klien atau masyarakat yang dilayani. Dengan menyimak pendapat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa produktivitas di organisasi pemerintahan harus diukur dari segi kualitas hasil. Sedangkan standar ukuran hasil di sekor publik adalah unit yang dihasilkan, jadual penyelesaian, kepuasan masyarakat yang dilayani. Berkaitan dengan ukuran mengenai produktivitas di sektor publik ini dapat kita simak pendapat Nawawi dan Martini (1990 : 98) dalam uraian berikut : Produktivitas hanya dapat diperoleh gambarannya dari dedikasi, loyalitas, kesungguhan dan disiplin, ketepatan penggunaan metode atau cara bekerja dan lain-lain yang tampak selama personel sebagai tenaga kerja melaksanakan volume dan beban kerjanya. Seorang pegawai negeri dikatakan produktif, jika selama jam kerja yang bersangkutan selalu tekun dan tidak pernah membolos, datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan pekerjaan dengan cara yang berdaya guna, pekerjaan diselesaikan dengan tepat waktu, dan sebagainya. Berdasarkan dari pendapat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa produktivitas kerja di lingkungan sektor publik atau pemerintahan dapat diukur dari loyalitas, kesungguhan, disiplin, cara kerja, absensi, penyelesaian pekerjaan tepat waktu.

42 Pendapat yang hampir serupa dengan indikator produktivitas kerja di sektor publik dikemukakan oleh Nasution (1994 : 95) dalam uraian berikut ini : a. Absensi ; Kriteria yang dipakai adalah sering terlambat, kadangkadang terlambat, sekali waktu absen, sering tidak di tempat kerja, atau tidak pernah absen. b. Tanggung Jawab Terhadap Pekerjaan ; Kriterianya adalah sering atau kadang-kadang melalaikan pekerjaan, pengabdian kepada pekerjaan cukup baik, sangat dan dapat diandalkan pengabdian kepada tugasnya. c. Kualitas Pekerjaan ; Kriterianya adalah kurang menguasai

pekerjaan, kadang-kadang tidak menguasai pekerjaan, pekerjaan dikuasai pekerjaan. d. Kecekatan atau keterampilan kerja ; Kriterianya adalah bekerja sangat lamban, dapat menyelesaikan pekerjaan pada waktunya, biasanya menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, cekatan sekali dalam melaksanakan pekerjaan. e. Inisiatif dan kreativitas; Kriterianya adalah antara lain pasif dan selalu didorong untuk melakukan tugasnya, kadangkala mau berinisiatif, cukup mempunyai inisiatif dalam melakukan secukupnya dengan baik, menguasai sepenuhnya

pekerjaannya, dan aktif berusaha dan berinisiatif dalam melakukan tugasnya.

43 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa indikator dari produktivitas kerja di sektor publik adalah absensi, tanggung jawab terhadap pekerjaan, kualitas pekerjaan, keterampilan kerja, inisiatif dan kreativitas. Berkaitan dengan peningkatan produktivitas kerja ini, menurut Kussriyanto (1993 : 8) terdapat empat (4) bidang pekerjaan yang mempunyai pengaruh terhadap peningkatan produktivitas, yaitu : Bidang yang pertama ialah investasi mesin untuk mengganti tenaga manusia. Bidang yang kedua adalah upaya yang diarahkan pada penentuan dan penerapan metode kerja yang paling cocok. Yang ketiga, yang seringkali peluang yang paling diremehkan untuk meningkatkan produktivitas ialah usaha menghilangkan praktekpraktek yang produktif yang biasanya menghambat peningkatan produktivitas. Bidang keempat adalah metode-metode personalia yang dapat digunakan oleh manajemen untuk memanfaatkan secara lebih efektif sumber daya manusia dari suatu perusahaan. Produktivitas menekankan pada aspek hasil kerja, yaitu hasil yang lebih baik dibandingkan dengan upaya atau pengorbanan yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. Hasil disini tentunya paralel dengan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai organisasi, dan hasil kerja tersebut dapat berupa hasil yang bersifat materi meupun non materi (jasa), dapat berbentuk perilaku yang mendukung produktivitas kerja untuk pencapaian tujuan organisasi.

44 C. HUBUNGAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KEPUASAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS E.1. HUBUNGAN KOMUNIKASI ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja merupakan respons seseorang (sebagai pengaruh) terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang dihadapinya (Coleman, 1982). Termasuk ke dalam hal ini respons terhadap komunikasi organisasi, supervisor, kompensasi, promosi, teman sekerja, kebijaksanaan organisasi dan hubungan interpersonal dalam organisasi. Dia selanjutnya mengatakan bahwa semua variabel komunikasi organisasi berhubungan secara berarti

dengan bermacam-macam aspek kepuasan kerja. Kepuasan komunikasi digunakan untuk menyatakan keseluruhan tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai dalam lingkungan total

komunikasinya (Redding, 1972). Analisis paling komprehensif mengenai kepuasan komunikasi organisasi dilakukan oleh Downs dan Hazen (1977) sebagai bagian dari usaha untuk mengembangkan suatu instrumen untuk mengukur kepuasan komunikasi. Secara keseluruhan, kepuasan berhubungan dengan perbedaan antara apa yang orang inginkan dari sudut pandang komunikasi dalam organisasi dan apa yang orang miliki dalam kaitan tersebut. Kepuasan adalah suatu konsep yang biasanya berkenaan dengan kenyamanan; jadi kepuasan dalam komunikasi berarti anda merasa nyaman dengan pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan dalam organisasi. Kenyamanan memiliki

kecenderungan, dalam hal ini, kadang-kadang menyebabkan individu lebih menyukai cara-cara pelaksanaan terbaru, yang seringkali gagal menghasilkan

45 peningkatan kinerja tugas. Beberapa penelitian tentang hubungan antara komunikasi organisasi dengan kinerja pekerjaan menunjukkan bahwa kepuasan kecil peranannya dalam perbaikan kinerja pekerjaan. Berarti kepuasan tidak memacu para individu untuk mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi, meskipun kepuasan komunikasi jelas memberi andil dalam kepuasan kerja (Pincus, 1986, 412 413). Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa komunikasi dalam organisasi memiliki hubungan dengan kepuasan kerja, sehingga apabila kondisi keduanya baik dapat meningkatkan produktivitas dan jika kondisinya tidak baik dapat menyebabkan penurunan produktivitas.

E.2. HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KEPUASAN KERJA Kemampuan manusia dalam melaksanakan tugasnya banyak

dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang menyenangkan akan menimbulkan semangat kerja. Kondisi lingkungan kerja dari para karyawan sangat mempengaruhi tumbuhnya motivasi bagi peningkatan produktivitas kerja seperti yang dikemukakan Sudarmayanti (1996 : 23), bahwa suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara sehat, optimal, aman dan nyaman. Lebih lanjut faktor-faktor secara fisik mempengaruhi kondisi lingkungan menurut Sudarmayanti (1996 :23) sebagai berikut : 1. Penerangan/cahaya di tempat kerja; 2. Temperatur/suhu udara di tempat kerja;

46 3. Kelembapan di tempat kerja; 4. Sirkulasi udara di tempat kerja; 5. Kebisingan di tempat kerja; 6. Getaran mekanis di tempat kerja; 7. Bau tidak sedap; 8. Tata warna di tempat kerja; 9. Dekorasi di tempat kerja; 10. Musik di tempat kerja; 11. Keamanan di tempat kerja. Seseorang bila melakukan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh akan dipengaruhi suasana atau keadaan lingkungan yang menurut orang tersebut menyenangkan, dan pada umumnya bila lingkungan kerja yang nyaman, penerangan yang cukup, ruangan yang tidak sempit, bersih, sirkulasi udara yang baik, tidak bising, dan aman akan membuat menjadi tenang dalam melaksanakan pekerjaan, begitu pula dengan tata letak tempat kerja yang baik dan dapat dipandang mata dengan baik akan berpengaruh juga. Dengan kondisi lingkungan kerja seperti diuraikan diatas dapat memelihara dan meningkatkan kenyamanan dalam bekerja, sehingga karyawan dapat lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaan tanpa terganggu oleh kondisi lingkungan fisik sekitarnya. Pada tahapan ini karyawan merasa tertantang untuk produktif karena ketersediaan sarana dan prasarana. Dengan demikian dapat diduga bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja karyawan. Artinya makin kondusif lingkungan kerja fisik, maka makin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan.

47 E.3. HUBUNGAN KEPUASAN KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS Pada seseorang dasarnya terhadap kepuasan aspek-aspek kerja di berarti dalam tangggapan atau pada emosional keseluruhan

pekerjaan/jabatannya. Menurut French (1986) kepuasan kerja diartikan sebagai sikap seorang karyawan/anggota organisasi terhadap

pekerjaan/jabatannya. Tanggapan emosional atau sikap sebagai kepuasan kerja terlihat pada tanggung jawab, perhatian, dan perkembangan seseorang dalam bekerja. Apabila ketiga aspek itu terlihat semakin positif, berarti terdapat kepuasan anggota organisasi/karyawan dalam melaksanakan tugastugas pokoknya. Demikian pula sebaliknya apabila ketiga aspek itu menurun berarti kepuasan kerja menjadi rendah. Sejumlah tinjauan-ulang dilakukan dalam dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang mencakup lusinan studi yang berusaha menegakkan hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas (Brayfield dan Crockett, 1955, 396 428). Pandangan dini mengenai hubungan kepuasan kerja kinerja pada hakikatnya dapat diringkaskan dalam pernyataan seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif. Suatu tinjauan ulang yang seksama dari riset itu menyatakan bahwa jika ada hubungan yang positif antara kepuasan dan produktivitas, korelasi-korelasi secara konsisten rendahdi sekitar +0,14 (Herman, 1973 : 208). Hubungan akan lebih kuat dengan memasukkan variabel-variabel pelunak. Tingkatan pekerjaan merupakan variabel pelunak yang penting. Korelasi kepuasan kinerja lebih kuat untuk karyawan tingkat lebih tinggi. Hubungan akan lebih relevan untuk individu-

48 individu dalam posisi profesional, penyelia dan manajerial. Kepuasan menyebabkan produktivitas adalah bahwa studi-studi itu telah memfokuskan pada individu-individu bukannya pada organisasi dan bhawa ukuran tingkat di individu tidak memperhitungkan semua interaksi dan kompleksitas dalam proses kerja itu. Berkaitan dengan kepuasan kerja maka jenis pekerjaan yang dilakukan sehari-hari oleh seorang karyawan sangat terkait dengan kepuasan kerja seperti yang diuraikan oleh Kussriyanto (1993 : 114) dalam uraian berikut ini : Pekerjaan tidak monoton, pelaksana dapat melakukan berbagai unsur pekerjaan yang cukup bervariasi dan leluasa mengatur tempat kerja; Pekerjaan dirancang oleh manajemen sedemikian rupa sehingga tidak menyia-nyiakan waktu dan tenaga pelaksanaannya; Pekerja bebas merencanakan sendiri pekerjaannya dan cara kerja yang efektif; Pekerja memperoleh wewenang yang memadai atas pekerjaannya; Pekerja mempunyai peluang memperoleh pengakuan atas hasil karyanya dan mendapat kesempatan untuk berkembang; Ia tidak merasa diawasi begitu ketat, tidak terlalu banyak diomeli, tidak kelewat dikendalikan; Pekerja menilai tugasnya penting bagi keseluruhan karyawan perusahaan dan semua pribadi tidak merasa dijadikan sebagai mesin; Dari pekerjaannya sendiri pelaksana dapat memperoleh jawaban atas pertanyaannya; bagaimana prestasi kerjanya, sehingga ia dapat meralat kesalahan dan meningkatkan teknik kerjanya sendiri; Pekerja menyediakan umpan balik dari atasan tanpa menyebabkan rasa sakit hati atau kecewa. Bentuk umpan balik dari rasa kepuasan karyawan adalah berupa pujian dan pengakuan. Pengakuan dan pujian biasanya diberikan sebagai ungkapan kepuasan kerja atas prestasi atau produktivitas kerja daripada karyawannya. Menurut Dharma (1991 : 99-100) bentuk pengakuan dan

49 pujian sebagai bentuk kepuasan kerja yang akan mendorong karyawan untuk lebih termotivasi meningkatkan produktivitas kerja adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pujian Langsung Pujian tidak langsung Pujian melalui orang lain Pengakuan formal Penugasan pekerjaan yang lebih disukai Penghargaan

Dari pendapat tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa dengan melalui komunikasi organisasi dalam bentuk pujian, pengakuan dan penghargaan kepuasan menunjukkan kepuasan dari pimpinan, juga merupakan bagi karyawan itu sendiri yang memotivasi untuk

kerja

meningkatkan produktivitas kerjanya. Kondisi ini akan semakin baik dengan dukungan lingkungan kerja fisik yang baik pula. Berdasarkan uraian di atas, tampak adanya hubungan antara komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja, dan kepuasan kerja karyawan. dengan produktivitas

50 BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Metodologi merupakan suatu upaya untuk menentukan, mengkaji, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan khususnya untuk membuktikan suatu hipotesa yang diajukan. Dalam rangka melakukan pengujian tersebut digunakan metode ilmiah. Penelitian ini bersifat analisis eksplanatif yang dimaksud untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan secara akurat terhadap fenomena dari faktor yang berkorelasi terhadap produktivitas karyawan dan menjelaskan pengaruhnya dengan menguji hipotesa dari variabel bebas yaitu komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan variabel tidak bebas, yaitu kepuasan kerja dan produktivitas kerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, artinya variabelvariabel yang bersifat kualitatif diterjemahkan ke dalam angka kuantitatif sehingga dapat dianalisa menggunakan statistik dan menginterpretasikan hasil analisis tersebut ke dalam bahasa kualitatif. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. (Arikunto, 1998 :151), dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pernyataan-pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan

51 tentang pribadinya, atau hal-hal yang responden ketahui. Kuesioner dipakai untuk mengumpulkan data dengan menggunakan suatu metode yang disebut instrumen, dan dalam menggunakan metode kuesioner, instrumen yang dipakai adalah berupa pernyataan-pernyataan atau item. Metode kuesioner dilakukan secara tertutup, langsung dan berbentuk rating scale. Tertutup maksudnya, kuesioner sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih langsung yaitu responden menjawab tentang dirinya, sedangkan bentuk rating scale (skala bertingkat), yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatantingkatan misalnya mulai dari sangat tinggi sampai sangat rendah. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode survey eksploratif yaitu berusaha menggambarkan serta mengetahui berbagai data yang menyangkut masalah hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Salah satu metode penelitian sosial yang sangat luas penggunaannya adalah metode survey. Ciri khas penelitian ini adalah, data dikumpulkan dari sejumlah responden yang telah ditentukan jumlahnya dengan menggunakan kuesioner. Keuntungan dari penelitian survey adalah memungkinkan pembuatan generalisasi untuk populasi besar maupun kecil yang pada umumnya dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam.

52 B. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini variabel-variabel dibedakan menjadi : Variabel bebas yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat atau variabel yang mempengaruhi; Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Mengacu pada perspektif teoritis dan metode penelitian yang diuraikan diatas, maka pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui analisa pendekatan model persamaan struktural tentang hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Hasil dari analisa tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan justifikasi yang sifatnya kualitatif. Narasi kualitatif tersebut masih berada dalam konteks paradigma post-positivist. C. Lokasi Penelitian dan Populasi C.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini memilih tempat penelitian di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta. Alasannya adalah tempat tersebut sangat berhubungan langsung dan terkait pada hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

53

C.2. Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan individu, subjek, objek, gejala ataupun kejadian-kejadian yang dimaksud untuk diteliti (Hadi, 1984 : 72). Populasi dari penelitian ini adalah karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta yang berjumlah 178 orang yang ditetapkan oleh peneliti sebagai responden, yang terdiri dari : Tabel 3.1 Jumlah Responden PenelitianJenis Golongan Pendidikan Kelamin Jumlah I II III IV SLTA DIII S1 S2 L P 140 38 178 - 111 66 1 93 19 54 7 Jumlah 178 - 111 66 1 98 19 54 7 18-30 134 135 Umur 31-40 41-50 33 35 6 8 >51 -

Keterangan : Ka. Lapas : 1 Kasie : 4 Kasubsi : 7 Staf : 91 Pengamanan: 75 Jumlah : 178

Staf Umum : 11 - Ruport I : 4 Staf kepeg : 8 II : 4 Sfat Bimaswat : 29 III : 4 Staf Registrasi : 6 IV : 4 Staf Adkam : 9 - Rupam I : 15 Staf Giatja : 8 II : 14 Staf Dapur : 4 III : 15 Staf KPLP : 16 IV : 15 Jumlah : 91 Jumlah : 75 Sumber : Urusan Kepegawaian dan Keuangan, Februari 2006 Populasi dalam penelitian ini relatif bersifat heterogen. Sebagian besar karyawan golongan II dan III, dan sebagian kecil lainnya golongan IV. Selain itu para karyawan bekerja yang tersebar dalam berbagai seksi, yaitu Pengamanan, Pembinaan narapidana, Kegiatan Kerja, Administrasi

Dokter Umum : 4 Doketr Gigi : 2 Perawat :8

Keamanan dan Tata Usaha.

54 Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 responden dari total populasi 178 orang. Pengambilan sampel sebanyak 100 responden dari populasi atas dasar pertimbangan sebagai berikut : Menurut Hair dkk (1995) bahwa ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100 200 orang. Bila ukuran sampel menjadi terlalu besar misalnya lebih dari 400 maka metode menjadi sangat sensitive sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran-ukuran goodness-of-fit yang baik. Hair dkk menyarankan bahwa ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated parameter. Dengan demikian bila estimasi parameternya berjumlah 20, maka jumlah sampel minimum adalah 100. Mengingat jumlah populasi yang menjadi obyek penelitian adalah 178 orang, maka sampel yang diambil sebanyak 100 responden dari populasi tersebut dianggap cukup representatif. Metode penentuan responden yang menjadi objek penelitian adalah teknik acak berlapis (stratified random sampling) proporsional dengan menggunakan rumus :

Sampel =

Populasi x Total Sampel Total Populasi

Adapun sampel yang diambil di masing seksi/bidang kegiatan dengan karakteristik sebagai berikut :

55 - Ka.Lapas - KPLP - Regu Pengamanan - Tata Usaha - Binadik - Adkam - Giatja - Dapur - Medis Jumlah : 1 Orang

: 17 Orang : 75 Orang : 22 Orang : 21 Orang : 12 Orang : 12 Orang : 4 Orang

: 14 Orang : 178 Orang

Maka dengan menggunakan rumus akan diperoleh sebagai berikut : Sampel Ka.Lapas Sampel KPLP Sampel Regu Sampel TU Sampel Binadik Sampel Adkam Sampel Giatja Sampel Dapur Sampel Medis : 1/178 x 100 : 17/178 x 100 : 75/178 x 100 : 22/178 x 100 : 21/178 x 100 : 12/178 x 100 : 12/178 x 100 : 4/178 x 100 : 14/178 x 100 =0 = 9,55 = 10 = 42,13 = 42 = 12,35 = 12 = 11,79 = 12 = 6,74 = 7 = 6,74 = 7 = 2,24 = 2 = 7,86 = 8

Dengan demikian maka total sampel adalah 100 orang. C.3. Sumber Data

56 Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana diperoleh (Arikunto, 1998 : 114). Dalam penelitian ini digunakan kuesioner, dan sumber data dari responden yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan. Sumber data yang lain adalah berupa data sekunder, yaitu berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan dokumen yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. C.4. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah karyawan yang terpilih sebagai responden penelitian. Dan unit pengamatan penelitian adalah sama dengan unit analisisnya. C.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang diajukan, berikut ini dirumuskan beberapa hipotesis penelitian ke dalam pernyataan-peryataan berikut : 1). Terdapat hubungan nyata antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja, artinya semakin tinggi komunikasi organisasi, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta; 2). Terdapat hubungan nyata antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja, artinya semakin tinggi lingkungan kerja fisik, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta; 3). Terdapat hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja, artinya semakin tinggi tingkat kepuasan kerja,

57 maka semakin tinggi produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

C.5.1. Hipotesis Statistik Adapun hipotesis statistik yang dipergunakan untuk menguji hipotesis penelitian tersebut adalah : 1). Ho : Y1 0; H1 : Y1 > 0 2). Ho : Y2 0; H1 ; Y2 > 0 3). Ho : (); H1 : > () Berarti : 1). Ho : Tidak ada hubungan nyata antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. H1 : Terdapat hubungan nyata antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. 2). Ho : Tidak ada hubungan nyata antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. H1 : Terdapat hubungan nyata antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. 3). Ho : Tidak ada hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan

58 produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. H1 : Terdapat hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. D. Definisi Operasional Variabel Jumlah variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel terikat (dependent variable) dan dua variabel bebas (independent variable). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Kepuasan Kerja (Y1) dan Produktivitas Kerja (Y2), dan variabel bebasnya adalah Komunikasi Organisasi (X1) dan Lingkungan Kerja Fisik (X2). Indikator pengukuran dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1). Dimensi Komunikasi Organisasi (X1) terdiri dari : a. Seringnya pengarahan yang dilakukan oleh atasan; b. Banyaknya dukungan atasan; c. Keikutsertaan dalam pengambilan keputusan; d. Koordinasi antar bagian; e. Kesediaan atasan mendengarkan keluhan; f. Adanya penghargaan dari atasan dan sesama karyawan atas pekerjaan yang dilakukan; g. Adanya proses pembelajaran dari atasan kepada bawahan; h. Adanya panduan formal kerja yang harus dipahami; i. Sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama karyawan.

59 2). Dimensi Lingkungan Kerja Fisik (X2) terdiri dari : a. Kesesuaian ruangan, penataan ruangan, dan fasilitas pendingin /sirkulasi udara; b. Fasilitas yang tersedia (sarana dan prasarana); c. Pemeliharaan peralatan kerja; d. Tingkat kebisingan di tempat kerja; e. Arsitektur dan penampilan tempat kerja (ukuran, tata letak, pembagian tempat kerja, warna dinding); f. Tingkat keamanan tempat kerja; g. Posisi tempat kerja yang efektif dan efisien dalam bekerja. 3). Dimensi Kepuasan Kerja (Y1) terdiri dari : a. Kesesuaian pekerjaan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki; b. Kesesuaian pekerjaan dengan pengalaman dan skill serta kepribadian; c. Kompensasi yang didapat; d. Kesempatan pelatihan dan promosi; e. Keadilan dalam bekerja; f. Citra organisasi dan perubahan;

g. Pekerjaan memiliki tantangan untuk mengembangkan diri; h. Pekerjaan memberi rasa aman dan tentram; i. Pekerjaan memberikan harapan masa depan; j. Rencana kerja manajemen sejalan dengan pekerjaan; k. Karyawan memiliki kebebasan untuk merencanakan pekerjaan; 4). Dimensi Produktivitas Kerja (Y2) terdiri dari :

60 a. Kesesuaian antara hasil kerja dengan standar; b. Kesesuaian antara kualitas dengan standar; c. Kesesuaian antara pelaksanaan dengan prosedur; d. Banyaknya kesalahan dalam pekerjaan; e. Keberanian dalam mengambil resiko; f. Kemauan dalam meningkatkan hasil kerja; g. Penyelesaian pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; h. Pemanfaatan waktu luang untuk kerja; i. Pemanfaatan waktu secara optimal; j. Loyalitas, kesungguhan, disiplin, cara kerja, absensi; k. Kecekatan atau ketrampilan kerja; l. Inisiatif dan kreativitas; E. Instrumen Penelitian dan Metode Pengukuran E.1. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dimaksud untuk mengukur fenomena sosial yang diamati, dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan-pernyataan yang dikembangkan

berdasarkan indikator-indikator yang digunakan dari masing-masing variabel penelitian. Rincian instrumen-instrumen penelitian yang menjadi data primer dijaring dengan disusun dalam bentuk pernyataan tertutup yang akan dipilih oleh responden. Oleh sebab itu terlebih dahulu dikemukakan kisi-kisi instrumen penelitian berikut ini :

61

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Konsep Variabel Dimensi 1. Komunikasi Vertikal Komponen yang diukurSangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

Hubungan Komunikasi antara Organisasi komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Lingkungan Kerja Fisik

Butir Pernyataan 1, 2, 3, 4, 5, 6

2. Komunikasi Horizontal

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

7, 8, 9, 10, 11, 12, 13.

3. Komunikasi Diagonal

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

14, 15,

1.

Tata Leta k /Arsi tekt ur

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

16, 17, 18, 19, 20, 21

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

22, 23, 24, 25, 26, 27

2.

Kon disi ruan gan kerj a

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

28, 29

Kepuasan Kerja 3. Ting kat Kea man an

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

30, 31, 32, 33, 34, 35, 36 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju

62Sangat Tidak Setuju

45,46,47 48, 49, 50

1. Produktivitas Kerja 2.

Tantangan pekerjaan

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

Ganjaran yang pantas

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

51,52,53,54 ,55,56

1. Kualitas standar pekerjaan

/ Setuju

Sangat Setuju Kurang Setuju Tidak SetujuSangat Tidak Setuju

57,58,59,60 ,61,62,63, 64,65,66

2. Efisiensi dan efektivitas kerja 3. Inisiatif dan prakarsa kerja E.2. Metode Pengukuran Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berisi

pernyataan-pernyataan tertutup, yang ditujukan untuk mengukur persepsi responden terhadap seluruh variabel penelitian. Pada setiap variabel dijabarkan menjadi beberapa pernyataan-pernyataan yang menggunakan Skala Likert, sehingga responden dapat memilih jawaban atas setiap pernyataan yang sesuai dengan apa yang dirasakan, sesuai dengan pengalamannya terhadap hubungan antara komunikasi organisasi dan

63 lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Item setiap dimensi variabel disertai lima pilihan jawaban, Sangat Setuju (5), Setuju (4), Kurang Setuju (3), Tidak Setuju (2), dan Sangat Tidak Setuju (1). Pengukuran dilakukan dengan cara pernyataan yang berarah positif pada wilayah pernyataan tertinggi diberi skor penilaian 5 (lima),

sebaliknya pernyataan berarah negatif dengan pilihan pernyataan terendah diberi skor penilaian 1 (satu). Melalui skala interval penilaian seperti ini sekaligus dapat dihindari jawaban yang bersifat memusat (central tendency) . Menurut Hadi (1984 : 157) metode kuesioner dianggap sebagai metode yang tepat untuk penelitian ini karena dilandasi dengan anggapananggapan bahwa : Subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri; Apa yang dinyatakan subyek adalah benar dan dapat dipercaya. Interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sama dengan yang dimaksud oleh peneliti. E.3. Teknik Analisis Data - Pengujian Validitas Instrumen Pengujian validitas mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah butir-butir pertanyaan benar-benar mengukur yang seharusnya diukur. Jadi dapat dikatakan semakin tinggi validitas suatu alat test, maka alat test tersebut semakin mengenai pada sasarannya, atau semakin menunjukkan apa yang seharusnya diukur. Suatu test dapat dikatakan mempunyai validitas

64 tinggi apabila test tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur sesuai dengan makna dan tujuan diadakannya test tersebut. Jika peneliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka item-item yang disusun pada kuesioner tersebut merupakan alat test yang harus mengukur apa yang menjadi tujuan penelitian. Salah satu cara untuk menghitung validitas suatu alat test yaitu dengan melihat daya pembeda item (item discriminality). Daya pembeda item adalah metode yang paling tepat digunakan untuk setiap jenis test. Daya pembeda item dalam penalitian ini dilakukan dengan cara : korelasi item-total. Korelasi item-total yaitu konsistensi antara skor item dengan skor secara keseluruhan yang dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi antara setiap item dengan skor keseluruhan, yang dalam penelitian ini menggunakan koefisien korelasi Spearman - rho. Korelasi Spearman rho merupakan salah satu metode statistika nonparametrik. Alasan utama penggunaan metode ini adalah bahwa metode ini sangat efisien dalam beberapa situasi, antara lain tidak mengasumsikan distribusi dari populasinya. Metode statistika termasuk dalam metode statistika nonparametrik apabila memenuhi paling tidak satu kriteria berikut : 1. Metode digunakan pada jenis data yang mempunyai skala pengukuran nominal. 2. Metode digunakan pada data yang mempunyai skala pengukuran ordinal. 3. Metode digunakan pada data yang mempunyai skala pengukuran interval atau rasio, namun fungsi distribusi dari variabel acak tidak diketahui.

65 Sebagaimana metode statistika inferensia, pada metode ini juga terdapat pengujian hipotesis dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Hipotesis : Ho : 0 Tidak ada hubungan antara variabel x dan y H1 : = 0 Terdapat hubungan antara variabel x dan y 2. 3. Tingkat signifikasi : = 0,05 Statisti uji : rs = 1 6 di2

n 2 ( n 1)

rs : koefisien korelasi Spearman rho d1 : selisih ranking n : banyaknya observasi 4. Aturan keputusan : Ho ditolak jika sig ( ) < = 0,05 Rumus diatas digunakan apabila tidak terdapat data kembar, atau terdapat data kembar namun sedikit. Apabila terdapat banyak data kembar digunakan rumus berikut ini

66 n +1 R ( X i ) R ( Yi ) n 2 1 2

rs =

2 2 2 2 n +1 2 n +1 2 R ( Xi ) n R ( Yi ) n 2 2

1

dimana : R(X) = Ranking nilai X R(Y) = Ranking nilai Y Bila koefisien korelasi untuk seluruh item telah dihitung, perlu ditentukan angka terkecil yang dapat dianggap cukup tinggi sebagai indikator adanya konsistensi antara skor item dan skor keseluruhan. Dalam hal ini tidak ada batasan yang tegas. Prinsip utama pemilihan item dengan melihat koefisien korelasi adalah mencari harga koefisien yang setinggi mungkin dan menyingkirkan setiap item yang mempunyai korelasi negatif (-) atau koefisien yang mendekati nol (0,00). Menurut Friedenberg (1995:273) biasanya dalam pengembangan dan penyusunan skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang minimal sama dengan 0,30. Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi diatas 0,30 dengan pengertian semakin tinggi korelasi itu mendekati angka satu (1,00) maka semakin baik pula konsistensinya (validitasnya). - Pengujian Reliabilitas Kuesioner

67 Reliabilitas artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama intrumen pengukuran yang baik. Kadang-kadang reliabilitas disebut juga sebagai keterpercayaan, keterandalan, keajegkan, konsistensi, kestabilan, dan sebagainya, namun ide pokok dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, artinya sejauh mana skor hasil pengukuran terbebas dari kekeliruan pengukuran (measurement error). Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Walaupun secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0,00 1,00; akan tetapi pada kenyataannya koefisien reliabilitas sebesar 1,00 tidak pernah dicapai dalam pengukuran, karena manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber kekeliruan yang potensial. Di samping itu walaupun koefisien korelasi dapat bertanda positif (+) atau negatif (-), akan tetapi dalam hal reliabilitas, koefisien reliabilitas yang besarnya kurang dari nol (0,00) tidak ada artinya karena interpretasi reliabilitas selalu mengacu kepada koefisien reliabilitas yang positif. Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan disini adalah dengan menggunakan Koefisien Reliabilitas Alpha yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

68k 2 Si k = 1